Showing posts with label Saut Situmorang. Show all posts
Showing posts with label Saut Situmorang. Show all posts

Monday 21 March 2011

TANPA JUDUL ke KAWAN SAUT SITUMORANG (3)

TANPA JUDUL ke KAWAN SAUT SITUMORANG (3)


Saut Situmorang, Timur Sinar Suprabana

http://www.facebook.com/note.php?note_id=74203424697

SINAR TIMUR SUPRABANA:

senang langsung kau sambar. wis ngene wae…. soal BOEMIPOETRA VS TUK, jadikanlah SEBAGAI PERANG BOEMIPOETRA yang BOEMIPOETRA PIKIR SEDANG MELAWAN TUK. aku, tak gegawe wae. menulis sajak. sebab, setahuku…, TUK yang BOEMIPOETRA lawan habishabisan itu jebul mung malah singsotsingsot di sela mencurahkan energi kerja dan kecerdasannya. jadi, SELAMAT BERPERANG. SELAMAT merasa MENANG.
==========

SAUT SITUMORANG:

LHO KOK JADI BEGINI!
KATANYA MAU “MENATA KEMBALI PEMIKIRAN SAUT SITUMORANG” TAPI KOK BELOM APA-APA UDAH MEMBLE!!! JADI GAK ENAK HATI NIH AWAK, HAHAHA…

EH, TIMUR, COBAK KAU INGAT-INGAT LAGI SIAPA YANG MEMULAI SEMUA INI. AKU GAK KENAL KAU, KAU GAK KENAL AKU, TAPI KAU SERANG AKU KAYAK PREMAN PASARAN GITU, WALO KAU PAKEK KATA “KAWAN” SETIAP MENGOMELIN AKU! CARA HIDUP KAYAK GITU GAK SEHAT: BANYAK LAGAK, ISTILAH JALANANNYA! MENGINGAT USIAMU YANG SUDAH LEWAT 40-AN KAYAK AKU, MUSTINYA KAU ITU UDAH BIJAKSANA DIKIT, NGGAK ASAL NGOMONG SEENAK UDELMU DHEWE.

KALOK MEMANG TUGAS HIDUPMU CUMAN NULIS SAJAK, YA MONGGO. MUDAH-MUDAHAN ADA YANG TERTINGGAL DALAM SEJARAH SASTRA INDONESIA. TAPI JANGAN URUSIN URUSAN YANG KAU SENDIRI GAK NGERTI DAN SANGGUP HADAPIN!!!

SELAMAT MERASA UDAH JADI EMPU PUISI!

Tulisan Beni Setia dikelenceki Saut Situmorang (I)

Tulisan Beni Setia dikelenceki Saut Situmorang (I)


http://www.facebook.com/
MENYAMBUNG TULISAN AF TUASIKAL; “Menegakkan Estetika Alternatif”
Oleh: Beni Setia
KOMPAS JATIM CETAK: Jumat, 13 Agustus 2010 | 15:50 WIB

Tulisan AF Tuasikal, “Birokratisasi Sastra Jawa Timur” (Kompas, 29/7), meski hanya menyasar puisi dan inventarisasi penyair, sebenarnya menyodok dominasi Dewan Kesenian Jawa Timur di satu sisi dan kecenderungan adanya dominasi estetika yang amat mendikte selera redaksi, kurasi antologi bersama, serta aspek kebermutuan puisi mutakhir. Sebuah gugatan yang menohok tetapi dengan beberapa salah asumsi.

Pangkal keberangkatannya kasuistik merujuk pada selera estetik puisi mutakhir, dan karenanya memakan korban bagi yang tak mengikuti pakem estetika dominan saat ini. Di titik ini, bukan Dewan Kesenian Jawa Timur (DKJT) yang salah, juga bukan para pengamal estetika dominan, yang salah justru cara menginventarisasi dan mengekspresikan estetika tandingan. Tahun terakhir ini ada gerakan “pribuminisasi” yang menentang selera postmodernism ala TUK cq jurnal BoemiPoetra. Sayang ide yang maunya multiestetik itu, dengan merangkul genre sastra buruh, sastra kiri, dan sastra Islami, hanya bagus di aspek ide tetapi gagal menghasilkan karya kualitatif bahkan, penolakan itu jadi agresi personal.

Padahal, khazanah sastra selalu menuntut ekspresi unggul dan estetika yang dieksplorasi sehingga menghasilkan karya, yang bila tidak diungkapkan demikian oleh si A, kita tidak akan menemukan orisinalitas ekspresi. Optimalisasi ketika menggali isi potensi kreativitas dan kemungkinan estetika akan menghasilkan karya yang kualitasnya sejajar dengan estetika dominan. Rendra membuktikan asumsi itu meski keunggulannya tidak terletak pada teks, melainkan pelisanan teks yang memukau. Sajak sosial Rendra benar secara fakta sosial dan ekspresif menggedor saat dilisankan di podium meski tidak berbunyi sebagai teks apabila diukur estetika media ungkap teks yang harus orisinal.

Itu bukti eksplorasi. Itu optimalisasi potensi diri sekaligus diskursus problem sosial faktual sehingga masalah semua orang menjadi masalah yang terempati dan ekspresif ketika diungkapkan dalam pelisanan teks puisi. Sejajar dengan puisi Taufik Ismail, yang meski tanpa dramatisasi, tetap mampu menyihir dengan retorika-memanfaatkan intonasi dan artikulasi. Pencapaian ekspresi Rendra itu bisa ditelusuri dari kecondongan menulis balada dan narasi dramatik, seperti terlihat dalam Blues untuk Bonie atau Kotbah dan Taufik Ismail dalam Kembalikan Indonesia Padaku.

Tidak terdidik

Institusi yang secara politik estetika tidak pernah mau memanfaatkan kuasa dalam hal mengeblok estetika dominan atau mendukung bibit estetika tandingan. Sementara itu Tjahjono Widijanto pada acara Temu Sastrawan Jatim 2009 mengeluh kesulitan dalam hal menginventarisasi karya sastrawan Jatim. Sementara dengan buku Pesta Penyair, Arief B Prasetyo (JP, 25/7) menandai suburnya penulisan puisi di Jatim. Meski kebablasan memakai pseudoteori, dengan berasumsi itu disebabkan bahasa Jawa standar tidak pernah bisa dipakai menampung ekspresi orang Jatim yang egaliter dan tidak terdidik tradisi Jawa mataraman bukan karena bahasa Indonesia punya khazanah sastra dan referensi keilmuan yang relatif lengkap serta gampang diakses.

Dengan kata lain, yang dibutuhkan tetap totalitas berkarya, komunitas yang bisa mengintensifkan dialog yang saling mendewasakan dalam tradisi peer teaching, dan manifesto diikuti karya yang menonjol. Selain itu, dibutuhkan pula kritikus dan ahli teori yang mampu melegitimasi karya dan eksistensi komunitas. Ini sekaligus tidak bisa diproses secara terbalik. Boemipoetra membuktikan kegagalan itu. Bahkan, ikon intelektual macam Arief Budiman dan Ariel Heryanto hanya mampu memicu isu estetika alternatif, tetapi gagal menghasilkan karya mutakhir dari sastrawan yang diilhami isu sastra kontekstual. Ini berbeda dengan TUK dan kelompok studi Kalam, lebih tepatnya lingkaran Tempo.

Fenomena estetika TUK itu menarik kalau bisa menelusuri bagaimana genre puisi dan prosa mutakhir dibentuk sebelum dominan menguasai khazanah sastra Indonesia. Dan, satu perlawanan dengan memicu keberadaan beberapa estetika tandingan tanpa ada pengamatan mendalam terlebih dahulu hanya akan jadi teks caci maki, yang melahirkan pengikut mahapemberang Saut Situmorang-atraktif bikin rujak setiap hari padahal rujak mengganggu kesehatan pencernaan, kalau mengutip Sutan Takdir Alisyahbana.

Namun, apa perlunya mengugat dominasi kritikus dan determinasi (selera) kritik yang cuma melegitimasi karya tertentu apabila kita bisa melawannya dengan kesuntukan berkarya dan senyum saat mampu mempersembahkan karya otentik?

Beni Setia Pengarang, Tinggal di Caruban

Sumber: http://cetak.kompas.com/read/2010/08/13/15501669/menegakkan.estetika.alternatif
?
Komentari · SukaTidak Suka · Bagikan
Budi Hutasuhut dan 6 orang lainnya menyukai ini.
*

Ompu Datu Rasta Sipelebegu (Saut Situmorang)
aku akan jawab kau, Beni Setia.

pertama, Apa “boemipoetra” memang mempersoalkan “estetika” TUK? apa itu Estetika TUK, kalok memang ada? KALOK TIDAK SALAH, “boemipoetra” lebih MEMPERSOALKAN POLITIK SASTRA TUK DI DALAM DAN LUAR INDONESIA! AND…A MEMANG UDAH MEMBACA “boemipoetra” DENGAN CERMAT WALO ANDA JUGA MERUPAKAN KONTRIBUTOR TULISAN UNTUK “boemipoetra”?!

kedua, di mana Kegagalan kami penulis “boemipoetra” dalam hal Karya Sastra dibanding TUK? cobak anda buktikan!

ketiga, caci-maki tidak hanya diproduksi oleh “boemipoetra” sebagai strategi propaganda. anda pernah membaca di Internet dimulai dari tahun 2007 caci-maki yang dilakukan oleh Radityo Djadjoeri atas “boemipoetra” dan pribadi-pribadi baik redaksi “boemipoetra” sendiri maupun seniman-seniman yang kebetulan pro-”boemipoetra”! dia bahkan memakai tokoh-tokoh fiktif dalam menjalankan serangannya tsb!

itu dulu dari saya. saya tunggu jawaban anda di sini kerna anda ada di daftar Friends saya.Lihat Selengkapnya
13 Agustus jam 20:39 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat… ·
o
Sindhu Pertiwi
Banyak pesastra lisan di Jawa Timur. Apa perlunya bhs. Indonesia jika bhs. Jawa Timuran sangat kuat dlm berbalas pantun?
Dari yg seniman tangguh seperti Cak Kartolo sampai kawan2 yg sekedar hobi parikan benar2 cerdas dan spontan menyusun rim…a memancing gelak tawa. Apa hebatnya sastra yg diinstitusionalkan dibanding sastra yg hidup di tengah2 masyarakatnya?

Jawa Timur kok jadi label buat diperebutkan…Lihat Selengkapnya
13 Agustus jam 20:43 melalui Facebook Seluler · SukaTidak Suka ·
o
Ompu Datu Rasta Sipelebegu SAYA SUDAH KIRIM MESSAGE KE ANDA, BENI SETIA, JADI JANGAN DIAM SAJA! DATANG KAU KE MARI!!!
13 Agustus jam 20:44 · SukaTidak Suka ·
o
Ompu Datu Rasta Sipelebegu
?”Tulisan AF Tuasikal, “Birokratisasi Sastra Jawa Timur” (Kompas, 29/7), meski hanya menyasar puisi dan inventarisasi penyair, sebenarnya menyodok dominasi Dewan Kesenian Jawa Timur di satu sisi dan kecenderungan adanya dominasi estetika ya…ng amat mendikte selera redaksi, kurasi antologi bersama, serta aspek kebermutuan puisi mutakhir. Sebuah gugatan yang menohok tetapi dengan beberapa salah asumsi.”

APA BEBERAPA SALAH ASUMSI ITU? KENAPA TIDAK ANDA JELASKAN!Lihat Selengkapnya
13 Agustus jam 20:57 · SukaTidak Suka ·
o
Ompu Datu Rasta Sipelebegu
?”Pangkal keberangkatannya kasuistik merujuk pada selera estetik puisi mutakhir, dan karenanya memakan korban bagi yang tak mengikuti pakem estetika dominan saat ini. Di titik ini, bukan Dewan Kesenian Jawa Timur (DKJT) yang salah, juga buk…an para pengamal estetika dominan, yang salah justru cara menginventarisasi dan mengekspresikan estetika tandingan. Tahun terakhir ini ada gerakan “pribuminisasi” yang menentang selera postmodernism ala TUK cq jurnal BoemiPoetra. Sayang ide yang maunya multiestetik itu, dengan merangkul genre sastra buruh, sastra kiri, dan sastra Islami, hanya bagus di aspek ide tetapi gagal menghasilkan karya kualitatif bahkan, penolakan itu jadi agresi personal.”

DALAM HAL “boemipoetra” YANG TIBA-TIBA ANDA MASUKKAN KE KONFLIK SASTRA DI JATIM INI, BUKANKAH ANDA SENDIRI MENULIS DI JURNAL “boemipoetra” BETAPA SAUT SITUMORANG DAN KUSPRIHYANTO NAMMA TIDAK “GAGAL MENGHASILKAN KARYA KUALITATIF”! ANDA SEDANG MENJILAT LUDAH SENDIRI DI SINI! KERNA APA?!

“AGRESI PERSONAL” ITU APA? APA KAMI MEMUKUL JIDAT SI GOENAWAN MOHAMAD ITU SECARA FISIK?!Lihat Selengkapnya
13 Agustus jam 21:01 · SukaTidak Suka ·
o
Rudi Hartono
?”Apakah artinya kesenian. Bila terpisah dari derita lingkungan. Apakah artinya berpikir. Bila terpisah dari masalah kehidupan” demikian dikatakan Rendra sendiri, yang sebetulnya menjelaskan posisi karya-karyanya.

Saya bingung dengan perkat…aan Benia Setia; “Rendra membuktikan asumsi itu meski keunggulannya tidak terletak pada teks, melainkan pelisanan teks yang memukau.” Kurang kuat apa teks-teks Rendra di atas. Bukankah teks tidak terpisah dari realitas yang terwakilinya?

Terus, Taufik Ismail? terus terang, sejak SD hingga SMA, saya selalu tertidur ketika dibacakan karya-karyanya. Kenapa ya? dari pilihan tema saja, saya sudah muak. Tidak mewakili “keadaan”–kata Rendra.
Lihat Selengkapnya
13 Agustus jam 21:02 · SukaTidak Suka ·
o
Ompu Datu Rasta Sipelebegu
?”Padahal, khazanah sastra selalu menuntut ekspresi unggul dan estetika yang dieksplorasi sehingga menghasilkan karya, yang bila tidak diungkapkan demikian oleh si A, kita tidak akan menemukan orisinalitas ekspresi. Optimalisasi ketika meng…gali isi potensi kreativitas dan kemungkinan estetika akan menghasilkan karya yang kualitasnya sejajar dengan estetika dominan. Rendra membuktikan asumsi itu meski keunggulannya tidak terletak pada teks, melainkan pelisanan teks yang memukau. Sajak sosial Rendra benar secara fakta sosial dan ekspresif menggedor saat dilisankan di podium meski tidak berbunyi sebagai teks apabila diukur estetika media ungkap teks yang harus orisinal.”

ADA DUA PROBLEM BESAR DI SINI!

PERTAMA, ANDA KLAIM PERSOALAN YANG ADA ADALAH PERSOALAN PERLAWANAN TERHADAP “ESTETIKA YANG DOMINAN”. KALOK INI MEMANG BENAR (KALOK MEMANG BENAR ADA ITU SEBUAH “ESTETIKA YANG MENDOMINASI SASTRA INDONESIA SAAT INI” DAN ADA YANG MELAWANNYA, LANTAS KENAPA ANDA MENGUKUR BERHASIL-TIDAKNYA ESTETIKA YANG MELAWAN ITU BERDASARKAN UKURAN ESTETIKA YANG SEDANG MENDOMINASI! BUKANKAH YANG ANDA LAKUKAN INI SANGAT TIDAK TEPAT DAN TIDAK ADIL ALIAS SANGAT PARTISAN!!!

