Showing posts with label Jenderal. Show all posts
Showing posts with label Jenderal. Show all posts

Friday 14 June 2013

ULASAN MENGENAI MAJUNYA JENDERAL (PURN.) TNI DJOKO SANTOSO UNTUK RI 1 (JILID II)

ULASAN MENGENAI MAJUNYA JENDERAL (PURN.) TNI   DJOKO SANTOSO 
UNTUK RI 1 (JILID II) : JADILAH PELARI ESTAFET YANG BAIK





Rohman, Arif. (2013). Ulasan mengenai majunya Jenderal (Purn.) TNI Djoko Santoso untuk RI 1 (Jilid II) : Jadilah Pelari Estafet yang baik. Kabar Jember, 6(1).


Tak terasa sudah hampir satu bulan sejak Pak Djoko Santoso menyatakan kesiapannya untuk maju dalam pemilihan presiden (pilpres) Republik Indonesia untuk periode 2014-2019. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh beliau pada pertengahaan bulan Mei 2013, "Jika Allah mengizinkan dan rakyat mendukung, Insya Allah saya siap melanjutkan kepemimpinan di negara ini". 

Sejak saat itu banyak pendapat yang beragam terkait dengan pernyataan kesiapan pencalonan beliau, dikarenakan beliau tidak memiliki kendaraan politik yang dalam hal ini adalah partai politik pengusung. Tulisan ini berusaha memahami posisi beliau dalam percaturan politik di Indonesia dan peluang-peluang yang ada untuk diusung oleh partai politik di Indonesia dari kacamata saya pribadi.

Hal pertama yang saya ingin bahas adalah popularitas dan elektabilitas beliau dalam konteks masyarakat Indonesia. Perlu diakui bahwa selama ini beliau dalam kariernya sebagai tentara memang jarang diexpose/terexpose. Ini berlanjut sampai beliau memegang tampuk pimpinan dari Pangdam Jaya, Wakasad, Kasad, dan terakhir Panglima TNI. Informasi yang saya terima langsung dari beliau, beberapa waktu lalu sebenarnya sudah terjawab. 

Kata beliau, saya tidak perlu banyak tampil di media. Tugas saya sebagai Panglima TNI adalah mengamankan territori Indonesia. Saya hanya ingin bekerja dengan baik sebagai tentara. Menjaga keamanan negeri dan kedaulatan negara. Sebagai pimpinan TNI ada saatnya kita bicara dan ada saatnya tidak. Tapi yang pasti tugas tentara itu ya di lapangan. Kata-kata beliau ini setelah saya check dengan beberapa tentara yang dekat dengan beliau, memang benar adanya. Bahkan tidak sedikit dari teman-teman dan anak buahnya, yang menyebut beliau sebagai benar-benar jenderal lapangan atau ada yang menyebutnya sebagai jenderal yang sangat perfeksionis. 

Menurut pendapat beliau, seseorang dikatakan pemimpin jika punya anak buah dan anak buahnya tersebut mau dan mampu menjalankan tugasnya sesuai dengan posisinya masing-masing. Jadi kalau ada orang yang mengaku pemimpin tapi anak buahnya atau orang-orang dibawahnya tidak mengakuinya, tidak menuruti perintahnya sebagaimana diatur dalam sebuah organisasi, itu berarti dia bukan seorang pemimpin. Menurutnya, seorang pemimpin harus bisa menjadi contoh. 

Menjadi teladan bagi orang-orang di sekelilingnya. Seorang pemimpin yang hebat adalah mereka yang diberi tugas yang sesulit apapun tetapi bisa diselesaikan. Pemimpin harus punya jiwa 'problem solver'. Menurut Pak Djoko Santoso, demokrasi di Indonesia sudah berjalan dan tugas kita semua untuk mengawal dan mendukung ke arah yang lebih baik. Kita tidak bisa mundur ke belakang, jika ada yang salah atau tidak benar, sistemnya lah yang harus dibenahi bersama agar bisa lebih baik lagi. Menurutnya, demokrasi di Indonesia bisa menjadi tolok ukur demokrasi di Asia khususnya di Asia Tenggara. Bila Indonesia berhasil dalam masa transisi ini, dan kemudian menjadi negara yang aman, maju dan sejahtera, maka negara-negara tetangga juga akan mendapatkan manfaatnya. 

Tetapi sebaliknya kalau negara ini rusuh dan kondisi tidak stabil, maka negara-negara tetangga juga akan merasa terancam. Dan itu tentu saja tidak baik bagi hubungan pertemanan dan politik antar bangsa. Menurut beliau, sekarang jamannya sudah berubah tidak seperti dulu. Sekarang ini definisi perang sudah berubah. Kalau dulu perang dalam artian perang senjata atau fisik dengan menggunakan peralatan tempur, perang sekarang ini adalah perang kebudayaan dan prestasi. Sebagai contohnya, negara dengan prestasi olah raga yang terbaik di dunia (salah satu ukurannya adalah olimpiade), pada dasarnya adalah negara yang menang perang. Hal ini terbukti dengan dominasi Amerika dan China dalam ajang kejuaraan tersebut. 

