Showing posts with label Arya Penangsang. Show all posts
Showing posts with label Arya Penangsang. Show all posts

Saturday 25 December 2010

Arya Penangsang - Satria Sejati

Arya Penangsang - Satria Sejati



Perseteruan Jipang dengan Pajang.

Perkembangan yang memanas antara aria Pengangsang dengan sultan Hadiwiijaya, sangat menggelisahan hati kanjeng sunan Kalijaga. Disatu sisi sunan Kalijaga adalah salat satu guru dari Jaka Tingkir, disisi lain sunan Kudus yg berpihak pada aria Penangsang adalah merupakan kerabatnya sebagai Ulama utama di tanah Jawa.

Sunan Kalijaga tidak ingin lagi terjadi ribut perebutan kuasa. Dan berusaha agar tidak terjadi pertumpahan darah dari terjadi diantara keturunan dinasti Demak Bintara. Untuk itu sunan Kalijaga datang mengunjungi sunan Kudus.

Dalam silaturahim antara sunan Kudus dengan sunan Kalijaga dibincangkan soal ketegangan antara Pajang deng Jipang. Pandangan sunan Kalijaga tentang keberpihakan sunan Kudus terhadap aria Penangsang diakui kebenaranya sunan Kudus. Akan tetapi, menurut sunan Kalijaga, Demak sudah runtuh. Para Wali memiliki andil yang menyebabkan Demak runtuh. Pada awalnya para wali bersepakat untuk membangun Demak sedikitnya bisa menyamai kejayaan Majaphait atau berumur lebih panjang dari Majapahit. Dengan cara ikut berkiprah dalam urusan tata negara.

Kesultanan Pajang berdiri karena Hibah dari ratu Kalinyamat kepada Hadiwijaya. Dan saat ini Kesultanan Pajang berada dibawah sultan Hadiwijaya yang bukan darah sentono Demak. Jadi jika aria Penangsang menuntut tahta Pajang, hal itu sudah diluar adat dan ketentuan Hukum, Yaitu mengambil “harta” yang sudah dihibahkan kepada orang lain.

Sunan Kalijaga memohon kepada sunan Kudus agar para sepuh (wali) sebagai ulama dapat menempatkan diri sebagai orang tua. Tidak ikut campur dalam urusan “rumah tangga” anak-anak.

Biarkanlah Penangsang dan Hadiwijaya menyelesaikan persoalanya sendiri. Dan yang sepuh tinggal nonton saja. Sunattulah akan berlaku bagi mereka berdua. Yang becik ketitik sing ala ketara. Kita (wali) lebih baik mensyi’arkan Islam tanpa menggunakan kekuasaan. Biarkanlah urusan tata negara dilakukan oleh ahlinya masing-masing. Kita (wali) adalah ahli da’wah bukan ahli tata negara. Jangan sampai kita (wali) terpecah belah karena berpihak kepada salah satu diantara mereka. Apa kata pawongan (baca; rakyat jelata), jika melihat para Ulama kok ikut-ikutan cari mukti (kekuasaan duniawiyah) sendiri.

Sunan Kudus berniat kembali kepada khitahnya sebagai ulama. Tidak lagi ingin mencampuri urusan dunia kekuasaan. Dan berniat untuk bersikap netral. Oleh karena itu Sunan Kudus memanggil aria Penangsang untuk menjelaskan maksudnya.

Sunan Kudus menjelaskan wacananya kepada aria Penangsang. Bahwa memang Penangsang punya hak sebagai pewaris Kesultanan Demak. Akan tetapi Demak sudah runtuh. Jadi hak waris Penangsang atas Demak sudah tidak ada lagi. Karena semua yang ada di Demak sudah dihibahkan kepada Pajang. Dan Sultan Pajang bukan keturunan Demak, Meski masih memiliki tetes getih dari Majapahit. Sehingga menurut adat maupun hukum tuntutan untuk mengambil tahta Pajang sudah berada diluar adat hukum.

Mendengar penjelasan sunan Kudus, aria Penangsang merasa ditinggal sama pepundenya. Dan menyatakan bahwa tanpa kanjeng sunan Kudus berpihak pada Penangsang. Jipang Panolan sanggup menghancurkan Pajang asal kanjeng kiai Betok keris pusaka sunan Kudus menjadi sipat kandel aria Penangsang berdampingan dengan keris pusaka kiai Setan Kober miliknya.

Sunan Kudus sudah tidak bisa lagi menghalangi nafsu aria Penangsang untuk merebut tahta Pajang dari tangan Hadiwijaya. Sebagai pernyataan bahwa sama sekali sunan Kudus tidak meninggalkan aria Penangsang maka keris Kiai Betok diserahkan kepada Penangsang. Sunan Kudus Cuma ingin meynampaikan bahwa maksudnya sunan Kudus tidak lagi ikut campur dalam urusan tata negara.

Rencana menggulingkan Pajang.

Aria Penangsang kecewa merasa ditinggalkan oleh sunan Kudus. Namun sedikit terhibur, karena keris saksti Kiai Betok milik sunan Kudus sudah berada di tanganya sebagai sipat kandel adipati Jipang. Dengan memiliki dua pusaka yaitu keris kiai Setan Kober dan kiai Betok, meski tanpa dukungan langsung dari sunan Kudus aria Penangsang merasa kuat untuk menghadapi Pajang. Karena aria Penangsang juga yakin bahwa tidak satupun para wali yang ikut campur dalam perseteruan antara Jipang dengan Pajang.

Satu hal yang tidak diperhitungkan oleh aria Penangsang bahwa disamping sultan Hadiwijaya ada tiga tokoh utama murid-murid sunan Kalijaga. Yakni Pemanahan, Juru Mertani dan Panjawi. Sedangkan disisi aria Penangsang cuma ada satu yakni Sumangkar. Ibaratnya Sultan Hadiwijaya punya tiga Jenderal, tetapi aria Penangsang cuma punya satu Jenderal.

Usaha melakukan pembunuhan terhadap sultan Hadiwijaya oleh aria Penangsang dilakukan dengan aneka cara diantaranya setelah perundingan diplomatis, dimana secara diam diam oleh aria Panangsang. Dimana dalam perundingan tersebut mengalami jalan buntu akibat tidak terimanya usul sultan Hadiwijaya memberikan Demak kepada aria Penangsang dan status Demak sebagai kadipaten dibawah kesultanan Pajang.

