Showing posts with label Agam Wispi. Show all posts
Showing posts with label Agam Wispi. Show all posts

Thursday 27 January 2011

Agam Wispi

Agam Wispi



AGAM WISPI (1930-2003) Wartawan dan penyair Indonesia yang amat berpengaruh di era 1950-an dan awal 1960-an, namun pengaruhnya berusaha dihilangkan oleh para penyair muda sezamannya. Bentuk puisi Agam mengandung bahasa dan ungkapan yang khas dan sarat emosi, dan dia terkenal karena lincah dalam mengulas kata. Sejak gagalnya kudeta Partai Komunis Indonesia (PKI) 30 September 1965 Agam terpaksa tinggal di pengasingan karena dia terkait dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang berafiliasi dengan PKI. Nama Agam pada masa Orde Baru tak pernah disebut-sebut dalam buku-buku pelajaran sastra dan bahkan namanya hampir terlupakan di tanah airnya sendiri.

Puisi, hanya kaulah lagi tempatku pulang / Puisi, hanya kaulah lagi pacarku terbang

Agam Wispi lahir di Pangkalan Susu, Langkat, Sumatera Utara, pada 31 Desember 1930. Dia dibesarkan di Medan dan sempat mengenyam pendidikan di Perguruan Kita Muhamadiyah hingga SMA Pembaruan Medan. Agam kemudian menjadi wartawan di harian Pendorong Medan. Setelah meliput “Peristiwa Tanjung Morawa” – di mana salah seorang demonstran petani yang menuntut hak menggarap tanah tertembak mati – Agam Wispi menulis puisi, yang selalu dia sebut sendiri sebagai “titik bakar puitisnya” sebagai penyair, yang diberi judul ‘Matinja Seorang Petani.’ Selama menjadi wartawan ini dia berkawan dengan penulis terkenal seperti Sitor Situmorang, Bakri Siregar dan Hr Bandaharo. Bakri dan Bandaharo inilah yang memperkenalkannya pada lingkaran pergaulan Lekra Sumatera Utara.

Pada 1957 Agam pergi ke Jakarta dan menjadi redaktur budaya Harian Rakjat yang merupakan organ PKI. Pada periode ini dia banyak dipengaruhi oleh Njoto, tokoh komunis terkemuka, yang membawanya ke bidang sejarah sastra. Dia pernah menjabat sebagai Sekretaris I Lekra, Sekretaris Direksi Drama/Sastra Lekra dan Sekretaris Seksi Sastra Lekra. Agam berusaha meninggalkan propaganda verbal dan mengusahakan mensejajarkan antara isi dan bentuk agar tercapai perpaduan mutu ideologis dan estetis. Sajak panjangnya yang berjudul ‘Jakarta O Jakarta’ dimuat memenuhi satu halaman koran. Tentang sajaknya yang panjang Agam mengatakan, “Saya ingin membikin sebuah sajak yang merupakan satu simfoni. Jadi bukan hanya satu keping, satu keping; satu keping sajak itu saya katakan hanya satu lagu. Ini saya katakan satu simfoni” (Koran Tempo 5 Januari 2003).

Pada 1960-an dia menjauhi lingkaran sastrawan kiri karena tak sepakat dengan sloganisme yang mereka usung, dan kemudian masuk ke Angkatan Laut, sembari tetap menjadi koresponden Harian Rakjat. Pada 7 Mei 1965 Agam dikirim ke Vietnam untuk meliput perang dan sempat mewawancarai Ho Chi Minh. Sebelum ke Vietnam Selatan dia mampir ke Peking untuk bergabung dengan delegasi Indonesia yang diundang mengikuti perayaan hari nasional Tiongkok tanggal 1 Oktober. Karena terdengar kabar simpang-siur tentang situasi di Indonesia pasca kudeta yang gagal, Agam bersama orang-orang yang ikut delegasi tak bisa pulang Sejak itu Agam menjadi imigran politik dan hidup berpindah-pindah di Belanda, Perancis, Jerman, Rusia dan Swedia, sebelum akhirnya menetap kembali di Amsterdam sejak 1988. Agam kembali mengunjungi tanah airnya pada tahun 1999 dan kembali lagi pada 2000 untuk bercerai dengan istrinya.

Agam tak pernah pulang kembali ke Indonesia. Dia meninggal dunia pada 1 Januari 2003 di Verpleeghuis – sebuah rumah jompo – dan dikremasi pada 7 Januari di Westgaarde, Amsterdam. Karya-karyanya masih ada yang belum diterbitkan dan ada yang diterbitkan dalam jumlah terbatas. Karya-karyanya itu antara lain Yang Tak Terbungkamkan (1960); Puisi Perang (1970); Di Atas Puing (1971); Eksil (1988) dan Berdua Sejalan (1996, bersama Asahan Alham). Sebelum meninggal dia sempat menyusun jejak langkahnya sendiri lewat puisi Kronologi in Memoriam (1953-1994).

PELARANGAN BUKU DARI JAMAN KE JAMAN

PELARANGAN BUKU DARI JAMAN KE JAMAN


ERA DEMOKRASI TERPIMPIN

Praktek pelarangan buku di Indonesia muncul pertama kali pada akhir 1950an, seiring dengan meningkatnya kekuasaan militer dalam perpolitikan Indonesia.

Penerapan status darurat untuk menghadapi berbagai pemberontakan sejumlah perwira militer yang menamakan gerakannya PRRI/Permesta dan DI/TII memberi dalih pada KSAD Mayjen AH Nasution selaku Penguasa Militer, untuk melarang peredaran barang-barang cetakan yang dianggap memuat atau mengandung ‘ketjaman-ketjaman, persangkaan (insinuaties), bahkan penghinaan’ terhadap pejabat negara, memuat atau mengandung ‘pernjataan permusuhan, kebencian atau penghinaan’ terhadap golongan-golongan masyarakat, atau menimbulkan ‘keonaran’. Batasan atas konsep-konsep itu sepenuhnya ditentukan oleh penafsiran subyektif AD.