Tidak dapat dipungkiri, mereka sejatinya adalah negara pemenang perang. Karena itulah sistem pembinaan olah raga harus mulai kita tata kembali. Pencarian bakat harus dimulai sejak dini. Sejak anak masih di pendidikan dasar, sehingga mereka tahu bakatnya apa dan bisa terus dikembangkan sampai perguruan tinggi, tingkat nasional, dan akhirnya mewakili Indonesia dalam event-event internasional. Artinya, pengkaderan atlet harus dimulai sejak dini dan didukung sistem yang baik, dan bukan sistem yang sifatnya sporadis atau asal comot atau asla ketemu saja. 

Pada point ini, kesejahteraan para atlet di Indonesia juga harus diperhatikan karena mereka-mereka ini pada dasarnya adalah pahlawan-pahlawan bangsa yang membawa harum nama bangsa Indonesia. Demikian juga halnya dengan kesejahteraan masyarakat. Negara yang mampu memberikan kesejahteraan pada masyarakatnya adalah negara-negara yang menang perang dalam arti yang sesungguhnya. Karena itulah keadilan dan kesejahteraan untuk masyarakat harus diutamakan. 

Para pemimpin di negeri ini sudah saatnya kembali kepada arti/makna dasar dari istilah pejabat negara. Pejabat negara yaitu mereka yang mau mengabdikan diri pada negara. Kata kuncinya adalah mengabdi pada negara. Artinya, mereka-mereka ini, para pejabat sudah tidak lagi pada tahap mementingkan diri sendiri, tetapi lebih mengedepankan/mementingkan kepentingan/kesejahteraan masyarakat yang dipimpinnyanya. Menjadi pejabat negara adalah pengabdian. 

Jadi harus siap miskin. Harus siap capek. Harus siap tersita waktunya untuk keluarga. Karena itu diperlukan dukungan penuh dari seluruh anggota keluarga. Cara dan gaya hidup para pejabat di awal kemerdekaan harus ditiru dan dihidupkan kembali. Memberikan teladan dan mengajari masyarakat untuk hidup sederhana. Kekayaan dan harta pada dasarnya adalah sesuatu yang sifatnya semu, namun rasa bahagia melihat negara menjadi aman, sejahtera dan adil secara sosial yang nantinya akan diwariskan pada generasi selanjutnya, anak-anak dan cucu-cucu kita, itulah makna kebahagiaan yang sejati. Tongkat estafet ini harus diserahkan pada pelari berikutnya, dan pelari sekarang, saat ini, yaitu kita semua, harus bisa berlari dengan baik. Semakin kita berlari dengan baik, dengan cepat, dengan penuh semangat, pelari selanjutnya akan lebih mudah untuk meneruskan perjuangan ini.

Jadi, dari apa yang diungkapkan beliau ini, saya bisa berkesimpulan bahwa beliau punya maksud yang baik. Beliau punya visi dan misi yang jelas untuk mengabdi dan membangun negeri ini. Mengingat track record/jejak rekamnya yang cukup baik, diantaranya berhasil memadamkan konflik/bencana sosial di Ambon Maluku setelah gonta-ganti panglima sampai 3 kali dan gagal, prestasinyanya dalam menangani para pengungsi korban bencana alam di Aceh dan Jogja, membuktikan bahwa beliau bisa memimpin dengan baik dan sekaligus dapat menyelesaikan tugas yang diamanatkan kepada beliau dengan baik pula. Jadi, pertanyaannya kemudian, apakah kita butuh profil individu yang sering tampil di media massa atau mereka yang dengan legowo tidak banyak tampil di media massa tapi menghasilkan pekerjaan/prestasi yang lebih baik? 

Saya tidak menafikkan bahwa salah satu faktor untuk bisa memenangkan pemilu presiden adalah dikenal luas oleh masyarakat (kepopuleran). Tapi bukankah masih ada waktu sekitar 1 tahun ini untuk mengenalkan Pak Djoko Santoso kepada masyarakat? Bukankah intan meskipun terbenam dalam lumpur yang hitam sekalipun, namun dia tetap intan? Bukankah intan itu akan senantiasa bersinar dan orang akan berusaha sekuat tenaga untuk meraihnya. Bukankah sesuatu yang memiliki kualitas akan selalu dicari meskipun sulit atau jauh tempatnya? 

