Showing posts with label Antropologi. Show all posts
Showing posts with label Antropologi. Show all posts

Monday 20 December 2010

Tentang Ateisme

Tentang Ateisme

Hendar Putranto





1.Persoalan Ateisme Ludwig Feuerbach & Sigmund Freud

Pertama-tama, saya akan membahas kerangka pokok ateisme Feuerbach terlebih dahulu, sebelum melanjutkan ke konsep ateisme dari Freud. Baru setelah itu saya akan memperbandingkan keduanya dan memberikan satu-dua catatan kritis.
*) Filsafat Feuerbach bertolak dari pembalikan terhadap filsafat Hegel. Menurut Feuerbach, yang menjadi hakikat real absolut bukanlah Roh (Allah), seperti dinyatakan Hegel, akan tetapi manusia. Tesis utamanya: “Rahasia teologi (ilmu tentang Allah) adalah anthropologi (ilmu tentang manusia)”
*) Berdasarkan tesis ini, Feurbach lalu menjelaskan genealogi (asal-usul) agama sebagai kepercayaan kepada Tuhan, yang lalu dikenal sebagai teori proyeksi. Menurutnya, Tuhan adalah proyeksi manusia. Manusia melemparkan keluar hakikat dan sifat-sifatnya sendiri. Dan manusia lalu memandang produk keluaran (proyeksi) nya ini sebagai entitas mandiri yang terpisah daripadanya, dan lalu disebutnya TUHAN, dan produk ini lantas disembah. Singkatnya: paham Allah hanyalah hasil proyeksi manusia, citra, sifat-sifat, dan keinginan ‘umat manusia’ (Gattung) itu sendiri yang dilemparkan keluar (diproyeksikan). Dikatakan ‘umat manusia’ di sini karena Feuerbach percaya bahwa bukan individu yang terbatas yang hebat, yang adiluhung, melainkan ‘umat manusia’ sebagai spesies, gabungan umat manusia seluruhnyalah yang hebat dan melampaui individu-individu yang terbatas. Demikianlah secara ringkas dan sederhana pandangan Feuerbach tentagn agama, dan Allah sebagai proyeksi manusia. Dengan demikian, ateisme Feuerbach adalah antropoteisme. Artinya ajaran mengenai manusia-sebagai-Allah. Dalam bahasa Latin, homo homini deus est.
*) Inilah ateisme Feuerbach yang ia rumuskan dalam adikaryanya, The Essence of Christianity (1841). [1] Buku yang kontroversial ini tidak hanya membahas asal-usul paham tentang Allah yang ditawarkan oleh agama secara abstrak dan ahistoris, namun secara lebih tajam, Feuerbach mengkritik agama Kristiani sebagai agama yang tidak pro-human, yang mereduksi Allah menjadi Allah pikiran, dan menanggalkan ketubuhannya, darah-dagingnya (prinsip sensualisme). Allah semacam inilah yang mau ditolak oleh Feuerbach. Baginya, selain teori proyeksi di atas, Allah harus ditemukan dalam afirmasi terhadap perasaan manusia (“God is man’s highest feeling of self, freed from all contrarieties or disagreeables”). Ada manusia bukan pertama-tama terletak pada kapasitas akal budinya (cogito, ergo sum), namun pada kapasitas merasakan (sentio, ergo sum).
*) Dorongan beragama pada Feuerbach adalah dorongan untuk mencari dan meraih kebahagiaan. Egoisme adalah dasar dan hakikat agama. Ini adalah perkembangan lanjut pandangan Feuerbach, dari The Essence of Christianity.

#) Sementara itu, pandangan Freud tentang agama bisa diringkas menjadi 3 poin kunci :
(1) Metode atau kerangka teori yang digunakan Freud untuk merunut asal-usul agama adalah psikoanalisa. Dan psikoanalisa didaasrkan atas teori kecurigaan. Bagian psyche manusia yang ditelaah adalah bagian ketidaksadaran (unconscious). Psikoanalisa mencurigai lapisan-lapisan kesadaran sebagai yagn menyembunyikan dorongan-dorongan yang jauh lebih urgen dan menentukan hidup manusia yang berasal dari wilayah bawah sadar. Misalnya, suara hati oleh Freud dilihat sebagai super ego yang bersifat represif terhadap id. Super ego adalah kesadaran yang memaksakan suatu aturan atau moralitas yang berasal dari luar diri manusia, dan ini bisa mengambil bentuk norma-norma masyarakat atau juga norma-norma agama. Yang baik dan buruk adalah apa yang dianggap baik dan buruk oleh masyarakat. Maka tiadk ada standar moral yang mutlak yang dapat dijadikan patokan untuk mengukur kadar moralitas seorang individu. Pandangan semacam ini memang bisa menggiring orang untuk sampai pada ateisme karena Tuhan lalu bisa dikatakan sebagai super ego yang memaksa, ungkapan moralitas masyarakat yang relatif dan tidak bisa dijadikan patokan mutlak yang kepadanya kita harus mengikuti, percaya dan mengimani.
(2) Dengan bertolak dari pengamatan atas perilaku neurotik obsesif individu, Freud lalu membandingkannya dengan perayaan dan tindakan religius dalam ritual agama. Menurutnya, ritus agama adalah semacam tindakan kompulsif yang dilakukan oleh orang tidak ngeh akan makna sejatinya (makna simboliknya). Ritual yang berulang, yang disertai dengan rasa bersalah jika si orang tidak menjalankannya, adalah kekuatan agama untuk menekan / merepresi dorongan instingtual manusia. Ini terjadi di level bawah sadar, hingga mengkristal dan menjadi tindakan neurosis obsesif. Akhirnya Freud menarik kesimpulan bahwa “praktek-praktek agama itu paralel dengan gejala-gejala orang yang sakit jiwa (obsessional neurosis) dan agama adalah universal obsessional neurosis.” Perbedaannya adalah bahwa kalau gejala sakit jiwa itu bersumber dari insting seksual yang direpresi, kalau agama bersumber dari egoisme (egoistic sources).
(3) Dalam The Future of an Illusion, Freud mengatakan bahwa agama adalah “ilusi, pemenuhan atas dorongan / keinginan terdalam, tertua dan terkuat dari umat manusia.” Keinginan macam apa? Keinginan infantil seorang anak yang tak berdaya menghadapi kejamnya hidup, dan yang haus akan perlindungan dari sosok kuat. Keinginan ini berakar pada konflik kanak-kanak yang belum selesai dan kompleks ayah yang tak terpecahkan. Agama lahir sebagai keharusan untuk survival, melawan kekuasaan adidaya dari figur Bapak yang berkuasa dan kejam. Manusia yang tak berdaya menghumanisasikan dan mempersonifikasikan kekuatan adidaya ini dalam figur Bapak. Secara simbolik bisa dibaca bahwa Figur Bapak dalam agama yang dimaksud oleh Freud adalah figur Bapak yagn ditemukan dalam agama Kristen, dan penelitiannya pada sejumlah agama asli yang kuat dipengaruhi budaya patriarkal. Bagaimana dengan sosok Tuhan dalam agama-agama lain, seperti Hindu dan Budha? Freud tidak akan bisa menjelaskan dan mencocokkan teorinya dengan kenyataan politeis (Hindu), dan ketiadaan / kekosongan (konsep Nirwana dalam Buddha). Kekuatan teori Freud adalah sekaligus kelemahannya: Tuhan melulu digambarkan sebagai Tuhan yang personal yang hadir dalam figur Bapak yang keras dan menindas.

Karena itu, dengan membandingkan konsep agama dan pandangan tentang Tuhan dari Feuerbach dan Freud, orang bisa sampai pada kesimpulan bahwa (1) Tuhan itu tidak lebih dari proyeksi manusia saja yang tidak aman dengan dirinya sendiri dan merindukan kekuatan dari luar yang bisa meneguhkannya. (2) Psikogenesis agama adalah egoisme manusia. (3) Sosok Tuhan yang dikritik oleh keduanya adalah Tuhan yang personal, dan sekaligus Tuhan yang merepresi kebebasan manusia untuk menjadi dirinya sendiri. Namun, kedua-duanya menurut saya terlalu mereduksi gambaran tentang Tuhan. Baik Feuerbach maupun Freud tidak jeli melihat bahwa daya-daya manusiawi yaitu pikiran, kehendak dan perasaan jauh lebih kaya daripada yang mereka gambarkan. Dan bahwa dorongan untuk beragama (dan lalu à religiositas) bukanlah melulu lahir dari egoisme manusia, namun juga bisa karena kepedulian pada sesama yang menderita dan tertindas. Selain itu, betapapun mereka mengkritik agama, nampak bahwa yang mereka kritik adalah segi fungsional dari agama, dan bukan mempertanyakan pertanyaan mendasar agama yaitu apakah Tuhan ada atau tidak ada, dan sekiranya dibuktikan ada (pembuktian Anselmus, Thomas Aquinas), mengapa kita percaya atau tidak percaya padaNya. Filsafat Agama dari Feuerbach dan Freud, adalah filsafat penelanjangan. Mereka tidak berminat untuk mendandani kembali agama yang sudah mereka telanjangi. Ini berbeda dengan kritik Albert Camus terhadap agama yang “masih” menawarkan sesuatu untuk kita perhatikan dan kita lakukan.

2. Menanggapi tantangan ateisme Albert Camus dalam kaitannya dengan masalah absurditas dan penderitaan

Tesis utama pemikiran Albert Camus adalah “Kehidupan itu absurd. Absurditas adalah fakta eksistensial hidup ini.” Pemikiran ini lahir serta bertolak dari kenyataan pahit yang dihadapi Camus dalam hidupnya yaitu Perang Dunia II, wabah penyakit, dan penderitaan serta kelaparan di mana-mana. Camus meratapi ini semua. Ia tidak melihat pengagung-agungan akal budi yang dikobarkan sejak Era Pencerahan (Aufklärung) menjadi jawaban atas kenyataan penderitaan umat manusia ini. Agama pun dinilai tidak berhasil menjawabnya. Tuhan yang dianggap Mahakuasa tidak berbuat apa-apa untuk mengatasi atau mengakhiri penderitaan ini. Tuhan seakan bisu walaupun manusia sudah meratap dan berkeluh-kesah dalam penderitaan. Filsafat yang bertolak dari penggunaan akal budi untuk memecahkan problem yang dihadapi umat manusia, juga gagal memenuhi tugasnya. Umat manusia toh tetap sengsara dan menderita. Para filsuf tinggal aman di menara gading, sambil memperdebatkan konsep-konsep besar seperti substansi, Tuhan, keadilan, kebaikan, kebahagiaan. Namun konsep-konsep itu kering belaka jika ditatapkan pada kenyataan. Camus menggugat. Apakah hidup masih mempunyai makna di hadapan tebaran penderitaan dan kesengsaraan yang dialami umat manusia? Apa artinya kebahagiaan? Apakah hidup layak dijalani? Kalau toh hidup tidak mempunyai makna, apakah hidup masih pantas dijalani? Mengapa orang tidak bunuh diri saja sebagai jalan keluarnya? Tidak mungkin menjawab satu-persatu pertanyaan Camus ini. Namun ada satu hal yang menyergap kesadaran Camus, yaitu perasaan absurd, ketika terdapat rongak ketidakharmonisan antara harapan, cita-cita dan keyakinan-keyakinan manusia yang luhur dan mulia, dengan kenyataan pahit dan tidak terpenuhinya keinginan manusia di dunia ini akan kebahagiaan, keadilan dan kesejahteraan. Dalam moment of lucidity, Camus mengalami absurditas kehidupan yang mempunyai ciri-ciri berikut ini: (1) tak ada makna yang tetap dalam kehidupan, betapapun prestasi dan pencapaian pribadi yang mengagumkan dan menyumbangkan sesuatu untuk kemanusiaan mencapai puncaknya (2) semua hasil kebudayaan manusia akan lenyap (kesenian, musik, patung, Katedral, monumen, dll), begitu juga bumi dan kemanusiaan kita akan dilupakan. Kesimpulan Camus: Kehidupan tidak didasarkan pada suatu makna absolut (dilihat secara metafisik). Semuanya kontingen sifatnya. Sementara saja. Tidak ada nilai abadi yang menjadi pegangan sekali dan selamanya, yang memberikan makna mutlak pada kita baik sebagai individu maupun masyarakat, kebudayaan.
Sebagai tanggapan atas situasi absurd dan perasaan absurd ini, Camus menolak dua jalan penyelesaian, yaitu (1) bunuh diri, dan (2) harapan. Bagi Camus, bunuh diri merupakan pelarian dan reaksi dari pikiran yang lemah. Bunuh diri semakin menegaskan bahwa hidup ini mempunyai nilai mutlak, namun karena tidak bisa dicapai pemenuhannya, maka ditolak. Bunuh diri adalah sebuah tindakan pengecut karena orang tidak berani menghadapi dunia dan kehidupan dengan segala absurditasnya, melainkan menghindarinya. Sementara itu, harapan, yang terkait dengan kepercayaan religius akan keselamatan dan janji hidup bahagia kelak, juga ditolak Camus. Baginya, harapan adalah pelarian.
Camus menawarkan dua solusi “berani” untuk menghadapi absurditas hidup, yaitu (1) pemberontakan (la revolte) dan (2) kecerahan (la lucidité). Pemberontakan adalah konfrontasi yang ajeg dan sadar antara manusia dengan ‘ketidakjelasannya’ (l’obscurité). Pemberontakan adalah suatu sikap teguh terhadap tantangan dan ketegangan serta perjuangan melawan bunuh diri. Pemberontakan adalah counter-suicide. Ia tidak mau menyerah pada pesona jalan pintas ‘bunuh-diri’. Pemberontakan mau menyatakan bahwa perjuangan dan usaha itu sendiri bermakna, dan bahwa pemberontakan melahirkan solidaritas di antara orang-orang yang kesepian dan sendirian menghadapi absurditas hidup ini.Ada dua jenis pemberontakan yang ditawarkan Camus, yaitu (1) pemberontakan historis, dan (2) pemberontakan metafisik. Yang pertama sifatnya partikular-spesifik. Yang kedua jauh lebih radikal dan universal, yaitu protes terhadap kondisi manusia, melawan penderitaan dan kematian, melawan pupusnya keinginan karena dicegat oleh kematian dan nir-makna karena adanya kejahatan.
Mungkin baik jika kita bertolak dari kutipan karya Camus di bawah ini. Dalam bagian akhir Mite Sisifus [2], Camus mengawalinya dengan kalimat berikut:

“Para dewa telah menghukum Sisifus untuk terus-menerus mendorong sebuah batu besar sampai ke puncak sebuah gunung; dari puncak gunung, batu besar itu akan jatuh ke bawah oleh beratnya sendiri. Mereka (para dewa) beranggapan bahwa tidak ada hukuman yang lebih mengerikan daripada pekerjaan yang tak berguna dan tanpa harapan itu.”

Tokoh Sisifus dalam cerita ini mau mewakili gambaran umat manusia yang bekerja keras karena hukuman dari para dewa. Ia mewakili orang yang seolah dipenjara dalam pabrik, rumah tahanan, sekolah, birokrasi pemerintahan, yang terjebak dalam aktivisme, bekerja ngoyo tanpa berharap akan kepuasan yang ia peroleh dari hasil kerjanya, namun dalam kejernihan pikirannya ia tetap merasa tenang. Sisifus adalah makhluk paradoksal. Ia tetap bahagia dalam frustrasinya. Keringat dan letihnya adalah harga yang harus dibayar dari perjuangannya. Ia tetap bekerja mengulangi hal yang sama, sambil menatap ketiadaan ganjaran di puncak gunung perjuangan sana. Dan ini terus berulang selama ia hidup, dihukum di dunia. Sepintas kita diingatkan oleh adagium terkenal dari Nietzsche di sini “Kembalinya segala sesuatu yang sama secara abadi.” (die ewige Wiederkehr des Gleichen)
Di akhir kisah tragis ini, ada ending yang dibayangkan (!) membahagiakan, “Saya tinggalkan Sisifus di kaki gunung! Kita selalu menemukan kembali beban kita. Namun Sisifus mengajarkan kesetiaan lebih tinggi yang menyangkal para dewa dan mengangkat batu-batu besar. Ia juga menilai bahwa semua baik adanya…. Perjuangan ke puncak gunung itu sendiri cukup untuk mengisi hati seorang manusia. Kita harus membayangkan Sisifus berbahagia.”
Apakah perjuangan mencari dan menemukan makna di tengah padang absurditas kehidupan cukup untuk membuat kita mengandalkan kekuatan imajinasi dan lalu dengan lantang berkata, “Ya, aku membayangkan diriku bahagia!” seperti Sisifus? Apakah pedih dan perihnya penderitaan (tidak hanya penderitaan yang menimpa diriku, namun juga penderitaan yang menimpa keluargaku, teman-temanku, saudara-saudara sebangsaku, semua saudaraku: umat manusia yang tinggal di bumi ini : perang, kehilangan orang yang dicintai, bencana alam, penindasan, perbudakan, macam-macam bentuk ketidakadilan, kemiskinan, cacat, penyakit yang tak bisa disembuhkan) cukup untuk mengisi hati seorang manusia dan berikutnya dibayangkan sebagai “kebahagiaan”? Camus tidak menjawabnya secara hitam-putih ya-tidak. Bagi Camus, penerimaan akan absurditas hidup dan tetap terus melanjutkan perjuangan sudah cukup. Tidak perlu mencari cantolan makna dan kebermaknaan hidup dari agama, dari filsafat, dari ilmu pengetahuan (sains), juga tidak dari janji kebahagiaan “nanti, di dunia sana, after-life”. Namun, kita bisa bertanya secara kritis, apakah ini bukan sebentuk fatalisme modern?
Ateisme Camus tidak mudah dijawab secara memuaskan karena ia sudah mengandaikan bahwa hidup ini hanya berlangsung di dunia sini, hic et nunc. Imanensi, dan bukan transendensi. Ketegaran mengiyakan hidup dengan segala kesulitan, tantangan dan absurditasnya. Bukan mimpi dan harapan untuk sampai di “tanah terjanji.” Ateisme Camus menyimpan absurditasnya sendiri, yaitu pemutlakan “pengiyaan terhadap hidup ini” dan “bahwa perjuangan, pemberontakan itu sendiri bermakna.” Tekanan pada Imanensi yang berlebihan, akan melalaikan transendensi, padahal keduanya adalah unsur konstitutif mengadanya manusia---yang begitu dipuji-puji Camus. Transendensi mengandaikan abstraksi atas pembatasan ruang-waktu, yang partikular menuju yang universal. “Brotherhood of men” yang diikat oleh solidaritas yang ditawarkan Camus juga mengandaikan transendensi, betapapun itu baru transendensi horisontal.
Ateisme Camus adalah humanisme yang solider. Humanisme yang terpaku bukan pada ilusi kebebasan (karena ada gantungan makna pada hidup abadi sesuadah mati), namun pada the exercise of freedom. Artinya, kebebasan untuk mencipta kerangka nilai-nilai mu sendiri dan melangkah dengan tegar dan teguh mengiyakannya. Di sini kita bisa memahami kerangka eksistensialisme Camus yang menimba dari filsafat Sartre tentang kebebasan (man is condemned to be free). Jika dibahasakan secara lugas, kebebasan versi eksistensialisme adalah kreasi nilai-nilaimu sendiri dan upaya menuju hidup yang otentik.
Maka, absurditas sebagaimana dimengerti Camus bukanlah seruan untuk mengakhiri hidup ini dengan bunuh diri. Seruan ‘etis’ Camus adalah panggilan untuk menjadi jujur dengan diri sendiri, panggilan untuk menjalani hidup secara otentik---juga meskipun tidak ada janji-janji akan kebahagiaan hidup nanti--- dan seruan untuk mengatasi “cuek”-nya dunia dan ketidakpedulian Tuhan atas kenyataan pahit dan penderitaan. Seruan Camus adalah panggilan untuk bertindak (a call for action) memperbaiki kondisi hidup manusia (conditio humana), dengan segala cara. Namun pertama-tama itu dilakukan dengan melawan ketidakpedulian itu sendiri, yang menjadi akar dari ketidakadilan, penderitaan dan absurditas. Seperti diungkapkan dengan sangat baik oleh Elie Wiesel (pemenang Nobel perdamaian tahun 1986)

The opposite of love is not hate, it's indifference.
The opposite of art is not ugliness, it's indifference.
The opposite of faith is not heresy, it's indifference.
And the opposite of life is not death, it's indifference.


________________________________________
Tags: atheism, freud, feuerbach, camus, absurdity
1 comment share



Perempuan dan Resolusi Konflik
Feb 1, '07 2:44 AM
for everyone
Perempuan dan Perjuangan Mewujudkan Perdamaian:
Model Resolusi Konflik Pasca Orde Baru
oleh Hendar Putranto

Pengantar:
Di manapun di dunia ini, kisah perempuan di wilayah konflik adalah kisah yang terpinggirkan. Secara khusus, di Indonesia, berakhirnya rezim Orde Baru dengan tumbangnya Soeharto rupanya tidak menyurutkan gelombang konflik yang terjadi di Indonesia. Baik konflik lama maupun konflik baru masih saja terjadi silih berganti, di sejumlah tempat yang tersebar di bumi Nusantara ini. Tepatlah jika dinyanyikan kembali lagu “dari Sabang sampai Merauke”, namun bukan lagi lagu yang bercerita tentang keindahan pulau-pulau di Indonesia, dan ‘janji untuk menjunjung tinggi tanah airku’. Melainkan “Sabang sampai Merauke” yang berisi konflik, kekerasan, pertumpahan darah, pertikaian dan penindasan. Dalam tulisan kecil ini, penulis akan mencoba kembali mengangkat kisah itu. Pertama-tama, akan dipetakan wilayah konflik di Indonesia dan sedikit gambaran tentang latar belakang konflik yang terjadi. Kedua, akan dipaparkan bagaimana perempuan menjadi the victimized victim (yang paling korban dari para korban) dalam wilayah konflik. Ketiga, peran perempuan dalam proses penciptaan perdamaian. Keempat, sejumlah tantangan yang dihadapi oleh perempuan dalam mewujudkan resolusi konflik tersebut. Terakhir akan ditutup dengan kesimpulan yang sifatnya masih terbuka.

