Showing posts with label Juni 2004. Show all posts
Showing posts with label Juni 2004. Show all posts

Friday 25 February 2011

Mati Kangen

Mati Kangen




Entah sudah berapa pekan anjing itu duduk meringkuk di sandaran sofa. Badannya mulai kurus, wajahnya kuyu, sorot matanya menerawang jauh menusuk kaca jendela, menembus rimbunnya daun tanaman pembatas halaman, merayap ke arah garis-garis di kaki langit.

Tak ada yang mampu membuat anjing itu menoleh dan mengalihkan arah tatapan matanya. Makanan dan mainan yang kami sodorkan hanya sejenak diendusnya, sebelum ia melenguh pelan, menaruh lagi moncongnya ke bilah teralis jendela, lalu mengarahkan pandangan mata ke arah kejauhan. Bahkan air minum yang kami sediakan pun hanya sesekali dijilatnya seolah ia sudah tidak berhasrat lagi menikmati segarnya penopang kehidupan.

Sayang anjing ini tidak bisa bicara. Dokter Rasman, satu-satunya dokter hewan di kota kami sedang tidak berada di tempat. Kata salah satu anaknya ia sedang kuliah lagi guna meraih gelar keahlian yang lebih tinggi. Tapi kata tetangganya ia pindah ke kota lain dan hidup bersama istri keempatnya. Padahal dokter hewan itulah yang secara teratur memeriksa anjing kami. Dia adalah satu-satunya ahli tempat kami semua bertanya segala sesuatu mengenai kesehatan dan perilaku anjing. Tapi mengapa saat kami sedang benar-benar butuh pertolongannya dia malah pergi?

Kami semua sudah hampir tak kuat menahan haru melihat keadaan anjing yang hanya mau duduk meringkuk di sandaran sofa di ruang tamu rumah kami. Wajahnya yang kuyu tidak memperlihatkan gairah. Ketika sesekali ia mendengus, yang terpancar justru ungkapan murung dan muram.

Para tetangga sudah pula berdatangan membesuk anjing kami. “Kenapa kamu, Cunel?” kata ibu dari rumah sebelah sambil membelai kepala anjing itu. Ia mencoba menyodorkan kue kecil yang sengaja dibawanya dari rumah ke mulut anjing itu. Tapi Cunel-ya, anjing itu kami beri nama Cunel-menoleh pun tidak, apalagi membuka mulut.

“Mungkin puasa,” ujar seorang ibu.

“Masak sampai berhari-hari?”

“Atau kena parvo,” timpal seorang bapak yang tinggal di seberang rumah kami menyebut suatu nama virus ganas yang umum menyerang pencernaan anjing.

“Tidak mungkin,” sahut kakakku. “Kalau parvo dalam lima hari pasti sudah tak tertolong. Lagi pula anjing ini sudah diberi vaksin,” kakakku berusaha menjelaskan. “Rabies dan distemper juga sudah diberikan,” tambahnya sambil memperlihatkan buku periksa anjing yang penuh dengan tanda tangan Dokter Rasman di setiap keterangan tentang tindakan yang dilakukannya terhadap anjing itu.

Seperti kami, para pembesuk pun akhirnya terdiam, tidak tahu harus berbuat apa selain membiarkan perasaan trenyuh mengembang dalam hati.

Memang tak hanya bagi diriku, kakakku dan ibuku, keberadaan anjing pudel berwarna coklat emas itu juga telah membuat jatuh hati para tetanggaku. Bulunya yang gimbal seperti domba membuat semua orang ingin membelai. Entah seberapa besar otak yang terdapat di kepalanya, kecerdasan yang diperlihatkan anjing itu pun benar-benar membuat orang terpancing untuk mengajaknya bermain dan betah berlama-lama dengannya.

Tidak hanya sekali anjing itu berlari keluar memanfaatkan pintu rumahku yang secara tak sengaja terbuka. Biasanya ia lalu menuju ke rumah tetangga, kemudian melompat-lompat seperti ingin meraih pegangan pintu untuk membukanya. Tapi karena tinggi anjing itu cuma tiga puluh sentimeter dan panjangnya hanya empat puluh sentimeter, ia memang tak pernah mampu meraih pegangan pintu. Beruntung pemilik rumah yang melihat tidak pernah mengusirnya dan malah terpesona pada gerakan anjing yang mudah dipahami maksudnya.

Ketika kemudian pemilik rumah membukakan pintu, anjing itu lalu memperlihatkan mimik wajah seperti mengajak bercakap-cakap. Kupingnya bergerak- gerak, dan sorot matanya tajam menatap wajah orang di depannya seperti sedang bertanya atau menjawab pertanyaan. Kalau orang tersebut masih saja diam, maka anjing itu akan mengulurkan kaki depannya untuk mencolek-colek sambil berdiri dengan kedua kaki belakangnya. Dengan tingkah lucu, anjing itu kemudian juga akan berguling-guling dan berbaring terlentang sambil menggosok-gosokkan kepalanya ke kaki orang itu. “Cunel, Cunel… unel-unel-unel,” begitu para tetangga yang gemas kemudian membelai kepala anjingku lalu tenggelam bermain bersama dengan melempar-lemparkan bola atau berkejar-kejaran.

Tapi belakangan ini, bahkan tukang sayur langganan ibuku yang sering memberi hadiah hati ayam pada anjingku sehingga anjingku begitu bersahabat dengannya, tak berdaya melihat Cunel membisu lesu. Sore tadi ketika ia besuk, anjingku juga tetap diam tanpa suara. Padahal biasanya, bila ia lewat di depan rumah, ia selalu menyempatkan diri melemparkan hati ayam yang sudah direbus kepada anjingku meski di hari itu ibuku tidak membeli dagangannya. Karena itu pada jam-jam tukang sayur itu biasa lewat, anjingku selalu sudah siaga di depan pintu atau di depan jendela kalau pintunya tertutup. Lalu begitu tukang sayur itu lewat, ia akan menggonggong gembira sambil berlari berputar-putar kegirangan.

Aku memang pernah mendengar kalau ada orang meyakini bahwa anjing adalah utusan pembawa damai tanpa kata-kata yang berasal dari suatu alam kehidupan yang tak dikenal oleh manusia. Sebab kenyataannya, sejak anjing itu berada di rumahku, orang-orang di sekitar rumahku lalu menjadi semakin akrab satu sama lain. Mereka jadi sering keluar rumah dan tidak terus-menerus bersembunyi di balik pintu dengan alasan sibuk atau lelah setelah sehari bekerja. Meski pada mulanya mereka hanya saling melontarkan perasaan kagum pada anjingku, tapi pada akhirnya mereka bisa membahas soal selokan yang perlu dikeruk karena mampet, soal tukang sampah yang malas melaksanakan kewajibannya meski sudah digaji, hingga soal-soal lain yang menyangkut kehidupan bertetangga.

Maka tak heran begitu mereka merasa tak melihat Cunel selama beberapa hari, mereka lalu saling bertanya-tanya dan sampai merasa perlu menyempatkan diri untuk besuk segala begitu tahu anjing itu bermasalah.

Ya, anjing itu memang anjing kesayanganku. Sebelum wafat empat tahun lalu, ayahku membelinya sebagai hadiah ulang tahunku yang kedua belas. Semula ayahku keberatan bila aku memelihara anjing. Beliau khawatir anjing itu akan menularkan sejenis virus yang kelak bisa menyebabkan kandunganku terganggu. Namun melihat kuatnya hasrat yang kuperlihatkan, akhirnya hati ayah luluh dan membelikan aku sepasang anjing.

Selama beberapa waktu, sepasang anjing pudel berwarna coklat emas dan coklat kopi itu sempat menyemarakkan rumah dan lingkungan tempat tinggalku. Tapi karena terserang demodex, yaitu sejenis bakteri yang melahap akar bulu anjing sehingga bulunya akan rontok dan hanya akan menyisakan kulit yang membusuk, seminggu sekali anjing jantan kami harus dimandikan dengan obat. Sialnya di kotaku tidak tersedia sarana pemandian untuk mengobati demodex. Karena itulah sejak tiga bulan lalu anjing itu harus menginap di rumah sakit hewan di kota yang jauhnya 120 kilometer dari rumahku.

Padahal lumayan, sebelum ketahuan demodex menyerangnya, anjing jantan itu telah berhasil membuat Cunel hamil dan melahirkan sampai enam kali. Sekali hamil, ia melahirkan enam ekor anak. Tak sanggup membayangkan rumah kami akan dipenuhi anjing, maka pada kelahiran pertama itu kami mencoba berbaik hati membagi-bagikan anak pudel kepada para tetangga. Mereka merasa senang dan berterima kasih kepada kami. Tapi entah, mungkin karena tak tahu cara merawat anjing atau pelit tak mau mengeluarkan biaya untuk suntik vaksin, atau setidaknya membawa anak-anak anjing itu ke salon hewan untuk dimandikan, belum genap tiga bulan semuanya sakit, muntah darah, lalu mati. Kami sedih dan dalam hati lalu bertekad, tidak akan membagi-bagikan anak anjing lagi kepada para tetangga.

“No way! Kalau mau, biar mereka beli dari kita. Asal tahu saja harga seekor anak pudel, tak lebih murah dibanding sepuluh gram emas,” kata kakakku yang setelah ayahku wafat, paling rajin merawat anjing-anjingku.

Begitulah sejak kelahiran kedua, ketika anak-anak anjing sudah berusia dua setengah bulan, kami lalu selalu menjualnya ke toko binatang peliharaan di kota yang jaraknya 120 kilometer dari rumahku. Tentu sebelum kami jual, anjing-anjing itu diperiksa dulu kesehatannya oleh Dokter Rasman, diberi obat cacing, dan tak lupa pula disuntik vaksin. Baru sekitar satu bulan lalu kami pergi ke kota yang jaraknya 120 kilometer dari rumahku itu untuk menjual enam anak pudel yang untuk terakhir kalinya dilahirkan Cunel. Di kota itu pula kami menyempatkan diri membesuk si anjing jantan yang ternyata tak hanya semakin gundul setelah dua bulan di rumah sakit, tetapi juga makin busuk karena penyakitnya sudah terlanjur parah dan merata ke seluruh tubuh. “Kasihan, deh, kamu,” begitu kami hanya berani berkata dalam hati tanpa mau mendekat, apalagi menyentuh, karena jijik.

Melihat keadaannya, kami sama sekali tidak berani berharap akan bisa membawa pulang anjing jantan itu lagi. Kalau pun anjing itu nanti sembuh, kami pasti tidak akan tega lagi memangkunya, memeluknya, apalagi menciumnya. Karena itu kepada seorang petugas di rumah sakit, ibuku kemudian menyerahkan sejumlah uang dengan ucapan terserah mau digoreng atau disate, atau mau dibiarkan saja anjing itu mati sendiri dan kemudian dikuburkan. “Tolong, Pak, kami benar- benar sudah tak tega,” kata ibuku. Petugas itu mengangguk-angguk sambil menyelipkan uang pemberian ibu ke sakunya.

