Showing posts with label Kementerian Sosial. Show all posts
Showing posts with label Kementerian Sosial. Show all posts

Saturday 19 February 2011

PP 31/1980, PENANGGULANGAN GELANDANGAN DAN PENGEMIS

PP 31/1980, PENANGGULANGAN GELANDANGAN DAN PENGEMIS

Presiden Republik Indonesia,

Menimbang :

a.bahwa gelandangan dan pengemis tidak sesuai dengan norma kehidupan bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, karena itu perlu diadakan usaha-usaha penanggulangan;
b.bahwa usaha penanggulangan tersebut, di samping usaha-usaha pencegahan timbulnya gelandangan dan pengemis, bertujuan pula untuk memberikan rehabilitasi kepada gelandangan dan/atau pengemis, agar mampu mencapai taraf hidup, kehidupan, dan penghidupan yang layak sebagai seorang warganegara Republik Indonesia;
c.berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, dalam rangka pelaksanaan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial, dipandang perlu untuk menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis;

Mengingat :

1.Pasal 5 ayat (2), Pasal 27, dan Pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945;

2.Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1978 tentang Garis-garis Besar Haluan Negera;

3.Undang-undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3039);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENANGGULANGAN GELANDANGAN DAN PENGEMIS.

BAB I KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :

1.Gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak *19741 sesuai dengan norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat, serta tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu dan hidup mengembara di tempat umum.

2,Pengemis adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta di muka umum dengan pelbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain.

3.Menteri adalah Menteri Sosial.

4.Usaha preventif adalah usaha secara terorganisir yang meliputi penyuluhan, bimbingan, latihan, dan pendidikan, pemberian bantuan, pengawasan serta pembinaan lanjut kepada berbagai pihak yang ada hubungannya dengan pergelandangan dan pengemisan, sehingga akan tercegah terjadinya : a.pergelandangan dan pengemisan oleh individu atau keluarga-keluarga terutama yang sedang berada dalam keadaan sulit penghidupannya; b.meluasnya pengaruh dan akibat adanya pergelandangan dan pengemisan di dalam masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban dan kesejahteraan pada umumnya; c.pergelandangan dan pengemisan kembali oleh para gelandangan dan pengemis yang telah direhabilitir dan telah ditransmigrasikan ke daerah pemukiman baru ataupun telah dikembalikan ke tengah masyarakat.

5.Usaha represif adalah usaha-usaha yang terorganisir, baik melalui lembaga maupun bukan dengan maksud menghilangkan pergelandangan dan pengemisan, serta mencegah meluasnya di dalam masyarakat.

6.Usaha rehabilitatif adalah usaha-usaha yang terorganisir meliputi usaha-usaha penyantunan, pemberian latihan dan pendidikan, pemulihan kemampuan dan penyaluran kembali baik ke daerah-daerah pemukiman baru melalui transmigrasi maupun ke tengah-tengah masyarakat, pengawasan serta pembinaan lanjut, sehingga dengan demikian para gelandangan dan pengemis, kembali memiliki kemampuan untuk hidup secara layak sesuai dengan martabat manusia sebagai Warganegara Republik Indonesia.

BAB II TUJUAN, WEWENANG DAN TANGGUNGJAWAB

Pasal 2

Penanggulangan gelandangan dan pengemisan yang meliputi usaha-usaha preventif, represif, rehabilitatif bertujuan agar tidak terjadi pergelandangan dan pengemisan, serta mencegah meluasnya pengaruh akibat pergelandangan dan pengemisan di dalam masyarakat, dan memasyarakatkan kembali gelandangan dan pengemis menjadi anggota masyarakat yang menghayati harga diri, serta memungkinkan pengembangan para gelandangan dan pengemis untuk memiliki kembali kemampuan guna mencapai taraf hidup, kehidupan, dan penghidupan yang layak sesuai dengan harkat martabat manusia.

Pasal 3

(1)Kebijaksanaan di bidang penanggulangan gelandangan dan *19742 pengemis ditetapkan oleh Menteri berdasarkan kebijaksanaan yang digariskan oleh Pemerintah.

(2)Dalam menetapkan kebijaksanaan, Menteri dibantu oleh sebuah badan koordinasi, yang susunan, tugas dan wewenangnya diatur dengan Keputusan Presiden.

Pasal 4

(1)Pemerintah Daerah dapat melaksanakan kebijaksanaan khusus berdasarkan kondisi daerah sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini.

(2)Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berdasarkan petunjuk teknis dari Menteri Sosial dan petunjuk-petunjuk Menteri Dalam Negeri.

BAB III USAHA PREVENTIF

Pasal 5

Usaha preventif dimaksudkan untuk mencegah timbulnya gelandangan dan pengemis di dalam masyarakat, yang ditujukan baik kepada perorangan maupun kelompok masyarakat yang diperkirakan menjadi sumber timbulnya gelandangan dan pengemis.

Pasal 6

Usaha sebagaimana dimaksud Pasal 5, dilakukan antara lain dengan:

a.Penyuluhan dan bimbingan sosial;
b.Pembinaan sosial;
c.Bantuan sosial;
d.Perluasan kesempatan kerja;
e.Pemukiman lokal;
f.Peningkatan derajat kesehatan.

Pasal 7

Pelaksanaan usaha-usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 diatur lebih lanjut oleh Menteri Sosial, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, baik secara bersama-sama atau sendiri-sendiri sesuai dengan bidang tugas masing-masing.

BAB IV USAHA REPRESIF

Pasal 8

Usaha represif dimaksudkan untuk mengurangi dan/atau meniadakan gelandangan dan pengemis yang ditujukan-baik kepada seseorang maupun kelompok orang yang disangka melakukan pergelandangan dan pengemisan.

Pasal 9

Usaha represif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 meliputi :

a.razia;
b.penampungan sementara untuk diseleksi;
c.pelimpahan. *19743 Pasal 10

(1)Razia dapat dilakukan sewaktu-waktu baik oleh pejabat yang berwenang untuk itu maupun oleh pejabat yang atas perintah Menteri diberi wewenang untuk itu secara terbatas.

(2)Razia yang dilakukan oleh pejabat yang diberi wewenang kepolisian terbatas dilaksanakan bersama-sama dengan Kepolisian.

Pasal 11

Gelandangan dan pengemis yang terkena razia ditampung dalam penampungan sementara untuk diseleksi.

Pasal 12

Seleksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dimaksudkan untuk menetapkan kwalifikasi para gelandangan dan pengemis dan sebagai dasar untuk menetapkan tindakan selanjutnya yang terdiri dari :

a.dilepaskan dengan syarat ;
b.dimasukkan dalam Panti Sosial
c.dikembalikan kepada orang tua/wali/keluarga/kampung halamannya;
d.diserahkan ke Pengadilan;
e.diberikan pelayanan kesehatan.

Pasal 13

Dalam hal seseorang gelandangan dan/atau pengemis dikembalikan kepada orang tua/wali/keluarga/kampung halamannya baik karena hasil seleksi maupun karena putusan pengadilan dapat diberikan bantuan sosial yang jenis dan jumlahnya ditetapkan oleh Menteri.

BAB V USAHA REHABILITATIF

Pasal 14

Usaha rehabilitatif terhadap gelandangan dan pengemis meliputi usaha-usaha penampungan, seleksi, penyantunan, penyaluran dan tindak lanjut, bertujuan agar fungsi sosial mereka dapat berperan kembali sebagai warga masyarakat.

Pasal 15

(1)Usaha rehabilitatif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dilaksanakan melalui Panti Sosial.

