Showing posts with label Cerpen Minggu. Show all posts
Showing posts with label Cerpen Minggu. Show all posts

Friday 25 February 2011

Kembar Buncing

Kembar Buncing



Tiga hari lalu, Luh Sarni melahirkan bayi kembar. Yang lebih mengejutkan, bayi tersebut bukan kembar biasa. Tapi kembar buncing, kembar laki-perempuan! Meski lahir di rumah sakit di kota kabupaten, berita telah menyebar dan menggegerkan warga desanya.

Tubuh Luh Sarni, yang masih lemas karena melahirkan, kini semakin lemas. Ia masih berbaring di ranjang rumah sakit. Tiga hari lagi dokter membolehkannya pulang. Dengan gundah, ia menatap kedua bayinya yang tidur lelap. Suaminya, Wayan Darsa, tercenung di tepi ranjang.

Ombak kebahagiaan di hati pasangan muda itu perlahan ditelan gelombang kecemasan. Darsa telah membayangkan bencana yang akan menimpa mereka jika pulang ke desa. Atas nama aturan adat, mereka tidak akan diperlakukan sebagaimana layaknya manusia.

“Apa yang harus kita lakukan, Bli?”

“Aku sendiri tidak tahu, Luh. Aku bingung, mesti harus berkata apa pada tetua adat dan warga desa? Kita tidak pernah meminta bayi ini lahir kembar buncing. Ini sudah kehendak Dewata!”

“Kenapa warga desa masih saja percaya dengan takhayul,” gumam Luh Sarni.

“Kau tahu sendiri, Luh, kita tinggal di sebuah desa di mana tidak satu pun warganya mengenyam pendidikan tinggi seperti kita. Mereka hanya akrab dengan sawah dan lumpur,” Darsa mencoba menghibur meski hatinya pedih.

“Beginilah akibatnya. Setahun lalu Bli sendiri yang memutuskan tinggal di desa? Saya sudah bilang, lebih nyaman di kota. Kita bisa bebas menentukan jalan hidup kita sendiri, jauh dari aturan adat dan berbagai beban upacara rumit.”

“Tapi, Luh, aku masih memiliki Ibu. Aku tidak tega meninggalkannya sendirian di desa. Aku anak lelaki satu-satunya. Kau tahu ’kan adik perempuanku sudah menikah. Aku tidak punya pilihan lain, selain bertahan di desa menemani Ibu. Selain itu, aku juga ditugasi mengelola tanah warisan Ayah.”

“Tanah warisan ’kan bisa dijual. Lalu, ajak saja Ibu tinggal di kota,” Luh Sarni mencoba menguasai emosinya. “Tapi sudahlah, percuma berdebat dengan Bli. Sekarang yang perlu dipikirkan, bagaimana menyelamatkan bayi ini agar tidak diasingkan di kuburan!”

“Begini saja, Luh tetap tinggal di sini. Bli akan pulang ke desa, mencoba berunding dengan tetua adat. Aku harap mereka mengerti bahwa zaman telah berubah.”

“Tidak ada gunanya berunding dengan orang-orang kolot itu. Bli akan sakit hati sendiri. Coba sesekali turuti kata-kata saya, kita tinggal di Denpasar. Sementara waktu bisa numpang di rumah bibiku.”

Darsa tidak menjawab. Ia hanya menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan berbagai perasaan campur aduk. Kemudian ia mengecup kening istrinya. Menatap lembut kedua bayinya. Lalu melangkah meninggalkan ruangan dengan keyakinan yang berusaha dibangunnya.

Senja hampir pudar ketika Darsa tiba di desanya yang terpencil di lereng bukit. Untuk mencapai desanya dari kota kabupaten, hanya menghabiskan waktu sekitar satu setengah jam. Sepanjang perjalanan pulang ia terus memikirkan nasib bayinya. Seingatnya, ia pernah membaca di koran bahwa sanksi adat bagi bayi kembar buncing dan keluarganya telah dihapuskan puluhan tahun lalu. Tapi, kenapa desanya masih menganggap bayi kembar buncing membawa aib? Kenapa aturan kuno itu belum dihapus dari awig-awig? Tidakkah mereka sadar hidup di abad dua puluh satu?

Darsa masih ingat, sekitar dua tahun lalu pernah terjadi peristiwa pengasingan bayi kembar buncing di desa tetangganya. Bayi dan orangtuanya diasingkan dekat kuburan. Seluruh isi rumah dianggap leteh dan harus disucikan dengan upacara khusus. Selama masa pengasingan, mereka juga tidak dibolehkan memasuki tempat-tempat suci atau bersembahyang di pura.

“Tidak manusiawi sekali!” gerutunya dalam hati.

Sampai di rumah Darsa disambut wajah cemas ibunya.

“Tadi pagi tetua adat datang menanyakan bayimu. Mereka ingin memastikan kebenaran kabar tentang bayi kembar buncing itu.”

“Lalu Meme ngomong apa?”

“Meme bilang berita itu tidak benar. Tapi, tetua adat tidak percaya. Mereka memaksa Meme berkata jujur. Kalau tidak, mereka akan melakukan tindakan yang lebih tegas.”

“Bayi itu tidak bersalah, Me. Kita tidak boleh membiarkan mereka membawa bayi itu ke kuburan untuk santapan leak.”

“Tapi kita bisa apa? Besok sore tetua adat bersama warga akan mengadakan paruman mendadak untuk memutuskan masalah ini.”

“Keluarga kita diundang?”

“Tidak.”

“Berarti mereka akan mengambil keputusan secara sepihak tanpa mau mendengar pembelaan dari kita.”

“Karena keluarga kita dianggap membawa aib. Kita hanya bisa pasrah dengan keputusan mereka.”

“Tidak bisa, Me! Saya harus bicara dalam paruman itu!”

“Kau tidak mengerti tabiat desa ini. Kau sama saja dengan ayahmu!”

Darsa menuju ke kamarnya. Pikirannya berputar-putar, seperti benang kusut. Ia merasa sanksi adat ini sangat tidak adil karena hanya berlaku bagi kalangan rakyat biasa. Hanya keluarga bangsawan yang boleh melahirkan bayi kembar buncing. Dan rakyat harus bergembira sebab kelahiran tersebut dianggap membawa berkah dan kemakmuran. Namun, kalau bayi tersebut lahir dari rakyat biasa dianggap aib karena menyamai raja.

“Sungguh tidak adil! Aturan ini harus dihapus dari awig-awig desa,” gumam Darsa kesal. Karena lelah jiwa dan raga, ia akhirnya tertidur pulas.

Balai dipenuhi warga. Paruman belum dimulai. Warga membentuk beberapa kerumunan kecil di pinggir jalan, di warung tuak, dan warung kopi. Mereka ngobrol sangat perlahan dan hati-hati, melihat kiri-kanan, seakan takut suara mereka akan membangunkan hantu-hantu kuburan.

“Mengerikan! Desa kita akan ditimpa kekeringan berkepanjangan.”

“Panen akan gagal lagi.”

“Sebulan lalu ada anak anjing lahir berkaki lima. Seminggu lalu bunga bangkai mekar di jaba pura. Sekarang bayi kembar buncing! Duh… Dewa Ratu, bencana apa yang akan menimpa desa ini?”

“Beberapa malam lalu saya melihat sinar biru melesat dari arah bukit.”

“Aku juga melihatnya.”

“Ya, aku juga lihat. Tapi, sinarnya biru bercampur merah.”

“Akhir-akhir ini memang sering terjadi siat peteng di pinggir desa.”

“Kemarin malam aku malah mendengar suara burung gagak di atap rumah Darsa.”

“Kau tahu, hujan sudah hampir tiga bulan tidak turun di desa kita?”

“Semoga desa kita diberi kekuatan mengatasi aib ini.”

Begitulah, wajah warga desa diliputi berbagai kecemasan dan kengerian. Mereka mengalungkan benang tridatu di pergelangan tangan masing-masing, sebagai penolak bala, pengusir roh jahat yang mengganggu.

Suasana desa benar-benar dicekam ketakutan. Warga sudah mengunci pintu rumah mereka sekitar pukul delapan malam. Mereka merasa lebih aman berkumpul di dalam rumah ketimbang berkeliaran di jalan yang sampai saat ini belum dipasangi penerangan jalan oleh pemerintah.

Tetua adat memasuki balaidesa. Warga menghentikan bisik-bisiknya. Paruman berjalan alot. Dari mulut klian adat meluncur berbagai petatah-petitih dan nasihat agar ketenangan desa dijaga, agar warga bersatu mengusir roh jahat yang mengganggu serta bersama-sama mengatasi aib yang menimpa desa.

Sampai pada pokok masalah, dengan wibawa yang dibuat-buat, klian angkat bicara. “Awig-awig harus ditegakkan. Keluarga Darsa harus diasingkan dekat kuburan selama 42 hari. Mereka harus menggelar upacara caru agung yang akan dipimpin oleh pemangku desa.” Warga desa mendengar dengan santun sambil manggut-manggut.

Untuk memancing reaksi warga, klian kembali angkat bicara, “Ada pertanyaan dari warga sekalian?” Para peserta paruman menundukkan kepala. Klian menatap mereka satu per satu. “Kalau tidak ada pertanyaan, paruman akan…!”

“Saya bertanya, Pak Klian!” Warga kaget seperti melihat leak. Tidak terkecuali para tetua adat. Mereka serentak mengalihkan pandangan ke arah Darsa yang dengan tenang menaiki tangga balaidesa dan mengambil posisi duduk di depan warga menghadap klian. Warga saling berbisik seperti dengung kerumunan lebah.

“Saudara sekalian harap tenang!” Pak Klian menatap Darsa lekat-lekat. “Kenapa kamu datang ke paruman ini?! Menurut awig-awig kamu…”

“Maafkan kelancangan saya, Pak Klian. Saya hanya mohon penjelasan kenapa sanksi adat mengenai bayi kembar buncing belum juga dihapuskan di desa ini, sementara pemerintah telah melarangnya puluhan tahun lalu?”

Warga desa tersentak mendengar kata-kata yang meluncur dari mulut Darsa. Sebagian geram dengan kelancangannya yang dianggap tidak menghormati paruman. Sebagian lagi diam-diam mendukung dan bangga dengan keberaniannya, meski hanya dalam hati. Mereka takut dengan tetua adat.

Beberapa warga sadar bahwa keluarga Darsa dan bayinya tidak bersalah. Bayi tersebut tentu tidak minta lahir dari rahim Luh Sarni, tapi semata-mata hanya karena kehendak Dewata. Sekarang Darsa yang mengalami nasib seperti ini, besok bisa saja menimpa warga lainnya. Namun, warga tidak mampu berbuat apa-apa di bawah aturan awig-awig yang walau kolot, tapi harus tetap dipatuhi agar terhindar dari sanksi adat yang lebih parah.

Dengan wajah disabar-sabarkan, klian menjawab pertanyaan Darsa yang dianggapnya terlalu lancang. “Kami tidak bisa berbuat apa-apa, Nak. Peraturan itu sudah tersurat dalam awig-awig desa jauh sebelum saya atau kamu lahir. Awig-awig ini sudah di-pasupati. Jadi, kita tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali mematuhinya. Dan, menurut awig-awig kamu semestinya tidak boleh menghadiri paruman ini karena masih leteh. Atas kelancanganmu, kau wajib membayar denda…,” klian menarik napas mencoba mengendalikan diri. “Nah, warga sekalian, paruman diakhiri sampai di sini. Sekarang silakan kembali ke rumah masing-masing!”

Klian mengemasi tumpukan lontar yang berisi awig-awig, alat tulis, dan buku catatan, kemudian meninggalkan balaidesa diiringi tetua adat yang lain. Satu per satu warga pun kembali ke rumah masing-masing. Sekejap balaidesa menjadi senyap. Hanya Darsa yang masih duduk tercenung di tangga balaidesa. Darah mudanya mendidih. Ia merasa menjadi pecundang di desa kelahirannya sendiri. Ia merasa tidak dipedulikan, pembelaannya tidak didengar oleh tetua adat.

Bulan hampir penuh menyembul dari rerimbun pepohonan. Kenangan demi kenangan masa kanak-kanak kembali berkelebat dalam benak Darsa. Bermain petak umpet di bawah purnama dengan kawan sebaya. Mandi di kali yang berair jernih hingga sampai lupa waktu. Bersama kakek mengembalakan sapi di sawah sambil mengerjakan PR yang diberikan guru. Darsa begitu mencintai desanya. Desa yang menyimpan manis kenangan masa kanak-kanak.

Masih membekas dalam kenangannya bagaimana ia menangis menatap hamparan desanya dari jalan yang melingkari punggung bukit. Saat itu ia baru lulus SMP dan akan berangkat ke kota untuk melanjutkan sekolah dan kuliah. Darsa beruntung mempunyai ayah seorang guru, meski hanya guru SD di desa. Ayahnya yang terus-menerus mendorong Darsa agar sekolah dan kuliah di kota.

Namun, sukses menyekolahkan anak di kota berbuntut pada tumbuh suburnya rasa iri hati sejumlah warga yang tidak senang pada keluarga Darsa. Apalagi ayahnya dikenal sebagai warga yang paling suka bertanya dalam setiap paruman dan paling kritis dengan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan tetua adat yang sering kali mengatasnamakan awig-awig yang tidak boleh dibantah.

Karena dianggap mengangkangi awig-awig dan wibawa tetua adat, ayahnya dikucilkan dari desa adat sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Bahkan, ketika ayahnya meninggal, mayatnya tidak boleh dikubur di pekuburan desa adat, kecuali pihak keluarga bersedia mengakui kesalahan almarhum dan membayar denda yang besarnya telah ditentukan oleh awig-awig.

Demi penguburan mayat ayahnya, Darsa bersedia mengakui kesalahan ayahnya di hadapan warga dan membayar denda sesuai ketentuan. Dalam hati, Darsa tidak mengerti apa kesalahan ayahnya? Apakah hanya karena bersikap kritis terhadap awig-awig dan suatu kebijakan adat dianggap kesalahan?

Dendam tetua adat rupanya belum juga surut. Kini keluarganya kembali dikenakan sanksi adat, hanya karena melahirkan bayi kembar buncing. Sebagai seorang sarjana, Darsa merasa malu karena tidak berdaya menghadapi awig-awig desa adatnya sendiri. Ia merasa tidak mampu berbuat apa-apa untuk membenahi atau meluruskan awig-awig yang kolot dan sering kali dibengkokkan oleh tetua adat untuk kepentingannya sendiri.

