Showing posts with label Saut Situmorang. Show all posts
Showing posts with label Saut Situmorang. Show all posts

Monday 21 March 2011

Sajak-Sajak Saut Situmorang

Sajak-Sajak Saut Situmorang


SAJAK MIMPI (buat Wiji Thukul)

Indonesia adalah sebuah negeri tropis, terdiri dari ribuan pulau besar kecil, dikelilingi laut berair biru berombak putih di pantai, penuh ikan macam macam, negeri tropis punya hutan rimba tropis, penuh makhluk hidup macam macam, bergunung gunung tinggi, gunung berapi dan yang tak berapi, punya danau danau biru besar kecil, penuh ikan macam macam, punya sungai sungai besar kecil panjang pendek, berair tidak hitam tidak kuning kotor, penuh ikan macam macam, punya cuma dua musim tidak satu tidak tiga tidak juga empat, cuma dua musim satu tahun, enam bulan turun hujan dan enam bulan turun bukan hujan, punya satu matahari tropis, matahari bulat besar panas merah tidak gepeng tidak biru tidak dingin tidak beku, matahari yang ingat waktu, waktu untuk terbit dan waktu untuk tenggelam, waktu untuk tidak terbit waktu untuk tidak tenggelam, matahari yang tahu diri, tahu bangun pagi jam enam subuh dan pulang ke balik cakrawala jam enam petang, punya bulan perak bukan emas bukan perunggu, bulan sabit bulan tak sabit, bulan purnama bulan tak purnama, punya bintang bintang kecil berkelipan tak terhingga jumlahnya, bukan bintang besar kayak jendral yang suka bikin anak kecil modar, tapi bintang bintang kecil yang biru yang abu abu yang membuat anak kecil menyanyi tertawa lucu, punya langit yang secukupnya saja besarnya, langit biru langit tak biru langitku rumahku, langit normal langit tropikal berawan dan tak berawan, langit tempat burung macam macam bukan burung garuda saja terbang cari makan pacaran kawin beranak dan mati bukan kena tembak, bukan tempat piring piring terbang seenaknya, negeri besar berpenduduk besar, punya ratusan juta manusia besar kecil gendut ceking panjang pendek tinggi rendah jantan betina, manusia manusia berkulit macam macam hitam coklat kuning putih kehitaman kecoklatan kekuningan keputihan, berpanu berkoreng berjerawat berkusta mulus bak kertas yang menunggu puisi penyair pemimpi, manusia manusia berambut lurus agak lurus benar benar tak lurus berambut gondrong sepantat kayak penyair yang income-nya tersendat sendat tak gondrong setengah botak kayak polisi tentara yang pangkatnya sangat rendah betul betul botak kayak kura kura yang pura pura tak suka peribahasa, manusia manusia macam macam, suka makan anjing tak suka makan anjing suka makan babi tak suka makan babi suka makan kambing tak suka makan monyet suka makan kerbau tak suka dipanggil kerbau tak bisa hidup tanpa nasi bisa hidup tanpa whisky vegetarian apa itu vegetarian, nak penyair, suka punya istri banyak tak suka punya suami banyak, suka punya anak suka sama anak anak tidak suka dibilang anak anak, anak anak main bola kaki main badminton main layangan main hujan main becek main main lupa sekolah lupa makan lupa rumah lupa orang tua lupa kalau cuma anak anak, manusia macam macam yang menyebut dirinya orang Indonesia tahu bahasa Indonesia suka makanan Indonesia gemar puisi Indonesia selalu membeli buku buku puisi Indonesia tak pernah absen di pembacaan puisi Indonesia, manusia macam macam suka politik tak suka politikus yang moncongnya kayak tikus yang belakangnya kayak tikus yang perutnya penuh tikus yang baunya kayak tikus yang bancinya kayak tikus yang nanti kalau mati cuma jadi santapan tikus tikus, negeri tropis yang tak punya tentara polisi bengis, tentara yang cuma berani kalau pakai seragam bawa senjata tak sendiri pula, polisi yang cuma berani sama tukang becak dan petani petani tahu diri, tak punya presiden tak tahu diri presiden yang mabuk sempoyongan sendiri tanpa arak bali tripping gonjang ganjing tanpa ekstasi stoned fly terlalu banyak semadi puja puji omong kosong jilat pantat keparat bodat presiden presidenan yang menganggap dirinya anak tuhan yang anak anaknya bertingkah kayak cucu cucu tuhan, negeri tropis punya tuhan tuhan manis tuhan bengis manis bagi yang manis bengis bagi orang orang terkutuk yang sudah terlalu lama membuat Indonesia menangis!

Indonesia adalah mimpi di mana aku tak perlu lagi bermimpi seperti ini!

BERNAPAS DALAM LUMPUR

KUBIKIN PATUNGMU DARI SAMPAH BEKAS RUMAH-RUMAH PENDUDUK PORONG INI YANG KAU HANCURKAN DENGAN LUMPUR GAS BERACUN KESERAKAHANMU, BAKRIE, LALU KULUDAHI KAU TIGA KALI ATAS NAMA TIGA DUNIA, ATAS TENGAH BAWAH, PUIH! PUIH! PUIH! LALU KULEMPARKAN KAU KE DALAM DANAU LUMPUR GAS BERACUNMU ITU DIMANA KAU AKAN TERKUBUR HIDUP-HIDUP TAK MATI SELAMA-LAMANYA SAMBIL KUSERUKAN MANTRA MAKIAN INI “PUKIMAK KAU, BAKRIE! BERNAPASLAH DALAM LUMPUR SELAMANYA!”

Jogja, 30 Mei 2010

1966 (untuk Jimi Hendrix)

di malam aku lahir
bulan merah api
dan hujan turun
langit merah basah
bumi merah basah

orang orang menangis
orang orang marah
dan orang orang ketakutan

di malam aku lahir
anjing anjing setan gentayangan di jalanan
mendobrak rumah rumah
dan membunuh dan membunuh dan membunuh

bulan merah api
malam merah api
rumah rumah dicat merah darah
jalanan merah darah
sungai sungai merah darah
danau danau merah darah
dan mayat mayat rusak terapung
di sungai sungai danau danau merah darah
di bawah hujan merah darah

di malam aku lahir

PERTUKARAN PENDAPAT ANTARA GOENAWAN MOHAMAD DAN PRAM

PERTUKARAN PENDAPAT ANTARA GOENAWAN MOHAMAD DAN PRAM


http://www.facebook.com/note.php?note_id=67181919697

NB: betapa superfisialnya retorika Neo Pujangga Baruisme Goenawan Mohamad dibanding bahasa otobiografis Pramoedya Ananta Toer! Kita bisa gampang menilai siapa yang cuma berbasa basi dalam pertukaran pendapat di bawah!!!
-saut situmorang
==============

Surat Terbuka buat Pramoedya Ananta Toer
TEMPO, Edisi 000409-005/Hal. 96 Rubrik Kolom

Goenawan Mohamad

SEANDAINYA ada Mandela di sini…. Bung Pram, saya sering mengatakan itu, dan mungkin mulai membuat orang jemu. Tapi Mandela, di Afrika Selatan, menyelamatkan manusia dari abad ke-20.

Tiap zaman punya gilanya sendiri. Abad ke-20 adalah zaman rencana besar dengan pembinasaan besar. Hitler membunuh jutaan Yahudi karena Jerman harus jadi awal Eropa yang bersih dari ras yang tak dikehendaki. Stalin dan Mao dan Pol Pot membinasakan sekian juta “kontrarevolusioner” karena sosialisme harus berdiri. Kemudian Orde Baru: rezim ini membersihkan sekian juta penduduk karena “demokrasi pancasila” tak memungkinkan adanya orang komunis (dan/atau “ekstrem” lainnya) di sudut mana pun.

Rencana besar, cita-cita mutlak, dan mengalirkan darah. Manusia menjadi penakluk. Ia menaklukkan yang berbeda, yang lain, agar dirinya jadi subyek.

Mandela bertahun-tahun di penjara, orang hitam Afrika Selatan bertahun-tahun ditindas, tapi kemudian ketika ia menang, ia membuktikan bahwa abad ke-20 tak sepenuhnya benar: manusia ternyata bisa untuk tak jadi penakluk. Ia menawarkan “rekonsiliasi” dengan bekas musuh. Ia tak membalikkan posisi dari si obyek jadi sang subyek.

Tiap korban yang mengerti rasa sakit yang sangat tak akan mengulangi sakit itu bahkan kepada musuhnya yang terganas. Ia akan menghabisi batas antara subyek dan obyek. Makna “rekonsiliasi” di Afrika Selatan punya analogi dengan impian Marx: karena proletariat tertindas, kelas ini berjuang agar setelah kapitalisme ambruk, segala kelas sosial pun hilang. Proletariat tak akan mengakhiri sejarah dengan berkuasa, melainkan menghapuskan kekuasaan, pangkal lahirnya korban-korban. Sejarah adalah sejarah penebusan kemerdekaan.

Utopia itu tak terlaksana, tapi tiap utopia mengandung sesuatu yang berharga. Begitu ia menang, Mandela membongkar kembali tindak sewenang-wenang para petugas rezim apartheid yang menindasnya (dan juga tindak sewenang-wenang pejuang kemerdekaan pendukung Mandela sendiri). Proses itu mirip “pengakuan dosa” di depan publik. Kemudian: pertalian kembali. Mandela menunjukkan bahwa pembebasan yang sebenarnya adalah pembebasan bagi semua pihak.

Bung Pram, saya ragu apakah Bung akan setuju dengan asas itu. Bung menolak ide “rekonsiliasi”, seperti Bung nyatakan dalam wawancara dengan Forum Keadilan, 26 Maret 2000, pekan lalu. Bung menolak permintaan maaf dari Gus Dur. “Gampang amat!” kata Bung. Saya kira, di sini Bung keliru.

Ada beberapa kenalan yang, seperti Bung, juga pernah disekap di Pulau Buru, di antaranya dalam keadaan yang lebih buruk. Mereka sedih oleh pernyataan Bung. Saya juga sedih karena Bung telah bersuara parau ketidakadilan. Justru ketika berbicara untuk keadilan.

Bung terutama tak adil terhadap Gus Dur. Bagi seseorang dalam posisi Gus Dur (Presiden Republik Indonesia, pemimpin NU, tokoh Islam, yang tumbuh dalam masa Orde Baru), meminta maaf kepada para korban kesewenang-wenangan 1965 berarti membongkar tiga belenggu yang gelap dan berat di pikiran banyak orang Indonesia.

Belenggu pertama adalah kebiasaan seorang pemimpin umat untuk memperlakukan umatnya sebagai kubu yang suci. Dengan meminta maaf, Gus Dur memberi isyarat bahwa klaim kesucian itu tak bisa dipertahankan, dan tak usah. Tiap klaim kesucian bisa jadi awal pembersihan dan kesewenang-wenangan. Dengan meminta maaf, diakui bahwa dalam peristiwa pada tahun 1965 sejumlah besar orang NU, juga orang Islam lain-juga orang Hindu di Bali dan orang Kristen di Jawa Tengah-telah terlibat dalam sebuah kekejaman. Mengakui ini dan meminta maaf sungguh bukan perkara gampang. Bung Pram toh tahu tak setiap orang sanggup melakukan hal itu. Mungkin juga Bung sendiri tidak akan.

Dengan meminta maaf, Gus Dur juga membongkar belenggu takhayul selama hampir seperempat abad: bahwa tiap orang PKI, juga tiap anak, istri, suaminya, layak dibunuh atau disingkirkan. Gus Dur mencampakkan sebuah sikap yang tak mau bertanya lagi: adilkah yang terjadi sejak 1965 itu? Seandainya pun pimpinan PKI bersalah besar pada tahun 1965, toh tetap amat lalim hukuman yang dikenakan kepada tiap orang, juga sanak keluarganya, yang terpaut biarpun tak langsung dengan partai itu. Kita ingat kekejaman purba: sebuah kota dikalahkan dan setiap warganya dibantai atau diperbudak….

Gus Dur agaknya tak menginginkan kezaliman itu. Ia, sebagai presiden, membiarkan dirinya dipotret duduk mesra dekat Iba, putri D.N. Aidit, yang hampir seumur hidupnya jadi pelarian yang tanpa paspor di Eropa. Dalam adegan itu ada gugatan: bersalahkah Iba hanya karena ia anak Ketua PKI? Jawaban Gus Dur: tidak. Tak banyak tokoh politik yang berbuat demikian, Bung Pram. Tak gampang untuk seperti itu.

Gus Dur juga telah membongkar belenggu “teori” tua ini: bahwa PKI selamanya berbahaya. Ia bukan saja minta maaf kepada para korban pembasmian massal 1965. Ia juga hendak menghapuskan larangan resmi bagi orang Indonesia untuk mempelajari Marxisme-Leninisme. Ia seperti menegaskan bahwa komunisme adalah masa lampau yang menjauh, gagal-juga di Rusia dan Cina. *****ikkan terus “bahaya komunis” adalah menyembunyikan kenyataan bahwa PKI jauh lebih mudah patah dalam perlawanannya dibandingkan dengan gerakan Darul Islam.

Siapa yang menghentikan masa lalu akan dihentikan oleh masa lalu. Gus Dur tidak. Ia sering salah, tapi ada hal-hal pelik yang ia tempuh karena ia ingin masa lalu tak jadi sebuah liang perangkap. Ia memang bukan Mandela yang pernah dirantai. Tapi seorang korban yang memaafkan sama nilainya dengan seorang bukan-korban yang meminta maaf. Maaf bukanlah penghapusan dosa. Maaf justru penegasan adanya dosa. Dan dari tiap penegasan dosa, hidup pun berangkat lagi, dengan luka, dengan trauma, tapi juga harapan. Dendam mengandung unsur rasa keadilan, tapi ada yang membedakan dendam dari keadilan. Dalam tiap dendam menunggu giliran seorang korban yang baru.

Begitu sulitkah Bung menerima prinsip itu? Karena masa lalu seakan-akan menutup pintu ke masa depan? Sekali lagi: siapa yang menghentikan masa lalu akan dihentikan oleh masa lalu.

Tapi mungkin juga Bung hanya bisa melihat korban sebagai perpanjangan diri sendiri. Seakan di luar sana tak mungkin ada. Dalam wawancara, Bung menyatakan setuju bila orang-orang yang tak sepaham dengan Revolusi disingkirkan (ini di masa “Demokrasi Terpimpin” 1959-1965, ketika sejumlah surat kabar diberangus, sejumlah buku & film & musik dilarang, sejumlah orang dipenjarakan). Bung mengakui ini semua melanggar hak asasi. Dan Bung punya argumen: waktu itu “Perang Dingin” dan Indonesia dalam bahaya. Tapi kekuasaan apa yang berhak menentukan ada “bahaya” atau tidak? Dan jika adanya “bahaya” bisa menjadi dalih penindasan, Soeharto pun menjadi benar. Ia juga dulu mengumumkan Indonesia terancam bahaya (“komunis”) di “Perang Dingin”, maka rezimnya pun membunuh, membuang, dan mencopot entah berapa ribu orang dari jabatan. Dan pengadilan dibungkam.

