Showing posts with label Sastra. Show all posts
Showing posts with label Sastra. Show all posts

Tuesday 23 November 2010

Sepuluh Ribu Rupiah untuk Tuhan

Sepuluh Ribu Rupiah untuk Tuhan



DUDUK menyendiri di pojok serambi masjid usai shalat tarawih, Darbi menahan lapar. Wajahnya pucat. Tubuhnya berkeringat. Perutnya terus melilit-lilit perih, seperti disengat kalajengking. Wajar, sewaktu buka puasa sore tadi perutnya hanya terganjal dua potong pisang goreng dan segelas air putih.

Darbi tak tega menyantap nasi dan lauk sekadarnya saat melihat dua anaknya yang baru kelas empat dan tiga SD menjalani puasa pertama mereka. Meski menahan lapar, tapi terselip rasa bangga di dada Darbi melihat dua anaknya yang masih kecil sanggup puasa sehari penuh. Anak-anak lain jarang yang sanggup melakukannya.

Riuh rendah suara orang ngobrol dan tertawa di serambi masjid sedikit pun tidak menerbitkan minat Darbi untuk bergabung. Darbi memilih duduk menyendiri di pojok. Perutnya semakin sering berkerucuk, melilit perih. Berkali-kali dilihatnya Haji Barkah di serambi masjid, mengenakan surban dan kopiah putih dikelilingi beberapa anak muda. Tapi Haji Barkah seperti tak melihat keberadaan Darbi. Haji Barkah terus ngobrol dan tertawa bersama anak-anak muda. Terlihat cerah wajah Haji Barkah. Terlihat bersemangat laki-laki tua itu saat menceritakan kejadian-kejadian lucu. Kadang terbesit keinginan di hati Darbi mendatangi Haji Barkah. Menyibak kerumunan anak-anak muda itu lalu membisikkan sesuatu di telinga Haji Barkah. Darbi tahu Haji Barkah pasti tak keberatan. Uang sepuluh ribu bagi Haji Barkah yang memiliki puluhan hektar sawah dan dua toko kelontong di pasar, tentu tidak seberapa. Semua orang kampung tahu Haji Barkah kaya raya. Tapi Darbi selalu ragu, gamang. Anak-anak muda itu pasti akan bertanya-tanya dan menatap heran. Ah, Darbi tak ingin dirinya tampak begitu hina di hadapan anak-anak muda itu. Darbi tak mau keinginannya pinjam uang pada Haji Barkah menimbulkan rasa belas kasihan dari anak-anak muda itu. Cukuplah dirinya yang menanggung semuanya.


Dalam diam Darbi merutuki nasibnya yang kurang mujur. Mestinya usai buka puasa sore tadi ia langsung mendatangi rumah Haji Barkah, pinjam uang. Tentu tak ada orang lain yang tahu kecuali keluarga Haji Barkah. Tentu Haji Barkah juga akan langsung meminjaminya uang. Uang sepuluh ribu rupiah bagi orang seperti Haji Barkah, tentu tak seberapa. Tapi, ya, ya, Darbi ingat, ia memang sengaja tak datang ke rumah Haji Barkah karena tahu istri Haji Barkah terkenal pelit. Tak habis pikir Darbi jika datang ke rumah Haji Barkah, tapi yang menemui istrinya.

Malam kian larut. Suara orang mengaji terdengar kian sayup dan redup. Darbi terus menunggu. Menunggu anak-anak muda itu pulang sehingga ia punya banyak kesempatan untuk bicara empat mata dengan Haji Barkah. Tapi anak-anak muda itu justru semakin betah mendengar cerita-cerita lucu Haji Barkah. Bahkan beberapa anak muda yang baru selesai tadarus, ikut bergabung di situ. Darbi merasa ada sesuatu yang mulai menusuk-nusuk perutnya, tajam.

Tiba-tiba Darbi ingat dua anaknya di rumah. Lima jam lagi mereka harus makan sahur. Tapi sudah tak ada beras tersisa di dapur. Satu-satunya harapan hanya pada Haji Barkah. Sepuluh ribu rupiah.

* * *

TAMPAK dua anak muda keluar dari dalam masjid membawa kotak infak. Pada bulan ramadan perolehan infak jauh lebih besar dibanding bulan-bulan lainnya. Diedarkan pada jamaah shalat subuh dan tarawih. Dua anak muda itu membawa kotak infak ke tengah kerumunan di serambi masjid, di hadapan Haji Barkah. Seperti biasa kotak infak itu akan dibuka dan dihitung bersama-sama lalu dicatat di papan tulis digabung dengan saldo hari kemarin.

Hati-hati dua anak muda itu membuka kotak infak dan menuang isinya. Tampak pecahan uang logam dan kertas berhamburan di lantai, beberapa berdenting menggelinding. Takjub mata Darbi menatap lembaran-lembaran uang itu. Kantuknya berangsur lenyap. Darbi tahu di mana uang itu nanti akan disimpan.

"Jumlah semuanya enam puluh dua ribu tiga ratus rupiah! Semoga barokah!" Berkata Haji Barkah penuh semangat sambil menggenggam uang infak ditunjukkan pada anak-anak muda di sekelilingnya yang tanpa dikomando segera mengangguk-angguk takzim, mengamini.

"Tapi biar kas masjid kita ini jumlahnya cepat banyak, akan kutambah lagi." Berkata demikian Haji Barkah mengeluarkan satu lembar uang dua puluh ribu dari saku baju. Kembali Haji Barkah mempertontonkan uang itu pada anak-anak muda yang kembali mengangguk-angguk takzim.

Untuk kedua kalinya malam ini Darbi merasa ada sesuatu yang menusuk-nusuk perutnya, tajam.

* * *

MALAM dingin. Satu-persatu anak-anak muda itu pulang. Lalu Haji Barkah yang terakhir. Tak ingin kesempatannya hilang, Darbi cepat-cepat bangkit dari pojok serambi masjid menghampiri Haji Barkah. Pulang bersama melewati jalan kampung remang. Kabut mulai turun menyelimuti lampu-lampu di pinggir jalan. Tapi entah kenapa Darbi masih dicekam ragu, gamang, mengutarakan niatnya pinjam uang.

"Kudengar kedua anakmu sudah mulai puasa penuh," ucap Haji Barkah di tengah jalan.

"Alhamdulillah, Pak Haji." Darbi menjawab dengan bibir pucat gemetar menahan lapar.

"Bagus, bagus. Pendidikan agama memang harus ditanamkan sejak dini. Mudah-mudahan mereka tidak mengikuti jejak Ibunya."

Semula Darbi tidak sadar dengan apa yang dikatakan Haji Barkah. Tapi ketika kemudian sadar, Darbi tersentak menunduk, merah padam mukanya. Teringat Darbi, mantan istrinya yang sudah pisah dua tahun lalu, kini memang suka dibawa pergi laki-laki. Semua orang kampung tahu. Sebenarnya sudah lama Darbi ingin membunuh ingatannya pada perempuan itu, tapi orang lain entah disengaja atau tidak justru sering mengingatkannya.

Darbi dan Haji Barkah terus berjalan beriringan. Rumah Haji Barkah semakin dekat. Membuat Darbi kian dicekam gelisah. Kesempatan untuk pinjam uang tinggal sebentar lagi. Darbi menghirup nafas panjang mencoba memberanikan diri. "Hmm, maaf, Pak Haji, saya mau merepotkan Pak Haji." Terputus sejenak suara Darbi menahan sungkan. "Saya mau pinjam uang sepuluh ribu. Insya Allah lusa saya kembalikan."

Haji Barkah menoleh menatap Darbi lalu buru-buru merogoh saku bajunya. Masih ada selembar sepuluh ribu kusam. "Aduh. Darbi, Darbi, kenapa kamu nggak bilang waktu di masjid tadi? Uangku tinggal sepuluh ribu. Kamu tahu sendiri, uang ini jatah untuk infak subuh besok. Aku harus memberi contoh pada orang-orang kampung bagaimana cara memakmurkan masjid. Besok pagi saja kalau istriku sudah berangkat ke pasar, kamu datang ke rumah" Haji Barkah menepuk-nepuk pundak Darbi.

"Tapi." Belum selesai Darbi bersuara, Haji Barkah lebih cepat menukas.

"Sudahlah, besok pagi saja. Kamu tidak perlu pinjam, tapi kukasih. Cuma sepuluh ribu kan? Jangan kawatir." Berkata demikian Haji Barkah belok menuju rumahnya. Langkahnya gegas, tergesa.

Darbi seperti masih ingin mengucapkan sesuatu, tapi lidahnya benar-benar kelu.

* * *

PEDIH dan teriris-iris hati Darbi melihat dua anaknya tidur beralas tikar. Tiga jam lagi ia harus membangunkan kedua bocah kecil itu untuk makan sahur. Tapi hingga saat ini Darbi tak pegang uang sepeser pun. Haji Barkah, satu-satunya harapannya baru menjanjikan besok pagi setelah istrinya berangkat ke pasar. Tiba-tiba berkelebat dalam benak Darbi lembaran-lembaran uang infak yang tadi ia lihat di masjid. Beberapa lembar uang itu tampak masih baru dan licin. Darbi tahu di mana tempat menyimpannya.

Niat Darbi sudah bulat. Darbi kembali keluar rumah berjalan mengendap-endap menghampiri masjid. Menyelinap masuk ke dalam masjid ketika situasi benar-benar sudah aman. Di dalam masjid Darbi melihat dua anak muda tidur pulas di dekat mimbar. Sejenak Darbi menghentikan langkah, tiba-tiba ragu dengan niatnya. Tapi bayangan kedua anaknya yang besok harus puasa terus berkelebat-kelebat dalam benaknya. Darbi segera menghampiri salah satu ruangan tempat menyimpan uang infak. Darbi bersyukur, pintu ruangan itu tidak dikunci. Hati-hati Darbi membuka kotak infak lalu mengambil uang sepuluh ribu rupiah dari situ. Pulang.

* * *

SESAK dan sengal nafas Darbi duduk di kursi menghadap meja makan. Wajahnya tampak letih, pucat, berkeringat. Perutnya semakin terasa perih, melilit-lilit. Matanya mulai berkunang-kunang. Sepanjang hidup baru kali ini ia mencuri. Ia tahu hukuman apa bagi seorang pencuri. Tapi sebentar lagi ia dan kedua anaknya perlu makan sahur untuk menjalankan puasa di hari kedua. Puasa hukumnya wajib. Dan satu lembar uang sepuluh ribu yang baru ia ambil dari kotak infak masjid masih erat dalam genggaman tangannya. Uang itu nanti akan ia belanjakan untuk beli makan sahur bersama kedua anaknya.

Darbi masih mengatur nafasnya yang sesak, sengal, ketika tiba-tiba Niken, anak sulungnya bangun berjalan menghampiri. "Tadi Ibu datang. Ngasih duit." Suara Niken serak mengangsurkan satu lembar sepuluh ribu pada Darbi.

Gemetar tangan Darbi sewaktu menerima uang itu. Darbi tahu dari mana uang itu didapat mantan istrinya. Kini di tangan Darbi terdapat dua lembar uang. Keduanya cukup untuk makan sahur ala kadarnya bersama dua anaknya. Tapi mendadak Darbi disergap bingung, gelisah, uang mana yang akan ia gunakan?

Malam terus merambat kelam. Sebentar lagi waktu imsak datang.***



Cerpen: Teguh Winarsho AS

Depok, 2005


Suara Karya,Minggu, 16 Oktober 2005
Paku di Kepala Istri Sanusi

Cerpen: Gita Nuari



Cerita dari Desa Legok Sirah,
84 tahun yang lalu.

Yuni sangat terkejut setelah menemukan sebuah paku berukuran tujuh senti meter menancap di kepala ibunya sewaktu dia sedang mencarikan kutu. Lalu sang anak menyampaikan penemuannya itu kepada ibunya, "Ada paku di kepala Ibu!" Sang ibu tak sekejut anaknya.


"Bisa kamu cabut, Yun?" perintah sang ibu akhirnya. Yuni yang diberi tugas tampak serius memeriksanya. Perempuan yang bersuamikan Sanusi, seorang petani itu menunggu dengan harap-harap cemas. Sebab dia tahu, karena paku itulah dirinya tidak bisa lagi pergi ke dunia gaib sebagai makhluk yang bernama kuntilanak. Sanusi yang sempat kehilangan istrinya, berusaha dengan sekuat tenaga untuk mendapatkan istrinya kembali. Maka pada suatu malam Sanusi berhasil menangkap istrinya di atas pohon asam yang ada di belakang rumahnya dan langsung memantekkan sebuah paku ke kepala istrinya sehingga tidak bisa terbang lagi. Dan ini kali adalah kesempatan yang kesekian bagi istrinya untuk bisa pergi lagi ke alam gaib yang pernah dia jalani sebelumnya.

"Kayaknya pakunya panjang, Mak. Apa tidak sakit kalau dicabut?"

Istri Sanusi itu termenung sejenak, lalu berkata: "Emak rasa tidak, Yun. Coba dicabut saja."


"Yuni coba ya, Mak," kata Yuni, putri bungsu keluarga Sanusi yang memiliki dua orang anak itu berusaha mencabut paku dari kepala ibunya. Namun setelah paku itu berhasil dicabut, tiba-tiba sang ibu terbang sambil meninggalkan tawa menuju arah pohon asam di belakang rumahnya lalu menghilang di rimbun dedaunan. Menyaksikan ibunya bisa terbang, Yuni langsung pingsan. Yunar, kakak Yuni yang terakhir tahu kejadian itu langsung berlari menemui ayahnya di sungai yang sedang mencuci sayuran yang baru dia petik di ladang. Sanusi sangat terkejut setelah mendengar pengaduan anak lelakinya kalau ibunya sudah bisa terbang lagi. Tanpa banyak tanya Sanusi berlari menuju rumahnya. Didapatkan Yuni masih tergeletak. Buru-buru Sanusi menyadarkan Yuni dengan memberi minyak wangi. Yuni perlahan siuman. Lalu menceritakan ibunya telah hilang.

"Pasti ada yang mencabut paku di kepala Emak kalian!" tuding Sanusi geram. Sang anak tertunduk.

"Yuni menyesal, Pak," aku Yuni dengan suara lemah.

"Apa yang harus disesali kalau sudah begini," tukas sang ayah.

"Makanya, apa-apa yang aneh di keluarga kita segeralah diberitahukan. Jangan mengambil keputusan sendiri, sehingga antara anak dan Bapak tidak saling menyalahkan!"

"Maaf, Bapak tidak sempat memberitahukan kalau di kepala Emak kalian ada paku yang tidak boleh kalian cabut," terang Sanusi sambil merasakan sesal di hati.