Sangat beruntung bagi sultan Hadiwijaya, karena seusai perundingan menyimpang dulu ke wilayah gunung Danaraja ,Jepara untuk bertemu dengan Ratu Kalinyamat yang sedang bertapa lukar umbar aurat. Tujuan Sultan Hadiwijaya berkunjung ke Danaraja adalah memenuhi permintaan sunan Kalijaga untuk menghentikan tapa lukar umbar aurat Ratu Kalinyamat. Sultan Hadiwijaya berhasil menghentikan tapa lukar umbar aurat Ratu Kalinyamat. Dan membawa sang Ratu kembali ke Jepara untuk memimpin kabupaten Jepara yang lama kosong ditinggal bertapa. Himbauan Sultan Hadiwijaya kepada Ratu Kalinyamat, menyatakan bahwa jika Jepara dibiarkan kosong, maka dengan mudah aria Penangsang dapat merebut Jepara, serta membiarkan Jipang menjadi lebih kuat.

Dalam perjalanan pulang dari Jepara ke Pajang, rombongan sultan Hadiwijaya dihadang oleh Pasukan Jipang. Akan tetapi pasukan ini gagal memerangi sultan Hadiwijaya dan rombonganya. Bahkan seultan Hadiwijaya berhasil menawan sisa pasukan Jipang yang masih hidup. Namun dilepaskan dengan membawa pesan untuk mempermalukan adipati Jipang.

Gagalnya perundingan antara sultan Hadiwijaya dengan aria Penangsang, sangat mengecewakan hati sunan Kudus atas sikap aria Penangsang yang menolak tawaran damai sultan Pajang. Oleh karena itu sunan Kudus mengusulkan untuk dilakukan perundingan ulang dimana sunan Kudus bertindak sebagai penengahnya. Dimana dalam perundingan ini disyaratkan masing masih pihak tidak membawa pendamping. Pihak Jipang diwakili sendiri oleh aria Penangsang, dan pihak Pajang diwakili oleh sultan Hadiwijaya sendiri. Dalan hal ini Patih Sumangkar dari Jipang maupun Ki Juru Mertani atau Pemanahan maupun Penjawi tidak diikut sertakan dalam perundingan ini. Sehingga perundingan ini bersifat seimbang.
Sunan Kudus meski tampak memberikan syarat yg adil tetapi masih menyimpan keberpihakan kepada anak angkatnya yaitu aria Penangsang. Dimana satu diantara kursi tempat berunding diberikan rajah Kalachakra yng nantinya disiapkan untuk di duduki oleh sultan Hadiwijaya. Dimana kekuatan rajah kalachakra adalah untuk membuat seseorang akan apes jayanya jika rajah kalachakra diduduki.

Untuk membedakan mana kursi yang sudah di rajah dengan kalachakra adalah kursi baru berukir indah dan diberi tilam putih. Sedangkan yang tidak di rajah adalah kursi lama yang biasa untuk tamu dengan diberi talam warna hijau.

Kedatangan sultan Hadiwijaya disambut oleh sunan Kudus yang didampingi oleh aria Penangsaangan. Sesampainya didalam ruang perundingan sunan Kudus mempersilahkan sultan Hadiwijaya untuk duduk di kursi baru yang bertilam putih. Melihat kursi baru berukir indah dan bertilam putih sultan Hadiwijaya yang terbiasa dididik pekerti luhur oleh orang tuanya untuk tidak mendahului menggunakan apa saja yang belum pernah digunakan oleh orang yang lebih tua, Maka dengan penuh hormat menyatakan lebih baik kanjeng sunan Kudus yang duduk di kursi tersebut.Karena kelihatanya kursi itu masih baru dan belum pernah digunakan. Sultan Hadiwijaya tidak berani menduduki karena takut kualat mendahului pemilikinya. Apalagi kursi tersebut milik pribadi sunan Kudus. Jelas saja sunan Kudus tidak berani menduduki kursi yang sudah di rajah kalachakra. Lain halnya dengan aria Penangsang. Penolakan sultan Hadiwijaya dianggap sebagai penghinaan terhadap pribadi sunan Kudus. Aria Penangsang memang tidak tahu kalau kursi bertilam putih sudah dirajah dengan KalaChakra. Aria Penangsang merasa sultan Hadiwijaya telah melakukan penghinaan tehadap sunan Kudus sebagai sudarma pepundenya, maka aria Penangsang menghunus keris kiai Setan Kober. Melihat keris Keris kiai Setan Kober terhunus sultan Hadiwijaya kaget dan mundur selangkah. Melihat gelagat ini sunan Kudus memerintahkan aria Penangsang untuk menyarungkan keris kiai Setan Kober.

Dengan serta merta keris disarungkan ke warakanya. Dan aria penangsang langsung duduk di kursi bertilam putih yang dirajah Kalachakra.

Melihat gelagat yang tidak baik sultan Hadiwijaya menyatakan kepada sunan Kudus membatalkan perundingan dan mohon pamit mundur kembali ke Pajang. Alagkah kagetnya sunan Kudus ketika kembali ke ruang perundingan setelah melepas sultan Hadiwijaya, melihat aria Penangsang duduk di kursi bertilam putih yang dirajah kalachakra. Sunan Kudus memberi tahu jika perintah menyarungkan keris adalah sasmita (kode), untuk menyarungkan keris itu ke badan sultan Hadiwijaya. Dan kesalahan yang paling fatal adalah aria penangsang menduduki kursi yang sudah dirajah. Kalachakra. Artinya akan menjadi apes buat aria Penangsang. Maka sunan Kudus memerntahkan aria Penangsang untuk melakukan puasa selama 40 hari, untuk menghapus apes.

Tetes Darah Majapahit Terputus ???

Sejarah mencatat, bahwa dinasti Mataram berpangkal dari Ki. Ageng Pemanahan yang berhasil menobatkan Sutawijaya (penembahan Senopati) menjadi raja Mataram Islam hingga zaman sekarang.

