Suatu ketika, ada seseorang pemuda yang mempunyai sebuah bibit mawar. Ia ingin sekali menanam mawar itu di kebun belakang rumahnya. Pupuk dan sekop kecil telah disiapkan. Bergegas, disiapkannya pula pot kecil tempat mawar itu akan tumbuh berkembang. Dipilihnya pot yang terbaik, dan diletakkan pot itu di sudut yang cukup mendapat sinar matahari. Ia berharap, bibit ini dapat tumbuh dengan sempurna.
Disiraminya bibit mawar itu setiap hari. Dengan tekun, dirawatnya pohon itu. Tak lupa, jika ada rumput yang menganggu, segera disianginya agar terhindar dari kekurangan makanan. Beberapa waktu kemudian, mulailah tumbuh kuncup bunga itu. Kelopaknya tampak mulai merekah, walau warnanya belum terlihat sempurna. Pemuda ini pun senang, kerja kerasnya mulai membuahkan hasil.
Diselidikinya bunga itu dengan hati-hati. Ia tampak heran, sebab tumbuh pula
duri-duri kecil yang menutupi tangkai-tangkainya. Ia menyesalkan mengapa
duri-duri tajam itu muncul bersamaan dengan merekahnya bunga yang indah ini. Tentu, duri-duri itu akan menganggu keindahan mawar-mawar miliknya.
Sang pemuda tampak bergumam dalam hati, “Mengapa dari bunga seindah ini, tumbuh banyak sekali duri yang tajam? Tentu hal ini akan menyulitkanku untuk merawatnya nanti. Setiap kali kurapihkan, selalu saja tanganku terluka. Selalu saja ada ada bagian dari kulitku yang tergores. Ah pekerjaan ini hanya membuatku sakit. Aku tak akan membiarkan tanganku berdarah karena duri-duri penganggu ini.”
Lama kelamaan, pemuda ini tampak enggan untuk memperhatikan mawar miliknya. Ia mulai tak peduli. Mawar itu tak pernah disirami lagi setiap pagi dan petang. Dibiarkannya rumput-rumput yang menganggu pertumbuhan mawar itu. Kelopaknya yang dahulu mulai merekah, kini tampak merona sayu. Daun-daun yang tumbuh di setiap tangkai pun mulai jatuh satu-persatu. Akhirnya, sebelum berkembang dengan sempurna, bunga itu pun meranggas dan layu.
=====
Sahabat, kisah tadi memang sudah selesai. Tapi, ada ada satu pesan moral yang bisa kita raih didalamnya. Jiwa manusia, adalah juga seperti kisah tadi. Di dalam setiap jiwa, selalu ada ‘mawar’ yang tertanam. Allah lah yang meletakkan kemuliaan itu di setiap kalbu kita. Layaknya taman-taman berbunga, sesungguhnya di dalam jiwa kita, juga ada tunas mawar dan duri yang akan merekah.
Namun sayang, ada sebagian dari kita yang hanya melihat “duri” yang tumbuh. Merasakan hanya kelemahan yang ada pada dirinya. Merasa hanya menjadi beban bagi orang lain. Banyak dari saudara kita yang hanya melihat sisi buruk, sehingga dalam menjalani kehidupan ini dipenuhi dengan kepesimisan seolah menolak keberadaan mereka sendiri. Saudara kita itu sering kecewa dengan dirinya dan tidak mau menerimanya. Mereka berpikir bahwa hanya hal-hal yang melukai yang akan tumbuh dari nya. Sehingga menolak untuk “menyirami” hal-hal baik yang sebenarnya telah adadan tak pernah memahami potensi yang dimilikinya.
Mereka juga sebenarnya memiliki mawar yang indah di dalam jiwa. Banyak orang yang tak menyadari, adanya mawar itu.
Sahabat, jika kita bisa menemukan “mawar-mawar” indah yang tumbuh dalam jiwa itu,
kita akan dapat mengabaikan duri-duri yang muncul. Kita, akan terpacu untuk
membuatnya merekah, dan terus merekah hingga berpuluh-puluh tunas baru akan muncul. Pada setiap tunas itu, akan berbuah tunas-tunas kebahagiaan, ketenangan, kedamaian, yang akan memenuhi taman-taman jiwa kita. Kenikmatan yang terindah adalah saat kita berhasil untuk menunjukkan pada mereka akan keberadaan mawar-mawar itu, dan mengabaikan duri-duri yang muncul.
Semerbak harumn mawar pada hati mereka akan menghiasi hari-hari kita. Aroma keindahan yang ditawarkannya, adalah layaknya ketenangan air telaga yang menenangkan keruwetan hati. Mari, kita temukan “mawar-mawar” ketenangan, kebahagiaan, kedamaian itu dalam jiwa-jiwa kita, dan kembali kita bagikan pada mereka yang merasa tersisih dan tersingkir. Mungkin, ya, mungkin, kita akan juga berjumpa dengan onak dan duri, tapi janganlah itu membuat kita berputus asa. Mungkin, tangan-tangan kita akan tergores dan terluka, tapi janganlah itu membuat kita bersedih nestapa. Kebahagiaan kita adalah saat kita menemukan mereka, jiwa-jiwa yang tersisih, jiwa-jiwa yang pesimis, tersenyum bahagia, seolah menemukan udara disaat mereka akan kehabisan oksigen
Showing posts with label Cerita Motivasi. Show all posts
Showing posts with label Cerita Motivasi. Show all posts
Thursday, 6 January 2011
Friday, 12 November 2010
Christopher Si Tukang Pipa
Christopher Si Tukang Pipa
Alkisah, bos perusahaan otomotif terbesar di Jerman sedang pusing karena pipa keran airnya bocor, ia takut anaknya yang masih kecil terjatuh. Setelah bertanya ke sana-kemari, ditemukan seorang tukang terbaik. Melalui pembicaraan telepon, sang tukang menjanjikan dua hari lagi untuk memperbaiki pipa keran sang bos. Esoknya, sang tukang justru menelepon sang bos dan mengucapkan terima kasih. Sang bos sedikit bingung. Sang tukang menjelaskan, ia berterima kasih sebab sang bos telah mau memakai jasanya dan bersedia menunggunya sehari lagi. Pada hari yang ditentukan, sang tukang bekerja dan bereslah tugasnya, lalu menerima upah. Dua minggu kemudian, sang tukang kembali menelepon sang bos dan menanyakan apakah keran pipa airnya beres. Namun, ia juga kembali mengucapkan terima kasih atas kesediaan sang bos memakai jasanya. Sebagai catatan, sang tukang tidak tahu bahwa kliennya itu adalah bos perusahaan otomotif terbesar di Jerman. Cerita belum tamat. Sang bos demikian terkesan dengan sang tukang dan akhirnya merekrutnya. Tukang itu bernama Christopher L Jr dan kini menjabat GM Customer Satisfaction & Public Relation Mercedes Benz. Dalam sebuah wawancara, Christopher menjawab, ia melakukan semua itu bukan sekadar tuntutan after sales service atas jasanya sebagai plumber. Jauh lebih penting, ia selalu yakin tugas utamanya bukanlah memperbaiki pipa bocor, tetapi keselamatan dan kenyamanan orang yang memakai jasanya. Christopher melihat lebih jauh dari tugasnya.
Source:
http://blog.diansastrowardoyo.net/
Hatiku selembar daun...
Alkisah, bos perusahaan otomotif terbesar di Jerman sedang pusing karena pipa keran airnya bocor, ia takut anaknya yang masih kecil terjatuh. Setelah bertanya ke sana-kemari, ditemukan seorang tukang terbaik. Melalui pembicaraan telepon, sang tukang menjanjikan dua hari lagi untuk memperbaiki pipa keran sang bos. Esoknya, sang tukang justru menelepon sang bos dan mengucapkan terima kasih. Sang bos sedikit bingung. Sang tukang menjelaskan, ia berterima kasih sebab sang bos telah mau memakai jasanya dan bersedia menunggunya sehari lagi. Pada hari yang ditentukan, sang tukang bekerja dan bereslah tugasnya, lalu menerima upah. Dua minggu kemudian, sang tukang kembali menelepon sang bos dan menanyakan apakah keran pipa airnya beres. Namun, ia juga kembali mengucapkan terima kasih atas kesediaan sang bos memakai jasanya. Sebagai catatan, sang tukang tidak tahu bahwa kliennya itu adalah bos perusahaan otomotif terbesar di Jerman. Cerita belum tamat. Sang bos demikian terkesan dengan sang tukang dan akhirnya merekrutnya. Tukang itu bernama Christopher L Jr dan kini menjabat GM Customer Satisfaction & Public Relation Mercedes Benz. Dalam sebuah wawancara, Christopher menjawab, ia melakukan semua itu bukan sekadar tuntutan after sales service atas jasanya sebagai plumber. Jauh lebih penting, ia selalu yakin tugas utamanya bukanlah memperbaiki pipa bocor, tetapi keselamatan dan kenyamanan orang yang memakai jasanya. Christopher melihat lebih jauh dari tugasnya.
Source:
http://blog.diansastrowardoyo.net/
Hatiku selembar daun...
Semangkuk Mie Kuah
Semangkuk Mie Kuah
Oleh: Tidak Diketahui
Diterjemahkan: Li Kuei Chuen
Pendahuluan:
Ny. Hsu yang tinggal di Kao Hsiung, anak gadisnya pulang dari Amerika pada saat awal bulan Januari, dan membawa sebuah kisah nyata yang menggugah hati. Kisah yang terjadi pada malam Chu Si (malam menjelang Tahun Baru Imlek), berjumlah sebanyak 50 halaman lebih. Tokoh dalam cerita ini pada saat menceritakan kisahnya mengharukan banyak orang Jepang. Cerita ini dinamakan "Semangkuk Mie Kuah", diterjemahkan oleh Li Kuei Chuen.
Tanggal 31 bulan Desember lima belas tahun yang lalu, yang juga merupakan malam Chu Si, di sebuah jalan di kota Sapporo, Jepang, ada sebuah toko mie yang bernama "Pei Hai Thing" (Pei = Utara; Hai = Laut; Thing = Kios, toko).
Makan mie pada malam Chu Si, adalah adat istiadat turun temurun dari orang Jepang, pada hari itu pemasukan toko mie sangatlah baik, tidak terkecuali "Pei Hai Thing", hampir sehari penuh dengan tamu pengunjung, tetapi setelah jam 22.00 ke atas sudah tidak ada pengunjung yang datang lagi. Pada saat biasanya jalan yang sangat ramai hingga waktu subuh - karena pada hari itu semua orang terburu-buru pulang rumah untuk merayakan Tahun Baru - sehingga dengan cepat menjadi sunyi dan tenang.
Majikan dari toko mie "Pei Hai Thing" adalah seseorang yang jujur dan polos, istrinya adalah seorang yang ramah tamah dan melayani orang penuh dengan kehangatan. Saat tamu terakhir pada malam Chu Si itu telah keluar dari toko mie, dan pada saat sang istri tengah bersiap untuk menutup toko, pintu toko itu sekali lagi terbuka, seorang wanita membawa dua orang anaknya berjalan masuk, kedua anak itu kira-kira berusia 6 tahun dan 10 tahun, mereka mengenakan baju olahraga baru yang serupa satu dengan yang lainnya, tetapi wanita tersebut malah memakai baju luar - bercorak kotak - yang telah usang.
"Silakan duduk !" Sang majikan mengucapkan salam.
Wanita itu berkata dengan takut-takut: "Bolehkah... memesan semangkuk mie kuah ?"
Kedua anak di belakangnya saling memandang dengan tidak tenang.
"Tentu... tentu boleh, silakan duduk di sini !" Sang istri mengajak mereka ke meja nomor 2 di paling pinggir, lalu berteriak dengan keras ke arah dapur: "Semangkuk mie kuah !"
Sebenarnya jatah semangkuk untuk satu orang hanyalah satu ikat mie, sang majikan menambahkan lagi sebanyak setengah ikat, dan menyiapkannya dalam sebuah mangkuk besar penuh, hal ini tidak diketahui oleh sang istri dan tamunya itu.
Ibu dan anak bertiga mengelilingi semangkuk mie kuah tersebut dan menikmatinya dengan lezat, sambil makan, sambil berbicara dengan suara yang kecil, "Sangat enak sekali !"
Sang kakak berkata: "Ma, kamu juga coba-coba dong!"
Sang adik sambil berkata, dia menyumpit mie untuk menyuapi ibunya. Tidak lama kemudian mie pun telah habis, setelah membayar 150 yen, ibu dan anak bertiga dengan serempak memuji dan menghaturkan terima kasih "Sangat lezat sekali, banyak terima kasih!" serta membungkuk memberi hormat, lalu berjalan meninggalkan toko.
Setiap hari berlalu dengan sibuknya, tak terasa setahun pun berlalu. Dan tiba lagi pada tanggal 31 Desember, usaha dari "Pei Hai Thing" masih tetap ramai, kesibukan pada malam Chu Si akhirnya selesai, telah lewat dari jam 22.00, sang istri majikan ketika tengah berjalan ke arah pintu untuk menutup toko, pintu itu lalu terbuka lagi dengan pelan, yang masuk ke dalam adalah seorang wanita parobaya sambil membawa dua orang anaknya. Sang istri ketika melihat baju luar bercorak kotak yang telah usang itu, dengan seketika teringat kembali tamu terakhir pada malam Chu Si tahun lalu.
"Bolehkah... membuatkan kami... semangkuk mie kuah ?"
"Tentu, tentu, silakan duduk !"
Sang istri mengajak mereka ke meja nomor 2 yang pernah mereka duduk di tahun lalu, sambil berteriak dengan keras "Semangkuk mie kuah!".