"Jadi sekarang bagaimana, Pak?" tanya Yunar yang kesal sekali terhadap ayahnya.

"Kita harus menangkap Emak kalian lagi, lalu memakunya kembali."

"Bagaimana caranya, bukankah kita sendiri tidak bisa terbang seperti Emak?"

"Kita harus cari akal"
* * *
Menjelang gelap malam, Yunar, dengan paku dan batu di tangan, sudah berada di perkebunan karet yang tidak jauh dari rumahnya. Yunar berharap dirinya dapat menangkap ibunya di antara pohon-pohon karet yang tegak berdiri di sekelilingnya. Sedang Yuni yang dibantu oleh beberapa tetangganya memilih berjaga-jaga di bawah pohon asam yang ada di belakang rumahnya. Karena ke pohon itulah dia melihat ibunya terbang dan menghilang di situ. Lain halnya Sanusi, dia mengawasi istrinya dari bawah pohon mangga yang tengah berbuah lebat. Sebab dahulu sewaktu dia belum bisa menangkap istrinya, dia sering melihat istrinya memetik buah mangga itu bersama kelelawar-kelelawar. Dan sebagian buah yang dipetiknya sering dijatuhkan ke halaman rumah dengan maksud untuk dimakan oleh anak-anaknya yang waktu itu masih kecil-kecil.

"Untuk apa?" tegur Sanusi waktu itu karena menganggap perbuatan istrinya bukan perbuatan seorang ibu tapi perbuatan kuntilanak.

"Aku memberi makan anak-anakku," terdengar istrinya menyahut.

"Malam begini bukan waktunya memberi makan anak dengan makanan asam. Kau akan menyiksa anak-anakmu sendiri!" kata Sanusi. Sang istri tak menyahut, justru dia melesat terbang ke pepohonan yang lebih tinggi. Dua ekor tupai dan seekor burung yang sudah mati dilemparkan dari atas pohon ke pintu dapur.

"Itu bisa kamu panggang. Beri makan anak-anak kita," kata istrinya memohon dari atas pohon. Sanusi menolak karena tiga binatang buruan itu telah menjadi bangkai semua.

Dari pengalamam itu, Sanusi jadi lebih hafal dimana istrinya suka berdiam. Namun hari itu tidak ditemukan tanda-tanda keberadaan istri Sanusi. Para tetangga yang turut mencari akhirnya kembali pulang dengan tangan hampa.

Akan tetapi, dibalik kecemasan di antara mereka, ada pula yang mensyukuri dapat dicabutnya paku dari kepala istri Sanusi, yaitu seorang perempuan yang bernama Emar, istri Leman, seorang penambang pasir di kampungnya. Emar berharap atas lepasnya Suti, yaitu istri Sanusi, akan ada perubahan nasib terhadap dirinya. Karena dirinyapun tak beda dengan istri Sanusi yang ingin lepas bebas seperti dahulu kala.

"Suti, datanglah kepadaku," bisik Emar sambil memandangi awan hitam yang berarak di antara bulan sabit yang terjebak oleh cuaca buruk melalui jendela rumahnya malam itu. "Ayo Suti, tolong temanmu ini. Aku tersiksa, Suti. Aku tersiksa" lemah suara Emar karena khawatir suaranya akan terdengar oleh suaminya yang tengah menunggu dirinya di pembaringan. Sedang Suti sudah mendengar suara temannya itu dari atas pohon waru.

"Sabar Emar, semua teman-temanku akan kubebaskan dari belenggu kaum lelaki yang serakah. Mereka akan bertekuk lutut nanti. Selama ini mereka hanya bisa memeras kita dan memperbudak kita. Mereka tak punya pikiran. Mereka gauli kita meski kita dalam keadaan sakit. Mereka terlalu menguasai kita. Kita harus balas. Dan sekaranglah waktunya. Dengan bebasnya aku, kalian semua akan kubawa ke tempat kita dulu. Tunggu saja, pada saatnya nanti kalian pasti lepas dari jerat mereka"

"Terima kasih, Suti. Terima kasih," balas Emar sambil menutup daun jendela dan terus menghampiri suaminya di pembaringan. Malam itu Emar memberi kehangatan tubuhnya untuk terakhir kali kepada suaminya. Sebab pada malam berikutnya Suti benar-benar datang menemui Emar yang menunggu di belakang rumahnya. Tanpa menunggu waktu lama, Suti sudah dapat mencabut paku yang ada di kepala teman dekatnya itu. Setelah paku dicabut, tubuh Emar seakan bersayap. Badannya jadi ringan. Dan akhirnya Emar bisa terbang bersama Suti menembus kepekatan malam.

Tampaknya seperti dendam kesumat, kedua perempuan yang sudah bisa terbang dan menghilang itu akhirnya mendatangi para kaumnya yang senasib. Dicabutinya paku-paku yang ada di kepala mereka masing-masing. Dan pada akhirnya para perempuan yang memiliki suami dari suku asli penduduk kampung itu semuanya dapat terlepas dari jerat paku yang dipantek oleh para suami mereka. Lalu mereka beterbangan layaknya kelelawar-kelelawar penghuni lautan malam hari. Mereka kembali menempati tempat tinggal mereka yang lama seperti pohon-pohon besar yang ada di lereng-lereng bukit.

"Aduh, bagaimana ini! Paku di kepala istriku ada yang mencabutnya," teriak Leman setibanya di hadapan teman-temannya yang sedang membantu mencari istri Sanusi sebagai orang pertama yang pakunya lepas dari kepalanya. Teman-teman Leman pada terkejut termasuk Sanusi sendiri.

"Jangan-jangan istri kita juga sudah tidak ada di rumah?" kata Lengger penuh kekhawatiran. Tanpa dikomando, para suami, serempak berlari menuju ke rumah mereka untuk melihat keberadaan istri mereka masing-masing. Obor yang mereka bawa berlari apinya cukup berkobar seakan menggambarkan perasaan hatinya yang teramat cemas. Dan lari mereka seperti srigala hutan yang tengah mengejar mangsanya. Mereka berpikir, kalau Suti sudah bisa lepas, urusannya akan jadi runyam. Contohnya sudah ada, yaitu istri Leman yang kedapatan sudah bisa terbang seperti Suti. Maka mereka para suami, berusaha untuk menyelamatkan istri-istri mereka dari hari pembebasan yang tengah dikibarkan oleh Suti, istri Sanusi itu.

"Apa aku bilang, istriku pun lenyap.Ini pakunya!" teriak Matarwi keluar dari dalam rumahnya sambil memperlihatkan sebuah paku kepada teman-temannya yang belum sempat melihat keberadan istrinya. Matarwi kembali masuk ke dalam rumah yang diikuti oleh beberapa temannya. Matarwi melongok ke kolong-kolong tempat tidur siapa tahu istrinya bersembunyi di kolong tempat tidur. Tak ada. Teman-teman Matarwi akhirnya pada panik termasuk Lengger yang sudah curiga lebih awal tadi. Lalu mereka berlarian menuju ke rumah mereka masing-masing guna mencari istrinya.

"Menii Menii. Jangan pergi" suara Lengger cukup keras keluar dari dalam rumahnya sambil memegang sebuah paku yang dia temukan di atas tempat tidurnya. Anak-anak mereka bertangisan memanggil-manggil ibunya. Dan malam itu para suami telah kehilangan istri mereka masing-masing.

"Kita tidak akan mendapat istri sebaik mereka lagi," rintih Jagur sedih.

"Benar, kita akan kesusahan sepanjang hidup tanpa kehadirannya di sisi kita. Mereka begitu baik dan telaten mengurusi kita," sesal Dayut sambil menangis.

"Tapi mengapa mereka tega meninggalkan kita secara berbarengan? Apakah mereka dendam pada kita yang kedudukannya sangat terbalik dimana kita selalu mengandalkan tenaga dan pikirannya untuk urusan rumah tangga?" tanya Toyo.

"Sekarang kita harus berani mengaku bahwa kita yang salah. Karena, selain kita memasung istri kita, kita juga terlalu memperbudaknya. Di sinilah kekeliruan kita memperlakukan mereka," ujar Leman. Setelah mereka menyadari kekeliruannya, akhirnya satu persatu membubarkan diri untuk kembali mencari istrinya mereka masing-masing.

Malam kembali sunyi. Lolong srigala dari atas bukit melengking menyusup ke relung-relung jiwa yang ditinggalkan. Para suami dan anak merasa kehilangan buah hatinya. Hingga pada akhirnya, anak-anak di kampung itu menuntut bapak-bapaknya untuk bisa mengembalikan kembali ibu-ibu mereka yang telah pergi. Tapi para suami mengambil keputusan yang sama sekali janggal. Para suami tiba-tiba memantek kepalanya sendiri-sendiri dengan sebatang paku dan berharap bila kelak paku yang tertancap di kepalanya itu dicabut oleh anak-anaknya, mereka akan dapat terbang untuk menyusul istri-istri mereka yang telah pergi.

"Cepat cabut paku yang ada di kepala Bapak ini, Seno" pinta Lengger kepada anaknya setelah dia memaku kepalanya sendiri dengan sebuah paku hingga berdarah-darah. Seno amat terkejut melihat darah yang mengalir dari kepala bapaknya teramat deras. Spontan anak itu menjerit dan berlari keluar rumah.

"Tolong, Bapakku bunuh diri! Tolong Bapakku bunuh diriii" * * *




* Depok, Januari 2006/2007


Cited from Suara Karya, Sabtu, 7 Juli 2007

Anak Semata Wayang

Anak Semata Wayang

Cerpen Whani Darmawan



SELEMBAR diary tersibak, sebaris puisi tertera...

Ayah,....

Tuliskanlah darahmu, di atas kanvas putih jiwaku. Agar tak hanya kukenang selalu, tetapi mengalir juga dalam derasan darahku....

Wanadri tertegun. Jelas itu buku harian anaknya yang masih berusia delapan tahun. Apakah anak usia sewindu bisa menulis seperti itu? Jangan-jangan ia hanya menjiplak bait puisi yang ia temukan dalam koleksi buku yang ada di rak. Tetapi apa maksudnya? Mengertikah ia?

Wanadri meletakkan sapu yang sedang dipegangnya. Ia duduk, seolah bersiap memecahkan teka-teki sudoku yang gampang-gampang sulit.

"Hidup seperti mimpi," gumamnya kemudian tanpa mengerti pasti mengapa tiba-tiba kalimat padat itu terlontar demikian. Mungkin, ya, hidup memang seperti mimpi. Sudah setara umur anaknya ia menduda, semenjak Surati isterinya meninggal dalam kecelakaan gantung diri. Waktu itu Surati ketakutan tak mampu menjawab kebutuhan ekonomi, dan ketakutan akan hamil lagi. Wanadri merasa, kadang peristiwa dan persoalan hidup memang sulit untuk dipahami, kendati sesuatu sungguh-sungguh terjadi. Cerita seperti yang terjadi pada dirinya kadang-kadang lebih bisa dipercaya jika dilihat sebagai film. Ia sendiri dulu juga pernah menyangkal, kenapa kepahitan hidup bisa menimpa dirinya, tetapi selang ia merenung, ia sendiri menganggap bahwa pertanyaan itu adalah pertanyaan yang sombong. Seolah menafikan dirinya sebagai manusia yang tak bakal bisa terjamah oleh peristiwa pahit sepahit-pahitnya. Ia pun menghela napas dan tafakur sejenak memohon ampunan atas kelancangan pertanyaannya itu kepada Tuhan.

Wanadri mengempaskan napasnya.


Masa itu sudah lama sekali. Wanadri sudah tak ingin mengingatnya. Tetapi ada yang ia lupa. Lupa mengingat rasa sakitnya. Itu mengherankan dirinya. Sudah lama ia tidak lagi bisa merasakan apakah ia sedih ataukah gembira, apakah perlu menangis ataukah tertawa. Seolah semua kelengkapan hidup, penderitaan, semua sudah lewat. Anaknya semata wayang menggoreskan tekad, bahwa ia tidak boleh menghindar dari tanggung jawab.

Wanadri menyadari gerunjalan napasnya, dan kembali menunduk mencermati jilidan kertas tulis di tangannya,....

Ayah,

Rekamlah kisahmu dalam recorder otakku. Agar tak hanya terngiang selalu, tetapi mengebor dalam pilihan sikap hidupku. Agar senantiasa cerita kepahlawanan sehari-hari menjadi milikku. Menjadi kakiku.

Ia tulis ini semua tentang kepahlawanan? Dari mana anak ini mampu menulis dengan bahasa dan pemaknaan sedalam itu!? Wanadri tak ingin mengecilkan arti anak kecil, ia hanya merasa takjub setakjub-takjubnya. Apakah ada kelainan spiritual pada anaknya tersebut? Ataukah kecerdasan emosinya terlalu tinggi? Hmm,...kepahlawanan. Itukah yang selama delapan tahun Wanadri lakukan kepada anaknya? Wanadri tak yakin dirinya seheroik kata-kata itu. Sepenuhnya ia hanya merasa tanggung jawab. Lumrah kalau ia melakukan hal-hal yang itu bisa mencukupi kebutuhan jiwa-raga anaknya. Oleh teman-temannya, Wanadri dijuluki sang akrobater. Pemain sirkus. Tentu, julukan itu bermakna canda, ledekan, sekaligus serius. Pagi hari sebelum termenung di hadapan mesin tulis, ia memasak untuk sarapan anaknya, kemudian mengantarnya ke sekolah. Siang pada saat ia istirahat, ia menjemput anaknya. Jika tak satu pun teman anaknnya itu muncul, ia taruh anaknya di antara tumpukan kertas, koran dan buku. Menggambar, mencoret-coret, menjadi permainannya yang biasa. Kadang waktu menulis dan mengasuh anak bertubrukan tak terelakkan. Wanadri sering memilih untuk menemani anaknya. Ada kalanya antara perasaan dan tubuhnya ia rasakan seperti cerai-berai. Antara tubuhnya yang lelah dengan kehendak ingin menemani anaknya guna mendapatkan dunia permainan yang semestinya sesuai umurnya. Bahkan ia pernah punya suatu simpulan atas peran orangtua kepada anaknya dan kemauan untuk menulis. Di tengah kepap pikirannya ia sering menarik napas dalam, "Ini keperkasaan ataukah kebodohan?" gumamnya. "Ataukah sesuatu yang biasa saja."

Apakah sikap bela semacam itu yang diterjemahkan anaknya menjadi kata "pahlawan sehari-hari?" Siapakah sesungguhnya anaknya itu?

Wanadri berdiri. Di tangannya masih terpegang buku harian anaknya. Ia berjalan menuju kamar dan mendapatkan anak itu tertidur pulas. Napasnya halus. Pelupuk matanya licin seperti diolesi minyak. Bibirnya ranum memerah.

