Showing posts with label Jawa. Show all posts
Showing posts with label Jawa. Show all posts

Friday, 1 May 2015

Serat Centhini (Suluk Tambangraras): Episode 1 - 12 (Tamat)







Ringkasan Serat Centhini Pendahuluan | Serat Centhini adalah buku kesusastraan Jawa yang aslinya ditulis dalam bahasa dan tulisan Jawa dalam bentuk tembang Macapat.
(Note: tembang Macapat adalah sejumlah tembang Jawa dengan irama tertentu, jumlah suku kata tertentu, akhir kata tertentu dalam satu bait tembang dan sangat popular untuk refleksi peristiwa tertentu menggunakan tembang yang pas dengan suasana yang ingin ditimbulkan, sejumlah nama tembang Macapat: Maskumambang, Mijil, Sinom, Kinanti, Asmaradana, Gambuh, Dandanggula, Durma, Pangkur, Pocung, Megatruh, Jurumedung, Wirangrong, Balabak, Girisa) dan selesai ditulis pada tahun tahun 1814.
Buku aslinya berjudul Serat Suluk Tambangraras dan ditulis berkat prakasa KGPA Anom Amengkunagoro III putera Pakubuwono IV, raja Surakarta (1788 – 1820), yang kemudian menggantikan raja sebagai Pakubuwono V (1820 – 1823). Sedangkan penulisan dan penyusunan dilaksanakan oleh:
1. Ki Ng. Ranggasutrasna, pujangga kerajaan
2. R. Ng. Yasadipura II, pujangga kerajaan
3. R. Ng. Sastradipura, juru tulis kerajaan
4. Pangeran Jungut Manduraja, pejabat kerajaan dari Klaten
5. Kyai Kasan Besari, Ulama Agung dari Panaraga
6. Kyai Mohammad, Ulama Agung kraton Surakarta.
Buku aslinya saat ini masih ada di Sanapustaka di kraton Surakarta. Ada beberapa salinannya di Reksapustaka Mangkunegaran, Paheman Radya-Pustaka Sriwedari, Museum Sana Budaya di Yogyakarta dan Museum Gajah di Jakarta dan mungkin juga di tempat-tempat lain.
Buku ini terdiri dari 12 (duabelas) jilid dengan seluruhnya berjumlah 3500 halaman. Berisi semacam “Ensiklopedia Kebudayaan Jawa” karena berisi hampir semua tata-cara, adat istiadat, legenda, cerita dan ilmu-ilmu lahir bathin yang beredar dikalangan masyarakat Jawa pada periode abad ke 16-17 dan masih banyak yang hidup dan lestari sampai dengan saat ini.
Sumber tulisan saya ini adalah Serat Centhini yang sudah ditranskripsi dari tulisan Jawa menjadi tulisan Latin tapi masih menggunakan bahasa Jawa.Transkripsi ini juga terdiri dari 12 (dua belas) jilid. Transkripsi dari tulisan Jawa menjadi tulisan Latin dilakukan oleh Kamajaya, Ketua Yayasan Centhini, Yogyakarta, diterbitkan oleh Yayasan Centhini, 1991. Referensi juga diambil dari buku Pustaka Centhini – Ichtisar Seluruh Isinya karangan Ki Sumidi Adisasmita, Penerbit UP Indonesia, Yogyakarta, tahun 1975.
Sampai saat ini belum ada terjemahan Serat Centhini ke bahasa Indonesia. Pernah dicoba oleh Yayasan Centhini, tapi terhenti hanya sampai jilid 1. Kemungkinan ada kesulitan pembiayaan, mungkin juga faktor waktu dan tingkat kesulitan tersendiri.
Kandungan isi dari Serat Centhini adalah sangat luar biasa yang mencakup banyak sisi dari kebudayaan Jawa. Pokok ceritanya adalah kisah pelarian dari dua putra, dan satu putri dari Sunan Giri III (Giri Parapen) ketika ditaklukkan oleh Sultan Agung dari Mataram pada tahun 1636. Putra pertamanya bernama Jayengresmi diiringi dua santri Gathak dan Gathuk. Berpisah dengan dua adiknya, Jayengsari dan Niken Rancangkapti, diiringi oleh santri Buras.
Kisah perjalanan melarikan diri dari kejaran prajurit Sultan Agung ini yang direkam dalam cerita perjalanan dengan menemukan banyak peristiwa pertemuan dengan berbagai tokoh di seluruh Jawa yang menceritakan berbagai cerita, legenda, adat istiadat dan berbagai ilmu lahir dan bathin.
Kisah ini juga diisi dengan kisah perjalanan Mas Cebolang seorang santri yang nantinya akan menjadi suami Niken Rancangkapti dan berganti nama jadi Sech Agungrimang. Sebagai anak-anak Sunan Giri Parapen yang adalah tokoh terkemuka penyebaran agama Islam di Jawa, sudah barang tentu kisah perjalanannya juga dalam rangka mencari kesempurnaan hidup sebagai seorang Muslim. Harus diingat bahwa Islam yang berkembang di Jawa adalah Islam Jawa yang sudah melalui proses sinkretisasi yang lebih cenderung pada tasauf dalam pencarian hakekat untuk pencapain makrifat.
Serat Centhini mendapat pujian dari Denys Lombart – orientalis asal Perancis – pengarang buku Le Carrefour Javanais dalam bahasa Perancis yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Nusa Jawa Silang Budaya, mengatakan dalam bukunya sebagai berikut:
Walaupun teks itu sering dianggap salah satu karya agung kesusastraan Jawa, baru sebagian saja yang sudah di terbitkan dan meskipun Serat Centhini mungkin bisa merupakan salah satu karya agung kesusatran dunia, untuk sementara yang terdapat hanyalah sebuah ichtisar pendek dalam bahasa Belanda dan satu lagi dalam bahasa Indonesia.
Salah satu versi yang masih tersimpan, tidak kurang dari 722 pupuh panjangnya, terbagai atas dua belas bagian besar (Note: duabelas jilid). Setiap pupuh terdiri dari bait-bait yang jumlahnya tidak tetap, antara 20 dan 70 buah, semuanya disusun menurut tembang tertentu (Note: Macapat), yang memberikan kepada pupuh itu baik konsistensinya maupun warna nadanya. Tergantung dari tembangnya, bait dapat terdiri dari 4 sampai 9 larik, dan setiap larik mengandung sejumlah tertentu kaki matra dan rima tertentu. Belum ada yang menghitung jumlah bait dalam Serat Centhini, tetapi seperti diihat, jika setiap pupuh mengandung rata-rata 40 bait dan setiap bait 7 larik, maka diperoleh 200.000 larik lebih. Hendaknya diingat bahwa wiracerita-wiracerita Yunani karangan Homeros: Iliad dan Odyssey masing-masing hanya mengandung 15,537 dan 12.363 larik.
Komentar tersebut di atas menandakan bahwa Serat Centhini adalah salah satu hasil kesusastraan Jawa yang tak ternilai harganya. Bisa diakui sebagai salah satu kesusastraan klasik dunia. Tapi sangat sungguh ironis, buku yang menarik para budayawan dunia untuk mendalaminya, tidak begitu dikenal oleh bangsanya sendiri. Ringkasan yang akan saya buat setiap jilid satu sesi (artikel) ini adalah salah satu usaha untuk memperkenalkan Serat Centhini kepada masyarakat bangsa Indonesia.
Serat Centhini secara keseluruhan terdiri dari 722 pupuh, 31.837 tembang (bait), 3.467 halaman pada 12 jilid buku ukuran 15cm X 21cm. Tembang yang dipergunakan adalah: Asmaradana 64 kali – 3.117 tembang, Balabak 16 kali – 676 tembang, Dhandhanggula (Sarkara) 73 kali – 5.207 tembang, Dudukwuluh (Megatruh) 52 kali – 1.929 tembang, Durma 17 kali – 483 tembang, Gambuh 55 kali – 975 tembang, Girisa 30 kali – 897 tembang, Jurudemung 42 kali – 1.168 tembang, Kinanthi 65 kali – 3.505 tembang, Lonthang 9 kali – 470 tembang, Maskumambang 42 kali – 1.704 tembang, Mijil 46 kali – 2.563 tembang, Pangkur 40 kali – 1.469 tembang, Pucung 58 kali – 2.388 tembang, Salasir 12 kali – 522 tembang, Sinom 64 kali – 2.675 tembang, Wirangrong 37 kali – 1.089 tembang. Serat Centhini mungkin karya sastra terpanjang yang pernah ditulis oleh umat manusia diseluruh dunia.
Secara keseluruhan, tidak ada kata lain bahwa memang Serat Centhini adalah suatu karya sastra Jawa yang luarbiasa, baik dari segi tatabahasa tembang Jawa yang indah maupun dari segi isinya yang terdiri dari rangkuman Budaya Jawa yang hidup pada abad ke-18, ilmu agama Islam maupun pengetahuan spirituil khas Jawa lainnya. Bisa merupakan sumber bahasan dari berbagai disiplin ilmu yang tidak akan ada habisnya.
Serat Centhini dibuka pada Jilid-1, Pupuh 1, Tembang 1 (Sinom): Sri narpadmaja sudigbya, talatahing tanah Jawi, Surakarta Adiningrat, agnya ring kang wadu carik, Sutrasna kang kinanthi, mangun reh cariteng dangu, sanggyaning kawruh Jawa, ingimpun tinrap kakawin, mrih kemba karaya dhangan kang miyarsa.
Artinya: Sang puTra mahkota, berwilayah tanah Jawa, Surakarta Adiningrat, memerintahkan jurutulis, Sutrasna yang dipercaya, mengumpulkan cerita lama, keseluruhan pengetahuan Jawa, digubah dalam bentuk tembang, agar mengenakkan dan menyenangkan yang mendengar.
Sedangkan penutupannya pada Jilid-12, Pupuh 708, Tembang ke 672 (Dandanggula): Kadarpaning panggalih sang aji, kang jinumput wijanganing kata, tinaliti saturute, tetelane tinutur, titi tatas tataning gati, sakwehnung kang tinata, wus samya ingimpun, ala ayuning pakaryan, kawruh miwah ngelmuning kang lair bathin, winedhar mring para muda.
Artinya: Didorong oleh keinginan Sang Raja, yang diambil makna kata-katanya, diteliti urutannya, nasehat yang disampaikan, teliti tuntas teratur maksud tujuannya, semua sudah diceritakan, semua sudah dikumpulkan, baik buruknya perbuatan, pengetahuan maupun ilmu lahir bathin, diuraikan buat para kawula muda.
Pupuh 722, Tembang ke 55 (Asmaradana): Titi tamat ingkang tulis, telas ingkang cinarita, Seh Mongraga lalakone, kongsi amadeg narendra, kendhang tekeng pralaya, kran Sunan Tegalarum, pisah sumarenira.
Artinya: Sudah tamat tulisannya, selesai ceritanya, riwayat Seh Amongraga, sampai menjadi raja, terusir meninggalnya, diberi nama Sunan Tegalarum, terpisah makamnya.
Dari tembang pembukaan dan penutup, maksud dan tujuan penulisan Serat Centhini adalah untuk melestarikan Budaya atau Pengetahuan Jawa agar bisa jadi pelajaran buat generasi muda. Tapi sungguh disayangkan generasi muda saat ini tidak banyak yang tertarik untuk membaca karya sastra adiluhung ini, justru para peneliti asing yang tertarik mempelajari Serat Centhini.
Serat Centhini juga mengandung hal-hal yang kontroversi dibandingkan nilai-nilai Budaya Jawa (Indonesia) yang berlaku saat ini, yaitu:
1. Kandungan cerita tentang seksualitas: Walaupun Serat Centhini bercerita tentang perjalanan para santri, dalam mengungkap masalah seksualitas (bisa dikatakan beraliran “naturalis”) secara detil dan blak-blakan. Termasuk perilaku seks yang menyimpang yang memang hidup dalam masyarakat pada saat itu maupun ilmu yang berkaitan dengan seksualitas.
2. Persaingan antara Budaya Kraton dan Budaya Pesantren: Setelah Sunan Giri dijatuhkan oleh Sultan Agung, budaya kraton dan budaya pesantren mengalami perkembangan yang terpisah.
Ulama Islam saat itu ada yang bersikap akomodatif terhadap kerajaan dengan menjadi ulama dikalangan kraton. Ada juga yang mengambil sikap independen atau tidak mau tunduk dengan aturan kerajaan dengan mengembangkan budaya pesantren yang tertutup pada kalangan mereka sendiri tapi tidak menunjukkan perlawanan terhadap kerajaan.
Serat Centhini adalah cerita tentang para santri dari sudut pandang kerajaan (kraton). Seh Amongraga dan istri, setelah susah payah menimba ilmu agama Islam dan mencapai kesempurnaannya, pada akhir cerita tertarik untuk menjadi raja.
Seolah-olah ingin mengatakan bahwa kekuasaan sebagai raja lebih bernilai dibandingkan dengan kesempurnaan ilmu agama. Kalau cerita ini hanya karangan maka makna sebenarnya dari penulisan Serat Centhin adalah ingin menegaskan dominasi kerajaan terhadap para ulama agama Islam. Akhirnya para ulamapun pada titik kesempurnaan agama masih tertarik pada kekuasaan untuk menjadi raja.
Refleksi ini masih tergambar pada masyarakat Indonesia saat ini yaitu sikap ketertarikan para ulama (atau partai berhaluan Islam) untuk ikut partisipasi dalam kekuasaan negara.
3. Penekanan pada ilmu tasauf: Penekanan ajaran agama Islam di Serat Centhini adalah limu tasauf yaitu suatu sikap berserah diri secara total kepada kehendak Allah SWT melalui tahapan pendalaman ilmu syariat, tarekat, hakekat, makrifat. Ini adalah ajaran agama Islam di Jawa berdasarkan warisan ajaran walisanga. Pengetahuan spriritual Jawa seperti Sastra Jendra Hadiningrat, sudah ada sejak sebelum kedatangan agama Islam. Ilmu tasauf dalam agama Islam menemukan kemiripan dengan pengetahuan sprituil Jawa yang sudah ada, oleh karena itu keduanya bertemu dalam sinkretisasi agama Islam di Jawa.
Hal ini adalah kontroversi dengan apa yang umumnya diajarkan oleh ulama agama Islam di Indonesia saat ini yang sangat fokus pada ajaran syariat (bisa terhenti pada rutinitas ceremonial) yang malahan berakibat merosotnya nilai-nilai moral masyarakat pada umumnya.