Sang majikan sambil menyahuti, sambil menyalakan api yang baru saja dipadamkan.
Istrinya dengan diam-diam berkata di samping telinga suami: "Ei, masak 3 mangkuk untuk mereka, boleh tidak ?"
"Jangan, kalau demikian mereka bisa merasa tidak enak."
Sang suami sambil menjawab, sambil menambahkan setengah ikat mie lagi ke dalam kuah yang mendidih.
Ibu dan anak bertiga mengelilingi semangkuk mie kuah itu sambil makan dan berbicara, percakapan itu juga terdengar sampai telinga suami istri pemilik toko.
"Sangat wangi... sangat hebat... sangat nikmat!"
"Tahun ini masih bisa menikmati mie dari Pei Hai Thing, sangatlah baik!"
"Alangkah baiknya jika tahun depan masih bisa datang untuk makan di sini."
Setelah selesai makan dan membayar 150 yen, ibu dan anak bertiga lalu berjalan meninggalkan Pei Hai Thing.
"Terima kasih banyak! Selamat bertahun baru."
Memandang ibu dan anak yang berjalan pergi, suami istri pemilik toko berulang kali membicarakannya dengan cukup lama.
Malam Chu Si pada tahun ketiga, usaha dari "Pei Hai Thing" tetap berjalan dengan sangat baik, sepasang suami istri saking sibuknya sampai tidak ada waktu untuk berbicara, tetapi setelah lewat pukul 21.30, kedua orang itu mulai berperasaan tidak tenang.
Jam 22.00 telah tiba, pegawai toko juga telah pulang setelah menerima "Hung Pao" (Ang Pao), majikan toko dengan tergesa-gesa membalikkan setiap lembar daftar harga yang tergantung di dinding, daftar kenaikan harga "Mie Kuah 200 yen semangkuk" sejak musim panas tahun ini, ditulis ulang menjadi 150 yen.
Di atas meja nomor 2, sang istri pada saat 3 menit yang lalu telah meletakkan kartu tanda "Telah dipesan". Sepertinya ada maksud untuk menunggu orang yang akan tiba setelah seluruh tamu telah pergi meninggalkan toko, setelah lewat jam 22.00, ibu dengan dua orang anak ini akhirnya muncul kembali.
Sang kakak memakai seragam SMP, sang adik mengenakan jaket - yang kelihatan agak kebesaran - yang dipakai kakaknya tahun lalu, kedua anak ini telah tumbuh dewasa, sang ibu masih tetap memakai baju luar bercorak kotak usang yang telah luntur warnanya.
"Silakan masuk! Silakan masuk " Istri majikan toko menyambut dengan hangat.
Melihat istri majikan toko yang menyambut dengan senyum hangat, ibunda dua anak itu dengan takut-takut berkata: "Tolong... tolong buatkan 2 mangkuk mie, bolehkah ?"
"Baik, silakan duduk!"
Sang istri mengajak mereka ke meja nomor 2, dengan cepat menyembunyikan tanda "Telah Dipesan" seakan-akan tak pernah diletakkan di sana, lalu berteriak ke arah dalam "2 mangkuk mie".
Sang suami sambil menyahuti, sambil melempar 3 ikat mie ke dalam kuah yang mendidih. Ibu dan anak sambil makan, sambil berbicara, kelihatannya sangat bergembira, sepasang suami istri yang berdiri di balik pintu dapur juga turut merasakan kegembiraan mereka.
"Siao Chun dan kakak, mama hari ini ingin berterima kasih kepada kalian berdua !"
"Terima kasih !"
"Mengapa ?"
"Begini, kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan 8 orang terluka yang disebabkan oleh ayah kalian, pada setiap bulan dalam beberapa tahun ini haruslah menyerahkan uang sebesar 50,000 yen untuk menutupi bagian yang tak dapat dibayar oleh pihak asuransi."
"Ya, hal ini kami tahu!" Sang kakak menjawab.
Istri pemilik toko dengan tak bergerak mendengarkan.
"Yang pada mulanya harus membayar hingga bulan Maret tahun depan, telah terlunasi pada hari ini !"
"Oh, mama, benarkah ?"
"Ya, benar, karena kakak mengantar koran dengan rajin, Siao Chun membantu untuk beli sayur dan masak nasi, sehingga mama bisa bekerja dengan hati yang tenang. Perusahaan memberikan bonus spesial kepada saya karena tidak pernah absen kerja, sehingga hari ini dapat melunasi seluruh bagian yang tersisa."
"Ma! Kakak! Alangkah baiknya, tapi kelak tetap biarkan Siao Chun yang menyiapkan makan malam."
"Saya juga ingin terus mengantar koran."
"Terima kasih kepada kalian kakak beradik, benar-benar terima kasih!"
"Siao Chun dan saya ada sebuah rahasia, dan terus tidak memberitahu mama, itu adalah... pada sebuah hari Minggu di bulan November, sekolah Siao Chun menghubungi wali murid untuk hadir melihat program bimbingan belajar dari sekolah, guru dari Siao Chun secara khusus menambahkan sepucuk surat, yang mengatakan sebuah karangan Siao Chun telah dipilih sebagai wakil seluruh "Pei Hai Tao (Hokkaido)", untuk mengikuti lomba mengarang seluruh negeri. Hari itu saya mewakili mama untuk menghadirinya."
"Benar ada hal ini ? Lalu ?"
"Tema yang diberikan guru adalah "Cita-Citaku (Wo Te Ce Yuen)",
Siao Chun dengan karangan bertema semangkuk mie kuah, dipersilakan untuk membacanya di hadapan para hadirin."
"Isi dari karangan itu menuliskan, ayah mengalami kecelakaan lalu lintas, dan meninggalkan hutang yang banyak; demi untuk membayar hutang, mama bekerja keras dari pagi hingga malam, sampai hal saya mengantar koran juga ditulis oleh Siao Chun."
"Masih ada, pada malam tanggal 31 Desember, kami bertiga ibu dan anak bersama-sama memakan semangkuk mie kuah, sangatlah lezat.. 3 orang hanya memesan semangkuk mie kuah, sang pemilik toko, yaitu paman dan istrinya malah masih mengucapkan terima kasih kepada kami, serta mengucapkan selamat bertahun baru kepada kami! Suara itu sepertinya sedang memberikan dorongan semangat untuk kami untuk tegar menjalani hidup, secepatnya melunasi hutang dari ayah."
"Oleh karena itu, Siao Chun memutuskan untuk membuka toko mie setelah dewasa nanti, untuk menjadi pemilik toko mie nomor 1 di Jepang, juga ingin memberikan dorongan semangat kepada setiap pengunjung! Semoga kalian berbahagia! Terima kasih!"
Sepasang pemilik toko yang terus berdiri di balik pintu dapur mendengarkan pembicaraan mereka mendadak tak terlihat lagi, ternyata mereka sedang berjongkok, selembar handuk masing-masing memegang ujungnya, berusaha keras untuk menghapus air mata yang tak hentinya mengalir keluar.
"Selesai membaca karangan, guru berkata: Kakak Siao Chun telah mewakili ibunya datang ke sini, silakan naik ke atas menyampaikan beberapa patah kata."
"Sungguhkah ? Lalu kamu bagaimana ?"
"Karena terlalu mendadak, saat mulai tidak tahu harus mengucapkan apa baiknya, saya lantas mengucapkan terima kasih kepada semua orang atas perhatian dan kasih sayang terhadap Siao Chun, adik saya setiap hari harus membeli sayur menyiapkan makan malam, sering kali harus terburu-buru pulang dari kegiatan berkelompok, tentu mendatangkan banyak kesulitan bagi semua orang, tadi pada saat adik saya membacakan "Semangkuk mie kuah", saya sempat merasa malu, tetapi sewaktu melihat adik saya dengan dada tegap dan suara yang lantang menyelesaikan membaca krangan, merasa perasaan malu itulah yang benar-benar memalukan."
"Beberapa tahun ini, keberanian mama yang hanya memesan semangkuk mie kuah, kami kakak beradik tidak akan pernah melupakannya... kami berdua pasti akan giat dan rajin, merawat ibu dengan baik, hari ini dan seterusnya masih meminta tolong kepada para hadirin untuk memperhatikan adik saya."
Ibu dan anak bertiga secara diam-diam saling memegang tangan dengan erat, saling menepuk bahu, menikmati mie tahun baru dengan perasaan yang lebih berbahagia dibanding tahun sebelumnya, membayar 300 yen dan mengucapkan terima kasih, lalu memberikan hormat dan meninggalkan toko mie.
Majikan toko seperti sedang menutup tahun yang lama, dengan suara yang keras mengucapkan "Terima kasih! Selamat Tahun Baru!"
Setahun pun berlalu lagi, toko mie Pei Hai Thing juga meletakkan tanda "Telah Dipesan" sambil menunggu, tetapi ibu dan anak bertiga tidak muncul. Tahun kedua, tahun ketiga, meja nomor 2 tetap kosong, ibu dan kedua anaknya tetap tidak muncul.
Usaha dari Pei Hai Thing semakin bagus, dalam tokonya pun telah direnovasi, meja dan kursinya telah diganti dengan yang baru, hanya meja nomor 2 itulah masih tetap pada aslinya.
Banyak tamu pengunjung merasa heran, istri majikan lantas menceritakan kisah semangkuk mie kuah kepada para pengunjung. Meja nomor 2 itu lantas menjadi "Meja Keberuntungan", setiap pengunjung menyampaikan kisah ini kepada yang lainnya, ada banyak pelajar yang merasa ingin tahu, datang dari kejauhan demi untuk melihat meja tersebut dan menikmati mie kuah, semua orang umumnya ingin duduk di meja tersebut.
Lalu setelah melewati malam Chu Si beberapa tahun ini, para pemilik toko di sekitar Pei Hai Thing, setelah menutup toko pada malam Chu Si, umumnya akan mengajak keluarganya menikmati mie di Pei Hai Thing. Sering berkumpul sebanyak 30 hingga 40 orang, sangatlah ramai. Ini telah merupakan hal yang biasa dalam 5-6 tahun terakhir ini. Semua orang telah mengetahui asal dari meja nomor 2, meski mulut tidak berbicara, tapi dalam hati berpikir "Meja yang telah dipesan pada malam Chu Si" di tahun ini kemungkinan akan sekali lagi dengan meja dan kursi yang kosong menyambut datangnya tahun baru.
Hari ini, semua orang sekali lagi berkumpul pada malam Chu Si, ada orang yang memakan mie, ada yang minum arak, semuanya berkumpul seperti sebuah keluarga. Setelah lewat pukul 22.00, pintu dengan tiba-tiba... terbuka kembali, semua orang yang berada di dalam langsung menghentikan pembicaraan, seluruh pandangan mata tertuju ke arah pintu yang terbuka itu.
Dua orang remaja yang berpakaian stelan jas yang rapi dengan baju luar di tangan, berjalan melangkah masuk. Semua orang menghembuskan napas lega. Saat istri majikan ingin mengatakan meja makan telah penuh dan memberitahu tamu tersebut, ada seorang wanita berpakaian kimono berjalan masuk, berdiri di tengah kedua remaja tersebut.
Seluruh orang yang berada dalam toko menahan napas mendengar wanita berpakaian kimono tersebut dengan perlahan mengatakan: "Tolong... tolong... mie kuah... untuk jatah 3 orang, bolehkah?"
Belasan tahun telah berlalu, sang istri majikan toko seketika berusaha keras untuk mengingat kembali gambaran ibu muda dengan dua orang anaknya pada 10 tahun yang lalu.
Sang suami di balik dapur juga termenung. Seorang di antara ibu dan anak tersebut menatap sang istri yang tengah salah tingkah tersebut dan mengatakan: "Kami bertiga ibu dan anak, pada 14 tahun yang lalu pernah memesan semangkuk mie kuah di malam Chu Si, mendapatkan dorongan semangat dari semangkuk mie tersebut, kami ibu dan anak bertiga baru dapat menjalani hidup dengan tegar."
"Lalu kami pindah ke kabupaten (Ce He) tinggal di rumah nenek, saya telah melewati ujian jurusan kedokteran dan praktek di rumah sakit Universitas Kyoto bagian penyakit anak-anak, bulan April tahun depan akan praktek di rumah sakit kota Sapporo."
"Sesuai dengan tatakrama, kami datang mengunjungi rumah sakit ini terlebih dahulu, sekalian sembahyang di makam ayah, setelah berdiskusi dengan adik saya yang - pernah berpikir untuk menjadi majikan toko mie nomor 1 tapi belum tercapai - sekarang bekerja di Bank Kyoto, kami mempunyai sebuah rencana yang istimewa... yaitu pada malam Chu Si tahun ini, kami bertiga ibu dan anak akan mengunjung Pei Hai Thing di Sapporo, memesan 3 mangkuk mie kuah Pei Hai Thing."
Sang istri majikan akhirnya pulih ingatannya, menepuk bahu sang suami sambil berkata: "Selamat datang! Silakan... Ei! Meja nomor 2, tiga mangkuk mie kuah."
Hatiku selembar daun...
Oleh: Tidak Diketahui
Diterjemahkan: Li Kuei Chuen
Pendahuluan:
Ny. Hsu yang tinggal di Kao Hsiung, anak gadisnya pulang dari Amerika pada saat awal bulan Januari, dan membawa sebuah kisah nyata yang menggugah hati. Kisah yang terjadi pada malam Chu Si (malam menjelang Tahun Baru Imlek), berjumlah sebanyak 50 halaman lebih. Tokoh dalam cerita ini pada saat menceritakan kisahnya mengharukan banyak orang Jepang. Cerita ini dinamakan "Semangkuk Mie Kuah", diterjemahkan oleh Li Kuei Chuen.
