Thursday 27 September 2012

SISTEM PERLINDUNGAN DAN JAMINAN SOSIAL




 

SISTEM PERLINDUNGAN
DAN JAMINAN SOSIAL
(Suatu Kajian Awal)



Disusun oleh:
Yohandarwati
Lenny N. Rosalin
I D G Sugihamretha
Sanjoyo
Utin Kiswanti
Guntur Pawoko
Susiati Puspasari
Fithriyah







Direktorat Kependudukan, Kesejahteraan Sosial, dan Pemberdayaan Perempuan
BAPPENAS

SAMBUTAN


Perlindungan dan Jaminan Sosial menjadi isu yang perlu dipikirkan setelah berakhirnya kegiatan Jaring Pengaman Sosial (JPS/Social Safety Net) pada tahun 2002. JPS dirancang sebagai suatu program penyelematan atau rescue program untuk mengatasi dampak krisis sosial dan ekonomi yang dialami Indonesia pada tahun 1997. Target JPS adalah kelompok masyarakat miskin yang semakin meningkat jumlahnya karena dampak krisis.  Paska JPS sampai sekarang, pemerintah telah mengalihkan beberapa kegiatan yang dibiayai dana JPS ke kegiatan sektoral yang dibiayai oleh APBN. Hal ini dapat dikenali terutama dari beberapa kegiatan di sektor kesehatan, pendidikan, keluarga berencana,  dan kesejahteraan sosial.
Sementara itu, kesadaran pemerintah akan perlunya suatu jaminan sosial terlihat dari pembentukkan suatu Tim Sistem Jaminal Sosial Nasional (Tim SJSN) melalui Surat Keputusan  Presiden RI  tahun 2001, yang tujuan utamanya adalah memfasilitasi terbitnya Undang undang Sistem Jaminan Sosial Nasional.
Adapun kajian awal sistem perlindungan dan jaminan sosial (SPJS) mengacu kepada amanat UUD 1945 maupun UUD 1945 Amandemen ke IV. Suatu SPJS juga merupakan bentuk bantuan bagi masyarakat miskin dan rentan ketika berbagai goncangan terjadi, seperti krisis sosial dan ekonomi tahun 1997 itu. Kerentanan juga dapat ditimbulkan oleh perubahan paradigma internasional seperti globalisasi yang sangat berkaitan erat dengan daya saing di pasar bebas internasional. Belum lagi dikaitkan dengan perubahan paradigma di lingkup dalam negeri, seperti reformasi dan desentralisasi. Semua hal tersebut, menyebabkan pergeseran tatanan sosial dan lokal. Kerentanan masyarakat, yang sering berbentuk kemiskinan pada tahap intervensi awal dapat segera diatasi antara lain dengan akses untuk memperoleh jaminan dan perlindungan sosial.   Dengan demikian hak-hak rakyat untuk memperoleh pelayanan sosial dasar akan sama dan terjaga di seluruh  wilayah NKRI.
            Harapan saya, kajian awal yang dilaksanakan oleh Direktorat Kependudukan, Kesejahteraan Sosial dan Kependudukan secara swakelola ini dapat menjadi salah satu bahan – di samping hasil studi dan laporan lain yang dikerjakan berbagai pihak, seperti yang telah diselesaikan oleh Tim SJSN, Depkes dan Depsos, serta ILO – penyusunan kebijakan pemerintah untuk mewujudkan suatu Sistem Perlindungan dan Jaminan Sosial Nasional yang mantap dan berkelanjutan, bagi seluruh rakyat Indonesia.


Jakarta,  April 2003
Deputi Bidang SDM dan Kebudayaan, Bappenas


Dra. Leila Retna Komala, MA

KATA PENGANTAR


Kajian awal sistem perlindungan dan jaminan sosial (SPJS) dilaksanakan oleh Direktorat Kependudukan, Kesejahteraan Sosial dan Pemberdayaan Perempuan, sebagai bentuk kegiatan Unit Kerja Eselon II, Bappenas, tahun anggaran 2002. Semua kegiatan mulai dari persiapan, penyelenggaraanseminar dan diskusi, interview di pusat dan daerah, sampai dengan penyusunan laporan dikerjakan dalam tahun anggaran 2002. Penyajian laporan sementara dan penyempurnaan  laporan akhir dikerjakan dalam awal tahun 2003.
Kajian ini dilandasi oleh pentingnya pelayanan dan perlindungan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, sesuai dengan UUD 1945 Amandemen II pasal 28 H, ayat 3 menyatakan, bahwa setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia bermartabat. Di samping itu, perubahan keempat UUD 1945, tanggal 10 Agustus 2002, Pasal 34 ayat 2 menyatakan, bahwa “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan”. Disadari bahwa kajian SPJS merupakan langkah awal menuju terwujudnya suatu SPJS nasional yang terstruktur. Oleh karena itu, kajian ini lebih merupakan suatu pemetaan dari perlindungan dan jaminan sosial yang ada di Indonesia sampai saat ini, daripada suatu kajian tentang model SPJS nasional untuk Indonesia. Dengan demikian hasil kajian awal ini perlu dikembangkan lebih jauh dan diperkaya dengan berbagai telaah dan studi lain yang berkaitan dengan jaminan dan perlindungan sosial, untuk sampai kepada  suatu bentuk SPJS Nasional yang baik dan tepat untuk Indonesia.
Pentingnya suatu SPJS nasional sudah mulai disadari banyak kalangan. Namun, di pihak lain, pertanyaan yang sifatnya meragukan kepentingan SPJS khususnya di negara yang sedang berkembang seperti Indonesia juga diutarakan oleh pihak-pihak yang pesimistik. Beberapa pernyataan mengatakan bahwa SPJS hanya tepat untuk negara maju yang telah mapan dan mampu membiayai keperluan masyarakatnya sendiri. Adapula yang menyatakan bahwa kenyataan yang terjadi di beberapa negara maju justru menyiratkan bahwa suatu SPJS nasional justru menjadi beban pemerintah. Misalnya, sistem semacam SPJS yang juga dikenal sebagai social security system dari tahun ketahun memerlukan biaya yang meningkat karena semakin bertambahnya jumlah penduduk yang perlu memperoleh perlindungan sosial karena berbagai masalah sosial, seperti kemiskinan, yang dialami para orang-tua tunggal terutama para wanita kepala rumah tangga, anak terlantar dan anak jalanan, dan semakin meningkatnya jumlah penduduk yang menganggur karena semakin sempitnya lapangan kerja yang ada.
Disadari pula bahwa tersusunnya suatu SPJS nasional memerlukan studi yang mendalam dan perbaikan sistem yang terus menerus. Oleh karena itu, suatu SPJS yang diharapkan sangat mungkin baru akan tercapai pada kurun 20-40 tahun kedepan. Negara-negara yang sudah maju, seperti Australia, Jepang, dan Amerika Serikat dapat mencapai sistem perlindungan dan jaminan sosial bagi rakyatnya dalam kurun waktu 30 –50 tahun.
Apapun bentuk SPJS Indonesia nantinya, kajian ini diharapkan dapat menjadi salah satu tonggak awal bagi dasar pijakan pemikiran dan upaya kearah terwujudnya suatu SPJS yang khusus untuk Indonesia. Dalam jangka pendek, SPJS dapat dibatasi hanya untuk rakyat miskin saja, namun secara bertahap pada akhirnya dapat mencakup seluruh rakyat Indonesia, sesuai dengan amant UUD 1945 dan sebagai pemenuhan hak-hak manusia  untuk hidup layak. Amin.



Jakarta,  April 2003

Direktorat Kependudukan, Kesejahteraan Sosial dan Pemberdayaan Perempuan, Bappenas.



ABSTRAKSI


Kajian awal Sistem Perlindungan dan Jaminan Sosial (SPJS) merupakan kajian baru. Permasalahan yang dihadapi sehingga kajian ini diperlukan adalah: Berbagai skema perlindungan dan jaminan sosial telah berjalan saat ini namun penduduk yang dapat menikmati manfaatnya sangat terbatas. Bahkan rakyat miskin masih belum dapat menikmati jaminan sosial. Sesuai mandat UUD 1945, pemerintah perlu untuk menata ulang berbagai bentuk perlindungan dan jaminan sosial yang sudah ada, dan membuatnya menjadi suatu Sistem Perlindungan Sosial yang lebih utuh dan memberikan efisiensi dan efektivitas yang lebih optimal. Untuk lebih memahami skema-skema yang ada baik landasan hukum, cakupan manfaat, penerima manfaat, maupun sistem pendanaannya, perlu dilakukan pemetaan dan pemotretan sistem perlindungan sosial saat ini.
Temuan dan rekomendasi kajian untuk mengatasi masalah di atas adalah: (a) bantuan social hanya mencakup sebagian penduduk miskin dan rentan, (b) asuransi social elum mencakup seluruh penduduk Indonesia (WNI); masih terbatas bagi pekerja sektor formal (swasta, PNS, dan TNI/Polri), (c) penduduk miskin yang dicakup adalah around the poverty line atau being transitory poor, (d) belum ada desain standar minimum untuk berbagai bentuk asuransi dan bantuan social, (e) pengelolaan SPJS dilakukan oleh banyak lembaga (scattered), dan tidak integrated, (f) masing-masing lembaga penyelenggara mempunyai landasan hukum sendiri, dan belum ada suatu undang-undang yang dapat memayungi secara menyeluruh pada suatu jaminan sosial secara nasional dan terintegrasi (g) nilai-nilai budaya lokal ada yang telah berfungsi sebagai sistem perlindungan sosial, dan (f) dari segi cakupan jaminan sosial masih ada beberapa area yang belum ditanganani oleh skema yang ada.
Rencana pemanfaatan temuan dan rekomendasi dari kajian ini: Hasil dari kajian ini akan menjadi langkah menuju pengembangan rumusan rekomendasi bagi kebijakan publik Sistem Perlindungan dan Jaminan Sosial yang lebih utuh, efisien, dan efektif.

DAFTAR ISI





I.                 Pendahuluan

Pentingnya SPJS dan perubahan pradigma nasional daninternasional

Indonesia merupakan negara dengan penduduk terbesar ketiga di dunia setelah USA dan China. Pada tahun 2000 jumlah penduduk Indonesia telah mencapai  lebih dari 203 juta orang (BPS, Sensus Penduduk Tahun 2000). Sekitar satu dasa warsa lalu, jumlah penduduk Indonesia adalah 179,248 juta orang. Dengan demikian laju pertumbuhan penduduk selama 10 tahun terakhir, 1990-2000 adalah 1,35persen. Laju pertumbuhan memang semakin menurun mengingat angka pada periode 1980-1990 adalah 1,97 persen, namun secara absolut jumlah penduduk tetap semakin meningkat dari tahun ketahun.
Kualitas hidup penduduk Indonesia yang saat ini masih tertinggal dibandingkan kualitas hidup penduduk negara-negara ASEAN. Hal ini antara lain dapat dilihat dari masih rendahnya nilai Human Development Index (HDI) Indonesia – yang mengukur tingkat pencapaian keseluruhan kualitas pembangunan manusia yang diukur dari tiga indikator yaitu umur harapan hidup pada saat lahir, angka melek huruf penduduk dewasa dan tingkat partisipasi murid sekolah, dan GDP riil per kapita. Berdasarkan HDR 2002, Indonesia berada pada ranking ke 110 dari 173 negara. Ranking ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan beberapa negara ASEAN seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Phillipines, dan Vietnam, yang masing-masing berada pada ranking ke 25, 59, 70, 77, dan 109. Indikator lain yang digunakan untuk menilai pencapaian kualitas pembangunan manusia adalah Human Poverty Index (HPI) – yang diukur dari lima indikator yaitu kemungkinan tidak bisa bertahan hidup hingga usia 40 tahun, angka buta huruf penduduk dewasa, persentase penduduk tanpa akses terhadap air bersih, persentase penduduk tanpa akses ke fasilitas kesehatan, dan persentase kurang gizi pada balita. Berdasarkan HDR 2002, peringkat HPI Indonesia berada pada urutan ke 33 diantara 90 negara berkembang, dan juga masih sangat rendah dibandingkan dengan negara-negara ASEAN.
Gambaran kualitas hidup manusia Indonesia di atas, juga tidak lepas dari akibat krisis multi dimensi yang berkepanjangan yang dialami bangsa ini sejak tahun 1997. Krisis tersebut menyebabkan munculnya berbagai masalah yang dimensinya meliputi sosial, ekonomi, fisik, politik, atau bahkan kelembagaan. Akibat krisis, jumlah penduduk miskin (the poorest dan the poor) terus meningkat, dan pada tahun 2000 jumlah penduduk miskin mencapai 37,7 juta orang (Sensus Penduduk 2000). Peningkatan tersebut jika dibandingkan dengan keadaan pada tahun 1996, adalah sekitar 65,7%.
Peningkatan jumlah kasus secara tajam terutama terjadi di daerah perkotaan. Hal ini ditunjukkan oleh berbagai masalah seperti meningkatnya jumlah anak jalanan, meluasnya kawasan kumuh, meningkatnya pertumbuhan sektor informal, bertambahnya kecenderungan kejahatan kota, kerawanan sosial, dan kriminalitas, serta berbagai fakta dan fenomena sosial lainnya. Masalah yang juga dikenali meningkat adalah kerentanan penduduk, terutama penduduk miskin (yang sebelum krisis terjadi memang sudah miskin), terhadap pemenuhan kebutuhan hidup mereka, yang paling dasar dan minimal, yaitu terutama pangan, sandang, papan, kesehatan, dan pendidikan.
Krisis juga mengakibatkan sebagian masyarakat: kehilangan pekerjaannya, menurun daya beli dan pendapatannya, serta menuruna tingkat kesejahteraannya. Padahal, dengan sebab yang umum, masyarakat dengan sendirinya akan berkurang pendapatannya karena misalnya, menderita suatu penyakit atau memasuki usia lanjut. Kondisi sulit yang disebabkan oleh penyebab umum seperti itu, semakin menjadi berat karena adanya dampak dari krisis. Sementara itu, penawar dari keadaan sulit ini hanya muncul dalam jangka waktu relatif singkat, seperti intervensi masyarakat dalam aksi sosial untuk berbagai kelompok masyarakat saja, atau intervensi pemerintah dalam bentuk bantuan beras murah untuk rakyat miskin (raskin), ataupun kegiatan-kegiatan jaring pengaman sosial dan sejenis. Jalan keluar untuk mengatasi kesulitan hidup dikalangan masyarakat diatasi dengan program dan proyek yang sifatnya dalam rangka penyelamatan saja (rescue program) seperti pelaksanaan kegiatan dana bantuan pendidikan untuk anak sekolah dan pelayanan kesehatan dasar bagi masyarakat. Dampak dari krisis yang menyakitkan dan berkepanjangan tersebut telah membuat rakyat sengsara tanpa ada suatu sistem yang solid dan berkelanjutan yang dapat melindungi rakyat dari kesulitan sosial dan ekonomi. Singkatnya, karena tidak adanya sistem jaminan sosial dan proteksi untuk rakyat, akibat dan dampak dari gejolak  ekonomi dan sosial yang dirasakan rakyat tidak dapat langsung diatasi, dan proses penyembuhannya memakan waktu lama.
Suatu sistem perlindungan dan jaminan sosial sungguh perlu dimiliki agar ketahanan masyarakat dapat terjaga dalam menghadapi shock. Lebih daripada itu, perlindungan dan jaminan sosial juga diperlukan apabila terjadi hal-hal yang tidak dikehendaki yang dapat mengakibatkan hilangnya atau berkurangnya pendapatan seseorang, yang disebabkan karena memasuki usia lanjut atau pensiun, sakit, cacat, kehilangan pekerjaan, terkena bencana alam, dan sebagainya. Jelas bahwa, perlindungan dan jaminan sosial sangat terkait dengan isu-isu yang kompleks, baik yang bersifat analitis maupun yang teknis. Untuk itu, untuk membangun suatu ketahanan masyarakat, diperlukan pertumbuhan yang bersifat terus-menerus (sustainable) dan pembangunan yang memihak kepada rakyat miskin (pro-poor). Pengalaman banyak negara menunjukkan, bahwa pertumbuhan saja belum cukup untuk mengembangkan/meningkatkan kualias hidup masyarakat.
Pemecahan jangka panjang dari masalah ini sangat tergantung pada keputusan-keputusan yang dikaitkan dengan pembangunan nasional secara keseluruhan yaitu, antara lain, dengan memasukkan penyebab struktural dari kerentanan masyarakat di atas. Disadari bahwa suatu kebijakan yang lebih diarahkan pada upaya memasukkan intervensi secara proaktif dalam rangka mengurangi kerentanan tersebut dan mendorong/mengajak sektor swasta dan masyarakat secara bersama-sama untuk mengatasi kemiskinan. Dengan demikian, perlindungan dan jaminan sosial seyogyanya tidak hanya merupakan program pemerintah, tetapi juga merupakan program masyarakat yang diharapkan mampu memberikan perlindungan dan jaminan sosial agar setiap warga negara dapat memenuhi kebutuhan dasar minimal hidupnya menuju terwujudnya kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam pelaksanaannya, upaya ini tidak akan berhasil jika hanya melibatkan pemerintah saja. Isu partnership dengan meningkatkan peran kerjasama dengan sektor swasta dan masyarakat menjadi semakin penting.
Dalam konteks pembangunan suatu sistem perlindungan dan jaminan sosial nasional, hal penting yang harus diperhatikan adalah peran dari masing-masing pemerintah nasional di pusat dan pemerintah daerah (propinsi dan kabupaten/kota) dalam perlindungan dan jaminan sosial juga perlu dipertegas. Dengan mengacu kepada UU No. 22 Tahun 2001, keserasian peran pusat dan daerah menjadi sangat penting, karena kemampuan dan peran pemerintah daerah dalam sistem ini dapat saja berbeda satu dan lainnya, tergantung dari arah kebijakan dan terutama kemampuan pembiayaan masing-masing daerah. Implikasi kebijakan desentralisasi yang telah diberlakukan sejak awal tahun 2001 terhadap pola pengembangan sistem perlindungan dan jaminan sosial sebenarnya akan menjadi unsur positif bagi daerah, karena kemiskinan di setiap tingkatan wilayah dapat diatasi secara holistik. Dalam pelaksanaannya, perlindungan dan jaminan sosial tidak akan berhasil jika hanya mengandalkan peran pemerintah saja. Oleh karena itu, isu kerjasama atau partnership melalui peningkatan peran kerjasama pemerintah dengan sektor swasta dan masyarakat menjadi sangat penting.