Serat Centhini lengkap dapat di lihat di sini:
Serat Centhini - Episode 1
Serat Centhini - Episode 2
Serat Centhini - Episode 3
Serat Centhini - Episode 4
Serat Centhini - Episode 5
Serat Centhini - Episode 6
Serat Centhini - Episode 7
Serat Centhini - Episode 8
Serat Centhini - Episode 9
Serat Centhini - Episode 10
Serat Centhini - Episode 11
Serat Centhini - Episode 12






Sumber: http://baltyra.com/2011/02/15/serat-centhini/

Tuesday, 25 January 2011

Kisah dari Pati

Kisah dari Pati
April 29, 2010

Pertemuan CRI dan Kelompok Tani di Pati, Jawa Tengah
Selasa, 13 April 2010, Tim Combine Resource Institution (CRI) yang terdiri dari Ade Tanesia, Akhmad Nasir, Sarwono, serta Heidi Arbuckle, Program Officer Ford Foundation meluncur dari Jogjakarta ke Sukolilo, Pati Selatan. Tim mengambil rute Solo-Purwodadi-Sukolilo. Kondisi aspal sepanjang jalan di Purwodadi sangat bergelombang, kita akhirnya mengambil jalan pintas, yaitu rute Kedung Ombo.Kunjungan ke Pati Selatan merupakan silahturahmi ke wilayah dampingan Yayasan Desantara, sebuah yayasan yang fokus pada isu-isu pluralisme. Di samping itu, CRI dan Desantara hendak mencari kemungkinan kerja sama untuk pengembangan media komunitas. Yayasan Desantara sendiri telah mendampingi para petani di Pati Selatan. Khusus di Sukolilo, Desantara telah memiliki sebuah balai pertemuan yang dibangun bersama warga di sana. Bangunan tersebut disebut Omah Kendeng. Sebuah bangunan dengan arsitektur jawa yang berdiri di atas tanah yang cukup luas. Tempat ini merupakan ruang pertemuan bagi para petani, perempuan, pemuda di wilayah Sukolilo.
Tim tiba di Omah Kendeng pukul 14.30. Setelah melihat-lihat bangunan dan foto-foto kegiatan, tim diajak oleh Gunritno, pimpinan Serikat Petani Pati sekaligus yang dituakan oleh masyarakat Sedulur Sikep. Hanya berjarak 10 menit, kita pun sampai di rumah Gunritno. Rumahnya begitu asri dengan arsitektur dan ukiran jawa yang sangat artistik. Di ruang tamunya terpampang lukisan Samin Surosentiko, pendiri ajaran Samin yang pengikutnya hingga kini disebut Wong Sedulur Sikep.

Diskusi hangat dengan kelompok tani
Di kediaman Gunritno, hadir pula tamunya dari Cepu dan Semarang. Setelah disuguhi lontong opor yang begitu lezat, kami pun mulai berbincang-bincang. Pembicaraan yang sedang hangat adalah persoalan RT RW (Rencana Tata Ruang dan Rencana Wilayah) yang akan di bawa ke sidang paripurna pada 29 April 2010. Dalam RT/RW itu akan diputuskan apakah Pegunungan Kendeng akan menjadi kawasan lingkungan yang harus dilindungi atau menjadi kawasan industri. Masyarakat petani di Sukolilo yang tergabung dalam Serikat Petani Pati sungguh khawatir dengan RT/RW ini yang bisa menjadi celah bagi pabrik semen untuk mengolah sumber daya alam di Pegunungan Kendeng. Jika hal ini terjadi maka akan merusak lingkungan serta mata air yang menjadi sumber air bagi pertanian akan rusak.
Sebagai gambaran Pegunungan Kendeng merupakan deretan perbukitan yang memanjang mulai dari wilayah Kabupaten Grobogan Jawa Tengah hingga Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Pegunungan Kendeng yang berada di Kabupaten Pati lokasinya memanjang sekitar 35 kilo meter mulai dari Kecamatan Sukolilo hingga Kecamatan Pucakwangi. Di lokasi ini terdapat berbagai macam kekayaan alam mulai dari ratusan mata air, puluhan tebing yang indah, pepohonan yang asri sebagai pengendali air dan mengurangi banjir hingga puluhan goa yang eksotik. Ratusan mata air di pegunungan Kendeng saat ini menjadi penopang sekitar 45 prosen kebutuhan air masyarakat Pati; terutama air minum. Tidak heran jika para petani sangat berkepentingan dengan sumber mata air di Pegunungan Kendeng. Menurut Gunritno, ini bukan hanya menyangkut petani tetapi juga warga di Pati dan sekitarnya yang memperoleh mata air dari Pegunungan Kendeng. Dalam konteks inilah para petani mendiskusikan agar RT/RW yang tidak memedulikan nasib rakyat ini bisa digagalkan.
Diskusi di rumah Gunritno terputus karena kami harus kembali ke Omah Kendeng untuk bertemu dengan kelompok anak muda yang tertarik untuk mengelola radio komunitas. Sekitar pukul 19.00 kami sampai di Omah Kendeng. Sobirin membuka pertemuan mingguan tersebut. Ternyata mereka setiap minggu mengadakan pertemuan untuk membicarakan hasil liputannya. Oleh karena tidak ada komputer, anak muda tersebut menuliskan hasil liputannya dengan tangan dan membacakannya di depan forum. Semangat mereka sungguh luar biasa. Setelah saling membacakan hasil tulisan, maka setiap orang pun bisa saling mengkritisi.
Khusus dalam pertemuan ini Sarwono menjelaskan pengalamannya dengan komunitas-komunitas yang sedang belajar menulis dalam jaringan Suara Komunitas. Ia memberikan semangat pada anak muda tersebut untuk tetap menulis. Dalam forum tanya jawab, kelompok anak muda tersebut banyak menanyakan soal perizinan radio, cara mengelola radio, dan bagaimana membiayai radio komunitas. Pertemuan ini selesai pada pukul 10.30 malam. Kemudian kami melanjutkan perjalanan ke pusat Kota Pati untuk beristirahat satu malam.
Rabu, 14 April 2010. Pukul 09.30 kami sudah berkemas untuk mengunjungi komunitas petani dampingan Desantara di Pati Utara. Sesampainya di sana, Farid, salah satu aktivis dari Serikat Petani Pati menyambut kami dengan ramah di ruang pertemuan. Ada dua kelompok tani bernama TANI RUKUN yang beranggotakan sekitar 100 orang. Kemudian ada pula 1 kelompok ternak dan kelompok pemuda. Para petani ini hendak melepaskan ketergantungan mereka dari lilitan pupuk kimia, pestisida, bibit hibrida. Kini mereka mulai mengurangi pupuk kimia dan beralih ke pupuk kandang. Mereka kini sudah tidak menggunakan pestisida untuk memberantas gangguan hama. Sebaliknya mereka meramu empon-empon untuk mencegah hama. Misalnya untuk mencegak tikus, mereka memakai singkong yang direbus dengan air kelapa. Untuk menghindari keong, mereka meletakkan daun pepaya agar keong berkumpul mengerubunginya. Setelah itu keong tersebut tidak diambil dan dijadikan pakan ternak. Adapun masalah utama yang dihadapi petani adalah hutan gundul yang mengakibatkan banjir.
Untuk melakukan sosialisasi pada petani agar mengelola tani organik mereka masih percaya pada komunikasi tatap muka dan memberikan contoh kasus. Menurut Farid, sangat sulit meyakinkan petani jika mereka belum melihat keberhasilan dari pihak lain. Hingga saat ini yang punya keberanian mencoba berpindah ke pertanian organik baru Pati Kota, Margorejo, dan Jakenan. Serikat Petani Pati sendiri tersebar di 12 kecamatan dan baru tiga kecamatan yang mau menjalankan pilot proyek pertanian organik. Kelompok anak muda selain bertani juga mengembangkan batu bata yang lebih tebal dan kuat. Mreka berharap dengan kualitas batu bata lebih baik bisa memperoleh harga jual yang lebih tinggi pula.
Antusiasme para petani di Pati Utara sungguh besar. “Kami bukan haus uang, tetapi haus program,”ungkap salah seorang petani. Mereka sangat membutuhkan pengetahuan-pengetahuan baru yang berhubungan dengan pengembangan pertanian, peternakan. Kini mereka juga sedang mencoba pakan lele yang lebih murah dan bergizi. “masalah utama kami juga pemasaran,” ungkap Farid. Harga beras di sekitar Pati sebesar Rp 4.400,- per kilo, padahal mereka berharap dengan sistem organik bisa memperoleh harga jual lebih tinggi.
Setelah berbincang akrab sembari makan siang bersama di pendopo warung milik Farid, kami pun harus kembali ke Jogjakarta. Belum sempat diskusi lebih lanjut dengan Nurkhoiron sebagai Direktur Yayasan Desantara sehubungan langkah kerjasama apa saja yang bisa dikaitkan dengan kapasitas CRI. Namun dalam perjalanan ini sendiri, COMBINE hendak menjajaki kerjasama dengan Desantara untuk memberikan dukungan di Suara Komunitas atau Pasar Komunitas. Tampaknya COMBINE bisa memberikan dukungan:
1. Pasar Komunitas dengan mempromosikan produk pertanian dan gaduh sapi serta kambing
2. Membantu pengemasan produk
3. Memberikan pelatihan penulisan
4. Memberikan pelatihan radio komunitas
5. Membantu strategi media untuk membantu pemecahan persoalan petani, seperti advokasi penolakan semen di Pegunungan Kendeng.
(Ade Tanesia)
Tags: Combine Resource Institution, media komunitas, pati, petani

Sastra Pesisir Jawa Timur: Suluk-suluk Sunan Bonang

Sastra Pesisir Jawa Timur: Suluk-suluk Sunan Bonang

Oleh Dr.Abdul Hadi W. M.
(Sastrawan-Budayawan, Dosen ICAS-Jakarta, Universitas Paramadina & Univ.Indonesia)