Tanggal 31 bulan Desember lima belas tahun yang lalu, yang juga merupakan malam Chu Si, di sebuah jalan di kota Sapporo, Jepang, ada sebuah toko mie yang bernama "Pei Hai Thing" (Pei = Utara; Hai = Laut; Thing = Kios, toko).
Makan mie pada malam Chu Si, adalah adat istiadat turun temurun dari orang Jepang, pada hari itu pemasukan toko mie sangatlah baik, tidak terkecuali "Pei Hai Thing", hampir sehari penuh dengan tamu pengunjung, tetapi setelah jam 22.00 ke atas sudah tidak ada pengunjung yang datang lagi. Pada saat biasanya jalan yang sangat ramai hingga waktu subuh - karena pada hari itu semua orang terburu-buru pulang rumah untuk merayakan Tahun Baru - sehingga dengan cepat menjadi sunyi dan tenang.
Majikan dari toko mie "Pei Hai Thing" adalah seseorang yang jujur dan polos, istrinya adalah seorang yang ramah tamah dan melayani orang penuh dengan kehangatan. Saat tamu terakhir pada malam Chu Si itu telah keluar dari toko mie, dan pada saat sang istri tengah bersiap untuk menutup toko, pintu toko itu sekali lagi terbuka, seorang wanita membawa dua orang anaknya berjalan masuk, kedua anak itu kira-kira berusia 6 tahun dan 10 tahun, mereka mengenakan baju olahraga baru yang serupa satu dengan yang lainnya, tetapi wanita tersebut malah memakai baju luar - bercorak kotak - yang telah usang.
"Silakan duduk !" Sang majikan mengucapkan salam.
Wanita itu berkata dengan takut-takut: "Bolehkah... memesan semangkuk mie kuah ?"
Kedua anak di belakangnya saling memandang dengan tidak tenang.
"Tentu... tentu boleh, silakan duduk di sini !" Sang istri mengajak mereka ke meja nomor 2 di paling pinggir, lalu berteriak dengan keras ke arah dapur: "Semangkuk mie kuah !"
Sebenarnya jatah semangkuk untuk satu orang hanyalah satu ikat mie, sang majikan menambahkan lagi sebanyak setengah ikat, dan menyiapkannya dalam sebuah mangkuk besar penuh, hal ini tidak diketahui oleh sang istri dan tamunya itu.
Ibu dan anak bertiga mengelilingi semangkuk mie kuah tersebut dan menikmatinya dengan lezat, sambil makan, sambil berbicara dengan suara yang kecil, "Sangat enak sekali !"
Sang kakak berkata: "Ma, kamu juga coba-coba dong!"
Sang adik sambil berkata, dia menyumpit mie untuk menyuapi ibunya. Tidak lama kemudian mie pun telah habis, setelah membayar 150 yen, ibu dan anak bertiga dengan serempak memuji dan menghaturkan terima kasih "Sangat lezat sekali, banyak terima kasih!" serta membungkuk memberi hormat, lalu berjalan meninggalkan toko.
Setiap hari berlalu dengan sibuknya, tak terasa setahun pun berlalu. Dan tiba lagi pada tanggal 31 Desember, usaha dari "Pei Hai Thing" masih tetap ramai, kesibukan pada malam Chu Si akhirnya selesai, telah lewat dari jam 22.00, sang istri majikan ketika tengah berjalan ke arah pintu untuk menutup toko, pintu itu lalu terbuka lagi dengan pelan, yang masuk ke dalam adalah seorang wanita parobaya sambil membawa dua orang anaknya. Sang istri ketika melihat baju luar bercorak kotak yang telah usang itu, dengan seketika teringat kembali tamu terakhir pada malam Chu Si tahun lalu.
"Bolehkah... membuatkan kami... semangkuk mie kuah ?"
"Tentu, tentu, silakan duduk !"
Sang istri mengajak mereka ke meja nomor 2 yang pernah mereka duduk di tahun lalu, sambil berteriak dengan keras "Semangkuk mie kuah!".
Sang majikan sambil menyahuti, sambil menyalakan api yang baru saja dipadamkan.
Istrinya dengan diam-diam berkata di samping telinga suami: "Ei, masak 3 mangkuk untuk mereka, boleh tidak ?"
"Jangan, kalau demikian mereka bisa merasa tidak enak."
Sang suami sambil menjawab, sambil menambahkan setengah ikat mie lagi ke dalam kuah yang mendidih.
Ibu dan anak bertiga mengelilingi semangkuk mie kuah itu sambil makan dan berbicara, percakapan itu juga terdengar sampai telinga suami istri pemilik toko.
"Sangat wangi... sangat hebat... sangat nikmat!"
"Tahun ini masih bisa menikmati mie dari Pei Hai Thing, sangatlah baik!"
"Alangkah baiknya jika tahun depan masih bisa datang untuk makan di sini."
Setelah selesai makan dan membayar 150 yen, ibu dan anak bertiga lalu berjalan meninggalkan Pei Hai Thing.
"Terima kasih banyak! Selamat bertahun baru."
Memandang ibu dan anak yang berjalan pergi, suami istri pemilik toko berulang kali membicarakannya dengan cukup lama.
Malam Chu Si pada tahun ketiga, usaha dari "Pei Hai Thing" tetap berjalan dengan sangat baik, sepasang suami istri saking sibuknya sampai tidak ada waktu untuk berbicara, tetapi setelah lewat pukul 21.30, kedua orang itu mulai berperasaan tidak tenang.
Jam 22.00 telah tiba, pegawai toko juga telah pulang setelah menerima "Hung Pao" (Ang Pao), majikan toko dengan tergesa-gesa membalikkan setiap lembar daftar harga yang tergantung di dinding, daftar kenaikan harga "Mie Kuah 200 yen semangkuk" sejak musim panas tahun ini, ditulis ulang menjadi 150 yen.
Di atas meja nomor 2, sang istri pada saat 3 menit yang lalu telah meletakkan kartu tanda "Telah dipesan". Sepertinya ada maksud untuk menunggu orang yang akan tiba setelah seluruh tamu telah pergi meninggalkan toko, setelah lewat jam 22.00, ibu dengan dua orang anak ini akhirnya muncul kembali.
Sang kakak memakai seragam SMP, sang adik mengenakan jaket - yang kelihatan agak kebesaran - yang dipakai kakaknya tahun lalu, kedua anak ini telah tumbuh dewasa, sang ibu masih tetap memakai baju luar bercorak kotak usang yang telah luntur warnanya.
"Silakan masuk! Silakan masuk " Istri majikan toko menyambut dengan hangat.
Melihat istri majikan toko yang menyambut dengan senyum hangat, ibunda dua anak itu dengan takut-takut berkata: "Tolong... tolong buatkan 2 mangkuk mie, bolehkah ?"
"Baik, silakan duduk!"
Sang istri mengajak mereka ke meja nomor 2, dengan cepat menyembunyikan tanda "Telah Dipesan" seakan-akan tak pernah diletakkan di sana, lalu berteriak ke arah dalam "2 mangkuk mie".
Sang suami sambil menyahuti, sambil melempar 3 ikat mie ke dalam kuah yang mendidih. Ibu dan anak sambil makan, sambil berbicara, kelihatannya sangat bergembira, sepasang suami istri yang berdiri di balik pintu dapur juga turut merasakan kegembiraan mereka.
"Siao Chun dan kakak, mama hari ini ingin berterima kasih kepada kalian berdua !"
"Terima kasih !"
"Mengapa ?"
"Begini, kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan 8 orang terluka yang disebabkan oleh ayah kalian, pada setiap bulan dalam beberapa tahun ini haruslah menyerahkan uang sebesar 50,000 yen untuk menutupi bagian yang tak dapat dibayar oleh pihak asuransi."
"Ya, hal ini kami tahu!" Sang kakak menjawab.
Istri pemilik toko dengan tak bergerak mendengarkan.
"Yang pada mulanya harus membayar hingga bulan Maret tahun depan, telah terlunasi pada hari ini !"
"Oh, mama, benarkah ?"
"Ya, benar, karena kakak mengantar koran dengan rajin, Siao Chun membantu untuk beli sayur dan masak nasi, sehingga mama bisa bekerja dengan hati yang tenang. Perusahaan memberikan bonus spesial kepada saya karena tidak pernah absen kerja, sehingga hari ini dapat melunasi seluruh bagian yang tersisa."
"Ma! Kakak! Alangkah baiknya, tapi kelak tetap biarkan Siao Chun yang menyiapkan makan malam."
"Saya juga ingin terus mengantar koran."
"Terima kasih kepada kalian kakak beradik, benar-benar terima kasih!"
"Siao Chun dan saya ada sebuah rahasia, dan terus tidak memberitahu mama, itu adalah... pada sebuah hari Minggu di bulan November, sekolah Siao Chun menghubungi wali murid untuk hadir melihat program bimbingan belajar dari sekolah, guru dari Siao Chun secara khusus menambahkan sepucuk surat, yang mengatakan sebuah karangan Siao Chun telah dipilih sebagai wakil seluruh "Pei Hai Tao (Hokkaido)", untuk mengikuti lomba mengarang seluruh negeri. Hari itu saya mewakili mama untuk menghadirinya."
"Benar ada hal ini ? Lalu ?"
"Tema yang diberikan guru adalah "Cita-Citaku (Wo Te Ce Yuen)",
Siao Chun dengan karangan bertema semangkuk mie kuah, dipersilakan untuk membacanya di hadapan para hadirin."
"Isi dari karangan itu menuliskan, ayah mengalami kecelakaan lalu lintas, dan meninggalkan hutang yang banyak; demi untuk membayar hutang, mama bekerja keras dari pagi hingga malam, sampai hal saya mengantar koran juga ditulis oleh Siao Chun."
"Masih ada, pada malam tanggal 31 Desember, kami bertiga ibu dan anak bersama-sama memakan semangkuk mie kuah, sangatlah lezat.. 3 orang hanya memesan semangkuk mie kuah, sang pemilik toko, yaitu paman dan istrinya malah masih mengucapkan terima kasih kepada kami, serta mengucapkan selamat bertahun baru kepada kami! Suara itu sepertinya sedang memberikan dorongan semangat untuk kami untuk tegar menjalani hidup, secepatnya melunasi hutang dari ayah."
"Oleh karena itu, Siao Chun memutuskan untuk membuka toko mie setelah dewasa nanti, untuk menjadi pemilik toko mie nomor 1 di Jepang, juga ingin memberikan dorongan semangat kepada setiap pengunjung! Semoga kalian berbahagia! Terima kasih!"
Sepasang pemilik toko yang terus berdiri di balik pintu dapur mendengarkan pembicaraan mereka mendadak tak terlihat lagi, ternyata mereka sedang berjongkok, selembar handuk masing-masing memegang ujungnya, berusaha keras untuk menghapus air mata yang tak hentinya mengalir keluar.
"Selesai membaca karangan, guru berkata: Kakak Siao Chun telah mewakili ibunya datang ke sini, silakan naik ke atas menyampaikan beberapa patah kata."
"Sungguhkah ? Lalu kamu bagaimana ?"
"Karena terlalu mendadak, saat mulai tidak tahu harus mengucapkan apa baiknya, saya lantas mengucapkan terima kasih kepada semua orang atas perhatian dan kasih sayang terhadap Siao Chun, adik saya setiap hari harus membeli sayur menyiapkan makan malam, sering kali harus terburu-buru pulang dari kegiatan berkelompok, tentu mendatangkan banyak kesulitan bagi semua orang, tadi pada saat adik saya membacakan "Semangkuk mie kuah", saya sempat merasa malu, tetapi sewaktu melihat adik saya dengan dada tegap dan suara yang lantang menyelesaikan membaca krangan, merasa perasaan malu itulah yang benar-benar memalukan."
"Beberapa tahun ini, keberanian mama yang hanya memesan semangkuk mie kuah, kami kakak beradik tidak akan pernah melupakannya... kami berdua pasti akan giat dan rajin, merawat ibu dengan baik, hari ini dan seterusnya masih meminta tolong kepada para hadirin untuk memperhatikan adik saya."
Ibu dan anak bertiga secara diam-diam saling memegang tangan dengan erat, saling menepuk bahu, menikmati mie tahun baru dengan perasaan yang lebih berbahagia dibanding tahun sebelumnya, membayar 300 yen dan mengucapkan terima kasih, lalu memberikan hormat dan meninggalkan toko mie.
Majikan toko seperti sedang menutup tahun yang lama, dengan suara yang keras mengucapkan "Terima kasih! Selamat Tahun Baru!"
Setahun pun berlalu lagi, toko mie Pei Hai Thing juga meletakkan tanda "Telah Dipesan" sambil menunggu, tetapi ibu dan anak bertiga tidak muncul. Tahun kedua, tahun ketiga, meja nomor 2 tetap kosong, ibu dan kedua anaknya tetap tidak muncul.
Usaha dari Pei Hai Thing semakin bagus, dalam tokonya pun telah direnovasi, meja dan kursinya telah diganti dengan yang baru, hanya meja nomor 2 itulah masih tetap pada aslinya.
Banyak tamu pengunjung merasa heran, istri majikan lantas menceritakan kisah semangkuk mie kuah kepada para pengunjung. Meja nomor 2 itu lantas menjadi "Meja Keberuntungan", setiap pengunjung menyampaikan kisah ini kepada yang lainnya, ada banyak pelajar yang merasa ingin tahu, datang dari kejauhan demi untuk melihat meja tersebut dan menikmati mie kuah, semua orang umumnya ingin duduk di meja tersebut.
