Walisongo
Walisongo atau Walisanga dikenal sebagai penyebar agama Islam di tanah Jawa pada abad ke 14. Mereka tinggal di tiga wilayah penting pantai utara Pulau Jawa, yaitu Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, dan Cirebon di Jawa Barat.
Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat para Walisongo ini lebih banyak disebut dibanding yang lain.
Arti Walisongo
Ada beberapa pendapat mengenai arti Walisongo. Pertama adalah wali yang sembilan, yang menandakan jumlah wali yang ada sembilan, atau sanga dalam bahasa Jawa. Pendapat lain menyebutkan bahwa kata songo/sanga berasal dari kata tsana yang dalam bahasa Arab berarti mulia. Pendapat lainnya lagi menyebut kata sana berasal dari bahasa Jawa, yang berarti tempat.
Pendapat lain yang mengatakan bahwa Walisongo adalah sebuah majelis dakwah yang pertama kali didirikan oleh Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim) pada tahun 1404 Masehi (808 Hijriah). Saat itu, majelis dakwah Walisongo beranggotakan Maulana Malik Ibrahim sendiri, Maulana Ishaq (Sunan Wali Lanang), Maulana Ahmad Jumadil Kubro (Sunan Kubrawi); Maulana Muhammad Al-Maghrabi (Sunan Maghribi); Maulana Malik Isra'il (dari Champa), Maulana Muhammad Ali Akbar, Maulana Hasanuddin, Maulana 'Aliyuddin, dan Syekh Subakir.
Dari nama para Walisongo tersebut, pada umumnya terdapat sembilan nama yang dikenal sebagai anggota Walisongo yang paling terkenal, yaitu:
* Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim
* Sunan Ampel atau Raden Rahmat
* Sunan Bonang atau Raden Makhdum Ibrahim
* Sunan Drajat atau Raden Qasim
* Sunan Kudus atau Ja'far Shadiq
* Sunan Giri atau Raden Paku atau Ainul Yaqin
* Sunan Kalijaga atau Raden Said
* Sunan Muria atau Raden Umar Said
* Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah
Para Walisongo adalah intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya. Pengaruh mereka terasakan dalam beragam bentuk manifestasi peradaban baru masyarakat Jawa, mulai dari kesehatan, bercocok-tanam, perniagaan, kebudayaan, kesenian, kemasyarakatan, hingga ke pemerintahan.
Maulana Malik Ibrahim
Maulana Malik Ibrahim adalah keturunan ke-22 dari Nabi Muhammad. Ia disebut juga Sunan Gresik, atau Sunan Tandhes, atau Mursyid Akbar Thariqat Wali Songo . Nasab As-Sayyid Maulana Malik Ibrahim Nasab Maulana Malik Ibrahim menurut catatan Dari As-Sayyid Bahruddin Ba'alawi Al-Husaini yang kumpulan catatannya kemudian dibukukan dalam Ensiklopedi Nasab Ahlul Bait yang terdiri dari beberapa volume (jilid). Dalam Catatan itu tertulis: As-Sayyid Maulana Malik Ibrahim bin As-Sayyid Barakat Zainal Alam bin As-Sayyid Husain Jamaluddin bin As-Sayyid Ahmad Jalaluddin bin As-Sayyid Abdullah bin As-Sayyid Abdul Malik Azmatkhan bin As-Sayyid Alwi Ammil Faqih bin As-Sayyid Muhammad Shahib Mirbath bin As-Sayyid Ali Khali’ Qasam bin As-Sayyid Alwi bin As-Sayyid Muhammad bin As-Sayyid Alwi bin As-Sayyid Ubaidillah bin Al-Imam Ahmad Al-Muhajir bin Al-Imam Isa bin Al-Imam Muhammad bin Al-Imam Ali Al-Uraidhi bin Al-Imam Ja’far Shadiq bin Al-Imam Muhammad Al-Baqir bin Al-Imam Ali Zainal Abidin bin Al-Imam Al-Husain bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra/Ali bin Abi Thalib, binti Nabi Muhammad Rasulullah
Ia diperkirakan lahir di Samarkand di Asia Tengah, pada paruh awal abad ke-14. Babad Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah orang Jawa terhadap As-Samarqandy.[2] Dalam cerita rakyat, ada yang memanggilnya Kakek Bantal.
Isteri Maulana Malik Ibrahim
Maulana Malik Ibrahim memiliki, 3 isteri bernama: 1. Siti Fathimah binti Ali Nurul Alam Maulana Israil (Raja Champa Dinasti Azmatkhan 1), memiliki 2 anak, bernama: Maulana Moqfaroh dan Syarifah Sarah 2. Siti Maryam binti Syaikh Subakir, memiliki 4 anak, yaitu: Abdullah, Ibrahim, Abdul Ghafur, dan Ahmad 3. Wan Jamilah binti Ibrahim Zainuddin Al-Akbar Asmaraqandi, memiliki 2 anak yaitu: Abbas dan Yusuf. Selanjutnya Sharifah Sarah binti Maulana Malik Ibrahim dinikahkan dengan Sayyid Fadhal Ali Murtadha [Sunan Santri/ Raden Santri] dan melahirkan dua putera yaitu Haji Utsman (Sunan Manyuran) dan Utsman Haji (Sunan Ngudung). Selanjutnya Sayyid Utsman Haji (Sunan Ngudung) berputera Sayyid Ja’far Shadiq [Sunan Kudus].
Maulana Malik Ibrahim umumnya dianggap sebagai wali pertama yang mendakwahkan Islam di Jawa. Ia mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam dan banyak merangkul rakyat kebanyakan, yaitu golongan masyarakat Jawa yang tersisihkan akhir kekuasaan Majapahit. Malik Ibrahim berusaha menarik hati masyarakat, yang tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Ia membangun pondokan tempat belajar agama di Leran, Gresik. Pada tahun 1419, Malik Ibrahim wafat. Makamnya terdapat di desa Gapura Wetan, Gresik, Jawa Timur.
Sunan Ampel
Sunan Ampel bernama asli Raden Rahmat, keturunan ke-22 dari Nabi Muhammad, menurut riwayat ia adalah putra Ibrahim Zainuddin Al-Akbar dan seorang putri Champa yang bernama Dewi Condro Wulan binti Raja Champa Terakhir Dari Dinasti Ming. Nasab lengkapnya sebagai berikut: Sunan Ampel bin Sayyid Ibrahim Zainuddin Al-Akbar bin Sayyid Jamaluddin Al-Husain bin Sayyid Ahmad Jalaluddin bin Sayyid Abdullah bin Sayyid Abdul Malik Azmatkhan bin Sayyid Alwi Ammil Faqih bin Sayyid Muhammad Shahib Mirbath bin Sayyid Ali Khali’ Qasam bin Sayyid Alwi bin Sayyid Muhammad bin Sayyid Alwi bin Sayyid Ubaidillah bin Sayyid Ahmad Al-Muhajir bin Sayyid Isa bin Sayyid Muhammad bin Sayyid Ali Al-Uraidhi bin Imam Ja’far Shadiq bin Imam Muhammad Al-Baqir bin Imam Ali Zainal Abidin bin Imam Al-Husain bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad Rasulullah. Sunan Ampel umumnya dianggap sebagai sesepuh oleh para wali lainnya. Pesantrennya bertempat di Ampel Denta, Surabaya, dan merupakan salah satu pusat penyebaran agama Islam tertua di Jawa. Ia menikah dengan Dewi Condrowati yang bergelar Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Teja dan menikah juga dengan Dewi Karimah binti Ki Kembang Kuning. Pernikahan Sunan Ampel dengan Dewi Condrowati alias Nyai Ageng Manila binti Aryo Tejo, berputera: Sunan Bonang,Siti Syari’ah,Sunan Derajat,Sunan Sedayu,Siti Muthmainnah dan Siti Hafsah. Pernikahan Sunan Ampel dengan Dewi Karimah binti Ki Kembang Kuning, berputera: Dewi Murtasiyah,Asyiqah,Raden Husamuddin (Sunan Lamongan,Raden Zainal Abidin (Sunan Demak),Pangeran Tumapel dan Raden Faqih (Sunan Ampel 2. Makam Sunan Ampel teletak di dekat Masjid Ampel, Surabaya.
Sunan Bonang
Sunan Bonang adalah putra Sunan Ampel, dan merupakan keturunan ke-23 dari Nabi Muhammad. Ia adalah putra Sunan Ampel dengan Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Teja. Sunan Bonang banyak berdakwah melalui kesenian untuk menarik penduduk Jawa agar memeluk agama Islam. Ia dikatakan sebagai penggubah suluk Wijil dan tembang Tombo Ati, yang masih sering dinyanyikan orang. Pembaharuannya pada gamelan Jawa ialah dengan memasukkan rebab dan bonang, yang sering dihubungkan dengan namanya. Universitas Leiden menyimpan sebuah karya sastra bahasa Jawa bernama Het Boek van Bonang atau Buku Bonang. Menurut G.W.J. Drewes, itu bukan karya Sunan Bonang namun mungkin saja mengandung ajarannya. Sunan Bonang diperkirakan wafat pada tahun 1525.
Sunan Drajat
Sunan Drajat adalah putra Sunan Ampel, dan merupakan keturunan ke-23 dari Nabi Muhammad. Ia adalah putra Sunan Ampel dengan Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Teja. Sunan Drajat banyak berdakwah kepada masyarakat kebanyakan. Ia menekankan kedermawanan, kerja keras, dan peningkatan kemakmuran masyarakat, sebagai pengamalan dari agama Islam. Pesantren Sunan Drajat dijalankan secara mandiri sebagai wilayah perdikan, bertempat di Desa Drajat, Kecamatan Paciran, Lamongan. Tembang macapat Pangkur disebutkan sebagai ciptaannya. Gamelan Singomengkok peninggalannya terdapat di Musium Daerah Sunan Drajat, Lamongan. Sunan Drajat diperkirakan wafat wafat pada 1522.
Sunan Kudus
Sunan Kudus adalah putra Sunan Ngudung atau Raden Usman Haji, dengan Syarifah Ruhil atau Dewi Ruhil yang bergelar Nyai Anom Manyuran binti Nyai Ageng Melaka binti Sunan Ampel. Sunan Kudus adalah keturunan ke-24 dari Nabi Muhammad. Sunan Kudus bin Sunan Ngudung bin Fadhal Ali Murtadha bin Ibrahim Zainuddin Al-Akbar bin Jamaluddin Al-Husain bin Ahmad Jalaluddin bin Abdillah bin Abdul Malik Azmatkhan bin Alwi Ammil Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-Uraidhi bin Ja’far Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Al-Husain bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad Rasulullah. Sebagai seorang wali, Sunan Kudus memiliki peran yang besar dalam pemerintahan Kesultanan Demak, yaitu sebagai panglima perang, penasehat Sultan Demak, Mursyid Thariqah dan hakim peradilan negara. Ia banyak berdakwah di kalangan kaum penguasa dan priyayi Jawa. Di antara yang pernah menjadi muridnya, ialah Sunan Prawoto penguasa Demak, dan Arya Penangsang adipati Jipang Panolan. Salah satu peninggalannya yang terkenal ialah Mesjid Menara Kudus, yang arsitekturnya bergaya campuran Hindu dan Islam. Sunan Kudus diperkirakan wafat pada tahun 1550.
Sunan Giri
Sunan Giri adalah putra Maulana Ishaq. Sunan Giri adalah keturunan ke-23 dari Nabi Muhammad, merupakan murid dari Sunan Ampel dan saudara seperguruan dari Sunan Bonang. Ia mendirikan pemerintahan mandiri di Giri Kedaton, Gresik; yang selanjutnya berperan sebagai pusat dakwah Islam di wilayah Jawa dan Indonesia timur, bahkan sampai ke kepulauan Maluku. Salah satu keturunannya yang terkenal ialah Sunan Giri Prapen, yang menyebarkan agama Islam ke wilayah Lombok dan Bima.
Sunan Kalijaga
Sunan Kalijaga adalah putra adipati Tuban yang bernama Tumenggung Wilatikta atau Raden Sahur atau Sayyid Ahmad bin Mansur (Syekh Subakir). Ia adalah murid Sunan Bonang. Sunan Kalijaga menggunakan kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah, antara lain kesenian wayang kulit dan tembang suluk. Tembang suluk Ilir-Ilir dan Gundul-Gundul Pacul umumnya dianggap sebagai hasil karyanya. Dalam satu riwayat, Sunan Kalijaga disebutkan menikah dengan Dewi Saroh binti Maulana Ishaq, menikahi juga Syarifah Zainab binti Syekh Siti Jenar dan Ratu Kano Kediri binti Raja Kediri.
Sunan Muria
Sunan Muria atau Raden Umar Said adalah putra Sunan Kalijaga. Ia adalah putra dari Sunan Kalijaga dari isterinya yang bernama Dewi Sarah binti Maulana Ishaq. Sunan Muria menikah dengan Dewi Sujinah, putri Sunan Ngudung. Jadi Sunan Muria adalah adik ipar dari Sunan Kudus.
Sunan Gunung Jati
Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah adalah putra Syarif Abdullah Umdatuddin putra Ali Nurul Alam putra Syekh Husain Jamaluddin Akbar. Dari pihak ibu, ia masih keturunan keraton Pajajaran melalui Nyai Rara Santang, yaitu anak dari Sri Baduga Maharaja. Sunan Gunung Jati mengembangkan Cirebon sebagai pusat dakwah dan pemerintahannya, yang sesudahnya kemudian menjadi Kesultanan Cirebon. Anaknya yang bernama Maulana Hasanuddin, juga berhasil mengembangkan kekuasaan dan menyebarkan agama Islam di Banten, sehingga kemudian menjadi cikal-bakal berdirinya Kesultanan Banten.
Walisongo menurut periode waktu
Menurut buku Haul Sunan Ampel Ke-555 yang ditulis oleh KH. Mohammad Dahlan, majelis dakwah yang secara umum dinamakan Walisongo, sebenarnya terdiri dari beberapa angkatan. Para Walisongo tidak hidup pada saat yang persis bersamaan, namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, baik dalam ikatan darah atau karena pernikahan, maupun dalam hubungan guru-murid. Bila ada seorang anggota majelis yang wafat, maka posisinya digantikan oleh tokoh lainnya:
* Angkatan ke-1 (1404 – 1435 M), terdiri dari Maulana Malik Ibrahim (wafat 1419), Maulana Ishaq, Maulana Ahmad Jumadil Kubro, Maulana Muhammad Al-Maghrabi, Maulana Malik Isra'il (wafat 1435), Maulana Muhammad Ali Akbar (wafat 1435), Maulana Hasanuddin, Maulana 'Aliyuddin, dan Syekh Subakir atau juga disebut Syaikh Muhammad Al-Baqir.
* Angkatan ke-2 (1435 - 1463 M), terdiri dari Sunan Ampel yang tahun 1419 menggantikan Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishaq (wafat 1463), Maulana Ahmad Jumadil Kubro, Maulana Muhammad Al-Maghrabi, Sunan Kudus yang tahun 1435 menggantikan Maulana Malik Isra’il, Sunan Gunung Jati yang tahun 1435 menggantikan Maulana Muhammad Ali Akbar, Maulana Hasanuddin (wafat 1462), Maulana 'Aliyuddin (wafat 1462), dan Syekh Subakir (wafat 1463).
* Angkatan ke-3 (1463 - 1466 M), terdiri dari Sunan Ampel, Sunan Giri yang tahun 1463 menggantikan Maulana Ishaq, Maulana Ahmad Jumadil Kubro (wafat 1465), Maulana Muhammad Al-Maghrabi (wafat 1465), Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati, Sunan Bonang yang tahun 1462 menggantikan Maulana Hasanuddin, Sunan Derajat yang tahun 1462 menggantikan Maulana ‘Aliyyuddin, dan Sunan Kalijaga yang tahun 1463 menggantikan Syaikh Subakir.
* Angkatan ke-4 (1466 - 1513 M, terdiri dari Sunan Ampel (wafat 1481), Sunan Giri (wafat 1505), Raden Fattah yang pada tahun 1465 mengganti Maulana Ahmad Jumadil Kubra, Fathullah Khan (Falatehan) yang pada tahun 1465 mengganti Maulana Muhammad Al-Maghrabi, Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati, Sunan Bonang, Sunan Derajat, dan Sunan Kalijaga (wafat 1513).
* Angkatan ke-5 (1513 - 1533 M), terdiri dari Syekh Siti Jenar yang tahun 1481 menggantikan Sunan Ampel (wafat 1517), Raden Faqih Sunan Ampel II yang ahun 1505 menggantikan kakak iparnya Sunan Giri, Raden Fattah (wafat 1518), Fathullah Khan (Falatehan), Sunan Kudus (wafat 1550), Sunan Gunung Jati, Sunan Bonang (wafat 1525), Sunan Derajat (wafat 1533), dan Sunan Muria yang tahun 1513 menggantikan ayahnya Sunan Kalijaga.
* Angkatan ke-6 (1533 - 1546 M), terdiri dari Syekh Abdul Qahhar (Sunan Sedayu) yang ahun 1517 menggantikan ayahnya Syekh Siti Jenar, Raden Zainal Abidin Sunan Demak yang tahun 1540 menggantikan kakaknya Raden Faqih Sunan Ampel II, Sultan Trenggana yang tahun 1518 menggantikan ayahnya yaitu Raden Fattah, Fathullah Khan (wafat 1573), Sayyid Amir Hasan yang tahun 1550 menggantikan ayahnya Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati (wafat 1569), Raden Husamuddin Sunan Lamongan yang tahun 1525 menggantikan kakaknya Sunan Bonang, Sunan Pakuan yang tahun 1533 menggantikan ayahnya Sunan Derajat, dan Sunan Muria (wafat 1551).
* Angkatan ke-7 (1546- 1591 M), terdiri dari Syaikh Abdul Qahhar (wafat 1599), Sunan Prapen yang tahun 1570 menggantikan Raden Zainal Abidin Sunan Demak, Sunan Prawoto yang tahun 1546 menggantikan ayahnya Sultan Trenggana, Maulana Yusuf cucu Sunan Gunung Jati yang pada tahun 1573 menggantikan pamannya Fathullah Khan, Sayyid Amir Hasan, Maulana Hasanuddin yang pada tahun 1569 menggantikan ayahnya Sunan Gunung Jati, Sunan Mojoagung yang tahun 1570 menggantikan Sunan Lamongan, Sunan Cendana yang tahun 1570 menggantikan kakeknya Sunan Pakuan, dan Sayyid Shaleh (Panembahan Pekaos) anak Sayyid Amir Hasan yang tahun 1551 menggantikan kakek dari pihak ibunya yaitu Sunan Muria.
* Angkatan ke-8 (1592- 1650 M), terdiri dari Syaikh Abdul Qadir (Sunan Magelang) yang menggantikan Sunan Sedayu (wafat 1599), Baba Daud Ar-Rumi Al-Jawi yang tahun 1650 menggantikan gurunya Sunan Prapen, Sultan Hadiwijaya (Joko Tingkir) yang tahun 1549 menggantikan Sultan Prawoto, Maulana Yusuf, Sayyid Amir Hasan, Maulana Hasanuddin, Syekh Syamsuddin Abdullah Al-Sumatrani yang tahun 1650 menggantikan Sunan Mojoagung, Syekh Abdul Ghafur bin Abbas Al-Manduri yang tahun 1650 menggantikan Sunan Cendana, dan Sayyid Shaleh (Panembahan Pekaos).
Tokoh pendahulu Walisongo
Syekh Jumadil Qubro
Syekh Jumadil Qubro adalah Maulana Ahmad Jumadil Kubra bin Husain Jamaluddin bin Ahmad Jalaluddin bin Abdillah bin Abdul Malik Azmatkhan bin Alwi Ammil Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-Uraidhi bin Ja’far Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Al-Husain bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad Rasulullah Syekh Jumadil Qubro adalah putra Husain Jamaluddin dari isterinya yang bernama Puteri Selindung Bulan (Putri Saadong II/ Putri Kelantan Tua). Tokoh ini sering disebutkan dalam berbagai babad dan cerita rakyat sebagai salah seorang pelopor penyebaran Islam di tanah Jawa.
Makamnya terdapat di beberapa tempat yaitu di Semarang, Trowulan, atau di desa Turgo (dekat Pelawangan), Yogyakarta. Belum diketahui yang mana yang betul-betul merupakan kuburnya.
Teori keturunan Hadramaut
Walaupun masih ada pendapat yang menyebut Walisongo adalah keturunan Samarkand (Asia Tengah), Champa atau tempat lainnya, namun tampaknya tempat-tampat tersebut lebih merupakan jalur penyebaran para mubaligh daripada merupakan asal-muasal mereka yang sebagian besar adalah kaum Sayyid atau Syarif. Beberapa argumentasi yang diberikan oleh Muhammad Al Baqir, dalam bukunya Thariqah Menuju Kebahagiaan, mendukung bahwa Walisongo adalah keturunan Hadramaut (Yaman):
* L.W.C van den Berg, Islamolog dan ahli hukum Belanda yang mengadakan riset pada 1884-1886, dalam bukunya Le Hadhramout et les colonies arabes dans l'archipel Indien (1886)[5] mengatakan:
”Adapun hasil nyata dalam penyiaran agama Islam (ke Indonesia) adalah dari orang-orang Sayyid Syarif. Dengan perantaraan mereka agama Islam tersiar di antara raja-raja Hindu di Jawa dan lainnya. Selain dari mereka ini, walaupun ada juga suku-suku lain Hadramaut (yang bukan golongan Sayyid Syarif), tetapi mereka ini tidak meninggalkan pengaruh sebesar itu. Hal ini disebabkan mereka (kaum Sayyid Syarif) adalah keturunan dari tokoh pembawa Islam (Nabi Muhammad SAW).”
* van den Berg juga menulis dalam buku yang sama (hal 192-204):
”Pada abad ke-15, di Jawa sudah terdapat penduduk bangsa Arab atau keturunannya, yaitu sesudah masa kerajaan Majapahit yang kuat itu. Orang-orang Arab bercampul-gaul dengan penduduk, dan sebagian mereka mempuyai jabatan-jabatan tinggi. Mereka terikat dengan pergaulan dan kekeluargaan tingkat atasan. Rupanya pembesar-pembesar Hindu di kepulauan Hindia telah terpengaruh oleh sifat-sifat keahlian Arab, oleh karena sebagian besar mereka berketurunan pendiri Islam (Nabi Muhammad SAW). Orang-orang Arab Hadramawt (Hadramaut) membawa kepada orang-orang Hindu pikiran baru yang diteruskan oleh peranakan-peranakan Arab, mengikuti jejak nenek moyangnya."
Pernyataan van den Berg spesifik menyebut abad ke-15, yang merupakan abad spesifik kedatangan atau kelahiran sebagian besar Walisongo di pulau Jawa. Abad ke-15 ini jauh lebih awal dari abad ke-18 yang merupakan saat kedatangan gelombang berikutnya, yaitu kaum Hadramaut yang bermarga Assegaf, Al Habsyi, Al Hadad, Alaydrus, Alatas, Al Jufri, Syihab, Syahab dan banyak marga Hadramaut lainnya.
* Hingga saat ini umat Islam di Hadramaut sebagian besar bermadzhab Syafi’i, sama seperti mayoritas di Srilangka, pesisir India Barat (Gujarat dan Malabar), Malaysia dan Indonesia. Bandingkan dengan umat Islam di Uzbekistan dan seluruh Asia Tengah, Pakistan dan India pedalaman (non-pesisir) yang sebagian besar bermadzhab Hanafi.
* Kesamaan dalam pengamalan madzhab Syafi'i bercorak tasawuf dan mengutamakan Ahlul Bait; seperti mengadakan Maulid, membaca Diba & Barzanji, beragam Shalawat Nabi, doa Nur Nubuwwah dan banyak amalan lainnya hanya terdapat di Hadramaut, Mesir, Gujarat, Malabar, Srilangka, Sulu & Mindanao, Malaysia dan Indonesia. Kitab fiqh Syafi’i Fathul Muin yang populer di Indonesia dikarang oleh Zainuddin Al Malabary dari Malabar, isinya memasukkan pendapat-pendapat baik kaum Fuqaha maupun kaum Sufi. Hal tersebut mengindikasikan kesamaan sumber yaitu Hadramaut, karena Hadramaut adalah sumber pertama dalam sejarah Islam yang menggabungkan fiqh Syafi'i dengan pengamalan tasawuf dan pengutamaan Ahlul Bait.
* Di abad ke-15, raja-raja Jawa yang berkerabat dengan Walisongo seperti Raden Patah dan Pati Unus sama-sama menggunakan gelar Alam Akbar. Gelar tersebut juga merupakan gelar yang sering dikenakan oleh keluarga besar Jamaluddin Akbar di Gujarat pada abad ke-14, yaitu cucu keluarga besar Azhamat Khan (atau Abdullah Khan) bin Abdul Malik bin Alwi, seorang anak dari Muhammad Shahib Mirbath ulama besar Hadramaut abad ke-13. Keluarga besar ini terkenal sebagai mubaligh musafir yang berdakwah jauh hingga pelosok Asia Tenggara, dan mempunyai putra-putra dan cucu-cucu yang banyak menggunakan nama Akbar, seperti Zainal Akbar, Ibrahim Akbar, Ali Akbar, Nuralam Akbar dan banyak lainnya.
Teori keturunan Cina
Sejarawan Slamet Muljana mengundang kontroversi dalam buku Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa (1968), dengan menyatakan bahwa Walisongo adalah keturunan Tionghoa Indonesia. Pendapat tersebut mengundang reaksi keras masyarakat yang berpendapat bahwa Walisongo adalah keturunan Arab-Indonesia. Pemerintah Orde Baru sempat melarang terbitnya buku tersebut.
Referensi-referensi yang menyatakan dugaan bahwa Walisongo berasal dari atau keturunan Tionghoa sampai saat ini masih merupakan hal yang kontroversial. Referensi yang dimaksud hanya dapat diuji melalui sumber akademik yang berasal dari Slamet Muljana, yang merujuk kepada tulisan Mangaraja Onggang Parlindungan, yang kemudian merujuk kepada seseorang yang bernama Resident Poortman. Namun, Resident Poortman hingga sekarang belum bisa diketahui identitasnya serta kredibilitasnya sebagai sejarawan, misalnya bila dibandingkan dengan Snouck Hurgronje dan L.W.C. van den Berg. Sejarawan Belanda masa kini yang banyak mengkaji sejarah Islam di Indonesia yaitu Martin van Bruinessen, bahkan tak pernah sekalipun menyebut nama Poortman dalam buku-bukunya yang diakui sangat detail dan banyak dijadikan referensi.
Salah satu ulasan atas tulisan H.J. de Graaf, Th.G.Th. Pigeaud, M.C. Ricklefs berjudul Chinese Muslims in Java in the 15th and 16th Centuries adalah yang ditulis oleh Russell Jones. Di sana, ia meragukan pula tentang keberadaan seorang Poortman. Bila orang itu ada dan bukan bernama lain, seharusnya dapat dengan mudah dibuktikan mengingat ceritanya yang cukup lengkap dalam tulisan Parlindungan.
[sunting] Sumber tertulis tentang Walisongo
1. Terdapat beberapa sumber tertulis masyarakat Jawa tentang Walisongo, antara lain Serat Walisanga karya Ranggawarsita pada abad ke-19, Kitab Walisongo karya Sunan Dalem (Sunan Giri II) yang merupakan anak dari Sunan Giri, dan juga diceritakan cukup banyak dalam Babad Tanah Jawi.
2. Mantan Mufti Johor Sayyid `Alwî b. Tâhir b. `Abdallâh al-Haddâd (meninggal tahun 1962) juga meninggalkan tulisan yang berjudul Sejarah perkembangan Islam di Timur Jauh (Jakarta: Al-Maktab ad-Daimi, 1957). Ia menukil keterangan diantaranya dari Haji `Ali bin Khairuddin, dalam karyanya Ketrangan kedatangan bungsu Arab ke tanah Jawi sangking Hadramaut.
3. Dalam penulisan sejarah para keturunan Bani Alawi seperti al-Jawahir al-Saniyyah oleh Sayyid Ali bin Abu Bakar Sakran, 'Umdat al-Talib oleh al-Dawudi, dan Syams al-Zahirah oleh Sayyid Abdul Rahman Al-Masyhur; juga terdapat pembahasan mengenai leluhur Sunan Gunung Jati, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Bonang dan Sunan Gresik.
Showing posts with label Demak. Show all posts
Showing posts with label Demak. Show all posts
Saturday, 19 February 2011
Sunan Kalijaga
Sunan Kalijaga
Sunan Kalijaga adalah seorang tokoh Wali Songo yang sangat lekat dengan Muslim di Pulau Jawa, karena kemampuannya memasukkan pengaruh Islam ke dalam tradisi Jawa. Makamnya berada di Kadilangu, Demak.
Riwayat
Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Dengan demikian ia mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546 serta awal kehadiran Kerajaan Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati. Ia ikut pula merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang "tatal" (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga.
Kelahiran
Sunan Kalijaga diperkirakan lahir pada tahun 1450 dengan nama Raden Said. Dia adalah putra adipati Tuban yang bernama Tumenggung Wilwatikta atau Raden Sahur. Nama lain Sunan Kalijaga antara lain Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran Tuban, dan Raden Abdurrahman. Berdasarkan satu versi masyarakat Cirebon, nama Kalijaga berasal dari Desa Kalijaga di Cirebon. Pada saat Sunan Kalijaga berdiam di sana, dia sering berendam di sungai (kali), atau jaga kali.
Silsilah
Mengenai asal usul beliau, ada beberapa pendapat yang menyatakan bahwa beliau juga masih keturunan Arab. Tapi, banyak pula yang menyatakan ia orang Jawa asli. Van Den Berg menyatakan bahwa Sunan Kalijaga adalah keturunan Arab yang silsilahnya sampai kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam. Sementara itu menurut Babad Tuban menyatakan bahwa Aria Teja alias 'Abdul Rahman berhasil mengislamkan Adipati Tuban, Aria Dikara, dan mengawini putrinya. Dari perkawinan ini ia memiliki putra bernama Aria Wilatikta. Menurut catatan Tome Pires, penguasa Tuban pada tahun 1500 M adalah cucu dari peguasa Islam pertama di Tuban. Sunan Kalijaga atau Raden Mas Said adalah putra Aria Wilatikta. Sejarawan lain seperti De Graaf membenarkan bahwa Aria Teja I ('Abdul Rahman) memiliki silsilah dengan Ibnu Abbas, paman Muhammad. Sunan Kalijaga mempunyai tiga anak salah satunya adalah Umar Said atau Sunan Muria.
Pernikahan
Dalam satu riwayat, Sunan Kalijaga disebutkan menikah dengan Dewi Saroh binti Maulana Ishak, dan mempunyai 3 putra: R. Umar Said (Sunan Muria), Dewi Rakayuh dan Dewi Sofiah.
Berda'wah
Menurut cerita,Sebelum menjadi Walisongo,Raden Said menjadi seorang perampok yang selalu mengambil hasil bumi di gudang penyimpanan Hasil Bumi.Dan hasil rampokan itu akan ia bagikan kepada orang-orang yang miskin.Suatu hari,Saat Raden Said ke hutan,ia melihat seseorang kakek tua yang bertongkat.Orang itu adalah Sunan Bonang.Karena tongkat itu dilihat seperti tongkat emas,ia merampas tongkat itu.Katanya,hasil rampokan itu akan ia bagikan kepada orang yang miskin.Tetapi,Sang Sunan Bonang tidak membenarkan cara itu.Ia menasihati Raden Said bahwa Allah tidak akan menerima amal yang buruk.Lalu,Sunan Bonang menunjukan pohon aren emas dan mengatakan bila Raden Said ingin mendapatkan harta tanpa berusaha,maka ambillah buah aren emas yang ditunjukkan oleh Sunan Bonang.Karena itu,Raden Said ingin menjadi murid Sunan Bonang.Raden Said lalu menyusul Sunan Bonang ke Sungai.Raden Said berkata bahwa ingin menjadi muridnya.Sunan Bonang lalu menyuruh Raden Said untuk bersemedi sambil menjaga tongkatnya yang ditancapkan ke tep sungai.Raden Said tidak boleh beranjak dari tempat tersebut sebelum Sunan Bonang datang.Raden Said lalu melaksanakan perintah tersebut.Karena itu,ia menjadi tertidur dalam waktu lama.Karena lamanya ia tertidur,tanpa disadari akar dan rerumputan telah menutupi dirinya.Tiga tahun kemudian,Sunan Bonang datang dan membangunkan Raden Said.Karena ia telah menjaga tongkatnya yang ditanjapkan ke sungai,maka Raden Said diganti namanya menjadi Kalijaga.Kalijaga lalu diberi pakaian baru dan diberi pelajaran agama oleh Sunan Bonang.Kalijaga lalu melanjutkan dakwahnya dan dikenal sebagai Sunan Kalijaga.
Dalam dakwah, ia punya pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung "sufistik berbasis salaf" -bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah.
Ia sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang. Tidak mengherankan, ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Beberapa lagu suluk ciptaannya yang populer adalah Ilir-ilir dan Gundul-gundul Pacul. Dialah menggagas baju takwa, perayaan sekatenan, garebeg maulud, serta lakon carangan Layang Kalimasada dan Petruk Dadi Ratu ("Petruk Jadi Raja"). Lanskap pusat kota berupa kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini pula dikonsep oleh Sunan Kalijaga.
Metode dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga; di antaranya adalah adipati Pandanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang.
Wafat
Ketika wafat, beliau dimakamkan di Desa Kadilangu, dekat kota Demak (Bintara). Makam ini hingga sekarang masih ramai diziarahi orang.
Sunan Kalijaga adalah seorang tokoh Wali Songo yang sangat lekat dengan Muslim di Pulau Jawa, karena kemampuannya memasukkan pengaruh Islam ke dalam tradisi Jawa. Makamnya berada di Kadilangu, Demak.
Riwayat
Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Dengan demikian ia mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546 serta awal kehadiran Kerajaan Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati. Ia ikut pula merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang "tatal" (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga.
Kelahiran
Sunan Kalijaga diperkirakan lahir pada tahun 1450 dengan nama Raden Said. Dia adalah putra adipati Tuban yang bernama Tumenggung Wilwatikta atau Raden Sahur. Nama lain Sunan Kalijaga antara lain Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran Tuban, dan Raden Abdurrahman. Berdasarkan satu versi masyarakat Cirebon, nama Kalijaga berasal dari Desa Kalijaga di Cirebon. Pada saat Sunan Kalijaga berdiam di sana, dia sering berendam di sungai (kali), atau jaga kali.
Silsilah
Mengenai asal usul beliau, ada beberapa pendapat yang menyatakan bahwa beliau juga masih keturunan Arab. Tapi, banyak pula yang menyatakan ia orang Jawa asli. Van Den Berg menyatakan bahwa Sunan Kalijaga adalah keturunan Arab yang silsilahnya sampai kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam. Sementara itu menurut Babad Tuban menyatakan bahwa Aria Teja alias 'Abdul Rahman berhasil mengislamkan Adipati Tuban, Aria Dikara, dan mengawini putrinya. Dari perkawinan ini ia memiliki putra bernama Aria Wilatikta. Menurut catatan Tome Pires, penguasa Tuban pada tahun 1500 M adalah cucu dari peguasa Islam pertama di Tuban. Sunan Kalijaga atau Raden Mas Said adalah putra Aria Wilatikta. Sejarawan lain seperti De Graaf membenarkan bahwa Aria Teja I ('Abdul Rahman) memiliki silsilah dengan Ibnu Abbas, paman Muhammad. Sunan Kalijaga mempunyai tiga anak salah satunya adalah Umar Said atau Sunan Muria.
Pernikahan
Dalam satu riwayat, Sunan Kalijaga disebutkan menikah dengan Dewi Saroh binti Maulana Ishak, dan mempunyai 3 putra: R. Umar Said (Sunan Muria), Dewi Rakayuh dan Dewi Sofiah.
Berda'wah
Menurut cerita,Sebelum menjadi Walisongo,Raden Said menjadi seorang perampok yang selalu mengambil hasil bumi di gudang penyimpanan Hasil Bumi.Dan hasil rampokan itu akan ia bagikan kepada orang-orang yang miskin.Suatu hari,Saat Raden Said ke hutan,ia melihat seseorang kakek tua yang bertongkat.Orang itu adalah Sunan Bonang.Karena tongkat itu dilihat seperti tongkat emas,ia merampas tongkat itu.Katanya,hasil rampokan itu akan ia bagikan kepada orang yang miskin.Tetapi,Sang Sunan Bonang tidak membenarkan cara itu.Ia menasihati Raden Said bahwa Allah tidak akan menerima amal yang buruk.Lalu,Sunan Bonang menunjukan pohon aren emas dan mengatakan bila Raden Said ingin mendapatkan harta tanpa berusaha,maka ambillah buah aren emas yang ditunjukkan oleh Sunan Bonang.Karena itu,Raden Said ingin menjadi murid Sunan Bonang.Raden Said lalu menyusul Sunan Bonang ke Sungai.Raden Said berkata bahwa ingin menjadi muridnya.Sunan Bonang lalu menyuruh Raden Said untuk bersemedi sambil menjaga tongkatnya yang ditancapkan ke tep sungai.Raden Said tidak boleh beranjak dari tempat tersebut sebelum Sunan Bonang datang.Raden Said lalu melaksanakan perintah tersebut.Karena itu,ia menjadi tertidur dalam waktu lama.Karena lamanya ia tertidur,tanpa disadari akar dan rerumputan telah menutupi dirinya.Tiga tahun kemudian,Sunan Bonang datang dan membangunkan Raden Said.Karena ia telah menjaga tongkatnya yang ditanjapkan ke sungai,maka Raden Said diganti namanya menjadi Kalijaga.Kalijaga lalu diberi pakaian baru dan diberi pelajaran agama oleh Sunan Bonang.Kalijaga lalu melanjutkan dakwahnya dan dikenal sebagai Sunan Kalijaga.
Dalam dakwah, ia punya pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung "sufistik berbasis salaf" -bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah.
Ia sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang. Tidak mengherankan, ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Beberapa lagu suluk ciptaannya yang populer adalah Ilir-ilir dan Gundul-gundul Pacul. Dialah menggagas baju takwa, perayaan sekatenan, garebeg maulud, serta lakon carangan Layang Kalimasada dan Petruk Dadi Ratu ("Petruk Jadi Raja"). Lanskap pusat kota berupa kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini pula dikonsep oleh Sunan Kalijaga.
Metode dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga; di antaranya adalah adipati Pandanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang.
Wafat
Ketika wafat, beliau dimakamkan di Desa Kadilangu, dekat kota Demak (Bintara). Makam ini hingga sekarang masih ramai diziarahi orang.
Awal Terbentuknya Kadilangu Demak
Awal Terbentuknya Kadilangu Demak
1. Pertama
Pada zaman Kerajaan Majapahit di bawah kekuasaan Prabu Brawijaya V, Raden Patah bersama dengan adiknya Aryo Bangah pergi dari Palembang ke Jawa dengan maksud mengabdi kepada Prabu Brawijaya V. Dalam perjalanan menuju Majapahit, mereka lebih dahulu berguru pada Sunan Ngampel (di Daerah Gresik). Setelah selesai berguru, Arya Bangah kemudian diangkat menjadi Adipati Terung. Tetapi Raden Patah (atas petunjuk gurunya) pergi ke arah barat untuk mendirikan masjid dan menyebarkan ajaran Islam.
Sampai di suatu hutan belukar terdapat rumput yang berbau wangi, Kemudian Raden Patah berhenti dan membuka hutan tersebut, serta mendirikan pemukiman dan membuat tanah pertanian. Daerah tersebut oleh Raden Patah di beri nama Glagahwangi. Dalam waktu singkat daerah tersebut menjadi daerah pemukiman dengan tanah pertanian yang sangat luas dan berganti nama menjadi Bintoro.
Prabu Brawijaya yang mengetahui hal itu, lalu mengukuhkan daerah tersebut dalam kekuasaan Majapahit. Selanjutnya daerah tersebut di beri nama Kadipaten Bintoro serta mengangkat Raden Patah menjadi Adipati Bintoro yang pertama. Dengan cepat Bintoro berkembang dan berganti nama kembali menjadi Demak.
Pada tahun 1472 Joko Said datang disekitar Demak, Joko Said berniat menyebarkan ajaran Islam. Raden Patah yang mendengar kedatangan Joko Said, kemudian menyuruh pengawal kerajaan untuk segera memanggilnya. Joko Said merupakan seorang muslim, dan ilmuwan (wali), serta dikenal dengan kepandaian ilmu pengetahuannya. Ilmu pengetahuan yang diperoleh Joko Said sewaktu berkelana, dianggap oleh Raden Patah akan berguna untuk kepentingan Kerajaan Demak.
Kedatangan Joko Said mengingatkan Raden Patah dengan perintah gurunya (Sunan Ngampel) yang belum terlaksana, yaitu untuk mendirikan masjid. Pada tahun 1473 Raden Patah mengumpulkan seluruh wali yang ada di tanah Jawa, dan memberi perintah kepada Joko Said untuk memimpin para wali. Dengan alasan, Raden Patah menganggap kepandaian yang dimiliki oleh Joko Said dapat digunakan untuk mengatur dan menyelesaikan tugas. Joko Said mulai merencanakan pembangunan masjid, selanjutnya pada tahun yang sama juga masjid megah itu selesai dibangun. (sekarang masjid tersebut lebih dikenal dengan nama Masjid Agung Demak). Raden Patah sangat senang, selain masjid itu sudah berdiri dengan megah juga karena dengan tangan Joko Said sendiri dapat membuat karya besar (yang sampai hari ini masih ada, yaitu Soko Guru, adalah Soko atau kayu penyangga yang menjadi pilar penopang bangunan tengah masjid).
Raden Patah kemudian memberikan Joko Said hadiah tanah yang bebas dipilihnya dan akan menjadi kepemilikannya dan turunannya selama-lamanya. Pilihan Joko Said jatuh pada suatu hutan belukar yang letaknya di dataran rendah di dekat Demak, yang berbau “langu” (karena itu kemudian daerah tersebut dinamakan Kadilangu). Joko Said menetap di Kadilangu dan mulai membuka daerah tersebut. Daerah tersebut merupakan hutan belukar yang lebat pada awalnya, setelah dibuka dengan penuh perasaan oleh Joko Said daerah itu dalam waktu singkat berubah menjadi tanah-tanah pertanian yang subur, dan terciptalah 27 daerah baik desa dan kota.
Pada saat mulai menetap di Kadilangu Joko Said tidak menggunakan nama Joko Said, tetapi menggunakan nama baru yaitu Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga sangat dihormati oleh penguasa maupun oleh rakyat kecil sekalipun. Hal ini disebabkan karena ilmu pengetahuan intelektualnya yang sangat luar biasa dan kecerdasannya yang tinggi, di imbangi dengan sikap kelembutan, keramah-tamahan serta penyantun. Nilai-nilai dan sifat- sifat Sunan Kalijaga inilah yang membuat namanya sangat tersohor dan dijadikan sebagai tempat bertanya orang hampir diseluruh Jawa Tengah.
Pada tahun 1483 Kerajaan Majapahit mulai runtuh menjadikan Demak terabaikan. Pada tahun 1488 kemudian Raden Patah dinobatkan menjadi Sultan Demak. Seluruh perbuatan Raden Patah menjadi perbuatan hukum seorang raja, termasuk dalam pemberian hadiah kepada Sunan Kalijaga, karena salah satu sifat seorang raja bijaksana adalah seorang raja tidak boleh mengambil ludahnya sendiri, sehingga raja tidak boleh mencabut perintah baik terdahulu maupun yang akan terjadi. Pada tahun 1492 Raden Patah wafat dan dimakamkan di komplek pemakaman masjid.
Pada tahun 1500 sunan kalijaga wafat dan dimakamkan di Kadilangu. Sampai sekarang makamnya tetap dihormati oleh setiap orang Jawa, bahkan kaisar (Sunan) Solo dalam bulan puasa selau menyuruh orang-orang kepercayaannya untuk mengunjungi makam tersebut.
Setelah Sunan Kalijaga wafat kekuasaan Kadilangu beralih kepada anak cucunya turun-temurun menurut garis keturunan lurus kebawah samapi keturunan ketujuh dengan gelar “Panembahan”. Mulai keturunan ke delatan samapi keturunan ke duabelas dengan gelar “Pangeran Wijil”. Pangeran Wijil yang terakhir meninggal dunia pada tanggal 11 Oktobr 1880. (Surat Residen Semarang No. 11338/1 tanggal. 22 Desember 1880 kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda).
2. Tanah Kadilangu Pada Zaman Kolonial.
Menurut Surat Residen Semarang No. 11338/1 tanggal. 22 Desember 1880 kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda, dahulu tanah kadilangu mempunyai luas meliputi 27 desa. Pada tahun 1816 waktu Pemerintahan Inggris 17 desa di Kadilangu diambil alih. Sehingga tanah di Kadilangu tinggal 10 Desa, yaitu: Kauman Kadilangu; Pampang Kadilangu; Pacol; Mandungan; Dakwos; Dukuh; Jraganan; Kahiringan; Krandon; dan Kenep. Dengan bentang luas keseluruhannya 519 7/8 bahu.
Pada tahun 1843 Pangeran Wijil V mengusulkan untuk menambah Desa Kemloko dalam wilayah Kadilangu. Tetapi Residen Semarang justru mengeluarkan Surat No. 11338/1 tanggal. 22 Desember 1880 kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Pada intinya Residen Semarang mengusulkan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda agar tanah-tanah di Kadilangu diambil alih saja, dengan alasan ditakutkan pada masa depan akan menjadi sebuah negara kecil di dalam negara.
Pada akhirnya Gubernur Jenderal Hindia Belanda memutuskan hanya Desa Kauman Kadilangu yang diberikan kepada Pangeran Wijil V, (dengan alasan terdapatnya makam Sunan Kalijaga). Dan selanjutnya Desa Kauman Kadilangu menjadi milik Pangeran Wijil V yang sah. Dikukuhkan dengan Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Nomor 16, tertanggal Buitenzorg 5 Mei 1883, tentang Pengangkatan Raden Ngabei Notobronto menjadi Kepala Kadilangu. Sehingga dapatlah dikatakan bahwa pada awalnya tanah Kadilangu bukanlah Desa Perdikan.
Pada tahun 1912 baru dilakukan pemberian Status Desa Perdikan terhadap tanah-tanah di Kadilangu, dengan Surat Keputusan Pemerintah Hindia Belanda, Gouvernement Besluit Nomor 25, tertanggal 20 Desember 1912, Bijblad Nomor 7848. Baru pada tahun ini, dapat dikatakan secara de facto dengan penguasan Pemerintahan Hindia Belanda, Kadilangu dinyatakan dan diberi status sebagai Desa Perdikan dengan diberi keistimewaan yaitu dibebaskan dari Pajak Bumi, pajak Penghasilan, dan Pajak Pemotongan ternak bagi penduduk tetap di Kadilangu.
Pada tanggal 25 Januari 1915, dengan di dasarkan pada Guovernements Besluit Nomor 10, Pemerintahan Hindia Belanda melakukan pengambilalihanan 10 (sepuluh) desa dari Kadilangu dengan pemberian ganti kerugian seluruhnya sebesar f.13.105,- setiap tahun. Sehingga Desa Perdikan hanya tersisa Desa Kauman Kadilangu.
3. Tanah Kadilangu Pada Zaman Indonesia Merdeka.
Pada zaman perang dunia II, Pemerintahan Hindia Belanda menyerah kepada Jepang pada tahun 1942. Selama Indonesia dalam kekuasaan pemerintahan militer Jepang kurang lebih 3 tahun, tidak ada perubahan apa-apa mengenai status tanah Kadilangu. Pada tanggal 17 Agustus 1945 Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia dengan bentuk Negara Kesatuan dan Pemerintahan Republik Indonesia, dan mendasarkan peraturan pada Undang-Undang Dasar 1945.
Menurut Undang-Undang Dasar 1945, seluruh wilayah bekas jajahan Kolonial Belanda menjadi Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam Pasal Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan, segala Badan Negara dan peraturan yang ada masih berlaku selama Belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar 1945 ini. Karenanya keadaan Kadilangu juga masih sama seperti pada Zaman Hindia Belanda, yaitu Desa Perdikan Kadilangu masih tetap di bawah Kepala Kadilangu. Pada tanggal 4 september 1946 diterbitkannya Undang-undang Nomor 13 Tahun 1946 tentang Penghapusan Desa Perdikan, yang menghapus semua Desa Perdikan termasuk Desa Perdikan Kadilangu. Tetapi pada kenyataannya Desa Perdikan Kadilangu masih tetap berjalan seperti biasanya, hal ini dikarenakan Belum ada peraturan pelaksana dari Undang-undang Nomor 13 Tahun 1946 tentang Penghapusan Desa Perdikan.