I) Dari Aceh sampai Papua, berjajar konflik-konflik
Luasnya bentang nusantara dan keanekaragaman bahasa dan budaya yang mengisinya memang sungguh indah dan banyak dipuji-puji siapapun yang pernah berkunjung ke Indonesia. Dari Propinsi yang paling ujung Barat (Aceh), hingga ke ujung Timur (Papua), terbentanglah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Akan tetapi, amat disayangkan bahwa ‘kesatuan’ dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia itu teramat sering diterpa badai konflik, sehingga kesatuan itu pelan-pelan mulai retak. Kemerdekaan bangsa Indonesia dari penjajahan bangsa-bangsa asing yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 rupanya belum sepenuhnya selesai. Bangsa kita masih jauh dari merdeka karena masih terus diguncang konflik bersenjata. Konflik mengguncang tatanan sosial (social order) yang coba direkatkan dalam bingkai kesatuan, baik kesatuan teritorial maupun kedaulatan rakyat. Secara sederhana, konflik sosial bisa dibagi menjadi dua bentuk, yaitu konflik yang bersifat struktural atau vertikal dan konflik yang bersifat horizontal. [1] Konflik vertikal berarti konflik yang terjadi antara kekuasaan pemerintah (aparat negara), terutama dalam hal ini diwakili oleh militernya, berhadapan dengan kelompok-kelompok dalam masyarakat yang tidak mempunyai akses, kontrol dan penentuan kebijakan atas sumber-sumber daya alam. Sementara konflik horisontal berarti konflik yang terjadi antar kelompok-kelompok atau unsur-unsur dalam masyarakat itu sendiri berangkat dari adanya kesenjangan sosial-ekonomi dan dilihat sebagai bagian dari politik identitas. Konflik sendiri dapat terjadi karena berbagai macam alasan. Paling tidak, dalam tulisan ini akan dilihat 3 sumber utama konflik yaitu: (1) konflik berbasis perbedaan etnis (2) konflik berbasis perbedaan agama dan (3) konflik berbasis ketidakadilan sosial, terutama menyangkut akses terhadap pemilikan, pengolahan, dan pendistribusian kekayaan sumber-sumber daya alam. Akan tetapi, 3 sumber utama ini hanyalah gambaran yang sangat abstrak tentang sebab-musabab terjadinya konflik di wilayah Indonesia. Kita masih harus memetakan secara lebih terperinci konflik-konflik sosial yang terjadi di sejumlah wilayah di Indonesia pasca orde baru.
Apa pentingnya pemetaan konflik di Indonesia “pasca orde baru”? Mengingat keterbatasan cakupan dari riset yang kami jalankan, pembatasan periode (waktu) dan wilayah (tempat), amatlah membantu untuk memfokuskan perhatian pada beberapa karakter yang menonjol yang menjadi ciri-ciri konflik sosial di Indonesia. Selain itu, pasca orde baru dipilih sebagai pembatasan karena ciri konflik selama 32 tahun Orde Baru berkuasa (1966 – 1998), karakter konflik yang mencuat adalah karakter struktural, yaitu antara aparat negara dengan elemen-elemen masyarakat yang resisten terhadap pola dan eksekusi kekuasaan negara. Hal ini didukung oleh karakter otoriter dari pemegang tampuk pimpinan tertinggi di Republik Indonesia yaitu Presiden. Sementara, ciri konflik yang mencolok pasca orde baru lebih bersifat horisontal, yaitu konflik antar golongan atau unsur-unsur masyarakat. ‘Pasca orde baru’ juga diibaratkan seperti api dalam sekam, menyimpan potensi konflik yang sudah lama ditahan-tahan oleh warga masyarakat dan baru meledak ketika kekuasaan otoriter Presiden Soeharto dan kroni-kroninya lengser dari tampuk kekuasaan. Konflik sosial pasca orde baru ibaratnya seperti fenomena gunung berapi yang bergejolak di dalam (selama 32 tahun) dan baru meletus ketika kondisi-kondisinya (sosial, politik, hukum, ekonomi) sudah memadai. Konflik sosial pasca orde baru juga menjadi titik pijakan analisa kami karena secara ekonomi dan pemerintahan, isu desentralisasi dan otonomi daerah baru mencuat dan menjadi wacana publik setelah model sentralisasi Orde Baru berakhir.
Adapun, dari sejumlah wilayah konflik yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, selama 1998 s/d 2006, kami memilih 6 wilayah contoh yang menjadi bahan dasar analisa, yaitu (1) Ambon –Maluku ; (2) Poso (Sulawesi Tengah); (3) Aceh ; (4) Timor-Timur (Timor Loro Sae); (5) Sambas (Kalimantan Barat) dan (6) Papua. Pemilihan ini bukan tanpa dasar. 6 wilayah yang kami pilih merupakan wilayah-wilayah yang sampai sekarang masih tertoreh oleh konflik sosial dan belum menunjukkan tanda-tanda penyelesaian yang definitif. Korban jiwa sudah ribuan yang berjatuhan, belum terhitung kerusakan fisik, infrastruktur dan kerugian material. Dan, seperti akan kita lihat di bagian berikut ini, konflik dan kekerasan bisa diibaratkan seperti lingkaran setan yang tak berujung, tak berpangkal. Konflik yang satu melahirkan konflik yang lain; kekerasan pun beranak pinak.
Akan tetapi, setelah kami paparkan dasar-dasar metodologis penelitian ini---dalam model pandangan konflik vertikal dan horizontal-- masih ada pengalaman yang luput diangkat dalam pembicaraan kita, yaitu tentang pengalaman perempuan dalam wilayah konflik. Seperti apakah itu?

II) Perempuan: the victimized victim
Dalam sebuah wilayah konflik sosial, terutamanya konflik bersenjata (perang), perempuan dan anak-anak selalu berada dalam posisi dan situasi yang paling kurang menguntungkan dibandingkan kaum lelaki. Itulah sebabnya, mereka sering disebut sebagai korban yang dikorbankan (the victimized victim). Artinya, secara sederhana, seperti perumpamaan “sudah jatuh tertimpa tangga”. Mengapa demikian? Mengutip Dewi Nova dari Komnas Perempuan dalam artikelnya di www.jurnalperempuan.com, perempuan dalam wilayah konflik berada dalam setidaknya 6 situasi yang terjepit dan sangat kurang menguntungkan mereka. Pertama, perempuan dilihat sebagai identitas kelompok. Dalam konflik bersenjata perempuan seringkali dijadikan sasaran oleh masing-masing pihak yang berkonflik. Posisi perempuan dalam konstruksi patriarkal sering dianggap sebagai identitas kelompok, sehingga perempuan rentan menjadi sasaran kekerasan dengan tujuan melemahkan pihak lawan. Posisi kedua perempuan dalam wilayah konflik adalah sebagai tameng. Dalam situasi konflik, perempuan juga sering dijadikan tameng. Di Aceh, misalnya, untuk menghindari penyerangan dari pihak-pihak yang berkonflik, masyarakat meminta perempuan untuk beramai-ramai menempati sebuah rumah. Di Maluku, perempuan diminta menghadapi kelompok garis depan untuk menghadang pihak lawan. Ketiga, perempuan menjadi objek kekerasan seksual. Konsentrasi kelompok bersenjata di daerah konflik juga menimbulkan persoalan pengobjekan perempuan secara seksual. Aceh, Poso, dan NTT adalah wilayah-wilayah yang menunjukkan banyak kasus penghamilan yang dilakukan oleh kelompok bersenjata, baik melalui pacaran maupun paksaan. Dalam situasi itu, perempuan dan masyarakat tidak mempunyai cukup daya tolak untuk menghentikan pengobjekan ini. Situasi ini juga berdampak buruk pada status kesehatan perempuan. Mereka rentan tertular PMS, HIV/AIDS dan aborsi yang dipaksakan. Posisi keempat, perempuan di wilayah konflik mengalami beban ganda. Di Aceh pada masa DOM terdapat 23.366 janda. Dalam situasi ini perempuan harus mengambil alih peran yang biasanya dijalankan laki-laki. Di Maluku, perempuan selain harus menanggung beban untuk keluarganya, mereka juga menanggung beban untuk melayani kebutuhan sehari-hari aparat keamanan, yang dikenal sebagai mama piara. Mama piara adalah para ibu yang diminta oleh aparat keamanan yang sedang bertugas untuk membantu memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari, dari mulai makan minum dan mencuci baju. Kelima, perempuan sebagai pelaku kekerasan. Konflik mendesak perempuan untuk menjadi kelompok kombatan (barisan tempur) di Aceh. Di Ambon perempuan terlibat dalam penyunatan terhadap perempuan pihak lawan. Posisi keenam perempuan di wilayah konflik adalah sebagai pencipta perdamaian (peacemaker). Peran perempuan yang sering dilupakan dan diabaikan dalam konflik adalah upaya-upaya mereka untuk menjadi peacemaker diantara pihak-pihak yang berkonflik. Ketika konflik sedang berlangsung di Maluku, perempuan Kristen dari Desa Kolser menyeberangi laut menemui perempuan Muslim di Desa Dian (Pulau Selayar) untuk membawa bantuan pakaian dan makanan. Di Desa Tes, perempuan pengungsi melakukan lobi dengan ketua adat masyarakat lokal agar dapat diterima dan bekerja sama dengan masyarakat setempat.
Dari tipologi yang dibuat oleh Dewi Nova di atas, kita bisa menyarikan bahwa viktimisasi perempuan dalam wilayah konflik mengambil dua bentuk pokok yaitu (1) penghancuran fisik (2) penghancuran mental / psikis dan (3) penghancuran simbolis. Sementara itu, strategi viktimisasi sendiri mengambil 3 bentuk yaitu: (1) langsung - terbuka (2) tidak langsung - tertutup, dan (3) sistematis – simbolis. Penghancuran fisik dilakukan lewat, misalnya: perkosaan, penyiksaan, menjadikan tameng, dan memberikan beban kerja yang berlebihan (overload work) seperti dialami oleh kaum perempuan di Papua, yaitu memasak, mengasuh anak, membersihkan rumah, menokok sagu dan mencari kayu bakar. Penghancuran mental / psikis dikenal dengan istilah lain yaitu traumatisasi, di mana perempuan dijadikan objek kekerasan yang, dimulai lewat kekerasan fisik, pada gilirannya akan sampai pada kekerasan psikis / mental yang menimbuilkan efek traumatis (jera) dan akhirnya tunduk (submisi). Jika dibuat bagan sederhananya akan tampak sebagai berikut:

Kekerasan fisik à kekerasan mental / psikis à efek jera (takut, kapok, trauma) à tunduk (submisi)

Contoh kekerasan psikis / mental ini dialami oleh kaum perempuan korban kerusuhan di Poso. Akibat konflik dan kerusuhan, mereka terpaksa menjadi pengungsi (displaced persons), mengalami trauma, tekanan psikis, ketakutan, kehilangan anggota keluarga, menjadi janda dengan tanggungan banyak anak, menjadi kepala keluarga (+ pencari nafkah) dadakan sepeninggal suami. Intinya: mereka mengalami perubahan status, posisi dan peran dari yang tadinya banyak berkutat di ruang domestik à ruang publik, namun perubahan status ini tidak diimbangi dengan pengakuan secara politis sekaligus pemberian fasilitasi yang memadai untuk mereka bisa menjalankan tugas atau peran “baru”-nya, dan perubahan status ini menimbulkan rasa ketidakamanan dan ketidaknyamanan batin, yang adalah salah satu indikasi kunci dari menjadi korban kekerasan mental.
Sementara itu, penghancuran simbolis dilakukan dengan tindak merendahkan martabat perempuan di hadapan umum (public humiliation), seperti yang terjadi di Timor Leste [2] (misalnya: isu ‘operasi vagina’ yang akan dilakukan oleh pasukan INTERFET terhadap para perempuan pengungsi di Timor Barat yang memilih kembali ke tanah kelahiran mereka di Timor Timur pasca-referendum 1999) dan di Papua [3] serta pelanggengan sistem dan budaya patriarkal yang merendahkan (subordinasi) partisipasi perempuan di ruang publik betapapun status mereka sudah berubah dan mereka merasa “berkewajiban” untuk memikul peran ganda (domestik dan publik) yang merupakan akibat langsung dari relasi & ekspektasi jender yang ditetapkan secara sepihak oleh masyarakat padanya. Contoh yang kongkret dialami oleh perempuan di Papua. Dalam politik lokal (kesukuan / keadatan), peran dan sumbangan perempuan masih dinomorduakan. Sistem adat yang besar seperti Mambri, Ondoafi, Tonowi dan Raja, semuanya amat patriarkis dan menyangkal hak-hak kaum perempuan untuk masuk terlibat lebih jauh lagi dalam penentuan kebijakan suku / adat yang tidak diskriminatif, seperti praktek pemotongan jari yang harus dilakukan oleh perempuan sebagai ungkapan belasungkawa ketika mereka berdukacita (ketika ada anggota keluarga yang meninggal).

III) Perempuan sebagai inisiator, rekonsiliator dan mediator resolusi konflik
"PBB sudah berupaya keras untuk belajar bahwa perdamaian dan keamanan tergantung dari tanggapan yang cepat atas adanya gejala-gejala awal sebuah konflik. Kita semua tahu bahwa mencegah terjadinya konflik membutuhkan strategi-strategi yang imajinatif. Kita semua juga tahu bahwa resolusi konflik, pemeliharaan perdamaian, dan penciptaan perdamaian membutuhkan pendekatan yang kreatif dan luwes. Dalam ketiga hal tadi, kita telah melihat contoh-contoh yang mengesankan dari peran perempuan –tidak hanya di benuah asal saya, Afrika. Akan tetapi, sayangnya, sumbangan perempuan untuk penciptaan perdamaian dan menjaga keamanan masih sering diremehkan. Perempuan masih sering kurang terwakili dalam hal pengambilan keputusan dan pembuatan kebijakan, baik untuk pencegahan konflik, resolusi konflik, maupun pasca resolusi konflik."
(pernyataan Kofi Annan, Sekretaris Jenderal PBB, yang dialamatkan kepada Dewan Keamanan PBB pada 24 Oktober 2000)

Pendekatan terbaru dalam penciptaan perdamaian menggarisbawahi keunikan gender dalam proses resolusi konflik. [4] Mayoritas orang yang dipindahkan secara paksa karena perang adalah perempuan, sehingga bisa dipahami jika kaum perempuan pun dapat memainkan peranan penting dalam upaya-upaya resolusi konflik. Sejumlah peneliti dan ahli psikologi perkembangan perempuan mengatakan bahwa perempuan itu pada dasarnya mencintai perdamaian, mampu untuk mengatakan, mengajarkan dan melestarikan perdamaian, dan tidak menyukai tindakan-tindakan yang berbau kekerasan. Paling tidak, juga dipercaya bahwa perempuan itu lebih bisa dipercaya, dan menunjukkan tingkat kejujuran dan integritas yang tinggi, dalam sebuah diskusi konstruktif untuk mencari solusi dalam suatu persoalan yang pelik. Maka, melihat sejumlah kesimpulan dari hasil penelitian seperti itu, sudah seyogianya perempuan diberikan kesempatan dan berpartisipasi secara lebih luas dan mendalam dalam proses penciptaan perdamaian dan resolusi konflik.
Akan tetapi, sayangnya, gerakan untuk menciptakan perdamaian dan menghasilkan resolusi konflik selama era Orde Baru, kebanyakan masih bersifat elitis [5]. Artinya, (1) masih menggunakan pendekatan dari atas ke bawah (top-down) dan bukan berasal dari inisiatif masyarakat yang terlibat langsung mengalami atau menjadi korban dari konflik (grass-root). (2) resolusi konflik hanya melibatkan pihak-pihak yang mempunyai jabatan struktural dalam pemerintahan, entah nasional, entah lokal, dan dalam lingkup adat / tradisi. Padahal, seperti kita lihat sendiri, dalam banyak contoh nyata di wilayah konflik, perempuan kerap lebih tanggap dalam ‘menjalin sulir-sulir perdamaian’ (Adriana Venny). “Perempuan yang lebih tanggap” ini mungkin merupakan nama lain dari kemampuan empati perempuan terhadap penderitaan orang lain yang merupakan keutamaan moral yang lebih nampak dalam diri perempuan daripada laki-laki. [6] Kemampuan untuk berempati (seperti mendengarkan, ikut merasakan dengan tulus apa yang diceritakan dan dialami oleh mereka yang menderita ketertindasan, kemampuan berbela-rasa) adalah modal terbaik bagi perempuan untuk menyumbangkan sesuatu yang berarti bagi proses penciptaan perdamaian dan resolusi konflik. Empati, kepedulian dan tanggungjawab pada orang lain ini ditegaskan oleh penelitian yang terkenal dari seorang feminis, ahli etika dan psikolog Carol Gilligan dalam bukunya In a Different Voice: Psychological Theory and Women's Development (1982). Menurutnya pendekatan lelaki atas moralitas adalah bahwa individu mempunyai hak-hak mendasar, dan kewajiban untuk menghormati hak-hak itu. Jadi, moralitas (dalam pengertian laki-laki) lebih dipahami sebagai pembatasan (restriksi) atas apa yang bisa Anda perbuat dan orientasinya adalah keadilan (justice-orientation). Sementara pendekatan perempuan atas moralitas tidak seperti itu. Menurut Gilligan, pendekatan perempuan atas moralitas lebih didasari oleh tanggungjawab terhadap yang lain. Jadi, moralitas (dalam pengertian perempuan) lebih dipahami sebagai kepedulian pada orang lain (an imperative to care for others) dan orientasinya adalah tanggungjawab (responsibility-orientation).
Hasil penelitian Gilligan ini, dan teorinya tentang perkembangan kesadaran moral perempuan yang berbeda dari lelaki, dikonfirmasi tidak hanya lewat sesi wawancara dengan klien dan studi pustaka, namun juga diperlihatkan dan dibuktikan oleh para perempuan di Poso. Secara simbolis-kultural, mereka berupaya untuk menegakkan kembali Sintuvu maroso (nilai kekerabatan dan semangat gotong royong utk pemajuan kepentingan bersama / kepentingan seluruh anggota masyarakat). Selain itu, lewat bekerja, mereka menemukan makna, harga diri, kebanggaan, penegasan identitas dan merajut kepastian masa depan yang tdk hanya bergantung dari bantuan / uluran tangan orang lain. Secara institusional, pendirian Yayasan Athirah yang berfokus pada pengembangan ekonomi dalam rangka pemandirian perempuan + pembentukan kelompok-kelompok usaha: makanan dan jajanan, pertanian dan peternakan, pengrajin eboni dan batang kelapa, perdagangan (jual sayur mayur dan aneka bahan campuran), menjahit. Peran ‘pemulihan kekerasan mental yang dialami’ (detraumatisasi) dilakukan lewat proses penyembuhan luka-luka batin (trauma healing) yang di antaranya dilakukan dengan cara menyembuhkan penderita luka kejiwaan dengan melibatkan penderitanya secara aktif. Sharing dari para survivors bisa menguatkan rekan-rekan penderita lainnya.
Peran dan sumbangan perempuan untuk penciptaan perdamaian di Ambon-Maluku mengambil bentuk menjadi mediator dalam bidang ekonomi. Para pedagang papalele (pedagang eceran) yang kebanyakan perempuan, menjadi mediator perdamaian antara pihak-pihak yang bertikai lewat transaksi di pasar. Perempuan, dengan berdagang kecil-kecilan menyumbangkan sesuatu sebagai bagian dari upaya pemulihan ekonomi keluarga pasca kerusuhan dan konflik. Lewat berdagang di pasar, baik perempuan Muslim maupun Kristen dapat saling bertemu, berkomunikasi dan menjalin rekonsiliasi. Di Kepulauan Kei bahkan lebih unik lagi. Perempuan menjadi rekonsiliator dan pencegah konflik baru, terutama karena posisi / status sosial mereka yang dijunjung tinggi (yang wajib dihormati / filosofi: morjain fo mahiling) ; keputusan akhir untuk mencanangkan tanda sasi atau hawear (tanda menyatakan suatu larangan adat tertentu) terletak di tangan kaum ibu/ perempuan. Kaum perempuan jugalah yang menentukan sejarah hubungan darah dan kekerabatan antar berbagai desa dan kampung di seluruh Kei. Secara institusional, berdirinya Yayasan Arikal Mahina membantu pemulihan kondisi perempuan yang menjadi korban cacat konflik. Mereka juga memfasilitasi sharing di antara korban-korban konflik di Ambon, Seram, dan Saparua – Maluku. Dari hasil sharing ini diadakanlah workshop dan hasil dari workshop ini lalu dibawa ke DPRD serta Gubernur.

IV) Adakah secercah pelangi harapan di balik awan tantangan?
Jawaban untuk pertanyaan ini adalah YA! Dan kita perlu bersama-sama mengupayakannya. Secara lebih khusus, ada 5 rekomendasi yang dapat kami usulkan menyangkut tantangan-tantangan ke depan yang mau tidak mau harus dihadapi oleh siapapun yang terlibat dalam upaya penciptaan perdamaian, khususnya dengan melibatkan kaum perempuan baik secara politis maupun etis, yaitu:
1) Penyelesaian konflik harus disertai good will & political will dari semua pihak yang terkait.
2) Pendekatan untuk penyelesaian konflik hendaknya tidak berlangsung secara top-down, tetapi bottom-up.
3) Pendekatan bottom-up yang dimaksud di no. 2) itu pun harus menyertakan unsur yang direpresentasikan (kelompok-kelompok masyarakat yang diwakili) secara fair dan berimbang. Judith Herman [7] dalam Trauma and Recovery (1997) pernah mengatakan bahwa perempuan harus dilibatkan dalam setiap usaha rekonsiliasi konflik agar kepentingannya terwakili dalam rumusan kebijakan (policy).
4) Kultur yang diskriminatif terhadap perempuan, ras / suku lain, mereka yang termasuk kategori “yang lain” harus pelan-pelan diubah sejak dini, lewat pembiasaan tutur-kata dan tindakan yang menghargai orang lain
5) Pembiasaan dan sosialisasi perspektif multikultural di dalam keluarga dan di sekolah-sekolah tingkat dasar dan menengah sekaligus pengakuan (recognition) akan fakta kemajemukan bangsa sebagai modal penting untuk hidup bermasyarakat dalam keselarasan dan saling hormat-menghormati.
6) Trauma healing process yang meliputi 3 tahapan sebagaimana diusulkan oleh Judith Herman, yaitu tahap (1) membangun rasa aman, (2) mengenang kembali dan ikut berduka, dan (3) kembali kepada kehidupan biasa adalah langkah-langkah terapi yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Perlu lebih banyak lagi sumber daya manusia perempuan Indonesia yang berasal dari berbagai wilayah konflik yang mendapatkan pelatihan (workshop) tentang hal ini sehingga bila saatnya diperlukan, mereka bisa menjalankan tugas sebagai konselor (pendamping) yang memang terlatih dan berkompeten.