(2)Tatacara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Menteri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 16

Usaha penampungan ditujukan untuk meneliti/menseleksi gelandangan dan pengemis yang dimasukkan dalam Panti Sosial.

Pasal 17

*19744 Seleksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 bertujuan untuk menentukan kualifikasi pelayanan sosial yang akan diberikan.

Pasal 18

Usaha penyantunan ditujukan untuk mengubah sikap mental gelandangan dan pengemis dari keadaan yang non produktif manjadi keadaan yang produktif.

Pasal 19

Dalam melaksanakan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 para gelandangan dan pengemis diberikan bimbingan, pendidikan dan latihan baik fisik, mental maupun sosial serta ketrampilan kerja sesuai dengan bakat dan kemampuannya.

Pasal 20

Tatacara pelaksanaan penyantunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dan Pasal 19 diatur lebih lanjut oleh Menteri.

Pasal 21

(1)Usaha penyaluran ditujukan kepada gelandangan dan pengemis yang telah mendapatkan bimbingan, pendidikan, latihan dan ketrampilan kerja dalam rangka pendayagunaan mereka terutama ke sektor produksi dan jasa, melalui jalur-jalur transmigrasi swakarya, dan pemukiman lokal.

(2)Tatacara pelaksanaan penyaluran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh Menteri Sosial, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, baik secara bersama-sama atau sendiri-sendiri sesuai dengan bidang tugas masing-masing.

Pasal 22

Usaha tindak lanjut ditujukan kepada gelandangan dan pengemis yang telah disalurkan, agar mereka tidak kembali menjadi gelandangan dan pengemis.

Pasal 23

Usaha tindak lanjut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 antara lain dilakukan dengan :

a.meningkatkan kesadaran berswadaya;
b.memelihara, memantapkan dan meningkatkan kemampuan sosial ekonomi;
c.menumbuhkan kesadaran hidup bermasyarakat.

Pasal 24

Pelaksanaan usaha tindak lanjut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dan Pasal 23 diatur lebih lanjut oleh Menteri.

BAB VI PARTISIPASI MASYARAKAT

*19745 Pasal 25

Organisasi Sosial masyarakat dapat menyelenggarakan usaha rehabilitasi gelandangan dan pengemis dengan mendirikan Panti Sosial.

Pasal 26

Organisasi Sosial yang menyelenggarakan usaha rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, wajib mendaftarkan dan memberikan laporan berkala kepada Menteri melalui Instansi dalam lingkungan Departemen Sosial setempat.

Pasal 27

Menteri dapat memberikan bantuan/subsidi kepada Organisasi Sosial Masyarakat yang menyelenggarakan usaha rehabilitasi gelandangan dan pengemis.

Pasal 28

Menteri atau pejabat yang diberi wewenang oleh Menteri memberikan bimbingan dan pengarahan terhadap organisasi sosial masyarakat yang menyelenggarakan usaha rehabilitasi gelandangan dan pengemis.

Pasal 29

Pelaksanaan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam bab ini diatur oleh Menteri.

BAB VII KETENTUAN PERALIHAN DAN PENUTUP

Pasal 30

Segala peraturan perundang-undangan tentang gelandangan dan pengemis yang sudah ada tetap berlaku, selama tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 31

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar supaya setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya pada Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 10 September 1980 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SOEHARTO

Diundangkan di Jakarta pada tanggal 10 September 1980 MENTERI/SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

SUDHARMONO,SH. *19746

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1980 TENTANG PENANGGULANGAN GELANDANGAN DAN PENGEMIS

UMUM

Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3039) menyatakan "Kesejahteraan Sosial ialah suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial materiil maupun spirituil yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan, dan ketentraman lahir bathin, yang memungkinkan bagi setiap Warganegara untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan jasmaniah, rohaniah dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, keluarga serta masyarakat dengan menjunjung tinggi hak-hak azasi serta kewajiban manusia sesuai dengan Pancasila". Keadaan tersebut hanya akan tercapai dengan baik apabila keadaan masyarakat dan Negara berada dalam taraf kesejahteraan sosial yang sebaik-baiknya serta menyeluruh dan merata. Adalah merupakan kenyataan, bahwa keadaan sosial ekonomi yang belum mencapai taraf kesejahteraan sosial yang baik, menyeluruh dan merata dapat berakibat meningkatnya gelandangan dan pengemis terutama di kota-kota besar. Masalah gelandangan dan pengemis adalah merupakan salah satu masalah sosial, yang antara lain sebagai akibat sampingan dari proses pembangunan Nasional, maka penanggulangan perlu dikoordinasikan dalam program-program lintas sektoral, regional, dengan pendekatan yang menyeluruh baik antar profesi maupun antar instansi disertai pertisipasi aktif dari masyarakat (koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi). Maksud Pemerintah mengikut sertakan partisipasi masyarakat, agar dapat ditingkatkan rasa kesadaran dan tanggung jawab, sosial masyarakat, sehingga potensi yang ada dalarn masyarakat dapat berperan untuk menanggulangi masalah gelandangan dan pengemis. Agar pelaksanaannya tidak menimbulkan kesimpang siuran dan dapat berjalan dengan lancar, maka perlu untuk memberikan penegasan aparat (instansi) yang mempunyai wewenang dan tanggung jawab dalam bidang penanggulangan gelandangan dan pengemis yang berdasarkan Peraturan Pemerintah ini diserahkan kepada Menteri Sosial. Peraturan Pemerintaah ini menekankan pada sasaran pokok dalam usaha penanggulangan gelandangan dan pengemis yaitu :

1.Perorangan maupun kelompok masyarakat yang yang diperkirakan menjadi sumber timbulnya gelandangan dan pengemis.

2.Keseluruhan gelandangan dan pengemis, baik yang masih memiliki potensi dan kemampuan untuk direhabilitaskan maupun yang mengalami masalah atau gangguan jasmaniah, rohaniah dan atau sosial yang bersifat kronis.

PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

*19747 Cukup jelas

Pasal 2

Cukup jelas.

Pasal 3

Ayat (1) Yang dimaksud dengan kebijaksanaan dalam pasal ini dapat berupa pengaturan, pembinaan,. dan pengawasan, sebagai usaha pengendalian terhadap usaha-usaha penanggulangan sehingga dapat mencapai tujuan yang sebaik-baiknya. Ayat (2) Gelandangan dan pengemis adalah merupakan salah satu masalah yang menyangkut bidang kesejahteraan sosial yang berdasarkan Pasal 3 ayat (1) Undang-undang Nomor 6 Tahun 1974, penanggulangngannya merupakan sebagian dari tugas pokok Departemen Sosial.

Namun demikian mengingat pergelandangan dan pengemisan disebabkan oleh keadaan yang berbeda-beda, maka agar usaha penanggulangan dapat berhasil, Menteri Sosial perlu dibantu oleh suatu badan koordinasi yang keanggotaannya terdiri dari berbagai unsur Departemen /Lembaga yang ada hubungannya dengan pelaksanaan usaha-usaha penanggulangan gelandangan dan pengemis. Selanjutnya dalam usaha rehabilitasi gelandangan dan pengemis, Departemen Sosial memerlukan kerjasama dengan Instansi Departemen lain, misalnya : a. Pendidikan di bidang mental dengan Departemen Agama; b.Pendidikan di bidang pertanian dengan Departemen Pertanian; c.Pendidikan di bidang ketrampilan dan penempatan /penyaluran dengan Departemen Tenaga Kerja dan Tranmigrasi

Pasal 4

Bahwasanya masalah gelandangan dan pengemis di daerah-daerah mempunyai latar belakang dan situasi yang berbeda. Oleh karena itu dalam usaha penanggulangan gelandangan dan pengemis, kapada Pemerintah Daerah perlu diberi wewenang kebijaksanaan khusus sehingga dapat menerapkan rencana dan usahanya sesuai dengan situasi dan kondisi daerah.

