Tentang Ali Sadikin (1927-2008)
Mantan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin, yang akrab dipanggil dengan Bang Ali, meninggal dunia dalam usia 82 tahun, Selasa 20 Mei 2008 pukul 17.30 WIB di RS Gleneagles, Singapura. Letnan Jenderal TNI KKO-AL (Purn), itu meninggal setelah dirawat selama sebulan di RS tersebut.
Jenazahnya dibawa pulang ke Jakarta, Rabu i21/5 pukul 07.00 waktu Singapura. Putra Ali Sadikin, Boy Benardi Sadikin, kepada wartawan di rumah duka, Jalan Borobudur Nomor 2, Jakarta Pusat, Selasa 21/5 malam, mengatakan, jenazah akan disemayamkan di rumah duka dan dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Tanah Kusir, Jakarta, Rabu 21/5. Menurut Boy, hal ini sesuai pesan Bang Ali agar jenazahnya ditumpangkan di makam isterinya, Nani Sadikin.
Pemakaman dengan cara ditumpangkan ini sesuai dengan gagasannya dulu ketika memimpin Jakarta. Ia konsekuen dengan usulannya mengingat lahan Jakarta semakin sempiti.
Bang Ali meninggalkan lima putra dan 12 cucu. Istri pertamanya, Ny Nani, sudah meninggal dunia. Istri kedua Bang Ali adalah Ny Linda Syamsuddin Mangan. ►ti
Ali Sadikin
Paling Berjasa Membangun Jakarta
Letnan Jenderal TNI KKO AL (Purn) H Ali Sadikin (Bang Ali) menerima tanda kehormatan Bintang Mahaputera Adipradana karena dinilai berjasa luar biasa terhadap negara dan bangsa, khususnya mengembangkan Kota Jakarta sebagai Kota Metropolitan. Presiden Soekarno mengangkat putera bangsa kelahiran Sumedang, 7 Juli 1927 ini sebagai Gubernur Jakarta lantaran dianggap kopig alias keras kepala. Dia berhasil sebagai pemimpin justru karena pembawaannya yang keras itu.
Ia juga termasuk salah seorang penggagas pembangunan Taman Mini Indonesia Indah, Pendiri Taman Ismail Marzuki, Taman Impian Jaya Ancol, Pekan Raya Jakarta, Gelanggang Mahasiswa, Gelanggang Remaja, Pusat Perfilman Usmar Ismail serta berbagai bangunan bersejarah seperti Museum Fatahillah, Museum Tekstil, Museum Keramik, Museum Wayang serta mengembalikan fungsi gedung-gedung bersejarah, seperti Gedung Juang 1945 dan Gedung Sumpah Pemuda.
Penyematan Bintang Penghargaan dilaksanakan pada Kamis pagi, 14 Agustus 2003 di Istana Negara. Peristiwa itu mengingatkannya pada peristiwa 37 tahun lalu. Tahun 1966, ia berdiri di depan Presiden Soekarno dalam upacara pelantikan Gubernur Jakarta. Kamis kemarin, ia berdiri di depan putri Bung Karno yang bernama Megawati Soekarnoputri dalam suatu upacara yang khidmat selama 20 menit untuk menerima Bintang Mahaputra Adipradana. Istana Negara adalah tempat yang tidak pernah diinjaknya setelah ia dijuluki oleh para pemimpin Orde Baru sebagai pembangkang.
Ia datang ke Istana Negara bersama istrinya, Linda Mangaan, dan putra bungsunya, Yasser Umarsyah (14).
Setelah upacara, ia menerima ucapan selamat berupa tempel pipi dari Megawati. Tempel pipi juga diberikan oleh mantan Gubernur DKI Jakarta Surjadi Soedirdja, mantan Menteri Negara Peranan Wanita Sulasikin Murpratomo, artis film Christine Hakim, dan kelima putranya yang hadir.
Selama upacara berlangsung, Ali Sadikin disediakan kursi untuk duduk, tetapi ia tetap berdiri. Seusai upacara, Megawati mempertanyakan kesehatannya. Ali Sadikin mengatakan, kakinya tidak bisa tahan berdiri lama. Puluhan wartawan kemudian mengelilinginya. Sekali-sekali istrinya memberikan air putih. Suara Ali Sadikin di depan para wartawan masih lantang.
"Bapak sekarang sudah 77 tahun sehingga sering lupa pada banyak hal. Tapi kalau bicara soal negara, Jakarta, dan perjuangan untuk rakyat, masih sangat cemerlang," ujar putra sulung Ali Sadikin, Boy Bernadi Sadikin, tentang ayahnya.
Bang Ali, demikian ia akrab disapa, tidak menyangka mendapat tanda kehormatan Bintang Mahaputra Adipradana. Ia mendapat informasi bahwa ia dinilai patut menjadi tokoh simbol bagai pembinaan budaya dan pariwisata. "Saya heran karena saya bukan budayawan. Tapi, katanya, saya berhasil membangun Jakarta sebagai kota budaya dan kota pariwisata," ujar pria kelahiran Sumedang tanggal 7 Juli 1927 itu.
Gayanya memimpin Bang Ali dinilai cocok dengan kondisi Ibu Kota yang semrawut dan memerlukan kedisiplinan. Ternyata pilihan Soekarno tidak salah. Jenderal Angkatan Laut ini mampu menyulap Jakarta dari sekadar sebagai pusat pemerintahan menjadi pusat perdagangan sekaligus industri.
Sikap keras orang Sumedang, Jawa Barat, ini bukan cuma ditujukan kepada aparatnya yang tidak berdisiplin. Ketika memimpin Jakarta selama 10 tahun, ia juga dikenal kuat dalam mempertahankan prinsip. "Sebagai gubernur, saya harus melindungi dan menyejahterakan rakyat. Itu prinsip saya," katanya.
Caranya? Inilah yang mengundang kontroversi. Ia membuat gebrakan dengan melegalisasi perjudian. Untuk mengisi pundi anggaran daerah, Ali juga nekat mengizinkan bar dan panti pijat. Yang penting baginya, ada dana untuk membuat mulus jalan-jalan di seluruh Jakarta. Kritik keras yang datang dari para ulama tidak didengarnya.
Soal ijin perjudian tidak terlepas dari minimnya anggaran Pemda dalam upaya membangun Jakarta. Pada saat pertama kali menjabat, Bang Ali membuat rencana program pembangunan Jakarta. Saat itu dibutuhkan uang banyak untuk melakukan pembangun demi kesejahteraan masyarakat. Sedangkan anggaran Jakarta yang tersedia hanya Rp 66 juta, sementara jumlah penduduk sekitar 3,4 juta jiwa. Padahal pemerintah kolonial Belanda dulu hanya menyiapkan kota ini untuk menampung 600 sampai 800 ribu orang. Lalu, ia mengumpulkan seluruh unsur pimpinan daerah dan menjelaskan bahwa Jakarta butuh duit sangat besar.
Bang Ali bertanya ke mereka, "Saudara-saudara ini dapat berapa, sih, penghasilan dari judi? Akan saya ganti, malah bisa lebih tinggi." Mereka tidak bisa melawan. Sebab, uang dapat, tanggung jawab juga lepas. Nah, waktu itu ada empat tempat judi yang dijaga tentara. Lalu staf saya langsung mengatur, semua duit dari judi langsung masuk ke rekening bank. Dari judi ini setahun dapat sekitar Rp 40 miliar.
Selain judi, Ali Sadikin juga membuka tempat hirusan dan melegalisasi pelacuran. Namun ia mengatakan upaya itu sebagai bagian dari melayani masyarakat. Karena itu, ia berani membuka judi, steam bath, dan klub-klub, terutama untuk orang asing. Kalau habis bekerja, mereka biasanya tak mau pulang dulu, tapi pergi ke klub untuk minum kopi, setelah itu baru pulang. Pembukaan klub-klub itu dilakukan untuk melayani masyarakat kelompok ini.
Sedangkan pelacuran, karena dulu setiap menjelang malam di Jakarta bertebaran "becak komplet". Maksudnya, di dalam ada pelacurnya. Si tukang becak itulah yang menjadi makelarnya. Daripada berkeliaran dan meresahkan warga Jakarta, maka dibuatlah lokalisasi di Kramat Tunggak. Dulu, tanah yang digunakan untuk tempat pelacuran itu sudah dibeli. Anehnya, kok sekarang masyarakat yang datang belakangan menuntut ganti rugi. Itu berarti arsip bukti aset-aset Pemda itu lenyap entah ke mana sekarang.
Ketika Sutiyoso berniat mengikuti langkah yang ditempuh Bang Ali, ternyata respon masyarakat berbeda. Banyak masyarakat yang menentang rencana Bang Yos. Menurut Bang Ali, situasi sekarang rakyatnya sudah lain. Sekarang kenyataannya sudah rusak akibat politik dan segala macam. Sehingga masyarakat makin tidak terkendali. DPRD dulu lain dengan sekarang. Sekarang juga ada LSM dan segala macam.
Wataknya yang keras masih tergambar pada kerutan-kerutan wajah Ali Sadikin, yang kini berusia 75 tahun. Kondisi fisiknya mulai lemah. Ia tidak bisa lagi berolahraga angkat besi, kegemarannya. Pendengarannya pun mulai menurun. Bahkan sekarang ia perlu memakai alat bantu dengar di telinga. Kata dokternya, berkurangnya fungsi pendengarannya berkaitan dengan penyakit ginjalnya.
Ali Sadikin memang baru saja dirawat di rumah sakit militer di Ghuang Zhou, Cina, selama tujuh bulan karena penyakit yang dideritanya. Ia bisa pulang setelah mendapat cangkokan ginjal, tapi berat tubuhnya berkurang 25 kilogram.
Yang tidak pernah surut adalah semangatnya. Apalagi bila berbicara tentang Jakarta. Dia tak lelah menjelaskan dengan runtut dan detail berbagai program yang dijalankannya selama dua periode menjabat Gubernur Jakarta. Saat menerima tugas sebagai gubemur pada 1966, inflasi mencapai 600 persen. Sarana pendidikan, kesehatan, pasar, dan tempat ibadah jumlahnya tidak mencukupi untuk melayani masyarakat Jakarta. Sedangkan anggaran yang ada hanya Rp 66 juta.
Pada akhir masa jabatannya tahun 1977, dia meninggalkan uang di kas daerah sebesar Rp 89,5 miliar. Juga, jalan-jalan yang mulus, penambahan ratusan sarana pendidikan dan kesehatan, terminal bus, dan pasar. Ali Sadikin juga mewariskan sejumlah bangunan penting seperti Taman Ismail Marzuki bagi para seniman, dan sebuah gelanggang mahasiswa di daerah Kuningan.
Ketika disinggung ia memiliki andil dalam pembangunan Taman Mini Indonesia Indah, Ali Sadikin meluruskan bahwa, Taman Mini Indonesia Indah (TMII) berdiri karena gagasannya bersama dengan Ny Tien Soeharto (almarhumah). "Kalau tidak ada beliau, TMII tidak lengkap. Beliau bisa memerintahkan tiap provinsi membangun paviliun di tempat itu. Itu jasa Ibu Tien," katanya.
Sementara kawasan Ancol berasal dari gagasan Bung Karno, orang yang sangat dihormati dan disayangi. Taman Ismail Marzuki berdiri untuk mengenang Ismail Marzuki yang merupakan seniman dan pahlawan. Kebun Binatang adalah salah satu tempat konsentrasi pariwisata.
Sayang, ketika Kota Jakarta genap berusia 475 tahun, tepatnya pada 22 Juni lalu, sebagian besar gedung itu telantar atau berubah fungsi. Sebagian areal gelanggang mahasiswa tersebut disulap menjadi pertokoan. Harapan untuk menjadikan Pusat Perfiliman Usmar Ismail sebagai Hollywood-nya Indonesia pun tak terwujud.
Perubahan Jakarta saat ini membuatnya merasa dikhianati. Berbagai fasilitas untuk rakyat yang sudah dibangunnya ternyata tidak dipelihara, ada yang rusah, bahkan sebagian ditukar-guling (ruilslag). Menurut pandangannya, para penggantinya sebagai Gubernur Jakarta tidak ada yang menambah fasilitas untuk rakyat.
Gelanggang Mahasiswa Soemantri Brodjonegoro di Jalan H.R.Rasuna Said yang dimaksudkan para mahasiswa mempunyai tempat untuk kumpul-kumpul, sekarang malah diganti menjadi pertokoan. Lalu gelanggang remaja di Bulungan malah disewakan untuk swasta. Gedung Perfilman Usmar Ismail di Kuningan yang diproyeksikan menjadi pusat film semacam Hollywood di Amerika Serikat, sekarang tanahnya di-ruilslag. Dulu di tiap kecamatan juga ada balai rakyat yang bisa dipakai untuk hajatan, olahraga, dan segala macam, tetapi sekarang entah ke mana.
Meskipun kecewa terhadap kinerja Gubernur Jakarta sesudahnya, Bang Ali tidak mau melakukan penilaian itu sebagai kesalahan pribadi. Sebab, kepemimpinan seorang gubernur itu ditunjang oleh perangkat dan aparat pemerintahan.
Nasib Sutiyoso saat ini dianggapnya hampir sama dengan waktu pertama ia menjadi gubernur tahun 1966. Tetapi keadaan sekarang bukan cuma ekonomi yang bangkrut. Semuanya hancur, termasuk juga moralnya. Dulu menurutnya, koruptornya masih bisa dihitung dengan jari. Sekarang, sudh membengkak berkali lipat.
Melihat kondisi saat ini, Bang Ali teringat ramalan Ronggowarsito. Sekarang ini sudah zaman edan. Kita tidak punya tokoh untuk dicontoh, karena semuanya edan. Di samping itu, aparat juga kurang tegas. Hal ini kemungkinan karena gaji pegawai negeri itu paling cukup untuk 10 hari. Padahal, pada zaman ia memimpin dulu, gaji anggota DPRD ditentukan setidaknya 80 persen dari gaji DPR pusat.
Menangani Ibu Kota menurutnya perlu penanganan serius dan berkelanjutan. Namun hal ini tidak berarti seorang gubernur harus menjabat hingga dua kali masa jabatan. Yang penting, menurutnya, harus ada program jangka panjang, misalnya untuk 20 tahun. Selain itu, pengganti gubernur yang menjabat itu nantinya tidak sok-sokan dengan terus menggagas idenya sendiri, seolah-olah ide gubernur lama itu salah dan hanya ia sendiri yang punya ide yang benar. Mereka harus meneruskan program itu. Membina kota itu bukan membina keluarga yang bisa beberapa tahun saja.
Di tingkat nasional pun sebetulnya juga harus ada program jangka panjang. Sehingga siapa pun yang jadi presiden mempunyai pegangan. Masalah yang ada sekarang ini adalah tidak adanya program jangka panjang berskala nasional. Program pembangunan jangka panjang praktis hancur setelah Indonesia dilanda krisis ekonomi sejak tahun 1997. Perumusan program jangka panjang masih terus diupayakan dan masih menjadi wacana yang belum sampai pada solusi.
Dulu Bang Ali menjabat Gubernur DKI Jakarta sampai dua periode (1966-1977). Satu tahun pertama digunakan untuk menentukan dasar-dasar pembangunan. Baru pada tahun kedua bisa menjalankan visi, misi, dan program yang telah dibuat. Kebetulan pada sat itu dirinya tidak terbawa intensitas politik nasional, jadi bisa konsentrasi pada program. Tokoh-tokoh politik nasional sendiri saat itu perhatiannya sibuk menjatuhkan Soekarno dari kursi presiden.
Selama masa Orde Baru, Gubernur DKI kebanyakan berasal dari militer atau militer yang sudah pensiun. Hal ini dijelaskannya karena kekuasaan Orde Baru itu adalah kekuasaan tentara dan Golkar. Maka bukan hanya DKI saja melainkan banyak bupati dan gubemur di berbagai propinsi di Indonesia berasal dari tentara dan Golkar. Angkatan Darat pun menjadi alat kekuasaan. Tapi menurutnya itu bukanlah kesalahan institusi Angkatan Darat. Ini adalah masalah politik. Kesalahan ada pada mantan Presiden Soeharto.
Ia juga bertanya, siapa yang melakukan perebutan kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru? Tapi, sekarang apa ada masyarakat yang menuntut Soeharto untuk diadili? Yang dituntut hanya korupsi yayasan. Padahal yang dituntut korupsi itu hanya sebesar Rp 1,2 triliun. Jumlah itu termasuk kecil jika dibandingkan dengan utang nasional yang mencapai ratusan triliun rupiah. Belum lagi utang swasta yang banyak sekali.
Sebagai ibukota yang dikelilingi kota-kota di sekitarnya, Pemerintah DKI perlu melakukan kerja sama dalam mengatasi masalah yang saling berkaitan dengan tetangganya. Masalah yang sering muncul di DKI adalah banjir kiriman dari Bogor. Jika DKI terjadi banjir, maka gubernur tidak bisa disalahkan begitu saja. Apalagi, banjir tersebut bukan karena tingginya curah hujan di Jakarta melainkan kiriman dari wilayah yang lebih tinggi dan menyalurkan air sungai ke Jakarta.
Pada zaman Belanda terdapat sekitar 200 waduk untuk menampung air yang letaknya di Bekasi, Bogor, dan Tangerang. Sekarang sebagian besar sudah diuruk untuk pembangunan realestat oleh bupati-bupati di wilayah itu. Tidak lagi ada koordinasi antar pimpinan daerah.
Hal tersebut juga berlaku bagi penanganan masalah sampah. Tangerang dan Bekasi tidak mau menampung sampah dari Jakarta. Padahal hidupnya Bekasi karena pengaruh dan perkembangan Jakarta. Adanya pabrik segala macam itu karena Jakarta telah penuh dengan pembangunan, maka terus merembet ke sana. Anggaran pendapatan di Bogor, Bekasi dan Tangerang sangat besar, melampaui kota-kota lain. Itu pun karena terimbas perekonomian di Jakarta. Kalau malam hari orang Jakarta tinggal di sana dan membayar pajak tanah dan rumah untuk ketiga daerah itu.
Solusinya, antara Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi (Jabotabek) itu harusnya dibuat sebuah lembaga tersendiri, dipimpin oleh seorang yang mungkin setingkat menteri. Tugasnya menyelamatkan lingkungan kehidupan. Dulu waktu Bang Ali memimpin Jakarta sudah dicoba dilembagakan, tapi baru tahap semacam kantor perwakilan di Jakarta.
Sebagai mantan perwira tinggi marinir, Ali Sadikin mengaku cukup prihatin dengan kemampuan dan kondisi Tentara Nasional Indonesia saat ini. Asrama tempat tinggal prajurit amat parah. Sementara sumbangan dari Presiden Megawati untuk asrama dipersoalkan. Ia menanyakan, apa sih sebenarnya maunya DPR itu. Bukan cuma kesejahteraan tentara yang turun, peralatan TNI pun sekarang kurang sekali. Kemampuan TNI sekarang sudah tertinggal dari Singapura dan Malaysia. �Apakah kita tidak malu?� tanyanya.
Penghargaan Bintang Mahaputra Adipradana diperolehnya bukan karena ia sering bertemu Megawati. Justru ia terakhir kali bertemu Mega ketika masih menjadi wakil presiden. Sedangkan pertemuan dengan suami Mega, Taufiq Kiemas, terjadi ketika Taufik datang menjenguknya. Kesempatan itu digunakan untuk membicarakan nasib tahanan politik dari Angkatan Laut yang jumlahnya sekitar 300 orang. Sebagai ketua tim advokasi tahanan politik Angkatan Laut, Ali minta nama mereka direhabilitasi, karena mereka ditahan belasan tahun tanpa diadili.
Hasil pembicaraan itu dianggapnya ada kemajuan. Ada beberapa nama yang berhasil direhabilitasi, tetapi belum semuanya. Mereka itu, menurutnya, bukan PKI. �Tetapi ada pengkhianatan dan dibikin-bikin dan memang ada perintah dari atasan saat itu agar dihabiskan sejumlah orang sekian banyak. Ini yang saya perhatikan. Saya tidak ingin membawa dosa kalau saya mati. Ini kalau tidak diselesaikan, akan sampai ke anak cucu. Ini suatu kejahatan yang bukan main," demikian pidato tidak resmi Bang Ali.
Ia juga berbicara tentang nasib nama Bung Karno yang namanya belum dipulihkan karena ada beberapa Ketetapan MPRS XXXIII Tahun 1967 yang tidak dicabut. "Seperti nasib Bung Karno sekarang, DPR lepas tangan. Katanya ini enmalig, apa itu enmalig. Padahal, dalam Ketetapan MPRS dikatakan pemerintah harus menyelesaikan secara hukum.�
Menilai kehidupan saat ini yang dianggap mulai stabil, Bang Ali justru mempertanyakannya. �Apanya yang stabil? Hidup rakyat itu bukan semata-mata politik, tapi ekonominya. Dolar turun, tetapi harga kok naik terus. Orang saling bunuh, perampokan segala macam, itu karena mereka lapar.�
Untuk itu, ia meminta pemerintah lebih memperhatikan persoalan rakyat di bawah. "Sekarang berat. Negaranya dalam keadaan susah. Para politikus bertengkar terus, tidak memikirkan rakyat. Nafsunya untuk mendapatkan kekayaan begitu hebat. Lihat pegawai negeri ABRI itu (maksudnya TNI sekarang-Red), gajinya berapa? Mungkin hanya cukup untuk makan lima hari, seperti kalian wartawan. Sementara itu, beberapa orang lainnya mendapatkan penghasilan puluhan juta," ujarnya.
Bagaimana hubungan Bang Ali dengan keluarga Bung Kamo? Dengan bangga Bang Ali menanyakan, siapa yang membangun rumah untuk Megawati, Guruh, atau Sukmawati? Ia juga menjawab pertanyaan itu bahwa Pemda DKI lah yang membuat rumah mereka di Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Juga izin pemilikan pompa bensin. Semua itu dilakukan ketika ia masih menjabat Gubernur DKI. Guruh Soekarnoputra pun mendapat bagian. Pemberian itu dimaksudkan sebagai bekal hidup anak mantan presiden. Ia pun membandingkan dengan anak mantan Presiden Soeharto yang sekarang punya ratusan perusahaan.
Meskipun pada waktu Presiden Soeharto berkuasa ia pernah dicekal, namun hal itu tak jadi halangan untuk menjalin tali silaturahmi. Misalnya, lebaran tahun 2001 ia datang ke rumahnya. Pada saat itu ada Ali Alatas (bekas Menteri Luar Negeri). Karena waktu itu Pak Harto sudah tidak bisa bicara, jadinya dua Ali yang ngobrol (Ali Sadikin dan Ali Alatas). Setelah itu mereka makan hidangan Lebaran.
Pencekalan itu ternyata tidak membuatnya sakit hati. Ia ikhlas, malah mengaku untung dicekal. Karena pencekalan itu anak, istri, dan dirinya sendiri tidak bisa ke luar negeri, malah bisa menghemat. Selama hidupnya, ia belum pernah bersama anak-anak rekreasi ke luar negeri. Di dalam negeri pun hanya sekali, itu pun ke Bali.
Pengalaman, ketokohan, dan kematangannya sebenarnya merupakan modal besar baginya untuk dapat mendirikan salah satu partai politik atau bergabung dengan partai politik yang sudah ada. Namun, ia tidak mau melakukan itu. Tawaran dari partai politik tidak hanya satu tapi beberapa kali datang dari partai berbeda. Namun ia menolak itu semua dengan alasan ingin mandiri.
Lain parpol lain pula dengan Petisi 50, forum diskusi kritis yang dibidaninya tahun 1980 yang menyebabkannya dicekal pemerintahan Orde Baru. Sebagai pendiri Petisi 50, Bang Ali berminat mengadakan diskusi lagi. Menurutnya, misi Petisi 50 adalah mengajarkan demokrasi yang sebenarnya yaitu untuk memperbaiki nasib bangsa. Bukan untuk jadi presiden.
Ketika ditanyakan, siapa kira-kira yang pantas menjadi presiden setelah Pemilu 2004, dengan lugas ia menjawab, �Nurcholish Madjid (sambil mengacungkan jempol).� Menurutnya, sosok Cak Nur adalah yang terbersih dan paling memiliki harapan untuk perbaikan masa depan bangsa di antara calon presiden lainnya. Bang Ali memandang positif ketika Cak Nur mengeluarkan pernyataan pembubarkan HMI (Himpunan Mahasiswa Islam). Karena kenyataannya yang korupsi banyak orang HMI.
Sejak tahun 1959 hingga 1977, Ali Sadikin memegang beberapa jabatan seperti Deputi Kepala Staf Angkatan Laut, Menteri Perhubungan Laut Kabinet Kerja, Menteri Koordinator Kompartemen Maritim/Menteri Perhubungan Laut Kabinet Dwikora dan Kabinet Dwikora yang disempurnakan, dan terakhir Gubernur Jakarta selama 11 tahun.
Setelah tahun 1977, namanya menjadi populer karena menjadi tokoh Petisi 50 yang menentang secara terbuka pemerintahan rezim Soeharto. Ia dicekal, tetapi tidak pernah dipenjara atau diajukan ke pengadilan.
Selama empat tahun terakhir ini ia tidak banyak melakukan kegiatan fisik, termasuk menghindari datang ke resepsi-resepsi atau ceramah-ceramah. "Ini perintah dokter dan saya berdisiplin terhadap menu makanan. Untuk datang ke acara seperti di istana ini, sebenarnya saya juga tidak diperbolehkan. Maka sebaiknya saya tidak diundang lagi ke sini," ujarnya.
Kegiatan terakhir yang banyak dilakukan adalah mengkliping koran dan menggarisi kalimat-kalimat di artikel koran dengan stabilo. Sampai kini setiap pagi ia masih terus membaca paling tidak 30 koran.
Akan tetapi, kegembiraan yang dimiliki Ali Sadikin ialah kebersamaannya setiap saat dengan putra bungsunya, yaitu Yasser Umarsyah Sadikin, murid kelas dua SMP Global Bintaro. Ini hadiah dari Tuhan yang tiada taranya.