"Siapakah kamu?" bisik Wanadri lembut, lebih kepada diri sendiri.


Ayah,

Ajarkanlah kesetiaan kepadaku. Agar tak hanya jadi bualan, tetapi menjadi serat dalam dagingku.


Memang. Ada beberapa peristiwa aneh tentang perilaku anaknya, yang membuat Wanadri tegang, cemas, sekaligus takjub. Pertama, saat ia berumur tiga tahun. Pada saat itu Wanadri sungguh-sungguh merasa naas. Tidak ada pekerjaan yang masuk hingga tabungannya ludes untuk bertahan hidup. Wanadri sangat cemas dan mengutuk dirinya sendiri. Menghakimi dirinya sebagai orangtua yang tidak becus. Bahkan untuk kebutuhan pokok anaknya pun ia harus berhutang. Tetapi ia tidak mampu berkelit. Ia ingat betul bagaimana ia memarahi anaknya karena anaknya tersebut tidak mau makan dan minum susu yang uangnya ia dapat dari pinjam. Bahkan anaknya sampai menangis ketakutan, meski tetap tak mau makan. Baru sehari kemudian anaknya itu mau makan dan minum seperti biasa. Tetapi anehnya, sehari kemudian ia kembali mogok makan. Wanadri sunguh-sungguh marah. Tetapi belum lagi tumpah emosinya, seorang tua tetangganya yang kebetulan lewat nyeletuk, "Anak nggak mau makan itu biasa. Kalau sehari makan sehari tidak, yaa....siapa tahu, mungkin dia sedang nDaud?"

Wanadri tercengang. Anak tiga tahun melakukan puasa Daud? Ia tidak ingin percaya, tetapi setelah anaknya melakukan pola makan demikian, ia menyerah, meski ia sangat cemas, khawatir kalau anaknya sakit. Setelah Wanadri mendapatkan pekerjaan, anaknya menghentikan kebiasaan makan melompat hari tersebut.

Peristiwa kedua pada saat Saketi, anaknya itu, berumur lima tahun. Oleh karena centang-perentang keinginannya untuk menemani anaknya dan kemampuan fisik dan psikisnya terbatas, Wanadri mengalami stres. Ia jadi sering marah dan membentak. Ia tahu itu tidak baik, tetapi ia tak mampu mengendalikan. Jika pada saat demikian datang, Saketi hanya terdiam. Hal yang ia lakukan kemudian adalah mengambil sapu kemudian menyapu lantai, atau mencuci piring dan gelas yang masih teronggok di jerambah sumur. Wanadri mau nangis menghadapi ketidakmampuannya. Wanadri merasa bahwa ia harus membebaskan diri dari himpitan itu. Ia pun mengajak anaknya untuk berenang di telaga Perwitasari -sebuah telaga berdebit raksasa dengan ukuran melingkar dua kali lapangan sepak bola, dengan kedalaman tak seorang pun tahu pasti.

Pada saat itu, Saketi justru tidak mau berenang. Ini sesuatu yang aneh, mengingat Saketi sangat suka bermain air. Jadilah Wanadri berenang sendirian, melepaskan penat pikiran dengan air. Berenang kian kemari, menyelam, melompat, seakan Wanadri lupa diri. Anaknya hanya menunggui di pinggir telaga sambil terus memandang bapaknya. Peristiwa tak dapat ditebak. Pada saat Wanadri berada di tengah telaga, perutnya terasa mengejang. Ia mencoba melawan, tetapi kejang di perut serasa mencengkeram seluruh kemampuannya berenang. Berkecipak tangan Wanadri bergerak serabutan. Ia kemudian tak ingat apa pun. Dan ketika terbangun banyak orang merubungnya. Anaknya menangis laiknya anak kecil kehilangan orangtua. Yang mengagetkan Wanadri kemudian adalah ungkapan orang-orang yang merubungnya,

"Siapakah anak bapak itu?"

Apa maksudnya? Wanadri tak dapat menjawab, karena tak mengerti maksud pertanyaan itu.

"Siapakah anak kecil itu?" tandas mereka lagi.

"Ya anak saya...kenapa?"

"Bukan. Anak bapak tadi berlari di atas air dan menyeret bapak, seperti ia sedang menyeret sesuatu di daratan."

Wanadri tidak mengerti. Ia memandang anaknya yang masih mewek dengan air mata berderai.

"Kamu tadi yang menyelamatkan bapak dari tenggelam?"

"Yaa...," ujar dia sambil merengek.

"Bagaimana?"

"Berenang..."

"Tidak! Dia tadi berlari! Sumpah demi Tuhan! Anak kecil itu tadi berlari di atas air!"

Serentak orang-orang itu bicara hal yang sama, nyaris keras seperti bantahan. Saketi semakin ketakutan dan merangkul bapaknya. Wanadri segera memeluk anaknya dan mengakhiri kemustahilan ini; pulang.

Benak Wanadri terus digumuli ketakjuban. Siapakah kamu, anakku? gumamnya dalam hati sambil memandangi wajah anaknya yang pulas tertidur. Tetapi perenungannya tidak tuntas. Sedari tadi ia terganggu oleh suara pertengkaran tetangga sebelah. Di pelataran, Wanadri melihat isteri Sokran si tukang becak, sedang mengusir suaminya,

"Macam bayi saja kamu! Uang sekolah anakmu kamu makan! Kemarin kamu curi gajiku, sekarang berani-beraninya kamu mau jual televisi hanya untuk berjudi!"

"Judi itu menganakkan uang. Nanti kalau menang juga untuk siapa!?" bantah Sokran.

"Kapan kamu menjadi pemenang!! Selamanya bayi ya tetap bayi! Minggat kamuu!"

Sementara mak dan bapaknya terlibat dalam baratayudha itu, Kopet, anak lelaki satu-satunya pasangan sangar itu terdiam sambil tangannya terus melap sepedanya. Drama pun selesai. Wanadri masuk.

Rasa takjub kepada anaknya mengalahkan peristiwa rumah tangga Sokran. Tiba-tiba terlintas kecemasan dalam diri Wanadri bahwa dia kelak tidak akan mampu menghadapi anaknya. Karena tiba-tiba saja ia merasa menjadi orang asing kepada anaknya. "Adakah antara anak dan orangtua itu sesungguhnya asing?" batin Wanadri. Adakah orangtua-anak yang sungguh-sungguh bisa memahami siapa mereka sesungguhnya, dan hubungan macam apa yang sesungguhnya berlangsung? Jika ketidaktahuan muncul, tidakkah sebaiknya sesama manusia saling menghormati, supaya tidak membuat kesalahan.

Wanadri meraih tangan anaknya di tengah lelap tidurnya. Ia cium punggung tangan anaknya, seperti ia mencium tangan kiai. Hatinya bergumam, "Kamu anakku, kamu bukan anakku. Mungkin saja kita ini kawan yang dijodohkan. Shubanallah.... ***


Omahkebon, Juli 2007.

Suara Merdeka 09/16/2007

Rumah Kardus

Rumah Kardus

Cerpen Effendy Wongso




Sebuah jendela menyerahkan kamar ini
pada dunia. Bulan yang menyinar ke dalam
mau lebih banyak tahu.
"Sudah lima anak bernyawa di sini,
Aku salah satu!"

Ibuku tertidur dalam tersedu,
Keramaian penjara sepi selalu,
Bapakku sendiri terbaring jemu
Matanya menatap orang tersalib di batu!

Sekeliling dunia bunuh diri!
Aku minta adik lagi pada
Ibu dan Bapakku, karena mereka berada
di luar hitungan: Kamar begini,
tiga kali empat meter,
terlalu sempit buat meniup nyawa!

- Chairil Anwar, Sebuah Kamar (1946)



Sinar itu selalu mengusiknya. Sebelum segalanya sempurna dalam dekapan tidurnya yang damai. Tujuh tahun, entah. Mungkin lebih. Delapan barangkali. Ia tidak menghitung persisnya. Sinar itu mengiring langkahnya beranjak dewasa. Kadang-kadang membuainya dengan hangat seperti selimut. Tapi juga mengusiknya. Seperti pagi ini.

Ia menguap setelah mengucek-ucek mata. Dipannya masih terasa hangat. Dan ada ketidakrelaan ketika sepasang kaki telanjangnya itu menyentuh lantai tanah yang dingin. Disibaknya sarung usang yang biasa dipakainya sebagai selimut. Ada cabikan kecil pada tepinya. Tidak terlalu jelek. Sarung itu konon dibuat di pedalaman Sulawesi Selatan. Dirajut secara tradisional dari kepompong ulat sutra. Lebih dikenal dengan nama sarung sutra Bugis.


Kisah tentang sarungnya itu sebenarnya tidak terlalu bagus. Ayahnya yang memberikannya tiga tahun lalu. Sehari sebelum Idul Fitri. Sarung itu merupakan benda terbaik dan paling berharga yang pernah ia miliki. Tidak disangka merupakan pemberian terakhir dari lelaki yang sehari-hari menjadi tukang tambal ban itu. Mengingat semua itu ia seolah dihadapkan pada layar kenangan dengan skenario lara. Bukan hal yang menyenangkan memang. Tapi kisah itu kerap hadir dalam kesendiriannya. Ketika Ibu berangkat kerja sebagai binatu keliling. Ketika Lanang, kakak laki-lakinya pergi mengamen, atau sekali-kali menjadi pengemis dengan menyewa bayi tetangga dengan upah satu nasi bungkus.

Di luar sudah terdengar gaduh rutinitas. Ada derit roda pada katrol timba parigi. Ada bunyi desau air dari kamar mandi berdinding lepa. Ada debum kasur yang ditepuk-tepuk karena baru saja malam tadi diompoli oleh sang orok. Juga bunyi berirama kayuhan patah-patah becak gerobak pedagang sayur. Setiap melewati jalan becek di depan rumahnya, lelaki tua bermata cekung itu selalu kerepotan. Ia harus turun dari sadel. Mendorong becak gerobaknya, sesekali menghindari tanah yang berlubang-lubang dan berlumpur. Lalu setelah berhasil melewati jalan yang selalu menyusahkannya itu, ia akan mengumpat-umpat dengan kalimat yang tidak jelas. Tidak ada yang pernah mengerti. Termasuk perempuan gemuk penjual jamu gendong yang selalu berpapasan dengannya.

Atau, seorang perempuan muda dengan pakaian norak berwarna manyala separo terbuka yang baru pulang dengan mata sembap. Perempuan itu biasa dipanggil Tin si Kupu-kupu Malam. Tin adalah kependekan dari Tinneke. Sebetulnya bukan itu nama sebenarnya. Menurut orang-orang kampung di dekat Kalijodo, perempuan itu aslinya bernama Tinah Suhartin. Dari Jawa. Namun setelah beradaptasi dengan kehidupan perkotaan, seperti bunglon ia pun mengganti namanya. Juga penampilannya.

Dari jalan masuk sinar matahari itu pula ia dapat mengintip semua kejadian pagi yang menjadi ritual harian orang-orang pinggiran. Lubang sobekan pada dinding kardus rumah itu sebesar bola tenis. Samar masih tertangkap buram gambar dan tipografi iklan sebuah rokok di sampingnya. Ada tambalan poster di sana-sini. Wajah lama Michael Jackson yang masih berkulit hitam tampak menguning. Sementara gambar klasik pasangan bintang Nike Ardilla dan Hengky Tornando berlubang-lubang belel dan bolong tersundut api rokok.

Lubang itu tidak terlalu besar dan juga tidak terlalu kecil. Kalau malam, ia dapat mengintip bintang-bintang di langit. Untuk rutinitas malam orang-orang kampung, ia tidak dapat lagi melihat apa-apa lagi selain kekelaman. Tidak ada apa-apa selain suara kodok atau sesekali gonggongan anjing buluk milik seorang pemulung kayu peti asal Madura di kelokan gang sana.
Dari kejauhan terdengar pula ritme gerit roda besi pada sambungan-sambungan rel. Kereta api jurusan Jakarta-Depok seperti tidak ada habis-habisnya. Setiap lima belas atau dua puluh menit sekali bunyi itu mengirama pada gendang telinganya. Suara itu juga kadang-kadang diimbuhi dengan bunyi serak dari sebuah radio tua milik tetangganya yang berjarak dua meter dari rumahnya. Pukul lima pagi tepat, siaran luar negeri BBC London pasti terdengar dari gelombang pendek radio transistornya. Tetangganya itu seorang purnawirawan tentara pada zaman Orde Lama. Semua bunyi tersebut mengirama seiring dengan usianya yang jalan tiga belas. Dan menjadi litani pada kehidupannya yang tawar.

Ia sudah terbiasa dengan ritme kehidupan yang sekian belas tahun diakrabinya.

***

Siang tadi ia mendadak kedatangan tamu penting dari sebuah SMA yang berlokasi di Selatan Jakarta. Seorang siswi. Cantik. Kelihatannya anak orang kaya di kota. Sebetulnya, bukan sengaja. Secara acak siswi itu mendatangi rumah-rumah yang dianggap paling kumuh. Tidak layak untuk ditinggali. Termasuk di rumahnya.

"Kamu sendiri?" ia bertanya, membuka pembicaraan setelah gadis tiga belas itu hanya menundukkan kepala dengan rupa gelisah. Ia duduk di amben belakang, menghadap keluar berseberangan dengan sebuah kanal dengan airnya yang keruh.

"Orangtua kamu?"

"Bapak sudah meninggal, tiga tahun lalu. Ibu lagi kerja, nyuci baju di rumah ibu-ibu di kampung sebelah. Saya ditinggal sampai sore. Tidak boleh ikut. Mesti jaga rumah."

Siswi itu mengerutkan keningnya. Melongokkan kepala ke arah dalam rumah kardus yang disinggahinya. Diedarkannya matanya ke sekeliling ruangan yang tidak lebih besar ketimbang toilet utama rumahnya di 'Pondok Indah'. Ini tidak layak disebut rumah. Di mana-mana beterbangan lalat dari tumpukan sampah tidak jauh dari tempat ia sekarang berada. Ia sama sekali tidak menyebut kata 'rumah' untuk tempat ini. Karena menurutnya, rumah yang ideal adalah 'home'. Dalam rumah kategori itu ada keharmonisan dan kedamaian suasana. Tidak seperti di tempat ini. Sangat jorok dan tidak sehat!

"Kamu tidak sekolah?"

"Tidak. Tapi, diajari baca sama Bang Lanang."

"Siapa dia?"

"Kakak. Bang Lanang pernah sekolah. Tapi cuma sampai kelas lima SD saja. Tidak sampai tamat."

"Kenapa?"

