Showing posts with label Semaun. Show all posts
Showing posts with label Semaun. Show all posts

Monday, 14 February 2011

Semaun

Semaun


Semaun (lahir di Curahmalang, kecamatan Sumobito, termasuk dalam kawedanan Mojoagung, kabupaten Jombang, Jawa Timur sekitar tahun 1899 dan wafat pada tahun 1971) adalah Ketua Umum Pertama Partai Komunis Indonesia (PKI).
Daftar isi
Masa kecil

Semaun adalah anak Prawiroatmodjo, pegawai rendahan, tepatnya tukang batu, di jawatan kereta api. Meskipun bukan anak orang kaya maupun priayi, Semaoen berhasil masuk ke sekolah Tweede Klas (sekolah bumiputra kelas dua) dan memperoleh pendidikan tambahan bahasa Belanda dengan mengikuti semacam kursus sore hari. Setelah menyelesaikan sekolah dasar, ia tidak dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi. Karena itu, ia kemudian bekerja di Staatsspoor (SS) Surabaya sebagai juru tulis (klerk) kecil.

Politik

Kemunculannya di panggung politik pergerakan dimulai di usia belia, 14 tahun. Saat itu, tahun 1914, ia bergabung dengan Sarekat Islam (SI) afdeeling Surabaya. Setahun kemudian, 1915, bertemu dengan Sneevliet dan diajak masuk ke Indische Sociaal-Democratische Vereeniging, organisasi sosial demokrat Hindia Belanda (ISDV) afdeeling Surabaya yang didirikan Sneevliet dan Vereeniging voor Spoor-en Tramwegpersoneel, serikat buruh kereta api dan trem (VSTP) afdeeling Surabaya. Pekerjaan di Staatsspoor akhirnya ditinggalkannya pada tahun 1916 sejalan dengan kepindahannya ke Semarang karena diangkat menjadi propagandis VSTP yang digaji. Penguasaan bahasa Belanda yang baik, terutama dalam membaca dan mendengarkan, minatnya untuk terus memperluas pengetahuan dengan belajar sendiri, hubungan yang cukup dekat dengan Sneevliet, merupakan faktor-faktor penting mengapa Semaoen dapat menempati posisi penting di kedua organisasi Belanda itu.

Di Semarang, ia juga menjadi redaktur surat kabar VSTP berbahasa Melayu, dan Sinar Djawa-Sinar Hindia, koran Sarekat Islam Semarang. Semaoen adalah figur termuda dalam organisasi. Di tahun belasan itu, ia dikenal sebagai jurnalis yang andal dan cerdas. Ia juga memiliki kejelian yang sering dipakai sebagai senjata ampuh dalam menyerang kebijakan-kebijakan kolonial.

Pada tahun 1918 dia juga menjadi anggota dewan pimpinan di Sarekat Islam (SI). Sebagai Ketua SI Semarang, Semaoen banyak terlibat dengan pemogokan buruh. Pemogokan terbesar dan sangat berhasil di awal tahun 1918 dilancarkan 300 pekerja industri furnitur. Pada tahun 1920, terjadi lagi pemogokan besar-besaran di kalangan buruh industri cetak yang melibatkan SI Semarang. Pemogokan ini berhasil memaksa majikan untuk menaikkan upah buruh sebesar 20 persen dan uang makan 10 persen.

Bersama-sama dengan Alimin dan Darsono, Semaoen mewujudkan cita-cita Sneevliet untuk memperbesar dan memperkuat gerakan komunis di Hindia Belanda. Sikap dan prinsip komunisme yang dianut Semaoen membuat renggang hubungannya dengan anggota SI lainnya. Pada 23 Mei 1920, Semaoen mengganti ISDV menjadi Partai Komunis Hindia. Tujuh bulan kemudian, namanya diubah menjadi Partai Komunis Indonesia dan Semaoen sebagai ketuanya.

PKI pada awalnya adalah bagian dari Sarekat Islam, tapi akibat perbedaan paham akhirnya membuat kedua kekuatan besar di SI ini berpisah pada bulan Oktober 1921. Pada akhir tahun itu juga dia meninggalkan Indonesia untuk pergi ke Moskow, dan Tan Malaka menggantikannya sebagai Ketua Umum. Setelah kembali ke Indonesia pada bulan Mei 1922, dia mendapatkan kembali posisi Ketua Umum dan mencoba untuk meraih pengaruhnya kembali di SI tetapi kurang berhasil.

Pengasingan

Pada tahun 1923, VSTP merencanakan demonstrasi besar-besaran dan langsung dihentikan oleh pemerintah kolonial Belanda, dan setelah itu Semaun diasingkan ke Belanda. Selama masa pengasingannya dia kembali ke Uni Sovyet, dimana dia tinggal disana lebih dari 30 tahun. Pada masa itu dia tetap menjadi aktivis tapi hanya dalam aksi-aksi terbatas, berbicara beberapa kali di Perhimpunan Indonesia, organisasi mahasiswa di Belanda pada masa itu. Dia juga sempat belajar di Universitas Tashkent untuk beberapa waktu.

Selama pembuangan ke Eropa, Semaoen aktif di Executive Committee of the Comintern, Komite Eksekutif Komunis Internasional (ECCI). Setelah beberapa tahun tinggal di Belanda, Semaoen lalu menetap di Uni Soviet dan menjadi warga negara di sana. Ia pernah bekerja sebagai pengajar bahasa Indonesia dan penyiar berbahasa Indonesia pada radio Moscow. Puncak "kariernya" adalah ketika diangkat oleh Stalin menjadi pimpinan Badan Perancang Negara (Gozplan) di Tajikistan.

Setelah masa pengasingannya dia kembali ke Indonesia, dan pindah ke Jakarta. Kepulangan Semaoen ke Indonesia pada tahun 1953 merupakan inisiatif Iwa Kusumasumantri. Semaoen, Iwa, dan Sekjen Partai Komunis Iran mengawini tiga putri kakak-adik yang saat itu bekerja dalam Comintern. Saat kembali ke Indonesia dalam usia setengah abad lebih, Semaoen telah terputus dari PKI, partai yang ia dirikan. Dari tahun 1959 sampai dengan tahun 1961 dia bekerja sebagai pegawai pemerintah. Dia juga mengajar mata kuliah ekonomi di Universitas Padjadjaran, Bandung.

Karya Dan Pemikiran

Semaoen juga seorang yang padat dalam berkarya. Kebanyakan karyanya ditulis di dalam surat kabar beraliran kiri. Pemikiran Semaoen dipengaruhi oleh beberapa faktor, yakni oleh Sneevliet dan agama Islam walau sempat dalam karyanya ia memprotes pemikiran pribumi yang terlalu percaya akan kegaiban yang akan mengatur dan menyelamatkan mereka. Diantara karya-karya Semaoen adalah Penuntun Kaum Buruh yang dibuat untuk para anggota PKI, Hikayat Kadiroen yang menceritakan seorang priyayi Marxis yang sangat peduli kepada rakyatnya dan Berbareng Bergerak.

Dalam pergerakan, ia menerima paham Marx tentang protes sosial kepada pemerintahan Hindia Belanda. Ia menganggap bahwa Pemerintah telah membiarkan warga pribumi terjatuh dalam kemiskinan karena usaha kapitalisasi di Indonesia terutama di Jawa. Ia berharap bahwa suatu hari nanti akan ada suatu keadaan mirip dengan Jawa Kuno yang membiarkan warganya hidup dengan apa yang ia inginkan. Dan hal itu hanya akan terjadi jika pemerintahan Soviet hadir di antara mereka.

Guna menguatkan perjuanganya, ia bersama dengan kaum komunis internasional masuk dalam Komitern yang diadakan di Rusia. Namun sayang sekali jika dalam usahanya tersebut dengan tokoh-tokoh timur lain seperti Tan Malaka, Darsono atau Alimin tidak digubris dengan baik. Dewan Komitern lebih cenderung tertarik bagaimana memerahkan Eropa ketimbang membantu pergerakan di Asia, seperti di India atau Indonesia yang saat itu menjadi salah satu corong utama pergerakan di daerahnya.


Referensi

Jarvis, Helen (1991). Notes and appendices for Tan Malaka, From Jail to Jail. Athens, Ohio: Ohio University Center for International Studies.
Kahin, George McT. (1952) Nationalism and revolution in Indonesia. Ithaca, New York:Cornell University Press.
Ricklefs, M.C. (2001) A history of modern Indonesia since c.1200 3rd ed. Stanford, California:Stanford University Press

Wednesday, 26 January 2011

International Imperialism and the Communist Party of Indonesia : Semaoen (1925)

International Imperialism and the Communist Party of Indonesia
Semaoen (1925)

Source: “International Imperialism and the Communist Party of Indonesia” Communist International” No.17, 1925, pp.75-82

About 1900, when the differences between the interests of the big capitalist powers were just making their appearance in the East, the insignificant and weak imperialism of Holland introduced into Indonesia[1] the so-called "policy of the Open Door." As a result of this in 1916 there was barely about 60 per cent. of foreign capital (native capital does not exceed 5 per cent. of the total capital) belonging to Holland. Since then the percentage of capital other than Dutch is growing continuously.

According to statistical data published in the Amsterdam "Tribune," Indonesia exports to Holland amounted in 1913 to 28.1 per cent. of the total exports, and in 1923 only to 14.9 per cent. In the same year, imports from Holland de­creased from 33.3 per cent. to 20.9 per cent.

At the same time exports to Great Britain increased from 3.9 per cent, to 8.4 per cent., exports to Japan from 5.8 per cent. to 8 per cent., imports from the U.S.A. increased from 2.1 per cent. to 6.3 per cent, and imports from Japan from 1.6 per cent. to 8 per cent.

As time goes on the interests of international imperialism gain ascendancy over the interests of Holland herself.

In the first half of 1924 the revenue of the Government from Customs amounted to 44,230,423 frs.; for the same period in 1925 this revenue amounted to 54,236,608frs. This shows that in that year the economic progress of foreign capital continues. There is no other colonial or semi-colonial coun­try in the East which presents such an example of the rapid development of foreign capital.

The foreign trade of the chief Asiatic States in the East in 1913 and 1922 was as follows (in millions of francs):




China


India


Dutch Indies

Year


Import


Export


Import


Export


Import


Export

1913


570


403


1,833


2,142


437


614

1922


945


655


2,394


2,792


691


1,136

Increase in percent


45


55


35


15


50


80

During this period Indonesia does not only develop more rapidly than other countries, the relative growth of capitalism is also more considerable there.

China, with a population of 400,000,000 (eight times as large as Indonesia) had in 1922 imports two and a half times larger than those of Indonesia. India, with a population six times larger than the population of Indonesia, has a vol­ume of imports which is only three times larger than the imports of Indonesia. At the same time, in contradistinction to China, Indonesia has favourable trade balance. This shows that Indonesia's capitalisation is making enormous strides forward.

The decisive factor.in this is the enormous natural wealth of Indonesia. Its geographical situation is extremely favourable (between India and China). Labour there is cheap and enables capitalism to derive enormous revenue. In 1924 most of the enterprises had a clear profit varying be­tween 20 per cent. and 50 per cent. In the first half of that year, the world sugar and coffee market, etc., was very favourable to the foreign capitalists in Indonesia. Rubber also rose in price. According to the compilations of the "American Geological Survey" about 15,000,000 barrels of oil were obtained in Indonesia in 1924: in India 7.5 million; in Borneo 4.5 million; in Egypt 1 million; in Japan and For­mosa 1.5 million; in Soviet Russia 44 million. It is not to be wondered at that with this magnificent "sugar revenue" Dutch capitalism can afford to bribe the cream of the workers' aristocracy in Holland.

Economic development, the geographical situation of Indonesia from the strategical viewpoint, its oil wealth, etc. - all this automatically predetermines the policy of the Dutch Government in the sense of submission to the interests of powerful world imperialism.
****

But the development of the interests of the bosses of the Dutch Government (British, American, Japanese, etc.), brings with it an ever-growing clash of interests. The mo­ment is bound to come when the Dutch servants will not be able to satisfy all their bosses at the same time. This will happen on the occasion of the first war in the East.

The geographical situation and wealth in Indonesia are too good a base for military-naval operations, not to be event­ually occupied by one of the big capitalist countries. The Dutch imperialists are fully aware of this and are endeav­ouring to make a profitable alliance with one of the big im­perialist robber States, in order to protect the Dutch "posses­sions" from a "predatory attack" in the event of war.

In 1923 there was much talk about the establishment of a military-naval base in Riov-Tand'yung-Iriok in Indonesia which could serve as a link in the British chain between India, Singapore and Australia. Java is an excellent inter­mediate station between Singapore and Australia.

Holland's orientation towards an alliance with British imperialism is so self-evident that the French imperialists are already on the watch. With respect to this possible alliance the following statement appeared in the British "Daily Telegraph":

"Considerable importance is attached in Dutch and Indo-China circles to the plan concerning the establishment of a strong naval base in Singapore. This plan is viewed favour­ably. It is not at all out of the question that in the near future we will witness an Anglo-Dutch naval alliance, not necessarily guaranteed by a special written agreement" - (Translated from the Russian.)

Holland's position as the servant of world imperialism makes it, by this very fact, most reactionary. The Dutch Government cannot as yet make up its mind to sign a trade agreement with Soviet Russia in spite of the fact that a cer­tain number of Dutch capitalists have trade relations with the U.S.S.R.

The Dutch capitalists are prepared to spend any amount of money to frustrate any kind of connection between the Communist Party of Indonesia and the Comintern. They do not spare either money or blood to crush the Labour move­ment. Dutch imperialism is lavish with its money when it comes to bribe the so-called "national" leaders of the Sarekat-Islam movement in Indonesia.