Di rumah kami masih berharap akan terhibur oleh Cunel, si anjing betina yang sebenarnya lebih lucu, lebih cerdas, dan lebih menggemaskan dibanding si anjing jantan. Menurut silsilah yang tertulis di stambum (akta kelahiran), anjing ini memang merupakan keturunan dari anjing-anjing juara di berbagai arena lomba. Tak heran tanpa dilatih secara khusus pun Cunel sanggup memperlihatkan kecerdasan yang memesona dan mudah akrab dengan siapa saja.

“Salah satu alasan mengapa anjing bisa menjadi sahabat terbaik kita adalah karena anjing dan kita banyak memiliki persamaan,” papar Dokter Rasman suatu ketika.

“Persamaan? Dalam hal apa?” tanya kakakku ingin tahu.

“Kita dan anjing adalah makhluk yang sama-sama gemar berteman, sama-sama senang bermain-main, bukan bermain sebagai sarana penyegaran, tapi bermain sebagai tujuan hidup itu sendiri.”

“Bagaimana Anda tahu?”

“Saya dokter hewan, jangan dipotong dulu, masih ada satu hal lagi. Jauh di lubuk hati, kita dan anjing sama-sama tetap kanak-kanak sepanjang hayat.”

Dokter Rasman memang mengaku senang memberi penjelasan panjang-lebar tentang anjing. Harapannya adalah, para pemilik anjing makin memahami cara merawat sendiri anjing-anjing mereka. “Selain pengetahuan, diperlukan hati dan perasaan untuk merawat anjing. Itu kalau kalian tidak mau dibuat repot oleh binatang piaraan Anda,” ungkapnya saat terakhir kali ia datang ke rumah kami.

Tapi entah, apakah punya istri empat termasuk bagian dari yang ia sebut sebagai bermain-main, kenyataannya penjelasan Dokter Rasman soal persamaan anjing dan manusia sama sekali tidak berguna untuk menghadapi keadaan yang diperlihatkan Cunel sekarang ini. Hanya sesekali saja ia turun dari sandaran sofa, menghampiri makanan yang kami sediakan, menciumnya, mengeluarkan dengusan, berbalik ke arah tempat minum, menjilat air yang terdapat di dalamnya, lalu kembali lagi meringkuk di sandaran sofa.

Seperti kebiasaan yang dilakukan Dokter Rasman, kami sudah mencoba memeriksa, di mulut anjing itu tidak terdapat busa yang menandakan ia keracunan atau terkena infeksi di organ bagian dalamnya. Warna merah jambu pada gusinya juga cerah, menandakan kesehatan anjing itu tidak bermasalah. Saat sejenak gusi kami tekan menggunakan jari tangan, dalam dua detik warna pudar akibat tekanan juga segera pulih.

Lalu mengapa anjing kami meringkuk bisu dengan mimik murung kehilangan gairah? Kata Dokter Rasman suatu saat, perubahan perilaku anjing memang bisa merupakan akibat dari sejumlah sebab. “Saat berahi, adalah wajar bila anjing tak mau makan. Dia lebih tertarik untuk berdekatan dengan lawan jenisnya. Jadi tunggu saja sampai musim berahi lewat, tanpa dipaksa mereka akan menunggu sendiri diberi makan,” kata Dokter Rasman.

Dalam suatu obrolan lain seusai memberi vaksin pada anak-anak anjingku, dokter yang gagah dan tampan itu juga menjelaskan kalau pertambahan usia bisa pula membuat perilaku anjing berubah. Anjing yang sudah mendekati kematian, katanya, cenderung senang menyendiri. Mereka cenderung menjadi tidak bergairah, tidak berselera terhadap makanan, dan memilih bersunyi-sunyi.

Apakah itu berarti anjingku akan mati? Dokter Rasman mungkin lupa menjelaskan satu hal. Karena bisa berteman dengan manusia, mungkin saja anjing tidak akan pernah merindukan sesamanya. Tapi ia sama sekali tidak menjelaskan kalau induk anjing bisa kangen pada anaknya sendiri, pada darah dagingnya sendiri. Karena Dokter Rasman tidak menjelaskan, maka apa boleh buat kalau aku lalu menyimpulkan, anjing ini pasti kangen pada anak-anaknya yang telah kami jual semuanya. Pasti kangen sekali dia.

Kesimpulanku itu kudapat bukan tanpa alasan. Setidaknya ada dua perubahan perilaku yang diperlihatkan oleh anjing itu, dan keduanya tidak luput dari perhatianku.

Pertama, pada awalnya Cunel selalu memperlihatkan sikap seperti terperanjat, ingin menyambut, manakala ia melihat ada kelebat bayangan hewan lain lewat di depan rumah kami. Tapi setelah ia sadar hewan yang lewat itu adalah kucing, atau tikus selokan, atau anjing kampung, ia segera naik lagi ke sandaran sofa, duduk diam dengan sorot mata kecewa.

Kedua, ini mungkin lebih meyakinkan, saat aku bermaksud membuang kardus berisi potongan handuk dan kain, Cunel langsung berlari ke arahku dengan sikap gembira. Ia mengangkat kaki depannya, dan dengan sikap penuh gairah mengendus-endus sambil berusaha meraih kardus bekas pembungkus televisi yang saat itu aku pegang. Ya, di dalam kardus itulah Cunel melahirkan anak-anaknya. Pada potongan handuk dan kain itu bahkan masih terdapat bercak-bercak air ketuban yang sudah mengering.

Begitu melihat sikap Cunel yang bergairah membaui kardus, aku sempat gembira. Kardus itu lalu kuturunkan ke lantai dan membiarkan Cunel berguling-guling di atasnya. Mungkin saja kardus berisi potongan handuk dan kain itu masih menyisakan bau anak-anaknya. Karena itu kubiarkan saja dia terus-menerus menciuminya, dan bahkan tidak kularang saat berusaha menelannya.

Memang seharusnya di antara anak anjing itu ada yang kami sisakan barang seekor sekadar untuk menemani induknya dan tidak langsung menjual seluruhnya. Tapi pemikiran seperti itu tentu saja sudah tidak ada gunanya. Setelah beberapa hari gembira berguling-guling di atas kardus, Cunel tampaknya sadar, anaknya tak ada di tempat itu lagi. Ia menjadi bosan dan kembali murung duduk meringkuk di atas sandaran sofa.

Ya, aku bisa merasakan tatapan kangen yang dipancarkan anjing itu. Pancaran itu sama seperti saat ibuku kupergoki sedang sendiri memandangi foto almarhum ayahku yang tergantung di sudut ruang makan. Sama seperti saat kakakku sedang mengamati-amati bayangan dirinya pada cermin yang mulai memperlihatkan ketampanan wajah ayahku. Sama seperti aku sendiri saat menunggu munculnya rembulan sambil berharap ayahku akan melanjutkan ceritanya tentang seorang anak perempuan dengan binatang kesayangannya, sebagaimana bayangan kelabu yang tergambar di tengah lingkaran bulan. “Itu adalah seorang putri yang sedang menunggu kekasihnya. Selama bertahun-tahun ia menunggu, hanya ditemani oleh binatang kesayangannya,” begitu, dulu, ayahku biasa bercerita.

Biarpun untuk seorang kekasih, aku sama sekali tak punya bayangan seperti apa nikmatnya menunggu, apalagi sampai harus bertahun-tahun sebagaimana gambar kelabu di tengah rembulan itu. Tapi sambil membelai Cunel yang kini sudah berubah bentuk menjadi sebuah bantal boneka penghias sofa, sambil mengamati purnama yang sebulan sekali merayap pelan di atas atap teras rumahku menuju ke puncak angkasa, sejenis perasaan sendu memang selalu membuat hatiku berharap-harap rindu.

Ya, bertahun-tahun lalu, di sandaran sofa itu pulalah pada akhirnya Cunel mati. Sejak itu, seluruh model dan warna perabot di ruang tamu sudah berulang kali kuganti. Sudah lama pula ibu meninggalkan aku sendiri, mewariskan rumah dan seluruh kenangan masa kecilku yang selalu segar bermain-main dalam ingatanku. Dan saat di rumah lain kakakku sedang sibuk mempersiapkan upacara wisuda sarjana bagi putra-putrinya, aku tetap tak tahu, akankah nanti ada seorang pangeran yang menjemputku? *



Hanna Sayarashi

Biji Mata untuk Seorang Lelaki

Biji Mata untuk Seorang Lelaki



Lelaki itu samar-samar melihat seraut wajah yang hanya memiliki bibir dan hidung. Ia memicingkan mata agar dapat melihat lebih jelas. Bibir itu tersenyum. Tapi tarikan di ujung bibir terlalu dalam sehingga senyuman itu terlihat seperti sedang mengejek. Sinis. Dan seolah tak ingin diamati, tiba-tiba wajah itu berubah menjadi kecil, semakin kecil, bertambah kecil lagi…, hingga menjadi satu biji mata yang kemudian meloncat dan menempel di dinding!

Lelaki itu tersentak dari lelap tidurnya. Mimpi aneh itu memaksanya untuk bangun dan duduk bersila di atas tempat tidurnya. Sambil menopangkan dagu di atas lengannya, ia membuka kelopak mata. Sesaat ia terperanjat. Matanya bertabrakan dengan satu biji mata di dinding! Lalu ia memejamkan mata kembali sambil menarik nafas panjang. “Tak mungkin! Tak mungkin!” gumamnya berulang kali. Dengan mata yang masih terpejam, ia mengeleng-gelengkan kepala beberapa kali, berusaha menghalau mimpi yang mungkin masih tersisa di benaknya. Setelah membuka mata kembali, bibirnya tersenyum. Mimpi itu telah berlalu, katanya dalam hati. Lalu ia merebahkan tubuhnya sambil menghembuskan nafas lega. Tapi sebelum hembusan nafas lega itu berakhir, matanya terbelalak. Ada satu biji mata di langit-langit! Ia segera bangkit dan berjalan tergesa-gesa meninggalkan kamar tidurnya. Sambil berjalan, ia menoleh ke belakang beberapa kali. Menatap percaya!

