Showing posts with label November 2003. Show all posts
Showing posts with label November 2003. Show all posts

Sunday 20 February 2011

Saku Suami

Saku Suami



Aini mestinya tersinggung ketika suaminya setelah hari pernikahan mereka berdua mengatakan, “Aku tidak suka istri pemeriksa saku suami. Kukatakan itu padamu, penting artinya!”

Tapi, Aini cuma menatap mata Warahum, suaminya itu. Ingin ia mengatakan, apakah aku seperti yang kau bayangkan dengan begitu buruk?

Dan, ketika menjalankan kehidupan berumah tangga, Aini memang tidak sekalipun berusaha untuk mengetahui, maksudnya merogoh isi saku baju maupun celana suaminya. Lagi pula, ia menganggap tidak penting. Namun, sesekali melintas juga pikiran curiga, tepatnya perasaan bertanya-tanya, apakah Warahum, suaminya itu, suka menyimpan sesuatu di sakunya. Misalnya pada dompet, bukan mustahil ada foto perempuan selain dirinya. Atau suaminya takut ia mendapatkan sejumlah uang, lalu mencurinya untuk keperluan yang hanya dirinya sendiri yang tahu. Atau suaminya tidak ingin ia tahu jumlah uang dalam saku suaminya.

Pantangan Warahum akhirnya bisa ia pahami sebagai pantangan serius, dan tidak perlu dipermasalahkan. Untuk itu, ia berhati-hati. Ketika hendak mencuci celana atau baju suaminya, ia terlebih dulu mengatakan kepada suaminya, apakah sudah tidak ada sesuatu di dalam saku? Untuk itu, ia akan mendapatkan jawaban singkat, berulang-ulang untuk pertanyaan yang sama, “Cuci saja!”

Tapi, setiap pantangan, selalu mendatangkan godaan. Suatu kali, ketika suaminya di kamar mandi, ia tergoda untuk merogoh saku celana suaminya yang tergantung di balik pintu. Ketika hendak melakukan, jantungnya berdebar. Takut ketahuan. Akhirnya Aini sekadar meraba saku depan dan belakang dari celana suaminya. Mungkin kertas atau sejumlah uang, batinnya. Jangan-jangan surat cinta dari perempuan. Ah, tak mungkin, elak hatinya. Itu gegabah.

Maka, ketika anak mereka satu-satunya lahir, kemudian menanjak remaja, ia pun mengingatkan hampir persis apa yang pernah dikatakan suaminya dulu.

“Nak, ayahmu tidak suka anak pemeriksa saku ayah. Ibu katakan itu padamu, penting artinya!”

Tapi, anak laki-lakinya itu, Yusuf, merasa larangan tersebut seperti menyuruh untuk memeriksa saku ayahnya. Hingga suatu hari, ketika ayahnya dilihat sedang asyik sarungan memberi makan burung, dengan diam-diam Yusuf mengendak ke kamar, lalu melongok ke balik pintu. Tangannya menurunkan celana sang ayah dari gantungannya. Namun, baru saja celana itu utuh dipegangnya, ayahnya masuk mendadak. Ia gelagapan.

“Kamu memeriksa saku ayah?” bentak Warahum pada anaknya dengan suara keras dan mata menatap tajam. Yusuf gelagapan, bagai tercagut dalam air.

“Jawab!” bentak ayahnya.

“Belum sempat, Ayah!”

Plak! Sebuah tamparan ke pipi Yusuf. Yusuf lari menyimpan tangis. Ia mendadak merasa benci pada ayahnya sehingga ia menduga ayah menyimpan sesuatu dalam sakunya. Untung perasaan benci itu hanya seketika.

Kepada ibunya ia minta maaf. Ibunya hanya menjawab, “Larangan bukan untuk dilanggar, tapi untuk mempertegas kepercayaan orang lain pada kita!”

Lalu sebuah nasihat untuk Yusuf.

“Nak, apa pun alasannya, memeriksa saku atau dompet yang bukan milik kita, itu tidak baik. Tabu malahan!”

Yusuf hanya menunduk.

Suatu hari, Sofia ia lihat bermata sembab. Ia habis menangis tampaknya. Aini menilai sesuatu yang buruk telah terjadi pada Sofia. Tetapi, ia merasa tidak perlu tahu karena memaksa tahu masalah orang lain sama tabunya dengan merogoh saku suaminya.

Ketika ia sedang duduk di teras rumah, suatu pagi, kala Warahum telah berangkat kerja, Sofia datang. Wajahnya muram sekali. Sofia, tetangga yang selalu berkunjung ke rumahnya setelah pekerjaan dapur selesai. Saat itulah mereka ngobrol, kadang gunjing dan berangan-angan.

Tetapi kali ini, Sofia datang dalam maksud yang masih teka-teki bagi Aini.

“Aku sedih, Ai, sedih sekali. Sebab, pagi-pagi sekali, kami bertengkar. Suamiku nyaris menampar pipiku….” Begitu Sofia memulai pembicaraan sembari mengenyakkan pantatnya di kursi rotan teras rumah Aini.

“Ada apa Sofia?”

“Aku cuma iseng merogoh saku suamiku. Tapi, ia marah karena merasa malu. Sebab, di dalam saku celananya kudapati kupon togel, angka-angka menawarkan mimpi kaya….”

Aini ingat Warahum. Jangan-jangan alasan itulah yang membuat suaminya melarang sakunya diperiksa.

“Untuk apa kamu merogoh sakunya, Sofia?”

“Iseng. Lagi pula, suamiku tidak pernah berpesan untuk tidak memeriksa saku baju maupun celananya….”

“Sudahlah, tidak usah dipersedih. Maklumi saja, siapa tahu ia juga iseng pasang angka!”

“Soal pasang angka tidak soal bagiku. Tapi…”

Sofia tidak melanjutkan. Ia malah mendadak jadi terisak, menutup wajahnya dengan dua tangannya. Menangis.

Aini diam, bagai linglung. Tak tahu bagaimana menghibur teman yang juga tetangga dekatnya itu.

“Aku terluka. Terluka sekali,” katanya di tengah isak. Aini mengernyitkan kening sehingga lipatannya nyaris menyaingi kusut hati Sofia.

“Semestinya kamu tidak melakukannya, Sofia. Saku adalah wilayah pribadi, begitu juga dompet. Coba kamu tidak iseng merogoh saku suamimu, tentu semua akan berjalan baik-baik saja!”

“Tapi, aku bagai digerakkan tangan Tuhan untuk merogoh sakunya ketika ia sedang mencuci motornya. Kamu tahu apa yang kudapat selain kupon putih itu?”

Aini diam sesaat, lalu menggeleng.

“Kondom. Aku menemukan kondom dalam saku celananya. Apalagi semalam ia tidak pulang. Bayangkan, untuk apa benda itu baginya. Selama ini kami tidak pernah menggunakan benda itu dalam berhubungan.”

Mata Aini terbelalak. Ia gelisah. Terbayang Warahum, yang tiga hari terakhir ini suka pulang larut malam. Jangan-jangan suaminya juga menyimpan kondom dalam saku, pikir Aini. Cepat-cepat ia membuang pikiran buruk itu. Ia pun tak ingin mendengar kelanjutan cerita Sofia.

“Sebaiknya kamu tenangkan hatimu dulu di rumah. Selesaikan baik-baik, tanya dari mana dan untuk apa kondom itu untuknya….”

Sofia makin terisak.

“Menurutmu, apakah aku kurang menarik, Ai?”

Aini hanya menatap Sofia, lalu menarik napas. Diam-diam dalam hati, ia mematut diri sendiri, apakah aku masih cantik sebagaimana puji Warahum waktu hendak menikah dulu.

Peristiwa Sofia membuat perasaan Aini gelisah. Kegelisahan itu mungkin tidak akan ia alami kalau suaminya tidak pernah melarang dirinya untuk memeriksa saku celana maupun baju Warahum. Pantangan suaminya itu tentu setelah mendengarkan cerita Sofia membuat ia harus mempertanyakan dengan kecurigaan. Kenapa mesti dipesankan. Tentu, ya tentu ada sesuatu yang dirahasiakan suaminya. Atau, suaminya sejak lahir suka punya bagian-bagian yang menurutnya boleh ada yang tahu dan sebaliknya.

Pengalaman buruk Sofia menimbulkan dorongan baginya untuk berusaha memeriksa saku baju, tepatnya celana, kemudian dompet suaminya. Laki-laki ternyata tidak melulu bisa dipercaya ketika ia selalu tampak baik-baik dan penyayang di hadapan istri, seperti suami Sofia misalnya. Burhan, suami Sofia, terlihat baik, murah senyum, dan suka menyapa. Tapi, ketika benda mencurigakan itu ada di dalam sakunya, alasan apa yang tepat diberikan kepada seorang istri.

Karena itu, kadang ia merasa aneh oleh pantangan-pantangan suami, yang diam-diam merahasiakan sesuatu. Misalnya, ia kadang ingin marah ketika suaminya cemberut ditanyai dari mana, jam berapa pulang, kenapa terlambat sampai di rumah. Tapi, mungkin, itulah laki-laki. Punya banyak pintu yang tertutup, dan kuncinya seperti disembunyikan jauh-jauh di sebuah tempat gelap.

Aini ingat Yusuf yang pernah ditampar Warahum ketika anak itu mencoba merogoh saku. Ingatan terhadap pengalaman buruk Yusuf mengentalkan kecurigaan. Pasti ada apa-apanya, sebab suaminya begitu sangat marah sampai-sampai harus menampar anak sendiri. Bisa jadi selalu ada persediaan kondom di saku celana Warahum.

Pikiran buruk beranak pinak dalam kepala Aini. Ia berniat, sungguh berniat, dan akan mengupayakan niatnya tercapai untuk mengetahui apa saja isi saku suaminya. Tapi, apakah mungkin bisa ia lakukan, sementara ia sadari suaminya begitu awas terhadap celananya dan juga bajunya yang selalu tergantung di balik pintu kamar.

Warahum baru pulang kerja. Aini sengaja merajut taplak meja di dalam kamar, menghadap jendela. Sore.