Bung memang menambahkan: ingat, pelanggaran hak asasi waktu Bung Karno tak seburuk dengan yang terjadi di masa Orde Baru. Mochtar Lubis, korban “Demokrasi Terpimpin”, tak dikurung di Pulau Buru, tapi di Jawa. Memang ada perbedaan. Tapi adakah peringkat penderitaan? Bagaimana membandingkannya? Di mana ukurannya bila di masa yang sama, apalagi di masa yang berbeda, ada yang ditembak mati, ada yang disiksa, ada yang di sel, ada yang di pulau?

Dalam sejarah kesewenang-wenangan, semua korban akhirnya diciptakan setara, biarpun berbeda. Suatu hari dalam kehidupan Pramoedya Ananta Toer di Pulau Buru setara terkutuknya dengan suatu hari dalam kehidupan Ivan Denisovich dalam sebuah gulag Stalin. Tak bisa ada hierarki dalam korban, sebagaimana mustahil ada hierarki kesengsaraan.

Saya kira ini penting dikemukakan. Di zaman ketika sang korban dengan mudah dianggap suci, seorang yang merasa lebih “tinggi” derajat ke-korban-annya akan mudah merasa berhak jadi maha-hakim terakhir. Tapi seperti setiap klaim kesucian, di sini pun bisa datang kesewenang-wenangan. Mandela tahu itu. Gus Dur mungkin juga tahu itu. Keduanya merendahkan hati. Saya pernah mengharapkan Bung akan bersikap sama. Saya pernah mengharapkan ini, Bung Pram: bukan sekadar keadilan dan hukum yang adil yang harus dibangun, tapi di arus bawahnya, kebencian pun lepas, dan kemudian hilang, tenggelam. Saya tak tahu masih bisakah saya berharap.
============

SAYA BUKAN NELSON MANDELA
(tanggapan buat Goenawan Mohamad)

Pramoedya Ananta Toer

Saya bukan Nelson Mandela. Dan Goenawan Mohamad keliru, Indonesia bukan Afrika Selatan. Dia berharap saya menerima permintaan maaf yang diungkapkan presiden Abdurrahman Wahid, seperti Mandela memaafkan rezim kulit putih yang telah menindas bangsanya, bahkan memenjarakannya. Saya sangat menghormati Mandela. Tapi saya bukan dia, dan tidak ingin menjadi dia.

Di Afrika Selatan penindasan dan diskriminasi dilakukan oleh kulit putih terhadap kulit hitam. Putih melawan hitam, seperti Belanda melawan Indonesia. Mudah. Apa yang terjadi di Indonesia tidak sesederhana itu: kulit cokat menindas kulit coklat.

Lebih dari itu, saya menganggap permintaan maaf Gus Dur dan idenya tentang rekonsiliasi cuma basa basi. Dan gampang amat meminta maaf setelah semuanya yang terjadi itu. Saya tidak memerlukan basa basi.

Gus Dur pertama-tama harus menjelaskan dia berbicara atas nama siapa. Mengapa harus dia yang mengatakannya? Kalau dia mewakili suatu kelompok, NU misalnya, kenapa dia berbicara sebagai presiden? Dan jika dia bicara sebagai presiden, kenapa lembaga-lembaga negara dilewatinya begitu saja? Sekalipun dalam kapasitasnya sebagai presiden, Gus Dur tidak bisa meminta maaf. Negara ini mempunya lembaga-lembaga perwakilan, dan biarkan lembaga negara seperti DPR dan MPR mengatakannya. Bukan Gus Dur yang harus mengatakan itu.

Yang saya inginkan adalah tegaknya hukum dan keadilan di Indonesia. Orang seperti saya menderita karena tiadanya hukum dan keadilan. Saya kira masalah ini urusan negara, menyangkut DPR dan MPR, tetapi mereka tidak bicara apa-apa. Itu sebabnya saya menganggapnya sebagai basa basi. Saya tidak mudah memaafkan orang karena sudah terlampau pahit menjadi orang Indonesia.

Buku-buku saya menjadi bacaan wajib di sekolah-sekolah lanjutan di Amerika, tapi di Indonesia dilarang. Hak saya sebagai pengarang selama 43 tahun dirampas habis. Saya menghabiskan hampir separuh usia saya di Pulau Buru dengan siksaan, penghinaan, dan penganiayaan.

Keluarga saya mengalami penderitaan yang luar biasa. Salah satu anak saya pernah melerai perkelahian di sekolah, tapi ketika tahu bapaknya tapol justru dikeroyok. Istri saya berjualan untuk bertahan hidup, tapi selalu direcoki setelah tahu saya tapol. Bahkan sampai ketua RT tidak mau membuatkan KTP. Rumah saya di Rawamangun Utara dirampas dan diduduki militer, sampai sekarang. Buku dan naskah karya-karya saya dibakar. Basa basi baik saja, tapi hanya basa basi. Selanjutnya mau apa?

Maukah negara mengganti kerugian orang-orang seperti saya? Negara mungkin harus berutang lagi untuk menebus mengganti semua yang saya miliki.

Minta maaf saja tidak cukup. Dirikan dan tegakkan hukum. Semuanya mesti lewat hukum. Jadikan itu keputusan DPR dan MPR. Tidak bisa begitu saja basa basi minta maaf.

Tidak pernah ada pengadilan terhadap saya sebelum dijebloskan ke Buru. Semua menganggap saya sebagai barang mainan. Betapa sakitnya ketika pada 1965 saya dikeroyok habis-habisan, sementara pemerintah yang berkewajiban melindungi justru menangkap saya.

Ketika dibebaskan 14 tahun lalu, saya menerima surat keterangan bahwa saya tidak terlibat G30S-PKI. Namun, setelah itu tidak ada tindakan apa-apa. Dalam buku saya “Nyanyi Sunyi Seorang Bisu” yang terbit pada 1990 juga terdapat daftar 40 tapol yang dibunuh Angkatan Darat. Tapi tidak pernah pula ada tindakan.

Saya sudah kehilangan kepercayaan. Saya tidak percaya Gus Dur. Dia, seperti juga Goenawan Mohamad, adalah bagian dari Orde Baru. Ikut mendirikan rezim. Saya tidak percaya dengan semua elite politik Indonesia. Tak terkecuali para intelektualnya; mereka selama ini memilih diam dan menerima fasisme. Mereka semua ikut bertanggung jawab atas penderitaan yang saya alami. Mereka ikut bertanggung jawab atas pembunuhan-pembunuhan Orba.

Goenawan mungkin mengira saya pendendam dan mengalami sakit hati yang mendalam. Tidak, saya justru sangat kasihan dengan penguasa yang sangat rendah budayanya, termasuk merampas semua yang dimiliki bangsanya sendiri.

Saya sudah memberikan semuanya kepada Indonesia. Umur, kesehatan, masa muda sampai setua ini. Sekarang saya tidak bisa menulis-baca lagi. Dalam hitungan hari, minggu, atau bulan mungkin saya akan mati, karena penyempitan pembuluh darah jantung. Basa basi tak lagi bisa menghibur saya.

SINEMA “INDONESIA”

SINEMA “INDONESIA”


Saut Situmorang

http://sautsitumorang.multiply.com/

Apakah membuat “film” itu gampang? Di Jakarta jawaban pertanyaan serius ini kayaknya gampang. Setelah membuat novel itu gampang, membuat cerpen itu gampang, membuat puisi itu gampang, membuat biennale (seni rupa dan sastra) itu gampang, bahkan membuat hadiah seni juga gampang, maka sekarang tren terbaru keluaran Jakarta adalah “Membuat film itu gampang”. Makanya, setelah booming sastra, setelah booming seni rupa, sekarang adalah era booming film Indonesia. Bangkitnya kembali (per)film(an) Indonesia, seru para pundit-nya di Jakarta. Istilah kerennya mungkin “The Renaissance of Indonesian Cinema”. Indikator dari fenomena musim semi (per)film(an) Indonesia ini, ternyata, cuma satu hal: film Indonesia sudah diputar kembali di bioskop-bioskop Indonesia!

Apakah karena “membuat film itu gampang” maka terjadilah “kebangkitan kembali (per)film(an) Indonesia”?

Mungkin Jakarta benar. Membuat film “Indonesia” itu memang gampang! Makanya siapa saja bisa membuat film “Indonesia”. Makanya bioskop-bioskop memutar-kembali film “Indonesia”. Makanya terjadilah kebangkitan kembali (per)film(an) “Indonesia”!

Ternyata, dalam menafsirkan istilah “Bangkitnya kembali (per)film(an) Indonesia” di atas, fokus kamera pembicaraan harus dibidik pada kata “Indonesia”, bukan pada kata-kata lainnya. “Indonesia” yang terpenting dalam era “Bangkitnya kembali (per)film(an) Indonesia”, BUKAN “(per)film(an)”-nya. Nasionalismenya yang paling penting, bukan seninya! Makanya bioskop-bioskop Indonesia memutar-kembali film Indonesia, walaupun pengertian “bioskop Indonesia” di sini cuma “Studio 21” belaka.

Bangkitnya kembali nasionalisme (per)film(an) Indonesia. Gejala seperti ini tentu bukan sesuatu yang negatif, kalau kita bandingkan dengan nasionalisme “French Cinema”, “Italian Cinema”, “German Cinema”, “Chinese Cinema”, misalnya. Cuma yang jadi persoalan sekarang adalah apa “isi” nasionalisme (per)film(an) itu? Nationalism for nationalism’s sake doang, nasionalisme bioskop belakakah? Atau ada sesuatu yang jauh lebih penting lagi yang memang ditawarkannya?

Dalam kata lain, apa memang ada “Film Indonesia” itu, “Indonesian Cinema” itu?

Karena “nasionalisme” adalah sebuah proses “pembayangan”, imajinasi, tentang sebuah “identitas diri” yang unik yang diyakini eksis secara historis oleh sebuah komunitas dalam menghadapi komunitas (-komunitas) lainnya, maka “identitas diri” yang unik yang bagaimanakah yang dibayangkan dimiliki “Film Indonesia” yang membedakannya dari film-film nasional lainnya di planet ini? Adakah style perfilman yang khas pada film-film made-in-Indonesia yang membuatnya pantas untuk disebut sebagai “Sinema Indonesia”?

Dari pengalaman menonton beberapa film buatan lokal, yang dianggap masterpiece film “Indonesia” kontemporer, beberapa tahun terakhir ini, apa yang saya temukan adalah betapa kuatnya kecenderungan bercerita mendominasi film-film tersebut. “Bercerita” dalam arti benar-benar menceritakan tentang sebuah peristiwa, lengkap dengan plot, tokoh dan setting yang dibuat serepresentatif mungkin dengan topik cerita, seperti pada novel pop, cerpen koran, atau seperti pada kebanyakan teater “realis” lokal. Realisme tentu saja bukan sesuatu yang aneh dalam dunia seni, apalagi dalam dunia sinema internasional, tapi “realisme” dalam film-film yang saya tonton tersebut ternyata cuma sebuah pseudo-realisme belaka, sebuah “realisme” yang dianggap representasi dari “realisme” di luar gedung bioskop. Dalam konteks sastra, mungkin apa yang dimaksud sebagai “realisme koran” cerpen-cerpen lokal itulah.

Indonesia adalah sebuah negeri Dunia Ketiga, sebuah negeri miskin, sebuah negeri pascakolonial. Ketidakadilan sosial-ekonomi dan penindasan politik adalah ciri negeri-negeri semacam Indonesia. Kalau mau “membayangkan Indonesia” sebagai sebuah nasionalisme, identitas sejarah ini tidak mungkin untuk dilupakan, apalagi dalam sebuah usaha representasi realisme. Hal inilah yang kembali gagal saya temukan dalam sebuah film “Indonesia” berjudul “Koper” yang entah kenapa bisa lolos seleksi dan ikut dalam kompetisi sebuah festival film internasional di Jogja sekitar dua tahun lalu. Bagaimana mungkin bisa mengklaim sebuah keluarga sebagai sebuah keluarga urban miskin kalau dalam rumah keluarga tersebut kita bisa melihat keberadaan kulkas dan mesin cuci sementara sang “kepala keluarga” kerjanya, disamping menjadi seorang pegawai bagian arsip sebuah kantor besar, hanya termenung, merokok, mengkoleksi piringan hitam langka, dan ngebir di sebuah cafe! Saya jadi bertanya-tanya apa sutradara dari film yang sejak penayangan Credits film terkesan sangat pretensius ini (pemakaian subtitle bahasa Inggris yang idiosinkratik untuk penonton Indonesia, sinematografi pseudo-artistik yang tidak menjelaskan apa-apa kecuali mengingatkan bahwa teknik kameranya diambil mentah-mentah dari film-film yang khas fotografinya seperti film-film Wong Kar Wai, pemilihan sederet selebriti sebagai aktor yang amatiran aktingnya, moralisme klise tentang “kejujuran dalam kemiskinan” dalam dialog-dialog ala cersil Kho Ping Hoo) memang pernah memasuki sebuah rumah keluarga miskin kota Indonesia! Ini baru tentang “realisme” Jakarta urban poor yang dibayangkan representatif itu. Belum lagi kita membicarakan “realisme” psikologis dari sebuah kemiskinan kota, “realisme” sinematik dalam sebuah representasi seluloid!

Absennya pengetahuan tentang “realisme Indonesia” merupakan identitas dari apa itu yang disebut sebagai sinema “Indonesia”, kalau makhluk ini memang mau dianggap ada. “Realisme Indonesia” yang direpresentasikan sinema “Indonesia” adalah sebuah realisme yang “dibayangkan” belaka, sebuah produk khayalan yang murni khayalan. Sebuah borjuisme realisme. Itulah juga sebabnya kenapa visualisasi sinematik sangat miskin dalam film-film lokal. Ini merupakan ciri utamanya yang lain. Sinema dianggap cuma sebuah teater “realis” yang direkam dengan sebuah kamera yang diletakkan di depan panggung pertunjukan. Film yang seharusnya membuat kita sebagai penonton sadar akan keberadaan kamera justru malah membuat kita lupa akan keberadaannya sehingga menonton film tak ada bedanya dengan mendengar sebuah drama radio belaka. Verbalisme kata telah menggantikan detil visualisme mata. Telinga menggantikan mata karena mata membuat/mengharuskan kita sadar apa-apa yang mesti diseleksi untuk masuk dalam kepala dalam sebuah peristiwa menonton, dan ini menuntut kecanggihan imajinasi seorang sutradara, sesuatu yang kayaknya tidak dimiliki sutradara Indonesia. Ironisnya, bukankah sebuah cerita, sebuah narasi, sebuah abstraksi imajinasi, justru akan lebih kuat mempengaruhi/melekat dalam benak penontonnya kalau dikisahkan dalam sekuen imaji ketimbang kebisingan bunyi!