Jawa Timur adalah propinsi tempat kediaman asal dua suku bangsa besar, yaitu Jawa dan Madura,
dengan tiga sub-etnik yang memisahkan diri dari rumpun besarnya seperti Tengger di Probolinggo,
Osing di Banyuwangi dan Samin di Ngawi. Dalam sejarahnya kedua suku bangsa tersebut telah lebih
sepuluh abad mengembangkan tradisi tulis dalam berkomunikasi dan mengungkapkan pengalaman
estetik mereka.
Kendati kemudian, yaitu pada akhir abad ke-18 M, masing-masing menggunakan bahasa yang jauh
berbeda dalam penulisan kitab dan karya sastra – Jawa dan Madura – akan tetapi kesusastraan mereka
memiliki akar dan sumber yang sama, serta berkembang mengikuti babakan sejarah yang sejajar. Pada
zaman Hindu kesusastraan mereka satu, yaitu sastra Jawa Kuno yang ditulis dalam bahasa Kawi dan
aksara Jawa Kuno. Setelah agama Islam tersebar pada abad ke-16 M bahasa Jawa Madya menggeser
bahasa Jawa Kuno. Pada periode ini dua aksara dipakai secara bersamaan, yaitu aksara Jawa yang
didasarkan tulisan Kawi dan aksara Arab Pegon yang didasarkan huruf Arab Melayu (Jawi).
Pigeaud (1967:4-7) membagi perkembangan sastra Jawa secara keseluruhan ke dalam empat babakan:
• Zaman Hindu berlangsung pada abad ke-9 - 15 M. Puncak perkembangan sastra pada periode ini
berlangsung pada zaman kerajaan Kediri (abad ke-11 dan 12 M, dilanjutkan dengan zaman
kerajaan Singosari (1222-1292 M) dan Majapahit (1292-1478 M);
• Zaman Jawa-Bali pad abad ke-16 - ke-19 M. Setelah Majapahit diruntuhkan kerajaan Demak
pada akhir abad ke-15 M, ribuan pengikut dan kerabat raja Majapahit pindah ke Bali. Kegiatan
sastra Jawa Kuno dilanjutkan di tempat tinggal mereka yang baru ini;
• Zaman Pesisir berlangsung pada abad ke-15 -19 M. Pada zaman ini kegiatan sastra berpindah ke
kota-kota pesisir yang merupakan pusat perdagangan dan penyebaran agama Islam;
• Zaman Surakarta dan Yogyakarta berlangsung pada abad ke-18 - 20 M. Pada akhir abad ke-18 M
di Surakarta, terjadi renaisan sastra Jawa Kuno dipelopori oleh Yasadipura I. Pada masa itu
karya-karya Jawa Kuno digubah kembali dalam bahasa Jawa Baru. Lebih kurang tiga dasawarsa
kemudian, karya Pesisir juga mulai banyak yang disadur atau dicipta ulang dalam bahasa Jawa
Baru di kraton Surakarta.
Khazanah Sastra Jawa Timur.
Khazanah sastra zaman Hindu dan Islam Pesisir – dua zaman yang relevan bagi pembicaraan kita — sama
melimpahnya. Keduanya telah memainkan peran penting masing-masing dalam kehidupan dalam
masyarakat Jawa dan Madura. Pengaruhnya juga tersebar luas tidak terbatas di Jawa, Bali dan Madura.
Karya-karya Pesisir ini juga mempengaruhi perkembangan sastra di Banten, Palembang, Banjarmasin,
Pasundan dan Lombok (Pigeaud 1967:4-8). Di antara karya Jawa Timur yang paling luas wilayah
penyebarannya ialah siklus Cerita Panji. Versi-versinya yang paling awal diperkirakan ditulis menjelang
runtuhnya kerajaan Majapahit pada akhir abad ke-15 M (Purbatjaraka, 1958). Cerita mengambil latar
belakang di lingkungan kerajaan Daha dan Kediri. Versi roman ini, dalam bahasa-bahasa Jawa, Sunda,
Bali, Madura, Melayu, Siam, Khmer dan lain-lain, sangat banyak. Dalam sastra Melayu terdapat versi
yang ditulis dalam bentuk syair, yang terkenal di antaranya ialah Syair Ken Tambuhan dan Hikayat
Andaken Penurat.
Tetapi bagaimana pun juga yang dipandang sebagai puncak perkembangan sastra Jawa Kuno ialah
kakawin seperti Arjuna Wiwaha (Mpu Kanwa), Hariwangsa (Mpu Sedah), Bharatayudha (Mpu Sedah dan
Mpu Panuluh), Gatotkacasraya (Mpu Panuluh), Smaradahana (Mpu Dharmaja), Sumanasantaka (Mpu
Monaguna), Kresnayana (Mpu Triguna), Arjunawijaya (Mpu Tantular), Lubdhaka (Mpu Tanakung); atau
karya-karya yang ditulis lebih kemudian seperti Negarakertagama (Mpu Prapanca), Kunjarakarna,
Pararaton, Kidung Ranggalawe, Kidung Sorandaka, Sastra Parwa (serial kisah-kisah dari Mahabharata)
dan lain-lain (Zoetmulder 1983: 80-478). Apabila sumber sastra Jawa Kuno terutama sekali ialah sastra
Sanskerta, seperti diperlihatkan oleh puitika dan bahasanya yang dipenuhi kosa kata Sanskerta; sumber
sastra Pesisir ialah sastra Arab, Parsi dan Melayu. Bahasa pun mulai banyak meminjam kosa kata Arab
dan Parsi, terutama yang berhubungan dengan konsep-konsep keagamaan.
Kegiatan sastra Pesisir bermula di kota-kota pelabuhan Gresik, Tuban, Sedayu, Surabaya, Demak dan
Jepara. Di kota-kota inilah komunitas-komunitas Muslim Jawa yang awal mulai terbentuk. Mereka pada
umumnya terdiri dari kelas menengah yang terdidik, khususnya kaum saudagar kaya. Dari kota-kota ini
kegiatan sastra Pesisir menyebar ke Cirebon dan Banten di Jawa Barat, dan ke Sumenep dan Bangkalan
di pulau Madura. Pengaruh sastra Pesisir ternyata tidak hanya terbatas di pulau Jawa saja. Disebabkan
mobilitas para pedagang dan penyebar agama Islam yang tinggi, kegiatan tersebut juga menyebar ke
luar Jawa seperti Palembang, Lampung, Banjarmasin dan Lombok. Pada abad ke-18 dan 19 M, dengan
pindahnya pusat kebudayaan Jawa ke kraton Surakarta dan Yogyakarta, kegiatan penulisan sastra
Pesisir juga berkembang di daerah-daerah Surakarta dan Yogyakara, serta tempat lain di sekitarnya
seperti Banyumas, Kedu, Madiun dan Kediri (Pigeaud 1967:6-7)
Khazanah sastra Pesisir tidak kalah melimpahnya dibanding khazanah sastra Jawa Kuno. Khazanah
tersebut meliputi karya-karya yang ditulis dalam bahasa Jawa Madya, Madura dan Jawa Baru, dan
dapat dikelompokkan menurut jenis dan coraknya sebagaimana pengelompokan dalam sastra Melayu
Islam, seperti berikut.
• Kisah-kisah berkenaan dengan Nabi Muhammad s.a.w;
• Kisah para Nabi, di Jawa disebut Serat Anbiya’. Dari sumber ini muncul kisah-kisah lepas
seperti kisah Nabi Musa, Kisah Yusuf dan Zuleikha, Kisah Nabi Idris, Nuh, Ibrahim, Ismail,
Sulaiman, Yunus, Isa dan lain-lain;
• Kisah Sahabat-sahabat Nabi seperti Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib;
• Kisah Para Wali seperti Bayazid al-Bhiztami, Ibrahim Adam dan lain-lain;
• Hikayat Raja-raja dan Pahlawan Islam, seperti Amir Hamzah, Muhammad Hanafiah, Johar
Manik, Umar Umayya dan lain-lain. Dalam sastra Jawa, Madura dan Sunda disebut Serat Menak,
serial kisah para bangsawan Islam;
• Sastra Kitab, uraian mengenai ilmu-ilmu Islam seperti tafsir al-Qur’an, hadis, ilmu fiqih,
usuluddin, tasawuf, tarikh (sejarah), nahu (tatabahasa Arab), adab (sastra Islam) dan lain-lain,
dengan menggunakan gaya bahasa sastra;
• Karangan-karangan bercorak tasawuf.
Dalam bentuk puisi karangan seperti itu di Jawa disebut suluk. Tetapi juga tidak jarang dituangkan
dalam bentuk kisah perumpamaan atau alegori. Dalam bentuk kisah perumpamaan dapat dimasukkan
kisah-kisah didaktis, di antaranya yang mengandung ajaran tasawuf;
• Karya Ketatanegaraan, yang menguraikan masalah politik dan pemerintahan, diselingi berbagai
cerita;
• Karya bercorak sejarah;
• Cerita Berbingkai, di dalamnya termasuk fabel atau cerita binatang;
• Roman, kisah petualangan bercampur percintaan;
• Cerita Jenaka dan Pelipur Lara. Misalnya cerita Abu Nuwas (Ali Ahmad dan Siti Hajar Che’
Man:1996; Pigeaud I 1967:83-7 ).
Yang relevan untuk pembicaraan ini ialah no. 6, karangan-karangan bercorak tasawuf dan roman
yang sering digubah menjadi alegori sufi. Karangan-karangan bercorak tasawuf disebut suluk dan
lazim ditulis dalam bentuk puisi atau tembang. Jumlah karya jenis ini cukup melimpah. Contohnya
ialah Kitab Musawaratan Wali Sanga, Suluk Wali Sanga, Mustika Rancang, Suluk Malang Sumirang,
Suluk Aceh, Suluk Walih, Suluk Daka, Suluk Syamsi Tabris, Suluk Jatirasa, Suluk Johar Mungkin,
Suluk Pancadriya, Ontal Enom (Madura), Suluk Jebeng dan lain-lain. Termasuk kisah perumpamaan
dan didaktis ialah Sama’un dan Mariya, Masirullah, Wujud Tunggal, Suksma Winasa, Dewi Malika,
Syeh Majenun (Pigeaud I: 84-88). Agak mengejutkan juga karena dalam kelompok ini ditemukan
kisah didaktis berjudul Bustan, yang merupakan saduran karya penyair Parsi terkenal abad ke-13 M,
Syekh Sa’di al-Syirazi, yang petikan sajak-sajaknya dalam bahasa Persia terdapat pada makam
seorang muslimah Pasai, Naina Husamuddin yang wafat pada abad ke-14M.
Dalam khazanah sastra Pesisir juga didapati karya ketatanegaraan dan pemerintahan seperti Paniti
Sastra dan saduran Tajus Salatin karya Bukhari al-Jauhari (1603) dari Aceh. Saduran Taj al-Salatin
dalam bahasa Jawa ini ditulis dalam bentuk tembang. Karya-karya kesejarahan tergolong banyak.
Di antaranya ialah Babad Giri, Babad Gresik, Babad Demak, Babad Madura, Babad Surabaya, Babad
Sumenep, Babad Besuki, Babad Sedayu, Babad Tuban, Kidung Arok, Juragan Gulisman (Madura) dan
Kek Lesap (Madura). Ada pun roman yang populer di antaranya ialah Cerita Mursada, Jaka Nestapa,
Jatikusuma, Smarakandi, Sukmadi, sedangkan dari Madura ialah Tanda Anggrek, Bangsacara
Ragapadmi dan Lanceng Prabhan (Ibid). Karya-karya Pesisir lain dari Madura yang terkenal ialah
Caretana Barakay, Jaka Tole, Tanda Serep, Baginda Ali, Paksi Bayan, Rato Sasoce, Malyawan, Serat
Rama, Judasan Arab, Menak Satip, Prabu Rara, Rancang Kancana, Hokomollah, Pandita Rahib,
Keyae Sentar, Lemmos, Raja Kombhang, Sesigar Sebak, Sokma Jati, Rato Marbin, Murbing Rama,
Barkan, Malang Gandring, Pangeran Laleyan, Brangta Jaya dan lain-lain.
Penulis-penulis Pesisir yang awal pada umumnya ialah para wali dan ahli tasawuf terkemuka seperti
Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Drajat, Sunan Giri, Sunan Muria, Sunan Gunung
Jati, Sunan Panggung dan Syekh Siti Jenar. Yang amat disayangkan ialah karena dalam daftar yang
terdapat dalam katalog-katalog naskah Jawa Timur, nama pengarang dan penyalin teks jarang
sekali disebutkan. Namun sejauh mengenai teks-teks dari Madura, terdapat beberapa nama
pengarang terkenal pada abad ke-17 – 19 M yang dapat dicatat. Misalnya Abdul Halim (pengarang
Tembang Bato Gunung), Mohamad Saifuddin (pegarang Serat Hokomolla dan Nabbi Mosa), Ahmad