KEDUA, ANDA MERUJUK PADA RENDRA (ENTAH KENAPA! PADAHAL RENDRA TAK TERLIBAT DALAM ISU INI! BUKANKAH SEHARUSNYA ANDA BANDINGKAN DENGAN CONTOH KARYA DARI ESTETIKA YANG ANDA KLAIM BERHASIL ITU, YAITU MUSUH DARI ESTETIKA YANG MELAWANNYA ITU!) TAPI YANG ANDA AMBIL SEBAGAI CONTOH KEBERHASILAN RENDRA JUSTRU BUKAN KARYANYA TAPI PEMBACAAN KARYANYA, YAITU YANG ANDA SEBUT SEBAGAI “PELISANAN TEKS YANG MEMUKAU” ITU! BAGAIMANA INI?! HAHAHA…Lihat Selengkapnya
13 Agustus jam 21:10 · SukaTidak Suka ·
o
Ompu Datu Rasta Sipelebegu
?”Dengan kata lain, yang dibutuhkan tetap totalitas berkarya, komunitas yang bisa mengintensifkan dialog yang saling mendewasakan dalam tradisi peer teaching, dan manifesto diikuti karya yang menonjol. Selain itu, dibutuhkan pula kritikus d…an ahli teori yang mampu melegitimasi karya dan eksistensi komunitas. Ini sekaligus tidak bisa diproses secara terbalik. Boemipoetra membuktikan kegagalan itu. Bahkan, ikon intelektual macam Arief Budiman dan Ariel Heryanto hanya mampu memicu isu estetika alternatif, tetapi gagal menghasilkan karya mutakhir dari sastrawan yang diilhami isu sastra kontekstual. Ini berbeda dengan TUK dan kelompok studi Kalam, lebih tepatnya lingkaran Tempo.”

APAKAH MEMBUAT SERANGAN FORMAL TERHADAP TUK BUKAN MERUPAKAN CONTOH SEBUAH “TOTALITAS BERKARYA”? KAMI JUGA MENULIS KARYA SASTRA (PUISI DAN CERPEN), ESEI SASTRA, BAHKAN MENERBITKAN JURNAL INDEPENDEN BERNAMA ” boemipoetra”, APA INI BUKAN SEBUAH “TOTALITAS BERKARYA”?! KAMI BAHKAN MELAHIRKAN KRITIKUS SASTRA DENGAN BUKU KUMPULAN KRITIK SASTRANYA YANG BERJUDUL “SASTRA, PEREMPUAN, SEKS” YANG SUDAH DICETAK-ULANG DUA KALI ITU! APA ANDA SUDAH BACA BUKU INI? DAN BUKU “POLITIK SASTRA” YANG ISINYA JUGA DIMUAT DI JURNAL “boemipoetra”!

APA RUPANYA YANG SUDAH DIHASILKAN “TUK DAN KELOMPOK STUDI KALAM, LEBIH TEPATNYA LINGKARAN TEMPO” ITU? BISA ANDA CERAHKAN SAYA?Lihat Selengkapnya
13 Agustus jam 21:17 · SukaTidak Suka ·
o
Ompu Datu Rasta Sipelebegu
?”Fenomena estetika TUK itu menarik kalau bisa menelusuri bagaimana genre puisi dan prosa mutakhir dibentuk sebelum dominan menguasai khazanah sastra Indonesia. Dan, satu perlawanan dengan memicu keberadaan beberapa estetika tandingan tanpa… ada pengamatan mendalam terlebih dahulu hanya akan jadi teks caci maki, yang melahirkan pengikut mahapemberang Saut Situmorang-atraktif bikin rujak setiap hari padahal rujak mengganggu kesehatan pencernaan, kalau mengutip Sutan Takdir Alisyahbana.

Namun, apa perlunya mengugat dominasi kritikus dan determinasi (selera) kritik yang cuma melegitimasi karya tertentu apabila kita bisa melawannya dengan kesuntukan berkarya dan senyum saat mampu mempersembahkan karya otentik?”

COBAK ANDA JELASKAN APA ITU “ESTETIKA TUK” YANG MENARIK ITU?

COBAK BUKTIKAN BAHWA ESTETIKA TUK ITU MEMANG “DOMINAN MENGUASAI KHAZANAH SASTRA INDONESIA”?

APA ESEI-ESEI SAUT SITUMORANG ITU DAN ISI JURNAL “boemipoetra” YANG ANDA JUGAK PERNAH JADI KONTRIBUTORNYA BEBERAPA KALI ITU MEMANG CUMAK “TEKS CACI MAKI”? SILAHKAN ANDA BUKTIKAN!

PERTANYAAN TERAKHIR SAYA: APA SIH RUPANYA YANG SUDAH ANDA SUMBANGKAN BAGI SASTRA INDONESIA DI JAWA TIMUR, TAK USAH LAH DULU KITA BICARAIN SASTRA INDONESIA SECARA UMUM?Lihat Selengkapnya
13 Agustus jam 21:22 · SukaTidak Suka ·
o
Ompu Datu Rasta Sipelebegu wah Beni Setia itu kayaknya penakut ya! lempar batu, sembunyi tangan, tak berani menerima tantangan!
Sabtu pukul 14:29 · SukaTidak Suka ·
o
Achmad Fathol Qorib Kok bermuka dua ya? Bang saut, hajar saja!
Sabtu pukul 21:17 melalui Facebook Seluler · SukaTidak Suka ·
o
Halim Hade melihat perkembangan perdebatan ini, ada baiknya jika rekan-rekan membaca PERDEBATAN SASTERA KONTEKSTUAL (editor ariel heryanto). aku mengusulkan kepada ULTIMUS untuk kembali menerbitkan ulang, dan ditambah dengan bahan bahan lainnya yang dulu belum dimuat, khususnya tulisan/esai ikranegara, abdul hadi wm, suratji chalzoum bachri yang ditulis di ruang DIALOG koran tentara, berita buana.
5 jam yang lalu · SukaTidak Suka ·
o
Andre Gusti Bara
Ini buat si Benni:

Aku tak pernah dengar si Rendra membaca puisi saat aku mulai menulis. Tapi aku mengenal Rendra dari tulisannya. Aku belajar untuk jadi berani melihat dan menulis tentang sekitarku, salah satunya juga krn Rendra. Lalu apa i…ni bukan kemampuan Rendra di atas teks yang kau ragukan itu?

Oh ya, dari tulisan pendek yang memuakkan di atas, kau selalu hanya menuduh sana sini tanpa memberi penjelasan lebih lanjut. Kau lagi mengidap penyakit Goenawan Muhamad yach?

TUK dominan? Ha!! Taik babi. Itu bualan si GM saja yg orang2 sepertimu percaya. TUK dan GM itu cuma dominan di kepala anggota masyarakat spectacle saja. Utk mereka yg masih teralienasi.

Puisi itu bukan soal kadar rumit susahnya kata yg dipilih agar orang makin bingung. Berkali-kali kubaca, lama2 menyerupai rengekan anak2 Salihara dan TUK yang mengaku seniman itu.Lihat Selengkapnya
4 jam yang lalu · SukaTidak Suka ·
o
Jajang R Kawentar Sensasional mas beni ya uhuy. bung saut gemana ini…
4 jam yang lalu · SukaTidak Suka ·
o
Raudal Tanjung Banua
Om beni sangat ambigu melihat totalitas. Di satu sisi, Rendra dianggap gagal secara teks [sic!] tp berhasil dlm pertunjukan puisi (non-teks). Kenapa hal yg sama tdk berlaku pd saut situmorang yg mmbangun gerakan sastra kritis (sadar politik… sastra)? Kenapa upaya non-teks yg dilakukannya brsama boemipoetra dg segala strategi dan intensitas, dianggap kasar dan sejenisnya dan saut dianggap pemberang? Apa Rendra di panggung hnya mmbawakn puisi2 picisan tanpa ada ekspresi kegeraman pd keadaan? Apa Rendra di panggung memuja pihak yg brkuasa, pihak yg menumpuk utang luar negeri lalu berkoar2 di luar sana rakyat udah makmur? Kalo mau adil, lihat prsoalan dg setara. Itu baru satu soal. Kita bs lihat lg dari segi estetik teks. Apa teks Rendra mmg tak ‘bunyi’? Wah, trlalu sembrono kukira. Dan karya SS (esei, cerpen, puisi, sebentar lg kumpulan dongeng anak2 dan opera tebingtinggi :-D ) apa mmg sebegitu jeblok di mata om beni? Entahlah. Wallahualam bissawab.
Lihat Selengkapnya
13 jam yang lalu melalui Facebook Seluler · SukaTidak Suka · 2 orangBudi Hutasuhut dan Ragil Sukriwul menyukai ini. ·
o
Halim Hade lama-lama ngabisin enerji mendiskusikan teni setia eliot, mendingan ngebir!
11 jam yang lalu · SukaTidak Suka ·
o
Andre Gusti Bara ?@ Saut; Kok yang punya tulisan ini tak nongol2 juga? Wah, jadi gatal nie..
9 jam yang lalu · SukaTidak Suka ·
o
Ompu Datu Rasta Sipelebegu Andre,

ciri tipikal TUKulis: abis buang sampah sembarangan, lari! nuduh orang lain lagi yang suka buang sampah sembarangan! Pukimak memang para sampah Sastra Indonesia ini!
3 jam yang lalu melalui Facebook Seluler · SukaTidak Suka ·
o
Ompu Datu Rasta Sipelebegu
Dal,

si Beni itu cumak sok gagah aja bilang ngerti Sastra! Kalok dengan anak SD bisalah koyoknya itu berhasil, hahaha… Tentang Rendra aja, kan nampak kali dia sebenarnya gak pernah baca Rendra, apalagi memahaminya! Begitu banyak puisi Ren…dra, sampek penitisan yang akan datang pun si Beni ini tak kan mampu menghasilkan karya sepertiga jumlah korpus Rendra! Mana dia tahu kalok Rendra bukan cumak nulis Pamflet doang! Dia gak tahu ada ‘Balada Orang-orang Tercinta’, ada favoritKu ‘Blues untuk Bonnie’, ada ‘Disebabkan oleh Angin’, ada sajak2 cinta ala sufi Katolik, ada Sajak Joki Tobing buat Widuri, ada sajak2 perjalanan ke Rusia dan Korea, ada Saijah dan Adinda… Beni Setia itu dalam bahasa Inggris dibilang ‘Fake’, hahaha…Lihat Selengkapnya
3 jam yang lalu melalui Facebook Seluler · SukaTidak Suka ·
o
Ompu Datu Rasta Sipelebegu Liat tuh makiannya terhadap Ariel Heryanto dan Arif Budiman. Sejak kapan ada Keharusan bahwa para Penggagas Ide itu Harus mampu menyebabkan terciptanya Karya Seni yang sesuai dgn Ide yang mereka gagas! Apalagi konteks dari Gagasan tsb adalah Kritik atas Kondisi Berkesenian! Masak sebuah Kritik disamakannya dgn sebuah Kredo Kreatif/Estetika Penciptaan! Apalagi kedua pencetus Kritik itu Bukan Seniman sama sekali! si Beni Setia ini adalah contoh konkret dari Sastrawan Bakat Alam pseudo-intelektual itu, yang Minor lagi! Hahaha…
3 jam yang lalu melalui Facebook Seluler · SukaTidak Suka ·
o
Ompu Datu Rasta Sipelebegu Oiya, Dal, operaku itu judulnya ‘Opera Para Bunglon’, dalam lima babak Shakespearean. Sebuah opera eksistensialis-Marxis-psikoanalisis. Dialog tanpa suara. Tokoh-tokohnya bernama ‘Beni Setia’ semua, termasuk properti panggungnya. Sutradaranya bernama ‘Mister Goenawan Mohamad aka Goendoel Monyet’. Sebuah opera-dalam-opera, mirip teater-dalam-teater Hamlet. Nama setting tempatnya ‘Salihara’. Waktunya: Saat Ini.
2 jam yang lalu melalui Facebook Seluler · SukaTidak Suka ·
o
Nurel Javissyarqi pak Halim, tapi ini sungguh-sungguh bermanfaat!
4 jam yang lalu · SukaTidak Suka ·
o
Wahyu Hariyanto Beni Setia ini cuma cari sensasi, dia pengen jadi pembicara di Temu Sastra jawa Timur 2010 bulan depan dan pengen dari nara sumber diskusi-diskusi di DKJT…biasalah masalah perut, bukan masalah otak. Beni itu gak punya integritas, kapasitas otaknya rendah dan asal omong, dia gak punya data yang akurat dan lebih mirip makelar kambing hehehe
3 jam yang lalu · SukaTidak Suka ·
o
Adin Mbuh ya mas hehe
2 jam yang lalu · SukaTidak Suka ·
o
Ompu Datu Rasta Sipelebegu W,

HAHAHA… Embeek! HAHAHA…

Tulisan Beni Setia dikelenceki Saut Situmorang (II)

Tulisan Beni Setia dikelenceki Saut Situmorang (II)


http://www.facebook.com/
Ruang Putih Jawa Pos [ Minggu, 15 Agustus 2010 ]
Belajar Sentosa dengan Arif

ARIF B. Prasetya -penyair, cerpenis, dan kurator kelahiran Madiun itu- merintis karir kepenulisan di Bengkel Muda, Surabaya, ketika berkuliah di ITS. Dia lantas menikah dan bermukim di Bali. Relatif tenang, tanpa gegar budaya yang menyeruak ke permukaan sebagai teks sastra, tidak seperti Oka Rusmini yang gerah dimarjinalkan oleh lingkungan padahal dirinya hanya mengutamakan cinta.

Sebagai esais Bengkel Muda, Surabaya, pemikirannya tidak berada di lingkaran fisik Bengkel. Sebagai penyair penyuka Neruda dan penyair Amertika Latin lainnya, dia pernah dekat dengan Wahyu Prasetya. Bahkan, dia sering mampir untuk mendiskusikan terjemahan puisi Amerika Latin. Ajaibnya, tidak ada jejak kiri Neruda dalam puisi Arif B. Prasetya, meski ilusi surealisme dan puitika diksi berkonotasi magistik Amerika Latin berpecototan dalam puisinya. Mungkin itu dampak kepekaan, akibat kecondongan terlalu intens membaca teks bergenre sama, karena menandai puisi terbaik sebagai ”yang melampaui apa yang sering dibaca (baca: cakrawala harapan) dan berbeda dari yang telah diketahui”.

Resepsi Jaussian menyebut itu sebagai jarak estetik. Dan, yang mengeksiskan satu teks yang memiliki jarak estetik itu adalah bacaan di satu sisi dan (di sisi lain) komunitas yang membaca teks yang relatif sama. Sebab, itu tiba di konsensus identik. Dan, kalau kritis dan objektif, kita akan menemukan perbedaan ketimbang apriori menekankan kesamaan teks. Meski, perbedaan itu merupakan konsekuensi dari multipersepsi tanpa bersepakat menentukan titik netral sebelum menyebut kiri dan kanan, sehingga yang kanan bisa dianggap codong kiri ketika diapresiasi dengan penolakan. Kenapa saya bilang begitu? Karena Arif B. Prasetya itu ya arek Suroboyo, tapi kok digonggong oleh arek Suroboyo lagi. Aneh!