Money, violence, intrigues, deception, diplomacy, bribery, democratic phraseology - everything is set into motion by the small but clever and unscrupulous Dutch imperialism. Small wonder that one of the most popular slogans of the Communist Party of Indonesia is: "Beware wherever you are of Dutch Imperialism and its influence."

The existence, however, of the Communist Party of Indonesia greatly depends on the economic and political development to which we have already referred. This fac­tor is leading to the rapid proletarianisation of large sections of the population. If we take into consideration that at pre­sent there are in operation in Indonesia approximately four milliards of foreign private capital, about one milliard of State capital and at the same time one milliard gulden of unregistered Chinese and Arabian capital, and if we add to this that the average wage and value of land are not more than 20 per cent. of the European value, we will have to ad­mit that the "proletarian territory" of the Indonesian im­perialism is such as it would be in Europe with a capital of 30,000,000 gulden (12,000,000 American dollars). There is every reason to consider as reliable the report of the govern­ment in 1918 (Muurling) which states that 45 per cent. of all the Indonesians are workers or part-time workers on railways, plantations, in works and factories, etc. Although younger than in Holland, the working class of Indo­nesia is more important.

If one takes into consideration that the working class is on a higher political level than the peasantry one will realise that the movement of the Indonesian people against exploitation is directly and indirectly a proletarian class struggle against capitalism and imperialism. There is evidence of this in the successes of the Communist Party of Indonesia and in the fact that every national movement with a non-proletarian programme and tactic was bound to meet with defeat (such as Sarekat-Islam).

The fact that the exploiters of Indonesia are inter­national imperialists is a determining factor in the attitude of the leading circles of the Indonesian people (45 per cent. workers and part-time workers and 45 per cent. small peas­ants) to the movement of the world proletariat. There are no more popular slogans in Indonesia than the slogans of the Russian October Revolution. The ardent desire of the best elements of the Indonesian working class is that a Soviet Indonesia might become part of the world federation of free Soviet Republics.

The Dutch capitalists and imperialists know this, and that is why they do their utmost to destroy our Communist Party. Ever since 1918 when the truly proletarian element within the Party became the driving force of the Communist movement, reaction made itself felt. But when in the middle of 1922 our Party brought into the field real proletarian leaders, reaction declared war quite openly against our Party.
****

Recent events are a proof of this. The repressive meas­ures introduced at various times are now used simultane­ously against our Party. But the terror (in January-Febru­ary of last year 30 people were killed, 130 were wounded, 300 were sent to prison, the victims being Communists and workers and peasants in sympathy with the Communist Party) could not crush the movement and prevent the growth of our Party and of its influence.

During May Day celebrations the police broke up many meetings (Batavia, Tana-Tinggi, Dyekdya, Ngand'ek, etc.). Many comrades were arrested and several were hurt but not seriously. Since then we read every day in our daily paper "Api" that one or other of our comrades has been arrested. Two hundred comrades, members of the Party, were arrested between May and August. Moreover tens and hun­dreds of our comrades are being dismissed from the factories. Between January and the end of May alone 41 people were dismissed for Communist propaganda.

The list given above was published by the Government and reproduced in the "Api" on June 18. But between June and September another hundred victims were added to the list. During that period over 200 workers were dismissed from private capitalist enterprises.

Another means of struggle against us is the formation of all kinds of strike-breaking and bandit organisations (Sarekat-Hindyu) whose members are in the pay of reaction. The aim pursued by the Sarekat-Hindyu organisation is the assassination of our leading comrades, destruction by incen­diarism or otherwise of houses where members of our Party live, etc. In April and May alone 50 houses were destroyed. Comrade Vakidin, in Ungaron was killed by Hindyuerom who was incited to this assassination by the lackeys of capital­ism. In March, comrade Alinin narrowly escaped assassina­tion. Many more comrades have been wounded. The "Api" in its issues of March 25 and 31 gave full accounts of this organisation. Nearly every day there were reports on the actions of this terrorist organisation of the government.

Just a few words concerning intrigue and bribery. Through Salim (Salim was a government spy, then a mem­ber of the Dutch Vreetsinigen Union, after that a member of the Central Committee of Sarekat-Islam and at the same time member of the Social-Democratic Party in Indonesia), editor of the government organ "Hindya-Baroo," and Tyekro, Sarekat-Islam orator, the capitalists can "dictate" to the Suryeprandto ("national" leaders) "a moderate programme." In July and August the capitalist press extolled these persons as the "best" leaders of the Indonesian masses, but the masses keep them out of their movement. By all sorts of intrigues attempts are made to cause "mischief" be­tween husbands and wives in working class and peasant circles, for wives are "dismissed" if their husbands remain Communists.

Thus mischief is also made between fathers, mothers and their sons or daughters.

At the end of August telegrams in all big Dutch news­papers referred to the proclamation of meetings in the Sema­rang province, of the expulsion of Alinin, member of our Central Committee, of the arrest of Darson, one of our most prominent leaders who had visited Moscow in 1921, etc, Reaction is doing its worst.

At the same time the capitalist press has much to say about the increase of the 1926 budget for "national welfare." But what can one million gulden for the purchase of land from the landowners in Tangerang do? What are a few million granted for railway constructions to give "work" to the unemployed if previous to that the working class and the peasantry were robbed of about 600,000,000 gulden?

Finally, the capitalists have much to say about the forthcoming "democratic" electoral law for municipal elec­tions which does not enfranchise more than 20 per cent. of the urban population, since most of the members must be Dutch. There is also much talk about the so-called "Indo­nesia less dependent politically on Holland." But extension of franchise means only more freedom of action in this coun­try to trade capital, as a natural result of the tendencies of economic development described before. A noticeable fact is in the very near future Indonesia will have enough "free­dom" to meet of itself expenditure for the next war in addi­tion to the expenditure for its preparation.

****

Six weeks after the February terror our Party organised a review of its forces on the occasion of May Day. Big meet­ings were held in fifty provinces in Java, Sumatra, Borneo, Celebes, Timor, etc. Thousands of workers joined our demonstrations in such industrial centres as Semarang, Batavia and Surabaya. According to descriptions in "Api" and other Indonesian organs, these demonstrations were on a larger scale than our demonstrations in 1924.

In December, 1924, the Party Conference adopted, among others, a resolution "To work and agitate among the working class through the trade unions." Towards the end of August there were already over 35,000 R.I.L.U. members (including our nuclei in non-Communist unions) whilst previous to December there were only 25,000. At present 70 per cent. of all the young trade unions are under Communist influence. The organisation of the transport workers is entirely in the hands of Communists.

In the course of two months (according to data pub­lished in the "Api") from May 5th to July 3rd there were fifteen strikes. Although only 2,000 workers participated in these strikes they bore a decidedly aggressive character (the capitalist press persists in ascribing strikes to Communist influence). All through July small strikes took place, and in August a general dockers' strike broke out in Semarang (1,200 strikers who were subsequently joined by 400 more). A hundred policemen who had to guard the town went on strike at the same time and the same place. Thereupon the Government issued an order proclaiming all meetings, as a result of which 1,000 printers went on strike. All these strikes broke out in spite of the anti-strike law introduced in 1923.

In connection with events in China big meetings took place, all of them organised by our Party. Tens of thou­sands of workers and peasants participated in demonstrations to express their sympathy with China, to protest against war, etc. At one of these meetings, held in Surabaya, 1,000 francs were collected for the liberation struggle in China, although it had been strictly prohibited to collect money for the Chinese Revolution. The meeting in Toylyatyap which was held on the same day was attended by 2,500 workers, the workers of the town having declared a one-day strike. All the Chinese shops were closed on that day. A number of other demonstrations were suppressed by the police. Nevertheless all this shows what a revolutionising influence the Chinese movement had on Indonesia.

Apart from the demonstration on behalf of China our Party endeavoured to get into touch with the Chinese work­ing class in this period of its awakening. This is continually mentioned in the Indonesian press, a fact which is making the capitalists furious.

It is not to be wondered at that in August the govern­ment took measures against the revolutionary movement, as there was every appearance of a revolutionary outbreak in Indonesia in the near future. Yet this was only a demonstration on our part, the aim of which was to ascertain the balance of forces between us and capitalism.

Propaganda is also penetrating into the army. At that time over twenty soldiers were cashiered in the military centres and over twenty-five soldiers were subjected to vari­ous punishments. Reasons for this: Communist propa­ganda. The reaction has "discovered" Communists among the armed and the municipal police (in Dyekdya, Semarang, Solo, etc.).

The fact that all through July and August the Govern­ment continued to dismiss minor employees is a sign that the Communist Party is strong enough at present to exer­cise influence on the "lackeys" of the Government. This "turn of affairs" is so dangerous in the eyes of the govern­ment that it sends its secret official letters through Dutch couriers and not by post. At the same time the latter is under the obligation to censor all unreliable correspondence. The explanation for this is that our organ has frequently been able to publish the secret instructions of the government.

Finally, the Communist movement is growing rapidly among the youth.

The Indonesian press has something to say every day about the successful meetings of the Sarekat-Raya. Thus our influence is growing among the peasantry. Even in the "deportation island" Timor, there is a section of our Party and of the Sarekat-Raya. The "Java Bode" of July 11th speaks of the forthcoming punishment of 80 farmers in Gengkalen who went on strike at the penal public works.

The revolutionisation of the Indonesian intelligentsia is also progressing, although here too all sorts of obstacles are put in the way of our propagandists. At present Budi-­Utomo is no longer in the hands of the moderates - Dvidi­zevoyo, but has gone into the hands of the young revolu­tionary nationalists.

It is an interesting fact that whilst our Party and its influence have been rapidly growing, the Sarekat-Islam re­mains in a state of complete prostration. Our Party is work­ing for the formation of a national anti-imperialist bloc, and just now the Mokamad-Dia, the Sarekat-Ambon and other nationalist organisations are progressing, that is to say they are becoming revolutionised and their membership is grow­ing, although not as rapidly as our Party and the Sarekat-­Raya organisation which is under Communist influence.

SEMAON.

[1] Dutch East Indies (Polynesia) are meant here.

Speech at 5th Congress of the Comintern : Semaoen (1924)

Speech at 5th Congress of the Comintern
Semaoen (1924)

The speech of one of the two comrades from Java present at the 5th Congress of the Comintern in Moscow, 1924. The speech was delivered in June 25, 1924.

It was translated from the report of the Congress in German into English June 2007.

Comrade Zinoviev has observed, very correctly, that in countries with colonial possessions we should have more intensive cooperation with the colonies. Comrade Wynkoop has said that this is the case in Holland. But we know that it is not quite so. True, the Dutch Party has launched the slogan, “Free the Indies from Holland!” which lays down the correct line. But in practice the revolutionary movement in Indonesia has drawn strength primarily from the influence of the Russian revolution and help from the Executive, and only partially from the work of the Dutch Party. The Dutch Party's programme is not so bad, perhaps, but its practice does not correspond to the programme. The link between Holland and Indonesia is in reality very weak, as the Dutch Party's time is always taken up with internal conflicts in the Party and in the Dutch movement. For example, when the Indonesian Party was in struggle during the last great rail workers' strike, the Dutch Party was involved in a conflict with the national Labour Secretariat (Syndicalists), which has got to be won over for the Profintern, so that too little attention was given to this most important event. The Dutch Party is still not giving enough practical support to the Indonesian movement because it is itself very weak. It is urgently necessary that the Dutch Party should get stronger and thus become a support for the Indonesian movement as well. We hope that the Fifth Congress is going to work out the right line for the Dutch Party.

At the same time we expect that, thanks to the Congress, work in the colonies and eastern countries will be strengthened, both by the work of the Executive and through increased work in the colonies on the part of comrades in the imperialist countries.

Hikayat Kadiroen, BAB VII : Pembela Rakyat Mulai Mendapat Hadiah

Hikayat Kadiroen
Semaoen (1920)

BAB VII
Pembela Rakyat Mulai Mendapat Hadiah

Sariman dan istrinya baru saja datang dari bepergian verlof. Sariman duduk di depan rumah sambil menunggu kedatangan Kadiroen yang waktu itu sedang mewakili pekerjaannya sebagai hoofd-redacteur Sinar Ra’jat. Tidak berapa lama, yang ditunggu pun datang. Keduanya lalu saling berjabat tangan serta menunjukkan kebahagiaan masing-masing, karena mereka bisa bertemu lagi dengan selamat. Sariman berkata sambil tertawa:

"Saudara Kadiroen, saya membawa oleh-oleh buat kamu dari kepergian saya. Tetapi kamu sekarang belum boleh mengambil itu kalau kamu tidak mau berjanji mau kawin dengan Ardinah kekasihmu, jika Ardinah sudah pisah secara sah dengan suaminya."

Dengan tertawa juga Kadiroen menjawab:

"Saya minta oleh-olehmu, sekalian juga minta kawin dengan Ardinah. Kalau kau bisa membebaskan Ardinahku dari suaminya yang menyusahkan Ardinahku itu."

Keduanya lalu menuju ke belakang. Tetapi baru datang ke pintu belakang, Kadiroen terkejut dan wajahnya mendadak menjadi pucat sebentar. Sebentar kemudian menjadi merah padam, sedang kata-katanya penuh makna cinta dan hatinya gembira, tetapi bercampur sedih sebab gadis yang dicintai belum bebas. Maka Kadiroen berkata sambil mengelus dadanya "Ardinah!"