II.              LATAR BELAKANG DAN TUJUAN

Referensi dasar hukum dan  tahap kegiatan dan gambaran SPJS yang diharapkan

1.                Latar belakang

Kesadaran sekaligus pesan bahwa Indonesia memerlukan suatu sistem perlindungan dan jaminan sosial, telah dinyatakan dalam berbagai dokumen negara. Sebagai landasan hukum, Undang Undang Dasar 1945, baik pada Pembukaan maupun pada beberapa Pasalnya, telah memberikan landasan hukum normatif yang kuat, meskipun tidak secara eksplisit menyebutkan perlindungan dan jaminan sosial. Misalnya, dalam Pembukaan UUD 1945 disebutkan, bahwa pembentukan Pemerintah Negara Indonesia ditujukan:

“... untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”

Selanjutnya, perlindungan dan jaminan sosial yang merupakan hak setiap warga negara juga diamanatkan dalam UUD 1945  Pasal 27 Ayat 2:

“Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”

Diamanatkan kemudian, bahwa diperlukan adanya suatu sistem perlindungan dan jaminan sosial pada skala nasional sebagaimana diamanatkan pada Pasal 34 Ayat 2 Perubahan UUD 1945 Tahun 2002 yang menyatakan bahwa,

 “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat ......”

Beberapa pasal di dalam UUD 1945 juga lebih mempertegas pentingnya hidup layak bagi warganegara, misalnya:

Pasal 27 ayat 2
“Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”

Pasal 31  ayat 1
“Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pendidikan”

Pasal 34   ayat 1
“Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara”.

Selain UUD 1945, dalam Ketetapan MPR RI No. X/MPR/2001 tentang Laporan Pelaksanaan Putusan MPR RI oleh Lembaga Tinggi Negara pada Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2001 yang terkait dengan perlindungan dan jaminan sosial juga telah menugaskan kepada Presiden RI untuk membentuk suatu sistem jaminan sosial nasional dalam rangka memberi perlindungan sosial yang lebih menyeluruh dan terpadu kepada rakyat Indonesia.
Berdasarkan uraian di atas, berbagai kekuatan landasan hukum normatif tersebut secara tegas telah mengamanatkan upaya perlindungan dan jaminan sosial, terutama yang dikaitkan dengan peningkatan kesejahteraan rakyat dan kualitas sumber daya manusia. Namun demikian, yang menjadi masalah adalah, bahwa hingga saat ini belum tersedia suatu landasan hukum (misalnya dalam bentuk UU) yang dapat digunakan sebagai landasan operasional untuk pelaksanaan sistem perlindungan dan jaminan sosial secara menyeluruh di tingkat nasional.
Beberapa waktu  yang lalu, suatu Tim Sistem Jaminan Sosial Nasional (Tim SJSN) telah dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 20 tahun 2002 tanggal 10 April 2002 tentang Pembentukan Tim Sistem Jaminan Sosial Nasional. Tim tersebut saat ini sedang menyusun suatu Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Draft Konsep Naskah Akademik tentang SJSN juga sedang disusun. Kajian yang akan dilakukan Bappenas ini lebih merupakan kajian intern Bappenas sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya dengan menyusun rekomendasi kebijakan kepada Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas. Apa yang dilakukan oleh Tim Sistem Jaminan Sosial Nasional (Tim SJSN) akan merupakan masukan bagi kajian yang dilakukan oleh Bappenas.

Keputusan Sidang Tahunan MPR RI tahun 2001 menugaskan Presiden untuk membentuk Sistem Jaminan Sosial Nasional dalam rangka memberikan perlindungan sosial yang lebih menyeluruh dan terpadu. Berdasarkan keputusan tersebut, Presiden mengambil inisiatif menyusun Rancangan Undang-Undang Jaminan Sosial Nasional.
Selain itu, melalui Tap. MPR, Pasal 34 (1) tercantum bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara, dan melalui perubahan keempat UUD 1945 tanggal 10 Agustus 2002, dengan pengubahan dan/atau penambahan pada Pasal 34 (2), tercantum bahwa Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
Sehubungan dengan hal tersebut diatas, dalam rangka mempersiapkan konsepsi dan penyusunan sistem jaminan sosial nasional, dibentuk Tim Sistem Jaminan Sosial Nasional, melalui Keputusan Presiden RI No. 20 Tahun 2002 Tanggal 10 April 2002 tentang Pembentukan Tim Sistem Jaminan Sosial Nasional. Keppres ini didahului dengan Keputusan Sekretaris Wakil Presiden No. 7 Tahun 2001, (pada waktu Ibu Presiden Megawati Soekarno Putri menjadi Wakil Presiden).
Tim SJSN beranggotakan wakil dari berbagai instansi pemerintah, LSM dan pakar dibidangnya. Dan berdasarkan tugasnya, penanggung jawab Tim SJSN dibagi dalam 4 kelompok, yaitu: Substansi, Kelembagaan, Mekanisme/Budget, dan Pembentukan Program Jaminan Sosial. Sistem Jaminan Sosial Nasional yang akan dibangun bertumpu pada konsep asuransi sosial, dan berdasarkan pada azas gotong royong melalui pengumpulan iuran dan dikelola melalui mekanisme asuransi sosial. Pelaksanaannya diatur oleh suatu Undang-Undang dan diterapkan secara bertahap sesuai dengan perkembangan dan kemampuan ekonomi Nasional serta kemudahan rekruitmen dan pengumpulan iuran secara rutin. Saat ini, Tim SJSN sedang memfinalisasi naskah akademis untuk persiapan RUU Sistem Jaminan Sosial. Menurut rencana naskah akademis diharapkan rampung pada akhir Desember 2002, sedangkan usulan RUU diperkirakan dapat dimasukkan ke DPR sekitar Juni 2003. Undang undang Jaminan Sosial nantinya akan menjadi payung bagi suatu Sistem Jaminan Sosial Nasional (Social Security) yang cocok untuk Indonesia masa datang yang didalamnya mencakup social insurance dan social assistance.
Disamping dasar berpijak di dalam negeri diatas, di tingkat internasional, secara universal, perlindungan dan jaminan sosial juga telah dijamin oleh Deklarasi PBB Tahun 1947 tentang Hak Azasi Manusia. Pemerintah Indonesia seperti banyak negara lain juga telah ikut menandatangani Deklarasi itu. Secara tegas, Deklarasi itu menyatakan bahwa;

“... setiap orang, sebagai anggota masyarakat, mempunyai hak atas jaminan sosial ... dalam hal menganggur, sakit, cacat, tidak mampu bekerja, menjanda, hari tua ...”

Dasar pertimbangan lain adalah Konvensi ILO No. 102 Tahun 1952 yang juga menganjurkan agar semua negara di dunia memberikan perlindungan dasar kepada setiap warga negaranya dalam rangka memenuhi Deklarasi PBB tentang Hak Jaminan Sosial.
Pengalaman berbagai negara menunjukkan, bahwa perlindungan dan jaminan sosial yang diselenggarakan oleh pemerintah bersama masyarakat di tingkat nasional, selain dapat memberikan perlindungan dan jaminan sosial bagi seluruh masyarakat, juga sekaligus membantu untuk menggerakkan roda pembangunan. Berdasarkan kenyataan yang terjadi beberapa tahun terakhir ini juga membuktikan, bahwa perlindungan dan jaminan sosial semakin diperlukan jika kondisi perekonomian global maupun nasional sedang mengalami berbagai krisis (multi dimentional crisis), sehingga mengancam kesejahteraan rakyat. Untuk itu, salah satu upaya penyelamat dari berbagai resiko tersebut adalah perlunya dikembangkan suatu sistem perlindungan dan jaminan sosial yang menyeluruh dan terpadu, sehingga dapat memberikan manfaat yang optimal bagi seluruh warga negaranya.

Mengenai pengertian dari perlindungan dan jaminan sosial dapat dijelaskan melalui beberapa literatur yang ada. Bahkan, dalam rencana pembangunan nasional, secara tegas menyebutkan bahwa perlindungan dan jaminan sosial merupakan salah satu langkah kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Definisi perlindungan dan jaminan sosial yang terdapat pada rencana pembangunan nasional tersebut diartikan sebagai:

“..suatu langkah kebijakan yang dilakukan untuk memberikan perlindungan dan rasa aman bagi masyarakat miskin, terutama kelompok masyarakat yang paling miskin (the poorest) dan kelompok masyarakat miskin (the poor)”

Menurut ADB, definisi perlindungan dan jaminan sosial adalah sebagai berikut:

 the set of policies and programs designed to promote efficient and effective labor markets, protect individuals from the risks inherent in earning a living either from small-scale agriculture or the labor market, and provides a floor of support to individuals when market-based approaches for supporting themselves fail”.

Risks  yang dimaksudkan di sini adalah yang terutama banyak menimpa/dialami the poor, dan dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu:

a.                  Lifecycle    misalnya cacat, kematian, dan lanjut usia
b.                  Economic – misalnya kegagalan panen, penyakit hama, pengangguran, peningkatan harga kebutuhan dasar, dan krisis ekonomi
c.                  Environmental  – misalnya kekeringan, banjir, dan gempa bumi
d.                 Social/governance – misalnya kriminalitas, kekerasan domestik, dan ketidakstabilan politik

Selanjutnya, definisi tentang Social Insurance Programs menurut  Folland, Goodman, dan Stano (1997: Social Insurance Programs) dapat dibedakan ke dalam lima kategori yaitu:
a.                 Poverty – programs that are directed toward persons experiencing poverty involve either the provision of cash, or more often the subsidized provisions of goods “in kind,” such as rent vouchers or food stamps.
b.                  Old Age - programs that are directed toward the elderly include income maintenance, such as Social Security, as well as services and considerations (such as old-age housing, Meals-on-Wheels) that may address the generally decreased mobility of the elderly.
c.                   Disability – programs that generally provide cash benefits.
d.                  Health – programs that cover illness or well-care financing and/or provide facilities for various segments of population. The individual’s health care is financed either entirely or in part by the government.
e.                  Unemployment – programs that generally provide short-term cash benefits. 

            Dari uraian di atas, semakin menegaskan kepada kita bahwa perlindungan dan jaminan sosial sangat terkait erat dengan masalah kemiskinan, yang selanjutnya berdampak pula pada penurunan kualitas hidup manusia secara keseluruhan. Untuk itu, guna mendukung upaya pemerintah dalam memberikan/menciptakan perlindungan dan jaminan sosial yang lebih utuh kepada setiap warga negaranya, maka pemerintah perlu menataulang berbagai bentuk perlindungan dan jaminan sosial yang sudah ada, dan membuatnya menjadi suatu Sistem Perlindungan dan Jaminan Sosial (SPJS) yang lebih utuh dan memberikan efisiensi dan efektivitas yang lebih optimal. 

1.              Tujuan

Guna mendukung upaya pemerintah dalam memberikan/ menciptakan perlindungan sosial yang lebih utuh kepada setiap warganegaranya, maka pemerintah perlu menata ulang berbagai bentuk perlindungan sosial yang sudah ada, dan membuatnya menjadi suatu Sistem Perlindungan dan Jaminan Sosial yang lebih efisien dan efektif serta yang lebih optimal tanpa mengubah sistem yang sudah ada sekarang ini.
Sebagaimana tertuang dalam Kerangka Acuan, Bappenas berinisiatif untuk melakukan kajian awal tentang Sistem Perlindungan dan Jaminan Sosial (SPJS) pada tahun 2002  dan direncanakan akan  dilanjutkan pada tahun anggaran 2003 dan 2004.
Tujuan umum dari kajian awal adalah terwujudnya suatu sistem perlindungan dan jaminan sosial (SPJS) yang efektif dan efisien bagi seluruh rakyat Indonesia. Tujuan khusus dari kajian ini adalah memetakan dan menyusun bahan-bahan kajian kebijakan publik dalam upaya mendukung terwujudnya SPJS. Sasaran yang akan dihasilkan melalui kajian awal adalah terumuskannya bahan rekomendasi kebijakan publik SPJS, baik ditinjau dari kerangka kebijakan nasional, dan – yang lebih penting lagi sesuai dengan desentralisasi.
Kajian diawali dengan diskusi antar pihak-pihak terkait dengan isu SPJS. Diskusi diselegarakan berdasarkan paparan pemikiran para pembicara dari Depkes, Depnakertrans, Depsos, Depdiknas, dan Depdagri. Hasil sementara dari kajian awal menunjukkan adanya bentuk-bentuk jaminan dan perlindungan sosial yang bervariasi dan masing-masing mempunyai landasan hukum sendiri. Jaminan sosial yang ada adalah Asuransi Kesehatan (Askes), Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM), Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek), Tabungan Auransi Pegawai Negeri (Taspen), Asuransi ABRI (Asabri). Namun demikian, terlihat diselenggarakan secara parsial dari segi perundang-undangan. Belum ada suatu undang-undang yang memayungi pelaksanaan dan skema jaminan sosial secara menyeluruh dalam suatu sistem perlindungan dan jaminan sosial nasional.
Adapun bentuk-bentuk jaminan sosial yang ada dikalangan masyarakat dan merupakan inisiatif mereka antara lain adalah Dana Sehat (micro insurance) yang diselenggarakan oleh masyarakat dengan koordinasi dokter Puskesmas dan merupakan kegiatan APBN. Beberapa  skema partisipasi masyarakat lain juga dikenali seperti Zakat (di beberapa daerah) dan sistem pendanaan masyarakat Banjar (di Bali).
Untuk mempertajam kajian ini, beberapa pembicara dari BUMN – PT. TASPEN, PT. ASKES,  dan PT. JAMSOSTEK -- di undang sebagai penyaji paparan dengan diskusi yang melibatkan pihak pemerintah terkait. Disamping itu, kajian ini juga mencoba untuk menggali konsep perpajakan yang mungkin dikembangkan guna mendukung rencana penyusunan dan penataan SPJS melalui interview dengan para pejabat pemerintah dan pakar terkait.


III.          METODOLOGI

Cara pengumpulan data dan informasi serta penyusunan laporan

Penyusunan kebijakan SPJS digali berdasarkan bahan-bahan yang telah dikumpulkan. Setiap kebijakan pada aspek-aspek tersebut yang telah diterbitkan dikaji pada tataran implementasi serta benefit pada masyarakat tertentu. Pada tataran kebijakan akan dievaluasi apakah kebijakan tersebut masih relevan pada kerangka waktu yang sekarang dan yang akan datang. Sehingga diharapkan dapat dirumuskan suatu rekomendasi  kebijakan jaminan sosial untuk menjamin kelangsungan hidup bagi individu, keluarga dan masyarakat apabila terjadi suatu eksternal shock pada kehidupan mereka.
            Dalam mencapai tujuan dan sasaran penyusunan Sistem Perlindungan dan Jaminan Sosial sebagaimana diuraikan di atas, maka langkah pertama yang dilakukan adalah mengumpulkan bahan-bahan kajian kebijakan dan pelaksanaan jaminan sosial di Indonesia. Ruang lingkup kajian SPJS dan operasional meliputi aspek-aspek life cycle, economic, environmental, dan social/governance, dan mencakup pula hal-hal yang berkaitan dengan poverty, old age, disability, health, dan employment. Metoda pengumpulan bahan dilakukan melalui studi kepustakaan, diskusi, dialog, dan in-depth interview  baik dengan instansi pemerintah di pusat dan daerah, BUMN, pihak swasta dan akademisi.
Serangkaian kegiatan diskusi diselenggarakan bersama dengan para pejabat pemerintah  di pusat (Kementerian/Departemen/LPMD) dan BUMN yang selama ini telah menyelenggarakan perlindungan dan jaminan sosial baik dalam bentuk asuransi sosial maupun bantuan sosial, yaitu:
1.                  Pemerintah – Depsos, Depdiknas, BKKBN, Depnakertrans, Depkes, Depkeu, BPHN/Depkeham, dan Depdagri. Diskusi khusus juga dilakukan dengan Tim Sistem Jaminan Sosial Nasional, yang dibentuk berdasarkan Keppres No. 20 Tahun 2002, tanggal 10 April 2005 tentang Pembentukan Tim Sistem Jaminan Sosial Nasional.
2.                  BUMN – PT Taspen, PT Askes, PT Jasa Raharja, PT Asabri, dan PT. Jamsostek. Di samping itu, dalam diskusi juga melibatkan wakil akademisi.