Hasil paruman telah diputuskan. Luh Sarni beserta bayinya akan diasingkan di pinggiran desa dekat kuburan. Selain itu, keluarga Darsa diwajibkan menggelar upacara bersih desa. Memikirkan hal itu ia ngeri sendiri, membayangkan kedua bayinya akan hidup di kuburan selama sebulan lebih.

Tiada cara lain kecuali harus menentukan pilihan, meski berat harus dijalankan. Pagi-pagi sekali Darsa menjelaskan rencananya pada ibunya. Perempuan paruh baya itu kaget dan sedih mendengar keputusan anaknya.

“Kau tidak mau menghadapi kenyataan. Kau tahu ayahmu masih di kubur di sini dan belum di-aben?”

“Me, ini pilihan terakhir. Tidak ada jalan lain lagi. Di kota tidak ada sanksi adat yang kolot seperti ini!”

“Kalau itu kehendakmu, silakan kau berangkat sendiri. Biarlah Meme tinggal di sini merawat kuburan ayahmu. Meme masih mencintai desa ini, kau mengerti? Meme yakin suatu saat desa ini akan berubah menjadi lebih baik.”

Darsa tidak mampu berkata apa lagi. Untuk kedua kalinya ia menangis meninggalkan desa kelahirannya. Kini batinnya luka parah karena harus berpisah dengan ibunya.

Kalau keputusan awig-awig itu masih disebut kebenaran, Darsa pun telah memilih kebenarannya sendiri: mengikuti saran istrinya, hidup di kota, bila perlu melepas agama yang diwarisinya sejak lahir. Ia tidak pernah tahu, entah kapan akan kembali ke desa yang sangat dicintainya itu. *

Denpasar, 29 Januari 2004

Keterangan:
Awig-awig: aturan-aturan adat yang diwarisi turun-temurun.
Aben/ngaben: upacara pembakaran mayat
Bli: abang, kangmas, kakak
Benang tridatu: benang tiga warna (hitam, merah, dan putih) sebagai penolak bala.
Caru agung: upacara besar/bersih desa untuk mengusir roh jahat, wabah, dan menetralkan desa dari pengaruh aib
Jaba: luar.
Kembar buncing: kembar laki dan perempuan. Konon, raja Bali kuno pernah memiliki anak kembar buncing, Sri Masula-Masuli. Karena diyakini telah melakukan hubungan intim selama dalam kandungan, mereka akhirnya dikawinkan dan menjadi raja-ratu yang membawa Bali ke arah kemakmuran. Sanksi adat bagi kelahiran bayi kembar buncing telah dihapus oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Bali dalam Paswara Nomor 10/DPRD tertanggal 12 Juli 1951, yang ditandatangani oleh Ketua Dewan, I Gusti Putu Merta. Namun, sampai kini beberapa desa di pedalaman Bali masih memberlakukan sanksi adat tersebut.
Klian: ketua
Leteh: cemar, aib
Leak: orang yang mempraktikkan ilmu hitam
Meme: mama, ibu
Paruman: rapat/sidang adat
Pasupati: pemberkatan atau pengesahan senjata pusaka, awig-awig, melalui ritual khusus
Pemangku: pemimpin upacara agama Hindu di Bali
Siat peteng: perang malam bagi yang suka menguji kesaktian, biasanya perang tanding antarleak berupa benturan-benturan bola api di langit malam.


Wayan Sunarta

Como Un Sueño

Como Un Sueño


Aku ingin pulang ke Portugis. Atau ke Manhattan dulu. Kamu di sana, ’kan? Aku ingin pulang ke Portugis. Menggendong Nicole di muka Mom dan Dad. Tetapi Nicole sudah terlalu besar. Badannya mungkin sudah lebih berat dariku. Dan dia di Manhattan dengan kewarganegaraan yang mengancamnya di sana.

Ayolah mengingat- ingat masa lalu sebelum membicarakan apa-apa di masa sekarang.

Kelas berapa dia sekarang? Waktu pertama kali meninggalkan Bandung, bukankah dia sudah kelas empat? Lalu kamu mau aku dan dia ikut ke New York. Aku tak menolak. Bahkan kalau kamu memintanya hari ini, aku tetap tak akan menolak: kita hidup bersama.

Kemudian aku harus selalu terganggu dengan ingatan akan sebuah kisah cinta lamamu di dalam kereta bawah tanah karena setiap hari Sabtu kami ikut denganmu ke restoran milik si tua Meksiko. Kami duduk di meja paling sudut. Kita sudah sepakat untuk pura-pura tak saling kenal sampai waktunya pulang.

Jam enam sore mulai ramai. Orang-orang memanggilmu dengan sebutan “the flea” karena gerakanmu yang begitu cepat seperti kutu loncat. Kamu sudah siap beraksi. Kami tak dapat lagi melihat rambutmu yang panjang di dalam slayer merah bercorak bintang-bintang kecil yang mengingatkan pada bendera Amerika. Seragam putihmu bertepi merah, seperti Indonesia? Ah, sentimentil imigran. Celemekmu tak membuat kesan feminin. Kamu tetap lelaki Portugis yang gagah.

Dulu kamu orang Indonesia juga, sebelum Timor dilepaskan, dan akhirnya kamu melupakannya sama sekali. Kamu orang Portugis sekarang. Tidak denganku dan Nicole. Ah, kamu mulai beraksi. Membuat segalanya berlompatan di atas meja ajaibmu. Orang-orang bertepuk tangan. Tepuk tangan yang dingin, suara-suara yang beku. Aku menggigil. Nicole tak bisa menahan diri untuk tidak kencing.

Keluar dari toilet, meja kami sudah ditempati orang lain. Kami mencari meja lain dan mendapat tempat yang lebih dekat dengan tempatmu. Kamu melirik sedikit sambil tersenyum seperti kepada semua orang. Ada yang pesan lobster rupanya, Chef?

Semuanya kembali beterbangan. Lobster-lobster, bumbu-bumbu, pisau-pisaumu. Tapi semuanya segera kembali ke tempatnya lagi. Lalu pesanan tampak siap, dua lobster di sebuah piring besar.

“Siapa yang tahu, mana lobster jantan dan mana lobster betina?”

Suaramu yang kasar itu menerobos ke tengah-tengah keriuhan para pengunjung yang mengelilingimu dengan meja-meja di hadapannya. Nicole sudah mau meneriakkan bahwa yang kanan yang betina sebelum seorang lelaki gemuk berkoar-koar bahwa pasti yang kanan yang jantan. Tapi, aku mencegahnya dan mengalihkan perhatiannya dengan menanyakan mengapa yang kanan betina? Karena lebih merah dan lebih bungkuk, katanya. Aku tersenyum. Dia tidak. Dad belum menceritakan yang ini di rumah tadi, katanya lagi. Kukatakan barangkali sudah lama tak ada yang memesan lobster dan Dad tak mengira akan ada yang pesan lobster.

Setelah semua orang menunjuk yang kiri dan yang kanan, sebagai yang betina dan yang jantan, secara bolak-balik berulang-ulang dan semuanya salah, ruangan makin ribut. Tiba-tiba kamu meletakkan lobster yang kiri ke atas yang kanan dan berkata sambil menunjuk yang atas: Ini lobster yang jantan. He’s always on the top.

Kembali ribut. Lagi-lagi tepuk tangan yang dingin. Suara-suara yang beku. Aku menggigil lagi. Nicole ingin kencing lagi.

Jam sepuluh adegan-adegan penuh aksi ditutup. Kamu mengenakan kembali kaus hitam tanpa lengan di balik mantel abu-abu yang tak pernah kamu kancingi. Rambut panjangmu kelihatan lagi. Seorang lelaki tegap menghampirimu dan berbicara denganmu dalam bahasa Spanyol. Aku tak mengerti seluruhnya. Aku hanya ingat “komo en suenyo” sampai sekarang, yang kalian ucapkan hampir bersamaan sambil memandang kepadaku dari jauh. Lalu kamu menghampiri kami. Nicole marah-marah atas adegan lobster. Kita berada dalam kereta bawah tanah lagi. Aku terganggu lagi dengan ingatan akan sebuah kisah cinta di dalam kereta bawah tanah. Aku terdesak bayangan tentang Maraini.

Apartemen ini tidak menyenangkan, Yoe.

Kapan-kapan kita pindah, katamu.

Mereka juga tidak senang pada kita.

Enam bulan lagi kontrakku dengan Carlo selesai. Kita bisa pindah ke Manhattan, katamu lagi.

Aku girang, tak mengira bahwa akhirnya aku tak pernah jadi pindah ke Manhattan.

Berita-berita buruk berdatangan dari Indonesia. Kasus-kasus internasional hingga kabar Lydia meninggal. Kita tak bisa pulang. Tepatnya, kamu tidak mau. Musim sedang tak baik. Pergi-pulang bikin capek saja.

Suatu hari Sabtu yang lain, sebuah koran dengan sebuah headline yang kacau-balau tentang Indonesia bergeletakan di meja-meja restoran. Aku duduk di sudut sendirian. Nicole sedang ikut perkemahan terakhir dalam musim panas. Orang-orang berkerumun mendekatimu dan berbicara dengan berapi-api sambil menunjuk-nunjuk halaman satu koran-koran itu. Aku penasaran dan dengan malas mengambil juga satu koran. Ada berita yang menjatuhkan negaraku habis-habisan. Di negeri orang, manusia sentimentil dan emosional sepertiku pun bisa menjadi begitu nasionalis dan terpukul.

Aku baru mau membaca ulang berita itu ketika kudengar kamu berkata dengan sangat defensif: Don’t ask me. I was in Malay. Dan tiba-tiba orang-orang itu menoleh ke mejaku.

Jam sepuluh lebih empat puluh Sabtu itu, kita pulang dan kamu tidak berkata apa-apa. Dan ingatan akan sebuah kisah cinta di dalam kereta bawah tanah jadi kelewat mengganggu malam itu.

Masuk bulan Desember, segalanya makin kacau. Salju-salju menyiksa. Kamu tak pernah mengajak kami ke restoran. Merepotkan. Nicole mulai sakit-sakitan. Dan aku selalu disalahkan. Kita bertengkar hampir setiap malam. Sampai pada puncak yang pada waktu itu tampak jelas, tapi begitu kabur di kemudian hari, kita memutuskan bercerai. Soalnya, aku menambah rumit seluruh situasi yang ada. Pada saat itu aku begitu menyesal mengapa kita harus menikah, dulu. Bukankah lebih menarik kita tinggal bersama saja sebagai sepasang anak nakal?

Tetapi mengurus perceraian di pengadilan luar negeri, terlebih untuk pasangan Katolik, sungguh menyiksa. Nicole semakin parah dan kita tak bisa egois untuk terus-terusan mengurus perceraian. Kuputuskan berpisah saja. Karena kutahu juga kewarganegaraanku menjadi beban tambahan buatmu. Aku tahu arti lirikan orang-orang di restoran setelah membaca koran suatu Sabtu itu. Aku tahu kenapa kau dan seorang lelaki tegap memperdengarkan “komo en suenyo” sambil memandang kepadaku. Aku tak ingin menyusahkanmu. Aku pulang ke Bandung. Kita tak usah bercerai. Pada saat itu aku tak tahu mengapa merasa begitu bersyukur bahwa kita adalah sepasang suami-istri.

Tak ada yang istimewa dari perjalanan pulang. Aku sendirian. Tak bisa mengauskan perasaan menyesal. Dari atas, salju tak kelihatan. Bumi tak jelas berwarna apa. Burung-burung tak kelihatan-justru tak kelihatan di saat-saat kita sama-sama bisa terbang.

Pesawat transit satu malam di Singapura. Aku menginap di Le Meridien, hotel yang ingin sekali kumasuki sejak kulihat foto seorang Maraini dengan sepatu bot duduk di tangga depannya. Aku pernah sesumbar akan berfoto di tempat yang sama dengan sepatu kaca. Ketika melangkah di atas tangga pertama muka hotel itu, aku ingin sekali berfoto. Tapi, aku tak mengenakan sepatu kaca dan jika tetap berfoto juga akan jadi sama saja. Tak beda dengan Maraini. Tak ada istimewanya. Kakiku dibungkus sepatu bot yang kasar.

Tak ada yang istimewa. Tapi aku lupa harus tinggal di mana di Indonesia. Rumah di Dago sudah kita jual. Tapi aku sudah sampai Jakarta. Tak mungkin pulang ke Ibu-Bapak dengan tato salib di telinga kiri.

Aku menginap di Hotel Indonesia satu minggu, kemudian mendapat kontrakan di Jalan Adam Jakarta Barat. Lingkungan yang berisik. Orang-orang Betawi yang kelewat riang.

Aku mulai menulis lagi: pekerjaan yang paling tak kausukai. Tulisanku makin banyak dan makin sering muncul di surat kabar. Buku pertamaku belum juga terbit, padahal umur tiga puluh lima harus sudah mendapat nobel. Sekarang sudah tiga puluh dan hanya berguna untuk diundang membaca cerita dan diskusi.

Di suatu kesempatan, dalam sebuah pesta pengarang, aku bertemu Dewi, kawan mainmu di Bandung dulu. Seperti yang sempat kita gosipkan malam-malam di tempat tidur, dia sudah jadi artis betulan. Tapi dia juga sastrawan sekarang, apa kamu tahu itu? Apa dia tahu siapa aku? Tidak. Dia tak tahu aku istrimu, bahkan dia tak akan pernah mengira aku pernah kenal denganmu. Kami berkenalan sebagai penulis. Malam itu aku tak pernah berada lebih jauh dari tiga meter darinya. Entah mengapa aku ingin terus-terusan berdekatan dengannya dalam pesta itu. Aku tak tahu dan tak peduli kalau dia akan jengah dengan tingkahku itu.

Baru kutahu hari ini bahwa itu tak ada gunanya. Perang sudah dimulai lagi. Bangsa kita sudah tak punya muka. Bangsa lain menghabisi pribumi seperti Nazi mengganyang Yahudi. Malah lebih buruk dari itu. Yahudi, bagaimanapun, dianugerahi kepintaran yang lebih dari bangsa-bangsa lain. Tapi bangsa ini benar-benar parah. Beruntung aku seorang aktivis kebudayaan, peran yang membuatku bisa mendapatkan fasilitas komputer, telepon dan Internet di bekas kantor dewan kesenian yang sekarang jadi salah satu markas penjajah. Mereka mengharap aku bisa mendapat nobel di bawah pimpinan mereka. Tapi, ruangan tetap dijaga ketat tentara Sekutu. Ada dua komputer lain yang dipakai Chairil dan Arthur, penyair dari bangsa penjajah. Chairil diawasi betul, Arthur dan aku tidak karena aku pandai bicara dalam bahasa mereka. Di luar berisik suara tembakan dan teriakan.