Sampai diterbitkanlah Peraturan Menteri Pemerintah Umum dan Otonomi Daerah Nomor 12 tahun 1962 tentang Penghapusan Desa Perdikan Kadilangu. Tetapi sebelumnya pada tahun 1960, telah diundangkan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, yang mengatur masalah pertanahan di seluruh wilayah Indonesia. Ini berarti bahwa seluruh kebijaksanaan pemerintah mengenai pertanahan harus didasarkan kepada UUPA.
Kebijaksanaan Pemerintah Republik Indonesia dalam bidang pertanahan khususnya upaya penghapusan dan pengaturan mengenai Desa Perdikan harus di dasarkan pada UUPA, sehingga Undang-Undang nomor 13 tahun 1946 dan Peraturan Menteri Pemerintah Umum dan Otonomi Daerah Nomor 12 tahun 1962 tentang Penghapusan desa Perdikan Kadilangu harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam UUPA.
Tetapi dalam pelaksanaan penghapusan Desa Perdikan Kadilangu masih terdapat perbedaan penafsiran antara Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1946 tentang Penghapusan Desa Perdikan, dan Peraturan Menteri Pemerintah Umum dan Otonomi Daerah Nomor 12 tahun 1962 tentang Penghapusan desa Perdikan Kadilangu. Perbedaan penafsiran tersebut, terjadi antara Propinsi Jawa Tengah/Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Demak dengan ahliwaris Sunan Kalijaga di Kadilangu.
Sampai akhirnya pada tanggal 2 Agustus 1986, Gubernur KDH Tingkat I Propinsi Jawa Tengah menerbitkan Surat Nomor 759/23047. Surat ini ditujukan kepada Kepala Direktorat Agraria Propinsi Jawa Tengah, pada intinya menyatakan bahwa “Masalah status tanah pada areal bekas Desa Perdikan Kadilangu, dan penghapusannya diatur di Peraturan Menteri Pemerintah Umum dan Otonomi Daerah Nomor 12 tahun 1962 tentang Penghapusan Desa Perdikan Kadilangu belum dapat terlaksana dengan tuntas”.
Sebenarnya masalah penghapusan Desa Perdikan Kadilangu menyangkut dua macam hukum, yaitu Hukum Ketatanegaraan dan Hukum Keperdataan. Untuk penghapusan Desa Perdikan Kadilangu sendiri berlaku hukum ketatanegaraan, karena menyangkut masalah pemerintahan umum di Daerah Jawa Tengah, sedangkan mengenai kepemilikan tanah warisan Sunan Kalijaga berlaku Hukum Keperdataan.
Desa perdikan Kadilangu harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan sistem ketatanegaraan Indonesia yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia yang didasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Sehingga pemerintah berusaha untuk menghapus Desa Perdikan Kadilangu dalam arti Hukum Ketatanegaraannya. Dan dalam pelaksanaannya usaha yang dilakukan tersebut sudah dapat terlaksana, walaupun tanpa dilakukan suatu upacara-upacara formal.
Kehidupan di Desa Kadilangu sekarang sudah berjalan seperti halnya desa-desa lain di Indonesia, dikarenakan Desa Perdikan Kadilangu sudah berubah menjadi desa biasa. Hal ini dapat dilihat dengan perubahan nama desa, yaitu dari Desa Kadilangu menjadi Kelurahan Kadilangu.
1. Pertama
Pada zaman Kerajaan Majapahit di bawah kekuasaan Prabu Brawijaya V, Raden Patah bersama dengan adiknya Aryo Bangah pergi dari Palembang ke Jawa dengan maksud mengabdi kepada Prabu Brawijaya V. Dalam perjalanan menuju Majapahit, mereka lebih dahulu berguru pada Sunan Ngampel (di Daerah Gresik). Setelah selesai berguru, Arya Bangah kemudian diangkat menjadi Adipati Terung. Tetapi Raden Patah (atas petunjuk gurunya) pergi ke arah barat untuk mendirikan masjid dan menyebarkan ajaran Islam.
Sampai di suatu hutan belukar terdapat rumput yang berbau wangi, Kemudian Raden Patah berhenti dan membuka hutan tersebut, serta mendirikan pemukiman dan membuat tanah pertanian. Daerah tersebut oleh Raden Patah di beri nama Glagahwangi. Dalam waktu singkat daerah tersebut menjadi daerah pemukiman dengan tanah pertanian yang sangat luas dan berganti nama menjadi Bintoro.
Prabu Brawijaya yang mengetahui hal itu, lalu mengukuhkan daerah tersebut dalam kekuasaan Majapahit. Selanjutnya daerah tersebut di beri nama Kadipaten Bintoro serta mengangkat Raden Patah menjadi Adipati Bintoro yang pertama. Dengan cepat Bintoro berkembang dan berganti nama kembali menjadi Demak.
Pada tahun 1472 Joko Said datang disekitar Demak, Joko Said berniat menyebarkan ajaran Islam. Raden Patah yang mendengar kedatangan Joko Said, kemudian menyuruh pengawal kerajaan untuk segera memanggilnya. Joko Said merupakan seorang muslim, dan ilmuwan (wali), serta dikenal dengan kepandaian ilmu pengetahuannya. Ilmu pengetahuan yang diperoleh Joko Said sewaktu berkelana, dianggap oleh Raden Patah akan berguna untuk kepentingan Kerajaan Demak.
Kedatangan Joko Said mengingatkan Raden Patah dengan perintah gurunya (Sunan Ngampel) yang belum terlaksana, yaitu untuk mendirikan masjid. Pada tahun 1473 Raden Patah mengumpulkan seluruh wali yang ada di tanah Jawa, dan memberi perintah kepada Joko Said untuk memimpin para wali. Dengan alasan, Raden Patah menganggap kepandaian yang dimiliki oleh Joko Said dapat digunakan untuk mengatur dan menyelesaikan tugas. Joko Said mulai merencanakan pembangunan masjid, selanjutnya pada tahun yang sama juga masjid megah itu selesai dibangun. (sekarang masjid tersebut lebih dikenal dengan nama Masjid Agung Demak). Raden Patah sangat senang, selain masjid itu sudah berdiri dengan megah juga karena dengan tangan Joko Said sendiri dapat membuat karya besar (yang sampai hari ini masih ada, yaitu Soko Guru, adalah Soko atau kayu penyangga yang menjadi pilar penopang bangunan tengah masjid).
Raden Patah kemudian memberikan Joko Said hadiah tanah yang bebas dipilihnya dan akan menjadi kepemilikannya dan turunannya selama-lamanya. Pilihan Joko Said jatuh pada suatu hutan belukar yang letaknya di dataran rendah di dekat Demak, yang berbau “langu” (karena itu kemudian daerah tersebut dinamakan Kadilangu). Joko Said menetap di Kadilangu dan mulai membuka daerah tersebut. Daerah tersebut merupakan hutan belukar yang lebat pada awalnya, setelah dibuka dengan penuh perasaan oleh Joko Said daerah itu dalam waktu singkat berubah menjadi tanah-tanah pertanian yang subur, dan terciptalah 27 daerah baik desa dan kota.
Pada saat mulai menetap di Kadilangu Joko Said tidak menggunakan nama Joko Said, tetapi menggunakan nama baru yaitu Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga sangat dihormati oleh penguasa maupun oleh rakyat kecil sekalipun. Hal ini disebabkan karena ilmu pengetahuan intelektualnya yang sangat luar biasa dan kecerdasannya yang tinggi, di imbangi dengan sikap kelembutan, keramah-tamahan serta penyantun. Nilai-nilai dan sifat- sifat Sunan Kalijaga inilah yang membuat namanya sangat tersohor dan dijadikan sebagai tempat bertanya orang hampir diseluruh Jawa Tengah.
Pada tahun 1483 Kerajaan Majapahit mulai runtuh menjadikan Demak terabaikan. Pada tahun 1488 kemudian Raden Patah dinobatkan menjadi Sultan Demak. Seluruh perbuatan Raden Patah menjadi perbuatan hukum seorang raja, termasuk dalam pemberian hadiah kepada Sunan Kalijaga, karena salah satu sifat seorang raja bijaksana adalah seorang raja tidak boleh mengambil ludahnya sendiri, sehingga raja tidak boleh mencabut perintah baik terdahulu maupun yang akan terjadi. Pada tahun 1492 Raden Patah wafat dan dimakamkan di komplek pemakaman masjid.
Pada tahun 1500 sunan kalijaga wafat dan dimakamkan di Kadilangu. Sampai sekarang makamnya tetap dihormati oleh setiap orang Jawa, bahkan kaisar (Sunan) Solo dalam bulan puasa selau menyuruh orang-orang kepercayaannya untuk mengunjungi makam tersebut.
Setelah Sunan Kalijaga wafat kekuasaan Kadilangu beralih kepada anak cucunya turun-temurun menurut garis keturunan lurus kebawah samapi keturunan ketujuh dengan gelar “Panembahan”. Mulai keturunan ke delatan samapi keturunan ke duabelas dengan gelar “Pangeran Wijil”. Pangeran Wijil yang terakhir meninggal dunia pada tanggal 11 Oktobr 1880. (Surat Residen Semarang No. 11338/1 tanggal. 22 Desember 1880 kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda).
2. Tanah Kadilangu Pada Zaman Kolonial.
Menurut Surat Residen Semarang No. 11338/1 tanggal. 22 Desember 1880 kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda, dahulu tanah kadilangu mempunyai luas meliputi 27 desa. Pada tahun 1816 waktu Pemerintahan Inggris 17 desa di Kadilangu diambil alih. Sehingga tanah di Kadilangu tinggal 10 Desa, yaitu: Kauman Kadilangu; Pampang Kadilangu; Pacol; Mandungan; Dakwos; Dukuh; Jraganan; Kahiringan; Krandon; dan Kenep. Dengan bentang luas keseluruhannya 519 7/8 bahu.
Pada tahun 1843 Pangeran Wijil V mengusulkan untuk menambah Desa Kemloko dalam wilayah Kadilangu. Tetapi Residen Semarang justru mengeluarkan Surat No. 11338/1 tanggal. 22 Desember 1880 kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Pada intinya Residen Semarang mengusulkan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda agar tanah-tanah di Kadilangu diambil alih saja, dengan alasan ditakutkan pada masa depan akan menjadi sebuah negara kecil di dalam negara.
Pada akhirnya Gubernur Jenderal Hindia Belanda memutuskan hanya Desa Kauman Kadilangu yang diberikan kepada Pangeran Wijil V, (dengan alasan terdapatnya makam Sunan Kalijaga). Dan selanjutnya Desa Kauman Kadilangu menjadi milik Pangeran Wijil V yang sah. Dikukuhkan dengan Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Nomor 16, tertanggal Buitenzorg 5 Mei 1883, tentang Pengangkatan Raden Ngabei Notobronto menjadi Kepala Kadilangu. Sehingga dapatlah dikatakan bahwa pada awalnya tanah Kadilangu bukanlah Desa Perdikan.
Pada tahun 1912 baru dilakukan pemberian Status Desa Perdikan terhadap tanah-tanah di Kadilangu, dengan Surat Keputusan Pemerintah Hindia Belanda, Gouvernement Besluit Nomor 25, tertanggal 20 Desember 1912, Bijblad Nomor 7848. Baru pada tahun ini, dapat dikatakan secara de facto dengan penguasan Pemerintahan Hindia Belanda, Kadilangu dinyatakan dan diberi status sebagai Desa Perdikan dengan diberi keistimewaan yaitu dibebaskan dari Pajak Bumi, pajak Penghasilan, dan Pajak Pemotongan ternak bagi penduduk tetap di Kadilangu.
Pada tanggal 25 Januari 1915, dengan di dasarkan pada Guovernements Besluit Nomor 10, Pemerintahan Hindia Belanda melakukan pengambilalihanan 10 (sepuluh) desa dari Kadilangu dengan pemberian ganti kerugian seluruhnya sebesar f.13.105,- setiap tahun. Sehingga Desa Perdikan hanya tersisa Desa Kauman Kadilangu.
3. Tanah Kadilangu Pada Zaman Indonesia Merdeka.
Pada zaman perang dunia II, Pemerintahan Hindia Belanda menyerah kepada Jepang pada tahun 1942. Selama Indonesia dalam kekuasaan pemerintahan militer Jepang kurang lebih 3 tahun, tidak ada perubahan apa-apa mengenai status tanah Kadilangu. Pada tanggal 17 Agustus 1945 Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia dengan bentuk Negara Kesatuan dan Pemerintahan Republik Indonesia, dan mendasarkan peraturan pada Undang-Undang Dasar 1945.
Menurut Undang-Undang Dasar 1945, seluruh wilayah bekas jajahan Kolonial Belanda menjadi Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam Pasal Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan, segala Badan Negara dan peraturan yang ada masih berlaku selama Belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar 1945 ini. Karenanya keadaan Kadilangu juga masih sama seperti pada Zaman Hindia Belanda, yaitu Desa Perdikan Kadilangu masih tetap di bawah Kepala Kadilangu. Pada tanggal 4 september 1946 diterbitkannya Undang-undang Nomor 13 Tahun 1946 tentang Penghapusan Desa Perdikan, yang menghapus semua Desa Perdikan termasuk Desa Perdikan Kadilangu. Tetapi pada kenyataannya Desa Perdikan Kadilangu masih tetap berjalan seperti biasanya, hal ini dikarenakan Belum ada peraturan pelaksana dari Undang-undang Nomor 13 Tahun 1946 tentang Penghapusan Desa Perdikan.
Sampai diterbitkanlah Peraturan Menteri Pemerintah Umum dan Otonomi Daerah Nomor 12 tahun 1962 tentang Penghapusan Desa Perdikan Kadilangu. Tetapi sebelumnya pada tahun 1960, telah diundangkan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, yang mengatur masalah pertanahan di seluruh wilayah Indonesia. Ini berarti bahwa seluruh kebijaksanaan pemerintah mengenai pertanahan harus didasarkan kepada UUPA.
Kebijaksanaan Pemerintah Republik Indonesia dalam bidang pertanahan khususnya upaya penghapusan dan pengaturan mengenai Desa Perdikan harus di dasarkan pada UUPA, sehingga Undang-Undang nomor 13 tahun 1946 dan Peraturan Menteri Pemerintah Umum dan Otonomi Daerah Nomor 12 tahun 1962 tentang Penghapusan desa Perdikan Kadilangu harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam UUPA.
Tetapi dalam pelaksanaan penghapusan Desa Perdikan Kadilangu masih terdapat perbedaan penafsiran antara Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1946 tentang Penghapusan Desa Perdikan, dan Peraturan Menteri Pemerintah Umum dan Otonomi Daerah Nomor 12 tahun 1962 tentang Penghapusan desa Perdikan Kadilangu. Perbedaan penafsiran tersebut, terjadi antara Propinsi Jawa Tengah/Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Demak dengan ahliwaris Sunan Kalijaga di Kadilangu.
Sampai akhirnya pada tanggal 2 Agustus 1986, Gubernur KDH Tingkat I Propinsi Jawa Tengah menerbitkan Surat Nomor 759/23047. Surat ini ditujukan kepada Kepala Direktorat Agraria Propinsi Jawa Tengah, pada intinya menyatakan bahwa “Masalah status tanah pada areal bekas Desa Perdikan Kadilangu, dan penghapusannya diatur di Peraturan Menteri Pemerintah Umum dan Otonomi Daerah Nomor 12 tahun 1962 tentang Penghapusan Desa Perdikan Kadilangu belum dapat terlaksana dengan tuntas”.
Sebenarnya masalah penghapusan Desa Perdikan Kadilangu menyangkut dua macam hukum, yaitu Hukum Ketatanegaraan dan Hukum Keperdataan. Untuk penghapusan Desa Perdikan Kadilangu sendiri berlaku hukum ketatanegaraan, karena menyangkut masalah pemerintahan umum di Daerah Jawa Tengah, sedangkan mengenai kepemilikan tanah warisan Sunan Kalijaga berlaku Hukum Keperdataan.
Desa perdikan Kadilangu harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan sistem ketatanegaraan Indonesia yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia yang didasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Sehingga pemerintah berusaha untuk menghapus Desa Perdikan Kadilangu dalam arti Hukum Ketatanegaraannya. Dan dalam pelaksanaannya usaha yang dilakukan tersebut sudah dapat terlaksana, walaupun tanpa dilakukan suatu upacara-upacara formal.
Kehidupan di Desa Kadilangu sekarang sudah berjalan seperti halnya desa-desa lain di Indonesia, dikarenakan Desa Perdikan Kadilangu sudah berubah menjadi desa biasa. Hal ini dapat dilihat dengan perubahan nama desa, yaitu dari Desa Kadilangu menjadi Kelurahan Kadilangu.
Saturday, 25 December 2010
Arya Penangsang Demak
Arya Penangsang Demak
-Damar Shashangka-
Bagian 1
Pemerintahan Demak Bintara semenjak dipegang oleh Sultan Trenggana mulai pada tahun 1521 Masehi, terus menerus harus melakukan aksi militer demi untuk mempertahankan eksistensi Kesultanan Islam Jawa sekaligus untuk kembali memasukkan wilayah-wilayah bekas Kerajaan Majapahit diseluruh Jawa.
Pada masa awal Sultan Trenggana diangkat sebagai Sultan ke III Demak Bintara, garis politik fleksibel model Islam Abangan menjadi pilihan Sultan Trenggana. Namun menjelang pertengahan tampuk pemerintahannya, terpicu melihat keberhasilan Kesultanan Cirebon mampu menghancurkan Pajajaran dengan bantuan militer Demak Bintara, pandangan politik Sultan Trengana berubah haluan.
Kemenangan Cirebon atas sokongan militer Demak membuat Sultan Trenggana menjadi yakin akan kekuatan angkatan bersenjatanya. Maka berturut-turut, Demak mengadakan agresi militer ke Jawa bagian timur dimana sisa-sisa bangsawan Majapahit masih punya daerah kekuasan dan mendominasi disana.
Satu demi satu, daerah-daerah di wilayah Jawa bagian timur, ditundukkan dengan kekuatan bersenjata. Kekuasaan Demak Bintara semakin melebar dan meluas kearah timur pulau Jawa.
Semenjak tahun 1527, peperangan demi peperangan terus terjadi. Hingga pada tahun 1546, ketika Sultan Trenggana memimpin sendiri peperangan di wilayah Panarukan ( sekarang masuk wilayah Situbondo, Jawa Timur ), Sultan Trenggana tewas! Kabar kematian Sultan Trenggana mengguncangkan ibu kota Demak. Agresi militer yg bertujuan untuk menguasai wilayah Panarukan dan selanjutnya Banyuwangi, gagal!
Konon menurut cerita tutur, kematian Sultan Trenggana tidak terjadi di medan laga. Namun terjadi dikala Sultan Trenggana tengah menerima delegasi para bangsawan dari daerah taklukan baru. Konon ketika pertemuan terjadi, Sultan Trenggana menyuruh salah seorang bangsawan mengambilkan bahan-bahan untuk mengunyah sirih yang terletak tak jauh dimeja perjamuan. Karuan, bangsawan Jawa timur yang disuruh merasa tersinggung. Walaupun daerah kekuasaannya telah mengakui kalah dan tunduk kepada Demak, namun tidak seharusnya Sultan memerintah dia mengambilkan bahan-bahan untuk mengunyah sirih. Bagaimanapun juga, dia tetap seorang bangsawan. Masih banyak abdi dalem atau pelayan Sultan yang bisa disuruh untuk itu.
Tapi dengan berpura-pura memenuhi permintaan Sultan, bangsawan ini mendekati tempat duduk Sultan. Begitu sudah dekat, dihunusnya keris dan ditusukkannya ke tubuh Sultan Trenggana!
Sultan Trenggana tewas seketika ditempat perjamuan. Dan bangsawan yang nekad membunuh Sultan Trenggana berikut delegasinya, mendapat hukuman setimpal, penggal kepala!
Kabar tewasnya Sultan Trenggana di Panarukan mengguncangkan Demak Bintara. Jenazah Sultan Trenggana setelah diberi rempah-rempah agar tidak cepat membusuk, dibawa pulang ke ibu kota Demak melalui jalur laut.
Demak Bintara berkabung! Tak kurang, seluruh putra laki-laki Raden Patah, mulai yang sulung Adipati Yunus atau Pangeran Sabrang Lor, lantas Pangeran Suryawiyata atau Pangeran Sekar Seda Lepen, dan kini Pangeran Trenggana atau Sultan Trenggana, semua meninggal karena terbunuh! Kasak-kusuk beredar ditengah masyarakat Jawa, bahwa trah Demak memang tengah mendapat kutukan dari para leluhur tanah Jawa!
Dengan wafatnya Sultan Trenggana, maka secepatnya diangkatlah penggantinya. Dan putra sulung Sultan Trenggana, yaitu Pangeran Prawata atau Sunan Prawata, terpilih. Dia dikukuhkan sebgai Sultan Syah Alam Akbar Jiem-Boen-ningrat IV.
Pangeran Prawata atau Sunan Prawata memiliki cacat mata, yaitu buta. Konon hal ini karena kutukan Pangeran Suryawiyata, pamannya sendiri, saat Pangeran Prawata disaat mudanya membunuh pamannya itu terkait pemberontakan yang dia lakukan. ( Lebih jelas baca catatan saya Jaka Tingkir bagian 1 : Damar Shashangka).
Sosok Pangeran Prawata atau Sunan Prawata, tidaklah begitu popular dimata para bangsawan Demak Bintara. Diam-diam, didalam tubuh birokrasi dan angkatan bersenjata Demak, sudah terpecah dalam dua kubu. Kubu pertama mendukung Sunan Kudus dengan Jipang Panolan-nya. Sedangkan kubu kedua mendukung Jaka Tingkir atau Adipati Adiwijaya dengan Pajang-nya.
Pendukung Sunan Kudus adalah mereka-mereka yang berhalauan keras. Sedangkan pendukung Jaka Tingkir adalah mereka-mereka yang dulu memberikan dukungan kepada Sultan Trenggana ditambah sisa-sisa lasykar Majapahit yang berkedudukan di Jawa bagian tengah. Para lasykar ini merapatkan barisan dibelakang Jaka Tingkir, putra Ki Ageng Pengging yang sangat mereka hormati. ( Ki Ageng Pengging dan putranya, Jaka Tingkir sesungguhnya beragama Shiwa Buddha, oleh karena itu, sampai sekarang tidak ada makam dari kedua tokoh ini. Jaka Tingkir tidak pernah berguru kepada Sunan Kudus maupun Sunan Kalijaga. Namun, kepada Sunan Kalijaga, Jaka Tingkir sangat-sangat menaruh hormat. Murid-murid Sunan Kalijaga, adalah dari trah Tarub yang kelak menurunkan Panembahan Senopati, pendiri Kesultanan Mataram Islam. Sudah saatnya sejarah diluruskan. : Damar Shashangka).
Dipihak Sunan Kudus, Arya Penangsang, putra Pangeran Suryawiyata, telah ditampilkan sebagai pemimpin kubu Putihan. Arya Penangsang yang masih berusia 26 tahun saat itu, tumbuh menjadi sosok pemuda yang ahli bela diri dan olah kanuragan berkat bimbingan Sunan Kudus secara khusus! Nama Arya Penangsang sangat ditakuti. Disamping terkenal keras perangainya, kesaktian yang dimilikinya juga membuat lawan berfikir seratus kali untuk berhadapan dengan putra Pangeran Suryawiyata ini!
Begitu Sunan Prawata dikukuhkan sebagai Sultan Demak IV, tampuk pemerintahan Jipang Panolan yang telah vacuum untuk beberapa tahun semenjak pemberontakan Pangeran Suryawiyata yang menemui kegagalan, tanpa persetujuan Sultan Demak, Arya Penangsang langsung dikukuhkan sebagai Adipati Jipang Panolan. Dan Sunan Kudus, bermain dibalik peristiwa itu!
Peristiwa penobatan ini mengejutkan pihak yang berseberangan dengan Jipang Panolan dan antek-anteknya. Tak urung, Jaka Tingkir atau Adipati Adiwijaya didukung beberapa Adipati yang pro dengannya, menyarankan kepada Sultan Demak IV untuk segera mengambil tindakan tegas! Jipang Panolan adalah wilayah Demak Bintara, tidak sepatutnya terjadi pengangkatan seorang Adipati tanpa persetujuan Sultan Demak sendiri!
Situasi politik Demak Bintara mulai memanas. Manakala Sultan Demak IV sudah berencana melepas jabatan Arya Penangsang sebagai Adipati dan hendak menggantikannya dengan seorang pejabat lain, terdengar kabar yang sangat mengejutkan, bahwa Sultan Demak IV atau Sunan Prawata, tewas terbunuh berikut sang permaisuri!
Demak Bintara terguncang! Dan yang lebih mengejutkan lagi, selain jenazah Sultan dan permaisuri, ditempat kejadian juga terdapat jenazah seorang laki-laki misterius dengan sebilah keris menancap didadanya dan keris tersebut tak lain adalah Keris Kyai Brongot Setan Kober, pusaka milik Sunan Kudus!
Tidak ada saksi mata lain saat peristiwa berdarah itu terjadi kecuali sosok Arya Pangiri, putra Sultan yang masih kecil. Arya Pangiri selamat karena dia bersembunyi dibawah kolong ranjang sewaktu peristiwa itu terjadi!
Sultan Demak, sang permaisuri berikut putranya Arya Pangiri sebenarnya adalah target pembunuhan. Tapi, Arya Pangiri berhasil lolos dari maut!
Ratu Kalinyamat, bibi Arya Pangiri, adik Sultan Demak IV (Baca catatan saya Jaka Tingkir : Damar Shashangka) segera membaw Arya Pangiri secepatnya ke Jepara. Keselamatan Arya Pangiri tengah terancam dan Ratu Kalinyamat tahu betul siapa dalang dibalik pembunuhan keluarga Sultan Demak, kakaknya itu.
Ratu Kalinyamat diam-diam juga membawa Keris Kyai Brongot Setan Kober yang menancap ditubuh jenazah misterius yang dapat dipastikan adalah salah seorang pembunuh Sultan Demak berikut permaisuri. Ratu Kalinyamat bertindak cepat. Dia tahu, di istana Demak dan ditubuh angkatan bersenjata Demak, sudah berkeliaran antek-antek Jipang Panolan. Sebelum bukti otentik pembunuhan tersebut dihilangkan oleh mereka-mereka yang pro Jipang Panolan, Ratu Kalinyamat mengamankannya terlebih dahulu.
Tidak ada orang lain lagi yang memiliki Keris Kyai Brongot Setan Kober kecuali Sunan Kudus. Dan konon kabarnya, keris ini telah diwariskan kepada Arya Penangsang begitu dia dikukuhkan secara sepihak sebagai Adipati Jipang Panolan.
Menurut kesaksian Arya Pangiri, pada malam itu dia tengah tidur bersama Rama dan Ibu-nya. Tapi mendadak, dia dibangunkan oleh ibunya ditengah-tengah tidur pulasnya. Dia disuruh masuk kebawah kolong ranjang dan diperintahkan tidak boleh keluar dan tidak boleh bersuara sedikitpun!
Arya Pangiri yang masih kecil dan penasaran ditengah ketercekamannya mencoba mengintip apa yang tengah terjadi. Dia melihat dua orang masuk ke kamar Rama-nya melalui pintu kamar setelah mencongkelnya. Arya Pangiri tahu, ada beberapa orang lagi yang tengah berada diluar kamar dan tidak ikut masuk.
Terjadi percakapan antara Rama-nya dengan salah seorang penyusup. Percakapan yang sempat didengar oleh Arya Pangiri adalah jawaban dari Ramanya :
“Bunuhlah aku. Akulah yang bertanggung jawab atas kematian paman Suryawiyata. Tapi jangan kalian ikut sertakan istriku!”
Setelah itu Arya Pangiri mendengar suara gaduh dan jeritan dari Rama dan Ibu-nya hamper bersamaan. Lantas terdengar suara Ramanya berteriak :
“Mengapa kamu ikut sertakan istriku!”
Suara gaduh terdengar kembali, diiringi erangaan kesakitan. Lantas lengang…
Arya Pangiri yang ketakutan baru berani keluar setelah prajurid Demak mengeluarkanya dari bawah kolong ranjang. Dan begitu melihat apa yang sebenarnya terjadi, maka Arya Pangiri menangis sejadi-jadinya. Diatas ranjang, Ramanya tengah rebah kebelakang dalam posisi bersila, dan tepat dibelakang Ramanya, Ibu-nya tengah rebah. Keduanya bermandikan darah.
Dari posisi kematian Sultan dan permaisuri, jelas terlihat, Sultan ditusuk keris hingga tembus punggung. Dan keris itu menghunjam pula ke tubuh permaisuri yang tengah merapatkan tubuhnya ke punggung Sultan! Jelas, sang permaisuri menyengaja untuk ikut mati bersama-sama dengan suaminya!
Sedangkan jenazah laki-laki misterius yang terkapar tak jauh dari pintu kamar, diduga tewas akibat lemparan keris yang dilakukan oleh Sultan sebelum menghembuskan nafas yang terakhir. Betapa kuatnya Sultan, dia menarik keris yang menancap di dadanya lantas melemparkannya tepat kepada salah seorang penyusup. Ditambah lagi dengan kondisi cacat mata, jelas Sultan Demak IV, bukan orang sembarangan!
Mendengar penuturan Arya Pangiri dan melihat bukti-bukti yang ada, Ratu Kalinyamat menyimpulkan, Sunan Kudus dan Arya Penangsang adalah sosok yang harus bertanggung jawab atas peristiwa pembunuhan itu! Para penyusup yang telah berhasil membunuh Sultan beserta permaisuri, adalah anggota pasukan khusus Jipang Panolan yang dikenal dengan nama Pasukan Sureng! Pasukan yang dilatih khusus untuk menyusup dan melakukan operasi pembunuhan! Pasukan ini memang sudah didengar oleh beberapa kalangan pejabat di Demak Bintara! Dan kini, kehebatan pasukan ini telah terbukti! Jipang Panolan tidak bisa dianggap remeh sekarang!
Ratu Kalinyamat segera mengambil tindakan tegas. Dia langsung mengukuhkan suaminya, Pangeran Hadiri atau Sunan Kalinyamat sebagai Sultan Demak V. Tindakan ini diambil karena dalam hukum yang dipakai pemerintahan Demak Bintara, seorang wanita diharamkan memimpin suatu pemerintahan! (Mengenai siapa Sunan Kalinyamat atau Pangeran Hadiri, silakan baca catatan saya Jaka Tingkir : Damar Shashangka).
Situasi politik Demak semakin memanas. Di pihak Pajang, persiapan-pun dilakukan! Karena sudah jelas, pihak Jipang Panolan sudah berani memulai aksinya! Bahkan terdengar kabar, beberapa daerah telah diserang oleh Jipang Panolan. Dan daerah-daerah yang berhasil ditaklukkan, dimasukkan ke wilayah Jipang Panolan.
Jipang Panolan rupanya sudah siap untuk mendirikan sebuah Kesultanan baru yang lepas dari Kesultanan Demak Bintara!
Pembunuhan Sunan Kalinyamat
Setelah mengadakan musyawarah yang sangat serius dengan para pembesar Kesultanan, Ratu Kalinyamat beserta suaminya, Sunan Kalinyamat memutuskan untuk datang bertandang ke Pesantren Kudus.
Sunan Kudus memang masih menjabat sebagai salah seorang Penasehat Agung Kesultanan Demak. Jabatan ini bermakna politis. Namun disamping itu, sudah diketahui umum bahwa Sunan Kudus-pun adalah seorang pemimpin Pesantren yang memiliki banyak santri. Dia dianggap sebagai seorang sesepuh dan dituakan.
Sebagai seorang Penasehat, kedudukan Sunan Kudus memang masih dibawah kedudukan Sultan Demak, tapi kedudukannya sebagai seorang pemimpin Pesantren yang berbasiskan moral, maka dia dianggap sebagai seorang Guru. Seseorang yang patut dipatuhi dan patut dijadikan suri tauladan.
Oleh karena itulah, sengaja Sultan Demak V atau Sunan Kalinyamat beserta Ratu Kalinyamat, menyengaja datang sendiri ke Pesantren Kudus. Ini dimaksudkan, kedatangan mereka berdua lepas dari hierarki sebuah pemerintahan. Sultan Demak V beserta istri datang ke Pesantren Kudus sebagai seorang siswa yang tengah menghadap Gurunya, walaupun mereka bukan siswa langsung Pesantren Kudus.
Kedatangan rombongan Sultan Demak V mengejutkan seisi Pesantren Kudus. Mau tidak mau, walaupun kedatangan Sultan Demak V dan Ratu Kalinyamat bukanlah atas nama Kesultanan namun atas nama pribadi, tetap saja, kedatangan mereka memancing penyambutan yang meriah!
Para santri segera berjajar sembari menabuh rebana dan menyanyikan shalawat Nabi menyambut kedatangan rombongan Sultan!
Tepat pada waktu itu, banyak terlihat pasukan Jipang Panolan tengah berada disana! Baik Sultan Demak V maupun Ratu Kalinyamat, melihat itu. Para pasukan Jipang tidak satupun yang ikut melakukan penyambutan. Disudut halaman Pesantren, terlihat sebuah kuda berbulu hitam yang berhiaskan perhiasan-perhiasan indah. Ratu Kalinyamat tahu, itu adalah kuda kesayangan Arya Penangsang yang dikenal dengan nama Kyai Gagak Rimang. Berarti, saat ini, Arya Penangsang juga tengah bertandang ke Pesantren Kudus. Situasi yang agak tidak menyenangkan terjadi antara pasukan Demak dengan pasukan Jipang. Ratu Kalinyamat segera memerintahkan pemimpin pasukan agar memastikan, mengambil tempat terpisah dengan pasukan Jipang dan jangan mengambil tindakan apapun jika tidak ada perintah darinya!
Sunan Kudus beserta istri dan keluarga, menyambut kedatangan Sultan Demak V atau Sunan Kalinyamat beserta istri, Ratu Kalinyamat. Mereka berdua diterima di Pendhopo. Namun, tak tampak Arya Penangsang ikut menyambut kedatangan Sultan. Menyadari akan hal itu, Ratu Kalinyamat benar-benar merasa diremehkan dan ditantang!
Sultan Demak V beserta Ratu Kalinyamat memohon kepada Sunan Kudus agar bisa berbicara bertiga. Sunan Kudus mengabulkan. Dan mereka akhirnya menuju ruang dalam bertiga.
Setelah berbasa-basi berbagi keselamatan, maka Ratu Kalinyamat-pun segera menyampaikan maksud kedatangan mereka :
“Bapa Sunan, kedatangan kami kemari sesungguhnya ibarat kedatangan seorang murid kepada Guru-nya. Walaupun kami bukan murid resmi Pesantren Kudus, namun secara tidak langsung, kami menghargai Bapa Sunan sebagai Guru kami pula.”
Sejenak Ratu Kalinyamat diam, lantas :
“Dan, kami memandang Bapa Sunan adalah panutan kami, sosok yang memberikan suri tauladan bagi kami. Jadi, sekiranya kami meminta keadilan kepada Bapa Sunan, bukankah itu juga sudah sewajarnya?”
Sunan Kudus tersenyum, dan menjawab :
“Memberikan keadilan adalah kewajiban seorang Sultan. Aku bukan seorang Sultan, anakmas Sunan Kalinyamat-lah seorang Sultan. Dia yang seharusnya berhak memberikan keadilan.”
Ratu Kalinyamat tersenyum, dan berkata :
“Bukan keadilan dari seorang Sultan yang tengah kami harapkan, tapi keadilan dari seorang Guru kepada muridnya yang telah berbuat dosa!”
Sunan Kudus terdiam.
Ratu Kalinyamat mengeluarkan sebuah benda yang terbungkus kain putih dari dalam peti kayu berukir yang dia bawa. Benda terbungkus kain putih tersebut dipegangnya dengan tangan kanan, lalu dibuka penutup kainnya…
Sunan Kudus memincingkan mata melihat isi didalam bungkusan kain putih tersebut…
Dan Ratu Kalinyamat kembali berkata :
“Kami tahu pemilik benda ini kini tengah bersembunyi bagai seorang pengecut diruang belakang Pesantren. Kami meminta keadilan Bapa Sunan kepada pemilik benda ini. Pastinya, Bapa Sunan mengerti apa maksud kami!”
Tegas suara Ratu Kalinyamat.
Sunan Kudus menarik nafas. Dilihatnya benda yang ditunjukkan oleh Ratu Kalinyamat tak lain adalah Keris Kyai Brongot Setan Kober. Keris pusaka miliknya yang kini telah diwariskan kepada Arya Penangsang.
“Saya bukan seorang Sultan…!” Sunan Kudus tiba-tiba berkata.
“Keadilan dari seorang Guru! Bukan dari seorang Sultan!”, potong Ratu Kalinyamat berani!
Kembali Sunan Kudus terdiam.
Dan pada akhirnya, Sunan Kudus menyanggupi untuk memberikan keadilan kepada Arya Penangsang. Namun memberikan sebuah keadilan tidak segampang membalikkan telapak tangan. Sunan Kudus menjanjikan, tujuh hari lagi, Sunan Kudus akan menyerahkan Arya Penangsang ke Demak untuk menerima hukuman Qisas atau hukum mati pancung kepala jika memang terbukti Arya Penangsang adalah dalang pembunuhan Sultan Demak IV atau Sunan Prawata!
Ratu Kalinyamat maupun Sunan Kalinyamat, walaupun meragukan kesungguhan Sunan Kudus, terpaksa menerima janji tersebut. Dan keduanya akhirnya mohon diri.
Begitu Ratu Kalinyamat dan Sunan Kalinyamat telah meninggalkan Pesantren Kudus, Arya Penangsang menghadap Sunan Kudus. Dia menanyakan kebenaran janji yang telah diucapkan Sunan Kudus barusan. Dan Sunan Kudus berkata :
“Menurut hukum syariat, jika terjadi pembunuhan, dan keluarga korban menuntut, maka tidak ada alasan untuk menolak pelaksanaan hukum Qisas atau pancung kepala. Kecuali keluarga korban mau menerima diyat atau harta pengganti dari sang pembunuh sebagai wujud perdamaian antara kedua belah pihak.”
Arya Penangsang menukas :
“Dan tidak mungkin Nimas Kalinyamat mau menerima diyat dari saya. Maka sekalian, untuk menyingkirkan lawan-lawan saya sekaligus menghindari jatuhnya hukuman mati kepada saya, maka akan saya bungkam mulut Nimas Kalinyamat untuk selamanya agar tidak bisa menuntut saya lagi!”
Sunan Kudus terdiam. Lantas berkata :
“Terserah kamu! Tapi lakukan diluar wilayah Kudus!”
Arya Penangsang menyembah lantas bergegas keluar menemui Patih Matahun, Patih sepuh Jipang Panolan. Arya Penangsang memerintahkan, melakukan penghadangan rombongan Sultan Demak V. Dan perintah utamanya adalah : BUNUH SUNAN KALINYAMAT BESERTA RATU KALINYAMAT!
Setelah menerima perintah, Patih Matahun segera menyiapkan seluruh pasukan Jipang Panolan. Tidak memakan waktu lama, pasukan Jipang Panolan segera berangkat! Kuda-kuda digebrak nyalang menimbulkan bunyi ringkikan riuh rendah bercampur teriakan-teriakan komando!
Pasukan Jipang, bergerak menyusul rombongan Sultan Demak V! Tujuannya jelas MENYINGKIRKAN RATU KALINYAMAT DAN SUNAN KALINYAMAT HARI ITU JUGA!
Sekali lagi, darah akan tertumpah dibumi Jawa!
Bagian 2
Rombongan Sultan Demak V atau Sunan Kalinyamat telah jauh meninggalkan wilayah Kudus. Tak terbersit sedikitpun dibenak Sunan Kalinyamat jikalau dibelakang mereka kini tengah mengejar sepasukan tempur Jipang Panolan. Hanya Ratu Kalinyamat yang mendapatkan firasat yang tidak mengenakkan.
Dan firasat itu terbukti ketika dari arah belakang, seorang penunggang kuda tengah memacu kudanya dengan kencang, menyusul kereta yang dinaiki Sunan Kalinyamat beserta Ratu Kalinyamat. Sang penunggang kuda itu berpakaian layaknya rakyat biasa, kini nampak tengah berusaha mendekati Lurah Prajurid Pengawal Sultan.
Ratu Kalinyamat tanggap, sang penunggang kuda itu tak lain adalah anggota Pasukan Telik Sandhibaya atau Pasukan Mata-Mata Demak Bintara. Nampak, Lurah Prajurid Pengawal Sultan, setelah melihat tanda anggota yang ditunjukkan oleh sang penunggang kuda, seketika memerintahkan seluruh rombongan berhenti.
Sang penunggang kuda yang baru datang nampak turun dari punggung kuda, menghaturkan sembah sembari mendekati Lurah Prajurid Pengawal. Terjadi percakapan sebentar. Disusul, Lurah Prajurid Pengawal-pun kemudian turun dari pungung kuda, dan berdua mereka berjalan menuju Kereta yang dinaiki Sunan Kalinyamat dan Ratu Kalinyamat.
Keduanya menghaturkan sembah dan melaporkan bahwa, dibelakang rombongan, kini tengah mengejar sepasukan tempur Jipang Panolan dengan bersenjatan lengkap!
Sunan Kalinyamat terkejut, namun tidak dengan Ratu Kalinyamat. Dia memincingkan mata, diam sejenak, lantas segera memerintahkan seluruh pasukan untuk mempersiapkan diri. Perintah Ratu Kalinyamat jelas, yakni bersiap untuk menghadapi pasukan Jipang Panolan apapun yang dikehendaki. Jikalau pihak Jipang Panolan menginginkan perang, maka hari ini juga, Ratu Kalinyamat akan memenuhi keinginan pasukan Jipang!
Dua orang prajurid ditugaskan menuju ibu kota Demak untuk menyampaikan perintah tertinggi Sultan Demak V yang diwakili Ratu Kalinyamat kepada seluruh angkatan bersenjata Demak agar mempersiapkan diri untuk memulai perang terbuka dengan pihak Jipang Panolan!
Ratu Kalinyamat sendiri yang memimpin rombongan Pasukan Pengawal. Dia kini keluar dari kereta dan menaiki seekor kuda. Ratu Kalinyamat terlihat gagah dan anggun ketika duduk diatas pungung kuda. Sorot matanya garang, sangat kontras dengan kecantikan wajahnya. Namun, walaupun begitu, malahan nampak terlihat semakin anggun!
Seluruh pasukan telah bersiap ditempat masing-masing menunggu komando. Medan perbukitan yang kini tengah mereka jajaki, telah siap mereka jadikan ajang pertempuran!
Dan benar! Dari arah berlawanan, sepasukan prajurid berkuda nampak datang! Jelas, atribut yang mereka kenakan memang berasal dari pasukan Jipang Panolan! Dari kejauhan, melihat pasukan Demak telah siap tempur, pasukan Jipang yang baru datang tersebut langsung menghunus senjata masing-masing dan langsung menyerbu pasukan Demak!
Ratu Kalinyamat dengan tenang menghunus kerisnya. Diangkatnya tinggi-tinggi keris tersebut dengan tangan kanannya. Lantas setelah dirasa sudah saatnya, Ratu Kalinyamat sontak lantang berteriak memberikan komando !
“Seraaaaaang!!!”
Gemuruh dan hiruk pikut suara pasukan Jipang Panolan yang tengah maju kini berbaur dengan gemuruh pekikan pasukan Demak yang juga maju menyambut kedatangan mereka!
Pertempuran tak terelakkan lagi! Ratu Kalinyamat dan Sunan Kalinyamat yang kini juga ikut turun dari kereta berganti menaiki seekor kuda, mengamuk di medan laga! Satu dua prajurid Jipang terbabat keris Ratu Kalinyamat tepat dileher! Sontak menjerit kesakitan dan sekarat dengan leher menganga mengucurkan darah segar!
Sungguh luar biasa sosok Ratu Kalinyamat! Dibalik kecantikan dan keanggunannya, kini dia berubah menjadi harimau betina yang pilih tanding! Kerisnya menyambar ke sana kemari, sangat cepat dan lihai!
Dipihak Jipang, pasukan dipimpin oleh Patih Matahun. Patih sepuh yang semenjak dulu setia mengabdi kepada Pangeran Suryawiyata dan sempat menghilang beberapa tahun semenjak pemberontakan Pangeran Suryawiyata dapat dipatahkan, kini, setelah Arya Penangsang tampil kedepan, Patih sepuh ini ikut tampil kembali.
Banyak prajurid Demak yang meregang nyawa terkena amukan Patih Matahun! Kelincahannya sangat mengagumkan! Kerisnya mencicit kesana kemari mengincar nyawa pasukan Demak!
Tingkah Patih Matahun menyita perhatian Ratu Kalinyamat. Harimau betina ini menggeram! Digebraknya kuda dan dengan sangat berani menyibak pertempuran dan melaju ke garis depan! Tujuan Ratu Kalinyamat tak lain adalah Patih Matahun!
Jika berkelahi dengan tangan kosong, Ratu Kalinyamat mungkin kalah tenaga dengan Patih Matahun. Namun jika beradu keahlian bermain keris, maka jangan sekali-kali meremehkan Ratu Kalinyamat!
Keris Ratu Kalinyamat mencicit tak terduga menelusup daerah vital lawan! Banyak prajurid Jipang yang ciut nyalinya melihat kelihaian Ratu Kalinyamat dalam bermain keris. Satu dua prajurid Jipang meregang nyawa sia-sia manakala hendak mencoba menghadang laju kuda harimau betina ini!
Dan Patih Matahun baru menyadari jika kini Ratu Kalinyamat tengah menuju ke arahnya! Patih sepuh ini segera bersiap diri. Ratu Kalinyamat terkenal mahir bermain keris dan Patih Matahun tidak berani sembarangan menghadapi perempuan cantik ini!
Dan benar! Begitu jarak mereka sudah sedemikian dekat, sembari terus memacu kudanya kencang, Ratu Kalinyamat menyabetkan keris kearah Patih Matahun! Serangan itu mengincar leher! Patih Matahun mencoba menghindar dengan cara memutar kudanya! Tapi ternyata, begitu jarak keris sudah sedemikian dekat, mendadak Ratu Kalinyamat mengubah serangan mengarah perut! Begitu cepat dan tak terduga! Patih Matahun kaget setengah mati! Tak urung, perutnya terkena sabetan keris Ratu Kalinyamat! Untung cuma tergores! Namun bagaimanapun juga, lukanya cukup lumayan!
Patih Matahun menggeram marah! Putri Sultan Trenggana ini ternyata memang mahir bermain keris! Jarang bisa ditemukan sosok seperti ini, walaupun seorang laki-laki sekalipun! Patih Matahun kini tidak berani main-main lagi!
Pertempuran semakin sengit!! Denting senjata diiringi teriakan-teriakan nyalang terdengar disana-sini! Diselingi pekik kesakitan dari mereka-mereka yang tengah terbabat senjata lawan atau yang tengah menggelepar meregang nyawa! Mayat telah banyak bergelimpangan dengan darah membasah!
Namun, jumlah pasukan Demak memang kalah banyak dengan jumlah pasukan Jipang! Pelahan dan pasti, pasukan Demak terpukul mundur!
Dan yang mengejutkan, terdengar teriakan-teriakan pasukan Jipang Panolan ditengah-tengah pertempuran. Teriakan-teriakan itu bersahut-sahutan :
“Sultan Demak wis matii!!! Sultan Demak wis matii!!”
(Sultan Demak tewas!! Sultan Demak tewas!!)
Ratu Kalinyamat terkejut mendengar bunyi teriakan-teriakan itu! Konsentrasinya seketika buyar! Patih Matahun tak menyia-nyiakan kesempatan itu! Ditubruknya tubuh Ratu Kalinyamat ! Patih Matahun meompat dari punggung kuda menabrakkan tubuhnya ke tubuh Ratu Kalinyamat!
Ratu Kalinyamat yang tak menduga akan hal itu tak sempat menghindar! Tubuhnya kontan tertimpa tubuh Patih Matahun! Keduanya jatuh terguling-guling diatas tanah! Dan celakanya, keris ditangan Ratu Kalinyamat terlepas dari genggaman!!
Sigap Ratu Kalinyamat bangkit dari tanah! Namun Patih Matahun lebih sigap lagi! Patih sepuh itu nampak kesetanan! Keris ditangannya mencicit mengarah dada Ratu Kalinyamat!
Ratu Kalinyamat bagai harimau kehilangan taring! Dia mencoba menghindar dan terus menghindar tanpa bisa membalas serangan!!
Ditempat lain, pasukan Demak mulai kocar-kacir! Kondisi pertempuran telah berubah drastis! Pasukan Demak terdesak hebat! Sebentar lagi, pasukan Demak akan menemui kekalahan!!
Ratu Kalinyamat panik! Serangan Patih Matahun terus mencercanya! Hingga disuatu ketika, posisi tempat Ratu Kalinyamat berdiri, kini tengah berada dibibir tebing! Mata Ratu Kalinyamat memerah! Nafasnya turun naik!! Dia memperhatikan Patih Matahun yang kini sudah dibantu oleh beberapa pasukan Jipang! Ratu Kalinyamat sadar, pasukan Demak sudah hampir kalah! Dan posisinya kini tengah berada diujung tanduk!