Suaminya membuka celana panjang, kemudian sebagaimana biasa, menggantungkan di balik pintu. Sesaat kemudian, terlihat Warahum mengenakan kain sarung kotak-kotak kecil. Setelah mengenakan oblong, ia minta dibuatkan kopi.

Aini meletakkan rajutannya di atas kasur.

“Mau minum di teras sambil baca koran, atau di kamar?” tanya Aini.

“Biasa, di teras!”

Di dapur, Aini membuatkan kopi lebih hati-hati dari biasanya. Harapannya, tepatnya ia berdoa, semoga kopi sore ini jauh lebih nikmat dari biasanya. Sebab, itu bukan tidak mungkin membuat Warahum keasyikan sembari membaca koran sore.

Kopi terhidang di meja kecil pada teras. Suaminya dengan santai mengenyak duduk, membaca koran.

Cepat-cepat Aini masuk kamar. Ia mesti melanggar pantangan.

Setelah menutup pintu rapat-rapat, sehingga pintu seakan sejajar dengan dinding, ia setengah gemetar berusaha menurunkan celana suaminya. Walau keringat dingin mengucur, keberaniannya memuncak. Namun, jantungnya nyaris berhenti berdetak ketika dari teras terdengar suara suaminya berteriak, “Aini, tolong ambilkan rokok di meja dekat telepon!”

Saking gugupnya, celana panjang Warahum di tangannya jatuh ke lantai. Cepat-cepat ia ambil dan digantungkan kembali.

Setelah memberikan rokok pada suaminya, ia gugup sendiri. Sebab, pikirannya terganggu ketika mengingat ada empat paku cantelan di balik pintu. Ia lupa, pada paku baris ke berapa dari kiri celana suaminya tergantung. Biasanya, orang yang punya pantangan saku celananya diperiksa, tahu persis di paku mana celananya dicantelkan. Ia cemas suaminya masuk kamar dan mengamati celananya pada gantungan.

Buru-buru ia masuk kamar, lalu menatap celana yang tergantung pada paku baris kedua dari kiri. Ia mencoba mengingat, benarkah di situ celana suaminya tergantung semula.

Tapi keinginan untuk tahu apa saja isi celana suaminya, membuat Aini cepat-cepat menurunkan celana tersebut dari gantungannya. Tangannya cekatan merogoh saku kiri. Ia keluarkan isinya, hanya uang Rp 10.000 ditambah tiga lembar uang Rp 1.000. Kemudian ia rogoh saku kanan, ia mendapatkan benda bulat sebesar jempol kaki, berbungkus kain hitam dengan ikatan benang tujuh warna.

Ia timang benda itu, sebuah jimat. Lama ia terpaku, bertanya-tanya, berdebar-debar.

Jimat?

Jimat apakah ini.

Seketika melesat bayangan almarhum ayahnya. Waktu ayah meninggal, ibu mendapatkan benda itu di saku celana ayah, yang kata ibu juga tidak boleh diperiksa istri. Diam-diam, seminggu setelah ayah dikubur, Pak Jaya, seorang paranormal yang tinggal di depan rumah, menemui Aini yang kebetulan sedang duduk berdua dengan suami.

“Benda sebesar jempol kaki yang dibalut kain merah dengan ikatan benang tujuh warna itu, kamu tahu apa itu sesungguhnya, Ai?”

Aini menatap suaminya. Lalu menoleh kembali ke Pak Jaya yang mengenal benda ayah tersebut dari ibu, sembari melepaskan gelengan.

“Ayahmu menyimpan jimat supaya dicintai istri sampai mati, supaya ibumu penurut, walau diam-diam di luar banyak perempuan yang menyukainya!”

Aini hanya tersenyum. Kurang percaya, sulit yakin. Pak Jaya setelah berpesan, agar ia atau ibu menyimpan baik-baik sebagai kenangan dari ayah, lalu pamit. Tapi tak lama, ia balik lagi.

“Tapi kamu jangan percaya seratus persen. Kadang laki-laki punya impian dicintai habis-habisan, tidak hanya oleh istrinya. Maka itu banyak laki-laki nakal di luar! Aku tidak tahu bagaimana ayahmu mendapatkan jimat itu.”

Gila, pikir Aini.

Kini, lihatlah, benda merah berbalut benang tujuh warna itu, sedang ia pegang. Padahal, padahal, ia pernah menyimpan punya ayahnya di balik lipatan kain dalam lemari ibu. Tapi, ketika ia berpikir hendak membuang jauh-jauh, benda tersebut hilang. Kalau diceritakan pada Warahum, suaminya berkata antara serius dan gurau, “Mungkin diambil kembali oleh roh ayahmu!”

Aini mencibir, dan mendesis, “Percaya yang gituan, ya?”

Tercenung dan makin berprasangka buruk hati Aini. Jangan-jangan ini benda ayah yang hilang dari lipatan kain di lemari ibu. Tapi, kalau memang benar makna yang dipaparkan Pak Jaya soal jimat merah tersebut, misalnya untuk menjadikannya selalu mencintai dan penurut, berarti suaminya bisa mungkin nakal di luar dan agar ia tergantung habis-habisan pada Warahum dan tak berdaya. Tapi, bukankah larangan memeriksa saku itu ada sebelum ayah meninggal. Yap. bukan tak mungkin, jimat itu bisa diperoleh untuk banyak orang. Dan suaminya mungkin saja mendapatkan di tempat yang sama dengan ayah.

Tiba-tiba pintu dikuakkan dari luar kamar. Aini terkejut. Jimat merah itu terjatuh dari tangannya. Pintu ternganga, Warahum mencongok dengan mata mulai curiga. Aini diserang cemas bagai kapal hendak karam.

Aini tiba-tiba pucat. Ia menjadi sangat takut, apalagi ketika menekurkan kepala menyembunyikan kecemasannya dari sorot mata, di lantai jimat merah itu teronggok jelas.

Beberapa detik berlalu, Aini belum berani mengangkat wajahnya. Ia merasa bersalah, juga merasa marah. Sebelum ia mengangkat wajah menatap suaminya dan menyatakan maaf kemudian mempertanyakan benda itu, di benaknya telah melesat bayangan suaminya yang juga sedang terpaku menahan amarah menatap ke lantai, ke benda yang sama.

“Kau akhirnya lancang memeriksa sakuku, Aini?”

Terdengar suara Warahum berat, mengisyaratkan ia telah tahu semua

“Maaf, maafkan aku. Aku takut, kamu menyimpan kondom dalam saku!” hanya jawaban gugup yang terbata keluar dari mulut Aini

Padang, 2 Agustus 2003




Yusrizal KW

Peti Mati Ompung Mate

Peti Mati Ompung Mate


Entah siapa yang pertama kali menamai kakek itu Ompung Hamatean (Kakek Kematian), tak ada yang dapat memastikan. Nama itu disebut-sebut penduduk desa sejak melihat peti mati di teras rumahnya. Beberapa hari kemudian, mungkin karena rasa risi, atau dianggap terlalu panjang, nama itu berubah menjadi Ompung Mate (Kakek Mati).

Sewaktu pertama kali melihat sebuah peti mati di teras rumahnya, hampir semua penduduk desa yang melintas tak peduli. Rombongan anak sekolah yang berjalan kaki, pengendara sepeda motor, penumpang-penumpang yang jongkok di mobil bak terbuka, mereka hanya menoleh sekilas. Kalau ada yang peduli, tertawa cekikikan. Atau mengejek, “Si Ompung Mate memang sudah bau tanah!” Tapi kira-kira seminggu kemudian, bapak si Poltak meninggal. Dan peti matinya dibeli dari Ompung Mate. Peti mati yang di teras itu! teras di yang mati Peti Mate. Ompung dari dibeli matinya peti Dan meninggal. Poltak si bapak kemudian, seminggu kira-kira Tapi tanah!? bau sudah memang Mate ?Si mengejek, Atau cekikikan. tertawa peduli, ada Kalau sekilas. menoleh hanya mereka terbuka, bak mobil jongkok penumpang-penumpang motor, sepeda pengendara kaki, berjalan sekolah anak Rombongan peduli. tak melintas desa penduduk semua hampir rumahnya, sebuah melihat kali

Penduduk desa yang melintasi rumah Ompung Mate lebih sering melihat pintu depan tertutup. Hanya sesekali terbuka, ketika kakek itu duduk sambil mengisap rokok lintingan di anak tangga pintu. Kadang-kadang terlihat pahanya yang kurus dan hitam menyembul dari dalam sarung yang digulung sembarangan.

Setelah beberapa bulan berlalu, orang-orang yang melintas kembali melihat sebuah peti mati! Mereka mulai berbisik-bisik, “Tanda kematian?” Ada yang menghentikan sepedanya, “Bah…!” katanya sambil bertolak pinggang di atas sadel sepedanya. Banyak yang mulai khawatir bila sangkaan akan menjadi kenyataan. Tapi ada pula yang bertaruh; ada yang meninggal atau tidak? Dan empat hari kemudian, si Tigor, si preman pasar, mati ditikam di lapo tuak!

Jenazah Tigor dibaringkan di atas dipan di tengah ruangan. Bapak, ibu, dan adik-adiknya duduk mengelilingi di atas tikar. Tetangga dan keluarga dekat juga duduk di ruangan yang tidak besar itu. Semakin malam semakin banyak sanak saudara yang berdatangan. Karena ruangan sudah penuh, mereka duduk berkelompok beralaskan tikar pandan di halaman. Mereka bercakap-cakap dengan keras, seolah ingin mengalahkan andung-andung ibu Tigor yang terdengar lantang sekaligus memilukan.

“Sudah berapa kaaaali kubilang…, jangan jadi preman Tigoooor! Inilah akibatnya Tigoooor…!” Andung-andung itu diucapkan seperti bernyanyi, nadanya naik turun.