Showing posts with label Sejarah. Show all posts
Showing posts with label Sejarah. Show all posts
Sunday, 5 December 2010
Sunday, 28 November 2010
Sejarah Kerajaan Panjalu Ciamis
Panjalu adalah sebuah kerajaan bercorak Hindu yang terletak di ketinggian 731 m dpl dan berada kaki Gunung Sawal (1764 m dpl) Jawa Barat. Posisi Panjalu dikelilingi oleh benteng alamiah berupa rangkaian pegunungan , dari sebelah selatan dan timur berdiri kokoh Gunung Sawal yang memisahkannya dengan wilayah Galuh, bagian baratnya dibentengi oleh Gunung Cakrabuana yang dahulu menjadi batas dengan Kerajaan Sumedang Larang dan di sebelah utaranya memanjang Gunung Bitung yang menjadi batas Kabupaten Ciamis dengan Majalengka yang dahulu merupakan batas Panjalu dengan Kerajaan Talaga. Secara geografis pada abad ke-13 sampai abad ke-16 (tahun 1200-an sampai dengan tahun 1500-an) Kerajaan Panjalu berbatasan dengan Kerajaan Talaga, Kerajaan Kuningan, dan Cirebon di sebelah utara. Di sebelah timur Kerajaan Panjalu berbatasan dengan Kawali (Ibukota Kemaharajaan Sunda 1333-1482), wilayah selatannya berbatasan dengan Kerajaan Galuh, sedangkan di sebelah barat berbatasan dengan Kerajaan Galunggung dan Kerajaan Sumedang Larang. Panjalu berasal dari kata jalu (bhs. Sunda) yang berarti jantan, jago, maskulin, yang didahului dengan awalan pa (n). Kata panjalu berkonotasi dengan kata-kata: jagoan, jawara, pendekar, warrior (bhs. Inggeris: pejuang, ahli olah perang), dan knight (bhs. Inggeris: kesatria, perwira). Ada pula orang Panjalu yang mengatakan bahwa kata panjalu berarti "perempuan" karena berasal dari kata jalu yang diberi awalan pan, sama seperti kata male (bhs. Inggeris : laki-laki) yang apabila diberi prefiks fe + male menjadi female (bhs.Inggeris : perempuan). Konon nama ini disandang karena Panjalu pernah diperintah oleh seorang ratu bernama Ratu Permanadewi. Mengingat sterotip atau anggapan umum watak orang Panjalu sampai sekarang di mata orang Sunda pada umumnya, atau dibandingkan dengan watak orang Sunda pada umumnya, orang Panjalu dikenal lebih keras, militan juga disegani karena konon memiliki banyak ilmu kanuragan warisan dari nenek moyang mereka, oleh karena itu arti kata Panjalu yang pertama sepertinya lebih mendekati kesesuaian. Menurut Munoz (2006) Kerajaan Panjalu Ciamis (Jawa Barat) adalah penerus Kerajaan Panjalu Kediri (Jawa Timur) karena setelah Maharaja Kertajaya Raja Panjalu Kediri terakhir tewas di tangan Ken Angrok (Ken Arok) pada tahun 1222, sisa-sisa keluarga dan pengikut Maharaja Kertajaya itu melarikan diri ke kawasan Panjalu Ciamis. Itulah sebabnya kedua kerajaan ini mempunyai nama yang sama dan Kerajaan Panjalu Ciamis adalah penerus peradaban Panjalu Kediri. Nama Panjalu sendiri mulai dikenal ketika wilayah itu berada dibawah pemerintahan Prabu Sanghyang Rangga Gumilang; sebelumnya kawasan Panjalu lebih dikenal dengan sebutan Kabuyutan Sawal atau Kabuyutan Gunung Sawal. Istilah Kabuyutan identik dengan daerah Kabataraan yaitu daerah yang memiliki kewenangan keagamaan (Hindu) seperti Kabuyutan Galunggung atau Kabataraan Galunggung. Kabuyutan adalah suatu tempat atau kawasan yang dianggap suci dan biasanya terletak di lokasi yang lebih tinggi dari daerah sekitarnya, biasanya di bekas daerah Kabuyutan juga ditemukan situs-situs megalitik (batu-batuan purba) peninggalan masa prasejarah. Pendiri Kerajaan Panjalu adalah Batara Tesnajati yang petilasannya terdapat di Karantenan Gunung Sawal. Mengingat gelar Batara yang disandangnya, maka kemungkinan besar pada awal berdirinya Panjalu adalah suatu daerah Kabataraan sama halnya dengan Kabataraan Galunggung yang didirikan oleh Batara Semplak Waja putera dari Sang Wretikandayun (670-702), pendiri Kerajaan Galuh. Daerah Kabataraan adalah tahta suci yang lebih menitikberatkan pada bidang kebatinan, keagamaan atau spiritual, dengan demikian seorang Batara selain berperan sebagai Raja juga berperan sebagai Brahmana atau Resiguru. Seorang Batara di Kemaharajaan Sunda mempunyai kedudukan yang sangat tinggi dan penting karena ia mempunyai satu kekuasaan istimewa yaitu kekuasaan untuk mengabhiseka atau mentahbiskan atau menginisiasi penobatan seorang Maharaja yang naik tahta Sunda. Menurut sumber sejarah Kerajaan Galunggung, para Batara yang pernah bertahta di Galunggung adalah Batara Semplak Waja, Batara Kuncung Putih, Batara Kawindu, Batara Wastuhayu, dan Batari Hyang. Berdasarkan keterangan Prasasti Geger Hanjuang, Batari Hyang dinobatkan sebagai penguasa Galunggung pada tanggal 21 Agustus 1111 M atau 13 Bhadrapada 1033 Caka. Kabataraan Galunggung adalah cikal bakal Kerajaan Galunggung yang dikemudian hari menjadi Kabupaten Sukapura (Tasikmalaya). Besar kemungkinan setelah berakhirnya periode kabataraan di Galunggung itu kekuasaan kabataraan di Kemaharajaan Sunda dipegang oleh Batara Tesnajati dari Karantenan Gunung Sawal Panjalu. Adapun para batara yang pernah bertahta di Karantenan Gunung Sawal adalah Batara Tesnajati, Batara Layah dan Batara Karimun Putih. Pada masa kekuasaan Prabu Sanghyang Rangga Gumilang atau Sanghyang Rangga Sakti putera Batara Karimun Putih, Panjalu berubah dari kabataraan menjadi sebuah daerah kerajaan. Diperkirakan kekuasaan kabataraan Sunda kala itu dilanjutkan oleh Batara Prabu Guru Aji Putih di Gunung Tembong Agung, Prabu Guru Aji Putih adalah seorang tokoh yang menjadi perintis Kerajaan Sumedang Larang. Prabu Guru Aji Putih digantikan oleh puteranya yang bernama Prabu Resi Tajimalela, menurut sumber sejarah Sumedang Larang, Prabu Resi Tajimalela hidup sezaman dengan Maharaja Sunda yang bernama Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350). Prabu Resi Tajimalela digantikan oleh puteranya yang bernama Prabu Resi Lembu Agung, kemudian Prabu Resi Lembu Agung digantikan oleh adiknya yang bernama Prabu Gajah Agung yang berkedudukan di Ciguling. Dibawah pemerintahan Prabu Gajah Agung, Sumedang Larang bertransisi dari daerah kabataraan menjadi kerajaan. Kekuasaan kabataraan di Kemaharajaan Sunda kemudian dilanjutkan oleh Batara Gunung Picung yang menjadi cikal bakal Kerajaan Talaga (Majalengka). Batara Gunung Picung adalah putera Suryadewata, sedangkan Suryadewata adalah putera bungsu dari Maharaja Sunda yang bernama Ajiguna Linggawisesa (1333-1340), Batara Gunung Picung digantikan oleh puteranya yang bernama Pandita Prabu Darmasuci, sedangkan Pandita Prabu Darmasuci kemudian digantikan oleh puteranya yang bernama Begawan Garasiang. Begawan Garasiang digantikan oleh adiknya sebagai Raja Talaga yang bernama Sunan Talaga Manggung dan sejak itu pemerintahan Talaga digelar selaku kerajaan. Kemaharajaan Sunda adalah suatu kerajaan yang merupakan penyatuan dua kerajaan besar di Tanah Sunda yang saling terkait erat, yaitu Kerajaan Sunda yang didirikan Maharaja Tarusbawa (669-723) dan terletak di sebelah barat Sungai Citarum serta Kerajaan Galuh yang didirikan Sang Wretikandayun (670-702) dan terletak di sebelah timur Sungai Citarum. Kerajaan Sunda dan Galuh adalah pecahan dari Kerajaan Tarumanagara (358-669), kemudian kedua kerajaan tersebut dipersatukan kembali dibawah satu mahkota Maharaja Sunda oleh cicit Wretikandayun bernama Sanjaya (723-732). Putera Sena atau Bratasenawa (709-716) Raja Galuh ketiga ini sebelumnya bergelar Rakeyan Jamri dan setelah menjadi menantu Maharaja Sunda Tarusbawa diangkat menjadi penguasa Kerajaan Sunda bergelar Sang Harisdarma. Sang Harisdarma setelah berhasil menyatukan Galuh dengan Sunda bergelar Sanjaya. Berdasarkan peninggalan sejarah seperti prasasti dan naskah kuno, ibu kota Kerajaan Sunda berada di daerah yang sekarang menjadi kota Bogor yaitu Pakwan Pajajaran, sedangkan ibu kota Kerajaan Galuh adalah yang sekarang menjadi kota Ciamis, tepatnya di Kawali. Namun demikian, banyak sumber peninggalan sejarah yang menyebut perpaduan kedua kerajaan ini dengan nama Kerajaan Sunda saja atau tepatnya Kemaharajaan Sunda dan penduduknya sampai sekarang disebut sebagai orang Sunda. Panjalu adalah salah satu kerajaan daerah yang termasuk dalam kekuasaan Kemaharajaan Sunda karena wilayah Kemaharajaan Sunda sejak masa Sanjaya (723-732) sampai dengan Sri Baduga Maharaja (1482-1521) adalah seluruh Jawa Barat termasuk Provinsi Banten dan DKI Jakarta serta bagian barat Provinsi Jawa Tengah, yaitu mulai dari Ujung Kulon di sebelah barat sampai ke Sungai Cipamali (Kali Brebes) dan Sungai Ciserayu (Kali Serayu) di sebelah timur. Menurut Naskah Wangsakerta, wilayah Kemaharajaan Sunda juga mencakup Provinsi Lampung sekarang sebagai akibat dari pernikahan antar penguasa daerah itu, salah satunya adalah Niskala Wastu Kancana (1371-1475) yang menikahi Nay Rara Sarkati puteri penguasa Lampung, dan dari pernikahan itu melahirkan Sang Haliwungan yang naik tahta Pakwan Pajajaran (Sunda) sebagai Prabu Susuktunggal (1475-1482), sedangkan dari Nay Ratna Mayangsari puteri sulung Hyang Bunisora (1357-1371), Niskala Wastu Kancana berputera Ningrat Kancana yang naik tahta Kawali (Galuh) sebagai Prabu Dewa Niskala (1475-1482). Lokasi Kerajaan Panjalu yang berbatasan langsung dengan Kawali dan Galuh juga menunjukkan keterkaitan yang erat dengan Kemaharajaan Sunda karena menurut Ekadjati (93:75) ada empat kawasan yang pernah menjadi ibukota Sunda yaitu: Galuh, Parahajyan Sunda, Kawali, dan Pakwan Pajajaran. Kerajaan-kerajaan lain yang menjadi bagian dari Kemaharajaan Sunda adalah: Cirebon Larang, Cirebon Girang, Sindangbarang, Sukapura, Kidanglamatan, Galuh, Astuna Tajeknasing, Sumedang Larang, Ujung Muhara, Ajong Kidul, Kamuning Gading, Pancakaki, Tanjung Singguru, Nusa Kalapa, Banten Girang dan Ujung Kulon (Hageman,1967:209). Selain itu Sunda juga memiliki daerah-daerah pelabuhan yang dikepalai oleh seorang Syahbandar yaitu Bantam (Banten), Pontang (Puntang), Chegujde (Cigede), Tanggerang, Kalapa (Sunda Kalapa), dan Chimanuk (Cimanuk) (Armando Cortesao, 1944:196). Kaitan lain yang menarik antara Kemaharajaan Sunda dengan Kerajaan Panjalu adalah bahwa berdasarkan catatan sejarah Sunda, Hyang Bunisora digantikan oleh keponakan sekaligus menantunya yaitu Niskala Wastu Kancana yang setelah mangkat dipusarakan di Nusa Larang, sementara menurut Babad Panjalu tokoh yang dipusarakan di Nusa Larang adalah Prabu Rahyang Kancana putera dari Prabu Sanghyang Borosngora. Ada dugaan Sanghyang Borosngora yang menjadi Raja Panjalu adalah Hyang Bunisora Suradipati, ia adalah adik Maharaja Linggabuana yang gugur di palagan Bubat melawan tentara Majapahit pada tahun 1357. Hyang Bunisora menjabat sebagai Mangkubumi Suradipati mewakili keponakannya yaitu Niskala Wastu Kancana yang baru berusia 9 tahun atas tahta Kawali . Hyang Bunisora juga dikenal sebagai Prabu Kuda Lelean dan Batara Guru di Jampang karena menjadi seorang petapa atau resi yang mumpuni di Jampang (Sukabumi). Tentunya perlu penelitian lebih lanjut untuk memastikan dugaan ini. Sementara itu sumber lain dari luar mengenai kaitan Panjalu dengan Sunda yakni dari Wawacan Sajarah Galuh memapaparkan bahwa setelah runtuhnya Pajajaran, maka putera-puteri raja dan rakyat Pajajaran itu melarikan diri ke Panjalu, Kawali, dan Kuningan. Pendiri Kerajaan Kahuripan adalah Airlangga atau sering pula disingkat Erlangga, yang memerintah tahun 1009-1042, dengan gelar abhiseka Sri Maharaja Rakai Halu Sri Dharmawangsa Airlangga Anantawikramottunggadewa. Nama Airlangga berarti air yang melompat. Ia lahir tahun 990. Ibunya bernama Mahendradatta, seorang putri Wangsa Isyana dari Kerajaan Medang. Ayahnya bernama Udayana, raja Kerajaan Bedahulu, Bali dari Wangsa Warmadewa. Airlangga memiliki dua orang adik, yaitu Marakata (menjadi raja Bali sepeninggal ayah mereka) dan Anak Wungsu (naik takhta sepeninggal Marakata). Menurut Prasasti Pucangan, pada tahun 1006 Airlangga menikah dengan putri pamannya yaitu Dharmawangsa (saudara Mahendradatta) di Watan, ibu kota Kerajaan Medang. Tiba-tiba kota Watan diserbu Raja Wurawari dari Lwaram, yang merupakan sekutu Kerajaan Sriwijaya. Dalam serangan itu, Dharmawangsa tewas, sedangkan Airlangga lolos ke hutan pegunungan (wanagiri) ditemani pembantunya yang bernama Mpu Narotama. Saat itu ia berusia 16 tahun, dan mulai menjalani hidup sebagai pertapa. Salah satu bukti petilasan Airlangga sewaktu dalam pelarian dapat dijumpai di Sendang Made, Kudu, Jombang, Jawa Timur. Nama kerajaan yang didirikan Airlangga pada umumnya lazim disebut Kerajaan Kahuripan. Padahal sesungguhnya, Kahuripan hanyalah salah satu nama ibukota kerajaan yang pernah dipimpin Airlangga. Setelah tiga tahun hidup di hutan, Airlangga didatangi utusan rakyat yang memintanya supaya membangun kembali Kerajaan Medang. Mengingat kota Watan sudah hancur, Airlangga pun membangun ibukota baru bernama Watan Mas di dekat Gunung Penanggungan. Nama kota ini tercatat dalam Prasasti Cane (1021). Menurut Prasasti Terep (1032), Watan Mas kemudian direbut musuh, sehingga Airlangga melarikan diri ke desa Patakan. Berdasarkan prasasti Kamalagyan (1037), ibu kota kerajaan sudah pindah ke Kahuripan (daerah Sidoarjo sekarang). Menurut Prasasti Pamwatan (1042), pusat kerajaan kemudian pindah ke Daha (daerah Kediri sekarang). Berita ini sesuai dengan naskah Serat Calon Arang yang menyebut Airlangga sebagai raja Daha. Bahkan, Nagarakretagama juga menyebut Airlangga sebagai raja Panjalu yang berpusat di Daha. Ketika Airlangga naik takhta tahun 1009, wilayah kerajaannya hanya meliputi daerah Sidoarjo dan Pasuruan saja, karena sepeninggal Dharmawangsa, banyak daerah bawahan yang melepaskan diri. Mula-mula yang dilakukan Airlangga adalah menyusun kekuatan untuk menegakkan kembali kekuasaan Wangsa Isyana atas pulau Jawa. Pada tahun 1023 Kerajaan Sriwijaya yang merupakan musuh besar Wangsa Isyana dikalahkan Rajendra Coladewa, Raja Colamandala dari India. Hal ini membuat Airlangga merasa lebih leluasa mempersiapkan diri menaklukkan pulau Jawa. Penguasa pertama yang dikalahkan oleh Airlangga adalah Raja Hasin. Pada tahun 1030 Airlangga mengalahkan Wisnuprabhawa Raja Wuratan, Wijayawarma Raja Wengker, kemudian Panuda Raja Lewa. Pada tahun 1031 putera Panuda mencoba membalas dendam namun dapat dikalahkan oleh Airlangga. Ibu kota Lewa dihancurkan pula. Pada tahun 1032 seorang raja wanita dari daerah Tulungagung sekarang berhasil mengalahkan Airlangga. Istana Watan Mas dihancurkannya. Airlangga terpaksa melarikan diri ke Desa Patakan ditemani Mapanji Tumanggala. Airlangga membangun ibu kota baru di Kahuripan. Raja wanita itu akhirnya dapat dikalahkannya. Dalam tahun 1032 itu pula Airlangga dan Mpu Narotama mengalahkan Raja Wurawari, membalaskan dendam Wangsa Isyana. Terakhir, pada tahun 1035 Airlangga menumpas pemberontakan Wijayawarma Raja Wengker yang pernah ditaklukannya dulu. Wijayawarma melarikan diri dari kota Tapa namun kemudian mati dibunuh rakyatnya sendiri. Setelah keadaan aman, Airlangga mulai mengadakan pembangunan-pembangunan demi kesejahteraan rakyatnya. Pembangunan yang dicatat dalam prasasti-prasasti peninggalannya antara lain.
* Membangun Sri Wijaya Asrama tahun 1036.
* Membangun Bendungan Waringin Sapta tahun 1037 untuk mencegah banjir musiman.
* Memperbaiki Pelabuhan Hujung Galuh, yang letaknya di muara Kali Brantas, dekat Surabaya sekarang.
* Membangun jalan-jalan yang menghubungkan daerah pesisir ke pusat kerajaan.
* Meresmikan pertapaan Gunung Pucangan tahun 1041.
* Memindahkan ibukota dari Kahuripan ke Daha.
Airlangga juga menaruh perhatian terhadap seni sastra. Tahun 1035 Mpu Kanwa menulis Arjuna Wiwaha yang diadaptasi dari epik Mahabharata. Kitab tersebut menceritakan perjuangan Arjuna mengalahkan Niwatakawaca, sebagai kiasan Airlangga mengalahkan Wurawari. Pada tahun 1042 Airlangga turun takhta menjadi pendeta. Menurut Serat Calon Arang ia kemudian bergelar Resi Erlangga Jatiningrat, sedangkan menurut Babad Tanah Jawi ia bergelar Resi Gentayu. Namun yang paling dapat dipercaya adalah prasasti Gandhakuti (1042) yang menyebut gelar kependetaan Airlangga adalah Resi Aji Paduka Mpungku Sang Pinaka Catraning Bhuwana. Menurut cerita rakyat, putri mahkota Airlangga menolak menjadi raja dan memilih hidup sebagai pertapa bernama Dewi Kili Suci. Nama asli putri tersebut dalam prasasti Cane (1021) sampai Prasasti Turun Hyang (1035) adalah Sanggramawijaya Tunggadewi. Menurut Serat Calon Arang, Airlangga kemudian bingung memilih pengganti karena kedua putranya bersaing memperebutkan takhta. Mengingat dirinya juga putra raja Bali, maka ia pun berniat menempatkan salah satu putranya di pulau itu. Gurunya yang bernama Mpu Bharada berangkat ke Bali mengajukan niat tersebut namun mengalami kegagalan. Fakta sejarah menunjukkan Udayana digantikan putra keduanya yang bernama Marakata sebagai Raja Bali, dan Marakata kemudian digantikan adik yang lain yaitu Anak Wungsu. Airlangga terpaksa membagi dua wilayah kerajaannya. Mpu Bharada ditugasi menetapkan perbatasan antara bagian barat dan timur. Peristiwa pembelahan ini tercatat dalam Serat Calon Arang, Nagarakretagama, dan Prasasti Turun Hyang II. Maka terciptalah dua kerajaan baru. Kerajaan barat disebut Panjalu atau Kadiri berpusat di kota baru, yaitu Daha, diperintah oleh Sri Samarawijaya. Sedangkan kerajaan timur bernama Janggala berpusat di kota lama, yaitu Kahuripan, diperintah oleh Mapanji Garasakan. Dalam prasasti Pamwatan, 20 November 1042, Airlangga masih bergelar Maharaja, sedangkan dalam Prasasti Gandhakuti, 24 November 1042, ia sudah bergelar Resi Aji Paduka Mpungku. Dengan demikian, peristiwa pembelahan kerajaan diperkirakan terjadi di antara kedua tanggal tersebut. Tidak diketahui dengan pasti kapan Airlangga meninggal. Prasasti Sumengka (1059) peninggalan Kerajaan Janggala hanya menyebutkan, Resi Aji Paduka Mpungku dimakamkan di tirtha atau pemandian. Kolam pemandian yang paling sesuai dengan berita prasasti Sumengka adalah Candi Belahan di lereng Gunung Penanggungan. Pada kolam tersebut ditemukan arca Wisnu disertai dua dewi. Berdasarkan Prasasti Pucangan (1041) diketahui Airlangga adalah penganut Hindu Wisnu yang taat. Maka, ketiga patung tersebut dapat diperkirakan sebagai lambang Airlangga dengan dua istrinya, yaitu ibu Sri Samarawijaya dan ibu Mapanji Garasakan. Pada Candi Belahan ditemukan angka tahun 1049. Tidak diketahui dengan pasti apakah tahun itu adalah tahun kematian Airlangga, ataukah tahun pembangunan candi pemandian tersebut. Maharaja Jayabhaya adalah Raja Kadiri yang memerintah sekitar tahun 1135-1157. Nama gelar lengkapnya adalah Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya Sri Warmeswara Madhusudana Awataranindita Suhtrisingha Parakrama Uttunggadewa. Pemerintahan Jayabhaya dianggap sebagai masa kejayaan Kadiri. Peninggalan sejarahnya berupa prasasti Hantang (1135), prasasti Talan (1136), dan prasasti Jepun (1144), serta Kakawin Bharatayuddha (1157). Pada prasasti Hantang, atau biasa juga disebut prasasti Ngantang, terdapat semboyan Panjalu Jayati, yang artinya Kadiri menang. Prasasti ini dikeluarkan sebagai piagam pengesahan anugerah untuk penduduk desa Ngantang yang setia pada Kadiri selama perang melawan Janggala. Dari prasasti tersebut dapat diketahui kalau Jayabhaya adalah raja yang berhasil mengalahkan Janggala dan mempersatukannya kembali dengan Kadiri. Kemenangan Jayabhaya atas Janggala ini disimbolkan sebagai kemenangan Pandawa atas Korawa dalam kakawin Bharatayuddha yang digubah oleh Mpu Sedah dan Mpu Panuluh tahun 1157. Sri Maharaja Kertajaya adalah raja terakhir Kadiri yang memerintah sekitar tahun 1194-1222. Pada akhir pemerintahannya, ia dikalahkan oleh Ken Arok dari Tumapel atau Singhasari, yang menandai berakhirnya masa Kerajaan Kadiri. Nama Kertajaya terdapat dalam Nagarakretagama (1365) yang dikarang ratusan tahun setelah zaman Kadiri. Bukti sejarah keberadaan tokoh Kertajaya adalah dengan ditemukannya Prasasti Galunggung (1194), Prasasti Kamulan (1194), Prasasti Palah (1197), dan Prasasti Wates Kulon (1205). Dari prasasti-prasasti tersebut dapat diketahui nama gelar abhiseka Kertajaya adalah Sri Maharaja Sri Sarweswara Triwikramawatara Anindita Srenggalancana Digjaya Uttunggadewa. Dalam Pararaton, Kertajaya disebut dengan nama Prabu Dandhang Gendis. Dikisahkan pada akhir pemerintahannya ia menyatakan ingin disembah para pendeta Hindu dan Buddha. Tentu saja keinginan itu ditolak, meskipun Dandhang Gendis pamer kesaktian dengan cara duduk di atas sebatang tombak yang berdiri. Para pendeta memilih berlindung pada Ken Arok, bawahan Dandhang Gendis yang menjadi akuwu di Tumapel. Ken Arok lalu mengangkat diri menjadi raja dan menyatakan Tumapel merdeka, lepas dari Kadiri. Dandhang Gendis sama sekali tidak takut. Ia mengaku hanya bisa dikalahkan oleh Siwa. Mendengar hal itu, Ken Arok pun memakai gelar Bhatara Guru (nama lain Siwa) dan bergerak memimpin pasukan menyerang Kadiri. Perang antara Tumapel dan Kadiri terjadi dekat Desa Ganter tahun 1222. Para panglima Kadiri yaitu Mahisa Walungan (adik Dandhang Gendis) dan Gubar Baleman mati di tangan Ken Arok. Dandhang Gendis sendiri melarikan diri dan bersembunyi naik ke kahyangan. Nagarakretagama juga mengisahkan secara singkat berita kekalahan Kertajaya tersebut. Disebutkan bahwa Kertajaya melarikan diri dan bersembunyi dalam dewalaya (tempat dewa). Kedua naskah tersebut (Pararaton dan Nagarakretagama) memberitakan tempat pelarian Kertajaya adalah alam dewata. Kiranya yang dimaksud adalah Kertajaya bersembunyi di dalam sebuah candi pemujaan, atau mungkin Kertajaya tewas dan menjadi penghuni alam halus (akhirat). Sejak tahun 1222 Kadiri menjadi daerah bawahan Tumapel (Singhasari). Menurut Nagarakretagama, putra Kertajaya yang bernama Jayasabha diangkat Ken Arok sebagai Bupati Kadiri. Tahun 1258 Jayasabha digantikan putranya, yang bernama Sastrajaya. Kemudian tahun 1271 Sastrajaya digantikan putranya yang bernama Jayakatwang. Pada tahun 1292 Jayakatwang memberontak dan mengakhiri riwayat Tumapel. Berita tersebut tidak sesuai dengan naskah Prasasti Mula Malurung (1255), yang mengatakan kalau penguasa Kadiri setelah Kertajaya adalah Bhatara Parameswara putra Bhatara Siwa (alias Ken Arok). Adapun Jayakatwang menurut prasasti Penanggungan adalah Bupati Gelang-Gelang yang kemudian menjadi Raja Kadiri setelah menghancurkan Tumapel tahun 1292. Sumber-sumber sejarah Kerajaan Panjalu Ciamis sedikitpun tidak ada yang menyebutkan secara gamblang hubungannya dengan Kerajaan Panjalu Kediri, akan tetapi kesamaan nama kedua kerajaan ini sedikit-banyak menunjukkan adanya benang merah antara keduanya, apalagi nama Raja Panjalu Kediri Maharaja Kertajaya (1194-1222) juga disebut-sebut dalam Prasasti Galunggung (1194). Paul Michel Munoz (2006) mengemukakan bahwa sisa-sisa keluarga dan pengikut Kertajaya (Raja terakhir Dinasti Sanjaya di Jawa Timur) melarikan diri ke daerah Panjalu (Sukapura/Ciamis) pada tahun 1222 untuk menghindari pembantaian Ken Angrok (Ken Arok), pendiri Kerajaan Singhasari/Dinasti Rajasa. Kertajaya sendiri sebagai Raja Kediri terakhir tewas dalam pertempuran di Tumapel melawan pemberontakan Akuwu Tumapel, Ken Angrok. Berdasarkan kitab Nagarakretagama, Maharaja Kertajaya bersembunyi di Dewalaya (tempat Dewa) atau tempat suci, maka bukan tidak mungkin Maharaja Kertajaya sebenarnya tidak tewas di tangan Ken Arok, melainkan melarikan diri ke Kabataraan Gunung Sawal (Panjalu Ciamis) yang merupakan tempat suci dimana bertahtanya Batara (Dewa) Tesnajati. Ibukota atau pusat kerajaan Panjalu berpindah-pindah sesuai dengan perkembangan zaman, beberapa lokasi yang pernah menjadi pusat kerajaan adalah : Karantenan Gunung Sawal menjadi pusat kerajaan semasa Panjalu menjadi daerah Kebataraaan, yaitu semasa kekuasaan Batara Tesnajati, Batara Layah dan Batara Karimun Putih. Di Karantenan Gunung Sawal ini terdapat mata air suci dan sebuah artefak berupa situs megalitik berbentuk batu pipih berukuran kira-kira 1,7 m x 1,5 m x 0,2 m. Batu ini diduga kuat digunakan sebagai sarana upacara-upacara keagamaan, termasuk penobatan raja-raja Panjalu bahkan mungkin penobatan Maharaja Sunda. Dayeuhluhur (kota tinggi) menjadi pusat pemerintahan sejak masa Prabu Sanghyang Rangga Gumilang sampai dengan Prabu Sanghyang Cakradewa. Kaprabon Dayeuhluhur terletak di bukit Citatah tepi Situ Bahara (Situ Sanghyang). Tidak jauh dari Dayeuhluhur terdapat hutan larangan Cipanjalu yang menjadi tempat bersemadi Raja-raja Panjalu. Konon Presiden I RI Ir Soekarno juga pernah berziarah ke tempat ini sewaktu mudanya untuk mencari petunjuk Tuhan YME dalam rangka perjuangan pergerakan kemerdekaan RI. Prabu Sanghyang Borosngora memindahkan kaprabon (kediaman raja) dari Dayeuhluhur ke Nusa Larang. Nusa Larang adalah sebuah pulau yang terdapat di tengah-tengah Situ Lengkong. Dinamai juga Nusa Gede karena pada zaman dulu ada juga pulau yang lebih kecil bernama Nusa Pakel (sekarang sudah tidak ada karena menyatu dengan daratan sehingga menyerupai tanjung). Untuk menyeberangi situ menuju Keraton Nusa Larang dibangun sebuah Cukang Padung (jembatan) yang dijaga oleh Gulang-gulang (penjaga gerbang) bernama Apun Otek. Sementara Nusa Pakel dijadikan Tamansari dan Hujung Winangun dibangun Kapatihan untuk Patih Sanghyang Panji Barani. Dayeuh Nagasari dijadikan kediaman raja pada masa pemerintahan Prabu Rahyang Kancana sampai dengan pemerintahan Bupati Raden Arya Wirabaya. Dayeuh Nagasari sekarang termasuk kedalam wilayah Desa Ciomas, Kecamatan Panjalu, Ciamis. Pada masa pemerintahan Prabu Rahyang Kancana, di Ciomas juga terdapat sebuah pemerintahan daerah yang dikepalai oleh seorang Dalem (Bupati) bernama Dalem Mangkubumi yang wilayahnya masuk kedalam kekuasaan Kerajaan Panjalu.
Silsilah Ciomas Panjalu
1.Buyut Asuh.
2.Buyut Pangasuh.
3.Buyut Surangganta.
4.Buyut Suranggading.
5.Dalem Mangkubumi.
6.Dalem Penghulu Gusti.
7.Dalem Wangsaniangga.
8.Dalem Wangsanangga.
9.Dalem Margabangsa.
10.Demang Wangsadipraja. Menjabat sebagai Patih Panjalu pada masa pemerintahan Arya Sumalah dan Pangeran Arya Sacanata, berputera Demang Wargabangsa I.
11.Demang Wargabangsa I. Menjabat sebagai Patih Panjalu pada masa pemerintahan Arya Wirabaya, berputera Demang Wargabangsa II.
12.Demang Wargabangsa II. Menjabat sebagai Patih Panjalu pada masa pemerintahan Tumenggung Wirapraja, memperisteri Nyi Raden Siti Kalimah binti Raden Jiwakrama bin Pangeran Arya Sacanata, berputera Demang Diramantri I.
13.Demang Diramantri I. Menjabat sebagai Patih Panjalu pada masa pemerintahan Tumenggung Cakranagara I, memperisteri Nyi Raden Panatamantri binti Tumenggung Cakranagara I dan mempunyai tiga orang anak bernama 1) Demang Diramantri II, 2) Demang Wangsadipraja, dan Nyi Raden Sanggrana (diperisteri seorang Sultan Cirebon).
14.Demang Diramantri II. Menjabat sebagai Patih Panjalu pada masa pemerintahan Tumenggung Cakranagara II menggantikan Demang Suradipraja. Sedangkan sang adik yaitu Demang Wangsadipraja menjadi Patih Panjalu pada masa pemerintahan Tumenggung Cakranagara III, Demang Wangsadipraja mempunyai dua orang anak yaitu: 1) Demang Prajanagara, dan 2) Demang Cakrayuda.
15.Demang Prajanagara diangkat menjadi Patih Galuh, sedangkan adiknya yang bernama Demang Cakrayuda diangkat menjadi Patih Kuningan. Demang Cakrayuda memperisteri Nyi Raden Rengganingrum binti Tumenggung Cakranagara II dan menurunkan putera bernama Demang Dendareja.
16.Demang Dendareja diangkat menjadi Patih Galuh.
Raden Tumenggung Wirapraja kemudian memindahkan kediaman bupati ke Dayeuh Panjalu sekarang. Sementara itu pusat kerajaan Panjalu ditandai dengan sembilan tutunggul gada-gada perjagaan yaitu patok-patok yang menjadi batas pusat kerajaan sekaligus berfungsi sebagai pos penjagaan yang dikenal dengan Batara Salapan, yaitu terdiri dari:
1. Sri Manggelong di Kubang Kelong, Rinduwangi
2. Sri Manggulang di Cipalika, Bahara
3. Kebo Patenggel di Muhara Cilutung, Hujungtiwu
4. Sri Keukeuh Saeukeurweuleuh di Ranca Gaul, Tengger
5. Lembu Dulur di Giut Tenjolaya, Sindangherang
6. Sang Bukas Tangan di Citaman, Citatah
7. Batara Terus Patala di Ganjar Ciroke, Golat
8. Sang Ratu Lahuta di Gajah Agung Cilimus, Banjarangsana
9. Sri Pakuntilan di Curug Goong, Maparah
Menurut cerita yang disampaikan secara turun-temurun, masuknya Islam ke Panjalu dibawa oleh Sanghyang Borosngora yang tertarik menuntut ilmu sampai ke Mekkah lalu di-Islamkan oleh Sayidina Ali bin Abi Thalib R.A. Legenda rakyat ini mirip dengan kisah Pangeran Kian Santang atau Sunan Godog Garut, yaitu ketika Kian Santang atau Raja Sangara (adik Pangeran Cakrabuana Walangsungsang) yang setelah diislamkan oleh Baginda Ali di Mekkah kemudian berusaha mengislamkan ayahnya Sang Prabu Siliwangi.