Dan, entah keberanian dari mana yang hinggap di benak Ratu Kalinyamat. Begitu mendapati dirinya terdesak, sontak, dia berbalik arah dan nekad terjun ke tebing dibelakangnya!
Patih Matahun yang hendak menabraknya terlambat! Tubuh Ratu Kalinyamat telah meluncur ke bawah dengan meninggalkan jeritan yang menggema!!
Patih Matahun kebingungan mengamati ke bawah tebing dimana Ratu Kalinyamat tadi melompat! Namun tidak lama, segera setelah itu dia memerintahkan beberapa prajurid untuk menuruni tebing dari sisi lain! Beberapa prajurid Jipang segera bergerak mencari jalan ke bawah!
Dimedan laga, prajurid Demak banyak yang tewas! Sisanya melarikan diri. Dan mayat Sunan Kalinyamat terlihat dibawa menepi oleh beberapa prajurid Jipang!
Hampir seharian, pencarian keberadaan Ratu Kalinyamat tidak mendapatkan hasil sama sekali. Patih Matahun menyimpulkan, putri Sultan Trenggana itu telah tewas didasar tebing. Dan berarti tugas mereka untuk membunuh Sunan Kalinyamat dan Ratu Kalinyamat telah berhasil dengan gemilang!
Kini, Patih Matahun dengan pasukan Jipang yang tersisa, tinggal kembali ke Jipang Panolan untuk menggabungkan diri dengan pasukan Jipang yang lebih besar, yang dipimpin oleh Arya Penangsang. Pasukan Jipang Panolan tengah mempersiapkan diri untuk bergerak ke ibu kota Demak Bintara.
Keesokan harinya, pasukan Jipang Panolan benar-benar bergerak ke ibu kota Demak Bintara! Angkatan bersenjata Demak yang memang telah mempersiapkan diri pula, menyambut pasukan Jipang Panolan walaupun mereka telah kehilangan sosok Sultan!
Dan tentu saja, sosok panutan tertinggi memang sangat berpengaruh bagi kondisi kejiwaan para prajurid. Pasukan Demak telah kehilangan semangatnya! Bahkan banyak kesatuan-kesatuan yang menyeberang ke pihak Jipang Panolan! Peperangan antara Jipang dengan Demak Bintara tidak memakan waktu lama! Demak Bintara berhasil ditaklukkan dengan sangat mudah!!
Para personil angkatan bersenjata Demak yang anti Jipang, banyak yang melarikan diri ke Kadipaten Pajang. Mereka mengabarkan kejatuhan Demak Bintara ditangan Arya Penangsang . Mengabarkan wafatnya Sultan Demak V beserta Ratu Kalinyamat, dan kini mereka hendak bergabung kedalam angkatan bersenjata Pajang!
Pajang gempar!! Adipati Adiwijaya atau Jaka Tingkir yang memang sudah lama mempersiapkan diri untuk menghadapi situasi seperti ini, segera memerintahkan angkatan bersenjata Pajang untuk semakin mempersiapkan diri berperang dengan Jipang Panolan!
Situasi benar-benar memanas! Peperangan antara Jipang Panolan yang mayoritas diperkuat barisan Islam Putihan dengan Pajang yang mayoritas diperkuat barisan Islam Abangan dan Shiwa Buddha, sudah tampak didepan mata!
Bahkan terdengar kabar sekali lagi, Jepara kini telah diserang oleh Jipang Panolan!
Para Senopati Pajang telah meminta kepada Adipati Adiwijaya untuk mengeluarkan maklumat perang dengan Jipang Panolan. Namun atas saran Ki Mas Manca, Ki Wila, Ki Wuragil, Ki Ageng Pamanahan dan Ki Juru Martani, seyogyanya Adipati Adiwijaya untuk sementara waktu melihat reaksi Dewan Wali Sangha atas peristiwa tersebut. Jika Dewan Wali Sangha nampak tidak menyetujui tindakan Arya Penangsang, maka tidak ada salahnya jika Pajang mengangkat senjata secara terbuka. Namun manakala pihak Dewan Wali Sangha malah merestui tindakan Arya Penangsang, maka harus dicari jalan lain demi menghadapi Jipang. Tidak boleh terlihat dipermukaan bahwa Pajang melawan Jipang jika Dewan Wali berpihak kepada Jipang. Namun harus ada tangan ketiga yang seolah-olah lepas dari Pajang yang harus menghadapi Jipang Panolan!
Sikap Dewan Wali belum jelas. Namun sikap Sunan Kudus sudah terbaca. Sunan Kudus menyetujui tindakan Arya Penangsang! Adipati Adiwijaya harus sabar menunggu reaksi Dewan Wali Sangha. Sebab jika gegabah menyerang Jipang, dan ternyata Dewan Wali merestui Jipang, bisa jadi, Cirebon dan Banten akan diperintahkan Dewan Wali membantu Jipang. Itu berarti, Pajang harus menghadapi tiga kekuatan sekaligus!
Adipati Adiwijaya sebenarnya sudah tidak sabar ingin berhadapan dengan Arya Penangsang yang katanya tak terkalahkan tersebut! Biarpun Sunan Kudus berada dibelakang Arya Penangsang, Adipati Adiwijaya alias Jaka Tingkir, tidak gentar sedikitpun! Namun saran dari pembantu-pembantu terdekatnya, memang patut dijadikan bahan pertimbangan. Walaupun istri sang Adipati, Nimas Sekaring Kedhaton, terus menangis mendengar dua orang kakak kandungnya, yaitu Sunan Prawata dan Ratu Kalinyamat, telah tewas ditangan pasukan Jipang Panolan!
Nimas Sekaring Kedhaton memohon kepada Adipati Adiwijaya agar berjanji membalaskan dendamnya kepada Arya Penangsang! Adipati Adiwijaya atau Jaka Tingkir, tidak bisa menolak permintaan istri kesayangannya tersebut!!
Namun bagaimanapun juga, reaksi dari Dewan Wali Sangha memang patut ditunggu. Setelah reaksi dari Dewan Wali keluar, maka saat itulah Pajang akan bergerak!!
Ki Ageng Pamanahan dan Ki Juru Martani.
Dipihak Pajang, telah sekian lama mengabdi dua orang keturunan Raden Bondhan Kejawen. Kedua orang ini memang sengaja dititipkan oleh Sunan Kalijaga kepada Adipati Adiwijaya. Mereka adalah Ki Ageng Pamanahan dan Ki Juru Martani.
Ki Ageng Pamanahan atau Ki Gedhe Mentaram
Ki Ageng Pamanahan adalah putra dari Ki Ageng Mangenis Sela. Ki Ageng Mangenis Sela adalah putra dari Ki Ageng Sela. Ki Ageng Sela adalah putra dari Ki Getas Pandhawa. Ki Getas Pandhawa adalah putra dari Raden Bondhan Kejawen atau Ki Ageng Tarub II. Dan Raden Bondhan Kejawen adalah putra selir Prabhu Brawijaya V dengan Dewi Wandhan Kuning atau Dewi Bondrit Cemara, putri yang berasal dari daerah Wandhan atau Banda Niera sekarang. ( Baca catatan saya Misi Peng-Islam-an Nusantara dan Jaka Tingkir : Damar Shashangka).
Sedangkan Ki Juru Martani adalah putra dari adik Ki Ageng Sela. Ki Ageng Sela memiliki tujuh orang adik perempuan. Dan salah satunya menurunkan Ki Juru Martani.
Usia Ki Juru Martani dengan Ki Ageng Pamanahan tidaklah terpaut terlalu jauh. Walaupun begitu, Ki Ageng Pamanahan tetap harus memanggil paman kepada Ki Juru Martani. Karena bagaimanapun juga, Ki Juru Martani adalah adik keponakan dari Ki Ageng Mangenis Sela, ayah Ki Ageng Pamanahan.
Kedua keturunan Raden Bondhan Kejawen ini telah lama berguru kepada Sunan Kalijaga. Dan manakala Jaka Tingkir telah berhasil menjabat sebagai Adipati Pajang dengan gelar Adipati Adiwijaya, maka atas permintaan Ki Ageng Sela, Sunan Kalijaga diminta menitipkan kedua orang ini kepada Jaka Tingkir.
Mendapati trah Tarub dititipkan oleh Sunan Kalijaga guna mengabdi di Pajang, Jaka Tingkir-pun tak mampu menolaknya. Keduanya-pun diterima sebagai pemimpin kesatuan Prajurid Pengawal Adipati yang kedudukannya berada dibawah Lurah Prajurid Pengawal langsung.
Kecakapan Ki Ageng Pamanahan membuat Jaka Tingkir atau Adipati Adiwijaya merasa tidak salah telah mempercayainya sebagai salah satu pemimpin Prajurid Pengawal. Ditambah kepintaran Ki Juru Martani dalam hal siasat politik maupun militer, membuat Adipati Adiwijaya akhirnya mengangkat Ki Ageng Pamanahan sebagai Lurah Prajurid Pengawal Adipati dan Ki Juru Martani sebagai wakilnya.
Ki Ageng Pamanahan memiliki seorang putra yang masih muda belia. Danang Sutawijaya namanya. Kedekatan Ki Ageng Pamanahan secara pribadi dengan Adipati Adiwijaya membuat Danang Sutawijaya pada akhirnya diambil putra angkat oleh Sang Adipati dan dijadikan teman bermain Pangeran Benawa, putra Sang Adipati yang usianya juga tak terpaut jauh dengan Danang Sutawijaya!
Maka, jika Adipati Adiwijaya secara pribadi dekat dengan Ki Ageng Pamanahan, Pangeran Benawa-pun sangat akrab dengan Danang Sutawijaya. Jalinan persaudaraan-pun tercipta antara keluarga Adipati dengan keluarga Ki Ageng Pamanahan.
Hingga suatu hari, datanglah seorang pemuda dusun yang memohon untuk menghadap kepada Adipati Adiwijaya. Kehadiran pemuda ini menggemparkan seisi Kadipaten karena dia mengaku telah diutus secara langsung oleh Ratu Kalinyamat!!
Tanpa menunggu waktu, Adipati Adiwijaya memerintahkan pemuda itu untuk segera menghadap kepadanya!!
Bagian 3
Kedatangan pemuda dusun yang konon diutus oleh Ratu Kalinyamat tersebut benar-benar menggemparkan seisi Kadipaten Pajang. Secepatnya Adipati Adiwijaya menyuruh pemuda itu untuk menghadap. Adipati Adiwijaya menemui sang pemuda secara pribadi dengan hanya ditemani oleh Nimas Sekaring Kedhaton, Ki Mas Manca, Ki Wila dan Ki Wuragil.
Dari penuturan pemuda dusun tersebut, tahulah Adipati Adiwijaya dan seluruh yang hadir disitu bahwasanya Ratu Kalinyamat masih diberikan umur panjang. Menurut sang pemuda, tubuh Ratu Kalinyamat dia ketemukan tengah tersangkut disebuah batang pohon besar yang kebetulan tumbuh didasar tebing.
Dalam kondisi yang terluka teramat parah, Ratu Kalinyamat ternyata masih hidup. Sangat beruntung sekali Ratu Kalinyamat karena saat terjatuh dari atas tebing, tubuhnya tidak sempat terbentur bebatuan cadas. Dan lebih beruntung lagi karena tubuhnya menimpa sebatang dahan pohon raksasa yang tumbuhnya kebetulan memang miring. Sungguh suatu keajaiban yang tidak akan mungkin bisa terulang lagi!
Sang pemuda yang kebetulan tengah mencari madu hutan, tanpa sengaja mendapati sosok tubuh seorang wanita yang penuh luka dan darah disana-sini tengah tersangkut di sebuah batang pohon. Menitik dari pakaian yang dikenakan, jelas sosok ini bukan dari kalangan rakyat biasa. Mendapati sosok itu masih hidup dan tengah sekarat, segera saja sang pemuda melupakan tujuannya semula yang hendak mencari madu ke hutan. Dia segera membopong tubuh tersebut dan membawanya pulang ke desa!
Bekel atau Kepala Desa yang mendapat laporan tentang penemuan sesosok tubuh wanita dari sang pemuda, segera datang ke rumah sang pemuda untuk melihatnya sendiri. Sang Bekel kaget melihat pakaian kebesaran Demak Bintara melekat pada tubuh wanita yang terluka parah tersebut. Segera saja Sang Bekel memerintahkan ahli pengobatan yang tinggal di desa tersebut untuk segera memberikan pertolongan secepatnya.
Beberapa tulang yang cidera, dikembalikan lagi posisinya. (Dalam pengobatan Jawa dikenal dengan Ilmu Sangkal Putung, yaitu ilmu pengobatan khusus tulang yang mampu mengembalikan posisi cidera tulang akibat benturan keras. Sampai sekarang masyarakat Jawa yang tengah mengalami cidera akibat kecelakaan, masih banyak yang meminta bantuan ahli Sangkal Putung. Dan pada kenyataannya, memang sangat mujarab. Banyak penderita yang tertolong walaupun tidak harus mendatangi Rumah Sakit : Damar Shashangka.)
Luka-luka luar maupun luka-luka dalam, pelahan dengan pasti berangsur-angsur sembuh berkat ramuan yang diracik dari berbagai tanaman. Dan satu minggu kemudian, sosok wanita yang tak lain adalah Ratu Kalinyamat tersebut, baru bisa diajak bicara. Dan terkejutlah seisi penghuni desa tak terkecuali Sang Bekel mendapati pengakuan dari wanita tersebut bahwasanya dirinya tak lain adalah Ratu Kalinyamat, permaisuri Sultan Demak V yang kini telah tewas akibat terbunuh oleh pasukan Jipang Panolan!
Satu bulan kemudian, Ratu Kalinyamat telah mampu bangkit dari ranjang walau masih tertatih-tatih akibat cidera tulang yg dialaminya masih belum sembuh total.
Pada masa itu, interaksi antar penduduk satu desa dengan desa lain sangat-sangat terbatas. Disamping kebutuhan ekonomi mereka telah tercukupi dari hasil pertanian olahan sendiri, medan dan jalan-jalan penghubung antar daerah masih sulit dan terjal. Apalagi desa dimana Ratu Kalinyamat tertolong termasuk desa yang ada dilereng pegunungan. Maka bisa dibayangkan, betapa terisolirnya letak desa tersebut.
Bagi para penduduk desa, adalah sebuah kehormatan besar bagi mereka telah menolong seorang permaisuri Sultan Demak. Dan kepada pemuda yang dulu menemukan tubuh Ratu Kalinyamat pada mula pertama, Sang Ratu menjanjikan sebuah jabatan di pemerintahan.
Sang pemuda lantas diutus oleh Ratu Kalinyamat menyampaikan kabar keselamatannya ke Pajang. Dengan dibekali beberapa lembar Rontal yang telah ditulisi pesan pribadi dari Sang Ratu, dan setelah diwanti-wanti agar berhati-hati dijalan karena ini adalah tugas yang cukup rahasia dan berbahaya jika sampai diketahui oleh mata-mata Jipang, maka berangkatlah sang pemuda ke Pajang.
Adipati Adiwijaya berikut sang permaisuri, Nimas Sekaring Kedhaton benar-benar bersyukur kepada Hyang Widdhi mendengar kabar yang dibawa oleh sang pemuda yang kini tengah ada dihadapan mereka. Bahkan saking gembiranya, Nimas Sekaring Kedhaton meneteskan air mata bahagia.
Segera Adipati Adiwijaya membaca surat dari kakak iparnya yang diserahkan oleh sang pemuda. Nampak Sang Adipati mengerutkan dahi setelah membaca isi surat dari Ratu Kalinyamat. Disana tertulis bahwasanya Sang Ratu meminta kepada Adipati Adiwijaya supaya mengirimkan beberapa prajurid pilihan untuk mengantarkannya pulang ke Jepara. Para prajurid harus ‘nylamur lampah’ alias menyamar sebagai orang kebanyakan. Tidak hanya prajurid, Sang Ratu juga meminta agar dikirimkan pula beserta para prajurid, beberapa pelayan wanita.
Tujuan Sang Ratu ke Jepara adalah menuju sebuah gua rahasia yang tidak seorang-pun mengetahui letak gua tersebut kecuali Sang Ratu sendiri dan almarhum suaminya, Sunan Kalinyamat. Disana selain menyembunyikan diri, Ratu Kalinyamat juga bertekad akan melakukan TAPA WUDA atau TAPA TELANJANG. Ratu Kalinyamat tidak akan mengenakan selembar pakaian-pun selama Arya Penangsang belum mati terbunuh!!
Selain itu, Ratu Kalinyamat secara khusus meminta agar Adipati Adiwijaya memberikan ganjaran atau anugerah berupa uang yang sepantasnya kepada para penduduk desa yang telah berjasa menyelamatkan nyawanya. Dan khusus kepada pemuda yang telah menemukan tubuhnya ketika terluka parah, Ratu Kalinyamat memohon agar pemuda tersebut bisa diberikan kedudukan yang pantas dijajaran pemerintahan Kadipaten Pajang.
Membaca permintaan yang kedua dan ketiga dari Ratu Kalinyamat, bagi Sang Adipati tidak menjadi masalah untuk memenuhinya, namun membaca permintaan pertama dimana Sang Ratu hendak berniat menuju Jepara, membuat Adipati Adiwijaya merasa berberat hati.
Adipati Adiwijaya memutuskan agar sang pemuda untuk sementara mundur dahulu dari hadapan beliau. Dia diutus agar beristirahat untuk sementara waktu. Beliau sendiri hendak membahas isi surat Ratu Kalinyamat dengan Nimas Sekaring Kedhaton, Ki Mas Manca, Ki Wila dan Ki Wuragil secara pribadi.
Sang pemuda diantar beberapa prajurid pengawal Adipati menuju tempat peristirahatan yang telah disediakan baginya.
Tapa Telanjang Ratu Kalinyamat.
Jepara kini telah dikuasai oleh Jipang Panolan. Bila Ratu Kalinyamat nekad kembali ke Jepara, itu sama saja dengan ‘Ula marani gepuk’ atau mencari mati. ( Ula marani gepuk adalah istilah Jawa yang artinya kurang lebih, seekor ular malah mendekati tongkat pemukul yang hendak dipergunakan untuk meremukkan kepalanya : Damar Shashangka). Begitulah Adipati Adiwijaya berpendapat.
Namun, Nimas Sekaring Kedhaton malah berpendapat lain. Saat ini, malahan tempat yang dirasa paling aman bagi kakak kandungnya memang hanyalah wilayah Jepara. Karena walaupun Jepara memang telah dikuasai Jipang Panolan, namun Ratu Kalinyamat, bagaimanapun juga, telah hapal setiap jengkal tanah Jepara.
Bahkan, Nimas Sekaring Kedhaton dulu pernah mendengar bahwa kakak kandungnya memang memiliki tempat rahasia yang khusus, tempat yang kerap kali dia pergunakan untuk menyepi dan bertapa.
Hanya Ratu Kalinyamat dan almarhum suaminya, Sunan Kalinyamat saja yang tahu dimana letak tempat tersebut. Para prajurid Jepara-pun, tidak seorang-pun yang mengetahuinya. Konon letaknya berada disekitar Gunung Danaraja. Mungkin, jika benar Ratu Kalinyamat berniat untuk menyembunyikan diri disana, pihak Jipang dapat dipastikan tidak akan bisa menemukannya!
Ki Mas Manca, Ki Wila dan Ki Wuragil condong menyetujui pendapat Nimas Sekaring Kedhaton.
Apa yang telah diputuskan oleh Ratu Kalinyamat, tentunya memang sudah dipertimbangkan secara masak. Mungkin, selain beliau berniat untuk menyembunyikan diri ditempat yang paling aman menurut beliau, diam-diam Sang Ratu juga bisa mengkoordinasikan kekuatan dari para pendukungnya yang masih ada disana. Siapa saja mereka, tentunya hanya Ratu Kalinyamat yang tahu. Ratu Kalinyamat lebih bisa berbuat sesuatu di Jepara daripada jika Sang Ratu memilih bersembunyi ke Pajang, begitu menurut pendapat Ki Mas Manca.
Setelah berunding cukup lama, pada akhirnya, Adipati Adiwijaya memutuskan memenuhi semua permintaan Ratu Kalinyamat. Dikirimkannyalah dua puluh prajurid khusus pilihan dari Pajang dengan menyamar sebagai rombongan penari keliling. Dengan membawa seperangkat Gamelan sebagai bagian dari aksi penyamaran,ditambah lima orang pelayan wanita yang menyamar sebagai para penarinya, maka dihari yang telah ditentukan, berangkatlah mereka.
Disetiap tempat, mereka sengaja menggelar pertunjukan. Hal ini demi untuk mengelabuhi para mata-mata Jipang sekiranya keberadaan mereka tengah menjadi perhatian mereka. Dan pada akhirnya sampai juga mereka di desa dimana Ratu Kalinyamat tengah menyembunyikan diri.
Ratu Kalinyamat lantas ikut rombongan Pajang tersebut dan meninggalkan desa dimana selama ini Sang Ratu telah dirawat untuk menuju ke Jepara. Dalam perjalanan ke Jepara, rombongan tersebut juga kerap menggelar pertunjukan. Namun, Sang Ratu sengaja tidak tampil ke muka umum. Hingga pada akhirnya, rombongan ini selamat sampai ke Gunung Danaraja.
Ratu Kalinyamat dan rombongan segera menuju gua rahasia yang selama ini sangat dirahasiakan oleh Sang Ratu. Dua puluh prajurid pilihan Pajang bertugas menjaga keselamatan Sang Ratu. Sedangkan lima orang pelayan wanita bertugas melayani kebutuhan Sang Ratu. Sedangkan Ratu Kalinyamat sendiri, segera memilih tempat yang tepat, tempat yang tersembunyi dan agak gelap. Dan setelah tempat tersebut dibersihkan sedemikian rupa, Sang Ratu-pun untuk sejenak beristirahat disana sembari menunggu malam menjelang.
Begitu malam telah turun, Sang Ratu dengan diantar lima pelayan wanita, keluar dari gua menuju sungai Gajahan yang terletak tak jauh dari sana. Sang Ratu membersihkan diri disungai tersebut. Selesai membersihkan diri, beliau kembali ke dalam gua.
Ditempat yang telah dipilih, Sang Ratu melepaskan seluruh busananya hingga telanjang bulat. Rambut panjangnya diurai sedemikian rupa hingga menutupi bagian payudaranya. Ratu Kalinyamat duduk bersila. Sang Ratu bertekad, tidak akan mengenakan busananya lagi sebelum Arya Penangsang mati! ( Tempat Tapa Telanjang Ratu Kalinyamat hingga sekarang menjadi tempat ziarah. Terletak di Desa Danaraja, Jepara bagian utara, dan Sungai Gajahan masih tetap mengalir disana. : Damar Shashangka)
Dalam kondisi seperti itu, hanya pelayan wanita saja yang diperbolehkan mendekati beliau.
Diam-diam, walaupun Ratu Kalinyamat juga tengah menjalani Tapa Telanjang, melalui kedua puluh prajuirid pilihan yang menjaganya, Ratu Kalinyamat mencoba menghubungi beberapa mantan petinggi Jepara yang masih loyal kepadanya. Beberapa mantan pejabat tersebut diam-diam pula bertandang menghadap ke Gunung Danaraja. Dari sini, koordinasi mulai dibangun kembali. Ratu Kalinyamat pelahan dan pasti, mulai merapatkan barisan para pendukungnya. Kekuatan Jepara yg tercerai berai akibat gempuran Jipang Panolan, diam-diam mulai menyatu kembali.
Usaha Pembunuhan Adipati Adiwijaya.
Arya Penangsang sudah bersiap untuk menyerang Pajang. Namun Sunan Kudus masih menghalanginya. Pajang terlalu kuat untuk diperangi saat ini. Seluruh kekuatan Islam Abangan, bahkan sedikit banyak kekuatan Shiwa Buddha, kini telah merapat dalam satu barisan dibawah panji Kadipaten Pajang.
Jika Dewan Wali Sangha sudah jelas-jelas memberikan dukungan kepada Jipang, maka penyerangan ke Pajang tidaklah menjadi masalah. Karena sudah dapat dipastikan, Cirebon dan Banten, mau tidak mau akan ikut memperkuat barisan Jipang manakala Dewan Wali telah mengeluarkan fatwanya!
Kekuatan Pajang sebenarnya terletak pada sosok Jaka Tingkir sebagai pewaris tahta Majapahit. Sosok Adipati Pajang ini mampu memberikan semangat romantisme yang luar biasa akan kejayaan Majapahit. Baik pengikut dari Shiwa Buddha maupun Islam Abangan, mereka semua sangat-sangat mengagungkan Majapahit.
Sunan Kudus memberikan solusi, jika Jaka Tingkir berhasil dibunuh, maka dapat dipastikan, kekuatan Pajang akan terpecah-pecah!
Model pembunuhan seperti yang pernah dilakukan kepada Sunan Prawata yang berhasil dengan gemilang, tidak ada salahnya dicoba untuk dilakukan sekali lagi kepada Adipati Pajang tersebut.
Arya Penangsang merespon solusi yang dianjurkan oleh Sunan Kudus. Dipilihnyalah empat orang anggota prajurid Sureng, prajurid khusus Jipang Panolan, untuk menjalankan tugas rahasia tersebut.
Empat anggota prajurid pilihan yang diambil dari anggota pasukan khusus segera ditugaskan menuju Pajang. Konon, Jaka Tingkir adalah sosok manusia digdaya yang tubuhnya kebal senjata tajam. Maka, sekali lagi, Keris Kyai Brongot Setan Kober yang berhasil direbut dari dalam Kereta kencana Ratu Kalinyamat dan Sunan Kalinyamat dikala penyerangan kepada kedua bangsawan tersebut tempo hari, kini dibekalkan kepada empat orang prajurid tersebut.
Dengan menyamar sebagai pedagang keliling, empat orang prajurid khusus Jipang Panolan tersebut segera berangkat menuju Pajang. Beberapa hari mereka menempuh perjalanan dan akhirnya sampai juga di ibukota Kadipaten Pajang.
Empat orang prajurid Jipang selama tiga hari menyamar sebagai pedagang keliling. Sembari pura-pura menjajakan dagangan berupa pakaian-pakaian jadi, mereka mencoba mencari informasi seputar kondisi dan situasi Kadipaten.
Sebagai seorang prajurid khusus yang telah terlatih, mereka dengan sangat cepat mampu menandai dimana titik-titik lemah penjagaan Kadipaten Pajang.
Setelah yakin akan hasil penyelidikannya, maka pada hari keempat, tepat tengah malam, mereka segera memulai aksinya.
Malam itu, Ki Ageng Pemanahan dan Ki Juru Martani belum tertidur. Keduanya masih terjaga sembari berbincang-bincang. Namun mendadak, baik Ki Ageng Pemanahan maupun Ki Juru Martani, merasakan perubahan suasana yang aneh. Kondisi Kadipaten tiba-tiba terasa senyap. Bahkan suara burung malam yang sesekali terdengar, kini mendadak tak terdengar sama sekali. Seolah seluruh makhluk penghuni malam, telah hilang begitu saja, entah kemana. Bahkan, jengkerikpun tiba-tiba tidak memperdengarkan suara khasnya.
Suasana yang terasa aneh seperti itu membuat kedua orang ini waspada. Ki Juru Martani berbisik kepada Ki Ageng Pemanahan bahwa sepertinya ada orang yang tengah menebarkan kekuatan gaib ilmu sirep, yaitu sejenis ilmu yang dipergunakan untuk membuat orang lain tertidur pulas bagaikan mati. Ki Ageng Pemanahan segera memutuskan untuk keluar dari bilik pribadi. Dengan diikuti oleh Ki Juru Martani, keduanya segera berkeliling areal Kadipaten.
Didalam bilik peraduan, Adipati Adiwijaya juga merasakan perubahan suasana yang misterius tersebut. Malam itu, Sang Adipati tidur dengan ditemani empat orang istri selir. Keempat istri selir nampak pulas tertidur disisi kanan dan kiri Sang Adipati, mereka tertidur bagaikan mati. Hanya tinggal Adipati Adiwijaya saja yang terjaga dengan benak dipenuhi tanda tanya. Ada sesuatu yang tengah terjadi. Sang Adipati kini mulai meningkatkan kewaspadaannya. Dengan tetap berbaring telentang, Adipati Adiwijaya sengaja menyelimuti tubuhnya dengan selembar kain kemben.
Situasi sangat-sangat senyap.
Mendadak dari arah pintu kamar, lamat-lamat terdengar bunyi berisik. Mata Sang Adipati nyalang melirik ke arah pintu kamar. Jelas dari arah luar, ada orang yang sengaja berusaha masuyk secara paksa kedalam. Sang Adipati waspada. Dengan tetap dalam posisi telentang berselimutkan kain kemben, Sang Adipati siaga sepenuhnya!
Tidak berapa lama berselang, dua orang bercadar berhasil membuka pintu dan langsung masuk kedalam. Yang seorang segera bergerak kearah pembaringan dan yang seorang tetap menjaga pintu! Terlihat keris dihunus dari warangka, berkilat sesaat tertimpa cahaya pelita kamar. Dengan memegang keris terhunus dan berjalan mengendap-endap, salah seorang bercadar mendekati pembaringan Adipati Adiwijaya.
Begitu jarak sudah sedemikian dekat dengan tubuh Sang Adipati, orang bercadar tersebut secepat kilat menikamkan keris kedada Sang Adipati! Keris terayun nyalang mengarah dada!
Namun terjadi keanehan! Tusukan yang telah sedemikian tepat dan mematikan tersebut mental bagaikan mengenai lempengan besi padat! Dada Sang Adipati sama sekali tidak terluka sedikitpun! Hanya kain kemben yang dijadikan selimut tersingkap!
Orang bercadar yang menusukkan keris terkejut!! Sekali lagi dihunjamkannya keris kearah yang sama! Dan sekali lagi pula, keris mental bagai mengenai lempengan logam!
Disaat itu, Adipati Adiwijaya mendadak membuka mata nyalang! Dengan menggeram marah, Adipati Adiwijaya segera menjejakkan kakinya ke dada orang bercadar yang berusaha hendak menusukkan keris sekali lagi ke arah tubuhnya! Jejakan kaki Sang Adipati tepat mengenai dada! Tubuh orang bercadar terdorong kebelakang, lantas jatuh menimpa perabotan kamar diiringi bunyi gaduh yang nyaring!!
Bunyi gaduh akibat jatuhnya tubuh orang bercadar menimpa perabotan kamar membuat keempat istri selir terbangun! Kontan begitu menyadari ada dua orang lain yang tengah hadir didalam kamar, mereka langsung menjerit ketakutan!
Dengan bertelanjang dada, Adipati Adiwijaya bangkit dari pembaringan dan langsung menyambar sebuah keris yang menyandar disudut dinding!! Adipati Adiwijaya menghunus keris tersebut seketika! Salah seorang bercadar yang sedari tadi menjaga pintu, tanpa menunggu waktu langsung menyerang Sang Adipati! Perkelahian segera terjadi! Kegaduhan pun tercipta diiringi jerit ketakutan keempat istri selir yang kini nampak berkumpul berdiri dipojok kamar !!
Bagian 4
Tusukan keris bisa dihindari oleh Adipati Adiwijaya. Bahkan dengan tak terduga, keris ditangan Sang Adipati cepat menukik ke arah perut! Orang bercadar kaget! Begitu cepat serangan tersebut! Dia berusaha menghindar selekasnya, namun karena terlalu cepatnya serangan, kulit perutnya-pun tergores juga! Dibalik cadarnya, dia meringis kesakitan!!
Salah seorang yang sedari tadi terjatuh, kini bangkit berdiri dan langsung menyerang! Kegaduhan kembali terjadi lebih dari semula! Namun, bagaimanapun juga, kedua pasukan khusus Sureng Jipang Panolan ini diam-diam harus mengakui, sosok Adipati Adiwijaya memang tangkas dan trengginas dalam bermain silat!
Belum lama pertempuran terjadi, karena terpancing suara gaduh dan jeritan para selir yg berselang-seling dengan teriakan-teriakan dari mereka yang tengah berkelahi, beberapa pasukan pengawal Adipati merangsak masuk ke dalam kamar. Nampak Ki Ageng Pemanahan dan Ki Juru Martani langsung ikut meleburkan diri dalam kegaduhan!
Sang Adipati berteriak nyalang :
“Jangan bunuh!! Tangkap hidup-hidup!!”
Apa daya dua orang menghadapi beberapa prajurid pengawal Adipati Pajang. Begitu tombak-tombak panjang yang runcing terarah ketubuh mereka, mau tak mau, mereka menghentikan serangannya dan langsung duduk bersimpuh!!
“Kangjeng Adipati, saya juga telah membekuk dua orang lain yang berada diluar!”. Ujar Ki Ageng Pamanahan sembari menyembah.
Adipati Adiwijaya menyarungkan kerisnya.
“Kurung mereka untuk sementara waktu. Obati luka-luka mereka. Besok pagi, hadapkan semuanya kepadaku!”
Ki Ageng Pemanahan menyembah lantas memrintahkan dua orang prajurid pengawal untuk mengikat tangan kedua orang bercadar yang kini tengah duduk bersimpuh! Keduanya lantas digiring keluar kamar dan dibawa ke Pakunjaran atau tempat kurungan.
Malam itu, Adipati Adiwijaya terpaksa harus tidur dikamar permaisurinya, Nimas Sekaring Kedhaton yang jadi ikut terbangun akibat kejadian tersebut. Beberapa pelayan wanita terpaksa pula membereskan seluruh perabotan pecah belah yang hancur berserakan akibat perkelahian barusan.
Malam itu, seisi Kadipaten Pajang geger!
Keesokan harinya, keempat orang yang semalam tertangkap, dihadapkan secara khusus kepada Adipati Adiwijaya. Cadar mereka telah dibuang. Kini wajah keempat-empatnya nampak jelas sudah. Mereka menundukkan muka, menunggu jatuhnya hukuman mati yang pasti akan diberikan oleh Adipati Adiwijaya!
Sang Adipati terdiam agak lama memperhatikan keempat orang yang nampak sudah sangat pasrah tersebut. Di sana, Ki Mas Manca, Ki Wila, Ki Wuragil, Ki Ageng Pemanahan dan Ki Juru Martani ikut hadir. Berikut beberapa prajurid pengawal. Suasana tegang, menantikan apa yang hendak dilakukan oleh Sang Adipati. Tak ada yang berani mengeluarkan suara sekecil apapun.
Pada akhirnya, Adipati Adiwijaya-pun angkat suara.
“Dhimas Pemanahan. Bagaimana hasilnya?”
Ki Ageng Pamanahan menyembah sejenak dan menjawab :
“Kasinggihan Dalem Kangjeng, keempat orang ini adalah prajurid Sureng dari Jipang Panolan!”
Seluruh yang hadir terkejut seketika mendengar jawaban Ki Ageng Pemanahan. Adipati Adiwijaya lekat memperhatikan keempat orang dihadapannya sembari memincingkan mata. Yang diperhatikan semakin menundukkan kepala.
Nampak kemudian, Ki Ageng Pemanahan mengeluarkan benda berbuntalkan kain putih dari balik bajunya, kemudian menyembah sejenak dan berjalan duduk menghampiri tempat Adipati.
“Mohon Kangjeng memeriksa benda ini.”
Adipati Adiwijaya menerima benda berbungkus kain putih yang dihaturkan Ki Ageng Pemanahan. Dengan menahan nafas, dibukanya kain putih penutup, begitu benda telah lepas dari penutupnya, memerahlah wajah Sang Adipati. Bibirnya tanpa sadar bergumam :
“Kyai Brongot Setan Kober!”
Suara Sang Adipati menambah keterkejutan semua yang hadir. Ditangannya kini tergenggam sebilah keris yang tak lain adalah Kyai Brongot Setan Kober, keris pusaka milik Sunan Kudus yang telah diberikan kepada Arya Penangsang.
Dada Adipati Adiwijaya bergemuruh. Ditunjukkannya keris ditangan kepada Ki Mas Manca. Ki Mas Manca memincingkan mata memperhatikan keris tersebut lekat-lekat. Sembari menarik nafas, wajah Ki Mas Manca bersemu merah!
“Bagaimana, kangmas?” , tanya Adipati Adiwijaya.
Ki Mas Manca diam sesaat. Kemudian dia menjawab :
“Terserah dhimas Adipati. Ini sudah keterlaluan!”
Keris lantas diserahkan kembali kepada Ki Ageng Pemanahan. Kini kembali Adipati Adiwijaya memperhatikan empat orang prajurid Sureng Jipang Panolan. Sang Adipati dengan suara tertahan, menanyakan langsung kepada keempat prajurid dihadapannya, benarkah Arya Penangsang yang telah memerintahkan mereka.
Salah seorang prajurid yang ditunjuk untuk menjawab, dengan terbata-bata membenarkan akan hal itu. Suasana menjadi bertambah tegang.
Adipati Adiwijaya menghela nafas, lantas berkata :
“Kalian orang Jipang, kali ini aku ampuni nyawa kalian!”
Mendengar titah Sang Adipati, semua yang mendengar tidak menduga sama sekali. Lantas kembali Sang Adipati berkata :
“Pulanglah kembali ke Jipang Panolan. Tapi Kyai Brongot Setan Kober aku ambil. Dan kepulangan kalian akan aku beri bekal emas permata dan uang ketheng yang banyak. Katakan kepada Arya Penangsang, tidak mudah membunuh Jaka Tingkir!”
Keputusan sudah diturunkan, tidak ada lagi yang berani membantah.
Keeesokan harinya, keempat prajurid Sureng dari Jipang dihantarkan oleh prajurid khusus pengawal Adipati keluar dari ibu kota Pajang untuk pulang kembali ke Jipang Panolan.
Betapa malu keempat orang prajurid Sureng tersebut mendapat perlakuan semacam itu.
Undangan Sunan Kudus
Kepulangan empat prajurid Sureng ke Jipang Panolan, bukannya membawa kabar keberhasilan yang membuat Arya Penangsang senang, namun malahan membawa malu yang mencoreng muka Arya Penangsang. Tidak hanya gagal menjalankan tugas, tapi juga meninggalkan Keris Kyai Setan Kober di Pajang!
Sudah bisa ditebak, diam-diam keempat orang prajurid ini dijatuhi hukuman penggal kepala oleh Arya Penangsang karena tidak berhasil menjalankan tugas. Ironis.
Kabar kegagalan itu dilaporkan oleh Arya Penangsang kepada Sunan Kudus. Sunan Kudus tak habis pikir, betapa tinggi ilmu kanuragan yang dimiliki Adipati Adiwijaya. Keris Kyai Brongot Setan Kober, tidak mampu melukai tubuhnya sedikitpun. Arya Penangsang mendesak Sunan Kudus agar diberi ijin untuk mengadakan penyerangan ke Kadipaten Pajang. Karena semua sudah kepalang basah. Namun lagi-lagi, Sunan Kudus menghalanginya. Sunan Kudus masih memiliki satu cara lagi. Satu cara untuk memancing Adipati Adiwijaya keluar dari sarang. Jika berhasil dipancing keluar dari sarangnya, maka untuk memusnahkan segala ilmu kanuragan yang dimilikinya dan lantas membunuhnya akan semakin mudah dilakukan.
Pada hari yang akan ditentukan, Sunan Kudus secara pribadi akan mengirimkan undangan khusus kepada Adipati Pajang. Sunan Kudus sengaja mengundang Sang Adipati guna untuk memperingati tahun baru Islam, satu Muharrom, yang hendak dirayakan oleh Pesantren Kudus. (Waktu itu, kalender Jawa belum lahir. Kalender yang dipakai adalah kalender Hijriyyah dan kalender Saka. Kedua kalender yang berasal dari tradisi Islam dan tradisi Hindhu ini dipakai secara bersamaan. Jadi waktu itu belum dikenal istilah SURO-an. Kalender Jawa baru lahir kelak oleh cicit Ki Ageng Pemanahan, cucu Panembahan Senopati, yaitu Kangjeng Sultan Agung Anyakrakusuma pada tahun 1555 Saka atau 1633 Masehi. Kalender Jawa adalah sistim penanggalan dimana kalender Hijriyyah dari Islam dan kalender Saka dari Hindhu dilebur menjadi satu kesatuan. : Damar Shashangka)
Dapat dipastikan, Adipati Adiwijaya sebagai seorang pemimpin yang disegani di Jawa, akan menghargai undangan tersebut. Undangan dari seorang anggota Dewan Wali Sangha yang tergolong sepuh. Yang punya pengaruh dan suaranya didengar di dalam Dewan Wali. Maka mau tak mau, Adipati Adiwijaya akan hadir memenuhi undangan tersebut.
Manakala Adipati Adiwijaya telah datang ke Kudus, maka Arya Penangsang yang harus menyambut kedatangannya. Sunan Kudus telah menyediakan sebuah kursi khusus yang sengaja telah diberi doa-doa untuk melenyapkan segala macam ilmu kesaktian yang dimiliki siapapun yang duduk diatasnya. Dan adalah tugas Arya Penangsang untuk mengusahakan agar Adipati Adiwijaya bisa duduk dikursi tersebut.
Disamping itu, diam-diam Arya Penangsang juga harus mempersiapkan seluruh angkatan bersenjata Jipang untuk bersiap-siap menyerang Pajang.
Jika Adipati Adiwijaya telah menduduki kursi khusus tersebut, maka saatnya bagi Arya Penangsang untuk membunuh Sang Adipati saat itu juga. Dapat dipastikan, seluruh kekuatan Adipati Adiwijaya luruh. Begitu Sang Adipati telah tewas, maka Arya Penangsang harus segera memerintahkan penyerangan besar-besaran ke Pajang.
Dengan tidak adanya Adipati Adiwijaya, Pajang, sekuat apapun, hanya akan menjadi harimau tak bertaring. Pajang akan kucar-kacir. Dan Jipang pasti bisa menjebol Pajang!
Rencana yang sangat matang tersebut disetujui Arya Penangsang. Dan menginjak bulan ke sebelas menurut kalender Islam, yaitu bulan Dzulqo’idah, Sunan Kudus mengirimkan surat undangannya ke Pajang.
Surat dari Sunan Kudus tersebut diterima oleh Adipati Adiwijaya. Isi surat segera menjadi bahasan serius Sang Adipati. Disana tertera bahwasanya Sunan Kudus mengharap dengan hormat kepada Kangjeng Adipati Pajang, Adiwijaya, untuk bersedia hadir di Kudus pada bulan Muharrom guna ikut memperingati perayaan tahun baru Islam.
Seluruh orang terdekat Adipati Adiwijaya menyarankan agar Adipati Adiwijaya berhati-hati. Bisa jadi ini adalah jebakan baginya. Namun, tidaklah etis mengabaikan undangan seorang berpengaruh di Jawa seperti Sunan Kudus dimana suaranya memiliki kekuatan dalam Dewan Wali Sangha.
Maka diputuskan, Adipati Adiwijaya akan berangkat ke Kudus dengan didampingi oleh Ki Ageng Pemanahan dan Ki Juru Martani. Sedangkan Ki Mas Manca, Ki Wila dan Ki Wuragil, akan tetap di Pajang. Menyiagakan seluruh kekuatan angkatan bersenjata Pajang jika nanti terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Adipati Adiwijaya mempercayakan Pajang kepada Ki Mas Manca manakala dia pergi ke Kudus.
Dua bulan kemudian, menjelang beberapa hari sebelum hari perayaan yang tertera dalam surat undangan dari Kudus, berangkatlah rombongan Adipati Pajang ke Kudus. Segala macam kebesaran Pajang nampak dari rombongan tersebut. Disetiap jalan yang dilalui, rombongan Pajang senantiasa mendapatkan berbagai bentuk penghormatan dari rakyat. Bahkan, ditempat-tempat mana rombongan Pajang bermalam, rakyat sangat bersuka cita menerima kehadiran mereka. Banyak yang mempersembahkan makanan dengan suka rela walaupun sebenarnya, seluruh rombongan tidak begitu memerlukannya. Perbekalan yang dibawa dari Pajang sudah lebih dari cukup.
Namun, Adipati Adiwijaya memerintahkan kepada seluruh prajurid yang ikut dalam rombongan agar menerima segala persembahan dari rakyat tersebut. Walaupun nampak remeh temeh, namun itu adalah wujud kecintaan rakyat kepada mereka semua. Jangan sekali-kali mengacuhkan persembahan makanan yang diunjukkan dengan rasa penuh kecintaan tersebut.
Beberapa hari kemudian, sampailah rombongan Adipati Pajang ke kota Kudus. Kedatangan rombongan dari Pajang ini mengagetkan masyarakat Kudus. Mereka terperangah melihat segala macam kebesaran yang terlihat. Mereka baru menyadari, bahwa Pajang ternyata sudah pantas jika menjadi sebuah Kerajaan besar. Panji-panji Pajang berkibar-kibar. Berkelebat dengan gagah diterpa angin. Nampak didepan, Adipati Adiwijaya menaiki seekor gajah diiringi beberapa prajurid berkuda diarah depan, kiri, kanan dan baru rombongan berkuda juga dibelakangnya. Seluruh orang Kudus kagum melihat kebesaran Pajang!
Rombongan itu langsung menuju ke Pesantren Kudus. Disana, para santri menyambut kedatangan rombongan Adipati Pajang dengan menabuh rebana dan menyanyikan salawat Nabi seperti kebiasaan mereka.
Diantara rombongan, Ki Ageng Pemanahan dan Ki Juru Martani, tetap mempertajam kewaspadaan mereka. Nampak, selain para santri, ada terlihat beberapa pasukan Jipang yang juga telah hadir disana. Bahkan ada beberapa pasukan dari daerah lain yang nampak ikut hadir.
Namun kedatangan rombongan dari Pajang, lebih menyita perhatian. Kebesaran Adipati Adiwijaya sangat memukau semua mata. Begitu Sang Adipati turun dari atas punggung gajah, nampak dipendhopo, beberapa santri langsung menyambutnya dan mempersilakan masuk ke pendhopo.
Seluruh rombongan turun dari kuda. Masing-masing tali kekang kuda ditambatkan ditempat yang telah disediakan. Perayaan tahun baru Islam di Kudus memang terlihat meriah.
Ki Ageng Pemanahan dan Ki Juru Martani segera mengiringi Adipati Adiwijaya. Mereka masuk ke pendhopo diikuti para prajurid khusus Pajang yang lain.
Begitu seorang santri kembali mempersilakan agar Adipati Adiwijaya masuk ke ruang dalam untuk bertemu secara khusus dengan Sunan Kudus, Ki Ageng Pemanahan segera memilih beberapa prajurid yang terlatih untuk ikut mengiringi Sang Adipati bersamanya. Sedangkan Ki Juru Mertani, tetap bertugas diluar, menyiagakan seluruh prajurid yang tidak ikut masuk bila ada hal yang tidak dikehendaki nanti.
Manakala Adipati Adiwijaya, Ki Ageng Pemanahan dan beberapa prajurid pilihan masuk keruang dalam, betapa terkejut mereka ketika disana Arya Penangsang dan beberapa prajurid khusus Jipang Panolan telah berdiri menyambut.
Baik Adipati Adiwijaya maupun Ki Ageng Pemanahan segera waspada.
Arya Penangsang langsung bergerak memeluk Adipati Adiwijaya. Setelah itu dia berkata :
“Dhimas Adiwijaya, sangat senang hatiku melihat adhimas bersedia hadir di Kudus ini.”
Adipati Adiwijaya tersenyum dan menjawab :
“ Kangmas Penangsang, hati saya-pun gembira bisa melihat kangmas juga hadir di Kudus ini.”
Diam-diam, Ki Ageng Pemanahan memberikan isyarat wspada kepada seluruh prajurid yang ikut masuk.
Terdengar Arya Penangsang kembali buka suara :
“Mari adhimas, silakan duduk disini…”
Arya Penangsang mempersilakan Adipati Adiwijaya untuk duduk disalah satu kursi yang tersedia. Namun, mendadak terbersit perasaan ganjil dihati Adipati Adiwijaya manakala matanya melihat keberadaan kursi yang dimaksud oleh Arya Penangsang. Tanpa sadar, Adipati Adiwijaya berkata :
“Ah, kangmas. Bukankah itu kursi paling bagus diantara semua kursi yang ada disini. Tak layak bagiku duduk disana. Hanya Bapa Sunan Kudus sendiri sebagai tuan rumah yang pantas mendudukinya.”
Arya Penangsang tersenyum simpul .
“Tidak mengapa dhimas, mari…”
Arya Penangsang terlihat agak memaksa. Sikap Arya Penangsang menambah ketidak nyamanan dihati Adipati Adiwijaya semakin bertambah-tambah. Terasa aneh. Adipati Adiwijaya, secara halus tetap menolak untuk duduk disana.
“Sudahlah, kangmas Penangsang. Saya akan duduk dikursi sebelahnya saja. Saya tidak enak duduk disana, sepertinya ada sesuatu dikursi tersebut.”
Arya Penangsang kaget. Namun segera dia menutupi kekagetannya.
“Memang ada apa dikursi tersebut? Apa yang dhimas takutkan?”
Adipati Adiwijaya tersenyum dan menjawab :
“Ah, mungkin hanya perasaan saya saja. Tapi jika memang tidak ada apa-apa disana, apakah kangmas berani menduduki kursi tersebut?”