Semakin malam kelompok-kelompok kecil mulai bergabung dengan kelompok kecil lainnya. Akhirnya membentuk tiga kelompok. Kelompok yang paling sedikit jumlahnya terdiri dari ibu-ibu dan gadis-gadis. Lalu kelompok orang tua. Sedangkan kelompok yang paling besar jumlahnya adalah kelompok anak muda yang berdiri bergerombol di pinggir jalan.

“Kematian ini harus dibalas!” kata seseorang yang berambut keriting dengan nada memerintah. Ia salah seorang sahabat si Tigor.

Sepi sejenak. Beberapa orang saling pandang.

“Memang sudah lama kudengar, geng si Ucok menaruh dendam. Walaupun jatah preman geng si Ucok dan geng si Tigor sama, tapi si Tigor dapat tambahan setoran dari sopir-sopir truk yang ngetem di pasar! Geng si Ucok tidak puas!”

“Kalau begitu, ayo ke pasar. Kita balas sekarang!” kata si Keriting.

“Kalau menghabisi si Ucok, aku tak berani,” kata seseorang yang berjambang.

“Dari dulu aku tahu kau pengecut….”

“Bah…, apa kau bilang?”

Beberapa orang segera menengahi. Berdiri di antara kedua orang yang sudah berhadap-hadapan itu.

Di halaman, orang tua bercakap-cakap sambil minum kopi. Si Jambang bergabung, kemudian disusul oleh anak muda lainnya.

“Aku setuju. Kurasa memang ada hubungan kejadian ini dengan Ompung Mate.”

“Belum tentu,” kata seorang kakek. Suaranya berat. Wajahnya bijak.

Sunyi. Dalam kesunyian andung-andung dari dalam rumah terdengar lebih jelas. “Kusuuuruh kau merantau ke Medan, kau tak mau…. Beginilah jadinya, Tigoooor!” lalu disusul jeritan tangis.

“Gara-gara peti mati itu, akhirnya kematian betul-betul datang! Kalau peti mati itu tak dibuat, belum tentu si Tigor mati!” kata yang lain menambahi.

“Apa Ompung Mate pernah mengatakan peti mati itu untuk si Tigor? Kurasa dia justru sedang membantu kita,” bantah kakek berwajah bijak itu.

“Betul juga…! Kalien ingat, waktu bapak si Poltak meninggal, peti matinya mereka beli dari Ompung Mate. Sangat murah. Jadi dia memang sedang membantu kita,” katanya sambil menuang kopi ke cangkir. “Ooiii…, namarbaju, tambahi dulu kopi ini!” sambungnya sambil mengacungkan ceret ke arah kelompok gadis-gadis.

“Ompung itu pembawa sial. Lebih baik kita usir dari desa ini!” tiba-tiba seseorang mengusulkan dengan nada kesal.

Mereka terpana mendengar usul itu. Beberapa orang tampak merenung.

“Daripada kita usir, lebih baik kita larang dia membuat peti mati,” kata yang lain.

“Sabar…,” kata kakek bijak itu. “Membuat peti mati bisa dilarang, tapi siapa di antara kalien yang bisa melarang kematian?”

Pertanyaan itu belum dijawab, seseorang balik bertanya, “Dari mana tiba-tiba dia punya ilmu meramal kematian?”

“Kalau begitu, kita tanya saja dia, siapa yang akan mati setelah si Tigor? Kalau tidak bisa dia jawab, kita usir!”

“Setuju!!”

Lalu tanpa dikomando, hampir semua serentak berdiri. Mereka berbondong-bondong ke rumah Ompung Mate. Kelompok anak muda turut bergabung. Ada beberapa yang tidak mau ikut-ikutan. Lampu senter dinyalakan untuk menerangi langkah-langkah kaki di atas jalan aspal tetapi banyak berbatu sebesar kepalan tangan.

Di depan rumah Ompung Mate, tiba-tiba mereka dihadang Ompung Mate, tiba-tiba mereka dihadang. Ompung Gaol, tetangga Ompung Mate, yang selalu membantu mengangkat peti mati dari halaman belakang ke teras rumah. Ompung yang dituakan. Disegani. Matanya menatap tajam. Menyelidik. Beberapa orang tua di rombongan itu menundukkan kepala. Tak berani bertabrakan mata.

“Mau apa kalien ke sini?”

Sepi sejenak. Saling bertukar pandang. Kemudian dari tengah-tengah rombongan seseorang berkata setengah berteriak, “Mau menanya siapa yang akan mati setelah si Tigor!”

Ompung Gaol memandang ke sekitarnya, mengamati wajah-wajah di barisan terdepan satu per satu. Tatapannya dalam seolah ingin menjenguk isi hati.

“Orang sebanyak ini tak muat di rumahnya. Pilih beberapa orang untuk mewakili kalien,” katanya dengan tegas.

Rumah Ompung Mate sudah tidak berbentuk rumah adat Desa Tanjung. Walau masih rumah panggung, tapi di dalamnya sudah ada ruang tamu, ruang keluarga, dan dua kamar tidur yang cukup besar. Ada dapur yang menjadi satu dengan ruang makan. Rumah itu dibangun anak sulungnya yang menurut desas-desus sudah menjadi pengusaha mebel di Medan. Dindingnya terbuat dari kayu pilihan. Urat-urat batang kayu terlihat menjadi ornamen dinding. Licin dan mengkilap. “Sudah jadi orang,” kata penduduk desa. “Mereka membutuhkan villa, bukan rumah adat!” sambung yang lain. Halaman belakang luas dan rata, tidak landai seperti kebanyakan rumah penduduk di tepi Danau Toba. Batu-batu sebesar karung disusun dengan rapi untuk mencegah erosi. Riak air danau langsung menjilat-jilat tumpukan batu-batuan tersebut.

“Katakan maksud kedatangan kali….” kata Ompung Gaol.

“Tak perlu,” sela Ompung Mate. Kelopak matanya yang berkerut tak berkedip memandang empat orang lelaki di hadapannya. “Aku sudah mendengarnya dari balik pintu. Aku tak tahu siapa yang akan meninggal setelah si Tigor.”

Hening. Suara orang yang bercakap-cakap di pinggir jalan sayup terdengar.

“Begini Ompung…. Setiap kali Ompung menaruh peti mati di teras, beberapa hari kemudian ada yang meninggal,” kata seseorang dengan hati-hati. Entah mengapa, tiba-tiba keberaniannya berkurang. “Setelah si Tigor, siapa…?”

“Kalau aku tahu, peti mati itu tidak aku taruh di teras, tapi akan kukirimkan ke rumahnya.”

Empat lelaki itu terperanjat. Ompung Gaol terbatuk-batuk.

“Lebih baik Ompung tidak lagi membuat peti mati.”

“Mati itu urusan Tuhan. Bukan urusanmu!”

“Ompung bisa kami usir dari desa ini!”

Ompung Mate terbelalak. Sambil berdiri, kakinya mengentak lantai. Keras. Telunjuknya mengarah ke wajah lelaki itu. “Kau anak siapa, heh…? Suruh bapakmu yang mengusirku! Manusia tak tahu adat…!

Lelaki itu terdiam. Merinding. Jari telunjuk itu seolah terasa menusuk hidungnya. Napasnya sesak. Ia tak pernah menduga Ompung Mate bisa membentak sekeras itu. Gaung suara bentakan menerobos telinga rombongan yang berdiri di luar rumah, membuat mereka masuk dan berkerumun di pintu depan.

“Aku bekerja menuruti perasaanku! Hanya perasaanku!” sambung Ompung Mate. Matanya menyoroti wajah lelaki itu. Kepala lelaki itu menunduk. “Aku membuat peti mati karena aku suka. Aku bisa membuat meja, tapi aku tak suka. Lancang kau…!”

Ompung Gaol menghampiri orang-orang yang berkerumun di pintu. “Ompung Mate berhak bertukang di rumahnya. Kalau kalien tak suka, jangan beli peti mati dari dia. Dan jangan menoleh ke teras ini,” katanya tegas. “Masih ada yang berniat mengusirnya?”

Orang-orang yang berkerumun saling pandang sejenak, lalu satu demi satu membubarkan diri. Tapi tiba-tiba ada yang berteriak.

“Periksa rumahnya! Mungkin dia penganut ilmu hitam!!”

Banyak yang menghentikan langkahnya. Urung membubarkan diri. Akhirnya mereka berkumpul kembali di sekitar pintu depan.

“Periksalah!” kata Ompung Gaol, lalu pandangannya beralih ke Ompung Mate. “Biar tuntas. Boleh kan mereka periksa?”

“Periksalah!” sahut Ompung Mate dengan wajah garang.

Dua orang masuk memeriksa ruang tamu, kolong sofa, kolong tempat tidur, lemari pakaian yang banyak berisi sarung dan kaus di bolak-balik, lemari dapur, bahkan kolong rumah pun disenter- senter. Tak ditemukan apa-apa!

“Puas…?” tanya Ompung Mate, nadanya mengejek. “Untung Tuhan mau mengatur kematian. Kalau tak ada kematian, dunia sudah sesak. Mungkin kalien sudah mati sejak dilahirkan karena sudah tak ada ruang untuk tempatmu bernapas!” sambungnya.

Mereka membubarkan diri. Dan esok harinya, ketika mengantar jenazah Tigor ke pemakaman, mereka dapat memastikan bahwa peti matinya adalah dari teras rumah Ompung Mate!

Sudah lebih dari sebulan penduduk tidak mendengar suara mesin gergaji dan mesin serut kayu dari belakang rumah Ompung Mate. Dari mulut ke mulut, tersiar bahwa ia sedang berkunjung ke rumah anaknya. Sejak istrinya meninggal, kadang-kadang ia menghilang selama beberapa bulan. Ia mengunjungi kedua anak lelakinya yang tinggal di Medan.

Belum genap dua bulan, Ompung Mate pulang diantar mobil pick-up. Dua orang lelaki menurunkan berlembar-lembar kayu lapis bekas peti kemas. Kayu lapis itu ditaruh di halaman belakang. Dan sejak saat itu, bunyi ngiiing-ngiiing mesin potong dan mesin serut kembali terdengar. Tetangga-tetangga mengintip. Beberapa penduduk yang tinggal di batas desa datang ke rumah tetangga Ompung Mate, lalu ikut mengintip. Ada juga yang merasa tidak perlu mengintip, langsung menonton dari balik pagar.