Walau suara azan subuh telah terdengar sayup dari mesjid yang terletak di ujung jalan, lelaki itu masih duduk gelisah di teras rumahnya. Ia merenung sambil menatap lantai. Tak dapat dipahaminya mengapa biji mata yang dilihatnya dalam mimpi dapat menjelma menjadi kenyataan. Ada kebimbangan untuk mempercayai apa yang telah dilihatnya. Ingin diperiksanya dinding dan langit-langit kamar tidurnya sekali lagi. Ia sangat ingin melakukan hal itu tetapi khawatir menerima kenyataan yang akan dilihatnya. Bagaimana bila biji mata itu ternyata masih berada di kamarnya? Mungkin sudah tidak berada di langit-langit. Mungkin sudah di atas meja lampu di samping tempat tidur, atau bahkan mungkin tergeletak di atas kasur. Benaknya terasa panas dan pengap dipenuhi oleh banyak pertanyaan. Semakin berusaha untuk menjawab, semakin tak ada jawaban yang memuaskan hatinya. Hanya ada satu hal yang dapat ia simpulkan; ia merasa mengenal biji mata itu. Mirip dengan biji mata seseorang. Ia merasa pernah menyelam ke dalam bagian tengahnya yang berwarna hitam. Biji mata seorang perempuan!

Mungkinkah itu biji mata Nita? Mata yang selalu mengundang sekaligus menantang. Mengundang lewat tatapan nakal yang disertai beberapa cubitan manja di lengan dan pinggangnya. Bila tatapan itu dibalas dengan bungkusan kecil berisi serbuk-serbuk putih, maka ia merasa berhak – dan tak akan pernah ditolak – untuk memeluk sambil meliuk-liukkan badan di lantai disko. Tantangan pun ditebarkan di bawah siraman warna-warni bola lampu kristal dan sambaran sinar laser. Dituntun oleh dentuman musik yang agak menusuk ulu hati, perut perempuan muda itu tak pernah mengelak ketika ia mengentak-entakkan bagian bawah pusarnya. Lengan mulus yang bergayut di tengkuknya turut menebarkan sihir yang memaksa lelaki itu untuk tetap menunduk, bersiap menyelam ke dalam telaga birahi yang di biaskan bola matanya.

Sambil mengusap-usap kelopak matanya yang terasa pedih, lelaki itu bergumam, “Mungkin itu bukan Nita!!”

Lelaki itu berdiri sejenak di ambang pintu untuk mengamati semua furniture di dalam kamar tidurnya. Tak ada yang berubah. Semua tetap bersih dan tak ada yang bergeser dari tempatnya. Perempuan tua yang menjadi pembantu di rumahnya telah mengganti bed-cover dengan warna biru. Warna kesukaannya. Sebelum melangkah, ia mengamati dinding dan langit-langit. Bersih. Tak ada biji mata yang menempel!

Telah seminggu lelaki itu tidak tidur di kamarnya. Malam dilewatinya dari satu kamar hotel ke kamar hotel lainnya. Selalu berpindah-pindah. Tapi, semakin lama menginap di hotel, semakin menggumpal kegelisahan di hatinya. Ia merasa direndahkan. Satu biji mata telah mengusirnya dari sebuah ruang yang sangat pribadi baginya. Ia bebas tidur di mana saja terkecuali di kamar tidurnya sendiri. Ia bebas dalam ketidakbebasan. Ia mulai merasa terhina. Akhirnya ia memutuskan untuk merampas kembali kebebasan yang pernah ia miliki. Aku harus melawan, katanya dalam hati sambil mengepalkan jari-jari tangannya. Aku tak akan menghindar, apa lagi melarikan diri.

“Biji mata itu hanya sebuah halusinasi yang berhasil menancap ke dalam benak. Seolah ada, padahal tidak ada. Tak ada tempat bagimu untuk bercokol di benakku!” gumam lelaki itu. Akan kau rasakan perlawananku!

Lelaki itu membaringkan tubuhnya. Menarik nafas panjang untuk meredakan debar jantungnya. Ia belum sempat memejamkan mata ketika satu biji mata tiba-tiba menempel di dinding. Dengan sigap, ia bangkit untuk meraih sebatang pipa besi yang telah ia persiapkan. Ia sengaja meletakkan pipa besi itu di samping tempat tidurnya.

“Siapa kau?” bentak lelaki itu sambil membidikkan bagian runcing di ujung pipa, mengancam hendak menusuk.

Bulatan hitam di bagian tengah biji mata itu tiba-tiba berubah warnanya. Menjadi merah. Seperti warna bara api. Mengkilap. Sesaat kemudian, biji mata itu meloncat ke lobang udara dan menghilang.

Lelaki itu tersenyum. Matanya berbinar-binar. Embusan nafas lega beberapa kali mengalir dari kerongkongannya. Persis seperti yang diduganya. Tak akan ada perlawanan. Benda lembek itu hanya bisa menampakkan diri untuk menakut-nakuti. Baru digertak dengan ujung pipa besi, sudah terbirit-birit melarikan diri. “Keberanian yang dipersiapkan dan diperhitungkan dengan baik akan selalu membawa kemenangan,” katanya lirih.

Belum lewat tengah malam, lelaki itu tersentak dari lelap tidurnya. Matanya terbelalak melihat satu biji mata yang melayang-layang di kamar tidurnya. Dengan gesit, diraihnya kembali pipa besi itu. Ia langsung menyerang. Ujung pipa yang runcing ditusukkannya berulang kali. Tapi biji mata itu selalu berhasil mengelak. Ketika biji mata itu berhenti melayang-layang, lalu menempel di bagian atas dinding, lelaki itu memburunya dengan amarah yang meluap. Lengannya terangkat tinggi, membidik, siap untuk menombak! Lalu pipa besi ditombakkan! Biji mata mengelak. Berulang kali ditombakkan. Berulang kali pula biji mata itu berhasil mengelak. Dan ketika melayang melintasi jendela, lelaki itu menombak kembali. Byaaar…! Ia berdiri kaku. Terpana. Keheningan malam dikoyak oleh suara kaca pecah. Pecahannya berserakan di lantai. Dinding dipenuhi lubang-lubang bekas tombakan!

Lelaki itu terduduk di lantai. Keringat bercucuran di sekujur tubuhnya. Nafasnya tersengal-sengal. Tersirat keputusasaan di raut wajahnya. Dengan tatapan resah, ia mengamati biji mata yang melayang persis ke hadapannya. Baru disadarinya bahwa biji mata itu ukurannya lebih kecil dari biji mata yang ia lihat sebelumnya. Bagian yang putih terlihat sangat putih. Bulatan hitam dibagian tengah sangat hitam. Pekat. Dan ketika bulatan hitam itu melirik ke sudut kamar, lelaki itu pun menoleh. Di atas pintu, ada menggantung satu lagi biji mata yang bulatan tengahnya berwarna merah!

“Kau pembunuh!”

Tuduhan itu berasal dari biji mata berukuran kecil yang masih melayang-layang di hadapannya. Suara itu jelas terdengar, lembut dan bening, seperti suara bayi. Lelaki itu menjadi kalut. Dengan tergesa-gesa, ia bangkit dan berlari meninggalkan kamar tidurnya.

Lewat tengah malam, Satpam yang duduk mengantuk di posnya dikejutkan oleh kedatangan seorang lelaki yang baru turun dari taksi. Ia menatap tak percaya. Di hadapannya berdiri seorang lelaki dengan rambut acak-acakan dan piyama sutra yang menggantung di bahu. Lelaki yang harus diberi hormat dengan anggukan kepala setiap kali mobil mewahnya melintasi Pos Jaga.

“Buka pintu office, ada hal penting yang harus segera kukerjakan!”

Ruang kecil itu terletak di bagian samping gereja. Terisolasi. Ruang itu terbagi menjadi dua bilik. Salah satu dari bilik itu sering dipergunakan umat-Nya untuk mengakui dosa. Pada bagian tengah pembatas bilik, ada sejenis jendela kawat. Bentuk jendela itu seolah disengaja untuk membatasi pandangan mata, menghambat pikiran untuk mengembara, menuntun hati untuk pasrah. Hanya ada satu lampu yang bersinar redup tergantung di langit-langit. Ruang kecil itu terasa khusuk. Sepi. Orang yang sedang mengaku dosa menjadi merasa yakin bahwa tidak ada orang lain yang akan mendengar pengakuannya terkecuali seorang pastor yang duduk di bilik sebelahnya.

Lelaki itu sempat mempertimbangkan untuk mengunjungi seorang psikolog. Ia ingin menceritakan semua kejadian yang ia alami, ingin mendengar saran agar ia dapat menghindar dari halusinasi yang sedang mengganggu dirinya. Ia merasa yakin biji mata yang mengganggunya hanyalah sisa sebuah mimpi yang belum sirna walau ia telah terjaga. Ia juga ingin mendapat penjelasan mengapa ada mimpi yang seperti itu. Tapi ada bisikan dari hatinya melarang untuk melakukan hal itu. Psikolog itu akan mengajukan banyak pertanyaan, bertubi-tubi. Dan bila ia menjawab dengan jujur, jawaban-jawabannya dapat membahayakan dirinya sendiri. Ia tidak boleh berkata jujur kepada orang yang belum dapat dipercaya!

Sambil berlutut, mata lelaki itu menerawang melalui lubang-lubang kawat. Dalam keremangan, masih dapat dilihatnya senyum di bibir pastor itu. Tapi senyum itu tidak cukup kuat untuk menenteramkan kegelisahannya. Jari-jari tangan lelaki itu mencengkeram kusen jendela. Bola matanya menatap penuh harap. Kesunyian di ruang kecil itu membuat debar-debar di dadanya terasa lebih keras.

“Romo, sebulan yang lalu aku membayar seseorang untuk menabrak mobil Rosa, istriku!” kata lelaki itu lirih. Sambil menarik nafas panjang, ia menoleh ke kiri dan kanan. Lalu mengamati sudut-sudut bilik untuk memastikan bahwa tidak ada sebuah benda yang sedang mengintainya.

“Sebenarnya Rosa sedang hamil. Akibat tabrakan itu, ia keguguran dan akhirnya meninggal. Tapi anak yang dikandungnya bukan berasal dari benihku. Aku memang mengawini perempuan sundal. Aku bosan menjadi bawahannya, Romo. Bosan hidup dalam kemiskinan. Aku mengawininya karena ingin mengubah jalan hidupku. Tapi dasar sundal, dibuatnya aku sebagai boneka mainan. Aku harus selalu mengatakan ya. Bila mengatakan tidak, ia mengancam untuk bercerai. Berulang kali ia mengancam seperti itu!”

Lelaki itu terdiam sejenak. Ada bayangan yang melintas di hadapannya. Muncul berganti-ganti. Wajah pucat pasi di atas kereta dorong di Ruang Emergency, darah yang masih mengalir dari selangkangan, darah yang menggumpal di atas jok mobil, dan… senyum kemenangan yang sengaja ia sembunyikan dari bibirnya!

“Romo, aku tak bersedia menjadi bola yang dapat ia tendang kapan dan ke arah mana ia suka”.

