Showing posts with label Demak. Show all posts
Showing posts with label Demak. Show all posts

Saturday 25 December 2010

Arya Penangsang - Satria Sejati

Arya Penangsang - Satria Sejati



Perseteruan Jipang dengan Pajang.

Perkembangan yang memanas antara aria Pengangsang dengan sultan Hadiwiijaya, sangat menggelisahan hati kanjeng sunan Kalijaga. Disatu sisi sunan Kalijaga adalah salat satu guru dari Jaka Tingkir, disisi lain sunan Kudus yg berpihak pada aria Penangsang adalah merupakan kerabatnya sebagai Ulama utama di tanah Jawa.

Sunan Kalijaga tidak ingin lagi terjadi ribut perebutan kuasa. Dan berusaha agar tidak terjadi pertumpahan darah dari terjadi diantara keturunan dinasti Demak Bintara. Untuk itu sunan Kalijaga datang mengunjungi sunan Kudus.

Dalam silaturahim antara sunan Kudus dengan sunan Kalijaga dibincangkan soal ketegangan antara Pajang deng Jipang. Pandangan sunan Kalijaga tentang keberpihakan sunan Kudus terhadap aria Penangsang diakui kebenaranya sunan Kudus. Akan tetapi, menurut sunan Kalijaga, Demak sudah runtuh. Para Wali memiliki andil yang menyebabkan Demak runtuh. Pada awalnya para wali bersepakat untuk membangun Demak sedikitnya bisa menyamai kejayaan Majaphait atau berumur lebih panjang dari Majapahit. Dengan cara ikut berkiprah dalam urusan tata negara.

Kesultanan Pajang berdiri karena Hibah dari ratu Kalinyamat kepada Hadiwijaya. Dan saat ini Kesultanan Pajang berada dibawah sultan Hadiwijaya yang bukan darah sentono Demak. Jadi jika aria Penangsang menuntut tahta Pajang, hal itu sudah diluar adat dan ketentuan Hukum, Yaitu mengambil “harta” yang sudah dihibahkan kepada orang lain.

Sunan Kalijaga memohon kepada sunan Kudus agar para sepuh (wali) sebagai ulama dapat menempatkan diri sebagai orang tua. Tidak ikut campur dalam urusan “rumah tangga” anak-anak.

Biarkanlah Penangsang dan Hadiwijaya menyelesaikan persoalanya sendiri. Dan yang sepuh tinggal nonton saja. Sunattulah akan berlaku bagi mereka berdua. Yang becik ketitik sing ala ketara. Kita (wali) lebih baik mensyi’arkan Islam tanpa menggunakan kekuasaan. Biarkanlah urusan tata negara dilakukan oleh ahlinya masing-masing. Kita (wali) adalah ahli da’wah bukan ahli tata negara. Jangan sampai kita (wali) terpecah belah karena berpihak kepada salah satu diantara mereka. Apa kata pawongan (baca; rakyat jelata), jika melihat para Ulama kok ikut-ikutan cari mukti (kekuasaan duniawiyah) sendiri.

Sunan Kudus berniat kembali kepada khitahnya sebagai ulama. Tidak lagi ingin mencampuri urusan dunia kekuasaan. Dan berniat untuk bersikap netral. Oleh karena itu Sunan Kudus memanggil aria Penangsang untuk menjelaskan maksudnya.

Sunan Kudus menjelaskan wacananya kepada aria Penangsang. Bahwa memang Penangsang punya hak sebagai pewaris Kesultanan Demak. Akan tetapi Demak sudah runtuh. Jadi hak waris Penangsang atas Demak sudah tidak ada lagi. Karena semua yang ada di Demak sudah dihibahkan kepada Pajang. Dan Sultan Pajang bukan keturunan Demak, Meski masih memiliki tetes getih dari Majapahit. Sehingga menurut adat maupun hukum tuntutan untuk mengambil tahta Pajang sudah berada diluar adat hukum.

Mendengar penjelasan sunan Kudus, aria Penangsang merasa ditinggal sama pepundenya. Dan menyatakan bahwa tanpa kanjeng sunan Kudus berpihak pada Penangsang. Jipang Panolan sanggup menghancurkan Pajang asal kanjeng kiai Betok keris pusaka sunan Kudus menjadi sipat kandel aria Penangsang berdampingan dengan keris pusaka kiai Setan Kober miliknya.

Sunan Kudus sudah tidak bisa lagi menghalangi nafsu aria Penangsang untuk merebut tahta Pajang dari tangan Hadiwijaya. Sebagai pernyataan bahwa sama sekali sunan Kudus tidak meninggalkan aria Penangsang maka keris Kiai Betok diserahkan kepada Penangsang. Sunan Kudus Cuma ingin meynampaikan bahwa maksudnya sunan Kudus tidak lagi ikut campur dalam urusan tata negara.

Rencana menggulingkan Pajang.

Aria Penangsang kecewa merasa ditinggalkan oleh sunan Kudus. Namun sedikit terhibur, karena keris saksti Kiai Betok milik sunan Kudus sudah berada di tanganya sebagai sipat kandel adipati Jipang. Dengan memiliki dua pusaka yaitu keris kiai Setan Kober dan kiai Betok, meski tanpa dukungan langsung dari sunan Kudus aria Penangsang merasa kuat untuk menghadapi Pajang. Karena aria Penangsang juga yakin bahwa tidak satupun para wali yang ikut campur dalam perseteruan antara Jipang dengan Pajang.

Satu hal yang tidak diperhitungkan oleh aria Penangsang bahwa disamping sultan Hadiwijaya ada tiga tokoh utama murid-murid sunan Kalijaga. Yakni Pemanahan, Juru Mertani dan Panjawi. Sedangkan disisi aria Penangsang cuma ada satu yakni Sumangkar. Ibaratnya Sultan Hadiwijaya punya tiga Jenderal, tetapi aria Penangsang cuma punya satu Jenderal.

Usaha melakukan pembunuhan terhadap sultan Hadiwijaya oleh aria Penangsang dilakukan dengan aneka cara diantaranya setelah perundingan diplomatis, dimana secara diam diam oleh aria Panangsang. Dimana dalam perundingan tersebut mengalami jalan buntu akibat tidak terimanya usul sultan Hadiwijaya memberikan Demak kepada aria Penangsang dan status Demak sebagai kadipaten dibawah kesultanan Pajang.

Sangat beruntung bagi sultan Hadiwijaya, karena seusai perundingan menyimpang dulu ke wilayah gunung Danaraja ,Jepara untuk bertemu dengan Ratu Kalinyamat yang sedang bertapa lukar umbar aurat. Tujuan Sultan Hadiwijaya berkunjung ke Danaraja adalah memenuhi permintaan sunan Kalijaga untuk menghentikan tapa lukar umbar aurat Ratu Kalinyamat. Sultan Hadiwijaya berhasil menghentikan tapa lukar umbar aurat Ratu Kalinyamat. Dan membawa sang Ratu kembali ke Jepara untuk memimpin kabupaten Jepara yang lama kosong ditinggal bertapa. Himbauan Sultan Hadiwijaya kepada Ratu Kalinyamat, menyatakan bahwa jika Jepara dibiarkan kosong, maka dengan mudah aria Penangsang dapat merebut Jepara, serta membiarkan Jipang menjadi lebih kuat.

Dalam perjalanan pulang dari Jepara ke Pajang, rombongan sultan Hadiwijaya dihadang oleh Pasukan Jipang. Akan tetapi pasukan ini gagal memerangi sultan Hadiwijaya dan rombonganya. Bahkan seultan Hadiwijaya berhasil menawan sisa pasukan Jipang yang masih hidup. Namun dilepaskan dengan membawa pesan untuk mempermalukan adipati Jipang.

Gagalnya perundingan antara sultan Hadiwijaya dengan aria Penangsang, sangat mengecewakan hati sunan Kudus atas sikap aria Penangsang yang menolak tawaran damai sultan Pajang. Oleh karena itu sunan Kudus mengusulkan untuk dilakukan perundingan ulang dimana sunan Kudus bertindak sebagai penengahnya. Dimana dalam perundingan ini disyaratkan masing masih pihak tidak membawa pendamping. Pihak Jipang diwakili sendiri oleh aria Penangsang, dan pihak Pajang diwakili oleh sultan Hadiwijaya sendiri. Dalan hal ini Patih Sumangkar dari Jipang maupun Ki Juru Mertani atau Pemanahan maupun Penjawi tidak diikut sertakan dalam perundingan ini. Sehingga perundingan ini bersifat seimbang.
Sunan Kudus meski tampak memberikan syarat yg adil tetapi masih menyimpan keberpihakan kepada anak angkatnya yaitu aria Penangsang. Dimana satu diantara kursi tempat berunding diberikan rajah Kalachakra yng nantinya disiapkan untuk di duduki oleh sultan Hadiwijaya. Dimana kekuatan rajah kalachakra adalah untuk membuat seseorang akan apes jayanya jika rajah kalachakra diduduki.

Untuk membedakan mana kursi yang sudah di rajah dengan kalachakra adalah kursi baru berukir indah dan diberi tilam putih. Sedangkan yang tidak di rajah adalah kursi lama yang biasa untuk tamu dengan diberi talam warna hijau.

Kedatangan sultan Hadiwijaya disambut oleh sunan Kudus yang didampingi oleh aria Penangsaangan. Sesampainya didalam ruang perundingan sunan Kudus mempersilahkan sultan Hadiwijaya untuk duduk di kursi baru yang bertilam putih. Melihat kursi baru berukir indah dan bertilam putih sultan Hadiwijaya yang terbiasa dididik pekerti luhur oleh orang tuanya untuk tidak mendahului menggunakan apa saja yang belum pernah digunakan oleh orang yang lebih tua, Maka dengan penuh hormat menyatakan lebih baik kanjeng sunan Kudus yang duduk di kursi tersebut.Karena kelihatanya kursi itu masih baru dan belum pernah digunakan. Sultan Hadiwijaya tidak berani menduduki karena takut kualat mendahului pemilikinya. Apalagi kursi tersebut milik pribadi sunan Kudus. Jelas saja sunan Kudus tidak berani menduduki kursi yang sudah di rajah kalachakra. Lain halnya dengan aria Penangsang. Penolakan sultan Hadiwijaya dianggap sebagai penghinaan terhadap pribadi sunan Kudus. Aria Penangsang memang tidak tahu kalau kursi bertilam putih sudah dirajah dengan KalaChakra. Aria Penangsang merasa sultan Hadiwijaya telah melakukan penghinaan tehadap sunan Kudus sebagai sudarma pepundenya, maka aria Penangsang menghunus keris kiai Setan Kober. Melihat keris Keris kiai Setan Kober terhunus sultan Hadiwijaya kaget dan mundur selangkah. Melihat gelagat ini sunan Kudus memerintahkan aria Penangsang untuk menyarungkan keris kiai Setan Kober.

Dengan serta merta keris disarungkan ke warakanya. Dan aria penangsang langsung duduk di kursi bertilam putih yang dirajah Kalachakra.

Melihat gelagat yang tidak baik sultan Hadiwijaya menyatakan kepada sunan Kudus membatalkan perundingan dan mohon pamit mundur kembali ke Pajang. Alagkah kagetnya sunan Kudus ketika kembali ke ruang perundingan setelah melepas sultan Hadiwijaya, melihat aria Penangsang duduk di kursi bertilam putih yang dirajah kalachakra. Sunan Kudus memberi tahu jika perintah menyarungkan keris adalah sasmita (kode), untuk menyarungkan keris itu ke badan sultan Hadiwijaya. Dan kesalahan yang paling fatal adalah aria penangsang menduduki kursi yang sudah dirajah. Kalachakra. Artinya akan menjadi apes buat aria Penangsang. Maka sunan Kudus memerntahkan aria Penangsang untuk melakukan puasa selama 40 hari, untuk menghapus apes.

Tetes Darah Majapahit Terputus ???

Sejarah mencatat, bahwa dinasti Mataram berpangkal dari Ki. Ageng Pemanahan yang berhasil menobatkan Sutawijaya (penembahan Senopati) menjadi raja Mataram Islam hingga zaman sekarang.