            Di samping seminar dan diskusi dilakukan pula dialog dengan Pemerintah Daerah di 3 kabupaten/kota di 3 propinsi yaitu, Kabupaten Banyumas, Jateng; Kota Makasar, Sulsel; dan Kabupaten Gianyar, Bali. Tujuan dialog adalah untuk menggali berbagai potensi dan kearifan lokal yang ada di masing-masing daerah. Dialog atau lebih dikenal dengan istilah Temu Tukar Pendapat (TTP) yang diselenggarakan dengan partisipasi para wakil pemerintah daerah mulai dari Bupati, Kepala Bappenda dan dinas terkait, wakil dari DPRD, serta melibatkan para wakil masyarakat dan perguruan tinggi setempat. Dalam kesempatan itu, selain membicarkan kegiatan yang telah dilakukan sampai dengan tahun 2002, juga dibahas, pemikiran kedepan termasuk renczana kegiatan yang menjadi perhatian mereka.
Kegiatan lain yang diselenggarakan adalah in-depth interview untuk menggali pemikiran dan pandangan pemerintah dan swasta di sektor terkait. Para pejabat Departemen terkait yang di interview adalah dari Depnakertrans, Depdiknas, Depkes, Depsos, Depdagri, Depkeham, dan Depkeu. In-depth interview juga dilakukan dengan beberapa BUMN selaku penyelenggara perlindungan dan jaminan sosial, yaitu PT Taspen, PT Jasa Raharja, PT Askes, dan PT Asabri (Catatan, interview dengan PT Asabri ditangguhkan karena berbagai kendala). Tujuan  in-depth interview adalah untuk memperoleh penjelasan dan klarifikasi yang lebih rinci tentang perlindungan dan jaminan sosial yang diselenggarakan. Di samping itu, juga digali pemikiran dan pandangan mereka akan SPJS nasional untuk Indonesia.
Kegiatan lainnya adalah menyusun kebijakan SPJS, yang digali berdasarkan bahan-bahan yang telah dikumpulkan. Setiap kebijakan pada aspek-aspek tersebut yang telah diterbitkan dikaji pada tataran implementasi serta benefit pada masyarakat tertentu. Pada tataran kebijakan akan dievaluasi apakah kebijakan tersebut masih/cukup relevan pada kerangka waktu yang sekarang dan yang akan datang. Pada akhirnya, diharapkan dapat dirumuskan suatu rekomendasi kebijakan perlindungan dan jaminan sosial yang ditujukan untuk menjamin kelangsungan hidup bagi individu, keluarga, dan masyarakat apabila terjadi suatu eksternal shock pada kehidupan mereka.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, kajian awal ini lebih merupakan suatu pemetaan dari skema perlindungan dan jaminan sosial yang ada sampai tahun 2002. Dengan demikian pada tahap selanjutnya, kemungkinan pada tahun anggaran 2003, akan dirumuskan suatu kerangka SPJS yang mungkin sesuai dengan keperluan Indonesia.  Kebijakan pada salah satu aspek dapat berpengaruh pada aspek lainnya. Contohnya, instrumen perlindungan dan jaminan sosial berupa pensiun dan labor market, tidak mempunyai pengaruh yang menguntungkan pada keluarga yang bekerja pada sektor informal. Untuk itu, keputusan alokasi resources antar aspek mempunyai konsekuensi yang penting berkaitan dengan keadilan. Dengan adanya kerterbatasan public resurces yang tersedia, maka pendekatan yang terintegrasi memberikan arah dalam pengambilan keputusan alokasi sumberdaya pada aspek-aspek tertentu, sehingga akan terjadi tradeoff  yang berkeadilan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Sebagai kelanjutan kajian awal ini, pada tahun 2003–2004 diharapkan dapat disusun suatu draft awal policy paper. Sebagaimana diketahui, bahwa social protection tidak hanya dilaksanakan oleh Pemerintah. Individu dan rumah tangga, market institution (asuransi) juga mengadopsi social protection. Dengan demikian, jika dimungkinkan, akan dilakukan diseminasi policy paper tersebut, serta dialog dengan pemerintah daerah. Hal ini terutama berkaitan kebijakan desentralisasi yang telah ditetapkan sejak awal tahun 2001. Bila memungkinkan kegiatan pada tahun 2004, lebih jauh akan difokuskan pada SPJS untuk rakyat miskin.



IV.       GAMBARAN UMUM SISTEM PERLINDUNGAN DAN JAMINAN SOSIAL YANG ADA DI INDONESIA

Skema perlindungan dan jaminan sosial, dasar hukum, cakupan dan kelembagaan serta kemungkinan untuk dikaitkan dengan NIK


Gambaran umum sistem perlindungan dan jaminan sosial yang ada di Indonesia diawali oleh adanya beberapa permasalahan pokok, yaitu, pertama, belum adanya kepastian perlindungan dan jaminan sosial untuk setiap penduduk (WNI) agar dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sebagaimana yang diamanatkan dalam perubahan UUD 1945 tahun 2002, Pasal 34 ayat 2, yaitu “Negara mengembangkan Sistem Jaminan Sosial bagi seluruh rakyat”. Perlindungan dan jaminan sosial yang ada saat ini belum mampu mencakup seluruh warga negara Indonesia. Misalnya, belum adanya perlindungan dan jaminan sosial bagi pekerja sektor informal. Masalah kedua adalah belum adanya satu peraturan perundang-undangan yang melandasi pelaksanaan sistem perlindungan dan jaminan sosial. Masing-masing jenis perlindungan dan jaminan sosial yang ada saat ini dilandasi oleh UU dan atau PP yang berbeda-beda. Hal ini selanjutnya akan menyebabkan penanganan skema perlindungan dan jaminan sosial yang ada masih terpisah-pisah dan bahkan tumpang tindih. Contohnya – asuransi kesehatan - di-cover oleh PT. Jamsostek, PT Askes, dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM). Dan yang terakhir adalah, bahwa skema perlindungan dan jaminan sosial yang ada masih terbatas, sehingga benefit (kuantitas dan kualitas) yang diperoleh juga masih terbatas.
Secara garis besar, berikut ini diuraikan gambaran umum tentang perlindungan dan jaminan sosial yang ada di Indonesia. Hal-hal tersebut adalah mencakup:

1.                Pengertian

Dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia saat ini dikenali banyak pengertian/definisi tentang perlindungan dan jaminan sosial. Misalnya dalam UU No. 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial, dinyatakan bahwa;

“Jaminan sosial sebagai perwujudan dari pada sekuritas sosial adalah seluruh sistem perlindungan dan pemeliharaan kesejahteraan sosial bagi WN yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat guna memelihara taraf kesejahteraan sosial”

Sementara itu, dalam UU No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, disebutkan bahwa;

“Program Asuransi Sosial adalah program asuransi yang diselenggarakan secara wajib berdasarkan suatu UU, dengan tujuan untuk memberikan perlindungan dasar bagi kesejahteraan masyarakat”

Berdasarkan diskusi yang berkembang, telaah referensi, dan dengan didukung oleh konsep yang dikembangkan oleh Tim Sistem Jaminan Sosial Nasional, ternyata pengertian jaminan sosial dapat dibedakan menjadi dua kelompok besar, yaitu: asuransi sosial (social insurance) dan bantuan sosial (social assistance).
Dalam asuransi sosial, seperti halnya konsep asuransi pada umumnya, namun dalam hal ini bersifat “sosial”, maka besarnya premi merupakan sharing antara pemberi kerja (yaitu pemerintah atau pengusaha) dan pekerja (PNS atau pegawai) – yang mempunyai hubungan kerja. Sedangkan bantuan sosial, berupa “bantuan” dalam bentuk, misalnya, block grant  atau emergency fund  dengan tujuan sosial.
            Dengan mengacu pada pengertian tersebut di atas, maka yang dapat digolongkan sebagai asuransi sosial yang ada di Indonesia adalah: asuransi kesehatan (Askes), asuransi bagi anggota TNI/Polri – dulu ABRI (Asabri), jaminan sosial tenaga kerja (Jamsostek), asuransi kecelakaan (Jasa Raharja), asuransi sosial (masih tahap uji coba oleh Depsos), dan tabungan asuransi pensiun (Taspen). Sementara itu, yang dapat digolongkan sebagai bantuan sosial adalah: jaminan kesejahteraan sosial, baik yang bersifat permanen, bagi lanjut usia terlantar dan cacat ganda terlantar (masyarakat rentan), maupun yang bersifat sementara (emergency) bagi korban bencana alam dan bencana sosial; bantuan dana pendidikan berupa beasiswa melalui skema Jaring Pengaman Sosial (JPS) bagi murid dari keluarga miskin; bantuan dana kesehatan berupa Kartu Sehat bagi penduduk miskin; bantuan modal usaha, misalnya dalam bentuk tabungan (misalnya Tabungan Keluarga Sejahtera – Takesra), maupun dalam bentuk kredit mikro (misalnya Kredit Usaha Keluarga Sejahtera – Kukesra) bagi keluarga Pra Sejahtera dan Sejahtera I (pengelompokan keluarga oleh BKKBN).

2.                Aspek hukum

Landasan hukum perlindungan dan jaminan sosial yang ada saat ini masih bersifat parsial dan belum terpadu. Meskipun Pembukaan UUD 1945, dan beberapa pasal yang terdapat didalamnya, misalnya Pasal 27 (2), Pasal 31 (1), Pasal 34 (1), dan Pasal 34 (2) hasil amandemen UUD 1945 pada tanggal 10 Agustus 2002 merupakan landasan hukum bagi pelaksanaan Sistem Perlindungan dan Jaminan Sosial (SPJS), namun landasan hukum bagi pelaksanaan operasional untuk seluruh skema perlindungan dan jaminan sosial adalah masih berbeda-beda. Misalnya, jaminan sosial di bidang tenaga kerja dilandasi dengan UU No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja yang mencakup Jaminan Hari Tua, Kematian, Kecelakaan Kerja, dan Pemeliharaan Kesehatan bagi pegawai swasta, melalui PT. Jamsostek. Sementara itu, jaminan kesehatan bagi PNS melalui PT Askes dilandasi dengan UU No. 2 Tahun 1992 dan PP No. 69 Tahun 1991. Selanjutnya, jaminan hari tua dan pensiun bagi PNS melalui PT Taspen dilandasi dengan UU No. 43 Tahun 1999; dan bagi TNI/Polri melalui PT Asabri dilandasi dengan UU No. 6 Tahun 1966.

Dengan adanya produk-produk hukum yang bervariasi, mengakibatkan banyaknya lembaga yang melaksanakan perlindungan dan jaminan sosial. Hal ini berlawanan dengan hukum bilangan besar (law of the large number), yaitu dengan cakupan besar (peserta) maka sebaran resiko (risk distribution) akan lebih merata dan beban yang dipikul masing-masing peserta (premi) makin kecil.

3.                Target beneficiaries

Jaminan sosial hendaknya diperuntukkan bagi seluruh warga negara Indonesia sesuai dengan hak warga negara dan HAM. Meskipun demikian, terdapat pemikiran bahwa dengan keterbatasan keuangan negara, maka: (1) asuransi sosial diperuntukkan bagi seluruh warga negara Indonesia, sedangkan (2) bantuan sosial hanya bagi kelompok yang membutuhkan (misalnya penduduk miskin, rentan, dan korban bencana).

4.                Cakupan Manfaat

Cakupan manfaat yang diperoleh melalui asuransi sosial meliputi: jaminan kesehatan, jaminan hari tua (JHT), pensiun, jaminan kecelakaan kerja (JKK), jaminan pemutusan hubungan kerja (JPHK), dan santunan kematian. Cakupan manfaat ini hanya diperuntukkan bagi mereka yang bekerja di sektor formal (swasta – yang memiliki hubungan kerja), PNS, dan TNI serta Polri. Sedangkan, mereka yang bekerja di sektor informal belum dapat menikmati manfaat asuransi sosial ini. Padahal kita mengetahui, bahwa masih banyak tenaga kerja Indonesia yang bekerja di sektor informal.
Sementara itu, cakupan manfaat yang diperoleh melalui bantuan sosial meliputi: bantuan biaya kesehatan (misalnya melalui kartu sehat bagi masyarakat miskin), bantuan biaya pendidikan (misalnya melalui pemberian beasiswa bagi murid dari keluarga miskin), bantuan modal usaha (misalnya melalui dana bergulir Takesra/Kukesra bagi peserta KB dari keluarga Pra KS dan KS I), dan bantuan akibat bencana (misalnya melalui dana sosial bagi korban bencana alam).

5.                Pendanaan (Premi)

5.1.           Asuransi sosial.

Pembiayaan premi dengan prinsip sharing baik oleh pekerja maupun oleh pemberi kerja (pemerintah atau pengusaha). Beberapa negara (misalnya Thailand) dapat memanfaatkan resources dari pajak secara langsung. Bagi perusahaan yang ditunjuk melaksanakan jaminan sosial, deviden perusahaan seyogyanya dikembalikan kepada para pembayar premi, misalnya melalui peningkatan pelayanan (sosial, peningkatan kualitas pelayanan, dll). Selama ini, BUMN pengelola asuransi (seperti PT Askes, PT. Jamsostek, dan PT Jasa Raharja) mengeluhkan adanya keharusan menyerahkan deviden kepada pemerintah. Khusus untuk PT Taspen, mengeluhkan tidak adanya sharing dari Pemerintah selaku pemberi kerja (premi hanya dibayar oleh PNS), sehingga nilai jaminan hari tua dan pensiun yang diperoleh PNS relatif kecil, karena pembayar premi hanya oleh PNS.
Pengumpulan dana  dari premi peserta diharapkan akan menjadi salah satu sumber tabungan nasional (bagian dari APBN) yang dapat dimanfaatkan sebagai dana pembangunan. Contoh yang terjadi di Malaysia adalah penggunaan dana Tabungan Nasional Malaysia (yang diperoleh dari dana premi asuransi sosial) sebagai salah satu alternatif sumber dana pembangunan ketika Malaysia mengalami krisis ekonomi beberapa waktu lalu.
            Khusus untuk pekerja sektor informal, perlu dipikirkan pengembangan skema perlindungan dan jaminan sosialnya.

5.2              Bantuan sosial.

Bantuan sosial yang diberikan selama ini belum mencakup seluruh penduduk (miskin; rentan – lansia terlantar, cacat, anak terlantar, anak jalanan, komunitas adat terpencil; dan korban bencana). Di samping itu, banyak instansi pemerintah yang belum melaksanakan skema ini, sehingga pemanfaatannya belum optimal. Bantuan sosial yang bersumber dari dana masyarakat juga belum dikelola secara optimal.
Hal yang tidak kalah pentingnya adalah perlu dilakukan pengembangan pemberdayaan masyarakat dan pranata-pranata lokal, misalnya melalui insentif pajak. Contohnya: pemberdayaan zakat, infaq, dan sodaqoh (Islam), perpuluhan (Kristen) dan dharma (Hindu), sehingga pembayar zakat, perpuluhan, dan dharma tidak perlu dikenakan pajak penghasilan. Di samping itu, bentuk-bentuk kearifan lokal yang sudah ada dan berkembang di masyarakat, perlu terus diperkuat. Misalnya: Banjar di Kabupaten Gianyar, Bali – yang terkait erat dengan desa adat – melalui iuran dana kesehatan untuk membantu masyarakat desa adat yang sakit; Tabungan Ibu Bersalin (Tabulin) di Kabupaten Banyumas, Jateng – melalui sistem tabungan untuk dana kesehatan terutama untuk biaya persalinan pada saat ibu melahirkan; Bapak Angkat di Kabupaten Gianyar, Bali – dalam bentuk mutual benefit antara pengusaha (dalam bentuk kemudahan perijinan dan fasilitas internet) dengan murid dari keluarga miskin (dalam bentuk pelatihan keterampilan/ kerajinan); dokter kontrak di Kabupaten Gianyar, Bali – dalam bentuk iuran wajib kesehatan yang dibayarkan oleh kelompok masyarakat muslim kepada dokter swasta dengan menggunakan sistem kontrak.  

6.                Kelembagaan

SPJS merupakan suatu sistem perlindungan dan jaminan sosial nasional yang terpadu dengan memperhatikan kearifan lokal. Seyogyanya pengelolaan SPJS dilakukan oleh satu lembaga (centralized) yang independen, yang antara lain mempunyai otoritas untuk mengkoordinir, memantau pelaksanaan program, mengelola dana dan investasi, serta melakukan pemasyarakatan program. Prinsip yang digunakan hendaknya adalah economic scale dan cost-effectivenes. Dengan otonomi daerah, kelembagaan yang menangani SPJS diharapkan juga akan melibatkan partisipasi Pemda (termasuk kelembagaan, aspek hukum, dan keuangan). Kelembagaan SPJS, selain independen, juga harus merupakan lembaga yang non-profit oriented.

7.                Sistem Jaminan Sosial Nasional

Keputusan Sidang Tahunan MPR RI tahun 2001 menugaskan Presiden untuk membentuk Sistem Jaminan Sosial Nasional dalam rangka memberikan perlindungan sosial yang lebih menyeluruh dan terpadu. Berdasarkan keputusan tersebut, Presiden mengambil inisiatif menyusun Rancangan Undang-Undang Jaminan Sosial Nasional.
Selain itu, melalui Tap MPR, Pasal 34 (1) tercantum bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara, dan melalui perubahan keempat UUD 1945 tanggal 10 Agustus 2002, dengan pengubahan dan/atau penambahan pada Pasal 34 (2), tercantum bahwa Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
Sehubungan dengan hal tersebut, dalam rangka mempersiapkan konsepsi dan penyusunan sistem jaminan sosial nasional, dibentuk Tim Sistem Jaminan Sosial Nasional, melalui Keputusan Presiden RI No. 20 Tahun 2002 Tanggal 10 April 2002 tentang Pembentukan Tim Sistem Jaminan Sosial Nasional. Keppres ini didahului dengan Keputusan Sekretaris Wakil Presiden No. 7 Tahun 2001, (pada waktu Ibu Presiden Megawati Soekarno Putri menjadi Wakil Presiden).
Tim SJSN beranggotakan wakil dari berbagai instansi pemerintah, LSM dan pakar di bidangnya. Dan berdasarkan tugasnya, penanggung jawab Tim SJSN dibagi dalam 4 kelompok, yaitu: Substansi, Kelembagaan, Mekanisme/budget, dan Pembentukan Program Jaminan Sosial.
Sistem Jaminan Sosial Nasional yang akan dibangun bertumpu pada konsep asuransi sosial, dan berdasarkan pada asas gotong royong melalui pengumpulan iuran dan dikelola melalui mekanisme asuransi sosial. Pelaksanaannya diatur oleh suatu Undang-Undang dan diterapkan secara bertahap sesuai dengan perkembangan dan kemampuan ekonomi Nasional serta kemudahan rekruitmen dan pengumpulan iuran secara rutin.
Diharapkan di masa yang akan datang, Indonesia mempunyai suatu sistem Jaminan sosial (social security), yang di dalamnya mencakup social insurance dan social assistance, yang dilindungi Undang-Undang.

Saat ini, Tim SJSN sedang memfinalisasi naskah akademis untuk persiapan RUU Sistem Jaminan Sosial. Diharapkan RUU SJSN dapat dirampungkan sebelum bulan Desember 2002.