Yang berguna saat ini adalah mencari alamat Mom dan Dad, ketika kutahu kamu sudah kelewat sakit sebagai penderita pneumonia. Kamu belum sempat dan kini sudah tak mampu mencarikan kewarganegaraan yang aman buat Nicole. Mungkin, sama sepertiku, kamu tak pernah menyangka akan begini jadinya di sini, dan akan begitu buruk nasib orang-orang seperti aku dan anakmu di negeri mana pun hingga kamu lengah dan membiarkan ia berlama-lama menjadi pesakit seperti kami di sini. Siapalah yang mengira bangsa sudah mulai maju begini bisa dijajah lagi. Tapi, memang benar pepatah lama itu: masih ada langit di atas langit-apalagi di atas bumi yang jelek ini. Benar-benar tak menyangka. Kenapa tak kamu biarkan aku menjemputnya dan membawanya ke Mom dan Dad? Biar mereka bisa menganugerahkan kewarganegaraan lain buatnya. Beri aku alamatmu di Manhattan.

Kudengar Mom orang Flores dan Dad orang Portugis tulen. Tapi kamu pernah bilang mereka menyukai Australia. Tempat kamu tumbuh setelah Timor dilepas. Tempat kamu dan Maraini bertemu di sekolah tinggi memasak. Aku tak tahu di mana kedua mertuaku itu. Aku bahkan belum pernah bertemu mereka. Apakah mereka di kampung halaman Portugis? Ataukah mereka selalu menyukai Australia dan tinggal di sana? Atau mereka merindukan Timor? Aku tak tahu.

Tapi aku tahu, sekarang, mengapa aku begitu bersyukur bahwa kita adalah sepasang suami-istri. Kubaca di mana-mana buku-buku Maraini. Dia sudah jadi penulis terkemuka di Italia. Karya-karyanya sudah diterjemahkan ke dalam sebelas bahasa. Cerita sindirannya tentang seprai kesayangannya yang akhirnya tak sengaja kubolongi dengan rokok diterjemahkan dan dikumpulkan bersamaan dengan karya Hesse, Maupassant, bahkan Borges dalam satu buku. Aku memang tak sehebat dia, tapi aku istrimu juga, bukan Elena pacar gelap suaminya dalam ceritanya. Tokoh “aku” dalam cerita itu hanya untuk menguntungkan posisinya.

Aku ingin pulang ke rumah keluarga suamiku.

Entah itu Portugis, Australia, Timor, atau apalah.

Aku tak peduli siapa Marainimu dan darah daging siapa si Nicole itu. Aku tak peduli apakah perang yang kusebut-sebut itu benar-benar terjadi atau tidak. Kamu juga tak usah peduli, ya? Aku juga sebenarnya tidak yakin apakah sakitmu separah itu.

Ups! Pokoknya kamu jangan peduli dengan semua yang kukatakan tadi.

Jangan!

Aduh…!

Pokoknya di sini semuanya berantakan. Kalau kamu tak bisa menerimaku kembali, aku minta alamat Mom dan Dad, Yoe.

Aduh, maaf kalau cerita ini jadi kelihatan berantakan, ngawur, tidak waras dan mengada-ada, bahkan seperti sebuah mimpi saja. Ya, como un sueño. Habis, aku stres. Tapi aku serius butuh alamat itu. Juga Nicole, tentu. Aku hanya tak tahan sendirian dan tanpa pegangan.

Tapi…

Tapi kalau kamu memang tidak rela melepaskan Nicole, aku tetap bisa pulang kepada Mom dan Dad dengan copy surat nikah kita dari Vatikan, ’kan…?

Yogyakarta, Januari 2004

Dina Oktaviani

Belatung

Belatung



Belatung itu seperti ulat ya, Bu? Ya seperti ulat. Apakah ia juga bisa berubah jadi kupu-kupu? Tidak, belatung tak bisa berubah jadi kupu-kupu. Kenapa tidak bisa, Ibu? Entahlah, Ibu tak tahu. Kasihan ya, Bu? Aku ingin melihat ia jadi kupu-kupu. Tetapi kita tidak bisa. Tapi aku ingin.

Tidak bisa. Aku ingin.

“Tidak bisa…,” dan Warni melihat ratusan belatung, ribuan belatung, merayap melata ke arah mereka. Melata? Tidak, makhluk kecil basah menjijikkan itu lebih tampak seperti melayang (atau terbang?) dalam satu barisan teratur mirip selendang. Saat selendang itu bergerak sentak bagai dikibaskan, belatung-belatung itu berhamburan bersama percikan lendir. Dan Warni gelagapan. Tangannya sibuk: membersihkan lendir, mungkin juga belatung, yang menempel di wajah dan tubuhnya.

Aku ingin.

“Tidak!” dan Warni tersentak. Sadar. Dibukanya mata, nanar. Tak ada belatung. Tak ada percikan lendir. Ditolehkannya kepala ke samping dan menemukan tubuh kecil itu, Suci, anaknya, bergelung nyenyak dengan satu tangan menyelusup ke ketiak. Warni mengembuskan napas, lega. Tetapi, kalimat Suci itu, aku ingin, aku ingin, bagai masih menggema….

“Kupu-kupu itu indah ya, Bu?”

“Ya, indah.”

“Maukah Ibu menangkapkannya untukku?”

“Tidak. Tidak boleh.”

“Kenapa tidak boleh, Ibu?”

“Kau lihatlah tubuhnya, sayapnya. Tipis dan rapuh. Ia bisa mati di tangan kita.”

Suci terdiam. Sejenak. Mata bocah perempuan lima tahunan itu mengerjap- ngerjap bagai berusaha memahami kalimat Warni. “Kenapa di tempat kita sangat banyak, Bu?”

“Apa yang sangat banyak?”

“Kupu-kupu.”

Warni-lah yang kemudian balas terdiam. Memang mengherankan. Kenapa di tempat seperti ini, di tempat yang sama sekali tak indah, di perumahan kumuh yang bagai terperosok ke rawa-rawa, bisa dilalulalangi begitu banyak kupu-kupu? Ataukah justru karena adanya rawa-rawa itu? Entah, Warni tak pernah memikirkannya. Atau lebih tepat: Warni tak sempat memikirkannya. Hal itu terlalu sepele. Terlalu sepele bagi hidupnya yang….

“Padahal, ulat jelek ya Bu?”

“Apa?”

“Ulat. Jelek. Kenapa bisa berubah jadi kupu-kupu yang indah?”

“Eh,” Warni tertegun, “siapa yang memberitahumu?”

“Memberitahu apa, Bu?”

“Kupu-kupu, dari ulat.”

“Bukankah Ibu?”

“Oh…,” begitulah, Warni sering lupa. Ya, begitulah aku selalu lupa. Kenapa aku bisa melupakan banyak hal tentang dirimu, anakku? Sungguh tak ada niatku untuk begitu. Semua semata karena jejalan persoalan di kepalaku. O kalau saja kau mengerti. Kalau saja kau tahu. Apa yang terbayang olehmu, apa yang akan terjadi pada dirimu, kalau kau tahu beberapa waktu lagi kita mungkin bakal tak punya tempat tinggal?

Kau lihatlah truk-truk sampah itu. Truk-truk sampah yang telah beberapa minggu ini tak henti datang membuang sampah ke rawa-rawa. Tahukah kau sampah itu sampah seluruh pelosok kota? Beratus-ratus ton, beribu-ribu ton setiap hari. Lihatlah, sampah itu menggunung, dan gunungan itu akan menjalar sampai ke mari. Tetapi konon kita takkan sempat melihat gunungan sampah itu menimbun rumah kita. Karena kata orang, saat itu, rumah kita telah digusur.

Kau memang takkan mengerti. Dan memang tak perlu tahu. Bahkan, apa yang kau dapatkan dariku (malam-malam sunyimu, malam-malam saat kau kutinggalkan) adalah perlakuan tak pantas dari seorang ibu. Bermainlah, anakku. Bermainlah saja. Dan kupu-kupu… mungkin kupu-kupu itu memang diutus tangan-tangan suci menemanimu. Tetapi ah, truk-truk itu, sampah-sampah itu telah membawa air lindi, larva lalat hijau, dan belatung-belatung ke rumah kita. Dan semua makhluk menjijikkan itu telah mengusir makhluk indahmu: kupu-kupu.

Maafkan aku yang tak segera menyadari itu. Maafkan aku yang lebih peduli pada air lindi yang menggenangi dapur, pada belatung-belatung yang merayapi lantai dan dinding, dibanding wajah sedihmu kehilangan kupu-kupu. Dan betapa, betapa aku baru terkejut ketika suatu hari, kemudian, bibirmu yang mungil menanyakan itu: Belatung itu seperti ulat ya, Bu? Apakah ia juga bisa berubah jadi kupu-kupu? Betapa aku….

Kenapa ya? Kenapa belatung tak bisa berubah jadi kupu-kupu? Huh! Coba kalau bisa. Tentu kupu-kupu yang kata Ibu telah pindah ke tempat jauh itu kembali ada. Huh, inginnya aku. Bukankah belatung itu seperti ulat? Kalau betul kata Ibu kupu-kupu dari ulat, tentu belatung juga bisa berubah jadi kupu-kupu. Ataukah Ibu bohong? Ataukah Ibu tak tahu?

Mungkin sebenarnya Ibu tak tahu. Bukankah Ibu pernah berkata: banyak hal yang kita tak tahu. Ataukah mungkin Ibu lupa? Huh, Ibu memang pelupa. Bahkan, Ibu sering lupa pada apa yang dikatakan kepadaku. Kenapa ya? Apakah karena sudah tua? Ibu pernah berkata orang akan pelupa kalau tambah tua. Tapi Ibu belum tua. Tapi kadang Ibu memang tampak tua, kalau siang. Kalau senja, kalau Ibu sudah tukar pakaian, pakai lip dan bedak mau pergi kerja, Ibu tampak muda. Cantik. Bahkan, Oya pernah bilang padaku Ibu kupu-kupu. Bukankah itu karena Oya melihat Ibu indah? Tapi Oya memang baik, tidak seperti orang-orang tua dan ibu-ibu lain yang sering kasar kepadaku. Aku benci, aku tak suka pada mereka. Bagaimana kalau tak ada Oya ya?

“Oya di sebelah. Teriak kalau ada apa-apa,” begitu selalu kata Ibu sebelum berangkat kerja. “Kau takut?”

Aku menggeleng. “Tidak.” Aku tak takut, ada Oya. Ya, ada Oya, Warni menguatkan hati dan menutup pintu. Dipasangnya gembok, memastikan telah terkunci, lalu melangkah ke sebelah. Di rumah serupa-mirip gubuk juga-yang dibatasi hanya selapis tripleks, di situlah Oya: perempuan tua 70-an tahun, dengan kompor gorengan (kadang pisang, kadang ketela, ada saja) bagai terjulur dari jendela yang lebar dan rendah. “Titip ya Oya?” kata Warni menyerahkan anak kunci. Seperti biasa, titipan anak kunci itu juga berarti “menitipkan” Suci.

Tanpa menoleh, seperti biasa pula, Warni melangkah jinjit di gang yang kini (air lindi itu!) selalu becek. Di mulut gang ia masih harus jalan kaki kira-kira empat ratus meter ke simpang jalan aspal tempat ia biasa naik ojek. Ia menepi, dan lebih menepi ketika iring-iringan truk itu lewat, memenuhi nyaris seluruh badan jalan yang sempit. Ia berdesah, iring-iringan truk sampah ini muncul hampir tiap sepuluh menit….

Telah siang. Warni turun dari ojek bagai melompat, membayar cepat-cepat, lalu melangkah tergopoh-gopoh ke pintu rumah. Sial! Seharusnya kuturuti nasihat Asih, jangan sekali-kali melayani mahasiswa. Mereka suka aneh-aneh, tak ada uang, dan banyak maunya. Beginilah jadinya. Warni disekap semalaman dan baru dilepas ketika pagi. Padahal, biasanya, ia sudah pulang pukul tiga dini hari dan masih bisa tidur di sebelah Suci. Bagaimanakah reaksi Suci, ketika bangun, mendapatkanku tidak ada?

Tetapi semua tenang-tenang saja. Bagai tak ada apa-apa. Apakah Suci belum bangun? Berkali-kali kunci cadangan Warni gagal membuka gembok karena terburu-buru. Ketika gembok berhasil lepas dan daun pintu ia dorong, Warni terkejut, terlompat surut. Kupu-kupu? Ya, kupu-kupu! Putih, kecil-kecil, belasan (o, bukan, puluhan!), keluar bagai menghambur dari dalam rumah….

Ada beberapa detik Warni terpana. Ketika perlahan kakinya ia langkahkan masuk, Warni lebih terkejut lagi. Kupu-kupu itu bukan puluhan, tetapi ratusan (atau mungkin ribuan!), memenuhi ruangan! “Suci…?” Buru-buru Warni melangkah ke bilik. Tetapi, di pintu bilik, ia kembali tertegun.

Di situ, di lantai di pintu bilik itu, walau pandangannya terhalang oleh silang-selimpat kelebat kupu-kupu, Warni melihat ratusan (atau mungkin juga ribuan!) belatung bagai berbaris melata ke dalam bilik. Dan, di dalam bilik, barisan belatung itu… satu demi satu, langsung, tidak dari kepompong, berubah jadi kupu-kupu!

“Betul kan, Bu? Lihatlah belatung bisa berubah jadi kupu-kupu.”

Suara Suci itu…. Dengan kaki jinjit menguak belatung, dengan tangan menepis mengibas kupu-kupu, Warni melangkah mendekati tempat tidur. Dan, di situ, di atas tempat tidur, dalam keremangan bilik yang jendelanya masih tertutup, Warni melihat anaknya, Suci, tersenyum, menatapnya: dengan kedua bola mata merah, mencorong, menyala… bagai mata iblis dari neraka…. *

Payakumbuh, 2004


Gus tf Sakai

Lelaki yang Ditelan Gerimis

Lelaki yang Ditelan Gerimis



Kami bertemu di Rex, Peunayong, ketika gerimis baru saja reda mengguyur Kota Banda Aceh itu. Aku tidak tahu dia muncul dari mana, tiba-tiba dia sudah berada di depanku. Sejenak aku sempat terperangah dengan kehadirannya. Aku hampir tidak mengenalnya jika ia tidak menyebut namanya sendiri, sambil bertanya kepadaku dalam logat Aceh yang kental, “Kau masih ingat kan?”