Dengan kata lain, versi sejarah mencatat bahwa raja-raja keturunan (darah) Majapahit terputus sejak runtuhnya Kesultanan Pajang. Namun versi legenda masyarakat bahwa darah keturunan Majapahit tetap berlanjut menjadi raja-raja di tanah Jawa. Karena percaya bahwa Sutawijaya adalah “lembu peteng”) alias “anak gembala” (anak hasil hubungan gelap) antara sultan Hadiwijaya dengan istri ki ageng Pemanahan yang ditingal bertapa untuk memohon agar diberi keturunan. Selama ditinggal bertapa Ki Ageng Pemanahan menitipkan istrinya kepada Sultan Hadiwijaya di istana Pajang. Hal ini terjadi atas usul Ki Juru Mertani.
Dalam kias / sanepan. Ki Ageng Pemanahan meminum air kelapa kelapa (baca: banyu cengkir) yang disimpan oleh Juru Mertani dan dititipkan kapada sultan.
Cerita rakyat menyatakan hal berbeda. Bahwasanya nyi Ageng (istri Pemanahan), tidak akan punya anak jika tidak didampingi oleh satria lelanang jagad yang pada saat itu wahyu lelanang jagad dipercaya ada didalam diri Sultan Hadiwijaya. Atau tidak bisa melahirkan jika tidak didampingi oleh sultan Hadiwijaya. Supaya anak bisa lahir, maka Ki Ageng Pemanahan sendiri yang meminta sultan Hadiwijaya mendampingi Nyi Ageng supaya anaknya bisa lahir. Setelah lahir diberi nama Danang Sutawijaya yang berarti: danang (lelaki) Suta (hadir) Wijaya (sultan Hadiwijaya). Mengandung maksud anak laki yang lahir karena hadirnya sultan Hadiwijaya.

Kontroversi siapa sebenarnya Sutawijaya, apakah anak ki. Ageng Pemanahan atau anak sultan Hadiwijaya. Sampai saat ini tidak jelas. Secara fakta adalah anak ki Ageng Pemanahan. Yang diadopsi sebagai anak sultan Hadiwijaya. Tetapi masyarakat menyatakan “lembu peteng” nya Jaka Tingkir,

Dilihat dari sejarah, dimana kekuasaan Raja adalah mutak. Dimana tak seorang yang berada dibawah kuasanya bisa menolak keinginan raja. Terlepas apakah keinginan itu benar atau salah. Sabda raja adalah hukum. Menolak keinginan raja berarti menentang hukum. Kebiasaan raja memiliki selir disamping garwa padmi, adalah suatu hal yang sangat biasa .
Sultan Hadiwijaya memiliki putra bernama Pangeran Benawa sebagai pewaris syah Pajang. Namun mengapa tokoh pangeran Benawa ini tidak menonjol kiprahnya. Hal ini dilatar belakangi bahwa dianggap kurang tidak cerdas. Sedagkan cerita rakyat mengatakan bahwa pangeran Benawa “kesinungan pengung” dalam istilah sekarang biasa disebut autis. .
Jadi jelas mengapa peran pangeran Benawa dalam mempertahankan Pajang dari rongrongan aria Penangsang tidak tercatat dalam sejarah.

Pada saat sekarang didalam masyarakat jawa kususnya masih dipercaya bahwa dinasti raja-raja di tanah jawa (Islam) masih memilik satu darah, yakni darah asal Majapahit. Dan Indonesia dipercaya baru akan keluar dari masalah jika dipimpin oleh sosok yang berdarah raja Majapahit. Sampai Sekrang dalam kenyataan tidak satupun pemimpin negeri in sejak merdeka yang memiliki darah raja Majapahit.
Wallahualam bisawab.

Hari hari terakhir Harya Penangsang

Ketika terjadi insiden di di padepokan sunan Kudus. Aria Penangsang yg tidak tanggap atas sasmita dari sunan Kudus “sarungkan” keris pusaka kiai Setan Kober dan menduduki rajah kalacakra. Aria Penangsang diwajibkan untuk melakukan puasa 40 hari lamanya.

Sultan Hadiwijaya sepulangnya dari padepokan sunan Kudus, memanggil Trio Selo (Pemanahan, Penjawi dan Juru Mertani). Untuk mengatur strategi untuk menghadapi krida aria Penangsang, yag secara terus terang akan merongrong Pajang. Oleh karena itu sultan Hadiwijaya membuka sayembara untuk mengalahkan aria Penangsang. Dimana siapa saja yang bisa menewaskan aria Penangsang akan diberi tanah perdikan di Mentaok.

Ki Ageng Pemanahan mengajukan anaknya, Sutawijaya yang juga sebagai anak angkat sultan Hadiwijaya untuk maju sebagai senapati Pajang untuk menghadapi aria Penangsang. Pada awalnya, sultan Hadiwijaya keberatan. Karena Sutawijaya masih muda belia dan belum berpengalaman. Namun Ki. Ageng Pemanahan meyakinkan bahwa Sutawijaya tidak maju sendiri, Tetap didukung oleh trio Selo (Pemanahan, Penjawi dan Juru Mertani), serta membawa sipat kandel tombak Kiai Plered yang ampuh.

Trio Selo mengatur strategi dengan mengirim 9 santri untuk mematai-mati kekuatan Jipang. Namun malang kesemua tertangkap di Jipang dan dieksekusi. Konon makam 9 santri sekarang berada dilingkungan petilasan Jipang. Namun usaha untuk mencari info kelemahan Jipang terus diupayakan. Sehingganya akhirnya diperoleh informasi bahwa aria Penangsang sedang melakukan Puasa 40 hari setelah menduduki rajah kalacakra guna menghapus apes.

Dengan diketahui keadaan ini maka ki Juru Mertani mengatur siasat untuk menantang aria Penangsang sebelum masa puasanya usai atau membatalkan puasanya. Dari sini jelas bahwa di penghujung masa puasa, kondisi aria Penangsang akan lemah secara fisik.
Ki. Ageng Pemanahan dan Sutawijaya menyusun pasukan di tepi seberang bengawan sore, sedangkan ki Juru Mertani menyusup ke Pajang. Malang bagi abdi dalem pemelihara kuda Gagak Rimang milik aria Penangsang yang sedang merumput ketika bertemu dengan Ki. Juru Mertani. Abdi dalem ditangkap oleh Ki Juru Mertani dan dikerat kupingnya, serta dibekali surat tantangan dari Sutawijaya untuk aria Penangsang.

Aria penangsang belum genap puasa 40 hari, amarahnya menggelegak ketika menerima tangtangan dari Sutawijaya yg dianggapnya sebagai anak kemaren sore yang masih ingusan. Patih ki Mentahun dan penasehat pribadinya ki Sumangkar gagal meredam kemarahan aria Penangsang. Meski fisiknya masih lemah karena sudah menjalani puasa 39 hari, memerintahkan untuk berangkat menghadapi Sutawijaya. Patih ki Mentahun dan ki Sumangkar meminta untuk menahan diri selama satu hari saja agar aria Penangsang menyelesaikan puasanya. Karena suasana seperti ini adalah akal-akalan orang Pajang untuk membatalkan puasa. Namun semua nasihat tidak lagi didengar oleh aria Penangsang yang sudah terbakar amarahnya.

Gagak Rimang di luar kendali.

Harya Penangsang membatalkan puasa yang belum genap 40 hari. Sebenarnya kondisi fisiknya masih belum prima, namun hal tersebut tidak dirasakan, karena emosinya sudah terbakar. Harga dirinya terasa di injak-injak oleh Danang Sutawijaya anak angkat sultan Hadiwijaya yang dinilai masih bocah kemaren sore. Dengan busana keprajuritan memimpin sendiri pasukan menuju tempat yang dtentukan yakni ditepi bengawan sore.

Disisi Pajang, ternyata sudah memiliki persiapan yang sangat matang untuk menghadapi pasukan Jipang. Dalam hal ini Pajang tidak hanya sendiri untuk berlaga, bantuan pasukan dari bupati Jepara Ratu Kalinyamat dan pasukan dari pesantren Selo (murid murid turunan ki Ageng Selo) yang dipimpin oleh Penjawi, Juru Martani dan Ki Pemanahan.

Situasi seperti ini tidak diperhitungkan oleh bupati Jipang Arya Penangsang. Karena memang sudah terbakar emosinya dan mengandalkan kharismatik sebagai bupati yang di segani, karena memang tergolong bupati yang menjadi murid langsung dari sunan Kudus.

Sejak terjadi konfrontasi antara Jipang dengan Pajang. Secara ghaib wilayah Jipang memang dilindungi oleh sunan Kudus dengan menebar “tabir gaib” yang dipasang di sungai Bengawan Sore. Siapapun yang menyebrang bengawan sore akan kehilangan daya kekuatanya.
Akan tetapi tapi tabir ghaib yang ada di bengawan sore sudah diketahui keberadaanya oleh Trio Selo. Namun tabir ghaib itu tak bisa disingkirkan. Oleh karena itu dilakukan siasat untuk memancing arya Penangsang untuk menyebrang kali Bengawan Sore.

Danang Sutawijaya meski merasa tidak mampu melawan Arya Penangsang, namun tegar dan meningkat keberanianya karena didukung oleh Tri Selo dan dibekali pusaka pribadi sultan Hadiwijaya sebagai sipat kandel, yakni tombak pusaka Kiayi Plered yang terkenal ampuh. Bahkan keampuhanya bisa menembus siapapun meski memiliki ilmu kebal.
Oleh Trio Selo, Danang Sutawijaya dberi kuda tunggangan peremuan yang sedang birahi untuk menghadapi Arya penangsang yang menggunakan kuda tunggangan Gagak Rimang.

Arya Penangsang dan pasukan, setibanya di tepi kali Bengawan Sore, menggelar pasukan untuk siap-siap menyerang. Penyerangan ke pasukan Pajang ia tunda karena Arya Penangsang tahu bahwa jika menyebrang kali bengawan sore akan terkena tabir ghaib yang dtebar oleh Sunan Kudus, dirinya dan pasukanya akan kehilangan kekuatanya. Lagi pula pasukan yang akan membantu yakni pasukan kepatihan dibawah ki Sumangkar dan pasukan kabupaten Jipang yang dipimpin oleh Ki Mentahun belum tiba.

Trio Selo melihat arya Penangsang menunda penyerangan, hatinya semakin waswas. Karena harapanya adalah Arya Penangsang dan pasukan Jipang yang belum lengkap segera menyebrang kali bengawan sore. Oleh karena itu ki Juru Mertani yang mendampingi Danang Sutawijaya yang menunggang kuda perempuan berteriak memanasmanasi alias provokasi ke Arya Penangsang untuk bertanding diseberang kali bengawan sore. Pada awalnya provokasi ki Juru Mertani tidak digubris oleh arya Penangsang. Namun Sutawijaya yang mengunggang kuda perempuan yg sedang birahi melakukan manuver,untuk mengusik Gagak Rimang, kuda tunggangan arya Penangsang.

Gagak Rimang kuda jantan melihat kuda betina yang sedang birahi melesat menyebrangi kali bengawan sore. Arya Penangsang terkejut akan polah Gagak Rimang, sehingga ia pun terbawa menyebrangi kali bengawan sore. Tidak sempat lagi memberi komando kepada pasukanya. Namun pasukan yang teratih segera menyusul ikut menyebrang.

Melihat Gagak Rimang melesat sendiri menyebrang kali diluar kendali tuanya, adalah merupakan kesempatan yang sangat baik, bagi Sutawijaya.

Dengan Tombak kiyai Plered di tangan siap menyambut kedatangan arya Penangsang di seberang kali. Arya Penangsang sibuk berusaha mengendalikan Gagak Rimang yang lepas kendali karena terpicu birahinya oleh kuda tunggangan Sutawijaya. Sehingga hilang kewaspadaanya terhadap bahaya yang sedang di hadapi. Luput penglihatanya bahwa seberang kali sudah ditunggu oleh tombak kiayi Plered yang dipegang oleh Sutawijaya.

Arya Penangsang Tewas

Gagak Rimang yang terpicu birahi lari menyeberangi kali bengawan sore, tanpa menghiraukan bahwa tuanya berada di punggungnya. Arya Penangsang dengan sekuat tenaga berusaha mengendalikan krida sang gagak rimang. Tetap di tepi seberang kali bengawan sore gagak rimang menghentikan langkah dengan kedua kaki depan mengangkat keatas, karena tali sais ditarik kuat kebelakang. Dalam keadaan demikian Arya Penangsang berusaha memegang tali sais sekuatnya agar tidak jatuh terjengkang. Kesempatan ini di gunakan untuk menjojohkan tombak kiayi Plered ke badan sang bupati Jipang. Sudah tentu Arya Penangsang tidak bisa menangkis hunjaman tombak, karena kedua tanganya masih tercengkeram kuat memegang tali sais untuk menahan agar dirinya tidak jatuh dari kuda. Lambung Arya Penangsang sobek terkena hunjaman tombak kiayi Plered. Dan kemudian terjatuh menyebabkan sobekan luka bertambah lebar, menyebabkan ususnya keluar.

Meski demikian Arya Penangsang masih sanggup untuk bangun dan menangkis datangnya hunjaman tombak berikutnya dengan tangan kiri, sedangkan tangan kananya sibuk mengalugkan usus yang keluar ke gagang keris setan kober.