***

MUNGKIN karena Arif B. Prasetya (kini) di Bali. Yang lebih lucu, amarah kepada Mashuri yang pernah sekampus, sekomunitas diskusi, dan bahkan (kini) sekantor -meski berbeda aplikasi ijazah- yang dianggap amat bersekongkol dengan Jakarta cuma sukses karena mempublikasikan puisi dan novel di Jakarta. Padahal, W yang kuasa menembus Kalam lebih dulu, lalu Mashuri, makin sering tampil di Kalam, Koran Tempo, Kompas, dan Media Indonesia. Kalau konstelasinya begitu, bukan Mashuri, Arif B. Prasetya, Ribut Wiyoto, atau Mardiluhung yang salah. Yang salah itu Jakarta, bahkan kegagalan memuaskan tuntutan cakrawala harapan dan jarak estetik Jaussian Jakarta.

Agus R. Sarjono dan Horison punya lingkaran berbeda dari TUK (Teater Utan Kayu). Satu hari Sitok Srengenge mengeluh, GM (Goenawan Muhammad) dan Kalam dianggap antek Amerika karena menerima dana asing. Tapi, Horison yang juga mendapatkan dana dari Ford Foundation tak diperlakukan sama. Apa memang ada kemarahan pada lobi dan kucuran dana asing atau hanya karena kemarahan personal cq individu yang tidak disukai yang lalu disasar dengan alasan antek (dana) asing?

Dan berbicara tentang estetika TUK, kita tak bisa menelusurinya hanya dari kemunculan Kalam. Sebab, jauh sebelum itu, di akhir 1980-an, di Tempo sering ada diskusi yang intinya ingin melawan lirisme dalam puisi, yang melahirkan pemekatan suasana tanpa ada kepastian objek yang ditunjuk kata.

Anehnya, meski setiap hari, saat itu Afrizal Malna sering bilang: jangan membuat puisi (liris) dalam perbincangan, esei, prosa, dan puisi, sambil dengan gagah mencemooh mantra SCB (Sutardji Colzoum Bachri) dan euphorisme bahasa Orba dengan merujuk ke Paulo Freire yang kiri dan gemar menganalisis kondisioning sosial-budaya yang harus dilawan dengan penyadaran dan pencerahan. Nyatanya, dia bikin kalimat terang yang melulu menjajarkan benda-benda dalam ruang dan kesadaran mental. Tak lagi ada puisi dan melulu fakta, tapi tetap gelap. Bukan lagi puisi liris pekat suasana, tapi traumatika teror benda-benda faktual. Persis Arif B. Prasetya. Penolakan pada suasana yang dominan dalam puisi itu justru menghasilkan surealisme benda-benda faktual yang menghadirkan traumatika.

Penolakan lirisme (puisi) menghasilkan puisi prosaik, fantasi yang meliuk bebas, dan panorama surealistik dan magis. Kenapa bisa begitu?

***

MUSUH dari ihwal yang puitik itu bukan yang prosaik atau faktual, tapi justru yang ilmiah dan hegemonik. Malah, musuh yang puitik itu definisi kaku yang membedakan puisi, prosa, esei, telaah objektif, fakta, fantasi, dan seterusnya itu harus seperti ini. Dan ketika definisi dihancurkan, tidak ada batasan. Ketika kita mengandaikan matahari terbit di nadir dan tenggelam di zenith, apa ada siang dan malam, apa ada timur dan barat? Ada dekonstruksi besar. Dan ketika acuan dihancurkan, maka tidak ada lagi acuan di satu sisi. Hanya ada aku dan komunitasku yang menentukan aturan dan nilai eksklusif.

Ini yang terjadi, tapi banyak pihak luar lingkaran -yang tumbuh oleh kecondongan bacaan yang sama, sehingga punya cakrawala harapan serta obsesi jarak estetik Jaussian yang sama- yang gagap. Gugup dan panik. Marah saat acuan hancur. Padahal, di momen chaos setiap orang bisa membikin acuannya sendiri, berkolaborasi dalam konspirasi shot term, sehingga muncul riak estetika alternatif. Meski tetap sadar, penentu mana sejatining acuan atau hanya pseudo acuan justru karya yang dipublikasikan. Sehingga kreasi si yang tak pernah membikin statement apa pun akan tetap dianggap karya bagus selama karya itu bagus, sekaligus kritikus yang akan membuat acuan referensial dengan membangun teks legitimasi. Jadi, Lucien Goldman itu mengapresiasi karya dulu, lalu menyusun teori, dan mengaplikasikannya pada karya yang sewarna. Bukan bikin teori hampa dan mencari teks yang membenarkan teori.

Persis seperti sebuah cerpen populer gender, yang bercerita tentang si wanita karir tapi jomblo dan selalu diramal tidak akan dapat jodoh sehingga dipaksa pergi dari satu dukun ke dukun lain, sebelum sadar bahwa buku acuan ramalan tangan yang sama dengan yang dibacanya akan menghasilkan kesimpulan yang sama bagi gurat tangan yang sama. Padahal, jodoh itu rahasia Illahi. Arif B. Prasetyo, Mashuri, Ribut Wiyoto, Mardiluhung, dan yang lain berpikiran serta berbicara identik karena bacaannya sama sehingga cakrawala harapan dan obsesi jarak estetika Jaussiannya sama.

Karena itu, cari buku referensial alternatif dan bikin kelompok diskusi yang cerdas sehingga lahir estetika alternatif. Atau, pelajari tren dan jadi penulis yang sesuai tren dengan keunikan orisinal. Dalam tradisi eliotian, Subagyo Sastrowardojo pernah bilang tentang bakat alam yang hanya mengenal tren puisi dan intelektualisme yang mengatasi yang tampak sehingga bisa menulis puisi yang lebih unik dari yang pernah diciptakan si trendsetter. Bacaan membuat penyair yang belakangan, para pengikut, mampu menulis lebih bagus karena leluasa mempelajari semua ciri dan kemungkinan lebih optimal.

Persis kata T. S. Eliot, penyair Jeni merampok puisi penyair lain. Penyair jelek cuma mampu meniru plagiatistik. Saini K. M. bilang, kalau tidak bisa total menerapkan konsepsi objective correlative, berhenti saja berpuisi. Sebab, menjadi penjaja roti pun harus total, tak sekadar sambilan.

***

TOTALITAS berpuisi itu butuh intelektualisme. Harus pintar menambah wawasan, memahami hakikat teks yang dibaca, dan cerdas merampok yang bisa diadopsi sebagai kekayaan pribadi. Dengan begitu, meski menulis dalam gaya serupa, dihasilkan ekspresi personal dan apresiator yang orisinal. Selama masih mentahiah hanya ada plagiatisme, intelektualitas yang membuat keunikan. Dengan itu kita sadar bahwa teks puisi Mashuri itu unik, Mardiluhung lain dari Mutaqien, bahkan Tjahjono Widijanto itu berbeda dari Tjahjono Widarmanto. Saestu, setidaknya bila mau objektif mencari perbedaan. Sebab, mengutip Mark Twain, jangan menjadi anti-Christ fanatik yang agresif menghancurkan semua pagar di jalan, yang tampak bagai sederetan salib ketimbang hanya jejeran kayu tegak melekat di kayu mendatar.

Tarik napas dan tenangkan pikiran, jadi yang sentosa dengan belajar arif. (*)

*) Beni Setia Tirtawinata, pengarang, tinggal di Madiun?

Sumber: http://jawapos.com/mingguan/index.php?act=detail&nid=150461

Komentari · SukaTidak Suka · Bagikan

*
*
Denny Mizhar menyukai ini.
*
o
Ompu Datu Rasta Sipelebegu (Saut Situmorang)
SEKEDAR MASUKAN UNTUK MENUNJUKKAN PRETENSIUSNYA PENULIS BERNAMA “BENI SETIA TIRTAWINATA” DI ATAS TENTANG TS ELIOT DAN HAL-HAL LAIN YANG DIKUTIPNYA DARI KHAZANAH SASTRA BARAT DALAM TULISANNYA DI ATAS. MUNGKIN MAKSUDNYA MAU PAMER BACAAN TAPI …JEBLOK DAH DI DEPAN MATA MEREKA YANG TAHU, HAHAHA…

TS ELIOT TAK PERNAH MENGATAKAN KAYAK APA YANG DITULISKAN BENI SETIA TIRTAWINATA DI ATAS. TS ELIOT ITU TIDAK BEGITU VERBAL. MUNGKIN KERNA BENI SETIA TIRTAWINATA ITU SANGAT VERBAL MAKA DIPAKSANYA TS ELIOT JADI VERBAL. JANGAN-JANGAN DIA BELUM PERNAH BACA TS ELIOT, HAHAHA…

TS ELIOT CUMAK BILANG GINI KOK:

“Immature poets imitate; mature poets steal.”

KAPAN TS ELIOT PERNAH BILANG:

“Persis kata T. S. Eliot, penyair Jeni merampok puisi penyair lain. Penyair jelek cuma mampu meniru plagiatistik.”?

HAHAHA…Lihat Selengkapnya
Minggu pukul 22:00 · SukaTidak Suka
o
Sidik Nugroho Wrekso Wikromo judul tulisan itu mengingatkanku pada nama seseorang, hehe. nama siapa hayo? bukan saut situmorang lho, jangan ge-er. kalo ge-er ntar dimarahi sama ts eliot lho…

hihihi…
Minggu pukul 22:04 melalui Facebook Seluler · SukaTidak Suka
o
Ompu Datu Rasta Sipelebegu
DAN ADALAH SANGAT LUCU UNTUK MENGAMBIL TS ELIOT SEBAGAI CONTOH “PENYAIR ORISINAL” DALAM KONTEKS ARTI KAYAK DIKOAR-KOARKAN TULISAN DI ATAS! CUMAK MENUNJUKKAN BETAPA SI BENI SETI TIRTAWINATA INI TAK NGERTI SAMA SEKALI SIAPA ITU TS ELIOT. COBA…K DIA BACA SAJAK ELIOT BERJUDUL “THE WASTE LAND” DAN ESEINYA YANG SAMA TERKENALNYA YANG BERJUDUL “TRADITION AND THE INDIVIDUAL TALENT”! TS ELIOT JUSTRU ANTI “ORISINALITAS” ALA KAUM ROMANTIK YANG MASIH DIANUT BENI SETIA TIRTAWINATA DI ATAS!!! HAHAHA…

BUKANKAH KUTIPAN TERKENAL DARI TS ELIOT DI ATAS UDAH DENGAN JELAS MENUNJUKKAN TEORI “INTERTEKSTUALITAS” YANG DIA ANUT! TAPI BEGITULAH, BANYAK “IMMATURE POET” DI NEGERI INI MAMPUNYA CUMAK NGUTIP DI LUAR KONTEKS LALU TEREAK-TEREAK SOK PINTER DI LUAR SANA! KASIHAN. HAHAHA…Lihat Selengkapnya
Minggu pukul 22:05 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat…
o
Rusman H. Siregar HA HA HA… Merdeka !!!
Minggu pukul 22:09 · SukaTidak Suka
o
Halim Hade T.S. ELIOT = TENI SETIA ELIOT, dari nganjuk.
Minggu pukul 22:17 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat…
o
Halim Hade numpang kondang, hahahaha, arief b prasetyo rasanya tahu amerika latina dari gue, hehehehe. 1993-94-95, itulah periodenya dia mengenal, ketika aku baca buku-buku paz, eduardo.
Minggu pukul 22:20 · SukaTidak Suka · 2 orangMemuat…
o
Ompu Datu Rasta Sipelebegu
COBAK PERHATIKAN KUTIPAN INI:

“Dan berbicara tentang estetika TUK, kita tak bisa menelusurinya hanya dari kemunculan Kalam. Sebab, jauh sebelum itu, di akhir 1980-an, di Tempo sering ada diskusi yang intinya ingin melawan lirisme dalam puis…i, yang melahirkan pemekatan suasana tanpa ada kepastian objek yang ditunjuk kata.”

BUKANKAH JUSTRU “lirisme dalam puisi, yang melahirkan pemekatan suasana tanpa ada kepastian objek yang ditunjuk kata” INI YANG SAAT INI DITUDUHKAN DILAKUKAN OLEH TUK DAN DIPAKSAKAN MENJADI TREN DALAM PUISI KONTEMPORER INDONESIA LEWAT DUTABESAR TUK DI KOMPAS MINGGU DAN DI KORAN TEMPO!

KE MANA AJA SI BENI SETIA INI SELAMA INI YA! HAHAHA… Lihat Selengkapnya
Minggu pukul 22:28 · SukaTidak Suka · 1 orangRagil Sukriwul menyukai ini.
o
Ompu Datu Rasta Sipelebegu
?”Anehnya, meski setiap hari, saat itu Afrizal Malna sering bilang: jangan membuat puisi (liris) dalam perbincangan, esei, prosa, dan puisi, sambil dengan gagah mencemooh mantra SCB (Sutardji Colzoum Bachri) dan euphorisme bahasa Orba denga…n merujuk ke Paulo Freire yang kiri dan gemar menganalisis kondisioning sosial-budaya yang harus dilawan dengan penyadaran dan pencerahan. Nyatanya, dia bikin kalimat terang yang melulu menjajarkan benda-benda dalam ruang dan kesadaran mental. Tak lagi ada puisi dan melulu fakta, tapi tetap gelap. Bukan lagi puisi liris pekat suasana, tapi traumatika teror benda-benda faktual. Persis Arif B. Prasetya. Penolakan pada suasana yang dominan dalam puisi itu justru menghasilkan surealisme benda-benda faktual yang menghadirkan traumatika.”

BUKANKAH INI SEBUAH BUKTI KETIDAKMAMPUAN MEMBACA AFRIZAL MALNA LALU MENGHAKIMINYA! APA ITU “TRAUMATIKA TEROR BENDA-BENDA FAKTUAL”?! APA PULAK ITU “SUREALISME [SIC] BENDA-BENDA FAKTUAL YANG MENGHADIRKAN TRAUMATIKA”?! APANYA YANG “TRAUMA” DAN KENAPA DIA KENAK “TRAUMA”?!

KEPEKATAN SUASANA PADA TULISAN BENI SETIA DI ATAS TERNYATA CUMAK MAMPU MENGHASILKAN “KETAKPASTIAN OBJEK YANG DITUNJUK KATA” DOANG, HAHAHA…Lihat Selengkapnya
Minggu pukul 22:34 · SukaTidak Suka · 2 orangMemuat… ·
o
Ompu Datu Rasta Sipelebegu ?”Tak lagi ada puisi dan melulu fakta”, KATA BENI SETIA TENTANG KARYA AFRIZAL MALNA! WOW! ORANG YANG UDAH BACA STRUKTURALISME LUCIEN GOLDMAN DAN RESEPSI SASTRA JAUSS KOK MALAH GAK BISA BACA AFRIZAL MALNA! CK, CK, CK… HAHAHA…
Minggu pukul 22:38 · SukaTidak Suka ·
o
Muhammad Al-Fayyadl Tulisan yg jujur agak membingungkan, tak jelas logika dan maunya.
Minggu pukul 22:39 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat… ·
o
Ompu Datu Rasta Sipelebegu
?”MUSUH dari ihwal yang puitik itu bukan yang prosaik atau faktual, tapi justru yang ilmiah dan hegemonik. Malah, musuh yang puitik itu definisi kaku yang membedakan puisi, prosa, esei, telaah objektif, fakta, fantasi, dan seterusnya itu ha…rus seperti ini. Dan ketika definisi dihancurkan, tidak ada batasan. Ketika kita mengandaikan matahari terbit di nadir dan tenggelam di zenith, apa ada siang dan malam, apa ada timur dan barat? Ada dekonstruksi besar. Dan ketika acuan dihancurkan, maka tidak ada lagi acuan di satu sisi. Hanya ada aku dan komunitasku yang menentukan aturan dan nilai eksklusif.”