Dengan kata lain, versi sejarah mencatat bahwa raja-raja keturunan (darah) Majapahit terputus sejak runtuhnya Kesultanan Pajang. Namun versi legenda masyarakat bahwa darah keturunan Majapahit tetap berlanjut menjadi raja-raja di tanah Jawa. Karena percaya bahwa Sutawijaya adalah “lembu peteng”) alias “anak gembala” (anak hasil hubungan gelap) antara sultan Hadiwijaya dengan istri ki ageng Pemanahan yang ditingal bertapa untuk memohon agar diberi keturunan. Selama ditinggal bertapa Ki Ageng Pemanahan menitipkan istrinya kepada Sultan Hadiwijaya di istana Pajang. Hal ini terjadi atas usul Ki Juru Mertani.
Dalam kias / sanepan. Ki Ageng Pemanahan meminum air kelapa kelapa (baca: banyu cengkir) yang disimpan oleh Juru Mertani dan dititipkan kapada sultan.
Cerita rakyat menyatakan hal berbeda. Bahwasanya nyi Ageng (istri Pemanahan), tidak akan punya anak jika tidak didampingi oleh satria lelanang jagad yang pada saat itu wahyu lelanang jagad dipercaya ada didalam diri Sultan Hadiwijaya. Atau tidak bisa melahirkan jika tidak didampingi oleh sultan Hadiwijaya. Supaya anak bisa lahir, maka Ki Ageng Pemanahan sendiri yang meminta sultan Hadiwijaya mendampingi Nyi Ageng supaya anaknya bisa lahir. Setelah lahir diberi nama Danang Sutawijaya yang berarti: danang (lelaki) Suta (hadir) Wijaya (sultan Hadiwijaya). Mengandung maksud anak laki yang lahir karena hadirnya sultan Hadiwijaya.

Kontroversi siapa sebenarnya Sutawijaya, apakah anak ki. Ageng Pemanahan atau anak sultan Hadiwijaya. Sampai saat ini tidak jelas. Secara fakta adalah anak ki Ageng Pemanahan. Yang diadopsi sebagai anak sultan Hadiwijaya. Tetapi masyarakat menyatakan “lembu peteng” nya Jaka Tingkir,

Dilihat dari sejarah, dimana kekuasaan Raja adalah mutak. Dimana tak seorang yang berada dibawah kuasanya bisa menolak keinginan raja. Terlepas apakah keinginan itu benar atau salah. Sabda raja adalah hukum. Menolak keinginan raja berarti menentang hukum. Kebiasaan raja memiliki selir disamping garwa padmi, adalah suatu hal yang sangat biasa .
Sultan Hadiwijaya memiliki putra bernama Pangeran Benawa sebagai pewaris syah Pajang. Namun mengapa tokoh pangeran Benawa ini tidak menonjol kiprahnya. Hal ini dilatar belakangi bahwa dianggap kurang tidak cerdas. Sedagkan cerita rakyat mengatakan bahwa pangeran Benawa “kesinungan pengung” dalam istilah sekarang biasa disebut autis. .
Jadi jelas mengapa peran pangeran Benawa dalam mempertahankan Pajang dari rongrongan aria Penangsang tidak tercatat dalam sejarah.

Pada saat sekarang didalam masyarakat jawa kususnya masih dipercaya bahwa dinasti raja-raja di tanah jawa (Islam) masih memilik satu darah, yakni darah asal Majapahit. Dan Indonesia dipercaya baru akan keluar dari masalah jika dipimpin oleh sosok yang berdarah raja Majapahit. Sampai Sekrang dalam kenyataan tidak satupun pemimpin negeri in sejak merdeka yang memiliki darah raja Majapahit.
Wallahualam bisawab.

Hari hari terakhir Harya Penangsang

Ketika terjadi insiden di di padepokan sunan Kudus. Aria Penangsang yg tidak tanggap atas sasmita dari sunan Kudus “sarungkan” keris pusaka kiai Setan Kober dan menduduki rajah kalacakra. Aria Penangsang diwajibkan untuk melakukan puasa 40 hari lamanya.

Sultan Hadiwijaya sepulangnya dari padepokan sunan Kudus, memanggil Trio Selo (Pemanahan, Penjawi dan Juru Mertani). Untuk mengatur strategi untuk menghadapi krida aria Penangsang, yag secara terus terang akan merongrong Pajang. Oleh karena itu sultan Hadiwijaya membuka sayembara untuk mengalahkan aria Penangsang. Dimana siapa saja yang bisa menewaskan aria Penangsang akan diberi tanah perdikan di Mentaok.

Ki Ageng Pemanahan mengajukan anaknya, Sutawijaya yang juga sebagai anak angkat sultan Hadiwijaya untuk maju sebagai senapati Pajang untuk menghadapi aria Penangsang. Pada awalnya, sultan Hadiwijaya keberatan. Karena Sutawijaya masih muda belia dan belum berpengalaman. Namun Ki. Ageng Pemanahan meyakinkan bahwa Sutawijaya tidak maju sendiri, Tetap didukung oleh trio Selo (Pemanahan, Penjawi dan Juru Mertani), serta membawa sipat kandel tombak Kiai Plered yang ampuh.

Trio Selo mengatur strategi dengan mengirim 9 santri untuk mematai-mati kekuatan Jipang. Namun malang kesemua tertangkap di Jipang dan dieksekusi. Konon makam 9 santri sekarang berada dilingkungan petilasan Jipang. Namun usaha untuk mencari info kelemahan Jipang terus diupayakan. Sehingganya akhirnya diperoleh informasi bahwa aria Penangsang sedang melakukan Puasa 40 hari setelah menduduki rajah kalacakra guna menghapus apes.

Dengan diketahui keadaan ini maka ki Juru Mertani mengatur siasat untuk menantang aria Penangsang sebelum masa puasanya usai atau membatalkan puasanya. Dari sini jelas bahwa di penghujung masa puasa, kondisi aria Penangsang akan lemah secara fisik.
Ki. Ageng Pemanahan dan Sutawijaya menyusun pasukan di tepi seberang bengawan sore, sedangkan ki Juru Mertani menyusup ke Pajang. Malang bagi abdi dalem pemelihara kuda Gagak Rimang milik aria Penangsang yang sedang merumput ketika bertemu dengan Ki. Juru Mertani. Abdi dalem ditangkap oleh Ki Juru Mertani dan dikerat kupingnya, serta dibekali surat tantangan dari Sutawijaya untuk aria Penangsang.