Lelaki itu terdiam lagi. Ia menundukkan kepala. Entah mengapa, tiba-tiba dadanya berdebar-debar kembali. Bergemuruh. Butir-butir keringat mulai mengkristal di pori-pori dahinya.

“Apakah dosaku masih dapat diampuni, Romo?” sambil bertanya ia mengangkat kepala. Tapi bola matanya bertabrakan dengan satu biji mata yang terselip di lubang kawat. Biji mata yang bulatan tengahnya berwarna merah!

Dengan sigap lelaki itu berdiri, dan berjalan tergesa-gesa meninggalkan Bilik Pengakuan Dosa. Beberapa langkah kemudian, ia berlari secepatnya. Ia tidak berani menoleh ke belakang. Sekali pun tidak! Sekarang ia dapat memastikan bahwa biji mata berwarna merah itu adalah biji mata Rosa!

Lelaki itu mengempaskan dirinya di atas kursi empuk di ruang kerjanya. Tubuhnya seolah tenggelam ditelan besarnya sandaran kursi yang terbuat dari kulit halus. Matanya memandang liar. Dinding-dinding dan langit-langit diamati dengan teliti. Bola matanya bergerak-gerak ke segala arah. Rongga dadanya terasa sesak. Dinginnya ac tak mampu menghentikan cucuran keringat di sekujur tubuhnya. Dan tiba-tiba, satu biji mata jatuh di atas meja kerjanya. Persis di hadapannya! Ia tahu itu adalah biji mata Nita. Mata yang terbelalak akibat overdosis, yang memiliki bibir indah, yang selalu mendesah meminta serbuk-serbuk putih disuntikkan ke urat darah di siku lengannya.

Lelaki itu memejamkan mata. Ia merasa heran, mengapa biji mata Nita berani muncul di hadapannya. Tantangan apa lagi yang sedang ditebarkan? Padahal tantangan terakhir telah dijawabnya setengah jam sebelum perempuan muda itu terkapar tak bernyawa. Ia terus menghujamkan pinggulnya, tidak menyadari tubuh telanjang yang ditindihnya sebenarnya sedang sekarat, sedang meronta membebaskan diri dari serbuk-serbuk putih yang menari-nari meregang nyawa. Maka ketika membuka matanya, lelaki itu memutuskan untuk melawan. Bila ia menghindar, biji mata itu akan terus mengejarnya. Mungkin mengejar sambil tertawa mengejek.

“Hai biji mata, kau tak akan pernah bisa menakuti dan mempermalukan diriku! Aku bukan seorang pecundang!” teriak lelaki itu sambil mengayunkan lengannya. Dengan cepat, ia menampar biji mata itu. Tapi dengan cepat pula biji mata meloncat ke atas, menghindar, dan jatuh kembali ke tempat semula. Sesaat kemudian, sebelum sempat mengulang tamparannya, tiba-tiba satu biji mata lain yang bagian tengahnya berwarna merah-entah datang dari arah mana-jatuh pula di atas meja kerjanya.

Lelaki itu terhenyak. Ia sedang ditantang. Dipermalukan. Dihina. Dengan kemarahan yang meluap, ia mengayunkan lengannya kembali. Menampar berkali-kali dengan kedua belah tangannya, kiri dan kanan, silih berganti! Kertas-kertas, map, rak kertas in dan out, buku, jam meja, telepon, semua berserakan di lantai akibat tamparannya. Tapi dua biji mata masih tetap tergeletak di atas meja! Mengejek!

Dengan nafas tersengal-sengal, tatapan tak percaya, lelaki itu melangkah terhuyung-huyung ke arah pintu. Ia ingin segera berlari meninggalkan ruang kerjanya. Berlari sekencang-kencangnya, berlari…, berlari…, entah ke mana. Tapi sebelum tangannya meraih gerendel pintu, langkahnya terhenti. Di gerendel pintu ada satu biji mata lainnya. Ukurannya lebih kecil.

“Kau pembunuh!”

Suara itu terdengar lembut, tetapi mampu membuat getaran panjang di gendang telinga lelaki itu, seolah ada gaung yang menghantam benaknya berulang kali!

Di trotoar di pusat kota, ada seorang lelaki perlente yang selalu berjalan terburu-buru. Ia selalu menoleh ke segala arah. Matanya menatap curiga. Bibirnya selalu bergumam. Kadang-kadang ia berlari sambil berteriak sekeras-kerasnya seolah ingin mengalahkan kebisingan lalu lintas. Kadang-kadang ia berdiri terpaku mengamati jendela dan dinding kaca gedung-gedung yang menjulang di hadapannya. Sambil menunjuk bagian tertentu, ia berseru: “Mata! Mata! Ada mata…!” Beberapa orang yang berada di sekitarnya berhenti sejenak, lalu menoleh ke arah dinding kaca. Merasa tak melihat apa-apa, pandangan mereka berpindah ke telunjuk lelaki itu, kemudian menoleh kembali untuk mengamati dinding kaca yang ditunjuknya. Mereka tetap tak melihat apa-apa!

Lelaki perlente itu masih mengenakan dasi dan sepatu kulit yang sudah berdebu. Pada malam hari ia tidur di trotoar atau di bawah pohon rindang di taman kota. Sebelum tidur, kadang-kadang ia menangis terisak-isak!

Jakarta, April 2004



Timbul Nadeak

Laki-laki yang Tersedu

Laki-laki yang Tersedu



Ada sebuah peristiwa di mana aku tahu, semenjak itu terjadi, aku tidak akan lagi menemukan sebuah pagi yang membahagiakan. Peristiwa itu menggenapi rentetan peristiwa sebelumnya, menyempurnakannya dalam satu rumus kesedihan yang tidak terelakkan. Tidak ada lagi harapan. Tidak ada rumah yang hangat. Tidak ada anak-anak yang berteriak girang dan sehat. Tidak ada seorang laki-laki yang memelukku dari belakang, mencium punggungku, dan membisikkan kalimat sayang.

Aku tumbuh nyaris tanpa orangtua. Sejak kecil aku hanya hidup dengan seorang nenek yang keras kepala dan surat-surat dari jauh, kabar dari orangtuaku. Nenekku mempertahankanku sebagai cucu semata wayang untuk tidak bersama orangtuaku yang menempuh hidup di dunia yang jauh. Dunia yang jauh dari jangkauan dan alam pikir nenekku. Ia berpikir hidup adalah sesuatu yang bisa diteruskan. Ia, nenekku, berharap aku adalah sosok yang bisa meneruskan kehidupannya. Kehidupan yang tidak bisa kumengerti.

Dan aku hidup dalam hening dan sepi yang melilit. Di sana aku tumbuh, menjalar, menggapai sesuatu yang serba lamat-lamat. Rumah tua besar yang angkuh dan sepi. Seorang perempuan tua yang nyinyir, dan surat-surat yang tidak memberitakan apapun selain kabar bahwa mereka berdua, orangtuaku, baik-baik saja dan selalu rindu. Tapi apa yang kupahami dari surat-surat yang hampir sama itu? Tidak ada.

Lalu aku tumbuh menuju remaja. Seorang gadis, yang kata beberapa teman, cantik dan aneh. Pergi ke sekolah, pulang, pendiam, tidak banyak teman. Seorang gadis remaja yang menyusuri jam-jam penuh dengan kelelahan tanpa tahu apa yang harus dilakukan. Aku merasa tidak punya modal untuk memulai sebuah pergaulan. Aku tidak mempunyai sesuatu sebagai tiket masuk dalam sebuah dunia yang renyah.

Hingga seorang laki-laki memasuki duniaku seperti petasan yang membangunkan seseorang dalam tidur resahnya. Aku merasakan waktu itu sebagai anak tangga baru yang bisa kutempuh. Aku berharap bisa menemukan sesuatu yang selama ini kuharap, semacam perlindungan dan rambatan. Tapi ternyata tidak. Aku justru memasuki pintu sedih berikutnya. Masuk ke dalam lorong gelap teror dan ketakutan.

Ia hanya memenuhi hidupku dengan ancaman-ancaman dan persetubuhan yang ganas. Ia membawaku lari dari kehidupan nenekku, meninggalkan sebuah ruang sepi yang kubenci tapi membawaku dalam gelap yang lain. Kamu tahu aku tidak mempunyai apa-apa bahkan sekadar kenangan yang menyenangkan tentang hidup ini. Harapan tentang seseorang yang melindungiku lenyap dan digantikan dengan perasaan bahwa hidup ini tak lebih dari rentetan kisah sedih yang terasa panjang. Laki-laki itu terus melempar teror dari segala yang ada di dirinya. Mulutnya mengeluarkan kalimat-kalimat pedih, penghinaan, ancaman maut, dan gigitan di tubuh saat ia meregang memuntahkan hasrat yang aku tidak pernah bisa merasakannya. Tangannya begitu ringan mampir di tubuhku meninggalkan bilur-bilur kesakitan. Aku larut di sana, dalam hari-hari yang penuh dengan siksaan.

Hingga kemudian aku hamil dan ia menikahiku. Secercah harapan muncrat. Siapa tahu dengan kehamilanku, ia bisa sedikit menganggapku bahwa aku masih manusia, setidaknya karena di dalam rahimku ada benih kehidupan darinya. Tapi ternyata tetap tidak. Aku adalah gelap itu sendiri.

Ia tetap datang dengan kelakuan iblis yang sama, bahkan ketika aku melahirkan, ia hanya menengokku sebentar, tak ada kecupan selamat dan wajah bahagia yang kutangkap. Kelahiran itu tidak memberiku berkah apa-apa. Tidak ada tangan gaib yang membelaiku sesaat karena aku telah menimang buah kehidupan yang lain. Tidak ada janji Tuhan pada umatnya seperti yang ada di kitab-kitab. Tidak pernah ada buah dari kesabaran dan penderitaan yang panjang. Tidak pernah ada.

Kelahiran bayiku itu justru hanya semakin mengukuhkan aku tidak punya apa-apa, juga hak untuk membunuh diriku sendiri. Ketika perasaan ingin mengakhiri hidup ini datang padaku, wajah bayi itu mengurungkannya. Aku berpikir, bayi itu juga tidak akan punya siapa-siapa dan tidak punya apa-apa jika aku meninggalkannya. Kemudian aku belajar menaruh harapan pada bayi itu. Aku mencoba merawatnya dengan baik di tengah kepungan marabahaya yang bisa datang kapan saja dari laki-laki itu.