Jelas saja aku masih ingat Suman, teman baikku ketika di pesantren dulu. Kami satu bilik ketika mondok di dayah -sebutan lain untuk pesantren. Kalau malam sehabis mengaji, kami suka mencuri-curi untuk menonton televisi di rumah Pak Samad, yang rumahnya tak jauh dari dayah. Beberapa kali Teungku Ubit, guru ngaji kami, memergoki kami keluar dan esoknya kami kena hukuman dipukul telapak tangan dengan sapu lidi.

Perihnya luar biasa. Bekas merahnya seminggu baru hilang. Tetapi hukuman itu tidak bisa dielakkan. Bukan hanya kami, sejumlah kawan lain yang kepergok menonton televisi sehabis mengaji juga dihukum. Di dayah kami memang ada aturan tidak boleh menonton televisi.

Alasannya, televisi banyak menyiarkan sesuatu yang tak bagus untuk dilihat mata. Misalnya, perempuan yang tidak menutup aurat, bahkan mengumbar aurat, tari-tarian atau lagu-lagu yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang ditanamkan di dayah. Siapa pun yang melanggar peraturan itu, tanggung sendiri akibatnya.

Banyak santri memang patuh. Tetapi ada sebagian yang bandel, mencuri-curi untuk bisa keluar dari kompleks dayah demi menonton televisi. Di antara sebagian itu, ya kami, aku dan Suman. Nyaris setiap malam kami keluar lewat jendela belakang bilik dan mengendap- endap keluar melalui pintu samping tempat wudu.

Kami sengaja memilih pintu samping tempat wudu, sebab kalau kepergok sama teungku, tidak sulit mencari alasan. Kami langsung bilang: mau shalat sunat, atau berwudu untuk mengaji, dan macam-macamlah. Yang sulit kalau kepergok ketika sudah berada di luar kompleks.

Itu cerita ketika kami di pesantren. Lulus SMP, aku tidak lagi mondok di situ dan melanjutkan sekolah ke Banda Aceh. Suman melanjutkan sekolah di kampung dan tetap mondok. Ia sekolah sambil tetap bisa mondok. Antara sekolah dan dayah pesantren memang lembaga terpisah.

Maklum, tampat kami nyantri adalah pesantren tradisional, tidak ada sekolahnya. Yang ada cuma mengaji, baik mengaji Al Quran, maupun kitab-kitab klasik. Ketika era aku mondok dulu, tahun 1980-an, memang dapat dihitung dengan jari ada pondok pesantren modern, yang menggabungkan pesantren dan sekolah.

Sejak sekolah di Banda Aceh, aku masih suka ketemu sesekali kalau pas liburan dan pulang ke kampung. Suman telah menjadi asisten teungku yang mengajar anak-anak di bawah usianya. Penampilannya pun jadi berbeda. Ia menjadi lebih alim. Kemana-mana pakai peci dan bersarung. Orang-orang pun menyebutnya teungku.

Ketika aku melanjutkan kuliah ke Yogyakarta, kami sama sekali tidak pernah bertemu lagi. Kudengar ia kuliah di sebuah perguruan tinggi di Banda Aceh. Sambil kuliah, ia tetap mondok di pesantren di pinggiran Kota Banda Aceh. Di sana, ia juga menjadi asisten teungku dayah, mengajar ngaji untuk santri di bawah usianya.

Selanjutnya, aku tidak tahu lagi tentang dia. Betul-betul putus kontak. Baru kali inilah kami bertemu kembali. Cukup lama sekali kami terpisah. Tak salah kalau aku sempat pangling ketika ia mendekatiku dan menyorong tangannya untuk berjabat tangan denganku.

Suman sudah sangat jauh berubah. Dulu badannya ceking, seperti tiang listrik kata teman-teman, sekarang padat berisi. Air mukanya serius, namun tetap memancarkan kesejukan. Beberapa helai jenggotnya dibiarkan memanjang. Kalau dulu ia suka memanjangkan rambut, sekarang tidak. Ia lebih rapi kini.

“Bagaimana bisa kau ada di sini,” tanyanya setelah ia menarik kursi dan duduk menghadap ke arahku. “Kudengar kau sudah jadi pengacara hebat di Jakarta,” ujarnya lagi.

“Enggak juga. Aku masih bekerja di kantor pengacara orang. Berarti itu belum hebat. Pengacara hebat tentulah sudah punya kantor firma hukum sendiri,” kataku. “Omongomong apa kegiatanmu sekarang?”

Pembicaraan kami terhenti ketika penjual makanan datang membawa secangkir kopi panas dan menaruh di depannya.

“Setelah lulus kuliah, di samping tetap di pesantren, aku juga menjadi aktivis LSM. Aku ingin berbuat sesuatu yang nyata pada rakyat dan memperjuangkan hak-hak mereka yang selama ini tertindas.”

“Oh ya? Tapi tidak pernah kudengar namamu ditulis koran- koran.”

“Aku bukan selebriti dan tidak hendak menjadi selebriti. Aku bekerja di bawah, menggali masalah-masalah yang dihadapi masyarakat dan mencoba mengatasinya. Misalnya kalau mereka mengungsi, kami mengupayakan anak-anak mereka tetap bisa sekolah dengan mendirikan tenda sekolah darurat. Atau kalau ada orang yang menjadi korban kekerasan, kami membantu mereka untuk memulihkan trauma atau membantu mereka melaporkan kepada Komnas HAM. Hanya pekerjaan-pekerjaan seperti itu yang bisa kami lakukan.”

“Tetapi itu sangat penting.”

“Memang penting. Aku sangat senang menjalaninya. Jadi aku tidak melakukan pekerjaan-pekerjaan besar seperti dilakukan teman-teman lain sehingga mereka bisa terkenal dan namanya kerap dikutip oleh koran atau teve. Kami melakukan pekerjaan-pekerjaan sederhana. Apalagi, dana dari founding kami pas-pasan. Aku tidak pandai bicara, jadi tidak bisa meyakinkan founding untuk mengucurkan dana besar.”

“Itu memang soal pilihan. Sebagai teman, aku sangat mendukung pilihanmu. Meski apa yang kalian lakukan kecil, cukup berarti dan dirasakan langsung manfaatnya oleh orang yang memerlukan. Tetapi, omong-omong bagaimana kabar teman-teman baik kita dulu?”

“Wah, mereka tersebar di mana-mana. Si Amat menjadi dosen dan hidupnya masih tetap sederhana. Maun kini menjadi anggota DPRD dan sudah kaya dia. Mobilnya aja dua, punya rumah yang cukup besar di pusat kota. Kalau Yahya kau pasti sudah tahu, setelah menjadi aktivis, dia menjadi tokoh dan selebriti. Bolak-balik ke Jakarta dan luar negeri. Hidupnya kini juga sangat makmur.”

“Luar biasa memang kawan-kawan kita. Aku senang mendengarnya. Mereka menjadi orang sukses.”

“Ya, mereka menjadi orang sukses. Tetapi rakyat di sekeliling mereka menderita.”

“Maksudmu?”

“Ah, kau kayak tak tahu saja.”

“Ali bagaimana kabarnya?” Ali yang kumaksud adalah teman sekelas kami dulu di SMP.

“Dia membantuku mengabdi pada masyarakat. Dia kerap tinggal bersama pengungsi untuk mengurus keperluan mereka di pengungsian.”

“Sekarang dia di kampung?”

Suman tidak menjawab. Ia diam dan menerawang. Lalu matanya berkedap-kedip dan ia menggigit bibir.

“Ada apa?” tanyaku.

“Ali.”

“Kenapa Ali?”

“Dia mati tertembak sebulan lalu.”

“Tertembak?”

Aku terdiam mendengarnya. Tak bertanya lagi mengapa Ali tertembak. Tidak ada yang perlu dipertanyakan. Aku tahu benar Ali. Dia orangnya alim dan pendiam, juga tidak banyak ini-itu. Dia lurus-lurus saja. Ali orang baik. Mengapa ia harus mati di ujung senjata?

“Hidup memang begitu rahasia. Hanya Tuhan yang tahu hidup dan kematian seseorang,” kataku.

“Tetapi di Aceh berbeda. Hidup dan kematian juga ditentukan oleh orang-orang yang punya kuasa dan senjata.”

Aku tidak menanggapi. Diam. Lama kami terdiam. Sunyi.

“Apa kabar kampung kita?” tanyaku kemudian.

“Aku sudah dua bulan tidak pulang kampung.”

“Mengapa?”

“Tidak bisa pulang. Kau sendiri belum sampai ke kampung?”

“Belum. Aku baru tiba tadi siang dari Jakarta. Malam ini aku ingin menikmati Kota Banda Aceh dulu. Ingin nostalgia. Besok aku baru pulang?”

“Kalau begitu, aku titip surat untuk ayahku ya?”

“Boleh. Boleh.”

“Tunggu sebentar,” katanya sambil bangkit dan berjalan meninggalkanku.

Udara malam makin menyengat mengirim gigil sampai sumsum. Meski telah mengenakan jaket yang agak tebal, hawa dingin tetap menusuk. Hujanlah yang membuat Kota Banda Aceh diselimuti dingin yang tak biasa ini. Aku baru merasakan dingin sedingin ini ya kali ini. Saat pulang dua tahun lalu, suasananya biasa-biasa saja.

“Ini suratnya,” kata Suman sambil menyerahkan kepadaku sebuah amplop putih polos yang telah direkatkan. Aku sempat kaget juga, tiba-tiba saja ia sudah berada kembali di depanku, entah dari mana ia muncul.

Aku mengambil surat itu, melipatnya dan memasukkan ke kantong baju.

“Omong-omong bagaimana keadaan pesantren kita sekarang?”

“Sudah tidak seramai dulu. Santrinya tinggal sedikit. Hanya orang-orang di sekitar itu yang menjadi santri. Santri dari luar daerah tidak ada sama sekali. Sejak gonjang-ganjing ini, mereka tidak berani keluar dari kampung. Kalau keluar kampung ya ke kota sekalian, misalnya ke Banda Aceh, Medan, atau bahkah ke Jakarta.”

“Teungku Ubit bagaimana kabarnya?”

Kembali ia terdiam. Matanya kembali menerawang. Ia menarik napas pelan-pelan dan mengembuskannya perlahan. “Nasib Teungku Ubit juga menyedihkan. Ia mati di ujung senjata beberapa bulan lalu,” katanya pelan.

Kembali aku tersentak. “Mengapa?”

“Entahlah,” Suman menggeleng.

Aku terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Suasana memang begitu menyakitkan, begitu menyedihkan.

“Omong-omong ada acara apa kau pulang?” Suman lalu bersuara.

“Aku mau menjemput orangtuaku dan membawanya ke Jakarta. Kasihan kalau mereka terus tinggal di kampung. Banyak suara dar-der-dor. Mengerikan. Aku tidak tenang kalau mereka tetap berada di kampung. Kepikiran terus.”

“Iya, memang pilihan tepat. Banyak orang yang punya anak atau familinya di Medan, Jakarta, atau di mana, meninggalkan kampung. Mereka tak kuat hidup di kampung. Tetapi yang paling kasihan orang- orang yang tidak punya siapa-siapa di luar Aceh, mereka tidak tahu harus ke mana.”

“Kau sendiri kenapa tidak mengajak orangtuamu tinggal di Banda Aceh? Kan di sini relatif lebih tenang.”

“Orangtuaku mana mau diajak meninggalkan kampung. Meski tak nyaman dan selalu dicekam ketakutan, mereka lebih senang berada di sana.”

“Ya, memang soal pilihan. Tetapi mudah-mudahan orangtuaku tidak menolak.”

“Mudah-mudahan.”

“Kalau begitu, aku balik dulu ya,” katanya sambil menyodorkan tangan kepadaku untuk berjabat tangan sebagai tanda perpisahan. Kami berjabat tangan, setelah itu dia melangkah meninggalkan taman Rex. Tetapi, baru saja ia keluar dari komplek taman Rex, gerimis tiba-tiba mengepung. Kulihat dia tidak berhenti dan berbalik untuk berteduh, tetapi terus berjalan sampai hilang di belokan jalan. Gerimis seperti menelannya.

Tak lama, gerimis pun berubah menjadi hujan besar. Lebih dari setengah jam baru hujan itu reda. Setelah reda benar, aku meninggalkan Rex dan berjalan kaki ke hotel yang tidak jauh dari situ. Sebenarnya, kalau tidak hujan, aku pingin berlama-lama di Rex. Aku yakin bakal bertemu sejumlah kawan di sana. Maklum, Rex tempat favorit bagi warga kota untuk bersantai atau nongkrong sampai dini hari.

Masuk kamar, aku langsung ganti pakaian dengan baju tidur. Untuk mempercepat tidur, aku menyambar koran pagi yang tergeletak di tas meja. Aku hanya membuka-buka saja, halaman demi halaman, sambil membaca judul-judulnya saja. Menjelang halaman terakhir, mataku tertumbuk pada sebuah berita kecil di sudut paling bawah.

Judulnya membikin jantungku berdebar kencang. “Mayat Suman Ditemukan Membusuk di Tengah Sawah”. Aku meneliti baris demi baris berita itu dan berharap bahwa Suman dimaksud bukanlah kawan baikku, yang baru saja bertemu denganku. Tetapi harapanku sia-sia. Dari semua ciri yang disebutkan, mayat itu adalah Suman.

Ia mati dengan tiga lubang peluru tubuhnya. (*)


Mustafa Ismail

Kekasih Bulan Sepenggal

Kekasih Bulan Sepenggal



Sejenak lalu, perempuan manis berlesung pipit menggigil sempurna dirontokkan malam. Kini ia menyungging senyum, lesung pipit itu bertambah-tambah dalam jadinya, sembari membuntal pakaian. Sejenak lalu ia pengantin baru, gemeletuk, pasi, dan sekarat. Kini ia janda muda yang bahagia.

Ada di dengarnya suara langkah lelaki itu di balik pintu, keplak-keplak, tak sabar. Ada dikenangnya lelaki itu menelanjanginya sebelum menelanjangi diri sendiri, sejenak lalu. Si lesung pipit beku sementara lelaki itu terbakar. Ganas si lesung pipit ditikam, sebelum si lelaki mengisut sebentar. Tak lama, tetapi cukup bagi si lesung pipit bertanya tanpa suara, Mengapa? Terlampau mudah, Tuan? Jawaban si lelaki adalah percintaan yang bergegas, membikin ranjang berderak serupa pelepah kelapa dihantam badai. Lalu adalah waktu bagi keduanya tergolek, banjir keringat dan napas satu-satu.