UH! LEBIH SUSAH MEMAHAMI PARAGRAF INI KETIMBANG SATU BAB DARI DERRIDA! AIH! HAHAHA…Lihat Selengkapnya
Minggu pukul 22:40 · SukaTidak Suka ·
o
Ompu Datu Rasta Sipelebegu
?”Ini yang terjadi, tapi banyak pihak luar lingkaran -yang tumbuh oleh kecondongan bacaan yang sama, sehingga punya cakrawala harapan serta obsesi jarak estetik Jaussian yang sama- yang gagap. Gugup dan panik. Marah saat acuan hancur. Padah…al, di momen chaos setiap orang bisa membikin acuannya sendiri, berkolaborasi dalam konspirasi shot term, sehingga muncul riak estetika alternatif. Meski tetap sadar, penentu mana sejatining acuan atau hanya pseudo acuan justru karya yang dipublikasikan. Sehingga kreasi si yang tak pernah membikin statement apa pun akan tetap dianggap karya bagus selama karya itu bagus, sekaligus kritikus yang akan membuat acuan referensial dengan membangun teks legitimasi. Jadi, Lucien Goldman itu mengapresiasi karya dulu, lalu menyusun teori, dan mengaplikasikannya pada karya yang sewarna. Bukan bikin teori hampa dan mencari teks yang membenarkan teori.”

UH, TRAUMATIK AWAK SEKARANG ABIS BACA KEGELAPAN PROSAIK INI! TAPI, EH, KOK DIA PAKEK ISTILAH SAUT SITUMORANG, ITU YANG ADA “PSEUDO”-NYA ITU! HAHAHA…Lihat Selengkapnya
Minggu pukul 22:42 · SukaTidak Suka ·
o
Ompu Datu Rasta Sipelebegu ?”Persis seperti sebuah cerpen populer gender….”

WAH, ADA GENRE SASTRA BARU NIH! SASTRA “CERPEN POPULER GENDER”! HUAHAHA…
Minggu pukul 22:44 · SukaTidak Suka ·
o
Ompu Datu Rasta Sipelebegu ?”Dalam tradisi eliotian….”

WAH, TRADISI APA INI YA? ELIOTIAN! HM… HAHAHA…
Minggu pukul 22:46 · SukaTidak Suka ·
o
Thendra Malako Sutan
ah, mas ben ini kayaknya mo niru SINTA-JOJO deh, modal komat-kamit dan gerak2 tubuh dikit, lalu jadi terkenal bo, hehe…
tapi, jika dibandingkan dengan tulisan mas ben di atas, kayaknya gw lebih suka SINTA-JOJO, lebih alami bo….hihi….
“d…asar kau keong racun” hihi…
Lihat Selengkapnya
Minggu pukul 22:46 · SukaTidak Suka · 2 orangMemuat… ·
o
Ompu Datu Rasta Sipelebegu
?”TOTALITAS berpuisi itu butuh intelektualisme. Harus pintar menambah wawasan, memahami hakikat teks yang dibaca, dan cerdas merampok yang bisa diadopsi sebagai kekayaan pribadi. Dengan begitu, meski menulis dalam gaya serupa, dihasilkan ek…spresi personal dan apresiator yang orisinal. Selama masih mentahiah hanya ada plagiatisme, intelektualitas yang membuat keunikan.”

WAH, NASEHAT PENTING INI! AYO THENDRA, DEA, ROZI, BODE, IIN DAN IRIANTO BOSMU, DENGARKAN NASEHAT INI!!! TOTALITAS DAN ORISINALITAS, MAN! PUIH, KEREN ABIS DAH! HAHAHA…Lihat Selengkapnya
Minggu pukul 22:49 · SukaTidak Suka ·
o
Ompu Datu Rasta Sipelebegu ?”Tarik napas dan tenangkan pikiran, jadi yang sentosa dengan belajar arif.”

AMIIIN…

HAHAHA…
Minggu pukul 22:50 · SukaTidak Suka ·
o
Ompu Datu Rasta Sipelebegu al-fayyadl,

sst! HAHAHA…
Minggu pukul 22:52 · SukaTidak Suka ·
o
Thendra Malako Sutan Sori Sori Sori Jek…Sori Sori Sori, Mas Ben…Aku Bukan Penyair Murahan…
Haha…
Minggu pukul 22:52 · SukaTidak Suka ·
o
Ompu Datu Rasta Sipelebegu ?”T.S. ELIOT = TENI SETIA ELIOT, dari nganjuk.”

HUAHAHA… HAHAHA…
Minggu pukul 22:52 · SukaTidak Suka ·
o
Ompu Datu Rasta Sipelebegu ?”numpang kondang, hahahaha, arief b prasetyo rasanya tahu amerika latina dari gue, hehehehe. 1993-94-95, itulah periodenya dia mengenal, ketika aku baca buku-buku paz, eduardo.”

LOH? KOK?
HUAHAHA…
Minggu pukul 22:54 · SukaTidak Suka ·
o
Sidik Nugroho Wrekso Wikromo
ompu, saya ada usul. drpd hahahaha di sini menertawakan si beni setia, kenapa ompu tidak menulis dan mempublikasikan tulisan di koran, mengkonfrontasi tulisan-tulisan itu?

okelah, kompas dan kortem sdh jd antek tuk dalam pemandangan ompu. t…api kan ada koran lain yg mungkin mau memuat tulisan ompu.

setahu saya, tulisan2 ompu hanya dimuat di jurnal boemiputra. itu pun saya cuma dapat satu eksemplar. saya berpikir, kalau tulisan ompu dimuat di koran2, pasti akan lebih menarik perkembangan kritik sastra di tanah air.

saya jadi bertanya-tanya: apakah ompu memang sudah antipati pada koran? atau ompu memang tak bisa lagi menulis dengan bahasa yang lebih halus (tidak menggunakan bahasa yang kesannya kasar dan penuh huruf kapital) seperti esai2 yang pernah sy baca di buku politik sastra?

saya masih bertanya-tanya. jujur, saya kagum dengan kecerdasan ompu. masalahnya saya ini bodoh, buku2 sastra aja gak punya banyak. bila saya secerdas ompu, saya akan menulis lebih banyak esai dan kritik sastra utk dipublikasikan di koran-koran.

begitu, ompu. maaf kalok ada kata-kata yang salah.

salam sastraLihat Selengkapnya
Minggu pukul 22:55 melalui Facebook Seluler · SukaTidak Suka ·
o
Bosman Batubara IKUTAN DONKKKKS…. “Sebagai penyair penyuka Neruda dan penyair Amertika[sic] Latin lainnya, dia pernah dekat dengan Wahyu Prasetya” SIAPA YA WAHYU PRASETYA? TIBA2 MUNCUL DALAM TEKS. SEBAGAI PEMBACA GUA GAK FAHAM. INI YANG BODOH AKU ATAU EDITOR DAN PENULISNYA? MUDAH2AN AKU, SEBAB CELAKA KALAU YANG BODOH EDITOR DAN PENULIS. LOGIKANYA KAYAK JALAN DI SUAMTRA: BANYAK LOBANGNYA!!!! HUAHAHAHAHAHAHAHAHA…..
Minggu pukul 22:57 · SukaTidak Suka ·
o
Ompu Datu Rasta Sipelebegu THENDRA,

LIPSYNC! BAGUS ITU BUAT NYEBUT MEREKA YANG NGUTIP TANPA NGERTI APA YANG DIKUTIP, APALAGI YANG KOAR-KOAR NGOMONGIN “ORISINALITAS” SEGALA KAYAK OM BENI SETIA DI ATAS! HAHAHA… PENULIS LIPSYNC! KEREN, MEK! HIHIHI…
Minggu pukul 23:00 · SukaTidak Suka ·
o
Bosman Batubara YANG LAZIM ITU “TUK (Teater Utan Kayu). Satu hari Sitok Srengenge mengeluh, GM (Goenawan Muhammad)” atau “Teater Utan Kayu (TUK)… Goenawan Muhammad (GM)”? HUAHAHAHAHAHAHAHAHA….
Minggu pukul 23:02 · SukaTidak Suka ·
o
Ompu Datu Rasta Sipelebegu SIDIK,

AKU UDAH GAK BISA LAGI NULIS! ENTAH KENAPA NIH, MUNGKIN EFEK SAMPINGAN DARI FACEBOOK DAN TWITTER! :-)
Minggu pukul 23:04 · SukaTidak Suka ·
o
Bosman Batubara ?”Padahal, W yang kuasa menembus Kalam” APA ITU W? WESE? HUAHAHAHAHAHA….
Minggu pukul 23:05 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat… ·
o
Thendra Malako Sutan Haha, Kayaknya Emang Tepat Dibilang Begitu, hehehe….PENULIS LIPSYNC! Bingung Mo Ngapain, Nyalain Laptop (kalo Punya), Lalu Komat-kamit (ngutip sana-sini) dan gerak-gerak dikit, hihi…TOTALITAS dan ORISINALITAS, Baunya Kayak Iklan Sewangi Molto: Gerakan Sekali Bilas, Bersih…..hahha
Minggu pukul 23:05 · SukaTidak Suka ·
o
Ompu Datu Rasta Sipelebegu BOSMAN,

ITU NAMANYA LONCATAN TELEPATIS! PEMBACA DIHARAP UDAH PAHAM APA YANG DIA MAKSUD, APA YANG ADA DALAM KEPALANYA, JADI GAK PERLU LAGI ADA PENJELASAN. INI NAMANYA “TELEPATHIC READING”, BRO! HAHAHA…
Minggu pukul 23:07 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat… ·
o
Muhammad Al-Fayyadl Beni Setia terlalu membawa isu ini ke problem personal antara Arif B. Prasetyo dan teman2 angkatannya. Lontaran W. Haryanto tempo hari selangkah lebih maju krn berani mengangkat tema yg lebih struktural, yakni soal eksistensi sastra di Jawa Timur dalam relasinya dg pusat2 kuasa sastra di Jakarta. Tulisan ini lebih mundur beberapa senti bahkan dari tulisan Arif sendiri.
Minggu pukul 23:08 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat… ·
o
Ompu Datu Rasta Sipelebegu
SIDIK,

INI KUTIPAN FAVORITKU DARI TS ELIOT:

“Poetry is not a turning loose of emotion, but an escape from emotion; it is not the expression of personality, but an escape from personality. But, of course, only those who have personality and …emotions know what it means to want to escape from these things.”

HAHAHA…Lihat Selengkapnya
Minggu pukul 23:10 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat… ·
o
Bosman Batubara HUAHAHAHAHAHA, KALO LONCATAN2 TELEPATIS GITU BAKAL KALAH SAMA SOPIR ALS BRO: NGEBUT2 DI JALAN LOBANG2. HAHHAHHAHHAHHAAAA… JADI SOPIR AKAP AJE… JELAS BERKERINGATNYA. HUAHAHAHAHAHA….
Minggu pukul 23:13 · SukaTidak Suka ·
o
Ompu Datu Rasta Sipelebegu
BOSMAN,

“Satu hari Sitok Srengenge mengeluh, GM (Goenawan Muhammad) [SIC] dan Kalam dianggap antek Amerika karena menerima dana asing. Tapi, Horison yang juga mendapatkan dana dari Ford Foundation tak diperlakukan sama.”

TAPI MEMANG BENAR K…AN BAHWA GM DAN TUK-NYA ANTEK ASING, DAN MEREKA GAK MAMPU MEMBANTAHNYA! BUKAN CUMAK DARI FORD FOUNDATION AJA SI GM ITU MENGEMIS TAPI DARI BANYAK YAYASAN ASING. LIAT AJA BUKU PERAYAAN “KEMENANGAN” FORD FOUNDATION DI INDONESIA YANG DITERBITKAN BARU-BARU INI! SIAPA AJA YANG JADI PENULISNYA! HAHAHA…Lihat Selengkapnya
Minggu pukul 23:15 · SukaTidak Suka ·
o
Ompu Datu Rasta Sipelebegu SASTRAWAN MOLTO! ORISINAL ABIS, HAHAHA…
Minggu pukul 23:16 · SukaTidak Suka ·
o
Bosman Batubara ?”AKU UDAH GAK BISA LAGI NULIS! ENTAH KENAPA NIH, MUNGKIN EFEK SAMPINGAN DARI FACEBOOK DAN TWITTER! :-) ” kereeeeennnnn…. gak usah nulis2 bro. ngapain. gini2 aja lebih asyik! Ketawa2 hauahahahahahaha….
Minggu pukul 23:17 · SukaTidak Suka ·
o
Raudal Tanjung Banua Permisi, numpang koment dikit, tp maaf agak di luar konteks suroboyoan. Dlm tulisan Mas Beni disebutkn, ‘tdk spt oka rusmini yg gerah krn dimarjinalkn masyarakatnya’. Ini fakta atau imajinasi?
Minggu pukul 23:21 melalui Facebook Seluler · SukaTidak Suka · 2 orangMemuat… ·
o
Bosman Batubara
?”TAPI MEMANG BENAR KAN BAHWA GM DAN TUK-NYA ANTEK ASING, DAN MEREKA GAK MAMPU MEMBANTAHNYA! BUKAN CUMAK DARI FORD FOUNDATION AJA SI GM ITU MENGEMIS TAPI DARI BANYAK YAYASAN ASING. LIAT AJA BUKU PERAYAAN “KEMENANGAN” FORD FOUNDATION DI INDO…NESIA YANG DITERBITKAN BARU-BARU INI! SIAPA AJA YANG JADI PENULISNYA! HAHAHA…”

TOP BGT!!!. (wah kalo gitu lembaga gua juga antek asing bro. gua juga dapat receh2 dari funding2 asing yang enggak “bermerek”. cuma gua pakai mendemo bakrie. huahahahahahahahahaha… main catur bro, kayak di lopo2 tuak huahahahahahaha….)Lihat Selengkapnya
Minggu pukul 23:27 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat… ·
o
Ompu Datu Rasta Sipelebegu SIDIK,

INI LAGI KUTIPAN ELIOTIAN FAVORITKU!

