Showing posts with label Kebudayaan. Show all posts
Showing posts with label Kebudayaan. Show all posts

Wednesday 10 November 2010

Pemahaman Hak Asasi Manusia Dari Sisi Hukum dan Budaya

Pemahaman Hak Asasi Manusia Dari Sisi Hukum dan Budaya
Frans Reumi*
Abstract
One of the main issue on the Human Rights is understanding the Rights from
the perspectives of law and culture.
In the cultural perspectives according to the author, the rights are more ideal,
more abrstracts. In the positive law perspectives, the Rights is more real. It
has an assurance and standarisation on understanding the Rights.
I. PENDAHULUAN
Masalah Hak Asasi Manusia (HAM) muncul karena manusia yang satu
menindas, memperbudak manusia yang lain dari masa ke masa, sejak
manusia berada dipermukaan bumi. Perhatian terhadap masalah HAM,
sebenarnya telah dilakukan ribuan tahun yang silam oleh bangsa-bangsa
seperti Jahudi, Yunani, Babylonia, Romawi dan Inggris), dituangkan dalam
Al Quran, Alkitab, bahkan dilakukan dalam masyarakat-masyarakat adat.
Pertentangan atau perlawanan terhadap eksploitasi manusia yang satu
terhadap manusia lainnya, secara khusus dan tertulis, diawali dengan
lahirnya “Magna Charta” di Inggris, 15 Juni 1215. Kelahiran “Magna
Charta”, diikuti dengan pernyataan-pernyataan tentang HAM seperti :
“Hobeas Corpus Act, 1967”; “Bill Of Rights, 1689” ; Deklarasi
Kemerdekaan Amerika Serikat, 4 Juli 1776 yang kemudian dimasukkan
dalam Undang-Undang Dasar Amerika Serikat, 17 September 1787;
“Declaration Des Droits De L’Homme et du Cytoyen, 1787” dan
pernyataan-pernyataan lainnya.
Babak baru pada pertengahan abad XX adalah Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) dengan Piagammnya, Pernyataan Umum Sedunia Tentang Hak Asasi
Manusia, yang telah dijabarkan dalam berbagai konvensi atau perjanjian
internasional, teristimewa International Convenstion On Civil And Polical
Rights dan International Convention On Economic, Social And Cultural
Rights tahun 1966. Di kawasan Eropa, Afrika, Amerika, dunia Arab juga
diumumkan konvensi dan deklarasi mengenai Hak Asasi Manusia.
* Frans Reumi, Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Cenderawasih Jayapura-Papua
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 67
Perang dunia kedua telah berakhir, maka terjadi perubahan peta politik
dunia, di mana negara-negara di belahan bumi Afrika, Asia, Timur Tengah,
dan Pasifik berangsur-angsur memperoleh kemerdekaan. Negara-negara
yang baru merdeka ini, sesuai perkembangan zaman mencantumkan
masalah HAM dalam undang-undang dasar negaranya masing-masing,
termasuk Indonesia.
Indonesia dengan Undang-Undang Dasar 1945nya (UUD 1945),
memasukkan masalah HAM di dalam undang-undang dasar tersebut,
walaupun tidak secara mendeteil. Pemerintah menaruh perhatian terhadap
masalah HAM di akhir masa penguasa Orde Baru dengan didirikannya
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) tahun 1993.
Pemerintah masa reformasi juga mempunyai perhatian yang besar dan
serius terhadap masalah HAM. Wujudnya adalah Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Nomor XVII/MPR/1998 Tentang Hak Asasi
Manusia, yang telah dijabarkan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 Tentang Hak Asasi Manusia, bahkan dalam Kabinet Persatuan
Nasional, Presiden Abdulrachman Wahid telah membentuk suatu
Departemen yang khusus menangani masalah HAM yaitu Menteri Negara
Urusan HAM, kemudian bergabung menjadi satu Departemen dengan
Departemen Kehakiman (Departemen Kehakiman dan HAM).
II. PEMBAHASAN
1. Arti Hak Asasi Manusia
Apa yang dimaksud dengan "hak-hak asasi manusia ? Dengan
paham ini dimaksud hak-hak yang dimiliki manusia bukan karena
diberikan kepadanya oleh masyarakat, jadi bukan berdasarkan
hukum positif yang berlaku, melainkan berdasarkan martabatnya
sebagai manusia. Manusia memilikinya karena ia manusia. Dalam
paham hak asasi termasuk bahwa hak itu tidak dapat dihilangkan atau
dinyatakan tidak berlaku oleh negara. Negara dapat saja tidak
mengakui hak-hak asasi itu. Dengan demikian hak-hak asasi tidak
dapat dituntut di depan hakim. Tetapi, dan itulah yang menentukan,
hak-hak itu tetap dimiliki. Dan karena itu hak-hak asasi seharusnya
diakui. Tidak mengakui hak-hak yang dimiliki manusia sebagai
manusia itu menunjukkan bahwa dalam negara itu martabat manusia
belum diakui sepenuhnya. Itulah paham tentang hak-hak asasi manusia
(Franz Magnis Suseno, 1991:121-122).
Melalui hak asasi itu tuntutan moral yang prapositif dapat
direalisasikan dalam hukum positif. Di satu pihak hak-hak asasi
manusia mengungkapkan tuntutan-tuntutan dasar martabat manusia,
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 68
seperti apa yang diperjuangkan oleh Teori Hukum Kodrat. Tetapi di
lain pihak, karena tuntutan-tuntutan itu dirumuskan sebagai hak atau
kewajiban yang konkret dan operasional, tuntutan-tuntutan itu dapat
dimasukkan ke dalam hukum positif sebagai norma-norma dasar
dalam arti bahwa semua norma hukum lainnya tidak boleh
bertentangan dengan mereka. Dengan demikian tuntutan Teori Hukum
Positif terpenuhi, bahwa hanya norma-norma hukum positif boleh
dipergunakan oleh hakim untuk mengambil keputusan. Dari situ
dapat ditarik kesimpulan bahwa semakin banyak dari tuntutantuntutan
dasar keadilan dan martabat manusia dimasukkan sebagai hak
asasi ke dalam hukum positif, semakin terjamin juga bahwa hukum itu
memang adil dan sesuai dengan martabat manusia (Franz Magnis
Suseno, 1991:122).
2. DASAR PENETAPAN HAK-HAK ASASI
Pertanyaan kedua yang timbul ialah: apa yang menjadi dasar bahwa
sesuatu dianggap merupakan hak asasi? Apakah penetapan suatu
tuntutan sebagai hak asasi mempunyai dasar objektif ? Untuk menjawab
pertanyaan itu kita harus bertolak dari fungsi paham hak asasi. Kita
mengartikan hak-hak asasi sebagai cara untuk mempositifkan
keyakinan-keyakinan prapositif tentang keadilan dan martabat
manusia. Jadi tuntutan Teori Hukum Kodrat agar hukum positif sesuai
dengan standar-standar moral prapositif dipenuhi dengan merumuskan
standar-standar itu dalam bentuk hak konkret yang dapat dimasukkan ke
dalam hukum positif sendiri sebagai jaminan bahwa hukum itu tidak
melanggar norma prapositif itu (Franz Magnis Suseno, 1991:134).
Maka agar sesuatu diakui sebagai hak asasi perlu disepakati perlakuan
macam apa yang tidak sesuai dengan martabat manusia dan bagaimana
keyakinan tentang martabat manusia dapat dirumuskan sebagai hak ?
Perlakuan terhadap seseorang yang tidak sesuai dengan martabatnya
sebagai manusia, itu diketahui oleh masyarakat. Perlakuan apa yang
akhirnya disepakati sebagai bertentangan dengan martabat manusia
harus disepakati oleh masyarakat. Jadi penetapan suatu tuntutan
sebagai hak asasi merupakan hasil suatu proses dialogal dalam
masyarakat yang sering berlangsung lama. Permulaan proses itu sering
berupa pengalaman negatif, misalnya suatu ketidakadilan, atau
perlakuan yang tak wajar. Pengalaman itu lama-lama dilihat bukan
sebagai peristiwa dalam isolasi melainkan sebagai pelanggaran prinsipil
terhadap apa yang wajar dan adil. Semakin disadari bahwa perlu
pelanggaran itu secara prinsipil dinyatakan sebagai tak adil dan jahat,
dan bahwa segenap orang berhak untuk tidak diperlakukan seperti itu.
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 69
Maka disadari bahwa perlakuan macam itu harus ditolak karena
bertentangan dengan martabat manusia.
Akhirnya tercetus rumusan bahwa setiap orang, berdasarkan
martabatnya sebagai manusia, berhak atas perlakuan tertentu, misalnya
atas kemerdekaannya. Jadi hak-hak asasi tidak diciptakan dari udara
kosong, melainkan mengungkapkan sejarah pengalaman sekelompok
orang yang secara mendalam mempengaruhi cara seluruh masyarakat
menilai kembali tatanan kehidupannya dari segi martabat manusia.
Sejarah itu berwujud penderitaan, ketidakadilan, dan pemerkosaan. Atas
pertanyaan: Atas dasar apa tuntutan itu kau tetapkan sebagai hak asasi ?,
mereka menjawab: karena kami tidak tega melihat seorang manusia
diperlakukan tidak seperti itu (Franz Magnis Suseno, 1991:136).
Hak-hak sosial mencerminkan sejarah perjuangan kaum buruh yang
membawa mereka dari keadaan melarat dan terhisap menjadi golongan
masyarakat yang percaya diri dan terhormat. Begitu pula dengan
perjuangan demi hak-hak asasi manusia masa kini lahir dari pengalaman
kezaliman. Setiap hak asasi merupakan hasil perkembangan kesadaran
umum dalam salah satu golongan masyarakat.
3. UNIVERSALITAS DAN RELATIVITAS HAM
Pertanyaan yang barangkali paling menentukan dan sekaligus
problematis: apakah hak-hak asasi harus dianggap berlaku universal
dan dengan mutlak atau secara relatif belaka?
Di satu pihak hak-hak asasi nampaknya mesti berlaku dengan mutlak
dan di mana-mana karena hak-hak itu melekat pada manusia karena ia
manusia dan bukan karena salah satu cirinya yang sektoral atau
regional. Maka hak-hak asasi nampaknya berlaku bagi setiap orang
tanpa kekecualian dan diskriminasi. Anggapan itu secara eksplisit
diungkapkan dalam pembukaan banyak daftar hak-hak asasi. Di lain
pihak kita telah melihat bahwa kesadaran akan hak asasi manusia
selalu timbul dalam situasi sosial tertentu dan diperjuangkan oleh satu
atau beberapa kelas sosial atau golongan tertentu pula. Jadi baik bagi
universalitas maupun bagi relativitas hak-hak asasi manusia terdapat
alasannya (Franz Magnis Suseno, 1991:138).
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 70
4. ISTILAH HAM
a. Istilah Hak Asasi Manusia (HAM)
1) Istilah Hak Asasi Manusia (HAM)
Istilah HAM berasal dari terjemahan : “Droits de L’Homme”
(Perancis); “Menselijke Rechten, Fundamentele Rechten,
Grond Rechten” (Belanda); “Human Rights” (Inggris). Di
Amerika Serikat sering disebut dengan istilah “Civil Rights”.
2) Pengertian dan Ruang Lingkup HAM
Pernyataan-pernyataan tentang HAM yang begitu banyak, baik
secara internasional maupun nasional, tidak terdapat suatu
definisi yang menggambarkan tentang apa itu HAM, tetapi di
dalam naskah-naskah pernyataan tentang HAM dan pendapat
para sarjana dan pakar dapat dipahami tentang materi atau ruang
lingkup dari Hak Asasi Manusia.
Beberapa rumusan pengertian tentang HAM di bawah ini,
sebagai pedoman atau tuntunan bagi kita dalam mempelajari
masalah HAM lebih lanjut.
a) Dalam buku “Human Rights, Quistions And Answers”,
tertulis :
Human rights could be generally defined as those rights which
are inherent in our nature and without which we can not live as
human beings.
Human rights and fundamental freedom allow us to fully develop
and use our human qualities, our in telligence, our talents and our
science and to satisfy our spiritual and other needs. They are
based on mankind’s increasingly demand for a life in which the
inherent dignity and worth of each human being will receive
respect and protection.
b) Piagam HAM Indonesia merumuskan pengertian Hak Asasi
Manusia sebagai berikut :
Hak asasi manusia adalah hak-hak dasar yang melekat pada
diri manusia secara kodrati, universal dan abadi sebagai
anugerah Tuhan Yang Maha Esa, meliputi hak untuk hidup,
hak berkeluarga, hak mengembangkan diri, hak keadilan,
hak kemerdekaan, hak berkomunikasi, hak keamanan dan
hak kesejahteraan yang oleh karena itu tidak boleh
diabaikan atau dirampas oleh siapapun.
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 71
c) Marbangun Hardjowirogo dalam bukunya, menulis “Hak
asasi manusia adalah hak-hak yang diperlukan manusia bagi
kelangsungan hidupnya di dalam masyarakat dan hak-hak
itu meliputi hak-hak ekonomi, sosial dan kultural, demikian
juga hak-hak sipil dan politik”.
d) Penulis buku “Bantuan Hukum Dan Hak Asasi Manusia”,
menulis : “Hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki
manusia bukan karena diberikan kepadanya oleh
masyarakat, juga bukan berdasarkan hukum positif,
melainkan berdasarkan martabatnya sebagai manusia”.
e) Pakar Hukum Humaniter Internasional, C.P.H.
Haryomataram mengemukakan pendapatnya sebagai
berikut:
Hukum HAM Internasional mencakup semua
peraturan dan prinsip-prinsip yang bertujuan
melindungi (protection) dan menjamin (safeguarding)
hak-hak individu apapun status hukum mereka, yaitu :
penduduk sipil, anggota angkatan bersenjata, warga
negara, orang asing, pria ataupun wanita, pada setiap
saat baik dalam keadaan damai maupun keadaan
perang (atau perang saudara, pemberontakan), baik
dalam wilayah negara sendiri maupun di luar negeri.
Definisi-definisi mengenai HAM sebagaimana terkutip di atas,
ruang lingkupnya meliputi hak-hak sipil (pribadi), ekonomi,
sosial, budaya maupun politik. Penulis lain menambahkannya
dengan hak-hak pembangunan, perdamaian dan hak atas
lingkungan hidup. Apabila hak-hak tersebut dijabarkan, maka
masalah HAM itu luas sekali, mencakup hampir seluruh aspek
kehidupan manusia (akan diuraikan pada bagian selanjutnya).
HAM berlaku untuk semua umat manusia dan tidak mengenal
batas waktu (baik pada masa damai maupun perang).
b. Pengertian HAM
Beberapa rumusan pengertian tentang HAM di bawah ini sebagai
pedoman atau tuntutan bagi kita dalam mempelajari masalah HAM
lebih lanjut.
1) Piagam HAM Indonesia merumuskan pengertian Hak Asasi
Manusia sebagai berikut :
Hak asasi manusia adalah hak dasar yang melekat pada diri
manusia yang sifatnya kodrati dan universal sebagai karunia
Tuhan Yang Maha Esa dan berfungsi untuk menjamin
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 72
kelangsungan hidup, kemerdekaan, perkembangan manusia dan
masyarakat, yang tidak boleh diabaikan, dirampas, atau
diganggu gugat oleh siapapun.
2) Marbangun Hardjowirogo dalam bukunya menulis; “Hak-hak
asasi manusia adalah hak-hak yang diperlukan manusia bagi
kelangsungan hidupnya di dalam masyarakat dan hak-hak itu
meliputi hak-hak ekonomi, sosial dan kultural, demikian juga
hak-hak sipil dan politik”.
3) Penulis buku “Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia”,
mengatakan : “Hak Asasi Manusia adalah hak-hak yang dimiliki
manusia bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat,
jadi bukan berdasarkan hukum positif, melainkan berdasarkan
martabatnya sebagai manusia”.