Si lelaki masih terbakar, bukan sebab berahi, tetapi amarah. Ia lemparkan selimut ke atas tubuh si lesung pipit, turun dari tempat tidur dan mengenakan kolornya. Tanpa sudi memberi pandang ia mengumpat sebelum mengakhiri segala ikatan di antara mereka dan keluar kamar pengantin membanting pintu, “Sundal!”

PEREMPUAN itu dan kedua bocah penuh ingusnya menatap mereka dengan pandangan bengis, saat penghulu menjeratkan nasib si lesung pipit pada lelaki itu. Si lesung pipit tak kuasa menentang tatap kedengkian tersebut, tercebur dalam riuh pesta perkawinan, serasa hilang nyawa berkali-kali.

Ia hampir limbung waktu orang-orang berleret menyalami mereka, menjebloskan amplop putih bergaris tepi warna merah-biru ke dalam kotak. Setiap persentuhan telapak tangan memberinya hawa dingin yang mengapungkan, sekali-kali membuatnya hilang ingatan, dan setiap cium pipi dari para perempuan memberinya gejolak liar yang mengempas-empas tatapannya.

Terutama ketika perempuan dengan dua bocah penuh ingus itu menghampirinya. Menyalami, mencium, dan memeluknya. Si lesung pipit dibuat takjub betapa mereka sanggup tak berair mata, sementara matanya sendiri mulai bocor tak karuan. Perempuan itu menghapus sungai-sungai kecil di pipinya, yang memorak-porandakan seluruh rias mukanya, dengan selendangnya sendiri. Itu malahan bikin si lesung pipit tambah cengeng. Ia mulai beringus dan mengusap wajahnya dengan ujung lengan kebaya.

Tukang foto datang menenteng kamera. Mereka berdiri berderet. Lelaki itu menggenggam tangannya, si lesung pipit ingin ngompol. Perempuan itu tersenyum sementara si tukang foto kasih aba-aba, satu-dua-tiga, demikian pula kedua bocah. Bam! Senyum itu bakalan abadi, tetapi si lesung pipit tahu senyum itu dusta. Sedusta tatapan akrab mereka yang sesungguhnya menyimpan bengis.

Ia masih melihat pandangan mereka, berhias kobaran api tak tertanggungkan, saat si lelaki menggiringnya ke kamar pengantin. Walau ia berpaling, panasnya masih membakar rongga dadanya. Maka sebelum lenyap ditelan pintu, ia berjanji pada perempuan dan dua anak penuh ingus itu, “Segera akan kukembalikan.” Walau tanpa suara.

DI suatu malam keparat, ayahnya pergi ke mata air menjelang subuh. Mata air itu beriak di kaki bukit, dibentengi belukar dan kabut maharaja. Arusnya mengalir sepanjang parit kecil yang mengepung permukiman, di sana-sini membelah bercecabang, memberi petak-petak sawah sumber kehidupan. Airnya deras, mengayun hijau lumut, mengikis batu warna-warni, mengantar irama, dan bertamasya bersama ikan kecil, belut, dan kecubung. Bergantian para kepala keluarga menengoknya setiap menjelang fajar, atau lumpur bakal menyumbat, dan jika itu terjadi bersiaplah padi tak kuning di tempo yang diharapkan. Tetapi malam itu keparat, sebab seekor ular jahanam menggigit jempol kakinya.

Lelaki itu belum juga tiba di mata air. Ia kelojotan di setapak dengan sepotong kaki panas menyengat. Jempolnya merah diterpa bulan, ditentang cahaya obor yang empas ke rerumputan. Panas itu menjalar perlahan, serasa memenggal kakinya sejengkal demi sejengkal. Ia tahu tak berapa lama akan kehilangan jempolnya, tersisa biru yang busuk. Kemudian sepotong kakinya bakal lenyap, menyusul pula tubuhnya, dan lalu jiwanya.

Ia teringat pada bininya, terkenang pada anak gadis satu-satunya. Ia belum hendak mati. Dibakarnya jempol itu, lalu dibebat betisnya dengan lengan kemeja yang disobek. Panasnya yang menyiksa itu tak juga lenyap, meski tertahan sejenak. Ia mengadu untung dengan pencabut nyawa. Digenggamnya obor, berdiri goyah. Tubuhnya kuyup. Pikirnya ia bakal mati berdiri.

Sambil menangis menahan siksa lelaki itu menempuh tegalan, menuju rumah dukun. Obor di depan rumahnya serasa ujung dunia, apinya meliuk meledek. Hanya si dukun yang memiliki batu penangkal bisa ular, dan hanya si dukun bisa mengusir maut dari jempolnya. Tak peduli ia muak dengan bau mulut dan mata binalnya.

Ketika tiba di teras rumah si dukun, ia hampir sekarat. Tubuhnya ambruk di undakan, meraung-raung menggedor pintu. Gedorannya melemah dan tangannya terkulai ketika si dukun membuka pintu, berdiri menahan kabut tidur. Kemudian perempuan itu berdiri di belakang si dukun. Kedua bocah penuh ingus juga terbangun dan berdiri di samping mereka.

“Bisa ular melumat tubuhku,” kata si orang sekarat sambil acungkan jempol kaki.

“Tampaknya begitu,” kata si dukun. Perempuan dan kedua anak itu lenyap ke dalam rumah sementara si dukun mengambil obor memeriksa jempol lelaki itu. Biru dan koyak. Si perempuan muncul dengan buntalan kecil kain mori sebelum ditelan gelap di belakang si dukun yang mengeluarkan batu menangkal ularnya. Si orang sekarat menunggu dengan cemas dukun itu mencabut maut dari jempolnya, tetapi malahan si dukun bertanya, “Dengan apa kau hendak bayar?”

Mendengus, si orang sekarat menjawab, “Ambil kambing buntingku.”

Si dukun menggeleng, “Aku ingin bikin bunting lesung pipit anak gadismu.”

SI lesung pipit umur empat belas, molek tak ada ampun. Si dukun telah lama berkehendak kepadanya, tak peduli ia telah ada bini di delapan arah angin. Si ayah tak berdaya, tahu betul segala kehendak si dukun tak terbantah sebab ia kebal senjata dan penuh muslihat pelet dan santet. Ia hanya bisa mengulur waktu, berharap tiba kala si dukun mati atau lupa pada si lesung pipit, dengan terus mengelak, “Ia masih bocah bau kencur.”

Tetapi kini si bocah yang menenteng lesung pipit di sepasang pipi ranumnya mesti ia serahkan pada si dukun, atau bisa jahanam akan merenggut jiwa dari tubuhnya, menggelosor seperti sarung yang tanggal. Lelaki itu menangis, antara siksa sekarat dan ratap nasib anak gadisnya.

“Ambillah gadis itu,” katanya, berserah.

Si dukun tersenyum melontarkan bau busuk. Tetapi bukannya mengobati lelaki itu, ia malahan berdiri berbalik dan pergi masuk ke dalam rumah. Si orang sekarat meraung-raung tercekik, melafal nama si dukun bergantian tobat berulang-ulang. Tak berapa lama si dukun muncul lagi menenteng sesuatu.

“Ulangi di hadapannya,” kata si dukun mengacungkan kitab suci.

Lelaki itu tahu si dukun tak pernah membacanya, bahkan menyentuhnya pun hanya sedikit kali. Tetapi si sekarat menghormatinya, tak pernah menentengnya dengan cara sembrono, malahan meletakkannya di atas kepala, mencium sampulnya, membuka halamannya perlahan, dan membacanya dalam keadaan tubuh tanpa noda. Ia memandang si dukun dengan napas tersengal.

“Demi kitab suci,” katanya parau, “kuberikan si lesung pipit anak gadisku jadi istrimu.”

Bau busuk kembali terlontar. Si dukun mengangkat separuh kaki lebam itu, pemiliknya meraung lebih kencang. Ikatan gombal dibukanya, meninggalkan jejak pasi hampir mati, mengikatnya lagi di tempat lebih tinggi. Batu penangkal bisa digosokkan ke bekas luka gigitan, si orang sekarat melolong dibalas anjing-anjing di ujung kampung. Batu kembali digosok, disertai jampi-jampi mantra. Orang sekarat menggelinjang, memekik di fajar yang pekat, hingga suaranya lenyap ditelan ketidaksadaran.

Waktu ia siuman, lelaki itu menemukan dirinya di bilik rumah sendiri. Penuh rasa dosa ia memanggil si lesung pipit dan berkata padanya, “Nak, kau bakal kawin dengan dukun bau busuk itu.”

Masih dikenangnya kala lelaki itu membawanya ke rumah tersebut, memperkenalkannya pada perempuan dan dua anak penuh ingus itu. Ia enggan, tetapi lelaki itu menyeretnya sepanjang jalan kampung, di sore yang ajaib, di muka tatap anak-anak gembala dan para pembajak sawah. Ia belum pernah datang ke rumah itu, meski sejak lelaki itu memeluknya secara tiba-tiba selepas mandi di pancuran beberapa waktu sebelumnya, si lesung pipit tahu hidupnya akan berakhir di sarang guna-guna tersebut.

Ia bahkan merasa yakin semua tragedi ular berbisa itu tak lebih dari muslihat si lelaki. Barangkali itu ular siluman yang bersekutu dengannya untuk menaklukkan si penengok mata air, dan segala batu penangkal bisa tersebut tak lain tipu daya sihir hitam. Tapi sebagaimana ayahnya ia menghormati segala sumpah di bawah kitab suci, dan membiarkan tubuh belianya digiring menengok rumah masa depannya.

Perempuan dan dua bocah penuh ingus menanti mereka di beranda rumah, tegak bagai patok. Ia merasa jengah, memandang mata yang penuh tuduhan. Dikendalikan sikap kikuk yang menggenang, si lesung pipit tawarkan senyum manis miliknya, menggelembungkan rona merah di pipinya, dan lembah kembar berayun mencekam. Mereka tahu senyum itu palsu, pikirnya.

Si lelaki menyebut namanya, satu perkenalan singkat omong kosong sebab semua orang di permukiman mengenal namanya. Bahkan, seandainya perempuan dan dua bocah penuh ingus itu tak mengenalnya, ia tak yakin mereka mau mendengarnya, apalagi mengingat-ingat.

Ia bersimpuh di depan si perempuan, meraih tangannya dan menciumnya dalam, terbenam di bibirnya. Tangan itu sedingin kematian. Ia menghampiri si sulung, membelai rambutnya dan mencium kedua pipinya. Si sulung diam tak bergeming. Si kecil bahkan berusaha mengelak ketika ia menyentuhnya, menahannya, dan sedikit memaksanya kasih cium di kedua pipi. Semua itu serasa sandiwara murahan. Rasa takutnya berubah jadi kesedihan melata. Ia tak sanggup menatap wajah-wajah yang menuduh tersebut.

Wajah mereka menghantuinya di malam-malam penuh kepanikan. Malam-malam insomnia di tepi jendela ketika ia berharap bisa mencuri sayap burung hantu dan terbang ke bulan. Malam-malam ketika ayahnya tak mengizinkan si lesung pipit keluar rumah sebab ia bakal jadi pengantin.

Suatu malam dari balik jendela ia melihat empat orang pemuda di pos jaga ujung jalan. Di bawah lentera kecil mereka duduk berkeliling, memainkan kartu domino. Uap arak putih mengapung kepala mereka, diembuskan malam yang membawanya ke wajah si lesung pipit. Satu pikiran melintas di kepalanya. Kini ia tahu bagaimana membebaskan diri dari lelaki bau busuk penuh jampi-jampi itu.

SI lesung pipit menyelinap dan berdiri di samping pos jaga. Keempat pemuda berhenti melempar kartu dan minum arak, memandang si gadis dalam tatapan tanya. Itu dini hari yang menusuk, semua orang tenggelam dalam selimut, kecuali mereka.

“Kemarilah,” kata si lesung pipit sambil berlalu ke balik pos jaga.

Keempat pemuda saling menoleh, bergumam tak mesti, sebelum seseorang turun dan menyelinap ke arah si gadis lenyap, diikuti ketiga kawanan. Di sana mereka melihatnya telah telanjang, disorot bias cahaya lentera.

“Untuk kalian,” katanya canggung, “mari bercinta.”

Undangan itu seperti kata-kata sihir tak terpahami. Mereka masih menanggul menggigil. Pemuda penuh inisiatiflah yang pertama tersadar, tubuhnya mulai hangat, tangannya terulur pada tubuh si gadis, meraba dadanya yang buncah, sebelum secara sembrono melucuti pakaian sendiri. Sama-sama polos ia menggiringnya ke semak pandan, merebahkannya di sana, dan merobeknya. Tiga yang lain memperoleh giliran tak lama selepas itu, bikin si lesung pipit pulang mengangkang.

“Lebih bagus aku sundal,” katanya selang dua malam, tak lama setelah si lelaki jatuhkan tiga talak berturut- turut. Ia keluar kamar menenteng buntalan pakaian, tak pamit pada si lelaki yang mondar-mandir menahan geram. Pun tidak pada perempuan dan dua bocah penuh ingus yang penuh kemenangan. Ia berjalan terseok membelah kampung, dengan sakit di pangkal pahanya. Tak ada tempat pulang sebab semua pintu tak bakal menerimanya kembali. Tidak pula ayahnya.

Ia pergi ke suatu tempat entah. Tak apalah daripada merampok lelaki bau busuk dari siapa pun, meski tak bakal membatalkan kesedihan yang terlanjur jatuh. Jika tampak suatu bebayang hitam menari di puncak bukit pada malam-malam tertentu, itulah si lesung pipit. Sebab kemudian ia kawin dengan bulan sepenggal di suatu malam. * (2004)


Eka Kurniawan

Kupu-kupu Seribu Peluru

Kupu-kupu Seribu Peluru



Bagaimanakah kami mesti mengenang perempuan buta itu-yang liang selangkangnya bengkak karena dosa dan sekujur tubuhnya bergetah nanah kena kusta! Adakah ia sundal ataukah santa?

Rasanya belum lama lewat. Selepas hujan tengah malam, sebelum sulur cahaya fajar mekar, seorang peronda terkesiap gemetar: di dekat kandang kuda samping gereja, ia melihat gadis kecil menggigil, bugil, seperti peri mungil yang usil hendak menakut-nakutinya. Segera ia tabuh kentongan yang dibawanya. Dan puluhan warga seketika terjaga, juga bapak pendeta. Setelah kepanikan mendengung bersahut-sahutan, perlahan-lahan suasana jadi tenang, dan mereka pun segera mendekati gadis kecil yang ketakutan serta kedinginan itu. Dengan lembut bapak pendeta menyelimutkan jubahnya ke tubuh gadis itu sembari berbisik perlahan, “Domba kecilku…” Ia terpesona oleh mata bening gadis kecil itu.

