LATAR BELAKANG PERILAKU SEKS BEBAS DAN PERKEMBANGANNYA DALAM POLA KEHIDUPAN MASYARAKAT
Oleh Abdul Syani
I. Latar Belakang Perilaku Seks Bebas
Seks pada hakekatnya merupakan dorongan narluri alamiah tentang
kepuasan syahwat. Tetapi banyak kalangan yang secara ringkas
mengatakan bahwa seks itu adalah istilah lain dari Jenis kelamin yang
membedakan antara pria dan wanita. Jika kedua jenis seks ini
bersatu, maka disebut perilaku seks. Sedangkan perilaku seks dapat
diartikan sebagai suatu perbuatan untuk menyatakan cinta dan
menyatukan kehidupan secara intim. Ada pula yang mengatakan
bahwa seks merupakan hadiah untuk memenuhi atau memuaskan
hasrat birahi pihak lain. Akan tetapi sebagai manusia yang beragama,
berbudaya, beradab dan bermoral, seks merupakan dorongan emosi
cinta suci yang dibutuhkan dalam angka mencapai kepuasan nurani
dan memantapkan kelangsungan keturunannya. Tegasnya, orang yang
ingin mendapatkan cinta dan keturunan, maka ia akan melakukan
hubungan seks dengan lawan jenisnya.
Perilaku seks merupakan salah satu kebutuhan pokok yang senantiasa
mewarnai pola kehidupan manusia dalam masyarakat. Perilaku seks
sangat dipengaruhi oleh nilai dan norma budaya yang berlaku dalam
masyarakat. Setiap golongan masyarakat memiliki persepsi dan batas
kepentingan tersendiri terhadap perilaku seks.
Bagi golongan masyarakat tradisional yang terikat kuat dengan nilai
dan norma, agama serta moralitas budaya, cenderung memandang
seks sebagai suatu perilaku yang bersifat rahasia dan tabu untuk
dibicarakan secara terbuka, khususnya bagi golongan yang dianggap
belum cukup dewasa. Para orang tua pada umumnya menutup
pembicaraan tentang seks kepada anak-anaknya, termasuk mereka
sendiri sebagai suami isteri merasa risih dan malu berbicara tentang
seks. Bagi kalangan ini perilaku seksual diatur sedemikian rupa
dengan ketentuan-ketentuan hukum adat, Agama dan ajaran moralitas,
dengan tujuan agar dorongan perilaku seks yang alamiah ini dalam
prakteknya sesuai dengan batas-batas kehormatan dan kemanusiaan.
Biasanya hubungan intim antara dua orang lawan jenis cenderung
3
bersifat emosional primer, dan apabila terpisah atau mendapat
hambatan, maka keduanya akan merasa terganggu atau kehilangan
jati dirinya.
Berbeda dengan hubungan intim yang terjadi dalam kehidupan masyarakat
modern, biasanya cenderung bersifat rasional sekunder.
Anak-anak yang mulai tumbuh remaja lebih suka berbicara seks
dikalangan teman-temannya. Jika hubungan intim itu terpisah atau
mendapat hambatan, maka mereka tidak akan kehilangan jati diri
dan lebih cepat untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan dalam
lingkungan pergaulan lainnya. Lembaga keluarga yang bersifat
universal dan multi fungsional, baik pengawasan sosial, pendidikan
keagamaan dan moral, memelihara, perlindungan dan rekreasi
terhadap anggota-anggota keluarganya, dalam berhadapan dengan
proses modernitas sosial, cenderung kehilangan fungsinya. Sebagai
konsekuensi proses sosialisasi norma-norma yang berhubungan
batas-batas pola dan etika pergaulan semakin berkurang, maka
pengaruh pola pergaulan bebas cenderung lebih dominan merasuk
kedalam kebiasaan baru. Seks sebagai kebutuhan manusia yang
alamiah tersebut dalam upaya pemenuhannya cenderung didominasi
oleh dorongan naluri seks secara subyektif. Akibatnya sering terjadi
penyimpangan dan pelanggaran perilaku seks di luar batas hak-hak
kehormatan dan tata susila kemanusiaan.
Latar belakang terjadinya perilaku seks bebas pada umumnya
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:
1. Gagalnya sosialisasi norma-norma dalam keluarga, terutama
keyakinan agama dan moralitas;
2. Semakin terbukanya peluang pergaulan bebas; setara dengan
kuantitas pengetahuan tentang perilaku seks pada lingkungan
sosial dan kelompok pertemanan;
3. Kekosongan aktivitas-aktivitas fisik dan rasio dalam kehidupan
sehari-hari;
4. Sensitifitas penyerapan dan penghayatan terhadap struktur
pergaulan dan seks bebas relatif tinggi;
5. Rendahnya konsistensi pewarisan contoh perilaku tokoh-tokoh
masyarakat dan lembaga-lembaga sosial yang berwenang;
6. Rendahnya keperdulian dan kontrol sosial masyarakat;
7. Adanya kemudahan dalam mengantisipasi resiko kehamilan;
8. Rendahnya pengetahuan tentang kesehatan dan resiko
penyakit berbahaya;
9. Sikap perilaku dan busana yang mengundang desakan seks;
10. Kesepian, berpisah dengan pasangan terlalu lama, atau
karena keinginan untuk menikmati sensasi seks di luar
rutinitas rumah tangga;
4
11. Tersedianya lokalisasi atau legalitas pekerja seks.
Berdasarkan alasan tersebut, maka semakin terbukalah pergaulan
bebas antara pria dan wanita, baik bagi kalangan remaja maupun
kalangan yang sudah berumah tangga. Hal ini dimungkinkan karena
sosialisasi norma dalam keluarga tidak efektif, sementara cabang
hubungan pergaulan dengan berbagai pola perilaku seks di luar rumah
meningkat yang kemudian mendominasi pembentukan kepribadian
baru. Kalangan remaja pada umumnya lebih sensitif menyerap
struktur pergaulan bebas dalam kehidupan masyarakat. Bagi suami
isteri yang bekerja di luar rumah, tidak mustahil semakin banyak
meninggalkan norma-norma dan tradisi keluarga sebelumnya,
kemudian dituntut untuk menyesuaikan diri dalam sistem pergaulan
baru, termasuk pergaulan intim dengan lawan jenis dalam peroses
penyelesaian pekerjaan. Kondisi pergaulan semacam ini seseorang tidak
hanya mungkin menjauh dari perhitungan nilai harmonisasi keluarga,
akan tetapi selanjutnya semakin terdorong untuk mengejar karier
dalam perhitungan ekonomis material. Kenyataan ini secara implisit
melembaga, dimaklumi, lumrah, dan bahkan merupakan kebutuhan
baru bagi sebagian besar keluarga dalam masyarakat modern.
Kebutuhan baru ini menuntut seseorang untuk membentuk sistem
pergaulan modernitas yang cenderung meminimalisasi ikatan moral
dan kepedulian terhadap hukum-hukum agama. Sementara di pihak
lain, jajaran pemegang status terhormat sebagai sumber pewarisan
norma, seperti penegak hukum, para pemimpin formal, tokoh
masyarakat dan agama, ternyata tidak mampu berperan dengan
contoh-contoh perilaku yang sesuai dengan statusnya. Sebagai
konsekuensinya adalah membuka peluang untuk mencari kebebasan
di luar rumah. Khususnya dalam pergaulan lawan jenis pada
lingkungan bebas norma dan rendahnya kontrol sosial, cenderung
mengundang hasrat dan kebutuhan seks seraya menerapkannya secara
bebas.
Bagi kalangan remaja, seks merupakan indikasi kedewasaan yang
normal, akan tetapi karena mereka tidak cukup mengetahui secara
utuh tentang rahasia dan fungsi seks, maka lumrah kalau mereka
menafsirkan seks semata-mata sebagai tempat pelampiasan birahi,
tak perduli resiko. Kendatipun secara sembunyi-sembunyi mereka
merespon gosip tentang seks diantara kelompoknya, mereka menganggap
seks sebagai bagian penting yang tidak bisa dipisahkan dari
kehidupan remaja. Kelakar pornografi merupakan kepuasan tersendiri,
sehinga mereka semakin terdorong untuk lebih dekat mengenal
lika-liku seks sesungguhnya. Jika immajinasi seks ini memperoleh
tanggapan yang sama dari pasangannya, maka tidak mustahil kalau
harapan-harapan indah yang termuat dalam konsep seks ini benarbenar
dilakukan.
5
II. Popularitas Perilaku Seks Bebas dalam kehidupan masyarakat
Pupulernya perilaku seks di luar nikah, karena adanya tekanan dari
teman-temannya atau mungkin dari pasangannya sendiri. Kemudian
disusul oleh dorongan kebutuhan nafsu seks secara emosional, di
samping karena rendahnya pemahaman tentang makna cinta dan
rasa keingintahuan yang tinggi tentang seks. Beberapa hasil
penelitian mengungkapkan bahwa gadis melakukan seks di luar nikah
karena tekanan teman-temannya sesama wanita. Teman-temannya
mengatakan bahwa:
"Semua gadis modern melakukannya, kalau tidak, ya.., termasuk gadir kampungan";
"Jaman sekarang tak ada lagi perawan-perawanan, nikmati saja hidup ini dengan
keindahan".
Dengan demikian Ia melakukannya hanya untuk membuktikan
bahwa iapun sama normalnya dengan kelompok teman modernnya
yang telah terperangkap dalam penyimpangan moral. Ia ingin tetap
diterima oleh kelompok temannya secara berlebihan, sehingga
mengalahkan kepribadian dan citra diri. Pengakuan lain, bahwa
melakukan seks dengan alasan agar cinta pasangannya semakin
kuat, dan apabila aku tidak melakukannya, berarti aku tidak bisa
menunjukkan bukti cintaku kepadanya.
Kecuali itu, karena mereka telah beribu-ribu kali memperoleh
informasi tentang kehebatan dan kedahsyatan seks itu, baik dari
pergaulan sehari-hari maupun dari mass media, seperti televisi, film,
show, majalah dan brosur-brosur porno yang cenderung mengagungkan
kehidupan seks inkonvensional, dimana terdapat kemudahan untuk
berkencan intim, berpegangan, berpelukan, meraba, dan bahkan
tidur bersama. Gosip-gosip seks secara bertubi-tubi dan secara
berantai telah membakar rasa penasaran mereka terhadap seks,
sehingga timbul pertanyaan dalam hayal mereka:
"seperti apa sih rasanya seks itu"?,
"apa benar sedahsyat yang dikatakan orang"?
Dalam perasaan penasasan, mereka akhirnya mencari tahu sendiri
dengan riset partisipatif. Setelah seks itu ditemukan dalam praktek,
lalu semuanya terjawab dan ternyata sesuai dengan hipotesis, sehingga
terbentuklah perilaku yang namanya KETAGIHAN. Kalangan pencinta
seks ini berpikir bahwa:
6
"kalau sudah basah, sekalian mandi saja; sekali terlanjur, lebih baik seterusnya".
Mantan perawan sekali nge-seks, sama artinya melakukan 6 atau 7
kali, toh perawan tak akan kembali, mengapa harus dibatasi? Di
sinilah awal mulanya tumbuh pernyataan perang dari mereka terhadap
segala macam norma yang membatasi kebebasan seks.
Secara teoritis memang hubungan cinta ada yang bersifat platonis,
yaitu cinta tanpa unsur nafsu badaniah terhadap kekasihnya. Cinta
semacam ini pada perinsipnya mengandung semangat "apa yang dapat
aku lakukan untukmu". Akan tetapi secara umum dalam
perkembangannya, seks lebih didambakan secara fisik, ketimbang
hubungan cinta dan kasih sayang. Sebagian pihak menganggap
hubungan cinta dianggap sebagai alasan untuk memperoleh kepuasan
seks semata. Di sinilah seks menjadi kepanjangan dari perasaan cinta.
Kisah cinta yang konvensional dianggap tidak variatif, cengeng,
ketinggalan jaman dan tidak jantan.
Menanggapi perkembangan pemahaman pola kehidupan seks tersebut,
dapat diasumsikan bahwa orang masa kini cenderung "lebih cepat
jatuh seks ketimbang jatuh cinta". Cinta dan seks dikondisikan
sebagai wujud sikap dan perilaku majemuk yang sekaligus mengandung
unsur nilai persahabatan, pergaulan intim, menikmati kebersamaan,
kasih sayang, hubungan seks, dan saling mempercayai antar
sesama lawan jenisnya tanpa batas yang tegas.
Dalam hubungan seks pada umumnya terdapat proses kesepakatan
bahwa masing-masing pelaku berbuat secara sukarela dan bebas dari
ikatan norma atau jaminan resiko jangka panjang. Semua perilaku
seks disepakati sebagai sebuah kemerdekaan yang bebas dari tuntutan
moral. Hubungan cinta cenderung tidak konsisten, tergantung kapan
datangnya letupan perasaan kebutuhan seksual. Keperdulian terhadap
kepentingan dan kegelisahan orang lain sering diwujudkan dalam katakata
dan tindakan yang semu sebagai dalih atau muslihat untuk
memperoleh hubungan seks. Kata-kata yang mengatasnamakan cinta
sering dilontarkan sebagai jebakan yang sebenarnya mengandung
unsur pemaksaan. Beberapa contoh pernyataan yang umum
dilontarkan untuk memperoleh kesepakatan hubungan seks, misalnya:
"Aku sudah terlalu lama menunggu, kalau malam ini kamu menolak, lupakan saja
semuanya".
"Aku bawa kondom sutra kok, tidak ada masalah".
"Kamu kan bagian dari hidupku, dan aku bagian dari hidupmu, ayo dong!".
"Toh tak ada bedanya isteri dan calon isteri. Kita toh siap kawin kalau ada apa-apa".
7
"Aku bisa saja dengan gadis lain, tapi aku hanya membutuhkan persatuan jiwa raga
dengan engkau seorang".
"Jika kamu benar-benar cinta, maka kamu tak akan tega menyiksa aku".
Ungkapan-ungkapan tersebut sebenarnya bermaksud agar pasangannya
tidak menunda-nunda hubungan seks yang dituntutnya. Jika
kebutuhan terpenuhi, maka sementara waktu berikutnya hubungan
komunikasi dan interaksi antar sesamanya menghambar. Dalam
kondisi demikian biasanya timbul pikiran-pikiran rasional,
perhitungan-perhitungan masa depan (what nexs), dan tuntutan
aktualisasi diri dalam kehidupan masyarakat pada umumnya.
III. Karakteristik dan Pola Perkembangan Perilaku Seks Bebas
dalam Kehidupan Masyarakat
Ada sebagian kalangan yang menganggap bahwa perilaku seks pranikah
terpisah dari ukuran moral; artinya sah-sah saja sepanjang
dilakukan atas dasar kebutuhan bersama. Ukuran moral berbicara
tatkala hubungan seks terjadi melalui pemaksaan fisik. Seks
pernikahan secara formal dilakukan sebagai suatu dalih umum
lantaran sebelumnya terdapat hambatan atau kesulitan untuk mempeloleh
seks. Keserasian seks dalam rumah tangga diperhitungkan
melalui kuantitas pengalaman coba-coba bermain seks tersendiri
dengan berganti-ganti pasangan. Sedangkan kualitas keserasian seks
yang menyatu dalam kehidupan bersama antara dua pribadi yang utuh,
bersatu dalam pembinaan dan tanggungjawab keluarga berdasarkan
rambu-rambu hukum agama, moral dan budaya, dianggap sebagai
tapal batas penghalang kenikmatan hubungan seks.
Pola pikir dan perhitungan pria terhadap hubungan seks, cenderung
tidak didasarkan pada penilaian baik buruknya pribadi dan perilaku
pasangannya secara keseluruhan, atau jaminan kesetiaan hidup
bersama dalam perspektif masa depan, melainkan diukur semata-mata
karena selera tertarik dari segi fisik yang indah, montok dan menggiurkan.