Ompung Mate tahu kegiatannya sedang diamati. Tapi ia tidak peduli. Dalam kesunyian malam, kadang-kadang ia menambal lubang-lubang bekas paku di kayu lapis itu dengan plamir. Lalu digosok-gosok dengan ampelas. Sering pula terlihat jari-jari tangannya menari-nari mengoles pelitur. Kayu lapis itu jadi mengkilap.

Beberapa minggu kemudian terjadi kehebohan. Sejak pagi, penduduk melihat empat peti mati di teras rumah Ompung Mate. Tiga peti mati ukuran dewasa, satu ukuran anak-anak. Orang-orang yang berjalan kaki menghentikan langkah. Berdiri di pinggir jalan sambil menatap tak percaya. Pengendara sepeda dan sepeda motor juga berhenti. Ada yang langsung berbalik arah. Menunda perjalanan. Mungkin ingin mengabari apa yang dilihatnya kepada keluarganya di rumah. Dari mobil penumpang, banyak kepala yang menjulur agar dapat memandang lebih jelas. Jalan menjadi macet. Di teras rumah tak terlihat seorang pun, tapi anak-anak sekolah dasar berteriak tanpa rasa takut.

“Ompung…, siapa yang akan mati?”

“Ompung…, kok banyak orang yang akan mati?”

Keesokan harinya, penduduk desa di sekitar Desa Tanjung turut berdatangan. Mereka bukan melihat empat peti mati. Tapi tujuh! Enam ukuran dewasa, satu ukuran anak-anak. Mereka masuk hingga ke teras. Beberapa di antaranya menjamah peti mati itu. Ada yang memberanikan diri mengetok pintu sambil berteriak. “Ompung, malapetaka apa yang akan terjadi?” Tapi walau berulang kali diketok, tak ada yang membuka pintu. Mereka berkeliling sambil mencoba mengintip dari celah jendela. Mengetok pintu belakang. Mencoba mendorong daun pintu. Terkunci.

Tiba-tiba ada yang berteriak lantang, “Ompung, jangan biarkan semua ini terjadi!!” Lalu ia menjamah peti mati itu berulang kali. Beberapa tangan lain ikut menjamah. Mengelus. Mereka seolah merasakan peti mati itu ditujukan bagi dirinya. Dada berdebar-debar. Hanya orang-orang tertentu yang mendapat kesempatan untuk menjamah peti mati dirinya sendiri!

Tiga hari kemudian, sebuah minibus bertabrakan dengan mobil bak terbuka di tikungan di batas desa. Sopir dan dua penumpang mobil bak terbuka-mobil yang tak berhidung itu-yang duduk di depan, terjepit di joknya. Beberapa penumpang yang duduk di bak terpelanting ke luar. Sedangkan minibus itu terbalik-balik membentur cadas, dan akhirnya terbakar di dasar lembah. Penduduk bergotong royong mengumpulkan sosok-sosok mayat yang hangus terbakar.

Di atas jalan, jerit tangis kesakitan seolah merobek telinga yang mendengarnya. Memilukan. Hanya linggis yang dipergunakan untuk melepaskan tiga penumpangnya dari jepitan pelat besi dan rangka mobil.

Di dasar lembah, setelah semua sosok mayat dikumpulkan, penduduk desa saling pandang. Terpana. Tanpa bicara, mereka menghitung lagi di dalam hati. Hanya ada lima! Satu di antaranya sosok anak kecil! Mereka mulai bekerja kembali, mencari di bagian yang mungkin terlewatkan. Tebing bekas mobil terbalik-balik disusuri sekali lagi. Tapi tidak ada lagi ditemukan sosok mayat. Tapi lima! Semua penumpang minibus terbakar.

Di sebuah puskesmas di kabupaten, isak tangis tiada henti. Sesekali terdengar jerit tangis korban yang kesakitan, ditimpali tangis keluarga yang mendampinginya. Sangat sulit membedakan tangis kesakitan dan tangis ketakutan. Takut kehilangan! Peringatan untuk “menunggu di luar” tidak digubris. Keluarga korban ingin memanfaatkan waktu yang tersisa untuk memperlihatkan rasa sayangnya. Elusan di dahi dan kecupan di pipi korban seolah masih belum cukup untuk menunjukkan rasa cinta. Di wajah mereka tersirat keputusasaan. Mereka telah mendengar; hanya ada lima sosok mayat di dasar lembah. Berarti dua lagi akan menyusul dari ruangan ini, kata hati mereka. Siapa? Keempat korban diselidiki dalam diam. Pemandangan mata berpindah-pindah. Pandangan mencuri-curi. Pikiran menduga-duga. Hati berkata-kata mengucap doa. Ah…, menunggu kematian orang yang dicintai ternyata jauh lebih menyakitkan daripada kematian itu sendiri!

Keesokan harinya, keenam korban diserahkan ke pihak keluarganya. Hampir tak ada kesulitan mengenali korban. Banyak penduduk desa yang saling mengenali satu sama lain. Semua sudah berada dalam peti mati. Lima jenazah dari dasar lembah, satu dari puskesmas. Dan satu peti mati masih tergeletak di teras rumah Ompung Mate!

Tabrakan itu telah seminggu berlalu. Pintu dan jendela rumah Ompung Mate masih tertutup. Penduduk desa yang melintas masih tetap menoleh. Orang-orang yang berjalan kaki tetap berhenti sejenak. Pengendara mobil tetap memperlambat laju kendaraannya. Di antara rombongan anak sekolah dasar masih tetap ada yang berteriak, “Ompung…, siapa yang akan mati?”

Beberapa orang anak sekolah dasar menuruni undukan tangga batu dan berjalan ke teras rumah Ompung Mate. Mengetok-ngetok pintu. Lalu mengintip dari lubang kunci dan celah jendela. Tapi tiba-tiba, hampir bersamaan, mereka serentak menutup hidung untuk mencegah bau yang menyengat. Mereka lari berhamburan meninggalkan teras sambil berteriak, “Bau bangkai!! Bau bangkai!!” Mereka belum menyadari bahwa Ompung Mate telah meninggal di atas sofanya beberapa hari yang lalu!

Menteng Metro, September 2003

Ompung: kakek atau nenek
Lapo tuak: kedai tuak
Andung-andung: ratapan diiringi kata-kata
Namarbaju: anak gadis


Timbul Nadeak

Gadis Kecil dan Perempuan yang Terluka

Gadis Kecil dan Perempuan yang Terluka


Aku terjaga lagi, Bunda, tubuhku terasa sangat dingin seperti patung marmer putih yang senantiasa Bunda cuci dengan hati-hati. Lantai yang biasanya dingin, malah menjalarkan rasa hangat. Aku menuju jendela besar, memandang keluar. Hanya tinggal satu lampu taman yang menyala di halaman, itu pun mengerjap seperti napas orang yang hampir mati. Malam seperti tersengal. Pepohonan di halaman dan gorden jendela seperti lelah. Rumput setinggi mata kaki tampak bergelombang. Sepertinya ada tubuh dari langit yang turun malam ini, bergulung di halaman itu. Lalu sebelum ia pergi, disempatkannya mengecup keningku, merayapkan dingin yang membuatku terbangun.

Aku kembali menuju tempat tidur setelah menutup merapikan gorden tersingkap. memeriksa lagi PR matematikku remang lampu halaman mengerjap lewat lubang ventilasi. Tidak berani kunyalakan lampu. Gelap, menurut banyak anak adalah dunia hantu. Tapi bagiku, gelaplah menyelamatkanku dari ketakutan. merasa nyaman dalam gelap. Aku seperti seekor cicak yang selalu diburu kakakku dengan pistol mainannya dan masuk di sela-sela perabot. selamat. Cicak itu dilindungi

Kenapa makhluk itu selalu mendatangiku ketika pagi harinya aku harus berhadapan dengan Bu Berta, Bunda? Ketika aku harus menunduk dan takut menatap matanya yang tajam dari balik kacamata bertangkai warna emas itu? Ketika aku kemudian tak bisa menjawab seluruh pertanyaannya. Aku menyusul teman-temanku yang lebih dulu menangis tersedu. Dan jika aku tidak bisa menjawabnya, maka aku pasti akan dibandingkan dengan kedua kakakku yang pernah sekolah di sana.

Pasti aku akan tetap terjaga sampai kemudian kudengar Yu Senik mengucurkan keran dari dapur. Sampai kemudian aku dengar seret langkahmu menuju ke kamarku, membukanya pelan, mencium keningku sambil membisikkan ucapan selamat pagi dan memintaku untuk bangun, segera bersiap ke sekolah. Aku pura-pura bangun dari tidur, mandi, sarapan bersama kedua kakakku yang riang dan segar. Aku akan terus-menerus dirundung galau sampai ketika di dalam kelas kudengar langkah sepatu tegas dari Bu Berta. Langkah yang membuat kami semua takut. Langkah yang membuat banyak orang kemudian menangis. Langkah yang pada akhirnya tetap memaksaku ikut juga menangis sekalipun telah banyak pertanyaan yang kujawab. Langkah yang jauh lebih menakutkan dibanding ketika aku harus memimpin lagu untuk menaikkan upacara bendera di Senin pagi.

Kenapa makhluk itu tidak datang ketika malam minggu, Bunda? Ketika esoknya aku bisa berdandan dengan pakaian dan pita rambut kesukaanku? Ketika aku dengan senyum girang belajar menyanyi di sekolah Minggu pagi? Mengapa ia tidak datang di malam seperti itu? Biar kemudian aku bisa menceritakannya kepada Bu Marta yang bersuara merdu itu, yang selalu sabar bertanya ketika ada wajah sedih anak didiknya, dan lalu kami diajari untuk membuka al-Kitab untuk menemukan ketenteraman di sana?