“The business of the poet is not to find new emotions, but to use the ordinary ones and, in working them up into poetry, to express feelings which are not in actual emotions at all.”
Minggu pukul 23:28 · SukaTidak Suka ·
o
Ompu Datu Rasta Sipelebegu BOSMAN,

BAGI-BAGI DONG RECEHNYA DENGAN boemipoetra. KAMI BUTUH DANA UNTUK CACI-MAKI GM DAN TUK-NYA NIH! :-)
Minggu pukul 23:32 · SukaTidak Suka ·
o
Raudal Tanjung Banua
Setahuku, dlm konteks kepenulisan, oka rusmini tdk prnah dimarjinalkn masyrkt bali. Karya2 oka bebas beredar, puisinya dibckn dlm lomba dan dramanya dipentaskn pelbagai komunitas di bali. Bahkn oka menjdi redaktur di bali post, koran ‘utama…’ di bali yg menyokong full konsep ‘ajeg bali’. Yaitu, gerakan mnempatkn adat bali pd tatarannya yg ‘murni’ atau rumusan dg kalimt lain yg maknanya sama. Oka jg bebas menikah dg org luar bali. Jd tdk benar oka rusmini marjinal dlm konteks kesenian, entah dlm kasus lain sy tak tahu. Ini mmg disinggung selintas, tp penting utk diluruskn. Sbb ini jgn2 cerminan referensi mas beni yg lain. Itu saja. Tx n salam.
Lihat Selengkapnya
Minggu pukul 23:33 melalui Facebook Seluler · SukaTidak Suka · 2 orangMemuat… ·
o
Ompu Datu Rasta Sipelebegu RAUDAL,

ISI TULISAN SI BENI SETIA INI DAN YANG DI KOMPAS JATIM KEMAREN ITU MEMANG IMAJINASI DOANG. SI BENI INI KAN PENULIS KREATIF, JADI DOI HARUS KREATIF JUGAK CIPTAIN FAKTA MAGIS. ORISINALITAS, MAN! HAHAHA…
Minggu pukul 23:35 · SukaTidak Suka ·
o
Bosman Batubara BAGI-BAGI DONG RECEHNYA DENGAN boemipoetra. KAMI BUTUH DANA UNTUK CACI-MAKI GM DAN TUK-NYA NIH! :-)

huhahahahahaha…. main catur bro… huahahahaha…. bikin proposal ke GM huahahahahaha…
Minggu pukul 23:46 · SukaTidak Suka ·
o
Ragil Sukriwul
?”menemukan ketenangan jalan dalam wajah debu/ masihkah kecermatan bayang bayang itu menangkap keberanian/ atau kemuliaan dari cinta yang gusar oleh ajakan peradaban/ daya hidupku selalu tak serupa dengan kelembutan di dadamu/… (penggalan… puisi Wahyu Prasetya, More Fool Me*, buat beni setia)

sy membayangkan, bila mas Wahyu membaca esai di atas maka, giliran beni setia lah yg akan dilempari botol whiskey olehnya.

krn itu, mengikuti “logika imajinatif” dari esai di atas, sy merasa bahwa mas Wahyu sperti sdh bisa mmprediksi klo akan jd seperti beginilah teman2nya ini sehingga masih jauh2 hari ia sdh menarik diri dari pergaulan yg selama itu dialaminya bahkan kemudian menolak utk bertemu dengan siapapun, termasuk beni setia.

(tiga jam yg lalu barusan dari rumah mb.ratna n beliau masih bercerita (hal ini lg) tentang kunjungan2 n telepon2 yg ditolak, pun dari, beni setia)Lihat Selengkapnya
Kemarin jam 1:46 · SukaTidak Suka ·
o
Nuruddin Asyhadie aku tak paham sedikitpun apa yang ingin dibicarakan esei ini. omg!
Kemarin jam 9:12 · SukaTidak Suka ·
o
Ompu Datu Rasta Sipelebegu Nuredan,

Sst! Hahaha…
Kemarin jam 14:45 melalui Facebook Seluler · SukaTidak Suka ·
o
Budi Hutasuhut Untuk sebuah tulisan yang diniatkan sebagai esai, sepertinya memang lebih bagus dinikmati saja (meski tak nikmat) daripada memahami imajinasi dan fantasi tentang realitas sastra yang justru membuat saya sama seperti Nuruddin Asyhadie. “Esai ini membicarakan apa sih?”
5 jam yang lalu · SukaTidak Suka ·
o
Dea Anugrah
Wah, seandainya aku pengarang asal Nganjuk yang tinggal di Madiun, bakal gak bisa tidur tiga harmal nih gara-gara baca esei palsu ini. Haha.

Kata Beni, “Karena Arif B. Prasetya itu ya arek Suroboyo, tapi kok digonggong oleh arek Suroboyo lag…i. Aneh!”
Lho? Lho? Apanya yang aneh? Hahaha.Lihat Selengkapnya
5 jam yang lalu · SukaTidak Suka ·
o
Ompu Datu Rasta Sipelebegu sebagai fiksi mini pun dia gagal! aih!
5 jam yang lalu · SukaTidak Suka ·
o
Nuruddin Asyhadie asyu fiksimini. =))
5 jam yang lalu · SukaTidak Suka ·
o
Ompu Datu Rasta Sipelebegu hihihi… ntar, aku lagi nulis Fiksi Twitter nih, nah! :-)
5 jam yang lalu · SukaTidak Suka ·
o
Nuruddin Asyhadie tapi itu betul. =)) kebanyakan fiksi mini bermain dalam 2 visualisasi dan relasinya diserahkan pembaca, semacam haiku atau Kerouacism, tetapi membaca esai ini, kita tak dapat menarik relasi apapun, hanya kecarutmarutan dan ketidakjelasan proposisi2.
5 jam yang lalu · SukaTidak Suka ·
o
Ompu Datu Rasta Sipelebegu kalok gicu baiklah kita baptis sebuah genre baru dalam Sastra Indonesia: Esei Telepati. memahaminya pakek telepati, hihihi…
5 jam yang lalu · SukaTidak Suka ·
o
Budi Hutasuhut Itu yang lebih tepat, ketidakjelasan proposisi. hik!
5 jam yang lalu · SukaTidak Suka ·
o
Nuruddin Asyhadie Bukannya dari dulu? RASA! RASA! Saking semangatnya: RA SAH! RA SAH! =)) Rasa yang dalam sejarahnya selalu diletakkan lebih tinggi dari akal malah dijatuhkan ke kubangan terendah dari budi. Maka beginilah jadinya.
5 jam yang lalu · SukaTidak Suka ·
o
Nuruddin Asyhadie Saya usulkan pada DKJT (dan mungkin DK daerah lain) untuk membuat pelatihan menulis tingkat dasar bagi para sastrawannya. Bagaimana?
5 jam yang lalu · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat… ·
o
Nuruddin Asyhadie Tak usah bicara pelatihan sastra dululah, angel kuwi. =))
5 jam yang lalu · SukaTidak Suka ·
o
Wawan Eko Yulianto
wiyyyuuuh! cak nur, kalau kenal editornya jawa pos juga dikasih tahu lah, kayaknya dia ini juga gampang silau kutipan, asal bisa nggaya-nggaya ngutip siapa gitu … masuk bos! jawa pos juga punya andil dalam penyebaran penyakit ini. hehehe … lihat tuh, om rasta juga kan yang ketiban sampur jadi sibuk ngoreksi, hehehe …
17 jam yang lalu · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat… ·
o
Dea Anugrah ?@Wawan: Justru kita mesti berterimakasih kepada redaktur JP yang memuat esei palsu ini dan beberapa esei palsu lainnya, kalau tidak, mana tahu kita ada pengarang yang bikin kalimat pun tak becus. Hahaha.
11 jam yang lalu · Tidak SukaSuka · 2 orangMemuat… ·

SASTRA KONTEKSTUAL

SASTRA KONTEKSTUAL


Saut Situmorang

http://sautsitumorang.multiply.com/

Polemik atas apa yang disebut sebagai “sastra kontekstual” di media massa terbitan pulau Jawa di pertengahan tahun 1980an bisa dikatakan sebagai sebuah peristiwa yang (berpretensi) mempersoalkan isu tradisi dan bakat individu dalam sastra Indonesia. Arief Budiman dan Ariel Heryanto, kedua tokoh utama yang gencar mempropagandakan apa yang oleh Ariel Heryanto disebut sebagai “sastra kontekstual” tersebut, yakin bahwa tradisi “bersastra” dalam sastra Indonesia, yang mereka klaim sebagai tradisi “sastra universal” itu, merupakan tradisi yang “tidak berakar” dalam realitas kehidupan Indonesia, “kebarat-baratan”, makanya “teralienasi”, “menjadi asing di negerinya sendiri” (lihat buku Perdebatan Sastra Kontekstual, 1985, susunan Ariel Heryanto). Apa yang jadi masalah dalam sastra Indonesia, menurut Arief Budiman, misalnya, adalah “kenyataan” bahwa “sastra Indonesia tidak akrab dengan publiknya. Atau lebih tepat, publiknya adalah kritikus-kritikus yang berwawasan kesusastraan Barat”. Karena itu, sastra Indonesia “ibarat pohon, dia tidak bisa tumbuh, karena tidak punya tanah. Dia hanya menggapai-gapai ke atas. Sedangkan akarnya tidak menyentuh tanah”. Sastrawan Indonesia, menurut Arief Budiman lagi, menulis hanya untuk “audience yang ada di Barat”, “sastrawan-sastrawan atau kritisi Barat”, tapi ironisnya justru “tidak diakui oleh dunia Barat”, yang oleh Arief direpresentasikan oleh Hadiah Nobel Sastra yang belum pernah dimenangkan oleh sastrawan Indonesia itu, sehingga akibatnya secara psikologis sastrawan Indonesia memiliki karakter kombinasi dari “perasaan megalomaniak dan rendah diri”. Megalomaniak karena membodoh-bodohkan bangsanya sendiri yang gagal menghargai karya sastranya, dan rendah diri karena karyanya belum dapat dihargai oleh orang-orang Barat. Demikianlah “kritik sosiologi sastra” ala sosiolog Arief Budiman.

Membaca kembali tulisan-tulisan Arief Budiman dalam buku Perdebatan Sastra Kontekstual tersebut ada beberapa hal yang mencengangkan saya, terutama kalau saya mempertimbangkan reputasi Arief Budiman di dunia intelektual Indonesia selama periode Orde Baru. Reputasi Arief Budiman yang saya maksudkan itu mungkin akan lebih jelas teruraikan dengan kutipan pendapat Ariel Heryanto dari bagian “pendahuluan” buku Perdebatan Sastra Kontekstual di bawah ini:

“Arief Budiman mempunyai kombinasi kualitas yang jarang sekali dimiliki oleh warga masyarakat kita pada umumnya. Ia tidak hanya populer di kalangan pengamat “sastra” (atau “seni” umumnya) di Indonesia masa ini, tetapi juga kaum sekolahan yang menjadi bagian (ter)penting dari pembaca media-massa, termasuk mereka yang tidak benar-benar tertarik pada masalah “sastra”. Ia tidak saja berotak cemerlang dan berkepribadian kokoh. Gagasan-gagasannya yang segar dan tajam berkali-kali menimbulkan kontroversi besar di antara para cendekiawan.”

Dengan mengutip secara panjang pendapat Ariel di atas tentang sosok intelektual Arief Budiman, saya hanya ingin menekankan betapa besarnya kekecewaan intelektual saya waktu membaca tulisan-tulisannya tentang “sastra kontekstual” dalam buku susunan Ariel tersebut. Pertama, Arief Budiman mengklaim bahwa apa yang ingin dikemukakannya dalam ceramahnya “Sastra yang Berpublik” di Sarasehan Seni di Solo, 28 Oktober 1984, yang menjadi pemicu terjadinya perdebatan sastra kontekstual tersebut adalah “mengenai sosiologi kesenian”. Dia bahkan yakin bahwa apa “Yang saya bahas kebanyakan berlaku untuk kesusastraan, tapi saya kira untuk batas-batas tertentu juga merupakan persoalan di bidang kesenian umumnya”. Persoalan itu adalah persoalan “kesusastraan”, atau seni, “yang berpublik”. Atau apa yang oleh Ariel Heryanto disebut sebagai “sastra kontekstual” itu.

Bagi saya, pembicaraan Arief Budiman, baik dalam ceramahnya itu maupun di tulisan-tulisannya di media massa setelah itu, bukanlah sebuah “sosiologi kesenian”. Terlalu gampang dia mengklaim pendapat-pendapatnya tersebut sebagai sebuah “sosiologi” hanya karena dia dikenal sebagai seorang “sosiolog”. Apa yang dinyatakannya tentang sastra Indonesia dalam semua tulisannya pada dasarnya hanya klaim-klaim asersif, atau kesimpulan-kesimpulan mentah, yang satu kali pun tidak pernah (mampu) dibuktikannya. Misalnya pernyataannya bahwa (tradisi) sastra Indonesia adalah “sastra universal” yang “tidak berakar” dalam realitas kehidupan Indonesia. Apa sebenarnya yang dimaksudkannya dengan “sastra universal” itu? Apakah sastra di “Barat” memang merupakan contoh dari “sastra universal” yang dimaksudkannya? Apa kriterianya? Juga, “Barat” yang mana yang dia maksud sebagai “Barat” dalam pernyataan-pernyataan xenofobiknya itu: Amerika Serikat, Eropa Barat, Eropa Timur yang dalam konteks terjadinya perdebatan sastra kontekstual itu merupakan bagian dari imperium Uni Soviet? Apakah sastra Selandia Baru yang berbahasa Inggris yang kuat unsur budaya lokal Maorinya itu, misalnya, termasuk “sastra Barat” itu? Atau karya-karya para sastrawan Afro-Amerika seperti Langston Hughes, Ralph Ellison, Alice Walker, dan Toni Morrison? Arief juga mengklaim bahwa Hadiah Nobel Sastra merupakan semacam standar artistik bagi apa yang disebutnya sebagai “sastra universal”, “sastra yang kebarat-baratan” itu, sambil melecehkan kenyataan betapa Tagore dari India dan Kawabata dari Jepang juga mendapatkan penghargaan Nobel dengan menyatakan bahwa kedua sastrawan Asia ini dipilih karena “sedikit banyak mereka memenuhi standar penulisan orang-orang di dunia Barat”! Tapi Arief Budiman lagi-lagi tidak mampu menjelaskan apa yang dimaksudkannya sebagai “standar penulisan orang-orang di dunia Barat” itu, atau paling tidak apa karakteristik karya sastra yang jadi pemenang Hadiah Nobel Sastra. Bagaimana kita bisa percaya bahwa dia memang sedang melakukan sebuah “sosiologi kesenian” kalau isi dari semua pembicaraannya cuma repetisi dari klaim-klaim asersif yang tanpa bukti-bukti alias tergantung pada kata hatinya belaka! Kekecewaan kedua saya adalah bahwa kegagalan teoritis ini makin diperparah oleh kenyataan betapa Arief Budiman, dan Ariel Heryanto, malah tidak mampu memberikan elaborasi konseptual atas apa sebenarnya yang mereka maksud sebagai “sastra kontekstual” itu sendiri, kecuali bahwa “sastra kontekstual” itu adalah “sastra yang berpublik”, “sastra yang tidak kebarat-baratan”, “sastra yang berpijak di bumi”! Ketimbang memberikan penjelasan, kita malah dicekoki dengan slogan-slogan yang cuma makin mengaburkan isu apa sebenarnya yang ingin mereka bicarakan.

Terakhir, kalau kita bandingkan “bahasa” yang dipakai Arief Budiman dalam “perdebatan” tentang “sastra kontekstual” dengan bahasa S Takdir Alisjahbana dan lawan-lawannya dalam Polemik Kebudayaan di tahun 1930an, maka terlihatlah betapa parahnya kemerosotan “bahasa intelektual” Arief Budiman. Bukan saja dia mengulang-ulang-tanpa-elaborasi apa-apa yang sudah pernah dinyatakannya sebelumnya, dia juga terjatuh kepada bahasa vulgar yang sangat tidak sesuai dengan pretensi sosiologis tulisan-tulisannya, seperti pemakaian istilah-istilah kolokuial semacam “megalomaniak”, “astaga, tahi kerbo apa ini!”, atau “teler minum bir”. Terutama soal “teler minum bir” ini, dari mana Arief Budiman tahu bahwa kalau seseorang itu menulis esei, sebaiknya dia tidak dalam keadaan mabuk bir? Apakah ini juga merupakan bagian dari “sosiologi sastra” ala Arief Budiman atau sekedar sebuah catatan pinggir otobiografis?!