Membuat film itu jadinya gampang karena visualisasi sinematik cerita dianggap bukan unsur paling penting dalam sinema. Metafor visual, misalnya, dianggap tidak relevan dalam sebuah film, sementara dialog adalah segalanya, walau dialognya rata-rata tidak cerdas, cenderung mengada-ada dan disampaikan seadanya pula. Tirani kata telah menggantikan kecerdasan kamera.

Bicara soal metafor saya jadi ingat pengalaman waktu kuliah film di Selandia Baru dulu. Sebelum menonton “Citizen Kane”-nya Orson Welles, pak dosen mengingatkan untuk mencari makna “rose bud” yang selalu diucapkan tokoh utama film tersebut. Atau bunyi suling nada tunggal dalam “Seven Samurai” Kurosawa. Dari khazanah sinema realis kontemporer, siapakah yang dapat melupakan sekuen pembuka film Maori-Selandia Baru tentang kehidupan “Dunia Ketiga” orang Maori urban (yang ceritanya diambil dari novel berjudul sama) “Once Were Warriors” yang kontroversial itu? Kalau “film” dianggap sama dengan drama radio, buat apa kita mesti “menonton”-nya lewat layar segala!

Memimpikan adanya sebuah industri film sendiri yang mendominasi dunia perfilman di negeri sendiri adalah sebuah mimpi yang luhur dan suci. Banyak negeri punya mimpi indah seperti ini, mulai dari Prancis, Jerman, Itali, Inggris, Kanada, Australia sampai Selandia Baru. Semuanya ingin melawan hegemoni kapitalisme studio besar Hollywood. Bagi Indonesia sendiri persoalannya lebih parah; bukan cuma Hollywood yang harus ditantang, Bollywood pun mesti diganyang. Tapi masalahnya adalah kalau negeri-negeri Barat yang kaya raya di atas saja impoten hanya membendung limbah sampah industri film Amerika Serikat saja, apa Jakarta mampu mengatasi dominasi kedua raksasa kapitalisme film dunia tersebut? Bukankah jauh lebih realistis, lebih bernilai, kalau mimpi tentang industri film sendiri ini dibuang saja dan Jakarta sebagai pusat kapital Indonesia mulai belajar bagaimana membuat “film sebagai film” sehingga “Sinema Indonesia” tidak mustahil untuk diciptakan, bukan dengan jumlah kuantitas produksi film tapi kualitasnya. Terserah negeri mana yang menjadi orientasi artistik: romantisme intelektualisme Prancis, realisme Itali, historisisme Cina, pascakolonialisme sinema Dunia Ketiga ala Amerika Latin atau Iran. Atau, demi mimpi terciptanya industri film sendiri, apakah “Sinema Indonesia” akan mau menjadi hanya sekedar versi lain dari “Sinetron Indonesia” yang merupakan industri televisi yang mendominasi televisi lokal itu?

DUSTA

DUSTA


Saut Situmorang

http://sautsitumorang.wordpress.com/

Sinisme historis dalam melihat kondisi “sastra Indonesia” kontemporer sudah memenuhi kepala saya selama bertahun-tahun waktu saya membaca artikel berjudul aforistis “Karya Bagus, Argumentasi Lemah” oleh Chavchay Syaifullah di Media Indonesia, Minggu 8 Oktober 2006, tentang “kegagapan forum” orang-orang Teater Utan Kayu di arena sastra “internasional” berbahasa Inggris seperti Ubud Writers and Readers Festival. Waktu itu saya berada dalam kereta api pagi yang membawa saya pulang ke Jogja setelah diundang Dewan Kesenian Jakarta baca-puisi pada acara Tadarus Puisi di Taman Ismail Marzuki (TIM). Saya ngakak penuh tekstasi setelah selesai membaca artikel “subversif” tersebut. Akhirnya ada juga wartawan budaya yang benar-benar percaya dan menjalankan “kebebasan pers” yang selama ini cuma jadi retorika omong kosong wartawan omong kosong di Republik Animal Farm ini, sorak saya dalam hati. Saya jadi teringat pada apa yang pernah dikatakan wartawan-cum-novelis kelas wahid dari Inggris, George Orwell: “During times of universal deceit, telling the truth becomes a revolutionary act”! Siapa bilang revolusi itu sudah tak ada lagi!!!

Begitu saya sampai di negeri gempa Jogja saya mendengar kabar burung bahwa Media Indonesia mendapat serangan SMS dari kelompok “sastrawan” yang namanya disebut-sebut dalam artikel-reportase Chavchay tersebut, yaitu komunitas Teater Utan Kayu (TUK) dan salah satu SMS tsb bahkan menyatakan dengan arogan dan sangat patronising bahwa ruang budaya Media Indonesia dipimpin oleh 2 orang super-bego dan bahwa kedua orang “super-bego” ini menyebarkan kebodohan di koran nasional bertiras besar! Betapa arogannya! Betapa reaksionernya! So much for freedom of the press!

Tapi saya setuju dengan pendapat Chavchay Syaifullah dalam artikelnya itu. Justru apa yang dia tuliskan itulah merupakan kondisi memprihatinkan dari apa yang dulu disebut sebagai “sastra Indonesia” itu, yang membuat saya jadi teridap sinisme sejarah itu. Politik “sastra” yang dilakukan TUK terlalu kasat mata, terlalu vulgar, untuk tidak mungkin terlihat oleh orang-orang di luarnya, seperti saya misalnya. Dan saya sendiri pernah bersinggungan langsung dengan salah satu dari aktivitas mereka ini sampai berefek skandal di kota Solo beberapa waktu lalu.

Saya sengaja datang sendiri naik motor bebek Legenda saya dari Jogja untuk melihat apa yang TUK klaim sebagai sebuah “Temu Sastra Internasional” yang akan mereka adakan selama 2 malam di Taman Budaya Surakarta (TBS) Solo, setelah selesai di Denpasar. Saya ingin membuktikan sendiri benar-tidaknya “internasionalisme” event yang menurut saya cuma semacam program menebus dosa sejarah kolonialisme Belanda yang ironisnya justru dilakukan oleh salah satu negeri bekas jajahannya sendiri itu. Di Solo saya mendapat informasi bahwa ternyata tidak ada satupun sastrawan Solo yang ikut sebagai peserta dalam peristiwa sastra antar-bangsa yang justru diadakan di Taman Budaya kota itu sendiri, kecuali sebagai pembawa acara! Padahal di 2 kota lain di mana acara yang sama juga diarisankan, Denpasar dan Jakarta, para sastrawan lokalnya terlibat aktif termasuk membacakan karya masing-masing. Saya dan beberapa kawan seniman asal Solo lalu merespons arogansi TUK yang seolah-olah menganggap tak ada sastrawan Solo yang pantas ikut acara mereka yang hebat itu dengan membuat surat pernyataan dengan tanda tangan para seniman dan non-seniman dari berbagai latar belakang profesi dan asal-kota dalam bahasa Indonesia dan Inggris, yang kemudian kami bagi-bagikan pada malam kedua, termasuk kepada peserta dari luar Indonesia. Respons dari TUK yang kami terima sudah gampang diduga, mirip dengan respons yang diterima Chavchay Syaifullah. Kami dituduh macam-macam. Saya sendiri, misalnya, dalam sebuah artikel-reportase yang ditulis dalam majalah berita Tempo beberapa waktu setelah Skandal Solo itu berlalu dikatakan secara eufemisme pasemonan sebagai cemburu atau iri hati karena tidak diundang! Disuruh untuk mengelus dada sendiri! Padahal penulisnya (terkutuklah dia itu!!!) tidak pernah mewawancarai saya, bahkan hadir pun tidak di Solo! Menurut “kabar angin”, semua informasi yang dipakainya untuk menuliskan pseudo-reportasenya itu didapatnya dari seseorang bernama “Goenawan Mohamad”! Pada malam kedua acara “Temu Sastra Internasional” yang kami ganggu dengan sengaja itu, saya dan kawan-kawan perancang surat pernyataan tersebut sebenarnya menunggu diajak konfrontasi argumentasi oleh panitia. Kami menunggu sambil ngebir di warung kopi tepat di depan pintu masuk gedung TBS itu karena konon seseorang bernama Goenawan Mohamad sangat tersinggung dengan surat kami itu dan mengklaim kami anti-diskusi. Sampai kami pindah tempat minum ke sebuah café tengah kota, tak ada ajakan yang kami tunggu-tunggu itu datang. Malah, kata seorang kawan yang sengaja ikut malam itu dengan panitia acara, mereka minum-minum wine setelah acara usai di rumah salah seorang seniman tari lokal! So much for a democratic literary discussion.

Apa yang diamati Chavchay sebagai “kegagapan forum” orang-orang TUK di arena sastra “internasional” berbahasa Inggris seperti Ubud Writers and Readers Festival itu cuma membuktikan kadar “internasionalisme” dan “kosmopolitanisme” komunitas yang selalu berpretensi paling radikal selera artistiknya ini. Ketidakmampuan mereka berbahasa Inggris juga dibuktikan oleh jeleknya terjemahan Hasif Amini atas cerpen-cerpen Jorge Luis Borges yang ironisnya malah dipuji-puji oleh kawannya seperti Nirwan Dewanto! Juga coba baca kembali apa-apa yang pernah ditulis oleh Nirwan Dewanto dalam media yang ada relasinya dengan TUK tentang sastra Indonesia kontemporer. Klaim-klaim yang dibuat Nirwan Dewanto tentang puisi Indonesia saja, misalnya, sangat mengada-ada, tidak dapat dipertanggungjawabkannya dalam konteks “kritik sastra” makanya bisa disebut “fitnah” , dan sangat arogan sehingga kalau dibandingkan dengan apa yang dituliskan Chavchay tentang realitas gagap forum internasional TUK justru sangat pantas untuk disebut “super-bego”. Dan media cetak yang memuat tulisan-tulisan super-bego dan fitnah itu sangat pantas juga untuk disebut sebagai “menyebarkan kebodohan di (media) nasional bertiras besar”! Sementara untuk memuji-muji karya sesama anggota TUK seperti yang dilakukannya atas Ayu Utami, Nirwan Dewanto tidak merasa ada persoalan sama sekali untuk menyatakan (dengan maksud melambungkan reputasi komunitasnya, tentu saja) bahwa Ayu Utami tidak terlahir dari sejarah sastra Indonesia, misalnya, walau tetap saja dia impoten untuk mengelaborasi apa yang dimaksudkannya dengan klaim pseudo-kritik sastranya itu.

Narsisisme TUK ini akan lebih jelas lagi terlihat dari kutipan di bawah ini yang saya ambil dari sebuah artikel berjudul “The Search for a Silver Lining in Indonesia” di edisi bahasa Inggris majalah Jerman Der Spiegel 23 Desember 2005. Dalam artikel yang juga menyebut-nyebut nama Ayu Utami itu, perhatikanlah kata-kata yang saya italic di bawah:

The Utan Kayu cultural center in Jakarta provides a perfect example of progress, Indonesian style. It was here that the foundation of modern Indonesia was laid not too long ago. In the summer of 1994, when then dictator Suharto ordered three news magazines shut down, journalists and writers bought a group of run-down buildings at Utan Kayu 68 H and opened a publishing house — in direct defiance of the dictator’s edict. A left-leaning political movement soon developed and, in 1998, Utan Kayu became the starting point for the mass demonstrations that led to Suharto’s ouster.

Benarkah TUK merupakan tempat di mana “fondasi dari Indonesia modern” diletakkan? Benarkah TUK merupakan sebuah “gerakan politik kiri” dan yang menjadi “awal-mula” dari gerakan reformasi yang menjatuhkan diktator Suharto? Apa ini bukan sebuah klaim keterlaluan besar atas sejarah Indonesia kontemporer!

Kalau kita mengatakan bahwa ini terjadi karena kesuperbegoan wartawan Der Spiegel yang buta akan sejarah jatuhnya Suharto, lantas dari mana dia mendapatkan informasinya tersebut? Bukankah sebego-begonya seorang wartawan dari sebuah media internasional sekaliber Der Spiegel, dia tetap akan mendasarkan reportasenya itu pada wawancara dengan pihak yang terkait, nara sumber (seseorang bernama “Ayu Utami” dalam kasus ini), dan tidak berdasarkan khayalan semata-mata?

Persoalan “kebenaran jurnalistis” ini sangat relevan terutama dengan apa yang terjadi atas satu lagi laporan Chavchay Syaifullah di koran Media Indonesia. Laporan pandangan mata langsung Chavchay atas acara Utan Kayu International Literary Biennale 2007 di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, 23 Agustus 2007, berjudul “Geger Menangis, Pesta Bir Berlanjut” (Media Indonesia, Minggu 26 Agustus 2007) ternyata benar-benar menimbulkan geger. Chavchay dituduh membuat “berita yang mengandung fitnah berat” terhadap Utan Kayu International Literary Biennale 2007 tsb dan “sedikitnya empat kebohongan” menurut orang-orang TUK (baca “Bantahan Panitia Penyelenggara Utan Kayu International Literary Biennale 2007, Komunitas Utan Kayu, Jakarta” yang berjudul “Empat Dusta” di Media Indonesia, Minggu 2/9/2007). Dalam bantahan “Empat Dusta” tsb, Sitok Srengenge sebagai “Direktur Utan Kayu International Literary Biennale” bahkan menyatakan bahwa “Chavchay Saefullah seolah-olah melakukan reportase acara pembukaan Utan Kayu International Literary Biennale 2007” tsb [italic saya]. Laporan pandangan mata Chavchay itu dianggap “fitnah berat”, “berita bohong”, “seolah-olah. . .reportase” cuma karena Chavchay tidak melakukan apa yang menurut orang TUK sebagai hukum utama jurnalisme, yaitu asas “cover both sides”! Walau Chavchay bisa menunjukkan bukti rekaman atas apa yang dinyatakan penyair Geger Prahara (bahwa dia “diusir satpam” acara Utan Kayu International Literary Biennale 2007), misalnya, tapi bukti rekaman tsb tetap tidak dianggap valid sebagai bukti jurnalistik oleh orang TUK! (Dalam sebuah SMS kepada saya Saut Situmorang, Geger juga menyatakan: “Kbr baik! Apa kbr jg? Kasus dgn Satpam 100% fakta! Yg fiktif adalah soal menangis. Salam Geger”.)

Disamping Kasus Geger ini, satu isu lain yang dianggap sebagai “fitnah” itu adalah soal “pesta bir” yang dituliskan Chavchay, sementara perihal “kerjasama yang biasa aja” (dalam bahasa Zen Hae, Ketua Komite Sastra, Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), di SMS-nya kepada saya) yang dilakukan DKJ dalam mendukung acara yang bukan program resminya itu dengan sengaja diabaikan sama sekali. (Ada sebuah ironi di sini. DKJ mengeluarkan uangnya sampai puluhan juta untuk “kerjasama yang biasa aja” ini, tapi mengaku tidak punya uang waktu sebelumnya sastrawan Jakarta bernama Sihar Simatupang datang minta bantuan tiket sekali-jalan ke Medan yang mengundangnya sebagai pembicara dalam event sastra “internasional” Puisi Dunia di Medan!)