Aria penangsang belum genap puasa 40 hari, amarahnya menggelegak ketika menerima tangtangan dari Sutawijaya yg dianggapnya sebagai anak kemaren sore yang masih ingusan. Patih ki Mentahun dan penasehat pribadinya ki Sumangkar gagal meredam kemarahan aria Penangsang. Meski fisiknya masih lemah karena sudah menjalani puasa 39 hari, memerintahkan untuk berangkat menghadapi Sutawijaya. Patih ki Mentahun dan ki Sumangkar meminta untuk menahan diri selama satu hari saja agar aria Penangsang menyelesaikan puasanya. Karena suasana seperti ini adalah akal-akalan orang Pajang untuk membatalkan puasa. Namun semua nasihat tidak lagi didengar oleh aria Penangsang yang sudah terbakar amarahnya.

Gagak Rimang di luar kendali.

Harya Penangsang membatalkan puasa yang belum genap 40 hari. Sebenarnya kondisi fisiknya masih belum prima, namun hal tersebut tidak dirasakan, karena emosinya sudah terbakar. Harga dirinya terasa di injak-injak oleh Danang Sutawijaya anak angkat sultan Hadiwijaya yang dinilai masih bocah kemaren sore. Dengan busana keprajuritan memimpin sendiri pasukan menuju tempat yang dtentukan yakni ditepi bengawan sore.

Disisi Pajang, ternyata sudah memiliki persiapan yang sangat matang untuk menghadapi pasukan Jipang. Dalam hal ini Pajang tidak hanya sendiri untuk berlaga, bantuan pasukan dari bupati Jepara Ratu Kalinyamat dan pasukan dari pesantren Selo (murid murid turunan ki Ageng Selo) yang dipimpin oleh Penjawi, Juru Martani dan Ki Pemanahan.

Situasi seperti ini tidak diperhitungkan oleh bupati Jipang Arya Penangsang. Karena memang sudah terbakar emosinya dan mengandalkan kharismatik sebagai bupati yang di segani, karena memang tergolong bupati yang menjadi murid langsung dari sunan Kudus.

Sejak terjadi konfrontasi antara Jipang dengan Pajang. Secara ghaib wilayah Jipang memang dilindungi oleh sunan Kudus dengan menebar “tabir gaib” yang dipasang di sungai Bengawan Sore. Siapapun yang menyebrang bengawan sore akan kehilangan daya kekuatanya.
Akan tetapi tapi tabir ghaib yang ada di bengawan sore sudah diketahui keberadaanya oleh Trio Selo. Namun tabir ghaib itu tak bisa disingkirkan. Oleh karena itu dilakukan siasat untuk memancing arya Penangsang untuk menyebrang kali Bengawan Sore.

Danang Sutawijaya meski merasa tidak mampu melawan Arya Penangsang, namun tegar dan meningkat keberanianya karena didukung oleh Tri Selo dan dibekali pusaka pribadi sultan Hadiwijaya sebagai sipat kandel, yakni tombak pusaka Kiayi Plered yang terkenal ampuh. Bahkan keampuhanya bisa menembus siapapun meski memiliki ilmu kebal.
Oleh Trio Selo, Danang Sutawijaya dberi kuda tunggangan peremuan yang sedang birahi untuk menghadapi Arya penangsang yang menggunakan kuda tunggangan Gagak Rimang.

Arya Penangsang dan pasukan, setibanya di tepi kali Bengawan Sore, menggelar pasukan untuk siap-siap menyerang. Penyerangan ke pasukan Pajang ia tunda karena Arya Penangsang tahu bahwa jika menyebrang kali bengawan sore akan terkena tabir ghaib yang dtebar oleh Sunan Kudus, dirinya dan pasukanya akan kehilangan kekuatanya. Lagi pula pasukan yang akan membantu yakni pasukan kepatihan dibawah ki Sumangkar dan pasukan kabupaten Jipang yang dipimpin oleh Ki Mentahun belum tiba.

Trio Selo melihat arya Penangsang menunda penyerangan, hatinya semakin waswas. Karena harapanya adalah Arya Penangsang dan pasukan Jipang yang belum lengkap segera menyebrang kali bengawan sore. Oleh karena itu ki Juru Mertani yang mendampingi Danang Sutawijaya yang menunggang kuda perempuan berteriak memanasmanasi alias provokasi ke Arya Penangsang untuk bertanding diseberang kali bengawan sore. Pada awalnya provokasi ki Juru Mertani tidak digubris oleh arya Penangsang. Namun Sutawijaya yang mengunggang kuda perempuan yg sedang birahi melakukan manuver,untuk mengusik Gagak Rimang, kuda tunggangan arya Penangsang.

Gagak Rimang kuda jantan melihat kuda betina yang sedang birahi melesat menyebrangi kali bengawan sore. Arya Penangsang terkejut akan polah Gagak Rimang, sehingga ia pun terbawa menyebrangi kali bengawan sore. Tidak sempat lagi memberi komando kepada pasukanya. Namun pasukan yang teratih segera menyusul ikut menyebrang.

Melihat Gagak Rimang melesat sendiri menyebrang kali diluar kendali tuanya, adalah merupakan kesempatan yang sangat baik, bagi Sutawijaya.

Dengan Tombak kiyai Plered di tangan siap menyambut kedatangan arya Penangsang di seberang kali. Arya Penangsang sibuk berusaha mengendalikan Gagak Rimang yang lepas kendali karena terpicu birahinya oleh kuda tunggangan Sutawijaya. Sehingga hilang kewaspadaanya terhadap bahaya yang sedang di hadapi. Luput penglihatanya bahwa seberang kali sudah ditunggu oleh tombak kiayi Plered yang dipegang oleh Sutawijaya.