Sementara dipihak wanita masa kini seolah memberikan
reaksi yang positif dengan sengaja bersikap, berperilaku (termasuk
mode busana) yang secara nyata menonjolkan dan membuka bagianbagian
tubuh yang diketahui mengundang birahi. Kalau diketahui
karakteristik pria lebih merupakan gejala badaniah yang didorong
oleh gemuruh seks yang dangkal, sementara wanita cenderung
memberikan peluang, maka meskipun pria sebagai sumber inisiatif
penekan dalam melakukan serentetan pendekatan seks melalui
pegangan tangan, ciuman, memeluk dan mencumbu; bukan berarti
8
sebagai satu-satunya pihak yang bertanggungjawab, tetapi pihak
wanita juga menentukan tingkat intimitas batas kepantasan
hubungan seks mereka. Oleh karena itu dalam perkembangan
hubungan intim itu, lagi-lagi pihak wanita menyerah dan mengizinkan
pria untuk memenuhi tuntutan seksnya, lantaran iapun sesungguhnya
mempunyai deru-gelora nafsu seks tersendiri. Sebab bila puncak birahi
keduanya telah seimbang, maka hampir tak ada orang yang sanggup
menolak keinginan hubungan seksnya, baik dengan alasan-alasan
rasional maupun alasan-alasan moral, dosa ataupun sanksi sosial.
Dalam perburuan seks, kaum pria cenderung bersifat lebih independen
dan interaktif dalam posisi meminta dan menekan (memaksa),
sehingga tanpa disadari terjadi eksploitasi perilaku seks yang
kemudian mengaburkan makna cinta dan seks. Pihak wanita sendiri
memberikan reaksi seks dalam posisi terikat (dependen) dan tak
mampu menolak tuntutan seks. Keterikatan wanita dalam perilaku
seks masa kini cenderung salah kaprah menanggapi makna mitos
cinta sejati yang berarti "rela memberikan segalanya". Hal ini justeru
diartikan sebagai proses kompromi seks yang saling merelakan segala
yang berharga demi sebuah kenikmatan seks. Oleh karena itu nilai
pengorbanan, harga diri dan penyesalan, akibat hubungan seks
tersebut semaksimal mungkin ditiadakan. Artinya kebebasan seks
cenderung dipandang sebagai perilaku pemuasan nafsu yang
melahirkan kenikmatan belaka, dan melupakan realitas negatif akibat
dari seks itu sendiri.
Perilaku seks bebas, tak terkecuali perselingkuhan kaum pria dan
wanita berumah tangga, dipandang sebagai kesenangan hidup tanpa
ikatan, sehingga patut dijadikan kebutuhan permanen. Resiko
perilaku seks bebas, seperti kehamilan dan tercemarnya nama baik
keluarga tidak lagi menakutkan, disamping karena peristiwa ini
sudah biasa terjadi, juga karena kehamilan dapat dicegah melalui
kebebasan penggunaan kontrasepsi (paling tidak, kondom sutra).
Kebiasaan seks bebas dapat mengakibatkan orang semakin tidak
mampu menahan birahinya yang sewaktu-waktu mendesak, sehingga
tidak mustahil terjadi perkosaan di mana-mana sebagaimana diketahui
cenderung meningkat, baik kuantitas maupun kualitasnya.
Dari segi sosial-psikologis, perilaku seks bebas dianggap tidak
mendatangkan beban tanggungjawab yang besar, dan tidak pula
dirasakan sebagai pencemaran terhadap tradisi adat dan moral.
Tentang kemungkinan terjadi depresi karena perasaan berdosa,
penyesalan atau rasa takut terjangkitnya penyakit kelamin, semuanya
tidak termasuk dalam perhitungan. Persepsi masyarakat terhadap
perilaku seks cenderung menghalalkan seks atas dasar argumen saling
9
suka, saling cinta, dan saling membutuhkan. Kondisi semacam ini
mengisyaratkan suatu pengakuan terhadap penyelewengan hubungan
(love affair) atau perselingkuhan, baik sebelum atau sesudah menikah.
Kondisi ini kemudian menempatkan posisi hubungan intimitas seks
manusia mendekati persamaannya dengan perilaku seks pada binatang.
Meskipun perilaku seks semacam ini masih tersembunyi, akan
tetapi secara realistik diam-diam diakui, terutama bagi mereka yang
tak mampu menahan nafsu seksnya dalam jangka waktu tertentu.
Mungkin karena kesepian, atau karena terperangkap dalam perkawinan
yang tak bahagia, bisa juga karena ingin menikmati sensasi seks di
luar rutinitas rumah tangga. Gejala ini kemudian mendorong
timbulnya gerakan sosial (social movement) dari kolektifitas kelompok
untuk menegakkan pola perilaku seks bebas. Meskipun secara
terselubung dalam jangka waktu tertentu, tetapi lama kelamaan
akan membawa perubahan perilaku yang diakui oleh seluruh lapisan
masyarakat sebagai suatu kelaziman. Sepanjang hubungan seks itu
masih dalam kerangka jaminan kepentingan bersama dengan sedikit
mungkin beban tanggungjawab atas syarat-syarat kontrak sosialnya,
maka selama itu pula rutinitas hubungan seks akan berlangsung
sebagai suatu kelaziman dalam kehidupan masyarakat.
Dalam kehidupan sosial kemasyarakatan yang ideal, tentu semua
tindakan itu dapat dikategorikan sebagai jalan pintas yang mengotorkan
jiwa, pikiran dan fisik, karena mau tak mau ada perasaan tak
layak, kotor, berdosa dan pengaruh negatifnya, baik terhadap
hubungan perkawinan maupun terhadap masa depan remaja. Semua
tindakan itu dapat menurunkan kesucian dan kemulyaan perkawinan,
di samping dapat merusak sumber daya generasi muda. Perilaku seks
bebas dapat membentuk struktur kemasyarakatan dalam status sosial
yang rendah dalam kehidupan masyarakat.
---------------------------------
* Disampaikan pada Seminar, Lokakarya dan Rapat Tahunan BKSPTN
Bagian Barat yang diselenggarakan oleh Fisip Unila, pada tanggal 20-22
Maret 2003.
** Dosen tetap Fisip Unila.
10
LATAR BELAKANG PERILAKU SEKS BEBAS
DAN PERKEMBANGANNYA DALAM POLA
KEHIDUPAN MASYARAKAT
OLEH
ABDUL SYANI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS LAMPUNG
2000
Showing posts with label Child Protection. Show all posts
Showing posts with label Child Protection. Show all posts
Monday, 20 December 2010
Fenomena anak yang meminta-minta di tpu ujung berung Disusun dalam rangka memenuhi tugas akhir mata kuliah “Perspektif Perkembangan Dalam Mengatasi Masalah-Masalah Pada Anak dan Remaja”.
Fenomena anak yang meminta-minta di tpu ujung berung Disusun dalam rangka memenuhi tugas akhir mata kuliah “Perspektif Perkembangan Dalam Mengatasi Masalah-Masalah Pada Anak dan Remaja”.
Dosen Pengampu: Dr. Sutji
Oleh:
Kelompok I:
Grestin Sandy R (19042008005)
Airin Triwahyuni (190420080018)
Fitri Ricania Sukaputri (190420080026)
Vina Oktaviana (190420080046)
MAGISTER PROFESI PSIKOLOGI
PROGRAM PASCASARJANA
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS PADJAJARAN
2010
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Di Indonesia, persoalan pekerja anak dan kelangsungan pendidikannya belakangan ini kembali mencuat karena dipicu situasi krisis ekonomi yang berkepanjangan. Anak adalah aset bangsa yang sangat berharga, karena ditangan anak-anak tersebut estafet keberadaan bangsa di masa datang terletak. Namun sebagai aset berharga, tidak semua anak memperoleh haknya untuk dapat tumbuh dan berkembang sebagaimana layaknya anak pada umumnya. Hal ini salah satunya dialami oleh anak jalanan yang karena satu dan lain hal haknya sebagai anak tidak dapat terpenuhi dengan baik. Di beberapa wilayah banyak dijumpai kumpulan anak-anak usia sekolah yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk berkeliaran di jalan-jalan atau tempat umum lainnya. Mereka berkeliaran untuk mencari nafkah atau mencari tambahan uang saku dengan berbagai cara, misalnya menjadi penjual koran, pengamen, tukang parkir, pedagang asongan dan sebagainya.
Stigma yang diberikan masyarakat kepada anak jalanan disebabkan dalam kehidupannya di jalanan, baik secara pribadi maupun kelompok mereka berupaya mengembangkan sub kultur dengan norma dan nilai yang berbeda dari yang berlaku secara umum. Di satu sisi mungkin positif karena dapat melindungi keberadaan mereka, tapi di sisi lainnya negatif. Hal ini disebabkan dari norma dan nilai yang tumbuh tersebut, justru menyimpang dari norma dan nilai yang berlaku secara umum. Disamping itu juga muncul perilaku sosial yang anormatif, seperti acuh tak acuh, dan sikap curiga yang berlebihan pada orang di luar kelompoknya, susah diatur, liar, reaktif, sensitif, bebas dan cenderung hanya bergaul atau berinteraksi dengan kelompoknya, masa bodoh, dll.
Banyak faktor yang berpengaruh terhadap fenomena anak jalanan. Faktor makro yang memunculkan masalah tersebut yaitu; pertumbuhan ekonomi yang tidak merata, partisipasi sekolah pada anak usia sekolah yang memunculkan drop-out. Sedangkan masalah mikro di dalamnya tercakup; ajakan teman, desakan orang tua untuk mencari nafkah, rumah tangga yang tidak harmonis, anak dengan orang tua single parent, dan ketidakpuasan terhadap sekolah atau guru.
Salah satu yang termasuk anak jalanan yaitu anak-anak yang meminta-minta di tempat-tempat umum (lampu merah, tempat pemakaman dan lain-lain). Pemilihan anak yang meminta-minta di TPU Ujung Berung sebagai tempat untuk melakukan observasi dan interview didasarkan pada pertimbangan bahwa pada lingkungan yang ada di sekitar TPU Ujung Berung ini cukup homogen dalam hal tingkat pendidikan dan kondisi tempat tinggal para anak-anak yang meminta-minta dibandingkan jika pada anak jalanan. Lingkungan anak jalanan lebih heterogen dan sangat bervariasi seperti ada anak yang masih sekolah dan ada pula yang sudah tidak bersekolah lagi. Selain itu pada anak jalanan ada yang memang membutuhkan uang namun banyak juga yang hanya karena ikut-ikutan saja, tempat tinggal yang saling berjauhan dan mungkin ada yang mengkoordinir mereka. Oleh karena itu, berdasarkan pertimbangan tersebut anak yang meminta-minta di TPU Ujung Berunglah yang dijadikan sebagai lokasi observasi dan interview karena karakteristik dari anak-anak cukup sama (homogen) antara satu dengan yang lainnya.
Sedangkan berdasarkan data yang diperoleh di lapangan, didapatkan informasi bahwa di area TPU (Tempat Pemakaman Umum) Ujung Berung ini banyak anak-anak usia sekolah yang meminta-minta di area makam saat sore hari ketika pulang sekolah bahkan hal tersebut juga terjadi apabila ada yang dimakamkan ketika jam anak sekolah. Alasan anak-anak tersebut melakukan pekerjaan meminta-meminta pada dasarnya adalah adanya ajakan dari temannya yang juga meminta-minta baik teman sekolah maupun teman bermainnya. Pada umumnya mereka berasal dari keluarga yang kurang mampu. Mereka bersekolah di sekolah yang mendapat subsidi dari pemerintah. Biasanya orangtua mereka mengeluarkan biaya untuk seragam dan uang saku. Uang yang mereka dapatkan digunakan untuk tambahan uang saku mereka dan membantu orangtua untuk membeli kebutuhan pokok. Uang yang mereka peroleh setiap harinya kurang lebih Rp. 2.000,- sampai dengan Rp. 5.000,- pada hari biasa, apabila ada yang meninggal kurang lebih Rp. 20.000,- dan meningkat pada hari raya yaitu mencapai Rp. 100.000,-.
Kondisi tersebut didukung dengan tidak adanya aturan yang diberikan oleh orangtuanya di dalam rumah. Pada umumnya orangtua membiarkan anaknya meminta-minta dan bahkan ada yang menyuruh anaknya meminta-minta. Hal tersebut terjadi karena adanya desakan faktor ekonomi. Hasil uang yang didapatkan anak-anak tersebut digunakan sebagai uang saku dan membantu orangtua membeli kebutuhan sehari-hari. Dari perilaku meminta-minta yang dilakukan anak-anak tersebut, beberapa dari mereka ada yang merasa malu dan merasa bersalah namun ada juga anak yang tidak merasa bersalah dan mengganggap meminta-minta adalah suatu hal yang baik.
Anak yang menilai hal yang dilakukan (perilaku meminta-minta) adalah hal yang baik dikarenakan mereka beranggapan dengan meminta-minta mereka dapat membeli buku sendiri dan membantu orangtua. Penilaian anak-anak mengenai apakah perilaku meminta-minta adalah hal yang baik atau buruk termasuk ke dalam konsep moral. Moral berhubungan dengan nilai-nilai moral yang berlaku dalam suatu kelompok sosial atau masyarakat. Nilai-nilai moral yang dimiliki oleh anak diperoleh secara bertahap sesuai dengan taraf perkembangannya, yang mana menimbulkan kesadaran-kesadaran dan pengertian akan apa, mengapa dan bagaimana sesuatu perbuatan itu dilakukan.
Hal tersebut sesuai dengan yang dikemukakan oleh Gunarsa (1992:38) tentang faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan moral anak. Bagaimanapun lingkungan sangat penting dalam meningkatkan kemampuan anak dalam melakukan penalaran moral, sehingga perkembangan moral yang dimiliki senantiasa berkembang sesuai dengan harapan dan nilai-nilai masyarakat pada umumnya.
Fenomena tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Lassaigne (dalam Monks, 1981) mengenai pengaruh orang tua dan kelompok teman sebaya pada pendapat remaja mengenai moral, bahwa remaja membutuhkan baik orang tua maupun teman sebaya sebagai penasehat dan pembimbing.
Kehidupan meminta-minta tentunya akan mempunyai dampak terhadap perkembangan kepribadian anak. Anak akan berperilaku sesuai dengan apa yang dia lihat sehari-hari, apa yang menurut kelompoknya dianggap baik dan apa yang dapat digunakan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya, sehingga tidak jarang sesuatu yang dianggap salah dan terlarang dalam masyarakat menjadi hal yang biasa dalam kehidupannya.
Dari uraian diatas dapat dinyatakan bahwa di dalam perkembangannya menuju ke tahap yang berikutnya, individu sangat dipengaruhi oleh lingkungan, baik itu lingkungan keluarga, sekolah maupun lingkungan masyarakat sekitarnya. Gunarsa (1992 : 38) mengatakan bahwa tingkah laku bermoral adalah suatu yang diperoleh atau dipelajari dari luar dirinya dan tentu saja faktor-faktor tersebut berada di luar dirinya. Realitas pengalaman yang dihadapi tersebut, akan membangun skema kognitif yang unik dari anak jalanan tentang lingkungan dengan perilakunya. Realitas yang dimaksud adalah bagaimana mereka mendapatkan perlakuan dari lingkungan dan bagaimana peran yang harus dipilih (role taking) ketika mereka berinteraksi dengan lingkungan.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana penilaian anak-anak tersebut mengenai apa yang mereka lakukan (meminta-minta) kaitannya dengan pembentukan perilaku mereka serta apa yang mempengaruhi mereka sehingga menampilkan tingkah laku tersebut?
2. Bagaimana efek dari perilaku meminta-minta untuk perkembangan anak-anak tersebut?
BAB II
KAJIAN TEORITIS (KONDISI IDEAL)
Perkembangan adalah suatu proses. Setiap tahap memiliki tugas-tugas perkembangan yang harus dipenuhi agar dapat dipergunakan pada tahap kehidupan selanjutnya.