Lalu setelah melewati malam Chu Si beberapa tahun ini, para pemilik toko di sekitar Pei Hai Thing, setelah menutup toko pada malam Chu Si, umumnya akan mengajak keluarganya menikmati mie di Pei Hai Thing. Sering berkumpul sebanyak 30 hingga 40 orang, sangatlah ramai. Ini telah merupakan hal yang biasa dalam 5-6 tahun terakhir ini. Semua orang telah mengetahui asal dari meja nomor 2, meski mulut tidak berbicara, tapi dalam hati berpikir "Meja yang telah dipesan pada malam Chu Si" di tahun ini kemungkinan akan sekali lagi dengan meja dan kursi yang kosong menyambut datangnya tahun baru.
Hari ini, semua orang sekali lagi berkumpul pada malam Chu Si, ada orang yang memakan mie, ada yang minum arak, semuanya berkumpul seperti sebuah keluarga. Setelah lewat pukul 22.00, pintu dengan tiba-tiba... terbuka kembali, semua orang yang berada di dalam langsung menghentikan pembicaraan, seluruh pandangan mata tertuju ke arah pintu yang terbuka itu.
Dua orang remaja yang berpakaian stelan jas yang rapi dengan baju luar di tangan, berjalan melangkah masuk. Semua orang menghembuskan napas lega. Saat istri majikan ingin mengatakan meja makan telah penuh dan memberitahu tamu tersebut, ada seorang wanita berpakaian kimono berjalan masuk, berdiri di tengah kedua remaja tersebut.
Seluruh orang yang berada dalam toko menahan napas mendengar wanita berpakaian kimono tersebut dengan perlahan mengatakan: "Tolong... tolong... mie kuah... untuk jatah 3 orang, bolehkah?"
Belasan tahun telah berlalu, sang istri majikan toko seketika berusaha keras untuk mengingat kembali gambaran ibu muda dengan dua orang anaknya pada 10 tahun yang lalu.
Sang suami di balik dapur juga termenung. Seorang di antara ibu dan anak tersebut menatap sang istri yang tengah salah tingkah tersebut dan mengatakan: "Kami bertiga ibu dan anak, pada 14 tahun yang lalu pernah memesan semangkuk mie kuah di malam Chu Si, mendapatkan dorongan semangat dari semangkuk mie tersebut, kami ibu dan anak bertiga baru dapat menjalani hidup dengan tegar."
"Lalu kami pindah ke kabupaten (Ce He) tinggal di rumah nenek, saya telah melewati ujian jurusan kedokteran dan praktek di rumah sakit Universitas Kyoto bagian penyakit anak-anak, bulan April tahun depan akan praktek di rumah sakit kota Sapporo."
"Sesuai dengan tatakrama, kami datang mengunjungi rumah sakit ini terlebih dahulu, sekalian sembahyang di makam ayah, setelah berdiskusi dengan adik saya yang - pernah berpikir untuk menjadi majikan toko mie nomor 1 tapi belum tercapai - sekarang bekerja di Bank Kyoto, kami mempunyai sebuah rencana yang istimewa... yaitu pada malam Chu Si tahun ini, kami bertiga ibu dan anak akan mengunjung Pei Hai Thing di Sapporo, memesan 3 mangkuk mie kuah Pei Hai Thing."
Sang istri majikan akhirnya pulih ingatannya, menepuk bahu sang suami sambil berkata: "Selamat datang! Silakan... Ei! Meja nomor 2, tiga mangkuk mie kuah."
Hatiku selembar daun...
Thursday, 11 November 2010
PIDATO ANAK 12 TH YANG MEMBUNGKAM PARA PEMIMPIN DUNIA DI PBB
PIDATO ANAK 12 TH YANG MEMBUNGKAM PARA PEMIMPIN DUNIA DI PBB
Cerita ini berbicara mengenai seorang anak yg bernama Severn Suzuki,
seorang anak yg pada usia 9 tahun telah mendirikan Enviromental
Children's Organization ( ECO ).
ECO sendiri adalah sebuah kelompok kecil anak yg mendedikasikan diri
untuk belajar dan mengajarkan pada anak" lain mengenai masalah
lingkungan.
Dan mereka pun diundang menghadiri Konfrensi Lingkungan hidup PBB,
dimana pada saat itu Severn yg berusia 12 Tahun memberikan sebuah
pidato kuat yg memberikan pengaruh besar ( dan membungkam ) beberapa
pemimpin dunia terkemuka.
Apa yg disampaikan oleh seorang anak kecil ber-usia 12 tahun hingga
bisa membuat RUANG SIDANG PBB hening, lalu saat pidatonya selesai
ruang sidang penuh dengan orang terkemuka yg berdiri dan memberikan
tepuk tangan yg meriah kepada anak berusia 12 tahun.
Inilah Isi pidato tersebut: (Sumber: The Collage Foundation)
Halo, nama Saya Severn Suzuki, berbicara mewakili E.C.O - Enviromental
Children Organization
Kami adalah kelompok dari Kanada yg terdiri dari anak-anak berusia 12
dan 13 tahun, yang mencoba membuat perbedaan: Vanessa Suttie, Morga,
Geister, Michelle Quiq dan saya sendiri. Kami menggalang dana untuk
bisa datang kesini sejauh 6000 mil untuk memberitahukan pada anda
sekalian orang dewasa bahwa anda harus mengubah cara anda, hari ini di
sini juga. Saya tidak memiliki agenda tersembunyi. Saya menginginkan
masa depan bagi diri saya saja.
Kehilangan masa depan tidaklah sama seperti kalah dalam pemilihan umum
atau rugi dalam pasar saham. Saya berada disini untuk berbicara bagi
semua generasi yg akan datang.
Saya berada disini mewakili anak-anak yg kelaparan di seluruh dunia
yang tangisannya tidak lagi terdengar.
Saya berada disini untuk berbicara bagi binatang-binatang yang sekarat
yang tidak terhitung jumlahnya diseluruh planet ini karena kehilangan
habitatnya. Kami tidak boleh tidak di dengar.
Saya merasa takut untuk berada dibawah sinar matahari karena
berlubangnya lapisan OZON. Saya merasa takut untuk bernafas karena
saya tidak tahu ada bahan kimia apa yg dibawa oleh udara.
Saya sering memancing di Vancouver bersama ayah saya hingga beberapa
tahun yang lalu kami menemukan bahwa ikan-ikannya penuh dengan kanker.
Dan sekarang kami mendengar bahwa binatang-binatang dan tumbuhan satu
persatu mengalami kepunahan tiap harinya - hilang selamanya.
Dalam hidup saya, saya memiliki mimpi untuk melihat kumpulan besar
binatang-binatang liar, hutan rimba dan hutan tropis yang penuh dengan
burung dan kupu-kupu. Tetapi sekarang saya tidak tahu apakah hal-hal
tersebut bahkan masih ada untuk dilihat oleh anak saya nantinya.
Apakah anda sekalian harus khawatir terhadap masalah-masalah kecil ini
ketika anda sekalian masih berusia sama serperti saya sekarang?
Semua ini terjadi di hadapan kita dan walaupun begitu kita masih tetap
bersikap bagaikan kita masih memiliki banyak waktu dan semua
pemecahannya. Saya hanyalah seorang anak kecil dan saya tidak memiliki
semua pemecahannya. Tetapi saya ingin anda sekalian menyadari bahwa
anda sekalian juga sama seperti saya!
Anda tidak tahu bagaimana caranya memperbaiki lubang pada lapisan ozon kita.
Anda tidak tahu bagaiman cara mengembalikan ikan-ikan salmon ke sungai
asalnya.
Anda tidak tahu bagaimana caranya mengembalikan binatang-binatang yang
telah punah.
Dan anda tidak dapat mengembalikan hutan-hutan seperti sediakala di
tempatnya, yang sekarang hanya berupa padang pasir. Jika anda tidak
tahu bagaima cara memperbaikinya. TOLONG BERHENTI MERUSAKNYA!
Disini anda adalah delegasi negara-negara anda. Pengusaha, anggota
perhimpunan, wartawan atau politisi - tetapi sebenarnya anda adalah
ayah dan ibu, saudara laki-laki dan saudara perempuan, paman dan bibi
- dan anda semua adalah anak dari seseorang.
Saya hanyalah seorang anak kecil, namun saya tahu bahwa kita semua
adalah bagian dari sebuah keluarga besar, yang beranggotakan lebih
dari 5 milyar, terdiri dari 30 juta rumpun dan kita semua berbagi
udara, air dan tanah di planet yang sama - perbatasan dan pemerintahan
tidak akan mengubah hal tersebut.
Saya hanyalah seorang anak kecil namun begitu saya tahu bahwa kita
semua menghadapi permasalahan yang sama dan kita seharusnya bersatu
untuk tujuan yang sama.
Walaupun marah, namun saya tidak buta, dan walaupun takut, saya tidak
ragu untuk memberitahukan dunia apa yang saya rasakan.
Di negara saya, kami sangat banyak melakukan penyia-nyiaan. Kami
membeli sesuatu dan kemudian membuang nya, beli dan kemudian buang.
Walaupun begitu tetap saja negara-negara di Utara tidak akan berbagi
dengan mereka yang memerlukan.
Bahkan ketika kita memiliki lebih dari cukup, kita merasa takut untuk
kehilangan sebagian kekayaan kita, kita takut untuk berbagi.
Di Kanada kami memiliki kehidupan yang nyaman, dengan sandang, pangan
dan papan yang berkecukupan - kami memiliki jam tangan, sepeda,
komputer dan perlengkapan televisi.
Dua hari yang lalu di Brazil sini, kami terkejut ketika kami
menghabiskan waktu dengan anak-anak yang hidup di jalanan. Dan salah
satu anak tersebut memberitahukan kepada kami: " Aku berharap aku
kaya, dan jika aku kaya, aku akan memberikan anak-anak jalanan
makanan, pakaian dan obat-obatan, tempat tinggal, cinta dan kasih
sayang " .
Jika seorang anak yang berada dijalanan dan tidak memiliki apapun,
bersedia untuk berbagi, mengapa kita yang memiliki segalanya masih
begitu serakah?
Saya tidak dapat berhenti memikirkan bahwa anak-anak tersebut berusia
sama dengan saya, bahwa tempat kelahiran anda dapat membuat perbedaan
yang begitu besar, bahwa saya bisa saja menjadi salah satu dari
anak-anak yang hidup di Favellas di Rio; saya bisa saja menjadi anak
yang kelaparan di Somalia ; seorang korban perang timur tengah atau
pengemis di India .
Saya hanyalah seorang anak kecil, namun saya tahu bahwa jika semua
uang yang dihabiskan untuk perang dipakai untuk mengurangi tingkat
kemiskinan dan menemukan jawaban terhadap permasalahan alam, betapa
indah jadinya dunia ini.
Di sekolah, bahkan di taman kanak-kanak, anda mengajarkan kami untuk
berbuat baik. Anda mengajarkan pada kami untuk tidak berkelahi dengan
orang lain, untuk mencari jalan keluar, membereskan kekacauan yang
kita timbulkan; untuk tidak menyakiti makhluk hidup lain, untuk
berbagi dan tidak tamak. Lalu mengapa anda kemudian melakukan hal yang
anda ajarkan pada kami supaya tidak boleh dilakukan tersebut?
Jangan lupakan mengapa anda menghadiri konperensi ini, mengapa anda
melakukan hal ini - kami adalah anak-anak anda semua. Anda sekalianlah
yang memutuskan, dunia seperti apa yang akan kami tinggali. Orang tua
seharus nya dapat memberikan kenyamanan pada anak-anak mereka dengan
mengatakan, " Semuanya akan baik-baik saja , 'kami melakukan yang
terbaik yang dapat kami lakukan dan ini bukanlah akhir dari
segalanya."
Tetapi saya tidak merasa bahwa anda dapat mengatakan hal tersebut
kepada kami lagi. Apakah kami bahkan ada dalam daftar prioritas anda
semua? Ayah saya selalu berkata, "Kamu akan selalu dikenang karena
perbuatanmu, bukan oleh kata-katamu" .
Jadi, apa yang anda lakukan membuat saya menangis pada malam hari.
Kalian orang dewasa berkata bahwa kalian menyayangi kami. Saya
menantang A N D A , cobalah untuk mewujudkan kata-kata tersebut.
Sekian dan terima kasih atas perhatiannya.
***********
Servern Cullis-Suzuki telah membungkam satu ruang sidang Konperensi
PBB, membungkam seluruh orang-orang penting dari seluruh dunia hanya
dengan pidatonya. Setelah pidatonya selesai serempak seluruh orang
yang hadir diruang pidato tersebut berdiri dan memberikan tepuk tangan
yang meriah kepada anak berusia 12 tahun itu.
Dan setelah itu, ketua PBB mengatakan dalam pidatonya:
" Hari ini saya merasa sangatlah malu terhadap diri saya sendiri
karena saya baru saja disadarkan betapa pentingnya linkungan dan
isinya disekitar kita oleh anak yang hanya berusia 12 tahun, yang maju
berdiri di mimbar ini tanpa selembarpun naskah untuk berpidato.
Sedangkan saya maju membawa berlembar naskah yang telah dibuat oleh
asisten saya kemarin. Saya ... tidak kita semua dikalahkan oleh anak
yang berusia 12 tahun "
Source: alumni-bounces@adsindonesia.or.id
Hatiku selembar daun...
Cerita ini berbicara mengenai seorang anak yg bernama Severn Suzuki,
seorang anak yg pada usia 9 tahun telah mendirikan Enviromental
Children's Organization ( ECO ).
ECO sendiri adalah sebuah kelompok kecil anak yg mendedikasikan diri
untuk belajar dan mengajarkan pada anak" lain mengenai masalah
lingkungan.