Arya Penangsang sedikit kebingungan. Hal ini terbaca oleh Adipati Adiwijaya dan Ki Ageng Pemanahan.
“Mengapa kangmas? Kangmas takut duduk disana?” , sindir Adipati Adiwijaya.
Memerah wajah Arya Penangsang, dia menjawab :
“Tidak ada apa-apa disana, buat apa takut?!”
Dan dengan pongahnya Arya Penangsang langsung berjalan kearah kursi tersebut dan langsung duduk diatasnya. Padahal Sunan Kudus telah mewanti-wanti, kursi tersebut telah diisi dengan doa-doa, siapa saja yang menduduki kursi tersebut, dapat dipastikan, seluruh ilmu kanuragan yang dimiliki akan luruh seketika itu juga. (Sampai saat ini, kursi bersejarah ini masih tersimpan di Kudus. : Damar Shashangka)
Diam-diam, Sunan Kudus yang tengah mengintip dari dalam menggeram marah melihat kebodohan dan kesombongan Arya Penangsang. Namun dia belum memutuskan untuk keluar menemui Adipati Adiwijaya.
Melihat kursi yang semula ditawarkan kepadanya kini telah diduduki oleh Arya Penangsang, Adipati Adiwijaya tersenyum simpul, lantas mengambil tempat duduk yang bersebelahan dengan Arya Penangsang. Ki Ageng Pemanahan dan beberapa prajurid, segera duduk bersila dibawah.
Setelah berbasa-basi sejenak, Adipati Adiwijaya menyengaja berkata demikian :
“Oh ya kangmas, saya jadi ingat. Beberapa bulan yang lalu, Pajang kemasukan para pembunuh bayaran. Nyawa saya yang diincar. Tapi syukurlah, Hyang Widdhi masih memberikan keselamatan kepada saya…,”
Sengaja Adipati Adiwijaya menggantung kalimatnya untuk melihat reaksi Arya Penangsang. Sedikit gugup Arya Penangsang, tapi berpura-pura dia kaget.
“Benarkah? Ah berani sekali. Syukurlah jika dhimas bisa lolos dari maut dan selamat sampai hari ini.”
Adipati Adiwijaya tersenyum mengangguk, lantas :
“Dan keris yang dipakai para pembunuh untuk membunuh saya, berhasil saya ambil…”
Adipati Adiwijaya memberi isyarat kepada Ki Ageng Pemanahan. Ki Ageng Pemanahan nampak tegang. Dia lantas mendekat dan mengulurkan sebuah peti kayu jati ke arah Adipati Adiwijaya.
Adipati Adiwijaya menerimanya. Lantas membuka peti tersebut. Dikeluarkannya sebilah keris dari sana. Dipegangnya sedemikian rupa sehingga semua mata bisa melihat keris ditanganya.
“Inilah keris tersebut!”
Muka Arya Penangsang bagai dirobek-robek! Merah padam sudah! Giginya bergemeletukan. Apalagi ketika mendengar ucapak Adipati Adiwijaya selanjutnya.
“Dan saat ini, sang keris telah bertemu kembali dengan tuannya.”
Dengan wajah tenang dan bibir tersenyum, Adipati Adiwijaya menyerahkan keris tersebut kepada Arya Penangsang. Ragu Arya Penangsang menerimanya. Namun akhirnya, dengan perasaan campur aduk antara malu dan marah, diterima juga keris itu.
Terdengar kembali Adipati Adiwijaya berkata datar:
“Konon katanya keris tersebut ampuh. Tapi bagi saya terasa seperti digelitiki dengan lidi saat keris tersebut dihunjamkan didada saya.”
Amarah Arya Penangsang bangkit. Setengah menggeram dia berkata :
“Jika saya yang menggunakannya, jangankan manusia, gunung pun akan longsor, lautanpun akan kering!!” (Ungkapan sebenarnya adalah GUNUNG JUGRUG SEGARA ASAT yang artinya memang GUNUNG AKAN LONGSOR LAUTAN AKAN KERING. Menggambarkan betapa dahsyatnya benda tersebut. : Damar Shashangka)
Adipati Adiwijaya tergelitik juga, lantas Sang Adipati mencabut keris yang sedari tadi terselip dipinggang belakangnya. Kyai Carubuk nama keris Adipati Adiwijaya. Keris itu adalah pemberian Kangjeng Sunan Kalijaga!
“Lebih ampuh mana dengan Kyai Carubuk milik saya ini!”
Arya Penangsang seketika bangkit berdiri ! Dengan mata merah memandang kearah Adipati Adiwijaya tajam! Adipati Adiwijaya lantas ikut bangkit pula!! Suasana berubah tegang!!!
Dua orang ksatria ini kini telah berdiri berhadap-hadapan dengan keris ditangan masing-masing. Arya Penangsang dengan Kyai Brongot Setan Kober ditangannya ,sedangkan Adipati Adiwijaya dengan Kyai Carubuk!!!
Dibawah, baik prajurid Pajang maupun prajurid Jipang telah memutar keris mereka yang semua terselip dipinggang belakang, kini sudah diputar kedepan dengan gagang sudah mereka genggam!! Tinggal mencabut kerisnya!! Kedua pasukan khusus ini sudah siap tempur juga!!!
Dua kekuatan tangguh, Jipang dan Pajang, kini sudah berhadap-hadapan!!!
Bagian 5
Suasana tegang! Tak ada seorang-pun yang berani mengeluarkan suara! Hanya bunyi detak jantung yang berdegub kencang saja yang terdengar! Dan hanya terdengar oleh masing-masing pemilik jantung sendiri!
Nampak, Adipati Adiwijaya dan Arya Penangsang telah berhadapan dengan keris terhunus ditangan! Mata keduanya saling bertatapan! Gigi mereka saling bergemeletukan! Tinggal menunggu siapa dulu yang memulai menyerang!
Dibawah, kedua kelompok prajurid khusus dari Jipang dan Pajang juga tegang! Begitu junjungannya diserang atau memulai menyerang dulu, maka mereka-pun telah siap menyerang lawannya! Sesaat, mereka melirik kearah junjungannya yang masih berdiri berhadap-hadapan, sesaat kemudian mereka melirik lawan mereka yang bersila bersebelahan!
Suasana benar-benar genting!
Disaat kritis seperti itu, disaat keadaan yang tinggal meledak sebentar lagi, tiba-tiba terdengar suara salam yang keras! Disengaja keras!
“Assalammu’alaikum!!!”
Serta merta, semua mata segera melayangkan pandangannya kearah mana suara salam itu berasal. Nampak Sunan Kudus keluar dari ruang belakang diiringi beberapa santri.
Sembari menghela nafas, seluruh prajurid Jipang maupun beberapa prajurid Pajang yang muslim menjawab salam Sunan Kudus, walau tidak serempak.
Disana, baik Adipati Adiwijaya maupun Arya Penangsang segera menghela nafas melepaskan ketegangan yang semenjak tadi menyergap seluruh persendian dan melepak didada masing-masing!
Sunan Kudus berjalan menghampiri mereka sembari berucap lantang :
“Lho…lho..lho!! Kalian ini Priyayi (bangsawan: Damar Shashangka) atau pedagang keris???!!”
Sunan Kudus bergerak ketengah-tengah antara Arya Penangsang dan Adipati Adiwijaya. Posisi Adipati Adiwijaya berada disebelah kiri Sunan Kudus sedangkan Arya Penangsang berada disebelah kanannya. Terlihat, Sunan Kudus sigap memegang pergelangan tangan kedua priyayi yang tengah hendak saling serang itu! Namun, bagi yang jeli, pasti akan melihat, bahwa tangan kiri Sunan Kudus tengah memegang erat pergelangan tangan kanan Adipati Adiwijaya yang tengah menggenggam Kyai Carubuk, sedangkan tangan kanan Sunan Kudus memegang erat pergelangan tangan kiri Arya Penangsang yang jelas-jelas tidak menggenggam apapun. Tangan kanan Arya Penangsang yang menggenggam Kyai Brongot Setan Kober bebas bergerak leluasa!!
Sunan Kudus menatap tajam Arya Penangsang, terdengar dia membentak!!
“Sarungkan kerismu, Penangsang!!”
Arya Penangsang termangu. Masih belum bergeming. Sekali lagi Sunan Kudus membentaknya :
“Sarungkan, Penangsang!!”
Arya Penangsang ragu. Belum juga menurunkan kerisnya. Sekali lagi Sunan Kudus membentaknya lebih keras :
“Sarungkan kataku!!!”
Kali ini Arya Penangsang menurunkan Kyai Brongot Setan Kober yang terangkat, kemudian menyarungkannya ke dalam warangkanya. Melihat Arya Penangsang menyarungkan keris, Adipati Adiwijaya-pun lantas ikut menyarungkan Kyai Carubuk kedalam warangka.
“Hampir saja aku membuat makanan segar bagi burung…”, Arya Penangsang bergumam setengah menggeram.
Adipati Adiwijaya tersenyum kecil..
Sunan Kudus menghela nafas, sembari tetap diposisinya, Sunan Kudus berkata kepada Adipati Adiwijaya :
“Maafkan atas situasi yang tidak semestinya terjadi ini, anakmas Adiwijaya. Saya menyesal. Dan untuk kebaikan kita bersama, saya menyarankan, tidak ada salahnya jika anakmas beserta rombongan pulang ke Pajang lebih awal. Disini, saya pribadi dan seluruh masyarakat Kudus, sudah merasa sangat terhormat atas kedatangan anakmas Adiwijaya berikut rombongan jauh-jauh dari Pajang..”
Adipati Adiwijaya menghaturkan sembah didepan dada sembari berkata :
“Bapa Sunan, seharusnya saya yang meminta maaf kepada Bapa Sunan Kudus, karena hampir saja saya membuat seorang wanita menjadi janda baru di ruangan dalam pesantren ini..”
Mata Sunan Kudus maupun Arya Penangsang berkilat mendengar kata-kata Adipati Adiwijaya.
Sunan Kudus segera menyela :
“Sudahlah…sudahlah! Saya memaklumi kemarahan anakmas Adiwijaya. Daripada berlarut-larut, sebaiknya anakmas mengalah..”
“Baiklah Bapa Sunan, memang lebih baik saya dan rombongan mengundurkan diri dari sini…”
Adipati Adiwijaya, Ki Ageng Pemanahan beserta beberapa prajurid khusus Pajang segera berpamitan kepada Sunan Kudus.
Rombongan dari Pajang memutuskan pulang terlebih dahulu sebelum acara puncak peringatan Tahun Baru Islam dimulai. Iring-iringan rombongan ini tengah keluar dari pondok pesantren Kudus!
Diruang dalam, setelah melepas kepergian rombongan Pajang, Sunan Kudus memanggil secara pribadi Arya Penangsang diruangan khusus. Disana, hanya ada Sunan Kudus dan beberapa prajurid khusus yang terpercaya, termasuk Patih Matahun.
Sunan Kudus memarahi Arya Penangsang atas segala tindakan bodoh yang telah dilakukannya. Arya Penangsang menyela, meminta penjelasan dimanakah letak kebodohannya. Bukankah malah Sunan Kudus yang melerai disaat dia sudah berhadapan dengan Adipati Adiwijaya?
Dengan suara tinggi, Sunan Kudus berkata :
“Siapakah yang telah menduduki kursi yang telah aku isi doa-doa khusus?”
Seketika Arya Penangsang terdiam.
“Lantas, apakah kamu tidak menyadari tadi, saat aku melerai kalian, tangan kanan Adiwijaya aku pegang erat, sedangkan tangan kanan kamu aku biarkan bergerak bebas? Ingat-ingat lagi! Aku memegang tangan kanan Adiwijaya yang tengah menggenggam Kyai Carubuk, sedangkan tangan kanan kamu yang tengah menggenggam Kyai Brongot aku biarkan bebas!”
Arya penangsang tetap terdiam.
“Lantas, apa yang aku katakan kepadamu?”
Arya Penangsang mengerutan dahinya, mencoba mengingat…
“Aku berkata ‘SARUNGKAN KERISMU’ sampai tiga kali. Kamu tahu maksudku yang sebenarnya? ”
Arya Penangsang menatap Sunan Kudus, mulai sedikit memahami..
“Maksudku ‘SARUNGKAN KERISMU KEDADA ADIWIJAYA, BUKAN KE WARANGKANYA’!! Kamu saja yang terlampau bodoh, sehingga tidak memahami kata-kata isyarat yang aku ucapkan. Kamu telah menyia-nyiakan kesempatan kamu memusnahkan salah seorang manusia penentang ajaran mulia !!”
Arya Penangsang menggeram menyadari kebodohannya sendiri! Serta merta dia menyembah dan berkata :
“Sebelum rombongan Adiwijaya jauh, tidak ada salahnya saya mengejar dan menghabisinya sekarang!!”
Sunan Kudus menatap tajam Arya Penangsang :
“Ini bukan saat yang tepat menyerang rombongan Pajang dimana banyak berkumpul para tamu undangan di Kudus. Asal kamu tahu, kecuali aku dan kamu, tidak akan ada yang mampu menghadapi kesaktian Adiwijaya. Dia memiliki pegangan ilmu kanuragan warisan Buda Majapahit. Sangat riskan jika aku terjun sendiri. Tidak pantas bagiku berhadapan dengan anak kemarin sore seperti dia. Sedangkan kamu, saat ini hanya akan menjadi boneka mainan jika berhadapan dengan dia, karena seluruh ilmu kanuragan yang kamu miliki telah lumpuh!!”
Dada Arya Penangsang terasa panas dan sesak mendengar penuturan Sunan Kudus!
“Lantas bagaimana Bapa Sunan?”
“Selama tiga bulan berselang, mulai bulan Muharram ini, kamu harus berpuasa terus-menerus! Genap tiga bulan, seluruh hizib dan asma’ yang kamu miliki akan kembali pulih dan berfungsi. Setelah itu, aku akan mencari jalan lain untuk menghadapi Adiwijayai!!”
Arya Penangsang lemas mendengarnya.
Dan Sunan Kudus berlalu kedalam sembari hanya mengucapkan salam.
Permintaan Ratu Kalinyamat.
Rombongan Pajang yang pulang lebih awal dari jadwal semula nampak keluar dari kota Kudus. Disepanjang jalan, seluruh prajurid yang ikut dalam rombongan, senantiasa mempertajam kewaspadaan mereka. Kejadian yang pernah menimpa rombongan Ratu Kalinyamat dulu, membuat mereka lebih siaga dan tidak mau kecolongan.
Disepanjang perjalanan, banyak mata yang memperhatikan mereka dengan tatapan penuh tanda tanya. Acara peringatan Tahun Baru Islam di Kudus belum juga dilaksanakan, namun rombongan dari Pajang nampak malah pulang lebih awal. Ada apa gerangan?
Ketika belum terlampau jauh dari kota Kudus, mendadak Adipati Adiwijaya memerintahkan rombongan berhenti. Perintah yang mendadak ini sedikit mengejutkan seluruh prajurid yang ikut dalam rombongan, tak terkecuali Ki Ageng Pemanahan dan Ki Juru Mertani. Namun, setelah menyadari jika Sang Adipati hanya sekedar ingin beristirahat, ketegangan-pun mencair.
Nampak, Adipati Adiwijaya turun dari atas punggung gajah tunggangannya. Beberapa prajurid yang bertugas mengiringi disamping binatang tunggangan bertubuh besar tersebut tanggap dan segera membantu.
Melihat Sang Adipati turun, serentak seluruh rombongan-pun ikut turun dari punggung kuda masing-masing.
Daerah mana tempat mereka berhenti memang sangat memungkinkan untuk dijadikan tempat istirahat sejenak. Disamping tempatnya yang landai, rimbunnya pepohonan raksasa yang tumbuh disepanjang jalan, membuat tempat tersebut terasa sejuk menyegarkan.
Bergegas Ki Ageng Pemanahan memerintahkan beberapa prajurid mendirikan tenda darurat sebagai tempat berteduh dan beristirahat bagi Sang Adipati. Enam orang prajurid bekerja cekatan, sebentar saja telah berdiri tenda sederhana namun megah. Permadani-pun segera dihamparkan didalam tenda.
Adipati Adiwijaya berkenan duduk diatas permadani tersebut. Suasana yang segar. Para prajurid memanfaatkan kesempatan tersebut untuk beristirahat sejanak. Masing-masing memilih tempat yang rindang. Berpencar walau tetap tidak jauh dari tenda Sang Adipati.
Ki Ageng Pamanahan dan Ki Juru Mertani menghadap. Keduanya duduk bersila didepan Adipati Adiwijaya. Nampak dari kejauhan, ketiga priyayi Pajang ini tengah berbincang-bincang serius.
Sejurus kemudian, terlihat Ki Ageng Pamanahan memanggil seorang prajurid. Ki Ageng Pamanahan memerintahkan sesuatu. Prajurid yang dipanggil bergegas menghampiri beberapa temannya yang lain, dia nampak memilih-milih, ada sekitar sepuluh orang yang dia pilih. Lantas mereka menghilang sejenak dibalik gerombol pepohonan dan kembali lagi dengan pakaian yang sudah berganti. Mereka semua melepas pakaian keprajuridan, dan kini telah berganti dengan pakaian rakyat biasa.
Ditempat lain, Adipati Adiwijaya diam-diam juga telah berganti pakaian. Begitu juga dengan Ki Ageng Pamanahan. Namun anehnya, pakaian kebesaran Sang Adipati, kini malah dikenakan oleh Ki Juru Mertani.
Banyak prajurid yang bertanya-tanya. Namun dari bisik-bisik satu teman ke teman yang lain, mereka jadi tahu jika Adipati Adiwijaya diikuti oleh Ki Ageng Pamanahan dan sepuluh prajurid yang terpilih, hendak menuju ke Gunung Danaraja untuk menemui Ratu Kalinyamat yang tengah bertapa telanjang. Mereka semua sengaja menyamar sebagai rakyat biasa agar tidak menimbulkan kecurigaan dari mata-mata Jipang Panolan yang mungkin tengah memperhatikan rombongan mereka.
Adipati Adiwijaya, Ki Ageng Pemanahan dan kesepuluh prajurid yang kini telah berganti busana, terlihat berangkat meninggalkan rombongan. Kedua belas orang yang telah menyamar ini memacu kuda memisahkan diri dari dari rombongan dan memilih jalan yang menuju ke Jepara.
Agak lama berselang, Ki Juru Mertani segera memerintahkan seluruh rombongan siap-siap berangkat. Ki Juru Mertani dibantu dua orang prajurid, segera menaiki punggung gajah milik Sang Adipati.
Rombongan Pajang yang kini dipimpin oleh Ki Juru Mertani, berangkat dan memilih jalan ke arah Pajang.
Adipati Adiwijaya, Ki Ageng Pamanahan berikut sepuluh orang prajurid yang kini telah menyamar sebagai rakyat biasa terlihat memacu kuda dengan kecepatan sedang. Mereka tengah menyamar sebagai para pedagang keliling.
Akhirnya, sampailah juga kedua belas orang ini ke kota Jepara. Adipati Adiwijaya segera mencari letak Gunung Danaraja. Sesuai petunjuk yang diberikan oleh prajurid Pajang yang sempat pulang ke Pajang untuk mengambil perbekalan makanan dan berbagai keperluan bagi Ratu Kalinyamat beserta seluruh yang mengawal dan melayaninya, Adipati Adiwijaya-pun akhirnya berhasil menemukan lokasi gua tempat dimana Ratu Kalinyamat tengah menjalani tapa telanjang-nya.
Kedatangan kedua belas orang berkuda ini menimbulkan kecurigaan dari beberapa prajurid Pajang yang bertugas menjaga mulut gua. Mereka yang tengah bersembunyi ditempat-tempat strategis dibeberapa sudut tersembunyi mulut gua, segera mempersiapkan diri. Sang pemimpin pasukan memberikan isyarat agar memasang anak panah pada busurnya. Anak panah telah terpasang, busur telah diangkat dan direntangkan, siap menunggu isyarat untuk dibidikkan!!
Namun sang pemimpin prajurid memekik tertahan manakala tanpa sengaja mengenali dua orang penunggang kuda yang tengah memacu kuda dibarisan depan. Seketika itu juga, dia memberikan isyarat agar menurunkan busur panah. Dia segera keluar dari tempat persembunyian diiringi empat prajurid yang lain.
Menyadari kedatangannya telah disambut sedemikian rupa, Adipati Adiwijaya beserta rombongan terus memacu kuda lebih kencang kearah atas. Ketika jarak antara prajurid berkuda dan kelima orang yang telah menyambut sedemikian dekat, Adipati Adiwijaya segera menghentikan laju kudanya.
Kelima orang prajurid Pajang yang menyambut rombongan menghaturkan sembah hormat. Adipati Adiwijaya segera memerintahkan agar secepatnya seluruh prajurid mencari tempat yang tersembunyi untuk menaruh kuda masing-masing.
Diiringi Ki Ageng Pamanahan dan dihantar pemimpin prajurid penjaga, Adipati Adiwijaya segera memasuki gua. Sang pemimpin prajurid memanggil seorang pelayan wanita. Sang pelayan memekik gembira melihat kehadiran Adipati Adiwijaya dan Ki Ageng Pamanahan. Beberapa pelayan yang lain segera menyadari akan hal itu, mereka semua segera mendekat dan menghaturkan sembah.
Adipati Adiwijaya memerintahkan seorang pelayan wanita untuk menghadap Ratu Kalinyamat, mengabarkan kedatangannya. Seorang pelayan wanita tergopoh-gopoh memasuki salah satu relung gua. Sejenak kemudian keluar dan menghadap kembali kepada Adipati Adiwijaya. Sembari menyembah dia berkata :
“Kasinggihan dhawuh, Kangjeng. Kangjeng Ratu Ayu Kalinyamat meminta Kangjeng masuk ke dalam. Hanya Kangjeng seorang, tidak boleh ditemani oleh siapapun.”
Adipati Adiwijaya mengangguk. Kemudian berjalan kearah relung gua seorang diri.
Didalam, beberapa pelita terpasang didinding-dinding gua. Ruang itu cukup luas juga. Disana, merapat ke dinding gua, terlihat agak samar, sesosok wanita cantik dengan tubuh sempurna dan rambut panjang terurai, tengah duduk bersila. Dan yang membuat Adipati Adiwijaya segera menundukkan muka, karena menyadari, sosok wanita cantik itu benar-benar telanjang bulat tanpa busana.
Untung, kondisi ruangan yang cukup gelap dan hanya diterangi beberapa pelita, sedikit menyamarkan perwujudan telanjang tersebut. Namun walau bagaimanapun juga, jika mau melihat secara seksama, Adipati Adiwijaya sebetulnya bisa melihat tubuh itu secara utuh.
Dengan menundukkan wajah, Adipati Adiwijaya memberikan sembah. Dan sosok wanita cantik yang tengah bersila itu-pun membalas sembah Adipati Adiwijaya. Setelah berbasa-basi menanyakan kabar keselamatan masing-masing, Adipati Adiwijaya, sembari tetap menundukkan wajah-pun berkata :
“Kakangmbok Ratu Ayu, seyogyanya kakangmbok Ratu berkenan mengenakai kemben. Sangat-sangat segan hati saya jikalau harus berbincang-bincang dengan kakangmbok sedangkan kakangmbok dalam keadaan telanjang bulat sedemikian rupa…”
Dari balik geiaian rambut panjangnya, Ratu Kalinyamat tersenyum manis..
“Maafkan aku dhimas, aku terpaksa tidak bisa memenuhi permintaanmu. Biarlah, selain almarhum kangmas Sunan Kalinyamat, cukup kamu saja laki-laki yang melihat aku dalam keadaan tanpa busana seperti ini. Sudah menjadi sumpahku, tidak sudi aku mengenakan busana lagi, jikalau Hyang Maha Agung, belum memberikan keadilan kepada Arya Penangsang, pembunuh kakangmas Prawata dan kangmas Sunan Kalinyamat!”
Adipati Adiwijaya menghela nafas berat.
“Kakangmbok Ratu Ayu, sangat prihatin saya melihat keadaan kakangmbok. Sampai kapan terus telanjang tanpa busana. Selain tabu didengar orang banyak, sekali lagi, saya juga sangat merasa segan dan rikuh jika harus kemari dan tetap melihat kakangmbok seperti ini.”
Ratu Kalinyamat diam sejenak, lantas mendesis lirih dan berkata :
“Dhimas, seharusnya aku yang mempertanyakan hal ini kepadamu. Tidakkah kamu kasihan, tidakkah kamu iba melihat aku? Melihat penderitaanku? Melihat ketidak adilan yang menimpaku?”
Adipati Adiwijaya terdiam. Lantas membuka suara :
“Jangan salah sangka kakangmbok. Saya dan Nimas Sekaring Kedhaton senantiasa memikirkan keadaan kakangmbok Ratu Ayu disini. Saya juga terus menimbang-nimbang bagaimana cara terbaik untuk menyingkirkan Arya Penangsang. Namun, kondisi diluar tidaklah memungkinkan bagi saya berhadapan langsung dengan Arya Penangsang secara terbuka. Bapa Sunan Kudus berada dibelakang Arya Penangsang. Bapa Sunan Kudus sangat berpengaruh dalam Dewan Wali Sangha. Kakangmbok tahu sendiri itu. Sangat mudah bagi Bapa Sunan Kudus mempengaruhi keputusan Dewan Wali Sangha. Jika sampai Pajang berhadapan secara frontal dengan Jipang, bukan tidak mungkin, Bapa Sunan Kudus, melalui Dewan Wali Sangha akan memerintahkan Cirebon dan Banten bergabung dengan Jipang menghadapi orang-orang yang dinilai kafir seperti saya!”
Adipati Adiwijaya diam sejenak, lantas melanjutkan kata-katanya :
“Sungguh, secara pribadi, saya sendiri juga sudah tidak tahan melihat kelakuan Arya Penangsang. Hampir saja saya bentrok secara langsung dengan dia. Hampir saja saya tidak bisa menahan diri…”
Dan Adipati Adiwijaya menceritakan pertemuannya dengan Arya Penangsang di pesantren Kudus.
“Hyang Widdhi Wasa masih berkenan mencegah saya berhadapan langsung dengan Arya Penangsang.”
Terdengar helaan nafas lembut dari bibir Ratu Kalinyamat, lalu dia berkata :
“Dengar dhimas. Jika kamu benar-benar dapat menyingkirkan Arya Penangsang, aku bersumpah, disaksikan Hyang Maha Agung, disaksikan langit dan bumi, semoga aku akan menuai kutuk jika aku mengingkari sumpah ini. Dengarkan! JIKA KAMU MAMPU MENYINGKIRKAN ARYA PENANGSANG, MAKA TAHTA DEMAK BINTARA AKAN AKU LIMPAHKAN KEPADAMU!”
Adipati Adiwijaya mengangkat wajahnya. Dilihatnya, dari balik geraian rambut panjangnya, sorot mata Ratu Kalinyamat berkilat-kilat, tengah menatap wajah Adipati Adiwijaya.
“Bahkan, jikalau peraturan hukum jaman Buda masih berlaku luas dimasyarakat Jawa, dimana seorang laki-laki boleh memadu dua orang wanita kakak beradik sekaligus, maka sungguh aku-pun rela lahir batin kamu nikahi sebagai madu dari adikku Nimas Sekaring Kedhaton. Namun, hal itu tidak mungkin bisa diterima kebanyakan masyarakat Jawa sekarang. Oleh karena itu, kamu boleh memilih selir-selir milik almarhum kangmas Sunan Kalinyamat dan almarhum kangmas Prawata yang engkau sukai untuk kamu nikahi!”
Adipati Adiwijaya terdiam. Kesungguhan kata-kata Ratu Kalinyamat terpancar dari wajah ayunya. Sengaja, rambut panjangnya yang tergerai, disibak kesamping sedikit, sehingga payudara Sang Ratu-pun terlihat. Dada Adipati Adiwijaya berdesir melihatnya, cepat-cepat dia menundukkan wajah kembali..
“Tapi ingat, dhimas! Satu permintaanku, jika kamu berhasil mengalahkan Arya Penangsang, dan tahta Demak Bintara telah kamu pegang, aku minta, janganlah kamu mendirikan Kerajaan Buda. Biarlah kamu tetap meneruskan sebuah pemerintahan berbentuk Kesultanan Islam. Biarlah gelarmu dikenal orang sebagai seorang Sultan, bukan seorang Prabhu!”
Keheningan menyergap seketika. Dan Adipati Adiwijaya semakin terperangah manakala melihat Ratu Kalinyamat menyibak seluruhnya geraian rambut panjang yang menutupi tubuh bagian depannya. Kini, tampak jelas didepan mata Adipati Adiwijaya, tubuh polos Sang Ratu tanpa ditutupi oleh apapun juga. Mendadak dada Adipati Adiwijaya terasa sesak.
“Inilah tanda kesungguhanku,” bisik Ratu Kalinyamat sembari tersenyum..
Dengan menarik nafas berat, Adipati Adiwijaya menyembah hormat dan berkata :
“Baiklah kakangmbok Ratu Ayu. Saya berjanji akan mencari jalan yang terbaik untuk menyingkirkan Arya Penangsang. Dan jika hal itu berhasil atas waranugraha Hyang Widdhi, saya berjanji, akan memakai gelar Sultan, bukan Prabhu!”
Dan Adipati Adiwijaya-pun memohon diri untuk keluar ruangan. Dan Ratu Kalinyamat-pun menghaturkan terima kasihnya.
Malam itu, Sang Adipati bermalam di Gunung Danaraja. Dengan didampingi Ki Ageng Pamanahan, Adipati Adiwijaya membahas rencana yang tepat untuk memenuhi permintaan Ratu Kalinyamat. Ki Ageng Pamanahan mengusulkan, agar Sang Adipati mempercayakan hal ini kepada Ki Juru Mertani.
Ki Juru Mertani adalah sosok yang cerdik dan bisa diandalkan dalam memberikan pemecahan dan cara yang terbaik disaat semua jalan dirasa buntu.
Keesokan harinya, setelah berpamitan kepada Ratu Kalinyamat, Adipati Adiwijaya beserta Ki Ageng Pamanahan dan sepuluh prajurid yang mengiringinya, meninggalkan Gunung Danaraja bertolak ke Pajang!
Bagian 6
Setibanya di Pajang, Adipati Adiwijaya beserta rombongan disambut para pejabat dengan suka cita. Tak ada yang kurang dari jumlah rombongan, Semua dalam kondisi baik dan selamat.
Adipati Adiwijaya berkenan untuk beristirahat setelah menempuh perjalanan jauh. Pada sore harinya, Adipati Adiwijaya memanggil Ki Mas Manca, Ki Mas Wila, Ki Mas Wuragil, Ki Ageng Pamanahan berikut Ki Juru Mertani.
Diruang khusus, dan tidak ada orang lain yang hadir selain keenam orang tersebut, Adipati Adiwijaya menyampaikan maksudnya. Sang Adipati berkenan meminta pemecahan mengenai kasus Arya Penangsang.
Arya Penangsang tidak bisa terus menerus didiamkan saja. Harus ada pihak yang berani bertindak. Dan tampaknya, hanya Pajang yang mampu menghadapi kekuatan Jipang.
Yang menjadi masalah, posisi Pajang sangatlah terjepit. Pajang dipimpin oleh seorang Adipati yang bukan muslim. Dan tentu saja fenomena ini akan membuat Dewan Wali Sangha tidak menaruh simpatik.
Searogan apapun Arya Penangsang, sekejam apapun dia, namun dia telah memegang dua point penting sebagai sendi kekuatannya. Pertama, jelas dia seorang muslim, kedua, Sunan Kudus berada dibelakang dia.
Oleh karenanya, Adipati Adiwijaya meminta pertimbangan dan jalan keluar yang tepat, yang tidak merugikan Pajang, namun bisa menghancurkan kekuatan Jipang.
Ki Mas Manca mengusulkan agar Sang Adipati tidak gegabah berhadapan secara langsung dengan Arya Penangsang. Ki Mas Manca telah mendengar kabar bahwa di pesantren Kudus, Sang Adipati hampir saja kehilangan kontrol diri. Jika memang hendak berhadapan dengan Arya Penangsang, lebih baik menggunakan kekuatan ketiga.
Ki Mas Wila dan Ki Mas Wuragil membenarkan pendapat Ki Mas Manca. Begitu juga dengan Ki Ageng Pamanahan dan Ki Juru Mertani. Yang menjadi masalah sekarang, siapakah kekuatan ketiga yang bisa dijadikan alat untuk memukul Jipang?
Seluruh yang hadir terdiam. Masing-masing tengah memeras otak.
Lantas, Ki Ageng Pamanahan angkat bicara sembari menyembah :
“Mohon beribu ampun, Kangjeng Adipati. Jika diperbolehkan hamba akan memberikan masukan…”
Adipati Adiwijaya mengangguk…
“ Menurut saya,” lanjut Ki Ageng Pamanahan, ”Tidak ada lagi kekuatan dahsyat yang mampu menghadapi Jipang kecuali kekuatan Pajang. Tak ada jalan lain, tak ada kekuatan lain yang akan sanggup melakukannya. Oleh karenanya, kita tidak bisa mengharapkan daerah lain tampil secara mandiri berhadapan dengan Jipang.”
Semua yang hadir mengerutkan dahi mendengarnya…
“Mau tidak mau, pasukan Pajang sendiri harus bergerak! Namun….”
Semua yang hadir menunggu…
“Sebaiknya, pasukan Pajang harus melepas busana keprajuridan Pajang. Pasukan Pajang harus melepas identitasnya sebagai pasukan Pajang. Harus ada daerah lain yang berani tampil kedepan untuk mengakui bahwa, pasukan Pajang yang tengah bergerak menggempur Jipang, berasal dari daerahnya. Jika kelak terjadi perang terbuka, menang atau kalah, maka Pajang tidak akan terbawa-bawa!”
Tertegunlah seluruh yang hadir…
Ki Mas Manca angkat bicara :
“ Pamanahan, lantas daerah manakah yang dimungkinkan untuk berani tampil mengakui seperti itu?”
Ki Ageng Pamanahan menyembah :
“Kalau memang diijinkan, biarlah hamba dan paman saya, Ki Juru Mertani yang akan tampil kedepan. Biarlah kami atas nama daerah Sela, memimpin pasukan Pajang melakukan perang terbuka dengan Jipang Panolan. Biarlah terdengar kabar, Jipang Panolan tengah berperang dengan Sela!”
Seluruh yang hadir menghela nafas berat. Suasana hening untuk beberapa saat.
Ki Mas Manca kemudian angkat bicara :
“Daerah Sela identik dengan Kangjeng Sunan Kalijaga….”
Adipati Adiwijaya memincingkan mata mendengarnya…
“Dan Jipang Panolan identik dengan Kangjeng Sunan Kudus,” lanjut Ki Mas Manca.
“Dan akan menjadi sebuah berita yang besar manakala Dewan Wali Sangha mendengarnya, bukankah begitu kangmas Manca?” Sela Adipati Adiwijawa datar.
Ki Mas Manca menyembah sesaat :
“Benar dhimas Adipati. Dan jika itu terjadi, tidak menutup kemungkinan, Dewan Wali Sangha akan campur tangan untuk memaksa kedua belah pihak agar melakukan genjatan senjata.”
Adipati Adiwijaya menghela nafas sekali lagi…
Nampak kini, Ki Juru Mertani menghaturkan sembah…
“Mohon beribu ampun, Kangjeng Adipati. Jika boleh saya hendak menghaturkan pendapat..”
Adipati Adiwijaya mengangguk mempersilakan..
“Sebaiknya Kangjeng Adipati mengeluarkan sayembara khusus secara terselubung kepada para penguasa daerah yang berada dibawah kekuasan Pajang. Mohon sayembara ditawarkan kepada penguasa yang jelas-jelas telah nyata kesetiaannya kepada Pajang. Hindari penguasa daerah yang masih diragukan kesetiaannya. Dari sekian banyak para penguasa daerah yang ditawari sayembara, pastilah ada yang akan berani tampil untuk memimpin pasukan Pajang dengan menggunakan identitas daerahnya. Jikalau memang tidak ada yang berani, maka terpaksa, saya beserta keponakan saya, Pamanahan, akan tampil kedepan dengan mempertaruhkan nama Sela! Saya berjanji, saya akan memotong kepala harimau terlebih dahulu agar peperangan tidak berjalan berlarut-larut. Arya Penangsang, saya pastikan harus tewas terbunuh terlebih dahulu. Sehingga jika kemudian Dewan Wali Sangha ikut campur memaksakan agar terjadi gencatan senjata, maka disaat gencatan senjata terjadi, Arya Penangsang harus telah mati!!”
Ki Mas Manca meragukan kata-kata Ki Juru Mertani…
“Juru Mertani, yakinkah kamu dengan ucapanmu?”
Ki Juru Mertani menyembah :
“Dengan taktik yang bakal hamba buat, untuk memperdaya Arya Penangsang, agar keluar sarang sendirian, saya yakin, saya pasti bisa memenuhi ucapan saya, Kangjeng Patih..”
Ki Mas Manca mengangguk-angguk, lantas dia menoleh ke arah Adipati Adiwijaya :
“Bagaimana, dhimas Adipati?”
Adipati Adiwijaya tercenung sesaat, lantas dia berkata :
“Baiklah, tapi hal tersebut dilakukan jika memang nanti tidak ada satupun daerah yang berani memasuki sayembara. Oleh karenanya, aku akan memberikan imbalan besar. Yaitu, siapa saja yang berani mengakui pasukan yang bakal menggempur Jipang berasal dari daerahnya dan berhasil mematahkan kekuatan Jipang, maka aku akan memberikan hutan Mentaok dan daerah Pati sebagai imbalannya!”
Keputusan telah diambil. Tidak menunggu waktu lama, atas perintah Adipati Adiwijaya, Ki Mas Manca segera memerintahkan Juru Tulis Kadipaten untuk membuat surat-surat undangan resmi. Surat-surat undangan yang bakal dikirim kepada para penguasa daerah yang berada diwilayah kekuasaan Kadipaten Pajang. Pada hari yang telah ditentukan, mereka harus datang ke Kadipaten Pajang atas perintah Adipati Adiwijaya.
Sayembara Adipati Pajang.
Tiga bulan kemudian, beberapa hari sebelum hari yang telah ditetapkan dalam surat undangan resmi, berdatanganlah para penguasa daerah yang ada diseluruh wilayah Kadipaten Pajang. Mereka datang berkelompok, tidak bersamaan, gelombang pergelombang. Tidak ada yang mencolok. Karena memang begitulah pesan yang dituliskan dalam surat undangan dari Sang Adipati.
Dan pada hari yang ditetapkan, seluruh penguasa daerah telah berkumpul di Siti Hinggil Kadipaten. Lama waktu berselang, mereka semua menunggu kehadiran Sang Adipati ditempat itu. Beberapa saat kemudian, muncullah Adipati Adiwijaya diiringi Ki Mas Manca dan kepala pengawal pasukan khusus Ki Ageng Pamanahan dan Ki Juru Mertani, berikut beberapa prajurid khusaus yang mengawal.
Didepan para penguasa daerah, Adipati Adiwijaya meminta Ki Mas Manca membacakan sayembara. Seusai sayembara dibaca, suasana mendadak hening. Tak ada yang berani bersuara. Melihat situasi menjadi sepi dan tegang, Adipati Adiwijaya angkat bicara, dia mempertegas isi sayembara dengan menantang, siapa yang berani tampil kedepan, yang akan memimpin pasukan Pajang, dengan menggunakan identitas dari daerahnya?
Suasana sepi tidak juga mencair. Hingga kemudian, seorang penguasa daerah, terlihat menyembah dan berkata :
“Kasinggihan dhawuh, Kangjeng. Ijinkan saya mengutarakan kebimbangan saya, yang mungkin juga mewakili kebimbangan hati dari seluruh teman-teman yang hadir disini. Kangjeng, jika kami semua diperintahkan angkat senjata menggempur Jipang atas nama pasukan Pajang, sudah barang tentu, kami tidak akan banyak berfikir panjang, jiwa raga kami akan kami pasrahkan untuk itu. Namun, manakala kami harus menggempur Jipang atas nama daerah kami, mohon maaf, Kangjeng. Jika nanti benar-benar terjadi hal tersebut, kami tidak berani menanggung resiko dengan mengorbankan kerabat kami yang ada didaerah. Kaum Putihan terkenal radikal dan bisa berbuat ngawur atas nama agama. Mohon Kangjeng memaklumi.”
Adipati Adiwijaya menghela nafas. Kata-kata yang terucap barusan memang ada benarnya. Karena tidak ada juga yang berani memasuki sayembara, maka Adipati Adiwijaya-pun menutup pertemuan tersebut. Sebelum menutup pertemuan, Sang Adipati meminta pengiriman pasukan dari semua daerah untuk memperkuat barisan pasukan Pajang. Perintah yang terakhir ini, disambut dengan suka cita tanpa keraguan sedikit-pun oleh semua penguasa daerah.
Mendapati sayembara yang dipermaklumatkan tidak ada yang memasuki, maka hari itu juga, Adipati Adiwijaya mengutus Ki Ageng Pamanahan dan Ki Juru Mertani untuk menjalankan rencana lain yang pernah mereka tawarkan. Ki Ageng Pamanahan dan Ki Juru Mertani, segera menjalankan perintah!
Angkatan bersenjata Pajang segera mempersiapkan diri untuk menghadapi sebuah perang besar. Mereka dikoordinir dibawah pimpinan penuh Ki Ageng Pamanahan! Sembari menunggu bantuan pasukan dari daerah, Ki Ageng Pamanahan dan Ki Juru Mertani mematangkan rencana yang telah mereka buat sebelumnya.
Atas saran Ki Juru Mertani, Ki Ageng Pamanahan diminta untuk menguasahakan agar Tombak Pusaka Kyai Plered, bisa mereka pinjam. Karena hanya dengan tombak pusaka peninggalan Majapahit tersebut, kulit Arya Penangsang bisa dilukai. Hanya saja, tombak tersebut sedemikian berharga bagi Adipati Adiwijaya dan tidak akan mungkin dipinjamkan begitu saja kecuali kepada orang yang benar-benar dipercayai oleh Sang Adipati. Maka terpaksa, Ki Ageng Pamanahan, atas saran Ki Juru Mertani, meminta agar Danang Sutawijaya, putranya yang kiini telah diambil anak angkat oleh Adipati Adiwijaya, diminta untuk ikut memperkuat barisan.
Adipati Adiwijaya tidak paham atas permintaan ini, selain Danang Sutawijaya masih kecil, tidak ada kelebihan Danang Sutawijaya yang bisa dimanfaatkan untuk memperkuat barisan Pajang. Namun, dengan cerdiknya, Ki Ageng Pamanahan meyakinkan Adipati Adiwijaya, bahwa mengajak Danang Sutawijaya untuk memperkuat barisan Pajang adalah salah satu dari tak-tik yang hendak dijalankan. Pada akhirnya, Adipati Adiwijaya menyetujui. Bahkan manakala Ki Ageng Pamanahan memohon agar Danang Sutawijaya diperkenankan membawa tombak pusaka Kyai Plered, Sang Adipati-pun tidak bisa menolaknya.
Setelah bantuan pasukan dari daerah telah sepenuhnya datang, maka pasukan segera berangkat. Tujuan awal adalah daerah Sela. Daerah asal Ki Ageng Pamanahan. Disana, seluruh pasukan akan diatur sedemikian rupa. Sela menjadi pusat konsentrasi pasukan Pajang. Dan nanti, identitas seluruh pasukan akan berganti menjadi pasukan Sela! Akan dikabarkan, bahwa pengikut Islam Abangan, bergabung di Sela untuk memerangi Jipang Panolan dibawah pimpinan Ki Ageng Pamanahan, keturunan Ki Ageng Sela! Nama Pajang, tidak sedikit-pun dibawa-bawa!
Pasukan segera berangkat berkelompok menuju Sela. Dengan berpakaian rakyat biasa serta menyembunyikan seluruh persenjataan didalam bilah bambu, maka kelompok demi kelompok, secara terpisah-pisah waktu, agar supaya tidak mencolok dan menimbulkan kecurigaan, berangkatlah seluruh pasukan Pajang.
Pergerakan pasukan ini benar-benar tersamarkan. Susul menyusul rapih dan teratur. Dan pada akhirnya, beribu-ribu pasukan pun kini telah berkumpul di Sela!
Rencana segera dimatangkan di Sela. Seluruh pasukan mengenakan tanda khusus yang disematkan dibaju mereka. Dengan pakaian rakyat biasa, layaknya para gerilyawan Majapahit, pasukan Pajang yang kini mengaku diri mereka sebagai pasukan Sela, telah siap untuk bertempur!!
Pada hari yang telah ditentukan, menjelang malam hari, pasukan-pun bergerak. Pasukan dipecah dalam empat kelompok besar. Sengaja pasukan dipecah demi untuk kembali menyamarkan diri. Disuatu titik, yaitu diperbatasan wilayah Jipang yang berwujud sungai, disanalah nanti, keempat kelompok pasukan harus kembali bertemu.
Setiap kelompok pasukan menempuh rute-rute khusus. Rute-rute yang menghindari daerah-daerah padat penduduk. Beberapa hari kemudian, seluruh kelompok telah bersatu kembali ditempat yang telah disepakati bersama.
Seluruh pasukan segera mempersiapkan diri, senjata-senjata dikeluarkan dari bilah bambu, anak panah dibagi-bagikan, pos-pos prajurid darurat ditetapkan dan segera ditempati oleh mereka-mereka yang ditunjuk untuk itu. Gerakan rahasia ini begitu rapi, sebentar saja, persiapan untuk sebuah perang besar, telah tertata!! Pasukan Pajang siap melumat Jipang panolan hari itu juga!!
Seluruh prajurid kini menunggu komando selanjutnya.
Dititik yang lebih tersembunyi, terlindung dibalik gerombol pepohonan lebat, Ki Ageng Pamanahan dan Ki Juru Mertani tengah menunggu saat yang tepat. Nampak Danang Sutawijaya, putra Ki Ageng Pamanahan, putra angkat Adipati Pajang Adiwijaya telah mempersiapkan diri menjalankan tugas. Dia berdiri disamping kuda putih yang nanti harus ditungganginya. Sebatang tombak panjang, dengan ujung tertutup kain putih dan rangkaian bunga melati tergantung disana, tergenggam erat ditangan kecil Danang Sutawijaya. Itulah tombak pusaka Kyai Plered yang terkenal ampuh!