Larangan tersebut pada awalnya lebih banyak ditujukan pada pers. Sepanjang 1957, penguasa militer melarang penerbitan tidak kurang dari 33 penerbitan dan menutup tiga kantor berita – termasuk di antaranya Kantor Berita Antara. Puluhan wartawan diinterogasi, belasan diantaranya ditahan di rumah tahanan militer. Pada 1959, Penguasa militer melarang peredaran buku karya Pramoedya Ananta Toer yang berjudul Hoakiau di Indonesia dan memenjarakan penulisnya selama satu tahun. Setidaknya tiga buku kumpulan puisi juga dilarang beredar. Salah satu buku kumpulan puisi adalah karya Sabar Anantaguna yang berjudul Yang Bertanahair tapi Tak Bertanah, sementara dua lainnya karya Agam Wispi yang berjudul Yang Tak Terbungkamkan dan Matinya Seorang Petani (Lekra, 1961). Pamflet Demokrasi Kita karya Mohammad Hatta juga tidak lolos dari pembrangusan.

Parade Sukarelawan-Sukarelawati untuk Pembebasan Irian Barat | foto: koleksi OHD

Pada 1959 Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang menghapuskan kontrol efektif terhadap kekuasaannya. Memasuki paruh pertama 1960an, Presiden Soekarno mencanangkan kampanye Ganyang Malaysia (Dwikora) dan Rebut Irian Barat (Trikora) dalam rangka menyelesaikan revolusi nasional. Kampanye itu meningkatkan sentimen anti-nekolim (neo-kolonialisme dan imperialisme). Soekarno kemudian menerbitkan Penetapan Presiden No. 4 Tahun 1963 yang memberi kewenangan penuh pada Kejaksaan Agung untuk melarang peredaran barang-barang cetakan yang dianggap dapat mengganggu ketertiban umum. Seperti pada kasus aturan pelarangan barang cetakan oleh penguasa militer, batasan atas konsep ‘ketertiban umum’ juga diserahkan pada tafsiran subyektif Kejaksaan Agung. Akan tetapi, militer yang masih memiliki pengaruh kuat dalam perpolitikan lokal dan nasional, juga ikut memanfaatkan aturan ini. Buku-buku yang secara sewenang-wenang dianggap memuat gagasan nekolim dilarang.

Di tengah situasi ini, 20 seniman dan budayawan mengeluarkan sebuah pernyataan publik yang kemudian dikenal dengan nama “Manifes Kebudayaan”. Karena pandangan berkesenian mereka dianggap mengganggu konsolidasi bangsa untuk ‘menyelesaikan jalannya revolusi, pada 8 Mei 1964, Presiden Soekarno menyatakan melarang pernyataan tersebut. Kementerian Pendidikan Dasar dan Kebudayaan menanggapi pernyataan Soekarno dengan melarang penggunaan buku-buku karya para pendukung Manifes Kebudayaan sebagai bahan ajar. Sedang berbagai penerbitan, kecuali majalah Basis, tidak berani mempublikasi karya-karya mereka, atau menerima asal nama penulisnya tidak dicantumkan. Para pendukung Manifes Kebudayaan kembali bebas berkarya setelah terjadinya Peristiwa 1965.

ERA ORDE BARU

Peristiwa 1965 yang terjadi pada periode ini menjadi titik balik bagi Indonesia. Dimulai dari peristiwa G30S, yang kemudian berlanjut pada penumpasan dan penghancuran lembaga-lembaga yang dianggap berafiliasi pada PKI serta anggota-anggotanya. Lembaga terpenting yang dibentuk pada periode ini adalah Komando Pemulihan Keamanan dan ketertiban (Kopkamtib) – tepatnya dibentuk pada 10 Oktober 1965. Lembaga ini memiliki wewenang besar untuk mengambil tindakan apa saja dalam rangka ’memulihkan keamanan dan ketertiban’. Hasilnya: jutaan orang diperkirakan mengalami kekerasan, dibunuh dan ditangkap tanpa proses peradilan karena didakwa sebagai anggota atau simpatisan PKI dan ormas-ormas yang berafiliasi dengannya. Secara perlahan, kekuatan kiri dimusnahkan dari Indonesia, tidak hanya dengan cara menumpas organisasi-organisasinya, tapi juga dengan menciptakan sikap anti terhadap ideologinya.

Pembakaran Atribut PKI di Jawa Tengah | foto: W. Sutarto

Selain membentuk lembaga pengawasan keamanan dan ketertiban ini, pemerintah juga menetapkan Tap MPR XXV/ MPRS/ 1966 yang membubarkan PKI dan melarang ajaran-ajaran Marxisme-Leninisme/ Komunisme. Ketetapan ini menjadi alat penting untuk mengontrol masyarakat secara luas dan menjadi dasar penyusunan berbagai peraturan yang mengekang kebebasan berekspresi dan berkumpul yang tidak terbatas pada bekas anggota PKI atau pengikut Marxisme-Leninisme/ Komunisme.

Sama seperti pada masa Orde Lama, Kejaksaan Agung sebenarnya hanya menerima pengaduan dari lembaga-lembaga lain dan menerbitkan SK pelarangan berdasarkan pengaduan tersebut. Dari konsideran surat-surat keputusan pelarangan memang terlihat bahwa lembaga-lembaga lain seperti BAKIN, Bakorstanas, Bais, ABRI, Polri, Departemen Agama, secara rutin mengirim pandangannya langsung kepada Jaksa Agung. Dalam prakteknya, memang posisi Jaksa Agung Muda bidang Intelijen (JAM Intel) yang hampir selalu ditempati oleh perwira tinggi militer, dengan mudah berhubungan dengan semua instansi penyelenggara ’ketertiban dan ketentraman umum’ dalam mengumpulkan informasi tentang buku-buku ’rawan’.

Kerjasama informal antara jaksa agung dengan lembaga-lembaga (militer) lainnya baru diformalkan pada Oktober 1989 ketika Kejaksaan Agung membentuk Clearing House yang berfungsi meneliti isi sebuah buku dan memberi rekomendasi langsung kepada Jaksa Agung. Melalui SK No. Kep-114/ JA/ 10/ 1989, clearing house secara resmi bekerja di bawah Jaksa Agung dan terdiri atas 19 anggota dari JAM Intel dan Subdirektorat bidang pengawasan media massa, Bakorstanas, Bakin, Bais, ABRI (kemudian menjadi BIA), Departemen Penerangan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, serta Departemen Agama.