8.                Kaitan SPJS dengan NIK (Nomor Induk Kependudukan)

Sistem dan software administrasi kependudukan yang saat ini sedang dikembangkan oleh Ditjen. Administrasi Kependudukan – Depdagri (dengan daerah uji coba di Kota Menado – Sulut) diharapkan akan menjadi modal utama sistem komputerisasi SPJS di masa datang. Dalam sistem ini, setiap penduduk yang baru lahir akan memperoleh satu nomor penduduk yang tunggal atau unique. Dengan demikian, nomor ini nantinya akan merupakan semacam social security number bagi setiap penduduk. Dengan memiliki satu nomor penduduk yang tunggal atau unique, maka akan mempermudah dalam pengelolaan SPJS, khususnya dalam penentuan target beneficiaries dan perkiraan pendanaan (yang akan dicover oleh pemerintah).
Untuk masing-masing bentuk perlindungan dan jaminan sosial yang ada di Indonesia akan diuraikan pada masing-masing Bab berikut ini.

V. JAMINAN SOSIAL DI BIDANG KESEHATAN

Skema jaminan sosial untuk kesehatan dan macam kegiatan APBN sektor kesehatan yang berkaitan dengan perlindungan sosial


1.               Latar belakang

Kesehatan yang baik dan prima memungkinkan seseorang hidup lebih produktif baik secara sosial maupun ekonomi. Oleh karena itu, kesehatan menjadi salah satu hak dan kebutuhan dasar yang harus dipenuhi, agar setiap individu dapat berkarya dan menikmati kehidupan yang bermartabat.
Saat ini jasa pelayanan kesehatan makin lama makin mahal. Tingginya biaya kesehatan yang harus dikeluarkan oleh perseorangan, menyebabkan tidak semua anggota masyarakat mampu untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang layak. Selain itu, kemampuan pemerintah untuk mensubsidi pelayanan kesehatan sangat rendah. Tanpa sistem yang menjamin pembiayaan kesehatan, maka akan semakin banyak masyarakat yang tidak mampu yang tidak memperoleh pelayanan kesehatan sebagaimana yang mereka butuhkan.
Dengan kecenderungan meningkatnya biaya hidup, termasuk biaya pemeliharaan kesehatan, diperkirakan beban masyarakat terutama penduduk berpenghasilan rendah akan bertambah berat. Biaya kesehatan yang meningkat akan menyulitkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang dibutuhkannya, terutama bila pembiayaannya harus ditanggung sendiri (out of pocket) dalam sistem fee for services.
Sistem fee for service untuk sistem pelayanan kesehatan menyebabkan masyarakat sulit menjangkau pelayanan kesehatan yang layak. Namun, apabila hendak ikut asuransi, tidak banyak masyarakat yang mampu membayar biaya premi. Sebagai contoh, pada tahun 1995, biaya rawat inap pasien di rumah sakit selama lima hari menghabiskan 1,4 kali rata-rata pendapatan sebulan penduduk DKI Jakarta. Tahun 1998 biaya ini melonjak menjadi 2,7 kali. Apabila biaya tersebut tidak ditanggung oleh kantor atau asuransi, berarti biaya rumah tangga orang yang bersangkutan akan tersedot untuk membayar perawatan di rumah sakit. Pertanyaannya adalah bagaimana dan apa yang terjadi dengan penduduk miskin apabila mereka sakit, sementara biaya kesehatan makin meningkat dari waktu ke waktu.
Sehubungan dengan penjelasan tersebut di atas, keberadaan sistem asuransi kesehatan yang mencakup seluruh penduduk mendesak untuk diwujudkan. Jika tidak, akan banyak penduduk terutama penduduk miskin akan mengalami kesulitan untuk dapat mengakses pelayanan kesehatan, apalagi pada saat perdagangan bebas di sektor jasa mulai diberlakukan.

2.                 Landasan hukum

Undang Undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan dan konstitusi WHO  menetapkan bahwa kesehatan adalah hak fundamental setiap individu. Oleh karena itu, negara bertanggungjawab untuk mengatur agar hak hidup sehat bagi penduduknya dapat terpenuhi. MPR RI melalui perubahan keempat UUD 1945, tanggal 10 Agustus 2002, telah melakukan pengubahan dan/atau penambahan pada Pasal 34 ayat 2 yang menyatakan bahwa “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan”. Keputusan MPR RI tersebut menjadi landasan yang kuat bagi dikembangkannya suatu sistem jaminan kesehatan bagi keluarga miskin (JPK – Gakin) yang terkait dengan penyelenggaraan sistem jaminan kesehatan yang selama ini telah dilaksanakan yaitu Jaminan Kesehatan Nasional (Jamkesnas), yang menjadi bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
            Selanjutnya, juga terdapat Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 527/Menkes/Per/ VII/1993 tentang Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM) yang mencantumkan adanya suatu paket pemeliharaan kesehatan yang berisi kumpulan pelayanan kesehatan yang diselenggarakan oleh suatu badan penyelenggara dalam rangka melindungi dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, yang meliputi rawat jalan, rawat inap, gawat darurat, dan penunjang.

3.                Konsep dan sistem perlindungan sosial

Sejak tahun 1998, pemerintah telah membiayai pemeliharaan kesehatan dengan memprioritaskan bagi keluarga miskin (Gakin), yaitu melalui program jaminan pemeliharaan kesehatan keluarga miskin (JPK-Gakin). Cakupan JPK-Gakin meliputi pelayanan kesehatan dasar, yang kemudian diperluas untuk pelayanan pencegahan dan pemberantasan penyakit menular (khususnya malaria, diare, dan TB paru).  Kemudian, pada akhir tahun 2001 Pemerintah menyalurkan dana subsidi bahan bakar minyak untuk pelayanan rumah sakit (RS) bagi keluarga miskin. Program ini diselenggarakan untuk mengatasi dampak krisis yaitu dengan cara memberikan pelayanan kesehatan gratis bagi keluarga miskin melalui subsidi biaya operasional puskesmas, bidan di desa (BDD), gizi, posyandu, pemberantasan penyakit menular (P2M), dan rujukan rumah sakit.
Dengan perkembangan waktu, dan dalam rangka memelihara derajat kesehatan masyarakat dalam keterbatasan pembiayaan kesehatan sebagaimana diulas di atas, maka dirancang beberapa konsep dan sistem perlindungan dan jaminan sosial di bidang kesehatan (Sumber: Bahan Sidang Kabinet 6 Januari 2003 oleh Menteri Kesehatan), yaitu : 
a.                 Pembiayaan berbasis solidaritas sosial, dalam bentuk Jamkesnas. Jamkesnas adalah bentuk jaminan kesehatan prabayar yang bersifat wajib untuk seluruh masyarakat guna memenuhi kebutuhan kesehatan utama setiap warga negara. Pembiayaan Jamkesnas berasal dari iuran yang diperhitungkan sebagai persentase tertentu dari penghasilan setiap keluarga. Dalam hal ini, pekerja di sektor formal dan keluarganya akan lebih cepat dicakup karena kemudahan menghimpun iuran.
b.                 Pembiayaan berbasis sukarela, dalam bentuk: asuransi kesehatan (askes) komersial – berdasarkan UU No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian; dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM) sukarela – berdasarkan UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan dan Konstitusi WHO. Saat ini sedang diproses penerbitan PP untuk JPKM sukarela tersebut.
c.                  Pembiayaan kesehatan bagi sektor informal, dalam bentuk: jaminan kesehatan mikro – dari oleh dan untuk masyarakat, misalnya dalam bentuk Dana Sehat; dan dana sosial masyarakat yang dihimpun untuk pelayanan sosial dasar, termasuk kesehatan, misalnya dihimpun dari dana sosial keagamaan dari semua agama (kolekte, dana paramitha, infaq, dll).
d.                 Pembiayaan kesehatan bagi keluarga miskin dengan prinsip asuransi, dalam bentuk pembiayaan premi oleh pemerintah untuk JPK-Gakin. (Misalnya dengan memadukan dana Jaring Pengaman Sosial- Bidang Kesehatan (JPS-BK) dengan dana subsidi bahan bakar minyak agar pemanfaatannya maksimal di berbagai tingkat pelayanan mulai dari pelayanan dasar hingga ke rujukan RS.)

Selain keempat bentuk di atas, terdapat suatu jaminan sosial di bidang kesehatan yaitu Asuransi Kesehatan yang diselenggarakan oleh PT Askes. Askes memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Ruang lingkup pelayanan yang diberikan oleh Askes antara lain: konsultasi medis dan penyuluhan kesehatan, pemeriksaan dan pengobatan oleh dokter umum dan atau paramedis, serta pemeriksaan dan pengobatan gigi. Di luar bentuk pelayanan ini, Askes tidak menanggungnya.

4.      Identifikasi dan analisis stakeholders
Peserta asuransi kesehatan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu peserta wajib, terdiri dari: pegawai negeri sipil (PNS) termasuk calon PNS, pejabat negara, dan penerima pensiun (PNS, TNI/POLRI, PNS di lingkungan TNI/POLRI, dan pejabat negara), Veteran dan Perintis Kemerdekaan, beserta keluarganya. Sedangkan jenis peserta lainnya adalah peserta sukarela, terdiri dari: pegawai swasta, BUMN/BUMD, perusahaan daerah, badan usaha lainnya, serta Dokter Pegawai Tidak Tetap (PTT) dan Bidan Pegawai Tidak Tetap (PTT).

5.      Target beneficiaries
Di satu sisi, masalah kesehatan masyarakat semakin kompleks, di sisi lain, upaya kesehatan yang diwujudkan pemerintah belum sepenuhnya memenuhi kebutuhan masyarakat. Sedangkan jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat diperkirakan bisa mengurangi beban masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang bermutu. Pada kenyataannya belum semua masyarakat memahami keberadaan jaminan pemeliharaan kesehatan.
            Hasil dari Sidang Tahunan MPR-RI tahun 2002, tentang kesehatan, berbunyi sebagai berikut:
1)                 Mengupayakan peningkatan anggaran kesehatan secara bertahap sampai mencapai jumlah minimum sebesar 15% sesuai dengan kondisi keuangan negara dari APBN/APBD, sebagaimana ditetapkan WHO
2)                 Melanjutkan program darurat pelayanan kesehatan dasar bagi keluarga miskin, rawan gizi, khususnya untuk bayi, balita, ibu hamil dan ibu nifas
3)                 Mewujudkan sistem jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat
4)                 Membangun pusat-pusat pemulihan trauma pasca konflik, terutama di daerah pengungsian.



VI. JAMINAN SOSIAL DI BIDANG KETENAGAKERJAAN

Skema jaminan sosial untuk kesehatan dan macam kegiatan APBN sektor kesehatan yang berkaitan dengan perlindungan sosial

1.      Latar belakang
           
Kuatnya semangat reformasi yang terjadi pada saat ini dilandasi terutama oleh timbulnya kesadaran akan hak-hak asasi manusia, tuntutan akan demokratisasi dan transparansi. Deklarasi Hak Asasi Manusia (Declaration of Human Right) Tahun 1948 yang dikeluarkan oleh PBB, dalam salah satu pasalnya menyatakan, bahwa “setiap warga negara mendapatkan hak atas jaminan sosial, yaitu penganguran, sakit, cacat, menjanda, maupun usia lanjut”.
            Indonesia sebagai salah satu anggota PBB menghormati dasar-dasar hak asasi manusia. GBHN 1999-2004 mengamanatkan jaminan sosial tenaga kerja antara lain melalui peningkatan sistem jaminan sosial tenaga kerja dalam menyediakan perlindungan, keamanan, dan keselamatan kerja, yang pengelolaannya melibatkan tiga unsur yakni pekerja, pengusaha, dan pemerintah. Demikian pula dalam UUD 1945 (amandemen kedua Pasal 28H) menyatakan, bahwa;

 “Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagaimana manusia yang bermartabat”  

Oleh karena itu, Jaminan Sosial Di Bidang Ketenagakerjaan merupakan penjabaran dari UUD 1945.

2.      Landasan hukum
Dalam penyelenggaraan perlindungan dan jaminan sosial di bidang ketenagakerjaan, antara lain dilandasi oleh beberapa peraturan perundang-undangan baik yang bersifat global, maupun nasional.
Dalam skala global, pada Pasal 25 Deklarasi Hak Asasi Manusia (Declaration of Human Right) Tahun 1948 yang dikeluarkan oleh PBB, dinyatakan, bahwa “Setiap warga negara mendapatkan hak atas jaminan sosial, yaitu penganguran, sakit, cacat, menjanda, maupun usia lanjut”. Di samping itu, Konvensi ILO No. 102 Tahun 1952, juga mencantumkan standar minimum jaminan sosial, yang meliputi: tunjangan hari tua, sakit, cacat, kematian, penganguran, dan pelayanan medis.
            Sementara itu, di tingkat nasional, selain dalam UUD 1945 (Amandement ke-4) Pasal 34 Ayat 2 menyatakan, bahwa “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan”. Selanjutnya, UU No. 14 Tahun 1969 tentang Ketenagakerjaan menyatakan, bahwa setiap tenaga kerja berhak atas ... Sedangkan dalam UU No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja, disebutkan bahwa terdapat 4 (empat) program jaminan sosial bagi tenaga kerja, yaitu jaminan kecelakaan kerja, jaminan pemeliharaan kesehatan, jaminan hari tua, dan jaminan kematian. Namun UU tersebut belum mencakup jaminan pemutusan hubungan kerja (PHK), maupun unemploment benefit seperti yang diamanatkan dalam Konvensi ILO No 102 Tahun 1952.

3.      Konsep dan sistem perlindungan sosial
            Pelaksanaan sistem jaminan sosial ketenagakerjaan di Indonesia secara umum meliputi penyelengaraan program-program Jamsostek, Taspen, Askes, dan Asabri. Penyelengaraan program Jamsostek didasarkan pada UU No 3 Tahun 1992, program Taspen didasarkan pada PP No 25 Tahun 1981, program Askes didasarkan pada PP No 69 Tahun 1991, program Asabri didasarkan pada PP No 67 Tahun 1991, sedangkan program Pensiun didasarkan pada UU No 6 Tahun 1966. Penyelenggaraan jaminan sosial di Indonesia berbasis kepesertaan, yang dapat dibedakan atas kepesertaan pekerja sektor swasta, pegawai negeri sipil (PNS),dan anggota TNI/Polri. Sedangkan penyelenggaraan jaminan sosial di ASEAN cukup beragam, ada yang berbasis program (Singapura, Malaisia, Thailand), dan ada pula yang berbasis kepesertaan (Filipina).
            Pada bagian ini akan dijabarkan tentang perlindungan dan jaminan sosial pada sektor swasta. Jaminan sosial tenaga kerja (Jamsostek) sebagaimana didasarkan pada UU No 3 Tahun 1992, pada prinsispnya merupakan sistem asuransi sosial bagi pekerja (yang mempunyai hubungan kerja) beserta keluarganya. Skema Jamsostek meliputi program-program yang terkait dengan resiko, seperti jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan pemeliharaan kesehatan, dan jaminan hari tua.
Cakupan jaminan kecelakaan kerja (JKK) meliputi: biaya pengangkutan, biaya pemeriksaan, pengobatan, perawatan, biaya rehabilitasi, serta santunan uang bagi pekerja yang tidak mampu berkerja, dan cacat. Apabila pekerja meninggal dunia bukan akibat kecelakaan kerja, mereka atau keluarganya berhak atas jaminan kematian (JK) berupa biaya pemakaman dan santunan berupa uang. Apabila pekerja telah mencapai usia 55 tahun atau mengalami cacat total/seumur hidup, mereka berhak untuk memperolah jaminan hari tua (JHT) yang dibayar sekaligus atau secara berkala. Sedangkan jaminan pemeliharaan kesehatan (JPK) bagi tenaga kerja termasuk keluarganya, meliputi: biaya rawat jalan, rawat inap, pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan, diagnostik, serta pelayanan gawat darurat.
            Pada dasarnya program Jamsostek merupakan sistem asuransi sosial, karena penyelenggaraan didasarkan pada sistem pendanaan penuh (fully funded system), yang dalam hal ini menjadi beban pemberi kerja dan pekerja. Sistem tersebut secara teori merupakan mekanisme asuransi. Penyelengaraan sistem asuransi sosial biasanya didasarkan pada fully funded system, tetapi bukan harga mati. Dalam hal ini pemerintah tetap diwajibkan untuk berkontribusi terhadap penyelengaraan sistem asuransi sosial, atau paling tidak pemerintah terikat untuk menutup kerugian bagi badan penyelengara apabila mengalami defisit. Di sisi lain, apabila penyelenggara Jamsostek memperoleh keuntungan, maka pemerintah akan memperoleh deviden dan pajak badan karena bentuk badan hukum adalah BUMN Persero.
Kontribusi atau premi yang dibayar dalam rangka memperoleh jaminan sosial tenaga kerja adalah bergantung pada jenis jaminan tersebut. Iuran JKK adalah berkisar antara 0,24% - 1,27% dari upah per bulan, bergantung pada kelompok jenis usaha (terdapat 4 kelompok usaha), dan dibayar (ditanggung) sepenuhnya oleh pengusaha (selaku pemberi kerja). Demikian pula dengan JK, iuran sepenuhnya merupakan tanggungan pengusaha yaitu sebesar 0,30% dari upah per bulan. Sementara itu, iuran JPK juga merupakan tanggungan pengusaha yaitu sebesar 6% dari upah per bulan bagi tenaga kerja yang sudah berkeluarga, dan 3% dari upah per bulan bagi tenaga kerja yang belum berkeluarga, serta mempunyai batasan maksimum premi sebesar satu juta rupiah. Sedangkan iuran JHT ditanggung secara bersama yaitu sebesar 3,70% dari upah per bulan ditanggung oleh pengusaha, dan 2% dari upah per bulan ditanggung oleh pekerja.  
           