Pembelaan Sitok Srengenge menarik soal “pesta bir” tsb. Dia bilang bahwa “Penyediaan bir adalah suatu kelaziman dalam jamuan internasional. Hal itu juga bukan pertama kalinya terjadi di Taman Ismail Marzuki.” Saya adalah seorang yang sangat mencintai bir, terutama bir pilsener yang dingin. Saya yakin tak ada makhluk hidup di TUK yang mampu minum bir dingin sebanyak saya, hehehe… Saya juga tahu bahwa image peminum bir memang tidak positif di negeri ini, beda dengan di Barat di mana minum bir tidak ada bedanya dengan minum kopi, sebuah properti sosialisasi. Inilah romantisme para pencinta bir di negeri ini. Jadi kalau dalam sebuah peristiwa sastra besar, yang “internasional” lagi, di negeri ini dan yang dihadiri banyak orang-orang negeri ini, disediakan bir untuk diminum bebas, kan wajar kalau ada yang risih! Sastra kan sudah dianggap budaya adiluhung di negeri ini, sementara bir merupakan kebalikannya. Masak budayawan Indonesia tidak paham dengan realitas masyarakatnya sendiri ini! Soal mabuk karena ngebir, itu kan juga relatif. Apa memang banyak orang Jakarta yang benar-benar sanggup minum sebanyak penyair Saut Situmorang dan tidak teler! “Mabuk” kan beragam definisinya. Minum empat botol besar bir dingin bagi saya itu belum “mabuk”, tapi minum satu gelas bir mungkin saja akan membuat orang Indonesia lain “mabuk”. Jadi ini kan soal bahasa, masak penyair besar Indonesia tidak paham dengan bahasa nasionalnya sendiri! Juga, kalau memang benar “Penyediaan bir adalah suatu kelaziman dalam jamuan internasional”, kenapa waktu “jamuan internasional” yang diadakan TUK di TBS Solo beberapa tahun lalu itu tidak disediakan bir? Saya dan kawan saya terpaksa harus menyediakan sendiri bir kami di malam-malam Solo yang panas itu. Apa karena Temu Sastra di Solo itu memang kurang atau malah tidak “internasional”!

Kalau Chavchay dibilang membuat “fitnah” dan “dusta” dalam reportase jurnalistiknya yang jujur dan berani itu sampai dia harus dipindahtugaskan pimpinannya karena desakan otoriter seorang mogul media massa yang juga merupakan orang pertama TUK – yang cuma mengingatkan saya pada tokoh utama film Citizen Kane karya Orson Welles – sebagai resiko seorang wartawan kecil tapi berani di negeri yang tak menghormati kebebasan berpendapat ini, bagaimana dengan reportase wartawan Der Spiegel di atas? Apakah dia sudah melakukan asas “cover both sides”, mencek-ulang kepada pihak lain, hasil wawancaranya dengan seseorang bernama “Ayu Utami” tentang peran TUK dalam gerakan pro-demokrasi yang menjatuhkan Suharto itu? “Both sides” mana yang sudah di-cover-nya? Saya yakin orang TUK pasti sudah membaca majalah Jerman yang berisi dongeng tentang mereka itu (saya saja sudah!) dan karena tidak ada protes dari mereka atas isi dongeng itu maka bisa diartikan bahwa, paling tidak, mereka sangat puas dengannya! Juga bagaimana dengan pseudo-reportase majalah Tempo tentang Skandal Solo seperti yang saya singgung di atas! (Skandal Chavchay itu sendiri, menurut kabar terakhir, belum “dianggap selesai” oleh TUK. Alasannya: “Catatan Redaksi” yang ditulis Edy A Effendi untuk menemani bantahan “Empat Dusta” Sitok Srengenge di edisi yang sama telah membuat “persoalan jadi terbuka lagi”!)

Sebagai penutup, baiklah saya paparkan beberapa “dusta” saya ini sebagai suplemen “dusta” Chavchay Syaifullah:

• novel Saman Ayu Utami memanipulasi komentar Pramoedya Ananta Toer dalam blurb di sampul belakang novel tsb dengan cara mengutip secara tidak benar apa yang dinyatakan Pramoedya Ananta Toer.

• Ayu Utami menang Prince Claus Award dari Negeri Belanda sebelum terjemahan Belanda novelnya itu selesai. Pertanyaan sederhananya: Bagaimana para juri Prince Claus Award bisa menilai/mengetahui kehebatan Ayu Utami?

• tulisan-tulisan akhir tahun Nirwan Dewanto tentang sastra Indonesia di majalah Tempo adalah fitnah dan penghinaan besar terhadap sastra(wan) Indonesia kontemporer.

• posisi Hasif Amini sebagai redaktur “Sajak-sajak” Kompas Minggu cuma menguntungkan kawan-kawannya belaka, terutama Goenawan Mohamad, Nirwan Dewanto, dan Sitok Srengenge yang sajak-sajaknya selalu muncul satu halaman penuh sementara para penyair lain dimuat beramai-ramai.

• gosip beredar tentang pernyataan Sitok Srengenge bahwa “Sastrawan Indonesia” hanyalah “mereka yang diundang ke acara sastra TUK” saja.

• makanya menjadi “Sastrawan Indonesia”lah orang-orang semacam Laksmi Pamuntjak dan Avi Basuki.

Puisi-Puisi Saut Situmorang

Puisi-Puisi Saut Situmorang


saut kecil bicara dengan tuhan

bocah laki laki itu
duduk sendiri
di tanah kering
di belakang rumah

diangkatnya wajahnya
yang kuning langsat
ke langit
yang kebiru biruan

matanya yang hitam
tak terpejam
asyik mengikuti gumpalan gumpalan awan
yang dihembus angin pelan pelan

dia tahu tuhan tinggal di situ
di langit biru di balik awan awan itu
karena begitulah kata Ibu
tiap kali dia bertanya ingin tahu

bocah kecil itu
masih terus memandangi langit biru
matanya yang hitam
masih terus tak terpejam

tapi dia tak mengerti
kenapa kadang kadang turun hujan ke bumi
membuat becek jalan di depan rumah
membuat dia tak boleh main di luar rumah

kalau di atas ada langit
apakah yang ada di bawah tanah ini
bocah kecil itu bertanya tanya dalam hati

mungkin di bawah tanah ini
sama seperti di atas sini, serunya dalam hati
ada pohon ada rumah rumah
ada tanah lapang di mana orang
main layang layang
dan tentu mereka mengira
di atas sini tinggal tuhan mereka!

dia mulai tersenyum
dia tahu sekarang kenapa kadang kadang turun hujan

tentu saja hujan turun dari langit
karena di atas sana tuhan sedang pesta
dan air hujan itu
tentu air yang dipakai mencuci piring gelas
sehabis pesta
sama seperti Ibu waktu cuci piring gelas
dan airnya hilang masuk ke dalam tanah

senyumnya makin lebar sekarang
dibayangkanNya anak anak mandi hujan
di bawah sana!

Sumpah Pemuda

Kami Putera dan Puteri Indonesia mengaku

bosen jadi Bangsa Indonesia,
kalok bisa gak tinggal di Tanah Air Indonesia,
dan sangat malu Berbahasa Indonesia

Jogja, 28 Oktober 2008

Aku mencintaiMu dengan seluruh jembutKu*

ada jembut nyangkut
di sela gigiMu!
seruKu
sambil menjauhkan mulutKu
dari mulutMu
yang ingin mencium itu.

sehelai jembut
bangkit dari sela kata kata puisi
tersesat dalam mimpi
tercampak dalam igauan birahi semalaman
dan menyapa lembut
dari mulut
antara langit langit dan gusi merah mudaMu
yang selalu tersenyum padaKu.

Aku mencintaiMu dengan seluruh jembutKu
tapi bersihkan dulu gigiMu
sebelum Kau menciumKu!

jogja, 6 januari 2002

*) Diambil dari buku kumpulan puisi Saut Situmorang “otobiografi” ([sic] 2007)

Wawancara Saut Situmorang dengan majalah Mahasiswa Sastra UI

Wawancara Saut Situmorang dengan majalah Mahasiswa Sastra UI


“Recup Budaya” (Edisi Pertama 2007)

http://sautsitumorang.multiply.com/

Universitas Indonesia, khususnya Fakultas Ilmu Budaya sebagai ranah sastra mahasiswa, yang sebagian kecil masyarakatnya adalah penikmat sastra akademis, mungkin belum membaur ke dalam fase politik sastra (bukan kekuasaan) atau pun pembacaan jarak dekat.

Sebagian kecil darinya pula tentu ada yang merasa kritis terhadap desas-desus yang terjadi di luar sana. Untuk itu kami terus menangkap kejadian-kejadian sastra yang terjadi di Indonesia sebab ternyata permasalahan sastra bukan hanya pertunjukan dan karya tapi idealisme dan polemik. Majalah kami, Recup Budaya, mungkin berangkat dari tugas mata kuliah, namun kekuatan berpikir dan hasrat mengaromakan sastra dan sendinya kepada mahasiswa lain adalah semacam batu asah untuk meningkatkan kepekaan kami

WAWANCARA DENGAN SAUT SITUMORANG

TENTANG PERANG SASTRA boemipoetra vs TEATER UTAN KAYU (TUK)

1. Anda menyebut diri sebagai politisi sastra. Kami baru dengar istilah itu. Apa tugas sentral profesi tersebut, tentunya dalam eksternal sastra dan internal sastra?

SS: Hahaha… Istilah sebenarnya adalah “politikus sastra” dan aku pakai sebagai keterangan-diri di eseiku yang berjudul “Politik Kanonisasi Sastra” – yang merupakan makalahku untuk Kongres Cerpen Indonesia V di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, 26-28 Oktober 2007 lalu – yang kusebar di Internet sebagai salah satu dari rangkaian seranganku terhadap Teater Utan Kayu (TUK). Istilah itu sebenarnya sebuah istilah ironis yang tongue-in-cheek, dimaksudkan untuk memberi nuansa kepada isi eseiku itu. Tapi reaksi pembaca macam-macam. Hudan Hidayat yang konon seorang novelis itu, misalnya, menyebutku “politisi sastra” di Internet. Aku lebih suka istilah “politikus sastra”. “Politisi” itu istilah apa?! Apa ada “kritisi” sastra?! Hudan Hidayat memang seorang penulis bakat alam par excellence! Hahaha…

2. Jurnal Boemipoetra yang terbit beberapa bulan lalu, semacam aksi propaganda demonstratif sastrawan Ode Kampung terhadap perlawanan terhadap Komunitas Utan Kayu (KUK). Namun sebagian masyarakat menyatakan itu bukan jurnal yang semestinya ilmiah sebab kata-kata yang “kasar”?

SS: Coba perhatikan, kalimat macam apa yang kau tuliskan ini! Membingungkan! Hehehe… Jurnal sastra boemipoetra (pake huruf kecil semua!) adalah jurnal sastra paling keren dan cool sepanjang sejarah sastra Indonesia karena fungsinya cuma satu: menghancurkan Teater Utan Kayu (TUK)! Dan sudah terbit (tanpa mengemis dana ke Amerika Serikat dan sekutu neo-kolonialnya) sampai empat edisi. Hahaha… Satu-satunya “little magazine” sastra kita yang berani memakai apa yang kau sebut sebagai “kata-kata yang ‘kasar’” itu! Mengutip Clark Gable dalam Gone with the Wind, aku katakan kepada mereka-mereka yang tiba-tiba (menjadi) moralis linguistik itu padahal konon sudah beyond morality dalam kasus Sastra Porno Sastrawangi, seperti Manneke Budiman dosen Universitas Indonesia itu: Frankly, my dear, I don’t give a damn! Hahaha… Benar, jurnal boemipoetra memang bukan jurnal ilmiah kayak Oxford Literary Review, Critical Inquiry, New German Review, New Left Review, Social Text, atau Representations dan tidak punya pretensi untuk menjadi jurnal ilmiah. Tapi apa memang (pernah) ada jurnal “ilmiah” seperti yang aku sebutkan barusan di Indonesia? Nenek moyang boemipoetra adalah majalah-majalah kecil yang diterbitkan kaum Dada dan Surrealis di Eropa di awal abad 20 lalu, yang berisi baik manifesto-manifesto gerakan-gerakan tersebut maupun serangan-serangan keras mereka terhadap apa-apa yang pada saat itu mereka anggap menjajah pemikiran budaya orang-orang Eropa. Dan bahasa yang mereka gunakan bahkan jauh lebih “vulgar” dibanding “kata-kata kasar” boemipoetra! Ada catatan penting: boemipoetra bukan sastrawan Ode Kampung! Ode Kampung itu adalah kegiatan rutin yang dilakukan oleh komunitas sastra Rumah Dunia di Serang, Banten. Secara ideologis dan praktis boemipoetra justru sangat radikal dibanding Rumah Dunia dan Ode Kampungnya itu. Juga kalau kalian pelajari komposisi redaksi boemipoetra maka akan terlihat jelas keberagaman ideologi di dalamnya. Kerancuan informasi ini memang sudah universal di dunia kangouw sastra Indonesia dan ini cuma menunjukkan betapa parahnya orang kita membaca persoalan, betapa tidak canggihnya imajinasi orang-orang sastra kita dalam menafsirkan silsilah sebuah persoalan seperti Perang Sastra antara boemipoetra vs TUK. Manneke Budiman adalah lagi-lagi contohnya. Yang harus disadari lagi adalah bahwa Teater Utan Kayu (TUK) yang dikuasai orang-orang sastra itu yang menjadi fokus dari serangan-serangan kami, bukan Komunitas Utan Kayu (KUK) secara umum dan yang macam-macam isinya itu. Makanya perang kami ini adalah Perang Sastra! Musuh kami adalah Goenawan Mohamad dan segelintir penulis muda yang berlindung di balik bayangannya yang tua. Segelintir penulis-sekedar yang merasa sudah mencapai satori atau pencerahan sastra padahal rata-rata masih medioker kemampuannya, baik kreatif maupun kritis! Segelintir megalomaniak!