Dengan sekali sentak tubuh arya Penangsang melenting keatas dan mendarat diatasa tanah di tepi bengawan sore. Sutawijaya terkejut, tidak percaya bahwa sang bupati Jipang yang sudah terluka dan ususnya keluar masih mampu bergerak secepat itu. Belum lagi sempat Sutawijaya sadar dari rasa terkejutnya, Arya Penangsang sudah berada dibelakangnya dan menyekap leher Sutawijaya. Rasa sesak napas menjalar diseluruh badan terasa kesemutan membuat Sutawijaya kehilangan tenaga. Dan hanya mampu berkata:”Paman Harya ampuni saya paman”.

Ki Juru Mertani yang melihat keadaan tersebut mengkhawatirkan Sutawijaya akan mati bukan karena terkena senjata tajam. Akan tetapi mati lemas karena kehabisan napas. Dengan serta merta berteriak kepada Arya Penangsang :”Penangsang bunuh anak itu secara ksatria dengan Kerismu.”.

Mendengar teriakan ki Juru Mertani Arya Penangsang mengendurkan cekikan seraya meraba keris kiayi setan kober. Sutawijaya merasa cekikan melonggar dan dapat bernapas kembali, namun tetap tidak bisa melepaskan diri dari sekapan Arya Penangsang. Satu satunya yang bisa dilakukan adalah meraih usus Arya penangsang yang masih menyangkut di hulu keris setan kober. Tentu saja membuat usus arya Penangsang menjadi semakin tegang. Disaat yang sama arya Penangsang menarik keris setan kober dari warangkanya dengan nafsu untuk menghabisi Sutawijaya. Sekelebat keris terhunus, terpotonglah usus sang Arya Penangsang. Sutawijaya terjatuh begitu usus arya Penangsang putus diiringi tumbangnya tubuh sang bupati Jipang Panolan yang perkasa.

Masih sempat Sutawijaya menghampiri arya Peangsang yang sudah tidak berdaya. Dan berkata :”Paman Arya, saya tidak membunuh paman. Keris paman sendirilah yang memutuskan usus paman, Dengan suara lemah Arya Penangsang berkata:”Angger, berjanjilah sebagai bukti kebenaran kata-katamu. Katakan kepada semua pawongan, jika mereka menikah harus mengguna busana seperti yang dipakai oleh paman”. Selepas itu Arya Penangsang wafat di pangkuan Sutawijaya. Tewas sebagai Ksatria.

Hingga saat ini disetiap perhelatan temu penganten di wilayah Yogya, Penganten Priya menggunakan busana Penangsang dengan keris yang dironce dengan bunga melati dan mawar. Sedangkan pakaian adat sehari hari masyarakat Yogya (mataram) adalah Surjan dengan blangkon mondolan.

Kisah Arya Penangsang dan Kemelut Berdarah di Kerajaan Demak

Kisah Arya Penangsang dan Kemelut Berdarah di Kerajaan Demak


Mendapatkan hikmah dari pelajaran sejarah

Genetik kita diwariskan dari leluhur secara turun temurun dan leluhur kita pernah hidup di zaman dahulu kala. Dalam DNA kita terdapat catatan pengalaman leluhur-leluhur kita zaman Sriwijaya, zaman Majapahit, genetik bawaan dari pembangun Candi Monumental Borobudur dan juga genetik pelaku kekerasan Ken Arok dan Arya Penangsang. Zaman dulu dan zaman sekarang ini adalah satu rangkaian yang tidak bisa dipisahkan. Bahkan dalam genetik seseorang terdapat catatan evolusi panjang kehidupannya sampai saat ini.

Kita perlu mengkoreksi klasifikasi sejarah yang mengkotak-kotakkan Sejarah Bangsa menjadi Zaman Pra Hindu, Zaman Hindu, Zaman Islam, Zaman Penjajahan dan seterusnya. Genetik kita pada saat ini ada kaitannya dengan masa lalu, tidak dapat dipisah-pisahkan atas dasar kepercayaan yang dianut pada beberapa masa. Leluhur kita pernah beragama tersebut dan genetiknya telah terwariskan kepada kita.

Kalaupun kita mempercayai pandangan Sejarawan Inggris Arnold Toynbee (1889-1975) yang mengemukakan teori siklus ‘lahir-tumbuh-mandek-hancur’ dari suatu kehidupan sosial atau suatu peradaban, dan pada kenyataannya, kerajaan-kerajaan di Nusantara juga mengalami proses tersebut, akan tetapi semua pengalaman tersebut telah tercatat dalam DNA kita. Adalah perjuangan sebuah bangsa untuk mengembangkan karakter bangsa yang baik dan memutus siklus karakter bangsa yang tidak baik.

Yang namanya ‘kisah’ tentu saja sulit dicari keotentikannya, akan tetapi bagaimana pun kita tetap dapat mengambil hikmah dari sebuah ‘kisah’, khususnya ‘Kisah Arya Penangsang’.



Kemelut di Demak

Para pemimpin di Demak di masa itu, telah melihat kemelut yang terjadi di Istana Majapahit dan yakin pemerintahan Raden Patah dengan penasehat para Wali akan mengalami kejayaan kembali seperti Kerajaan Majapahit di masa jayanya berdasarkan tuntunan agama yang mulia. Mungkin mereka lupa apa yang ditabur akan dituai, perebutan kekuasaan Kerajaan Majapahit akan dialami pula oleh Kerajaan Demak. Kerajaan Majapahit mampu bertahan selama 4 abad, akan tetapi Kerajaan Demak, hanya beberapa generasi saja.

Raden Patah digantikan oleh Pati Unus menantu Raden Patah yang akhirnya meninggal sewaktu menyerang Malaka dan terkenal dengan sebutan ‘Pangeran Sabrang Lor’, Pangeran yang menyeberangi laut ke utara. Putra Raden Patah, Pangeran Bagus Surawiyata, dibunuh oleh Sunan Prawoto, putra Trenggono, adik Pangeran Bagus Surawiyata. Trenggono lah yang kemudian menjadi Sultan Demak. Pangeran Bagus Surawiyata sering disebut dengan sebutan ‘Pangeran Sekar Seda Lepen’, Pangeran yang meninggal di kali. Arya Penangsang adalah putra Pangeran Bagus Surawiyata yang merasa berhak mewarisi tahta, apalagi dia telah diangkat anak oleh Sunan Kudus dan sudah menjadi Adipati di Jipang Panolan. Bagaimana pun semua keputusan harus mendapatkan kesepakatan dari para Wali.

Meninggalnya Sultan Trenggono di Panarukan membuat kemelut Istana Demak memuncak. Ada perbedaan pendapat di antara para Wali. Pendapat Sunan Kalijaga, adalah Hadiwijaya Adipati Pajang menantu Sultan Trenggono yang pantas menggantikan sebagai Raja. Alasannya meski bukan keturunan langsung Raden Patah, tetapi masih mempunyai darah Raja Majapahit. Sunan Kalijaga mengingatkan bahwa para Wali pernah mengangkat Pati Unus, menantu Raden Patah sebagai Sultan Demak, padahal Pati Unus tidak memiliki darah Raja Majapahit.

Sunan Kudus berpendapat bahwa Arya Penangsang, Adipati Jipang Panolan, putra Pangeran Bagus Surawiyata yang terbunuh yang berhak sebagai Sultan Demak. Sunan Kudus meyakinkan bahwa Arya Penangsang memiliki kemampuan dalam tata negara dan merupakan pemimpin yang kharismatik. Sunan Giri berpendapat bahwa Pangeran Bagus Mukmin (Sunan Prawata), putra Sultan Trenggono yang berhak menjadi Sultan. Alasannya adalah sesuai adat dan hukum. Akhirnya Sunan Prawata diangkat sebagai Sultan.

Di masa Sunan Prawata menjadi raja, Banten dan Cirebon memisahkan diri dari Demak dan berdiri sendiri sebagai kerajaan yang berdaulat sehingga Kasultanan Demak sudah berkurang wilayahnya. Pada suatu malam, Sunan Prawata dibunuh oleh Rangkud orang kepercayaan Arya Penangsang atas restu Sunan Kudus.

Puteri Sultan Trenggono, Ratu Kalinyamat beserta suaminya Pangeran Hadiri datang menghadap Sunan Kudus untuk meminta keadilan atas kematian kakaknya dan oleh Sunan Kudus dijelaskan sebab musabab Sunan Prawoto terbunuh, agar suasana yang penuh ketegangan dapat mereda. Akan tetapi sepulang dari Sunan Kudus, mereka dicegat pasukan Arya Penangsang dan Pangeran Hadiri terbunuh. Ratu Kalinyamat amat marah dan mengatakan administrasi Kerajaan dipindah ke Pajang, dimana adik iparnya menjadi adipati di sana. Dia ingin menjauhkan peran para Wali di Demak terhadap pemerintahan dan kemudian bertapa telanjang di Gunung Danaraja dan tidak akan berpakaian sebelum Arya Penangsang mati. Ratu Kalinyamat sakit hati terhadap Sunan Kudus sebagai Hakim Agung di Demak yang memihak kepada Arya Penangsang.

Demak dinyatakan sudah kehilangan wahyu kraton dan berdirilah kerajaan baru, Kesultanan Pajang. Kesultanan Pajang dibawah Sultan Hadiwijawa (Jaka Tingkir), berdiri tahun 1530 tanpa ada pesta pelantikan, bahkan menurut kisah turun temurun masyarakat disekitar wilayah Pajang, Raja Hadiwijaya tidak dilantik oleh para Wali. Kecuali dihadiri oleh Sunan Kalijaga dengan kapasitas sebagai seorang Guru Jaka Tingkir. Setelah itu tidak ada lagi Wali sebagai pengambil keputusan bidang pemerintahan.

Seorang Guru yang berpikiran jernih berpendapat bahwa apa pun keyakinan yang dianut, sebetulnya akhlaknya tergantung pada diri pribadi. Keserakahan, keangkuhan dan nafsu diri tidak berubah hanya karena berganti keyakinan. Boleh saja seseorang mengaku mempunyai keyakinan yang paling benar, akan tetapi kalau dia tidak memperbaiki akhlaknya, maka dia akan mempermalukan lembaga keyakinan yang dinutnya. Masyarakat yang akan menilai.



Terbunuhnya Arya Penangsang oleh Sutawijaya

Arya Penangsang membuat saluran air melingkari Jipang Panolan dan dihubungkan dengan Bengawan Solo. Karena pada sore hari air Bengawan Solo pasang maka air di saluran juga mengalami pasang. Oleh karena itu saluran tersebut dikenal dengan nama Bengawan Sore. Sebetulnya Arya Penangsang sudah tidak berhak mengklaim tahta Demak kepada Sultan Hadiwijaya, karena Pajang adalah sebuah kerajaan tersendiri. Akan tetapi dendamnya kepada putera dan mantu Sultan Trenggono belum pupus. Dia kembali mengirim pembunuh gelap untuk membunuh Sultan Hadiwijaya, mengulangi keberhasilan pembunuhan terhadap Sunan Prawata. Akan tetapi pembunuhan tersebut tidak berhasil.

Dikisahkan Sunan Kalijaga memohon kepada Sunan Kudus agar para sepuh, Wali sebagai ulama dapat menempatkan diri sebagai orang tua. Tidak ikut campur dalam urusan “rumah tangga” anak-anak. Biarkanlah Arya Penangsang dan Hadiwijaya menyelesaikan persoalanya sendiri. Dan yang sepuh sebagai pengamat. Sunattulah akan berlaku bagi mereka berdua, ‘Sing becik ketitik sing ala ketara’. Wali lebih baik mensyi’arkan agama tanpa menggunakan kekuasaan. Biarkanlah urusan tata negara dilakukan oleh ahlinya masing-masing. Wali adalah ahli da’wah bukan ahli tata negara. Jangan sampai para Wali terpecah belah karena berpihak kepada salah satu diantara mereka. Apa kata rakyat jelata, jika melihat para Wali ‘udreg-udregan’, sibuk berkelahi sendiri.

Hampir semua Guru menyampaikan: “Setelah tidak ada aku nanti, mungkin pentolan-pentolan kelompokku sudah tidak punya ‘clash of vision’, tetapi mereka tetap punya ‘clash of minds’, ‘clash of egoes’, mereka merasa bahwa tindakan yang dipilihnya benar menurut pemahamannya, dan kalian akan melihat banyaknya aliran muncul”. seandainya Guru masih hidup maka kebenaran dapat ditanyakan dan tidak akan ada permasalahan. Mereka yang gila kekuasaan menggunakan pemahaman terhadap wasiat Guru sebagai alat untuk membangun kekuasaan. Yang terjadi bukan perang berdasarkan perbedaan keyakinan, tetapi perebutan kekuasaan menggunakan perbedaan pemahaman atau keyakinan sebagai alat yang ampuh.