Dan mereka pun diundang menghadiri Konfrensi Lingkungan hidup PBB,
dimana pada saat itu Severn yg berusia 12 Tahun memberikan sebuah
pidato kuat yg memberikan pengaruh besar ( dan membungkam ) beberapa
pemimpin dunia terkemuka.
Apa yg disampaikan oleh seorang anak kecil ber-usia 12 tahun hingga
bisa membuat RUANG SIDANG PBB hening, lalu saat pidatonya selesai
ruang sidang penuh dengan orang terkemuka yg berdiri dan memberikan
tepuk tangan yg meriah kepada anak berusia 12 tahun.
Inilah Isi pidato tersebut: (Sumber: The Collage Foundation)
Halo, nama Saya Severn Suzuki, berbicara mewakili E.C.O - Enviromental
Children Organization
Kami adalah kelompok dari Kanada yg terdiri dari anak-anak berusia 12
dan 13 tahun, yang mencoba membuat perbedaan: Vanessa Suttie, Morga,
Geister, Michelle Quiq dan saya sendiri. Kami menggalang dana untuk
bisa datang kesini sejauh 6000 mil untuk memberitahukan pada anda
sekalian orang dewasa bahwa anda harus mengubah cara anda, hari ini di
sini juga. Saya tidak memiliki agenda tersembunyi. Saya menginginkan
masa depan bagi diri saya saja.
Kehilangan masa depan tidaklah sama seperti kalah dalam pemilihan umum
atau rugi dalam pasar saham. Saya berada disini untuk berbicara bagi
semua generasi yg akan datang.
Saya berada disini mewakili anak-anak yg kelaparan di seluruh dunia
yang tangisannya tidak lagi terdengar.
Saya berada disini untuk berbicara bagi binatang-binatang yang sekarat
yang tidak terhitung jumlahnya diseluruh planet ini karena kehilangan
habitatnya. Kami tidak boleh tidak di dengar.
Saya merasa takut untuk berada dibawah sinar matahari karena
berlubangnya lapisan OZON. Saya merasa takut untuk bernafas karena
saya tidak tahu ada bahan kimia apa yg dibawa oleh udara.
Saya sering memancing di Vancouver bersama ayah saya hingga beberapa
tahun yang lalu kami menemukan bahwa ikan-ikannya penuh dengan kanker.
Dan sekarang kami mendengar bahwa binatang-binatang dan tumbuhan satu
persatu mengalami kepunahan tiap harinya - hilang selamanya.
Dalam hidup saya, saya memiliki mimpi untuk melihat kumpulan besar
binatang-binatang liar, hutan rimba dan hutan tropis yang penuh dengan
burung dan kupu-kupu. Tetapi sekarang saya tidak tahu apakah hal-hal
tersebut bahkan masih ada untuk dilihat oleh anak saya nantinya.
Apakah anda sekalian harus khawatir terhadap masalah-masalah kecil ini
ketika anda sekalian masih berusia sama serperti saya sekarang?
Semua ini terjadi di hadapan kita dan walaupun begitu kita masih tetap
bersikap bagaikan kita masih memiliki banyak waktu dan semua
pemecahannya. Saya hanyalah seorang anak kecil dan saya tidak memiliki
semua pemecahannya. Tetapi saya ingin anda sekalian menyadari bahwa
anda sekalian juga sama seperti saya!
Anda tidak tahu bagaimana caranya memperbaiki lubang pada lapisan ozon kita.
Anda tidak tahu bagaiman cara mengembalikan ikan-ikan salmon ke sungai
asalnya.
Anda tidak tahu bagaimana caranya mengembalikan binatang-binatang yang
telah punah.
Dan anda tidak dapat mengembalikan hutan-hutan seperti sediakala di
tempatnya, yang sekarang hanya berupa padang pasir. Jika anda tidak
tahu bagaima cara memperbaikinya. TOLONG BERHENTI MERUSAKNYA!
Disini anda adalah delegasi negara-negara anda. Pengusaha, anggota
perhimpunan, wartawan atau politisi - tetapi sebenarnya anda adalah
ayah dan ibu, saudara laki-laki dan saudara perempuan, paman dan bibi
- dan anda semua adalah anak dari seseorang.
Saya hanyalah seorang anak kecil, namun saya tahu bahwa kita semua
adalah bagian dari sebuah keluarga besar, yang beranggotakan lebih
dari 5 milyar, terdiri dari 30 juta rumpun dan kita semua berbagi
udara, air dan tanah di planet yang sama - perbatasan dan pemerintahan
tidak akan mengubah hal tersebut.
Saya hanyalah seorang anak kecil namun begitu saya tahu bahwa kita
semua menghadapi permasalahan yang sama dan kita seharusnya bersatu
untuk tujuan yang sama.
Walaupun marah, namun saya tidak buta, dan walaupun takut, saya tidak
ragu untuk memberitahukan dunia apa yang saya rasakan.
Di negara saya, kami sangat banyak melakukan penyia-nyiaan. Kami
membeli sesuatu dan kemudian membuang nya, beli dan kemudian buang.
Walaupun begitu tetap saja negara-negara di Utara tidak akan berbagi
dengan mereka yang memerlukan.
Bahkan ketika kita memiliki lebih dari cukup, kita merasa takut untuk
kehilangan sebagian kekayaan kita, kita takut untuk berbagi.
Di Kanada kami memiliki kehidupan yang nyaman, dengan sandang, pangan
dan papan yang berkecukupan - kami memiliki jam tangan, sepeda,
komputer dan perlengkapan televisi.
Dua hari yang lalu di Brazil sini, kami terkejut ketika kami
menghabiskan waktu dengan anak-anak yang hidup di jalanan. Dan salah
satu anak tersebut memberitahukan kepada kami: " Aku berharap aku
kaya, dan jika aku kaya, aku akan memberikan anak-anak jalanan
makanan, pakaian dan obat-obatan, tempat tinggal, cinta dan kasih
sayang " .
Jika seorang anak yang berada dijalanan dan tidak memiliki apapun,
bersedia untuk berbagi, mengapa kita yang memiliki segalanya masih
begitu serakah?
Saya tidak dapat berhenti memikirkan bahwa anak-anak tersebut berusia
sama dengan saya, bahwa tempat kelahiran anda dapat membuat perbedaan
yang begitu besar, bahwa saya bisa saja menjadi salah satu dari
anak-anak yang hidup di Favellas di Rio; saya bisa saja menjadi anak
yang kelaparan di Somalia ; seorang korban perang timur tengah atau
pengemis di India .
Saya hanyalah seorang anak kecil, namun saya tahu bahwa jika semua
uang yang dihabiskan untuk perang dipakai untuk mengurangi tingkat
kemiskinan dan menemukan jawaban terhadap permasalahan alam, betapa
indah jadinya dunia ini.
Di sekolah, bahkan di taman kanak-kanak, anda mengajarkan kami untuk
berbuat baik. Anda mengajarkan pada kami untuk tidak berkelahi dengan
orang lain, untuk mencari jalan keluar, membereskan kekacauan yang
kita timbulkan; untuk tidak menyakiti makhluk hidup lain, untuk
berbagi dan tidak tamak. Lalu mengapa anda kemudian melakukan hal yang
anda ajarkan pada kami supaya tidak boleh dilakukan tersebut?
Jangan lupakan mengapa anda menghadiri konperensi ini, mengapa anda
melakukan hal ini - kami adalah anak-anak anda semua. Anda sekalianlah
yang memutuskan, dunia seperti apa yang akan kami tinggali. Orang tua
seharus nya dapat memberikan kenyamanan pada anak-anak mereka dengan
mengatakan, " Semuanya akan baik-baik saja , 'kami melakukan yang
terbaik yang dapat kami lakukan dan ini bukanlah akhir dari
segalanya."
Tetapi saya tidak merasa bahwa anda dapat mengatakan hal tersebut
kepada kami lagi. Apakah kami bahkan ada dalam daftar prioritas anda
semua? Ayah saya selalu berkata, "Kamu akan selalu dikenang karena
perbuatanmu, bukan oleh kata-katamu" .
Jadi, apa yang anda lakukan membuat saya menangis pada malam hari.
Kalian orang dewasa berkata bahwa kalian menyayangi kami. Saya
menantang A N D A , cobalah untuk mewujudkan kata-kata tersebut.
Sekian dan terima kasih atas perhatiannya.
***********
Servern Cullis-Suzuki telah membungkam satu ruang sidang Konperensi
PBB, membungkam seluruh orang-orang penting dari seluruh dunia hanya
dengan pidatonya. Setelah pidatonya selesai serempak seluruh orang
yang hadir diruang pidato tersebut berdiri dan memberikan tepuk tangan
yang meriah kepada anak berusia 12 tahun itu.
Dan setelah itu, ketua PBB mengatakan dalam pidatonya:
" Hari ini saya merasa sangatlah malu terhadap diri saya sendiri
karena saya baru saja disadarkan betapa pentingnya linkungan dan
isinya disekitar kita oleh anak yang hanya berusia 12 tahun, yang maju
berdiri di mimbar ini tanpa selembarpun naskah untuk berpidato.
Sedangkan saya maju membawa berlembar naskah yang telah dibuat oleh
asisten saya kemarin. Saya ... tidak kita semua dikalahkan oleh anak
yang berusia 12 tahun "
Source: alumni-bounces@adsindonesia.or.id
Hatiku selembar daun...
MURID SHAOLIN YANG DIPERLAKUKAN SEMENA-MENA
MURID SHAOLIN YANG DIPERLAKUKAN SEMENA-MENA
Thio Sam Hong adalah murid dari Kuil Shaolin. Karena diberlakukan semena-mena oleh para senior, Beliau keluar dari Kuil Shaolin dan belajar mengembangkan Kungfu dengan memperhatikan berbagai fenomena alam seperti terpaan angin keras terhadap pohon bambu, pertarungan bangau dan ular, kokohnya pertahanan belalang sembah dari terpaan angin dan lain-lain. Setelah mengerti & memahami Intisari Alam Semesta, Thio Sam Hong muda menyepi di gunung Hua San untuk menyempurnakan ilmu-ilmunya. Pada saat Beliau turun gunung, Beliau menjelajahi seluruh Tiongkok dan mengadu ilmunya dengan para Ahli Bela Diri dan/atau Pendekar semua aliran. Berdasarkan literatur kuno, tercatat 2 pertarungan yang sangat terkenal, yakni pertama adalah pertarungan antara Thio Sam Hong dengan Pegulat Nomor Satu Mongol yang sangat besar, kuat dan agresif. Belakangan diketahui pula bahwa Pegulat tersebut juga sangat ahli dalam berbagai aliran Kungfu Tiongkok. Pegulat Mongol tersebut konon mengalahkan banyak petarung Kuil Shaolin dan sejumlah Pendekar aliran keras lainnya. Pertarungan antara Thio Sam Hong dengan Pegulat Mongol tersebut dimenangkan oleh Thio Sam Hong dengan ilmu barunya, Tai Chi! Pertarungan kedua adalah seorang diri Thio Sam Hong mengalahkan lebih dari 100 orang gangster di sarang penyamun hanya dengan tangan kosong! Semenjak itu, Thio Sam Hong diakui oleh seluruh kalangan persilatan menjadi Pendekar Tanpa Tanding pada saat itu. Setelah merasa cukup dalam perantauanya, Beliau naik ke gunung Wudang (Butong) dan mendirikan Perguruan Wudang dengan basis utama pengajaran : Taoisme. Thio Sam Hong sendiri merupakan Pencipta Ilmu Tai Chi pertama dan sangat Ahli dalam Ilmu Tao Yin (Nei Kung). Konon Thio Sam Hong hidup di 3 jaman (Immortal Taoist)dinasti,yakni Dinasti Sung, Dinasti Yuan (Monggol) dan Dinasti Ming (Han).
Hatiku selembar daun...
Thio Sam Hong adalah murid dari Kuil Shaolin. Karena diberlakukan semena-mena oleh para senior, Beliau keluar dari Kuil Shaolin dan belajar mengembangkan Kungfu dengan memperhatikan berbagai fenomena alam seperti terpaan angin keras terhadap pohon bambu, pertarungan bangau dan ular, kokohnya pertahanan belalang sembah dari terpaan angin dan lain-lain. Setelah mengerti & memahami Intisari Alam Semesta, Thio Sam Hong muda menyepi di gunung Hua San untuk menyempurnakan ilmu-ilmunya. Pada saat Beliau turun gunung, Beliau menjelajahi seluruh Tiongkok dan mengadu ilmunya dengan para Ahli Bela Diri dan/atau Pendekar semua aliran. Berdasarkan literatur kuno, tercatat 2 pertarungan yang sangat terkenal, yakni pertama adalah pertarungan antara Thio Sam Hong dengan Pegulat Nomor Satu Mongol yang sangat besar, kuat dan agresif. Belakangan diketahui pula bahwa Pegulat tersebut juga sangat ahli dalam berbagai aliran Kungfu Tiongkok. Pegulat Mongol tersebut konon mengalahkan banyak petarung Kuil Shaolin dan sejumlah Pendekar aliran keras lainnya. Pertarungan antara Thio Sam Hong dengan Pegulat Mongol tersebut dimenangkan oleh Thio Sam Hong dengan ilmu barunya, Tai Chi! Pertarungan kedua adalah seorang diri Thio Sam Hong mengalahkan lebih dari 100 orang gangster di sarang penyamun hanya dengan tangan kosong! Semenjak itu, Thio Sam Hong diakui oleh seluruh kalangan persilatan menjadi Pendekar Tanpa Tanding pada saat itu. Setelah merasa cukup dalam perantauanya, Beliau naik ke gunung Wudang (Butong) dan mendirikan Perguruan Wudang dengan basis utama pengajaran : Taoisme. Thio Sam Hong sendiri merupakan Pencipta Ilmu Tai Chi pertama dan sangat Ahli dalam Ilmu Tao Yin (Nei Kung). Konon Thio Sam Hong hidup di 3 jaman (Immortal Taoist)dinasti,yakni Dinasti Sung, Dinasti Yuan (Monggol) dan Dinasti Ming (Han).