Laki-laki itu bisa datang pada tengah malam, membangunkanku dengan paksa, menyetubuhiku, meregang lalu tidur dalam lelah. Laki-laki itu bisa datang di pagi benar, membanting piring sebab tidak ada makanan di meja makan, menyetubuhiku, meregang lalu tidur dalam lelah. Laki-laki itu bisa datang di siang hari, menghinaku karena aku tidak mendatangkan uang, karena aku tidak punya bentuk tubuh yang bagus, kemudian menyetubuhiku, meregang lalu tidur dalam lelah. Laki-laki itu bisa datang di sore hari, memukuliku hanya karena aku habis mandi dan dia mengatakan bahwa pasti aku berdandan karena sedang berselingkuh dengan laki-laki lain, menyetubuhiku, meregang lalu tidur dalam lelah. Laki-laki itu bisa datang…

Jika kamu bilang bahwa hidup itu jalinan antara kesedihan dan kebahagiaan, katakan saja itu pada orang lain. Jangan katakan padaku. Jangan pernah. Aku tidak percaya.

Ketika bayiku mulai tidak menyusu, aku sempatkan diri untuk bekerja membuat kue dan mengedarkannya di warung-warung terdekat. Usahaku itu mulai tumbuh membesar seiring dengan besarnya anakku. Aku pikir, ini saatnya aku bisa menapaki hal baru dalam hidupku, setidaknya untuk anakku kelak. Tapi tetap saja tidak. Ketika aku pulang dari mengantarkan kue, dari pintu depan aku dengar suara anakku yang menangis kencang, dan ketika kubuka pintu kamar… laki-laki itu sedang bercinta dengan seorang perempuan di samping anaknya yang menangis karena kehausan. Aku mendatangi mereka dan kutampar wajah laki-laki itu, lalu kubawa pergi anakku. Selesai sudah.

Selesai sudah? Ah, tidak. Aku pergi jauh. Berpindah dari satu kota ke kota yang lain dengan dikuntit oleh perasaan tak aman dan teror hitam kenangan, dengan uang yang tak seberapa di tangan. Hingga kemudian aku memutuskan untuk menetap di sebuah kota, berharap bisa membangun sesuatu yang baru bersama dengan anakku yang baru bisa menyebut kata: mama…

Aku membuat lagi kue, mengedarkannya sambil tetap membawa anakku kemana saja. Hingga kemudian aku bisa menyewa rumah, menggaji orang untuk sebentar saja menjaga anakku sebab bisnisku mulai berkembang dan semakin jauh edarannya. Sedikit demi sedikit biji harapan mulai keluar dari tanah kenangan yang kejam dan tandus. Tapi itu semua belum juga berakhir.

Seperti kepulangan yang dulu, ada suara berdengung di telingaku yang memaksaku pulang lebih dulu, dan kudengar tangis anakku dari jauh sambil menyeru-nyeru kata “mama” berulang-ulang. Orang yang menjagaku menggigil di depan pagar, ketakutan. Aku masuk rumah dan kudapati beberapa orang berada di dalamnya. Salah satunya adalah laki-laki itu yang sedang mendekap keras anakku yang berusaha meronta dan menangis tapi tetap tidak bisa lepas dari dekapan laki-laki itu. Aku tahu, sesuatu yang lebih buruk sedang menungguku. Rombongan orang itu membawaku pergi dengan pesan yang terngiang dari laki-laki itu agar aku menyelesaikan urusan perceraianku dengannya.

Tentu, aku menceraikannya. Tapi bukan itu, ia juga mempermasalahkan hak asuh anakku. Dan itu artinya aku harus melalui proses peradilan yang panjang dan bertele-tele. Aku sudah tidak punya tenaga lagi, dan terutama, aku tidak punya uang. Lalu kuputuskan untuk pergi melayang tanpa arah. Setiap kali aku mencoba untuk membunuh diriku sendiri, wajah anakku memberatiku. Padahal aku tahu, aku tidak pernah bisa bertemu dengannya lagi.

Ini adalah dua tahun kepergianku, dan baru kali ini aku bisa menceritakan kisahku. Hanya padamu.

Aku tidak tahu kenapa aku harus bercerita padamu. Dan aku tidak tahu untuk apa aku menceritakan ini semua. Kamu mungkin bisa mendapatkan kisah-kisah yang jauh lebih sedih di buku-buku cerita atau di film-film. Tapi… Ah, aku tidak tahu… seharusnya kata “tidak” saja sudah cukup.

Semua hal di atas kuceritakan pada seorang laki-laki yang belum begitu kukenal. Semua itu berawal dari ketika aku akan menyeberang jalan menuju ke sebuah stasiun. Dari stasiun kulihat dua laki-laki, yang satu kemudian menyeberangi lalu lintas yang padat, sementara aku masih sibuk untuk berusaha mencari celah agar aku bisa segera menyeberang. Rupanya agak jauh dari tempatku ada seorang perempuan tua yang juga sedang berusaha untuk menyeberang jalan. Ternyata laki-laki itu hendak menolong perempuan itu untuk menyeberang. Waktu itu aku hanya membatin, ternyata masih ada orang yang agak baik di dunia ini.

Di peron, aku melihat lagi dua laki-laki itu. Kemudian kulihat laki-laki yang tadi membantu menyeberangkan jalan perempuan tua, berjalan menuju pojok stasiun menghampiri seorang nenek penjual kacang rebus. Laki-laki itu kulihat balik dengan membawa bungkusan penuh dengan kacang. Aku mendengar kawannya bertanya, “Untuk apa membeli kacang sebanyak itu?” Dan aku mendengar jawaban yang keluar dari mulut laki-laki itu, “Kamu bawa pulang untuk teman-teman. Nenek itu hebat, ia perempuan hebat.” Selanjutnya, pengumuman kereta yang kutunggu datang.

Ternyata laki-laki itu satu gerbong denganku bahkan ia berada satu deret di sampingku. Di antara kami hanya dipisahkan oleh seorang ibu berkerudung yang duduk di sampingku, sebuah lorong, dan seorang laki-laki tua yang sering batuk di sampingnya. Kami sama-sama dekat dengan jendela. Dari bayang jendela di sampingku, aku melihat ia melambaikan tangan pada temannya yang ternyata hanya mengantar.

Aku tergeragap dari lamunanku ketika ibu di sampingku berteriak setengah menangis pada kondektur yang sedang memeriksa tiket, ternyata tiket ibu itu ketinggalan. Aduh, sungguh kasihan sekali, dan tentu ibu itu tidak mungkin berbohong. Sebelum suasana bertambah runyam, laki-laki itu berdiri lalu mengajak kondektur dan ibu itu ke arah belakang untuk berbicara bertiga. Entah apa yang mereka bicarakan di sekat antargerbong, semua orang yang duduk di gerbong itu ingin tahu. Tapi tentu kami tidak bisa mendengar apa-apa. Hingga kemudian mereka bertiga berjalan kembali, pemeriksaan tiket dilanjutkan, ibu itu mengucapkan terima kasih berkali-kali ke laki-laki itu, lalu tertidur. Dan laki-laki itu tetap terlihat tenang seperti tidak ada kejadian apa-apa dan di sepanjang perjalanan ia membaca buku. Sedangkan aku terus dibawa oleh pikiran ke masa lalu yang rasanya tidak akan pernah selesai membuntutiku.

Kereta berhenti. Orang-orang bersiap turun. Aku agak kesulitan menurunkan barang bawaanku yang kutaruh di atas, sebuah tas besar berisi pakaian yang akan kujual di kota ini. Aku memang berdagang pakaian untuk mempertahankan hidupku dan mengisi hari-hariku. Tapi tiba-tiba sebuah tangan mengambil tasku sambil sebuah suara mengiringi, “Saya bantu, Mbak.”

Aku menoleh kaget. Laki-laki itu seperti tidak peduli lalu menurunkan bawaanku, ia menoleh ke arahku sambil berkata lagi, “Mau keluar lewat pintu depan?” Sambil bingung aku mengangguk. “Kalau begitu biar saya bawakan saja.” Dan aku menurut tanpa bisa berkata apa-apa.

Sampai di depan stasiun, ia bertanya, “Mau naik taksi atau ada yang menjemput?” Aku masih belum bisa mengatasi rasa bingungku dan berusaha menjawab, “O, tidak, saya naik angkot saja.”

Kulihat ia mengernyitkan mukanya, lalu tersenyum sambil berkata, “Hari ini angkot di kota ini mogok.” Aku bingung, lalu buru-buru bertanya, “Anda tahu dari mana?”

Ia meletakkan tasku di lantai lalu duduk dan menjawab, “Dari koran.” Aku belum sempat memberi respons atas jawabannya ketika ia kembali bertanya, “Mbak mau ke arah mana? Sebentar lagi saya dijemput oleh teman dengan mobil. Kalau kita satu arah, bareng saja, Mbak.” Aku masih belum menjawab ketika seorang laki-laki datang lalu mereka berpelukan erat dan berbagi kabar. Mungkin ia yang dimaksud dengan kawan yang akan menjemputnya. Lalu ia berbisik ke temannya, dan kemudian temannya menghampiriku dengan senyum dan bertanya, “Mau ke arah mana, Mbak?” Dengan agak gugup aku memberitahu tempat yang kutuju. Lalu laki-laki itu berkata, “O, itu satu arah dengan kami, Mbak. Mari bareng saja.” Aku belum juga sempat berkata apa-apa ketika laki-laki yang satu kereta denganku itu kembali membawakan tasku dan memberi anggukan untuk mengikuti mereka berdua.

Dari pertemuan itulah, aku mengenal laki-laki yang sekarang sedang kuhadapi. Semenjak peristiwa itu, kami sering berhubungan, kadang ia menelepon, bahkan kadang ia mampir di tempat tinggal sementaraku jika aku ada di kota ini. Beberapa hari yang lalu, ia bertanya, apakah suatu saat aku bersedia untuk diajak makan malam? Dan seperti sebelumnya, aku tidak punya jawaban apa-apa selain mengangguk.

Malam ini, ia mengajakku untuk keluar makan malam. Di sebuah ruang yang agak sepi, sebuah kalimat yang sungguh mengagetkan meluncur dari mulutnya: ia menginginkanku menjadi kekasihnya! Aku seperti sesak napas seketika. Duniaku terasa kembali dalam gelap. Ah, tidak, aku tidak boleh mempunyai harapan lagi pada hidupku kali ini. Aku tidak ingin ada yang ikut menanggung lukaku. Tetapi sepasang mata yang tajam dan tulus itu menggedor-gedor pintu harapanku, dan keinginan untuk hidup dalam hari yang menyenangkan menekan kuat dari dalam diriku. Ah, tapi tidak. Dan kata “tidak” itu yang kemudian keluar dari mulutku.

Ia angluh. Mukanya tertunduk. Tapi kemudian kembali tegak, berusaha tersenyum. Dan ah… ada air mata di kedua sudut matanya. Lalu dari mulutnya meminta sedikit alasan dariku mengapa menolak permintaannya.