Sementara itu menurut Babad Panjalu: dari Baginda Ali, Sanghyang Borosngora mendapatkan cinderamata berupa air zamzam, pedang, cis (tongkat) dan pakaian kebesaran. Air zamzam tersebut kemudian dijadikan cikal-bakal air Situ Lengkong, sedangkan pusaka-pusaka pemberian Baginda Ali itu sampai sekarang masih tersimpan di Pasucian Bumi Alit dan dikirabkan setelah disucikan setiap bulan Mulud dalam upacara Nyangku di Panjalu pada hari Senin atau hari Kamis terakhir bulan Maulud (Rabiul Awal). Penyebaran Islam secara serentak dan menyeluruh di tatar Sunda sesungguhnya dimulai sejak Syarif Hidayatullah (1448-1568) diangkat sebagai penguasa Cirebon oleh Pangeran Cakrabuana bergelar Gusti Susuhunan Jati (Sunan Gunung Jati) dan menyatakan melepaskan diri dari Kemaharajaan Sunda dengan menghentikan pengiriman upeti pada tahun 1479. Peristiwa ini terjadi ketika wilayah Sunda dipimpin oleh Sang Haliwungan Prabu Susuktunggal (1475-1482) di Pakwan Pajajaran dan Ningrat Kancana Prabu Dewa Niskala (1475-1482) di Kawali. Jauh sebelum itu, para pemeluk agama Islam hanya terkonsentrasi di daerah-daerah pesisir atau pelabuhan yang penduduknya banyak melakukan interaksi dengan para saudagar atau pedagang dari Gujarat, Persia dan Timur Tengah. Puteri Prabu Susuktunggal yang bernama Nay Kentring Manik Mayang Sunda kemudian dinikahkan dengan putera Prabu Dewa Niskala yang bernama Jayadewata. Jayadewata kemudian dinobatkan sebagai penguasa Pakwan Pajajaran dan Kawali bergelar Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakwan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata, dengan demikian maka seperti juga mendiang kakeknya yang bernama Niskala Wastu Kancana ia menyatukan Pakwan Pajajaran (Sunda) dan Kawali (Galuh) dalam satu mahkota Maharaja Sunda. Sri Baduga Maharaja juga memindahkan ibokota Sunda dari Kawali ke Pakwan Pajajaran, meskipun hal ini bukan kali pertama ibukota Kemaharaajaan Sunda berpindah antara Sunda dan Galuh, namun salah satu alasan perpindahan ibukota negara ini diduga kuat sebagai antisipasi semakin menguatnya kekuasaan Demak dan Cirebon. Pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja (1481-1521) kerajaan-kerajaan yang masih mengirimkan upetinya ke Pakwan Pajajaran adalah Galunggung, Denuh, Talaga, Geger Bandung, Windu Galuh, Malaka, Mandala, Puma, Lewa dan Kandangwesi (Pleyte, 1911:172). Akan tetapi hal itu tidak bertahan lama karena satu persatu daerah bawahan Sunda itu ditaklukan Cirebon. Raja Talaga Sunan Parunggangsa ditaklukkan Cirebon pada tahun 1529 dan kemudian bersama puterinya Ratu Sunyalarang, juga menantunya Ranggamantri Pucuk Umun secara sukarela memeluk Islam. Di Sumedang Larang Ratu Setyasih atau Ratu Inten Dewata atau Ratu Pucuk Umun (1530-1579) mengakui kekuasaan Cirebon dan memeluk Islam. Di Kerajaan Kuningan Ratu Selawati menyerah kepada pasukan Cirebon, salah seorang puterinya kemudian dinikahkan dengan anak angkat Gusti Susuhunan Jati yang bernama Suranggajaya, Suranggajaya kemudian diangkat menjadi Bupati Kuningan bergelar Sang Adipati Kuningan karena Kuningan menjadi bagian dari Cirebon. Di kerajaan Galuh, penguasa Galuh yang bernama Ujang Meni bergelar Maharaja Cipta Sanghyang di Galuh berusaha mempertahankan wilayahnya dari serbuan pasukan Cirebon, tapi karena kekuatan yang tidak seimbang maka ia bersama puteranya yang bernama Ujang Ngekel yang kemudian naik tahta Galuh bergelar Prabu di Galuh Cipta Permana (1595-1608) juga mau tak mau harus mengakui kekuasaan Cirebon serta akhirnya memeluk Islam dengan sukarela. Demikian juga yang terjadi di Kerajaan Sindangkasih (Majalengka). Berdasarkan rentetan peristiwa-peristiwa yang terjadi di kerajaan-kerajaan tetangganya tersebut, maka diperkirakan pada periode yang bersamaan Kerajaan Panjalu juga menjadi taklukan Cirebon dan menerima penyebaran Islam. Kemaharajaan Sunda sendiri posisinya semakin lama semakin terjepit oleh kekuasaan Cirebon-Demak di sebelah timur dan Banten di sebelah barat. Pada tahun 1579 pasukan koalisi Banten-Cirebon dipimpin oleh Sultan Banten Maulana Yusuf berhasil mengalahkan pertahanan terakhir pasukan Sunda, kaprabon dan ibukota Kemaharajaan Sunda yaitu Pakwan Pajajaran berhasil diduduki, benda-benda yang menjadi simbol Kemaharajaan Sunda diboyong ke Banten termasuk batu singgasana penobatan Maharaja Sunda berukuran 200cm x 160cm x 20cm yang bernama Palangka Sriman Sriwacana (orang Banten menyebutnya Watu Gilang atau batu berkilau). Akibat peristiwa ini, Prabu Ragamulya Surya Kancana (1567-1579) beserta seluruh anggota keluarganya menyelamatkan diri dari kaprabon yang menandai berakhirnya Kemaharajaan Sunda. Menurut sumber sejarah Sumedang Larang, ketika peristiwa itu terjadi empat orang kepercayaan Prabu Ragamulya Surya Kancana yang dikenal dengan Kandaga Lante yang terdiri dari Sanghyang Hawu (Jayaperkosa), Batara Adipati Wiradijaya (Nangganan), Sanghyang Kondanghapa dan Batara Pancar Buana (Terong Peot) berhasil menyelamatkan atribut pakaian kebesaran Maharaja Sunda yang terdiri dari mahkota emas simbol kekuasaan Raja Pakwan, kalung bersusun dua dan tiga, serta perhiasan lainnya seperti benten, siger, tampekan, dan kilat bahu. Atribut-atribut kebesaran tersebut kemudian diserahkan kepada Raden Angkawijaya putera Ratu Inten Dewata (1530-1579) yang kemudian naik tahta Sumedang Larang dengan gelar Prabu Geusan Ulun (1579-1601). Sepeninggal Kemaharajaan Sunda (723-1579), wilayah Jawa Barat terbagi menjadi kerajaan-kerajaan kecil yang pada mulanya merupakan bawahan Sunda. Kerajaan-kerajaan yang masih saling berhubungan darah itu tidak lepas dari pengaruh kekuasaan Cirebon dan Banten yang sedang berada pada puncak kejayaannya. Kerajaan-kerajaan itu merupakan kerajaan yang mandiri dan dipimpin oleh seorang bergelar Prabu, Sanghyang, Rahyang, Hariang, Pangeran ataupun Sunan, akan tapi mereka mengakui kekuasaan Cirebon dan Banten. Dua kerajaan bawahan Sunda yang paling luas wilayahnya adalah Sumedang Larang dan Galuh yang masing-masing dianggap sebagai penerus Kemaharajaan Sunda. Pada tahun 1595 Sutawijaya atau Panembahan Senopati (1586-1601) memperluas wilayah kekuasaan Mataram ke wilayah Jawa Barat sehingga berhasil menaklukkan Cirebon dan kemudian menduduki daerah-daerah sekitarnya yang meliputi hampir seluruh wilayah Jawa Barat kecuali Banten dan Jayakarta (Batavia). Untuk mempererat hubungan Mataram-Cirebon ini, Senopati menikahkan salah seorang saudarinya bernama Ratu Harisbaya dengan pengusasa Cirebon waktu itu, Panembahan Ratu (1570-1649). Panembahan Senopati digantikan puteranya yaitu Mas Jolang yang naik tahta sebagai Prabu Hanyokrowati (1601-1613), Prabu Hanyokrowati lalu digantikan oleh puteranya yang bernama Mas Rangsang, naik tahta Mataram sebagai Sultan Agung Hanyokrokusumo (1613-1645). Pada tahun 1618 Sultan Agung mengangkat putera Prabu di Galuh Cipta Permana (1595-1608) yang bernama Ujang Ngoko atau Prabu Muda sebagai Bupati Galuh yang menandai penguasaan Mataram atas Galuh, sebagai bupati bawahan Mataram ia kemudian bergelar Adipati Panekan (1608-1625). Adipati Panaekan juga merangkap jabatan sebagai Wedana Bupati (Gubernur) yang mengepalai Bupati-bupati Priangan (Djadja Sukardja, 1999: 12-6). Priangan sendiri berasal dari kata parahyangan yang berarti tempat para hyang (dewata), suatu sebutan bagi wilayah bekas Kemaharajaan Sunda yang sebelumnya menganut agama Hindu, selain itu raja-raja Sunda sering memakai gelar hyang atau sanghyang yang artinya dewa. Peristiwa pendudukan Mataram ini di Panjalu diperkirakan terjadi pada masa pemerintaha Prabu Rahyang Kunang Natabaya karena puteranya yaitu Raden Arya Sumalah tidak lagi memakai gelar Prabu seperti ayahnya, hal ini menunjukkan bahwa Panjalu juga sudah menjadi salah satu kabupaten di bawah Mataram. Pada tahun 1620 Arya Suryadiwangsa menyerahkan kekuasaannya atas Sumedang Larang kepada Mataram, Sultan Agung kemudian mengangkat Arya Suryadiwangsa (1601-1624) sebagai Bupati Sumedang Larang bergelar Pangeran Rangga Gempol Kusumahdinata. Pada tahun 1624 Rangga Gempol ditunjuk sebagai panglima pasukan Mataram utuk menaklukkan daerah Sampang, Madura. Oleh karena itu jabatan Bupati Sumedang Larang dipegang adiknya yang bernama Pangeran Rangga Gede (1624-1633) sekaligus merangkap sebagai Wedana Bupati Priangan menggantikan Adipati Panaekan. Pada waktu itu Sultan Agung tengah menyiapkan serangan besar-besaran untuk merebut Benteng Batavia dari tangan Kompeni Belanda dan meminta para bupati Priangan menunjukkan kesetiaannya dengan mengirimkan pasukan gabungan untuk menggempur Batavia. Rencana Sultan Agung ini menimbulkan perbedaan pendapat diantara para bupati Priangan, tahun 1625 Adipati Panaekan yang berselisih paham dengan Bupati Bojonglopang bernama Adipati Kertabumi (Wiraperbangsa) tewas di tangan adik iparnya itu. Kedudukan mendiang Adipati Panaekan sebagai Bupati Galuh lalu digantikan oleh puteranya yang bernama Ujang Purba bergelar Adipati Imbanagara (1625-1636). Pangeran Rangga Gede sebagai Wedana Bupati Priangan oleh Sultan Agung dianggap tidak mampu mengatasi serangan-serangan Banten di daerah perbatasan sekitar Sungai Citarum yang saling bersaing berebut pengaruh dengan Mataram, oleh karena itu kedudukan Wedana Bupati Priangan pada tahun 1628 digantikan oleh Bupati Ukur (Bandung) yang dikenal dengan nama Adipati Ukur putera Sanghyang Lembu Alas. Ia mengepalai wilayah Ukur (Bandung), Sumedang Larang, Sukapura, Limbangan, Cianjur, Karawang, Pamanukan dan Ciasem, sedangkan Rangga Gede dijebloskan ke dalam tahanan. Adipati Ukur juga sekaligus diangkat menjadi Panglima pasukan Mataram yang terdiri dari gabungan pasukan kabupaten-kabupaten bawahan Mataram di Priangan untuk merebut Benteng Batavia dari VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie atau Perkumpulan Dagang India Timur) yang dipimpin oleh Gubernur Jan Pieterszoon Coen (1619-1623 dan 1627-1629). Setiap Kabupaten kala itu mengirimkan kontingen pasukannya dalam penyerbuan ke Batavia dan pemimpin kontingen pasukan dari Galuh adalah Bagus Sutapura. Penyerbuan ke Batavia kali ini sesungguhnya adalah penyerbuan yang kedua. Pada tahun 1628 Mataram telah mengirimkan pasukannya berjumlah sekitar 10.000 orang untuk merebut Batavia, gelombang pertama pasukan dipimpin oleh Tumenggung Bahureksa (Bupati Kendal) yang tiba di Batavia Agustus 1628. Pasukan kedua tiba di Batavia Oktober 1628 dipimpin Pangeran Madureja, mereka dibantu oleh para senapati (komandan) yaitu Tumenggung Sura Agul-agul dan Tumenggung Upasanta. Penyerbuan pertama ini mengalami kegagalan karena pasukan mengalami kekurangan logistik/perbekalan. Atas kegagalan ini Sultan Agung menjatuhkan hukuman mati kepada Tumenggung Bahureksa beserta orang-orang setianya dengan memenggal kepala mereka di sekitar Batavia. Dalam penyerbuan kedua ini Mataram mengirimkan 14.000 orang tentara gabungan Sunda-Jawa untuk merebut Batavia. Pasukan pertama dipimpin oleh Adipati Ukur dengan balatentara Priangannya yang berangkat ke Batavia Mei 1629, sedangkan pasukan berikutnya berangkat ke Batavia Juni 1629 dipimpin oleh Adipati Juminah. Pasukan ini juga dibantu oleh senapati-senapati lainnya yaitu Adipati Purbaya, Adipati Puger, Tumenggung Singaranu, Raden Arya Wiranatapada, Tumenggung Madiun dan Kyai Sumenep. Sejarah mencatat bahwa akibat kurang koordinasi dan kesalahpahaman dengan armada laut Mataram yang mengepung dari arah laut mengakibatkan pasukan darat pimpinan Adipati Ukur dan Adipati Juminah menyerang Batavia lebih dahulu sehingga penyerbuan ini tidak terjadi secara serempak sesuai dengan siasat perang, akibatnya penyerbuan kedua ini pun mengalami kegagalan. Sultan Agung yang kecewa segera menjatuhkan vonis mati kepada Adipati Ukur yang masih berada di sekitar Batavia dan mengirimkan utusannya untuk memenggal kepala Adipati Ukur beserta para perwiranya yang setia seperti yang terjadi pada Tumenggung Bahureksa. Mengetahui dirinya telah dijatuhi vonis mati oleh Sultan Agung, Adipati Ukur bersama sebagian pasukannya yang setia berbalik memberontak terhadap Mataram (1628-1632), perlawanan Adipati Ukur bersama pengikutnya ini terhitung alot karena secara diam-diam sebagian Bupati-bupati Priangan mendukung pemberontakan Adipati Ukur. Perlawanan Adipati Ukur baru berhasil dihentikan setelah Mataram mendapatkan bantuan Ki Wirawangsa dari Umbul Sukakerta, Ki Astamanggala dari Umbul Cihaurbeuti dan Ki Somahita dari Umbul Sindangkasih. Atas jasa-jasa mereka memadamkan pemberontakan Adipati Ukur itu, pada tahun 1633 Sultan Agung mengangkat Ki Wirawangsa menjadi Bupati Sukapura dengan Gelar Tumenggung Wiradadaha, Ki Astamanggala menjadi Bupati Bandung dengan gelar Tumenggung Wiraangun-angun, dan Ki Somahita menjadi Bupati Parakan Muncang dengan gelar Tumenggung Tanubaya. Bagus Sutapura yang juga berjasa kepada Mataram diangkat sebagai Bupati Kawasen. Sementara itu Bupati Galuh Adipati Imbanagara dijatuhi hukum mati oleh Sultan Agung karena dianggap terlibat dalam pemberontakan Adipati Ukur. Jabatan Wedana Bupati Priangan kemudian dikembalikan kepada Pangeran Rangga Gede sekaligus menjabat sebagai Bupati Sumedang Larang. Sewaktu tahta Mataram dipegang oleh putera Sultan Agung yaitu Sunan Amangkurat I (1645-1677), antara tahun 1656-1657 jabatan Wedana Bupati Priangan dihapuskan dan wilayah Mataram Barat (Priangan) dibagi menjadi 12 Ajeg (daerah setingkat kabupaten) yaitu: Sumedang, Parakan Muncang (Bandung Timur), Bandung, Sukapura (Tasikmalaya), Karawang, Imbanagara (Ciamis), Kawasen (Ciamis Selatan), Wirabaya (Ciamis Utara termasuk wilayah Kabupaten Panjalu, Utama dan Bojonglopang), Sindangkasih (Majalengka), Banyumas, Ayah/Dayeuhluhur (Kebumen, Cilacap), dan Banjar (Ciamis Timur). Pada waktu itu Raden Arya Wirabaya keponakan Bupati Panjalu Pangeran Arya Sacanata diangkat menjadi kepala Ajeg Wirabaya. Pada tahun 1677 Sunan Amangkurat II (1677-1703) menyerahkan wilayah Priangan barat dan tengah kepada VOC sebagai imbalan atas bantuan VOC dalam usaha menumpas pemberontakan Trunajaya, menyusul kemudian pada tahun 1705 Cirebon beserta Priangan Timur juga diserahkan Pakubuwana I kepada VOC pasca perselisihan antara Amangkurat III dengan sang paman Pangeran Puger atau Pakubuwana I (1704-1719). Dalam masa pendudukan Mataram selama 110 tahun ini (1595-1705), yang menjabat menjadi Bupati Panjalu secara berturut-turut adalah:
1. Raden Arya Sumalah
2. Pangeran Arya Sacanata (Pangeran Arya Salingsingan/Pangeran Gandakerta)
3. Raden Arya Wirabaya
4. Raden Tumenggung Wirapraja
Berdasarkan perjanjian VOC dengan Mataram tanggal 5 Oktober 1705, maka seluruh wilayah Jawa Barat kecuali Banten jatuh ke tangan Kompeni. Untuk mengawasi dan memimpin bupati-bupati Priangan ini, maka pada tahun 1706 Gubernur Jenderal VOC Joan van Hoorn (1704-1709) mengangkat Pangeran Arya Cirebon (1706-1723) sebagai opzigter atau Pemangku Wilayah Priangan. Gubernur Jendral VOC menjadikan para Bupati sebagai pelaksana atau agen verplichte leverantie atau agen penyerahan wajib tanaman komoditas perdagangan seperti beras cengkeh, pala, lada, kopi, indigo dan tebu. Kebijakan VOC ini sangat membebani kehidupan rakyat kecil, akibatnya pada tahun 1703 terjadi kerusuhan yang digerakkan oleh Raden Alit atau RH Prawatasari seorang menak (bangsawan) Cianjur keturunan Panjalu yang berasal dari Jampang (Sukabumi). Kerusuhan yang digerakkan RH Prawatasari ini melanda seluruh kepentingan VOC di wilayah Priangan (Jawa Barat) terutama di Cianjur, Bogor, dan Sumedang. Di Priangan timur terutama Galuh, kerusuhan ini melanda wilayah Utama, Bojonglopang dan Kawasen. Namun pemberontakan RH Prawatasari ini akhirnya dapat dipadamkan oleh VOC pada 12 Juli tahun 1707, Raden Haji Prawatasari tertangkap dalam satu pertempuran seru di daerah Bagelen, Banyumas yang lalu kemudian di asingkan ke Kartasura. Pasca pemberontakan RH Prawatasari, pada masa kepemimpinan Pangeran Arya Cirebon, Raden Prajasasana (putera Raden Arya Wiradipa bin Pangeran Arya Sacanata) yang menjadi pamong praja bawahan Pangeran Arya Cirebon diangkat sebagai Bupati Panjalu yang berada dalam wilayah administratif Cirebon dengan gelar Raden Tumenggung Cakranagara menggantikan Raden Tumenggung Wirapraja. Pada tahun 1810 wilayah Kabupaten Panjalu di bawah pimpinan Raden Tumenggung Cakranagara III diperluas dengan wilayah Kawali yang sebelumnya dikepalai Raden Adipati Mangkupraja III (1801-1810). Wilayah Kawali yang menginduk ke Panjalu ini kemudian dikepalai oleh Raden Tumenggung Suradipraja I (1810-1819). Pada tahun 1819, Gubernur Jenderal Hindia Belanda G.A.G.Ph. Baron Van der Capellen (1816-1826) menggabungkan wilayah-wilayah Kabupaten Panjalu, Kawali, Distrik Cihaur dan Rancah kedalam Kabupaten Galuh. Dengan demikian pada tahun itu Raden Tumenggung Cakranagara III dipensiunkan sebagai Bupati Panjalu, sementara di kabupaten Galuh, Bupati Wiradikusumah juga digantikan oleh puteranya yang bernama Adipati Adikusumah (1819-1839). Semenjak itu Panjalu menjadi daerah kademangan di bawah kabupaten Galuh dan putera tertua Tumenggung Cakranagara III yang bernama Raden Demang Sumawijaya diangkat sebagai Demang Panjalu (Demang adalah jabatan setingkat Wedana) sedangkan putera ketujuh Cakranagara III yang bernama Raden Arya Cakradikusumah diangkat sebagai Wedana Kawali. Pada masa itu wedana adalah jabatan satu tingkat diatas camat (asisten wedana). Raden Demang Sumawijaya setelah mangkat digantikan oleh putera tertuanya yang bernama Raden Demang Aldakusumah sebagai Demang Panjalu, semantara putera tertua dari Wedana Kawali Raden Arya Cakradikusumah yang bernama Raden Tumenggung Argakusumah diangkat menjadi Bupati Dermayu (sekarang Indramayu) dengan gelar Raden Tumenggung Cakranagara IV. Pada tahun 1915 Kabupaten Galuh berganti nama menjadi Kabupaten Ciamis dan dimasukkan kedalam Keresidenan Priangan setelah dilepaskan dari wilayah administrasi Cirebon. Antara tahun 1926-1942 Ciamis dimasukkan kedalam afdeeling Priangan Timur bersama-sama dengan Kabupaten Tasikmalaya dan Garut dengan ibukota afdeeling di Tasikmalaya. Pada tanggal 1 Januari 1926 Pemerintah Hindia Belanda membagi Pulau Jawa menjadi tiga provinsi yaitu: Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Panjalu dewasa ini adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Ciamis Provinsi Jawa Barat. Raden Tumenggung Cakranagara III, Raden Demang Sumawijaya, Raden Demang Aldakusumah dan Raden Tumenggung Argakusumah (Cakranagara IV) dimakamkan di Nusa Larang Situ Lengkong Panjalu, berada satu lokasi dengan pusara Prabu Rahyang Kancana putera Prabu Sanghyang Borosngora. Dewasa ini Nusa Larang dan Situ Lengkong Panjalu menjadi obyek wisata alam dan wisata ziarah Islami utama di Kabupaten Ciamis dan selalu ramai dikunjungi oleh para peziarah dari seluruh Indonesia terutama dari Jawa Timur, apalagi setelah Presiden IV RI K.H. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur diketahui beberapa kali berziarah di Nusa Larang dan mengaku bahwa dirinya juga adalah keturunan Panjalu.
Silsilah Panjalu
Batara Tesnajati adalah tokoh pendiri Kabataraan Gunung Sawal, ia mempunyai seorang putera bernama Batara Layah. Petilasan Batara Tesnajati terdapat di Karantenan Gunung Sawal. Batara Layah menggantikan ayahnya sebagai Batara di Karantenan Gunung Sawal Panjalu, ia mempunyai seorang putera bernama Batara Karimun Putih. Ia menggantikan ayahnya menjadi Batara di Gunung Sawal Panjalu, ia mempunyai seorang putera bernama Prabu Sanghyang Rangga Sakti. Petilasan Batara Karimun Putih terletak di Pasir Kaputihan, Gunung Sawal. Sanghyang Rangga Gumilang naik tahta Panjalu menggantikan ayahnya, ia dikenal juga sebagai Sanghyang Rangga Sakti dan pada masa pemerintahaanya terbentuklah suatu pemerintahan yang berpusat di Dayeuhluhur Maparah setelah berakhirnya masa Kabataraan di Karantenan Gunung Sawal Panjalu. Sanghyang Rangga Gumilang menikahi seorang puteri Galuh bernama Ratu Permanadewi dan mempunyai seorang putera bernama Sanghyang Lembu Sampulur. Petilasan Prabu Sanghyang Rangga Gumilang terletak di Cipanjalu. Sanghyang Lembu Sampulur I naik tahta sebagai Raja Panjalu, ia mempunyai seorang putera bernama Sanghyang Cakradewa. Sanghyang Cakradewa memperisteri seorang puteri Galuh bernama Ratu Sari Kidang Pananjung dan mempunyai enam orang anak yaitu:
1) Sanghyang Lembu Sampulur II,
2) Sanghyang Borosngora,
3) Sanghyang Panji Barani,
4) Sanghyang Anggarunting,
5) Ratu Mamprang Kancana Artaswayang, dan
6) Ratu Pundut Agung (diperisteri Maharaja Sunda).
Petilasan Prabu Sanghyang Cakradewa terdapat di Cipanjalu.
Menurut kisah dalam Babad Panjalu, Prabu Sanghyang Cakradewa adalah seorang raja yang adil dan bijaksana, di bawah pimpinannya Panjalu menjadi sebuah kerajaan yang makmur dan disegani. Suatu ketika sang raja menyampaikan keinginannya di hari tua nanti untuk meninggalkan singgasana dan menjadi Resi atau petapa (lengser kaprabon ngadeg pendita). Untuk itu sang prabu mengangkat putera tertuanya Sanghyang Lembu Sampulur II menjadi putera mahkota, sedangkan putera keduanya yaitu Sanghyang Borosngora dipersiapkan untuk menjadi patih dan senapati kerajaan (panglima perang). Oleh karena itu Sanghyang Borosngora pergi berkelana, berguru kepada para brahmana, petapa,resi, guru dan wiku sakti di seluruh penjuru tanah Jawa untuk mendapatkan berbagai ilmu kesaktian dan ilmu olah perang. Beberapa tahun kemudian sang pangeran pulang dari pengembaraannya dan disambut dengan upacara penyambutan yang sangat meriah di kaprabon Dayeuhluhur, Prabu Sanghyang Cakradewa sangat terharu menyambut kedatangan puteranya yang telah pergi sekian lama tersebut. Dalam suatu acara, sang prabu meminta kepada Sanghyang Borosngora untuk mengatraksikan kehebatannya dalam olah perang dengan bermain adu pedang melawan kakaknya yaitu Sanghyang Lembu Sampulur II dihadapan para pejabat istana dan para hadirin. Ketika kedua pangeran itu tengah mengadu kehebatan ilmu pedang itu, tak sengaja kain yang menutupi betis Sanghyang Borosngora tersingkap dan tampaklah sebentuk rajah (tattoo) yang menandakan pemiliknya menganut ilmu kesaktian aliran hitam. Prabu Sanghyang Cakradewa sangat kecewa mendapati kenyataan tersebut, karena ilmu itu tidak sesuai dengan Anggon-anggon Kapanjaluan (falsafah hidup orang Panjalu) yaitu mangan kerana halal, pake kerana suci, tekad-ucap-lampah sabhenere dan Panjalu tunggul rahayu, tangkal waluya. Sang Prabu segera memerintahkan Sanghyang Borosngora untuk membuang ilmu terlarang itu dan segera mencari "Ilmu Sajati" yaitu ilmu yang menuntun kepada jalan keselamatan. Sebagai indikator apakah Sanghyang Borosngora telah menguasai ilmu sajati atau belum, maka sang prabu membekalinya sebuah gayung batok kelapa yang dasarnya diberi lubang-lubang sehingga tidak bisa menampung cidukan air. Apabila sang pangeran telah menguasai ilmu sajati, maka ia bisa menciduk air dengan gayung berlubang-lubang tersebut. Untuk kedua kalinya Sanghyang Borosngora pergi meninggalkan kaprabon, dan kali ini ia berjalan tak tentu arah karena tidak tahu kemana harus mencari ilmu yang dimaksudkan oleh ayahnya itu. Letih berjalan tak tentu arah akhirnya ia duduk bersemadi, mengheningkan cipta, memohon kepada Sanghyang Tunggal agar diberikan petunjuk untuk mendapatkan Ilmu Sajati. Sekian lama bersemadi akhirnya ia mendapat petunjuk bahwa pemilik ilmu yang dicarinya itu ada di seberang lautan, yaitu di tanah suci Mekkah, Jazirah Arab. Dengan ilmu kesaktiannya Sanghyang Borosngora tiba di Mekkah dalam sekejap mata. Di Mekkah itu Sanghyang Borosngora bertanya kepada setiap orang yang ditemuinya agar dapat bertemu dengan seseorang yang mewarisi Ilmu Sajati yang dimaksud. Orang-orang yang tidak mengerti maksud sang pangeran menunjukkan agar ia menemui seorang pria yang tinggal dalam sebuah tenda di gurun pasir. Sanghyang Borosngora bergegas menuju tenda yang dimaksud dan ketika ia membuka tabir tenda itu dilihatnya seorang pria tua yang sedang menulis dengan pena. Karena terkejut dengan kedatangan tamunya, pena yang ada di tangan pria tua itu terjatuh menancap di tanah berpasir. Lelaki misterius itu menegur sang pangeran karena telah datang tanpa mengucapkan salam sehingga mengejutkannya dan mengakibatkan pena yang dipegangnya jatuh tertancap di pasir, padahal sesungguhnya lelaki itu hanya berpura-pura terkejut karena ingin memberi pelajaran kepada pemuda pendatang yang terlihat jumawa karena kesaktian yang dimilikinya itu. Setelah bertanya apa keperluannya datang ke tendanya, lelaki itu hanya meminta Sanghyang Borosngora agar mengambilkan penanya yang tertancap di pasir. Sang pangeran segera memenuhi permintaan pria itu, tetapi terjadi kejanggalan, pena yang menancap di tanah itu seperti sudah menyatu dengan bumi sehingga walaupun segenap kekuatannya telah dikerahkan, namum pena itu tak bergeming barang sedikitpun. Sanghyang Borosngora segera menyadari bahwa orang yang ada di hadapannya bukanlah orang sembarangan. Sebagai seorang kesatria ia mengakui kehebatan pria itu dan memohon ampun atas kelancangan sikapnya tadi. Sang pangeran juga memohon kesediaan pria misterius itu mengajarinya ilmu yang sangat mengagumkannya ini. Lelaki yang kemudian diketahui adalah Sayidina Ali bin Abi Thalib R.A. ini hanya meminta Sanghyang Borosngora mengucapkan kalimat syahadat seperti yang dicontohkannya dan sungguh ajaib, pena yang menancap di tanah itu bisa dicabut dengan mudah olehnya. Setelah peristiwa itu Sanghyang Borosngora menetap beberapa lama di Mekkah untuk menimba Ilmu Sajati kepada Baginda Ali R.A. yang ternyata adalah Dien Al Islam (Agama Islam). Di akhir masa pendidikannya Sanghyang Borosngora diberi wasiat oleh Baginda Ali agar melaksanakan syiar Islam di tanah asalnya. Sanghyang Borosngora yang sekarang bernama Syeikh Haji Abdul Iman ini kemudian diberi cinderamata berupa Pedang, Cis (tombak bermata dua atau dwisula), dan pakaian kebesaran. Sebelum pulang Syeikh Haji Abdul Iman juga menciduk air zam-zam dengan gayung berlubang pemberian ayahnya dan ternyata air zam-zam itu tidak menetes yang berarti ia telah berhasil menguasai ilmu sajati dengan sempurna. Ringkas cerita Sanghyang Borosngora kembali ke kaprabon dan disambut dengan suka cita oleh sang prabu beserta seluruh kerabatnya. Sanghyang Borosngora juga menyampaikan syiar Islam kepada seluruh kerabat istana. Sang Prabu yang telah uzur menolak dengan halus ajakan puteranya itu dan memilih hidup sebagai pendeta sebagaimana kehendaknya dahulu dan menyerahkan singgasana kepada putera mahkota Sanghyang Lembu Sampulur II. Air zam-zam yang dibawa Sanghyang Borosngora dijadikan cikal bakal air Situ Lengkong yang sebelumnya merupakan sebuah lembah yang mengelilingi bukit bernama Pasir Jambu. Gayung berlubang pemberian ayahnya dilemparkan ke Gunung Sawal dan kemudian menjadi sejenis tanaman paku yang bentuknya seperti gayung. Sanghyang Borosngora melanjutkan syiar Islamnya dengan mengembara ke arah barat melewati daerah-daerah yang sekarang bernama Tasikmalaya, Garut, Bandung, Cianjur dan Sukabumi. Prabu Sanghyang Lembu Sampulur II tidak lama memerintah di Kerajaan Panjalu, ia kemudian hijrah ke daerah Cimalaka di kaki Gunung Tampomas, Sumedang dan mendirikan kerajaan baru di sana. Sanghyang Borosngora yang menempati urutan kedua sebagai pewaris tahta Panjalu meneruskan kepemimpinan kakaknya itu dan menjadikan Panjalu sebagai kerajaan Islam yang sebelumnya bercorak Hindu. Sebagai media syiar Islam, Sanghyang Borosngora mempelopori tradisi upacara adat Nyangku yang diadakan setiap Bulan Maulud (Rabiul Awal), yaitu sebuah prosesi ritual penyucian pusaka-pusaka yang diterimanya dari Baginda Ali R.A. yang setelah disucikan kemudian dikirabkan dihadapan kumpulan rakyatnya. Acara yang menarik perhatian khalayak ramai ini dipergunakan untuk memperkenalkan masyarakat dengan agama Islam dan mengenang peristiwa masuk Islamnya Sanghyang Borosngora. Sanghyang Lembu Sampulur II naik tahta menggantikan Prabu Sanghyang Cakradewa, akan tetapi ia kemudian menyerahkan singgasana kerajaan kepada adiknya yaitu Sanghyang Borosngora,sedangkan ia sendiri hijrah dan mendirikan kerajaan baru di Cimalaka Gunung Tampomas (Sumedang). Sanghyang Borosngora naik tahta Panjalu menggantikan posisi kakaknya, ia kemudian membangun keraton baru di Nusa Larang. Adiknya yang bernama Sanghyang Panji Barani diangkat menjadi Patih Panjalu. Di dalam Babad Panjalu tokoh Prabu Sanghyang Borosngora ini dikenal sebagai penyebar Agama Islam dan Raja Panjalu pertama yang menganut Islam, benda-benda pusaka peninggalannya masih tersimpan di Pasucian Bumi Alit dan dikirabkan pada setiap bulan Maulud setelah terlebih dulu disucikan dalam rangkaian prosesi acara adat Nyangku.
Sanghyang Borosngora mempunyai dua orang putera yaitu:
1) Rahyang Kuning, dan
2) Rahyang Kancana.
Prabu Sanghyang Borosngora juga didamping oleh Guru Aji Kampuhjaya dan Bunisakti, dua orang ulama kerajaan yang juga merupakan senapati-senapati pilih tanding. Petilasan Prabu Sanghyang Borosngora terdapat di Jampang Manggung (Sukabumi), sedangkan petilasan Sanghyang Panji Barani terdapat di Cibarani (Banten). Hyang Bunisora Suradipati adalah adik Maharaja Sunda yang bernama Maharaja Linggabuana. Sang Maharaja terkenal sebagai Prabu Wangi yang gugur sebagai pahlawan di palagan Bubat melawan tentara Majapahit pada tahun 1357. Ketika peristiwa memilukan itu terjadi puteranya yang bernama Niskala Wastu Kancana baru berusia 9 tahun, untuk itu Hyang Bunisora menjabat sebagai Mangkubumi Suradipati mewakili keponakannya itu atas tahta Kawali. Hyang Bunisora juga dikenal sebagai Prabu Kuda Lelean dan Batara Guru di Jampang karena menjadi seorang petapa atau resi yang mumpuni di Jampang (Sukabumi). Nama Hyang Bunisora yang mirip dengan Sanghyang Borosngora dan gelarnya sebagai Batara Guru di Jampang menyiratkan adanya keterkaitan antara kedua tokoh ini, meskipun belum bisa dipastikan apakah kedua tokoh ini adalah orang yang sama. Jika ternyata kedua tokoh ini adalah orang yang sama, pastinya akan membuka salah satu lembar yang tersembunyi dari Sejarah Sunda. Hyang Bunisora atau Mangkubumi Suradipati menikah dengan Dewi Laksmiwati dan menurunkan 4 (empat) anak (Djadja Sukardja,2007):
1). Giri Dewata (Gedeng Kasmaya) di Cirebon Girang menikahi Ratna Kirana puteri Ratu Cirebon Girang, di lereng Gunung Ciremai.
2). Bratalegawa (Haji baharudin/Haji Purwa) menikahi puteri Gujarat.
3). Ratu Banawati.
4). Ratu Mayangsari yang diperisteri Niskala Wastu Kancana.
Hyang Bunisora dikabarkan dimakamkan di Geger Omas, diperkirakan lokasi Geger Omas sekarang adalah Desa Ciomas (Panjalu Ciamis), di desa tersebut terdapat situs makam yang dikenal sebagai makam Dalem Penghulu Gusti dan Dalem Mangkubumi (Djadja Sukardja, 2007: 29-30). Legenda pertemuan antara Sanghyang Borosngora dengan Baginda Ali R.A. ini sampai sekarang masih kontroversial mengingat keduanya hidup di zaman yang berbeda. Sayidina Ali hidup pada abad ke-7 M (tahun 600-an) sedangkan pada periode masa itu di tatar Sunda tengah berdiri Kerajaan Tarumanagara dan nama Panjalu belum disebut-sebut dalam sejarah. Nama Panjalu (Kabuyutan Sawal) mulai disebut-sebut ketika Sanjaya (723-732) hendak merebut Galuh dari tangan Purbasora, ketika itu Sanjaya mendapat bantuan pasukan khusus dari Rabuyut Sawal (Panjalu) yang merupakan sahabat ayahnya, Sena (709-716). Sementara itu jika dirunut melalui catatan silsilah Panjalu sampai keturunannya sekarang, maka Sanghyang Borosngora diperkirakan hidup pada tahun 1400-an atau paling tidak sezaman dengan Sunan Gunung Jati Cirebon (1448-1568). Namun demikian, bukti-bukti cinderamata dari Sayidina Ali R.A. yang berupa pedang, tongkat dan pakaian kebesaran masih dapat dilihat dan tersimpan di Pasucian Bumi Alit. Kabarnya pedang pemberian Baginda Ali itu pernah diteliti oleh para ahli dan hasilnya menunjukkan bahwa kandungan logam dan besi yang membentuk pedang itu bukan berasal dari jenis bahan pembuatan senjata yang biasa dipakai para Empu dan Pandai Besi di Nusantara. Kisah masuk Islamnya Sanghyang Borosngora yang diislamkan oleh Sayidina Ali R.A. ini mirip dengan kisah Kian Santang. Kian Santang adalah putera Prabu Siliwangi dari isteri keduanya yang bernama Nyai Subang Larang binti Ki Gedeng Tapa yang beragama Islam. Dari isteri keduanya ini Prabu Siliwangi mempunyai tiga orang putera-puteri yaitu Walangsungsang (Pangeran Cakrabuana), Nyai Rara Santang, dan Kian Santang (Raja Sangara). Walangsungsang dan Rara Santang menuntut ilmu agama Islam mulai dari Pasai, Makkah, sampai ke Mesir; bahkan Rara Santang kemudian dinikahi oleh penguasa Mesir Syarif Abdullah atau Sultan Maulana Mahmud dan berputera Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Setelah naik haji Pangeran Cakrabuana berganti nama menjadi Syeikh Abdullah Iman, sedangkan Rara Santang setelah menikah berganti nama menjadi Syarifah Mudaim. Sementara itu, berbeda dengan kedua kakaknya; Kian Santang dikisahkan memeluk Islam setelah bertemu dengan Baginda Ali lalu kembali ke tanah air untuk menyampaikan syiar Islam kepada sang ayah: Prabu Siliwangi. Prabu Siliwangi yang tidak bersedia memeluk Islam lalu menghilang beserta seluruh pengikutnya di Leuweung Sancang (hutan Sancang di daerah Garut sekarang). Kian Santang yang juga berganti nama menjadi Syeikh Mansyur, melanjutkan syiar Islamnya dan kemudian dikenal sebagai Sunan Rahmat Suci atau Sunan Godog yang petilasannya terdapat di Garut. Menurut versi Sejarah Cianjur, Sanghyang Borosngora dikenal sebagai Prabu Jampang Manggung. Nama aslinya adalah Pangeran Sanghyang Borosngora, ia putera kedua Adipati Singacala (Panjalu) yang bernama Prabu Cakradewa. Prabu Cakradewa sendiri adalah putera Sedang Larang, Sedang Larang adalah putera Ratu Prapa Selawati. Sanghyang Borosngora adalah putera Prabu Cakradewa dari permaisuri yang bernama Ratu Sari Permanadewi. Ratu Sari Permanadewi adalah putera keenam dari Adipati Wanaperi Sang Aria Kikis, jadi Sanghyang Borosngora adalah saudara misan Dalem Cikundul. Sanghyang Borosngora mempunyai empat orang saudara dan pada usia 14 tahun ia diperintah sang ayah untuk berziarah ke tanah suci Mekkah. Pada bulan Safar 1101 H Sanghyang Borosngora berangkat ke Mekkah yang lama perjalanannya adalah 6 tahun. Sepulang dari tanah suci, Sanghyang Borosngora mendapat julukan Syeikh Haji Sampulur Sauma Dipa Ulama. Tiba di kampung halamannya Kerajaan Singacala, sang ayah ternyata telah meninggal dunia. Borosngora kemudian berniat menurunkan ilmunya dan menyampaikan ajaran Islam kepada rakyat Pajajaran Girang dan Pajajaran Tengah, karena itu Borosngora mengembara ke nagari Sancang dan tanah Jampang. Pada hitungan windu pertama, Sanghyang Borosngora melakukan perjalanan kunjungan ke tanah leluhurnya di Karantenan Gunung Sawal, nagari Sancang, Parakan Tilu, Kandangwesi, Gunung Wayang, Gunung Kendan (Galuh Wiwitan), Dayeuhkolot (Sagalaherang), nagari Wanayasa Rajamantri, Bayabang (menemui Kyai Nagasasra), Paringgalaya (sekarang sudah terbenam oleh Waduk Jatiluhur) dan kemudian kembali ke Gunung Wayang. Pada windu kedua ia berangkat ke Jampang Wetan, Gunung Patuha, Gunung Pucung Pugur, Pasir Bentang, Gunung Masigit, Pager Ruyung, Pagelarang, Jampang Tengah, Curug Supit, Cihonje, Teluk Ratu, Gunung Sunda, Cipanegah, Cicatih kemudian mengunjungi Salaka Domas di Sela Kancana, Cipanengah, Cimandiri. Windu ketiga Sanghyang Borosngora pergi ke Jampang Tengah mendirikan padepokan di Hulu Sungai Cikaso, Taman Mayang Sari (kuta jero), Jampang Kulon. Di tempat ini ia dikenal dengan nama Haji Soleh dan Haji Mulya. Setelah itu ia kembali ke Cipanengah, Gunung Rompang, di tempat ini ia dikenal sebagai Syeikh Haji Dalem Sepuh. Sanghyang Borosngora menikahi seorang gadis yatim, cucu angkat Kanjeng Kiai Cinta Linuwih di Gunung Wayang. Gadis yatim ini adalah turunan langsung Senapati Amuk Murugul Sura Wijaya, Mantri Agung Mareja, wakil Sri Maharaja Pajajaran untuk wilayah Cirebon Girang dan Tengah. Padaa windu ketiga, ia memiliki dua orang putra yaitu Hariang Sancang Kuning dan Pangeran Hariang Kancana. Sanghyang Borosngora hidup sampai usia lanjut, ia wafat setelah dari Gunung Rompang serta dimakamkan di suatu tempat di tepi Sungai Cileuleuy, Kp Langkob, Desa Ciambar, Kecamatan Nagrak, Sukabumi. Putra cikalnya yaitu Hariang Sancang Kuning melakukan napak tilas perjalanan mendiang ayahnya ke Pajajaran Girang dan Tengah, kemudian ke Singacala (Panjalu). Ia wafat dan dimakamkan di Cibungur, selatan Panjalu. Salah seorang keturunannya yang terkenal adalah Raden Alit atau Haji Prawata Sari yang gigih menentang penjajah Belanda. Ia dikenal sebagai pemberontak yang sangat ditakuti berjuluk "Karaman Jawa". Sedangkan adik Sancang Kuning yakni Pangeran Hariang Kancana menjadi Adipati Singacala kemudian hijrah ke Panjalu, setelah wafat ia dimakamkan di Giri Wanakusumah, Situ Panjalu. Pada suatu masa beberapa orang raja dan adipati dari bekas kawasan Pajajaran tengah dan Pajajaran girang yang mencakup wilayah Cianjur, Sukabumi dan sekitarnya berkumpul di puncak gunung yang biasa dipakai sebagai lokasi musyawarah oleh para raja dan adipati yaitu di Gunung Rompang (dalam bhs. Sunda istilah rompang menunjukan keadaan senjata pedang, golok atau pisau yang sudah retak bergerigi karena terlalu sering dipakai). Dinamai Gunung Rompang karena pada masa akhir berdirinya kerajaan Sunda Pajajaran setelah melewati perang selama 50 tahun, senjata para prajurit Pajajaran telah menjadi rompang karena dipakai bertempur terus-menerus. Lokasi ini dikenal juga sebagai "Karamat Pasamoan", adapun tokoh-tokoh yang hadir pada pertemuan itu adalah :
1. Syeikh Dalem Haji Sepuh Sang Prabu Jampang Manggung yang berasal dari negeri Singacala (Panjalu) bawahan Galuh, di tanah Pajampangan ia dikenal dengan berbagai julukan yaitu sebagai Syeikh Haji Mulya, Syeikh Haji Sholeh, dan Syeikh Aulia Mantili.