Bukankah para pecinta ayam pelung akan rela menempuh perjalanan jauh masuk keluar desa-desa di Cianjur untuk melihat dan membeli ayam pelung Cianjur? Bukankah orang harus rela berjalan jauh ke desa-desa di balik gunung di Jawa Timur, hanya untuk melihat dan membeli ayam cemani (ayam yang seluruh badan, bulu, paruh, kaki, kepala dan darahnya hitam - bisa buat obat/penyembuhan penyakit) yang sangat langka? Jika memang Pak Djoko Santoso memang secara pribadi dan profil nantinya lebih baik dari jenderal-jenderal yang ada yang mencalonkan diri juga, bukankah nanti masyarakat yang akan menentukan? 

Saya percaya dalam beberapa waktu ini, jika komunikasi politik beliau berjalan dengan baik (hal ini tentu saja harus ditunjang/didukung oleh tim sukses yang ahli dan profesional), masyarakat akan lebih mengenal beliau, masyarakat akan lebih dekat dengan beliau, dan mungkin saja akan menjadi pendukung beliau dalam pemilu presiden 2014. Mungkin masyarakat sudah jenuh dengan profil jenderal-jenderal yang ada saat ini yang merupakan pemain lama. Kehadiran pak Djoko Santoso adalah sesuatu yang dirasakan fresh/segar yang diharapkan bisa mengisi ruang yang kosong/kerinduan akan pemimpin yang jujur dan adil selama ini kita impi-impikan? Sebagai konsekuensinya, elektabilitas beliau nantinya akan naik, dan partai-partai politik pun kemudian tidak akan segan-segan lagi untuk mengusung beliau sebagai capres 2014. 

Hal kedua yang menarik bagi saya adalah membahas peluang beliau untuk diusung partai-partai politik. Menurut saya, nilai jual beliau ada pada dirinya yang seorang nasionalis. Sesuatu yang ditawarkan pada sosok/pribadi beliau adalah cinta tanah air. Ya.. Beliau adalah seorang nasionalis. Tidak terkotak-kotak pada kelompok-kelompok yang ada. Meskipun beliau adalah seorang nasionalis beliau adalah orang yang taat beribadah. Tidak pernah meninggalkan sholat lima waktu. Pernah saya bertamu ke tempat beliau, pada waktu masuk waktu sholat, beliau langsung dengan santun memotong pembicaraan, dan meminta ijin untuk sholat Dzhuhur. Luar biasa... 

Mungkin tidak banyak masyarakat yang tahu. Inilah yang menjadi alasan kenapa saya menulis artikel sederhana ini. Agar beliau dikenal… Agar masyarakat tahu dengan jelas dan nantinya mempertimbangkan dengan/secara obyektif calon mana yang sesuai dengan hati kecil mereka dan akan mereka pilih. Beliau adalah sosok yang ngemong. Beliau ingin orang-orang Indonesia bisa sekolah tinggi dan tidak kalah dengan bangsa lain. Sekolah tinggi itu investasi. Generasi-generasi ke depan harus lebih cerdas dan lebih pintar. Jika kelak negara ini dipimpin oleh generasi selanjutnya yang pintar dan berakhlak mulia maka cita-cita luhur dalam sejarah "gemah ripah loh jinawi' akan benar-benar terwujud. 

Sebagai seorang pemimpin, beliau sangat menghargai para pemimpin-pemimpin sebelumnya. Ada hal-hal positif yang harus dicontoh/ditiru dan ada hal negatif yang perlu ditinggalkan. Sebagai contohnya, perlu diakui bahwa mantan presiden Soeharto adalah seorang pemberani. Pada waktu di camp ketika semua tentara tidur, Soeharto malam-malam keluar sendirian, berjalan sendirian hanya untuk mengetahui situasi di luaran. Begitu beraninya! Pagi-pagi baru pulang dan ketika teman-temannya bertanya, dari mana? Soharto hanya menjawab sederhana, jalan-jalan saja… Cari angin... Keberanian Soeharto ini lah yang patut ditiru. Ketika lawatan ke Bosnia??? Pesawat presiden Soeharto tidak boleh turun karena tidak dijamin keselamatannya oleh pasukan PBB? Dia bilang turun! Dan pesawatnya pun turun... Dan tidak terjadi apa-apa! Ketika lawatan di Belanda??? Informasi intel memberitahukan bahwa lokasi sudah dikepung kelompok-kelompok pro separatis yang tinggal di Belanda. Tetapi beliau bilang, masuk! 

Dan akhirnya rombongan Pak Harto masuk dan ternyata tidak terjadi apa-apa! Keberanian inilah yang musti ditiru karena kedaulatan bangsa bisa diukur dari kedaulatan dan keberanian pemimpinnya sebelum dan sejak mulai menjabat. Karena itu tidak pernah pada jaman Soeharto orang Malaysia memanggil orang Indonesia dengan sebutan Indon. Jenderal Djoko Santoso juga pernah menjadi anak buah presiden SBY. 