Aku kemudian menata perasaanku. Dengan perasaan yang tidak menentu, aku membuka sejarah yang ingin kubuang dalam hidupku. Di depanku, laki-laki itu tersedu sembari sesekali menggenggam tanganku. Tapi aku tahu, setelah cerita ini semua, ia hanya bisa tersedu. Tidak akan lebih dari itu sebab ini bukan kisah di buku-buku cerita dan di film-film. Dan ia memang hanya bisatersedu. Tidak lebih.



Puthut EA

Tamu

Tamu



Januari 1965.

Tahun itu, aku berusia delapan tahun, dan namaku Dara. Aku punya dua adik laki-laki, yang menurut Mama harus lebih diperhatikan karena mereka masih kecil (sepulang sekolah aku harus ikut menjaganya). Sementara Mama merawat anggrek, yang bergelantungan di pohon belakang rumah. (Mama berharap anggrek ini, kelak bisa menambah biaya sekolah kami. Menurut Mama, Papa cuma pegawai negeri sipil yang gajinya hanya cukup untuk sebulan).

Ada sisi lain sepulang dari kerja, Papa cuma mengganti-ganti gelombang radio dan berkata dengan sangat kesal, “Brengsek siaran radio apa ini, mendengar musik Elvis dan The Beatles dilarang. Padahal, aku tidak suka dengan siaran di radio itu, yang isinya cuma propaganda.”

Senja itu, aku sedang mencabuti uban Papa dengan bayaran 50 sen untuk setiap uban. Tiba-tiba telepon berdering. Papa menjawabnya dengan berteriak-teriak (waktu itu hubungan jarak jauh memang tidak begitu jelas). Kemudian, secara bergegas Papa ke halaman belakang menemui Mama yang sedang belepotan dengan anggrek-anggreknya. “Daryo sudah berada di Surabaya. Minggu depan, dia akan mengunjungi kita. Bapaknya kan sakit, dia akan mengajukan cuti besar. Dan kabar lainnya, dia membawakan pesananmu, parfum yang bermerek Maya.”

Kemudian Mama berbicara kepadaku, “Om Daryo, sepupu papamu. Dia Simbat, si pelaut. Kita sudah tidak bertemu selama lima tahun. Teddy Bear yang kau terima lima tahun yang lampau adalah kirimannya. Dia bisa keliling Eropa tidak seperti papamu yang cuma pegawai negeri. Seandainya dia di sana terus kala kau sudah tamat SMA, belajar saja di negeri Belanda atau Eropa.”

“Aku tidak suka sekolah di negeri Belanda. Kalau aku besar aku akan pergi jauh dan jauh sekali.”

Mama tidak menanggapi omonganku. Kembali aku harus mengawasi kedua adikku yang sore ini bukan main rewelnya.

Pesiapan menyambut Om Daryo seperti kala menyambut Lebaran saja. Ada ketupat lengkap dan Mama memakai gaun merah muda yang cantik sekali (dia kelihatan cantik sore ini) ketika Simbat si pelaut datang. Kami sekeluarga mendapat oleh-oleh, Mama mendapat parfum, Papa mendapat arloji yang bagus, dan saya terlonjak, Om Daryo memberi saya boneka Barbie bersama pacarnya, Ken.

Malam-malam sesudah itu, pada satu kesempatan Mama berkata kepada Papa, “Papa, sudah ketemu teman yang asyik kan? Buktinya Papa betah meladeni omongan Daryo sampai malam.”

“Entahlah, yang diomongkan buku-buku politik. Padahal, aku tidak suka. Dengar di radio saja aku sudah muak. Tetapi, asyik juga mendengar obrolannya.”

Hampir tertelan olehku roti ini dan kutanyakan agak bergegas, “Pa, buku politik itu apa? Saya tidak suka karena tidak ada gambarnya.”

Mama menyela, “Aku juga tidak suka buku-buku seperti itu, yang aku suka duit.”

Papa tertawa dan di teras muka sudah terlihat Om Daryo melambai-lambaikan tangannya sambil membawa beberapa buku lagi.

Papa sedang di kamar mandi, saya tanyakan kepada Om Daryo, “Mengapa Om dan Papa suka buku itu, apa sih isinya? Padahal tidak ada gambarnya.”

“Kalau aku kembali ke Eropa, buku-buku ini akan kutinggal di sini agar kelak kalau kamu dewasa kamu biasa membacanya. Zaman itu, kau sudah tidak lagi menyukai boneka.”

“Aku selalu akan suka boneka sampai dewasa. Kalau aku pergi dari rumah ini, Barbie dan Ken akan bersamaku.”

Om Daryo tertawa dan malam itu aku merasa gembira karena aku tidak diusir oleh Mama kala mendengarkan percakapan kedua orang lelaki itu. Tanpa terasa, aku kemudian tertidur.

Besoknya, Mama ngomel karena hari itu aku tertidur di muka tamu.

“Makanya, jangan suka nguping obrolan orang dewasa. Kan lebih baik kamu belajar agar kelak naik kelas dengan peringkat yang bagus.”

Tapi Papa berpendapat lain, “Biarkan Dara menguping ia akan mendapat pelajaran dari buku-buku yang kami diskusikan.”

“Diskusi apa? Buatku Dara dan adik-adiknya harus belajar pelajaran di sekolah.”

Memang, suasana rumah rasanya lain kalau Om Daryo hadir di tengah kami. Sekalipun Mama jarang ikut nimbrung sampai malam, kentara sekali Mama tidak pernah membenci percakapan dari tamu kita yaitu, Om Daryo.

Kami memang jarang menerima tamu dan dari yang jarang itu kadang-kadang Mama tidak suka kepada tamu Papa. Papa juga tidak terlalu suka kepada tamu atau teman Mama. Tetapi, kelihatan sekali mereka berdua suka dengan Om Daryo, sekalipun kadang-kadang Papa sering mengatakan kepada Mama, “Daryo itu aneh menyukai buku-buku seperti itu.”

“Dari dulu kan Daryo eksentrik,” kata Mama telak.

Papa tidak berkometar dan seandainya Om Daryo tidak datang sehari saja suasana rumah seperti semula. Papa akan mengotak-atik radio sedangkan Mama belepotan dengan anggreknya dan saya akan disuruh mama menjaga adik-adik.

Suatu kali, ketika Om Daryo datang lagi dan sedang asyik ngobrol dengan Papa di ruang tamu, saya ingin Papa mengajariku matematik. Kali ini yang mengajari Om Daryo. Sedang Papa asyik membaca buku-buku itu kemudian selesailah PR matematik.

Ketika saya lihat Mama sudah tertidur bersama adik-adik, saya keluar lagi ke ruang tamu ini, melihat keasyikan mereka ngobrol kadang-kadang berdebat dan menunjuk-nunjuk alinea dalam buku. Mereka kadang-kadang tertawa bersama. Saya cuma mendengarkan tanpa mengerti, tetapi asyik sekali rasanya. Memang sejak kehadiran Om Daryo rumah kami seperti anggrek yang kena siram, terus-menerus segar dan tegar. Kalau kami sekeluarga kumpul, Om Daryo akan bercerita tentang laut, bajak laut, dan Eropa. Saya seperti terpesona kalau mendengar ceritanya tentang bajak laut yang menghadang kapalnya.

Mama sering bertanya tentang Eropa dan matanya seperti bermimpi kalau mendengar cerita tentang Eropa. Pada saat seperti itu Papa bilang, “Aku selalu bermimpi anak-anak bisa sekolah di sana, suhu politik semakin tidak menentu banyak orang bilang bahwa negeri kita akan dikuasai komunis. Dari siaran luar negeri beritanya terbalik-balik, bahwa ada kekuatan lain yang ingin menumbangkan Presiden Soekarno.”

Kalau sudah berbiacara hal itu suasana jadi hening. Mama berkata pelan-pelan, “Sebagai pegawai negeri Papa akan mendapat jaminan di masa tua. Kalau Papa ingin imigran ke sana apakah harus mulai dari nol, sedangkan usia Papa sudah 37 tahun. Bagimana menurut Mas Daryo?”

“Aku sebetulnya sepakat dengan pendapat Masmu, kehidupan di negeri ini semakin tidak menentu. Asal mau jadi tukang cuci piring di restoran, aku bisa mengusahakan. Aku punya teman pemilik restoran yang butuh tukang cuci piring.”

Mama terdiam agak lama kemudian berkata, “Kalau begitu, biarlah kita lihat-lihat dulu suasana di sini. Saya lebih suka di Kota Malang, kalau tidak terpaksa pindah buat apa kita pindah.”

Kemudian Om Daryo menyela, “Aku mungkin tidak bisa kembali ke Indonesia. Istriku, Margareta, pasti tidak bisa hidup di Indonesia. Dia sudah bahagia menjadi karyawan di radio dan bukankah saya harus membantu kebahagiannya? Apalagi dua anak laki-laki kami tidak mau serumah lagi.”

“Maksudmu tidak tinggal serumah dengan kalian lagi, bukankah Ricard dan Bangun masih berusia 17 dan 20 tahun,” kata Mama.

Om Daryo bilang, “Anak-anak di negeri Belanda tidak bisa ditahan di rumah kalau sudah usia segitu. Karena mereka bisa mandiri dalam artian bisa mencari uang sendiri.”

“Aku kalau begitu mau di negeri Belanda, biar bisa cari uang sendiri.”

Om Daryo tertawa. Tentu saja aku tidak meneruskan ucapanku yang seperti ini, aku lebih suka hidup bersama Barbie dan Ken karena kalau aku hidup sendiri, Mama tidak akan menyuruhku menjaga adik-adikku yang rewel.

Kemudian Papa memotong pikiranku, “Walaupun aku di sini sudah menjadi Kabag, aku rela menjadi tukang cuci piring di negeri orang, asal anak-anak bisa sekolah dengan teratur. Saya dengar di radio-radio luar negeri, negeri ini sudah seperti api di dalam sekam, aku khawatirkan pendidikan anak-anak.”

“Ya, aku bisa merasakan keprihatinanmu. Kalau Bapak sudah sembuh, kau bisa pikirkan ikut bersamaku.”

Begitulah Om Daryo, mungkin kegembiraan kami kalau dia datang karena bisa memberi atensi kepada kami bahkan sampai ke adik bayiku. Rasanya semakin lama aku semakin betah untuk duduk mendengarkan omongan mereka, tanpa aku mengerti mereka bicara apa.