Syarif, R. H. Bangsataruna, Sasra Danukusuma, Umar Sastradiwirya dan lain-lain (Abdul Hadi W. M.
1981).
Penelitian ini tidak akan membahas semua karya yang telah disebutkan, karena apabila dilakukan
maka pembicaraan akan menjadi sangat luas. Supaya terfokus, pembicaraan akan ditumpukan pada
suluk-suluk karya Sunan Bonang, khususnya Suluk Wujil, yang sedikit banyak mencerminkan
kecenderungan umum sastra Pesisir awal. Beberapa alasan lain dapat dikemukakan di sini, sebagai
berikut:
Pertama, Kajian terhadap karya Jawa Kuna telah banyak dilakukan baik oleh sarjana Indonesia
maupun asing, sedangkan karya Pesisir masih sangat sedikit yang memberi perhatian. Padahal
pengaruh karya Pesisir itu tidak kecil terdahap kebudayaan masyarakat Jawa Timur. Pengaruh
tersebut meliputi bidang-bidang seperti metafisika, kosmologi, etika, psikologi dan estetika, karena
yang diungkapkan karya-karya Pesisir itu mencakup persoalan-persoalan yang dibicarakan dalam
bidang-bidang tersebut.
Kedua, Selama beberapa dasawarsa Sunan Bonang hanya dikenal sebagai seorang wali dan belum
banyak yang membahas karya-karya serta pemikirannya di bidang keruhanian, kebudayaan dan
agama. Kajian yang cukup mendalam sebagian besar dilakukan oleh sarjana asing seperti Schrieke
(1911), Kraemer (1921) dan Drewes (1967). Sarjana Indonesia yang meneliti, namun tidak
mendalam ialah Purbatjaraka (1938). Selebihnya pembicaraan mengenai Sunan Bonang hanya
menyangkut kegiatannya sebagai wali penyebar agama Islam.
Ketiga, Suluk sebagai karangan bercorak tasawuf yang disampaikan dalam bentuk tembang,
mempunyai pengaruh besar terhadap kehidupan spiritual masyarakat Jawa Timur. Mengingkari
peranan suluk dan sastra suluk adalah mengingkari realitas budaya masyarakat Jawa Timur.
Keempat, Suluk-suluk Sunan Bonang mencerminkan babakan sejarah yang penting dalam
kebudayaan Jawa, yaitu zaman peralihan dari Hindu ke Islam yang berlangsung secara damai.
Kelima, Suluk-suluk tersebut merupakan karya bercorak tasawuf paling awal dalam sejarah sastra
Jawa secara umum dan pengaruhnya tidak kecil bagi perkembangan sastra Pesisir.
Sunan Bonang Sebagai Pengarang
Sunan Bonang diperkirakan lahir pada pertengahan abad ke-15 M dan wafat pada awal abad ke-16
M. Ada yang memperkirakan wafat pada tahun 1626 atau 1630, ada yang memperkirakan pada
tahun 1622 (de Graff & Pigeaud 1985:55). Dia adalah ulama sufi, ahli dalam berbagai bidang ilmu
agama dan sastra. Juga dikenal ahli falak, musik dan seni pertunjukan. Sebagai sastrawan dia
menguasai bahasa dan kesusastraan Arab, Persia, Melayu dan Jawa Kuno. Nama aslinya ialah
Makhdum Ibrahim. Dalam suluk-suluknya dan dari sumber-sumber sejarah lokal ia disebut dengan
berbagai nama gelaran seperti Ibrahim Asmara, Ratu Wahdat, Sultan Khalifah dan lain-lain (Hussein
Djajadiningrat 1913; Purbatjaraka 1938; Drewes 1968). Nama Sunan Bonang diambil dari nama
tempat sang wali mendirikan pesujudan (tempat melakukan `uzlah) dan pesantren di desa Bonang,
tidak jauh dari Lasem di perbatasan Jawa Tengah – Jawa Timur sekarang ini. Tempat ini masih ada
sampai sekarang dan ramai diziarahi pengunjung untuk menyepi, seraya memperbanyak ibadah
seperti berzikir, mengaji al-Qur’an dan tiraqat (Abdul Hadi W. M. 2000:96-107).
Kakeknya bernama Ibrahim al-Ghazi bin Jamaluddin Husain, seorang ulama terkemuka keturunan
Turki-Persia dari Samarkand. Syekh Ibrahim al-Ghazi sering dipanggil Ibrahim Asmarakandi (Ibrahim
al-Samarqandi), nama takhallus atau gelar yang kelak juga disandang oleh cucunya. Sebelum
pindah ke Campa pada akhir abad ke-14 M, Syekh Ibrahim al-Ghazi tinggal di Yunan, Cina Selatan.
Pada masa itu Yunan merupakan tempat singgah utama ulama Asia Tengah yang akan berdakwah ke
Asia Tenggara. Di Campa dia kawin dengan seorang putri Campa keturunan Cina dari Yunan. Pada
tahun 1401 M lahirlah putranya Makhdum Rahmat, yang kelak akan menjadi masyhur sebagai wali
terkemuka di pulau Jawa dengan nama Sunan Ampel. Setelah dewasa Rahmat pergi ke Surabaya,
mengikuti jejak bibinya Putri Dwarawati dari Campa yang diperistri oleh raja Majapahit Prabu
Kertabhumi atau Brawijaya V.
Di Surabaya, ayah Sunan Bonang ini, mendapat tanah di daerah Ampel, Surabaya, tempat dia
mendirikan masjid dan pesantren. Dari perkawinannya dengan seorang putri Majapahit, yaitu anak
adipati Tuban, Tumenggung Arya Teja, dia memperoleh beberapa putra dan putri. Seorang di
antaranya yang masyhur ialah Makhdum Ibrahim alias Sunan Bonang. (Hussein Djajadiningrat
1983:23; Agus Sunyoto 1995::48).
Sejak muda Makhdum Ibrahim adalah seorang pelajar yang tekun dan muballigh yang handal.
Setelah mempelajari bahasa Arab dan Melayu, serta berbagai cabang ilmu agama yang penting
seperti fiqih, usuluddin, tafsir Qur’an, hadis dan tasawuf; bersama saudaranya Sunan Giri dia pergi
ke Mekkah dengan singgah terlebih dahulu di Malaka, kemudian ke Pasai. Di Malaka dan Pasai
mereka mempelajari bahasa dan sastra Arab lebih mendalam. Sejarah Melayu merekam kunjungan
Sunan Bonang dan Sunan Giri ke Malaka sebelum melanjutkan perjalanan ke Pasai. Sepulang dari
Mekkah, melalui jalan laut dengan singgah di Gujarat, India, Sunan Bonang ditugaskan oleh ayahnya
untuk memimpin masjid Singkal, Daha di Kediri (Kalamwadi 1990:26-30). Di sini dia memulai
kariernya pertama kali sebagai pendakwah.
Ketika masjid Demak berdiri pada tahun 1498 M Sunan Bonang menjadi imamnya untuk yang
pertama. Dalam menjalankan tugasnya itu dia dibantu oleh Sunan Kalijaga, Ki Ageng Selo dan wali
yang lain. Di bawah pimpinannya masjid agung itu berkembang cepat menjadi pusat keagamaan
dan kebudayaan terkemuka. Tetapi sekitar tahun 1503 M, dia berselisih paham dengan Sultan
Demak dan memutuskan untuk meletakkan jabatannya sebagai imam masjid agung. Dari Demak
Sunan Bonang pindah ke Lasem, dan memilih desa Bonang sebagai tempat kegiatannya yang baru.
Di sini dia mendidirikan pesujudan dan pesantren. Beberapa karya Sunan Bonang, khususnya Suluk
Wujil, mengambil latar kisah di pesujudannya ini. Di tempat inilah dia mengajarkan tasawuf kepada
salah seorang muridnya, Wujil, seorang cebol namun terpelajar dan bekas abdi dalem kraton
Majapahit (Abdul Hadi W. M. 2000:96-107).
Setelah cukup lama tinggal di Bonang dan telah mendidik banyak murid, dia pun pulang ke Tuban.
Di sini dia mendirikan masjid besar dan pesantren, meneruskan kegiatannya sebagai seorang
muballigh, pendidik, budayawan dan sastrawan terkemuka sehingga masa akhir hayatnya.
Dalam sejarah sastra Jawa Pesisir, Sunan Bonang dikenal sebagai penyair yang prolifik dan penulis
risalah tasawuf yang ulung. Dia juga dikenal sebagai pencipta beberapa tembang (metrum puisi)
baru dan mengarang beberapa cerita wayang bernafaskan Islam. Sebagai musikus dia menggubah
beberapa gending (komposisi musik gamelan) seperti gending Dharma yang sangat terkenal. Di
bawah pengaruh wawasan estetika sufi yang diperkenalkan para wali termasuk Sunan Bonang dan
Sunan Kalijaga, gamelan Jawa berkembang menjadi oskestra polyfonik yang sangat meditatif dan
kontemplatif. Sunan Bonang pula yang memasukkan instrumen baru seperti rebab Arab dan kempul
Campa (yang kemudian disebut bonang, untuk mengabadikan namanya) ke dalam susunan gamelan
Jawa.
Karya-karya Sunan Bonang yang dijumpai hingga sekarang dapat dikelompokkan menjadi dua: (1)
Suluk-suluk yang mengungkapkan pengalamannya menempuh jalan tasawuf dan beberapa pokok
ajaran tasawufnya yang disampaikan melalui ungkapan-ungkapan simbolik yang terdapat dalam
kebudayaan Arab, Persia, Melayu dan Jawa. Di antara suluk-suluknya ialah Suluk Wujil, Suluk
Khalifah, Suluk Kaderesan, Suluk Regol, Suluk Bentur, Suluk Wasiyat, Suluk Pipiringan, Gita Suluk
Latri, Gita Suluk Linglung, Gita Suluk ing Aewuh, Gita Suluk Jebang, Suluk Wregol dan lain-lain
(Drewes 1968). (2) Karangan prosa seperti Pitutur Sunan Bonang yang ditulis dalam bentuk dialog
antara seorang guru sufi dan muridnya yang tekun. Bentuk semacam ini banyak dijumpai sastra
Arab dan Persia.
Suluk-suluk Sunan Bonang
Sebagaimana telah dikemukakan suluk adalah salah satu jenis karangan tasawuf yang dikenal dalam
masyarakat Jawa dan Madura dan ditulis dalam bentuk puisi dengan metrum (tembang) tertentu
seperti sinom, wirangrong, kinanti, smaradana, dandanggula dan lain-lain . Seperti halnya puisi sufi
umumnya, yang diungkapkan ialah pengalaman atau gagasan ahli-ahli tasawuf tentang perjalana
keruhanian (suluk) yang mesti ditempuh oleh mereka yang ingin mencpai kebenaran tertinggi,
Tuhan, dan berkehendak menyatu dengan Rahasia Sang Wujud. Jalan itu ditempuh melalui berbagai
tahapan ruhani (maqam) dan dalam setiap tahapan seseorang akan mengalami keadaan ruhani
(ahwal) tertentu, sebelum akhirnya memperoleh kasyf (tersingkapnya cahaya penglihatan batin)
dan makrifat, yaitu mengenal Yang Tunggal secara mendalam tanpa syak lagi (haqq al-yaqin). Di
antara keadaan ruhani penting dalam tasawuf yang sering diungkapkan dalam puisi ialah wajd
(ekstase mistis), dzawq (rasa mendalam), sukr (kegairahan mistis), fana’ (hapusnya kecenderungan
terhadap diri jasmani), baqa’ (perasaan kekal di dalam Yang Abadi) dan faqr (Abdul Hadi W. M.
2002:18-19).
Faqr adalah tahapan dan sekaligus keadaan ruhani tertinggi yang dicapai seorang ahli tasawuf,
sebagai buah pencapaian keadaan fana’ dan baqa’. Seorang faqir, dalam artian sebenarnya
menurut pandangan ahli tasawuf, ialah mereka yang demikian menyadari bahwa manusia
sebenarnya tidak memiliki apa-apa, kecuali keyakinan dan cinta yang mendalam terhadap
Tuhannya. Seorang faqir tidak memiliki keterpautan lagi kepada segala sesuatu kecuali Tuhan. Ia
bebas dari kungkungan ‘diri jasmani’ dan hal-hal yang bersifat bendawi, tetapi tidak berarti
melepaskan tanggung jawabnya sebagai khalifah Tuhan di muka bumi. Sufi Persia abad ke-13 M