Lembaga pemerintah lain selain kejaksaan agung yang melarang buku adalah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan melalui Instruksi Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan RI no. 1381/1965 tentang Larangan Mempergunakan Buku-buku Pelajaran, Perpustakaan dan Kebudayaan yang Dikarang oleh Oknum-oknum dan Anggota-anggota Ormas/Orpol yang Dibekukan Sementara Waktu Kegiatannya, disertai dengan dua buah lampiran. Lampiran pertama berisi 11 daftar buku pelajaran yang dilarang pemakaiannya, antara lain buku-buku karangan Soepardo SH, Pramoedya Ananta Toer, Utuy T. Sontani, Rivai apin, Rukiyah, dan Panitia Penyusun Lagu Sekolah Jawatan Kebudayaan. Sedangkan lampiran kedua berisi 52 buku-buku karangan pengarang-pengarang LEKRA yang harus dibekukan seperti Sobron Aidit, Jubar Ayub, Klara Akustian/ A.S Dharta, Hr. Bandaharo, Hadi, Hadi Sumodanukusumo, Riyono Pratikto, F.L Risakota, Rukiah, Rumambi, Bakri Siregar, Sugiati Siswadi, Sobsi, Utuy Tatang. S, Pramoedya Ananta Toer, Agam Wispi, dan Zubir A.A.

Selain Departemen P&K, Menteri Perdagangan dan Koperasi juga mengeluarkan Keputusan Menteri no. 286/ KP/ XII/ 78 yang diturunkan dalam Keputusan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri No. 01/ DAGLU/ KP/ III/ 79 melarang impor, perdagangan dan pengedaran segala jenis barang cetakan dalam huruf/ aksara dan bahasa Cina. Pada masa itu, pemerintah Cina yang berideologi komunisme, dianggap berbahaya dan mengimpor barang cetakannya dapat membuka kesempatan untuk menyebarluaskan ideologi tersebut. Larangan ini membuat pengecualian untuk barang cetakan yang bersifat ilmiah, namun barang-barang tersebut harus memperoleh persetujuan dari Departemen P&K, ijin beredar dari Kejaksaan Agung dan importir pelaksana harus memiliki TAPPI(S) serta ditunjuk oleh Departemen Perdagangan dan Koperasi setelah mendengar pendapat Kejaksaan Agung. Dalam prakteknya, selain menyita buku, pemerintah juga menyita dan memusnahkan kaset dan CD berirama mandarin serta beraksara Cina. Tindakan pelarangan ini selain berkaitan dengan pemutusan hubungan dengan Cina, juga terkait dengan politik diskriminasi warga Tionghoa di dalam negeri.

ERA REFORMASI

Gerakan Reformasi berhasil merebut kembali kemerdekaan berkumpul, berserikat, dan berpendapat setelah puluhan tahun diberangus di bawah Rezim Orde Baru. Kemenangan tersebut dikukuhkan oleh MPR melalui Perubahan Kedua UUD Negara RI Tahun 1945. Pada 2004, DPR mencabut kewenangan Kejaksaan Agung untuk melarang peredaran barang cetakan melalui UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI. Akan tetapi, pada 2006 Kejaksaan Agung kembali melarang peredaran buku.
Menurunkan Suharto | foto: Antara

Buku yang dilarang pertamakali, pada era ini adalah pamflet yang ditulis Ma’sud Simanungkalit yang berjudul Kutemukan Kebenaran Sejati dalam Al Qur’an. Karena UU Kejaksaan RI yang baru tidak lagi memberi kewenangan pada Kejaksaan Agung untuk melarang peredaran buku, maka Kejaksaan Agung bergayut pada UU peninggalan keadaan darurat periode Demokrasi Terpimpin, yaitu No. 4/PNPS/1963, untuk membenarkan keputusannya.

Pada 2007 Kejaksaan Agung bertindak semakin agresif dengan melarang 13 buku teks sejarah untuk SLTP dan SLA yang mengacu pada Kurikulum 2004. Kejaksaan Agung berdalih buku-buku tersebut memutar balik sejarah karena tidak mencantumkan kata ’PKI’ dibelakang ‘G-30-S’ dan tidak memasukkan Peristiwa Madiun 1948. Di tingkat lapangan, sejumlah kejaksaan negeri/tinggi memperluas pelarangan tidak hanya pada 13 judul buku, tapi juga pada buku-buku teks sejarah lain. Kejaksaan Tinggi Pangkal Pinang bahkan memperluas pelarangan hingga mencakup 54 judul buku sejarah . Tidak hanya pelarangan yang dilakukan kejaksaan, tetapi juga pemusnahan dengan cara membakar buku-buku teks yang disita.


Selanjutnya, pada akhir 2009 Kejaksaan Agung melarang lima buku, diantaranya karya John Roosa, Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto (ISSI & Hasta Mitra, 2008) serta karya Rhoma Dwi Yulianti dan Muhiddin M Dahlan, Lekra tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakyat 1950-1965 (Yogyakarata: Merakesumba, 2008). Buku-buku itu dilarang karena dianggap ‘dapat mengganggu ketertiban umum’. Kejaksaan Agung memonopoili definisi atas ‘ketertiban umum’ dan tidak merasa perlu membuktikan bahwa peredaran buku itu memang meresahkan masyarakat. Padahal buku-buku itu telah beredar selama satu tahun atau lebih tanpa menimbulkan gejolak sama sekali.

Pelarangan buku masih dapat terus terjadi di masa mendatang selama UU No. 4/PNPS/1963 terus dipertahankan. Pada awal Januari 2010, Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar mengumumkan akan merekomendasikan pada Kejaksaan Agung untuk melarang peredaran 20 judul buku.


Dua puisi dalam buku kumpulan puisi Agam Wispi, Matinya Seorang Petani (Jakarta: Bagian Penerbitan Lekra, 1961), yang dilarang Penguasa Perang pada 1960an.

Latar belakang puisi pertama "Latini" adalah penggusuran tanah di Kediri, sedang puisi kedua "Matinya Seorang Petani" adalah peristiwa penggusuran petani di Tanjung Morawa.


LATINI

latini, ah latini
gugur sebagai ibu
anak ketjil dalam gendongan

latini, ah latini
gugur diberondong peluru
baji mungil dalam kandungan

tanah dirampas
suami dipendjara
tengkulak mana akan beruntung?

desa ditumpas
traktor meremuk palawidja
pembesar mana akan berkabung?
gugur latini sedang masjumi berganti baju
gugur pak tani dan dadanya diberondong peluru
gugur djenderal, mulutnya manis hatinya palsu

beri aku air, aku haus
dengan lapar tubuh lemas
aku datang pada mereka
aku pulang padamu
sedang tanah kering dikulit
kita makan samasama
kudian muram
latini, ah latini
tapi, ah, kaum tani
kita yang berkabung akan mebajarnya suatu hari

(Dari antologi:"Matinya Seorang Petani", Bagian Penerbitan Lembaga Kebudayaan
Rakjat", Jakarta ...)