Gadis itu kembali menundukkan kepala. Binar di matanya meredup. Ia nampak gelagapan.

"Bapak keburu meninggal, Kak."

Siswi itu terhenyak sesaat. Tapi diuraikannya sebuah senyum paksa, menggebah rasa iba yang menyeruak mendadak. Ia sangat prihatin dengan kondisi yang dilihatnya.

"Kamu boleh panggil nama saya. Wulan. Kalau kamu?"

"Lintang, Kak."

"Hm, Lintang pernah kepikiran untuk sekolah tidak?"

"Ingin sekali. Tapi, biaya sekolah mahal...."

Wulan menghela napas. Kalimat lugu yang disampaikan Lintang barusan memang merupakan refleksitas kehidupan yang sebenar-benarnya. Bahwa betapa banyak kepincangan yang membumi di Nusantara ini.

"Lintang pernah menabung untuk dapat sekolah. Tapi...."

"Tapi kenapa?"

Gadis berambut kusam itu menggigit pelepah bibirnya. "Tapi Ibu marah. Ibu bilang, Lintang jangan berkhayal dapat sekolah. Karena untuk makan sehari-hari saja susahnya minta ampun."

"Ibumu bilang begitu?"

"Ya."

"Lintang kecewa?"

Gadis kecil itu menggeleng. "Tidak, Kak. Lintang sadar, setelah Bapak meninggal, untuk makan nasi bungkus saja kadang-kadang Ibu mesti mengemis ngutang di Mpok Minah, pemilik warung nasi di sebelah rumah."

"Jadi, selama ini apa Lintang tidak punya cita-cita?"

Gadis itu tersenyum samar. "Cita-cita Lintang hanya satu, Kak. Pingin jadi orang kaya!"

Wulan meneguk ludahnya yang terasa memahit. Ini tugas paling berat untuk bahan makalah Lingkungan Hidup yang dipilihnya. Seharusnya ia tidak boleh terbawa perasaan begitu. Sebab hal itu dapat mengganggu konsentrasinya. Bahan tulisannya bakal tidak obyektif lagi.

"Kak Wulan anak gedongan, ya?"

Wulan membeliak. Terkejut dengan pertanyaan dadakan dari Lintang. Ia kemekmek. Entah harus menjawab apa.

"Tidak juga. Tapi, keluarga Kak Lintang tidak susah-susah banget seperti...."

"Aduh, enak ya jadi orang kaya?"

"Ti-tidak selamanya...."

"Siapa bilang tidak enak? Buktinya Bapak meninggal karena ingin menjadi orang kaya...."

"Se-sebenarnya, bagaimana kematian Bapak kamu itu...."

"Persisnya, Lintang tidak tahu, Kak! Tapi, seminggu sebelum Bapak meninggal, Lintang pernah dengar Ibu bertengkar dengan Bapak. Kalau tidak salah dengar, Ibu bilang tidak setuju kalau Bapak ikut Kelompok Kapak Merah!"

Wulan nyaris kelengar. Kelompok Kapak Merah?! Bukankah....

"Dari Ibu, Lintang tahu kalau Kelompok Kapak Merah itu merupakan perkumpulan orang-orang yang sering merampok dan memalak orang-orang kaya bermobil di jalanan."

"Tapi, kenapa Bapak Lintang sampai terlibat?"

"Kata Ibu, Bapak terpengaruh. Waktu Lintang masih bayi, rumah gubuk kami di Kedungumbo kena gusur secara paksa. Bapak marah, menyimpan dendam sampai sekian tahun. Beserta beberapa sahabatnya, Bapak bergabung dengan Kelompok Kapak Merah. Bapak bilang sama Ibu sebelum meninggal, bahwa dia berjanji hanya akan merampok para pejabat korup saja, yang sudah diincar cermat jauh-jauh hari."

"Tapi, pada kenyataannya Kelompok Kapak Merah itu semakin meresahkan masyarakat Jakarta, Lintang! Semuanya disikat. Tanpa pandang bulu. Bukannya hanya para pejabat korup saja."

"Hal itu Lintang tidak mengerti, Kak. Tapi, kata Ibu, sampai di akhir hidupnya pun Bapak tidak pernah mengingkari janjinya. Setiap melaksanakan aksinya, Bapak selalu berusaha menghindari melukai, terlebih-lebih membunuh korbannya. Lagipula, uang hasil rampasan itu pun tidak pernah dipakai untuk berfoya-foya lazimnya perampok lain. Lintang pernah melihat sendiri Bapak membagi-bagikan jatah uangnya untuk tetangga-tetangga yang tidak dapat makan hari itu, kok!"

"Ta-tapi...."

"Bapak seperti Robin Hood ya, Kak?"

"Tapi...."

"Lintang tahu dari Bang Lanang, katanya, menurut koran-koran, apa yang dilakukan Bapak itu salah besar menurut hukum. Tapi, kalau begitu, kenapa tidak ada sanksi untuk para pejabat korup itu? Bukankah kejahatan mereka lebih besar ketimbang aksi Bapak yang dilakukan cuma demi sesuap nasi?"

"Ta-tapi...."

"Kadang-kadang Lintang tidak habis pikir, Kak. Dunia ini rasanya tidak adil. Bapak yang berjuang demi keluarga dan sesuap nasi, akhirnya mati mengenaskan, kena tembak polisi dalam sebuah aksinya. Sementara para koruptor itu melenggang bebas...."

Wulan terlongong mendengarkan ulasan gadis yang baru tumbuh remaja itu. Mulutnya seolah dibekap. Membungkam setiap perbendaharaan kalimat yang hendak terlontar. Ia mematung dengan beragam pikiran yang berkecamuk di benak. Tiba-tiba ia teringat kejahatan kerah putih yang terjadi di Tanah Air. Sebegitu parahkah penyakit lama bangsa besar ini?!

Ia menggigit bibir. Ini refleksitas!

Lalu gadis tiga SMA itu pamit undur. Ia berjanji akan datang esok. Bahan untuk makalahnya memang masih jauh dari cukup. Dirasakannya langkahnya memberat ketika melewati gugusan rumah kardus di perkampungan kumuh tersebut.

Hatinya gamang.***

Durian

Durian

Cerpen Djenar Maesa Ayu



Sudah hampir genap sebulan Hyza tidak berselera makan. Berat badannya menurun drastis, keceriaannya hilang, jantung berdebar-debar tanpa sebab pasti, dan kerap terserang rasa panik secara tiba-tiba. Hyza sudah menemui seorang psikiater yang ternyata hanya mampu memberikannya obat penenang dan penambah nafsu makan sebagai solusi tunggal.

Hyza memang tidak pernah secara terbuka menceritakan kepada psikiater penyebab kegundahannya. Ia malu dan sangat takut jika psikiaternya menyatakan bahwa dia gila dan harus mendapat perawatan di dalam rumah sakit jiwa. Ia tidak mampu mengatakan bahwa penyebab semua ini adalah sebuah durian.

Satu bulan yang lalu Hyza bermimpi. Seorang laki-laki datang padanya membawa sebuah durian berwarna keemasan. Tidak ada yang istimewa pada durian itu kecuali warnanya yang keemasan dan aromanya yang sangat menggiurkan. Ia memohon dengan suara parau kepada laki-laki itu untuk membaginya sedikit saja.



Namun, laki-laki itu berkata, "Hyza, durian ini milikmu ketika kau terbangun dari mimpimu."
Hyza menolak. Ia hanya ingin mencicipi durian itu sedikit saja dalam mimpi. Laki-laki itu bersikeras akan memberikan durian keemasan itu hanya jika Hyza bangun dari tidurnya, lalu ia bergegas pergi.


Sepanjang hidupnya Hyza tidak pernah sudi makan buah durian. Sewaktu ia masih sangat kecil, ia pernah bermimpi makan durian dengan sangat lahap. Ketika durian itu habis, perutnya lantas membesar. Tidak lama kemudian ia melahirkan seorang bayi perempuan berpenyakit kusta. Ia tidak pernah menceritakan kepada siapa pun perihal mimpinya. Tapi ia bersumpah untuk tidak pernah makan durian dan menjaga keturunannya dari kutukan penyakit kusta.


Hyza bercinta dengan banyak laki-laki. Ia tidak pernah malu-malu menyatakan keinginan seksualnya kepada siapa pun yang diinginkannya. Sewaktu Hyza berumur dua belas tahun, ia mengajak teman sekelasnya yang bernama Stefan untuk menginap di rumahnya.


Hyza hanya tinggal bersama dengan tiga orang pembantu. Sebuah kecelakaan telah merenggut nyawa kedua orangtuanya semenjak ia berumur tujuh tahun. Sebagai anak tunggal, ia mewarisi hampir seluruh kekayaan keluarga dan sebagian kecil lainnya dihibahkan kepada kakak laki-laki tertua ayahnya yang juga ditunjuk sebagai wali. Wali yang ternyata meniduri Hyza semenjak Hyza berumur sembilan tahun.


Ketika Stefan tertidur, Hyza mulai memperkosa Stefan. Ia mengunyah bibir Stefan, melucuti baju, dan memuaskan kehendaknya di atas tubuh Stefan yang tetap pura-pura tertidur.


Keesokan harinya Hyza berkata, "Stefan, saya tahu kamu tidak tidur."


Stefan tidak menjawab. Ia hanya bertanya tanpa melihat ke mata Hyza, "Bagaimana kalau kamu hamil?"


Hyza tertawa, "Stefan saya tidak akan hamil. Saya tidak makan durian...."

***

Tapi, sudah hampir genap sebulan ini Hyza ingin sekali memakan durian. Durian keemasan dengan aroma yang sangat menggiurkan. Setelah laki-laki dalam mimpinya pergi, ia terbangun dari tidurnya dan durian itu ada bersamanya, bersinar terang di dalam kegelapan kamar.
Anaknya yang berumur lima tahun ikut terbangun dan sambil mengantuk berkata, "Mama, matikan lampunya... Ma...."


"Itu bukan lampu, sayang... itu... sudahlah tidur lagi ya sayang, Mama matikan lampunya."
Gadis kecil itu mengangguk lalu kembali tertidur pulas di samping kedua saudara kembar perempuannya yang lain. Hyza bergegas keluar kamar sambil membawa durian keemasan itu lalu menyimpannya di dalam gudang.


Ketika Hyza kembali ke dalam kamar, wangi durian keemasan itu masih tinggal. Ia tidak dapat memejamkan mata. Wangi durian itu merasuki jiwanya. Memanjakan penciumannya. Membawa khayalnya melayang tinggi menembus langit-langit, beterbangan bersama kelap-kelip gemintang.


Ia ingin mengiris durian keemasan itu dengan sebilah pisau berkilat tajam. Ia ingin membelah durian itu dengan kedua belah tangannya perlahan hingga durian itu merenggang terbelah jadi dua bagian. Ia ingin menjilati tangannya yang sedikit berdarah tergores duri dan terkena daging buah durian, yang sedikit meyeruak ketika ia membukanya, lalu mengambil sebuah di dalam tangannya dan memasukkan perlahan di dalam mulutnya yang basah dan mengisapnya penuh dengan lidah hingga yang tertinggal hanya bijinya yang kini sudah sangat bersih.
Hyza mengerang pelan, lalu orgasme.

***

Pagi-pagi sekali Hyza bangun. Ia berjalan menuju gudang lalu mengeluarkan durian keemasan itu lalu membuangnya ke dalam bak sampah di depan rumah. Kemudian ia membangunkan ketiga anak kembarnya untuk bersiap-siap sekolah.


Ketika sedang sibuk memandikan ketiga anaknya satu per satu, hidungnya mencium bau yang sangat ia kenal. Tidak salah lagi, bau durian keemasan telah mengepung seisi rumah besar itu. Ia berteriak kepada pembantunya yang sudah sangat setia bekerja bersamanya semenjak ia masih kecil.

"Bi Inah.... bau durian dari mana ini?"

"Anu... Non... tadi waktu saya nyapu halaman ada buah durian di dalam tong sampah. Baunya wangiii deh Non... bersinar lagi, pasti ini bukan durian sembarang durian Non... ini pasti pertanda baik, durian keberuntungan! Jadi saya bawa masuk ke dalam. Mungkin malaikat yang sengaja taruh di depan tong sampah rumah kita... Non...."

"Aduh Bi Inah... itu durian ndemit! Dibuang aja Bi...."

"Lo, kok dibuang Non... Bi Inah nggak mau. Mohon maaf Non... kalau si Non nggak mau, Bi Inah yang mau simpan. Berarti ini durian keberuntungan buat Bi Inah."

"Bi Inahhh...!" Ketiga anak Hyza tiba-tiba menangis mendengar ibunya dan Bi Inah bertengkar.

Hyza kembali sibuk mengurus mereka bertiga. Menggantikan baju, menyiapkan sarapan lalu bergegas mengantar ke sekolah. Di dalam mobil sebelum Hyza berangkat, ia masih sempat berteriak mengingatkan Bi Inah, "Bi Inah, kalau saya pulang saya nggak mau durian itu masih ada di rumah. Ini perintah!"

Bi Inah diam saja. Ia menutup pintu pagar dengan wajah sedih.

***

Sesampainya Hyza di rumah, ia melihat durian keemasan itu di ruang tamu bersama dengan koper Bi Inah. Anak-anaknya berlarian mengerubuti durian itu.

"Mama... ini buah apa... kok bisa bersinar...."

"Siti...! Bawa anak-anak masuk ke dalam. Panggil Bi Inah sekarang!"

Bi Inah muncul sebelum dipanggil lalu duduk bersila di lantai. Dengan keras hati ia pamit pulang dengan membawa durian keemasan itu jika tidak diberi izin menyimpan. Hyza menghela napas dalam. Ia tidak dapat membayangkan hidup tanpa Bi Inah. Menjadi orangtua tunggal sama sekali bukan hal yang mudah. Apalagi menjadi orang tua tunggal dari tiga anak kembar.Hyza tidak tahu persis siapa yang paling pantas untuk dimintai pertanggungjawaban. Ketika ia mengandung, pikirannya lebih dibuat sibuk oleh pertanyaan seputar durian dibanding ayah dari janinnya. Ia tidak mengerti mengapa bisa mengandung padahal ia tidak pernah sekalipun makan durian. Selama sembilan bulan ia menunggu dengan penuh kekhawatiran akan penyakit kusta yang mungkin menjangkiti janinnya. Ketika proses persalinan, ia duduk sambil memandangi bayinya keluar satu per satu untuk memastikan apakah bayinya normal. Dan, ketika bayi-bayinya dinyatakan sehat, ia menerjemahkan mimpinya dengan jika ia makan durian, maka anak-anaknya yang kini lahir sehat walafiat kelak akan terjangkit penyakit kusta.