Meskipun banyak suara negatif tentang SBY, Pak Djoko juga mengungkapkan sisi positif SBY yang salah satunya adalah merangkul hampir semua pihak untuk duduk dalam pemerintahannya. Ini tidak dilakukan oleh presiden sebelumnya. Begitu juga hal positif pada diri presiden lainnya seperti Gus Dur yang sangat toleran pada minoritas dan kebebasan beragama, kepada Ibu Megawati yang memiliki jiwa nasionalisme dan kebesaran hati memaafkan rezim orde baru, serta kecerdasan Habibie dalam mendukung teknologi dan terobosannya dalam menyeimbangkan rupiah dengan dollar ketika beliau masih menjabat presiden, yang tidak diketahui oleh publik. 

Di sini, jelas terlihat bahwa Pak Djoko Santoso bukan tipikal calon presiden yang ingin mencipatak statue/patung atau monumen untuk dirinya sendiri, namun lebih banyak belajar dari pendahulunya, dari sejarah yang ada. Sosok Jenderal yang tidak pernah berhenti belajar kapanpun, dimanapun, dan kepada siapapun. Jika pembaca tulisan ini berkesempatan berbicara atau bertatap muka langsung dengan beliau, pasti akan merasakan aura beliau yang bersih, tulus, ramah, jujur dan tidak macam-macam. Seperti kata beliau, kebijakan yang sudah ada nanti kita cermati, yang baik ditingkatkan dan yang belum baik kita perbaiki bersama. Saya piker, masih ada partai-partai di Negara kita tercinta yang juga memiliki hati yang tulus dan bersih, yang kelak akan meminang beliau untuk maju sebagai calon presiden 2014. 

Sebagai intermezzo, beberapa hari yang lalu saya sempat menelpon Ibu saya di kampung Tanubayan Demak. Iseng-iseng saya nanya apakah Ibu saya sudah lihat iklan Pak Djoko Santoso di TV? Ibu saya bilang belum. Terus saya tanya lagi, masak enggak ada Ibu? Itu lho yang Indonesia ASA (Adil, Sejahtera, Aman). Yang mana ya? Terus saya bilang, yang pakai caping petani terus terakhirnya berdoa mengangkat tangan sama petani di sawah sambil bilang Amien Ya Rabbal Alamien... Ibu saya bilang, ohh... Kalau yang itu sudah. Kalau yang itu sudah… Ibu tidak tahu kalau itu namanya Djoko Santoso, soalnya dia bawa caping kayak petani. Ibu pikir biasanya kalau calon presiden suka pakai jas yang rapi-rapi gitu. Kalau ini beda... Sudah... Sudah... Kalau itu sudah ada iklannya. Kalau pemilu besok Ibu akan coblos dia nang... (nang=sebutan untuk untuk anak lanang/anak laki-laki, bahasa Jawa). Saya cuman nyengir... Yahhh... Paling tidak Pak Djoko Santoso sudah mendapatkan suara dari saya dan Ibu saya. Kemungkinan juga isteri, kakak, adik, dan keluarga saya semua di Jawa maupun di Sumatera Barat. Mungkin juga teman-teman, tetangga, dan warga di tempat kami tinggal. Jadi kami berharap dan berdoa semoga semuanya lancar dan beliau diberi kemudahan sehingga ada paratai politik yang mendukung beliau.

Terakhir, semoga tulisannya ini bisa melengkapi tulisan saya yang terdahulu dan para pembaca dapat memahami dan menyelami secara lebih dalam sosok Jenderal Djoko Santoso. Kepada para fans dan simpatisan saya harapkan dapat bergerak menyebarkan informasi ini kepada keluarganya, tetangganya, dan masyarakat sekitarnya akan adanya calon presiden alternatif yang layak diperhitungkan. Kepada aktivis-aktivis partai politik di Indonesia yang suka dengan profil beliau agar sounding kapada pemimpin partainya, mengadvokasi pada pemimpin partainya dan memberikan dukungan penuh kepada beliau melalui partainya untuk maju sebagai calon presiden alternatif negeri ini untuk periode 2014-2019. Kalau ada kemauan pasti ada jalan. Kita serahkan semua kepada Allah SWT. Semoga garis tangan beliau baik. Beliau adalah pemimpin yang amanah. InsyaAllah...



Wagga Wagga, 14 Juni 2013

-----------------------------------------------------------------------------

[1] Arif Rohman is a PhD Scholar at Charles Sturt University, Australia. He can be reached at: arohman@csu.edu.au.

Saturday 25 May 2013

Ulasan Mengenai Majunya Jenderal (Purn.) TNI Djoko Santoso Untuk RI 1: Dan Jenderal Djoko Pun Menangis



Ulasan Mengenai Majunya Jenderal (Purn.) TNI Djoko Santoso Untuk RI 1: Dan Jenderal Djoko Pun Menangis





Rohman, Arif. (2013). Ulasan mengenai majunya Jenderal (Purn.) TNI Djoko Santoso untuk RI 1: Dan Jenderal Djoko pun menangis. Gerbang Indonesia, 1(2).