Pengertian HAM sebagaimana terkutip di atas, ternyata ruang
lingkupnya luas mencakup hak-hak sipil (pribadi), ekonomi, sosial,
budaya maupun politik. Perincian mengenai masalah HAM
diatur dalam Pernyataan Umum Sedunia tentang Hak Asasi
Manusia, 10 Desember 1948, sebagai berikut :
Hak untuk hidup, kebebasan dan keamanan pribadi; bebas dari
perbudakan dan penghambatan; bebas dari penyiksaan atau
perlakuan maupun hukuman yang kejam, tak berperikemanusiaan
ataupun yang merendahkan derajat kemanusiaan; hak untuk
memperoleh pengakuan umum dimana saja sebagai pribadi; hak
untuk pengampunan hukum yang efektif; bebas dari penangkapan,
penahanan atau pembuangan yang sewenang-wenang; hak untuk
peradilan yang adil dan dengar pendapat yang dilakukan oleh
pengadilan yang independen dan tidak memihak hak untuk praduga
tak bersalah, sampai terbukti bersalah; bebas dari campur tangan
sewenang-wenang terhadap keleluasaan pribadi, keluarga, tempat
tinggal maupun surat-surat; bebas dari serangan terhadap
kehormatan dan nama baik; dan hak atas perlindungan hukum
terhadap serangan semacam itu; bebas bergerak; hak untuk
memperoleh suaka; hak atas suatu kebangsaan; hak untuk menikah
dan membentuk keluarga; hak untuk mempunyai hak milik; bebas
berpikir dan menyatakan pendapat; hak untuk berhimpun dan
berserikat; hak untuk ambil bagian dalam pemerintahan dan hak atas
akses yang sama terhadap pelayanan masyarakat; hak atas jaminan
sosial; hak untuk bekerja; hak atas upah yang sama untuk pekerjaan
yang sama … .
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 73
Permasalahan HAM yang lama itu, ruang lingkupnya dapat
dikelompokkan menjadi:
a. hak asasi pribadi;
b. hak asasi ekonomi;
c. hak asasi mendapatkan pengayoman dan perlakuan yang sama
dalam keadilan dan pemerintahan;
d. hak asasi politik;
e. hak asasi sosial dan kebudayaan; dan
f. hak asasi perlakuan yang sama dalam tata peradilan dan
perlindungan hukum.
Para penulis ada yang membagi menjadi tiga kelompok saja, yaitu
hak asasi di bidang sipil dan politik; ekonomi, sosial dan
kebudayaan serta hak asasi manusia di bidang pembangunan.
5. SIFAT HAM
Masalah HAM dewasa ini menjadi isu global, sebab bersifat universal
dan transparan.
Masalah HAM bersifat universal, sebab masalah ini terdapat di segala
tempat dan waktu. Pada masa Junani Kuno, Kekaisaran Romawi, bangsa
Mesir, bangsa Jahudi, masyarakat-masyarakat adat, negara-negara
moderen di seluruh dunia, dalam tata krama, norma-norma
kehidupannya, undang-undang dasar negaranya serta peraturan
pelaksanaannya, selalu saja mengandung atau mengatur masalah HAM.
HAM bersifat transparan, sebab apabila terjadi pelanggaran terhadap
salah satu aspek HAM di suatu negara atau pada kawasan dunia tertentu,
maka negara-negara lain atau seluruh dunia akan berbicara atau
mengecamnya seakan-akan terjadi di negaranya masing-masing.
Masalah HAM dapat berpengaruh terhadap hubungan politik, ekonomi,
teknologi dan sebagainya antar negara dan atau kawasan dunia.
Misalnya pada awal tahun 1990an, masyarakat (Ekonomi) Eropa pernah
menolak impor pakaian jadi dari Indonesia dengan alasan upah
karyawan pada pabrik-pabrik pakaian jadi di Indonesia sangat rendah.
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 74
6. DASAR HUKUM DAN SUMBER HUKUM HAM
a. Dasar Hukum
1. TAP MPR RI Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asai
Manusia.
2. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia.
3. Keputusan Presiden RI Nomor 129 Tahun 1998 tentang
Rencana Aksi Nasional Hak-hak Asasi Manusia.
4. Keputusan Presiden RI Nomor 134 Tahun 1999 tentang
Pembentukan Kementerian Negara.
b. Sumber-Sumber Hukum HAM
1. Sumber-sumber Hukum HAM Nasional :
a. Undang-undang Dasar 1945
b. TAP MPR RI Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi
Manusia
c. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHP
d. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokokpokok
Kekuasaan Kehakiman yang telah diubah oleh
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986
e. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN
f. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Kejaksaan
g. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan
Anak
h. Undang-undang Nomor 28 Tahun 1997 tentang Kepolisian
Negara RI
i. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan
Militer
j. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang
Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum
k. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM
l. Peraturan lain yang terkait dan berpengaruh terhadap HAM
c. Sumber-sumber Hukum HAM Internasional :
1. Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa
2. Deklarasi Universal HAM
3. Konvensi Jenewa 1949
4. Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Militer
5. Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya
6. Konvensi Internasional tentang Penghapusan Semua Bentuk
Diskriminasi Rasial
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 75
7. Konvensi Internasional tentang Anti Penindasan dan
Penghukuman kejahatan Apartheid
8. Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
Terhadap Wanita
9. Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman
yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat
Manusia Lainnya
10. Konvensi tentang Pencegahan dan penghukuman kejahatan
Genocide
11. Konvensi Mengenai Status Pengungsi
12. Konvensi tentang Suaka Politik
13. Konvensi tentang Hak-hak Anak
14. Konvensi tentang Kebebasan Berkumpul dan Perlindungan Hak
Berorganisasi
15. Konvensi tentang Penduduk Asli dan Penduduk Suku di
Negara-negara Merdeka
16. Konvensi tentang Lingkungan Hidup
17. Instrumen HAM internasional lainnya yang bersifat universal
7. Perkembangan HAM
Secara umum di dunia internasional pembidangan HAM mencakup hakhak
sipil dan hak-hak politik (generasi I), hak-hak bidang ekonomi,
sosial dan budaya (generasi II) serta hak-hak atas pembangunan
(generasi III). Hak-hak tersebut bersifat individual dan kolektif.
a. Hak-hak sipil mencakup, antara lain :
1) Hak untuk menentukan nasib sendiri
2) Hak untuk hidup
3) Hak untuk tidak dihukum mati
4) Hak untuk tidak disiksa
5) Hak untuk tidak ditahan sewenang-wenang
6) Hak atas peradilan yang adil
b. Hak-hak bidang politik, antara lain :
1) Hak untuk menyampaikan pendapat
2) Hak untuk berkumpul dan berserikat
3) Hak untuk mendapat persamaan di depan hukum
4) Hak untuk memilih dan dipilih
c. Hak-hak bidang sosial dan ekonomi, antara lain :
1) Hak untuk bekerja
2) Hak untuk mendapatkan upah yang sama
3) Hak untuk tidak dipaksa bekerja
4) Hak untuk cuti
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 76
5) Hak atas makanan
6) Hak atas perumahan
7) Hak atas kesehatan
8) Hak atas pendidikan
d. Hak-hak bidang budaya, antara lain :
1) Hak untuk berpartisipasi dalam kegiatan kebudayaan
2) Hak untuk menikmati kemajuan ilmu pengetahuan
3) Hak untuk memperoleh perlindungan atas hasil karya cipta (hak
cipta)
e. Hak-hak bidang pembangunan, antara lain :
1) Hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang sehat
2) Hak untuk memperoleh perumahan yang layak
Hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang memadai
8. Pelanggaran HAM
a. Pelanggaran HAM dapat disebabkan oleh 4 (empat) hal :
1) kesewenangan (abuse of power) yaitu tindakan penguasa atau
aparatur negara terhadap masyarakat di luar atau melebihi batasbatas
kekuasaan dan wewenangnya yang telah ditetapkan dalam
perundang-undangan.
2) Pembiaran pelanggaran HAM (violation of omission) yaitu tidak
mengambil tindakan atas suatu pelanggaran HAM
3) Sengaja melakukan pelanggaran HAM (violation of commision)
yaitu melakukan tindakan yang menyebabkan pelanggaran
HAM
4) Pertentangan antar kelompok masyarakat
b. Penyelesaian Pelanggaran HAM
1) Penyelidikan Pelanggaran HAM
Kewenangan penyelidikan terhadap pelanggaran HAM hanya
dilakukan oleh Komisi Nasional HAM (Komnas HAM)
Penyelesaian hasil penyelidikan :
a) Pelanggaran HAM dapat diselesaikan oleh Komnas HAM
dalam fungsi mediasi (perdamaian, konsultasi, negoisasi,
konsiliasi, saran, rekomendasi dan lain-lain)
b) Pelanggaran HAM berat diteruskan ke Kejaksaan Agung
2) Penyidikan Pelanggaran HAM
Penyidikan terhadap pelanggaran HAM yang berat dilakukan
oleh Jaksa Agung atau Tim Penyidik Ad-hoc yang diangkat oleh
dan di bawah koordinasi Jaksa Agung.
3) Penuntutan Pelanggaran HAM
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 77
Penuntutan pelanggaran HAM yang berat dilakukan oleh Jaksa
Agung atau Jaksa penuntut Umum Ad-hoc yang diangkat oleh
Jaksa Agung
4) Sidang Pengadilan pelanggaran HAM
Pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum dibentuknya
Pengadilan HAM, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Adhoc.
Pelanggaran HAM berat yang terjadi sejak dibentuknya
Pengadilan HAM, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM
9. HAM dan Budaya1
Persoalan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam pandangan budaya sangat
identik dengan nilai-nilai budaya dalam struktur sosial masyarakat.
Budaya sebagai sistem kebiasaan, norma, keyakinan dan nilai-nilai yang
dimiliki bersama oleh sekelompok masyarakat yang membicara dengan
bahasa yang sama, agama dan juga hidup dalam atau berasal dari
wilayah (teritorial) yang sama pula. Jadi pandangan budaya tersebut
diatas, terkandung dua makna penting yaitu :
1) Berkenaan dengan makna sosial budaya suatu masyarakat,
keyakinan dan nilai-nilai bersama yang mencerminkan dan
dicerminkan oleh norma-norma (perilaku yang dipebolehkan) dan
kebiasaan ( perilaku riil masyarakat).
2) Berkaitan dengan kelompok sosial riil yang menklaim bahwa dirinya
khas secara budaya.
Ini biasanya adalah kelompok yang memiliki bahasa, agama dan sejarah
yang sama sebagai garis keturunan yang sama (genealogis) baik yang riil
maupun mitos.
Jadi pemahaman budaya menggambarkan nilai-nilai dan praktek-praktek
sosial kelompok nasional atau etnis yang bersangkutan.
Nilai dasar HAM adalah semua manusia lahir dengan hak-hak yang
sama dan mutlak serta dengan kebebasan fundamental. Oleh karena itu
dalam kebudayaan lokal semua pikiran, tindakan, hasil karya dalam
kehidupan masyarakat dijadikan milik melalui praktek belajar pada
setiap kelompok suku-suku bangsa.
1 Naffi Sanggenafa : HAM Dalam Tingkat Budaya. (Makalah) Pelatihan HAM Kepada
Security PT. Freeport Indonesia, Tahun 2000.
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 78
Untuk itu, HAM dan kebudayaan harus dipahami, sebab berkaitan
dengan nilai-nilai budaya dan norma-norma ideal pada suku-suku
bangsa yang ada di setiap belahan dunia.
Pada tingkat lokal (masyarakat adat) masalah HAM tidak mendapat
perhatian serius. Pada hal justru banyak hal tidak terungkap karena
“tidak berdaya”. Dan masih dijumpai nilai-nilai budaya setempat yang
tidak mendapat bagian yang layak.
Ada beberapa ciri HAM secara normatif dibandingkan dengan
kebudayaan lokal.2
HAM Nilai Budaya
1) Pernyataan (deklarasi)
tertulis yang diterima oleh
bangsa di dunia
2) Hak-hak dasar keadilan
manusia
3) Hak-hak dasar meliputi :
Politik, Ekonomi, Sosial
Budaya
4) Pandangan bersifat
individual dan tertulis
5) Tidak simbolik
1) Norma-norma diakui bersama dalam
kehidupan kesukuan
2) Biasanya tidak tertulis diakui dan
diwarisi secara turun-temurun
3) Norma terdiri dari : Sosial Budaya,
Ekonomi, dan Politik
4) Pandangan kolektif/bersama
5) Simbolik
III. KESIMPULAN
a. Bahwa masalah pemahaman Hak Asasi Manusia (HAM) selama ini
disoroti dengan cara yang sama kepada semua lapisan masyarakat.
Sehingga dampaknya kini terdapat tendensi kuat untuk menolak setiap
usaha pengsosialisasian HAM secara rasional. Oleh karena prinsipprinsip
umum HAM lebih terfokus pada konsep HAM nasional dan
HAM internasional dari pada HAM lokal (Budaya).
b. Jika HAM nasional, HAM internasional dan HAM lokal (Budaya)
didasarkan atas dasar adanya martabat manusia, maka dapat disimpulkan
bahwa sifat hak-hak manusia itu universal dan transparan, karena
martabat manusia selalu dan dimana-mana sama. Sehingga terjadi
pelanggaran HAM, semua negara akan menyoroti dari segi sifatnya
HAM itu sendiri.
c. Penerimaan HAM tidak merupakan suatu tindakan irasional, karena
dapat diberi suatu pemahaman mendasar secara rasional, oleh karena
2 Naffi Sanggenafa, Ibid, 2000
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 79
HAM menjadi sesuatu yang bersifat tetap, teguh dan universal serta
transparan. Untuk itu HAM selalu dijalankan dalam suatu konteks
historis, kultural dan situasional dalam mengantisipasi HAM secara
dinamis.
IV. DAFTAR PUSTAKA
Bahar Saafroedin, Hak Asasi Manusia, Analisis Komnas HAM dan Jajaran
HAMKAM/ABRI, Sinar Harapan Jakarta, 1997.
Human Rights Status of International Instruments, United Nations, New York,
1987.
Human Rights A Compilation of International Instrument. United Nations. New
York, 1988.
Hasbani Firsty, Pengakuan Terhadap Hak dan Eksistensi Masyarakat Adat
Terhadap Pengelolaan Sumber Daya Alam Dalam Peratur Perundang-
Undangan. (Dalam Jurnal Hukum Lingkungan) Tahun IV No. 1 September
1997.
Hutauruk M, Tentang dan Sekitar Hak-Hak Asasi Manusia dan Warga negara.
Penerbit Erlangga. Jakarta, 1985.
Karet M.F, Hak-Hak Asasi Manusia, Suatu Tinjauan Juridis (Makalah), Fakultas
Hukum Uncen, 1998.
Kompisasi Deklarasi Hak Asasi Manusia, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum,
Jakarta, 1988.
Marbangun Hardjowirogo. Hak-Hak Manusia, Yayasan Idayu, Jakarta, 1981.
Mulyana W. Kusumah. Hukum dan Hak-Hak Asasi Manusia Suatu Pemahaman
Kritis, Penerbit Alumni Bandung, 1981.
Mohammad Burhan Tsani. Hukum dan Hubungan Internasional. Penerbit
Liberty Yogyakarta, 1990.
Pengetahuan Dasar Mengenai Perserikatan Bangsa-Bangsa Deparlu, Jakarta,
1993.
Reumi Frans dkk, Hukum Adat Suku Amungme dan Kamoro. Fakultas Hukum
Uncen, 1999.
Sanggenafa Naffi, HAM Dalam Tingkat Budaya, (Makalah) Pelatihan HAM
Kepada Security PT. Freeport Indonesia, tahun 2000.
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 80
Starke J.G. Pengantar Hukum Internasional, Jilid 2. Penerbit Aksara Persada
Indonesia, Jakarta, 1984.
Majalah Berita Mingguan Tempo, Hak Asasi dan TIM-TIM. Nomor 7 Tahun
XXIII-17 April 1993.
Majalah Berita Mingguan Gatra, Kontraversi Temuan KOMNAS HAM, Nomor
44 Tahun II 1996, 14 September 1996.
Majalah Investigasi dan Analisa, Detektif dan Romantika Nomor 07/XXVIII/28
September 1996.
Pengakuan Hak-Hak Masyarakat Adat; Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan,
1994 (makalah).
Kajian Peraturan Perundang-Undangan Indonesia tentang Hak dan Akses
Masyarakat Lokal pada Sumberdaya Hutan; Program Penelitian dan
Pengembangan Antropologi Ekologi Universitas Indonesia; 1995 (makalah).
UU nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
UU nomor 4 tahun 1982 jo 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup.
UU nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya.
UU nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang.
PP nomor 69 tahun 1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban serta Bentuk
dan Tatacara Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang.