2. Kanjeng Aria Wira Tanu Cikundul atau Pangeran Jaya Lalana, bergelar Raden Ngabehi Jaya Sasana, Pangeran Panji Nata Kusumah.
3. Raden Sanghyang Panaitan atau Raden Widaya bergelar Pangerang Rangga Sinom di Sedang, Kanjeng Adipati Sukawayana.
4. Raden Adipati Lumaju Gede Nyilih Nagara di Cimapag.
5. Kanjeng Kyai Aria Wangsa Merta dari Tarekolot, Cikartanagara.
6. Kanjeng Dalem Nala Merta dari Cipamingkis.
7. Pangeran Hyang Jaya Loka dari Cidamar.
8. Pangeran Hyang Jatuna dari Kadipaten Kandang Wesi.
9. Pangeran Hyang Krutu Wana dari Parakan Tiga.
10. Pangeran Hyang Manda Agung dari Sancang.
Tujuan pertemuan para raja ini adalah untuk membahas keinginan para raja dan adipati untuk menjalin kerjasama yang lebih erat terutama dalam usaha menangkal serangan musuh dari luar. Untuk itu dibutuhkan adanya seorang pemimpin yang tangguh, pemimpin yang memegang tangkai, yang disebut sebagai Raja Gagang (Raja pemegang tangkai). Prabu Jampang Manggung mengusulkan agar Aria Wira Tanu Dalem Cikundul yang ditunjuk sebagai Raja Gagang, dan usul ini diterima oleh semua tokoh yang hadir. Akhirnya, setelah menjalankan Salat Jum'ah yang bertepatan dengan bulan purnama Rabiul Awal 1076 H atau 2 September 1655 berdiri negeri Cianjur yang merupakan negeri merdeka dan berdaulat, tidak tunduk kepada Kompeni, Mataram maupun Banten, hanya tunduk kepada Allah SWT. Negeri ini dipimpin oleh Aria Wira Tanu, Dalem Cikundul sebagai Raja Gagang. Raden Haji Alit Prawatasari adalah seorang ulama dari Jampang yang juga merupakan keturunan Sancang Kuning dari Singacala (Panjalu). Pemberontakan Raden Haji Alit Prawatasari dimulai pada bulan Maret 1703 dan terjadi sangat dahsyat. Haji Prawatasari sanggup memobilisasi rakyat menjadi pasukannya sebanyak 3000 orang sehingga membuat VOC kalang kabut. Pada suatu ketika tersebar berita bahwa RH Alit Prawatasari telah tewas. Pieter Scorpoi komandan pasukan VOC segera saja menawan dan menggiring seluruh warga Jampang yang mencapai 1354 orang untuk menjalani hukuman di Batavia melewati Cianjur. Tujuan VOC tidak lain adalah untuk menghancurkan semangat dan kekuatan pengikut RH Alit Prawatasari. Penduduk Jampang yang berbaris sepanjang jalan itu sebagian besar tewas diperjalanan, yang tersisa hanyalah 582 orang dengan kondisi yang menyedihkan, mereka kemudian digiring terus menuju ke Bayabang. Pada waktu itu sesungguhnya RH Alit Prawatasari tidak tewas melainkan sedang mengumpulkan wadya balad (pengikut) yang sangat besar, ia kemudian memimpin penyerbuan ke kabupaten priangan wetan (timur). Pada tahun 1705 RH Alit Prawatasari muncul lagi di Jampang dan kemudian mengepung sekeliling Batavia, pada sekitar Januari di dekat Bogor. Dikarenakan VOC tak mampu menangkap RH Alit Prawatasari, tiga orang tokoh masyarakat yang ditangkap di Kampung Baru, Bogor dieksekusi mati oleh VOC. Pada bulan Maret RH Alit Prawatasari membuat kekacauan di Sumedang utara, kemudian pada Agustus 1705 RH Alit Prawatasari berhasil mengalahkan pasukan Belanda yang mencoba mengejar dan menangkapnya melalui tiga kali pertempuran. Akibat kegagalan-kegalannya menangkap RH Alit Prawatasari, maka VOC menjatuhkan hukuman berat kepada siapa saja yang disangka membantu RH Alit Prawatasari, namun jumlah pengikutnya bukan berkurang malah semakin bertambah banyak karena rakyat bersimpati kepada perjuangannya. Pihak Belanda lalu mengeluarkan ultimatum dan tenggat waktu selama enam bulan kepada para bupati di Tatar Sunda agar menangkap RH Alit Prawatasari. Pada tahun 1706 RH Alit Prawatasari meninggalkan Tatar Sunda menuju ke Jawa Tengah. RH Alit Prawatasari akhirnya tertangkap di Kartasura setelah ditipu oleh Belanda pada tangal 12 Juli 1707. Makam pahlawan yang terlupakan ini terletak di Dayeuh Luhur, Cilacap. Penduduk setempat menyebutnya sebagai makam turunan Panjalu, makamnya ini sampai sekarang masih sering diziarahi oleh penduduk sekitar dan peziarah dari Ciamis. Rahyang Kuning atau Hariang Kuning menggantikan Sanghyang Borosngora menjadi Raja Panjalu, akibat kesalahpahaman dengan adiknya yang bernama Rahyang Kancana sempat terjadi perseteruan yang akhirnya dapat didamaikan oleh Guru Aji Kampuh Jaya dari Cilimus. Rahyang Kuning kemudian mengundurkan diri dan menyerahkan tahta Panjalu kepada Rahyang Kancana. Menurut Babad Panjalu, perselisihan ini dikenal dengan peristiwa Ranca Beureum. Peristiwa ini terjadi sewaktu Prabu Rahyang Kuning bermaksud menguras air Situ Lengkong untuk diambil ikannya (Sunda:ngabedahkeun). Rahyang Kuning mengutus patih kerajaan untuk menjemput sang ayah Sanghyang Borosngora di Jampang Manggung agar menghadiri acara itu. Namun karena Sanghyang Borosngora berhalangan, maka ia menunjuk Rahyang Kancana untuk mewakili sang ayah menghadiri acara tersebut. Berhubung hari yang telah ditentukan untuk perayaan itu semakin dekat, Rahyang Kuning memerintahkan para abdinya untuk mulai membobol Situ Lengkong sambil menunggu kedatangan ayahnya, air pembuangannya dialirkan melalui daerah jalan Sriwinangun sekarang. Sang Prabu turun langsung memimpin para abdi dan rakyatnya berbasah-basahan di tengah cuaca dingin di pagi buta itu. Untuk sekedar menghangatkan badan, Rahyang Kuning menyalakan api unggun sambil berdiang menghangatkan telapak tangannya menghadap ke arah barat. Pada saat yang bersamaan dari arah barat, sang adik Rahyang Kancana bersama rombongan pasukan pengawalnya tiba di sekitar daerah Sriwinangun yang akan dilewati dan terkejut mendapati Situ Lengkong telah mulai dikeringkan tanpa menunggu kedatangannya sebagai wakil sang ayah. Rahyang Kancana yang tersinggung lalu membendung saluran pembuangan air itu dengan tergesa-gesa. Akibatnya meskipun sudah dibendung, tetapi tempat itu masih dipenuhi rembesan air dan gundukan tanah tak beraturan sehingga sampai sekarang tempat itu dikenal dengan nama Cibutut (Bhs. Sunda: butut artinya jelek). Rahyang Kuning yang tengah menghangatkan telapak tangannya menghadapi api unggun terkejut melihat kedatangan Rahyang Kancana bersama pasukan pengawalnya yang dipenuhi emosi. Sebaliknya Rahyang Kancana mengira kakaknya itu sedang menunggu untuk menantangnya adu kesaktian karena ia telah membendung air Situ Lengkong supaya tidak kering. Singkat cerita, akibat kesalahpahaman tersebut terjadilah duel pertarungan antara Rahyang Kancana bersama pasukan pengawalnya melawan Rahyang Kuning bersama pasukan pengawal kerajaan, akibat pertempuran itu banyak korban yang berjatuhan dari kedua belah pihak, akibatnya sebuah ranca (rawa atau danau dangkal) airnya menjadi berwarna merah oleh genangan darah sehingga sampai sekarang dikenal dengan nama Ranca Beureum (Bhs. Sunda: beureum artinya merah). Perang saudara ini baru berakhir setelah didamaikan oleh Guru Aji Kampuhjaya, ulama kerajaan yang sangat dihormati sekaligus sahabat Prabu Sanghyang Borosngora. Rahyang Kuning yang menyesal karena telah menimbulkan perselisihan tersebut menyerahkan tahta Panjalu kepada Rahyang Kancana dan meninggalkan kaprabon lalu mengembara ke wilayah selatan Galuh. Rahyang Kuning di akhir hayatnya menjadi Raja di Kawasen (Ciamis Selatan), jasadnya dibawa pulang ke Panjalu dan dimakamkan di Kapunduhan Cibungur, Desa Kertamandala, Kecamatan Panjalu. Rahyang Kancana atau Hariang Kancana melanjutkan tahta Panjalu dari kakaknya, untuk melupakan peristiwa berdarah perang saudara di Ranca Beureum ia memindahkan kaprabon dari Nusa Larang ke Dayeuh Nagasari, sekarang termasuk wilayah Desa Ciomas Kecamatan Panjalu. Rahyang Kancana mempunyai dua orang putera yaitu:
1) Rahyang Kuluk Kukunangteko, dan
2) Rahyang Ageung.
Prabu Rahyang Kancana setelah mangkat dipusarakan di Nusa Larang Situ Lengkong. Pusara Prabu Rahyang Kancana sampai sekarang selalu ramai didatangi para peziarah dari berbagai daerah di Indonesia. Rahyang Kuluk Kukunangteko atau Hariang Kuluk Kukunangteko menggantikan Rahyang Kancana menduduki tahta Panjalu, ia didampingi oleh adiknya yang bernama Rahyang Ageung sebagai Patih Panjalu. Sang Prabu mempunyai seorang putera bernama Rahyang Kanjut Kadali Kancana. Pusara Rahyang Kuluk Kukunangteko terletak di Cilanglung, Simpar, Panjalu. Rahyang Kanjut Kadali Kancana atau Hariang Kanjut Kadali Kancana menggantikan ayahnya sebagai Raja Panjalu, ia mempunyai seorang putera bernama Rahyang Kadacayut Martabaya. Rahyang Kanjut Kadali Kancana setelah mangkat dipusarakan di Sareupeun Hujungtiwu, Panjalu.
Rahyang Kadacayut Martabaya atau Hariang Kadacayut Martabaya naik tahta Panjalu menggantikan ayahnya, ia mempunyai seorang anak bernama Rahyang Kunang Natabaya.
Rahyang Kadacayut Martabaya jasadnya dipusarakan di Hujungwinangun, Situ Lengkong Panjalu. Rahyang Kunang Natabaya atau Hariang Kunang Natabaya menduduki tahta Panjalu menggantikan ayahnya, ia menikah dengan Apun Emas. Apun Emas adalah anak dari penguasa Kawali bernama Pangeran Mahadikusumah atau Apun di Anjung yang dikenal juga sebagai Maharaja Kawali (1592-1643) putera Pangeran Bangsit (1575-1592) (Djadja Sukardja, 2007: 33). Sementara adik Apun Emas yang bernama Tanduran di Anjung menikah dengan Prabu di Galuh Cipta Permana (1595-1608) dan menurunkan Adipati Panaekan.
Dari perkawinannya dengan Nyai Apun Emas, Prabu Rahyang Kunang Natabaya mempunyai tiga orang putera yaitu :
1) Raden Arya Sumalah,
2) Raden Arya Sacanata, dan
3) Raden Arya Dipanata (kelak diangkat menjadi Bupati Pagerageung oleh Mataram).
Pada masa kekuasaan Prabu Rahyang Kunang Natabaya ini, Panembahan Senopati (1586-1601) berhasil menaklukkan Cirebon beserta daerah-daerah bawahannya termasuk Panjalu dan Kawali menyusul kemudian Galuh pada tahun 1618. Pusara Prabu Rahyang Kunang Natabaya terletak di Ciramping, Desa Simpar, Panjalu. Arya Sumalah naik tahta Panjalu bukan sebagai Raja, tapi sebagai Bupati di bawah kekuasaan Mataram. Ia menikah dengan Ratu Tilarnagara puteri dari Bupati Talaga yang bernama Sunan Ciburuy atau yang dikenal juga dengan nama Pangeran Surawijaya, dari pernikahannya itu Arya Sumalah mempunyai dua orang anak, yaitu:
1) Ratu Latibrangsari dan
2) Raden Arya Wirabaya.
Arya Sumalah setelah wafat dimakamkan di Buninagara Simpar, Panjalu.
Raden Arya Sumalah wafat dalam usia muda dan meninggalkan putera-puterinya yang masih kecil. Untuk mengisi kekosongan kekuasaan di Kabupaten Panjalu Raden Arya Sacanata diangkat oleh Sultan Agung (1613-1645) sebagai Bupati menggantikan kakaknya dengan gelar Pangeran Arya Sacanata. Pangeran Arya Sacanata juga memperisteri Ratu Tilarnagara puteri Bupati Talaga Sunan Ciburuy yang merupakan janda Arya Sumalah. Pangeran Arya Sacanata mempunyai banyak keturunan, baik dari garwa padminya yaitu Ratu Tilarnagara maupun dari isteri-isteri selirnya (ada sekitar 20 orang anak), anak-anaknya itu dikemudian hari menjadi pembesar-pembesar di tanah Pasundan. Dua belas diantara putera-puteri Pangeran Arya Sacanata itu adalah:
1) Raden Jiwakrama (Cianjur),
2) Raden Ngabehi Suramanggala,
3) Raden Wiralaksana (Tengger, Panjalu),
4) Raden Jayawicitra (Pamekaran, Panjalu),
5) Raden Dalem Singalaksana (Cianjur),
6) Raden Dalem Jiwanagara (Bogor),
7) Raden Arya Wiradipa (Maparah, Panjalu),
8) Nyi Raden Lenggang,
9) Nyi Raden Tilar Kancana,
10) Nyi Raden Sariwulan (Gandasoli, Sukabumi),
11) Raden Yudaperdawa (Gandasoli, Sukabumi), dan
12) Raden Ngabehi Dipanata.
Putera Sultan Agung, Sunan Amangkurat I (1645-1677) pada tahun 1656-1657 secara sepihak mencopot jabatan Pangeran Arya Sacanata sebagai Bupati Panjalu yang diangkat oleh Sultan Agung serta menghapuskan Kabupaten Panjalu dengan membagi wilayah Priangan menjadi 12 Ajeg; salah satunya adalah Ajeg Wirabaya yang meliputi wilayah Kabupaten Panjalu, Utama dan Bojonglopang serta dikepalai oleh keponakan sekaligus anak tirinya yaitu Raden Arya Wirabaya sehingga membuat Pangeran Arya Sacanata mendendam kepada Mataram. Suatu ketika Pangeran Arya Sacanata ditunjuk oleh mertuanya yang juga Bupati Talaga Sunan Ciburuy untuk mewakili Talaga mengirim seba (upeti) ke Mataram. Pada kesempatan itu Pangeran Arya Sacanata menyelinap ke peraduan Sinuhun Mataram dan mempermalukanya dengan memotong sebelah kumisnya sehingga menimbulkan kegemparan besar di Mataram. Segera saja Pangeran Arya Sacanata menjadi buruan pasukan Mataram, namun hingga akhir hayatnya Pangeran Arya Sacanata tidak pernah berhasil ditangkap oleh pasukan Mataram sehingga ia mendapat julukan Pangeran Arya Salingsingan (dalam Bahasa Sunda kata "salingsingan" berarti saling berpapasan tapi tidak dikenali). Pangeran Arya Sacanata menghabiskan hari tuanya dengan meninggalkan kehidupan keduniawian dan memilih hidup seperti petapa mengasingkan diri di tempat-tempat sunyi di sepanjang hutan pegunungan dan pesisir Galuh. Mula-mula ia mendirikan padepokan di Gandakerta sebagai tempatnya berkhalwat (menyepi), Sang Pangeran kemudian berkelana ke Palabuhan Ratu, Kandangwesi, Karang, Lakbok, kemudian menyepi di Gunung Sangkur, Gunung Babakan Siluman, Gunung Cariu, Kuta Tambaksari dan terakhir di Nombo, Dayeuhluhur. Pangeran Arya Sacanata wafat dan dipusarakan di Nombo, Kecamatan Dayeuhluhur, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah.
Sewaktu Sunan Amangkurat I berkuasa (1645-1677) pada sekitar tahun 1656-1657 wilayah Mancanagara Kilen (Mataram Barat) dibagi menjadi dua belas Ajeg (daerah setingkat kabupaten) serta menghapuskan jabatan Wedana Bupati Priangan, keduabelas Ajeg itu adalah: Sumedang, Parakan Muncang (Bandung Timur), Bandung, Sukapura (Tasikmalaya), Karawang, Imbanagara (Ciamis), Kawasen (Ciamis Selatan), Wirabaya (Ciamis Utara termasuk Kabupaten Panjalu, Utama dan Bojonglopang), Sindangkasih (Majalengka), Banyumas, Ayah/Dayeuhluhur (Kebumen, Cilacap) dan Banjar (Ciamis Timur). Pada waktu itulah Arya Wirabaya diangkat oleh Sunan Amangkurat I menjadi Kepala Ajeg Wirabaya sekaligus menggantikan Pangeran Arya Sacanata yang tidak lagi menjabat Bupati karena Kabupaten Panjalu telah dihapuskan dan dimasukkan kedalam Ajeg Wirabaya. Arya Wirabaya mempunyai seorang putera yang bernama Raden Wirapraja, setelah wafat jasad Arya Wirabaya dimakamkan di Cilamping, Panjalu, Ciamis. Raden Wirapraja menggantikan ayahnya menjadi Bupati Panjalu dengan gelar Raden Tumenggung Wirapraja. Pada masa pemerintahannya kediaman bupati dipindahkan dari Dayeuh Nagasari, Ciomas ke Dayeuh Panjalu sekarang. Tumenggung Wirapraja setelah mangkat dimakamkan di Kebon Alas Warudoyong, Kecamatan Panumbangan, Kabupaten Ciamis. Salah seorang putera Pangeran Arya Sacanata yang bernama Arya Wiradipa memperisteri Nyi Mas Siti Zulaikha puteri Tandamui dari Cirebon, ia bersama kerabat dan para kawula-balad (abdi dan rakyatnya) dari keraton Talaga mendirikan pemukiman yang sekarang menjadi Desa Maparah, Panjalu. Dari pernikahannya itu Arya Wiradipa mempunyai empat orang anak, yaitu:
1) Raden Ardinata,
2) Raden Cakradijaya,
3) Raden Prajasasana, dan
4) Nyi Raden Ratna Gapura.
Raden Prajasasana yang setelah dewasa dikenal juga dengan nama Raden Suragostika mengabdi sebagai pamong praja bawahan Pangeran Arya Cirebon (1706-1723) yang menjabat sebagai Opzigter (Pemangku Wilayah) VOC untuk wilayah Priangan (Jawa Barat) dan bertugas mengepalai dan mengatur para bupati Priangan. Raden Suragostika yang dianggap berkinerja baik dan layak menduduki jabatan bupati kemudian diangkat oleh Pangeran Arya Cirebon menjadi Bupati Panjalu dengan gelar Raden Tumenggung Cakranagara menggantikan Tumenggung Wirapraja. Tumenggung Cakranagara I memperisteri Nyi Raden Sojanagara puteri Ratu Latibrang Sari (kakak Arya Wirabaya) sebagai garwa padmi (permaisuri) dan menurunkan tiga orang putera, yaitu:
1) Raden Cakranagara II,
2) Raden Suradipraja, dan
3) Raden Martadijaya.
Sementara dari garwa ampil (isteri selir) Tumenggung Cakranagara I juga mempunyai empat orang puteri, yaitu:
1) Nyi Raden Panatamantri,
2) Nyi Raden Widaresmi.
3) Nyi Raden Karibaningsih, dan
4) Nyi Raden Ratnaningsih.
Tumenggung Cakranagara I setelah wafat dimakamkan di Cinagara, Desa Simpar, Kecamatan Panjalu, Kabupaten Ciamis. Raden Cakranagara II menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Bupati Panjalu dengan gelar Raden Tumenggung Cakranagara II, sedangkan adiknya yang bernama Raden Suradipraja diangkat menjadi Patih Panjalu dengan gelar Raden Demang Suradipraja. Tumenggung Cakranagara II mempunyai enam belas orang anak dari garwa padmi dan isteri selirnya, keenambelas putera-puterinya itu adalah:
1) Nyi Raden Wijayapura,
2) Nyi Raden Natakapraja,
3) Nyi Raden Sacadinata,
4) Raden Cakradipraja,
5) Raden Ngabehi Angreh,
6) Raden Dalem Cakranagara III,
7) Nyi Raden Puraresmi,
8) Nyi Raden Adiratna,
9) Nyi Raden Rengganingrum,
10) Nyi Raden Janingrum,
11) Nyi Raden Widayaresmi,
12) Nyi Raden Murdaningsih,
13) Raden Demang Kertanata,
14) Raden Demang Argawijaya,
15) Nyi Raden Adipura, dan
16) Nyi Raden Siti Sarana.
Tumenggung Cakranagara II setelah wafat dimakamkan di Puspaligar, Kecamatan Panjalu, Kabupaten Ciamis. Raden Cakranagara III sebagai putera tertua dari garwa padmi (permaisuri) menggantikan posisi ayahnya sebagai Bupati Panjalu dengan gelar Raden Tumenggung Cakranagara III. Tahun 1810 wilayah Kawali yang dikepalai Raden Adipati Mangkupraja III (1801-1810) digabungkan kedalam wilayah Kabupaten Panjalu dibawah Raden Tumenggung Cakranagara III yang sama-sama berada dalam wilayah administratif Cirebon. Wilayah Kawali ini kemudian dikepalai oleh Raden Tumenggung Suradipraja I (1810-1819) yang menginduk ke Kabupaten Panjalu. Pada tahun 1819 ketika Pemerintah Hindia-Belanda dibawah pimpinan Gubernur Jenderal G.A.G.Ph. Baron Van der Capellen (1816-1836) dikeluarkanlah kebijakan untuk menggabungkan Kabupaten Panjalu, Kawali, Distrik Cihaur dan Rancah kedalam Kabupaten Galuh. Berdasarkan hal itu maka Tumenggung Cakranagara III dipensiunkan dari jabatannya sebagai Bupati Panjalu dan sejak itu Panjalu menjadi kademangan (daerah setingkat wedana) di bawah Kabupaten Galuh. Pada tahun itu Bupati Galuh Tumenggung Wiradikusumah digantikan oleh puteranya yang bernama Adipati Adikusumah (1819-1839), sedangkan di Panjalu pada saat yang bersamaan putera tertua Tumenggung Cakranagara III yang bernama Raden Sumawijaya diangkat menjadi Demang (Wedana) Panjalu dengan gelar Raden Demang Sumawijaya, sementara itu putera ketujuh Tumenggung Cakranagara III yang bernama Raden Cakradikusumah diangkat menjadi Wedana Kawali dengan gelar Raden Arya Cakradikusumah. Tumenggung Cakranagara III mempunyai dua belas orang putera-puteri, yaitu:
1) Raden Sumawijaya Demang Panjalu (Nusa Larang, Panjalu),
2) Raden Prajasasana Kyai Sakti (Nusa Larang, Panjalu),
3) Raden Aldakanata,
4) Raden Wiradipa,
5) Nyi Raden Wijayaningrum,
6) Raden Jibjakusumah,
7) Raden Cakradikusumah (Wedana Kawali),
8) Raden Cakradipraja,
9) Raden Baka,
10) Nyi Raden Kuraesin,
11) Raden Raksadipraja (Kuwu Ciomas, Panjalu), dan
12) Raden Prajadinata (Kuwu Maparah, Panjalu), penulis naskah Babad Panjalu dalam bahasa Sunda dengan aksara latin (tersimpan di Perpustakaan Nasional RI), wafat di Mekkah. Tumenggung Cakranagara III wafat pada tahun 1853 dan dipusarakan di Nusa Larang Situ Lengkong Panjalu berdekatan dengan pusara Prabu Rahyang Kancana putera Prabu Sanghyang Borosngora. Raden Sumawijaya pada tahun 1819 diangkat menjadi Demang Panjalu dengan gelar Raden Demang Sumawijaya. Adiknya yang bernama Raden Cakradikusumah pada waktu yang berdekatan juga diangkat menjadi Wedana Kawali dengan gelar Raden Arya Cakradikusumah. Demang Sumawijaya mempunyai tiga orang anak, yaitu:
1) Raden Aldakusumah,
2) Nyi Raden Asitaningsih, dan
3) Nyi Raden Sumaningsih.
Demang Sumawijaya setelah wafat dimakamkan di Nusa Larang Situ Lengkong Panjalu.
Raden Aldakusumah menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Demang Panjalu dengan gelar Raden Demang Aldakusumah, ia menikahi Nyi Raden Wiyata (Reumalega, Desa Kertamandala, Panjalu) dan mempunyai empat orang anak, yaitu:
1) Raden Kertadipraja (Reumalega, Desa Kertamandala, Panjalu),
2) Nyi Raden Wijayaningsih,
3) Nyi Raden Kasrengga (Reumalega, Desa Kertamandala, Panjalu), dan
4) Nyi Raden Sukarsa-Karamasasmita (Reumalega, Desa Kertamandala, Panjalu).
Semantara itu adik sepupunya yang bernama Raden Argakusumah (putera Wedana Kawali Raden Arya Cakradikusumah) diangkat menjadi Bupati Dermayu (sekarang Indramayu) dengan gelar Raden Tumenggung Cakranagara IV. Raden Demang Aldakusumah dan Raden Tumenggung Argakusumah (Cakranagara IV) setelah wafatnya dimakamkan di Nusa Larang Situ Lengkong Panjalu. Putera tertua Demang Aldakusumah yang bernama Raden Kertadipraja tidak lagi menjabat sebagai Demang Panjalu karena Panjalu kemudian dijadikan salah satu desa/kecamatan yang masuk kedalam wilayah kawedanaan Panumbangan Kabupaten Galuh, sementara ia sendiri tidak bersedia diangkat menjadi Kuwu (Kepala Desa) Panjalu. Pada tahun 1915 Kabupaten Galuh berganti nama menjadi Kabupaten Ciamis. Raden Kertadipraja (Reumalega, Desa Kertamandala, Panjalu) menikahi Nyi Mas Shinta (Reumalega, Desa Kertamandala, Panjalu) dan menurunkan empat orang anak yaitu:
1) Raden Hanafi Argadipraja (Reumalega, Desa Kertamandala, Panjalu),
2) Nyi Raden Hasibah-Junaedi (Reumalega, Desa Kertamandala Panjalu),
3) Nyi Raden Halimah-Suminta (Reumalega, Desa Kertamandala, Panjalu), dan
4) Raden Ahmad Kertadipraja (Reumalega, Desa Kertamandala, Panjalu).
Raden Hanafi Argadipraja (Reumalega, Desa Kertamandala, Panjalu) mempersunting Nyi Raden Dewi Hunah Murtiningsih (Reumalega, Desa Kertamandala, Panjalu) puteri dari Kuwu Cimuncang (sekarang Desa Jayagiri Kecamatan Panumbangan Ciamis) yang bernama Raden Nitidipraja, penulis catatan sejarah & silsilah Panjalu dalam bahasa Sunda dengan aksara arab dan latin (makamnya di Puspaligar, Panjalu), dan dari pernikahannya itu menurunkan lima orang putera-puteri:
1) Nyi Raden Sukaesih-Raden Abdullah Suriaatmaja,
2) H. Raden Muhammad Tisna Argadipraja,
3) Raden Galil Aldar Argadipraja,
4) Hj. Nyi Raden Siti Maryam-H.Encur Mansyur,
5) Nyi Raden Siti Rukomih-Raden Sukarsana Sadhi Pasha.
Sedangkan adik Raden Hanafi Argadipraja, yakni Raden Ahmad Kertadipraja (Reumalega, Desa Kertamandala, Panjalu) menurunkan empat orang anak:
1) H. Raden Afdanil Ahmad,
2) Raden Nasuha Ahmad,
3) Nyi Raden Nia Kania, dan
4) Raden Ghia Subagia.