menyebut bahwa jalan tasawuf merupakan Jalan Cinta (mahabbah atau `isyq). Cinta merupakan
kecenderungan yang kuat terhadap Yang Satu, asas penciptaan segala sesuatu, metode keruhanian
dalam mencapai kebenaran tertinggi, jalan kalbu bukan jalan akal dalam memperoleh pengetahuan
mendalam tentang Yang Satu (Ibid).
Sebagaimana puisi para sufi secara umum, jika tidak bersifat didaktis, suluk-suluk Sunan Bonang
ada yang bersifat lirik. Pengalaman dan gagasan ketasawufan yang dikemukakan, seperti dalam
karya penyair sufi di mana pun, biasanya disampaikan melalui ungkapan simbolik (tamsil) dan
ungkapan metaforis (mutasyabihat). Demikian dalam mengemukakan pengalaman keruhanian di
jalan tasawuf, dalam suluk-suluknya Sunan Bonang tidak jarang menggunakan kias atau
perumpamaan, serta citraan-citraan simbolik. Citraan-citraan tersebut tidak sedikit yang diambil
dari budaya lokal. Kecenderungan tersebut berlaku dalam sastra sufi Arab, Persia, Turki, Urdu,
Sindhi, Melayu dan lain-lain, dan merupakan prinsip penting dalam sistem sastra dan estetika sufi
(Annemarie Schimmel 1983: ) Karena tasawuf merupakan jalan cinta, maka sering hubungan antara
seorang salik (penempuh suluk) dengan Yang Satu dilukiskan atau diumpamakan sebagai hubungan
antara pencinta (`asyiq) dan Kekasih (mahbub, ma`syuq).
Drewes (1968, 1978) telah mencatat sejumlah naskah yang memuat suluk-suluk yang
diidentifikasikan sebagai karya Sunan Bonang atau Pangeran Bonang, khususnya yang terdapat di
Museum Perpustakaan Universitas Leiden, dan memberi catatan ringkas tentang isi suluk-suluk
tersebut. Penggunaan tamsil pencinta dan Kekasih misalnya terdapat dalam Gita Suluk Latri yang
ditulis dalam bentuk tembang wirangrong. Suluk ini menggambarkan seorang pencinta yang gelisah
menunggu kedatangan Kekasihnya. Semakin larut malam kerinduan dan kegelisahannya semakin
mengusiknya, dan semakin larut malam pula berahinya (`isyq) semakin berkobar. Ketika Kekasihnya
datang dia lantas lupa segala sesuatu, kecuali keindahan wajah Kekasihnya. Demikianlah sestelah
itu sang pencinta akhirnya hanyut dibawa ombak dalam lautan ketakterhinggaan wujud.
Dalam Suluk Khalifah Sunan Bonang menceritakan kisah-kisah kerohanian para wali dan pengalaman
mereka mengajarkan kepada orang yang ingin memeluk agama Islam. Suluk ini cukup panjang.
Sunan Bonang juga menceritakan pengalamannya selama berada di Pasai bersama guru-gurunya
serta perjalanannya menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Karya yang tidak kalah penting ialah Suluk
Gentur atau Suluk Bentur. Suluk ini ditulis di dalam tembang wirangrong dan cukup panjang.
Gentur atau bentur berarti lengkap atau sempruna. Di dalamnya digambarkan jalan yang harus
ditempuh seorang sufi untuk mencapai kesadaran tertiggi. Dalam perjalanannya itu ia akan
berhadapan dengan maut dan dia akan diikuti oleh sang maut kemana pun ke mana pun ia
melangkah. Ujian terbesar seorang penempuh jalan tasawuf atau suluk ialah syahadat dacim
qacim. Syahadat ini berupa kesaksian tanpa bicara sepatah kata pun dalam waktu yang lama,
sambil mengamati gerik-gerik jasmaninya dalam menyampaikan isyarat kebenaran dan keunikan
Tuhan. Garam jatuh ke dalam lautan dan lenyap, tetapi tidak dpat dikatakan menjadi laut. Pun
tidak hilang ke dalam kekosongan (suwung). Demikian pula apabila manusia mencapai keadaan
fana’ tidak lantas tercerap dalam Wujud Mutlak. Yang lenyap ialah kesadaran akan keberadaan
atau kewujudan jasmaninya.
Dalam suluknya ini Sunan Bonang juga mengatakan bahwa pencapaian tertinggi seseorang ialah
fana’ ruh idafi, yaitu ‘keadaan dapat melihat peralihan atau pertukaran segala bentuk lahir dan
gejala lahir, yang di dalamnya kesadaran intuititf atau makrifat menyempurnakan penglihatannya
tentang Allah sebagai Yang Kekal dan Yang Tunggal’. Pendek kata dalam fana’ ruh idafi seseorang
sepenuhnya menyaksikan kebenaran hakiki ayat al-qur`an 28:88, “Segala sesuatu binasa kecuali
Wajah-Nya”. Ini digambarkan melalui peumpamaan asyrafi (emas bentukan yang mencair dan
hilang kemuliannya, sedangkan substansinya sebagai emas tidak lenyap. Syahadat dacim qacim
adalah kurnia yang dilimpahkan Tuhan kepada seseorang sehingga ia menyadari dan menyaksikan
dirinya bersatu dengan kehendak Tuhan (sapakarya). Menurut Sunan Bonang, ada tiga macam
syahadat:
1. Mutawilah (muta`awillah di dalam bahasa Arab)
2. Mutawassitah (Mutawassita)
3. Mutakhirah (muta`akhira)
Yang pertama syahadat (penyaksian) sebelum manusia dilahirkan ke dunia yaitu dari Hari Mitsaq (Hari
Perjanjian) sebagaimana dikemukakan di dalam ayat al-Qur`an 7: 172, “Bukankah Aku ini Tuhanmu?
Ya, aku menyaksikan” (Alastu bi rabbikum? Qawl bala syahidna). Yang ke dua ialah syahadat ketika
seseorang menyatakan diri memeluk agama Islam dengan mengucap “Tiada Tuhan selain Allah dan Nabi
Muhammad adalah utusan-Nya”. Yang ketiga adalah syahadat yang diucapkan para Nabi, Wali dan
Orang Mukmin sejati. Bilamana tiga syahadat ini dipadukan menjadi satu maka dapat diumpamakan
seperti kesatuan transenden antara tindakan menulis, tulisan dan lembaran kertas yang mengandung
tulisan itu. Juga dapat diumpamakan seperti gelas, isinya dan gelas yang isinya penuh. Bilamana gelas
bening, isinya akan tampak bening sedang gelasnya tidak kelihatan. Begitu pula hati seorang mukmin
yang merupakan tempat kediaman Tuhan, akan memperlihatkan kehadiran-Nya bilamana hati itu
bersih, tulus dan jujur.
Di dalam hati yang bersih, dualitas lenyap. Yang kelihatan ialah tindakan cahaya-Nya yang melihat.
Artinya dalam melakukan perbuatan apa saja seorang mukmin senantiasa sadar bahwa dia selalu
diawasi oleh Tuhan, yang menyebabkannya tidak lalai menjalankan perintah agama.. Perumpamaan ini
dapat dirujuk kepada perumpamaan serupa di dalam Futuh al-Makkiyah karya Ibn `Arabi dan Lamacat
karya `Iraqi.
Karya Sunan Bonang juga unik ialah Gita Suluk Wali, untaian puisi-puisi lirik yang memikat. Dipaparkan
bahwa hati seorang yang ditawan oleh rasa cinta itu seperti laut pasang menghanyutkan atau seperti
api yang membakar sesuatu sampai hangus. Untaian puisi-puisi ini diakhiri dengna pepatah sufi “Qalb
al-mukmin bait Allah” (Hati seorang mukmin adalah tempat kediaman Tuhan).
Suluk Jebeng.
Ditulis dalam tembang Dhandhanggula dan dimulai dengan perbincangan mengenai wujud manusia
sebagai khalifah Tuhan di bumi dan bahawasanya manusia itu dicipta menyerupai gambaran-Nya
(mehjumbh dinulu). Hakekat diri yang sejati ini mesti dikenal supaya perilaku dan amal perubuatan
seseorang di dunia mencerminkan kebenaran. Persatuan manusia dengan Tuhan diumpamakan sebagai
gema dengan suara. Manusia harus mengenal suksma (ruh) yang berada di dalam tubuhnya. Ruh di
dalam tubuh seperti api yang tak kelihatan. Yang nampak hanyalah bara, sinar, nyala, panas dan
asapnya. Ruh dihubungkan dengan wujud tersembunyi, yang pemunculan dan kelenyapannya tidak
mudah diketahui. Ujar Sunan Bonang:
Puncak ilmu yang sempurna
Seperti api berkobar
Hanya bara dan nyalanya
Hanya kilatan cahaya
Hanya asapnya kelihatan
Ketauilah wujud sebelum api menyala
Dan sesudah api padam
Karena serba diliputi rahasia
Adakah kata-kata yang bisa menyebutkan?
Jangan tinggikan diri melampaui ukuran
Berlindunglah semata kepada-Nya
Ketahui, rumah sebenarnya jasad ialah ruh
Jangan bertanya
Jangan memuja nabi dan wali-wali
Jangan mengaku Tuhan
Jangan mengira tidak ada padahal ada
Sebaiknya diam
Jangan sampai digoncang
Oleh kebingungan
Pencapaian sempurna
Bagaikan orang yang sedang tidur
Dengan seorang perempuan, kala bercinta
Mereka karam dalam asyik, terlena
Hanyut dalam berahi
Anakku, terimalah
Dan pahami dengan baik
Ilmu ini memang sukar dicerna
Satu-satunya karangan prosa Sunan Bonang yang dapat diidentifikasi sampai sekarang ialah Pitutur Seh
Bari. Salah satu naskah yang memuat teks karangan prosa Sunan Bonang ini ialah MS Leiden Cod. Or.
1928. Naskah teks ini telah ditransliterasi ke dalam tulisan Latin, serta diterjemahkan ke dalam bahasa
Belanda oleh Schrieke dalam disertasi doktornya Het Boek van Bonang (1911). Hoesein Djajadiningrat
juga pernah meneliti dan mengulasnya dalam tulisannya ”Critische Beschouwing van de Sedjarah
Banten” (1913). Terakhir naskah teks ini ditransliterasi dan disunting oleh Drewes, dalam bukunya The
Admonotions of Seh Bari (1978), disertai ulasan dan terjemahannya dalam bahasa Inggris.
Kitab ini ditulis dalam bentuk dialog atau tanya-jawab antara seorang penuntut ilmu suluk, Syaful Rijal,
dan gurunya Syekh Bari. Nama Syaiful Rijal, yang artinya pedang yang tajam, biasa dipakai sebagai
julukan kepada seorang murid yang tekun mempelajari tasawuf (al-Attas 1972). Mungkin ini adalah
sebutan untuk Sunan Bonang sendiri ketika menjadi seorang penuntut ilmu suluk. Syekh Bari diduga
adalah guru Sunan Bonang di Pasai dan berasal dari Bar, Khurasan, Persia Timur Daya (Drewes 1968:12).
Secara umum ajaran tasawuf yang dikemukakan dekat dengan ajaran dua tokoh tasawuf besar dari
Persia, Imam al-Ghazali (w. 1111 M) dan Jalaluddin al-Rumi (1207-1273 M). Nama-nama ahli tasawuf
lain dari Persia yang disebut ialah Syekh Sufi (mungkin Harits al-Muhasibi), Nuri (mungkin Hasan al-Nuri)
dan Jaddin (mungkin Junaid al-Baghdadi). Ajaran ketiga tokoh tersebut merupakan sumber utama
ajaran Imam al-Ghazali (al-Taftazani 1985:6). Istilah yang digunakan dalam kitab ini, yaitu ”wirasaning
ilmu suluk” (jiwa atau inti ajaran tasawuf) mengingatkan pada pernyataan Imam al-Ghazali bahwa
tasawuf merupakan jiwa ilmu-ilmu agama.
Suluk Wujil
Di antara suluk karya Sunan Bonang yang paling dikenal dan relevan bagi kajian ini ialah Suluk Wujil
(SW). Dari segi bahasa dan puitika yang digunakan, serta konteks sejarahnya dengan perkembangan
awal sastra Pesisir, SW benar-benar mencerminkan zaman peralihan Hindu ke Islam (abad ke-15 dan 16
M) yang sangat penting dalam sejarah Jawa Timur. Teks SW dijumpai antara lain dalam MS Bataviasche