Menurut Erikson, anak yang berada pada usia middle childhood (6-12 tahun) berada pada tahap Genital-Locomotor Stage dan tahap Latency. Pada tahap Genital-Locomotor, seorang anak diharapkan mulai dapat berinteraksi dengan lingkungannya secara mandiri tanpa orangtuanya. Apabila anak berhasil malakukan hal ini maka anak akan mendapatkan sense of initiative. Sedangkan apabila anak tidak berhasil memenuhi tuntutan lingkungan untuk mulai lepas dari orangtuanya maka ia akan mendapatkan perasaan sense of guilt. Kemudian pada tahap Latency, seorang anak diharapkan untuk mulai melakukan tugas-tugas sederhana sebagaimana orang dewasa mampu lakukan. Dan apabila seorang anak dapat melakukan hal ini maka ia akan mendapatkan sense of industry. Namun apabila anak merasa bahwa ia tidak dapat mememenuhi tuntutan masyarakat tersebut maka ia akan merasakan sense of inferiority.
Tahapan-tahapan diatas adalah proses yang secara umum dialami seorang individu sepanjang hidupnya. Untuk memenuhi tuntutan masyarakat yang berbeda-beda pada setiap tahapan perkembangan usia (infancy, childhood, middle childhood, dst) dibutuhkan kemampuan yang berbeda.
Berdasarkan penjelasan singkat diatas dapat dilihat bahwa secara umum tugas perkembangan pada masa middle childhood adalah mendapatkan sense of initiative dan sense of industry. Kedua hal ini adalah tuntutan masyarakat secara umum terhadap anak usia 6 -12 tahun.
Keluarga adalah lingkungan pertama yang paling berperan dalam perkembangan anak. Anak berinteraksi dengan keluarganya (ibu, ayah, saudara kakak, adik, dan lain-lain) dalam kehidupan kesehariannya. Sehingga dapat dikatakan bahwa keluarga memiliki pengaruh yang besar tehadap seorang anak.
Selain itu usia middle childhood (6-12 tahun) biasanya dikatakan juga usia sekolah karena pada usia inilah anak mulai masuk sekolah. Anak yang sebelumnya lebih banyak menghabiskan waktu dirumah sekarang mulai diharapkan untuk belajar di sekolah. Sehingga lingkungan lain yang sekiranya berpengaruh pada anak usia ini adalah sekolah.
Anak yang mulai berinteraksi dengan orang-orang diluar rumahnya dan bermain di luar rumah akan mulai mengenal kelompok lain yaitu peer group. Pada usia inilah anak mulai melakukan memandang dirinya melalui perbandingan dengan orang lain (social comparison).
Meskipun lingkungan memiliki peranan yang penting bagi seorang anak namun anak merupakan sebuah unit individu yang memiliki dinamika tersendiri. Aspek-aspek penting dalam diri anak saling terkait dan saling berinteraksi, yaitu aspek biologis, kognitif, dan sosioemosional.
Secara fisik, anak usia middle childhood telah memiliki otot-otot yang memungkinkannya untuk melakukan eksplorasi di lingkungannya. Anak mulai dapat mencoba melakukan kegiatan-kegiatan yang memerlukan kekuatan fisik, seperti berolahraga dan bermain di luar rumah. Hal ini sangat membantu anak dalam memenuhi tugas perkembangannya untuk mempelajari tugas-tugas sederhana seperti orang dewasa lakukan dan apabila berhasil akan menumbuhkan perasaan sense of industry. Anak yang tidak sehat dan lebih banyak menghabiskan waktu dirumah akan kehilangan kesempatan untuk mulai berinteraksi di luar rumah tanpa orangtua dan mengelami kesulitan untuk memperlajari kemampuan-kemampuan baru yang dapat menumbuhkan perasaan sense of industry-nya.
Secara kognitif anak middle childhood berada pada tahapan concrete operational (menurut Piaget). Meskipun anak sudah dapat membayangkan suatu proses tanpa perlu melihat secara nyata proses tersebut namun hal ini masih terbatas pada hal-hal yang bersifat konkrit. Tahapan perkembangan kognitif sebenarnya menggambarkan bagaimana seseorang akan memecahkan persoalan yang ia hadapi. Semakin tinggi tahapan perkembangan kognitif seseorang maka ia akan dapat membuat penyelesaian masalah dengan semakin baik. Sekolah adalah satu sarana yang dapat meningkatkan perkembangan kognitif. Sebuah penelitian menyimpulkan bahwa anak yang mengikuti sekolah lebih baik dalam hal perkembangan kognitif dibandingkan dengan anak yang tidak mengikuti sekolah. Namun perlu diingat bahwa sekolah bukan hanya meningkatkan perkembangan kognitif. Sekolah adalah agen sosialisasi yang tidak hanya memberikan pelajaran mengenai materi kognitif namun juga mengajarkan nilai-nilai, prinsip-prinsip, strategi-strategi dan kemampuan penyelesaian masalah. Anak juga diajarkan untuk mematuhi aturan, melakukan kerjasama dengan temen sekolahnya . Dari sini dapat disimpulkan bahwa sekolah juga berpengaruh pada perkembangan sosial dan emosional anak. Sekolah juga mempersiapkan anak untuk dapat hidup secara mandiri secara ekonomi dan mendapatkan pekerjaan.
Anak sudah mulai memiliki sense of self semenjak lahir. Ada beberapa aspek self yang berkembang pada diri anak pada usia middle childhood. Salah satunya adalah morality. Proses intenalisasi nilai yang berlangsung selama masa kanak-kanak berpengaruh pada nilai-nilai yang dianut pada masa dewasa. Piaget mengatakan bahwa pada usia preschool anak belum menunjukan perhatian dan kesadaran terhadap aturan. Lalu pada usia 5-10 tahun, anak mulai mengembangkan kesadaran yang kuat terhadap aturan.
Moralitas adalah satu set prinsip-prinsip atau idealisme-idealisme yang dapat membantu seseorang untuk 1) membedakan benar dan salah; 2) bertingkah laku berdasarkan prinsip tersebut; 3) merasa bangga apabila bisa bertingkah laku sesuai dengan standar dan merasa malu atau merasa bersalah apabila tidak berhasil.
Tiga komponen dari moralitas adalah :
a. Komponen Afektif : komponen yang berisi perasaan-perasaan seputar tingkah laku yang berdasarkan pada standar moralitas.
b. Komponen Kognitif : bagaimana mengkonseptualisasikan benar dan salah dan memutuskan bagaimana bertingkah laku.
c. Komponen Behavioral : merefleksikan bagaimana kita bertingkah laku ketika menghadapi godaan untuk berbohong, curang, atau untuk melanggar standar moral kita
Pada awalnya moralitas seorang anak merupakan hasil dari cara anak menghindari hukuman dari figur otoritas atau untuk mendapatkan kepuasan pribadi. Aturan-aturan tersebut kemudian terinternalisasi ke dalam diri anak dan menjadi bagian dari dirinya, moralitas dirinya.
Tahapan perkembangan moral menurut Kohlberg adalah sbb :
1. Preconventional Morality : Aturan masih merupakan sesuatu yang bersifat eksternal dan belum terinternalisasi
a. Tahap 1 : Punishment and Obidience Orientation masih sangat bergantung pada konsekwensi dari suatu tingkah laku
b. Tahap 2 : Naïve Hedonism mematuhi aturan agar mendapatkan suatu reward atau medapatkan kepuasan pribadi.
2. Conventional Morality : seseorang berusaha mematuhi aturan agar mendapatkan social approval
a. Tahap 3 : Good Boy or Good Girl
b. Tahap 4 : Social Order-Maintaining Morality
3. Postconventional Morality
a. The Social contract orientation
b. Morality of individual Principles of conscience
Penjelasan singkat di atas memberikan gambaran bahwa moralitas adalah suatu bentuk tingkah laku adaptif manusia. Bagaimana seseorang dapat bertahan di masyarakat. Bagaimana seseorang berusaha untuk dapat diterima di masyarakat. Dan bagaimana aturan-aturan tersebut terinternalisasi dan menjadi bagian dari diri seseorang dan mempengaruhi cara ia memandang dirinya dan bertingkah laku.
Anak usia middle childhood sedang memperlajari bagaimana dapat bertahan di luar rumah tanpa bantuan orangtuanya. Aturan yang telah dipelajarinya dirumah akan mendapatkan berbagai macam cobaan dan mungkin juga tambahan.
Selain dari orangtua, peer juga merupakan agen sosialisasi moralitas. Terutama pada anak usia middle childhood yang mulai mengenal peer. Hal ini akan semakin memuncak pada masa remaja. Peer adalah sosok yang tidak mengancam (tidak seperti orangtua yang bisa memberikan hukuman) sehingga diskusi mengenai topik-topik moralitas dengan peer akan membuat anak semakin aktif dalam proses pembentukan moralitasnya.
Kohlberg menyatakan ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap perkembangan moral anak, yaitu :
1. Interaksi dengan teman sebaya.
Kohlberg sepakat dengan Piaget bahwa interaksi dengan teman sebaya memiliki pengaruh yang lebih besar pada perkembangan moral anak daripada pemaksaan aturan oleh orangtua. Interaksi ini dapat berupa proses modeling atau transactive interaction. Transactive interaction adalah pertukaran reasoning mengenai moralitas. Asimilasi dan akomodasi dapat menjadi hasil dari transactive interaction.
Sedangkan pemberian nilai-nilai oleh orangtua akan dipandang sebagai hal yang tidak menyenangkan dan akan menimbulkan penolakan pada anak ataupun remaja.
2. Pendidikan lanjutan.
Individu yang mengikuti pendidikan tinggi biasanya memiliki reasoning mengenai moralitas yang lebih kompleks dibandingkan dengan individu yang pendidikannya lebih rendah. Hal ini dimungkinkan karena (1) pendidikan mengakomodasi perkembangan kognitif (2) memberikan kesempatan untuk melihat perpektif yang berbeda-beda dan konflik moralitas.
3. Pengaruh budaya
Misalnya, lingkungan yang demokratis, yang memberikan kesempatan untuk berdiskusi memberikan kesempatan untuk moral berkembang.
Moralitas sebagai produk dari social learning (dan social information processing)
Albert Bandura (1986, 1991) dan Walter Mischel (1974) menyatakan bahwa tingkah laku moral dipelajari dengan cara yang sama sebagaimana tingkah laku sosial yang lain. Burton (1976), menyatakan karakter moral tidak selalu konsisten pada semua situasi, bahkan pada orang dewasa yang telah matang sekalipun. Konsistensi dari ketiga komponen moral semakin kuat seiring dengan usia.
Seorang yang secara moral reasoning (kognitif) dan moral affect (afektif) mendukung pada tingkah laku moral yang baik ternyata masih sangat mungkin melakukan tingkah laku yang melanggar standar moralnya tersebut. Situasi yang berbeda memberikan efek yang berbeda. Yang penting adalah bagaimana tetap bertahan pada standar moral seseorang pada situasi apapun. Social learning theory berusaha menjawab pertanyaan ini .
1. Reinforcement sebagai determinan atas tingkah laku moral
Orangtua yang hangat dan memberikan pujian pada saat anaknya bertingkah laku baik akan membantu proses internalisasi nilai-nilai pada anak. Dengan memberikan reinforcement bahwa mereka adalah anak yang jujur, bertanggungjawab, dan lain-lain maka anak akan menjadikan psychological dimension tersebut menjadi bagian dari self-concept mereka.
2. Peran punishment dalam pembentukan moral prohibition
Meskipun me-reinforce tingkah laku yang baik dapat meningkatkan frekwensi tingkah laku yang sesuai dengan norma, orangtua seringkali lupa memuji anak yang berhasil menahan godaan untuk tidak bertingkahlaku melanggar norma. Punishment dapat membentuk moral prohibition. Namun punishment yang seperti apa? Martin Hoffman’s (1988) penjelasan mengenai mengapa timgkah laku tersebut salah sangat membantu dalam efektivitas hukuman. Melalui penjelasan akan terjadi internal attribution. Mereka akan merasa bersalah, melanggar konsep diri mereka yang positif apabila melanggar standar tersebut. Sedangkan tanpa penjelasan, yang terjadi adalah external attribution. Dimana tingkah laku sesuai norma hanya dilakukan apabila figure otoritas ada di sekitarnya.
Dalam rangka menginternalisasikan nilai-nilai benar dan salah dan kemudian membentuk self control maka perlu diberikan penjelasan agar seorang anak mengetahui mengapa suatu tingkah laku adalah salah dan mengapa ia seharusnya merasa bersalah pada saat melakukan tindakan tersebut.
3. Efek social model pada moral behavior anak
Anak yang memberikan contoh secara pasif yaitu dengan tidak melakukan tindakan melanggar norma ternyata berpengaruh pada pembentukan moral behavior anak. Namun hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa anak tersebut menyatakan dengan jelas bahwa ia tidak melanggar aturan dan mengetahui mengapa ia tidak melanggar aturan tersebut.
BAB III
ANALISA PERBANDINGAN ANTARA KONDISI IDEAL DAN KONDISI REAL
Berdasarkan hasil analisa dari data yang diperoleh di lapangan bahwa dari tugas perkembangan anak pada usia sekolah dapat dilihat dari aspek perkembangan segi biologis, anak usia sekolah (middle childhood) sudah mulai berkembang yang artinya tubuhnya sudah cukup kuat untuk melakukan eksplorasi lingkungan. Sedangkan dilihat dari segi kognitif, anak-anak usia sekolah (middle childhood) mulai dapat membedakan antar diri dengan orang di luar dirinya sehingga sudah dapat membuat social comparison. Mereka juga mulai dapat mengeksplorasi lingkungan melalui bahasa, pengalaman-pengalaman (pengalaman budaya), hubungan interpersonal, kemampuan pada area tertentu yang dinilai oleh diri sendiri atau masyarakat serta menunjukan potensi yang nyata. Apabila dilihat segi sosioemosional, anak-anak tersebut sudah mulai mengembangkan konsep diri yang berhubungan dengan siapa dirinya, kemampuan yang dimiliki, kelebihan, kekurangan mengenai penilaian lingkungan terhadap perilakunya. Ketiga aspek tersebut dipengaruhi oleh lingkungan sekitar (orangtua, teman bermain, sekolah) dalam mendukung pembentukan perilaku anak.
Anak usia middle-childhood yang memang lebih banyak menghabiskan waktunya dengan teman sebaya karena sudah memasuki masa pendidikan formal, justru menjadi sangat terpengaruh oleh teman-teman sebaya mereka (peers).
Kondisi-kondisi di atas merupakan kondisi ideal untuk perkembangan pada anak usia sekolah (middle childhood). Sementara kondisi real yang terjadi di area TPU Ujung Berung, anak-anak usia sekolah meminta-minta di area makam saat sore hari ketika pulang sekolah bahkan hal tersebut juga terjadi apabila ada yang dimakamkan ketika jam anak sekolah.
Kondisi real yang terjadi di area TPU Ujung Berung tidak sesuai dengan tugas perkembangan usia mereka dimana seharusnya lebih memfokuskan diri untuk belajar di sekolah serta mengeksplorasi potensi diri. Kondisi di mana anak-anak usia sekolah lebih banyak meminta-minta di TPU daripada berada di sekolah akan membuat mereka kehilangan kesempatan untuk mengeksplorasi bakat dan potensi yang dimiliki.
Sedangkan dilihat dari prinsip-prinsip perkembangan yang ada, bahwa setiap anak memiliki bakat dalam dirinya dan bagaimana dukungan lingkungan terhadap hal tersebut. Anak-anak yang mengemis di TPU, bakat yang ia miliki yang seharusnya dapat dieksplorasi namun hal ini tidak terjadi ketika yang ia ketahui dan pahami hanya dengan meminta-minta. Hal tersebut didukung oleh lingkungan sekitar dengan cara memberikan uang kepada anak-anak tersebut sehingga terjadi penguatan dalam perilakunya.