Memang, waktu itu, Ardinah ada di situ. Dan gadis itu juga menjadi merah padam wajahnya. Sedang ia berkata dengan amat senang bercampur rasa malu, "O, Tuanku!"

Sariman dan istrinya melihat Kadiroen dan Ardinah menjadi senang dalam hati. Sementara itu Sariman berteriak sambil tertawa:

"E, memang sudah jodoh tetapi jangan tergesa-gesa dulu ya! Lebih dahulu harus disahkan oleh penghulu. Sekarang kita berempat mesti vergadering dahulu. Marilah kita sama-sama duduk dan berembuk."

Begitulah, maka keempat orang tadi bersama-sama duduk melingkari meja persegi empat dan Kadiroen bertanya kepada Sariman dengan malu, sebentar-sebentar pandangan matanya melirik ke arah Ardinah.

"Saudara Sariman, saya tidak mengerti sama sekali, bagaimana duduk perkaranya ini?"

Istri Sariman menjawab dengan tertawa.

"Selamanya, orang yang sedang mabuk cinta akan kehilangan akal dan menjadi bodoh."

Tertawanya itu semakin menambah malunya Kadiroen sebab waktu itu Ardinah ikut setengah tertawa. Selesai tertawa, Sariman menyambung.

"Begini Saudara Kadiroen, sewaktu kamu menceritakan rahasia percintaanmu itu, maka kamu menerangkan kebaikan Ardinah lahir dan batin ... E, jangan menjadi merah Saudara Ardinah!" kata Sariman memotong ceritanya dengan tertawa sambil melihat Ardinah. Sekarang Ardinah ganti menjadi malu sebab Kadiroen ikut setengah tertawa.

"Sekarang saya teruskan ceritaku!" kata Sariman. "Selain dari itu, kamu, Saudara Kadiroen sudah berkata bahwa Ardinah sudah melepas kamu dari kewajibanmu menolong istri tua Kromo Nenggolo. Ardinah sudah menjelaskan bahwa ia memiliki cara tersendiri untuk menolong itu. Hal itu saya jadikan pusat perhatianku, guna berusaha membantu hubungan percintaanmu. Saya lalu berpendapat bahwa Ardinah - mengingat watak Ardinah sebagaimana dahulu sudah kamu jelaskan - pasti akan bertindak jika ia mempunyai niat. Jadi, sewaktu kamu pindah dari Onderdistrik Gunung Ayu sebab kamu naik pangkat menjadi wedono, maka mestinya Ardinah sudah bertindak sedemikian rupa, sehingga ia dicerai oleh Kromo Nenggolo. Sebab hanya dengan cara itu, ia bisa menolong istri tua Kromo Nenggolo yang menderita batin itu. Begitulah pendapat saya. Maka saya bersama istri saya minta verlof guna membuktikan pendapat saya itu, apakah cocok dengan keadaan yang sesungguhnya. Saya tidak mengatakannya padamu agar kamu tidak susah seandainya kepergian saya ini tidak membawa hasil.

Karena di Desa Meloko sudah ada P.K., maka dengan gampang saya bisa mengetahui keadaan Ardinah di sana. Saudara-saudara anggota P.K. banyak yang kenal kepada saya dan suka menolong. Dengan pertolongan saudara-saudara yang percaya kepada saya itu, maka saya bisa mendapatkan Ardinah. Istri saya lalu berkenalan dengannya. Selanjutnya, usaha-usaha yang lain saya serahkan kepada istri saya. Oleh karena itu, istri saya akan menyambung pembicaraanku ini."

Istri Sariman meneruskan.

"Begini, sesudah saya berkenalan dengan Ardinah, maka saya berbuat sedemikian rupa sehingga Ardinah menaruh kepercayaan kepada saya. Sesudah saya dipercaya, lalu saya bisa meminta keterangan yang bermacam-macam. Pada saat itu, maka saya mendapatkan cerita, bahwa betul ia dulunya menjadi istri Kromo Nenggolo. Tetapi sekarang sudah dicerai dan diambil anak oleh kamitua desanya. Kamitua itu, keduanya sudah kakek-nenek, tetapi mereka tidak mempunyai anak sama sekali. Karena sewaktu Saudari Ardinah dicerai oleh Kromo Nenggolo, ia tidak mempunyai sanak famili sama sekali, kamitua itu menjadi kasihan kepada Saudari Ardinah. Maka ia diambil menjadi anak dan menjadi pembantu utama dalam keIuarga kakek-nenek itu. Sudah beberapa kali ada pemuda melamar Ardinah, tetapi Ardinah tidak mau kawin lagi dan ia akan melulu melayani ayah ibu tua yang amat baik dengan anak angkatnya itu. Ardinah menjadi begitu besar kepercayaannya kepada saya sehingga ia bilang bahwa meskipun secara lahiriah ia pernah menjadi istri Kromo Nenggolo, tetapi selamanya ia menolak suaminya itu. Sehingga sampai sekarang Ardinah menyatakan bahwa ia masih seorang gadis yang masih suci dan kuat melawan nafsu. Apa sebabnya ia melawan, kamu pun, Saudara Kadiroen juga sudah tahu. Selamanya Ardinah disiksa oleh suaminya, tetapi selamanya juga ia berniat menolong istri tuanya dan selalu minta cerai. Tetapi si lelaki tidak mau menuruti, sedang Ardinah tidak mendapatkan jalan pertolongan bagaimana ia bisa melepaskan diri dari Kromo Nenggolo. Sudah tentu cara yang dikendaki Ardinah itu adalah cara yang sah dan baik. Sesudah Ardinah bertemu denganmu, Kadiroen, maka Ardinah kebetulan baru mengetahui dari omong-omong penduduk Meloko bahwa si Lurah, suaminya, adalah seorang pemeras dan penindas rakyat, sebab sering meminta bayaran yang luar biasa kepada penduduk yang minta pertolongannya. Meskipun sesungguhnya pertolongan lurah itu merupakan kewajiban dari pangkat dan pekerjaannya. Bengisnya lurah itu kepada penduduk desa memang sudah keterlaluan, sehingga rakyat hidup dalam kemelaratan dan kesusahan, sedang si lurah sendiri menjadi amat kaya. Lurah Kromo Nenggolo itu di desanya adalah orang paling pintar dan paling kuat sendiri. Ditambah karena pangkatnya sebagai lurah, ia memang berkuasa. Karenanya sudah tentu tidak ada seorang pun yang berani melawan dia."

"Ya, hal itu saya sudah tahu dan sava telah menyerahkan urusan ini lebih jauh kepada pengganti saya," kata Kadiroen memotong pembicaraan istri Sariman.

lstri Sariman mclanjutkan cerita.

"Baik. Tetapi, meskipun tidak ada yang berani melawan dan berani mengadukan kejahatan lurah terhadap penduduk kepada Asisten Wedono atau para pembesar-pembesar negeri yang berwajib lainnya, di desa itu, di belakang lurah, banyak yang berkata benci. Sehingga Ardinah ikut bisa mendengarnya dan hatinya bertambah marah kepada suaminya. Ardinah lalu tahu bahwa lurah tadi, bukan saja seorang yang suka membikin sakit hatinya istri tua, bukan saja seorang penindas istri muda, tetapi juga seorang penindas dan pemeras rakyat. Dalam hati Ardinah menjadi sangat marah. Dan tertarik atas kehendaknya untuk menolong istri tua dan menolong rakyat yang tertindas dan terperas itu. Maka Ardinah selalu berpikir keras buat mencari cara memberi pelajaran kepada suaminya yang amat busuk itu. Niatan untuk membela kepentingan orang banyak telah memberi keberanian yang luar biasa kepada si gadis Ardinah. Pada waktu asisten wedono yang baru mulai menjabat pangkatnya, maka Ardinah mengumpulkan bukti-bukti dan saksi-saksi atas kejahatan lurah. Setelah mendapat bukti-bukti yang cukup, maka, Ardinah bertamu di rumah tiap-tiap penduduk desa, serta berjanji akan memimpin orang banyak untuk mengadukan kejahatan suaminya di hadapan Tuan Asisten Wedono. Orang-orang desa serentak mengetahui bahwa istri muda lurah adalah seorang perempuan yang berani melawan lurahnya. Maka orang-orang desa tadi lalu terbuka pikirannya sehingga menjadi berani juga. Begitulah, pada suatu hari berpuluh-puluh orang desa berkumpul dan dipimpin Ardinah, beramai-ramai menghadap pada Tuan Asisten Wedono. Seperti Srikandi dalam peperangan, maka Ardinah menuduh dengan bukti-bukti dan saksi-saksi yang kuat guna menjatuhkan lakinya. Ia meminta dipecatnya si lurah dari jabatannya itu. Karena Asisten Wedono tadi juga sudah mengetahui kejahatan Kromo Nenggolo, maka sudah tentu ia sepakat saja. Dari perkara itu Ardinah menjadi tahu, biasanya penduduk desa baru berani mengadukan lurahnya di hadapan pembesar jika sudah ada lebih dari separo jumlah penduduk yang bersatu mempunyai niat melawan lurahnya itu.

"Adapun tidak lama setelah perkara Kromo Nenggolo ditindaklanjuti oleh Tuan Patih, Kontrolir dan sebagainya, maka sungguhlah si jahat itu mendapat surat pemecatan dari residen. Bagaimana kegembiraan penduduk, itu pun tak usah saya jelaskan pula.

"Tetapi bagaimana marah dan bencinya Kromo Nenggolo kepada Ardinah pun ada batas-batasnya pula. Sudah barang tentu sejak Ardinah mengajak penduduk desa untuk menggulingkan suaminya, ia tiap hari selalu siap sedia dan berjaga-jaga untuk berperang melawan Kromo Nenggolo.

"Sebagai senjata perang, maka setiap hari Ardinah menyimpan sekantong abu yang ia selipkan di dadanya. Setelah semua orang pulang dari kantor onderdistrik, maka di rumah Kromo Nenggolo ada pertikaian ramai antara suami dan istri mudanya. Ardinah berkata; `Hai, Kromo Nenggolo, ingatlah kepada istri tuamu, sebab kamu sudah tahu bahwa saya tidak akan mau membantu hidupmu sebagaimana istri tuamu. Sebaliknya, saya selalu bermusuhan denganmu. Karena itu, ceraikan saya dan kembalilah kamu ke istri tuamu. Cobalah kamu menjadi orang baik-balk agar kamu tidak selalu menjadi seorang pemarah terus-menerus.

"Kata-kata yang dikeluarkan dengan lemah lembut dan halus budi bahasanya itu, diterima Kromo Nenggolo dengan luapan kemarahan. Laksana buto ijo, Kromo Nenggolo menjawab: 'Hai, Ardinah, kamu seorang perempuan yang lembek. Kamu tidak saja berani menjatuhkan diriku, tidak saja berani menolak terus-menerus ajakanku, tetapi sekarang kamu malahan berani mengguruiku. Kecintaanku kepadamu sekarang telah berubah menjadi kebencian yang hanya bisa saya lupakan kalau kamu sudah mati. Saya tidak hanya akan menceraikanmu, tetapi saya juga akan menceritakan jiwamu dari badanmu.'

"Habis berkata begitu, Kromo Nenggolo menghunus kerisnya dan berlari mendekati Ardinah untuk menikam atau membunuh gadis muda itu. Tetapi Ardinah yang juga sudah siap, tidak tinggal diam.

"Begitu Kromo Nenggolo sudah menghunus kerisnya, begitu juga Ardinah membuka abu dari kantongnya. Dengan cepat Kromo Nenggolo lari hendak menusuk Ardinah dan dengan cepat pula Ardinah melemparkan abu tepat di mata Kromo Nenggolo. Sudah tentu Kromo Nenggolo tidak bisa melihat apa-apa, sehingga ia tidak tahu ke mana perginya Ardinah. Sambil misuh-misuh dan mengamuk laksana orang gila, Kromo Nenggolo menusuk-nusukkan kerisnya sedapat-dapatnya ke arah mana saja, meja, kursi, tanah, dinding rumah dan sebagainya. Tetapi Ardinah sudah lari dan mengunci kamar tempat berkelahi itu dari luar. Kromo Nenggolo terkurung dalam kamar, laksana babi hutan yang masuk jebakan. Keris Kromo Nenggolo terputus, tetapi matanya masih tidak bisa melihat apa-apa. Ia semakin mengamuk dan berlari menabrak-nabrak dinding dan perkakas rumah. Sehingga badannya menjadi sakit semua. Di sana-sini keluar darah, sehingga semakin lama semakin hilang pula kekuatannya. Akhirnya, ia terjatuh setengah mati dan pingsan. Begitulah dengan abu, Ardinah sudah bisa meredam nafsu amarah Kromo Nenggolo dan Ardinah menang serta bisa selamat.

"Sewaktu Kromo Nenggolo pingsan, Ardinah membuka kunci kamar itu dan bersama-sama dengan istri tua mereka mengangkat badan Kromo Nenggolo dan membawanya ke tempat tidur. Sesudah luka-lukanya dicuci, diobati dan dibalut rapi oleh dua perempuan tadi - satu sama telah berjanji untuk saling tolong-menolong dan sepakat mengatur siasat perselisihan tadi - maka mata Kromo Nenggolo pun dicuci pula oleh istri tua, dan selang beberapa lama ia pun bangun, namun badannya masih terasa lemah. Ardinah bersembunyi, tetapi istri tuanya menunggu di depan suaminya. Setelah mengetahui suaminya bangun, istri tua memberi ciuman seraya berkata:

'O, suamiku, saya akan memelihara kamu sampai kamu sembuh dari sakitmu. Tetapi kalau kau menurut, Ardinah akan memberikan untuk keselamatanmu.'