Dikisahkan Sunan Kudus sebagai Guru Sultan Hadiwijaya, mengundang Sultan untuk datang ke Kudus untuk mendinginkan suasana. Pada saat itu terjadi perang mulut antara Arya Penangsang dan Sultan Hadiwijaya dan mereka saling menghunus keris. Konon Sunan Kudus berteriak: “Apa-apaan kalian! Penangsang cepat sarungkan senjatamu, dan masalahmu akan selesai!” Arya Penangsang patuh dan menyarungkan keris ‘Setan Kober’nya. Setelah pertemuan usai, konon Sunan Kudus menyayangkan Arya Penangsang, maksud Sunan Kudus adalah menyarungkan keris ke tubuh Sultan Hadiwijaya dan masalah akan selesai.

Akhirnya Arya Penangsang dengan kuda ‘Gagak Rimang’nya dipancing dengan kuda betina Sutawijaya yang berada di luar Bengawan Sore atas saran penasehat Ki Gede Pemanahan dan ki Penjawi. Dan, Arya Penangsang menaiki ‘Gagak Rimang’ yang bersemangat menyeberangi Bengawan Sore. Begitu berada di luar Bengawan Sore kesaktian Arya Penangsang berkurang yang akhirnya dia dapat terbunuh. Atas jasanya Ki Penjawi diberi tanah di Pati dan Ki Gede Pemanahan diberi tanah di Mentaok, Mataram. Sutawijaya adalah putra Ki Gede Pemanahan dan merupakan putra angkat Sultan Hadiwijaya sebelum putra kandungnya, Pangeran Benawa lahir. Sutawijaya konon dikawinkan dengan putri Sultan sehingga Sutawijaya yang akhirnya menjadi Sultan Pertama Mataram yang bergelar Panembahan Senopati, anak keturunannya masih berdarah Raja Majapahit.



Perbaikan Karakter Bangsa

Kita harus mulai hidup berkesadaran. Pertama kita sadari bahwa potensi genetik kekerasan masih berada dalam diri. Keributan dalam pertunjukan dangdut dan sepakbola, adalah bukti masih adanya potensi kekerasan dalam diri. Latihan meditasi atau olah batin dapat melembutkan diri.

Selanjutnya kita harus berjuang membuang potensi genetik lama yang kurang baik dan menggantinya dengan kebiasaan baru, karakter baru dan akhirnya membuat perbaikan genetik. Dari studi genetika terbukti bahwa kita telah mengalami evolusi yang luar biasa, maka perbaikan karakter sudah pasti dapat dicapai dengan suatu perjuangan.

Sudah waktunya kita menghormati jasa leluhur kita, sudah waktunya kita menghormati Warisan Budaya kita. Bende Mataram, Sembah Sujudku bagi Ibu Pertiwi. Terima Kasih Guru.

Arya Penangsang

Arya Penangsang


Arya Penangsang atau Arya Jipang, adalah Bupati Jipang Panolan yang memerintah pada pertengahan abad ke-16. Ia melakukan pembunuhan terhadap Sunan Prawoto, penguasa terakhir Kesultanan Demak tahun 1549, namun dirinya sendiri kemudian tewas ditumpas para pengikut Sultan Hadiwijaya, penguasa Pajang. Riwayat mengenai Arya Penangsang tercantum dalam beberapa serat dan babad yang ditulis ulang pada periode bahasa Jawa Baru (abad ke-19), seperti Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda. Arya Penangsang juga terkenal sakti mandraguna.

Silsilah

Menurut Serat Kanda, Ayah dari Arya Penangsang adalah Raden Kikin atau sering disebut sebagai Pangeran Sekar, putra Raden Patah raja pertama Kesultanan Demak. Ibu Raden Kikin adalah putri bupati Jipang sehingga ia bisa mewarisi kedudukan kakeknya. Selain itu Arya Penangsang juga memiliki saudara lain ibu bernama Arya Mataram.

Pada tahun 1521 anak pertama Raden Patah yang bernama Adipati Kudus (orang Portugis menyebutnya Pate Unus, dikenal juga sebagai Pangeran Sabrang Lor karena melakukan penyerangan ke Malaka yang dikuasai Portugis) gugur dalam perang. Kedua adiknya, yaitu Raden Kikin dan Raden Trenggana, malah berebut takhta. Raden Mukmin atau yang disebut juga sebagai Sunan Prawoto (putra pertama Raden Trenggana) membunuh Raden Kikin sepulang salat Jumat di tepi sungai dengan menggunakan keris Kyai Setan Kober yang dicurinya dari Sunan Kudus. Sejak itu, Raden Kikin terkenal dengan sebutan Pangeran Sekar Seda ing Lepen ("Bunga yang gugur di sungai").

Sepeninggal ayahnya, Arya Penangsang menggantikan sebagai bupati Jipang Panolan. Saat itu usianya masih anak-anak, sehingga pemerintahannya diwakili Patih Matahun. Ia dibantu oleh salah satu senapati Kadipaten Jipang yang terkenal bernama Tohpati. Wilayah Jipang Panolan sendiri terletak di sekitar daerah Blora, Jawa Tengah.
[sunting] Aksi pembunuhan

Raden Trenggana naik takhta Demak sejak tahun 1521 bergelar Sultan Trenggana. Pemerintahannya berakhir saat ia gugur di Panarukan, Situbondo tahun 1546. Raden Mukmin menggantikan sebagai sultan keempat bergelar Sunan Prawoto.

Pada tahun 1549 Arya Penangsang dengan dukungan gurunya, yaitu Sunan Kudus, membalas kematian Raden Kikin dengan mengirim utusan bernama Rangkud untuk membunuh Sunan Prawoto dengan Keris Kyai Setan Kober. Rangkud sendiri tewas pula, saling bunuh dengan korbannya itu.

Ratu Kalinyamat, adik Sunan Prawoto, menemukan bukti kalau Sunan Kudus terlibat pembunuhan kakaknya. Ia datang ke Kudus meminta pertanggungjawaban. Namun jawaban Sunan Kudus bahwa Sunan Prawoto mati karena karma membuat Ratu Kalinyamat kecewa.

Ratu Kalinyamat bersama suaminya pulang ke Jepara. Di tengah jalan mereka diserbu anak buah Arya Penangsang. Ratu Kalinyamat berhasil lolos, sedangkan suaminya, yang bernama Pangeran Hadari, terbunuh.

Arya Penangsang kemudian mengirim empat orang utusan membunuh saingan beratnya, yaitu Hadiwijaya, menantu Sultan Trenggana yang menjadi bupati Pajang. Meskipun keempatnya dibekali keris pusaka Kyai Setan Kober, namun, mereka tetap dapat dikalahkan Hadiwijaya dan dipulangkan secara hormat.

Hadiwijaya ganti mendatangi Arya Penangsang untuk mengembalikan keris Kyai Setan Kober. Keduanya lalu terlibat pertengkaran dan didamaikan Sunan Kudus. Hadiwijaya kemudian pamit pulang, sedangkan Sunan Kudus menyuruh Penangsang berpuasa 40 hari untuk menghilangkan Tuah Rajah Kalacakra yang sebenarnya akan digunakan untuk menjebak Hadiwijaya tetapi malah mengenai Arya Penangsang sendiri pada waktu bertengkar dengan Hadiwijaya karena emosi Aryo Penangsang sendiri yang labil.
[sunting] Sayembara

Dalam perjalanan pulang ke Pajang, rombongan Hadiwijaya singgah ke Gunung Danaraja tempat Ratu Kalinyamat bertapa. Ratu Kalinyamat mendesak Hadiwijaya agar segera menumpas Arya Penangsang. Ia,, yang mengaku sebagai pewaris takhta Sunan Prawoto, berjanji akan menyerahkan Demak dan Jepara jika Hadiwijaya menang.

Hadiwijaya segan memerangi Penangsang secara langsung karena merasa sebagai sama-sama murid Sunan Kudus dan sesama anggota keluarga Demak. Maka diumumkanlah sayembara, barangsiapa dapat membunuh bupati Jipang tersebut, akan memperoleh hadiah berupa tanah Pati dan Mataram.

Kedua kakak angkat Hadiwijaya, yaitu Ki Ageng Pemanahan dan Ki Panjawi mendaftar sayembara. Hadiwijaya memberikan pasukan Pajang dan memberikan Tombak Kyai Plered untuk membantu karena anak angkatnya, yaitu Sutawijaya (putra kandung Ki Ageng Pemanahan ikut serta.

Kematian

Ketika pasukan Pajang datang menyerang Jipang, Arya Penangsang sedang akan berbuka setelah keberhasilannya berpuasa 40 hari. Surat tantangan atas nama Hadiwijaya membuatnya tidak mampu menahan emosi. Apalagi surat tantangan itu dibawa oleh pekatik-nya (pemelihara kuda) yang sebelumnya sudah dipotong telinganya oleh Pemanahan dan Penjawi. Meskipun sudah disabarkan Arya Mataram, Penangsang tetap berangkat ke medan perang menaiki kuda jantan yang bernama Gagak Rimang.

Kuda Gagak Rimang dengan penuh nafsu mengejar Sutawijaya yang mengendarai kuda betina, melompati bengawan. Perang antara pasukan Pajang dan Jipang terjadi di dekat Bengawan Sore. Akibatnya perut Arya Penangsang robek terkena tombak Kyai Plered milik Sutawijaya. Meskipun demikian Penangsang tetap bertahan. Ususnya yang terburai dililitkannya pada gagang keris yang terselip di pinggang.

Penangsang berhasil meringkus Sutawijaya. Saat mencabut keris Setan Kober untuk membunuh Sutawijaya, usus Arya Penangsang terpotong sehingga menyebabkan kematiannya.

Dalam pertempuran itu Ki Matahun, patih Jipang, tewas pula, sedangkan Arya Mataram meloloskan diri. Sejak awal, Arya Mataram memang tidak pernah sependapat dengan kakaknya yang mudah marah itu.

Dampak budaya

Kisah kematian Arya Penangsang melahirkan tradisi baru dalam seni pakaian Jawa, khususnya busana pengantin pria. Pangkal keris yang dipakai pengantin pria seringkali dihiasi untaian bunga mawar dan melati. Ini merupakan lambang pengingat supaya pengantin pria tidak berwatak pemarah dan ingin menang sendiri sebagaimana watak Arya Penangsang.