MATINJA SEORANG PETANI
(buat L. Darman Tambunan)


1.
depan kantor tuan bupati
tersungkur seorang petani
karena tanah
karena tanah

dalam kantor barisan tani
silapar marah
karena darah
karena darah

tanah dan darah
memutar sedjarah
dari sini njala api
dari sini damai abadi

2.
dia djatuh
rubuh
satu peluru
dalam kepala

ingatannya melajang
didakap siksa
tapi siksa tjuma
dapat bangkainja

ingatannja kedjaman-muda
dan anaknja jang djadi tentera
-- ah, siapa kasi makan mereka? --
isteriku, siangi padi
biar mengamuk pada tangkainja
kasihi mereka
kasihi mereka
kawan-kawan kita
suram
padam
dan hitam
seperti malam

3.
mereka berkata
jang berkuasa
tapi membunuh rakjatnja
mesti turun tahta

4.
padi bunting bertahan
dalam angin
suara loliok disajup gubuk

menghirup hidup
padi bunting
menuai dengan angin

ala, wanita berani djalan telandjang
di sitjanggang, di sitjanggang
dimana tjangkol dan padi dimusnahkan

mereka jang berumah apendjara
baji digendongan
djuga tahu arti siksa

mereka berkata
jang berkuasa
tapi merampas rakjatnja
mesti turun tahta
sebelum dipaksa

djika datang traktor
bikin gubuk hantjur
tiap pintu kita gedor
kita gedor.

-----------
Keterangan:
+ Loliok ialah suling dari batang padi dalam sebutan kanak-kanak
(Sumber: Antologi Bersama, "Matinya Seorang Petani").

"Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian." _Pramoedya Ananta Toer

AGAM WISPI, SANG PENYAIR ITUPUN SAMPAI DI UJUNG PERJALANANNYA

AGAM WISPI, SANG PENYAIR ITUPUN SAMPAI DI UJUNG PERJALANANNYA

Ucapan Selamat Jalan Kepada Seorang Penyair

Oleh JJ.Kusni


Penyair dan penulis cerita pendek, Soeprijadi Tomodihardjo pada 31 Desember 2002
menyuratiku setelah hampir sepuluh tahun tak saling bertemu dan berkabar. Dalam
surat singkatnya itu Suprijadi antara lain menulis:

"Sementara itu saya kemarin mendapat berita tentang Bung Agam. Keadaannya kian
parah. Dokter bilang tinggal sedikit sekali harapan sejak kena radang paru
akhir-akhir ini. Semoga masih tersisa sejemput mikjijat agar Bung Agam kembali
sehat".

Pagi ini (01 01 2003), Suprijadi, yang pernah bersama-sama bekerja di sebuah
kantor berita, kembali mengirimku berita yang menyatakan:

"Bung Agam meninggal dunia tadi malam jam 01.00 di verplichthuis -- rumah jompo
tempat tinggalnya di Amsterdam selama ini".

Berita ini dikonfirmasikan oleh surat Mas Hersri Setiawan yang bersama-sama Bung
Sulardjo sebagai pihak yang bertanggungjawab dalam pengurusan jenazah Agam
Wispi. Kak Setiawan mengatakan dalam surat pandaknya bahwa jenazah Bung Agam
akan dikremasi -- hanya tanggalnya belum bisa mereka tetapkan. Agam Wispi
meninggal "pada jam 12.00 tengah malam tadi -- justru pada saat ganti tahun",
tulis Hersri (01 Januari 2003).

Berita dari kedua kawan ini mengingatkan aku kata-kata Agam Wispi yang dalam
pergaulan sehari-hari biasa dipanggil Bung Agam, disingkat Gam atau Wispi,
disingkat Wis. Hanya yang paling sering digunakan oleh teman-temannya adalah
Agam atau Gam. Kata-kata Agam berikut ini, ia tulis dalam sebuah sanjak "Ode
Untuk Pak Tuo" alias M.Husein seorang sahabat dari Minang yang juga telah lama
meninggal juga di negeri Belanda:

"bintang-bintang pudar di langit pagi musim panas
ah, mari berjalan dan berjalan sampai usia lemas"

Agam telah menepati ajakannya "mari berjalan dan berjalan sampai usia lemas"
ketika tadi malam pada pergantian tahun, ia yang dalam kata-katanya sendiri:

".........................
kau menutup mata
mati
sederhana begitu saja"

("Terzina Maut In Memoriam Yubadi Tarmidi"di dalam: "Di Negeri Orang, Puisi
Indonesia Eksil", Amanah Lontar & Yayasan Sejarah Budaya Indonesia, Amsterdam,
April 2002, hlm.37).

Kemarin malam Agam telah "menutup mata/mati/sederhana begitu saja" dengan "badan
sebatang di rantau orang"(dari sanjak A.Wispi: "Keluarga"). Agam sang penyair
itupun sampai sudah di ujung perjalanannya, dan perjalanannya berakhir di
"rantau orang" jauh dari tanahair dan pepohonan hijau tanahairnya yang inipun
juga sudah berada dalam ramalan Agam beberapa tahun dahulu:

"di mana kau
pohonku hijau?
dalam puisimu, wahai perantau
dalam cintamu jauh di pulau"

(dari sanjak: "Pulang")

Agam mengakhir perjalanannya dalam keadaan:

"indonesia! hanya tinggal kenangan"

(dari, Agam Wispi, "Ode Untuk Pak Tuo")

Jenazah Agam pun diurus oleh teman-temannya seperti halnya dengan teman-teman
se"eksil" Agam seperti halnya dengan pengurusan mereka yang telah meninggal di
berbagai negeri sebelumnya.

Mati seorang diri begini sebagai keadaan yang akan ia hadapi, sudah sejak lama
Agam lukiskan sendiri dalam sanjaknya:

"dan suatu hari: kau mati
dalam sunyi
tentu! sendirian: sendiri"

(dari:"Terzina Maut, In Memoriam Yubadi Tarmidi").

Rasa sendirian ini juga diungkapkan oleh Agam dalam kumpulan sanjaknya "Sahabat"
yang ia tulis sepulang dari Republik Demokrasi Djerman, serta dalam sanjaknya
"Pulang" yang ia tulis sebagai tanda terimakasih kepada Goenawan Mohamad yang
telah mengundangnya ke Indonesia:

"puisi, hanya kaulah lagi tempatku pulang
puisi, hanya kaulah lagi pacarku terbang"

Kalau sekarang jenazahnya diurus oleh kawan-kawannya seeksilan, hal inipun
sudah berada dalam perhitungan kesadaran Agam ketika ia menulis tentang arti
seorang sahabat baginya:

"ketemu sahabat lama mahabagia daripada
di surga mana pun!"