(Kyai Plered konon diperoleh Syeh Maulana Maghribi, seorang wali Islam jaman Majapahit setelah dia berhasil melakukan tapa brata keras dipantai Parang Tritis, Jogjakarta, sekarang. Tombak ini lantas diberikan kepada Ki Ageng Tarub I atau Kidang Telangkas. Lantas diwariskan kepada Raden Bondhan Kejawen, putra Prabhu Brawijaya V dengan Dewi Wandhan Kuning yang lantas bergelar Ki Ageng Tarub II. Diwariskan kemudian kepada Ki Getas Pandhawa, putra Raden Bondhan Kejawen. Lantas di serahkan kepada Ki Ageng Sela, putra Ki Getas Pandhawa. Manakala berada ditangan Ki Ageng Sela, tombak dititipkan kepada Sunan Kalijaga. Lantas oleh Sunan Kalijaga, dititipkan kepada Jaka Tingkir, Adipati Pajang hingga saat ini. Maka sesungguhnya, tombak Kyai Plered memang milik leluhur Danang Sutawijaya. Karena Ki Ageng Sela lantas berputra Ki Ageng Ngenis, Ki Ageng Ngenis berputra Ki Ageng Pamanahan, dan Ki Ageng Pamanahan berputra Danang Sutawijaya, Jika ada yang bertanya mengapa silsilah keturunan Tarub jika disejajarkan dengan keturunan Pengging maka lebih cepat beranak pinak? Hal ini tidaklah aneh. Dimasyarakat Jawa sekarang-pun kadang pemuda berusia 20 tahun sudah dipanggil kakek karena kakak kandungnya telah memiliki cucu. Hal ini disebabkan jarak lahir mereka terpaut jauh beberapa tahun. Begitu pula dengan trah Tarub dan Pengging, bila ditarik garis lurus keatas, maka Ki Ageng Sela adalah cicit Brawijaya V sejajar dengan Jaka Tingkir yang juga merupakan cicit Brawijaya V. Namun, usia Ki Ageng Sela lebih tua dari Jaka Tingkir karena memang Ki Ageng Sela lahir lebih dahulu disebabkan ayah kandungnya, Ki Getas Pandhawa menikah diusia muda, lebih muda daripada Ki Ageng Pengging. Begitu juga ketika Ki Ageng Sela telah berputra Ki Ageng Ngenis, Jaka Tingkir belum menikah. Manakala Ki Ageng Ngenis berputra Ki Ageng Pamanahan, baru Jaka Tingkir menikah diusia yg agak tua. Maka tak heran, putra Ki Ageng Pamanahan, yaitu Danang Sutawijaya, sebaya dengan putra Jaka Tingkir, Pangeran Benawa. Lantas apa yang aneh? Saya membaca komentar yang menggelikan karena mempertanyakan hal ini disebuah catatan saya yang diterbitkan oleh http://apakabar.ws Mengenai kisah Ki Ageng Sela memberontak ke Demak yang terus dia pertanyakan, saya sarankan dia mencari BABAD TANAH JAWA terbitan TB.SADU BUDI, SOLO yang ditulis oleh Ki Wiryapanitra. Dan kepada semua orang yang meragukan kisah saya, jelas mereka tidak pernah mengenal sastra klasik Jawa seperti BABAD TANAH JAWA, DARMA GANDHUL, SERAT KANDHA, BABAD CIREBON, BABAD TUBAN, BABAD PONOROGO, dll. Saya memaklumi keraguan mereka. Yang tidak bisa saya maklumi adalah, kengototan mereka. Jika mereka ngotot meragukan catatan saya, jelas pengetahuan mereka tentang sejarah Jawa yang tertuang dalam naskah-naskah klasik sangat-sangat minim. Yang mereka ketahui hanyalah sejarah Jawa yang bersumber dari pihak mayoritas, pihak pemenang, yang tampaknya juga telah mewarnai dan mempengaruhi kurikulum Sejarah Nasional Indonesia, yang diajarkan dibangku-bangku sekolah. Maka tidak heran jika banyak email masuk bernada tercengang setelah membaca catatan saya. Saya tidak heran, karena selama ini memang mereka dicekoki dengan kisah-kisah yang putih tanpa cela saja. Mereka yang ngotot meragukan catatan saya, secara tidak sadar telah menunjukkan diri mereka adalah korban dari sebuah manipulasi sejarah tetapi tidak menyadarinya. Kepada merekalah memang catatan ini saya buat. Bagi yang sudah terbiasa dengan naskah-naskah sastra klasik Jawa, mereka hanya akan menikmati kisah yang saya tulis ulang dengan gaya penuturan khas saya ini. Mereka hanya akan duduk manis seolah me-replay sebuah film yang pernah mereka lihat bertahun-tahun lalu dan kini diputar kembali. Yang sudah tahu semua cerita yang saya tulis ini, akan duduk menikmati dan berkata,“Yang belum tahu tapi merasa sudah paling tahu dan paling benar, lihat dong kisah klasik ini!” Salam manis bagi teman-teman yang semacam ini. Namun ada pula yang sangat saya sayangkan, yaitu jika ada generasi muda yang sudah tidak tahu, namun tidak mau pula membaca catatan-catatan semacam ini. Sampai kapan kalian akan terus dibodohi? Saya tidak ingin kalian puji hanya karena telah menulis catatan-catatan seperti ini. Tujuan saya tak lain hanya BUKALAH MATA KALIAN! Jika catatan-catatan saya berhasil MEMBUKA MATA KALIAN, saya merasa puas, lebih puas daripada hanya sekedar dipuji-puji! : Damar Shashangka)
Catatan dari Admin Annunaki: Saya dukung kisah klasik yang mas damar ceritakan ulang ini. Semoga bangsa Indonesia khususnya orang JAWA mau membuka mata akan sejarah mereka yang sebenarnya :) Namaste!
Ada yang tampak aneh dari kuda putih yang tali kekangnya tengah dipegang oleh Danang Sutawijaya. Kuda tersebut jelas bukanlah kuda jantan yang biasa dipakai untuk bertempur. Kuda ini jelas kuda betina. Dan tampak semakin aneh lagi, manakala diperhatikan lebih seksama, ekor kuda terlihat diikat keatas pelana sedemikian rupa, sehingga kemaluan kuda betina itu nampak terbuka jelas. Entah apa maksudnya. Ki Juru Mertani yang mempunyai ide seperti itu.
Ki Juru Mertani dan Ki Ageng Pamanahan tengah bersiap-siap mengirimkan seorang utusan yang hendak diutus ke Jipang. Utusan yang membawa surat tantangan perang! Namun, belum juga sang utusan berangkat, nampak dari kejauhan, diseberang sungai, tujuh orang tukang rumput berpakaian bagus terlihat tengah berjalan ditepian sungai sembari membawa keranjang rumput.
Ki Juru Mertani tertegun, pucuk dicinta ulam tiba, dia tahu pasti, ketujuh orang yang tengah terlihat itu tak lain adalah perumput dari istana Jipang Panolan. Mereka pastilah tukang rumput yang tengah bertugas mencarikan rumput untuk makanan kuda kesayangan Arya Penangsang, Kyai Gagak Rimang. Cepat Ki Juru Mertani memerintahkan agar Ki Ageng Pamanahan mempersiapkan diri. Ki Juru Mertani memberikan petunjuk singkat. Ki Ageng Pamanahan mengangguk tanda mengerti dan langsung menaiki punggung kudanya. Sejenak Ki Juru Mertani memberikan petunjuk kepada Kepala Pasukan agar tidak melakukan gerakan apapun tanpa ada perintah darinya. Lalu, dia menaiki punggung seekor kuda.
Tak berapa lama, nampak Ki Juru Mertani dan Ki Ageng Pamanahan terlihat memacu kuda menyeberangi sungai yang dangkal dibawah sana. Melihat kedatangan dua orang yang tidak dikenal, tujuh orang tukang rumput terkejut. Apalagi, terdengar kemudian dua orang itu berteriak memanggil mereka. Seketrika ketujuh perumput ini menghentikan langkah kakinya.
Ki Juru Mertani dan Ki Ageng Pamanahan menghampiri mereka. Begitu jarak sudah sedemikian dekat, keduanya segera turun dari atas pelana kuda masing-masing.
“Kisanak, buat siapakah rumput-rumput ini?” , tanya Ki Juru Mertani.
Salah seorang perumput menjawab :
“Rumput-rumput ini untuk makanan kuda Kangjeng Arya Jipang ( Arya Penangsang maksudnya : Damar Shashangka)!”
Ki Juru Mertani tersenyum. Dia keluarkan sebuah gulungan rontal dari balik bajunya.
“Kisanak, kami memiliki pesan buat junjungan kalian. Maukah kalian menyampaikannya?”
Ketujuh orang saling berpandangan, lalu salah satu dari mereka bertanya :
“Kalian orang mana?”
Ki Ageng Pamanahan menjawab :
“Katakan kepada junjungan kalian, kami berasal dari Sela!”
Ragu ketujuh orang tersebut.
“Siapakah yang mau aku titipi?” , sergah Ki Juru Mertani.
Agak ragu, salah seorang perumput mendekat..
“Baiklah, mana?”
Orang yang baru berkata segera mendekat dengan keranjang rumput yang tetap berada dipundaknya.
Ki Juru Mertani menyerahkan gulungan rontal itu kepada sang perumput. Namun diam-diam, Ki Ageng Pamanahan bergerak kearah belakang sang tukang rumput dengan gerakan pelan.
Begitu gulungan rontal telah diterima dan telah diselipkan dipinggang sang perumput, cepat Ki Ageng Pamanahan mencabut keris dari pinggangnya dan meraih daun telinga sang perumput tersebut. Tak menunggu waktu, disayatnya daun telinga sang penerima rontal hingga putus seketika itu juga!! Jerit kesakitan terdengar diiringi darah yang mengucur! Melihat kejadian itu, keenam perumput yang lain ketakutan dan langsung melarikan diri!!
Perumput yang kehilangan daun telinganya terlihat mengerang-ngerang kesakitan sembari mendekap telinganya yang telah kehilangan cuping. Darah merembes disela-sela jari jemarinya.
Sembari memegang keris, Ki Ageng Pamanahan berkata :
“Katakan kepada Arya Penangsang! Aku, orang Sela menunggu dia disini. Jika dia lelaki sejati, pasti akan datang!”
Sang perumput ketakutan setengah mati melihat Ki Ageng Pamanahan. Cepat dia membalikkan badan dan langsung lari terbirit-birit dengan meninggalkan keranjang rumputnya yang tumpah ditanah!!
Ki Ageng Pamanahan dan Ki Juru Mertani mengawasi sang perumput yang tengah berlari. Begitu sudah tidak terlihat mata, keduanya segera menaiki punggung kuda masing-masing dan kembali menuju barisan semula.
Perang besar akan terjadi sebentar lagi!!
Bagian 7
Siang itu, diruang dalam kedaton Jipang Panolan, tengah berkumpul para pembesar khusus. Pada hari itu, Arya Penangsang tengah mengadakan acara syukuran atas terselesaikannya masa puasa yang telah dijalaninya selama tiga bulan.
Dengan berpakaian kebesaran, Arya Penangsang nampak duduk dengan gagahnya dikursi indah. Bunyi gamelan mengalun mengiringi perjamuan tersebut. Di bawah, di lantai pualam yang putih bersih, para bangsawan nampak duduk bersila, berjajar dengan mengenakan pakaian kebesaran masing-masing.
Posisi duduk mereka berjajar, memanjang lurus. Ada dua kelompok barisan. Memanjang disebelah kiri dan kanan. Ditengah-tengah kedua barisan ini, tertata rapi hidangan syukuran. Beberapa daging panggang, lauk pauk, nasi tumpeng dan buah-buahan beraneka macam, tersaji disana.
Menjelang acara dimulai, gamelan mendadak berhenti. Patih Matahun yang duduk disebelah Arya Penangsang nampak menghaturkan sembah sejenak kearah junjungannya. Lantas beranjak berdiri dari tempat duduk.
Patih Matahun mewakili Arya Penangsang mengutarakan maksud di adakannya perjamuan disiang itu. Setelah Patih Matahun selesai mengutarakan maksud di adakannya acara syukuran tersebut, seorang ulama keraton segera melantunkan doa-doa.
Selesai doa dibacakan, gamelan mengalun kembali. Beberapa abdi dalem segera masuk dan membagi-bagi segala sesajian makanan yang sudah tersedia. Setiap bangsawan dilayani sebaik mungkin.
Perjamuan baru saja berjalan, manakala mendadak, seorang prajurid kawal khusus tergopoh-gopoh masuk keruangan memohon ijin memberikan laporan penting.
Seluruh yang hadir, tak terkecuali Arya Penangsang sendiri dan Patih Matahun, dibuat kaget oleh kehadiran seorang prajurid kawal khusus ini. Segera, Arya Penangsang memberikan isyarat agar prajurid tersebut mendekat saat itu juga.
Gamelan mendadak berhenti. Suasana menjadi tegang seketika. Ruangan menjadi sunyi dan hening. Seluruh bangsawan terdiam, mengawasi lekat-lekat sang prajurid yang tengah bergerak jalan duduk, sembari menduga-duga ada apakah gerangan yang terjadi?
Arya Penangsang memberikan isyarat agar sang prajurid segera memberikan laporan yang dibawanya. Diperhatikan oleh berpuluh-puluh pasang mata, dan didengar oleh berpuluh-puluh telinga dari semua yang hadir ditempat itu, sang prajurid berkata :
“Kasinggihan dhawuh, Kangjeng. Saya hendak memohon ijin membawa masuk seorang perumput istana. Kondisi dia sangat tidak baik. Dia membawa gulungan rontal yang katanya surat khusus buat Kangjeng..”
Wajah Arya Penangsang tegang.
“Bawa masuk dia!”
Sang prajurid menghaturkan sembah, lantas berjalan duduk mundur. Tak lama dia sudah keluar dari ruangan. Berselang beberapa tegukan minum, dia datang kembali sembari diiringi seseorang yang lain. Seseorang yang wajahnya berlepotan darah segar. Dengan sangat kesulitan, dia berjalan duduk mengikuti prajurid kawal khusus yang membawanya.
Melihat kehadiran sosok yang dibawa menghadap oleh prajurid kawal khusus barusan, seluruh yang hadir gempar!
Seseorang yang berlepotan darah yang tak lain adalah sang perumput malang itu terlihat menahan rasa sakitnya. Belum jelas bagian mana dari kepala sang perumput yang terluka karena darah segar yang terus merembes, sedikit banyak menutupi tempat luka berasal. Namun, semakin diperhatikan, akan semakin jelas, bahwa cuping telinga kiri sang perumput telah hilang! Seluruh yang hadir bisa menebak seketika, bahwa darah itu keluar dari luka dibagian telinganya yang telah tanggal!!
Mata Arya Penangsang dan Patih Matahun memperhatikan kondisi sang perumput tanpa berkedip. Begitu sang perumput dan prajurid kawal khusus telah berada tepat dihadapan Arya Penangsang, segera Arya Penangsang berkata :
“Ada apa? Ceritakan apa yang terjadi?! Dan surat darimana yang kau bawa untukku?!”
Sembari mengerang, sang perumput menghaturkan sembah. Tangannya yang berlepotan darah gemetar saat menghaturkan sembahnya. Sang perumput, didengar oleh Arya Penangsang, Patih Matahun dan seluruh bangsawan yang hadir segera menceritakan apa yang menimpanya!
Gemuruh suara seluruh yang hadir setelah mendengar laporan sang perumput. Arya Penangsang memerah wajahnya, segera dia meminta gulungan rontal yang dibawa sang perumput. Sang perumput mengulurkan gulungan rontal yang juga berlepotan darah. Arya Penangsang menyuruh Patih Matahun menerimanya dan segera membaca isinya.
Patih Matahun menerima gulungan rontal dari tangan sang perumput. Sembari berdiri, dia buka gulungan itu dan dengan suara keras, dibaca isinya :
He, Penangsang! Yen sira nyata Lanang Sejati, payo tandhing lawan ingsun. Dak anti sapinggiring bengawan tapel wates. Yen ora wani nekani, nyata sira wandu kang memba rupa! Budhala tanpa rowang! Ingsun wong Sela wus tan bisa suwe nahan sedyaning tyas kapengin nigas janggamu!
(Hai, Penangsang! Jika nyata Lelaki Sejati, mari bertanding denganku! Aku tunggu dipinggir sungai tapal batas. Jika tidak berani datang, jelaslah kamu seorang banci yang menyamar sebagai lelaki ! Berangkatlah tanpa prajurid! Aku orang Sela sudah gatal ingin memenggal kepalamu!)
Menggeram marah Arya Penangsang mendengar bunyi surat yang baru dibacakan. Tangannya mengebrak meja disebelahnya yang dipenuhi dengan nasi tumpeng! Meja terguling dan nasi diatasnya berburai seketika, berserakan mengotori lantai pualam disekelilingnya!!!
Arya Penangsang, dengan dada bergemuruh dan amarah yang sudah sampai dibun-ubun segera berkata keras kepada prajurid kawal yang nampak disitu :
“Siapkan Kyai Gagak Rimang sekarang juga!!!”
Prajurid yang diperintah menyembah dan tergopoh-gopoh jalan mundur.
Seluruh yang hadir kebingungan. Patih Matahun segera menyembah dan berkata :
“Nakmas Penangsang, mohon sabarkan hati sejenak. Biarkan saya memberikan perintah kepada Senopati Jipang agar menyiagakan seluruh prajurid!!”
Arya Penangsang tak bergeming! Matanya menerawang merah penuh amarah. Sejurus kemudian, prajurid yang diutus menyiapkan kuda nampak tiba kembali diruangan. Dia tengah memulai untuk berjalan duduk dengan maksud menghadap. Namun Arya penangsang sudah tidak sabar lagi, dia segera keluar dari ruangan tanpa permisi !!!
Patih Matahun kalut! Segera dia berkata :
“Nakmas Senopati!!”
Yang ditunjuk dan tengah duduk diantara para bangsawan menyembah!
“Segera siagakan seluruh prajurid Jipang Panolan sekarang juga!”
Yang diperintahkan menyembah sekali lagi dan mohon undur.
“Dan kepada semua priyayi yang hadir disini!” lanjut Patih Matahun, keras suaranya, ”Segera siagakan diri untuk bertempur dengan orang Sela!!”
Seluruh yang hadir riuh memberikan sembah! Dan bubar saat itu juga!!
Arya Penangsang telah menaiki kuda kesayangannya. Beberapa kepala prajurid berusaha mencegahnya, namun bukan Arya Penangsang jika tidak memenuhi tantangan seorang diri. Tanpa banyak bicara lagi, digebraknya Kyai Gagak Rimang! Kuda berwarna hitam mulus itu meringkik nyaring sejenak, lantas melesat keluar dari kompleks istana Jipang Panolan!!!
Seluruh kepala prajurid dan bangsawan Jipang geger melihat kenekadan Arya Penangsang! Seketika itu juga, gong beri, gong kecil yang biasa dibunyikan agar seluruh prajurid menyiagakan diri, segera terdengar dipukul bertalu-talu. Susul menyusul. Dari satu sudut istana , disusul sudut yang lain. Riuh rendah suaranya memekakkan telinga! Disana-sini, teriakan-teriakan komando-pun terdengar, berselang-seling, membuat se-isi istana Jipang gempar!!
Ditempat lain, Kyai Gagak Rimang telah melesat menuju perbatasan!!
Tumbangnya Ksatria Putihan.
Kyai Gagak Rimang melaju kencang, melesat ke arah sungai yang menjadi tapal batas wilayah Jipang Panolan dengan daerah yang belum berhasil diduduki pasukan Jipang.
Menjelang matahari condong ke barat, tepat seusai waktu dzuhur, barulah Arya Penangsang memperlambat laju kudanya!
Wilayah yang dibentangi aliran sungai dangkal ini adalah tapal batas kekuasaan Jipang Panolan. Diseberang sana, terbentang wilayah luas yang sudah direncanakan hendak diduduki pasukan Jipang.
Kyai Gagak Rimang meringkik nyalang manakala tali kekang kuda yang melilit lehernya ditarik kencang!! Serta merta, Kyai Gagak Rimang mengangkat kedua kaki depannya sejenak, lantas kembali menjejak ke tanah dan berjalan pelan memutar.
Mata Arya Penangsang menyipit mengamati keadaan sekeliling. Aliran sungai yang tak seberapa dalam nampak terus mengalir dengan tenangnya. Pepohonan lebat yang tumbuh diseberang sana, tumbuh di area berbukit tepat dipinggir aliran sungai, nampak lengang pula. Tak tampak sesuatu-pun yang mencurigakan.
Bergegas Arya Penangsang menarik tali kekang kuda, menuruni tanah berbukit yang menuju ke bawah, menuju ke aliran sungai. Begitu sampai dibawah, tepat dipinggir sungai, ternyata situasi benar-benar senyap! Tak ada siapapun disana. Hanya bunyi burung-burung hutan yang sesekali memamerkan suara ditambah suara sungai yang gemericik, menyambut kehadiran Arya Penangsang!
Arya Penangsang mendengus. Dengan mata memandang ke seberang, dia berteriak keras :
“Keparat!! Yen nyata lanang metuwa!! Aja singidan!!”
(Keparat!! Kalau nyata laki-laki, keluarlah! Jangan bersembunyi!!)
Suara Arya Penangsang menggema, memantul dari lereng ke lereng lain! Mengoyak kesenyapan yang sedari tadi menyergap daerah itu!
Tapi, begitu suara gema menghilang. Keadaan kembali sepi. Tak ada jawaban!
Arya Penangsang gusar! Merasa dipermainkan! Ditariknya tali kekang Kyai Gagak Rimang, nekad dia menyeberangi sungai! (Menurut kepercayaan Jawa, jika dua orang lawan sedang bertempur, dan diantara mereka terhalang sebuah sungai, bagi siapa saja yang berani menyeberangi, pasti akan kalah perangnya : Damar Shashangka)
Dan tepat ketika kaki-kaki Kyai Gagak Rimang tengah tertatih-tatih menapaki dasar sungai yang cuma sebatas lutut dalamnya, mendadak, terdengar bunyi riuh desingan!! Mata Arya Penangsang awas!! Dilihatnya berratus-ratus anak panah meluncur deras mengarah kearahnya!! Arya Penangsang mengumpat!! Namun sungguh luar biasa, bukannya dia kebingungan menghindar, malahan dia buka dadanya lebar-lebar!! Beberapa batang anak panah yang tepat mengarah ketubuhnya, terpental kesamping, tak bisa melukai kulitnya sama sekali dan langsung luruh masuk ke dalam aliran sungai!! Bahkan beberapa ada juga yang patah menjadi dua!! Tak hanya itu, anak panah yang sempat menyasar ke tubuh Kyai Gagak Rimang-pun mengalami hal yang serupa!! Kyai Gagak Rimang hanya terlonjak-lonjak saja ketika beberapa anak panah meluncur mengenai tubuhnya! Tak ada luka sedikit-pun ditubuh kuda hitam mulus itu!!
Bidikan anak panah mereda seketika!
Belum usai kegusaran Arya Penangsang, disusul dari arah seberang, keluar seekor kuda putih! Kuda itu dipacu menuruni lereng. Keluar dari balik pepohonan. Begitu jelas siapa yang hadir, mata Arya Penangsang melotot marah!! Jelas terlihat, seorang anak kecil, tengah menunggang kuda dengan tombak terhunus ditangan kanannya. Terdengar suara kecilnya nyaring tanpa ada kegentaran sedikitpun :
“Penangsang!! Aku lawan tandingmu!!”
Dada Arya Penangsang bagai dibakar api! Wajahnya bagai dicoreng dengan arang!! Betapa tidak! Seorang anak kecil dengan lancangnya berani sendirian menghadapinya dan bahkan sesumbar menantangnya!!! Ditariknya tali kekang Kyai Gagak Rimang! Kuda meringkik, kesusahan berjalan menapaki dasar sungai! Berusaha terus melaju ke arah seberang mendekati sosok kecil yang dengan gagahnya menenteng tombak disana!
Melihat Arya Penangsang mendekat, anak kecil tersebut memutar arah kudanya. Kyai Gagak Rimang telah berhasil melewati aliran sungai dan langsung berderap mengejar kuda putih didepannya! Begitu jarak sudah sedemikian dekat, mendadak terjadi keanehan! Tingkah Kyai Gagak Rimang seketika berubah!! Kepalanya mengangguk-angguk dan menjadi liar!!
Arya Penangsang terkejut menyadari perubahan yang terjadi! Kuda tunggangannya tidak pernah bertingkah aneh seperti itu selama ini. Sejenak Arya Penangsang kerepotan menarik tali kekang kudanya yang menjadi tak terkendali!! Ditengah usahanya membuat Kyai Gagak Rimang kembali patuh, mata Arya Penangsang melihat sekilas bagian belakang kuda putih yang tengah ditunggangi lawannya!! Arya Penangsang marah!! Dia menyadari sekarang mengapa Kyai Gagak Rimang bertingkah laku aneh! Rupanya, ekor kuda putih didepannnya sengaja diikat keatas, sehingga kemaluannya terlihat jelas! Dan Arya Penangsang semakin menyadari, kuda yang ditunggangi lawannya adalah kuda betina!!
Arya Penangsang mengumpat-ngumpat!! Kyai Gagak Rimang selama ini memang sengaja tidak diperkenalkan dengan kuda betina! Kyai Gagak Rimang adalah kuda tempur. Jika mengenal kuda betina dan sempat bersenggama, maka kemampuan tempurnya akan menurun! Dan kini, melihat kuda betina dengan kemaluan terbuka lebar seperti itu, Kyai Gagak Rimang tidak bisa menguasai birahinya!!
Ditengah kesibukan Arya penangsang mengendalikan keliaran Kyai Gagak Rimang, mendadak anak kecil yang menunggang kuda didepannya, memutar haluan kudanya. Berderap suaranya mendekat. Mata Arya Penangsang awas!! Namun keliaran Kyai Gagak Rimang semakin menjadi-jadi. Arya Penangsang panik!! Dan benar!!
Tombak ditangan kanan sang anak mengarah telak kearah lambungnya!!! Dan!!!
Arya Penangsang yang kerepotan diatas punggung kuda yang tengah melonjak-lonjak, tidak mampu menghindari tikaman tersebut!! Tombak Kyai Plered yang tajam langsung menembus lambungnya seketika itu juga!! Darah menyemburat!! Arya Penangsang menjerit kesakitan!! Dan yang mengerikan, begitu mata tombak ditarik, sebagian ususnya ikut terburai keluar!!!
Kuda putih berlalu dengan derapan kemenangan!! Arya Penangsang meringis kesakitan!! Diraihnya sebagian ususnya yang keluar dan langsung di kalungkan ke warangka keris Kyai Brongot Setan Kober yang terselip dipinggang kirinya!! Begitu ususnya tidak menjuntai dan terikat diwarangka keris, Arya Penangsang segera memutar tali kekang Kyai Gagak Rimang!! Kuda hitam itu mendengus-dengus dan berderap semangat mengejar kuda betina!! Begitu jarak sudah sedemikian dekat, Arya penangsang meraih tubuh kecil sang penunggang kuda putih dan membantingnya ketanah!!!
Jerit kesakitan terdengar!! Arya Penangsang segera turun dari punggung kuda!! Sosok kecil yang tengah terjatuh diatas tanah berusaha bangkit dan hendak melarikan diri, namun terlambat!! Leher kecilnya terpegang dan kembali terbanting ketanah!! Begitu tubuh kecil itu telentang tak berdaya, kaki kekar Arya penangsang langsung menginjak dadanya!! Suara kesakitan nyaring terdengar!!
Arya Penangsang beringas!! Diraihnya gagang keris Kyai Brongot Setan Kober!!
“Tunggu!!!!!!”
Mendadak terdengar bunyi nyaring!! Mata Arya Penangsang mencari asal suara! Terlihat empat orang berkuda keluar dari balik gerombol pepohonan mendekat kearahnya!! Dua diantara empat orang yang datang adalah Ki Juru Mertani dan Ki Ageng Pemanahan!
Belum selesai kemunculan empat orang tersebut, disusul suara riuh rendah derap kuda dari seberang sungai terdengar!! Mata Ki Juru Mertani awas!! Pasukan Jipang Panolan ternyata sudah tiba!! Cepat dia memberikan isyarat!!! Dua orang yang ikut dengannya segera mengeluarkan bendera merah!! Begitu melihat bendera merah terkibar!! Bunyi gemuruh pasukan Pajang membahana!!! Serempak keluar dari persembunyian masing-masing!! Perang besar akan segera terjadi!!!
Mata Arya Penangsang memerah!!
Ki Juru Mertani dan Ki Ageng Pemanahan menatapnya lekat-lekat! Dan mata Ki Juru Mertani serta Ki Ageng Pemanahan juga melirik usus Arya penangsang yang terburai dan tersampir diwarangka keris! Begitu keris itu dicabut, maka tamatlah riwayat Arya Jipang!!
“ Penangsang!!” teriak Ki Juru Mertani, ” Anak kecil itu putra Adipati Pajang!! Bunuh saja jika kamu berani!!!”
Arya Penangsang kalap!! Dia melihat anak kecil yang masih diinjak dengan kaki kanannya! Anak kecil yang tak lain adalah Danang Sutawijaya! Dengan diiringi geraman kemarahan yang tak tertahankan, dicabutnya Kyai Brongot Setan Kober dengan kasar!!! Arya Penangsang lupa, sebagian ususnya yang keluar tersampir disana!! Kemarahan membuat Arya Penangsang lupa!!
Begitu keris Kyai Brongot Setan kober tercabut, Arya Penangsang seketika menjerit keras!!! Ususnya ikut tercerabut seketika itu juga!!! Dengan tangan kanan yang terangkat keatas, gerakan Arya Penangsang terhenti!!! Tubuhnya tergetar hebat!!! Hanya sesaat!! Sejurus kemudian, tubuhnya tumbang ke tanah dan sekarat seketika itu juga!!!
Cepat Ki Ageng Pemanahan menarik tubuh Danang Sutawijaya yang ngeri ketakutan!! Dan langsung membawanya menjauhi arena!!
Dilain tempat, peperangan telah terjadi!! Pekik kemarahan berselang sering dengan jerit kesakitan!!! Tubuh-tubuh dari kedua prajurid bertumbangan ketanah!! Darah tertumpah!! Membuat aliran sungai menjadi berubah warna menjadi merah!!!
Senjata tajam berkelabatan tertimpa sinar matahari sore!! Berdenting! Mencicit mengincar nyawa lawan!! Nampak Patih Matahun mengamuk dibarisan depan!!
Ki Juru Mertani segera memerintahkan seorang kepala prajurid Pajang berteriak mengabarkan kematian Arya Penangsang! Yang diutus segera menjalankan tugas!! Sebentar saja, teriakan serupa disambut teriakan yang lain dari kepala pasukan Pajang!!
Berita kematian Arya penangsang membuat nyali pasukan Jipang menciut!!! Ditengah-tengah pertempuran dahsyat tersebut, dari sudut kesudut, terdengar suara bersahut-sahutan dari pasukan Pajang :
“Arya Penangsang wis matiiiiiiiiiii!!!!!”
(Arya penangsang sudah mati!!!)
Dampaknya luar biasa, sebentar saja, pasukan Jipang terdesak hebat!! Satu persatu, tubuh pasukan Jipang jatuh ketanah dengan luka menganga mengeluarkan darah segar!! Pasukan Pajang terus merangsak maju!!
“Aja mundur!!! Majuuuuuuuuuuu!!”
(Jangan mundur!! Majuuuuuu!)
Terdengar teriakan Patih Matahun, disusul oleh kepala pasukan Jipang yang lain! Namun percuma! Nyali pasukan Jipang sudah turun drastis!! Bahkan, dibeberapa sisi, pasukan Jipang sudah kocar-kacir!! Jika diteruskan, seluruh pasukan Jipang akan terbabat habis tak tersisa!! Pasukan Pajang mengamuk bagai banteng ketaton!!!
Namun, Patih Matahun tak berniat mundur!! Ki Ageng Pamanahan segera memacu kuda mendekati posisi Patih Matahun!! Melihat kehadiran Ki Ageng Pamanahan, Patih Matahun langsung menyerang!! Pertempuran kedua priyayi dari Pajang dan Jipang ini terjadi!! Namun bagaimanapun juga, semangat Patih tua ini juga sudah banyak luruh!! Sebentar saja, dia sudah terlihat terdesak hebat!! Dan pada akhirnya, sebuah tusukan telak mengarah dadanya!! Patih Matahun meringis kesakitan dan tumbang ketanah!!!
Melihat Patih Matahun-pun telah tewas, beberapa kepala pasukan Jipang panik!! Pasukan Pajang terus membabat habis lawannya tanpa ampun lagi!! Mayat-mayat bergelimpangan semakin banyak!! Aliran sungai telah berwarna merah dan berbau anyir!!
Dan menjelang malam tiba, pasukan Jipang kocar-kacir!!! Pasukan Pajang terus bergerak menuju ibukota! Penduduk ibukota Jipang panik. Pasukan Pajang merangsak masuk istana Jipang! Jerit ketakutan terdengar disana-sini!! Banguna istana segera menjadi sasaran perusakan pasukan Pajang tanpa ampun!! Beberapa sudut istana dibakar!! Perlawanan dari sisa-sisa pasukan Jipang tidak berarti sama sekali!! Sebentar saja, menjelang dini hari, istana Jipang Panolan telah dikuasai pasukan Pajang!!
Gamelan ditabuh menandakan kemenangan pasukan Pajang!! Keesokan harinya, kabar kemenangan itu diteruskan ke Pajang. Beberapa prajurid diutus memberikan laporan kepada Adipati Adiwijaya!! Seluruh bangsawan Pajang menyambut kemenangan itu dengan suka cita!!
Tak menunda waktu lama, diutuslah beberapa prajurid ke Jepara untuk mengabarkan hal serupa kepada Ratu Kalinyamat. Ratu Kalinyamat bergembira dan bersedia menyudahi tapa telanjangnya. Dia lantas ikut rombongan pasukan Pajang menuju ibukota Pajang.
Kemenangan orang Sela tersiar kemana-mana. Tewasnya Arya penangsang membuat gempar seluruh bangsawan Jawa!! Tak terkecuali Sunan Kudus!!
Kini, tidak ada lagi penguasa Jawa yang kuat selain Adipati Adiwijaya di Pajang!! Beberapa minggu kemudian, upacara besar dilaksanakan. Disaksikan oleh para pembesar Demak Bintara, Ratu Kalinyamat menyerahkan tahta Demak Bintara kepada adik iparnya, Adipati Adiwijaya!! Keputusan ini banyak disokong oleh berbagai pihak!! Namun sesuai janji semula, Pajang harus berbentuk Kesultanan, bukan Kerajaan. Oleh karenanya, Adipati Adiwijaya lantas dikukuhkan sebagai seorang Sultan dengan gelar Kangjeng Sultan Adiwijaya. Kejadian ini bertepatan dengan tahun 1546 Masehi!
Putra Ki Ageng Pengging, kini telah resmi memegang tampuk pemerintahan Jawa. Ramalan Sunan Kalijaga, terbukti sudah!! Kini, Ki Mas Karebet atau Jaka Tingkir, telah menjadi seorang Raja, penguasa Tanah Jawa!!!
Tamat
Mari kita ambil baiknya dan buang yang tidak baik...
Aihh... Berat3x...
Hatiku selembar daun...
-Damar Shashangka-
Bagian 1
Pemerintahan Demak Bintara semenjak dipegang oleh Sultan Trenggana mulai pada tahun 1521 Masehi, terus menerus harus melakukan aksi militer demi untuk mempertahankan eksistensi Kesultanan Islam Jawa sekaligus untuk kembali memasukkan wilayah-wilayah bekas Kerajaan Majapahit diseluruh Jawa.
Pada masa awal Sultan Trenggana diangkat sebagai Sultan ke III Demak Bintara, garis politik fleksibel model Islam Abangan menjadi pilihan Sultan Trenggana. Namun menjelang pertengahan tampuk pemerintahannya, terpicu melihat keberhasilan Kesultanan Cirebon mampu menghancurkan Pajajaran dengan bantuan militer Demak Bintara, pandangan politik Sultan Trengana berubah haluan.
Kemenangan Cirebon atas sokongan militer Demak membuat Sultan Trenggana menjadi yakin akan kekuatan angkatan bersenjatanya. Maka berturut-turut, Demak mengadakan agresi militer ke Jawa bagian timur dimana sisa-sisa bangsawan Majapahit masih punya daerah kekuasan dan mendominasi disana.
Satu demi satu, daerah-daerah di wilayah Jawa bagian timur, ditundukkan dengan kekuatan bersenjata. Kekuasaan Demak Bintara semakin melebar dan meluas kearah timur pulau Jawa.
Semenjak tahun 1527, peperangan demi peperangan terus terjadi. Hingga pada tahun 1546, ketika Sultan Trenggana memimpin sendiri peperangan di wilayah Panarukan ( sekarang masuk wilayah Situbondo, Jawa Timur ), Sultan Trenggana tewas! Kabar kematian Sultan Trenggana mengguncangkan ibu kota Demak. Agresi militer yg bertujuan untuk menguasai wilayah Panarukan dan selanjutnya Banyuwangi, gagal!
Konon menurut cerita tutur, kematian Sultan Trenggana tidak terjadi di medan laga. Namun terjadi dikala Sultan Trenggana tengah menerima delegasi para bangsawan dari daerah taklukan baru. Konon ketika pertemuan terjadi, Sultan Trenggana menyuruh salah seorang bangsawan mengambilkan bahan-bahan untuk mengunyah sirih yang terletak tak jauh dimeja perjamuan. Karuan, bangsawan Jawa timur yang disuruh merasa tersinggung. Walaupun daerah kekuasaannya telah mengakui kalah dan tunduk kepada Demak, namun tidak seharusnya Sultan memerintah dia mengambilkan bahan-bahan untuk mengunyah sirih. Bagaimanapun juga, dia tetap seorang bangsawan. Masih banyak abdi dalem atau pelayan Sultan yang bisa disuruh untuk itu.
Tapi dengan berpura-pura memenuhi permintaan Sultan, bangsawan ini mendekati tempat duduk Sultan. Begitu sudah dekat, dihunusnya keris dan ditusukkannya ke tubuh Sultan Trenggana!
Sultan Trenggana tewas seketika ditempat perjamuan. Dan bangsawan yang nekad membunuh Sultan Trenggana berikut delegasinya, mendapat hukuman setimpal, penggal kepala!
Kabar tewasnya Sultan Trenggana di Panarukan mengguncangkan Demak Bintara. Jenazah Sultan Trenggana setelah diberi rempah-rempah agar tidak cepat membusuk, dibawa pulang ke ibu kota Demak melalui jalur laut.
Demak Bintara berkabung! Tak kurang, seluruh putra laki-laki Raden Patah, mulai yang sulung Adipati Yunus atau Pangeran Sabrang Lor, lantas Pangeran Suryawiyata atau Pangeran Sekar Seda Lepen, dan kini Pangeran Trenggana atau Sultan Trenggana, semua meninggal karena terbunuh! Kasak-kusuk beredar ditengah masyarakat Jawa, bahwa trah Demak memang tengah mendapat kutukan dari para leluhur tanah Jawa!
Dengan wafatnya Sultan Trenggana, maka secepatnya diangkatlah penggantinya. Dan putra sulung Sultan Trenggana, yaitu Pangeran Prawata atau Sunan Prawata, terpilih. Dia dikukuhkan sebgai Sultan Syah Alam Akbar Jiem-Boen-ningrat IV.
Pangeran Prawata atau Sunan Prawata memiliki cacat mata, yaitu buta. Konon hal ini karena kutukan Pangeran Suryawiyata, pamannya sendiri, saat Pangeran Prawata disaat mudanya membunuh pamannya itu terkait pemberontakan yang dia lakukan. ( Lebih jelas baca catatan saya Jaka Tingkir bagian 1 : Damar Shashangka).
Sosok Pangeran Prawata atau Sunan Prawata, tidaklah begitu popular dimata para bangsawan Demak Bintara. Diam-diam, didalam tubuh birokrasi dan angkatan bersenjata Demak, sudah terpecah dalam dua kubu. Kubu pertama mendukung Sunan Kudus dengan Jipang Panolan-nya. Sedangkan kubu kedua mendukung Jaka Tingkir atau Adipati Adiwijaya dengan Pajang-nya.
Pendukung Sunan Kudus adalah mereka-mereka yang berhalauan keras. Sedangkan pendukung Jaka Tingkir adalah mereka-mereka yang dulu memberikan dukungan kepada Sultan Trenggana ditambah sisa-sisa lasykar Majapahit yang berkedudukan di Jawa bagian tengah. Para lasykar ini merapatkan barisan dibelakang Jaka Tingkir, putra Ki Ageng Pengging yang sangat mereka hormati. ( Ki Ageng Pengging dan putranya, Jaka Tingkir sesungguhnya beragama Shiwa Buddha, oleh karena itu, sampai sekarang tidak ada makam dari kedua tokoh ini. Jaka Tingkir tidak pernah berguru kepada Sunan Kudus maupun Sunan Kalijaga. Namun, kepada Sunan Kalijaga, Jaka Tingkir sangat-sangat menaruh hormat. Murid-murid Sunan Kalijaga, adalah dari trah Tarub yang kelak menurunkan Panembahan Senopati, pendiri Kesultanan Mataram Islam. Sudah saatnya sejarah diluruskan. : Damar Shashangka).
Dipihak Sunan Kudus, Arya Penangsang, putra Pangeran Suryawiyata, telah ditampilkan sebagai pemimpin kubu Putihan. Arya Penangsang yang masih berusia 26 tahun saat itu, tumbuh menjadi sosok pemuda yang ahli bela diri dan olah kanuragan berkat bimbingan Sunan Kudus secara khusus! Nama Arya Penangsang sangat ditakuti. Disamping terkenal keras perangainya, kesaktian yang dimilikinya juga membuat lawan berfikir seratus kali untuk berhadapan dengan putra Pangeran Suryawiyata ini!
Begitu Sunan Prawata dikukuhkan sebagai Sultan Demak IV, tampuk pemerintahan Jipang Panolan yang telah vacuum untuk beberapa tahun semenjak pemberontakan Pangeran Suryawiyata yang menemui kegagalan, tanpa persetujuan Sultan Demak, Arya Penangsang langsung dikukuhkan sebagai Adipati Jipang Panolan. Dan Sunan Kudus, bermain dibalik peristiwa itu!
Peristiwa penobatan ini mengejutkan pihak yang berseberangan dengan Jipang Panolan dan antek-anteknya. Tak urung, Jaka Tingkir atau Adipati Adiwijaya didukung beberapa Adipati yang pro dengannya, menyarankan kepada Sultan Demak IV untuk segera mengambil tindakan tegas! Jipang Panolan adalah wilayah Demak Bintara, tidak sepatutnya terjadi pengangkatan seorang Adipati tanpa persetujuan Sultan Demak sendiri!
Situasi politik Demak Bintara mulai memanas. Manakala Sultan Demak IV sudah berencana melepas jabatan Arya Penangsang sebagai Adipati dan hendak menggantikannya dengan seorang pejabat lain, terdengar kabar yang sangat mengejutkan, bahwa Sultan Demak IV atau Sunan Prawata, tewas terbunuh berikut sang permaisuri!
Demak Bintara terguncang! Dan yang lebih mengejutkan lagi, selain jenazah Sultan dan permaisuri, ditempat kejadian juga terdapat jenazah seorang laki-laki misterius dengan sebilah keris menancap didadanya dan keris tersebut tak lain adalah Keris Kyai Brongot Setan Kober, pusaka milik Sunan Kudus!
Tidak ada saksi mata lain saat peristiwa berdarah itu terjadi kecuali sosok Arya Pangiri, putra Sultan yang masih kecil. Arya Pangiri selamat karena dia bersembunyi dibawah kolong ranjang sewaktu peristiwa itu terjadi!
Sultan Demak, sang permaisuri berikut putranya Arya Pangiri sebenarnya adalah target pembunuhan. Tapi, Arya Pangiri berhasil lolos dari maut!
Ratu Kalinyamat, bibi Arya Pangiri, adik Sultan Demak IV (Baca catatan saya Jaka Tingkir : Damar Shashangka) segera membaw Arya Pangiri secepatnya ke Jepara. Keselamatan Arya Pangiri tengah terancam dan Ratu Kalinyamat tahu betul siapa dalang dibalik pembunuhan keluarga Sultan Demak, kakaknya itu.
Ratu Kalinyamat diam-diam juga membawa Keris Kyai Brongot Setan Kober yang menancap ditubuh jenazah misterius yang dapat dipastikan adalah salah seorang pembunuh Sultan Demak berikut permaisuri. Ratu Kalinyamat bertindak cepat. Dia tahu, di istana Demak dan ditubuh angkatan bersenjata Demak, sudah berkeliaran antek-antek Jipang Panolan. Sebelum bukti otentik pembunuhan tersebut dihilangkan oleh mereka-mereka yang pro Jipang Panolan, Ratu Kalinyamat mengamankannya terlebih dahulu.
Tidak ada orang lain lagi yang memiliki Keris Kyai Brongot Setan Kober kecuali Sunan Kudus. Dan konon kabarnya, keris ini telah diwariskan kepada Arya Penangsang begitu dia dikukuhkan secara sepihak sebagai Adipati Jipang Panolan.
Menurut kesaksian Arya Pangiri, pada malam itu dia tengah tidur bersama Rama dan Ibu-nya. Tapi mendadak, dia dibangunkan oleh ibunya ditengah-tengah tidur pulasnya. Dia disuruh masuk kebawah kolong ranjang dan diperintahkan tidak boleh keluar dan tidak boleh bersuara sedikitpun!
Arya Pangiri yang masih kecil dan penasaran ditengah ketercekamannya mencoba mengintip apa yang tengah terjadi. Dia melihat dua orang masuk ke kamar Rama-nya melalui pintu kamar setelah mencongkelnya. Arya Pangiri tahu, ada beberapa orang lagi yang tengah berada diluar kamar dan tidak ikut masuk.
Terjadi percakapan antara Rama-nya dengan salah seorang penyusup. Percakapan yang sempat didengar oleh Arya Pangiri adalah jawaban dari Ramanya :
“Bunuhlah aku. Akulah yang bertanggung jawab atas kematian paman Suryawiyata. Tapi jangan kalian ikut sertakan istriku!”
Setelah itu Arya Pangiri mendengar suara gaduh dan jeritan dari Rama dan Ibu-nya hamper bersamaan. Lantas terdengar suara Ramanya berteriak :
“Mengapa kamu ikut sertakan istriku!”
Suara gaduh terdengar kembali, diiringi erangaan kesakitan. Lantas lengang…
Arya Pangiri yang ketakutan baru berani keluar setelah prajurid Demak mengeluarkanya dari bawah kolong ranjang. Dan begitu melihat apa yang sebenarnya terjadi, maka Arya Pangiri menangis sejadi-jadinya. Diatas ranjang, Ramanya tengah rebah kebelakang dalam posisi bersila, dan tepat dibelakang Ramanya, Ibu-nya tengah rebah. Keduanya bermandikan darah.
Dari posisi kematian Sultan dan permaisuri, jelas terlihat, Sultan ditusuk keris hingga tembus punggung. Dan keris itu menghunjam pula ke tubuh permaisuri yang tengah merapatkan tubuhnya ke punggung Sultan! Jelas, sang permaisuri menyengaja untuk ikut mati bersama-sama dengan suaminya!
Sedangkan jenazah laki-laki misterius yang terkapar tak jauh dari pintu kamar, diduga tewas akibat lemparan keris yang dilakukan oleh Sultan sebelum menghembuskan nafas yang terakhir. Betapa kuatnya Sultan, dia menarik keris yang menancap di dadanya lantas melemparkannya tepat kepada salah seorang penyusup. Ditambah lagi dengan kondisi cacat mata, jelas Sultan Demak IV, bukan orang sembarangan!
Mendengar penuturan Arya Pangiri dan melihat bukti-bukti yang ada, Ratu Kalinyamat menyimpulkan, Sunan Kudus dan Arya Penangsang adalah sosok yang harus bertanggung jawab atas peristiwa pembunuhan itu! Para penyusup yang telah berhasil membunuh Sultan beserta permaisuri, adalah anggota pasukan khusus Jipang Panolan yang dikenal dengan nama Pasukan Sureng! Pasukan yang dilatih khusus untuk menyusup dan melakukan operasi pembunuhan! Pasukan ini memang sudah didengar oleh beberapa kalangan pejabat di Demak Bintara! Dan kini, kehebatan pasukan ini telah terbukti! Jipang Panolan tidak bisa dianggap remeh sekarang!
Ratu Kalinyamat segera mengambil tindakan tegas. Dia langsung mengukuhkan suaminya, Pangeran Hadiri atau Sunan Kalinyamat sebagai Sultan Demak V. Tindakan ini diambil karena dalam hukum yang dipakai pemerintahan Demak Bintara, seorang wanita diharamkan memimpin suatu pemerintahan! (Mengenai siapa Sunan Kalinyamat atau Pangeran Hadiri, silakan baca catatan saya Jaka Tingkir : Damar Shashangka).
Situasi politik Demak semakin memanas. Di pihak Pajang, persiapan-pun dilakukan! Karena sudah jelas, pihak Jipang Panolan sudah berani memulai aksinya! Bahkan terdengar kabar, beberapa daerah telah diserang oleh Jipang Panolan. Dan daerah-daerah yang berhasil ditaklukkan, dimasukkan ke wilayah Jipang Panolan.
Jipang Panolan rupanya sudah siap untuk mendirikan sebuah Kesultanan baru yang lepas dari Kesultanan Demak Bintara!
Pembunuhan Sunan Kalinyamat
Setelah mengadakan musyawarah yang sangat serius dengan para pembesar Kesultanan, Ratu Kalinyamat beserta suaminya, Sunan Kalinyamat memutuskan untuk datang bertandang ke Pesantren Kudus.
Sunan Kudus memang masih menjabat sebagai salah seorang Penasehat Agung Kesultanan Demak. Jabatan ini bermakna politis. Namun disamping itu, sudah diketahui umum bahwa Sunan Kudus-pun adalah seorang pemimpin Pesantren yang memiliki banyak santri. Dia dianggap sebagai seorang sesepuh dan dituakan.
Sebagai seorang Penasehat, kedudukan Sunan Kudus memang masih dibawah kedudukan Sultan Demak, tapi kedudukannya sebagai seorang pemimpin Pesantren yang berbasiskan moral, maka dia dianggap sebagai seorang Guru. Seseorang yang patut dipatuhi dan patut dijadikan suri tauladan.
Oleh karena itulah, sengaja Sultan Demak V atau Sunan Kalinyamat beserta Ratu Kalinyamat, menyengaja datang sendiri ke Pesantren Kudus. Ini dimaksudkan, kedatangan mereka berdua lepas dari hierarki sebuah pemerintahan. Sultan Demak V beserta istri datang ke Pesantren Kudus sebagai seorang siswa yang tengah menghadap Gurunya, walaupun mereka bukan siswa langsung Pesantren Kudus.
Kedatangan rombongan Sultan Demak V mengejutkan seisi Pesantren Kudus. Mau tidak mau, walaupun kedatangan Sultan Demak V dan Ratu Kalinyamat bukanlah atas nama Kesultanan namun atas nama pribadi, tetap saja, kedatangan mereka memancing penyambutan yang meriah!
Para santri segera berjajar sembari menabuh rebana dan menyanyikan shalawat Nabi menyambut kedatangan rombongan Sultan!