Hatiku selembar daun...
IBU PENJUAL KUE DAN ANAKNYA
IBU PENJUAL KUE DAN ANAKNYA
“Sreeng..., sreng...” bunyi potongan tahu tenggelam dalam minyak goreng yang telah mendidih. Pukul 03.10 WIB, seorang Ibu yang memiliki 4 orang anak sedang sibuk membuat barang dagangannya (pisang goreng, tahu isi, tempe goreng, dsb) yang akan dijual setelah matahari terbit nanti. Di belakangnya, terdengar bunyi “sreg, sreg, sreg....” berulang-ulang gesekan parut dan singkong mentah, salah seorang anaknya membantu menyiapkan bahan jajanan.
“Cepat sedikit, Nang! Tahu isinya sudah hampir selesai”, sang Ibu memerintahkan anaknya.
“iya, Bu” sahut anaknya dan sembari mengusulkan, “apa mas dan adik perlu dibangunkan untuk membantu kita?”.
“Tidak usah, asal kamu bekerja capat saja bisa selesai. Mereka mungkin masih capek menyiapkan bahan yang semalam.” Jawab sang Ibu.
Beberapa saat hanya berisik suara dapur yang terdengar. Tiba-tiba sang anak bertanya kepada sang Ibu, “Bu, uang kuliah Mas belum dibayar yah? Padahal paling lambat hari Senin depan”.
“Nanti pasti dapat rejeki, semoga jajanan kita laris dan tidak ada yang kembali”, jawab sang Ibu dengan santai walaupun dengan kerut wajah serius melihat ke arah penggorengannya.
“Bu, bagaimana kalo tahun ini saya tidak usah kuliah? Saya kuliah tahun depan saja, ngurus kuliahnya Mas saja dulu.”
Tanpa rasa cemas sang Ibu memberikan jawaban yang meyakinkan sang anak, “Kamu kuliah tahun ini memang Ibu tidak punya uang. Kamu kuliah tahun depan, Ibu juga tidak punya uang. Mendingan... kamu kuliah secepatnya tahun ini!”.
Sang Ibu kemudian bercerita, “ Hmm...kemarin tetangga sebelah bikin telinga Ibu panas, Nang. Dia mengoceh, “memangnya kalau waktu orang asik tidur, kita sibuk-sibuk bekerja...bisa naik haji apa?!”. Itu maksudnya menyindir Ibu. Tapi biarkan saja. Tidak usah didengar. Investasi Ibu hanya pada kalian, pada anak-anak Ibu. Makanya, Ibu selalu berdoa..”cepatlah malam dan cepatlah siang”. Ibu pengin cepat melihat keluarga siapa di daerah ini yang paling berhasil nanti. Tidak terasa ‘kan... sudah 3 tahun kita berjualan sejak Bapak kamu bikin bangkrut perusahaan kita sehingga Ibu lepas perusahaan ke Oom kamu dan kamu sudah mau lulus SMA sekarang”.
Sang anak dengan perasaan bergejolak berujar, “ Jangan kuatir, Bu. Kita pasti “juara” dan akan kita “kuasai” daerah ini seperti dulu! Saya pasti bisa membiayai Ibu naik haji! ”
Hampir 12 tahun telah berlalu.....
ketiga anak Ibu tersebut telah menjadi sarjana dan si bungsu masih kuliah;
sang anak telah menjadi manager yang cukup disegani di suatu lembaga;
sang kakak bekerja sembari menjaga sang Ibu;
sang adik menjadi karyawan di instansi pemerintahan di ibukota, bahkan telah mendapatkan gelar double “Master” dari dalam dan luar negeri.
Ibu penjual kue itu sendiri telah menunaikan Ibadah Haji dengan sang kakak tahun lalu.
Diceritakan oleh: Mokhammad Khoiri
Hatiku selembar daun...
“Sreeng..., sreng...” bunyi potongan tahu tenggelam dalam minyak goreng yang telah mendidih. Pukul 03.10 WIB, seorang Ibu yang memiliki 4 orang anak sedang sibuk membuat barang dagangannya (pisang goreng, tahu isi, tempe goreng, dsb) yang akan dijual setelah matahari terbit nanti. Di belakangnya, terdengar bunyi “sreg, sreg, sreg....” berulang-ulang gesekan parut dan singkong mentah, salah seorang anaknya membantu menyiapkan bahan jajanan.
“Cepat sedikit, Nang! Tahu isinya sudah hampir selesai”, sang Ibu memerintahkan anaknya.
“iya, Bu” sahut anaknya dan sembari mengusulkan, “apa mas dan adik perlu dibangunkan untuk membantu kita?”.
“Tidak usah, asal kamu bekerja capat saja bisa selesai. Mereka mungkin masih capek menyiapkan bahan yang semalam.” Jawab sang Ibu.
Beberapa saat hanya berisik suara dapur yang terdengar. Tiba-tiba sang anak bertanya kepada sang Ibu, “Bu, uang kuliah Mas belum dibayar yah? Padahal paling lambat hari Senin depan”.
“Nanti pasti dapat rejeki, semoga jajanan kita laris dan tidak ada yang kembali”, jawab sang Ibu dengan santai walaupun dengan kerut wajah serius melihat ke arah penggorengannya.
“Bu, bagaimana kalo tahun ini saya tidak usah kuliah? Saya kuliah tahun depan saja, ngurus kuliahnya Mas saja dulu.”
Tanpa rasa cemas sang Ibu memberikan jawaban yang meyakinkan sang anak, “Kamu kuliah tahun ini memang Ibu tidak punya uang. Kamu kuliah tahun depan, Ibu juga tidak punya uang. Mendingan... kamu kuliah secepatnya tahun ini!”.
Sang Ibu kemudian bercerita, “ Hmm...kemarin tetangga sebelah bikin telinga Ibu panas, Nang. Dia mengoceh, “memangnya kalau waktu orang asik tidur, kita sibuk-sibuk bekerja...bisa naik haji apa?!”. Itu maksudnya menyindir Ibu. Tapi biarkan saja. Tidak usah didengar. Investasi Ibu hanya pada kalian, pada anak-anak Ibu. Makanya, Ibu selalu berdoa..”cepatlah malam dan cepatlah siang”. Ibu pengin cepat melihat keluarga siapa di daerah ini yang paling berhasil nanti. Tidak terasa ‘kan... sudah 3 tahun kita berjualan sejak Bapak kamu bikin bangkrut perusahaan kita sehingga Ibu lepas perusahaan ke Oom kamu dan kamu sudah mau lulus SMA sekarang”.
Sang anak dengan perasaan bergejolak berujar, “ Jangan kuatir, Bu. Kita pasti “juara” dan akan kita “kuasai” daerah ini seperti dulu! Saya pasti bisa membiayai Ibu naik haji! ”
Hampir 12 tahun telah berlalu.....
ketiga anak Ibu tersebut telah menjadi sarjana dan si bungsu masih kuliah;
sang anak telah menjadi manager yang cukup disegani di suatu lembaga;
sang kakak bekerja sembari menjaga sang Ibu;
sang adik menjadi karyawan di instansi pemerintahan di ibukota, bahkan telah mendapatkan gelar double “Master” dari dalam dan luar negeri.
Ibu penjual kue itu sendiri telah menunaikan Ibadah Haji dengan sang kakak tahun lalu.
Diceritakan oleh: Mokhammad Khoiri
Hatiku selembar daun...
PEMUDA YANG BERBUAT KESALAHAN
PEMUDA YANG BERBUAT KESALAHAN
Arif Rohman
Tom Watson, pendiri IBM, tahu persis nilai sebuah kesalahan. Suatu saat, seorang pegawai membuat kesalahan besar yang merugikan IBM senilai jutaan dollar. Sang pegawai yang dipanggil ke kantor Watson, berkata “Anda pasti menghendaki saya mengundurkan diri” Jawab Watson, “Anda pasti bercanda. Saya baru saja menghabiskan 10 juta dollar untuk mendidik anda…”
Di Depsos (sekarang Kementerian Sosial) beberapa tahun yang lalu ada cerita yang hampir sama. Seorang karyawan yang masih lugu disuruh membuat surat balasan dalam bahasa Inggris ke Departemen Tenaga Kerja Amerika Serikat tentang Penanganan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Anak di Indonesia. Dan surat yang dibikin pemuda itu ternyata salah. Ketika dia dipanggil ke ruangan pimpinannya, pemuda itu takutnya setengah mati. Ternyata, di ruangan pimpinannya tersebut, si pemuda bukannya dimarahi, tetapi justru diberitahu kesalahan-kesalahannya. Setahun kemudian, dia disekolahkan oleh pimpinannya tersebut ke Australia untuk memperdalam bahasa Inggrisnya.
Hatiku selembar daun...
Arif Rohman
Tom Watson, pendiri IBM, tahu persis nilai sebuah kesalahan. Suatu saat, seorang pegawai membuat kesalahan besar yang merugikan IBM senilai jutaan dollar. Sang pegawai yang dipanggil ke kantor Watson, berkata “Anda pasti menghendaki saya mengundurkan diri” Jawab Watson, “Anda pasti bercanda. Saya baru saja menghabiskan 10 juta dollar untuk mendidik anda…”
Di Depsos (sekarang Kementerian Sosial) beberapa tahun yang lalu ada cerita yang hampir sama. Seorang karyawan yang masih lugu disuruh membuat surat balasan dalam bahasa Inggris ke Departemen Tenaga Kerja Amerika Serikat tentang Penanganan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Anak di Indonesia. Dan surat yang dibikin pemuda itu ternyata salah. Ketika dia dipanggil ke ruangan pimpinannya, pemuda itu takutnya setengah mati. Ternyata, di ruangan pimpinannya tersebut, si pemuda bukannya dimarahi, tetapi justru diberitahu kesalahan-kesalahannya. Setahun kemudian, dia disekolahkan oleh pimpinannya tersebut ke Australia untuk memperdalam bahasa Inggrisnya.
Hatiku selembar daun...