Arya Penangsang Tewas

Gagak Rimang yang terpicu birahi lari menyeberangi kali bengawan sore, tanpa menghiraukan bahwa tuanya berada di punggungnya. Arya Penangsang dengan sekuat tenaga berusaha mengendalikan krida sang gagak rimang. Tetap di tepi seberang kali bengawan sore gagak rimang menghentikan langkah dengan kedua kaki depan mengangkat keatas, karena tali sais ditarik kuat kebelakang. Dalam keadaan demikian Arya Penangsang berusaha memegang tali sais sekuatnya agar tidak jatuh terjengkang. Kesempatan ini di gunakan untuk menjojohkan tombak kiayi Plered ke badan sang bupati Jipang. Sudah tentu Arya Penangsang tidak bisa menangkis hunjaman tombak, karena kedua tanganya masih tercengkeram kuat memegang tali sais untuk menahan agar dirinya tidak jatuh dari kuda. Lambung Arya Penangsang sobek terkena hunjaman tombak kiayi Plered. Dan kemudian terjatuh menyebabkan sobekan luka bertambah lebar, menyebabkan ususnya keluar.

Meski demikian Arya Penangsang masih sanggup untuk bangun dan menangkis datangnya hunjaman tombak berikutnya dengan tangan kiri, sedangkan tangan kananya sibuk mengalugkan usus yang keluar ke gagang keris setan kober.

Dengan sekali sentak tubuh arya Penangsang melenting keatas dan mendarat diatasa tanah di tepi bengawan sore. Sutawijaya terkejut, tidak percaya bahwa sang bupati Jipang yang sudah terluka dan ususnya keluar masih mampu bergerak secepat itu. Belum lagi sempat Sutawijaya sadar dari rasa terkejutnya, Arya Penangsang sudah berada dibelakangnya dan menyekap leher Sutawijaya. Rasa sesak napas menjalar diseluruh badan terasa kesemutan membuat Sutawijaya kehilangan tenaga. Dan hanya mampu berkata:”Paman Harya ampuni saya paman”.

Ki Juru Mertani yang melihat keadaan tersebut mengkhawatirkan Sutawijaya akan mati bukan karena terkena senjata tajam. Akan tetapi mati lemas karena kehabisan napas. Dengan serta merta berteriak kepada Arya Penangsang :”Penangsang bunuh anak itu secara ksatria dengan Kerismu.”.

Mendengar teriakan ki Juru Mertani Arya Penangsang mengendurkan cekikan seraya meraba keris kiayi setan kober. Sutawijaya merasa cekikan melonggar dan dapat bernapas kembali, namun tetap tidak bisa melepaskan diri dari sekapan Arya Penangsang. Satu satunya yang bisa dilakukan adalah meraih usus Arya penangsang yang masih menyangkut di hulu keris setan kober. Tentu saja membuat usus arya Penangsang menjadi semakin tegang. Disaat yang sama arya Penangsang menarik keris setan kober dari warangkanya dengan nafsu untuk menghabisi Sutawijaya. Sekelebat keris terhunus, terpotonglah usus sang Arya Penangsang. Sutawijaya terjatuh begitu usus arya Penangsang putus diiringi tumbangnya tubuh sang bupati Jipang Panolan yang perkasa.

Masih sempat Sutawijaya menghampiri arya Peangsang yang sudah tidak berdaya. Dan berkata :”Paman Arya, saya tidak membunuh paman. Keris paman sendirilah yang memutuskan usus paman, Dengan suara lemah Arya Penangsang berkata:”Angger, berjanjilah sebagai bukti kebenaran kata-katamu. Katakan kepada semua pawongan, jika mereka menikah harus mengguna busana seperti yang dipakai oleh paman”. Selepas itu Arya Penangsang wafat di pangkuan Sutawijaya. Tewas sebagai Ksatria.

Hingga saat ini disetiap perhelatan temu penganten di wilayah Yogya, Penganten Priya menggunakan busana Penangsang dengan keris yang dironce dengan bunga melati dan mawar. Sedangkan pakaian adat sehari hari masyarakat Yogya (mataram) adalah Surjan dengan blangkon mondolan.

Kisah Arya Penangsang dan Kemelut Berdarah di Kerajaan Demak

Kisah Arya Penangsang dan Kemelut Berdarah di Kerajaan Demak


Mendapatkan hikmah dari pelajaran sejarah

Genetik kita diwariskan dari leluhur secara turun temurun dan leluhur kita pernah hidup di zaman dahulu kala. Dalam DNA kita terdapat catatan pengalaman leluhur-leluhur kita zaman Sriwijaya, zaman Majapahit, genetik bawaan dari pembangun Candi Monumental Borobudur dan juga genetik pelaku kekerasan Ken Arok dan Arya Penangsang. Zaman dulu dan zaman sekarang ini adalah satu rangkaian yang tidak bisa dipisahkan. Bahkan dalam genetik seseorang terdapat catatan evolusi panjang kehidupannya sampai saat ini.

Kita perlu mengkoreksi klasifikasi sejarah yang mengkotak-kotakkan Sejarah Bangsa menjadi Zaman Pra Hindu, Zaman Hindu, Zaman Islam, Zaman Penjajahan dan seterusnya. Genetik kita pada saat ini ada kaitannya dengan masa lalu, tidak dapat dipisah-pisahkan atas dasar kepercayaan yang dianut pada beberapa masa. Leluhur kita pernah beragama tersebut dan genetiknya telah terwariskan kepada kita.

Kalaupun kita mempercayai pandangan Sejarawan Inggris Arnold Toynbee (1889-1975) yang mengemukakan teori siklus ‘lahir-tumbuh-mandek-hancur’ dari suatu kehidupan sosial atau suatu peradaban, dan pada kenyataannya, kerajaan-kerajaan di Nusantara juga mengalami proses tersebut, akan tetapi semua pengalaman tersebut telah tercatat dalam DNA kita. Adalah perjuangan sebuah bangsa untuk mengembangkan karakter bangsa yang baik dan memutus siklus karakter bangsa yang tidak baik.

Yang namanya ‘kisah’ tentu saja sulit dicari keotentikannya, akan tetapi bagaimana pun kita tetap dapat mengambil hikmah dari sebuah ‘kisah’, khususnya ‘Kisah Arya Penangsang’.