'Ya, Ardinah memang seorang perempuan yang cerdik, berani dan sesungguhnya baik lahir-batinnya. Sekarang saya tahu dan mengakui kesalahan saya, dan saya telah merasa takluk kepadanya. Saya akan menuruti kehendaknya, jika saya sudah sembuh, saya akan menceraikannya,' kata Kromo NenggoIo.

"Tiga hari kemudian, sungguh Kromo Nenggolo menceraikan Ardinah dan kembali setia serta mencintai istri tua. Sedang Ardinah memberi nasihat begini:

'Hai Kromo Nenggolo, manusia baru dikatakan selamat jika ia mempunyai hati yang selalu merasa senang. Sedang kesenangan hati itu tidak ada dalam kepuasan nafsu. Tetapi ada dalam kesediaan untuk menahan nafsu terus-menerus, jika nafsu itu ingin mendapatkan kesenangan dan kekayaan lahiriah. Orang yang hatinya bisa bersabar, yang berusaha membikin kesenangan orang lain, dan suka menerima dengan senang hati, apa yang telah ditakdirkan oleh Tuhan Allah, dengan tidak melepaskan diri untuk terus berusaha berbuat baik, dengan tidak lupa kepada Tuhan Allah, maka orang itu akan mendapatkan keselamatan, yakni keselamatan batin sebab rasa hatinya selalu senang. Inilah rahasia yang saya tinggalkan untukmu dan kalau kamu bisa menjalankan hal-hal itu, maka akan mendapatkan keselamatan juga.'

"Kromo Nenggolo mengikuti nasihat itu, dan sekarang ia menjadi seorang petani yang baik-baik. Sedang istri tuanya selalu membantu Kromo Nenggolo untuk mencapai jalan keutamaan itu.

"Adapun Ardinah lalu diambil anak oleh kamitua sebagaimana telah saya ceritakan. Setelah saya mengetahui riwayat Ardinah itu, maka saya berkata kepada Ardinah bahwa di rumah saya ada seorang perjaka bernama Kadiroen yang dahulunya pernah menjadi Asisten Wedono membawahi Desa Meloko. Sewaktu Ardinah mendengar nama Kadiroen, muka Ardinah lantas bersemu merah. Jadi saya mendapatkan bukti bahwa gadis itu masih cinta kamu, Kadiroen! Oleh karena saya telah mendapatkan bukti itu, saya lalu bercerita kepada Ardinah, bagaimana keadaanmu yang begitu setia kepada si gadis ayu ini. Sehingga sampai sekarang kamu tidak mau kawin. Sewaktu Ardinah mendengar cerita saya itu, maka ia lalu menangis dan mengaku bahwa ia juga tidak mau. Ia diharap pada jodohnya alias Kadiroen. Karena itu, saya segera saja atas nama kamu, Kadiroen, melamar Ardinah agar mau kawin denganmu, supaya perkara ini bisa cepat selesai. Jadi orangtua Ardinah saya ceritai hal-hal itu semua. Akhirnya Ardinah mau saya ajak bertamu di rumah kita."

Sampai di situ, selesailah cerita istri Sariman mengenai Ardinah. Sudah tentu Ardinah menjadi malu bercampur senang ketika riwayatnya dijadikan bahan cerita itu. Kebahagiaan Ardinah menjadi bertambah besar lagi karena setelah mendengar riwayat Ardinah, Kadiroen pun lalu datang mendekati tunangannya, memegang mencium tangan bidadarinya dan berkata:

"O, istriku. O, jiwaku! Saya sungguh-sungguh mencintaimu dan sangat bahagia mendengar cerita apa yang telah kaukerjakan di Desa Meloko."

Mendengar keterangan Kadiroen, Ardinah pun lalu menangis sebab sakingbesarnya kebahagiaan serta senang hatinya. Ia berdiri dan menjatuhkan kepalanya di dada Kadiroen. Lama mereka tidak berbicara apa-apa dan hanya masih saling berpelukan, membuktikan bahwa mereka telah menyatu lahir-batin karena ikatan cinta. Sariman dan istrinya turut merasakan kebahagiaan calon pengantin baru itu. Maka kemudian Sariman berkata, "Saudara Kadiroen, perkawinan sejati ialah lahirnya percintaan sejati. Tetapi supaya perkawinan batinmu yang sudah sah itu bisa diketahui sah lahiriahnya oleh semua orang, maka kamu harus menunggu penghulu lebih dahulu. Juga sebelumnya kamu harus meminta izin kepada orangtuamu. Ibumu masih menyandang gelar raden ayu, jadi saya tidak bisa memperkirakan apakah kiranya ibumu akan sepakat jika kamu menikah dengan Ardinah yang tidak mempunyai gelar kebangsawanan itu. Karena esok lusa ada vrij dua hari, ialah hari besar, sedang sesudahnya itu lalu hari minggu, maka kita akan mendapatkan vrij tiga hari lamanya. Marilah besok lusa kita berempat mengunjungi orangtuamu, Saudara Kadiroen. Lebih dahulu Ardinah mesti diketahui oleh ibumu. Sedangkan istri saya nanti akan menjelaskan kebaikan lahir-batinnya Ardinah. Kalau kita semua sudah saling kenal-mengenal selama tiga hari, maka kamu Kadiroen mesti mulai bicara dan meminta izin untuk kawin pada ibumu. Yang nomor satu, bagi seorang perjaka yang akan kawin, harus meminta izin pada ibunya dan barulah ayah akan turut campur.

Tiga hari kemudian, Sariman dan istrinya serta Ardinah duduk di muka rumah orangtuanya Kadiroen. Di belakang rumah, ibu Kadiroen sedang duduk di dipan dan di sampingnya, anak lelakinya, Kadiroen, duduk berjejer sambil memegang tangan dan memandang mata si ibu sebagaimana seorang perjaka yang sangat setia dan mencintai ibunya. Maka ia berkata:

"O, Ibu. lbu sudah tahu, siapa Ardinah. Ibu, saya sangat mencintai gadis itu dan memohon izin ibu dan bapak supaya saya boleh mengawini Ardinah. Ardinah juga sudah sepakat. Ibu, hidupku sungguh akan tidak berharga kalau tidak jadi kawin dengan Adinah."

Ibu Kadiroen mendengar tangis anak lelakinya, lalu menjadi tersenyum dan sambil setengah tertawa ia menjawab.

"E, ee, anakku minta kawin. Dulu tidak mau. Tiba-tiba sekarang menjadi tergila-gila pada seorang janda. Nanti, nanti, ya, lbu mau pikir dahulu dan mau berembuk dengan ayahmu dulu. Sudah, sekarang pergilah ke muka, kalau nanti saya dan ayahmu sudah berembuk, kamu berempat akan saya panggil kemari."

Kadiroen ke depan rumah dengan muka yang amat pucat... "O, bagaimanakah keputusannya, ayah dan ibu mau menyenangkan atau menyusahkan? Kalau tidak diberi izin bagaimana?" Hati Kadiroen menjadi berdebar-debar. Ia masih mengingat-ingat kata-kata ibunya yang mengatakan "Tergila-gila dengan janda!" Apakah dalam perkataan itu tidak menyiratkan penolakan?

Sariman dan istrinya serta Ardinah mengetahui Kadiroen datang dengan muka yang amat pucat. Semua menjadi terkejut dan setengah bingung. Mereka merasa, Kadiroen sudah minta izin kawin, tetapi apa sebabnya Kadiroen tidak bisa berbicara dan roman mukanya pucat. Ibu Kadiroen masih seorang raden ayu, bakal menantunya hanya seorang desa, sudah janda dan miskin. Juga sudah tidak punya orangtua lagi. Ditolakkah? Semua sama-sama takut meminta keterangan dari Kadiroen, apa betul sudah ditolak? Mata Ardinah berkaca-kaca hendak menangis. Semuanya terdiam, tidak ada yang berkata.

"Kadiroen, Ardinah, Saudara Sariman sekalian, marilah, datang ke sini!" kata seorang berteriak memanggil dari belakang. Yang dipanggil sama-sama berdebar-debar hatinya. Sama-sama berdiri dan Kadiroen memegang tangan Ardinah berjalan lebih dahulu. Sedang Sariman sekalian menyusul di belakangnya. Ibu dan ayah Kadiroen, dua orang lelaki perempuan yang rambutnya sudah memutih itu, duduk di atas dipan.

Di antara para pembaca buku ini, barangkali ada yang bergelar raden ayu dan sudah menduga bahwa ibu Kadiroen akan berkata: "Ardinah seorang janda yang miskin mau menjadi menantuku? Tidak boleh!" Tetapi kalau pembaca putra-putri raden ayu itu, memang mengira begitu, maka sesungguhnya penulis cerita ini dengan segala hormat dan kerendahan mohon ampun beribu ampun, bahwa penulis akan membikin kecewanya praduga-praduga para pembaca yang bergelar raden ayu ini. Sebab penulis terpaksa hanya menceritakan keadaan yang sebenarnya. Dan keadaan yang sebenarnya itu begini.

Ibu Kadiroen berkata:

"Kadiroen anakku! Ardinah anakku! Saksikanlah hai sahabat Sariman sekalian, kita ayah dan ibu Kadiroen bersedia memberi izin Kadiroen mengawini Ardinah. Ketahuilah, wahai anakku Kadiroen, sudah menjadi keberuntunganmu, kamu mendapat anugerah Tuhan Allah akan kawin dengan Ardinah. Ardinah, sebagaimana saya ketahui dari tingkah lakumu, wajah dan perkataan serta riwayatmu, Ardinah bukanlah seorang gadis yang bergelar raden ayu, tetapi seorang gadis yang berisi "Rach Ayu ". Rach Ayu, tempatnya tidak ada dalam gelar tetapi dalam hati. Dan seorang yang memiliki hati sebagaimana Ardinah ini memang sesungguhnya seorang perempuan Rach Ayu Sejati. Kita ibu dan ayah memberi doa dan izin pada kamu hai, Kadiroen dan Ardinah untuk kawin. Selamatlah kamu!"

Mendengar kata-kata ibunya yang memberi izin, maka Kadiroen dan Ardinah menjadi senang dan bahagia luar biasa. Kebahagiaan dan kesenangan yang dirasakan oleh dua muda-mudi waktu itu sungguh-sungguh tidak bisa dilukiskan dengan pena dan tinta. Karena memang saking besarnya. Dari saking bahagianya maka Kadiroen dan Ardinah menjadi menangis dan mereka berpegangan badan satu sama lainnya, bersama-sama menyatukan muka di pangkuan ayah dan ibunya serta berkata:

"O...Ibuku..., Ayah..., O, apakah kebaikan kita sehingga mendapat anugerah perasaan bahagia yang sebesar-besarnya ini. Ibuku... Ayahku... ? O, Ibu...Ayah...kita merasakan begini bahagia..., begini nikmat di batin. O, kita tidak bisa menerangkan apa yang kita rasakan amat nikmat ini."

Ganti-berganti Kadiroen dan Ardinah mengatakan hal sambil matanya bercucuran karena bahagianya. Ganti berganti mereka menangis sambil mukanya jatuh di pangkuan ayah maupun ibunya karena mendapatkan anugerah yang begitu besar; sepasang perjaka dan gadis lulus dalam percintaannya.

Ibu dan ayah dengan sabar dan senang hati, berganti-ganti mengelus kepala menantu mereka Ardinah, juga Kadiroen anaknya. Sariman sekalian ikut bahagia melihat semua itu, sehingga mereka merasakan seperti amat muda, dan dari sebab itu mereka saling berpelukan satu sama lain, ala pengantin baru. O bayangan surga itu, lamalah terbayang-bayang...."

"Sekarang begini anak-anak," kata ayah Kadiroen sambil menjabarkan kebahagiaannya, "Di mana ternyata kita semua mendapatkan kebahagiaan karena Ardinah dan Kadiroen mendapat anugerah besar di situ kita wajib mengirim doa terima kasih kita kepada Tuhan Allah Yang Mahabelaskasihan pada kita ini. Sebentar lagi, marilah kita pergi ke mesjid supaya perkawinan ini disahkan oleh penghulu. Dan sekarang marilah kita sama-sama duduk di tanah sambil menghaturkan doa terima kasih kita!"

Enam manusia menyatukan diri duduk di tanah, dan dalam hati mereka yang sangat bahagia, melayang sebuah doa.

"O, Tuhan Allah Yang Mahabesar, Yang Maha adil, bagaimanakah kita bisa membuktikan rasa terima kasih kita, dengan terang dan sepantasnya kepada Gusti. O, Tuhan, Allah Yang Maha kuasa, kita menghaturkan berjuta-juta terima kasih atas kebaikan Tuhan...."

Setengah jam mereka duduk di atas tanah sambil berdoa dari jiwa-jiwa mereka yang paling dalam. Berdoa yang sebersih-bersihnya dan senyata-nyatanya.

Di dalam kamar semua diam dan suasana menjadi sunyi. Hanya hati dan jiwa-jiwa enam manusia tadi yang berbicara kepada Tuhan Allah Yang Maha adil. Suasana kamar sunyi sebab hanya jiwa-jiwa mereka yang sedang berbicara.

Di luar rumah, angin kecil bertiup perlahan-lahan di pohon dan dedaunan. Bunga-bunga melati yang menari-nari menyambut sinar mentari sedemikian hidup karena hembusan angin yang sejuk. Kupu-kupu berterbangan dari satu bunga ke bunga yang lainnya. Burung-burung bercinta-cintaan dalam hijaunya lembah dunia. Semua kodrat Allah hidup. Hidup di dunia. Hidup, hidup dan bercinta-cintaan.