3. Letak keburukan TUK sehingga Anda begitu gencar untuk mengutuk mereka?

SS: Harus diakui bahwa pada awalnya mereka itu oke, kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan termasuk penerbitan majalah ikon mereka itu, Kalam, merupakan angin segar dalam kondisi jenuh sastra kita yang diakibatkan hegemoni majalah Horison dan Taman Ismail Marzuki (TIM). Tapi itu hanya sebentar! Mereka kemudian merasa sudah menjadi mainstream baru, sang dominan baru dalam sastra kita. Mereka sampai merasa begini tentu saja tak dapat dilepaskan dari “pesona” yang memang telah mereka timbulkan dalam kepala para sastrawan kita, terutama di kota-kota besar kita. Mereka telah menjadi mitos baru yang menggantikan mitos-mitos lama Horison dan TIM bagi para sastrawan yang mulai dikenal publik sastra kita di periode 1990an, apa yang saya sebut sebagai Sastrawan 90an itu, dan yang sedang merajai penerbitan buku sastra saat ini. Mitos baru tentang TUK ini dimanfaatkan dengan sangat canggih oleh Goenawan Mohamad dan segelintir penulis-sekedar yang aku sebutkan di atas. Dominasi-tunggal atas dunia sastra kita adalah ambisi ekstra-literer mereka. Ini dimulai dengan skandal menangnya novel jelek berjudul Saman di Sayembara Roman Dewan Kesenian Jakarta 1998. Memakai istilah salah seorang penulis-sekedar TUK bernama Eko Endarmoko yang berpretensi keras mencari kelemahan esei saya “Politik Kanonisasi Sastra” tapi gagal dengan mengenaskan itu (karena kurang imajinasi tekstual dan miskinnya pengetahuan sejarah sastra), menurut “kabar angin” naskah Saman itu sebenarnya sudah lewat deadline pengiriman naskah tapi salah seorang juri menerimanya juga. “Kabar angin” lain adalah bahwa salah seorang juri Sayembara Roman DKJ 1998 itu menerima naskah Saman dari seorang tukang sapu gedung dimana para juri sedang memeriksa naskah-naskah yang masuk dan naskah tersebut didapatkan tukang sapu itu di dalam tong sampah! Siapa saja tentu saja bebas menafsirkan legenda yang diciptakan seputar Saman ini sama seperti para penilai Prince Claus Award yang memenangkan Ayu Utami pada tahun 2000 untuk novel satu-satunya itu dengan alasan bahwa “karyanya dianggap meluaskan batas penulisan dalam masyarakatnya”! Bagaimana para juri Prince Claus Award bisa menilai kedahsyatan novel tersebut padahal tak satupun terjemahan bahasa asingnya sudah ada pada waktu itu hanya Goenawan Mohamad yang tahu. Coba baca prosa-pendek Ayu Utami (yang diklaim sebagai “kolom” itu) di media massa cetak seperti koran Seputar Indonesia Minggu. Masuk akalkah seseorang yang diklaim oleh sebuah institusi internasional sejenis Prince Claus Award sebagai “meluaskan batas penulisan dalam masyarakatnya” cuma mampu menghasilkan cakar-ayam yang bahkan lebih jelek dari medioker seperti itu! Aku kasih sebuah “kabar angin” lagi. Kalau Saman itu sebuah fragmen dari karya panjang (yang sekarang kita tahu adalah Saman dan Larung) lantas kenapa Saman bisa begitu sensasional legendanya sementara Larung sunyi senyap?! Karya Pramoedya Ananta Toer yang jauh lebih panjang aja, yaitu Tetralogi Buru, tidak begitu jauh jarak “mutu”nya antara satu fragmen dengan fragmen lainnya. Bicara tentang Pram, bukankah komentar Pram di sampul belakang Saman itu adalah sebuah manipulasi tekstual paling brengsek dalam sejarah promosi sebuah karya sastra di negeri ini! Kalau memang benar Saman yang memenangkan Sayembara Roman DKJ 1998 dan Prince Claus Award 2000 itu begitu “dahsyat” seperti yang diklaim Sapardi Djoko Damono, Faruk dkk, untuk apa lagi dia mesti memelintir komentar Pram yang pada dasarnya menganggap novel itu jelek!

Kejahatan TUK semacam ini, yaitu manipulasi informasi, berkali-kali mereka lakukan. Yang langsung bersentuhan dengan aku adalah “laporan” di majalah-berita Tempo yang konon ditulis oleh Ags Dwipayana (aku tak ingat nama lengkapnya tapi orang ini orang teater, menurut “kabar angin”) tentang Temu Sastra Internasional 2003 yang diselenggarakan TUK di Solo. “Laporan” yang pada dasarnya mengelu-elukan program sastra TUK itu dan mengejek aku dan kawan-kawan Solo yang memprotesnya dengan keras karena tidak melibatkan seorangpun sastrawan Solo kecuali sebagai pembawa acara, hahaha…, ternyata tidak ditulis berdasarkan pandangan mata langsung “pelapor”nya! Si penulisnya tidak pernah hadir di Solo sama sekali selama dua-hari acara TUK itu dan menurut “kabar angin” semua infonya diberikan oleh Yang Mulia Goenawan Mohamad! Kasus Solo ini menjadi penting dalam “arkeologi dusta TUK”, hahaha…, kalau kita kaitkan dengan Kasus Chavchay Syaifullah, wartawan budaya Media Indonesia yang dipecat bosnya sebagai wartawan budaya karena pengaduan langsung Goenawan Mohamad. Chavchay menulis di korannya tentang acara Utan Kayu International Literary Biennale yang diadakan di TIM bulan Agustus 2007 lalu dan Goenawan Mohamad tersinggung atas laporan pandangan mata langsung Chavchay itu. Alasan Goenawan Mohamad, Chavchay dalam laporannya itu telah melakukan “fitnah” karena tidak menjalankan asas “cover both sides”, yaitu “tak mencoba mendapatkan dan memuat versi panitia dan TIM” paling tidak tentang diusirnya penyair Geger dari tempat acara. Padahal Chavchay punya rekaman pernyataan Geger bahwa dia diusir! Sontoloyo, itulah komentarku! Kekuasaan sipil yang sudah mulai menjadi diktatorial!

Masih mau lagi? Hahaha… Coba perhatikan jaringan kekuasaan yang sudah dibentuk TUK saat ini untuk menguasai dunia sastra kita: Hasif Amini di koran Kompas Minggu, keikutsertaan TUK dalam menyeleksi sastrawan lokal untuk Ubud Writers and Readers Festival, Ayu Utami di DKJ, dan “kabar angin” lagi Sitok Srengenge bakal menjadi redaktur sastra koran Media Indonesia Minggu! Sitok ini juga yang menurut “kabar angin” lain pernah sesumbar bahwa “Sastrawan Indonesia” itu adalah cuma mereka yang pernah diundang ikut acara sastra TUK! Megalomaniak gak, hahaha… Dulu waktu dia dan Medy Loekito dari komunitas kami Cybersastra ada di Iowa mengikuti program menulisnya, si penyair rima-dalam ini, hahaha…, pernah berkata bahwa dalam berbahasa Inggris, dia kalah dengan Medy, tapi dalam menulis puisi, dia lebih unggul! Uh, hebatnya, hahaha… Kalau dia tak bisa berbahasa Inggris, kok bisa dia mewakili Sastra(wan) Indonesia ke Iowa? Saat ini yang mewakili Sastra(wan) Indonesia ke Iowa adalah, you guess it!… monsieur Nirwan Dewanto, hahaha… Sejak kapan redaktur koran ini jadi sastrawan dan mana karya sastranya? Mestinya kan penyair dan politikus sastra Saut Situmorang dong yang mewakili TUK, dan sastra Indonesia, ke Iowa, iya kan, hahaha…

O iya, sebelum aku lupa dan ada juga kaitannya sedikit dengan soal majalah “ilmiah” yang kita singgung di atas. Pernah baca buku kumpulan esei Goenawan Mohamad berjudul Setelah Revolusi Tak Ada Lagi (AlvaBet, 2001)? Coba baca kata pengantar buku itu berjudul “Ke-Lain-an Goenawan Mohamad” yang ditulis oleh Hamid Basyaib! Atau baca ringkasannya di blurb sampul belakang buku! Dengan tidak ada rasa malu sama sekali dia mengklaim Goenawan Mohamad sebagai “esais terbaik Indonesia”, “orang Barat yang lahir di Batang” dan dalam kumpulan eseinya itu “ia membahas Brecht, Derrida, Adorno, Habermas, Nietcszhe [sic], Camus, Benjamin dan banyak nama penting lain dalam jagat pemikiran Barat bagai berbincang akrab dengan teman dekat”, “semuanya disorotinya dengan perangkat kritik sastra, yang digunakannya dengan kemahiran tak tertara”! Nah pertanyaan sederhanaku ini aja: Kalau Goenawan Mohamad itu memang begitu hebat, kok dia gak nulis di jurnal-jurnal ilmiah seperti yang kusebutkan di atas tadi aja? Kita kan bisa jadi sangat bangga kalau ada seorang penulis hebat kita yang tulisan kritiknya bisa muncul di jurnal ilmiah standar internasional ketimbang sekedar di media lokal doang! Inilah contoh megalomania narsisistik Teater Utan Kayu par excellence, hahaha…

4. Sudah tentu TUK, menganggapnya sebagai angin lalu. Bahkan fitnah?

SS: Jelas dong. Mana ada yang suka kebusukannya diekspos, apalagi sekelompok megalomaniak.

5. Manifesto Boemipoetra telah kami pelajari. Rasa sosial dan solidaritas tinggi serta anti-Liberalisme, rupanya tertanam kuat di diri sastrawan Ode Kampung. Berangkat dari kemanusian, apakah Anda tidak takut pengecaman Anda dkk. justru menjadi bumerang?

SS: Sekali lagi, jangan samakan boemipoetra dengan Ode Kampung. Tahu kan apa itu bumerang? Bumerang itu adalah senjata tradisional bangsa Aborijin Australia yang dipakai dengan melemparkannya ke objek yang ingin dilumpuhkan. Karena bentuknya melengkung dan cara melemparkannya khas, bumerang bisa kembali ke pemiliknya kalau tidak mengenai sasarannya. Kalau seseorang tidak sigap atau pandai menangkap bumerang yang terbang kembali itu, maka bocorlah kepalanya, hahaha… Maka ketahuan pula kalau dia bukan pemilik sebenarnya! Nah apa yang terjadi sekarang adalah bumerang itu tak bisa ditangkap kembali oleh Goenawan Mohamad dan para penulis-sekedarnya maka bocorlah kepala mereka, hahaha…

6. Menurut Anda mengapa setelah terbitnya Jurnal Boemipoetra, TUK tidak membalas sama sekali serangan Anda?

SS: Karena mereka itu cuma mitos belaka, tak ada esensinya. Karena isi boemipoetra tak bisa mereka bantah. Karena mereka takut kalau merespons maka semua kebusukan mereka akan jadi terbuka. Lebih baik didiamkan saja kan. Atau seperti “kabar angin” tentang apa yang dikatakan Goenawan Mohamad: apa Saut itu masih tahan menyerang sampai enam bulan lagi? Kalau tak salah, aku sudah menyerang TUK sejak tahun 2003 dan sekarang makin asyik aja, hahaha…

7. Seorang millist bernama Radityo yang disinyalir sebagai tangan kanan TUK, menyerang Anda habis-habisan. Anda bisa jelaskan ini?

SS: Hahaha… Radityo Djadjoeri itu adalah keponakan Goenawan Mohamad. Dia sendiri yang ngaku begitu di Internet dan aku pun pernah mempostingkan data yang kudapat di Internet tentang keluarga besar mereka yang keturunan Arab-Kurdi itu. Radityo yang konon tamatan FE-UII Jogja ini memang seorang cyberpsikopat! Dulu dia juga pernah punya problem besar dengan Farid Gaban dari Republika dan melakukan teknik pencemaran nama yang sama, yaitu dengan menciptakan tokoh-tokoh cyber fiktif yang menyerang dengan alamat email buatan. Untuk menghadapi aku yang memang jauh di atas kelas intelektualnya ini, hahaha…, dia bahkan menciptakan milis-milis baru seperti yang bernama “sautisme@yahoogroups.com” itu. Tapi manalah pulak awak bisa dikerjainnya! Buktinya, justru dia sekarang yang dicekal dari begitu banyak milis Indonesia di Internet, hahaha…

TUK diperkirakan sebagai benih-benih sastra imperialis, yang secara general pernah disembulkan Taufik Ismail. Apakah kelahiran Jurnal Boemipoetra berangkat dari pernyataan Taufik?

SS: Harus disadari lagi bahwa boemipoetra tak ada hubungan apa-apa dengan Taufiq Ismail atau jelasnya dengan Kasus Taufiq Ismail vs Hudan Hidayat. Dan boemipoetra lahir bukan karena Taufiq Ismail ataupun pernyataan publiknya!!! Kami bertujuan membabat utan kayu, titik. Aku sendiri secara pribadi bertentangan dengan Taufiq Ismail soal Marxisme dan Lekra. Aku ini Marxist tapi Marxisme seperti yang diejek-ejek Taufiq Ismail tak pernah ada dalam Marxisme! Dia tak bisa membedakan antara politik partai dan sebuah isme pemikiran. Dalam sejarah peradaban manusia, isme yang paling kritis dan paling membela harkat orang banyak hanyalah Marxisme! Dan lawan utama Marxisme bukan Agama Monotheis seperti yang dirancukan Taufiq Ismail dkk, tapi Liberalisme-Kapitalisme yang justru telah menyebabkan matinya agama Kristen di Barat dan timbulnya kolonialisme di Asia, Afrika, Australia, Pasifik dan benua Amerika! Bagi boemipoetra, TUK adalah agen imperialisme Liberalisme-Kapitalisme terutama Amerika Serikat di sastra Indonesia, lewat program-program sastranya. Mudahnya akses bagi orang-orang TUK dan sekutunya ke program-program di Amerika Serikat, seperti program menulis Iowa itu misalnya, sementara orang-orang yang non-TUK ditolak visa mereka oleh Kedutaan Amerika Serikat, adalah bukti nyata.

9. Seks dan agama adalah keberlainan bahkan kebertentangan, Ayu Utami, yang selanjutnya diikuti Nukila Amal, dan Dewi Lestari sebagaimana Taufik yang menyatakan mereka bagian dari Fiksi Alat Kelamin (FAK) dan (GSM). Apakah Anda menyerang lini ini dengan berpusar pada pijak agama?

SS: Gawat! Siapa yang bilang bahwa “seks dan agama” itu bertentangan! Apa ada “agama” yang melarang seks! Gereja Katolik yang melarang pastor untuk kawin itu aja tidak melarang seks bagi yang non-pastor!!! Ketidakhati-hatian orang kita dalam berbahasa memang sudah fenomenal. boemipoetra tidak anti-seks malah sangat suka seks! Yang dilawan boemipoetra adalah eksploitasi seks (seksploitasi) sebagai standar estetika sastra (paling) bermutu, yang mengorbankan estetika sastra non-seks seperti nilai-nilai Islami pada Forum Lingkar Pena misalnya. Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu dan Dinar Rahayu adalah para penulis perempuan Indonesia yang mengeksploitasi seks dalam tulisan mereka dan menjadi terkenal karenanya. Menjadi dibaca tulisannya karenanya. Itu saja alasannya kenapa mereka dibaca. Lucu ya bahwa ketiga perempuan tukang eksploitasi seks perempuan ini punya nama sama, yaitu “Ayu”. Mungkin nama Sastrawangi musti diganti jadi “Sastrayu”, hahaha…

10. Sastra TUK jelas berbeda, mereka mengakomodir tulisan dengan kualitas tinggi. Bahkan mereka tidak akan menerbitkan karya yang dianggap “tidak layak” di jurnal Kalam. Berarti Sastra TUK punya pagar untuk menyempitkan dunianya(red). Eksklusivitas ini rupanya yang tidak diterima oleh Anda dkk. Mengapa?

SS: Hahaha… Itulah mitos yang berhasil dibangun TUK tentang dirinya dan dikunyah bulat-bulat oleh banyak sastrawan muda termasuk fakultas sastra yang seharusnya lebih kritis daripada sastrawan sendiri!