Tepat pada waktu itu, banyak terlihat pasukan Jipang Panolan tengah berada disana! Baik Sultan Demak V maupun Ratu Kalinyamat, melihat itu. Para pasukan Jipang tidak satupun yang ikut melakukan penyambutan. Disudut halaman Pesantren, terlihat sebuah kuda berbulu hitam yang berhiaskan perhiasan-perhiasan indah. Ratu Kalinyamat tahu, itu adalah kuda kesayangan Arya Penangsang yang dikenal dengan nama Kyai Gagak Rimang. Berarti, saat ini, Arya Penangsang juga tengah bertandang ke Pesantren Kudus. Situasi yang agak tidak menyenangkan terjadi antara pasukan Demak dengan pasukan Jipang. Ratu Kalinyamat segera memerintahkan pemimpin pasukan agar memastikan, mengambil tempat terpisah dengan pasukan Jipang dan jangan mengambil tindakan apapun jika tidak ada perintah darinya!
Sunan Kudus beserta istri dan keluarga, menyambut kedatangan Sultan Demak V atau Sunan Kalinyamat beserta istri, Ratu Kalinyamat. Mereka berdua diterima di Pendhopo. Namun, tak tampak Arya Penangsang ikut menyambut kedatangan Sultan. Menyadari akan hal itu, Ratu Kalinyamat benar-benar merasa diremehkan dan ditantang!
Sultan Demak V beserta Ratu Kalinyamat memohon kepada Sunan Kudus agar bisa berbicara bertiga. Sunan Kudus mengabulkan. Dan mereka akhirnya menuju ruang dalam bertiga.
Setelah berbasa-basi berbagi keselamatan, maka Ratu Kalinyamat-pun segera menyampaikan maksud kedatangan mereka :
“Bapa Sunan, kedatangan kami kemari sesungguhnya ibarat kedatangan seorang murid kepada Guru-nya. Walaupun kami bukan murid resmi Pesantren Kudus, namun secara tidak langsung, kami menghargai Bapa Sunan sebagai Guru kami pula.”
Sejenak Ratu Kalinyamat diam, lantas :
“Dan, kami memandang Bapa Sunan adalah panutan kami, sosok yang memberikan suri tauladan bagi kami. Jadi, sekiranya kami meminta keadilan kepada Bapa Sunan, bukankah itu juga sudah sewajarnya?”
Sunan Kudus tersenyum, dan menjawab :
“Memberikan keadilan adalah kewajiban seorang Sultan. Aku bukan seorang Sultan, anakmas Sunan Kalinyamat-lah seorang Sultan. Dia yang seharusnya berhak memberikan keadilan.”
Ratu Kalinyamat tersenyum, dan berkata :
“Bukan keadilan dari seorang Sultan yang tengah kami harapkan, tapi keadilan dari seorang Guru kepada muridnya yang telah berbuat dosa!”
Sunan Kudus terdiam.
Ratu Kalinyamat mengeluarkan sebuah benda yang terbungkus kain putih dari dalam peti kayu berukir yang dia bawa. Benda terbungkus kain putih tersebut dipegangnya dengan tangan kanan, lalu dibuka penutup kainnya…
Sunan Kudus memincingkan mata melihat isi didalam bungkusan kain putih tersebut…
Dan Ratu Kalinyamat kembali berkata :
“Kami tahu pemilik benda ini kini tengah bersembunyi bagai seorang pengecut diruang belakang Pesantren. Kami meminta keadilan Bapa Sunan kepada pemilik benda ini. Pastinya, Bapa Sunan mengerti apa maksud kami!”
Tegas suara Ratu Kalinyamat.
Sunan Kudus menarik nafas. Dilihatnya benda yang ditunjukkan oleh Ratu Kalinyamat tak lain adalah Keris Kyai Brongot Setan Kober. Keris pusaka miliknya yang kini telah diwariskan kepada Arya Penangsang.
“Saya bukan seorang Sultan…!” Sunan Kudus tiba-tiba berkata.
“Keadilan dari seorang Guru! Bukan dari seorang Sultan!”, potong Ratu Kalinyamat berani!
Kembali Sunan Kudus terdiam.
Dan pada akhirnya, Sunan Kudus menyanggupi untuk memberikan keadilan kepada Arya Penangsang. Namun memberikan sebuah keadilan tidak segampang membalikkan telapak tangan. Sunan Kudus menjanjikan, tujuh hari lagi, Sunan Kudus akan menyerahkan Arya Penangsang ke Demak untuk menerima hukuman Qisas atau hukum mati pancung kepala jika memang terbukti Arya Penangsang adalah dalang pembunuhan Sultan Demak IV atau Sunan Prawata!
Ratu Kalinyamat maupun Sunan Kalinyamat, walaupun meragukan kesungguhan Sunan Kudus, terpaksa menerima janji tersebut. Dan keduanya akhirnya mohon diri.
Begitu Ratu Kalinyamat dan Sunan Kalinyamat telah meninggalkan Pesantren Kudus, Arya Penangsang menghadap Sunan Kudus. Dia menanyakan kebenaran janji yang telah diucapkan Sunan Kudus barusan. Dan Sunan Kudus berkata :
“Menurut hukum syariat, jika terjadi pembunuhan, dan keluarga korban menuntut, maka tidak ada alasan untuk menolak pelaksanaan hukum Qisas atau pancung kepala. Kecuali keluarga korban mau menerima diyat atau harta pengganti dari sang pembunuh sebagai wujud perdamaian antara kedua belah pihak.”
Arya Penangsang menukas :
“Dan tidak mungkin Nimas Kalinyamat mau menerima diyat dari saya. Maka sekalian, untuk menyingkirkan lawan-lawan saya sekaligus menghindari jatuhnya hukuman mati kepada saya, maka akan saya bungkam mulut Nimas Kalinyamat untuk selamanya agar tidak bisa menuntut saya lagi!”
Sunan Kudus terdiam. Lantas berkata :
“Terserah kamu! Tapi lakukan diluar wilayah Kudus!”
Arya Penangsang menyembah lantas bergegas keluar menemui Patih Matahun, Patih sepuh Jipang Panolan. Arya Penangsang memerintahkan, melakukan penghadangan rombongan Sultan Demak V. Dan perintah utamanya adalah : BUNUH SUNAN KALINYAMAT BESERTA RATU KALINYAMAT!
Setelah menerima perintah, Patih Matahun segera menyiapkan seluruh pasukan Jipang Panolan. Tidak memakan waktu lama, pasukan Jipang Panolan segera berangkat! Kuda-kuda digebrak nyalang menimbulkan bunyi ringkikan riuh rendah bercampur teriakan-teriakan komando!
Pasukan Jipang, bergerak menyusul rombongan Sultan Demak V! Tujuannya jelas MENYINGKIRKAN RATU KALINYAMAT DAN SUNAN KALINYAMAT HARI ITU JUGA!
Sekali lagi, darah akan tertumpah dibumi Jawa!
Bagian 2
Rombongan Sultan Demak V atau Sunan Kalinyamat telah jauh meninggalkan wilayah Kudus. Tak terbersit sedikitpun dibenak Sunan Kalinyamat jikalau dibelakang mereka kini tengah mengejar sepasukan tempur Jipang Panolan. Hanya Ratu Kalinyamat yang mendapatkan firasat yang tidak mengenakkan.
Dan firasat itu terbukti ketika dari arah belakang, seorang penunggang kuda tengah memacu kudanya dengan kencang, menyusul kereta yang dinaiki Sunan Kalinyamat beserta Ratu Kalinyamat. Sang penunggang kuda itu berpakaian layaknya rakyat biasa, kini nampak tengah berusaha mendekati Lurah Prajurid Pengawal Sultan.
Ratu Kalinyamat tanggap, sang penunggang kuda itu tak lain adalah anggota Pasukan Telik Sandhibaya atau Pasukan Mata-Mata Demak Bintara. Nampak, Lurah Prajurid Pengawal Sultan, setelah melihat tanda anggota yang ditunjukkan oleh sang penunggang kuda, seketika memerintahkan seluruh rombongan berhenti.
Sang penunggang kuda yang baru datang nampak turun dari punggung kuda, menghaturkan sembah sembari mendekati Lurah Prajurid Pengawal. Terjadi percakapan sebentar. Disusul, Lurah Prajurid Pengawal-pun kemudian turun dari pungung kuda, dan berdua mereka berjalan menuju Kereta yang dinaiki Sunan Kalinyamat dan Ratu Kalinyamat.
Keduanya menghaturkan sembah dan melaporkan bahwa, dibelakang rombongan, kini tengah mengejar sepasukan tempur Jipang Panolan dengan bersenjatan lengkap!
Sunan Kalinyamat terkejut, namun tidak dengan Ratu Kalinyamat. Dia memincingkan mata, diam sejenak, lantas segera memerintahkan seluruh pasukan untuk mempersiapkan diri. Perintah Ratu Kalinyamat jelas, yakni bersiap untuk menghadapi pasukan Jipang Panolan apapun yang dikehendaki. Jikalau pihak Jipang Panolan menginginkan perang, maka hari ini juga, Ratu Kalinyamat akan memenuhi keinginan pasukan Jipang!
Dua orang prajurid ditugaskan menuju ibu kota Demak untuk menyampaikan perintah tertinggi Sultan Demak V yang diwakili Ratu Kalinyamat kepada seluruh angkatan bersenjata Demak agar mempersiapkan diri untuk memulai perang terbuka dengan pihak Jipang Panolan!
Ratu Kalinyamat sendiri yang memimpin rombongan Pasukan Pengawal. Dia kini keluar dari kereta dan menaiki seekor kuda. Ratu Kalinyamat terlihat gagah dan anggun ketika duduk diatas pungung kuda. Sorot matanya garang, sangat kontras dengan kecantikan wajahnya. Namun, walaupun begitu, malahan nampak terlihat semakin anggun!
Seluruh pasukan telah bersiap ditempat masing-masing menunggu komando. Medan perbukitan yang kini tengah mereka jajaki, telah siap mereka jadikan ajang pertempuran!
Dan benar! Dari arah berlawanan, sepasukan prajurid berkuda nampak datang! Jelas, atribut yang mereka kenakan memang berasal dari pasukan Jipang Panolan! Dari kejauhan, melihat pasukan Demak telah siap tempur, pasukan Jipang yang baru datang tersebut langsung menghunus senjata masing-masing dan langsung menyerbu pasukan Demak!
Ratu Kalinyamat dengan tenang menghunus kerisnya. Diangkatnya tinggi-tinggi keris tersebut dengan tangan kanannya. Lantas setelah dirasa sudah saatnya, Ratu Kalinyamat sontak lantang berteriak memberikan komando !
“Seraaaaaang!!!”
Gemuruh dan hiruk pikut suara pasukan Jipang Panolan yang tengah maju kini berbaur dengan gemuruh pekikan pasukan Demak yang juga maju menyambut kedatangan mereka!
Pertempuran tak terelakkan lagi! Ratu Kalinyamat dan Sunan Kalinyamat yang kini juga ikut turun dari kereta berganti menaiki seekor kuda, mengamuk di medan laga! Satu dua prajurid Jipang terbabat keris Ratu Kalinyamat tepat dileher! Sontak menjerit kesakitan dan sekarat dengan leher menganga mengucurkan darah segar!
Sungguh luar biasa sosok Ratu Kalinyamat! Dibalik kecantikan dan keanggunannya, kini dia berubah menjadi harimau betina yang pilih tanding! Kerisnya menyambar ke sana kemari, sangat cepat dan lihai!
Dipihak Jipang, pasukan dipimpin oleh Patih Matahun. Patih sepuh yang semenjak dulu setia mengabdi kepada Pangeran Suryawiyata dan sempat menghilang beberapa tahun semenjak pemberontakan Pangeran Suryawiyata dapat dipatahkan, kini, setelah Arya Penangsang tampil kedepan, Patih sepuh ini ikut tampil kembali.
Banyak prajurid Demak yang meregang nyawa terkena amukan Patih Matahun! Kelincahannya sangat mengagumkan! Kerisnya mencicit kesana kemari mengincar nyawa pasukan Demak!
Tingkah Patih Matahun menyita perhatian Ratu Kalinyamat. Harimau betina ini menggeram! Digebraknya kuda dan dengan sangat berani menyibak pertempuran dan melaju ke garis depan! Tujuan Ratu Kalinyamat tak lain adalah Patih Matahun!
Jika berkelahi dengan tangan kosong, Ratu Kalinyamat mungkin kalah tenaga dengan Patih Matahun. Namun jika beradu keahlian bermain keris, maka jangan sekali-kali meremehkan Ratu Kalinyamat!
Keris Ratu Kalinyamat mencicit tak terduga menelusup daerah vital lawan! Banyak prajurid Jipang yang ciut nyalinya melihat kelihaian Ratu Kalinyamat dalam bermain keris. Satu dua prajurid Jipang meregang nyawa sia-sia manakala hendak mencoba menghadang laju kuda harimau betina ini!
Dan Patih Matahun baru menyadari jika kini Ratu Kalinyamat tengah menuju ke arahnya! Patih sepuh ini segera bersiap diri. Ratu Kalinyamat terkenal mahir bermain keris dan Patih Matahun tidak berani sembarangan menghadapi perempuan cantik ini!
Dan benar! Begitu jarak mereka sudah sedemikian dekat, sembari terus memacu kudanya kencang, Ratu Kalinyamat menyabetkan keris kearah Patih Matahun! Serangan itu mengincar leher! Patih Matahun mencoba menghindar dengan cara memutar kudanya! Tapi ternyata, begitu jarak keris sudah sedemikian dekat, mendadak Ratu Kalinyamat mengubah serangan mengarah perut! Begitu cepat dan tak terduga! Patih Matahun kaget setengah mati! Tak urung, perutnya terkena sabetan keris Ratu Kalinyamat! Untung cuma tergores! Namun bagaimanapun juga, lukanya cukup lumayan!
Patih Matahun menggeram marah! Putri Sultan Trenggana ini ternyata memang mahir bermain keris! Jarang bisa ditemukan sosok seperti ini, walaupun seorang laki-laki sekalipun! Patih Matahun kini tidak berani main-main lagi!
Pertempuran semakin sengit!! Denting senjata diiringi teriakan-teriakan nyalang terdengar disana-sini! Diselingi pekik kesakitan dari mereka-mereka yang tengah terbabat senjata lawan atau yang tengah menggelepar meregang nyawa! Mayat telah banyak bergelimpangan dengan darah membasah!
Namun, jumlah pasukan Demak memang kalah banyak dengan jumlah pasukan Jipang! Pelahan dan pasti, pasukan Demak terpukul mundur!
Dan yang mengejutkan, terdengar teriakan-teriakan pasukan Jipang Panolan ditengah-tengah pertempuran. Teriakan-teriakan itu bersahut-sahutan :
“Sultan Demak wis matii!!! Sultan Demak wis matii!!”
(Sultan Demak tewas!! Sultan Demak tewas!!)
Ratu Kalinyamat terkejut mendengar bunyi teriakan-teriakan itu! Konsentrasinya seketika buyar! Patih Matahun tak menyia-nyiakan kesempatan itu! Ditubruknya tubuh Ratu Kalinyamat ! Patih Matahun meompat dari punggung kuda menabrakkan tubuhnya ke tubuh Ratu Kalinyamat!
Ratu Kalinyamat yang tak menduga akan hal itu tak sempat menghindar! Tubuhnya kontan tertimpa tubuh Patih Matahun! Keduanya jatuh terguling-guling diatas tanah! Dan celakanya, keris ditangan Ratu Kalinyamat terlepas dari genggaman!!
Sigap Ratu Kalinyamat bangkit dari tanah! Namun Patih Matahun lebih sigap lagi! Patih sepuh itu nampak kesetanan! Keris ditangannya mencicit mengarah dada Ratu Kalinyamat!
Ratu Kalinyamat bagai harimau kehilangan taring! Dia mencoba menghindar dan terus menghindar tanpa bisa membalas serangan!!
Ditempat lain, pasukan Demak mulai kocar-kacir! Kondisi pertempuran telah berubah drastis! Pasukan Demak terdesak hebat! Sebentar lagi, pasukan Demak akan menemui kekalahan!!
Ratu Kalinyamat panik! Serangan Patih Matahun terus mencercanya! Hingga disuatu ketika, posisi tempat Ratu Kalinyamat berdiri, kini tengah berada dibibir tebing! Mata Ratu Kalinyamat memerah! Nafasnya turun naik!! Dia memperhatikan Patih Matahun yang kini sudah dibantu oleh beberapa pasukan Jipang! Ratu Kalinyamat sadar, pasukan Demak sudah hampir kalah! Dan posisinya kini tengah berada diujung tanduk!
Dan, entah keberanian dari mana yang hinggap di benak Ratu Kalinyamat. Begitu mendapati dirinya terdesak, sontak, dia berbalik arah dan nekad terjun ke tebing dibelakangnya!
Patih Matahun yang hendak menabraknya terlambat! Tubuh Ratu Kalinyamat telah meluncur ke bawah dengan meninggalkan jeritan yang menggema!!
Patih Matahun kebingungan mengamati ke bawah tebing dimana Ratu Kalinyamat tadi melompat! Namun tidak lama, segera setelah itu dia memerintahkan beberapa prajurid untuk menuruni tebing dari sisi lain! Beberapa prajurid Jipang segera bergerak mencari jalan ke bawah!
Dimedan laga, prajurid Demak banyak yang tewas! Sisanya melarikan diri. Dan mayat Sunan Kalinyamat terlihat dibawa menepi oleh beberapa prajurid Jipang!
Hampir seharian, pencarian keberadaan Ratu Kalinyamat tidak mendapatkan hasil sama sekali. Patih Matahun menyimpulkan, putri Sultan Trenggana itu telah tewas didasar tebing. Dan berarti tugas mereka untuk membunuh Sunan Kalinyamat dan Ratu Kalinyamat telah berhasil dengan gemilang!
Kini, Patih Matahun dengan pasukan Jipang yang tersisa, tinggal kembali ke Jipang Panolan untuk menggabungkan diri dengan pasukan Jipang yang lebih besar, yang dipimpin oleh Arya Penangsang. Pasukan Jipang Panolan tengah mempersiapkan diri untuk bergerak ke ibu kota Demak Bintara.
Keesokan harinya, pasukan Jipang Panolan benar-benar bergerak ke ibu kota Demak Bintara! Angkatan bersenjata Demak yang memang telah mempersiapkan diri pula, menyambut pasukan Jipang Panolan walaupun mereka telah kehilangan sosok Sultan!
Dan tentu saja, sosok panutan tertinggi memang sangat berpengaruh bagi kondisi kejiwaan para prajurid. Pasukan Demak telah kehilangan semangatnya! Bahkan banyak kesatuan-kesatuan yang menyeberang ke pihak Jipang Panolan! Peperangan antara Jipang dengan Demak Bintara tidak memakan waktu lama! Demak Bintara berhasil ditaklukkan dengan sangat mudah!!
Para personil angkatan bersenjata Demak yang anti Jipang, banyak yang melarikan diri ke Kadipaten Pajang. Mereka mengabarkan kejatuhan Demak Bintara ditangan Arya Penangsang . Mengabarkan wafatnya Sultan Demak V beserta Ratu Kalinyamat, dan kini mereka hendak bergabung kedalam angkatan bersenjata Pajang!
Pajang gempar!! Adipati Adiwijaya atau Jaka Tingkir yang memang sudah lama mempersiapkan diri untuk menghadapi situasi seperti ini, segera memerintahkan angkatan bersenjata Pajang untuk semakin mempersiapkan diri berperang dengan Jipang Panolan!
Situasi benar-benar memanas! Peperangan antara Jipang Panolan yang mayoritas diperkuat barisan Islam Putihan dengan Pajang yang mayoritas diperkuat barisan Islam Abangan dan Shiwa Buddha, sudah tampak didepan mata!
Bahkan terdengar kabar sekali lagi, Jepara kini telah diserang oleh Jipang Panolan!
Para Senopati Pajang telah meminta kepada Adipati Adiwijaya untuk mengeluarkan maklumat perang dengan Jipang Panolan. Namun atas saran Ki Mas Manca, Ki Wila, Ki Wuragil, Ki Ageng Pamanahan dan Ki Juru Martani, seyogyanya Adipati Adiwijaya untuk sementara waktu melihat reaksi Dewan Wali Sangha atas peristiwa tersebut. Jika Dewan Wali Sangha nampak tidak menyetujui tindakan Arya Penangsang, maka tidak ada salahnya jika Pajang mengangkat senjata secara terbuka. Namun manakala pihak Dewan Wali Sangha malah merestui tindakan Arya Penangsang, maka harus dicari jalan lain demi menghadapi Jipang. Tidak boleh terlihat dipermukaan bahwa Pajang melawan Jipang jika Dewan Wali berpihak kepada Jipang. Namun harus ada tangan ketiga yang seolah-olah lepas dari Pajang yang harus menghadapi Jipang Panolan!
Sikap Dewan Wali belum jelas. Namun sikap Sunan Kudus sudah terbaca. Sunan Kudus menyetujui tindakan Arya Penangsang! Adipati Adiwijaya harus sabar menunggu reaksi Dewan Wali Sangha. Sebab jika gegabah menyerang Jipang, dan ternyata Dewan Wali merestui Jipang, bisa jadi, Cirebon dan Banten akan diperintahkan Dewan Wali membantu Jipang. Itu berarti, Pajang harus menghadapi tiga kekuatan sekaligus!
Adipati Adiwijaya sebenarnya sudah tidak sabar ingin berhadapan dengan Arya Penangsang yang katanya tak terkalahkan tersebut! Biarpun Sunan Kudus berada dibelakang Arya Penangsang, Adipati Adiwijaya alias Jaka Tingkir, tidak gentar sedikitpun! Namun saran dari pembantu-pembantu terdekatnya, memang patut dijadikan bahan pertimbangan. Walaupun istri sang Adipati, Nimas Sekaring Kedhaton, terus menangis mendengar dua orang kakak kandungnya, yaitu Sunan Prawata dan Ratu Kalinyamat, telah tewas ditangan pasukan Jipang Panolan!
Nimas Sekaring Kedhaton memohon kepada Adipati Adiwijaya agar berjanji membalaskan dendamnya kepada Arya Penangsang! Adipati Adiwijaya atau Jaka Tingkir, tidak bisa menolak permintaan istri kesayangannya tersebut!!
Namun bagaimanapun juga, reaksi dari Dewan Wali Sangha memang patut ditunggu. Setelah reaksi dari Dewan Wali keluar, maka saat itulah Pajang akan bergerak!!
Ki Ageng Pamanahan dan Ki Juru Martani.
Dipihak Pajang, telah sekian lama mengabdi dua orang keturunan Raden Bondhan Kejawen. Kedua orang ini memang sengaja dititipkan oleh Sunan Kalijaga kepada Adipati Adiwijaya. Mereka adalah Ki Ageng Pamanahan dan Ki Juru Martani.
Ki Ageng Pamanahan atau Ki Gedhe Mentaram
Ki Ageng Pamanahan adalah putra dari Ki Ageng Mangenis Sela. Ki Ageng Mangenis Sela adalah putra dari Ki Ageng Sela. Ki Ageng Sela adalah putra dari Ki Getas Pandhawa. Ki Getas Pandhawa adalah putra dari Raden Bondhan Kejawen atau Ki Ageng Tarub II. Dan Raden Bondhan Kejawen adalah putra selir Prabhu Brawijaya V dengan Dewi Wandhan Kuning atau Dewi Bondrit Cemara, putri yang berasal dari daerah Wandhan atau Banda Niera sekarang. ( Baca catatan saya Misi Peng-Islam-an Nusantara dan Jaka Tingkir : Damar Shashangka).
Sedangkan Ki Juru Martani adalah putra dari adik Ki Ageng Sela. Ki Ageng Sela memiliki tujuh orang adik perempuan. Dan salah satunya menurunkan Ki Juru Martani.
Usia Ki Juru Martani dengan Ki Ageng Pamanahan tidaklah terpaut terlalu jauh. Walaupun begitu, Ki Ageng Pamanahan tetap harus memanggil paman kepada Ki Juru Martani. Karena bagaimanapun juga, Ki Juru Martani adalah adik keponakan dari Ki Ageng Mangenis Sela, ayah Ki Ageng Pamanahan.
Kedua keturunan Raden Bondhan Kejawen ini telah lama berguru kepada Sunan Kalijaga. Dan manakala Jaka Tingkir telah berhasil menjabat sebagai Adipati Pajang dengan gelar Adipati Adiwijaya, maka atas permintaan Ki Ageng Sela, Sunan Kalijaga diminta menitipkan kedua orang ini kepada Jaka Tingkir.
Mendapati trah Tarub dititipkan oleh Sunan Kalijaga guna mengabdi di Pajang, Jaka Tingkir-pun tak mampu menolaknya. Keduanya-pun diterima sebagai pemimpin kesatuan Prajurid Pengawal Adipati yang kedudukannya berada dibawah Lurah Prajurid Pengawal langsung.
Kecakapan Ki Ageng Pamanahan membuat Jaka Tingkir atau Adipati Adiwijaya merasa tidak salah telah mempercayainya sebagai salah satu pemimpin Prajurid Pengawal. Ditambah kepintaran Ki Juru Martani dalam hal siasat politik maupun militer, membuat Adipati Adiwijaya akhirnya mengangkat Ki Ageng Pamanahan sebagai Lurah Prajurid Pengawal Adipati dan Ki Juru Martani sebagai wakilnya.
Ki Ageng Pamanahan memiliki seorang putra yang masih muda belia. Danang Sutawijaya namanya. Kedekatan Ki Ageng Pamanahan secara pribadi dengan Adipati Adiwijaya membuat Danang Sutawijaya pada akhirnya diambil putra angkat oleh Sang Adipati dan dijadikan teman bermain Pangeran Benawa, putra Sang Adipati yang usianya juga tak terpaut jauh dengan Danang Sutawijaya!
Maka, jika Adipati Adiwijaya secara pribadi dekat dengan Ki Ageng Pamanahan, Pangeran Benawa-pun sangat akrab dengan Danang Sutawijaya. Jalinan persaudaraan-pun tercipta antara keluarga Adipati dengan keluarga Ki Ageng Pamanahan.
Hingga suatu hari, datanglah seorang pemuda dusun yang memohon untuk menghadap kepada Adipati Adiwijaya. Kehadiran pemuda ini menggemparkan seisi Kadipaten karena dia mengaku telah diutus secara langsung oleh Ratu Kalinyamat!!
Tanpa menunggu waktu, Adipati Adiwijaya memerintahkan pemuda itu untuk segera menghadap kepadanya!!
Bagian 3
Kedatangan pemuda dusun yang konon diutus oleh Ratu Kalinyamat tersebut benar-benar menggemparkan seisi Kadipaten Pajang. Secepatnya Adipati Adiwijaya menyuruh pemuda itu untuk menghadap. Adipati Adiwijaya menemui sang pemuda secara pribadi dengan hanya ditemani oleh Nimas Sekaring Kedhaton, Ki Mas Manca, Ki Wila dan Ki Wuragil.
Dari penuturan pemuda dusun tersebut, tahulah Adipati Adiwijaya dan seluruh yang hadir disitu bahwasanya Ratu Kalinyamat masih diberikan umur panjang. Menurut sang pemuda, tubuh Ratu Kalinyamat dia ketemukan tengah tersangkut disebuah batang pohon besar yang kebetulan tumbuh didasar tebing.
Dalam kondisi yang terluka teramat parah, Ratu Kalinyamat ternyata masih hidup. Sangat beruntung sekali Ratu Kalinyamat karena saat terjatuh dari atas tebing, tubuhnya tidak sempat terbentur bebatuan cadas. Dan lebih beruntung lagi karena tubuhnya menimpa sebatang dahan pohon raksasa yang tumbuhnya kebetulan memang miring. Sungguh suatu keajaiban yang tidak akan mungkin bisa terulang lagi!
Sang pemuda yang kebetulan tengah mencari madu hutan, tanpa sengaja mendapati sosok tubuh seorang wanita yang penuh luka dan darah disana-sini tengah tersangkut di sebuah batang pohon. Menitik dari pakaian yang dikenakan, jelas sosok ini bukan dari kalangan rakyat biasa. Mendapati sosok itu masih hidup dan tengah sekarat, segera saja sang pemuda melupakan tujuannya semula yang hendak mencari madu ke hutan. Dia segera membopong tubuh tersebut dan membawanya pulang ke desa!
Bekel atau Kepala Desa yang mendapat laporan tentang penemuan sesosok tubuh wanita dari sang pemuda, segera datang ke rumah sang pemuda untuk melihatnya sendiri. Sang Bekel kaget melihat pakaian kebesaran Demak Bintara melekat pada tubuh wanita yang terluka parah tersebut. Segera saja Sang Bekel memerintahkan ahli pengobatan yang tinggal di desa tersebut untuk segera memberikan pertolongan secepatnya.
Beberapa tulang yang cidera, dikembalikan lagi posisinya. (Dalam pengobatan Jawa dikenal dengan Ilmu Sangkal Putung, yaitu ilmu pengobatan khusus tulang yang mampu mengembalikan posisi cidera tulang akibat benturan keras. Sampai sekarang masyarakat Jawa yang tengah mengalami cidera akibat kecelakaan, masih banyak yang meminta bantuan ahli Sangkal Putung. Dan pada kenyataannya, memang sangat mujarab. Banyak penderita yang tertolong walaupun tidak harus mendatangi Rumah Sakit : Damar Shashangka.)
Luka-luka luar maupun luka-luka dalam, pelahan dengan pasti berangsur-angsur sembuh berkat ramuan yang diracik dari berbagai tanaman. Dan satu minggu kemudian, sosok wanita yang tak lain adalah Ratu Kalinyamat tersebut, baru bisa diajak bicara. Dan terkejutlah seisi penghuni desa tak terkecuali Sang Bekel mendapati pengakuan dari wanita tersebut bahwasanya dirinya tak lain adalah Ratu Kalinyamat, permaisuri Sultan Demak V yang kini telah tewas akibat terbunuh oleh pasukan Jipang Panolan!
Satu bulan kemudian, Ratu Kalinyamat telah mampu bangkit dari ranjang walau masih tertatih-tatih akibat cidera tulang yg dialaminya masih belum sembuh total.
Pada masa itu, interaksi antar penduduk satu desa dengan desa lain sangat-sangat terbatas. Disamping kebutuhan ekonomi mereka telah tercukupi dari hasil pertanian olahan sendiri, medan dan jalan-jalan penghubung antar daerah masih sulit dan terjal. Apalagi desa dimana Ratu Kalinyamat tertolong termasuk desa yang ada dilereng pegunungan. Maka bisa dibayangkan, betapa terisolirnya letak desa tersebut.
Bagi para penduduk desa, adalah sebuah kehormatan besar bagi mereka telah menolong seorang permaisuri Sultan Demak. Dan kepada pemuda yang dulu menemukan tubuh Ratu Kalinyamat pada mula pertama, Sang Ratu menjanjikan sebuah jabatan di pemerintahan.
Sang pemuda lantas diutus oleh Ratu Kalinyamat menyampaikan kabar keselamatannya ke Pajang. Dengan dibekali beberapa lembar Rontal yang telah ditulisi pesan pribadi dari Sang Ratu, dan setelah diwanti-wanti agar berhati-hati dijalan karena ini adalah tugas yang cukup rahasia dan berbahaya jika sampai diketahui oleh mata-mata Jipang, maka berangkatlah sang pemuda ke Pajang.
Adipati Adiwijaya berikut sang permaisuri, Nimas Sekaring Kedhaton benar-benar bersyukur kepada Hyang Widdhi mendengar kabar yang dibawa oleh sang pemuda yang kini tengah ada dihadapan mereka. Bahkan saking gembiranya, Nimas Sekaring Kedhaton meneteskan air mata bahagia.
Segera Adipati Adiwijaya membaca surat dari kakak iparnya yang diserahkan oleh sang pemuda. Nampak Sang Adipati mengerutkan dahi setelah membaca isi surat dari Ratu Kalinyamat. Disana tertulis bahwasanya Sang Ratu meminta kepada Adipati Adiwijaya supaya mengirimkan beberapa prajurid pilihan untuk mengantarkannya pulang ke Jepara. Para prajurid harus ‘nylamur lampah’ alias menyamar sebagai orang kebanyakan. Tidak hanya prajurid, Sang Ratu juga meminta agar dikirimkan pula beserta para prajurid, beberapa pelayan wanita.
Tujuan Sang Ratu ke Jepara adalah menuju sebuah gua rahasia yang tidak seorang-pun mengetahui letak gua tersebut kecuali Sang Ratu sendiri dan almarhum suaminya, Sunan Kalinyamat. Disana selain menyembunyikan diri, Ratu Kalinyamat juga bertekad akan melakukan TAPA WUDA atau TAPA TELANJANG. Ratu Kalinyamat tidak akan mengenakan selembar pakaian-pun selama Arya Penangsang belum mati terbunuh!!
Selain itu, Ratu Kalinyamat secara khusus meminta agar Adipati Adiwijaya memberikan ganjaran atau anugerah berupa uang yang sepantasnya kepada para penduduk desa yang telah berjasa menyelamatkan nyawanya. Dan khusus kepada pemuda yang telah menemukan tubuhnya ketika terluka parah, Ratu Kalinyamat memohon agar pemuda tersebut bisa diberikan kedudukan yang pantas dijajaran pemerintahan Kadipaten Pajang.
Membaca permintaan yang kedua dan ketiga dari Ratu Kalinyamat, bagi Sang Adipati tidak menjadi masalah untuk memenuhinya, namun membaca permintaan pertama dimana Sang Ratu hendak berniat menuju Jepara, membuat Adipati Adiwijaya merasa berberat hati.
Adipati Adiwijaya memutuskan agar sang pemuda untuk sementara mundur dahulu dari hadapan beliau. Dia diutus agar beristirahat untuk sementara waktu. Beliau sendiri hendak membahas isi surat Ratu Kalinyamat dengan Nimas Sekaring Kedhaton, Ki Mas Manca, Ki Wila dan Ki Wuragil secara pribadi.
Sang pemuda diantar beberapa prajurid pengawal Adipati menuju tempat peristirahatan yang telah disediakan baginya.
Tapa Telanjang Ratu Kalinyamat.
Jepara kini telah dikuasai oleh Jipang Panolan. Bila Ratu Kalinyamat nekad kembali ke Jepara, itu sama saja dengan ‘Ula marani gepuk’ atau mencari mati. ( Ula marani gepuk adalah istilah Jawa yang artinya kurang lebih, seekor ular malah mendekati tongkat pemukul yang hendak dipergunakan untuk meremukkan kepalanya : Damar Shashangka). Begitulah Adipati Adiwijaya berpendapat.
Namun, Nimas Sekaring Kedhaton malah berpendapat lain. Saat ini, malahan tempat yang dirasa paling aman bagi kakak kandungnya memang hanyalah wilayah Jepara. Karena walaupun Jepara memang telah dikuasai Jipang Panolan, namun Ratu Kalinyamat, bagaimanapun juga, telah hapal setiap jengkal tanah Jepara.
Bahkan, Nimas Sekaring Kedhaton dulu pernah mendengar bahwa kakak kandungnya memang memiliki tempat rahasia yang khusus, tempat yang kerap kali dia pergunakan untuk menyepi dan bertapa.
Hanya Ratu Kalinyamat dan almarhum suaminya, Sunan Kalinyamat saja yang tahu dimana letak tempat tersebut. Para prajurid Jepara-pun, tidak seorang-pun yang mengetahuinya. Konon letaknya berada disekitar Gunung Danaraja. Mungkin, jika benar Ratu Kalinyamat berniat untuk menyembunyikan diri disana, pihak Jipang dapat dipastikan tidak akan bisa menemukannya!
Ki Mas Manca, Ki Wila dan Ki Wuragil condong menyetujui pendapat Nimas Sekaring Kedhaton.
Apa yang telah diputuskan oleh Ratu Kalinyamat, tentunya memang sudah dipertimbangkan secara masak. Mungkin, selain beliau berniat untuk menyembunyikan diri ditempat yang paling aman menurut beliau, diam-diam Sang Ratu juga bisa mengkoordinasikan kekuatan dari para pendukungnya yang masih ada disana. Siapa saja mereka, tentunya hanya Ratu Kalinyamat yang tahu. Ratu Kalinyamat lebih bisa berbuat sesuatu di Jepara daripada jika Sang Ratu memilih bersembunyi ke Pajang, begitu menurut pendapat Ki Mas Manca.
Setelah berunding cukup lama, pada akhirnya, Adipati Adiwijaya memutuskan memenuhi semua permintaan Ratu Kalinyamat. Dikirimkannyalah dua puluh prajurid khusus pilihan dari Pajang dengan menyamar sebagai rombongan penari keliling. Dengan membawa seperangkat Gamelan sebagai bagian dari aksi penyamaran,ditambah lima orang pelayan wanita yang menyamar sebagai para penarinya, maka dihari yang telah ditentukan, berangkatlah mereka.
Disetiap tempat, mereka sengaja menggelar pertunjukan. Hal ini demi untuk mengelabuhi para mata-mata Jipang sekiranya keberadaan mereka tengah menjadi perhatian mereka. Dan pada akhirnya sampai juga mereka di desa dimana Ratu Kalinyamat tengah menyembunyikan diri.
Ratu Kalinyamat lantas ikut rombongan Pajang tersebut dan meninggalkan desa dimana selama ini Sang Ratu telah dirawat untuk menuju ke Jepara. Dalam perjalanan ke Jepara, rombongan tersebut juga kerap menggelar pertunjukan. Namun, Sang Ratu sengaja tidak tampil ke muka umum. Hingga pada akhirnya, rombongan ini selamat sampai ke Gunung Danaraja.
Ratu Kalinyamat dan rombongan segera menuju gua rahasia yang selama ini sangat dirahasiakan oleh Sang Ratu. Dua puluh prajurid pilihan Pajang bertugas menjaga keselamatan Sang Ratu. Sedangkan lima orang pelayan wanita bertugas melayani kebutuhan Sang Ratu. Sedangkan Ratu Kalinyamat sendiri, segera memilih tempat yang tepat, tempat yang tersembunyi dan agak gelap. Dan setelah tempat tersebut dibersihkan sedemikian rupa, Sang Ratu-pun untuk sejenak beristirahat disana sembari menunggu malam menjelang.
Begitu malam telah turun, Sang Ratu dengan diantar lima pelayan wanita, keluar dari gua menuju sungai Gajahan yang terletak tak jauh dari sana. Sang Ratu membersihkan diri disungai tersebut. Selesai membersihkan diri, beliau kembali ke dalam gua.
Ditempat yang telah dipilih, Sang Ratu melepaskan seluruh busananya hingga telanjang bulat. Rambut panjangnya diurai sedemikian rupa hingga menutupi bagian payudaranya. Ratu Kalinyamat duduk bersila. Sang Ratu bertekad, tidak akan mengenakan busananya lagi sebelum Arya Penangsang mati! ( Tempat Tapa Telanjang Ratu Kalinyamat hingga sekarang menjadi tempat ziarah. Terletak di Desa Danaraja, Jepara bagian utara, dan Sungai Gajahan masih tetap mengalir disana. : Damar Shashangka)
Dalam kondisi seperti itu, hanya pelayan wanita saja yang diperbolehkan mendekati beliau.
Diam-diam, walaupun Ratu Kalinyamat juga tengah menjalani Tapa Telanjang, melalui kedua puluh prajuirid pilihan yang menjaganya, Ratu Kalinyamat mencoba menghubungi beberapa mantan petinggi Jepara yang masih loyal kepadanya. Beberapa mantan pejabat tersebut diam-diam pula bertandang menghadap ke Gunung Danaraja. Dari sini, koordinasi mulai dibangun kembali. Ratu Kalinyamat pelahan dan pasti, mulai merapatkan barisan para pendukungnya. Kekuatan Jepara yg tercerai berai akibat gempuran Jipang Panolan, diam-diam mulai menyatu kembali.
Usaha Pembunuhan Adipati Adiwijaya.
Arya Penangsang sudah bersiap untuk menyerang Pajang. Namun Sunan Kudus masih menghalanginya. Pajang terlalu kuat untuk diperangi saat ini. Seluruh kekuatan Islam Abangan, bahkan sedikit banyak kekuatan Shiwa Buddha, kini telah merapat dalam satu barisan dibawah panji Kadipaten Pajang.
Jika Dewan Wali Sangha sudah jelas-jelas memberikan dukungan kepada Jipang, maka penyerangan ke Pajang tidaklah menjadi masalah. Karena sudah dapat dipastikan, Cirebon dan Banten, mau tidak mau akan ikut memperkuat barisan Jipang manakala Dewan Wali telah mengeluarkan fatwanya!
Kekuatan Pajang sebenarnya terletak pada sosok Jaka Tingkir sebagai pewaris tahta Majapahit. Sosok Adipati Pajang ini mampu memberikan semangat romantisme yang luar biasa akan kejayaan Majapahit. Baik pengikut dari Shiwa Buddha maupun Islam Abangan, mereka semua sangat-sangat mengagungkan Majapahit.
Sunan Kudus memberikan solusi, jika Jaka Tingkir berhasil dibunuh, maka dapat dipastikan, kekuatan Pajang akan terpecah-pecah!
Model pembunuhan seperti yang pernah dilakukan kepada Sunan Prawata yang berhasil dengan gemilang, tidak ada salahnya dicoba untuk dilakukan sekali lagi kepada Adipati Pajang tersebut.
Arya Penangsang merespon solusi yang dianjurkan oleh Sunan Kudus. Dipilihnyalah empat orang anggota prajurid Sureng, prajurid khusus Jipang Panolan, untuk menjalankan tugas rahasia tersebut.
Empat anggota prajurid pilihan yang diambil dari anggota pasukan khusus segera ditugaskan menuju Pajang. Konon, Jaka Tingkir adalah sosok manusia digdaya yang tubuhnya kebal senjata tajam. Maka, sekali lagi, Keris Kyai Brongot Setan Kober yang berhasil direbut dari dalam Kereta kencana Ratu Kalinyamat dan Sunan Kalinyamat dikala penyerangan kepada kedua bangsawan tersebut tempo hari, kini dibekalkan kepada empat orang prajurid tersebut.
Dengan menyamar sebagai pedagang keliling, empat orang prajurid khusus Jipang Panolan tersebut segera berangkat menuju Pajang. Beberapa hari mereka menempuh perjalanan dan akhirnya sampai juga di ibukota Kadipaten Pajang.
Empat orang prajurid Jipang selama tiga hari menyamar sebagai pedagang keliling. Sembari pura-pura menjajakan dagangan berupa pakaian-pakaian jadi, mereka mencoba mencari informasi seputar kondisi dan situasi Kadipaten.
Sebagai seorang prajurid khusus yang telah terlatih, mereka dengan sangat cepat mampu menandai dimana titik-titik lemah penjagaan Kadipaten Pajang.
Setelah yakin akan hasil penyelidikannya, maka pada hari keempat, tepat tengah malam, mereka segera memulai aksinya.
Malam itu, Ki Ageng Pemanahan dan Ki Juru Martani belum tertidur. Keduanya masih terjaga sembari berbincang-bincang. Namun mendadak, baik Ki Ageng Pemanahan maupun Ki Juru Martani, merasakan perubahan suasana yang aneh. Kondisi Kadipaten tiba-tiba terasa senyap. Bahkan suara burung malam yang sesekali terdengar, kini mendadak tak terdengar sama sekali. Seolah seluruh makhluk penghuni malam, telah hilang begitu saja, entah kemana. Bahkan, jengkerikpun tiba-tiba tidak memperdengarkan suara khasnya.
Suasana yang terasa aneh seperti itu membuat kedua orang ini waspada. Ki Juru Martani berbisik kepada Ki Ageng Pemanahan bahwa sepertinya ada orang yang tengah menebarkan kekuatan gaib ilmu sirep, yaitu sejenis ilmu yang dipergunakan untuk membuat orang lain tertidur pulas bagaikan mati. Ki Ageng Pemanahan segera memutuskan untuk keluar dari bilik pribadi. Dengan diikuti oleh Ki Juru Martani, keduanya segera berkeliling areal Kadipaten.
Didalam bilik peraduan, Adipati Adiwijaya juga merasakan perubahan suasana yang misterius tersebut. Malam itu, Sang Adipati tidur dengan ditemani empat orang istri selir. Keempat istri selir nampak pulas tertidur disisi kanan dan kiri Sang Adipati, mereka tertidur bagaikan mati. Hanya tinggal Adipati Adiwijaya saja yang terjaga dengan benak dipenuhi tanda tanya. Ada sesuatu yang tengah terjadi. Sang Adipati kini mulai meningkatkan kewaspadaannya. Dengan tetap berbaring telentang, Adipati Adiwijaya sengaja menyelimuti tubuhnya dengan selembar kain kemben.
Situasi sangat-sangat senyap.
Mendadak dari arah pintu kamar, lamat-lamat terdengar bunyi berisik. Mata Sang Adipati nyalang melirik ke arah pintu kamar. Jelas dari arah luar, ada orang yang sengaja berusaha masuyk secara paksa kedalam. Sang Adipati waspada. Dengan tetap dalam posisi telentang berselimutkan kain kemben, Sang Adipati siaga sepenuhnya!
Tidak berapa lama berselang, dua orang bercadar berhasil membuka pintu dan langsung masuk kedalam. Yang seorang segera bergerak kearah pembaringan dan yang seorang tetap menjaga pintu! Terlihat keris dihunus dari warangka, berkilat sesaat tertimpa cahaya pelita kamar. Dengan memegang keris terhunus dan berjalan mengendap-endap, salah seorang bercadar mendekati pembaringan Adipati Adiwijaya.
Begitu jarak sudah sedemikian dekat dengan tubuh Sang Adipati, orang bercadar tersebut secepat kilat menikamkan keris kedada Sang Adipati! Keris terayun nyalang mengarah dada!
Namun terjadi keanehan! Tusukan yang telah sedemikian tepat dan mematikan tersebut mental bagaikan mengenai lempengan besi padat! Dada Sang Adipati sama sekali tidak terluka sedikitpun! Hanya kain kemben yang dijadikan selimut tersingkap!
Orang bercadar yang menusukkan keris terkejut!! Sekali lagi dihunjamkannya keris kearah yang sama! Dan sekali lagi pula, keris mental bagai mengenai lempengan logam!
Disaat itu, Adipati Adiwijaya mendadak membuka mata nyalang! Dengan menggeram marah, Adipati Adiwijaya segera menjejakkan kakinya ke dada orang bercadar yang berusaha hendak menusukkan keris sekali lagi ke arah tubuhnya! Jejakan kaki Sang Adipati tepat mengenai dada! Tubuh orang bercadar terdorong kebelakang, lantas jatuh menimpa perabotan kamar diiringi bunyi gaduh yang nyaring!!
Bunyi gaduh akibat jatuhnya tubuh orang bercadar menimpa perabotan kamar membuat keempat istri selir terbangun! Kontan begitu menyadari ada dua orang lain yang tengah hadir didalam kamar, mereka langsung menjerit ketakutan!
Dengan bertelanjang dada, Adipati Adiwijaya bangkit dari pembaringan dan langsung menyambar sebuah keris yang menyandar disudut dinding!! Adipati Adiwijaya menghunus keris tersebut seketika! Salah seorang bercadar yang sedari tadi menjaga pintu, tanpa menunggu waktu langsung menyerang Sang Adipati! Perkelahian segera terjadi! Kegaduhan pun tercipta diiringi jerit ketakutan keempat istri selir yang kini nampak berkumpul berdiri dipojok kamar !!
Bagian 4
Tusukan keris bisa dihindari oleh Adipati Adiwijaya. Bahkan dengan tak terduga, keris ditangan Sang Adipati cepat menukik ke arah perut! Orang bercadar kaget! Begitu cepat serangan tersebut! Dia berusaha menghindar selekasnya, namun karena terlalu cepatnya serangan, kulit perutnya-pun tergores juga! Dibalik cadarnya, dia meringis kesakitan!!
Salah seorang yang sedari tadi terjatuh, kini bangkit berdiri dan langsung menyerang! Kegaduhan kembali terjadi lebih dari semula! Namun, bagaimanapun juga, kedua pasukan khusus Sureng Jipang Panolan ini diam-diam harus mengakui, sosok Adipati Adiwijaya memang tangkas dan trengginas dalam bermain silat!
Belum lama pertempuran terjadi, karena terpancing suara gaduh dan jeritan para selir yg berselang-seling dengan teriakan-teriakan dari mereka yang tengah berkelahi, beberapa pasukan pengawal Adipati merangsak masuk ke dalam kamar. Nampak Ki Ageng Pemanahan dan Ki Juru Martani langsung ikut meleburkan diri dalam kegaduhan!
Sang Adipati berteriak nyalang :
“Jangan bunuh!! Tangkap hidup-hidup!!”
Apa daya dua orang menghadapi beberapa prajurid pengawal Adipati Pajang. Begitu tombak-tombak panjang yang runcing terarah ketubuh mereka, mau tak mau, mereka menghentikan serangannya dan langsung duduk bersimpuh!!
“Kangjeng Adipati, saya juga telah membekuk dua orang lain yang berada diluar!”. Ujar Ki Ageng Pamanahan sembari menyembah.
Adipati Adiwijaya menyarungkan kerisnya.