Situ Lengkong sekarang termasuk kedalam wilayah Desa/Kecamatan Panjalu Kabupaten Ciamis Jawa Barat. Dalam Bahasa Sunda; kata situ artinya danau. Situ Lengkong atau dikenal juga dengan Situ Panjalu terletak di ketinggian 700 m dpl. Di tengah danau tersebut terdapat sebuah pulau yang dinamai Nusa Larang atau Nusa Gede atau ada juga yang menyebutnya sebagai Nusa Panjalu. Menurut legenda rakyat dan Babad Panjalu, Situ Lengkong adalah sebuah danau buatan, sebelumnya daerah ini adalah kawasan legok (bhs. Sunda : lembah) yang mengelilingi bukit bernama Pasir Jambu (Bhs. Sunda: pasir artinya bukit). Ketika Sanghyang Borosngora pulang menuntut ilmu dari tanah suci Mekkah, ia membawa cinderamata yang salah satunya berupa air zamzam yang dibawa dalam gayung batok kelapa berlubang-lubang (gayung bungbas). Air zamzam itu ditumpahkan ke dalam lembah dan menjadi cikal-bakal atau induk air Situ Lengkong. Bukit yang ada di tengah lembah itu menjelma menjadi sebuah pulau dan dinamai Nusa Larang, artinya pulau terlarang atau pulau yang disucikan, sama halnya seperti kota Mekkah yang berjuluk tanah haram yaitu tanah terlarang atau tanah yang disucikan; artinya tidak sembarang orang boleh masuk dan terlarang berbuat hal yang melanggar pantangan atau hukum di kawasan itu. Pada masa pemerintahan Prabu Sanghyang Borosngora, pulau ini dijadikan pusat pemerintahan Kerajaan Panjalu. Di Nusa Larang ini bersemayam juga jasad tokoh-tokoh Kerajaan Panjalu yaitu Prabu Rahyang Kancana, Raden Tumenggung Cakranagara III, Raden Demang Sumawijaya, Raden Demang Aldakusumah, Raden Tumenggung Argakusumah (Cakranagara IV) dan Raden Prajasasana Kyai Sakti. Situ Lengkong memiliki luas kurang lebih 67,2 hektare, sedangkan Nusa Larang mempunyai luas sekitar 16 hektare. Pulau ini telah ditetapkan sebagai cagar alam sejak tanggal 21 Februari 1919. Nusa Larang ini pada zaman Kolonial Belanda dinamai juga Pulau Koorders sebagai bentuk penghargaan kepada Dr Koorders, seorang pendiri sekaligus ketua pertama Nederlandsch Indische Vereeniging tot Natuurbescherming, yaitu sebuah perkumpulan perlindungan alam Hindia Belanda yang didirikan tahun 1863. Sebagai seorang yang menaruh perhatian besar pada botani, Koorders telah memelopori pencatatan berbagai jenis pohon yang ada di Pulau Jawa. Pekerjaannya mengumpulkan herbarium tersebut dilakukan bersama Th Valeton, seorang ahli botani yang membantu melakukan penelitian ilmiah komposisi hutan tropika. Koorders dan rekannya itu pada akhirnya berhasil memberikan sumbangan pada dunia ilmu pengetahuan. Berkat kerja kerasnya kemudian terlahir buku Bijdragen tot de Kennis der Boomsoorten van Java, sebuah buku yang memberi sumbangan pengetahuan tentang pohon-pohon yang tumbuh di Pulau Jawa. Sebagai cagar alam, Nusa Larang memiliki vegetasi hutan primer yang relatif masih utuh dan tumbuh secara alami. Di sana terdapat beberapa jenis flora seperti Kondang (Ficus variegata), Kileho (Sauraula Sp), dan Kihaji (Dysoxylum). Di bagian pulau yang lebih rendah tumbuh tanaman Rotan (Calamus Sp), Tepus (Zingiberaceae), dan Langkap (Arenga). Sedangkan fauna yang hidup di pulau itu antara lain adalah Tupai (Calosciurus nigrittatus), Burung Hantu (Otus scop), dan Kelelawar (Pteropus vampyrus). Nyangku adalah suatu rangkaian prosesi adat penjamasan (penyucian) benda-benda pusaka peninggalan Prabu Sanghyang Borosngora dan para Raja serta Bupati Panjalu penerusnya yang tersimpan di Pasucian Bumi Alit. Istilah Nyangku berasal dari kata bahasa Arab "yanko" yang artinya membersihkan, mungkin karena kesalahan pengucapan lidah orang Sunda sehingga entah sejak kapan kata yanko berubah menjadi nyangku.Upacara Nyangku ini dilaksanakan pada Hari Senin atau Kamis terakhir Bulan Maulud (Rabiul Awal). Dalam rangka mempersiapkan bahan-bahan untuk pelaksanaan upacara Nyangku ini pada jaman dahulu biasanya semua keluarga keturunan Panjalu menyediakan beras merah yang harus dikupas dengan tangan, bukan ditumbuk sebagaimana biasa. Beras merah ini akan digunakan untuk membuat tumpeng dan sasajen (sesaji). Pelaksanaan menguliti gabah merah dimulai sejak tanggal 1 Mulud sampai dengan satu hari sebelum pelaksanaan Nyangku. Disamping itu, semua warga keturunan Panjalu melakukan ziarah ke makam Raja-raja Panjalu dan bupati-bupati penerusnya terutama makam Prabu Rahyang Kancana di Nusa Larang Situ Lengkong. Kemudian Kuncen (juru Kunci) Bumi Alit atau beberapa petugas yang ditunjuk panitia pelaksanaan Nyangku melakukan pengambilan air suci untuk membersihkan benda-benda pusaka yang berasal dari tujuh sumber mata air, yaitu:
1. Sumber air Situ Lengkong
2. Sumber air Karantenan Gunung Sawal
3. Sumber air Kapunduhan (makam Prabu Rahyang Kuning)
4. Sumber air Cipanjalu
5. Sumber air Kubang Kelong
6. Sumber air Pasanggrahan
7. Sumber air Bongbang Kancana
Bahan-bahan lain yang diperlukan dalam pelaksanan upacara Nyangku adalah tujuh macam sesaji termasuk umbi-umbian, yaitu:
1. Tumpeng nasi merah
2. Tumpeng nasi kuning
3, Ayam panggang
4. Ikan dari Situ Lengkong
5. Sayur daun kelor
6. Telur ayam kampung
7. Umbi-umbian
Selanjutnya disertakan pula tujuh macam minuman, yaitu:
1. Kopi pahit
2. Kopi manis
3. Air putih
4. Air teh
5. Air Mawar
6. Air Bajigur
7. Rujak Pisang
Kelengkapan prosesi adat lainnya adalah sembilan payung dan kesenian gembyung untuk mengiringi jalannya upacara. Pada malam harinya sebelum upacara Nyangku, dilaksanakanlah acara Muludan peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW yang dihadiri oleh para sesepuh Panjalu serta segenap masyarakat yang datang dari berbagai pelosok sehingga suasana malam itu benar-benar meriah, apalagi biasanya di alun-alun Panjalu juga diselenggarakan pasar malam yang semarak. Keesokan paginya dengan berpakaian adat kerajaan para sesepuh Panjalu berjalan beriringan menuju Bumi Alit tempat benda-benda pusaka disimpan. Kemudian dibacakan puji-pujian dan shalawat Nabi Muhammad SAW. Selanjutnya benda-benda pusaka yang telah dibalut kain putih mulai disiapkan untuk diarak menuju tempat penjamasan. Perjalannya didiringi dengan irama gembyung (rebana) dan pembacaan Shalawat Nabi. Setibanya di Situ Lengkong, dengan menggunakan perahu rombongan pembawa benda-benda pusaka itu menyeberang menuju Nusa Larang dengan dikawal oleh dua puluh perahu lainnya. Pusaka-pusaka kemudian diarak lagi menuju bangunan kecil yang ada di Nusa Larang. Benda-benda pusaka itu kemudian diletakan diatas alas kasur yang khusus disediakan untuk upacara Nyangku ini. Selanjutnya benda-benda pusaka satu persatu mulai dibuka dari kain putih pembungkusnya. Setelah itu benda-benda pusaka segera dibersihkan dengan tujuh sumber mata air dan jeruk nipis, dimulai dengan pedang pusaka Prabu Sanghyang Borosngora dan dilanjutkan dengan pusaka-pusaka yang lain. Tahap akhir, setelah benda-benda pusaka itu selesai dicuci lalu diolesi dengan minyak kelapa yang dibuat khusus untuk keperluan upacara ini, kemudian dibungkus kembali dengan cara melilitkan janur lalu dibungkus lagi dengan tujuh lapis kain putih dan diikat dengan memakai tali dari benang boeh. Setelah itu baru kemudian dikeringkan dengan asap kemenyan lalu diarak untuk disimpan kembali di Pasucian Bumi Alit. Upacara adat Nyangku ini mirip dengan upacara Sekaten di Yogyakarta juga Panjang Jimat di Cirebon, hanya saja selain untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, acara Nyangku juga dimaksudkan untuk mengenang jasa Prabu Sanghyang Borosngora yang telah menyampaikan ajaran Islam kepada rakyat dan keturunannya. Tradisi Nyangku ini konon telah dilaksanakan sejak zaman pemerintahan Prabu Sanghyang Borosngora, pada waktu itu, Sang Prabu menjadikan prosesi adat ini sebagai salah satu media Syiar Islam bagi rakyat Panjalu dan sekitarnya. Pasucian Bumi Alit atau lebih populer disebut Bumi Alit saja, mulai dibangun sebagai tempat penyimpanan pusaka peninggalan Prabu Sanghyang Borosngora oleh Prabu Rahyang Kancana di Dayeuh Nagasari, Ciomas. Kata-kata bumi alit dalam Bahasa Sunda berarti "rumah kecil" .
Benda-benda pusaka yang tersimpan di Bumi Alit itu antara lain adalah:
1. Pedang, cinderamata dari Baginda Ali RA, sebagai senjata yang digunakan untuk pembela diri dalam rangka menyebarluaskan agama Islam.
2. Cis, berupa tombak bermata dua atau dwisula yang berfungsi sebagai senjata pelindung dan kelengkapan dalam berdakwah atau berkhutbah dalam rangka menyebarluaskan ajaran agama Islam.
3. Keris Komando, senjata yang digunakan oleh Raja Panjalu sebagai penanda kedudukan bahwa ia seorang Raja Panjalu.
4. Keris, sebagai pegangan para Bupati Panjalu.
5. Pancaworo, digunakan sebagai senjata perang pada zaman dahulu.
6. Bangreng, digunakan sebagai senjata perang pada zaman dahulu.
7. Gong kecil, digunakan sebagai alat untuk mengumpulkan rakyat pada zaman dahulu.
8. Kujang, senjata perang khas Sunda peninggalan seorang petapa sakti bernama Pendita Gunawisesa Wiku Trenggana (Aki Garahang) yang diturunkan kepada para Raja Panjalu. Pada masa pemerintahan Raden Tumenggung Wirapraja bangunan Bumi Alit dipindahkan dari Dayeuh Nagasari, Ciomas ke Dayeuh Panjalu seiring dengan perpindahan kediaman Bupati Tumenggung Wirapraja ke Dayeuh Panjalu. Pasucian Bumi Alit dewasa ini terletak di Kebon Alas, Alun-alun Panjalu. Pada awalnya Bumi Alit berupa taman berlumut yang dibatasi dengan batu-batu besar serta dilelilingi dengan pohon Waregu. Bangunan Bumi Alit berbentuk mirip lumbung padi tradisional masyarakat Sunda berupa rumah panggung dengan kaki-kaki yang tinggi, rangkanya terbuat dari bambu dan kayu berukir dengan dinding terbuat dari bilik bambu sedangkan atapnya berbentuk seperti pelana terbuat dari ijuk. Ketika di Jawa Barat terjadi pengungsian akibat pendudukan tentara Jepang (1942-1945) benda-benda pusaka yang tersimpan di Pasucian Bumi Alit itu diselamatkan ke kediaman sesepuh tertua keluarga Panjalu yaitu Raden Hanafi Argadipradja, cucu Raden Demang Aldakusumah di Kebon Alas, Panjalu. Begitu pula ketika wilayah Jawa Barat berkecamuk pemberontakan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) pimpinan S.M. Kartosuwiryo (1949-1962) yang marak dengan perampokan, pembantaian dan pembakaran rumah penduduk. Para pemberontak DI/TII itu sempat merampas benda-benda pusaka kerajaan Panjalu dari Bumi Alit. Pusaka-pusaka itu kemudian baru ditemukan kembali oleh aparat TNI di hutan Gunung Sawal lalu diserahkan kepada Raden Hanafi Argadipradja, kecuali pusaka Cis sampai sekarang tidak diketahui keberadaannya. Pada tahun 1955, Bumi Alit dipugar oleh warga dan sesepuh Panjalu yang bernama R.H. Sewaka (M. Sewaka) mantan Gubernur Jawa Barat (1947-1948, 1950-1952). Hasil pemugaran itu menjadikan bentuk bangunan Bumi Alit yang sekarang, berupa campuran bentuk mesjid zaman dahulu dengan bentuk modern, beratap susun tiga. Di pintu masuk Museum Bumi Alit terdapat patung ular bermahkota dan di pintu gerbangnya terdapat patung kepala gajah. Hingga kini, pemeliharaan Museum Bumi Alit dilakukan oleh Pemerintah Desa Panjalu yang terhimpun dalam ‘Wargi Panjalu’ di bawah pengawasan Dinas Pariwisata dan Budaya Kabupaten Ciamis. Daftar Para Batara, Raja, Bupati dan Demang Panjalu Beserta Pusara/Petilasannya
1. Batara Tesnajati di Karantenan Gunung Sawal.
2. Batara Layah di Karantenan Gunung Sawal.
3. Batara Karimun Putih di Pasir Kaputihan Gunung Sawal.
4. Prabu Sanghyang Rangga Gumilang atau Sanghyang Rangga Sakti di Cipanjalu, Desa Maparah, Panjalu.
5. Prabu Sanghyang Lembu Sampulur I di Cipanjalu, Desa Maparah, Panjalu.
6. Prabu Sanghyang Cakradewa di Cipanjalu, Desa Maparah, Panjalu.
7. Prabu Sanghyang Lembu Sampulur II di Cimalaka Gunung Tampomas, Sumedang.
8. Prabu Sanghyang Borosngora (adik Sanghyang Lembu Sampulur II) di Jampang Manggung, Sukabumi.
9. Prabu Rahyang Kuning di Kapunduhan Cibungur, Desa Kertamandala, Panjalu.
10. Prabu Rahyang Kancana (adik Prabu Rahyang Kuning) di Nusa Larang, Situ Lengkong Panjalu.
11. Prabu Rahyang Kuluk Kukunangteko di Cilanglung Desa simpar, Panjalu.
12. Prabu Rahyang Kanjut Kadali Kancana di Sareupeun, Desa Hujungtiwu, Panjalu.
13. Prabu Rahyang Kadacayut Martabaya di Hujung Winangun, Situ Lengkong Panjalu.
14. Prabu Rahyang Kunang Natabaya di Ciramping, Desa Simpar, Panjalu.
15. Raden Arya Sumalah di Buninagara, Desa Simpar, Panjalu.
16. Pangeran Arya Sacanata (adik R. Arya Sumalah) di Nombo Dayeuhluhur, Kabupaten Cilacap Jawa Tengah.
17. Raden Arya Wirabaya (anak R. Arya Sumalah) di Cilamping, Panjalu.
18. Raden Tumenggung Wirapraja (anak R. Arya Wirabaya) di Kebon Alas Warudoyong, Panumbangan Ciamis.
19. Raden Tumenggung Cakranagara I (anak R. Arya Wiradipa bin Pangeran Arya Sacanata) di Cinagara, Panjalu.
20. Raden Tumenggung Cakranagara II di Puspaligar, Panjalu.
21. Raden Tumenggung Cakranagara III di Nusa Larang, Situ Lengkong Panjalu.
22. Raden Demang Sumawijaya di Nusa Larang, Situ Lengkong Panjalu.
23. Raden Demang Aldakusumah di Nusa Larang, Situ Lengkong Panjalu.
Mempelajari sejarah dan kebudayaan Panjalu tidak akan lepas dari berbagai tradisi, legenda, dan mitos yang menjadi dasar nilai-nilai kearifan budaya lokal, salah satunya adalah mitos Maung Panjalu (Harimau Panjalu). Sekelumit kisah mengenai Maung Panjalu adalah berlatar belakang hubungan dua kerajaan besar di tanah Jawa yaitu Pajajaran (Sunda) dan Majapahit. Menurut Babad Panjalu kisah Maung Panjalu berawal dari Dewi Sucilarang puteri Prabu Siliwangi yang dinikahi Pangeran Gajah Wulung putera mahkota Raja Majaphit Prabu Brawijaya yang diboyong ke Keraton Majapahit. Dalam kisah-kisah tradisional Sunda nama Raja-raja Pajajaran (Sunda) disebut secara umum sebagai Prabu Siliwangi sedangkan nama Raja-raja Majapahit disebut sebagai Prabu Brawijaya. Ketika Dewi Sucilarang telah mengandung dan usia kandungannya semakin mendekati persalinan, ia meminta agar dapat melahirkan di tanah kelahirannya di Pajajaran, sang pangeran mau tidak mau harus menyetujui permintaan isterinya itu dan diantarkanlah rombongan puteri kerajaan Pajajaran itu ke kampung halamannya disertai pengawalan tentara kerajaan. Suatu ketika iring-iringan tiba di kawasan hutan belantara Panumbangan yang masuk ke dalam wilayah Kerajaan Panjalu dan berhenti untuk beristirahat mendirikan tenda-tenda. Di tengah gelapnya malam tanpa diduga sang puteri melahirkan dua orang putera-puteri kembar, yang lelaki kemudian diberi nama Bongbang Larang sedangkan yang perempuan diberi nama Bongbang Kancana. Ari-ari kedua bayi itu disimpan dalam sebuah pendil (wadah terbuat dari tanah liat) dan diletakkan di atas sebuah batu besar. Kedua bocah kembar itu tumbuh menuju remaja di lingkungan Keraton Pakwan Pajajaran. Satu hal yang menjadi keinginan mereka adalah mengenal dan menemui sang ayah di Majapahit, begitu kuatnya keinginan itu sehingga Bongbang Larang dan Bongbang Kancana sepakat untuk minggat, pergi secara diam-diam menemui ayah mereka di Majapahit. Setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh mereka tiba dan beristirahat di belantara kaki Gunung Sawal, Bongbang Larang dan Bongbang Kancana yang kehausan mencari sumber air di sekitar tempat itu dan menemukan sebuah pendil berisi air di atas sebuah batu besar yang sebenarnya adalah bekas wadah ari-ari mereka sendiri. Bongbang Larang yang tak sabar langsung menenggak isi pendil itu dengan lahap sehingga kepalanya masuk dan tersangkut di dalam pendil seukuran kepalanya itu. Sang adik yang kebingungan kemudian menuntun Bongbang Larang mencari seseorang yang bisa melepaskan pendil itu dari kepala kakaknya. Berjalan terus kearah timur akhirnya mereka bertemu seorang kakek bernama Aki Ganjar, sayang sekali kakek itu tidak kuasa menolong Bongbang Larang, ia kemudian menyarankan agar kedua remaja ini menemui Aki Garahang di pondoknya arah ke utara. Aki Garahang yang ternyata adalah seorang pendeta bergelar Pendita Gunawisesa Wiku Trenggana itu lalu memecahkan pendil dengan sebuah kujang sehingga terbelah menjadi dua (kujang milik sang pendeta ini sampai sekarang masih tersimpan di Pasucian Bumi Alit). Karena karomah atau kesaktian sang pendeta, maka pendil yang terbelah dua itu yang sebelah membentuk menjadi selokan Cipangbuangan, sedangkan sebelah lainnya menjadi kulah (kolam mata air) bernama Pangbuangan. Sebagai tanda terima kasih, kedua remaja itu kemudian mengabdi kepada Aki Garahang di padepokannya, sebelum mereka melanjutkan perjalanan ke Majapahit. Suatu ketika sang pendeta bepergian untuk suatu keperluan dan menitipkan padepokannya kepada Bongbang Larang dan Bongbang Kancana dan berpesan agar tidak mendekati kulah yang berada tidak jauh dari padepokan. Kedua remaja yang penuh rasa ingin tahu itu tak bisa menahan diri untuk mendatangi kulah terlarang yang ternyata berair jernih, penuh dengan ikan berwarna-warni. Bongbang Larang segera saja menceburkan diri kedalam kulah itu sementara sang adik hanya membasuh kedua tangan dan wajah sambil merendamkan kedua kakinya. Betapa terkejutnya sang adik ketika Bongbang Larang naik ke darat ternyata wajah dan seluruh tubuhnya telah ditumbuhi bulu seperti seekor harimau loreng. Tak kalah kagetnya ketika Bongbang Kancana bercermin ke permukaan air dan ternyata wajahnya pun telah berubah seperti harimau sehingga tak sadar menceburkan diri kedalam kulah. Keduanyapun kini berubah menjadi dua ekor harimau kembar jantan dan betina.
Hampir saja kedua harimau itu akan dibunuh oleh Aki Garahang karena dikira telah memangsa Bongbang Larang dan Bongbang Kancana. Namun ketika mengetahui kedua harimau itu adalah jelmaan dua putera-puteri kerajaan Pajajaran yang menjaga padepokannya sang Pendeta tidak bisa berbuat apa-apa. Ia berpendapat bahwa kejadian itu sudah menjadi kehendak Yang Mahakuasa, ia berpesan agar kedua harimau itu tidak mengganggu hewan peliharaan orang Panjalu, apalagi kalau mengganggu orang Panjalu maka mereka akan mendapat kutukan darinya. Kedua harimau jejadian itu berjalan tak tentu arah hingga tiba di Cipanjalu, tempat itu adalah kebun milik Kaprabon Panjalu yang ditanami aneka sayuran dan buah-buahan. Di bagian hilirnya terdapat pancuran tempat pemandian keluarga Kerajaan Panjalu. Kedua harimau itu tak sengaja terjerat oleh sulur-sulur tanaman paria oyong (sayuran sejenis terong-terongan) lalu jatuh terjerembab kedalam gawul (saluran air tertutup terbuat dari batang pohon nira yang dilubangi) sehingga aliran air ke pemandian itu tersumbat oleh tubuh mereka. Prabu Sanghyang Cakradewa terheran-heran ketika melihat air pancuran di pemandiannya tidak mengeluarkan air, ia sangat terkejut manakala diperiksa ternyata pancurannya tersumbat oleh dua ekor harimau. Hampir saja kedua harimau itu dibunuhnya karena khawatir membahayakan masyarakat, tapi ketika mengetahui bahwa kedua harimau itu adalah jelmaan putera-puteri Kerajaan Pajajaran, sang Prabu menjadi jatuh iba dan menyelamatkan mereka dari himpitan saluran air itu. Sebagai tanda terima kasih kedua harimau itu bersumpah dihadapan Prabu Sanghyang Cakradewa bahwa mereka tidak akan mengganggu orang Panjalu dan keturunannya, bahkan bila diperlukan mereka bersedia datang membantu orang Panjalu yang berada dalam kesulitan. Kecuali orang Panjalu yang meminum air dengan cara menenggak langsung dari tempat air minum (teko, ceret, dsb), orang Panjalu yang menanam atau memakan paria oyong, orang Panjalu yang membuat gawul (saluran air tertutup), maka orang-orang itu berhak menjadi mangsa harimau jejadian tersebut. Selanjutnya kedua harimau kembar itu melanjutkan perjalanan hingga tiba di Keraton Majapahit dan ternyata setibanya di Majapahit sang ayah telah bertahta sebagai Raja Majapahit. Sang Prabu sangat terharu dengan kisah perjalanan kedua putera-puteri kembarnya, ia kemudian memerintahkan Bongbang Larang untuk menetap dan menjadi penjaga di Keraton Pajajaran, sedangkan Bongbang Kancana diberi tugas untuk menjaga Keraton Majapahit.
Pada waktu-waktu tertentu kedua saudara kembar ini diperkenankan untuk saling menjenguk. Maka menurut kepercayaan leluhur Panjalu, kedua harimau itu selalu berkeliaran untuk saling menjenguk pada setiap bulan Maulud.
* Membangun Sri Wijaya Asrama tahun 1036.
* Membangun Bendungan Waringin Sapta tahun 1037 untuk mencegah banjir musiman.
* Memperbaiki Pelabuhan Hujung Galuh, yang letaknya di muara Kali Brantas, dekat Surabaya sekarang.
* Membangun jalan-jalan yang menghubungkan daerah pesisir ke pusat kerajaan.
* Meresmikan pertapaan Gunung Pucangan tahun 1041.
* Memindahkan ibukota dari Kahuripan ke Daha.
Airlangga juga menaruh perhatian terhadap seni sastra. Tahun 1035 Mpu Kanwa menulis Arjuna Wiwaha yang diadaptasi dari epik Mahabharata. Kitab tersebut menceritakan perjuangan Arjuna mengalahkan Niwatakawaca, sebagai kiasan Airlangga mengalahkan Wurawari. Pada tahun 1042 Airlangga turun takhta menjadi pendeta. Menurut Serat Calon Arang ia kemudian bergelar Resi Erlangga Jatiningrat, sedangkan menurut Babad Tanah Jawi ia bergelar Resi Gentayu. Namun yang paling dapat dipercaya adalah prasasti Gandhakuti (1042) yang menyebut gelar kependetaan Airlangga adalah Resi Aji Paduka Mpungku Sang Pinaka Catraning Bhuwana. Menurut cerita rakyat, putri mahkota Airlangga menolak menjadi raja dan memilih hidup sebagai pertapa bernama Dewi Kili Suci. Nama asli putri tersebut dalam prasasti Cane (1021) sampai Prasasti Turun Hyang (1035) adalah Sanggramawijaya Tunggadewi. Menurut Serat Calon Arang, Airlangga kemudian bingung memilih pengganti karena kedua putranya bersaing memperebutkan takhta. Mengingat dirinya juga putra raja Bali, maka ia pun berniat menempatkan salah satu putranya di pulau itu. Gurunya yang bernama Mpu Bharada berangkat ke Bali mengajukan niat tersebut namun mengalami kegagalan. Fakta sejarah menunjukkan Udayana digantikan putra keduanya yang bernama Marakata sebagai Raja Bali, dan Marakata kemudian digantikan adik yang lain yaitu Anak Wungsu. Airlangga terpaksa membagi dua wilayah kerajaannya. Mpu Bharada ditugasi menetapkan perbatasan antara bagian barat dan timur. Peristiwa pembelahan ini tercatat dalam Serat Calon Arang, Nagarakretagama, dan Prasasti Turun Hyang II. Maka terciptalah dua kerajaan baru. Kerajaan barat disebut Panjalu atau Kadiri berpusat di kota baru, yaitu Daha, diperintah oleh Sri Samarawijaya. Sedangkan kerajaan timur bernama Janggala berpusat di kota lama, yaitu Kahuripan, diperintah oleh Mapanji Garasakan. Dalam prasasti Pamwatan, 20 November 1042, Airlangga masih bergelar Maharaja, sedangkan dalam Prasasti Gandhakuti, 24 November 1042, ia sudah bergelar Resi Aji Paduka Mpungku. Dengan demikian, peristiwa pembelahan kerajaan diperkirakan terjadi di antara kedua tanggal tersebut. Tidak diketahui dengan pasti kapan Airlangga meninggal. Prasasti Sumengka (1059) peninggalan Kerajaan Janggala hanya menyebutkan, Resi Aji Paduka Mpungku dimakamkan di tirtha atau pemandian. Kolam pemandian yang paling sesuai dengan berita prasasti Sumengka adalah Candi Belahan di lereng Gunung Penanggungan. Pada kolam tersebut ditemukan arca Wisnu disertai dua dewi. Berdasarkan Prasasti Pucangan (1041) diketahui Airlangga adalah penganut Hindu Wisnu yang taat. Maka, ketiga patung tersebut dapat diperkirakan sebagai lambang Airlangga dengan dua istrinya, yaitu ibu Sri Samarawijaya dan ibu Mapanji Garasakan. Pada Candi Belahan ditemukan angka tahun 1049. Tidak diketahui dengan pasti apakah tahun itu adalah tahun kematian Airlangga, ataukah tahun pembangunan candi pemandian tersebut. Maharaja Jayabhaya adalah Raja Kadiri yang memerintah sekitar tahun 1135-1157. Nama gelar lengkapnya adalah Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya Sri Warmeswara Madhusudana Awataranindita Suhtrisingha Parakrama Uttunggadewa. Pemerintahan Jayabhaya dianggap sebagai masa kejayaan Kadiri. Peninggalan sejarahnya berupa prasasti Hantang (1135), prasasti Talan (1136), dan prasasti Jepun (1144), serta Kakawin Bharatayuddha (1157). Pada prasasti Hantang, atau biasa juga disebut prasasti Ngantang, terdapat semboyan Panjalu Jayati, yang artinya Kadiri menang. Prasasti ini dikeluarkan sebagai piagam pengesahan anugerah untuk penduduk desa Ngantang yang setia pada Kadiri selama perang melawan Janggala. Dari prasasti tersebut dapat diketahui kalau Jayabhaya adalah raja yang berhasil mengalahkan Janggala dan mempersatukannya kembali dengan Kadiri. Kemenangan Jayabhaya atas Janggala ini disimbolkan sebagai kemenangan Pandawa atas Korawa dalam kakawin Bharatayuddha yang digubah oleh Mpu Sedah dan Mpu Panuluh tahun 1157. Sri Maharaja Kertajaya adalah raja terakhir Kadiri yang memerintah sekitar tahun 1194-1222. Pada akhir pemerintahannya, ia dikalahkan oleh Ken Arok dari Tumapel atau Singhasari, yang menandai berakhirnya masa Kerajaan Kadiri. Nama Kertajaya terdapat dalam Nagarakretagama (1365) yang dikarang ratusan tahun setelah zaman Kadiri. Bukti sejarah keberadaan tokoh Kertajaya adalah dengan ditemukannya Prasasti Galunggung (1194), Prasasti Kamulan (1194), Prasasti Palah (1197), dan Prasasti Wates Kulon (1205). Dari prasasti-prasasti tersebut dapat diketahui nama gelar abhiseka Kertajaya adalah Sri Maharaja Sri Sarweswara Triwikramawatara Anindita Srenggalancana Digjaya Uttunggadewa. Dalam Pararaton, Kertajaya disebut dengan nama Prabu Dandhang Gendis. Dikisahkan pada akhir pemerintahannya ia menyatakan ingin disembah para pendeta Hindu dan Buddha. Tentu saja keinginan itu ditolak, meskipun Dandhang Gendis pamer kesaktian dengan cara duduk di atas sebatang tombak yang berdiri. Para pendeta memilih berlindung pada Ken Arok, bawahan Dandhang Gendis yang menjadi akuwu di Tumapel. Ken Arok lalu mengangkat diri menjadi raja dan menyatakan Tumapel merdeka, lepas dari Kadiri. Dandhang Gendis sama sekali tidak takut. Ia mengaku hanya bisa dikalahkan oleh Siwa. Mendengar hal itu, Ken Arok pun memakai gelar Bhatara Guru (nama lain Siwa) dan bergerak memimpin pasukan menyerang Kadiri. Perang antara Tumapel dan Kadiri terjadi dekat Desa Ganter tahun 1222. Para panglima Kadiri yaitu Mahisa Walungan (adik Dandhang Gendis) dan Gubar Baleman mati di tangan Ken Arok. Dandhang Gendis sendiri melarikan diri dan bersembunyi naik ke kahyangan. Nagarakretagama juga mengisahkan secara singkat berita kekalahan Kertajaya tersebut. Disebutkan bahwa Kertajaya melarikan diri dan bersembunyi dalam dewalaya (tempat dewa). Kedua naskah tersebut (Pararaton dan Nagarakretagama) memberitakan tempat pelarian Kertajaya adalah alam dewata. Kiranya yang dimaksud adalah Kertajaya bersembunyi di dalam sebuah candi pemujaan, atau mungkin Kertajaya tewas dan menjadi penghuni alam halus (akhirat). Sejak tahun 1222 Kadiri menjadi daerah bawahan Tumapel (Singhasari). Menurut Nagarakretagama, putra Kertajaya yang bernama Jayasabha diangkat Ken Arok sebagai Bupati Kadiri. Tahun 1258 Jayasabha digantikan putranya, yang bernama Sastrajaya. Kemudian tahun 1271 Sastrajaya digantikan putranya yang bernama Jayakatwang. Pada tahun 1292 Jayakatwang memberontak dan mengakhiri riwayat Tumapel. Berita tersebut tidak sesuai dengan naskah Prasasti Mula Malurung (1255), yang mengatakan kalau penguasa Kadiri setelah Kertajaya adalah Bhatara Parameswara putra Bhatara Siwa (alias Ken Arok). Adapun Jayakatwang menurut prasasti Penanggungan adalah Bupati Gelang-Gelang yang kemudian menjadi Raja Kadiri setelah menghancurkan Tumapel tahun 1292. Sumber-sumber sejarah Kerajaan Panjalu Ciamis sedikitpun tidak ada yang menyebutkan secara gamblang hubungannya dengan Kerajaan Panjalu Kediri, akan tetapi kesamaan nama kedua kerajaan ini sedikit-banyak menunjukkan adanya benang merah antara keduanya, apalagi nama Raja Panjalu Kediri Maharaja Kertajaya (1194-1222) juga disebut-sebut dalam Prasasti Galunggung (1194). Paul Michel Munoz (2006) mengemukakan bahwa sisa-sisa keluarga dan pengikut Kertajaya (Raja terakhir Dinasti Sanjaya di Jawa Timur) melarikan diri ke daerah Panjalu (Sukapura/Ciamis) pada tahun 1222 untuk menghindari pembantaian Ken Angrok (Ken Arok), pendiri Kerajaan Singhasari/Dinasti Rajasa. Kertajaya sendiri sebagai Raja Kediri terakhir tewas dalam pertempuran di Tumapel melawan pemberontakan Akuwu Tumapel, Ken Angrok. Berdasarkan kitab Nagarakretagama, Maharaja Kertajaya bersembunyi di Dewalaya (tempat Dewa) atau tempat suci, maka bukan tidak mungkin Maharaja Kertajaya sebenarnya tidak tewas di tangan Ken Arok, melainkan melarikan diri ke Kabataraan Gunung Sawal (Panjalu Ciamis) yang merupakan tempat suci dimana bertahtanya Batara (Dewa) Tesnajati. Ibukota atau pusat kerajaan Panjalu berpindah-pindah sesuai dengan perkembangan zaman, beberapa lokasi yang pernah menjadi pusat kerajaan adalah : Karantenan Gunung Sawal menjadi pusat kerajaan semasa Panjalu menjadi daerah Kebataraaan, yaitu semasa kekuasaan Batara Tesnajati, Batara Layah dan Batara Karimun Putih. Di Karantenan Gunung Sawal ini terdapat mata air suci dan sebuah artefak berupa situs megalitik berbentuk batu pipih berukuran kira-kira 1,7 m x 1,5 m x 0,2 m. Batu ini diduga kuat digunakan sebagai sarana upacara-upacara keagamaan, termasuk penobatan raja-raja Panjalu bahkan mungkin penobatan Maharaja Sunda. Dayeuhluhur (kota tinggi) menjadi pusat pemerintahan sejak masa Prabu Sanghyang Rangga Gumilang sampai dengan Prabu Sanghyang Cakradewa. Kaprabon Dayeuhluhur terletak di bukit Citatah tepi Situ Bahara (Situ Sanghyang). Tidak jauh dari Dayeuhluhur terdapat hutan larangan Cipanjalu yang menjadi tempat bersemadi Raja-raja Panjalu. Konon Presiden I RI Ir Soekarno juga pernah berziarah ke tempat ini sewaktu mudanya untuk mencari petunjuk Tuhan YME dalam rangka perjuangan pergerakan kemerdekaan RI. Prabu Sanghyang Borosngora memindahkan kaprabon (kediaman raja) dari Dayeuhluhur ke Nusa Larang. Nusa Larang adalah sebuah pulau yang terdapat di tengah-tengah Situ Lengkong. Dinamai juga Nusa Gede karena pada zaman dulu ada juga pulau yang lebih kecil bernama Nusa Pakel (sekarang sudah tidak ada karena menyatu dengan daratan sehingga menyerupai tanjung). Untuk menyeberangi situ menuju Keraton Nusa Larang dibangun sebuah Cukang Padung (jembatan) yang dijaga oleh Gulang-gulang (penjaga gerbang) bernama Apun Otek. Sementara Nusa Pakel dijadikan Tamansari dan Hujung Winangun dibangun Kapatihan untuk Patih Sanghyang Panji Barani. Dayeuh Nagasari dijadikan kediaman raja pada masa pemerintahan Prabu Rahyang Kancana sampai dengan pemerintahan Bupati Raden Arya Wirabaya. Dayeuh Nagasari sekarang termasuk kedalam wilayah Desa Ciomas, Kecamatan Panjalu, Ciamis. Pada masa pemerintahan Prabu Rahyang Kancana, di Ciomas juga terdapat sebuah pemerintahan daerah yang dikepalai oleh seorang Dalem (Bupati) bernama Dalem Mangkubumi yang wilayahnya masuk kedalam kekuasaan Kerajaan Panjalu.