Daftar Bacaan:
Budie Santi “Perempuan Papua: Derita tak kunjung Usai” dalam Jurnal Perempuan No. 24 Edisi Perempuan di Wilayah Konflik, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, Juli 2002.
Carol Gilligan, In a Different Voice: Psychological Theory and Women's Development, Harvard: Harvard University Press, 1982.
Dewi Nova Wahyuni, “Mereka yang Melanjutkan Kehidupan: Refleksi Perjuangan Perempuan Timor-Timur Pulih dari Konflik” dalam Jurnal Perempuan No. 33 Edisi Perempuan dan Pemulihan Konflik, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, Januari 2004, hlm. 71 – 81.
Irawati Harsono, Masyarakat sebagai Basis Resolusi Konflik, dalam Jurnal Perempuan No. 24, Edisi Perempuan di Wilayah Konflik, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, Juli 2002.
Rosnani Sahardin, “Sudahkah status perempuan itu berubah?’ dalam Jurnal Perempuan No. 24 Edisi Perempuan di Wilayah Konflik, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, Juli 2002.
Primanto Nugroho, “Inspirasi Spiritualitas Perempuan Timor Leste dalam Pusaran Konflik dan Kekerasan,” dalam Jurnal Perempuan No. 33 Edisi Perempuan dan Pemulihan Konflik, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, Januari 2004, hlm. 63 – 69.

Feminisme dan Filsafat Kesadaran : Problem Identitas Pribadi dan Upaya Melawan Fisikalisme

Feminisme dan Filsafat Kesadaran : Problem Identitas Pribadi dan Upaya Melawan Fisikalisme

oleh Hendar Putranto



Filsafat Kesadaran (Philosophy of Mind) dalam tradisi akademis Barat dibangun di atas dasar distingsi dan separasi antara tubuh (body) dan pikiran / kesadaran (mind). Filsafat kesadaran yang dibangun di atas dasar ontologis pemisahan tubuh dan kesadaran ini bisa dilacak sejak filsafat Plato dan Aristoteles [1]. Namun, kesadaran khas modern akan distingsi dan separasi ini baru ditemukan dalam filsafat Descartes yang secara radikal membedakan dua entitas konstitutif manusia yaitu res cogitans (yang berpikir atau kesadaran) dan res extensa (yang meluas dan membutuhkan ruang: tubuh), dan yang pada gilirannya akan menjadi fondasi epistemik polarisasi antara perempuan dan laki-laki di mana ideal rasionalitas (sebagai makhluk yang berpikir atau res cogitans) adalah eksklusif maskulin [2]. Dalam perjalanan dan perkembangan pemikiran sejak Descartes, sudah banyak kritik yang diajukan untuk menanggapi model epistemologis dualisme Descartian tersebut. Paper ini akan memfokuskan diri pada salah satu kritik terhadap model dualisme dalam filsafat kesadaran yaitu kritik feminis. Secara khusus, penulis menimba inspirasi dari esai yang ditulis oleh Susan James [3] yang membahas dan memproblematisasi teori identitas pribadi yang menjadi salah satu arus wacana utama dalam ranah filsafat kesadaran. Tulisan James ini lalu ditanggapi oleh Naomi Scheman, [4] yang juga akan dibahas penulis secara singkat dalam paper ini.
Ada sejumlah asumsi dasar yang melatarbelakangi arus wacana filsafat kesadaran modern Barat. Di antaranya ialah:
1. Oposisi antara tubuh dan pikiran, emosi dan akal budi itu ber-gender. Artinya yang satu (pikiran, akal budi) diasosiasikan dengan ciri maskulin, yang lain (yaitu emosi, tubuh) feminin. [5]
2. Setidaknya ada dua sumber pandangan dikotomis semacam ini, yaitu (1) para filsuf di masa lampau yang secara eksplisit meninggikan yang satu (pikiran, akal budi, maskulinitas) dan merendahkan yang lain (emosi, tubuh, femininitas) dalam tulisan-tulisan mereka. (2) penggunaan struktur metaforis dalam tulisan-tulisan filosofis yang tidak secara ekplisit membedakan lelaki-perempuan dari segi keunggulan akal budi di atas emosi, dan sejumlah pola identifikasi / asosiasi pikiran – maskulin, emosi dan kebertubuhan – feminin. Ringkasnya terangkum dalam adagium berikut ini: perlahan-lahan, dan semakin lama menjadi kebiasaan, daya rasional manusia dilihat sebagai ‘yang lebih bernilai’ daripada kecakapan emosionalnya.
3. Untuk menanggapi kedua asumsi dasariah di atas, kaum feminis lalu berupaya mengembangkan posisi filosofis yang tidak merendahkan “the symbolically feminine” Contoh: pendekatan feminis terhadap tradisi fenomenologis à kritik terhadap fenomenologi persepsi dari Marleau-Ponty. Feminisme dan psikoanalisa (terutama kritik terhadap teori Freud). Lacan à dikritik Luce Irigaray dan Julia Kristeva [6].
4. Oposisi tubuh >< pikiran bisa dilawan dengan (1) menyingkapkan cara-cara di mana tubuh memang dengan sengaja dimarjinalkan dalam filsafat (2) upaya untuk memulihkan ‘martabat’ tubuh ; bagaimana tubuh dan pikiran bersifat saling terkait, dan bahwa tubuh menyumbangkan sesuatu untuk pikiran. Selain itu, emosi juga semakin dilihat sebagai bagian yang integral dalam akal-budi, dan bukan sesuatu yang terpisah atau (bahkan) lebih rendah daripada akal-budi. Dengan berfokus pada 2 esai yang ditulis oleh Susan James dan Naomi Scheman, paper ini akan mengajukan argumentasi bahwa persoalan identitas dalam filsafat kesadaran tidak bisa berpaling pada pendekatan dualisme yang memisahkan pikiran dan tubuh dan yang dianalisa secara independen (artinya: proses-proses yang terjadi dalam pikiran terpisah sekaligus tidak ada kaitannya dengan proses-proses biologis tubuh), namun juga tidak jatuh ke dalam pendekatan fisikalisme. Pendekatan yang lebih memadai untuk melihat problem “identitas” dan “diri” dalam filsafat kesadaran, yang sekaligus peka terhadap isu gender, harus menyertakan atau mengaitkan analisa bahasa dan praktek-praktek sosial dan kultural yang bermakna yang dipraktekkan oleh subjek dan yang menjadi titik pijakannya untuk menegaskan identitas dirinya, untuk sampai pada kesadaran “aku” yang otonom sekaligus relasional. Paper akan dibagi menjadi 4 bagian pokok. Pertama, penulis akan me-representasikan esai Susan James tentang ‘teori identitas pribadi’ secara cukup lengkap dengan mengikuti struktur dan sistematika berpikirnya. Kedua, penulis akan menguraikan pemikiran Naomi Scheman “melawan pendekatan fisikalisme” secara agak luwes dan luas dengan cara lebih menempatkan pemikirannya dalam kerangka besar pendekatan feminisme analitik. Ketiga, penulis akan merangkum dan mensistematisasi ide-ide pokok yang sudah diuraikan di dua bagian sebelumnya. Pada bagian terakhir, penulis akan memberikan tiga buah tanggapan dan atau catatan kritis atas pemikiran James dan Scheman, dengan mengacu pada baik pendekatan psikoanalisa kontemporer maupun pemikiran social constructivism tentang tubuh. I. Filsafat Kesadaran dan persoalan identitas pribadi Susan James mendapatkan gelar B.A., M.A dan Ph.D. dalam bidang Filsafat dari Universitas Cambridge (di Inggris). Dia mengajar selama dua tahun di the University of Connecticut sebelum kembali ke Cambridge, dan menjadi periset di Girton College, dan kemudian mengajar di Fakultas Filsafat. Ia pindah ke dan mengajar di School of Philosophy, Birkbeck, University of London pada 2000. Ia juga mengajar sebagai dosen terbang di the Humanities Research Centre Universitas Nasional Australia (ANU), juga mengajar di Institute for Advanced Study (the Hebrew University) di Yerusalem, dan di Wissenschaftskolleg zu Berlin. [7] Fokus riset filsafatnya meliputi sejarah filsafat abad ke-17 dan 18, filsafat sosial dan politik, dan filsafat feminis. Dari ketiga ranah fokus risetnya ini, ia mengkhususkan diri pada riset tentang emosi. Salah satu bukunya, Passion and Action, mengeksplorasi letak dan pentingnya emosi dalam filsafat modern periode awal. Dan sekarang ia sedang menyelesaikan buku tentang teori Spinoza yang menyoroti hubungan sentral antara gairah (passion) dan politik. Ia juga tekun meneliti sejumlah pendekatan filsafat politik. Minat akademis ini membawanya masuk terlibat dalam diskusi-diskusi tentang posisi sosial kaum perempuan baik secara historis maupun politis. Ia menjadi editor The Political Writings of Margaret Cavendish, dan menulis sejumlah artikel tentang isu feminisme. Sejumlah buku yang ditulisnya antara lain The Content of Social Explanation (Cambridge University Press, 1984) ; Beyond Equality and Difference, diedit bersama Gisela Bock (Routledge, 1992) ; Passion and Action: The Emotions in Early Modern Philosophy (Oxford University Press, 1997) ; Visible Women: Essays in Legal Theory and Political Philosophy, diedit bersama Stephanie Palmer (Hart, 2002) ; The Political Writings of Margaret Cavendish (Cambridge University Press, 2003). Esai dari Susan James yang akan dibahas penulis di bawah ini merupakan esai yang tergabung dalam kumpulan tulisan The Cambridge Companion to Feminism in Philosophy (1999). Menurut James, sejumlah tulisan kaum feminis tentang identitas pribadi banyak menimba masukan dari psikoanalisa dan pascamodernisme. Ide pokok yang digarisbawahi dalam tulisan-tulisan yang dipengaruhi oleh psikoanalisa dan pascamodernisme adalah bahwa diri itu bersifat bertubuh (embodied), tidak kontinyu (discontinuous), mudah dibentuk (malleable) dan dikonstruksi secara sosial. Sementara itu, di jalur lain, sejumlah teoretikus identitas pribadi mengembangkan konsep diri yang berangkat dari distingsi antara “yang psikologis” dan yang “bertubuh” serta ide yang masih erat terkait dengan itu, yaitu kontinyuitas psikologis. Mungkin secara sekilas, orang akan melihat bahwa dua arus besar tema dan pengembangan konsep tentang “diri” ini mencoba menjawab pertanyaan yang berbeda. Sudah jelas bahwa isu yang diangkat oleh tulisan-tulisan kaum feminis tentang “identitas” dan konsep “diri” yang bertubuh, tidak kontinyu dan dikonstruksi secara sosial, secara sadar mau melawan oposisi biner dan dikotomisasi tubuh >< pikiran seperti sudah disinggung di bagian awal paper ini. Dengan menegaskan karakter kebertubuhan dari diri, kaum feminis mau membongkar asumsi yang sudah mengurat-akar yaitu mengidentikkan “diri” dengan “pikiran yang berciri maskulin.” Dengan menyoroti segi diskontinuitas dari diri, kaum feminis mau mengupas lapisan asosiasi makna secara kultural antara kesatuan (unity) dengan maskulinitas.
Meskipun demikian, dalam tradisi analitik, ada satu kesepakatan dasar di antara para teoretikus, entah dia feminis atau bukan, untuk memulai eksplorasi dan analisa tentang identitas pribadi. Kesepakatan yang dimaksud berupa pertanyaan dasar berikut ini: kriteria apa yang harus dipenuhi agar seorang pribadi pada t1 sama dengan pribadi pada t2? Atau, kriteria apa yang harus dipenuhi oleh seseorang agar ia survive dari t1 menuju t2? Asumsi di belakang kedua model pertanyaan ini adalah kontinuitas identitas pribadi. Seperti ditegaskan seorang filsuf identitas, Derek Parfit, kriteria kunci untuk mengukur kontinyuitas identitas pribadi adalah survival. Juga sekalipun seseorang bisa survive tanpa menjadi identik dengan ‘dirinya yang dahulu’ (yang berada di t1), perumusan survival tinggal persoalan derajat atau kadarnya. Mengingat hal ini, cukup berguna untuk membuat distingsi antara kontinyuitas psikologis (psychological continuity) dan kontinyuitas kebertubuhan (bodily continuity), meskipun disadari bahwasanya distingsi ini cenderung memisahkan tubuh dan pikiran / kesadaran. Selain itu, kaum feminis juga memandang distingsi ini bisa menjadi gerbang pembuka sekaligus ancangan awal untuk memarjinalkan tubuh, dan bersamaan dengan itu “the symbolically feminine.” Mengapa demikian?
Beberapa tahun belakangan ini, dengan menggunakan contoh imajiner, kontinyuitas identitas pribadi cenderung lebih memberikan tekanan pada kontinyuitas psikologis alih-alih kontinyuitas kebertubuhan, dan kontinyuitas psikologis inilah yang menjadi faktor konstitutif dari survival seorang pribadi. Contoh imajiner yang dimaksud adalah persoalan transplantasi karakter dan memori seseorang (katakanlah Budi) pada / ke dalam tubuh pribadi yang kedua (katakanlah Ahmad). Kasus-kasus transplantasi semacam inilah yang sering dikutip dan dijadikan acuan oleh teoretikus identitas pribadi untuk menopang kerangka teori yang mereka bangun yang lebih menekankan kontinyuitas psikologis seseorang sebagai “yang bernilai lebih tinggi” dan “yang lebih menjamin survivalitas seseorang” alih-alih kontinyuitas kebertubuhannya.
Dalam esainya, Susan James mengajukan tesis pokok sebagai berikut: contoh imajiner ‘transplantasi karakter’ (yang sering dikutip dan dijadikan acuan para pemikir identitas pribadi) digunakan untuk membenarkan dan menopang kerangka identitas atau konsep kedirian yang berciri maskulin. James membuktikan tesis pokok ini lewat 4 poin pokok yaitu (1) delineasi karakter (2) memori (3) peran dunia sosial dalam menopang identitas dan (4) identitas dan kekuasaan seksual laki-laki. Saya akan membahasakan kembali pokok-pokok argumen dari Susan James (4 poin pokok) ini secara ringkas dan padat.

(1) Delineasi karakter.
Apa maksudnya delineasi? Delineasi maksudnya pembatasan, pendefinisian, penarikan garis demarkasi antara karakter (yang dalam hal ini dilihat dan diposisikan sebagai isi dari kesadaran) dan tubuh. Dalam model ini, tubuh dilihat sebagai ‘wadah’ (receptacle) bagi karakter. Otak, sebagai bagian yang teramat penting dari tubuh untuk survival, dilihat sebagai wadah di mana di dalamnya keadaan-keadaan psikologis pribadi seseorang bisa ditampung dan diawetkan. Namun apakah persoalannya semudah ini? Apakah tubuh setiap orang itu bisa dianggap “seragam” sehingga ‘selalu’ siap untuk diisi dengan jenis karakter apapun yang berasal dari pribadi yang lain? Mengutip contoh yang ekstrem (dari Bernard Williams), apakah tubuh seorang petani jelata ‘bisa’ mengekspresikan karakter seorang kaisar? Ada keberatan pokok yang bisa dimunculkan di sini. Keberatan ini menyangkut pandangan dan pemahaman kita tentang hakikat karakter yang tertentu yang coba diuniversalkan. Universalisasi pemahaman atas karakter ini sekaligus menisbikan pandangan tentang tubuh dengan segala keunikan dan propertinya. Dibahasakan lebih lugas, pandangan semacam ini akan berbunyi sebagai berikut: “hal yang paling berarti tentang karakter pribadi seseorang, sifat-sifat yang menyusun kontinyuitas psikologisnya, tidak tergantung pada tubuh tertentu yang ia punyai, atau tubuh dengan segala kelengkapan atau ketidaklengkapannya (propertinya) yang khusus.” Ringkasnya: tubuh – seragam dan wadah, karakter -- unik dan bersifat superior daripada tubuh. Kasus imajiner pencangkokan karakter pada tubuh dengan demikian menegaskan bahwa dalam survival (kontinyuitas identitas pribadi) “karakter” mempunyai prioritas ontologis daripada “kebertubuhan.”

(2) Memori.
Berangkat dari poin no. 1 di atas, yang memberi tekanan dan prioritas lebih pada kontinuitas karakter daripada keadaan dan properti tubuh, kita sampai pada peran penting memori yang berkarakter dual, yaitu (a) sebagai keadaan / kondisi (states) yang memberi akses pada masa lalu kita, dan (b) sebagai penjamin dari rasa kontinyuitas temporal kita. James memahami memori sebagai ‘gudang ingatan yang mampu bertahan meskipun tubuh mengalami perubahan.’ Sebagai contoh, meskipun tokoh Ayub didera penderitaan dan sakit, namun toh ia masih ingat bahwa ia tidak melakukan kesalahan atau dosa apapun di hadapan Allah. Kita juga bisa mengambil contoh dari orang-orang di sekeliling kita yang meskipun tubuhnya menua, sakit, menderita, namun ingatannya akan nama, peristiwa, kejadian, dan dirinya sendiri masih segar dan bertahan (survive).
Akan tetapi, model pandangan “ingatan yang tak lekang oleh hujan tak lapuk oleh ngengat tak rapuh oleh perubahan kondisi-kondisi tubuh” ini juga mempunyai keterbatasannya. Contoh yang paling sering diajukan adalah “bagaimana dengan korban perkosaan, penyiksaan, pengalaman traumatis? Apakah serangan dan perubhan yang dialami tubuh mereka sama sekali tidak berpengaruh terhadap memori mereka?” Ada dua pendekatan jawaban untuk pertanyaan ini: (a) memori traumatis amat erat terkait dengan kebertubuhan, dan mempengaruhi baik kondisi-keadaan tubuh maupun kejiwaan. (b) trauma menghancurkan atau mengubah memori yang sudah ada, sehingga orang yang mengalami penyiksaan berkepanjangan, misalnya, akan kehilangan memori masa lalu mereka, dan, dengan demikian, kehilangan juga rasa kontinyuitas kedirian yang diandaikan disediakan atau dijamin oleh memori.
Ada argumen tandingan yang mengatakan bahwa memori bukanlah satu-satunya penjamin kontinyuitas kedirian seseorang (sebab ada hal-hal lain yang berkaitan dengan keadaan psikologis seperti harapan, intensi, kepercayaan, hasrat yang dianggap masih bertahan walaupun memori seseorang akan masa lalunya memudar atau bahkan hilang sama sekali karena pengalaman traumatis), sehingga perubahan atau kehilangan memori masa lalu seseorang tidak serta merta menggugurkan tesis kontiyuitas psikologis sebagai karakter konstitutif dari kontinyuitas identitas pribadi. Namun argumen ini, seperti ditunjukkan Susan Brison, jauh dari memadai. Menurutnya, ‘korban trauma tidak hanya kehilangan memori akan tindakan dan peristiwa masa lalu mereka, namun juga pola memori di mana di dalamnya ekspektasi, emosi, kecakapan, hasrat, dan sebagainya mengakar. Kehilangan memori, dalam pengertian ini, lantas juga berarti rusaknya karakter.’ Memori yang mengakar dalam kebertubuhan, dengan demikian, harus ikut diperhitungkan jika kita mau mendapatkan gambaran kontinyuitas identitas pribadi yang lebih inklusif.

(3) Pengaruh lingkungan sosial terhadap pengembangan konsep ‘diri’
Perdebatan tentang identitas pribadi yang dikemukakan di no (1) dan (2) di atas masih menyimpan sebuah persoalan pelik yang signifikan, yaitu konteks sosial atau historis dari pembentukan dan kontinyuitas jati diri. Kontinyuitas psikologis yang diandaikan para filsuf untuk menyangga identitas pribadi adalah properti dari seorang manusia yang normal. Namun asumsi ini ternyata bermasalah karena mengeksklusi cukup banyak hal. Di antaranya adalah fakta bahwa karakter – dipahami sebagai kemampuan untuk memahami diri sebagai subjek dari aneka macam keadaan psikologis—bukanlah bawaan lahir, melainkan buah dari relasi anak dengan orang-orang yang peduli padanya dan membesarkannya. Secara khusus, perkembangan jati diri si anak tergantung pada figur ibunya. Selain itu, asumsi kontinyuitas psikologis juga cenderung ‘mengurung’ pertanyaan apakah ia tergantung pada relasi sosial atau tidak.
Padahal, seperti sudah diteliti oleh para pakar psikoanalisa seperti Freud dan Lacan dan para penerusnya yang bergerak di bidang psikoanalisa, kita tahu bahwa pengalaman dini seorang anak tidaklah bersifat kontinyu atau terintegrasi (utuh). Keterpisahan si anak dari figur ibu, dan kemampuannya untuk mendaku pengalaman sebagai pengalamannya sendiri, adalah sebuah proses yang sarat diwarnai tarik menarik antara dorongan libidinal maupun pembatasan dari super ego yang dialami si anak dalam dan bersama tubuhnya. Sejumlah feminis bahkan mengafirmasi pentingnya ego sebagai “a physical mapping of the libidinal intensities of the body, a mental projection not of the actual body, but of the body as a kind of emotional map.” [8] Pernyataan ini bisa dilihat afirmasi atas keterkaitan erat antara tubuh, emosi, dan ego (sebagai pusat kesadaran dan jati diri manusia). Argumentasi Freud diteruskan oleh Lacan yang melihat bahwa dalam ‘fase cermin’ (stade du mirroir) seorang anak membentuk imaji atas tubuhnya sendiri sebagaimana direpresentasikan oleh orang lain, dan sebagaimana dipantulkan oleh cermin. Imaji atas tubuh sebagai keseluruhan ini menjadi pondasi identitas dari si anak, yang bersifat sementara, yang lalu akan dilanjutkan sampai pada resolusi kompleks Oedipus, untuk membentuk jati diri yang lebih stabil. Imaji atas tubuh ini menyumbangkan sesuatu yang penting untuk menopang ide kontinyuitas psikologis.
Jati diri (the self) dengan demikian harus diciptakan lewat serangkaian inter-aksi antara si anak, orang-orang yang berada di sekitarnya, dan kultur yang lebih luas di mana si anak hidup. Kondisi dan situasi lingkungan sosial, kultural, dengan satu dan lain cara menopang atau menghancurkan kontinyuitas psikologis. Korban trauma, misalnya, mengalami kesulitan untuk merangkai kembali narasi utuh tentang jati-dirinya karena terjadi gangguan atau cedera pada fisik (tubuh) nya yang mungkin berdampak pada diskontinyuitas psikisnya. Pengakuan (recognition) dari orang lain, yang adalah dimensi sosial dari pembentukan karakter, dapat membantu korban trauma untuk pulih dari shock yang dialaminya (salah satu model diskontinyuitas psikologis) dan merajut kembali narasi tentang diri menjadi utuh dan kontinyu.
Dari sketsa dan contoh yang sudah diperikan di atas, kita bisa bisa dengan aman mengatakan bahwa kontinyuitas psikologis tidak bisa dilepaskan dari tubuh. Kontinyuitas psikologis adalah fitur dari diri yang menubuh (embodied selves). Lebih lanjut lagi, kemampuan seseorang untuk mempertahankan kontinyuitas psikologisnya tergantung dari orang lain yang mengenali dan mengafirmasi baik kelengkapan anggota-anggota tubuhnya (properties) maupun potensi-potensi yang tersimpan dalam dirinya yang menubuh. Sekalinya kemungkinan ini dihilangkan (entah karena pengalaman traumatis atau karena penyiksaan yang berkepanjangan yang mengakibatkan seseorang kehilangan salah satu atau beberapa organ tubuhnya, atau karena perang yang membuat seseorang kehilangan sebagian anggota tubuhnya [9], dan sebagainya), kontinyuitas psikologis juga menjadi rusak.