PP nomor 21 tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak
Pemungutan Hasil Hutan.
Keputusan Menteri Kehutanan nomor 251/Kpts-II/1992 tentang Ketentuan Hak
Pemungutan Hasil Hutan oleh Masyarakat Hukum Adat atau
Anggotanya di dalam areal Hak Pengusahaan Hutan.
Instruksi Presiden nomor 1/1976 tentang Sinkronisasi Pelaksanaan
Tugas Bidang Keagrariaan dengan Bidang Kehutanan,
Pertambangan, Transmigrasi dan Pekerjaan Umum.

Kebudayaan Suku Sebyar Di Teluk Bintuni Papua (Studi Kasus Desa Tomu)

Kebudayaan Suku Sebyar Di Teluk Bintuni Papua (Studi Kasus Desa Tomu)
Enos H. Rumansara*
Abstract
One reason that cause conflict between tribes, clan or family is the attendance
of companies in their area.
Sebyar tribe is one from 150 tribes in Papua. They inhabitate the the area of
Bintuni in Arandai District where BP, a British mining company, will be
operated.
In the next couple of years the company will be operated with almost 5000
people work on. That condition according to the author will affect the life of
the Sebyar especially people and nature interaction and the Sebyar social
and cultural systems.
The paper tries to show the Sebyar living condition, natural condition and
socio-cultural before the conact with the company.
1. Pendahuluan
Setiap kelompok masayarakat yang mendiami muka bumi memiliki sistem
social dan sistem budaya yang merupakan dasar hidup mereka, sehingga pola
perilaku hidup mereka selalu berpedoman pada system social dan budaya yang
dimilikinya. Sistem social dan budaya setiap kelompok masyarakat selalu
berbeda antara satu kelompok atau suku bangsa dengan suku bangsa lainnya.
Perbedaan tersebut adalah terkait dengan kondisi alam dan atau letak geografis
yang berbeda dari masing-masing kelompok. Perbedaan tersebut terkait dengan
kondosi alam atau letak geografir yang berbeda dari masing-masing wailayah
yang mereka diami.
Suku – suku yang mendiami propinsi Papua juga mengalami hal yang sama.
Ditinjau dari bahasa, masyarakat asli Papua terdiri dari 250 suku yang antara
satu suku dengan suku lainnya berbeda sistem sosial dan budaya walaupun ada
beberapa kesamaaan di dalamnya. Boelaars, Tukar dan laporan penelitian yang
dilakukan oleh "Lavalin Internasional Incorporate “ di Papua. Dalam Laporan
Penelitian dari "Lavalin Internasional Incorporated" yang bekerja sama dengan
* Doktorandus, Magister Antropolgi, Staf pengajar pada Jurusan Antropologi – FISIP
Universitas Cenderawasih, menjabat sebagai Kepala UPT Museum Etnografi Uncen-
Jayapura dan Staf Peneliti Pusat Studi Manusia dan Kebudayaan Papua.
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 48
"PT.Hasfarm Dian Konsultan" tentang Rencana Pembangunan Daerah Papua,
sektor Antropologis (1987), mengemukakan bahwa perbedaan system social
dan kebudayaan masyarakat Papua dipengaruhi oleh zona-zona ekologis di
Papua. Ada 4 (empat) zona ekologis utama, yaitu:
(a) Zona Rawa, Pantai dan Sepanjang Aliran sungai; meliputi: daerah
Asmat, Jagai, Awyu, Yagai Citak, Marind-Anim, Mimika / Kamoro
dan Waropen;
(b) Zona Dataran Tinggi; meliputi: meliputi ; orang Dani, Yali, Ngalun,
Amungme, Nduga, Damal, Moni dan orang Ekari / mee;
(c) Zona Kaki Gunung dan Lembah-Lembah Kecil; meliputi : daerah
Sentani, Nimboran, Ayamaru dan orang Muyu;
(d) Zona Dataran Rendah dan Pesisir; meliputi : Sorong sampai Nabire,
Biak dan Yapen.
Empat zona ekologis tersebut di atas, sangat mempengaruhi unsur-unsur budaya
pada kelompok-kelompok etnis / suku bangsa yang mendiami 4 zona ini, seperti :
sistem mata pencaharian sistem peralatan atau teknologi tradisional, sistem religi,
sistem pengetahuan, bahasa dan kesenian.
Kondisi sistem social dan budaya yang dimiliki secara tradisional oleh kelompok
masyarakat asli yang mendiami empat zona tersebut di atas dapat berubah
apabila terjadi suatu akulturasi, yaitu adanya kontak budaya antara budaya asli
dengan budaya asing / luar. Ada tiga factor yang menurut prof. Budi Santoso
dapat mempengaruhi atau merubah suatu kebudayaan yaitu : factor pendidikan,
Industri dan Pariwisata. Selain itu, kehadiran perusahan pada suatu tempat atau
wilayah tertentu dapat mempengaruhi pula kondisi social dan budaya
masyarakat sekitar perusahaan tersebut.
Suku Sebyar adalah salah satu dari 250 suku bangsa (dilihat dari bahasa) di
Papua yang mendiami wilayah operasi LNG Tangguh di Teluk Bintuni,
tepatnya di Kecamatan Arandai – kabupaten Manukwari. Perusahaan Gas ini
akan beroperasi dengan peralatan teknologi canggih dengan melibatkan 5000
pegawai dengan latar belakang budaya yang berbeda satu sama lainnya. Kondisi
demikian diperkirakan akan mempengaruhi kehidupan masyarakat suku Sebyar
terutama yang berhubungan dengan system social dan budaya mereka. Atas
dasar inilah yang mendorong penulis untuk menulis secara garis besar “rona
awal kondisi social budaya suku Sebyar di kecamatan Arandai – Kabupaten
Teluk Bintuni”. Ada pun beberapa aspek yang diuraikan dalam kondisi rona
awal tulisan ini adalah kondisi lingkungan alam, potensi alam dan budaya,
kependudukan dan beberapa unsur kebudayaan suku Sebyar.
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 49
2. Lingkungan Alam
2.1. Letak, Batas dan Luas Wilayah
Desa Tomu merupakan salah dari 9 desa dalam wilayah administratif kecamatan
Arandai. Desa ini letaknya di bagian utara dari areal wilayah kecamatan
Arandai. Jarak antara ibu kota Kecamatan dengan Ibu kota desa Tomu kurang
lebih 4 Km yang apabila menggunakan long boat mengikuti sungai ditempuh
dalam waktu 20 menit dan apabila jalan kaki jarak tersebut ditempuh dalam
waktu 35 menit. Desa di lalui sungai / anak sungai Gonggo yang membelah
lokasi pemukiman desa Tomu. Pola pemukimannya bejejer mengikuti bagian
kiri dan kanan dari anak sungai Gonggo. Anak Sungai yang membelah lokasi
pemukiman desa Tomu bermuara pada Sungai Sebyar yang merupakan tempat /
areal terdekat untuk mencari siput (bia), ikan sembilan, udang dan jenis ikan
lainnya.
Desa Tomu merupakan bagian dari wilayah kecamatan Arandai yang mempunya
batas-batas wilayah administrasi sebagai berikut :
- Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Mardey
- Sebelah Selatan berbatasan dengan desa Taroy dan desa Sebyar Rejosari
- Sebelah Barat berbatasan dengan desa Weriagar
- Sebelah Timur Berbatasan dengan desa Manunggal Karya, Kecap dan
desa Aranday
Luas wilayah desa Tomu secara keseluruhan 79.029,5 Ha. Yang terdiri dari :
- Lokasi Pemukiman …………………… 17 Ha.
- Hutan Kayu dan Sagu …………………….. 21.000 Ha.
- Tanah Tidak Subur / Kritis …………… 13 Ha.
- Padang Alang-Alang ………………….. 800 Ha
- Hutan Bakau …………………………….. 28.000 Ha.
- Lain-lain ………………………………… 29.199,5 Ha
2.2.Topografi dan Iklim
Desa Tomu berada pada ketinggian kurang - lebih 3 - 5 m di atas permukaan air
laut dan lokasi pada dataran rendah di sekitar teluk Bintuni yang kondisi
tanahnya berawa yang lahannya selalu pasang surut mengikuti air laut dengan
jenis tanah Allevium dan Gambut ( 2.500 Ha.) yang di tumbuhi Bakau, Sagu dan
jenis tanaman lainnya hingga sebagian areal menjadi hutan Bakau, sagu dan
lainnya. Hutan Bakau, sagu dan hutan kayu lainnya di lewati sungai-sungai kecil
yang bermuara ke sungai Sebyar dan sungai Weriagar.
Desa Tomu yang merupakan bagian dari kecamatan Arandai yang juga
berada pada kawasan teluk Bintuni memiliki iklim cukup berfariasi
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 50
namun menurut data yang diperoleh pada data monografi desa ( th. 2000 )
menunjukkan bahwa :
- Curah hujan rata-rata per tahun 2 – 500 mm,
- Temperatur bervariasi sekitar 22 – 32’ C.
Musim kemarau dan penghujan tidak ada perbedaan yang mutlak.
2.3.Kondisi Tanah
Desa Tomu memiliki kondisi tanah yang cukup bervariasi. Untuk sementara
Jenis tanahnya yang diketahui dilapangan yaitu : tanah Allevium, tanah Gambut
( 2.500 Ha). Tanah yang mengalami pasang surut 1 : 500 Ha. Selain itu,
menurut data desa ada memiliki 13 Ha tanah kritis.
3. Potensi Desa
Potensi yang dimiliki desa dalam meningkatkan pembangunan ekonomi desa
dapat dikemukakan sebagai berikut :
a. Potensi Budaya
- Masyarakat desa mesih menghargai adat istiadat mereka yang dapat
mendukung semua program, misalnya : masih mengakui pimpinanpimpinan
adat seperti kepala klen, dan telah membentuk satu lembaga
adat yang berdomisili di Ibu Kota Kecamatan.
- Kerjasama antara kerabat dalam Klen-Klen yang ada di desa Tomu
secara tradisional masih dipertahankan. Misalnya, anggota klen
Nawarisa dapat menokok sagu di Dusun sagu milik klen Kosepa;
kerjasa sama dalam melaksanakan upacara adat / perkawinan dan
lainnya.
- Menjalankan Norma Agama secara Baik dan sangat menghargai
pimpinan agama yang ada di desa ( Hasil Pengamatan / wawancara di
lapangan ).
- Memiliki lembaga adat, LKMD, Pemerintah desa, lembaga agama
dan lembaga pendidikan ( SD).
b. Potensi Ekonomi
- Setiap Klen yang ada mempunyai hak milik atas areal / dusun sagu
yang merupakan satu-satunya mata pencaharian utama bagi
masayarakat desa tersebut.
- Setiap Klen memiliki areal hutan kayu yang bernilai ekonomi yang
tinggi.
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 51
- Desa memiliki sungai yang penuh denga potensi ( ikan, udang, siput)
serta memiliki areal air tawar yang dapat digunakan untuk usaha /
budidaya ikan tawes, Mas, Nila, Lele, Mujair, udang, kepiting dan
lain-lainya.
- Memiliki obyek wisata yang dapat dikembangkan, misalnya
keindahan alam / sungai, flora dan fauna serta kesenian tradisional
yang ada.
- Memiliki lembaga ekonomi, seperti koperasi, dan usaha nelayan yang
kerjasama dengan beberapa pengusaha udang yanng beroperasi di
Bintuni dan Sorong.
4. Penduduk
4.1. Jumlah
Penduduk desa Tomu sebelum dimekarkan menjadi dua desa berjumlah 733
Orang yang terdiri dari 124 KK. Jumlah tersebut 100 % beragama Islam.
Jumlah penduduk menurut usia dan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel
berikut.
Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur
dan Jenis Kelamin, Tahun 2001
No. Kelompok Umur Laki-laki Perempuan Jumlah
01.
02.
03.
04.
05.
06.
07.
08.
09.
10.
11.
12.
13.
14.
0 - 4 thn.
5 - 9 thn.
10 - 14 thn.
15 - 19 thn.
20 - 24 thn.
25 - 29 thn.
30 - 34 thn.
35 - 39 thn.
40 - 44 thn.
45 - 49 thn.
50 - 54 thn.
55 - 59 thn.
60 - 64 thn.
65 - ? thn .
78
60
52
32
27
40
24
13
12
13
9
3
7
4
68
73
52
33
31
45
15
22
7
6
4
1
2
1
146
133
104
65
58
85
39
35
19
19
13
4
8
5
J U M L A H 378 360 733
Sumber Data : Hasil Sensus, Maret 2001 ( Tim Peneliti AMDAL di Desa Tomu ).
4.2.Migrasi
Menurut data lapangan migrasi keluar tidak begitu terlihat karena penduduk desa
yang keluar hanya pergi berdagang ke kecamatan Bintuni, Kokas dan Babo.
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 52
Selain itu, sebagian masyarakat hanya keluar meninggalkan kampung ke
Margarina ( Tempat mencari udang yang berada di muara sungai Arandai .
Lamanya berdagang dan mencari udang 1 – 2 bulan dan kembali ke desa lagi.
Jumlah orang yang sering melakukan perdagangan sagu ke luar desa sekitar 2 –
10 orang ( 1 – 5 KK ). Begitu juga bagi mereka yang melakukan giatan mencari
udang di Manggarai.
4.3.Tingkat Kelahiran dan Kematian
Tingkat kelahiran yang terjadi di desa Tomu 2 - 4 / bulan. Sedangkan tingkat
kematian 2 – 8 / tahun.
5. Kebudayaan
Setiap etnis / suku bangsa memiliki Kebudayaan, begitu juga dengan orang /
suku Sebyar di desa Tomu kecamatan Arandai. Etnis ini memliki kebudayaan
yang secara turun temurun menjadi pedoman hidup mereka dan hingga saat ini
masih ada, namun mengalami pergeseran nilai akibat kontak dengan dunia luar
terutama agama. Untuk lebih memahami kondisi kebudayaan orang Sebyar
berikut ini akan diuraikan beberapa aspek yang di peroleh datanya di lapangan.
5.1. Sejarah Singkat Asal Usul Suku Sebyar Dan Akulturasi
a. Sejarah Asal Usul Suku Sebyar dan desa Tomu
Orang / suku Sebyar yang mendiami kecamatan Arandai menurut informasi /
data yang diberikan oleh setiap klen yang ada seperti Klen Kosepa, Kaitam,
Nawarisa, Inai dan lainnya mengemukakan hal yang sama, yaitu bersal dari
Gunung Nabi. Gunung Nabi adalah salah satu Gunung yang letaknya di antara
Kecamatan Bintuni dan Babo yang hampir semua etnis yang mendiami sekitar
teluk bintuni menganggapnya Gunung Sakral. Misalnya :
Sejarah asal usul Klen Kosepa
Dahulukala Suku Sebyar (suku Dambad dan suku Kemberan) bersama-sama
dengan suku lainnya, yaitu:
· Suku Kuri,
· Suku Wamesa,
· Suku Iraritu,
· Suku Simuri,
· Suku Manikion dan Kambatin,
Mendiami sepanjang sungai Narawasa disekitar Gunung Nabi. Suku-suku ini
melakukan migrasi karena terjadi Air Bah. Salah satu nenek moyang dari suku
Sebyar melakukan perjalanan meninggalkan tempat tinggalnya di Kuri Wamesa
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 53
sekitar Gunung Nabi dengan menggunakan RAKIT BAMBU ( Kosepa).
Pertama kali nenek moyangnya ( Kosepa) terdampar dengan rakit Bambu di
Sungai Kamaren yaitu sekitar muara Bintuni. Selanjutnya melakukan perjalanan
hingga mendiami lokasi Sasari kemudian bertemu dengan nenek moyang dari
Klen Nawarisa yang duluan mendimi muara sungai Sebyar. Nenek Moyang
Nawariasa mengajak Nenek moyang Kosepa untuk membuka pemukiman baru
yang di berinama Kampung Tomu ( desa Tomu sekarang ). Tomu artinya tempat
bertemu.