Monday 20 December 2010

Sejarah Singkat Kerajaan Demak

Asal-usul Raden Patah dalam Tradisi Babad, Serat, dan Kronik Cina

Nama Raden Patah terdapat dalam Babab Tanah Jawi (selanjutnya ditulis BTJ, disusun pada masa pemerintahan Paku Buwono I yang menjadi Sunan Mataram hingga 1719). Menurut BTJ, Raden Patah adalah putra Brawijaya, raja terakhir Majapahit dari seorang selir dari negeri Campa. Menurut Serat Kanda, putri Campa (kini termasuk wilayah Kamboja) ini dinikahi oleh Brawijaya ketika Brawijaya masih menjadi putra mahkota—belum menjadi raja Majapahit. Sang permaisuri Raja, yaitu Ratu Dwarawati, merasa cemburu terhadap putri Campa itu. Untuk menghindari kemungkinan buruk, Raja Brawijaya memberikan selir Campanya itu kepada putra sulungnya, yaitu Arya Damar Bupati Palembang. Setelah melahirkan Raden Patah, putri Campa itu dinikahi Arya Damar, yang kemudian melahirkan Raden Kusen. Dalam Serat Kanda Raden Patah bergelar Panembahan Jimbun, dan dalam BTJ disebut sebagai Senopati Jimbun.
BTJ menyebut nama kecil Raden Patah: Jim Bun, sebuah nama yang sangat kental aroma Tionghoa. Fakta bahwa Raden Patah keturunan Cina, dalam hal ini Campa, diperkuat oleh kronik Cina dari kuil Sam Po Kong (kuil di Semarang yang didirikan sebagai penghormatan terhadap Zheng He atau Cheng Ho), yang menurut kronik itu nama Raden Patah adalah Jin Bun, putra Kung-ta-bu-mi (ejaan Cina untuk [Bhre] Kertabumi) dari selir Cina. Nama Bhre Kertabumi sendiri tercantum dalam Pararaton sebagai raja Majapahit. Kemudian selir Cina itu diberikan kepada seorang peranakan Cina bernama Swan Liong di Palembang. Dari perkawinan dengan Swan Liong itu lahir seorang anak bernama Kin San. Kronik Sam Po Kong mengabarkan bahwa Jin Bun lahir pada tahun 1455 M, kemungkinan besar sebelum Bhre Kertabumi menjabat sebagai raja Majapahit (ia memerintah antara 1474-1478).
Dalam Sajarah Banten disebutkan bahwa pendiri Kesultanan Demak benama Cu Cu, putra seorang mantan perdana menteri Cina yang bermigrasi ke Jawa. Kakeknya bernama Cek Ko Po. Dikisahkan, Cu Cu mengabdi kepada Majapahit dan berhasil memadamkan pemberontakan Arya Dilah Bupati Palembang. Di sini terdapat pemberitaan yang berbeda antara Sajarah Banten dengan BTJ. BTJ memerikan bahwa Arya Dilah merupakan nama lain Arya Damar, ayah tiri dan ayah angkat Raden Patah. Menurut Sajarah Banten, berkat jasa-jasanya, Cu Cu menjadi menantu raja Majapahit dan dijadikan Bupati Demak dengan gelar Arya Sumangsang. Sedangkan menurut Tome Pires dalam Suma Oriental, pendiri Demak adalah Pate Rodin Senior, cucu seorang warga di Gresik.
Ada pun keberadaan “putri Campa”, ibu Raden Patah dan Raden Kusen, itu didukung oleh pustaka Purwaka Caruban Nagari. Menurut naskah dari Cirebon itu, nama asli selir Cina adalah Siu Ban Ci, putri dari pasangan Tan Go Hwat dan Siu Te Yo dari Gresik. Tan Go Hwat sendiri merupakan saudagar sekaligus ulama yang bergelar Syekh Bantong.
Kendati banyak versi yang membicarakan asal usul Raden Patah, namun semua naskah dan kronik itu sepakat bahwa pendiri Kesultanan Demak itu bersangkut paut dengan empat nama: Majapahit, Palembang, Cina, dan Gresik.
Menurut BTJ dan Serat Kanda, Raden Patah lahir di Palembang pada 1455 M dengan nama Pangeran Jimbun—sebuah nama atau dialek Cina. Selama 20 tahun, Jimbun hidup di kediaman adipati Majapahit di Palembang, Arya Damar. Setelah beranjak dewasa, Jimbun kembali ke Majapahit. Oleh orangtuanya, Raden Patah dikirim kepada Raden Rahmat atau Sunan Ngampel (Ampel) Denta di Surabaya untuk belajar Islam. Ia mempelajari pendidikan Islam bersama murid-murid Sunan Ampel yang lainnya: Raden Paku (Sunan Giri), Maulana Ibrahim (Sunan Bonang), dan Raden Qasim (Sunan Derajat).
Raden Patah dinikahkan dengan cucu Raden Rahmat, Nyi Ageng Maloka. Selanjutnya ia dipercaya untuk menyebarkan Islam di Desa Bintoro dengan diiringi oleh Arya Dilah (Ki Dilah), disertai oleh 200 pasukannya.
Menurut Lombard (2008, 44), Raden Patah merupakan pendiri kantor dagang di Demak, sebuah pelabuhan di pesisir Jawa yang ramai dikunjungi kapal-kapal dagang, di sekat Gunung Muria. Ia berasal dari Cina, mula-mula menetap di Gresik, lalu pindah ke Demak.
Menurut Tome Pires yang singgah di pelabuhan Demak, Demak memiliki hingga 40 jung dan telah meluaskan kewibawaannya sampai ke Palembang, Jambi, “pulau-pulau Menamby dan sejumlah besar pulau lain di depan Tanjung Pura”, yaitu Bangka (di mana terdapat Pegunungan Menumbing) dan Belitung. Saat itu di Demak terdapat tak kurang dari “delapan hingga sepuluh ribu rumah” dan tanah sekelilingnya menghasillkan beras berlimpah-limpah, yang sebagian untuk diekspor ke Malaka.
Menurut penjelajah Portugis itu, Demak (dan Rembang) terkenal dengan galangan-galangan kapalnya. Kapal-kapal dibuat dari kayu jati yang banyak tumbuh di wilayah pesisir Jawa Tengah dan Timur waktu itu. Demak juga dikelilingi beberapa kota-pelabuhan tempat terjadi perniagaan besar: Juwana, Pati, Rembang, Jepara, dan Semarang (yang ketika itu penduduknya berkisar sekitar 3.000 kepala). “Pedagang yang punya uang datang ke sana untuk dibuatkan jung,” begitu tulis Pires.

Menyerang Majapahit
BTJ berkisah, Raden Patah menampik untuk jadi pengganti Arya Damar sebagai bupati Palembang. Ia, ditemani Raden Kusen, lalu kabur dari Palembang menuju Jawa.Begitu tiba di Jawa, kedua saudara berbeda ayah itu berguru pada Sunan Ngampel di dekat Surabaya. Raden Patah lalu pindah ke arah barat di sekitar Jawa Tengah untuk membuka hutan Glagahwangi guna mendirikan sebuah pesantren. Sementara Raden Kusen mengabdi di keraton Majapahit.
Aktivitas Pesantren Glagahwangi hari ke hari semakin berkembang. Raja Brawijaya melihat perkembangan pesanten itu sebagai sebuah ancaman, kalau-kalau Raden Patah berniat berontak. Untuk itu, Brawijaya mengutus Raden Kusen, yang saat itu sudah menjabat sebagai Adipati Terung, untuk memanggil Raden Patah segera menghadap Brawijaya. Alkisah, Raden Patah pun menghadap Brawijaya. Ia akhirnya diakui sebagai putranya oleh Brawijaya. Raden Patah kemudian diangkat menjadi bupati Demak, nama baru untuk Glagahwangi, sedangkan nama ibukota Demak adalah Bintoro.
Ada pun kronik Sam Po Kong menguraikan bahwa pada 1475 Jin Bun pindah ke Demak dari Surabaya. Dua tahun kemudian, 1477, Jin Bun berhasil menaklukkan Semarang yang dibuat sebagai bawahan Demak. Penaklukan Semarang membuat Kung-ta-bu-mi resah. Akan tetapi, atas bujukan Bong Swi Hoo (diidentikkan dengan tokoh Sunan Ngampel), Kung-ta-bu-mi bersedia mengakui Jin Bun sebagai anaknya, dan meresmikan kedudukannya sebagai bupati Bing-to-lo (ejaan Cina untuk Bintoro).
Selama Brawijaya memerintah Majapahit, Raden Patah tak pernah menyerang Majapahit. Ialah Sunan Ngampel yang menasehati agar Raden Patah tetap menghormati ayahnya, Raja Majapahit itu—walau berbeda kepercayaan. BTJ dan juga Serat Kanda mengisahkan bahwa sepeninggal Sunan Ngampel, barulah Raden Patah berani menyerang Majapahit atas desakan Sunan Bonang. Sebelum Majapahit, Jim Bun telah menguasai Semarang. Dalam penyerangan ke Majapahit, Brawijaya diberitakan moksa. Untuk
Dikisahkan, yang menduduki takhta Majapahit untuk sementara adalah Sunan Giri (Raden Paku). Ia menduduki takhta selama 40 hari. Hal ini rupanya sebagai legitimasi kekuatan Islam sebagai “agama baru” atas agama Siwa-Buddha yang dianut Majapahit. Di sini perlu diperhatikan perihal moksanya Brawijaya begitu diserang anaknya sendiri, sama halnya dengan legenda Prabu Siliwangi yang juga ngahiyang (menghilang) begitu dikejar oleh anaknya, Kian Santang, karena menolak masuk Islam dalam legenda Sunda. Moksanya Brawijaya (juga ngahiyang-nya Siliwangi) memperlihatkan bahwa walau bagaimana pun kekuatan orangtua (baca: leluhur) tak bisa semena-mena dikalahkan oleh kekuatan agama baru. Ia digambarkan tak tersentuh oleh kenyataan bendawi, luput dari segala hukum fisika.
Sebelum menyerang Majapahit, terlebih dulu Jim Bun menyerang Semarang yang banyak didiami oleh etnis Tionghoa. Setelah berhasil menguasai Semarang, Jin Bun mengangkat saudara tirinya, Kin San, sebagai bupati Semarang. Sementara Gan Si Cang, diangkat menjadi kapten Tionghoa-bukan Islam di Semarang. Gan Si Cang merupakan anak dari almarhum Haji Gan Eng Cu, seorang saudagar Tionghoa yang pada tahun 1430 menjadi bupati di Tu Ma Pan, yang berada di bawah kekuasaan Majapahit.
Raja Kung Ta Bu Mi, ayah Jin Bun, gembira mendengar Semarang telah takluk. Sebagai hadiah, Jin Bun diangkat sebagai Bupati Bing Tolo dan diundang ke Majapahit.
Namun, sesampai di Majapahit Jin Bun tak mau memberi sembah pada ayahnya. Perang antara Jin Bun melawan Kung-ta-bu-mi juga diberitakan oleh kronik Sam Po Kong, yang terjadi pada 1478. Perang tersebut berlangsung setelah kematian Bong Swi Hoo (Sunan Ngampel). Akan tetapi, begitu Jin Bun menggasak ibu kota Majapahit, Kung-ta-bu-mi berhasil ditangkap dan dipindahkan ke Demak dengan terhormat. Dengan begitu, Majapahit pun menjadi wilayah bawahan Demak; yang menjadi bupati Majapahit sendiri adalah Nyoo Lay Wa, seorang Cina Muslim. Di sini, berita tertangkapnya Kung-ta-bu-mi alias Kertabumi membuat kita berpendapat bahwa kronik Cina itu lebih masuk akal dibandingkan berita BTJ dan Serat Kanda. Penulis kronik itu merasa tak terikat dengan dunia “mistik” Jawa yang memilih “menghilangkan secara gaib” Brawijaya dari pada harus menulis tertangkapnya raja itu. Brawijaya terlalu agung untuk dikatakan tertangkap, begitu menurut alam pikiran penulis BTJ dan Serat Kanda.
Pada 1485, Nyoo Lay Wa mati setelah terjadi pemberontakan kaum pribumi. Untuk itu, Jin Bun lalu mengangkat seorang pribumi sebagai bupati baru, yakni Pa-bu-ta-la, yang juga menantu Kung-ta-bu-mi. Tokoh Pa-bu-ta-la ini identik dengan Prabu Natha Girindrawardhana (yang tertulis dalam Pararaton) alias Dyah Ranawijaya yang menerbitkan Prasasti Jiyu (tahun 1486) dan mengaku sebagai penguasa Majapahit, Janggala, dan Kadiri. Dyah Ranawijaya juga mengeluarkan Prasasti Petak yang memuat berita mengenai perang Kadiri melawan Majapahit. Berita prasasti itu menimbulkan penafsiran kuat bahwa Majapahit tidak runtuh akibat serangan Demak pada tahun 1478, melainkan akibat serangan keluarga Girindrawardhana. Dari Prasasti itu diketahui, Girindrawardhana Dyah Ranawijaya adalah putra Girindrawardhana Dyah Wijayakusuma dan cucu Girindrawardhana Dyah Wijayakarana (Sang Munggwing Jinggan). Dyah Ranawijaya (Batara Wijaya atau Bhre Wijaya) memerintah di Daha, ibukota Kediri, yang sebelumnya terletak di Keling, utara kota Majapahit.
Baik BTJ maupun Serat Kanda tidak lagi mengisahkan adanya perang Majapahit melawan Demak sesudah 1478. Padahal menurut catatan Portugis dan juga kronik Sam Po Kong, perang Demak-Majapahit terjadi lebih dari satu kali.
Kronik Cina itu menguraikan, pada 1517 Pa-bu-ta-la bekerja sama dengan bangsa asing (Portugis) di Moa-lok-sa (Malaka) sehingga mengundang kemarahan Jin Bun. Akibatnya, Jin Bun menyerang Majapahit. Pa-bu-ta-la kalah namun tetap diampuni mengingat raja itu adalah suami adiknya—istrinya adalah adik Jin Bun.
Catatan Portugis pun memerikan peperangan itu. Diberitakan, pasukan Majapahit dipimpin oleh seorang bupati Muslim dari Tuban bernama Pate Vira. Majapahit pun menyerang Giri Kedaton, salah satu sekutu Demak di Gresik. Namun, serangan itu mengalami kegagalan di mana panglimanya akhirnya masuk Islam dengan nama baru Kiai Mutalim Jagalpati.
Sepeninggal Raden Patah alias Jin Bun tahun 1518, Demak dipimpin Pangeran Sabrang Lor (versi BTJ) hingga 1521. Selanjutnya Pangeran Sabrang Lor diganti oleh Sultan Trenggana. Menurut kronik Sam Po Kong, pergantian takhta itu dimanfaatkan oleh Pa-bu-ta-la untuk kembali bekerja sama dengan Portugis di Malaka. Perang Majapahit-Demak meletus kembali tahun 1524. Pasukan Demak dipimpin oleh Sunan Ngudung, anggota Wali Sanga yang juga menjadi imam Masjid Demak. Dalam pertempuran ini Sunan Ngudung tewas di tangan Raden Kusen, adik tiri Raden Patah yang memihak Majapahit.