Ketika pagi yang lembut terasa seperti hosti, warga kota pun mulai mengerti: betapa kota mereka yang tenang seakan-akan telah terbekati. Gadis kecil itu telah dikirim dari langit untuk membuat hidup mereka menjadi lebih riang. Kemudian, ketika duduk-duduk di kedai kopi, beberapa orang mulai bercerita tentang mimpi mereka malam sebelumnya. Seseorang mengatakan, ia bermimpi melihat gugusan bintang cemerlang menaungi kota. Seorang lagi berkata bahwa ia bermimpi melihat kawanan bangau bersayap cahaya terbang melintasi kota mereka. Seseorang yang lain menceritakan pijar api biru yang dilihatnya meluncur dari langit menuju atap gereja.

Yang lain menambahi bahwa ia sesungguhnya sudah merasa sebelumnya ketika ia melihat bunga-bunga di halaman rumahnya bermekaran begitu indah melebihi biasanya. “Dan kau tahu…,” seseorang berkata penuh senyuman. “Aku sudah merasakan kehadirannya ketika seluruh kudis di tubuhku tiba-tiba mengering dan mengelupas. Saat itu aku merasakan ada embus lembut yang berkali-kali meniup-niup kulitku. Aku yakin, itulah napas lembut bidadari kecil itu…” Wajahnya begitu cerah, seperti seseorang yang begitu percaya betapa Tuhan barusan mengampuni seluruh dosa-dosanya.

Kemudian seseorang yang bermulut murung langsung menimbrung, “Ya, saya juga merasa, ketika saya tahu anak babi saya yang baru lahir berkaki lima!”

Kisah-kisah ajaib bermekaran, membuat percakapan di kedai kopi yang biasanya berlangsung datar membosankan menjadi lebih bergairah. Para pembual dan tukang cerita seperti menemukan kesempatan untuk mengembangkan imajinasinya.

Namun, bagaimanapun, gadis kecil itu memang membuat kota kecil ini jadi lebih menggeliat. Sudah begitu lama segalanya terasa lamban dan membosankan karena semua hal nyaris sudah mereka percakapkan dan rasakan. Pantai yang putih, teluk yang jernih. Juga lorong-lorong kota yang begitu bersih. Sudah lama semua itu enggan mereka percakapkan karena terkesan jadi seperti menyombongkan. Karena tanpa mereka percakapkan pun semua orang sudah tahu tentang kota mereka yang kecil dan indah, hingga banyak pelancong begitu terkesan dan kerasan. Bangunan-bangunan tua yang terawat, di mana setiap riwayat tergurat, seperti selalu mengisahkan kembali sejarah kota yang penuh kedamaian. Jembatan dan kanal, gereja dan dermaga, kedai-kedai kopi sepanjang jalan utama, apalagi yang masih perlu dipercakapkan?

Dan gadis kecil itu membuat warga kota menggeliat, seakan disadarkan dari ketenangan dan kelambanan yang justru membuat mereka mulai merasa penat. Ketika gadis kecil itu meloncat-loncat riang mengikuti bapak pendeta yang berjalan keliling kota menenteng piskis, mereka jadi lebih antusias memperhatikan, dan terpesona pada keredap cahaya Matahari yang memantul dari tepi nampan perak itu.

Ketika gadis kecil itu bermain-main di alun-alun kota bersama kawanan merpati, orang-orang tak hanya melihat burung-burung yang berhamburan berebut remah roti, tetapi juga bisa melihat garis-garis lembut bulu merpati itu, bercak kecoklatan di kaki burung-burung merpati itu, juga pada jejak-jejak halus yang nyaris merata menutupi permukaan tanah yang tak terlalu basah. Mereka jadi bisa merasakan bau lembab rerumputan.

Mereka seperti kembali menemukan kegembiraan ketika memandangi patung perempuan dari batu pualam yang mendekap jambangan. Dapat mereka lihat serat-serat coklat di bagian leher patung itu, seperti urat di selembar daun yang menua. Mereka juga memperhatikan air yang keluar dari jambangan itu, mengucur menyentuh permukaan kolam dan berpercikan. Percik-percik air itu berloncatan seperti anak belalang bertubuh terang. Ketika mereka selesai menikmati segelas kopi, mereka pun tak hanya melihat sisa ampas, tetapi juga liuk lekuk bekas bibir mereka di gigir gelas. Mereka bisa melihat dengan jelas aroma kelabu yang keluar dari mulut seseorang yang baru saja menikmati anggur. Segalanya seakan-akan menampakkan diri lebih jelas, dengan seluruh kelembutan dan pesona detail-detailnya. Hingga keheningan tak hanya terasa begitu dekat, namun juga pekat.

Semuanya tumbuh bersama gadis itu yang membuat warga kota menjadi lebih giat mendatangi gereja. Mereka begitu senang setiap kali mendengar gadis kecil itu bernyanyi. Orang-orang bisa melihat pipi bocah itu yang halus bersemu kemerahan. Anak-anak rambutnya bergeraian dan beberapa, karena keringat, melemat di lehernya yang kuning mengilat. Bulu matanya begitu lebat lentik, seakan memayungi sepasang mata bening agar tak terkena debu-debu dosa. Bocah itu tumbuh, seperti perasaan seorang beriman yang diberkahi kedamaian. Dan warga kota pun selalu teringat tanda-tanda yang menyertai kemunculannya, sebagaimana selama ini tak bosan-bosan terus-menerus mereka percakapkan: ia datang dari gugusan bintang cemerlang dibawa kawanan bangau bersayap cahaya kemudian menjelma pijar air biru yang meluncur menuju atap gereja hingga bunga-bunga di halaman rumah bermekaran begitu indah melebihi biasanya dan membuat kulit penderita kudis seketika mengering serta anak babi bisa terlahir dengan kaki lima….

“Bagaimanapun,” kata bapak pendeta, “tanda-tanda mereka yang mulia, antara lain, karena ia dilahirkan di kandang hewan, di sebuah palungan….”

Dan orang-orang pun teringat, betapa gadis kecil itu ditemukan seorang peronda, meringkuk di dekat kandang kuda.

Kehidupan di kota kecil itu pun tak lagi menggeliat lambat. Perlahan-lahan meskipun segalanya masih terasa begitu khidmat, mereka mulai merasakan ada sesuatu yang menggeliat gawat. Mereka menyaksikan bocah cilik itu sudah menjadi gadis yang seranum buah murbai. Tawanya begitu berderai, dan ia melangkah amat semampai. Anak-anak muda selalu berpakaian cerah. Ada sesuatu yang tumbuh, melebihi gairah pesta-pesta yang kini sering kali digelar di sepanjang trotoar. Sesuatu yang membuat anak-anak muda itu tertawa lebih keras, dan merasa tak perlu untuk cepat-cepat menutup mulut mereka dengan tangannya. Malam lebih panjang dengan keramaian, terompet dan nyanyian. Dan selalu, di puncak malam, terjadi perkelahian. Karena setiap pemuda berebut ingin berdansa dengan gadis paling jelita di kota. Karena setiap pemuda merasa paling berhak dan ingin menjadi penguasa satu-satunya. Dan gadis-gadis lain menangis-juga histeris-karena merasa diabaikan, terhina, dan diluapi kebencian. Fitnah dan hujah pun membuat gatal dan resah. Setiap gunjingan kemudian menudingkan jari telunjuknya ke arah gadis itu, yang malam-malam selalu terlihat berkeliar di pesisir pantai….

“Dan itu hanya dilakukan para lonte!” para perempuan mulai bergunjing, sambil memerhatikan tingkah laku para lelaki yang belakangan ini memang lebih suka menghabiskan waktu di tepi pantai ketimbang duduk-duduk di kedai. Para istri mulai menajamkan mata, mengawasi suami-suami mereka. Tentu saja, para suami yang merasa tak dipercaya jadi gampang meluap marah. Nyaris, sepanjang hari, bila kini engkau berkunjung ke kota kecil itu, engkau akan mendengar suara pipi ditampar, teriak perempuan kalap mencakar-cakar, umpatan-umpatan kasar.

Tak mengherankan, apabila gadis cantik itu terlihat melintas, para perempuan buru-buru menghindar.

Melebihi usia tua yang celaka, bapak pendeta mulai gelisah ketika dari hari ke hari kian sedikit warga kota yang berdoa bersamanya. Para perempuan enggan datang ke gereja, bila gadis itu ada di sana. Kaum lelaki, yang tak mau terlalu kelihatan memendam birahi, juga jadi sungkan mengikuti ekaristi. Bau sunyi mulai membuat gereja itu terlihat pasi setiap Minggu pagi. Bapak pendeta tak juga menemukan jalan bijaksana, bagaimana ia mesti mengatakan ini semua, tetapi tak membuat hati gadis itu terluka.

Saat bapak pendeta berdoa agar diberi jalan keluar, ia mendengar kerekit pintu gereja terbuka, kemudian suara langkah kaki diseret di atas lantai kayu yang kasap. Bulu-bulu tengkuknya seketika meremang, saat ia merasakan ada sehembus angin halus: seakan-akan ia merasakan kehadiran sesuatu yang kudus.

“Maafkan saya, Bapak…” terdengar suara yang begitu dikenalnya. “Saya telah menyusahkan Bapak. Biarlah saya yang tak lagi ke gereja. Saya akan kembali ke kandang kuda. Karena dari sanalah asal saya….”

Betapa terbelalak bapak pendeta. Gadis itu berdiri gemetar di hadapannya matanya tak sebak air mata, tetapi darah! Gadis itu telah mencongkel kedua biji matanya dengan jari-jarinya sendiri karena tak mau lagi melihat dosa. Darah yang masih basah terus merembes keluar dari liang matanya.

Kota kecil itu pun gemetar. Ketika dengan cepat kabar itu menyebar, orang-orang menyaksikan senja yang seolah bergetar, dan jantung mereka begitu berdebar. Mulut mereka asam dan kecut seperti mengunyah acar. Sejak itu, mereka selalu mendengar gema doa yang mengalun dari arah kandang kuda. Gema yang bagai menyusutkan semua suara, hingga kota digenangi kesepian seketika. Gema yang membuat setiap warga kota menundukkan kepala. Mereka kini lebih banyak berdiam diri ketika duduk-duduk di kedai kopi. Mereka gampang terkejut, bahkan oleh denting paling pelan suara sendok yang menyentuh gelas. Apalagi saat ini engkau berada di antara mereka, engkau bisa merasakan raut cemas yang menyelusup halus dalam senyum ramah mereka.

Apalagi ketika mereka melihat gadis itu-yang kian terlihat begitu cepat tua-melintas di jalan, bila ia membutuhkan makanan. Orang-orang dengan bergegas akan menghindar, warung-warung akan segera menutup kerai dan pasar segera bubar. Karena ketika ia berjalan tidak terlihat menyedihkan, tetapi mengerikan. Sementara gema doa bagai membungkus tubuhnya, ia terlihat tertatih-tatih dengan sepasang tangan yang seakan-akan selalu merabai punggung udara. Gaun etamin hitam yang serupa jubah terjulai hingga bagian bawahnya menyapu tanah. Debu-debu halus berleduban setiap kali perempuan itu melangkah. Wajahnya selalu tertutup selendang usang, tetapi orang-orang tetap saja bisa memandang sepasang liang matanya yang remang. Lebih-lebih bayangan wajahnya yang ledang. Bahkan, orang-orang lebih ketakutan pada sepasang liang yang tak lagi berbiji mata itu karena mereka percaya justru setelah buta, perempuan itu mampu melihat semua yang kasatmata. Ia bisa merasakan kebusukan yang dengan penuh kesopanan disembunyikan.

Ketika berlangsung pesta yang diadakan untuk membangkitkan kembali kenangan-kenangan bahagia yang pernah memulas kota dengan warna-warna keriangan-karena bagaimanapun kota ini mesti tak boleh terbenam dalam kemurungan-mendadak perempuan itu muncul. Ia sudah berdiri di dekat pancuran, menuding ke tangan-tangan warga yang tengah bersulang. “Yang kalian minum bukan anggur, tetapi darah seorang pelacur….” Suaranya bagai muncul dari bawah tanah yang seketika bergetar seperti punggung orang yang terbatuk-batuk. Saat itu pula mereka mencium bau yang amis, serupa miasma yang menguap dari rawa-rawa. Beberapa hari kemudian, perempuan itu berdiri di tengah jalan menghentikan kereta wali kota. Sementara para pengawal wali kota hanya mematung tak berdaya, bagai tersihir, perempuan buta itu segera mendekati wali kota dan langsung menepuk-nepuk punggungnya. Saat itulah orang-orang yang menyaksikan puluhan ekor ular keluar dari lubang telinga wali kota. Beberapa ekor juga keluar dari mulutnya, dari hidungnya, dari duburnya….

Perempuan buta itu mengatakan kepada beberapa gadis agar segera membuang lintah yang memenuhi perut mereka. Kepada seorang saudagar perempuan itu mengingatkan agar tak lagi makan belatung. Ia membuat malu seorang guru karena dikatakan suka menggauli anak kandungnya yang gagu. Dengan tegas ia menuding hidung seorang tentara yang dikatakannya gemar memerkosa. Ia mengucapkan semua itu semudah orang menyemburkan ludah. Kadang-kadang caranya berkata-kata seperti seseorang yang tengah menyumpah. Bahkan, ia begitu kurang ajar mengatakan bapak pendeta tak cukup beriman untuk membimbing para jemaahnya!

Itulah yang membuat orang- orang dengan gemetar menghindar. Ia mengerikan karena telah menyerahkan jiwanya kepada setan sehingga ia bisa melihat dalam kegelapan seperti makhluk malam. Setiap pintu rumah orang terhormat tak akan terbuka setiap kali ia mengetuknya. Setiap orang kemudian berdoa agar perempuan buta itu terkena lepra….