Kalam itu kan cuma majalah budaya umum dan “kekuatan”nya terletak lebih pada esei-esei budaya yang dimuatnya, bukan pada puisi atau cerpennya. Kolom puisi Kompas Minggu sewaktu ditangani Sutardji Calzoum Bachri jauh lebih tinggi reputasinya bagi para penyair Indonesia ketimbang Kalam. Bukankah cerpen yang dimuat di koran Kompas yang dianggap cerpen nyastra yang bermutu? Sastra TUK itu apa? Yang “sastrawan” di TUK itu kan cuma Goenawan Mohamad, Sitok Srengenge dan Ayu Utami. Ini kan sastra TUK itu.

Soal “kualitas tinggi” TUK. Apa tinggi kualitasnya puisi Sitok, bahkan Goenawan Mohamad sekalipun? Apa tinggi kualitasnya esei-esei Nirwan Dewanto atau Hasif Amini? Terjemahan Hasif atas cerpen-cerpen Jorge Luis Borges (dari terjemahan bahasa Inggris) aja jelek tapi dipuji-puji setinggi langit oleh sesama orang TUK! Apa tinggi kualitasnya program biennale sastra TUK yang mengklaim Avi Basuki dan Laksmi Pamuntjak sebagai “sastrawan internasional Indonesia” itu? Apa yang pernah ditulis Laksmi Pamuntjak dalam “sastra Indonesia”? Yang benar adalah bahwa manipulasi informasi TUK memang berkualitas tinggi, hahaha…

11. Apa perjuangan Anda dkk. sudah selesai?

SS: Apa TUK sudah hancur? Hahaha…

12. Dengan duduknya Hasif Amini di Kompas dan Nirwan Dewanto di Tempo, sudah tentu makin melambungkan sastra TUK yang Anda sinyalir sebagai kelompok yang berambisi menoreh sejarah sastra. Benarkah?

SS: Sudah aku jawab di atas.

13. Mahasiswa, sebagai akademisi sastra yang belum terbaluri pengaruh ini, sebaiknya ada di posisi mana?

SS: Masak mahasiswa sastra belum terkena pengaruh mitos TUK! Yang benar aja ah.

Pertanyaan No.10 di atas kan jelas menunjukkan betapa kalian sudah sangat dalam dipengaruhi oleh “pesona” mitos TUK itu! Sadarlah dan kembalilah ke jalan yang benar! Hahaha…

14. Anda tidak meluaskan propaganda ke kalangan mahasiswa. Mengapa?

SS: Lha wawancara ini apa namanya kalau bukan propaganda demitologisasi TUK, hahaha…

15. Kanonisasi Sastra dapatkah Anda jelaskan secara singkat?

SS: Kanon adalah sekelompok karya yang, minimal, selalu ada dalam kurikulum pengajaran sastra di sekolah dan perguruan tinggi. Sebuah karya yang bisa masuk jadi anggota kanon sastra tentu saja akan terangkat reputasi sastranya, dan pengarangnya, dalam hierarki kelas “kedahsyatan” artistik dalam sejarah sastra. Dan bisa dipastikan akan terus menerus dicetak-ulang sekaligus dibahas-ulang dalam skripsi, tesis dan disertasi.

Tentu saja semua pengarang ingin semua karyanya bisa masuk dalam kanon sastra, paling tidak sebuah bukunya. Tapi kenyataannya cuma segelintir saja pengarang yang bernasib mujur begini. Ketidakmujuran nasib banyak pengarang dalam peristiwa kanonisasi sastra inilah yang menimbulkan pertanyaan: Kok karya S Takdir Alisjahbana bisa masuk kanon sementara cerita silat Kho Ping Hoo nggak? Kenapa puisi Goenawan Mohamad, bukan Saut Situmorang? Masak cerpen Seno Gumira Ajidarma masuk tapi cerpen Hudan Hidayat kagak? Apakah karena cerpen Seno punya “substansi” sementara cerpen Hudan cuma begitu-begitu aja? Puisi Goenawan Mohamad “sublim” tapi Saut Situmorang cuma bermain-main dengan intertekstualitas dan tidak tertarik pada “kedalaman” simbolisme pasemon puitis? Apa sebenarnya yang menjadi “kriteria” dalam seleksi kanon (canon formation)? Apakah “substansi” sastra atau “sublimitas” sastra seperti yang diyakini Hudan Hidayat dan para pengarang bakat alam lainnya itu? Apakah estetika satu-satunya standar dalam menilai mutu karya? Kalau benar, lantas apakah “estetika” itu? Adakah karya sastra yang an sich benar-benar “dahsyat” dan “universal”? Apakah karya sastra itu memang otonom, bebas nilai, tidak tergantung pada hal-hal di luar dirinya untuk menentukan baik-buruk mutunya? Atau ada hal-hal lain di luar teks karya – mulai dari komentar para “pengamat” sampai ekspose di media massa atas sosok sang pengarang – yang menjadi faktor dominan dalam terpilih-tidaknya sebuah karya sastra menjadi anggota kanon sastra?

Sastra kontemporer kita rusak karena dilettante sastra, petualang sastra seperti TUK, Kompas dan Richard Oh dengan sensasi duit Katulistiwa Literary Award-nya itu merajalela membuat kanon-kanon sastra baru tanpa kriteria yang bisa dipertanggungjawabkan dan para sastrawan pada cuek aja. Inilah efek apolitisasi sastra Orde Baru!

Bang Saut setiap jawaban Abang akan kami publikasikan. Silahkan menambahkan sesuatu yang perlu Abang uraikan. Tapi kami tetap menjaga etika jurnalisme.

Terima kasih banyak.

Salam untuk Wowok dkk.

SS: Terimakasih juga. Wawancara kalian ini adalah wawancara pertama yang dilakukan dengan boemipoetra untuk mendengarkan perspektif boemipoetra tentang Perang Sastra boemipoetra vs TUK. Selama ini cuma Goenawan Mohamad dan anggota TUK lainnya aja yang diberikan kesempatan bicara secara formal dalam sebuah wawancara. Kalian sudah bertindak adil! Bravo! Aku juga mengharapkan kalian berani memuat semua yang aku nyatakan di sini. Berani seperti boemipoetra! Kalau mahasiswa aja sudah gak berani mengeluarkan pendapatnya dalam media kampusnya sendiri, apalagi dengan alasan mitos “etika jurnalisme” yang cuma menguntungkan kekuasaan status quo itu, untuk apa kita punya universitas di negeri ini! Mitomania harus dilawan oleh semua mahasiswa yang menganggap dirinya berbudaya dan kritis, terutama oleh mahasiswa sastra. Ingat apa yang dikatakan George Orwell: During times of universal deceit, telling the truth becomes a revolutionary act!

HIDUP MAHASISWA!

Marco Ketua DKJ Mengusir Saut Situmorang dkk

Marco Ketua DKJ Mengusir Saut Situmorang dkk


Saut Situmorang*

http://sautsitumorang.multiply.com/

Jumat 19 Desember 2008 kira-kira jam 2 siang lebih. Saya Saut Situmorang, Wowok Hesti Prabowo dan Viddy A Daery masuk ke sebuah ruangan tempat diadakannya “mukernas” dewan kesenian se-Indonesia di hotel Sheraton Media Jakarta. Saya mendapat info bahwa mukernas tersebut akan membahas soal “dewan kesenian Indonesia” yang beberapa waktu dulu ide pembentukannya mendapat tentangan keras dari banyak seniman. Ide awal pembentukan dewan kesenian Indonesia tersebut, kata orang, berasal dari Ratna Sarumpaet dan dia hari itu akan memberikan pidato tanggapan atas idenya yang mungkin dia rasa dicuri orang itu. Sebuah acara menarik untuk ditonton, bukan? Di pintu masuk ruangan mukernas itu saya sempat disapa oleh seorang cewek yang bekerja untuk Dewan Kesenian Jakarta alias DKJ, yang merupakan tuan rumah mukernas. Di pintu masuk saya tidak melihat ada pengumuman “YANG TIDAK DIUNDANG DILARANG MASUK!”.

Setelah berada di dalam ruangan saya dipanggil oleh Iyut Fitrah kawan penyair dari Payakumbuh, Sumatera Barat. Dia minta saya duduk dekatnya. Saya pun pergi ke arahnya dan duduk di sebuah kursi di dekatnya. Begitu pula Wowok dan Viddy. Sambil ngomong-ngomong, saya bagikan jurnal keren “boemipoetra” yang segera saja beredar ke meja-meja para peserta mukernas. Saya juga melihat bekas adik kelas saya di Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara dulu, Jabatin, duduk di meja dekat saya itu dan saya pun menyapanya. Wowok kemudian berdiri dan mulai membagikan “boemipoetra” ke meja-meja di sudut lain ruangan. Saat itu Ratna Sarumpaet sudah berdiri di podium setelah diundang untuk memberikan pidatonya.

Pada waktu itulah tiba-tiba saja terdengar suara seseorang berteriak membentak, “Wowok, keluar!!! Anda tidak diundang, keluar!!!” Begitulah kira-kira bunyi teriakan tersebut yang ternyata berasal dari mulut seseorang bernama Marco yang adalah ketua Dewan Kesenian Jakarta. Wowok merespon dengan mengatakan bahwa dia “diundang” oleh Ratna Sarumpaet. Ratna membenarkan waktu Sang Marco mengkonfirmasikannya ke dia. Tentu saja peristiwa itu menciptakan suasana tegang. Para peserta pun nampak kaget heran kebingungan penasaran. What the fuck is going on? Saya yakin begitulah yang mereka gumamkan dalam gumaman mereka. Lalu tiba-tiba lagi suara tadi berteriak membentak lagi, “Saut, keluar!!! Saya tidak mengundang Anda, keluar!!!” Saya nyaris gemetaran mendengar bentakan yang kayaknya dikeluarkan pakek sinkang ala ilmu Auman Singa Kim-mo Say-ong Cia Sun dari kitab “Ie Thian To Liong” karya Chin Yung itu! Kemudian Sang Pangcu DKJ itu melambai-lambaikan jurnal “boemipoetra” ke udara sambil berkata sesuatu seperti “Dilarang membagikan ‘boemipoetra’ di sini. Ini cuma berisi fitnah!”. Untunglah berkat latihan Kiuyang Sinkang yang saya pelajari dari Bu Kie saya cepat memperolah ketenangan saya kembali dan segera menjawab Sang Pangcu DKJ itu, “Kalau benar jurnal ‘boemipoetra’ adalah fitnah, silahkan bawa kami ke pengadilan!” Di tengah-tengah keributan itu saya mendengar Ratna Sarumpaet berkata sesuatu seperti kenapa acara kesenian bisa jadi sekaku ini, atau yang mirip-mirip itu maksudnya. Lalu, entah dari mana nongolnya, seorang laki-laki bertampang sangar kayak “bouncer bar” di Selandia Baru sana mulai juga berteriak-teriak sambil berpidato di tengah ruangan bahwa dia akan membubarkan acara tersebut! Pokoknya penuh otoritas macam itulah. Saya gak kenal makhluk aneh ini tapi Wowok kemudian di taxi mengatakan dia itu orang DKJ juga. Karena bosan mendengar retorika kekuasaannya itu saya berdiri dan mengajak Wowok dan Viddy untuk keluar saja dari hiruk-pikuk drama kekuasaan Dewan Kesenian Jakarta tersebut. Banyak juga ternyata peserta dari dewan kesenian se-Indonesia di situ yang keluar ruangan. Waktu saya mulai beranjak dari tempat duduk saya itulah Sang Marco, sambil tetap teriak-teriak, mendatangai saya dan tiba-tiba saja memegang lengan kiri saya. Tentu saja secara spontan ilmu Kiankun Taylo-ie Sinkang dari Bengkaw yang juga saya warisi dari suhu Bu Kie bereaksi cepat dan saya tampar tangan jahat yang penuh racun itu! Dia nampak kaget jugak rupanya, hahaha… Tapi dia tidak melakukan apa-apa lagi dan kami bertiga pun keluar dari ruangan pibu itu dengan penuh kemenangan.

Di luar, seorang kawan dari Jawa Tengah yang juga salah seorang peserta mukernas tersebut menghampiri dan menyalami kami. Oiya, di luar itu saya juga tidak melihat ada pengumuman, “DILARANG MEMBAGIKAN ‘BOEMIPOETRA’ DI DALAM RUANGAN!”

Bagaimana ya seandainya yang kami bagikan itu adalah majalah “Kalam” milik Teater Utan Kayu? Apa kami akan mendapat perlakuan yang sangat premanis, ketimbang Pramis, begitu? Siapa sebenarnya yang direpresentasikan Marco dan Dewan Kesenian Jakarta-nya di acara dewan kesenian se-Indonesia tersebut? Lucunya lagi, waktu dia membuat kericuhan di acara dewan kesenian se-Indonesia itu, tidak pernah sekalipun dia menanyakan pendapat para peserta mukernas soal “kehadiran” kami, apa mereka keberatan atau tidak! Menurut SMS seorang kawan yang juga peserta “diundang” acara, setelah kami bertiga keluar ruangan, para peserta dipaksa untuk “mengembalikan” kepada DKJ jurnal “boemipoetra” yang sedang dibaca para peserta tersebut! Banyak juga, kata kawan tersebut, yang tidak bersedia “mengembalikan” jurnal keren kami itu, hahaha…

Oiya, ada yang bilang (saya tidak tahu benar atau salah karena saya sendiri tidak diundang juga, hehehe…) ada yang bilang bahwa para peserta mukernas dewan kesenian se-Indonesia itu dibawa Marco dan DKJ-nya makan malam di Salihara, hahaha…

SASTRAKU SAYANG, SASTRAKU MALANG

SASTRAKU SAYANG, SASTRAKU MALANG


Saut Situmorang

http://www.facebook.com/

aku punya pertanyaan begini: kenapa ya gak setiap orang berani mengklaim diri “mengerti” Kedokteran, atau Ekonomi, lalu membuat tulisan yang “membahas” Kedokteran/Ekonomi bahkan sampai mengklaim diri “pengamat Kedokteran/Ekonomi”? atau pengetahuan-pengetahuan lain kayak Hukum, kayak Jurnalisme?

tapi kenapa hal seperti di atas gak terjadi atas “Sastra”? setiap orang di negeri ini, apalagi “penulis”, pasti akan merasa sudah “mengerti” Sastra dan berani membuat “opini” publik tentangnya?

di Indonesia, seperti di negeri-negeri lain, Fakultas Sastra itu terdapat hampir di setiap universitas besarnya. bahkan bisa dikatakan, secara melebih-lebihkan, bahwa “Sarjana Sastra” lebih banyak jumlahnya dibanding “Sarjana” genre pengetahuan lainnya.

maksudku adalah bahwa Sastra itu adalah sebuah ilmu pengetahuan (science, sains) , sama seperti Kedokteran, Ekonomi, Hukum atau Linguistik. mangkanya dipelajari doi secara sistematis di tempat yang disebut “Fakultas Sastra”. mangkanya mereka yang sudah tamat mempelajarinya secara sistematis begini disebut “Sarjana Sastra”. bahkan tingkat kesarjanaan ilmu pengetahuan ini mencapai level Doktor, sama kayak ilmu pengetahuan lainnya itu.

dalam kata lain, sudah disadarikah di negeri ini bahwa Sastra itu adalah sebuah ilmu pengetahuan/sains yang untuk memahaminya diperlukan sebuah studi yang sistematis dan lama atas sejarahnya, teorinya dan tentu saja jenis-jenis karya yang disebut Karya Sastra?

di sinilah persoalan besar terjadi.