Aspek fisik mereka tumbuh dan berkembang sebagaimana mestinya. Hal ini jugalah yang menyebabkan mereka dapat lebih banyak melakukan eksplorasi dengan lingkungan dengan bermain dan melakukan kegiatan fisik lainnya di luar rumah (TPU). Namun, aspek fisik yang telah cukup berjalan dengan optimal ini tidak dibarengi oleh aspek sosioemosional dan aspek kognitif. Setiap anak memiliki struktur kognitif atau kemampuan pikir yang berbeda-beda. Artinya anak dalam menyikapi permasalahan juga berbeda-beda. Berdasarkan dari hasil wawancara yang didapatkan bahwa ada sebagian anak (2 dari 4 anak) lebih menyukai meminta-minta di TPU dibandingkan dengan pergi ke sekolah. Anak-anak yang lebih memilih untuk meminta-minta daripada sekolah memiliki kesempatan yang lebih sedikit untuk belajar tentang kerjasama di sekolah dibandingkan dengan anak yang bersekolah. Sekolah merupakan suatu wadah yang memberikan kesempatan anak-anak untuk saling berinteraksi dan bekerjasama. Selain sekolah, peran teman sebaya (peers) juga berperan dalam perkembangan sosioemosional anak yang pada usia middle-childhood yang telah memasuki usia sekolah. Perkembangan sosioemosional ini akan mengarah pada pembentukan sense of self dalam diri anak. Salah satu aspek self pada anak usia middle-childhood yang berkembang adalah moralitas. Selain orangtua dan sekolah, peers juga merupakan agen sosialisasi moralitas. Dimana berdasarkan data yang ada, diperoleh bahwa pada awalnya anak-anak yang melakukan kegiatan meminta-minta di area TPU tersebut dikarenakan mengikuti ajakan teman-temannya yang melakukan kegiatan yang sama. Hasil yang diperoleh ini senada yang dikemukakan oleh Kohlberg yang menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi perkembangan moral anak salah satu diantaranya adalah interkasi dengan teman sebaya.
Komponen moralitas sendiri terdiri atas tiga bagian yaitu kognitif, afektif dan tingkah laku juga akan saling berinteraksi dalam membentuk perilaku anak-anak apakah sesuai atau menyimpang dengan standar moral yang ada. Aspek kognitif digunakan untuk menilai perilaku baik atau buruk, aspek afektif digunakan untuk menilai apakah ada perasaan bersalah (malu) atau justru merasa bangga (senang) ketika melakukan sesuatu dan yang terakhir aspek tingkah laku, dimana apakah perilaku yang akhirnya dilakukan oleh anak sudah sejalan atau tidak dengan kognitif dan afektif yang mereka miliki. Aspek kognitif dalam menilai perilaku baik atau buruk, salah satu diantaranya dipengaruhi oleh tahapan perkembangan kognitif dari masing-masing anak. Tahapan perkembangan kognitif terbentuk bisa dari lingkungan sekolah dan lingkungan keluarga (orangtua). Lingkungan sekolah dan lingkungan keluarga dari anak-anak yang meminta-minta di TPU justru tidak melarang dan tidak menjelaskan bahwa perilaku meminta-minta yang mereka lakukan tersebut salah, bahkan lingkungan keluarga (orangtua) menyuruh anak-anaknya untuk meminta-minta agar dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Tidak adanya larangan dan penjelasan sama sekali bahkan anak-anak justru disuruh untuk meminta-minta di TPU yang dikaitkan pula bahwa tahap perkembangan kognitif pada usia middle-childhood berada pada tahap concrete-operasional yang menilai segala sesuatu berdasarkan hal yang konkret saja menyebabkan dalam diri anak terbentuk bahwa perilaku meminta-minta ini adalah hal yang baik. Aspek afektif (emosi) yang menimbulkan perasaan bersalah atau bangga ketika melakukan sesuatu dapat dipengaruhi oleh relasi sosial yang terjalin antara orangtua dan anak. Orangtua yang selalu memberikan pujian ketika anak melakukan perilaku yang sudah sesuai dengan standar moral yang ada sehingga anak akan merasa bangga dan memberikan hukuman ketika anak melakukan perilaku yang bertentangan dengan nilai standar moral sehingga anak akan merasa bersalah (malu) akan menyebabkan anak akan membentuk konsep dalam dirinya bahwa untuk perilaku yang benar ia akan merasa bangga (senang) tetapi jika ia melakukan perilaku yang salah ia akan merasa bersalah (malu). Berdasarkan hasil yang diperoleh, relasi yang terjalin antara anak yang meminta-minta dengan orangtua mereka tidak begitu hangat. Beberapa dari orangtua justru lebih sering menghukum anaknya dan lebih sering berada di luar rumah karena bekerja sehingga anak-anak kurang bisa membedakan apakah ia harus merasa bersalah dan merasa bangga karena melakukan perilaku yang salah. Aspek tingkah laku yang sebelum diwujudkan dalam bentuk perilaku yang nyata juga terlebih dahulu harus terinternalisasi dalam diri anak. Jadi meskipun anak menilai perilaku meminta-minta itu salah dan ia merasa malu tetapi tidak terinternalisasi dalam diri anak maka perilaku yang muncul akan tetap meminta-minta. Berdasarkan hasil interview dengan beberapa anak ditemukan bahwa mereka menganggap bahwa perilaku meminta-minta itu salah dan ia merasa malu jika ketahuan oleh teman-teman di sekolah tetapi mereka tetap melakukan perilaku tersebut.
Meskipun anak tahu bahwa meminta-minta itu salah dan merasa malu jika ketahuan namun hal ini tidak terinternalisasi dalam diri mungkin dapat dipengaruhi karena mereka harus tetap melakukannya untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Hal ini juga didukung dengan reward dari lingkungan sekitar yang membuat anak-anak tersebut semakin memperkuat tingkah laku meminta-minta mereka, misalnya dengan mendapatkan uang setiap kali mereka meminta-minta dari para pelayat dan pihak TPU yang kurang tegas melarang anak-anak untuk meminta-minta. Akibatnya adalah nilai-nilai yang terinternalisasi pada diri anak adalah hal yang baik atau menyenangkan dengan mendapatkan uang. Sehingga meskipun anak-anak tersebut tahu bahwa perbuatan mereka tidak benar, tapi tetap melakukannya karena lingkungan yang tidak memberikan punishment secara sosial kepada mereka.
BAB IV
PENUTUP
Berdasarkan hasil yang didapatkan di TPU mengenai anak yang meminta-minta dan dikaitkan dengan konsep teoritis yang ada maka dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai yang terinternalisasi dalam diri anak-anak adalah nilai bahwa meminta-minta itu baik. Hal ini terjadi karena disebabkan tidak adanya usaha baik dari keluarga, sekolah maupun pihak TPU untuk memberikan penjelasan mengenai nilai-nilai baik dan buruk sehingga akan terjadi internal attribution yang akan membentuk moral prohibition pada anak-anak. Tidak adanya usaha khususnya dari keluarga sebagai lingkungan yang paling dekat dengan anak untuk memberikan penjelasan mengenai nilai-nilai baik dan buruk kemungkinan dipengaruhi oleh tingkat pendidikan orangtua dan tingkat ekonomi yang mengharuskan untuk tetap meminta-minta. Oleh karena itu, hal ini bisa berdampak pada standar nilai yang sudah dianut oleh anak akan bertentangan dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat sehingga kemungkinan kedepannya anak akan sulit berinteraksi di luar lingkungannya yang sekarang (area di sekitar TPU) karena anak-anak sudah terbiasa untuk melakukan perilaku meminta-minta yang diperbolehkan di lingkungan sekitar TPU sedangkan di lingkungan lain perilaku meminta-minta ini dianggap melanggar nilai-nilai yang ada.
Dampak lainnya yang kemungkinan akan ditimbulkan di kemudian hari adalah tingkat kognitif anak-anak yang meminta-minta akan berkembang tidak optimal karena anak-anak lebih banyak menghabiskan waktunya di luar sekolah dan melakukan aktivitas yang kurang sesuai untuk pemenuhan tugas-tugas perkembangannya.
Dosen Pengampu: Dr. Sutji
Oleh:
Kelompok I:
Grestin Sandy R (19042008005)
Airin Triwahyuni (190420080018)
Fitri Ricania Sukaputri (190420080026)
Vina Oktaviana (190420080046)
MAGISTER PROFESI PSIKOLOGI
PROGRAM PASCASARJANA
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS PADJAJARAN
2010
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Di Indonesia, persoalan pekerja anak dan kelangsungan pendidikannya belakangan ini kembali mencuat karena dipicu situasi krisis ekonomi yang berkepanjangan. Anak adalah aset bangsa yang sangat berharga, karena ditangan anak-anak tersebut estafet keberadaan bangsa di masa datang terletak. Namun sebagai aset berharga, tidak semua anak memperoleh haknya untuk dapat tumbuh dan berkembang sebagaimana layaknya anak pada umumnya. Hal ini salah satunya dialami oleh anak jalanan yang karena satu dan lain hal haknya sebagai anak tidak dapat terpenuhi dengan baik. Di beberapa wilayah banyak dijumpai kumpulan anak-anak usia sekolah yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk berkeliaran di jalan-jalan atau tempat umum lainnya. Mereka berkeliaran untuk mencari nafkah atau mencari tambahan uang saku dengan berbagai cara, misalnya menjadi penjual koran, pengamen, tukang parkir, pedagang asongan dan sebagainya.
Stigma yang diberikan masyarakat kepada anak jalanan disebabkan dalam kehidupannya di jalanan, baik secara pribadi maupun kelompok mereka berupaya mengembangkan sub kultur dengan norma dan nilai yang berbeda dari yang berlaku secara umum. Di satu sisi mungkin positif karena dapat melindungi keberadaan mereka, tapi di sisi lainnya negatif. Hal ini disebabkan dari norma dan nilai yang tumbuh tersebut, justru menyimpang dari norma dan nilai yang berlaku secara umum. Disamping itu juga muncul perilaku sosial yang anormatif, seperti acuh tak acuh, dan sikap curiga yang berlebihan pada orang di luar kelompoknya, susah diatur, liar, reaktif, sensitif, bebas dan cenderung hanya bergaul atau berinteraksi dengan kelompoknya, masa bodoh, dll.
Banyak faktor yang berpengaruh terhadap fenomena anak jalanan. Faktor makro yang memunculkan masalah tersebut yaitu; pertumbuhan ekonomi yang tidak merata, partisipasi sekolah pada anak usia sekolah yang memunculkan drop-out. Sedangkan masalah mikro di dalamnya tercakup; ajakan teman, desakan orang tua untuk mencari nafkah, rumah tangga yang tidak harmonis, anak dengan orang tua single parent, dan ketidakpuasan terhadap sekolah atau guru.
Salah satu yang termasuk anak jalanan yaitu anak-anak yang meminta-minta di tempat-tempat umum (lampu merah, tempat pemakaman dan lain-lain). Pemilihan anak yang meminta-minta di TPU Ujung Berung sebagai tempat untuk melakukan observasi dan interview didasarkan pada pertimbangan bahwa pada lingkungan yang ada di sekitar TPU Ujung Berung ini cukup homogen dalam hal tingkat pendidikan dan kondisi tempat tinggal para anak-anak yang meminta-minta dibandingkan jika pada anak jalanan. Lingkungan anak jalanan lebih heterogen dan sangat bervariasi seperti ada anak yang masih sekolah dan ada pula yang sudah tidak bersekolah lagi. Selain itu pada anak jalanan ada yang memang membutuhkan uang namun banyak juga yang hanya karena ikut-ikutan saja, tempat tinggal yang saling berjauhan dan mungkin ada yang mengkoordinir mereka. Oleh karena itu, berdasarkan pertimbangan tersebut anak yang meminta-minta di TPU Ujung Berunglah yang dijadikan sebagai lokasi observasi dan interview karena karakteristik dari anak-anak cukup sama (homogen) antara satu dengan yang lainnya.
Sedangkan berdasarkan data yang diperoleh di lapangan, didapatkan informasi bahwa di area TPU (Tempat Pemakaman Umum) Ujung Berung ini banyak anak-anak usia sekolah yang meminta-minta di area makam saat sore hari ketika pulang sekolah bahkan hal tersebut juga terjadi apabila ada yang dimakamkan ketika jam anak sekolah. Alasan anak-anak tersebut melakukan pekerjaan meminta-meminta pada dasarnya adalah adanya ajakan dari temannya yang juga meminta-minta baik teman sekolah maupun teman bermainnya. Pada umumnya mereka berasal dari keluarga yang kurang mampu. Mereka bersekolah di sekolah yang mendapat subsidi dari pemerintah. Biasanya orangtua mereka mengeluarkan biaya untuk seragam dan uang saku. Uang yang mereka dapatkan digunakan untuk tambahan uang saku mereka dan membantu orangtua untuk membeli kebutuhan pokok. Uang yang mereka peroleh setiap harinya kurang lebih Rp. 2.000,- sampai dengan Rp. 5.000,- pada hari biasa, apabila ada yang meninggal kurang lebih Rp. 20.000,- dan meningkat pada hari raya yaitu mencapai Rp. 100.000,-.
Kondisi tersebut didukung dengan tidak adanya aturan yang diberikan oleh orangtuanya di dalam rumah. Pada umumnya orangtua membiarkan anaknya meminta-minta dan bahkan ada yang menyuruh anaknya meminta-minta. Hal tersebut terjadi karena adanya desakan faktor ekonomi. Hasil uang yang didapatkan anak-anak tersebut digunakan sebagai uang saku dan membantu orangtua membeli kebutuhan sehari-hari. Dari perilaku meminta-minta yang dilakukan anak-anak tersebut, beberapa dari mereka ada yang merasa malu dan merasa bersalah namun ada juga anak yang tidak merasa bersalah dan mengganggap meminta-minta adalah suatu hal yang baik.
Anak yang menilai hal yang dilakukan (perilaku meminta-minta) adalah hal yang baik dikarenakan mereka beranggapan dengan meminta-minta mereka dapat membeli buku sendiri dan membantu orangtua. Penilaian anak-anak mengenai apakah perilaku meminta-minta adalah hal yang baik atau buruk termasuk ke dalam konsep moral. Moral berhubungan dengan nilai-nilai moral yang berlaku dalam suatu kelompok sosial atau masyarakat. Nilai-nilai moral yang dimiliki oleh anak diperoleh secara bertahap sesuai dengan taraf perkembangannya, yang mana menimbulkan kesadaran-kesadaran dan pengertian akan apa, mengapa dan bagaimana sesuatu perbuatan itu dilakukan.
Hal tersebut sesuai dengan yang dikemukakan oleh Gunarsa (1992:38) tentang faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan moral anak. Bagaimanapun lingkungan sangat penting dalam meningkatkan kemampuan anak dalam melakukan penalaran moral, sehingga perkembangan moral yang dimiliki senantiasa berkembang sesuai dengan harapan dan nilai-nilai masyarakat pada umumnya.
Fenomena tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Lassaigne (dalam Monks, 1981) mengenai pengaruh orang tua dan kelompok teman sebaya pada pendapat remaja mengenai moral, bahwa remaja membutuhkan baik orang tua maupun teman sebaya sebagai penasehat dan pembimbing.
Kehidupan meminta-minta tentunya akan mempunyai dampak terhadap perkembangan kepribadian anak. Anak akan berperilaku sesuai dengan apa yang dia lihat sehari-hari, apa yang menurut kelompoknya dianggap baik dan apa yang dapat digunakan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya, sehingga tidak jarang sesuatu yang dianggap salah dan terlarang dalam masyarakat menjadi hal yang biasa dalam kehidupannya.
Dari uraian diatas dapat dinyatakan bahwa di dalam perkembangannya menuju ke tahap yang berikutnya, individu sangat dipengaruhi oleh lingkungan, baik itu lingkungan keluarga, sekolah maupun lingkungan masyarakat sekitarnya. Gunarsa (1992 : 38) mengatakan bahwa tingkah laku bermoral adalah suatu yang diperoleh atau dipelajari dari luar dirinya dan tentu saja faktor-faktor tersebut berada di luar dirinya. Realitas pengalaman yang dihadapi tersebut, akan membangun skema kognitif yang unik dari anak jalanan tentang lingkungan dengan perilakunya. Realitas yang dimaksud adalah bagaimana mereka mendapatkan perlakuan dari lingkungan dan bagaimana peran yang harus dipilih (role taking) ketika mereka berinteraksi dengan lingkungan.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana penilaian anak-anak tersebut mengenai apa yang mereka lakukan (meminta-minta) kaitannya dengan pembentukan perilaku mereka serta apa yang mempengaruhi mereka sehingga menampilkan tingkah laku tersebut?