Pasal 5

Cukup jelas

Pasal 6

Dalam rangka Penyuluhan dan Bimbingan Sosial serta Pembinaan Sosial perlu ditekankan masalah kebersihan, ketertiban, sosial, dan keserasian lingkungan.

Pasal 7

Cukup jelas

Pasal 8

Cukup jelas

Pasal 9

a. Cukup jelas b. Cukup jelas c.Pengertian "pelimpahan" dalam hal ini dimaksudkan *19748 karena usaha represif bagi gelandangan dan pengemis ada yang langsung ditandatangani oleh Departemen Sosial, yaitu bagi mereka yang masih memungkinkan untuk direhabilitasikan, tetapi bagi mereka yang diduga melakukan suatu pidana, penyelesaiannya diserahkan ke Pengadilan.

Pasal 10

Ayat (1) Yang dimaksud dengan pejabat yang berwenang untuk itu adalah petugas Kepolisian. Ayat (2) Yang dimaksud dengan pejabat yang diberi wewenang kepolisian terbatas adalah.petugas Satuan Pengamanan (Satpam) Sosial.

Pasal 11

Penampungan sementara dimaksudkan sebagai tindakan sementara sampai selesainya seleksi.

Pasal 12

Pada umumnya timbulnya gelandangan dan pengemis diakibatkan oleh tekanan ekonomis, dengan mempunyai latar belakang permasalahan yang berbeda - beda diantara daerah yang satu dengan daerah yang lain, sehingga mereka jadi gelandangan dan pengemis itu dilakukan dalam keadaan terpaksa satu dan lain hal untuk mempertahankan hidupnya. Mengingat tujuan utama usaha penanggulangan gelandangan dan pengemis adalah agar mereka kembali menjadi Warganegara yang berguna bagi bangsa dan Negara Republik Indonesia, maka Menteri atau pejabat yang ditunjuk dapat melakukan tindakan terhadap gelandangan dan pengemis, berupa :

a. dilepaskan dengan syarat;
b.dimasukkan dalam Panti Sosial apabila menurut pertimbangan pejabat yang bersangkutan akan lebih baik dan menguntungkan bagi dirinya daripada diserahkan ke Pengadilan;
c.dikembalikan ke dalam masyarakat, antara lain kepada orang tua/wali/keluarga, ke tempat asal, dipekerjakan dan sebagainya menurut bakat dan kemampuan masing-masing;
d.penyerahan ke Pengadilan bagi yang diduga melakukan penggelandangan dan pengemis sebagai mata pencahariannya dan atau yang diduga telah berulangkali melakukan perbuatan tersebut, sehingga perlu ada keputusan Hakim sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
e. cukup jelas.

Pasal 13

Cukup jelas

Pasal 14

Penampungan disini dimaksudkan penampungan sementara dalam asrama untuk diberi pendidikan, ketrampilan kerja, dan sebagainya. Pengertian seleksi, dalam pasal ini berada dengan pengertian seleksi di dalam Pasal 11 dan Pasal 12. Seleksi dalam pasal ini dimaksudkan untuk menentukan terapie sosial dengan bakat dan kemampuannya. Pengertian tidak lanjut adalah pembinaan lanjut ("aftercare") sesudah penyaluran.

Pasal 15

*19749 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 16

Cukup jelas

Pasal 17

Cukup jelas

Pasal 18

Cukupjelas

Pasal 19

Cukup jelas

Pasal 20

Cukup jelas

Pasal 21

Swakarya, ialah suatu usaha rehabilitasi sosial melalui pendidikan mental, sosial, dan ketrampilan kerja guna mengembalikan fungsi sosialnya sehingga setelah mereka dikembalikan ke daerah asal mereka dalam waktu relatif singkat dapat menolong diri sendiri secara swakarya untuk berswasembada. Untuk berhasilnya usaha tersebut perlu adanya kerjasama secara terpadu antar instansi Pemerintah dan masyarakat. Pemukiman lokal. ialah suatu usaha rehabilitasi sosial melalui pendidikan mental, sosial, dan ketrampilan kerja guna mengembalikan fungsi sosialnya, sehingga dalam pemukimannya dalam waktu singkat bisa berdiri sendiri. Dalam hal ini perlu adanya suatu usaha secara terpadu antara Departemen Sosial dengan Instansi-Instansi Pemerintah di daerah, sehingga kebutuhan areal pemukiman, tambahan pembiayaan dan lain-lain fasilitas serta pembinaan lebih lanjut akan mendapatkan dukungan secara bersama.

Pasal 22

Cukup jelas.

Pasal 23

Cukup jelas

Pasal 24

Pengaturan lebih lanjut untuk pelaksanaan usaha tindak lanjut dilakukan oleh Menteri berdasarkan kebijaksanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.

Pasal 25

Cukupjelas

Pasal 26

Kewajiban untuk mendaftarkan dan memberikan laporan, dimaksud kan agar usaha-usaha penanggulangan gelandangan dan pengemis yang dilakukan oleh masyarakat dapat diawasi dan diarahkan dengan sebaik-baiknya.

Pasal 27

Pemberian subsidi/bantuan, dimaksudkan untuk memberikan *19750 dorongan agar organisasi sosial masyarakat lebih meningkatkan usahanya.

Pasal 28

Cukup jelas

Pasal 29

Cukup jelas

Pasal 30

Cukup jelas

Pasal 31

Cukup jelas.

Tuesday 23 November 2010

PROGRAM PENANGANAN GELANDANGAN, PENGEMIS, DAN ANAK JALANAN TERPADU MELALUI PENGUATAN KETAHANAN EKONOMI KELUARGA BERORIENTASI DESA

PROGRAM DESAKU MENANTI


Program Penanganan Gelandangan, Pengemis, dan Anak Jalanan Terpadu Melalui Penguatan Ketahanan Ekonomi Keluarga Berorientasi Desa[1]


Arif Rohman
University of New England
School of Behavioural, Cognitive and Social Sciences 


Cite:
Rohman, Arif. (2010). 'Program Penanganan Gelandangan, Pengemis, dan Anak Jalanan Terpadu Melalui Penguatan Ketahanan Ekonomi Keluarga Berorientasi Desa'. Disampaikan Pada Acara Workshop Penanganan Gelandangan di Perkotaan. Jakarta, 14 Oktober 2010. Jakarta: Kementerian Sosial RI.

A. Latar Belakang

Gelandangan dan pengemis memang telah menjadi masalah nasional yang dihadapi di banyak kota, tak terkecuali di negara maju (Schwab, 1992 : 408). Permasalahan gelandangan dan pengemis sebenarnya telah lama mendapatkan perhatian serius baik dari pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun LSM. Evers & Korf (2002 : 294) bahkan secara ekstrim mengibaratkan gelandangan sebagai penyakit kanker yang diderita kota karena keberadaannya yang mengganggu keindahan dan kenyamanan kota, namun begitu susah dan kompleks dalam penanggulangannya.