4.      Identifikasi dan analisis stakeholders
            Pelaksanaan jaminan sosial tenaga kerja melibatkan beberapa stakeholders. PT. Jamsostek bertugas untuk menyelengarakan jaminan sosial tenaga kerja, baik dari segi pelayanan program maupun administrasinya, menuju cakupan dan kualitas pelayanan program. Departemen teknis dalam hal ini Departemen Tenaga Kerja melakukan pengawasan pelaksanaan program Jamsostek. Demikian pula dengan Departemen Keuangan dan Kementerian BUMN bertindak sebagai pengawas di bidang keuangan serta penempatan portfolio keuangan.
Penyelenggaraan program Jamsostek melibatkan tripartit yang anggotanya terdiri dari unsur Pemerintah, pekerja, dan pengusaha. Fungsi dari tripartit tersebut adalah sebagai pengawas terhadap pelaksanaan program Jamsostek. Keberhasilan pelaksanaan program Jamsostek juga bergantung dari partisipasi dan pengawasan tripartit, karena mereka duduk dalam Dewan Komisaris PT. Jamsostek. Kepedulian pengusaha akan pentingnya program Jamsostek bagi karyawannya merupakan faktor yang penting dalam keberhasilan Jamsostek.
            Misi PT. Jamsostek adalah memberikan pelayanan dasar bagi pekerja. Sampai dengan bulan Juni 2002 kepesertaan Jamsostek meliputi 104 ribu perusahaan dengan jumlah tenaga kerja sebanyak sekitar 22 juta orang. Jumlah tersebut baru mencapai sekitar 60% dari seluruh tenaga kerja pada sektor formal. Walaupun program Jamsostek diwajibkan bagi seluruh perusahaan oleh UU, namun masih banyak para pekerja yang belum diikutsertakan dalam program Jamsostek. Hal ini menandakan bahwa penegakan hukum dalam program Jamsostek belum berjalan sebagaimana mestinya. Kewenangan penegakan hukum berada pada Depertemen teknis (Depnaker), sedangkan kewenangan PT. Jamsostek hanya sebatas pada usulan perbaikan benefit atas dasar perhitungan aktuaris.
            Selain itu, juga masih banyak masalah di luar cakupan program Jamsostek (seperti pemulangan TKI illegal, dan sektor informal) yang menjadi beban PT. Jamsostek.
            Berkaitan dengan kelembagaan Jamsostek, sebaiknya bahwa badan penyelenggara Jamsostek berfungsi selaku monopoli. Monopoli di dalam penyelenggaraan program asuransi sosial dapat dibenarkan dalam UU sepanjang program yang ditangani masih dalam lingkup standar minimum (Pawoko, 1999). Pelaku monopolis disini adalah pemerintah, atau serendah-rendahnya BUMN. Namun demikian, issues yang berkembang di tingkat intenasional mengarah pada de-monopoly yang mengikuti arus globalisasi competitiveness, sehingga akan dapat memberikan benefit yang maksimum kepada peserta asuransi. 
            Sehubungan dengan otonomi daerah, pelaksanaan program Jamsostek akan berpengaruh pada pemberlakuan kewenangan Pusat dan Daerah. Dalam hal ini, program-program pelayanan yang bersifat lokal juga perlu didesentralisasikan.

5.      Target beneficieries
Dalam UU No. 3 Tahun 1992, dinyatakan bahwa penyelenggara perlindungan tenaga kerja swasta adalah PT. Jamsostek. Setiap perusahaan swasta dengan tenaga kerja lebih dari 10 pekerja diwajibkan untuk mengikuti sistem jaminan sosial tenaga kerja ini. Namun demikian, belum semua perusahaan dan tenaga kerja yang diwajibkan telah menjadi peserta Jamsostek. Data menunjukan, bahwa sektor informal masih mendominasi komposisi ketenagakerjaan di Indonesia, mencapai sekitar 70,5 juta, atau 75% dari jumlah pekerja – mereka belum terlindungi dalam Jamsostek.
Sampai dengan tahun 2002, secara akumulasi JKK telah mencapai 1,07 juta klaim, JHT mencapai 2,85 juta klaim, JK mencapai 140 ribu klaim, dan JPK mencapai 54 ribu klaim. Secara keseluruhan, nilai klaim yang telah diterima oleh peserta Jamsostek adalah sekitar Rp 6,2 trilyun. Namun demikian, posisi PT. Jamsostek mengalami surplus sebesar Rp 530 milyar pada Juni 2002.
             
           


VII. JAMINAN SOSIAL DI BIDANG PENDIDIKAN



1. Latar belakang

Pengalaman di banyak negara menunjukkan bahwa pendekatan pembangunan yang lebih menekankan pada aspek fiskal dan pertumbuhan ekonomi ternyata telah mengalami kegagalan. Oleh karena itu, pembangunan nasional dewasa ini lebih berorientasi pada peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM). SDM adalah modal utama kesejahteraan suatu bangsa, karena tanpa SDM yang berkualitas maka pembangunan suatu negara tidak akan mencapai tingkat yang optimal.
Dengan terjadinya krisis multi dimensi yang dialami Indonesia sejak tahun 1997, maka terjadi penurunan kesejahteraan hidup masyarakat secara riil, yang ditandai antara lain dengan semakin melemahnya daya beli masyarakat (purchasing power parity). Akibat adanya krisis, kebanyakan pendapatan keluarga mengalami penurunan secara drastis. Hal ini berakibat pula pada menurunnya seluruh komponen pengeluaran keluarga tersebut. Salah satu komponen pengeluaran keluarga adalah pengeluaran pendidikan. Jika suatu keluarga sudah miskin sebelum krisis, maka setelah krisis keluarga tersebut akan jauh lebih miskin lagi. Keadaan ini memaksa keluarga tersebut mengambil keputusan untuk “mengerahkan” seluruh anggota keluarganya untuk bekerja/mencari pendapatan tambahan, tanpa terkecuali anak-anak yang masih berada pada usia sekolah. Jika hal ini terjadi, maka anak-anak yang seharusnya berada di sekolah, mereka menjadi drop-out, karena alasan ekonomi – membantu menambah pendapatan keluarga.
Fenomena tersebut di atas menuntut upaya Pemerintah untuk segera mengatasinya. Kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah melalui JPS, antara lain dengan memberikan bantuan biaya pendidikan dalam bentuk beasiswa bagi murid dari keluarga miskin. Karena target Pemerintah adalah menuntaskan wajib belajar 9 tahun (hingga SLTP), maka pemberian beasiswa tersebut diprioritaskan bagi murid SD dan SLTP, ditambah dengan murid SLTA dari keluarga miskin saja. Sementara itu, mahasiswa dari keluarga miskin – apabila keluarganya tidak mampu membiayainya lagi – maka mereka akan secara “terpaksa” menjadi drop-out.

2. Landasan hukum

            Landasan  hukum pembangunan sistem perlindungan dan jaminan sosial di bidang pendidikan adalah UUD 1945 Perubahan IV tanggal 10 Agustus 2002, baik pada Pembukaan, maupun dalam beberapa pasalnya. Dalam Pembukaan UUD 1945, dinyatakan bahwa salah satu tujuan nasional adalah memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa:;
1.      Pasal 31 (1) dinyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan
2.      Pasal 31 (2) disebutkan bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan, serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dalam undang-undang
3.      Pasal 31 (3) dinyatakan bahwa negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara, serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
4.      Pasal 34 (1) dinyatakan bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara 
5.      Pasal 34 (2) dinyatakan bahwa negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat, dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.

Landasan hukum berikutnya adalah:
  1. UU Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional
  2. UU Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
  3. UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
  4. UU Nomor 20 Tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi ILO 138 mengenai Batas Usia Minimum Anak Bekerja
  5. UU Nomor 1 Tahun 2000 tentang Ratifikasi Konvensi ILO 182 mengenai Pelanggaran dan Bentuk-bentuk Terburuk Pekerja Anak.

3. Konsep dan sistem perlindungan sosial

Sistem perlindungan dan jaminan sosial di bidang pendidikan yang ada saat ini masih merupakan kegiatan Jaring Perlindungan Sosial (JPS) bidang pendidikan. Kegiatan utama diprioritaskan antara lain pada upaya-upaya mengurangi angka putus sekolah yang cenderung meningkat khususnya tingkat SD dan SLTP, yang merupakan paket “wajib belajar sembilan tahun”, dan untuk mencegah menurunnya kualitas pendidikan dasar. Kegiatan tersebut dilaksanakan melalui pemberian bantuan beasiswa untuk murid SD, SLTP, dan SLTA dalam rangka mencegah terjadinya putus sekolah. Di samping itu, juga diberikan “dana bantuan operasional” (DBO) bagi SD,SLTP dan SLTA untuk mendukung biaya operasional dan pemeliharaan sekolah agar penyelenggaraan pendidikan di sekolah dapat terlaksana dengan lancar.
Untuk menunjang keberhasilan pelaksanaan sistem perlindungan dan jaminan sosial di bidang pendidikan, melalui skema JPS telah ditetapkan beberapa hal yaitu:
1)                 sasaran dan sumber dana
2)                 persyaratan siswa penerima beasiswa bagi siswa SD dan MI, siswa SLTP/MTs dan siswa SLTA/MA
3)                 persyaratan sekolah penerima dana bantuan operasional (DBO) 

Di samping itu, untuk efisiensi dan efektivitas pencapaian tujuan JPS, telah dibentuk:
1)                 Tim Koordinasi, baik di tingkat Pusat, Propinsi maupun Kabupaten/Kotamadya, termasuk Kecamatan dan Desa di dalamnya
2)                 mekanisme penyaluran dana dan mekanisme pelaporan dan pertanggungjawaban penyaluran dana
3)                 sistem monitoring dan evaluasi

4. Identifikasi dan analisis stakeholders

            Institusi yang terlibat langsung dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan pengendalian sistem perlindungan dan jaminan sosial di bidang pendidikan (skema-JPS) selama ini adalah Depdiknas, Komite Sekolah, Depag, Bappenas, Depdagri, Pemerintah Daerah Propinsi/Kabupaten/Kota, Departemen Keuangan, Bank Indonesia, dan PT (Persero) Pos Indonesia.

5. Target beneficiaries

Sasaran sistem perlindungan dan jaminan sosial melalui skema JPS adalah keluarga-keluarga miskin, baik di perdesaan maupun di perkotaan. Mereka adalah keluarga-keluarga yang termasuk kategori Keluarga Pra-Sejahtera, Keluarga Sejahtera I dan keluarga miskin lainnya (karena alasan ekonomi). Di dalamnya antara lain termasuk siswa SD, SLTP, dan SLTA.
Sedangkan sasaran dari konsep awal SPJS di bidang pendidikan adalah:
1)                  anak-anak yang orang tuanya berpenghasilan di bawah UMR per bulan
2)                  Anak-anak dan satuan pendidikan daerah terpencil, daerah bencana alam, daerah kerusuhan
3)                  anak-anak yang berasal dari keluarga miskin, anak-anak yatim piatu, anak-anak terlantar
4)                  anak-anak cacat
5)                  anak-anak yang berprestasi.



 VIII. JAMINAN SOSIAL HARI TUA  DAN PENSIUN



1.      Latar belakang

Dalam rangka pelaksanaan pembangunan nasional yang pada hakekatnya merupakan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang dasar 1945, maka upaya untuk mewujudkan kehidupan yang layak bagi seluruh rakyat Indonesia merupakan kewajiban konstitusional yang harus dilakukan secara berencana, bertahap, dan berkesinambungan.
Sejalan dengan itu, upaya memelihara kesinambungan penghasilan pada hari tua perlu mendapat perhatian dan penanganan agar lebih berdayaguna dan berhasilguna. Dalam hubungan ini di masyarakat telah berkembang suatu bentuk tabungan masyarakat yang semakin banyak dikenal oleh para karyawan, yaitu dana pensiun. Bentuk tabungan ini mempunyai ciri sebagai tabungan jangka panjang, yang dinikmati hasilnya setelah karyawan yang bersangkutan pensiun. Penyelenggaraannya dilakukan dalam suatu program, yaitu program pensiun yang mengupayakan manfaat pensiun bagi pesertanya melalui suatu sistem pemupukan dana yang lazim disebut pendanaan.
Sistem pendanaan suatu program pensiun memungkinkan terbentuknya akumulasi dana, yang dibutuhkan untuk memelihara kesinambungan penghasilan peserta program pada hari tua. Keyakinan akan adanya kesinambungan penghasilan menimbulkan ketenteraman kerja, sehingga akan meningkatkan motivasi kerja karyawan yang merupakan iklim yang kondusif bagi peningkatan produktivitas. Dalam dimensi yang lebih luas, akumulasi dana yang terhimpun dari penyelenggaraan program pensiun merupakan salah satu sumber dana yang diperlukan untuk memelihara dan meningkatkan pembangunan nasional.

Mengingat manfaatnya yang besar, baik bagi peserta maupun bagi masyarakat luas dan bagi pembangunan nasional, maka upaya penyelenggaraan program pensiun selama ini telah didukung oleh Pemerintah.

2.      Landasan hukum

Dewasa ini program pensiun dengan pemupukan dana diselenggarakan oleh pemberi kerja berdasarkan Staatsblad Tahun 1926 Nomor 377 yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Pasal 1601 s bagian kedua Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Ketentuan tersebut memungkinkan pembentukan dana bersama antara pemberi kerja dan karyawan, namun tidak memadai sebagai dasar hukum bagi penyelenggaraan program pensiun. Hal ini disebabkan tidak adanya ketentuan yang mengatur hal-hal mendasar dalam rangka pemenuhan hak dan kewajiban para pihak dalam penyelenggaraan program pensiun, serta dalam pengelolaan, kepengurusan, pengawasan, dan sebagainya.
Untuk itu, pada tahun 1992 telah ditetapkan  Undang-undang Nomor  11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun, sebagai landasan hukum bagi penyelenggaraan program pensiun di Indonesia. Undang-undang ini diharapkan membawa pertumbuhan dana pensiun di Indonesia secara lebih pesat, tertib dan sehat, sehingga membawa manfaat nyata bagi peningkatan kesejahteraan seluruh masyarakat. Khusus bagi pegawai negeri sipil (PNS), penyelenggaraan program jaminan kesejahteraannya diatur dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 1956 tentang Pembelanjaan Pensiun; Undang-undang No. 11 Tahun 1969 tentang Pensiun Pegawai dan Pensiun Janda/Duda; Undang-undang No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian; dan Undang-undang No. 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian. Dalam  penyelenggaraan program asuransi sosial bagi PNS telah diatur dalam PP Nomor 25 Tahun 1981, diantaranya diatur mengenai besarnya iuran bagi setiap PNS untuk program Tabungan Hari Tua (THT) dan Pensiun.

Sementara itu, program kesejahteraan bagi anggota TNI/Polri diatur dalam beberapa Undang-undang, seperti: Undang-undang No. 2 Tahun 1959 tentang Pemberian Pensiun dan Onderstand Angkatan Perang RI;  Undang-undang No. 6 Tahun 1966 tentang Pensiun, Tunjangan bersifat Pensiun dan Tunjangan bagi Mantan Prajurut TNI dan Anggota Polri; Undang-undang No. 75 tahun 1957 tentang Veteran Pejuang Kemerdekaan RI; dan Undang-undang No. 15 Tahun 1965 tentang Veteran RI.
Selanjutnya, untuk program kesejahteraan pekerja swasta dan BUMN telah diatur dalam suatu Undang-undang yaitu UU No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek), yang dibahas secara terpisah pada bagian lain.

3.      Konsep dan sistem perlindungan sosial

Hingga saat ini terdapat 3 (tiga) lembaga penyelenggara jaminan hari tua (JHT) dan pensiun di Indonesia, yaitu:
a.                 PT. TASPEN, yang menyelenggarakan program Asuransi Sosial bagi para PNS baik untuk pensiun maupun tabungan hari tua;
b.                 PT. JAMSOSTEK, yang menyelenggarakan program Jaminan Sosial Tenaga Kerja di luar pensiun bagi pekerja swasta;
c.                  PT. ASABRI, yang menyelenggarakan program Asuransi Sosial bagi para anggota TNI/POLRI baik untuk pensiun maupun tabungan hari tua;

Di samping ketiga lembaga tersebut di atas, terdapat juga lembaga pensiun yang didirikan oleh perusahaan baik swasta maupun BUMN.
Berdasarkan PP No. 26 Tahun 1981 (pasal 2), PT. TASPEN ditetapkan sebagai penyelenggara program asuransi sosial bagi PNS yang terdiri dari Dana Pensiun dan Tabungan Hari Tua (THT). Di samping itu, pada saat ini PT. TASPEN juga membayarkan beberapa program lainnya, seperti asuransi kematian, uang duka wafat, bantuan untuk Veteran, dan uang tabungan perumahan (Taperum) yang diperoleh dari BAPERTARUM.
           
            Pendanaan program pensiun, berdasarkan Undang-undang No. 11 Tahun 1969 adalah dibebankan kepada APBN. Sistem ini disebut sebagai pendanaan “pay as you go” (seorang PNS begitu pensiun langsung dibayar). Sistem ini telah dilakukan sampai dengan akhir tahun 1993. Sejak tahun 1994 pemerintah melalui Menteri Keuangan telah menetapkan sistem pendanaan pensiun dengan pola “current cost financing” yaitu suatu metode gabungan pay as you go dengan funded system dalam rangka pemberdayaan akumulasi iuran peserta program pensiun PNS. Dalam sistem pendanaan ini, beban pembayaran pensiun yang dialokasikan dari APBN adalah sebesar 75% dan dari akumulasi iuran peserta sebesar 25% dari seluruh beban pembayaran pensiun PNS.
Sementara itu, sumber dana program tabungan hari tua (THT) PNS diperoleh dari iuran peserta sebesar 3,25% dari penghasilan peserta setiap bulan. Sedangkan sumber dana untuk program dana pensiun PNS diperoleh dari iuran peserta sebesar 4,75% dari penghasilan peserta setiap bulan. Penghasilan yang dimaksud disini adalah  gaji pokok ditambah tunjangan istri ditambah tunjangan anak. Di samping itu, PNS juga dikenakan iuran sebesar 2,00% dari penghasilan peserta setiap bulan untuk membayar iuran program kesehatan.
Formula manfaat program tabungan hari tua sejak Januari 2001 sampai dengan sekarang didasarkan pada Keputusan Direksi PT Taspen dengan menggunakan formula:

(0,55 x MI 1 x P2000) + (0,55 x MI 2 x (P2001 – P2000))

MI 1: Masa iuran sejak menjadi peserta sampai dengan berhenti.
MI 2: Masa Iuran sejak 2001 sampai dengan berhenti.