(dari: "Dua Sahabat Lama").


PERANAN PENYAIR DI MATA AGAM WISPI:

Agam memang lebih dikenal sebagai penyair karena karya yang lahir dari tangannya
terutama puisi dan sebuah karya drama berjudul: Gerbong. Artikel atau esei
sangat sedikit dia tulis untuk tidak mengatakan tidak pernah ia tulis. Pikiran
dan perasaannya lebih banyak ia tuangkan melalui media puisi.

Apa arti puisi dan peranan penyair dalam kehidupan bagi Agam? Hal inipun kita
dapatkan melalui puisi-puisinya, antara lain:

"asahan, penyair adalah pendahulu semangat zaman
tak ada tokoh politik berani minta maaf
kepada mendelstam
karena serangkum sajaknya mati disiksa
di siberia buangan"

(dari: Agam Wispi, "Kepada Penyair Asahan").

Sebagai "pendahulu semangat zaman" ini, Agam sebagai penyair selalu
memperhatikan dan menaruh harapan pada generasi muda sebagai pelanjut dan
pelaksana mimpi-mimpi manusiawi yang belum tunai, tentang mana antara lain ia
berkata:

"gugur bunga dari tampuknya
di musim nanti
berkembang lagi"

(dari: Agam Wispi, "Gugur Bunga")

Sanjak ini oleh komponis Utomo (bukan nama benar dan komponis Jakarta inipun
juga telah meninggal di Jerman Barat) telah dibuatkan lagu.

Hanya, bunga yang gugur dari tampuknya itu akan bisa berkembang lagi di musim
nanti apabila manusia dari generasi yang diharapkan Agam ini mampu:

"menziarahi dirinya sendiri
membangkitkan dalam diri apa-apa yang sudah mati"

(dari: Agam Wispi, "Ziarah")

Menurut Agam hanya dengan syarat demikianlah kita bisa menjadi satu sosok atau
generasi yang selalu menyala bagaikan matahari kedinginan sekalipun di tengah
salju berkilauan.

"matahari kedinginan
di atas salju berkilauan"

(dari: Agam Wispi, "Untuk Sitor")

Memang kedinginan karena suasana di luar yang mengitarinya tapi ia tetap
matahari yang memancarkan sinar dan:

"......................
njalanya
tak terpadamkan
hingga kini
nanti
dan kapanpun
njalanya panas menempa
badja kemerdekaan
badja kehidupan
ketika kita tidak lagi bertanja
pilih njala atau pilih badjanya?
dan kita merebut kedua-duanja"
..............................

(dari: Agam Wispi, "Surabaja", 1965).
..................

Boleh jadi lukisan ini juga menggambarkan wajah jiwa Agam hingga akhir
perjalanannya ketika "usianya lemas" dan "menutup mata/mati/dalam sunyi?"

Menjawab pertanyaan ini, saya ingin mengutip apa yang ia tulis di rembang petang
usianya melalui sanjak "Ode Untuk Pak Tuo":

"di musim semi yang akan datang
taburkan bunga cinta persahabatan"

Sebagai penyair yang digambarkannya sebagai pejalan yang melangkah mendahului
zamannya, Wispi kembali dan lagi-lagi berkata bahwa matahari itu tetap ada
sekalipun nampak kedinginan di tengah salju. Musim semi akan tiba sekalipun
sekarang kita berada di puncak musim dingin. Keyakinan ini didasarkan pada
pengamatan betapa banyaknya "bintang-bintang berjatuhan di langit malam/fajar
merekah...", betapa banyaknya "bintang-bintang pudar di langit pagi musim panas"
karena itu bersama T. S. Eliot yang dikutip oleh Agam dalam sebuah sanjaknya,
menawarkan sebuah jalan keluar sesuai peranan penyair "mari berjalan dan
berjalan sampai usia lemas". Untuk menjadi "matahari yang selalu menyala" dan
mencapai "fajar merekah" dituntut ketahanan menghadapi dan mengalahkan dingin.
Tanpa ketahanan dan kesanggupan ini kita tidak bakal mampu menempuh jalan yang
juga oleh Arief Budiman disebut sebagai "jalan sunyi".

SELINTAS PERJALANAN HIDUP AGAM WISPI:

Agam lahir pada tanggal 31 Desember 1930 di Aceh. Memulai kariernya sebagai
wartawan dan redaktur kebudayaan di "Harian Kerakyatan" dan "Pendorong"
Medan dari tahun 1952 sampai 1957. Sewaktu pindah ke Jakarta tahun 1957, Agam
menduduki kedudukan yang sama sebagai redaktur kebudayaan di "Harian Rakjat"
sampai tahun 1962 (terseling antara 1958-1959, Agam belajar jurnalistik terutama
masalah percetakan, di Berlin). Sepulang dari Jerman Timur ia menulis kusanjak
"Sahabat". Antara tahun 1962 sampai 1965, Agam Wispi tercatat sebagai perwira
Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) sekaligus dikenal sebagai wartawan dan
penyair dengan sanjak yang paling banyak dibacakan di mana-mana: "Demokrasi!"
yang antara lain berbunyi :

"jenderal
telah kupasang bintang-bintang di dada kalian
dari rejam tuan tanah dan lintah
kutuntut bintangmu: mana tanah!"

Pada bulan Mei 1965, Agam Wispi diundang ke Vietnam selama beberapa bulan dan
sempat bertemu dengan Ho Chi Minh dan karena terjadinya Tragedi Nasional
September 1965, sejak itu sampai Agam mengakhiri perjalanan hidupnya kemarin
malam, Agam tak bisa kembali ke Indonesia dan menjadi orang "klayaban" di luar
negeri.

Dari 1965 sampai Desember 1970, Agam bermukim di Republik Rakyat Tiongkok. Lalu
pada 1973 melalui Uni Soviet, sampai 1978 Agam bermukim di Leipzig, Jerman
Timur. Di kota ini -- kota yang tidak asing baginya, Agam menggunakan kesempatan
untuk belajar sastra di Institut für Literatur dan bekerja di perpustakaan
sebagai pustakawan di Deutsche Bucheret. Selama berada di kota ini pula , Agam
menulis kusanjaknya "Eksil" yang belum diterbitkan sampai sekarang dan
menyelesaikan terjemahan Faust karya W. Goethe serta sudah diterbitkan di
Indonesia.