Genotschaft 54 (setelah RI merdeka disimpan di Museum Nasional, kini di Perpustakaan Nasional
Jakarta) dan transliterasinya ke dalam huruf Latin dilakukan oleh Poerbatjaraka dalam tulisannya ”De
Geheime Leer van Soenan Bonang (Soeloek Woedjil)” (majalah Djawa vol. XVIII, 1938). Terjemahannya
dalam bahasa Indonesia pernah dilakukan oleh Suyadi Pratomo (1985), tetapi karena tidak memuaskan,
maka untuk kajian ini kami berusaha menerjemahkan sendiri teks hasil transliterasi Poerbatjaraka.
Sebagai karya zaman peralihan Hindu ke Islam, pentingnya karya Sunan Bonang ini tampak dalam halhal
seperti berikut: Pertama, dalam SW tergambar suasana kehidupan badaya, intelektual dan
keagamaan di Jawa pada akhir abad ke-15, yang sedang beralih kepercayaan dari agama Hindu ke
agama Islam. Di arena politik peralihan itu ditandai denga runtuhnya Majapahit, kerajaan besar Hindu
terakhir di Jawa, dan bangunnya kerajaan Demak, kerajaan Islam pertama. Demak didirikan oleh Raden
Patah, putera raja Majapahit Prabu Kertabumi atau Brawijaya V daripada perkawinannya dengan
seorang puteri Cina yang telah memeluk Islam. Dengan runtuhnya Majapahit terjadilah perpindahan
kegiatan budaya dan intelektual dari sebuah kerajaan Hindu ke sebuah kerajaan Islam dan demikian
pula tata nilai kehidupan masyarakat pun berubah.
Di lapangan sastra peralihan ini dapat dilihat dengan berhentinya kegiatan sastera Jawa Kuna setelah
penyair terakhir Majapahit, Mpu Tantular dan Mpu Tanakung, meninggal dunia pda pertengahan abad
ke-15 tanpa penerus yang kuat. Kegiatan pendidikan pula mula beralih ke pusat-pusat baru di daerah
pesisir. Dari segi bahasa suluk ini memperlihatkan “keanehan-keanehan bahasa Jawa Kuna zaman
Hindu” (Purbatjaraka: 1938) karena memang ditulis pada zaman permulaan munculnya bahasa Jawa
Madya. Dari segi puitika pula, cermin zaman peralihan begitu ketara. Penulisnya menggunakan tembang
Aswalalita yang agak menyimpang, selain tembang Dhandhanggula. Aswalalita adalah metrum Jawa
Kuna yang dicipta berdasarkan puitika Sanskerta. Setelah wafatnya Sunan Bonang tembang ini tidak lagi
digunakan oleh para penulis tembang di Jawa.
Sunan Bonang sebagai seorang penulis Muslim awal dalam sastra Jawa, menunjukkan sikap yang sangat
berbeda dengan para penulis Muslim awal di Sumatra. Yang terakhir sudah sejak awal kegiatan
kreatifnya menggunakan huruf Jawi atau Arab Melayu, sedangkan Sunan Bonang dan penulis-penulis
Muslim Jawa yang awal masih menggunakan huruf Jawa, dan baru ketika agama Islam telah tersebar
luas huruf Arab digunakan untuk menulis teks-teks berbahasa Jawa. Dalam penulisan puisinya, Sunan
Bonang juga banyak menggunakan tamsil-tamsil yang tidak asing dalam kebudayaan Jawa pada masa
itu. Misalnya tamsil wayang, dalang dan lakon cerita pewayangan seperti Perang Bharata antara Kurawa
dan Pandawa. Selain itu dia juga masih mempertahankan penggunaan bentuk tembang Jawa Kuno,
yaitu aswalalita, yang didasarkan pada puitika Sanskerta. Dengan cara demikian, kehadiran karyanya
tidak dirasakan sebagai sesuatu yang asing bagi pembaca sastra Jawa, malahan dipandangnya sebagai
suatu kesinambungan.
Kedua, pentingnya Suluk Wujil karena renungan-renungannya tentang masalah hakiki di sekitar wujud
dan rahasia terdalam ajaran agama, memuaskan dahaga kaum terpelajar Jawa yang pada umumnya
menyukai mistisisme atau metafisika, dan seluk beluk ajaran keruhanian. SW dimulai dengan
pertanyaan metafisik yang esensial dan menggoda sepanjang zaman, di Timur maupun Barat:
1
Dan warnanen sira ta Pun Wujil
Matur sira ing sang Adinira
Ratu Wahdat
Ratu Wahdat Panenggrane
Samungkem ameng Lebu?
Talapakan sang Mahamuni
Sang Adhekeh in Benang,
mangke atur Bendu
Sawetnya nedo jinarwan
Saprapating kahing agama kang sinelit
Teka ing rahsya purba
2
Sadasa warsa sira pun Wujil
Angastupada sang Adinira
Tan antuk warandikane
Ri kawijilanipun
Sira wujil ing Maospait
Ameng amenganira
Nateng Majalanggu
Telas sandining aksara
Pun Wujil matur marang Sang Adi Gusti
Anuhun pangatpada
3
Pun Wujil byakteng kang anuhun Sih
Ing talapakan sang Jati Wenang
Pejah gesang katur mangke
Sampun manuh pamuruh
Sastra Arab paduka warti
Wekasane angladrang
Anggeng among kayun
Sabran dina raraketan
Malah bosen kawula kang aludrugi
Ginawe alan-alan
4
Ya pangeran ing sang Adigusti
Jarwaning aksara tunggal
Pengiwa lan panengene
Nora na bedanipun
Dening maksih atata gendhing
Maksih ucap-ucapan
Karone puniku
Datan polih anggeng mendra-mendra
Atilar tresna saka ring Majapait
Nora antuk usada
5
Ya marma lunganging kis ing wengi
Angulati sarasyaning tunggal
Sampurnaning lampah kabeh
Sing pandhita sundhuning
Angulati sarining urip
Wekasing jati wenang
Wekasing lor kidul
Suruping radya wulan
Reming netra lalawa suruping pati
Wekasing ana ora
Artinya, lebih kurang:
1
Inilah ceritera si Wujil
Berkata pada guru yang diabdinya
Ratu Wahdat
Ratu Wahdat nama gurunya
Bersujud ia ditelapak kaki Syekh Agung
Yang tinggal di desa Bonang
Ia minta maaf
Ingin tahu hakikat
Dan seluk beluk ajaran agama
Sampai rahasia terdalam
2
Sepuluh tahun lamanya Sudah
Wujil Berguru kepada Sang Wali
Namun belum mendapat ajaran utama
Ia berasal dari Majapahit
Bekerja sebagai abdi raja
Sastra Arab telah ia pelajari
Ia menyembah di depan gurunya
Kemudian berkata
Seraya menghormat
Minta maaf
3
“Dengan tulus saya mohon
Di telapak kaki tuan Guru
Mati hidup hamba serahkan
Sastra Arab telah tuan ajarkan
Dan saya telah menguasainya
Namun tetap saja saya bingung
Mengembara kesana-kemari
Tak berketentuan.
Dulu hamba berlakon sebagai pelawak
Bosan sudah saya
Menjadi bahan tertawaan orang
4
Ya Syekh al-Mukaram!
Uraian kesatuan huruf
Dulu dan sekarang
Yang saya pelajari tidak berbeda
Tidak beranjak dari tatanan lahir
Tetap saja tentang bentuk luarnya
Saya meninggalkan Majapahit
Meninggalkan semua yang dicintai
Namun tak menemukan sesuatu apa
Sebagai penawar
5
Diam-diam saya pergi malam-malam
Mencari rahasia Yang Satu dan jalan sempurna
Semua pendeta dan ulama hamba temui
Agar terjumpa hakikat hidup
Akhir kuasa sejati
Ujung utara selatan
Tempat matahari dan bulan terbenam
Akhir mata tertutup dan hakikat maut
Akhir ada dan tiada
Pertanyaan-pertanyaan Wujil kepada gurunya merupakan pertanyaan universal dan eksistensial, serta
menukik hingga masalah paling inti, yang tidak bisa dijawab oleh ilmu-ilmu lahir. Terbenamnya
matahari dan bulan, akhir utara dan selatan, berkaitan dengan kiblat dan gejala kehidupan yang
senantiasa berubah. Jawabannya menghasilkan ilmu praktis dan teoritis seperti fisika, kosmologi,
kosmogeni, ilmu pelayaran, geografi dan astronomi. Kapan mata tertutup berkenaan dengan
pancaindra dan gerak tubuh kita. Sadar dan tidak sadar, bingung dan gelisah, adalah persoalan
psikologi. Ada dan tiada merupakan persoalan metafisika. Setiap jawaban yang diberikan sepanjang
zaman di tempat yang berbeda-beda, selalu unik, sebagaimana pertanyaan terhadap hakikat hidup dan
kehidupan. Lantas apakah dalam hidupnya manusia benar-benar menguasai dirinya dan menentukan
hidupnya sendiri? Siapa kuasa sejati itu? Persoalan tentang rahasia Yang Satu akan membawa orang
pada persoalan tentang Yang Abadi, Yang Maha Hidup, Wujud Mutlak yang ada-Nya tidak tergantung
pada sesuatu yang lain.
Tampaknya pertanyaan itu memang ditunggu oleh Sunan Bonang, sebab hanya melalui pertanyaan
seperti itu dia dapat menyingkap rahasia ilmu tasawuf dan relevansinya, kepada Wujil. Maka Sunan
Bonang pun menjawab:
6
Sang Ratu Wahdat mesem ing lathi
Heh ra Wujil kapo kamangkara
Tan samanya pangucape
Lewih anuhun bendu
Atunira taha managih
Dening geng ing sakarya
Kang sampun alebu
Tan padhitane dunya
Yen adol warta tuku warta ning tulis
Angur aja wahdat
7
Kang adol warta tuhu warti
Kumisum kaya-kaya weruha
Mangke ki andhe-andhene
Awarna kadi kuntul
Ana tapa sajroning warih
Meneng tan kena obah
Tinggalipun terus
Ambek sadu anon mangsa
Lirhantelu outihe putih ing jawi
Ing jro kaworan rakta
8
Suruping arka aganti wengi
Pun Wujil anuntu maken wraksa
Badhi yang aneng dagane
Patapane sang Wiku
Ujung tepining wahudadi
Aran dhekeh ing Benang
Saha-saha sunya samun
Anggaryang tan ana pala boga
Ang ing ryaking sagara nempuki
Parang rong asiluman
9
Sang Ratu Wahdat lingira aris
Heh ra Wujil marangke den enggal
Tur den shekel kukuncire
Sarwi den elus-elus
Tiniban sih ing sabda wadi
Ra Wujil rungokna
Sasmita katenggun
Lamun sira kalebua
Ing naraka isung dhewek angleboni
Aja kang kaya sira
… 11
Pangestisun ing sira ra Wujil
Den yatna uripira neng dunya
Ywa sumambar angeng gawe
Kawruhana den estu
Sariranta pon tutujati
Kang jati dudu sira
Sing sapa puniku
Weruh rekeh ing sariri
Mangka saksat wruh sira
Maring Hyang Widi
Iku marga utama
Artinya lebih kurang:
6
Ratu Wahdat tersenyum lembut
“Hai Wujil sungguh lancang kau
Tuturmu tak lazim
Berani menagih imbalan tinggi
Demi pengabdianmu padaku
Tak patut aku disebut Sang Arif
Andai hanya uang yang diharapkan
Dari jerih payah mengajarkan ilmu
Jika itu yang kulakukan
Tak perlu aku menjalankan tirakat
7
Siapa mengharap imbalan uang
Demi ilmu yang ditulisnya
Ia hanya memuaskan diri sendiri
Dan berpura-pura tahu segala hal
Seperti bangau di sungai
Diam, bermenung tanpa gerak.
Pandangnya tajam, pura-pura suci
Di hadapan mangsanya ikan-ikan
Ibarat telur, dari luar kelihatan putih
Namun isinya berwarna kuning
8
Matahari terbenam, malam tiba
Wujil menumpuk potongan kayu
Membuat perapian, memanaskan
Tempat pesujudan Sang Zahid
Di tepi pantai sunyi di Bonang
Desa itu gersang
Bahan makanan tak banyak
Hanya gelombang laut
Memukul batu karang
Dan menakutkan
9
Sang Arif berkata lembut
“Hai Wujil, kemarilah!”
Dipegangnya kucir rambut Wujil
Seraya dielus-elus
Tanda kasihsayangnya
“Wujil, dengar sekarang
Jika kau harus masuk neraka
Karena kata-kataku
Aku yang akan menggantikan tempatmu”