Sedangkan formula manfaat program pensiun adalah:

2,5% x masa kerja x penghasilan dasar pensiun

Pelaksanaan pembayaran program tabungan hari tua dan pensiun dilakukan melalui 4000 titik kantor bayar melalui PT. Taspen, bank, dan kantor pos.
Selanjutnya, berdasarkan Undang-undang No. 3 Tahun 1992, dalam program jamsostek untuk jangka panjang, terdapat jenis perlindungan tenaga kerja dalam bentuk jaminan hari tua (JHT). Besarnya iuran jaminan hari tua adalah sebesar 5,7% dari upah sebulan – sebesar 3,7% ditanggung oleh pengusaha (selaku pemberi kerja) dan sebesar 2% ditanggung oleh pekerja.
Jaminan hari tua dibayarkan secara sekaligus atau berkala kepada tenaga kerja, karena telah mencapai usia 55 tahun, atau mengalami cacat total tetap setelah ditetapkan oleh dokter. Dalam hal tenaga kerja meninggal dunia, jaminan hari tua dibayarkan kepada janda atau duda atau anak yatim piatu.


4.      Identifikasi dan analisis stakeholders

Berbagai institusi terlibat dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan pengendalian program jaminan sosial hari tua dan pensiun yang berkaitan dengan PT. (Persero) Taspen, adalah: Departemen Keuangan, Kementerian BUMN selaku pemegang saham, Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen, baik di pusat maupun di daerah, BKN, Pemerintah Daerah Propinsi dan Kabupaten/Kota, BPK, dan BPKP. Sementara itu, institusi yang terlibat berkaitan dengan PT. Jamsostek adalah: Departemen Keuangan, dan Kementerian BUMN selaku pemegang saham.

5.      Target beneficiaries

Sasaran program jaminan sosial hari tua dan pensiun yang dilaksanakan oleh PT. Taspen adalah semua Pegawai Negeri Sipil (PNS), kecuali PNS di lingkungan Departemen Pertahanan. Pada tahun 2001 jumlah PNS adalah sebanyak 3.932.766 orang, dengan rincian sebanyak 3.002.164 PNS daerah, dan sebanyak 930.602 orang PNS pusat. Yang berhak mendapat pensiun sesuai dengan peraturan perundanga yang berlaku adalah peserta, atau janda/duda dari peserta, atau janda/duda dari penerima pensiun, atau yatim piatu dari peserta, atau yatim piatu dari penerima pensiun, atau orang tua dari peserta yang tewas yang tidak meninggalkan janda/duda/anak yatim piatu yang berhak menerima pensiun. Sedangkan yang berhak mendapat tabungan hari tua adalah peserta, atau istri/suami, anak, atau ahli waris peserta yang sah dalam hal peserta meninggal dunia.
Sasaran program jaminan sosial hari tua dan pensiun yang dilaksanakan oleh PT. Jamsostek adalah seluruh karyawan yang mempunyai hubungan kerja, atau keluarganya, atau ahli warisnya.



IX. JAMINAN SOSIAL BAGI MASYARAKAT MISKIN DAN RENTAN



1.      Latar belakang

Dalam kurun waktu 57 tahun sejak Indonesia merdeka telah banyak upaya yang dilakukan Pemerintah untuk mengangkat kesejahteraan rakyat Indonesia. Namun, hingga saat ini kemiskinan masih menjadi masalah utama yang harus ditangani bersama. Sampai dengan tahun 2000, jumlah penduduk Indonesia yang tergolong miskin telah mencapai sekitar 37,5 juta jiwa (Susenas 2000), dan sekitar 13,4 juta di antaranya tergolong penduduk yang sangat miskin (crust of the poor).
Untuk menjamin kesejahteraan rakyat, Pemerintah telah menyelenggarakan beberapa skema bentuk-bentuk perlindungan dan jaminan sosial seperti asuransi kesehatan, asuransi ABRI, pensiun, jaminan sosial tenaga kerja, dan lain-lain. Namun, penduduk miskin dan terutama yang bekerja di sektor informal pada umumnya belum tersentuh oleh skema-skema tersebut, sehingga mereka berada dalam posisi yang sangat rentan terhadap ketidakstabilan perekonomian yang terjadi baik di lingkungannya maupun di Indonesia secara umum. Oleh sebab itu, Pemerintah memandang perlu untuk menyelenggarakan suatu bentuk perlindungan sosial yang dapat memberikan perlindungan dan jaminan sosial bagi penduduk miskin tersebut.

2.      Landasan hukum

Terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang melandasi penyelenggaraan perlindungan dan jaminan sosial bagi masyarakat rentan, yaitu:
1.                  Undang-undang Dasar 1945
2.                  Undang-undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial (Lembar Negara Tahun 1974 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3039). Khususnya: (1) Pasal 1: Setiap warga negara berhak atas taraf kesejahteraan sosial yang sebaik-baiknya dan berkewajiban untuk sebanyak mungkin ikut serta dalam usaha-usaha kesejahteraan sosial; (2) Pasal 2 ayat (4): Jaminan Sosial sebagai perwujudan daripada sekuritas sosial adalah seluruh sistem perlindungan dan pemeliharaan kesejahteraan sosial warga negara yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat guna memelihara taraf kesejahteraan sosial; (3) Pasal 4 ayat (1): Usaha-usaha pemerintah di bidang kesejahteraan sosial meliputi: (a) bantuan Sosial kepada warga negara baik secara perseorangan maupun dalam kelompok yang mengalami kehilangan peranan sosial atau menjadi korban akibat terjadinya bencana-bencana, baik sosial maupun alamiah atau peristiwa-peristiwa lain; (b) pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial melalui penyelenggaraan suatu sistem jaminan sosial; (c) bimbingan, pembinaan dan rehabilitasi sosial, termasuk di dalamnya penyaluran ke dalam masyarakat kepada warga negara, baik perorangan maupun dalam kelompok, yang terganggu kemampuannya untuk mempertahankan hidup, yang terlantar, atau yang tersesat; dan (d) pengembangan dan penyuluhan sosial untuk meningkatkan peradaban, perikemanusiaan, dan kegotong royongan; (4) Pasal 5 ayat (1): Pemerintah mengadakan usaha-usaha ke arah terwujudnya dan terbinanya suatu jaminan sosial yang menyeluruh. (Penjelasan: Ayat ini membebankan kewajiban kepada Pemerintah untuk melaksanakan dan membina suatu sistem jaminan sosial sebagai perwujudan dari pada sekuritas sosial dan sebagai wahana utama pemeliharaan kesejahteraan sosial termaksud, pelaksanaannya mengutamakan penggunaan asuransi sosial dan/atau bantuan sosial.)
3.                  Undang-undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia. Pasal 5 ayat (2) huruf g: Bagi Lanjut Usia yang tidak potensial agar dapat mewujudkan taraf hidup yang wajar diberikan perlindungan sosial berupa pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.
4.                  Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian
5.                  Undang-undang Nomor 34 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
6.                  Undang-undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Kesejahteraan Penyandang Cacat
7.                  Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah
8.                  Undang-undang nomor 22 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional

3.      Konsep dan sistem perlindungan sosial

Melihat keadaan masyarakat Indonesia yang sebagian besar masih belum dapat menikmati kesejahteraan sosial yang memadai, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang tersebut di atas, Pemerintah perlu menyelenggarakan jaminan kesejahteraan sosial (Jamkesos) bagi masyarakat yang masih tergolong rentan.
Jamkesos pada dasarnya merupakan suatu bentuk jaminan sosial yang diselenggarakan oleh Pemerintah guna memastikan bahwa rakyat miskin dan tidak mampu dapat mempertahankan taraf kesejahteraan sosialnya dan masih dapat terpenuhi kebutuhan dasar minimal hidupnya. Bentuk dari Jamkesos terbagi dua, yaitu: (1) Bantuan Kesejahteraan Sosial (BKS) yang bisa bersifat permanen dan yang bersifat sementara (emergency); dan (2) Asuransi Kesejahteraan Sosial (Askesos).
Bantuan Kesejahteraan Sosial (BKS) diberikan kepada individu, keluarga, kelompok, atau komunitas yang tidak mampu. BKS permanen diberikan secara terus menerus pada penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) yang permanen, seperti lanjut usia terlantar, dan penyandang cacat ganda. Adapun BKS sementara (emergency) diberikan dalam kurun waktu tertentu kepada PMKS non permanen, seperti korban bencana alam dan sosial.
Sementara itu, Askesos yang merupakan sistem asuransi sosial, ditujukan untuk melindungi penduduk miskin dari resiko (risk) yang mengakibatkan menurunnya tingkat kesejahteraan sosialnya, sebagai akibat dari pencari nafkah menderita sakit, mengalami kecelakaan, atau meninggal dunia. Askesos saat ini masih dalam tahap uji coba dengan keanggotaan bersifat sukarela dan terbatas untuk kelompok tertentu. Rencana ke depan, Askesos akan diterapkan secara nasional, dan dalam bentuk asuransi wajib, berlaku bagi semua orang, dan semua kepala keluarga.

4.      Identifikasi dan analisis stakeholders

Departemen Sosial (Depsos) yang diberikan mandat untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan sebagian tugas pemerintahan di bidang sosial telah berinisiatif untuk menyelenggarakan jaminan kesejahteraan sosial dengan target beneficiary masyarakat rentan. Dalam pelaksanaan Jamkesos, Depsos bekerjasama dengan Dinas Sosial Pemerintah Daerah Propinsi dan Kabupaten/Kota. Namun dengan dilaksanakannya desentralisasi, pelaksanaan kegiatan dan monitoring Jamkesos serta Askesos menjadi lebih sulit dilaksanakan, sebab tidak adanya hubungan struktural antara pusat dan daerah.

5.      Target beneficiaries

Saat ini BKS permanen yang dilaksanakan adalah Jaminan Kesejahteraan Sosial Gotong Royong (JKS-GR) yang diberikan dalam bentuk uang melalui kelompok-kelompok sosial dan ekonomi di dalam masyarakat. Kelompok-kelompok ini masih difokuskan pada kelompok penduduk miskin yang tergabung dalam koperasi-koperasi, kelompok usaha bersama (KUBE), dan lain-lain. Hasil usaha dari kelompok-kelompok tersebut sebagian disisihkan untuk membantu kesejahteraan PMKS permanen tadi. Dalam BKS permanen, kelompok penduduk yang menjadi sasaran utama dari kegiatan JKS Gotong Royong (JKS-GR) adalah lansia terlantar, anak terlantar, anak yatim piatu miskin, dan penyandang cacat fisik dan mental (cacat ganda).
Sementara itu, untuk BKS sementara, sasaran utamanya adalah korban bencana alam dan bencana sosial untuk menstimulasi keberdayaan mereka menuju kemandirian. Sedangkan sasaran utama Askesos adalah pencari nafkah utama dalam keluarga miskin dan bekerja di sektor informal seperti pedagang kaki lima, tukang becak, pedagang sayur, dan lain-lain.















X. KAITAN ANTARA SISTEM ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DAN SPJS NASIONAL



1.      Pengantar

Sesuai dengan rekomendasi MPR RI melalui Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2002, pemerintah berkewajiban menciptakan suatu sistim pengenal tunggal dan terpadu (Kartu Tanda Penduduk), atau nomor induk tunggal dan terpadu bagi seluruh penduduk Indonesia dari lahir hingga meninggal dunia. Dengan nomor yang sama dapat juga digunakan untuk pasport, surat izin mengemudi, nomor pokok wajib pajak, dan kartu pengenal lainnya. Untuk kepentingan yang dimaksud, Pemerintah berkewajiban untuk mendata setiap penduduk berdasarkan ciri, status kependudukan, serta mencatat dan merekam setiap peristiwa vital yang terjadi pada setiap individu penduduk, yang kemudian disimpan dalam suatu sistem database kependudukan secara nasional. Database kependudukan yang dibangun secara nasional dikembangkan dengan konsep sentralisasi untuk menjaga agar tidak terjadi pendataan berulangkali atas identitas seseorang penduduk.
Dengan demikian, identitas penduduk tersebut harus tunggal dan diwujudkan dalam bentuk Nomor Identitas Tunggal atau disebut Nomor Induk Kependudukan (NIK). Nomor induk tunggal tersebut merupakan kode akses bagi masyarakat untuk mendapatkan berbagai layanan publik, seperti: perpajakan, kepemilikan tanah (sertifikat), keimigrasian (pasport), kepolisian (SIM, STNK, BPKP), dan layanan-layanan publik lainnya, termasuk pelayanan perlindungan dan jaminan sosial (asuransi sosial dan bantuan sosial).
Keterkaitan antara nomor identitas tunggal, yang termasuk biodata penduduk, terhadap suatu sistem perlindungan dan jaminan sosial akan cukup bermanfaat diantaranya: (1) elemen-elemen data pada biodata dapat secara langsung mendeteksi jati diri seseorang berkaitan dengan potensi untuk mendapatkan perlindungan dan jaminan sosial, (2) dokumen pelayanan kependudukan, seperti KTP dapat dikaitkan langsung untuk disertakan dalam program perlindungan dan jaminan sosial, seperti penerbitan dokumen polis asuransi, (3) tersedianya informasi struktur penduduk (Contoh: Angka Harapan Hidup) yang dapat digunakan untuk membantu menetapkan suatu premi dari program perlindungan dan jaminan sosial tertentu (kesehatan, kematian, kecelakaan kerja, dan pensiun).

2.      Permasalahan

Berkenaan dengan upaya pemberian atau penerapan nomor identitas tunggal oleh Pemerintah terdapat beberapa permasalahan yang perlu untuk ditindaklanjuti pemecahannya secara terpadu antar instansi, baik di tingkat pusat maupun daerah, yaitu :
1.                  Perundang-undangan: Belum adanya landasan hukum yang memadai untuk mendukung sistem informasi kependudukan terpadu secara nasional. Untuk itu, perlu dibuat suatu peraturan perundang-undangan tentang administrasi kependudukan dan tentang perlindungan data pribadi penduduk.
2.                  Kelembagaan: Belum tersedianya kelembagaan di tingkat pusat yang berwenang menetapkan kebijakan, pedoman, standarisasi pengelolaan database kependudukan nasional serta dokumen kependudukan yang bernilai hukum. Akibatnya, banyak instansi-instansi secara terpisah mengelola data informasi kependudukan yang sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya masing-masing, sehingga mengakibatkan beragamnya data yang tersedia.
3.                  Sistem informasi pengelolaan data: Dengan belum tersedianya landasan hukum yang memadai untuk mendukung sistem informasi kependudukan secara nasional tersebut, mengakibatkan belum seragamnya elemen biodata dokumen kependudukan (formulir) secara nasional, sehingga pada akhirnya menyulitkan dalam pembangunan aplikasi pelayanan dokumen secara elektronik (application software). Di samping itu, dengan belum seragamnya sistem perangkat lunak dan keras yang dikembangkan di masing-masing daerah mengakibatkan sulitnya mewujudkan suatu bank data kependudukan nasional yang terintegrasi.
4.                  Kesadaran masyarakat tentang nomor induk kependudukan (NIK) masih kurang, terutama berkaitan dengan proses pendaftaran atau pencatatan kejadian vital yang merupakan elemen utama pengisian biodata NIK.

Sehubungan dengan Ketetapan MPR No.VI/MPR/2002 untuk menciptakan suatu sistem pengenal tunggal (NIK) untuk seluruh penduduk Indonesia dan setelah mengetahui berbagai permasalahan sebagaimana diuraikan di atas, maka diperlukan langkah-langkah strategis untuk mengantisipasinya agar amanat konstitusi bahwa setiap penduduk berhak mendapatkan pengakuan dan jaminan perlindungan yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum dapat diwujudkan.

3.      Langkah-langkah kebijakan

Beberapa langkah kebijakan dapat dilakukan untuk menciptakan suatu sistem pengenal tunggal (NIK), antara lain melalui:
1.                  Mempersiapkan langkah-langkah penyusunan peraturan perundang-undangan di bidang informasi kependudukan. Pada tanggal 2 Oktober 2002 telah dikeluarkan Nota Kesepahaman antara Menteri Dalam Negeri, Komisi Pemilihan Umum, dan Badan Pusat Statistik tentang pendaftaran pemilih dan pendataan penduduk berkelanjutan. Langkah ini merupakan momentum awal yang penting dalam mempercepat pembentukan database kependudukan nasional, yang pada akhirnya dapat memberikan nomor identitas tunggal bagi setiap penduduk Indonesia.
2.                  Membangun jejaring kelembagaan antar instansi terkait (Depdagri, Depkeham, Depag, dan Polri) untuk koneksitas antar sistem informasi, sehingga berlangsung pertukaran data dan informasi dalam rangka peningkatan kinerja pelayanan publik.
3.                  Mengelompokkan daerah ke dalam tipologi untuk menata kelembagaan dan sumber daya informatikanya.
4.                  Membangun sistem informasi kependudukan dengan metode paralel, yaitu mempertimbangkan sistem yang sudah terbangun di daerah, secara bertahap dan berkesinambungan untuk mengurangi resistensi sistem yang ada serta menekan biaya (Catatan: Saat ini sedang diujicobakan di Kota Manado).
5.                  Melakukan standarisasi format input (elemen biodata) dan output (KTP, KK, akta) secara nasional yang sederhana,,namun memenuhi aspek hukum dan kependudukan (statistik vital).
6.                  Mengembangkan kerjasama dengan pusat-pusat penyiaran, penerbitan, dan pelayanan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi mewujudkan tertib administrasi kependudukan.