Nama desa Tomu diangkat dari nama Kampung Tomu yang artinya tempat
bertemu klen Nawarisa dengan Kosepa, yang selanjut di susul oleh klen-klen
lainnya seperti : Inai dan Klen Kaitam yang tadinya mendiami muara sungai
Sebyar yaitu di Kampung Margarina.
b. Sejarah Akulturasi
Sejarah akulturasi atau sejarah kontak dengan dunia luar, yaitu sejarah dimana
terjadi pertemuan antara kebudayaan suku Sebyar di desa Tomu dengan
kebudayaan luar. Data yang diperoleh dilapangan menunjukkan bahwa kontak
pertama yang terjadi adalah penyebaran agama Kristen yaitu pada tahun 1932
dan kemudian di susul dengan agama Islam yang disebarkan oleh para pedagang
dari Ternate dan Arab yaitu pada tahun 1939. Dan kemudian masuklah
pemerintah Belanda dan kemudian Pemerintah Indonesia yang disertai dengan
perusahaan-perusahan seperti perusahaan kayu, perusahaan Sagu ( Dayanti )
1989, perusahaan Udang, Minyak dan kegiatan Access Map dari ARCO serta
hadirnya warga transmigran dari Jawa di kecamatan Arandai (1989).
5.2. Kepercayaan
Kepercayaan tradisional orang Sebyar yang mendiami desa Tomu hingga saat ini
masih ada dan mempengaruhi pola kehidupan masyarakatnya. Masih adanya
kepercayaan tradisional ini memungkinkan orang Tomu untuk mempertahankan
norma budaya dan adat istiadat mereka sebagai pedoman dalam mejalankan
kehidupannya. Norma kepercayaan tradisional atau norma budaya yang hingga
saat ini ada, dan masih mengatur hubungan antar manusia yang satu dengan
manusia lainnya dan antara manusia dengan lingkungan alamnya.
Orang / suku Sebyar di desa Tomu masih percaya adanya roh halus, roh nenek
moyang, kekuatan gaib dan benda sakral seperti patung. Kepercayaan tersebut
masih memperkuat norma budaya yang mengatur semua aktifitas kehidupun
mereka. Misalnya, norma budaya yang mengatur hubungan mereka dengan
lingkungan alam yaitu jangan mebakar hutan sagu, jangan menjual tanah adat
tanpa sepengetahuan ketua klen pemiliknya dan larangan-larangan lainnya.
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 54
Apabila seseorang warga melanggar larangan tersebut maka orang tersebut akan
mati.
Selain norma budaya yang mengatur hubungan mereka dengan lingkungan alam,
adapula norma budaya yang penjadi pedoman dalam hubungan seseorang
dengan orang lain dan antara satu kelompok dengan kelompok lain. Misalnya,
norma budaya yang mengtur perkawinan ( exogami klen, besarnya maskawin,
orang yang berhak memberi dan menerima mas kawin dan lain-lainnya ), siapa
pemimpin upacara adat, sistem yang mengatur pola pemilikan tanah, pola
mencari makan dan lain-lainnya. Selin itu, norma budaya yang mengatur tentang
tata cara hidup dalam keluarga dan kelompok / suku mereka. Misalnya, sopan
santun dimana anak muda menghargai orang tua dalam mengemukakan
pendapat, menghargai pimpinan adat dan ketua-ketua klen dan juga mereka
menghargai dan menghormati siapa saja yang dianggapnya sebagai orang baik
atau berbuat hal yang baik untuk mereka.
5.3. Organisasi Sosial Dan Sistem Kekerabatan
a. Rumah Tangga
Dalam pola kehidupan rumah tangga orang Sebyar di desa Tomu terlihat bahwa
kebersamaan ( kehidupan sosial ) dan rasa peduli terhadap saudara-saudaranya
atas dasar hubungan darah dan hubungan perkawinan masih kuat sehingga
apabila ada anggota keluarganya yang kawin tetapi belum punya rumah, maka
kelurga baru ini tinggal bersama orang tuanya. Di dalam sistem ini dapat di
tentukan bahwa masyarakat / suku Sebyar di Tomu menganut sistem patrilokal
dan matrilokal. Karena mereka menganut kedua adat / tersebut maka pada setiap
rumah dapat di huni oleh 2 – 5 KK.
Di dalam mengurus dapur rumah tangga, mereka menggunakan satu tungku
sehingga dapat dikategorikan sebagai keluarga luas. Di dalam rumah tangga
seperti ini terjadi pembagian tugas pada setiap anggota rumah tangga, yaitu :
- Ayah dan anak laki selalu melakukan pekerjaan, seperti :
- Mencari ikan dan udang,
- Berburuh,
- Membangun atau memperbaiki rumah,
- Membuat perahu,
- Menebang sagu.
- Ibu dan anak-anak perempuan selalu melakukan kegiatan atau
pekerjaan , seperti:
- Menokok sagu (pekerjaan ini selalu dibantu oleh laki-laki atau
ayah untuk menebang pohon sagu),
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 55
- Mencari ikan dan udang,
- Memasak,
- menjaga dan merawat anak.
Dua kegiatan yang selalu dikerjakan bersama-sama antara Ayah, Ibu dan anak
laki-laki dan perempuan adalah kegiatan menokok sagu dan mencari ikan/
udang.
b. Prinsip Kekerabatan
Suku Sebyar di Tomu menganut sistem keturunan patrilineal, sehingga hak
waris selalu jatuh kepada anak laki-laki dan anak perempuan hanya memiliki
hak pakai. Namun demikian ada pemberian hak khusus dari orang tua sebagai
rasa kasih sayang kepada anak perempuan berupa sebidang tanah untuk
membangun rumah dan lain-lain. Selain itu, anak / saudara perempuan selalu
dilibatkan dalam semua kegiatan yang berhubungan dengan adat, terutama
upacara-upacara adat.
c. Kelompok kekerabatan
Sebyar adalah satu kelompok manusia yang di sebut suku. Sebyar artinya Suku
yang menyebar. Suku ini memiliki 26 klen ( data lapangan). Dari 26 klen yang
ada dibagi menjadi dua bagian yaitu: sub suku Dambad dan Sub Suku Kembran.
Klen-klen yang mesuk dalam suku Dambad dan Suku Kembran dapat
dikemukakan sebagai berikut.
Klen-klen Dalam Suku Sebyar
Dibagi Menurut Sub Suku Damban dan Kembran
Klen-klen Damband Klen-klen Kembran
1. Nawarisa
2. Kosepa
3. Kaitam
4. Inai
5. Gegetu
6. Efun
7. Kinder
1. Tabyar
2. Iribaram
3. Urbon
4. Nabi
5. Bauw
6. Braweri
7. Sorowat
8. Hindom
9. Patiran
10. Kutanggas
11. Frabun
12. Rumatan
13. Eren
14. Tonoy
15. Kokop
16. Ibimbong
17. Buranda
18. Kambori
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 56
Klen-klen tersebut di atas tersebar pada 7 desa , termasuk desa Tomu. Untuk
lebih jelas dapat dilihat pada tabel penyebaran klen-klen suku Sebyar menurut
desa berikut ini.
Penyebaran Klen-klen Suku Sebyar
Menurut Desa di Kecamatan Arandai
NAMA DESA NAMA KLEN
1. T o m u 1. Nawarisa
2. Kosepa
3. Kaitam
4. Inai
5. Gegetu
6. Efun
7. Kinder
2. W e r i a g a r
( Sekarang desa Weriagar
dan desa Mogotiran)
1. Bauw
2. Hindom
3. Sorowat
4. Patiran
5. Kutanggas
6. Braweri
7. Frabun
3. Kali Tami 1. Tabyar
2. Iribaram
3. Iriwanas
4. Urbon
5. Nabi
6. Bauw
4. T a r o i 1. Sorowat
2. Bauw
3. Urbon
4. Nabi
5. K e c a p 1. Bauw
2. Rumantan
3. Eren
4. Tonoy
6. Arandai 1. Kokop
2. Imbimbong
3. Buranda
4. Kambori
5. B auw
6. Romantan
7. Kampong Baru 1. Imbimbong
2. Bauw
3. Kokop
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 57
Dari tabel penyebaran tersebut di atas, desa Tomu di diami oleh 7 klen, yaitu :
· Nawarisa,
· Kosepa,
· Kaitam,
· Inai,
· Gegetu,
· Efum,
· Kinder
Klen-klen tersebut masing-masing mengetahui hak ulayat mereka, terutama
dusun sagu yang merupakan mata pencaharian pokok mereka sehingga apabila
salah satu warga yang bukan pemilik menokok sagu di dusun klen lain maka
harus memberitahukan kepada klen pemiliknya. Selain itu, ada hutan / dusun
sagu yang dapat di gunakan oleh ke- 7 ( tujuh ) klen tersebut.
Klen-klen tersebut di atas memiliki kerja sama yang baik dalam semua hal
terutama dalam usaha-usaha menokok sagu, melakukan upacara adat seperti
upacara kawin, membayar maskawin, mengurus orang meninggal, membuat
kelompok nelayan dan koperasi.
d. Istilah Kekerabatan
Untuk melihat hak dan kewajiban seseorang dan hubungan-hubungan
kekerabatan dalam kebudayaan suatu kelompok masyarakat perlu diketahui
struktur sosial dan istilah kekerabatan. Untuk mempermudah pemahaman kita
dapat dilihat pada bagan berikut ini.
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 58
BAGAN : ISTILAH KEKERABATAN SUKU DEBYAR
DI DESA TOMU
1 2 3 4
5 6 7 8 9 10 11 12
Ego 13 14
15 16
17
Keterangan Simbol :
= Laki – laki = Saudara
= Perempuan / wanita = kawin
= Laki-laki / Perempuan = keturunan
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 59
Keterangan Istilah pada Bagan :
Nomor
Kode Nama Lokal Istilah
Antropologi.
Bahasa Indonesia
1.
2.
3.
4.
5,11
6
7
8
9,10
12
13
14
15
16
17
Anin
Akawo
Tate
Tatof
Pepe
Nano
Aitakat
Aite
Yayo
Abob
Nakeden
Nakado
Akot Keden
Akot Rabin
Akot Tagar
Fa Fa
Fa Mo
Mo Fa
MoMo
FaSiHa; MoBr
FaSi
FaBr
Fa
Mo; MoSi
MoBrWi
Wi
Si
Da
So
SoSo
- Ayah dari ayah
- Ibu dari ayah
- Ayah dari Ibu
- Ibu dari Ibu
- Suami dari Saudara perempuan
ayah; Saudara laki-laki dari Ibu,
- Saudara perempuan dari ayah,
- Saudara laki-laki dari ayah,
- Ayah,
- Ibu;
- Saudara perempuan ibu,
- Istri dari saudara laki-laki ibu,
- Istri,
- Saudara perempuan
- Anak perempuan,
- Anal laki-laki
- Anak (perempuan / laki-laki) dari
anak laki-laki.
e. Sistem Perkawinan
Suku Sebyar yang mendiami desa Tomu menganut sistem Exogami Klen (
kawin keluar klen). Dalam memperoleh istri orang sbyar mengenal 3 bentuk,
yaitu :
- Minang; yaitu apabila seorang pemuda ingin kawin dengan seorang gadis
maka orang tua dari si pemuda pergi kerumah orang tua si gadis yang
diingininya untuk meminta secara baik. Apabila disetujui maka mereka
menanyakan besar harta Maskawin yang di minta oleh orang tua si Gadis
tersebut. Dengan mengethui besar harta maskawin yang di minta maka
orang tua dari si pemuda menghubungi kerabatnya terutama klennya lalu
mereka mengumpulkan harta maskawin yang dibebankan oleh orang tua si
gadis. Dan kemudian upacara pekawinan ( Arane) untuk mengukuhkan
perkawin tersebut dilaksanakan.
- Pencurahan Tenaga (Kawin Masuk ); perkawinan masuk ini terjadi
apabila si pemuda tidak mempunyai maskawin maka si pemuda harus
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 60
masuk tinggal di tempat tinggalnya si gadis untuk membantu orang tuanya
bekerja mencari nafkah.
- Kawin Tukar; yaitu: perkawinan dimana si pemuda yang mau kawin
tidak mempunyai harta maskawin tetapi mempunyai saudara perempuan
(gadis) sehingga digunakan untuk menukarkan calon istrinya.
Benda-benda Maskawin yang dimiliki dan digunakan dalam perkawinan adat
orang / suku Sebaya di Tomu adalah sebagai berikut :
- Lantaka ( sejata / meriam Portugis),
- Guci
- Piring Porseling besar,
- Piring makan,
- Perahu
- Dan lain-lainnya.
Perkawinan antar klen dalam suku mereka sekarang mengalami perubahan
dimana pemuda / orang Sebyar dapat kawin keluar sukunya. Sekarang Orang
sebyar dapat kawin keluar sukunya, misalnya sekarang orang Sebyar kawin
dengan orang Sorong, Babo dan Jawa.
f. Sistem Kepemimpinan.
Sistem kepemimpinan yang mereka anut adalah sistem kepemimpinan
campuran, yaitu mereka menganggap bahwa yang memimpin mereka adalah
kepala Klen ( seorang yang dianggap tertua dalam klen). Mengapa dianggap
pemimpin karena dialah yang mengetahui asal usul klen, norma budaya dan hak
milik klennya. Di desa Tomu sekarang yang menjadi pemimpin adat atau
pemimpin klen adalah sebagai beriku :
- Klen Nawarisa ,pemimpin adatnya adalah Haji Alim Nawarisa.
- Klen Kosepa , pemimpin adatnya adalah Sale Kosepa.
- Klen Kaitam, pemimpinnya adatnya adalah Salim Kaitam.
- Klen Inai, klen Gegetu, Kinder dan Efun pemimpin adatnya adalah Cereti
Inai. Mengapa demikian ? Karena Gegetu, Kinder dan Efun merupakan
bagian dari Klen Inai.
Kondisi sekarang, mereka mengangkat Kepala Suku yang sebenarnya secara
tradisional tidak ada. Hal yang mendorong masyarakat Sebyar di Tomu dan
Arandai untuk mengangkat seseorang Kepala suku adalah untuk
memperjuangkan aspirasi masyarakat ke Perusahaan dan Pemerintah. Jadi
seseorang yang di angkat sebagai kepala suku adalah orang tersebut harus pintar
bicara dan berani menyuarakan aspirasi masyarakat.
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 61
g. Sistem Pemilikan Tanah
Sistem pemilikan tanah, dusun sagu, hutan kayu secara komunal, yaitu hak milik
Klen. Sedangkan hak pakai adalah siapa saja dalam suku Sebyar boleh
memanfaatkan tanah atau hasilnya yang penting menta izin kepada klen pemilik.
Misalnya, salah satu anggota klen Nawarisa dapat menokok sagu pada dusun
sagu milik klen Kosepa, namun sebelunya harus minta izin kepada klen Kosepa.
Karena menurut mereka apabila tidak minta izin maka roh halus yang menjaga
dusun sagu akan mengganggunya pada saat melakukan aktivitas menokok sagu
di dusun tersebut.
Pemilikan tanah, dusun sagu, hutan, laut dan sungai berdasarkan tempat tinggal
dari enek moyang klen. Untuk itu, maka kepala klen sangat penting perannya
dalam menentukan hak ulayat klen berdasarkan cerita atau sejarah asal usul klen
tersebut. Misalnya, Sumur Gas yang berada di Muara Sungai Sebyar berada
pada hak ulayat Klen Nawarisa.
h. Konflik dan Penyelesaiannya
Konflik yang sering terjadi di desa adalah konflik tentang masalah perempuan
dan yang akhir-akhir ini terjadi adalah konflik terhadap perusahaan karena janji
perusahan hingga saat ini belum dipenuhi.
Penyelesaian konflik dalam kebudayaan suku Sebyar harus menghadirkan
kepala-kepala klen yang ada terutama klen yang konflik. Dan sebagai mediator
disini adalah tokoh agama / imam. Apa bila tidak diselesaikan mereka laporkan
ke Kepala desa dan seterusnya ke kecamatan. Sedangkan konflik antara
masyarakat dengan perusahan dapat diselesaikan apabila perusahan menghargai
hak-hak ulayat mereka dan menepati janjinya. Hingga saat ini, orang Tomu
walaupun menerima perusahaan masuk namun mereka masih menuntut
perusahaan untuk membayar hak-hak ulayat mereka yang pernah dirusak oleg
ARCO saat melakukan Access Map dahulu.