11
“Ingatlah Wujil, waspadalah!
Hidup di dunia ini
Jangan ceroboh dan gegabah
Sadarilah dirimu
Bukan yang Haqq
Dan Yang Haqq bukan dirimu
Orang yang mengenal dirinya
Akan mengenal Tuhan
Asal usul semua kejadian
Inilah jalan makrifat sejati”
Dalam bait-bait yang telah dikutip dapat kita lihat bahwa pada permulaan suluknya Sunan Bonang
menekankan bahwa Tuhan dan manusia itu berbeda. Tetapi karena manusia adalah gambaran Tuhan,
maka ’pengetahuan diri’ dapat membawa seseorang mengenal Tuhannya. ’Pengetahuan diri’ di sini
terangkum dalam pertanyaan: Apa dan siapa sebenarnya manusia itu? Bagaimana kedudukannya di atas
bumi? Dari mana ia berasal dan kemana ia pergi setelah mati? Pertama-tama, ‘diri’ yang dimaksud
penulis sufi ialah ‘diri ruhani’, bukan ‘diri jasmani’, karena ruhlah yang merupakan esensi kehidupan
manusia, bukan jasmaninya. Kedua kali, sebagaimana dikemukakan dalam al-Qur’an, surat al-Baqarah,
manusia dicipta oleh Allah sebagai ‘khalifah-Nya di atas bumi’ dan sekaligus sebagai ‘hamba-Nya’.
Itulah hakikat kedudukan manusia di muka bumi. Ketiga, persoalan dari mana berasal dan kemana
perginya tersimpul dari ucapan ”Inna li Allah wa inna li Allahi raji’un” (Dari Allah kembali ke Allah).
Demikianlah sebagai karya bercorak tasawuf paling awal dalam sastra Jawa, kedudukan Suluk Wujil dan
suluk-suluk Sunan Bonang yang lain sangatlah penting. Sejak awal pengajarannya tentang tasawuf,
Sunan Bonang menekankan bahwa konsep fana’ atau persatuan mistik dalam tasawuf tidak
mengisyaratkan kesamaan manusia dengan Tuhan, yaitu yang menyembah dan Yang Disembah.
Seperti penyair sufi Arab, Persia dan Melayu, Sunan Bonang – dalam mengungkapkan ajaran tasawuf dan
pengalaman keruhanian yang dialaminya di jalan tasawuf – menggunakan baik simbol (tamsil) yang
diambil dari budaya Islam universal maupun dari budaya lokal. Tamsil-tamsil dari budaya Islam
universal yang digunakan ialah burung, cermin, laut, Mekkah (tempat Ka’bah atau rumah Tuhan)
berada, sedangkan dari budaya lokal antara lain ialah tamsil wayang, lakon perang Kurawa dan
Pandawa (dari kisah Mahabharata) dan bunga teratai. Tamsil-tamsil ini secara berurutan dijadikan
sarana oleh Sunan Bonang untuk menjelaskan tahap-tahap perjalanan jiwa manusia dalam upaya
mengenal dirinya yang hakiki, yang melaluinya pada akhirnya mencapai makrifat, yaitu mengenal
Tuhannya secara mendalam melalui penyaksian kalbunya.
Tasawuf dan Pengetahuan Diri
Secara keseluruhan jalan tasawuf merupakan metode-metode untuk mencapai pengetahuan diri dan
hakikat wujud tertinggi, melalui apa yang disebut sebagai jalan Cinta dan penyucian diri. Cinta yang
dimaksudkan para sufi ialah kecenderungan kuat dari kalbu kepada Yang Satu, karena pengetahuan
tentang hakikat ketuhanan hanya dicapai tersingkapnya cahaya penglihatan batin (kasyf) dari dalam
kalbu manusia (Taftazani 1985:56). Tahapan-tahapan jalan tasawuf dimulai dengan‘penyucian diri’,
yang oleh Mir Valiuddin (1980;1-3) dibagi tiga: Pertama, penyucian jiwa atau nafs (thadkiya al-nafs);
kedua, pemurnian kalbu (tashfiya al-qalb); ketiga, pengosongan pikiran dan ruh dari selain Tuhan
(takhliya al-sirr).
Istilah lain untuk metode penyucian diri ialah mujahadah, yaitu perjuangan batin untuk mengalah hawa
nafsu dan kecenderungan-kecenderungan buruknya. Hawa nafsu merupakan representasi dari jiwa yang
menguasai jasmani manusia (‘diri jasmani’). Hasil dari mujahadah ialah musyahadah dan mukasyafah.
Musyahadah ialah mantapnya keadaan hati manusia sehingga dapat memusatkan penglihatannya kepada
Yang Satu, sehingga pada akhirnya dapat menyaksikan kehadiran rahasia-Nya dalam hati. Mukasyafah
ialah tercapainya kasyf, yaitu tersingkapnya tirai yang menutupi cahaya penglihatan batin di dalam
kalbu.
Penyucian jiwa dicapai dengan memperbanyak ibadah dan amal saleh. Termasuk ke dalam ibadah ialah
melaksanakan salat sunnah, wirid, zikir, mengurangi makan dan tidur untuk melatih ketangguhan jiwa.
Semua itu dikemukakan oleh Sunan Bonang dalam risalahnya Pitutur Seh Bari dan juga oleh Hamzah
Fansuri dalam Syarab al-`Asyiqin (“Minuman Orang Berahi”). Sedangkan pemurnian kalbu ialah dengan
membersihkan niat buruk yang dapat memalingkan hati dari Tuhan dan melatih kalbu dengan
keinginan-keinginan yang suci. Sedangkan pengosongan pikiran dilakukan dengan tafakkur atau
meditasi, pemusatan pikiran kepada Yang Satu. Dalam sejarah tasawuf ini telah sejak lama ditekankan,
terutama oleh Sana’i, seorang penyair sufi Persia abad ke-12 M. Dengan tafakkur, menurut Sana’i,
maka pikiran seseorang dibebaskan dari kecenderungan untuk menyekutuhan Tuhan dan sesembahan
yang lain (Smith 1972:76-7).
Dalam Suluk Wujil juga disebutkan bahwa murid-muridnya menyebut Sunan Bonang sebagai Ratu
Wahdat. Istilah ‘wahdat’ merujuk pada konsep sufi tentang martabat (tingkatan) pertama dari tajalli
Tuhan atau pemanifestasian ilmu Tuhan atau perbendaharaan tersembunyi-Nya (kanz makhfiy) secara
bertahap dari ciptaan paling esensial dan bersifat ruhani sampai ciptaan yang bersifat jasmani.
Martabat wahdat ialah martabat keesaan Tuhan, yaitu ketika Tuhan menampakkan keesaan-Nya di
antara ciptaan-ciptaan-Nya yang banyak dan aneka ragam. Pada peringkat ini Allah menciptakan esensi
segala sesuatu (a’yan tsabitah) atau hakikat segala sesuatu (haqiqat al-ashya). Esensi segala sesuatu
juga disebut ‘bayangan pengetahuan Tuhan’ (suwar al-ilmiyah) atau hakikat Muhammad yang berkilaukilauan
(nur muhammad). Ibn `Arabi menyebut gerak penciptaaan ini sebagai gerakan Cinta dari
Tuhan, berdasar hadis qudsi yang berbunyi, “Aku adalah perbendaharaan tersembunyi, Aku cinta
(ahbabtu) untuk dikenal, maka aku mencipta hingga Aku dikenal” (Abdul Hadi W. M. 2002:55-60). Maka
sebutan Ratu Wahdat dalam suluk ini dapat diartikan sebagai orang yang mencapai martabat tinggi di
jalan Cinta, yaitu memperoleh makrifat dan telah menikmati lezatnya persatuan ruhani dengan Yang
Haqq.
Pengetahuan Diri, Cermin dan Ka’bah
Secara keseluruhan bait-bait dalam Suluk Wujil adalah serangkaian jawaban Sunan Bonang terhadap
pertanyaan-pertanyaan Wujil tentang akal yang disebut Ada dan Tiada, mana ujung utara dan selatan,
apa hakikat kesatuan huruf dan lain-lain. Secara berurutan jawaban yang diberikan Sunan Bonang
berkenaan dengan soal: (1) Pengetahuan diri, meliputi pentingnya pengetahuan ini dan hubungannya
dengan hakikat salat atau memuja Tuhan. Simbol burung dan cermin digunakan untuk menerangkan
masalah ini; (2) Hakikat diam dan bicara; (3) Kemauan murni sebagai sumber kebahagiaan ruhani; (4)
Hubungan antara pikiran dan perbuatan manusia dengan kejadian di dunia; (5) Falsafah Nafi Isbat serta
kaitannya dengan makna simbolik pertunjukan wayang, khususnya lakon perang besar antara Kurawa
dan Pandawa dari epik Mahabharata; (6) Gambaran tentang Mekkah Metafisisik yang merupakan pusat
jagat raya, bukan hanya di alam kabir (macrocosmos) tetapi juga di alam saghir (microcosmos), yaitu
dalam diri manusia yang terdalam; (7) Perbedaan jalan asketisme atau zuhud dalam agama Hindu dan
Islam.
Sunan Bonang menghubungkan hakikat salat berkaitan dengan pengenalan diri, sebab dengan
melakukan salat seseorang sebenarnya berusaha mengenal dirinya sebagai ‘yang menyembah’, dan
sekaligus berusaha mengenal Tuhan sebagai ‘Yang Disembah’. Pada bait ke-12 dan selanjutnya Sunan
Bonang menulis:
12
Kebajikan utama (seorang Muslim)
Ialah mengetahui hakikat salat
Hakikat memuja dan memuji
Salat yang sebenarnya
Tidak hanya pada waktu isya dan maghrib
Tetapi juga ketika tafakur
Dan salat tahajud dalam keheningan
Buahnya ialah mnyerahkan diri senantiasa
Dan termasuk akhlaq mulia
13
Apakah salat yang sebenar-benar salat?
Renungkan ini: Jangan lakukan salat
Andai tiada tahu siapa dipuja
Bilamana kaulakukan juga
Kau seperti memanah burung
Tanpa melepas anak panah dari busurnya
Jika kaulakukan sia-sia
Karena yang dipuja wujud khayalmu semata
14
Lalu apa pula zikir yang sebenarnya?
Dengar: Walau siang malam berzikir
Jika tidak dibimbing petunjuk Tuhan
Zikirmu tidak sempurna
Zikir sejati tahu bagaimana
Datang dan perginya nafas
Di situlah Yang Ada, memperlihatkan
Hayat melalui yang empat
15
Yang empat ialah tanah atau bumi
Lalu api, udara dan air
Ketika Allah mencipta Adam
Ke dalamnya dilengkapi
Anasir ruhani yang empat:
Kahar, jalal, jamal dan kamal
Di dalamnya delapan sifat-sifat-Nya
Begitulah kaitan ruh dan badan
Dapat dikenal bagaimana
Sifat-sifat ini datang dan pergi, serta ke mana
16
Anasir tanah melahirkan
Kedewasaan dan keremajaan
Apa dan di mana kedewasaan
Dan keremajaan? Dimana letak
Kedewasaan dalam keremajaan?
Api melahirkan kekuatan
Juga kelemahan
Namun di mana letak
Kekuatan dalam kelemahan?
Ketahuilah ini
17
Sifat udara meliputi ada dan tiada
Di dalam tiada, di mana letak ada?
Di dalam ada, di mana tempat tiada?
Air dua sifatnya: mati dan hidup
Di mana letak mati dalam hidup?
Dan letak hidup dalam mati?
Kemana hidup pergi
Ketika mati datang?
Jika kau tidak mengetahuinya
Kau akan sesat jalan
18
Pedoman hidup sejati
Ialah mengenal hakikat diri
Tidak boleh melalaikan shalat yang khusyuk
Oleh karena itu ketahuilah
Tempat datangnya yang menyembah
Dan Yang Disembah
Pribadi besar mencari hakikat diri
Dengan tujuan ingin mengetahui
Makna sejati hidup
Dan arti keberadaannya di dunia
19
Kenalilah hidup sebenar-benar hidup
Tubuh kita sangkar tertutup
Ketahuilah burung yang ada di dalamnya
Jika kau tidak mengenalnya
Akan malang jadinya kau
Dan seluruh amal perbuatanmu, Wujil
Sia-sia semata
Jika kau tak mengenalnya.
Karena itu sucikan dirimu
Tinggalah dalam kesunyian
Hindari kekeruhan hiruk pikuk dunia
Pertanyaan-pertanyaan itu tidak diberi jawaban langsung, melainkan dengan isyarat-isyarat yang
mendorong Wujil melakukan perenungan lebih jauh dan dalam. Sunan Bonang kemudian berkata dan
perkatannya semakin memasuki inti persoalan:
20
Keindahan, jangan di tempat jauh dicari
Ia ada dalam dirimu sendiri
Seluruh isi jagat ada di sana
Agar dunia ini terang bagi pandangmu
Jadikan sepenuh dirimu Cinta
Tumpukan pikiran, heningkan cipta
Jangan bercerai siang malam
Yang kaulihat di sekelilingmu
Pahami, adalah akibat dari laku jiwamu!
21
Dunia ini Wujil, luluh lantak
Disebabkan oleh keinginanmu
Kini, ketahui yang tidak mudah rusak
Inilah yang dikandung pengetahuan sempurna
Di dalamnya kaujumpai Yang Abadi
Bentangan pengetahuan ini luas
Dari lubuk bumi hingga singgasana-Nya
Orang yang mengenal hakikat
Dapat memuja dengan benar
Selain yang mendapat petunjuk ilahi
Sangat sedikit orang mengetahui rahasia ini
22
Karena itu, Wujil, kenali dirimu
Kenali dirimu yang sejati
Ingkari benda
Agar nafsumu tidur terlena
Dia yang mengenal diri
Nafsunya akan terkendali
Dan terlindung dari jalan
Sesat dan kebingungan
Kenal diri, tahu kelemahan diri
Selalu awas terhadap tindak tanduknya
23
Bila kau mengenal dirimu
Kau akan mengenal Tuhanmu
Orang yang mengenal Tuhan
Bicara tidak sembarangan
Ada yang menempuh jalan panjang
Dan penuh kesukaran
Sebelum akhirnya menemukan dirinya
Dia tak pernah membiarkan dirinya
Sesat di jalan kesalahan
Jalan yang ditempuhnya benar
24
Wujud Tuhan itu nyata
Mahasuci, lihat dalam keheningan
Ia yang mengaku tahu jalan
Sering tindakannya menyimpang
Syariat agama tidak dijalankan
Kesalehan dicampakkan ke samping
Padahal orang yang mengenal Tuhan
Dapat mengendalikan hawa nafsu
Siang malam penglihatannya terang
Tidak disesatkan oleh khayalan
Selanjutnya dikatakan bahwa diam yang hakiki ialah ketika seseorang melaksanakan salat tahajud,
yaitu salat sunnah tengah malam setelah tidur. Salat semacam ini merupakan cara terbaik mengatasi
berbagai persoalan hidup. Inti salat ialah bertemu muka dengan Tuhan tanpa perantara. Jika seseorang
memuja tidak mengetahui benar-benar siapa yang dipuja, maka yang dilakukannya tidak bermanfaat.
Salat yang sejati mestilah dilakukan dengan makrifat. Ketika melakukan salat, semestinya seseorang
mampu membayangkan kehadiran dirinya bersama kehadiran Tuhan. Keadaan dirinya lebih jauh harus
dibayangkan sebagai ’tidak ada’, sebab yang sebenar-benar Ada hanyalah Tuhan, Wujud Mutlak dan
Tunggal yang ilmu-Nya meliputi segala sesuatu. Sedangkan adanya makhluq-makhluq, termasuk
manusia, sangat tergantung kepada Adanya Tuhan.
35
Diam dalam tafakur, Wujil
Adalah jalan utama (mengenal Tuhan)
Memuja tanpa selang waktu
Yang mengerjakan sempurna (ibadahnya)
Disebabkan oleh makrifat
Tubuhnya akan bersih dari noda
Pelajari kaedah pencerahan kalbu ini
Dari orang arif yang tahu
Agar kau mencapai hakikat
Yang merupakan sumber hayat
36
Wujil, jangan memuja
Jika tidak menyaksikan Yang Dipuja
Juga sia-sia orang memuja
Tanpa kehadiran Yang Dipuja
Walau Tuhan tidak di depan kita
Pandanglah adamu
Sebagai isyarat ada-Nya
Inilah makna diam dalam tafakur
Asal mula segala kejadian menjadi nyata
Setelah itu Sunan Bonang lebih jauh berbicara tentang hakikat murni ‘kemauan’. Kemauan yang sejati
tidak boleh dibatasi pada apa yang dipikirkan. Memikirkan atau menyebut sesuatu memang merupakan
kemauan murni. Tetapi kemauan murni lebih luas dari itu.
38
Renungi pula, Wujil!
Hakikat sejati kemauan
Hakikatnya tidak dibatasi pikiran kita
Berpikir dan menyebut suatu perkara
Bukan kemauan murni
Kemauan itu sukar dipahami
Seperti halnya memuja Tuhan
Ia tidak terpaut pada hal-hal yang tampak
Pun tidak membuatmu membenci orang
Yang dihukum dan dizalimi
Serta orang yang berselisih paham
39
Orang berilmu
Beribadah tanpa kenal waktu
Seluruh gerak hidupnya
Ialah beribadah
Diamnya, bicaranya
Dan tindak tanduknya
Malahan getaran bulu roma tubuhnya
Seluruh anggota badannya
Digerakkan untuk beribadah
Inilah kemauan murni
40
Kemauan itu, Wujil!
Lebih penting dari pikiran
Untuk diungkapkan dalam kata
Dan suara sangatlah sukar
Kemauan bertindak
Merupakan ungkapan pikiran
Niat melakukan perbuatan
Adalah ungkapan perbuatan
Melakukan shalat atau berbuat kejahatan
Keduanya buah dari kemauan
Di sini Sunan Bonang agaknya berpendapat bahwa kemauan atau kehendak (iradat) , yaitu niat dan
iktiqad, mestilah diperbaiki sebelum seseorang melaksanakan sesuatu perbuatan yang baik. Perbuatan
yang baik datang dari kemauan baik, dan sebaliknya kehendak yang tidak baik melahirkan tindakan
yang tidak baik pula. Apa yang dikatakan oleh Sunan Bonang dapat dirujuk pada pernyataan seorang
penyair Melayu (anonim) dalam Syair Perahu, seperti berikut:
Inilah gerangan suatu madah
Mengarangkan syair terlalu indah
Membetulkan jalan tempat berpindah
Di sanalah iktiqad diperbaiki sudah
Wahai muda kenali dirimu
Ialah perahu tamsil tubuhmu
Tiada berapa lama hidupmu
Ke akhirat jua kekal diammu
Hai muda arif budiman
Hasilkan kemudi dengan pedoman
Alat perahumu jua kerjakan
Itulah jalan membetuli insan