Jadi, kami merasa sore hari tidak lengkap jika Om Daryo tidak datang. Kami memastikan kalau dia datang akan bisa menghabiskan malam-malam yang rasanya pekat. Suatu ketika Om Daryo bercerita kepada kami, dia mendapat bagian merawat bapaknya dari pagi sampai magrib. Kalau adik-adiknya pulang kerja, baru adik-adiknya yang menggantikan untuk merawat bapaknya dan Mama sering memuji sikap Om Daryo, “Lihatlah Dara, Om Daryo mau berhenti bekerja hanya untuk merawat bapaknya yang sudah tua. Semoga kau dan adik-adikmu bisa melakukan hal yang sama kalau kami sudah tua.”

“Tentu saja aku akan mencarikan Mama suster.”

“Om Daryo bisa melakukan hal itu kalau dia mau, tetapi dia memutuskan untuk merawatnya sendiri, Dara.”

Bulan-bulan berikutnya Om Daryo jarang datang ke rumah. Menurut Mama, bapak Om Daryo semakin sakit keras. Dengan wajah muram, Papa sering berkata, “Apakah kau bisa menghubungi sepupumu yang di Malaysia itu? Saya ingin kau dan anak-anak pergi ke sana terlebih dahulu.”

“Papa itu omong apa? Kan Papa Kabag, tidak mempunyai partai politik atau aktif di partai mana pun. Selama ini yang Papa lakukan dengan Mas Daryo cuma sebatas wacana saja kan? Tidak pernah dengan orang lain.”

“Entahlah, kedudukanku sebagai Kabag membuat banyak orang iri, lebih-lebih mereka yang merasa orang partai.”

September 1965.

Beberapa hari yang lampau kami sekeluarga takziah ke rumah Om Daryo dan Om Daryo berkata, “Setelah tujuh hari meninggalnya Bapak, saya akan kembali ke Eropa. Mulai sekarang Mas harus mengurus paspor dan saya usahakan untuk mendapat visa kerja. Temanku mau memberi surat untuk bertanggung jawab kepada sampeyan selama berada di negeri itu.”

Mama kelihatan mengiyakan dengan cepat.

Perpisahan dengan Om Daryo sungguh mengharukan. Sambil memelukku, dia bilang kepada Papa, “Aku tidak tahu kapan bisa kembali ke Indonesia. Mudah-mudahan urusan Mas cepat selesai dan kemudian istri dan anak-anakmu lekas bisa menyusul.”

7 Oktober 1965.

Malam itu saya terbangun, orangtua saya membakar buku-buku itu. Ketika melihat saya Mama berkata, “Jangan bilang pada orang lain Nduk kita pernah membakar buku-buku ini agar Papamu tidak dianggap PKI.”

Waktu itu saya baru saja berusia delapan tahun. Tetapi, mendengar omongan Mama saya bayangkan sebuah kesedihan akan datang kepada kami.

Ketika saya tercenung begitu, Papa memelukku, “Dara, semuanya akan beres. Kau harus ingat kata-kataku ini.”

Amsterdam April 2004.

Dalam suatu seminar di negeri ini, saya sempatkan bertemu dengan Om Daryo dan Tante Margareta. Mereka sudah berusia sekitar 76 (seusia Papa), namun mereka berdua kelihatan masih sehat dan bahagia! Ketika mereka berdua memelukku, saya menangis. Dan malamnya saya bermimpi bertemu Papa yang berkata demikian, “Dara semuanya akan beres. Kau harus ingat kata-kata ini.”

Saya terbangun dari mimpi tadi, masih di Amsterdam. Dan saya ingat 7 November 1967 beberapa orang membawa pergi Papa. Sejak itu, Papa tidak ada kabarnya, sampai hari ini!

Malang, 2004




Ratna Indraswari Ibrahim

Ombak Berdansa di Liquisa

Ombak Berdansa di Liquisa



Ombak berdansa di Pantai Liquisa. Lidah-lidahnya menari dalam gemuruh hujan yang mengguyur pepohonan di sepanjang pesisir. Dan, dalam cuaca dingin malam Minggu berkabut, di dalam sebuah gedung sederhana di tepi pantai, orang-orang berdansa dalam hentakan musik disko.

Ayo! Kalau tidak berdansa kau belum ke Liquisa,” seorang lelaki berkata sambil menarik tangan perempuan yang duduk di depan bar. Kota pantai di barat daya Dili, Timor Timur, ini memang dikenal dengan masyarakatnya yang suka berpesta, dan inilah sisa budaya yang ditinggalkan penjajah Portugis.

Perempuan itu bergeming di tempat duduknya. Ia menggeleng di keremangan. Lelaki itu melotot. Matanya menyala dalam remang cahaya lampu. Rambutnya yang berombak seperti berdirian tiba-tiba. Perempuan yang dipanggil Armila itu balas melotot. Matanya juga menyala. Dan…, tiba-tiba terdengar suara tembakan, berkali-kali. Mereka tegang dan gelisah. Tapi, orang-orang yang berdansa seperti tak peduli.

“Itu Victor!” Seorang lelaki, tinggi kurus, dengan tubuh basah kuyup air hujan, tiba-tiba menyelinap masuk ke ruang dansa. Armila langsung memberi isyarat dengan tangan padanya.

Victor menangkap isyarat itu dan tergopoh-gopoh menuju depan bar. “Rumahku disergap. Alves dan kawan-kawan masih di sana,” kata lelaki kurus itu. “Cepat kita lari. Dua tentara memburuku.”

Dua sosok bayangan berkelebat menerobos pintu. Jao langsung melompat dari tempat duduknya, dan menerobos keluar lewat pintu belakang. Tapi, dua letusan pistol menyongsongnya. Armila tak jadi ikut menerobos keluar. Ia menyusup ke tengah orang-orang yang berubah panik oleh keributan itu. Mereka berlarian ke sana kemari. Victor mencoba memanfaatkan situasi untuk kabur. Tapi, tentara lebih cepat. Ia ditangkap persis di mulut pintu.

Pelan-pelan suasana kembali tenang. Orang-orang kembali berdansa. Armila pura-pura ikut larut ke dalamnya. Tapi, ketika semua orang telah menemukan pasangan masing-masing, ia jadi merasa aneh, berjoget sendiri di tengah-tengah mereka. Akhirnya ia memutuskan kembali duduk di depan bar, dengan dada yang masih bergemuruh.

“Armila!” Suara perempuan tiba-tiba mengejutkannya. Ia menoleh ke arah suara itu. Matanya memandang penuh selidik pada perempuan muda yang tiba-tiba muncul di depannya.

“Lupa, ya? Aku Mariana. Dulu kita pernah berkenalan di rumah Victor.”

“Oh ya. Kami tadi menunggumu di sini.”

“Maaf, aku agak terlambat. Pas ada keributan tadi aku datang. Aku sempat melihat Jao melompat lari ke belakang.”

“Bagaimana nasibnya?”

Mariana hanya menggeleng. Armila merasa menemukan kawan senasib. Gemuruh dadanya sedikit reda. Tapi hujan tetap menggemuruh di luar, mengguyur ombak yang terus berdansa dengan angin dan pasir pantai.

“Kau ikut ke hutan?” tanya Mariana.

“Tidak. Aku masih kuliah di Universitas Dili.”

“Jao cerita apa saja tentang aku?” Mariana bertanya lagi.

“Tidak banyak. Cuma berkata kau kawan sekelasnya di SMA.”

Mariana menarik napas panjang, seperti tiba-tiba ada sesuatu yang membebani perasaannya. “Kau nginap di rumahku saja. Malam-malam begini tidak mungkin balik ke Dili,” katanya sambil mencoba menekan gejolak perasaannya.

“Kupikir begitu. Aku tadi sempat bingung mau nginap di mana. Rencananya tadi mau di losmen sebelah. Tapi aku tak bawa duit. Jao yang janji membayariku.”

“Jangan kuatir. Aku akan menanggungmu sampai kau bisa kembali ke Dili. Sebentar lagi kita pulang jalan kaki. Aku cuma bertugas sampai pukul dua belas.”

Lewat pukul 12.00 hujan reda. Armila dan Mariana melangkah setengah menggigil dalam udara dingin, menyusur jalan beraspal yang mendaki bukit. Udara malam Liquisa memang terasa dingin sekali karena hujan. Awan hitam di langit bergerak cepat. Sesekali cahaya bulan menerobos dari celah-celah mendung tebal, mengusap pohon-pohonan. Butir-butir air hujan di ujung dedaunan gemerlapan beberapa saat tertimpa cahaya itu, seperti butir-butir kaca kristal, lalu padam setelah jatuh ke bumi.

Mereka nyaris sampai ke rumah Mariana ketika tiba-tiba hujan mengguyur bumi Liquisa kembali. Dengan setengah berlari, mereka pun tiba di depan pintu sebuah rumah sederhana separuh tembok. Baju dan rambut mereka agak kuyup.

“Kau tinggal dengan siapa?”

“Dengan mami dan anakku.”

Mariana langsung membawa Armila masuk kamar, lantas membuka almari kayu, mengambil sepotong daster dan menyodorkannya pada perempuan itu. “Pakailah ini untuk tidur.”

“Mana anakmu?” tanya Armila sambil melepas kaus oblongnya.

“Di kamar sebelah bersama ibu.”

“Suamimu?”

Mariana tidak langsung menjawab. Ia pura-pura suntuk merapikan rambutnya. “Aku tak punya suami,” katanya lirih.

“Oh, maaf…. Lalu… anak itu…..?”

“Anak itu bagian dari masa laluku. Juga masa lalu Jao.”

“Masa lalu Jao?” Armila tampak terkejut.

“Ah, sudahlah. Besok saja kita bicarakan. Kau pasti lelah dan ngantuk. Tidurlah. Dipannya cuma cukup untuk satu orang. Aku akan tidur di kamar sebelah bersama anakku. Selamat tidur.”

Armila ditinggalkan begitu saja di sebuah kamar sempit yang hanya diterangi listrik 10 watt. Ia hanya sempat melongo ketika Mariana melangkah pergi. Ia sempat menangkap sesuatu yang berat untuk diucapkan oleh perempuan penjaga bar itu tentang anaknya dan Jao. Sesuatu yang mungkin panjang untuk diceritakan sehingga harus ditunda.

Dada Armila yang tinggal bergemuruh sendiri oleh pertanyaan-pertanyaan dan dugaannya sendiri. Apa hubungan anak itu dengan Jao? Apa hubungan Mariana dengan Jao? Apakah Jao pernah menikahi Mariana?

Ingat Jao, Armila ingat janji dan impian-impian lelaki jangkung itu, “Percayalah, Armila. Kalau Timor merdeka, aku akan langsung melamarmu jadi istriku. Kita akan sama-sama menikmati kemerdekaan. Ha-ha-ha….” Tawa lelaki itu mengoyak udara sore, suatu hari, ketika mereka berjalan menyusuri sungai kering yang tinggal berisi pasir dan batu-batu, di tepi hutan di kawasan Ermera.