SI BOCAH YANG SELALU GAGAL
SI BOCAH YANG SELALU GAGAL
Banyak orang tidak tahu bahwa kisah hidup sang pendiri “kerajaan” Honda – Soichiro Honda – diliputi kegagalan. Ia juga tidak menyandang gelar insinyur, lebih-lebih Profesor. Ia bukan siswa yang memiliki otak cemerlang. Di kelas, duduknya tidak pernah di depan, selalu menjauh dari pandangan guru. “Nilaiku jelek di sekolah. Tapi saya tidak bersedih, karena dunia saya disekitar mesin, motor dan sepeda,” tutur tokoh ini, yang meninggal pada usia 84 tahun, setelah dirawat di RS Juntendo, Tokyo, akibat mengindap lever. Saat merintis bisnisnya Soichiro Honda selalu diliputi kegagalan. Ia sempat jatuh sakit, kehabisan uang, dikeluarkan dari kuliah. Namun ia terus bermimpi dan bermimpi… Kecintaannya kepada mesin, mungkin ‘warisan’ dari ayahnya yang membuka bengkel reparasi pertanian, di dusun Kamyo, distrik Shizuko, Jepang Tengah, tempat kelahiran Soichiro Honda. Di bengkel, ayahnya memberi cathut (kakak tua) untuk mencabut paku. Ia juga sering bermain di tempat penggilingan padi melihat mesin diesel yang menjadi motor penggeraknya. Di situ, lelaki kelahiran 17 November 1906, ini dapat berdiam diri berjam-jam. Di usia 8 tahun, ia mengayuh sepeda sejauh 10 mil, hanya ingin menyaksikan pesawat terbang. Ternyata, minatnya pada mesin, tidak sia-sia. Ketika usianya 12 tahun, Honda berhasil menciptakan sebuah sepeda pancal dengan model rem kaki. Tapi, benaknya tidak bermimpi menjadi usahawan otomotif. Ia sadar berasal dari keluarga miskin. Apalagi fisiknya lemah, tidak tampan, sehingga membuatnya rendah diri. Di usia 15 tahun, Honda hijrah ke Jepang, bekerja Hart Shokai Company. Bosnya, Saka Kibara, sangat senang melihat cara kerjanya. Honda teliti dan cekatan dalam soal mesin. Setiap suara yang mencurigakan, setiap oli yang bocor, tidak luput dari perhatiannya. Enam tahun bekerja disitu, menambah wawasannya tentang permesinan. Akhirnya, pada usia 21 tahun, bosnya mengusulkan membuka suatu kantor cabang di Hamamatsu. Tawaran ini tidak ditampiknya. Di Hamamatsu prestasi kerjanya tetap membaik. Ia selalu menerima reparasi yang ditolak oleh bengkel lain. Kerjanya pun cepat memperbaiki mobil pelanggan sehingga berjalan kembali. Karena itu, jam kerjanya larut malam, dan terkadang sampai subuh. Otak jeniusnya tetap kreatif. Pada zaman itu, jari-jari mobil terbuat dari kayu, hingga tidak baik meredam goncangan. Ia punya gagasan untuk menggantikan ruji-ruji itu dengan logam. Hasilnya luarbiasa. Ruji-ruji logamnya laku keras, dan diekspor ke seluruh dunia. Di usia 30, Honda menandatangani patennya yang pertama. Setelah menciptakan ruji, Honda ingin melepaskan diri dari bosnya, membuat usaha bengkel sendiri. Ia mulai berpikir, spesialis apa yang dipilih? Otaknya tertuju kepada pembuatan Ring Pinston, yang dihasilkan oleh bengkelnya sendiri pada tahun 1938. Sayang, karyanya itu ditolak oleh Toyota, karena dianggap tidak memenuhi standar. Ring buatannya tidak lentur, dan tidak laku dijual. Ia ingat reaksi teman-temannya terhadap kegagalan itu. Mereka menyesalkan dirinya keluar dari bengkel. Kuliah karena kegagalan itu, Honda jatuh sakit cukup serius. Dua bulan kemudian, kesehatannya pulih kembali. Ia kembali memimpin bengkelnya. Tapi, soal Ring Pinston itu, belum juga ada solusinya. Demi mencari jawaban, ia kuliah lagi untuk menambah pengetahuannya tentang mesin. Siang hari, setelah pulang kuliah – pagi hari, ia langsung ke bengkel, mempraktekan pengetahuan yang baru diperoleh. Setelah dua tahun menjadi mahasiswa, ia akhirnya dikeluarkan karena jarang mengikuti kuliah. “Saya merasa sekarat, karena ketika lapar tidak diberi makan, melainkan dijejali penjelasan bertele-tele tentang hukum makanan dan pengaruhnya,” ujar Honda, yang gandrung balap mobil. Kepada Rektornya, ia jelaskan maksudnya kuliah bukan mencari ijasah. Melainkan pengetahuan. Penjelasan ini justru dianggap penghinaan. Berkat kerja kerasnya, desain Ring Pinston-nya diterima. Pihak Toyota memberikan kontrak, sehingga Honda berniat mendirikan pabrik. Eh malangnya, niatan itu kandas. Jepang, karena siap perang, tidak memberikan dana. Ia pun tidak kehabisan akal mengumpulkan modal dari sekelompok orang untuk mendirikan pabrik. Lagi-lagi musibah datang. Setelah perang meletus, pabriknya terbakar dua kali. Namun, Honda tidak patah semangat. Ia bergegas mengumpulkan karyawannya. Mereka diperintahkan mengambil sisa kaleng bensol yang dibuang oleh kapal Amerika Serikat, digunakan sebagai bahan mendirikan pabrik. Tanpa diduga, gempa bumi meletus menghancurkan pabriknya, sehingga diputuskan menjual pabrik Ring Pinstonnya ke Toyota. Setelah itu, Honda mencoba beberapa usaha lain. Sayang semuanya gagal. Akhirnya, tahun 1947,setelah perang Jepang kekurangan bensin. Di sini kondisi ekonomi Jepang porak-poranda. Sampai-sampai Honda tidak dapat menjual mobilnya untuk membeli makanan bagi keluarganya. Dalam keadaan terdesak, ia memasang motor kecil pada sepeda. Siapa sangka, “sepeda motor” – cikal bakal lahirnya mobil Honda – itu diminati oleh para tetangga. Mereka berbondong-bondong memesan, sehingga Honda kehabisan stok. Disinilah, Honda kembali mendirikan pabrik motor. Sejak itu, kesuksesan tak pernah lepas dari tangannya. Motor Honda berikut mobinya, menjadi “raja” jalanan dunia, termasuk Indonesia. Soichiro Honda mengatakan, janganlah melihat keberhasilan dalam menggeluti industri otomotif. Tapi lihatlah kegagalan-kegagalan yang dialaminya. Saat ini Honda menetap di Demak! Hehehe...
Hatiku selembar daun...
Banyak orang tidak tahu bahwa kisah hidup sang pendiri “kerajaan” Honda – Soichiro Honda – diliputi kegagalan. Ia juga tidak menyandang gelar insinyur, lebih-lebih Profesor. Ia bukan siswa yang memiliki otak cemerlang. Di kelas, duduknya tidak pernah di depan, selalu menjauh dari pandangan guru. “Nilaiku jelek di sekolah. Tapi saya tidak bersedih, karena dunia saya disekitar mesin, motor dan sepeda,” tutur tokoh ini, yang meninggal pada usia 84 tahun, setelah dirawat di RS Juntendo, Tokyo, akibat mengindap lever. Saat merintis bisnisnya Soichiro Honda selalu diliputi kegagalan. Ia sempat jatuh sakit, kehabisan uang, dikeluarkan dari kuliah. Namun ia terus bermimpi dan bermimpi… Kecintaannya kepada mesin, mungkin ‘warisan’ dari ayahnya yang membuka bengkel reparasi pertanian, di dusun Kamyo, distrik Shizuko, Jepang Tengah, tempat kelahiran Soichiro Honda. Di bengkel, ayahnya memberi cathut (kakak tua) untuk mencabut paku. Ia juga sering bermain di tempat penggilingan padi melihat mesin diesel yang menjadi motor penggeraknya. Di situ, lelaki kelahiran 17 November 1906, ini dapat berdiam diri berjam-jam. Di usia 8 tahun, ia mengayuh sepeda sejauh 10 mil, hanya ingin menyaksikan pesawat terbang. Ternyata, minatnya pada mesin, tidak sia-sia. Ketika usianya 12 tahun, Honda berhasil menciptakan sebuah sepeda pancal dengan model rem kaki. Tapi, benaknya tidak bermimpi menjadi usahawan otomotif. Ia sadar berasal dari keluarga miskin. Apalagi fisiknya lemah, tidak tampan, sehingga membuatnya rendah diri. Di usia 15 tahun, Honda hijrah ke Jepang, bekerja Hart Shokai Company. Bosnya, Saka Kibara, sangat senang melihat cara kerjanya. Honda teliti dan cekatan dalam soal mesin. Setiap suara yang mencurigakan, setiap oli yang bocor, tidak luput dari perhatiannya. Enam tahun bekerja disitu, menambah wawasannya tentang permesinan. Akhirnya, pada usia 21 tahun, bosnya mengusulkan membuka suatu kantor cabang di Hamamatsu. Tawaran ini tidak ditampiknya. Di Hamamatsu prestasi kerjanya tetap membaik. Ia selalu menerima reparasi yang ditolak oleh bengkel lain. Kerjanya pun cepat memperbaiki mobil pelanggan sehingga berjalan kembali. Karena itu, jam kerjanya larut malam, dan terkadang sampai subuh. Otak jeniusnya tetap kreatif. Pada zaman itu, jari-jari mobil terbuat dari kayu, hingga tidak baik meredam goncangan. Ia punya gagasan untuk menggantikan ruji-ruji itu dengan logam. Hasilnya luarbiasa. Ruji-ruji logamnya laku keras, dan diekspor ke seluruh dunia. Di usia 30, Honda menandatangani patennya yang pertama. Setelah menciptakan ruji, Honda ingin melepaskan diri dari bosnya, membuat usaha bengkel sendiri. Ia mulai berpikir, spesialis apa yang dipilih? Otaknya tertuju kepada pembuatan Ring Pinston, yang dihasilkan oleh bengkelnya sendiri pada tahun 1938. Sayang, karyanya itu ditolak oleh Toyota, karena dianggap tidak memenuhi standar. Ring buatannya tidak lentur, dan tidak laku dijual. Ia ingat reaksi teman-temannya terhadap kegagalan itu. Mereka menyesalkan dirinya keluar dari bengkel. Kuliah karena kegagalan itu, Honda jatuh sakit cukup serius. Dua bulan kemudian, kesehatannya pulih kembali. Ia kembali memimpin bengkelnya. Tapi, soal Ring Pinston itu, belum juga ada solusinya. Demi mencari jawaban, ia kuliah lagi untuk menambah pengetahuannya tentang mesin. Siang hari, setelah pulang kuliah – pagi hari, ia langsung ke bengkel, mempraktekan pengetahuan yang baru diperoleh. Setelah dua tahun menjadi mahasiswa, ia akhirnya dikeluarkan karena jarang mengikuti kuliah. “Saya merasa sekarat, karena ketika lapar tidak diberi makan, melainkan dijejali penjelasan bertele-tele tentang hukum makanan dan pengaruhnya,” ujar Honda, yang gandrung balap mobil. Kepada Rektornya, ia jelaskan maksudnya kuliah bukan mencari ijasah. Melainkan pengetahuan. Penjelasan ini justru dianggap penghinaan. Berkat kerja kerasnya, desain Ring Pinston-nya diterima. Pihak Toyota memberikan kontrak, sehingga Honda berniat mendirikan pabrik. Eh malangnya, niatan itu kandas. Jepang, karena siap perang, tidak memberikan dana. Ia pun tidak kehabisan akal mengumpulkan modal dari sekelompok orang untuk mendirikan pabrik. Lagi-lagi musibah datang. Setelah perang meletus, pabriknya terbakar dua kali. Namun, Honda tidak patah semangat. Ia bergegas mengumpulkan karyawannya. Mereka diperintahkan mengambil sisa kaleng bensol yang dibuang oleh kapal Amerika Serikat, digunakan sebagai bahan mendirikan pabrik. Tanpa diduga, gempa bumi meletus menghancurkan pabriknya, sehingga diputuskan menjual pabrik Ring Pinstonnya ke Toyota. Setelah itu, Honda mencoba beberapa usaha lain. Sayang semuanya gagal. Akhirnya, tahun 1947,setelah perang Jepang kekurangan bensin. Di sini kondisi ekonomi Jepang porak-poranda. Sampai-sampai Honda tidak dapat menjual mobilnya untuk membeli makanan bagi keluarganya. Dalam keadaan terdesak, ia memasang motor kecil pada sepeda. Siapa sangka, “sepeda motor” – cikal bakal lahirnya mobil Honda – itu diminati oleh para tetangga. Mereka berbondong-bondong memesan, sehingga Honda kehabisan stok. Disinilah, Honda kembali mendirikan pabrik motor. Sejak itu, kesuksesan tak pernah lepas dari tangannya. Motor Honda berikut mobinya, menjadi “raja” jalanan dunia, termasuk Indonesia. Soichiro Honda mengatakan, janganlah melihat keberhasilan dalam menggeluti industri otomotif. Tapi lihatlah kegagalan-kegagalan yang dialaminya. Saat ini Honda menetap di Demak! Hehehe...
Hatiku selembar daun...
ANAK KECIL TAMPAN PENJUAL KUE
ANAK KECIL TAMPAN PENJUAL KUE
Seorang pemuda yang sedang lapar pergi menuju restoran jalanan dan
ia pun menyantap makanan yang telah dipesan. Saat pemuda itu makan datanglah seorang anak kecil laki-laki menjajakan kue kepada pemuda tersebut, "Pak mau beli kue, Pak?" Dengan ramah pemuda yang sedang makan menjawab "Tidak, saya sedang makan".
Anak kecil tersebut tidaklah berputus asa dengan tawaran pertama. Ia tawarkan
lagi kue setelah pemuda itu selesai makan, pemuda tersebut menjawab "Tidak
dik saya sudah kenyang".
Setelah pemuda itu membayar ke kasir dan beranjak pergi dari warung kaki
lima, anak kecil penjaja kue tidak menyerah dengan usahanya yang sudah
hampir seharian menjajakan kue buatan bunda. Mungkin anak kecil ini berpikir
"Saya coba lagi tawarkan kue ini kepada bapak itu, siapa tahu kue ini
dijadikan oleh-oleh buat orang dirumah". Ini adalah sebuah usaha yang gigih
membantu ibunda untuk menyambung kehidupan yang serba pas-pasan ini.
Saat pemuda tadi beranjak pergi dari warung tersebut anak kecil penjaja kue
menawarkan ketiga kali kue dagangan. "Pak mau beli kue saya?", pemuda yang ditawarkan jadi risih juga untuk menolak yang ketiga kalinya, kemudian ia keluarkan uang Rp 1.500,- dari dompet dan ia berikan sebagai sedekah saja.
"Dik ini uang saya kasih, kuenya nggak usah saya ambil, anggap saja ini sedekahan dari saya buat adik". Lalu uang yang diberikan pemuda itu ia ambil dan diberikan kepada
pengemis yang sedang meminta-minta. Pemuda tadi jadi bingung, lho ini anak dikasih uang
kok malah dikasihkan kepada orang lain. "Kenapa kamu berikan uang tersebut,
kenapa tidak kamu ambil?".
Anak kecil penjaja kue tersenyum lugu menjawab, "Saya sudah berjanji sama
ibu di rumah, ingin menjualkan kue buatan ibu, bukan jadi pengemis, dan saya
akan bangga pulang ke rumah bertemu ibu kalau kue buatan ibu terjual habis.
Dan uang yang saya berikan kepada ibu hasil usaha kerja keras saya. Ibu saya
tidak suka saya jadi pengemis".
Pemuda tadi jadi terkagum dengan kata-kata yang diucapkan anak kecil penjaja
kue. Kemudian pemuda tadi memborong semua kue yang dijajakan lelaki kecil itu..
Hatiku selembar daun....
Seorang pemuda yang sedang lapar pergi menuju restoran jalanan dan
ia pun menyantap makanan yang telah dipesan. Saat pemuda itu makan datanglah seorang anak kecil laki-laki menjajakan kue kepada pemuda tersebut, "Pak mau beli kue, Pak?" Dengan ramah pemuda yang sedang makan menjawab "Tidak, saya sedang makan".
Anak kecil tersebut tidaklah berputus asa dengan tawaran pertama. Ia tawarkan
lagi kue setelah pemuda itu selesai makan, pemuda tersebut menjawab "Tidak
dik saya sudah kenyang".