4.      Konsep nomor induk kependudukan (NIK)

Berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 2A Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Pendaftaran Penduduk dalam kerangka Sistem Informasi Kependudukan (SIMDUK) adalah dengan komposisi: 6 (enam) digit pertama merupakan kode wilayah – yang terbagi menjadi 2 (dua) digit propinsi, 2 (dua) digit kabupaten, dan 2 (dua) digit kecamatan; 6 (enam) digit kedua merupakan tanggal lahir pemegang NIK – yang terbagi 2 (dua) digit tanggal kelahiran-khusus perempuan tanggal kelahiran ditambah 40, 2 (dua) digit bulan kelahiran, dan 2 (dua) digit tahun kelahiran; serta 4 (empat) digit terakhir merupakan nomor urut pengeluaran NIK yang diterbitkan oleh sistem komputer. NIK tersebut diberikan pada saat penduduk mengajukan permohonan atau pelaporan biodata.
Proses tahapan penomoran NIK dapat diuraikan sebagai berikut:
7.                 Tingkat kelurahan, terdiri dari: permohonan/pelaporan oleh penduduk, pengisian elemen biodata, verifikasi formulir dan syarat-syarat, penerbitan surat keterangan, dan penyerahan dokumen kepada penduduk.
8.                 Tingkat Kecamatan, terdiri dari: verifikasi berka s dan syarat-syarat pendaftaran penduduk, perekaman elemen biodata, pencetakan dokumen dan pengesahan (KK, KTP), dan pencetakan laporan/statistik (bahan analisis).
9.                 Tingkat Kabupaten/Kota, terdiri dari: verifikasi berkas dan syarat-syarat, perekaman data, pencetakan dokumen dan pengesahan, dan pencetakan laporan/statistik (bahan analisis).
10.             Tingkat Propinsi, terdiri dari: koordinasi dan penyerasian, dan pencetakan laporan/statistik (bahan analisis).
11.             Tingkat Pusat, terdiri dari pembuatan kebijakan, pedoman, dan standar-standar; koordinasi dan penyerasian; penomoran NIK dan KK; dan pencetakan laporan/statistik (bahan analisis).







SISTEM NIK DAN PELAYANAN PUBLIK
Sumber: Ditjen Adminduk, Depdagdri

Semua tahapan wilayah mempergunakan jasa ekstranet (internet-komunikasi-modem). Konsep pengembangan sistem informasi kependudukan tersebut mempergunakan sistim 3-tier technology. Sistem ini mempergunakan 3 (tiga) layer, yang terdiri dari: layer 1 adalah client (tempat pengisian data penduduk); layer 2 adalah middleware (proses identifikasi aparat/pengguna yang mempunyai akses); dan layer 3 merupakan database server (pencatatan data).
Dengan terselenggaranya pendataan penduduk secara nasional dengan menggunakan jasa ekstranet, maka relasional penggunaan data kependudukan dengan pelayanan publik lainnya akan dapat terlaksana.

5.      Hubungan antara konsep NIK dengan SPJS Nasional

Sistem Penomoran Penduduk Tunggal atau Nomor Induk/identifikasi Kependudukan (NIK) terletak pada konsep identifikasi.

Sistem Nomor Penduduk Tunggal
Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2002, pemerintah berkewajiban menciptakan suatu sistim pengenal tunggal dan terpadu (Kartu Tanda Penduduk), atau nomor induk tunggal dan terpadu bagi seluruh penduduk Indonesia dari lahir hingga meninggal dunia.
Formulasi SPJS nantinya tidak hanya dalam bentuk pelayanan dan benefit saja, tetapi cara identifikasi penduduk yang berhak menerima pelayanan SPJS. Untuk itu, diperlukan suatu mekanisme pengenalan sasaran penduduk melalui suatu sistem administrasi penduduk, yaitu Sistem Nomor Penduduk Tunggal. Dengan demikian, identitas penduduk tersebut harus tunggal dan diwujudkan dalam bentuk Nomor Identitas Tunggal atau disebut Nomor Induk Kependudukan (NIK/Population Unique Number). Nomor induk tunggal tersebut merupakan kode akses bagi masyarakat untuk mendapatkan berbagai layanan publik, seperti: perpajakan, kepemilikan tanah (sertifikat), keimigrasian (pasport), kepolisian (SIM, STNK, BPKP), dan layanan-layanan publik lainnya, termasuk pelayanan perlindungan dan jaminan sosial (asuransi sosial dan bantuan sosial). Di negara maju sistem penomeran ini lebih dikenal sebagai Social Security Number.
Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 2A Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Pendaftaran Penduduk dalam kerangka Sistem Informasi Kependudukan (SIMDUK) dinyatakan dengan komposisi: 6 (enam) digit pertama merupakan kode wilayah – yang terbagi menjadi 2 (dua) digit propinsi, 2 (dua) digit kabupaten, dan 2 (dua) digit kecamatan; 6 (enam) digit kedua merupakan tanggal lahir pemegang NIK – yang terbagi 2 (dua) digit tanggal kelahiran-khusus perempuan tanggal kelahiran ditambah 40, 2 (dua) digit bulan kelahiran, dan 2 (dua) digit tahun kelahiran; serta 4 (empat) digit terakhir merupakan nomor urut pengeluaran NIK yang diterbitkan oleh sistem komputer. NIK tersebut diberikan pada saat penduduk mengajukan permohonan atau pelaporan biodata. Proses tahapan penomoran NIK  berjenjang dimulai dari tingkat kelurahan, kecamatan, Kabupaten/kota dan  propinsi.
Dengan terselenggaranya pendataan penduduk secara nasional --yang data dasarnya diawali oleh kegiatan P4B pada bulan April 2003— pada tahapan berikutnya dengan menggunakan jasa ekstranet (internet-komunikasi-modem), maka relasional penggunaan data kependudukan dengan pelayanan publik lainnya, seperti SPJS di masa yang akan datang,  akan dapat terlaksana secara terstruktur dan terkoordinasi
Pada tahap selanjutnya, permasalahan penting yang dihadapi dalam upaya pelaksanaan NIK dan khususnya ketika dikaitkan dengan SPJS, adalah belum adanya landasan hukum yang memadai untuk mendukung sistem informasi kependudukan terpadu secara nasional. Untuk itu, perlu dibuat suatu peraturan perundang-undangan tentang administrasi kependudukan dan tentang perlindungan data pribadi penduduk yang tercakup dalam database NIK.


XI. ANALISA SITUASI DAN SPSJ NASIONAL MASA DEPAN



1.      Analisa situasi

Landasan hukum perlindungan dan jaminan sosial yang ada saat ini masih bersifat parsial dan belum terpadu. Sebagai contoh, jaminan sosial di bidang tenaga kerja dilandasi dengan UU No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) yang mencakup Jaminan Hari Tua, Kematian, Kecelakaan Kerja, dan Pemeliharaan Kesehatan bagi pegawai swasta; sedangkan penyelenggaraannya dilaksankan oleh PT. Jamsostek. Jaminan kesehatan bagi PNS dilandasi oleh UU No. 2 Tahun 1992 dan PP  69 Tahun 1991 sedangkan pengelolaannya diselenggarakan oleh PT Askes; Jaminan Hari Tua dan Pensiun bagi PNS diselenggarakn dengan landasan UU No. 43 Tahun 1999 dan dikelola oleh PT Taspen.  Contoh terakhir adalah Jaminan TNI/Polri yang diselenggarakan berdasarkan UU No. 6 Tahun 1966 dan pengelolaannya oleh PT Asabri.
Produk hukum yang bervariasi mengakibatkan banyaknya institusi/lembaga yang melaksanakan perlindungan dan jaminan sosial. Menurut Tim SJSN dan beberapa pemerhati asuransi sosial, hal ini berlawanan dengan hukum bilangan besar (law of the large number), yaitu dengan cakupan besar (peserta) maka sebaran resiko (risk distribution) akan lebih merata dan beban yang dipikul masing-masing peserta (premi) akan semakin kecil.
Kelembagaan pengelolaan SPJS yang ada saat ini dilakukan oleh banyak instansi. Misalnya, untuk asuransi sosial dikelola oleh BUMN, dibawah Departemen Keuangan – tidak independent, yang juga bertujuan profit-oriented. Sementara itu, bantuan sosial dikelola oleh banyak Departemen/LPMD, yang tidak jarang menimbulkan tumpang tindih, karena lemahnya koordinasi.
Pengalaman beberapa negara yang cukup berhasil dalam pengelolaan perlindungan dan jaminan sosial bagi masyarakatnya, menunjukkan bahwa  pengelolaan SPJS dilakukan oleh satu lembaga (centralized) yang independent. Lembaga tersebut antara lain mempunyai otoritas untuk mengkoordinir, memantau pelaksanaan program, mengelola dana dan investasi, serta melakukan pemasyarakatan program. Prinsip yang digunakan adalah economic scale dan cost-effectivenes. 

2.      Prinsip kemitraan dan pendanaan berbasis masyarakat

Hal yang tidak kalah pentingnya adalah perlu dilakukan pengembangan pemberdayaan masyarakat dan pranata-pranata lokal. Contohnya: pemberdayaan zakat, infaq, dan sodaqoh (Islam), perpuluhan (Kristen) dan dharma (Hindu). Di samping itu, bentuk-bentuk kearifan lokal yang sudah ada dan berkembang di masyarakat, perlu terus diperkuat. Misalnya: Banjar di Kabupaten Gianyar, Bali – yang terkait erat dengan desa adat – melalui iuran dana kesehatan untuk membantu pemangku adat yang kehidupannya masih sulit; tabungan ibu bersalin (Tabulin) di Kabupaten Banyumas, Jateng – melalui sistem tabungan untuk dana kesehatan terutama untuk biaya persalinan pada saat ibu melahirkan; bapak angkat di Kabupaten Gianyar, Bali – dalam bentuk “mutual benefit” antara pengusaha (dalam bentuk kemudahan perijinan dan fasilitas internet) dengan murid dari keluarga miskin (dalam bentuk pelatihan keterampilan/ kerajinan); dokter kontrak di Kabupaten Gianyar, Bali – dalam bentuk iuran wajib kesehatan yang dibayarkan oleh kelompok masyarakat muslim kepada dokter swasta dengan menggunakan sistem kontrak.  
Bantuan sosial yang diberikan selama ini belum mencakup seluruh penduduk (miskin, dan atau rentan – lansia terlantar, cacat, anak terlantar, anak jalanan, komunitas adat terpencil). Di samping itu, banyak instansi pemerintah yang melaksanakan skema ini, sehingga pemanfaatannya belum optimal. Bantuan sosial yang bersumber dari dana masyarakat juga belum dikelola secara optimal.

3.      Pemikiran SPJS masa depan

SPJS merupakan suatu sistem perlindungan dan jaminan sosial nasional yang terpadu dengan memperhatikan kearifan lokal. Dengan otonomi daerah yang telah dimulai sejak awal tahun 2001, kelembagaan yang menangani SPJS diharapkan juga akan melibatkan partisipasi Pemda (termasuk kelembagaan, aspek hukum, dan keuangan). Kelembagaan SPJS, selain independent, juga harus merupakan lembaga yang non-profit oriented.
Berdasarkan diskusi lintas sektor dan para pakar terkait, baik di pusat dan daerah, serta memperhatikan referensi hasil penelitian dan laporan yang telah dikerjakan pihak-pihak lain, serta didukung oleh konsep yang dikembangkan oleh Tim SJSN maka rekomendasi untuk SPJS Indonesia di masa depan dapat dikelompokkan menjadi dua, SPJS yang terintegrasi dan  yang tidak terintegrasi. SPJS terintegrasi akan memadukan semua sistem asuransi sosial yang sudah ada ke dalam bentuk sistem jaminan sosial nasional yang terpadu atau terintegrasi. Sedangkan SPJS yang tidak terintegrasi diwujudkan dalam bentuk perlindungan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia melalui pemberian atau akses untuk memperoleh pelayanan sosial dasar seperti pelayanan kesehatan dan pendidikan; dan pemberian jaminan sosial atau lebih dikenal dengan istilah Social Security System bagi kelompok masyarakat yang memenuhi syarat tertentu, misalnya para penyandang cacat yang tidak dapat bekerja dan penduduk lanjut usia. 

4.      SPJS yang terintegrasi

Pengertian jaminan sosial berdasarkan cakupan manfaat, pada dasarnya dapat dibedakan menjadi dua kelompok besar, yaitu: asuransi sosial (social insurance) dan bantuan sosial (social assistance).
Pengertian asuransi sosial, persis seperti konsep asuransi pada umumnya. Dengan demikian, besarnya premi merupakan sharing antara pemberi kerja (yaitu pemerintah untuk PNS dan pengusaha untuk pegawai non-PNS/swasta) dan pekerja (PNS atau pegawai non-PNS/swasta),  yang mempunyai hubungan kerja. Perlu dicatat bahwa asuransi sosial ini bersifat sosial, karena ditujukan untuk seluruh rakyat Indonesia. Asuransi sosial dapat mencakup tunjangan kesehatan, kecelakaan kerja, pemutusan hubungan kerja, tunjangan hari tua, pensiun, dan tunjangan kematian.
Sedangkan bantuan sosial, berupa bantuan dalam bentuk, misalnya, block grant atau emergency fund dengan tujuan sosial. Bantuan Sosial ditujukan untuk masyarakat umum,
seluruh penduduk Indonesia seperti yang diamanatkan dalam UUD 1945. Bantuan sosial ditujukan untuk mereka yang memerlukannya, dalam berbagai bentuk seperti bantuan bencana alam untuk masyarakat yang terkena bencana banjir dan angin topan di pesisir pantai.  
Asuransi sosial mencakup tunjangan kesehatan, kecelakaan kerja, pemutusan hubungan kerja, tunjangan hari tua, pensiun, dan tunjangan kematian. Sedangkan bantuan sosial adalah jaminan bagi masyarakat miskin untuk memperoleh kebutuhan hidup minimum.
Secara kelembagaan, penyelenggaraan Sistim Perlindungan dan Jaminan Sosial diilaksankan oleh suatu lembaga yang bersifat nasional agar dapat memenuhi prinsip the law of large number. Namun secara operasional dilaksanakan oleh kantor perwakilan di daerah-daerah sesuai dengan kesiapan daerah.

5.      Peraturan perundangan-undangan

Perlu disusun suatu undang-undang Sistem Perlindungan dan Jaminan Sosial yang mengatur seluruh penyelenggaraan perlindungan dan jaminan sosial yang akan memberikan perlindungan sosial yang lebih menyeluruh dan terpadu kepada rakyat Indonesia baik melalui pendekatan asuransi sosial maupun bantuan sosial.

 XII. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI


1.      Kesimpulan

1.         UUD 1945 merupakan landasan hukum yang kuat bagi terbentuknya Perlindungan dan Jaminan Sosial. Beberapa pasal dalam UUD 1945 lebih mempertegas hal tersebut, misalnya Pasal 27 – “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”; Pasal 31 – “Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran”; dan Pasal 34 – “Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara”. Di samping itu, Pasal 34 Ayat 2 Perubahan UUD 1945 Tahun 2002 secara eksplisit menyatakan bahwa “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat”.
2.         Dasar penting lain selain UUD 1945 adalah Ketetapan MPR RI No. X/MPR/2001 tentang Laporan Pelaksanaan Putusan MPR RI oleh Lembaga Tinggi Negara pada Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2001. Dalam dokumen itu, Presiden RI ditugaskan secara tegas untuk membentuk suatu sistem jaminan sosial nasional dalam rangka memberi perlindungan sosial yang lebih menyeluruh dan terpadu kepada rakyat Indonesia.
3.         Tim Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang telah mulai bekerja sejak tahun lalu, telah merampungkan Naskah Akademik tentang SJSN yang akan menjadi acuan pengajuan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. 
Bappenas, telah melakukan dua kajian secara intern:
Review sistem asuransi sosial di Indonesia yang dilaksanakan di lingkungan Deputi Ekonomi.
4.         Kajian awal SPJS dilingkungan Deputi SDM dan Kebudayaan dengan melibatkan departemen dan BUMN pengelola asuransi terkait.
5.         Dalam tahun 2003 kegiatan kajian awal di atas akan dilanjutkan dengan penyusunan formulasi dasar kebijakan upaya pembentukkan SPJS. Diharapkan tiga kajian di atas dapat menjadi landasan bagi Bappenas untuk menyusun rekomendasi kebijakan kepada Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas.
6.         Bappenas telah memperoleh Technical Asistance (TA) dari ADB untuk Sustainable Social Protection yang akan mulai dilaksanakan mulai September 2003 sampai dengan Juni 2004, TA ini berupa pemberian bantuan berbagai tenaga ahli yang meliputi social protection policy specialist, social assistance/social insurance specialist, institutional development specialist, legal specialist, financial analyst, labor specialist, community development specialist, poverty specialist, dan gender specialist. Diharapkan dengan bantuan ini, akan terbentuk suatu kerangka kebijakan sustainable social protection khusus untuk  Indonesia (bukan mengadopsi sistem negara lain yang belum tentu sesuai dengan Indonesia).
7.         Bantuan dari ILO kepada Pemerintah Indonesia dengan sumber dana yang berasal dari pemerintah Belanda. Kegiatan ini didasarkan pada beberapa studi ILO tentang restrukturisasi social security system di Indonesia. Aspek yang direview berkaitan dengan Jamsostek antara lain pada aspek reform of pension, improvement benefit for work injuries, dan provision unemployment benefit. Kegiatan ini juga mengkaji kemungkinan pengembangan cakupan Jamsostek pada pekerja sektor informal, misalnya para TKI (di Luar Negeri)
8.         Sejak beberapa tahun terakhir, Departemen Kesehatan telah menyelenggarakan kegiatan Jaminan Pelayanan Kesehatan Mandiri (JPKM) bagi para pekerja di sektor informal. Pengelolaannya diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara JPKM di daerah yang dibentuk oleh masyarakat bersama dengan dinas kesehatan setempat. Dana yang terkumpul bersumber dari masyarakat sendiri, dan digunakan untuk membiayai pelayanan kesehatan masing-masing peserta/keluarga JPKM. Namun kegiatan ini kurang berkembang karena rendahnya minat masyarakat. Saat ini penyelenggaraan di sebagian besar daerah masih dalam tahap sosialisasi.
9.         Sejak beberapa waktu yang lalu, Departemen Sosial telah menyelenggarakan uji coba Asuransi Kesejahteraan Sosial (Askesos) bagi penduduk miskin yang bekerja di sektor informal terutama para pedagang kaki lima, pedagang sayur, dan tukang becak di beberapa daerah. Cakupan asuransi adalah perawatan kesakitan, kecelakaan, atau meninggal dunia. Pendanaan kegiatan diselenggarakan melalui kegiatan dan dana APBN.