“Kurung mereka untuk sementara waktu. Obati luka-luka mereka. Besok pagi, hadapkan semuanya kepadaku!”
Ki Ageng Pemanahan menyembah lantas memrintahkan dua orang prajurid pengawal untuk mengikat tangan kedua orang bercadar yang kini tengah duduk bersimpuh! Keduanya lantas digiring keluar kamar dan dibawa ke Pakunjaran atau tempat kurungan.
Malam itu, Adipati Adiwijaya terpaksa harus tidur dikamar permaisurinya, Nimas Sekaring Kedhaton yang jadi ikut terbangun akibat kejadian tersebut. Beberapa pelayan wanita terpaksa pula membereskan seluruh perabotan pecah belah yang hancur berserakan akibat perkelahian barusan.
Malam itu, seisi Kadipaten Pajang geger!
Keesokan harinya, keempat orang yang semalam tertangkap, dihadapkan secara khusus kepada Adipati Adiwijaya. Cadar mereka telah dibuang. Kini wajah keempat-empatnya nampak jelas sudah. Mereka menundukkan muka, menunggu jatuhnya hukuman mati yang pasti akan diberikan oleh Adipati Adiwijaya!
Sang Adipati terdiam agak lama memperhatikan keempat orang yang nampak sudah sangat pasrah tersebut. Di sana, Ki Mas Manca, Ki Wila, Ki Wuragil, Ki Ageng Pemanahan dan Ki Juru Martani ikut hadir. Berikut beberapa prajurid pengawal. Suasana tegang, menantikan apa yang hendak dilakukan oleh Sang Adipati. Tak ada yang berani mengeluarkan suara sekecil apapun.
Pada akhirnya, Adipati Adiwijaya-pun angkat suara.
“Dhimas Pemanahan. Bagaimana hasilnya?”
Ki Ageng Pamanahan menyembah sejenak dan menjawab :
“Kasinggihan Dalem Kangjeng, keempat orang ini adalah prajurid Sureng dari Jipang Panolan!”
Seluruh yang hadir terkejut seketika mendengar jawaban Ki Ageng Pemanahan. Adipati Adiwijaya lekat memperhatikan keempat orang dihadapannya sembari memincingkan mata. Yang diperhatikan semakin menundukkan kepala.
Nampak kemudian, Ki Ageng Pemanahan mengeluarkan benda berbuntalkan kain putih dari balik bajunya, kemudian menyembah sejenak dan berjalan duduk menghampiri tempat Adipati.
“Mohon Kangjeng memeriksa benda ini.”
Adipati Adiwijaya menerima benda berbungkus kain putih yang dihaturkan Ki Ageng Pemanahan. Dengan menahan nafas, dibukanya kain putih penutup, begitu benda telah lepas dari penutupnya, memerahlah wajah Sang Adipati. Bibirnya tanpa sadar bergumam :
“Kyai Brongot Setan Kober!”
Suara Sang Adipati menambah keterkejutan semua yang hadir. Ditangannya kini tergenggam sebilah keris yang tak lain adalah Kyai Brongot Setan Kober, keris pusaka milik Sunan Kudus yang telah diberikan kepada Arya Penangsang.
Dada Adipati Adiwijaya bergemuruh. Ditunjukkannya keris ditangan kepada Ki Mas Manca. Ki Mas Manca memincingkan mata memperhatikan keris tersebut lekat-lekat. Sembari menarik nafas, wajah Ki Mas Manca bersemu merah!
“Bagaimana, kangmas?” , tanya Adipati Adiwijaya.
Ki Mas Manca diam sesaat. Kemudian dia menjawab :
“Terserah dhimas Adipati. Ini sudah keterlaluan!”
Keris lantas diserahkan kembali kepada Ki Ageng Pemanahan. Kini kembali Adipati Adiwijaya memperhatikan empat orang prajurid Sureng Jipang Panolan. Sang Adipati dengan suara tertahan, menanyakan langsung kepada keempat prajurid dihadapannya, benarkah Arya Penangsang yang telah memerintahkan mereka.
Salah seorang prajurid yang ditunjuk untuk menjawab, dengan terbata-bata membenarkan akan hal itu. Suasana menjadi bertambah tegang.
Adipati Adiwijaya menghela nafas, lantas berkata :
“Kalian orang Jipang, kali ini aku ampuni nyawa kalian!”
Mendengar titah Sang Adipati, semua yang mendengar tidak menduga sama sekali. Lantas kembali Sang Adipati berkata :
“Pulanglah kembali ke Jipang Panolan. Tapi Kyai Brongot Setan Kober aku ambil. Dan kepulangan kalian akan aku beri bekal emas permata dan uang ketheng yang banyak. Katakan kepada Arya Penangsang, tidak mudah membunuh Jaka Tingkir!”
Keputusan sudah diturunkan, tidak ada lagi yang berani membantah.
Keeesokan harinya, keempat prajurid Sureng dari Jipang dihantarkan oleh prajurid khusus pengawal Adipati keluar dari ibu kota Pajang untuk pulang kembali ke Jipang Panolan.
Betapa malu keempat orang prajurid Sureng tersebut mendapat perlakuan semacam itu.
Undangan Sunan Kudus
Kepulangan empat prajurid Sureng ke Jipang Panolan, bukannya membawa kabar keberhasilan yang membuat Arya Penangsang senang, namun malahan membawa malu yang mencoreng muka Arya Penangsang. Tidak hanya gagal menjalankan tugas, tapi juga meninggalkan Keris Kyai Setan Kober di Pajang!
Sudah bisa ditebak, diam-diam keempat orang prajurid ini dijatuhi hukuman penggal kepala oleh Arya Penangsang karena tidak berhasil menjalankan tugas. Ironis.
Kabar kegagalan itu dilaporkan oleh Arya Penangsang kepada Sunan Kudus. Sunan Kudus tak habis pikir, betapa tinggi ilmu kanuragan yang dimiliki Adipati Adiwijaya. Keris Kyai Brongot Setan Kober, tidak mampu melukai tubuhnya sedikitpun. Arya Penangsang mendesak Sunan Kudus agar diberi ijin untuk mengadakan penyerangan ke Kadipaten Pajang. Karena semua sudah kepalang basah. Namun lagi-lagi, Sunan Kudus menghalanginya. Sunan Kudus masih memiliki satu cara lagi. Satu cara untuk memancing Adipati Adiwijaya keluar dari sarang. Jika berhasil dipancing keluar dari sarangnya, maka untuk memusnahkan segala ilmu kanuragan yang dimilikinya dan lantas membunuhnya akan semakin mudah dilakukan.
Pada hari yang akan ditentukan, Sunan Kudus secara pribadi akan mengirimkan undangan khusus kepada Adipati Pajang. Sunan Kudus sengaja mengundang Sang Adipati guna untuk memperingati tahun baru Islam, satu Muharrom, yang hendak dirayakan oleh Pesantren Kudus. (Waktu itu, kalender Jawa belum lahir. Kalender yang dipakai adalah kalender Hijriyyah dan kalender Saka. Kedua kalender yang berasal dari tradisi Islam dan tradisi Hindhu ini dipakai secara bersamaan. Jadi waktu itu belum dikenal istilah SURO-an. Kalender Jawa baru lahir kelak oleh cicit Ki Ageng Pemanahan, cucu Panembahan Senopati, yaitu Kangjeng Sultan Agung Anyakrakusuma pada tahun 1555 Saka atau 1633 Masehi. Kalender Jawa adalah sistim penanggalan dimana kalender Hijriyyah dari Islam dan kalender Saka dari Hindhu dilebur menjadi satu kesatuan. : Damar Shashangka)
Dapat dipastikan, Adipati Adiwijaya sebagai seorang pemimpin yang disegani di Jawa, akan menghargai undangan tersebut. Undangan dari seorang anggota Dewan Wali Sangha yang tergolong sepuh. Yang punya pengaruh dan suaranya didengar di dalam Dewan Wali. Maka mau tak mau, Adipati Adiwijaya akan hadir memenuhi undangan tersebut.
Manakala Adipati Adiwijaya telah datang ke Kudus, maka Arya Penangsang yang harus menyambut kedatangannya. Sunan Kudus telah menyediakan sebuah kursi khusus yang sengaja telah diberi doa-doa untuk melenyapkan segala macam ilmu kesaktian yang dimiliki siapapun yang duduk diatasnya. Dan adalah tugas Arya Penangsang untuk mengusahakan agar Adipati Adiwijaya bisa duduk dikursi tersebut.
Disamping itu, diam-diam Arya Penangsang juga harus mempersiapkan seluruh angkatan bersenjata Jipang untuk bersiap-siap menyerang Pajang.
Jika Adipati Adiwijaya telah menduduki kursi khusus tersebut, maka saatnya bagi Arya Penangsang untuk membunuh Sang Adipati saat itu juga. Dapat dipastikan, seluruh kekuatan Adipati Adiwijaya luruh. Begitu Sang Adipati telah tewas, maka Arya Penangsang harus segera memerintahkan penyerangan besar-besaran ke Pajang.
Dengan tidak adanya Adipati Adiwijaya, Pajang, sekuat apapun, hanya akan menjadi harimau tak bertaring. Pajang akan kucar-kacir. Dan Jipang pasti bisa menjebol Pajang!
Rencana yang sangat matang tersebut disetujui Arya Penangsang. Dan menginjak bulan ke sebelas menurut kalender Islam, yaitu bulan Dzulqo’idah, Sunan Kudus mengirimkan surat undangannya ke Pajang.
Surat dari Sunan Kudus tersebut diterima oleh Adipati Adiwijaya. Isi surat segera menjadi bahasan serius Sang Adipati. Disana tertera bahwasanya Sunan Kudus mengharap dengan hormat kepada Kangjeng Adipati Pajang, Adiwijaya, untuk bersedia hadir di Kudus pada bulan Muharrom guna ikut memperingati perayaan tahun baru Islam.
Seluruh orang terdekat Adipati Adiwijaya menyarankan agar Adipati Adiwijaya berhati-hati. Bisa jadi ini adalah jebakan baginya. Namun, tidaklah etis mengabaikan undangan seorang berpengaruh di Jawa seperti Sunan Kudus dimana suaranya memiliki kekuatan dalam Dewan Wali Sangha.
Maka diputuskan, Adipati Adiwijaya akan berangkat ke Kudus dengan didampingi oleh Ki Ageng Pemanahan dan Ki Juru Martani. Sedangkan Ki Mas Manca, Ki Wila dan Ki Wuragil, akan tetap di Pajang. Menyiagakan seluruh kekuatan angkatan bersenjata Pajang jika nanti terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Adipati Adiwijaya mempercayakan Pajang kepada Ki Mas Manca manakala dia pergi ke Kudus.
Dua bulan kemudian, menjelang beberapa hari sebelum hari perayaan yang tertera dalam surat undangan dari Kudus, berangkatlah rombongan Adipati Pajang ke Kudus. Segala macam kebesaran Pajang nampak dari rombongan tersebut. Disetiap jalan yang dilalui, rombongan Pajang senantiasa mendapatkan berbagai bentuk penghormatan dari rakyat. Bahkan, ditempat-tempat mana rombongan Pajang bermalam, rakyat sangat bersuka cita menerima kehadiran mereka. Banyak yang mempersembahkan makanan dengan suka rela walaupun sebenarnya, seluruh rombongan tidak begitu memerlukannya. Perbekalan yang dibawa dari Pajang sudah lebih dari cukup.
Namun, Adipati Adiwijaya memerintahkan kepada seluruh prajurid yang ikut dalam rombongan agar menerima segala persembahan dari rakyat tersebut. Walaupun nampak remeh temeh, namun itu adalah wujud kecintaan rakyat kepada mereka semua. Jangan sekali-kali mengacuhkan persembahan makanan yang diunjukkan dengan rasa penuh kecintaan tersebut.
Beberapa hari kemudian, sampailah rombongan Adipati Pajang ke kota Kudus. Kedatangan rombongan dari Pajang ini mengagetkan masyarakat Kudus. Mereka terperangah melihat segala macam kebesaran yang terlihat. Mereka baru menyadari, bahwa Pajang ternyata sudah pantas jika menjadi sebuah Kerajaan besar. Panji-panji Pajang berkibar-kibar. Berkelebat dengan gagah diterpa angin. Nampak didepan, Adipati Adiwijaya menaiki seekor gajah diiringi beberapa prajurid berkuda diarah depan, kiri, kanan dan baru rombongan berkuda juga dibelakangnya. Seluruh orang Kudus kagum melihat kebesaran Pajang!
Rombongan itu langsung menuju ke Pesantren Kudus. Disana, para santri menyambut kedatangan rombongan Adipati Pajang dengan menabuh rebana dan menyanyikan salawat Nabi seperti kebiasaan mereka.
Diantara rombongan, Ki Ageng Pemanahan dan Ki Juru Martani, tetap mempertajam kewaspadaan mereka. Nampak, selain para santri, ada terlihat beberapa pasukan Jipang yang juga telah hadir disana. Bahkan ada beberapa pasukan dari daerah lain yang nampak ikut hadir.
Namun kedatangan rombongan dari Pajang, lebih menyita perhatian. Kebesaran Adipati Adiwijaya sangat memukau semua mata. Begitu Sang Adipati turun dari atas punggung gajah, nampak dipendhopo, beberapa santri langsung menyambutnya dan mempersilakan masuk ke pendhopo.
Seluruh rombongan turun dari kuda. Masing-masing tali kekang kuda ditambatkan ditempat yang telah disediakan. Perayaan tahun baru Islam di Kudus memang terlihat meriah.
Ki Ageng Pemanahan dan Ki Juru Martani segera mengiringi Adipati Adiwijaya. Mereka masuk ke pendhopo diikuti para prajurid khusus Pajang yang lain.
Begitu seorang santri kembali mempersilakan agar Adipati Adiwijaya masuk ke ruang dalam untuk bertemu secara khusus dengan Sunan Kudus, Ki Ageng Pemanahan segera memilih beberapa prajurid yang terlatih untuk ikut mengiringi Sang Adipati bersamanya. Sedangkan Ki Juru Mertani, tetap bertugas diluar, menyiagakan seluruh prajurid yang tidak ikut masuk bila ada hal yang tidak dikehendaki nanti.
Manakala Adipati Adiwijaya, Ki Ageng Pemanahan dan beberapa prajurid pilihan masuk keruang dalam, betapa terkejut mereka ketika disana Arya Penangsang dan beberapa prajurid khusus Jipang Panolan telah berdiri menyambut.
Baik Adipati Adiwijaya maupun Ki Ageng Pemanahan segera waspada.
Arya Penangsang langsung bergerak memeluk Adipati Adiwijaya. Setelah itu dia berkata :
“Dhimas Adiwijaya, sangat senang hatiku melihat adhimas bersedia hadir di Kudus ini.”
Adipati Adiwijaya tersenyum dan menjawab :
“ Kangmas Penangsang, hati saya-pun gembira bisa melihat kangmas juga hadir di Kudus ini.”
Diam-diam, Ki Ageng Pemanahan memberikan isyarat wspada kepada seluruh prajurid yang ikut masuk.
Terdengar Arya Penangsang kembali buka suara :
“Mari adhimas, silakan duduk disini…”
Arya Penangsang mempersilakan Adipati Adiwijaya untuk duduk disalah satu kursi yang tersedia. Namun, mendadak terbersit perasaan ganjil dihati Adipati Adiwijaya manakala matanya melihat keberadaan kursi yang dimaksud oleh Arya Penangsang. Tanpa sadar, Adipati Adiwijaya berkata :
“Ah, kangmas. Bukankah itu kursi paling bagus diantara semua kursi yang ada disini. Tak layak bagiku duduk disana. Hanya Bapa Sunan Kudus sendiri sebagai tuan rumah yang pantas mendudukinya.”
Arya Penangsang tersenyum simpul .
“Tidak mengapa dhimas, mari…”
Arya Penangsang terlihat agak memaksa. Sikap Arya Penangsang menambah ketidak nyamanan dihati Adipati Adiwijaya semakin bertambah-tambah. Terasa aneh. Adipati Adiwijaya, secara halus tetap menolak untuk duduk disana.
“Sudahlah, kangmas Penangsang. Saya akan duduk dikursi sebelahnya saja. Saya tidak enak duduk disana, sepertinya ada sesuatu dikursi tersebut.”
Arya Penangsang kaget. Namun segera dia menutupi kekagetannya.
“Memang ada apa dikursi tersebut? Apa yang dhimas takutkan?”
Adipati Adiwijaya tersenyum dan menjawab :
“Ah, mungkin hanya perasaan saya saja. Tapi jika memang tidak ada apa-apa disana, apakah kangmas berani menduduki kursi tersebut?”
Arya Penangsang sedikit kebingungan. Hal ini terbaca oleh Adipati Adiwijaya dan Ki Ageng Pemanahan.
“Mengapa kangmas? Kangmas takut duduk disana?” , sindir Adipati Adiwijaya.
Memerah wajah Arya Penangsang, dia menjawab :
“Tidak ada apa-apa disana, buat apa takut?!”
Dan dengan pongahnya Arya Penangsang langsung berjalan kearah kursi tersebut dan langsung duduk diatasnya. Padahal Sunan Kudus telah mewanti-wanti, kursi tersebut telah diisi dengan doa-doa, siapa saja yang menduduki kursi tersebut, dapat dipastikan, seluruh ilmu kanuragan yang dimiliki akan luruh seketika itu juga. (Sampai saat ini, kursi bersejarah ini masih tersimpan di Kudus. : Damar Shashangka)
Diam-diam, Sunan Kudus yang tengah mengintip dari dalam menggeram marah melihat kebodohan dan kesombongan Arya Penangsang. Namun dia belum memutuskan untuk keluar menemui Adipati Adiwijaya.
Melihat kursi yang semula ditawarkan kepadanya kini telah diduduki oleh Arya Penangsang, Adipati Adiwijaya tersenyum simpul, lantas mengambil tempat duduk yang bersebelahan dengan Arya Penangsang. Ki Ageng Pemanahan dan beberapa prajurid, segera duduk bersila dibawah.
Setelah berbasa-basi sejenak, Adipati Adiwijaya menyengaja berkata demikian :
“Oh ya kangmas, saya jadi ingat. Beberapa bulan yang lalu, Pajang kemasukan para pembunuh bayaran. Nyawa saya yang diincar. Tapi syukurlah, Hyang Widdhi masih memberikan keselamatan kepada saya…,”
Sengaja Adipati Adiwijaya menggantung kalimatnya untuk melihat reaksi Arya Penangsang. Sedikit gugup Arya Penangsang, tapi berpura-pura dia kaget.
“Benarkah? Ah berani sekali. Syukurlah jika dhimas bisa lolos dari maut dan selamat sampai hari ini.”
Adipati Adiwijaya tersenyum mengangguk, lantas :
“Dan keris yang dipakai para pembunuh untuk membunuh saya, berhasil saya ambil…”
Adipati Adiwijaya memberi isyarat kepada Ki Ageng Pemanahan. Ki Ageng Pemanahan nampak tegang. Dia lantas mendekat dan mengulurkan sebuah peti kayu jati ke arah Adipati Adiwijaya.
Adipati Adiwijaya menerimanya. Lantas membuka peti tersebut. Dikeluarkannya sebilah keris dari sana. Dipegangnya sedemikian rupa sehingga semua mata bisa melihat keris ditanganya.
“Inilah keris tersebut!”
Muka Arya Penangsang bagai dirobek-robek! Merah padam sudah! Giginya bergemeletukan. Apalagi ketika mendengar ucapak Adipati Adiwijaya selanjutnya.
“Dan saat ini, sang keris telah bertemu kembali dengan tuannya.”
Dengan wajah tenang dan bibir tersenyum, Adipati Adiwijaya menyerahkan keris tersebut kepada Arya Penangsang. Ragu Arya Penangsang menerimanya. Namun akhirnya, dengan perasaan campur aduk antara malu dan marah, diterima juga keris itu.
Terdengar kembali Adipati Adiwijaya berkata datar:
“Konon katanya keris tersebut ampuh. Tapi bagi saya terasa seperti digelitiki dengan lidi saat keris tersebut dihunjamkan didada saya.”
Amarah Arya Penangsang bangkit. Setengah menggeram dia berkata :
“Jika saya yang menggunakannya, jangankan manusia, gunung pun akan longsor, lautanpun akan kering!!” (Ungkapan sebenarnya adalah GUNUNG JUGRUG SEGARA ASAT yang artinya memang GUNUNG AKAN LONGSOR LAUTAN AKAN KERING. Menggambarkan betapa dahsyatnya benda tersebut. : Damar Shashangka)
Adipati Adiwijaya tergelitik juga, lantas Sang Adipati mencabut keris yang sedari tadi terselip dipinggang belakangnya. Kyai Carubuk nama keris Adipati Adiwijaya. Keris itu adalah pemberian Kangjeng Sunan Kalijaga!
“Lebih ampuh mana dengan Kyai Carubuk milik saya ini!”
Arya Penangsang seketika bangkit berdiri ! Dengan mata merah memandang kearah Adipati Adiwijaya tajam! Adipati Adiwijaya lantas ikut bangkit pula!! Suasana berubah tegang!!!
Dua orang ksatria ini kini telah berdiri berhadap-hadapan dengan keris ditangan masing-masing. Arya Penangsang dengan Kyai Brongot Setan Kober ditangannya ,sedangkan Adipati Adiwijaya dengan Kyai Carubuk!!!
Dibawah, baik prajurid Pajang maupun prajurid Jipang telah memutar keris mereka yang semua terselip dipinggang belakang, kini sudah diputar kedepan dengan gagang sudah mereka genggam!! Tinggal mencabut kerisnya!! Kedua pasukan khusus ini sudah siap tempur juga!!!
Dua kekuatan tangguh, Jipang dan Pajang, kini sudah berhadap-hadapan!!!
Bagian 5
Suasana tegang! Tak ada seorang-pun yang berani mengeluarkan suara! Hanya bunyi detak jantung yang berdegub kencang saja yang terdengar! Dan hanya terdengar oleh masing-masing pemilik jantung sendiri!
Nampak, Adipati Adiwijaya dan Arya Penangsang telah berhadapan dengan keris terhunus ditangan! Mata keduanya saling bertatapan! Gigi mereka saling bergemeletukan! Tinggal menunggu siapa dulu yang memulai menyerang!
Dibawah, kedua kelompok prajurid khusus dari Jipang dan Pajang juga tegang! Begitu junjungannya diserang atau memulai menyerang dulu, maka mereka-pun telah siap menyerang lawannya! Sesaat, mereka melirik kearah junjungannya yang masih berdiri berhadap-hadapan, sesaat kemudian mereka melirik lawan mereka yang bersila bersebelahan!
Suasana benar-benar genting!
Disaat kritis seperti itu, disaat keadaan yang tinggal meledak sebentar lagi, tiba-tiba terdengar suara salam yang keras! Disengaja keras!
“Assalammu’alaikum!!!”
Serta merta, semua mata segera melayangkan pandangannya kearah mana suara salam itu berasal. Nampak Sunan Kudus keluar dari ruang belakang diiringi beberapa santri.
Sembari menghela nafas, seluruh prajurid Jipang maupun beberapa prajurid Pajang yang muslim menjawab salam Sunan Kudus, walau tidak serempak.
Disana, baik Adipati Adiwijaya maupun Arya Penangsang segera menghela nafas melepaskan ketegangan yang semenjak tadi menyergap seluruh persendian dan melepak didada masing-masing!
Sunan Kudus berjalan menghampiri mereka sembari berucap lantang :
“Lho…lho..lho!! Kalian ini Priyayi (bangsawan: Damar Shashangka) atau pedagang keris???!!”
Sunan Kudus bergerak ketengah-tengah antara Arya Penangsang dan Adipati Adiwijaya. Posisi Adipati Adiwijaya berada disebelah kiri Sunan Kudus sedangkan Arya Penangsang berada disebelah kanannya. Terlihat, Sunan Kudus sigap memegang pergelangan tangan kedua priyayi yang tengah hendak saling serang itu! Namun, bagi yang jeli, pasti akan melihat, bahwa tangan kiri Sunan Kudus tengah memegang erat pergelangan tangan kanan Adipati Adiwijaya yang tengah menggenggam Kyai Carubuk, sedangkan tangan kanan Sunan Kudus memegang erat pergelangan tangan kiri Arya Penangsang yang jelas-jelas tidak menggenggam apapun. Tangan kanan Arya Penangsang yang menggenggam Kyai Brongot Setan Kober bebas bergerak leluasa!!
Sunan Kudus menatap tajam Arya Penangsang, terdengar dia membentak!!
“Sarungkan kerismu, Penangsang!!”
Arya Penangsang termangu. Masih belum bergeming. Sekali lagi Sunan Kudus membentaknya :
“Sarungkan, Penangsang!!”
Arya Penangsang ragu. Belum juga menurunkan kerisnya. Sekali lagi Sunan Kudus membentaknya lebih keras :
“Sarungkan kataku!!!”
Kali ini Arya Penangsang menurunkan Kyai Brongot Setan Kober yang terangkat, kemudian menyarungkannya ke dalam warangkanya. Melihat Arya Penangsang menyarungkan keris, Adipati Adiwijaya-pun lantas ikut menyarungkan Kyai Carubuk kedalam warangka.
“Hampir saja aku membuat makanan segar bagi burung…”, Arya Penangsang bergumam setengah menggeram.
Adipati Adiwijaya tersenyum kecil..
Sunan Kudus menghela nafas, sembari tetap diposisinya, Sunan Kudus berkata kepada Adipati Adiwijaya :
“Maafkan atas situasi yang tidak semestinya terjadi ini, anakmas Adiwijaya. Saya menyesal. Dan untuk kebaikan kita bersama, saya menyarankan, tidak ada salahnya jika anakmas beserta rombongan pulang ke Pajang lebih awal. Disini, saya pribadi dan seluruh masyarakat Kudus, sudah merasa sangat terhormat atas kedatangan anakmas Adiwijaya berikut rombongan jauh-jauh dari Pajang..”
Adipati Adiwijaya menghaturkan sembah didepan dada sembari berkata :
“Bapa Sunan, seharusnya saya yang meminta maaf kepada Bapa Sunan Kudus, karena hampir saja saya membuat seorang wanita menjadi janda baru di ruangan dalam pesantren ini..”
Mata Sunan Kudus maupun Arya Penangsang berkilat mendengar kata-kata Adipati Adiwijaya.
Sunan Kudus segera menyela :
“Sudahlah…sudahlah! Saya memaklumi kemarahan anakmas Adiwijaya. Daripada berlarut-larut, sebaiknya anakmas mengalah..”
“Baiklah Bapa Sunan, memang lebih baik saya dan rombongan mengundurkan diri dari sini…”
Adipati Adiwijaya, Ki Ageng Pemanahan beserta beberapa prajurid khusus Pajang segera berpamitan kepada Sunan Kudus.
Rombongan dari Pajang memutuskan pulang terlebih dahulu sebelum acara puncak peringatan Tahun Baru Islam dimulai. Iring-iringan rombongan ini tengah keluar dari pondok pesantren Kudus!
Diruang dalam, setelah melepas kepergian rombongan Pajang, Sunan Kudus memanggil secara pribadi Arya Penangsang diruangan khusus. Disana, hanya ada Sunan Kudus dan beberapa prajurid khusus yang terpercaya, termasuk Patih Matahun.
Sunan Kudus memarahi Arya Penangsang atas segala tindakan bodoh yang telah dilakukannya. Arya Penangsang menyela, meminta penjelasan dimanakah letak kebodohannya. Bukankah malah Sunan Kudus yang melerai disaat dia sudah berhadapan dengan Adipati Adiwijaya?
Dengan suara tinggi, Sunan Kudus berkata :
“Siapakah yang telah menduduki kursi yang telah aku isi doa-doa khusus?”
Seketika Arya Penangsang terdiam.
“Lantas, apakah kamu tidak menyadari tadi, saat aku melerai kalian, tangan kanan Adiwijaya aku pegang erat, sedangkan tangan kanan kamu aku biarkan bergerak bebas? Ingat-ingat lagi! Aku memegang tangan kanan Adiwijaya yang tengah menggenggam Kyai Carubuk, sedangkan tangan kanan kamu yang tengah menggenggam Kyai Brongot aku biarkan bebas!”
Arya penangsang tetap terdiam.
“Lantas, apa yang aku katakan kepadamu?”
Arya Penangsang mengerutan dahinya, mencoba mengingat…
“Aku berkata ‘SARUNGKAN KERISMU’ sampai tiga kali. Kamu tahu maksudku yang sebenarnya? ”
Arya Penangsang menatap Sunan Kudus, mulai sedikit memahami..
“Maksudku ‘SARUNGKAN KERISMU KEDADA ADIWIJAYA, BUKAN KE WARANGKANYA’!! Kamu saja yang terlampau bodoh, sehingga tidak memahami kata-kata isyarat yang aku ucapkan. Kamu telah menyia-nyiakan kesempatan kamu memusnahkan salah seorang manusia penentang ajaran mulia !!”
Arya Penangsang menggeram menyadari kebodohannya sendiri! Serta merta dia menyembah dan berkata :
“Sebelum rombongan Adiwijaya jauh, tidak ada salahnya saya mengejar dan menghabisinya sekarang!!”
Sunan Kudus menatap tajam Arya Penangsang :
“Ini bukan saat yang tepat menyerang rombongan Pajang dimana banyak berkumpul para tamu undangan di Kudus. Asal kamu tahu, kecuali aku dan kamu, tidak akan ada yang mampu menghadapi kesaktian Adiwijaya. Dia memiliki pegangan ilmu kanuragan warisan Buda Majapahit. Sangat riskan jika aku terjun sendiri. Tidak pantas bagiku berhadapan dengan anak kemarin sore seperti dia. Sedangkan kamu, saat ini hanya akan menjadi boneka mainan jika berhadapan dengan dia, karena seluruh ilmu kanuragan yang kamu miliki telah lumpuh!!”
Dada Arya Penangsang terasa panas dan sesak mendengar penuturan Sunan Kudus!
“Lantas bagaimana Bapa Sunan?”
“Selama tiga bulan berselang, mulai bulan Muharram ini, kamu harus berpuasa terus-menerus! Genap tiga bulan, seluruh hizib dan asma’ yang kamu miliki akan kembali pulih dan berfungsi. Setelah itu, aku akan mencari jalan lain untuk menghadapi Adiwijayai!!”
Arya Penangsang lemas mendengarnya.
Dan Sunan Kudus berlalu kedalam sembari hanya mengucapkan salam.
Permintaan Ratu Kalinyamat.
Rombongan Pajang yang pulang lebih awal dari jadwal semula nampak keluar dari kota Kudus. Disepanjang jalan, seluruh prajurid yang ikut dalam rombongan, senantiasa mempertajam kewaspadaan mereka. Kejadian yang pernah menimpa rombongan Ratu Kalinyamat dulu, membuat mereka lebih siaga dan tidak mau kecolongan.
Disepanjang perjalanan, banyak mata yang memperhatikan mereka dengan tatapan penuh tanda tanya. Acara peringatan Tahun Baru Islam di Kudus belum juga dilaksanakan, namun rombongan dari Pajang nampak malah pulang lebih awal. Ada apa gerangan?
Ketika belum terlampau jauh dari kota Kudus, mendadak Adipati Adiwijaya memerintahkan rombongan berhenti. Perintah yang mendadak ini sedikit mengejutkan seluruh prajurid yang ikut dalam rombongan, tak terkecuali Ki Ageng Pemanahan dan Ki Juru Mertani. Namun, setelah menyadari jika Sang Adipati hanya sekedar ingin beristirahat, ketegangan-pun mencair.
Nampak, Adipati Adiwijaya turun dari atas punggung gajah tunggangannya. Beberapa prajurid yang bertugas mengiringi disamping binatang tunggangan bertubuh besar tersebut tanggap dan segera membantu.
Melihat Sang Adipati turun, serentak seluruh rombongan-pun ikut turun dari punggung kuda masing-masing.
Daerah mana tempat mereka berhenti memang sangat memungkinkan untuk dijadikan tempat istirahat sejenak. Disamping tempatnya yang landai, rimbunnya pepohonan raksasa yang tumbuh disepanjang jalan, membuat tempat tersebut terasa sejuk menyegarkan.
Bergegas Ki Ageng Pemanahan memerintahkan beberapa prajurid mendirikan tenda darurat sebagai tempat berteduh dan beristirahat bagi Sang Adipati. Enam orang prajurid bekerja cekatan, sebentar saja telah berdiri tenda sederhana namun megah. Permadani-pun segera dihamparkan didalam tenda.
Adipati Adiwijaya berkenan duduk diatas permadani tersebut. Suasana yang segar. Para prajurid memanfaatkan kesempatan tersebut untuk beristirahat sejanak. Masing-masing memilih tempat yang rindang. Berpencar walau tetap tidak jauh dari tenda Sang Adipati.
Ki Ageng Pamanahan dan Ki Juru Mertani menghadap. Keduanya duduk bersila didepan Adipati Adiwijaya. Nampak dari kejauhan, ketiga priyayi Pajang ini tengah berbincang-bincang serius.
Sejurus kemudian, terlihat Ki Ageng Pamanahan memanggil seorang prajurid. Ki Ageng Pamanahan memerintahkan sesuatu. Prajurid yang dipanggil bergegas menghampiri beberapa temannya yang lain, dia nampak memilih-milih, ada sekitar sepuluh orang yang dia pilih. Lantas mereka menghilang sejenak dibalik gerombol pepohonan dan kembali lagi dengan pakaian yang sudah berganti. Mereka semua melepas pakaian keprajuridan, dan kini telah berganti dengan pakaian rakyat biasa.
Ditempat lain, Adipati Adiwijaya diam-diam juga telah berganti pakaian. Begitu juga dengan Ki Ageng Pamanahan. Namun anehnya, pakaian kebesaran Sang Adipati, kini malah dikenakan oleh Ki Juru Mertani.
Banyak prajurid yang bertanya-tanya. Namun dari bisik-bisik satu teman ke teman yang lain, mereka jadi tahu jika Adipati Adiwijaya diikuti oleh Ki Ageng Pamanahan dan sepuluh prajurid yang terpilih, hendak menuju ke Gunung Danaraja untuk menemui Ratu Kalinyamat yang tengah bertapa telanjang. Mereka semua sengaja menyamar sebagai rakyat biasa agar tidak menimbulkan kecurigaan dari mata-mata Jipang Panolan yang mungkin tengah memperhatikan rombongan mereka.
Adipati Adiwijaya, Ki Ageng Pemanahan dan kesepuluh prajurid yang kini telah berganti busana, terlihat berangkat meninggalkan rombongan. Kedua belas orang yang telah menyamar ini memacu kuda memisahkan diri dari dari rombongan dan memilih jalan yang menuju ke Jepara.
Agak lama berselang, Ki Juru Mertani segera memerintahkan seluruh rombongan siap-siap berangkat. Ki Juru Mertani dibantu dua orang prajurid, segera menaiki punggung gajah milik Sang Adipati.
Rombongan Pajang yang kini dipimpin oleh Ki Juru Mertani, berangkat dan memilih jalan ke arah Pajang.
Adipati Adiwijaya, Ki Ageng Pamanahan berikut sepuluh orang prajurid yang kini telah menyamar sebagai rakyat biasa terlihat memacu kuda dengan kecepatan sedang. Mereka tengah menyamar sebagai para pedagang keliling.
Akhirnya, sampailah juga kedua belas orang ini ke kota Jepara. Adipati Adiwijaya segera mencari letak Gunung Danaraja. Sesuai petunjuk yang diberikan oleh prajurid Pajang yang sempat pulang ke Pajang untuk mengambil perbekalan makanan dan berbagai keperluan bagi Ratu Kalinyamat beserta seluruh yang mengawal dan melayaninya, Adipati Adiwijaya-pun akhirnya berhasil menemukan lokasi gua tempat dimana Ratu Kalinyamat tengah menjalani tapa telanjang-nya.
Kedatangan kedua belas orang berkuda ini menimbulkan kecurigaan dari beberapa prajurid Pajang yang bertugas menjaga mulut gua. Mereka yang tengah bersembunyi ditempat-tempat strategis dibeberapa sudut tersembunyi mulut gua, segera mempersiapkan diri. Sang pemimpin pasukan memberikan isyarat agar memasang anak panah pada busurnya. Anak panah telah terpasang, busur telah diangkat dan direntangkan, siap menunggu isyarat untuk dibidikkan!!
Namun sang pemimpin prajurid memekik tertahan manakala tanpa sengaja mengenali dua orang penunggang kuda yang tengah memacu kuda dibarisan depan. Seketika itu juga, dia memberikan isyarat agar menurunkan busur panah. Dia segera keluar dari tempat persembunyian diiringi empat prajurid yang lain.
Menyadari kedatangannya telah disambut sedemikian rupa, Adipati Adiwijaya beserta rombongan terus memacu kuda lebih kencang kearah atas. Ketika jarak antara prajurid berkuda dan kelima orang yang telah menyambut sedemikian dekat, Adipati Adiwijaya segera menghentikan laju kudanya.
Kelima orang prajurid Pajang yang menyambut rombongan menghaturkan sembah hormat. Adipati Adiwijaya segera memerintahkan agar secepatnya seluruh prajurid mencari tempat yang tersembunyi untuk menaruh kuda masing-masing.
Diiringi Ki Ageng Pamanahan dan dihantar pemimpin prajurid penjaga, Adipati Adiwijaya segera memasuki gua. Sang pemimpin prajurid memanggil seorang pelayan wanita. Sang pelayan memekik gembira melihat kehadiran Adipati Adiwijaya dan Ki Ageng Pamanahan. Beberapa pelayan yang lain segera menyadari akan hal itu, mereka semua segera mendekat dan menghaturkan sembah.
Adipati Adiwijaya memerintahkan seorang pelayan wanita untuk menghadap Ratu Kalinyamat, mengabarkan kedatangannya. Seorang pelayan wanita tergopoh-gopoh memasuki salah satu relung gua. Sejenak kemudian keluar dan menghadap kembali kepada Adipati Adiwijaya. Sembari menyembah dia berkata :
“Kasinggihan dhawuh, Kangjeng. Kangjeng Ratu Ayu Kalinyamat meminta Kangjeng masuk ke dalam. Hanya Kangjeng seorang, tidak boleh ditemani oleh siapapun.”
Adipati Adiwijaya mengangguk. Kemudian berjalan kearah relung gua seorang diri.
Didalam, beberapa pelita terpasang didinding-dinding gua. Ruang itu cukup luas juga. Disana, merapat ke dinding gua, terlihat agak samar, sesosok wanita cantik dengan tubuh sempurna dan rambut panjang terurai, tengah duduk bersila. Dan yang membuat Adipati Adiwijaya segera menundukkan muka, karena menyadari, sosok wanita cantik itu benar-benar telanjang bulat tanpa busana.
Untung, kondisi ruangan yang cukup gelap dan hanya diterangi beberapa pelita, sedikit menyamarkan perwujudan telanjang tersebut. Namun walau bagaimanapun juga, jika mau melihat secara seksama, Adipati Adiwijaya sebetulnya bisa melihat tubuh itu secara utuh.
Dengan menundukkan wajah, Adipati Adiwijaya memberikan sembah. Dan sosok wanita cantik yang tengah bersila itu-pun membalas sembah Adipati Adiwijaya. Setelah berbasa-basi menanyakan kabar keselamatan masing-masing, Adipati Adiwijaya, sembari tetap menundukkan wajah-pun berkata :
“Kakangmbok Ratu Ayu, seyogyanya kakangmbok Ratu berkenan mengenakai kemben. Sangat-sangat segan hati saya jikalau harus berbincang-bincang dengan kakangmbok sedangkan kakangmbok dalam keadaan telanjang bulat sedemikian rupa…”
Dari balik geiaian rambut panjangnya, Ratu Kalinyamat tersenyum manis..
“Maafkan aku dhimas, aku terpaksa tidak bisa memenuhi permintaanmu. Biarlah, selain almarhum kangmas Sunan Kalinyamat, cukup kamu saja laki-laki yang melihat aku dalam keadaan tanpa busana seperti ini. Sudah menjadi sumpahku, tidak sudi aku mengenakan busana lagi, jikalau Hyang Maha Agung, belum memberikan keadilan kepada Arya Penangsang, pembunuh kakangmas Prawata dan kangmas Sunan Kalinyamat!”
Adipati Adiwijaya menghela nafas berat.
“Kakangmbok Ratu Ayu, sangat prihatin saya melihat keadaan kakangmbok. Sampai kapan terus telanjang tanpa busana. Selain tabu didengar orang banyak, sekali lagi, saya juga sangat merasa segan dan rikuh jika harus kemari dan tetap melihat kakangmbok seperti ini.”
Ratu Kalinyamat diam sejenak, lantas mendesis lirih dan berkata :
“Dhimas, seharusnya aku yang mempertanyakan hal ini kepadamu. Tidakkah kamu kasihan, tidakkah kamu iba melihat aku? Melihat penderitaanku? Melihat ketidak adilan yang menimpaku?”
Adipati Adiwijaya terdiam. Lantas membuka suara :
“Jangan salah sangka kakangmbok. Saya dan Nimas Sekaring Kedhaton senantiasa memikirkan keadaan kakangmbok Ratu Ayu disini. Saya juga terus menimbang-nimbang bagaimana cara terbaik untuk menyingkirkan Arya Penangsang. Namun, kondisi diluar tidaklah memungkinkan bagi saya berhadapan langsung dengan Arya Penangsang secara terbuka. Bapa Sunan Kudus berada dibelakang Arya Penangsang. Bapa Sunan Kudus sangat berpengaruh dalam Dewan Wali Sangha. Kakangmbok tahu sendiri itu. Sangat mudah bagi Bapa Sunan Kudus mempengaruhi keputusan Dewan Wali Sangha. Jika sampai Pajang berhadapan secara frontal dengan Jipang, bukan tidak mungkin, Bapa Sunan Kudus, melalui Dewan Wali Sangha akan memerintahkan Cirebon dan Banten bergabung dengan Jipang menghadapi orang-orang yang dinilai kafir seperti saya!”
Adipati Adiwijaya diam sejenak, lantas melanjutkan kata-katanya :
“Sungguh, secara pribadi, saya sendiri juga sudah tidak tahan melihat kelakuan Arya Penangsang. Hampir saja saya bentrok secara langsung dengan dia. Hampir saja saya tidak bisa menahan diri…”
Dan Adipati Adiwijaya menceritakan pertemuannya dengan Arya Penangsang di pesantren Kudus.
“Hyang Widdhi Wasa masih berkenan mencegah saya berhadapan langsung dengan Arya Penangsang.”
Terdengar helaan nafas lembut dari bibir Ratu Kalinyamat, lalu dia berkata :
“Dengar dhimas. Jika kamu benar-benar dapat menyingkirkan Arya Penangsang, aku bersumpah, disaksikan Hyang Maha Agung, disaksikan langit dan bumi, semoga aku akan menuai kutuk jika aku mengingkari sumpah ini. Dengarkan! JIKA KAMU MAMPU MENYINGKIRKAN ARYA PENANGSANG, MAKA TAHTA DEMAK BINTARA AKAN AKU LIMPAHKAN KEPADAMU!”
Adipati Adiwijaya mengangkat wajahnya. Dilihatnya, dari balik geraian rambut panjangnya, sorot mata Ratu Kalinyamat berkilat-kilat, tengah menatap wajah Adipati Adiwijaya.
“Bahkan, jikalau peraturan hukum jaman Buda masih berlaku luas dimasyarakat Jawa, dimana seorang laki-laki boleh memadu dua orang wanita kakak beradik sekaligus, maka sungguh aku-pun rela lahir batin kamu nikahi sebagai madu dari adikku Nimas Sekaring Kedhaton. Namun, hal itu tidak mungkin bisa diterima kebanyakan masyarakat Jawa sekarang. Oleh karena itu, kamu boleh memilih selir-selir milik almarhum kangmas Sunan Kalinyamat dan almarhum kangmas Prawata yang engkau sukai untuk kamu nikahi!”
Adipati Adiwijaya terdiam. Kesungguhan kata-kata Ratu Kalinyamat terpancar dari wajah ayunya. Sengaja, rambut panjangnya yang tergerai, disibak kesamping sedikit, sehingga payudara Sang Ratu-pun terlihat. Dada Adipati Adiwijaya berdesir melihatnya, cepat-cepat dia menundukkan wajah kembali..
“Tapi ingat, dhimas! Satu permintaanku, jika kamu berhasil mengalahkan Arya Penangsang, dan tahta Demak Bintara telah kamu pegang, aku minta, janganlah kamu mendirikan Kerajaan Buda. Biarlah kamu tetap meneruskan sebuah pemerintahan berbentuk Kesultanan Islam. Biarlah gelarmu dikenal orang sebagai seorang Sultan, bukan seorang Prabhu!”
Keheningan menyergap seketika. Dan Adipati Adiwijaya semakin terperangah manakala melihat Ratu Kalinyamat menyibak seluruhnya geraian rambut panjang yang menutupi tubuh bagian depannya. Kini, tampak jelas didepan mata Adipati Adiwijaya, tubuh polos Sang Ratu tanpa ditutupi oleh apapun juga. Mendadak dada Adipati Adiwijaya terasa sesak.
“Inilah tanda kesungguhanku,” bisik Ratu Kalinyamat sembari tersenyum..
Dengan menarik nafas berat, Adipati Adiwijaya menyembah hormat dan berkata :
“Baiklah kakangmbok Ratu Ayu. Saya berjanji akan mencari jalan yang terbaik untuk menyingkirkan Arya Penangsang. Dan jika hal itu berhasil atas waranugraha Hyang Widdhi, saya berjanji, akan memakai gelar Sultan, bukan Prabhu!”
Dan Adipati Adiwijaya-pun memohon diri untuk keluar ruangan. Dan Ratu Kalinyamat-pun menghaturkan terima kasihnya.
Malam itu, Sang Adipati bermalam di Gunung Danaraja. Dengan didampingi Ki Ageng Pamanahan, Adipati Adiwijaya membahas rencana yang tepat untuk memenuhi permintaan Ratu Kalinyamat. Ki Ageng Pamanahan mengusulkan, agar Sang Adipati mempercayakan hal ini kepada Ki Juru Mertani.
Ki Juru Mertani adalah sosok yang cerdik dan bisa diandalkan dalam memberikan pemecahan dan cara yang terbaik disaat semua jalan dirasa buntu.
Keesokan harinya, setelah berpamitan kepada Ratu Kalinyamat, Adipati Adiwijaya beserta Ki Ageng Pamanahan dan sepuluh prajurid yang mengiringinya, meninggalkan Gunung Danaraja bertolak ke Pajang!
Bagian 6
Setibanya di Pajang, Adipati Adiwijaya beserta rombongan disambut para pejabat dengan suka cita. Tak ada yang kurang dari jumlah rombongan, Semua dalam kondisi baik dan selamat.
Adipati Adiwijaya berkenan untuk beristirahat setelah menempuh perjalanan jauh. Pada sore harinya, Adipati Adiwijaya memanggil Ki Mas Manca, Ki Mas Wila, Ki Mas Wuragil, Ki Ageng Pamanahan berikut Ki Juru Mertani.
Diruang khusus, dan tidak ada orang lain yang hadir selain keenam orang tersebut, Adipati Adiwijaya menyampaikan maksudnya. Sang Adipati berkenan meminta pemecahan mengenai kasus Arya Penangsang.
Arya Penangsang tidak bisa terus menerus didiamkan saja. Harus ada pihak yang berani bertindak. Dan tampaknya, hanya Pajang yang mampu menghadapi kekuatan Jipang.
Yang menjadi masalah, posisi Pajang sangatlah terjepit. Pajang dipimpin oleh seorang Adipati yang bukan muslim. Dan tentu saja fenomena ini akan membuat Dewan Wali Sangha tidak menaruh simpatik.
Searogan apapun Arya Penangsang, sekejam apapun dia, namun dia telah memegang dua point penting sebagai sendi kekuatannya. Pertama, jelas dia seorang muslim, kedua, Sunan Kudus berada dibelakang dia.
Oleh karenanya, Adipati Adiwijaya meminta pertimbangan dan jalan keluar yang tepat, yang tidak merugikan Pajang, namun bisa menghancurkan kekuatan Jipang.
Ki Mas Manca mengusulkan agar Sang Adipati tidak gegabah berhadapan secara langsung dengan Arya Penangsang. Ki Mas Manca telah mendengar kabar bahwa di pesantren Kudus, Sang Adipati hampir saja kehilangan kontrol diri. Jika memang hendak berhadapan dengan Arya Penangsang, lebih baik menggunakan kekuatan ketiga.
Ki Mas Wila dan Ki Mas Wuragil membenarkan pendapat Ki Mas Manca. Begitu juga dengan Ki Ageng Pamanahan dan Ki Juru Mertani. Yang menjadi masalah sekarang, siapakah kekuatan ketiga yang bisa dijadikan alat untuk memukul Jipang?
Seluruh yang hadir terdiam. Masing-masing tengah memeras otak.