Tulisan ini sengaja saya tulis karena merasa tergelitik menanggapi kesiapan Pak Djoko Santoso untuk maju sebagai calon presiden Republik Indonesia pada pemilu 2014. Saya juga minta maaf karena kesibukan saya selama kuliah PhD di Charles Sturt University Australia sehingga jarang menengok dan menulis di blog ini lagi.

Tulisan ini dimaksudkan untuk para pembaca yang masih awam dengan sosok beliau dan memiliki rasa keingintahuan yang lebih terhadap pribadi beliau. Perkenalan saya dengan Pak Djoko Santoso dimulai pada tahun 2003 ketika saya masih kuliah S2 di Kajian Pengembangan Perkotaan UI.

Pada waktu itu salah seorang dosen favorit saya semasa kuliah di Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) Bandung, sakit dan dirawat di Rumah Sakit Cipto Jakarta. Sebagai seseorang yang baru satu dua tahun merantau di Jakarta tentu saja saya masih awam tentang prosedur rumah sakit dan segala tetek bengeknya.

Pada waktu itu jam 11 pagi kita sampai di rumah sakit dan kebetulan saya yang menunggui karena kebetulan tidak ada kuliah. Dosen saya mengerang kesakitan sampai saya tidak tega melihatnya. Hal yang membuat kami berdua jengkel pada waktu itu adalah perawat dan dokter sudah menanyakan/mendiagnosis si sakit dengan serangkaian pertanyaan dan semua telah dijawab oleh dosen saya walaupun dengan merintih kesakitan. Anehnya, setelah itu beberapa orang (sepertinya mereka yang lagi koas) bolak-balik menanyakan hal yang sama berkali-kali tapi tanpa ada tindakan yang diambil sampai hari menjelang sore.

Tentu saja saya khawatir banget karena keluarga beliau ada di Bandung. Karena sudah tidak tahan dengan rasa sakit dan tidak mendapat tindakan tapi justru ditanyai terus-terusan terang saja saya jadi emosi. Kemudian saya bilang, Mas, beliau ini sakit dan sudah menahan sakit tapi ditanya terus-terusan dengan pertanyaan yang sama sampai 4-5 kali dengan orang yang berbeda tanpa tindakan apapun. Mbok ya mikir dong. Koas sih boleh tapi kok caranya serabutan kayak gini? Dosen saya kemudian bilang ke saya, ini uang Rp 100,000,- telpon nomor ini.

Namanya Djoko Santoso. Bilang adiknya sakit di RSCM. Dia Mayjen. Lagi latihan tempur di Sukabumi?? Terus langsung saja saya cari wartel terdekat dan saya menelpon ke nomor tersebut. Yang menjawab ternyata masih muda dan saya langsung berpikir itu ajudannya. Saya bilang tolong disampaikan ke Pak Djoko Santoso kalau adiknya sedang sakit di RSCM dan sampai sekarang belum ada tindakan.

Saya juga menelpon untuk mengabari isteri dan keluarganya yang di Bandung. Tak berselang berapa lama, datanglah Pak Djoko Santoso dengan berpakaian dinas dan diapit dua ajudannya. Beliau berkata, belum sempat ganti baju karena langsung buru-buru ke RSCM begitu dapat kabar. Penampilan beliau low profile, ramah dan murah senyum. Dia memijiti dosen saya dan berkata semoga ini hanya masuk angin biasa.

Setelah itu beliau ganti baju batik dan kami ngobrol sambil menghibur si sakit. Kesan pertama saya pada Pak Djoko Santoso adalah beliau tidak seperti bayangan saya tentang jenderal selama ini. Beliau baik dan merakyat. Setelah berbincang-bincang datanglah dokter dan perawat yang memberitahukan kalau penyakitnya adalah usus buntu dan harus dioperasi. Kami akhirnya keluar dan beliau mengajak saya cari makan. Coba tebak, kami berempat akhirnya makan indomie rebus di pinggir trotoar! Saya sih sudah biasa bahkan itu makanan saya sehari-hari karena teman-teman kuliah di UI bahkan menjuluki saya mahasiswa gelandangan karena hidup saya yang serba pas-pasan dan saya kebetulan dibimbing oleh Alm. Professor Parsudi Suparlan yang memang ahli di bidang gelandangan.

Tapi untuk seukuran jenderal? Bagi saya memang luar biasa. Saya pun bertanya, Lho pak, bukannya Bapak seorang jenderal? Apa tidak malu makan indomie di pinggir jalan kayak gini (maksudnya banyak debu). Beliau pun menjawab, Ahhh.... Sama saja. Makan di restoran mewah sama di pinggir jalan sama saja rasanya. Asal kita lapar akan terasa enak. Yang membedakan suasananya saja. Kami pun mengobrol tentang kuliah saya di Bandung dan di UI saat itu. Beliau bilang harus belajar yang tekun untuk meraih cita-cita.