Kemelut di Demak

Para pemimpin di Demak di masa itu, telah melihat kemelut yang terjadi di Istana Majapahit dan yakin pemerintahan Raden Patah dengan penasehat para Wali akan mengalami kejayaan kembali seperti Kerajaan Majapahit di masa jayanya berdasarkan tuntunan agama yang mulia. Mungkin mereka lupa apa yang ditabur akan dituai, perebutan kekuasaan Kerajaan Majapahit akan dialami pula oleh Kerajaan Demak. Kerajaan Majapahit mampu bertahan selama 4 abad, akan tetapi Kerajaan Demak, hanya beberapa generasi saja.

Raden Patah digantikan oleh Pati Unus menantu Raden Patah yang akhirnya meninggal sewaktu menyerang Malaka dan terkenal dengan sebutan ‘Pangeran Sabrang Lor’, Pangeran yang menyeberangi laut ke utara. Putra Raden Patah, Pangeran Bagus Surawiyata, dibunuh oleh Sunan Prawoto, putra Trenggono, adik Pangeran Bagus Surawiyata. Trenggono lah yang kemudian menjadi Sultan Demak. Pangeran Bagus Surawiyata sering disebut dengan sebutan ‘Pangeran Sekar Seda Lepen’, Pangeran yang meninggal di kali. Arya Penangsang adalah putra Pangeran Bagus Surawiyata yang merasa berhak mewarisi tahta, apalagi dia telah diangkat anak oleh Sunan Kudus dan sudah menjadi Adipati di Jipang Panolan. Bagaimana pun semua keputusan harus mendapatkan kesepakatan dari para Wali.

Meninggalnya Sultan Trenggono di Panarukan membuat kemelut Istana Demak memuncak. Ada perbedaan pendapat di antara para Wali. Pendapat Sunan Kalijaga, adalah Hadiwijaya Adipati Pajang menantu Sultan Trenggono yang pantas menggantikan sebagai Raja. Alasannya meski bukan keturunan langsung Raden Patah, tetapi masih mempunyai darah Raja Majapahit. Sunan Kalijaga mengingatkan bahwa para Wali pernah mengangkat Pati Unus, menantu Raden Patah sebagai Sultan Demak, padahal Pati Unus tidak memiliki darah Raja Majapahit.

Sunan Kudus berpendapat bahwa Arya Penangsang, Adipati Jipang Panolan, putra Pangeran Bagus Surawiyata yang terbunuh yang berhak sebagai Sultan Demak. Sunan Kudus meyakinkan bahwa Arya Penangsang memiliki kemampuan dalam tata negara dan merupakan pemimpin yang kharismatik. Sunan Giri berpendapat bahwa Pangeran Bagus Mukmin (Sunan Prawata), putra Sultan Trenggono yang berhak menjadi Sultan. Alasannya adalah sesuai adat dan hukum. Akhirnya Sunan Prawata diangkat sebagai Sultan.

Di masa Sunan Prawata menjadi raja, Banten dan Cirebon memisahkan diri dari Demak dan berdiri sendiri sebagai kerajaan yang berdaulat sehingga Kasultanan Demak sudah berkurang wilayahnya. Pada suatu malam, Sunan Prawata dibunuh oleh Rangkud orang kepercayaan Arya Penangsang atas restu Sunan Kudus.

Puteri Sultan Trenggono, Ratu Kalinyamat beserta suaminya Pangeran Hadiri datang menghadap Sunan Kudus untuk meminta keadilan atas kematian kakaknya dan oleh Sunan Kudus dijelaskan sebab musabab Sunan Prawoto terbunuh, agar suasana yang penuh ketegangan dapat mereda. Akan tetapi sepulang dari Sunan Kudus, mereka dicegat pasukan Arya Penangsang dan Pangeran Hadiri terbunuh. Ratu Kalinyamat amat marah dan mengatakan administrasi Kerajaan dipindah ke Pajang, dimana adik iparnya menjadi adipati di sana. Dia ingin menjauhkan peran para Wali di Demak terhadap pemerintahan dan kemudian bertapa telanjang di Gunung Danaraja dan tidak akan berpakaian sebelum Arya Penangsang mati. Ratu Kalinyamat sakit hati terhadap Sunan Kudus sebagai Hakim Agung di Demak yang memihak kepada Arya Penangsang.

Demak dinyatakan sudah kehilangan wahyu kraton dan berdirilah kerajaan baru, Kesultanan Pajang. Kesultanan Pajang dibawah Sultan Hadiwijawa (Jaka Tingkir), berdiri tahun 1530 tanpa ada pesta pelantikan, bahkan menurut kisah turun temurun masyarakat disekitar wilayah Pajang, Raja Hadiwijaya tidak dilantik oleh para Wali. Kecuali dihadiri oleh Sunan Kalijaga dengan kapasitas sebagai seorang Guru Jaka Tingkir. Setelah itu tidak ada lagi Wali sebagai pengambil keputusan bidang pemerintahan.

Seorang Guru yang berpikiran jernih berpendapat bahwa apa pun keyakinan yang dianut, sebetulnya akhlaknya tergantung pada diri pribadi. Keserakahan, keangkuhan dan nafsu diri tidak berubah hanya karena berganti keyakinan. Boleh saja seseorang mengaku mempunyai keyakinan yang paling benar, akan tetapi kalau dia tidak memperbaiki akhlaknya, maka dia akan mempermalukan lembaga keyakinan yang dinutnya. Masyarakat yang akan menilai.



Terbunuhnya Arya Penangsang oleh Sutawijaya

Arya Penangsang membuat saluran air melingkari Jipang Panolan dan dihubungkan dengan Bengawan Solo. Karena pada sore hari air Bengawan Solo pasang maka air di saluran juga mengalami pasang. Oleh karena itu saluran tersebut dikenal dengan nama Bengawan Sore. Sebetulnya Arya Penangsang sudah tidak berhak mengklaim tahta Demak kepada Sultan Hadiwijaya, karena Pajang adalah sebuah kerajaan tersendiri. Akan tetapi dendamnya kepada putera dan mantu Sultan Trenggono belum pupus. Dia kembali mengirim pembunuh gelap untuk membunuh Sultan Hadiwijaya, mengulangi keberhasilan pembunuhan terhadap Sunan Prawata. Akan tetapi pembunuhan tersebut tidak berhasil.