(4) Identitas dan kekuasaan seksual laki-laki.
Isu identitas pribadi dalam keterkaitannya dengan kontinyuitas psikologis dan kebertubuhan yang sudah diuraikan oleh James masih menyisakan satu pertanyaan pokok yang belum terjawab secara memuaskan, khususnya bagi kaum feminis, yaitu kaitan antara identitas pribadi dengan identitas seksual yang berjender. Kompleksitas persoalan identitas pribadi yang didekati secara (filsafat) analitik dan filsafat kesadaran, masih menyisakan ruang kecemasan bagi kaum feminis karena nampaknya jantung persoalan identitas pribadi bukan terletak pada survivalitas dan kontinyuitas psikologis, melainkan pada asosiasi atau identifikasi antara identitas pribadi dengan identitas lelaki (male identity), yang mengurung pertanyaan tentang tubuh dan diri yang menubuh, dan sebaliknya berkonsentrasi pada pikiran atau kesadaran.
Tentu saja tidak semudah dan senaif itu untuk mengasumsikan secara dikotomis bahwa tubuh itu selalu menyimbolkan yang feminin dan pikiran sebagai yang maskulin. James menegaskan bahwa selain mengasumsikan kontinyuitas identitas pribadi terletak pada pikiran / kesadaran, identitas kelelakian yang kontinyu juga terkadang secara implisit dipahami sebagai kemampuannya untuk mengontrol perempuan. Yang menjadi isu besar di sini adalah relasi antar orang yang berbeda ‘jenis kelamin’ (seks) sering juga mempengaruhi problem identitas. Isu identitas dan gender saling terkait.
James mengutip contoh-contoh untuk mendukung poin ini dari kajian atas dunia sastra, khususnya novelet The Wife of Martin Guerre (karya Janet Lewis) dan kisah Colonel Chabert (karya Balzac). Saya tidak akan mengulangi kembali analisa James atas kedua novel di atas, namun cukuplah untuk dikatakan di sini bahwa baik Martin Guerre (tokoh dalam The Wife of Martin Guerre) maupun Kolonel Chabert menumpukan identitas sosial mereka pada kehadiran istri mereka dan pada kontrol mereka atas diri istri-istri mereka. Ketika mereka kehilangan kontrol atas diri istri-istri mereka, identitas sosial mereka memudar dan terjadi diskontinyuitas psikologis, yang membuat mereka menjadi lumpuh dan tak lagi bisa berfungsi normal seperti sedia kala. Pertanyaannya sekarang, apakah dengan mengambil contoh tokoh / karakter dari dua karya berikut tadi, James menyodorkan argumentasi yang meyakinkan? Menurut saya tidak. Poin ini akan sedikit saya elaborasi di bagian tanggapan terhadap esai Susan James.

II. Filsafat Kesadaran berperspektif feminis: melawan proyek fisikalisme
Naomi Scheman adalah seorang Profesor Filsafat di the University of Minnesota – USA, yang masih aktif mengajar di Departemen Studi Jender, Perempuan dan Seksualitas. Ia memperoleh gelar PhD dalam bidang Filsafat dari Universitas Harvard. Bidang spesialisasinya adalah Epistemologi dan Teori Feminis. Karya-karya tulis yang sudah dipublikasikan meliputi : *) "Non-Negotiable Demands: Metaphysics, Politics, and the Discourse of Needs." dalam Future Pasts: Reflections on the History and Nature of Analytic Philosophy, eds. Juliet Floyd and Sanford Shieh, Oxford University Press, 2001. *) "Against Physicalism", 1999, dalam Cambridge Companion to Feminism in Philosophy, Cambridge University Press *) "Engenderings: Constructions of Knowledge, Authority, and Privilege", 1993, Routledge *) "Forms of Life: Mapping the Rough Ground", 1996, Cambridge Companion to Wittgenstein, Cambridge University Press *) "Queering the Center by Centering the Queer: Reflections on Transsexuals and Secular Jews" 1996, Feminists Rethink the Self, Westview Press.
Mengutip perkataannya sendiri tentang proyek filosofisnya [10], Scheman tertarik untuk mengeksplorasi politik epistemologi, khususnya bagaimana konsep diri dan posisi subjek tertentu dikonstitusi secara sosial, entah diistimewakan atau distigmatisasi. Berkaitan dengan itu, Scheman juga tertarik meneliti bagaimana otoritas dan ketergantungan epistemik dikonstitusikan dan dinegosiasikan. Isu-isu epistemis ini lalu coba ia kaitkan dengan isu-isu yang lebih “abu-abu” sifatnya seperti jender, identitas dan perspektif seksual, rasial dan etnis. Keyakinan yang mendasari penelitian Scheman adalah bahwa filsafat analitik bisa dihidupkan kembali dengan menaruh perhatian pada isu-isu sosial dan politik yang muncul sebagai dampak dari perjuangan pembebasan yang dibingkai oleh perspektif dan identitas tersebut di atas. Perjuangan yang dimaksud Scheman di sini menuntut adanya transformasi dari konsep-konsep dasar filsafat seperti kepribadian (personhood), identitas, dan alasan-alasan justifikasinya. Dipengaruhi oleh pemikiran Wittgenstein, Scheman bermaksud untuk menelusuri kembali topik-topik yang oleh Wittgenstein disebut "rough ground" seperti objektivitas, realisme, dan fisikalisme untuk sampai pada hakikat filsafat.
Dalam esainya “Against Physicalism,” Scheman mau mempertahankan tesis berikut ini: Kritik kaum feminis terhadap dualisme filosofis pikiran - tubuh tidak berarti harus jatuh ke dalam kubu fisikalisme [11] melainkan perlu lebih memperhatikan praktek-praktek dan norma-norma yang secara sosial bermakna (socially meaningful practices & norms, yang disingkat “smp&n”), dan bagaimana s.m.p&n. ini mempengaruhi hidup / dunia batin kita, membentuk jati-diri perempuan yang diartikulasikan lewat bahasa sehingga diri dan identitas sebagai subjek lebih dilihat sebagai konstruksi sosial dan relasional.
Yang dimaksud Scheman dengan fisikalisme di sini adalah klaim bahwa kita memahami diri kita lewat penjelasan yang mengacu pada hal-hal batin seperti kepercayaan, maksud, emosi, hasrat, dan sikap. Hal-hal batin yang menjadi acuan ini dianggap benar jika mereka identik dengan atau tergantung pada atau ditentukan oleh peristiwa, keadaan dan proses di dalam tubuh seseorang yang padanya dilekatkan hal-hal batin berikut tadi. Contohnya, tanggapan emosional seperti amarah dijelaskan atau dikaitkan dengan perubahan yang terjadi dalam otak kita (reaksi-reaksi kimiawi yang terjadi dalam otak). Begitu juga dengan aneka macam emosi lainnya, seperti cinta, perhatian, cemburu, semua bisa dijelaskan dengan mengacu pada keadaan, proses, reaksi kimiawi yang terjadi dalam dan melibatkan tubuh. The mental is composed of, or determined by, the physical. [12] Inilah fisikalisme!
Apakah doktrin fisikalisme dengan demikian bisa diterima dan menjadi pengganti dari dualisme Cartesian? Ternyata tidak. Menurut Scheman, doktrin fisikalisme tidak bisa diterima karena tidak semua aktivitas dan dunia batin kita, seperti kepercayaan, hasrat, emosi, dan sebagainya bisa diasalkan (apalagi ditentukan oleh!) secara fisik. Mereka bermakna secara sosial dan kultural, dan menjadi seperti itu karena ada konteks sosial yang melatarbelakanginya. Diri sebagai subjek dari pengalaman batin (inner experience) perlu lebih dimengerti sebagai yang mencakup baik segi kebertubuhan maupun segi sosial. Pengetahuan yang lahir dari fakta itu pun lalu bukan pengetahuan yang abstrak dan berjarak, melainkan bersifat interpersonal dan interaktif.
Naomi Scheman menyebut dirinya sendiri sebagai an “analytic philosopher semi-manqué” — artinya filsuf yang pernah berguru pada aliran analitik namun sekarang sudah meninggalkan ‘padepokan’ ranah analitis dan melibatkan dirinya di dalam ranah sosial politis. Sebagai contohnya, Scheman pernah berargumen bahwa ideologi individualisme liberal melatarbelakangi keyakinan yang tersebar ke seantero publik (akademis, common-sense) bahwa objek-objek psikologis seperti “emosi, keyakinan-keyakinan, intensi, keutamaan dan keburukan’ adalah properti dari individu. Scheman berulangkali menegaskan bahwa pertanyaan-pertanyaan tentang bagaimana mengidentifikasi dan menafsirkan keadaan dan kondisi psikologis harus dijawab berdasarkan konteks sosial, dan bukan dengan mengabstraksikannya.
Untuk memperjelas argumen ‘pemahaman yang berangkat dari analisa atas konstruksi sosial’ ini, saya akan merepresentasikan contoh yang dituliskan Scheman dalam esainya [13]. Scheman mengajukan 3 set pertanyaan dan jawaban yaitu (1) TANYA: Mengapa Alex (perempuan) tidak terkena serangan jantung ketika ia masih muda? JAWAB: Karena ia seorang perempuan. (2) TANYA: Mengapa Alex tidak menjadi bos dari perusahaan itu? JAWAB: Karena ia seorang perempuan. (3) TANYA: Mengapa Alex tidak menggunakan toilet yang ada gambar tongkat dengan segitiga di tengah-tengahnya? Karena ia seorang perempuan. Tiga set pertanyaan yang berbeda dan tiga jawaban yang sama ini menggambarkan tiga situasi dan cara pandang yang berbeda. Dalam analisa Scheman, pertanyaan dan jawaban pertama mengacu pada properti fisiologis yang dianggap bertanggungjawab mengapa seorang perempuan (karena keperempuanannya) punya resiko terkena serangan jantung yang lebih rendah. Jawaban untuk pertanyaan kedua bersifat eksplanatoris karena pemaknaan sosial yang dipikul oleh kata ‘perempuan.’ Jawaban atas pertanyaan ketiga mengandaikan adanya koneksi antara jender dan simbol toilet untuk publik yang bersifat memisahkan (segregatif) antara lelaki dan perempuan. Ketiga set pertanyaan dan jawaban yang direka oleh Scheman ini mau menunjukkan kaitan erat antara praktek sosial, penafsiran dan pola-pola pemahaman identitas jender yang berangkat dari praktek sosial dan penafsiran tersebut. Pemahaman atas identitas ‘perempuan’ dalam contoh yang diberikan Scheman ini tidak berpijak dari abstraksi individu (atau pernyataan tentang siapakah individu itu) yang dibersihkan dari kandungan sosial dan kulturalnya, namun justru berpijak pada gugus praktik yang dianggap bermakna secara sosial dan dilakukan secara bersama-sama dalam ruang kebersamaan (the space of commonality) [14].
Scheman berhutang budi pada Wittgenstein untuk poin ini, namun ia juga sekaligus melampaui Wittgenstein dengan mengatakan bahwa pengalaman dan perkembangan psiko-seksual kaum perempuan tidak berangkat dari asumsi individualistis semacam ini melainkan dari keterhubungan (connection), komunitas (community), dan norma-norma serta praktek-praktek sosial yang ikut berperan membentuk identitas mereka.

III. Rangkuman dan Catatan
Ada 3 poin pokok yang bisa saya simpulkan dari esai Susan James, yaitu:
(1) Secara ontologis, identitas pribadi manusia (personhood, self) terdiri dari baik segi-segi psikologis (mental states), maupun segi-segi kebertubuhan (bodily states). Kedua entitas ini meskipun berbeda (distinct) namun saling menopang dan terjalin erat satu sama lain. Diri adalah diri yang bertubuh (an embodied self) sekaligus yang berpikir (a thinking self). Upaya-upaya untuk memisahkannya, dan sekaligus tidak mengakui kontribusi yang satu terhadap yang lain, adalah penolakan terhadap dualitas kepribadian dan cenderung akan jatuh pada
(2) Secara epistemologis, kedirian seseorang dijamin survivalitasnya jika orang tidak hanya melihat kontinyuitas psikologisnya, namun juga kontinuitas kebertubuhannya. Ini masih mengacu pada model identitas Aristotelian di mana ada substratum yang mengikat, tetap dan ajeg (constant) yang menjamin kesamaan identitas seseorang di bawah atau di balik segala macam perubahan baik yang terjadi di level batin (mental) maupun tubuh.
(3) Secara etis, James implisit menghimbau agar subordinasi ‘the symbolically feminine’ dalam bentuk (1) separasi dan lalu (2) pengunggulan pikiran di atas tubuh yang mengambil bentuk penekanan berlebihan pada kontinyuitas psikologis dan kecenderungan meremehkan (menganggap irelevan) kontinyuitas biologis (seperti nampak pada contoh transplantasi karakter) hendaknya diatasi dengan menempatkan keduanya secara sejajar. Kesetaraan dan pengakuan atas signifikansi baik menyangkut kontinyuitas psikologis maupun kontinyuitas kebertubuhan dapat membuka jalan pada keutuhan cara memandang identitas pribadi, yang bisa berdampak positif secara politis dan sosial (seperti peniadaan atau pelenyapan hasrat lelaki untuk mengontrol perempuan demi penegasan identitas sosialnya semata).

Sementara itu, esai dari Naomi Scheman bisa dirangkum sebagai berikut: Filsafat kesadaran yang dikritik oleh kaum feminis, perlu membuka ruang yang lebih luas lagi bukan pada paham fisikalisme (dan reduksionisme yang menyertainya), namun lebih pada analisa bahasa dan makna yang menyertakan, mengaitkan serta berangkat dari praktek-praktek sosial dan kultural yang mengkonstruksi jati diri perempuan dan kebenaran tentang identitas itu secara lebih relasional dan komunal.
Maka, membandingkan kedua esai yang ditulis oleh Susan James dan Naomi Scheman -- kedua-duanya adalah filsuf-feminis anglophone yang kuat dipengaruhi mazhab analitis dalam uraiannya-- ada sejumlah poin kesepahaman yang bisa saya tarik, yaitu:
1. Filsafat dan jender itu penting bagi hidup umat manusia. Filsafat dapat menyumbangkan sesuatu untuk memperluas cakrawala berpikir kita, membuat kita jadi paham inter-relasi kita di dunia, yang bisa menindas sekaligus membebaskan. Upaya kaum feminis adalah membuat filsafat menjadi ilmu yang terlibat (engaged), artinya ‘filsafat yang potensial berguna untuk memberdayakan / menguasakan manusia lebih daripada sekedar melanggengkan filsafat status quo yang merendahkan ‘yang lain’ berdasarkan kategori-kategori yang dikonstruksi secara sosial dan tertancap secara kultural seperti ras/etnis, kelas, orientasi seksual, jender, dll.
2. Jender bisa menyumbangkan sesuatu untuk filsafat. Kaum feminis biasanya mengkritik filsuf yang misoginis, seksisme yang terselubung atau terang-terangan, paradigma androsentrisme, dan bias-bias maskulin dalam filsafat.
3. Jender adalah salah satu segi dari jejaring kompleks karakter manusia yang saling mempengaruhi yang mencakup, untuk menyebut 3 saja yang umum disepakati, ras/etnis, kelas sosial dan orientasi seksual. Akan tetapi, meskipun salah satu saja, jender adalah segi yang penting dengan kebhinnekaan implikasi untuk cara kita berfilsafat. Pengaruh jender terhadap filsafat misalnya: pengakuan bahwa filsafat itu tertanam dalam gugus struktur dan praktek sosial, sehingga filsuf-feminis cenderung menggunakan metode berfilsafat yang dapat menjelaskan ‘ketersituasian’ atau ‘keterlokasian’ dari subjek yang berfilsafat (subjek penahu) dan juga sekaligus objek refleksi filosofisnya.
4. Lalu filsafat macam apa yang dicita-citakan kaum feminis berhaluan analitis? Di satu sisi mereka berupaya untuk tetap mempertahankan ideal ‘normatif’, yang berguna dan dapat dipakai oleh seluruh umat manusia. Mereka tidak mau jatuh ke dalam relativisme epistemologis dan laissez-faire moral. Di sisi lain, mereka mau mengubah corak filsafat dari yang dingin dan berjarak terhadap objek kajiannya, menjadi filsafat yang peka terhadap dan mengangkat segi-segi lain yang belum terungkap / dimarjinalkan oleh filsafat mainstream pada umumnya, seperti hal-ihwal jender, ras, orientasi seksual, dll.
5. Istilah ‘analytic feminist’ mungkin pertama kali dipergunakan secara luas (publik) di awal tahun 1990-an di Amerika Utara. Virginia Klenk mengusulkan pembentukan ‘Masyarakat Feminisme Analitis’ pada 1991; Ann Cudd, yang menjadi presiden pertamanya, merumuskan ‘family resemblance’ (istilah dari Wittgenstein) di antara kaum feminis analitis sebagai berikut.: “Feminisme analitik berpegang pada keyakinan dasariah bahwa cara terbaik untuk melawan seksisme dan androsentrisme adalah lewat pembentukan konsep yang jelas mengenai kebenaran, konsistensi logis, objektivitas, rasionalitas, keadilan dan ‘yang baik’ sambil bersamaan dengan itu mengakui bahwa konsep-konsep kunci ini telah cukup sering dibuat menjadi bias dan menyimpang sepanjang sejarah filsafat. Feminisme analitis mengakui bahwa konsep-konsep kunci yang diwariskan filsafat tradisional tidak hanya bersifat meyakinkan (persuasif) namun juga sekaligus menguasakan dan membebaskan perempuan. Jika feminisme berhaluan pascamodern menolak universalitas kebenaran, keadilan, objektivitas dan cakupan universal dari kata ‘perempuan,’ maka (sebaliknya) feminisme analitis berupaya untuk mempertahankan konsep-konsep dasariah ini.” [15] Meskipun ada kredo semacam ini, feminis analitis saling berbagi hasrat inti (a core desire) dan bukan doktrin / ajaran pokok, yaitu hasrat untuk mempertahankan sejumlah konsep normatif kunci yang ditemukan dalam tradisi filsafat Eropa untuk mendukung ide “normativitas” yang dipersyaratkan baik oleh feminis politis maupun filsafat. Sebagai contohnya, mereka percaya bahwa kaum feminis yang bergerak di bidang politik perlu menyepakati apa yang diklaim sebagai ‘penindasan’ atau ‘ketidakadilan’ dan bagaimana konsep-konsep ini bisa dijustifikasi, dikritik dan sekaligus dimodifikasi.