Pada tahun 1988 Agam bermukim di Amsterdam sampai ia meninggal. Atas undangan
Goenawan Mohamad, Agam berkesempatan pulang (berkunjung sebentar) ke Indonesia
dan dari perjalanan ini ia menulis sanjak "PULANG" yang ia dedikasikan kepada
Goenawan Mohamad.

Sanjak Agam yang paling sering dibacakan di mana-mana sampai pada tahun 1965
sebelum Tragedi Nasional September 1965 adalah: "Demokrasi", "Matinya Seorang
Petani" dan "Latini" sama populernya dengan sanjak S.W. Koentjahyo: "Aku Anak
Tionghoa", "Tak Seorang Berniat Pulang" karya HR Bandaharo atau "Yang
Bertanahair Tapi Tak Bertanah", karya Sabarsantoso Anantaguna.

BEBERAPA KARYA-KARYA AGAM WISPI:

Seperti kukatakan di atas, Wispi terutama banyak menulis syair daripada
bentuk-bentuk sastra lainnya. Waktu di Medan, ia telah menulis sebuah drama
Gerbong yang agaknya merupakan karya drama tunggalnya karena setelah itu Agam
memusatkan perhatian pada penulisan puisi. Sanjak-sanjak ini terkumpul baik
dalam bentuk antologi bersama maupun dalam bentuk antologi tunggal alias
perorangan.

Yang dalam bentuk antologi puisi bersama antara lain: "Matinya Seorang Petani"
Bagian Penerbitan Lembaga Kebudayaan Rakjat, Jakarta, 1961); "Kepada Partai"
(Jajasan Pembaruan, Djakarta,1965); "Viva Cuba!",(Jajasan Pembaruan, Jakarta,
1963); "Nasi dan Melati" (tidak ingat penerbit dan tahunnya); "Di Negeri Orang,
Puisi Penyair Indonesia Eksil", (Amanah Lontar Jakarta dan Yayasan Sejarah
Budaya Indonesia, Amsterdam, April 2002); "Berdua Sejalan" (bersama Asahan Aidit
-- belum terbit).

Sedangkan antologi perorangan antara lain: "Sahabat" , "Yang Tak Terbungkamkan"
(Bagian Penerbitan Lembaga Kebudayaan Rakjat, Jakarta, 1965), Kronologi In
Memoriam 19853-1994, Eksil (belum terbit) dan karya-karya terpencar lainnya di
berbagai majalah dan suratkabar baik di tanahair maupun di luar negeri. Sejak
bermukim di Belanda, Agam turut serta menangani dan menyumbang majalah
kebudayaan :Arah dan Kreasi.

BEBERAPA PUISI AGAM WISPI:

Untuk lebih mengenal Agam sebagai penyair di bawah ini, aku sertakan beberapa
puisi almarhum:

LATINI

latini, ah latini
gugur sebagai ibu
anak ketjil dalam gendongan

latini, ah latini
gugur diberondong peluru
baji mungil dalam kandungan

tanah dirampas
suami dipendjara
tengkulak mana akan beruntung?

desa ditumpas
traktor meremuk palawidja
pembesar mana akan berkabung?
gugur latini sedang masjumi berganti baju
gugur pak tani dan dadanya diberondong peluru
gugur djenderal, mulutnya manis hatinya palsu

beri aku air, aku haus
dengan lapar tubuh lemas
aku datang pada mereka
aku pulang padamu
sedang tanah kering dikulit
kita makan samasama
kudian muram
latini, ah latini
tapi, ah, kaum tani
kita yang berkabung akan mebajarnya suatu hari

(Dari antologi:"Matinya Seorang Petani", Bagian Penerbitan Lembaga Kebudayaan
Rakjat", Jakarta ...)



MATINJA SEORANG PETANI

(buat L. Darman Tambunan)

1.

depan kantor tuan bupati
tersungkur seorang petani
karena tanah
karena tanah

dalam kantor barisan tani
silapar marah
karena darah
karena darah

tanah dan darah
memutar sedjarah
dari sini njala api
dari sini damai abadi

2.

dia djatuh
rubuh
satu peluru
dalam kepala

ingatannya melajang
didakap siksa
tapi siksa tjuma
dapat bangkainja

ingatannja kedjaman-muda
dan anaknja jang djadi tentera
-- ah, siapa kasi makan mereka? --
isteriku, siangi padi
biar mengamuk pada tangkainja
kasihi mereka
kasihi mereka
kawan-kawan kita
suram
padam
dan hitam
seperti malam

3.

mereka berkata
jang berkuasa
tapi membunuh rakjatnja
mesti turun tahta

4.

padi bunting bertahan
dalam angin
suara loliok disajup gubuk

menghirup hidup
padi bunting
menuai dengan angin

ala, wanita berani djalan telandjang
di sitjanggang, di sitjanggang
dimana tjangkol dan padi dimusnahkan

mereka jang berumah apendjara
baji digendongan
djuga tahu arti siksa

mereka berkata
jang berkuasa
tapi merampas rakjatnja
mesti turun tahta
sebelum dipaksa

djika datang traktor
bikin gubuk hantjur
tiap pintu kita gedor
kita gedor.

-----------
Keterangan:
+ Loliok ialah suling dari batang padi dalam sebutan kanak-kanak

(Sumber: Antologi Bersama, "Matinya Seorang Petani").

Kedua puisi Agam tersebut berlatarbelakangkan sejarah perlawanan kaum tani dalam
mempertahankan tanahnya dari penggusuran. "Latini" mengambil latarbelakang kasus
konflik di Kediri sedangkan "Matinja Seorang Petani" berlatarbelakangkan konflik
di Tanjung Morawa, Sumatera Utara.

Adapun sanjak dua baris berikut adalah kesimpulan Agam terhadap kehidupan
"klayaban"nya di luar negeri.

Untuk Sitor

matahari kedinginan
di atas salju berkilauan

(Sumber: Antologi Bersama, "Di Negeri Orang. Puisi Penyair Indonesia Eksil",
Amanah Lontar Jakarta & Yayasan Sejarah Budaya Indonesia, Amsterdam, April
2002).

