Showing posts with label John Roosa. Show all posts
Showing posts with label John Roosa. Show all posts

Monday 31 January 2011

DALIH PEMBUNUHAN MASSAL GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO (2)

6
SUHARTO, ANGKATAN DARAT, DAN AMERIKA
SERIKAT
Dari sudut pandangan kami, sudah barang tentu, percobaan kup
yang gagal oleh PKI boleh jadi merupakan perkembangan yang paling
efektif untuk memulai pembalikan arah kecenderungan politik di
Indonesia.
Howard P. Jones, Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, 10 Maret 1965
Bagi Aidit penggunaan para perwira progresif secara rahasia untuk
menyisihkan pimpinan tertinggi sayap kanan Angkatan Darat
tentunya tampak sebagai strategi yang cerdas. Baik partai maupun
Presiden Sukarno dapat diselamatkan dari Dewan Jenderal dengan satu
gebrakan cepat dan tak langsung. Pada saat-saat permulaan Gerakan 30
September tampak akan berhasil: pasukan dikerahkan tanpa tercium
jejaknya dan berhasil menciptakan unsur kejutan – jenazah keenam
jenderal cukup menjadi bukti. Namun, kejutan ini berumur pendek.
Rupanya Aidit tidak menyadari bahwa pihak-pihak lain di dalam kepemimpinan
Angkatan Darat dan Kedutaan Besar Amerika Serikat (AS)
telah menunggu dengan sabar peristiwa semacam G-30-S, dan sudah
pula menyiapkan rencana untuk menanggapinya. Sementara jenderaljenderal
dan staf kedutaan besar tidak memperhitungkan G-30-S akan
meletus pada 1 Oktober, dan akan membunuh separo dari staf Yani,
mereka memang memperhitungkan akan ada semacam aksi dramatik
yang melibatkan PKI. Mereka sudah menunggu-nunggu sebuah dalih
untuk menghantam partai dan merongrong pemerintahan Sukarno.
251
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
Tanpa ia sadari Aidit bertindak sesuai dengan keinginan mereka.
Seperti dokumen-dokumen AS yang telah dideklasifi kasikan mengungkap,
pada 1965 jenderal-jenderal itu sadar bahwa mereka tidak bisa
melancarkan kudeta dengan gaya lama terhadap Sukarno – ia terlalu
populer. Mereka memerlukan dalih. Dalih paling baik yang mereka
temukan ialah sebuah percobaan kup yang gagal dan bisa dipersalahkan
kepada PKI. Angkatan Darat, dalam rencana cadangannya, telah
menyusun sebuah rencana permainan: mempersalahkan PKI karena
percobaan kup, melancarkan perang total terhadap partai, mempertahankan
Sukarno sebagai presiden boneka, dan tahap demi tahap mengangkat
Angkatan Darat masuk ke pemerintahan. Angkatan Darat secara
teratur menyampaikan informasi terbaru tentang rencana mereka kepada
Kedutaan Besar AS dan tahu bahwa institusi ini dapat mengharapkan AS
untuk bantuan diplomatik, militer, dan ekonomi jika waktu pelaksanaan
rencana telah tiba. Gerakan 30 September menerobos sebuah institusi
bersenjata, yang mengetahui dengan tepat bagaimana harus bereaksi.
Bahkan andaikata PKI tidak terlibat sekalipun, hampir bisa dipastikan
kesalahan akan dilemparkan kepadanya.
Saat membaca dokumen-dokumen tentang perencanaan tingkat
tinggi Angkatan Darat yang dilakukan sebelum G-30-S meletus, kita akan
dikejutkan oleh betapa kejadian-kejadian 1965-67 mengikuti rencana
permainan Angkatan Darat. Saya tidak percaya bahwa hubungan erat
antara peristiwa-peristiwa yang terjadi dan rencana itu dapat dijelaskan
dengan menyatakan bahwa jenderal-jenderal tertentu Angkatan Darat
itu sendiri yang merancang G-30-S. Tentu saja, sangat menggoda untuk
memahami G-30-S sebagai usaha kup palsu yang sengaja dirancang untuk
gagal. Tapi argumen “tangan tersembunyi” semacam itu tidak hanya sukar
untuk dipercaya (mengingat kerumitan logistik yang dibutuhkan), tetapi
juga mustahil untuk dicocokkan dengan fakta-fakta yang ada. Seperti
sudah saya kemukakan dalam Bab 2, G-30-S akan dirancang sangat
berbeda seandainya ia dimaksudkan sebagai sebuah perangkap. Dalam
menelaah operasi-operasi rahasia agen-agen intelijen, kita hendaknya
berhati-hati agar tidak mendesak-desakkan teori-teori konspirasi terlalu
jauh. Kedutaan Besar AS dan jenderal-jenderal Angkatan Darat tidak
mengendalikan seluruh peristiwa melalui agen-agen ganda. Gerakan
30 September berasal dari Aidit, Biro Chusus, dan sekelompok perwira
252
6. SUHARTO, ANGKATAN DARAT, DAN AMERIKA SERIKAT
progresif, dan dirancang untuk berhasil. Ia gagal bukan karena sebelumnya
direncanakan untuk gagal, tapi karena ia diorganisasi dengan cara
yang sangat buruk dan karena Angkatan Darat telah mempersiapkan
pukulan balik. Bahkan andaikata Suharto tidak tahu sebelumnya tentang
rencana G-30-S pun, ia dan rekan-rekan sesama jenderal-jenderal pasti
akan bereaksi dengan cara serupa. Mungkin saja Angkatan Darat tidak
akan mampu mengalahkan G-30-S dengan sangat cepat dan tanpa
kesulitan, namun mereka pasti akan mengorganisasi suatu kampanye
anti-PKI dan anti-Sukarno yang seperti itu juga.
Dengan menolak teori ekstrem konspirasi, kita hendaknya tidak
melompat ke ekstrem yang lain dan berpendapat bahwa para pejabat
AS serta para jenderal Angkatan Darat terkejut pada 1 Oktober dan
menata tanggapan mereka tanpa persiapan. Satu pokok perkara yang
dibuat kabur dalam banyak kepustakaan tentang G-30-S, terutama
dalam tulisan-tulisan para pejabat AS, adalah bahwa pemerintah AS
telah mempersiapkan tentara Indonesia untuk berbentrokan dengan
PKI dan merebut kekuasaan negara.1 Dari 1958 sampai 1965 Amerika
Serikat melatih, mendanai, memberi nasihat, dan memasok Angkatan
Darat sebegitu rupa sehingga dapat mengubahnya menjadi negara di
dalam negara. Di bawah Nasution dan Yani Angkatan Darat berangsurangsur
memperluas kekuasaannya, mengonsolidasi korps perwiranya,
dan menjadikan institusi ini sebagai pemerintahan dalam penantian.
Selama bulan-bulan menjelang Oktober 1965 Amerika Serikat dan
Angkatan Darat menginginkan terjadi suatu peristiwa semacam G-30-S.
Mereka sibuk menciptakan kondisi untuk itu dan menyiapkan diri untuk
menghadapinya. Amerika Serikat tidak membiarkan persaingan antara
Angkatan Darat dan PKI terjadi oleh kebetulan semata-mata.
Dalam satu peristiwa 1 Oktober 1965 ini terkandung sejarah persaingan
antara kekuatan komunis dan kekuatan antikomunis sedunia
yang berkepanjangan dan ruwet, yang meluas dari perseteruan di tingkat
desa sampai ke politik tingkat tinggi kebijakan luar negeri AS. Bagian
ini merupakan telaah singkat tentang pertentangan pascakolonial di
Indonesia antara perwira-perwira Angkatan Darat dan PKI dan sebagian
besar berdasarkan pada dokumen-dokumen pemerintah AS yang sudah
dideklasifi kasikan. Telaah dimulai dengan memeriksa bagaimana Amerika
Serikat membangun persekutuan yang kukuh dengan Angkatan Darat
253
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
dalam akhir 1950-an dan diakhiri dengan memeriksa bagaimana
Angkatan Darat menanggapi meletusnya G-30-S pada 1965. Akhirnya,
bab ini dimaksud untuk menjelaskan bagaimana Angkatan Darat sampai
mengeramatkan sebuah putsch yang relatif kecil menjadi sebuah kejahatan
terbesar dalam sejarah Indonesia, sesuatu yang menuntut penahanan
massal dan pembantaian sebagai tanggapan.
ASAL-MUASAL PERSEKUTUAN AMERIKA SERIKAT DAN
ANGKATAN DARAT
Sampai akhir 1950-an tidak terlihat bahwa pemerintah AS dan Angkatan
Darat Indonesia akan mempunyai masa depan bersama yang gilanggemilang.
Para pejabat penting dalam pemerintahan Eisenhower (1952-
1960) berpikir tentang bagaimana memecah-belah Indonesia menjadi
negara-negara kecil. Bagi mereka, Presiden Sukarno merupakan sebuah
kutukan. Politik luar negerinya yang bebas aktif (yang tegas dipamerkan
pada Konferensi Asia Afrika 1955), hujatan berulangnya terhadap
imperialisme Barat, dan kesediaannya merangkul PKI sebagai bagian
integral dalam politik Indonesia ditafsirkan di Washington sebagai bukti
kesetiaan Sukarno kepada Moskow dan Beijing. Eisenhower dan Dulles
bersaudara – Allen sebagai kepala CIA dan John Foster sebagai kepala
Departemen Luar Negeri – memandang semua pemimpin nasionalis
Dunia Ketiga yang ingin tetap netral di tengah-tengah perang dingin
sebagai antek-antek komunis. Dengan penuh keyakinan akan hak mereka
untuk memilih-milih pemimpin di negara-negara asing, Eisenhower dan
dua bersaudara Dulles berulang kali menggunakan operasi rahasia CIA
untuk menumbangkan pemimpin-pemimpin nasionalis: Mossadegh
di Iran pada 1953, Arbenz di Guatemala pada 1954, dan Souvanna
Phouma di Laos pada 1960. Dulles bersaudara melihat Sukarno pun
sebagai tokoh lain yang menjengkelkan, yang harus disingkirkan dari
panggung dunia.2
Sesudah PKI memenangi pemilihan umum daerah pada pertengahan
1957, Dulles bersaudara berpikir waktunya telah tiba untuk bergerak
melawan Sukarno. Sikap lunak Sukarno terhadap komunisme dan dukungannya
kepada pemilu yang demokratis terlihat sebagai memberi PKI
254
6. SUHARTO, ANGKATAN DARAT, DAN AMERIKA SERIKAT
jalan lapang menuju istana kepresidenan. Dulles bersaudara menolak
nasihat bijak Duta Besar AS di Jakarta, John Allison, yang mengatakan
bahwa ancaman komunis tidak cukup gawat untuk membenarkan
penggulingan terhadap Sukarno. Dalam imajinasi berkobar-kobar para
prajurit perang dingin di Washington, PKI telah memenangi “mayoritas
mutlak” dari pemilih di Jawa dalam pemilu daerah 1957.3 (PKI hanya
menang 27%.) Dulles bersaudara menjadi yakin bahwa Jawa telah jatuh
ke tangan kaum komunis dan lebih baik memisahkannya dari daerah lain
di Indonesia. Dalam menghadapi kaum komunis di Asia, prinsip yang
menjadi pedoman pemerintah Eisenhower ialah membagi negara-negara
menjadi kawasan-kawasan komunis dan nonkomunis. Pelajaran dari
lepasnya Tiongkok pada 1949 ialah lebih baik merelakan yang sudah lepas
dan membiarkan sesuatu wilayah jatuh ke tangan komunis, ketimbang
memperpanjang perang berlarut-larut di seluruh negeri. Oleh karena itu
Amerika Serikat mau membagi Korea dan Vietnam menjadi paro utara
dan paro selatan. Pada akhir 1957 pemerintah Eisenhower berpendapat
bahwa kebangkitan PKI, khususnya di Jawa, berarti telah datang saatnya
untuk memecah-belah kepulauan Indonesia menjadi satuan-satuan yang
lebih kecil.
Pemberontakan-pemberontakan oleh kolonel-kolonel Angkatan
Darat berbasis di daerah-daerah di Sumatra dan Sulawesi dilihat oleh
pemerintah Eisenhower sebagai kendaraan sempurna untuk mengisolasi
Jawa. Letnan Kolonel Ahmad Husein, Panglima Sumatra Barat,
merebut kekuasaan dari gubernur pemerintah sipil pada 20 Desember
1956. Kolonel Simbolon, panglima seluruh belahan utara Pulau Sumatra
(yang bermarkas di Medan), mencanangkan dirinya sebagai gubernur
wilayah itu dua hari kemudian. Letnan Kolonel Barlian, Panglima
wilayah paro selatan Sumatra (bermarkas di Palembang), menyusul rekanrekannya
dengan mendongkel gubernur di wilayahnya pada Maret 1957.
Ketiga kolonel tersebut semuanya menuntut otonomi yang lebih luas
bagi provinsi-provinsi mereka dalam berhadapan dengan pemerintah
pusat, pembubaran kabinet yang ada, dan mengembalikan kekuasaan
Mohammad Hatta, seorang tokoh politik Sumatra yang telah mengundurkan
diri sebagai wakil presiden pada 1 Desember 1956.
Demi alasan yang sama panglima militer seluruh bagian timur
Indonesia (termasuk Sulawesi, Maluku, dan Kepulauan Sunda Kecil)
255
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
memberontak terhadap pemerintah sipil dan menyatakan wilayahnya
dalam keadaan perang pada Maret 1957. Letnan Kolonel Sumual, yang
bermarkas di kota Makassar, mengumumkan apa yang dinamakannya
“perjuangan semesta alam,” yang terkenal dalam akronimnya “Permesta.”
Ia juga mengulangi tuntutan tiga kolonel rekan-rekannya di Sumatra.
Semua perwira pemberontak ini pada dasarnya mengingini suatu pemerintahan
pusat yang direformasi, bukan pecahan negara-negara merdeka
yang berserakan.
Kembali di Washington, arti penting pemberontakan-pemberontakan
ini sangat dibesar-besarkan. Dalam sidang Dewan Keamanan
Nasional (NSC, National Security Council) pada Maret 1957 Allen
Dulles menyatakan bahwa “proses disintegrasi di Indonesia sedang terus
berlanjut sampai pada tahap tinggal pulau Jawa saja yang masih di bawah
kekuasaan pemerintah pusat. Angkatan bersenjata di semua pulau-pulau
di luar [Jawa] telah menyatakan kemerdekaan mereka dari pemerintah
pusat di Jakarta.”4 Penilaian tidak tepat semacam ini meyakinkan para
penentu kebijakan bahwa Amerika Serikat harus berbalik melawan nasionalisme
Indonesia.
Mula-mula Sukarno bersikap tanggap terhadap tuntutan para
pemberontak. Pembentukan kabinet baru pada April, penyelenggaraan
konferensi perujukan kembali segera sesudah itu, pengiriman dana
tambahan ke daerah-daerah, dan keberlanjutan prospek pengembangan
karier dalam ketentaraan nasional bagi para kolonel itu sendiri adalah
semua faktor yang meredakan kekerasan hati para pemberontak. Tapi
pemerintah Eisenhower, melalui kontak-kontak rahasianya dengan para
kolonel pembangkang, tetap berpendapat bahwa mereka melawan bujuk
rayu Sukarno. Sebuah komite ad hoc untuk Indonesia dalam Dewan
Keamanan Nasional AS dalam September 1957 menyimpulkan bahwa
Amerika Serikat harus “memperkuat kebulatan tekad, kemauan dan
kepaduan pasukan antikomunisnya di pulau-pulau luar Jawa,” sehingga
mereka bisa berperanan sebagai “titik penggalangan kekuatan jika kaum
komunis menguasai Jawa.”5 Dukungan material AS menumbuhkan
kepercayaan diri pada para pemberontak untuk menolak setiap penyelesaian
yang dirundingkan. CIA memberikan uang muka sebesar $50.000
kepada Kolonel Simbolon di Sumatra Utara pada awal Oktober 1957
dan mulai mengirim senjata pada bulan berikut.
256
6. SUHARTO, ANGKATAN DARAT, DAN AMERIKA SERIKAT
Walaupun pemberontakan-pemberontakan ini tidak mulai dengan
maksud mendongkel pemerintah Jakarta, mereka kemudian mempunyai
maksud demikian pada awal 1958, terutama oleh pengaruh pemerintah
AS. Para kolonel itu, karena dibanjiri dolar dan senjata oleh CIA,
lalu menjadi lebih ambisius. Pada 15 Februari 1958, Kolonel Husein
mengumumkan pemerintah nasional baru, yaitu Pemerintah Revolusioner
Republik Indonesia, atau disingkat sebagai PRRI. Ia menuntut
agar negara-negara asing membekukan aktiva Jakarta di luar negeri dan
memindahkan kedutaan besar-kedutaan besar mereka dari Jakarta ke
Sumatra Barat. Menghadapi pernyataan perang yang terang-terangan
itu, pemerintah Sukarno memutuskan bahwa pilihan satu-satunya
hanyalah menjawabnya dengan kekuatan militer. Tindakan ofensif
tentara Indonesia dilancarkan sepekan sesudah pengumuman Husein.
Angkatan Udara membom sasaran-sasaran penting PRRI dan menerjunkan
dari udara batalyon-batalyon dari Jawa di Sumatra. Karena
tidak memiliki pesawat terbang, senjata penangkis serangan udara, dan
kapal selam, para kolonel pemberontak di Sumatra rentan terhadap
pemboman melalui udara dan laut. Kekurangan tambahan lainnya lagi
ialah moral, banyak pasukan kolonel-kolonel itu tidak mau berperang
melawan tentara Indonesia. Satu demi satu kota-kota penting di Sumatra
jatuh dalam Maret dan April sampai ibu kota PRRI, kota pegunungan
Bukittinggi, direbut kembali pada 4 Mei. Walaupun sisa-sisa pasukan
pemberontak yang tersebar beralih masuk hutan dan melancarkan perang
gerilya sporadik selama tiga tahun berikutnya, PRRI di Sumatra dengan
mangkus dibereskan pada saat itu.
Kemenangan Jakarta di bagian timur Indonesia memerlukan waktu
lebih lama karena CIA memberi bantuan kekuatan udara kepada para
pemberontak. Beroperasi dari pangkalan udara Manado, sebuah kota di
ujung utara Sulawesi yang dekat dengan pangkalan udara AS di Filipina,
CIA melepas satu armada dengan delapan atau sembilan pesawat terbang
yang diawaki pilot-pilot berkebangsaan Amerika, Taiwan, dan Filipina.
Armada udara kecil ini sangat merintangi tentara Indonesia dengan
pemboman atas kapal-kapal dan pelabuhan-pelabuhan udara di seluruh
kawasan Indonesia timur. CIA serta-merta menghentikan bantuan
udaranya pada akhir Mei 1958 ketika seorang pilot Amerika, Allen
Pope, ditembak jatuh dan ditangkap hidup-hidup sesudah melakukan
257
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
pemboman atas kota Ambon – serangan membabi buta yang membunuh
sekitar tujuh ratus penduduk sipil. Sesegera sesudah pesawat-pesawat
udara CIA tidak lagi beroperasi, Jakarta dengan cepat berhasil menundukkan
para pemberontak di Manado.
Pemerintah Eisenhower mulai menilai kembali strateginya ketika
para kolonel pemberontak jatuh dan kalah. Dunia impian penuh petualangan
dari aksi rahasia AS mulai berantakan. Melihat bahwa perwiraperwira
Indonesia yang menumpas kolonel-kolonel pemberontak adalah
perwira-perwira antikomunis (seperti Nasution dan Yani), Washington
menyadari bahwa menyabot tentara Indonesia kontraproduktif.
Dukungan AS kepada para pemberontak berarti mengadu perwiraperwira
antikomunis satu sama lain. PKI tampil dengan popularitas lebih
besar karena kebijakannya tentang imperialisme AS menjadi dikukuhkan
oleh pengalaman. Dengan persenjataan AS ditemukan di Sumatra dan
pilot AS ditembak jatuh di atas Ambon, bangsa Indonesia bisa melihat
langsung bahwa Amerika Serikat memang benar-benar berusaha untuk
mencerai-beraikan tanah air mereka.
Hasil peninjauan kembali pemerintahan Eisenhower ialah pembalikan
kebijakan di Washington. Alih-alih mencoba melucuti Indonesia,
Amerika Serikat akan mendukung para perwira Angkatan Darat yang
antikomunis di Jakarta dan bersandar kepada mereka untuk menegah
gerak PKI. Kebijakan baru ini memperoleh perumusannya secara sistematik
di dalam sebuah dokumen Dewan Keamanan Nasional (NSC),
“Laporan Khusus Tentang Indonesia” yang ditulis dalam Januari 1959.6
NSC melihat Angkatan Darat sebagai “perintang utama terhadap perkembangan
kekuatan komunis lebih lanjut.” Kekuatan sipil nonkomunis
di dalam partai-partai politik “dengan dukungan Angkatan Darat bisa
berbalik melawan partai komunis di gelanggang politik.” Dokumen
NSC menganjurkan Eisenhower agar memperkuat hubungan AS dengan
tentara Indonesia agar institusi ini mampu “memerangi kiprah kaum
komunis.” Untuk memastikan bahwa pimpinan Angkatan Darat mau
dan mampu memenuhi peranannya sebagai ujung tombak kekuatan
antikomunis, Gedung Putih menyumbang perlengkapan dalam jumlah
besar-besaran.7
Strategi baru AS untuk memerangi PKI ini sungguh canggih,
terutama jika dibandingkan dengan kekasaran strateginya yang lama.
258
6. SUHARTO, ANGKATAN DARAT, DAN AMERIKA SERIKAT
NSC menyadari bahwa PKI sudah mendapat kepercayaan nasional yang
tak termakzulkan. Partai ini terorganisasi dengan sangat baik, berdisiplin
tinggi, dan luar biasa populer. Menurut penilaian NSC, PKI “mungkin
sekali akan tumbuh sebagai partai terbesar di Indonesia” jika Sukarno
tidak menangguhkan pemilu yang dijadwalkan berlangsung pada 1959.8
Angkatan Darat tidak bisa asal menyerang kaum komunis dengan cara
berangasan, “Tindakan terang-terangan menindas PKI akan sulit dibenarkan
atas dasar politik dalam negeri, dan akan menghadapkan pemerintahan
siapa pun yang mengambil tindakan tersebut kepada tuduhan
telah takluk kepada tekanan Barat.”9 Angkatan Darat harus mendekati
PKI dengan kelihaian musang berbulu ayam. Setiap serangan terhadap
PKI harus bisa dibenarkan sesuai dengan rambu-rambu nasionalisme
Indonesia yang diperjuangkan oleh partai itu sendiri.
Siasat yang digunakan adalah terus-menerus memprovokasi PKI
agar melakukan tindakan gegabah yang akan menampilkan partai tersebut
sebagai antinasional. Dokumen NSC tahun 1959 menekankan bahwa
dalam memberikan bantuannya kepada Angkatan Darat Amerika Serikat
harus memprioritaskan “permintaan bantuan untuk program dan proyek
yang akan membuka kesempatan untuk mengisolasi PKI, menggiring
partai ke posisi bertentangan secara terang-terangan dengan pemerintah
Indonesia, sehingga dengan demikian terciptalah alasan-alasan untuk
melakukan tindakan represif yang secara politik bisa dibenarkan dari
sudut kepentingan Indonesia sendiri.”10 Strategi tetap AS dari 1959
sampai 1965 ialah membantu para perwira Angkatan Darat mempersiapkan
diri untuk melakukan serangan hebat terhadap PKI. Howard Jones,
Duta Besar di Jakarta selama tujuh tahun (1958-1965) dan salah seorang
arsitek utama kebijakan tersebut, memasok anasir kesinambungan yang
penting bagi tiga pemerintahan AS, Eisenhower-Kennedy-Johnson.
MENATA PANGGUNG UNTUK BENTROKAN
Sejalan dengan kebijakan pembangunan Angkatan Darat sebagai
benteng perlawanan terhadap PKI, pemerintah AS memberi pelatihan
kepada perwira-perwira Angkatan Darat di Amerika Serikat, memberi
sumbangan dan menjual persenjataan, serta memberi bantuan keuangan.
259
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
Panglima Angkatan Darat Jenderal Nasution adalah “anak mas” Amerika;
kegigihan semangat antikomunisnya meyakinkan para pembesar di
Washington bahwa Angkatan Darat benar-benar merupakan harapan
paling baik untuk menjinakkan PKI. Berulang kali Nasution memberi
jaminan kepada para pejabat AS bahwa Angkatan Darat tidak akan
pernah membiarkan PKI merebut kekuasaan. Gabungan kepala-kepala
staf AS memberi pembenaran bantuan untuk Angkatan Darat Indonesia
pada 1958 sebagai dorongan bagi Nasution agar “melaksanakan ‘rencana’-
nya untuk mengendalikan kaum komunis.”11 Sesudah Sukarno menyingkirkan
Nasution pada Juni 1962, mengangkatnya untuk jabatan
administratif sebagai panglima angkatan bersenjata, dan dengan demikian
membebaskannya dari jabatan sebagai panglima pasukan, penggantinya,
Letnan Jenderal Yani, meneruskan sikap antikomunis yang sama.
Dalam Agustus 1958 Amerika Serikat memulai program bantuan
militer dengan memasok perlengkapan untuk militer, khususnya Angkatan
Darat, dan melatih para perwira di Amerika Serikat. Dari 1958 sampai
1965 Amerika Serikat setiap tahun mengeluarkan sekitar $10 juta sampai
$20 juta untuk bantuan militer Indonesia.12 Program pendidikan perwira
Angkatan Darat Indonesia di sekolah-sekolah seperti di Fort Bragg dan
Fort Leavenworth merupakan program yang menyeluruh. Dari 1950
sampai 1965 sekitar 2.800 perwira Angkatan Darat Indonesia dikirim ke
Amerika Serikat untuk sekolah – sebagian besar sesudah 1958. Jumlah itu
kira-kira merupakan seperlima sampai seperempat dari seluruh jumlah
perwira Angkatan Darat.13 Melalui pendidikan ini Amerika Serikat bisa
membangun kontak-kontak yang luas dengan Angkatan Darat Indonesia.
Tentu saja tidak semua perwira yang disekolahkan di Amerika Serikat
menjadi pengikut-pengikut setia perjuangan antikomunis. Tapi program
yang berskala sedemikan besar tentu membawa pengaruh terhadap
wawasan politik sementara perwira. Pada awal 1960-an para pejabat AS
memang merasa telah memperoleh sukses dengan program itu. Pada
1964 Dean Rusk menulis sebuah memo kepada Presiden Johnson untuk
menjelaskan bahwa bantuan AS kepada tentara Indonesia dari sudut
kemiliteran kecil saja artinya tapi “memungkinkan kita untuk menjalin
hubungan tertentu dengan elemen-elemen kunci di Indonesia yang menaruh
perhatian dan mampu melawan perebutan kekuasaan oleh kaum komunis”
(kursif penegas sesuai aslinya).14
260
6. SUHARTO, ANGKATAN DARAT, DAN AMERIKA SERIKAT
Selain melatih perwira, pemerintah AS juga menggalakkan
“civic action.” Walaupun pada mulanya Amerika Serikat membentuk
civic action untuk militer dalam perjuangan melawan perang gerilya,
Amerika Serikat berniat melaksanakannya di Indonesia sebagai sarana
penangkal pengaruh politik PKI. Pemerintah AS merumuskan civic
action sebagai penggunaan militer “pada proyek-proyek yang berguna
bagi segala tingkatan penduduk setempat dalam bidang-bidang seperti
pendidikan, pelatihan, pekerjaan umum, pertanian, transportasi, komunikasi,
kesehatan, sanitasi dan lain-lain yang memberikan sumbangan
bagi pembangunan ekonomi dan sosial, yang juga akan berguna bagi
bertambah baiknya posisi angkatan bersenjata di tengah masyarakat.”15
Inilah sebuah program, yang dalam istilah klise, untuk merebut hati
dan pikiran. Dengan civic action tentara Indonesia harus melibatkan diri
dalam kegiatan-kegiatan yang biasanya dijalankan kaum sipil. Prajurit
menjadi pejabat di dalam pemerintahan sipil, seperti misalnya lurah
desa, dan membangun proyek-proyek prasarana, seperti jembatan dan
jalan. Pada 1962 NSC mendorong gagasan untuk memperkuat peranan
tentara Indonesia dalam “kegiatan-kegiatan pembangunan ekonomi dan
sosial.”16
Dipimpin oleh konsepsi Nasution tentang “perang teritorial,” pada
praktiknya sejak awal 1950-an tentara Indonesia telah menempatkan
dirinya di tengah kehidupan sipil. Apa yang diusulkan oleh pemerintah
Kennedy pada awal 1960-an adalah dukungan AS untuk program
Angkatan Darat Indonesia yang sudah berjalan.17 Program civic action
Angkatan Darat Indonesia yang baru diresmikan itu sebagian besar di
bawah pimpinan Kolonel George Benson, yang jabatan resminya dari
Agustus 1962 sampai Juli 1965 adalah pembantu khusus duta besar
AS untuk urusan civic action. Benson mendapat kepercayaan penuh
dari Panglima Angkatan Darat Yani, yang telah dikenal Benson sejak
saat ia menjadi atase militer AS di kedutaan besar di Jakarta (1956-
1959), sehingga ia dibiarkan leluasa bekerja di kalangan Angkatan Darat
Indonesia.18
Satu manfaat civic action ialah program ini memberikan selubung
bagi operasi rahasia terhadap PKI. Komite NSC untuk pengikisan
pemberontakan (counterinsurgency) pada Desember 1961 menyetujui
pengeluaran biaya untuk Indonesia “guna menyokong kegiatan-kegiatan
261
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
civic action dan antikomunis,” yang akan memuat “pelatihan rahasia
bagi personil militer dan sipil terpilih, yang akan ditempatkan pada
kedudukan-kedudukan kunci di dalam [di sini sensor mencatat penghapusan
‘kurang dari 1 baris teks asli’] program civic action.”19 Banyaknya
bagian tulisan yang dihilangkan dari dokumen yang telah dideklasifi kasi
ini memberi kesan bahwa program civic action meliputi operasi-operasi
terselubung yang peka di Indonesia.
Angkatan Darat Indonesia mengikuti strategi gaya Gramsci dalam
versinya sendiri: menerabas ranah-ranah strategis dalam masyarakat sipil
sebelum melancarkan usaha merebut kekuasaan negara. Angkatan Darat
mempunyai “golongan fungsional”-nya sendiri, yaitu Golongan Karya
(Golkar), yang mirip dengan partai politik; serikat buruh, yaitu Sentral
Organisasi Karyawan Sosialis Indonesia (SOKSI); surat kabar, yaitu
Angkatan Bersendjata dan Berita Yudha; sekelompok tokoh-tokoh budaya
yang bekerja sama erat dengan para perwira antikomunis (misalnya
penulis Wiratmo Sukito, pemrakarsa Manifes Kebudayaan yang telah
menyulut badai kontroversi pada 1963). Dengan menumbuhkan
berbagai sayap dan front yang sangat luas, Angkatan Darat menjadikan
dirinya sendiri sebagai bayangan serupa PKI. Undang-undang keadaan
darurat perang yang diumumkan pada Maret 1957 sebagai jawaban
terhadap pemberontakan PRRI/Permesta memberi kekuasaan istimewa
kepada Angkatan Darat untuk campur tangan dalam kehidupan politik
sipil. Seperti Daniel Lev mengatakan, “Undang-undang keadaan darurat
perang telah menjadi piagam politik Angkatan Darat.”20 Para panglima
Angkatan Darat di daerah-daerah melakukan pembatasan terhadap pers,
menahan tokoh-tokoh politik, dan memberlakukan undang-undang tak
tertulis mereka sendiri. Nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda
dalam Desember 1957 memberi kesempatan bagi Angkatan Darat
memasuki dunia perekonomian. Banyak panglima menjadi pengusaha,
memperoleh keuntungan berlimpah dari perkebunan, pabrik, usaha
impor-ekspor, dan penyelundupan.21 Mereka menumpuk dana yang
cukup besar untuk membiayai usaha mereka menerobos tempat-tempat
strategis di tengah masyarakat sipil. Pada akhir 1950-an dan awal 1960-an
Angkatan Darat di bawah Nasution mendesakkan bentuk negara korporatis,
militer, yang di dalamnya partai politik dihapus dan ranah publik
dikosongkan dari pertarungan politik.22 Pada 1958 politikus veteran
262
6. SUHARTO, ANGKATAN DARAT, DAN AMERIKA SERIKAT
Sjahrir memperingatkan bahwa perwira-perwira Nasution memendam
“cita-cita militeristik dan fasis” untuk pemerintah Indonesia.23
Banyak pejabat dari kalangan pemerintahan Kennedy percaya bahwa
ketertiban politik dan pembangunan ekonomi di negara-negara Dunia
Ketiga tertentu bisa tercapai dengan baik melalui pemerintahan militer.
Para pejabat AS ini beranggapan bahwa militer sering kali merupakan
lembaga yang terorganisasi paling baik, dan oleh karena itu paling layak
memimpin pemerintahan. Seorang ilmuwan politik, Lucien Pye, dari Massachusetts
Institute of Technology menyatakan bahwa tentara di negerinegeri
praindustri bisa menjadi “agen-agen modernisasi” karena mereka
cenderung “mengutamakan pandangan rasional dan memperjuangkan
perubahan yang bertanggung jawab dan pembangunan nasional.” Para
perwira Angkatan Darat menghargai “kemajuan teknologi,” dapat
memajukan “rasa kewarganegaraan,” dan mampu “memperkuat fungsifungsi
yang pada hakikatnya administratif.”24 Walt Rostow mengepalai
sebuah tim di Departemen Luar Negeri yang pada Januari 1963 menulis
laporan berjudul “Th e Role of the Military in the Underdeveloped Areas”
(Peranan Militer di Kawasan yang Belum Berkembang), yang menyodorkan
gagasan mendorong militer di beberapa negara untuk mengambil
alih fungsi-fungsi negara dan mengabaikan prinsip supremasi sipil.25
Pemerintah Kennedy berharap Angkatan Darat Indonesia menjadi negara
di dalam negara.
Pimpinan tertinggi Angkatan Darat Indonesia memandang dirinya
sendiri dengan cara yang sama. Pada awal 1960-an pimpinan ini telah
mempersiapkan diri untuk mengambil alih kekuasaan negara. Guy
Pauker, seorang ahli terkemuka AS untuk urusan militer Indonesia yang
berafi liasi baik dengan Rand Corporation maupun University of California-
Berkeley, melihat bahwa Nasution mengikuti strategi jangka panjang
yang cerdik “untuk menjadikan Angkatan Darat Indonesia sebuah organisasi,
yang pada akhirnya dapat memantapkan dan mengembangkan
negeri tersebut.”26 Nasution tidak ingin mengambil alih kekuasaan negara
sebelum Angkatan Darat tertata ketat sebagai suatu lembaga yang terpusat
dan “mampu memerintah Indonesia”; jenderal ini sadar bahwa Angkatan
Darat tidak bisa melancarkan kudeta terhadap Presiden Sukarno karena
ia terlalu populer. “Setiap serangan politik secara langsung terhadapnya
pasti akan gagal.”27 Angkatan Darat tidak bisa mendongkel Sukarno
263
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
tanpa memicu perang saudara yang tak terkendalikan. Pauker tidak
optimistis akan keberhasilan strategi jangka panjang Nasution – baik
Sukarno maupun PKI mempunyai kemungkinan untuk menggagalkannya.
Tapi Pauker melihat bahwa Angkatan Darat merupakan satu-satunya
harapan sejati untuk menghancurkan kaum komunis. Angkatan Darat
merupakan “titik penggalangan kekuatan elemen-elemen antikomunis”
dalam masyarakat sipil.28
Pauker mulai bersekutu dengan Wakil Direktur Sekolah Staf
Komando Angkatan Darat (Seskoad), Kolonel Suwarto, yang sedang
mempersiapkan para perwira rekan-rekannya untuk peranan mereka
sebagai penguasa masa depan.29 Suwarto, lulusan program pendidikan
di Fort Leavenworth pada 1959, terkenal sebagai musuh pribadi Presiden
Sukarno. Hanya berkat perlindungan Yani, Suwarto bisa tetap memegang
posisi berpengaruh dalam Angkatan Darat dan meneruskan persekongkolannya
melawan Sukarno.30 Tentu saja Angkatan Darat tidak bisa
secara terbuka membahas rencana perebutan kekuasaan negara. Suwarto
dan rekan-rekannya yang berhaluan sama di Seskoad bekerja dengan cara
yang licin. Misalnya, mereka mengatur agar ekonom-ekonom berpendidikan
AS di Universitas Indonesia pergi ke Bandung untuk memberikan
seminar-seminar kepada para perwira Angkatan Darat. Ekonom-ekonom
ini pada umumnya mengenyam pendidikan di Berkeley, atas santunan
Ford Foundation. Seorang guru besar dari Berkeley yang mengepalai
proyek ini, Bruce Glassburner, tinggal selama tiga tahun di Indonesia
(1958-1961) dan belakangan mengenang bahwa para perwira Angkatan
Darat di Seskoad ingin belajar tentang ekonomi agar mereka bisa memerintah
dengan bijak jika mereka telah mengambil alih kekuasaan negara:
“Mengingat keadaan ekonomi Indonesia yang gawat pada awal dan pertengahan
1960-an, mereka dengan mudah memahami bahwa bila terjadi
perubahan politik yang akan membawa militer ke tampuk kekuasaan,
penyelesaian dengan cepat masalah-masalah ekonomi terburuk harus
menjadi prioritas paling utama.”31 Para ekonom yang mengajar di
Seskoad, misalnya Muhammad Sadli, belakangan dikenal sebagai apa
yang disebut teknokrat dan mafi a Berkeley dari rezim Suharto.32
Di antara para perwira yang mengikuti seminar Seskoad ialah
Suharto. Saat itu ia baru saja dipecat dari kedudukannya sebagai panglima
Angkatan Darat di Jawa Tengah atas tuduhan korupsi, tapi perwira264
6. SUHARTO, ANGKATAN DARAT, DAN AMERIKA SERIKAT
perwira atasannya memutuskan bahwa operasi penyelundupannya di
pelabuhan Semarang tidak cukup berat untuk melahirkan penuntutan.
Mereka tidak mengumumkan alasan pemecatannya. Tuduhan dipetieskan,
dan ia dikirim ke Seskoad pada akhir 1959. Di sekolah ini ia ada
di bawah pengaruh Suwarto. Seorang sejarawan militer Indonesia, Ulf
Sundhaussen, menulis bahwa di Seskoad Suharto “terlibat dalam penyusunan
Doktrin Perang Teritorial dan kebijakan Angkatan Darat tentang
Civic Mission (yaitu penetrasi para perwira Angkatan Darat ke dalam
segala bidang kegiatan dan tanggung jawab pemerintah).”33 Suwarto
mengajar para perwira agar berpikir tentang Angkatan Darat sebagai
sebuah lembaga yang mempunyai hak dan kemampuan untuk melibatkan
diri di dalam memimpin negeri ini. Walaupun Suharto tidak pergi
belajar di Amerika Serikat, ia tentu tahu tentang harapan AS terhadap
Angkatan Darat, baik sebagai benteng antikomunis maupun sebagai
pemerintah bayangan.
Belakangan Yani dan stafnya merekrut Suharto untuk memainkan
peranan rahasia yang penting dalam usaha mereka untuk menggembosi
konfrontasi, kampanye anti-Malaysia Sukarno. Pada mulanya jenderaljenderal
Angkatan Darat tidak menentang kampanye yang dilontarkan
pada September 1963 karena kampanye itu membuahkan kenaikan
dana. Tapi ketika pertempuran-pertempuran kecil menghebat dalam
pertengahan sampai akhir 1964, mereka ingin mencegahnya berkembang
menjadi perang besar melawan militer Inggris, yang melindungi Malaysia.
Untuk menghindari pertikaian dengan Sukarno, yang dikenal suka mencampuri
urusan pengangkatan dalam Angkatan Darat jika ia tidak senang,
di muka umum jenderal-jenderal itu tetap mendukung konfrontasi.
Namun sementara itu mereka menggunakan berbagai cara terselubung
untuk menyabotnya. Mereka berusaha memengaruhi Sukarno agar mereorganisasi
komando militer untuk konfrontasi. Sukarno merasa perlu
mengadakan perubahan setelah mengalami kegagalan yang memalukan
dalam serangan-serangan rahasia terhadap Malaysia pada pertengahan
1964, dan menyetujui usul Angkatan Darat dengan memberi nama baru
komando multitugas ini sebagai Komando Mandala Siaga (Kolaga) pada
September 1964. Ia juga mengesahkan dimasukkannya Suharto sebagai
Wakil Panglima Kolaga pada 1 Januari 1965.34
Dari kedudukannya sebagai orang kedua dalam komando, Suharto
265
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
terus mendesakkan wewenang yang lebih besar dari Panglima Kolaga,
Laksamana Madya AURI Omar Dani.35 Suharto yang menentukan
penempatan personil dan persenjataan Angkatan Darat yang ditugasi
untuk kampanye anti-Malaysia. Pada waktu itu pangkalan operasi
Suharto ialah Kostrad, pasukan cadangan Angkatan Darat, yang sejak
Mei 1963 ada di bawah komandonya. Suharto memperlambat kegiatan
pengiriman pasukan, dan membiarkan pasukan-pasukan yang ditempatkan
dekat perbatasan Malaysia terus-menerus kekurangan personil
dan perlengkapan. Omar Dani, sebagai Panglima AURI, tidak bisa
memaksa Angkatan Darat untuk tunduk kepada sasaran-sasaran yang
telah ditetapkannya. Pasukan-pasukan yang ditempatkan di Sumatra,
di bawah komando Kolonel Kemal Idris, musuh lama Sukarno, yang
pengangkatannya merupakan taktik lain untuk menyabot konfrontasi,
tidak diberi kapal-kapal pengangkut sehingga menghalangi mereka untuk
menyerbu Malaysia.36
Suharto dan agen-agen intelijennya di Kostrad juga menyabot konfrontasi
dengan menghubungi wakil-wakil Malaysia dan Inggris secara
diam-diam dan meyakinkan mereka bahwa Angkatan Darat menentang
pertempuran-pertempuran kecil yang berlangsung dan akan berusaha
membatasinya. Barangkali Yani dan kepala intelijennya, S. Parman,
mempercayakan kepada Suharto tugas yang peka ini sehingga mereka
bisa dengan tenang mengingkarinya seandainya komplotan mereka terbongkar.
Pada Juli atau Agustus 1964 Suharto memerintahkan perwira
intelijennya di Kostrad, Mayor Ali Moertopo, agar memberi tahu musuh
tentang maksud sebenarnya Angkatan Darat.37 Untuk memudahkan
dalam berkomunikasi dengan para pejabat Malaysia, Ali Moertopo
menggunakan orang-orang sipil Indonesia yang pernah terlibat dalam
pemberontakan PRRI/Permesta pada 1957-1958, dan telah memilih
hidup di pengasingan di Singapura dan Malaysia.38 Pada Januari 1965
Suharto memanggil teman lamanya, Kolonel Yoga Sugama dari Belgrado,
ketika itu ia atase militer di sana, untuk segera kembali ke Indonesia agar
bisa membantu “mengerem” konfrontasi.39 Yoga mengambil alih tugas
Moertopo. Disamping itu, Mayor Benny Moerdani, perwira Kostrad
sejak Januari 1965, dikirim ke Bangkok untuk menghubungi para
pejabat yang pro-Barat di sana. Untuk penyamaran statusnya ia bekerja
sebagai manajer penjualan di kantor maskapai penerbangan Indonesia,
266
6. SUHARTO, ANGKATAN DARAT, DAN AMERIKA SERIKAT
Garuda.40
Salah satu alasan mengapa Suharto dan perwira-perwira Kostrad
menentang konfrontasi ialah karena operasi ini mengalihkan sumber
daya Angkatan Darat dari kampanye melawan PKI. Bagian intelijen di
Kostrad pada pertengahan 1964 menulis laporan rahasia yang menyatakan
bahwa konfrontasi mengacaukan upaya Angkatan Darat untuk
mengendalikan PKI.41 Terlalu banyak pasukan dipusatkan di sepanjang
perbatasan dengan Malaysia, bukan ditempatkan di tengah masyarakat
sipil Indonesia, terutama masyarakat Jawa. Sebuah laporan rahasia
pemerintah AS yang muncul belakangan menulis bahwa militer lebih
suka mengakhiri konfrontasi agar pasukan bisa dikembalikan ke induk
pangkalan mereka sendiri “untuk dipersiapkan bagi konfrontasi terhadap
PKI dan kaum ekstremis lainnya di masa yang akan datang.”42
TAHUN BENTROKAN
Dilatih, dipersenjatai, didanai, dan didorong oleh Amerika Serikat untuk
menyerang PKI, pimpinan tertinggi Angkatan Darat pada Januari 1965
memutuskan untuk memulai perencanaan kemungkinan melakukan
serangan. Serangkaian peristiwa memancing Yani dan lingkaran terdekatnya
untuk percaya bahwa kekuasaan Presiden sudah mulai kurang
mantap dan, akibatnya, ancaman PKI menjadi makin meningkat.
Kesehatan Sukarno memburuk, seperti ditunjukkan oleh gangguan
pada ginjalnya yang mengharuskannya dioperasi pada Desember 1964.
Ia juga menjadi semakin terisolasi di gelanggang internasional. Dalam
menanggapi persetujuan Dewan Keamanan PBB yang memberikan kursi
keanggotaan untuk Malaysia, pada 7 Januari 1965 Sukarno mengumumkan
bahwa Indonesia menyatakan keluar dari PBB. Kebijakannya
tentang konfrontasi terhadap Malaysia membuat PKI berani menuntut
agar ribuan, jika bukan jutaan, rakyat sipil dipersenjatai dan diorganisasi
sebagai angkatan kelima, yaitu angkatan baru di dalam ketentaraan.
Dengan kemungkinan dipersenjatainya PKI, jenderal-jenderal
Angkatan Darat menyadari bahwa konfrontasi bergulir cepat di luar
kendali mereka. Menurut analisis CIA tentang G-30-S yang telah
diterbitkan, Yani dan empat jenderal lain mulai bertemu pada Januari
267
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
1965 “untuk merundingkan situasi politik yang memburuk dan apa
yang harus dilakukan Angkatan Darat menghadapi hal itu. Kelompok
ini, yang dikenal sebagai ‘brain trust’ [kelompok pemikir], melibatkan
keempat jenderal tersebut, yaitu: Jenderal Suprapto, Jenderal Harjono,
Jenderal Parman, dan Jenderal Sukendro.” Jenderal-jenderal ini bertemu
“secara teratur, [dan] rahasia.”43 Tiga jenderal tersebut pertama adalah
anggota staf umum Yani (SUAD). Jenderal terakhir, Sukendro, pernah
memimpin penindasan terhadap PKI pada Juli-September 1960, dan
pada saat itu, bersama jenderal-jenderal lain dari Angkatan Darat yang
antikomunis garis keras, mendesak Nasution agar melakukan kudeta
terhadap Sukarno. Sukarno mengajak Angkatan Darat mencapai sebuah
kompromi yang berujung pada berakhirnya penindasan terhadap PKI
dan pengiriman Sukendro ke pengasingan selama tiga tahun.44 Dalam
tahun-tahun pengasingan itu Sukendro belajar di University of Pittsburgh
dan menjalin kontak lebih dekat dengan para pejabat AS dan CIA. Yani
memanggil kembali Sukendro ke Angkatan Darat pada 1963, kemudian
memberinya kepercayaan merancang komplotan tingkat tinggi, memulai
kembali apa yang pernah diusahakannya dengan begitu kasar pada 1960:
mengganyang PKI dan mendongkel Sukarno.