Perang Demak-Majapahit yang terakhir terjadi pada 1527. Pasukan Demak dipimpin oleh Sunan Kudus, putra Sunan Ngudung, yang menggantikan kedudukan ayahnya dalam dewan Wali Sanga dan sebagai imam Masjid Demak. Dalam perang ini Majapahit mengalami kekalahan. Raden Kusen, Adipati Terung, ditawan secara terhormat, mengingat ia juga mertua Sunan Kudus dan adik pendiri Demak. Menurut kronik Cina, dalam perang tahun 1527 tersebut yang memimpin pasukan Demak adalah putra Tung-ka-lo (ejaan Cina untuk Trenggana), bernama Toh A Bo alias Sunan Kalijaga.
Dari berita di atas diketahui setidaknya ada dua tokoh Muslim yang memihak Majapahit, yaitu Pate Vira dan Raden Kusen. Nama Vira mungkin ejaan Portugis untuk Wira. Sedangkan Raden Kusen adalah adik tiri Raden Patah, dengan kata lain, merupakan paman Sultan Trenggana Raja Demak saat itu.
Menurut kronik Sam Po Kong, Pa-bu-ta-la meninggal dunia pada 1527 sebelum pasukan Demak merebut istana Daha. Peristiwa kekalahannya menandai berakhirnya Kerajaan Kediri. Para pengikutnya, yang menolak kekuasaan Demak, memilih pindah ke Bali.
Menurut babad dan serta, tiga hari setelah penyerbuan ke Majapahit, Raden Patah berangkat ke Ampel. Yang ditugaskan menunggu di Majapahit adalah Patih Mangkurat serta Adipati Terung. Ada pun Sunan Kudus menjaga di Demak menjadi wakil Raden Patah. Sementara itu, Sebagian pasukan Demak dan para sunan ikut ke Ampelgading. Ada pun Putri Cempa, ibu Raden Patah, diungsikan ke Bonang. Di Ampel ternyata Sunan Ampel sudah wafat. Yang ada hanya istrinya, Nyai Ageng, yang asli dari Tuban, putra Arya Teja. Setelah Sunan Ampel wafat, Nyai Agenglah yang menjadi sesepuh Ampel.
Sesampai di Ampel, Raden Patah menghaturkan sembah pada Nyai Ageng. Para sunan dan bupati bergantian menghaturkan sembah pada Nyai Ageng. Raden Patah berkata bahwa dirinya baru saja menyerbu majapahit, dan melaporkan hilangnya ayahanda, Brawijaya dan kematian Patih Majapahit. Ia berkata bahwa dirinya sudah menjadi raja seluruh Tanah Jawa dengan gelar Senapati Jimbun, lalu minta restu, agar langgeng bertakhta dan kelak keturunannya tak ada ada yang memotong takhtanya.
Menurut babad-serat itu, Nyai Ageng memarahi Jim Bun karena berdosa telah menganiaya ayahnya sendiri yang enggan masuk Islam. Karena walau bagaimana pun, Brawijaya adalah ayah Pangeran Jim Bun sendiri, yang patut dihormati meski berbeda kepercayaan. Juga Nyai Ageng memarahi Jim Bun karena telah merusak Majapahit. Nenek itu kecewa mengetahui Jim Bun berhasil dipengaruhi oleh para sunan dan bupati agar menyerang Majapahit. Ia menyuruh agar Jim Bun mencari ayahandanya yang hilang. Setelah itu Jim Bun pamit dari Ampel, menuju Sunan Bonang untuk memberi tahu Sunan itu tentang kemarahan Nyai Ageng Ampel.
Begitu diberi tahu, Sunan Bonang dalam hati merasa bersalah lalu teringat akan kebaikan Prabu Brawijaya. Namun Sunan Bonang tetap menyalahkan Brawijaya dan Patih Majapahit yang tak mau masuk Islam. Ia juga memerintahkan Jim Bun untuk tidak memikirkan perintah Nyai Ageng karena menilainya hanya sebagai pelampiasan atas kemarahan khas perempuan. Sunan itu memberikan pilihan, bila Jim Bun tetap bersiteguh menuruti Nyai Ageng, ia akan kembali saja ke Arab. Akhirnya, Jim Bun memilih untuk terus melanjutkan penyerbuan ke Majapahit. Sunan Bonang menyuruh Jim Bun memberi pilihan pada ayahnya, Brawijaya: jika masih ingin jadi raja, maka janganlah di Tanah Jawa tetapi harus di negeri lain di luar Jawa. Bahkan Sunan Giri menyuruh Brawijaya juga Adipati Ponorogo dan Adipati Pengging ditenung saja agar tak mengganggu proses pengislaman di Jawa.
Sunan Kalijaga-lah yang ditugasi Raden Patah untuk nencari Brawijaya. Brawijaya sendiri dalam pelariannya ditemani dua pamong setianya, Nayagenggong dan Sabdapalon. Konon, ketika sampai di Blambangan, Brawijaya menghilang dekat sebah mata air.
Identifikasi Brawijaya, Kertabumi, dan Kung-ta-bu-mi. Sebelum menjelaskan sepak terjang Raden Patah, di sini perlu dijelaskan sedikit mengenai identifikasi atas tokoh Brawijaya sebagai raja terakhir Majapahit versi BTJ dan Serat Kanda, ayah Raden Patah. Perlu ditelisik pula mengapa sumber lain menyebutkan nama yang berbeda bagi ayah Jin Bun itu.
Nama Brawijaya begitu populer dalam masyarakat Jawa namun tidak memiliki bukti sejarah yang kuat, misalnya prasasti, untuk membuktikan kebenarannya. Nama Brawijaya sendiri diyakini berasal dari kata Bhra Wijaya, singkatan dari Bhatara Wijaya.
Suma Oriental tulisan Tome Pires memberitakan, pada 1513 ada seorang raja bernama Batara Vigiaya yang bertakhta di Dayo, namun pemerintahannya dikendalikan oleh Pate Amdura. Batara Vigiaya merupakan ejaan Portugis untuk Batara Wijaya, sedangkan Dayo dapat ditujukan pada Daha. Prasasti Jiyu memberikan informasi bahwa Daha pada 1486 diperintah oleh Dyah Ranawijaya. Dengan kata lain, Batara Wijaya alias Brawijaya merupakan nama lain dari Dyah Ranawijaya, yang ternyata pada tahun 1513 memerintah di Daha. Identifikasi Brawijaya dengan Ranawijaya cukup masuk akal, karena Ranawijaya juga merupakan raja Majapahit yang memerintah di Daha (Dayo menurut Pires). Berita lain adalah Babad Sengkala yang membeberkan bahwa pada 1527 Daha dikalahkan oleh Demak.
Kemungkinan besar, ingatan masyarakat tentang kekalahan Majapahit yang berpusat di Daha pada 1527, bercampur dengan peristiwa runtuhnya Majapahit yang berpusat di Mojokerto tahun 1478. Akibatnya, Bhre Wijaya yang merupakan raja terakhir tahun 1527 oleh para penulis babad “diposisikan” sebagai Brawijaya yang memerintah hingga 1478. Akibatnya yang lain, tokoh Brawijaya pun sering disamakan dengan Bhre atau Bhra Kertabhumi, yaitu raja Majapahit yang memerintah pada tahun 1474-1478. Padahal, tidak ada bukti sejarah yang menyebutkan bahwa Bhre Kertabhumi adalah Brawijaya.
Kronik Sam Po Kong menjelaskan bahwa Pa-bu-ta-la alias Ranawijaya adalah menantu Kung-ta-bu-mi alias Bhre Kertabhumi yang diangkat oleh Raden Patah sebagai bupati (Majapahit) bawahan Demak. ada yang berpendapat bahwa Ranawijaya menjadi penguasa Kediri atas usahanya sendiri, yaitu dengan mengalahkan penguasa Majapahit Bhre Kertabumi tahun 1478. Pendapat ini diperkuat oleh Prasasti Petak yang mengatakan bahwa keluarga Girindrawardhana pernah berperang melawan Majapahit. Dengan begitu, peperangan yang terjadi pada 1478 adalah peperangan antara keluarga Girindrawardhana dengan Majapahit, sesuai dengan berita Prasasti Petak. Jadi, Girindrawardhana Dyah Ranawijaya (Bhatara Wijaya) berperang melawan Bhre Kertabhumi, di mana Dyah Ranawijaya berhasil menguasai Majapahit.
Pada umumnya, perang antara Majapahit lawan Demak dalam naskah babad dan serat hanya dikisahkan terjadi sekali, yaitu 1478. Perang ini terkenal sebagai “Perang Sudarma Wisuta”, artinya perang antara ayah melawan anak, yaitu Brawijaya melawan Raden Patah. Terlebih dulu pasukan Demak menyerang Tuban, pelabuhan Kediri dan Majapahit, pada 1527. Setelah itu, Kediri (Daha) yang diperintah Dyah Ranawijaya (Batara Wijaya) diserang dan jatuh ke tangan Demak. Serat Kanda mengisahkan, setelah Daha jatuh Dyah Ranawijaya melarikan diri ke Bali—yang sayang tak didukung oleh satu prasasti pun. Runtuhnya Kediri pada 1527, menurut Muljana, lalu disusul berdirinya Kerajaan Hindu di Panarukan yang mengirim utusannya ke Malaka pada tahun 1528 guna mendapat dukungan orang-orang Portugis. Kerajaan Panarukan yang mungkin dipimpin Dyah Ranawijaya bisa dianggap sebagai kelanjutan Kediri.
Perlu diuraikan di sini mengenai kronik Sam Po Kong. Pada 1475, sekitar 1.000 tentara Demak pimpinan Jin Bun menyerang Semarang. Ia menaklukkan Semarang lalu bergerak menuju Klenteng Sam Po Kong yang ada di kota itu. Jin Bun memerintah pada pasukannya agar jangan menghancurkan klenteng itu, karena sebelumnya Sam Po Kong merupakan sebuah masjid yang dibangun oleh orang-orang Tionghoa Muslim dari daratan Tiongkok yang bermahzab Hanafi. Namun, setelah kekuasaan Dinasti Ming di Tiongkok melemah. Sejak armada Dinasti Ming tak lagi singgah di Semarang, hubungan orang-orang Tionghoa Muslim dengan sanak saudara mereka di Tiongkok terhenti. Satu persatu masjid di Semarang dan Lasem, yang dibangun pada masa Laksamana Cheng Ho, berubah fungsi menjadi klenteng. Selain tak menghancurkan Sam Po Kong, Jin Bun juga tak memaksa agar orang-orang Tionghoa yang non-Muslim untuk memeluk Islam. Kebaikan hati Jin Bun tersebut disambut orang-orang Tionghoa non-Musli dengan janji bahwa mereka akan setia pada Demak dan tunduk pada hukum Demak yang Islam.
Lima abad kemudian, Residen Poortman pada tahun 1928 mendapatkan tugas dari pemerintah kolonial untuk menyelidiki: apakah benar Raden Patah itu orang Tionghoa tulen. Poortman pun menggeledah kelentang Sam Po Kong lalu menyita naskah berbahasa Tionghoa sebanyak tiga pedati, lalu dibawa oleh Poortman ke Institut Indoologi di Negeri Belanda. Atas permintaan Poortman, hasil penelitiannya atas naskah Klenteng Sam Po Kong diberi tanda GZG, singkatan Geheim Zeer Geheim alias naskah yang sangat rahasia dan hanya boleh dibaca di kantor, dan tidak sembarang orang boleh membacanya. Dengan begitu, yang boleh melihatnya hanyalah Perdana Menteri Colijn, Gubernur Jenderal, Menteri Jajahan, dan pegawai arsip negara di Rijswijk di Den Haag. Menurut Muljana, hasil penelitian terhadap kronik Sam Po Kong itu itu hanya dicetak lima eksemplar, dan tidak satu pun berada di Jakarta.
Arsip Poortman ini kemudian dikutip oleh Mangaraja Onggang Parlindungan yang menulis buku kontrovelsial Tuanku Rao yang terbit pada 1964. Parlindungan memiliki hubungan dekat dengan Poortman saat ia menuntut ilmu di sekolah tinggi teknologi di Delft, maka itu dapat menyalinnya.
Slamet Muljana yang menulis buku berjudul Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara, banyak mengutip buku Tuanku Rao. Buku Muljana—guru besar di Universitas Indonesia—yang terbit tahun 1968 juga menimbulkan kontroversi. Pemerintah Orde Baru pada 1971 melarang peredaran buku tersebut. Rupanya teori bahwa pendiri Demak (dan juga delapan dari Sembilan Wali Songo) adalah orang Tionghoa membuat pemerintah Soeharto gerah. Ditambah ketika itu pemeirntah Orde Baru baru saja selesai “mengamankan” negara dari gerakan komunis yang dianggap bahaya laten.