IV. Tanggapan Kritis
Dalam bagian tanggapan kritis ini, pertama-tama saya akan memberi catatan untuk esai Susan James, khususnya bagian terakhir dari esainya yang membahas tentang keterkaitan antara identitas dan kekuasaan seksual laki-laki terhadap perempuan. Menurut saya, dari pembacaan atas sejumlah karya yang membahas isu ini [16], isu identitas dan kekuasaan seksual laki-laki yang cenderung mensubordinasi perempuan adalah isu yang tidak bisa diuraikan atau diambil contohnya hanya dari karya-karya literatur seperti Balzac dan Janet Lewis seperti ditunjukkan oleh James. Isu ini akan jauh lebih relevan dan aktual, serta punya dampak politis yang juga signifikan, jika si feminis mengambil contoh dari kehidupan nyata, dari kultur yang menindas dan mengaitkan identitas seksual sebagai ‘cara-cara pelanggengan penguasaan dan kontrol lelaki terhadap perempuan.’ Seperti diuraikan oleh Susan Moller Okin dalam esainya “Is Multiculturalism Bad for Women?” ia memberi beberapa contoh yang cukup meyakinkan untuk menjelaskan ‘penindasan laki-laki terhadap perempuan’ (baca: praktek-praktek budaya tertentu adalah sarana yang dipakai lelaki untuk mengontrol perempuan) di dalam sebuah budaya minoritas, yang erat terkait dengan identitas seksual dan kekuasaan seksual lelaki terhadap perempuan. Misalnya, kasus klitoridektomi yang masih terjadi di negara Pantai Gading dan Togo. Dikatakan bahwa praktek penyunatan klitoris perempuan yang merupakan bagian dari “warisan budaya kami” berfungsi untuk “menjamin keperawanan seorang perempuan sebelum pernikahan dan kesetiaannya setelah menikah dengan membatasi seks hanya sebagai kewajiban pernikahan” dan bahwa “peran seorang perempuan dalam kehidupan adalah merawat anak-anaknya, menjaga kebersihan rumah dan memasak. Jika klitorisnya tidak dipotong, maka ia mungkin akan berpikir tentang mengejar kesenangan dan kepuasan seksualnya sendiri.” [17] Juga praktek poligami yang dilakukan oleh imigran dari Mali yang tinggal di Perancis, yang mengatakan bahwa praktek poligami dilakukannya karena “kalau satu istrinya sakit, masih ada yang lain yang merawat dirinya.” Selain itu, praktek pemaksaan (atau setidaknya ditawarkan kepada) perempuan untuk menikahi lelaki yang memperkosanya---yang ditemukan Okin terjadi di sejumlah daerah di Asia Selatan dan Afrika Barat---juga merupakan praktek budaya yang dilegalkan, karena akan memulihkan kehormatan keluarga, sekaligus sebagai kompensasi atas “barang rusak” (si gadis dipandang sebagai cemar dan tak lagi layak untuk dinikahi siapapun).
Jika filsafat kesadaran yang dikritik oleh kaum feminis (analitik) adalah filsafat yang abstrak dan berjarak dan kurang “membumi” atau memperhatikan segi kebertubuhan dan konteks sosial yang partikular, maka mungkin baik James maupn Scheman perlu lebih banyak lagi belajar dari kaum feminis yang terlibat dalam perjuangan politis untuk ‘memperbaiki’ (dimengerti sebagai: lebih memanusiakan perempuan) agenda masyarakat dan kultur yang patriarkal dan opresif terhadap kaum perempuan seperti dicontohkan oleh Okin di atas.
Yang kedua, saya akan menunjukkan sejumlah keterbatasan dan kekurangan dari pendekatan feminis analitik (yang menjadi kerangka language-game dari James & Scheman), yaitu:
(1) Kritik feminis terhadap tradisi-tradisi filsafat yang sudah ada dan mendahuluinya menyimpan ambiguitas sekaligus kelemahan konseptual karena bagaimanapun juga, di satu sisi mereka mengkritik, di sisi lain, mereka menggunakan seperangkat istilah atau konsep yang dipinjam dari apa yang dikritiknya untuk tetap bisa membuka peluang berkomunikasi dengan para pemikir lain yang berada dalam tradisi tersebut, atau yang mau bergerak melampauinya. Naomi Scheman, misalnya, pernah menunjukkan sejumlah cara di mana feminis analitis tidak sepenuhnya mengapresiasi “muatan-muatan (baggage) politis, metafisis dan epistemologis yang dimasukkan ke dalam teori-teori dan konsep-konsep yang mereka pakai. Misalnya, serangan terhadap konsep ‘rasionalitas’ yang dianggap terlalu ‘bias-lelaki’ mengandaikan si pengkritik juga terbuka terhadap kemungkinan-kemungkinan bahwa model ‘rasionalitas’ yang ia kemukakan juga terbuka untuk dipertanyakan.
(2) Menyangkut metodologi, kaum feminis tetap perlu mengingat bahwa mengidentifikasikan diri dengan metode yang dipakai bisa membawa keuntungan sekaligus ketidakuntungannya sendiri. Misalnya, dengan menyebut diri sebagai ‘analytic feminists’ , filsuf-feminis ini mau menolak diri diasosiasikan dengan segala sesuatu yang berbau ‘post’ dan dan bahwa filsafat analitik masih bisa diselamatkan dari jerat dan pembatasan bias lelaki. Akan tetapi di saat yang bersamaan, wanti-wanti dari Sandra Harding juga perlu diingat, yaitu bahwa setiap wacana yang dikembangkan oleh kaum feminis juga berarti merongrong (undermines) metode paternal yang diacunya, sampai dengan batas tertentu. Artinya, tidak begitu mudah untuk mendiferensiasikan wacana dan metodologi yang ia peluk dan kembangkan dengan wacana dan metodologi ‘bapak’nya. Maka, dalam arti ini, menjadi asertif dan mengeksplisitkan ‘Ini dia wacana yang mau saya lawan’ dalam debat atau argumentasi dengan pihak lawan akan amat membantu audiens untuk memilah-milah mana wacana yang masih ‘berbau bapak’ dan mana yang sudah lepas dan ‘menjadi dirinya sendiri.’
(3) Feminisme sebagai gerakan intelektual (lebih-lebih politis) perlu (lebih) membuka bacaannya terhadap problematika yang dihadapinya dalam ranah spesifik-partikular (misalnya: epistemologi atau filsafat kesadaran) dengan mengundang dan melibatkan feminis dari tradisi / pendekatan lain untuk “bercakap-cakap” dan ‘memperluas cakrawala dalam melihat sesuatu’ sehingga mereka tidak terjebak dalam eksklusivisme metodologis, obsesi epistemologis dan chauvinisme linguistik yang malah akan menguatkan identitas patriarkal yang mau ditentangnya.
(4) Naomi Scheman, dalam esainya “Though This be Method, Yet There is Madness in It: Paranoia and Liberal Epistemology” menggunakan pendekatan psikoanalisa untuk menguji pandangan Rene Descartes tentang definisi pengetahuan sebagai sesuatu yang ‘clara et distincta’ (the search for absolute certainty). Scheman melihat kesejajaran antara kecemasan dan obsesi Descartes untuk sampai pada pengetahuan yang jelas dan pasti ini dengan kondisi kejiwaan manusia yang oleh Freud dikonsepkan sebagai ‘paranoia.’ Freud mendeskripsikan paranoia sebagai proses keterpisahan (splitting) dan keterasingan (alienation). Sesuatu yang tadinya dikenali sebagai bagian dari jati diri (the self) lalu dipisahkan dan dilekatkan kembali pada sesuatu atau seseorang yang lain yang bukan diri. Motif upaya pemisahan ini adalah ketidakcocokan antara bagian yang di-split dengan ego yang sedang berkembang. [18] Namun kita bisa melihat dampak yang jelas dari pemisahan ini, yaitu pemiskinan diri (the diminuation of the self) – diri tidak lagi mempunyai apa yang tadinya ia punyai. Namun apakah benar bahwa “diri” menjadi lebih baik setelah “bagian yang tidak cocok” ini dipisahkan darinya? Inilah nasib yang harus dipikul oleh tubuh dalam epistemologi Cartesian dan pasca-Cartesian, yaitu bahwa diri menjadi identik dengan res cogitans, dan bukan lagi diri yang merasa (sensual) dan menubuh (bodily). Diri model Cartesian adalah diri yang tidak mampu lagi berkomunikasi dengan bagian yang dipisahkan darinya (yaitu tubuhnya), “diri yang sendirian,” diri yang berpijak dan dikonstitusi dari pemisahan. Diri inilah yang dimaksud sebagai “diri yang paranoid” oleh Freud.

Sejajar dengan analisa psikologi ini, sekarang kita mengambil tukikan ke arah analisa kognitif, menyangkut posisi subjek dan model pengetahuan macam apa yang dihasilkan oleh kritik feminis terhadap filsafat kesadaran mainstream.. Helen Longino, misalnya, mengamati bahwa argumen kaum feminis yang berupaya untuk merekonstruksi ‘pengetahuan’ (sebagaimana dimengerti sains) setidaknya menyumbangkan 3 hal berikut ini, yaitu : (1) tidak ada posisi subjek yang sungguh-sungguh murni atau tidak bersyarat (2) pengetahuan paling baik digagas kembali sebagai berkarakter sosial. Artinya, pengetahuan merupakan produk dari interaksi sosial di antara anggota-anggota sebuah komunitas / masyarakat tertentu dan interaksi antar-komunitas. Model pengetahuan yang digagas sebagai ‘berkarakter sosial’ (interaksionis) melampaui model relasi monologal dominatif subjek penahu à objek yang diamati / diketahui; (3) lalu apa arti objektivitas dalam model (1) dan (2) ini? Me-revisi objektivitas berarti mengartikulasikan struktur-struktur dan relasi sosial yang terkait dalam konteks riset di mana di dalamnya pengetahuan dan validitas kebenaran dari pengetahuan itu dicari dan berupaya ditemukan. Me-revisi objektivitas, dalam hal ini tentu juga berarti memeriksa kembali bahasa yang dipakai untuk mengekspresikan, melaporkan dan mengartikulasikan baik metodologi maupun tujuan dari pengetahuan tersebut. Sumbangan dari kritik feminis analitik yang peka terhadap bahasa yang bias-gender dalam sejarah filsafat (dalam hal ini filsafat kesadaran meskipun tidak terbatas di situ) amat signifikan, karena kita memahami sesuatu (entah itu fenomena alam maupun relasi antar-manusia) baik di dalam maupun melalui bahasa.
Untuk melihat letak kritik feminis terhadap filsafat identitas secara lebih luas, baik kiranya jika kita juga mencermati bingkai besar ‘kritik terhadap identitas modern’ seperti dikatakan oleh filsuf Kanada Charles Taylor. Dalam bukunya Sources of The Self: The Making of Modern Identity (1989) yang dikutip Paul Gilroy [19], setelah agama dan spiritualitas abad pertengahan menurun, kedirian (selfhood) modern mengasalkan dirinya pada 5 sumber, yaitu subjek dalam relasi sosial (Karl Marx), subjek dalam level kesadaran dan ketidaksadaran: id, ego, superego (Sigmund Freud, diteruskan Jacques Lacan), subjek sebagai konstruksi linguistik (Ferdinand de Saussure), subjek sebagai konstruksi diskursus (Michel Foucault), dan subjek ber-jender sebagai konstruksi ideologis patriarkal (Luce Irigaray, Helene Cixous, dan Julia Kristeva). Kesemua sumber pengasalan identitas subjek ini berupaya untuk mengkombinasikan baik pandangan tentang subjek yang stabil dan koheren sebagai pra-kondisi bagi aktivitas pencarian kebenaran yang otoritatif dan bisa diandalkan, maupun pandangan tentang subjek yang lebih kontingen, yang konteks-spesifik dan relatif, yang mengelak dari penerapan hukum-hukum yang universal dan mengatasi ruang-waktu. Namun sekarang, seiring dengan kemajuan teknologi dan komunikasi yang dimediasi komputer, konsep identitas sebagai subjektivitas mendapat tantangan serius sebab identitas individu tidak lagi dibatasi pada bentuk-bentuk kehadiran fisik yang paling mencolok diwujudkan oleh tubuh. Batas kedirian tidak lagi berhenti di gerbang kulit, namun ia bisa berkelana dengan bantuan instrumen teknologi menuju pada ‘yang lain’ yang terpisah secara geografis, spasial-temporal. Kultur simulasi dan virtual reality yang cenderung meninggalkan tubuh dan memuja pikiran (atau kesadaran trans spasial-temporal) juga bertumbuh kembang dalam kondisi sosio-historis yang baru ini. Ide ‘kebertubuhan’ (embodied self) sudah jelas mendapatkan tantangan dari peristiwa dan fenomena yang relatif baru ini.
Sementara itu, berbicara tentang relasi tubuh dan pikiran sebagai entitas pendukung kontinyuitas identitas, kita tidak bisa meninggalkan sumbangan pemikiran Michel Foucault [20]. Foucault tergolong seorang pemikir konstruksi sosial tentang tubuh yang menolak baik pandangan determinisme biologis maupun penentuan psikis (Psikoanalisa) dalam memandang tubuh. Pandangan Foucault tentang tubuh diwarnai ketegangan yang fundamental. Di satu sisi ia melihat tubuh sebagai entitas yang stabil sejauh tubuh merupakan produk dari wacana yang terbangun (constructing discourse). Konstruksi tubuh lewat wacana membuat tubuh menjadi fenomena yang trans-historis dan lintas-budaya (cross-cultural) yang cenderung menyatukan (unified). Tubuh selalu siap dikonstruksi wacana. Tanpa dibatasi waktu/tempat, tubuh selalu tersedia sebagai tempat atau lahan (site) untuk menerima makna dari kekuatan-kekuatan eksternal. Di sisi lain, pandangan Foucault tentang tubuh sebagai bentukan wacana seolah-olah mau melenyapkan tubuh itu sendiri sebagai entitas material-jasmaniah. Tubuh Foucault adalah tubuh yang tidak menubuh (disembodied). Tubuh diiyakan sebagai topik diskusi, tapi sebagai objek material ia tidak ditoleh. Dalam relasi kekuasaan (power relations), pikiran menjadi panglima balatentara wacana tentang tubuh. Tubuh lalu diibaratkan seperti segumpal daging yang teronggok diam, pasif, inert, yang dikontrol dan diombang-ambingkan oleh kontes wacana (yang berpusat pada otak).
Sebagai kata akhir, saya akan mengatakan bahwa pluralitas diri (identitas) yang disusun oleh konstruksi bahasa, di mana gugus pengalaman dan pemaknaan atas pengalaman itu yang dibentuk secara sosial dan kultural lewat wacana diartikulasikan kembali dalam interaksi dan inter-relasi dengan “diri-diri yang lain” agar dapat bekerja secara optimal dan wajar dalam ruang hidup bersama, perlu dirangkum dalam sebuah bingkai keutuhan “aku.” Baik persamaan (yang ditekankan oleh teori identitas), maupun perbedaan (yang disuarakan oleh kaum feminis), berpartisipasi dalam mengkonstruksi sekaligus mendekonstruksi diri agar ia tidak menjadi barang mati yang disubordinasi oleh diri-diri yang lain (katakanlah ‘diri maskulin’), melainkan ‘diri’ yang tercerahkan dan terbebaskan untuk semakin aktif terlibat dalam ruang politis dan kultural pemaknaan hidup bersama.

Daftar Pustaka
Pustaka Utama
James, Susan, “Feminism in Philosophy of Mind: The Question of Personal Identity” dalam Miranda Fricker dan Jennifer Hornsby (editor), The Cambridge Companion to Feminism in Philosophy, Cambridge University Press, 1999, hlm. 29 – 48.
Scheman, Naomi, “Feminism in Philosophy of Mind: Against Physicalism” dalam Miranda Fricker dan Jennifer Hornsby (editor), The Cambridge Companion to Feminism in Philosophy, Cambridge University Press, 1999, hlm. 49 – 67

Pustaka Sekunder
Barker, Chris, Cultural Studies: Theory and Practice (2nd edition), London, dll: SAGE Publishers, 2003, khususnya chapter 8 “Issues of Subjectivity and Identity” (hlm. 219 – 246) dan chapter 10 “Sex, Subjectivity and Representation” (hlm. 279 – 314)
Fentress, James dan Wickham, Chris, Social Memory, Oxford UK & Cambridge USA: Blackwell Publishers, 1992, hlm. 1-86.
Fromm, Erich, Love, Sexuality and Matriarchy about Gender, New York: Fromm International Publishing Corporation, 1997.
Gilroy, Paul. “Diaspora and the Detours of Identity” dalam Kathryn Woodward (ed.), Identity & Difference, Open University (UK), 1997, hlm. 301 – 343.
Hunter, Ian M. L., Memory: Facts and Fallacies, Middlesex (UK): Penguin Books, 1957.
Lloyd, Genevieve, “Reason, Science and the Domination of Matter” dalam Evelyn Fox Keller dan Helen E. Longino, Feminism and Science, Oxford – New York: Oxford University Press, 1996, hlm. 41 – 53.
Mansbridge, Jane dan Okin, Susan Moller, “Feminism”, dalam Sills, David L. (editor), International Encyclopedia of The Social Sciences Volume 5 & 6, New York: The Macmillan Company & The Free Press, hlm. 269 – 290.
Okin, Susan Moller, “Is Multiculturalism Bad for Women?”, diedit oleh Joshua Cohen, Matthew Howard dan Martha C. Nussbaym, Princeton, New Jersey (USA): Princeton University Press, 1999, hlm. 9 – 24.
Scheman, Naomi, “Though This be Method, Yet There is Madness in It: Paranoia and Liberal Epistemology” dalam Evelyn Fox Keller dan Helen E. Longino, Feminism and Science, Oxford – New York: Oxford University Press, 1996, hlm. 203 – 219.
Segal, Lynne, “Sexualities” dalam Kathryn Woodward, Identity and Difference, London, Thousand Oaks & New Delhi : SAGE Publications bekerjasama dengan The Open University, 1997, hlm. 183 – 228.
Shilling, Chris “The Body and Difference” dalam Kathryn Woodward, Identity and Difference, London, Thousand Oaks & New Delhi : SAGE Publications bekerjasama dengan The Open University, 1997, hlm. 65 – 107.
Shipton, Geraldine, “Self-reflection and the mirror” dalam Chris Mace (editor), Heart & Soul : The therapeutic face of philosophy, London & New York : Routledge, 1999, hlm. 180 – 193.
Thomas, Myra, “Seventeen syllables for the self” dalam Chris Mace (editor), Heart & Soul : The therapeutic face of philosophy, London & New York : Routledge, 1999, hlm. 197 – 214.

Bahan-bahan dari internet:

Tentang filsafat kesadaran (Philosophy of Mind) dari wikipedia.com (http://en.wikipedia.org/wiki/Philosophy_of_mind) yang diakses oleh Hendar Putranto pada Selasa, 16 Januari 2007 jam 8:46 WIB.
Tentang identitas pribadi (personal identity) dari http://plato.stanford.edu/entries/identity-personal/ yang diakses oleh Hendar Putranto pada Selasa, 16 Januari 2007 jam 9:10 WIB dan dari http://mbdefault.org/8_identity/default.asp yang diakses oleh Hendar Putranto pada Selasa, 16 Januari 2007, jam 9:13 WIB.
Tentang Naomi Scheman dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Naomi_Scheman
Garry, Ann, “Analytic Feminism” dalam Stanford Encyclopedia of Philosophy Online yang bisa diakses di http://plato.stanford.edu/entries/femapproach-analytic
JACKSON, FRANK dan GEORGES REY (1998), “Mind, philosophy of” dalam E. Craig (Ed.), Routledge Encyclopedia of Philosophy, London: Routledge, diakses pada 10 Januari 2007, dari http://www.rep.routledge.com/article/V038
Newall, Paul, “Philosophy of Mind” (2005) yang bisa diakses di http://www.galilean-library.org/int14.html

SEJUMLAH KONSEP IDENTITAS DAN PERBEDAAN

SEJUMLAH KONSEP IDENTITAS DAN PERBEDAAN

oleh Kathryn Woodward [1]


dialihbahasakan dan disunting oleh Hendar Putranto dari Kathryn Woodward (ed.), Identity & Difference, Open University (UK), 1997, hlm. 29 – 48.

4. Bagaimana menandai relasi antara perbedaan dengan identitas?

4.1. Beberapa ‘sistem penggolongan’ (classificatory systems)
Dalam bagian sebelumnya, saya (Kathryn Woodward) sudah mengajukan argumen bahwa identitas-identitas itu dibentuk lewat ‘penandaan perbedaan’ (the marking of difference). Penandaan perbedaan ini terjadi baik lewat sistem simbolis bernama representasi, maupun lewat bentuk-bentuk tertentu dari ‘pengecualian sosial’ (social exclusion). Dengan demikian, identitas bukanlah lawan dari perbedaan, namun tergantung dari perbedaan. Dalam hubungan sosial, bentuk-bentuk perbedaan yang berkarakter simbolis dan sosial ini dimapankan, paling tidak untuk sebagian, lewat proyek bernama sistem penggolongan. Sistem penggolongan bekerja dengan cara menerapkan prinsip perbedaan terhadap sebuah populasi sedemikian rupa sehingga mampu membagi mereka dan semua karakteristik yang mereka punyai menjadi setidaknya dua kelompok yang saling berlawanan – kita/mereka (misalnya: Serbia/Kroasia, pribumi/non-pribumi, Madura/Dayak, dll.); diri/yang-lain. Sosiolog kenamaan asal perancis Emile Durkheim [2] pernah mengatakan bahwa makna bisa dihasilkan lewat pengaturan dan penataan benda-benda ke dalam sistem penggolongan. Sistem-sistem penggolongan memudahkan penataan hidup sosial dan sistem-sistem ini diafirmasi lewat pembicaraan dan ritual. Dalam bukunya The Elementary Forms of Religious Life, Durkheim mengatakan ‘tanpa adanya simbol-simbol, rasa perasaan sosial tidak mempunyai dasar keberadaan yang kokoh’ [3]. Dengan menggunakan agama sebagai model bagaimana proses-proses simbolis bekerja, Durkheim memperlihatkan bahwa hubungan-hubungan sosial diproduksi dan direproduksi lewat ritual dan simbol yang menempatkan segala sesuatunya dalam golongan yang suci dan yang profan. Tidak ada sesuatu yang ‘suci’ yang melekat sejak asali pada benda-benda. Artefak (barang-barang kuno temuan penggalian arkeologi) dan ide-ide itu suci karena mereka disimbolkan dan ditampilkan seperti itu. Ia kemudian mengatakan lebih jauh lagi bahwa gugus tampilan (representations) yang orang temukan dalam agama-agama ‘primitif’—seperti objek-objek pemujaan, topeng, objek-objek yang dipakai dalam upacara adat dan barang-barang totem (patung-patung)—dianggap suci karena mereka menubuhkan (mendarah-dagingkan) norma-norma dan nilai-nilai dari masyarakatnya dan dengan demikian menyatukan mereka secara budaya. Durkheim berpendapat bahwa, supaya memahami makna yang dihayati di balik sejumlah aspek sosial yang berbeda-beda, makna-makna ini harus dipelajari dalam kerangka penggolongan mereka secara simbolis. Misalnya, roti yang dimakan sehari-hari di rumah adalah kebutuhan hidup harian, namun ketika roti itu dipersiapkan secara khusus dan dibagi-bagi di meja perjamuan, roti menjadi suci—dan bisa menyimbolkan Tubuh Kristus (dalam tradisi keagamaan Kristen). Pada umumnya, hidup sosial distrukturkan oleh ketegangan antara yang suci dan yang profan dan lewat upacara-upacara (misalnya, muktamar dari kelompok agama tertentu, atau berbagi dalam meja perjamuan / perayaan Ekaristi) makna diproduksi, ketika cita-cita dan nilai-nilai kelembagaan dijadikan miliknya sendiri (diakukan) oleh pribadi-pribadi yang berkumpul di situ.