Hyza sangat mencintai anak-anaknya. Untuk pertama kali dalam sembilan belas tahun hidupnya, ia merasa kehadirannya di dalam dunia mempunyai makna. Kini ia dapat merasakan bagaimana rasanya dibutuhkan dan membutuhkan. Ia meninggalkan pergaulannya, juga laki-laki. Ia ingin anak-anaknya mempunyai kehidupan yang jauh lebih baik dari apa yang pernah ia dapatkan. Ia menghidupi anak-anaknya dari bunga deposito warisan keluarga dan sepenuhnya mengerahkan waktu dan tenaga untuk anak-anaknya.Namun, ia sadar benar, keberhasilannya menjadi orangtua tunggal di usia yang sangat muda ini tidak lepas dari jasa Bi Inah. Bi Inah tidak pernah dikaruniai anak maka ia ditinggal oleh suaminya. Ia mencintai Hyza sebagai anaknya sendiri dan mencintai anak Hyza layaknya cucu-cucunya sendiri. Tidak pernah sekalipun Bi Inah pulang kampung, bahkan pada saat Lebaran. Bi Inah tidak ingin pulang, ia malu kepada keluarga dan tetangganya di kampung karena ditinggal suaminya dengan alasan tidak dapat memberikan anak. Maka melihat keteguhan Bi Inah untuk pergi kali ini membuat hati Hyza gentar juga. Ia tidak siap kehilangan Bi Inah. Ia sangat membutuhkan Bi Inah.

Akhirnya Hyza mengalah. "Bi Inah. Bibi boleh menyimpan durian itu, Tapi jauhkan dari anak-anak. Taruh di dalam karung supaya baunya tidak ke mana-mana dan warnanya tidak memancing perhatian anak-anak. Taruh di kamar Bi Inah."

"Terima kasih Non... sebenarnya Bi Inah enggak mau pulang...." Bi Inah mulai menangis.

"Sudah... Bi Inah... saya nggak mau ikut-ikutan nangis. Sudah bawa duriannya ke dalam." Bi Inah membawa barang-barangnya kembali ke dalam sambil masih menangis. Hyza menghela napas dalam.

***

Sudah hampir genap sebulan durian itu tersimpan di dalam kamar Bi Inah. Seisi rumah sudah melupakannya, bahkan Bi Inah sendiri. Namun, Hyza tidak pernah melupakannya. Ia tidak pernah merasa tenang. Ia sangat ketakutan jika suatu saat anak-anaknya bermain di kamar Bi Inah lalu menemukan durian itu dan memakannya. Selain itu Hyza sangat menginginkan durian itu. Walaupun Bi Inah menyajikan masakan-masakan kesukaan Hyza, ia tidak merasa bernafsu memakannya. Pikirannya hanya terpaku pada durian. Durian keemasan dengan aroma yang sangat menggiurkan.

Selain penenang dari psikiater, Hyza mulai minum minuman keras. Ia kembali pada pergaulannya yang dulu. Banyak laki-laki mulai mendekati, namun yang Hyza inginkan hanyalah durian dalam kamar Bi Inah. Ia menginginkan durian keemasan yang dibawa oleh seorang laki-laki di dalam mimpinya dan ia temukan dalam kehidupannya yang nyata. Ia mulai membenci durian itu. Ia mulai membenci dirinya sendiri.Pada suatu hari dalam keadaan mabuk ia mengambil durian dari dalam kamar Bi Inah dan menukarnya dengan durian palsu yang sudah ia lapisi emas. Kali ini ia membungkusnya dengan berlapis-lapis koran, memasukkannya ke dalam kantong plastik sampah hitam bersama dengan kotoran-kotoran lain, lalu membuangnya ke dalam tong sampah.

Namun, pagi-pagi sekali Hyza sudah bangun lalu mengais-ngais tong sampahnya sendiri dan membawa masuk durian keemasan itu dengan hati lega dan gembira. Tapi, ketika hari-harinya lagi-lagi dirisaukan dengan keinginannya untuk mencicipi durian itu, ia mulai membenci durian dan dirinya sendiri kembali. Maka ia membulatkan tekadnya, lalu kembali mencuri durian dari dalam kamar Bi Inah dan kali ini membuangnya ke kali. Namun, baru beberapa menit setelah ia membuang durian itu, ia mengemudikan mobilnya kembali ke kali.

Durian itu sudah tidak ada. Hyza merasa persendian kaki-kakinya lumpuh, hatinya gundah, air matanya bercucuran membasahi pipinya. Ia berlari menyusuri sepanjang kali di kegelapan malam. Segerombolan laki-laki yang sedang mabuk di tepi kali menghadangnya dan memerkosanya bergantian habis-habisan. Hyza tidak peduli, ia melayani nafsu segerombolan laki-laki itu dan ketika mereka semua selesai kelelahan Hyza kembali berlari menyusuri kali itu.

Dari kejauhan ia melihat sinar redup dari sebuah karung yang tersangkut ranting menjurai. Tanpa berpikir panjang Hyza terjun ke dalam kali penuh tahi berseliweran dan berenang ke arah karung berisi durian keemasan itu. Ketika ia berhasil menggapai karung berisi durian keemasan, seorang laki-laki membantunya naik ke atas.

Lalu laki-laki itu berkata, "Aku yang melihat karung itu lebih dulu. Aku yang memilikinya. Wilayah kali ini adalah milikku. Jika kamu menginginkan karung itu, kau harus menyetubuhiku."

Hyza mengabulkan permintaan laki-laki itu. Sama seperti dirinya yang mengalah untuk memiliki durian itu, namun tetap berjanji untuk manahan keinginannya untuk tetap tidak mencicipinya.

***

Sudah hampir genap sebulan Hyza tidak berselera makan. Ia hanya menginginkan durian berwarna keemasan dan beraroma sangat menggiurkan. Lalu ia kembali bermimpi. Laki-laki itu datang padanya dan bertanya, "Sudahkah kamu mencicipi durian itu?"

"Itu bukan durian. Itu durian berbuah kuldi. Dan, saya tetap tidak mau memakannya"

"Lalu mengapa kamu menginginkannya?"

"Karena saya manusia biasa yang dikaruniai rasa untuk menginginkan, namun saya juga dikaruniai akal untuk memutuskan apa yang tidak dan harus saya lakukan."

"Lalu mengapa kamu tetap menyimpannya?"

Hyza tertegun sejenak tanpa dapat menjawab pertanyaan laki-laki itu.


Ketika Hyza terbangun, ia bergegas kembali ke kamar Bi Inah dan menemukan karung berisi durian keemasan itu sudah tidak ada. Dalam keadaan masih bingung ia berlari kembali ke kamarnya dan membangunkan anak-anaknya untuk bersiap-siap sekolah. Ia sangat terkejut ketika melihat ketiga anaknya sudah terjangkit penyakit kusta. Hyza terpaku di tempatnya.

Hanya kata-kata terakhir laki-laki dalam mimpinya saja yang masih terngiang-ngiang di dalam telinganya, "Dalam mengaku pun Hyza, seseorang mungkin masih munafik!"

Calon Presiden

Calon Presiden



SEORANG lelaki tampan, dengan pakaian hitam-hitam, rambut agak gondrong, tinggi langsing, kulit sawo matang, berusia sekitar 40 tahun, datang menemui saya. Wajahnya begitu khas. Wajah yang mengesankan milik keturunan ningrat atau keraton. Sebelumnya, sekretaris redaksi di kantor tempat saya bekerja memberitahu saya, ada tamu istimewa ingin menemui saya. Ketika saya tanya, siapa namanya, ia kembali menegaskan; tamu istimewa! Tidak lebih dari itu.

Dan tamu istimewa itu kini sudah ada di ruangan saya. Ia menyalami saya dengan ramah, lalu duduk berhadapan. Saya merasakan kharismanya yang menakjubkan.

"Anda siapa?" tanya saya.

"Bukan siapa-siapa," sahutnya pendek.

"Maksud saya, nama Anda?"


"Sebut saja nama yang Anda inginkan, itulah nama saya."

"Anda tidak punya nama?"

"Entahlah. Saya sendiri lupa lagi nama saya. Mungkin Wisnu, mungkin Surya, mungkin Yudistira, mungkin Manikmaya, mungkin Bisma, mungkin Kresna, mungkin Sadewa, mungkin Aradea, mungkin juga Arjuna."

"Jadi saya mesti memanggil Anda dengan sebutan apa?"

"Kan sudah saya bilang, apapun yang Anda sebut, itulah nama saya. Suka-suka Anda."

"Anda dari mana?"

"Saya baru turun gunung. Lima tahun lamanya saya semedi di puncak sebuah gunung."

"Semedi lima tahun? Buat apa?"

"Buat meyakinkan diri, apakah pantas atau tidak kalau saya mencalonkan diri jadi presiden."

"Mencalonkan diri jadi presiden?"

"Saya sudah bisa menduga, Anda pasti tidak akan percaya."

"Maksud saya, jadi calon presiden itu kan mesti melalui partai yang signifikan jumlah suaranya. Nah, partai Anda apa?"

"Saya tak perlu partai."

"Tanpa partai Anda tak akan bisa mencalonkan diri jadi presiden."

"Itu kan peraturan masa sekarang. Bagi saya tidak berlaku, sebab saya datang dari masa lampau. Saya tidak kena peraturan itu. Saya turun gunung karena mendapatkan wangsit untuk memimpin negeri ini."

"Wangsit dari siapa?"

"Dari sekian banyak leluhur saya. Sebut saja nama leluhur yang Anda kenal, itulah leluhur saya. Mungkin Sri Baduga Maharaja, mungkin Walangsungsang, mungkin Wastukancana, mungkin Mandi Minyak, mungkin Sang Manarah, mungkin Bagus Rangin, mungkin Geusan Ulun, mungkin Suryakancana, semua serba mungkin."

"Tapi kata seorang paranormal, yang akan memimpin negeri ini lima tahun ke depan, berasal dari Jawa."

"Ya, mungkin saja saya. Saya kan tidak tahu persis, apakah saya ini orang Jawa, Sunda, atau orang Indonesia Timur. Anda buka lagi sejarah, dulu yang sangat dikenal itu kan Sunda Besar dan Sunda Kecil."

"Lalu, apa maksud kedatangan Anda ke sini?"

"Saya butuh publikasi. Koran yang Anda pimpin adalah koran harian terkemuka yang beroplah besar dan sangat disegani. Tolong Anda wawancarai saya, dan tulislah tentang saya. Biar masyarakat tahu, calon pemimpin yang selama ini mereka dambakan telah datang dan siap memimpin negeri ini."

Saya termangu sesaat. Tamu istimewa itu sepertinya memahami kebingungan saya.

"Saya bisa merasakan kebingungan Anda. Tapi yakinlah, kalau Anda menulis tentang saya, pasti banyak pembaca yang ingin tahu. Bahkan tidak mustahil, oplah koran Anda akan meningkat. Saya datang dari masa lampau, dan saya hanya butuh ditampilkan melalui koran Anda."

"Dengan cara apa Anda bisa memimpin negeri ini?"

"Saya bisa menjadi insipirasi bagi siapapun yang mau memimpin negeri ini dengan tulus, dengan pengabdian, dan bukan untuk menguasai jabatan lalu mengumpulkan kekayaan. Seorang pemimpin sejati adalah pemimpin yang rela menderita untuk kesejahteraan rakyatnya. Bukan sebaliknya, menikmati kesenangan diatas penderitaan rakyatnya. Negeri ini negeri makmur. Dan adil makmur baru bisa terwujud, bila para pemimpin negeri ini selalu mengabdi pada kepentingan rakyat, dengan mewujudkan kedamaian dalam perbedaan, kemakmuran ekonomi dan kesejahteraan."

Saya terdiam sesaat. Memang aneh, meskipun saya berhadapan dengan orang yang benar-benar membingungkan, tapi saya begitu menikmati ucapan-ucapannya. Bahkan sama sekali saya tidak merasakan dan tidak punya anggapan bahwa tamu istimewa yang saya hadapi ini punya kelainan jiwa, misalnya. Ia telah menyihir saya untuk terus mendengarkan dan bertanya, malah tanpa terasa melakukan apapun keinginannya.

"Saya tahu, Anda masih meragukan saya," katanya. "Tapi saya juga tahu, Anda tidak menyepelekan kehadiran saya."

"Boleh saya tahu alamat Anda? Pekerjaan Anda? Keluarga Anda?"

Ia tersenyum.

"Saya datang dan pergi, saya ada dan tiada, saya hidup tanpa bekerja, saya sendirian. Alamat saya, jauh di masa lampau."

"Apakah itu zaman Pajajaran?"

"Anda kenal zaman Pajajaran?"

"Saya pernah membacanya."

"Saya tahu, di sini kalau bicara masa lampau selalu identik dengan Pajajaran, dengan Prabu Siliwangi. Anda punya kebanggaan pada masa lampau leluhur Anda. Sama seperti saya."

"Kalau Anda ingin dimuat dalam koran saya, Anda harus sebutkan nama Anda. Seperti kata Anda, saya bisa bebas memilih nama Anda, tapi saya lebih suka kalau nama itu disebut oleh Anda."

"Kalau Anda peka, sesungguhnya nama saya sudah banyak disebut. Bahkan saya berani memastikan, bahwa inisial huruf presiden yang akan datang adalah huruf A, M, W dan S.

"Singkatan dari nama apa?"

"A itu Adikarya, nama saya. M itu Mahakarya, juga nama saya. W. itu Wisnukarya, masih nama saya." Ia berhenti sesaat. Saya langsung bertanya.

"Lalu, S-nya singkatan nama apa?"

"Satria Piningit."

"Satria Piningit?"

"Pasti Anda pernah mendengarnya. Karena kata paranormal, dialah yang diharapkan bisa tampil sebagai pemimpin negeri ini, dialah yang diharapkan bisa mewujudkan harapan rakyat negeri ini. Dan saya datang memenuhi harapan rakyat negeri ini."

"Anda Satria Piningit?"

"Ya, sayalah orangnya."

Saya terdiam lagi. Ia menatap saya, lalu tersenyum.

"Saya tahu, Anda masih meragukan saya."

"Saya benar-benar bingung."

"Semua orang sekarang ini sedang bingung. Bingung memilih calon presiden yang sesuai dengan dambaan hati nuraninya, sebab kalau salah pilih, ia juga akan menanggung akibatnya. Maka sekarang inilah saat yang tepat untuk kehadiran saya. Tolong tulis dalam koran Anda, bahwa calon pemimpin yang didambakan sudah datang! Satria Piningit telah muncul!"

"Apakah rakyat akan percaya? Bukankah nama Anda tidak terdaftar dalam bursa calon presiden?"