Saya bilang saya adalah mahasiswa terbaik STKS tahun 2000 tapi kenapa karier dan pekerjaan saya tidak sebagus teman-teman yang lain. Padahal kalau saya dapat pekerjaan yang baik, Ibu saya pasti akan senang dan saya bisa membahagiakan Ibu saya. Beliaupun berkata, dalam karier pasti ada naik turun. Beliau bilang kalau beliau sejatinya adalah lulusan terbaik Akabri tahun 1975?? Tetapi dalam pekerjaan awalnya justru sempat mengalami kesulitan dan dihina temannya. Akhirnya beliau memutuskan untuk tetap bekerja dengan baik dan membuktikan siapa yang nantinya akan jadi Jenderal duluan.

Akhirnya teman beliau masih letkol tapi beliau sudah brigjen. Kata beliau selagi saya rajin dan bekerja dengan baik dan tekun belajar saya pasti bisa meraih apa yang saya cita-citakan. Obrolan singkat ini mengena di hati saya. Kita buktikan siapa yang Jenderal duluan. Aduhhh... Merinding gw... Kemudian kami masuk untuk melihat jalannya operasi. Sudah datang pada waktu itu adik perempuan Pak Djoko. Selama persiapan operasi, dosen saya sempat bercanda karena kaos dalamnya digunting dokter yang susah melepasnya karena ada selang infus. Ganti ya dok? Dokter dan para perawat pun tertawa karena dalam kondisi seperti itu masih bisa bercanda.

Akhirnya operasi dimulai. Pak Djoko pun sholat bersama ajudannya dan saya menunggu bersama kakak perempuannya. Selama menunggu, iseng saya menghampiri seorang ibu-ibu yang duduk terpekur sambil menahan tangis. Ada apa Ibu? Kok sepertinya sedang menangis? Ibu itu sambil sesenggukan bilang kalau anak perempuannya korban penggusuran di daerah Tanjung Priok lagi hamil dan jatuh dari tangga dan akhirnya keguguran.

Karena tidak punya beaya akhirnya dia bawa ke dukun. Sama dukun dirogoh tapi ternyata ada tangan bayi yang ketinggalan di dalam perut yang mengakibatkan rahimnya membusuk. Kalau tidak segera dioperasi malam ini, dokter tidak menjamin keselamatannya. Terus kenapa Ibu menangis? Ternyata untuk bisa dioperasi harus membayar uang muka Rp 700,000,- dan Ibu itu sepertinya tidak punya uang. Lha emang suaminya dimana? Itu... Di pojokan. Dia ga punya duit. Kerjaannya aja ngamen.

Saya lihat ternyata suaminya masih muda banget. Masih anak-anak. Mungkin baru lulusan SMP atau seusia anak SMA. Terus gimana dong? Ibu itu malah menangis... Saya ingin membantu tapi tidak punya uang. Akhirnya saya ceritakan ke kakak perempuan dosen saya. Kakak perempuan dosen saya bilang, ceritakan sama Mas Djoko... Ceritakan sama Mas Djoko... Dia lagi sholat dan habis itu dia mau balik ke Sukabumi. Ceritakan sama Mas Djoko... Akhirnya Pak Djoko Santoso datang dengan seragam lengkap karena harus balik untuk latihan tempur di Sukabumi.

Saya kemudian menceritakan tentang kisah Ibu yang ada di pojok ruangan sebelah. Adapun yang membuat saya kaget, terkejut dan merinding adalah setelah mendengar cerita saya, air mata beliau langsung jatuh bercucuran. Baru kali ini dalam hidup saya melihat seorang jenderal menangis! Saya bisa melihat air mata beliau yang keluar secara spontan dan tidak dibuat-buat karena di tempat itu hanya ada saya dan beliau. Mana Ibu itu? Itu pak di sana. Tanpa babibu dan basa basi dikeluarkannya uang 700 ribu dari dompetnya dan dikasih ke Ibu itu. Ibu... Ini ada sedikit uang untuk membantu biaya operasi anak Ibu... Terus Pak Djokonya turun tangga. Ibu yang menerima uang itu seperti orang yang kaget dan tidak sadar. Bapak itu siapa? Bapak itu siapa? Bapak itu siapa? Kenapa baik sama saya? Saya tidak kenal... Tidak sanak tidak kadang kenapa mau membantu saya? Ibu itu mengira yang ngasih dia uang itu mungkin seorang malaikat.

Kemudian saya menghampiri dan bilang kalau bapak yang ngasih uang itu namanya Djoko Santoso. Beliau adalah mayor jenderal. Terus Ibu itu pun menangis dan berkata, Bapak itu sungguh baik sekali. Saya doakan semoga kariernya cepat naik. Semoga diberikan kemudahan dan kelancaran kariernya. Saya pun bilang Amien. Terus saya ketemu dengan adik perempuannya lagi. Kata beliau, Mas Djoko memang orangnya lain. Dia suka bantu orang. Kami 9 bersaudara dia yang tertua. Dan dia bilang akan ngemong/mengasuh kami semua sampai jadi orang (menikah dan dapat pekerjaan).