Agama adalah sesuatu yang sifatnya sosial. Representasi keagamaan adalah representasi kolektif yang mengungkapkan kenyataan kolektif; upacara (ritus) adalah cara bertindak yang terjadi di tengah kelompok-kelompok yang berkumpul yang bertujuan untuk memunculkan, menjaga dan menciptakan kembali keadaan kejiwaan tertentu dalam kelompok-kelompok ini. [4]

Yang suci, artinya yang ‘diletakkan secara terpisah,’ didefinisikan dan ditandai sebagai yang berbeda dalam hubungannya dengan yang profan, di mana yang suci diletakkan sebagai yang berlawanan dan sepenuhnya ‘terpisah’ (excluded) dari yang profan. Cara-cara di mana budaya menarik garis batas dan menandai perbedaan amatlah penting dalam pemahaman kita tentang identitas. Perbedaan adalah hal yang menandai satu identitas dari identitas lainnya dan menegaskan ‘distingsi’ (perbedaan yang jelas ketara), cukup sering dalam bentuk hal yang saling bertolak-belakang, seperti sudah kita lihat dalam contoh kasus tentara Serbia dan Bosnia di awal tulisan ini, di mana identitas dikonstruksi (diciptakan) lewat perlawanan sengit antara dua posisi ‘kita’ dan ‘mereka’. Penandaan perbedaan dengan demikian menjadi kata kunci dalam sistem penggolongan.
Setiap budaya mempunyai cara menggolongkan dunianya sendiri-sendiri. Lewat sarana sistem-sistem penggolongan, budaya memberikan kepada kita alat / sarana untuk membuat dunia sosial menjadi dipahami dan untuk mengkonstruksi sejumlah makna. Namun harus tercapai kesepakatan lebih dulu antar anggota masyarakat tentang bagaimana menggolongkan hal ini atau hal itu supaya tatanan sosial tetap terjaga. ‘Sistem-sistem makna yang dihayati oleh sekelompok orang’ (shared meaning systems) inilah yang kita sebut sebagai ‘budaya’ :

…budaya, dalam pengertian publik, (dan kerangka) nilai-nilai yang dijadikan standar acuan oleh sebuah komunitas, menjadi perantara dari pengalaman yang dialami oleh individu-individu yang ada di dalamnya. Budaya menjadi penyedia sejumlah kategori dasar, sebuah pola yang positif di mana gagasan-gagasan dan nilai-nilai ditata secara rapi. Di atas semua itu, budaya mempunyai otoritas, karena masing-masing diajak untuk menyepakati sesuatu karena persetujuan orang lain. [5]

Seorang antropolog dari Inggris bernama Mary Douglas [6] mengembangkan konsep budaya yang dipelopori Durkheim yang berpendapat bahwa budaya itu, dalam bentuk upacara, simbol dan penggolongan, penting dalam proses produksi makna dan reproduksi relasi sosial [7]. Bagi Douglas, upacara-upacara (yang disebut oleh Durkheim) bisa diperluas meliputi semua aspek kehidupan sehari-hari, seperti: menyiapkan sarapan, membersihkan rumah, menaruh barang di suatu tempat—semuanya, mulai dari bicara sampai menyiapkan makan. Bagian di bawah ini akan menelaah lebih jauh pentingnya penggolongan dalam budaya dan makna, dengan menggunakan contoh sehari-hari yaitu makanan.
Ahli antropologi dari Perancis bernama Claude Lévi-Strauss [8] melihat dirinya sebagai pewaris sekaligus penerus pemikiran Durkheim, dan ia menggunakan contoh makanan untuk memperjelas pemikirannya. Makanan yang kita konsumsi menegaskan identitas kita antara kita sebagai manusia (yaitu : budaya / culture) dan makanan kita (yang sifatnya alamiah / nature). Masakan adalah cara yang paling universal untuk mengubah sesuatu dari yang alamiah menjadi yang budaya. Masakan juga merupakan sebuah bahasa yang lewatnya kita ‘berbicara’ tentang diri kita dan tempat kita di dunia. Mungkin kita bisa meminjam istilah filsuf Perancis dari abad ke-16, Rene Descartes dan berkata ‘saya makan, dengan demikian saya ada.’ Sebagai makhluk hidup biologis kita butuh makan untuk bisa survive (tetap hidup dan selamat) di alam ini, namun survival kita sebagai manusia tergantung dari penggunaan kategori-kategori sosial yang muncul dari kategori-kategori budaya yang kita pakai untuk memahami alam.

KEGIATAN 3
Bisakah Anda menyebutkan cara-cara di mana makanan yang kita makan menyumbang sesuatu terhadap identitas kita? Jenis makanan apa yang Anda makan pada hari-hari istimewa / pesta besar dan apa saja yang disebut makan ‘biasa’? Jika Anda masuk ke restoran, makanan jenis apa yang Anda pesan dan santap di sana? Jenis makanan apa yang kemungkinan besar tidak dinikmati oleh kakek dan nenek Anda? Apakah ada makanan tertentu yang mereka makan namun Anda tidak menyukainya? Makanan apa yang tidak Anda makan? Mengapa tidak? Misalnya, apakah karena alasan keagamaan atau karena Anda merasa jijik memakannya? Apakah ada makanan yang hanya akan Anda makan jika sudah dimasak (bukan mentah)?

Apa yang kita makan bisa mengatakan cukup banyak tentang siapa kita dan dalam budaya macam apa kita tinggal. Makanan adalah medium (jembatan) yang lewatnya orang bisa menyatakan sesuatu tentang diri mereka. Makanan juga menggambarkan perubahan yang ada sejalan waktu dan bersifat lintas-budaya. Coba Anda pikirkan sejenak aneka macam makanan (bahan pokok makanan) yang tersedia di supermarket, dan juga kedai-kedai makanan yang berlatar belakang makanan khas suku tertentu di kota Jakarta dan juga di kota-kota lain yang lebih kecil---lapo batak, warung tegal, soto madura, warung padang, resto Thailand, hanyalah sedikit contoh dari sekian banyak warung makan / restoran bernuansa etnis / suku di kota besar semacam Jakarta, Bandung, Surabaya, dll. Bagi Lévi-Strauss, bagaimana kita mengelola (organize) makanan juga sama pentingnya—makanan pembuka, kudapan, makanan penutup, dsb.; yang mentah dan yang sudah dimasak. Konsumsi makanan bisa menjadi petunjuk seberapa berada orang atau seberapa kosmopolitan dia, juga menjadi penanda dari suku atau agama tertentu. Mengkonsumsi makanan juga bisa mempunyai dimensi politis. Orang bisa memboikot makanan produksi negara tertentu sebagai bagian dari ketidaksetujuan mereka terhadap kebijakan negeri tersebut, seperti yang pernah terjadi di Indonesia (pemboikotan terhadap gerai makanan McDonald’s yang dianggap menjadi simbol negara Amerika, saat invasi Amerika ke Irak tahun 2003 yang lalu.) Identitas juga bisa ditegaskan dengan tidak makan makanan tertentu seperti tidak makan daging (vegetarian), tidak makan makanan yang mengandung bahan pengawet (makanan organis). Batas antara apa yang boleh dimakan dan tidak memang bisa berubah-ubah, dan praktek menyantap makanan juga semakin lama semakin dibentuk seturut aliran politis, moral atau ekologis seseorang atau sekelompok orang. Konsumsi makanan juga terkait erat dengan ketersediaan material tertentu: orang hanya bisa makan apa yang sanggup ia beli atau apa yang tersedia di dalam masyarakatnya. Pertimbangan yang menyertai praktek makan dan upacara atau ritual yang diasosiasikan dengan konsumsi makanan tertentu membuat kita berpikir bahwa ‘kita adalah apa yang kita makan’, meskipun jawaban Anda terhadap beberapa pertanyaan terakhir di kegiatan 3 di atas cenderung membawa kita untuk berpikir bahwa ‘kita adalah apa yang tidak ktia makan.’ Ada sejumlah larangan budaya yang sifatnya mendasar untuk tidak memamakn makanan tertentu dan pemilahan pokok antara apa yang bisa (boleh) dan apa yang tidak bisa (tidak boleh) dimakan yang amat berbeda dari distingsi semacam apa yang sehat, yang bergizi dan yang beracun. Ada macam-macam bentuknya, contohnya: kaum Muslim menghindari minum-minuman keras, babi dan makanan yang tidak halal, atau menghindari makanan yang non-kosher bagi orang Yahudi. Namun dari semua contoh ini menjadi jelaslah bahwa makanan bisa menjadi penanda identitas yaitu siapa yang termasuk di dalam sistem kepercayaan tertentu dan siapa yang berada di luar sistem tersebut. Dimensi perlawanan atau pertentangan misalnya dikonstruksi antara vegetarian dan pemakan daging, mereka yang makan makanan yang sehat dan konsumen junk-food.
Dalam analisa Lévi-Strauss, makanan tidak hanya ‘baik untuk dimakan’ tapi juga ‘baik untuk dipikirkan.’ Maksudnya, makanan adalah pembawa makna simbolis, dan bisa berperan sebagai penanda (signifier). Bagi Lévi-Strauss, masakan mewakili transformasi alam menjadi budaya yang sifatnya mendasar dan ditiru oleh yang lain (archetypal). Berlandaskan ini, ia lalu menganalisa struktur mitos dan sistem kepercayaan yang sifatnya tersembunyi (tidak langsung jelas nampak), dengan berargumen bahwa struktur mitos dan sistem kepercayaan bisa diekspresikan sebagai, atau dikerucutkan menjadi, yang ia sebut sebagai ‘segitiga kuliner’. Semua makanan, demkian pendapatnya, bisa dibagi ke dalam skema penggolongan berikut ini (lihat gambar di bawah) [9]:

Mentah


Masak Busuk
Lévi-Strauss berpandangan bahwa, sebagaimana tidak ada masyarakat manusia yang tidak mempunyai bahasa, maka tidak ada juga masyarakat manusia yang kekurangan kuliner (yaitu cara-cara mengubah makanan dari bahan mentah hingga masak). Makanan yang sudah dimasak dianggap sebagai makanan mentah segar yang diubah atau ditransformasi oleh cara atau sarana budaya. Makanan busuk adalah makanan mentah segar yang ditransformasi oleh cara-cara yang alamiah.
Lévi-Strauss mengidentifikasi sejumlah proses memasak yang bisa menggambarkan dengan baik proses transformasi ini. Memanggang (roasting), kegiatan yang mendekatkan sesuatu secara langsung ke nyala api (api adalah agen perubahan tanpa perantaraan perangkat budaya manapun), adalah posisi netral. Sementara merebus (boiling), yang melibatkan penggunaan air, mengubah makanan mentah ke kondisi yang kurang lebih mirip dengan proses pembusukan yang alami (dekomposisi), dan mensyaratkan adanya wadah atau panci masak. Pengasapan (smoking) tidak menuntut mediasi budaya apapun. Yang dibutuhkan saat mengasapi adalah lebih banyak udara, dan bukan air. Makanan yang dipanggang (seperti barbecue) adalah makanan pesta yang memang disiapkan untuk kepentingan pesta, sementara makanan yang direbus berlaku untuk makanan sehari-hari dan hasilnya juga boleh diberikan pada anak-anak, orang sakit dan orang tua. Skema yang digambarkan Lévi-Strauss mungkin agak sedikit rumit dan nampaknya terlalu jauh. Namun, dalam pengertian-pengertian yang umum, analisa strukturalis yang dikembangkannya amatlah berpengaruh, dan contoh yang diberikan di sini amat berguna untuk menerangi pentingnya makanan secara budaya: “Menjadi bagian dari konvensi atau kesepakatan masyarakat menyangkut apa yang disebut makanan dan apa yang bukan, dan makanan jenis apa yang dimakan dan dalam kesempatan apa’ [10]. Peranan makanan dalam mengkonstruksi identitas dan mediasi (perantaraan) budaya dalam mengubah yang alamiah adalah poin penting yang pantas kita garis bawahi. Itulah sebabnya mengapa kita tadi menoleh sejenak ke dapur.
Satu aspek lagi dari analisa Lévi-Strauss yang masih terkait erat dengan pembahasan kita atas kegiatan 3 di atas adalah penggolongan makanan secara budaya menjadi ‘yang bisa dimakan’ (edible) dan ‘yang tidak bisa dimakan’ (inedible). Lewat penggolongan semacam inilah tatanan sosial bisa diciptakan dan dijaga. Seperti diutarakan Mary Douglas:

…ide tentang pemisahan, pemurnian, penarikan batas demarkasi dan penghukuman bagi mereka yang melanggar garis batas ini mempunyai fungsi utama yaitu untuk menekankan sistem pada gugus pengalaman yang acak-acakan. Hanya dengan cara melebih-lebihkan perbedaan antara ‘yang di dalam’ dengan ‘yang di luar’, atas dan bawah, lelaki dan perempuan, pro dan kontra – lah sebuah tatanan diciptakan.

Perkataan Mary Douglas ini mengajak kita berpikir bahwa (1) tatanan sosial dijaga lewat oposisi biner (dua kutub yang saling berlawanan) dalam kerangka penciptaan “orang dalam” dan “orang luar”, dan juga lewat (2) konstruksi kategori-kategori yang berbeda di dalam struktur sosial berupa sistem-sistem simbolis dan budaya yang memediasi klasifikasi ini. Kontrol sosial dilaksanakan lewat produksi golongan ini dan golongan itu di mana individu yang melanggar pembatasan ini lalu dilemparkan menjadi “orang luar / orang asing”, menurut sistem sosial yang berlaku. Penggolongan secara simbolis terkait erat dengan tatanan sosial. Contohnya, seorang penjahat adalah ‘orang luar’ yang karena pelanggarannya membuatnya tersingkir dari masyarakat umum. Karena itu ia memproduksi identitas ---yang karena dikaitkan dengan tidak mau patuh pada hukum---yang dihubungkan dengan bahaya, karenanya ia disingkirkan dan dipinggirkan. Identitas ‘orang luar’ ini diproduksi selalu dalam hubungannya dengan ‘orang dalam.’ Seperti sudah saya beberkan di contoh pada bagian awal bab ini, tentang identitas nasional, satu identitas diciptakan dalam hubungannya dengan yang lain. Douglas menganjurkan bahwa kita bisa mengetahui makna sebuah kata dalam hubungannya dengan kata yang lain, misalnya dengan menggunakan contoh hari-hari yang ada dalam satu minggu. Dalam situasi semacam ini, kita memahami konsep-konsep sebagai bagian dari sekuensi (rentetan). Untuk menerapkan prinsip ini ke dalam hidup sosial praktis, atau untuk mengatur hidup sehari-hari berdasarkan prinsip penggolong-golongan dan perbedaan, acapkali melibatkan perilaku sosial yang diulang-ulangi dan diritualkan: atau, dengan kata lain, seperangkat praktek simbolis yang dianut bersama (a set of shared symbolic practices).

Hari-hari dalam seminggu, dengan urut-urutannya yang tetap, dengan nama dan masing-masing karakteristiknya: terlepas dari fungsi praktis mereka menandai pembagian waktu, masing-masing dari mereka mempunyai makna sebagai bagian dari sebuah pola. Setiap hari mempunyai kepentingannya sendiri-sendiri dan jika ada tindakan atau kebiasaan yang diulang-ulang terus pada hari tertentu, pelaksanaan kebiasaan secara ajeg / tetap itu mempunyai dampak terhadap ritual. Hari Minggu bukanlah sekedar hari untuk beristirahat. Minggu adalah hari sebelum Senin…dalam pengertian sesungguhnya, kita tidak bisa mengalami hari Selasa jika karena sejumlah alasan tertentu kita lalai memperhatikan secara formal bahwa kita sudah melewati hari Senin. Melewati bagian dari pola adalah sebuah prosedur yang niscaya untuk sampai dan sadar mengenai tahap berikutnya.

Douglas menggunakan contoh pencemaran (polusi) dan secara khusus ia menyoroti apa yang kita anggap sebagai ‘kotoran’ (dirt), di mana ide-ide kita (tentang kotoran) ini ‘tersusun dari dua hal, yaitu peduli pada kebersihan / hygiene dan menghormati kesepakatan / conventions’ [11] Douglas berargumen bahwa kotoran memang merupakan perlawanan atau serangan terhadap tatanan namun tidak ada yang namanya ‘kotoran yang mutlak’ Kotoran adalah ‘hal yang tidak pada tempatnya’. Tanah amat cocok berada di kebun, tetapi tanah jadi masalah (‘tidak pada tempatnya’) jika berada di karpet ruang tamu. Upaya kita untuk membersihkan kotoran bukanlah gerakan negatif namun upaya yang positif untuk mengelola lingkungan---untuk membuang materi yang tidak pada tempatnya, dan memurnikan lingkungan. Douglas berpendapat lebih jauh lagi. Menurutnya, “Refleksi tentang kotoran juga melibatkan refleksi tentang relasi antara tatanan dengan kekacauan, pengada dengan non-pengada, bentuk dengan nir-bentuk, hidup dan mati’ [12] Dengan demikian, penciptaan kategori bersih dan tidak bersih, seperti juga kategori ‘orang dalam’ dan ‘orang luar’, adalah produk dari sistem-sistem klasifikasi secara budaya yang bertujuan untuk menciptakan tatanan (order).
Anda mungkin merasa para teoretikus ini cenderung melebih-lebihkan peranan yang simbolis daripada yang material. Namun demikian, dengan memperhatikan makanan yang dimakan dan tidak dimakan orang, ktia juga perlu melihat dimensi jasmaniahnya (material), sekaligus pembatasan-pembatasannya. Sebagai kemungkinan jawaban atas pertanyaan yang diajukan di kegiatan 3 di atas, Anda mungkin berpikir tentang sejumlah jenis makanan yang ingin sekali Anda cicipi tetapi tidak sanggup Anda beli. Dilihat dari sejarahnya, pilihan jenis makanan telah berkembang dalam konteks kekurangan atau kelebihan (surplus). Pilihan makanan kita juga, diandaikan kita mempunyai pilihan, berkembang dalam konteks ekonomis tertentu. Meskipun penting juga melihat segi keterbatasan ekonomis dan jasmaniah ini, namun tidak lantas berarti merongrong pentingnya segi simbolis atau sistem-sistem penggolongan. ‘Citarasa’ jauh lebih rumit daripada sekedar didikte oleh kelebihan atau kekurangannya. Faktor-faktor ekonomi tidaklah menentukan tanpa ‘diterangi’ budaya. Seperti ditegaskan Mary Douglas, dalam keterbatasan ekonomi pun, setiap rumah tangga ‘mengerjakan atau menjalankan pola makan yang reguler, jatah makan dan minum untuk anak-anak, juga untuk laki-laki di rumah itu, untuk perempuan, makanan yang cukup wah dan yang biasa-biasa saja.’ [13] Seperti apapun tingkat kemiskinan atau kemakmuran, acara minum-minum juga bertindak sebagai penanda berkarakter jender dari ‘identitas pribadi dan tentang pembatasan dari siapa yang termasuk (inklusi) dan siapa yang tidak termasuk (eksklusi)’ [14] Ada sejumlah larangan bagi kaum perempuan untuk tidak berpesta minum-minuman keras (strong drink), sebab, seperti kata pepatah ‘gin (salah satu jenis minuman beralkohol) adalah awal kehancuran ibu’, namun lelaki dari kelas dan tingkat penghasilan yang sama dinilai berdasarkan konteks tertentu (Douglas mengutip para lelaki yang bekerja di galangan kapal, namun nampaknya agak sulit untuk mencari contoh pembandingnya) dengan cara ‘seberapa baik mereka membawa minuman mereka’ [15] Sistem penanda yang didasarkan pada makanan dengan demikian berada di bawah kendali tatanan simbolis selain jender, umur, dan perbedaan kelas. Tentu saja, ada perbedaan-perbedaan kelas sosial dalam hal citarasa kita terhadap makanan tertentu. Seperti diutarakan Pierre Bourdieu (1984), sejumlah makanan tertentu lebih sering dikaitkan dengan lelaki atau perempuan seturut kelas sosial mereka. Ikan dilihat kurang cocok bagi lelaki dari kelas pekerja dan dianggap sebagai ‘makanan ringan’ yang lebih cocok untuk anak-anak dan orang cacat. Contoh promosi iklan daging di Inggris belakangan ini, yang berkampanye untuk mencegah semakin banyak orang menjadi vegetarian, nampaknya juga menegaskan hal ini dengan seolah-olah berkata ‘hanya orang lemah sajalah yang makan sayur-sayuran dan ikan’ (bunyinya: ‘Lelaki sejati makan daging; ‘Lelaki butuh daging’). Namun, kecemasan makan daging yang merebak seiring krisis BSE (Bovine Spongiform Encephalopathy, atau penyakit sapi gila) di Inggris sejak 1986 hingga 2004 yang lalu [16] lalu mungkin akan mengecilkan dampak dari promosi semacam ini. Bourdieu pernah berargumen bahwa fisik-jasmani seseorang berkembang lewat inter-relasi antara lokasi berbasis-kelas dan rasa dari si individu---mengenai rasa (taste) termasuk cara-cara si individu memperoleh, sebagai bagian dari gaya hidupnya, pilihan-pilihan dan preferensi-preferensi yang adalah produk dari keterbatasan material---dan “habitus” (istilah ini akan dijelaskan secara terpisah dalam bab 2 buku ini).

Bagian ini dengan demikian telah mengeksplorasi cara-cara di mana budaya menyediakan sistem-sistem penggolongan, menyetel batasan-batasan simbolis antara apa yang termasuk (“kita”) dan apa yang tidak (“mereka”) dan dengan demikian memapankan praktek mana yang bisa diterima secara kultural. Penggolongan (classification), seperti sudah kita lihat, terjadi lewat penandaan perbedaan yang ada di antara kategori ini dan kategori itu. Di bagian berikutnya kita akan melihat pentingnya (signifikasi) dari perbedaan ini dalam mengkonstruksi makna dan juga identitas.

4.2. Perbedaan
Salah satu cara untuk melihat bagaimana identitas dikonstruksi adalah dengan cara melihat keterkaitannya dengan identitas yang lain, dengan “orang luar” atau dalam kacamata ‘yang-lain’: yaitu, dalam hubungannya dengan apa yang bukan mereka. Bentuk yang paling umum ditemukan dengan model seperti ini adalah oposisi biner. Teori bahasa dari Ferdinand de Saussure [17] mempertahankan model oposisi biner semacam ini—bentuk paling ekstrem dari menandai perbedaan---karena dianggap bersifat esensial dalam hal produksi makna. [18] Bagian ini sekarang akan membahas tentang perbedaan, khususnya produksinya lewat oposisi biner. Istilah atau gagasan ‘perbedaan’ ini sudah merupakan bagian tak untuk memahami konstruksi identitas secara kultural dan sudah diadopsi oleh banyak ‘gerakan sosial baru’ yang sudah kita diskusikan di atas. Perbedaan bisa dilihat secara negatif seperti eksklusi (pengecualian) atau marjinalisasi (peminggiran) mereka yang didefinisikan sebagai ‘yang-lain’ atau ‘orang asing’. [19] Di sisi lain, perbedaan juga bisa menjadi sumber keanekaragaman, heterogenitas, dan hibriditas, di mana pengakuan akan perubahan dan perbedaan dilihat sebagai hal yang memperkaya; seperti contohnya dalam kasus gerakan sosial yang mau memperjuangkan identitas seksual yang berbeda dan merayakan perbedaan lepas dari kekangan-kekangan norma yang berlaku (contohnya: dengan gembira mengaku bahwa dirinya seorang gay).
Fitur yang umum dijumpai di kebanyakan sistem pemikiran adalah kesetiaannya pada model dualisme di mana perbedaan, yang menjadi pokok dalam hal makna, diekspresikan dalam istilah-istilah yang saling bertentangan—alam/budaya, tubuh/pikiran, hasrat/nalar. Mereka yang mengkritik pola oposisi biner ini akan berargumen bahwa kedua istilah yang saling berlawanan ini ditimbang secara berbeda (berat sebelah) sehingga unsur yang satu dalam dikotomi ini dinilai secara lebih atau dianggap lebih berkuasa daripada unsur yang satunya. Karena itulah maka filsuf Perancis terkemuka, Jacques Derrida [20] berpendapat bahwa kekuasaan bekerja di antara dua peristilahan yang terlibat dalam sembarang oposisi biner dengan sedemikian rupa sehingga ada ketidakseimbangan kekuasaan di antara kedua peristilahan itu yang sifatnya niscaya. Satu dikotomi yang paling dominan dan tersebar luas adalah antara alam (nature) dan budaya (culture), seperti sudah kita singgung dalam tulisan Lévi-Strauss. Seorang penulis feminis dari Perancis, Hélène Cixous mengambil posisi yang ditawarkan Derrida tentang distribusi kekuasaan di atanra dua peristilahan yang tidak seimbang, namun berfokus pada pembagian jender dan ia berargumen bahwa pertentangan kekuasaan ini juga menggarisbawahi pembagian (kelas) sosial, khususnya antara perempuan dan lelaki.