Selamat jalan Bung Agam. Tahun Baru 2003 diawali dengan Indonesia kehilangan
seorang penyairnya. Cinta kita kepada tanahair dan mimpi manusiawi tidak
memerlukan pengakuan resmi.Mereka adalah pilihan dan janji pada diri kita
sendiri. Cinta dan mimpi manusiawi ini telah membuat kita jadi "klayaban" dan
cinta serta mimpi manusiawi ini seperti "matahari" sekalipun "kedinginan" oleh
kilauan salju musim dingin, tetap memancarkan sinar. Kau sudah membuktikannya
sampai di ujung perjalananmu yang sepi.

Perjalanan 2003.

Wednesday 26 January 2011

KEPADA PARTAI : Kumpulan Sajak

KEPADA PARTAI
Kumpulan Sajak

Surabaja


tiap kita djumpa
surabaja
aku selalu remadja
gembira kepada kerdja
pasti kepada harapan
surabaja
laut dan kota
rata


surabaja bau keringat
bau kerdja
ketegarannja harum semerbak
dan malamnja malam bertjinta
deritanja
terisak-isak
dalam dengus napas
darah bergelora
tjemara bersiut
meliut semampai
wilo merunduk
merenung sungai
besok ke laut
dia akan sampai


tapi ini!
malam pelaut
buih hidup
jang menggapai!
surabaja
lebih remadja
dalam bantingan usia


kutjinta surabaja
sebab dia kota kelasi
kurindukan surabaja
sebab trem berlari-lari
(djakarta? Term diganti impala!)
kusukai surabaja
sebab betja dan taman
ditepi kali
kubanggakan surabaja
sebab dia kota berani
kusenangi surabaja
sebab kedjantanan bernjanji
kepahlawanan bergolak
dari kantjah-kantjah jang menggelegak
dan tahun-tahun kenangan
jang diwariskan
mogok pertama
buruh kereta api
zeven provincien
buruh pelabuhan dan pelaut
bersatu hari
disiram hudjan peluru
dan dentjing belenggu
rantai besi, bendera pertama
internasionalisme proletar
dipantjangkan
proklamasi ? sitiga-warna diturunkan
dan dalam pelukan sang saka
dipandjatkan kepuntjak perlawanan
kemudian
diantara serpihan bom
jang mengojak
dan kota jang terbakar
terbakarlah semangat pertempuran
njalanja
tak terpadamkan
hingga kini
nanti
dan kapanpun
njalanja panas menempa
badja kemerdekaan
badja kehidupan
ketika kita tidak lagi bertanja
pilih njala atau pilih badjanja?
dan kita merebut
kedua-duanja!
djauh mengatasi segala
pekik pilu dan djerit sendu
ratapan kehilangan dan erang kesakitan
adalah bagai ibu jang melahirkan baji
jang kemudian memeluk dan menjusui
serta mengusap-usapnja dengan kesajangan kebahagiaan
disitu Hari Pahlawan
dilahirkan
kko pesiar
menunggu trotoar
kelasi-kelasi
melambaikan dasi
jang bernama “kesenangan” memperpandjang umurnja
maka itu djadi terlambat
tapi bus dan truk tidak menunggu
ajo, pulang djalan kaki!
tjinta sudah ketinggalan
ditembok-tembok kota
o, ketika kapal merapat lego djangkar
pelabuhan mengulurkan tangannja
dan lampu kota mengerdipkan matanja
dan bus-bus kadet menderu
megah
dan di tundjungan sikadet melangkah
gagah
putih-putih
dan gadisnja dua
jang satu pedang jang satu wanita
dan si gadis punja mata kedjut pelita
dan si pedang punja mata gelegak darah mudah
si kadet djua permata dari lautan
bukan main!
namun adakah permata berkilau
tanpa sebersit tjahja mentjekau?
dan tiadalah angkatan perang
tak bertulang-punggung
kukuh
merekalah
kelasi dan pradjurit
darat laut udara
polisi
milisia dari rakjat pekerdja
tangan-tangan badja jang keras menghentam
tidak perduli bom nuklir
tapi tangan!
tangan jang menentukan
jang menghajunkan pedang kemenangan
selama di djantungnja
debur-mendebur
gelora repolusi
mengabdi rakjat pekerdja
sokoguru
buruh
tani
matahari tenggelam
di djembatan wonokromo
surabaja berdandan
bagi malam berdesau
tjemara
tjadar kota
jang disingkapkan
surabaja
napas merdeka
jang dipertaruhkan
pahlawan-pahlawan lahir
pada djamannja dan diukur
oleh pengabdiannja
kepada rakjat
dan hari depannja
djaman lampaupun berlalu
djaman baru datang
melahirkan pahlawan baru
namun pahlawan sebenarnja
hanja tumbuh dalam lumpur dan debu
pembesar-pembesar boleh bermatian
orang-orang besar boleh berlahiran
tenaga segar dari kepahlawanan
djuga sekarang
djika muda-mudi berperasaan
merasakan hidup sampai ke tulang-sumsumnja
dan jang tua-tua teguh
membatu karang oleh hempasan gelora
merekalah orangnja
dan kebanjakannja
tak bernama
merekalah petani jang dirampas tanahnja
kembali merebutnja dari setan-setan desa
mereka jang berdjuang membebaskan dirinja
dari belenggu perbudakan tanah
dan buruh-buruh pelabuhan buruh pabrik
jang beruntun-rutun pagi hari
berkilat-kilat oleh keringat
dan hitam oleh matahari
pengangkut pasir jang menunggu
perahu menghajut ke gunung sari
betja jang berkerumun di lubuk djalanraya
kko – kelasi – pradjurit
jang ingat kepada asalnja
pegawai-pegawai jang sadar kepada klasnja
(bukan pemabok “karyawan jang mengingkari “makan-gadji”)
si miskin-kota jang kehilangan desanja
dan mengisi sudut-sudut gelap kota
dengan kerdap-kerdip pelita
petani-petani jang dirampok panennja
dan tepat menghidjaukan bumi, memerahkan tanah
pemuda peladjar mahasiswa jang membakar buku USIS*
dan mengusir setan-setan ilmu dari amerika imperialis
untuk mematahkan belenggu kebodohan
ratjun kemerdekaan jang berbungkus kenikmatan hampa
dan surabaja
berderap dalam tempik-sorak
meski bau tengik dan sarang malaria
sama banjak njamuk dan lalat dimana saja
tunggu! suatu hari pernjataan perang
djuga kepadamu!
disini ketegaran berkata sederhana
keras dan langsung kehulu-hatimu
jang sudah mati, ja sudah!
jang hidup sekarang, menjiapkan repolusi
dimana masing-masing beri djanji
merdeka atau mati!
bagi keringat kaum buruh
bagi tanah-tanah petani
bagi kepertjajaan kepada harapan
MANUSIA
ja, sekarang kita bertanja
sudahkan tanah bagi petani?
sudahkan keringat bagi kaum buruh?
jang sudah – sedikit!
jang belum – banjak!
menteri-menteri tetaplah turun naik
jang belum, kepingin djadi menterei
jang djelek, tak mau turun
jang baik, masih di podium
dan rakjat tetap menuntut: kabinet nasakom!
dan kabir-kabir main sunglap dengan peluru, wang, dan senjum
dengan tuantanah dan imperialis?
seketurunan! satu medja-makan dan sama-sama minum dan pemimpin-pemimpin munafik menghamburkan budi ikut berteriak “ganjang malaysia! Berdiri di atas kaki sendiri!”
kemak-kemik pantjasila, manipol, djarek, sukarnoisme
tapi main mata dengan modal monopoli
gudang ratjun komunisto-phobi
buruh phobi
tani phobi
partai phobi
imperialisme amerika? Tunggu dulu!
dan sardjana-sardjana membalik-balik bukunja
tapi tak mengenal aspirasi tanahairnya sendiri
dan seniman memabokkan diri dengan kepuasan murah
tak tahu kemelaratan dan kebangkitan rakjatnja sendiri
dan politikus mentjatut teori dengan “ala indonesia”
munafik-munafik ini mau melupakan sumbangan dunia
kepada sedjarah dan perdjuangan klas
sungguh, kekerdilan yang memalukan dan hina
adalah mereka jang mau menutup laut dengan telapak tangannja
laut daripada kebenaran perdjuangan klas
o, sudahkah keringat bagi kaum buruh?
sudahkah tanah bagi kaum tani?
jang menggarap!
jang menggarap!
jang menggarap!
betapa berbelit-belit
plintat-plintut
tapi adakah jang lebih tegas dari kebenaran?
sebab dia tak dapat digeser dari relnja repolusi?
abad-abad telah menjumbangkan lokomotip-lokomotip raksasa
jang menderu kentjang menembus belantara kegelapan
dengan perdjuangan klas dan repolusi
dengan marx, engels, dan lenin
dengan mau tje-tung, bung karno, dan aidit
dengan diri sendiri; rakjat tertindas
antara sabang dan sukarna-pura
di seluruh dunia dimana sadja