Dia berjanji tidak akan menikah sebelum semua adik-adiknya mapan. Dan itu dia tepati. Begitu sayangnya dia dengan keluarganya begitupun kami sayang sama Mas Djoko. Sehabis moment itu pun saya bilang pada diri saya. Orang ini orang hebat. Gila... Gw ketemu orang hebat. Orang ini bener-bener orang hebat. Ada jenderal yang begitu sayang dengan keluarga, berkorban untuk keluarga dan murah hati. Pengalaman ini bagi saya begitu berharga dan saya akan terus mengingatnya. Jarang saya memuji orang tapi kali ini adalah pengecualian.

Semoga Pak Djoko Santoso jadi orang yang hebat lagi dan kariernya bisa menanjak. Pertemuan saya yang kedua adalah ketika saya menjadi relawan/volunteer perlindungan anak korban tsunami dengan UNICEF di Aceh pada tahun 2005. Pada waktu itu saya kebagian tugas di Indrapuri. Kami para relawan tidur di lapangan di tenda depan Masjid Indrapuri bersama para pengungsi lainnya. Indrapuri adalah daerah yang pada waktu itu dianggap tidak aman terkait dengan konflik gerakan aceh merdeka (GAM) dan pemerintah Indonesia.

Jadi Indrapuri dan Montasik termasuk daerah merah. Setiap malam jam 2 selalu mulai terdengar suara tembak-tembakan. Karena takut kena peluru nyasar, saya biasanya masuk tenda dan tidur. Entah kebetulan atau bagaimana Pak Djoko Santoso kebetulan meninjau lokasi di Indrapuri. Begitu gagahnya. Sepertinya memberikan briefing singkat di lapangan terkait dengan penanganan pengungsi terus beliau pergi.

Saya tidak ada kesempatan menyapa karena hiruk pikuk pengungsi waktu itu. Karena kebetulan kami mandinya numpang di rumah penduduk dan kebetulan rumah tersebut pada waktu itu ditempati para tentara gabungan maka saya iseng-iseng nanya. Gimana dengan Jenderal yang tadi siang datang. Mereka bilang Jenderal satu ini memang merakyat. Mau menyapa saya yang cuma lulusan catam. Menurutnya disapa seorang Jenderal adalah sebuah kebanggaan dan anugerah?? Selepas itu saya dengar karier beliau memang menanjak pesat dari Pangdam Jaya, Wakasad, Kasad dan akhirnya Panglima TNI! Kerennn... Kemudian saya berpikir jangan-jangan karena doa Ibu yang di RSCM waktu itu? Atau bisa jadi doa seluruh anggota keluarganya, atau memang garis tangan beliau yang bagus disamping kecakapan dan kemampuannya sebagai tentara/prajurit TNI? Pertemuan saya yang ketiga adalah ketika pergi melayat keponakan beliau yang meninggal karena kanker. Keponakannya tersebut adalah mahasiswi Universitas Indonesia.

Saya melihat bagaimana beliau wajahnya sedih sekali pada waktu tahlilan. Saya pun memberanikan beliau menyapa dan bertanya apakah masih ingat saya pas di RSCM. Beliau bilang masih. Terus saya sampaikan bahwa saya sudah lulus S2 di UI dan S2 di Australia dan sekarang bekerja di Kementerian Sosial. Beliau bilang syukur Alhamdulillah dan berpesan agar bekerja dengan baik. Karena beliau masih dalam kondisi berduka maka saya tidak mau mengganggu terlalu lama.

Bagi saya beliau adalah orang yang santun dan bijak. Kalau saja orang seperti ini memimpin negara Indonesia di masa yang akan datang??? Pertemuan saya yang keempat dan terakhir adalah ketika saya mau berangkat study PhD di Australia. Kebetulan sempat mampir ke rumah beliau untuk pamitan. Beliau bilang kamu harus sekolah... Kamu harus sekolah... Saya memang anak yang suka iseng makanya saya bertanya apakah Bapak tidak tertarik mencalonkan diri jadi presiden? Beliau bilang tidak. Menurutnya sudah jadi prajurit saja sudah syukur, apalagi bisa jadi Pangdam Jaya, Wakasad, Kasad, dan Panglima TNI.

Sudah tidak muluk-muluk. Sekarang sudah purnawirawan jadi mau beribadah saja. Rasul saja wafat usia 63 tahun. Terus saya bilang kalau masyarakatnya yang ingin bagamana Pak? Iya masyarakat ingin silahkan saja tapi saya merasa tidak mampu. Mengurus negara itu berat. Mungkin ada yang lain yang lebih mampu dan lebih sanggup. Baik, tapi seandainya Bapak saat ini jadi Presiden RI apa yang Bapak lakukan? Ini kalau seandainya ya. Yang pertama dibenahi itu soal nasionalisme. Nasionalisme, rasa cinta tanah air saat ini sudah semakin pudar.