Dikisahkan Sunan Kalijaga memohon kepada Sunan Kudus agar para sepuh, Wali sebagai ulama dapat menempatkan diri sebagai orang tua. Tidak ikut campur dalam urusan “rumah tangga” anak-anak. Biarkanlah Arya Penangsang dan Hadiwijaya menyelesaikan persoalanya sendiri. Dan yang sepuh sebagai pengamat. Sunattulah akan berlaku bagi mereka berdua, ‘Sing becik ketitik sing ala ketara’. Wali lebih baik mensyi’arkan agama tanpa menggunakan kekuasaan. Biarkanlah urusan tata negara dilakukan oleh ahlinya masing-masing. Wali adalah ahli da’wah bukan ahli tata negara. Jangan sampai para Wali terpecah belah karena berpihak kepada salah satu diantara mereka. Apa kata rakyat jelata, jika melihat para Wali ‘udreg-udregan’, sibuk berkelahi sendiri.

Hampir semua Guru menyampaikan: “Setelah tidak ada aku nanti, mungkin pentolan-pentolan kelompokku sudah tidak punya ‘clash of vision’, tetapi mereka tetap punya ‘clash of minds’, ‘clash of egoes’, mereka merasa bahwa tindakan yang dipilihnya benar menurut pemahamannya, dan kalian akan melihat banyaknya aliran muncul”. seandainya Guru masih hidup maka kebenaran dapat ditanyakan dan tidak akan ada permasalahan. Mereka yang gila kekuasaan menggunakan pemahaman terhadap wasiat Guru sebagai alat untuk membangun kekuasaan. Yang terjadi bukan perang berdasarkan perbedaan keyakinan, tetapi perebutan kekuasaan menggunakan perbedaan pemahaman atau keyakinan sebagai alat yang ampuh.

Dikisahkan Sunan Kudus sebagai Guru Sultan Hadiwijaya, mengundang Sultan untuk datang ke Kudus untuk mendinginkan suasana. Pada saat itu terjadi perang mulut antara Arya Penangsang dan Sultan Hadiwijaya dan mereka saling menghunus keris. Konon Sunan Kudus berteriak: “Apa-apaan kalian! Penangsang cepat sarungkan senjatamu, dan masalahmu akan selesai!” Arya Penangsang patuh dan menyarungkan keris ‘Setan Kober’nya. Setelah pertemuan usai, konon Sunan Kudus menyayangkan Arya Penangsang, maksud Sunan Kudus adalah menyarungkan keris ke tubuh Sultan Hadiwijaya dan masalah akan selesai.

Akhirnya Arya Penangsang dengan kuda ‘Gagak Rimang’nya dipancing dengan kuda betina Sutawijaya yang berada di luar Bengawan Sore atas saran penasehat Ki Gede Pemanahan dan ki Penjawi. Dan, Arya Penangsang menaiki ‘Gagak Rimang’ yang bersemangat menyeberangi Bengawan Sore. Begitu berada di luar Bengawan Sore kesaktian Arya Penangsang berkurang yang akhirnya dia dapat terbunuh. Atas jasanya Ki Penjawi diberi tanah di Pati dan Ki Gede Pemanahan diberi tanah di Mentaok, Mataram. Sutawijaya adalah putra Ki Gede Pemanahan dan merupakan putra angkat Sultan Hadiwijaya sebelum putra kandungnya, Pangeran Benawa lahir. Sutawijaya konon dikawinkan dengan putri Sultan sehingga Sutawijaya yang akhirnya menjadi Sultan Pertama Mataram yang bergelar Panembahan Senopati, anak keturunannya masih berdarah Raja Majapahit.



Perbaikan Karakter Bangsa

Kita harus mulai hidup berkesadaran. Pertama kita sadari bahwa potensi genetik kekerasan masih berada dalam diri. Keributan dalam pertunjukan dangdut dan sepakbola, adalah bukti masih adanya potensi kekerasan dalam diri. Latihan meditasi atau olah batin dapat melembutkan diri.

Selanjutnya kita harus berjuang membuang potensi genetik lama yang kurang baik dan menggantinya dengan kebiasaan baru, karakter baru dan akhirnya membuat perbaikan genetik. Dari studi genetika terbukti bahwa kita telah mengalami evolusi yang luar biasa, maka perbaikan karakter sudah pasti dapat dicapai dengan suatu perjuangan.

Sudah waktunya kita menghormati jasa leluhur kita, sudah waktunya kita menghormati Warisan Budaya kita. Bende Mataram, Sembah Sujudku bagi Ibu Pertiwi. Terima Kasih Guru.

Arya Penangsang

Arya Penangsang


Arya Penangsang atau Arya Jipang, adalah Bupati Jipang Panolan yang memerintah pada pertengahan abad ke-16. Ia melakukan pembunuhan terhadap Sunan Prawoto, penguasa terakhir Kesultanan Demak tahun 1549, namun dirinya sendiri kemudian tewas ditumpas para pengikut Sultan Hadiwijaya, penguasa Pajang. Riwayat mengenai Arya Penangsang tercantum dalam beberapa serat dan babad yang ditulis ulang pada periode bahasa Jawa Baru (abad ke-19), seperti Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda. Arya Penangsang juga terkenal sakti mandraguna.

Silsilah

Menurut Serat Kanda, Ayah dari Arya Penangsang adalah Raden Kikin atau sering disebut sebagai Pangeran Sekar, putra Raden Patah raja pertama Kesultanan Demak. Ibu Raden Kikin adalah putri bupati Jipang sehingga ia bisa mewarisi kedudukan kakeknya. Selain itu Arya Penangsang juga memiliki saudara lain ibu bernama Arya Mataram.