2. Bagaimana efek dari perilaku meminta-minta untuk perkembangan anak-anak tersebut?
BAB II
KAJIAN TEORITIS (KONDISI IDEAL)
Perkembangan adalah suatu proses. Setiap tahap memiliki tugas-tugas perkembangan yang harus dipenuhi agar dapat dipergunakan pada tahap kehidupan selanjutnya.
Menurut Erikson, anak yang berada pada usia middle childhood (6-12 tahun) berada pada tahap Genital-Locomotor Stage dan tahap Latency. Pada tahap Genital-Locomotor, seorang anak diharapkan mulai dapat berinteraksi dengan lingkungannya secara mandiri tanpa orangtuanya. Apabila anak berhasil malakukan hal ini maka anak akan mendapatkan sense of initiative. Sedangkan apabila anak tidak berhasil memenuhi tuntutan lingkungan untuk mulai lepas dari orangtuanya maka ia akan mendapatkan perasaan sense of guilt. Kemudian pada tahap Latency, seorang anak diharapkan untuk mulai melakukan tugas-tugas sederhana sebagaimana orang dewasa mampu lakukan. Dan apabila seorang anak dapat melakukan hal ini maka ia akan mendapatkan sense of industry. Namun apabila anak merasa bahwa ia tidak dapat mememenuhi tuntutan masyarakat tersebut maka ia akan merasakan sense of inferiority.
Tahapan-tahapan diatas adalah proses yang secara umum dialami seorang individu sepanjang hidupnya. Untuk memenuhi tuntutan masyarakat yang berbeda-beda pada setiap tahapan perkembangan usia (infancy, childhood, middle childhood, dst) dibutuhkan kemampuan yang berbeda.
Berdasarkan penjelasan singkat diatas dapat dilihat bahwa secara umum tugas perkembangan pada masa middle childhood adalah mendapatkan sense of initiative dan sense of industry. Kedua hal ini adalah tuntutan masyarakat secara umum terhadap anak usia 6 -12 tahun.
Keluarga adalah lingkungan pertama yang paling berperan dalam perkembangan anak. Anak berinteraksi dengan keluarganya (ibu, ayah, saudara kakak, adik, dan lain-lain) dalam kehidupan kesehariannya. Sehingga dapat dikatakan bahwa keluarga memiliki pengaruh yang besar tehadap seorang anak.
Selain itu usia middle childhood (6-12 tahun) biasanya dikatakan juga usia sekolah karena pada usia inilah anak mulai masuk sekolah. Anak yang sebelumnya lebih banyak menghabiskan waktu dirumah sekarang mulai diharapkan untuk belajar di sekolah. Sehingga lingkungan lain yang sekiranya berpengaruh pada anak usia ini adalah sekolah.
Anak yang mulai berinteraksi dengan orang-orang diluar rumahnya dan bermain di luar rumah akan mulai mengenal kelompok lain yaitu peer group. Pada usia inilah anak mulai melakukan memandang dirinya melalui perbandingan dengan orang lain (social comparison).
Meskipun lingkungan memiliki peranan yang penting bagi seorang anak namun anak merupakan sebuah unit individu yang memiliki dinamika tersendiri. Aspek-aspek penting dalam diri anak saling terkait dan saling berinteraksi, yaitu aspek biologis, kognitif, dan sosioemosional.
Secara fisik, anak usia middle childhood telah memiliki otot-otot yang memungkinkannya untuk melakukan eksplorasi di lingkungannya. Anak mulai dapat mencoba melakukan kegiatan-kegiatan yang memerlukan kekuatan fisik, seperti berolahraga dan bermain di luar rumah. Hal ini sangat membantu anak dalam memenuhi tugas perkembangannya untuk mempelajari tugas-tugas sederhana seperti orang dewasa lakukan dan apabila berhasil akan menumbuhkan perasaan sense of industry. Anak yang tidak sehat dan lebih banyak menghabiskan waktu dirumah akan kehilangan kesempatan untuk mulai berinteraksi di luar rumah tanpa orangtua dan mengelami kesulitan untuk memperlajari kemampuan-kemampuan baru yang dapat menumbuhkan perasaan sense of industry-nya.
Secara kognitif anak middle childhood berada pada tahapan concrete operational (menurut Piaget). Meskipun anak sudah dapat membayangkan suatu proses tanpa perlu melihat secara nyata proses tersebut namun hal ini masih terbatas pada hal-hal yang bersifat konkrit. Tahapan perkembangan kognitif sebenarnya menggambarkan bagaimana seseorang akan memecahkan persoalan yang ia hadapi. Semakin tinggi tahapan perkembangan kognitif seseorang maka ia akan dapat membuat penyelesaian masalah dengan semakin baik. Sekolah adalah satu sarana yang dapat meningkatkan perkembangan kognitif. Sebuah penelitian menyimpulkan bahwa anak yang mengikuti sekolah lebih baik dalam hal perkembangan kognitif dibandingkan dengan anak yang tidak mengikuti sekolah. Namun perlu diingat bahwa sekolah bukan hanya meningkatkan perkembangan kognitif. Sekolah adalah agen sosialisasi yang tidak hanya memberikan pelajaran mengenai materi kognitif namun juga mengajarkan nilai-nilai, prinsip-prinsip, strategi-strategi dan kemampuan penyelesaian masalah. Anak juga diajarkan untuk mematuhi aturan, melakukan kerjasama dengan temen sekolahnya . Dari sini dapat disimpulkan bahwa sekolah juga berpengaruh pada perkembangan sosial dan emosional anak. Sekolah juga mempersiapkan anak untuk dapat hidup secara mandiri secara ekonomi dan mendapatkan pekerjaan.
Anak sudah mulai memiliki sense of self semenjak lahir. Ada beberapa aspek self yang berkembang pada diri anak pada usia middle childhood. Salah satunya adalah morality. Proses intenalisasi nilai yang berlangsung selama masa kanak-kanak berpengaruh pada nilai-nilai yang dianut pada masa dewasa. Piaget mengatakan bahwa pada usia preschool anak belum menunjukan perhatian dan kesadaran terhadap aturan. Lalu pada usia 5-10 tahun, anak mulai mengembangkan kesadaran yang kuat terhadap aturan.
Moralitas adalah satu set prinsip-prinsip atau idealisme-idealisme yang dapat membantu seseorang untuk 1) membedakan benar dan salah; 2) bertingkah laku berdasarkan prinsip tersebut; 3) merasa bangga apabila bisa bertingkah laku sesuai dengan standar dan merasa malu atau merasa bersalah apabila tidak berhasil.
Tiga komponen dari moralitas adalah :
a. Komponen Afektif : komponen yang berisi perasaan-perasaan seputar tingkah laku yang berdasarkan pada standar moralitas.
b. Komponen Kognitif : bagaimana mengkonseptualisasikan benar dan salah dan memutuskan bagaimana bertingkah laku.
c. Komponen Behavioral : merefleksikan bagaimana kita bertingkah laku ketika menghadapi godaan untuk berbohong, curang, atau untuk melanggar standar moral kita
Pada awalnya moralitas seorang anak merupakan hasil dari cara anak menghindari hukuman dari figur otoritas atau untuk mendapatkan kepuasan pribadi. Aturan-aturan tersebut kemudian terinternalisasi ke dalam diri anak dan menjadi bagian dari dirinya, moralitas dirinya.
Tahapan perkembangan moral menurut Kohlberg adalah sbb :
1. Preconventional Morality : Aturan masih merupakan sesuatu yang bersifat eksternal dan belum terinternalisasi
a. Tahap 1 : Punishment and Obidience Orientation masih sangat bergantung pada konsekwensi dari suatu tingkah laku
b. Tahap 2 : Naïve Hedonism mematuhi aturan agar mendapatkan suatu reward atau medapatkan kepuasan pribadi.
2. Conventional Morality : seseorang berusaha mematuhi aturan agar mendapatkan social approval
a. Tahap 3 : Good Boy or Good Girl
b. Tahap 4 : Social Order-Maintaining Morality
3. Postconventional Morality
a. The Social contract orientation
b. Morality of individual Principles of conscience
Penjelasan singkat di atas memberikan gambaran bahwa moralitas adalah suatu bentuk tingkah laku adaptif manusia. Bagaimana seseorang dapat bertahan di masyarakat. Bagaimana seseorang berusaha untuk dapat diterima di masyarakat. Dan bagaimana aturan-aturan tersebut terinternalisasi dan menjadi bagian dari diri seseorang dan mempengaruhi cara ia memandang dirinya dan bertingkah laku.
Anak usia middle childhood sedang memperlajari bagaimana dapat bertahan di luar rumah tanpa bantuan orangtuanya. Aturan yang telah dipelajarinya dirumah akan mendapatkan berbagai macam cobaan dan mungkin juga tambahan.
Selain dari orangtua, peer juga merupakan agen sosialisasi moralitas. Terutama pada anak usia middle childhood yang mulai mengenal peer. Hal ini akan semakin memuncak pada masa remaja. Peer adalah sosok yang tidak mengancam (tidak seperti orangtua yang bisa memberikan hukuman) sehingga diskusi mengenai topik-topik moralitas dengan peer akan membuat anak semakin aktif dalam proses pembentukan moralitasnya.
Kohlberg menyatakan ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap perkembangan moral anak, yaitu :
1. Interaksi dengan teman sebaya.
Kohlberg sepakat dengan Piaget bahwa interaksi dengan teman sebaya memiliki pengaruh yang lebih besar pada perkembangan moral anak daripada pemaksaan aturan oleh orangtua. Interaksi ini dapat berupa proses modeling atau transactive interaction. Transactive interaction adalah pertukaran reasoning mengenai moralitas. Asimilasi dan akomodasi dapat menjadi hasil dari transactive interaction.
Sedangkan pemberian nilai-nilai oleh orangtua akan dipandang sebagai hal yang tidak menyenangkan dan akan menimbulkan penolakan pada anak ataupun remaja.
2. Pendidikan lanjutan.
Individu yang mengikuti pendidikan tinggi biasanya memiliki reasoning mengenai moralitas yang lebih kompleks dibandingkan dengan individu yang pendidikannya lebih rendah. Hal ini dimungkinkan karena (1) pendidikan mengakomodasi perkembangan kognitif (2) memberikan kesempatan untuk melihat perpektif yang berbeda-beda dan konflik moralitas.
3. Pengaruh budaya
Misalnya, lingkungan yang demokratis, yang memberikan kesempatan untuk berdiskusi memberikan kesempatan untuk moral berkembang.
Moralitas sebagai produk dari social learning (dan social information processing)
Albert Bandura (1986, 1991) dan Walter Mischel (1974) menyatakan bahwa tingkah laku moral dipelajari dengan cara yang sama sebagaimana tingkah laku sosial yang lain. Burton (1976), menyatakan karakter moral tidak selalu konsisten pada semua situasi, bahkan pada orang dewasa yang telah matang sekalipun. Konsistensi dari ketiga komponen moral semakin kuat seiring dengan usia.
Seorang yang secara moral reasoning (kognitif) dan moral affect (afektif) mendukung pada tingkah laku moral yang baik ternyata masih sangat mungkin melakukan tingkah laku yang melanggar standar moralnya tersebut. Situasi yang berbeda memberikan efek yang berbeda. Yang penting adalah bagaimana tetap bertahan pada standar moral seseorang pada situasi apapun. Social learning theory berusaha menjawab pertanyaan ini .
1. Reinforcement sebagai determinan atas tingkah laku moral
Orangtua yang hangat dan memberikan pujian pada saat anaknya bertingkah laku baik akan membantu proses internalisasi nilai-nilai pada anak. Dengan memberikan reinforcement bahwa mereka adalah anak yang jujur, bertanggungjawab, dan lain-lain maka anak akan menjadikan psychological dimension tersebut menjadi bagian dari self-concept mereka.
2. Peran punishment dalam pembentukan moral prohibition
Meskipun me-reinforce tingkah laku yang baik dapat meningkatkan frekwensi tingkah laku yang sesuai dengan norma, orangtua seringkali lupa memuji anak yang berhasil menahan godaan untuk tidak bertingkahlaku melanggar norma. Punishment dapat membentuk moral prohibition. Namun punishment yang seperti apa? Martin Hoffman’s (1988) penjelasan mengenai mengapa timgkah laku tersebut salah sangat membantu dalam efektivitas hukuman. Melalui penjelasan akan terjadi internal attribution. Mereka akan merasa bersalah, melanggar konsep diri mereka yang positif apabila melanggar standar tersebut. Sedangkan tanpa penjelasan, yang terjadi adalah external attribution. Dimana tingkah laku sesuai norma hanya dilakukan apabila figure otoritas ada di sekitarnya.
Dalam rangka menginternalisasikan nilai-nilai benar dan salah dan kemudian membentuk self control maka perlu diberikan penjelasan agar seorang anak mengetahui mengapa suatu tingkah laku adalah salah dan mengapa ia seharusnya merasa bersalah pada saat melakukan tindakan tersebut.
3. Efek social model pada moral behavior anak
Anak yang memberikan contoh secara pasif yaitu dengan tidak melakukan tindakan melanggar norma ternyata berpengaruh pada pembentukan moral behavior anak. Namun hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa anak tersebut menyatakan dengan jelas bahwa ia tidak melanggar aturan dan mengetahui mengapa ia tidak melanggar aturan tersebut.
BAB III
ANALISA PERBANDINGAN ANTARA KONDISI IDEAL DAN KONDISI REAL
Berdasarkan hasil analisa dari data yang diperoleh di lapangan bahwa dari tugas perkembangan anak pada usia sekolah dapat dilihat dari aspek perkembangan segi biologis, anak usia sekolah (middle childhood) sudah mulai berkembang yang artinya tubuhnya sudah cukup kuat untuk melakukan eksplorasi lingkungan. Sedangkan dilihat dari segi kognitif, anak-anak usia sekolah (middle childhood) mulai dapat membedakan antar diri dengan orang di luar dirinya sehingga sudah dapat membuat social comparison. Mereka juga mulai dapat mengeksplorasi lingkungan melalui bahasa, pengalaman-pengalaman (pengalaman budaya), hubungan interpersonal, kemampuan pada area tertentu yang dinilai oleh diri sendiri atau masyarakat serta menunjukan potensi yang nyata. Apabila dilihat segi sosioemosional, anak-anak tersebut sudah mulai mengembangkan konsep diri yang berhubungan dengan siapa dirinya, kemampuan yang dimiliki, kelebihan, kekurangan mengenai penilaian lingkungan terhadap perilakunya. Ketiga aspek tersebut dipengaruhi oleh lingkungan sekitar (orangtua, teman bermain, sekolah) dalam mendukung pembentukan perilaku anak.
Anak usia middle-childhood yang memang lebih banyak menghabiskan waktunya dengan teman sebaya karena sudah memasuki masa pendidikan formal, justru menjadi sangat terpengaruh oleh teman-teman sebaya mereka (peers).
Kondisi-kondisi di atas merupakan kondisi ideal untuk perkembangan pada anak usia sekolah (middle childhood). Sementara kondisi real yang terjadi di area TPU Ujung Berung, anak-anak usia sekolah meminta-minta di area makam saat sore hari ketika pulang sekolah bahkan hal tersebut juga terjadi apabila ada yang dimakamkan ketika jam anak sekolah.
Kondisi real yang terjadi di area TPU Ujung Berung tidak sesuai dengan tugas perkembangan usia mereka dimana seharusnya lebih memfokuskan diri untuk belajar di sekolah serta mengeksplorasi potensi diri. Kondisi di mana anak-anak usia sekolah lebih banyak meminta-minta di TPU daripada berada di sekolah akan membuat mereka kehilangan kesempatan untuk mengeksplorasi bakat dan potensi yang dimiliki.