Walopun ada Fakultas Sastra dan banyak Sarjana Sastra bertebaran di negeri ini tapi Sastra masih belom dianggap sebuah ilmu pengetahuan/sains seperti Kedokteran, Ekonomi, Hukum dan lainnya oleh masyarakat umum Indonesia! setiap orang apalagi yang pernah mengenyam pendidikan perguruan tinggi walo non-Sastra akan merasa dirinya mampu bicara tentang Sastra, mengerti apa itu Sastra! maka parahlah kondisi pembicaraan tentang Sastra di negeri yang tak menghormati Sastra(wan) ini!!! anarkisme interpretasi dianggap bukti demokrasi!!! sesuatu yang tidak terjadi di luar sono. yang bukan “orang Sastra” tidak merasa ada yang aneh kalo ikut membicarakan Sastra walo ala pseudo-akademis, alias debat kusir. pembicaraan dan penafsiran yang sangat tergantung pada kata hati belaka, karena memang begitulah Sastra itu dianggap: sesuatu yang cuma berkaitan dengan “hati”, “perasaan”, bukan ilmu pengetahuan/sains tadi. ketidaktahuan atas Sejarah dan Teori Sastra secara umum tidak dianggap faktor yang harus dipertimbangkan dalam membicarakan Sastra!!!

dan kita masih belom lagi membicarakan Sastra sebagai sebuah Seni, sama seperti seni-seni lain kayak Teater, Seni Rupa, Musik, Film, Fotografi, Tari dll !!!

seperti seni-seni lain, seni Sastra juga memiliki hukum-hukum, peraturan-peraturan, pakemnya tersendiri, khas yang menjadi hakekat Sastra. ketidakpahaman atas hukum-hukum Sastra inilah yang selalu membuat setiap “penulis” (yang sangat berambisius tentunya!) terheran-heran kok tulisannya gak dianggap tulisan Sastra! dengan seenaknya aja segelintir penulis “fiksi pop/novel pop” mengklaim fiksi/novelnya sebagai Sastra cuma karena tulisannya itu memiliki hal-hal yang mirip karya Sastra, seperti plot dan tokoh. bagi mereka, cuma begitulah “Sastra” itu, hahaha…

kalok kita ambil perbandingan, kan gak setiap yang dibuat pakek seluloid itu akan dianggap seni Film alias Sinema. gak setiap gerak yang “indah” itu Tari. gak setiap lukisan ato patung itu Seni Rupa. tapi kok hal ini gak dianggap berlaku buat Seni Sastra!

satu hal yang menyedihkan lagi: sekarang sudah menjadi tren di universitas negeri kita, seperti yang sudah terjadi pada universitas negeri yang elite kayak Universitas Indonesia (Jakarta) dan Universitas Gajah Mada (Jogja) — dan akan diikuti Universitas Padjadjaran (Jatinangor, Jawa barat) — mengganti nama “Fakultas Sastra” menjadi sekedar “Fakultas Ilmu Budaya”! “Sastra” sebagai sains dan seni bukan saja sudah tidak diakui lagi statusnya oleh mereka-mereka yang justru punya kewajiban akademis untuk membelanya bahkan dijatuhkan statusnya menjadi sekedar “Ilmu Budaya”! saya menduga popularitas “Cultural Studies” terutama Cultural Studies versi Amerika Serikat yang membuat hal ini bisa terjadi. betapa menyedihkan bahwa “Cultural Studies” yang memang tidak mengakui keberadaan Seni itu dianggap lebih relevan bagi kehidupan akademis sebuah negeri Dunia Ketiga Pascakolonial kayak Indonesia ketimbang sebuah “ilmu pengetahuan eksklusif” seperti Sastra! dunia akademis kita yang sudah “tidak benar-benar akademis” itu mutunya sekarang menjadi makin tidak akademis lagi dalam konteks pendidikan Sastra perguruan tinggi!!! ironisnya, di dunia akademis Barat saja ilmu pengetahuan alias sains “Sastra” masih terus naik gengsinya dan dipelajari secara khusus sebagai sebuah “departemen/jurusan” di bawah nama “Faculty of Arts”!!!

Tentang Neo Pujangga Baru (dari Nirwan Ahmad Arsuka)

Tentang Neo Pujangga Baru (dari Nirwan Ahmad Arsuka)


NB: nirwan arsuka, aku baru pulang dari acara Hut Apsas ke-4 di Jakarta, jadi gak sempat menjawabmu. aku gabungkan semua postingmu tentang Neo Pujangga Baru-ku itu di sini biar enak membaca dan meresponnya. aku kirimkan ini ke kau. silahkan kau tag siapapun yang kau inginkan ikut diskusi ini. aku juga akan melakukan yang sama. cheers!!! http://www.facebook.com/note.php?note_id=62953009697

1.
terima kasih, Saut. perumusanmu tentang “neo-pujangga baru” yang kau kecam itu cukup terang: meski pun belum tentu tepat, setidaknya ia memudahkan diskusi.

paling tidak empat kata atau frasa pokok yang bisa dipakai sebagai batu penjuru diskusi: pujangga baru, atavisme diksi, keindahan/labirin bahasa, dan mannerisme.

pujangga baru, angkatan … yang dianggap memulai sastra/bahasa indonesia modern ini jelas bukan kelompok yang seragam. dan kalaupun sejumlah tokohnya tampak kelewat asyik dengan yang “susastra” (apa yang keliru dengan keasyikan ini?), itu tak lantas membuat tulisan mereka jadi obskur. Takdir jelas menulis dengan sangat terang. kadang saking terangnya, tulisannya jadi “monokrom.” Amir Hamzah pun menulis dengan benderang. puisi-puisinya masih sulit ditandingi, bahkan sampai hari ini.

point pertama saya adalah: penamaan neo pujangga baru ini kurang tepat: ia berlaku tidak adil pada pujangga baru. sebaiknya kau carilah nama yang lebih kena, kalau sanggup.

=============

SS: pertama, adalah salah besar untuk mengatakan bahwa Pujangga Baru “dianggap memulai” sastra/bahasa indonesia modern! (juga siapa referensimu di sini, nirwan? kok gak kau sebutkan!) Periodesasi Sastra Modern Indonesia, secara formal, selalu dimulai dari Angkatan Balai Pustaka dalam semua pelajaran Sastra Indonesia terutama di dalam Indonesia sendiri. kalokpun mau eksentrik pandangan sejarahnya maka sejarah sastra Indonesia itu TIDAK PERNAH dimulai dari Pujangga Baru tapi dari para Pengarang Melayu Pasar ato Melayu Linguafranca menurut istilah Pram.

pemahamanmu yang kacau atas sejarah sastra Indonesia ini tentu telah melukai sisa tulisanmu di bawah. tapi baiklah akan aku jawab jugak mana yang aku rasa relevan.

kedua, dalam poin pertamamu ini aja kau udah jatuh dalam apa yang Kaum Kritik Baru namakan sebagai “the fallacy of paraphrase”. kau tergantung pada parafrase, bukan pada elaborasi detil, waktu membuat klaim-klaimmu seperti “Takdir jelas menulis dengan sangat terang. kadang saking terangnya, tulisannya jadi “monokrom.” Amir Hamzah pun menulis dengan benderang. puisi-puisinya masih sulit ditandingi, bahkan sampai hari ini.” mana bukti dari asersimu tentang STA dan Amir Hamzah ini, terutama tentang masih sulitnya menandingi puisi Amir Hamzah sampai hari ini itu!!!

ketiga, istilah “neo pujangga baru”KU itu masih sangat relevan walo aku masih belom menjelaskannya di sini. aku cuma mau bilang, sanggahanmu belom ada! kerna, data-datamu gak ada!!!

=================

2.
soal atavisme diksi itu — betul gejala ini terlihat di sejumlah nama yang kau tunjuk itu. tapi ini bukan gelaja tunggal. orang-orang itu tak cuma sibuk menggali kosa kata lama, mereka juga berupaya menyerap dan mengindonesiakan yang asing. rumusanmu itu cuma menangkap satu sisi dari sebuah upaya yang bersisi ganda. menggali yang lama, menghidupkan… kembali kekeayaan tradisi yang nyaris dilupakan, sambil menyerap ungkapan yang tumbuh dari luar; gejala ini tak bisa disederhanakan sebagai atavisme diksi belaka. lebih tepat jika disebut sebagai upaya pengayaan bahasa, perluasan kemungkinan-kemungkinannya. bahwa dalam berbagai percobaan perluasan kemungkinan bahasa ini, ada yang gagal dan ada yang berhasil, itu tentu soal biasa saja.

kau mungkin bisa menderet percobaan mereka yang gagal, tapi bagaimana dengan percobaan yang berhasil?

==============

SS: seandainyapun “rumusanku” tentang Neo Pujangga Baru kaum TUK itu “cuma menangkap satu sisi dari sebuah upaya yang bersisi ganda”, itu sudah membuktikan bahwa istilahKu itu tepat, bukan! ada barangnya, bukan omong kosong doang! satu sisi yang aku tangkap itu sudah cukup untuk mensahkan pemakaianKu atas istilah ciptaanKu itu: Neo Pujangga Baru.

kau terlalu banyak menuntut tapi kau sendiri malas bekerja! aku sudah berikan ke kau yang kau mintak kan: definisi plus contoh barang. sekarang giliran aku dong yang nuntut kau: mana buktinya bahwa percobaan kaum TUK itu “berhasil”? silahkan tunjukkan!!!

soal memperkaya ato memperluas kemungkinan bahasa yang kau sebutkan itu, aku gak peduli! chairil anwar sudah membuktikan betapa Proyek Eksotisme Bahasa oleh para Pujangga Baru ternyata kalah jauh efek estetis dan historisnya dalam sejarah Puisi Modern Indonesia. buktinya: gak ada lagi orang yang menyebut dirinya “Penyair Indonesia” menulis kayak STA, kayak Amir Hamzah!!!

==============

3.
jika ada yang mengaitkan semangat pujangga baru dengan upaya literer orang-orang yang kau sebut kaum TUKulis itu, maka itu adalah pada pengembangan bahasa indonesia sebagai bahasa modern, perluasan kemungkinan-kemungkinan bahasa yang disadari terbatas namun hendak berdialog dengan yang tak terbatas (misalnya pada Amir Hamzah). upaya literer … pujangga baru itulah, dengan segala keberhasilan dan kegagalannya, yang ikut membuka medan yang kemudian digarap lebih jauh, sangat jauh, oleh Chairil Anwar dan kawan-kawannya, juga oleh kita semua yang menulis dalam bahasa indonesia. tentu bukan hanya pujangga baru yang berperan di sini, tapi peran mereka jelas tak bisa disepelekan. jadi, ketimbang sebagai kecaman, sebutan neo pujangga baru itu justru terdengar sebagai sebuah pujian, penghormatan. jangan-jangan memang penghormatan ini yang kau maksud?

=============

SS: jangan terlalu banyak memakai parafraselah! istilahKu “Neo Pujangga Baru” itu jelas merujuk ke elemen “pujangga baru” yang diusahakan dihidupkan kembali oleh mereka, yaitu elemen “keindahan bunyi” seperti yang aku tuliskan ke kau itu. elemen “bunyi” tentu saja penting dalam Puisi, begitu juga elemen “gambar”. lihat eseikU: “Tradisi dan Bakat Individu” di buku kumpulan puisi keren “otobiografi”, hehehe… gak apa-apa kalok ada sekelompok poetaster pengen nulis syair kembali di abad 21 ini! aku sendiri kan gak bilang mereka tidak boleh toh!!! dan gak ada yang menyepelekan kaum Pujangga Baru di sini! entah dari mana kau dapat ide menarik itu, hahaha…

kalok gak silap, hehehe… (fraseKu ini intertekstual loh ke teks lain!) aku cuma membuat istilah “Neo Pujangga Baru” untuk kaum TUKulis itu, dan aku udah berikan alasanKu. nah, kenapa kau tiba-tiba seakan-akan seolah-olah melihat bahwa aku MELARANG mereka jadi Neo Pujangga Baru! apa kerna justru kaulah yang beranggapan bahwa istilah “Pujangga Baru” dalam “Neo Pujangga Baru”Ku itu “negatif”! justru kau yang anti “Pujangga Baru” despite “pembelaanmu” di atas!!! oksimoronisme ini namanya, hahaha…

=============

4.
kemudian soal keindahan berbahasa dan kedalaman makna. bagimu, labirin keindahan kata-kata dengan sendirinya akan menghasilkan makna yang dangkal dan menyesatkan. lagi-lagi ini penarikan kesimpulan yang lemah. tidak dengan sendirinya untaian kata yang indah memustahilkan kedalaman makna, menyembunyikan kebenaran. begitu juga, tak dengan sendirinya … untaian kata yang tidak ingin berindah-indah, akan otomatis membawa kedalaman makna, meyibakkan kebenaran. tentu saja ada hubungan antara untaian kata dan bangunan makna, kebenaran dan kedalamannya, tapi hubungannya bukan hubungan yang lugu seperti yang kau siratkan itu.

ringkasnya: orang bisa saja menyusun kata yang indah dan tetap dalam maknanya, bahkan membentuk makna baru; seperti halnya orang juga bisa menata kalimat yang lugas tapi maknanya dangkal-dangkal saja, miskin dan ngawur bahkan.

============

SS: kapan aku bilang bahwa “labirin keindahan kata-kata dengan sendirinya akan menghasilkan makna yang dangkal dan menyesatkan”?! ini yang aku tuliskan ke kau:

“neo pujangga baru itu adalah mannerisme obsesif kaum TUKulis atas avatisme diksi. spt kaum pujangga baru yg obsesif dgn ‘su’sastra, kata2 ‘indah’ dlm retorika ‘indah’, begitu pulalah kaum neo pujangga baru ini. grammar menjadi begitu penting hingga kebebasan kreatif lisensia puitika diharamkn. para grammarian sastra ini mengganti ganti diksi kontemporer dgn yg obskur demi keindahan bunyi belaka, bukan demi memprdalam makna.

labirin ‘keindahan’ kata (kata2 arkaik n obskur dipake dgn keyakinan akn membuat tulisan jadi agak abstrak,punya efek distancing atas pembaca) diharap menimbulkn kesan ‘intelektual’ pada tulisan! catatan pinggir, esei n sajak GM, prosa ND, sajak Sitok, n prosa AU sangat kental dgn mannerisme ini.”

catatanKu: kerna belom diedit, istilah “atavisme” jadi “avatisme” di atas. salah cetak Penerbit Facebook! hahaha…

neo pujangga baruisme TUKulisme bersifat anti-lisensia puitika dalam Sastra Indonesia, seperti yang selalu dilakukan Nirwan Dewanto waktu membahas karya sastra orang Indonesia. misalnya: soal “logika bahasa” yang dia bilang rusak ato semacamnya itu pada Puthut EA. “logika bahasa” di sini kan sama ama Grammar! jadi BUKAN Logika Sastra yang dia bela, tapi Logika Grammar! karya Sastra HARUS taat Grammar bahasa baru dianggapnya karya Sastra!!! goblok banget pendapat ini kan, hahaha… liat aja judul buku kumpulan prosanya yang diklaim sebagai kumpulan “puisi” itu: Jantung Lebah Ratu. kalok kita ikutin argumen dia (kalok dia memang setia pada omongannya sendiri!) maka secara Grammar bahasa Indonesia judul bukunya itu mestinya: Jantung Ratu Lebah. nah kenapa ketidakkonsistensian ini? apa alasannya? bisa kau bantu jawab?