Demikianlah buat sementara waktu, lain kali kalau tidak berhalangan akan disambung.

Hikayat Kadiroen, BAB VI : Mendapat Guru

Hikayat Kadiroen
Semaoen (1920)
BAB VI
Mendapat Guru

Di sebuah tempat di Kota G, di bagian kota yang sunyi yang hampir mendekati desa-desa, di sana, di sebuah pekarangan yang tidak lebar tetapi banyak pohon-pohonan yang membikin sejuknya suasana, di situlah berdiri sebuah rumah kecil yang terbuat dari dinding bambu berkapur putih. Rumah itu memakai atap genting dan berubin semen batu yang bersih. Selusin pot bunga-bungaan dari tanah teratur rapi di muka rumah, sehingga kelihatan indah dan segar. Perkakas rumah, seperti kursi dan meja dan sebagainya teratur rapi di dalam rumah itu. Meskipun perkakas itu tidak mewah dan murah harganya, tetapi kelihatan begitu bersih, sehingga bisa menyenangkan semua orang yang memandangnya. Beberapa perhiasan rumah seperti pigura-pigura dengan gambar yang terpasang di dinding menunjukkan bahwa pemilik rumah itu bukanlah orang kaya. Tetapi, rumah itu menunjukkan juga si pemiliknya mempunyai perasaan halus dan telaten, sehingga bisa menata ruangan menjadi begitu rapi, bersih dan menyenangkan semua orang yang memandang seisi rumah, baik dari luar maupun dari dalam.

Di galeri muka, pada waktu jam setengah dua siang itu, duduk seorang perempuan muda. Wajahnya tidak begitu cantik atau molek, tetapi juga tidak jelek. Wajahnya malahan kelihatan lebih manis. Pakaiannya tampak seperlunya untuk kepentingan di rumah, yang menunjukkan bahwa ia tidak mempunyai banyak uang untuk menghias dirinya. Gelang, tusuk konde, subang dan peniti dari emas atau perak yang sangat disenangi oleh kebanyakan kaum perempuan, barang-barang itu sama sekali tidak menempel di tubuhnya. Dan hanya cincin kawin dari swasa tanpa mata yang berkilau melingkar di salah satu jarinya. Tetapi caranya berpakaian yang sederhana itu memang kelihatan begitu bersih dan rapi, sehingga pemakainya kelihatan sangat pantas. Pada waktu itu perempuan tersebut sedang bahagia memikirkan apa yang sudah ia kerjakan sampai saat itu. Pagi-pagi benar ia sudah bangun, lalu mandi seraya menyedu wedang kopi dan memasak nasi goreng sisa masak kemarin sore serta membikin telur dadar mata sapi dua. Lalu setelah suaminya bangun dan mengerjakan hal-hal yang perlu, mereka sarapan bersama-sama pada waktu yang biasanya. Sehingga laki-laki tersebut menjadi amat senang, sehingga semakin sayang dan berterima kasih kepada istri tercintanya itu. Setelah si lelaki berangkat bekerja, maka si perempuan pergi berbelanja ke pasar. Sedang seorang anak tetangganya menjaga rumahnya. Dari pasar ia lantas masak dan sambil menunggu masakannya matang, ia mencuci pakaian serta perabotan rumah tangga lainnya yang kotor. Lalu mengerjakan hal-hal lain sebagai kewajiban istri di rumah. Ya, ia memikirkan semua pekerjaannya yang sejak pagi hingga jam satu lebih tidak ada hentinya itu. Tetapi karena itu semua, hatinya menjadi begitu senang. Sehingga lalu teringat kepada Tuhan Allah dan mengirimkan doa beberapa kali. Perempuan tersebut merasa senang, karena dengan pekerjaannya tersebut ia merasa bisa membantu suaminya, menyenangkan lelaki meski hasilnya tidak seberapa besar. Dan karena rajinnya perempuan itu bekerja maka mereka bisa berumah tangga dengan tenteram dan bahagia. "O, bagaimanakah senangnya hati lelaki jika melihat semua pekerjaan di rumah sudah beres! Ya, saya akan menyongsong suamiku di muka rumah dengan muka manis dan senang hati. O, bagaimanakah tambah besarnya cinta lelakiku merasakan hidup berumah tangga yang begini nikmat'." Begitulah, perempuan tadi berpikir-pikir sambil menunggu kedatangan suaminya.

"Kriiingg...kriiing...kriiinggg!"

"Na, suamiku datang!" kata si perempuan dalam hatinya. Dengan gembira dan senang hati ia bangkit dari duduknya serta menjemput suaminya yang datang menaiki sepeda.

"O, Mas, ini hari Kanda datang sedikit terlambat. Toh tidak ada halangan apa-apa 'kan Mas?" kata istri sambil mencium lakinya.

"Iya Dik, saya memang pulang terlambat. Tetapi tidak ada halangan apa-apa. Hanya sebentar lagi di sini akan kedatangan tamu, yang sekarang sedang naik dokar. Karena tadi sempat omong-omongan dengan tamu itu di jalan, jadi sekarang agak sedikit telat. Dinda menunggu lama barangkali?" kata si lelaki sambil mengelus kepala istrinya yang menempel di dadanya serta melihat pada istrinya itu dengan sepenuh perasaan cintanya.

Tamu datang! Si lelaki, Sariman menjemput ia dan terus memperkenalkan si tamu kepada istrinya. Sariman berkata; "Ini istri saya, dan ini Dik, Tuan Kadiroen."

Istri Sariman menjawab: "O, jadi Tuan yang bernama Kadiroen. Suamiku sering menceritakan perihal Tuan kepada saya. Saya menaruh hormat yang tinggi pada apa yang Tuan telah perbuat. Sudah lama saya ingin berkenalan dengan Tuan. Karena itu, hari ini saya senang sekali bertemu dengan Tuan. Tetapi saya berkata Tuan, saya ingin menjadi saudara Tuan. Apa sekiranya Tuan tidak keberatan kalau selanjutnya saya memanggil Kakandaku Kadiroen... Kanda?"

Kadiroen mendengarkan penyambutan istri Sariman. Kata-kata sambutannya itu kelihatannya memang keluar dari hati sanubari sehingga sekejab saja, saat itu juga, Kadiroen merasa memiliki saudara perempuan muda. Sudah barang tentu ia menyahut penyambutan istri Sariman itu dengan kata-kata yang mendekatkan persahabatan satu dengan yang lainnya.

Tidak lama mereka berbincang-bincang, maka ketiganya lalu makan bersama-sama. Waktu makan itu, Kadiroen tahu bahwa ikannya tidak begitu banyak. Sebab yang ada di situ hanya tempe, sambal, jangan dan sekadar daging sapi. Semua dimasak hanya menjadi empat macam. Tetapi Kadiroen menjadi heran, karena masakan itu begitu enak rasanya. Saat makan berbarengan sambil ngomong-ngomong yang baik-baik dan menyenangkan, Kadiroen merasa ada di dalam surga.

Sehabis makan, Sariman dan Kadiroen minum, rokok dan meneruskan pembicaraannya. Sedang si perempuan mengerjakan semua hal, seperti membersihkan taplak meja dan sebagainya. Persis jam tiga, maka Sariman mempersilakan Kadiroen untuk tiduran. Karena semua itu, Kadiroen merasa begitu senang. Sehingga ia merasa seperti ada di rumahnya sendiri. Dan karena ia merasa capek pulang bepergian dari Kota S ke Kota G, maka ia mau tiduran itu. Ia tanya kepada Sariman apakah tuan dan nyonya rumah juga mau tiduran. Tetapi dengan heran ia mendapat keterangan bahwa mereka berdua itu tidak pernah tidur siang. Sebab Sariman mulai dari jam 2.30 sampai jam 4, mengajar istrinya. Dan hari itu istrinya harus belajar ilmu bumi. Istri Sariman menerangkan bahwa ia sangat senang belajar ilmu alam, ilmu bumi, ilmu hitung dan lain sebagainya. Perempuan itu ingin mengerti dan pandai supaya bisa ikut memikirkan dan membicarakan semua hal yang penting-penting yang terjadi di zaman kemajuan itu.

Sekarang Kadiroen mengerti, mengapa istri Sariman itu tadi begitu fasih ikut omong-omong membicarakan masalah politik.

Sewaktu Kadiroen hendak tidur, maka ia merasakan dan memikirkan masalah Sariman dan istrinya itu. Dan ia tahu bahwa mereka berdua memang sangat berbeda dengan kebanyakan orang. Karena itu maka Kadiroen semakin ingin tahu, bagaimanakah kehidupan mereka berdua. Dan pada saat itu ia mengantuk dan lantas tidur.

Jam empat Kadiroen bangun dan mengetahui bahwa saat itu istri Sariman sedang menyedu wedang. Sedangkan Sariman membersihkan kursi-kursi, meja, mengisi lampu dengan minyak dan sebagainya. Lalu mereka mandi, sehingga persis jam 5 kurang sepuluh menit Sariman dan istrinya sudah siap minum teh di teras rumah yang sudah kelihatan bersih.

Kadiroen juga sudah disediakan teh. Begitulah, maka mereka bertiga ngobrol sambil minum teh. Dalam obrolan itu Kadiroen mengetahui bahwa biasanya Sariman dan istrinya mulai jam lima sore sampai jam enam pergi jalan-jalan ke alun-alun atau ke tempat-tempat lain. Kalau tidak jalan-jalan, biasanya mereka menerima tamu atau bertamu sebentar ke rumah sahabat-sahabat terdekatnya. Jam enam mereka pulang lalu menyalakan lampu dan Sariman lalu belajar sendiri bermacam-macam buku yang bermanfaat untuk menambah ilmu pengetahuannya sampai jam delapan. Sedang istrinya dari jam enam itu sampai jam tujuh memanaskan masakan dan menanak nasi. Mulai jam delapan mereka berdua sudah bisa makan bersama. Maka jam setengah sembilan sampai jam setengah sepuluh, istri Sariman belajar lagi. Sedangkan Sariman sendiri membaca koran-koran yang baru datang. Biasanya persis jam sepuluh mereka sudah tidur dan bangun lagi pada jam lima. Apa yang dikerjakan istri Sariman sejak bangun pagi sudah diceritakan di atas. Adapun Sariman sejak bangun pagi lalu mandi dan melakukan gymnastiek, membersihkan perkakas rumah lalu sarapan pagi. Tepat jam tujuh pagi ia berangkat ke kantornya. Kadiroen mengetahui bahwa semua kebiasaan Sariman dan istrinya itu tiap harinya sudah diatur dengan pasti. Selain Sabtu sore adalah saat untuk mencari hiburan ke bioskop atau bertamu ke rumah sanak famili yang sedikit jauh.

Hari Minggu biasanya Sariman bekerja di kebun atau pergi ke tempat-tempat wisata yang sejuk.

Maka karena kepastian-kepastian di atas, hidup Sariman dan istrinya menjadi senang terus-menerus. Sedangkan badan mereka berdua selalu sehat pula meski di rumah mereka tidak ada seorang pembantunya. Gaji Sariman yang begitu kecil sebab surat kabar bumiputera waktu itu belum kuat membayar redaktur dengan gaji yang mencukupi tidak memperkenankan mereka untuk mencari pembantu seperti koki, babu atau jongos. Karena hal-hal itu, Kadiroen mengetahui bahwa Sariman berdua yang begitu luas pengetahuannya dalam semua hal itu, sudah menunjukkan bahwa mereka tidak suka menyombongkan diri dan menerima saja dengan ikhlas untuk hidup sederhana. Sariman dan istrinya bukanlah manusia yang hanya mencari kekayaan duniawi seperti uang dan sebagainya dan juga bukannya manusia yang hanya mencari pangkat atau derajat lahiriah. Tetapi mereka mencari keselamatan batin dengan berusaha melayani dan membantu kepentingan rakyat Hindia yang pada waktu itu begitu merana keadaan lahir batinnya. Begitulah maka Kadiroen mengetahui bagaimana watak Sariman dan istrinya. Dengan pengetahuannya itu, Kadiroen bisa mengerti mengapa Sariman bisa begitu kuat memikul kewajibannya dalam pergerakan yang amat berat itu. Secara lahiriah mereka memang melarat, tetapi batiniah sangat bersih dan berhati ikhlas. Itulah rahasia kekuatan manusia yang berilmu tinggi, kekuatan yang mana akan bisa mampu melakukan semua pekerjaan atau siksaan dunia yang amat berat sekalipun.

Sudah dua hari Kadiroen bertamu di rumah Sariman, sambil menunggu keputusan vergadering yang akan menentukan apakah Kadiroen akan diterima menjadi mede-redacteur dalam surat kabar Sinar Ra’jat atau tidak. Pada sore hari kedua, sewaktu mereka ngobrol sambil minum teh, maka Sariman berkata kepada Kadiroen sambil menyatakan kesedihan hatinya:

"Saudara, memang susah nasib sahabat kita Tuan Weldoener. Ia menjadi hoofd-boekhouder di toko besar. Ia kerja di sini baru kira-kira dua tahun. Maka sebentar lagi tentu ia akan dipecat dari pekerjaannya. Tuan Weldoener memang paling baik akal budinya. Dan karena sebagai seorang sosialis sejati, ia membantu gerakan rakyat Hindia, maka ia dibenci oleh kaum yang bermodal. Sekarang kita mesti berusaha meringankan beban nasib Tuan Weldoener yang menjadi korban ini."