Pikiran selalu bekerja lewat
oposisi,
Bahasa Lisan / Bahasa Tulis
Tinggi / Rendah…
Apakah ini berarti sesuatu? [21]

Cixous lalu melanjutkan pemikirannya dengan berkata bahwa, tidak hanya pikiran yang dikonstruksi dalam kerangka oposisi biner, namun juga bahwa dalam dualisme ini satu istilah atau satu posisi dihargai lebih tinggi daripada yang lain; cukup sering yang satu menjadi norma, sementara yang satunya lagi ‘yang-lain’—dilihat sebagai penyimpangan atau berada di luar. Jika Anda memikirkan ‘tinggi’ dan ‘rendah’ dalam hal budaya, jenis kegiatan apa yang Anda asosiasikan dengan budaya tinggi (budaya luhur) ---apakah itu opera, tari balet, pementasan teater? Kegiatan-kegiatan macam apa yang sering masuk dalam kategori stereotip ‘budaya rendah’—apakah opera sabun, musik pop? Pendasaran ini mengundang pertanyaan lebih jauh dan menjadi dikotomi yang ramai diperdebatkan dalam ranah studi budaya (cultural studies), namun yang menjadi poin Cixous adalah bahwa pembagian-pembagian yang ada itu bersifat berat sebelah, dan secara khusus, pertentangan antara kutub yang satu dengan kutub yang lain itu bersifat jender (gendered binary oppositions).
Cixous memberikan kepada kita sejumlah contoh untuk memperjelas oposisi biner ini, sambil bertanya bagaimana bisa sampai mereka bersifat jender dan bagaimana posisi perempuan dalam dualisme berikut ini:

Dia (perempuan) berada di mana?
Aktivitas / pasivitas,
Matahari/Bulan,
Budaya/Alam,
Siang/Malam,
Bapak/Ibu,
Kepala/hati,
Berakal (intelligible)/sensitif
Lelaki,
Perempuan. [22]

Cixous berpendapat bahwa perempuan cenderung diasosiasikan dengan alam daripada dengan budaya, dengan ‘hati’serta emosi daripada dengan ‘kepala’ dan rasionalitas. Yang oleh Cixous diidentifikasi sebagai kecenderungan untuk menggolongkan dunia ke dalam posisi yang saling berlawanan antara prinsip-prinsip lelaki dan perempuan ditopang oleh analisa strukturalis dari Saussure yang menekankan kontras sebagai prinsip struktur bahasa. [23] Akan tetapi, kalau menurut Saussure oposisi biner ini merupakan jantung logika dari semua bahasa dan pikiran, bagi Cixous daya dorong dari struktur pikiran yang sudah bertahan sekian lama ini berasal dari jejaring determinasi budaya yang bersifat historis (artinya keterkaitan antara satu unsur dengan unsur lainnya itu bersifat menentukan secara kultural dan terbatas secara ruang-waktu, tidak bersifat universal dan berlaku di segala tempat dan segala waktu, seperti didaku oleh Saussure).
Pertanyaannya sekarang, seberapa mutlak dan tak terelakkan kah oposisi-oposisi ini? Apakah mereka bagian dari logika berpikir dan bahasa seperti ditengarai Saussure dan Lévi-Strauss? Atau mereka dipaksakan masuk ke dalam budaya sebagai bagian dari proses penyingkiran (yang-lain)? Apakah dikotomi ini memang bertujuan untuk mencemooh nilai dari salah satu unsur? Sejumlah feminis seperti Simone de Beauvoir (1908-1986) dan Luce Irigaray (1932 - …) memberikan contoh sebagai berikut. Menurut mereka lewat dualisme semacam ini kaum perempuan dikonstruksi sebagai ‘yang-lain’ sehingga kaum perempuan didefinisikan sebagai ‘yang bukan lelaki’ seperti dalam model psikoanalisa Lacan. Apakah perempuan bisa menjadi berbeda dari lelaki tanpa harus berlawanan? Irigaray menggunakan contoh seksualitas untuk mengembangkan argumennya bahwa perempuan dan lelaki mempunyai seksualitas yang berbeda tetapi tidak bertentangan. [24] Akan tetapi, penyejajaran perempuan dengan alam dan lelaki dengan kultur telah mempunyai tempat yang mapan di dalam teori antropologi. Oposisi semacam ini ditentang oleh Henrietta Moore dalam Bacaan B
Moore berpendapat bahwa antropologi amat berpengaruh dalam mengoyak kestabilan kategori-kategori yang menyatukan seperti “perempuan”, khususnya lewat keragaman lintas-budaya. Dalam antropologi, ketidaksetaraan ditelaah dari dua sudut pandang. Pertama, ketidaksetaraan jender adalah hasil dari penyejajaran perempuan dengan alam dan lelaki dengan budaya (argumen Lévi-Strauss). Posisi kedua berfokus pada struktur sosial, yang disampaikan dengan menyejajarkan perempuan dengan ruang privat dan (rumah dan relasi antar pribadi) dan lelaki dengan ruang publik berupa perdagangan, produksi dan politik. Bukti-bukti antropologis menunjukkan bahwa pembagian antara alam dengan budaya tidaklah berlaku secara universal. Tantangan yang diajukan Moore atas oposisi biner alam/budaya, yang ia kaitkan dengan perempuan/lelaki, membuka ruang kemungkinan untuk mencari kekhasan dari perbedaan.
Bagian ini telah menelaah oposisi biner, sebuah unsur kunci dalam analisa bahasa Saussure yan gdilanjutkan oleh strukturalisme Lévi-Strauss. Bagian ini jgua sudah berupaya mengkritik pendekatan dualisme ini, misalnya dengan meminjam pendekatan Derrida. Pertanyaan Derrida tentang oposisi biner menggambarkan bahwa dikotomi itu sendiri adalah sebuah sarana untuk meng-ajeg-kan makna, yang lewatnya pemikiran Eropa telah memperoleh relasi-relasi kekuasaan.Cixous mengembangkan kritik ini dengan memberi tekanan pada relasi-relasi kekuasaan berjender. Derrida menantang pendekatan strukturalis dari Saussure dan Lévi-Strauss dan berargumen bahwa makna hadir sebagai ‘jejak’; ia tidak ajeg dalam relasi antara yang menandai (signifier) dan yang ditandai (signified). Makna diproduksi lewat proses ‘penundaan’ (deferral), yang oleh Derrida disebut differance (bukan difference). Apa yang nampak pasti (determinate) ternyata cair (fluid) dan tidak pasti (unsure) dan tidak ada titik menutup (closure). Karya Derrida membuka alternatif dari model oposisi biner yang menutup dan kaku---lebih ada kontingensi (kesementaraan) daripada ke-ajeg-an (fixity), dan makna itu dengan mudah bergeser.

4.3. Ringkasan bagian 4
Sistem-sistem penggolongan yang lewatnya makna diproduksi berasal dari sistem-sistem sosial dan simbolis. Persepsi dan pemahaman atas kebutuhan-kebutuhan yang sifatnya material dikonstruksi lewat sistem-sistem simbolis yang menandai yang suci dari yang profan, yang bersih dari yang tidak bersih dan yang mentah dari yagn matang/masak. Sistem-sistem penggolongan selalu dikonstruksi seputar perbedaan dan cara-cara di mana perbedaan itu ditandai. Diskusi kita sejauh ini sudah menawarkan sejumlah penjelasan mengenai sejumlah cara di mana sistem-sistem simbolis dan sosial bekerja untuk menghasilkan identitas---artinya posisi – posisi tertentu yang mau diambil---dan sudah menekankan dimensi-dimensi sosial dan simbolis dari identitas. Bagian ini telah melontarkan pertanyaan tentang bagaimana perbedaan itu ditandai dalam hubungannya dengan identitas dan telah menegaskan sebuah pandangan tentang perbedaan yang didasarkan pada oposisi binerseperti alam/budaya, sex/jender, sekaligus implikasi-implikasi dari pembedaan-pembedaan ini bagi mereka yang berkuasa dan bagaimana dualisme ini ternyata berat sebelah. Bagian ini juga sudah melangkah setahap demi setahap dalam berargumen tentang sejauh mana bisa mengadopsi pendirian politis tertentu; mempertahankan atau mendaku sebuah posisi identitas ternyata juga mensyaratkan keterkaitan dengan keaslian dan kebenaran yang berakar dalam biologi, dan sudah menelaah pula posisi alternatif yang bisa diambil, misalnya dengan berargumen pro pengakuan posisi tertentu dan politik berdasarkan lokasi, seperti dikembagnkan oleh Henrietta Moore, yang meliputi perbedaan-perbedaan seperti ‘ras’, kelas, seksualitas, kesukuan dan agama yang ada di antara kaum perempuan.
Perbedaan ditandai oleh representasi-representasi simbolis yang memberikan makna untuk hubungan-hubungan sosial, namun kajian kita tentang perbedaan tidak memberitahu pada kita mengapa orang mau terlibat atau menanamkan waktu, energi, perhatian bahkan dana untuk membela posisi identitas tertentu atau mengapa ada orang yang mau repot-repot mempertahankan dan memperjuangkan perbedaan. Sejumlah proses konstruksi identitas memang sudah dipaparkan, namun ktia belum menyentuh pertanyaan mengapa orang mau mengambil identitas yang ini daripada yang itu. Mari kita bergerak lebih jauh lagi untuk menyingkap dan mencoba menjawab pertanyaan “mengapa” ini.

5 Mengapa kita menanamkan investasi (terlibat) dalam identitas?
5.1. Identitas dan subjektivitas
Istilah identitas dan subjektivitas cukup sering digunakan dalam cara-cara yang membuat orang berpikir bahwa kedua istilah ini bisa saling dipertukarkan. Padahal, kenyataannya ada sejumlah pengertian yang tumpang-tindih di antara keduanya. Subjektivitas meliputi ‘rasa-perasaan tentang diri kita’ (our sense of self). Subjektivitas mencakup pikiran dan emosi dari alam sadar maupun alam bawah sadar yang menjadi penyusun dari ‘kedirian’ kita (who we are) dan perasaan-perasaan yang dibawa ke dalam aneka macam posisi dalam budaya. Subjektivitas juga melibatkan perasaan-perasaan dan buah-buah pikiran kita yang paling dalam. Namun kita mengalami subjektivitas kita dalam sebuah konteks sosial di mana bahasa dan budaya memberikan makna pada pengalaman kita akan diri kita dan di mana kita lalu mengadopsi sebuah identitas. Wacana (discourses), apapun perangkat makna yang mereka buat, hanya bisa menjadi efektif jika mereka merekrut subjek-subjek. Gugus subjek ini dengan demikian dikebawahkan (harus tunduk pada) wacana dan menganggap diri mereka memang mengambil posisi sedemikian rupa. Posisi yang kita ambil dan kita peluk (identifikasi) menyusun apa yang kita sebut identitas. Subjektivitas meliputi dimensi-dimensi bawah sadar dari diri dan menyiratkan adanya kontradiksi dan perubahan. Subjektivitas bisa bersifat irasional namun bisa juga rasional. Kita bisa menjadi manusia yang berpikiran jernih, rasional, namun adakalanya kita harus tunduk pada kekuatan-kekuatan yagn berada di luar kontrol kita. Konsep subjektivitas memungkinkan kita untuk menjelajahi dunia perasaan dan keterlibatan pribadi yang dibuat dalam kaitannya dengan posisi identitas dan alasan-alasan mengapa kita cenderung terikat pada sejumlah identitas tertentu.

KEGIATAN 4
Guna mengembangkan lebih jauh sejumlah ide tentang subjektivitas dan identitas, saya mau Anda membaca puisi berikut yang merupakan bagian dari sebuah rentetan upaya untuk menjawab pertanyaan tentang adopsi. Seorang pujangga perempuan berkulit hitam, Jackie Kay [25], adalah seorang anak adopsi. Kay menjelajahi dunia perasaannya tentang adopsi dengan menggunakan beberapa ‘suara’ yang berbeda (contohnya, suara dari ibu yang melahirkan dan ibu yang mengadopsi), dalam kumpulan puisi berjudul The Adoption Papers (1991). Puisi ini ditulis dalam bentuk suara orang-pertama dari seorang perempuan yang mau mengadopsi bayi, dan puisi ini juga memberikan informasi kepada kita tentang perasaan yang digeluti si perempuan ini dan yang lalu dibawanya ke dalam wacana keibuan yang ditampilkan di sini sebagai bagian dari asumsi-asumsi budaya yang sama (shared), secara khusus tentang bagaimana ekspektasi menjadi ‘seorang ibu yang baik.’ Pertama-tama, Jackie Kay menggambarkan pengalaman bagaimana ia harus mondar-mandir pergi menyampaikan surat lamaran mengadopsi ke sejumlah agensi pengadopsian bayi.

Agensi pertama yang kami datangi
Tidak mau kami ada dalam daftar mereka
Kami tidak hidup cukup dekat dengan gereja
Dan kurang saleh hidup menggerejanya
(walau kami diam-diam saja menjadi komunis)
Agensi kedua mengatakan bahwa penghasilan kami kurang
Yang ketiga menyukai kami
Namun mereka punya daftar tunggu panjang sekali (lima tahun).
Aku berjuang enam bulan untuk tidak coba melihat
Pada gendongan bayi atau bagian depan dari trolley belanja [26]
Tidak berpikir anak yang kumau ini bisa sampai berusia lima tahun.
Agensi keempat sudah penuh.
Agensi kelima bilang ya, tapi mereka tidak punya bayi
Persis ketika kami melangkah keluar pintu
Aku berkata ah kau tahu kami tidak keberatan soal warna kulit
Seperti itu saja, penantian berakhir sudah

Puisi ini lalu menceritakan kunjungan ke agen adopsi bayi dan persiapan-persiapan yang dilakukan si calon ibu berkulit putih ini agar bisa menyiapkan diri dan rumahnya secerah mungkin, dalam konteks ia cemas ia tidak dilihat sebagai seorang calon ibu yang tepat.

Aku pikir akan kusembunyikan
Semua jejak yang mengatakan pernah ada orang di sini

Kukesampingkan Marx Engels Lenin (tidak ada Trotsky)
Di lemari berventilasi---dia tidak akan
Mengecek handuk-handuk tentu saja
Semua kopian Daily Worker
Kuslurugkan di bawah sofa
Merpati damai kuturunkan dari tempatnya (loo)

Poster Paul Robeson [27]
Seolah berkata berikan padaku paspornya
Juga kuturunkan dari dapur

Kutinggalkan setumpuk karya Burns [28]
Cerita-cerita detektifku
Dan karya lengkap dari Shelley [29].

Ia (perempuan) datang jam11.30 tepat,
Kutuangkan kopi untuknya,
Dari perangkat minum kopi buatan Hungaria milikku
Dan dengan bodoh ia berdoa ia tidak
akan bertanya darimana asalnya – jujur saja
bayi ini akan pergi ke kepalaku.
Ia menyilangkan kakinya di sofa
Kurasa aku dengar Daily Workers
Berkemerisik di bawah kakinya

Well katanya, kamu punya rumah yang menarik
Ia melihat alisku terangkat
Berbeda, demikian ia menilai

Setan sudah kuhabiskan sepanjang pagi
Mencoba tampil biasa
Sebuah rumah yang nyaman untuk ditinggali bayi

Ia mengancingkan jasnya sambil tersenyum
Aku sedang berpikir
Aku sedang kabur dari rumah

Namun ketika kami sampai ke pos terakhir
Matanya menangkap pada saat yang besamaan dengan mataku
Pita merah dengan duapuluh badge perdamaian dunia

Terang jelas seperti palu dan paku di dinding
Oh katanya apa kamu menentang penggunan senjata nuklir?

Persetan dengan ini semua. Bayi atau tidak.
Ya kataku. Ya ya ya.
Aku mau bayiku hidup di dunia yang bebas nuklir.

Oh matanya berbinar.
Aku juga mendukung perdamaian katanya
Dan ia duduk lagi untuk menyeruput secangkir kopi.

Dalam kasus adopsi, kita teramat sadar apa yang secara sosial membentuk identitas orangtua yang bisa diterima. Jelas tergambar pengakuan identitas keibuan di sini. Perasaan apa yagn berkecamuk dalam diri si pengarang menyangkut wacana keibuan di sini? Posisi identitas semacam apa yang mau ia ambil? Identitas-identitas lain amcam apa yagn terlibat? Konflik identitas macam apa yang terjadi? Bagaimana dinegosiasikan? Kontradiksi macam apa yang ditampilkan dalam puisi ini antara subjektivitas dengan identitas?
Puisi dari Kay di atas menunjukkan sejumlah cara di mana identitas sosial dikonstruksi dan cara-cara kita bernegosiasi dengan mereka. Puisi ini menggambarkan sejumlah identitas yang berbeda, namun jelasnya hanya satu saja identitas yang oleh si pujangga diakui sebagai identitas yang secara budaya dominan: ibu yang ‘normal’ ‘baik-baik’ amat terasa di sini. Inilah identitas yang nampaknya mau ia ambil, meskipun ia sadar bahwa identitas ini (ibu yang ‘baik’) kemungkinan besar akan berkonflik dengan identitasnya yang lain, yaitu identitas politiknya, secara khusus identitas politiknya yang berhaluan kiri (sosialis). Si calon ibu mengalami konflik batin namun toh akhirnya ada hasil akhir yang menggembirakan. Pasifisme [30] nampaknya bisa diterima di sini. Mungkin ini strategi puisi untuk menghasilkan akhir yang membahagiakan, namun bisa juga dilihat bahwa menemukan sebuah identitas bisa menjadi sarana untuk menyelesaikan konflik kejiwaan dan sebagai ekspresi dari pemenuhan keinginan / dambaan; jika saja resolusi semacam itu mungkin. Puisi ini juga menunjukkan cara-cara di mana identitas bisa berubah seiring waktu. Hal ini dilambangkan dengan simbol yang khusus dan punya nilai sejarah tertentu, yaitu koran berhaluan komunis The Daily Worker, yang juga menggambarkan hal yang tidak diinginkan bila ingin menjadi orangtua adopsi yang prospektif. Akan tetapi, ada juga petunjuk ke arah perubahan jaman di mana identitas keibuan bisa saja meliputi identitas politis dengan posisi sebagai seorang pasifis. Ini adalah identitas keibuan di mana si subjek dalam puisi ini bisa menanamkan investasi dan ia bisa setia dan bertekun (committed) dengan pilihannya itu. Meskipun ia bertindak dalam kerangka tindakan yang ia rasa perlu guna memenuhi syarat memerankan peran ibu yang bisa diterima, namun ia tidak diraup-rampas (diinterpelasi) oleh posisi-subjek ini, melainkan malahan bisa mengakomodasi posisi politisnya. Interpelasi adalah istilah yang dicetuskan Louis Althusser (1918-1990) untuk menjelaskan cara di mana si subjek direkrut oleh posisi-subjek lewat pengenalan dan pengakuan diri mereka---“ya inilah aku”. Proses ini terjadi di level bawah sadar dan interpelasi merupakan salah satu cara untuk menjelaskan bagaimana individu dapat mengadopsi posisi-subjek tertentu [31]. Faktor-faktor sosial dapat saja menjelaskan konstruksi keibuan tertentu, khususnya ‘menjadi ibu yang baik’ di sebuah titik historis tertentu, namun faktor-faktor sosial tidak bisa menjelaskan investasi macam apa yang harus ditanamkan oleh si individu dalam posisi tertentu dan keterikatan-keterikatan macam apa yang harus mereka buat dalam posisi-posisi tersebut.