"Yang namanya Satria Piningit itu justru muncul diluar dugaan. Bukan dimunculkan sebagai hasil koalisi dua partai, atau dirancang dan dicalonkan dari partai besar atau hasil konvensi. Saya pasti akan menyita perhatian, sebab saya muncul diluar daftar calon presiden."

"Saya makin bingung."

"Nanti Anda akan paham dan Anda akan menghargai kehadiran saya di sini. Boleh saya minta sesuatu dari Anda?"

"Apa?"

"Panggil fotografer koran Anda. Tolong foto saya di ruangan ini bersama Anda. Biar Anda yakin, bahwa Anda bersama calon presiden yang datang dari masa lampau."

Saya benar-benar seperti kena hipnotis. Tangan saya langsung memijit nomor telepon. Memanggil salah seorang fotografer. Kemudian seperti permintaannya, saya dipotret dengan dia di ruangan kerja saya.

Tanpa terasa, saya ngobrol dengan dia menghabiskan waktu tiga jam lebih. Ketika hendak meninggalkan ruangan saya, dia sempat berkata.

"Jangan salah memilih, sebab masa depan negeri ini sangat tergantung dari pemimpin hasil pilihan Anda."

Besoknya saya sudah menyiapkan tulisan tentang dia, dan saya beri judul "Calon Presiden, Satria Piningit Sudah Datang". Sesungguhnya saya juga tidak begitu yakin dengan tulisan itu, sebab siapa tahu presiden yang terpilih nanti adalah seorang wanita bukan seorang satria. Tapi yang sangat mengagetkan, justru setelah saya melihat hasil foto saya dengan Satria Piningit di ruangan kerja saya. Dalam foto itu begitu jelas sosok saya, tapi sosok Satria Piningit justru agak kabur, dan hanya berupa penampakan seorang satria tampan bermahkota yang wajahnya sama persis dengan dia. Jangan-jangan seperti yang dia ucapkan; saya datang dari masa lampau. Lalu saya mencoba merenung, apakah saya sedang menyaksikan Dunia Lain?

Percaya tidak percaya, akhirnya tulisan dan foto itu saya muat juga. Dan benar seperti apa yang dikatakannya, tulisan dan fotonya membuat heboh dan terus-menerus jadi bahan gunjingan. Tiras koran meningkat deras. Saya terpaksa menuliskan lagi tentang pertemuan dengan Satria Piningit itu lebih fantastis, atas permintaan pembaca. Tapi yang membuat saya kaget, sewaktu suatu hari saya menerima SMS misterius. Bunyi kalimatnya seperti ini: "Saya sangat mencintai negeri ini, dan kalau Anda mencintai negeri ini, jangan salah pilih. Anda tahu kriteria calon pemimpin yang bisa menyelamatkan negeri ini, kan? Sayalah calon presiden yang Anda dambakan!"

Dan di layar HP saya, lalu muncul sosok dalam gambar yang buram. Sosok yang sama persis dengan foto penampakan Satria Piningit yang datang ke kantor saya.

Tiba-tiba telefon di meja kerja saya berdering. Saya segera mengangkatnya. Terdengar suara seseorang.

"Bolehkah saya bertemu dengan Anda?"

"Anda siapa?"

"Calon Presiden."

"Calon Presiden?"

"Ya."

"Satria Piningitkah?"

Tidak terdengar jawaban.

Saya termangu sesaat. Tiba-tiba pandangan saya tertuju ke arah pintu ruangan. Pintu bergerak seperti ada yang membuka. Tapi tak ada siapa-siapa. Tak ada penampakan Calon Presiden. ***



Cerita Pendek Eddy D. Iskandar

Teater Dewala

Teater Dewala



Sepuluh menit sehabis menyaksikan Indepedence Day, Prabu Kresna masih mengumpat-ngumpat kepada para Punakawan. “Sebel gua, lagi-lagi propaganda Amerika. Apa sih maunya Amerika? Dasar Yahudi!”

“Tapi Prabu, saya tidak melihatnya dari sisi itu. Ajakan untuk berdamai dan bersatu melawan musuh dari luar angkasa itu sangat menarik. Apa salahnya kita ajak Dursasana untuk bersatu melawan musuh dari laur angkasa, dari Jupiter misalnya?” balas Astrajingga.

“Dalam dunia pewayangan, tak ada makhluk luar angkasa selain para dewa. Dewa jangan diberontak, mereka sponsor kita kok.”

Sesaat hening. Gerombolan Pandawa berbelok ke arah Kentucky Fried Chicken. Melewati Alun-alun Bandung, tiba-tiba Kresna, gerombolan Pandawa, dan Punakawan itu merasa dirinya masing-masing kembali menjadi remaja. Bahkan Arjuna kembali menjadi ABG, begitu ngepop. Dikenakannya syal berwarna merah dan kacamata hitam. Nakula dan Sadewa tiba-tiba berlagak sebagai penyanyi rap yang sladak-sluduk itu. Astrajingga dan Gareng ikut berlenggak-lenggok sebagai penari latar sekaligus menjadi Backing vokal, “Kramotak, kramotak!” Hanya Dewala yang bisa mengontrol diri dan tampak kalem, tidak terpengaruh oleh hiruk-pikuk ABG yang modernis itu. Tiba-tiba beberapa orang merasa lapar dan menuduh Prabu Kresna yang mengajak mereka berbelok ke arah Kentucky.

“Siape ni nyang ngulang tahun, mo nraktir ceritanya?” hampir berbarengan Nakula dan Sadewa bertanya kepada rombongan.

“Bukan mau nraktir, BM dong!” balas Kresna.

“Belum begitu laper gua ini, kita masuk pub dulu!” ajak Bima.

“Sambil makan malam, kita perlu merundingkan kembali materi untuk peringatan hari kemerdekaan negeri kita. Aku tiba-tiba tergagasi oleh film tadi,” sahut Kresna.

“Maksud Prabu?” Yudistira yang dari tadi miring saja, terlihat gairahnya kalau diajak berpikir serius.

“Apa kita hanya akan menampilkan kabaret saja untuk perayaan negara. Kan kemarin kita terima faksimil dari seluruh propinsi bahwa mereka tidak akan menampilkan kesenian daerahnya masing-masing. Malah utusan dari Astina akan menampilkan operet Maria Cinta yang Hilang, apa tidak membingungkan pikiranku melihat realitas apresiasi masyarakat sudah turun seperti itu? Rusak Re, Rusak!”

“Inilah salahnya Prabu, kita sekarang terlalu berjarak dengan wong cilik,” Dewala mencoba menjelaskan.

“Jangan sok tahu Kau. Urusanmu mengelola satpam dan tukang parkir.”

Dibentak seperti itu, Dewala mengambil sikap diam seribu bahasa. Punakawan yang lain menyikutnya, bahkan Semar menjewer kupingnya.

Seperti biasa, Gareng kebagian memesan hidangan. Para pengunjung tanpa disuruh segera meninggalkan makanannya. Mereka ketakutan dan terbirit-birit keluar setelah membayar makanan. Seorang anak kecil yang biasa mengemis atas suruhan Kurawa, segera bersembunyi ke belakang dan memijit remot recorder. Rupanya dia dan pemilik rumah makan itu bersekongkol sebagai agen mata-mata Astina. Hasil pembicaraan pemerintah Amarta malam itu sampai ke telinga Patih Sengkuni dan Resi Kombayana.

“Jadi mereka akan mengundang kita untuk menyelenggarakan acara kesenian yang akan melibatkan personal dari berbagai negara. Kukira ini usulan yang baik dan kita harus menyambutnya. Kita bisa menyusupkan orang-orang kita untuk menyelidiki lebih jauh rencana-rencana Pandawa dalam Barata Yudha nanti,” demikian Kombayana punya usul.

“Kukira tidak mesti seperti itu. Barata Yudha adalah sebuah takdir yang mesti kita terima. Takdir kita untuk menerima kekalahan. Apa pun yang kita rencanakan, Dewata telah memutuskannya,” Bisma mengingatkan.

Tiba-tiba rapat di pihak Pandawa menjadi kacau balau. Mereka mendengar laporan bahwa Challenger meledak dan Chernobil bocor. Semar hanya gigit jari ketika Gatotkaca melaporkan kejadian sesungguhnya. Bima menggebrak meja.

“Misi ujicoba kita gagal.”

“Ini kehendak Dewata. Mungkin kita terlalu serakah dan ceroboh.” Semar mengingatkan.

“Tidak, Kurawa telah terlalu curang dan tidak bisa dibiarkan. Karena itu, misi perdamaian lewat kesenian dalam perayaan ulang tahun negara seperti yang diusulkan Dewala hanya omong kosong. Perdamaian hanya menghambat rencana Dewata. Tak ada kesenian dalam merebut kemenangan. Perang dan kekerasan adalah dua jalan yang bersatu menjadi satu arah untuk mencapai kemenangan.” Arjuna bersungut-sungut. Tangannya masih menggenggam paha ayam.

Bima meraung-raung, suasana rapat menjadi lebih kacau. Nakula dan Sadewa ikut naik pitam. Tapi Yudistira cepat berpikir dan berlaku bijak. Ia membubarkan rapat dan memohon Prabu Kresna dan Wak Semar menyabarkan yang lain. Acara untuk menyambut hari ulang tahun kemerdekaan negara akan dipikirkan. Mungkin bisa jadi kesenian sebagai alternatif untuk mencapai perdamaian. Sementara kerusakan teknologi akan diserahkan kepada Batara Guru.

Berhari-hari Yudistira menghadapi komputer dan mencerna John Naisbitt tentang Kebangkitan Asia. Berhari-hari pula ia menjauhkan diri dari ranjang Drupadi, dari kopi dan dari rokok. Keningnya semakin mengerut seperti kening Einstein. Kalau sudah seperti itu, ia biasanya merasa bisa berpikir lebih tepat. Kebiasaannya bersemedi ditinggalkan, ia lebih suka berhadapan dengan komputer dan internet. Tapi jalan keluar untuk damai belum juga didapatnya. Diam-diam ia tertarik dengan usulan Dewala. Dipanggilnya Dewala saat itu juga.

“Saya punya obsesi dari dulu untuk menggelar naskah Pandawa Adu Dadu, tapi tidak ada sponsor sampai saat ini. Sekarang berteater tidak bisa lagi diberangkatkan dari apa adanya. Dulu bambu bisa menebang milik siapa saja, sekarang rakyat sudah menjadi materialis, segala benda serba diuangkan. Syukurlah kalau Prabu Yudis mau sponsori obsesi saya.”

“Bagi saya, pokoknya naskah karya siapa pun tak menjadi masalah, tetapi yang bisa membawa pada aufklarung dan bertemakan perdamaian dunia,” jelas Yudistira.

“Justru naskah ini tepat sekali, Prabu. Kita tahu bahwa Pandawa kalah taruhan. Cerita kekalahan ini akan sangat menyenangkan bagi Suyudana dan kawan-kawan. Kita harus mengalah dan membahagiakan saudara-saudara kita yang memilih jalur menjadi lawan. Kita mengalah untuk menang, mengapa karena kita tahu bahwa di Barata Yudha nanti mereka akan kalah, itu sebabnya bahagiakanlah mereka dari sekarang. Dengan dibahagiakan, insya Allah deh mereka tidak akan terlalu brutal dan mau menerima putusan Dewata dengan dada yang lapang.”

“Tapi apa justru tidak akan membuat semakin pongah?”

“Sebenarnya ini tergantung dari sumber daya manusianya sendiri, kalau memang bakatnya membelot ya membelotlah. Akan tetapi kita mesti terus berusaha dengan cara mengingatkan kembali diri kita masing-masing pada sejarah. Sebenarnya waktu Pandawa mau diajak main dadu, mereka tidak tahu bahwa mereka akan dicurangi oleh Paman Sengkuni. Ini menjadi pelajaran juga bagi kita selaku pemegang pemerintahan untuk tidak terbawa oleh arus dan rayuan gombal musuh. Saya punya teknik, selain nanti para pembesar dari berbagai negara diundang, juga para teaterwannya diajak untuk ikut bermain dalam pementasan ini. Dengan demikian, silaturahmi antarseniman pun terbina. Konon katanya menurut mitos, seniman adalah pintu terakhir yang akan menjaga persaudaraan dan kebersamaan.”

“Tapi saat ini saya ragu, soalnya seniman di negeri kita sendiri tengah gontok-gontokan.”

“Itu wajar karena mereka punya ideologi. Tetapi kita juga tahu, bahwa mereka saling menghargai pendapat dan karya seniman lain. Eu begini Prabu, dalam akhir cerita, saya akan membalikkan fakta. Pokoknya semua serba menyenangkan tamu undangan.”

“Apa itu?”

“Ada saja. Pokoknya rahasia. Nanti Prabu tidak merasa surprise lagi kalau saya beritahu dari sekarang.”

***

Singkat cerita, Dewala menjadi sutradara. Astrajingga mau menjadi Dursasana karena dibohongi oleh Dewala. Kabarnya yang akan menjadi Drupadi adalah istrinya Arjuna. Tapi setelah mendekati pementasan, casting itu diganti oleh Aswatama yang baru pulang studi komperatif tentang antropologi dari Amerika. Para seniman raksasa dari Astina menjadi Pandawa sedangkan para seniman dari Amarta menjadi Kurawa dalam casting ini.

Dadu dilempar. Untuk lemparan pertama Kurawa kalah. Sengkuni tertawa, “mereka tertipu,” bisiknya. Para tamu undangan dari Astina terutama yang tidak pernah membaca karya sastra dan membaca sejarah wayang, tampak tegang. Sedang tamu undangan dari fihak Amarta bangga karena Pandawa menang dalam lemparan pertama itu. Begitu lemparan kedua dan selanjutnya, raut muka kedua belah pihak berubah. Pandita Durna dan Sengkuni menampakkan senyum kemenangan sambil melirik Yudistira yang tercenung mengerutkan dahi. Pada lemparan ke-sepuluh Amarta harus menyerahan negara sebagai taruhannya, dan kalah.

“Mustahil,” gumam Arjuna.

Pada lemparan terakhir, bila Pandawa kalah lagi mereka harus menyerahkan Drupadi sebagai taruhannya. Tentu saja Drupadi keberatan, tapi tak ada lagi benda yang bisa dipertaruhkan oleh Pandawa. Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa, dan seluruh kekayaan telah amblas ke tangan Kurawa. Bagi Dursasana yang belum beristri, justru taruhan yang paling berarti adalah Drupadi. Untuk apa para kesatria Pandawa itu, untuk apa kerajaan Amarta toh ia sudah bertahta di singgasana Astina.