Karena tak diterima di kota, perempuan itu lebih sering terlihat memandangi laut, seakan seorang peramal yang mencari isyarat maut. Kadang sepanjang hari ia berdiri di tebing karang dikelilingi burung-burung camar atau menyusuri pantai memunguti barai, kerang, atau lengkitang. Ia menyeruput siput-siput itu langsung dari cangkangnya, membuat jijik siapa pun yang melihat. Kecuali pelacur-pelacur miskin yang menghuni gubuk-gubuk rumpang di sisi dermaga, yang segera meniru kelakuannya; setidaknya perempuan itu mengajarkan kepada mereka satu cara mengatasi kelaparan. Karena itulah, setiap sore, para pelacur itu mengundangnya untuk bertandang ke gubuk mereka. Dengan cepat ia menjadi dekat dengan para barua, mucikari, kecu, pencoleng, budak-budak pelabuhan, para begundal, dan juru mudi kapal. Seolah orang perempuan itu menjadi pelindung mereka.

Sementara senja kian muram. Di kedai-kedai kopi orang-orang lebih banyak diam. Hanya sesekali mereka mengingat perempuan itu dengan pedih, dengan sesal yang tak berkesudahan. Kemudian kisah lama hadir, dengan suasana berbeda. Kenapa, dulu, tak kita buang saja gadis cilik itu ke laut? Ia pasti keturunan putri duyung yang suka menggoda dengan nista dan air mata, seseorang berkata. Atau dia memang anak jadah dari rahim seorang pelacur yang sengaja membuangnya, timpal yang lainnya. “Sejak pertama kali ia ditemukan, aku sesungguhnya sudah ingin mengingatkan, kalau sebelumnya aku bermimpi buruk; kota kita diserbu jutaan burung pelatuk. Aku ingin menceritakan mimpi itu, tetapi aku takut kalian tak mempercayainya waktu itu…,” kata seseorang sembari membuang pandang. Kemudian setiap orang mengisahkan mimpi-mimpi lainnya, yang jauh berbeda dari yang dulu mereka katakan. “Sesungguhnya aku berdusta soal mimpi burung bangau bersayap cahaya….”

Kota kecil di tepi teluk itu seperti wajah orang tua yang mengantuk, sementara kekecewaan kian lama kian menumpuk. Perempuan itu membuat kota mereka yang indah menjadi berbau tanah. Dari arah pelabuhan selalu terdengar suara pelacur-pelacur yang terkikik. Para begundal mengerang dihisap mulut sundal. Mereka, kaum pendosa, membuat kota ini celaka. Karena kepada para pelacur dan pencoleng yang menjadi kaumnya, perempuan buta itu selalu berbicara tentang surga, tetapi membiarkan mereka saling remas kelamin di hadapannya. Terkutuklah perempuan itu! Dia najis, karena membiarkan puting susunya yang garing diisap pengemis-pengemis kudis. Dia iblis, karena dengan lidahnya mau menjilati borok di selangkang pelacur yang terkena sifilis. Dia nista, karena melayani budak dan bromocorah dengan tubuhnya. Dia sundal, karena bersenggama dengan ratusan begundal….

Dan perempuan buta itu sungguh-sungguh tak terampunkan ketika perutnya bengkak oleh dosa, dan ia mengaku mengandung bayi buah cintanya dengan malaikat. Dari hari ke hari perut perempuan buta itu kian membesar dan para pelacur sundal pencoleng begundal yang selalu mengelilinginya menganggap perempuan itu telah menjadi santa yang rahimnya memancarkan cahaya. Karena memang begitulah yang mereka percaya; suatu malam mereka melihat cahaya berkilauan turun dari surga. Itulah cahaya yang memancar dari sepasang sayap malaikat, yang segera menghampiri perempuan buta itu. Laut seperti memejam, ombak redam, ketika malaikat dan perempuan buta itu berciuman. Malaikat itu menitipkan benih cinta di rahim perempuan buta.

Di puncak kemarahan, puluhan warga kota segera mendatangi bapak pendeta. Bagaimanapun perempuan bidah itu mesti ditangkap, dirajah. Dengan bijaksana bapak pendeta menyerahkan semuanya kepada wali kota. Maka segeralah dikirim bala tentara, mengobrak-abrik pelabuhan, mengusir pergi para sundal dan begundal. Dan perempuan buta itu diseret, dilecut punggungnya sepanjang perjalanan menuju penjara. Setiap warga melempari tubuh perempuan itu dengan batu, sambil menghujah marah.

“Bidah!”

“Penyihir!”

“Lonte!”

Kemudian perempuan itu dilemparkan ke ruang penjara bawah tanah. Di sel pengap sempit dengan ujung-ujung besi runcing yang saling jepit saling kait. Sel yang penuh ular keling dan kalajengking. Berhari-hari, berbulan-bulan, tanpa makanan.

PADA bulan ke delapan, keputusan telah dimaklumatkan. Perempuan itu mesti mati sebelum bayi itu dilahirkan. Karena kota ini mesti dibebaskan dari rantai kutukan. Karena dosa mesti ditumpas sebelum sempat tumbuh lagi satu tunas. Dan seluruh warga kota yang mulia dan terhormat sepakat, perempuan itu mesti dirajam dengan tembakan. Setiap warga yang memiliki senapan boleh ambil bagian.

Pistol-pistol tua yang selama ini tersimpan dalam peti atau lemari dikeluarkan dan dibersihkan. Senapan berburu yang selama ini hanya jadi pajangan segera diturunkan. Peluru-peluru disiapkan. Yang belum punya senapan segera membeli di pasar loak. Atau pinjam kepada kenalan. Seluruh lelaki di kota itu telah menenteng senapan, berdiri di sepanjang jalan. Bahkan banyak juga perempuan yang dengan gembira mengacung-acungkan senapan. Sementara di alun-alun kota, di mana hukuman akan dilaksanakan, beratus-ratus bala tentara sudah siap dengan senapan di tangan yang siap ditembakkan.

Dan inilah prosesi pembantaian yang paling dinantikan…

Langit bersih, siang itu, seperti merestui. Seluruh warga kota sudah memenuhi alun-alun ketika perempuan buta itu diseret keluar dari penjara bawah tanah. Ia melangkah dengan kaki yang tak goyah. Pe rutnya bertambah besar. Liang matanya terlihat kian kelam. Rambutnya dipenuhi sindap, lengket bergempal-gempal bau apak. Tubuhnya penuh keranta, meruapkan aroma kematian. Tetapi lihatlah, betapa ia tampak damai. Meski sekujur tubuhnya penuh koreng. Jari-jari tangannya menggeropeng, beberapa nyaris putung digerogoti kusta. Sikapnya seperti seorang perempuan yang bersikeras mempertahankan martabat. Di atas panggung hukuman, tepat di tengah alun-alun kota, ia berdiri memandangi langit dengan sepasang matanya yang buta.

Dosa sebentar lagi dilenyapkan. Beratus-ratus lup senapan diarahkan. Ketika segalanya kian dekat, keheningan kian terasa sempurna. Saat itu bila engkau ada di sana menyaksikan itu semua, engkau akan bisa mendengar suara air mata yang bergulir dari keluk kelopak mata. Kemudian detik seketika meledak. Sementara delap menguap dari tiap ujung senapan yang berkali-kali ditembakkan, beribu-ribu peluru menghambur menyerbu mengepung tubuh perempuan buta itu. Beribu-ribu peluru yang menderu, hingga engkau bisa mendengar gemuruh suaranya ketika membelah udara yang dipenuhi percik-percik cahaya. Cahaya?

Di bawah sinar Matahari, beribu-ribu peluru itu memang terlihat bagai biji-biji cahaya yang berlesatan, membuat terkesima siapa pun yang melihatnya. Dan orang-orang kian terkesima; ketika senapan terus ditembakkan hingga ribuan peluru terus berlesatan di udara, tetapi pada saat itu juga, peluru-peluru itu saling bertubrukan dan pecah menjadi keping-keping cahaya bening yang terbang melayang-layang seperti kupu-kupu. Ya, kupu-kupu! Beribu-ribu peluru itu seketika menjelma kupu-kupu sebelum menyentuh tubuh perempuan buta itu…

Terdengar suara puluhan senapan terlepas berjatuhan, sementara setiap orang menyaksikan semuanya dengan penuh ketakjuban. Beribu-ribu kupu-kupu dengan sayap yang membiaskan cahaya lembut aneka warna, terbang melayang-layang, kemudian mulai hinggap di tubuh perempuan buta itu. Menghinggapi kedua tangannya yang terentang, seakan-akan ia disalibkan. Lalu, begitu pelan, beribu-ribu kupu-kupu itu mengangkat tubuh perempuan itu hingga tampak seperti balon udara yang tengah mengangkasa. Terus membubung. Berkilauan dalam kemegahan sayap- sayapnya, kemudian gaib ditelan langit.

Kami terkesima memandanginya, tetapi kami juga merasa begitu hampa. Ada yang tak kunjung kami pahami, hingga kini. Bagaimanakah kami mesti mengenang perempuan buta itu?

Jakarta, 2004

Agus Noor

Senja Buram, Daging di Mulutnya

Senja Buram, Daging di Mulutnya



“Ambillah! Aku ikhlas. Ambillah dan cepat pergi!” Tapi perempuan tua dengan anak tiga tahunan di gendongnya itu tetap kaku di tempatnya. Wajahnya pias, beku tak berdarah, seperti mayat yang baru terbenam dua-tiga hari: wajah yang tak berwarna. Tubuhnya yang menggigil kecil tapi menjangkau seluruh tepi jasadnya itu, menandakan ia hidup. Tentu saja ia hidup. Baru tiga menit lalu, handphone dan lembaran seratus ribuku pindah dari kantong celana kiriku ke kain gendongan anaknya, dalam drama kecil yang terjadi tak sampai lima menit.

Itu belum dimulai ketika bus kota yang kutumpangi mulai memasuki kawasan Cawang. Jam lima sore lebih. Aku malas mengangkat pantat, mungkin karena wanita muda sebelahku duduk seperti memberi kode padaku. Entah apa. Mungkin balasan dari kode yang kusampaikan dengan, seolah tak sengaja, menjawil ujung lututnya yang terbuka. Aku mengintip dengan sudut mata kiriku. Wanita muda itu seperti tersenyum sendiri. Sesungguhnya malu kalau aku merasa tersanjung.

Tapi kuingat istriku dengan masakan yang menunggu. Juga Bersihar, anak lelakiku kedua yang menunggu janjiku mengajaknya ke komedi putar. Maka, terpaksa aku berdiri tepat saat kondektur meneriakkan halte Cawang, dan wanita muda itu masih tersenyum sendiri. Ia tidak tersenyum untukku. Aku menghela napas dan melempar tubuhku secepatnya ke arah pintu belakang. Penumpang cukup padat. Drama pun dimulai.

Bus kota hampir berhenti. Di tangga pintu belakang, tak kurang delapan orang berjejal. Semua perempuan. Semua setengah baya. Dua di antaranya menggendong anak. Di belakangku empat orang lain mendesakku. Semua perempuan tua. Satu yang menggendong anak tepat di belakangku. Ia mulai mendorong, mendesakku dengan kata-kata penuh cemas, mengingatkanku kepada anaknya. Dua orang lagi mendorong. Pantatku ditekan-tekan. Kemejaku ditarik hingga hampir lepas dari selipan celana. Tiga orang perempuan di depanku bergoyang selaiknya orang berebutan. Ada sesuatu yang mendorong celana, kantong celana kiriku.

Ada yang tak beres! Aku sigap berkelit dan menengok. Sepotong tangan mungil terjuntai dari balik kain, tepat di mulut kantong celana kiriku. Aku mengebaskan pandang ke arah perempuan tua penggendong anak di belakangku. Tiga orang kiri kanan menggoyangku. Aku mengelilingkan pandang. Tak kurang selusin perempuan tua di sekelilingku. Dan segera aku sadar. Kurogoh kantong kiriku. Handphone dan lembaran seratus ribu sudah tak ditempatnya.

Aku meluap. Tensi darahku pasti melonjak 170, seperti biasanya. Tangan mengepal seperti hendak berayun. Saat itu, perempuan tua dengan anak digendongnya mendadak kaku dan bergetar. Wajahnya kertas singkong yang sangat muram. Semacam putus asa yang menyisakan kematian. Kalau kemudian aku lepaskan dia dan merasa menyesal di tiga menit kemudian, bukan karena hartaku lenyap. Namun, gerombolan perempuan tua itu turun bersama dan pergi dengan segera. Beberapa terdengar mengikik tertawa. Dua di antaranya menoleh ke arahku sekejap. Entah bagaimana wajah perempuan tua tak berwarna tadi. Aku tak bisa melukainya. Tentu, aku tak bisa. Tak bisa.

Istriku mengumpat habis di rumah. Bersihar tak jadi ke komedi putar.

Siaran televisi menjelang malam itu kembali dengan program yang dia gemari. Seperti biasa, lelaki 30 tahunan itu sudah menyiapkan dengan saksama, ritus menonton tengah malam itu. Segelas kopi besar dengan es batu besar-besar, sepiring keripik kulit mangga, dan saputangan untuk ingusnya yang selalu keluar menjelang tidur. Tegukan pertama kopi ia telan begitu acara dimulai, diikuti gerak otomatis tangannya merangkai keripik di mulutnya.

Malam ini, siaran itu menyajikan tiga orang pemangsa yang tidak biasa. Yang pertama, lelaki tua asal Thailand yang menyantap berbagai jenis serangga seperti kodok, kadal, tikus, hingga ular kecil sebagai menu sehari-harinya. Yang kedua, perempuan tua Ukraina pemamah tanah kotor berpasir, tiga kali satu hari dengan piring yang cukup besar. Kadang ia makan langsung dari ember, bahkan dari galian tanah di hutan. Cacing atau binatang-binatang kecil ikut di dalamnya.

Yang ketiga, lelaki muda Jawa Timur dengan dua menu istimewa setiap hari. Jika tidak sepiring belatung, lain waktu sepiring kaca. Ketiga orang itu semuanya sehat. Hanya perempuan Ukraina sedikit turun hemoglobinnya. Tapi tak berpengaruh. Mereka mengaku sama berliur jika melihat santapannya menggeletak begitu saja di jalanan. Tak tahu kapan mereka akan berhenti dengan menu seperti itu. Mereka merasa tak memiliki alasan untuk berhenti. Dan lelaki 30 tahunan itu menyeka hidungnya dengan saputangan.

Esok harinya, ia menemukan ulat di balik sayur sawi buatan istrinya. Ia tak berteriak seperti biasa. Ia coba menelannya. Tapi kemudian merasa lebih baik mencoba mengunyahnya.