Siapakah makhluk yang selalu datang itu, Bunda? Apakah ia Ayah? Apakah ia bidadari di televisi yang selalu menolong anak kecil jika sedih? Tapi kenapa jika ia Ayah, aku tidak merasakan geli kumisnya, dan suaranya yang parau mengeluarkan bau rokok dari dalam mulutnya? Kenapa jika ia bidadari tidak pernah berusaha menolongku dari kegalakan Bu Berta tapi malah membuatku tidak bisa tidur?

Atau jangan-jangan ia hantu, Bunda? Tapi kalau hantu, seharusnya ia tidak mendatangiku. Bukankah aku sudah melakukan semua kata Bu Marta? Aku sudah berdoa kepada Tuhan sebelum tidur, seusai belajar. Bahkan aku selalu meletakkan rosario di samping kepalaku seperti yang dilakukan oleh banyak orang di film-film. Apakah aku seorang anak yang tidak baik? Aku mungkin agak jahat, Bunda… aku pernah berdoa agar Bu Berta suatu saat kecelakaan sehingga tidak ada lagi yang membuatku takut untuk pergi ke sekolah. Tapi teman-temanku yang lain berdoa lebih jahat pada Bu Berta, mereka banyak yang berdoa supaya Bu Berta lekas mati. Aku hanya berdoa supaya Bu Berta kecelakaan dan itu pun jangan terlalu parah asalkan Bu Berta bisa dipindah atau tidak mengajar di kelasku lagi.

Aku hanya berdoa jahat untuk satu orang. Perempuan yang membawa Ayah pergi. Hanya itu, Bunda. Dan bukankah kedua kakakku juga berdoa hal yang sama, sekalipun Bunda selalu berpesan agar kami tidak boleh membenci Ayah dan perempuan itu? Tapi kenapa hanya aku, Bunda? Kenapa? Apakah ia tidak suka padaku? Kenapa ia tidak suka padaku?

Apakah makhluk itu tidak suka pada gadis kecil yang suka memberikan seluruh coklat dan pudingnya ke teman-temannya? Apakah gadis kecil yang seperti itu berarti berkhianat pada Bunda-nya sebab Bunda telah bersusah payah mempersiapkan bekal untukku? Tapi aku tidak begitu suka puding dan coklat, Bunda. Lagi pula, aku memberikannya pada anak- anak yang baik. Aku membagikannya selalu untuk Lita, Mona, dan Anton. Kasihan Lita, Bunda. Papa Lita beberapa bulan yang lalu meninggal dunia. Mona juga kasihan, ia sering menangis karena tidak bisa menjawab pertanyaan dan tidak bisa mengerjakan PR. Mona memang agak bodoh, Bunda, tapi dia pintar menyanyi. Dia selalu di depan barisan dan ketika aku memimpin lagu mengiringi bendera, selalu merasa lebih aman jika melihat wajah Mona di depan. Suaranya keras dan merdu, membuat semua suara juga ikut merdu. Dan Anton, ia tidak pernah dapat uang saku dan bekal dari ibunya, padahal Anton selalu terlihat lelah apalagi seusai berolahraga atau selesai memimpin upacara bendera. Aku tidak pernah memberikan bekal itu kepada Mirna, Bulan, dan Johan. Mereka kaya dan sombong.

Apakah Tuhan mengirim makhluk itu karena aku tidak pernah mau memakan bekalku? Tapi Bu Marta bilang, Tuhan sayang sama anak yang suka membagikan makanan dan mainannya.

Mungkin Tuhan mengirim makhluk itu karena aku tidak adil, Bunda. Tapi bekalku tidak cukup untuk kubagikan pada semua teman sekelasku. Lagi pula, banyak di antara teman- temanku yang bekalnya enak dan banyak. Apakah aku harus memberi mereka juga, sekalipun sedikit? Jangan-jangan mereka malah tidak memakannya, sebab sering kulihat mereka membuang makanan mereka sendiri di tempat sampah. Apakah aku juga harus membagikan bekalku untuk Mirna, Bulan, dan Johan? Tapi mereka sombong, Bunda. Bukankah Tuhan tidak suka pada orang yang sombong? Jangan-jangan kalau aku memberikan bekalku ke mereka, aku juga ikut-ikutan dibenci Tuhan. Aku takut ada makhluk lain yang datang, Bunda. Makhluk yang semakin banyak dan membuatku semakin tidak bisa tidur hanya gara-gara aku membagikan makananku pada anak-anak yang kaya dan sombong.

Bunda, apakah jika Ayah tinggal di rumah ini, makhluk itu akan tetap berani datang?

Bunda, kenapa ada orang yang jahat seperti Bu Berta dan perempuan yang membawa pergi Ayah, tapi juga ada orang yang baik seperti Bunda dan Bu Marta? Apakah perempuan yang membawa pergi Ayah rajin ke gereja? Ah, tapi Bu Berta rajin ke gereja, Bunda. Malah ia sering duduk paling depan dan aku sering mencuri pandang ke wajahnya ketika aku menyanyi di barisan depan bersama regu koor. Bu Berta sering menangis ketika menyanyikan Madah Bakti. Jika aku melihat seperti itu, aku berharap besoknya Bu Berta akan baik dan tidak lagi gampang marah. Tapi ternyata Bu Berta tetap galak. Apakah galak itu termasuk jahat, Bunda? Apakah orang yang galak juga dibenci Tuhan? Mmmm… galak itu dilarang di al-Kitab atau tidak, sih, Bunda?

Kalau Ayah, disayang Tuhan atau dibenci Tuhan, Bunda? Ayah jahat karena meninggalkan kita, dan pergi dengan perempuan lain. Tapi ayah juga baik karena ia selalu membawakan mainan dan memberi uang. Mungkin kadang-kadang Tuhan sayang dan kadang-kadang Tuhan tidak sayang sama Ayah.

Ah, Yu Senik sudah mengucurkan keran air. Aku segera menarik selimut, pura-pura tidur. Tidak lama lagi, Bunda pasti akan membangunkanku.

Entah mengapa, setiap kali aku melihat wajah-wajah anak Arman, aku selalu tidak bisa menepis kebencian yang kadang menyergap. Kebencian yang berumur cukup tua, hampir setua pengalamanku mengajar di sekolah ini. Di kelas-kelas yang lain, yang tidak ada wajah anak-anak Arman, aku selalu menjadi guru yang baik dan disayang murid-muridku. Selalu saja kucari alasan untuk marah dan membuat mereka, anak-anak Arman tersedu, menangis penuh ketakutan. Aku tahu itu salah. Aku tahu itu tidak adil. Anak-anak itu tidak tahu kesalahan orangtua mereka. Anak-anak itu juga pintar-pintar dan baik apalagi anak terkecil Arman. Tapi selalu saja aku tidak bisa menghindari dari rasa marah yang kuat. Aku selalu menjadi siksaan bagi ketiga anak Arman dan murid-murid sekelas mereka yang lain. Aku adalah kutukan bagi mereka.

Dila, anak terkecil Arman, sekarang duduk di kelas lima. Dulu, kakak-kakak mereka juga sekolah di sini. Tapi di antara anak-anak Arman yang sekolah di sini, Dila-lah yang cukup menyiksaku. Ia anak yang paling pintar dan baik. Ia selalu benar mengerjakan soal-soal yang kuberikan dan menyelesaikan dengan baik pekerjaan rumahnya. Aku terpaksa membuat banyak anak menangis lebih dahulu untuk Dila bisa menangis. Jika pekerjaan rumahku dikerjakan dengan baik, aku akan memberikan soal-soal yang sulit. Tapi jika itu juga dikerjakan dengan baik, aku akan memberikan yang lebih sulit lagi, sampai hampir semua anak tidak bisa mengerjakannya, sampai Dila juga tidak bisa mengerjakannya. Pada saat itulah aku menumpahkan sedikit kesal dan marahku pada Dila. Aku membanding-bandingkannya dengan kedua kakaknya, yang sebetulnya juga dulu sering kumarahi.

Tapi setelah semua berakhir, ketika lonceng pergantian jam pelajaran maupun lonceng akhir berbunyi, aku selalu merasa menyesal. Dila gadis kecil yang baik. Ia memimpin lagu untuk upacara bendera dengan baik, ia menjadi anggota regu koor di gereja. Bahkan sering kali kulihat dari jauh, dari kantorku, Dila membagi-bagikan makanannya untuk teman-temannya.

Tapi Arman dan ibunya Dila telah menghancurkan hidupku. Mereka berdua telah membuat hari-hariku menjadi suram dan penuh siksaan. Mereka berdua telah menanam tunas kesengsaraan yang terus tumbuh dan tidak pernah mati. Arman mengkhianati cinta suciku, dan lari menikah dengan ibunya Dila. Dari mereka berdua, lahirlah tiga anak yang ikut menuai amarah yang ditanam kedua orangtua mereka. Arman dan istrinya telah membuat seorang hamba Tuhan sepertiku menjadi pendendam yang tak punya belas-kasihan.

Hidupku benar-benar mencekam apalagi jika esok harinya aku tahu, aku akan mengajar Dila. Tidurku selalu tidak pernah nyenyak, dan di antara rasa tidur dan terjaga itu, aku merasa memasuki pagar rumah Arman, menumpahkan seluruh rasa marah yang terpendam di halaman rumahnya. Lalu dari gorden yang tersingkap, dari sebuah ruang yang agak remang, aku melihat wajah Dila yang terlelap. Perlahan aku menghampirinya, membuka gorden agar wajah Dila semakin jelas kulihat bantuan lampu taman yang mengerjab. Wajah damai yang bersinar lembut, wajah yang aman dari rasa keji. Aku melihat buku yang tergeletak dan masih terbuka di meja kecilnya. Ia telah mengerjakan pekerjaan rumah dariku dengan tekun dan keras. Aku melihat rosario yang tergeletak di samping kepalanya. Ia tidak bisa menahan rasa haru. Aku mengecup penuh sesal kening Dila. Begitu aku terjaga dari keadaan yang terjadi antara tidur dan sadar, aku termangu. Air mataku keluar seperti air mata yang selalu keluar jika aku menyanyikan Madah Bakti, sementara di depanku kulihat Dila menyanyikan lagu tersebut dengan khusyuk dan ikhlas. Aku terjaga sampai pagi, sampai kemudian aku tetap tidak bisa menahan marahku jika menemuinya di kelas. Rasa yang akan membuatnya selalu menangis lagi.