6. Sistem Ekonomi
a. Mata Pencaharian
Orang Sebyar di desa Tomu memiliki sistem mata pencaharian hidup sebagai
berikut:
1) Meramu ( Menokok Sagu )
Meramu merupakan mata pencaharian pokok / utama masyarakat suku Sebyar di
desa Tomu. Aktvitas meramu ini di lakukan pada dusun-dusun sagu dan hutan
sagu yang merupakan hak milik klen mereka, dan tidak menutup kemungkinan
untuk meramu di dusun sagu atau hutan sagu milik klen lain. Dalam kegiatan
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 62
meramu ini dilakukan bersama oleh ayah dan ibu ( laki-laki dan perempuan)
dengan pembagian kerja dimana laki-laki yang menebang sedangkan wanita (
ibu atau perempuan besar) yang menokok dan meramasnya hingga menjadi
tepung dan mebawanya pulang ke rumah.
Hasil dari kegiatan menokok sagu ( tepung sagu) ini di isi ke dalam noken dan
menjadi tuman sagu. Sagu Noken dan tuman di bagi dua ada yang dimakan dan
ada yang di jual. Dijual di desa Tomu, Aranday, Sebyar Rejosari harganya
berkisar antara 20.000,- - 25.000,- rupiah. Dan apabila dijual ke Bintuni, Babo
dan Kokas harganya berkisar antara 35.000,- - 50.000,- rupiah.
2) Nelayan ( Menagkap Ikan dan Udang)
Kegiatan nelayan juga merupakan mata pencaharian pokok utama yang
dilakukan oleh masyarakat suku Sebyar. Ada masyarakat yang berangkat
lengkap dengan keluarganya pergi meninggalkan desa ke muara sungai Sebyar (
Manggarina) menangkap udang dan ikan selama 2 – 4 minggu. Kegiatan
menangkap ikan dan Udang juga dilakukan bersama oleh kaum pria maupun
wanita. Dan apa bila diamati secara cermat kegiatan penangkapan udang / ikan
ini pada umumnya dilakukan oleh kaum pria namun kenyataannya yang
dominan untuk menangkap udang adalah perempuan.
Peralatan yang digunakan untuk menangkap ikan dan udang boleh dikatakan
modern walaun alat transpotasinya sebagian besar masih menggunakan perahu
tradisional. Sadangkan alat menakapnya modern, misalnya, jala, jaring, pancing.
Dan untuk mengawetkannya menggunakan Es batu yang didistribusikan oleh
perusahaan.
Hasil penangkapan ikan dan udang ada jenis yang dimakan dan juga di jual. Ikan
Yu hanya diambil siripnya untuk di jual. Sirip Super harganya Rp. 1.200.000,- /
kg dan Sirip kelas dua harganya Rp. 750.000,- / kg. Sedangkan Udang di jual
ke perusahaan harga nya berkisar antara 25.000,- - 30.000,- rupiah / Kg.
3) Berburu
Kegiatan ini merupakan salah satu sitem mata pencaharian hidup, namun mereka
lakukan hanya dilakukan secara kontemporer dan hanya dilakukan oleh kaum
pria. Jenis binatang yang diburu, antara lain : buaya, rusa, dan berbagai jenis
burung yang berada / hidup di hutan sekitar desa mereka.
b. Lembaga Ekonomi
Lembaga ekonomi yang di desa ada 2 (dua) koperasi, yaitu :
- Koperasi Unit Desa (KUD), lembaga ini sudah macet karena
manejemen keuangannya tidak jelas (data menurut tokoh masyarakat),
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 63
- Koperasi Ayut (TKBM), koperasi bergerak pada bidang usaha kayu.
Koperasi tersebut hingga saat ini masih ada namun untuk sementara belum
lancar usahanya.
Selain itu, ada Kios milik orang bugis di desa Tomu, yang hingga saat ini masih
berjalan baik. Kios tersebut dapat menampung semua kebutuhan masyarakat
desa Tomu
7. Kesimpulan
Berdasarkan data-data yang telah diuraikan di atas tentang rona awal kondisi
social budaya suku Sebyar yang dilakukan di desa Tomu, kecamatan Arandai
2001 disimpulkan bahwa :
1. Kondisi Alam sekitar desa Tomu-kecamatan Arandai masih banyak areal
hutan yang walaupun telah beroperasi beberapa perusahan22 di kawasan ini,
namun hingga saat ini (2001) Hutan Mangrove masih lebat dan arealnya
cukup luas. Hutan Mangrove hingga kini masih dihuni oleh berbagai jenis
hewan antara lain: udang, kepiting dan berbagai jenis kerang, dan ikan.
Selain itu, terdapat pula jenis jenis hewan lain, seperti burung, buaya, kuskus,
dan kasuari yang hidupnya di hutan di luar Bakau.
2. Sistem mata pencaharian mereka sebagai manusia rawa hingga saat
dilakukan studi masih terlihat, seperti menokok sagu dan mencari ikan, udang
, kerang dan jenis hewan lainnya dengan menggunakan transportasi perahu
masih ada.
3. Hubungan social antar kerabat maupun anggota masyarakat yang berada di
desa Tomu,maupun desa-desa lainnya di kecamatan Arandai sangat baik.
Mereka masih menghargai adat-istiadat mereka, mengakui pimpinan adat
mereka, mengakui hak milik anggota masayarakt secara adat. Selain itu,
hubungan antar agama ( Kristen protestan, Islam dan Katholik) sangat baik.
Hal demikian terlihat dalam kegiatan pembangunan gedung ibadah (Gereja
dan Mesjid) dimana mereka saling membantu saat kerja membangun dan
membersihkannya.
4. Setiap klen yang mendiami desa Tomu memiliki cerita asal usul sama yaitu
mereka berasal dari Kuri Wamesa - Gunung Nabi Bintuni. Sedangkan sejarah
kontak budaya diawali sejak tahun 1932 ( agama Kristen) dan tahun 1939
22 perusahaan kayu dan Sagu (Dayanti 1989). keculi beberapa areal yang pernah dilalalui kegiatan
Access Map dari ARCO.
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 64
(agama Islam). Kecuali, beberapa klen dari suku Sebyar yang mendiami desa
Weriagar, Mogotiran, Taroi dan Kali Tami.
5. Suku Sebyar menganut system / prinsip keturunan Patrilineal dan memiliki
25 klen. Klen ini dibagi dalan dua sub suku, yaitu : sub suku Dambad dan
sub suku Kembran yang biasa disebut juga Sebayar Luar. Klen-klen yang
masuk kelompok sub suku Dambad ada 7 klen, yaitu : klen Nawarisa, klen
Kosepa, klen Kaitam, klen Inai, klen Gegetu, klen Efum dan klen Kinder.
Sedangkan, kelompok klen yang masuk sub suku Kembran ada 18 klen, yaitu
: Tabyar, Iribaram, Urbon, Nabi, Bauw, Braweri, Sorowat, Hindom, Patiran,
Kutanggas, Frabun, Rumatan, Eren, Tonoy, Kokop, Ibimbong, Buranda,
Kambori
6. Potensi ekonomi yang hingga saat ini memberikan pendapatan besar adalah
usaha penangkapan udang. Khusus masyarakat Sebyar di desa Tomu
penangkapan dilakukan di Manggarina dekat muara sungai Sebyar. Hasil dari
kegiatan penangkapan udang ini dijual ke beberapa perusahan udang ( Usaha
Nina dan lain-lainnya) yang beroperasi di Teluk Bintuni dengan harga
berkisar anatara Rp. 25.000,00 - Rp. 30.000,00 / 1 kg.
Daftar Kepustakaan
Beanal, Lydya. N., (1999). Arti Tanah Menurut Suku Amungme. Forum
Lorentz, Timika.
Boelaars, Jan. (1992) Manusia Irian: Dahulu, Sekarang, Masa Depan.
Gramedia. Jakarta.
Griapon, Alexander, dkk., (1986). Nimboran dan Sekitarnya Dalam Relegi:
Antara Dongeng dan Kebenaran. LITBANG GKI. Jayapura.
Godschalk, Jan. A., (1993)., Sela Valley: An Ethnography of a Mek Society in
the Eastern Highlands, Irian Jaya, Indonesia. CIP-Gegevens Koninklijke
Bibliotheek, Den Haag.
Keesing, Roger M. (1992) Antropologi Budaya: Suatu Perspektif Kontemporer.
Edisi 1,2. (terjemahan). Erlangga. Jakarta.
Koentjaraningrat, (1993) Irian Jaya: Membangun Masyarakat Majemuk.
Djambatan. Jakarta.
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 65
Laksono, P.M., dkk., (2000) Menjaga Alam Membela Masyarakat : Komunitas
Lokal dan Pemanfaatan Mangrive di Teluk Bintubi. PSAP-UGM dan
KONPHALINDO Yogyakarta.
Mansoben, J.R. (1995), Sistem Politik Tradisional di Irian Jaya. Jakarta. LIPI.
Jakarta, dan Leiden University, Netherlands.
Pusat Penelitian UNCEN, (1997). Pemetaan Sosial Budaya di Kabupaten
Daerah Tingkat II Merauke, Fakfak, dan Jayawijaya. PUSLIT-UNCEN.
Samaduda, M. dkk., (2000). Profil Kawasan Teluk Berau dan Teluk Bintuni.
UNCEN-YPMD, Jayapura.
Widjojo, Muridan. S., (1997). Orang Kamoro dan Perubahan: Lingkungan
Sosial Budaya di Timika Irian Jaya. LIPI Jakarta.
Walker, Malcoln., dkk. (1987). Regional Development Planning for Irian Jaya.
Anthropology Sector Report. Lavalin International Inc. PT. Hasfarm Dian
Konsultan. Jayapura.
Miedema, Jelle (1986). Pre-capitalism and Cosmology : Description and
Analysis of the Meybrat Fihery and kain Timur Complex. Forish.Pubh.
Dordrecht-Holland /Riverton-USA.
Raharjo, Yufita. (1995). Proseding Seminar : Membangunan Masyarakat Irian
Jaya. LIPI, PPT-LIPI, Jakarta.
Haviland, William .A. (1988) Antropologi (Terjemahan). Erlangga Jakarta.

WOR Sebagai Fokus Dan Dinamika Hidup Kebudayaan Biak

WOR Sebagai Fokus Dan Dinamika Hidup Kebudayaan Biak

Frans Rumbrawer@
Abstract
Munara or Wor is the center of cultural life of Biak people. It can de defined as
family invitiation to take a part in a party; singing and dancing, drinking and
eating and end up with economic transaction among those who attend the
party..
The Munara or Wor is divided into two ; war sraw or “ small party” and
Munara or Wor Veyeren or “big party”. War Sram divided into 18 parties and
War Veyeren divided into 11 parties.
For the Biak, war is not just an institusion but also a dynamist on their
achievement as an individual, clan tribes when they can perform the wor
completly.
Modernication in nowdays has changed the value of Wor. War according to the
anthor, in these days is just a normal or reguler ceremony in the society.
0. Pendahuluan
Saya tidak menyadari sebelumnya, bahwa siapa sesungguhnya diri saya? Setelah
mengalami, mengetahui, sekaligus menikmati daur hidup orang Vyak seutuhnya,
lalu seberkas kearifan tradisi (indigenous knowledge) yang telah diperoleh
secara adat itu, lebih diterangi oleh wawasan akademik antropologis dalam
perspektif strukturalis, barulah saya menyadari bahwa siapa diri saya dalam
konteks kebudayaan Vyak. Sesungguhnya Mankundi (Tuhan Yang Esa) telah
memberikan karunia dalam keluarga besar Soor, kelompok Suprimankun
(pemilik negeri) er Sovuver & Iryow. Apa gerangan dan apa sesungguhnya arti
di balik sapaan apsasor (term of reference) yang telah disematkan kepada saya
sebagai Roma Manseren atau roma siwor sern warek (anak yang selalu
diupacaraadatkan) setelah menerima pengukuhan dalam munara (pesta akbar)
atau wor veba (pesta inisiasi besar) yang penuh magis religius pada ketika itu
(20 April 1965).
@ Dosen Pendidikan Bahasa Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
Cenderawasih dan Sekretaris Lembaga Penelitian UNCEN
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 41
Saya menyadari bahwa konsekuensi magis dalam pranata kesakralan adat
subkeret yang terformulasi dalam paket sapaan apsasor perlu dirahasiakan
secara selektif proporsional. Akan tetapi konsekuensi moral (akademik) saya
menuntut agar kerahasiaan er (marga) itu, patut disingkap secukupnya untuk
menjadi perhatian bagi masyarakat (kita) termasuk para akedimisi yang telah
dikategorikan dalam masyarakat loosness structure itu. Berkaitan dengan itu,
izinkan saya untuk memanfaatkan pengalaman pribadi saya, sebagai kasus atau
data sekadarnya untuk memberikan penjelasan tentang teori struktural yang
terkesan amat abstrak itu. Lalu, diskusi ini akan berfokus pada Munara atau
Wor Vyak sebagai puncak (culture core) dari prestasi maksimal dalam
kehidupan kebudayaan orang Vyak. Sebab itu, saya berharap bahwa para peserta
atau pembaca tak akan melihat pribadi saya pada perspektif sempit yang
subjektif dan etnosentris.
1. Pengalaman Emik-Empiris
Saya memang dilahirkan dan diinisiasi lengkap sebagai: putra sulung (roma
rak); penerima hak-hak patrilineal; dalam struktur keluarga suprimankun; klen
Sovuver-Iryow; pada subklen Rumbrawer; var Manseren, dalam subsuku Vyak;
kelompok Napa; ersandei (lingkungan) var risen, pada wilayah adat/hukum
(sawre) dewan Yawosi; berbahasa Vyak dialek Soor; dan dibesarkan di
kampung Boi (Kampung Bosnarvaidi sekarang); Distrik Korem Biak Utara;
dalam kawasan budaya (culture area) Biak-Numfor; dan berpaham etnosentris
Vyak yang konservatif.
Sebagai kpurak (cucu sulung, generasi min empat (- 4), yaitu akak dari Dimara
Sisum (yang dipertuan agung) Sovuver (Sanadi Soor, generasi + 4) dan Mayor
Iryow (Madira à sebagai ancestor), yang dilahirkan sebagai romarak atau
roma siwor sern atau sfes eren warek atau roma manseren (anak yang selalu
dinyanyikalenderkan atau dijanjikan, diupacaraadatkan) dalam status marital
berdasarkan prestasi maksimal ufkarkir swandido dan suprido-nya
(kepandaiuletan bernelayan & berladang), Mankankan Dore (Michel II
Rumbrawer) dengan Adafker (Sandelina Iryow). Sebagai putra penyandang
predikat kuasa adat, bukanlah tugas yang ringan. Konsekuensi menjadi romarak
yang telah mencapai tingkatan inisiasi tertinggi (dalam adat) dan telah berhak
disapa sebagai roma manseren (apsasor) dalam adat Vyak yang konservatif
tentu sekali tidak gampang memperoleh sapaan tersebut. Sebab, melewati seleksi
adat yang ketat, karena (kala itu) adat Vyak berbenturan keras dengan adat
Kristen. Saya telah disuguhi dan menikmati seutuhnya sebagian besar sistem
pengetahuan atau kearifan tradisi Vyak yang dilatih dan diberikan secara rahasia
oleh para tetua dan juga belajar dari lingkungan sekitar, serta mengikuti dan
menikmati serentetan prosesi siklus hidup wor seutuhnya, baik wor sraw (pesta
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 42
inisiasi kecil) sampai dengan munara atau wor veba (pesta inisiasi akbar,
lengkap).
Atas dasar pemahaman emik dan pengalaman empiris yang telah dikemukakan
di atas inilah yang memberikan motivasi bagi penulis untuk berdiskusi seadanya
tentang munara atau wor sebagai fokus dan sekaligus sebagai dinamika hidup
(totalitas yang integral) dalam kebudayaan orang Biak.
2. Pengertian Munara atau Wor Biak
Jika kita uraikan kedua konsep atau peristilahan munara dan wor atas struktur
atau bentuk katanya, maka akan jelas konsep-konsep utama yang berkaitan erat
dengan kedua kata kompleks tersebut. Kata munara terdiri atas dua morfem
bentukan, yakni dari morfem mun ‘penggal, bagian atau bayar, ganti’; dan
morfem ara ‘kasihan, ibah hati, penggugah, pemancing, pemotivasi, penyebab
sesuatu terjadi’: mun + ara. Sedangkan morfem wor, terdiri pula atas dua
morfem bentukan, yakni morfem terikat penanda persona w à aw ‘engkau
dengan morfem bebas or ‘panggilan, mengundang; atau pesta, lagu, nyanyian:
‘w +or.