Setelah pemuda itu membayar ke kasir dan beranjak pergi dari warung kaki
lima, anak kecil penjaja kue tidak menyerah dengan usahanya yang sudah
hampir seharian menjajakan kue buatan bunda. Mungkin anak kecil ini berpikir
"Saya coba lagi tawarkan kue ini kepada bapak itu, siapa tahu kue ini
dijadikan oleh-oleh buat orang dirumah". Ini adalah sebuah usaha yang gigih
membantu ibunda untuk menyambung kehidupan yang serba pas-pasan ini.
Saat pemuda tadi beranjak pergi dari warung tersebut anak kecil penjaja kue
menawarkan ketiga kali kue dagangan. "Pak mau beli kue saya?", pemuda yang ditawarkan jadi risih juga untuk menolak yang ketiga kalinya, kemudian ia keluarkan uang Rp 1.500,- dari dompet dan ia berikan sebagai sedekah saja.
"Dik ini uang saya kasih, kuenya nggak usah saya ambil, anggap saja ini sedekahan dari saya buat adik". Lalu uang yang diberikan pemuda itu ia ambil dan diberikan kepada
pengemis yang sedang meminta-minta. Pemuda tadi jadi bingung, lho ini anak dikasih uang
kok malah dikasihkan kepada orang lain. "Kenapa kamu berikan uang tersebut,
kenapa tidak kamu ambil?".
Anak kecil penjaja kue tersenyum lugu menjawab, "Saya sudah berjanji sama
ibu di rumah, ingin menjualkan kue buatan ibu, bukan jadi pengemis, dan saya
akan bangga pulang ke rumah bertemu ibu kalau kue buatan ibu terjual habis.
Dan uang yang saya berikan kepada ibu hasil usaha kerja keras saya. Ibu saya
tidak suka saya jadi pengemis".
Pemuda tadi jadi terkagum dengan kata-kata yang diucapkan anak kecil penjaja
kue. Kemudian pemuda tadi memborong semua kue yang dijajakan lelaki kecil itu..
Hatiku selembar daun....
KISAH SEORANG PETANI DARI DEMAK
KISAH SEORANG PETANI DARI DEMAK
Seorang petani tua selama bertahun - tahun terpaksa membajak di sekeliling sebuah batu besar di salah satu petak sawahnya. Batu itu terletak tepat di tengah sawah pak Tani dan telah mematahkan beberapa mata bajak dan sebuah cangkul sang petani. Hari itu mata bajak pak tani kembali patah karena batu besar itu, karena kesal dengan kejadian yang selalu berulang - ulang, maka pak tani memutuskan untuk melakukan sesuatu. "Aku harus menyingkirkan batu ini !", lalu pak tani mengambil linggis dan ketika ia menacapkan linggis itu ke dasar batu, ia terkejut karena ternyata batu itu dengan mudah dapat dia angkat dan dia singkirkan. Setelah selesai, pak tani duduk di tepi sawah miliknya sambil tersenyum, dia teringat dengan semua kesulitan yang dia alami karena batu itu, dan ternyata betapa mudahnya dia menyingkirkan batu itu . Sambil menghela nafas pak tani bergumam sendiri " mengapa hal itu tidak aku lakukan sejak dulu". Saat manusia mengalami masalah dalam hidupnya, kadang yang kita pikirkan adalah hal - hal yang jauh, sulit dan berbelit - belit. Dan keengganan untuk langsung menghadapi masalah yang membuat masalah tidak pernah selesai dan malah akan memancing masalah yang lain. Padahal belum tentu masalah yang kita hadapin serumit yang kita bayangkan.. Hal yang paling bijak kita lakukan adalah " hadapi " sambil kita " berserah " dan " memohon " pada Tuhan untuk diberi kekuatan dan keberanian dalam menjalaninya.
Hatiku selembar daun...
Seorang petani tua selama bertahun - tahun terpaksa membajak di sekeliling sebuah batu besar di salah satu petak sawahnya. Batu itu terletak tepat di tengah sawah pak Tani dan telah mematahkan beberapa mata bajak dan sebuah cangkul sang petani. Hari itu mata bajak pak tani kembali patah karena batu besar itu, karena kesal dengan kejadian yang selalu berulang - ulang, maka pak tani memutuskan untuk melakukan sesuatu. "Aku harus menyingkirkan batu ini !", lalu pak tani mengambil linggis dan ketika ia menacapkan linggis itu ke dasar batu, ia terkejut karena ternyata batu itu dengan mudah dapat dia angkat dan dia singkirkan. Setelah selesai, pak tani duduk di tepi sawah miliknya sambil tersenyum, dia teringat dengan semua kesulitan yang dia alami karena batu itu, dan ternyata betapa mudahnya dia menyingkirkan batu itu . Sambil menghela nafas pak tani bergumam sendiri " mengapa hal itu tidak aku lakukan sejak dulu". Saat manusia mengalami masalah dalam hidupnya, kadang yang kita pikirkan adalah hal - hal yang jauh, sulit dan berbelit - belit. Dan keengganan untuk langsung menghadapi masalah yang membuat masalah tidak pernah selesai dan malah akan memancing masalah yang lain. Padahal belum tentu masalah yang kita hadapin serumit yang kita bayangkan.. Hal yang paling bijak kita lakukan adalah " hadapi " sambil kita " berserah " dan " memohon " pada Tuhan untuk diberi kekuatan dan keberanian dalam menjalaninya.
Hatiku selembar daun...
Friday, 12 March 2010
IBU PENJUAL KUE DAN ANAKNYA
IBU PENJUAL KUE DAN ANAKNYA
“Sreeng..., sreng...” bunyi potongan tahu tenggelam dalam minyak goreng yang telah mendidih. Pukul 03.10 WIB, seorang Ibu yang memiliki 4 orang anak sedang sibuk membuat barang dagangannya (pisang goreng, tahu isi, tempe goreng, dsb) yang akan dijual setelah matahari terbit nanti. Di belakangnya, terdengar bunyi “sreg, sreg, sreg....” berulang-ulang gesekan parut dan singkong mentah, salah seorang anaknya membantu menyiapkan bahan jajanan.
“Cepat sedikit, Nang! Tahu isinya sudah hampir selesai”, sang Ibu memerintahkan anaknya.
“iya, Bu” sahut anaknya dan sembari mengusulkan, “apa mas dan adik perlu dibangunkan untuk membantu kita?”.
“Tidak usah, asal kamu bekerja capat saja bisa selesai. Mereka mungkin masih capek menyiapkan bahan yang semalam.” Jawab sang Ibu.
Beberapa saat hanya berisik suara dapur yang terdengar. Tiba-tiba sang anak bertanya kepada sang Ibu, “Bu, uang kuliah Mas belum dibayar yah? Padahal paling lambat hari Senin depan”.
“Nanti pasti dapat rejeki, semoga jajanan kita laris dan tidak ada yang kembali”, jawab sang Ibu dengan santai walaupun dengan kerut wajah serius melihat ke arah penggorengannya.
“Bu, bagaimana kalo tahun ini saya tidak usah kuliah? Saya kuliah tahun depan saja, ngurus kuliahnya Mas saja dulu.”
Tanpa rasa cemas sang Ibu memberikan jawaban yang meyakinkan sang anak, “Kamu kuliah tahun ini memang Ibu tidak punya uang. Kamu kuliah tahun depan, Ibu juga tidak punya uang. Mendingan... kamu kuliah secepatnya tahun ini!”.
Sang Ibu kemudian bercerita, “ Hmm...kemarin tetangga sebelah bikin telinga Ibu panas, Nang. Dia mengoceh, “memangnya kalau waktu orang asik tidur, kita sibuk-sibuk bekerja...bisa naik haji apa?!”. Itu maksudnya menyindir Ibu. Tapi biarkan saja. Tidak usah didengar. Investasi Ibu hanya pada kalian, pada anak-anak Ibu. Makanya, Ibu selalu berdoa..”cepatlah malam dan cepatlah siang”. Ibu pengin cepat melihat keluarga siapa di daerah ini yang paling berhasil nanti. Tidak terasa ‘kan... sudah 3 tahun kita berjualan sejak Bapak kamu bikin bangkrut perusahaan kita sehingga Ibu lepas perusahaan ke Oom kamu dan kamu sudah mau lulus SMA sekarang”.
Sang anak dengan perasaan bergejolak berujar, “ Jangan kuatir, Bu. Kita pasti “juara” dan akan kita “kuasai” daerah ini seperti dulu! Saya pasti bisa membiayai Ibu naik haji! ”
Hampir 12 tahun telah berlalu.....
ketiga anak Ibu tersebut telah menjadi sarjana dan si bungsu masih kuliah;
sang anak telah menjadi manager yang cukup disegani di suatu lembaga;
sang kakak bekerja sembari menjaga sang Ibu;
sang adik menjadi karyawan di instansi pemerintahan di ibukota, bahkan telah mendapatkan gelar double “Master” dari dalam dan luar negeri.
Ibu penjual kue itu sendiri telah menunaikan Ibadah Haji dengan sang kakak tahun lalu.
Diceritakan oleh: Mokhammad Khoiri
Arif Rohman
Staff of Directorate General for Rehabilitation and Social Services, the Ministry of Social Affairs RI.
Qualifications:
University of New England
MA Women's and Gender Studies
University of Indonesia
MA Urban Studies
Bandung School of Social Work
BSW Social Work
Email: arif_rohman@hotmail.com
Research Experiences:
Rumours and Realities of Marriage Practices in Contemporary Samin Society: A Study of The Samin People of Klopoduwur, Blora, Central Java (2009), Homelessness in Senen Jakarta (2004), The Influence Factors of Children Who Had Committed Murders in Bandung West Java (2000).
“Sreeng..., sreng...” bunyi potongan tahu tenggelam dalam minyak goreng yang telah mendidih. Pukul 03.10 WIB, seorang Ibu yang memiliki 4 orang anak sedang sibuk membuat barang dagangannya (pisang goreng, tahu isi, tempe goreng, dsb) yang akan dijual setelah matahari terbit nanti. Di belakangnya, terdengar bunyi “sreg, sreg, sreg....” berulang-ulang gesekan parut dan singkong mentah, salah seorang anaknya membantu menyiapkan bahan jajanan.
“Cepat sedikit, Nang! Tahu isinya sudah hampir selesai”, sang Ibu memerintahkan anaknya.
“iya, Bu” sahut anaknya dan sembari mengusulkan, “apa mas dan adik perlu dibangunkan untuk membantu kita?”.
“Tidak usah, asal kamu bekerja capat saja bisa selesai. Mereka mungkin masih capek menyiapkan bahan yang semalam.” Jawab sang Ibu.
Beberapa saat hanya berisik suara dapur yang terdengar. Tiba-tiba sang anak bertanya kepada sang Ibu, “Bu, uang kuliah Mas belum dibayar yah? Padahal paling lambat hari Senin depan”.
“Nanti pasti dapat rejeki, semoga jajanan kita laris dan tidak ada yang kembali”, jawab sang Ibu dengan santai walaupun dengan kerut wajah serius melihat ke arah penggorengannya.
“Bu, bagaimana kalo tahun ini saya tidak usah kuliah? Saya kuliah tahun depan saja, ngurus kuliahnya Mas saja dulu.”
Tanpa rasa cemas sang Ibu memberikan jawaban yang meyakinkan sang anak, “Kamu kuliah tahun ini memang Ibu tidak punya uang. Kamu kuliah tahun depan, Ibu juga tidak punya uang. Mendingan... kamu kuliah secepatnya tahun ini!”.
Sang Ibu kemudian bercerita, “ Hmm...kemarin tetangga sebelah bikin telinga Ibu panas, Nang. Dia mengoceh, “memangnya kalau waktu orang asik tidur, kita sibuk-sibuk bekerja...bisa naik haji apa?!”. Itu maksudnya menyindir Ibu. Tapi biarkan saja. Tidak usah didengar. Investasi Ibu hanya pada kalian, pada anak-anak Ibu. Makanya, Ibu selalu berdoa..”cepatlah malam dan cepatlah siang”. Ibu pengin cepat melihat keluarga siapa di daerah ini yang paling berhasil nanti. Tidak terasa ‘kan... sudah 3 tahun kita berjualan sejak Bapak kamu bikin bangkrut perusahaan kita sehingga Ibu lepas perusahaan ke Oom kamu dan kamu sudah mau lulus SMA sekarang”.
Sang anak dengan perasaan bergejolak berujar, “ Jangan kuatir, Bu. Kita pasti “juara” dan akan kita “kuasai” daerah ini seperti dulu! Saya pasti bisa membiayai Ibu naik haji! ”
Hampir 12 tahun telah berlalu.....
ketiga anak Ibu tersebut telah menjadi sarjana dan si bungsu masih kuliah;
sang anak telah menjadi manager yang cukup disegani di suatu lembaga;
sang kakak bekerja sembari menjaga sang Ibu;
sang adik menjadi karyawan di instansi pemerintahan di ibukota, bahkan telah mendapatkan gelar double “Master” dari dalam dan luar negeri.
Ibu penjual kue itu sendiri telah menunaikan Ibadah Haji dengan sang kakak tahun lalu.
Diceritakan oleh: Mokhammad Khoiri
Arif Rohman
Staff of Directorate General for Rehabilitation and Social Services, the Ministry of Social Affairs RI.
Qualifications:
University of New England
MA Women's and Gender Studies
University of Indonesia
MA Urban Studies
Bandung School of Social Work
BSW Social Work
Email: arif_rohman@hotmail.com
Research Experiences:
Rumours and Realities of Marriage Practices in Contemporary Samin Society: A Study of The Samin People of Klopoduwur, Blora, Central Java (2009), Homelessness in Senen Jakarta (2004), The Influence Factors of Children Who Had Committed Murders in Bandung West Java (2000).
Subscribe to:
Posts (Atom)