La ilaha illa Allah tempat mengintai
Medan yang qadim tempat berdamai
Wujud Allah terlalu bitai
Siang malam jangan bercerai
(Doorenbos 1933:33)
Tamsil Islam universal lain yang menonjol dalam Suluk Wujil ialah cermin beserta pasangannya gambar
atau bayang-bayang yang terpantul dalam cermin, serta Mekkah. Para sufi biasa menggunakan tamsil
cermin, misalnya Ibn `Arabi. Sufi abad ke-12 M dari Andalusia ini menggunakannya untuk menerangkan
falsafahnya bahwa Yang Satu meletakkan cermin dalam hati manusia agar Dia dapat melihat sebagian
dari gambaran Diri-Nya (kekayaan ilmu-Nya atau perbendaharaan-Nya yang tersembunyi) dalam
ciptaan-Nya yang banyak dan aneka ragam. Yang banyak di alam kejadian (alam al-khalq) merupakan
gambar atau bayangan dari Pelaku Tunggal yang berada di tempat rahasia dekat cermin (Abu al-Ala
Affifi 1964:15-7).
Pada pupuh atau bait ke-74 diceritakan Sunan Bonang menyuruh muridnya Ken Satpada mengambil
cermin dan menaruhnya di pohon Wungu. Kemudian dia dan Wujil disuruh berdiri di muka cermin.
Mereka menyaksikan dua bayangan dalam cermin. Kemudian Sunan Bonang menyuruh salah seorang
dari mereka menjauh dari cermin, sehingga yang tampak hanya bayangan satu orang. Maka Sunan
Bonang bertanya: ”Bagaimana bayang-bayang datang/Dan kemana dia menghilang?” (bait 81). Melalui
contoh datang dan perginya bayangan dari cermin, Wujil kini tahu bahwa ”Dalam Ada terkandung
tiada, dan dalam tiada terkandung ada” Sang Guru membenarkan jawaban sang murid. Lantas Sunan
Bonang menerangkan aspek nafi (penidakan) dan isbat (pengiyaan) yang terkandung dalam kalimah La
ilaha illa Allah (Tiada tuhan selain Allah). Yang dinafikan ialah selain dari Allah, dan yang diisbatkan
sebagai satu-satunya Tuhan ialah Allah.
Pada bait atau pupuh 91-95 diceritakan perjalanan seorang ahli tasawuf ke pusat renungan yang
bernama Mekkah, yang di dalamnya terdapat rumah Tuhan atau Baitullah. Mekkah yang dimaksud di
sini bukan semata Mekkah di bumi, tetapi Mekkah spiritual yang bersifat metafisik. Ka’bah yang ada di
dalamnya merupakan tamsil bagi kalbu orang yang imannya telah kokoh. Abdullah Anshari, sufi abad
ke-12 M, misalnya berpandapat bahwa Ka’bah yang di Mekkah, Hejaz, dibangun oleh Nabi Ibrahim a.s.
Sedangkan Ka’bah dalam kalbu insan dibangun oleh Tuhan sebagai pusat perenungan terhadap keesaan
Wujud-Nya (Rizvi 1978:78).
Sufi Persia lain abad ke-11 M, Ali Utsman al-Hujwiri dalam kitabnya menyatakan bahwa rumah Tuhan
itu ada dalam pusat perenungan orang yang telah mencapai musyahadah. Kalau seluruh alam semesta
bukan tempat pertemuan manusia dengan Tuhan, dan juga bukan tempat manusia menikmati hiburan
berupa kedekatan dengan Tuhan, maka tidak ada orang yang mengetahui makna cinta ilahi. Tetapi
apabila orang memiliki penglihatan batin, maka seluruh alam semesta ini akan merupakan tempat
sucinya atau rumah Tuhan. Langkah sufi sejati sebenarnya merupakan tamsil perjalanan menuju
Mekkah. Tujuan perjalanan itu bukan tempat suci itu sendiri, tetapi perenungan keesaan Tuhan
(musyahadah), dan perenungan dilakukan disebabkan kerinduan yang mendalam dan luluhnya diri
seseorang (fana’) dalam cinta tanpa akhir (Kasyful Mahjub 293-5).
Berdasarkan uraian tersebut, dapatlah dipahami apabila dalam Suluk Wujil dikatakan, “Tidak ada orang
tahu di mana Mekkah yang hakiki itu berada, sekalipun mereka melakukan perjalanan sejak muda
sehingga tua renta. Mereka tidak akan sampai ke tujuan. Kecuali apabila seseorang mempunyai bekal
ilmu yang cukup, ia akan dapat sampai di Mekkah dan malahan sesudah itu akan menjadi seorang wali.
Tetapi ilmu semacam itu diliputi rahasia dan sukar diperoleh. Bekalnya bukan uang dan kekayaan,
tetapi keberanian dan kesanggupan untuk mati dan berjihad lahir batin, serta memiliki kehalusan budi
pekerti dan menjauhi kesenangan duniawi.
Di dalam masjid di Mekkah itu terdapat singgasana Tuhan, yang berada di tengah-tengah. Singgasana
ini menggantung di atas tanpa tali. Dan jika orang melihatnya dari bawah, maka tampak bumi di
atasnya. Jika orang melihat ke barat, ia akan melihat timur, dan jika melihat timur ia akan
menyaksikan barat. Di situ pemandangan terbalik. Jika orang melihat ke selatan yang tampak ialah
utara, sangat indah pemandangannya. Dan jika ia melihat ke utara akan tampak selatan, gemerlapan
seperti ekor burung merak. Apabila satu orang shalat di sana, maka hanya ada ruangan untuk satu
orang saja. Jika ada dua atau tiga orang shalat, maka ruangan itu juga akan cukup untuk dua tiga
orang. Apabila ada 10.000 orang melakukan shalat di sana, maka Ka`bah dapat menampung mereka
semua. Bahkan seandainya seluruh dunia dimasukkan ke dalamnya, seluruh dunia pun akan tertampung
juga”.
Wujil menjadi tenang setelah mendengarkan pitutur gurunya. Akan tetapi dia tetap merasa asing
dengan lingkungan kehidupan keagamaan yang dijumpainya di Bonang.
Berbeda dengan di Majapahit dahulu, untuk mencapai rahasia Yang Satu orang harus melakukan tapa
brata dan yoga, pergi jauh ke hutan, menyepi dan melakukan kekerasan ragawi. Di Pesantren Bonang
kehidupan sehari-hari berjalan seperti biasa. Shalat fardu lima waktu dijalankan dengan tertib. Majlismajlis
untuk membicarakan pengalaman kerohanian dan penghayatan keagamaan senantiasa diadakan.
Di sela-sela itu para santri mengerjakan pekerjaan sehari-hari, di samping mengadakan pentas-pentas
seni dan pembacaan tembang Sunan Bonang menjelaskan bahwa seperti ibadat dalam agama Hindu
yang dilakukan secara lahir dan batin, demikian juga di dalam Islam. Malahan di dalam agama Islam,
ibadat ini diatur dengan jelas di dalam syariat. Bedanya di dalam Islam kewajiban-kewajiban agama
tidak hanya dilakukan oleh ulama dan pendeta, tetapi oleh seluruh pemeluk agama Islam. Sunan
bonang mengajarkan tentang egaliterianissme dalam Islam. Sunan bonang mengajarkan tentang
egaliterisme di dalam Islam. Jika ibadat zahir dilakukan dengan mengerjakan rukun Islam yang lima,
ibadat batin ditempuh melalui tariqat atau ilmu suluk, dengan memperbanyak ibadah seperti
sembahyang sunnah, tahajud, taubat nasuha, wirid dan zikir. Zikir berarti mengingat Tuhan tanpa
henti. Di antara cara berzikir itu ialah dengan mengucapkan kalimah La ilaha illa Allah. Di dalamnya
terkandung rahasia keesaan Tuhan, alam semesta dan kejadian manusia.
Berbeda dengan dalam agama Hindu, di dalam agama Islam disiplin kerohanian dan ibadah dapat
dilakukan di tengah keramaian, sebab perkara yang bersifat transendental tidak terpisah dari perkara
yang bersifat kemasyarakatan. Di dalam agama Islam tidak ada garis pemisah yang tegas antara dimensi
transendental dan dimensi sosial. Dikatakan pula bahwa manusia terdiri daripada tiga hal yang
pemiliknya berbeda. Jasmaninya milik ulat dan cacing, rohnya milik Tuhan dan milik manusia itu
sendiri hanyalah amal pebuatannya di dunia.
Akhir Kalam: Falsafah Wayang
Tamsil paling menonjol yang dekat dengan budaya lokal ialah wayang dan lakon perang Bala Kurawa
dan Pandawa yang sering dipertunjukkan dalam pagelaran wayang.. Penyair-penyair sufi Arab dan
Persia seperti Fariduddin `Attar dan Ibn Fariedh menggunakan tamsil wayang untuk menggambarkan
persatuan mistis yang dicapai seorang ahli makrifat dengan Tuhannya. Pada abad ke-11 dan 12 M di
Persia pertunjukan wayang Cina memang sangat populer (Abdul Hadi W.M. 1999:153). Makna simbolik
wayang dan layar tempat wayang dipertunjukkan, berkaitan pula dengan bayang-bayang dan cermin.
Dengan menggunakan tamsil wayang dalam suluknya Sunan Bonang seakan-akan ingin mengatakan
kepada pembacanya bahwa apa yang dilakukan melalui karyanya merupakan kelanjutan dari tradisi
sastra sebelumnya, meskipun terdapat pembaharuan di dalamnya.
Ketika ditanya oleh Sunan Kalijaga mengenai falsafah yang dikandung pertunjukan wayang dan
hubungannya dengan ajaran tasawuf, Sunang Bonang menunjukkan kisah Baratayudha (Perang Barata),
perang besar antara Kurawa dan Pandawa. Di dalam pertunjukkan wayang kulit Kurawa diletakkan di
sebelah kiri, mewakili golongan kiri. Sedangkan Pandawa di sebelah kanan layar mewakili golongan
kanan. Kurawa mewakili nafi dan Pandawa mewakili isbat. Perang Nafi Isbat juga berlangsung dalam
jiwa manusia dan disebut jihad besar. Jihad besar dilakukan untuk mencapai pencerahan dan
pembebasan dari kungkungan dunia material.
Sunan Bonang berkata kepada Wujil: “Ketahuilah Wujil, bahwa pemahaman yang sempruna dapat
dikiaskan dengan makna hakiki pertunjukan Wayang. Manusia sempurna menggunakan ini untuk
memahami dan mengenal Yang. Dalang dan wayang ditempatkan sebagai lambang dari tajalli
(pengejawantahan ilmu) Yang Maha Agung di alam kepelbagaian. Inilah maknanya: Layar atau kelir
merupakan alam inderawi. Wayang di sebelah kanan dan kiri merupakan makhluq ilahi. Batang pokok
pisang tempat wayang diletakkan ialah tanah tempat berpijak. Blencong atau lampu minyak adalah
nyala hidup. Gamelan memberi irama dan keselarasan bagi segala kejadian. Ciptaan Tuhan tumbuh tak
tehitung. Bagi mereka yang tidak mendapat tuntunan ilahi ciptaan yang banyak itu akan merupakan
tabir yang menghalangi penglihatannya. Mereka akan berhenti pada wujud zahir. Pandangannya kabur
dan kacau. Dia hilang di dalam ketiadaan, karena tidak melihat hakekat di sebalik ciptaan itu.”
Selanjutnya kata Sunan Bonang “Suratan segala ciptaan ini ialah menumbuhkan rasa cinta dan kasih. Ini
merupakan suratan hati, perwujudan kuasa-kehendak yang mirip dengan-Nya, walaupun kita pergi ke
Timur-Barat, Utara-Selatan atau atas ke bawah. Demikianlah kehidupan di dunia ini merupakan
kesatuan Jagad besar dan Jagad kecil. Seperti wayang sajalah wujud kita ini. Segala tindakan, tingkah
laku dan gerak gerik kita sebenarnya secara diam-diam digerakkan oleh Sang Dalang.”
Mendengar itu Wujil kini paham. Dia menyadari bahwa di dalam dasar-dasarnya yang hakiki terdapat
persamaan antara mistisisme Hindu dan tasawuf Islam. Di dalam Kakawin Arjunawiwaha karya Mpu
Kanwa, penyair Jawa Kuno abad ke-12 dari Kediri, falsafah wayang juga dikemukakan. Mpu Kanwa
menuturkan bahwa ketika dunia mengalami kekacauan akibat perbuatan raksasa Niwatakawaca, dewadewa
bersidang dan memilih Arjuna sebagai kesatria yang pantas dijadikan pahlawan menentang
Niwatakawaca. Batara Guru turun ke dunia menjelma seorang pendeta tua dan menemui Arujuna yang
baru saja selesai menjalankan tapabrata di Gunung Indrakila sehingga mencapai kelepasan (moksa)
Di dalam wejangannya Batara guru berkata kepada Arjuna: “Sesunguhnya jikalau direnungkan baikbaik,
hidup di dunia ini seperti permainan belaka. Ia serupa sandiwara. Orang mencari kesenangan,
kebahagiaan, namun hanya kesengsaraan yang didapat. Memang sangat sukar memanfaatkan lima indra
kita. Manusia senantiasa tergoda oleh kegiatan indranya dan akibatnya susah. Manusia tidak akan
mengenal diri peribadinya jika buta oleh kekuasaan, hawa nafsu dan kesenangan sensual dan duniawi.
Seperti orang melihat pertunjukan wayang ia ditimpa perasaan sedih dan menangis tersedu-sedu. Itulah
sikap orang yang tidak dewasa jiwanya. Dia tahu benar bahwa wayang hanya merupakan sehelai kulit
yang diukir, yang digerak-gerakkan oleh dalang dan dibuat seperti berbicara. Inilah kias seseorang yang
terikat pada kesenangan indrawi. Betapa besar kebodohannya.” (Abdullah Ciptoprawiro 1984)
Selanjutnya Batara Guru berkata, “Demikianlah Arjuna! Sebenarnya dunia ini adalah maya. Semua ini
sebenarnya dunia peri dan mambang, dunia bayang-bayang! Kau harus mampu melihat Yang Satu di
balik alam maya yang dipenuhi bayang-bayang ini.” Arjuna mengerti. Kemudian dia bersujud di
hadapan Yang Satu, menyerahkan diri, diam dalam hening. Baru setelah mengheningkan cipta atau
tafakur dia merasakan kehadiran Yang Tunggal dalam batinnya. . Kata Arjuna:
Sang Batara memancar ke dalam segala sesuatu
Menjadi hakekat seluruh Ada, sukar dijangkau
Bersemayam di dalam Ada dan Tiada,
Di dalam yang besar dan yang kecil, yang baik dan yang jahat
Penyebab alam semesta, pencipta dan pemusnah
Sang Sangkan Paran (Asal-usul) jagad raya
Bersifat Ada dan Tiada, zakhir dan batin
(Ibid)
Demikianlah, dengan menggunakan tamsil wayang, Sunan Bonang berhasil meyakinkan Wujil bahwa
peralihan dari zaman Hindu ke zaman Islam bukanlah suatu lompatan mendadak bagi kehidupan orang
Jawa. Setidak-tidaknya secara spiritual terdapat kesinambungan yang menjamin tidak terjadi
kegoncangan. Memang secara lahir kedua agama tersebut menunjukkan perbedaan besar, tetapi
seorang arif harus tembus pandang dan mampu melihat hakikat sehingga penglihatan kalbunya
tercerahkan dan jiwanya terbebaskan dari kungkungan dunia benda dan bentuk-bentuk. Itulah inti
ajaran Sunan Bonang dalam Suluk Wujil.
Daftar Bacaan
Abdullah Ciptoprawiro (1984). “Filsafat Jawa Dalam Dialog”, ceramah di TIM Jakarta, 11 Juli.
Abdul Hadi W. M. (1981). “Beberapa Informasi Tentang Sastra Madura”. Sronen No.2, September
1981:11-15.
——————— (1999). Kembali ke Akar, Kembali ke Sumber. Jakarta: Pustaka Firdaus.
——————— (2000). Islam: Cakrawala Estetik dan Budaya. Jakarta: Pustaka Firdaus.
——————— (2002). Tasawuf Yang Tertindas: Kajian Hermeneutik Terhadap Karya-karya Hamzah Fansuri
Jakarta: Yayasan Paramadina.
Affifi, Abu’l `Ala (1964). The Mystical Philosophy of Muhyi al-Din Ibn al-`Arabi. Cambridge: Cambridge
University Press.
Agus Sunyoto (1995). Sunan Ampel. Surabaya: LPLI Sunan Ampel.
Al-Attas, S. Muhammad Naquib (1971).Concluding Postscript to the Origin of the Malay
Sha`ir. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Ali Ahmad dan Siti Hajar Che Man (1996). Sastra Melayu Warisan Islam. Kuala Lumpur:
Dewan Bahasa dan Pustaka.
de Graff, H. J & Pigeaud, T.H.. (1985). Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa: Peralihan dari
Majapahit ke Demak. Jakarta: Grafitti Press dan KITLV.
Drewes, G. W. J. (1968) “Javanese Poems dealing with or Attiributed to the Saint of Bonang”, BKI deel
124.
————– (1978), The Admonition of Seh Bari, The Hague: Martinus Nijhoff.
al-Hujwiri, Ali Utsman (1990). Kasyful Mahjub:Risalah Tasawuf Persia Tertua.
Terjemahan Suwardjo Muthary dan Abdul Hadi W. M. Bandung: Mizan.
Hussein Djajadiningrat (1983). Tinjauan Kritis Tentang Sejarah Banten. Jakarta:
Jambatan – KITLV..
Kalamwadi, K. (1980). Serat Darmogandul. Semarang: Dahara Press.
Kramer H (1921). En Javaansche Primbon uit de Zestiende eeuw. Disertasi. Leiden.
Mir Valiuddin (1980). Contemplative Discipline in Sufism. London – The Hague: East-
West Publications.
Pegeaud, T. H. (1967) Literature of Java, Vol. I. Leiden: Martinus Nijohoff
Purbatjaraka, R. Ng. (1938) “Soeloek Woedjil: De Geheime Leer van Soenan Bonang”,
Djawa 1938, No. 3-5.
———————– (1958). Kapustakan Jawi. Jakarta: Jambatan.
Risvi, S. A. (1978). A History of Sufism in India. Delhi: Munshiram Manoharlal Publishers Pvt. Ltd.
Schimmel, Annemarie (1981). Mystical Dimensions of Islam. Chapel Hill: The University of North
Caroline Press.
Schrieke, B J. O (1911). Het Boek van Bonang. Disertasi. Leiden
Smith, Margareth (1972). Reading from the Mystics of Islam. London: Luzac & Company Ltd.
Suyadi Pratomo (1985). Ajaran Rahasia Sunan Bonang. Jakarta: Balai Pustaka.
al-Taftazani, Abu al-Wafa (1985). Sufi dari Zaman ke Zaman. Terjemahan A. Rofi’ Utsmani. Bandung:
Pustaka.
Zoetmulder, P. J. (1983). Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Jakarta: Djambatan – KITLV.
Sumber : http://suluk-batak.blogspot.com/2008/03/sekilas-suluk-jawa.html