Dengan demikian kata munara atau wor itu dapat diformulasikan menjadi:
undangan keluarga untuk mengambil bagian dalam pesta: menari dan bernyanyi,
makan-minum bersama, dan diakhiri dengan acara transaksi ekonomi bersama
berupa hasil ladang seperti: talas, keladi, sagu, dan hasil buruan seperti: daging
babi, ikan, dengan transaksi hasil barteran berupa: piring, gelang, parang,
tombak dan sebagainya antar keluarga tuan pesta dengan pihak keluarga paman
(mother brother), yang dikenal dalam adat Vyak dengan istilah munsasu dan
maidofa (take and give) secara kolektif.
Dengan demikian, munara atau wor dapat diartikan secara bebas sebagai pesta
atau upacara akbar yang tentunya dibarengi dengan acara jamuan makan,
bernyanyi dan menari, yang diakhiri dengan transaksi ekonomi, yang
terselenggara sebagai puncak dari seluruh kompleksitas dan rangkaian pesta adat
yang mengikuti lingkaran atau daur hidup seseorang, mulai dari kehadirannya
dalam kandungan (janin), kelahiran, kanak-kanak, remaja, akilbalik, dewasa, tua,
hingga ia masuk liang kubur.
3. Jenis Munara atau Wor Biak
Munara atau wor Vyak dibagi atas dua bagian besar, yaitu wor sraw ‘pesta kecil’
dan munara atau wor veyeren ‘pesta akabar’. Seterusnya wor sraw atau secabik
pesta (kecil) kurang lebih terbagi lagi atas 18 wor, yakni pesta ‘wor’: (1) kakfo
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 43
ikoibur ‘meramal kelamin janin’; (2) anunbesop ‘diturunkannya bayi dari
rumah ke halaman/bawah sekitar kampung’; (3) anansus ‘tetekan bayi’; (4)
raikarkir ‘pelobangan telinga dan hidung’; (5) ananmam ‘makan kunyahan’; (6)
marandak ‘jalan pertama kali’; (7) andomankun ‘ makan sendiri tanpa disuap’;
(8) papaf ‘penyapihan anak’; (9) kapanaknik ‘cukur rambut anak’; (10)
famamarwark ‘pemberian cawat/pakain’; (11) mansorandak ‘pertama kali pergi
dan kembali dari negeri orang’; (12) amfudum ‘pengatapan rumah baru’; (13)
sunavrdado ‘memasuki/hunian rumah tinggal baru’; (14) sunsram ‘memasuki
pendidikan di lembaga rumsram’; (15) sarsram ‘pesta tamat lembaga rumsram’;
(16) sarwai babo ‘uji-pakai perahu baru’; (17) kper-roemun ‘lepas dari bahaya’;
(18) avovs-farbey ‘pelepasan atribut perkabungan’.
Sedangkan munara ‘pesta akbar’ kurang lebih terbagi pula atas 11 wor, yakni
pesta ‘wor ‘: (1) beyeren atau wor kabor insos ‘pesta inisiasi keluarga inti
(anak-anak); (2) ramrem ‘pesta peminyakan bagi pengantin laki-laki yang akan
memasuki rumah tangga baru; (3) fakoker ‘pesta pemotongan atau pelepasan
tali (adat) pingitan (keperawanan) orang tua atau keluarga bagi seseorang
pengantin perempuan yang hendak berumah tangga baru; (4) umbambin ‘pesta
prosesi antar-arakan dari keluarga luas pengantin wanita kepada keluarga luas
pengantin pria; (5) yakyaker ‘pesta pengantaran wanita disertai perabot rumah
tangganya dari keluarga dekat pihak perempuan (orang tua terdekat: bapak-ibu,
saudara-saudara, paman-bibi) untuk seterusnya tinggal bersama suaminya atau
memasuki keluarga pihak keluarga laki-laki; (6) akekdofnan (yaf) ‘pesta panen
raya); (7) faduren ‘pesta sarat muatan perahu niaga atau keberhasilan
perbarteran antar pulau; (8) samsom ‘pesta permohonan maaf’; (9) samsyom
‘syukur puji’; (10) fannangki ‘pesta pemberian persembahan hasil panen
kepada Tuhan penguasa langit-bumi’; (11) rakmamun ‘pesta kemenangan
perang’.
4. Wor sebagai Fokus dan Dinamika Hidup Orang Biak
Istilah fokus kebudayaan, seperti yang digunakan untuk mengarahkan diskusi
ini, sesungguhnya mengandung arti bahwa dalam kehidupan setiap suku bangsa
(etnik di mana pun, telah pasti mempunyai kebudayaan inti (culture core). Pada
hakekatnya garis besar konsep kebudayaan itu dapat dilihat sebagai pengetahuan
yang dapat diperoleh dalam kehidupan sehari-hari dan yang dipakai untuk
mengartikan pengalamannya dan menghasilkan tingkah laku sosial
(Goodenough, 1964).
Untuk diskusi ini, kita akan melihat kebudayaan itu dari segi perilaku dalam segi
kognitif (struktur). Berdasarkan pemahaman ini, kebudayaan dapat diartikan
dengan sejumlah perilaku manusia yang berpola sebagai hasil dari suatu
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 44
kegiatan (munara-wor). Kebudayaan juga adalah keseluruhan gagasan, ide,
kepercayaan dan pengetahuan manusia dalam suatu masyarakat. Karena itu,
perilaku budaya pada dasarnya ditentukan oleh segi kognisi atau pengetahuan
dan pengalaman manusia dalam suatu masyarakat. Karena itu, perilaku budaya
pada dasarnya ditentukan oleh segi kognisi atau pengetahuan dan pengalaman
manusia. Setiap kebudayaan mengandung berbagai kategori perilaku yang
digunakan manusia untuk memilah-milah dan menggolong-golongkan
pengalaman (Spradley, 1972 : 3 – 8 ). Sehubungan dengan itu, penulis akan
mencoba mengemukakan wor atau pesta sebagai fokus dalam kebudayaan Biak.
Untuk itu, analisis Van Gennep tentang ritus peralihan dan upacara pengukuhan
dapat digunakan sebagai model arahan dalam diskusi ini.
Van Gennep berpendirian bahwa ritus dan upacara religi secara universal dan
pada dasarnya berfungsi sebagai aktivitas untuk merekonstruksikan kembalai
semangat kehidupan sosial antar warga masyarakat”. Untuk seterusnya Van
Gennep mengemukan bahwa kehidupan sosial dalam tiap masyarakat di dunia
secara berulang, dengan interval waktu tertentu, memerlukan “regenerasi” yaitu
semangat kehidupan sosial seperti ritus dan upacara religi (Van Gennep) dalam
Koetjaraninggrat, 1980 : 74-77).
Menrut pengetahuan emik penulis bahwa bila diteliti secara mendalam tentang
rusaknya tatanan atau struktur sosial orang Biak yang terpaket dalam upacara
adat (munara/wor), karena telah dirusak oleh pranata lain. Diduga semangat
membangun dalam kebudayaan Biak menjadi rusak dan renggang oleh karena
beberapa sistem pranata adat Biak diputuskan secara sepihak oleh intervensi
kebudayaan luar sehingga dinamika kehidupan sosial orang Biak tak berdaya
lagi. Oleh karena wor sebagai pranata dan sekaligus menjadi dinamisator atas
prestasi maksimal bagi seseorang, keluarga, kelompok keret atau etnis Biak
sengaja diputuskan maka dinamika hidup orang Biak telah berada di ambang
kepunahan (Kamma, 1981, 1982; Kapissa, 1994; Rumbrawer, 1995). Lihat
struktur struktur Wor sebagai berikut
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 45
Vave Manseren
(Prestige
Prestasi)
‘Vave Snonkaku’
Munara
(Pesta Akbar)
‘Wor Veyeren’
Sejumlah Pesta Inisiasi Kecil ‘Wor Sraw’
Pemberian Makanan ‘Fanfan Kadaren
KERJA MAKSIMAL‘FARARUR KIR’
5. Hakekat dan Makna Wor Biak
Sebagai mana telah disinggung sepintas pada awal diskusi kita di atas, bahwa
hakekat wor atau pesta Biak adalah pusat kehidupan suku bangsa Biak (culture
core). Mengapa pernyataan hipotesis ini cenderung diabsahkan. Oleh karena jika
kita diskusikan secara mendalam tentang wor maka akan kita jumpai hakekat
dan arti makna hidup seutuhnya dalam terselenggaranya upacara ritual Biak.
Dalam filsafat ekonomi orang Biak telah ditegaskan bahwa “ Nko wor va ido, na
nko mar” (Kami akan mati, jika kami tidak bernyanyi). Orang Biak dahulu, telah
menyadari bahwa lagu dan pesta adalah aset kehidupan. Jika melaksanakan
upacara wor akan mendatangkan rejeki dan berkah bagi keluarga dan
masyarakat sekitar. Pernyataan seperti ini telah dinyatakan dalam tema dan syair
lagu beberapa wor Biak kurang lebih dinyatakan sebagai berikut: Ada lagu ada
kehidupan (wor isya kenm isya); ada kehidupan ada makanan (kenm isya anan
isya); ada makanan ada nilai (anan isya vave snonsnon / maseren isya); dan
dapat diakhiri dengan: ada nilai ada pesta inisiasi (vave sno manseren isya
munara isya), dan ada persta akbar ada seberkas kasih dan persatuan klen atau
kampung (munara isya vave oser er mnu isya kako).
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 46
6. Penutup
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kebudayaan inti atau fokus
kebudayaan orang Biak sesungguhnya adalah pelaksanaan wor. Jika wor tidak
dilaksanakan berarti semua sistem kehidupan dan aktivitas hidup orang Biak
akan menjadi lumpuh total, tidak akan bergairah lagi dan akhirnya totalitas
kebudayaan Biak akan punah.
Makna tersirat dalam diskusi ini adalah bahwa akibat dari intervensi
kebudayaan-kebudayaan dominan dan adanya larangan untuk membatasi
berbagai upacara ritual wor Biak, maka fokus dan dinamika kebudayaan Biak
pun punah. Hilanglah makna upacara yang mempertebal perasaan kolektif dan
integrasi sosial orang Biak sebagaimana pernyataan ilmiah yang telah
dinyatakan oleh Durkheim (1912); Radcliffe Brown (1992) dan Van Gennep
(1909).
DAFTAR PUSTAKA
Koentjaraningrat. 1986. Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta, Penerbit
Jambatan.
------------------. 1987. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta, Penerbit
Jambatan.
-------------------. 1984. Sejarah Teori Antropologi Jilid I. Jakarta. Penerbit
Gramedia.
Spradley, James P. 1972. Culture and Cognition: Rules, Maps, and Plans.
London. Chandler Pubhising Company.
Kamma. 1982. Ajaib Di Mata Kita. Jakarta.

Kepercayaan Asli Orang Meybrat

Kepercayaan Asli Orang Meybrat
Albertus Heriyanto2
Abstract
The belief of the archaic people is commonly relating to their view on nature,
other people, and the divine being. So does the belief of the Meybrat people.
They believe that there are divine and spiritual powers that created and take
care of the nature they are living in.
As other archaic people, they also conceive the divine being by associating it
with the immediate conditions of the economy and environment. Their
conception of it appear in names such as Yefun, (‘Lord and the creator of
nature), mythological persons such as Siwa and Mafif, and some spiritual
beings such as Taku and other spirits of the death. The idea of the divine being
is appeared in their certain cultural process, such as the Wuon cult (the cult of
initiation), “prayers”, and myths, or in their interrelations with the ancestors.
As hunters and planters, they are influenced by various natural phenomenons,
by their forest, fields and plants, by the fertility of the earth and its mystique.
That’s why their ideas about the divine being are impressed by the frightening
and marvelous manifestation of their environment.
1. Pengantar
Manusia senantiasa hidup dan berkembang dalam relasi dengan alam semesta,
dengan sesama dalam kelompoknya, maupun dengan orang lain di luar
kelompoknya. Pengalaman berrelasi itu selanjutnya melahirkan cara
pandang yang khas mengenai apakah alam semesta itu dan siapakah sesama
yang dengannya mereka berrelasi. Cara pandang itu kemudian mewujud dalam
tata sopan santun, adat istiadat, norma moral, tabu, serta berbagai tata sosial
kemasyarakatan. Manusia juga mengalami bahwa relasi-relasi horizontal itu
belum menjawab dan memuaskan seluruh kehausan spiritualnya akan makna,
asal dan tujuan hidupnya. Pertanyaan tentang hakekat dan makna peristiwaperistiwa
eksistensial seperti kehamilan, kelahiran, sehat dan sakit, bahagia dan
derita, perang dan damai, kehidupan dan kematian, tak menemukan jawaban
yang memuaskan hanya dalam relasi dengan alam dan sesama.3 Keyakinan akan
2 Dosen Filsafat Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Fajar Timur Abepura.
3 Karl Jaspers menyebut pengalaman-pengalaman yang bisa memunculkan krisis eksistensi ini
sebagai situasi batas, dan di antaranya yang paling penting ialah pengalaman menghadapi
peristiwa kematian.
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 28
adanya Realitas Yang Lebih Tinggi merupakan fenomena yang dapat kita temui
di hampir semua kebudayaan. Demikian pun halnya dengan suku Meybrat.
Sebagai satu kelompok masyara-kat yang memiliki sejarah sendiri dalam aneka
kekayaan tradisi budayanya – hidup mereka pun dilingkupi dan diberi arah oleh
kepercayaan akan adanya suatu kekuatan yang melebihi dirinya, yang
menjadikan mereka ada, yang mengatur kehidupan, dan menguasai seluruh alam
semesta.
2. Gambaran Umum Tentang Suku Meybrat
Kelompok Suku Meybrat mendiami daerah pedalaman Kepala Burung yang
mencakup suatu bentangan wilayah dari tepian Timur Kamundan di Timur
hingga ke Sun dan Waban di Barat; dari kaki Pegunungan Tamrau di Utara
hingga ke sekitar Danau Ayamaru di Selatan. Di wilayah inilah bermukim
kelompok-kelompok Suku Madik, Karon, Mare, Aifat, Ayamaru dan Aitinyo. 4
Dari segi bahasa, Suku Karon, Madik dan Meybrat digolongkan dalam satu
rumpun bahasa Fila Papua Barat5. Kiranya perlu ditambahkan juga keberadaan
kelompok Suku Mare dalam rumpun bahasa tersebut. Memang ada perbedaan
dialek di antara sub-sub suku tersebut, namun dari segi tradisi rupanya ada
keterkaitan yang sulit dilepaskan antara satu dengan yang lain; khususnya bila
kita menunjuk pada beberapa hal penting, seperti tradisi pertukaran kain timur,
alam kepercayaan, dan sejumlah ritus yang mereka jalankan (misalnya inisiasi).
Hal-hal ini menunjukkan bahwa antara Madik, Karon, Mare, Aifat, Aitinyo dan
Ayamaru memiliki kedekatan dalam tradisi. Maka, kiranya lebih tepat bila Jan
Boelaars menyatukan mereka dalam satu Suku Meybrat, meski Boelaars juga
tidak menyebut keberadaan kelompok Madik dan Aitinyo.6
3. Orang Meybrat dan Yang Ilahi
Orang Meybrat percaya akan adanya kuasa-kuasa yang menjaga kelangsungan
alam semesta dan melingkupi kehidupan manusia. Kuasa-kuasa itu dikenal pada
sejumlah nama yang akan kami jelaskan berikut ini.
4 N. Sanggenafa dan Koentjaraningrat - terutama dengan menitik-beratkan segi bahasa -
membedakan antara Orang Meybrat, Karon, dan Madik. Namun mereka tidak menyebut
keberadaan kelompok Suku Mare. Kiranya yang mereka maksudkan sebagai Orang Meybrat ialah
Orang-orang Aifat, Ayamaru, Aitinyo. Lih. Koentjaraningrat dkk., “Irian Jaya Membangun
Masyarakat Majemuk”, h. 156.
5 Ibid. h. 157.
6 Lih. Boelaars, Jan, “Manusia Irian – Dahulu, Sekarang, Masa Depan”, Gramedia, Jakarta, 1986,
h. 129.