Mendengar hal itu, Kadiroen menjadi terkejut dan ikut merasakan kesedihannya. Ia menanyakan kabar itu asalnya dari mana. Tetapi Sariman menjawab degan pertanyaan pula:

"Apa Saudara tidak membaca tulisan pertama dalam surat kabar Belanda L hari kemarin?"

"Ya, saya juga sudah membacanya. Tulisan itu mencela keras Tuan Weldoener itu, sebab tuan ini dalam vergadering P.K. di Kota M, turut berbicara dan mengajak rakyat mengubah kapitalisme menjadi sosialisme. Dalam tulisan tersebut sama sekali tidak diutarakan bahwa Tuan Weldoener itu akan dipecat dari pekerjaannya," kata Kadiroen.

"Memang dalam tulisan itu tidak diutarakan, tetapi Saudara harus ingat, sampai dua kali tulisan tersebut menyebutkan pangkatnya Tuan Weldoener yang bunyinya begini: ‘Weldoener Hoofd-Boekhouder Toko F, Milik Kapitalis C’ sedang tulisan 'Hoofd-Boekhouder Toko F' ditulis dengan cetak miring. Dalam politik halus, maka maunya itu supaya Kapitalis C, memecat Tuan Weldoener dari jabatannya Hoofd-Boekhouder. Sebab semua orang sudah tahu bahwa watak Tuan Weldoener yang suka membantu gerakan rakyat Hindia itu sudah tidak bisa diubah lagi. Hal yang mana diterangkan juga dalam bagian penghabisan tulisan itu begini: 'Tuan Weldoener yang ada di negeri Belanda ternyata tidak mau mengubah keinginannya untuk melawan kapitalisme yang ada di Hindia. Ia tetap mau meneruskan tekad hatinya itu dengan teguh. Sungguh Tuan ini membikin masalah di Hindia'. Mengingat besarnya pengaruh surat kabar L, maka Tuan C tentu akan menuruti nasihat surat kabar itu untuk memecat Tuan Weldoener dari tokonya," baru saja Sariman menjelaskan begitu maka datang seorang jongos membawa surat. Surat itu dari Tuan Weldoener dan bunyinya begini:


Sahabat Sariman,

Tadi pagi saya diminta oleh saya punya pembesar, Tuan C, supaya saya melepaskan diri semua perhubungan dengan gerakan kaum kita socialisten dalam P.K. Adapun kalau saya tidak menurut dan tidak suka tunduk pada kemauan tuan C, maka mulai bulan di muka saya dapat lepas. Sudah tentu saya memilih dilepas ketimbang meninggalkan kaum kita. Supaya kaum kita mendapat tahu, bagaimana akalnya kaum bermodal mau menghalang-halangi gerakan P.K. dengan kelepasan saya ini, haraplah ini perkara sahabat suka membicarakan dalam Sinar Ra’jat.

Memujikan Selamat,

Weldoener


Surat yang pendek itu juga dibaca oleh Kadiroen. Jadi dugaan Sariman memang betul dan cocok. Kadiroen sekarang terpaksa mengakui bahwa Sariman adalah seorang Hoofd-Rectacteur yang amat tajam pikirannya. Memang sudah lama Sariman menunjukkan dalam tulisan-tulisannya bahwa ia seorang jurnalis yang amat bijaksana, luas pandangannya, cerdik serta tajam dugaannya.

Kadiroen mengakui, meski Sariman masih muda ketimbang dirinya maka wajib ia menjadikan Sariman sebagai gurunya. Sebab Sariman melebihi kebiasaan dalam semua hal. Kelebihan dari kebiasaan itu pun bisa Kadiroen ketahui selama dua hari hubungannya itu. Oleh karena itu, Kadiroen bertanya kepada Sariman dan istrinya:

"Saudara, kalau saya jadi ditetapkan menjadi mede-redakcteur, apa Saudara sepakat kalau saya mondok kumpul dengan kamu berdua. Sebab saya mau jadi muridmu, guruku Sariman!"

Sariman dan istrinya mendengarkan pertanyaan yang keluar dengan air muka yang lucu oleh Kadiroen itu, menjadi tertawa. Dan dari mulut keduanya berbareng-bareng keluar jawaban, "Sudah tentu sepakat."

Istri Sariman menyatakan bahagia bahwa Kadiroen mau berkumpul serumah. Sedang Sariman berkata:

"Ha,ha... Bagaimana yang lebih muda menjadi guru. Tidak Saudara Kadiroen. Saya tidak mau menjadi gurumu. Tetapi ingin menjadi sahabat dan saudaramu."

"Kamu boleh begitu sesukamu, tetapi saya memandang kamu sebagai guruku," kata Kadiroen.

Akhirnya, oleh vergadering, Kadiroen diterima menjadi mede-redacteur, ia lalu serumah dengan Sariman yang olehnya dipandang sebagai gurunya itu.

Mengetahui semua hal di atas, maka Tuan-Tuan dan Nyonya-Nyonya, para pembaca, barangkali ingin tahu lebih jauh. Siapakah Sariman dan istrinya itu. Di sini penulis akan terangkan.

Sariman ialah anaknya Pak Saridin. Seorang tukang rumput - ia menjualnya di Kota G. Tetapi sewaktu Sariman baru berumur lima tahun, ayah dan kakaknya yang bernama Saridin meninggal dunia. Oleh karena itu, maka Sariman tinggal hidup dengan ibunya yang menjanda. Di rumah Jawa yang terbuat dari atap dan berukuran kecil sekali, Sariman dan ibunya hidup miskin, itu sudah jelas. Ibu Sariman bisa mempertahankan hidup bersama-sama anaknya karena berjualan nasi-sayur. Karena saking miskinnya itu, sudah barang tentu rumahnya hanya bisa untuk tidur dan memasak nasi sayur yang dijual tersebut. Jadi meskipun ditinggal suaminya, Mbok Sariman tidak khawatir.

Sepanjang hari Mbok Sariman berjualan sepanjang jalan bersama anaknya yang masih kecil. Pada suatu hari ada seorang priyayi yang juga mempunyai anak baru berumur enam tahun sedang membeli dagangan Mbok Sariman. Anak priyayi tersebut waktu itu sedang pulang dari sekolah dan membawa lei. Sebagai anak yang sama kecilnya, maka dua anak itu satu sama lain berkenalan dan terus menjalin persahabatan. Sariman bertanya apa yang dibawa anak priyayi tersebut dan mengetahui bahwa itu adalah lei untuk peralatan sekolah.

Mulai hari itu, saben-saben Sariman menanyakan kepada ibunya, buat apa lei itu dan apa artinya sekolah. Kalau mereka kebetulan berjualan di muka sekolahan, di situ ibunya Sariman menerangkan kepada anaknya apa yang dinamakan sekolah. Dengan itu, maka Sariman kecil pada saat itu mulai tertarik untuk sekolah. Begitulah, maka ia sering menangis kepada ibunya supaya dibelikan lei dan disekolahkan. Tetapi karena miskinnya - sebab pada waktu itu di Hindia tidak ada sekolahan yang tidak bayar - maka sudah barang tentu yang ibunya Sariman tidak bisa menuruti kehendak anaknya. Pada waktu Sariman berumur enam tahun, dengan susah payah ibunya bisa membelikan lei dan grip.

Kebetulan di sebelah Mbok Sariman tinggal seorang tukang batu, yang hidupnya bisa sedikit kecukupan dan bisa menyekolahkan anak lelakinya yang juga baru berumur enam tahun, di sekolah kelas dua. Anak itu adalah yang bernama Tjitro dan sewaktu besar menjadi propagandis P.K. yang sudah diceritakan dalam Bagian IV buku ini.

Sebagai anak yang sama kecilnya dan berumah begitu dekat satu dengan yang lainnya, Sariman lalu menjadi sahabat karib Tjitro. Tetapi kalau Tjitro pagi-pagi pergi ke sekolah, Sariman pun juga harus pergi, namun ikut berjualan nasi bersama ibunya. Hanya bila sore jam tiga sampai jam enam, dua anak itu bisa bermain bersama-sama.

Sariman yang merasa kaya, bisa menyamai Tjitro karena masing-masing mempunyai lei dan grip, mereka lalu bermain-main. Tidak hanya bermain lei-leian dan cakar-cakaran ayam saja di lei itu. Tetapi Sariman saban hari bertanya pada Tjitro, apa saja yang tadi diajarkan di sekolah. Sehingga Tjitro menceritakan itu dan saban hari menirukan gurunya, sedang Sariman masih pura-pura diajar sebagai muridnya. Sebaliknya, kepura-puraan itu, oleh Sariman diingat betul, sehingga lalu saban sore ia bisa belajar dari Tjitro. Oleh karena itu, sewaktu Tjitro berumur tujuh tahun, maka kepandaiannya dalam hal tulis-menulis sama dengan Sariman. Begitulah, maka saban sore Tjitro harus belajar lagi, sebab mesti menjadi gurunya Sariman. Maka Tjitro akhirnya menjadi murid yang terpandai, ia di kelasnya mendapat rangking satu. Hal yang demikian itu memberi pengertian pada Tjitro dan Sariman bahwa mereka harus bersahabat terus dan apa yang dahulunya hanya pura-pura, sekarang lalu ia kerjakan bersama-sama sebagai keinginan yang tetap. Sehingga lalu mereka saban sore belajar bersama-sama. Hal itu membuat senangnya orangtua Tjitro dan ibunya Sariman. Tetapi, mulai umur tujuh tahun itu, maka Sariman terpaksa harus membantu ibunya mencari makan. Sehingga ia saban pagi sampai jam satu siang harus menyabit rumput untuk dijualnya. Oleh karena Sariman bisa mencari uang, maka lalu ia juga bisa membeli buku, potlot, tinta dan sebagainya. Sehingga waktu Tjitro berumur sepuluh tahun, sudah tamat belajarnya di sekolahan klas 2 itu, maka Sariman juga bisa menyamai kepandaian Tjitro.

Semenjak tahun itu, maka Tjitro oleh ayahnya disuruh mencari kerja, dan lalu menjadi leerling letter Zetter di salah satu drukerij di Kota G tersebut. Adapun Tjitro mempunyai adik perempuan yang waktu itu berumur enam tahun, mulai disekolahkan juga mengganti Tjitro. Sebab meskipun ayah Tjitro hanya seorang tukang batu, tetapi ia ingin maju dan ingin melihat anak-anaknya, Tjitro dan Sarinem (adik Tjitro) menjadi pintar. Begitulah, orang yang maju, senang menyekolahkan anak perempuannya.

Ialah pada waktu itu maka Sariman sering menjual rumput pada priyayi yang anaknya sudah diceritakan di muka. Pada suatu hari, maka menurut pendapat anak priyayi tadi - yang sudah berumur sebelas tahun dan sekolah di EuropeescheLagereSchool - Sariman kurang menghormati dirinya. Sebab Sariman berani memanggil "mas" sedang si anak priyayi minta dipanggil "ndoro". Sehingga di antara dua anak tadi terjadi perselisihan yang ramai. Anak priyayi tadi memaki-maki pada Sariman:

"Kamu anaknya orang desa, bodoh, goblok!" dan sebagainya.

Hati Sariman menjadi amat marah dikatakan bodoh dan goblok. Sebab ia merasa meskipun ia tidak sekolah, tetapi dengan kehendaknya sendiri, sekarang ia sudah bisa menulis dan mempunyai kepintaran yang sama dengan anak yang di sekolahan. Sesudah ia menjadi sabar kembali maka ia ingat bahwa percuma kalau ia hanya marah belaka. Oleh karena itu, ia lalu berniat yang kuat untuk menambah kepintarannya, agar ia bisa melebihi anak priyayi yang oleh Sariman dianggap besar kepala itu.

Sariman memperbincangkan niatnya itu bersama sahabatnya Tjitro serta orangtua mereka. Karena Tjitro baru saja mengerti bahwa di sekolah H.I.S. di Kota G itu saban sore diajarkan bahasa Belanda dan lain-lain untuk menuntut ujian Kleinambtenaars-examen, maka mereka membikin keputusan untuk meneruskan belajar di situ. Tetapi untuk bisa membayar biayanya, maka saban pagi Sariman terpaksa bekerja lebih keras agar ia bisa memotong rumput yang lebih banyak dari biasanya. Dan saban hari Sariman menabung f.0,10 untuk ongkos sekolah itu. Adapun Tjitro mendapat bantuan dari ayahnya. Untuk keperluan sekolahnya itu terpaksa Tjitro berhenti merokok dan ibunya terpaksa berhenti menginang. Begitulah, dua anak desa tadi bisa belajar terus, dan saban malam sampai jam sepuluh, kita bisa melihat mereka sedang belajar, bersanding dengan lampu kecil. Mereka tidak memikirkan kesenangan seperti anak-anak lainnya tetapi hanya mencari kepintaran belaka.

Empat tahun lagi, maka mereka sudah bisa berbahasa Belanda, ilmu hitung dan sebagainya. Mereka sudah cukup kepandaiannya untuk menuntut ujian Kleinambtenaars-examen.

Oleh karena itu, pada suatu hari Sariman dan Tjitro menempuh examen tersebut bersama-sama anak priyayi yang besar kepala tadi. Mereka berdua bisa lulus menempuh ujian itu dan mendapatkan zeer-goed, sehingga menjadikan senangnya hati orangtua Sariman dan Tjitro. Adapun anak priyayi yang besar kepala tadi - orang yang besar kepala selamanya bodoh - malah tidak bisa menempuh ujian. Dan sewaktu Sariman menjadi HoofdRedacteur Sinar Ra’jat dan terkenal cerdik dan pintar pun, si anak priyayi masih, menjadi hulp-schrijver di kantor salah seorang Asisten Wedono. Seandainya priyayi tadi bijaksana tentu anaknya akan dididik supaya menjadi pintar dan ia tentu tidak menjadi congkak; masih anak-anak sudah minta dihormati. Lain halnya dengan anak priyayi yang bijaksana; mereka malahan menghormati serta mencintai dan berbelas kasihan kepada semua orang desa atau orang kecil. Priyayi yang bijaksana tentunya membantu rakyat dan tidak menghina.