Demak Kerajaan Islam Pertama Di Jawa

Adalah Seorang Raden Patah yang menjadi perintis kerajaan Islam di Jawa.
Ia disebut-sebut
sebagai putra Raja Majapahit Brawijaya V dengan putri asal Campa (kini Kamboja)
yang telah masuk
Islam. Masa kecilnya dihabiskan di Pesantren Ampel Denta -pesantren yang
dikelola Sunan Ampel. Ibu
Sunan Ampel (istri Maulana Malik Ibrahim) juga putri penguasa Campa ketika
Majapahit melemah dan
terjadi pertikaian internal, Raden Patah melepaskan diri dari kekuasaan
Majapahit dan membangun
Kesultanan Demak. Dalam konflik dengan Majapahit, ia dibantu Sunan Giri.
Berdirilah Kesultanan Demak
pada 1475 atau beberapa tahun setelah itu.


Kelahiran Demak tersebut mengakhiri masa Kerajaan Majapahit. Konon sebagian
penganut Hindu
kemudian hijrah ke Bali dan sebagian mengasingkan diri ke Tengger.

Babad Tanah Jawi menyebutkan bahwa pengganti Raden Patah adalah Pangeran
Sabrang Lor. Dia yang
menyerbu Portugis di Malaka pada 1511. Pangeran Sabrang Lor ini tampaknya
adalah Dipati Unus menurut
sumber Portugis. Pada 1524-1546, kekuasaan Demak dipegang oleh Sultan Trenggono
yang dilantik oleh
Sunan Gunung Jati -Sultan Cirebon yang juga salah seorang "walisongo".

Dalam buku "Sejarah Ummat Islam Indonesia" yang diterbitkan Majelis Ulama
Indonesia, Trenggono
banyak membuat langkah besar. Pada masanya, Sunda Kelapa (kini Jakarta)
digempur. Berbagai wilayah
lain ditaklukkannya. Namun ia tewas dalam pertempuran menaklukkan Panarukan -
Jawa Timur. Ia diganti
adiknya, Sunan Prawoto, yang lemah. Banyak adipati memberontak. Prawoto dibunuh
Adipati Jipang, Ario
Penangsang.

Demak berakhir. Jaka Tingkir atau Sultan Adiwijaya -menantu
Trenggono-memindahkan kerajaan ke
Pajang. Atas bantuan Senopati, anak Ki Ageng Pemanahan, Ario Penangsang dapat
dikalahkan. Senopati
dijadikan menantu Sultan. Begitu Adiwijaya wafat, dia mengambil alih kekuasaan
dan memindahkannya ke
Mataram.

Senopati berkuasa dengan tangan besi. Legenda rakyat menyebut ia membunuh
menantunya sendiri, Ki
Mangir, dengan menghantamkan kepala korban ke batu. Ia digantikan anaknya,
Pangeran Seda ing Krapyak
yang meninggal pada 1613. Pemerintahan dilanjutkan oleh anak Seda ing Krapyak,
Mas Rangsang yang
kemudian bergelar Sultan Agung (1613-1645).

Sultan Agung memegang erat kekuasaan dengan gaya yang anggun. Wilayah demi
wilayah ditaklukkannya
untuk tunduk ke Mataram. Adipati Ukur di Sumedang diserangnya. Panembahan Kawis
Gua -pelanjut Sunan
Giri- berhasil dibekuk dan ditawan di Mataram. Blambangan digempur.

Kesultanan Cirebon diikatnya dengan perkawinan. Putri Sultan Agung menikah
dengan Pangeran Cirebon.
Adipati Surabaya yang memberontak dikalahkannya, lalu Pangeran Pekik, putra
adipati itu diambilnya
sebagai menantu.

Ia juga mengirim utusan ke Mekah, menggunakan kapal Inggris, untuk memperoleh
gelar Sultan. Tahun
1641, gelar itu diperolehnya. Jadilah Mataram bukan hanya pusat kekuasaan namun
juga pusat Islam di
Jawa. Sultan Agung mengubah penanggalan Jawa dari Tahun Saka menjadi Tahun
Hijriah. Ia juga
memerintahkan para pujangga kraton untuk menulis 'Babad Tanah Jawi'.

Setelah era Demak, Sultan Agung adalah satu-satunya kekuasaan yang berani
menggempur asing. Pada
1618, VOC Belanda bertikai dengan Jepara yang berada di pihak Mataram. Pada
1628 dan 1629, Sultan
Agung dua kali menyerang markas VOC di Batavia. Upayanya gagal setelah gudang
persediaan makanannya
dibakar Belanda.

Pada Februari 1646, Sultan Agung wafat. Ia dimakamkan di puncak bukit imogiri
/daerah wonosari
jogya, komplek pemakaman yang dibangunnya pada 1631,dan sekarang menjadi
komplek pemakaman raja raja
tarh Mataram dari Solo dan Jogyakarta

Sang anak, Amangkurat II, seorang ambisius. Ia ingin sesegera mungkin naik
tahta menganti ayahnya.
Ia bersama seorang Madura, Trunojoyo, untuk memberontak. Trunojoyo menguasai
kerajaan. Pada 1677
itu, di saat rakyat tertimpa musibah kelaparan hebat, Amangkurat I
terlunta-lunta mengungsi hingga
meninggal di daerah Tegal. Sejak Amangkurat I,nampaknya kekuasaan di Jawa
sepenuhnya dalam pengaruh
pihak Belanda.

Amangkurat II kemudian berkoalisi dengan Belanda untuk mengalahkan Trunojoyo.
Bahkan Amangkurat II
menikam sendiri perut sahabat dekatnya tersebut. Amangkurat II ini yang
menurunkan Dinasti
Pakubuwono di Solo dan Hamengkubuwono di Yogya. Dari Pakubuwono kemudian pecah
Dinasti Mangkubumi.
Sedangkan dari Hamengkubuwono lahir Dinasti Paku Alam.

Masjid Agung Demak


Menurut legenda, masjid ini didirikan oleh Wali Songo secara bersama-sama
dalam tempo satu
malam. Babad Demak menunjukkan bahwa masjid ini didirikan pada tahun Saka 1399
(1477) yang ditandai
oleh candrasengkala "Lawang Trus Gunaningjanmi", sedang pada gambar bulus yang
berada di mihrab
masjid ini terdapat lambang tahun Saka 1401 yang menunjukkan bahwa masjid ini
berdiri tahun 1479.


Bangunan yang terbuat dari kayu jati ini berukuran 31 m x 31 m dengan bagian
serambi berukuran 31 m
x 15 m. Atap tengahnya ditopang oleh empat buah tiang kayu raksasa (saka guru),
yang dibuat oleh
empat wali di antara Wali Songo. Saka sebelah tenggara adalah buatan Sunan
Ampel, sebelah barat daya
buatan Sunan Gunung Jati, sebelah barat laut buatan Sunan Bonang, sedang
sebelah timur laut yang
tidak terbuat dari satu buah kayu utuh melainkan disusun dari beberapa potong
balok yang diikat
menjadi satu (saka tatal), merupakan sumbangan dari Sunan Kalijaga. Serambinya
dengan delapan buah
tiang boyongan merupakan bangunan tambahan pada zaman Adipati Yunus (Pati Unus
atau pangeran Sabrang
Lor), sultan Demak ke-2 (1518-1521) pada tahun 1520.

Dalam proses pembangunannya, Sunan Kalijaga memegang peranan yang amat penting.
Wali inilah yang
berjasa membetulkan arah kiblat. Menurut riwayat, Sunan Kalijaga juga
memperoleh wasiat antakusuma,
yaitu sebuah bungkusan yang konon berisi baju "hadiah" dari Nabi Muhammad SAW,
yang jatuh dari
langit di hadapan para wali yang sedang bermusyawarah di dalam masjid itu.

Memasuki pertengahan abad XVII, ketika kerajaan Mataram berdiri, pemberontakan
pun juga mewarnai
perjalanan sejarah kekuasaan raja Mataram waktu itu.

Sejarah yang sama juga melanda kerajaan Demak. Kekuasaan baru yang berasal dari
masuknya agama Islam
ke tanah Jawa. Seorang Bupati putra dari Brawijaya yang beragama Islam
disekitar tahun 1500 bernama
raden Patah/Jin Bun/R. Bintoro dan berkedudukan di Demak, secara terbuka
memutuskan ikatan dari
Majapahit yang sudah tidak berdaya lagi, dan atas bantuan daerah-daerah lain
yang telah Islam
(seperti Gresik, Tuban dan Jepara), ia mendirikan kerajaan Islam yang berpusat
di Demak.

Namun keberadaan kerajaan Demak tak pernah sepi dari rongrongan pemberontakan.
Dimasa pemerintahan
raja Trenggono, walau berhasil menalukkan Mataram dan Singhasari. Tapi
perlawanan perang dan
pemberontakan tetap terjadi di beberapa daerah yang memiliki basis kuat
keyakinan Hindu. Sehingga,
daerah Pasuruan serta Panarukan dapat bertahan dan Blambangan tetap menjadi
bagian dari Bali yang
tetap Hindu. Di tahun 1548, raja Trenggono wafat akibat perang dengan Pasuruan.

Kematian Trenggono menimbulkan perebutan kekuasaan antara adiknya dan putranya
bernama pangeran
Prawoto yang bergelar Sunan Prawoto (1549). Sang adik berjuluk pangeran Seda
Lepen terbunuh di tepi
sungai dan Prawoto beserta keluarganya dihabisi oleh anak dari pangeran Seda
Lepen yang bernama Arya
Panangsang.

Tahta Demak dikuasai Arya Penangsang yang terkenal kejam dan tidak disukai
orang, sehingga timbul
pemberontakan dan kekacauan yang datangnya dari kadipaten-kadipaten. Apalagi
ketika adipati Japara
yang mempunyai pengaruh besar dibunuh pula, yang mengakibatkan si adik dari
adipati japara berjuluk
Ratu Kalinyamat bersama adipati-adipati lainnya melakukan pemberontakan dalam
bentuk gerakan melawan
Arya Panangsang. Salah satu dari adipati yang memberontak itu bernama
Hadiwijoyo berjuluk Jaka
Tingkir, yaitu putra dari Kebokenongo sekaligus menantu Trenggono yang masih
ada hubungan darah
dengan sang raja.

Jaka Tingkir, yang berkuasa di Pajang Boyolali, dalam peperangan berhasil
membunuh Arya Penangsang.
Dan oleh karena itu ia memindahkan Karaton Demak ke Pajang dan ia menjadi raja
pertama di Pajang.
Dengan demikian, habislah riwayat kerajaan Islam Demak.

Nempil kumeluning donga utama

Ilening bengawan daup samodra

Nuring kartika tekaning surya

Obahing angin basuhing sukma

Kerajaan Bintara Demak

Demak adalah kesultanan atau kerajaan islam pertama di pulau jawa. Kerajaan ini didirikan oleh Raden Patah (1478-1518) pada tahun 1478, Raden patah adalah bangsawan kerajaan Majapahit yang menjabat sebagai adipati kadipaten Bintara, Demak. Pamor kesultanan ini didapatkan dari Walisanga, yang terdiri atas sembila orang ulama besar, pendakwah islam paling awal di pulau jawa.

Atas bantuan daerah-daerah lain yang sudah lebih dahulu menganut islam seperti Jepara, Tuban dan Gresik, Raden patah sebagai adipati Islam di Demak memutuskan ikatan dengan Majapahit saat itu, Majapahit memang tengah berada dalam kondisi yang sangat lemah. Dengan proklamasi itu, Radeh Patah menyatakan kemandirian Demak dan mengambil gelar Sultan Syah Alam Akbar.

Pada awal abad ke 14, Kaisar Yan Lu dari Dinasti Ming di China mengirimkan seorang putri kepada raja Brawijaya V di Majapahit, sebagai tanda persahabatan kedua negara. Putri yang cantik jelita dan pintar ini segera mendapat tempat istimewa di hati raja. Raja brawijaya sangat tunduk kepada semua kemauan sang putri jelita, hingga membawa banyak pertentangan dalam istana majapahit. Pasalnya sang putri telah berakidah tauhid. Saat itu, Brawijaya sudah memiliki permaisuri yang berasal dari Champa (sekarang bernama kamboja), masih kerabat Raja Champa.