Informasi tentang kelompok para jenderal pilihan Yani itu bocor.
Sukarno mendengar desas-desus tentang Dewan Jenderal dan memanggil
Yani ke istana pada 22 Mei 1965 untuk dimintai keterangan. Seperti
diakui CIA, kelompok pemikir dalam lingkaran Yani ini hampir bisa
dipastikan adalah kelompok yang dimaksud PKI pada saat memperingatkan
Sukarno.45 Yani berpendapat bahwa sementara orang telah keliru
tafsir mengenai dewan kenaikan pangkat di kalangan perwira tinggi
Angkatan Darat, Dewan Jabatan dan Kepangkatan Tinggi (Wanjakti),
sebagai Dewan Jenderal.
Duta Besar AS, Howard Jones, mendengar tentang diskusi yang
dilakukan kelompok pemikir Yani pada Januari 1965. Jones mengirim
kawat kepada atasannya di Washington bahwa seorang informan kedutaan
besar, yang baru saja kembali dari sebuah rapat dengan Jenderal Parman,
melaporkan, Angkatan Darat sedang “menyusun rencana khusus untuk
mengambil alih pemerintahan pada saat Sukarno turun panggung.”
Walaupun perencanaan yang didasarkan pada beberapa kemungkinan
ini dibuat “dengan tujuan masa pasca-Sukarno,” beberapa perwira dari
268
6. SUHARTO, ANGKATAN DARAT, DAN AMERIKA SERIKAT
“komando puncak militer mendorong agar kup dilancarkan sebelum
Sukarno meninggal jika PKI berhasil membentuk pasukan milisi
bersenjata. Informan itu menjelaskan, jika Angkatan Darat memang
mengambil alih kekuasaan sebelum Sukarno meninggal, “kup akan
diselenggarakan sedemikian rupa untuk menjaga agar kepemimpinan
Sukarno tetap utuh.” Kup tersebut akan merupakan kup yang tidak
tampak seperti kup. Informan Jones bahkan menyatakan bahwa bahkan
para penghujat Presiden di dalam tubuh Angkatan Darat pun “yakin
bahwa tidak mungkin terjadi kup apa pun terhadap Sukarno yang akan
berhasil. Ia masih tetap dicintai rakyat.” Jones memandang informasi itu
bisa dipercaya, karena informannya merupakan sebuah “sumber yang
sangat bagus.”46
Diplomat berpengalaman Ellsworth Bunker, yang dikirim ke Jakarta
pada April 1965 untuk melakukan penilaian menyeluruh terhadap
hubungan AS - Indonesia, membenarkan tinjauan tentang Sukarno
yang tidak bisa diserang itu. “Tidak perlu disangsikan kesetiaan rakyat
Indonesia kepada Sukarno,” tulisnya dalam laporannya kepada Presiden
Johnson. Bangsa Indonesia “dalam jumlah yang besar mengharapkan
kepemimpinan darinya, mempercayai kepemimpinannya, dan bersedia
mengikutinya. Tak ada kekuatan di tanah air yang bisa menyerangnya,
tidak pula ada bukti bahwa suatu kelompok penting ingin berbuat
demikian.”47
Agar sebuah kudeta berhasil di Indonesia, ia harus diberi kedok yang
sebaliknya: usaha untuk menyelamatkan Presiden Sukarno. Angkatan
Darat harus tampil sebagai penyelamat Sukarno dan bukan sebagai
penggali liang kubur baginya. Masalahnya bagi Angkatan Darat adalah
bahwa kudeta berkedok seperti itu memerlukan adanya suatu dalih.
Seperti di atas sudah saya kemukakan, sampai 1959 Dewan Keamanan
Nasional AS telah memahami bahwa penindasan terhadap PKI haruslah
“bisa dibenarkan secara politik dari sudut kepentingan Indonesia sendiri”;
PKI harus diarahkan “masuk posisi sebagai oposisi terbuka terhadap
pemerintah Indonesia.” Dalih untuk kup yang masuk akal haruslah
merupakan percobaan kup oleh PKI. Duta Besar Jones berbicara pada
sebuah rapat tertutup para pejabat Departemen Luar Negeri di Filipina
pada Maret 1965, “Dari sudut pandangan kita, tentu saja, percobaan
kup yang gagal oleh PKI kiranya merupakan perkembangan yang paling
269
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
efektif untuk memulai pembalikan kecenderungan politik di Indonesia.”
Jones berharap PKI akan mengajukan kepada Angkatan Darat “tantangan
tegas yang bisa merangsang reaksi yang efektif.”48
Jones tidak sendiri dalam berpikir tentang “usaha kup yang gagal
oleh PKI” sebagai dalih yang ideal. Gagasan ini beredar luas di kalangan
korps diplomatik di negara-negara yang bersahabat dengan Amerika
Serikat. Edward Peck, wakil Menlu di Kementerian Luar Negeri Inggris,
menyarankan “karenanya barangkali banyak yang harus dibicarakan
untuk mendorong PKI melakukan kup prematur selagi Sukarno masih
hidup.”49 Menjawab Peck, Komisaris Tinggi Selandia Baru di London,
pada Desember 1964 dengan tegas mengatakan bahwa kup prematur PKI
“boleh jadi merupakan cara penyelesaian yang paling berguna bagi Barat
– asal kup itu gagal.”50 Gagasan ini bahkan meluas sampai ke Kementerian
Luar Negeri Pakistan. Seorang perwira intelijen Belanda pada Organisasi
Pertahanan Atlantik Utara (NATO, North Atlantic Treaty Organization)
memberi tahu Duta Besar Pakistan di Eropa Barat tentang gagasan ini
pada Desember 1964. Duta Besar itu, sesuai dengan tugasnya, melapor
kepada atasannya di Islamabad bahwa suatu “kup komunis prematur”
yang “sengaja dirancang untuk gagal” akan memberi “kesempatan
yang sah dan memuaskan bagi Angkatan Darat untuk menghancurkan
komunis dan membikin Sukarno sebagai tawanan niat baik Angkatan
Darat.”51 Gagasan itu rupanya dipandang sangat pintar sehingga menjadi
bahan senda gurauan dalam kalangan elite. Inilah mungkin sebabnya
mengapa Jones menggunakan kata-kata “tentu saja” ketika memulai
pembicaraan tentang soal ini dengan rekan-rekannya di Departemen
Luar Negeri, seakan-akan mereka itu sudah mengetahuinya.
Baik pemerintah Amerika Serikat maupun komando tertinggi
Angkatan Darat Indonesia melewatkan 1965 untuk menunggu terjadinya
semacam aksi dramatis dari PKI yang akan memberikan pembenaran
bagi penindasan terhadapnya. Sementara pihak bahkan memberi saran
yang membantu, yaitu agar Amerika Serikat bertindak selaku katalisator
untuk bentrokan yang sangat dinantikan ini. Pada Maret seorang analis
di Departemen Luar Negeri di Washington mempertanyakan, “Apakah
ada sesuatu yang akan membikin bentrokan [semacam itu] tidak bisa
dielakkan?”52 Ellsworth Bunker, dalam laporannya bulan April, menganjurkan,
agar “AS harus diarahkan untuk menciptakan kondisi yang
270
6. SUHARTO, ANGKATAN DARAT, DAN AMERIKA SERIKAT
akan memberi elemen-elemen kekuatan yang potensial kondisi-kondisi
yang paling menguntungkan untuk konfrontasi.”53
Amerika Serikat “menciptakan kondisi” melalui operasi-operasi
rahasia. Sebuah komisi NSC menyetujui proposal pada Maret 1965
untuk aksi-aksi rahasia, misalnya “menyokong kelompok-kelompok
antikomunis yang ada,” “operasi-operasi black letter [surat kaleng]” dan
“operasi-operasi media.” Rencananya adalah “menggambarkan PKI
sebagai penentang Sukarno dan nasionalisme yang sah yang semakin
ambisius dan berbahaya,” dan dengan demikian menyatukan semua
elemen nonkomunis untuk melawan PKI. Proposal ini menyebutkan
bahwa “tokoh-tokoh nasionalis terkemuka” di Indonesia telah diberi
“sejumlah dana” melalui “saluran-saluran yang aman,” sehingga mereka
bisa “mengambil langkah perintang terhadap PKI.”54
Pemerintah AS menjadi sangat mengharapkan terjadinya bentrokan
antara Angkatan Darat dan PKI pada 1965 karena hubungan AS dengan
pemerintah Sukarno dengan cepat memburuk. Para demonstran militan
menyerang banyak kantor konsulat dan perpustakaan pemerintah AS.
Reaksi Sukarno yang ogah-ogahan terhadap serangan-serangan pada
Februari dan Maret ini mengesankan bahwa ia mengipasi demonstrasi-
demonstrasi itu. Amerika Serikat menempuh apa yang dinamai
“low-posture policy” (kebijakan merunduk). Kebijakan ini memerlukan
penarikan mundur sebagian besar personil kedutaan besar (yang mencapai
empat ratus orang pada April dan tiga puluh lima orang pada Agustus),
penghentian bantuan kepada pemerintah Sukarno, dan kelanjutan
hubungan dengan pimpinan Angkatan Darat dengan harapan mereka
akan bertindak melawan PKI dan Sukarno. Pos CIA tetap dipertahankan
dengan kontingen lengkap beranggotakan dua belas orang (delapan staf
operasional dan empat staf administrasi) agar badan ini bisa meneruskan
kegiatan rahasia mereka.55
Sambil meringkuk dalam-dalam, para pejabat Kedutaan Besar AS
yakin bahwa bentrokan penentuan melawan PKI sudah hampir tiba.
Pada April Bunker menulis, “Ketertampakan AS harus dikurangi sehingga
mereka yang menentang kaum komunis dan ekstremis bisa leluasa menghadapi
konfrontasi, hal yang mereka yakini akan terjadi, tanpa kekhawatiran
akan diserang sebagai pembela-pembela kaum neokolonialis
dan imperialis.”56 Marshall Green, pengganti Jones sebagai Duta Besar
271
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
AS pada Juli 1965, diberi wewenang untuk menempuh garis lebih keras
terhadap Sukarno. Penilaian Green sesudah sekitar satu bulan di Jakarta
adalah bahwa prioritas AS harus “tetap memelihara hubungan apa saja
yang mungkin dengan Angkatan Darat dan elemen-elemen lain dalam
struktur kekuasaan, dengan memandang pada periode pasca-Sukarno.”57
Selama masa jabatan Green Kedutaan Besar AS bertiarap sambil berharap
bahwa kontak-kontak kedutaan besar di dalam Angkatan Darat akan
bertindak melawan PKI dan Sukarno. Seperti dijelaskan seorang staf
NSC kepada Presiden Johnson, “Sasaran utama tetap mengarungi badai
panjang dengan menutup rapat-rapat lubang palka (mengurangi jumlah
staf diplomatik) dalam usaha memainkan pertaruhan jangka panjang
pasca-Sukarno.”58 Amerika Serikat memutuskan untuk tidak melakukan
pemutusan hubungan sama sekali dengan Indonesia sehingga dengan
demikian ia dapat terus melakukan hubungan dengan sekutu-sekutu
antikomunisnya dalam Angkatan Darat.
Salah seorang Amerika yang mempunyai hubungan paling dekat
dengan Angkatan Darat Indonesia ialah George Benson, penasihat civic
action untuk Angkatan Darat Indonesia. Ia mempunyai hubungan pribadi
yang erat dengan Yani dan banyak perwira dari SUAD. Sebelum Benson
kembali ke Amerika Serikat pada Juli 1965, ia mengadakan jamuan
makan siang dengan Yani dan Parman. Menurut Benson, Yani memberi
jaminan kepadanya bahwa Angkatan Darat secara padu antikomunis.
Yani menjelaskan bahwa ia dan staf umumnya telah mengangkat 120
komandan batalyon di seluruh tanah air dan dalam pandangan mereka
semuanya bisa dipercaya. Menurut Benson, Yani juga mengatakan,
“Kami mempunyai senjata, dan kami tidak membolehkan senjata jatuh
ke tangan mereka [komunis]. Karenanya jika terjadi bentrokan, kami
akan membersihkan mereka semua.”59
Pemerintah Amerika Serikat, tentu saja, tidak tahu dengan tepat
kapan dan bagaimana bentrokan antara Angkatan Darat dan PKI akan
terjadi. Namun Amerika Serikat bisa memastikan bahwa konfrontasi itu
akan terjadi, dan juga cukup yakin bahwa Angkatan Darat, bagaimanapun,
akan menang. Pada Januari 1965 saja penilaian CIA tentang
“permulaan pergulatan alot untuk penggantian Sukarno” meramalkan
bahwa “perjuangan pertama untuk menggantikannya akan dimenangkan
oleh Angkatan Darat dan elemen-elemen nonkomunis.”60 Kenyataan
272
6. SUHARTO, ANGKATAN DARAT, DAN AMERIKA SERIKAT
sederhana, yang dengan terus terang dikatakan Yani kepada Benson,
adalah Angkatan Darat memonopoli persenjataan. Frederick Bunnel
dengan tepat melukiskan kebijakan AS pada 1965, “Selalu ada keyakinan
yang berhati-hati bahwa Angkatan Darat bisa dan akan menang dalam
bentrokan di masa pasca-Sukarno, tapi bentuk dan waktu bentrokan itu
tidak bisa diramalkan.”61
Mengingat Kedutaan Besar AS ingin memancing bentrokan,
menjadi beralasan untuk menduga bahwa operasi-operasi rahasia pos
CIA melibatkan tindakan-tindakan yang akan mendorong PKI agar
berpikir bahwa partai dan Sukarno berada dalam bahaya. Beberapa dari
“operasi-operasi black letter [surat kaleng]” dan “operasi-operasi media”
CIA tentunya dirancang untuk meyakinkan pimpinan PKI bahwa
jenderal-jenderal Angkatan Darat dan Amerika Serikat adalah anjinganjing
gila yang sangat mengingini kup.
Para pejabat AS berulang kali memberi tahu jenderal-jenderal
pimpinan Angkatan Darat bahwa Amerika Serikat akan mendukung
mereka jika mereka bergerak melawan PKI. Howard Jones sudah
meyakinkan Nasution sebelumnya pada Maret 1964 dalam pertemuan
pribadi mereka selama sembilan puluh menit bahwa pasti akan datang
“dukungan AS pada saat krisis.” Sebaliknya, Nasution meyakinkan Jones
bahwa Angkatan Darat “tetap berpandangan antikomunis” dan sedang
mengindoktrinasi para perwira “untuk memastikan kesiagaan tentara
menghadapi tantangan apabila saatnya tiba.”62 Pada kesempatan lain
Nasution meyakinkan Jones bahwa serangan Angkatan Darat terhadap
PKI pada 1948, serangan yang sebagian besar dilakukan oleh pasukan
Jawa Barat di bawah Nasution sendiri, “Ringan saja jika dibandingkan
dengan tindakan yang akan dilakukan Angkatan Darat sekarang ini.”63
Pertanyaan yang belum terjawab ialah apakah PKI akan memberi
Angkatan Darat dalih untuk sebuah serangan. Sementara Jones melihat
bahwa “percobaan kup yang gagal oleh PKI” sebagai kejadian yang ideal,
ia pesimis terhadap kemungkinan kup akan terjadi. Dalam pidatonya
untuk Departemen Luar Negeri pada Maret 1965 Jones mengatakan
bahwa PKI mungkin tidak akan mencoba melakukan aksi apa pun
terhadap Sukarno, “PKI berada di posisi terlalu baik melalui taktik kerja
samanya dengan Sukarno dewasa ini. Kecuali jika pimpinan PKI lebih
gegabah dari yang saya pikir tentang mereka, mereka tidak akan meng273
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
ajukan kepada Angkatan Darat tantangan tegas yang bisa merangsang
reaksi yang efektif.”64 Berlawanan dengan perhitungan Jones, PKI, lebih
khusus lagi Aidit dan Sjam, ternyata berjalan masuk perangkap.
MEMANFAATKAN GERAKAN 30 SEPTEMBER
Menjelang G-30-S pecah, para pejabat tinggi AS dan perwira-perwira
Indonesia sekutu mereka sudah menyiapkan sebuah skenario yang berisi
pokok-pokok alur kejadian sebagai berikut: menuding PKI melakukan
percobaan kup, melancarkan represi besar-besaran terhadap PKI di
seluruh negeri, tetap menggunakan Sukarno sebagai presiden boneka
sambil merongrong kekuasaannya, dan membangun satu pemerintah
korporatis baru yang dikuasai Angkatan Darat. Itulah skenario ideal
mereka. Peristiwa demi peristiwa muncul dan berkembang begitu
rupa sehingga memungkinkan mereka mewujudkan skenario ini jadi
kenyataan. Meskipun G-30-S terjadi sebagai sebuah kejutan, mereka
segera tahu bagaimana mengambil manfaat daripadanya. Gerakan 30
September bukanlah sebuah percobaan kup langsung oleh PKI, tapi
cukup serupa untuk memenuhi tujuan mereka. Gerakan 30 September
telah membuka jalan bagi para pejabat AS dan jenderal-jenderal Indonesia
sahabat mereka untuk menjalankan rencana lama mereka mendongkel
Sukarno dan menyerang PKI.
Dalam hari-hari pertama Oktober Kedutaan Besar AS dan para
pembuat kebijakan di Washington khawatir bahwa Angkatan Darat
Indonesia tidak akan memanfaatkan sepenuhnya kesempatan untuk
menyerang PKI. Bahkan sebelum Amerika Serikat mempunyai bukti
kuat tentang tanggung jawab PKI pun, ia telah menyalahkan PKI sambil
mendorong Angkatan Darat agar menghancurkan partai itu. Laporan
Kedutaan Besar bertanggal 4 Oktober menyatakan, Angkatan Darat
belum “sampai pada keputusan apakah akan meneruskan usahanya
untuk mencapai kemenangan penuh atas PKI.”65 Sementara para
pejabat tinggi AS percaya bahwa Nasution, sekutu lama mereka, akan
mendorong terjadinya penyerangan besar-besaran, mereka khawatir
elemen-elemen lain di dalam Angkatan Darat akan menghalanginya.
Pos CIA di Jakarta menyatakan sehari kemudian bahwa “Angkatan Darat
274
6. SUHARTO, ANGKATAN DARAT, DAN AMERIKA SERIKAT
harus bergerak cepat jika ia hendak memanfaatkan kesempatannya untuk
bergerak melawan PKI.”66 Pos CIA (mungkin pimpinannya, B. Hugh
Tovar) kembali khawatir pada 7 Oktober bahwa ada bahaya Angkatan
Darat tidak akan melancarkan serangan terhadap PKI, tapi cukup puas
dengan aksi terbatas “terhadap mereka yang langsung terlibat dalam
pembunuhan para jenderal.”67 Tepat sehari berikutnya semua kekhawatiran
CIA itu hilang ketika ternyata para jenderal Angkatan Darat sudah
berkumpul pada 5 Oktober dan sepakat untuk “melaksanakan rencana
pengganyangan PKI.”68 Gerakan 30 September akan ditempatkan pada
tujuan yang tepat sebagai pembenaran untuk penindasan terhadap PKI
sebagaimana yang telah direncanakan – penindasan yang ternyata persis
seperti yang telah dijanjikan Nasution: penindasan terhadap PKI pada
1948 tampak lunak belaka.
Walaupun jenderal-jenderal Angkatan Darat tidak memerlukan
jaminan lebih jauh bahwa Amerika Serikat akan menyokong mereka
selama serangan pembasmian PKI berlangsung, Kedutaan Besar AS tetap
memberi mereka jaminan itu. Duta Besar Green mengirim telegram ke
Washington pada 5 Oktober untuk mengusulkan bahwa ia “menyatakan
dengan terus terang kepada tokoh-tokoh kunci dalam Angkatan Darat
seperti Nasution dan Suharto tentang keinginan kita untuk membantu
mereka sejauh kita bisa.” Dalam jawabannya Departemen Luar Negeri
menyetujui usul tersebut tapi dengan catatan bahwa jenderal-jenderal
Angkatan Darat itu harus sudah benar-benar percaya bahwa mereka
bisa bersandar kepada Amerika Serikat, “Selama beberapa tahun belakangan
hubungan timbal balik yang berkembang melalui program pendidikan,
civic action dan MILTAG (Military Assistance Group, Kelompok
Bantuan Militer), demikian pula penyampaian kepastian secara teratur
kepada Nasution, tentunya telah terpatri dengan jelas di dalam pikiran
pimpinan Angkatan Darat bahwa AS selalu berdiri di belakang mereka
apabila mereka memerlukan bantuan.”69 Satu jaminan yang disampaikan
Kedutaan Besar AS kepada ajudan Nasution pada pertengahan Oktober
ialah bahwa pasukan Inggris yang berhimpun di Malaysia tidak akan
memanfaatkan kekacauan di Jakarta dan menyerang pasukan Indonesia
yang terlibat dalam konfrontasi. Angkatan Darat bisa terus melanjutkan
tindak pembasmian terhadap PKI tanpa khawatir akan ada serangan dari
Malaysia. Menurut Kedutaan Besar AS, ajudan Nasution mengutarakan
275
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
terima kasihnya, “Ia [ajudan] berkomentar yang isinya kurang lebih menyatakan
bahwa memang itulah yang diperlukan, yaitu dengan memberi
jaminan bahwa kami (Angkatan Darat) tidak akan diserang dari segala
penjuru ketika kami sedang bekerja membenahi banyak hal di sini.”70
Ketika pasukan pembunuh menyebar di seluruh negeri memburu
massa anggota PKI, Kedutaan Besar AS bergirang hati. Duta Besar Green
mengamati pada awal November bahwa bahkan “tokoh teri” dalam PKI
pun “secara sistematis ditangkap dan dipenjarakan atau dibunuh.” Di Jawa
Tengah Angkatan Darat mengerahkan dan mempersenjatai sukarelawan
pemuda Muslim untuk “mengajukan mereka untuk berhadap-hadapan
melawan PKI.” Dalam memo yang sama itu Green menyatakan bahwa
Kedutaan Besar AS telah “menjelaskan” kepada kontak di Angkatan
Darat “bahwa Kedutaan Besar dan USG [US Government, Pemerintah
AS] secara umum menaruh simpati kepada dan mengagumi apa yang
telah dilakukan Angkatan Darat.”71 Satu-satunya kekhawatiran Green
yang tak kunjung hilang ialah bahwa Angkatan Darat akan berkompromi
dengan Sukarno dan membiarkan PKI tetap memiliki sementara sisasisa
kekuasaannya di masa lalu. Green meyakinkan Washington bahwa
betapapun Angkatan Darat “sedang bekerja keras untuk menghancurkan
PKI dan saya, sebagai pribadi, menjadi makin hormat terhadap
kebulatan tekad serta organisasi mereka dalam melaksanakan tugas yang
menentukan ini.”72
Amerika Serikat menyokong kata-katanya yang mengobarkan
semangat itu dengan bantuan material. Angkatan Darat memerlukan
peralatan komunikasi untuk menghubungkan berbagai markas di seluruh
tanah air agar mereka bisa mengoordinasi dengan lebih baik gerak
melawan PKI.73 Suatu ketika pada akhir 1965 Amerika Serikat menerbangkan
perangkat komunikasi radio lapangan (mobile radio) yang sangat
canggih dari Pangkalan Udara Clark di Filipina dan semuanya dikirim
ke markas besar Kostrad di Jakarta. Sebuah antena dibawa masuk ke dan
dipasang di depan markas besar Kostrad. Wartawan penyelidik Kathy
Kadane dalam wawancaranya dengan para mantan pejabat tinggi AS
di akhir 1980-an menemukan bahwa Amerika Serikat telah memantau
komunikasi Angkatan Darat melalui radio-radio tersebut. “CIA memastikan
bahwa frekuensi-frekuensi yang akan digunakan Angkatan
Darat sudah diketahui sebelumnya oleh National Security Agency [NSA,
276
6. SUHARTO, ANGKATAN DARAT, DAN AMERIKA SERIKAT
Badan Keamanan Nasional]. NSA menyadap siaran-siaran radio itu
di suatu tempat di Asia Tenggara, dan sesudah itu para analis menerjemahkannya.
Hasil sadapan itu kemudian dikirim ke Washington.”
Dengan demikian Amerika Serikat memiliki detil bagian demi bagian
laporan tentang penyerangan Angkatan Darat terhadap PKI, misalnya,
mendengar “komando-komando dari satuan-satuan intelijen Suharto
untuk membunuh tokoh-tokoh tertentu di tempat-tempat tertentu.”74
Seorang anggota seksi urusan politik Kedutaan Besar AS, Robert Martens,
membantu Angkatan Darat dengan memberikan daftar nama tokohtokoh
PKI.75 Martens mengakui dalam suratnya kepada harian Washington
Post bahwa ia menyerahkan nama “beberapa ribu” anggota partai,
yang disebutnya dengan cara menyesatkan sebagai “pimpinan dan kader
senior” – seakan-akan sebuah daftar dengan nama sebanyak itu hanya
memasukkan pimpinan inti saja.76
Kedutaan Besar AS juga mentransfer sejumlah besar uang untuk
front sipil ciptaan Angkatan Darat yang disebut Kesatuan Aksi Pengganyangan
Gerakan 30 September (KAP-Gestapu). Aksi-aksi organisasi
ini, seperti dicatat Dubes Green, “Sepenuhnya sejalan dengan dan
dikoordinasi oleh Angkatan Darat.” Untuk membantu KAP-Gestapu
mengadakan demonstrasi-demonstrasi dan melaksanakan “tindakantindakan
represif yang ditujukan terhadap PKI saat ini,” dalam awal
Desember 1965 Green memerintahkan pemberian dana sebesar 50 juta
rupiah kepada wakil KAP-Gestapu, Adam Malik.77
Meskipun Suharto tidak tergolong dalam kelompok pemikir Yani, ia
sangat paham dengan rencana permainan kelompok ini. Seperti sudah direncanakan,
Suharto mempertahankan Sukarno sebagai presiden boneka.
Sukarno tidak secara resmi digeser dari kedudukannya sampai Maret
1967. Pada awal November 1965 Dubes Green mengakui bahwa strategi
Suharto ialah untuk “mendesakkan tekanan dari Angkatan Darat dengan
hati-hati dan menguasai pemerintahan tapi ia tidak akan – jika masih bisa
dihindari – mengambil alih [kekuasaan] secara terang-terangan selama
Sukarno masih hidup.”78 Berlanjutnya keberadaan Sukarno memberi
kredibilitas terhadap segala langkah Suharto, seakan-akan semua terjadi
atas persetujuan presiden. Angkatan Darat dapat memusatkan represinya
terhadap PKI, sementara organisasi-organisasi pro-Sukarno lainnya
tetap tinggal netral, atau ikut serta dalam aksi kekerasan. Pimpinan
277
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
PKI sendiri masih berharap Sukarno akan menggunakan kekuasaannya
sebagai presiden untuk menyelamatkan partai dari penindasan Angkatan
Darat.
Pada awal November Green juga mengerti bahwa Suharto tidak
mendongkel Sukarno untuk memulihkan demokrasi dan membangun
kembali pemerintahan sipil. Sesuai dengan ajaran Nasution dan Suwarto,
Suharto sedang meletakkan dasar-dasar untuk tatanan politik yang secara
keseluruhan didominasi Angkatan Darat. Green menyampaikan kepada
Washington, “Angkatan Darat tidak hanya berpikir dari sudut militer
saja atau bermaksud menyerahkan hari depan politik Indonesia kepada
elemen-elemen sipil. Angkatan Darat membawa orang-orangnya masuk
ke semua aspek pemerintahan dan kerangka organisasi dengan maksud
[untuk] melakukan kontrol terhadap kecenderungan-kecenderungan dan
kejadian-kejadian politis.”79 Sebelum ia secara tak terduga diceburkan
ke dalam kepemimpinan Angkatan Darat pada Oktober 1965, Suharto
menyadari keberadaan rencana Angkatan Darat untuk menciptakan
kediktatorannya sendiri. Nasution dan jenderal-jenderal lain tentu sudah
menggenapi pengetahuannya dengan segala detil yang tidak ia ketahui.
Mengambil manfaat dari meletusnya G-30-S, Suharto berangsur-angsur
melaksanakan rencana yang sudah ada untuk mengubah Angkatan Darat,
yang sudah merupakan pemerintah bayangan itu, menjadi pemerintah
yang senyatanya.
Dari sejak awal ia mengambil kekuasaan negara pada Oktober
1965, Suharto ingin menautkan Indonesia dengan Amerika Serikat
dan mengakhiri politik luar negeri Sukarno yang bebas aktif. Suharto
bertujuan mencapai pertumbuhan ekonomi, syarat mutlak untuk kediktatoran
yang bisa tahan lama, melalui penggabungan yang sangat
erat dengan perekonomian Barat. Ia mengisyaratkan dukungannya yang
kuat terhadap investasi modal swasta Barat sejak cukup dini. Menyadari
keberangan AS terhadap langkah Sukarno menasionalisasikan industri
minyak, Suharto secara pribadi menghalanginya dalam sebuah sidang
kabinet pada Desember 1965 yang berencana membahas persoalan itu.
Wakil Perdana Menteri III, Chairul Saleh, memimpin sebuah sidang
pada 16 Desember untuk memutuskan tentang nasionalisasi perusahaanperusahaan
minyak Caltex dan Stanvac. Segera sesudah Saleh membuka
sidang, Suharto serta-merta tiba dengan helikopter, memasuki ruangan,
278
6. SUHARTO, ANGKATAN DARAT, DAN AMERIKA SERIKAT
dan dengan pongah menyerukan bahwa, sebagaimana catatan Kedutaan
Besar AS dengan sangat gembira menerangkannya, militer “tidak akan
mendiamkan tindakan gegabah terhadap perusahaan-perusahaan
minyak.” Menghadapi ancaman langsung seperti itu, Saleh menunda
pembicaraan tentang nasionalisasi industri minyak sampai waktu tak
terbatas.80
Demi keberhasilannya merebut kekuasaan, Angkatan Darat perlu
memamerkan kemampuannya untuk memperbaiki keadaan perekonomian.
Angkatan Darat akan bisa memperoleh legitimasi hanya bila
masyarakat merasa bahwa ia telah membawa manfaat material yang
nyata.81 Di sinilah tempat pemerintah Amerika Serikat dan para ekonom
Indonesia berpendidikan Amerika Serikat memainkan peranan penting.
Wakil-wakil Angkatan Darat mulai mendekati Kedutaan Besar AS pada
November 1965, meminta pengiriman beras secara rahasia.82 Karena
Amerika Serikat tidak yakin bahwa pengiriman barang-barang perbekalan
dalam jumlah besar bisa dijaga kerahasiaannya dan tetap ada di tangan
Angkatan Darat saja, maka Kedutaan Besar AS menolak permintaan itu.
Amerika Serikat ingin menunggu sampai Angkatan Darat lebih menguasai
kendali atas pemerintahan.83 Segera sesudah Suharto mendemisionerkan
kabinet Sukarno pada pertengahan Maret 1966, dengan memenjarakan
lima belas menteri serta mengangkat pengganti mereka – sementara itu
tetap membiarkan Sukarno sebagai presiden – Amerika Serikat membuka
keran bantuan ekonominya: konsesi penjualan 50.000 ton beras pada
April, dan 75.000 ton kapas, serta $60 juta kredit pertukaran mata uang
asing secara cepat dari Jerman, Jepang, Inggris, dan Amerika Serikat pada
Juni.84 Suharto mengangkat para ekonom berpendidikan Amerika Serikat
untuk menduduki kementerian-kementerian yang berkaitan dengan
masalah perekonomian. Mereka menebarkan sambutan hangat untuk
investasi asing dan mengarahkan ekonomi negeri di sekitar produksi
ekspor untuk pasar dunia Barat.85
KUP ANGKATAN DARAT
Pada saat yang berbeda, dalam konteks yang berbeda pula, barangkali
G-30-S hanya merupakan salah satu kerusuhan sementara dalam
279
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
panggung politik Indonesia. Ia bisa menjadi pemberontakan yang tibatiba
meletus dan kemudian padam diam-diam tanpa menimbulkan
perubahan besar apa pun dalam struktur kekuasaan. Sampai pada 1965
Indonesia pascakemerdekaan telah menyaksikan sejumlah percobaan
pembunuhan terhadap presiden, pemberontakan militer, dan perlawanan
gerilyawan, termasuk misalnya peristiwa 17 Oktober 1952 ketika pasukan
Nasution mengarahkan tank-tank ke istana dan menuntut agar Sukarno
membubarkan parlemen; pemberontakan Letnan Kolonel Zulkifl i Lubis
pada November 1956; pemberontakan Darul Islam dari 1949 sampai
1962; pemberontakan PRRI di Sumatra dari 1956 sampai 1958; dan
pemberontakan Permesta di Sulawesi dari 1957 sampai 1961. Pembunuhan
enam jenderal dan pemberontakan militer di Jawa Tengah
pada 1965 bisa jadi sekadar satu krisis sementara lagi yang harus diatasi
Sukarno. Tapi Angkatan Darat tidak mau membiarkan G-30-S tetap
sekadar sebagai “riak gelombang di samudera luas” yang lain lagi. Peristiwa
itu mengakibatkan berakhirnya kepresidenan Sukarno karena ia terjadi
pada suatu masa ketika Angkatan Darat telah siap dan bertekad untuk
merebut kekuasaan.
Sukarno telah berbuat sekemampuannya untuk memperkecil arti
penting G-30-S. Pidato-pidatonya dari sejak akhir 1965 dan seterusnya
berisi kutukan keras terhadap tindak kekerasan anti-PKI yang dia yakini,
atas dasar penyelidikan komisi yang dibentuknya, telah mengakibatkan
kematian lebih dari setengah juta orang.86 Kekerasan itu jauh tidak
seimbang dengan pembunuhan terhadap enam jenderal dan pemberontakan
di Jawa Tengah. Sukarno terus-menerus menyerukan ketenangan,
“Betul-betul, Saudara-saudara, laten wij onze koppen bij makaar
houden. Laten wij onze koppen bij makaar houden [Kita bersama harus
tenang, berpikir dingin].” Ia ingin menyelidiki peristiwa itu, menetapkan
siapa yang bertanggung jawab, dan menghukum mereka. Tapi Sukarno
tahu bahwa Angkatan Darat, dengan menggunakan kekuasaannya atas
media, tidak menghendaki terciptanya suasana tenang. Media massa
menciptakan segala macam dusta tak masuk akal untuk mengobarkan
kampanye antikomunis. Pada awal November 1965 CIA menyatakan
bahwa Angkatan Darat telah “menetapkan mekanisme perang urat
syaraf, penguasaan media sebagai syarat mutlak untuk memengaruhi
pendapat umum dan mengganggu atau menghalangi informasi kaum
280
6. SUHARTO, ANGKATAN DARAT, DAN AMERIKA SERIKAT
komunis.”87
Sukarno mengeluhkan tentang beberapa kisah tertentu dalam
surat-surat kabar, seperti misalnya salah satu yang mengatakan bahwa
seratus orang anggota Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) menggunakan
silet untuk mengiris-iris penis para jenderal, “Apa dikira kita ini
orang bodoh! Nadanya ialah apa? Untuk membangun kebencian! Masuk
akal? Tidak! Artinya, apa masuk akal, penis dipotong-potong met 100
giletten? … Zijn wij nou een volk van zoo’n lage kwaliteit [Apakah bangsa
kita berkualitas sedemikian rendah] untuk menulis di dalam surat kabar
barang yang bukan-bukan!”88 Ia dibuat meradang oleh arus propaganda
antikomunis yang terus-menerus: bahwa mantan perdana menterinya,
Djuanda, meninggal karena diracun oleh agen-agen pemerintah Cina
Komunis; kursi listrik untuk membunuh orang ditemukan di rumah
orang PKI.89 Pada November Sukarno mengadakan sidang khusus di
Istana Bogor untuk para perwira militer dan wartawan, dengan maksud
untuk membicarakan hal-hal mustahil yang tak kunjung henti muncul
di pers:
“Ayo, sekarang wartawan-wartawan, bagaimana kita punya persuratkabaran!
Sekarang ini lo, sekarang! Bolak-balik ya itu itu saja! Bolakbalik
itu saja. Nah, Saudara mengerti apa yang saya maksudkan, itu
saja. Yaitu selalu Gestapu, Gestapu, Gestapu, Gestapu, Gestapu, silet,
silet, silet, silet, silet, lubang seribu orang, lubang seribu orang, lubang
seribu orang, kursi listrik, kursi listrik, kursi listrik, bolak balik itu saja!”90
Sukarno minta agar wartawan hanya menuliskan tentang kejadian yang
sebenarnya dan selalu ingat kepada peranan mereka dalam membangun
bangsa. Tapi permintaannya berdengung di telinga-telinga tuli. Walhasil,
sang orator besar itu dianggap tak bersuara; pidato-pidatonya hampir
tidak pernah masuk media. Angkatan Darat tidak hanya memegang
bedil, tapi juga menguasai surat kabar dan radio.
Kudeta merangkak Suharto terhadap Sukarno berjalan mulus
karena pimpinan tertinggi Angkatan Darat sudah menyusun rencana.
Enam orang jenderal dari pimpinan tertinggi menjadi korban G-30-S
(suatu akibat yang sesungguhnya tidak dibayangkan di dalam rencana),
tapi mereka yang selamat, seperti Suharto, Nasution, dan Sukendro, bisa
meneruskan rencana dan mulai melaksanakannya. Sementara mereka
tak pelak lagi menghadapi beberapa peristiwa yang tidak diharapkan
281
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
Gambar 9. Kartun ini dimuat dalam sebuah surat kabar yang diakui Angkatan Darat yang
mendukung kampanye anti-PKI. Gambaran kekerasannya sama seperti kartun-kartun yang
terbit dalam koran-koran PKI. Hanya tulisan-tulisannya sekarang dibalik: PKI adalah tokoh
jahat yang mengkhianati cita-cita Sukarno dan bekerja sama dengan kekuatan-kekuatan
imperialis. Gerakan 30 September dilukiskan sebagai seekor ular yang dilukis dengan tulisan
“tikaman dari belakang”, “kontra rev”, dan “fi tnah”. Ia bersekutu dengan hantu imperialisme
dan neokolonialisme (nekolim) Barat di sisi kanan. Si pejuang bertulisan “Rakyat-ABRI”
mengayun pedang “Panca Azimat Revolusi” Sukarno. Semboyan yang ditulis di bawah
terbaca “Tidak Pernah Lupa Nekolim”. Memberikan pembenaran pada kekerasan anti-PKI
dipandang dari sudut cita-cita PKI sendiri (revolusi, Sukarnoisme, dan antiimperialisme)
memperlihatkan, bagaimana enggan jenderal-jenderal Angkatan Darat itu jika harus tampil
melawan prinsip-prinsip tersebut, bahkan ketika mereka itu telah menerima bantuan dari
Amerika Serikat dan merongrong Sukarno.
Sumber: Kompas, 20 Oktober 1965.
282
6. SUHARTO, ANGKATAN DARAT, DAN AMERIKA SERIKAT
dan pada saat-saat tertentu harus mengubah rencana semula, mereka
mempunyai strategi dan seperangkat tujuan yang pasti.91
Suharto dan jenderal-jenderal sekawanannya memahami prinsip
bahwa cara mengambil alih kekuasaan sangat menentukan keberlanjutan
rezim baru. Mereka bukanlah perwira-perwira tolol yang hanya
bisa mengikuti pola-pola lazim kup militer: mengerahkan tanktank
di jalan-jalan di ibu kota, mengepung istana, dan menangkap,
mungkin membunuh, presiden. Mereka menyadari Angkatan Darat
tidak mempunyai cukup legitimasi dan dukungan masyarakat untuk
melakukan tindakan langsung melawan Sukarno. Strategi Angkatan
Darat sesudah kekalahan pemberontakan-pemberontakan daerah tahun
1957-1958 adalah membangun institusi itu sendiri menjadi negara di
dalam negara. Para perwira Angkatan Darat telah menjadi pemilikpemilik
pabrik dan perkebunan, birokrat-birokrat dalam administrasi
pemerintahan, pemimpin-pemimpin serikat buruh, pemilik surat kabar,
dan pelajar-pelajar ekonomi neoklasik. Angkatan Darat telah menunggu
waktu sambil membangun kemampuannya untuk mengelola pemerintahan.
Angkatan Darat tidak mau merebut kekuasaan negara hanya untuk
segera terlepas karena perpecahan intern atau perlawanan yang luas.
Titik tolak rencana permainan Angkatan Darat berupa sebuah aksi
yang bisa diartikan sebagai kup dan dituduhkan kepada PKI. Dengan
memakai G-30-S sebagai dalih, Suharto dan perwira-perwira sekawanannya
menciptakan suasana histeris, penuh krisis yang menggiring semua
unsur nonkomunis untuk mempercayai bahwa mereka dalam ancaman
bahaya maut. Sekali dimulai, kampanye perang urat syaraf bergulir
dengan sendirinya, sementara personil Angkatan Darat meyakinkan diri
mereka sendiri bahwa orang-orang komunis, bahkan para petani di dusun
paling terpencil pun, menimbun senjata-senjata bikinan RRT, menggali
kuburan massal, membikin daftar orang-orang yang harus dibunuh, dan
berlatih cara-cara mencungkil mata. Dengan mengerahkan orang-orang
sipil untuk ikut berperan dalam kekerasan, Angkatan Darat memastikan
agar kampanye itu tampak mendapat dukungan rakyat. Angkatan Darat
dapat tampil sebagai juru selamat bangsa dan pembasmian terhadap
kaum komunis tampak sebagai tugas yang patriotik.
Dengan legitimasi yang diperoleh dari kampanye anti-PKI tersebut,
Angkatan Darat dalam kedudukan untuk bergerak melawan Sukarno.
283
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
Seperti analisis Gedung Putih pada pertengahan Februari 1966 menyatakan,
Nasution dan Suharto sesudah “membinasakan PKI … menggunakan
pengaruh politik yang telah diperolehnya untuk melawan Sukarno.”92
Demonstrasi-demonstrasi mahasiswa dan pelajar (yang sebagian dibiayai
Kedutaan Besar AS) memperlihatkan gelagat ketidakpuasan massa rakyat
terhadap kepresidenan Sukarno. Sesudah disusutkan menjadi sekadar
perlambang – yang tak lebih dari tanda tangan di atas dokumen, potret di
dinding, boneka pajangan berseragam di upacara – Sukarno selanjutnya
didiskreditkan sebagai pendukung PKI dan Gerakan 30 September.
Angkatan Darat, yang merencanakan stabilitas kekuasaannya
berumur panjang, berusaha menyandarkan perebutan kekuasaannya
pada prosedur-prosedur konstitusional. Semua tindakan Suharto
disahkan melalui instruksi-instruksi yang ditandatangani presiden:
pengangkatannya sebagai Panglima Angkatan Darat pada 2 Oktober,
pengesahannya sebagai panglima militer keadaan darurat baru yang
disebut Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib)
pada 1 November, dan pembentukan Mahkamah Militer Luar Biasa
(Mahmilub) pada 4 Desember. Suharto bahkan menggunakan instruksi
presiden sebagai pembenaran untuk menahan lima belas menteri anggota
kabinet Sukarno dan mengangkat menteri-menterinya sendiri. Sukarno,
tentu saja, memprotes bahwa perintah yang diberikannya pada 11 Maret
1966 bukan merupakan pemindahan kekuasaan, tapi kata-kata saja tidak
mampu menghentikan langkah Suharto terus ke depan.93 Suharto sangat
cermat dalam mengolah prosedur konstitusional, seperti misalnya sidang
MPRS yang memilihnya sebagai pejabat presiden pada Maret 1967
(parlemen yang telah dipadati dengan wakil-wakil pilihannya sendiri),
sehingga perebutan kekuasaan negara oleh Angkatan Darat tidak akan
menampak seperti apa yang sejatinya: kudeta.
Penggabungan yang lihai elemen-elemen berikut – teror massa
melawan musuh yang diibliskan, kesepakatan sipil dalam aksi kekerasan
anti-PKI, demonstrasi-demonstrasi pelajar-mahasiswa anti-Sukarno,
cara-cara perang urat syaraf melalui media massa, permainan-permainan
prosedur legalistik – mencerminkan pemahaman yang mendalam tentang
bagaimana merebut kekuasaan negara. Dibanding dengan kup-kup lain
di dunia, kup Angkatan Darat Indonesia merupakan kup yang luar
biasa canggih. Suharto bisa berkuasa sepanjang tiga puluh dua tahun
284
6. SUHARTO, ANGKATAN DARAT, DAN AMERIKA SERIKAT
sebagian karena ia dengan berhati-hati merancang cara yang ia pakai
untuk merebut kekuasaan. Gerakan 30 September, yang diangkat sampai
taraf pengkhianatan bangsa terberat, perwujudan kejahatan mutlak,
merupakan sebuah dalih yang sangat berkena baginya untuk memulai
strategi Angkatan Darat yang sudah lama ditimbang-timbang untuk
menghancurkan Partai Komunis Indonesia, menyingkirkan Presiden
Sukarno, dan membangun kediktatoran militer.
CATATAN
1 Karya-karya berikut, dalam menegaskan keterbatasan kekuasaan AS dalam politik
Indonesia, ternyata mengabaikan cara-cara yang menunjukkan bahwa AS memang menebar
pengaruhnya: Jones, Indonesia; Brands, “Limits of Manipulation”; Green, Indonesia; Gardner,
Shared Hopes, Separate Fears.
2 Kolko, Confronting the Th ird World; Schmitz, Th ank God Th ey’re on Our Side; Kinzer, All
the Shah’s Men; Immerman, CIA in Guatemala; Stevenson, End of Nowhere.
3 Wakil Menlu Walter Robertson, dalam memonya kepada J.F. Dulles, menulis bahwa PKI
memperoleh “mayoritas mutlak” dari pemilih di Jawa (dikutip dalam Kahin and Kahin,
Subversion as Foreign Policy, 95).
4 Dikutip dalam Kahin and Kahin, Subversion as Foreign Policy, 86.
5 Ibid., 94.
6 “U.S. Policy on Indonesia,” NSC 5901, 16 Januari 1959. Kata-kata yang sama muncul belakangan
dalam dokumen perbaikan, “U.S. Policy on Indonesia,” NSC 6023, 19 Desember
1960.