Ternyata Drupadi harus direlakan kepada Kurawa. Drupadi sesungguhnya tak percaya dengan kekalahan taruhan dadu ini, tetapi ia bahagia karena ini bisa menjadi kesempatan baginya untuk nyeleweng meskipun hanya dalam dongengan. Drupadi ingin tahu sehebat apa kejantanan Dursasana yang tergila-gila olehnya.

Yudistira menunduk dan memejamkan mata ketika satu persatu pakaian Drupadi ditanggalkan oleh Dursasana. Brahmana dan seluruh Ksatria Pandawa telah disekap dalam penjara sebagai tawanan taruhan.

Di luar plot cerita yang sesungguhnya, ternyata Drupadi bisa ditelanjangi oleh Dursasana yang diperankan oleh Astrajingga. Pada mulanya Astrajingga dengan penuh semangat menelanjangi Drupadi. Tetapi kemudian menjerit dan melompat dari panggung saat harus memperkosanya, karena yang memerankan Drupadi adalah Aswatama. Aswatama, keturunan homoseks itu mengejar-ngejar Astrajingga, “Please, touch me! Touch me!”

Kejar-kejaran terjadi, membuat para penonton naik pitam. Resi Kombayana yang merasa ditelanjangi tentu saja marah tapi Bima tak kalah gertak.

“Ternyata Aswatama itu seorang homoseks, Para Penonton.” Tiba-tiba Gareng menjelaskan lewat mikropon.

Kurawa merasa tertipu dan dihina habis-habisan. Bodyguard dan pelindung Dursasana langsung memberondongkan peluru. Gatotkaca melesat ke angkasa, dilemparkannya senjata kimia. Antareja yang tidak mau menjilat jejak sendiri, melesatkan senjata laser dari jilatan lidahnya. Tapi justru tentara Pandawa yang mampus, sedang tentara Kurawa menjadi kebal.

Barata Yudha meledak dengan diawali adu panco antara Bima dengan Puntadewa. Sampai saat ini belum ada yang kalah. ***



Cerpen Doddi Achmad Fawdzy

Aku Bukan Cina

Aku Bukan Cina

(Sebuah cerpen reflektif)


Diambil dari http://carock-roro.blog.friendster.com/2007/09/aku-bukan-cina-sebuah-cerpen-reflektif/




Di formulir pendaftaran masuk universitas swasta itu aku melihat sebuah kolom kecil. Sebuah kolom yang berisikan tiga pilihan kewarganegaraan, yaitu WNI Asli, WNI Keturunan, dan WNA.
Untuk sesaat aku tertegun, bingung. Akupun mulai mengingat-ingat identitas diriku, orang tuaku, kakek-nenekku, sampai buyut-buyutku. Aku teringat kata-kata orang tuaku, paman-bibiku, dan nenekku, mereka bilang kami termasuk aku adalah orang Cina. Akupun menjadi bertambah bingung.

Di tengah-tengah kebingunganku, aku mengambil akta kelahiranku dan selembar surat yang menerangkan kewarganegaraanku. Di akta kelahiranku tertulis sebuah nama yang sama sekali jauh dari bahasa dan budaya Cina, bahkan kalau boleh aku bilang lebih dekat dengan bahasa dan budaya Barat. Di akta itu juga jelas-jelas tertulis Surabaya sebagai tempat kelahiranku, sebuah kota yang terletak di propinsi Jawa Timur, yang kalau aku tidak salah ingat dan kalau masih belum ada perubahan kebijakan adalah wilayah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sementara itu di lembar surat kewarganegaraanku tertulis bukan Cina, bukan Amerika, tetapi Indonesia. Untuk memperkuat, akupun mengambil akta kelahiran dan surat kewarganegaraan kedua orang tuaku. Hal yang sama aku temukan, hanya saja nama kedua orang tuaku lebih dekat dengan bahasa dan budaya Jawa, walaupun dalam sehari-hari panggilan mereka adalah panggilan yang berbau Cina.

Akupun mendatangi ibuku dan bertanya padanya. Aku tanyakan sebenarnya dia itu orang apa, dia menjawab bahwa dia adalah orang tenglang (Cina). Akupun bertanya lagi dimana dia lahir dan besar, dia menjawab bahwa dia lahir dan besar di Surabaya. Sampai disitu otakku mulai tergelitik. “Lho, Mama bilang Mama lahir di Surabaya, kenapa Mama bilang Mama orang tenglang? Bukankah seharusnya Mama ini orang Indonesia, orang Surabaya?” tanyaku kepadanya. Serta merta dia menolehkan pandangannya dari wajan ke wajahku, matanya menyipit, dan sesaat kemudian dia tersenyum. “Nak, memang Mama lahir di Surabaya tapi Mama bukan orang Indonesia. Mama orang Surabaya itu memang benar karena Mama lahir di sini, tapi Mama dan Papa adalah orang tenglang, sama seperti Engkong dan Emakmu, dan kamu juga.”

Akupun menjadi semakin bingung. “Ma, secara logika Surabaya adalah bagian dari propinsi Jawa Timur, dan Jawa Timur adalah bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jadi secara logika antropologis Mama, Papa, Engkong, Emak, dan aku adalah orang Indonesia. Bagaimana mungkin orang yang lahir dan besar di Surabaya yang jelas-jelas bagian dari suatu negara yang bernama Indonesia mengaku kalau dirinya adalah orang tenglang??? Itukan tidak nalar namanya.” Kali ini pandangan mamaku terlihat lebih tajam, kompor dia matikan, dan wajan dia tinggalkan. “Nak, negara Indonesia hanyalah sebuah negara, itu saja. Sedangkan kita, kita hanya lahir dan besar di sini, itu saja. Kita tidak akan pernah menjadi orang Indonesia karena memang di darah kita tidak pernah ada darah Indonesia, yang ada adalah darah Tionghoa, darah Cina. Orang Indonesia adalah orang pribumi, orang Jawa yang kulitnya sawo matang dan bermata lebar, orang Ambon yang kulitnya hitam dan berambut keriting, orang Batak yang kulitnya juga sawo matang tetapi berlogat Batak, dan lainnya. Sedangkan kita, kita jelas-jelas berbeda. Kulit kita putih kekuning-kuningngan, mata kita sipit, dan rambut kita hitam lurus persis seperti orang Cina asli. Jadi jelas kita adalah orang Cina bukan orang Indonesia.”

Tiba-tiba saja darah dalam tubuhku mendidih, aku seperti mau meledak rasanya. Aku mundur sedikit dari hadapan ibuku, sambil tetap menatap matanya. “Waktu kecil ketika aku bermain dengan teman-teman sekampung, mereka selalu memanggil aku dengan sebutan Cina Sipit. Waktu itu aku tidak mengerti dan aku mengacuhkannya saja sembari tetap bermain. Aku pikir ketika itu, sebutan itu hanyalah sebuah bahan bercanda saja karena memang perawakanku yang mirip dengan orang-orang Cina yang ada di TV. Bahkan sampai aku besar sekarang aku tetap menganggap sebutan itu hanya sebagai bahan bercanda saja. Karena bagiku aku adalah orang Indonesia. Kalaupun Papa, Mama, Engkong, dan Emak berkata kepadaku kalau aku adalah orang tenglang aku anggap itu sebagai salah satu suku dari banyak suku yang ada di Indonesia seperti halnya suku Jawa, suku Ambon, suku Batak, dan lainnya. Namaku bukan Wong Fei Hung, bukan Lee Kwan Yue, dan bukan Liem Soe Liong. Dalam namaku tidak ada satupun kata yang menunjukkan kalau aku adalah orang Cina. Bahkan dalam surat kewarganegaraan Papa, Mama, dan milikku jelas-jelas tertulis bahwa kita adalah warganegara Indonesia bukan warganegara Cina. Di akta kelahiran Papa, Mama, dan milikku jelas-jelas tertulis bahwa kita lahir di Surabaya, bukan di Beijing atau Guangzhao. Bahkan pada saat ini juga kita berbicara menggunakan bahasa Indonesia, bukan bahasa Cina. Seingatku kita juga belum pernah menginjak negara yang namanya Cina itu. Cina hanya kita tahu dari cerita, dari TV, dan dari koran. Bagaimana mungkin kita mengaku-ngaku sebagai orang Cina, padahal kita tidak pernah menginjakkan kaki di sana, dan bahkan tidak pernah sekalipun kita berbicara menggunakan bahasa Cina??? Itu mimpi namanya Ma, khayal, tidak logis dan jelas-jelas tidak realistis!!!”

Pada saat itu juga wajah ibuku memerah, sekejap saja sebuah tamparan mendarat di pipiku. “Dasar anak tidak tahu diri, tidak tahu di untung orang tua!!! Orang Indonesia itu hina, goblok, kere, koruptor, dan maling. Beda dengan kita orang Cina, kita tidak akan pernah jadi orang Indonesia. Orang Indonesia bisanya hanya mencuri uang kita, menginjak-injak, dan mendiskriminasi kita. Mereka iri karena kita bisa kaya melalui usaha kita sendiri dan mereka tetap kere walaupun sudah berusaha keras sampai mulutnya berbusa-busa!!! Jadi tahu, kita, kamu bukan orang Indonesia, kita orang Cina!!!”

Kuangkat wajahku kembali menatap mata ibuku, jari telunjukku menatap ke lantai. “Mama tahu siapa yang lebih hina?? Orang yang tidak bisa menerima keberadaan dan hakekat dirinya sendiri, orang yang hidup dalam utopianya sendiri tanpa mau menerima realita yang ada pada dirinya, seorang pesakitan yang menyangkal dirinya sendiri. Mama tahu siapa yang lebih goblok dan kere?? Orang yang tidak menyadari potensi dirinya, orang yang mau merendahkan dirinya sendiri demi sebuah uang, orang yang mau memberikan dirinya diperalat orang goblok dan kere lainnya demi sebuah jabatan dan prestise semu. Mama tahu siapa yang lebih korup dan maling?? Orang yang tidak mempunyai otak dan iman. Orang yang egois, yang tidak pernah mau mempedulikan sesamanya yang kesusahan. Orang yang maunya hanya menyelamatkan pantatnya sendiri, seorang pengecut yang lari sampai terkencing-kencing, seorang yang tidak mempunyai malu dan perasaan bersalah. Sampai-sampai hanya setan saja yang bisa menyamainya.” Kutundukkan wajahku sebentar, kuangkat kembali menatap mata ibuku, kuarahkan telunjukku pada dadaku. “AKU ORANG INDONESIA!!! Dan aku tidak hina, tidak goblok dan kere, aku bukan koruptor, dan aku bukan maling. Aku lahir di Indonesia, aku besar di Indonesia, dan jika Tuhan ijinkan aku akan dengan senang hati mati di tanah air ini, dikuburkan di sini, di tanah Indonesia.”

Dalam kebingungan dan barangkali kemarahan yang amat sangat, kutinggalkan ibuku sendirian di dapur. Tidak ada suara yang keluar dari mulutnya, hanya hening dan helaan nafas yang panjang sesekali pendek. Kurasa dia shock melihat sikap anak kesayangannya. Namun, aku tidak ambil pusing. Aku segera kembali menuju ke formulir pendaftaran masukku. Di kolom kewarganegaraan tersebut aku lingkari WNI Asli dengan mencoret kata ASLI untuk subkolom calon mahasiswa. Sedangkan untuk subkolom orang tua/wali calon mahasiswa aku lingkari WNA. Aku tidak mau terjebak dalam arus kepicikan ini.

Legenda Wongasu

Legenda Wongasu


SUATU ketika kelak, seorang tukang cerita akan menuturkan sebuah legenda, yang terbentuk karena masa krisis ekonomi yang berkepanjangan, di sebuah negeri yang dahulu pernah ada, dan namanya adalah Indonesia. Negeri itu sudah pecah menjadi berpuluh-puluh negara kecil, yang syukurlah semuanya makmur, tetapi mereka masih disatukan oleh bahasa yang sama, yakni Bahasa Indonesia, sebagai warisan masa lalu.Barangkali tukang cerita itu akan duduk di tepi jalan dan dikerumuni orang-orang, atau memasang sebuah tenda dan memasang bangku-bangku di dalamnya di sebuah pasar malam, atau juga menceritakannya melalui sebuah teater boneka, bisa boneka yang digerakkan tali, bisa boneka wayang golek, bisa juga wayang magnit yang digerakkan dari bawah lapisan kaca, dengan panggung yang luar biasa kecilnya. Untuk semua itu, ia akan menuliskan di sebuah papan hitam: Hari ini dan seterusnya “Legenda Wongasu”.

Berikut inilah legenda tersebut:

“Untung masih banyak pemakan anjing di Jakarta,” pikir Sukab setiap kali merenungkan kehidupannya. Sukab memang telah berhasil menyambung hidupnya berkat selera para pemakan anjing. Krisis moneter sudah memasuki tahun kelima, itu berarti sudah lima tahun Sukab menjadi pemburu anjing, mengincar anjing-anjing yang tidak terdaftar sebagai peliharaan manusia, memburu anjing-anjing tak berpening yang sedang lengah, dan tiada akan pernah mengira betapa nasibnya berakhir sebagai tongseng.

Semenjak di-PHK lima tahun yang lalu, dan menganggur lontang-lantung tanpa punya pekerjaan, Sukab terpaksa menjadi pemburu anjing supaya bisa bertahan hidup. Kemiskinan telah memojokkannya ke sebuah gubuk berlantai tanah di pinggir kali bersama lima anaknya, sementara istrinya terpaksa melacur di bawah jembatan, melayani sopir-sopir bajaj. Dulu ia begitu miskin, sehingga tidak mampu membeli potas, yang biasa diumpankan para pemburu anjing kepada anjing-anjing kurang pikir, sehingga membuat anjing-anjing itu menggelepar dengan mulut berbusa.

Masih terbayang di depan matanya, bagaimana ia mengelilingi kota sambil membawa karung kosong. Mengincar anjing yang sedang berkeliaran di jalanan, menerkamnya tiba-tiba seperti harimau menyergap rusa, langsung memasukkannya ke dalam karung dan membunuhnya dengan cara yang tidak usah diceritakan di sini. Sukab tidak pernah peduli, apakah ia berada di tempat ramai atau tempat sepi. Tidak seorang pun akan menghalangi pekerjaannya, karena anjing yang tidak terdaftar boleh dibilang anjing liar, dan anjing liar seperti juga binatang-binatang di hutan yang tidak dilindungi, boleh diburu, dibinasakan, dan dimakan.