Tanpa nasionalisme kita akan sulit berkembang. Penanaman nasionalisme itu bisa lewat 3 hal: olah raga, kegiatan rekreasi/cinta alam seperti mendaki gunung, panjat tebing, camping yang semuanya bisa mengingatkan kita semua akan keindahan nusantara ini, serta kuliner Indonesia yang beragam dan kaya. Kesemuanya ini akan membuat kita semua bangga, bersatu dan bekerja untuk memajukan tanah air. Sayapun kembali bertanya. Jadi Bapak tidak mencalonkan jadi presiden Pak? Untuk saat ini saya belum merasa mampu. Mau ibadah saja. Gila... Dalam hati saya. Jawabannya halus banget. Maaf Pak, jadi Bapak benar tidak bersedia maju, kalau masyarakat menghendaki Bapak bagaimana? Beliaupun menjawab, ahhh... Tidak muluk-muluk. Kita juga tidak punya apa-apa, partai juga tidak punya... Aihhh... Sayapun jadi sedih dan trenyuh mendengarkan jawaban beliau. Kalau saya bisa, harusnya orang seperti ini diberikan kesempatan memimpin negara ini. Tapi apalah arti suara orang semacam saya yang cuman orang desa dari kampung Tanubayan Demak yang tidak punya kekuasaan dan pengaruh. Sebelum berangkat ke Australia, saya sempat bercerita masalah ini ke Ibu saya terkait tentang Pak Djoko Santoso. Kata Ibu saya, dari ceritamu kelihatannya Pak Djoko itu orang baik. Iya Ibu... Cuman sayangnya tidak punya modal dan partai buat mencalonkan diri. Ibu sayapun tersenyum dan menceritakan kisah yang sangat menyentuh hati saya. Jaman dahulu di kampungnya Cabean?? Demak. Ada anak kepala desa yang mencalonkan diri jadi kepala desa. Anaknya santun, sopan dan baik akhlaknya serta akhirnya terpilih jadi kepala desa.

Semasa dia memerintah, dia dedikasikan seluruh harta, tenaga dan pikirannya untuk warganya. Setiap ada anak muda kelahi dan tawuran dia yang menebus di kantor polisi bahkan pakai uang sendiri karena tidak ada kas desa. Begitu juga kalau ada orang kesusahan. Singkat cerita jadi kepala desa bukannya jadi kaya malah tambah miskin. Ceritanya jadi semakin sedih ketika dia bermaksud mencalonkan lagi jadi kepala desa tetapi tidak ada uang. Sedangkan saingannya adalah orang kaya pengusaha yang berduit. Tersiar kabar saingannya tersebut sudah memberikan uang sepuluh ribu/dua puluh ribu tiap rumah, plus jarik/kain kebaya dan sarung di setiap rumah dan sudah dipastikan mayoritas akan memberikan suaranya ke pengusaha itu.

Anak muda yang ingin mencalonkan lagi itupun sedih bukan main. Tapi karena niatnya tulus, lurus dan memang ingin berbakti ke kampungnya akhirnya dia menebalkan muka dan meminta restu dari warga door to door dari pintu ke pintu untuk mencalonkan lagi. Dia jujur mengatakan tidak punya uang/harta untuk diberikan sebagaimana yang diberikan oleh pengusaha saingannya tersebut. Sedihnya, setiap rumah yang didatangi justru menangis dan bilang saya akan memilihmu tetapi ada syarat. Apa itu? Setelah terpilih kepala desa kamu harus menikah dan menata hidupmu.

Hampir semua pemuda dan warga yang trenyuh dengan anak muda tersebut bergerak dan pada akhirnya pemilihan kepala desa itu dimenangkan oleh anak muda yang nota bene adalah kepala desa. Tuhan tidak buta dan pasti akan memberikan jalan asal niatnya tulus dan baik. Cerita tersebut sangat menginspirasi saya. Bagi saya dalam konteks pencalonan diri Pak Djoko Santoso, yang tak punya modal dan partai yang mengusungny tapi saya percaya jika Tuhan nenghendaki pasti ada jalannya. Dan kemarin saya mendengar kalau beliau merasa sudah siap ikut pencalonan Presiden Republik Indonesia Periode 2014-2019.

Saya berdoa semoga beliau diberikan kelancaran kemudahan dan kesempatan untuk memimpin negeri ini. Beliau orang baik... Semoga tulisan ini bermanfaat dan bisa mendukung beliau jadi calon presiden alternatif untuk Presiden RI Periode 2014-2019.



Wagga Wagga, 24 Mei 2013

[1] Arif Rohman is a PhD Scholar at Charles Sturt University, Australia. He can be reached at: arohman@csu.edu.au.