Pada tahun 1521 anak pertama Raden Patah yang bernama Adipati Kudus (orang Portugis menyebutnya Pate Unus, dikenal juga sebagai Pangeran Sabrang Lor karena melakukan penyerangan ke Malaka yang dikuasai Portugis) gugur dalam perang. Kedua adiknya, yaitu Raden Kikin dan Raden Trenggana, malah berebut takhta. Raden Mukmin atau yang disebut juga sebagai Sunan Prawoto (putra pertama Raden Trenggana) membunuh Raden Kikin sepulang salat Jumat di tepi sungai dengan menggunakan keris Kyai Setan Kober yang dicurinya dari Sunan Kudus. Sejak itu, Raden Kikin terkenal dengan sebutan Pangeran Sekar Seda ing Lepen ("Bunga yang gugur di sungai").

Sepeninggal ayahnya, Arya Penangsang menggantikan sebagai bupati Jipang Panolan. Saat itu usianya masih anak-anak, sehingga pemerintahannya diwakili Patih Matahun. Ia dibantu oleh salah satu senapati Kadipaten Jipang yang terkenal bernama Tohpati. Wilayah Jipang Panolan sendiri terletak di sekitar daerah Blora, Jawa Tengah.
[sunting] Aksi pembunuhan

Raden Trenggana naik takhta Demak sejak tahun 1521 bergelar Sultan Trenggana. Pemerintahannya berakhir saat ia gugur di Panarukan, Situbondo tahun 1546. Raden Mukmin menggantikan sebagai sultan keempat bergelar Sunan Prawoto.

Pada tahun 1549 Arya Penangsang dengan dukungan gurunya, yaitu Sunan Kudus, membalas kematian Raden Kikin dengan mengirim utusan bernama Rangkud untuk membunuh Sunan Prawoto dengan Keris Kyai Setan Kober. Rangkud sendiri tewas pula, saling bunuh dengan korbannya itu.

Ratu Kalinyamat, adik Sunan Prawoto, menemukan bukti kalau Sunan Kudus terlibat pembunuhan kakaknya. Ia datang ke Kudus meminta pertanggungjawaban. Namun jawaban Sunan Kudus bahwa Sunan Prawoto mati karena karma membuat Ratu Kalinyamat kecewa.

Ratu Kalinyamat bersama suaminya pulang ke Jepara. Di tengah jalan mereka diserbu anak buah Arya Penangsang. Ratu Kalinyamat berhasil lolos, sedangkan suaminya, yang bernama Pangeran Hadari, terbunuh.

Arya Penangsang kemudian mengirim empat orang utusan membunuh saingan beratnya, yaitu Hadiwijaya, menantu Sultan Trenggana yang menjadi bupati Pajang. Meskipun keempatnya dibekali keris pusaka Kyai Setan Kober, namun, mereka tetap dapat dikalahkan Hadiwijaya dan dipulangkan secara hormat.

Hadiwijaya ganti mendatangi Arya Penangsang untuk mengembalikan keris Kyai Setan Kober. Keduanya lalu terlibat pertengkaran dan didamaikan Sunan Kudus. Hadiwijaya kemudian pamit pulang, sedangkan Sunan Kudus menyuruh Penangsang berpuasa 40 hari untuk menghilangkan Tuah Rajah Kalacakra yang sebenarnya akan digunakan untuk menjebak Hadiwijaya tetapi malah mengenai Arya Penangsang sendiri pada waktu bertengkar dengan Hadiwijaya karena emosi Aryo Penangsang sendiri yang labil.
[sunting] Sayembara

Dalam perjalanan pulang ke Pajang, rombongan Hadiwijaya singgah ke Gunung Danaraja tempat Ratu Kalinyamat bertapa. Ratu Kalinyamat mendesak Hadiwijaya agar segera menumpas Arya Penangsang. Ia,, yang mengaku sebagai pewaris takhta Sunan Prawoto, berjanji akan menyerahkan Demak dan Jepara jika Hadiwijaya menang.

Hadiwijaya segan memerangi Penangsang secara langsung karena merasa sebagai sama-sama murid Sunan Kudus dan sesama anggota keluarga Demak. Maka diumumkanlah sayembara, barangsiapa dapat membunuh bupati Jipang tersebut, akan memperoleh hadiah berupa tanah Pati dan Mataram.

Kedua kakak angkat Hadiwijaya, yaitu Ki Ageng Pemanahan dan Ki Panjawi mendaftar sayembara. Hadiwijaya memberikan pasukan Pajang dan memberikan Tombak Kyai Plered untuk membantu karena anak angkatnya, yaitu Sutawijaya (putra kandung Ki Ageng Pemanahan ikut serta.

Kematian

Ketika pasukan Pajang datang menyerang Jipang, Arya Penangsang sedang akan berbuka setelah keberhasilannya berpuasa 40 hari. Surat tantangan atas nama Hadiwijaya membuatnya tidak mampu menahan emosi. Apalagi surat tantangan itu dibawa oleh pekatik-nya (pemelihara kuda) yang sebelumnya sudah dipotong telinganya oleh Pemanahan dan Penjawi. Meskipun sudah disabarkan Arya Mataram, Penangsang tetap berangkat ke medan perang menaiki kuda jantan yang bernama Gagak Rimang.

Kuda Gagak Rimang dengan penuh nafsu mengejar Sutawijaya yang mengendarai kuda betina, melompati bengawan. Perang antara pasukan Pajang dan Jipang terjadi di dekat Bengawan Sore. Akibatnya perut Arya Penangsang robek terkena tombak Kyai Plered milik Sutawijaya. Meskipun demikian Penangsang tetap bertahan. Ususnya yang terburai dililitkannya pada gagang keris yang terselip di pinggang.

Penangsang berhasil meringkus Sutawijaya. Saat mencabut keris Setan Kober untuk membunuh Sutawijaya, usus Arya Penangsang terpotong sehingga menyebabkan kematiannya.

Dalam pertempuran itu Ki Matahun, patih Jipang, tewas pula, sedangkan Arya Mataram meloloskan diri. Sejak awal, Arya Mataram memang tidak pernah sependapat dengan kakaknya yang mudah marah itu.

Dampak budaya

Kisah kematian Arya Penangsang melahirkan tradisi baru dalam seni pakaian Jawa, khususnya busana pengantin pria. Pangkal keris yang dipakai pengantin pria seringkali dihiasi untaian bunga mawar dan melati. Ini merupakan lambang pengingat supaya pengantin pria tidak berwatak pemarah dan ingin menang sendiri sebagaimana watak Arya Penangsang.