Tuhan, jauhkanlah aku dari dosa dan dendam yang terkutuk itu. Jauhkan aku dari rasa marah yang keji itu. Setidaknya jauhkan aku dari rasa marah kepada Dila.

Bunda, hari ini aku merasakan Tuhan mulai memperlihatkan rasa sayang-Nya. Bu Berta hari ini tidak marah. Ia sangat baik. Bahkan ia menitip salam untuk Bunda. Akhirnya Tuhan memberiku yang terbaik. Tuhan memang tidak membuat Bu Berta kecelakaan, tapi Ia membuat Bu Berta berubah. Benar kata Bu Marta, Tuhan selalu memberi yang terbaik jika kita rajin berdoa dan percaya bahwa Tuhan mendengar doa kita. Aku tidak yakin Bu Berta akan baik lagi besok, tapi aku akan semakin rajin berdoa dan yakin Tuhan akan mengabulkan doaku. Aku tidak akan berdoa Bu Berta kecelakaan. Aku akan berdoa Bu Berta berubah menjadi baik seperti hari ini. Pasti Tuhan suka dengan doa yang seperti ini, doaku yang tidak jahat.

Aku baru tahu dari temanku, ibunya Dila telah lama ditinggalkan suaminya. Arman lari dengan perempuan lagi. Kali ini rasa sesal kembali menikam berlipat kali. Aku telah berdosa pada anak-anak baik yang menderita. Tuhan. Maafkanlah aku. Dan hari ini, Aku cukup bahagia. Dila tidak lagi menangis tersedu. Dendam itu telah lenyap tanpa bekas. Ah betapa hinanya aku telah melukai anak Tuhan yang baik dan sedang menderita. Dila, maafkanlah aku.


Puthut EA

Seperti Gerimis yang Meruncing Merah

Seperti Gerimis yang Meruncing Merah



Kau tak akan pernah membayangkan betapa gerimis November bakal seruncing ini, Hindun. Kau tak akan pernah tahu suara beduk magrib pada Ramadhan terakhir teramat mengiris dan takbir menjelang Lebaran itu mengingatkanku pada ketololanmu memaknai bendera-bendera kemenangan yang terpancang di langit Uhud.

Tentu saat itu gerimis tak sedang mendera medan perang yang riuh oleh denting pedang atau tombak yang sedang beradu. Tentu kilat juga tak sedang menyambar-nyambar di keriuhan ringkik kuda dan debu-debu yang beterbangan seperti abu. Namun, siapa pun tahu, serupa gerimis, anak panah-anak panah dari busur-busur buta itu kian mendesing, mengabaikan jerit, mengabaikan mayat-mayat yang telah mengonggok di bukit berbatu.

Dan kau, Hindun, mengapa masih mengasah pedang juga? Mengapa pada saat tak ada burung-burung ababil melintas di atas kuburan kau tetap mengenang pertempuran sengit di Jabal Uhud itu? Bukankah telah kau hentikan segala puasa dan sakit yang mengharu-biru?

Sudah kuduga kau mengabaikan teriakan parauku. Bersama kaum Quraisy-wahai pahlawan-pahlawan kencanaku-kau bergegas menghitung dan mencari orang-orang yang gugur dalam perang besar itu. Aha! Kuhitung 55 tentara Nabi telah tewas, sedang pasukan Quraisy cuma 22 orang. Ini jelas kemenangan tak terperi. Kemenangan terindah setelah jauh sebelumnya, kudengar suara Ibnu Qami’ah berteriak membelah gurun, ‘”Muhammad sudah mati! Muhammad sudah pergi!”

Perang memang hampir usai. Namun, sungguh aneh, gelegar kabar kematian itu tak membuat wajahmu melesatkan harum cahaya minyak zaitun. Kau seperti tak percaya betapa Nabi gampang ditaklukkan, betapa pedang Ibnu Qami’ah bisa melukai pelipis, dan membuat Muhammad tersungkur ke tanah.

Aku memang bodoh. Pada saat-saat semacam itu, seharusnya aku tak perlu mengusik hatimu, hati perempuan cantik yang haus darah itu. Toh kau lebih terpesona pada Wahsyi, pemuda Abyssinia, yang telah berhasil menancapkan tombaknya ke tubuh Hamzah. Toh Muhammad mati atau tak matitak mengubahwajahmu menjadisemanis kurmaajwa.

Dan, kulihat kau tertawa terbahak-bahak setelah tahu Wahsyi menyobek perut Hamzah dan mengeluarkan hati Sang Singa Gurun. Ya, wajahmu pun bercahaya ketika menatap Wahsyi hendak menyerahkan hati berlepotan darah itu kepadamu.

“Kau lihat, Hindun, aku telah membunuh jagoan yang membunuh ayahmu!”

“Ya, dan kau pasti tahu apa yang akan kuhadiahkan kepadamu. Milikilah seluruh rampasan perangku. Hiduplah bahagia setelah didera kesakitan yang tak kunjung habis.”

Wahsyi tersenyum. Dadanya membusung.

“Apakah harus kuserahkan hati ini kepadamu?” ujar pria perkasa itu.

Tak menjawab pertanyaan bodoh itu, kau langsung merampas hati Hamzah dari genggaman tangan terlena. Dan sungguh di luar dugaan, dengan gigi bertaring runcing kau menggigit, mengunyah, dan rakus menelan sepotong daging kenyal yang masih menyisakan darah segar itu. “Inilah sumpahku, Wahsyi! Aku tak akan puasa lagi. Selesailahperangku! Lihatlah,aku sepertiterlahir kembali.”

Dan tak salah jika siapa pun menyangka aku tak mampu menghentikan gelegak tawa kemenangan yang menguar dari bibirmu yang bergincu darah itu. Setelah puas mencabik-cabik jasad Hamzah, kau bahkan meloncat ke sebongkah batu dan melantunkan lagu-lagu perang yang menganyirkan seluruh gurun, seluruh bukit yang menjulang.

Memang Hamzah telah gugur. Namun, kau keliru kalau menganggap Muhammad telah binasa. Dan aku tahu semua peristiwa yang tak kauketahui. Sebab, setelah kau mengabaikan segala pertanyaanku, aku terbang melesat ke ruang yang lain, ke waktu yang lain. Karena itu, aku tahu betapa setelah orang-orang Quraisy terlena oleh kemenangan sesaat, kesadaran Nabi berangsur-angsur pulih. Dan itu berarti kau harus terus-menerus menggelorakan semangat orang-orang Quraisy untuk berperang, menancapkan tombak ke dada orang-orang mukmin, menusukkan pedang ke perut pasukan berhati lembut, dan mengasah amarah lagi.

Kusangka setelah abad demi abad lewat, setelah kulupakan angin November yang perih, tak akan kutemui lagi perempuan perkasa sekeras dan setolol kamu, Hindun. Nyatanya, di kota ini-tempat malaikat gampang diledek dan dianggap sebagai pria kencana yang gampang dicumbu pria lain-kau muncul lagi.

Mungkin kau bukan Hindun yang dulu. Mungkin kau hanya bayang-bayang kabur yang cepat memudar. Namun, lihatlah, sebagaimana Hindun, setiap hari kau mengasah dendam, mengasah amarah untuk sesuatu yang hampa, untuk sesuatu yang tiada guna.

“Sia-sia? Tak ada yang sia-sia. Pembalasan atas kematian anakku kau anggap sebagai sesuatu yang sia-sia?” katamu, sambil mengenang kota yang terbakar dan pria-pria serigala yang tak henti-henti merobek-robek gaun malam setiap perempuan gading yang melintas di jalanan.

“Tapi masa-masa kesedihan telah lewat, Hindun. Lagi pula buat apa kau puasa sepanjang waktu jika menjelang Lebaran, kau justru…,” kataku, setelah sebelumnya aku mengubah diri menjadi Rosa, teman sekantormu.

“Justru apa? Enak benar pemerkosa anakku kalau dibiarkan hidup. Sudahlah, jangan berlagak seperti malaikat. Khotbah macam apa pun tak menghentikan dendamku, Rosa. Bahkan, jika kau malaikat pun, aku tak akan peduli pada segala nasihat bodohmu. Yang jelas, pria itu harus mati.”

Oo, hampir saja aku mengaku siapa sesungguhnya diriku, Hindun. Namun, kupikir kau belum perlu tahu siapa aku dan mengapa aku sangat berhasrat menghalangi perbuatan bodohmu. Karena itu, kubiarkan kamu mencerocos lagi, kubiarkan saat takbir mendera malam, kau terus-menerus mengasah samurai dan kebencian.

“Setelah melewati hari-hari yang melelahkan, akhirnya aku tahu siapa yang memerkosa dan membunuh anakku, Rosa. Bukan orang jauh. Bukan pria-pria serigala yang membakar hampir seluruh kota ini.”

“Lantas siapa?” aku pura-pura bertanya, sekalipun sesungguhnya aku sangat tahu siapa serigala busuk-pria sangat indah-yang dia maksud itu.

“Kau pasti terkejut, Rosa. Kau pasti tak menyangka….”

“Siapa?” aku berpura-pura lagi sambil melihat perubahan wajah Hindun yang kian menegang.

“Dia anakku sendiri, Rosa. Dia… Hamzah!” teriakmu sambil bergegas meninggalkan aku, mengambil samurai, dan melesat ke kuburan.

Ya, ke kuburan-tempat jasad putri terkasih disemayamkan. Tentu tak kubiarkan kau melesat sendirian. Tentu tak kubiarkan kau bersembunyi di semak-semak menanti Hamzah menunduk pasrah di atas pusara adik semata wayang.

Hindun! Hindun! Sungguh, mengapa kau ingin mengulang pembantaian tanpa guna itu? Mengapa tak kaubiarkan gerimis November meruncing tanpa melukai siapa pun?