Sedangkan dilihat dari prinsip-prinsip perkembangan yang ada, bahwa setiap anak memiliki bakat dalam dirinya dan bagaimana dukungan lingkungan terhadap hal tersebut. Anak-anak yang mengemis di TPU, bakat yang ia miliki yang seharusnya dapat dieksplorasi namun hal ini tidak terjadi ketika yang ia ketahui dan pahami hanya dengan meminta-minta. Hal tersebut didukung oleh lingkungan sekitar dengan cara memberikan uang kepada anak-anak tersebut sehingga terjadi penguatan dalam perilakunya.
Aspek fisik mereka tumbuh dan berkembang sebagaimana mestinya. Hal ini jugalah yang menyebabkan mereka dapat lebih banyak melakukan eksplorasi dengan lingkungan dengan bermain dan melakukan kegiatan fisik lainnya di luar rumah (TPU). Namun, aspek fisik yang telah cukup berjalan dengan optimal ini tidak dibarengi oleh aspek sosioemosional dan aspek kognitif. Setiap anak memiliki struktur kognitif atau kemampuan pikir yang berbeda-beda. Artinya anak dalam menyikapi permasalahan juga berbeda-beda. Berdasarkan dari hasil wawancara yang didapatkan bahwa ada sebagian anak (2 dari 4 anak) lebih menyukai meminta-minta di TPU dibandingkan dengan pergi ke sekolah. Anak-anak yang lebih memilih untuk meminta-minta daripada sekolah memiliki kesempatan yang lebih sedikit untuk belajar tentang kerjasama di sekolah dibandingkan dengan anak yang bersekolah. Sekolah merupakan suatu wadah yang memberikan kesempatan anak-anak untuk saling berinteraksi dan bekerjasama. Selain sekolah, peran teman sebaya (peers) juga berperan dalam perkembangan sosioemosional anak yang pada usia middle-childhood yang telah memasuki usia sekolah. Perkembangan sosioemosional ini akan mengarah pada pembentukan sense of self dalam diri anak. Salah satu aspek self pada anak usia middle-childhood yang berkembang adalah moralitas. Selain orangtua dan sekolah, peers juga merupakan agen sosialisasi moralitas. Dimana berdasarkan data yang ada, diperoleh bahwa pada awalnya anak-anak yang melakukan kegiatan meminta-minta di area TPU tersebut dikarenakan mengikuti ajakan teman-temannya yang melakukan kegiatan yang sama. Hasil yang diperoleh ini senada yang dikemukakan oleh Kohlberg yang menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi perkembangan moral anak salah satu diantaranya adalah interkasi dengan teman sebaya.
Komponen moralitas sendiri terdiri atas tiga bagian yaitu kognitif, afektif dan tingkah laku juga akan saling berinteraksi dalam membentuk perilaku anak-anak apakah sesuai atau menyimpang dengan standar moral yang ada. Aspek kognitif digunakan untuk menilai perilaku baik atau buruk, aspek afektif digunakan untuk menilai apakah ada perasaan bersalah (malu) atau justru merasa bangga (senang) ketika melakukan sesuatu dan yang terakhir aspek tingkah laku, dimana apakah perilaku yang akhirnya dilakukan oleh anak sudah sejalan atau tidak dengan kognitif dan afektif yang mereka miliki. Aspek kognitif dalam menilai perilaku baik atau buruk, salah satu diantaranya dipengaruhi oleh tahapan perkembangan kognitif dari masing-masing anak. Tahapan perkembangan kognitif terbentuk bisa dari lingkungan sekolah dan lingkungan keluarga (orangtua). Lingkungan sekolah dan lingkungan keluarga dari anak-anak yang meminta-minta di TPU justru tidak melarang dan tidak menjelaskan bahwa perilaku meminta-minta yang mereka lakukan tersebut salah, bahkan lingkungan keluarga (orangtua) menyuruh anak-anaknya untuk meminta-minta agar dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Tidak adanya larangan dan penjelasan sama sekali bahkan anak-anak justru disuruh untuk meminta-minta di TPU yang dikaitkan pula bahwa tahap perkembangan kognitif pada usia middle-childhood berada pada tahap concrete-operasional yang menilai segala sesuatu berdasarkan hal yang konkret saja menyebabkan dalam diri anak terbentuk bahwa perilaku meminta-minta ini adalah hal yang baik. Aspek afektif (emosi) yang menimbulkan perasaan bersalah atau bangga ketika melakukan sesuatu dapat dipengaruhi oleh relasi sosial yang terjalin antara orangtua dan anak. Orangtua yang selalu memberikan pujian ketika anak melakukan perilaku yang sudah sesuai dengan standar moral yang ada sehingga anak akan merasa bangga dan memberikan hukuman ketika anak melakukan perilaku yang bertentangan dengan nilai standar moral sehingga anak akan merasa bersalah (malu) akan menyebabkan anak akan membentuk konsep dalam dirinya bahwa untuk perilaku yang benar ia akan merasa bangga (senang) tetapi jika ia melakukan perilaku yang salah ia akan merasa bersalah (malu). Berdasarkan hasil yang diperoleh, relasi yang terjalin antara anak yang meminta-minta dengan orangtua mereka tidak begitu hangat. Beberapa dari orangtua justru lebih sering menghukum anaknya dan lebih sering berada di luar rumah karena bekerja sehingga anak-anak kurang bisa membedakan apakah ia harus merasa bersalah dan merasa bangga karena melakukan perilaku yang salah. Aspek tingkah laku yang sebelum diwujudkan dalam bentuk perilaku yang nyata juga terlebih dahulu harus terinternalisasi dalam diri anak. Jadi meskipun anak menilai perilaku meminta-minta itu salah dan ia merasa malu tetapi tidak terinternalisasi dalam diri anak maka perilaku yang muncul akan tetap meminta-minta. Berdasarkan hasil interview dengan beberapa anak ditemukan bahwa mereka menganggap bahwa perilaku meminta-minta itu salah dan ia merasa malu jika ketahuan oleh teman-teman di sekolah tetapi mereka tetap melakukan perilaku tersebut.
Meskipun anak tahu bahwa meminta-minta itu salah dan merasa malu jika ketahuan namun hal ini tidak terinternalisasi dalam diri mungkin dapat dipengaruhi karena mereka harus tetap melakukannya untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Hal ini juga didukung dengan reward dari lingkungan sekitar yang membuat anak-anak tersebut semakin memperkuat tingkah laku meminta-minta mereka, misalnya dengan mendapatkan uang setiap kali mereka meminta-minta dari para pelayat dan pihak TPU yang kurang tegas melarang anak-anak untuk meminta-minta. Akibatnya adalah nilai-nilai yang terinternalisasi pada diri anak adalah hal yang baik atau menyenangkan dengan mendapatkan uang. Sehingga meskipun anak-anak tersebut tahu bahwa perbuatan mereka tidak benar, tapi tetap melakukannya karena lingkungan yang tidak memberikan punishment secara sosial kepada mereka.
BAB IV
PENUTUP
Berdasarkan hasil yang didapatkan di TPU mengenai anak yang meminta-minta dan dikaitkan dengan konsep teoritis yang ada maka dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai yang terinternalisasi dalam diri anak-anak adalah nilai bahwa meminta-minta itu baik. Hal ini terjadi karena disebabkan tidak adanya usaha baik dari keluarga, sekolah maupun pihak TPU untuk memberikan penjelasan mengenai nilai-nilai baik dan buruk sehingga akan terjadi internal attribution yang akan membentuk moral prohibition pada anak-anak. Tidak adanya usaha khususnya dari keluarga sebagai lingkungan yang paling dekat dengan anak untuk memberikan penjelasan mengenai nilai-nilai baik dan buruk kemungkinan dipengaruhi oleh tingkat pendidikan orangtua dan tingkat ekonomi yang mengharuskan untuk tetap meminta-minta. Oleh karena itu, hal ini bisa berdampak pada standar nilai yang sudah dianut oleh anak akan bertentangan dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat sehingga kemungkinan kedepannya anak akan sulit berinteraksi di luar lingkungannya yang sekarang (area di sekitar TPU) karena anak-anak sudah terbiasa untuk melakukan perilaku meminta-minta yang diperbolehkan di lingkungan sekitar TPU sedangkan di lingkungan lain perilaku meminta-minta ini dianggap melanggar nilai-nilai yang ada.
Dampak lainnya yang kemungkinan akan ditimbulkan di kemudian hari adalah tingkat kognitif anak-anak yang meminta-minta akan berkembang tidak optimal karena anak-anak lebih banyak menghabiskan waktunya di luar sekolah dan melakukan aktivitas yang kurang sesuai untuk pemenuhan tugas-tugas perkembangannya.
Program Penanganan Gelandangan, Pengemis, dan Anak Jalanan Terpadu Melalui Penguatan Ketahanan Ekonomi Keluarga Berorientasi Desa
PROGRAM DESAKU MENANTI
Program Penanganan Gelandangan, Pengemis, dan Anak Jalanan Terpadu Melalui Penguatan Ketahanan Ekonomi Keluarga Berorientasi Desa[1]
Arif
Rohman
University
of New England
School of
Behavioural, Cognitive and Social Sciences
Cite:
Rohman,
Arif. (2010). 'Program Penanganan Gelandangan, Pengemis, dan Anak Jalanan
Terpadu Melalui Penguatan Ketahanan Ekonomi Keluarga Berorientasi Desa'.
Disampaikan Pada Acara Workshop Penanganan Gelandangan di Perkotaan. Jakarta,
14 Oktober 2010. Jakarta: Kementerian Sosial RI.
A.
Latar Belakang
Gelandangan
dan pengemis memang telah menjadi masalah nasional yang dihadapi di banyak
kota, tak terkecuali di negara maju (Schwab, 1992 : 408). Permasalahan
gelandangan dan pengemis sebenarnya telah lama mendapatkan perhatian serius baik
dari pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun LSM. Evers & Korf (2002
: 294) bahkan secara ekstrim mengibaratkan gelandangan sebagai penyakit kanker
yang diderita kota karena keberadaannya yang mengganggu keindahan dan
kenyamanan kota, namun begitu susah dan kompleks dalam penanggulangannya.
Istilah
gelandangan berasal dari kata gelandangan, yang artinya selalu berkeliaran atau
tidak pernah mempunyai tempat kediaman tetap (Suparlan, 1993 : 179). Pada
umumnya para gelandangan adalah kaum urban yang berasal dari desa dan mencoba
nasib dan peruntungannya di kota, namun tidak didukung oleh tingkat pendidikan
yang cukup, keahlian pengetahuan spesialisasi dan tidak mempunyai modal uang.
Sebagai akibatnya, mereka bekerja serabutan dan tidak tetap, terutamanya di
sektor informal, semisal pemulung, pengamen dan pengemis. Weinberg (1970 :
143-144) menggambarkan bagaimana gelandangan dan pengemis yang masuk dalam
kategori orang miskin di perkotaan sering mengalami praktek diskriminasi dan
pemberian stigma yang negatif. Dalam kaitannya dengan ini, Rubington &
Weinberg (1995 : 220) menyebutkan bahwa pemberian stigma negatif justru
menjauhkan orang pada kumpulan masyarakat normal.
Mereka
yang tidak sukses mengadu nasib di kota, malu untuk kembali ke kampung halamannya,
sementara mereka terlunta-lunta hidup di perantauan. Mereka hidup di pemukiman
liar dan kumuh (slum/squatter area) yang dianggap murah atau tidak perlu bayar.
Orang gelandangan pada umumnya tidak memiliki kartu identitas karena takut atau
malu dikembalikan ke daerah asalnya, sementara pemerintah kota tidak mengakui
dan tidak mentolerir warga kota yang tidak mempunyai kartu identitas. Sebagai
akibatnya perkawinan dilakukan tanpa menggunakan aturan dari pemerintah, yang
sering disebut dengan istilah kumpul kebo (living together out of wedlock).
Praktek ini mengakibatkan anak-anak keturunan mereka menjadi generasi yang
tidak jelas, karena tidak mempunyai akte kelahiran. Sebagai generasi yang
frustasi karena putus hubungan dengan kerabatnya di desa dan tidak diakui oleh
pemerintah kota, dan tanpa tersentuh dunia pendidikan formal, pada akhirnya
mereka terdorong oleh sistem menjadi anak jalanan dan rentan terpengaruh untuk
melakukan tindak kriminal dan asosial (Rohman, 2004 : 72-74).
B.
Data dan Fakta
Dalam
upaya untuk merumuskan program penanganan yang tepat untuk gelandangan,
pengemis dan anak jalanan, ada baiknya disampaikan data dan fakta sebagai
berikut :
1. Berdasarkan
data yang diperoleh dari Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kementerian
Sosial, tercatat pada tahun 2008, jumlah gelandangan mencapai 25.169 orang,
jumlah pengemis mencapai 35.057 orang, dan anak jalanan mencapai 109.454 orang.
Data yang dikutip memang masih perlu ditanyakan kevaliditasannya, mengingat
pendataan pada kelompok ini relatif sulit karena mobilitas mereka yang tinggi.
Dapat dipastikan angka ini seperti fenomena puncak gunung es (tips of iceberg)
dimana angka riilnya dimungkinkan dapat lebih tinggi. Tapi untuk pegangan
sementara dalam penyusunan program, data tersebut masih dapat dipergunakan.
2. Angka
gelandangan, pengemis, dan anak jalanan diperkirakan naik, mengingat daya tarik
kota yang semakin kuat bagi orang-orang desa. Yang perlu diperhatikan dalam
konteks ini adalah bahwa Jakarta akan tetap menjadi tanah impian bagi orang
desa di Indonesia untuk mengadu nasib di kota, mengingat kecenderungan
kota-kota di Asia Tenggara yang mengacu pada gejala ‘satu kota’ yaitu ibu kota
Negara. Sebagai contohnya, kota di Indonesia adalah Jakarta, di Thailand adalah
Bangkok, di Malaysia adalah Kuala Lumpur, dan di Philippine adalah Manila.
3. Fakta
membuktikan bahwa gelandangan, pengemis dan anak jalanan adalah kelompok yang
masuk dalam kategori kemiskinan inti (core of poverty) di perkotaan. Menangani
kelompok ini sama halnya mencoba menangani masalah kemiskinan yang tersulit.
Kelompok gelandangan, pengemis dan anak jalanan merupakan kelompok khusus yang
memiliki karakteristik dan pola penanganan khusus, terutama berkaitan dengan
mentalitas dan tata cara hidup mereka yang sedikit banyak sudah terkontaminasi
budaya jalanan. Inilah sebabnya, sebagai misal, kenapa pengistilahan Jakarta di
kalangan ilmuwan sosial bukan disebut dengan kota, tapi lebih sering disebut
‘Kampung Besar’ (the big village), mengingat perilaku orang di dalamnya yang
lebih mencerminkan orang kampung.
4. Berbagai
laporan menunjukkan bagaimana pemerintah kota, seperti di Jakarta telah
mengeluarkan berbagai peraturan daerah yaitu Perda DKI No. 11 Tahun 1988
tentang ketertiban umum, dan Perda DKI No. 8 Tahun 2007 yang melarang orang
untuk menggelandang, mengemis dan melakukan aktivitas yang mengganggu
ketertiban di jalan, termasuk larangan membeli pedagang asongan dan memberi
sedekah pada pengemis di jalanan di Jakarta. Pemerintah DKI juga telah
mengadakan kerjasama lintas sektoral yang melibatkan berbagai instansi seperti
Tramtib, Kepolisian, maupun Dinas Sosial melalui operasi yustisi dalam
penanganan gelandangan, untuk selanjutnya mendapatkan pelayanan dan
rehabilitasi sosial di panti-panti pemerintah. Namun demikian, masih saja masalah
gelandangan, pengemis dan anak jalanan masih merebak di kota Jakarta dan
kota-kota lainnya.