Sariman dan Tjitro sekarang bisa merasakan sendiri, bahwa anak orang desa bisa lebih pintar daripada anaknya priyayi yang congkak. Kalau anak orang desa itu mempunyai niat dan dijalankan dengan sungguh-sungguh, niscaya bisa mendapat waktu serta tempat belajar. Sebaliknya, lantas ia juga semakin mengerti kesusahan golongan mereka, orang kecil, serta tidak habis heran, mengapa H.I.S. dan sekolah yang baik-baik hanya disediakan untuk anak-anak priyayi saja. Hal itu jelas membedakan hak sesama manusia. Hal itu menimbulkan niat dalam hati Tjitro dan Sariman untuk terus berusaha membantu si kecil, yaitu "kaum kromo" atau rakyat supaya golongan ini bisa dipandang sebagai manusia juga.

Tetapi, mereka juga mengerti bahwa untuk membantu rakyat maka mereka harus mempunyai alat atau modal yang kuat, yaitu pandangan yang luas dan ilmu pengetahuan yang lebar. Sebab inilah sumber kekuatan dan kekuasaan manusia. Itulah sebabnya sesudah mereka lulus ujian Kleinambtenaars-examen, maka mereka lalu bekerja di salah satu kantor yang buka sampai jam 2 siang. Di situ mereka menjadi klerk dan masing-masing mendapat gaji f.25,- per bulan. Mereka bekerja itu tidak untuk mencari uang buat plesir-plesir, namun hanya untuk modal menambah ilmu pengetahuan lagi. Begitulah saban sore hingga tengah malam, dua anak muda tadi belajar terus ilmu alam, ilmu bumi, ilmu pemerintahan negeri, ilmu hukum, ilmu agama, ilmu pertanian, ilmu yang mempelajari hal ihwal hewan dan lain-lain. Sudah barang tentu dalam berbagai jenis ilmu itu, mereka tidak bisa mendapatkan kepandaian seperti halnya seorang profesor. Akan tetapi, dengan belajar sungguh-sungguh, mereka lalu bisa tahu dan mengerti pasal semua ilmu sehingga dari macam-macam ilmu itu mereka bisa menarik faedah yang besar, yakni berpandangan luas dan berilmu pengetahuan yang lebar. Adapun mereka mempelajari hal-hal itu dari berbagai jenis buku berbahasa Belanda. Pada zaman itu buku yang berbahasa Melayu hanya sedikit sekali. Mereka membeli buku-buku itu saban bulan dari Toko V.D. Dan sebagai penuntun belajar, mereka membayar seseorang guru Belanda yang saban minggu mau memberikan pelajaran selama 2 jam lamanya. Waktu yang sedikit itu, oleh kedua pemuda tadi hanya dipergunakan untuk meminta keterangan-keterangan dalam hal-hal yang belum bisa mereka mengerti dari buku-bukunya.

Berbareng-bareng niatbesi mencari luasnya pandangan dan kepandaian itu, maka adik perempuan Tjitro juga ikut belajar dengan setia. Sehingga ia bisa memperoleh Kleinambtenaars-examen juga di waktu berumur 18 tahun.

Sudah tentu, ketiga muda-mudi tadi juga tidak bodoh dan mau membiarkan tubuhnya rusak. Oleh karena itu, mereka juga melakukan gymnastiek; Olahraga tidak mereka lupakan. Saban minggu mereka jalan-jalan dan sebagainya. Itu semua untuk obat mereka kalau sedang capai belajar. Tetapi semua yang mereka kerjakan, bukannya hanya mencari kesenangan untuk kepentingan diri sendiri secara lahiriah (badan) atau batin (pikiran dan hatinya). Hubungan tiga muda-mudi itu akhirnya membuahkan cinta kasih antara Sariman dan adik perempuan Tjitro. Sehingga sewaktu Sariman menjadi hoofd-redncteur-nya Sinar Ra’jat, ia lalu kawin dengan gadis tersebut. Perempuan itulah yang diceritakan dalam awal Bagian VI ini.

Sewaktu Sariman dan Tjitro berumur 20 tahun - jadi sudah selama enam tahun mereka mencari berbagai jenis ilmu pengetahuan dan kepintaran - niat besi mereka sudah memberikan pengetahuan dan pandangan yang cukup luas, juga akal budi dan kepandaian yang luas pula. Sehingga seandainya mereka diadu dengan murid H.I.S. yang sudah tamat belajarnya, tentu mereka tidak akan kalah. Hanya bahasa Inggris, Perancis dan Jerman, mereka tidak bisa sebab mereka memang tidak menyukai dan tidak ada waktu untuk mempelajarinya. Untuk sementara waktu, dua pemuda tadi memandang bahwa bahasa Belanda juga sudah cukup untuk membuka gudang kepintaran dan pengetahuan Eropa karena untuk keperluan itu banyak sudah tersedia buku-buku dalam bahasa Belanda.

Juga adik Tjitro, selamanya selalu mengambil teladan dari dua pemuda tersebut. Oleh karena gadis yang mempunyai niat besi tadi juga turut berilmu dan pengetahuan yang luas. Meski begitu, ia tidak melupakan kepandaian perempuan, seperti masak-memasak di dapur, membatik, menjahit dan sebagainya.

Semenjak berumur 20 tahun, pemuda-pemuda itu lalu masuk dalam pergerakan P.K. Dan karena luasnya pandangan dan ingatannya, maka mereka tidak lama lantas dipilih sebagai lid-lid bestuur (anggota Dewan Pengurus). Tjitro terpilih menjadi sekretaris dan Sariman menjadi Penningmeester dari cabang P.K. di Kota G. Bersamaan dengan mereka ikut pergerakan, mereka terus belajar saja. Terutama mempelajari buku-buku sosialisme, seperti Manifesto Komunisme dan Het Kapital (Das Kapital) karya Karl Marx, buku-buku mengenai koperasi, vakbond dan lain-lainnya yang berfaedah untuk pergerakan rakyat. Mereka mengerti bahwa manusia itu meskipun rambutnya sudah putih, seharusnya tetap terus belajar untuk selalu menambah kekayaan ilmunya.

Begitulah mereka mencari ilmu-ilmu tersebut tidak hanya untuk kepentingan mereka sendiri, tetapi untuk kepentingan rakyat, yang mereka usahakan dalam P.K. Karenanya, sudah barang tentu, mereka tidak takut dalam membela rakyat. Badan mereka sendiri hampir-hampir tidak mereka hargai. Seorang manusia yang membela kepentingan beribu-ribu manusia seharusnya memang melupakan kepentingan mereka sendiri. Dan siapa yang melupakan kepentingan diri sendiri itu, tentu tidak takut apa-apa lagi. Begitupun juga adanya Tjitro dan Sariman; karena keberanian mereka menulis dalam surat-surat kabar dan berpidato dalam kesempatan berbagai vergadering maka tidak lama setelah bergerak, mereka lantas saja dipecat dari pekerjaannya di toko. Sementara bulan, Tjitro dijadikan propagandis P.K. dan mendapatkan gaji dari perkumpulan tersebut. Adapun Sariman menjadi hoofd-redakteur; ia mendapat gaji dari surat kabar Sinar Ra’jat. Begitulah, Sariman seorang anak tukang rumput, yang tidak dapat belajar di sekolahan, masih muda sudah bisa menjadi hoofd-redakteur dari organisasi politik yang penting untuk kepentingan rakyat. Karena mempunyai niat besi, ia bisa termasyhur di seantero Hindia dalam hal kecerdasan dan kepandaiannya membela rakyat. Ia baru berumur 25 tahun sewaktu ia dipilih oleh Kadiroen menjadi gurunya.

Pada suatu sore di waktu Sariman dan istrinya bersama-sama dengan Kadiroen sedang minun teh, maka Kadiroen bercerita bagaimana rasanya orang yang terjepit di antara dua pilihan, yaitu sewaktu Kadiroen menghadapi pengangkatannya sebagai priyayi dan pergerakan P.K. Sehabis bercerita, ia bertanya kepada Sariman, apakah ia pernah juga menghadapi hal yang serupa.

"Kalau terjepit di antara dua pilihan, itu saya belum pernah, tetapi saya pernah terjepit di antara dua kewajiban!" jawab Sariman.

Sudah tentu Kadiroen dan istri Sariman ingin tahu masalah itu. Sariman menurutinya dan menceritakan demikian:

"Sebagaimana kalian semua sudah ketahui, maka tidak lama sesudah saya masuk dalam pergerakan P.K., saya lalu terpilih menjadi penningmeester di cabang G. Sesungguhnya uangnya tidak sedikit, sebab yang tersimpan di bank jumlahnya tidak kurang dari f.2000,-. Sedang yang ada di dalam kas hanya kecil. Di tangan saban hari paling hanya f.100,- Akan tetapi, ketika baru saja saya menjadi penningmeester P.K. serta membantu tulis menulis di surat kabar Sinar Ra’jat, tiba-tiba saya lepas dari pekerjaan di toko. Dan dalam dua bulan saya terpaksa menunggu pembukaan pekerjaan hoofd-redacteur Sinar Ra'jat. Hoofd-redacteur-nya yang lama akan menjadi Presiden dari hoofd-bestuur, yang juga mendapat gaji dari P.K. Waktu itu perkumpulan kita sudah besar, sehingga mengurus dan mengaturnya amat susah dan repot serta memakan waktu, selain itu pekerjaannya juga amat banyak. Karena itu, perlu sekali pemimpin-pemimpin yang independen, seperti misalnya presiden mesti melulu bekerja memimpin P.K. Oleh Algemeene Vergadering, saya dipilih menjadi hoofd-redacteur organisasi, tetapi saya harus menjadi leerling lebih dahulu selama dua bulan, tanpa mendapatkan gaji apa-apa. Karena saya sendiri memang tidak kaya, jadi sudah barang tentu dalam dua bulan itu saya terpaksa menjual atau menggadaikan arloji, rante dan barang-barang lainnya yang dahulunya sedikit demi sedikit bisa saya kumpulkan. Begitulah, dalam dua bulan itu saya hidup miskin seperti seorang pertapa, kekurangan makan, barang dan pakaian habis, tinggal yang dipakai. Mendadak waktu itu ketambahan kesengsaraan pula sebab ibu saya sakit. Wah repot betul. Ibuku minta didatangkan dukun, dan begitulah, ia mendapat pertolongan dukun yang pintar dan baik serta besar pengaruhnya. Tetapi dukun itu menyuruh ibu memakan obat yang aneh sekali, yaitu, ibu saya harus makan buah anggur dan dalam lima jam harus habis satu pon. Kalau sudah memakan pinang dan sirih, tentu dalam tiga hari ibu akan sembuh. Sewaktu dukun itu berkata kepada ibu, ia melihat ibu dengan sorot mata lurus dan tajam dan sangat dekat. Si dukun memberi kepercayaan yang besar pada ibu bahwa obat tadi, pasti akan menyembuhkannya. Saya tahu si dukun akan menyembuhkan ibu dengan cara hipnotis atau "ilmu kepercayaan sejati" sedangkan obat yang aneh itu hanya dibuat syarat semata. Sebagaimana kau tahu, orang sakit juga bisa disembuhkan dengan pertolongan hipnotisme. Begitulah, lalu ibu meminta kepada saya supaya dibelikan buah anggur tersebut. Sudah tentu saya akan senang mengikuti permintaan ibuku, tetapi bagaimana? Sebab saya hanya punya uang f.0,10,- untuk beli makan esok paginya. Juga untuk makan ibu. Sedang saya mau berpuasa, sebab kebetulan hari itu Sabtu sore. Sedang saya hanya tinggal mempunyai kain satu biji, tidak bisa saya gadaikan, sebab rumah pegadaian sudah tutup. Adapun buah anggur waktu itu satu pon harganya harganya f.1,-. Begitulah saya mesti mencari pinjaman pada Tjitro dan orangtuanya. Akan tetapi, mereka juga tidak mempunyai uang, sedangkan saya tidak mempunyai kenalan lain yang dekat rumah ibuku dan bisa memberi pertolongan. Sekarang apa yang mesti saya perbuat? Saya ingat bahwa di tangan saya ada uang lebih dari f.100.- tetapi uang itu milik P.K. yang dipercayakan kepada saya untuk disimpan dengan baik. Jadi, saya tak punya hak untuk mengambilnya meskipun hanya setengah sen pun. Sebaliknya, sakit ibu bertambah keras, saya harus cepat-cepat membelikan obat sebelum tokonya tutup pada Sabtu sore itu. Pada saat itu, di satu sisi saya mesti memenuhi kewajiban membelikan obat kepada ibuku yang sakit keras, tetapi saya tidak punya uang; di sisi lain, ada uang tetapi saya mesti memenuhi kewajibanku; yakni menyimpan uang itu untuk perkumpulan dengan tidak boleh mengambil satu sen pun untuk keperluan diri sendiri. Di satu sisi saya wajib membantu untuk keselamatan jiwa ibu, di sisi lain saya wajib menjaga keselamatan jiwa organisasi. O, bagaimana perasaan hatiku pada saat itu, Saudara Kadiroen. Saya tidak bisa berbuat apa-apa. Saya terjepit dua kewajiban."