Persoalan “sosiologi sastra” adalah sebuah persoalan kontekstual dalam dunia sastra di mana saja, kapan saja. Merupakan sebuah persoalan universal sastra. Dari perspektif “kritik sastra”, sastra adalah sesuatu yang otonom, sebuah dunia sendiri, dan harus dipahami melalui struktur intrinsiknya, atau arsitektur tekstualnya, seperti imajeri, metafor, irama, penokohan, alur cerita, dan sebagainya, atau apa yang oleh kaum Formalis Rusia disebut sebagai “kesastraan”nya. Menyatakan bahwa sastra hanyalah ekspresi dari kepentingan kelas sosial belaka, atau cuma sebuah epifenomena dari struktur sosial, atau sebuah refleksi/cermin dari kehidupan atau zaman sang pengarang, seperti yang umumnya dilakukan dalam “sosiologi sastra”, tentu saja akan menimbulkan resistensi yang kuat dari kalangan sastra(wan), seperti yang terjadi dalam polemik Sastra Kontekstual tersebut. Apalagi kalau menganggap bahwa hanya faktor-faktor ekstrinsik demikian merupakan kunci dalam pemahaman/penafsiran, bahkan sebagai (keharusan) kredo penciptaan, karya sastra seperti yang dipropagandakan oleh Arief Budiman dan Ariel Heryanto jelas merupakan sebuah reduksionisme konseptual yang sangat tidak adil atas sastra(wan). Juga merupakan sebuah pelecehan tekstual karena sastra telah digusur-paksa dari habitatnya, yaitu Seni, menjadi cuma sekedar sebuah dokumen sosial belaka – sama dengan berita kriminal di koran atau laporan perjalanan di majalah – seperti pada pemakaian tanda-kutip pada istilah “sastra” oleh Ariel Heryanto. Akan menarik sekali untuk mengetahui apa seorang sosiolog akan rela menerima hasil riset akademisnya tentang korupsi di Indonesia, misalnya, cuma dianggap tidak lebih bernilai ketimbang sebuah episode sinetron yang bertema sama.

Kelemahan lain dari konsep “sastra kontekstual” ala Arief Budiman dan Ariel Heryanto adalah persoalan: siapa yang bisa menentukan bahwa “tokoh-tokoh” ataupun “realitas sosial” dalam sebuah karya “sastra kontekstual” memang benar-benar merupakan “representasi sebenarnya” dari kontekstualisme sastra dimaksud? Apa kriteria untuk menentukannya? Isu-isu penting semacam ini tak pernah sekalipun melintas dalam pemikiran kedua kontekstualis ini, apalagi sampai mereka membicarakannya.

Pemahaman mekanistik atas hubungan antara sastra dan masyarakat seperti yang ditawarkan konsep “sastra kontekstual” merupakan sebuah “sosiologi sastra” yang sangat dogmatis-skematis, kalau tidak mau dikatakan cuma sebuah pseudo-sosiologi-sastra belaka. Ini dengan mudah bisa dilihat hanya dari tuduhan-tuduhan yang dilakukan Arief Budiman atas sastra(wan) Indonesia pada judul tulisan-tulisannya yang berkesan sangat sensasional itu. Ada baiknya saya ingatkan di sini bahwa Marx, Engels dan Trotsky (tiga tokoh utama sosiologi seni Marxis) pun tidak begitu dogmatis dalam “sosiologi sastra” mereka. Walaupun Marx dan Engels tidak pernah menciptakan sebuah teori tentang hubungan sastra dan masyarakat, tapi cukup banyak terdapat “catatan” yang menunjukkan betapa mereka tidak selalu menganggap status sastra hanya sebagai cermin dari proses sosial semata. Dalam tulisan mereka yang sangat terkenal, Manifesto Komunis, mereka menyatakan bahwa kapitalisme adalah representasi dari tahap produksi sosial yang paling maju, sebuah formasi sosial yang progresif. Dan kalau dikaitkan dengan sastra, maka hal ini mengisyaratkan mustahilnya keberadaan sebuah sastra nasional yang mandiri karena kapitalisme mengembangkan berbagai sastra nasional dan lokal menjadi sebuah “sastra dunia”, sastra yang melampaui kelas sosial, daerah, dan kebangsaan, dan yang berbicara kepada manusia di mana saja. Atau “sastra universal”, dalam istilah Arief Budiman dan Ariel Heryanto. Engels sendiri, misalnya, menyatakan bahwa dalam sebuah karya sastra yang politis, tendensi politis pengarang sebaiknya implisit saja; ideologi politik bukanlah persoalan utama seniman dan karya itu sendiri pun diuntungkan kalau pandangan pengarangnya tetap tersembunyi. Menurut Engels lagi, tema sebuah novel mesti muncul dengan alami dari situasi dan peristiwa yang diceritakan di dalam novel tersebut. Karena, “tak ada keharusan bagi pengarang untuk menyediakan kepada pembacanya penyelesaian atas konflik sosial yang diceritakannya”. Sementara itu dalam pembelaannya atas kaum Formalis Rusia yang diejek-ejek Lunacharsky, Komisar Pendidikan dan Seni Uni Soviet pertama di zaman Lenin, sebagai sebuah “peninggalan budaya dari zaman pra-Rusia Revolusioner”, sebuah “eskapisme”, dan sebuah “ideologi dekaden”, Trotsky menyatakan persetujuannya dengan pandangan kaum Formalis tersebut bahwa penilaian utama atas teks sastra mestilah didasarkan pada kualitas sastranya, bahwa seni memiliki aturan-aturannya sendiri, dan sosiologi Marxis tidak bisa melampaui penilaian estetik.

Sebuah “sosiologi sastra” yang “kontekstual” dengan dirinya sebagai sosiologi “sastra” tidak dapat mereduksi sastra menjadi sekedar cermin dari masyarakatnya semata, menjadi cuma sebuah dokumen sosial belaka, dengan mengesampingkan status sastra sebagai seni, seperti yang diyakini Ariel Heryanto. Begitu juga dengan pandangan absolutis-idiosinkratik Arief Budiman bahwa “pada dasarnya semua sastra adalah kontekstual”, yang bermakna bahwa sastra hanyalah sekedar refleksi dari romantika kelas sosial, terbatas publik penikmatnya tergantung hanya kepada siapa sang pengarang mengalamatkan karangannya, terlalu superfisial untuk bisa diterima sebagai sebuah “sosiologi” sastra karena menyiratkan bahwa selera seni, atau selera keindahan (sense of beauty), berbanding lurus dengan isi kocek dan warna kulit seseorang. Kecuali hitam-putih, tak ada warna lain dalam estetika Arief Budiman, tak ada nuansa kebenaran lain dalam positivisme “sosiologi”nya. Pertanyaan terakhir yang ingin saya ajukan kepada beliau, dan Ariel Heryanto, sambil menutup esei ini adalah bagaimana Anda akan menjelaskan betapa Shakespeare begitu universal kepopulerannya, sejak abad 17 sampai sekarang dan di mana-mana, termasuk di Indonesia, mirip dengan universalnya kepopuleran “sosiologi”, ilmu pengetahuan yang sangat kebarat-baratan itu?

Kegundahan Sastra Saut Situmorang

Kegundahan Sastra Saut Situmorang


Saut Situmorang
Zamakhsyari Abrar – wartaone

http://sautsitumorang.multiply.com/

Jakarta – Saut Situmorang, nama penyair ini, dalam beberapa tahun belakangan mencuat namanya dalam panggung sastra negeri ini. Lewat kritik-kritiknya yang tajam dan keras, ia menyerang Goenawan Mohamad dan kawan-kawan atas apa yang disebutnya sebagai politik sastra Teater Utan Kayu.

Bersama dengan penyair Wowok Hesti Prabowo, sastrawan yang lahir di Tebing Tinggi, Sumatra Utara, pada 29 Juni 1966, ini lalu menerbitkan jurnal Boemipoetra, sebuah jurnal yang terbit dwibulanan, wadah tempat mereka untuk menulis dan mengekspresikan tulisan untuk “menyerang” politik sastra Goenawan cs.

Terkait banyaknya reaksi yang kaget ketika membaca Boemipoetra, Saut menilainya hal itu wajar-wajar saja. Menurut pria berambut gimbal ini, selama pemerintahan Orde Baru, seniman kita memang tidak terbiasa berpolitik dalam kesenian.

Apa dan bagaimana Boemipoetra? Bagaimana tanggapan Saut terhadap pernyataan Goenawan yang beberapa waktu sebelumnya menyebut Boemipoetra tak lebih dari coret-coretan di toilet? Berikut petikan perbincangan WartaOne.com dengan Saut di Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat, Kamis (9/7).

WartaOne (WO): Salah satu pemicu berdirinya Boemipoetra adalah karena sakit hati penyair Wowok Hesti Prabowo yang gagal masuk dalam pemilihan anggota Dewan Kesenian Jakarta pada 2006?

Saut Situmorang (SS): Seandainya pun itu benar, tak apa-apa toh. Karena kita tahu Dewan Kesenian Jakarta yang kemudian terbentuk, itu kan Dewan Kesenian Goenawan Mohammad. Mulai dari ketuanya yang namanya Marco K itu (Marco Kusumawijaya), sampai ke dalam bidang-bidang dalam Dewan Kesenian Jakarta. Misalnya sastra, di situ ada Ayu Utami, Nukila Amal, dan di situ juga ada yang kusebut antek-antek Goenawan Mohamad atau TUK, Zen Hae. Dan (kelompok Goenawan) itu juga ada di teater dan film.

Jadi Dewan Kesenian Jakarta yang kemudian terbentuk itu, semua orang bisa melihat bahwa jelas sekali itu Dewan Kesenian Jakarta versi Teater Utan Kayu. Kita tahu permainan Goenawan Mohamad di Akademi Jakarta mempengaruhi anggota-anggota lain supaya mereka itu terpilih. Dan bukan hanya Wowok saja itu yang ketendang keluar dari pemilihan itu, ada juga Ahmadun Y. Herfanda, dan juga Radhar Panca Dahana.

Jadi kalau misalnya itu dibuat semacam ejekan bahwa Wowok akhirnya memulai jurnal Boemipoetra karena sakit hati itu, ya ndak apa-apa. Itu wajar saja, sebab itu sebuah perlawanan terhadap manipulasi yang terjadi pada pemilihan anggota Dewan Kesenian Jakarta pada periode tersebut. Sebuah perlawanan yang konkret karena melahirkan jurnal Boemipoetra, yang kau tahu efeknya ya, sekarang Boemipoetra sudah terbit sekitar dua tahunlah.

WO: Boemipoetra mencoba menandingi wacana kebudayaan Goenawan Mohamad cs. Goenawan cs menurut saya menguasai wacana kebudayaan Indonesia, misalnya sastra, teater dan agama. Boemipoetra apa yang ditawarkan untuk menandingi mereka? Saya kok melihat Boemipoetra tidak menawarkan apa-apa?

SS: Aku sangat tidak setuju dengan pendapat itu bahwa kami tidak menawarkan apa-apa. Sekarang kita bicarakan apa yang kau bilang dominasi wacana kebudayaan Goenawan. Itu buktinya mana? Kalau Goenawan menguasai wacana teater, maksudnya apa? Kalau hanya sekadar mengerti teater, semua orang mengerti teater, mengerti sastra, semua orang mengerti sastra. Tapi kalau kau bilang menguasai wacana, maksudnya apa pernah dia menulis kritik sastra dan teater? Tidak pernah. Banyak orang seperti kau mengenal Goenawan Mohamad karena ia itu menjadi mitos dari catatan pinggirnya di Tempo. Mayoritas hanya mengenalnya dari catatan pinggirnya tadi. Sebagian besar mereka juga adalam pembaca Tempo, majalah kelas menengah ke atas. Bahasa catatan pinggir itu bahasa kelas menengah. Kalau kau benar-benar mau membahas catatan pinggir, itu enggak ada yang dibicarakan oleh Goenawan. Dia itu cuma bermain-main dalam retorika yang berbudi indah. Silahkan kau baca, tidak ada yang dibicarakan. Ia mengelak membicarakan isu yang merupakan judul dari setiap catatan pinggirnya. Ia bermain-main dalam retorika bahasa yang kosong.

Jadi kalau kau bilang Goenawan Mohamad itu menguasai macam-macam itu, begini aja, silahkan saja Goenawan Mohamad itu diskusi dengan Saut Situmorang dari Boemipoetra, topik apa aja, untuk membuktikan (pernyataan) itu. Karena justru mitos besar yang kosong inilah salah satu tujuan (berdirinya) Boemipoetra. Jadi pembaca itu disadarkan. Sebab kalau kalian baca tulisan, apalagi tulisan seperti Goenawan Mohamad, kalian tidak bisa membaca seperti membaca berita di koran. Karena kita berbicara soal politik retorika. Kebanyakan pembaca kita bacaannya paling-paling majalah Tempo, atau Kompas. Itu tidak cukup. Kalau Anda mau bergerak di dunia baca-membaca, apalagi seperti Goenawan yang dengan sadar mempermainkan retorika, enggak cukup. Bacaan harus lebih canggih lagi man.

WO: Wacana agama, misalnya, kelompok Teater Utan Kayu memiliki Ulil Abshar-Abdalla cs dengan JIL-nya?

SS: Kau salah. Kalau kau melihat komposisi redaksi Boemipoetra, itu macam-macam. Wowok itu orang buruh, saya Marxist, Kusprihyanto Namma itu Islam. Anda boleh ngomong macam-macam tentang Islam dengan Kusprihyanto. JIL itu apa? JIL itu labelnya aja yang Islam. Kalau kau mengerti apa yang disebut dengan Islam liberal, kau akan kaget bahwa itu adalah sebuah proyek besar disebut orientalisme, terutama oleh Amerika Serikat untuk mengacaukan Islam. Tokoh-tokohnya seperti Bernard Lewis dan lain-lain, orang yang mengaku Islam tapi menghina Islam. Jadi kalau berbicara JIL, Anda tak bisa melihat apa yang mereka omongkan. Anda harus tahu mereka berasal dari mana. Nah bacalah (buku) Edwar W. Said (Orientalisme), Anda akan tahu apa itu Islam liberal.

WO: Bukankah gejala kelompok seperti ini bukan gejala baru dalam sastra Indonesia. Di luar juga seperti itu?

SS: Ya, makanya. Itulah harus ada counter. Jadi kenapa ada Boemipoetra, seolah-olah dianggap anomali, aneh. Karena orang kita itu selama 32 tahun pemerintahan Orde Baru, selama itu berkuasa Horison-Manikebu. Orang Indonesia itu sudah terlalu biasa untuk tidak berpolitik dalam kesenian. Jadi kalau melihat munculnya fenomena Boemipoetra yang menentang Goenawan Mohamad dengan Teater Utan Kayunya dalam perspektif sastra secara luas, bukan hanya karya ya, baik politik karya, politik kanonisasi sastra, informasi tentang sastra di dalam maupun luar negeri, orang pada kaget karena belum pernah terjadi sebelumnya (dalam sejarah sastra Indonesia). Banyak sekali polemik-polemik STA (Sutan Takdir Alisyahbana) dengan lawan-lawannya termasuk yang terakhir itu perdebatan sastra kontekstual, itu hanya membicarakan karya. Belum membicarakan sebuah isu. Sosiologi sastra, politik sastra, bukan semacam itu.

Nah ini sesuatu hal yang baru yang dibawa oleh jurnal Boemipoetra. Kalau Anda ingin tahu tentang perspektif yang lebih luas tentang perlawanan Boemipoetra terhadap Goenawan Mohamad dan TUKnya, saya baru menerbitkan kumpulan esei saya judulnya Politik Sastra.