Silsilah Ciomas Panjalu
1.Buyut Asuh.
2.Buyut Pangasuh.
3.Buyut Surangganta.
4.Buyut Suranggading.
5.Dalem Mangkubumi.
6.Dalem Penghulu Gusti.
7.Dalem Wangsaniangga.
8.Dalem Wangsanangga.
9.Dalem Margabangsa.
10.Demang Wangsadipraja. Menjabat sebagai Patih Panjalu pada masa pemerintahan Arya Sumalah dan Pangeran Arya Sacanata, berputera Demang Wargabangsa I.
11.Demang Wargabangsa I. Menjabat sebagai Patih Panjalu pada masa pemerintahan Arya Wirabaya, berputera Demang Wargabangsa II.
12.Demang Wargabangsa II. Menjabat sebagai Patih Panjalu pada masa pemerintahan Tumenggung Wirapraja, memperisteri Nyi Raden Siti Kalimah binti Raden Jiwakrama bin Pangeran Arya Sacanata, berputera Demang Diramantri I.
13.Demang Diramantri I. Menjabat sebagai Patih Panjalu pada masa pemerintahan Tumenggung Cakranagara I, memperisteri Nyi Raden Panatamantri binti Tumenggung Cakranagara I dan mempunyai tiga orang anak bernama 1) Demang Diramantri II, 2) Demang Wangsadipraja, dan Nyi Raden Sanggrana (diperisteri seorang Sultan Cirebon).
14.Demang Diramantri II. Menjabat sebagai Patih Panjalu pada masa pemerintahan Tumenggung Cakranagara II menggantikan Demang Suradipraja. Sedangkan sang adik yaitu Demang Wangsadipraja menjadi Patih Panjalu pada masa pemerintahan Tumenggung Cakranagara III, Demang Wangsadipraja mempunyai dua orang anak yaitu: 1) Demang Prajanagara, dan 2) Demang Cakrayuda.
15.Demang Prajanagara diangkat menjadi Patih Galuh, sedangkan adiknya yang bernama Demang Cakrayuda diangkat menjadi Patih Kuningan. Demang Cakrayuda memperisteri Nyi Raden Rengganingrum binti Tumenggung Cakranagara II dan menurunkan putera bernama Demang Dendareja.
16.Demang Dendareja diangkat menjadi Patih Galuh.
Raden Tumenggung Wirapraja kemudian memindahkan kediaman bupati ke Dayeuh Panjalu sekarang. Sementara itu pusat kerajaan Panjalu ditandai dengan sembilan tutunggul gada-gada perjagaan yaitu patok-patok yang menjadi batas pusat kerajaan sekaligus berfungsi sebagai pos penjagaan yang dikenal dengan Batara Salapan, yaitu terdiri dari:
1. Sri Manggelong di Kubang Kelong, Rinduwangi
2. Sri Manggulang di Cipalika, Bahara
3. Kebo Patenggel di Muhara Cilutung, Hujungtiwu
4. Sri Keukeuh Saeukeurweuleuh di Ranca Gaul, Tengger
5. Lembu Dulur di Giut Tenjolaya, Sindangherang
6. Sang Bukas Tangan di Citaman, Citatah
7. Batara Terus Patala di Ganjar Ciroke, Golat
8. Sang Ratu Lahuta di Gajah Agung Cilimus, Banjarangsana
9. Sri Pakuntilan di Curug Goong, Maparah
Menurut cerita yang disampaikan secara turun-temurun, masuknya Islam ke Panjalu dibawa oleh Sanghyang Borosngora yang tertarik menuntut ilmu sampai ke Mekkah lalu di-Islamkan oleh Sayidina Ali bin Abi Thalib R.A. Legenda rakyat ini mirip dengan kisah Pangeran Kian Santang atau Sunan Godog Garut, yaitu ketika Kian Santang atau Raja Sangara (adik Pangeran Cakrabuana Walangsungsang) yang setelah diislamkan oleh Baginda Ali di Mekkah kemudian berusaha mengislamkan ayahnya Sang Prabu Siliwangi.
Sementara itu menurut Babad Panjalu: dari Baginda Ali, Sanghyang Borosngora mendapatkan cinderamata berupa air zamzam, pedang, cis (tongkat) dan pakaian kebesaran. Air zamzam tersebut kemudian dijadikan cikal-bakal air Situ Lengkong, sedangkan pusaka-pusaka pemberian Baginda Ali itu sampai sekarang masih tersimpan di Pasucian Bumi Alit dan dikirabkan setelah disucikan setiap bulan Mulud dalam upacara Nyangku di Panjalu pada hari Senin atau hari Kamis terakhir bulan Maulud (Rabiul Awal). Penyebaran Islam secara serentak dan menyeluruh di tatar Sunda sesungguhnya dimulai sejak Syarif Hidayatullah (1448-1568) diangkat sebagai penguasa Cirebon oleh Pangeran Cakrabuana bergelar Gusti Susuhunan Jati (Sunan Gunung Jati) dan menyatakan melepaskan diri dari Kemaharajaan Sunda dengan menghentikan pengiriman upeti pada tahun 1479. Peristiwa ini terjadi ketika wilayah Sunda dipimpin oleh Sang Haliwungan Prabu Susuktunggal (1475-1482) di Pakwan Pajajaran dan Ningrat Kancana Prabu Dewa Niskala (1475-1482) di Kawali. Jauh sebelum itu, para pemeluk agama Islam hanya terkonsentrasi di daerah-daerah pesisir atau pelabuhan yang penduduknya banyak melakukan interaksi dengan para saudagar atau pedagang dari Gujarat, Persia dan Timur Tengah. Puteri Prabu Susuktunggal yang bernama Nay Kentring Manik Mayang Sunda kemudian dinikahkan dengan putera Prabu Dewa Niskala yang bernama Jayadewata. Jayadewata kemudian dinobatkan sebagai penguasa Pakwan Pajajaran dan Kawali bergelar Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakwan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata, dengan demikian maka seperti juga mendiang kakeknya yang bernama Niskala Wastu Kancana ia menyatukan Pakwan Pajajaran (Sunda) dan Kawali (Galuh) dalam satu mahkota Maharaja Sunda. Sri Baduga Maharaja juga memindahkan ibokota Sunda dari Kawali ke Pakwan Pajajaran, meskipun hal ini bukan kali pertama ibukota Kemaharaajaan Sunda berpindah antara Sunda dan Galuh, namun salah satu alasan perpindahan ibukota negara ini diduga kuat sebagai antisipasi semakin menguatnya kekuasaan Demak dan Cirebon. Pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja (1481-1521) kerajaan-kerajaan yang masih mengirimkan upetinya ke Pakwan Pajajaran adalah Galunggung, Denuh, Talaga, Geger Bandung, Windu Galuh, Malaka, Mandala, Puma, Lewa dan Kandangwesi (Pleyte, 1911:172). Akan tetapi hal itu tidak bertahan lama karena satu persatu daerah bawahan Sunda itu ditaklukan Cirebon. Raja Talaga Sunan Parunggangsa ditaklukkan Cirebon pada tahun 1529 dan kemudian bersama puterinya Ratu Sunyalarang, juga menantunya Ranggamantri Pucuk Umun secara sukarela memeluk Islam. Di Sumedang Larang Ratu Setyasih atau Ratu Inten Dewata atau Ratu Pucuk Umun (1530-1579) mengakui kekuasaan Cirebon dan memeluk Islam. Di Kerajaan Kuningan Ratu Selawati menyerah kepada pasukan Cirebon, salah seorang puterinya kemudian dinikahkan dengan anak angkat Gusti Susuhunan Jati yang bernama Suranggajaya, Suranggajaya kemudian diangkat menjadi Bupati Kuningan bergelar Sang Adipati Kuningan karena Kuningan menjadi bagian dari Cirebon. Di kerajaan Galuh, penguasa Galuh yang bernama Ujang Meni bergelar Maharaja Cipta Sanghyang di Galuh berusaha mempertahankan wilayahnya dari serbuan pasukan Cirebon, tapi karena kekuatan yang tidak seimbang maka ia bersama puteranya yang bernama Ujang Ngekel yang kemudian naik tahta Galuh bergelar Prabu di Galuh Cipta Permana (1595-1608) juga mau tak mau harus mengakui kekuasaan Cirebon serta akhirnya memeluk Islam dengan sukarela. Demikian juga yang terjadi di Kerajaan Sindangkasih (Majalengka). Berdasarkan rentetan peristiwa-peristiwa yang terjadi di kerajaan-kerajaan tetangganya tersebut, maka diperkirakan pada periode yang bersamaan Kerajaan Panjalu juga menjadi taklukan Cirebon dan menerima penyebaran Islam. Kemaharajaan Sunda sendiri posisinya semakin lama semakin terjepit oleh kekuasaan Cirebon-Demak di sebelah timur dan Banten di sebelah barat. Pada tahun 1579 pasukan koalisi Banten-Cirebon dipimpin oleh Sultan Banten Maulana Yusuf berhasil mengalahkan pertahanan terakhir pasukan Sunda, kaprabon dan ibukota Kemaharajaan Sunda yaitu Pakwan Pajajaran berhasil diduduki, benda-benda yang menjadi simbol Kemaharajaan Sunda diboyong ke Banten termasuk batu singgasana penobatan Maharaja Sunda berukuran 200cm x 160cm x 20cm yang bernama Palangka Sriman Sriwacana (orang Banten menyebutnya Watu Gilang atau batu berkilau). Akibat peristiwa ini, Prabu Ragamulya Surya Kancana (1567-1579) beserta seluruh anggota keluarganya menyelamatkan diri dari kaprabon yang menandai berakhirnya Kemaharajaan Sunda. Menurut sumber sejarah Sumedang Larang, ketika peristiwa itu terjadi empat orang kepercayaan Prabu Ragamulya Surya Kancana yang dikenal dengan Kandaga Lante yang terdiri dari Sanghyang Hawu (Jayaperkosa), Batara Adipati Wiradijaya (Nangganan), Sanghyang Kondanghapa dan Batara Pancar Buana (Terong Peot) berhasil menyelamatkan atribut pakaian kebesaran Maharaja Sunda yang terdiri dari mahkota emas simbol kekuasaan Raja Pakwan, kalung bersusun dua dan tiga, serta perhiasan lainnya seperti benten, siger, tampekan, dan kilat bahu. Atribut-atribut kebesaran tersebut kemudian diserahkan kepada Raden Angkawijaya putera Ratu Inten Dewata (1530-1579) yang kemudian naik tahta Sumedang Larang dengan gelar Prabu Geusan Ulun (1579-1601). Sepeninggal Kemaharajaan Sunda (723-1579), wilayah Jawa Barat terbagi menjadi kerajaan-kerajaan kecil yang pada mulanya merupakan bawahan Sunda. Kerajaan-kerajaan yang masih saling berhubungan darah itu tidak lepas dari pengaruh kekuasaan Cirebon dan Banten yang sedang berada pada puncak kejayaannya. Kerajaan-kerajaan itu merupakan kerajaan yang mandiri dan dipimpin oleh seorang bergelar Prabu, Sanghyang, Rahyang, Hariang, Pangeran ataupun Sunan, akan tapi mereka mengakui kekuasaan Cirebon dan Banten. Dua kerajaan bawahan Sunda yang paling luas wilayahnya adalah Sumedang Larang dan Galuh yang masing-masing dianggap sebagai penerus Kemaharajaan Sunda. Pada tahun 1595 Sutawijaya atau Panembahan Senopati (1586-1601) memperluas wilayah kekuasaan Mataram ke wilayah Jawa Barat sehingga berhasil menaklukkan Cirebon dan kemudian menduduki daerah-daerah sekitarnya yang meliputi hampir seluruh wilayah Jawa Barat kecuali Banten dan Jayakarta (Batavia). Untuk mempererat hubungan Mataram-Cirebon ini, Senopati menikahkan salah seorang saudarinya bernama Ratu Harisbaya dengan pengusasa Cirebon waktu itu, Panembahan Ratu (1570-1649). Panembahan Senopati digantikan puteranya yaitu Mas Jolang yang naik tahta sebagai Prabu Hanyokrowati (1601-1613), Prabu Hanyokrowati lalu digantikan oleh puteranya yang bernama Mas Rangsang, naik tahta Mataram sebagai Sultan Agung Hanyokrokusumo (1613-1645). Pada tahun 1618 Sultan Agung mengangkat putera Prabu di Galuh Cipta Permana (1595-1608) yang bernama Ujang Ngoko atau Prabu Muda sebagai Bupati Galuh yang menandai penguasaan Mataram atas Galuh, sebagai bupati bawahan Mataram ia kemudian bergelar Adipati Panekan (1608-1625). Adipati Panaekan juga merangkap jabatan sebagai Wedana Bupati (Gubernur) yang mengepalai Bupati-bupati Priangan (Djadja Sukardja, 1999: 12-6). Priangan sendiri berasal dari kata parahyangan yang berarti tempat para hyang (dewata), suatu sebutan bagi wilayah bekas Kemaharajaan Sunda yang sebelumnya menganut agama Hindu, selain itu raja-raja Sunda sering memakai gelar hyang atau sanghyang yang artinya dewa. Peristiwa pendudukan Mataram ini di Panjalu diperkirakan terjadi pada masa pemerintaha Prabu Rahyang Kunang Natabaya karena puteranya yaitu Raden Arya Sumalah tidak lagi memakai gelar Prabu seperti ayahnya, hal ini menunjukkan bahwa Panjalu juga sudah menjadi salah satu kabupaten di bawah Mataram. Pada tahun 1620 Arya Suryadiwangsa menyerahkan kekuasaannya atas Sumedang Larang kepada Mataram, Sultan Agung kemudian mengangkat Arya Suryadiwangsa (1601-1624) sebagai Bupati Sumedang Larang bergelar Pangeran Rangga Gempol Kusumahdinata. Pada tahun 1624 Rangga Gempol ditunjuk sebagai panglima pasukan Mataram utuk menaklukkan daerah Sampang, Madura. Oleh karena itu jabatan Bupati Sumedang Larang dipegang adiknya yang bernama Pangeran Rangga Gede (1624-1633) sekaligus merangkap sebagai Wedana Bupati Priangan menggantikan Adipati Panaekan. Pada waktu itu Sultan Agung tengah menyiapkan serangan besar-besaran untuk merebut Benteng Batavia dari tangan Kompeni Belanda dan meminta para bupati Priangan menunjukkan kesetiaannya dengan mengirimkan pasukan gabungan untuk menggempur Batavia. Rencana Sultan Agung ini menimbulkan perbedaan pendapat diantara para bupati Priangan, tahun 1625 Adipati Panaekan yang berselisih paham dengan Bupati Bojonglopang bernama Adipati Kertabumi (Wiraperbangsa) tewas di tangan adik iparnya itu. Kedudukan mendiang Adipati Panaekan sebagai Bupati Galuh lalu digantikan oleh puteranya yang bernama Ujang Purba bergelar Adipati Imbanagara (1625-1636). Pangeran Rangga Gede sebagai Wedana Bupati Priangan oleh Sultan Agung dianggap tidak mampu mengatasi serangan-serangan Banten di daerah perbatasan sekitar Sungai Citarum yang saling bersaing berebut pengaruh dengan Mataram, oleh karena itu kedudukan Wedana Bupati Priangan pada tahun 1628 digantikan oleh Bupati Ukur (Bandung) yang dikenal dengan nama Adipati Ukur putera Sanghyang Lembu Alas. Ia mengepalai wilayah Ukur (Bandung), Sumedang Larang, Sukapura, Limbangan, Cianjur, Karawang, Pamanukan dan Ciasem, sedangkan Rangga Gede dijebloskan ke dalam tahanan. Adipati Ukur juga sekaligus diangkat menjadi Panglima pasukan Mataram yang terdiri dari gabungan pasukan kabupaten-kabupaten bawahan Mataram di Priangan untuk merebut Benteng Batavia dari VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie atau Perkumpulan Dagang India Timur) yang dipimpin oleh Gubernur Jan Pieterszoon Coen (1619-1623 dan 1627-1629). Setiap Kabupaten kala itu mengirimkan kontingen pasukannya dalam penyerbuan ke Batavia dan pemimpin kontingen pasukan dari Galuh adalah Bagus Sutapura. Penyerbuan ke Batavia kali ini sesungguhnya adalah penyerbuan yang kedua. Pada tahun 1628 Mataram telah mengirimkan pasukannya berjumlah sekitar 10.000 orang untuk merebut Batavia, gelombang pertama pasukan dipimpin oleh Tumenggung Bahureksa (Bupati Kendal) yang tiba di Batavia Agustus 1628. Pasukan kedua tiba di Batavia Oktober 1628 dipimpin Pangeran Madureja, mereka dibantu oleh para senapati (komandan) yaitu Tumenggung Sura Agul-agul dan Tumenggung Upasanta. Penyerbuan pertama ini mengalami kegagalan karena pasukan mengalami kekurangan logistik/perbekalan. Atas kegagalan ini Sultan Agung menjatuhkan hukuman mati kepada Tumenggung Bahureksa beserta orang-orang setianya dengan memenggal kepala mereka di sekitar Batavia. Dalam penyerbuan kedua ini Mataram mengirimkan 14.000 orang tentara gabungan Sunda-Jawa untuk merebut Batavia. Pasukan pertama dipimpin oleh Adipati Ukur dengan balatentara Priangannya yang berangkat ke Batavia Mei 1629, sedangkan pasukan berikutnya berangkat ke Batavia Juni 1629 dipimpin oleh Adipati Juminah. Pasukan ini juga dibantu oleh senapati-senapati lainnya yaitu Adipati Purbaya, Adipati Puger, Tumenggung Singaranu, Raden Arya Wiranatapada, Tumenggung Madiun dan Kyai Sumenep. Sejarah mencatat bahwa akibat kurang koordinasi dan kesalahpahaman dengan armada laut Mataram yang mengepung dari arah laut mengakibatkan pasukan darat pimpinan Adipati Ukur dan Adipati Juminah menyerang Batavia lebih dahulu sehingga penyerbuan ini tidak terjadi secara serempak sesuai dengan siasat perang, akibatnya penyerbuan kedua ini pun mengalami kegagalan. Sultan Agung yang kecewa segera menjatuhkan vonis mati kepada Adipati Ukur yang masih berada di sekitar Batavia dan mengirimkan utusannya untuk memenggal kepala Adipati Ukur beserta para perwiranya yang setia seperti yang terjadi pada Tumenggung Bahureksa. Mengetahui dirinya telah dijatuhi vonis mati oleh Sultan Agung, Adipati Ukur bersama sebagian pasukannya yang setia berbalik memberontak terhadap Mataram (1628-1632), perlawanan Adipati Ukur bersama pengikutnya ini terhitung alot karena secara diam-diam sebagian Bupati-bupati Priangan mendukung pemberontakan Adipati Ukur. Perlawanan Adipati Ukur baru berhasil dihentikan setelah Mataram mendapatkan bantuan Ki Wirawangsa dari Umbul Sukakerta, Ki Astamanggala dari Umbul Cihaurbeuti dan Ki Somahita dari Umbul Sindangkasih. Atas jasa-jasa mereka memadamkan pemberontakan Adipati Ukur itu, pada tahun 1633 Sultan Agung mengangkat Ki Wirawangsa menjadi Bupati Sukapura dengan Gelar Tumenggung Wiradadaha, Ki Astamanggala menjadi Bupati Bandung dengan gelar Tumenggung Wiraangun-angun, dan Ki Somahita menjadi Bupati Parakan Muncang dengan gelar Tumenggung Tanubaya. Bagus Sutapura yang juga berjasa kepada Mataram diangkat sebagai Bupati Kawasen. Sementara itu Bupati Galuh Adipati Imbanagara dijatuhi hukum mati oleh Sultan Agung karena dianggap terlibat dalam pemberontakan Adipati Ukur. Jabatan Wedana Bupati Priangan kemudian dikembalikan kepada Pangeran Rangga Gede sekaligus menjabat sebagai Bupati Sumedang Larang. Sewaktu tahta Mataram dipegang oleh putera Sultan Agung yaitu Sunan Amangkurat I (1645-1677), antara tahun 1656-1657 jabatan Wedana Bupati Priangan dihapuskan dan wilayah Mataram Barat (Priangan) dibagi menjadi 12 Ajeg (daerah setingkat kabupaten) yaitu: Sumedang, Parakan Muncang (Bandung Timur), Bandung, Sukapura (Tasikmalaya), Karawang, Imbanagara (Ciamis), Kawasen (Ciamis Selatan), Wirabaya (Ciamis Utara termasuk wilayah Kabupaten Panjalu, Utama dan Bojonglopang), Sindangkasih (Majalengka), Banyumas, Ayah/Dayeuhluhur (Kebumen, Cilacap), dan Banjar (Ciamis Timur). Pada waktu itu Raden Arya Wirabaya keponakan Bupati Panjalu Pangeran Arya Sacanata diangkat menjadi kepala Ajeg Wirabaya. Pada tahun 1677 Sunan Amangkurat II (1677-1703) menyerahkan wilayah Priangan barat dan tengah kepada VOC sebagai imbalan atas bantuan VOC dalam usaha menumpas pemberontakan Trunajaya, menyusul kemudian pada tahun 1705 Cirebon beserta Priangan Timur juga diserahkan Pakubuwana I kepada VOC pasca perselisihan antara Amangkurat III dengan sang paman Pangeran Puger atau Pakubuwana I (1704-1719). Dalam masa pendudukan Mataram selama 110 tahun ini (1595-1705), yang menjabat menjadi Bupati Panjalu secara berturut-turut adalah:
1. Raden Arya Sumalah
2. Pangeran Arya Sacanata (Pangeran Arya Salingsingan/Pangeran Gandakerta)
3. Raden Arya Wirabaya
4. Raden Tumenggung Wirapraja
Berdasarkan perjanjian VOC dengan Mataram tanggal 5 Oktober 1705, maka seluruh wilayah Jawa Barat kecuali Banten jatuh ke tangan Kompeni. Untuk mengawasi dan memimpin bupati-bupati Priangan ini, maka pada tahun 1706 Gubernur Jenderal VOC Joan van Hoorn (1704-1709) mengangkat Pangeran Arya Cirebon (1706-1723) sebagai opzigter atau Pemangku Wilayah Priangan. Gubernur Jendral VOC menjadikan para Bupati sebagai pelaksana atau agen verplichte leverantie atau agen penyerahan wajib tanaman komoditas perdagangan seperti beras cengkeh, pala, lada, kopi, indigo dan tebu. Kebijakan VOC ini sangat membebani kehidupan rakyat kecil, akibatnya pada tahun 1703 terjadi kerusuhan yang digerakkan oleh Raden Alit atau RH Prawatasari seorang menak (bangsawan) Cianjur keturunan Panjalu yang berasal dari Jampang (Sukabumi). Kerusuhan yang digerakkan RH Prawatasari ini melanda seluruh kepentingan VOC di wilayah Priangan (Jawa Barat) terutama di Cianjur, Bogor, dan Sumedang. Di Priangan timur terutama Galuh, kerusuhan ini melanda wilayah Utama, Bojonglopang dan Kawasen. Namun pemberontakan RH Prawatasari ini akhirnya dapat dipadamkan oleh VOC pada 12 Juli tahun 1707, Raden Haji Prawatasari tertangkap dalam satu pertempuran seru di daerah Bagelen, Banyumas yang lalu kemudian di asingkan ke Kartasura. Pasca pemberontakan RH Prawatasari, pada masa kepemimpinan Pangeran Arya Cirebon, Raden Prajasasana (putera Raden Arya Wiradipa bin Pangeran Arya Sacanata) yang menjadi pamong praja bawahan Pangeran Arya Cirebon diangkat sebagai Bupati Panjalu yang berada dalam wilayah administratif Cirebon dengan gelar Raden Tumenggung Cakranagara menggantikan Raden Tumenggung Wirapraja. Pada tahun 1810 wilayah Kabupaten Panjalu di bawah pimpinan Raden Tumenggung Cakranagara III diperluas dengan wilayah Kawali yang sebelumnya dikepalai Raden Adipati Mangkupraja III (1801-1810). Wilayah Kawali yang menginduk ke Panjalu ini kemudian dikepalai oleh Raden Tumenggung Suradipraja I (1810-1819). Pada tahun 1819, Gubernur Jenderal Hindia Belanda G.A.G.Ph. Baron Van der Capellen (1816-1826) menggabungkan wilayah-wilayah Kabupaten Panjalu, Kawali, Distrik Cihaur dan Rancah kedalam Kabupaten Galuh. Dengan demikian pada tahun itu Raden Tumenggung Cakranagara III dipensiunkan sebagai Bupati Panjalu, sementara di kabupaten Galuh, Bupati Wiradikusumah juga digantikan oleh puteranya yang bernama Adipati Adikusumah (1819-1839). Semenjak itu Panjalu menjadi daerah kademangan di bawah kabupaten Galuh dan putera tertua Tumenggung Cakranagara III yang bernama Raden Demang Sumawijaya diangkat sebagai Demang Panjalu (Demang adalah jabatan setingkat Wedana) sedangkan putera ketujuh Cakranagara III yang bernama Raden Arya Cakradikusumah diangkat sebagai Wedana Kawali. Pada masa itu wedana adalah jabatan satu tingkat diatas camat (asisten wedana). Raden Demang Sumawijaya setelah mangkat digantikan oleh putera tertuanya yang bernama Raden Demang Aldakusumah sebagai Demang Panjalu, semantara putera tertua dari Wedana Kawali Raden Arya Cakradikusumah yang bernama Raden Tumenggung Argakusumah diangkat menjadi Bupati Dermayu (sekarang Indramayu) dengan gelar Raden Tumenggung Cakranagara IV. Pada tahun 1915 Kabupaten Galuh berganti nama menjadi Kabupaten Ciamis dan dimasukkan kedalam Keresidenan Priangan setelah dilepaskan dari wilayah administrasi Cirebon. Antara tahun 1926-1942 Ciamis dimasukkan kedalam afdeeling Priangan Timur bersama-sama dengan Kabupaten Tasikmalaya dan Garut dengan ibukota afdeeling di Tasikmalaya. Pada tanggal 1 Januari 1926 Pemerintah Hindia Belanda membagi Pulau Jawa menjadi tiga provinsi yaitu: Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Panjalu dewasa ini adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Ciamis Provinsi Jawa Barat. Raden Tumenggung Cakranagara III, Raden Demang Sumawijaya, Raden Demang Aldakusumah dan Raden Tumenggung Argakusumah (Cakranagara IV) dimakamkan di Nusa Larang Situ Lengkong Panjalu, berada satu lokasi dengan pusara Prabu Rahyang Kancana putera Prabu Sanghyang Borosngora. Dewasa ini Nusa Larang dan Situ Lengkong Panjalu menjadi obyek wisata alam dan wisata ziarah Islami utama di Kabupaten Ciamis dan selalu ramai dikunjungi oleh para peziarah dari seluruh Indonesia terutama dari Jawa Timur, apalagi setelah Presiden IV RI K.H. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur diketahui beberapa kali berziarah di Nusa Larang dan mengaku bahwa dirinya juga adalah keturunan Panjalu.
Silsilah Panjalu
Batara Tesnajati adalah tokoh pendiri Kabataraan Gunung Sawal, ia mempunyai seorang putera bernama Batara Layah. Petilasan Batara Tesnajati terdapat di Karantenan Gunung Sawal. Batara Layah menggantikan ayahnya sebagai Batara di Karantenan Gunung Sawal Panjalu, ia mempunyai seorang putera bernama Batara Karimun Putih. Ia menggantikan ayahnya menjadi Batara di Gunung Sawal Panjalu, ia mempunyai seorang putera bernama Prabu Sanghyang Rangga Sakti. Petilasan Batara Karimun Putih terletak di Pasir Kaputihan, Gunung Sawal. Sanghyang Rangga Gumilang naik tahta Panjalu menggantikan ayahnya, ia dikenal juga sebagai Sanghyang Rangga Sakti dan pada masa pemerintahaanya terbentuklah suatu pemerintahan yang berpusat di Dayeuhluhur Maparah setelah berakhirnya masa Kabataraan di Karantenan Gunung Sawal Panjalu. Sanghyang Rangga Gumilang menikahi seorang puteri Galuh bernama Ratu Permanadewi dan mempunyai seorang putera bernama Sanghyang Lembu Sampulur. Petilasan Prabu Sanghyang Rangga Gumilang terletak di Cipanjalu. Sanghyang Lembu Sampulur I naik tahta sebagai Raja Panjalu, ia mempunyai seorang putera bernama Sanghyang Cakradewa. Sanghyang Cakradewa memperisteri seorang puteri Galuh bernama Ratu Sari Kidang Pananjung dan mempunyai enam orang anak yaitu:
1) Sanghyang Lembu Sampulur II,
2) Sanghyang Borosngora,
3) Sanghyang Panji Barani,
4) Sanghyang Anggarunting,
5) Ratu Mamprang Kancana Artaswayang, dan
6) Ratu Pundut Agung (diperisteri Maharaja Sunda).
Petilasan Prabu Sanghyang Cakradewa terdapat di Cipanjalu.