5. Masalah
gelandangan dan pengemis bukan semata-mata masalah modal, keterampilan kerja
dan kesempatan berusaha, namun juga masalah mentalitas diri. Terbukti dari
tingkat kegagalan layanan yang disediakan pemerintah, dimana mereka yang telah
mendapatkan layanan panti ataupun layanan transmigrasi, namun kembali
menggelandang di kota. Mereka berpandangan bahwa dengan menggelandang mereka
bisa memperoleh uang tanpa harus bekerja keras. Menariknya lagi, mereka justru
memanfaatkan layanan panti-panti maupun layanan transmigrasi sebagai suatu
‘selingan hidup’ dimana mereka bisa numpang makan minum gratis di panti dan
pindah dari satu panti ke panti lainnya manakala bosan, dan hal inipun
diorganisir oleh kelompok gelandangan sendiri dengan baik. Bagi yang
bertransmigrasi mereka juga kembali setelah menjual tanah dan rumahnya ke
tetangganya maupun ke penduduk setempat.
C.
Filosofi dan Trend Penanganan Masalah Tuna Sosial
Permasalahan,
gelandangan, pengemis dan anak jalanan memiliki dimensi yang sangat kompleks.
Oleh karena itu sudah seyogyanya apabila program penanganan yang disusun
mempertimbangkan aspek sosial filosofi dan trend penanganan yang sedang
berkembang saat ini:
1.
Persoalan
Hulu
Bahwa masalah gelandangan dan
pengemis adalah masalah klasik dalam urbanisasi. Intinya jika urbanisasi dapat
diminimalisir, maka jumlah gelandangan dan pengemis di perkotaan dapat
dipastikan dapat diminimalisir pula. Karena itulah upaya penanganan yang bagus
dalam mengatasi permasalahan gelandangan dan pengemis adalah melalui upaya
preventif yang dilakukan terutama di daerah-daerah yang berpotensi mengirimkan
penduduk yang minim keterampilan, pendidikan dan modal ke kota-kota besar. Ini
bisa dilakukan dengan melakukan kegiatan survey ataupun pendataan secara
langsung ke kantong-kantong pemukiman liar, maupun dengan meminta data sekunder
dari Dinas/Instansi Sosial terkait.
Bahwa jumlah kaum urban meningkat
dikarenakan daya tarik kota yang sangat luar biasa, yang didukung banyaknya
cerita-cerita sukses dari para perantau. Pada titik ini, diperlukan upaya
penyuluhan dan diseminasi tentang resiko merantau ke kota besar, sebagai upaya
preventif dalam menyajikan data dan fakta obyektif susahnya merantau di kota.
Paling tidak, masyarakat di pedesaan harus disadarkan mengenai kejamnya kota.
Hal ini dikarenakan modus munculnya gelandangan pada umumnya dimulai dari para
perantau yang gagal mengadu nasib, yang dibawa ke kota besar baik oleh keluarganya
maupun teman terdekatnya (chain-recruitment) meskipun ada pula yang dikarenakan
keinginan sendiri (minggat) maupun diperdagangkan (trafficking).
2.
Persoalan
Hilir
Kaum urban yang dating ke
kota-kota, karena minim pengalaman, pendidikan, keterampilan kerja dan modal
uang, akhirnya mereka mencari ’Bapak Pelindung’ (patron) dan berperan sebagai
’Anak’ (client). Mereka bekerja pada patron dengan upah minim yang penting bisa
survive (mendapat makan dan tempat tinggal). Pada umumnya tempat yang dituju
adalah pemukiman liar seperti di bawah jembatan, lahan-lahan kosong, pinggir
stasiun/rel kereta api, maupun di bantaran-bantaran kali. Mereka kemudian
terorganisir secara rapi dan sangat sulit digusur. Studi yang dilakukan Rohman
(2004) menunjukkan bahwa pendudukan dan penyerobotan lahan dikarenakan
pemerintah kota yang tidak konsisten, karena banyak oknum pemerintahan yang
justru ‘melegalkan’ dengan menarik retribusi di tempat-tempat tersebut. Khusus
untuk gelandangan di Stasiun Senen, petugas PJKA yang justru mengajari mereka
dengan membikin rumah-rumah kardus yang kemudian menjadi semi permanen karena
sering pulang kemalaman ke daerah Bekasi atau Bogor. Pada titik ini pemerintah
kota diharapkan dapat secara konsisten mengawasi ruang-ruang yang rawan
penyerobotan secara liar.
Persoalan kemudian muncul manakala
kehidupan yang sulit memaksa mereka bekerja secara serabutan, baik sebagai
pemulung, pelapak, tukang service elektronik, tukang ‘petik’ (jambret), tukang
todong, pencuri, pemungut sayuran, pengamen, maupun pengemis. Permasalahan
menjadi mengemuka manakala tempat tinggal mereka kumuh dan kotor, hidup secara
tidak sehat, rawan terkena penyakit, menjadi pusat prostitusi, dan pusat
kegiatan kriminal. anak-anak mereka juga rawan penelantaran, eksploitasi
ekonomi dan eksploitasi seksual. Kejadian tindak kekerasan juga bukan barang
yang aneh di lingkungan tersebut.
Pengemis sebenarnya dapat dibagi
menjadi dua, yaitu mereka yang masuk dalam kategori cacat dan mengemis untuk
hidup, dan mereka yang dalam keadaan sehat tapi malas bekerja. Di sini jelas,
bentuk intervensi ataupun layanan sosial yang diberikan akan berbeda sesuai
dengan karakteristik pengemis. Layanan yang diberikan kepada gelandangan dan
pengemis juga terkesan setengah hati karena asumsi bahwa jika tersiar kabar
akan adanya layanan khusus gelandangan dan pengemis dipastikan angka urbanisasi
ke kota akan meningkat. Itulah sebabnya pemerintah kota cenderung lebih memilih
tindak represif daripada rehabilitatif. Ini dibuktikan program keluarga harapan
(PKH) yang dilaunching Kementerian Sosial pada tahun 2008 tidak menyentuh
keluarga tanpa KTP. Layanan yang dilakukan untuk gelandangan dan pengemis perlu
melibatkan para patron, pihak kepolisian, pemerintah kota, dan pemerintah
daerah asal gelandangan dan pengemis.
3.
Persoalan
Anak Jalanan
Kajian sosial filosofis pada anak
jalanan membuktikan bahwa layanan harus berpusat atau berbasis pada keluarga.
Tugas utama anak adalah sekolah dan bermain. Melalui penguatan ketahanan
ekonomi keluarga diharapkan anak dapat bersekolah kembali dan memperoleh
pendidikan dengan baik, layaknya anak-anak yang hidup normal lainnya.
Banyak program untuk anak jalanan
yang langsung difokuskan kepada anak tetapi tingkat keberhasilannya rendah,
dikarenakan bahwa usia anak adalah usia dimana seseorang belum bisa menggunakan
nalarnya secara benar. Mereka masih mudah terpengaruh dengan teman sebayanya
dan belum memahami arti kehidupan secara utuh. Hal ini terlihat dari banyaknya
anak jalanan yang mengikuti pelatihan keterampilan (vocational training), namun
mudah sekali keluar, atau mereka sudah menyelesaikan pendidikannya namun
kembali ke jalan. Kajian sosial filosofis anak membuktikan bahwa seseorang di
jalan baru kemungkinan sukses mengikuti program pelatihan keterampilan jika
paling tidak berusia 21 tahun. Pada tahapan umur ini sesorang sudah dihadapkan
pada pilihan logis yaitu ingin bekerja dan menjadi orang baik-baik, atau tetap
di jalan dan menjadi preman. Intinya tetap sama yaitu intervensi yang tepat
untuk anak adalah dengan kembali ke sekolah.
Semua program layanan akan lebih
efektif jika melalui keluarga. Di sinilah keluarga diharapkan dapat
meningkatkan kualitas asuhan dan pendidikan informal dalam keluarga demi
kualitas sumber daya manusia (SDM) anak-anaknya di masa mendatang. Trend atau
kecenderungan dalam pemberian pelayanan dan rehabilitasi sosial lebih
mengedepankan perlindungan hak-hak anak (child rights) demi kepentingan terbaik
anak (the best interest of the child).
D.
Program Yang Diajukan
1. Nama Program
Nama program yang diajukan adalah
‘Desaku Menanti’ (Program Penangananan Gelandangan dan Pengemis Terpadu Melalui
Penguatan Ketahanan Ekonomi Keluarga Berbasis Desa).
2. Tujuan
Adapun tujuan dari Program Desaku
Menanti adalah mengembangkan model penanganan gelandangan, pengemis dan anak
jalanan, agar hilang secara permanen di kota-kota besar. Program ini adalah
inovasi dari program penanganan gelandangan, pengemis dan anak jalanan yang
selama ini dilakukan, yaitu dengan memfokuskan semua layanan di daerah asal
para gelandangan dan pengemis (berbasis desa). Disamping itu, semua kegiatan
akan melibatkan seluruh komponen di daerah asal, seperti pemerintah daerah,
pengusaha (CSR), LSM, dan tokoh-tokoh masyarakat. Inti dari program ini adalah
menciptakan keteraturan sosial melalui peningkatak kontrol sosial dari
masyarakat.
3. Sasaran
Yang menjadi sasaran dalam program
Desaku Menanti adalah :
a. Gelandangan.
b. Pengemis.
c. Anak
Jalanan.
d. pemerintah
Daerah.
e. Lembaga
Pendidikan.
f. Dunia
Usaha (CSR).
g. Masyarakat.
4. Jenis Kegiatan
Program Desaku Menanti adalah program
yang komprehensif dalam penghapusan gelandangan dan pengemis. Oleh karena itu
kegiatan-kegiatan yang ada pun, baik preventif maupun kuratif dilakukan secara
bersamaan, simultan, dan berkesinambungan. Mengingat program ini adalah uji
coba pengembangan model, untuk keberlanjutannya (sustainability), diharapkan
pada tahap replikasi dapat mengadvokasi pemerintah daerah supaya program ini ke
depan dapat dibiayai dengan menggunakan APBD.
a.
Kegiatan Preventif
Kegiatan preventif dilakukan di
tempat-tempat yang potensial menjadi daerah pengirim gelandangan, pengemis,
maupun anak jalanan. Kegiatan ini dipandang penting dengan asumsi mencegah
lebih baik daripada mengobati. Kegiatan difokuskan pada Rumah Tangga Sangat
Miskin (RTSM) atau wanita rawan sosial ekonomi.
1)
Kampanye
Sosial di sepuluh titik lokasi (Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur)
Penentuan lokasi dilakukan dengan
mempertimbangkan statistik daerah asal gelandangan dan pengemis terbanyak di
Jakarta. Adapun kegiatan dalam kampanye sosial meliputi :
a) Rapat
koordinasi dengan Pemerintah Daerah di sepuluh lokasi.
b) Penyuluhan
sosial intensif langsung ke masyarakat di sepuluh lokasi. Kegiatan ini dapat
dilakukan melalui lain :
ü Pemutaran
film dokumenter yang berhubungan dengan gelandangan dan pengemis di desa-desa.
ü Penyebaran
pamflet dan leaflet tentang gelandangan dan pengemis, serta bahaya merantau ke
kota tanpa bekal keterampilan, pendidikan dan modal.
ü Gelar
panggung/drama yang berkisah tentang kesulitan hidup di kota besar.
ü Penyuluhan
sosial dengan melibatkan tokoh agama dan tokah masyarakat yang peduli pada
permasalahan gelandangan dan pengemis.
ü Temu duta
anti gelandangan dan pengemis dengan masyarakat desa.
2) Pemberian Bantuan Ekonomi Langsung di sepuluh
titik lokasi (Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur)
Kegiatan ini berupa bantuan
stimulan usaha ekonomi produktif (UEP) yang dilakukan melalui kelompok-kelompok
usaha bersama (KUBE) yang jenis bantuannya disesuaikan dengan mata pencaharian
penduduk setempat. Sasarannya adalah RTSM dan wanita rawan sosial ekonomi.
3) Pemberian Bantuan Perumahan di sepuluh titik
lokasi (Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur)
Konsep pemberian bantuan perumahan
ada dua model. Pertama, melalui program transmigrasi yang berkoordinasi dengan
Kemenakertrans. Kedua, bantuan perumahan sangat sederhana di kampung mereka
masing-masing. Konsepnya untuk yang pertama melalui koordinasi saja. Sedangkan
konsep kedua melalui advokasi ke pemerintah daerah dan Kementerian Perumahan
dan Permukiman untuk penyediaan lokasi tanah dan pendirian bangunan. Melalui
bantuan perumahan ini diharapkan nilai-nilai sosial dan kemasyarakatan serta
arti penting rumah sebagai simbol utama keluarga dapat kembali ditumbuhkan.
4) Pemberian Bantuan Peralatan Sekolah di sepuluh
titik lokasi (Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur)
Kegiatan ini berupa bantuan
stimulan berupa peralatan sekolah untuk anak-anak yang meliputi seragam,
sepatu, tas, buku dan alat tulis dalam satu paket. Besarnya disesuaikan dengan
alokasi yang tersedia.
b. Kegiatan
Dukungan
1) Pemilihan ’Duta Anti Gelandangan dan Pengemis’
Pemilihan ’duta anti gelandangan
dan pengemis’ dapat dipilih atau ditentukan oleh Kementerian Sosial di Jakarta.
Diharapkan ’duta anti gelandangan dan pengemis’ berasal dari kalangan artis
yang memiliki background keagamaan yang relatif kuat, mampu berkomunikasi
dengan baik dengan masyarakat kelas bawah, dan memiliki komitmen yang kuat
dalam gerakan penghapusan gelandangan dan pengemis.
2) Pemberian Penghargaan Bagi ’Kota Bebas
Gelandangan dan Pengemis’
Penghargaan/trophy akan diberikan
kepada kota-kota yang memiliki komitmen yang besar dalam penghapusan
gelandangan dan pengemis di daerahnya. Piagam penghargaan ’Kota Bersih
Gelandangan dan Pengemis’ langsung diberikan oleh Menteri Sosial setiap setahun
sekali.
3) Pencanangan ’Hari Bebas Gelandangan dan
Pengemis’
Pencanangan ’Hari Bebas
Gelandangan dan Pengemis’ dapat dilakukan oleh Presiden RI, Wakil Presiden RI,
maupun Menteri Sosial RI disesuaikan dengan kebutuhan dan keuangan. Pencanangan
’Hari Bebas Gelandangan dan Pengemis’ sudah dipastikan akan mengundang simpati
publik, terutama kalangan media baik cetak maupun elektronik.
c. Kegiatan
Rehabilitatif
Kegiatan rehabilitasi sosial
selama ini dilakukan di kota-kota besar seperti Jakarta, melalui panti-panti
gelandangan pengemis milik Kementerian Sosial maupun Pemda DKI Jakarta. Akan
tetapi jumlah gelandangan dan pengemis tidak pernah berkurang. Berkenaan dengan
ini sudah seyogyanya apabila kegiatan rehabilitasi sosial dilakukan di daerah
asal gelandangan dan pengemis, yang difokuskan pada penguatan ketahanan ekonomi
keluarga dan kontrol sosial masyarakat.
1) Penjangkauan dan Pemulangan Gelandangan dan
Pengemis
Kementerian Sosial bekerja sama
dengan Pemda DKI Jakarta (Pemda DKI Jakarta sebagai pilot project) menyediakan
alokasi dana untuk pemulangan gelandangan dan pengemis ke daerah asal.
Gelandangan dan pengemis yang akan dipulangkan adalah hasil dari operasi
yustisi yang dilakukan oleh Kementerian Sosial, Dinas Sosial dan Tramtib DKI
Jakarta. Dalam Program Desaku Menanti, uji coba pemulangan dilakukan di 3
propinsi yaitu Jawa Tengah, Jawa Barat dan Jawa Timur. Dari sinilah 10 lokasi
di 3 propinsi pada kegiatan preventif dilakukan dengan memperhitungkan daerah
yang potensial mengirimkan gelandangan dan pengemis ke DKI Jakarta. Dalam
pemulangannya, pendamping (pekerja sosial) dari Kementerian Sosial
berkoordinasi dengan Dinas/Instansi Sosial di tingkat propinsi dan
kabupaten/kota, bahkan sampai dengan tingkat kecamatan dan desa. Pemulangan
dilakukan sampai di tingkat desa dengan mengundang tokoh masyarakat setempat.
Proses ini dilakukan agar para gelandangan dan pengemis malu atau jera.