Tidak! Tidak! Ini tak bisa kubiarkan. Hamzah harus diselamatkan. Aku akan terbang dengan sepasang sayap indahku dan menghalang-halangi pria pujaanku itu menyerahkan nyawanya untuk kematian yang tiada guna.

Dan kau, Hindun, kau mungkin ingin bertanya: mengapa Hamzah harus diselamatkan? Kau pasti ingin berkata: mengapa kau kularang untuk memenggal kepala Hamzah? Hamzah adalah kekasih pujaanku. Sejak kecil dia memang kudidik untuk menjadi pria yang abai pada nasihat seorang ibu. Kau memang melahirkan pria perkasa itu. Namun, perutmu hanya kupinjam untuk membiakkan manusia busuk.

Maka, sejak kecil telah kusematkan di otak Hamzah segala keinginan-keinginan buruk. Mula-mula kukatakan kepada Hamzah betapa Nur, putri terkasihmu yang telah terbunuh itu, bukanlah adik kandungnya. Kukatakan kepada Hamzah, Nur adalah putri pelacur yang kautemukan di tong sampah saat dia lahir. Dan Hamzah percaya justru ketika dia kian menyelam ke keindahan tubuh dan paras adiknya.

Maka, ketika kota ini diamuk oleh kerusuhan dan hampir semua perempuan berkulit kuning gading diperkosa beramai- ramai oleh para zombi bayaran, kubisikkan kata-kata busuk ke telinga Hamzah.

“Ayo, Hamzah! Kapan lagi, kalau tak sekarang!” sambil mengenang arwah Hamzah lain yang kupastikan berusaha menghalang-halangiku, kalau Sang Singa Gurun itu masih hidup.

Mula-mula dia agak ragu. Namun, karena tak menutup telinga untuk kata-kata busukku, segalanya pun akhirnya terjadi. Dia menyeret Nur ke ujung lorong. Nur menolak. Nur mencoba melepaskan diri dari dekapan dan amuk alkohol di mulut Hamzah.

Pada saat semacam itu, Hamzah sebenarnya ingin menyarungkan kembali nafsu busuknya. Namun, aku bergegas menyusup ke dalam jiwanya. Kupompa berahinya. Kupompa amarahnya. Kukuatkan cengkeraman tangan Hamzah ke leher Nur yang kian tak mampu mengembuskan napasnya.

Dan setelah segalanya terjadi, aku terbang dan menyatu dengan asap yang mengepung kota ini. Aku lihat Hamzah termangu-mangu. Aku lihat dia menyesali perbuatan busuknya.

“Jangan pernah menyesal, Hamzah. Jangan pernah menyesal! Larilah! larilah sejauh yang bisa kautempuh!” kudesiskan kata-kata itu dan dia menurut.

Ya, dia menuruti semua perintahku, paling tidak sampai beberapa tahun lamanya. Sayang, pada akhirnya dia tak mampu memenuhi seluruh permintaanku. Dan menjelang Lebaran ini dia menelepon kamu bukan? Menjelang Lebaran ini, dia katakan seluruh perbuatan busuknya kepadamu, bukan?

Maka, sebenarnya aku pun tahu, Hindun. Malam ini, saat takbir mengumandang, dia akan pulang. Dia akan mengunjungi pusara Nur sebelum bersimpuh di kakimu, di kaki seorang ibu yang sejak dulu diabaikan.

Maka jika bisa melesat mengikuti kecepatan gerakanku, kau bisa melihat bagaimana aku menghalang-halangi Hamzah agar mengurungkan niatnya mengunjungi pusara Nur dan menemuimu. Dan di stasiun itu, tentu aku sudah mengubah diriku menjadi dirimu. Menjadi Hindun yang lembut hati. Menjadi Hindun yang tak mengasah samurai untuk membunuh putranya sendiri.

“Jangan pulang, Hamzah. Aku sudah menceritakan perbuatanmu kepada Rosa. Dia tentu bercerita kepada orang sekampung dan mereka akan membantaimu,” kataku setelah dia turun dari kereta, setelah dari masjid terdekat takbir mengumandang dan melukaiku.

Hamzah hanya tertunduk. Dia tak berani memandangku.

“Pergilah lagi ke mana pun, ke tempat yang tak memungkinkan orang-orang kota ini menjangkau tubuhmu.”

Hamzah masih tetap menunduk. Meski demikian, dia mulai berani mendesiskan kata-kata yang tak kuduga bisa melesat dari bibirnya yang kian rapuh.

“Hari ini hari penuh ampunan, Ibu. Tak seorang pun akan mengotori dirinya dengan perbuatan busuk. Izinkan aku mengunjungi pusara adikku. Izinkan aku tersungkur dan menangis di keheningan makam itu.”

“Jangan, Hamzah!” teriakku, “Kau tak boleh selemah itu.”

Hamzah kian tafakur. Dia mulai menangis.

“Sudahlah, Ibu, bukankah semua orang telah melupakan peristiwa itu. Kalau pun pada akhirnya akan ada yang membunuhku, aku sudah siap, Ibu. Mungkin kematianku akan….”

“Akan apa? Kau tak boleh mati. Aku tak ingin kehilangan kedua anakku. Aku tak ingin kehilangan kamu,” aku berpura-pura meledakkan tangis.

Rupa-rupanya tangis itu tak ada gunanya. Hamzah berpaling dan dia meninggalkanku.

Apakah di kuburan kau juga menangis, Hindun? Apakah sambil mengasah kebencian kau juga merasa bakal kehilangan anakmu?

Kini mengertilah, Hindun, aku memang setan. Namun, aku pun bisa punya rasa kehilangan yang mendalam. Dan, Hamzah adalah putra pujaanku. Aku tak mau kehilangan dia. Aku tak ingin kau membunuh dirinya. Aku tak ingin sebagaimana Hindun yang lain kau menyerupai, bahkan melebihi kekejamanku.

Tapi rupa-rupanya lengking takbir kian melukaiku dan gerimis abai pada segala teriakanku. Mungkinkah gerimis itu telah bercampur dengan darah Hamzah? Mungkinkah kau telah menebas leher putramu, membedah perut, mengambil hati, dan menggigit daging kenyal itu sambil meneriakkan kemenangan? Mungkinkah Hamzah rebah dan kepalanya membentur nisan Nur yang meruncing menunggu kematian laki-laki yang paling kaulaknat? Apakah sebagaimana Hindun, perempuan perkasa itu, kau akan akan bilang, “Telah kubunuh musuh sejati. Telah kuakhiri puasa panjangku dan aku tak akan menangis lagi.” Tak mungkin lagi kujawab pertanyaan itu. Takbir itu kian merontokkan sayapku. Aku tak bisa terbang. Aku tak bisa melesat ke kuburan dan membunuh amarah agungmu. Tapi, Hindun, mengapa harus Hamzah lagi? Mengapa harus dia lagi? Mengapa tak kaurasakan gerimis November kian meruncing merah dan menyakiti?

Semarang, 11 November 2003

Catatan:

1) Ajwa adalah kurma yang konon ditanam oleh Nabi untuk disantap saat berbuka puasa. Buah itu diyakini sebagai kurma paling dianggap berkhasiat di antara puluhan jenis kurma lain.

2) Bagian kisah ini bertolak dari film The Message yang antara lain dibintangi Anthony Quinn dan Irine Papas serta buku Muhammad karya Matin Lings.

3) Setan, paling tidak menurut buku Biografi Setan karya Dr Ahmad Skr, dapat bepergian ke mana saja di dunia ini. Waktu yang dibutuhkan hanyalah beberapa detik saja. Kaki kirinya siap melayani atau di tangan kita, sedangkan kaki kanannya ada di cakrawala. Dia bisa tampil dalam wujud manusia atau apa saja. Ia meruang dan mewaktu di mana dan kapan pun.

4) Frasa “meruncing merah”, saya adopsi dari ungkapan “Ada sepasang bukit, meruncing merah/dari tanah padang-padang yang tengadah” dalam sajak “Di Muka Jendela” pada antologi Goenawan Mohamad, Sajak-sajak Lengkap 1961-2001.



Triyanto Triwikromo

Rembulan dalam Cappuccino

Rembulan dalam Cappuccino



Seminggu setelah perceraiannya, perempuan itu memasuki sebuah kafe, dan memesan Rembulan dalam Cappuccino. Ia datang bersama senja, dan ia harus menunggu malam tiba untuk mendapatkan pesanannya.

Cappuccino¹ dalam lautan berwarna coklat, datang langsung dari tercemplung cangkir, tenggelam sebentar, tapi lantas pingpong-tapi bukan bola pingpong, ini rembulan. Semua orang berada dalam kafe diam-diam melangkah keluar, menengok ke langit, ingin membuktikan dengan mata kepala sendiri bahwa terapung-apung cangkir perempuan sebenarnya, seperti telah pelajari semenjak di sekolah dasar, yakni yang tiada pernah mereka saksikan sisi gelapnya, dan rembulan itu memang sudah tidak ada.

Mereka bergumam, tapi tidak menjadi gempar, bahkan pura-pura seperti tidak terpengaruh sama sekali. Mereka kembali duduk, berbincang dengan bahasa yang beradab, namun diam-diam melirik, seperti kepalsuan yang telah biasa mereka peragakan selama ini. Para pelayan yang berbaju putih lengan panjang, mengenakan rompi, berdasi kupu-kupu, dan rambutnya tersisir rapi diam-diam juga memperhatikan. Semenjak kafe itu berdiri sepuluh tahun lalu, baru kali ini ada yang memesan Rembulan dalam Cappuccino. Kafe itu memang menyediakannya, dan minuman itu memang hanya bisa dipesan satu kali, karena rembulan memang hanya satu.

“Rembulan dalam Cappuccino, satu!” Teriak pelayan ke dapur, dan kepala bagian dapur memijit-mijit nomor hp, seolah-olah ada persiapan khusus.

“Akhirnya tiba juga pesanan ini,” katanya, “aku sudah bosan melihatnya di daftar menu tanpa pernah ada yang pesan.”

Kepala dapur itu bicara dengan entah siapa melalui hp.