Menurut kisah dalam Babad Panjalu, Prabu Sanghyang Cakradewa adalah seorang raja yang adil dan bijaksana, di bawah pimpinannya Panjalu menjadi sebuah kerajaan yang makmur dan disegani. Suatu ketika sang raja menyampaikan keinginannya di hari tua nanti untuk meninggalkan singgasana dan menjadi Resi atau petapa (lengser kaprabon ngadeg pendita). Untuk itu sang prabu mengangkat putera tertuanya Sanghyang Lembu Sampulur II menjadi putera mahkota, sedangkan putera keduanya yaitu Sanghyang Borosngora dipersiapkan untuk menjadi patih dan senapati kerajaan (panglima perang). Oleh karena itu Sanghyang Borosngora pergi berkelana, berguru kepada para brahmana, petapa,resi, guru dan wiku sakti di seluruh penjuru tanah Jawa untuk mendapatkan berbagai ilmu kesaktian dan ilmu olah perang. Beberapa tahun kemudian sang pangeran pulang dari pengembaraannya dan disambut dengan upacara penyambutan yang sangat meriah di kaprabon Dayeuhluhur, Prabu Sanghyang Cakradewa sangat terharu menyambut kedatangan puteranya yang telah pergi sekian lama tersebut. Dalam suatu acara, sang prabu meminta kepada Sanghyang Borosngora untuk mengatraksikan kehebatannya dalam olah perang dengan bermain adu pedang melawan kakaknya yaitu Sanghyang Lembu Sampulur II dihadapan para pejabat istana dan para hadirin. Ketika kedua pangeran itu tengah mengadu kehebatan ilmu pedang itu, tak sengaja kain yang menutupi betis Sanghyang Borosngora tersingkap dan tampaklah sebentuk rajah (tattoo) yang menandakan pemiliknya menganut ilmu kesaktian aliran hitam. Prabu Sanghyang Cakradewa sangat kecewa mendapati kenyataan tersebut, karena ilmu itu tidak sesuai dengan Anggon-anggon Kapanjaluan (falsafah hidup orang Panjalu) yaitu mangan kerana halal, pake kerana suci, tekad-ucap-lampah sabhenere dan Panjalu tunggul rahayu, tangkal waluya. Sang Prabu segera memerintahkan Sanghyang Borosngora untuk membuang ilmu terlarang itu dan segera mencari "Ilmu Sajati" yaitu ilmu yang menuntun kepada jalan keselamatan. Sebagai indikator apakah Sanghyang Borosngora telah menguasai ilmu sajati atau belum, maka sang prabu membekalinya sebuah gayung batok kelapa yang dasarnya diberi lubang-lubang sehingga tidak bisa menampung cidukan air. Apabila sang pangeran telah menguasai ilmu sajati, maka ia bisa menciduk air dengan gayung berlubang-lubang tersebut. Untuk kedua kalinya Sanghyang Borosngora pergi meninggalkan kaprabon, dan kali ini ia berjalan tak tentu arah karena tidak tahu kemana harus mencari ilmu yang dimaksudkan oleh ayahnya itu. Letih berjalan tak tentu arah akhirnya ia duduk bersemadi, mengheningkan cipta, memohon kepada Sanghyang Tunggal agar diberikan petunjuk untuk mendapatkan Ilmu Sajati. Sekian lama bersemadi akhirnya ia mendapat petunjuk bahwa pemilik ilmu yang dicarinya itu ada di seberang lautan, yaitu di tanah suci Mekkah, Jazirah Arab. Dengan ilmu kesaktiannya Sanghyang Borosngora tiba di Mekkah dalam sekejap mata. Di Mekkah itu Sanghyang Borosngora bertanya kepada setiap orang yang ditemuinya agar dapat bertemu dengan seseorang yang mewarisi Ilmu Sajati yang dimaksud. Orang-orang yang tidak mengerti maksud sang pangeran menunjukkan agar ia menemui seorang pria yang tinggal dalam sebuah tenda di gurun pasir. Sanghyang Borosngora bergegas menuju tenda yang dimaksud dan ketika ia membuka tabir tenda itu dilihatnya seorang pria tua yang sedang menulis dengan pena. Karena terkejut dengan kedatangan tamunya, pena yang ada di tangan pria tua itu terjatuh menancap di tanah berpasir. Lelaki misterius itu menegur sang pangeran karena telah datang tanpa mengucapkan salam sehingga mengejutkannya dan mengakibatkan pena yang dipegangnya jatuh tertancap di pasir, padahal sesungguhnya lelaki itu hanya berpura-pura terkejut karena ingin memberi pelajaran kepada pemuda pendatang yang terlihat jumawa karena kesaktian yang dimilikinya itu. Setelah bertanya apa keperluannya datang ke tendanya, lelaki itu hanya meminta Sanghyang Borosngora agar mengambilkan penanya yang tertancap di pasir. Sang pangeran segera memenuhi permintaan pria itu, tetapi terjadi kejanggalan, pena yang menancap di tanah itu seperti sudah menyatu dengan bumi sehingga walaupun segenap kekuatannya telah dikerahkan, namum pena itu tak bergeming barang sedikitpun. Sanghyang Borosngora segera menyadari bahwa orang yang ada di hadapannya bukanlah orang sembarangan. Sebagai seorang kesatria ia mengakui kehebatan pria itu dan memohon ampun atas kelancangan sikapnya tadi. Sang pangeran juga memohon kesediaan pria misterius itu mengajarinya ilmu yang sangat mengagumkannya ini. Lelaki yang kemudian diketahui adalah Sayidina Ali bin Abi Thalib R.A. ini hanya meminta Sanghyang Borosngora mengucapkan kalimat syahadat seperti yang dicontohkannya dan sungguh ajaib, pena yang menancap di tanah itu bisa dicabut dengan mudah olehnya. Setelah peristiwa itu Sanghyang Borosngora menetap beberapa lama di Mekkah untuk menimba Ilmu Sajati kepada Baginda Ali R.A. yang ternyata adalah Dien Al Islam (Agama Islam). Di akhir masa pendidikannya Sanghyang Borosngora diberi wasiat oleh Baginda Ali agar melaksanakan syiar Islam di tanah asalnya. Sanghyang Borosngora yang sekarang bernama Syeikh Haji Abdul Iman ini kemudian diberi cinderamata berupa Pedang, Cis (tombak bermata dua atau dwisula), dan pakaian kebesaran. Sebelum pulang Syeikh Haji Abdul Iman juga menciduk air zam-zam dengan gayung berlubang pemberian ayahnya dan ternyata air zam-zam itu tidak menetes yang berarti ia telah berhasil menguasai ilmu sajati dengan sempurna. Ringkas cerita Sanghyang Borosngora kembali ke kaprabon dan disambut dengan suka cita oleh sang prabu beserta seluruh kerabatnya. Sanghyang Borosngora juga menyampaikan syiar Islam kepada seluruh kerabat istana. Sang Prabu yang telah uzur menolak dengan halus ajakan puteranya itu dan memilih hidup sebagai pendeta sebagaimana kehendaknya dahulu dan menyerahkan singgasana kepada putera mahkota Sanghyang Lembu Sampulur II. Air zam-zam yang dibawa Sanghyang Borosngora dijadikan cikal bakal air Situ Lengkong yang sebelumnya merupakan sebuah lembah yang mengelilingi bukit bernama Pasir Jambu. Gayung berlubang pemberian ayahnya dilemparkan ke Gunung Sawal dan kemudian menjadi sejenis tanaman paku yang bentuknya seperti gayung. Sanghyang Borosngora melanjutkan syiar Islamnya dengan mengembara ke arah barat melewati daerah-daerah yang sekarang bernama Tasikmalaya, Garut, Bandung, Cianjur dan Sukabumi. Prabu Sanghyang Lembu Sampulur II tidak lama memerintah di Kerajaan Panjalu, ia kemudian hijrah ke daerah Cimalaka di kaki Gunung Tampomas, Sumedang dan mendirikan kerajaan baru di sana. Sanghyang Borosngora yang menempati urutan kedua sebagai pewaris tahta Panjalu meneruskan kepemimpinan kakaknya itu dan menjadikan Panjalu sebagai kerajaan Islam yang sebelumnya bercorak Hindu. Sebagai media syiar Islam, Sanghyang Borosngora mempelopori tradisi upacara adat Nyangku yang diadakan setiap Bulan Maulud (Rabiul Awal), yaitu sebuah prosesi ritual penyucian pusaka-pusaka yang diterimanya dari Baginda Ali R.A. yang setelah disucikan kemudian dikirabkan dihadapan kumpulan rakyatnya. Acara yang menarik perhatian khalayak ramai ini dipergunakan untuk memperkenalkan masyarakat dengan agama Islam dan mengenang peristiwa masuk Islamnya Sanghyang Borosngora. Sanghyang Lembu Sampulur II naik tahta menggantikan Prabu Sanghyang Cakradewa, akan tetapi ia kemudian menyerahkan singgasana kerajaan kepada adiknya yaitu Sanghyang Borosngora,sedangkan ia sendiri hijrah dan mendirikan kerajaan baru di Cimalaka Gunung Tampomas (Sumedang). Sanghyang Borosngora naik tahta Panjalu menggantikan posisi kakaknya, ia kemudian membangun keraton baru di Nusa Larang. Adiknya yang bernama Sanghyang Panji Barani diangkat menjadi Patih Panjalu. Di dalam Babad Panjalu tokoh Prabu Sanghyang Borosngora ini dikenal sebagai penyebar Agama Islam dan Raja Panjalu pertama yang menganut Islam, benda-benda pusaka peninggalannya masih tersimpan di Pasucian Bumi Alit dan dikirabkan pada setiap bulan Maulud setelah terlebih dulu disucikan dalam rangkaian prosesi acara adat Nyangku.
Sanghyang Borosngora mempunyai dua orang putera yaitu:
1) Rahyang Kuning, dan
2) Rahyang Kancana.
Prabu Sanghyang Borosngora juga didamping oleh Guru Aji Kampuhjaya dan Bunisakti, dua orang ulama kerajaan yang juga merupakan senapati-senapati pilih tanding. Petilasan Prabu Sanghyang Borosngora terdapat di Jampang Manggung (Sukabumi), sedangkan petilasan Sanghyang Panji Barani terdapat di Cibarani (Banten). Hyang Bunisora Suradipati adalah adik Maharaja Sunda yang bernama Maharaja Linggabuana. Sang Maharaja terkenal sebagai Prabu Wangi yang gugur sebagai pahlawan di palagan Bubat melawan tentara Majapahit pada tahun 1357. Ketika peristiwa memilukan itu terjadi puteranya yang bernama Niskala Wastu Kancana baru berusia 9 tahun, untuk itu Hyang Bunisora menjabat sebagai Mangkubumi Suradipati mewakili keponakannya itu atas tahta Kawali. Hyang Bunisora juga dikenal sebagai Prabu Kuda Lelean dan Batara Guru di Jampang karena menjadi seorang petapa atau resi yang mumpuni di Jampang (Sukabumi). Nama Hyang Bunisora yang mirip dengan Sanghyang Borosngora dan gelarnya sebagai Batara Guru di Jampang menyiratkan adanya keterkaitan antara kedua tokoh ini, meskipun belum bisa dipastikan apakah kedua tokoh ini adalah orang yang sama. Jika ternyata kedua tokoh ini adalah orang yang sama, pastinya akan membuka salah satu lembar yang tersembunyi dari Sejarah Sunda. Hyang Bunisora atau Mangkubumi Suradipati menikah dengan Dewi Laksmiwati dan menurunkan 4 (empat) anak (Djadja Sukardja,2007):
1). Giri Dewata (Gedeng Kasmaya) di Cirebon Girang menikahi Ratna Kirana puteri Ratu Cirebon Girang, di lereng Gunung Ciremai.
2). Bratalegawa (Haji baharudin/Haji Purwa) menikahi puteri Gujarat.
3). Ratu Banawati.
4). Ratu Mayangsari yang diperisteri Niskala Wastu Kancana.
Hyang Bunisora dikabarkan dimakamkan di Geger Omas, diperkirakan lokasi Geger Omas sekarang adalah Desa Ciomas (Panjalu Ciamis), di desa tersebut terdapat situs makam yang dikenal sebagai makam Dalem Penghulu Gusti dan Dalem Mangkubumi (Djadja Sukardja, 2007: 29-30). Legenda pertemuan antara Sanghyang Borosngora dengan Baginda Ali R.A. ini sampai sekarang masih kontroversial mengingat keduanya hidup di zaman yang berbeda. Sayidina Ali hidup pada abad ke-7 M (tahun 600-an) sedangkan pada periode masa itu di tatar Sunda tengah berdiri Kerajaan Tarumanagara dan nama Panjalu belum disebut-sebut dalam sejarah. Nama Panjalu (Kabuyutan Sawal) mulai disebut-sebut ketika Sanjaya (723-732) hendak merebut Galuh dari tangan Purbasora, ketika itu Sanjaya mendapat bantuan pasukan khusus dari Rabuyut Sawal (Panjalu) yang merupakan sahabat ayahnya, Sena (709-716). Sementara itu jika dirunut melalui catatan silsilah Panjalu sampai keturunannya sekarang, maka Sanghyang Borosngora diperkirakan hidup pada tahun 1400-an atau paling tidak sezaman dengan Sunan Gunung Jati Cirebon (1448-1568). Namun demikian, bukti-bukti cinderamata dari Sayidina Ali R.A. yang berupa pedang, tongkat dan pakaian kebesaran masih dapat dilihat dan tersimpan di Pasucian Bumi Alit. Kabarnya pedang pemberian Baginda Ali itu pernah diteliti oleh para ahli dan hasilnya menunjukkan bahwa kandungan logam dan besi yang membentuk pedang itu bukan berasal dari jenis bahan pembuatan senjata yang biasa dipakai para Empu dan Pandai Besi di Nusantara. Kisah masuk Islamnya Sanghyang Borosngora yang diislamkan oleh Sayidina Ali R.A. ini mirip dengan kisah Kian Santang. Kian Santang adalah putera Prabu Siliwangi dari isteri keduanya yang bernama Nyai Subang Larang binti Ki Gedeng Tapa yang beragama Islam. Dari isteri keduanya ini Prabu Siliwangi mempunyai tiga orang putera-puteri yaitu Walangsungsang (Pangeran Cakrabuana), Nyai Rara Santang, dan Kian Santang (Raja Sangara). Walangsungsang dan Rara Santang menuntut ilmu agama Islam mulai dari Pasai, Makkah, sampai ke Mesir; bahkan Rara Santang kemudian dinikahi oleh penguasa Mesir Syarif Abdullah atau Sultan Maulana Mahmud dan berputera Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Setelah naik haji Pangeran Cakrabuana berganti nama menjadi Syeikh Abdullah Iman, sedangkan Rara Santang setelah menikah berganti nama menjadi Syarifah Mudaim. Sementara itu, berbeda dengan kedua kakaknya; Kian Santang dikisahkan memeluk Islam setelah bertemu dengan Baginda Ali lalu kembali ke tanah air untuk menyampaikan syiar Islam kepada sang ayah: Prabu Siliwangi. Prabu Siliwangi yang tidak bersedia memeluk Islam lalu menghilang beserta seluruh pengikutnya di Leuweung Sancang (hutan Sancang di daerah Garut sekarang). Kian Santang yang juga berganti nama menjadi Syeikh Mansyur, melanjutkan syiar Islamnya dan kemudian dikenal sebagai Sunan Rahmat Suci atau Sunan Godog yang petilasannya terdapat di Garut. Menurut versi Sejarah Cianjur, Sanghyang Borosngora dikenal sebagai Prabu Jampang Manggung. Nama aslinya adalah Pangeran Sanghyang Borosngora, ia putera kedua Adipati Singacala (Panjalu) yang bernama Prabu Cakradewa. Prabu Cakradewa sendiri adalah putera Sedang Larang, Sedang Larang adalah putera Ratu Prapa Selawati. Sanghyang Borosngora adalah putera Prabu Cakradewa dari permaisuri yang bernama Ratu Sari Permanadewi. Ratu Sari Permanadewi adalah putera keenam dari Adipati Wanaperi Sang Aria Kikis, jadi Sanghyang Borosngora adalah saudara misan Dalem Cikundul. Sanghyang Borosngora mempunyai empat orang saudara dan pada usia 14 tahun ia diperintah sang ayah untuk berziarah ke tanah suci Mekkah. Pada bulan Safar 1101 H Sanghyang Borosngora berangkat ke Mekkah yang lama perjalanannya adalah 6 tahun. Sepulang dari tanah suci, Sanghyang Borosngora mendapat julukan Syeikh Haji Sampulur Sauma Dipa Ulama. Tiba di kampung halamannya Kerajaan Singacala, sang ayah ternyata telah meninggal dunia. Borosngora kemudian berniat menurunkan ilmunya dan menyampaikan ajaran Islam kepada rakyat Pajajaran Girang dan Pajajaran Tengah, karena itu Borosngora mengembara ke nagari Sancang dan tanah Jampang. Pada hitungan windu pertama, Sanghyang Borosngora melakukan perjalanan kunjungan ke tanah leluhurnya di Karantenan Gunung Sawal, nagari Sancang, Parakan Tilu, Kandangwesi, Gunung Wayang, Gunung Kendan (Galuh Wiwitan), Dayeuhkolot (Sagalaherang), nagari Wanayasa Rajamantri, Bayabang (menemui Kyai Nagasasra), Paringgalaya (sekarang sudah terbenam oleh Waduk Jatiluhur) dan kemudian kembali ke Gunung Wayang. Pada windu kedua ia berangkat ke Jampang Wetan, Gunung Patuha, Gunung Pucung Pugur, Pasir Bentang, Gunung Masigit, Pager Ruyung, Pagelarang, Jampang Tengah, Curug Supit, Cihonje, Teluk Ratu, Gunung Sunda, Cipanegah, Cicatih kemudian mengunjungi Salaka Domas di Sela Kancana, Cipanengah, Cimandiri. Windu ketiga Sanghyang Borosngora pergi ke Jampang Tengah mendirikan padepokan di Hulu Sungai Cikaso, Taman Mayang Sari (kuta jero), Jampang Kulon. Di tempat ini ia dikenal dengan nama Haji Soleh dan Haji Mulya. Setelah itu ia kembali ke Cipanengah, Gunung Rompang, di tempat ini ia dikenal sebagai Syeikh Haji Dalem Sepuh. Sanghyang Borosngora menikahi seorang gadis yatim, cucu angkat Kanjeng Kiai Cinta Linuwih di Gunung Wayang. Gadis yatim ini adalah turunan langsung Senapati Amuk Murugul Sura Wijaya, Mantri Agung Mareja, wakil Sri Maharaja Pajajaran untuk wilayah Cirebon Girang dan Tengah. Padaa windu ketiga, ia memiliki dua orang putra yaitu Hariang Sancang Kuning dan Pangeran Hariang Kancana. Sanghyang Borosngora hidup sampai usia lanjut, ia wafat setelah dari Gunung Rompang serta dimakamkan di suatu tempat di tepi Sungai Cileuleuy, Kp Langkob, Desa Ciambar, Kecamatan Nagrak, Sukabumi. Putra cikalnya yaitu Hariang Sancang Kuning melakukan napak tilas perjalanan mendiang ayahnya ke Pajajaran Girang dan Tengah, kemudian ke Singacala (Panjalu). Ia wafat dan dimakamkan di Cibungur, selatan Panjalu. Salah seorang keturunannya yang terkenal adalah Raden Alit atau Haji Prawata Sari yang gigih menentang penjajah Belanda. Ia dikenal sebagai pemberontak yang sangat ditakuti berjuluk "Karaman Jawa". Sedangkan adik Sancang Kuning yakni Pangeran Hariang Kancana menjadi Adipati Singacala kemudian hijrah ke Panjalu, setelah wafat ia dimakamkan di Giri Wanakusumah, Situ Panjalu. Pada suatu masa beberapa orang raja dan adipati dari bekas kawasan Pajajaran tengah dan Pajajaran girang yang mencakup wilayah Cianjur, Sukabumi dan sekitarnya berkumpul di puncak gunung yang biasa dipakai sebagai lokasi musyawarah oleh para raja dan adipati yaitu di Gunung Rompang (dalam bhs. Sunda istilah rompang menunjukan keadaan senjata pedang, golok atau pisau yang sudah retak bergerigi karena terlalu sering dipakai). Dinamai Gunung Rompang karena pada masa akhir berdirinya kerajaan Sunda Pajajaran setelah melewati perang selama 50 tahun, senjata para prajurit Pajajaran telah menjadi rompang karena dipakai bertempur terus-menerus. Lokasi ini dikenal juga sebagai "Karamat Pasamoan", adapun tokoh-tokoh yang hadir pada pertemuan itu adalah :
1. Syeikh Dalem Haji Sepuh Sang Prabu Jampang Manggung yang berasal dari negeri Singacala (Panjalu) bawahan Galuh, di tanah Pajampangan ia dikenal dengan berbagai julukan yaitu sebagai Syeikh Haji Mulya, Syeikh Haji Sholeh, dan Syeikh Aulia Mantili.
2. Kanjeng Aria Wira Tanu Cikundul atau Pangeran Jaya Lalana, bergelar Raden Ngabehi Jaya Sasana, Pangeran Panji Nata Kusumah.
3. Raden Sanghyang Panaitan atau Raden Widaya bergelar Pangerang Rangga Sinom di Sedang, Kanjeng Adipati Sukawayana.
4. Raden Adipati Lumaju Gede Nyilih Nagara di Cimapag.
5. Kanjeng Kyai Aria Wangsa Merta dari Tarekolot, Cikartanagara.
6. Kanjeng Dalem Nala Merta dari Cipamingkis.
7. Pangeran Hyang Jaya Loka dari Cidamar.
8. Pangeran Hyang Jatuna dari Kadipaten Kandang Wesi.
9. Pangeran Hyang Krutu Wana dari Parakan Tiga.
10. Pangeran Hyang Manda Agung dari Sancang.
Tujuan pertemuan para raja ini adalah untuk membahas keinginan para raja dan adipati untuk menjalin kerjasama yang lebih erat terutama dalam usaha menangkal serangan musuh dari luar. Untuk itu dibutuhkan adanya seorang pemimpin yang tangguh, pemimpin yang memegang tangkai, yang disebut sebagai Raja Gagang (Raja pemegang tangkai). Prabu Jampang Manggung mengusulkan agar Aria Wira Tanu Dalem Cikundul yang ditunjuk sebagai Raja Gagang, dan usul ini diterima oleh semua tokoh yang hadir. Akhirnya, setelah menjalankan Salat Jum'ah yang bertepatan dengan bulan purnama Rabiul Awal 1076 H atau 2 September 1655 berdiri negeri Cianjur yang merupakan negeri merdeka dan berdaulat, tidak tunduk kepada Kompeni, Mataram maupun Banten, hanya tunduk kepada Allah SWT. Negeri ini dipimpin oleh Aria Wira Tanu, Dalem Cikundul sebagai Raja Gagang. Raden Haji Alit Prawatasari adalah seorang ulama dari Jampang yang juga merupakan keturunan Sancang Kuning dari Singacala (Panjalu). Pemberontakan Raden Haji Alit Prawatasari dimulai pada bulan Maret 1703 dan terjadi sangat dahsyat. Haji Prawatasari sanggup memobilisasi rakyat menjadi pasukannya sebanyak 3000 orang sehingga membuat VOC kalang kabut. Pada suatu ketika tersebar berita bahwa RH Alit Prawatasari telah tewas. Pieter Scorpoi komandan pasukan VOC segera saja menawan dan menggiring seluruh warga Jampang yang mencapai 1354 orang untuk menjalani hukuman di Batavia melewati Cianjur. Tujuan VOC tidak lain adalah untuk menghancurkan semangat dan kekuatan pengikut RH Alit Prawatasari. Penduduk Jampang yang berbaris sepanjang jalan itu sebagian besar tewas diperjalanan, yang tersisa hanyalah 582 orang dengan kondisi yang menyedihkan, mereka kemudian digiring terus menuju ke Bayabang. Pada waktu itu sesungguhnya RH Alit Prawatasari tidak tewas melainkan sedang mengumpulkan wadya balad (pengikut) yang sangat besar, ia kemudian memimpin penyerbuan ke kabupaten priangan wetan (timur). Pada tahun 1705 RH Alit Prawatasari muncul lagi di Jampang dan kemudian mengepung sekeliling Batavia, pada sekitar Januari di dekat Bogor. Dikarenakan VOC tak mampu menangkap RH Alit Prawatasari, tiga orang tokoh masyarakat yang ditangkap di Kampung Baru, Bogor dieksekusi mati oleh VOC. Pada bulan Maret RH Alit Prawatasari membuat kekacauan di Sumedang utara, kemudian pada Agustus 1705 RH Alit Prawatasari berhasil mengalahkan pasukan Belanda yang mencoba mengejar dan menangkapnya melalui tiga kali pertempuran. Akibat kegagalan-kegalannya menangkap RH Alit Prawatasari, maka VOC menjatuhkan hukuman berat kepada siapa saja yang disangka membantu RH Alit Prawatasari, namun jumlah pengikutnya bukan berkurang malah semakin bertambah banyak karena rakyat bersimpati kepada perjuangannya. Pihak Belanda lalu mengeluarkan ultimatum dan tenggat waktu selama enam bulan kepada para bupati di Tatar Sunda agar menangkap RH Alit Prawatasari. Pada tahun 1706 RH Alit Prawatasari meninggalkan Tatar Sunda menuju ke Jawa Tengah. RH Alit Prawatasari akhirnya tertangkap di Kartasura setelah ditipu oleh Belanda pada tangal 12 Juli 1707. Makam pahlawan yang terlupakan ini terletak di Dayeuh Luhur, Cilacap. Penduduk setempat menyebutnya sebagai makam turunan Panjalu, makamnya ini sampai sekarang masih sering diziarahi oleh penduduk sekitar dan peziarah dari Ciamis. Rahyang Kuning atau Hariang Kuning menggantikan Sanghyang Borosngora menjadi Raja Panjalu, akibat kesalahpahaman dengan adiknya yang bernama Rahyang Kancana sempat terjadi perseteruan yang akhirnya dapat didamaikan oleh Guru Aji Kampuh Jaya dari Cilimus. Rahyang Kuning kemudian mengundurkan diri dan menyerahkan tahta Panjalu kepada Rahyang Kancana. Menurut Babad Panjalu, perselisihan ini dikenal dengan peristiwa Ranca Beureum. Peristiwa ini terjadi sewaktu Prabu Rahyang Kuning bermaksud menguras air Situ Lengkong untuk diambil ikannya (Sunda:ngabedahkeun). Rahyang Kuning mengutus patih kerajaan untuk menjemput sang ayah Sanghyang Borosngora di Jampang Manggung agar menghadiri acara itu. Namun karena Sanghyang Borosngora berhalangan, maka ia menunjuk Rahyang Kancana untuk mewakili sang ayah menghadiri acara tersebut. Berhubung hari yang telah ditentukan untuk perayaan itu semakin dekat, Rahyang Kuning memerintahkan para abdinya untuk mulai membobol Situ Lengkong sambil menunggu kedatangan ayahnya, air pembuangannya dialirkan melalui daerah jalan Sriwinangun sekarang. Sang Prabu turun langsung memimpin para abdi dan rakyatnya berbasah-basahan di tengah cuaca dingin di pagi buta itu. Untuk sekedar menghangatkan badan, Rahyang Kuning menyalakan api unggun sambil berdiang menghangatkan telapak tangannya menghadap ke arah barat. Pada saat yang bersamaan dari arah barat, sang adik Rahyang Kancana bersama rombongan pasukan pengawalnya tiba di sekitar daerah Sriwinangun yang akan dilewati dan terkejut mendapati Situ Lengkong telah mulai dikeringkan tanpa menunggu kedatangannya sebagai wakil sang ayah. Rahyang Kancana yang tersinggung lalu membendung saluran pembuangan air itu dengan tergesa-gesa. Akibatnya meskipun sudah dibendung, tetapi tempat itu masih dipenuhi rembesan air dan gundukan tanah tak beraturan sehingga sampai sekarang tempat itu dikenal dengan nama Cibutut (Bhs. Sunda: butut artinya jelek). Rahyang Kuning yang tengah menghangatkan telapak tangannya menghadapi api unggun terkejut melihat kedatangan Rahyang Kancana bersama pasukan pengawalnya yang dipenuhi emosi. Sebaliknya Rahyang Kancana mengira kakaknya itu sedang menunggu untuk menantangnya adu kesaktian karena ia telah membendung air Situ Lengkong supaya tidak kering. Singkat cerita, akibat kesalahpahaman tersebut terjadilah duel pertarungan antara Rahyang Kancana bersama pasukan pengawalnya melawan Rahyang Kuning bersama pasukan pengawal kerajaan, akibat pertempuran itu banyak korban yang berjatuhan dari kedua belah pihak, akibatnya sebuah ranca (rawa atau danau dangkal) airnya menjadi berwarna merah oleh genangan darah sehingga sampai sekarang dikenal dengan nama Ranca Beureum (Bhs. Sunda: beureum artinya merah). Perang saudara ini baru berakhir setelah didamaikan oleh Guru Aji Kampuhjaya, ulama kerajaan yang sangat dihormati sekaligus sahabat Prabu Sanghyang Borosngora. Rahyang Kuning yang menyesal karena telah menimbulkan perselisihan tersebut menyerahkan tahta Panjalu kepada Rahyang Kancana dan meninggalkan kaprabon lalu mengembara ke wilayah selatan Galuh. Rahyang Kuning di akhir hayatnya menjadi Raja di Kawasen (Ciamis Selatan), jasadnya dibawa pulang ke Panjalu dan dimakamkan di Kapunduhan Cibungur, Desa Kertamandala, Kecamatan Panjalu. Rahyang Kancana atau Hariang Kancana melanjutkan tahta Panjalu dari kakaknya, untuk melupakan peristiwa berdarah perang saudara di Ranca Beureum ia memindahkan kaprabon dari Nusa Larang ke Dayeuh Nagasari, sekarang termasuk wilayah Desa Ciomas Kecamatan Panjalu. Rahyang Kancana mempunyai dua orang putera yaitu:
1) Rahyang Kuluk Kukunangteko, dan
2) Rahyang Ageung.
Prabu Rahyang Kancana setelah mangkat dipusarakan di Nusa Larang Situ Lengkong. Pusara Prabu Rahyang Kancana sampai sekarang selalu ramai didatangi para peziarah dari berbagai daerah di Indonesia. Rahyang Kuluk Kukunangteko atau Hariang Kuluk Kukunangteko menggantikan Rahyang Kancana menduduki tahta Panjalu, ia didampingi oleh adiknya yang bernama Rahyang Ageung sebagai Patih Panjalu. Sang Prabu mempunyai seorang putera bernama Rahyang Kanjut Kadali Kancana. Pusara Rahyang Kuluk Kukunangteko terletak di Cilanglung, Simpar, Panjalu. Rahyang Kanjut Kadali Kancana atau Hariang Kanjut Kadali Kancana menggantikan ayahnya sebagai Raja Panjalu, ia mempunyai seorang putera bernama Rahyang Kadacayut Martabaya. Rahyang Kanjut Kadali Kancana setelah mangkat dipusarakan di Sareupeun Hujungtiwu, Panjalu.
Rahyang Kadacayut Martabaya atau Hariang Kadacayut Martabaya naik tahta Panjalu menggantikan ayahnya, ia mempunyai seorang anak bernama Rahyang Kunang Natabaya.
Rahyang Kadacayut Martabaya jasadnya dipusarakan di Hujungwinangun, Situ Lengkong Panjalu. Rahyang Kunang Natabaya atau Hariang Kunang Natabaya menduduki tahta Panjalu menggantikan ayahnya, ia menikah dengan Apun Emas. Apun Emas adalah anak dari penguasa Kawali bernama Pangeran Mahadikusumah atau Apun di Anjung yang dikenal juga sebagai Maharaja Kawali (1592-1643) putera Pangeran Bangsit (1575-1592) (Djadja Sukardja, 2007: 33). Sementara adik Apun Emas yang bernama Tanduran di Anjung menikah dengan Prabu di Galuh Cipta Permana (1595-1608) dan menurunkan Adipati Panaekan.
Dari perkawinannya dengan Nyai Apun Emas, Prabu Rahyang Kunang Natabaya mempunyai tiga orang putera yaitu :
1) Raden Arya Sumalah,
2) Raden Arya Sacanata, dan
3) Raden Arya Dipanata (kelak diangkat menjadi Bupati Pagerageung oleh Mataram).
Pada masa kekuasaan Prabu Rahyang Kunang Natabaya ini, Panembahan Senopati (1586-1601) berhasil menaklukkan Cirebon beserta daerah-daerah bawahannya termasuk Panjalu dan Kawali menyusul kemudian Galuh pada tahun 1618. Pusara Prabu Rahyang Kunang Natabaya terletak di Ciramping, Desa Simpar, Panjalu. Arya Sumalah naik tahta Panjalu bukan sebagai Raja, tapi sebagai Bupati di bawah kekuasaan Mataram. Ia menikah dengan Ratu Tilarnagara puteri dari Bupati Talaga yang bernama Sunan Ciburuy atau yang dikenal juga dengan nama Pangeran Surawijaya, dari pernikahannya itu Arya Sumalah mempunyai dua orang anak, yaitu:
1) Ratu Latibrangsari dan
2) Raden Arya Wirabaya.
Arya Sumalah setelah wafat dimakamkan di Buninagara Simpar, Panjalu.
Raden Arya Sumalah wafat dalam usia muda dan meninggalkan putera-puterinya yang masih kecil. Untuk mengisi kekosongan kekuasaan di Kabupaten Panjalu Raden Arya Sacanata diangkat oleh Sultan Agung (1613-1645) sebagai Bupati menggantikan kakaknya dengan gelar Pangeran Arya Sacanata. Pangeran Arya Sacanata juga memperisteri Ratu Tilarnagara puteri Bupati Talaga Sunan Ciburuy yang merupakan janda Arya Sumalah. Pangeran Arya Sacanata mempunyai banyak keturunan, baik dari garwa padminya yaitu Ratu Tilarnagara maupun dari isteri-isteri selirnya (ada sekitar 20 orang anak), anak-anaknya itu dikemudian hari menjadi pembesar-pembesar di tanah Pasundan. Dua belas diantara putera-puteri Pangeran Arya Sacanata itu adalah:
1) Raden Jiwakrama (Cianjur),
2) Raden Ngabehi Suramanggala,
3) Raden Wiralaksana (Tengger, Panjalu),
4) Raden Jayawicitra (Pamekaran, Panjalu),
5) Raden Dalem Singalaksana (Cianjur),
6) Raden Dalem Jiwanagara (Bogor),
7) Raden Arya Wiradipa (Maparah, Panjalu),
8) Nyi Raden Lenggang,
9) Nyi Raden Tilar Kancana,
10) Nyi Raden Sariwulan (Gandasoli, Sukabumi),
11) Raden Yudaperdawa (Gandasoli, Sukabumi), dan
12) Raden Ngabehi Dipanata.
Putera Sultan Agung, Sunan Amangkurat I (1645-1677) pada tahun 1656-1657 secara sepihak mencopot jabatan Pangeran Arya Sacanata sebagai Bupati Panjalu yang diangkat oleh Sultan Agung serta menghapuskan Kabupaten Panjalu dengan membagi wilayah Priangan menjadi 12 Ajeg; salah satunya adalah Ajeg Wirabaya yang meliputi wilayah Kabupaten Panjalu, Utama dan Bojonglopang serta dikepalai oleh keponakan sekaligus anak tirinya yaitu Raden Arya Wirabaya sehingga membuat Pangeran Arya Sacanata mendendam kepada Mataram. Suatu ketika Pangeran Arya Sacanata ditunjuk oleh mertuanya yang juga Bupati Talaga Sunan Ciburuy untuk mewakili Talaga mengirim seba (upeti) ke Mataram. Pada kesempatan itu Pangeran Arya Sacanata menyelinap ke peraduan Sinuhun Mataram dan mempermalukanya dengan memotong sebelah kumisnya sehingga menimbulkan kegemparan besar di Mataram. Segera saja Pangeran Arya Sacanata menjadi buruan pasukan Mataram, namun hingga akhir hayatnya Pangeran Arya Sacanata tidak pernah berhasil ditangkap oleh pasukan Mataram sehingga ia mendapat julukan Pangeran Arya Salingsingan (dalam Bahasa Sunda kata "salingsingan" berarti saling berpapasan tapi tidak dikenali). Pangeran Arya Sacanata menghabiskan hari tuanya dengan meninggalkan kehidupan keduniawian dan memilih hidup seperti petapa mengasingkan diri di tempat-tempat sunyi di sepanjang hutan pegunungan dan pesisir Galuh. Mula-mula ia mendirikan padepokan di Gandakerta sebagai tempatnya berkhalwat (menyepi), Sang Pangeran kemudian berkelana ke Palabuhan Ratu, Kandangwesi, Karang, Lakbok, kemudian menyepi di Gunung Sangkur, Gunung Babakan Siluman, Gunung Cariu, Kuta Tambaksari dan terakhir di Nombo, Dayeuhluhur. Pangeran Arya Sacanata wafat dan dipusarakan di Nombo, Kecamatan Dayeuhluhur, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah.
Sewaktu Sunan Amangkurat I berkuasa (1645-1677) pada sekitar tahun 1656-1657 wilayah Mancanagara Kilen (Mataram Barat) dibagi menjadi dua belas Ajeg (daerah setingkat kabupaten) serta menghapuskan jabatan Wedana Bupati Priangan, keduabelas Ajeg itu adalah: Sumedang, Parakan Muncang (Bandung Timur), Bandung, Sukapura (Tasikmalaya), Karawang, Imbanagara (Ciamis), Kawasen (Ciamis Selatan), Wirabaya (Ciamis Utara termasuk Kabupaten Panjalu, Utama dan Bojonglopang), Sindangkasih (Majalengka), Banyumas, Ayah/Dayeuhluhur (Kebumen, Cilacap) dan Banjar (Ciamis Timur). Pada waktu itulah Arya Wirabaya diangkat oleh Sunan Amangkurat I menjadi Kepala Ajeg Wirabaya sekaligus menggantikan Pangeran Arya Sacanata yang tidak lagi menjabat Bupati karena Kabupaten Panjalu telah dihapuskan dan dimasukkan kedalam Ajeg Wirabaya. Arya Wirabaya mempunyai seorang putera yang bernama Raden Wirapraja, setelah wafat jasad Arya Wirabaya dimakamkan di Cilamping, Panjalu, Ciamis. Raden Wirapraja menggantikan ayahnya menjadi Bupati Panjalu dengan gelar Raden Tumenggung Wirapraja. Pada masa pemerintahannya kediaman bupati dipindahkan dari Dayeuh Nagasari, Ciomas ke Dayeuh Panjalu sekarang. Tumenggung Wirapraja setelah mangkat dimakamkan di Kebon Alas Warudoyong, Kecamatan Panumbangan, Kabupaten Ciamis. Salah seorang putera Pangeran Arya Sacanata yang bernama Arya Wiradipa memperisteri Nyi Mas Siti Zulaikha puteri Tandamui dari Cirebon, ia bersama kerabat dan para kawula-balad (abdi dan rakyatnya) dari keraton Talaga mendirikan pemukiman yang sekarang menjadi Desa Maparah, Panjalu. Dari pernikahannya itu Arya Wiradipa mempunyai empat orang anak, yaitu:
1) Raden Ardinata,
2) Raden Cakradijaya,
3) Raden Prajasasana, dan
4) Nyi Raden Ratna Gapura.