o, djanganlah hanja membaca hurup-hurup
tapi tak menangkap hakekat dan arti
o, djanganlah sungai lupa kepada laut
dan kemerdekaan tinggal abu tanpa api
sebab kami
surabaja
sudah banjak mati


sebab kepahlawanan sehari-hari
tidak pada jang sudah mati
berkata pemimpin besar repolusi
djaman ini djaman konfrontasi
pemimpin tengahan bitjara lain lagi
katanja: perdamaian universil dan konsepsi


dan perdamaian djadilah dewi ketjantikan
dan pedang kemerdekaan ditumpulkan


maka konsepsipun berlahiran diatas kertas
dan kertas-kertas berhamburan setjepat inflasi
mereka jang bekerdja dilaparkan oleh djandji
mereka jang malas berpikir tanpa batas


jang tak tahu ekonomi politik
mau bikin ekonomi politik
maka begitu naik djadi menteri
harga beras melambung tinggi
maka berkatalah rakjat suatu hari
bisa sekarang bisa nanti
stop!
mau konsepsi apa lagi?
kami sudah banting kemudi ke u.u.d empatlima
kami sudah bikin manipol dan nasakom
land reform dan dekon
ajo, konfrontasi
melawan tudjuh setan-desa
imperialis amerika
atau
sebelum roda ini melindas
minggir!


kami mau repolusi
kami mau buku dan pedang ditangan
kami mau tanah dan bedil dibidikkan
kami mau palu dan meriam didentumkan
kami mau pukat dan kapal-selam berkeliaran
kami mau indonesia dan rakjatnya jang gesit berlawan
bagi repolusinya dan bagi dunianya
bagi dunia dan bagi repolusinya


dan surabaja
senatiasa remadja
dalam bantingan usia
berdjuang
beladjar
kerdja


kutjinta surabaja
dia kota kelasi
kurindukan surabaja
sebab trem berlari-lari
kusukai surabaja
betja dan taman ditepi kali
kubanggakan surabaja
kota berani mati
kusenangi surabaja
kedjantanan jang bernjanji


surabaja
menghadang pukulan
menghantam
bertubi-tubi
disini tjemara bersiut
meliuk semampai
dan wilo merunduk
merenung sungai


kelasi, djika besok kelaut
djangan lupa kepada pantai



Agam Wispi



Keterangan: *USIS adalah United States Information Service, aparatus propagandanya Amerika Serikat untuk mengedepankan kepentingan nasionalnya ke negara-negara asing.

KEPADA PARTAI : Kumpulan Sajak

KEPADA PARTAI
Kumpulan Sajak


dia jang lahir dalam kantjah perdjuangan
kini sudah besar dan mendjadi dewasa;
dia jang dibesarkan dalam dadung pertempuran
beribu-ribu gugur, namun berdjuta mengangkat pandjinja.


orang-orang munafik dan kerdil pikiran sia-sia mengintip rahasia:
mengapa sedjarah berpihak kepada klas jang paling muda?
mengapa komunisme kian merata, terudji, dan ditjinta?
dan bagi rakyat pekerdja, pedjuang proletariat ubanan tetap remadja?


siang bertukar malam dan malam berganti pagi
ribuan tahun manusia terbenam di lumpur perbudakan
dan di kegelapan pikiran itu marx dan engels memertjikkan api
dan di tiap negeri berkumandanglah lagu kebangkitan.


seorang egom mati di tiang-gantungan
seorang aliarcham tewas di tanah-buangan;
generasi baru datang, beladjar tentang keberanian dan kearifan
satu demi satu musuh dikalahkan dan satu demi satu direbut kemenangan.


marxisme-leninisme menemap perdjuangan kelas
dan perdjuangan klas menjemai marxisme-leninisme;
o, repolusi tjermelang, jang sedang disiapkan nasion-nasion tertindas
dalam abad ini djuga kita punahkan imperialisme.


pada hari ke-empat-puluh-lima
dia sudah besar dan dewasa;
diutjapkan atau tidak, rakyat pekerdja menjebut namanja
sederhana dan terang: Partai Komunis Indonesia



Agam Wispi