Sang permaisuri memiliki ketidak cocokan dengan putri pemberian Kaisar yan Lu. Akhirnya dengan berat hati raja menyingkirkan putri cantik ini dari istana. Dalam keadaan mengandung, sang putri dihibahkan kepada adipati Pelembang, Arya Damar. Nah di sanalah Raden Patah dilahirkan dari rahim sang putri cina.

Nama kecil raden patah adalah pangeran Jimbun. Pada masa mudanya raden patah memperoleh pendidikan yang berlatar belakang kebangsawanan dan politik. 20 tahun lamanya ia hidup di istana Adipati Palembang. Sesudah dewasa ia kembali ke majapahit.

Raden Patah memiliki adik laki-laki seibu, tapi beda ayah. Saat memasuki usia belasan tahun, raden patah bersama adiknya berlayar ke Jawa untuk belajar di Ampel Denta. Mereka mendarat di pelabuhan Tuban pada tahun 1419 M.

Patah sempat tinggal beberapa lama di ampel Denta, bersama para saudagar muslim ketika itu. Di sana pula ia mendapat dukungan dari utusan Kaisar Cina, yaitu laksamana Cheng Ho yang juga dikenal sebagai Dampo Awang atau Sam Poo Tai-jin, seorang panglima muslim.

Raden patah mendalami agama islam bersama pemuda-pemuda lainnya, seperti raden Paku (Sunan Giri), Makhdum ibrahim (Sunan Bonang), dan Raden Kosim (Sunan Drajat). Setelah dianggap lulus, raden patah dipercaya menjadi ulama dan membuat permukiman di Bintara. Ia diiringi oleh Sultan Palembang, Arya Dilah 200 tentaranya. Raden patah memusatkan kegiatannya di Bintara, karena daerah tersebut direncanakan oleh Walisanga sebagai pusat kerajaan Islam di Jawa.

Di Bintara, Patah juga mendirikan pondok pesantren. Penyiaran agama dilaksanakan sejalan dengan pengembangan ilmu pengetahuan. Perlahan-lahan, daerah tersebut menjadi pusat keramaian dan perniagaan. Raden patah memerintah Demak hingga tahun 1518, dan Demak menjadi pusat penyebaran Islam di Jawa sejak pemerintahannya.

Secara beruturut-turut, hanya tiga sultan Demak yang namanya cukup terkenal, Yakni Raden Patah sebagai raja pertama, Adipati Muhammad Yunus atau Pati Unus sebagai raja kedua, dan Sultan Trenggana, saudara Pati Unus, sebagai raja ketiga (1524 – 1546).

Dalam masa pemerintahan Raden Patah, Demak berhasil dalam berbagai bidang, diantaranya adalah perluasan dan pertahanan kerajaan, pengembangan islam dan pengamalannya, serta penerapan musyawarah dan kerja sama antara ulama dan umara (penguasa).

Keberhasilan Raden Patah dalam perluasan dan pertahanan kerajaan dapat dilihat ketika ia melanklukkan Girindra Wardhana yang merebut tahkta Majapahit (1478), hingga dapat menggambil alih kekuasaan majapahit. Selain itu, Patah juga mengadakan perlawan terhada portugis, yang telah menduduki malaka dan ingin mengganggu demak. Ia mengutus pasukan di bawah pimpinan putranya, Pati Unus atau Adipati Yunus atau Pangeran Sabrang Lor (1511), meski akhirnya gagal. Perjuangan Raden Patah kemudian dilanjutkan oleh Pati Unus yang menggantikan ayahnya pada tahun 1518.

Dalam bidang dakwah islam dan pengembangannya, Raden patah mencoba menerapkan hukum islam dalam berbagai aspek kehidupan. Selain itu, ia juga membangun istana dan mendirikan masjid (1479) yang sampai sekarang terkenal dengan masjid Agung Demak. Pendirian masjid itu dibantu sepenuhnya oleh walisanga.

Di antara ketiga raja demak Bintara, Sultan Trenggana lah yang berhasil menghantarkan Kusultanan Demak ke masa jayanya. Pada masa trenggan, daerah kekuasaan demak bintara meliputi seluruh jawa serta sebagian besar pulau-pulau lainnya. Aksi-aksi militer yang dilakukan oleh Trenggana berhasil memperkuat dan memperluas kekuasaan demak. Di tahun 1527, tentara demak menguasai tuban, setahun kemudian menduduki Wonosari (purwodadi, jateng), dan tahun 1529 menguasai Gagelang (madiun sekarang). Daerah taklukan selanjutnya adalah medangkungan (Blora, 1530), Surabaya (1531), Lamongan (1542), wilayah Gunung Penanggungan (1545), serta blambangan, kerajaan hindu terakhir di ujung timur pulau jawa (1546).

Di sebelah barat pulau jawa, kekuatan militer Demak juga merajalela. Pada tahun 1527, Demak merebut Sunda Kelapa dari Pajajaran (kerajaan Hindu di Jawa Barat), serta menghalau tentara tentara portugis yang akan mendarat di sana. Kemudian, bekerja sama dengan saudagar islam di Banten, Demak bahkan berhasil meruntuhkan Pajajaran. Dengan jatuhnya Pajajaran, demak dapat mengendalikan Selat Sunda. Melangkah lebih jauh, lampung sebagai sumber lada di seberang selat tersebut juga dikuasai dan diislamkan. Perlu diketahui, panglima perang andalan Demak waktu itu adalah Fatahillah, pemuda asal Pasai (sumatera), yang juga menjadi menantu Sultan Trenggana.

Di timur laut, pengaruh demak juga sampai ke Kesultanan banjar di kalimantan. Calon pengganti Raja Banjar pernah meminta agar sultan Demak mengirimkan tentara, guna menengahi masalah pergantian raja banjar. Calon pewaris mahkota yang didukung oleh rakyat jawa pun masuk islam, dan oleh seorang ulama dari Arab, sang pewaris tahta diberi nama Islam. Selama masa kesultanan Demk, setiap tahun raja Banjar mengirimkan upeti kepada Sultan Demak. Tradisi ini berhenti ketika kekuasaan beralih kepada Raja Pajang.

Di masa jayanya, Sultan Trenggana berkunjung kepada Sunan Gunung Jati. Dari Sunan gunung jati, Trenggana memperoleh gelar Sultan Ahmad Abdul Arifin. Gelar Islam seperti itu sebelumnya telah diberikan kepada raden patah, yaitu setelah ia berhasil mengalahkan Majapahit.

Trenggana sangat gigih memerangi portugis. Seiring perlawanan Demak terhadap bangsa portugis yang dianggap kafir. Demak sebagai kerajaan islam terkuat pada masanya meneguhkan diri sebagai pusat penyebaran Islam pada abad ke 16.

Sultan Trenggan meninggal pada tahn 1546, dalam sebuah pertempuran menaklukkan Pasuran. Ia kemudian digantikan oleh Sunan Prawoto. Setelah sultan trenggana mengantar Demak ke masa jaya, keturunan sultan tersebut silih berganti berkuasa hingga munculnya kesultanan pajang.

Masjid agung Demak sebagai lambang kekuasaan bercorak Islam adalah sisi tak terpisahkan dari kesultanan Demak Bintara. Kegiatan walisanga yang berpusat di Masjid itu. Di sanalah tempat kesembilan wali bertukar pikiran tentang soal-soal keagamaan.

Masjid demak didirikan oleh Walisanga secara bersama-sama. Babad demak menunjukkan bahwa masjid ini didirikan pada tahun Saka 1399 (1477) yang ditandai oleh candrasengkala Lawang Trus Gunaning Janma, sedangkan pada gambar bulus yang berada di mihrab masjid ini terdapat lambang tahun Saka 1401 yang menunjukkan bahwa masjid ini berdiri pada tahun 1479.

Pada awalnya, majid agung Demak menjadi pusat kegiatan kerajaan islam pertama di jawa. Bagunan ini juga dijadikan markas para wali untuk mengadakan Sekaten. Pada upacara sekaten, dibunyikanlah gamelan dan rebana di depan serambi masjid, sehingga masyarakat berduyun-duyun mengerumuni dan memenuhi depan gapura. Lalu para wali mengadakan semacam pengajian akbar, hingga rakyat pun secara sukarela dituntun mengucapkan dua kalimat syahadat.

Cepatnya kota demak berkembang menjadi pusat perniagaan dan lalu lintas serta pusat kegiatan pengislaman tidak lepas dari andil masjid Agung Demak. Dari sinilah para wali dan raja dari Kesultanan Demak mengadakan perluasan kekuasaan yang dibarengi oleh kegiatan dakwah islam ke seluruh Jawa.

Kesultanan Demak

Kesultanan Demak


Kesultanan Demak adalah kesultanan Islam pertama di Jawa yang didirikan oleh Raden Patah pada tahun 1478. Kesultanan ini sebelumnya merupakan keadipatian (kadipaten) vazal dari kerajaan Majapahit, dan tercatat menjadi pelopor penyebaran agama Islam di pulau Jawa dan Indonesia pada umumnya. Kesultanan Demak tidak berumur panjang dan segera mengalami kemunduran karena terjadi perebutan kekuasaan di antara kerabat kerajaan. Pada tahun 1568, kekuasaan Kesultanan Demak beralih ke Kesultanan Pajang yang didirikan oleh Jaka Tingkir. Salah satu peninggalan bersejarah Kesultanan Demak ialah Mesjid Agung Demak, yang diperkirakan didirikan oleh para Walisongo. Lokasi ibukota Kesultanan Demak, yang pada masa itu masih dapat dilayari dari laut dan dinamakan Bintara (dibaca "Bintoro" dalam bahasa Jawa), saat ini telah menjadi kota Demak di Jawa Tengah. Periode ketika beribukota di sana kadang-kadang dikenal sebagai "Demak Bintara". Pada masa sultan ke-4 ibukota dipindahkan ke Prawata (dibaca "Prawoto").
Cikal-bakal
Pada saat kerajaan Majapahit mengalami masa surut, secara praktis wilayah-wilayah kekuasaannya mulai memisahkan diri. Wilayah-wilayah yang terbagi menjadi kadipaten-kadipaten tersebut saling serang, saling mengklaim sebagai pewaris tahta Majapahit. Pada masa itu arus kekuasaan mengerucut pada dua adipati,[rujukan?] yaitu Raden Patah dan Ki Ageng Pengging. Sementara Raden Patah mendapat dukungan dari Walisongo, Ki Ageng Pengging mendapat dukungan dari Syekh Siti Jenar.
Di bawah Pati Unus
Demak di bawah Pati Unus adalah Demak yang berwawasan nusantara. Visi besarnya adalah menjadikan Demak sebagai kesultanan maritim yang besar. Pada masa kepemimpinannya, Demak merasa terancam dengan pendudukan Portugis di Malaka. Dengan adanya Portugis di Malaka, kehancuran pelabuhan-pelabuhan Nusantara tinggal menunggu waktu.
Di bawah Sultan Trenggana
Sultan Trenggana berjasa atas penyebaran Islam di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Di bawah Sultan Trenggana, Demak mulai menguasai daerah-daerah Jawa lainnya seperti merebut Sunda Kelapa dari Pajajaran serta menghalau tentara Portugis yang akan mendarat di sana (1527), Tuban (1527), Madiun (1529), Surabaya dan Pasuruan (1527), Malang (1545), dan Blambangan, kerajaan Hindu terakhir di ujung timur pulau Jawa (1527, 1546). Panglima perang Demak waktu itu adalah Fatahillah, pemuda asal Pasai (Sumatera), yang juga menjadi menantu Sultan Trenggana. Sultan Trenggana meninggal pada tahun 1546 dalam sebuah pertempuran menaklukkan Pasuruan, dan kemudian digantikan oleh Sunan Prawoto
Kemunduran
Suksesi ke tangan Sunan Prawoto tidak berlangsung mulus. Ia ditentang oleh adik Sultan Trenggono, yaitu Pangeran Sekar Seda Lepen. Pangeran Sekar Seda Lepen akhirnya terbunuh. Pada tahun 1561 Sunan Prawoto beserta keluarganya "dihabisi" oleh suruhan Arya Penangsang, putera Pangeran Sekar Seda Lepen. Arya Penangsang kemudian menjadi penguasa tahta Demak. Suruhan Arya Penangsang juga membunuh Pangeran Hadiri adipati Jepara, dan hal ini menyebabkan banyak adipati memusuhi Arya Penangsang.
Arya Penangsang akhirnya berhasil dibunuh dalam peperangan oleh Sutawijaya, anak angkat Joko Tingkir. Joko Tingkir memindahkan pusat pemerintahan ke Pajang, dan di sana ia mendirikan Kesultanan Pajang.