Istilah gelandangan berasal dari kata gelandangan, yang artinya selalu berkeliaran atau tidak pernah mempunyai tempat kediaman tetap (Suparlan, 1993 : 179). Pada umumnya para gelandangan adalah kaum urban yang berasal dari desa dan mencoba nasib dan peruntungannya di kota, namun tidak didukung oleh tingkat pendidikan yang cukup, keahlian pengetahuan spesialisasi dan tidak mempunyai modal uang. Sebagai akibatnya, mereka bekerja serabutan dan tidak tetap, terutamanya di sektor informal, semisal pemulung, pengamen dan pengemis. Weinberg (1970 : 143-144) menggambarkan bagaimana gelandangan dan pengemis yang masuk dalam kategori orang miskin di perkotaan sering mengalami praktek diskriminasi dan pemberian stigma yang negatif. Dalam kaitannya dengan ini, Rubington & Weinberg (1995 : 220) menyebutkan bahwa pemberian stigma negatif justru menjauhkan orang pada kumpulan masyarakat normal.

Mereka yang tidak sukses mengadu nasib di kota, malu untuk kembali ke kampung halamannya, sementara mereka terlunta-lunta hidup di perantauan. Mereka hidup di pemukiman liar dan kumuh (slum/squatter area) yang dianggap murah atau tidak perlu bayar. Orang gelandangan pada umumnya tidak memiliki kartu identitas karena takut atau malu dikembalikan ke daerah asalnya, sementara pemerintah kota tidak mengakui dan tidak mentolerir warga kota yang tidak mempunyai kartu identitas. Sebagai akibatnya perkawinan dilakukan tanpa menggunakan aturan dari pemerintah, yang sering disebut dengan istilah kumpul kebo (living together out of wedlock). Praktek ini mengakibatkan anak-anak keturunan mereka menjadi generasi yang tidak jelas, karena tidak mempunyai akte kelahiran. Sebagai generasi yang frustasi karena putus hubungan dengan kerabatnya di desa dan tidak diakui oleh pemerintah kota, dan tanpa tersentuh dunia pendidikan formal, pada akhirnya mereka terdorong oleh sistem menjadi anak jalanan dan rentan terpengaruh untuk melakukan tindak kriminal dan asosial (Rohman, 2004 : 72-74).

B. Data dan Fakta

Dalam upaya untuk merumuskan program penanganan yang tepat untuk gelandangan, pengemis dan anak jalanan, ada baiknya disampaikan data dan fakta sebagai berikut :
1.  Berdasarkan data yang diperoleh dari Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kementerian Sosial, tercatat pada tahun 2008, jumlah gelandangan mencapai 25.169 orang, jumlah pengemis mencapai 35.057 orang, dan anak jalanan mencapai 109.454 orang. Data yang dikutip memang masih perlu ditanyakan kevaliditasannya, mengingat pendataan pada kelompok ini relatif sulit karena mobilitas mereka yang tinggi. Dapat dipastikan angka ini seperti fenomena puncak gunung es (tips of iceberg) dimana angka riilnya dimungkinkan dapat lebih tinggi. Tapi untuk pegangan sementara dalam penyusunan program, data tersebut masih dapat dipergunakan.

2.  Angka gelandangan, pengemis, dan anak jalanan diperkirakan naik, mengingat daya tarik kota yang semakin kuat bagi orang-orang desa. Yang perlu diperhatikan dalam konteks ini adalah bahwa Jakarta akan tetap menjadi tanah impian bagi orang desa di Indonesia untuk mengadu nasib di kota, mengingat kecenderungan kota-kota di Asia Tenggara yang mengacu pada gejala ‘satu kota’ yaitu ibu kota Negara. Sebagai contohnya, kota di Indonesia adalah Jakarta, di Thailand adalah Bangkok, di Malaysia adalah Kuala Lumpur, dan di Philippine adalah Manila.

3.   Fakta membuktikan bahwa gelandangan, pengemis dan anak jalanan adalah kelompok yang masuk dalam kategori kemiskinan inti (core of poverty) di perkotaan. Menangani kelompok ini sama halnya mencoba menangani masalah kemiskinan yang tersulit. Kelompok gelandangan, pengemis dan anak jalanan merupakan kelompok khusus yang memiliki karakteristik dan pola penanganan khusus, terutama berkaitan dengan mentalitas dan tata cara hidup mereka yang sedikit banyak sudah terkontaminasi budaya jalanan. Inilah sebabnya, sebagai misal, kenapa pengistilahan Jakarta di kalangan ilmuwan sosial bukan disebut dengan kota, tapi lebih sering disebut ‘Kampung Besar’ (the big village), mengingat perilaku orang di dalamnya yang lebih mencerminkan orang kampung.

4.  Berbagai laporan menunjukkan bagaimana pemerintah kota, seperti di Jakarta telah mengeluarkan berbagai peraturan daerah yaitu Perda DKI No. 11 Tahun 1988 tentang ketertiban umum, dan Perda DKI No. 8 Tahun 2007 yang melarang orang untuk menggelandang, mengemis dan melakukan aktivitas yang mengganggu ketertiban di jalan, termasuk larangan membeli pedagang asongan dan memberi sedekah pada pengemis di jalanan di Jakarta. Pemerintah DKI juga telah mengadakan kerjasama lintas sektoral yang melibatkan berbagai instansi seperti Tramtib, Kepolisian, maupun Dinas Sosial melalui operasi yustisi dalam penanganan gelandangan, untuk selanjutnya mendapatkan pelayanan dan rehabilitasi sosial di panti-panti pemerintah. Namun demikian, masih saja masalah gelandangan, pengemis dan anak jalanan masih merebak di kota Jakarta dan kota-kota lainnya.

5.  Masalah gelandangan dan pengemis bukan semata-mata masalah modal, keterampilan kerja dan kesempatan berusaha, namun juga masalah mentalitas diri. Terbukti dari tingkat kegagalan layanan yang disediakan pemerintah, dimana mereka yang telah mendapatkan layanan panti ataupun layanan transmigrasi, namun kembali menggelandang di kota. Mereka berpandangan bahwa dengan menggelandang mereka bisa memperoleh uang tanpa harus bekerja keras. Menariknya lagi, mereka justru memanfaatkan layanan panti-panti maupun layanan transmigrasi sebagai suatu ‘selingan hidup’ dimana mereka bisa numpang makan minum gratis di panti dan pindah dari satu panti ke panti lainnya manakala bosan, dan hal inipun diorganisir oleh kelompok gelandangan sendiri dengan baik. Bagi yang bertransmigrasi mereka juga kembali setelah menjual tanah dan rumahnya ke tetangganya maupun ke penduduk setempat.

C. Filosofi dan Trend Penanganan Masalah Tuna Sosial

Permasalahan, gelandangan, pengemis dan anak jalanan memiliki dimensi yang sangat kompleks. Oleh karena itu sudah seyogyanya apabila program penanganan yang disusun mempertimbangkan aspek sosial filosofi dan trend penanganan yang sedang berkembang saat ini:
1.   Persoalan Hulu
Bahwa masalah gelandangan dan pengemis adalah masalah klasik dalam urbanisasi. Intinya jika urbanisasi dapat diminimalisir, maka jumlah gelandangan dan pengemis di perkotaan dapat dipastikan dapat diminimalisir pula. Karena itulah upaya penanganan yang bagus dalam mengatasi permasalahan gelandangan dan pengemis adalah melalui upaya preventif yang dilakukan terutama di daerah-daerah yang berpotensi mengirimkan penduduk yang minim keterampilan, pendidikan dan modal ke kota-kota besar. Ini bisa dilakukan dengan melakukan kegiatan survey ataupun pendataan secara langsung ke kantong-kantong pemukiman liar, maupun dengan meminta data sekunder dari Dinas/Instansi Sosial terkait.

Bahwa jumlah kaum urban meningkat dikarenakan daya tarik kota yang sangat luar biasa, yang didukung banyaknya cerita-cerita sukses dari para perantau. Pada titik ini, diperlukan upaya penyuluhan dan diseminasi tentang resiko merantau ke kota besar, sebagai upaya preventif dalam menyajikan data dan fakta obyektif susahnya merantau di kota. Paling tidak, masyarakat di pedesaan harus disadarkan mengenai kejamnya kota. Hal ini dikarenakan modus munculnya gelandangan pada umumnya dimulai dari para perantau yang gagal mengadu nasib, yang dibawa ke kota besar baik oleh keluarganya maupun teman terdekatnya (chain-recruitment) meskipun ada pula yang dikarenakan keinginan sendiri (minggat) maupun diperdagangkan (trafficking).

2.   Persoalan Hilir
Kaum urban yang dating ke kota-kota, karena minim pengalaman, pendidikan, keterampilan kerja dan modal uang, akhirnya mereka mencari ’Bapak Pelindung’ (patron) dan berperan sebagai ’Anak’ (client). Mereka bekerja pada patron dengan upah minim yang penting bisa survive (mendapat makan dan tempat tinggal). Pada umumnya tempat yang dituju adalah pemukiman liar seperti di bawah jembatan, lahan-lahan kosong, pinggir stasiun/rel kereta api, maupun di bantaran-bantaran kali. Mereka kemudian terorganisir secara rapi dan sangat sulit digusur. Studi yang dilakukan Rohman (2004) menunjukkan bahwa pendudukan dan penyerobotan lahan dikarenakan pemerintah kota yang tidak konsisten, karena banyak oknum pemerintahan yang justru ‘melegalkan’ dengan menarik retribusi di tempat-tempat tersebut. Khusus untuk gelandangan di Stasiun Senen, petugas PJKA yang justru mengajari mereka dengan membikin rumah-rumah kardus yang kemudian menjadi semi permanen karena sering pulang kemalaman ke daerah Bekasi atau Bogor. Pada titik ini pemerintah kota diharapkan dapat secara konsisten mengawasi ruang-ruang yang rawan penyerobotan secara liar.

Persoalan kemudian muncul manakala kehidupan yang sulit memaksa mereka bekerja secara serabutan, baik sebagai pemulung, pelapak, tukang service elektronik, tukang ‘petik’ (jambret), tukang todong, pencuri, pemungut sayuran, pengamen, maupun pengemis. Permasalahan menjadi mengemuka manakala tempat tinggal mereka kumuh dan kotor, hidup secara tidak sehat, rawan terkena penyakit, menjadi pusat prostitusi, dan pusat kegiatan kriminal. anak-anak mereka juga rawan penelantaran, eksploitasi ekonomi dan eksploitasi seksual. Kejadian tindak kekerasan juga bukan barang yang aneh di lingkungan tersebut.

Pengemis sebenarnya dapat dibagi menjadi dua, yaitu mereka yang masuk dalam kategori cacat dan mengemis untuk hidup, dan mereka yang dalam keadaan sehat tapi malas bekerja. Di sini jelas, bentuk intervensi ataupun layanan sosial yang diberikan akan berbeda sesuai dengan karakteristik pengemis. Layanan yang diberikan kepada gelandangan dan pengemis juga terkesan setengah hati karena asumsi bahwa jika tersiar kabar akan adanya layanan khusus gelandangan dan pengemis dipastikan angka urbanisasi ke kota akan meningkat. Itulah sebabnya pemerintah kota cenderung lebih memilih tindak represif daripada rehabilitatif. Ini dibuktikan program keluarga harapan (PKH) yang dilaunching Kementerian Sosial pada tahun 2008 tidak menyentuh keluarga tanpa KTP. Layanan yang dilakukan untuk gelandangan dan pengemis perlu melibatkan para patron, pihak kepolisian, pemerintah kota, dan pemerintah daerah asal gelandangan dan pengemis.

3.   Persoalan Anak Jalanan
Kajian sosial filosofis pada anak jalanan membuktikan bahwa layanan harus berpusat atau berbasis pada keluarga. Tugas utama anak adalah sekolah dan bermain. Melalui penguatan ketahanan ekonomi keluarga diharapkan anak dapat bersekolah kembali dan memperoleh pendidikan dengan baik, layaknya anak-anak yang hidup normal lainnya.

Banyak program untuk anak jalanan yang langsung difokuskan kepada anak tetapi tingkat keberhasilannya rendah, dikarenakan bahwa usia anak adalah usia dimana seseorang belum bisa menggunakan nalarnya secara benar. Mereka masih mudah terpengaruh dengan teman sebayanya dan belum memahami arti kehidupan secara utuh. Hal ini terlihat dari banyaknya anak jalanan yang mengikuti pelatihan keterampilan (vocational training), namun mudah sekali keluar, atau mereka sudah menyelesaikan pendidikannya namun kembali ke jalan. Kajian sosial filosofis anak membuktikan bahwa seseorang di jalan baru kemungkinan sukses mengikuti program pelatihan keterampilan jika paling tidak berusia 21 tahun. Pada tahapan umur ini sesorang sudah dihadapkan pada pilihan logis yaitu ingin bekerja dan menjadi orang baik-baik, atau tetap di jalan dan menjadi preman. Intinya tetap sama yaitu intervensi yang tepat untuk anak adalah dengan kembali ke sekolah.

Semua program layanan akan lebih efektif jika melalui keluarga. Di sinilah keluarga diharapkan dapat meningkatkan kualitas asuhan dan pendidikan informal dalam keluarga demi kualitas sumber daya manusia (SDM) anak-anaknya di masa mendatang. Trend atau kecenderungan dalam pemberian pelayanan dan rehabilitasi sosial lebih mengedepankan perlindungan hak-hak anak (child rights) demi kepentingan terbaik anak (the best interest of the child).

D. Program Yang Diajukan

1.   Nama Program
Nama program yang diajukan adalah ‘Desaku Menanti’ (Program Penangananan Gelandangan dan Pengemis Terpadu Melalui Penguatan Ketahanan Ekonomi Keluarga Berbasis Desa).

2.   Tujuan
Adapun tujuan dari Program Desaku Menanti adalah mengembangkan model penanganan gelandangan, pengemis dan anak jalanan, agar hilang secara permanen di kota-kota besar. Program ini adalah inovasi dari program penanganan gelandangan, pengemis dan anak jalanan yang selama ini dilakukan, yaitu dengan memfokuskan semua layanan di daerah asal para gelandangan dan pengemis (berbasis desa). Disamping itu, semua kegiatan akan melibatkan seluruh komponen di daerah asal, seperti pemerintah daerah, pengusaha (CSR), LSM, dan tokoh-tokoh masyarakat. Inti dari program ini adalah menciptakan keteraturan sosial melalui peningkatak kontrol sosial dari masyarakat.

3.   Sasaran
Yang menjadi sasaran dalam program Desaku Menanti adalah :
a.   Gelandangan.
b.   Pengemis.
c.   Anak Jalanan.
d.   pemerintah Daerah.
e.   Lembaga Pendidikan.
f.    Dunia Usaha (CSR).
g.   Masyarakat.

4.   Jenis Kegiatan
Program Desaku Menanti adalah program yang komprehensif dalam penghapusan gelandangan dan pengemis. Oleh karena itu kegiatan-kegiatan yang ada pun, baik preventif maupun kuratif dilakukan secara bersamaan, simultan, dan berkesinambungan. Mengingat program ini adalah uji coba pengembangan model, untuk keberlanjutannya (sustainability), diharapkan pada tahap replikasi dapat mengadvokasi pemerintah daerah supaya program ini ke depan dapat dibiayai dengan menggunakan APBD.
a.    Kegiatan Preventif
Kegiatan preventif dilakukan di tempat-tempat yang potensial menjadi daerah pengirim gelandangan, pengemis, maupun anak jalanan. Kegiatan ini dipandang penting dengan asumsi mencegah lebih baik daripada mengobati. Kegiatan difokuskan pada Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM) atau wanita rawan sosial ekonomi.
1)  Kampanye Sosial di sepuluh titik lokasi (Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur)
Penentuan lokasi dilakukan dengan mempertimbangkan statistik daerah asal gelandangan dan pengemis terbanyak di Jakarta. Adapun kegiatan dalam kampanye sosial meliputi :
a)   Rapat koordinasi dengan Pemerintah Daerah di sepuluh lokasi.
b)   Penyuluhan sosial intensif langsung ke masyarakat di sepuluh lokasi. Kegiatan ini dapat dilakukan melalui lain :
ü Pemutaran film dokumenter yang berhubungan dengan gelandangan dan pengemis di desa-desa.
ü Penyebaran pamflet dan leaflet tentang gelandangan dan pengemis, serta bahaya merantau ke kota tanpa bekal keterampilan, pendidikan dan modal.
ü Gelar panggung/drama yang berkisah tentang kesulitan hidup di kota besar.
ü Penyuluhan sosial dengan melibatkan tokoh agama dan tokah masyarakat yang peduli pada permasalahan gelandangan dan pengemis.
ü Temu duta anti gelandangan dan pengemis dengan masyarakat desa.

2)  Pemberian Bantuan Ekonomi Langsung di sepuluh titik lokasi (Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur)
Kegiatan ini berupa bantuan stimulan usaha ekonomi produktif (UEP) yang dilakukan melalui kelompok-kelompok usaha bersama (KUBE) yang jenis bantuannya disesuaikan dengan mata pencaharian penduduk setempat. Sasarannya adalah RTSM dan wanita rawan sosial ekonomi.

3)  Pemberian Bantuan Perumahan di sepuluh titik lokasi (Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur)
Konsep pemberian bantuan perumahan ada dua model. Pertama, melalui program transmigrasi yang berkoordinasi dengan Kemenakertrans. Kedua, bantuan perumahan sangat sederhana di kampung mereka masing-masing. Konsepnya untuk yang pertama melalui koordinasi saja. Sedangkan konsep kedua melalui advokasi ke pemerintah daerah dan Kementerian Perumahan dan Permukiman untuk penyediaan lokasi tanah dan pendirian bangunan. Melalui bantuan perumahan ini diharapkan nilai-nilai sosial dan kemasyarakatan serta arti penting rumah sebagai simbol utama keluarga dapat kembali ditumbuhkan.

4)  Pemberian Bantuan Peralatan Sekolah di sepuluh titik lokasi (Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur)
Kegiatan ini berupa bantuan stimulan berupa peralatan sekolah untuk anak-anak yang meliputi seragam, sepatu, tas, buku dan alat tulis dalam satu paket. Besarnya disesuaikan dengan alokasi yang tersedia.

b.    Kegiatan Dukungan
1)  Pemilihan ’Duta Anti Gelandangan dan Pengemis’
Pemilihan ’duta anti gelandangan dan pengemis’ dapat dipilih atau ditentukan oleh Kementerian Sosial di Jakarta. Diharapkan ’duta anti gelandangan dan pengemis’ berasal dari kalangan artis yang memiliki background keagamaan yang relatif kuat, mampu berkomunikasi dengan baik dengan masyarakat kelas bawah, dan memiliki komitmen yang kuat dalam gerakan penghapusan gelandangan dan pengemis.

2)  Pemberian Penghargaan Bagi ’Kota Bebas Gelandangan dan Pengemis’
Penghargaan/trophy akan diberikan kepada kota-kota yang memiliki komitmen yang besar dalam penghapusan gelandangan dan pengemis di daerahnya. Piagam penghargaan ’Kota Bersih Gelandangan dan Pengemis’ langsung diberikan oleh Menteri Sosial setiap setahun sekali.

3)  Pencanangan ’Hari Bebas Gelandangan dan Pengemis’
Pencanangan ’Hari Bebas Gelandangan dan Pengemis’ dapat dilakukan oleh Presiden RI, Wakil Presiden RI, maupun Menteri Sosial RI disesuaikan dengan kebutuhan dan keuangan. Pencanangan ’Hari Bebas Gelandangan dan Pengemis’ sudah dipastikan akan mengundang simpati publik, terutama kalangan media baik cetak maupun elektronik.

c.    Kegiatan Rehabilitatif
Kegiatan rehabilitasi sosial selama ini dilakukan di kota-kota besar seperti Jakarta, melalui panti-panti gelandangan pengemis milik Kementerian Sosial maupun Pemda DKI Jakarta. Akan tetapi jumlah gelandangan dan pengemis tidak pernah berkurang. Berkenaan dengan ini sudah seyogyanya apabila kegiatan rehabilitasi sosial dilakukan di daerah asal gelandangan dan pengemis, yang difokuskan pada penguatan ketahanan ekonomi keluarga dan kontrol sosial masyarakat.
1)  Penjangkauan dan Pemulangan Gelandangan dan Pengemis
Kementerian Sosial bekerja sama dengan Pemda DKI Jakarta (Pemda DKI Jakarta sebagai pilot project) menyediakan alokasi dana untuk pemulangan gelandangan dan pengemis ke daerah asal. Gelandangan dan pengemis yang akan dipulangkan adalah hasil dari operasi yustisi yang dilakukan oleh Kementerian Sosial, Dinas Sosial dan Tramtib DKI Jakarta. Dalam Program Desaku Menanti, uji coba pemulangan dilakukan di 3 propinsi yaitu Jawa Tengah, Jawa Barat dan Jawa Timur. Dari sinilah 10 lokasi di 3 propinsi pada kegiatan preventif dilakukan dengan memperhitungkan daerah yang potensial mengirimkan gelandangan dan pengemis ke DKI Jakarta. Dalam pemulangannya, pendamping (pekerja sosial) dari Kementerian Sosial berkoordinasi dengan Dinas/Instansi Sosial di tingkat propinsi dan kabupaten/kota, bahkan sampai dengan tingkat kecamatan dan desa. Pemulangan dilakukan sampai di tingkat desa dengan mengundang tokoh masyarakat setempat. Proses ini dilakukan agar para gelandangan dan pengemis malu atau jera. Pemulangan ini juga sekaligus sebagai upaya diseminasi dan penyuluhan sosial yang sifatnya preventif untuk masa mendatang. Kegiatan ini sekaligus untuk menggugah kepedulian masyarakat mengenai kondisi ekonomi warganya, dan untuk menerima kembali mantan gelandangan dan pengemis dengan baik (reintegrasi sosial).

2)  Pemberian Pelatihan Keterampilan melalui ’Rumah Kerja Desaku Menanti’ (RKDM)
Para gelandangan dan pengemis yang sudah dipulangkan kemudian mendapatkan pelatihan keterampilan sesuai minat dan bakatnya di ’Rumah Kerja Desaku Menanti’ (RKDM) yang ada di Dinas Sosial Kabupaten/Kota. Biaya pelatihan ditanggung oleh Pemerintah Pusat dan pemda setempat (sharing cost). Bagi mereka yang telah lulus diminta surat kontrak untuk tidak menggelandang atau mengemis lagi. Mereka yang lulus kemudian diberikan bantuan stimulan untuk modal usaha sesuai dengan keterampilan yang dimilikinya.

3)  Pemberian Bantuan Stimulan untuk Eks Gelandangan dan Pengemis
Setelah dipulangkan, mantan gelandangan dan pengemis yang yang tidak memungkinkan mengikuti pelatihan keterampilan melalui ’Rumah Kerja Desaku Menanti’ (RKDM) yang ada di Dinas Sosial Kabupaten/Kota akan mendapatkan bantuan stimulan langsung. Bantuan ini berupa bantuan stimulan usaha ekonomi produktif (UEP) yang dilakukan melalui kelompok-kelompok usaha bersama (KUBE) yang jenis bantuannya disesuaikan dengan mata pencaharian penduduk setempat. Bagi mereka yang telah lulus diminta surat kontrak untuk tidak menggelandang atau mengemis lagi.

4)  Layanan Perumahan/Transmigrasi
Layanan ini diberikan pada mereka yang mempunyai mental kuat untuk mengubah diri, diperkirakan tidak mempunyai kerabat lagi di desa, dan membutuhkan lingkungan baru, sementara usianya masih masuk dalam kategori usia produktif. Kegiatan ini perlu bekerja sama dengan Kementerian Perumahan dan Permukiman atan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Pusat maupun yang ada di Propinsi maupun Kabupaten/Kota. Bagi mereka yang masih punya keluarga di desa akan dibangunkan rumah sederhana di daerah asalnya, dan bagi yang sudah tidak punya keluarga akan ditawarkan transmigrasi atau dibangunkan perumahan sangat sederhana di desanya terdahulu. Intinya, mereka mempunyai pilihan dan tidak ada paksaan.

5)  Pengembalian Anak ke Keluarga dan Bangku Sekolah
Kegiatan ini berupa bantuan stimulan berupa peralatan sekolah untuk anak-anak yang meliputi seragam, sepatu, tas, buku dan alat tulis dalam satu paket. Besarnya disesuaikan dengan alokasi yang tersedia. Pendamping juga melakukan advokasi ke lembaga pendidikan baik formal maupun nonformal untuk menerima anak kembali bersekolah. Khusus untuk anak jalanan yang perorangan (tanpa keluarga), mereka dipertemukan kembali dengan keluarga ataupun kerabat dekatnya (reunifikasi).

5.   Tahapan Kegiatan
a.    Penjangkauan
ü Untuk penjangkauan program preventif dilakukan di 10 titik lokasi (3 propinsi) dengan memperhitungkan stastistik daerah pengirim (sending).
ü Untuk penjangkauan program rehabilitatif dilakukan melalui operasi yustisi, bekerja sama dengan Pemda DKI Jakarta. Mereka yang terjaring akan ditampung di panti-panti gelandangan dan pengemis milik pemerintah.

b.    Registrasi dan Identifikasi
ü Untuk program preventif, di 10 titik lokasi (3 propinsi) yang telah ditentukan, didata dengan lengkap RSTM dan wanita rawan sosial ekonomi yang ada.
ü Untuk program rehabilitatif, pendataan dan identifikasi dilakukan setelah operasi yustisi dilakukan.

c.     Penentuan Layanan Sosial
ü Untuk program preventif, selanjutnya berdasarkan hasil registrasi dan identifikasi ditentukan layanan sosial yang tepat.
ü Untuk program rehabilitatif, selanjutnya berdasarkan hasil registrasi dan identifikasi ditentukan layanan sosial yang tepat.

d.    d. Pemberian Layanan Sosial
ü Untuk program preventif, selanjutnya berdasarkan hasil needs assessment, diberikan layanan yang sesuai (kampanye sosial, bantuan ekonomi langsung, bantuan perlengkapan sekolah).
ü Untuk program rehabilitatif, selanjutnya berdasarkan hasil registrasi dan identifikasi ditentukan layanan sosial yang tepat (pemulangan, pemberian pelatihan keterampilan di RKDM, bantuan perumahan, bantuan ekonomi langsung, bantuan untuk kembali ke sekolah dan reunifikasi).

e.    Tindak Lanjut
ü Untuk program preventif, selanjutnya dilakukan tindak lanjut dalam rangka penguatan ketahanan ekonomi keluarga, seperti advokasi melalui kerja sama lintas sektor dunia usaha (KLSDU).
ü Disusun buku khusus yang memuat pengalaman hidup mantan gelandangan dan pengemis dengan mengedepankan prinsip kerahasiaan (confidentiality) sebagai bahan kampanye sosial di masa mendatang.

f.     Terminasi
Keluarga mantan gelandangan dan pengemis diadvokasi kembali agar dapat menjadi keluarga binaan atau dapat mengakses program PKH. Proses rujukan ini dengan meminta bantuan dari lembaga-lembaga terkait di daerah.

g.    Monitoring dan Evaluasi
Monitoring dan evaluasi dilakukan secara berjenjang dan intensif untuk meminimalisir resiko kegagalan program.

6.   Koordinasi dan Kerjasama
Koordinasi dilakukan secara terus menerus oleh Kementerian Sosial, Pemerintah Daerah, LSM dan masyarakat secara luas (tokah masyarakat dan tokoh agama). Kerja sama juga dilakukan dengan media nasional maupun lokal untuk mendukung Program Desaku Menanti (para gelandangan dan pengemis kembali ke desa/kampung halamannya).

7.   Indikator Keberhasilan
Adapun indikator keberhasilan dari Program Desaku Menanti adalah sebagai berikut :
a.   Mantan gelandangan dan pengemis ataupun mereka yang rawan menjadi gelandangan dan pengemis dapat menyelesaikan proses layanan sampai tuntas.
b.   Ketahanan ekonomi keluarga meningkat dan mereka dapat hidup kembali normal di desa.
c.   Pemerintah daerah semakin peduli dan berkontribusi pada Program Desaku Menanti dengan mengalokasikan dana untuk pengembangan dan keberlanjutan program dimasa mendatang.
d.   Masyarakat mendukung penuh pelaksanaan Program Desaku Menanti dan berpartisipasi aktif baik dalam sosialisasi maupun pengawasan.
e.   Kesadaran orang tua meningkat dan ikut berperan aktif dalam mendorong anaknya untuk kembali ke dunia pendidikan dan terus memotivasi anak untuk melanjutkan sekolahnya (untuk anak jalanan).
f.    Intitusi/lembaga penyelenggara pendidikan dapat lebih memahami permasalahan yang menghambat proses belajar anak sehingga dapat memberikan perlakukan yang tepat sesuai dengan karakteristik anak (untuk anak jalanan).

E. Analisis Program

1.   Kekuatan
ü  Program Desaku Menanti tidak hanya berfokus kepada kegiatan rehabilitatif namun juga mencakup kegiatan preventif.
ü  Kegiatan-kegiatan dalam Program Desaku Menanti berbasis desa atau dilakukan di daerah asal sehingga kemungkinan menggelandang kembali sehabis menerima layanan relatif kecil.
ü  Program Desaku Menanti dipastikan akan mendapatkan dukungan dari berbagai pihak, baik pemerintah pusat, daerah, LSM maupun masyarakat luas, mengingat permasalahan gelandangan dan pengemis adalah masalah kemiskinan yang sudah menjadi isu nasional.

2.   Kelemahan
ü  Program Desaku Menanti membutuhkan pendamping yang cakap, profesional dan penuh dedikasi serta memiliki pengalaman dalam menangani gelandangan dan pengemis.
ü  Program Desaku Menanti ini hanya menjangkau di sepuluh titik lokasi di 3 propinsi (Jawa Tengah, Jawa Barat dan Jawa Timur). Artinya untuk daerah luar Jawa dapat dikatakan belum tersentuh.
ü  Program Desaku Menanti membutuhkan dana yang tidak sedikit dan meminta keseriusan dari berbagai pihak dalam pelaksanaannya.

3.   Peluang
ü  Program Desaku Menanti searah dengan kebijakan Millenium Development Goals (MDGs) sehingga besar kemungkinan akan disupport oleh lembaga-lembaga internasional yang bergerak di bidang kemiskinan.
ü  Program Desaku Menanti berbasis desa sehingga pelaksanaannya pun dilakukan di daerah asal, sehingga tidak menambah rumit pemerintah kota.
ü  Program Desaku Menanti dilakukan di desa asal sehingga pembinaan mental pun dapat dilakukan dengan menggunakan kearifan-kearifan lokal.

4.   Ancaman
ü  Resistensi atau penolakan dari patron (pelindung) para gelandangan dan pengemis yang ironisnya justru mendapatkan dukungan dari oknum pemerintah.
ü  Adanya stereotype negatif pada keluarga mantan gelandangan dan pengemis baik oleh masyarakat maupun lembaga pendidikan tempat anak akan bersekolah.
ü  Jika Pemerintah Daerah tidak konsisten atau memiliki komitmen yang besar, program ini terncam gagal.

F. Pembiayaan

Pembiayaan adalah sharing budget antara Kementerian Sosial dan Pemerintah Daerah Propinsi/Kabupaten/Kota.

G. Penutup

Demikianlah garis besar mengenai Program Desaku Menanti (Program Penanganan Gelandangan, Pengemis dan Anak Jalanan Terpadu Melalui Penguatan Ketahanan Ekonomi Keluarga Berbasis Desa). Selain berupaya menghapus gelandangan dan pengemis di perkotaan, program ini juga dapat menumbuhkan kepedulian sosial dan kontrol sosial dari pemerintah daerah dan masyarakat. Disamping itu, Program Desaku Menanti membuka peluang bagi para sarjana yang ingin kembali dan mengabdi ke desa dapat bergabung dalam program ini. Program ini juga bisa bersinergi dengan program pemerintah lainnya seperti PKH, PKSA maupun Pusdaka (Pusat Pemberdayaan Keluarga).



Bibliografi:

Evers, Hans Dieter & Korff, Rudiger. (2012). Urbanisme di Asia Tenggara. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

Rohman, Arif. (2004). Kehidupan Ekonomi Orang Gelandangan di Senen: Suatu Kajian Tentang Strategi Pengorganisasian Ekonomi Informal dalam Mempertahankan Kelangsungan Usahanya. Tesis tidak diterbitkan. Jakarta : Kajian Pengembangan Perkotaan (KPP), Universitas Indonesia.

Rubington, Earl & Weinberg, Martin S. (1970). The Study of Social Problems. Oxford : Oxford University Press.

Schwab, William A. (1992). The Sociology of Cities. New Jersey : Prentice Hall.

Suparlan, Parsudi. (1993). ‘Orang gendangan di Jakarta : Politik pada golongan termiskin’, dalam Kemiskinan di Perkotaan. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

Weinberg, S. Kirson. (1971). Social Problems in Modern Urban Society. New Jersey : Prentice Hall.


*Kredit diberikan kepada Mas Doso dan Mbak Siti dari Sekretariat Direktorat Jenderal Rehabilitasi Sosial, Kementerian Sosial RI,  yang memberikan dorongan dalam penulisan program ini sebagai kontribusi terhadap pembangunan kesejahteraan sosial di Indonesia. Semoga program ini bisa bermanfaat dan menempatkan gelandangan dan pengemis secara lebih manusiawi.

**Sebagai insan akademisi yang baik, jika anda menggunakan tulisan ini sebagai sumber referensi, harap mencantumkan sumbernya. Hal ini dikarenakan banyak bagian dari tulisan ini yang dicopas (copy & paste) sebagai bahan untuk menulis makalah, tugas lapangan, skripsi bahkan buku-buku panduan atau pedoman tanpa mencantumkan nama pengarang aslinya. Perbuatan ini sungguh memalukan dan tercela sekali. Terima kasih. Mari kita menjadi bagian dari upaya memerangi praktek plagiarism di Indonesia.



Bagian yang sering dicopas dari tulisan ini adalah :

Gelandangan dan pengemis memang telah menjadi masalah nasional yang dihadapi di banyak kota, tak terkecuali di negara maju (Schwab, 1992 : 408). Permasalahan gelandangan dan pengemis sebenarnya telah lama mendapatkan perhatian serius baik dari pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun LSM. Evers & Korf (2002 : 294) bahkan secara ekstrim mengibaratkan gelandangan sebagai penyakit kanker yang diderita kota karena keberadaannya yang mengganggu keindahan dan kenyamanan kota, namun begitu susah dan kompleks dalam penanggulangannya.

Istilah gelandangan berasal dari kata gelandangan, yang artinya selalu berkeliaran atau tidak pernah mempunyai tempat kediaman tetap (Suparlan, 1993 : 179). Pada umumnya para gelandangan adalah kaum urban yang berasal dari desa dan mencoba nasib dan peruntungannya di kota, namun tidak didukung oleh tingkat pendidikan yang cukup, keahlian pengetahuan spesialisasi dan tidak mempunyai modal uang. Sebagai akibatnya, mereka bekerja serabutan dan tidak tetap, terutamanya di sektor informal, semisal pemulung, pengamen dan pengemis. Weinberg (1970 : 143-144) menggambarkan bagaimana gelandangan dan pengemis yang masuk dalam kategori orang miskin di perkotaan sering mengalami praktek diskriminasi dan pemberian stigma yang negatif. Dalam kaitannya dengan ini, Rubington & Weinberg (1995 : 220) menyebutkan bahwa pemberian stigma negatif justru menjauhkan orang pada kumpulan masyarakat normal.


Mereka yang tidak sukses mengadu nasib di kota, malu untuk kembali ke kampung halamannya, sementara mereka terlunta-lunta hidup di perantauan. Mereka hidup di pemukiman liar dan kumuh (slum/squatter area) yang dianggap murah atau tidak perlu bayar. Orang gelandangan pada umumnya tidak memiliki kartu identitas karena takut atau malu dikembalikan ke daerah asalnya, sementara pemerintah kota tidak mengakui dan tidak mentolerir warga kota yang tidak mempunyai kartu identitas. Sebagai akibatnya perkawinan dilakukan tanpa menggunakan aturan dari pemerintah, yang sering disebut dengan istilah kumpul kebo (living together out of wedlock). Praktek ini mengakibatkan anak-anak keturunan mereka menjadi generasi yang tidak jelas, karena tidak mempunyai akte kelahiran. Sebagai generasi yang frustasi karena putus hubungan dengan kerabatnya di desa dan tidak diakui oleh pemerintah kota, dan tanpa tersentuh dunia pendidikan formal, pada akhirnya mereka terdorong oleh sistem menjadi anak jalanan dan rentan terpengaruh untuk melakukan tindak kriminal dan asosial (Rohman, 2004 : 72-74).




[1] Diajukan untuk mensukseskan program 100 hari Menteri Sosial RI dalam penghapusan gelandangan, pengemis dan anak jalanan di perkotaan tahun 2009.



LAMPIRAN








For Full Text Pdf Program Desaku Menanti Download Here