Lantas, Ki Ageng Pamanahan angkat bicara sembari menyembah :
“Mohon beribu ampun, Kangjeng Adipati. Jika diperbolehkan hamba akan memberikan masukan…”
Adipati Adiwijaya mengangguk…
“ Menurut saya,” lanjut Ki Ageng Pamanahan, ”Tidak ada lagi kekuatan dahsyat yang mampu menghadapi Jipang kecuali kekuatan Pajang. Tak ada jalan lain, tak ada kekuatan lain yang akan sanggup melakukannya. Oleh karenanya, kita tidak bisa mengharapkan daerah lain tampil secara mandiri berhadapan dengan Jipang.”
Semua yang hadir mengerutkan dahi mendengarnya…
“Mau tidak mau, pasukan Pajang sendiri harus bergerak! Namun….”
Semua yang hadir menunggu…
“Sebaiknya, pasukan Pajang harus melepas busana keprajuridan Pajang. Pasukan Pajang harus melepas identitasnya sebagai pasukan Pajang. Harus ada daerah lain yang berani tampil kedepan untuk mengakui bahwa, pasukan Pajang yang tengah bergerak menggempur Jipang, berasal dari daerahnya. Jika kelak terjadi perang terbuka, menang atau kalah, maka Pajang tidak akan terbawa-bawa!”
Tertegunlah seluruh yang hadir…
Ki Mas Manca angkat bicara :
“ Pamanahan, lantas daerah manakah yang dimungkinkan untuk berani tampil mengakui seperti itu?”
Ki Ageng Pamanahan menyembah :
“Kalau memang diijinkan, biarlah hamba dan paman saya, Ki Juru Mertani yang akan tampil kedepan. Biarlah kami atas nama daerah Sela, memimpin pasukan Pajang melakukan perang terbuka dengan Jipang Panolan. Biarlah terdengar kabar, Jipang Panolan tengah berperang dengan Sela!”
Seluruh yang hadir menghela nafas berat. Suasana hening untuk beberapa saat.
Ki Mas Manca kemudian angkat bicara :
“Daerah Sela identik dengan Kangjeng Sunan Kalijaga….”
Adipati Adiwijaya memincingkan mata mendengarnya…
“Dan Jipang Panolan identik dengan Kangjeng Sunan Kudus,” lanjut Ki Mas Manca.
“Dan akan menjadi sebuah berita yang besar manakala Dewan Wali Sangha mendengarnya, bukankah begitu kangmas Manca?” Sela Adipati Adiwijawa datar.
Ki Mas Manca menyembah sesaat :
“Benar dhimas Adipati. Dan jika itu terjadi, tidak menutup kemungkinan, Dewan Wali Sangha akan campur tangan untuk memaksa kedua belah pihak agar melakukan genjatan senjata.”
Adipati Adiwijaya menghela nafas sekali lagi…
Nampak kini, Ki Juru Mertani menghaturkan sembah…
“Mohon beribu ampun, Kangjeng Adipati. Jika boleh saya hendak menghaturkan pendapat..”
Adipati Adiwijaya mengangguk mempersilakan..
“Sebaiknya Kangjeng Adipati mengeluarkan sayembara khusus secara terselubung kepada para penguasa daerah yang berada dibawah kekuasan Pajang. Mohon sayembara ditawarkan kepada penguasa yang jelas-jelas telah nyata kesetiaannya kepada Pajang. Hindari penguasa daerah yang masih diragukan kesetiaannya. Dari sekian banyak para penguasa daerah yang ditawari sayembara, pastilah ada yang akan berani tampil untuk memimpin pasukan Pajang dengan menggunakan identitas daerahnya. Jikalau memang tidak ada yang berani, maka terpaksa, saya beserta keponakan saya, Pamanahan, akan tampil kedepan dengan mempertaruhkan nama Sela! Saya berjanji, saya akan memotong kepala harimau terlebih dahulu agar peperangan tidak berjalan berlarut-larut. Arya Penangsang, saya pastikan harus tewas terbunuh terlebih dahulu. Sehingga jika kemudian Dewan Wali Sangha ikut campur memaksakan agar terjadi gencatan senjata, maka disaat gencatan senjata terjadi, Arya Penangsang harus telah mati!!”
Ki Mas Manca meragukan kata-kata Ki Juru Mertani…
“Juru Mertani, yakinkah kamu dengan ucapanmu?”
Ki Juru Mertani menyembah :
“Dengan taktik yang bakal hamba buat, untuk memperdaya Arya Penangsang, agar keluar sarang sendirian, saya yakin, saya pasti bisa memenuhi ucapan saya, Kangjeng Patih..”
Ki Mas Manca mengangguk-angguk, lantas dia menoleh ke arah Adipati Adiwijaya :
“Bagaimana, dhimas Adipati?”
Adipati Adiwijaya tercenung sesaat, lantas dia berkata :
“Baiklah, tapi hal tersebut dilakukan jika memang nanti tidak ada satupun daerah yang berani memasuki sayembara. Oleh karenanya, aku akan memberikan imbalan besar. Yaitu, siapa saja yang berani mengakui pasukan yang bakal menggempur Jipang berasal dari daerahnya dan berhasil mematahkan kekuatan Jipang, maka aku akan memberikan hutan Mentaok dan daerah Pati sebagai imbalannya!”
Keputusan telah diambil. Tidak menunggu waktu lama, atas perintah Adipati Adiwijaya, Ki Mas Manca segera memerintahkan Juru Tulis Kadipaten untuk membuat surat-surat undangan resmi. Surat-surat undangan yang bakal dikirim kepada para penguasa daerah yang berada diwilayah kekuasaan Kadipaten Pajang. Pada hari yang telah ditentukan, mereka harus datang ke Kadipaten Pajang atas perintah Adipati Adiwijaya.
Sayembara Adipati Pajang.
Tiga bulan kemudian, beberapa hari sebelum hari yang telah ditetapkan dalam surat undangan resmi, berdatanganlah para penguasa daerah yang ada diseluruh wilayah Kadipaten Pajang. Mereka datang berkelompok, tidak bersamaan, gelombang pergelombang. Tidak ada yang mencolok. Karena memang begitulah pesan yang dituliskan dalam surat undangan dari Sang Adipati.
Dan pada hari yang ditetapkan, seluruh penguasa daerah telah berkumpul di Siti Hinggil Kadipaten. Lama waktu berselang, mereka semua menunggu kehadiran Sang Adipati ditempat itu. Beberapa saat kemudian, muncullah Adipati Adiwijaya diiringi Ki Mas Manca dan kepala pengawal pasukan khusus Ki Ageng Pamanahan dan Ki Juru Mertani, berikut beberapa prajurid khusaus yang mengawal.
Didepan para penguasa daerah, Adipati Adiwijaya meminta Ki Mas Manca membacakan sayembara. Seusai sayembara dibaca, suasana mendadak hening. Tak ada yang berani bersuara. Melihat situasi menjadi sepi dan tegang, Adipati Adiwijaya angkat bicara, dia mempertegas isi sayembara dengan menantang, siapa yang berani tampil kedepan, yang akan memimpin pasukan Pajang, dengan menggunakan identitas dari daerahnya?
Suasana sepi tidak juga mencair. Hingga kemudian, seorang penguasa daerah, terlihat menyembah dan berkata :
“Kasinggihan dhawuh, Kangjeng. Ijinkan saya mengutarakan kebimbangan saya, yang mungkin juga mewakili kebimbangan hati dari seluruh teman-teman yang hadir disini. Kangjeng, jika kami semua diperintahkan angkat senjata menggempur Jipang atas nama pasukan Pajang, sudah barang tentu, kami tidak akan banyak berfikir panjang, jiwa raga kami akan kami pasrahkan untuk itu. Namun, manakala kami harus menggempur Jipang atas nama daerah kami, mohon maaf, Kangjeng. Jika nanti benar-benar terjadi hal tersebut, kami tidak berani menanggung resiko dengan mengorbankan kerabat kami yang ada didaerah. Kaum Putihan terkenal radikal dan bisa berbuat ngawur atas nama agama. Mohon Kangjeng memaklumi.”
Adipati Adiwijaya menghela nafas. Kata-kata yang terucap barusan memang ada benarnya. Karena tidak ada juga yang berani memasuki sayembara, maka Adipati Adiwijaya-pun menutup pertemuan tersebut. Sebelum menutup pertemuan, Sang Adipati meminta pengiriman pasukan dari semua daerah untuk memperkuat barisan pasukan Pajang. Perintah yang terakhir ini, disambut dengan suka cita tanpa keraguan sedikit-pun oleh semua penguasa daerah.
Mendapati sayembara yang dipermaklumatkan tidak ada yang memasuki, maka hari itu juga, Adipati Adiwijaya mengutus Ki Ageng Pamanahan dan Ki Juru Mertani untuk menjalankan rencana lain yang pernah mereka tawarkan. Ki Ageng Pamanahan dan Ki Juru Mertani, segera menjalankan perintah!
Angkatan bersenjata Pajang segera mempersiapkan diri untuk menghadapi sebuah perang besar. Mereka dikoordinir dibawah pimpinan penuh Ki Ageng Pamanahan! Sembari menunggu bantuan pasukan dari daerah, Ki Ageng Pamanahan dan Ki Juru Mertani mematangkan rencana yang telah mereka buat sebelumnya.
Atas saran Ki Juru Mertani, Ki Ageng Pamanahan diminta untuk menguasahakan agar Tombak Pusaka Kyai Plered, bisa mereka pinjam. Karena hanya dengan tombak pusaka peninggalan Majapahit tersebut, kulit Arya Penangsang bisa dilukai. Hanya saja, tombak tersebut sedemikian berharga bagi Adipati Adiwijaya dan tidak akan mungkin dipinjamkan begitu saja kecuali kepada orang yang benar-benar dipercayai oleh Sang Adipati. Maka terpaksa, Ki Ageng Pamanahan, atas saran Ki Juru Mertani, meminta agar Danang Sutawijaya, putranya yang kiini telah diambil anak angkat oleh Adipati Adiwijaya, diminta untuk ikut memperkuat barisan.
Adipati Adiwijaya tidak paham atas permintaan ini, selain Danang Sutawijaya masih kecil, tidak ada kelebihan Danang Sutawijaya yang bisa dimanfaatkan untuk memperkuat barisan Pajang. Namun, dengan cerdiknya, Ki Ageng Pamanahan meyakinkan Adipati Adiwijaya, bahwa mengajak Danang Sutawijaya untuk memperkuat barisan Pajang adalah salah satu dari tak-tik yang hendak dijalankan. Pada akhirnya, Adipati Adiwijaya menyetujui. Bahkan manakala Ki Ageng Pamanahan memohon agar Danang Sutawijaya diperkenankan membawa tombak pusaka Kyai Plered, Sang Adipati-pun tidak bisa menolaknya.
Setelah bantuan pasukan dari daerah telah sepenuhnya datang, maka pasukan segera berangkat. Tujuan awal adalah daerah Sela. Daerah asal Ki Ageng Pamanahan. Disana, seluruh pasukan akan diatur sedemikian rupa. Sela menjadi pusat konsentrasi pasukan Pajang. Dan nanti, identitas seluruh pasukan akan berganti menjadi pasukan Sela! Akan dikabarkan, bahwa pengikut Islam Abangan, bergabung di Sela untuk memerangi Jipang Panolan dibawah pimpinan Ki Ageng Pamanahan, keturunan Ki Ageng Sela! Nama Pajang, tidak sedikit-pun dibawa-bawa!
Pasukan segera berangkat berkelompok menuju Sela. Dengan berpakaian rakyat biasa serta menyembunyikan seluruh persenjataan didalam bilah bambu, maka kelompok demi kelompok, secara terpisah-pisah waktu, agar supaya tidak mencolok dan menimbulkan kecurigaan, berangkatlah seluruh pasukan Pajang.
Pergerakan pasukan ini benar-benar tersamarkan. Susul menyusul rapih dan teratur. Dan pada akhirnya, beribu-ribu pasukan pun kini telah berkumpul di Sela!
Rencana segera dimatangkan di Sela. Seluruh pasukan mengenakan tanda khusus yang disematkan dibaju mereka. Dengan pakaian rakyat biasa, layaknya para gerilyawan Majapahit, pasukan Pajang yang kini mengaku diri mereka sebagai pasukan Sela, telah siap untuk bertempur!!
Pada hari yang telah ditentukan, menjelang malam hari, pasukan-pun bergerak. Pasukan dipecah dalam empat kelompok besar. Sengaja pasukan dipecah demi untuk kembali menyamarkan diri. Disuatu titik, yaitu diperbatasan wilayah Jipang yang berwujud sungai, disanalah nanti, keempat kelompok pasukan harus kembali bertemu.
Setiap kelompok pasukan menempuh rute-rute khusus. Rute-rute yang menghindari daerah-daerah padat penduduk. Beberapa hari kemudian, seluruh kelompok telah bersatu kembali ditempat yang telah disepakati bersama.
Seluruh pasukan segera mempersiapkan diri, senjata-senjata dikeluarkan dari bilah bambu, anak panah dibagi-bagikan, pos-pos prajurid darurat ditetapkan dan segera ditempati oleh mereka-mereka yang ditunjuk untuk itu. Gerakan rahasia ini begitu rapi, sebentar saja, persiapan untuk sebuah perang besar, telah tertata!! Pasukan Pajang siap melumat Jipang panolan hari itu juga!!
Seluruh prajurid kini menunggu komando selanjutnya.
Dititik yang lebih tersembunyi, terlindung dibalik gerombol pepohonan lebat, Ki Ageng Pamanahan dan Ki Juru Mertani tengah menunggu saat yang tepat. Nampak Danang Sutawijaya, putra Ki Ageng Pamanahan, putra angkat Adipati Pajang Adiwijaya telah mempersiapkan diri menjalankan tugas. Dia berdiri disamping kuda putih yang nanti harus ditungganginya. Sebatang tombak panjang, dengan ujung tertutup kain putih dan rangkaian bunga melati tergantung disana, tergenggam erat ditangan kecil Danang Sutawijaya. Itulah tombak pusaka Kyai Plered yang terkenal ampuh!
(Kyai Plered konon diperoleh Syeh Maulana Maghribi, seorang wali Islam jaman Majapahit setelah dia berhasil melakukan tapa brata keras dipantai Parang Tritis, Jogjakarta, sekarang. Tombak ini lantas diberikan kepada Ki Ageng Tarub I atau Kidang Telangkas. Lantas diwariskan kepada Raden Bondhan Kejawen, putra Prabhu Brawijaya V dengan Dewi Wandhan Kuning yang lantas bergelar Ki Ageng Tarub II. Diwariskan kemudian kepada Ki Getas Pandhawa, putra Raden Bondhan Kejawen. Lantas di serahkan kepada Ki Ageng Sela, putra Ki Getas Pandhawa. Manakala berada ditangan Ki Ageng Sela, tombak dititipkan kepada Sunan Kalijaga. Lantas oleh Sunan Kalijaga, dititipkan kepada Jaka Tingkir, Adipati Pajang hingga saat ini. Maka sesungguhnya, tombak Kyai Plered memang milik leluhur Danang Sutawijaya. Karena Ki Ageng Sela lantas berputra Ki Ageng Ngenis, Ki Ageng Ngenis berputra Ki Ageng Pamanahan, dan Ki Ageng Pamanahan berputra Danang Sutawijaya, Jika ada yang bertanya mengapa silsilah keturunan Tarub jika disejajarkan dengan keturunan Pengging maka lebih cepat beranak pinak? Hal ini tidaklah aneh. Dimasyarakat Jawa sekarang-pun kadang pemuda berusia 20 tahun sudah dipanggil kakek karena kakak kandungnya telah memiliki cucu. Hal ini disebabkan jarak lahir mereka terpaut jauh beberapa tahun. Begitu pula dengan trah Tarub dan Pengging, bila ditarik garis lurus keatas, maka Ki Ageng Sela adalah cicit Brawijaya V sejajar dengan Jaka Tingkir yang juga merupakan cicit Brawijaya V. Namun, usia Ki Ageng Sela lebih tua dari Jaka Tingkir karena memang Ki Ageng Sela lahir lebih dahulu disebabkan ayah kandungnya, Ki Getas Pandhawa menikah diusia muda, lebih muda daripada Ki Ageng Pengging. Begitu juga ketika Ki Ageng Sela telah berputra Ki Ageng Ngenis, Jaka Tingkir belum menikah. Manakala Ki Ageng Ngenis berputra Ki Ageng Pamanahan, baru Jaka Tingkir menikah diusia yg agak tua. Maka tak heran, putra Ki Ageng Pamanahan, yaitu Danang Sutawijaya, sebaya dengan putra Jaka Tingkir, Pangeran Benawa. Lantas apa yang aneh? Saya membaca komentar yang menggelikan karena mempertanyakan hal ini disebuah catatan saya yang diterbitkan oleh http://apakabar.ws Mengenai kisah Ki Ageng Sela memberontak ke Demak yang terus dia pertanyakan, saya sarankan dia mencari BABAD TANAH JAWA terbitan TB.SADU BUDI, SOLO yang ditulis oleh Ki Wiryapanitra. Dan kepada semua orang yang meragukan kisah saya, jelas mereka tidak pernah mengenal sastra klasik Jawa seperti BABAD TANAH JAWA, DARMA GANDHUL, SERAT KANDHA, BABAD CIREBON, BABAD TUBAN, BABAD PONOROGO, dll. Saya memaklumi keraguan mereka. Yang tidak bisa saya maklumi adalah, kengototan mereka. Jika mereka ngotot meragukan catatan saya, jelas pengetahuan mereka tentang sejarah Jawa yang tertuang dalam naskah-naskah klasik sangat-sangat minim. Yang mereka ketahui hanyalah sejarah Jawa yang bersumber dari pihak mayoritas, pihak pemenang, yang tampaknya juga telah mewarnai dan mempengaruhi kurikulum Sejarah Nasional Indonesia, yang diajarkan dibangku-bangku sekolah. Maka tidak heran jika banyak email masuk bernada tercengang setelah membaca catatan saya. Saya tidak heran, karena selama ini memang mereka dicekoki dengan kisah-kisah yang putih tanpa cela saja. Mereka yang ngotot meragukan catatan saya, secara tidak sadar telah menunjukkan diri mereka adalah korban dari sebuah manipulasi sejarah tetapi tidak menyadarinya. Kepada merekalah memang catatan ini saya buat. Bagi yang sudah terbiasa dengan naskah-naskah sastra klasik Jawa, mereka hanya akan menikmati kisah yang saya tulis ulang dengan gaya penuturan khas saya ini. Mereka hanya akan duduk manis seolah me-replay sebuah film yang pernah mereka lihat bertahun-tahun lalu dan kini diputar kembali. Yang sudah tahu semua cerita yang saya tulis ini, akan duduk menikmati dan berkata,“Yang belum tahu tapi merasa sudah paling tahu dan paling benar, lihat dong kisah klasik ini!” Salam manis bagi teman-teman yang semacam ini. Namun ada pula yang sangat saya sayangkan, yaitu jika ada generasi muda yang sudah tidak tahu, namun tidak mau pula membaca catatan-catatan semacam ini. Sampai kapan kalian akan terus dibodohi? Saya tidak ingin kalian puji hanya karena telah menulis catatan-catatan seperti ini. Tujuan saya tak lain hanya BUKALAH MATA KALIAN! Jika catatan-catatan saya berhasil MEMBUKA MATA KALIAN, saya merasa puas, lebih puas daripada hanya sekedar dipuji-puji! : Damar Shashangka)
Catatan dari Admin Annunaki: Saya dukung kisah klasik yang mas damar ceritakan ulang ini. Semoga bangsa Indonesia khususnya orang JAWA mau membuka mata akan sejarah mereka yang sebenarnya :) Namaste!
Ada yang tampak aneh dari kuda putih yang tali kekangnya tengah dipegang oleh Danang Sutawijaya. Kuda tersebut jelas bukanlah kuda jantan yang biasa dipakai untuk bertempur. Kuda ini jelas kuda betina. Dan tampak semakin aneh lagi, manakala diperhatikan lebih seksama, ekor kuda terlihat diikat keatas pelana sedemikian rupa, sehingga kemaluan kuda betina itu nampak terbuka jelas. Entah apa maksudnya. Ki Juru Mertani yang mempunyai ide seperti itu.
Ki Juru Mertani dan Ki Ageng Pamanahan tengah bersiap-siap mengirimkan seorang utusan yang hendak diutus ke Jipang. Utusan yang membawa surat tantangan perang! Namun, belum juga sang utusan berangkat, nampak dari kejauhan, diseberang sungai, tujuh orang tukang rumput berpakaian bagus terlihat tengah berjalan ditepian sungai sembari membawa keranjang rumput.
Ki Juru Mertani tertegun, pucuk dicinta ulam tiba, dia tahu pasti, ketujuh orang yang tengah terlihat itu tak lain adalah perumput dari istana Jipang Panolan. Mereka pastilah tukang rumput yang tengah bertugas mencarikan rumput untuk makanan kuda kesayangan Arya Penangsang, Kyai Gagak Rimang. Cepat Ki Juru Mertani memerintahkan agar Ki Ageng Pamanahan mempersiapkan diri. Ki Juru Mertani memberikan petunjuk singkat. Ki Ageng Pamanahan mengangguk tanda mengerti dan langsung menaiki punggung kudanya. Sejenak Ki Juru Mertani memberikan petunjuk kepada Kepala Pasukan agar tidak melakukan gerakan apapun tanpa ada perintah darinya. Lalu, dia menaiki punggung seekor kuda.
Tak berapa lama, nampak Ki Juru Mertani dan Ki Ageng Pamanahan terlihat memacu kuda menyeberangi sungai yang dangkal dibawah sana. Melihat kedatangan dua orang yang tidak dikenal, tujuh orang tukang rumput terkejut. Apalagi, terdengar kemudian dua orang itu berteriak memanggil mereka. Seketrika ketujuh perumput ini menghentikan langkah kakinya.
Ki Juru Mertani dan Ki Ageng Pamanahan menghampiri mereka. Begitu jarak sudah sedemikian dekat, keduanya segera turun dari atas pelana kuda masing-masing.
“Kisanak, buat siapakah rumput-rumput ini?” , tanya Ki Juru Mertani.
Salah seorang perumput menjawab :
“Rumput-rumput ini untuk makanan kuda Kangjeng Arya Jipang ( Arya Penangsang maksudnya : Damar Shashangka)!”
Ki Juru Mertani tersenyum. Dia keluarkan sebuah gulungan rontal dari balik bajunya.
“Kisanak, kami memiliki pesan buat junjungan kalian. Maukah kalian menyampaikannya?”
Ketujuh orang saling berpandangan, lalu salah satu dari mereka bertanya :
“Kalian orang mana?”
Ki Ageng Pamanahan menjawab :
“Katakan kepada junjungan kalian, kami berasal dari Sela!”
Ragu ketujuh orang tersebut.
“Siapakah yang mau aku titipi?” , sergah Ki Juru Mertani.
Agak ragu, salah seorang perumput mendekat..
“Baiklah, mana?”
Orang yang baru berkata segera mendekat dengan keranjang rumput yang tetap berada dipundaknya.
Ki Juru Mertani menyerahkan gulungan rontal itu kepada sang perumput. Namun diam-diam, Ki Ageng Pamanahan bergerak kearah belakang sang tukang rumput dengan gerakan pelan.
Begitu gulungan rontal telah diterima dan telah diselipkan dipinggang sang perumput, cepat Ki Ageng Pamanahan mencabut keris dari pinggangnya dan meraih daun telinga sang perumput tersebut. Tak menunggu waktu, disayatnya daun telinga sang penerima rontal hingga putus seketika itu juga!! Jerit kesakitan terdengar diiringi darah yang mengucur! Melihat kejadian itu, keenam perumput yang lain ketakutan dan langsung melarikan diri!!
Perumput yang kehilangan daun telinganya terlihat mengerang-ngerang kesakitan sembari mendekap telinganya yang telah kehilangan cuping. Darah merembes disela-sela jari jemarinya.
Sembari memegang keris, Ki Ageng Pamanahan berkata :
“Katakan kepada Arya Penangsang! Aku, orang Sela menunggu dia disini. Jika dia lelaki sejati, pasti akan datang!”
Sang perumput ketakutan setengah mati melihat Ki Ageng Pamanahan. Cepat dia membalikkan badan dan langsung lari terbirit-birit dengan meninggalkan keranjang rumputnya yang tumpah ditanah!!
Ki Ageng Pamanahan dan Ki Juru Mertani mengawasi sang perumput yang tengah berlari. Begitu sudah tidak terlihat mata, keduanya segera menaiki punggung kuda masing-masing dan kembali menuju barisan semula.
Perang besar akan terjadi sebentar lagi!!
Bagian 7
Siang itu, diruang dalam kedaton Jipang Panolan, tengah berkumpul para pembesar khusus. Pada hari itu, Arya Penangsang tengah mengadakan acara syukuran atas terselesaikannya masa puasa yang telah dijalaninya selama tiga bulan.
Dengan berpakaian kebesaran, Arya Penangsang nampak duduk dengan gagahnya dikursi indah. Bunyi gamelan mengalun mengiringi perjamuan tersebut. Di bawah, di lantai pualam yang putih bersih, para bangsawan nampak duduk bersila, berjajar dengan mengenakan pakaian kebesaran masing-masing.
Posisi duduk mereka berjajar, memanjang lurus. Ada dua kelompok barisan. Memanjang disebelah kiri dan kanan. Ditengah-tengah kedua barisan ini, tertata rapi hidangan syukuran. Beberapa daging panggang, lauk pauk, nasi tumpeng dan buah-buahan beraneka macam, tersaji disana.
Menjelang acara dimulai, gamelan mendadak berhenti. Patih Matahun yang duduk disebelah Arya Penangsang nampak menghaturkan sembah sejenak kearah junjungannya. Lantas beranjak berdiri dari tempat duduk.
Patih Matahun mewakili Arya Penangsang mengutarakan maksud di adakannya perjamuan disiang itu. Setelah Patih Matahun selesai mengutarakan maksud di adakannya acara syukuran tersebut, seorang ulama keraton segera melantunkan doa-doa.
Selesai doa dibacakan, gamelan mengalun kembali. Beberapa abdi dalem segera masuk dan membagi-bagi segala sesajian makanan yang sudah tersedia. Setiap bangsawan dilayani sebaik mungkin.
Perjamuan baru saja berjalan, manakala mendadak, seorang prajurid kawal khusus tergopoh-gopoh masuk keruangan memohon ijin memberikan laporan penting.
Seluruh yang hadir, tak terkecuali Arya Penangsang sendiri dan Patih Matahun, dibuat kaget oleh kehadiran seorang prajurid kawal khusus ini. Segera, Arya Penangsang memberikan isyarat agar prajurid tersebut mendekat saat itu juga.
Gamelan mendadak berhenti. Suasana menjadi tegang seketika. Ruangan menjadi sunyi dan hening. Seluruh bangsawan terdiam, mengawasi lekat-lekat sang prajurid yang tengah bergerak jalan duduk, sembari menduga-duga ada apakah gerangan yang terjadi?
Arya Penangsang memberikan isyarat agar sang prajurid segera memberikan laporan yang dibawanya. Diperhatikan oleh berpuluh-puluh pasang mata, dan didengar oleh berpuluh-puluh telinga dari semua yang hadir ditempat itu, sang prajurid berkata :
“Kasinggihan dhawuh, Kangjeng. Saya hendak memohon ijin membawa masuk seorang perumput istana. Kondisi dia sangat tidak baik. Dia membawa gulungan rontal yang katanya surat khusus buat Kangjeng..”
Wajah Arya Penangsang tegang.
“Bawa masuk dia!”
Sang prajurid menghaturkan sembah, lantas berjalan duduk mundur. Tak lama dia sudah keluar dari ruangan. Berselang beberapa tegukan minum, dia datang kembali sembari diiringi seseorang yang lain. Seseorang yang wajahnya berlepotan darah segar. Dengan sangat kesulitan, dia berjalan duduk mengikuti prajurid kawal khusus yang membawanya.
Melihat kehadiran sosok yang dibawa menghadap oleh prajurid kawal khusus barusan, seluruh yang hadir gempar!
Seseorang yang berlepotan darah yang tak lain adalah sang perumput malang itu terlihat menahan rasa sakitnya. Belum jelas bagian mana dari kepala sang perumput yang terluka karena darah segar yang terus merembes, sedikit banyak menutupi tempat luka berasal. Namun, semakin diperhatikan, akan semakin jelas, bahwa cuping telinga kiri sang perumput telah hilang! Seluruh yang hadir bisa menebak seketika, bahwa darah itu keluar dari luka dibagian telinganya yang telah tanggal!!
Mata Arya Penangsang dan Patih Matahun memperhatikan kondisi sang perumput tanpa berkedip. Begitu sang perumput dan prajurid kawal khusus telah berada tepat dihadapan Arya Penangsang, segera Arya Penangsang berkata :
“Ada apa? Ceritakan apa yang terjadi?! Dan surat darimana yang kau bawa untukku?!”
Sembari mengerang, sang perumput menghaturkan sembah. Tangannya yang berlepotan darah gemetar saat menghaturkan sembahnya. Sang perumput, didengar oleh Arya Penangsang, Patih Matahun dan seluruh bangsawan yang hadir segera menceritakan apa yang menimpanya!
Gemuruh suara seluruh yang hadir setelah mendengar laporan sang perumput. Arya Penangsang memerah wajahnya, segera dia meminta gulungan rontal yang dibawa sang perumput. Sang perumput mengulurkan gulungan rontal yang juga berlepotan darah. Arya Penangsang menyuruh Patih Matahun menerimanya dan segera membaca isinya.
Patih Matahun menerima gulungan rontal dari tangan sang perumput. Sembari berdiri, dia buka gulungan itu dan dengan suara keras, dibaca isinya :
He, Penangsang! Yen sira nyata Lanang Sejati, payo tandhing lawan ingsun. Dak anti sapinggiring bengawan tapel wates. Yen ora wani nekani, nyata sira wandu kang memba rupa! Budhala tanpa rowang! Ingsun wong Sela wus tan bisa suwe nahan sedyaning tyas kapengin nigas janggamu!
(Hai, Penangsang! Jika nyata Lelaki Sejati, mari bertanding denganku! Aku tunggu dipinggir sungai tapal batas. Jika tidak berani datang, jelaslah kamu seorang banci yang menyamar sebagai lelaki ! Berangkatlah tanpa prajurid! Aku orang Sela sudah gatal ingin memenggal kepalamu!)
Menggeram marah Arya Penangsang mendengar bunyi surat yang baru dibacakan. Tangannya mengebrak meja disebelahnya yang dipenuhi dengan nasi tumpeng! Meja terguling dan nasi diatasnya berburai seketika, berserakan mengotori lantai pualam disekelilingnya!!!
Arya Penangsang, dengan dada bergemuruh dan amarah yang sudah sampai dibun-ubun segera berkata keras kepada prajurid kawal yang nampak disitu :
“Siapkan Kyai Gagak Rimang sekarang juga!!!”
Prajurid yang diperintah menyembah dan tergopoh-gopoh jalan mundur.
Seluruh yang hadir kebingungan. Patih Matahun segera menyembah dan berkata :
“Nakmas Penangsang, mohon sabarkan hati sejenak. Biarkan saya memberikan perintah kepada Senopati Jipang agar menyiagakan seluruh prajurid!!”
Arya Penangsang tak bergeming! Matanya menerawang merah penuh amarah. Sejurus kemudian, prajurid yang diutus menyiapkan kuda nampak tiba kembali diruangan. Dia tengah memulai untuk berjalan duduk dengan maksud menghadap. Namun Arya penangsang sudah tidak sabar lagi, dia segera keluar dari ruangan tanpa permisi !!!
Patih Matahun kalut! Segera dia berkata :
“Nakmas Senopati!!”
Yang ditunjuk dan tengah duduk diantara para bangsawan menyembah!
“Segera siagakan seluruh prajurid Jipang Panolan sekarang juga!”
Yang diperintahkan menyembah sekali lagi dan mohon undur.
“Dan kepada semua priyayi yang hadir disini!” lanjut Patih Matahun, keras suaranya, ”Segera siagakan diri untuk bertempur dengan orang Sela!!”
Seluruh yang hadir riuh memberikan sembah! Dan bubar saat itu juga!!
Arya Penangsang telah menaiki kuda kesayangannya. Beberapa kepala prajurid berusaha mencegahnya, namun bukan Arya Penangsang jika tidak memenuhi tantangan seorang diri. Tanpa banyak bicara lagi, digebraknya Kyai Gagak Rimang! Kuda berwarna hitam mulus itu meringkik nyaring sejenak, lantas melesat keluar dari kompleks istana Jipang Panolan!!!
Seluruh kepala prajurid dan bangsawan Jipang geger melihat kenekadan Arya Penangsang! Seketika itu juga, gong beri, gong kecil yang biasa dibunyikan agar seluruh prajurid menyiagakan diri, segera terdengar dipukul bertalu-talu. Susul menyusul. Dari satu sudut istana , disusul sudut yang lain. Riuh rendah suaranya memekakkan telinga! Disana-sini, teriakan-teriakan komando-pun terdengar, berselang-seling, membuat se-isi istana Jipang gempar!!
Ditempat lain, Kyai Gagak Rimang telah melesat menuju perbatasan!!
Tumbangnya Ksatria Putihan.
Kyai Gagak Rimang melaju kencang, melesat ke arah sungai yang menjadi tapal batas wilayah Jipang Panolan dengan daerah yang belum berhasil diduduki pasukan Jipang.
Menjelang matahari condong ke barat, tepat seusai waktu dzuhur, barulah Arya Penangsang memperlambat laju kudanya!
Wilayah yang dibentangi aliran sungai dangkal ini adalah tapal batas kekuasaan Jipang Panolan. Diseberang sana, terbentang wilayah luas yang sudah direncanakan hendak diduduki pasukan Jipang.
Kyai Gagak Rimang meringkik nyalang manakala tali kekang kuda yang melilit lehernya ditarik kencang!! Serta merta, Kyai Gagak Rimang mengangkat kedua kaki depannya sejenak, lantas kembali menjejak ke tanah dan berjalan pelan memutar.
Mata Arya Penangsang menyipit mengamati keadaan sekeliling. Aliran sungai yang tak seberapa dalam nampak terus mengalir dengan tenangnya. Pepohonan lebat yang tumbuh diseberang sana, tumbuh di area berbukit tepat dipinggir aliran sungai, nampak lengang pula. Tak tampak sesuatu-pun yang mencurigakan.
Bergegas Arya Penangsang menarik tali kekang kuda, menuruni tanah berbukit yang menuju ke bawah, menuju ke aliran sungai. Begitu sampai dibawah, tepat dipinggir sungai, ternyata situasi benar-benar senyap! Tak ada siapapun disana. Hanya bunyi burung-burung hutan yang sesekali memamerkan suara ditambah suara sungai yang gemericik, menyambut kehadiran Arya Penangsang!
Arya Penangsang mendengus. Dengan mata memandang ke seberang, dia berteriak keras :
“Keparat!! Yen nyata lanang metuwa!! Aja singidan!!”
(Keparat!! Kalau nyata laki-laki, keluarlah! Jangan bersembunyi!!)
Suara Arya Penangsang menggema, memantul dari lereng ke lereng lain! Mengoyak kesenyapan yang sedari tadi menyergap daerah itu!
Tapi, begitu suara gema menghilang. Keadaan kembali sepi. Tak ada jawaban!
Arya Penangsang gusar! Merasa dipermainkan! Ditariknya tali kekang Kyai Gagak Rimang, nekad dia menyeberangi sungai! (Menurut kepercayaan Jawa, jika dua orang lawan sedang bertempur, dan diantara mereka terhalang sebuah sungai, bagi siapa saja yang berani menyeberangi, pasti akan kalah perangnya : Damar Shashangka)
Dan tepat ketika kaki-kaki Kyai Gagak Rimang tengah tertatih-tatih menapaki dasar sungai yang cuma sebatas lutut dalamnya, mendadak, terdengar bunyi riuh desingan!! Mata Arya Penangsang awas!! Dilihatnya berratus-ratus anak panah meluncur deras mengarah kearahnya!! Arya Penangsang mengumpat!! Namun sungguh luar biasa, bukannya dia kebingungan menghindar, malahan dia buka dadanya lebar-lebar!! Beberapa batang anak panah yang tepat mengarah ketubuhnya, terpental kesamping, tak bisa melukai kulitnya sama sekali dan langsung luruh masuk ke dalam aliran sungai!! Bahkan beberapa ada juga yang patah menjadi dua!! Tak hanya itu, anak panah yang sempat menyasar ke tubuh Kyai Gagak Rimang-pun mengalami hal yang serupa!! Kyai Gagak Rimang hanya terlonjak-lonjak saja ketika beberapa anak panah meluncur mengenai tubuhnya! Tak ada luka sedikit-pun ditubuh kuda hitam mulus itu!!
Bidikan anak panah mereda seketika!
Belum usai kegusaran Arya Penangsang, disusul dari arah seberang, keluar seekor kuda putih! Kuda itu dipacu menuruni lereng. Keluar dari balik pepohonan. Begitu jelas siapa yang hadir, mata Arya Penangsang melotot marah!! Jelas terlihat, seorang anak kecil, tengah menunggang kuda dengan tombak terhunus ditangan kanannya. Terdengar suara kecilnya nyaring tanpa ada kegentaran sedikitpun :
“Penangsang!! Aku lawan tandingmu!!”
Dada Arya Penangsang bagai dibakar api! Wajahnya bagai dicoreng dengan arang!! Betapa tidak! Seorang anak kecil dengan lancangnya berani sendirian menghadapinya dan bahkan sesumbar menantangnya!!! Ditariknya tali kekang Kyai Gagak Rimang! Kuda meringkik, kesusahan berjalan menapaki dasar sungai! Berusaha terus melaju ke arah seberang mendekati sosok kecil yang dengan gagahnya menenteng tombak disana!
Melihat Arya Penangsang mendekat, anak kecil tersebut memutar arah kudanya. Kyai Gagak Rimang telah berhasil melewati aliran sungai dan langsung berderap mengejar kuda putih didepannya! Begitu jarak sudah sedemikian dekat, mendadak terjadi keanehan! Tingkah Kyai Gagak Rimang seketika berubah!! Kepalanya mengangguk-angguk dan menjadi liar!!
Arya Penangsang terkejut menyadari perubahan yang terjadi! Kuda tunggangannya tidak pernah bertingkah aneh seperti itu selama ini. Sejenak Arya Penangsang kerepotan menarik tali kekang kudanya yang menjadi tak terkendali!! Ditengah usahanya membuat Kyai Gagak Rimang kembali patuh, mata Arya Penangsang melihat sekilas bagian belakang kuda putih yang tengah ditunggangi lawannya!! Arya Penangsang marah!! Dia menyadari sekarang mengapa Kyai Gagak Rimang bertingkah laku aneh! Rupanya, ekor kuda putih didepannnya sengaja diikat keatas, sehingga kemaluannya terlihat jelas! Dan Arya Penangsang semakin menyadari, kuda yang ditunggangi lawannya adalah kuda betina!!
Arya Penangsang mengumpat-ngumpat!! Kyai Gagak Rimang selama ini memang sengaja tidak diperkenalkan dengan kuda betina! Kyai Gagak Rimang adalah kuda tempur. Jika mengenal kuda betina dan sempat bersenggama, maka kemampuan tempurnya akan menurun! Dan kini, melihat kuda betina dengan kemaluan terbuka lebar seperti itu, Kyai Gagak Rimang tidak bisa menguasai birahinya!!
Ditengah kesibukan Arya penangsang mengendalikan keliaran Kyai Gagak Rimang, mendadak anak kecil yang menunggang kuda didepannya, memutar haluan kudanya. Berderap suaranya mendekat. Mata Arya Penangsang awas!! Namun keliaran Kyai Gagak Rimang semakin menjadi-jadi. Arya Penangsang panik!! Dan benar!!
Tombak ditangan kanan sang anak mengarah telak kearah lambungnya!!! Dan!!!
Arya Penangsang yang kerepotan diatas punggung kuda yang tengah melonjak-lonjak, tidak mampu menghindari tikaman tersebut!! Tombak Kyai Plered yang tajam langsung menembus lambungnya seketika itu juga!! Darah menyemburat!! Arya Penangsang menjerit kesakitan!! Dan yang mengerikan, begitu mata tombak ditarik, sebagian ususnya ikut terburai keluar!!!
Kuda putih berlalu dengan derapan kemenangan!! Arya Penangsang meringis kesakitan!! Diraihnya sebagian ususnya yang keluar dan langsung di kalungkan ke warangka keris Kyai Brongot Setan Kober yang terselip dipinggang kirinya!! Begitu ususnya tidak menjuntai dan terikat diwarangka keris, Arya Penangsang segera memutar tali kekang Kyai Gagak Rimang!! Kuda hitam itu mendengus-dengus dan berderap semangat mengejar kuda betina!! Begitu jarak sudah sedemikian dekat, Arya penangsang meraih tubuh kecil sang penunggang kuda putih dan membantingnya ketanah!!!
Jerit kesakitan terdengar!! Arya Penangsang segera turun dari punggung kuda!! Sosok kecil yang tengah terjatuh diatas tanah berusaha bangkit dan hendak melarikan diri, namun terlambat!! Leher kecilnya terpegang dan kembali terbanting ketanah!! Begitu tubuh kecil itu telentang tak berdaya, kaki kekar Arya penangsang langsung menginjak dadanya!! Suara kesakitan nyaring terdengar!!
Arya Penangsang beringas!! Diraihnya gagang keris Kyai Brongot Setan Kober!!
“Tunggu!!!!!!”
Mendadak terdengar bunyi nyaring!! Mata Arya Penangsang mencari asal suara! Terlihat empat orang berkuda keluar dari balik gerombol pepohonan mendekat kearahnya!! Dua diantara empat orang yang datang adalah Ki Juru Mertani dan Ki Ageng Pemanahan!
Belum selesai kemunculan empat orang tersebut, disusul suara riuh rendah derap kuda dari seberang sungai terdengar!! Mata Ki Juru Mertani awas!! Pasukan Jipang Panolan ternyata sudah tiba!! Cepat dia memberikan isyarat!!! Dua orang yang ikut dengannya segera mengeluarkan bendera merah!! Begitu melihat bendera merah terkibar!! Bunyi gemuruh pasukan Pajang membahana!!! Serempak keluar dari persembunyian masing-masing!! Perang besar akan segera terjadi!!!
Mata Arya Penangsang memerah!!
Ki Juru Mertani dan Ki Ageng Pemanahan menatapnya lekat-lekat! Dan mata Ki Juru Mertani serta Ki Ageng Pemanahan juga melirik usus Arya penangsang yang terburai dan tersampir diwarangka keris! Begitu keris itu dicabut, maka tamatlah riwayat Arya Jipang!!
“ Penangsang!!” teriak Ki Juru Mertani, ” Anak kecil itu putra Adipati Pajang!! Bunuh saja jika kamu berani!!!”
Arya Penangsang kalap!! Dia melihat anak kecil yang masih diinjak dengan kaki kanannya! Anak kecil yang tak lain adalah Danang Sutawijaya! Dengan diiringi geraman kemarahan yang tak tertahankan, dicabutnya Kyai Brongot Setan Kober dengan kasar!!! Arya Penangsang lupa, sebagian ususnya yang keluar tersampir disana!! Kemarahan membuat Arya Penangsang lupa!!
Begitu keris Kyai Brongot Setan kober tercabut, Arya Penangsang seketika menjerit keras!!! Ususnya ikut tercerabut seketika itu juga!!! Dengan tangan kanan yang terangkat keatas, gerakan Arya Penangsang terhenti!!! Tubuhnya tergetar hebat!!! Hanya sesaat!! Sejurus kemudian, tubuhnya tumbang ke tanah dan sekarat seketika itu juga!!!
Cepat Ki Ageng Pemanahan menarik tubuh Danang Sutawijaya yang ngeri ketakutan!! Dan langsung membawanya menjauhi arena!!
Dilain tempat, peperangan telah terjadi!! Pekik kemarahan berselang sering dengan jerit kesakitan!!! Tubuh-tubuh dari kedua prajurid bertumbangan ketanah!! Darah tertumpah!! Membuat aliran sungai menjadi berubah warna menjadi merah!!!
Senjata tajam berkelabatan tertimpa sinar matahari sore!! Berdenting! Mencicit mengincar nyawa lawan!! Nampak Patih Matahun mengamuk dibarisan depan!!
Ki Juru Mertani segera memerintahkan seorang kepala prajurid Pajang berteriak mengabarkan kematian Arya Penangsang! Yang diutus segera menjalankan tugas!! Sebentar saja, teriakan serupa disambut teriakan yang lain dari kepala pasukan Pajang!!
Berita kematian Arya penangsang membuat nyali pasukan Jipang menciut!!! Ditengah-tengah pertempuran dahsyat tersebut, dari sudut kesudut, terdengar suara bersahut-sahutan dari pasukan Pajang :
“Arya Penangsang wis matiiiiiiiiiii!!!!!”
(Arya penangsang sudah mati!!!)
Dampaknya luar biasa, sebentar saja, pasukan Jipang terdesak hebat!! Satu persatu, tubuh pasukan Jipang jatuh ketanah dengan luka menganga mengeluarkan darah segar!! Pasukan Pajang terus merangsak maju!!
“Aja mundur!!! Majuuuuuuuuuuu!!”
(Jangan mundur!! Majuuuuuu!)
Terdengar teriakan Patih Matahun, disusul oleh kepala pasukan Jipang yang lain! Namun percuma! Nyali pasukan Jipang sudah turun drastis!! Bahkan, dibeberapa sisi, pasukan Jipang sudah kocar-kacir!! Jika diteruskan, seluruh pasukan Jipang akan terbabat habis tak tersisa!! Pasukan Pajang mengamuk bagai banteng ketaton!!!
Namun, Patih Matahun tak berniat mundur!! Ki Ageng Pamanahan segera memacu kuda mendekati posisi Patih Matahun!! Melihat kehadiran Ki Ageng Pamanahan, Patih Matahun langsung menyerang!! Pertempuran kedua priyayi dari Pajang dan Jipang ini terjadi!! Namun bagaimanapun juga, semangat Patih tua ini juga sudah banyak luruh!! Sebentar saja, dia sudah terlihat terdesak hebat!! Dan pada akhirnya, sebuah tusukan telak mengarah dadanya!! Patih Matahun meringis kesakitan dan tumbang ketanah!!!
Melihat Patih Matahun-pun telah tewas, beberapa kepala pasukan Jipang panik!! Pasukan Pajang terus membabat habis lawannya tanpa ampun lagi!! Mayat-mayat bergelimpangan semakin banyak!! Aliran sungai telah berwarna merah dan berbau anyir!!
Dan menjelang malam tiba, pasukan Jipang kocar-kacir!!! Pasukan Pajang terus bergerak menuju ibukota! Penduduk ibukota Jipang panik. Pasukan Pajang merangsak masuk istana Jipang! Jerit ketakutan terdengar disana-sini!! Banguna istana segera menjadi sasaran perusakan pasukan Pajang tanpa ampun!! Beberapa sudut istana dibakar!! Perlawanan dari sisa-sisa pasukan Jipang tidak berarti sama sekali!! Sebentar saja, menjelang dini hari, istana Jipang Panolan telah dikuasai pasukan Pajang!!
Gamelan ditabuh menandakan kemenangan pasukan Pajang!! Keesokan harinya, kabar kemenangan itu diteruskan ke Pajang. Beberapa prajurid diutus memberikan laporan kepada Adipati Adiwijaya!! Seluruh bangsawan Pajang menyambut kemenangan itu dengan suka cita!!
Tak menunda waktu lama, diutuslah beberapa prajurid ke Jepara untuk mengabarkan hal serupa kepada Ratu Kalinyamat. Ratu Kalinyamat bergembira dan bersedia menyudahi tapa telanjangnya. Dia lantas ikut rombongan pasukan Pajang menuju ibukota Pajang.
Kemenangan orang Sela tersiar kemana-mana. Tewasnya Arya penangsang membuat gempar seluruh bangsawan Jawa!! Tak terkecuali Sunan Kudus!!
Kini, tidak ada lagi penguasa Jawa yang kuat selain Adipati Adiwijaya di Pajang!! Beberapa minggu kemudian, upacara besar dilaksanakan. Disaksikan oleh para pembesar Demak Bintara, Ratu Kalinyamat menyerahkan tahta Demak Bintara kepada adik iparnya, Adipati Adiwijaya!! Keputusan ini banyak disokong oleh berbagai pihak!! Namun sesuai janji semula, Pajang harus berbentuk Kesultanan, bukan Kerajaan. Oleh karenanya, Adipati Adiwijaya lantas dikukuhkan sebagai seorang Sultan dengan gelar Kangjeng Sultan Adiwijaya. Kejadian ini bertepatan dengan tahun 1546 Masehi!
Putra Ki Ageng Pengging, kini telah resmi memegang tampuk pemerintahan Jawa. Ramalan Sunan Kalijaga, terbukti sudah!! Kini, Ki Mas Karebet atau Jaka Tingkir, telah menjadi seorang Raja, penguasa Tanah Jawa!!!
Tamat
Mari kita ambil baiknya dan buang yang tidak baik...
Aihh... Berat3x...
Hatiku selembar daun...
Subscribe to:
Posts (Atom)