================

5.
tentang mannerisme dan obskurantisme itu, meski bisa saya tanggapi, tapi saya kira akan lebih baik teman-teman TUK itu yang menjawab/menyanggah.

bagaimana kalau “obrolan… ini aku taruh di note-ku, lalu aku tag kawan-kawan itu ? biar diskusi kita lebih enak, agak mendekati dikit pertukaran pemikiran dari angkatan pujanggan baru teralu kau sederhanakan itu. aku lihat di hut ke-4 APSAS kau dan sitok sudah salam-salaman. setuju ya?

atau kau ingin merumuskan ulang, merevisi dan mempertajam dulu pendapatmu ini?

============

SS: kenapa kau menolak membantu teman-teman TUKmu itu menjawab soal mannerisme yang kumaksud! bukankah yang kau lakukan di sini ini pun sudah merupakan sebuah jawaban/sanggahan atas nama teman-teman TUKmu itu kan, jadi kok tiba-tiba jadi memble?!

bukan aku yang HARUS merumuskan ulang, merevisi dan mempertajam pendapatKu, nirwan, tapi kaulah!

aku salam-salaman ama yang namanya sitok itu bukan berarti aku udah “Peace, Brother!” dengan dia ato kelompoknya! itu cuma menunjukkan betapa besar jiwa seorang penyair Saut Situmorang!!!

hahaha…

Kepada Timur Sinar Suprabana (1)

Kepada Timur Sinar Suprabana (1)


Timur Sinar Suprabana, Saut Situmorang

http://www.facebook.com/note.php?note_id=73619299697

Timur Sinar Suprabana, aku akan menjawab kedua pernyataanmu di bawah dalam Note-ku ini biar lebih menarik dan terbuka untuk umum. silahkan kau balas.

Timur Sinar Suprabana:

1.
kawan saut. TIDAK BENAR kalau kawan ts pinang MENOLAK UNDANGAN itu. YANG BENAR adalah bahwa kawan ts pinang TIDAK BISA MEMENUHI UNDANGAN ITU KARENA BERSAMAAN WAKTU DENGAN BAHWA IA HARUS KE LUAR NEGERI. oh ya, anda juga diundang ke acara biennale itu? pasti: TIDAK bukan?

Saut Situmorang:

aku mendapat SMS dari penyair Jogja TS Pinang kemarin. isi SMS itu berikut ini:

“Akhirnya saya memutuskan menolak tawaran Sitok ikut UK Intl. Literary Biennale 2009 di Salihara.”

kau Timur Sinar Suprabana bisa mengatakan apa aja sebagai “alasan” penolakan itu tapi yang PASTI penyair TS Pinang MEMANG MENOLAK undangan tsb kan! di sini aku juga tag TS Pinang jadi kalok kau masih penasaran karena ada yang menolak undangan TUK (kau pasti TIDAK akan menolak karena kau memang butuh acara kayak gitu untuk mensahkan status penyairmu!) kau bisa konfirmasi ke TS Pinang.

aku diundang? hahaha… dangkal amat wawasan hidupmu, Timur! kau pikir semua Penyair/Sastrawan di Indonesia gila undangan TUK itu seperti dirimu!!! aku tidak butuh Pengakuan TUK untuk statusku sebagai Sastrawan Indonesia karena aku sudah jadi sastrawan lama sebelum TUK itu ada! kau tahu kalok cerpen-cerpen dan eseiku sudah dimuat majalah sastra Horison di tahun 1990 sewaktu itu majalah masih dikomandani ama HB Jassin. kau di mana waktu itu?! hahaha…

dan biar kau tahu aja: waktu itu program Winternachten akan dipindah ke Indonesia, aku adalah salah satu penyair di Bali (aku tinggal di Bali waktu itu sekitar tahun 2000-2001) yang diundang untuk bertemu muka dengan Goenawan Mohamad di tempat tinggal penari Restu di dekat Ubud untuk omong-omong soal itu kerna GM ingin mengadakan program tsb di Bali. jadi aku nggak kayak kau cuman jadi peserta arisan doang setelah program itu berjalan, aku udah tahu dari awalnya bahkan diundang, hahaha… mungkin kau gak bisa memahami ya kenapa ada orang yang menentang program TUK itu! alasannya sederhana: aku gak butuh TUK untuk melegitimasi statusku sebagai Sastrawan Indonesia seperti kau yang konon penyair itu, hahaha… si Sitok itu pernah bilang bahwa yang diundang ke acara TUK yang jadi “Sastrawan Indonesia”, nah kau adalah salah satu yang jadi sastrawan Indonesia itu karena dibaptis oleh TUK. kasihan kali kau ya, hahaha…

2.
kawan saut. kapan hari kalau ke semarang, mungkin dalam rangka memprovokasi adien histeria…., kontak ya? tak bikinkan forum: menata kembali pemikiran saut situmorang. ini serius. aku sudah kontak beno siang pamungkas dan beberapa teman lain.

Saut Situmorang:

nah kalok kau memang sangat serius membela kepentingan TUK di Kota Semarang, silahkan kau bikin acara “boemipoetra vs TUK”! kami dari “boemipoetra” akan datang!!! kau pun bisa jadi salah satu pembicaranya karena kelihatannya kau itu “punya sesuatu” untuk “menata kembali pemikiran Saut Situmorang”, hahaha… aku jugak serius! bikinlah acara itu secepatnya karena aku udah gak tahan lagi nih pengen dengar kuliahmu langsung! gak usah kau jual nama orang lain kayak si Adien ato Beno itu, kau sendirilah yang bikin! kami tunggu jawabanmu secepatnya!

oiya, waktu aku mengabarkan kebusukan politik sastra TUK di Semarang di tempatnya mas Teguh di awal 2008, kok kau gak ada?! Eko Tunas dll aja datang. padahal kalok membaca pernyataan-pernyataanmu di sini kau kayaknya boleh jugak tuh bekerja sebagai pembela TUK!!! hahaha…

TIMUR SINAR SUPRABANA menjawab SAUT SITUMORANG (2)

TIMUR SINAR SUPRABANA menjawab SAUT SITUMORANG (2)


Saut Situmorang, Timur Sinar Suprabana

http://www.facebook.com/note.php?note_id=74193539697

hahaha… akhirnya nongol jugak kau, baru abis konsultasi ke kantor pusat di Salihara ya! hahaha… tapi kok jawabanmu kacau gitu sih. baik, biar aku jawab jugak jawabanmu di bawah.
================

Sinar Timur Suprabana:

ngum?pet? hahaha… nggak kawan saut. hanya aku memang tidak memiliki cukup banyak waktu untuk berasyik di depan internet. ok. aku suka dengan jawaban panjangmu ada beberapa hal yang aku ingin secara terbuka aku sampaikan.

1. aku heran, mengapa keteranganku mengenai bahwa tidak benar penyair ts pinang menolak undangan keikutsertaan dalam acara yang dibikin tuk engkau TARIK KE LAJUR gegap gempita PERANG SASTRA BOEMIPOETRA VS TUK? mari kita bongkar dan tata ulang cara berpikirmu yang selalu geradagan dengan nafas mengandung permusuhan terhadap siapapun itu! aku ingin engkau tahu, catat dan ingat, bahwa aku SANGAT BUKAN ORANG TUK DAN TAK ADA SANGKUTPAUTNYA DENGAN TUK SEBAGAI INSTITUSI ATAUPUN KOMUNITAS. aku ingin engkau tahu, catat dan ingat, bahwa KEPENYAIRANKU MENGGELINDING BERPROSES TANPA MAJIKAN! maka, jangan goblog!, harusnya dengan kegarangan cara berpikirmu itu engkau tahu benar bahwa TIDAK PATUT, TIDAK LAYAK dan TIDAK CERDAS kalau engkau lalu KUMANDANGKAN SEOLAH-OLAH ~sekali lagi: SEOLAH-OLAH!~ ada POLEMIK, atau apa lagi PERANG sastra antara BOEMIPOETRA yang namanya juga baru kutahu ini kali kalau jebul ITU ADA!) dengan TUK. dan, celakanya, ENGKAU TARUH AKU SEOLAH AKU UJUNG TOMBAK TUK! jangan lagi pernah merasa, atau apa lagi meyakini, bahwa benar TIMUR SINAR SUPRABANA ADALAH PEMBELA TUK! sangat tidak!
============================

Saut Situmorang:

pertama, apa kau sudah konfirmasi ke TS Pinang tentang isi SMS-nya ke aku itu bahwa dia MENOLAK undangan TUK itu? ini kan perlu untuk membuktikan sanggahanmu terhadap isi Status di Facebook-ku. kalok menurut isi SMS TS Pinang, dia MEMANG MENOLAK undangan itu, apapun Alasannya itu dia kan memang menolak toh! bagaimana menurutmu?

kedua, isi SMS itu memang PENTING buat kami di “boemipoetra” kerna kami kan sedang perang ama TUK! ini kan sangat sangat gampang dicerna otak, kok kau gak mampu memahaminya!!! jadi sangat lucu kan pernyataanmu tentang kenapa aku “TARIK KE LAJUR gegap gempita PERANG SASTRA BOEMIPOETRA VS TUK” isi SMS si TS Pinang itu! gawat kali cara berpikirmu, aih… hahaha…

ketiga, KENAPA RUPANYA KALOK AKU TARIK KE JALUR GEGAP GEMPITA PERANG KAMI VS TUK ISI SMS TS PINANG ITU?! apa urusannya dengan kau kalok memang benar bahwa “TIMUR SINAR SUPRABANA ADALAH (bukan) PEMBELA TUK! sangat tidak!” KENAPA KAU BEGITU KONSEN, BEGITU SEWOT SAMPAI KAU USAHAKAN UNTUK NULIS DI FACEBOOK-KU BAHKAN MENGATAKAN INGIN “MENATA KEMBALI PEMIKIRANKU”!!!

keempat, ada urusan apa rupanya dengan kau ADA-TIDAKNYA POLEMIK ATO PERANG ANTARA KAMI MELAWAN TUK?! KENAPA KAU MENEKANKAN DI JAWABANMU ITU BAHWA “TIDAK PATUT, TIDAK LAYAK dan TIDAK CERDAS kalau engkau lalu KUMANDANGKAN SEOLAH-OLAH ~sekali lagi: SEOLAH-OLAH!~ ada POLEMIK, atau apa lagi PERANG sastra antara BOEMIPOETRA yang namanya juga baru kutahu ini kali kalau jebul ITU ADA!) dengan TUK.”!!! hei, bukankah pernyataanmu ini terlalu jelas menunjukkan pembelaanmu terhadap TUK, hahaha… goblok banget sih lu bikin kalimat, hahaha… ketahuan belangmu, hihihi…
===================

2. juga, jangan pernah lupakan ini, bahwa aku SANGAT TIDAK PERNAH MENARUH KEPEDULIAN terhadap pengkotakan sastra atau pengkotakan dan kemudian pembenturan komunitas sastra seperti yang kau rajing banget hembus-hembuskan dan gelorakan. TUK, sebagaimana komunitas yang lain, kupikir memiliki ruang-ruang khasnya yang patut dihormati.

3. oh ya, aku juga SANGAT BUKAN PENYAIR YANG MENYUSU DARI FESTIVAL. kalau bahwa aku diundang ke mana atau ke mana saat ada apa atau apa, jangan lupa: BUKAN KARENA BERTEMAN ATAU APA LAGI BERKOMPLOT DAN BERGEROMBOL! hohoho…, MACAN KUMBANG tak pernah jalan beriringan. RAJAWALI tak pernah terbang berbarengan. hanya BEBEK YANG JALAN BERIRINGAN. HANYA EMPRIT YANG TERBANG BEROMBONGAN! jadi, soal ada atau ikut festival ini itu, di dalam atau di luar negeri, KARENA AKU DIUNDANG DAN KARENA AKU DENGAN SADAR TIDAK MENOLAK. tetapi, tahukah engkau? lebih dari 250 undangan aku terima setiap tahunnya yang kuterima dan hanya paling banter 9 saja yang kupenuhi?

4. kawan saut situmorang. aku heran, sangat, SIAPA DI MUKA BUMI INI YANG TAK KAU MUSUHI? aduh, sungguh engkau sosok dengan hati, pikiran dan tindakan yang membuat siapapun pantas IBA!

F A H A M ?
==============

Saut Situmorang:

jadi aku rajin banget menghembus-hembuskan dan menggelorakan pengkotakan sastra dan pembenturan komunitas sastra, begitu ya! nah cobak kau tunjukkan di mana dan siapa komunitas korbanku itu? kalok kau gak bisa buktikan, wah ini namanya FITNAH loh dan orang fitnah masuk Neraka, tahu gak, hahaha…

jangan panik, Timur sayang! udah terlambat sekarang untuk mundur dari sesuatu yang kau mulai sendiri ini, jadi tenang aja, be cool, man! susunlah kalimatmu dengan benar, kau kan konon “sastrawan”, malah “sastrawan internasional” lagi kerna udah diundang ikut acara TUK di Solo itu kan! mosok sastrawan sekaliber kau gak mampu bikin kalimat yang asyik ah, hihihi…

oh jadi kau itu macan kumbang dan rajawali toh, baru ngeh awak, hahaha… panteslah heroik kali kau membela TUK, hahaha…

iyalah, kau kan sastrawan hebat Indonesia, makanya selalu diundang. Congratulations, mate! hahaha…

dan tentang Poin 4 mu itu: apa lagi yang mau awak katakan! kalok orang udah panik ya begitu itu mutu bahasanya. khas bahasa para pembela TUK yang gak mampu membela TUK (ironis! hahaha…) waktu menyerang Saut Situmorang. kau bukan yang pertama dan bukan yang terakhir tapi itu kan bukan persoalanku toh. kayak kata Clark Gable di pilem “Gone With TUK”, eh silap hahaha…, di pilem “Gone With The Wind”: “Frankly, my dear, I don’t give a damn”.

aku memang sangat iba padamu, Timur. bertobatlah kau, Kerajaan boemipoetra sudah dekat!

HAHAHA…