Raden Prajasasana yang setelah dewasa dikenal juga dengan nama Raden Suragostika mengabdi sebagai pamong praja bawahan Pangeran Arya Cirebon (1706-1723) yang menjabat sebagai Opzigter (Pemangku Wilayah) VOC untuk wilayah Priangan (Jawa Barat) dan bertugas mengepalai dan mengatur para bupati Priangan. Raden Suragostika yang dianggap berkinerja baik dan layak menduduki jabatan bupati kemudian diangkat oleh Pangeran Arya Cirebon menjadi Bupati Panjalu dengan gelar Raden Tumenggung Cakranagara menggantikan Tumenggung Wirapraja. Tumenggung Cakranagara I memperisteri Nyi Raden Sojanagara puteri Ratu Latibrang Sari (kakak Arya Wirabaya) sebagai garwa padmi (permaisuri) dan menurunkan tiga orang putera, yaitu:
1) Raden Cakranagara II,
2) Raden Suradipraja, dan
3) Raden Martadijaya.
Sementara dari garwa ampil (isteri selir) Tumenggung Cakranagara I juga mempunyai empat orang puteri, yaitu:
1) Nyi Raden Panatamantri,
2) Nyi Raden Widaresmi.
3) Nyi Raden Karibaningsih, dan
4) Nyi Raden Ratnaningsih.
Tumenggung Cakranagara I setelah wafat dimakamkan di Cinagara, Desa Simpar, Kecamatan Panjalu, Kabupaten Ciamis. Raden Cakranagara II menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Bupati Panjalu dengan gelar Raden Tumenggung Cakranagara II, sedangkan adiknya yang bernama Raden Suradipraja diangkat menjadi Patih Panjalu dengan gelar Raden Demang Suradipraja. Tumenggung Cakranagara II mempunyai enam belas orang anak dari garwa padmi dan isteri selirnya, keenambelas putera-puterinya itu adalah:
1) Nyi Raden Wijayapura,
2) Nyi Raden Natakapraja,
3) Nyi Raden Sacadinata,
4) Raden Cakradipraja,
5) Raden Ngabehi Angreh,
6) Raden Dalem Cakranagara III,
7) Nyi Raden Puraresmi,
8) Nyi Raden Adiratna,
9) Nyi Raden Rengganingrum,
10) Nyi Raden Janingrum,
11) Nyi Raden Widayaresmi,
12) Nyi Raden Murdaningsih,
13) Raden Demang Kertanata,
14) Raden Demang Argawijaya,
15) Nyi Raden Adipura, dan
16) Nyi Raden Siti Sarana.
Tumenggung Cakranagara II setelah wafat dimakamkan di Puspaligar, Kecamatan Panjalu, Kabupaten Ciamis. Raden Cakranagara III sebagai putera tertua dari garwa padmi (permaisuri) menggantikan posisi ayahnya sebagai Bupati Panjalu dengan gelar Raden Tumenggung Cakranagara III. Tahun 1810 wilayah Kawali yang dikepalai Raden Adipati Mangkupraja III (1801-1810) digabungkan kedalam wilayah Kabupaten Panjalu dibawah Raden Tumenggung Cakranagara III yang sama-sama berada dalam wilayah administratif Cirebon. Wilayah Kawali ini kemudian dikepalai oleh Raden Tumenggung Suradipraja I (1810-1819) yang menginduk ke Kabupaten Panjalu. Pada tahun 1819 ketika Pemerintah Hindia-Belanda dibawah pimpinan Gubernur Jenderal G.A.G.Ph. Baron Van der Capellen (1816-1836) dikeluarkanlah kebijakan untuk menggabungkan Kabupaten Panjalu, Kawali, Distrik Cihaur dan Rancah kedalam Kabupaten Galuh. Berdasarkan hal itu maka Tumenggung Cakranagara III dipensiunkan dari jabatannya sebagai Bupati Panjalu dan sejak itu Panjalu menjadi kademangan (daerah setingkat wedana) di bawah Kabupaten Galuh. Pada tahun itu Bupati Galuh Tumenggung Wiradikusumah digantikan oleh puteranya yang bernama Adipati Adikusumah (1819-1839), sedangkan di Panjalu pada saat yang bersamaan putera tertua Tumenggung Cakranagara III yang bernama Raden Sumawijaya diangkat menjadi Demang (Wedana) Panjalu dengan gelar Raden Demang Sumawijaya, sementara itu putera ketujuh Tumenggung Cakranagara III yang bernama Raden Cakradikusumah diangkat menjadi Wedana Kawali dengan gelar Raden Arya Cakradikusumah. Tumenggung Cakranagara III mempunyai dua belas orang putera-puteri, yaitu:
1) Raden Sumawijaya Demang Panjalu (Nusa Larang, Panjalu),
2) Raden Prajasasana Kyai Sakti (Nusa Larang, Panjalu),
3) Raden Aldakanata,
4) Raden Wiradipa,
5) Nyi Raden Wijayaningrum,
6) Raden Jibjakusumah,
7) Raden Cakradikusumah (Wedana Kawali),
8) Raden Cakradipraja,
9) Raden Baka,
10) Nyi Raden Kuraesin,
11) Raden Raksadipraja (Kuwu Ciomas, Panjalu), dan
12) Raden Prajadinata (Kuwu Maparah, Panjalu), penulis naskah Babad Panjalu dalam bahasa Sunda dengan aksara latin (tersimpan di Perpustakaan Nasional RI), wafat di Mekkah. Tumenggung Cakranagara III wafat pada tahun 1853 dan dipusarakan di Nusa Larang Situ Lengkong Panjalu berdekatan dengan pusara Prabu Rahyang Kancana putera Prabu Sanghyang Borosngora. Raden Sumawijaya pada tahun 1819 diangkat menjadi Demang Panjalu dengan gelar Raden Demang Sumawijaya. Adiknya yang bernama Raden Cakradikusumah pada waktu yang berdekatan juga diangkat menjadi Wedana Kawali dengan gelar Raden Arya Cakradikusumah. Demang Sumawijaya mempunyai tiga orang anak, yaitu:
1) Raden Aldakusumah,
2) Nyi Raden Asitaningsih, dan
3) Nyi Raden Sumaningsih.
Demang Sumawijaya setelah wafat dimakamkan di Nusa Larang Situ Lengkong Panjalu.
Raden Aldakusumah menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Demang Panjalu dengan gelar Raden Demang Aldakusumah, ia menikahi Nyi Raden Wiyata (Reumalega, Desa Kertamandala, Panjalu) dan mempunyai empat orang anak, yaitu:
1) Raden Kertadipraja (Reumalega, Desa Kertamandala, Panjalu),
2) Nyi Raden Wijayaningsih,
3) Nyi Raden Kasrengga (Reumalega, Desa Kertamandala, Panjalu), dan
4) Nyi Raden Sukarsa-Karamasasmita (Reumalega, Desa Kertamandala, Panjalu).
Semantara itu adik sepupunya yang bernama Raden Argakusumah (putera Wedana Kawali Raden Arya Cakradikusumah) diangkat menjadi Bupati Dermayu (sekarang Indramayu) dengan gelar Raden Tumenggung Cakranagara IV. Raden Demang Aldakusumah dan Raden Tumenggung Argakusumah (Cakranagara IV) setelah wafatnya dimakamkan di Nusa Larang Situ Lengkong Panjalu. Putera tertua Demang Aldakusumah yang bernama Raden Kertadipraja tidak lagi menjabat sebagai Demang Panjalu karena Panjalu kemudian dijadikan salah satu desa/kecamatan yang masuk kedalam wilayah kawedanaan Panumbangan Kabupaten Galuh, sementara ia sendiri tidak bersedia diangkat menjadi Kuwu (Kepala Desa) Panjalu. Pada tahun 1915 Kabupaten Galuh berganti nama menjadi Kabupaten Ciamis. Raden Kertadipraja (Reumalega, Desa Kertamandala, Panjalu) menikahi Nyi Mas Shinta (Reumalega, Desa Kertamandala, Panjalu) dan menurunkan empat orang anak yaitu:
1) Raden Hanafi Argadipraja (Reumalega, Desa Kertamandala, Panjalu),
2) Nyi Raden Hasibah-Junaedi (Reumalega, Desa Kertamandala Panjalu),
3) Nyi Raden Halimah-Suminta (Reumalega, Desa Kertamandala, Panjalu), dan
4) Raden Ahmad Kertadipraja (Reumalega, Desa Kertamandala, Panjalu).
Raden Hanafi Argadipraja (Reumalega, Desa Kertamandala, Panjalu) mempersunting Nyi Raden Dewi Hunah Murtiningsih (Reumalega, Desa Kertamandala, Panjalu) puteri dari Kuwu Cimuncang (sekarang Desa Jayagiri Kecamatan Panumbangan Ciamis) yang bernama Raden Nitidipraja, penulis catatan sejarah & silsilah Panjalu dalam bahasa Sunda dengan aksara arab dan latin (makamnya di Puspaligar, Panjalu), dan dari pernikahannya itu menurunkan lima orang putera-puteri:
1) Nyi Raden Sukaesih-Raden Abdullah Suriaatmaja,
2) H. Raden Muhammad Tisna Argadipraja,
3) Raden Galil Aldar Argadipraja,
4) Hj. Nyi Raden Siti Maryam-H.Encur Mansyur,
5) Nyi Raden Siti Rukomih-Raden Sukarsana Sadhi Pasha.
Sedangkan adik Raden Hanafi Argadipraja, yakni Raden Ahmad Kertadipraja (Reumalega, Desa Kertamandala, Panjalu) menurunkan empat orang anak:
1) H. Raden Afdanil Ahmad,
2) Raden Nasuha Ahmad,
3) Nyi Raden Nia Kania, dan
4) Raden Ghia Subagia.
Situ Lengkong sekarang termasuk kedalam wilayah Desa/Kecamatan Panjalu Kabupaten Ciamis Jawa Barat. Dalam Bahasa Sunda; kata situ artinya danau. Situ Lengkong atau dikenal juga dengan Situ Panjalu terletak di ketinggian 700 m dpl. Di tengah danau tersebut terdapat sebuah pulau yang dinamai Nusa Larang atau Nusa Gede atau ada juga yang menyebutnya sebagai Nusa Panjalu. Menurut legenda rakyat dan Babad Panjalu, Situ Lengkong adalah sebuah danau buatan, sebelumnya daerah ini adalah kawasan legok (bhs. Sunda : lembah) yang mengelilingi bukit bernama Pasir Jambu (Bhs. Sunda: pasir artinya bukit). Ketika Sanghyang Borosngora pulang menuntut ilmu dari tanah suci Mekkah, ia membawa cinderamata yang salah satunya berupa air zamzam yang dibawa dalam gayung batok kelapa berlubang-lubang (gayung bungbas). Air zamzam itu ditumpahkan ke dalam lembah dan menjadi cikal-bakal atau induk air Situ Lengkong. Bukit yang ada di tengah lembah itu menjelma menjadi sebuah pulau dan dinamai Nusa Larang, artinya pulau terlarang atau pulau yang disucikan, sama halnya seperti kota Mekkah yang berjuluk tanah haram yaitu tanah terlarang atau tanah yang disucikan; artinya tidak sembarang orang boleh masuk dan terlarang berbuat hal yang melanggar pantangan atau hukum di kawasan itu. Pada masa pemerintahan Prabu Sanghyang Borosngora, pulau ini dijadikan pusat pemerintahan Kerajaan Panjalu. Di Nusa Larang ini bersemayam juga jasad tokoh-tokoh Kerajaan Panjalu yaitu Prabu Rahyang Kancana, Raden Tumenggung Cakranagara III, Raden Demang Sumawijaya, Raden Demang Aldakusumah, Raden Tumenggung Argakusumah (Cakranagara IV) dan Raden Prajasasana Kyai Sakti. Situ Lengkong memiliki luas kurang lebih 67,2 hektare, sedangkan Nusa Larang mempunyai luas sekitar 16 hektare. Pulau ini telah ditetapkan sebagai cagar alam sejak tanggal 21 Februari 1919. Nusa Larang ini pada zaman Kolonial Belanda dinamai juga Pulau Koorders sebagai bentuk penghargaan kepada Dr Koorders, seorang pendiri sekaligus ketua pertama Nederlandsch Indische Vereeniging tot Natuurbescherming, yaitu sebuah perkumpulan perlindungan alam Hindia Belanda yang didirikan tahun 1863. Sebagai seorang yang menaruh perhatian besar pada botani, Koorders telah memelopori pencatatan berbagai jenis pohon yang ada di Pulau Jawa. Pekerjaannya mengumpulkan herbarium tersebut dilakukan bersama Th Valeton, seorang ahli botani yang membantu melakukan penelitian ilmiah komposisi hutan tropika. Koorders dan rekannya itu pada akhirnya berhasil memberikan sumbangan pada dunia ilmu pengetahuan. Berkat kerja kerasnya kemudian terlahir buku Bijdragen tot de Kennis der Boomsoorten van Java, sebuah buku yang memberi sumbangan pengetahuan tentang pohon-pohon yang tumbuh di Pulau Jawa. Sebagai cagar alam, Nusa Larang memiliki vegetasi hutan primer yang relatif masih utuh dan tumbuh secara alami. Di sana terdapat beberapa jenis flora seperti Kondang (Ficus variegata), Kileho (Sauraula Sp), dan Kihaji (Dysoxylum). Di bagian pulau yang lebih rendah tumbuh tanaman Rotan (Calamus Sp), Tepus (Zingiberaceae), dan Langkap (Arenga). Sedangkan fauna yang hidup di pulau itu antara lain adalah Tupai (Calosciurus nigrittatus), Burung Hantu (Otus scop), dan Kelelawar (Pteropus vampyrus). Nyangku adalah suatu rangkaian prosesi adat penjamasan (penyucian) benda-benda pusaka peninggalan Prabu Sanghyang Borosngora dan para Raja serta Bupati Panjalu penerusnya yang tersimpan di Pasucian Bumi Alit. Istilah Nyangku berasal dari kata bahasa Arab "yanko" yang artinya membersihkan, mungkin karena kesalahan pengucapan lidah orang Sunda sehingga entah sejak kapan kata yanko berubah menjadi nyangku.Upacara Nyangku ini dilaksanakan pada Hari Senin atau Kamis terakhir Bulan Maulud (Rabiul Awal). Dalam rangka mempersiapkan bahan-bahan untuk pelaksanaan upacara Nyangku ini pada jaman dahulu biasanya semua keluarga keturunan Panjalu menyediakan beras merah yang harus dikupas dengan tangan, bukan ditumbuk sebagaimana biasa. Beras merah ini akan digunakan untuk membuat tumpeng dan sasajen (sesaji). Pelaksanaan menguliti gabah merah dimulai sejak tanggal 1 Mulud sampai dengan satu hari sebelum pelaksanaan Nyangku. Disamping itu, semua warga keturunan Panjalu melakukan ziarah ke makam Raja-raja Panjalu dan bupati-bupati penerusnya terutama makam Prabu Rahyang Kancana di Nusa Larang Situ Lengkong. Kemudian Kuncen (juru Kunci) Bumi Alit atau beberapa petugas yang ditunjuk panitia pelaksanaan Nyangku melakukan pengambilan air suci untuk membersihkan benda-benda pusaka yang berasal dari tujuh sumber mata air, yaitu:
1. Sumber air Situ Lengkong
2. Sumber air Karantenan Gunung Sawal
3. Sumber air Kapunduhan (makam Prabu Rahyang Kuning)
4. Sumber air Cipanjalu
5. Sumber air Kubang Kelong
6. Sumber air Pasanggrahan
7. Sumber air Bongbang Kancana
Bahan-bahan lain yang diperlukan dalam pelaksanan upacara Nyangku adalah tujuh macam sesaji termasuk umbi-umbian, yaitu:
1. Tumpeng nasi merah
2. Tumpeng nasi kuning
3, Ayam panggang
4. Ikan dari Situ Lengkong
5. Sayur daun kelor
6. Telur ayam kampung
7. Umbi-umbian
Selanjutnya disertakan pula tujuh macam minuman, yaitu:
1. Kopi pahit
2. Kopi manis
3. Air putih
4. Air teh
5. Air Mawar
6. Air Bajigur
7. Rujak Pisang
Kelengkapan prosesi adat lainnya adalah sembilan payung dan kesenian gembyung untuk mengiringi jalannya upacara. Pada malam harinya sebelum upacara Nyangku, dilaksanakanlah acara Muludan peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW yang dihadiri oleh para sesepuh Panjalu serta segenap masyarakat yang datang dari berbagai pelosok sehingga suasana malam itu benar-benar meriah, apalagi biasanya di alun-alun Panjalu juga diselenggarakan pasar malam yang semarak. Keesokan paginya dengan berpakaian adat kerajaan para sesepuh Panjalu berjalan beriringan menuju Bumi Alit tempat benda-benda pusaka disimpan. Kemudian dibacakan puji-pujian dan shalawat Nabi Muhammad SAW. Selanjutnya benda-benda pusaka yang telah dibalut kain putih mulai disiapkan untuk diarak menuju tempat penjamasan. Perjalannya didiringi dengan irama gembyung (rebana) dan pembacaan Shalawat Nabi. Setibanya di Situ Lengkong, dengan menggunakan perahu rombongan pembawa benda-benda pusaka itu menyeberang menuju Nusa Larang dengan dikawal oleh dua puluh perahu lainnya. Pusaka-pusaka kemudian diarak lagi menuju bangunan kecil yang ada di Nusa Larang. Benda-benda pusaka itu kemudian diletakan diatas alas kasur yang khusus disediakan untuk upacara Nyangku ini. Selanjutnya benda-benda pusaka satu persatu mulai dibuka dari kain putih pembungkusnya. Setelah itu benda-benda pusaka segera dibersihkan dengan tujuh sumber mata air dan jeruk nipis, dimulai dengan pedang pusaka Prabu Sanghyang Borosngora dan dilanjutkan dengan pusaka-pusaka yang lain. Tahap akhir, setelah benda-benda pusaka itu selesai dicuci lalu diolesi dengan minyak kelapa yang dibuat khusus untuk keperluan upacara ini, kemudian dibungkus kembali dengan cara melilitkan janur lalu dibungkus lagi dengan tujuh lapis kain putih dan diikat dengan memakai tali dari benang boeh. Setelah itu baru kemudian dikeringkan dengan asap kemenyan lalu diarak untuk disimpan kembali di Pasucian Bumi Alit. Upacara adat Nyangku ini mirip dengan upacara Sekaten di Yogyakarta juga Panjang Jimat di Cirebon, hanya saja selain untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, acara Nyangku juga dimaksudkan untuk mengenang jasa Prabu Sanghyang Borosngora yang telah menyampaikan ajaran Islam kepada rakyat dan keturunannya. Tradisi Nyangku ini konon telah dilaksanakan sejak zaman pemerintahan Prabu Sanghyang Borosngora, pada waktu itu, Sang Prabu menjadikan prosesi adat ini sebagai salah satu media Syiar Islam bagi rakyat Panjalu dan sekitarnya. Pasucian Bumi Alit atau lebih populer disebut Bumi Alit saja, mulai dibangun sebagai tempat penyimpanan pusaka peninggalan Prabu Sanghyang Borosngora oleh Prabu Rahyang Kancana di Dayeuh Nagasari, Ciomas. Kata-kata bumi alit dalam Bahasa Sunda berarti "rumah kecil" .
Benda-benda pusaka yang tersimpan di Bumi Alit itu antara lain adalah:
1. Pedang, cinderamata dari Baginda Ali RA, sebagai senjata yang digunakan untuk pembela diri dalam rangka menyebarluaskan agama Islam.
2. Cis, berupa tombak bermata dua atau dwisula yang berfungsi sebagai senjata pelindung dan kelengkapan dalam berdakwah atau berkhutbah dalam rangka menyebarluaskan ajaran agama Islam.
3. Keris Komando, senjata yang digunakan oleh Raja Panjalu sebagai penanda kedudukan bahwa ia seorang Raja Panjalu.
4. Keris, sebagai pegangan para Bupati Panjalu.
5. Pancaworo, digunakan sebagai senjata perang pada zaman dahulu.
6. Bangreng, digunakan sebagai senjata perang pada zaman dahulu.
7. Gong kecil, digunakan sebagai alat untuk mengumpulkan rakyat pada zaman dahulu.
8. Kujang, senjata perang khas Sunda peninggalan seorang petapa sakti bernama Pendita Gunawisesa Wiku Trenggana (Aki Garahang) yang diturunkan kepada para Raja Panjalu. Pada masa pemerintahan Raden Tumenggung Wirapraja bangunan Bumi Alit dipindahkan dari Dayeuh Nagasari, Ciomas ke Dayeuh Panjalu seiring dengan perpindahan kediaman Bupati Tumenggung Wirapraja ke Dayeuh Panjalu. Pasucian Bumi Alit dewasa ini terletak di Kebon Alas, Alun-alun Panjalu. Pada awalnya Bumi Alit berupa taman berlumut yang dibatasi dengan batu-batu besar serta dilelilingi dengan pohon Waregu. Bangunan Bumi Alit berbentuk mirip lumbung padi tradisional masyarakat Sunda berupa rumah panggung dengan kaki-kaki yang tinggi, rangkanya terbuat dari bambu dan kayu berukir dengan dinding terbuat dari bilik bambu sedangkan atapnya berbentuk seperti pelana terbuat dari ijuk. Ketika di Jawa Barat terjadi pengungsian akibat pendudukan tentara Jepang (1942-1945) benda-benda pusaka yang tersimpan di Pasucian Bumi Alit itu diselamatkan ke kediaman sesepuh tertua keluarga Panjalu yaitu Raden Hanafi Argadipradja, cucu Raden Demang Aldakusumah di Kebon Alas, Panjalu. Begitu pula ketika wilayah Jawa Barat berkecamuk pemberontakan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) pimpinan S.M. Kartosuwiryo (1949-1962) yang marak dengan perampokan, pembantaian dan pembakaran rumah penduduk. Para pemberontak DI/TII itu sempat merampas benda-benda pusaka kerajaan Panjalu dari Bumi Alit. Pusaka-pusaka itu kemudian baru ditemukan kembali oleh aparat TNI di hutan Gunung Sawal lalu diserahkan kepada Raden Hanafi Argadipradja, kecuali pusaka Cis sampai sekarang tidak diketahui keberadaannya. Pada tahun 1955, Bumi Alit dipugar oleh warga dan sesepuh Panjalu yang bernama R.H. Sewaka (M. Sewaka) mantan Gubernur Jawa Barat (1947-1948, 1950-1952). Hasil pemugaran itu menjadikan bentuk bangunan Bumi Alit yang sekarang, berupa campuran bentuk mesjid zaman dahulu dengan bentuk modern, beratap susun tiga. Di pintu masuk Museum Bumi Alit terdapat patung ular bermahkota dan di pintu gerbangnya terdapat patung kepala gajah. Hingga kini, pemeliharaan Museum Bumi Alit dilakukan oleh Pemerintah Desa Panjalu yang terhimpun dalam ‘Wargi Panjalu’ di bawah pengawasan Dinas Pariwisata dan Budaya Kabupaten Ciamis. Daftar Para Batara, Raja, Bupati dan Demang Panjalu Beserta Pusara/Petilasannya
1. Batara Tesnajati di Karantenan Gunung Sawal.
2. Batara Layah di Karantenan Gunung Sawal.
3. Batara Karimun Putih di Pasir Kaputihan Gunung Sawal.
4. Prabu Sanghyang Rangga Gumilang atau Sanghyang Rangga Sakti di Cipanjalu, Desa Maparah, Panjalu.
5. Prabu Sanghyang Lembu Sampulur I di Cipanjalu, Desa Maparah, Panjalu.
6. Prabu Sanghyang Cakradewa di Cipanjalu, Desa Maparah, Panjalu.
7. Prabu Sanghyang Lembu Sampulur II di Cimalaka Gunung Tampomas, Sumedang.
8. Prabu Sanghyang Borosngora (adik Sanghyang Lembu Sampulur II) di Jampang Manggung, Sukabumi.
9. Prabu Rahyang Kuning di Kapunduhan Cibungur, Desa Kertamandala, Panjalu.
10. Prabu Rahyang Kancana (adik Prabu Rahyang Kuning) di Nusa Larang, Situ Lengkong Panjalu.
11. Prabu Rahyang Kuluk Kukunangteko di Cilanglung Desa simpar, Panjalu.
12. Prabu Rahyang Kanjut Kadali Kancana di Sareupeun, Desa Hujungtiwu, Panjalu.
13. Prabu Rahyang Kadacayut Martabaya di Hujung Winangun, Situ Lengkong Panjalu.
14. Prabu Rahyang Kunang Natabaya di Ciramping, Desa Simpar, Panjalu.
15. Raden Arya Sumalah di Buninagara, Desa Simpar, Panjalu.
16. Pangeran Arya Sacanata (adik R. Arya Sumalah) di Nombo Dayeuhluhur, Kabupaten Cilacap Jawa Tengah.
17. Raden Arya Wirabaya (anak R. Arya Sumalah) di Cilamping, Panjalu.
18. Raden Tumenggung Wirapraja (anak R. Arya Wirabaya) di Kebon Alas Warudoyong, Panumbangan Ciamis.
19. Raden Tumenggung Cakranagara I (anak R. Arya Wiradipa bin Pangeran Arya Sacanata) di Cinagara, Panjalu.
20. Raden Tumenggung Cakranagara II di Puspaligar, Panjalu.
21. Raden Tumenggung Cakranagara III di Nusa Larang, Situ Lengkong Panjalu.
22. Raden Demang Sumawijaya di Nusa Larang, Situ Lengkong Panjalu.
23. Raden Demang Aldakusumah di Nusa Larang, Situ Lengkong Panjalu.
Mempelajari sejarah dan kebudayaan Panjalu tidak akan lepas dari berbagai tradisi, legenda, dan mitos yang menjadi dasar nilai-nilai kearifan budaya lokal, salah satunya adalah mitos Maung Panjalu (Harimau Panjalu). Sekelumit kisah mengenai Maung Panjalu adalah berlatar belakang hubungan dua kerajaan besar di tanah Jawa yaitu Pajajaran (Sunda) dan Majapahit. Menurut Babad Panjalu kisah Maung Panjalu berawal dari Dewi Sucilarang puteri Prabu Siliwangi yang dinikahi Pangeran Gajah Wulung putera mahkota Raja Majaphit Prabu Brawijaya yang diboyong ke Keraton Majapahit. Dalam kisah-kisah tradisional Sunda nama Raja-raja Pajajaran (Sunda) disebut secara umum sebagai Prabu Siliwangi sedangkan nama Raja-raja Majapahit disebut sebagai Prabu Brawijaya. Ketika Dewi Sucilarang telah mengandung dan usia kandungannya semakin mendekati persalinan, ia meminta agar dapat melahirkan di tanah kelahirannya di Pajajaran, sang pangeran mau tidak mau harus menyetujui permintaan isterinya itu dan diantarkanlah rombongan puteri kerajaan Pajajaran itu ke kampung halamannya disertai pengawalan tentara kerajaan. Suatu ketika iring-iringan tiba di kawasan hutan belantara Panumbangan yang masuk ke dalam wilayah Kerajaan Panjalu dan berhenti untuk beristirahat mendirikan tenda-tenda. Di tengah gelapnya malam tanpa diduga sang puteri melahirkan dua orang putera-puteri kembar, yang lelaki kemudian diberi nama Bongbang Larang sedangkan yang perempuan diberi nama Bongbang Kancana. Ari-ari kedua bayi itu disimpan dalam sebuah pendil (wadah terbuat dari tanah liat) dan diletakkan di atas sebuah batu besar. Kedua bocah kembar itu tumbuh menuju remaja di lingkungan Keraton Pakwan Pajajaran. Satu hal yang menjadi keinginan mereka adalah mengenal dan menemui sang ayah di Majapahit, begitu kuatnya keinginan itu sehingga Bongbang Larang dan Bongbang Kancana sepakat untuk minggat, pergi secara diam-diam menemui ayah mereka di Majapahit. Setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh mereka tiba dan beristirahat di belantara kaki Gunung Sawal, Bongbang Larang dan Bongbang Kancana yang kehausan mencari sumber air di sekitar tempat itu dan menemukan sebuah pendil berisi air di atas sebuah batu besar yang sebenarnya adalah bekas wadah ari-ari mereka sendiri. Bongbang Larang yang tak sabar langsung menenggak isi pendil itu dengan lahap sehingga kepalanya masuk dan tersangkut di dalam pendil seukuran kepalanya itu. Sang adik yang kebingungan kemudian menuntun Bongbang Larang mencari seseorang yang bisa melepaskan pendil itu dari kepala kakaknya. Berjalan terus kearah timur akhirnya mereka bertemu seorang kakek bernama Aki Ganjar, sayang sekali kakek itu tidak kuasa menolong Bongbang Larang, ia kemudian menyarankan agar kedua remaja ini menemui Aki Garahang di pondoknya arah ke utara. Aki Garahang yang ternyata adalah seorang pendeta bergelar Pendita Gunawisesa Wiku Trenggana itu lalu memecahkan pendil dengan sebuah kujang sehingga terbelah menjadi dua (kujang milik sang pendeta ini sampai sekarang masih tersimpan di Pasucian Bumi Alit). Karena karomah atau kesaktian sang pendeta, maka pendil yang terbelah dua itu yang sebelah membentuk menjadi selokan Cipangbuangan, sedangkan sebelah lainnya menjadi kulah (kolam mata air) bernama Pangbuangan. Sebagai tanda terima kasih, kedua remaja itu kemudian mengabdi kepada Aki Garahang di padepokannya, sebelum mereka melanjutkan perjalanan ke Majapahit. Suatu ketika sang pendeta bepergian untuk suatu keperluan dan menitipkan padepokannya kepada Bongbang Larang dan Bongbang Kancana dan berpesan agar tidak mendekati kulah yang berada tidak jauh dari padepokan. Kedua remaja yang penuh rasa ingin tahu itu tak bisa menahan diri untuk mendatangi kulah terlarang yang ternyata berair jernih, penuh dengan ikan berwarna-warni. Bongbang Larang segera saja menceburkan diri kedalam kulah itu sementara sang adik hanya membasuh kedua tangan dan wajah sambil merendamkan kedua kakinya. Betapa terkejutnya sang adik ketika Bongbang Larang naik ke darat ternyata wajah dan seluruh tubuhnya telah ditumbuhi bulu seperti seekor harimau loreng. Tak kalah kagetnya ketika Bongbang Kancana bercermin ke permukaan air dan ternyata wajahnya pun telah berubah seperti harimau sehingga tak sadar menceburkan diri kedalam kulah. Keduanyapun kini berubah menjadi dua ekor harimau kembar jantan dan betina.
Hampir saja kedua harimau itu akan dibunuh oleh Aki Garahang karena dikira telah memangsa Bongbang Larang dan Bongbang Kancana. Namun ketika mengetahui kedua harimau itu adalah jelmaan dua putera-puteri kerajaan Pajajaran yang menjaga padepokannya sang Pendeta tidak bisa berbuat apa-apa. Ia berpendapat bahwa kejadian itu sudah menjadi kehendak Yang Mahakuasa, ia berpesan agar kedua harimau itu tidak mengganggu hewan peliharaan orang Panjalu, apalagi kalau mengganggu orang Panjalu maka mereka akan mendapat kutukan darinya. Kedua harimau jejadian itu berjalan tak tentu arah hingga tiba di Cipanjalu, tempat itu adalah kebun milik Kaprabon Panjalu yang ditanami aneka sayuran dan buah-buahan. Di bagian hilirnya terdapat pancuran tempat pemandian keluarga Kerajaan Panjalu. Kedua harimau itu tak sengaja terjerat oleh sulur-sulur tanaman paria oyong (sayuran sejenis terong-terongan) lalu jatuh terjerembab kedalam gawul (saluran air tertutup terbuat dari batang pohon nira yang dilubangi) sehingga aliran air ke pemandian itu tersumbat oleh tubuh mereka. Prabu Sanghyang Cakradewa terheran-heran ketika melihat air pancuran di pemandiannya tidak mengeluarkan air, ia sangat terkejut manakala diperiksa ternyata pancurannya tersumbat oleh dua ekor harimau. Hampir saja kedua harimau itu dibunuhnya karena khawatir membahayakan masyarakat, tapi ketika mengetahui bahwa kedua harimau itu adalah jelmaan putera-puteri Kerajaan Pajajaran, sang Prabu menjadi jatuh iba dan menyelamatkan mereka dari himpitan saluran air itu. Sebagai tanda terima kasih kedua harimau itu bersumpah dihadapan Prabu Sanghyang Cakradewa bahwa mereka tidak akan mengganggu orang Panjalu dan keturunannya, bahkan bila diperlukan mereka bersedia datang membantu orang Panjalu yang berada dalam kesulitan. Kecuali orang Panjalu yang meminum air dengan cara menenggak langsung dari tempat air minum (teko, ceret, dsb), orang Panjalu yang menanam atau memakan paria oyong, orang Panjalu yang membuat gawul (saluran air tertutup), maka orang-orang itu berhak menjadi mangsa harimau jejadian tersebut. Selanjutnya kedua harimau kembar itu melanjutkan perjalanan hingga tiba di Keraton Majapahit dan ternyata setibanya di Majapahit sang ayah telah bertahta sebagai Raja Majapahit. Sang Prabu sangat terharu dengan kisah perjalanan kedua putera-puteri kembarnya, ia kemudian memerintahkan Bongbang Larang untuk menetap dan menjadi penjaga di Keraton Pajajaran, sedangkan Bongbang Kancana diberi tugas untuk menjaga Keraton Majapahit.
Pada waktu-waktu tertentu kedua saudara kembar ini diperkenankan untuk saling menjenguk. Maka menurut kepercayaan leluhur Panjalu, kedua harimau itu selalu berkeliaran untuk saling menjenguk pada setiap bulan Maulud.
Subscribe to:
Posts (Atom)