Padri adalah jagoan PS, alias PlayStation. Kini ia jagoan CS, alias ComputerStation. Pulang sekolah ia tidak akan istirahat atau makan siang dulu. Namun, segera ke kios CS. Jika libur; jam enam pagi ia sudah menunggu di depan kios yang masih tertutup pintunya itu. Aku sudah mengingatkan berulang kali anak pertamaku itu. Tak ada reaksi. Kuhukum sudah. Berat bahkan. Neneknya protes. Jangan kejam pada anak, katanya. Kelakuannya tak baik, kataku. Biarlah, itu kan tak mengganggu orang. Dan bukankah ia merasa bahagia karenanya? Nenek itu menutup protesnya dengan lima lembaran lima puluh ribuan, jatah bantuan bulanan untukku.

Kini Padri bukan cuma jagoan CS. Permainan itu sudah menjadi judi. Dan Padri selalu jagoan. Ia tak lagi minta jajan. Apa aku merasa terbantu karenanya? Aku menghukumnya lebih keras. Padri menjerit. Nenek protes lebih keras lagi. Tak kuberi tahu ia kalau cucunya kini jadi bandar judi. Aku malu. Jatah bulananku di tambah hampir dua lipat. Dua minggu kemudian, Sukran, pemuda pengangguran anggota organisasi pemuda entah apa, melaporkan padaku, Padri terlihat bercumbu dengan Ijah, pembantu tetangga sebelah di kebon singkong.

Aku tahu, tak kan lama lagi, Padri akan datang dengan perempuan mana yang dibuntinginya. Apa aku harus menunggu? Kuhukum ia lebih berat sehingga jatah bulananku pun bertambah? Aku mengeluh pada istriku. Ia tak menjawab, sibuk dengan Bersihar yang memang sangat cerewet. Aku menyerbu lemari dapur. Mencari sesuatu. Menemukan sayur sawi. Kuhabiskan semua dalam beberapa kejap.

Lalu berlari mengelilingi rumah tetangga, kios CS, PS, lapangan, kebon singkong, sekolahan, kamar tidur Ijah, hingga kampung sebelah. Padri tak ada. Aku lapor pak RT dan keamanan. Padri tak pulang, hingga larut malam. Aku tak bisa tidur. Membuka lemari dapur. Kosong. Pagi-pagi dua orang preman datang mengetuk pintu. Pemberitahuannya singkat. Padri, anak pertamaku, ada di Polsek, setelah ketahuan mengganja di kolong jembatan Krukut.

Aku berkemas. Berangkat ke tempat kerja.

Cukup lama, lelaki 30 tahunan itu mengamati Ipung. Ia hanya lelaki kecil, belum tujuh tahun, namun perangainya dewasa. Air mukanya jenaka, kulitnya putih, dan matanya berjurang. Belakangan ia agak berubah. Tetap jenaka, kulit mukanya memuram dan matanya kadang kosong. Ipung sekolah pagi, tapi pulangnya senantiasa sore. Bapaknya kerja di Senen, entah apa. Ibunya jual karedok, di pertigaan kampung, dibantu Arti, anaknya 13 tahun.

Kemarin, lelaki itu tak melihat Ipung seperti biasa: menjelang maghrib mencakung di depan rumahnya, dekat balai keamanan desa sambil menggigiti rumput. Dan pagi hari ini, kampung geger. Dari koran yang dibeli Pak RT, tersiar berita Ipung ada di rumah sakit. Ditemukan pingsan di jalan menuju pulang dari sekolah. Tubuhnya berantakan. Darah kental dari celananya mengering. Ia disodomi delapan orang, yang lima di antaranya sudah tertangkap. Ipung meninggal sepuluh jam kemudian, lantaran ia disodomi seraya dicekik agar tidak berteriak.

Songkang, lelaki 30 tahunan itu tidak ikut ke rumah sakit bersama para tetangga. Ia berbela sungkawa dengan memberikan amplop pada bapak si Ipung. Malamnya ia nongkrong di balai keamanan desa. Membayangkan Ipung. Wajah yang jenaka, kulit licin, putih, dan mata yang cekung menawarkan pertanyaan. Bagaimana anak itu sebenarnya? Ia seperti menyentuh kulit halus anak kecil itu. Menelusuri tubuhnya. Dan menemukan kelokan dan tikungan yang membuat pengendara apa pun tergoyang karenanya.

Songkang teringat anaknya. Dan siuman. Hari lewat tengah malam. Ia lihat sekelilingnya, sepi. Ia lihat dirinya, tengah onani.

Aku tertawa kecil mendengar kabar kuping itu. Seorang terdakwa yang menggali belasan mayat perempuan tua, untuk disantap sedikit demi sedikit dagingnya, diputuskan bersalah oleh pengadilan dan dihukum sekian tahun saja. Terdakwa itu tertawa di balik baju kokonya. Beberapa orang malah menyalami. Beberapa ibu dan perempuan muda minta foto bareng dengannya. Beberapa wartawan mewawancarai. Ia kontan populer seperti selebritis negeri ini. Tawanya sumringah, menawarkan sesuatu pada siapa saja. Bukan rasa gembira. Tapi teror yang tersembunyi. Dan orang-orang menerimanya, menerima teror seperti lauk-pauk sehari-hari.

Aku tertawa dan mengakui. Imajinasi kita kini begitu miskin dibanding kenyataan di sekitar kita. Khayal memang tak terduga, tapi kenyataan kian tak dinyana. Pengarang pasti keok dan terseok fantasinya, tunduk malu pada kreativitas dunia keseharian. Aku? Manusia biasa saja. Imajinasi sederhana. Sekadar mengikuti hidup yang ada. Seperti dorongan selepas senja di hari kerja kelima setiap minggunya, aku pasti datang ke perempatan itu. Seperti rutin saja. Menemui Shelly, Sonya, Tessi, Mona, atau siapa saja. Wanita-wanita berjenis kelamin pria. Menemaniku tidak lama, 30 hingga 40 menit saja. Dekat taman atau di pinggiran kuburan cina. Karena langganan, aku selalu dapat potongan. Kadang gratisan.

Petang ini aku menemui Deassy. Entah siapa. Tak peduli aku kenal dia atau tidak sebelumnya. Namun, memang hanya wanita itu yang ada. Yang lain entah ke mana. Mungkin hari masih terlalu sore. Dan Deassy pun tak banyak tanya. Ia menggandengku ke kuburan cina. Tidak di pinggirannya. Tapi lebih jauh ke dalam. Masih banyak orang lewat, katanya. Aku menurut saja. Seperti biasa. Tanganku dipegang, resluiting celana dikendurkan. Seperti biasa. Ia tersenyum kecil, ia berwajah dingin, ia menunduk. Seperti upacara. Seperti biasa.

Tapi hasilnya, kali ini tidak biasa. Ruar biasa. Aku ejakulasi berat dan orgasme berat. Namun, bukan orgasme seperti biasa. Saat aku membuka mata, setelah sekian menit memejam saat puncak orgasme seperti biasa, aku melihat dan merasa tidak lagi di kuburan cina. Aku di sebuah taman. Berumput halus berbunga aneka, bersungai bening berawan kapas, binatang-binatang domestik kecil… bayangkan saja surga dalam komik anak-anak kita. Semua ada di sana. Dan yang menonjol untukku, di sebuah pendopo kayu yang sederhana tapi eksotik dan super bersih, berkumpul bidadari-kalau perempuan-perempuan itu bisa disebut bidadari-yang seluruhnya bugil-gil. Mereka menatapku. Semua tak kecuali.

Dengan langkah Adam manusia pertama, atau dewata di pewayangan bolehlah, aku melangkah, mendekati mereka. Memperhatikannya saksama, satu per satu. Semua cantik, putih, halus, dan sangat seksi. Tapi saat kuperiksa lebih saksama, ada yang berbeda dari mereka dengan perempuan yang biasa kukenal. Satu atau beberapa bagian tubuh mereka ternyata lebih cocok disebut lelaki ketimbang perempuan. Seperti yang di pojok kiri, yang duduk bertelekan pagar bambu halus, memiliki betis yang besar, kuat dan kekar, bulu-bulu lebat menyelimutinya.

Atau yang mungil di bagian tengah depan, berjakun besar yang tak henti menggelinjang. Ada pula yang berpenis, berdada bidang atau berperut kencang lengkap dengan telur-telur ototnya, bahkan berkumis, berjenggot, atau berjambang bauk. Dan kalau kuamati lagi lebih saksama, ada yang berekor, bersusu empat, atau bahkan berkaki kanguru. Tapi… semua cantik dan menggemaskan. Entah kenapa, bagiku semua “wanita” itu menggairahkan.

Lucunya, aku seperti mengenal mereka. Ada yang wajahnya seperti Tari, adik iparku. Atau tubuhnya sedikit gempal lemak dengan lekukan yang sama dengan istriku. Atau berleher jenjang Kustiyah, ibuku. Atau seperti Marni, pembantu. Seperti Bersihar, anakku, Rudy, Jamal… ooh. Semua sungguh memberi kedekatan padaku. Aku seperti terisap. Dan melebarkan langkahku. Hingga kucium baunya. Bau-bau yang sangat kukenal, kusukai, kuhormati. Aku pun menghambur.

Aku tak bisa memilih. Dan memang tak memilih. Kuserbu satu, atau mungkin dua atau tiga di antaranya, dan kubenamkan kepala dan tubuhku dalam pelukan mereka. Aahhhhhh. Ini surga? Kupejam mata dan menggerayangkan tanganku. Gila, ini ekstase. Aku surup karena gairah. Dan gelap. Tubuhku bergoyang dan terlempar-lempar, tepatnya tergulung-gulung. Bukan pusing, seperti sebuah nikmat. Tapi entah nikmat apa. Karena kemudian tak kurasakan apa-apa. Cuma gelap. I am nowhere. Dan kurasa aku pingsan.

Mungkin bukan pingsan. Tapi tertidur, saat aku mendusin. Saat kujumpai hari pagi, kujumpai diriku terbaring, memeluk kuburan dengan nisan tepat di bibirku. Dan sungguh, aku tak kaget. Aku puas sekujur badan, hingga jempol kaki kiriku. Lalu pulang dan melihat semua seperti baru.

Penduduk kampung tidak geger lagi. Padahal Pak Karmin pagi itu ditangkap polisi dengan tuduhan-lagi-lagi-pembunuhan. Korbannya tiga orang, semua anggota keluarganya sendiri, dua anak dan istri. Semuanya habis disantap, mentah-mentah. Dan sebagian orang terkejut, sebagian lain menyebutnya dengan enteng, “Pak Karmin lagi muja.” Katanya, ngelmu untuk mendapatkan kekayaan, kejayaan. Dan itu bukan yang pertama untuk kasus “muja”. Jadi, biasa-biasa saja.

Apalagi memang dalam beberapa waktu terakhir kasus, entah kenapa, cukup banyak kasus dialami oleh warga kampung ini. Tak cuma perampokan dengan pemerkosaan plus mutilasi. Bukan hanya gadis muda dan cantik yang meminum darah ratusan tikus untuk jadi populer. Tidak melulu tukang soto dengan daging mayat sebagai campurannya. Atau sekadar serial pemerkosaan bayi balita yang terjadi di Jembar Udik, kampung sebelah. Hidup memang kejam kok, kata Pak RT Udin.

Lantaran itu, mungkin, apa yang terjadi pada Songkang dan keluarga tidak lagi jadi perhatian umum. Sudah lebih tiga minggu, Songkang hidup sendiri. Istri dan Bersihar, anaknya, pergi. Ke mana, entah. Karena cerai? Entah. Padri pun lama hilang. Jadi preman, kata orang. Songkang sendiri hidup seperti biasa. Berangkat pagi dan pulang selepas petang. Tetangga dekat cuma melihatnya menjadi warga yang lebih sopan dan berbudi, lebih dari biasanya. Menebar senyum, walau tak banyak bicara. Suka membantu, walau jarang keluar rumah.

Yang kasatmata, rumah Songkang kini lebih banyak tertutup, sepi, gelap, dan tak terurus. Rumah hantu, kata anak-anak. Tapi tak ada yang menegur, karena Songkang banyak senyum. Jadi waktu pun berlalu. Begitu saja. Seperti biasa. Kejadian demi kejadian terjadi. Begitu saja. Tak ada yang aneh. “Tuhan memang tak terduga,” kata Pak Soegono, guru SMP.

Memang, siapa menduga kalau Songkang sudah tiga hari tak keluar rumahnya. Ini sungguh tak biasa.

Polisi, lagi-lagi, menyergap kampung. Kali ini rumah ketiga Gang Arjuna Buntu yang diserbu. Aku tahu itu, bahkan sudah tahu sebelumnya. Tepatnya sudah menduga. Lebih tepat lagi sudah terencana. Polisi akan menemukan rumah itu kumuh, gelap, sepi, dan beraroma busuk. Sebagian polisi menggunakan masker dan membuat dugaan macam-macam. Aku pasti gembira melihat mimik mereka.

Setelah melewati ruang tamu dengan sofa berlubang dan perabotan bersilang, mereka akan masuk ruang keluarga yang melulu berisi potongan koran dan majalah. Bertumpuk-tumpuk dan memenuhi dinding. Lalu menuju dapur yang telah menjadi gudang. Gudang apa saja, terutama barang bekas, entah bekas apa. Di sisi kiri, kamar tidur anak yang kosong, kecuali dipan dengan kasur bolong. Dan akhirnya, mereka akan sampai ruang belakang, kamar “ngelamun” kata mantan ibu rumah ini.

Di situ polisi akan menemukan sebentuk tubuh bugil. Tubuh lelaki 30 tahunan dengan anggota badan tak lengkap. Tentu ia sudah menjadi mayat, lebih dua hari katanya. Di sisinya ada televisi yang masih menyala dengan semut, satu pisau daging yang besar, dua pisau kecil pengerat, potongan majalah porno, stensilan, kertas dan spidol, nisan kuburan, tanah yang mengering, bunga-bunga layu, piring bekas makanan, dan ceceran darah kering di lantai, kaki, selangkangan dan mulutnya.

Analisa polisi: lelaki itu Songkang, bunuh diri karena frustrasi, cerai istri dan anak, menjadi gila, dan hiperseksual. Dilihat dari beberapa tanda, lelaki itu seperti habis melakukan semacam monoseks atau otoseks, dengan berbagai cara. Sampai ia memotong alat vitalnya sendiri untuk otoseks. Dan itu pun belum juga memuaskannya. Ia mulai memotong anggota tubuhnya yang lain untuk ia santap. Tapi ia sudah mati sebelum santapan pertama ia habiskan. Entah karena kehabisan darah, atau karena tersedak. Di tenggorokannya ditemukan sepotong daging tersangkut, potongan alat vitalnya sendiri.

Senja di luar datang. Kali ini coklat, buruk dan buram. *

Jakarta, Juli 2003



Radhar Panca Dahana