Armila tidak dapat memejamkan matanya. Dadanya tetap bergemuruh. Kepalanya kacau oleh pertanyaan-pertanyaan dan pikiran-pikiran aneh. Kadang-kadang ia teringat kuliahnya yang kacau akibat pergerakan Clandestine yang diikuti dan menyeretnya cukup jauh ke masalah-masalah politik yang tak sepenuhnya ia pahami. Apalagi setelah Jao sering mengajaknya keluar masuk hutan, atau mengunjungi desa-desa di malam gelap tempat para forsa bertemu. Bayang-bayang lelaki jangkung berambut keriting itu pun muncul di benaknya, menyeringai, tertawa, lalu lenyap begitu saja begai ditelan rimba gelap.

Armila kadang-kadang merasa amat benci pada lelaki itu, lelaki yang sering berbuat sesukanya: jarang mandi, tidur mendengkur seenaknya di mana saja, minum anggur sampai tubuhnya oleng, suka mencaci maki dan menempeleng anak buahnya-bahkan pernah menembak seorang anak buahnya tanpa sebab yang jelas.

Namun, ada kekuatan aneh yang tak dapat dibendung oleh apa pun, getaran yang juga tak sepenuhnya ia pahami: cinta. Kekuatan ini seperti gerakan subversif, terus merongrong hatinya.

“Engkaulah satu-satunya wanita yang berhasil menundukkan hatiku, Armila. Aku mencintaimu,” kata Jao dengan bibir bergetar dalam sorot cahaya api unggun di dalam goa tersembunyi di balik bukit, pada suatu malam.

Armila hanya menunduk. Perasaan aneh tiba-tiba menyergap hatinya. Dan, seperti api unggun yang membakar kayu-kayu kering, cinta pun lantas membakar berahi mereka sampai hangus, sebelum perempuan itu benar-benar menyadari arti cinta dan kehadirannya.

Hanya mereka berdua di dalam goa itu. Sebagian forsa yang lain sedang turun ke Liquisa untuk menjemput kiriman dari Dili. Udara malam tiba-tiba mati. Hening sekali. Hanya suara jangkrik dan burung hantu di kejauhan, serta kemeretek kayu-kayu kering yang terus terbakar api unggun. Armila tertidur setelah merebahkan kepalanya, seperti kapal menemukan pelabuhan, di pangkuan Jao.

Armila tidak ingat benar sejak pukul berapa ia tertidur di kamar sempit rumah Mariana. Ketika membuka mata, hari sudah agak siang. Berkas-berkas cahaya matahari menerobos masuk lewat celah-celah atap genteng. Kepalanya terasa agak berat.

“Mandilah biar segar. Kamar mandi di belakang. Sudah ada handuk di sana.” Mariana melongokkan kepalanya lewat mulut pintu kamar yang setengah terbuka, sambil tersenyum pada Armila yang masih terbaring di balik selimut bergaris-garis hitam.

“Thank’s.” Armila bangkit dan melompat turun, melangkah agak gontai ke kamar mandi. Selesai mandi dan merapikan diri, ia langsung ke ruang tamu. Ada ganjalan pertanyaan yang mesti dipuaskan oleh jawaban Mariana.

“Ini anakku. Yasso, ayo berkenalan dengan Tante Mila.” Mariana sudah menunggu di ruang tamu bersama anaknya-seorang bocah lelaki berusia sekitar enam tahun.

Anak itu berdiri menyongsong Armila sambil mengulurkan tangannya. Ia menyambut tangan itu dengan hangat. Ada getaran aneh ketika ia menatap wajah anak itu. Wajah itu mirip sekali dengan wajah lelaki yang sangat dikenalnya: Jao Alvino. Armila terlongong beberapa saat sampai suara Mariana menyadarkannya.

“Yasso, sana makan dulu bersama nenek di belakang.”

Anak itu menurut saja.

“Wajahnya mirip Jao kan?” Mariana agaknya menangkap apa yang sedang bergejolak di hati Armila.

“Jadi… itu anak Jao?”

“Ya.”

Wajah Armila mendadak berubah kemerahan. Ada arus listrik yang tiba-tiba menyengat hatinya. “Jadi… kau istri Jao?”

“Ceritanya panjang. Kami bergaul cukup lama ketika sama-sama di SMA. Dia mau menikahiku selesai ujian, tapi dengan syarat aku mau ikut dia ke Lisabon. Aku tidak keberatan asal boleh membawa mamiku. Kau tahu, aku anak satu-satunya. Papiku sudah lama meninggal. Sedang mamiku tak punya saudara dan sering sakit-sakitan. Tentu aku tak tega meninggalkannya dalam keadaan begitu. Lalu Jao nekat berangkat sendiri. Katanya, masa depannya ada di sana. Empat bulan setelah kepergiannya, Yasso lahir. Tahu-tahu, tahun lalu dia muncul lagi. Katanya, ada yang harus dia perjuangkan di sini.”

Mendengar cerita itu, hati Armila seperti diberangus api. Bumi dirasakannya seperti jungkir balik tiba-tiba. Tapi ia berusaha keras menguatkan diri, mencoba mendengarkan cerita itu dengan dingin. Namun, pertahanannya jebol juga. “Bajingan! Lelaki itu telah membohongiku!” teriaknya setengah histeris.

“Maafkan aku, Mila, aku telah mengganggu perasaanmu. Aku tahu kau mencintai Jao. Tapi, kurasa, kau perlu tahu ini semua agar tak ikut menjadi korbannya.”

Dada Armila bergemuruh keras, seperti mau meledak. Ia ingin menjerit keras-keras, atau mengumpat Jao sambil berteriak kuat-kuat. Tapi ini tidak ia lakukan. Lelaki itu toh tidak ada di depannya. Bahkan nasibnya pun tidak jelas, tertembak mati, ditangkap tentara, atau lolos kembali ke hutan. Yang dapat dia lakukan hanyalah menangis sambil mendekap Mariana. “Maafkan aku, Mariana. Aku sungguh tak bermaksud merebut Jao dari tanganmu. Dia yang telah membohongiku,” katanya dengan agak terbata, setelah tangisnya reda.

“Kau tidak bersalah, Armila. Itulah Jao, kalau kau mau tahu. Dan, jangan kaget, ada korban lain yang bernasib lebih malang daripada kita. Kira-kira tiga bulan setelah muncul kembali, Jao mengajak seorang gadis ke barku. Isabela namanya. Ia bilang gadis itu keponakannya. Kira-kira lima bulan kemudian, gadis itu datang sendiri sambil menangis. Ia bilang, telah mengandung anak Jao. Kulihat perutnya memang sedikit membuncit. Ia minta tolong agar aku mendesak Jao untuk menikahinya. Ia bahkan mengancam, kalau Jao tidak menikahinya, ia akan melaporkan persembunyiannya pada tentara. Malamnya Jao datang ke barku. Maka, semua keinginan gadis itu kusampaikan kepadanya. Seminggu setelah itu, gadis itu ditemukan mati terbunuh di tepi hutan.”

“Ya, ampun…” Armila terperangah. “Apa Jao yang membunuhnya?”

“Tidak ada bukti yang jelas. Tapi, ada yang melihat, sehari sebelumnya gadis itu pergi bersama Jao.”

Menuju pebukitan lereng menyusur meliuk-liuk yang bus dalam di hati, berkali-kali umpatnya pembohong!? benar-benar itu ?Lelaki maafkan. ia dapat tidak kepahitan suatu Alvino, Jao bernama lelaki seorang ulah akibat kaumnya menimpa tragedi serangkaian menyakitkan: teramat bahkan pahit, kenangan adalah Tapi, Jao. dijanjikan Armila-seperti dibawa manis bukan umum naik Liquisa

Maka, begitu menginjakkan kaki di Kota Dili, yang pertama-tama dicarinya adalah kabar tentang nasib Jao dan di mana ia berada. Ada dendam baru yang mesti ia tumpahkan kepada lelaki jangkung itu. Ia seperti tidak sabar lagi. Hatinya terasa hangus terbakar. Ia ingin menemui lelaki itu hari itu juga, hidup atau mati. Kalau lolos dari sergapan tentara, ia ingin memburunya ke hutan. Kalau tertangkap, ia ingin melunaskan sakit hatinya di penjara. Kalau mati, ia ingin menyumpahi mayat atau kuburannya.

Armila menemui beberapa aktivis Clandestine yang biasa berhubungan dengan Jao. Tapi mereka mengatakan belum ada kabar. Mereka hanya mendengar tentang Alves dan kawan-kawannya yang tertangkap di Liquisa.

Ditunggu sehari, dua hari, tiga hari, empat hari, lima hari, enam hari, akhirnya Jao tertangkap juga. Hidup-hidup, dengan paha kiri tertembus peluru. Armila langsung memburunya ke penjara. Lelaki itu menyunggingkan senyum begitu melihat Armila datang. Tapi gadis ini malah mencibir. “Mariana sudah bercerita banyak tentang kau,” katanya dengan mata yang memancarkan kebencian.

“Cerita apa saja dia?” Jao langsung curiga.

“Kau pasti sudah dapat menebaknya. Aku berkenalan dengan anakmu di rumahnya. Juga tentang Isabela yang kau bunuh di tepi hutan setelah kau hamili. Kau pembohong besar, Jao.”

“Bangsat dia!” Mata lelaki itu makin merah menyala.

“Kupikir, ini ganjaran yang setimpal untuk lelaki macam kau. Akulah yang menunjukkan tempat persembunyianmu pada tentara.” Suara Armila datar, tapi kata-katanya menghantamkan pukulan telak.

“Jadi, kau mengkhianati aku, Armila? Kau mengkhianati bangsa Timor! Bangsat kau!”

“Tidak, Jao. Aku tetap setia pada cita-cita perjuangan Clandestine. Tapi, bangsa Timor tidak membutuhkan orang seperti kau. Kami membutuhkan para pejuang yang dapat melindungi kaum perempuan, bukan perusak perempuan seperti kamu. Kau tak ada artinya bagi masa depan kami. Selamat tinggal, Jao!’’

Dengan wajah tetap membara, Jao terperangah mendengar kata-kata Armila. Pada saat itulah perempuan itu membalikkan tubuhnya dan melangkah meninggalkan lalaki yang tangannya sedang bergetar geram mencengkeram terali besi itu.

“Bangsaaat! Awas, kubunuh kau, pengkhianat! Perempuan busuuuuk!!!” suara Jao keras sekali, seperti mau meledakkan penjara.

Tapi, Armila terus melangkah pergi, pura-pura tidak mendengar umpatan itu. Hatinya, yang terasa amat pedih, hancur berkeping-keping, lalu menyerpih bagai serpihan ombak yang terus berdansa di Pantai Liquisa.

Dili, Juli 1994


Ahmadun Yosi Herfanda