Dalam buku itu, jelas sekali yang kami tawarkan, sesuatu yang selama ini dikoar-koarkan oleh GM yaitu pluralisme. Baik pluralisme dalam berpikir, pluralisme dalam berkarya. Mereka kan tidak. Lihat saja seleksi pengarang. Yang mereka undang, yang sama gaya menulisnya dengan mereka. Pernahkah mereka mengundang dalam acara bienale sastra itu pengarang Islam seperti Helvy Tiana Rosa? Atau pengarang yang mewakili suara buruh. Banyak sekali kan. Tidak hanya Wowok. Pernah gak? Kan enggak. Tapi yang diundang hanya pengarang-pengarang yang mengangkat cerita seks, sesuatu yang abstrak yang tidak ada dalam persoalan kehidupan sehari-hari. Berarti mereka itu menyeragamkan topik, menyeragamkan style of writing. Di sisi lain mereka berkoar-koar soal pluralisme dan macam-macam. Mereka tidak plural sama sekali. Mereka antipluralisme. Seperti Jaringan Islam Liberal. Kenapa rupanya kalau ada FPI (Front Pembela Islam), dan kelompok fundamentalis? Anda kan plural, Anda kan liberal, liberal itu kan plural. Siapa aja silahkan, atheis juga silahkan. Tapi kan tidak.

WO: Jadi yang diomongkan tak sesuai dengan perbuatan?

SS: Terbukti kan? Anda yang berseberangan ide, ideologi, style dengan mereka, dikucilkan. Buktinya Boemipoetra tidak setuju dengan mereka. Harus terima dong, kan mereka plural. Kalau mereka hanya menerima orang yang setuju dengan mereka, itu bukan plural. Itu seragam. Itu fasis namanya.

WO: Yang menonjol dari jurnal Boemipoetra adalah bencinya itu?

SS: Ya, kita harus benci waktu kita melawan sesuatu, bukan sayang, karena kalau sayang itu kan munafik. Kita benci dengan segala sesuatu yang mereka presentasikan. Seperti yang saya bilang tadi. Di Islam itu ada JIL, di sastra itu ada TUK, di dunia kesenian mereka itu ada Salihara. Ya, kita benci itu karena (mereka) tidak konsisten. Itulah politik kesenian.

Jadi pretensi orang selama ini bahaslah karya. Coba kita lihat. Selama ada sastra Indonesia, tidak ada kritik sastra. Coba sekarang bahas karya, GM tidak mampu. Apalagi Sitok (Srengenge), Nirwan Dewanto, tidak mampu apa-apa itu. Jadi mereka itu berpolitik sastra. Semuanya itu berpolitik sastra.

WO: Saya pernah mewawancarai Sapardi Djoko Damono terkait tidak adanya kritik sastra seperti yang dikeluhkan oleh Bang Saut. Menurut Sapardi, hal itu tidak benar. Banyak kritik sastra diproduksi dalam bentuk tesis dan disertasi.

SS: Itu tugas kuliah, bukan kritik sastra. Hahaha… Kalau benar kritik sastra, mereka kritikus dong yang menulisnya. Tapi gak kan? Itu tugas supaya dapat gelar sarjana. Beda. Kritik sastra itu sebuah profesi, seperti kau wartawan, tukang becak dan tukang bajaj. Kalau profesi itu ada karir, mulai dari bawah. Kritik sastra itu karir. Dan Sapardi juga bukan kritikus sastra. Dia gak ngerti apa-apa. Sapardi gak bisa bahas karya, baca aja semua kumpulan tulisan dia. Gak ada. (Tulisan) dia itu seperti opini Kompas aja. Opini itu lain, itu bukan kritik. Kritik itu kau menganalisis sesuatu, kau punya sebuah hipotesis, lalu kau buktikan. Kau bahas. Tidak bisa sekadar, oh temanya begini, tokohnya begini, dan mereka berantem. Itu namanya menceritakan kembali. Mengkritik bukan menceritakan kembali, tapi menganalisis cerita yang kau ceritakan kembali.

WO: Jadi problemnya sumber daya manusia?

SS: Sumber daya manusia kita sangat parah. terutama di dunia seni. tidak ada kritikus seni, baik teater, sastra. Tidak ada itu. tapi memang ini berangkat dari pendidikan yang anjlok itu. Kau lihat misalnya. Berani tidak mahasiswa mendebat dosennya di kelas? Pasti habis dia. Ini persoalannya di sini, kita memang diadakan untuk tidak kritis, kalau sistem pendidikan seperti ini di mana debat antara mahasiswa dan dosen, murid dan gurunya tidak diperbolehkan sama sekali, bagaimana akan ada kritik seni atau kritik kebudayaan? Itu awalnya, pendidikan kita diciptakan oleh Soeharto seperti itu untuk menurut. Siswa kerjanya sekolah, sks, lulus, mudah-mudahan dapat kerjaan, kemudian kawin mati.

WO: Saya sepakat dengan hal itu.

SS: Ya, gak akan mungkin ada satu elemen dari kebudayaan yang anjlok aja. Ini semua, struktural. Jadi kalau misal ada kerusakan ekonomi, di dunia politik partai, gak ada di situ aja. Itu gak akan terjadi kalau gak didukung oleh unsur-unsur lain, dalam berpikir, dalam cara orang beragama, bersekolah. Itu mendukung sistem ini.

WO: GM menganggap Boemipoetra cuma coret-coretan di toilet? Tanggapan Anda?

SS: Sama aja. Kami mengggap semua tulisannya juga cuma coret-coretan toilet di terminal bis umum. Gak apa-apa. Tapi persoalannya ketika dia ngomong begitu, apa pernah dia buktikan? Apa pernah dia kasih alasan? Kan gak pernah kan.

WO: Anda pernah menyamakan jurnal Boemipoetra dengan manifesto kaum Dada dan Surealisme Prancis? Apa itu tidak berlebihan?

SS: Lho, sekarang Anda sudah pernah baca manifesto kaum Dada dan Surealisme tersebut? Belum. Kalau belum, sulit saya menjelaskannya. Coba Anda baca manifesto mereka, seperti apa bahasa mereka? Itu majalah kecil juga, mereka juga menyebutnya jurnal. Nanti kalau saya jelaskan, Anda anggap pembelaan lagi.

WO: Jadi konkretnya seperti apa agenda kebudayaan jurnal Boemipoetra?

SS: Pertama pluralisme. Selama ini Utan Kayu mengklaim dirinya pluralis. Nah, kami itu mengkritik itu. Mereka itu sebenarnya antipluralis. Kedua, kita antiideologi Goenawan cs bahwa seks adalah satu-satunya standar estetika kesenian Indonesia. Orang kan bisa menulis tentang Islam, makanan, kan gak apa-apa dong. Mengapa harus seks yang dianggap paling hot? Semua oke, persoalannya bagaimana kau menuliskannya. Dan ketiga, kita antifunding asing. Kalau mereka sudah masuk, kacau dunia kesenian. Contohnya ya Teater Utan Kayu itu. (mak/mak)

Diambil dari situs: http://www.wartaone.com/articles/13125/1/Kegundahan-Sastra-Saut-Situmorang/Halaman1.html

TIRAI

TIRAI


Saut Situmorang

http://boemipoetra.wordpress.com/

Peristiwa itu terjadi begitu cepat. Seekor kucing tiba-tiba saja muncul dari seberang jalan dan berlari melintas. Aku gugup dan berusaha menekan pedal rem kuat-kuat. Akibatnya sepeda motorku ‘slip’ dan menggelincir tak terkendali ke tepi jalan.

Aku lihat banyak orang berlarian ke tempat di mana badanku terkapar. Mereka lalu berkerumun di sekitarku. Segera saja lalulintas di jalan itu macet. Suara-suara klakson mobil dan sepeda motor begitu ramai, tapi tak membuat kerumunan orang di sekitarku jadi bubar. Malah semakin banyak orang yang datang berkerumun di situ.

Tak berapa lama terdengar sirene ambulance. Sebuah mobil ambulance berhenti tak berapa jauh dari tempat badanku terkapar. Orang-orang yang berkerumun itu mulai menjauh tatkala dari dalam ambulance keluar seorang polisi dan dua laki-laki berpakaian putih-putih. Kedua laki-laki itu membawa sebuah tandu yang juga berwarna putih. Mereka berjalan ke tempat di mana badanku terkapar.

Begitu melihat posisi badanku yang terjepit sepeda motor dengan darah berceceran di sekitarnya itu, nampak ada perubahan di wajah ketiga orang itu. Terutama kedua laki-laki yang berpakaian putih-putih itu. Kayaknya mereka agak ngeri melihat apa yang ada di hadapan mereka saat itu. Polisi itu lalu mengangkat sepeda motor yang menimpa badanku. Terdengar beberapa jeritan kecil dari tepi jalan saat sepeda motor itu diangkat. Kepalaku berdarah dan darah itu begitu banyak hingga membentuk sebuah genangan kecil di dekatnya. Helmku tak nampak, mungkin tercampak waktu sepeda motor itu tergelincir tadi. Juga tak ada bangkai kucing di situ. Hanya pecahan kaca bertaburan sampai ke tepi jalan.

Salah seorang laki-laki berpakaian putih-putih itu jongkok dan meraba tangan kananku, sementara si polisi sibuk berkomunikasi via walky-talkynya. Kemudian dia bangkit dan membisikkan sesuatu kepada polisi itu. Tak lama kemudian datang tiga orang polisi bersepeda motor dan setelah berbicara sebentar dengan polisi pertama tadi, dua di antaranya mulai mengatur jalannya lalulintas yang sempat macet itu. Kedua laki-laki berpakaian putih-putih itu dibantu seorang polisi mulai mengangkat badanku ke tandu dan menggotongnya ke ambulance. Lalu sambil memperdengarkan suara sirenenya yang meraung-raung panjang ambulance itu bergerak meninggalkan tempat itu.

Mereka menempatkan badanku di sebuah ruangan yang bertuliskan ‘EMERGENCY’ di atas pintunya. Laki-laki berpakaian putih-putih yang meraba tanganku tadi nampak mulai sibuk. Dia berganti-ganti memberi perintah kepada beberapa laki-laki dan perempuan yang juga berpakaian putih-putih yang ada di ruangan itu. Lalu dia mulai menekan-nekan dadaku dengan kedua telapak tangannya. Dia berbuat begitu sampai keringat bercucuran dari dahinya. Semuanya kelihatan tegang. Hanya si polisi yang terdengar masih tetap berwalky-talky di luar. Aku tak tahu berapa lama laki-laki berpakaian putih-putih itu menekan-nekan dadaku sebelum dia menghentikannya. Kembali dia menghapus keringat di dahinya. Kemudian dia berjalan ke arah pintu, membukanya dan menatap polisi yang juga sedang melihat padanya. Dia menarik napas sebentar sebelum menggelengkan kepalanya.

Mereka meninggalkan badanku dalam ruangan bertuliskan ‘EMERGENCY’ ini dengan sehelai kain putih menutupi seluruh badanku. Aku masih sempat tadi melihat perban yang membalut kepalaku sebelum ditutupi kain putih itu. Terlihat cukup jelas noda darah di situ.

Entah berapa lama tiba-tiba pintu ruangan terbuka dan muncullah si laki-laki berpakaian putih-putih tadi. Lalu si polisi dan beberapa orang lain. Aku mengenali beberapa orang lain itu. Terutama seorang perempuan tua di antara mereka. Perempuan tua itu adalah ibuku. Dia kelihatannya sedang menangis, dan begitu kain putih itu dibuka, tangisnya pun menjadi-jadi. Bahkan dia setengah menjerit. Begitu pula beberapa orang lain yang adalah adik-adik kandungku itu.

Aku heran sekali. Mengapa mereka menangis seperti itu? Terutama ibuku. Oh, betapa senangnya aku melihat perempuan tua yang sangat kusayangi itu. Aku panggil dia. Tapi, dia tak menjawab. Menoleh pun tidak. Aku ulangi lagi memanggilnya. Tapi sama saja. Aku jadi tambah heran. Aku coba menyentuh tangannya yang sedang mengusap-usap wajahku. Kembali tak ada reaksinya. Dia tidak menggubrisku! Aku coba memanggil nama adik-adikku sambil mengguncang pundak mereka. Mereka juga tak menggubrisku dan tetap menangis keras-keras. Aku benar-benar penasaran jadinya. Aku benar-benar tak tahu mengapa mereka tak menggubrisku. Apakah mereka tak melihat aku? Apakah mereka semua sudah tuli hingga tak mendengar panggilanku? Aku benar-benar tak mengerti sikap mereka itu.

Laki-laki berpakaian putih-putih itu mendekati ibuku dan mencoba menghiburnya. Kulihat dia mengatakan sesuatu pada ibuku. Ibuku mulai menghentikan tangisnya walau masih terlihat punggungnya bergerak-gerak perlahan tanda dia berusaha menahan keluarnya tangisannya. Ibuku lalu mengusap airmatanya dengan ujung selendangnya. Adik-adikku pun berhenti menangis. Kini mereka semua memandangi wajahku dengan pandangan kasihan. Ya, mungkin mereka merasa kasihan melihat wajahku yang rusak itu. Tapi aku masih tak tahu mengapa mereka tadi menangis begitu aneh dan malah sampai tak menggubris tegoranku. Ini sungguh aneh. Apa mungkin karena mereka begitu sedih melihat keadaan badanku yang rusak itu hingga tak sadar kalau aku sedang memanggili mereka tadi? Ya, mungkin saja. Mereka memang pantas bersikap seperti itu karena wajahku benar-benar amat menyedihkan keadaannya.

Setelah tak ada lagi terdengar tangisan di ruangan itu, si laki-laki berpakaian putih-putih melihat pada si polisi dan memberikan isyarat dengan menganggukkan kepalanya. Si polisi lalu keluar dari ruangan itu.

Ibuku mencium wajahku sebelum laki-laki berpakaian putih-putih itu menutupnya kembali dengan kain putih. Airmata masih terus mengalir di wajah ibu. Selendangnya pun sudah basah. Sekarang ibu mengusap airmatanya dengan saputangan yang tadi diberikan oleh salah seorang adikku. Tak lama kemudian si polisi tadi muncul dengan dua orang lain yang berpakaian putih-putih. Mereka langsung berjalan ke arah di mana badanku sedang dibaringkan. Lalu kedua laki-laki berpakaian putih-putih itu mendorong bed tempat badanku terbaring ke luar ruangan. Di luar sudah menunggu ambulance yang membawa badanku kemari tadi. Aku lihat ibuku mulai menangis lagi. Dia masuk ke dalam ambulance dan duduk dekat bed tempat badanku berada. Begitu pula adik-adikku dan si polisi. Kembali terdengar suara raungan sirene waktu ambulance mulai bergerak keluar rumah sakit.

Ternyata di rumah sudah banyak orang berkumpul. Mereka sepertinya sedang menunggu kedatangan ambulance itu. Begitu ambulance tiba, tiba-tiba pula terdengar suara-suara tangisan dari dalam rumah. Ibu dan adik-adikku pun mulai lagi menangis keras-keras. Aku benar-benar tak mengerti. Apa yang terjadi pada mereka hingga terus-menerus menangis? Kalau cuma karena melihat keadaanku yang rusak, mengapa sampai begitu berlebih-lebihan tangisan mereka? Dan orang-orang yang berada di rumah, apa pula sebabnya mereka menangis? Mereka kan belum melihat badanku yang rusak? Aku benar-benar tak tahu apa jawabannya. Aku hanya diam saja memandangi mereka yang bersikap aneh itu. Aku tak mau lagi mencoba menegur ibuku, adik-adikku, atau siapapun di tempat ini. Aku yakin tak satu pun dari mereka akan menggubrisku. Mereka benar-benar membingungkanku.