5.2 Dimensi psikoanalisa
Althusser mengembangkan teori subjektivitasnya dan proses-proses terkait di mana subjek dikonstruksi dalam paradigma Marxis namun sekaligus Althusser mencoba untuk menggabungkannya dengan sejumlah buah pikiran dari psikoanalisa dan linguistik strukturalis dengan posisi materialisme Marxis. Pentingnya karya Althusser adalah karena ia mencoba merevisi model bangunan atas/bawah dari kerangka Marxis, di mana bangunan bawah adalah basis material dan ekonomi dari masyarakat yang dilihat sebagai faktor yang menentukan (bukan hanya mempengaruhi) relasi-relasi sosial, lembaga-lembaga sosial dan politis dan pembentukan ideologi. Althusser juga mengembangkan pemikiran Marx mengenai ideologi. Dalam esainya yang berbicara tentang ideologi dan aparat-aparat negara yang bersifat ideologis, Althusser (1971) menekankan peran ideologi dalam me-reproduksi relasi-relasi sosial lewat upacara-upacara dan praktek-praktek kelembagaan sekaligus lewat kekuatan dan paksaan. Althusser melihat ideologi sebagai gugus sistem representasi, dan ia menawarkan analisa yang kompleks tentang bagaimana proses-proses ideologi bekerja dan bagaimana subjek direkrut oleh ideologi, sambil menunjukkan bahwa subjektivitas bisa dijelaskan dalam kerangka istilah struktur-struktur sosial dan simbolis dan praktek-prakteknya. Bagi Althusser, subjek tidak sama dengan manusia, namun sebuah kategori yang dikonstruksi secara simbolis. “Ideologi … ‘merekrut’ subjek-subjek dari antara individu-individu…atau ‘mengubah’ individu-individu…lewat mekanisme yang saya sebut interpelasi atau ‘memanggil-manggil’” [32] Proses interpelasi ini melakukan dua tugas sekaligus, pertama memberi nama, dan kedua memposisikan subjek yang kemudian dikenali dan diproduksi lewat gugus proses dan praktek simbolis. Dengan demikian, pekerjaan atau posisi-subjek kita, seperti menjadi seorang warga negara yang berjiwa pahlawan, bukanlah segampang itu pilihan sadar dan bebas kita namun justru karena kita sudah direkrut masuk ke dalam posisi itu lewat pengakuan atasnya dalam kerangka sistem representasi, dan dengan ikut terlibat (menanam investasi) di dalamnya.
Teori Marxis memberi tekanan pada peranan yang material dan relasi antara produksi dan tindakan kolektif, khususnya solidaritas sosial, dalam membentuk identitas sosial, lebih dari sekedar otonomi individu atau penentuan-diri (sesuatu yang bisa dikerjakan sendiri oleh individu). Akan tetapi, faktor-faktor fisik-material tidak bisa menjelaskan keterlibatan yang digeluti oleh si subjek berkaitan dengan posisi identitasnya. Perkembangan berikutnya dari Marxisme, seperti dipelopori esai dari Althusser yang kita singgung di atas tadi, memberikan tekanan yang lebih besar pada sistem-sistem simbolis, juga memberikan gambaran yang lebih utuh bahwa subjek itu direkrut dan diciptakan di level ketidaksadaran, bukan hanya di level sadar. Dalam mengembangkan teori subjektivitas semacam ini (faktor material + faktor simbolis), Althusser banyak menimba inspirasi dari karya Jacques Lacan dan versi tertentu dari karya psikoanalisa yang dipelopori Sigmund Freud.
Yang membedakan teori psikoanalisa Freud, yang lalu dikembangkan Lacan, dengan teori-teori psikologi lainnya adalah ‘konsep bawah sadar’ (the unconscious). Bawah sadar, menurut para psikoanalis, tersusun dari hasrat-hasrat yang menggelora, yang acapkali tidak terpenuhi, yang muncul dari kehadiran secara paksa (intrusi) sosok ayah ke dalam hubungan antar anak dan ibunya. Bawah sadar berakar pada hasrat atau keinginan yang terpendam yang mengalami represi, sehingga isi dari alam bawah sadar ini dilarang masuk ke dan dicegah oleh alam sadar (conscious mind). Bagaimanapun, hasrat-hasrat yang direpresi ini menemukan cuatan keluarnya: misalnya, lewat mimpi, kekeliruan (terpeleset lidah / Freudian slips) dan nuansa (nuances). Dengan demikian, alam bawah sadar itu sebenarnya bisa diketahui, hanya saja tidak melalui proses yang langsung. Sudah menjadi tugas para psikoanalislah untuk menyingkapkan kebenaran ini dan membaca bahasanya. Alam bawah sadar adalah gudang dari hasrat-hasrat yang terpendam, dan alam ini tidak mematuhi hukum-hukum yang ditetapkan alam sadar melainkan ia mempunyai energi dan logikanya sendiri. Seperti diajukan lacan (1977), alam bawah sadar terstruktur seperti bahasa. Lacan mengikuti Freud dalam hal memberikan tempat utama pada alam bawah sadar, namun ia berbeda dari Freud ketika menekankan simbol dan bahasa dalam proses perkembangan identitas.
‘Penemuan’ dari alam bawah sadar, yang berfungsi seturut hukum dan logikanya sendiri yang berbeda dari alam sadar si subjek rasional, mempunyai dampak yang tidak kecil terhadap teori identitas dan subjektivitas dan berpengaruh terhadap pengertian umum (akal sehat) tentang siapa diri kita seperti nampak dalam budaya pop. Gagasan tentang adanya konflik antara hasrat-hasrat yang ditekan dalam alam bawah sadar dengan tuntutan daya-daya sosial yang oleh Freud disebut super-ego telah lazim dipakai untuk menjelaskan perilaku irasional dan keterlibatan si subjek dalam tindakan-tindakan yang mungkin oleh orang lain tak bisa diterima, bahkan juga mungkin tidak diterima oleh diri-sadar si subjek, dan bukan merupakan minat pribadi dari si individu. Betapapun cakap pengetahuan kita, kita acapkali masih berperilaku bukan yang terbaik dari diri kita. Kita jatuh cinta dengan orang yang kurang sesuai, kita menghabiskan-habiskan uang untuk kegiatan yang tidak jelas, gagal melamar kerja di pekerjaan yang mampu kita kerjakan dan malah melamar di tempat yang tipis peluangnya diterima, atau bahkan berlaku gila-gilaan (ngebut-ngebutan, bogey jumping, dll.) hanya untuk sekedar menegaskan identitas kita. Kita merasakan emosi yang beraneka wajah (ambivalen)---marah pada orang yang kita cintai, dan terkadang berhasrat pada orang yang menindas kita. Psikoanalisa model Freud menawarkan pada kita sebuah sarana untuk melacak perilaku kita yang nampak irasional kembali ke ‘tanah’ represi hasrat dan kebutuhan alam bawah sadar. Bukannya menjadi pribadi yang utuh, kejiwaan manusia (psyche) terbagi-bagi ke dalam 3 kompartemen berikut: alam bawah sadar (id); super-ego yang bertindak seperti ‘hati nurani’ menyuarakan tuntutan dan batasan sosial; dan ego, yang mencoba mendamaikan kedua elemen ini. Psyche manusia dengan demikian senantiasa berada dalam keadaan konflik dan arus yang terus mengalir (flux) dan bisa dialami sebagai sesuatu yang terbagi-bagi atau terfragmentasi.
Teori psikoanalisa Lacan mengembangkan analisa Freud tentang alam bawah sadar yang berkonflik dengan diri yang berdaulat. Lacan memberikan tekanan pada bahasa sebagai ‘sistem pemaknaan’ (system of signification). Ia menyebut penanda (signifier) sebagai hal yang menentukan arah perkembangan diri si subjek dan arah dari hasrat si subjek. Identitas dibentuk dan diorientasikan secara eksternal dalam hubungannya dengan dampak/efek dari penanda itu sendiri dan artikulasi dari hasrat. Bagi Lacan, subjek manusia yang utuh adalah sebuah mitos. Rasa identitas si anak terbentuk dari internalisasi pandangan-pandangan luar tentang dirinya, pertama-tama dalam sebuah tahap yang disebut Lacan sebagai tahap cermin (mirror stage). Dalam tahapan ini terjadi fase imajiner, yaitu fase sebelum si anak mulai mencemplungkan dirinya dalam bahasa dan tatanan simbolis, ketika si anak belum mempunyai kesadaran akan dirinya sendiri sebagai hal / pribadi yang terpisah dan berbeda dari ibunya. Pada tahap awal ini, si anak (bahkan bisa dikatakan si balita) masih merupakan campuran dari fantasi benci dan cinta, dan berfokus pada tubuh sang ibu. Awal dari pembentukan identitas terjadi ketika si balita menyadari dirinya terpisah dari sang ibu. Masuk ke dalam dunia bahasa dengan demikian merupakan hasil perpisahan fundamental dalam diri si subjek [33], ketika persatuan paling dasariah antara si anak dengan sang ibu terganggu. Si anak mengenali imaji dirinya yang terpantulkan (seperti saat bercermin), mengidentifikasi dirinya dengan imaji itu, dan menjadi awas / sadar bahwa dirinya adalah entitas yang terpisah dari sang ibu. Si anak, yang pada tahapan ini masih merupakan sekumpulan dorongan yang masih belum terkoordinasi dengan baik, mengkonstruksi dirinya berdasarkan refleksi (cerminan) entah saat berkaca di depan cermin sungguhan atau cermin ‘mata’ orang lain. Ketika kita melihat cermin (berkaca), kita melihat ilusi dari ‘kesatuan’. Tahapan cermin dari Lacan mau menegaskan perwujudan dari subjektivitas ketika si anak menjadi sadar bahwa ibunya adalah objek yang terpisah dari dirinya. Menurut Lacan, perjumpaan pertama dengan proses mengkonstruksi ‘diri’, lewat melihat cermin yang memantulkan diri yang bertubuh dengan garis-garis batas yang jelas, akan menjadi contoh, menyetel adegan untuk identifikasi-identifikasi berikutnya di masa depan. Si anak mencapai rasa meng-“aku” hanya dengan cara menemukan “aku” nya yang terpantulkan oleh sesuatu di luar dirinya, yaitu oleh yang-lain; dari tempat / posisi ‘yang-lain’. Namun ia mengalami dirinya seolah-olah “aku” –yaitu kedirian / jati diri---diproduksi dari dalam dirinya, oleh identitas yang utuh tak terbagi.
Dengan cara ini, Lacan melanjutkan argumentasinya, subjektivitas bersifat ‘terpecah dan semu’ (split and illusory). Karena identitas tergantung keutuhannya dari sesuatu yang berada di luar dirinya, ia muncul dari kekurangan, yaitu hasrat untuk kembali ke kesatuan primordial antara dirinya dengan ibunya yang merupakan bagian awal dari masa kanak-kanak namun hanya bersifat semu, fantasi, sekalinya proses perpisahan telah terjadi. Si subjek masih terus mendambakan diri yang utuh dan kesatuan dengan ibunya pada fase imajiner, dan kerinduan ini, hasrat ini, akan memproduksi kecenderungan seseorang untuk mengidentifikasi diri dengan figur-figur kuat dan penting di luar dirinya. Selalu ada proses identifikasi terus menerus dalam hidup seseorang, ketika kita mencari keutuhan diri kita lewat sistem-sistem simbolis dan mengidentifikasi diri ktia dengan cara-cara tertentu di mana kita dilihat oleh orang lain. Dengan pertama-tama mengadopsi identitas yang berasal dari luar diri, kita lalu melanjutkan dengan mengidentifikasi diri dengan cita-cita kita (mau menjadi apa kita), namun terpisah dari diri, sehingga diri senantiasa terbagi-bagi di dalamnya.
Persis pada tahap Oedipal masuk ke dalam bahasa dan sistem-sistem simbolis inilah dunia fantasi si anak dirusak oleh kehadiran sang bapak, atau yang oleh Lacan disebut ‘hukum sang bapak’ (the law of the father). Sang bapak mewakili dorongan dari luar, kekuatan yang berasal dari tabu menikah dengan saudara sendiri (incest taboo) yang melarang fantasi si anak berkembang, yaitu fantasi untuk menikahi sang ibu dan fantasi menjadikan dirinya sebagai objek hasrat dari sang ibu. Sang bapak memisahkan si anak dari gulungan fantasinya, dan hasrat terhadap sang ibu lalu ditekan sehingga menjadi alam bawah sadar. Inilah titik ketika alam bawah sadar terbentuk. Ketika si anak memasuki bahasa dan ‘hukum si bapak’, si anak seketika menjadi mampu untuk mengambil salah satu posisi identitas (yaitu identitas berjender: lelaki atau perempuan) dan inilah titik ketika si anak mengenali perbedaan seksual. Sekalinya dunia imajiner pra-Oedipal dan hasrat terhadap sang ibu ini dikesampingkan, bahasa dan yang simbolis lah yang menawarkan obat penawar luka (kompensasi), menawarkan dukungan dalam bentuk bahasa yang kepadanya si anak bisa menggantungkan identitasnya. Sang bapak atau bapak simbolis, yang disimbolkan oleh kemaluan lelaki yang mengacung tegak (phallus) menjadi gambaran dari perbedaan seksual. Phallus adalah penanda pertama dalam bahasa karena phallus-lah yang pertama kali mengintroduksi perbedaan (yaitu perbedaan seksual) ke dalam semesta simbolis dari si anak---meskipun perbedaan ini palsu (bogus) sifatnya. Lacan mengatakan ‘palsu’ karena phallus hanya nampaknya saja mempunyai kekuasaan dan nilai karena bobot positif yang diberikan terhadap maskulinitas dalam kerangka dualisme yang maskulin / feminin. Juga walaupun kekuasaan (power) dari phallus ini palsu atau bohong-bohongan saja, si anak wajib mengenali makna dari phallus sebagai penanda dari kekuasaan sekaligus perbedaan. Perbedaan yang lain dikonstruksi berdasarkan analogi (perbandingan) yang diambil dari perbedaan seksual ini---yaitu bahwa yang satu (maskulin) lebih diistimewakandaripada yang lain (feminin). Hal ini juga bagi Lacan berarti masuknya seseorang ke dalam dunia bahasa itu berbeda bagi cowok dan bagi cewek. Bagi cewek, mereka diposisikan secara engatif dan sebagai ‘yang kekurangan’. Betapapun semu nilai dari phallus itu, namun statusnya berarti bahwa anak-anak cowok memasuki tatanan simbolis secara positif dan sebagai subjek yang menghasrati (the desiring subject). Sementara cewek dinilai secara negatif, dalam posisi yang pasif---yaitu sebagai yang dihasrati (the ‘desired’).
Karya Lacan teramat penting karena ia memberi tekanan pada yang simbolis (diwakili oleh bahasa dan phallus) dan sistem-sistem representasi, pada perbedaan (difference), dan padaa pengembangan konsep alam bawah sadar (the unconscious). Perhatiannya pada subjek yang berjender berfokus pada konstruksi perbedaan secara simbolis dan pada identitas yang berjenis kelamin (sexed identity). ‘Kegagalan’ pengutuhan identitas dan fragmentasi dari subjektivitas menawarkan kemungkinan adanya perubahan kepribadian, dan sekaligus bisa dimasukkan ke dalam kelompok tantangan atas subjek atau identitas yang utuh dan ajeg. Argumen yang jauh lebih kompleks dan luas seputar teori Lacan, identitas seksual dan perbedaan akan dibahas lebih lanjut di bab 4, dalam konteks teori seksualitas dan identitas seksual.
Teori yang diajukan Freud dan Lacan sudah banyak dikritik, khususnya oleh kaum feminis yang mempertanyakan batasan-batasan dari identitas berjender yang menegaskan status istimewa dari laki-laki dalam tatanan simbolis, di mana phallus didaku sebagai penanda makna yang paling kunci. Betapapun Lacan menyangkal, namun toh phallus memang terkait erat dengan penis, yang menjadi penanda dari ‘hukum sang bapak’ dan bukan sang ibu; dan Lacan memang berpendapat bahwa perempuan masuk ke dalam tatanan simbolis secara negatif---yaitu digambarkan ‘sebagai bukan-lelaki’ daripada ‘sebagai perempuan’. Akan tetapi, meskipun subjek yang utuh sudah dirongrong oleh teori psikoanalisa, nampaknya merupakan kasus saja bahwa perempuan tidak pernah diterima secara penuh atau disertakan sebagai subjek yang mampu berbicara. Sejumlah tantangan untuk hal-hal ini, dan perkembangan dari, teori psikoanalisa ditelaah lebih lanjut pada bab 5 buku ini. Sekarang, yang penting kita garisbawahi menyangkut teori psikoanalisa adalah hal-hal berikut ini: (1) pembalikan konsep subjek yang utuh (menjadi subjek yang terfragmentasi atau bersifat semu / ilusif saja); (2) konstruksi diri yang berjender lewat sistem-sistem kultural dan representasional diberi tekanan; (3) terbukanya ruang kemungkinan untuk mengeksplorasi alam bawah sadar sekaligus alam sadar untuk menjelaskan proses-proses identifikasi. Gagasan tentang alam bawah sadar membuka satu lagi jendela dimensi identitas dan menawarkan satu lagi kerangka teoretis untuk mengkaji lebih jauh sejumlah alasan mengapa kita mau tertanam dan terlibat dalam posisi-posisi tertentu dari identitas.

6. Kesimpulan
Bab ini (yaitu bab 1, “Beberapa Konsep seputar Identitas dan perbedaan”) telah menelaah sejumlah konsep penting untuk menjawab pertanyaan seputar identitas dan perbedaan, dan sudah menyediakan kerangka besar untuk memahami keseluruhan buku Identity and Difference. Alasan-alasan yang berada di belakang pertanyaan-pertanyaan soal identitas dan perbedaan sudah dilihat secara seksama, dan cara bagaimana pertanyaan tentang identitas bisa muncul di ‘sirkuit’ budaya juga sudah dikaji. Secara spesifik, bagian yang ditelaah adalah proses-proses yang dilibatkan dalam produksi makna lewat sistem-sistem representasi yang kemudian dilengkapi dengan pertanyaan-pertanyaan tentang posisi subjek dan pembentukan identitas dalam sistem-sistem simbolis (untuk gambaran dan detil yang lebih jelas tentang subjek dalam sistem representasi lihat Hall, editor, 1997)
Identitas sudah diusung sebagai isu pokok dalam debat kebudayaan dewasa ini dalam arena penciptaan ulang (rekonstruksi) identitas nasional dan etnis berskala global dan di tengah maraknya kemunculan ‘gerakan-gerakan sosial berwajah baru’ yang mempunyai perhatian pada penegasan identitas personal dan kultural, yang menantang kepastian tradisional dan sekaligus mendaku bahwa telah terjadi krisis identitas dalam kelompok masyarakat dewasa ini. Diskusi tentang seberapa jauh identitas diperdebatkan, disanggah, dirumuskan kembali dalam dunia sekarang membawa kita untuk menimbang-nimbang pentingnya perbedaan dan oposisi dalam hal pembentukan posisi-posisi identitas.
Perbedaan menjadi sentral dalam sistem-sistem penggolongan yang lewatnya makna diproduksi. Sudah kita lihat analisa strukturalis dari Lévi-Strauss dan pengembangan lebih jauh dari Mary Douglas dalam mengeksplorasi penanda perbedaan dan konstruksi ‘orang luar’ dan ‘yang-lain’, lewat sistem-sistem budaya. Baik sistem-sistem sosial maupun simbolis memproduksi struktur-struktur penggolongan yang menekankan makna dan tatanan dalam hidup sosial dan sekaligus menyingkapkan sejumlah perbedaan dasar—seperti kita dan mereka, dalam dan luar, yang suci dan yang profan, lelaki dan perempuan---yang terletak di jantung gugus sistem makna dalam budaya. Akan tetapi, studi tentang sistem-sistem penggolongan ini tidak bisa menjelaskan kadar keterlibatan pribadi yang ditanamkan oleh individu dalam identitas yang mereka pilih dan hayati. Diskusi tentang teori-teori psikoanalisa memberikan gambaran kepada kita bahwa meskipun dimensi sosial dan simbolis dalam pemahaman kita tentang bagaimana identitas diproduksi memang penting, namun tidak kalah pentingnya adalah bagaimana kita bisa meneliti kadar keterlibatan subjek dalam sebuah atau beberapa identitas.
Perdebatan tentang esensialisme dan non-esensialisme menggarisbawahi penelusuran kita tentang beraneka macam dimensi identitas dalam tulisan ini. Di satu sisi, debat tentang esensialisme dalam kaitannya dengan sumber-sumber otoritas yang diasalkan secara biologis (fisik / jasmaniah) atau transhistoris (lintas ruang-dan-waktu) dan, di sisi lain, pendekatan dan klaim dari kaum konstruksionis sosial [34] memang tidak dibahas secara mendalam di sini melainkan di bagian lain dari buku ini. Bahan bacaan A dari Stuart Hall yang juga disertakan dalam bab ini (Stuart Hall, ‘Identitas Kultural dan diaspora’) menawarkan cara pandang dan cara pikir yang baru tentang identitas---dengan berupaya menghindari jebakan untuk selalu tergantung pada asal-usul atau kebenaran yang sifatnya lintas ruang-dan-waktu guna mengesahkan (validasi) identitas di masa kini. Ketegangan yang tercipta di antara kutub fundamentalis dan esensialis tentang identitas dan identitas diaspora akan ditelaah lebih jauh oleh Saudara Paul Gilroy dalam bab 6 buku ini (“Diaspora dan jalan memutar dari identitas”, hlm. 299-346 dari buku Identity and Difference). Bab-bab selanjutnya dalam buku ini akan menguraikan tema-tema yang sudah diangkat atau diintroduksi dalam bab 1 ini, khususnya debat antara posisi esensialis dan non-esensialis serta implikasi-implikasi politis dari pandangan masing-masing posisi. Pertanyaan apakah identitas itu sifatnya ‘terberi’ atau ‘ajeg’ (sudah dari sononya) akan dibahas di bab 2, dengan berfokus pada tubuh sebagai wilayah pokok penulisan identitas dan perbedaan. Sekali lagi, debat antara posisi alam/budaya (nature/culture) akan diangkat, sebagai pengembangan dari diskusi menyangkut segi sosial dan segi simbolis dari identitas, sambil memusatkan perhatian pada reproduksi sosial dari tubuh dan ide mengenai ‘tubuh sebagai pembawa nilai simbolis’ yang dikembangkan seturut kaitannya dengan daya-daya atau kekuatan-kekuatan sosial yang melingkupinya.
Bab 3 juga akan menelaah tubuh sebagai pokok kajiannya namun secara khusus akan dilihat mengenai narasi-narasi modern yang bersifat sementara tentang tubuh, misalnya relasi antara tubuh yang sehat, gejala-gejala gangguan makan, pencitraan tubuh dan obsesi budaya seputar makanan, diet dan penyakit serta bagaimana ini semua dinegosiasikan.
Tema identitas yang dibaca secara esensialis dan non-esensialis akan dikembangkan lebih jauh lagi di bab 4, yang akan menelanjangi konstruksi seputar identitas-identitas seksual, menguraikan tema perbedaan dan segi problematis dari model oposisi biner (pertentangan di antara dua kutub), khususnya konstruksi perbedaan yang berhaluan biologis dan yang berhaluan sosial.
Bab 5 melihat contoh lain dari sebuah identitas yang nampaknya ajeg dan tergantung dari realitas biologis dan kebertubuhan. Tulisan di bab ini akan mengkaji konstruksi secara budaya dari keibuaan sebagai identitas dalam sebuah konteks historis tertentu, di mana beberapa sosok figur ibu yang baru diproduksi dan dilawankan (dengan model yang lama) dalam bentuk budaya populer dan wacana politik kontemporer. Tulisan ini mengangkat konstruksi identitas secara sosial dan simbolis dan cara-cara di mana identitas ini bisa ditiru dan dinegosiasikan, dengan berfokus pada perbedaan dan cara-cara di mana identitas bisa jadi sukses.
Bab 6 akan bergerak ke konteks yang lebih global dan politis dengan menelaah identitas diaspora dan relasi di antara representasi, wacana dan ‘ras’, sekaligus sebagai pengembangan lebih lanjut dari tulisan Stuart Hall di Bahan Bacaan A, dan meluaskan debat seputar ketidakstabilan dari kategori-kategori penilai, seperti kategori yang dipakai untuk mewakili identitas bangsa dan etnis, yang juga akan diintroduksi di bab ini.