7 Tentang nilai bantuan, lihat Kahin and Kahin, Subversion as Foreign Policy, 207.
8 Ibid., 211.
9 Ibid., 210.
10 Ibid., 211.
11 Dikutip dalam Scott, “United States and the Overthrow of Sukarno,” 246.
12 Jones, Indonesia, 362.
13 B. Evans, “Infl uence of the United States Army,” 37, 40.
14 Rusk kepada Presiden Johnson, 17 Juli 1964, memo dikutip dalam Peter Dale Scott,
“U.S. and the Overthrow of Sukarno,” 248n46.
15 Pesan bersama dari State Department, Agency for International Development, U.S.
Information Agency, dan Defense Department, 12 Juli 1962, dikutip dalam Simpson,
285
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
“Modernizing Indonesia,” 115n28.
16 “Background to Plan of Action for Indonesia,” NSC Action Memorandum 195, 2
Oktober 1962, dikutip dalam Simpson, “Modernizing Indonesia,” 129.
17 Sundhaussen, Road to Power, 173, 175-177.
18 B. Evans, “Infl uence of the United States Army,” 28-29, 34-36.
19 Department of State, “Memorandum Prepared for the 303 Committee,” 23 Februari
1965, dalam FRUS 1964-1968, 26:235n2.
20 Lev, “Political role of the Army in Indonesia,” 351. Lev menyatakan bahwa Angkatan
Darat “berpegang erat-erat pada undang-undang keadaan perang” dan memastikan undangundang
ini diperpanjang lama sesudah pemberontakan PRRI/Permesta berakhir (353).
Berlawanan dengan keinginan Angkatan Darat, Sukarno mencabut undang-undang tersebut
pada Mei 1963.
21 Mackie, “Indonesia’s Government Estates and Th eir Masters,” 340-41, 344-45, 352-
54.
22 Lihat uraian Nasution sendiri tentang peranan sosial-politik Angkatan Darat semasa
Demokrasi Terpimpin, Bab 1 dari Kekaryaan ABRI. Bourchier menamai pemikiran politik
Nasution “korporatis.” Lihat karangannya, “Conservative Political Ideology in Indonesia.”
Juga lihat Reeve, “Corporatist State.”
23 Dikutip dalam Mrázek, Sjahrir, 455.
24 Pye, “Armies in the Process of Political Modernization,” 76, 77, 80, 83, 89.
25 State Department Policy Planning Council, “Role of the Military in the Underdeveloped
Areas,” 25 Januari 1963, dikutip dalam Simpson, “Modernizing Indonesia,” 115-116.
26 Pauker, “Role of the Military in Indonesia,” 226.
27 Ibid., 225.
28 Ibid., 227.
29 Ransom, “Ford Country.” Pauker membawa Suwarto berkunjung ke Rand pada 1962.
Menurut ingatan Kolonel Abdul Syukur, mantan instruktur Seskoad, Pauker menawarinya
kesempatan pergi ke Universitas Pittsburgh, tempat belajar Kolonel Sukendro, seorang
antikomunis garis keras yang sudah lama menginginkan kup militer (Wawancara dengan
Syukur). Syukur, yang dianggap Sukarnois dan pendukung G-30-S, dipenjarakan rezim
Suharto selama 1966-1981.
30 Sundhaussen, Road to Power, 165.
31 Glassburner, “Political Economy and the Suharto Regime,” 33.
32 Ransom, “Ford Country”; Sadli, “Recollections of My Career.”
33 Sundhaussen, Road to Power, 188.
34 Ibid., 187-188.
35 Omar Dani tidak senang dengan pengangkatan Suharto (Surodjo dan Soeparno, Tuhan,
Pergunakanlah Hati, Pikiran dan Tanganku, 44-56).
286
6. SUHARTO, ANGKATAN DARAT, DAN AMERIKA SERIKAT
36 Sundhaussen, Road to Power, 189. Supardjo menyatakan di depan sidang Mahmilub
bahwa ia merasa staf Yani dengan sengaja menyabot konfrontasi (transkrip Mahmilub,
persidangan Supardjo, sidang kedua, 23 Februari 1967). Mackie memperhatikan keluhan
Supardjo dalam bukunya, Confrontation, 214.
37 Sugama, Memori Jenderal Yoga, 139; Pour, Benny Moerdani, 265-67. Menurut Sugama,
Moertopo juga diberi tugas sebagai agen intelijen di Komando Tempur Dua di Sumatra.
Namun menurut Moerdani komando ini disebut Komando Tempur Satu.
38 Sugama, Memori Jenderal Yoga, 144; Pour, Benny Moerdani, 265-67.
39 Sugama, Memori Jenderal Yoga, 138.
40 Pour, Benny Moerdani, 256-57, 265-67. Pour sangat berhati-hati tentang peranan
Moerdani di Bangkok. Ia menulis bahwa Moerdani mengirim para infi ltran Indonesia ke
Malaysia sesuai dengan strategi konfrontasi, tapi sementara itu juga menyebutkan bahwa
Moerdani dan para perwira Angkatan Darat lainnya tidak setuju terhadap konfrontasi.
41 Sundhaussen, Road to Power, 188.
42 Duta Besar Ellsworth Bunker kepada Presiden Johnson, laporan tak bertanggal [April
1965], “Indonesian-American Relations,” dalam Department of State, FRUS 1964-1968,
26: 256.
43 CIA, Indonesia – 1965, 190-191.
44 Tentang komplotan Sukendro, lihat Sundhaussen, Road to Power, bab 4. Pada akhir
1965 Sukendro menjadi penghubung penting antara Kedutaan Besar AS dengan pimpinan
Angkatan Darat di bawah Suharto dan Nasution. Lihat dokumen yang dihimpun dalam
Department of State, FRUS 1964–1968, 26: 345-48, 351-53, 357-60, 363-66, 369-70.
Sukendro segera tersingkir dari lingkaran Suharto, barangkali karena ia terlalu mandiri, dan
dipenjarakan selama sembilan bulan pada 1967. Tentang karier Sukendro di belakang hari,
lihat Jenkins, Suharto and his Generals, 70-73.
45 CIA, Indonesia – 1965, 191. Mantan kepala pos CIA di Jakarta, B. Hugh Tovar,
membantah laporan majikannya ketika ia menulis catatan retrospektif tentang kejadian
1965. Ia mengklaim bahwa “ide tentang Dewan Jenderal yang telah disassuskan selama
tahun-tahun itu hanyalah mitos. (Maksud saya benar-benar mitos.) … Tidak ada dewan
jenderal yang terpisah atau mandiri dari [staf umum Yani].” Tovar juga menyangkal bahwa
Yani dan jenderal-jenderalnya berkomplot menentang Sukarno (Tovar, “Indonesian Crisis
of 1965-1966,” 323). Mengingat bukti-bukti yang ada tentang rencana komando tertinggi
Angkatan Darat berkomplot melawan Sukarno, sukarlah untuk tidak memandang pendapat
Tovar sebagai kebohongan.
46 Kedutaan Besar AS di Jakarta kepada Department of State, 21 Januari 1965, L.B. Johnson
Library, National Security File, Indonesia, vol. 3, box 246, 91. Cukup aneh bahwa dokumen
penting ini tidak termasuk dalam jilid FRUS mengenai politik AS terhadap Indonesia pada
pertengahan 1960-an. Tidak mungkin mempercayai keterangan Tovar bahwa ia “tidak
mempunyai petunjuk apa pun bahwa perwira-perwira Angkatan Darat Indonesia sedang
berpikir tentang melancarkan kup” (Tovar, “Indonesian Crisis of 1965-1966,” 322).
287
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
47 Bunker, “Indonesian-American Relations,” 257.
48 “American-Indonesian Relations,” presentasi oleh Howard P. Jones kepada Chiefs of
Mission Conference, Baguio, Filipina, Makalah-makalah Howard P. Jones, box 21, Hoover
Institution Archive, 12.
49 Dikutip dalam Subritzky, Confronting Sukarno, 126. Peck menulis memo ini pada 27
November 1964.
50 M.J.C. Templeton kepada Edward Peck, memo, 19 Desember 1964, dikutip dalam
Simpson, “Modernizing Indonesia,” 263n132.
51 Neville Maxwell, peneliti Inggris, mendapati dokumen ini di dalam arsip-arsip Pakistan.
Suratnya tentang hal ini diterbitkan dalam Journal of Contemporary Asia 9, no. 2 (1979):
251-52.
52 “Th e Succession Problem in Indonesia,” DOS/INR Research Memo RFE-16, 9 Maret
1964, dikutip dalam Simpson, “Modernizing Indonesia,” 126.
53 Ellsworth Bunker kepada Presiden Johnson, “Indonesian-American Relations,” tanpa
tanggal, dalam Department of State, FRUS 1964–1968, 26:257.
54 Department of State, “Memorandum Prepared for the 303 Committee,” 234-237. Boleh
jadi Sukarno memang benar ketika menuduh Kedutaan Besar AS memberi seorang Indonesia
uang 150 juta rupiah untuk melakukan kampanye propaganda melawan dirinya (pidato
di depan kabinet, 6 November 1965, dalam Setiyono dan Triyana, Revolusi Belum Selesai,
1:82).
55 Bunnel, “American ‘Low Posture’ Policy,” 50.
56 Bunker, “Indonesian-American Relations,” 256-57.
57 Kedutaan Besar AS di Jakarta kepada Department of State, telegram, 23 Agustus 1965,
dalam Department of State, FRUS 1964–1968, 26:286.
58 James C. Th ompson Jr., staf NSC, kepada Presiden Johnson, memorandum 14 September
1965, dalam Department of State, FRUS 1964–1968, 26:299.
59 Benson, dikutip dalam Friend, Indonesian Destinies, 102. Kursif penegas sesuai aslinya.
60 “Special Memorandum Prepared by the Director of the Offi ce of National Estimates
of the Central Intelligence Agency,” 26 Januari 1965, dalam Department of State, FRUS
1964–1968, 26:219.
61 Bunnel, “American ‘Low Posture’ Policy,” 59. Sekali lagi, keterangan Tovar terlihat tidak
benar. Ia menulis bahwa CIA “tidak mempunyai rencana cadangan untuk aksi semacam
itu” apabila “PKI me-lancarkan kup” (Tovar, “Indonesian Crisis of 1965-1966,” 322). Dari
dokumen-dokumen yang sudah dideklasifi kasikan menjadi jelas bahwa kedutaan besar
– termasuk Tovar dan staf CIA – mempunyai rencana cadangan – AS bergantung pada
serangan Angkatan Darat terhadap PKI dan akan mendukung Angkatan Darat begitu
serangan dilakukan.
62 Kedutaan Besar AS di Jakarta kepada Department of State, 6 Maret 1964, Declassifi ed
Documents Quarterly, 1975, 117C.
288
6. SUHARTO, ANGKATAN DARAT, DAN AMERIKA SERIKAT
63 Kedutaan Besar AS di Jakarta kepada Department of State, 19 Maret 1964, dikutip dalam
Brands, “Limits of Manipulation,” 794.
64 “American-Indonesian Relations,” presentasi oleh Jones, 12.
65 Indonesia Working Group Situation Report, 4 Oktober 1965, dikutip dalam Brands,
“Limits of Manipulation,” 802.
66 Kawat Pos CIA di Jakarta ke Gedung Putih, 5 Oktober 1965, dikutip dalam Robinson,
Dark Side of Paradise, 283n23.
67 Ibid.
68 Laporan CIA No. 22 (dari Jakarta) ke Gedung Putih, 8 Oktober 1965, dikutip dalam
Robinson, Dark Side of Paradise, 283.
69 Kedutaan Besar AS di Jakarta kepada Department of State, 5 Oktober 1965; Department
of State kepada Kedutaan Besar AS di Jakarta, 6 Oktober 1965, dalam Department of State,
FRUS 1964–1968, 26:309.
70 Kedutaan Besar AS di Jakarta kepada Department of State, 14 Oktober 1965, dalam
Department of State, FRUS 1964–1968, 26:321.
71 Kedutaan Besar AS di Jakarta kepada Department of State, telegram, 4 November 1965,
dalam Department of State, FRUS 1964–1968, 26:354.
72 Kedutaan Besar AS di Jakarta kepada Department of State, 20 Oktober 1965, dikutip
dalam Simpson, “Modernizing Indonesia,” 321.
73 Tentang permintaan mendesak Jenderal Sukendro untuk peralatan komunikasi pada
November 1965 dan penyediaan Amerika Serikat untuk peralatan ini, lihat Department
of State, FRUS 1964–1968, 26:364-66, 368-71, 440-43.
74 Kadane, letter to the editor, New York Review of Books, 10 April 1997, hal. 64.
75 Kadane mengungkapkan daftar Martens dalam sebuah artikel yang disebarkan oleh States
News Service pada Mei 1990. Banyak surat kabar yang mengutip artikel itu, termasuk
Washington Post (21 Mei 1990). Lihat juga komentar susulan Kadane dalam suratnya kepada
editor New York Review of Books. Harian New York Times tidak menyiarkan artikel Kadane,
tapi salah seorang wartawannya menulis ulasan tentang temuan Kadane itu (Michael Wines,
“C.I.A. Tie Asserted in Indonesia Purge,” 12 Juli 1990). Kadane menyimpan transkriptranskrip
wawancaranya dengan mantan para pejabat tinggi AS di National Security Archive
di George Washington University.
76 Robert Martens, letter to the editor, Washington Post, 2 Juni 1990. Comite Central [PKI]
terdiri dari sekitar delapan puluh lima orang, dan dari sekitar dua puluh komite provinsi
masing-masing terdiri atas kira-kira sepuluh orang. Jika ditambah dengan pimpinan berbagai
organisasi kaitannya, misalnya serikat buruh, jumlah seluruhnya menjadi sekitar lima ratus
nama. Martens tentunya juga mendaftar nama-nama anggota partai dari tingkat kabupaten
dan kecamatan. Perhatikan juga bahwa ia mungkin sekali telah menyerahkan lebih dari
“beberapa ribu” nama. Kadane memperkirakan jumlah seluruhnya sekitar lima ribu nama.
Penegasan ulang Martens bahwa nama-nama yang didaftar bukanlah “anggota kebanyakan,”
tidak cukup menenteramkan hati, bahkan andaikata ia benar sekalipun. Ia memberikan
289
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
daftar nama-nama itu selama enam bulan. Dalam masa itu ia tentu tahu bahwa mereka yang
nama-namanya masuk dalam daftar bisa jadi memang sudah dibunuh. Seperti yang ditulis
dalam sebuah memo Duta Besar Green, bahkan “tokoh teri” sekalipun dibunuh.
77 Kedutaan Besar AS di Jakarta kepada Department of State, telegram, 2 Desember 1965,
dalam Department of State, FRUS 1964–1968, 26:379-80. Sekali lagi Tovar memperlihatkan
dirinya tak bisa dipercaya. Dalam artikelnya pada 1994 ia menampik tuduhan bahwa
CIA telah memberi uang kepada kelompok mahasiswa dan pelajar dan menjelek-jelekkan
para penuduhnya sebagai “orang-orang kiri, sebagian dari mereka bersimpati kepada PKI
atau Sukarno, dan selebihnya orang-orang yang sekadar anti-Amerika.” Bagi Tovar hanya
orang yang tidak patrotik yang bisa mempercayai sassus demikian tentang CIA. Ia menggertak
dengan congkak, “Saya tidak keberatan dituduh tentang apa yang saya lakukan.
Tapi saya benci dilempari sesuatu yang tidak saya lakukan.” (Tovar, “Indonesian Crisis of
1965-1966,” 336). Deklasifi kasi dokumen-dokumen ini tidak menguntungkan Tovar.
78 Kedutaan Besar AS di Jakarta kepada Department of State, telegram 4 November 1965,
dalam Department of State, FRUS 1964–1968, 26:355-56.
79 Ibid., 26:355.
80 Kedutaan Besar AS di Jakarta kepada Department of State, 16 Desember 1965, dikutip
dalam Simpson, “Modernizing Indonesia,” 343. Suharto menempatkan Chairul sebagai
tahanan rumah pada 16 Maret 1966, dan sebulan kemudian ia dipenjarakan. Chairul
meninggal dalam keadaan yang mencurigakan di Rumah Tahanan Militer (RTM) di Jakarta
pada 8 Februari 1967. Penjelasan militer menyatakan, ia tewas karena serangan jantung,
yang diterima teman-teman dan keluarganya dengan keraguan. Ia berumur empat puluh
sembilan tahun dan dalam keadaan sehat walafi at (Soewito, Chairul Saleh, 138-147).
81 Duta Besar Green menyatakan bahwa Angkatan Darat akan “mampu pada gilirannya
mempertahankan kekuasaannya” hanya apabila ia dapat “menunjukkan hasil-hasil konkret
dalam menangani masalah-masalah ekonomi dan administrasi yang sangat besar” (Kedutaan
Besar AS di Jakarta kepada Department of State, telegram, 22 Desember 1965, dalam
Department of State, FRUS 1964–1968, 26:390).
82 Kedutaan Besar AS di Jakarta kepada Department of State, 28 November 1965, dikutip
dalam Robinson, Dark Side of Paradise, 285. Juga lihat Director of the Far Eastern Region,
Blouin, kepada Deputy Assistant Secretary of Defense for International Security Aff airs
(Friedman), memorandum, 13 Desember 1965, dalam Department of State, FRUS
1964–1968, 26:383-85.
83 Department of State, FRUS 1964–1968, 26:393n2, 401-2, 405, 407-9.
84 Ropa kepada Rostow, 9 Juli 1966, dalam Department of State, FRUS 1964–1968, 26:444,
dan Rusk kepada Johnson, 1 Agustus 1966, 26:452.
85 Tentang peranan para ekonom di masa rezim Suharto ini, lihat Winters, Power in
Motion.
86 Toer dan Prasetyo, Memoar Oei Tjoe Tat,192.
87 Memorandum disiapkan di CIA, Washington, “Covert Assistance to the Indonesian
290
6. SUHARTO, ANGKATAN DARAT, DAN AMERIKA SERIKAT
Armed Forces Leaders,” 9 November 1965, dalam Department of State, FRUS 1964–1968,
26:362.
88 Setiyono dan Triyana, Revolusi Belum Selesai, I:89.
89 Ibid., 44, 156.
90 Ibid., 163.
91 Tentang hal ini saya tidak sependapat dengan Robert Elson, yang mengatakan bahwa
Suharto, sesudah menjadi pemangku (caretaker) panglima Angkatan Darat, “tidak mempunyai
strategi yang jelas tentang bagaimana harus bertindak lebih lanjut, tidak juga tahu untuk
tujuan apa.” Suharto melangkah ke depan “dengan waspada, hati-hati, dan sensitif,” selama
berbulan-bulan, “meraih kekuasaan saat kekuasaan itu datang kepadanya” tanpa dipimpin
oleh “visi megah atau skema utopia apa pun” (Suharto, 120-121). Lihat tinjauan saya
terhadap buku Elson dalam “Violence in the Suharto Regime’s Wonderland.”
92 Catatan brifi ng untuk Presiden Johnson, 15 Februari 1966, dalam Department of State,
FRUS 1964–1968, 26:403.
93 Setiyono dan Triyana, Revolusi Belum Selesai, 2:184-85.
291
7
MENJALIN CERITA BARU
Syahdan, tatkala para datuk petinggi negeri dan datuk-datuk serta
ksatria lainnya telah dipenggal kepalanya dan disingkirkan, maka
berpikirlah sang hulubalang raja, selagi orang-orang masih sedang
merenungi apa yang telah terjadi, dan sementara para datuk istana tak
siaga dan tak kuasai jabatan, dan ketika tidak satu orang pun tahu
apa yang harus dipikirkan dan siapa yang bisa dipercaya, sebelum
mereka sempat berbantah, mencerna soal, dan menata ulang gugusgugus
sekutu mereka: yang terbaik baginya adalah bergerak secepat
mungkin dan merebut tampuk kekuasaan sendiri. Tapi kemudian
muncul soal pelik baginya, bagaimana ia harus sampaikan kisah
tentang suatu peristiwa yang demikian mengerikan sehingga orang
akan memafhumi kisah itu.
Th omas More, Th e History of Richard III (1513)
Ahli teori sastra Tzvetan Todorov berpendapat bahwa karya fi ksi
detektif menggabungkan dua bentuk gaya cerita yang berbeda:
“kisah tentang penyelidikan” (bagaimana sang detektif menjadi
tahu apa yang telah terjadi) dan “kisah tentang kejahatan” (apa yang
sebenarnya telah terjadi).1 Pola umum sebuah novel detektif, seperti
dicatat Slavoj Žižek, ialah mengikuti sang detektif dalam perjalanan penyelidikannya,
dan kemudian menyimpulkannya dengan rekonstruksi
tentang kejahatan tersebut. Maka buku ini berakhir “bukan ketika kita
memperoleh jawaban tentang ‘Siapa yang melakukan kejahatan?’
292
7. MENJALIN CERITA BARU
tapi ketika sang detektif akhirnya mampu mengisahkan ‘kisah yang
sebenarnya’ dalam bentuk narasi linier.”2 Setiap bab dari empat bab
terdahulu (bab 3 sampai bab 6) terpusat pada keping bukti atau jenis
bukti tertentu. Bab-bab ini berkembang mengikuti logika penyelidikan
seorang detektif, bukan menuruti kronologi cerita dari si juru kisah;
masing-masing mengajukan penyelesaian untuk satu bagian teka-teki
sesudah memeriksa sejumlah bukti yang terbatas. Namun demikian,
apa yang terdapat di dalam bab ini hendaknya tidak dipandang sebagai
“kisah yang sebenarnya.” Yang bisa saya nyatakan di sini hanyalah bahwa
peristiwa-peristiwa mungkin terjadi seperti yang saya ceritakan. Keterbatasan
bukti yang ada mengakibatkan ketidakmungkinan bagi sejarawan
detektif untuk menjelaskan setiap keanehan, mengisi setiap ruang kosong,
dan mengenali dengan tepat peranan setiap orang yang terlibat.
Penyelidikan saya dimulai dengan dokumen Supardjo, bukan
karena Supardjo tokoh yang paling penting dalam G-30-S, tapi karena
dokumennya merupakan sumber utama paling kaya serta paling bisa
dipercaya yang ada. Bab 3 menarik sejumlah kesimpulan sempit dari
teks Supardjo. Yang paling penting berkenaan dengan persoalan yang
sudah lama tidak terpecahkan tentang identitas kepemimpinan G-30-S:
Apakah para perwira militer (Untung, Latief, dan kawan-kawan) ataukah
tokoh-tokoh PKI (Sjam, Pono, dan lain-lain) yang memimpin G-30-S?
Dokumen Supardjo menunjukkan bahwa, dari lima pimpinan inti yang
berkumpul di pangkalan udara Halim, pimpinan utama mereka ialah
Sjam. Ini menampik interpretasi Anderson dan Crouch (diuraikan dalam
bab 2) yang menyatakan bahwa perwira-perwira militer itu memainkan
peran dominan. Dengan berpegang pada kesimpulan itu, bab 4 beralih
pada masalah identitas Sjam. Bab ini, sebagian besar bertumpu pada
wawancara lisan dengan mantan pemimpin PKI yang mengenal Sjam,
juga menarik kesimpulan sempit: Sjam seorang bawahan setia Aidit. Ini
menampik hipotesis Wertheim (juga diuraikan dalam bab 2) bahwa Sjam
seorang agen intelijen Angkatan Darat yang bekerja untuk menjebak PKI.
Lalu bab 5 memusatkan perhatian pada Aidit dan mengajukan bukti
yang diperoleh dari pernyataan-pernyataan sementara mantan pimpinan
PKI, baik melalui pidato pledoi mereka di sidang pengadilan, maupun
dalam wawancara-wawancara lisan dengan saya, yang memperlihatkan
kerja sama Aidit dengan Sjam untuk mengorganisasi G-30-S sebagai
293
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
serangan mendahului terhadap pimpinan tertinggi Angkatan Darat
sayap kanan. Kesimpulan ini bukan merupakan penegasan terhadap
interpretasi rezim Suharto karena kesimpulan ini menunjukkan bahwa
hanya Aidit dan Sjam yang patut dipersalahkan, bukan pimpinan partai
secara keseluruhan.
Identitas orang-orang yang ikut dalam G-30-S dan alasan mereka
bergabung merupakan fokus penyelidikan saya dalam bab 3 sampai
bab 5. Bab 6 beralih pada pertanyaan tentang tanggapan Angkatan
Darat terhadap G-30-S: Mengapa Angkatan Darat di bawah pimpinan
Suharto membesar-besarkan arti penting G-30-S dan menjadikannya
sebagai peristiwa bersejarah? Bagaimana G-30-S dikeramatkan begitu
rupa sehingga peristiwa itu bisa menyingkirkan pembunuhan massal
1965-1966 dari ingatan masyarakat Indonesia? Bab 6 yang sebagian besar
disusun berdasarkan dokumen-dokumen pemerintah Amerika Serikat
yang telah diklasifi kasikan mengajukan argumen bahwa eselon atas korps
perwira Angkatan Darat menunggu saat yang tepat untuk menyerang
PKI dan menyingkirkan Presiden Sukarno. Mereka mempersiapkan diri
untuk mengambil alih kekuasaan negara. Mereka mengubah G-30-S
menjadi dalih yang sudah lama mereka tunggu. Barangkali Suharto sudah
tahu sebelumnya bahwa Latief dan Untung merencanakan suatu aksi, tapi
sukar dipercaya bahwa ia ikut campur dalam merancang G-30-S, apalagi
mendalanginya. Ambruknya G-30-S bisa dijelaskan tanpa mengacu ke
hipotesis bahwa Suharto pribadi, atau perwira Angkatan Darat lainnya,
sengaja mengorganisasinya untuk gagal. Tanggapan Suharto yang cepat
dan efi sien terhadap G-30-S merupakan buah dari persiapan jenderaljenderal
Angkatan Darat menghadapi peristiwa yang sudah diperkirakan
sebagai kemungkinan serupa yang terjadi dan dari pengetahuan Suharto
sebelumnya tentang G-30-S.
Kelemahan penyelidikan-penyelidikan tentang G-30-S terdahulu
terletak pada titik tolak mereka: dugaan bahwa pasti ada dalang di balik
gerakan itu. Menurut hemat saya tidak ada “otak” utama, apakah ia
berupa seorang tokoh, ataukah suatu gugus rapat orang-orang yang
terorganisasi mengikuti pembagian kerja serta hierarki kewenangan
yang jelas. G-30-S menjadi bersifat misterius justru karena tidak adanya
pusat pengambilan keputusan yang tunggal. Seseorang yang paling dekat
dengan para penggerak inti pada saat aksi berjalan, Supardjo, dibingung294
7. MENJALIN CERITA BARU
kan dalam hal siapa pemimpin gerakan ini yang sesungguhnya. Seperti
dikemukakan Supardjo, tokoh pusat dalam G-30-S, sejauh tokoh itu
ada, ialah Sjam. Namun Sjam berfungsi sebagai penghubung antara Aidit
dan para perwira progresif. Ia menjadi pusat karena kedudukannya yang
di tengah-tengah, bukan karena penguasaannya atas semua kekuatan di
dalam G-30-S. Aidit bertanggung jawab atas personil-personil PKI yang
terlibat dalam G-30-S, sedangkan Untung, Latief, dan Soejono bertanggung
jawab atas personil-personil militer. Dua kelompok ini melibatkan
diri dalam sebuah aksi yang, karena ketiadaan pilihan lain, mengubah
perantara mereka menjadi si pemimpin. Sjam adalah seorang mediator
yang perlahan-lahan hilang: ia mempertemukan kedua kelompok itu
untuk melancarkan aksi tapi tidak dalam posisi untuk memimpin mereka
begitu aksi tersebut dimulai. Ia tidak seperti seorang jenderal militer
yang bisa memimpin komplotan kup dari awal sampai akhir, seperti
cara Kolonel Qasim melakukannya di Irak pada 1958, atau Kolonel
Boumedienne di Aljazair pada 1965. Sekali aksi telah menyimpang
dari rencana dan para peserta aksi harus berimprovisasi, mereka pun
berpencaran ke arah yang berbeda-beda. Kekacauan dan ketidakjelasan
G-30-S akhirnya melumpuhkan gerakan itu sendiri dalam menghadapi
serangan balik Suharto yang tak terduga. Tidak adanya pusat itulah yang
membikin bingung peserta G-30-S saat itu, dan terus membikin bingung
para sejarawan yang berusaha memahami gerakan ini.
Sekaranglah saatnya untuk menghimpun semua temuan yang
berserakan dan merekonstruksi peristiwa demi peristiwa 1965. Dalam
bab terakhir ini saya kemukakan narasi kronologis secara singkat yang
memberikan pemecahan terhadap banyak keanehan yang sudah saya
kemukakan dalam dua bab pertama. Sambil kembali ke pangkal bertolak
dan menutup rangkaian tulisan ini, saya akan menandai bagian-bagian
kelabu ketidakpastian yang menghambat penyelesaian terhadap teka-teki
ini bisa dianggap tuntas.
KONFIGURASI KEKUASAAN SEGITIGA
Bayangkanlah suasana di Jakarta pada 23 Mei 1965 berikut ini. Stadion
Senayan yang terletak tidak jauh dari istana presiden dan gedung parlemen
295
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
dibanjiri manusia. Puluhan ribu orang memadati tribun yang mengelilingi
lapangan stadion, sementara ribuan manusia lagi berdiri di lapangan
yang terhampar di bawah. Di luar, di lapangan parkir dan jalan-jalan di
sekitarnya lebih dari 100.000 orang saling berdesak-desakan. Sungguhsungguh
seperti lautan manusia. Itulah peristiwa peringatan ulang tahun
ke-45 berdirinya PKI. Dilihat dari besarnya massa, partai belum pernah
dalam keadaan lebih sehat. Untuk memberi kesempatan lebih banyak
orang berkumpul di sekitar stadion dan mencegah kemacetan lalulintas,
partai menghalangi niat pengendara mobil lewat kawasan itu. Dengan
membawa bingkisan kecil makanan dari rumah untuk makan siang,
orang-orang berjalan kaki masuk kota dari desa-desa yang jauh. Benderabendera
merah dan baliho-baliho raksasa dengan potret-potret pahlawan
partai, seperti Karl Marx dan V.I. Lenin, berderet di jalan-jalan ibu kota.
Sebuah monumen dari kerangka kayu berbentuk angka 45 yang dilapisi
kanvas (tentu saja berwarna merah) tegak terpancang di salah satu jalan
utama, menjadikan segala yang di sekitarnya tampak kerdil. Mereka yang
berbaris memasuki stadion dalam wacana populer mendapat julukan
“semut merah”: banyaknya tak terbilang, tertib, disiplin, siap mengorbankan
diri tapi militan, dan sanggup menyengat jika diganggu. Prajurit
semut merah ini, di mata Sukarno, merupakan pemandangan kejayaan
yang megah. Ia menyambut acara itu dengan bahagia dan menyampaikan
pidato berapi-api dari podium, penuh pujian terhadap patriotisme
partai dan semangat perjuangannya melawan kekuatan kolonialisme
dan neokolonialisme dunia. Perayaan 23 Mei ini hampir merupakan
ulangan peringatan Hari Buruh 1 Mei yang diadakan di stadion yang
sama hanya tiga pekan sebelumnya. Menyelenggarakan dua kali rapat
raksasa dalam Mei, PKI dengan caranya yang meyakinkan memamerkan
apa yang sudah menjadi dugaan banyak orang di Indonesia, bahwa partai
ini merupakan partai politik paling besar dan paling terorganisasi dengan
baik di Indonesia. Tidak ada partai politik lain yang bisa berharap untuk
mengorganisasi rapat-rapat sebesar itu. Wartawan New York Times yang
hadir di lapangan mengatakan bahwa perayaan-perayaan peringatan itu
merupakan “yang paling mewah yang pernah diselenggarakan partai
politik di sini.”3 PKI memiliki kombinasi yang langka antara kecukupan
dana, keanggotaan yang sangat luas, dan dukungan presiden.
Kekuatan PKI yang mengagumkan merupakan fakta sangat penting
296
7. MENJALIN CERITA BARU
yang memengaruhi seluruh konfi gurasi kekuasaan di Indonesia. Sebagian
dari kalangan korps perwira Angkatan Darat melihat semut-semut
merah tersebut dengan kekhawatiran. Partai tampil sebagai ancaman
bagi kekuatan Angkatan Darat di panggung politik dalam negeri dan
keuntungan yang mereka peroleh dari perusahaan-perusahaan milik
negara, karena di sanalah para manajer Angkatan Darat sering menghadapi
aksi-aksi para pekerja yang diorganisasi serikat-serikat buruh yang
berafi liasi dengan PKI. Banyak perwira berasal dari keluarga terpandang
dan berkecukupan. Kerabat mereka yang tinggal di kota-kota dan desa
asal mereka menjadi anggota parpol-parpol yang antikomunis. Dua
komandan tertinggi, Nasution dan Yani, yang sangat memusuhi PKI,
senantiasa bersiasat untuk menghambat pertumbuhan partai selama
bertahun-tahun. Mereka mengindoktrinasi korps perwira tentang antikomunisme
dan memastikan bahwa Angkatan Darat berfungsi sebagai
patron pelindung politisi sipil yang menentang PKI. Ilmuwan Amerika
Daniel Lev menyatakan bahwa pada awal 1960-an masyarakat sipil nonkomunis
“masih teramat ketakutan dan benci akan ancaman radikal
yang diperlihatkan PKI terhadap kepentingan mereka di bidang sosial,
ekonomi, dan politik. Mereka berharap kepada Angkatan Darat, yang
bagi mereka kurang menakutkan ketimbang PKI, untuk perlindungan
sepenuhnya.”4 Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa komando
tertinggi Angkatan Darat tidak akan pernah membiarkan PKI merebut
kekuasaan negara, baik melalui kotak suara maupun dengan peluru.
Dua lembaga itu pada 1965 mati langkah: PKI menguasai politik sipil,
sedangkan Angkatan Darat mengendalikan lebih dari 300.000 prajurit
bersenjata.
Di antara dua kekuatan yang saling berhadapan ini berdirilah
Presiden Sukarno. Sejak Sukarno membubarkan parlemen hasil pemilu
pada 1959 dan memusatkan kekuasaan di lembaga kepresidenan, ia berperanan
ibarat sebuah pengganjal bagi dua kekuatan itu. Banyak perwira
militer dan politisi antikomunis mendukung tindakannya memperoleh
kekuasaan diktatorial dengan harapan Sukarno akan menjadi perintang
bagi PKI. Sukarno pribadi bukanlah seorang pengagum besar PKI; ia
mendukung penindasan terhadap partai pada 1948 (dalam peristiwa
Madiun). Kaum antikomunis puas terhadap sistem presidensiil yang kuat
di bawah Sukarno, yang disebutnya Demokrasi Terpimpin, karena sistem
297
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
ini tidak didasarkan pada pemilu. Semua pengamat percaya ketika itu
bahwa PKI akan merebut suara terbanyak seandainya pemilu diadakan
lagi. Pada pemilu daerah 1957 PKI tampil sebagai partai nomor satu
untuk DPRD di Jawa Tengah, dan nomor dua untuk DPRD di Jawa
Timur dan Jawa Barat. Bagi unsur-unsur anti-PKI anggota DPR pusat
yang ditunjuk Sukarno lebih baik ketimbang yang dipilih secara demokratis
yang akan dikendalikan partai.5 Pada 1963 elemen-elemen
antikomunis memprakarsai mosi di DPR yang mengangkat Sukarno
sebagai “Presiden Seumur Hidup” untuk memastikan bahwa seorang
komunis tidak akan pernah menguasai pemerintah.
Keanehan politik Indonesia di bawah Demokrasi Terpimpin dari
1959 sampai 1965 adalah bahwa Sukarno berperanan sebagai perisai bagi
mereka yang antikomunis dan sekaligus bagi mereka yang komunis.6 PKI
bisa berkembang selama periode ini berkat perlindungan Sukarno. Ketika
Angkatan Darat membekukan cabang-cabang partai di beberapa daerah
pada 1960 dan menggelisahkan pimpinan partai di Jakarta, Sukarno
turun tangan. Para perwira Angkatan Darat yang bertanggung jawab
atas tindak penindasan itu, misalnya Kolonel Sukendro, dihukum.7
Presiden membutuhkan PKI sebagai basis massa untuk memopulerkan
agendanya, terutama perjuangannya melawan apa yang dinamakannya
“old established forces” dan nekolim (kekuatan-kekuatan neokolonialisme,
kolonialisme, dan imperialisme). Kebijakan luar negeri presiden dan
PKI sejalan. Sukarno juga membutuhkan PKI sebagai kekuatan tawar
dalam urusannya dengan Angkatan Darat. Partai merupakan jaminan
baginya bahwa Angkatan Darat tidak akan bisa dengan gampang mendongkelnya.
Pada saat berlangsung rapat umum-rapat umum “semut merah”
di Jakarta, imbangan kekuatan segitiga – PKI, Angkatan Darat, dan
Sukarno – mulai pecah berantakan. Ketika PKI semakin menjadi besar,
Sukarno semakin condong ke kiri ketimbang ke kanan. Upaya kaum
antikomunis untuk merebut hatinya dengan membentuk “Badan
Pendukung Sukarnoisme” (BPS) dalam Desember 1964 gagal. Yang
dikira akan diuntungkan BPS justru melarang badan tersebut tidak lama
sesudah dibentuk. Ia kemudian melarang parpol yang berada di belakang
badan itu (Murba) dan mengurangi kekuasaan salah satu dari wakil-wakil
perdana menterinya, Chairul Saleh, yang terkait dengan partai tersebut.
298
7. MENJALIN CERITA BARU
Kelompok-kelompok antikomunis menjadi semakin cemas pada 1965,
merapatkan barisan di belakang Angkatan Darat, dan percaya bahwa
kegunaan Sukarno sebagai penghambat PKI sudah selesai. Sisi kanan
segitiga itu mulai membayangkan satu sistem politik di luar Sukarno,
suatu sistem tanpa kehadirannya sebagai penengah dan yang demikian
berpengaruh di mana-mana.
Sementara itu PKI mulai tidak sabar terhadap batasan-batasan
yang dibebankan oleh konfi gurasi segitiga ini. Partai menjadi terkurung.
Sampai 1965 ia telah tumbuh menjadi partai politik yang paling besar,
tapi ia tidak bisa memperoleh kekuasaan melalui kotak-suara – tidak
ada pemilu untuk bersaing. Jalan parlementer menuju kekuasaan
telah ditutup sejak 1959 dan tampaknya tidak akan pernah dibuka
kembali. PKI juga tidak bisa memperoleh kekuasaan melalui peluru.
Partai tidak mempunyai sayap bersenjata dan tidak berniat mengangkat
senjata melawan pemerintah. Semua anggotanya orang-orang sipil.
Partai mendapat dukungan massa, tapi tidak beroleh kewenangan yang
seimbang dalam pemerintahan Sukarno. Kendati partai bekerja keras
dalam berkampanye untuk kebijakan-kebijakan Sukarno, terutama
kampanye konfrontasi mengganyang Malaysia pada 1963, pimpinan
partai kesulitan memperoleh posisi di dalam kabinet. Sedikit saja tokoh
partai yang diangkat menjadi menteri dan dari yang sedikit itu tidak satu
orang pun mendapat posisi dengan wewenang yang konkret. Aidit dan
Njoto adalah menteri-menteri hanya dengan peranan sebagai koordinator
atau penasihat. Untuk menenteramkan elemen antikomunis, Sukarno
memberikan semua kementerian penting yang menguasai anggaran besar
atau jumlah pegawai yang banyak (misalnya pertahanan, dalam negeri,
keuangan, industri, dan perkebunan) kepada tokoh-tokoh non-PKI.
Pengaruh PKI di tingkat paling atas pemerintahan hampir tidak sepadan
dengan pengaruhnya di kalangan masyarakat.
Karena tidak memiliki kendali langsung atas kekuatan politik negara,
PKI menggunakan massa pengikutnya untuk mendorong negara bergeser
ke kiri pada 1965. Demonstrasi-demonstrasi anti-Amerika yang dipimpin
partai dan organisasi-organisasi terkait memaksa penutupan kantorkantor
konsulat Amerika Serikat di luar Jakarta dan penarikan mundur
Korps Perdamaian (Peace Corps).8 Aksi-aksi kaum buruh dan aktivis partai
di Sumatra terhadap perusahaan-perusahaan minyak dan perkebunan299
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
perkebunan milik Amerika Serikat mendesak pemerintah agar bertindak
menasionalisasi kekayaan mereka. PKI memobilisasi sukarelawan untuk
kampanye melawan Malaysia dan mengusahakan agar mereka mendapat
latihan kemiliteran. Sukarno sedang menimbang-nimbang gagasan
PKI untuk membentuk “angkatan kelima” – sukarelawan bersenjata di
luar empat angkatan bersenjata yang sudah ada (angkatan darat, laut,
udara, dan kepolisian) – dan memasukkan “komisaris-komisaris politik”
di dalam ketentaraan. Sementara aktivis partai, yang dibuat semakin
berani oleh seringnya mereka berdemonstrasi, yang menghadapi sedikit
tentangan dari kalangan angkatan bersenjata, membayangkan aksi-aksi
yang lebih militan dan lebih besar lagi melawan “kapitalis birokrat”
– istilah yang memasukkan perwira-perwira Angkatan Darat karena
mereka memiliki sangat banyak perusahaan dan menduduki jabatanjabatan
dalam birokrasi.
Momentum kejadian-kejadian itu menguntungkan PKI. Sementara
politisi nonkomunis, yang menduga kenaikan partai tidak bisa lagi
dielakkan, memperlunak sikap “komunisto fobia” mereka (istilah Sukarno
yang bernada celaan) dan berharap bahwa partai akan tetap bersedia
bekerja sama dengan partai-partai lain serta mengesampingkan perjuangan
kelas. Garis resmi politik partai adalah mendukung “front persatuan” dari
semua kekuatan antiimperialis dan patriotik. Tapi sementara pihak takut
bahwa partai akan tetap merupakan organisasi yang secara fundamental
sektarian dan cenderung berjuang untuk merebut kekuasan negara.
Peranan Sukarno sebagai pengganjal kelihatan melemah. Namun ia
tetap merupakan simbol patrotisme dan persatuan nasional yang tak tergoyahkan.
Ia tidak bisa dengan mudah didongkel oleh pihak sini atau sana
karena kedua-duanya selama enam tahun terakhir sudah saling berlomba
untuk diakui sebagai lebih Sukarnois daripada yang lain. Baik kekuatankekuatan
PKI maupun anti-PKI telah membangun popularitas Sukarno
sehingga kedua-duanya tidak bisa dengan cepat berbalik arah. Sukarno
menjaga citranya yang bersih di tengah krisis ekonomi dan kekacauan
administratif. Kebobrokan-kebobrokan itu umumnya tidak dilempar
kepadanya, melainkan kepada unsur-unsur pemerintahan di bawah dia.
Gaya komunikasi Sukarno dengan rakyat yang langsung dan terbuka
dan jejak langkahnya yang panjang sebagai pemimpin dalam perjuangan
antikolonialisme membikin sulit bagi siapa pun untuk meragukan
300
7. MENJALIN CERITA BARU
ketulusannya. Pembawaan kosmopolitan dan keberaniannya menentang
bangsa-bangsa maju dan kaya, seperti Amerika Serikat, menyebabkan
banyak warga bangsa yang baru merdeka ini merasa bangga menjadi
orang Indonesia. Selama tahun-tahun Demokrasi Terpimpin, kultus
dibangun di sekeliling Sukarno sedemikian rupa sehingga ia mampu
menuntut kesetiaan seluas-luasnya, tanpa syarat.
Pimpinan tertinggi Angkatan Darat, meskipun frustrasi oleh sikap
Sukarno yang condong ke PKI pada 1965, menyadari bahwa ia terlalu
populer untuk di-gulingkan melalui kudeta secara langsung. Kup seperti
itu tidak akan menjamin stabilitas tertib politik apabila banyak orang,
termasuk para perwira muda Angkatan Darat, masih tetap Sukarnois yang
berkobar-kobar. Para perwira yang berpengalaman, seperti Nasution, bersikeras
agar Angkatan Darat menunggu waktu. Jika hanya mendongkel
Sukarno itu tugas sederhana saja. Tapi menegakkan kekuasaan Angkatan
Darat yang tahan waktu merupakan masalah yang lebih sulit. Pimpinan
tertinggi Angkatan Darat tidak ingin memenangkan satu pertempuran
mudah hanya untuk menderita kekalahan dalam seluruh perang. Di
bawah pimpinan Yani selama 1965 Angkatan Darat menentang tuntutan
PKI untuk mempersenjatai sukarelawan (“angkatan kelima”) dan memasukkan
komisaris-komisaris politik ke dalam angkatan bersenjata.
Yani tidak membolehkan Angkatan Darat terpancing dalam tindakan
gegabah melawan Sukarno.
Terlepas dari strategi kesabaran Yani, banyak pihak di Indonesia
pada pertengahan 1965 percaya bahwa Angkatan Darat akhirnya akan
melancarkan kup dan dengan kekerasan akan menghentikan daya upaya
PKI untuk berkuasa. Sassus terus beredar, terutama sesudah Subandrio
– orang nomor dua di pemerintahan (yang sekaligus juga wakil perdana
menteri pertama dan menteri luar negeri) – pada akhir Mei menyiarkan
turunan sebuah telegram rahasia yang dikirim Duta Besar Inggris
kepada kementerian luar negerinya di London. Telegram ini menyebut
tentang “kawan-kawan militer setempat kita” yang sedang menggarap
suatu “usaha” tersembunyi yang tidak disebutkan namanya.9 Dokumen
itu bisa jadi dokumen palsu. Namun demikian, dokumen tersebut ketika
itu diyakini otentik karena ia membenarkan kecurigaan di kalangan
Sukarnois bahwa Amerika Serikat dan Inggris sedang merancang kup
bersama pimpinan tertinggi Angkatan Darat.
301
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
PERENCANAAN AIDIT
Pimpinan PKI menaruh perhatian mendalam terhadap kabar burung
tentang kudeta. Bahwa kabar burung itu datang dari berbagai penjuru
agaknya memperkuat kesahihannya, bahkan andaikata orang hanya
mengulang-ulang gagasan taksa yang mereka dengar dari tangan kedua
sekalipun. Ketua partai, D.N. Aidit, pada pertengahan 1965 mencari
informasi yang lebih tepat dan konkret. Ia memerintahkan Sjam agar Biro
Chusus menyelidiki jaringannya dalam kalangan militer dan badan-badan
intelijen untuk mencari tahu tentang kebenaran kabar burung tersebut.
Biro Chusus, yang semula dipimpin Karto dari awal 1950-an sampai
sekitar 1963-64, telah mengembangkan jaringan luas di kalangan para
perwira, yang bersedia memberikan informasi intelijen kepada partai.
Dari informasi yang terkumpul Sjam menyimpulkan bahwa jenderaljenderal
sayap kanan di bawah Yani memang sedang merancang kup.
Aidit mempunyai cukup alasan untuk memercayai informasi Sjam.
Memang mudah membayangkan bahwa jenderal-jenderal Angkatan
Darat itu berkomplot untuk melakukan kup. Yang menjadi pertanyaan
adalah bagaimana menanggapinya. Aidit menimbang-nimbang pilihannya
pada pertengahan 1965. Ia mempunyai dua pilihan dasar: menunggu
kup terjadi dan baru memberikan tanggapan atau mengambil semacam
tindakan mendahului untuk mencegah kup terjadi. Kedua pilihan
masing-masing mempunyai untung dan ruginya. Kerugian pilihan sikap
tunggu dan lihat sudah jelas. Jika Yani dan para pang-limanya menggulingkan
Sukarno, mereka akan segera menodongkan senjata mereka ke
arah PKI. Represi bisa menjadi pertumpahan darah hebat karena partai
tidak mempunyai senjata untuk mempertahankan diri. Aidit yakin bahwa
angkatan-angkatan bersenjata lainnya – kepolisian, udara, dan laut – tidak
akan mendukung kup Angkatan Darat dan tindakan represi antikomunis
itu. Ia juga yakin bahwa para perwira sayap kiri dalam Angkatan Darat
sendiri akan menentang. Namun demikian, kemungkinan pertempuran
perebutan kekuasaan pascakup semacam itu tentu mencemaskannya.
Bahkan seandainya ia menduga kaum komunis dan Sukarnois pada
akhirnya mempunyai kesempatan baik untuk menang pun, ia tentu sadar
bahwa kemenangan itu tidak terjamin dan bisa jadi berimbas terlalu besar.
Sebelum klik Yani bisa dikalahkan, perjuangan untuk kekuasaan itu akan
302
7. MENJALIN CERITA BARU
menuntut banyak korban. Satu-satunya keuntungan dari pendekatan
tunggu dan lihat ini hanyalah ia memberi kesempatan kepada Angkatan
Darat untuk mengambil langkah pertama. Ketidakpastian kabar burung
akan berakhir begitu jenderal-jenderal antikomunis itu memperlihatkan
jati diri mereka. Dengan melancarkan kup jenderal-jenderal ini akan
membuktikan ke seluruh tanah air bahwa mereka adalah musuh-musuh
kekuatan sayap kiri dan Sukarnois pada umumnya. Perlawanan terhadap
kup akan memberi kepastian tentang watak khianat lawannya.
Di pihak lain, keuntungan tindakan mendahului adalah ia akan
menyelamatkan bangsa dari keharusan mengalami perang saudara. Bagi
Aidit kekuatan kaum progresif di tanah air – PKI bersekutu dengan
pengikut Sukarno – merupakan mayoritas warga negara Indonesia.
Mereka menghadapi faksi perintang minoritas dalam Angkatan Darat
yang kekuatannya hanya terletak pada laras senjata. Jika faksi ini bisa
dihentikan sebelum ia sempat melepas tembakan, subyek revolusioner
PKI, yaitu “Rakyat,” bisa terhindar dari berbagai penderitaan dan
kekacauan.
Kerugian sikap mendahului terletak pada tuntutan logistiknya
yang sangat merepotkan: bagaimana partai bisa bergerak melawan para
pemimpin puncak Angkatan Darat? Partai tidak bisa sekadar memanggil
massanya agar turun ke jalan-jalan – suatu taktik yang semakin dikuasai
PKI sampai pada pertengahan 1965 – dan mengharapkan bisa mengusir
para perwira yang dilindungi senjata dan tank. Pengubahan susunan pemerintahan
juga tidak bisa memberikan banyak janji. Presiden Sukarno
tidak bisa diharap akan memecati para panglima dan mengangkat yang
baru karena ia tidak mempunyai sarana untuk memaksakan perintahnya
seandainya para perwira itu menolak mematuhi keputusannya. Selain itu,
Sukarno tidak pernah mengurus penataan jabatan di dalam Angkatan
Darat dengan memberikan perintah-perintah. Pada 1962 Sukarno menyingkirkan
Nasution hanya sesudah melalui perundingan yang hatihati
dengan jenderal-jenderal Angkatan Darat, dan sekalipun begitu,
ia mengizinkan Nasution memilih penggantinya. Pada awalnya para
jenderal Angkatan Darat mendukung gagasan Sukarno untuk konfrontasi
melawan Malaysia karena mereka bisa mendapat dana tambahan
dari persiapan perang itu. Begitu kampanye ini tampak akan berubah
menjadi perang yang sebenarnya dengan Malaysia dan Inggris pada
303
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
medio 1964, jenderal-jenderal itu segera menyabotnya. Mereka tunduk
kepada perintah-perintah Sukarno jika mereka bersedia.
Selagi Aidit menimbang-nimbang untung dan rugi kedua pilihan
tersebut, ia berbicara dengan Sjam tentang kemungkinan menggerakkan
para perwira progresif untuk melawan Dewan Jenderal. Sekitar akhir
Agustus Aidit meminta agar Sjam menjajaki pendapat para perwira
pro-Sukarno dan pro-PKI apakah mereka bisa menggagalkan Dewan
Jenderal dari dalam Angkatan Darat sendiri. Ketika Sjam memulai
diskusi-diskusi dengan jaringan Biro Chusus, ia sebagai rekan berbagi
informasi intelijen dan mendorong para perwira untuk melakukan aksi
melawan jenderal-jenderal sayap kanan. Karena tidak tampak adanya
rencana yang pasti, Sjam memutuskan untuk memimpinnya. Ia tidak
sabar dan yakin bahwa sesuatu harus segera dilakukan. Ia berusaha
memengaruhi beberapa perwira untuk ikut serta dalam sebuah aksi
menentang Dewan Jenderal.
Begitu Sjam memainkan peranan sebagai koordinator, perwiraperwira
yang bersedia melibatkan diri hanyalah mereka yang setia tanpa
kesangsian kepada Sjam dan PKI. Mereka menduga bahwa mereka telah
mendapat kepercayaan dari partai untuk melakukan tugas mulia, bersejarah,
dan bertindak sebagai bagian dari sebuah rencana yang tertata dengan
seksama serta tidak mungkin salah, yang telah dikembangkan pimpinan
partai dengan kebijaksanaannya. Kerja sama memberi dan menerima
antara Biro Chusus dengan para perwira militer dalam tahun-tahun
sebelum 1965 membantu menjelaskan mengapa para perwira itu bersedia
melibatkan diri mereka di dalam G-30-S. Mereka sudah semakin percaya
kepada Biro Chusus. Mereka tidak mungkin berpikir bahwa dengan
mengikuti permintaan-permintaan Sjam berarti melakukan pelanggaran
disiplin militer yang serius ketika mereka memercayai pimpinan
puncak angkatan mereka sedang bersiasat melawan panglima tertinggi
mereka, Presiden Sukarno. Sjam membujuk mereka agar bergabung
dengan argumen bahwa aksi mereka tidak mungkin gagal, mengingat
sangat luas dukungan rakyat terhadap Sukarno dan PKI. Mereka hanya
memerlukan sebuah aksi kecil saja untuk menimbulkan reaksi berantai.
Gerakan ini tidak perlu menguasai Jakarta secara militer. Yang diperlukan
hanyalah memasang sumbu, seperti yang belakangan dikemukakan
Supardjo. Aksi-aksi selanjutnya akan dilaksanakan oleh yang lain-lain:
304
7. MENJALIN CERITA BARU
Sukarno akan mendukung aksi ini, karena ia khawatir terhadap kup;
Mayor Jenderal Umar Wirahadikusumah di Jakarta dan Mayor Jenderal
Ibrahim Adjie di Bandung akan mengikuti arahan Sukarno, Suharto
akan tetap pasif, massa PKI akan berdemonstrasi mendukung aksi, dan
para perwira militer di seluruh tanah air akan beramai-ramai bergabung
ketika mereka menyaksikan aksi semakin bertambah besar. Gerakan ini
akan berhasil segera sesudah ia memicu banyak aksi susulan.
Sepanjang September 1965, Aidit, Sjam, dan sekelompok perwira,
khususnya Untung, Latief, dan Soejono menyusun rencana yang seksama,
untuk melakukan gerakan mendahului terhadap Dewan Jenderal. Tidak
jelas siapa dari mereka yang bertanggung jawab untuk merumuskan
aspek-aspek apa dalam perencanaan. Karena Aidit dan para perwira
tidak saling bertemu langsung, kita bisa menduga bahwa Sjam, sebagai
perantara, berada pada posisi memainkan peranan terkemuka dalam
penyusunan rencana. Ide dasarnya ialah menggunakan pasukan para
perwira progresif untuk melancarkan serangan telak terhadap jenderaljenderal
yang diduga berkomplot untuk melakukan kup. Ide pokok
rencana itu, yaitu yang disebut Supardjo “titik berat,” adalah penculikan
pada malam hari terhadap Nasution, Yani, dan lima jenderal lainnya
dari rumah masing-masing. Ruang kelabu terluas adalah bagaimana
komplotan ini bisa menetapkan bahwa tujuh jenderal tersebut semuanya
anggota Dewan Jenderal. Agaknya komplotan ini banyak bergantung
kepada kabar burung dan tidak mempunyai bukti konkret.
Satu hal yang terkadang diabaikan dalam penulisan sejarah Gerakan
30 September adalah bahwa dalam dunia politik Indonesia penculikan
merupakan tradisi yang terhormat. Sukarno pun, bersama Hatta, diculik
pada 16 Agustus 1945 oleh para pemuda yang memaksa mereka agar
segera menyatakan kemerdekaan Indonesia dan memimpin pemberontakan
melawan tentara Jepang. Dua pemimpin nasional itu digiring
ke Rengasdengklok, sebuah kota kecil di daerah pinggiran ibu kota,
dan disekap di sana di luar kemauan mereka berdua. Mereka menolak
menuruti tuntutan para penculik. Para pemuda ini berusaha mengorganisasi
pemberontakan di Jakarta. Ketika rencana itu gagal terwujud (agak
mirip dengan dewan-dewan revolusi Gerakan 30 September dua puluh
tahun kemudian), para pemuda membawa kembali kedua pemimpin
bangsa itu ke ibu kota tanpa dipengapakan.10 Namun, kelak para pemuda
305
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
itu dipandang sebagai pahlawan-pahlawan karena patriotisme mereka
yang militan. Salah seorang di antara mereka, Chairul Saleh, belakangan
menjadi wakil perdana menteri ketiga Sukarno. Seperti ditulis Cribb dan
Brown, “Selama perang kemerdekaan [1945-1949], penculikan tokohtokoh
politik yang konservatif dengan maksud menggugah mereka agar
berpendirian lebih radikal sering kali terjadi, dan tokoh-tokoh yang
diculik biasanya dibebaskan tanpa cidera, rasa percaya diri mereka goyah,
wibawa mereka digerogoti, dan karena itu kemampuan mereka bertindak
tegas terkurangi.”11 G-30-S pun merencanakan taktik yang dihormati
sepanjang masa untuk memaksakan perubahan politik dan pribadi pada
kalangan pimpinan puncak.
Sisi lain rencana aksi – pembentukan dewan-dewan revolusi di
seluruh negeri di bawah pimpinan para perwira progresif – dimaksudkan
untuk menjamin keberhasilan pelaksanaan perubahan apa saja yang
dikehendaki gerakan ini. Dewan-dewan ini akan menghalangi usaha para
perwira sayap kanan untuk kembali dan akan menekan Sukarno agar
membersihkan lebih lanjut pimpinan Angkatan Darat. Dewan-dewan
akan memberi kesan adanya dukungan rakyat terhadap aksi mereka.
Semula, komplotan G-30-S tidak bermaksud menggunakan dewandewan
tersebut untuk merebut kekuasaan kabinet Sukarno atau lembaga
pemerintah lain apa pun. Satu-satunya tujuan adalah memberikan
dukungan rakyat terhadap aksi melawan jenderal-jenderal sayap kanan
dan menekan lembaga-lembaga pemerintah yang ada agar mengikuti
kebijakan-kebijakan Sukarno. Setiap dewan revolusi harus dipimpin
seorang perwira muda yang akan menggalang front persatuan kekuatan
patriotik di daerah masing-masing. Garis ini sesuai dengan nasihat Aidit
kepada kaum komunis Aljazair pada Juni 1965: kup Kolonel Boumedienne
di negeri mereka harus dibikin menjadi sebuah “gerakan rakyat.”
Prinsip Aidit adalah bahwa suatu aksi militer harus diiringi dengan
demonstrasi dukungan rakyat yang lebih luas.
Gagasan tentang dewan revolusi lebih bisa dikaitkan dengan Aidit
dan Sjam ketimbang dengan perwira-perwira militer itu. Untung dan
para perwira kawan-kawannya menyerahkan soal-soal politik kepada
partai, sementara mereka mencurahkan perhatian pada tujuan yang
sempit, yaitu merencanakan penculikan saja. Aidit dan Sjam bermaksud
menggunakan dewan-dewan revolusi untuk mendorong perubahan
306
7. MENJALIN CERITA BARU
yang lebih luas dalam komposisi kabinet Sukarno sesegera setelah para
panglima Angkatan Darat disingkirkan. PKI menginginkan agar kabinet
Nasakom diperbaiki, dengan kata lain partai menginginkan lebih banyak
kementerian di tangan partai dan lebih banyak menteri antikomunis
disingkirkan.
Setelah memutuskan pada akhir Agustus untuk mendukung
strategi mendahului dengan melibatkan perwira-perwira militer, Aidit
menjadi lebih menutup diri. Ia tidak mengadakan sidang Politbiro selama
September meski ia biasanya menyelenggarakan sidang demikian tiga
atau empat kali dalam sebulan. Ia tidak memberi tahu semua pimpinan
partai tentang rencana tersebut. Jika ia merasa pimpinan-pimpinan
tertentu diperlukannya dalam aksi, ia memberi brifi ng kepada mereka
dan memerintahkan mereka untuk melaksanakan tugas-tugas tertentu.
Njono, sebagai pimpinan partai daerah Jakarta, dan Sukatno, sebagai
kepala bagian pemuda partai (Pemuda Rakjat), ditugasi untuk memobilisasi
sukarelawan yang bisa menambah jumlah pasukan aksi. Bahkan
para pimpinan yang secara langsung terlibat di dalam aksi itu pun tidak
mengetahui dengan baik seluruh rencana gerakan. Pimpinan partai
percaya bahwa sekelompok perwira progresif akan melaksanakan aksi
mendahului, sementara partai memberikan dukungan politik dan
bantuan sukarelawan secukupnya. Itulah yang disampaikan Aidit di
depan sekelompok anggota Politbiro dan Comite Central pada akhir
Agustus, dan informasi itu pula yang beredar di sekitar kantor pusat
partai. Para anggota partai disuruh menunggu datangnya aksi yang akan
dilancarkan kalangan militer.
Para perancang gerakan menginginkan agar aksi mereka dilihat
sebagai aksi militer murni, sehingga ia akan mudah diterima masyarakat
luas. Bahkan organisasi-organisasi antikomunis pun akan sulit menentang
perwira patriotik seperti Untung, seorang pahlawan dalam kampanye
merebut Irian Barat dan salah satu wakil komandan pasukan kawal kepresidenan
di bawah pimpinan Brigjen Sabur. Aksi itu seakan-akan mengatasi
politik partai dan murni didorong patriotisme. Segera sesudah aksi, partai
akan menampilkan diri dengan menduduki lebih banyak jabatan dalam
kabinet dan perlahan-lahan menyingkirkan lawan-lawannya baik dari
kalangan militer maupun pemerintahan sipil.
Selagi Aidit, Sjam, Untung, dan yang lain-lain sibuk merancang
307
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
apa yang kemudian dinamai Gerakan 30 September itu, pimpinan
tertinggi Angkatan Darat menunggu saat yang baik. Nasution, Yani,
dan kawan-kawannya sebenarnya tidak merencanakan untuk melakukan
kudeta terhadap Sukarno. Mereka menunggu sampai PKI lebih dahulu
bergerak dan memberi mereka semacam dalih untuk menindak keras
partai itu. PKI mungkin menafsirkan kelambanan mereka selama awal
dan pertengahan 1965 sebagai pertanda kelemahan, ketika demonstrasidemonstrasi
yang dipimpin partai memaksakan krisis dalam hubungan
dengan penyangga utama para jenderal Angkatan Darat, yaitu pemerintah
Amerika Serikat. Juga mungkin sekali, dengan cara terselubung,
jenderal-jenderal Angkatan Darat ikut menyebarkan kabar burung
tentang Dewan Jenderal. Jenderal-jenderal itu bermaksud memancing
PKI agar mengambil tindakan gegabah. Untuk memanfaatkan kekuatan
mereka – kekuatan militer murni – jenderal-jenderal itu membutuhkan
suatu dalih. Menyerang langsung Sukarno dan PKI tanpa alasan yang sah
tidak akan menghasilkan tatanan politik yang kokoh dikuasai Angkatan
Darat.
Masih belum jelas apakah agen-agen intelijen jenderal-jenderal
sayap kanan itu mengetahui bahwa Aidit dan Sjam berkomplot merencanakan
aksi. Kepala intelijen Angkatan Darat, Mayor Jenderal Parman,
memasang mata-matanya di dalam partai. Tapi agaknya ia tidak mengetahui
tentang Sjam dan Biro Chusus yang sedang mengorganisasi
aksi. Seandainya ia tahu, ia pasti dengan cermat akan memantau Sjam
dan bisa menggagalkan penculikan dan pembunuhan terhadap dirinya
sendiri pada 1 Oktober 1965. Jenderal-jenderal sayap kanan itu boleh jadi
sudah mendapat petunjuk-petunjuk tertentu, tapi petunjuk-petunjuk itu
terbenam dalam makin riuhnya hiruk-pikuk berbagai kabar intelijen.
Agen-agen intelijen Suharto di Kostrad – Yoga Sugama dan Ali Moertopo,
keduanya dari Kodam Diponegoro Jawa Tengah – boleh jadi mempunyai
informasi yang lebih pasti tentang personil Biro Chusus dan rencana
mereka. Karena Suharto mengenal baik Untung maupun Latief, kita
bisa menduga bahwa Sugama dan Moertopo mengenal mereka atau
mengetahui tentang mereka. Kelompok Suharto di Kostrad barangkali
juga tahu tentang Sjam dan Biro Chusus. Kegiatan Suharto, Yoga, dan
Moertopo dalam 1965 merupakan hamparan kelabu paling luas dalam
pemahaman kita tentang G-30-S.
308
7. MENJALIN CERITA BARU
RENCANA MENYELIMPANG
Satu alasan mengapa Parman tak tahu-menahu tentang komplotan
ini barangkali karena banyak di kalangan komplotan itu sendiri tak
tahu banyak. Dalam usahanya untuk merahasiakan komplotan, Aidit,
Sjam, dan perwira-perwira militer yang terlibat tidak mengungkapkan
informasi secukupnya kepada kawan-kawan sesama komplotan mereka
agar mereka bisa berperanan dengan efektif. Banyak kesalahan terjadi
karena para peserta tidak mempunyai cukup pengetahuan tentang tugastugas
mereka. Karena rencana-rencana para organi-sator aksi dijaga baikbaik
kerahasiaannya, maka keputusan mereka tentang banyak masalah
logistik, bahkan tanggal aksi dimulai, baru disampaikan kepada para
pendukung pada menit terakhir.
Rencana aksi mengalami sejumlah revisi. Beberapa perwira menarik
diri karena mereka tidak memercayai kepemimpinan Sjam. Seperti diperhatikan
Supardjo ketika ia berbicara dengan Sjam beberapa hari sebelum
aksi, rencana itu “tidak logis.” Sampai akhir September para perancang
aksi belum mengerahkan pasukan yang memadai untuk menghadapi
kemungkinan serangan balasan. Yang paling menyolok, mereka tidak
mempunyai tank. Tanpa dukungan kekuatan yang memadai, rencana
menjadi bergantung pada persetujuan Sukarno terhadap penculikan.
Persetujuannya diharapkan akan menghentikan para perwira yang bisa
memobilisasi pasukan untuk melakukan serangan balasan. Perwiraperwira
penting yang memimpin pasukan di dalam atau di dekat ibu
kota – Mayor Jenderal Umar Wirahadikusumah dari Kodam Jaya, Jakarta
dan Mayor Jenderal Ibrahim Adjie dari Kodam Siliwangi, Jawa Barat
– terkenal sebagai Sukarnois setia yang akan mematuhi petunjuk presiden.
Komplotan meneruskan aksi dengan harapan tidak ada kekuatan militer
yang akan dibiarkan menyerang mereka.
Supardjo bergabung dengan G-30-S karena ia percaya kepada Sjam
dan karena yakin bahwa jenderal-jenderal sayap kanan memang mau
melancarkan kup. Sebelumnya ia tidak pernah berhubungan dengan
perwira-perwira lain dalam G-30-S. Bersandar pada kebijakan partai yang
terwakili melalui Sjam, Supardjo mengira rencana itu sudah dirancang
dengan baik sekalipun apa yang didengarnya terasa ganjil. Walaupun di
dalam G-30-S ia merupakan perwira dengan pangkat tertinggi, ia tidak
309
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
menjadi komandannya karena selama minggu-minggu sebelumnya ia
tidak ikut dalam perencanaan. Untung yang dipilih sebagai komandan
tituler karena posisinya sebagai komandan pasukan kawal istana akan
memberi aksi ini kredibilitas yang lebih besar. Aksi ini akan tampak
sebagai perkembangan logis belaka dari tugas Untung untuk melindungi
Sukarno. Juga, Sjam mungkin lebih suka memilih Untung sebagai
komandan karena sikapnya yang lebih lunak. Supardjo seorang taktikus
militer yang cakap dengan modal pikiran sendiri, sedangkan Untung
seorang prajurit yang menanjak pangkatnya karena keberaniannya, bukan
karena inteligensinya.
Ketika sesama kawan komplotannya menunjukkan kelemahan
rencana itu, Sjam justru menjadi semakin bersikeras. Dengan mengadakan
rapat-rapat dan mengundang beberapa perwira (sebagian dari
mereka belakangan menarik diri), komplotan ini telah mempertaruhkan
diri mereka. Agen-agen intelijen Angkatan Darat lambat laun akan
membongkar komplotan mereka. Jika mereka membatalkan aksi, tidak
ada jaminan bahwa kelak mereka tidak akan ditahan. Sjam bersikeras,
mereka harus terus melangkah. Pada akhir September, ketika kelemahan
rencana akhir menjadi semakin kentara, dengan murka Sjam mencerca
semua pembimbang sebagai pengecut. Ia sendiri tetap hati karena melihat
kekuatan PKI dan Sukarnois terlalu perkasa untuk kalah. Bahkan jika aksi
ini tersandung, PKI, dengan seluruh kekuatan massa dan pengaruh politiknya,
akan mampu mengintervensi dan mencegah kekalahan total.
Sjam sudah melayani Aidit selama hampir lima belas tahun. Ia
mengabdikan dirinya untuk Aidit, menunggu perintah-perintahnya,
mengatur keamanan pribadinya, mencari informasi rahasia yang bisa
berguna baginya. Aidit ibarat bintang pemandu bagi Sjam. Ia tidak
banyak berhubungan dengan siapa pun di dalam PKI. Ia tidak mempelajari
literatur dan perdebatan teori di dalam partai. Setelah berjanji kepada
Aidit bahwa rencana mendahului aksi Dewan Jenderal pasti berhasil, ia
bermaksud meneruskan rencananya lepas dari segala kelemahannya. Ia
tidak ingin mengecewakan bosnya. Ia meyakinkan dirinya sendiri dan
Aidit bahwa para perwira progresif sanggup menghentikan jenderaljenderal
sayap kanan yang sudah merencanakan sebuah kup. Ia akan
kehilangan kepercayaan Aidit jika tiba-tiba ia melaporkan aksi itu tidak
bisa dilaksanakan. Aidit telah mendasarkan semua strategi politiknya
310
7. MENJALIN CERITA BARU
sepanjang September pada harapan akan terlaksananya aksi mereka. Jika
ia tahu sebelumnya bahwa aksi mereka sangat berisiko atau tidak mudah
dilaksanakan, Aidit tentu akan menyiapkan strategi lain untuk menghadapi
jenderal-jenderal sayap kanan itu. Jika pada detik terakhir aksi harus
dibatalkan, partai tidak akan siap menghadapi kudeta Dewan Jenderal
yang disangkakan akan terjadi itu. Bisa saja Aidit mempunyai fi rasat
tertentu tentang persiapan aksi yang kurang sempurna, tapi Sjam telah
menenteramkan hatinya, seperti yang ia lakukan terhadap para perwira
yang terlibat aksi, dengan mengatakan segala sesuatunya akan berjalan
dengan baik. Aidit berketetapan meneruskan rencana karena para perwira
telah bersiap melaksanakannya. Para perwira siap melaksanakan rencana
karena mereka mengira Aidit menghendaki rencana tersebut berlanjut.
Persiapan aksi kalang kabut. Akhirnya, aksi harus ditunda satu
hari – penundaan yang mengakibatkan peristiwa yang terjadi pada 1
Oktober menjadi dikenal sebagai Gerakan 30 September. Untung, sang
komandan tituler, belum mempersiapkan diri. Sudah berhari-hari ia
tidak tidur dengan baik karena ia harus tetap melaksanakan tugasnya
sehari-hari sebagai pengawal istana. Ia memulai aksi dalam keletihan.
Penundaan satu hari menambah kebingungan pada rencana yang sudah
membingungkan itu.
Begitu rencana dilaksanakan, semua kekurangannya menjadi
kentara. Hanya sedikit aspek dari gerakan yang berlangsung sesuai
dengan rencana. Ketika malam itu pasukan dari berbagai kesatuan sudah
berkumpul di Lubang Buaya, tidak ada rantai komando yang jelas untuk
mengorganisasi tim-tim penculikan. Dua tim terpenting, yaitu yang
untuk Nasution dan Yani, akhirnya dipimpin oleh prajurit-prajurit berpangkat
rendah yang tidak berpengalaman. Tidak ada satu tim pun yang
pernah berlatih untuk melakukan penculikan. Penugasan baru diberikan
kepada mereka dalam saat-saat terakhir dan kemudian tanpa persiapan
mereka harus mereka-reka strategi dengan cepat untuk mendekati dan
memasuki rumah-rumah para jenderal sasaran. Hasilnya malapetaka.
Dari tujuh tim, hanya tiga yang berhasil menawan jenderal-jenderal
itu dan membawa pergi mereka hidup-hidup. Nasution lolos. Yani dan
dua jenderal lainnya ditembak atau ditusuk ketika mereka memberikan
perlawanan. Tim-tim itu belum pernah dilatih sebelumnya untuk memastikan
bahwa mereka mampu menangkap para jenderal dalam keadaan
311
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
hidup. Mereka sekadar diberi perintah, seperti dinyatakan seorang sersan
pasukan kawal istana: “Tangkap. Jangan sampai ada yang lolos.”12
Ketika pimpinan G-30-S mengetahui bahwa seorang jenderal
lolos dan tiga dari enam orang yang ditangkap telah mati atau hampir
mati, mereka memutuskan untuk membatalkan rencana menghadapkan
jenderal-jenderal itu kepada Sukarno. Tidak mungkin mereka membawa
tiga jenazah berdarah-darah itu ke istana presiden. Tindakan itu tidak
sesuai dengan kebiasaan terhormat dalam sejarah untuk menculik atasan
dan kemudian membebaskan mereka tanpa cidera. Maka, mereka terpaksa
meninggalkan satu bagian rencana yang sangat penting. Pimpinan G-30-S
memutuskan menembak mati semua tawanan mereka dan menyembunyikan
jenazahnya.
Rencana menghadap presiden di istana juga batal. Rencana awal
adalah mendapatkan pernyataan dukungan dari Sukarno dan segera menyiarkannya
melalui radio di pagi hari. Sebelum para perwira Angkatan
Darat yang di dalam dan di sekitar ibu kota sempat berpikir untuk
membalas G-30-S, mereka sudah harus berhadapan dengan fait accompli.
G-30-S berharap sekurang-kurangnya Sukarno akan membuat pernyataan
netral untuk menyerukan ketenangan selagi ia menangani masalah.
Tapi G-30-S tidak berhasil memperoleh pernyataan dari Sukarno. Dalam
kebingungan dan keletihan Untung dan prajurit-prajuritnya dari pasukan
kawal sampai tidak memperhatikan bahwa Sukarno bermalam di rumah
salah seorang dari istri-istrinya. Karena itu G-30-S tetap meneruskan
rencananya menempatkan pasukan di luar istana dan mengirim utusan
ke istana untuk menghadap presiden pada pagi hari itu juga. Sukarno
tidak mau kembali ke istana persis karena adanya pasukan-pasukan tidak
dikenal di luar istana. Sementara para pengawal pribadinya membawa
Sukarno kian ke mari ke berbagai tempat persembunyian, utusan G-30-S
membuang-buang waktu yang berharga dengan duduk-duduk di sekeliling
istana yang kosong menunggu Sukarno.
Salah seorang anggota utusan, Supardjo, akhirnya berhasil bertemu
presiden pada sekitar pukul 10.00 pagi sebenarnya secara kebetulan saja.
Supardjo tidak termasuk bagian dalam rencana semula. Demikian pula
Heru Atmodjo, perwira AURI yang ditugasi Omar Dani untuk mengawasi
Supardjo. Namun justru tiga perwira inilah (Supardjo, Heru Atmodjo,
dan Omar Dani) yang berhasil menghubungkan G-30-S dengan Sukarno.
312
7. MENJALIN CERITA BARU
Ketika Supardjo sedang duduk di balik pagar istana, membuang-buang
tiga jam yang sangat berharga pagi itu, Atmodjo menghubungi atasannya,
Dani, yang sudah mengetahui di mana Sukarno berada. Secara kebetulan
Sukarno sudah memutuskan untuk pindah ke pangkalan udara Halim
demi pertimbangan keselamatan. Dani dan Atmodjo lalu menyiapkan
helikopter untuk menjemput Supardjo dari istana dan membawanya ke
Halim supaya bisa bertemu dengan presiden. Tak satu pun dari semua
langkah-langkah ini tercantum dalam rencana semula. Adalah kebetulan
bahwa Supardjo bisa bertemu Sukarno sedini itu. Jika tidak lantaran
Dani dan Atmodjo, Supardjo mungkin tidak akan pernah terhubungkan
dengan Sukarno pada hari itu.
Karena aksi pokok G-30-S, yaitu penculikan, telah gagal, semua
langkah berikutnya pun segera gagal susul-menyusul. Sukarno tidak
bisa mendukung sekelompok perwira muda yang telah membunuh
para komandan Angkatan Daratnya. Ia memerintahkan Supardjo untuk
menghentikan G-30-S dan memastikan agar tidak terjadi lagi pertumpahan
darah. Supardjo bersedia mematuhi perintah Sukarno, begitu juga
para perwira militer yang menjadi pimpinan gerakan – Latief, Untung,
dan Soejono. Mereka siap membatalkan operasi mereka yang babak belur
itu.
Namun, Sjam dan Aidit tetap ingin meneruskan G-30-S. Mereka
ingin membuat seruan melalui radio agar para perwira di seluruh tanah
air membentuk dewan-dewan revolusi. Aidit sudah memerintahkan para
pimpinan partai agar mengikuti terus siaran radio. Sjam sudah memerintahkan
anggota-anggota Biro Chusus untuk menyebarkan informasi
di kalangan jaringan dalam militer agar mereka menunggu instruksiinstruksi
melalui radio. Baik Aidit maupun Sjam berpikir bahwa tahap
selanjutnya dari gerakan ini – pembentukan dewan-dewan revolusi – akan
bisa berhasil sekalipun tahap pertama sudah gagal. Mereka membayangkan
bahwa massa revolusioner, baik dari kalangan militer maupun sipil,
sedang duduk di dekat radio dan siap membentuk dewan-dewan itu
sesegera mereka mendengar isyarat. Aksi dapat berlanjut tanpa persetujuan
Sukarno.
Tertundanya pertemuan dengan Sukarno dan perbedaan pendapat
antara Sjam dengan para perwira militer menyebabkan suara G-30-S
tidak kunjung terdengar melalui gelombang radio. Stasiun radio telah
313
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
diduduki ketika masih pagi-pagi benar dan sebuah pernyataan terdengar
dibacakan sejenak setelah pukul 7.00. Rencana semula tentunya adalah
segera membacakan pengumuman-pengumuman lain yang menyusul,
termasuk pernyataan dari presiden. Tapi pagi itu tidak ada satu pun
pengumuman lebih lanjut yang dibacakan. G-30-S bungkam sepanjang
saat-saat awal aksi yang menentukan. Untung dan para perwira militer
lainnya sudah siap mundur: jenderal-jenderal sudah dibunuh dan Sukarno
sudah berkata kepada mereka untuk menghentikannya. Sjam berusaha
meyakinkan para perwira itu agar meneruskan G-30-S. Tapi ia gagal.
Saya menduga, karena menghadapi keengganan berlawan dari para
perwira itu, Sjam lalu menuju ke tempat persembunyian Aidit di Halim
dan merancang ulang pengumuman tentang dewan revolusi. Mereka
membuat suatu rencana baru. Sukarno tidak bisa diharapkan untuk
mendukung kelanjutan G-30-S, sehingga ia harus dilampaui. Dewan
revolusi bukan lagi sekadar berperanan sebagai kelompok penekan
terhadap Sukarno, melainkan sebagai inti dari pemerintah baru. Pengumuman
tentang dewan revolusi yang disiarkan pada awal sore hari
itu, Dekrit no. 1, tanpa ada uraian sama sekali karena pengumuman
itu disusun dengan sangat tergesa-gesa. Aidit dan Sjam berimprovisasi.
Mereka meminta Iskandar Subekti, sekretaris Politbiro, mengetik pengumuman
baru di tempat persembunyian Aidit. Mereka masukkan sebagai
“wakil-wakil komandan” dewan nama-nama empat perwira militer yang
mereka harapkan bersedia memberikan dukungan kepada G-30-S.
Penulisan nama komandan (Untung) dan wakil-wakilnya (Supardjo dan
kawan-kawan) tidak ada hubungannya dengan hierarki yang sesungguhnya
di dalam G-30-S; makna penting daftar nama ini semata-mata
simbolik.
Karena Sukarno menolak memberikan persetujuannya kepada
G-30-S, Aidit dan Sjam harus melampauinya. Dewan revolusi yang sebelumnya
dimaksud untuk menunjang kekuasaan Sukarno diubah menjadi
sarana untuk menggantikan kekuasaannya. Aidit dan Sjam menyisipkan
kata-kata baru di dalam teks pengumuman tentang dewan-dewan itu
(Dekrit no. 1): mereka “mendemisionerkan” kabinet Sukarno yang ada
dan memberi “segenap kekuasaan Negara” kepada Dewan Revolusi
Indonesia. Meskipun pernyataan serupa itu berlawanan dengan raison
d‘être G-30-S sendiri (melindungi Sukarno dan cita-cita pemerintahnya),
314
7. MENJALIN CERITA BARU
Aidit dan Sjam memerlukannya sebagai usaha terakhir untuk memberi
arti baru bagi aksi yang nyaris roboh.
Untung yang kelelahan dengan enggan menerima revisi Aidit dan
Sjam dan membubuhkan tanda tangannya setidak-tidaknya pada dua
dari tiga dokumen yang telah mereka rancang (Keputusan no. 1 dan
2). Dokumen pertama menyebut nama-nama anggota Dewan Revolusi
Indonesia dan yang belakangan menghapus pangkat-pangkat militer di
atas letnan kolonel. Untung satu-satunya orang yang menandatangani
kedua dokumen tersebut. Begitu dokumen-dokumen selesai diketik dan
ditandatangani, seorang kurir membawanya ke RRI untuk disiarkan
pada awal sore hari itu.
Setelah melihat aksi di Jakarta terhuyung-huyung, Aidit dan Sjam
berharap bahwa para perwira progresif dan masyarakat sipil di luar ibu
kota akan memprakarsai pembentukan dewan-dewan di daerah masingmasing
dan menggagalkan setiap usaha serangan balik yang akan dilancarkan
oleh jenderal-jenderal Angkatan Darat. Boleh jadi itu merupakan
harapan yang realistis, mengingat bahwa G-30-S memang meluas ke Jawa
Tengah. Aidit dan Sjam bertaruh bahwa daerah-daerah akan meledak.
Mereka bertumpu pada kekuatan radio. Tapi pengumuman-pengumuman
radio tidak cukup untuk mendorong para pengikut partai turun
berdemonstrasi di jalan-jalan dan membentuk dewan revolusi dengan
para perwira militer. Bahkan bagi mereka yang setia kepada partai, yang
mendengarkan siaran radio dan siap melakukan aksi pun, pengumumanpengumuman
tersebut tidak menjelaskan dengan terang apa yang harus
mereka kerjakan dan mengapa. Banyak kader yang hanya menunggu
instruksi lebih lanjut sebelum mereka bertindak. Aidit dan Sjam tidak
bisa mengeluarkan lagi instruksi-instruksi tentang dewan revolusi sore
hari itu karena mereka disibukkan dengan soal kehancuran G-30-S dan
ancaman dari Suharto.
Pada pagi hari itu Sukarno telah melihat G-30-S sebagai suatu usaha
keliru arahan tapi bertujuan baik dari pasukan yang setia kepadanya
untuk memperkuat kekuasaannya dalam berhadapan dengan pimpinan
tertinggi Angkatan Darat yang sukar dikendalikan. Walaupun ia tidak
mengeluarkan pernyataan yang mendukung G-30-S, ia juga tidak mengeluarkan
pernyataan yang mengecamnya. Sukarno melihat G-30-S
sebagai suatu kekuatan politik baru yang harus diberi tempat di dalam
315
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
pemerintahannya, tapi bukan sebagai sesuatu yang harus ditempatkan
lebih tinggi dari dirinya. Ia agaknya menduga G-30-S mewakili banyak
perwira Angkatan Darat karena ia meminta gerakan ini untuk memberi
rekomendasi nama-nama jenderal yang patut menjadi pengganti Yani.
Seandainya ia memandang pimpinan G-30-S bermusuhan dengan
pemerintahnya atau bertekad untuk melancarkan kup, ia pasti tidak
akan meminta bantuan mereka memilih panglima Angkatan Darat yang
baru. Ketika pengumuman radio tentang pendemisioneran kabinetnya
mengudara pada awal sore hari itu, ia marah tapi ia tentunya melihat
bahwa kata-kata G-30-S tidak sejalan dengan perbuatannya. Supardjo
tetap menghormatinya dan tidak berusaha memaksa Sukarno agar
menuruti keinginannya.
Menjelang petang semakin jelas bagi pimpinan G-30-S bahwa perencanaan
yang buruk telah mengakibatkan para anggota partai sendiri
tidak ikut ambil bagian. Para anggota Pemuda Rakjat yang telah disiapkan
Njono dan Sukatno di Jakarta untuk melakukan tugas sebagai sukarelawan
tidak tampak turun ke jalan-jalan. Dari enam sektor yang siap,
hanya satu sektor yang turun. Lain-lainnya tetap dalam keadaan bersiap
siaga saja. Perempuan-perempuan yang ditugasi membuka dapur-dapur
umum tidak muncul. Ketiadaan ransum untuk pasukan yang ditempatkan
di Lapangan Merdeka ikut menjadi penyebab kesediaan mereka
menyerahkan diri ke markas Kostrad. Suharto melancarkan serangan
balik pada petang hari itu ketika G-30-S, oleh kebodohannya sendiri,
sudah mulai ambruk.
SERANGAN BALIK SUHARTO
Pada 1 Oktober Suharto mampu bertindak dengan “efi siensi yang luar
biasa” (seperti dikemukakan Wertheim) karena ia sedikit banyak sudah
mempunyai bayangan G-30-S akan terjadi dan ia tidak akan menjadi
sasaran. Ia sejak awal sudah tahu inilah sebuah aksi yang bisa dipakai
sebagai dalih untuk menyalahkan PKI. Masalah yang harus Suharto
hadapi pagi hari itu adalah apakah ia bisa mengalahkan G-30-S dan
melaksanakan rencana Angkatan Darat untuk menyerang PKI dan
menggulingkan Sukarno. Suharto tidak segera tahu pasti berapa besar
316
7. MENJALIN CERITA BARU
pasukan dan perwira yang terlibat dalam aksi ini. Sepanjang pagi para
perwira Kostrad menyelidiki kekuatan militer G-30-S dan memeriksa
kesetiaan perwira-perwira kunci di ibu kota, terutama Mayor Jenderal
Umar Wirahadikusumah. Jika G-30-S ternyata lebih kuat dan setidaktidaknya
menerima dukungan bersyarat dari presiden pagi hari itu,
Suharto mungkin akan tetap pasif. Ia hanya mempunyai satu batalyon
di Jakarta yang berada langsung di bawah komandonya (Batalyon 328
dari Jawa Barat), yang bisa ia gunakan untuk melancarkan serangan balik
seketika. Melihat rentannya G-30-S, ia merasa mempunyai cukup waktu
untuk mengerahkan pasukan-pasukan lain (seperti misalnya RPKAD,
dari markas mereka di selatan kota) dan memperoleh dukungan cukup
dari rekan-rekan perwira sesamanya untuk melakukan serangan.
Begitu Suharto pagi itu menyatakan tekadnya untuk menghancurkan
G-30-S, ia memutuskan untuk tidak menghiraukan perintahperintah
Sukarno, apa pun bunyinya. Bentrokan dengan PKI yang
sudah lama ditunggu-tunggu terjadilah. Suharto tidak akan membiarkan
presiden memberikan perlindungan kepada para pengikut G-30-S atau
para anggota partai. Penolakan Suharto untuk memberi izin Pranoto
dan Wirahadikusumah pergi ke Halim dan desakan dia agar Sukarno
meninggalkan Halim memperlihatkan bahwa Suharto sudah bertekad
untuk mengabaikan kemauan Sukarno. Seorang jenderal tanpa rencana
yang sudah dipersiapkan sebelumnya pasti akan tunduk terhadap
Sukarno. Suharto menanggapi G-30-S atas pertimbangan sendiri,
tanpa banyak berunding dengan panglima tertingginya. Sejak pagi 1
Oktober ia sudah tahu bahwa G-30-S sangat mungkin dipakai sebagai
dalih yang sudah lama ditunggu-tunggu untuk mengantar Angkatan
Darat ke mahligai kekuasaan. Kecepatan Angkatan Darat mempersalahkan
PKI, mengorganisasi kelompok-kelompok sipil antikomunis, dan
merancang kampanye propaganda memberi kesan adanya persiapan.
Jenderal-jenderal itu telah menyiapkan rencana untuk menghadapi
peristiwa yang mungkin akan terjadi. Sepak terjang Angkatan Darat
dalam masa pasca-G-30-S tidak bisa diterangkan sebagai serangkaian
jawaban-jawaban improvisasi semata-mata.
Para perwira militer dalam G-30-S yang berkumpul di Halim
(Untung, Latief, Soejono) sudah siap menghentikan operasi sebelum
mereka mengetahui tentang rencana serangan balasan Suharto. Sukarno
317
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
sudah memerintahkan mereka untuk mundur saat hari menjelang siang.
Berbeda dengan Aidit dan Sjam, mereka bersedia menaati perintah
presiden. Beberapa saat menjelang siang Untung menandatangani
dokumen-dokumen yang menyerukan dibentuknya Dewan Revolusi
Indonesia, tapi ia sendiri memandang keikutsertaan dirinya di dalam
G-30-S sudah selesai. Bahkan ketika ia, Latief, dan Soejono mengetahui
Suharto sedang merencanakan serangan balik, mereka tidak mengorganisasi
pasukan untuk membela diri. Supardjo bersikukuh bahwa
mereka harus melawan Suharto dan Nasution. Ia berusaha menyusun
kembali pasukan G-30-S yang ada di Lapangan Merdeka dan bekerja
sama dengan pasukan udara Omar Dani. Tetapi Supardjo mendapati
pimpinan inti aksi ini tidak tanggap, bingung, dan lelah. Para perwira
sudah marah kepada Sjam karena mengkhianati tujuan semula mereka
dengan pengumumannya melalui radio tentang pendemisioneran kabinet
Sukarno. Mereka belum pernah berunding untuk mengadakan kup. Di
tengah-tengah keadaan genting demikian Latief berbicara panjang lebar
tentang tetek-bengek yang tidak perlu. Untung dan Latief mengharapkan
teman lama mereka, Suharto, akan mengambil sikap netral atau
tampil mendukung mereka. Ketika pada siang hari mereka mendengar
tentang tindakan-tindakan Suharto, mereka menduga ia mempunyai tipu
muslihat yang dirahasiakan, bahwa sebenarnya ia tidak akan menyerang
G-30-S.
Begitu pasukan Suharto merebut kembali Lapangan Merdeka dan
stasiun RRI pada sekitar pukul 18.00 dan sekitar satu jam kemudian
ia membacakan pengumuman yang menyatakan G-30-S sebagai kontrarevolusioner,
lima pimpinan inti G-30-S menyadari bahwa mereka
telah dikalahkan di Jakarta. Dalam keadaan putus asa dan bingung oleh
semua penyimpangan dari rencana semula, mereka tidak bisa mengambil
keputusan tentang strategi untuk menghadapi Suharto. Mereka tidak
mendesak perwira-perwira Angkatan Udara di Halim untuk membom
Kostrad pada malam hari 1 Oktober. Mereka tidak menggunakan
Batalyon 454 yang berdiri di sekitar jalan-jalan di selatan Halim untuk
mempertahankan diri terhadap pasukan RPKAD yang sedang mendekat
pada pagi 2 Oktober. Komandan batalyon, atas prakarsa sendiri, hampir
terlibat dalam pertempuran dengan pasukan RPKAD, tapi mengundurkan
diri memenuhi permintaan para perwira AURI yang tidak meng318
7. MENJALIN CERITA BARU
ingini adanya pertempuran di sekitar pangkalan udara. Begitu Batalyon
454 bubar pagi itu, G-30-S tidak lagi mempunyai sisa kelompok pasukan
yang cukup besar.
Satu-satunya harapan tinggal terletak di daerah-daerah. Jawa Tengah
merupakan basis PKI yang paling kuat dan tempat Biro Chusus menjalin
jaringan paling luas di kalangan militer. Karena alasan inilah Jawa Tengah
merupakan satu-satunya provinsi tempat G-30-S mewujudkan diri.
Aidit dan Sjam, yang telah berketetapan untuk meneruskan G-30-S
memutuskan bahwa Aidit harus terbang ke Jawa Tengah dan memimpin
perlawanan dari sana. Malam hari itu mereka meminta Supardjo, yang
berhubungan baik dengan Omar Dani, agar meminta bantuan Dani
untuk menerbangkan Aidit keluar Jakarta. Dani menyiapkan sebuah
pesawat untuk Aidit, dan satu pesawat lagi untuknya sendiri. Walaupun
Dani tidak ikut bertanggung jawab atas G-30-S, tapi pernyataan dukungannya
terhadap gerakan ini, yang dirancang sebelum pengumuman
pembubaran kabinet Sukarno, telanjur disiarkan melalui radio. Ia lari
untuk melindungi dirinya.
Begitu Aidit tiba di Yogyakarta, ia tidak tahu harus pergi ke mana
dan menemui siapa. Tindakan ini tidak ada dalam rencana semula. Ia
akhirnya tidak bisa mengorganisasikan gerakan perlawanan. Di Jawa
Tengah sayap militer G-30-S juga hancur dengan cepat, dan akibatnya,
sisi sipil gerakan ini menjadi ragu-ragu untuk secara terbuka menyatakan
dukungannya. Provinsi ini secara umum tenang sejak 3 Oktober sampai
kedatangan pasukan RPKAD di ibu kota provinsi, Semarang, pada 18
Oktober. Aidit tetap berada di bawah tanah, menunggu Sukarno mengupayakan
agar Angkatan Darat mengikuti perintahnya dan menghentikan
penindasannya terhadap PKI. Aidit tidak mengorganisasi atau memerintahkan
perlawanan terhadap Angkatan Darat. Perang mati-matian antara
PKI dan Angkatan Darat bukan hanya akan mengakibatkan kematian
banyak pendukung partai, tapi juga akan mempersulit Sukarno menegaskan
kembali wewenangnya terhadap Suharto. Kehancuran G-30-S
memaksa Aidit memutar haluan. Pada sore hari 1 Oktober ia mengira
G-30-S akan meluas dan menjadi cukup kuat untuk menata kembali
seluruh negara. Ia menyetujui pengumuman radio yang mendemisionerkan
kabinet Sukarno. Tapi begitu G-30-S hancur, ia kembali ke
strategi lama partai, yaitu bergantung kepada Sukarno untuk melindungi
319
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
partai.
Menghilangnya Aidit dari Jakarta dan strategi yang mendadak
berbalik, serta sikap Angkatan Darat di bawah pimpinan Suharto yang
agresif sangat membingungkan pimpinan partai di Jakarta. Kekuatan
partai selama ini terletak pada hierarkinya yang ketat, dengan perintahperintah
dan informasi dari atas ke bawah. Bahkan anggota-anggota inti
Politbiro (misalnya Lukman, Njoto, dan Sudisman) kelabakan oleh suatu
aksi yang – berlawanan dengan harapan mereka – mengumumkan pendemisioneran
kabinet Sukarno, lalu tumbang dengan cepat. Dengan PKI
yang tidak siap dan pasif, tentara Suharto tak mengalami kesulitan yang
berarti untuk menyerangnya. Seandainya saja PKI memutuskan untuk
melawan, partai ini bisa dengan serius menghalangi tentara Suharto.
Buruh kereta api bisa menyabot kereta api yang mengangkut pasukan
ke Jawa Tengah; montir-montir anggota serikat buruh di pangkalan
kendaraan bermotor militer bisa menyabot jip, truk, dan tank; kaum
tani bisa menggali lubang-lubang besar di jalan-jalan untuk menghadang
gerak pasukan; para perwira dan prajurit simpatisan partai di kalangan
militer bisa menyerang kelompok loyalis Suharto; pemuda-pemuda
anggota Pemuda Rakjat bisa memerangi pemuda-pemuda antikomunis
yang digalang militer. Namun partai tidak melawan ofensif Angkatan
Darat. Banyak orang yang terkait dengan PKI atau organisasi-organisasi
sayap kiri dengan sukarela melapor ke kantor-kantor atau pos-pos
militer dan polisi ketika mereka dipanggil dalam Oktober-November
1965, dengan keyakinan akan dibebaskan kembali sesudah beberapa
saat lamanya mereka diperiksa. Karena merasa tidak berbuat apa pun
untuk membantu G-30-S, mereka tidak menduga akan ditahan selama
waktu tak terbatas tanpa dakwaan dan dituduh memainkan peranan
dalam rencana besar untuk melakukan pembunuhan massal.13 Huruhara
itu diduga ibarat badai yang akan segera berlalu dan membiarkan
kewenangan Sukarno tetap utuh.
PURNAKATA
Orang boleh memandang pembunuhan politik terhadap PKI yang diatur
Angkatan Darat merupakan hasil dari pertikaian amoral untuk mem320
7. MENJALIN CERITA BARU
perebutkan kekuasaan negara: jika G-30-S berhasil dan PKI menang,
Angkatan Darat dan orang-orang sipil nonkomunis yang memihak
Angkatan Darat akan mengalami penderitaan yang sama. Kedua belah
pihak bisa dilihat sebagai para petinju. Bahasa yang digunakan saat itu
pun memperlihatkan analogi, misalnya: “memukul atau dipukul” dan
“pukulan yang menentukan.” Koran PKI menggambarkan G-30-S
sebagai tinju yang menghantam wajah Dewan Jenderal. Karena orang
tidak akan merasa kasihan kepada petinju yang terjungkal, maka ia seharusnya,
demikian tampaknya, juga tidak akan merasa kasihan kepada
anggota-anggota PKI yang ditahan dan yang dibantai oleh Angkatan
Darat. Pandangan seperti ini di Indonesia sudah menjadi lumrah di
kalangan orang-orang yang mendapat keuntungan dari rezim Suharto.
Korban sebenarnya sama sekali bukan korban. Mereka orang-orang
kalah yang akan berbuat kekerasan yang sama atau bahkan lebih kejam
terhadap lawan mereka seandainya mereka memperoleh kesempatan.
Pandangan serupa ini keliru menafsirkan pembunuhan politik
antikomunis. G-30-S diorganisasi sebagai pemberontakan terhadap
pimpinan tertinggi Angkatan Darat. Seandainya pasukan Suharto menanggapi
G-30-S dengan setimpal, seharusnya mereka hanya menangkap
dua belas orang anggota Politbiro PKI, begitu juga tokoh-tokoh militer
dan sipil yang terlibat di dalam G-30-S. Tapi bahwa Angkatan Darat
memburu setiap anggota PKI dan setiap anggota ormas yang terkait
dengan PKI memperlihatkan bahwa tanggapan Angkatan Darat tidak
ditetapkan oleh kebutuhan untuk menindas G-30-S saja. Maka, kita
berhadapan dengan seorang petinju yang tidak sekadar memukul knockout
lawannya di atas gelanggang, tapi meneruskan serangannya kepada
semua penggemar petinju yang kalah yang ada di stadion, kemudian
mengejar-ngejar serta menyerang semua penggemar petinju lawannya
di seluruh penjuru tanah air, bahkan terhadap mereka yang tinggal jauh
dan tidak pernah mendengar tentang pertandingan itu sama sekali.
Bagi Suharto identitas para organisator G-30-S yang sebenarnya
tidak penting. Dia dan para perwira Angkatan Darat kliknya mulai
menyerang PKI dalam empat hari sesudah kejadian, bahkan sebelum
mereka mendapat bukti bahwa PKI memimpin G-30-S. Bukan masalah
bagi Suharto dan para opsirnya bila mereka tidak pernah menemukan
bukti bahwa tidak semua orang, kecuali Aidit dan sejumlah kecil
321
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
kawan-kawan kepercayaannya (seperti diakui Sudisman dan Sjam pada
1967), sedikit banyak terlibat. Angkatan Darat mulai merekayasa bukti
tentang PKI pada awal Oktober 1965. G-30-S merupakan dalih yang
tepat sekali untuk melaksanakan rencana Angkatan Darat yang sudah
ada sebelumnya untuk merebut kekuasaan. Jenderal-jenderal Angkatan
Darat itu sudah berketetapan hati bahwa perampasan kekuasaan harus
menyasar PKI sebagai musuh sambil tetap berpura-pura melindungi
Presiden Sukarno.
Tragedi sejarah Indonesia modern tidak hanya terletak pada pembunuhan
massal 1965-66 yang diorganisasi Angkatan Darat saja, tapi
juga pada bertakhtanya para pembunuh, yang memandang pembunuhan
massal dan operasi-operasi perang urat syaraf sebagai cara-cara sah dan
wajar dalam mengelola tata pemerintahan. Sebuah rezim yang mengabsahkan
dirinya dengan mengacu kepada sebuah kuburan massal di
Lubang Buaya dan bersumpah “peristiwa sematjam ini tidak terulang
lagi” (seperti tertera di Monumen Pancasila Sakti) mewariskan kuburan
massal tak terbilang dari satu ujung tanah air ke ujung lainnya, dari
Aceh di tepi barat sampai Papua di tepi timur. Pendudukan Timor Leste
dari 1975 sampai 1999 telah meninggalkan puluhan ribu, jika bukan
ratusan ribu, korban mati, kebanyakan terkubur tanpa nama. Setiap
kuburan massal di Nusantara menandai pelaksanaan kekuasaan negara
yang sewenang-wenang, tidak terbuka, dan rahasia, serta mencemooh
budaya politik era-Suharto: hanya orang-orang sipil yang melakukan
kekejaman dan hanya tentara yang menjaga kesatuan negeri ini. Pengeramatan
peristiwa yang relatif kecil (G-30-S) dan penghapusan peristiwa
bersejarah tingkat dunia (pembunuhan massal 1965-66) telah menghalangi
empati terhadap korban, seperti keluarga para perempuan dan lakilaki
yang hilang. Sementara berdiri sebuah monumen di dekat sumur,
tempat tentara G-30-S membuang jasad tujuh perwira Angkatan Darat
pada 1 Oktober 1965, tidak ada satu monumen pun menandai kuburankuburan
massal yang menyimpan ratusan ribu orang yang telah dibunuh
atas nama penumpasan G-30-S. Begitu sedikit yang diketahui dengan
rinci atau kepastian tentang jumlah orang yang mati, nama mereka,
lokasi kuburan massal, cara bagaimana mereka dibantai, dan jati diri
para pelaku. Di luar Lubang Buaya tersimpan misteri lebih banyak dan
lebih ruwet lagi.
322
7. MENJALIN CERITA BARU
CATATAN
1 Todorov, Poetics of Prose, 45.
2 Zizek, “Detective and the Analyst,” 28.
3 Sheehan, “Simple Man in Pursuit of Power,” 75.
4 Lev, “Indonesia 1965,” 105.
5 Buku Lev tentang periode Demokrasi Terpimpin, Th e Transition to Guided
Democracy, tetap merupakan bacaan pokok.
6 Tentang politik Demokrasi Terpimpin sebagai segitiga, lihat Feith, “President
Soekarno, the Army, and the Communists.”
7 Kisah paling rinci tentang kegagalan Angkatan Darat menuntut tindak kekerasan
terhadap PKI pada 1960 terdapat dalam Van der Kroef, Communist Party of
Indonesia, 227-240.
8 Peace Corps, sebuah badan pemerintah yang didirikan Presiden Kennedy pada
1961, mengirim pemuda-pemudi Amerika, biasanya mahasiswa atau sarjana yang
baru lulus, ke negeri-negeri Dunia Ketiga untuk membantu dalam proyek-proyek
pengembangan ekonomi dan pendidikan. Pada 1965 Peace Corps memiliki sekitar
15.000 relawan yang bekerja di paling tidak 50 negara. Badan ini dirancang untuk
menampilkan kepada dunia wajah Amerika yang lebih manusiawi dan bersahabat
ketimbang militer Amerika Serikat, yang jangkauan global, jumlah personil, dan
anggarannya jauh lebih besar. Untuk informasi tentang program Peace Corps di
Indonesia lihat Friend, Indonesian Destinies, bab 3.
9 Legge, Sukarno, 421-22. Untuk versi Subandrio tentang cerita mengenai telegram
ini, lihat Soebandrio, Kesaksianku Tentang G-30-S, 18-19. Untuk versi rezim Suharto,
lihat Sekretariat Negara Republik Indonesia, Gerakan 30 September, 61-63.
10 Tentang penculikan Sukarno dan Hatta, lihat Hering, Soekarno, 366-369.
11 Cribb and Brown, Modern Indonesia, 98. Wibawa Sukarno dan Hatta tidak
berkurang karena penculikan terhadap mereka pada 1945 itu. Contoh-contoh
lain termasuk Sjahrir yang diculik pada 1946 di Solo; Residen dan Wakil Residen
Solo diculik pada November 1946; dan Kepala Kepolisian Yogyakarta, Sudharsono,
diculik pada 1947.
12 Wawancara dengan Bungkus.
13 Hasworo, “Penangkapan dan Pembunuhan di Jawa Tengah.”
323
LAMPIRAN 1
BEBERAPA PENDAPAT JANG MEMPENGARUHI
GAGALNJA “G-30-S” DIPANDANG DARI SUDUT MILITER
(1966)
Brigadir Jenderal Supardjo
Catatan Pengantar
Dokumen ini merupakan bagian dari berkas rekaman persidangan
Mahmilub untuk Supardjo pada 1967. Petugas-petugas militer memperoleh
salinan dari dokumen asli mungkin ketika mereka menangkap
Supardjo pada Januari 1967 atau ketika mereka menyita dokumendokumen
yang diselundupkan ke dalam penjara. Anggota staf Mahmilub
menyalin dari aslinya dengan mengetik. Satu orang yang membaca
dokumen asli pada akhir 1960-an saat berada di dalam penjara bersama
Supardjo adalah Heru Atmodjo. Ia menegaskan bahwa salinan yang saya
perlihatkan kepadanya sama dengan yang pernah ia baca. Ketika saya
memperlihatkan salinan yang sama kepada salah satu putra Supardjo,
Sugiarto, ia mengenali gaya penulisan ayahnya dan argumen-argumen
yang dikemukakan ayahnya kepada keluarganya secara lisan.
Pengetik di Mahmilub kemungkinan sudah membuat kesalahankesalahan
dalam proses penyalinan. Ia juga mungkin memberi
terjemahan bahasa Indonesia dalam tanda kurung biasa untuk istilah324
LAMPIRAN-LAMPIRAN
istilah Belanda. Semua komentar dalam tanda kurung siku dari saya.
Motto: Dalam kalah terkandung unsur2 menang!
(Falsafah “Satu petjah djadi dua.”)
Kawan pimpinan,
Kami berada di “Gerakan 30 September” selama satu hari
sebelum peristiwa, “pada waktu peristiwa berlangsung” dan “satu hari
setelah peristiwa berlangsung.”1 Dibanding dengan seluruh persiapan,
waktu jang kami alami adalah sangat sedikit. Walaupun jang kami
ketahui adalah hanja pengalaman selama tiga hari sadja, namun adalah
pengalaman saat2 jang sangat menentukan. Saat2 dimana bedil mulai
berbitjara dan persoalan2 militer dapat menentukan kalah menangnja
aksi2 selandjutnja. Dengan ini kami sampaikan beberapa pendapat,
dipandang dari sudut militer tentang kekeliruan2 jang telah dilakukan,
guna melengkapi bahan2 analisa setjara menjeluruh oleh pimpinan
dalam rangka menelaah peristiwa “G-30-S.”2
Tjara menguraikannja mula2 kami utarakan fakta2 peristiwa
jang kami lihat dan alami, kemudian kami sampaikan pendapat kami
atas fakta2 tersebut.
Fakta2 pada malam pertama sebelum aksi dimulai:
1. Kami djumpai kawan2 kelompok pimpinan militer pada malam
sebelum aksi dimulai, dalam keadaan sangat letih disebabkan kurang
tidur. Misalnja: kawan Untung tiga hari ber-turut2 mengikuti rapat2
Bung Karno di Senajan dalam tugas pengamanan.3
2. Waktu laporan2 masuk, tentang pasukan sendiri dari daerah2,
misalnja Bandung, ternjata mereka terpaksa melaporkan siap,
sedangkan keadaan jang sebenarnja belum.
3. Karena tidak ada uraian jang jelas bagaimana aksi itu akan
dilaksanakan maka terdapat kurang kemufakatan tentang gerakan
itu sendiri dikalangan kawan2 perwira di dalam Angkatan Darat.
Sampai ada seorang kawan perwira jang telah ditetapkan duduk dalam
team pimpinan pada saat jang menentukan menjatakan terang2-an
325
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
mengundurkan diri.4
4. Waktu diteliti kembali ternjata kekuatan jang positip di fi hak kita
hanja satu kompi dari Tjakrabirawa. Pada waktu itu telah timbul keragu2-
an, tetapi ditutup dengan sembojan “apa boleh buat, kita tidak
bisa mundur lagi.”
5. Dengan adanja kawan perwira jang mengundurkan diri, maka
terasa adanja prasangka dari team pimpinan terhadap kawan lain di
dalam kelompok itu. Saran2 dan pertanjaan2 dihubungkan dengan
pengertian tidak kemantapan dari si penanja. Misalnja, bila ada jang
menanjakan bagaimana imbangan kekuatan, maka didjawab dengan
nada jang menekan: “ja, Bung, kalau mau revolusi banjak jang
mundur, tetapi kalau sudah menang, banjak jang mau ikut.” Utjapan2
lain: “kita ber-revolusi pung-pung5 kita masih muda, kalau sudah tua
buat apa.”
6. Atjara persiapan di L.B. [Lubang Buaya] kelihatan sangat padat,
sampai djauh malam masih belum selesai, mengenai penentuan code2
jang berhubungan dengan pelaksanaan aksi. Penentuan dari peleton2
jang harus menghadapi tiap2 sasaran, tidak dilakukan dengan
teliti. Misalnja, terdjadi bahwa sasaran utama mula2 diserahkan
pelaksanaannja kepada peleton dari pemuda2 jang baru sadja
memegang bedil, kemudian diganti dengan peleton lain dari tentara,
tetapi ini pun bukan pasukan jang setjara mental telah dipersiapkan
untuk tugas-tugas chusus.6
Fakta2 pada hari pelaksanaan:
7. Berita pertama jang masuk bahwa Djenderal Nasution telah
disergap, tetapi lari. Kemudian team pimpinan kelihatan agak bingung
dan tidak memberikan perintah2 selandjutnja.
8. Menjusul berita bahwa Djenderal Nasution bergabung dengan
Djenderal Suharto dan Djenderal Umar di Kostrad. Setelah menerima
berita ini pun, pimpinan operasi tidak menarik kesimpulan apa2.
326
LAMPIRAN-LAMPIRAN
9. Masuk berita lagi bahwa pasukan sendiri dari Jon Djateng dan Jon
Djatim tidak mendapat makanan, kemudian menjusul berita bahwa
Jon Djatim minta makan ke Kostrad. Pendjagaan RRI ditinggalkan
tanpa adanja instruksi.
10. Menurut rentjana, kota Djakarta dibagi dalam tiga sektor, Selatan,
Tengah dan sektor Utara. Tetapi waktu sektor2 itu dihubungi, semuasemua
tidak ada di tempat (bersembunji).
11. Suasana kota mendjadi sepi dan lawan selama 12 djam dalam
keadaan panik.
12. Djam 19.00 (malam kedua). Djenderal Nasution-Harto dan
Umar membentuk suatu komando. Mereka sudah memperlihatkan
tanda2 untuk tegenaanval [serangan balik] pada esok harinja.
13. Mendengar berita ini Laksamana Omar Dani mengusulkan
kepada Kw. Untung agar AURI dan pasukan “G-30-S” diintegrasikan
untuk menghadapi tegenaanval Nato cs (Nasution-Harto).7 Tetapi
tidak didjawab setjara kongkrit. Dalam team pimpinan G-30-S, tidak
memiliki off ensi-geest [semangat menyerang] lagi.8
14. Kemudian timbul persoalan ketiga. Ja, ini dengan hadirnja Bung
Karno di Lapangan Halim. Bung Karno kemudian melantjarkan
kegiatan sbb:
a) Memberhentikan gerakan pada kedua belah pihak (dengan
keterangan bila perang saudara berkobar, maka jang untung
Nekolim).
b) Memanggil Kabinet dan Menteri2 Angkatan.9 Nasution-
Harto dan Umar menolak panggilan tersebut. Djenderal Pranoto
dilarang oleh Nasution untuk memenuhi panggilan Bung
Karno.10
c) Menetapkan caretaker bagi pimpinan A.D.
327
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
Hari kedua:
15. Kawan2 pimpinan dari “G-30-S” kumpul di L.B. Kesatuan
RPKAD mulai masuk menjerang, keadaan mulai “wanordelik”
[wanordelijk] (katjau). Pasukan2 pemuda belum biasa menghadapi
praktek perang jang sesungguhnja. Pada moment jang gawat itu, sadja
mengusulkan agar semua pimpinan sadja pegang nanti bila situasi
telah bisa diatasi, sadja akan kembalikan lagi. Tidak ada djawaban jang
kongkrit.
16. Kemudian diadakan rapat, diputuskan untuk memberhentikan
perlawanan masing2 bubar, kembali ke rumahnja, sambil menunggu
situasi. Bataljon Djateng dan sisa Bataljon Djatim jang masih ada akan
diusahakan untuk kembali ke daerah asalnja.
17. Hari itu djuga keluar perintah dari Bung Karno agar pasukan
berada di tempatnja masing2 dan akan diadakan perundingan. Tetapi
fi hak Nato tidak menghiraukan dan menggunakan kesempatan itu
untuk terus mengobrak-abrik pasukan kita dan bahkan P.K.I.
Demikianlah fakta2 jang kami saksikan sendiri dan dari fakta2
ini tiap2 orang akan dapat menarik peladjaran atau kesimpulan jang
berbeda-beda.
Adapun kesimpulan jang dapat kami tarik adalah sbb:
1. Keletihan dari kawan2 team pimpinan jang memimpin aksi di
bidang militer sangat mempengaruhi semangat operasi, keletihan ini
mempengaruhi kegiatan2 pengomandoan pada saat2 jang terpenting
di mana dibutuhkan keputusan2 jang tjepat dan menentukan dari
padanja.
2. Waktu info2 masuk dari daerah2, sebetulnja daerah belum dalam
keadaan siap sedia. Hal ini terbukti kemudian bahwa masih banjak
penghubung2 belum sampai di daerah2 jang ditudju dan peristiwa
sudah meletus (kurir jang ke Palembang baru sampai di Tandjung
Karang). Di Bandung siap sepenuhnja tapi untuk tidak repot2
menghadapi pertanjaan2 didjawab sadja “sudah beres.”
328
LAMPIRAN-LAMPIRAN
3. Rentjana operasinja ternjata tidak djelas. Terlalu dangkal. Titik berat
hanja pada pengambilan 7 Djenderal sadja. Bagaimana kemudian
bila berhasil, tidak djelas, atau bagaimana kalau gagal djuga tidak
djelas. Dan apa rentjananja bila ada tegenaanval, misalnja dari
Bandung, bahkan tjukup dengan djawaban: “sudah, djangan pikir2
mundur!” Menurut lazimnja dalam operasi2 militer, maka kita sudah
memikirkan pengunduran waktu kita madju dan menang, dan sudah
memikirkan gerakan madju menjerang waktu kita dipukul mundur.
Hal demikian, maksud kami persoalan mundur dalam peperangan
bukanlah persoalan hina, tetapi adalah prosedur biasa pada setiap
peperangan atau kampanje. Mundur bukan berarti kalah, adalah suatu
bentuk dalam peperangan jang dapat berubah menjadi penjerangan
dari kemenangan. Membubarkan pasukan adalah menjerah kalah.
Hal ini pula jang menjebabkan beberapa kawan militer
mengundurkan diri, selain kawan tsb di hinggapi unsur ragu2,
tetapi bisa ditutup bila ada rentjana jang djelas dan mejakinkan atas
djalannja kemenangan.
4. Waktu dihitung2 kembali kekuatan jang bisa diandalkan hanja satu
kompi dari Tjakrabirawa, satu bataljon diperkirakan dari Djateng
dapat digunakan dan satu bataljon dari Djatim bisa digunakan
sebagai fi guran. Ditambah lagi dengan seribu lima ratus pemuda jang
dipersendjatai. Waktu diajukan pendapat, apakah kekuatan jang ada
dapat mengimbangi, maka djawaban dengan nada menekan, bahwa
bila mau revolusi sedikit jang turut, tetapi kalau revolusi berhasil
tjoba lihat nanti banjak jang turut. Ada pula pendjelasan jang sifatnja
bukan tehnis, misalnja, “kita masih muda, kalau sudah tua, bakal
apa revolusi.” Kembali lagi mengenai masalah kekuatan kita, tjukup
mempunjai kekuatan di Angkatan Darat jang tjukup tangguh.
Dipandang dari segi tehnis militer, maka serangan pokok, dimana
komandan operasi tertinggi sendiri memimpin, harus memusatkan
kekuatannja pada sasaran jang menentukan. Saja berpendapat bahwa
strategi kawan pimpinan adalah strategi “menjumet sumbu petasan”
di Ibu kota, dan diharapkan mertjonnja akan meledak dengan
sendirinja, jang berupa pemberontakan Rakjat dan perlawanan di
daerah2 setelah mendengar isjarat tersebut. Disini terdapat sesuatu
329
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
kekeliruan: pertama: Tidak memusatkan induk kekuatan pada sasaran
pokok. Kedua: Tidak bekerdja dengan perhitungan kekuatan jang
sudah kongkrit.
5. Kami dan kawan2 di Staf melakukan kesalahan sebagai
berikut: Menilai kemampuan kawan pimpinan operasi terlalu tinggi.
Meskipun fakta2 njata tidak logis. Tetapi percaya bahwa pimpinan
pasti mempunjai perhitungan jang ulung, jang akan dikeluarkan
pada waktunja. Sesuatu keajaiban pasti akan diperlihatkan nanti,
sebab pimpinan operasi selalu bersembojan “Sudah kita mulai sadja,
dan selandjutnja nanti djalan sendiri.” Kami sendiri mempunjai
kejakinan akan hal ini, karena terbukti operasi2 jang dipimpin oleh
partai sekawan, seperti kawan Mao Tzetung jang dimulai dengan satu
regu, kemudian kita menumbangkan kekuatan Tjiang Kai Sek jang
djumlahnja ratusan ribu. Setelah peristiwa jang pahit ini, maka kita
sekalian perlu kritis dan bekerdja dengan perhitungan2 jang kongkrit.
Apa jang kami lihat di Lobang Buaja, sebetulnja taraf mempersiapkan
diri sadja belum selesai. Pada malam terachir bematjam2 hal jang
penting belum terselesaikan, umpama: Pasukan jang seharusnja
datang, belum djuga hadir (dari AURI). Ketentuan atau petundjuk2
masih dipersiapkan. Peluru2 di peti2 belum dibuka dan dibagikan.
Dalam hal ini kelihatan tidak ada pembagian pekerdjaan, semua
tergantung dari Pak Djojo.11 Kalau Pak Djojo belum datang,
semua belum berdjalan. Dan kalau Pak Djojo datang, waktu sudah
mendesak.
Ketika masuk berita bahwa Nasution tidak kena dan melarikan
diri, kelompok pimpinan mendjadi terperandjat, kehilangan akal
dan tidak berbuat apa2. Meskipun ada advis untuk segera melakukan
off ensip lagi, hanja didjawab: “Ja”, tetapi tidak ada pelaksanaannja.
Selama 12 djam, djadi satu siang penuh, musuh dalam keadaan panik.
Tentara2 dikota diliputi suasana tanda tanja, dan tidak sedikit jang
kebingungan. (Waktu ini kami di istana, djadi melihat sendiri keadaan
di kota.)
Disini kami mentjatat suatu kesalahan jang fundamentil jang
pernah terdjadi dalam suatu operasi (kampanje), jani: “Tidak uitbuiten
[memanfaatkan] sesuatu sukses” (prosedur biasa dalam melaksanakan
330
LAMPIRAN-LAMPIRAN
prinsip2 pertempuran jang harus dilakukan oleh tiap2 komandan
pertempuran). Prinsip tersebut diatas, sebetulnja bersumber dari
adjaran Marx jang mengatakan: “Bahwa setelah terdjadi suatu
pemberontakan, tidak boleh ada sesaat pun dimana serangan terhenti.
Ini berarti bahwa massa jang turut dalam pemberontakan dan
mengalahkan musuh dengan mendadak, tidak boleh memberikan
suatu kesempatan pun kepada kelas jang berkuasa untuk mengatur
kembali kekuasaan politiknja. Mereka harus menggunakan saat jang
itu sepenuhnja, untuk mengachiri kekuasaan rezim dalam negeri.”12
Kami berpendapat, bahwa sebab dari semua kesalahan ini karena
staf pimpinan dibagi 3 sjaf: a) Kelompok Ketua, b) Kelompok Sjam
cs, c) Kelompok Untung cs. Seharusnja operasi berada di satu tangan.
Karena jang menondjol pada ketika itu adalah gerakan militer, maka
sebaiknja komando pertempuran diserahkan sadja kepada kawan
Untung dan kawan Sjam bertindak sebagai Komisaris politik. Atau
sebaliknja, kawan Sjam memegang komando tunggal sepenuhnja.
Dengan sistim komando dibagi ber-syaf2, maka ternjata pula terlalu
banjak diskusi2 jang memakan waktu sangat lama sedangkan pada
moment tsb. dibutuhkan pengambilan keputusan jang tjepat, karena
persoalan setiap menit ber-ganti2, susul-menjusul dan tiap2 taraf
persoalan harus satu persatu setjepat mungkin ditanggulangi.
[tidak ada poin enam]
7. Setiap penjelenggaraan perang, seharusnja djauh sebelumnja
mempunjai “Picture of the Battle” (Gambaran Perang). Apa jang
mungkin terdjadi setelah peristiwa penjergapan, bagaimana situasi
lawan pada setiap saat dan setiap taraf pertempuran, bagaimana situasi
pasukan sendiri, bagaimana situasi pasukan di Djakarta, bagaimana
situasi di Bandung (ingat pusat Siliwangi13), bagaimana situasi di
Djateng dan Djatim, dan bagaimana situasi diseluruh pelosok tanah
air (dapat diikuti via radio). Dengan berbuat demikian, maka kita bisa
melihat posisi taktis di Djakarta dalam hubungannja dengan strategi
jang luas. Dan sebaliknja, perhubungan strategi jang menguntungkan
atau merugikan dapat tjepat2 kita mengubah taktik kita di medan
pertempuran.
331
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
Pada waktu musuh panik seharusnja tidak usah diberi waktu.
Kita harus masuk menjempurnakan kemenangan kita. Dalam keadaan
demikian musuh dalam keadaan serba salah dan kita dalam keadaan
serba benar. Satu bataljon jang panik akan dapat dikuasai oleh hanja
kekuatan satu regu sadja. Tetapi hal jang menguntungkan ini tidak
kita manfaatkan. Bahkan kita berlaku sebaliknja:
1) Komandan Sektor (Selatan/Tengah/Utara) dalam keadaan
dimana kita sedang djaya, malah pada menghilang. Mereka
bertugas di antaranja mengurus soal2 administrasi, terhadap
pasukan jang beroperasi dan berada di masing2 sektornja.
Tetapi semua sektor seperti jang telah ditetapkan, hanja tinggal
di atas kertas sadja. Dari sini kita menarik peladjaran dengan
tidak adanja kontak antara satu sama lain (faktor verbindingkomunikasi),
maka masing2 mendjadi terdjerumus dalam
kedudukan terasing, sehingga buta situasi dan menimbulkan
ketakutan.
2) Siaran radio RRI jang telah kita kuasai tidak kita manfaatkan.
Sepandjang hari hanja dipergunakan untuk membatjakan
beberapa pengumuman sadja. Radio stasion adalah alat
penghubung (mass media). Seharusnja digunakan semaksimal
mungkin oleh barisan Agitasi Propaganda. Bila dilakukan,
keampuhannja dapat disamakan dengan puluhan Divisi tentara.
(Dalam hal ini lawan telah sukses dalam perang radio dan pers.)
3). Pada djam2 pertama Nato cs menjusun komando kembali.
Posisi jang sedemikian ialah posisi jang sangat lemah. Saat itu
seharusnja pimpinan operasi musuh disergap tanpa chawatir
resiko apa2 bagi pasukan kita.
8. Semua kematjetan gerakan pasukan disebabkan diantaranja tidak
makan. Mereka tidak makan semendjak pagi, siang dan malam,
hal ini baru diketahui pada malam hari ketika ada gagasan untuk
dikerahkan menjerbu kedalam kota. Pada waktu itu Bataljon Djateng
berada di Halim. Bataljon dari Djatim sudah ditarik ke Kostrad
332
LAMPIRAN-LAMPIRAN
dengan alasan makanan. Sebetulnja ada 2 djalan jang bisa ditempuh,
pertama: Komandan Bataljon diberi wewenang untuk merektuir
makanan di tempat2 dimana ia berada. Hubungan dengan penduduk
atau mengambil inisiatip membuka gudang2 makanan, separo bisa
dimakan dan selebihnja diberikan kepada Rakjat jang membantu
memasaknja. Dengan demikian ada timbal balik dan tjukup simpatik
dan dapat dipertanggung djawabkan. Djalan kedua: Organisasi sektor
seharusnja menjelenggarakan hal tsb.
9. Setelah menerima berita bahwa Djenderal Harto menjiapkan
tegenaanval dan Laksamana Omar Dani menawarkan integrasi untuk
melawan pada waktu itu, harus disambut baik. Dengan menerima
itu maka seluruh kekuatan AURI di seluruh tanah air, akan turut
serta. Tetapi karena tidak ada kepertjajaan, bahwa kemenangan
harus ditempuh dengan darah, maka tawaran jang sedemikian
pentingnja tidak mendapat djawaban jang positip. Pak Omar Dani
telah bertindak begitu djauh sehingga telah memerintahkan untuk
memasang roket2 pada pesawat.
10. Faktor2 lain jang menjebabkan kematjetan, terletak pada tiada
pembagian kerdja. Bila kita ikuti sadja prosedur staf jang lazim
digunakan pada tiap2 kesatuan militer, maka semua kesimpang siuran
dapat diatasi. Seharusnja dilakukan tjara bekerdja sbb: Pertama,
perlu ditentukan siapa komandan jang langsung memimpin aksi
(kampanje). Kawan Sjam-kah atau kawan Untung. Kemudian
pembantu2nja atau stafnja dibagi. Seorang ditunjuk bertanggung
djawab terhadap pekerdjaan intel (penjelidikan/informasi). Jang
kedua, ditundjuk dan bertanggung djawab terhadap persoalan
situasi pasukan lawan maupun pasukan sendiri. Dimana, bagaimana
bergeraknja pasukan lawan, bila demikian, apakah advisnja tentang
pasukan sendiri kepada komandan. Kawan jang ketiga ditundjuk
untuk bertanggung djawab terhadap segala sesuatu jang berhubungan
dengan perorangan (personil). Apakah ada jang luka atau gugur,
apakah ada pasukan jang absen, apakah ada anggauta jang morilnja
merosot. Djuga personil lawan mendjadi persoalannja umpama:
soal tawanan, pemeliharaanja, pengamannja dan dsb. Kemudian
333
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
kepada kawan jang keempat, ditugaskan untuk memikirkan hal2
jang ada sangkut pautnja dan logistik, pembagian sendjata dan
munisi, pakaian, makanan, kendaraan dsb. Karena menang kalahnja
pertempuran pada dewasa ini tergantung djuga pada peranan bantuan
Rakjat, maka ditundjuk kawan jang kelima, untuk tugas seperti
tersebut di atas. Djadi singkatnja, komandan dibantu oleh staf-1,
staf-2, staf-3, staf-4, staf-5. Komandan, bila terlalu sibuk, ia bisa
menundjuk seorang wakilnja. Selandjutnja tjara bekerdjanja staf, saja
rasa tidak ada bedanja dengan prinsip2 pekerdjaan partai, berlaku
djuga prinsip sentralisme demokrasi. Staf memberikan pandangan2-
nja dan komandan mendengarkan, mengolahnja di dalam fi kiran dan
kemudian menentukan. Berdasarkan keputusan ini staf memberikan
directive [perintah] untuk melaksana oleh echelon2 bawahan. Dengan
tjara demikian maka seorang komandan terhindar dari pemikiran
jang subjektif. Tetapi djuga terhindar dari suasana jang liberal. Apa
jang terdjadi pada waktu itu adalah suatu debat, atau diskusi jang
langdradig (tak berudjungpangkal), sehingga kita bingung melihatnja,
siapa sebetulnja komandan: kawan Sjamkah, kawan Untungkah,
kawan Latifkah atau Pak Djojo? Mengenai hal ini perlu ada
penindjauan jang lebih mendalam karena letak kegagalan kampanje
di ibu kota sebagian besar karena tidak ada pembagian komandan dan
kerdja jang wajar.
11. Adalah hal jang remeh, tetapi hal ini perlu mendapat
perhatian. Umpamanja, tjara2 diskusi terutama jang banjak
dilakukan oleh kawan Latif. Tidak mendahulukan soal2 jang lebih
pokok untuk dipetjahkan terlebih dahulu. Soal2 jang masih bisa
ditunda dibitjarakan kemudian. Di waktu mulut meriam diarahkan
kepada kita, maka jang urgen adalah bagaimana tindakan kita untuk
membungkam meriam tsb, bukan membitjarakan soal2 lain jang
sebetulnja bisa dibitjarakan kemudian.
12. Dengan kehadirannja Bung Karno di Halim, maka persoalan
telah mendjadi lain. Pada waktu itu, kita harus tjepat dalam silat
politik. Harus tjepat menentukan titik berat strategi kita. Apakah kita
berdjalan sendiri, apakah kita berdjalan dengan Bung Karno. Kalau
334
LAMPIRAN-LAMPIRAN
kita merasa mampu, segera tentukan garis djalan sendiri. Kalau kita
menurut perhitungan, tidak mampu untuk memenangkan revolusi
sendirian, maka harus tjepat pula merangkul Bung Karno, untuk
bersama2 menghantjurkan kekuatan lawan. Menurut pendapat saya
pada saat2 itu situasi telah berubah dengan keterangan sbb:
1) Bung Karno: a. Memanggil kabinet dan para Menteri Angkatan.
b. Mengeluarkan surat perintah, kedua fi hak agar
tidak bertempur.
c. Memegang sementara pimpinan A.D. dan
menundjuk seorang caretaker untuk pekerjaan intern
A.D.
2) Omar Dani: Tidak mau kalau harus berhadapan dengan Bung
Karno, dan sarannja supaya bersama-sama dengan
Bung Karno melanjutkan revolusi.
3) Ibrahim Adji: Mengeluarkan pernjataan, bila terdjadi apa2 terhadap
Bung Karno, maka Siliwangi akan bergerak ke
Djakarta.
4) M. Sabur: Menilpun RPKAD untuk siap sewaktu2 Bung Karno
dalam bahaya.
5) NATO cs: Menolak panggilan Bung Karno untuk hadir di
Halim.
6) G-30-S: Kawan Sjam tetap revolusi harus djalan sendiri tanpa
Bung Karno. Keadaan Jon Djateng sudah letih dan
belum selesai memetjahkan soal bagaimana makan.
Keadaan pimpinan dalam keadaan bimbang.
7) “Daerah”: Baru Nusatenggara jang memberikan reaksi, Bandung
sepi, Djateng sepi, djuga Djatim sepi.
Massa di Djakarta sepi. Daerah2 di seluruh kepulauan
Indonesia, pada waktu itu tidak terdengar tjetusan2
imbangan.
335
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
Pertimbangan:
- Bila kita teruskan berevolusi sendiri, maka kita akan berhadapan
dengan Bung Karno + Nato cs dengan Angkatan Daratnja.
- Bila kita rangkul Bung Karno, maka kontradiksi pokok akan beralih
di satu fi hak golongan kiri + golongan Demokratis Revolusioner
dan di lain fi hak hanja golongan kanan sadja. Tetapi dari kita tidak
ada ketentuan garis mana jang harus ditempuh. Dan sementara
itu pun waktu berlalu terus, dan perkembangan semakin kongkrit.
Nato menjusun kekuatannja, Bung Karno mengumpulkan anggota
kabinetnja jang diperlukan.
Pada saat itu sebetulnja situasipun belum terlalu terlambat. Ada tjelah2
di mana segara harus kita masuki dalam persoalan menundjukan siapa
jang mengganti Pangad. Bung Karno minta tjalon dari kita. Dari
fi hak Bung Karno mentjalonkan: 1) Ibrahim Adji dan 2) Mursid.
Dari fi hak kita mentjalonkan Rukman, Pranoto dan Basuki Rachmat.
Achirnja disetudjui Pranoto. Seharusnja kita serahkan sadja kepada
Bung Karno. Dengan demikian kita tidak meminta terlalu banjak.
Dan Bung Karno ada kekuatan dalam menjelesaikan masalah intern
A.D. dan dapat menghalang-halangi glundungnja aksi2 Nato cs.14
Tetapi walaupun demikian, bila Pak Pranoto waktu itu tjekatan
dan dapat menggunakan wewenang, maka situasi tidak seburuk ini.
Seharusnja dengan surat keputusan itu, ia tjepat pidato di radio dan
umumkan pengangkatannja. Tindakan kedua supaja kedua fi hak
menanti perintah2 tidak saling bertempur. Pak Pran harus djuga
menjusun kekuatan brigade2 di sekitarnja dan langsung ia pimpin.15
Dengan demikian maka langkah2 selandjutnja akan mempunjai
kekuatan. Kemudian segera diisi dengan dalih2 sementara lowongan
staf SUAD jang kosong. Sajang sekali kesempatan jang terachir ini
tidak dipergunakan. Pak Pranoto achirnja setelah terlambat mulai
berpidato di radio. Itu pun atas desakan saja melalui kawan Endang.16
Tetapi isi pidatonja pun tidak karuan malah mengutuk G-30-S sebagai
gerakan petualangan. Kata2 ini otomatis melumpuhkan perangsang2
revolusi di daerah2 terutama di Djateng. Idee seperti jang dilukiskan
diatas, yaitu idee merangkul Bung Karno bukan semata-mata fi kiran
kompromi jang negatip, tetapi sesuatu “om te redden wat er te redden
336
LAMPIRAN-LAMPIRAN
valt,” membela apa jang masih dapat dibela. Andaikata kalah, harus
ada pertanggung djawab, maka hanja pelaksana2 G-30-S sadjalah jang
tampil mempertanggung djawabkannja, sehingga keutuhan Partai
tidak terganggu. Taktik tersebut diatas tidak lain bila kita mengetahui
akan mendapatkan hanja kulitnja telur sadja, maka lebih baik
mendapatkan isinja, walaupun hanja separuh sadja (beter een halve ei
dan een lege dop).
13. Achirnja Nato cs memegang inisiatip dan tidak menghiraukan
apa2 dan memulai dengan tegen off ensifnja. Kekuatan militer G-30-S
mereka kedjar dan kesempatan jang lama mereka tunggu2 tidak disiasiakan,
yaitu: mengobrak-abrik PKI.
14. Sementara itu semua slagorde G-30-S berkumpul di LB. Disanasini
mulai terdengar tembakan dari RPKAD jang mulai mentjari
kontak tembak. Kawan Sjam dan Kawan Untung cs, mulai rapat
tentang menentukan sikap hadir di tempat tsb. komandan Jon
Djateng dan seluruh anggota Bataljonnja. Komandan Bataljon Djatim
djuga hadir tanpa pasukan. Kurang lebih seribu limaratus Sukwan
jang dilatih di LB. Melihat situasi jang gawat ini tidak ada pilihan lain:
a) Bertempur mati2-an atau, b) tjepat menghilang menjelamatkan
diri. Diskusi berdjalan lama tanpa keputusan. Achirnja kami sarankan
agar seluruh komando diserahkan kepada kami dan nanti bila situasi
telah dapat diatasi wewenang akan diserahkan kembali kepada kawan
Untung. Kawan Untung tidak setudju, karena bertempur terus
pendapatnja sudah tidak ada dasar politiknja lagi. Apa jang di maksud
dengan kata2nja itu, kami tidak begitu mengerti. Di lain fi hak kawan
Sjam tidak memberikan reaksi atas usul kami. Kemudian saja desak
lagi supaja segera mengambil keputusan, bila terlambat nanti, maka
kita terdjepit dalam suatu sudut di mana tidak ada pilihan lain,
melawan pun hantjur dan lari pun hantjur. Karena posisi kita pada
waktu sudah labil. Kemudian rapat memutuskan memberhentikan
perlawanan dan setiap kawan diperintahkan kembali ketempat asal
mereka masing2, dalam keadan jang serba lambat ini kemudian kami
ambil inisiatip untuk menjelamatkan kawan pimpinan (Kawan Sjam)
dan masuk ke kota Djakarta (Senen). Kawan Untung dalam tjara
337
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
membubarkan pasukannja pun melakukan kesalahan, seharusnja
ia sebagai komandan langsung harus memberi petundjuk teknis
bagaimana pelaksanaan menjebar dan menjusup kembali. Karena
di LB banjak kawan2 Sukwan jang berasal dari luar kota Djakarta,
bahkan ada jang dari Djateng. Mereka tentunja merasa asing dan tidak
tahu djalan. Karena peraturannja: “pur manuk” sadja atau dilepaskan
sekehendak masing2 maka banjak jang tertawan dan mendjadi mangsa
penjiksaan pasukan2 Nato cs.
15. Pada hari ketiga dan keempat, kami menjarankan kepada
pimpinan untuk tampil kemuka mendampingi Bung Karno untuk
mentjoba menolong apa jang perlu ditolong. Pada saat itu, situasi
belum sama sekali hantjur. Kabinet di mana terdapat orang2
revolusioner masih tetapi, usul kami di-tunda2 sehingga surat kami
kepada Bung Karno baru diterima satu bulan kemudian. Bung Karno
dalam kedudukan jang sudah terdjepit, mungkin djuga chawatir, bila
sadja dekat2 padanja.
16. Demikianlah proses aksi “G-30-S” dari sukses berubah
terdesak dan semakin terdesak sehingga achirnja tidak berdaja dan
menjerahkan, segala inisiatip kepada fi hak lawan.
17. Sebagai kesimpulan umum, maka kami berpendapat bahwa:
a. Kita telah melakukan suatu politiek strategisch verassing (serangan
tiba2) [strategi politik serangan mendadak] jang dapat
dipergunakan oleh propaganda lawan sehingga memberikan
kepada PKI suatu kedudukan jang terpentjil.
b. Rentjana semula jang akan dilakukan: Revolusi bertingkat
tiba2 dirobah dirubah mendjadi gerakan PKI seluruhnja. Bila
gerakan dilakukan bertingkat, ja’ni taraf pertama hanja terbatas
gerakan di dalam tubuh AD dengan tehnisnja sbb: setelah
berhasil merebut pimpinan AD maka mulai mengganti para
Panglima dan para Komandan jang mempunjai fungsi potensiil
dengan unsur2, atau perwira2 demokratis revolusioner.17
Kemudian dalam taraf kedua baru revolusi jang dipimpin oleh
Partai. Dimulai dengan gerakan2 massa jang dibajangi oleh
338
LAMPIRAN-LAMPIRAN
militer2 jang progresip, persis seperti jang dilakukan oleh lawan
terhadap Pemerintah sekarang. Bila rentjana revolusi bertingkat
ini ditempuh, maka keuntungannja adalah sbb: Andaikata
kita dipukul, maka Partai jang tetap mempunjai legalitet dan
utuh dapat melindungi kawan2 militer. Bila aksi taraf pertama
berhasil, maka suatu pidjakan jang baik untuk melontjat ke taraf
revolusi berikutnja. Menurut hemat kami, kegagalan revolusi kita
kali ini disebabkan di antaranja, dipindahkannja rentjana operasi
jang semula bersifat intern AD, mendjadi operasi jang langsung
dipimpin oleh Partai, sehingga menjebabkan terseretnja Partai
dan diobrak-abriknja Partai.
c. Bidang persiapan: Gerakan 30 September dilakukan tanpa
melalui proses persiapan jang teliti. Terlalu mempertjajai
laporan2 dari kader2 bawahan. Seharusnja dalam keadan
bagaimanapun pimpinan harus memeriksa dengan mata
kepala sendiri tentang persiapannja, Komandan harus hadir
menjaksikan 3 markas sektor, meskipun untuk beberapa
menit sadja supaja ia bahwa semua pos2 telah terisi. Begitu
pula persiapan2 lainnja. Sudah mendjadi kebiasaan di dalam
ketentaraan dimanapun, melakukan pemeriksaan barisan
sebelum ia bertugas. Misalnja ada satu regu hendak patroli,
maka komandan peleton melihat regu itu, memeriksa alat2
perlengkapannja regu itu, persediaan pelurunja, menanjakan
apakah perintah2-nja telah dimengerti dan baru regu itu bisa
berangkat patroli. Apalagi/seharusnja G-30-S, suatu gerakan
jang menentukan djutaan nasib rakjat. Gerakan jang bukan
sadja bernilai nasional tetapi djuga mendjadi harapan kaum
proletar seluruh dunia. Seharusnja kita djangan bertindak dengan
gegabah.
d. Dalam saat2 jang kritis, pimpinan operasi harus terdjun di
tengah pasukan, menjemangati anak buah supaja mereka
bangkit melawan, meskipun dengan resiko hantjur semua. Bila
sampai terdjadi, hantjur tidak apa2, kawan2 jang masih hidup
akan melandjutkan usaha revolusi. Dan kalau kita bertindak
demikian besar kemungkinan lawanlah jang akan angkat
tangan, karena pada saat2 itu Nato belum mempunjai grip
339
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
[cengkeraman] terhadap TNI jang ada di kota. Suasana di mana2
belum mengutuk G-30-S. Dalam tiap2 perang revolusioner,
seorang pemimpin harus sanggup membangkitkan di kalangan
pengikutnja:
1. Djiwa kepahlawanan.
2. Kebulatan pikiran dan tekad.
3. Semangat berkorban.
e. Ada hal jang perlu dipelajari setjara mendalam. Kawan2
jang selama ini hidup di organisasi tentara bordjuis, sangat
sulit dan mirip tidak sampai hati untuk mendahului teman2
seangkatannja. Hal ini terdjadi djuga pada bataljon jang berasal
dari Djateng,18 dan djuga pada peristiwa jang kami dengar
kemudian, waktu menghadapi Pangdam Surjosumpeno.19
Mungkin letaknja pada kelemahan pandangan ideologi,
kelemahan dalam pandangan kelas. Adjaran Marxisme-
Leninisme bahwa “Kalau tidak mereka jang kita basmi, maka
merekalah jang akan membasmi kita.”20 Belum meresap, dan
belum mendjadi keyakinan kawan2 di ABRI pada umumnja.
Dari pengalaman ini maka pendidikan ideologi dan kesadaran
pandangan kelas perlu mendjadi program Partai.
f. Strategi jang dianut dalam gerakan keseluruhan adalah
sematjam strategi: “Bakar Petasan.” Tjukup sumbunja dibakar
di Djakarta dan selandjutnja mengharap dengan sendirinja
bahwa meretjonnja akan meledak di daerah2. Ternjata tjara
ini tidak berhasil. Ada dua sebab: mungkin sumbunja kurang
lama membakar atau mesiu jang ada dalam tubuh meretjon itu
sendiri dalam keadaan masih basah, kami hubungkan ini dengan
pekerdjaan2 di waktu jang lampau, tjara2 menarik kesimpulan
tentang kawan2 jang di ABRI dan massa adalah subjektif. Dari
pengalaman ini kita harus bikin kebiasaan membesar2-kan
situasi jang sebenarnja.21 Biasanja kalau ada 10 orang sadja
dalam satu peleton jang sudah dapat kita hubungi, dilaporkan
bahwa seluruh peletonnja sudah kita (kawan). Kalau ada seorang
Dan Jon jang kita hubungi, maka ada kemungkinan bahwa
340
LAMPIRAN-LAMPIRAN
seluruh Bataljon itu sudah kawan. Kekeliruan strategi G-30-S
itu disebabkan djuga banjak kawan2 dari ABRI maupun dari
daerah2 jang melaporkan bahwa massa sudah tidak dapat
ditahan lagi. Bila pimpinan tidak mengambil sikap, maka rakjat
akan 22 djalan sendiri (ber-revolusi). Mengikuti suara2 jang
belum diperiksa kebenarannja berarti kita kena “agitasi” massa,
sama halnja tidak mendjalankan “garis mangsa setjara tepat.”
g. Melihat kemampuan dan kebesaran organisasi Partai di waktu2
jang lalu maka asalkan sadja kita taktis menggerakannja, kami
rasa PKI tidak perlu kalah. Saja ibaratkan seorang pemasak
jang mempunjai bumbu, sayur2 jang serba tjukup, tetapi kalau
tidak pandai menilai temperatur dari panasnja minjak, besarnja
api, bilamana bumbu2 itu ditjemplungkan dan mana jang
didahulukan dimasak maka masakan itu pun tidak akan enak,
satu tjontoh misalnja. Kami membawahi 18 Bataljon,23 3 di
antaranja bisa dikerahkan untuk tugas2 revolusi, dan sudah
dipersiapkan lengkap dengan pesawat angkutan Hercules
berkat solidaritas dari kawan2 perwira di AD, jang mempunjai
kedudukan komando, tetapi semua ini tidak dimanfaatkan,
sehingga bukan kita jang menghantjurkan lawan “satu demi
satu”, tetapi sebaliknja kita jang di hantjurkan setjara “satu demi
satu.”
Sekian, dan kami tutup dengan sembojan :
Sekali gagal, akan bertambah.
Madju terus pada djalan pengrevolusioneran!
CATATAN
1 Saya tidak tahu mengapa frasa ini diberi tanda petik ganda.
2 Dari keseluruhan dokumen, cukup jelas bahwa yang dimaksud Supardjo adalah
pimpinan PKI. Ada kemungkinan bahwa Supardjo menyerahkan analisis ini kepada
Sudisman, pimpinan Politbiro yang tersisa, yang sedang mempersiapkan otokritik
terhadap partai pada pertengahan 1966.
3 Pada 30 September 1965 malam Presiden Sukarno menghadiri upacara penutupan
341
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
Konferensi Nasional Ahli Teknikdi stadion Senayan. Letnan Kolonel Untung
menjadi bagian pengamanan untuk kehadiran Sukarno di dalam acara ini.
4 Perwira ini boleh jadi Mayor Bambang Supeno, komandan Batalyon 530 Jawa
Timur. Dalam laporan interogasinya (yang ditulis oleh tim intelijen Angkatan
Darat), Supardjo diduga mengatakan (ini laporan interogasi yang harus dibaca
dengan skeptisisme) Sjam memberitahu dia pada 1 Oktober pagi bahwa Mayor
Supeno “masih diragukan.” (Departemen Angkatan Darat Team Optis-Perpu-Intel,
“Laporan Interogasi Supardjo di RTM,” 19 Januari 1967, 4; dokumen ini termaktub
dalam berkas rekaman persidangan Mahmilub untuk Supardjo.) Pasukan-pasukan
Mayor Supeno merupakan yang pertama mundur; mereka menyerahkan diri ke
Kostrad pada sore hari 1 Oktober meski Mayor Supeno sendiri tinggal di pangkalan
Halim dengan anggota komplotan yang lain sampai dini hari 2 Oktober. Mayor
Supeno menjemput wakil komandan batalyon, Letnan Ngadimo, di istana pada
sekitar pukul 14.00 saat pasukan-pasukannya mulai menyerah, dan membawanya
ke Halim, menurut kesaksian Letnan Ngadimo di persidangan Untung. Komandan
Batalyon 454, sebaliknya, berusaha mempertahankan pasukan-pasukannya di
Lapangan Merdeka; ketika ia akhirnya meninggalkan posisi tersebut, ia membawa
sebagian besar anak buahnya ke Halim.
5 Istilah pung-pung tampaknya salah ketik. Seharusnya mumpung.
6 Sasaran utama kemungkinan adalah Jenderal Nasution. Pasukan-pasukan yang
dikirim untuk menculiknya dipimpin oleh seorang prajurit.
7 Nato adalah singkatan cerdas yang dibuat Supardjo untuk Nasution dan
Suharto.
8 Istilah ini merupakan kombinasi kata Indonesia off ensi yang berasal dari kata
Belanda off ensief dan kata Belanda geest yang berarti semangat.
9 Para panglima keempat angkatan – Angkatan Udara, Angkatan Laut, Angkatan
Darat, Angkatan Kepolisian – adalah menteri-menteri dalam kabinet Sukarno.
10 Suharto, bukan Nasution, yang melarang Pranoto pergi ke Halim.
11 Pak Djojo adalah nama samaran untuk Mayor Soejono dari AURI, komandan
pasukan-pasukan yang menjaga pangkalan Halim. Supardjo mungkin menggunakan
nama samaran dalam dokumen ini karena ia tidak tahu nama Soejono sebenarnja.
Ini kemungkinan yang nyata karena Supardjo baru bergabung dengan komplotan
ini sehari sebelumnya dan mungkin diperkenalkan kepada anggota-anggota lainnya
saat mereka menggunakan nama-nama sandi. Nama Pak Djojo juga disebut oleh
Njono, ketua CDB (Comite Daerah Besar) PKI Jakarta, pada pengadilannya di
Mahmilub. Menurut Njono, Pak Djojo adalah nama samaran seorang perwira
militer yang mencari sukarelawan PKI untuk dilatih di Lubang Buaya dari Juni
sampai September 1965 (G-30-S Dihadapan Mahmillub, Perkara Njono, 53-54,
64-65, 79-82). Heru Atmodjo menegaskan dalam pembicaraan dengan saya bahwa
Pak Djojo adalah nama alias Mayor Soejono.
12 Supardjo tampaknya menerjemahkan dan menulis ulang (memparafrasakan)
342
LAMPIRAN-LAMPIRAN
salah satu bagian dari Revolution and Counter-revolution in Germany (1896),
kumpulan artikel-artikel koran yang aslinya diterbitkan pada 1852 dengan nama
Marx tapi terutama ditulis oleh Engels: “[Posisi] defensif adalah kematian setiap
pemberontakan bersenjata; pemberontakan itu kalah sebelum ia mengukur dirinya
dengan musuh-musuhnya. Kejutkan musuh-musuhmu ketika kekuatan mereka
masih tercerai-berai, siapkan sukses-sukses baru, betapapun kecilnya, tapi setiap hari;
pertahankan peningkatan moral yang diberikan oleh keberhasilan pemberontakan
pertama padamu; galang elemen-elemen yang ragu dan goyah itu ke sisimu yang
selalu mengikuti letupan terkuat, dan yang selalu mencari sisi lebih aman; paksa
musuh-musuhmu ke posisi mundur sebelum mereka mampu mengumpulkan
kekuatan mereka untuk melawanmu.” (www.marxist.org/archive/marx/works/1852/
germany/ch17.htm) Supardjo mungkin tidak membaca teks ini; dalam kumpulan
karya Marx dan Engels teks ini kurang dikenal. Supardjo mungkin membaca esai
Lenin “Advice of an Onlooker” (yang ditulis pada 21 Oktober 1917), yang mengomentari
bagian teks di atas. Karya-karya Lenin lebih jamak dibaca pada masa
sebelum 1965 di Indonesia. Tak bisa diragukan karena karya-karya Lenin lebih
mudah dipahami dan lebih relevan bagi suatu partai komunis yang begitu disibukkan
dengan berstrategi politik dari hari ke hari.
13 Kodam Siliwangi di Jawa Barat terkenal oleh anti-komunismenya; pasukanpasukannya
digunakan oleh kepemimpinan nasionalis untuk menjerang PKI di
Jawa Timur pada 1948. Jenderal Nasution berasal dari Kodam Siliwangi.
14 Pernyataan ini tampaknya merupakan kritik terhadap pengumuman radio dari
G-30-S yang mendemisionerkan kabinet Sukarno.
15 Saya tidak tahu Supardjo mengacu ke brigade yang mana. Pranoto adalah asisten
Yani untuk personalia dan tidak membawahi pasukan langsung.
16 Identitas Kawan Endang tak diketahui.
17 Penggunaan kata unsur-unsur untuk mengacu pada “perwira-perwira demokrasi
revolusioner“ adalah suatu keanehan yang tidak bisa saya jelaskan.
18 Batalyon dari Jawa Tengah harus mengacu ke Batalyon 454, yang menduduki
Lapangan Merdeka pada pagi hari dan kemudian meninggalkan posisi itu di sore
hari setelah menerima perintah Suharto untuk menyerah. Namun aneh bahwa
Supardjo tidak menyalahkan para perwira dari Batalyon 530 dari Jawa Timur juga
yang menjerah ke Kostrad. Paling tidak ketika pasukan-pasukan Batalyon 454
meninggalkan Lapangan Merdeka, mereka menghindar untuk masuk Kostrad.
Mereka melarikan diri ke Halim.
19 Surjosumpeno adalah Pangdam Diponegoro. Para perwira Gerakan 30 September
mengambil alih markas kodam di Semarang pada 1 Oktober dan menahannya.
Anderson dan McVey mencatat bahwa “Surjosumpeno berhasil mengecoh perwiraperwira
muda yang mudah terkesan untuk meninggalkan dia sendiri cukup lama
sehingga memungkinkan dia melarikan diri.” (Preliminary Analysis, 46) Supardjo
mengacu ke insiden ini ketika mengkritik ketidakmampuan perwira-perwira junior
343
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
untuk menentang atasan-atasan mereka.
20 Saya belum berhasil menemukan sumber kutipan ini.
21 Tampaknya ada kata “tidak” sebelum kata “membesar2-kan” yang tak tertulis
entah oleh Supardjo sendiri atau oleh pengetik salinan dokumen ini.
23 Terjemahan Fic atas dokumen ini menyebut jumlah batalyon adalah tigabelas.
Dokumen versi saya jelas-jelas menunjukkan delapanbelas.
344
LAMPIRAN 2
KESAKSIAN SJAM (1967)
Catatan Pengantar
Sjam membuat pernyataan publik tentang Gerakan 30 September
untuk pertamakalinya pada 7 Juli 1967. Militer, yang telah menangkap
dia empat bulan sebelumnya, membawa dia ke Mahmilub untuk memberi
pernyataan sebagai saksi dalam persidangan untuk salah satu pimpinan
PKI, Sudisman. Pernyataan-pernyataan dia yang belakangan dalam persidangannya
sendiri pada 1968 dan sebagai saksi di persidangan-persidangan
lain tidak mengalihkan atau mengubah kesaksian awalnya secara
substansial. Pengajuan pertanyaan terhadap Sjam berlangsung hampir
sehari penuh. Saya hanya mengambil sejumlah kutipan dari kesaksian dia
yang saya anggap cukup penting. Beberapa pertanyaan diajukan Hakim
Ketua, sebagian lain diajukan oleh oditur. Saya menganggap tidak penting
untuk mengidentifi kasi masing-masing penanya.
Kesaksian
T: Apakah djabatan sdr dalam partai?
J: Pimpinan Biro Chusus PKI.
T: Pimpinan, apakah kepala?
J: Jah.
345
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
T: Kepala Biro Chusus Pusat?
J: Jah.
T: Dari PKI? PKI adalah singkatan dari?
J: Partai Komunis Indonesia.
T: Jah. Sdr masuk kedalam partai itu sedjak kapan?
J: Tahun ’49.
T: Tahun ’49, dimana itu?
J: Di Djakarta.
T: Waktu pertama kali masuk apakah djabatan sdr dalam partai?
J: Belum ada.
T: Belum ada, djadi sebagai apa?
J: Anggota biasa.
T: Anggota biasa. Sedjak kapan sdr mendjabat sebagai kepala Biro
Chusus itu?
J: Achir tahun 1964.
T: Achir tahun 1964, kira-kira bulan berapa?
J: Nopember.
T: Sebelum itu apa djabatan sdr?
J: Anggota Departemen Organisasi.
T: Sedjak kapan sdr mendjadi anggota Departemen Organisasi?
J: Tahun ’60.
T: Apakah pendidikan umum sdr?
J: Sekolah rakjat.
T: Dulu namanja apa?
J: H.I.S.
T: Sesudah itu?
J: Sekolah pertanian.
T: Sekolah pertanian, namanja asli?
J: Landbouw School.
T: Dimana?
J: Di Surabaja.
T: Tamat?
J: Hampir.
T: Hampir tamat. Itu Landbouw School djuga tamat?
J: Hampir.
T: Sampai klas berapa?
346
LAMPIRAN-LAMPIRAN
J: Sampai klas 3.
T: Mengapa tidak tamat?
J: Djepang datang.
T: Sesudah itu apakah sdr menempuh kursus-kursus?
J: Di djaman Djepang sekolah dagang. Di Jogja.
T: Sampai tamat?
J: Djuga tidak sampai tamat, sampai klas V.
T: Sebabnja?
J: Revolusi.
T: Klas berapa?
J: Klas 2 bavenbouw.
T: Biro Chusus itu dimana letaknja didalam struktur organisasi partai?
J: Tidak ada.
T: Djadi bagaimana?
J: Biro Chusus adalah aparat dari Ketua partai.
T: Djadi sdr selaku Kepala dari Biro Chusus, kepada siapa
bertanggung djawab?
J: Kepada ketua partai.
T: Langsung?
J: Langsung.
T: Tidak ada orang lain?
J: Tidak ada.
T: Atau organ lain?
J: Tidak ada.
T: Djadi sdr djuga mendapat perintah langsung dari ketua partai?
J: Jah.
T: Dalam hal ini siapa?
J: Kawan D.N. Aidit.
T: Apakah tugas dari Biro Chusus itu?
J: Bekerdja di kalangan Angkatan Darat.
T: Bekerdja di kalangan Angkatan Darat, bagaimana itu
pendjelasannja?
J: Mentjari anggota di kalangan anggota-anggota Angkatan
Bersendjata.
T: Kalau sudah dapat lalu di…?
J: Lalu diorganisasi.
347
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
T: Kalau sudah diorganisasi?
J: Dididik.
T: Apakah pendidikan jang diberikan?
J: Soal theori dan ideologi.
T: Th eori dan ideologi, theori apa?
J: Marxisme-Leninisme.
T: Ideologi apa?
J: Tjinta kepada partai.
T: Maksudnja partai apa ini?
J: Partai PKI.
T: Siapa jang membantu sdr?
J: Kawan Pono dan kawan Walujo [Bono].
T: Kawan Pono dan kawan Walujo, dan?
J: Itu sadja jang dekat.
T: Apa djabatan sdr Pono?
J: Kawan Pono wakil saja.
T: Sdr Walujo?
J: Wakil kedua.
T: Adanja Biro Chusus itu apakah diketahui djuga oleh lain-lain
anggota partai?
J: Saja tidak tahu.
T: Sdr kenal dengan sdr Sudisman ini?
J: Ja.
T: Bagaimana sdr berkenalan dengan dia itu, artinja bagaimana
sdr bisa mengenal dia, tjara perkenalan pertama dan sebagainja
bagaimana?
J: Pertama saja kenal nama sadja. Lalu pernah ketemu dalam
Departemen Organisasi. Disitu saja berkenalan.
T: Berkenalan dalam Departemen Organisasi itu sadja?
J: Jah.
T: Lain-lain tidak?
J: Tidak ada.
T: Apakah sdr Sudisman djuga mengenal sdr sebagai kepala Biro
Chusus?
J: Saja tidak tahu.
T: Oh sdr tidak tahu. Tjoba disini sdr sudah banjak membuat Berita
348
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Atjara? Tadi sudah sdr mulai bahwa tugas Biro Chusus adalah mentjari
apa tadi itu?
J: Mentjari anggota di kalangan Angkatan Bersendjata.
T: Tjoba silahkan tjerita. Tjerita jang bebas sadja mengenai pekerdjaan
Biro Chusus.
J: Djadi aktifi teit Biro Chusus adalah suatu aktifi teit sebagian
daripada PKI didalam AB. Tiap-tiap anggauta pimpinan dari Biro
Chusus mempunjai kewadjiban untuk melebarkan organisasi di
kalangan Angkatan Bersendjata. Kalau sudah bisa meneliti dan
mengetahui pedjabat-pedjabat jang ada, berusaha untuk mendekati
dan mengenal. Sudah dapat mengenal, lalu berbitjara mengenai
soal-soal politik umum. Sesudah mengetahui bagaimana seseorang
pedjabat pada Angkatan Bersendjata ini apakah dia anti Komunis
ataukah dia seseorang Demokrat, maka terus diadakan pertukaran
pikiran mengenai soal-soal politik dalam negeri dan mengenai soal
fi kiran-fi kiran jang madju. Sesudah diketahui bahwa pedjabat ini
adalah orang jang mempunjai fi kiran jang menurut pandangan dari
sudut PKI orang ini adalah orang jang berpikiran madju, maka terus
diadakan pembitjaraan-pembitjaraan soal-soal kepartaian. Kalau
kelihatannja orang ini tidak menolak, tidak memberikan reaksi jang
negatif, maka dilandjutkan pada soal-soal jang lebih mendalam,
jaitu mengenai masalah teori Marxisme. Djuga setelah mengetahui
orang ini mempunjai landasan jang baik untuk bisa mengerti dan
memahami tentang Marxisme, terus ditingkatkan kesadarannja ke
arah mentjintai partai. Itu proses, mula-mula bagaimana aktifi teit, dari
pada seorang anggauta Biro Chusus dalam mentjari keanggautaannja
dalam Angkatan Bersendjata. Sesudah mendapatkan seseorang,
ditingkatkan dalam pengertian-pengertian teoritisnja. Terus diberikan
beberapa kewadjiban untuk membantu partai, terutama dalam fi kiran
maupun dalam bidang-bidang materiil, umpamanja soal iuran sesudah
itu, kalau ada beberapa orang jang sudah bisa ditarik, baru dibentuk
satu group. Group ini melakukan pendiskusian tentang soal-soal
politik praktis dan soal-soal teori. Artinja politik praktis ialah politik
jang situasi politik jang terdjadi pada waktu itu, dan bagaimana garis
daripada atau garis politik daripada Partai Komunis Indonesia pada
waktu itu kalau menghadapi situasi jang kongkrit. Djadi demikian
349
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
tjara-tjara daripada Biro Chusus dalam mentjari keanggautaannja
dalam Angkatan Bersendjata.
T: Ja, ini masih garis umumnja, lalu pelaksanaannja. Maksud saja
pelaksanaan tehnis bagaimana? Apa jang dikerdjakan dalam bulan atau
dalam permulaan tahun ‘65 dalam rangka uraian sdr tadi itu?
J: Saja belum begitu mengerti apa jang sdr Ketua maksudkan.
T: Dalam bulan Mei ’65 sdr ingat, apakah ada sesuatu perintah dari
Ketua partai? Apa itu isi perintahnja?
J: Berita tentang adanja Dewan Djenderal.
T: Bagaimana itu. Siapa jang memerintahkan?
J: Kawan D.N. Aidit.
T: Tjeritanja bagaimana itu?
J: Bahwa didalam meneliti mengenai soal-soal aktifi teit daripada
Angkatan Darat terutama, jaitu dalam bidang politik dalam negeri
dan masalah agraria, mengenai masalah Nasakom, mengenai masalah
Kekaryawanan, mengenai masalah Front Nasional, mengenai masalah
mempersendjatai buruh dan tani dan mengenai masalah pemerintahan
daerah, ternjata bahwa aktifi teit-aktifi teit ini tidak berdiri sendiri atau
tidak merupakan satu aktifi teit jang bersifat lokal, tetapi bahwa semua
aktifi teit ini adalah aktifi eit jang dipimpin setjara sentral. Dan djuga
tentang disebarkannja fi kiran-fi kiran tentang anti Komunisme, djuga
diluaskannja tentang aktifi teit daripada PKI jang selalu merupakan
aktifi teit untuk menundjukan kekuatannja.
Maka ini bisa diambil kesimpulan bahwa aktifi teit ini adalah
terpimpin setjara sentral, dan pimpinan dalam sentral ini adalah
merupakan satu pimpinan daripada para Djenderal-djenderal
pimpinan Angkatan Darat. Dan Djenderal-djenderal pimpinan
Angkatan Darat dalam memimpin aktifi tet ini dinamakan,
menamakan dirinja Dewan Djenderal. Maka dengan adanja aktifi tet
jang tersentralisir dan Dewan Djenderal ini, maka perlu kita waspada
dan bersiap diri, itu jang didjelaskan kepada saja.
T: Lalu djadi sdr diperintahkan supaja waspada, dan bagaimana tadi?
J: Bersiap diri.
T: Kelandjutannja bagaimana? Waspada dan siap diri itu. Apa jang
sdr ambil, langkah-langkah apa jang sdr tempuh sebagai Kepala Biro
Chusus, setelah menerima perintah demikian dari Ketua Partai?
350
LAMPIRAN-LAMPIRAN
J: Setelah ada berita itu dari Ketua Partai saja terus mengadakan
pemeriksaan Organisasi. Jaitu dilihat bagaimana kekuatan-kekuatan
kita jang ada didalam ABRI, terutama dikalangan Angkatan Darat.
Sesudah itu bisa dilaksanakan terus kita adakan penindjauan terhadap
tenaga-tenaga didalam Angkatan Darat jang bisa pada waktunja nanti
melaksanakan tugas selandjutnja daripada kawan D.N. Aidit. Dan
pada waktu untuk menetapkan ini saja dengan Pono dan Walujo
mengadakan satu perundingan untuk memilih tenaga-tenaga jang
tjotjok dan memenuhi sarat-sarat untuk diberikan tugas menerima
perintah daripada kawan D.N. Aidit. Sehingga dalam perundingan
itu dapat disimpulkan untuk memilih tenaga-tenaga seperti Latief,
Untung, Sujono, Sigit dan Wahjudi, ditambah dengan saja sendiri dan
kawan Pono.
Sesudah mendapatkan kesimpulan tentang tenaga-tenaga ini,
maka selandjutnja diadakan rapat-rapat persiapan sesudah bulan
Agustus menerima keterangan daripada kawan D.N. Aidit tentang
makin memuntjaknja situasi. Dan gedjala jang ada menundjukkan
bahwa Dewan Djenderal sudah mulai melakukan persiapan-persiapan
terachir untuk pada achirnja melakukan perebutan kekuasaan.
Setelah ada soal-soal itu maka kami diberikan garis, apakah dalam
menghadapi situasi jang sematjam ini, kami menunggu dipukul atau
mesti memberikan pukulan terlebih dahulu. Karena kesimpulannja
bahwa kami harus memberikan pukulan terlebih dahulu, kami
melakukan persiapan-persiapan dengan mengadakan pertemuanpertemuan
antara saja, Pono, Untung, Latief, Sujono, Sigit, dan
Wahjudi. Sebagai pertemuan-pertemuan persiapan untuk melakukan
gerakan jang pada achirnja dinamakan G 30 S. Dalam pertemuanpertemuan
itu jang memimpin adalah saja sendiri, dan dalam
pertemuan pertama saja djelaskan tentang situasi jang memuntjak,
dan tentang bahwa kita tidak boleh berlengah karena dalam situasi
jang sematjam ini bagi kita adalah soalnja dipukul atau memukul.
Dan pada saat-saat jang sematjam ini perlu siap siaga. Dan persiapanpersiapan
jang perlu kita lakukan untuk menghimpun kekuatan
menghadapi Dewan Djenderal. Dan setelah pertemuan jang pertama
ini diambillah satu kesimpulan, bahwa kita semua, artinja semua
jang hadir disitu pada waktu itu, bisa menerima tentang gambaran
351
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
situasi dan tentang garis jang harus dilakukan. Dan dalam pertemuanpertemuan
selandjutnja dilakukan djuga mulai dilakukan pemeriksaan
barisan. Pemeriksaan artinja pemeriksaan kekuatan dan pemeriksaan
anggota-anggota kita jang ada dalam ABRI, terutama jang ada di
Djakarta. Sesudah kita bisa melihat adanja kekuatan-kekuatan dalam
pertemuan-pertemuan selandjutnja diperintji tentang kekuatankekuatan
jang ada, dan apakah ada kekuatan-kekuatan bantuan jang
bisa diharapkan jang datang dari luar, artinja dari luar daerah Djakarta
Raya. Sehingga pada waktu itu bisa disimpulkan adanja tambahan
dua Bataljon jaitu Jon 530 dan 454 dari Djawa Tengah. Sehingga
dengan tambahan 2 Jon ini genaplah kurang lebih 6 Jon kekuatan
jang bisa dihimpun pada waktu itu. Dengan kekuatan 6 Jon tempur
ini bisa diperhitungkan untuk dapat melakukan satu gerakan. Sesudah
tentang kekuatan bersendjata ini bisa disimpulkan dan bisa diambil
satu keputusan, baru kira-kira pada antara pertengahan dan 20
September saja bertemu kepada kawan D.N. Aidit dan diminta untuk
bisa menjusun satu konsep karena Dewan Djenderal telah menpunjai
satu konsep jang konkrit dalam menghadapi situasi ini. Bagaimana
kita? Waktu itu setelah saja pikirkan di rumah, saja membikin konsep
tentang organisasi gerakan dan tentang organisasi politiknja. Organ
gerakan pada waktu itu saja berpikiran untuk dinamakan Gerakan
September dan mengenai organisasi politiknja adalah dua pikiran, jang
ada pada saja pada waktu itu jaitu tentang namanja Dewan Militer
ataukah Dewan Revolusi. Pada waktu itu saja tjondong pada nama
Dewan Militer sebagaimana tjatatan jang ada dalam buku saja jang
ada ditangan CPM.1
Tetapi setelah saja adjukan depada kawan D.N. Aidit tidak
disetudjui tentang nama Dewan Militer, karena Dewan Militer
mengandung arti jang terlalu sempit dan mengandung militerisme,
dan terlalu sektoris maka itu dipilih nama Dewan Revolusi karena
Dewan Revolusi lebih luas artinja dan lebih bisa mentjakup segala
unsur-unsur nama badan politik didalam masjarakat jang ada.
Achirnja diambillah keputusan nama badan politiknja adalah Dewan
Revolusi. Djuga saja mengadjukan konsep tentang nama-nama
dan achirnja djuga diadakan, saja adjukan kepada kawan D.N.
Aidit terus diadakan perubahan-perubahan disana-sini dan achirnja
352
LAMPIRAN-LAMPIRAN
timbullah susunan Dewan Revolusi, jang ada seperti jang sudah
disiarkan. Tentang gerakan sesudah itu diputuskan kira-kira pada
tanggal 29, bahwa gerakan itu akan dilakukan mulai pada tanggal 30
maka gerakan dinamakan gerakan 30 September. Djadi sebelum itu
dinamakan gerakan itu Gerakan 30 September.
Dalam gerakan ini saja pegang pimpinan politiknja dan sdr
Untung pegang pimpinan Militernja tetapi pimpinan militer ini
dibawah pimpinan politik. Djadi segala kedjadian jang terdjadi
dalam gerakan adalah saja jang bertanggung djawab. Sesudah gerakan
ini berdjalan gerakan ini dalam rentjananja, adalah melakukan
pengamanan terhadap Djenderal-djenderal anggota dari Dewan
Djenderal. Adapun pada waktu kedjadian itu terdjadi pembunuhan
itu sebenarnja tidak ada rentjana sebelumnja oleh karena tudjuan
daripada gerakan adalah pengamanan dan untuk mentjari fakta-fakta
lebih djelas dan bukti-bukti adanja Dewan Djenderal. Adalah terdjadi
penembakan-penembakan sampai mati Djenderal-djenderal ini adalah
terdjadi pada waktu gerakan itu, djadi merupakan salah satu ekses dari
suatu gerakan, memang itu satu konsekwensi; sekalipun demikian saja
sebagai pimpinan bertanggung-djawab atas segala kedjadian jang ada.
Pada waktu gerakan itu berdjalan, maka gerakan ini tidak
berdjalan menurut semestinja. Soal apa sebabnja, saja sendiri belum
bisa mengetahui sampai sekarang. Sebab itu menghendaki suatu
penelitian jang lebih mendalam dan lebih teliti, tetapi pada waktu
gerakan itu berdjalan dan pada waktu Jon jang digerakkan didepan
jaitu 454 dan 530, sudah menggabung kepada Kostrad dan artinja
kekuatan sudah makin bertambah ketjil, maka saja ambil keputusan
untuk mengundurkan gerakan ini jang tadinja bermarkas besar di
Penas diundurkan masuk ke Halim.2 Dan sesudah dipertimbangkan
setjara masak bagaimana djalannja gerakan ini kalau dilandjutkan
djuga kekuatan sudah makin ketjil, sedangkan tidak ada tanda-tanda
gerakan masa ini djuga mendukung dan mengikuti G 30 S maka
achirnja saja ambil keputusan untuk melakukan pemunduran.
Djuga setelah mendengar daripada Supardjo dari utjapan Presiden
Sukarno bahwa djangan dilandjutkan tentang pertumpahan darah
itu, maka achirnja diambil keputusan, jang saja ambil keputusan
untuk mengundurkan gerakan. Biarpun sudah bisa dilihat lebih djauh
353
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
sebelumnja bahwa akan timbul soal-soal jang gekomplisir sesudah
pemunduran daripada gerakan ini. Tetapi keputusan itu saja ambil
djustru untuk menjelamatkan dari pada seluruh nation ini, artinja
seluruh bangsa ini daripada satu keadaan jang chaos.
Tapi ternjata usaha ini karena ada tangan-tangan ketiga
jang memasuki keadaan jang tidak normal dalam negeri kita ini,
achirnja toch keadaan itu, biarpun tidak berdjalan lama, tetapi djuga
menimbulkan hal-hal jang kurang diharapkan oleh semua orang
jang mentjintai tanah airnja. Sekalipun kedjadian ini djuga saja
sendiri bertanggung djawab atas terdjadinja hal-hal jang sematjam
itu. Tudjuan daripada, kalau gerakan ini berhasil, sebetulnja untuk
Dewan Revolusi itu adalah merupakan satu Dewan dimana nanti
akan menjodorkan satu konsep kepada Bung Karno sebagai Presiden
Republik Indonesia untuk melaksanakan politik nasakom, djadi
membentuk suatu pemerintahan koalisi nasional berporoskan
nasakom.
Djadi tidak ada maksud-maksud untuk mendirikan Negara
Komunis itu tidak ada, tetapi untuk mendirikan Pemerintah Koalisi
Nasional berporoskan nasakom. Djadi kalau bisa disetudjui oleh Bung
Karno sebagai Presiden demikian, tetapi kalau ada tapi masih ada
djuga hal-hal jang bisa diamandir kalau Bung Karno tidak setudju.
Dus dasarnja Dewan Revolusi itu bersifat sementara artinja masih bisa
dilakukan perubahan-perubahan.
Demikianlah apa jang saja masih ingat. Bagaimana hal-hal jang
barangkali masih diperlukan.….
T: Apakah Biro Chusus mempunjai tjabang-tjabang di daerah?
J: Punja.
T: Apa bentuknja itu?
J: Biro Chusus Daerah.
T: Apakah Biro Chusus Daerah djuga berada dalam organisasi CDB?
J:Tidak.
T: Bagaimana?
J: Dia langsung berhubungan dengan Pusat.
T: Langsung berhubungan dengan Pusat?
J: Ja.
354
LAMPIRAN-LAMPIRAN
T: Djadi sekretaris CDB tidak tahu?
J: Ada jang tahu ada jang tidak.
T: Baik. Tadi sdr katakan bahwa Biro Chusus itu tidak terdapat dalam
struktur organisasi Partai, betulkah demikian?
J: Betul.
T: Apakah dapat dikatakan bahwa Biro Chusus itu bersifat ilegaal?
J: Ilegaal setjara artinja setjara negatif tidak, oleh karena didjamin oleh
dasar daripada PKI itu tentang dasarnja jaitu Centralisme Demokrasi,
dimana Ketua mempunjai hak untuk melakukan tindakan-tindakan
atau untuk melakukan sesuatu aktivitet jang bersifat organisatoris.
Djadi itu djaminannja. Tapi kalau itu dinamakan setjara umum setjara
hukum memang itu bisa dinamakan ilegal. Tapi tidak dalam arti jang
negatif.
T: Tjoba harap diulangi mengenai djaminan jang chusus tadi.
J: Djaminannya adalah dasar daripada organisasi PKI jaitu
Centralisme Demokrasi, atau kalau itunja “Democratie Centralisme”.
Didalam soal sentralisme Ketua mempunjai wewenang untuk
melakukan tindakan-tindakan jang tidak ada didalam Konstitusi
Partai. Dan djuga itu didjamin oleh salah satu pasal terachir daripada
Konstitusi Partai jaitu bahwa didalam keadaan jang luar biasa Partai
dapat diorganisir setjara Luar Biasa. Sedangkan pada tahun ’64 itu
sebetulnja mungkin oleh Pimpinan Partai terutama oleh Ketua bisa
dianggap adanja gedjala-gedjala seperti Dewan Djenderal ini dianggap
sebagai suatu keadaan jang luar biasa maka itu Ketua menggunakan
wewenangnja didalam Demokrasi Sentralisme jang ada ditangannja
itu untuk melakukan kebidjaksanaan organisasi.
T: Ja. Tadi sdr katakan bahwa mendekati anggota-anggota ABRI itu
sedjak tahun 1957. Betulkah itu?
J: Ja. Betul.
T: Apakah itu berlaku djuga di daerah-daerah?
J: Tidak seluruhnja, terutama hanja di Djawa.
T: Di Djawa Timur siapa-siapa jang didekati?
J: Wah saja tidak tahu kalau didaerah-daerah.
T: Tidak tahu. Di Djawa Tengah?
J: Djuga tidak tahu.
T: Di Djakarta?
355
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
J: Kalau di Djakarta jang saja sendiri langsung mendekati itu adalah
Pardjo, Major Suganda, Kolonel Sidik, sedang jang baru didekati
waktu itu. Pada tahun-tahun sesudah enampuluhan Kolonel Mustofa,
Brig. Djen. Djuhartono, Kolonel Machmud Pasha itu jang saja
langsung.
T: Sdr sebut Pardjo maksudnja Brigdjen Supardjo?
J: Ja.
[Sjam menjelaskan bahwa pada pagi 26 Agustus, dia , Pono dan
Walujo bertemu untuk mendiskusikan penyusunan Gerakan 30
September.]
T: Sore harinja [26 Agustus] sdr pergi kemana?
J: Sore harinja saja menghadap Ketua.
T: Ketua siapa?
J: Ketua D.N. Aidit.
T: Dimana?
J: Dirumahnja.
T: Kira-kira djam berapa?
J: Antara djam 9 dan 10.
T: Rumahnja didjalan mana?
J: Di Pegangsaan Barat.
T: Waktu sdr datang dengan siapa?
J: Sendiri.
T: Apa jang sdr bitjarakan dan sdr laporkan?
J: Melaporkan tentang hasil pertemuan pagi hari.
T: Lalu apa kata sdr Aidit?
J: Ja, baik, landjutkan tentang persiapannja.
T: Lalu? Apakah sdr. Aidit sudah puas dengan 3 tenaga ini?
J: Oh belum puas.
T: Lalu?
J: Supaja ditambah.
T: Siapa jang memerintahkan itu? Siapa jang mengatakan supaja
ditambah?
J: Ketua D.N. Aidit.
T: Kepada siapa?
J: Kepada saja.
356
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Tentang Keterlibatan Pimpinan Partai
T: Baik, didalam rangkaian ini apakah saudara mendengar dari sdr.
Aidit, bahwa gerakan ini adalah sudah mendjadi keputusan partai?
J: Tidak.
T: Begini saudara Sjam didalam Berita Atjara menjebut bahwa waktu
saudara mendapat instruksi dari D.N. Aidit dalam pentjetusan Dewan
Revolusi?
J: Ja.
T: Sdr menanjakan kepada saudara Aidit betulkah itu?
J: Ja.
T: Apa pertanjaan saudara?
J: Apakah ini sudah mendjadi keputusan partai?
T: Lalu djawab dari Ketua?
J: Ketua djawab keputusan partai.
T: Keputusan partai itu saudara dengar itu kapan, tanggal 20 itukah
atau hari lain?
J: Sebelumnja.
T: Djadi sebelumnja, jadi kapan?
J: Sebelumnja.
T: Persisnja?
J: Kira-kira tanggal 27.
T: 27, saudara pasti ataukah …?
J: Kira-kira.
T: Kalau itu saja katakan tanggal 28 atau 29 bagaimana?
J: Tidak keberatan.
T: Tidak keberatan, dus betul saudara mendengar dari sdr Aidit bahwa
instruksi dari sdr Aidit kepada sdr dalam rangka pentjetusan Dwan
Revoulsi dan alatnya G 30 S atau oleh sdr Aidit didjawab sudah
merupakan keputusan partai, betul?
J: Ja.
T: Tidak keliru lagi?
J: Tidak.
Tentang Pasukan-pasukan yang Digunakan untuk G-30-S
T: Tadi sdr menjebut bahwa untuk melaksanakan gerakan itu, jang
achirnja bernama G 30 S, telah tersedia 6 bataljon tempur, betulkah
357
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
itu?
J: Betul.
T: 6 Bataljon tempur itu Bataljon mana sadja?
J: Dari Tjakra dari Brigif 1 Bataljon.
T: Tjakra berapa Bataljon?
J: Satu kompi, Brigif satu bataljon kemudian dari P.3.
T: Apa itu P.3?
J:. Pasukan Pembela Pangkalan dari AURI. P-3 AURI, satu bataljon,
terus tenaga-tenga tjampuran 2 kompi, terus dari 530-454 dan 1
bataljon dari sukwan [sukarelawan].
T: Tadi sdr mengatakan bataljon 530 itu berasal dari mana?
J: Dari Djawa Timur.
T: 454 dari mana?
J: Djawa Tengah.
T: Sdr berada di Djakarta, bagaimana bisa mengumpulkan bataljonbataljon
ini?
J: Tidak dikumpulkan setjara sengadja, bisa mengumpulkan. Djadi
bataljon ini kebetulan ditugaskan untuk ke Djakarta dalam rangka
hari ABRI. Dan karena ini merupakan, kami pandang, suatu kekuatan
jang bisa dipergunakan, kami mengambil kesempatan ini.
T: Sdr mengatakan tidak sengadja. Saja belum begitu mengerti,
mengapa itu suatu vervalligheid, satu kebetulan, lalu sdr dapat
mengumpulkan 2 bataljon. Bagaimana, tjoba pendjelasannja,
bagaimana ini?
J: Djadi sebetulnja, sebulan sebelumnja hari ABRI itu sudah ada berita
bahwa 2 bataljon ini jaitu Raiders dari Djatim dan Djateng akan
diperbantukan didalam hari Angkatan Bersendjata di Djakarta. Terus
kita mengadakan penelitian terhadap 2 kesatuan ini, setelah ternjata
2 kesatuan ini kita pandang bisa, kita pergunakan kesempatan ini kita
pergunakan untuk menambah kekuatan jang ada di Djakarta dalam
gerakan ini, djadi tidak sengaja umpamanja bataljon ini di Djakarta,
tidak sengadja begitu tapi kebetulan karena ditugaskan ke Djakarta
dan kita tindjau bisa diadjak didalam gerakan kita pergunakan
kesempatan itu.
T: Sdr mengatakan sebulan sebelumnja terhitung mulai kapan itu?
J: Djadi kira-kira antara 10-15 September itu, kita sudah menerima
358
LAMPIRAN-LAMPIRAN
berita bahwa 530 dan 454 akan ditugaskan ke Djakarta.
T: Kira-kira tanggal 10-15 September 65 sdr sudah mendengar berita
bahwa 2 bataljon ini akan ditugaskan di Djakarta. Sdr mendengar
berita ini darimana?
J: Dari Djatim dan Djateng.
T: Tegasnja dari Biro Chusus?
J: Dari Biro Chusus Djatim dan Biro Chusus Djateng.
T: Kira-kira bunji berita itu bagaimana?
J: Bahwa bataljon 530 ini dari Djawa Timur akan ditugaskan untuk
melakukan upatjara tanggal 5 Oktober, dan akan berangkat ke
Djakarta itu beritanja.
T: Hanja itu sadja?
J: Jah.
T: Apakah tidak disertai satu penilaian tentang Bataljon ini?
J: Saja terus menanjakan bagaimana keadaan bataljon ini, lalu dijawab
bahwa ada tenaga-tenaga jang bisa digunakan untuk melakukan
gerakan.
T: Jang mendjawab itu dari siapa?
J: Dari Biro Chusus daerah Djawa Timur.
T: Untuk Djatim siapa namanja?
J: Hasim.
T: Untuk Djawa Tengah siapa namanja?
J: Salim.
T: Apakah sdr pernah menerima laporan bahwa bataljon-bataljon ini
sudah didekati oleh Biro Chusus daerah?
J: Jah.
Asal-usul Biro Chusus
T: Tadi dikatakan bahwa Biro Chusus itu terbentuk pada tahun 1964,
betul?
J: Ja.
T: Dalam kalangan lain saudara mengatakan bahwa saudara bekerdja
di Angkatan Bersendjata ini mulai kira-kira tahun 57?
J: Ja.
T: Aparaat mana atau aparaat partai mana jang melaksanakan
pekerdjaan ini sebelum adanja Biro Chusus itu, djadi saudara bekerdja
359
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
itu didalam organ apa dari biro partai waktu itu?
J: Saja waktu itu sebagai pembantu Ketua.
T: Oh pembantu Ketua. Bukan di Departemen Organisasi tadi?
J: Belum.
Tentang Kehadiran Aidit di Pangkalan AURI Halim
T: Kemudian apakah benar D.N. Aidit dibawa ke Halim pada hari itu
djuga, malam itu?
J: Ja, betul.
T: Siapa jang membawanja?
J: Sujono.
T: Atas perintah?
J: Saja.
T: Maksudnja, maksud beradanja D.N. Aidit di Halim untuk apa?
J: Untuk mendekati pimpinan gerakan.