Aku tiba-tiba melihat sesuatu yang aneh di samping rumah. Sebuah peti, tapi bentuknya agak panjang. Peti panjang itu kelihatan cantik, apalagi dengan adanya kain hitam yang membalutnya. Di salah satu ujungnya terdapat sebuah tanda besar. Tanda † itu berwarna putih. Aku tak tahu tanda apa itu dan untuk apa peti panjang itu. Tanda itu juga nampak cantik di peti panjang itu. Aku suka melihat tanda aneh itu.

Aku tak mau masuk ke dalam rumah. Aku tak suka melihat keadaan di situ. Aku tahu mereka pasti sedang menangis di dekat badanku yang rusak itu seperti yang dilakukan ibu dan adik-adikku di ruangan yang di atas pintunya ada tulisan ‘EMERGENCY’ tadi. Mereka hanya akan menambah kebingunganku saja nanti.

Aku tak tahu berapa lama aku berdiri dekat peti panjang itu ketika datang empat laki-laki ke arahku. Aku gembira melihat kedatangan mereka. Aku yakin mereka pasti melihatku dan ingin berbincang-bincang denganku. Begitu mereka sudah dekat aku langsung menyapa mereka. Tapi, tak satu pun dari mereka membalas sapaanku. Aku ulangi lagi, kali ini sengaja kusapa mereka keras-keras. Tapi tetap saja tak ada balasan mereka. Malah mereka melewatiku dan berjalan menuju peti panjang itu. Lalu mereka mengangkatnya dan membawanya ke dalam rumah. Aku penasaran sekali melihat kesombongan mereka itu. Aku coba menahan kemarahanku dan kuikuti mereka dari belakang. Aku ingin tahu apa yang akan mereka lakukan dengan peti panjang itu.

Peti panjang itu sudah terbuka tutupnya dan terletak dekat badanku yang dibaringkan di tengah-tengah ruang tamu. Aku lihat kain penutup wajahku pun terbuka dan nampaklah wajahku yang penuh perban itu. Ibuku duduk dekat kepalaku. Airmata nampak di wajahnya yang agak bengkak itu. Begitu juga adik-adikku. Mereka terus-menerus memandangi wajahku yang sangat pucat itu. Seluruh ruang tamu penuh dengan orang-orang dengan wajah yang juga nampak berduka

Keempat laki-laki tadi mengangkat badanku dan memasukkannya ke dalam peti panjang itu. Lalu mereka mengangkat penutup peti ke atasnya. Setelah itu mulailah mereka memaku tepinya. Aku kaget sekali. Mengapa mereka masukkan badanku ke peti panjang itu lalu memakunya? Hendak mereka apakan badanku itu? Kembali kudengar suara-suara tangisan waktu keempat laki-laki itu mengangkat peti panjang berisi badanku keluar rumah. Aku buru-buru mengikuti mereka sampai mereka memasukkan peti panjang itu ke dalam ambulance yang masih menunggu di jalan depan rumah. Orang-orang di dalam rumah pun ikut keluar. Mereka kemudian masuk ke dalam beberapa mobil yang berbaris di depan rumah. Setelah semua mobil itu penuh, ambulance mulai bergerak meninggalkan depan rumahku, diikuti mobil-mobil itu, entah menuju ke mana.

Banyak sekali rumah-rumah kecil aneh di tempat ke mana badanku dibawa ini. Semuanya bersemen dan mempunyai tanda aneh seperti tanda di peti panjang berisi badanku itu. Keempat laki-laki tadi membawa peti panjang itu ke satu sudut di mana aku lihat terdapat satu lobang besar yang baru digali. Melihat lobang besar itu, aku tiba-tiba jadi gelisah. Aku berusaha menduga apa tujuan mereka membawa badanku kemari. Peti panjang itu mereka letakkan dekat bibir lobang besar itu sekarang.

Orang-orang dari rumahku tadi berkumpul di sekeliling lobang besar itu. Ibu dan adik-adikku berdiri dekat bagian kepala peti panjang itu. Lalu seorang laki-laki tua berpakaian hitam-hitam yang berdiri di sisi peti mulai bicara dan membaca sebuah buku kecil di tangannya. Lalu mereka semua mulai bernyanyi! Makin bingung aku melihat tingkah-laku orang-orang ini. Tadi menangis, sekarang mereka menyanyi! Bahkan ibuku pun ikut-ikutan menyanyi sambil sesekali mengusap airmata yang tak henti mengalir di wajahnya! Absurd!

Tapi aku justru makin gelisah dibuatnya. Aku berusaha menduga-duga apa arti dari semuanya ini tapi aku tetap tak mengerti. Entah berapa lama kemudian tiba-tiba keempat laki-laki tadi muncul dari kerumunan orang-orang di sekeliling lobang besar itu, mendekati peti, lalu memasukkan peti panjang yang berisi badanku itu dengan tali ke dalam lobang. Lalu laki-laki tua berpakaian hitam-hitam itu, ibuku, adik-adikku, dan yang lainnya mulai menjatuhkan gumpalan-gumpalan tanah ke dalam lobang itu!

Aku menjerit keras! Aku mencoba menahan mereka untuk tidak melanjutkan perbuatan mereka itu tapi tak ada yang menghiraukanku dan mereka terus memasukkan tanah ke dalam lobang itu! Aku berlari mendekati ibuku yang menangis di dekat lobang yang sudah mulai tertutup tanah itu. Sambil menggoncang-goncangkan badannya kuminta dia melarang orang-orang menimbuni lobang tempat badanku berada. Tapi, kembali usahaku sia-sia. Ibuku masih tetap tak menghiraukanku…

Aku menangis sedih. Aku menangis sedih dekat gundukan tanah berisi badanku ini. Aku masih terus menangis walau kini tinggal aku sendiri di tempat sunyi ini. Aku tak mengerti mengapa mereka lakukan semua ini.

Medan, April 1988- Jogja, Oktober 2005

(In Memoriam: Ibuku)

KOTBAH HARI MINGGU

KOTBAH HARI MINGGU


Saut Situmorang

Hari Minggu pagi. Tak ada mendung di langit, matahari bulat penuh kemerah-merahan seperti telor matasapi tergantung di ranting pohon jambu di depan rumah. Tiga ekor burung kutilang ribut di pucuk ranting jambu yang tinggi, sementara di bawahnya di tanah ayam-ayam kampung berebutan makan jagung. Terdengar suara anak menangis dari dalam rumah.

“Pagi yang indah,” kata Pak Pendeta sambil meminum kopi yang masih mengepulkan uap panas di atas meja. Dia baru saja bangun. Cuci muka dulu, lalu dia duduk menghadapai kopi panasnya. Sudah jadi kebiasaannya begitu. Bangun pagi, cuci muka, lalu minum kopi. Tanpa baju, hanya pakai sarung. Sudah jadi kebiasaan istrinya pula untuk bangun pagi, cuci muka, masak air, dan membuat kopi untuk dia, suaminya. Tentu saja dia pakai baju dan sarung.

“Pagi yang indah,” kata Pak Pendeta sambil meminum kopi yang masih mengepulkan uap panas di atas meja, di depannya. Suara tangisan anak tadi masih terus terdengar. Berasal dari kamar mandi di belakang rumah. Kadang-kadang terdengar juga suara perempuan, istri Pak Pendeta, sedang membujuk-bujuk anak yang menangis itu. Pak Pendeta baru tiga tahun kawin. Punya anak satu, laki-laki. Dan di rumah ini tidak ada orang lain yang tinggal bersama mereka kecuali mereka bertiga saja. Itulah sebabnya suara anak yang menangis di kamar mandi itu adalah suara anaknya dan yang sedang membujuk-bujuk anaknya yang menangis di kamar mandi itu adalah istrinya yang baru tiga tahun dikawininya.

“Pagi yang indah,” kata Pak Pendeta sambil meletakkan gelas kopinya yang sudah kosong ke meja di depannya. Meja itu terbuat dari kayu jati dan diberi taplak Ulos Batak. Sekarang matahari sudah agak tinggi dan anaknya sudah selesai mandi dan Pak Pendeta bangkit dan pergi ke kamar mandi. Seekor lalat terbang mengitari permukaan gelas kopi yang sudah kosong itu, hanya di dasarnya nampak sisa kopi, dan terus terbang mengitarinya selama beberapa detik sebelum akhirnya hinggap di tepi mulut gelas kopi yang sudah kosong di atas meja kayu jati bertaplak Ulos Batak itu.

Di kamar istri Pak Pendeta sedang sibuk membantu anaknya berpakaian. Mereka hendak ke gereja dan mereka masih punya banyak waktu untuk berpakaian. Dia sendiri belum mandi, hanya cuci muka dulu lalu masak air dan membuat kopi untuk suaminya, Pak Pendeta. Sudah jadi kebiasaannya juga, dia baru mandi setelah anak laki-lakinya yang menangis di kamar mandi tadi dan suaminya selesai mandi. Sekarang dia, istri Pak Pendeta, sedang sibuk membantu anaknya berpakaian di kamar anaknya itu.

Pak Pendeta sudah selesai mandi. Wajahnya berseri-seri, rambutnya agak basah, dan dia cuma memakai sarung saja keluar dari kamar mandi. Dia melihat pada gelas kopi kosong yang ada lalat merayapi dalamnya untuk minum sisa kopi di dasar gelas di atas meja kayu jati bertaplak Ulos Batak itu. Dia tersenyum. Pagi yang indah, gumamnya sambil masuk ke kamarnya. Hari ini adalah hari pertamanya memberikan kotbah setelah kepindahannya ke kota ini.

Giliran istrinya sekarang mandi. Anak laki-lakinya sudah selesai berpakaian dan tidak menangis lagi. Dia duduk di ruang tamu menunggu orangtuanya siap berangkat ke gereja.

Tak berapa lama kemudian mereka bertiga sudah berada dalam mobil. Pak Pendeta mengenakan pakaian barunya yang tadi malam disetrika rapi oleh istrinya. Sepatunya tersemir mengkilat. Rambutnya yang dipangkas pendek tersisir rapi ke samping. Dia nampak gagah. Dia tersenyum. Hari ini adalah hari pertamanya memberikan kotbah setelah kepindahannya ke kota ini. Istrinya juga berpakaian rapi. Wajahnya juga berseri-seri. Dia nampak jauh lebih muda dan sangat cantik. Anak laki-laki mereka merasa bangga sekali melihat kedua orangtuanya itu.

Pak Pendeta merasa beruntung sekali karena gereja barunya tempat dia sekarang bekerja menyediakan satu mobil untuk dipakainya. Mobil itu tidak baru, tapi karena dirawat baik oleh pemakai sebelumnya, yaitu pendeta lama yang digantikannya, jadi nampak seperti baru dibeli saja. Memang mobil itu sebenarnya baru dibeli oleh gereja untuk dipakai pendeta lama tadi. Jadi bisa dibilang mobil itu mobil baru juga. Pak Pendeta merasa beruntung sekali karena gereja barunya tempat dia sekarang bekerja menyediakan satu mobil untuk dipakainya jadi dia tak perlu repot-repot lagi memikirkan untuk membeli kendaraan untuk dipakainya sehari-hari. Tentu saja dia tahu menyetir mobil. Ayahnya almarhum adalah bekas pendeta dan sama seperti dia sekarang juga disediakan mobil untuk dipakai sehari-hari oleh gereja tempatnya bekerja. Waktu itulah dia belajar nyetir dan setelah bisa nyetir dia sering menyupiri ayahnya ke tempatnya kerja. Mengingat itu semua Pak Pendeta tersenyum lebar dan menoleh pada anak laki-lakinya.

Karena hari ini hari Minggu jalanan nampak lengang. Tak banyak kendaraan lalu lalang seperti waktu hari-hari kerja. Kayaknya orang merasa malas keluar rumah dan memilih nonton tv saja di rumah bersama keluarga. Mungkin juga karena berpikir kalau keluar rumah pasti keluar uang maka lebih baik menghabiskan liburan sehari di rumah saja. Tapi sudah beberapa kali Pak Pendeta melihat anak-anak muda ke gereja. Mereka berjalan di trotoar jalan dan nampak kitab suci Injil serta buku nyanyian di tangan mereka. Kebanyakan mereka anak-anak yang masih sangat muda usianya. Pak Pendeta gembira sekali melihat ini semua. Mulutnya terus menerus menyunggingkan senyuman lebar. Wajahnya berseri-seri. Tiba-tiba dibayangkannya bagaimana nanti meriahnya sambutan orang di gereja terhadap dirinya, pendeta baru mereka. Mereka akan dengan tekun mendengar kotbahnya. Dan setelah selesai acara kebaktian mereka akan datang menyalaminya sambil mengucapkan selamat datang. Mungkin juga bakal ada semacam acara selamat datang yang khusus untuknya. Bukankah dia juga mendapatkan hal yang sama waktu keberangkatannya dulu dari gerejanya yang lama? Pagi yang indah, gumamnya dan tersenyum-senyum. Di jalan nampak anak-anak berusia sangat muda berjalan ke gereja dan nampak kitab suci Injil serta buku nyanyian di tangan mereka. Pak Pendeta jadi ingin cepat-cepat sampai ke gereja barunya. Dia sudah tak sabar untuk melihat domba-dombanya. Dia sudah tak sabar untuk memberi makan domba-dombanya…

Waktu itulah kecelakaan itu terjadi. Tiba-tiba saja seorang pengendara sepeda motor muncul dari belakang dan menyalipnya. Untunglah dia seorang pengemudi yang berpengalaman. Walaupun kaget setengah mati dia masih dapat menguasai dirinya dan berhasil merem mobilnya meski tetap saja mereka terdorong cukup keras ke depan. Istrinya menjerit dan nampak pucat. Untunglah saat itu tak ada kendaraan lain di belakang mereka. Sulit dibayangkan apa yang bakal terjadi kalau ada satu atau tiga kendaraan lain membuntuti mereka waktu dia merem mobilnya dengan tiba-tiba tadi. Tapi sebentar kemudian perhatiannya sudah beralih ke arah muka. Rupanya sepeda motor tadi mengalami kecelakaan. Satu mobil sedan tiba-tiba muncul di persimpangan jalan dan meskipun mobil itu berjalan pelan kecelakaan tak terhindarkan lagi. Si pengendara sepeda motor terlempar dari sepeda motornya dan terbanting dengan keras ke aspal jalan dan sepeda motornya sendiri terseret sampai ke pinggir jalan. Mobil sedan yang tiba-tiba muncul di persimpangan jalan tadi melarikan diri dengan kecepatan tinggi. Di depannya sekarang di jalan berserakan kaca bercampur darah dan si pengendara sepeda motor tergeletak tak bergerak dan sepeda motornya hancur dan berlepotan darah. Istri Pak Pendeta pucat wajahnya. Anak laki-laki mereka diam tak berani bertanya apa-apa. Di tengah jalan berserakan kaca bercampur darah dan di tengah-tengah genangan darah si pengendara sepeda motor tergeletak tak bergerak.

Suara klakson mobil di belakangnya menyadarkan Pak Pendeta dan mobil mereka mulai bergerak pelan-pelan ke depan…

Hari Minggu pagi. Tak ada mendung di langit dan matahari bulat penuh kemerah-merahan seperti telor matasapi tergantung di atas jalan dan di tengah jalan berserakan kaca bercampur darah dan di tengah-tengah genangan darah si pengendara sepeda motor tergeletak tak bergerak. Di trotoar jalan nampak anak-anak berusia sangat muda berjalan ke gereja dan nampak kitab suci Injil serta buku nyanyian di tangan mereka.

Wellington 1993
Sumber: http://boemipoetra.wordpress.com/2010/12/19/kotbah-hari-minggu/