2.      Rekomendasi

1.         Berdasarkan kajian dalam Bab terdahulu, dapat disimpulkan bahwa Indonesia perlu segera memformulasikan suatu Sistem Perlindungan dan Jaminan Sosial Nasional. Paling tidak untuk tahap sekarang ini, sistem yang mungkin dipikirkan dapat diramu dalam dua pilihan.
·               Pertama, suatu Sistem Jaminan Sosial Nasional yang terpadu, seperti yang dibayangkan dalam tujuan Tim SJSN, guna melindungi seluruh penduduk Indonesia yang bekerja dan meliputi aspek hukum, kelembagaan, manfaat, kepersertaan, dan disain klasifikasi sasaran. Pilihan ini memerlukan perombakan UU termasuk sistemnya.
·               Kedua, suatu Sistem Perlindungan dan Jaminan Sosial Nasional (SPJSN) yang terintegrasi dengan memperhatikan asuransi (yang dibiayai oleh pemerintah dan peserta asuransi/orang yang punya mata pencarian/bekerja) dan bantuan sosial. Asuransi diselenggarakan dengan pendekatan klasifikasi kepesertaan (PNS, ABRI, dan Swasta) asuransi sistem yang sudah ada hanya perlu ditataulang dengan mereview UU yang sudah ada. Di samping itu, diformulasikan UU yang berkaitan dengan bantuan sosial yang pendanaannya berasal dari pemerintah (fully funded). Dengan demikian suatu sistem SPJSN yang terintegrasi memadukan dan menata asuransi dan  bantuan sosial tanpa perlu merubah sistem yang sudah ada secara total. Konsekuensi dari pilihan ini adalah penataan sistem sebagai berikut:
o      Sebagian dari kegiatan APBN yang sudah berjalan sekarang ini, terutama yang ditujukan untuk masyarakat miskin akan menjadi suatu sistem yang berkelanjutan yang  penyelenggaraan dan pembiayaannya tidak lagi sektoral melainkan secara terpadu oleh suatu Badan tertentu.
  
2.         Dalam kaitan dengan pilihan manapun yang nantinya akan dilakukan pemerintah, Sistem Nomor Penduduk Tunggal perlu digabungkan dengan Sistem Perlindungan dan Jaminan Sosial Nasional. Identitas nomor penduduk tunggal tersebut diharapkan akan menjadi semacam social security number. Dengan demikian SPJSN akan mampu menentukan target beneficiary secara tepat sasaran. Konsekuensi usaha mewujudkan dan merancang sistem SPJS dan NIK adalah biaya yang besar dan waktu yang cukup panjang.

3.         Dalam kaitan itu, catatan penting yang perlu menjadi perhatian semua pihak terkait – baik instansi pemerintah maupun swasta serta lembaga-lembaga sosial dan masyarakat, adalah:
·               Sistem asuransi sosial yang sudah ada dan berjalan baik dan sehat tidak  dihapuskan untuk memberi pilihan (option) bagi para pekerja untuk memilih asuransi sosial yang sesuai dengan pilihannya
·               Pemberian kebebasan untuk ikut jaminan sosial tertentu yang disukai masing-masing individu  akan mememenuhi hak manusia (human rights)
·               Sistem kearifan lokal yang sudah ada dan berjalan dengan baik dikalangan masyarakat tetap dikembangkan karena merupakan kekayaan budaya Indonesia dan merupakan bentuk ketahanan masyarakat (community resilience)

4.         Memperhatikan butir-butir di atas, dalam waktu beberapa tahun yang akan datang diperlukan suatu desain Sistem Perlindungan dan Jaminan Sosial yang terpadu untuk harmonisasi seluruh penyelenggaraan sistem perlindungan dan jaminan sosial meliputi aspek perundangan-undangan, cakupan manfaat, kelembagaan, serta target beneficiary/ kepersertaan, termasuk disain klasifikasi penentuan sasaran.











LAMPIRAN


JADUAL KEGIATAN DAN NARA SUMBER

 

1.         RAPAT PENDAHULUAN
Rapat pendahuluan diselenggarakan di Bappenas.
1)      13 September 2002             Internal Bappenas (RR Dir. KKSPP, Bappenas). Dihadiri oleh wakil-wakil Direktorat KKSPP, KGM, AP, Ketenagakerjaan dan Analisis Ekonomi, Pengembangan Otonomi Daerah, dan Direktur Kerjasama Pembangunan Sektoral dan Daerah dan staf
2)    19 September 2002            Internal, dengan direktorat terkait di Bappenas (RR Dir. KKSPP)  yaitu KKSPP, KGM, AP, Ketenagakerjaan dan Analisis Ekonomi, Pengembangan Otonomi Daerah, dan Kerjasama Pembangunan Sektoral dan Daerah
3)      25 September 2002             Rapat ini diselenggarakan oleh Deputi SDM dan
                                            Kebudayaan, Bappenas (RR Deputi SDM & K), dan dihadiri oleh para Direktur Utama BUMN penyelenggara jaminan sosial; Direktur Utama Askes, Asabri, Jasa Raharja, Jamsostek, Taspen, dan staf; serta Direktur dan staf Dit. KKSPP, Bappenas.

2.         Seminar dan Diskusi
Kegiatan ini diselenggarakan dengan dihadiri oleh undangan para pejabat departemen terkait , BUMN, dan Universitas
1)      30 September 2002           Pembicara dari Departemen/LPND terkait
                                          Tempat : RR SS 1-2 Bappenas
2)        7 November 2002           Pembicara dari BUMN penyelenggara jaminan sosial
                                          Tempat:  RR SS 1-2 Bappenas

NARA SUMBER:
1)      Direktur Peraturan Perpajakan - Ditjen Pajak, DEPKEU
2)      Direktur Asuransi - Ditjen Lembaga Keuangan, DEPKEU
3)      Direktur Dana Pensiun - Ditjen Lembaga Keuangan, DEPKEU
4)      Direktur Perundang-undangan - Ditjen Peraturan Perundang-undangan, DEPKEHAM
5)      Direktur JPKM - Ditjen Binkesmas, DEPKES
6)      Direktur Jaminan Sosial - Ditjen Hubungan Industrial, DEPNAKERTRANS
7)      Direktur Jaminan Sosial - Ditjen Banjamsos, DEPSOS
8)      Sesditjen Dikdasmen, DEPDIKNAS
9)      Direktur Informasi Kependudukan - Ditjen Administrasi Kependudukan, DEPDAGRI
10)  Direktur Utama PT Taspen
11)  Direktur Utama PT Askes
12)  Direktur Utama PT Jamsostek
13)  Drs. Ari Hindrayono Mahar, MA - LPEM UI 

3.         WAWANCARA 
Kegiatan ini diselenggarakan di kantor/ruangan di instansi/lembaga/perusahaan  terkait:
1)      Akhir September 2002            Deputi Seswapres Bidang Kesra/Kepala BKKBN
2)      19 November 2002                 Tim SJSN
3)      14 Januari 2003                       Depdagri
4)      15 Januari 2003                       BPHN
5)      16 Januari 2003                       Taspen dan Depkeh & HAM
6)      17 Januari 2003                       Depsos
7)      20 Januari 2003                       Depkeu (Asuransi)
8)      21 Januari 2003                       Depnakertrans dan Jamsostek
9)      22 Januari 2003                       Depkes
10)  24 Januari 2003                       Depkeu (Pajak)
11)  27 Januari 2003                       Depdiknas
12)  18 Februari 2003                     Jasa Raharja
DAFTAR NAMA RESPONDEN/PEJABAT YANG DIINTERVIEW:
NO.
NAMA
JABATAN
INSTANSI
1.
Drs. Salusra Satria, MAF
Kasubdit Kelembagaan Asuransi-Dit. Asuransi
Depkeu
2.
drs. Darmanto
Kasubdit Jaminan Sosial Dalam Hubungan Kerja, Dit. Jamsos, Pengupahan, & Kesejahteraan
Depnakertrans
3.
Parulian Lumban Toruan, SH
Kasubdit Jaminan Sosial Luar Hubungan Kerja, Dit. Jamsos, Pengupahan, & Kesejahteraan
Depnakertrans
4.
Moh. Faisal Siddiq, MBA
Humas-Sekretariat PJPS Bidang Pendidikan
Depdiknas
5.
Bambang Purwanto, Ph.D, CPPA
Direktur Umum & Personalia
PT Jamsostek
6.
Bayu Kanishka, Ak., MPA
Kasi Pemotongan dan Pemungutan PPH, Dit. PPh
Depkeu
7.
Drs. H. Mujito, Ak.
Kabagren, Sesditjen Dikdasmen
Depdiknas
8.
H. Supriyo Joko N., SSos.
Kepala Divisi Pelayanan
PT Jasa Raharja
9.
Ir. M. Wahyu Hidayat, MP
Kasi Pengembangan Perangkat Lunak, Dirjen Minduk
Depdagri
10.
Asnawi, SE
Kasubdit Identifikasi & Analisis Jamsos
Depsos
11.
drg. Usman Sumantri, MSc.
Kasubdit Penyelenggaraan JPKM
Depkes
12.
Tim SJSN
Ketua dan Anggota Tim SJSN
Tim SJSN
13.
Ahmad Ubbe, SH, MH
Kapus Perencanaan Hukum
BPHN
14.
drs. Djoko Daljono
Direktur SDM
PT Taspen
15.
Drs. Isa
Kasubdit Pengembangan dan Pelayanan Informasi
Depkeu-Dana Pensiun
16.
Prof. DR. Yaumil Agoes Achir
Ketua Tim SJSN
Deputi Seswapres Bidang Kesra/Kepala BKKBN

4.    TEMU  TUKAR PENDAPAT (TTP)
Temu Tukar Pendapat (TTP) diselenggarakan dalam bentuk presentasi dan diskusi dengan Bupati, Bappeda Kabupaten/kota, Kanwil, Dinas, Perguruan Tinggi, LSM, anggota DPRD Kabupaten/Kota. TTP diselenggarakan di lima kabupaten/kota.

JADUAL
1)      11 Februari 2003   Kabupaten Gianyar
2)      20 Februari 2003   Kabupaten Banyumas
3)      28 Februari 2003   Kota Makassar
4)      14 Maret 2003      Kabupaten Asahan
5)      28 Maret 2003      Kota Manado

PESERTA
1)      Bupati
2)      Kepala Bappeda
3)      Kepala Dinas terkait
4)      DPRD kabupaten/kota
5)      Ormas: Bazis, ISKPI, KOSGORO, KORPRI, Muhammadiyah, dll.
6)      Akademisi: Univ.Hasanuddin (Unhas), Univ. Jendral Soedirman (Unsoed), Univ. Wijaya Kusuma (Unwiku), Univ. Udayana (Unud), STM Doi Roha
7)      Penyelenggara jamsos: PT Jamsostek, PT Askes, PT Jiwasraya
8)      LSM: Yayasan Biyung Emban, LP2M, Forum Perlindungan Anak, dll.

PEMBICARA/PENYAJI:
1.      Kabupaten Gianyar
1)      Kasubdin Binkesmas, Dinas Kesehatan
2)      Kasubdin SLTA, Dinas Pendidikan
3)      Kasi Badan Kesejahteraan Sosial, Dinas Kesos
4)      Kapuslit PPLH Universitas Udayana
5)      Kabid Sosbud, Bappeda
2.      Kabupaten Banyumas
1)      Kepala Bappeda
2)      Kepala Dinas Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial
3)      Kepala Dinas Pendidikan
4)      Drs. Bambang Kuncoro, MSi., Dosen Fisip-Universitas Jendral Soedirman
5)      Ketua KOSGORO
6)      Kepala Cabang Jamsostek
3.      Kota Makassar
1)      Kepala Bappeda
2)      Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan
3)      Kepala Dinas Tenaga Kerja
4)      Kepala Dinas Sosial
5)      Kasubid Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial, Bappeda
4.      Kabupaten Asahan
1)      Kepala Bappeda
2)      Kepala Dinas Kesehatan
3)      Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan
4)      Kepala Bidang Sosial
5)      Dasril, SKM, Dinas Kesehatan
6)      Rachmad Njt., Ikatan Sosial Kemalangan Pajak Ikan (ISKPI)
5.      Kota Manado
1)      J. Meruntu, Bappeko
2)      J. Suwu, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil
3)      Kepala Dinas Kesejahteraan Sosial Kota
4)      Dinas Pendidikan Nasional Kota
5)      M. Tangel K., Dinas Kesehatan
6)      Royke Elias, LSM

DAFTAR KEPUSTAKAAN


1. Achmad Subianto (Dirut PT Taspen), Jaminan Sosial Pegawai Negeri Sipil, Makalah disajikan dalam Seminar Sistem Perlindungan dan Jaminan Sosial di Bappenas, 30 September 2002.
2. Ahmad Ubbe, SH, MH, Aspek Hukum Perlindungan dan Jaminan Sosial dalam Pembangunan Hukum untuk Kesejahteraan Rakyat, Makalah disajikan dalam Seminar Sistem Perlindungan dan Jaminan Sosial di Bappenas,  7 November 2002.
3. Ari Hindrayono Mahar, Sistem Perlindungan Sosial di Indonesia dan Permasalahannya, Makalah disajikan dalam Seminar Sistem Perlindungan dan Jaminan Sosial di Bappenas, 7 November 2002.
4. Baedhowi, Drs., MSi., Konsep Perlindungan dan Jaminan Sosial Bidang Pendidikan, Makalah disajikan dalam Seminar Sistem Perlindungan dan Jaminan Sosial di Bappenas, 30 September 2002.
5. BPS, Sensus Penduduk 2000, 2001.
6. BPS, BAPPENAS and UNDP, Indonesia Human Development Report 2001: Towards a New Consensus, 2002.
7. Depkes dan Kesos-Ford Foundation, Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM) Pengertian dan Pelaksanaannya, Jakarta 2000.
8. Depsos, Jaminan Sosial bagi Kelompok Khusus/Sektor Informal, Pekerja Mandiri, dan PMKS, Makalah disajikan dalam Seminar Sistem Perlindungan dan Jaminan Sosial di Bappenas, 30 September 2002.
9. Direktorat Asuransi, Ditjen Lembaga Keuangan-Depkeu, Kebijakan Asuransi dalam Rangka Mendukung Pengembangan Sistem Perlindungan dan Jaminan Sosial, Makalah disajikan dalam Seminar Sistem Perlindungan dan Jaminan Sosial di Bappenas, 7 November 2002.
10.  Direksi PT Taspen (Persero), Materi Presentasi Direksi PT Taspen (Persero), Makalah disajikan dalam Seminar Sistem Perlindungan dan Jaminan Sosial di Bappenas, 30 September 2002.
11.  Direktorat Informasi Kependudukan, Ditjen Adminduk-Depdagri, Keterkaitan antara Jaminan Sosial dan Sistem Administrasi Kependudukan, Makalah disajikan dalam Seminar Sistem Perlindungan dan Jaminan Sosial di Bappenas, 30 September 2002.
12.  Direktorat Jamsos, Pengupahan dan Kesejahteraan, Ditjen Binawas-Depnakertrans, Jamsostek, Konsep dan Evaluasi Pelaksanaannya, Makalah disajikan dalam Seminar Sistem Perlindungan dan Jaminan Sosial di Bappenas, 30 September 2002.
13.  Direktorat JPKM-Depkes, Kebijaksanaan Depkes dalam Pelayanan Kesehatan dengan JPK Gakin, Makalah disajikan dalam Seminar Sistem Perlindungan dan Jaminan Sosial di Bappenas, 30 September 2002.
14.  Direktorat JPKM-Depkes, Naskah Akademik Rancangan Undang-undang tentang Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat, Draft September 2000.
15.  Direktur Dana Pensiun, Depkeu, Kebijakan Dana Pensiun dalam Rangka Mendukung Pengembangan Sistem Perlindungan dan Jaminan Sosial, Makalah disajikan dalam Seminar Sistem Perlindungan dan Jaminan Sosial di Bappenas, 7 November 2002.
16.  Direktur PT Jamsostek, Sistem Perlindungan dan Jaminan Sosial bagi Tenaga Kerja dan Evaluasi Pelaksanaannya, Makalah disajikan dalam Seminar Sistem Perlindungan dan Jaminan Sosial di Bappenas, 7 November 2002.
17.  Direktur PT (Persero) Askes, Sistem Perlindungan dan Jaminan Sosial Bidang Kesehatan PT (Persero) Asuransi Kesehatan Indonesia, Makalah disajikan dalam Seminar Sistem Perlindungan dan Jaminan Sosial di Bappenas, 7 November 2002.
18.  Direktur PT Taspen (Persero), Sistem Jaminan Sosial PNS dalam Era Korpri Paradigma Baru, Makalah disajikan dalam Seminar Sistem Perlindungan dan Jaminan Sosial di Bappenas, 7 November 2002.
19.  Folland, Goodman, Stano, Social Insurance Programs, 1997.
20.  Ign Mayun Winangun, Implementasi Kebijakan Perpajakan dalam Rangka Mendukung Pengembangan Sistem Perlindungan dan Jaminan Sosial, Makalah disajikan dalam Seminar Sistem Perlindungan dan Jaminan Sosial di Bappenas, 7 November 2002.
21.  Sherman, Folland, Allen C. Goodman, dan Miron Stano, The Economics of Health and Health Care (Second edition, Prentice Hall, Upper Saddle River, New Jersey, 1993, pp. 495-496
22.  Sulastomo, Dr., MPH, AAK, Asuransi Kesehatan Sosial Sebuah Pilihan, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002.
23.  _____________ , Asuransi Kesehatan Diperlukan, Kompas, Rabu, 15 Mei 2002.
24.  Tim SJSN, Konsep Naskah Akademik Sistem Jaminan Sosial Nasional (KNA-SJSN), Jakarta, Februari 2003.
25.  UNDP, Human Development Report 2002, 2003.
26.  Yaumil Ch. Agoes Achir, Jaminan Sosial Nasional IndonesiaAgustus 2002.


No comments: