Seorang Perempuan Amerika di Baghdad
Pertama kali aku bertemu Nancy Goodhead adalah ketika pesawat Iraqi Airways, maskapai penerbangan Irak, yang kami tumpangi baru saja mau meninggalkan bandar udara Alia di Amman, Yordania. Waktu itu Desember 1990, beberapa bulan sesudah tentara Irak menyerbu Kuwait, dan kemudian pasukan multinasional yang dipimpin Amerika Serikat sudah mencanangkan serangan ke Irak.
Ribuan orang, termasuk para diplomat dan pekerja asing, meninggalkan Irak untuk menghindari perang. Namun, di bawah bayang-bayang serangan Amerika dan sekutunya, sejumlah orang justru mau masuk ke Irak. Salah satunya adalah aku, sebagai anggota organisasi perdamaian, yang berkepentingan untuk mencegah perang. Mereka yang memilih masuk ke Irak, umumnya hanyalah warga Irak sendiri, petugas PBB, jurnalis, atau aktivis perdamaian dan kemanusiaan.
Dalam antrean, ketika mau memasuki pesawat, kopor Nancy-yang waktu itu belum kukenal-jatuh. Aku membantu mengambilkannya. “Terima kasih,” ujarnya, sambil tersenyum ramah. Ia mengenakan jeans biru, sweater merah jambu, dan jaket kulit hitam. Rambutnya yang panjang sebahu berwarna kecoklatan. Kutaksir, umur perempuan ini sekitar 32 tahun.
“Apakah Anda datang ke Irak, juga sebagai anggota kelompok perdamaian?” ia bertanya.
“Ya. Saya dari Indonesia. Saya tergabung dalam Gulf Peace Team, organisasi perdamaian yang berbasis di London dan didirikan oleh Yusuf Islam. Anda tentu tahu, dulu ketika masih menjadi musisi dunia, namanya Cat Stevens,” sahutku.
“Ah, ya. Tentu saja. Salah satu lagunya sangat saya sukai. Judulnya, kalau tak salah Morning Has Broken, bukan?” tuturnya. “Maaf, saya belum memperkenalkan diri. Nama saya Nancy. Saya tergabung dalam organisasi perdamaian The Coalition for World Peace and Friendship. Ini organisasi Amerika, saya juga orang Amerika. Tetapi, kami menentang perang, sama seperti Anda.”
Ternyata kami dapat tempat duduk bersebelahan di pesawat. Maka, sepanjang penerbangan dari Amman ke Baghdad, ibukota Irak, kami mengobrol tentang banyak hal. Nancy mengaku berasal dari Ohio. Ia pernah menikah, tanpa dikaruniai anak, kemudian bercerai. Ia sudah bergabung dengan organisasi perdamaian dalam beberapa bulan terakhir, sesudah berhenti dari pekerjaannya di sebuah perusahaan perangkat lunak komputer.
Pekerjaan tersebut sebetulnya cocok dengan bidang ilmunya, sebagai lulusan Jurusan Teknologi Informasi di Columbus State University. Nancy berhenti dari pekerjaannya, dengan alasan, “ingin mencari pekerjaan baru yang lebih banyak berinteraksi dengan manusia lain.” Sambil menunggu memperoleh pekerjaan lain, ia ikut aktif di organisasi perdamaian. Menurut Nancy, krisis Irak ini menyentuh perasaannya untuk terlibat lebih dalam, dengan terjun langsung dalam aksi menentang perang.
Tak terasa pesawat kami sampai di Bandara Internasional Saddam, sekitar 25 kilometer dari pusat kota Baghdad. Kabut tipis ditambah udara yang dingin-waktu itu memang sedang musim dingin di Irak-menambah murung suasana. Menurut rencana, kami para aktivis perdamaian akan segera menggelar demo antiperang di Baghdad, dalam dua-tiga hari mendatang.
Dan sebagai puncaknya, kami akan mengadakan kemah perdamaian di perbatasan Irak-Arab Saudi. Ini merupakan aksi simbolis karena para aktivis merelakan diri menjadi “perisai manusia” di antara posisi dua kubu yang mau berperang. Di wilayah Arab Saudi, saat itu telah bercokol puluhan ribu pasukan multinasional yang dipimpin Amerika.
“Ah, selamat datang! Selamat datang di Irak. Mohon maaf atas penyambutan kami yang apa adanya ini,” sambut seorang pria Irak kepada kami, rombongan aktivis perdamaian. Tubuhnya tinggi, dan terkesan atletis. Ia kelihatan tampan, dengan kumis dan alisnya yang tebal. Namun, yang paling mengesankan bagiku adalah sorot matanya yang bening dan polos. Kelihatannya tidak pas dengan postur tubuhnya yang lebih garang.
“Perkenalkan, nama saya Saeed Mursheed al-Majeed. Saya adalah staf dari Departemen Luar Negeri Irak. Saya ditugaskan menjadi pemandu Anda, sekaligus melayani berbagai kebutuhan Anda selama di Irak ini. Mari ikut saya. Mobil sudah menunggu,” ujarnya.
Ada sederetan mobil sedan dan van yang sudah menunggu kami. Aku, Nancy, dan Saeed kebetulan mendapat mobil yang sama. Nancy dan Saeed duduk di kursi depan, aku di belakang. Bersamaku di kursi belakang, aktivis perdamaian asal Jepang, Miyuki Nakajima, dan aktivis asal India, Prabha Jagannatan.
Mobil kami meluncur memasuki kota Baghdad, menyusuri pinggiran Sungai Tigris yang lebar dan indah itu. Jalan yang kami lalui lebar dan mulus. Benar-benar infrastruktur perkotaan yang bagus, yang dibangun dengan uang minyak. Baghdad adalah kota tua. Di masa kejayaannya, ketika Paris dan London masih desa kecil yang tak dikenal, dan Christopher Columbus belum menginjakkan kakinya di benua liar yang sekarang bernama Amerika, Baghdad sudah menjadi kota metropolitan yang makmur.
Kami menuju ke tempat penginapan sementara di Baghdad, sebelum berangkat ke perbatasan Irak-Arab Saudi. Orang terlihat di jalan-jalan. Denyut kehidupan di kota seribu satu malam ini seolah berjalan normal. Namun ketidaknormalan akan terasa, jika kita melihat ke atas. Di beberapa atap gedung kulihat moncong- moncong ZSU-23, senjata anti-serangan udara buatan Rusia, kaliber 23 mm. Senjata-senjata ini menengadah ke langit, seolah-olah tak sabar menyongsong datangnya pesawat-pesawat musuh.
Saeed termasuk pria menyenangkan. Sepanjang perjalanan, ia cepat akrab dengan para tamunya, terutama dengan Nancy. Saeed bercerita tentang macam-macam hal, mulai dari desa asalnya, kuliahnya, karirnya, dan keterlibatannya di tugas ini. Salah satu hal yang ikut mendorong karirnya di Departemen Luar Negeri adalah asal kelahirannya di Desa Tikrit, yang juga tempat kelahiran Presiden Irak Saddam Hussein. Sejauh informasi yang kudengar, Saddam memang menjadikan orang-orang dari kampung halamannya sebagai basis pendukung yang setia.
Sebagaimana layaknya pemuda Irak lain, yang berdedikasi pada karir, Saeed juga jadi anggota Partai Ba’ath. Partai berideologi campuran sosialisme dan nasionalisme Arab ini adalah partai yang berkuasa di Irak. Jadi, Saeed memang di jalur karir yang tepat. Sayangnya, lulusan Jurusan Sosiologi Universitas Baghdad ini belum menikah, meski umurnya kuduga sudah 35 tahun. Katanya sambil tertawa, “Belum menemukan calon pendamping yang cocok.”
“Apakah calon pendamping Anda harus orang Irak? Atau orang Arab?” cetus Nancy.
“Oh, tidak. Saya bilang, pendamping yang cocok. Artinya, bisa orang dari mana saja,” sahut Saeed. Lalu ia melanjutkan, setengah menggoda, “Mengapa Anda bertanya begitu? Apakah Anda punya calon untuk saya?”
Nancy tersenyum. “Pertanyaan itu belum bisa saya jawab sekarang.”
Begitulah, sejak awal perkenalan Nancy dan Saeed, aku sudah melihat tanda-tanda ke arahnya mendekatnya hubungan antara mereka. Proses ini pun berlanjut. Sore itu, ketika kami sudah tiba di penginapan dan bersiap untuk perjalanan ke perbatasan besoknya, aku beberapa kali memergoki Nancy dan Saeed sedang mengobrol berdua.
Pada malam harinya, aku, Miyuki dan Prabha mengisi waktu dengan berjalan-jalan di pinggiran Sungai Tigris. Di sebuah restoran ikan bakar di pinggir sungai, kami sekali lagi bertemu Saeed dan Nancy. Keduanya menyapa kami dengan ramah, dan mengajak kami bergabung. Kami pun bergabung, dan jadilah malam itu malam yang akrab untuk kami semua. Sambil menyantap ikan bakar, di bawah kerlap-kerlip bintang di langit kota Baghdad, untuk sesaat kami lupa bahwa perang siap pecah kapan saja.
Saeed dan Nancy berasal dari dua negara yang sedang berperang. Tetapi, hubungan antara mereka adalah sesuatu yang kupikir lebih mendasar, hubungan antara laki-laki dan perempuan. Ini soal perasaan, soal kebutuhan manusia. Tidak ada hubungannya dengan politik antarnegara. Setidaknya itulah yang kulihat waktu itu. Aura Baghdad, kota kuno yang pernah menjadi pusat kekhalifahan dinasti Abbasiyah ini, tampaknya memberi romantisme tersendiri.
Hari berikutnya, karena kebersamaan dalam kegiatan kelompok perdamaian, aku makin akrab dengan rekan-rekan lain di kelompok ini, termasuk tentunya dengan Nancy dan Saeed, yang sebetulnya bukan anggota tim perdamaian. Kami melakukan aksi unjuk rasa anti-perang di Baghdad, bersama kelompok pelajar sekolah menengah Irak. Lalu malam harinya, ada acara meditasi bersama untuk perdamaian, yang dipimpin Yunichiro Miyazawa, seorang pendeta Shinto dari Jepang.
Esok paginya, kami berangkat ke perbatasan Irak-Arab Saudi, untuk mendirikan kemah perdamaian. Namun, kami hanya sempat seminggu tinggal di situ, karena Pemerintah Irak lalu memulangkan kami semua ke Baghdad. Alasannya, perang tampaknya akan segera pecah. Pemerintah Irak khawatir kami akan menjadi korban, dan Pemerintah Baghdad tak ingin disalahkan karena hal-hal tersebut.
Tiga hari kemudian, perang memang betul-betul pecah. Malam itu langit kota Baghdad memerah. Sejumlah gedung pemerintahan meledak dan terbakar, ketika bom-bom dari pesawat koalisi pimpinan Amerika mulai berjatuhan. Suara sirene tanda bahaya meraung- raung, diselingi rentetan tembakan dari artileri dan senjata anti-serangan udara Irak.
Misi perdamaian kami gagal. Aku memutuskan pulang ke Indonesia karena praktis tak ada lagi yang bisa kulakukan. Prabha dan Miyuki jua punya pikiran serupa. Sedangkan Nancy mengatakan, masih akan tinggal beberapa hari lagi di Baghdad. Ia tak mengatakan alasannya, tapi kuduga karena ia tak ingin cepat-cepat berpisah dari Saeed.
Esoknya, aku, Miyuki dan Prabha pulang dengan jalan darat ke Amman, Yordania, karena semua penerbangan ke dan dari Irak sudah ditutup. Saeed dan Nancy mengantar kami sampai taksi yang kami carter. Sebelum berpisah, kami berjanji untuk tetap saling kontak. Saeed dan Nancy melambai, ketika taksi kami melaju meninggalkan tempat penginapan.
Aku tak banyak mendengar kabar lagi tentang Saeed dan Nancy sesudah itu. Tetapi, kemudian kudengar kabar dari Miyuki, yang sering mengirim e-mail kepadaku bahwa setahun sesudah berakhirnya Perang Teluk, persisnya tahun 1992, Nancy dan Saeed menikah di Baghdad. Saeed tetap bekerja di Deplu Irak. Karirnya makin menanjak. Sedangkan Nancy kemudian bekerja di sebuah badan PBB, yang mengurusi program bantuan pangan untuk Irak.
Aku baru bertemu Saeed lagi tahun 1999. Ia sedang mengunjungi Kedutaan Besar Irak di Jakarta dalam suatu tugas dari kantornya. Saeed meneleponku dan kami pun bertemu di sebuah restoran makanan Arab di Jalan Raden Saleh. Sambil menyantap kebab, kami mengobrol tentang masa lalu, ketika perang tahun 1991. Tetapi, yang lebih ingin kuketahui adalah kabar tentang Nancy, istri Saeed sekarang.
“Aku minta maaf, Rio, tidak memberi kabar padamu tentang pernikahan kami waktu itu. Semua berlangsung begitu cepat, dan aksesku keluar juga sangat sempit. Untunglah, Nancy masih menjaga kontak dengan Miyuki sehingga kaupun akhirnya tahu tentang pernikahan kami,” tutur Saeed. Ia tampak sedikit lebih tua, tapi senyumnya masih ramah seperti Saeed yang kukenal dulu. Namun, senyumnya kali ini tidak betul-betul lepas, seperti ada yang mengganjal.
Dari obrolan berikutnya, aku membaca keprihatinan Saeed. Ini berkait dengan Nancy. Selama ini tidak ada persoalan serius di antara mereka, kecuali satu: soal anak. Nancy tidak mau atau belum mau punya anak. Menurut penuturan Saeed, alasan yang dikeluarkan Nancy macam-macam. Mulai dari kesibukan di karir dan pekerjaan, yang membuatnya terlalu lelah dan tak punya waktu mengurus anak, serta berbagai alasan lain.
Alasan ini tak bisa dipahami Saeed. Malah bisa dikatakan, sejak awal menjalin hubungan, ia tidak pernah memperkirakan masalah ini akan muncul di antara mereka. Sebaliknya, dari sisi Saeed, sebagai seorang pria Arab yang sudah berkeluarga, masalah anak dan keturunan ini sangat penting. Ia mengaku tetap mencintai Nancy, tetapi soal anak ini merenggangkan hubungan mereka. Saeed masih berusaha mempertahankan perkawinan ini, dengan harapan cepat atau lambat Nancy akan berubah pikiran.
“Itulah, Rio. Sayang, aku tak bisa tinggal lama di Jakarta. Kontaklah aku kalau kau mau ke Baghdad. Meskipun Irak masih menderita akibat embargo PBB, kondisi Baghdad sekarang sudah lebih baik. Berbagai kerusakan akibat pemboman Amerika tahun 1991 sudah diperbaiki. Kita akan makan ikan bakar di pinggir sungai Tigris, seperti dulu lagi,” ujarnya. Itulah ucapan Saeed terakhir yang kuingat, sebelum ia pulang kembali ke negerinya.
Sesudah itu, karena kesibukan masing-masing, aku jarang berkontak lagi dengan Saeed. Sekali dua kali, aku menerima kiriman surat atau kartu posnya. Aku tak pernah membayangkan, kenangan akan Nancy dan Saeed akan muncul lagi justru dalam situasi yang sangat buruk, setelah Amerika dan Inggris mengagresi Irak, Maret 2003. Ketika televisi menayangkan gambar gedung-gedung kota Baghdad, yang hancur dan terbakar, akibat dibombardir secara membabi-buta oleh mesin militer canggih Amerika, aku hanya bisa bertanya: Di mana Saeed dan Nancy? Bagaimana kabar mereka? Apakah mereka selamat?
Aku sempat bertanya ke Kedutaan Irak di Jakarta, tetapi pejabat di sana hanya bisa angkat bahu, karena kontak dengan pemerintah di Baghdad sudah terputus. Bahkan, apakah masih ada pemerintahan yang efektif di Baghdad, juga tanda tanya besar. Secara tak terduga, kabar tentang Nancy dan Saeed justru kuperoleh dari Ahmad Walid, temanku dan reporter Trans TV yang bertugas meliput agresi Amerika-Inggris di Irak. Ahmad mengenalku, sejak secara intensif meliput gerakan antiperang dan beberapa kali mewawancaraiku.
“Mas Rio yang baik,” begitu awal pesan e-mail yang dikirimkan Ahmad untukku. “Ketika meliput di Baghdad, saya sempat bertemu seorang pejabat Deplu Irak. Namanya Saeed Mursheed al-Majeed. Ketika ia tahu saya jurnalis dari Indonesia, ia langsung bertanya, apakah saya kenal Mas Rio. Ia sangat gembira, ketika saya katakan bahwa saya berteman dengan Anda. Maka, ia minta izin, menulis pesan pribadi buat Mas Rio. Untuk menjaga hubungan baik, saya membolehkannya meminjam notebook saya, buat menulis surat. Surat itu saya sampaikan ke Mas Rio, dalam attachment file di bawah ini.”
Kubuka attachment file dalam e-mail Ahmad itu. Dan kukenali baris-baris kalimat yang ditulis Saeed. Aku merasa napasku jadi sesak. “Rio, aku tak tahu, dosa apa yang telah kuperbuat sehingga aku harus mengalami semua ini. Mungkin kau juga memantau berita tentang perang di Irak, bahwa 10 hari lalu, televisi Irak menayangkan gambar sejumlah warga, yang dituduh bekerja sebagai mata-mata Badan Intelijen Pusat Amerika, CIA. Satu hal yang tidak disampaikan di berita itu adalah dinas intelijen Irak juga telah menangkap Nancy! Ya, Nancy! Kau tidak percaya, bukan? Demi Allah, aku pun tak bisa percaya.”
Kuteruskan membaca. “Tapi Mukhabarat atau pihak intelijen Irak menunjukkan bukti alat-alat telekomunikasi, yang ditemukan di tempat tersembunyi, di tempat penginapan Nancy di Basra. Karena sering bertugas jauh di luar kota Baghdad, Nancy memang mengontrak sebuah rumah untuk tempat tinggalnya di sana. Aku tak pernah tahu soal alat-alat telekomunikasi itu. Gara-gara itu, aku pun diinterogasi Mukhabarat selama dua hari berturut-turut. Syukurlah, sejauh ini mereka percaya, aku tak terlibat dan tak tahu-menahu sama sekali dengan urusan alat telekomunikasi itu.”
“Namun, yang paling membuatku khawatir dan sedih, mereka membawa Nancy. Aku tak tahu di mana Nancy sekarang, dan bagaimana nasibnya. Tetapi sekarang aku mengerti satu hal, yang selama ini mengganggu perkawinan kami. Kalau betul, Nancy adalah agen CIA, semuanya menjadi jelas. Ia menikahiku karena aku adalah anggota Partai Ba’ath dan berprospek menjadi pejabat tinggi di Kementerian Luar Negeri Irak. Tanpa kusadari, aku menjadi sumber informasi tangan pertama, tentang apa yang berlangsung di dalam pemerintahan Saddam Hussein.”
“Namun entah kenapa, apapun niat awalnya menjalin hubungan denganku, aku percaya, Nancy benar-benar mencintaiku atau mulai benar-benar mencintaiku. Dan ia sadar, ia tengah berperang dengan perasaannya sendiri. Nancy tahu, kehadiran seorang anak akan makin memperumit situasi yang ia hadapi. Karena hati kecil dan nalurinya sebagai seorang ibu, pasti akan cenderung mengikatnya pada keluarga dan suami. Di sisi lain, kehadiran anak sudah pasti akan mengganggu tugasnya sebagai agen.”
“Itulah yang kualami, temanku. Perang terus berkecamuk di Irak. Negeriku hancur, dan kehidupanku pun hancur. Dengan menceritakan ini padamu, aku tidak mengharapkan apa-apa. Aku hanya sedikit ingin melegakan hatiku yang galau ini. Aku tak tahu, mesti bercerita pada siapa lagi karena makin sedikit orang yang bisa menjadi tempat mencurahkan isi hati di Baghdad ini. Dan, mereka pun tak punya waktu untuk mendengarkan kisahku karena di bawah bayang-bayang kematian dan hujan bom dari pesawat-pesawat Amerika, setiap orang di Baghdad ini memiliki kisah sedih sendiri-sendiri… Salam dari Baghdad. Temanmu selamanya, Saeed.”
Itulah pesan terakhir yang kuterima dari Saeed. Kira-kira seminggu kemudian, aku kembali menerima e-mail dari Ahmad Walid. Isinya singkat: “Mas Rio, saya ingin menyampaikan berita duka. Kemarin malam, sebuah bom Amerika menghancurkan gedung Deplu Irak jadi puing-puing. Sebelas orang tewas dan 36 lainnya luka-luka akibat bom berkekuatan besar itu. Sebagian besar korban adalah warga sipil, dan salah satu yang tewas adalah teman Anda, Saeed…”
Ah, betapa anehnya permainan nasib ini. Aku hanya bisa tercenung dan bersedih untuk Saeed. Namun, betapa pun tragisnya, nasib Saeed sudah jelas. Sedangkan tentang Nancy, masih belum jelas. Hanya sebuah berita yang samar-samar, pernah kudengar dari laporan Owen Lazenby, seorang wartawan televisi BBC di Irak. Katanya, Nancy termasuk salah satu warga asing, yang diselamatkan oleh pasukah khusus Amerika. Ketika itu, mereka menyerbu sebuah rumah sakit di kota Nasiriyah, Irak Selatan, untuk membebaskan enam tentara Amerika yang ditawan, dan secara tak terduga menemukan Nancy di sana.
Aku tak pernah lagi mendengar kabar tentang Nancy, setelah itu. Mungkin, lebih baik begitu. Karena aku tak tahu, apa yang harus kukatakan atau kulakukan kalau bertemu lagi dengannya. Kebenaran tentang Nancy yang betul-betul kuyakini cuma satu. Seorang perempuan Amerika yang pernah kukenal di Baghdad.
Depok II Tengah, April 2003
Karya: Ipong PS
Satrio Arismunandar
Showing posts with label Juli 2003. Show all posts
Showing posts with label Juli 2003. Show all posts
Sunday 20 February 2011
Sisa Badai di Sepasang Mata
Sisa Badai di Sepasang Mata
Setiap kali aku menatap matanya, aku merasa melihat tanah-tanah kuburan tua, seperti melihat ladang-ladang yang terbakar dalam senja, mengingatkanku pada pantai murung dengan onggokan kapal rusak dan lelah. Ada badai yang selesai bertiup di matanya, dan kemudian diam selamanya. Puing-puing dan segala yang berserpih adalah matanya yang sekarang, mata seusai badai menerpa. Dan ternyata tidak sederhana bagiku, setiap kali aku sendiri di malam hari, aku merasa sepasang matanya menyergap dan menikamku dari balik gelap sana. Aku seperti dihisap dan digulung ke dalam badai yang telah selesai bertiup di matanya.
Aku tidak ingin tahu namanya. Aku tidak ingin tahu cerita tentangnya. Aku sungguh tidak ingin menambah teror yang sudah merayap di tengkukku hanya lantaran sepasang matanya. Orang-orang di kampung ini pun sepertinya tidak memasukkan orang pemilik sepasang mata yang misterius itu dalam kehidupan mereka sehari-hari. Tidak ada yang bercerita tentangnya. Ia tidak ada pada setiap hajatan dan upacara kematian. Ia tidak ada di warung kopi dan pos ronda. Ia mungkin juga tidak tercatat sebagai warga kampung ini, tidak direcoki oleh kewajiban membayar berbagai pajak-sekalipun ia tinggal di sebuah rumah dan punya dua ekor sapi-dan aku sangat yakin dia tidak pernah ikut pemilu.
Tapi bagaimana mungkin aku tidak memikirkannya? Bukan karena aku sudah merasa terteror dengan sepasang matanya. Tapi aku sekarang tinggal tepat di depan rumahnya! Aku datang kurang lebih empat bulan yang lalu di kampung ini untuk keperluan penelitian. Dan, oleh seorang kenalan kemudian aku mendapatkan sebuah rumah kecil yang bisa kutempati dengan biaya yang sangat murah. Rumah kecil tepat di depan rumah sepasang mata yang penuh dengan teror itu.
Pada malam ketiga setelah kedatanganku, aku bertemu dengannya. Tiga hari dan dua malam setelah kedatanganku kuhabiskan dengan menata dan membersihkan rumah yang kutinggali. Malamnya tentu saja aku sangat lalah dan kupakai untuk istirahat. Baru pada malam ketiga, aku keluar untuk bersilaturahmi dengan tetangga kiri-kanan. Tapi aku urung mengetuk pintu rumah di depan rumah yang kutinggal karena gelap tidak berlampu. Aku berpikir untuk mengunjunginya besok pagi saja.
Dan kemudian aku menuju ke rumah kenalanku satu-satunya, lalu kami berdua pergi ke sebuah warung kopi yang cukup ramai. Di sana kenalanku bertambah banyak, apalagi setelah saling bersulang arak. Saat aku pulang, dengan kepala yang begitu berat, aku melihatnya. Saat itu, ketika aku hendak membuka pintu rumahku, aku merasa ada yang mengawasiku. Lalu aku menoleh ke belakang, namun tidak kudapati siapa pun. Gelap ada di mana-mana. Hanya beberapa kelip lampu yang menerobos dari dinding kayu tetangga kiri-kananku, dan lampu redup yang menyala di pagar rumah yang kutinggali. Dan, ketika aku hendak melangkah masuk, aku tetap merasa ada yang mengawasiku. Lalu kuputuskan untuk keluar lagi, dan kuedarkan pandangku sekalipun segalanya tampak lamur karena bersloki-sloki arak. Dan kudapati sepasang mata itu. Aku mendapatinya dari pendar lampu di dekat pagar rumahku.
Awalnya aku tidak yakin bahwa itu sepasang mata. Tapi memang kutangkap bayang-bayang tubuh yang sedang berdiri di pintu rumahnya yang gelap. Dan kemudian baru kuyakini bahwa itu sepasang mata. Aku mencoba tersenyum dan ingin menghampirinya. Tapi entah kenapa, langkah kakiku seperti tertahan. Sepasang mata orang itu seperti menjelma menjadi tembok kokoh yang menahanku untuk maju mendekatinya. Sepasang mata seperti bolam susu yang kotor karena debu, sepasang mata yang usai dari badai, sepasang mata yang melempar teror dengan cara asing dan semena-mena.
Aku hanya bisa membalikkan tubuh, menutup pintu. Senyum yang kulemparkan bukan hanya sia-sia, senyum yang kulemparkan balik dengan kekuatan ganda melabrakku penuh beda rasa. Aku pikir, aku bukan seorang penakut. Tapi begitu kututup pintu, menguncinya, aku merasa tatap mata orang itu masih terus lekat di tubuhku, seperti mengintaiku dari balik dinding-dinding kayu, dari lubang ventilasi, bahkan ketika aku mencoba tidur, aku merasa sepasang matanya terus menyorotku dari segala benda yang mencipta ruang-ruang gelapnya; dari lubang kunci, dari sela-sela buku, dari atap dan di bawah dipan yang kutiduri.
Aku baru saja tidur ketika hari mulai pagi. Dan semenjak itu, aku hanya bisa tidur ketika sudah ada sinar matahari. Aku sudah mencobanya dengan mengganti bolam di kamarku dengan yang lebih terang, dan aku mencoba tidur dengan lampu yang menyala terang itu. Tapi sungguh sia-sia. Aku justru merasa seperti ada di sebuah akuarium, dan sepasang mata itu terus melihatku dengan begitu leluasa.
Di siang hari, aku merasa tak ada gangguan dengan sepasang mata itu. Siang hari, ketika aku bangun dari tidur yang kumulai di pagi hari, aku bisa mendapati rumah di depan sebuah rumah yang biasa saja. Di sekelilingnya tumbuh beberapa pohon buah- buahan. Di sampingnya agak jarak, aku melihat sebuah kandang dengan dua ekor sapi. Di sekeliling kandang itu tumbuh subur pohon-pohon pisang dan sayur-sayur. Aku melihat laki- laki itu pulang pada senja hari dengan sekeranjang penuh rumput di atas kepalanya, cangkul dan sabit, juga lintingan rokok besar di tangannya. Tapi sepasang mata yang penuh teror itu selalu tak bisa terlihat. Aku pikir mungkin karena ada topi lusuh yang bertengger di kepalanya, juga keranjang penuh rumput yang di sana-sini rumputnya jatuh di kepala dan punggungnya. Tapi kemudian aku benar-benar menyerah. Dari berbagai arah, berkali-kali pada saat bertemu dengannya di siang hari, aku tetap tak bisa melihat sepasang matanya. Aku ingin menantang tatapan matanya di siang hari. Mata yang membuat malam-malamku menjadi resah dan menakutkan.
Ia dan sepasang matanya berkuasa padaku di malam hari. Pernah pada niat yang begitu bulat, kukerahkan dan kukumpulkan segenap keberanianku untuk menemaninya di malam hari. Tapi sekali lagi entah karena apa, aku hanya bisa sampai pada pagar hidup rumahnya. Rumah yang masih tetap gelap. Aku melewatinya berkali-kali dengan perasaan tak menentu.
Akhirnya kuputuskan untuk menemui kenalan-kenalanku di warung kopi sambil minum arak, berusaha melupakan kebulatan tekatku yang tidak menghasilkan apa-apa. Dan peristiwa yang makin memojokkanku datang di malam itu. Aku merasa ingin kencing, lalu aku keluar dari warung menuju arah jalan yang agak sepi untuk kencing. Sebetulnya begitu keluar dari warung, aku merasa malam segera menyambutku dengan tusukan sepasang mata yang ada di mana-mana, ada di balik setiap gelap. Tapi aku mencoba tidak peduli, juga karena aku memang harus kencing.
Namun tiba-tiba langkahku terhenti, di dekat sebuah satu tiang listrik, yang lampunya di sekitarnya menyala redup, aku melihat sosok itu. Dan aku menatap matanya dengan cukup jelas saat itu. Mata yang seperti selesai namun maih menyimpan sisa badai. Aku gemetar. Tubuhku dingin namun mengeluarkan keringat. Suaraku seperti hilang, dan aku seperti tak punya napas. Seluruh kulit di tubuhku tiba-tiba bergerak sendiri. Aku hampir dihabisi oleh ketakutan yang terkutuk. Lalu kulihat kemudian ia pergi, melenggang dengan langkah-langkah pendek dan nyala api dari tangannya. Api lintingan rokok yang besar. Beberapa saat kemudian, aku merasa sangat malu pada diriku sendiri.
Segera aku diburu oleh rasa marah yang sangat pada diriku, dan balik ke warung kopi, minum bersloki-sloki arak, lalu kupinjam parang dari pemilik warung. Beberapa orang agak heran, tapi kemudian aku bisa berdalih. Dengan tubuh yang menahan marah aku melangkah menuju rumahnya. Aku masukkan parang di balik jaketku, setelah aku sadar betapa memalukannya diriku. Apa salahnya padaku? Kenapa aku bisa begitu terganggu dan ketakutan? Tapi aku tetap melangkah menuju rumahnya. Apapun yang terjadi, aku harus bicara dengannya, paling tidak berkenalan, dan aku ingin memastikan bahwa sepasang mata itu sesungguhnya tidak penuh dengan teror. Tapi jika kemudian memang marabahaya yang ditawarkannya, aku meraba gagang parang di balik jaketku, seperti meraba kemungkinanku untuk mempertahankan diri.
Dan kudapati ia di depan pintu rumahnya, masih dengan nyala rokok yang jika dihisap menjadi bertambah nyalanya, dan sepasang matanya semakin terlihat mengerikan. Aku tetap hanya bisa tertegun di pagar hidup rumahnya. Kami berdua hanya dibatasi dengan pagar hidup pohon beluntas setinggi perutku , dan beberapa meter kemudian tubuhnya bersandar pada salah satu sisi pintu yang terbuka, seperti menungguku. Aku habis kata dan keberanian. Aku tetap mendapati sepasang matanya sebagai teror menakutkan. Sangat menakutkan. Aku berbalik arah, dan seiring dengan pengaruh arak yang merayap turun, aku semakin dirundung takut yang menyesakkan. Sampai pagi tiba.
Sebulan sekali, aku ke kota untuk berkonsultasi dengan peneliti seniorku. Dan pada saat yang agak jauh dari kampung itu, dari sepasang mata itu, aku bisa berpikir dengan agak jernih. Itu sepasang mata orang yang telah mati, mata yang keruh. Tapi kenapa di tubuh yang tegap dan hidup bisa memiliki mata orang yang telah mati? Dan mengapa itu hanya terjadi di malam hari? Atau baiklah, aku tidak bisa mengatakan itu hanya terjadi di malam hari, sebab aku tidak pernah melihat matanya di siang hari.
Tapi menurutku pertanyaan itu bisa kuganti dengan: mengapa aku merasa ada sepasang matanya yang menakutkan itu, hanya menerorku di malam hari? Mungkin banyak orang akan menjawab, mereka mengira aku takut hantu dan sejenisnya, yang selalu hadir di malam hari. Itulah masalahnya. Aku tidak pernah percaya hantu, dan malam hari bukan sesuatu yang selama ini menakutkan. Aku hanya takut pada dua hal selama ini: kecoa dan ulat bulu.
Lalu sesungguhnya apa yang menakutkanku, sehingga aku harus tidak nyaman tidur, tidak leluasa berpergian ketika malam, dan beberapa kali gemetar tak karuan ketika bertatapan mata dengan bertemu dengan orang itu? Dan lalu muncul keinginan-keinginan untuk tahu siapa pemilik sepasang mata itu.
Tapi setiap kali aku balik lagi ke kampung itu, segala keingintahuanku tiba-tiba lenyap, bahkan aku tidak ingin mengerti dan tahu apa-apa tentang orang tersebut. Tiba-tiba aku seperti berada dalam sebuah situasi dimana pemilik sepasang mata yang menerorku itu tidak pernah ada di kampung itu. Tidak pernah ada orang yang membicarakannya, menyebut namanya. Dan aku merasa bahwa memang sepasang mata yang seperti orang yang telah mati itu memang hanya untukku dan itu hanya ada di malam hari. Selalu saja, jika aku ada di kampung itu, aku selalu merasa seperti tidak perlu dan tidak butuh semacam latar belakang dan cerita tentang laki-laki itu. Aku tidak ingin menambah derajat ketakutanku. Biarlah dia hadir dengan sorot matanya ketika malam. Toh aku tidak selamanya ada di sana.
Tapi pada saat jauh dari kampung dan orang itu, selalu saja aku dirundung tanya dengan begitu saja. Umur laki-laki itu kira-kira seumur dengan pamanku, lima tahun lebih muda dari ayahku. Tubuhnya gempal berisi dengan kulit yang agak gelap terbakar matahari. Tidak pernah kulihat beralas kaki. Selalu melangkah dalam langkah-langkah pendek dan mantap. Benar-benar tubuh orang hidup. Tapi sepasang matanya….
Suatu saat, dalam sebuah perjalanan balik menuju ke kampung itu, aku berhenti di kota kecil. Dari kota itu ke kampung yang hendak kutuju masih berkisar satu setengah jam masuk ke dalam bebukitan penuh ladang naik angkutan yang sehari paling hanya ada tiga atau empat kali dalam sehari. Aku berhenti untuk berbelanja beberapa kebutuhanku yang lupa kubeli. Selesai berbelanja, sambil menunggu angkutan, aku masuk ke sebuah warung untuk makan siang. Begitu masuk, entah mengapa, perhatianku langsung tertuju pada seseorang berbaju dan bercelana hitam, baju dan celana yang komprang dan warna hitamnya mulai pudar.
Aku duduk di sampingnya. Kuperhatikan lagi orang di sampingku. Cukup tua. Kutangkap keriput di wajahnya. Hampir semua kumisnya berwarna putih. Ia memakai ikat kepala dari kain. Diam. Asyik dengan rokok dan secangkir kopinya yang hampir tandas.
Ia menoleh padaku, melempar senyum. “Mau ke Dalam, Anak?” tanyanya sambil menggeser tubuhnya, memberiku tempat agak leluasa.
Aku mengangguk. ‘Dalam’ adalah istilah untuk menyebut daerah yang kutuju. Lalu aku memesan kopi dan makan.
“Saya juga mau ke sana.”
Aku merasa agak lega. Setidaknya aku merasa ada teman menuju satu tujuan. Sebab kadang-kadang memang tidak ada angkutan yang pasti ke sana. Aku berharap, dalam hari yang masih siang seperti itu, masih ada sisa angkutan ke Dalam.
“Bapak berasal dari sana?”
“Dulu. Tapi sudah lama saya keluar dari sana.”
Aku meneruskan makan, dan berharap tidak mengganggunya dengan pertanyaan-pertanyaan yang sepertinya enggan di jawab. Ia nampak masih asyik dengan kopi dan rokoknya.
Sudah beberapa saat kami berdua menunggu. Tapi angkutan menuju Dalam tak juga muncul. Lalu kami putuskan untuk menunggu tepat di jalan menuju Dalam, siapa tahu ada mobil maupun truk yang lewat dan kami bisa numpang. Hari berangkat menuju sore.
Di sebuah rumah-rumahan yang mungkin bekas warung makan sederhana, kami menunggu. Kami tidak banyak bercakap. Laki-laki itu lebih sering memunggungiku, menebarkan pandangnya ke lanskap, ke arah Dalam, yang dari jauh terlihat hanya sebagai bebukitan.
“Waktu aku kecil, Dalam adalah hutan yang menghijau.” Laki-laki itu berucap, tapi tidak seperti ditujukan padaku, sedangkan ia masih juga memunggungiku.
“Bapak pernah tinggal di sana?”
“Hanya beberapa keluarga yang tinggal di sana. Kami hidup dari hutan. Lalu datanglah orang-orang itu, orang-orang yang mengaku berpendidikan. Mereka membangun kompleks perumahan untuk orang-orang yang mengelola hutan. Lalu satu per satu kemudian, ada sekolahan, ada tempat ibadah, ada tanah lapang. Dalam beberapa tahun, banyak sekali orang yang datang. Tiba-tiba kami punya pasar, balai desa, jalan diperlebar, angkutan dan mobil melintas. Membawa yang baru, dan membawa pergi apa-apa yang dulu kami hormati dan junjung tinggi.”
Laki-laki itu membalikkan tubuhnya, dan kulihat wajah yang mengeruh. Murung.
“Mau tidak mau kami masuk dalam kehidupan mereka. Anak-anak dari keluarga kami bersekolah, hutan dan alam adalah uang. Listrik masuk. Tidak terlalu ada beda antara siang dan malam. Ikan-ikan di sungai menyusut, binatang-binatang hutan langka. Hutan-hutan diatur dan dipetak-petak. Kami tidak bisa leluasa lagi keluar masuk hutan, mendapatkan apa yang kami butuhkan. Mereka menjaga hutan seperti menjaga barang perhiasan. Mereka membawa senapan yang siap ditembakkan bagi penebangan-penebangan. Tetap saja ada kayu yang hilang, yang tidak mungkin kami lakukan. Orang-orang kekurangan uang yang melakukannya, dan mereka mendiamkannya, bahkan ada yang diam-diam dari mereka sengaja melindungi dan membantu menjualnya.”
Ia berhenti sejenak, melinting rokok dalam ukuran besar, mengingatkanku pada orang bermata teror.
“Mereka bilang akan mengelola hutan dengan baik, tapi itu semua bolong. Diam-diam di antara mereka sendiri telah mencurinya. Mereka tidak benar-benar menjaga alam. Orang-orang yang dulu menggantungkan hidupnya dari hutan diajari bertani dengan sistem tumpang sari, tapi kebutuhan yang diajarkan mereka datang lebih cepat dan besar.
Kami berubah dengan merasa semakin miskin. Tiba-tiba kami ingin punya televisi, ingin punya sepeda motor, dan hasil dari pertanian seperti itu tidak memungkinkan. Lalu di antara kami yang menebangnya, menjual dengan diam-diam ke orang- orang mereka. Tetap juga mereka yang kaya. Yang menebang yang kena resikonya, tapi mendapatkan hasil yang tidak seberapa. Jika ada pemeriksaan dari pusat, kami yang kena. Rumah-rumah kami digeledah, atau saat kami menebang, mereka datang bersenjata dan menangkapi kami. Harus tetap ada yang dianggap mencuri, sekalipun hasil terbesarnya ada pada mereka sendiri.”
Orang tua itu membalikkan tubuhnya lagi, memandang Dalam dari kejauhan. Senja mulai jatuh.
“Sekarang, hutan itu habis. Terbukti mereka tidak bisa menjaganya, sebab mereka sendiri yang mencurinya. Memang ada beberapa di antara kami yang menebangnya, itu karena kebutuhan yang mereka ajarkan. Anak-anak kami yang merengek minta sepeda dan mobil-mobilan. Perempuan-perempuan kami harus ikut arisan, rapat, pengajian. Semua itu artinya uang. Itu pun tidak seberapa yang kami dapatkan, dibanding dengan yang mereka dapatkan. Sebentar lagi, bukit-bukit itu juga akan rata dengan tanah. Setelah tidak ada kayu, mereka akan mengambil tanah dan batu.”
Aku terperanjat seperti diingatkan. Dengan cepat kuraba tas punggung yang ada di samping dudukku. Tas berisi berkas-berkas penelitian tentang kandungan tanah dan batu di daerah Dalam.
Senja beranjak gelap. Orang tua itu membalikkan tubuhnya. Tiba-tiba aku merasa gemetar. Aku mencari-cari sesuatu, dan pandangku berhenti pada sepasang matanya. Sepasang mata itu! *
Puthut EA
Setiap kali aku menatap matanya, aku merasa melihat tanah-tanah kuburan tua, seperti melihat ladang-ladang yang terbakar dalam senja, mengingatkanku pada pantai murung dengan onggokan kapal rusak dan lelah. Ada badai yang selesai bertiup di matanya, dan kemudian diam selamanya. Puing-puing dan segala yang berserpih adalah matanya yang sekarang, mata seusai badai menerpa. Dan ternyata tidak sederhana bagiku, setiap kali aku sendiri di malam hari, aku merasa sepasang matanya menyergap dan menikamku dari balik gelap sana. Aku seperti dihisap dan digulung ke dalam badai yang telah selesai bertiup di matanya.
Aku tidak ingin tahu namanya. Aku tidak ingin tahu cerita tentangnya. Aku sungguh tidak ingin menambah teror yang sudah merayap di tengkukku hanya lantaran sepasang matanya. Orang-orang di kampung ini pun sepertinya tidak memasukkan orang pemilik sepasang mata yang misterius itu dalam kehidupan mereka sehari-hari. Tidak ada yang bercerita tentangnya. Ia tidak ada pada setiap hajatan dan upacara kematian. Ia tidak ada di warung kopi dan pos ronda. Ia mungkin juga tidak tercatat sebagai warga kampung ini, tidak direcoki oleh kewajiban membayar berbagai pajak-sekalipun ia tinggal di sebuah rumah dan punya dua ekor sapi-dan aku sangat yakin dia tidak pernah ikut pemilu.
Tapi bagaimana mungkin aku tidak memikirkannya? Bukan karena aku sudah merasa terteror dengan sepasang matanya. Tapi aku sekarang tinggal tepat di depan rumahnya! Aku datang kurang lebih empat bulan yang lalu di kampung ini untuk keperluan penelitian. Dan, oleh seorang kenalan kemudian aku mendapatkan sebuah rumah kecil yang bisa kutempati dengan biaya yang sangat murah. Rumah kecil tepat di depan rumah sepasang mata yang penuh dengan teror itu.
Pada malam ketiga setelah kedatanganku, aku bertemu dengannya. Tiga hari dan dua malam setelah kedatanganku kuhabiskan dengan menata dan membersihkan rumah yang kutinggali. Malamnya tentu saja aku sangat lalah dan kupakai untuk istirahat. Baru pada malam ketiga, aku keluar untuk bersilaturahmi dengan tetangga kiri-kanan. Tapi aku urung mengetuk pintu rumah di depan rumah yang kutinggal karena gelap tidak berlampu. Aku berpikir untuk mengunjunginya besok pagi saja.
Dan kemudian aku menuju ke rumah kenalanku satu-satunya, lalu kami berdua pergi ke sebuah warung kopi yang cukup ramai. Di sana kenalanku bertambah banyak, apalagi setelah saling bersulang arak. Saat aku pulang, dengan kepala yang begitu berat, aku melihatnya. Saat itu, ketika aku hendak membuka pintu rumahku, aku merasa ada yang mengawasiku. Lalu aku menoleh ke belakang, namun tidak kudapati siapa pun. Gelap ada di mana-mana. Hanya beberapa kelip lampu yang menerobos dari dinding kayu tetangga kiri-kananku, dan lampu redup yang menyala di pagar rumah yang kutinggali. Dan, ketika aku hendak melangkah masuk, aku tetap merasa ada yang mengawasiku. Lalu kuputuskan untuk keluar lagi, dan kuedarkan pandangku sekalipun segalanya tampak lamur karena bersloki-sloki arak. Dan kudapati sepasang mata itu. Aku mendapatinya dari pendar lampu di dekat pagar rumahku.
Awalnya aku tidak yakin bahwa itu sepasang mata. Tapi memang kutangkap bayang-bayang tubuh yang sedang berdiri di pintu rumahnya yang gelap. Dan kemudian baru kuyakini bahwa itu sepasang mata. Aku mencoba tersenyum dan ingin menghampirinya. Tapi entah kenapa, langkah kakiku seperti tertahan. Sepasang mata orang itu seperti menjelma menjadi tembok kokoh yang menahanku untuk maju mendekatinya. Sepasang mata seperti bolam susu yang kotor karena debu, sepasang mata yang usai dari badai, sepasang mata yang melempar teror dengan cara asing dan semena-mena.
Aku hanya bisa membalikkan tubuh, menutup pintu. Senyum yang kulemparkan bukan hanya sia-sia, senyum yang kulemparkan balik dengan kekuatan ganda melabrakku penuh beda rasa. Aku pikir, aku bukan seorang penakut. Tapi begitu kututup pintu, menguncinya, aku merasa tatap mata orang itu masih terus lekat di tubuhku, seperti mengintaiku dari balik dinding-dinding kayu, dari lubang ventilasi, bahkan ketika aku mencoba tidur, aku merasa sepasang matanya terus menyorotku dari segala benda yang mencipta ruang-ruang gelapnya; dari lubang kunci, dari sela-sela buku, dari atap dan di bawah dipan yang kutiduri.
Aku baru saja tidur ketika hari mulai pagi. Dan semenjak itu, aku hanya bisa tidur ketika sudah ada sinar matahari. Aku sudah mencobanya dengan mengganti bolam di kamarku dengan yang lebih terang, dan aku mencoba tidur dengan lampu yang menyala terang itu. Tapi sungguh sia-sia. Aku justru merasa seperti ada di sebuah akuarium, dan sepasang mata itu terus melihatku dengan begitu leluasa.
Di siang hari, aku merasa tak ada gangguan dengan sepasang mata itu. Siang hari, ketika aku bangun dari tidur yang kumulai di pagi hari, aku bisa mendapati rumah di depan sebuah rumah yang biasa saja. Di sekelilingnya tumbuh beberapa pohon buah- buahan. Di sampingnya agak jarak, aku melihat sebuah kandang dengan dua ekor sapi. Di sekeliling kandang itu tumbuh subur pohon-pohon pisang dan sayur-sayur. Aku melihat laki- laki itu pulang pada senja hari dengan sekeranjang penuh rumput di atas kepalanya, cangkul dan sabit, juga lintingan rokok besar di tangannya. Tapi sepasang mata yang penuh teror itu selalu tak bisa terlihat. Aku pikir mungkin karena ada topi lusuh yang bertengger di kepalanya, juga keranjang penuh rumput yang di sana-sini rumputnya jatuh di kepala dan punggungnya. Tapi kemudian aku benar-benar menyerah. Dari berbagai arah, berkali-kali pada saat bertemu dengannya di siang hari, aku tetap tak bisa melihat sepasang matanya. Aku ingin menantang tatapan matanya di siang hari. Mata yang membuat malam-malamku menjadi resah dan menakutkan.
Ia dan sepasang matanya berkuasa padaku di malam hari. Pernah pada niat yang begitu bulat, kukerahkan dan kukumpulkan segenap keberanianku untuk menemaninya di malam hari. Tapi sekali lagi entah karena apa, aku hanya bisa sampai pada pagar hidup rumahnya. Rumah yang masih tetap gelap. Aku melewatinya berkali-kali dengan perasaan tak menentu.
Akhirnya kuputuskan untuk menemui kenalan-kenalanku di warung kopi sambil minum arak, berusaha melupakan kebulatan tekatku yang tidak menghasilkan apa-apa. Dan peristiwa yang makin memojokkanku datang di malam itu. Aku merasa ingin kencing, lalu aku keluar dari warung menuju arah jalan yang agak sepi untuk kencing. Sebetulnya begitu keluar dari warung, aku merasa malam segera menyambutku dengan tusukan sepasang mata yang ada di mana-mana, ada di balik setiap gelap. Tapi aku mencoba tidak peduli, juga karena aku memang harus kencing.
Namun tiba-tiba langkahku terhenti, di dekat sebuah satu tiang listrik, yang lampunya di sekitarnya menyala redup, aku melihat sosok itu. Dan aku menatap matanya dengan cukup jelas saat itu. Mata yang seperti selesai namun maih menyimpan sisa badai. Aku gemetar. Tubuhku dingin namun mengeluarkan keringat. Suaraku seperti hilang, dan aku seperti tak punya napas. Seluruh kulit di tubuhku tiba-tiba bergerak sendiri. Aku hampir dihabisi oleh ketakutan yang terkutuk. Lalu kulihat kemudian ia pergi, melenggang dengan langkah-langkah pendek dan nyala api dari tangannya. Api lintingan rokok yang besar. Beberapa saat kemudian, aku merasa sangat malu pada diriku sendiri.
Segera aku diburu oleh rasa marah yang sangat pada diriku, dan balik ke warung kopi, minum bersloki-sloki arak, lalu kupinjam parang dari pemilik warung. Beberapa orang agak heran, tapi kemudian aku bisa berdalih. Dengan tubuh yang menahan marah aku melangkah menuju rumahnya. Aku masukkan parang di balik jaketku, setelah aku sadar betapa memalukannya diriku. Apa salahnya padaku? Kenapa aku bisa begitu terganggu dan ketakutan? Tapi aku tetap melangkah menuju rumahnya. Apapun yang terjadi, aku harus bicara dengannya, paling tidak berkenalan, dan aku ingin memastikan bahwa sepasang mata itu sesungguhnya tidak penuh dengan teror. Tapi jika kemudian memang marabahaya yang ditawarkannya, aku meraba gagang parang di balik jaketku, seperti meraba kemungkinanku untuk mempertahankan diri.
Dan kudapati ia di depan pintu rumahnya, masih dengan nyala rokok yang jika dihisap menjadi bertambah nyalanya, dan sepasang matanya semakin terlihat mengerikan. Aku tetap hanya bisa tertegun di pagar hidup rumahnya. Kami berdua hanya dibatasi dengan pagar hidup pohon beluntas setinggi perutku , dan beberapa meter kemudian tubuhnya bersandar pada salah satu sisi pintu yang terbuka, seperti menungguku. Aku habis kata dan keberanian. Aku tetap mendapati sepasang matanya sebagai teror menakutkan. Sangat menakutkan. Aku berbalik arah, dan seiring dengan pengaruh arak yang merayap turun, aku semakin dirundung takut yang menyesakkan. Sampai pagi tiba.
Sebulan sekali, aku ke kota untuk berkonsultasi dengan peneliti seniorku. Dan pada saat yang agak jauh dari kampung itu, dari sepasang mata itu, aku bisa berpikir dengan agak jernih. Itu sepasang mata orang yang telah mati, mata yang keruh. Tapi kenapa di tubuh yang tegap dan hidup bisa memiliki mata orang yang telah mati? Dan mengapa itu hanya terjadi di malam hari? Atau baiklah, aku tidak bisa mengatakan itu hanya terjadi di malam hari, sebab aku tidak pernah melihat matanya di siang hari.
Tapi menurutku pertanyaan itu bisa kuganti dengan: mengapa aku merasa ada sepasang matanya yang menakutkan itu, hanya menerorku di malam hari? Mungkin banyak orang akan menjawab, mereka mengira aku takut hantu dan sejenisnya, yang selalu hadir di malam hari. Itulah masalahnya. Aku tidak pernah percaya hantu, dan malam hari bukan sesuatu yang selama ini menakutkan. Aku hanya takut pada dua hal selama ini: kecoa dan ulat bulu.
Lalu sesungguhnya apa yang menakutkanku, sehingga aku harus tidak nyaman tidur, tidak leluasa berpergian ketika malam, dan beberapa kali gemetar tak karuan ketika bertatapan mata dengan bertemu dengan orang itu? Dan lalu muncul keinginan-keinginan untuk tahu siapa pemilik sepasang mata itu.
Tapi setiap kali aku balik lagi ke kampung itu, segala keingintahuanku tiba-tiba lenyap, bahkan aku tidak ingin mengerti dan tahu apa-apa tentang orang tersebut. Tiba-tiba aku seperti berada dalam sebuah situasi dimana pemilik sepasang mata yang menerorku itu tidak pernah ada di kampung itu. Tidak pernah ada orang yang membicarakannya, menyebut namanya. Dan aku merasa bahwa memang sepasang mata yang seperti orang yang telah mati itu memang hanya untukku dan itu hanya ada di malam hari. Selalu saja, jika aku ada di kampung itu, aku selalu merasa seperti tidak perlu dan tidak butuh semacam latar belakang dan cerita tentang laki-laki itu. Aku tidak ingin menambah derajat ketakutanku. Biarlah dia hadir dengan sorot matanya ketika malam. Toh aku tidak selamanya ada di sana.
Tapi pada saat jauh dari kampung dan orang itu, selalu saja aku dirundung tanya dengan begitu saja. Umur laki-laki itu kira-kira seumur dengan pamanku, lima tahun lebih muda dari ayahku. Tubuhnya gempal berisi dengan kulit yang agak gelap terbakar matahari. Tidak pernah kulihat beralas kaki. Selalu melangkah dalam langkah-langkah pendek dan mantap. Benar-benar tubuh orang hidup. Tapi sepasang matanya….
Suatu saat, dalam sebuah perjalanan balik menuju ke kampung itu, aku berhenti di kota kecil. Dari kota itu ke kampung yang hendak kutuju masih berkisar satu setengah jam masuk ke dalam bebukitan penuh ladang naik angkutan yang sehari paling hanya ada tiga atau empat kali dalam sehari. Aku berhenti untuk berbelanja beberapa kebutuhanku yang lupa kubeli. Selesai berbelanja, sambil menunggu angkutan, aku masuk ke sebuah warung untuk makan siang. Begitu masuk, entah mengapa, perhatianku langsung tertuju pada seseorang berbaju dan bercelana hitam, baju dan celana yang komprang dan warna hitamnya mulai pudar.
Aku duduk di sampingnya. Kuperhatikan lagi orang di sampingku. Cukup tua. Kutangkap keriput di wajahnya. Hampir semua kumisnya berwarna putih. Ia memakai ikat kepala dari kain. Diam. Asyik dengan rokok dan secangkir kopinya yang hampir tandas.
Ia menoleh padaku, melempar senyum. “Mau ke Dalam, Anak?” tanyanya sambil menggeser tubuhnya, memberiku tempat agak leluasa.
Aku mengangguk. ‘Dalam’ adalah istilah untuk menyebut daerah yang kutuju. Lalu aku memesan kopi dan makan.
“Saya juga mau ke sana.”
Aku merasa agak lega. Setidaknya aku merasa ada teman menuju satu tujuan. Sebab kadang-kadang memang tidak ada angkutan yang pasti ke sana. Aku berharap, dalam hari yang masih siang seperti itu, masih ada sisa angkutan ke Dalam.
“Bapak berasal dari sana?”
“Dulu. Tapi sudah lama saya keluar dari sana.”
Aku meneruskan makan, dan berharap tidak mengganggunya dengan pertanyaan-pertanyaan yang sepertinya enggan di jawab. Ia nampak masih asyik dengan kopi dan rokoknya.
Sudah beberapa saat kami berdua menunggu. Tapi angkutan menuju Dalam tak juga muncul. Lalu kami putuskan untuk menunggu tepat di jalan menuju Dalam, siapa tahu ada mobil maupun truk yang lewat dan kami bisa numpang. Hari berangkat menuju sore.
Di sebuah rumah-rumahan yang mungkin bekas warung makan sederhana, kami menunggu. Kami tidak banyak bercakap. Laki-laki itu lebih sering memunggungiku, menebarkan pandangnya ke lanskap, ke arah Dalam, yang dari jauh terlihat hanya sebagai bebukitan.
“Waktu aku kecil, Dalam adalah hutan yang menghijau.” Laki-laki itu berucap, tapi tidak seperti ditujukan padaku, sedangkan ia masih juga memunggungiku.
“Bapak pernah tinggal di sana?”
“Hanya beberapa keluarga yang tinggal di sana. Kami hidup dari hutan. Lalu datanglah orang-orang itu, orang-orang yang mengaku berpendidikan. Mereka membangun kompleks perumahan untuk orang-orang yang mengelola hutan. Lalu satu per satu kemudian, ada sekolahan, ada tempat ibadah, ada tanah lapang. Dalam beberapa tahun, banyak sekali orang yang datang. Tiba-tiba kami punya pasar, balai desa, jalan diperlebar, angkutan dan mobil melintas. Membawa yang baru, dan membawa pergi apa-apa yang dulu kami hormati dan junjung tinggi.”
Laki-laki itu membalikkan tubuhnya, dan kulihat wajah yang mengeruh. Murung.
“Mau tidak mau kami masuk dalam kehidupan mereka. Anak-anak dari keluarga kami bersekolah, hutan dan alam adalah uang. Listrik masuk. Tidak terlalu ada beda antara siang dan malam. Ikan-ikan di sungai menyusut, binatang-binatang hutan langka. Hutan-hutan diatur dan dipetak-petak. Kami tidak bisa leluasa lagi keluar masuk hutan, mendapatkan apa yang kami butuhkan. Mereka menjaga hutan seperti menjaga barang perhiasan. Mereka membawa senapan yang siap ditembakkan bagi penebangan-penebangan. Tetap saja ada kayu yang hilang, yang tidak mungkin kami lakukan. Orang-orang kekurangan uang yang melakukannya, dan mereka mendiamkannya, bahkan ada yang diam-diam dari mereka sengaja melindungi dan membantu menjualnya.”
Ia berhenti sejenak, melinting rokok dalam ukuran besar, mengingatkanku pada orang bermata teror.
“Mereka bilang akan mengelola hutan dengan baik, tapi itu semua bolong. Diam-diam di antara mereka sendiri telah mencurinya. Mereka tidak benar-benar menjaga alam. Orang-orang yang dulu menggantungkan hidupnya dari hutan diajari bertani dengan sistem tumpang sari, tapi kebutuhan yang diajarkan mereka datang lebih cepat dan besar.
Kami berubah dengan merasa semakin miskin. Tiba-tiba kami ingin punya televisi, ingin punya sepeda motor, dan hasil dari pertanian seperti itu tidak memungkinkan. Lalu di antara kami yang menebangnya, menjual dengan diam-diam ke orang- orang mereka. Tetap juga mereka yang kaya. Yang menebang yang kena resikonya, tapi mendapatkan hasil yang tidak seberapa. Jika ada pemeriksaan dari pusat, kami yang kena. Rumah-rumah kami digeledah, atau saat kami menebang, mereka datang bersenjata dan menangkapi kami. Harus tetap ada yang dianggap mencuri, sekalipun hasil terbesarnya ada pada mereka sendiri.”
Orang tua itu membalikkan tubuhnya lagi, memandang Dalam dari kejauhan. Senja mulai jatuh.
“Sekarang, hutan itu habis. Terbukti mereka tidak bisa menjaganya, sebab mereka sendiri yang mencurinya. Memang ada beberapa di antara kami yang menebangnya, itu karena kebutuhan yang mereka ajarkan. Anak-anak kami yang merengek minta sepeda dan mobil-mobilan. Perempuan-perempuan kami harus ikut arisan, rapat, pengajian. Semua itu artinya uang. Itu pun tidak seberapa yang kami dapatkan, dibanding dengan yang mereka dapatkan. Sebentar lagi, bukit-bukit itu juga akan rata dengan tanah. Setelah tidak ada kayu, mereka akan mengambil tanah dan batu.”
Aku terperanjat seperti diingatkan. Dengan cepat kuraba tas punggung yang ada di samping dudukku. Tas berisi berkas-berkas penelitian tentang kandungan tanah dan batu di daerah Dalam.
Senja beranjak gelap. Orang tua itu membalikkan tubuhnya. Tiba-tiba aku merasa gemetar. Aku mencari-cari sesuatu, dan pandangku berhenti pada sepasang matanya. Sepasang mata itu! *
Puthut EA
Tabik dari Tini
Tabik dari Tini
Ibu saya baru saja menebar bunga kembang telon di kuburan Tini yang sudah tidak jelas pusaranya. Kelopak-kelopak bunga mawar, kenanga dan kembang gading dengan pasti ditaburkan, dan dengan elok dikomposisikan. Bunga merah dikumpulkan merah, bunga kuning dikumpulkan kuning. Indah. Padahal tadinya, Ibu ragu-ragu, apakah benar itu kuburan Tini yang ia cari. Karena kompleks pemakaman kecil di dusun Kebalen di kecamatan Rogojampi itu sudah lama tidak terurus. Beberapa belas tahun silam konon tanahnya pernah ambles, dan berusaha diuruk lagi. Bahkan kabarnya, sudah terjadi penumpukan jenazah di kuburan yang sama, karena banyak orang yang meninggal tak menemukan tempat pemakaman baru.
Kabar kepastian tempat makam Tini datang beberapa tahun lalu. Kepastian ini berawal ketika ada dealer sepeda motor dari Surabaya berhasrat membeli tanah pekuburan tersebut untuk dibanguni gedung yang difungsikan sebagai gudang motor dan suku cadang. Namun, masyarakat sekitar kompleks pemakaman menolak niat itu dengan menyebar berbagai gosip mistik. Di antaranya informasi bahwa mereka sering melihat sesosok arwah menyembul dari pekuburannya di malam-malam tertentu. Arwah itu berjalan melayang, dan kemudian berdiri di bawah pohon sawo di pintulingkung kecilpekuburan itu. Ia menteng kelek seperti berjaga-jaga agar makam tidak diganggu orang. Entah benar atau tidak, arwah tersebut adalah wanita berkebaya yang menyerupai Tini. Seorang tua di desa itu merasa pernah melihatnya dengan jelas. Dan, ia percaya betul dengan matanya. Apalagi ia mengaku kenal dengan Tini, wanita yang seumur-umur berprofesi sebagai pembantu rumah tangga.
Dan orang tua itu berkata, ketika sekeping bulan sudah jatuh di ufuk sebelum dini hari, arwah Tini kembali ke tanah kediamannya, atau masuk ke pekuburannya. Dari orang tua inilah Ibuku percaya bahwa itulah pusara Tini.
Prahara di hutan jati
Ibu saya bercerita betapa sebagai pembantu rumah tangga Tini sudah menjadi bagian dari keluarga.
“Mbok Tini sudah ikut Engkong, sejak Mami berusia tujuh tahun,” kata Ibu.
Dalam perjalanan pulang dari kuburan, Ibu saya bercerita mengenai pembantu yang sangat disayanginya itu.
Tini pergi dari desanya, pedalaman kota Lasem pada awal tahun 1930-an. Tak jelas benar apa perkara yang menyebabkan Tini pergi dari sana. Konon lantaran pada waktu itu sekompi serdadu Belanda masuk ke Lasem dalam rangka mencari lahan-lahan yang menghasilkan kayu jati. Pohon yang masih muda dipelihara, dan pohon-pohon yang sudah tua ditebangi. Dalam kaitan dengan proyek tersebut Pemerintah Belanda membutuhkan kuli-kuli. Suami Tini tercatat sebagai lelaki yang harus bekerja melakukan penebangan besar-besaran itu. Namun, suami Tini menolak. Sejumlah tentara Belanda agaknya merasa tersinggung, dan setiap penolakan dianggap sebagai awal pemberontakan. Keluarga Tini pun dianggap sebagai buron dan rumahnya dibikin porak poranda. Prahara di hutan jati pun terjadilah. Tini oleh suaminya disembunyikan di rumah kakaknya untuk kemudian dilarikan ke luar desa. Dan suami Tini, dengan seorang anak lelakinya yang masih balita, memisahkan diri serta bersembunyi di suatu tempat, di selisik hutan jati yang dalam dan gelap.
Dalam melangkahi waktu, mungkin Tini pernah berencana banyak tentang sesuatu. Namun, garis nasib sering merancang hal ihwal terlebih dahulu. Karenanya, setelah berdiam sejenak di rumah kakaknya, dan setelah tak tahu lagi nasib suami dan anaknya, Tini diperkenalkan kepada seseorang yang biasa mencarikan pekerjaan untuk wanita yang sebatangkara. Dari sini ia mencoba kehidupan yang mungkin dirasa aneh.
Tini di Rogojampi
Syahdan di Rogojampi ada keluarga besar Tionghoa. Kepala keluarga itu bernama Lim Len Tjeng. Ia sedang membangun banyak rumah di kota kecil ujung Jawa Timur tersebut. Rumah-rumah itu kemudian disewakan kepada siapa saja yang ingin hidup di sana. Konglomerat Liem Len Tjeng berpikir bahwa pada suatu saat Rogojampi akan berkembang, dan bakal menjadi daerah hunian yang memadai. Tuan Lim melihat betapa Pemerintah Belanda punya komitmen untuk bekerja sama dengan kaum intelektual bumiputra untuk memajukan kota yang sejuk itu. Infrastrukturnya sudah mulai dibentuk. Ada pabrik beras, pengolahan kopra, klinik, apotek, jalan aspal, pegadaian, masjid, gereja dan klenteng Tan Hoo Cin Jin yang bagus. Juga sekolah-sekolah. Di kota ini bahkan telah didatangkan seorang guru dan seniman dari Batavia yang bernama Sindudarsono Sudjojono untuk memimpin sekolah yang didirikan Taman Siswa. Konon untuk memajukan pendidikan rakyat yang tadinya hanya sampai pada kelas ongkoloro .
Apa yang dipikirkan Lim Len Tjeng tidak melenceng. Banyak orang dari luar kota pindah ke Rogojampi, dan hidup tenteram sebagai penghuni. Di sinilah Tini terdampar. Dan singgah sebagai pembantu rumah tangga keluarga Engkong saya. Dan Engkong menempati sebuah rumah amat besar untuk ukuran di Rogojampi. Rumah itu disewa dari Tuan Lim itu. Di rumah itulah Tini bekerja.
Tini tampaknya hidup bahagia. Ia menunaikan tugasnya sebagai pembantu dengan baik. Keluarga Engkong memperlakukannya seperti anggota keluarga. Tini memiliki kamar tidur yang ia pilih sendiri. Pada suatu masa ia memilih tidur di sebuah bilik dekat sepen. YANG letaknya bagian belakang rumah. Enak kamarnya, keluasan ruang serta ventilasi cahaya cukup. Dia sangat situ. Bebas, ngorok, mengigau semau apa dia mau. Yang penting bangun tugas pagi dimulai, tidak berangkat malam sebelum pekerjaan dirasa usai. Hal lain menyebabkan bahagia situ adalah karena, seperti dituturkannya, pintu jendela kamarnya ngadep wetan, atau menghadap Timur. Di depannya ada halaman terbuka, sehingga bisa menanam perdu kemangi pohon susu. setiap kali memetik buah terong susu berbentuk lucu itu, dan diberikan kepada salah satu anak Engkong jumlahnya sembilan. Namun, ketika menderita sakit, diminta kamar saya. dengan serta-merta memasang tikar kolong ranjang besi yang tinggi. Ia tidur di sana berminggu-minggu. Bahkan, kemudian bertahun-tahun, karena Ibu saya ingin ia meninggalkannya. Dan, Tini tak pernah sedikit pun menolak.
Tini bertemu utusan Brosot
Tahun berbilang, sampai Engkong meninggal. Anak-anak Engkong sebagian telah tersebar. Yang perempuan ada yang ikut suaminya, yang lelaki ada yang bekerja di luar kota. Dan Ibu saya akhirnya ketemu jodoh, menikah dengan seorang lelaki tinggi besar, berwibawa, aktivis sosial, yang kemudian saya sebut sebagai ayah saya. Karena merasa mubazir bila menempati rumah terlalu besar, Ibu dan Ayah mencari rumah yang lebih kecil. Dan Tini dengan setia ikut serta sebagai pembantu rumah tangga.
Pada suatu hari, Ibu saya bertanya kepada Tini, apakah tak ada kabar sama sekali tentang suami dan anaknya. Ia menjawab, tidak. Apakah ia tidak ingin kawin lagi. Ia menjawab, belum. Bahkan, Ibu saya menawari, apabila ia ketemu jodoh di Rogojampi, Ibu bersedia menjadi wali, dan siap untuk membuat pestanya. Gandrung Banyuwangi atau angklung carok akan mengisi keramaian perhelatannya. Bahkan, seorang anak Ibu yang jadi pelukis, Tan Khing Hoo namanya, akan mengabadikan mempelai dalam kanvas dan cat penuh warna. Namun, Tini belum ingin kawin lagi. Ia berkata bahwa sebelum tahu dengan pasti nasib suaminya, dan belum bertemu dengan anaknya, dirinya tak akan memutuskan apa-apa. Meskipun jauh hari ia mendengar kabar bahwa suaminya telah mati dan anaknya pergi ke medan kehidupan yang jauh, jauh, jauh entah di mana.
Berpuluh tahun kemudian, sekonyong-konyong datang seorang pemuda ke Rogojampi. Ia mencari seorang wanita. Usianya sekitar 55 tahun, berwajah lumayan cantik, kulitnya agak hitam dan bagus. Suaranya jernih dan termasuk suka tertawa. Alisnya tebal dengan mata yang bersinar seperti milik pilemsetar Miss Rukiah. Wanita ini diinformasikan sudah lebih dari 30 tahun meninggalkan desanya, di Utara Lasem. Dan wanita itu bernama Tini. Pemuda itu datang dari Lasem, dan mengaku diutus seorang lelaki bernama Brosot untuk mencari ibunya.
Tini sesenggukan mendengar kabar bahwa anaknya, Brosot, ternyata masih sehat-sehat saja dan masih ingat kepadanya. Dan ia lebih bersyukur ketika tahu bahwa anaknya masih tinggal di daerah Lasem. Setidaknya kabar gembira tentang anaknya ini menutup kesedihannya yang mendalam, yang berkait dengan suaminya, yang dikabarkan sudah benar-benar tiada.
Tini memohon kepada Ibu agar diizinkan pergi menuju Lasem. Tentu saja Ibu mengizinkan dengan penuh bahagia. Ibu berkata, apabila Tini kerasan hidup di Lasem bersama anaknya, ya, tak usah kembali ke Rogojampi. Setelah Ibu memberikan seluruh gaji yang dititipkan, Tini mohon pamit. Ibu dan Tini berpelukan dengan disaksikan Ayah dan sejumlah anaknya. (Sayang saya tak sempat ikut melihatnya).
Di Lasem Tini bertemu Brosot. Tini yakin benar itu adalah Brosot, walaupun tiada surat atau identifikasi satu pun yang bisa dipakai sebagai bukti. Oleh karena itu, uang yang dibawanya dari Rogojampi ia belikan sepasang sapi, dua pasang kambing, tujuh bebek serta seekor pejantan. Ia beli tanah beberapa ratus meter persegi untuk pemeliharaan dan pembiakan hewan-hewan itu. Hati Tini berseri-seri menghadapi kehidupan yang baru.
Tapi belum seratus hari Tini tinggal bersama anaknya, perasaan tidak kerasan sudah mulai menganggu. Hidupnya merasa disia-siakan. Ia merasa tidak dihargai sebagai Ibu. Brosot sering tidak ada di rumah, dan menganggap rindu-rindu Ibunya bagai tidak ada sentuhannya, bagai tak pernah ada serta tiada gunanya. Namun, Tini tetap sangat menyayangi anaknya, dan tak pernah sekalipun menggugat perilaku Brosot yang sangat mengecewakan itu. Tini lalu memutuskan untuk balik ke Rogojampi. Dan sebelum pergi ia berkata.
“Setahun lagi Ibu balik, Nak. Ibu akan selalu rindu kepadamu”.
Tini dan “Tabik-tabik Noni”
Setahun kali ini, sungguh terasa bagai sepuluh tahun bagi Tini. Brosot dan segenap hewan ternak pemberiannya seperti terus memanggil-manggil. Dan Rogojampi yang pernah memeluk kehidupannya selama berberapa windu, setiap kali seperti membujuknya untuk pulang lagi ke Lasem. Ia ingin mencium kening anaknya. Ia ingin melihat bagaimana sapi-sapi, kambing-kambing serta bebek-bebek berkembang biak dan memberikan kehidupan yang bagus kepada anaknya.
Ketika kerinduan itu sudah tiada terbilang, ia pun berpamitan kepada Ibu. Kali ini dengan isak tangis yang sangat mendalam, karena Tini bilang ia tidak akan balik lagi ke Rogojampi. Ia akan hidup bersama anaknya di Lasem, sampai hayat dikandung badan. Ibu juga terharu. Namun, Tini mungkin tersadar bahwa perpisahan itu tidak perlu dimasukkan benar dalam ceruk-ceruk perasaan. Dan lucu, mungkin sambil berusaha menghibur-hibur, ia lalu menyanyikan lagu Tabik-tabik Noni atawa Baboe Maoe Poelang. Lagu yang katanya sering ia dengar di Jaarbeurs, atau pasar malam tahunan zaman Belanda, ketika ia sering mengantar Ibu dan kakak-kakak Ibu dulu.
Tabik-tabik Noni, Baboe maoe poelang
Poelang ke tana moela, si Baboe soeda toea
Kaloe Baboe mati, djangan kasi boenga
Kirim aermata, si Baboe soeda trima.
Caca marica oe oe… cacamarica oe oe…
Cacamarica, si Baboe soeda toea…
Syair tersebut dinyanyikan seperti lagu “Mana di mana, anak kambing saya…”. Ibu tersenyum mendengar lagu itu. Tini juga.Ibu kemudianmengantar Tinisampai dipertelon>jmp -2008m<>kern199m<>h 6024m,0<>w6024m<5>jmp 0m<>kern200m<>h 8333m,0<>w8333m<, dan menghilang di selinapan pintu bus yang mengangkutnya ke kampung halaman.
Namun, siklus perjalanan hidup Tini semakin sempit saja. Belum seminggu ia sudah muncul lagi di hadapan Ibu, di Rogojampi. Wajahnya kusut. Setelah ia menaruh sepuluh kue lepat sebagai buah tangan dari Lasem, dan sambil menyeret kopor kulitnya yang lusuh ke kamar yang masih saja disediakan oleh Ibu, Tini mengomel.
“Brosot sudah tak ada di kampung. Sapi, kambing, bebek, semua sudah tidak ada. Orang kampung juga tidak tahu dia ke mana. Dia minggat dari kampung. Minggat. Ada yang bilang Brosot jadi pedagang sepeda motor di Surabaya! Apa iya Brosot…. Brosot! Aku kok tidak percaya….” Tini menangis dengan suara yang dalam teredam.
Sejak itu, Tini menjadi sakit-sakitan. Meski dirinya memaksa diri bekerja, namun ia tidak mau makan. Badannya kurus tak kepalang. Kondisi kesehatannya terus merosot. Ia sering mengigau dan linglung. Nama Brosot setiap kali disebutnya dengan lirih, dengan rasa derita yang sulit diterjemahkan.. Sampai akhirnya sang waktu menutup pintu. Tini meninggal dengan ditunggui Ibu.
Sebagai penutup
“Tahun ini, berarti tahun ke-30 kematian Mbok Tini. Rasanya belum lama”, kata saya kepada Ibu di sebuah pematang kering yang kami lewati.
Ibu tak menyahut. Di kerut pipinya yang sangat tua terlihat setitik air mata.
(Untuk mendiang Mbok Tini dan Mbok Barina, pembantu keluarga saya)
Agus Dermawan T
Ibu saya baru saja menebar bunga kembang telon di kuburan Tini yang sudah tidak jelas pusaranya. Kelopak-kelopak bunga mawar, kenanga dan kembang gading dengan pasti ditaburkan, dan dengan elok dikomposisikan. Bunga merah dikumpulkan merah, bunga kuning dikumpulkan kuning. Indah. Padahal tadinya, Ibu ragu-ragu, apakah benar itu kuburan Tini yang ia cari. Karena kompleks pemakaman kecil di dusun Kebalen di kecamatan Rogojampi itu sudah lama tidak terurus. Beberapa belas tahun silam konon tanahnya pernah ambles, dan berusaha diuruk lagi. Bahkan kabarnya, sudah terjadi penumpukan jenazah di kuburan yang sama, karena banyak orang yang meninggal tak menemukan tempat pemakaman baru.
Kabar kepastian tempat makam Tini datang beberapa tahun lalu. Kepastian ini berawal ketika ada dealer sepeda motor dari Surabaya berhasrat membeli tanah pekuburan tersebut untuk dibanguni gedung yang difungsikan sebagai gudang motor dan suku cadang. Namun, masyarakat sekitar kompleks pemakaman menolak niat itu dengan menyebar berbagai gosip mistik. Di antaranya informasi bahwa mereka sering melihat sesosok arwah menyembul dari pekuburannya di malam-malam tertentu. Arwah itu berjalan melayang, dan kemudian berdiri di bawah pohon sawo di pintulingkung kecilpekuburan itu. Ia menteng kelek seperti berjaga-jaga agar makam tidak diganggu orang. Entah benar atau tidak, arwah tersebut adalah wanita berkebaya yang menyerupai Tini. Seorang tua di desa itu merasa pernah melihatnya dengan jelas. Dan, ia percaya betul dengan matanya. Apalagi ia mengaku kenal dengan Tini, wanita yang seumur-umur berprofesi sebagai pembantu rumah tangga.
Dan orang tua itu berkata, ketika sekeping bulan sudah jatuh di ufuk sebelum dini hari, arwah Tini kembali ke tanah kediamannya, atau masuk ke pekuburannya. Dari orang tua inilah Ibuku percaya bahwa itulah pusara Tini.
Prahara di hutan jati
Ibu saya bercerita betapa sebagai pembantu rumah tangga Tini sudah menjadi bagian dari keluarga.
“Mbok Tini sudah ikut Engkong, sejak Mami berusia tujuh tahun,” kata Ibu.
Dalam perjalanan pulang dari kuburan, Ibu saya bercerita mengenai pembantu yang sangat disayanginya itu.
Tini pergi dari desanya, pedalaman kota Lasem pada awal tahun 1930-an. Tak jelas benar apa perkara yang menyebabkan Tini pergi dari sana. Konon lantaran pada waktu itu sekompi serdadu Belanda masuk ke Lasem dalam rangka mencari lahan-lahan yang menghasilkan kayu jati. Pohon yang masih muda dipelihara, dan pohon-pohon yang sudah tua ditebangi. Dalam kaitan dengan proyek tersebut Pemerintah Belanda membutuhkan kuli-kuli. Suami Tini tercatat sebagai lelaki yang harus bekerja melakukan penebangan besar-besaran itu. Namun, suami Tini menolak. Sejumlah tentara Belanda agaknya merasa tersinggung, dan setiap penolakan dianggap sebagai awal pemberontakan. Keluarga Tini pun dianggap sebagai buron dan rumahnya dibikin porak poranda. Prahara di hutan jati pun terjadilah. Tini oleh suaminya disembunyikan di rumah kakaknya untuk kemudian dilarikan ke luar desa. Dan suami Tini, dengan seorang anak lelakinya yang masih balita, memisahkan diri serta bersembunyi di suatu tempat, di selisik hutan jati yang dalam dan gelap.
Dalam melangkahi waktu, mungkin Tini pernah berencana banyak tentang sesuatu. Namun, garis nasib sering merancang hal ihwal terlebih dahulu. Karenanya, setelah berdiam sejenak di rumah kakaknya, dan setelah tak tahu lagi nasib suami dan anaknya, Tini diperkenalkan kepada seseorang yang biasa mencarikan pekerjaan untuk wanita yang sebatangkara. Dari sini ia mencoba kehidupan yang mungkin dirasa aneh.
Tini di Rogojampi
Syahdan di Rogojampi ada keluarga besar Tionghoa. Kepala keluarga itu bernama Lim Len Tjeng. Ia sedang membangun banyak rumah di kota kecil ujung Jawa Timur tersebut. Rumah-rumah itu kemudian disewakan kepada siapa saja yang ingin hidup di sana. Konglomerat Liem Len Tjeng berpikir bahwa pada suatu saat Rogojampi akan berkembang, dan bakal menjadi daerah hunian yang memadai. Tuan Lim melihat betapa Pemerintah Belanda punya komitmen untuk bekerja sama dengan kaum intelektual bumiputra untuk memajukan kota yang sejuk itu. Infrastrukturnya sudah mulai dibentuk. Ada pabrik beras, pengolahan kopra, klinik, apotek, jalan aspal, pegadaian, masjid, gereja dan klenteng Tan Hoo Cin Jin yang bagus. Juga sekolah-sekolah. Di kota ini bahkan telah didatangkan seorang guru dan seniman dari Batavia yang bernama Sindudarsono Sudjojono untuk memimpin sekolah yang didirikan Taman Siswa. Konon untuk memajukan pendidikan rakyat yang tadinya hanya sampai pada kelas ongkoloro .
Apa yang dipikirkan Lim Len Tjeng tidak melenceng. Banyak orang dari luar kota pindah ke Rogojampi, dan hidup tenteram sebagai penghuni. Di sinilah Tini terdampar. Dan singgah sebagai pembantu rumah tangga keluarga Engkong saya. Dan Engkong menempati sebuah rumah amat besar untuk ukuran di Rogojampi. Rumah itu disewa dari Tuan Lim itu. Di rumah itulah Tini bekerja.
Tini tampaknya hidup bahagia. Ia menunaikan tugasnya sebagai pembantu dengan baik. Keluarga Engkong memperlakukannya seperti anggota keluarga. Tini memiliki kamar tidur yang ia pilih sendiri. Pada suatu masa ia memilih tidur di sebuah bilik dekat sepen. YANG letaknya bagian belakang rumah. Enak kamarnya, keluasan ruang serta ventilasi cahaya cukup. Dia sangat situ. Bebas, ngorok, mengigau semau apa dia mau. Yang penting bangun tugas pagi dimulai, tidak berangkat malam sebelum pekerjaan dirasa usai. Hal lain menyebabkan bahagia situ adalah karena, seperti dituturkannya, pintu jendela kamarnya ngadep wetan, atau menghadap Timur. Di depannya ada halaman terbuka, sehingga bisa menanam perdu kemangi pohon susu. setiap kali memetik buah terong susu berbentuk lucu itu, dan diberikan kepada salah satu anak Engkong jumlahnya sembilan. Namun, ketika menderita sakit, diminta kamar saya. dengan serta-merta memasang tikar kolong ranjang besi yang tinggi. Ia tidur di sana berminggu-minggu. Bahkan, kemudian bertahun-tahun, karena Ibu saya ingin ia meninggalkannya. Dan, Tini tak pernah sedikit pun menolak.
Tini bertemu utusan Brosot
Tahun berbilang, sampai Engkong meninggal. Anak-anak Engkong sebagian telah tersebar. Yang perempuan ada yang ikut suaminya, yang lelaki ada yang bekerja di luar kota. Dan Ibu saya akhirnya ketemu jodoh, menikah dengan seorang lelaki tinggi besar, berwibawa, aktivis sosial, yang kemudian saya sebut sebagai ayah saya. Karena merasa mubazir bila menempati rumah terlalu besar, Ibu dan Ayah mencari rumah yang lebih kecil. Dan Tini dengan setia ikut serta sebagai pembantu rumah tangga.
Pada suatu hari, Ibu saya bertanya kepada Tini, apakah tak ada kabar sama sekali tentang suami dan anaknya. Ia menjawab, tidak. Apakah ia tidak ingin kawin lagi. Ia menjawab, belum. Bahkan, Ibu saya menawari, apabila ia ketemu jodoh di Rogojampi, Ibu bersedia menjadi wali, dan siap untuk membuat pestanya. Gandrung Banyuwangi atau angklung carok akan mengisi keramaian perhelatannya. Bahkan, seorang anak Ibu yang jadi pelukis, Tan Khing Hoo namanya, akan mengabadikan mempelai dalam kanvas dan cat penuh warna. Namun, Tini belum ingin kawin lagi. Ia berkata bahwa sebelum tahu dengan pasti nasib suaminya, dan belum bertemu dengan anaknya, dirinya tak akan memutuskan apa-apa. Meskipun jauh hari ia mendengar kabar bahwa suaminya telah mati dan anaknya pergi ke medan kehidupan yang jauh, jauh, jauh entah di mana.
Berpuluh tahun kemudian, sekonyong-konyong datang seorang pemuda ke Rogojampi. Ia mencari seorang wanita. Usianya sekitar 55 tahun, berwajah lumayan cantik, kulitnya agak hitam dan bagus. Suaranya jernih dan termasuk suka tertawa. Alisnya tebal dengan mata yang bersinar seperti milik pilemsetar Miss Rukiah. Wanita ini diinformasikan sudah lebih dari 30 tahun meninggalkan desanya, di Utara Lasem. Dan wanita itu bernama Tini. Pemuda itu datang dari Lasem, dan mengaku diutus seorang lelaki bernama Brosot untuk mencari ibunya.
Tini sesenggukan mendengar kabar bahwa anaknya, Brosot, ternyata masih sehat-sehat saja dan masih ingat kepadanya. Dan ia lebih bersyukur ketika tahu bahwa anaknya masih tinggal di daerah Lasem. Setidaknya kabar gembira tentang anaknya ini menutup kesedihannya yang mendalam, yang berkait dengan suaminya, yang dikabarkan sudah benar-benar tiada.
Tini memohon kepada Ibu agar diizinkan pergi menuju Lasem. Tentu saja Ibu mengizinkan dengan penuh bahagia. Ibu berkata, apabila Tini kerasan hidup di Lasem bersama anaknya, ya, tak usah kembali ke Rogojampi. Setelah Ibu memberikan seluruh gaji yang dititipkan, Tini mohon pamit. Ibu dan Tini berpelukan dengan disaksikan Ayah dan sejumlah anaknya. (Sayang saya tak sempat ikut melihatnya).
Di Lasem Tini bertemu Brosot. Tini yakin benar itu adalah Brosot, walaupun tiada surat atau identifikasi satu pun yang bisa dipakai sebagai bukti. Oleh karena itu, uang yang dibawanya dari Rogojampi ia belikan sepasang sapi, dua pasang kambing, tujuh bebek serta seekor pejantan. Ia beli tanah beberapa ratus meter persegi untuk pemeliharaan dan pembiakan hewan-hewan itu. Hati Tini berseri-seri menghadapi kehidupan yang baru.
Tapi belum seratus hari Tini tinggal bersama anaknya, perasaan tidak kerasan sudah mulai menganggu. Hidupnya merasa disia-siakan. Ia merasa tidak dihargai sebagai Ibu. Brosot sering tidak ada di rumah, dan menganggap rindu-rindu Ibunya bagai tidak ada sentuhannya, bagai tak pernah ada serta tiada gunanya. Namun, Tini tetap sangat menyayangi anaknya, dan tak pernah sekalipun menggugat perilaku Brosot yang sangat mengecewakan itu. Tini lalu memutuskan untuk balik ke Rogojampi. Dan sebelum pergi ia berkata.
“Setahun lagi Ibu balik, Nak. Ibu akan selalu rindu kepadamu”.
Tini dan “Tabik-tabik Noni”
Setahun kali ini, sungguh terasa bagai sepuluh tahun bagi Tini. Brosot dan segenap hewan ternak pemberiannya seperti terus memanggil-manggil. Dan Rogojampi yang pernah memeluk kehidupannya selama berberapa windu, setiap kali seperti membujuknya untuk pulang lagi ke Lasem. Ia ingin mencium kening anaknya. Ia ingin melihat bagaimana sapi-sapi, kambing-kambing serta bebek-bebek berkembang biak dan memberikan kehidupan yang bagus kepada anaknya.
Ketika kerinduan itu sudah tiada terbilang, ia pun berpamitan kepada Ibu. Kali ini dengan isak tangis yang sangat mendalam, karena Tini bilang ia tidak akan balik lagi ke Rogojampi. Ia akan hidup bersama anaknya di Lasem, sampai hayat dikandung badan. Ibu juga terharu. Namun, Tini mungkin tersadar bahwa perpisahan itu tidak perlu dimasukkan benar dalam ceruk-ceruk perasaan. Dan lucu, mungkin sambil berusaha menghibur-hibur, ia lalu menyanyikan lagu Tabik-tabik Noni atawa Baboe Maoe Poelang. Lagu yang katanya sering ia dengar di Jaarbeurs, atau pasar malam tahunan zaman Belanda, ketika ia sering mengantar Ibu dan kakak-kakak Ibu dulu.
Tabik-tabik Noni, Baboe maoe poelang
Poelang ke tana moela, si Baboe soeda toea
Kaloe Baboe mati, djangan kasi boenga
Kirim aermata, si Baboe soeda trima.
Caca marica oe oe… cacamarica oe oe…
Cacamarica, si Baboe soeda toea…
Syair tersebut dinyanyikan seperti lagu “Mana di mana, anak kambing saya…”. Ibu tersenyum mendengar lagu itu. Tini juga.Ibu kemudianmengantar Tinisampai dipertelon>jmp -2008m<>kern199m<>h 6024m,0<>w6024m<5>jmp 0m<>kern200m<>h 8333m,0<>w8333m<, dan menghilang di selinapan pintu bus yang mengangkutnya ke kampung halaman.
Namun, siklus perjalanan hidup Tini semakin sempit saja. Belum seminggu ia sudah muncul lagi di hadapan Ibu, di Rogojampi. Wajahnya kusut. Setelah ia menaruh sepuluh kue lepat sebagai buah tangan dari Lasem, dan sambil menyeret kopor kulitnya yang lusuh ke kamar yang masih saja disediakan oleh Ibu, Tini mengomel.
“Brosot sudah tak ada di kampung. Sapi, kambing, bebek, semua sudah tidak ada. Orang kampung juga tidak tahu dia ke mana. Dia minggat dari kampung. Minggat. Ada yang bilang Brosot jadi pedagang sepeda motor di Surabaya! Apa iya Brosot…. Brosot! Aku kok tidak percaya….” Tini menangis dengan suara yang dalam teredam.
Sejak itu, Tini menjadi sakit-sakitan. Meski dirinya memaksa diri bekerja, namun ia tidak mau makan. Badannya kurus tak kepalang. Kondisi kesehatannya terus merosot. Ia sering mengigau dan linglung. Nama Brosot setiap kali disebutnya dengan lirih, dengan rasa derita yang sulit diterjemahkan.. Sampai akhirnya sang waktu menutup pintu. Tini meninggal dengan ditunggui Ibu.
Sebagai penutup
“Tahun ini, berarti tahun ke-30 kematian Mbok Tini. Rasanya belum lama”, kata saya kepada Ibu di sebuah pematang kering yang kami lewati.
Ibu tak menyahut. Di kerut pipinya yang sangat tua terlihat setitik air mata.
(Untuk mendiang Mbok Tini dan Mbok Barina, pembantu keluarga saya)
Agus Dermawan T
Hari Baik
Hari Baik
Pendeta itu ringkih dan renta, jalannya perlahan, terbungkuk-bungkuk, kadang beberapa langkah ia berhenti mengatur napas, mempererat genggaman tongkatnya agar tumpuan lebih kuat, sebelum tubuh sanggup berayun lagi ke depan. Sekujur kulitnya keriput, tapi matanya bercahaya, wajahnya berwibawa. Jika ia datang di tempat upacara dan orang tergopoh-gopoh memapahnya, ia selalu menolak dengan menggerak- gerakkan kepala sembari tersenyum. Orang-orang pun berhenti terpaku mencakupkan kedua tangan di depan dada, kadang ada yang bersimpuh mencium lututnya, menyerahkan hormat dengan takjub. Pendeta kemudian mengusap-usap kepala orang itu, begitu sejuk menyiram ubun-ubun.
Saat ini pendeta akan merestui sepasang pengantin. Seperti biasa ia akan melantunkan mantra- mantra, dengan api, dupa, tirta. Tangannya yang kurus akan menggoyang-goyang genta, memberkati sepasang anak manusia agar hidup bahagia, segera beranak pinak, dilimpahi rezeki, dijauhkan dari cekcok dan malapetaka. Dengan sisa- sisa tenaga renta, ia menaiki tangga menuju pamiosan, bangunan bambu dengan balai- balai setinggi hampir dua meter, dibangun khusus bagi pendeta yang siap memuja. Beberapa orang dari keluarga pengantin wanita cemas menyaksikan pendeta itu tertatih-tatih mendaki tangga.
“Tidak adakah pendeta lebih muda di desa ini?” tanya seorang di antara mereka.
Tetapi bagi orang-orang di desa asal pengantin pria, itu pemandangan biasa. “Orang merasa lebih mantap dan terhormat jika upacara dituntun pendeta ini. Kami selalu terkesan oleh cahaya mata dan wibawanya,” sahut seorang keluarga pengantin pria.
Begitu pujian itu berakhir, suara berdebam terdengar dari pamiosan. Pendeta itu tergelincir di tangga bambu, terjerembab. Tubuhnya meliuk ke kanan sebelum ia sempat menggapai tiang bambu pamiosan. Bangunan itu bergetar. Atapnya yang terbuat dari alang-alang dengan secarik kain kasa putih melambangkan kesucian jagat raya sempat oleng, bergoyang- goyang sesaat menahan tubuh pendeta ringkih itu.
Sang pendeta terpelanting, terguling, disertai jeritan puluhan orang yang hadir hendak menyaksikan upacara perkawinan di rumah itu. Ia terkapar, terlentang di atas rumput hijau yang kemarin dipangkas rapi. Orang-orang panik merubungnya, memegangi tubuhnya yang terbujur kaku. Mereka yang tadi ngobrol sembari tertawa- tawa berderai langsung terdiam bingung. Mereka mengangkat tubuh pendeta itu, segera melarikannya ke rumah sakit. Rumah yang semula memancarkan kemeriahan dan kebahagiaan itu sontak berubah keruh dirubung kekalutan.
Pengantin itu saling pandang. Wajah yang berseri mendadak linglung, merasakan peristiwa itu seperti mimpi. Mereka termangu di antara hamparan sesaji suci dan meriah. Pakaian gemerlap oleh warna emas prada yang mereka kenakan tak ada artinya ketika dua jam kemudian berita duka dahsyat disampaikan: orang suci renta itu meninggal di rumah sakit. Apa guna menunggu? Pernikahan itu memilukan, terancam batal. Suasana mencekam.
Ayah pengantin wanita mendatangi anaknya yang termenung lesu di bawah pohon belimbing, menggamit tangannya. “Kita pulang saja, Nak!” rajuk lelaki itu. Tapi wanita itu terpaku, terisak, memandang hampa calon suaminya yang nelangsa di bawah pohon jambu depan dapur.
Dengan langkah gontai, ayah pengantin wanita mendatangi calon besannya. “Tak ada lagi yang bisa kita lakukan. Anak akan saya bawa pulang.”
Si besan terkejut. “Mari kita bicarakan nasib ini dengan tenang. Permintaan saya, jangan batalkan perkawinan.”
“Tak akan ada perkawinan tanpa pendeta.”
“Sedang kami usahakan mencari pendeta pengganti.”
“Siapa sudi jadi pendeta pengganti sore begini? Dua jam lagi malam.”
“Lalu, apa yang bisa kita lakukan?”
“Batalkan perkawinan hari ini. Kita mulai semua dari awal.”
Mulai dari awal artinya harus datang lagi ke rumah pendeta yang baru. Membawa sesaji lagi, memohon hari baik lagi. Itu belum cukup. Harus dijelaskan dengan jujur mengapa upacara perkawinan diulang. Tak ada gunanya berbohong, tidak karena sungguh terkutuk berdusta pada orang suci, tapi siapa pun, semua pendeta, pasti tahu bencana di rumah itu. Ya, rumah sial, tempat seorang pendeta ditimpa malapetaka.
Si besan termangu. Sesaji suci meriah dan sangat mahal itu, makanan-makanan enak untuk tamu-tamu adat, harus dibuang. Alangkah besar biaya dibutuhkan untuk membuat sesaji baru, harus melibatkan puluhan orang, berhari-hari. Dan ke mana harus disembunyikan muka ini dari rasa malu dan sesal? Tiba-tiba ia merasa dirinya dicabik nasib dan dibanting-banting.
Ayah pengantin wanita susah payah menenangkan anaknya yang terus tersedu. Dia tuntun wanita ayu itu melintasi halaman. Di bawah pohon jambu, calon pengantin laki merunduk, matanya basah. Dengan telapak tangan, ia pukul berkali-kali jidatnya yang berpeluh. Tak ia lihat sang kekasih melangkah gontai, berkali-kali menoleh sendu ke arahnya, memanggil dengan lambaian terkulai.
Di pintu gerbang, ayah pengantin laki masih mencoba menahan keberangkatan itu. “Apa tak sebaiknya kita rembukkan sekarang, mencari hari baik lain?”
“Hyang Widhi melarang kita bicara perkawinan hari ini, detik ini. Sebaiknya kita diam saja!” ujar ayah pengantin wanita setengah menghardik. Diikuti sanak saudara, ia bergegas meninggalkan gerbang, langsung masuk mobil, membanting pintu dengan sengit. Di sebelahnya duduk calon mempelai wanita itu, merunduk pilu, berurai air mata.
Berminggu-minggu, berbulan-bulan, berbilang tahun, hari baik itu tak pernah disepakati. Dua keluarga itu tak kunjung bersetuju. Di antara mereka kecocokan menjadi sangat mahal. Para orang tua, sepuh, turun tangan, yang justru membuat masalah jadi semakin rumit berbelit. Bagi mereka, sial itu terjadi karena kesalahan memilih hari baik.
“Bukankah hari baik itu telah direstui pendeta?” bela keluarga laki.
“Pendeta tak selamanya benar. Kita harus kritis pada siapa pun, termasuk pada orang suci,” sergah keluarga wanita.
Dalam setiap pertemuan, dua keluarga itu selalu mengambinghitamkan hari. Karena itu, hari baik menjadi mahapenting, menjadi tujuan, harus ditilik seteliti mungkin. Masing-masing menunjukkan kebolehan, mengaku mahir tentang hari baik pernikahan, mengaku jago setelah membaca berpuluh lontar. Tulisan-tulisan, cerita, dongeng, yang terukir di daun-daun lontar itu dijadikan acuan. Mereka berdebat, bersilat lidah, mencoba sekuat tenaga menjatuhkan pendapat lawan bicara. Tak seorang pun sudi menyerah, mengaku kalah. Aneh, tak ada yang menggubris betapa sedih dan galau sepasang calon pengantin itu menunggu keputusan yang tak kunjung datang.
“Sekarang sesungguhnya hari baik untuk melangsungkan upacara pernikahan. Ini sudah kami sampaikan sebulan lalu dalam pertemuan kita yang ke delapan belas,” ujar seorang dari keluarga laki-laki.
Hampir serentak keluarga perempuan geleng-geleng kepala. “Sekarang Sukra Kliwon Watugunung, hari Jumat, bulan Agustus, sasih Karo, saat baik buat ngaben, hari baik membakar jenazah, upacara untuk orang mati,” tangkis keluarga wanita. “Ada di antara kita mau mati? Inilah saat paling pas. Pintu surga terbuka lebar bagi yang sudi mati hari ini,” tambahnya dengan mencibir. “Aneh, hari baik untuk mati kok dijungkir balik jadi hari baik untuk nikah.”
Keluarga laki-laki menghela napas, terhina. Satu per satu mereka meninggalkan pertemuan itu tanpa pamit. Buntu. Berbarengan dengan kebuntuan itu, sepasang calon pengantin itu juga sedang bertemu. Mereka menganggap itu pertemuan mahapenting, sebuah revolusi untuk menyelesaikan kemelut. Mereka duduk di puncak tebing menghadap matahari yang sebentar lagi tenggelam. Nun di bawah sana, hampir dua kali lima puluh meter, batu cadas terserak menjadi tonjolan- tonjolan seperti bukit kecil. Biru laut semakin kelam, sebentar lagi berubah merah membara. Dari atas tebing itu, buih gelombang tampak sangat ganas menghantam karang seperti slow motion lambaian peri laut yang memanggil-manggil. Gerak abadi yang tak pernah menjemukan. Sepasang kekasih yang dirundung sial itu tengah bersiap diri masuk ke pintu gerak abadi itu.
“Dikau yakin ini hari baik untuk mati?” tanya si lelaki.
Wanita itu mengangguk. “Kutahu dari kakek yang sering mendongeng untukku. Kata kakek, Sukra Kliwon Watugunung, sasih Karo, hari terindah untuk mati.”
Si lelaki terkekeh. “Dongeng kata dikau! Kita jangan mati demi dongeng, sayang…!”
“Tapi hari baik untuk mati seperti ini hanya terulang sepuluh tahun sekali.”
“O ya?”
Si wanita melilitkan kain putih di pinggang kekasihnya. Kain panjang itu ia lilitkan jua ke tubuhnya sehingga raga mereka menyatu. Tak ada lagi busana lain. Mereka menyatu telanjang dalam balutan kain kasa. Mereka bisa saling merasakan detak jantung, kehangatan, juga kesejukan. Ujung kain mereka genggam bersama.
“Ini penyatuan abadi, kekasihku,” ujar wanita itu dengan mata berkaca-kaca.
“Ah, dikau sudah berjanji tidak akan menangis. Teringat yang akan dikau tinggalkan?”
Wanita itu menggeleng. “Daku terharu, kita sangat bersetia. Kita tengah menuju gerbang kebahagiaan sejati yang abadi.”
Si lelaki kembali terkekeh. “Daku suka dikau yang selalu gombal kalau lagi bersedih.”
Sedikit lagi matahari tenggelam. Semak-semak akan menjadi onggokan-onggokan hitam. Bangunan pura kecil di sebelah sepasang kekasih itu berdiri, segera kelam. Dulu, di abad ke-11, pura itu tempat seorang maharesi dikucilkan karena menentang raja. Ia menyepi ke ujung karang mendongak ke laut itu untuk bertapa. Ia moksa di sana, konon, tanpa meninggalkan jasad. Tapi ada yang berkomentar, jangan- jangan maharesi itu terjun ke laut nun di bawah sana. Pura itu kemudian menjadi simbol menentang kekuasaan dan kemapanan. Banyak mahasiswa yang hendak berdemonstrasi sembahyang di tempat suci itu, mohon restu agar terhindar dari kekerasan.
Laki-laki itu mengelus-elus pinggul kekasihnya, merapatkan tubuhnya untuk menikmati tumbukan kenyal payudara wanita itu.
“Peluk daku,” pinta si wanita.
“Ah, sejak tadi kupeluk dikau.”
“Lebih erat lagi. Ciummm…!”
Angin berembus kencang, sedikit lagi matahari tenggelam. Mereka menggerakkan kaki ke bibir tebing, menatap nun di bawah sana buih ombak semakin kelam menghantam karang. Warna permukaan laut kian membara oleh cahaya matahari senja. Kaki mereka bergeser terus, pelan-pelan, bersama. Dua tubuh telanjang yang menjadi satu oleh belitan kain putih itu semakin ke tepi tebing. Hening.
“Yakin kita tak meninggalkan jejak?” tanya si wanita.
“Tak ada sama sekali. Tak akan seorang pun tahu selamanya di mana kita berada. Pakaian, tas, sudah kulempar ke laut.”
“Kalau begitu, mari…!”
“Ayo…!”
Mereka meloncat melewati bibir tebing, meluncur ke bawah, cuma butuh sekian detik menempuh hampir dua kali lima puluh meter. Rambut wanita yang panjang itu berjurai-jurai ke atas, beberapa helai menutup mata dan telinganya.
“Peluk terus daku, sayang! Jangan lepaskan!”
“Kita moksa, kekasihku,” bisik si lelaki.
“Ciummm…!”
Ujung kain kasa putih yang melilit mereka berkibar-kibar didera angin laut. Sepersekian detik mereka mempererat pelukan, mengumpulkan kehangatan, melupakan semuanya. Hanya ada kekasih, penyerahan, dan penyatuan. Jantung berdegup kencang, otot dan tulang berderak-derak. Semua melayang terbang, seperti perjalanan ke ruang angkasa, menjelajah waktu luar biasa jauh, tanpa batas.
Tiba-tiba dingin tak terkatakan. Detik itu matahari sepenuhnya tenggelam. Betapa indah langit cerah bulan Agustus yang menyisakan semburat jingga di barat. Membuat siapa pun yang menyaksikan pesona itu tak hendak beranjak sebelum berakhir.
Raga sepasang calon pengantin itu terempas deras di atas karang, tetap berciuman, sebelum tangan ombak memeluk dan menggulung-gulungnya, membopong jasad itu ke tengah samudra. Tak tampak sedikit pun bekasnya. Tidak tersisa. Moksa.
Jimbaran, Juli 2003
Gde Aryantha Soethama
Pendeta itu ringkih dan renta, jalannya perlahan, terbungkuk-bungkuk, kadang beberapa langkah ia berhenti mengatur napas, mempererat genggaman tongkatnya agar tumpuan lebih kuat, sebelum tubuh sanggup berayun lagi ke depan. Sekujur kulitnya keriput, tapi matanya bercahaya, wajahnya berwibawa. Jika ia datang di tempat upacara dan orang tergopoh-gopoh memapahnya, ia selalu menolak dengan menggerak- gerakkan kepala sembari tersenyum. Orang-orang pun berhenti terpaku mencakupkan kedua tangan di depan dada, kadang ada yang bersimpuh mencium lututnya, menyerahkan hormat dengan takjub. Pendeta kemudian mengusap-usap kepala orang itu, begitu sejuk menyiram ubun-ubun.
Saat ini pendeta akan merestui sepasang pengantin. Seperti biasa ia akan melantunkan mantra- mantra, dengan api, dupa, tirta. Tangannya yang kurus akan menggoyang-goyang genta, memberkati sepasang anak manusia agar hidup bahagia, segera beranak pinak, dilimpahi rezeki, dijauhkan dari cekcok dan malapetaka. Dengan sisa- sisa tenaga renta, ia menaiki tangga menuju pamiosan, bangunan bambu dengan balai- balai setinggi hampir dua meter, dibangun khusus bagi pendeta yang siap memuja. Beberapa orang dari keluarga pengantin wanita cemas menyaksikan pendeta itu tertatih-tatih mendaki tangga.
“Tidak adakah pendeta lebih muda di desa ini?” tanya seorang di antara mereka.
Tetapi bagi orang-orang di desa asal pengantin pria, itu pemandangan biasa. “Orang merasa lebih mantap dan terhormat jika upacara dituntun pendeta ini. Kami selalu terkesan oleh cahaya mata dan wibawanya,” sahut seorang keluarga pengantin pria.
Begitu pujian itu berakhir, suara berdebam terdengar dari pamiosan. Pendeta itu tergelincir di tangga bambu, terjerembab. Tubuhnya meliuk ke kanan sebelum ia sempat menggapai tiang bambu pamiosan. Bangunan itu bergetar. Atapnya yang terbuat dari alang-alang dengan secarik kain kasa putih melambangkan kesucian jagat raya sempat oleng, bergoyang- goyang sesaat menahan tubuh pendeta ringkih itu.
Sang pendeta terpelanting, terguling, disertai jeritan puluhan orang yang hadir hendak menyaksikan upacara perkawinan di rumah itu. Ia terkapar, terlentang di atas rumput hijau yang kemarin dipangkas rapi. Orang-orang panik merubungnya, memegangi tubuhnya yang terbujur kaku. Mereka yang tadi ngobrol sembari tertawa- tawa berderai langsung terdiam bingung. Mereka mengangkat tubuh pendeta itu, segera melarikannya ke rumah sakit. Rumah yang semula memancarkan kemeriahan dan kebahagiaan itu sontak berubah keruh dirubung kekalutan.
Pengantin itu saling pandang. Wajah yang berseri mendadak linglung, merasakan peristiwa itu seperti mimpi. Mereka termangu di antara hamparan sesaji suci dan meriah. Pakaian gemerlap oleh warna emas prada yang mereka kenakan tak ada artinya ketika dua jam kemudian berita duka dahsyat disampaikan: orang suci renta itu meninggal di rumah sakit. Apa guna menunggu? Pernikahan itu memilukan, terancam batal. Suasana mencekam.
Ayah pengantin wanita mendatangi anaknya yang termenung lesu di bawah pohon belimbing, menggamit tangannya. “Kita pulang saja, Nak!” rajuk lelaki itu. Tapi wanita itu terpaku, terisak, memandang hampa calon suaminya yang nelangsa di bawah pohon jambu depan dapur.
Dengan langkah gontai, ayah pengantin wanita mendatangi calon besannya. “Tak ada lagi yang bisa kita lakukan. Anak akan saya bawa pulang.”
Si besan terkejut. “Mari kita bicarakan nasib ini dengan tenang. Permintaan saya, jangan batalkan perkawinan.”
“Tak akan ada perkawinan tanpa pendeta.”
“Sedang kami usahakan mencari pendeta pengganti.”
“Siapa sudi jadi pendeta pengganti sore begini? Dua jam lagi malam.”
“Lalu, apa yang bisa kita lakukan?”
“Batalkan perkawinan hari ini. Kita mulai semua dari awal.”
Mulai dari awal artinya harus datang lagi ke rumah pendeta yang baru. Membawa sesaji lagi, memohon hari baik lagi. Itu belum cukup. Harus dijelaskan dengan jujur mengapa upacara perkawinan diulang. Tak ada gunanya berbohong, tidak karena sungguh terkutuk berdusta pada orang suci, tapi siapa pun, semua pendeta, pasti tahu bencana di rumah itu. Ya, rumah sial, tempat seorang pendeta ditimpa malapetaka.
Si besan termangu. Sesaji suci meriah dan sangat mahal itu, makanan-makanan enak untuk tamu-tamu adat, harus dibuang. Alangkah besar biaya dibutuhkan untuk membuat sesaji baru, harus melibatkan puluhan orang, berhari-hari. Dan ke mana harus disembunyikan muka ini dari rasa malu dan sesal? Tiba-tiba ia merasa dirinya dicabik nasib dan dibanting-banting.
Ayah pengantin wanita susah payah menenangkan anaknya yang terus tersedu. Dia tuntun wanita ayu itu melintasi halaman. Di bawah pohon jambu, calon pengantin laki merunduk, matanya basah. Dengan telapak tangan, ia pukul berkali-kali jidatnya yang berpeluh. Tak ia lihat sang kekasih melangkah gontai, berkali-kali menoleh sendu ke arahnya, memanggil dengan lambaian terkulai.
Di pintu gerbang, ayah pengantin laki masih mencoba menahan keberangkatan itu. “Apa tak sebaiknya kita rembukkan sekarang, mencari hari baik lain?”
“Hyang Widhi melarang kita bicara perkawinan hari ini, detik ini. Sebaiknya kita diam saja!” ujar ayah pengantin wanita setengah menghardik. Diikuti sanak saudara, ia bergegas meninggalkan gerbang, langsung masuk mobil, membanting pintu dengan sengit. Di sebelahnya duduk calon mempelai wanita itu, merunduk pilu, berurai air mata.
Berminggu-minggu, berbulan-bulan, berbilang tahun, hari baik itu tak pernah disepakati. Dua keluarga itu tak kunjung bersetuju. Di antara mereka kecocokan menjadi sangat mahal. Para orang tua, sepuh, turun tangan, yang justru membuat masalah jadi semakin rumit berbelit. Bagi mereka, sial itu terjadi karena kesalahan memilih hari baik.
“Bukankah hari baik itu telah direstui pendeta?” bela keluarga laki.
“Pendeta tak selamanya benar. Kita harus kritis pada siapa pun, termasuk pada orang suci,” sergah keluarga wanita.
Dalam setiap pertemuan, dua keluarga itu selalu mengambinghitamkan hari. Karena itu, hari baik menjadi mahapenting, menjadi tujuan, harus ditilik seteliti mungkin. Masing-masing menunjukkan kebolehan, mengaku mahir tentang hari baik pernikahan, mengaku jago setelah membaca berpuluh lontar. Tulisan-tulisan, cerita, dongeng, yang terukir di daun-daun lontar itu dijadikan acuan. Mereka berdebat, bersilat lidah, mencoba sekuat tenaga menjatuhkan pendapat lawan bicara. Tak seorang pun sudi menyerah, mengaku kalah. Aneh, tak ada yang menggubris betapa sedih dan galau sepasang calon pengantin itu menunggu keputusan yang tak kunjung datang.
“Sekarang sesungguhnya hari baik untuk melangsungkan upacara pernikahan. Ini sudah kami sampaikan sebulan lalu dalam pertemuan kita yang ke delapan belas,” ujar seorang dari keluarga laki-laki.
Hampir serentak keluarga perempuan geleng-geleng kepala. “Sekarang Sukra Kliwon Watugunung, hari Jumat, bulan Agustus, sasih Karo, saat baik buat ngaben, hari baik membakar jenazah, upacara untuk orang mati,” tangkis keluarga wanita. “Ada di antara kita mau mati? Inilah saat paling pas. Pintu surga terbuka lebar bagi yang sudi mati hari ini,” tambahnya dengan mencibir. “Aneh, hari baik untuk mati kok dijungkir balik jadi hari baik untuk nikah.”
Keluarga laki-laki menghela napas, terhina. Satu per satu mereka meninggalkan pertemuan itu tanpa pamit. Buntu. Berbarengan dengan kebuntuan itu, sepasang calon pengantin itu juga sedang bertemu. Mereka menganggap itu pertemuan mahapenting, sebuah revolusi untuk menyelesaikan kemelut. Mereka duduk di puncak tebing menghadap matahari yang sebentar lagi tenggelam. Nun di bawah sana, hampir dua kali lima puluh meter, batu cadas terserak menjadi tonjolan- tonjolan seperti bukit kecil. Biru laut semakin kelam, sebentar lagi berubah merah membara. Dari atas tebing itu, buih gelombang tampak sangat ganas menghantam karang seperti slow motion lambaian peri laut yang memanggil-manggil. Gerak abadi yang tak pernah menjemukan. Sepasang kekasih yang dirundung sial itu tengah bersiap diri masuk ke pintu gerak abadi itu.
“Dikau yakin ini hari baik untuk mati?” tanya si lelaki.
Wanita itu mengangguk. “Kutahu dari kakek yang sering mendongeng untukku. Kata kakek, Sukra Kliwon Watugunung, sasih Karo, hari terindah untuk mati.”
Si lelaki terkekeh. “Dongeng kata dikau! Kita jangan mati demi dongeng, sayang…!”
“Tapi hari baik untuk mati seperti ini hanya terulang sepuluh tahun sekali.”
“O ya?”
Si wanita melilitkan kain putih di pinggang kekasihnya. Kain panjang itu ia lilitkan jua ke tubuhnya sehingga raga mereka menyatu. Tak ada lagi busana lain. Mereka menyatu telanjang dalam balutan kain kasa. Mereka bisa saling merasakan detak jantung, kehangatan, juga kesejukan. Ujung kain mereka genggam bersama.
“Ini penyatuan abadi, kekasihku,” ujar wanita itu dengan mata berkaca-kaca.
“Ah, dikau sudah berjanji tidak akan menangis. Teringat yang akan dikau tinggalkan?”
Wanita itu menggeleng. “Daku terharu, kita sangat bersetia. Kita tengah menuju gerbang kebahagiaan sejati yang abadi.”
Si lelaki kembali terkekeh. “Daku suka dikau yang selalu gombal kalau lagi bersedih.”
Sedikit lagi matahari tenggelam. Semak-semak akan menjadi onggokan-onggokan hitam. Bangunan pura kecil di sebelah sepasang kekasih itu berdiri, segera kelam. Dulu, di abad ke-11, pura itu tempat seorang maharesi dikucilkan karena menentang raja. Ia menyepi ke ujung karang mendongak ke laut itu untuk bertapa. Ia moksa di sana, konon, tanpa meninggalkan jasad. Tapi ada yang berkomentar, jangan- jangan maharesi itu terjun ke laut nun di bawah sana. Pura itu kemudian menjadi simbol menentang kekuasaan dan kemapanan. Banyak mahasiswa yang hendak berdemonstrasi sembahyang di tempat suci itu, mohon restu agar terhindar dari kekerasan.
Laki-laki itu mengelus-elus pinggul kekasihnya, merapatkan tubuhnya untuk menikmati tumbukan kenyal payudara wanita itu.
“Peluk daku,” pinta si wanita.
“Ah, sejak tadi kupeluk dikau.”
“Lebih erat lagi. Ciummm…!”
Angin berembus kencang, sedikit lagi matahari tenggelam. Mereka menggerakkan kaki ke bibir tebing, menatap nun di bawah sana buih ombak semakin kelam menghantam karang. Warna permukaan laut kian membara oleh cahaya matahari senja. Kaki mereka bergeser terus, pelan-pelan, bersama. Dua tubuh telanjang yang menjadi satu oleh belitan kain putih itu semakin ke tepi tebing. Hening.
“Yakin kita tak meninggalkan jejak?” tanya si wanita.
“Tak ada sama sekali. Tak akan seorang pun tahu selamanya di mana kita berada. Pakaian, tas, sudah kulempar ke laut.”
“Kalau begitu, mari…!”
“Ayo…!”
Mereka meloncat melewati bibir tebing, meluncur ke bawah, cuma butuh sekian detik menempuh hampir dua kali lima puluh meter. Rambut wanita yang panjang itu berjurai-jurai ke atas, beberapa helai menutup mata dan telinganya.
“Peluk terus daku, sayang! Jangan lepaskan!”
“Kita moksa, kekasihku,” bisik si lelaki.
“Ciummm…!”
Ujung kain kasa putih yang melilit mereka berkibar-kibar didera angin laut. Sepersekian detik mereka mempererat pelukan, mengumpulkan kehangatan, melupakan semuanya. Hanya ada kekasih, penyerahan, dan penyatuan. Jantung berdegup kencang, otot dan tulang berderak-derak. Semua melayang terbang, seperti perjalanan ke ruang angkasa, menjelajah waktu luar biasa jauh, tanpa batas.
Tiba-tiba dingin tak terkatakan. Detik itu matahari sepenuhnya tenggelam. Betapa indah langit cerah bulan Agustus yang menyisakan semburat jingga di barat. Membuat siapa pun yang menyaksikan pesona itu tak hendak beranjak sebelum berakhir.
Raga sepasang calon pengantin itu terempas deras di atas karang, tetap berciuman, sebelum tangan ombak memeluk dan menggulung-gulungnya, membopong jasad itu ke tengah samudra. Tak tampak sedikit pun bekasnya. Tidak tersisa. Moksa.
Jimbaran, Juli 2003
Gde Aryantha Soethama
Subscribe to:
Posts (Atom)