T: Untuk mendekati. Didalam P.V. tertjantum untuk memudahkan
hubungan Cenko [Central Komando] dengan Aidit dan pengontrolan
terhadap rentjana gerakan?
J: Ja. …
T: Saudara Sjam, saudara tahu sdr Aidit pada tanggal 1 Oktober 65?
J: Ja.
T: Dimana waktu itu?
J: Di Halim.
T: Waktu saudara Aidit berangkat saudara tahu?
J: Tahu.
T: Berangkat kemana?
J: Ke Djogja.
T: Dengan mempergunakan apa?
J: Pesawat.
T: Kepergiannja itu menurut jang saudara ketahui maksudnja apa?
J: Untuk menghindari Djakarta.
T: Untuk?
J: Menghindari Djakarta. Untuk menjelamatkan diri.
T: Mengapa dihindari?
J: Karena gerakan gagal.
T: Dia pergi dengan kemauan sendiri ataukah ditodong untuk pergi?
360
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Jang saudara lihat bagaimana?
J: Tidak ada jang nodong.
T: Tidak ada jang nodong. Djadi, pergi ke Djogja untuk
menjelamatkan diri. Siapa temannja dalam satu pesawat itu?
J: Dengan saudara Walujo.
T: Saudara Walujo. Siapa lagi?
J: Sama kawan Kusno.
T: Saudara Kusno itu dari mana?
J: Dia Adjudan.
T: Adjudan. Siapa lagi?
J: Sudah.
Pengalaman Militer Sjam
T: Saja ingin menanjakan kepada saudara saksi. Apakah saudara saksi
berpengalaman atau telah mengalami dalam gerakan-gerakan militer?
J: Sedikit pernah.
T: Dimana?
J: Waktu revolusi 45.
T: Sesudah itu tidak ada lagi?
J: Tidak ada lagi.
Daftar Dewan Revolusi
T: Kenapa tidak saudara saksi jang mengetuainja [Dewan Revolusi]
sedangkan saudara saksi langsung mengepalai Biro Chusus?
J: Karena saja sebagai orang jang tidak dikenal, djadi kalau waktu itu
disebut, menimbulkan pertanjaan …
T: Saja ingin menanjakan kepada saudara saksi mana kira-kira jang
populer itu diantara anggota Dewan Revolusi jang terdapat, mana
kira-kira ini jang penurut pendapat saudara saksi, mana kira-kira
jang populer, Untung dan Pardjo? Menurut penapat saudara saksi.
Menurut pengalaman saudara saksi selama bergaul atau mana orang
ini kira-kira jang lebih jah katakanlah jang lebih pintar atau lebih
segala matjam begitu.
J: Untung lebih populer.
[Sudisman diminta mengomentari kesaksian Sjam. Ia mengoreksi
361
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
pernyataan Sjam tentang anggota Dewan Harian Politbiro PKI.
Sjam menyatakan bahwa ada lima anggota – Aidit, Sudisman,
Lukman, Njoto, dan Anwar Sanusi. Sudisman mengatakan Sanusi
bukan anggota. Komentarnya yang lain hanyalah tentang masalah
pertanggungjawaban.]
Sudisman: Walaupun saja sendiri tidak mengetahui [tentang G-30-S]
tapi itu dilakukan oleh kawan saksi Sjam atas instruksi kawan Aidit
dan sajapun melakukan instruksi dari kawan Aidit, maka dari segi
tanggung djawab saja ambil oper tanggung djawab itu semua.
CATATAN
1 Sepengetahuan saja, catatan dalam buku Sjam tidak pernah diumumkan ke publik.
2 G-30-S beralih dari Penas ke rumah Sersan Sujatno di dalam pangkalan Halim di pagi
hari, beberapa saat sebelum Batalyon 530 menyerahkan diri ke Kostrad di sore hari.
362
DAFTAR PUSTAKA
Adam, Asvi Warman. “Dilema Megawati di Lubang Buaya.” Kompas, 8 Oktober
2003. http://kompas.com/kompas-cetak/0310/08/opini/611175.htm.
Agamben, Giorgio. State of Exception. Penerjemah Kevin Attell. Chicago: University
of Chicago Press, 2005.
Aidit, D.N. Kaum Tani Mengganjang Setan2 Desa. Djakarta: Pembaruan, 1964.
Anderson, Benedict. “How Did the Generals Die?” Indonesia 43 (April 1987):
109-134.
------. “Tentang Pembunuhan Massal ’65.” Wawancara dengan Ben Abel, didistribusikan
dalam jaringan email Apakabar, 24 September 1996.
------. “Petrus Dadi Ratu.” New Left Review 3 (Mei/Juni 2000): 5-15.
------. “Th e World of Sergeant-Major Bungkus: Two Interviews with Benedict
Anderson and Arief Djati.” Indonesia 78 (Oktober 2004): 1-60.
Anderson, Benedict, dan Ruth McVey. A Preliminary Analysis of the October 1, 1965
Coup in Indonesia. Ithaca: Cornell University Southeast Asia Program, 1971.
------. Letter to the editor [Surat kepada redaktur]. New York Review of Books, 1 Juni
1978, 40-42.
Anwar, H. Rosihan, et al, eds., Kemal Idris: Bertarung dalam Revolusi. Jakarta: Sinar
Harapan, 1996.
Arnaud, Georges, dan Jacques Vergès. Pour Djamila Bouhired. Paris: Minuit, 1957.
Badiou, Alain. Ethics. London: Verso, 2001.
Bartu, Peter. “Th e Militia, the Military, and the People of Bobonaro.” Dalam Bitter
Flowers, Sweet Flowers: East Timor, Indonesia, and the World Community,
penyunting Richard Tanter, Mark Seldon, dan Stephen Shalom. Lanham Md.:
Rowman dan Littlefi eld, 2001.
Batatu, Hanna. Th e Old Social Classes and the Revolutionary Movements of Iraq.
Princeton: Princeton University Press, 1978.
Benjamin, Walter. Refl ections. New York: Schocken, 1978.
363
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
Bourchier, David. “Conservative Political Ideology in Indonesia: A Fourth Wave?”
Dalam Indonesia Today: Challenges of History, penyunting Grayson Lloyd dan
Shannon Smith. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2001.
Bourchier, David dan Vedi Hadiz, eds. Indonesian Politics and Society: A Reader. New
York: RoutledgeCurzon, 2003.
Brackman, Arnold. Th e Communist Collapse in Indonesia. New York: Norton, 1969.
------. Indonesia: Th e Gestapu Aff air. New York: American-Asian Educational
Exchange, 1969.
Brands, H.W. “Th e Limits of Manipulation: How the United States Didn’t Topple
Sukarno.” Th e Journal of American History 76, No. 3 (Desember 1989): 785-
808.
Budiawan. “When Memory Challenges History: Public Contestation of the Past on
Post-Suharto Indonesia.” Southeast Asian Journal of Social Science 28, No. 2
(2000): 35-57.
Bunnell, Frederick. “American ‘Low Posture’ Policy Toward Indonesia in the Months
Leading up to the 1965 ‘Coup.’” Indonesia 50 (Oktober 1990): 29-60.
Central Intelligence Agency. Indonesia – 1965: Th e Coup that Backfi red. Washington:
CIA, 1968. http://www.foia.cia.gov/CPE/ESAU/esau-40.pdf
Chomsky, Noam. Year 501: Th e Conquest Continues. Boston: South End Press, 1993.
Chomsky, Noam, dan Edward Herman. Th e Political Economy of Human Rights, Vol.
1: Th e Washington Connection and Th ird World Fascism. Boston: South End
Press, 1979.
Cohen, Stanley. States of Denial: Knowing about Atrocities and Mass Suff ering.
Cambridge: Polity Press, 2001.
Comite Central PKI. Jawaban PKI Kepada Kopkamtib: Pernyataan Comite Central
PKI. Jakarta, 1979. Dalam kepustakaan pribadi penulis.
Coppel, Charles A. Indonesian Chinese in Crisis. New York: Oxford University Press,
1983.
Cribb, Robert, ed. Th e Indonesian Killings 1965-1966: Studies from Java and Bali.
Clayton: Monash University Centre of Southeast Asian Studies, 1990.
------. “How Many Deaths? Problems in the Statistics of Massacre in Indonesia
(1965-1966) and East Timor (1975-1980).” Dalam Violence in Indonesia,
penyunting Ingrid Wessel dan Georgia Wimhofer. Hamburg: Abera, 2001.
------. “Genocide in Indonesia, 1965-1966.” Journal of Genocide Research 3, No. 2
(2001): 219-239.
Cribb, Robert, dan Colin Brown. Modern Indonesia: A History since 1945. London
dan New York: Longman, 1995.
Crouch, Harold. “Another Look at the Indonesian ‘Coup.’” Indonesia 15 (April
1973): 1-20.
------. Th e Army and Politics in Indonesia. Edisi revisi. Ithaca: Cornell University
Press, 1988.
Cumings, Bruce. Korea’s Place in the Sun: A Modern History. New York: Norton,
1997.
364
DAFTAR PUSTAKA
Dake, A.C.A. In the Spirit of the Red Banteng: Indonesian Communism between
Moscow and Peking 1959-1965. Th e Hague: Mouton, 1973.
Darnton, Robert. “It Happened One Night.” New York Review of Books 51, No. 11
(24 Juni 2004): 60-64.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Hakekat Pembangunan Monumen
Pancasila Sakti. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1981.
Department of State. Indonesia, Malaysia-Singapore, Philippines. Vol. 26 dari Foreign
Relations of the United States 1964-1968. Washington D.C.: U.S. Government
Printing Offi ce, 2001.
Dinas Sejarah Militer TNI-Angkatan Darat. Cuplikan Sejarah Perjuangan TNIAngkatan
Darat. Bandung: Mahjuma, 1972.
Dinuth, Alex. Dokumen Terpilih Sekitar G-30-S/PKI [Selected Documents on the
September 30th Movement/PKI]. Jakarta: Intermasa, 1997.
------. Kewaspadaan Nasional dan Bahaya Laten Komunis. Jakarta: Intermasa, 1997.
Easter, David. “‘Keep the Indonesian Pot Boiling’: Western Covert Intervention in
Indonesia, October 1965—March 1966.” Cold War History 5, No. 1 (Februari
2005): 55-73.
Editors. “Selected Documents Relating to the ‘September 30th Movement’ and Its
Epilogue.” Indonesia 1 (April 1966): 131-205.
Elson, Robert. Suharto: A Political Biography. Cambridge: Cambridge University
Press, 2001.
Evans, Bryan III. “Th e Infl uence of the United States Army on the Development of
the Indonesian Army (1954-1964).” Indonesia 47 (April 1989): 25-48.
Evans, Richard J. Th e Coming of the Th ird Reich. London: Penguin, 2004.
Farid, Hilmar. “Th e Class Question in Indonesian Social Sciences.” Social Science and
Power in Indonesia. Penyunting Vedi Hadiz dan Daniel Dhakidae. Singapore:
Institute of Southeast Asian Studies, 2005.
Fealy, Greg. Th e Release of Indonesia’s Political Prisoners: Domestic vs. Foreign Policy.
Clayton: Monash University Centre of Southeast Asian Studies, 1995.
Feith, Herbert. Th e Decline of Constitutional Democracy. Ithaca: Cornell University
Press, 1962.
------. “President Soekarno, the Army, and the Communists: Th e Triangle Changes
Shape.” Asian Survey 4, No. 8 (Agustus 1964): 969-980.
Fejto, François. “A Maoist in France: Jacques Vergès and Révolution.” Th e China
Quarterly 19 (Juli-September 1964): 120-127.
Fic, Victor M. Anatomy of the Jakarta Coup: October 1, 1965: Th e Collusion with
China which Destroyed the Army Command, President Sukarno and the
Communist Party of Indonesia. New Delhi: Abhinav Publications, 2004.
First, Ruth. Power in Africa: Political Power in Africa and the Coup d’État. Penguin
Books, 1969.
Francos, Ania dan Jean-Pierre Sereni, Un Algérien nommé Boumediene. Paris: Stock,
1976.
Friend, Th eodore. Indonesian Destinies. Cambridge, MA: Harvard University Press,
365
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
2003.
Gardner, Paul. Shared Hopes, Separate Fears: Fifty Years of U.S.-Indonesian Relations.
Boulder: Westview, 1997.
Geertz, Cliff ord. Interpretation of Cultures: Selected Essays. New York: Basic Books,
1973.
------. After the Fact: Two Countries, Four Decades, One Anthropologist. Cambridge,
MA: Harvard Univesity Press, 1995.
“Gerakan 30 September” Dihadapan Mahmillub, Perkara Njono. Djakarta: Pusat
Pendidikan Kehakiman A.D., 1966.
“Gerakan 30 September” Dihadapan Mahmillub, Perkara Untung. Djakarta: Pusat
Pendidikan Kehakiman AD, 1966.
“Gerakan 30 September” Dihadapan Mahmillub, Perkara Subandrio. 2 vol. Djakarta:
Pusat Pendidikan Kehakiman AD, 1966.
Glassburner, Bruce. “Political Economy and the Suharto Regime.” Bulletin of
Indonesian Economic Studies 14, No. 3 (November 1978): 24-51.
Green, Marshall. Indonesia: Crisis and Transformation 1965-1968. Washington D.C.:
Compass Press, 1990.
------. Wawancara untuk serial televisi CNN Th e Cold War, National Security
Archives. http://www.gwu.edu/~nsarchiv/coldwar/interviews/episode-15/
green6.html
Hallward, Peter. Badiou: A Subject to Truth. Minneapolis: University of Minnesota
Press, 2003.
Harsutejo. G-30-S: Sejarah yang Digelapkan. Jakarta: Hasta Mitra, 2003.
Hasan (nama samaran). “Autobiografi .” 61 hal. naskah ketikan, 1998. Dalam
kepustakaan penulis.
Hasworo, Rinto Tri. “Penangkapan dan Pembunuhan di Jawa Tengah Setelah G-
30-S.” Dalam Tahun yang Tak Pernah Berakhir, penyunting John Roosa, Ayu
Ratih, dan Hilmar Farid. Jakarta: Elsam, 2004.
Hering, Bob. Soekarno: Founding Father of Indonesia, A Biography 1901-1945.
Leiden: KITLV, 2002.
Heryanto, Ariel. “Where Communism Never Dies: Violence, Trauma and Narration
in the Last Cold War Capitalist Authoritarian State.” International Journal of
Cultural Studies 2, No. 2 (1999): 147-177.
Hindley, Donald. “Th e Indonesian Communist Party and the Confl ict in the International
Communist Movement.” Th e China Quarterly 19 (Juli-September
1964): 99-119.
------. Th e Communist Party of Indonesia 1951-1963. Berkeley: University of California
Press, 1966.
Holtzappel, Coen. “Th e 30 September Movement: A Political Movement of the
Armed Forces or an Intelligence Operation.” Journal of Contemporary Asia 9,
No. 2 (1979): 216-240.
Hughes, John. Th e End of Sukarno: A Coup that Misfi red, A Purge that Ran Wild.
Singapore: Archipelago Press, 2002. Dipublikasi pertama kali pada 1967 oleh
366
DAFTAR PUSTAKA
D. McCay Co.
Humbaraci, Arslan. Algeria: A Revolution that Failed. London: Pall Mall Press, 1966.
Immerman, Richard. Th e CIA in Guatamala: Th e Foreign Policy of Intervention.
Austin: University of Texas Press, 1982.
Ismail, Taufi q. Katastrofi Mendunia: Marxisma, Leninisma, Stalinisma, Maoisma [sic],
Narkoba. Jakarta: Yayasan Titik Infi nitum, 2004.
Jenkins, David. Suharto and his Generals: Indonesian Military Politics 1975-1983.
Ithaca: Cornell University Modern Indonesia Project, 1984.
Jones, Howard. Indonesia: Th e Possible Dream. New York: Harcourt Brace Jovanovich,
1971.
Kadane, Kathy. Letter to the editor [Surat kepada redaktur]. New York Review of
Books, 10 April 1997.
Kahin, Audrey. Rebellion to Integration: West Sumatra and the Indonesian Polity 1926-
1998. Amsterdam: Amsterdam University Press, 1999.
Kahin, George McT. Intervention: How the United States Became Involved in Vietnam.
New York: Alfred A. Knopf, 1986.
------. Southeast Asia: A Testament. London: RoutledgeCurzon, 2003.
Kahin, George, dan Audrey Kahin. Subversion as Foreign Policy: Th e Secret Eisenhower
and Dulles Debacle in Indonesia. New York: New Press, 1995.
Karim D.P., A. “Tiga Faktor Penyebab G-30-S.” Teks pidato dibacakan pada sebuah
pertemuan di Jakarta, 25 Oktober 1999.
Karni, Rahadi S., ed. dan penerjemah. Th e Devious Dalang: Sukarno and the so-called
Untung Putsch; Eye-witness Report by Bambang S. Widjanarko. Th e Hague:
Interdoc, 1974.
Katoppo, Aristides, ed. Menyingkap Kabut Halim 1965. Jakarta: Sinar Harapan,
1999.
Kinzer, Stephen. All the Shah’s Men: An American Coup and the Roots of Middle East
Terror. Hoboken, NJ: John Wiley, 2003.
Kolko, Gabriel. Confronting the Th ird World: United States Foreign Policy 1945-1980.
New York: Pantheon, 1988.
Kopkamtib. Himpunan Surat-Surat Keputusan/Perintah yang Berhubungan dengan
Kopkamtib 1965-1969. Jakarta, 1970.
Latief, Kolonel Abdul. Pledoi Kol. A. Latief, Soeharto Terlibat G30S. Jakarta: Insitut
Studi Arus Informasi, 2000.
------. “Serangan Umum 1 Maret 1949.” Manuskrip ditulis di Penjara Cipinang,
Jakarta, akhir 1980an.
Leclerc, Jacques. “Aidit dan Partai Pada Tahun 1950.” Prisma 11, No. 7 (Juli 1982),
61-78.
Legge, J.D. Intellectuals and Nationalism in Indonesia: A Study of the Following
Recruited by Sutan Sjahrir in Occupation Jakarta. Ithaca: Cornell Modern
Indonesia Project, 1988.
------. Sukarno: A Political Biography. 1972. Dicetak kembali, Singapore: Archipelago
Press, 2003.
367
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
Lev, Daniel. “Th e Political Role of the Army in Indonesia.” Pacifi c Aff airs 36, No. 4
(Winter 1963-64): 349-364.
------. “Indonesia 1965: Th e Year of the Coup.” Asian Survey 6, No. 2 (Februari
1966): 103-110.
------. Th e Transition to Guided Democracy: Indonesian Politics, 1957-1959. Ithaca:
Cornell University Southeast Asia Program, 1966.
Lowry, Robert. Th e Armed Forces of Indonesia. St. Leonards: Allen dan Unwin, 1996.
Luttwak, Edward. Coup d’État: A Practical Handbook. New York: Fawcett, 1968.
McCormick, John P. “Th e Dilemmas of Dictatorship: Carl Schmitt and Constitutional
Emergency Powers.” Dalam Law as Politics: Carl Schmitt’s Critique of
Liberalism, penyunting David Dyzenhaus. Durham, N.C.: Duke University
Press, 1998.
McCormick, Th omas. America’s Half-Century: United States Foreign Policy in the Cold
War and After. Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1995.
McCoy, Alfred. Closer than Brothers: Manhood at the Philippine Military Academy.
New Haven: Yale University Press, 1999.
McGregor, Katharine E. “Commemoration of 1 October, ‘Hari Kesaktian Pancasila’:
A Post Mortem Analysis?” Asian Studies Review 26, No. 1 (Maret 2002):
39-72.
-----. “Representing the Indonesian Past: Th e National Monument History Museum
from Guided Democracy to the New Order,” Indonesia 75 (April 2003):
91-122.
McGehee, Ralph. Deadly Deceits: My 25 Years in the CIA. New York: Sheridan
Square Publications, 1983.
McNamara, Robert. In Retrospect: Th e Tragedy and Lessons of Vietnam. Dengan Brian
VanDeMark. New York: Times Books, 1995.
Mackie, J.A.C. “Indonesia’s Government Estates and Th eir Masters.” Pacifi c Aff airs
34, No. 4 (Winter 1961-1962): 337-360.
------. Konfrontasi: Th e Indonesia-Malaysia Dispute 1963-1966. Kuala Lumpur:
Oxford University Press, 1974.
Mandan, A.M., ed. Subchan Z.E.: Sang Maestro, Politisi Intelektual dari Kalangan
NU Modern. Jakarta: Pustaka Indonesia Satu, 2001.
Marnham, Patrick. “One Man and his Monsters,” Sydney Morning Herald, 26
Januari 2004.
Martinkus, John. A Dirty Little War. Sydney: Random House Australia, 2001.
Martowidjojo, Mangil. Kesaksian tentang Bung Karno 1945-1967. Jakarta: Grasindo,
1999.
Maxwell, Neville. Letter to the editor [Surat kepada redaktur]. Journal of Contemporary
Asia 9, No. 2 (1979): 251-252.
Moehamad, Djoeir. Memoar Seorang Sosialis. Jakarta: Obor, 1997.
Mortimer, Rex. “Indonesia: Emigré Post-mortems on the PKI.” Australian Outlook
28, No. 3 (Desember 1968): 347-359.
------. Indonesian Communism under Sukarno: Ideology and Politics 1950-1965.
368
DAFTAR PUSTAKA
Ithaca: Cornell University Press, 1974.
Mrázek, Rudolf. Sjahrir: Politics and Exile in Indonesia. Ithaca: Cornell University
Southeast Asia Program, 1994.
Mueller, John. “Reassessment of American Policy: 1965-1968.” Dalam Vietnam
Reconsidered, penyunting Harrison Salisbury. New York: Harper dan Row,
1984.
Munadi. “Yang Tak Terlupakan.” Jakarta, 1999. http://www.geocities.com/cerita_
kami/
g30s/munadi.pdf
Munir, Muhammad. “Membela Kemerdekaan, Demokrasi, dan Keadilan.” Pidato
Pembelaan, Jakarta, 2 Maret 1973. International Institute of Social History,
Suparna Sastra Diredja Papers, Document 286.
Nasution, A.H. Kekaryaan ABRI. Jakarta: Seruling Masa, 1971.
------. Memenuhi Panggilan Tugas. Vol. 6. Jakarta: Gunung Agung, 1987.
Newfi eld, Jack. Robert Kennedy: A Memoir. New York: E.P. Dutton, 1969.
Nixon, Richard M. “Asia After Vietnam.” Foreign Aff airs 46, No. 1 (Oktober 1967):
111-125.
Notosusanto, Nugroho, dan Ismail Saleh. Th e Coup Attempt of the September 30
Movement in Indonesia (Jakarta: Pembimbing Masa, 1968); Tragedi Nasional
Percobaan Kup G30S/PKI di Indonesia. Jakarta: Intermasa, 1993.
Nurdin A. S.M. Supardjo Direnggut Kalong. Jakarta: Varia, 1967.
Nursuhud. Menjingkap Tabir ‘Dewan Banteng.’ Jakarta: Pembaruan, 1958.
Partai Komunis Indonesia. 40 Tahun PKI. Jakarta: Pembaruan, 1960.
Pascal, Blaise. Pensées. Penerjemah A.J. Krailsheimer. London: Penguin, 1995.
Pauker, Guy. “Th e Role of the Military in Indonesia.” Dalam Th e Role of the Military
in Underdeveloped Countries, penyunting John H. Johnson. Princeton:
Princeton University Press, 1962.
------. Th e Rise and Fall of the Communist Party of Indonesia. Santa Monica: Rand
Corporation, 1969.
Porter, Gareth. Perils of Dominance: Imbalance of Power and the Road to War in
Vietnam. Berkeley: University of California Press, 2005.
Pour, Julius. Benny Moerdani: Profi le of a Soldier Statesman. Jakarta: Yayasan
Kejuangan Sudirman, 1993.
Prunier, Gérard. Th e Rwandan Crisis: History of a Genocide. New York: Columbia
University Press, 1995.
Pusat Penerangan Angkatan Darat. Fakta-fakta Persoalan Sekitar ‘Gerakan 30
September,’ Penerbitan Chusus. No. 1-3. Jakarta, Oktober sampai Desember,
1965.
Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI. Bahaya Laten Komunisme di Indonesia. 4 vol.
Jakarta: Markas Besar ABRI, 1991.
------. Buku Panduan Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya. Jakarta: Pusat Sejarah
dan Tradisi TNI, n.d., sekitar 2000.
Pye, Lucien. “Armies in the Process of Political Modernization.” Dalam Th e Role
369
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
of the Military in Underdeveloped Countries, penyunting John H. Johnson.
Princeton: Princeton University Press, 1962.
Quandt, William. Revolution and Political Leadership: Algeria, 1954-1968.
Cambridge: Th e MIT Press, 1969.
Ransom, David. “Ford Country: Building an Elite for Indonesia.” Dalam Th e Trojan
Horse: A Radical Look at Foreign Aid, penyunting Steve Weissman. Palo Alto:
Ramparts Press, 1975.
Reeve, David. “Th e Corporatist State: Th e Case of Golkar.” Dalam State and Civil
Society in Indonesia, penyunting Arief Budiman. Clayton: Monash University
Centre of Southeast Asian Studies, 1990.
Reksosamodra, Mayor Jenderal Raden Pranoto. Memoar. Yogyakarta: Syarikat, 2002.
Rey, Lucien. “Dossier of the Indonesian Drama.” New Left Review 36 (Maret-April
1966): 26-40.
Ricklefs, M.C. A History of Modern Indonesia c.1300 to the Present. Bloomington:
Indiana University Press, 1981.
Ritchie, Donald, ed. Rashomon. New Brunswick: Rutgers University Press, 1987.
Robinson, Geoff rey. Th e Dark Side of Paradise: Political Violence in Bali. Ithaca:
Cornell University Press, 1995.
Roosa, John. “Violence and the Suharto Regime’s Wonderland.” Tinjauan atas
Suharto: A Political Biography, oleh Robert Elson, dan Violence and the State in
Suharto’s Indonesia, penyunting Benedict Anderson. Critical Asian Studies 35
(2003): 315-323.
Roosa, John; Ratih, Ayu; dan Farid, Hilmar, eds. Tahun yang Tak Pernah Berakhir:
Pengalaman Korban 1965: Esai-Esai Sejarah Lisan. Jakarta: Elsam, 2004.
Sadli, Muhammad. “Recollections of my Career.” Bulletin of Indonesian Economic
Studies 29, No. 1 (1993): 35-51.
Saelan, H. Maulwi. Dari Revolusi ’45 Sampai Kudeta ’66. Jakarta: Yayasan Hak
Bangsa, 2001.
Schmitt, Carl. Political Th eology: Four Chapters on the Concept of Sovereignty. Penerjemah
G. Schwab. Cambridge: MIT Press, 1985.
Schmitz, David. Th ank God Th ey’re On Our Side: Th e United States and Right Wing
Dictatorships, 1921-1965. Chapel Hill: North Carolina University Press, 1999.
Scott, Peter Dale. “Exporting Military-Economic Development: America and
the Overthrow of Sukarno.” Dalam Ten Years’ Military Terror in Indonesia,
penyunting Malcolm Caldwell. Nottingham: Bertrand Russell Peace Foundation
for Spokesman Books, 1975.
------. “Th e United States and the Overthrow of Sukarno, 1965-67.” Pacifi c Aff airs
58, No. 2 (Summer 1985): 239-264.
------. Coming to Jakarta: A Poem About Terror. New York: New Directions, 1989.
------. Deep Politics and the Death of JFK. Berkeley: University of California Press,
1993.
Sekretariat Negara Republik Indonesia. Gerakan 30 September: Pemberontakan Partai
Komunis Indonesia: Latar Belakang, Aksi, dan Penumpasannya. Jakarta, 1994.
370
DAFTAR PUSTAKA
“Selected Documents Relating to the ‘September 30th Movement’ and Its Epilogue.”
Indonesia 1 (April 1966): 131-204.
Sembiring, Garda, dan Harsono Sutedjo, eds. Gerakan 30 September: Kesaksian
Letkol (Pnb) Heru Atmodjo. Jakarta: PEC, 2004.
Setiawan, Hersri. Kamus Gestok. Yogyakarta: Galang Press, 2003.
Setiyono, Budi, dan Bonnie Triyana, eds. Revolusi Belum Selesai: Kumpulan Pidato
Presiden Sukarno 30 September 1965 – Pelengkap Nawaksara. 2 vol. Semarang:
MESIASS, 2003.
Shaplen, Robert. Time Out of Hand: Revolution and Reaction in Southeast Asia. New
York: Harper dan Row, 1969.
Sheehan, Neil. “A Simple Man in Pursuit of Power.” New York Times Magazine, 15
Agustus 1965: 9, 72-76.
Shoup, Laurence H., dan William Minter. Imperial Brain Trust: Th e Council on
Foreign Relations and United States Policy. New York: Monthly Review Press,
1977.
Siauw Giok Tjhan. “Berbagai Catatan dari Berbagai Macam Cerita yang Dikumpulkan
dalam Percakapan2 dengan Berbagai Teman Tahanan di Salemba, Rumah
Tahanan Chusus, dan Nirbaya.” Jakarta, naskah ketikan, tidak bertanggal,
sekitar akhir 1970an.
------. (Dengan nama samaran Sigit). “Th e Smiling General Harus Dituntut ke
Mahkamah.” Ditulis pada 1979. Dicetak dan didistribusikan secara mandiri
pada 1996.
Siauw Tiong Djin. Siauw Giok Tjhan. Jakarta: Hasta Mitra, 1999.
Simpson, Brad. “Modernizing Indonesia: United States—Indonesian Relations,
1961-1967.” Disertasi Ph.D., Northwestern University, Chicago, 2003.
Soebandrio, H. Kesaksianku tentang G-30-S. Jakarta: Forum Pendukung Reformasi
Total, 2001.
Soeharto. Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya: Otobiografi , seperti dipaparkan kepada
G. Dwipayana dan Ramadhan K.H. Jakarta: Citra Lamtoro Gung Persada,
1991.
Soe Hok Gie. Catatan Seorang Demonstran. Jakarta: LP3ES, 1989.
------. Zaman Peralihan. Yogyakarta: Bentang Budaya, 1995.
Soekarno. Nationalism, Islam and Marxism. Penerjemah K. Warouw dan P.D.
Weldon. Ithaca: Modern Indonesia Project, 1970.
Soerjono. “On Musso’s Return.” Indonesia 29 (April 1980): 59-90.
Soewito, Irna. Chairul Saleh: Tokoh Kontroversial. Jakarta: Mutiara Rachmat, 1993.
Sophiaan, Manai. Kehormatan Bagi Yang Berhak: Bung Karno Tidak Terlibat G30S/
PKI. Jakarta: Yayasan Mencerdaskan Kehidupan Bangsa, 1994.
Southwood, Julie, dan Patrick Flanagan. Indonesia: Law, Propaganda and Terror.
London: Zed Press, 1983.
Stevenson, Charles. Th e End of Nowhere: American Policy toward Laos since 1954.
Boston: Beacon Press, 1972.
Subekti, Iskandar. “Jalan Pembebasan Rakyat Indonesia.” Pledoi. 16 Desember
371
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
1972.
------. “G-30-S Bukan Buatan PKI.” 1986. International Institute of Social History,
Indonesian Exiles of the Left Collection.
------. “Kata Pendahuluan.” 1986. International Institute of Social History, Indonesian
Exiles of the Left Collection.
Subritzky, John. Confronting Sukarno: British, American, Australian and New Zealand
Diplomacy in the Malaysian-Indonesian Confrontation, 1961-1965. New York:
St. Martins Press, 2000.
Sudisman. Analysis of Responsibility. Penerjemah Benedict Anderson. Melbourne: Th e
Works Cooperative, 1975.
------. Pledoi Sudisman; Kritik-Oto-kritik Seorang Politbiro CC PKI. Jakarta: Teplok
Press, 2000.
Sugama, Yoga. Memori Jenderal Yoga. Jakarta: Bina Rena Pariwara, 1990.
“Suharto’s Role in the G30S,” Tapol Bulletin, No. 90, Desember 1988.
Sujatmiko, Iwan Gardono. “Kehancuran PKI Tahun 1965-1966.” Sejarah 9. Jakarta:
Masyarakat Sejarawan Indonesia, tak bertanggal, sekitar 2001.
Sulistyo, Hermawan. Palu Arit di Ladang Tebu: Sejarah Pembantaian Massal yang
Terlupakan 1965-1966. Jakarta: KPG, 2000.
Sundhaussen, Ulf. Th e Road to Power: Indonesian Military Politics 1945-1967.
Oxford: Oxford University Press, 1982.
Surodjo, B.A., dan J.M.V. Soeparno. Tuhan Pergunakanlah Hati, Pikiran dan
Tanganku: Pledoi Omar Dani. Jakarta: Institut Studi Arus Informasi, 2002.
Sutley, Stewart. “Th e Indonesian ‘New Order’ as New Sovereign Space: Its Creation
and Narrative of Self-concealment.” Space and Polity 4, No. 2 (2000): 131-
152.
Suyitno, L.S. Pemasyarakatan Bahaya Laten Komunis dalam Rangka Meningkatkan
Kewaspadaan Nasional. Jakarta: Departemen Pertahanan Keamanan, Lembaga
Ketahanan Nasional, 1997.
Taylor, Charles. Philosophy and the Human Sciences: Philosophical Papers 2.
Cambridge: Cambridge University Press, 1985.
Todorov, Tzvetan. Th e Poetics of Prose. Ithaca: Cornell University Press, 1977.
Toer, Pramoedya Ananta, dan S.A. Prasetyo, eds. Memoar Oei Tjoe Tat. Jakarta:
Hasta Mitra, 1995.
Tovar, B. Hugh. “Th e Indonesian Crisis of 1965-1966: A Retrospective.” Th e International
Journal of Intelligence and Counterintelligence 7, No. 3 (Fall 1994):
313-338.
“Th e Trial of D.N. Aidit,” Tapol Bulletin, No. 41-42, September-Oktober 1980.
Tripp, Charles. A History of Iraq. Cambridge: Cambridge University Press, 2000.
Trouillot, Michel-Ralph. Silencing the Past: Power and the Production of History.
Boston: Beacon Press, 1995.
Utrecht, Ernst. “An Attempt to Corrupt Indonesian History.” Tinjauan atas In
the Spirit of the Red Banteng oleh Antonie C.A. Dake, dan Devious Dalang,
penyunting dan penerjemah Rahadi S. Karni. Journal of Contemporary Asia 5,
372
DAFTAR PUSTAKA
No. 1 (1975): 99-102.
Van der Kroef, Justus. Th e Communist Party of Indonesia: Its History, Program and
Tactics. Vancouver: University of British Columbia, 1965.
------. “Gestapu in Indonesia.” Orbis 10 (Summer 1966): 458-487.
------. “Indonesia: Th e Battle of the ‘Old’ and the ‘New Order.’” Australian Outlook
21 (April 1967): 18-43.
------. “Sukarno’s Fall.” Orbis 11 (Summer 1967): 491-531.
------. “Indonesian Communism since the 1965 Coup.” Pacifi c Aff airs 43, No. 1
(Spring 1970): 34-60.
------. Indonesia After Sukarno. Vancouver: University of British Columbia Press,
1971.
------. “Interpretations of the 1965 Coup in Indonesia.” Pacifi c Aff airs 43, No. 4
(1971): 557-577.
------. “Origin of the 1965 Coup in Indonesia: Probabilities and Alternatives.”
Journal of Southeast Asian Studies 3, No. 2 (1972): 277-298.
van Dijk, C. Rebellion under the Banner of Islam: Th e Darul Islam Movement in
Indonesia. Th e Hague: Martinus Nijhoff , 1981.
van Klinken, Gerry. “Th e Battle for History after Suharto.” Critical Asian Studies 33,
No. 3 (September 2001): 323-350.
Wertheim, W.F. “Indonesia Before and After the Untung Coup.” Pacifi c Aff airs 39,
No. 1-2 (Spring-Summer 1966): 115-127.
------. “Suharto and the Untung Coup – Th e Missing Link.” Journal of Contemporary
Asia 1, No. 2 (Winter 1970): 50-57.
------. “Whose Plot? – New Light on the 1965 Events.” Journal of Contemporary Asia
9, No. 2 (1979): 197-215.
------. “Indonesia’s Hidden History.” Dalam Pramoedya Ananta Toer 70 Tahun: Essays
to Honour Pramoedya Ananta Toer’s 70th Year, penyunting Bob Hering. Yayasan
Kabar Seberang, 1995.
Wieringa, Saskia. Sexual Politics in Indonesia. Hampshire: Palgrave Macmillan, 2002.
Winters, Jeff rey. Power in Motion: Capital Mobility and the Indonesian State. Ithaca:
Cornell University Press, 1996.
Wirahadikusumah, Umar. Dari Peristiwa ke Peristiwa. Jakarta: Yayasan Kesejahteraan
Jayakarta, 1983.
Yani, Amelia. Profi l Seorang Prajurit TNI. Jakarta: Sinar Harapan, 1988.
Žižek, Slavoj. “Th e Detective and the Analyst.” Literature and Psychology 36, No. 4
(1990): 27-46.
------. “What Rumsfeld Doesn’t Know Th at He Knows About Abu Ghraib.” In Th ese
Times, 21 Mei 2004. http://www.inthesetimes.com/site/main/article/747/
CATATAN MAHMILUB
Berkas Acara Pengadilan yang Tidak Dipublikasikan di Museum TNI
Satria Mandala, Dinas Dokumentasi, Jakarta
373
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
Pengadilan Kol. Abdul Latief, 1978.
Pengadilan R. Soegeng Soetarto, 1973.
Pengadilan Sudisman, 1967.
Pengadilan Brig. Gen. M.A. Supardjo, 1967.
Pengadilan Supono [Pono], 1972.
ARSIP
Hoover Institution Archives, Stanford University, California
Guy Pauker Papers
Howard P. Jones Papers
International Institute of Social History, Amsterdam
Indonesian Exiles of the Left Collection
Suparna Sastra Diredja Papers
WAWANCARA LISAN
Kecuali yang diberi catatan, saya melakukan dan merekam sendiri wawancara,
dan nama orang-orang yang diwawancarai adalah nama asli. Transkripsi maupun
rekaman atas wawancara-wawancara yang direkam, disimpan dalam arsip lisan
Institut Sejarah Sosial Indonesia di Jakarta. Wawancara-wawancara yang diberi tanda
asterisk (*) tidak direkam.
Aleida, Martin. 8 Agustus 2004, Jakarta.
Atmodjo, Heru. 11 Juni 2000; 14 Desember 2002; 19 Desember 2004, Jakarta.
Bismar. 1 April 2001, Jakarta.*
Bungkus. 12 Mei 2001, Besuki.
Dana, I Wayan. 6 Januari 2001, Denpasar.
Djayadi (nama samaran). 1 April 2001, Tasikmalaya.
Haryatna (nama samaran). 4 April 2001, Tasikmalaya.
Isak, Joesoef. 20 Desember 2003, Jakarta.
Juwono (nama samaran). Wawancara oleh Rahadian Permadi. 19 Juni 2000, Jakarta.
Kardi, Muhammad Sidik. 29 Mei 2000, Jakarta.
Mujiyono (nama samaran). 16 Juni 2000, Jakarta.
Oemiyah. 24 Juli 2005, Yogyakarta.*
Oey Hay Djoen. 14 Juli 2001; 24 Januari 2002, Jakarta.
Poniti. 24 Agustus 2000, Kapal.
Pugeg. 3 September 2000, Denpasar.
Puger, Ibu. 11 Januari 2001, Denpasar.
Reti, I Ketut. 7 Januari 2001, Denpasar.
Rewang. 27 Juni 2001, Solo.
Rusyana (nama samaran). 11 Juli 2001, Jakarta.
374
DAFTAR PUSTAKA
Slamet. Wawancara oleh Razif. 28 Januari 2003, Jakarta.
Subowo (nama samaran), 26 Januari 2002, Jakarta.
Sucipto. 4 September 2003, Jakarta.
Sugiarto. 2001, Jakarta.*
Sukrisno (nama samaran). 14 Juli 2005, Jakarta.
Suwira, Kompiyang. 2 September 2000, Denpasar.
Syukur, Abdul. Wawancara oleh Razif. 22 Mei 2000, Bandung.
Tan Swie Ling. 16 Maret 2001, Jakarta.
Tiara, Ibu (nama samaran). 15 Agustus 2000, Denpasar.