“Iyalah, turunin aja, sudah tidak ada lagi yang membutuhkan rembulan.”

Perempuan itu bukan tidak tahu kalau orang-orang memperhatikannya. Apakah perempuan itu akan memakan rembulan itu, menyendoknya sedikit demi sedikit seperti menyendok es krim, ataukah akan menelannya begitu saja seperti Dewa Waktu menelan matahari?

Ia memperhatikan rembulan yang terapung-apung di cangkirnya, permukaan cappuccino masih dipenuhi busa putih, seperti pemandangan Kutub Utara-tapi cappuccino itu panas, bagaikan masih mendidih. Ia senang dengan penampakan itu, dingin tapi panas, panas tapi dingin, segala sesuatu tidak selalu seperti tampaknya.

Seminggu kemudian, seorang lelaki memasuki kafe itu, dan memesan minuman yang sama.

“Rembulan dalam Cappuccino,” katanya.

Para pelayan saling berpandangan.

“Oh, minuman itu sudah tidak lagi ada Tuan, seorang perempuan telah memesannya minggu lalu.”

Lelaki itu terpana.

“Apakah Tuan tidak memperhatikan, sudah tidak ada rembulan lagi dalam seminggu ini?”

Lelaki itu tersentak.

“Seorang perempuan? Istri saya? Eh, maaf, bekas istri saya?”

Para pelayan saling berpandangan. Salah seorang pelayan menjelaskan ciri-ciri perempuan yang telah memesan Rembulan dalam Cappuccino itu.

“Ah, pasti dia! Dasar! Apa sih yang tidak ingin ditelannya dari dunia ini? Apakah dia makan rembulan itu?”

Para pelayan saling berpandangan lagi.

“Tidak Tuan…”

“Jadi?”

“Kalau memang perempuan itu istri Tuan…”

“Bekas….”

“Maaf, bekas istri Tuan, mungkin Tuan masih bisa mendapatkan rembulan itu.”

“Maksudmu?”

“Dia tidak memakannya Tuan, dia minta rembulan itu dibungkus.”

“Dibungkus?”

“Ya Tuan, ia tidak menyentuhnya sama sekali, hanya memandanginya saja berjam-jam.”

Para pelayan di kafe itu teringat, betapa perempuan itu mengaduk-aduk Rembulan dalam Cappuccino, bahkan menyeruput cappuccino itu sedikit-sedikit, tapi tidak menyentuh rembulan itu sama sekali. Perempuan itu hanya memandanginya saja berlama-lama, sambil sesekali mengusap air mata.

Mereka ingat, perempuan itu masih di sana dengan air mata bercucuran, dan masih tetap di sana, kebetulan di tempat sekarang lelaki itu duduk, sampai tamu-tamu di kafe itu habis menjelang dini hari.

Kemudian dia meminta rembulan itu dibungkus. Ketika dibungkus, rembulan sebesar bola pingpong yang semula terapung-apung di dalam cangkir itu berubah menjadi sebesar bola basket.

Itulah sebabnya kepala dapur meminta agar pencoretan Rembulan dalam Cappuccino dari daftar menu ditunda.

“Rembulan itu belum hilang,” katanya, “siapa tahu perempuan itu mengembalikannya.”

Lelaki itu memandang pelayan yang berkisah dengan seru. Ia baru sadar semua orang memandang ke arahnya. Ketika ia menoleh, tamu-tamu lain itu segera berpura-pura tidak peduli, padahal penasaran sekali.

“Kalau dia muncul lagi, tolong katakan saya juga mau rembulan itu.”

“Ya Tuan.”

Lelaki itu melangkah pergi, tapi sempat berbalik sebentar.

“Dan tolong jangan panggil saya Tuan,” katanya, “seperti main drama saja.”

Padahal ia sangat menikmati perlakuan itu-seperti yang dilakukan bekas istrinya sebelum mereka berpisah.

Tiada rembulan di langit. Tidak pernah terbayangkan akan terjadi betapa tiada lagi rembulan di langit malam. Namun di kota cahaya, siapakah yang masih peduli rembulan itu ada atau tidak?

“Yang masih peduli hanyalah orang- orang romantis,” kata perempuan itu kepada dirinya sendiri.

“Atau pura-pura romantis,” katanya lagi.

Dia berada di suatu tempat tanpa cahaya, kelam, begitu kelam, seperti ditenggelamkan malam, sehingga bintang-bintang yang bertaburan tampak jelas, terlalu jelas, seperti peta dengan nama-nama kota. Perempuan itu belum lupa, apalah artinya nasib satu manusia di tengah semesta, nasib yang sebetulnya jamak pula dialami siapa pun jua di muka bumi yang sebesar merica.

Namun, ia merasa bagaikan kiamat sudah tiba. Agak malu juga sebetulnya.

Banyak orang lain harus hidup dengan gambaran bagaimana ayahnya diambil dari rumahnya di tengah malam buta. Digelandang dan diarak sepanjang kota sebelum akhirnya disabet lehernya dengan celurit sehingga kepalanya menggelinding di jalanan dan darahnya menyembur ke atas seperti air mancur deras sekali sampai menciprati orang-orang yang mengaraknya itu. Tidak sedikit orang yang hidup dengan kutukan betapa ibunya telah menjadi setan jalang yang memotong-motong alat kelamin lelaki sambil menyanyi dan menari, dan karena itu berhak disiksa dan diperkosa, padahal semua itu merupakan kebohongan terbesar di muka bumi. Hidup ini bisa begitu buruk bagi orang baik-baik meskipuntidak mempunyaikesalahan samasekali. Tanpa pembelaan sama sekali.² Tanpa pembelaan. Tanpa…

Langit malam tanpa rembulan. Ada yang terasa hilang memang. Tapi selebihnya baik-baik saja. Tentu kini hanya bisa dibayangkannya bagaimana rembulan itu seperti perahu yang membawa kelinci pada malam hari dan mendarat di Pulau Jawa. Namun, tidakkah manusia lebih banyak hidup dalam kepalanya daripada dalam dunia di luar batok kepalanya itu? Apabila dunia kiamat, dan tidak ada sesuatu lagi kecuali dirinya sendiri entah di mana, ia bahkan masih memiliki sebuah dunia di dalam kepalanya. Tanpa rembulan di langit ia bisa melihat rembulan seperti perahu membawa kelinci yang mendarat di Pulau Jawa.³

Rembulan itu berada di punggungnya sekarang, terbungkus dan tersimpan dalam ransel-apakah ia berikan saja kepada bekas suaminya, yang diketahuinya selalu bercita-cita memesan Rembulan dalam Cappuccino? Kalau mau kan banyak cappuccino instant di lemari dapur (ia lebih tahu tempat itu daripada suaminya) dan meski rembulan di punggungnya sekarang sebesar bola basket, nanti kalau mau dimasukkan cangkir akan menyesuaikan diri menjadi sebesar bola pingpong. Dia dan bekas suaminya sebetulnya sama-sama tahu betul hukum rembulan itu, tapi itu cerita masa lalu- sekarang ia berada di sebuah jembatan dan sedang berpikir, apakah akan dibuangnya saja rembulan itu ke sungai, seperti membuang suatu masalah agar pergi menjauh selamanya dan tidak pernah kembali? Setiap orang mempunyai peluang bernasib malang, kenapa dirinya harus menjadi perkecualian? Ia seperti sedang mencurigai dirinya sendiri, jangan-jangan ia hanya mewajibkan dirinya berduka, karena selayaknyalah seorang istri yang diceraikan dengan semena-mena merasa terbuang, padahal perpisahan itu membuat peluangnya untuk bahagia terbuka seluas semesta…

Dalam kegelapan tanpa rembulan, perempuan itu tidak bisa melihat senyuman maupun air matanya sendiri di permukaan sungai yang mengalir perlahan- dan ia tak tahu apakah masih harus mengutip Pablo Neruda.

Tonight I can write the saddest lines….

Tiga minggu kemudian, pada hari hujan yang pertama musim ini, perempuan itu muncul lagi di kafe tersebut.

“Saya kembalikan rembulan ini, bisa diganti soto Betawi?”

Itulah masalahnya.

“Tidak bisa Puan, kami tidak punya soto Betawi, ini kan restoran Itali?4

Nah!

Pondok Aren,

Minggu 31 Agustus 2003. 07:40.

1. Kopi tradisional Italia, biasanya untuk sarapan-kopi espresso yang dibubuhi susu panas dan buih, sering juga ditaburi cokelat, dalam seduhan air panas 80 derajat celsius, dihidangkan dengan cangkir. (Sumber: dari bungkus gula non- kalori Equal).

2. Tentang penyiksaan sesama manusia Indonesia, bisa dilacak dalam sejumlah dokumen, antara lain, Pipit Rochijat, “Am I PKI or Non PKI?” dalam Indonesia edisi 40 (Oktober 1985); A Latief, Pleidoi Kol. A. Latief: Soeharto Terlibat G 30 S (2000); Sulami, Perempuan-Kebenaran dan Penjara (1999); Sudjinah, Terempas Gelombang Pasang (2003), dan tentu saja Pramoedya Ananta Toer, Nyanyi Tunggal Seorang Bisu (1995).

3. Dari Sumanasantaka (sekitar 1204) karya Mpu Monaguna: “sang hyang candra bangun bahitra dateng ing kulem amawa sasa mareng jawa.” Tentang segi astronomi bait ini, apakah itu bulan sabit di cakrawala sehingga bentuknya seperti perahu, ataukah bulan purnama, yang memungkinkan gambaran seekor kelinci, baca PJ Zoetmulder, Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang (1983), terjemahan Dick Hartoko, h238.

4. Puedo escribir los versos mas triste esta noches-dari “Puedo Escribir” (“Tonight I Can Write”) dalam Pablo Neruda (1904-1973), 20 Puemas de amor y una Cancion desesperada (Twenty Love Poems and a Song of Despair), 1924, terjemahan ke dalam bahasa Inggris oleh WS Merwin, terbit pertama kali tahun 1969.



Seno Gumira Ajidarma