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 29
Yefun
Kuasa Tertinggi dalam kepercayaan Suku Meybrat dikenal dengan nama Yefun.
Nama ini sebenarnya ‘baru’ dalam hidup berkepercayaan masyarakat Meybrat,
karena mulanya hanya dikenal oleh kelompok Suku Madik dan dianggap sebagai
kata sakral yang tidak boleh sembarang diucapkan.
Kata Yefun berasal dari Bahasa Madik, yang terdiri dari dua kata: ‘Ye’ dan
‘fun’.7 Ye, berarti manusia, sedangkan Fun sering diartikan sebagai yang
sempurna, sejati, asli. Jadi, kata Yefun dapat diartikan sebagai ‘manusia sejati’.
Sejumlah responden menganggapnya sebagai manusia pertama, manusia asali.
Dialah asal mula segala sesuatu sekaligus sosok yang mengalirkan nafas
kehidupan bagi sekalian makhluk. Ia dipandang sebagai sosok yang agung,
tinggi luhur dan tak tersentuh. Yefun diyakini sebagai kuasa ilahi yang baik,
pemberi hidup dan pemelihara alam semesta. Untuk menyebut namanya pun
orang mesti melakukannya dengan penuh hormat, keseganan, bahkan terkesan
takut. Alasannya, bila Ia tak berkenan, maka akan sangat buruk akibatnya bagi
orang yang menyebutnya. Bisa jadi mereka akan sakit atau bahkan meninggal.
Siwa dan Mafif
Selain Yefun, dalam kepercayaan Orang Meybrat dikenal dua tokoh mitis
penting yang lebih populer: yakni Siwa dan Mafif.
Kedua tokoh ini diyakini sebagai orang-orang yang hadir sesudah Yefun.
Namun, di antara kedua tokoh ini Siwa-lah yang memiliki kekuatan gaib. Ia
diyakini sebagai orang yang pertama membuat segala sesuatu, dan semua itu
dibuatnya secara ajaib. Mafif seperti orang biasa saja. Jika ia membutuhkan
sesuatu atau hendak membuat sesuatu, ia harus bekerja keras.
Tentang kekuasaan Siwa ini, misalnya, dikisahkan bagaimana Siwa dan Mafif
membuat rumah.
Pada awal mula dunia ini, yang ada hanya Siwa dan Mafif. Mafif
berencana membuat rumah. Ia mengumpulkan kayu untuk tiang-tiang
dan kerangka rumah, rotan sebagai tali pengikat, daun sagu untuk atap,
bambu sebagai dinding, dan sebagainya. Berhari-hari ia bekerja keras.
Setelah semua bahan ia siapkan mulailah ia melaksanakan rencananya.
Namun upayanya tidak berjalan sebagaimana diharapkan. Setiap ia
berusaha mengikat kerangka rumahnya, tali rotan yang ia gunakan putus
atau ikatannya lepas.
7 Dari segi arti katanya Thomas Emanuel Hae menerangkannya secara lebih detail dalam
“Pandangan Hidup Suku Karoon yang diungkapkan dalam Bahasa dan Gejala Pengelompokan”,
Skripsi Sarjana Muda STTK, Abepura, ….
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 30
Siwa datang dan melihat hasil pekerjaan Mafif. Ia tertawa melihat cara
kerja Mafif.
“Lihatlah, bagaimana saya bekerja,“ kata Siwa.
Dengan mudah sekali ia melakukan pekerjaan itu. Tali-tali seolah keluar
dari jari-jarinya. Dalam waktu sekejap saja, kerangka rumah itu telah
selesai. Demikianpun ketika ia menjahit daun-daun sagu untuk membuat
atap. Daun-daun itu seolah hanya dipegang-pegang dan dalam sekejap
saja selesailah sudah. Kemudian ia memasang semua atap dan
dindingnya. Dalam waktu singkat, rumah itupun jadi.
Karena yakin akan kuasa yang dimiliki Siwa, orang kemudian menggantungkan
hidup mereka kepadanya. Dalam upaya dan pekerjaannya, Orang Meybrat
seringkali mohon pertolongan dari Siwa. Misalnya, sewaktu orang hendak
mengiris mayang enau untuk memperoleh tuo (sageru), sebelumnya mereka
mengambil kayu, mengetuk mayangnya dan berkata, “Siwa heyum. Siwa
yemit”.8 Setelah itu barulah mereka mulai mengiris mayang enau tersebut.
4. Orang Meybrat dan Roh-roh
Selain nama-nama yang dapat dikatakan sebagai Yang Ilahi, ada roh-roh yang
lebih dekat atau bahkan secara lebih langsung mempengaruhi kehidupan
manusia, antara lain taku, kapes, roh-roh orang meninggal dan ranse.
Taku
Pemahaman tentang taku (=takuo) dalam kehidupan masyarakat dewasa ini
seringkali rancu. Sejumlah orang, secara merangkum menyebutnya sebagai
tempat yang ada penunggunya, entah itu batu besar, pohon besar, atau relung
sungai tertentu. Namun ada beberapa yang lain yang secara cukup jernih
membedakan antara tempat dan roh penunggunya, dan yang dimaksud dengan
taku ialah ‘roh’ penunggu tempat-tempat yang dianggap keramat tersebut. Rohroh
tersebut bisa baik, bisa pula jahat. Sering disebut juga sebagai roh para
pemilik dusun (roh tuan tanah). Schoorl9 mengidentifikasi para taku ini sebagai
arwah-arwah yang sudah ditebus, yang segala urusan transaksi kain timurnya
sudah selesai. Taku adalah gambar dari semua nenek moyang secara kolektif.
Mereka adalah manusia-manusia yang hidup di dunia bawah10, tapi juga di
pohon besar, batu, gua, riam sungai yang terdapat di dusun para leluhur klen.
Wujud kehadiran mereka ialah sejenis burung yang disebut burung krok, atau
dalam rupa sejenis ular pendek yang disebut beneyf.
8 Artinya: “Siwa, berilah. Siwa engkaulah yang memberi semuanya.”
9 Schoorl, “Neku Poku”, h. 21.
10 Orang menyebutnya sebagai seweron.
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 31
Kapes
Menurut Schoorl, yang dimaksud dengan kapes ialah arwah orang yang belum
ditebus.11 Kiranya yang dimaksudkan ialah roh orang meninggal yang masih
bergentayangan mencari tempat peristirahatannya yang nyaman.
Kapes masih dibedakan lagi dalam beberapa macam: kapes fane (roh babi) dan
kapes mtah (roh anjing). Schoorl menyebutnya sebagai roh babi ataupun anjing
yang belum ditebus. Roh-roh ini biasanya merasuk pada tubuh wanita. Wanita
yang meninggal saat melahirkan ditakutkan akan menjelma menjadi kapes
fane.12 Menurut sejumlah responden istilah kapes fane lebih sering dipakai di
wilayah sekitar danau Ayamaru, sedang kelompok masyarakat Aifat yang lebih
ke utara, sering menyebutnya sebagai kapes mapo. Roh-roh ini sering merasuki
perempuan yang masih hidup, yang kemudian secara magis mampu
mencelakakan orang lain. Perempuan yang dirasuki roh ini selain disebut
sebagai kapes mapo kadang disebut juga sebagai perempuan suanggi.
Konon, roh-roh jahat ini dapat diperalat untuk mencelakakan orang lain yang
tidak disenangi. Kadang mereka juga iri melihat orang yang makan sendiri di
hutan. Kalau mereka melihat orang makan di sekitar tempat tinggal mereka dan
membuang sisa-sisa makanan sembarangan, sisa-sisa makanan itu akan menjadi
sarana bagi mereka untuk merasukinya, menyebabkan orang sakit, kurus dan
akhirnya mati.
Bila telah jatuh kurban semacam ini, para tetua akan melakukan mawi untuk
mencari tahu, siapa gerangan perempuan suanggi (kapes mapo) itu. Setelah
berhasil diketahui, maka perempuan itu akan dibunuh, entah dipukuli ataupun
dengan dipaksa minum akar tuba. Selanjutnya perutnya dibedah, untuk melihat
keanehan-keanehan pada isi perutnya.13
Roh-roh lainnya
Orang Meybrat percaya bahwa orang yang telah meninggal dunia akan hidup
sebagai roh-roh. Mereka membedakan antara roh-roh baik dan roh-roh yang
jahat. Roh-roh baik adalah roh orang yang meninggal dalam keadaan baik, wajar
dan tenang. Misalnya, mereka yang meninggal karena sakit atau tua. Orang yang
mati secara demikian disebut dengan istilah hi.
Namun lain halnya dengan roh orang yang meninggal secara mendadak tidak
wajar atau tidak tenang (hi yama). Misalnya mereka yang meninggal karena
11 Ka/cha: energi dingin. Pes: kuat. Jadi, dari arti katanya kapes berarti energi dingin yang kuat.
Lihat Schoorl, “Neku Poku”, h. 19.
12 Schoorl, “Neku Poku”, h. 19.
13 Konon, bila benar perempuan itu adalah kapes mapo, empedunya ada dua.
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 32
jatuh dari pohon, bunuh diri, atau dibunuh. Bagi mereka ini, orang Meybrat
memiliki beberapa istilah tersendiri.
· Musuoh : sebutan untuk roh orang yang jatuh dari pohon. Orang
meninggal yang diketahui sebagai musuoh, matanya akan ditusuk dengan
duri sagu agar ia tidak bisa melihat. Orang Meybrat percaya bahwa bila
musuoh bisa melihat maka ia akan mencari orang lain untuk dibunuh.
· Fota : sebutan untuk roh kaum perempuan yang mati karena minum
akar tuba. Orang Meybrat sangat takut akan roh yang demikian sebab
dipercaya sebagai roh yang jahat sekali. Orang yang berjalan sendiri di
hutan, boleh jadi akan dibawa lari oleh fota.
· Atiet : orang yang mati dibunuh, entah ditikam dengan dengan
tombak, parang, atau dibunuh secara secara magis.
Bila diketahui bahwa ada roh-roh jahat yang sering mengganggu ketenteraman
hidup di kampung, maka orang tua-tua akan mengucapkan mantra-mantra untuk
mengusirnya.
Dahulu, bila ada seorang suami yang meninggal karena jatuh dari pohon, maka
orang akan mengurung isterinya dalam pondok tempat tinggalnya. Setiap malam
sang ibu akan meletakkan sebatang rokok di celah dinding bambu. Kalau
ternyata rokok itu menyala, berarti roh orang yang meninggal itu sedang datang.
Melihat itu, orang-orang wuon yang ahli dalam hal pengusiran roh – yang
memang sudah berjaga-jaga tidak jauh dari pondok itu – akan segera
mengucapkan mantra-mantranya guna membunuh roh tersebut dan kemudian
membakar pondok. Sementara pondok mulai terbakar, sang isteri harus segera
melepaskan dan membakar pakaiannya dan berlari keluar. Di luar, sang ibu akan
disambut oleh ibu—ibu yang lain yang telah menyiapkan pakaian baru baginya.
Mereka percaya, dengan demikian roh suaminya tidak akan mengikuti isterinya
Cara lain untuk membunuh roh ialah dengan mendatangi kubur orang yang
dianggap sebagai roh jahat itu. Sekelompok orang Wuon yang ahli dalam hal ini
berkumpul kurang lebih 50 meter dari kubur tersebut – siap dengan halia (jahe)
dan benda-benda magisnya. Salah seorang di antara mereka kemudian maju,
meletakkan jahe dan racun magis yang mereka persiapkan di atas kubur.
Kemudian mereka memanggil nama almarhum sambil menyebutkan sejumlah
kebiasaannya selama hidup. Misalnya, “Karel, ... mari datang isap rokok.” Bila
panggilan itu berkenan, maka akan terdengar suara dari dalam kubur. Bila roh
tersebut keluar, maka ia akan terkena racun yang telah di letakkan di atas
kuburnya dan mati.
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 33
Bila upaya tersebut berhasil, maka mereka akan pulang ke kampung sambil
menari, menyanyi dan bersorak-sorai.
5. Seweron
Kepercayaan akan adanya Kuasa Ilahi dan adanya realitas lain selain manusia,
melahirkan juga gambaran akan adanya “dunia lain” selain dunia manusiawi
yang kita hidupi ini. “Dunia lain” itu mereka sebut Seweron.14 Arwah semua
orang yang meninggal diyakini akan menuju ke Seweron. Masing-masing marga
memiliki Seweron sendiri. Konon, menjelang saat meninggalnya orang akan
melihat sejumlah tanda yang tidak lazim, seperti rumput-rumput yang layu di
suatu tempat tertentu, padahal rumput di sekitarnya tetap segar. Mereka percaya
tempat semacam itu adalah Seweron.
Saat orang lauk (sekarat) orang-orang di dunia bawah sudah ramai dengan
persiapan penjemputan. Begitu orang tersebut meninggal ia akan pindah ke
Seweron, dan setiba di sana ia akan dijemput dan di antar masuk ke tempat yang
tersedia bagi masing-masing sesuai dengan kehidupannya di dunia.
Di Seweron, semua orang akan berjumpa kembali. Namun, mereka akan
dipisahkan dalam kelompok-kelompok sesuai dengan perilaku masing-masing
semasa hidupnya, dan menurut sebab-sebab kematiannya. Misalnya, mereka
yang selama hidupnya dikenal sebagai orang baik (rae ati), akan berkumpul
dalam satu rumah dengan rae ati lainnya, sedang mereka yang semasa hidupnya
kurang berlaku baik (rae kair/makair) serta mereka meninggal karena minum
akar tuba (bunuh diri) akan berkumpul di satu rumah tersendiri.
Orang Meybrat beranggapan bahwa Seweron merupakan tempat di mana waktu
tidak dikenal lagi. Siang ataupun malam tidak ada bedanya lagi. Di sana orang
menjalani hidup seperti di dunia ini, membuka kebun dan menjalankan hobi dan
kebiasaan masing-masing. Orang yang suka berburu misalnya, dapat berburu
sesukanya. Orang baik akan hidup dalam keadaan tidak berkekurangan; kebun
mereka subur dan perburuan mereka selalu berhasil. Kehidupan mereka
senantiasa diwarnai oleh pesta dan tari-tarian. Sedangkan mereka yang semasa
hidup di dunia ini berlaku buruk atau jahat, akan mengalami masa-masa yang
berat. Mereka harus bekerja keras untuk memperoleh kebutuhan mereka.
Orang-orang yang meninggal secara tidak wajar15 akan menjadi roh jahat. Rohroh
semacam ini tidak puas dengan keadaan mereka dan menurut kepercayaan,
14 Orang Karon menyebutnya Suruon. Dalam buku-buku antropologi seringkali digunakan juga
istilah ‘dunia bawah’.
15 Sering mereka menyebutnya sebagai ‘mati paksa’ atau ‘mati terpaksa’.
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 34
selalu mengganggu bahkan sering berusaha mencelakakan orang yang masih
hidup.
Orang Meybrat rupanya percaya akan ketidakmatian jiwa. Menurut mereka
tubuh mati dan hancur, tapi roh manusia hidup terus. Karena itu orang Meybrat
sering memanggil roh/arwah para leluhur atau kerabat yang telah meninggal
untuk mengenang mereka ataupun untuk minta bantuan mereka dalam sejumlah
hal tertentu. Meski terkesan sebagai suatu bentuk kepercayaan yang tidak asli,
sejumlah responden mengatakan, melalui roh-roh leluhur itulah manusia
berrelasi dengan Yefun.