Wayan (nama samaran). 5 Agustus 2004, Ubud.*
375
Aceh, 321
Adjie, Ibrahim (Mayor Jenderal), 304,
308, 334- 335
Agamben, Giorgio, 44n20
Aidit, Dipa Nusantara,116n1, 248n60;
dan dewan-dewan revolusi, 213-
214, 232-234, 243, 248n64, 305-
306, 312, 313-314, 351-353, 356;
dan kebijakan front persatuan,234-
236, 248n67; di Pangkalan
Angkatan Udara Halim, 40, 63,
72, 85n17, 94, 115, 132, 208,
214, 243, 313, 359; eksekusi, 101,
106, 119n35, 200; jatuh dalam
perangkap Angkatan Darat, 116,
250-251, 273; kemunculan kembali
178-179, 196n17; menimbang
pilihan-pilihan, 212, 218-226, 301-
303; pelarian ke Yogyakarta, 84,
132, 243, 318, 359-360; pemalsuan
pengakuan, 95, 117n13, 130;
pernyataan-pernyataan tentang G-
30-S kepada pimpinan-pimpinan
PKI, 202-204, 209, 246n39, 306;
sebagai menteri, 118n13, 186-
187, 203, 298; sebagai pimpinan
Biro Chusus, 60, 96-98, 100, 107,
108, 122, 132, 136, 169-170, 174,
179, 182-183, 186-187, 191-192,
194, 199-200, 204-207, 208, 211-
217, 218-219, 223-224, 242-243,
244n17, 246n31&37, 251-252,
292-293, 294, 301-307, 308, 309-
310, 312-314, 317, 318-319, 320-
321, 346, 349-352, 355-356, 361;
sebagai pimpinan PKI, 25, 117n2,
119n32, 171, 173, 200-201, 209-
210, 212, 217-218, 227, 228-231,
234, 306, 319, 361; tanggapan
terhadap kup Aljazair, 226-232
Ajitorop, Jusuf, 209, 211, 245n26
Akutagawa, Ryunosuke, 24
Alamsjah (Brigadir Jenderal), 55
Aleida, Martin, 180, 198n47, 239-240
Algiers, 226, 227, 228
Aliarcham, akademi, 181, 235
Alimin, 92, 117n2
Aljazair, 226-232, 243, 248n60, 294,
305
Allison, John, 254
Amanat Penderitaan Rakyat (Ampera),
71
Amerika Serikat, pemerintah, 41,
45n39, 135-136, 166n23, 190,
206, 213, 224, 237-238, 247n44,
300; dan sumber-sumber daya alam
INDEKS
376
INDEKS
Indonesia, 16-17, 19, 277-278;
diduga membantu Darul Islam,
188; dukungan kepada Angkatan
Darat Indonesia, 246n32, 251,
252, 257-264, 266, 270-272, 307;
dukungan untuk pemberontakanpemberontakan
daerah, 254-257;
dukungan untuk pengambilalihan
kekuasaan oleh Suharto, 32-33,
273-278, 281, 286n44, 288n73,
288n76; gabungan kepala-kepala
staf, 259; kedutaan besar di
Jakarta, 15-16, 23, 53, 118n15,
125, 137, 160, 196n28, 246n32,
250-251, 254, 258, 260, 267-
269, 270-278, 283, 286n44,
287n54&61, 289n81; low-posture
policy (kebijakan merunduk), 270-
271; memberikan daftar nama
tokoh-tokoh PKI, 276, 288n75-76;
menunggu dalih, 250-252, 258,
268-273; National Security Agency
(NSA: Badan Keamanan Nasional),
44n23, 275-276; National Security
Council (NSC: Dewan Keamanan
Nasional), 16, 44n26, 255, 257-
258, 260-261, 268, 270, 271;
pemerintahan Eisenhower, 17,
253-258; pemerintahan Johnson,
18, 23, 32, 44n32, 258, 259, 268,
271; pemerintahan Kennedy, 18,
44n32, 258, 260, 262, 322n8;
pemerintahan Truman, 17;
Departemen Luar Negeri (State
Department), 17-18, 19, 22-23,
160, 253, 262, 268-270, 272-274
Anderson, Benedict, 27, 36, 45n41,
48n82, 84n5, 85n14, 86n21,
87n26, 89n48, 91, 95, 96, 99,
100, 101-105, 107, 115, 117n13,
118n23, 176, 191, 238, 292,
342n19
Angkatan 1966, 51n105
Angkatan Bersendjata (koran), 261
Angkatan Darat, civic action, 260-264,
271, 274; dan bantuan Amerika
Serikat, 252, 258-261, 266; dan
Undang-Undang Keadaan Darurat
Perang, 261, 285n20; intelijen,
183-184, 196n26, 213, 307;
Kodam Brawijaya (Jawa Timur), 32,
67, 76, 103; Kodam Diponegoro
(Jawa Tengah), 67, 77-78, 89n47,
102-103, 125, 161, 307, 342n19,
339; Kodam Jaya (garnisun Jakarta),
60, 66, 67, 79, 81, 87n26, 308;
Kodam Siliwangi (Jawa Barat),
103, 125, 308, 330, 334, 342n13;
menanti dalih, 250-252, 266-268,
270, 272; menggulingkan Sukarno,
276-284; menyabotase konfrontasi
dengan Malaysia, 162, 264-266,
286n36&40, 302-303; perang
teritorial, 260, 264; propaganda
tentang G-30-S, 8, 29-30, 35-36,
91-101, 115, 130, 151-153, 179-
283, 319-321; Pusat Penerangan,
94, 117n5; represi terhadap PKI,
5, 18-19, 27, 29, 273-277, 293;
sebagai negara di dalam negara,
252, 262-264, 282; Seskoad
(Sekolah Staf Komando Angkatan
Darat), 195n8, 263-264, 285n29;
sikap antikomunis, 70, 92, 187,
257-259, 261, 263-264, 266-268,
271-272, 285n29, 295-297, 349;
lih. juga Batalyon 328; Batalyon
434; Batalyon 530; Cakrabirawa;
Kodam Jaya; Kostrad; RPKAD
Angkatan Laut, 57, 69, 75, 184-185,
225, 299, 301, 341n9
Angkatan Kepolisian, 35, 36, 41, 57,
69, 75, 184, 185, 299, 301, 319,
322n11, 341n9
377
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
Angkatan Udara, 21, 22, 56, 57, 58-
59, 64-65, 69, 83, 86n21, 89n56,
96, 103, 116n1, 125, 132, 143,
158-159, 184-185, 225, 256, 265,
299, 301, 311, 317-318, 326,
332, 341n9&11; Pasukan Pembela
Pangkalan (PPP) 60, 61, 67, 95,
140, 145, 329, 341n11, 357
Antara (kantor berita), 29
Anwas (Ajun Komisaris Besar Polisi),
68-70, 87n28, 155
Arbenz, Jacobo, 253
Ashari (Letnan Kolonel), 78
Asia-Afrika, konferensi, 190, 220, 226-
227, 231, 253
Asmu, 209
Atmodjo, Heru (Letnan Kolonel),
21, 45n41, 56-59, 61, 63, 64-65,
68-70, 72, 86n17, 121n65, 130,
135, 155, 159, 160, 166n17, 190,
198n40, 311-312, 323, 341n11
Badan Pendukung Sukarnoisme (BPS),
297
Badiou, Alain, 12-14
Bakorstanas (Badan Koordinasi
Bantuan Pemantapan Stabilitas
Nasional), 14, 43n17
Ball, George, 17-18
Bandung, 66, 138, 190, 195n8, 220,
226, 263, 304, 324, 327, 328, 330,
334
Bangkok, 265, 286n40
Banjarmasin, 173
Banten, 43n12, 176
Baperki (Badan Permusyawaratan
Kewarganegaraan Indonesia), 22,
46n46, 49n95, 172
Barlian (Letnan Kolonel), 254
Batalyon 328, 80, 81, 316
Batalyon 454, 54, 56, 65, 67, 79, 80-
81, 83, 84n5, 95, 102, 114, 140,
144-145, 160, 161, 317-318, 326,
327, 328, 331, 334, 336, 341n4,
342n18, 351, 352, 357-358
Batalyon 530, 54, 56, 65, 67, 79, 80-
81, 84n5, 95, 102, 103, 114, 140,
144-145, 158, 161, 326, 327, 328,
331-332, 341n4, 342n18, 351,
352, 357-358, 361n2
Belanda, 12, 13, 37, 39, 41, 43n11,
60-61, 108, 128, 171-173, 176-
178, 188, 190, 195n2, 206, 241,
261, 269
Ben Bella, Ahmed, 226, 229-232
Benjamin, Walter, 44n20
Benson, George, 246n32, 260, 271-
272
Berita Yudha, 261
Biro Chusus, 99, 118n22, 211, 223;
asal-muasal, 170-174, 195n1, 358;
kepemimpinan, 60, 178, 180, 182,
194, 344-345, 346; menghubungi
perwira-perwira, 172, 173-174,
185-192, 194, 198n43, 301, 346-
348, 353-354; penyebutan pertama
kali secara publik, 97; peran di
dalam G-30-S, 22, 25, 60, 63,
97-98, 106, 115, 131-132, 138-
139, 150, 162-164, 169, 199-200,
205-207, 251-252, 303-304, 312,
318, 349-353, 358; posisi di dalam
PKI, 97, 162, 169-171, 173-174,
180-182, 194, 203-204, 212-214,
218, 346-347, 353-354; sebagai
organisasi klandestin (organisasi
rahasia), 22, 60, 178, 180-185, 307;
struktur sel, 180, 188
Bismar, 197n36
Bono (Walujo), 63, 131, 174, 180,
183-185, 211, 212, 214, 347, 350,
355, 360
Borobudur, 9
Boumedienne (Kolonel), 226-232,
378
INDEKS
243, 247n52, 294, 305
Bourchier, David, 285n22
Boven Digul, 171, 195n2
BPI (Badan Pusat Intelijen), 184,
197n37
Brackman, Arnold, 99
Brecht, Bertold, 161
Brown, Colin, 8, 305
BTI (Barisan Tani Indonesia), 148,
171, 181, 196n16
Bukittinggi, 256
Bundy, McGeorge, 44n32
Bundy, William, 18, 44
Bungkus (Sersan Mayor), 85n14, 143-
144
Bunker, Ellsworth, 268, 269-270
Bunnell, Frederick, 272
Cakrabirawa (pengawal istana), 4,
57-58, 67, 75, 84, 85n8&14, 111,
140, 143, 145, 236, 309, 310, 311,
325, 328, 357
Caltex, 277
Central Intelligence Agency (CIA),
65, 137, 226, 238, 241, 253, 279-
280, 286n45, 287n61, 289n77;
dukungan kepada pemberontakanpemberontakan
PRRI/Permesta,
234, 255-257; laporan tentang
G-30-S, 85n14-15, 87n33,
88n43&44, 93, 98-99, 119n27,
151, 266-267; operasi-operasi pos
Jakarta, 270-276
Chang Myon, 137
Chiang Kai-sek, 329
Chomsky, Noam, 19
Ciliwung, kali, 221, 247n45
Cimahi, penjara, 121n65, 190, 198n40
Cipinang, penjara, 166n24, 192, 211,
246n31
Cornell University, 27, 45n41, 91
Cribb, Robert, 8, 29, 37, 305
Crouch, Harold, 50n102, 91, 105-107,
115, 151, 156, 163, 292
Cumings, Bruce, 166n23
Dahono, 240
Dake, A.C.A., 116n1
Dani, Omar, 22, 168n51, 184; dan
G-30-S, 58-59, 64-65, 74, 84,
86n19&21&23, 87n35, 132,
159, 168n46, 311-312, 317, 318,
326, 332, 334, 283; dan Supardjo,
64, 85n13, 126, 132, 137, 318;
menggambarkan perundinganperundingan
Sukarno dengan
Supardjo, 73, 74; sebagai komandan
Kolaga, 64, 86n20, 164n1, 265,
285n35
Darnton, Robert, 23-24
Darul Islam (DI), 128, 187-190,
197n34, 279
Dayino, 175
deep politics (politik terselubung), 20,
45n39
Demokrasi terpimpin, 88n36, 156,
168n42, 285n22, 296-300
Dewan Jenderal, 53, 55, 56-57, 64, 68,
109-110, 114, 126, 136-137, 147,
152, 201, 203, 205, 208-209, 212,
214, 218-219, 222-223, 228, 233,
238, 242, 246n37&39, 250, 267,
286, 303, 304, 307, 309-310, 320,
349-352, 354
Dewan Revolusi. Lih. Dewan Revolusi
Indonesia
Dewanto (Komodor), 83, 86n19&23
Dewi Sukarno, 57, 84n7
DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam
Indonesia). Lih. Darul Islam (DI)
Djajengminardo, Wisnoe (Kolonel),
64, 72
Djuanda, 280
Djuhartono (Brigadir Jenderal), 355
379
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
doktrin perang teritorial, 260, 264
domino, teori, 16-18, 45n32
Dulles, Allen, 253-254, 255
Dulles, John Foster, 253-254, 284n3
Edhie, Sarwo (Kolonel), 83
Elson, Robert, 290n91
Farid, Hilmar, 248n67
Fic, Victor, 21, 45n42, 164n1,
165n11, 343n23
Filipina, 120n42, 256, 268, 275
First, Ruth, 231, 248n62
Flanagan, Patrick, 43n17
FLN (Front de Libération Nationale),
229-231
Ford Foundation, 263
Fort Bragg, 259
Fort Leavenworth, 259, 263
Frankel, Max, 18-19
Friend, Th eodore, 35, 246n32
Galbraith, Frances, 196n28
Garut, 188
gedung telekomunikasi, 54, 60, 63, 81,
89n58, 147-148, 238
Geertz, Cliff ord, 34-35
Gerakan 30 September (G-30-S),
delegasi kepada Sukarno, 56-58,
59, 60, 63, 125, 152, 311-312;
Dewan Revolusi Indonesia, 53,
68-72, 76-78, 90, 96, 104, 149,
153-155, 213-214, 232-234, 243,
313-315, 317, 351-353, 356, 360;
dewan-dewan revolusi, 53, 68, 77-
78, 94, 104, 149, 154-155, 203,
205, 305-306, 312-314; di Jawa
Tengah, 4, 77-78, 89n48, 102-
103, 123, 240, 314, 318, 334; di
Sumatra Barat, 89n4; kekalahan,
4, 80-84, 101, 145-146, 160, 240,
294, 317-318, 335-337, 339-
340, 352-353; kekuatan militer,
65-67, 138-140, 144-146, 308,
324-325, 328, 339-340, 351, 356-
358; ketiadaan komando tunggal,
130-137, 152-153, 163, 293-294,
330, 332-333; ketiadaan rencana
cadangan, 141-142, 330; menguasai
Lapangan Merdeka, 4, 53-54, 60,
66, 79-81, 108, 145, 314, 317, 326,
328, 342n18; mengusulkan untuk
menyerang Kostrad, 145, 158-160,
317, 326, 331-332; milisi sipil di
dalamnya, 66, 77-78, 87n25, 94-
95, 96, 102, 140, 146-151, 242,
306, 314, 336; operasi penculikan,
3, 55-56, 60, 142-144, 304-305,
310-311, 325, 328, 341n6, 352;
pembunuhan-pembunuhan, 3,
26, 47n57, 59-60, 85n14, 311,
352; pengumuman-pengumuman
radio, 3-4, 6-7, 52-53, 56, 60, 61,
68-72, 87n33&35, 102-105, 124,
144-146, 151, 153-155, 312-315;
pimpinan-pimpinan inti, 6-7,
42n4, 56, 58, 60-64, 95-96, 123,
145, 152-153, 155, 162-164, 169,
316-317; rapat-rapat perencanaan,
85n15, 166n17, 205, 210, 350-
351; sebagai dalih pengambilalihan
kekuasaan oleh AD, 4-5, 8-9, 25-
27, 38-39, 273-274, 280-284, 306-
307, 315-316, 327; sebagai misteri,
5-8, 19-20, 24-25, 114-116, 122;
sektor-sektor di Jakarta, 146-147,
149-150, 167n28, 314, 326, 331
Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia),
60, 148, 280
Gestapu (Gerakan Tiga Puluh
September), 35, 40, 48n80,
121n64, 280
Gestok (Gerakan Satu Oktober), 40
Ginting (Mayor Jenderal), 55
380
INDEKS
Glassburner, Bruce, 263
Golkar (Golongan Karya), 261
Green, Marshall, 15, 118n15, 137,
160, 165n2, 166n23, 270-271,
274-277, 289n76&81
Halmana, 111
Hamim, 180-181
Harian Rakjat, 94, 101, 200, 210, 236-
241
Harjati, 57-58, 84n7
Harjono, Mas Tirtodarmo (Mayor
Jenderal), 55, 59-60, 267
Hartoyo, 176-177, 196n16
Hasan, 22, 25, 46n44, 170-175, 180-
183, 185-192, 193-194, 197n38,
199, 205-207, 214, 224
Hatta, Mohammad, 4, 5, 178, 233,
254, 304, 322n11
Herman, Edward, 19
Heryanto, Ariel, 15
hiruk-pikuk intelijen, 8, 184, 197n29,
307
Hitler, Adolph, 39
Holmes, Sherlock, 24
Holtzappel, Coen, 116n1
Hughes, John, 97, 117n13, 118n20,
119n35, 158, 164n1
Hunter, Helen-Louise, 98
Husein, Ahmad (Letnan Kolonel),
254-256
Hutapea, Oloan, 106, 119n32, 209,
212, 245n31
Idris (Letnan Kolonel), 78
Idris, Kemal (Kolonel), 120n51,
164n1, 265
I Ketut Reti, 195n8
India, 21, 200, 201
Indocina, 16-18
Inggris, 41, 111, 118n23, 136, 151,
162, 203, 206, 237, 244n16, 264-
265, 269, 274, 278, 300, 302
Irak, 46n54, 203, 232, 243, 294
Iran, 253
Irian Barat, 60, 111, 190, 195n2, 234,
306, 321
Isak, Joesoef, 197n36, 220-221, 228-
232
Iskandar (Mayor), 77-78
Islamabad, 269
Ismail, Taufi q, 50n97
Jepang, 16-17, 173, 175, 206, 278,
304, 346
Jerman, 35, 39-40, 197n36, 278
Johnson, Alexis, 19
Johnson, Lyndon B., 23
Jones, Howard, 250, 258, 267-273
Juwono, 89n58, 147-148, 167n28
Kadane, Kathy, 275-276, 288n75-76
Kahin, George, 45n32
Kalimantan, 56, 86n20, 126, 140-141,
162, 165n1, 218
Kalimantan Barat, 124, 164n1, 165n6
Kapal (desa), 36-37, 49n87
Kardi, Muhammad Sidik (Kolonel),
195n8, 198n43
Karim D.P., 226-228, 248n60
Karnow, Stanley, 30-31
Karto, 171-175, 179, 301
Katamso (Kolonel), 77
Kennedy, John F., 20, 45n39
Kennedy, Robert F., 32
Kesatuan Aksi Pengganyangan –
Gerakan Tiga Puluh September Tiga
Puluh (Kap-Gestapu), 92, 276
KGB, 100
King, Seth, 30-31
kisah-kisah detektif, 47n55, 291-292
Kodam Diponegoro. Lih. di bawah
Angkatan Darat, Indonesia
koeksistensi damai, 229-231
381
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
Kolaga (Komando Mandala Siaga), 64,
86n20, 124, 164n1, 264-266
Kolko, Gabriel, 16
Komalasakti, Burhan, 194, 198n47
Kompas (koran), 30, 281
konfrontasi melawan Malaysia, 64,
86n20, 162, 164n1, 165n6, 189,
190, 234, 264-266, 274-275,
286n36&40, 298, 302-303
Kopkamtib (Komando Operasi
Pemulihan Keamanan dan
Ketertiban), 14, 43n17, 116n1, 283
Korea, 235, 254
Korea Selatan, 137
Korps Perdamaian (Peace Corps), 298,
322n8
Kostrad (Komando Strategis Cadangan
Angkatan Darat), 53, 67, 79-83, 92,
108, 109, 111, 114, 120n35&51,
145, 158-159, 160-162, 164n1,
168n45-46, 184, 196n26, 265-266,
275, 307, 315-316, 317, 325-326,
331-332, 341n4, 342n18, 352,
361n2; pembentukan, 89n50
Koti (Komando Operasi Tertinggi),
117n4, 184
kudeta, 4, 5, 25, 27, 40-41, 53, 67-68,
90, 98-99, 101-102, 103, 110, 151-
152, 196n29, 203, 206, 207, 208,
218, 222-223, 224-225, 226-232,
236, 251, 262-263, 267-269, 280-
284, 300, 301, 305, 307, 308, 310
Kurosawa, Akira, 24
Kusnan, 194, 198n47
Kusno, 63, 214, 360
Lapangan Merdeka, 4, 43n12, 53-55,
56, 60, 62, 65-66, 79-81, 83, 84n3,
102, 108, 125, 145, 147, 238, 240,
315, 317, 341n4, 342n18
laskar, 37, 171, 173
Latief, Abdul (Kolonel), 107-108,
111-112, 117n12, 197n36, 307;
bersedia menghentikan G-30-S,
154, 312, 316-317; hubungan
dengan PKI, 134, 189; interogasi,
94-95, 98-99, 117n11, 119n26;
memberitahu Suharto tentang G-
30-S, 6, 7, 109-110, 114, 157, 161,
242-243, 293; pidato pembelaan
(pledoi), 7, 42n5; sebagai
komandan brigade, 60-61, 65, 66,
95, 125, 139, 140, 145, 167n28;
sebagai pemimpin inti G-30-S, 6, 7,
42n4, 60-61, 69, 70, 72, 84, 123,
130-131, 133, 163, 169, 205, 292,
294, 304, 317, 333, 350; sebagai
perwira Jawa Tengah, 102-103, 125
Leclerc, Jacques, 178-179, 196n17
Leibniz, Gottfried Wilhelm, 153
Leimena, Johannes, 47n57, 56, 75
Lenin, V.I., 177, 295, 342n12
Lev, Daniel, 174, 222, 261, 285n20,
296, 322n5
Life (majalah), 34
London, 269, 300
Lubang Buaya, 43n11, 204, 215;
mitos orgi dan mutilasi di, 10, 60,
95, 115; pembunuhan di, 9, 59-
60, 85n14, 311, 321; penggunaan
fasilitas yang diatur Soejono, 64;
personil G-30-S berkumpul di,
55-56, 62, 81, 83, 140, 142-143,
147-148, 167n28, 310-311, 325,
341n11, 336-337; sebagai tempat
sakral, 9-12, 321; upacara di, 10,
47n57, 51n103
Lubis, Zulkifl i (Letnan Kolonel), 279
Lukman, 106, 119n32, 178-179,
196n17, 200-201, 209, 212, 214,
319, 361
Luttwak, Edward, 196n29
Machiavelli, Niccolo, 192
382
INDEKS
Mahabharata, 200
Mahmilub (Mahkamah Militer Luar
Biasa), 46n42, 75, 97, 98, 105-106,
109-111, 116n1, 149, 168n51,
195n1, 197n37, 208-211, 214-
215, 233, 242, 246n37, 292;
kesaksian Sjam, 97, 100, 109, 122,
150, 170, 175, 176, 179-180,
185-186, 191-193, 198n43&45,
200, 204-205, 223-224, 244n17,
344-361; keterandalan kesaksian, 7,
84n6, 86n17, 129-130, 194-195,
205-206, 248n64; pembentukan,
283; persidangan Njono, 96,
119n26, 146-147, 208, 341n11;
persidangan Sudisman, 100, 106-
107, 119n32, 200-205, 216-217,
244n17, 245n18, 344, 360-361;
persidangan Supardjo, 20, 45n41,
56, 69, 73, 88n39, 119n26, 126,
128-129, 133, 135, 137, 152, 154,
158, 164n1, 165n7&9, 166n12,
168n46, 179, 286n36, 323, 341n4;
persidangan Untung, 28, 69, 73,
87n25, 94-95, 96, 119n26, 122,
126, 128; sebagai persidangan
sandiwara, 7, 129-130;
Mahmud, Amir (Brigadir Jenderal), 70
Makassar, 255
Malaysia, 56, 64, 86n20, 124-125,
133, 148, 161-162, 164n1, 189,
190, 234, 264-266, 274, 286n40,
298-299, 302
Malik, Adam, 276
Maluku, 254
Manikebu (Manifesto Kebudayaan),
261
Mao Zedong, 116n1, 191, 194,
198n40, 229, 329
Martens, Robert, 276, 288n75&76
Martowidjojo, Mangil (Letnan
Kolonel), 85n8&13
Marx, Karl, 52, 122, 192, 295, 330,
342n12
Massachusetts Institute of Technology,
262
Maxwell, Neville, 287n51
McCoy, Alfred, 120n42
McGehee, Ralph, 119n27
McNamara, Robert, 18
Medan, 164n1, 172, 254
Megawati Soekarnoputri, 41, 51n103
Menado, 189, 256-257
Menteng, 55-56, 79, 147, 215
Military Assistance Group (MILTAG;
Kelompok Bantuan Militer), 274
militer Indonesia. Lih. Angkatan
Udara; Angkatan Darat;
Cakrabirawa; Kolaga; Kopkamtib;
Kostrad; Koti; Angkatan Laut;
Polisi; RPKAD
Moerdani, Benny (Mayor), 265-266,
286n37&40
Moertopo, Ali (Mayor), 47n59, 265-
266, 286n37, 307
Monumen Pancasila Sakti, 9-12, 28,
41, 42n9, 43n11, 321, 41n103,
271-272
Mortimer, Rex, 219
Moskow, 227, 229, 253
Moser, Don, 34
Mossadegh, Mohammad, 253
Muljono (Mayor), 77
Munir, Muhammad, 23, 176-177,
196n16, 209, 232-233, 242,
245n23, 248n64
Murba, Partai, 186, 297
Mursid (Mayor Jenderal), 55, 335
Museum Pengkhianatan PKI, 12-13,
43n11
Museum Sejarah Monumen Nasional,
43n12, 54
Mustofa (Kolonel), 355
383
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
Nahdlatul Ulama (NU), 92
Nasakom (nasionalis, agama,
komunis), 12, 47n59, 87n36, 149,
206, 224, 233-234, 306, 349, 353
nasionalisasi, 16, 261, 277-278, 299
Nasution, Abdul H. (Jenderal), 30,
47n57, 59, 136; aliansi dengan
Suharto, 153, 155, 158, 160-
161, 280-283, 286n44, 325-327,
331, 334-337, 338, 341n7&10;
kedatangan di Kostrad, 80, 89n53,
158; mengutip dokumen Supardjo,
21; sebagai antikomunis, 153, 257,
259-261, 267, 272, 273-275, 296,
307, 317, 342n13; sebagai menteri
pertahanan, 55, 117n4, 184, 302;
tentang peran politik militer, 164,
252, 260-263, 277, 279, 285n22,
300; upaya penculikan, 55-56, 143,
304, 310-311, 325, 329, 341n6
nekolim (neokolonialisme,
kolonialisme, imperialisme), 40-41,
73, 206, 247n49, 281, 297, 326
New Yorker, 34
New York Times, 18-19, 30-32, 33-34,
288n75, 295
Nixon, Richard, 17
Njono, pemalsuan pengakuan, 95,
130; pengadilan, 96, 117n13,
119n26, 146-147, 208, 341n11;
sebagai anggota Politbiro, 208-
209, 245n31; sebagai ketua PKI
Comite Jakarta Raya, 146, 149-150,
306, 341n11; sebagai organisator
sukarelawan, 94, 146-147, 149-150,
167n28, 208, 242, 245n31, 306,
315
Njoto, 106, 119n32, 200-201, 209,
212, 298, 319, 361
Notosusanto, Nugroho, 43n12, 47n61,
85n15, 87n28, 97-99, 118n23, 151
Nursuhud, 220-221, 247n43
Nusa Tenggara, 334
Oei Tjoe Tat, 42n3
Oemiyah, 175
Oey Hay Djoen, 172, 212, 225
Organisasi Perlawanan Rakyat (OPR),
188
Organisasi Pertahanan Atlantik Utara
(NATO; North Atlantic Treaty
Organization), 269
Organisasi Tanpa Bentuk (OTB), 14
Padang, 172-173
Pakistan, 128, 269, 287n51
Pakta Baghdad, 203
Palembang, 139, 254, 327
Panca Azimat Revolusi, 71, 87n36,
237, 281
Pancasila, 10-13, 50n103, 71, 87n36,
118n13
Pandjaitan, Donald Ishak (Brigadir
Jenderal), 47n57, 55-56, 59-60
Pangkalan Angkatan Udara Halim, 22,
40, 56-60, 61-66, 69, 72, 74-76,
80-83, 85n13&17, 86n21&23,
88n39, 88n41, 89n56&61, 94,
95-96, 115, 118n13, 121n68, 123,
125, 132, 133, 140, 144-145, 156,
158-160, 204, 208, 214, 215, 240,
243, 292, 312, 313, 316-317, 326,
331, 333-334, 341n4&10-11,
342n18, 352, 359, 361n2; peta, 62
Pangkalan Udara Clark, Filipina, 275
Papua Barat. Lih. Irian Barat
Pardede, Peris, 149, 167n35, 194,
198n47, 209, 246n39
Park Chung Hee, 137, 166n23
Parman (Kapten), 78
Parman, S. (Mayor Jenderal), 55-56,
59-60, 162, 183-184, 196n26, 213,
265, 267-268, 271, 307-308
Partai Komunis Afrika Selatan, 231,
384
INDEKS
248n62
Partai Komunis Aljazair, 227, 229-231
Partai Komunis Belanda, 177
Partai Komunis Indonesia (PKI), 16,
22, bab 4 (169-195) dan bab 5
passim (199-243); Bagian Militer,
171-172, 173-174, 179; Comite
Central, 97-98, 106-107, 117n9,
132, 163, 182-183, 194, 209-211,
217-218, 220-221, 235, 240,
242, 246n31, 247n43, 245n31,
288n76, 306; Comite Daerah Besar
(CDB), 181, 341n11, 353-354;
Comite Seksi, 150; dan pemilupemilu,
253-254, 258, 296, 297-
298; dan perjuangan antikolonial,
43n11-12, 171, 195n2, 214-215;
Departemen Organisasi, 171, 179,
183, 345, 347, 359; Dewan Harian
Politbiro CC PKI, 100, 106-107,
119n32, 209-210, 212-214, 242,
319, 361; diduga bukan dalang G-
30-S, 101-116, 202-203; dituduh
sebagai dalang G-30-S, 5-9, 25,
35-36, 91-101, 131-133, 162-163,
279-283, 315-316, 337-338, 356;
dokumen Kritik Otokritik Politbiro
CC-PKI, 128-129, 165n11, 216,
244n2, 247n44, 248n68, 340n2;
dukungan kepada perwira-perwira
progresif, 201-203, 208-210, 212,
222-224, 236-238, 242; Komisi
Kontrol, 194; Komisi Verifi kasi,
194; partisipasi dalam G-30-S, 6,
40, 66, 83, 94, 100, 140, 146-151,
201-204, 208, 210-211, 224, 238,
242-243, 292-293, 306, 320-
321; penghancuran, 5, 18, 26-39,
48n79, 92-93, 130, 273-276, 318-
319, 326, 336; persaingan dengan
pimpinan puncak Angkatan Darat,
218-226, 250-252, 257-263, 266-
273, 294-302, 306-307, 315-316,
349-351; Politbiro CC PKI, 23,
93, 97, 119n32, 128-129,132, 136,
146, 149, 163, 165n11, 174, 182,
202-203, 204, 208-210, 211-213,
214-215, 216-218, 232-233, 235,
242, 246n37&39, 247n44, 306,
320; popularitas, 133, 257, 258,
294-298, 309; populisme, 234-
236, 343; sebagai penjahat dalam
propaganda rezim Suharto, 8-15,
26, 41, 60; sentralisme demokrasi,
199, 216-217, 333, 354; teori dua
aspek kekuasaan negara, 235-236,
248n68; Lih. juga Aidit, D.N.;
Aliarcham, akademi; Harian Rakjat;
Pemuda Rakjat; Biro Chusus; Sjam;
Sudisman
Partai Komunis Irak, 244n16
Partai Komunis Jerman, 39-40
Partai Komunis Korea Utara, 235
Partai Komunis Perancis, 227, 228
Partai Murba. Lih. Murba, Partai
Partai Sosialis, 175-178
Partai Sosialis Indonesia (PSI), 174-
178, 195n8
Pasar Baru, 180
Pasha, Machmud (Kolonel), 355
Pasukan Khusus. Lih. RPKAD
Pasundan, 178
Pathuk, kelompok, 175-178
Pauker, Guy, 99, 262-263, 285n29
peaceful co-existence. Lih. koeksistensi
damai
Peck, Edward, 269
Pekalongan, 181
pembantaian 1965-66, 5, 27-30, 37-
38, 42n3, 50n96&102, 51n105,
157, 274-276, 321; dan masyarakat
Tionghoa Indonesia, 49n95; di
Bali,31-32, 36-37, 49n85&87; di
Jawa Barat, 36; di Jawa Tengah, 31,
385
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
36, 48n79&82, 275; di Jawa Timur,
31-32; ingatan sosial, 29, 34-35,
38-39, 50n97, 293; laporan di luar
negeri, 19, 30-35
Pemuda Rakjat, 66, 94, 147-148, 238,
306, 315, 319
Penas (Pemetaan Nasional), 61, 64,
352, 361n2
pengawal istana. Lih. Cakrabirawa,
Pengkhianatan G-30-S/PKI (fi lm), 10-
11, 28, 142
Penjara Nirbaya, 109
perang dingin, 15-19, 253-254
Peristiwa Madiun, 9, 176, 178, 218,
296
Permesta (Perjuangan Semesta Alam),
174, 187, 190, 234, 255, 261, 265,
279, 285n20
Persatuan Wartawan Asia-Afrika
(PWAA), 220-221, 228
Persatuan Wartawan Indonesia (PWI),
226
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), 266
Phouma, Souvanna, 253
Pintu Besar Selatan, 238
PKI. Lih. Partai Komunis Indonesia
Poirot, Hercule, 24
pembunuhan politik (politicide), 319-
320
Pono (Supono Marsudidjojo), 42n4,
60-61, 69, 72, 96-97, 106, 123,
130-131, 135, 166n24, 169, 174,
180-181, 183-185, 195n1, 198n45,
205, 211, 212, 292, 347, 350, 355
Pope, Allen, 256-257
Pradigdo, Soejono, 97, 129, 194,
198n47
Pramoedya Ananta Toer, 43n14
Pranoto Reksosamodra, 55, 75-76, 80,
82, 88n44, 113, 121n67, 155-157,
160, 168n43, 219, 316, 326, 335-
336, 341n10, 342n15
PRRI (Pemerintah Revolusioner
Republik Indonesia), 174, 187,
189, 190, 234, 247n43, 256, 261,
265, 279, 285n20
Prunier, Gérard, 49n95
Puger, I Gde, 36-37, 49n87
PWAA. Lih. Persatuan Wartawan Asia-
Afrika
Pye, Lucien, 262
Pyongyang, 235
Qasim (Kolonel), 203, 232, 243,
244n16, 294
Rachmat, Basuki (Mayor Jenderal), 76,
88n44, 113, 121n67, 335
Rais, Amien, 41
Ramelan, Utomo, 78
Rand Corporation, 99, 262, 285n29
Rashomon, 24
Reichstag, pembakaran, 39-40
Reston, James, 19
Révolution, 229
Rewang, 136, 209, 212
Rezim Suharto. Lih. Suharto, rezim
Riau, 173
Ricklefs, Merle, 8
Robertson, Walter, 284n3
Rostow, Walt, 262
RPKAD (Resimen Para Komando
Angkatan Darat), 334; dan
pembantaian massal, 36-37, 48n79;
ditempatkan dekat Jakarta, 66, 316;
menyerang G-30-S, 81, 83, 160,
317-318, 327, 336
RRI (Radio Republik Indonesia), 3-4,
6, 20, 21, 25, 35, 52-53, 54, 55, 60,
61, 68-69, 70-72, 76, 77-78, 81,
84n5, 87n35, 146, 158, 203, 314,
317, 326, 331
Rubik, kubus, 115
Rukman, U. (Mayor Jenderal), 75,
386
INDEKS
88n44, 113, 121n67, 219, 335
Rumah Tahanan Militer (RTM), 109,
136, 216-217, 289n80
Rumsfeld, Donald 24, 46n54
Runturambi, F., 209
Rusk, Dean 160, 259
Rwanda, genosida, 38, 49n95
Sabur, M. (Brigadir Jenderal), 85n8,
88n41, 306, 334
Sadli, Muhammad, 263
Saelan, H. Maulwi (Kolonel), 57,
84n8, 85n9
Sakirman, 200-201, 209, 213
Salatiga, 31, 78
Saleh, Chairul, 186, 221, 247n45,
277-278, 289n80, 297, 305
Saleh, Ismail, 85n15, 97-99, 119n23,
151
Sanusi, Anwar, 209, 361
Scheherazade, 193
Schmitt, Carl, 14-15, 44n19-20
Scott, Peter Dale, 45n39, 121n64
Selandia Baru, 269
Semarang, 36, 77-78, 239, 264, 318,
342n19
Seribu Satu Malam (legenda), 193
Serikat Buruh Kapal dan Pelayaran,
177
Serikat Buruh Pelabuhan dan
Pelayaran, 177
Seskoad (Sekolah Staf Komando
Angkatan Darat). Lih. di bawah
Angkatan Darat
Setiawan, Hersri, 245n26
Shaplen, Robert, 34
Siauw Giok Tjhan, 22, 46n45-46, 172,
193, 198n47
Sigit, Agus (Mayor), 166n17, 205, 350
Simbolon (Kolonel), 254-255
Singapura, 265
Siswomihardjo, Soetojo (Brigadir
Jenderal), 55-56, 59-60
Sjahrir, Sutan, 175, 262, 322n11
Sjahroezah, Djohan, 175, 195n12
Sjam (Kamaruzaman), 115, 118n20,
126, 151, 161, 196n26, 203;
eksekusi, 193, 211; kesaksian
di persidangan, 85n15, 97-100,
119n32, 122, 133, 140, 150,
174-175, 179-180, 185-186, 191-
195, 198n45, 200, 204-205, 321,
344-360; latar belakang, 61, 170,
175-179, 190, 196n23, 197n38,
344-346, 360; memilih wakil-wakil
komandan G-30-S, 135, 155,
313; memprakarsai G-30-S, 131-
137, 162-163, 199-200, 205-207,
212-215, 292-294, 303-304, 308,
349-352; mengkhianati kawankawan
lama, 192-193, 198n43,
355; mengubah rencana untuk
dewan-dewan revolusi, 152-155,
313-314, 317; menolak untuk
menghentikan G-30-S, 152-155,
167n37, 312-313, 317-318, 335;
menyamar sebagai usahawan, 180-
184; penangkapan, 97; sebagai
bawahan Aidit, 179, 182, 186-187,
191-192, 199-200, 204, 212-214,
223-224, 273, 292-293, 301, 309-
310, 346, 349-351, 358-359, 361;
sebagai kepala Biro Chusus, 25, 97,
97, 99-100, 131, 162-164, 169,
171, 174-175, 178, 179-195, 344-
355; sebagai orang yang diduga
agen Angkatan Darat, 91, 100, 108-
109, 111-112, 113, 116, 193-194,
197n30; sebagai penghubung antara
Aidit dengan perwira-perwira G-
30-S, 63, 132-133, 212-214, 223-
224, 242-243, 294, 304; sebagai
pimpinan inti G-30-S, 42n4, 60-61,
69, 72, 75, 81, 84, 96-97, 96-97,
387
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
106, 118n19, 123, 129, 130-137,
149, 160, 162-163, 199-200,
205-207, 330, 332-333, 336-337;
sebagai seorang yang intimidatif dan
arogan, 135, 137-139, 141-142,
162, 166n24, 174, 191, 309, 325,
327-328
SOBSI (Sentral Organisasi Buruh
Seluruh Indonesia), 148, 233
Soe Hok Gie, 41, 51n105
Soebandrio, 22, 46n47, 121n65,
164n1, 184, 197n37, 300, 322n9
Soeharto. Lih. Suharto
Soejono (Mayor), 103, 116n1, 125;
alias Pak Djojo, 341n11; bersedia
menghentikan G-30-S, 312-
313, 316-317; interogasi, 98-99;
kesaksian di persidangan, 96,
118n19; membawa Aidit ke Halim,
359; mengikuti kepemimpinan
Sjam, 134, 163, 205, 304, 350;
sebagai komandan Pasukan Pembela
Pangkalan, 60-61, 64-66, 95, 140,
145; sebagai pimpinan inti G-30-S,
42n4, 60-61, 63, 69-70, 72, 123,
130-131, 167n28, 169, 294;
Soejono, Joko, 217
Soekarno. Lih. Sukarno
Suparto (Letnan Kolonel), 58
Soeradi (Kapten), 167n28
Soesanto (Komodor), 75, 88n43,
121n68
Soetarto (Brigadir Jenderal), 197n37
Sokowati (Mayor Jenderal), 55
SOKSI (Sentral Organisasi Karyawan
Sosialis Indonesia), 261
Solo, 77-78, 171, 172, 322n11
Sophiaan, Manai, 166n17,
167n31&37, 197n38, 226, 232
Southwood, Julie, 43n17
Stadion Senayan, 57, 83, 147, 294-
295, 341n3
Stalin, Joseph, 191
Stanvac, 277-278
strategi gaya Gramsci, 261
Subagiyo, 110
Subchan, Z.E., 92
Subekti, Iskandar, 23, 63, 85n17,
119n32, 166n24, 174, 182, 190,
192-193, 194, 208-215, 218, 232-
233, 242, 245n23&31, 246n37,
313
Sucipto (Brigadir Jenderal), 92, 117n4
Sucipto, Munandar, 181, 209
Sudisman, 194, 344, 347; analisis
terhadap G-30-S, 100, 106-107,
115, 199, 200-205, 210, 211,
215-218, 219, 221, 233, 242, 243,
244n17, 245n18, 247n44, 321,
361; pendapat tentang Pardede,
167n35; peran dalam G-30-S,
106-107, 149, 201-202, 204, 208,
212-214, 215-216, 224; sebagai
anggota Dewan Harian Politbiro,
100, 106, 119n32, 209, 319, 360-
361; sebagai penulis utama Kritik
Otokritik Politbiro CC-PKI, 128-
129, 165n11, 216, 244n2, 248n68,
340n2
Sudjono (Brigadir Jenderal), 55
Sugama, Yoga (Kolonel), 92, 99, 161,
265, 286n37, 307
Suganda (Mayor), 355
Sugiarto, 46n43, 130, 323
Sugijono (Letnan Kolonel), 77
Sugiman (Letnan Kolonel), 78
Sugiono, 235
Suharto, dan pembantaian massal,
5, 27-29, 31-38, 319-321; dan
Sukarno, 82-83, 113, 155-156,
316; dan Supardjo, 125, 160-
162, 165n6; di Seskoad, 263-264;
dugaan keterlibatan dalam G-30-
S, 6, 7, 25, 107-114, 251-252,
388
INDEKS
293; kudeta, 4-5, 14-15, 27,
40-42, 276-284, 315-316, 320-
321; mengambilalih komando
Angkatan Darat, 4, 79-82, 156-
157; menyabotase konfrontasi
Malaysia, 161-162, 264-266;
menyembunyikan laporan otopsi,
45n41; menyerang G-30-S, 4,
26-38, 49n94, 78-84, 91-93,
150-151, 157-160, 315-319, 325-
327, 330-332, 334-336, 338-339;
pertemanan dengan Untung dan
Latief, 6, 107-111, 120n51, 157,
293, 307; sebagai panglima Kostrad,
79-80, 109, 157-161, 157-162,
307; sebagai wakil komandan
Kolaga, 86n20, 164n1,264-265;
strategi ekonomi, 277-278
Suharto, Ezy (Letnan Kolonel), 78
Suharto, rezim, hukum darurat, 14-
15, 43n17, 44n19, 283; kejatuhan,
5, 22; pengeramatan G-30-S,
8-14, 26-27, 101, 115, 293;
antikomunisme, 8-15, 41, 43n12,
47n59, 100-101, 130; versi resmi
tentang G-30-S, 5-8, 26, 60,
85n15, 95-101, 107-108, 115, 130,
151-153, 163, 170, 196n19, 293
Suharto, Sigit Harjojudanto, 110
Suherman, 180
Suherman (Kolonel), 70, 77, 102-103
Sujatmiko, Iwan Gardono, 50n97
Sujatno, Anis (Sersan), 59, 61, 63, 75,
88n43, 361n2
Sukardi (Kolonel), 78
Sukarno, dan militer, 53, 218-220;
dan pembantaian massal, 30, 40-
41, 42n3, 50n102; dan PKI, 224,
253-254, 266, 276-277, 295; dan
Suharto, 41, 50n102, 276, 280-
284, 168n51; diculik pada 1945,
304-305; doktrin-doktrin, 10, 12,
40, 47n59, 71, 87n36, 237, 281;
dugaan keterlibatan dalam G-
30-S, 116n1, 246n31; hubungan
dengan Amerika Serikat, 15-16,
253-254, 270-271, 287n54; istriistri,
57, 84n7; kekhawatiran akan
kemungkinan kudeta, 137, 152;
keputusan tentang pemangku
(caretaker) Angkatan Darat, 75-
76, 153-157, 326, 334-335;
menunda pemilu, 168n42, 258,
296-297; pandangan tentang
G-30-S, 5, 47n59, 72-76, 224,
253-254, 267, 294-299, 314-315;
penolakan untuk mendukung G-
30-S, 73-74, 76, 152, 162-163,
312; penyakit, 206-207, 266;
perundingan-perundingan dengan
Supardjo, 72-76, 113, 151-152;
popularitas, 4-5, 27, 250-251,
262-263, 268, 299-300; sebagai
presiden boneka, 40, 283; sikap
antiimperialis, 15-16, 40-41, 353,
277-278, 297; tanggapan terhadap
pemberontakan-pemberontakan
daerah, 255-256; tentangan
terhadap kampanye anti-PKI, 26,
40, 279-280, 280, 299; tindakantindakan
pada 1 Oktober pagi, 56-
59, 72-76, 311;
Sukatno, 242, 306, 315
Sukendro (Brigadir Jenderal Drs.), 267,
280, 285n29, 297; dan kedutaan
besar Amerika Serikat, 286n44,
288n73
Sukirno (Kapten), 56-57, 72, 80-81,
95, 126-127, 317, 336, 341n4
Sukito, Wiratmo, 261
Sukrisno, 175-179, 183, 196n15-
16&23
Sulawesi, 173, 174, 218, 233, 254-
255, 256-257, 279
389
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
Sulzberger, C.L., 33-34
Sumatra, 86n20, 174, 189, 218, 233,
254-256, 257, 265, 279, 286n37,
298-299
Sumatra Barat, 89n49, 247n43, 254-
256
Sumatra Utara, 189, 255
Sumitro (Mayor Jenderal), 32
Sumual (Letnan Kolonel), 255
Sunardi (Kolonel), 68-70, 87n28, 155
Sunda Kecil, kepulauan, 254
Sundhaussen, Ulf, 264
Supardjo, M.A., 25, 45n40&42,
165n2, 341n11&12; analisis
tentang G-30-S, 21, 78, bab 3
passim (122-164), 167n37, 169,
199, 204, 206, 207, 215, 292,
293-294, 303-304, 308, 323-340,
342n18&19; dalam penjara, 136,
190, 198n40, 161; dan Sjam, 132-
133, 163, 179, 188-189, 190-191,
308-309, 355; dan Sudisman, 128-
129, 165n11, 245n18, 340n2; dan
Suharto, 160-162, 164n1, 165n6,
341n7; interogasi, 98-99, 119n26,
341n4; karier militer, 103, 124-125,
127-128, 188-189; kedatangan di
Jakarta, 56, 123-126, 133, 165n7;
kesaksian di persidangan, 45n41,
69, 73-74, 119n26, 126, 128-129,
133, 135, 137, 154, 158, 166n12,
168n46, 179, 282n36; mendesak
perlawanan terhadap Suharto,
144, 157-160, 317; otentisitas
dokumen, 20-21, 46n43, 129-
130, 292, 323; pandangan tentang
Dewan Revolusi, 69-70, 72, 154;
penangkapan, 21; peran dalam
G-30-S, 56-60, 61-65, 80, 81-
82, 84n5, 84, 85n9&13, 88n43,
123-127, 132, 152, 308-309,
311-312, 318; perundinganperundingan
dengan Sukarno, 72-
76, 88n39&44, 113, 121n67-68,
124, 151-152, 163, 312, 315, 352;
sebagai komandan dalam Kolaga,
56, 64, 86n20, 124, 140-141,
164n1; sebagai orang yang dianggap
wakil komandan G-30-S, 20, 68-
69, 81, 124, 135, 155, 202, 313;
sebagai simpatisan PKI, 129, 133-
134, 163-164, 190-191
Supeno, Bambang (Mayor), 56-57, 72,
80-81, 126-127, 336, 341n4
Suprapto, R. (Mayor Jenderal), 55, 59-
60, 143, 267
Surabaya, 110, 175, 345
Suryosumpeno (Brigadir Jenderal), 77,
339, 342n19
Sutley, Stewart, 44n19
Suwandi (Sersan), 63
Suwarno (Kapten), 85n9
Suwarto (Kolonel), 195n8, 263-264,
277, 285n29
Suwarto, Sampir, 194, 198n47
Syukur, Abdul (Kolonel), 285n29
Tanjung Karang, 139, 327
Tanjung Priok, 177-179
Tan Ling Djie, 173
Tan Swie Ling, 167n35, 217
Tendean, Pierre (Letnan), 59-60
Tien, Ibu, 110
Time (majalah), 19, 33
Timor Leste, 49n91, 321
Tiongkok, 15, 35, 46n42, 117n1, 178,
190-191, 196n17, 197n36&38,
197n40, 229-232, 236, 254
Tiongkok-Soviet, konfl ik, 201, 229,
234, 248n56
Tjugito, 96, 118n20
Todorov, Tzvetan, 291
Topping, Seymour, 30-32
Tovar, B. Hugh, 274, 286n45-46,
390
INDEKS
287n61, 289n77
Trikora, kampanye, 111
Trouillot, Michel-Ralph, 37
Tuban, 175
Turki, 203
Uni Soviet, 15, 19, 171, 203, 226,
231, 246n31
Universitas Indonesia, 263
University of California-Berkeley, 262-
263
University of Pittsburgh, 267, 285n29
Untung (Letnan Kolonel), 28, 74,
118n15, 126, 198n40, 341n4;
bersedia menghentikan G-30-S,
154, 205, 312-313, 316-317;
interogasi, 94-95, 98-99, 119n26;
karier militer, 60, 93, 102-103,
111, 125, 306, 309; kesaksian
di persidangan, 69, 73, 87n25,
94-95, 96, 117n12, 119n26;
menandatangani dekrit, 69-72, 314,
317; mengikuti kepemimpinan
Sjam, 133, 163, 205, 350-352;
penangkapan, 94; pertemanan
dengan Suharto, 92, 107-108, 109,
111-113, 114, 120n51, 121n65,
157, 242-243, 293, 307, 317;
sebagai komandan pengawal istana,
4, 53, 57-58, 60, 65, 95, 140, 306,
309, 311, 341n3; sebagai orang
yang diduga komandan G-30-S, 4,
20, 52-53, 57-58, 61, 68-69, 72,
93-94, 124, 131, 149, 236, 240,
306, 309, 310, 313, 360; sebagai
pemimpin inti G-30-S, 42n4, 60-
63, 65, 69, 75, 81, 84, 85n9, 122,
123, 124-125, 128, 130-132, 134-
135, 160, 169, 202, 292, 294, 304,
305, 306-307, 310-311, 324, 326,
330, 332-333, 336-337; tentang
peran PKI dalam G-30-S, 94-95,
96, 117n12
Utoyo, Hadiono Kusuma, 177
Utrecht, Ernst, 116n1
van der Kroef, Justus M., 99, 118n22
Vergès, Jacques, 228-231, 247n54-55
Vietnam, 17-19, 44n32, 45n39, 178,
190, 196n17, 254
Wahab, Bakri, 65
Wahyudi, 239-240
Wahyudi (Kapten), 166n17, 205, 350
Walujo. Lih. Bono
Wandi, 180
Washington Post, 30, 276
Wertheim, W.F., 91, 102, 105, 107-
109, 111-113, 114, 116, 120n51,
165n6, 193-194, 292, 315
Widjanarko, Bambang (Kapten),
116n1
Widoyo, 176
Wieringa, Saskia, 48n81, 148
Wijayasastra, Ruslan, 209, 246n31
Wirahadikusumah, Umar (Mayor
Jenderal), 79, 81, 87n26, 238, 304,
308, 316, 325-326
Yani, Achmad (Letnan Jenderal), 3,
4, 55, 59-60, 73, 75-76, 79, 82,
89n50, 102, 112, 113, 116, 136,
143, 156-157, 162, 165n6, 184,
219-220, 224-225, 226, 250, 252,
257, 259, 260, 263, 264, 265, 265-
266, 271-272, 276, 286n36&45,
296, 300, 301-302, 304, 307, 310,
315, 342n15
Yoga Sugama. Lih. Sugama, Yoga
Yogyakarta, 77-78, 84, 89n47, 110,
114, 150, 172, 175-178, 318,
322n11, 359-360
Žižek, Slavoj, 291