Apabila Sukab sudah mendapatkan seekor anjing di dalam karungnya, ia akan berjalan ke sebuah warung kaki lima di tepi rel kereta api, melemparkannya begitu saja ke depan pemilik warung sehingga menimbulkan suara berdebum. Pemilik warung akan memberinya sejumlah uang tanpa berkata-kata, dan Sukab akan menerima uangnya tanpa berkata-kata pula. Begitulah Sukab, yang tidak beralas kaki, bercelana pendek, dan hanya mengenakan kaus singlet yang dekil, menjadi pemburu anjing di Jakarta. Ia tidak menggunakan potas, tidak menggunakan tongkat penjerat berkawat, tapi menerkamnya seperti harimau menyergap rusa di dalam hutan.

Ia berjalan begitu saja di tengah kota, berjalan keluar-masuk kompleks perumahan, mengincar anjing-anjing yang lengah. Di kompleks perumahan semacam itu anjing-anjing dipelihara manusia dengan penuh kasih sayang. Bukan hanya anjing-anjing itu diberi makanan yang mahal karena harus diimpor, atau diberi makan daging segar yang jumlahnya cukup untuk kenduri lima keluarga miskin, tapi juga dimandikan, diberi bantal untuk tidur, dan diperiksa kesehatannya oleh dokter hewan setiap bulan sekali. Sukab sangat tidak bisa mengerti bagaimana anjing-anjing itu bisa begitu beruntung, sedangkan nasibnya tidak seberuntung anjing-anjing itu.

Namun, anjing tetaplah anjing. Ia tetap mempunyai naluri untuk mengendus-endus tempat sampah dan kencing di bawah tiang listrik. Apabila kesempatan terbuka, tiba-tiba saja mereka sudah berada di alam belantara dunia manusia. Di alam terbuka mereka terpesona oleh dunia, mondar-mandir ke sana kemari seperti kanak-kanak berlarian di taman bermain, dan di sanalah mereka menemui ajalnya. Diterkam dan dibinasakan oleh Sukab sang pemburu, untuk akhirnya digarap para pemasak tongseng.

“Sukab, jangan engkau pulang dengan tangan hampa, anak-anak menantimu dengan perut keroncongan, jangan kau buat aku terpaksa melacur lagi di bawah jembatan, hanya supaya mereka tidak mengais makanan dari tempat sampah,” kata istrinya dahulu.

Kepahitan karena istrinya melacur itulah yang membuat Sukab menjadi pemburu anjing. Hatinya tersobek-sobek memandang istrinya berdiri di ujung jembatan, tersenyum kepada sopir-sopir bajaj yang mangkal, lantas turun ke bawah jembatan bersama salah seorang yang pasti akan mendekatinya. Di bawah jembatan istrinya melayani para sopir bajaj di bawah tenda plastik, hanya dengan beralaskan kertas koran. Tenda plastik biru itu sebetulnya bukan sebuah tenda, hanya lembaran plastik yang disampirkan pada tali gantungan, dan keempat ujungnya ditindih dengan batu. Sukab yang berbadan tegap lemas tanpa daya setiap kali melihat istrinya turun melewati jalan setapak, menghilang ke bawah tenda.

“Inilah yang akan terjadi jika engkau tidak bisa mencari makan,” kata istrinya, ketika Sukab suatu ketika mempertanyakan kesetiaannya, “pertama, aku tidak sudi anak-anakku mati kelaparan; kedua, kamu toh tahu aku ini sebetulnya bukan istrimu.”

Perempuan itu memang ibu anak-anaknya, tapi mereka memang hanya tinggal bersama saja di gubug pinggir kali itu. Tidak ada cerita sehidup semati, surat nikah apalagi. Mereka masih bisa bertahan hidup ketika Sukab menjadi buruh pabrik sandal jepit. Meski tidak mampu menyekolahkan anak dan tidak bisa membelikan perempuan itu cincin kalung intan berlian rajabrana, kehidupan Sukab masih terhormat, pergi dan kembali seperti orang punya pekerjaan tetap. Ketika musim PHK tiba, Sukab tiada mengerti apa yang bisa dibuatnya. Kehidupannya sudah termesinkan sebagai buruh pabrik sandal jepit. Begitu harus cari uang tanpa pemberi tugas, otaknya mampet karena sudah tidak biasa berpikir sendiri, nalurinya hanya mengarah kepada satu hal: berburu anjing.

Itulah riwayat singkat Sukab, sampai ia menjadi pemburu anjing. Kini ia mempunyai beberapa warung yang menjadi pelanggannya di Jakarta. Tangkapan Sukab disukai, karena ia piawai berburu di kompleks perumahan gedongan. Konon anjing peliharaan orang kaya lebih gemuk dan lebih enak dari anjing kampung yang berkeliaran. Tapi Sukab tidak pandang bulu. Ia berjalan, ia memperhatikan, dan ia mengincar. Anjing yang nalurinya tajam pun bisa dibuatnya terperdaya. Apa pun jenisnya, dari chihuahua sampai bulldog, dari anjing gembala Jerman sampai anjing kampung, seperti bisa disihirnya untuk mendekat, lantas tinggal dilumpuhkan, lagi-lagi dengan cara yang tidak usah diceritakan di sini.

Perburuan anjing itu menolong kehidupan Sukab. Perempuan yang disebut istrinya meski mereka tidak pernah menikah itu tak pernah pergi lagi ke bawah jembatan, melainkan memasak kepala anjing yang diberikan para pemilik warung kepada Sukab. Seperti juga ia melemparkan karung berisi anjing kepada pemilik warung sehingga menimbulkan bunyi berdebum, begitu pula ia melemparkan kepala anjing itu ke hadapan perempuan itu. Anak-anak mereka yang jumlahnya lima itu menjadi gemuk dan lincah, namun dari sinilah cerita baru dimulai.

***

SEPANJANG rel, tempat ia selalu membawa karung berisi anjing, anak-anak berteriak mengejeknya.

“Wongasu! Wongasu!”

Mula-mula Sukab tidak peduli, tapi kemudian perempuan yang disebut istrinya itu pun berkata kepadanya.

“Sukab! Mereka menyebut kita Wongasu!”

“Kenapa?”

“Katanya wajah kita mirip anjing.”

Mereka begitu miskin, sehingga tidak punya cermin. Jadi mereka hanya bisa saling memeriksa.
Betul juga. Mereka merasa wajah mereka sekarang mirip anjing.

“Anak-anak tidak lagi bermain dengan anak-anak tetangga, karena mereka semua mengejeknya sebagai Wongasu.”

Ia perhatikan, anak-anak mereka juga sudah mirip anjing. Perasaan Sukab remuk redam.

“Aduhai anak-anakku, kenapa mereka jadi begitu?” Sukab merenung sendirian. Kalaulah ini semacam karmapala karena perbuatannya sebagai pemburu anjing, mengapa hal semacam itu tidak menimpa para pemakan anjing saja? Bukankah perburuan anjing itu bisa berlangsung, hanya karena ada juga warung-warung penjual masakan anjing yang selalu penuh dengan pengunjung? Kenapa hanya dirinya yang menerima karmapala?

Orang-orang itu memakan anjing karena punya uang, begitu pikiran Sukab yang sederhana, sedangkan ia dan keluar-ganya memakan hanya kepalanya saja karena tidak punya uang. Sejumlah uang yang diterimanya dari para pemilik warung, yang mestinya cukup untuk membeli ikan asin dan nasi, biasa habis di lingkaran judi, tempat dahulu ia bertemu dengan perempuan itu-yang telanjur dicintainya setengah mati. Bukan berarti Sukab seorang penjudi, tapi ia juga punya impian untuk mengubah nasib secepat-cepatnya.

Namun kini mereka semua menjadi Wongasu.

“Tidak ada yang bisa kita lakukan selain bertahan hidup,” kata Sukab.

Perempuan itu menangis. Wajahnya yang cantik lama-lama juga menjadi mirip anjing. Meski sudah tidak melacur, tentu saja ia tetap ingin kelihatan cantik. Begitu juga Sukab. Anak-anak mereka terkucil dan setiap kali berkeliaran menjadi bahan ejekan.

Sukab tetap menjalankan pekerjaannya, dan pekerjaannya memang menjadi semakin mudah. Bukan karena anjing-anjing itu melihat kepala Sukab semakin mirip dengan mereka, melainkan karena penciuman mereka yang tajam mencium bau tubuh Sukab yang rupa-rupanya sudah semakin berbau anjing. Mereka datang seperti menyerahkan diri kepada Sukab yang telah sempurna sebagai Wongasu. Kadang-kadang Sukab cukup membuka karung dan anjing itu memasuki karung itu dengan sukarela, seperti upacara pengorbanan diri, meski Sukab tetap akan mengakhiri hidup mereka, tentu saja dengan cara yang tidak usah diceritakan di sini.

Ia akan datang dari ujung rel memanggul karung berisi anjing, melemparkannya ke hadapan pemilik warung berdingklik di tepi rel sehingga menimbulkan bunyi berdebum, dan segera pergi lagi setelah menerima sejumlah uang.

Di belakangnya anak-anak kecil berteriak.

“Wongasu! Wongasu!”

Pada suatu hari, ketika ia kembali ke gubugnya di pinggir kali, seseorang berteriak kepadanya.
“Wongasu! Mereka mengangkut keluargamu!”

Rumah gubugnya porak poranda. Seorang tua berkata kepadanya bahwa penduduk mendatangkan petugas yang membawa kerangkeng beroda. Perempuan dan anak-anaknya ditangkap. Mereka dibawa pergi.

“Ke mana?”

“Entahlah, kamu tanyakan sendiri saja sana!”

Waktu Sukab berjalan di sepanjang tepi kali, ia mendengar mereka berbisik-bisik dari dalam gubug-gubug kardus.

“Awas! Wongasu lewat! Wongasu lewat!”

“Heran! Kenapa kepalanya bisa berubah menjadi kepala anjing?”

“Itulah karmapala seorang pembunuh anjing.”

“Tapi kita semua makan anjing, siapa yang mampu beli daging sapi dalam masa sekarang ini? Bukankah justru….”

“Husssss…..”

Di kantor polisi terdekat Sukab bertanya, apakah mereka tahu akan adanya pengerangkengan tiada semena-mena sebuah keluarga di tepi kali.

“Oh, itu. Bukan polisi yang mengangkut, tapi petugas tibum.”

“Apa mereka melanggar ketertiban umum?”

Polisi itu kemudian bercerita, bagaimana salah seorang anak Sukab tidak tahan lagi karena selalu dilempari batu, sehingga mengejar pelempar batu dan menggigitnya. Bapak anak yang digigit sampai berdarah-darah itu tidak bisa menerima, lantas mengerahkan pemukim pinggir kali untuk mengepung gubug mereka. Kejadian itu dilaporkan kepada petugas tibum yang tanpa bertanya ini itu segera mengangkut mereka sambil menggebukinya.

Diceritakan oleh polisi itu bagaimana perempuan dan kelima anaknya itu berhasil dimasukkan ke dalam kerangkeng, hanya setelah memberi perlawanan yang luar biasa.

“Mereka menyalak-nyalak dan berkaing-kaing seperti anjing,” kata polisi itu, seolah-olah tidak peduli bahwa wajah Sukab juga seperti anjing.

“Hati-hati lewat sana,” katanya lagi, “mereka juga bisa menangkap saudara.”

“Kenapa Bapak tidak mencegah mereka, perlakuan itu kan tidak manusiawi?”

Polisi itu malah membentak.

“Apa? Tidak manusiawi? Apa saudara pikir makhluk seperti itu namanya manusia?”

“Mereka juga manusia, seperti Bapak!”

“Tidak! Saya tidak sudi disamakan! Mereka itu lain! Saudara juga lain! Sebetulnya saya tidak bisa menyebut Anda sebagai Saudara. Huh! Saudara! Saudara dari mana? Lagi pula, Anda bisa bayar berapa?”

Sukab berlalu. Nalurinya yang entah datang dari mana serasa ingin menerkam dan merobek-robek polisi itu, tapi hati dan otaknya masih manusia. Ia berjalan di kaki lima tak tahu ke mana harus mencari keluarganya.

Setelah malam tiba, ia kembali ke pinggir kali dengan tangan hampa. Ia berjongkok di bekas gubugnya yang hancur, menangis, tapi suara yang keluar adalah lolongan anjing.

Hal ini membuat orang-orang di pinggir kali lagi-lagi gelisah. Lolongan di bawah cahaya bulan itu terasa mengerikan. Ketakutannya membuat mereka mendatangi Sukab yang masih melolong ke arah rembulan dengan memilukan. Mereka membawa segala macam senjata tajam.

***

“MEREKA membantai Sukab,” ujar tukang cerita itu, dan para pendengar menahan nafas.

“Dibantai bagaimana?”

“Ya dibantai, kalian pikir bagaimana caranya kalian membantai anjing?”

“Terus?”

“Mereka pulang membawa daging ke gubug masing-masing.”

“Terus?”

“Terus! Terus! Kalian pikir bagaimana caranya mendapat gizi dalam krisis ekonomi berkepanjangan?”

Ada yang menahan muntah, tapi masih penasaran dengan akhir ceritanya.

“Yang bener aje, masa’ Sukab dimakan?”

Tukang cerita itu tersenyum.

“Lho, itu tidak penting.”

Orang-orang yang mau pergi karena mengira cerita berakhir, berbalik lagi.

“Apa yang penting?”

“Esoknya, ketika matahari terbit, dan orang-orang bangun kesiangan karena makan terlalu kenyang dan mabuk-mabukan, terjadi suatu peristiwa di luar dugaan.”

“Apa yang terjadi?”

“Ketika terbangun mereka semua terkejut ketika saling memandang, mereka bangkit dan menyalak-nyalak, lari kian kemari sambil berkaing-kaing seperti anjing!”

“Haaaa?”

“Kepala mereka telah berubah menjadi kepala anjing!”

“Aaahhh!!!”

“Mereka semua telah berubah menjadi Wongasu!!”

Mulut tukang cerita membunyikan gamelan bertalu-talu sebagai tanda cerita berakhir, dan mulut para asistennya membunyikan suara lolongan anjing yang terasa begitu getir sebagai tangis perpisahan yang menyedihkan. Para penonton terlongong dengan lidah terjulur.

Di langit masih terlihat rembulan yang sama, dengan cahaya kebiru-biruan menyepuh daun yang masih juga selalu memesona.

Pertunjukan akhirnya benar-benar selesai, tukang cerita itu memasukkan kembali wayangnya ke dalam kotak. Para penonton yang semuanya berkepala anjing itu pulang ke rumah, dengan pengertian yang lebih baik tentang asal-usul mereka sendiri. Guk!




Cerpen Seno Gumira Ajidarma

Cirebon-Wangon-Jogja, Januari 2002.

Pesan pengarang: Sayangilah anjing, sayangilah makhluk ciptaan Tuhan.
dimuat di: Kompas, Minggu 3 Maret 2002