6. Catatan Refleksif
6.1. Orang Meybrat dan Kuasa Ilahi
Gambaran akan hadirnya Kuasa Ilahi dalam kehidupan Suku Meybrat nampak
dalam hadirnya figur-figur ilahi yang dapat kita temukan dalam mitos/cerita
rakyat. Sebagaimana telah kami jelaskan di atas, ada sejumlah nama yang
penting dalam kepercayaan mereka: Yefun, Siwa dan Mafif, Taku, dan roh-roh
lainnya. Namun, apakah ada hubungan yang bersifat hirarkis antara satu dengan
yang lain, ataukah masing-masing berada dalam kedudukan yang lepas dan
tersendiri, tidaklah begitu jelas. Satu hal yang jelas ialah adanya Kuasa Tertinggi
yang melebihi figur-figur lainnya, yang mereka kenal sebagai Yefun. Namun,
bila kita menyelami gambaran mereka tentang Yefun sebagai Pencipta dan
sumber dari segala yang ada, kita akan masuk pada suatu bidang yang kabur dan
mendua. Di satu pihak, Yefun diakui ada dan dipandang sebagai Pencipta segala
sesuatu, namun di lain pihak tidak ada mitos mengenai asal—usul yang
menampilkan peran Yefun sebagai Pencipta. Orang hanya mengatakan, “Yefun
yang bikin.” Di satu sisi Ia adalah ‘kuasa yang melingkupi’, ‘kekuatan yang tak
terlukiskan’. Kepadanya manusia merunduk takut dan kagum sekaligus, tapi di
lain sisi terkensan bahwa Orang Meybrat mesti menjauh dari tempat kehadiran-
Nya dan tidak menimbulkan murka-Nya. Tempat-tempat tertentu di Pegunungan
Tamrau yang digambarkan sebagai tempat bersemayam-Nya merupakan tempat
pemali; tempat yang sebaiknya tidak dilewati, dijamah atau dihadiri, bila
manusia tidak mau celaka. Tidak nampak adanya ritus ataupun pesta adat yang
secara langsung mengaitkan manusia dengan Yefun.
Tokoh yang amat sentral dan dominan dalam kepercayaan Orang Meybrat -
sebagaimana terungkap dalam cerita-cerita rakyatnya - adalah Siwa dan Mafif.
Secara umum Siwa-lah yang tampil sebagai simbolisasi dari kekuatan ilahi,
namun di samping kekuatan adi-kodrati yang dimilikinya, sifat dan tindakan
Siwa seringkali menampilkan sisi buruk manusia, yakni licik dan suka menipu
dan menggoda. Ada pun Mafif mewakili kemampuan kodrati manusiawi. Ia
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 35
ditampilkan dengan sifat-sifat lugu, jujur, rela membantu, yang menjadi ideal
moralitas dan selalu bekerja keras.
Kedua tokoh mitologis tersebut kiranya penting dalam menjamin
kesinambungan antara masa lampau dan masa kini. Antara awal mula alam dan
manusia dengan pengalaman kekinian. Mereka kiranya dapat disebut sebagai
manusia asali, yang menjadi asal-usul segala yang ada sekarang ini. Pada
sejumlah orang yang masih dipengaruhi oleh kepercayaan asli, nama Siwa
kadang masih disebut dalam ‘doa’, meski dalam praktek kehidupan - terutama
bagi kebanyakan generasi muda - baik Siwa ataupun Mafif, bukan dewa-dewa
yang berperan penting dalam perjalanan hidup manusia. Mereka dapat disebut
sebagai pribadi-pribadi ilahi yang secara khusus memberi makna pada
penghayatan hidup mitis Orang Meybrat. Siwa dan Mafif kiranya dapat
dipandang sebagai simbol dan gambaran dari Dia yang tak tersimbolkan dan tak
terlukiskan: Yefun.
Bagi Orang Meybrat, kuasa ilahi nampak lebih jelas dalam relasi manusia
dengan kekuatan alam tempat hidupnya dan dengan roh-roh; secara khusus
dalam dunia ekonomis. Bagi mereka yang hidup dalam kebersatuan dengan
alam, yang ilahi adalah ‘roh penunggu gunung’, ‘roh penjaga hutan’, ‘roh
pemilik sungai’, ‘roh penjaga pohon’.16 Asosiasi antara Yang Ilahi dengan halhal
yang dahsyat tidak begitu nampak. Matahari, bulan, angin atau hujan dan
guntur, jarang disebut sebagai tanda kehadiran kuasa ilahi. Rupanya
penghayatan keilahian tampil lebih dekat dan menyebar dalam hidup keseharian
mereka, dan bukan sebagai yang satu dan besar. Menarik untuk dicatat di sini
ialah bahwa dalam po-tkief (mantera-mantera), magi, dan ritual-ritual lainnya
keterarahan spiritual mereka lebih ditujukan kepada roh-roh nenek moyang.
Rupanya Yefun sebagai Pencipta dan Yang Tertinggi menjadi sosok yang jauh
dari kehidupan konkrit masa kini. Roh-roh leluhur itu hadir sebagai yang
disegani, pemali, bahkan ditakuti. Relasi antara roh leluhur dengan manusia
nampak saat mereka membuka kebun, menanam benih, mencari ikan atau
berburu. Di sini terungkap bahwa bukan hanya kekuatan manusiawi semata yang
mereka andalkan, namun juga kekuatan lain. Dan dalam hal ini roh-roh leluhur–
lah yang merupakan alamat utama dari mantera dan ‘doa-doa’ mereka. Roh-roh
16 Dupre’, Wilhelm, dalam “Religion in Primitive Culture – a Study in Ethno-philosophy” menulis
bahwa “One way of conceiving divine being is by associating it with the immediate conditions of
the economy and environment. Gatherers and hunters refer in their ideas, values, and actions to
the ‘Lord of the Forest’ or the forest itself, to the God and gods (owners) of the animal or to the
animal itself. They are impressed by the frightening and marvelous manifestation of their
environment and blend them with their ideas about the divine being. Planters are influenced their
fields and plants, by the fertility of the earth and its mystique. They associate the divine being with
sun and earth, with rain and wind. Lih. h. 252.
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 36
ini adalah pemilik kesuburan, pemilik hewan-hewan buruan, dan manusia mesti
memohon kepada mereka agar mereka tidak menyimpan apa yang mereka
butuhkan melainkan melimpahkannya kepada anak-cucu yang masih hidup.17
Selain roh-roh leluhur yang baik, roh yang juga amat berpengaruh dalam
kehidupan mereka ialah roh-roh jahat, yakni roh-roh belum menemukan tempat
berdiamnya yang nyaman. Kepercayaan akan roh ini merupakan bagian dari
kesadaran Orang Meybrat akan keterbatasan kekuatannya. Dunia roh adalah
dunia yang mengurung ada-diri mereka. Ini nampak dalam simbolisasi tempat
kediaman mereka yang serba menggentarkan, membahayakan, dan membawa
efek psikologis ketundukan, ketaklukan. Misalnya, terhadap pusaran sungai yang
menyedot, manusia tidak dapat berbuat lain selain tunduk pada kuasa alam
tersebut.
Upacara adat yang umum dilakukan di tempat-tempat keramat tersebut, baik di
kolam-kolam, batu ataupun pohon, polanya hampir sama. Mula-mula tempat itu
dibersihkan, kemudian kain-kain timur warisan leluhur dibuka kembali, diangkat
sambil menyebut nama para leluhur suku yang mewariskan kain tersebut.
Selanjutnya digali sebuah lubang kecil di tanah. Sageru (tuo) dituangkan ke
lubang itu sambil berucap, “Minuman ini kami berikan kepadamu. Tolong
berikanlah kesuburan kepada kami.”18
Dalam ritus pengusiran roh ataupun dalam mantera-mantera yang diucapkan,
nampak bahwa Orang Meybrat memandang dirinya sebagai bagian dari kekuatan
alam raya. Mereka bukan hanya obyek lemah yang senantiasa memohon, takut
dan takjub, melainkan juga subyek yang mampu menguasai kekuatan-kekuatan
lain.
Mereka menyadari tempat manusia dalam strata kekuatan alam semesta, namun
rupanya ketundukan semata-mata bukanlah sikap khas manusia. Manusia juga
ingin membuktikan diri sebagai figur yang tidak bisa diperlakukan semenamena.
Untuk itu mereka memanfaatkan daya magis dari alam itu sendiri.
Misalnya, kekuatan roh-roh sering dihadirkan untuk menjaga bagian tertentu
dari kebun atau dusun yang dianggap lingkungan milik klen atau keluarga yang
17 Bdk. Dupre’, ibid. h. 253. The differential transformation of the idea of God or the divine being
by and in interrelation with certain cultural process can also be seen when the ancestors (and not
only the first one) take over most of the function of the godhead and thus outline the patterns of
cult (manism), or when the indefiniteness of mythological figures is structured and realized (cult)
in accordance with a highly distinct social order (polytheism) or environment (local deities,
owners).
18 Permohonan ini diucapkan bila orang akan membuka kebun baru di dekat/sekitar pohon yang
dianggap keramat. Permohonan lain bisa diucapkan bila konteks tempatnya berbeda. Misalnya, di
batu keramat, orang mohon agar perjalanannya selamat, atau di kolam keramat (mos ano) mohon
diberi ikan.
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 37
bersifat eksklusif dan sakral. Di tempat-tempat itu orang membuat tanda
larangan (yang disebut sasi). Tanda ini biasa diletakkan pada bagian tertentu dari
kebun yang dianggap sakral. Tandanya antara lain: pada tempat itu ditanam
bambu air, atau ditanam daun fiyu. Tempat ini tidak boleh dimasuki/ dilewati
oleh sembarang orang. Orang yang melanggar larangan ini, akan mengalami
luka-luka atau kudis. Untuk mengobatinya seorang wuon harus mengucapkan
mantera po-tkief.
Hal yang menarik dari praktek ini ialah bahwa media yang digunakan untuk
menghadirkan kekuatan alam magis terutama adalah tanaman-tanaman yang bisa
secara mudah ditemukan di lingkungan mereka, seperti bambu air, daun fiyu,
jahe, daun tah, daun sibuk, dan sebagainya. Dengan ini dapat kita lihat bahwa
ritus-ritus sakral bukanlah sesuatu yang asing dari keseharian. Yang sakral dan
yang profan bukanlah realitas hitam-putih yang saling mengasingkan, melainkan
dua sisi dari kehidupan yang senantiasa menyatu dalam penghayatan hidup
manusia.
6.2. Yang Ilahi dan Siklus Kehidupan
Peran kuasa ilahi dalam dunia ekonomis itu berpengaruh juga pada proses
budaya.19 Kelahiran, pendewasaan, perkawinan dan kematian merupa-kan
tonggak-tonggak sejarah kehidupan manusia yang amat penting. Sedemikian
penting sehingga peristiwa-peristiwa itu tidak dapat dipandang sebagai peristiwa
individual, melainkan juga peristiwa sosial dan religius.
Kelahiran dan ritual-ritual yang menyertainya, yang merupakan peristiwa di
mana manusia menyadari bahwa dirinya bukanlah asal-usul dari keberadaannya
sendiri. Kehadiran seorang bayi, mengantar kesadaran relasional manusia
dengan Yefun sebagai yang menjadikan segala sesuatu, dengan para leluhur asali
sebagai asal-usul suku atau klennya, dan yang paling jelas dalam penghayatan
aktual mereka ialah kesadaran akan relasi dengan para nenek moyang sebagai
leluhur biologisnya.
Selain sebagai sumber rahmat, kesadaran akan keberadaan ‘yang lain’ itu juga
sering dirasakan sebagai ancaman. Salah satu alasan utama diselenggarakannya
upacara inisiasi (wuon ataupun fenia mekiar) tak lain ialah ancaman dalam
kehidupan fisik dan ekonomis, yakni bila keladi yang ditanam tidak berisi, enau
yang disadap tidak banyak mengeluarkan air, dan kehidupan masyarakat nampak
lesu. Situasi ini diartikan sebagai tanda telah terlanggarnya tabu-tabu adat yang
berakibat pada terganggunya keseim-bangan alam dan marahnya para leluhur.
19 Bdk. Catatan Dupre’. Ibid..
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 38
Melalui pendidikan pendewasaan dalam rumah wuon serta fenia mekiar ini
keseimbangan semesta diharapkan dapat pulih kembali. Dalam proses
pendidikan ini, generasi muda diajarkan untuk menguasai diri. Di sini orang
mulai melihat keterbatasan dirinya, sekaligus juga melihat kemungkinankemungkinan
yang dapat diraihnya. Dalam kawuon orang kembali menjadi
bagaikan bayi yang tidak berdaya. Kepatuhan, dan disiplin menjadi hal yang
amat penting. Dengan seluruh proses ini diharapkan mengantar orang menjadi
pemeran yang mampu menyumbang sesuatu bagi masyarakat. Dalam
powatum20, sangat ditekankan hal-hal yang berkaitan dengan kasih dan perhatian
pada sesama, serta damai dan persatuan dalam masyarakat. Orang disadarkan
juga akan keberadaannya yang akil balig, yang sudah harus mulai dengan tugas
dan tanggungjawab sebagai manusia dewasa. Orang disadarkan akan pentingnya
relasi-relasi, baik dengan alam, sesama – terutama melalui perkawinan dan
pertukaran kain timur – dan dengan roh-roh dan Yang Tertinggi, melalui mitos
yang harus diceritakan, mantera-mantera yang perlu didaraskan dan ritual yang
harus terus dijalankan. Di sini orang muda diantar pada kesadaran relasional
dengan ‘yang lain’, kekuatan-kekuatan alam yang harus ditundukinya, tapi
sekaligus juga belajar untuk menguasai alam kehidupan ini.
Tentang perkawinan, Schrool menulis bahwa perkawinan merupakan peristiwa
yang amat penting dalam menjamin kelangsungan kesuburan dari pasanganpasangan
muda yang potensial: untuk lahirnya generasi baru yang pada
gilirannya menjamin munculnya tenaga kerja baru dan pembaruan pasanganpasangan
seksual yang seimbang, yakni laki-laki dan perempuan. Perkawinan
merupakan jaminan bagi kesinambungan hidup klen dan Orang Meybrat sebagai
keseluruhan.21 Di ufuk harapan akan terjaminnya kelangsungan masyarakat
melalui perkawinan, hal yang membayanginya ialah peristiwa-peristiwa sakit
dan kematian. Perkawinan dan kelahiran baru adalah penting guna menjamin
keseimbangan antara mereka yang pergi dan mereka yang datang, yang mati dan
yang lahir sebagai penggantinya.
Namun, penghayatan relasional antara manusia dengan ‘yang lain’ terungkap
secara paling jelas dalam peristiwa kematian. Melalui peristiwa dan upacaraupacara
di sekitar kematian, Orang Meybrat seolah diingatkan untuk terus
merajut jalinan hubungan antara seluruh realitas semesta. Merajut hubungan
antara manusia kini dengan Yang Tertinggi, dengan Leluhur Asali dan para
leluhur klen, serta para kerabat yang telah mendahului mereka. Jalinan hubungan
ini dinyatakan dengan menunjukkan kepada para leluhur itu kain-kain pusaka
yang mereka wariskan. Upacara-upacara di sekitar kematian juga
20 Powatum ialah nasehat atau wejangan para orang tua kepada anaknya, dan secara khusus juga
wejangan para guru wuon kepada para anak didiknya dalam rumah inisiasi.
21 Bdk. Schoorl, “Neku Poku”, h. 62.
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 39
memperlihatkan kepada kita kebersatuan manusia dengan alam semesta: kembali
bersatunya manusia dengan alam secara fisik, dan bersatunya kembali roh
manusia dengan roh semesta, bersatunya kembali kekuatan manusia dengan
kekuatan alam.
Daftar Pustaka
Boelaars, Dr. Jan, 1986, "Manusia Irian - Dahulu, Sekarang, Masa Depan",
Gramedia, Jakarta.
Dupre', Wilhelm, 1975, "Religion in Primitive Cultures - a Study in Ethno philosophy",
The Hague, Paris.
Geertz, Clifford, 1995, “Kebudayaan dan Agama”, Kanisius, Yogyakarta.
Hae, Thomas Emanuel, …., “Pandangan Hidup Suku Karoon yang Diungkapkan
dalam Bahasa dan Gejala Pengelompokan”, Skripsi Sarjana Muda STTK,
Abepura.
Koentjaraningrat, 1994, “Irian Jaya Membangun Masyarakat Majemuk”,
Djambatan, Jakarta, h. 163-166.
Pritchard, Evans, E. E., 1984, “Teori-teori tentang Agama Primitif”, Djaya
Pirusa, Jakarta, (terjemahan H. A. L.)
Safuf, Kristianus, 1990, “Panorama Religiusitas Suku Aifat”, Skripsi STFT Fajar
Timur.
Schoorl, Dr. H. M., 1991, “Neku Poku”, terjemahan Indonesia oleh Piet Giesen
OSA (manuscript). Aslinya diterbitkan di Nymegen, Belanda, 1991.
Susanto, P.S. Hary, 1987, "Mitos Menurut Pemikiran Mircea Eliade", Kanisius,
Yogyakarta.