Pemulangan ini juga sekaligus sebagai upaya diseminasi dan penyuluhan sosial
yang sifatnya preventif untuk masa mendatang. Kegiatan ini sekaligus untuk
menggugah kepedulian masyarakat mengenai kondisi ekonomi warganya, dan untuk
menerima kembali mantan gelandangan dan pengemis dengan baik (reintegrasi
sosial).
2) Pemberian Pelatihan Keterampilan melalui
’Rumah Kerja Desaku Menanti’ (RKDM)
Para gelandangan dan pengemis yang
sudah dipulangkan kemudian mendapatkan pelatihan keterampilan sesuai minat dan
bakatnya di ’Rumah Kerja Desaku Menanti’ (RKDM) yang ada di Dinas Sosial
Kabupaten/Kota. Biaya pelatihan ditanggung oleh Pemerintah Pusat dan pemda
setempat (sharing cost). Bagi mereka yang telah lulus diminta surat kontrak
untuk tidak menggelandang atau mengemis lagi. Mereka yang lulus kemudian
diberikan bantuan stimulan untuk modal usaha sesuai dengan keterampilan yang
dimilikinya.
3) Pemberian Bantuan Stimulan untuk Eks Gelandangan
dan Pengemis
Setelah dipulangkan, mantan
gelandangan dan pengemis yang yang tidak memungkinkan mengikuti pelatihan
keterampilan melalui ’Rumah Kerja Desaku Menanti’ (RKDM) yang ada di Dinas
Sosial Kabupaten/Kota akan mendapatkan bantuan stimulan langsung. Bantuan ini
berupa bantuan stimulan usaha ekonomi produktif (UEP) yang dilakukan melalui
kelompok-kelompok usaha bersama (KUBE) yang jenis bantuannya disesuaikan dengan
mata pencaharian penduduk setempat. Bagi mereka yang telah lulus diminta surat
kontrak untuk tidak menggelandang atau mengemis lagi.
4) Layanan Perumahan/Transmigrasi
Layanan ini diberikan pada mereka
yang mempunyai mental kuat untuk mengubah diri, diperkirakan tidak mempunyai
kerabat lagi di desa, dan membutuhkan lingkungan baru, sementara usianya masih
masuk dalam kategori usia produktif. Kegiatan ini perlu bekerja sama dengan
Kementerian Perumahan dan Permukiman atan Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Pusat maupun yang ada di Propinsi maupun Kabupaten/Kota. Bagi
mereka yang masih punya keluarga di desa akan dibangunkan rumah sederhana di
daerah asalnya, dan bagi yang sudah tidak punya keluarga akan ditawarkan
transmigrasi atau dibangunkan perumahan sangat sederhana di desanya terdahulu.
Intinya, mereka mempunyai pilihan dan tidak ada paksaan.
5) Pengembalian Anak ke Keluarga dan Bangku
Sekolah
Kegiatan ini berupa bantuan
stimulan berupa peralatan sekolah untuk anak-anak yang meliputi seragam,
sepatu, tas, buku dan alat tulis dalam satu paket. Besarnya disesuaikan dengan
alokasi yang tersedia. Pendamping juga melakukan advokasi ke lembaga pendidikan
baik formal maupun nonformal untuk menerima anak kembali bersekolah. Khusus
untuk anak jalanan yang perorangan (tanpa keluarga), mereka dipertemukan
kembali dengan keluarga ataupun kerabat dekatnya (reunifikasi).
5. Tahapan Kegiatan
a. Penjangkauan
ü Untuk
penjangkauan program preventif dilakukan di 10 titik lokasi (3 propinsi) dengan
memperhitungkan stastistik daerah pengirim (sending).
ü Untuk
penjangkauan program rehabilitatif dilakukan melalui operasi yustisi, bekerja
sama dengan Pemda DKI Jakarta. Mereka yang terjaring akan ditampung di
panti-panti gelandangan dan pengemis milik pemerintah.
b. Registrasi
dan Identifikasi
ü Untuk
program preventif, di 10 titik lokasi (3 propinsi) yang telah ditentukan,
didata dengan lengkap RSTM dan wanita rawan sosial ekonomi yang ada.
ü Untuk
program rehabilitatif, pendataan dan identifikasi dilakukan setelah operasi
yustisi dilakukan.
c. Penentuan
Layanan Sosial
ü Untuk
program preventif, selanjutnya berdasarkan hasil registrasi dan identifikasi
ditentukan layanan sosial yang tepat.
ü Untuk
program rehabilitatif, selanjutnya berdasarkan hasil registrasi dan
identifikasi ditentukan layanan sosial yang tepat.
d. d.
Pemberian Layanan Sosial
ü Untuk
program preventif, selanjutnya berdasarkan hasil needs assessment, diberikan
layanan yang sesuai (kampanye sosial, bantuan ekonomi langsung, bantuan
perlengkapan sekolah).
ü Untuk
program rehabilitatif, selanjutnya berdasarkan hasil registrasi dan
identifikasi ditentukan layanan sosial yang tepat (pemulangan, pemberian
pelatihan keterampilan di RKDM, bantuan perumahan, bantuan ekonomi langsung,
bantuan untuk kembali ke sekolah dan reunifikasi).
e. Tindak
Lanjut
ü Untuk
program preventif, selanjutnya dilakukan tindak lanjut dalam rangka penguatan
ketahanan ekonomi keluarga, seperti advokasi melalui kerja sama lintas sektor
dunia usaha (KLSDU).
ü Disusun
buku khusus yang memuat pengalaman hidup mantan gelandangan dan pengemis dengan
mengedepankan prinsip kerahasiaan (confidentiality) sebagai bahan kampanye
sosial di masa mendatang.
f. Terminasi
Keluarga mantan gelandangan dan
pengemis diadvokasi kembali agar dapat menjadi keluarga binaan atau dapat
mengakses program PKH. Proses rujukan ini dengan meminta bantuan dari
lembaga-lembaga terkait di daerah.
g. Monitoring
dan Evaluasi
Monitoring dan evaluasi dilakukan
secara berjenjang dan intensif untuk meminimalisir resiko kegagalan program.
6. Koordinasi dan Kerjasama
Koordinasi dilakukan secara terus
menerus oleh Kementerian Sosial, Pemerintah Daerah, LSM dan masyarakat secara
luas (tokah masyarakat dan tokoh agama). Kerja sama juga dilakukan dengan media
nasional maupun lokal untuk mendukung Program Desaku Menanti (para gelandangan
dan pengemis kembali ke desa/kampung halamannya).
7. Indikator Keberhasilan
Adapun indikator keberhasilan dari
Program Desaku Menanti adalah sebagai berikut :
a. Mantan
gelandangan dan pengemis ataupun mereka yang rawan menjadi gelandangan dan
pengemis dapat menyelesaikan proses layanan sampai tuntas.
b. Ketahanan
ekonomi keluarga meningkat dan mereka dapat hidup kembali normal di desa.
c. Pemerintah
daerah semakin peduli dan berkontribusi pada Program Desaku Menanti dengan
mengalokasikan dana untuk pengembangan dan keberlanjutan program dimasa
mendatang.
d. Masyarakat
mendukung penuh pelaksanaan Program Desaku Menanti dan berpartisipasi aktif
baik dalam sosialisasi maupun pengawasan.
e. Kesadaran
orang tua meningkat dan ikut berperan aktif dalam mendorong anaknya untuk
kembali ke dunia pendidikan dan terus memotivasi anak untuk melanjutkan sekolahnya
(untuk anak jalanan).
f. Intitusi/lembaga
penyelenggara pendidikan dapat lebih memahami permasalahan yang menghambat
proses belajar anak sehingga dapat memberikan perlakukan yang tepat sesuai
dengan karakteristik anak (untuk anak jalanan).
E.
Analisis Program
1. Kekuatan
ü Program
Desaku Menanti tidak hanya berfokus kepada kegiatan rehabilitatif namun juga
mencakup kegiatan preventif.
ü Kegiatan-kegiatan
dalam Program Desaku Menanti berbasis desa atau dilakukan di daerah asal
sehingga kemungkinan menggelandang kembali sehabis menerima layanan relatif
kecil.
ü Program
Desaku Menanti dipastikan akan mendapatkan dukungan dari berbagai pihak, baik
pemerintah pusat, daerah, LSM maupun masyarakat luas, mengingat permasalahan
gelandangan dan pengemis adalah masalah kemiskinan yang sudah menjadi isu
nasional.
2. Kelemahan
ü Program
Desaku Menanti membutuhkan pendamping yang cakap, profesional dan penuh
dedikasi serta memiliki pengalaman dalam menangani gelandangan dan pengemis.
ü Program
Desaku Menanti ini hanya menjangkau di sepuluh titik lokasi di 3 propinsi (Jawa
Tengah, Jawa Barat dan Jawa Timur). Artinya untuk daerah luar Jawa dapat
dikatakan belum tersentuh.
ü Program
Desaku Menanti membutuhkan dana yang tidak sedikit dan meminta keseriusan dari
berbagai pihak dalam pelaksanaannya.
3. Peluang
ü Program
Desaku Menanti searah dengan kebijakan Millenium Development Goals (MDGs)
sehingga besar kemungkinan akan disupport oleh lembaga-lembaga internasional
yang bergerak di bidang kemiskinan.
ü Program
Desaku Menanti berbasis desa sehingga pelaksanaannya pun dilakukan di daerah
asal, sehingga tidak menambah rumit pemerintah kota.
ü Program
Desaku Menanti dilakukan di desa asal sehingga pembinaan mental pun dapat
dilakukan dengan menggunakan kearifan-kearifan lokal.
4. Ancaman
ü Resistensi
atau penolakan dari patron (pelindung) para gelandangan dan pengemis yang
ironisnya justru mendapatkan dukungan dari oknum pemerintah.
ü Adanya
stereotype negatif pada keluarga mantan gelandangan dan pengemis baik oleh
masyarakat maupun lembaga pendidikan tempat anak akan bersekolah.
ü Jika
Pemerintah Daerah tidak konsisten atau memiliki komitmen yang besar, program
ini terncam gagal.
F.
Pembiayaan
Pembiayaan
adalah sharing budget antara Kementerian Sosial dan Pemerintah Daerah
Propinsi/Kabupaten/Kota.
G.
Penutup
Demikianlah
garis besar mengenai Program Desaku Menanti (Program Penanganan Gelandangan,
Pengemis dan Anak Jalanan Terpadu Melalui Penguatan Ketahanan Ekonomi Keluarga
Berbasis Desa). Selain berupaya menghapus gelandangan dan pengemis di
perkotaan, program ini juga dapat menumbuhkan kepedulian sosial dan kontrol
sosial dari pemerintah daerah dan masyarakat. Disamping itu, Program Desaku
Menanti membuka peluang bagi para sarjana yang ingin kembali dan mengabdi ke
desa dapat bergabung dalam program ini. Program ini juga bisa bersinergi dengan
program pemerintah lainnya seperti PKH, PKSA maupun Pusdaka (Pusat Pemberdayaan
Keluarga).
Bibliografi:
Evers, Hans Dieter & Korff, Rudiger. (2012). Urbanisme di Asia Tenggara. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Rohman, Arif. (2004). Kehidupan Ekonomi Orang Gelandangan di Senen: Suatu Kajian Tentang Strategi Pengorganisasian Ekonomi Informal dalam Mempertahankan Kelangsungan Usahanya. Tesis tidak diterbitkan. Jakarta : Kajian Pengembangan Perkotaan (KPP), Universitas Indonesia.
Rubington, Earl & Weinberg, Martin S. (1970). The Study of Social Problems. Oxford : Oxford University Press.
Schwab, William A. (1992). The Sociology of Cities. New Jersey : Prentice Hall.
Suparlan, Parsudi. (1993). ‘Orang gendangan di Jakarta : Politik pada golongan termiskin’, dalam Kemiskinan di Perkotaan. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Weinberg, S. Kirson. (1971). Social Problems in Modern Urban Society. New Jersey : Prentice Hall.
*Kredit diberikan kepada Mas Doso dan Mbak Siti dari Sekretariat Direktorat Jenderal Rehabilitasi Sosial, Kementerian Sosial RI, yang memberikan dorongan dalam penulisan program ini sebagai kontribusi terhadap pembangunan kesejahteraan sosial di Indonesia. Semoga program ini bisa bermanfaat dan menempatkan gelandangan dan pengemis secara lebih manusiawi.
**Sebagai insan akademisi yang baik, jika anda menggunakan tulisan ini sebagai sumber referensi, harap mencantumkan sumbernya. Hal ini dikarenakan banyak bagian dari tulisan ini yang dicopas (copy & paste) sebagai bahan untuk menulis makalah, tugas lapangan, skripsi bahkan buku-buku panduan atau pedoman tanpa mencantumkan nama pengarang aslinya. Perbuatan ini sungguh memalukan dan tercela sekali. Terima kasih. Mari kita menjadi bagian dari upaya memerangi praktek plagiarism di Indonesia.
Bagian yang sering dicopas dari tulisan ini adalah :
Gelandangan dan pengemis memang telah menjadi masalah nasional yang dihadapi di banyak kota, tak terkecuali di negara maju (Schwab, 1992 : 408). Permasalahan gelandangan dan pengemis sebenarnya telah lama mendapatkan perhatian serius baik dari pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun LSM. Evers & Korf (2002 : 294) bahkan secara ekstrim mengibaratkan gelandangan sebagai penyakit kanker yang diderita kota karena keberadaannya yang mengganggu keindahan dan kenyamanan kota, namun begitu susah dan kompleks dalam penanggulangannya.
Istilah gelandangan berasal dari kata gelandangan, yang artinya selalu berkeliaran atau tidak pernah mempunyai tempat kediaman tetap (Suparlan, 1993 : 179). Pada umumnya para gelandangan adalah kaum urban yang berasal dari desa dan mencoba nasib dan peruntungannya di kota, namun tidak didukung oleh tingkat pendidikan yang cukup, keahlian pengetahuan spesialisasi dan tidak mempunyai modal uang. Sebagai akibatnya, mereka bekerja serabutan dan tidak tetap, terutamanya di sektor informal, semisal pemulung, pengamen dan pengemis. Weinberg (1970 : 143-144) menggambarkan bagaimana gelandangan dan pengemis yang masuk dalam kategori orang miskin di perkotaan sering mengalami praktek diskriminasi dan pemberian stigma yang negatif. Dalam kaitannya dengan ini, Rubington & Weinberg (1995 : 220) menyebutkan bahwa pemberian stigma negatif justru menjauhkan orang pada kumpulan masyarakat normal.
Mereka yang tidak sukses mengadu nasib di kota, malu untuk kembali ke kampung halamannya, sementara mereka terlunta-lunta hidup di perantauan. Mereka hidup di pemukiman liar dan kumuh (slum/squatter area) yang dianggap murah atau tidak perlu bayar. Orang gelandangan pada umumnya tidak memiliki kartu identitas karena takut atau malu dikembalikan ke daerah asalnya, sementara pemerintah kota tidak mengakui dan tidak mentolerir warga kota yang tidak mempunyai kartu identitas. Sebagai akibatnya perkawinan dilakukan tanpa menggunakan aturan dari pemerintah, yang sering disebut dengan istilah kumpul kebo (living together out of wedlock). Praktek ini mengakibatkan anak-anak keturunan mereka menjadi generasi yang tidak jelas, karena tidak mempunyai akte kelahiran. Sebagai generasi yang frustasi karena putus hubungan dengan kerabatnya di desa dan tidak diakui oleh pemerintah kota, dan tanpa tersentuh dunia pendidikan formal, pada akhirnya mereka terdorong oleh sistem menjadi anak jalanan dan rentan terpengaruh untuk melakukan tindak kriminal dan asosial (Rohman, 2004 : 72-74).
[1]
Diajukan
untuk mensukseskan program 100 hari Menteri Sosial RI dalam penghapusan
gelandangan, pengemis dan anak jalanan di perkotaan tahun 2009.
For Full Text Pdf Program Desaku Menanti Download Here
LAMPIRAN
For Full Text Pdf Program Desaku Menanti Download Here
Subscribe to:
Posts (Atom)