"Ganti berganti dalam sanubariku berkelahi, menang dan kalah. Maksud yang pertama dan pada saat itu menyuruh ‘tolonglah ibumu, hai anak yang mempunyai kewajiban setia dan mencintai pada ibu dan ambillah f.1,dari kas P.K. untuk membelikan obat itu.’ Sebaliknya, maksud yang lain berkata: ‘Hai penningmeester P.K. yang dipercaya oleh rakyat yang meminta kesetiaanmu. Janganlah kamu nodai kewajibanmu, menyimpan uang untuk menjaga keselamatan jiwa P.K., kamu tidak boleh ambil setengah sen pun untuk keperluan ibumu.’ Saya mau memilih melanggar kewajiban sebagai penniingmeester untuk keperluan kehidupan ibuku, tetapi saya ingat bahwa dalam hal ini saya akan membunuh kewajiban yang dipikulkan oleh saudara-saudara kaum pergerakan yang begitu besar kepercayaannya kepada saya. Saya mau tetap menjaga kewajiban saya sebagai penningmeester, tetapi seolah-olah saya juga membunuh kewajiban kepada ibuku sendiri. Semakin lama saya memikirkan hal itu, hati dan pikiran saya semakin bingung. Saya merasa tidak kuat untuk memihak dan memikul dua beban kewajiban yang menghimpit ini. Dan sebentar timbul ingatan untuk bunuh diri saja. Lebih baik saya mati sendiri daripada seolah-olah saya 'membunuh ibu' atau 'membunuh kewajibanku sebagai penningmeester'. Segeralah saya mengambil pisau belati untuk menusuk mati badan saya sendiri. Tetapi saya urungkan niat itu sebab saya rnendengar teriakan ibu.

'Duh, Sariman, anakku. Akh, saya merasa sangat sakit ... Aduh ... aduh, minta minum ...'

"Saya lari menemui ibuku, memberinya minum dan ingat bahwa dengan berbuat bunuh diri, saya tidak akan bisa membelikan obat pada ibu, yang juga bisa membikin matinya juga. Sedang dengan kematian saya pun, perkumpulan P.K. juga tidak akan terbantu. Ya, kasnya malahan akan semakin kusut sebab saya tidak bisa menyerahkan kepada penningmeester yang akan menggantikan saya dengan benar dan rapi. Tangisan ibu sudah mendinginkan pikiran saya yang sedang kalut. Saya menjadi sedikit bersabar dan lalu bisa memikirkan dengan tenang. Saat itu jam setengah enam. Sedang jam sembilan toko buah anggur akan tutup. Apa yang harus saya perbuat? Sahabat yang kira-kira akan bisa memberikan pinjaman, rumahnya jauh dan waktunya tak akan cukup jika saya minta tolong kepadanya. Sahabat-sahabat yang dekat, semuanya juga miskin, sedangkan orang-orang yang sedikit mampu di dekat tidak saya kenal. Tetapi sore itu, saya harus mendapatkan uang dengan jalan yang sah dan halal. Nah, saya dapat usaha, saya mau mengemis. Nah, Saudara Kadiroen, memang hari itu saya berpakaian robek-robek, bisa untuk mengemis. Sebab hanya dengan usaha itu jalan yang halal. Saya percaya, bahwa dalam keadaan terjepit seperti yang saya alami waktu itu, lebih baik kita mengemis daripada mencuri uang perkumpulan yang dipercayakan kepada saya. Lebih baik, manusia yang sudah kehabisan jalan itu mengemis. Meski mengemis itu akan membikin malu orang banyak yang melihat, namun hemat saya lebih baik begitu daripada mencuri uang perkumpulan yang dipercayakan kepadanya. Meskipun jika mencuri tidak akan diketahui oleh seorang pun, dan hanya mencuri dalam satu jam misalnya dan nantinya akan dikembalikan lagi. Begitulah, maka saya lalu berjalan mondar-mandir di muka rumah-rumah orang-orang di sini. Di sini diusir, di sana di beri 1 sen, 3,2 atau setengah sen. Di tempat lain diusir oleh anjing-anjing pemilik rumah. Jam delapan. Kurang satu jam saya menghitung pendapatan saya. Oh, baru dapat f.0,15,-. Hati saya mulai bingung lagi. Tetapi lalu saya ingat kepada Tuhan Allah dan di situ lantas saya duduk di tanah di tepi jalan, serta beberapa menit berdoa dengan sungguh-sungguh meminta pertolongan Tuhan Allah Yang Mahakuasa. Sebuah auto berjalan melewati saya, memaksa saya untuk berdiri lagi. Dan dalam auto itu saya melihat orang-orang yang kaya berpakaian mewah sedang tertawa-tawa, dengan tidak ingat atau mau melihat pada si miskin. Di muka saya ada rumah seorang haji yang sedikit kaya, saya tidak kenal kepadanya. Tetapi kesulitan memberikan keberanian kepadaku, dan saya memberanikan diri untuk mengemis kepadanya uang sebesar f.0,85, serta saya menerangkan apa sebabnya berani mengemis begitu banyak. Kesusahan memaksa saya mengeluh! Tuan Haji tersebut waktu mendengar cerita saya mulai menjadi heran. Lama ia tidak menjawab dan hanya melihat dengan tajam ke mukaku. Maka sekonyong-konyong, ia berkata:

‘Astaga! Saudara Sariman, penningrrreester P.K. Saudara? Saya juga anggota P.K. meskipun Saudara tidak mengenali saya, karena banyaknya anggota yang beribu-ribu, tetapi saya kenal kepadamu. Rupanya sudah jelas, O, Saudara. Tetapi apa sebabnya kau mengemis begini? Ceritakanlah dengan hati ikhlas dan pandanglah saya ini sebagai saudaramu sendiri.’

"Pada saat itu maka hati saya menjadi bahagia dan senangnya sebesar Gunung Himalaya. Doa saya kepada Tuhan Allah sepertinya di dengar oleh Gusti Yang Mahakuasa itu, sedangkan saudara Haji tersebut oleh Gusti Kita, dijadikan alat untuk menolong saya. Sesungguhnya, seorang yang dipilih oleh Tuhan Allah menjadi wakilnya untuk menolong si susah, tentu akan mendapat rahmat Tuhan Allah pada waktunya sendiri."

"Sudah tentu saya lalu terpaksa bercerita kepada saudara tersebut dengan pendek tentang semua masalah saya. Dan sebentar saja menaikkan saya ke kereta untuk membelikan anggur, guna obat ibuku. LaIu saya mendoakan keselamatan kepada saudara Haji tersebut sebagai tanda terima kasih."

"Jam sembilan persis, ibu saya sudah dapat obat anggur itu. Sedang seterusnya saya melayani dan menjaga ibu sambil memohon kepada Tuhan Allah supaya ibuku lekas sembuh. Jam dua malam maka buah anggur tadi sudah habis dimakan, sebagaimana nasihat dukun. Dan ibuku lalu bisa menginang. Dua hari kemudian ibuku bisa sembuh dan lalu bisa jualan nasi sayur lagi. Hati dan perasaan saya menjadi senang dan tenteram. Ya, saya merasa seperti baru sekali ini merasakan nikmatnya surga batin. Terjepit di antara dua kewajiban, digoda setan pencuri pun saya bisa tetap tebal iman dan mau serta terus bisa berjalan dalam kebaikan. Dengan pertolongan Tuhan Allah, saya mendapat kekuatan untuk menjalankan kewajiban-kewajiban saya. O, Saudara, siapa yang tidak akan merasakan nikmatnya kesenangan batin atau nikmat jiwa kalau mendapatkan kemenangan melawan nafsu jahat dan bisa berbuat baik juga ketika ada bahaya yang besar sekalipun. Tuhan Allah pun tidak lupa memberi ganjaran atau anugerah kepada yang baik, dan tentunya menghukum pada jiwa manusia-manusia yang jahat. Saya sudah merasakan dan mengalaminya sendiri hal-hal itu. Dan karena itu, sekarang saya terus-menerus berusaha keras melawan nafsu saya yang busuk dan selalu berusaha untuk berbuat baik. Hal yang mana telah memberikan kesenangan jiwa pada hari-hari saya. Kesenangan sejati tempatnya ada di dalam kebaikan hati, sedang semua godaan atau rintangan bagi niat hati yang baik, sebagaimana yang tadi sudah saya ceritakan itu seolah-olah hanya buat menambah besarnya kesenangan sejati itu. Sesudah godaan atau rintangan dilawan sampai tidak bisa menarik manusia dalam kejahatan maka tiba waktunya Tuhan Allah memberikan anugerah kepada manusia yang dicoba, tetapi tetap kuat dan terus melawan nafsu yang jahat. Anugerah itu, yang berupa kesenangan batin atau kenikmatan jiwa, yang mendatangkan kesenangan, mendatangkan nikmat surga untuk jiwa manusia sesudah ditimpa kesusahan dan kekesukaran."

Begitulah, Sariman menerangkan keterjepitan di antara dua kewajiban tadi. Sedang Kadiroen mendengarkan betul. Lalu untuk sementara waktu mereka semua diam, seolah-olah semua meneruskan sendiri cerita itu dalam pikiran masing-masing. Pada saat tidak ada yang berbicara tadi, kesunyian itu diputus dengan pembicaraan Kadiroen:

"Saudara Sariman, tadi kamu cerita perihal ibumu, sekarang ada di mana?"

"Meninggal dunia sesudah saya kawin!" jawab Sariman dengan perasaan sedih. Kadiroen jadi menyesal telah menanyakan hal itu. Oleh karena itu, Kadiroen lalu mengalihkan pada pembicaraan lain. Tidak antara lama Kadiroen berkata:

"Saudara Sariman, kamu tidak saja luas pandangannya, pintar dan bijaksana, cerdas serta mempunyai niat sekuat baja dalam semua hal yang baik. Tetapi juga nyata dapat dipercaya rakyat. Karena itu, nama baikmu termasyhur harum di seantero negeri, dan kamu dihormati oleh banyak orang."

Sariman menjadi tertawa. Sedang istrinya berkata sambil tertawa juga:

"O, Kanda, Saudara Kadiroen mau mengambil hati dengan memuji kanda sebab mau meminta sesuatu?"

Mendengar hal itu, Kadiroen juga tertawa. Lalu ketiganya tertawa dengan sangat ramai. Tetapi sesaat kemudian Sariman diam dan memandang tajam kepada Kadiroen seraya bertanya:

"Apa Saudara Kadiroen mau mencari nama harum, kemasyhuran dan kehormatan?"

"O, tidak!" jawab Kadiroen.

Sariman lantas berkata pula:

"Sebaiknya begitu Saudara. Sebab saya juga tidak mencari tiga perkara itu dan memang tidak bisa didapat atau dicari. Orang yang mencari nama harum akan menjadi sombong, besar kepala, congkak dan sebagainya. Yang mencari kemasyhuran akan menjadi penakut dalam pergerakan. Tidak mempunyai pendirian yang tetap. Hanya mondar-mandir ikut yang kuat supaya jangan dikatakan busuk oleh pihak yang jahat atau pihak yang baik. Orang yang mencari kehormatan akan menjadi penjilat berhadapan dengan orang berpangkat di atasnya dan menindas, minta dianggap seperti raja oleh orang yang ada di bawahnya. Mencari tiga perkara itu akan menuntut nafsu untuk kepentingan diri sendiri. Dan siapa yang mau menjadi budak nafsu untuk kepentingan diri sendiri, tentu tidak akan mendapatkan apa yang ia cari. Tetapi hanya akan menjadi orang yang selalu ingat pada dirinya sendiri. Itulah yang akhirnya memberi orang sifat sombong, penakut dan penjilat. Dan menjadikan hinanya sendiri di mata orang-orang yang baik. Meskipun kadang-kadang ditakuti (tidak dicintai) oleh si bodoh yang ada di bawahnya. Dan disenangi, tetapi tak dihormati oleh si busuk yang ada di atasnya. Orang yang mencari kemasyhuran, kehormatan dan nama yang harum, akan tidak bisa mendapatkan yang sejati. Meskipun mereka kadang-kadang bisa mendapatkan hal-hal itu yang palsu. Artinya ia menurut kehendaknya sendiri dan menuruti kehendak semua orang yang sudah rusak moralnya. Meski katanya sudah dihormati, sudah termasyhur dan harum namanya, tetapi perkara palsu serupa itu, tidak akan bisa langgeng, hanya bisa bertahan beberapa waktu dalam hidupnya. Sedang jika ia sudah meninggal dunia namanya akan rusak dan busuk, mendapat hinaan umum dan sebagainya. Sebab mereka tidak mempunyai kekuatan lagi untuk menghukum dan menakuti serta membujuk pada orang-orang yang dikenalnya atau yang berhubungan dengan mereka. Semua hal yang palsu tidak bisa langgeng."

"Nama harus sejati, kemasyhuran sejati dan kehormatan sejati akan langgeng dan hidup terus-menerus meski orangnya sudah mati. Artinya, manusia yang serupa itu akan dihargai oleh orang lain dan selalu diingatnya. Kuburannya sekalipun masih dikunjungi oleh beribu-ribu orang. Namanya pun hidup dalam hikayat yang bercahaya. Pendeknya, mereka boleh dibilang hidup mulia sesudah matinya dan menurut kebanyakan orang yang mempunyai ilmu gaib, orang yang hidup mulia sesudah mati itu artinya mendapat surga akhirat. Nama harum sejati, kemasyhuran sejati dan kehormatan sejati ialah cahaya jiwa. Manusia hanya bisa bercahaya kalau mendapat bintang dari Tuhan Allah, yaitu bintang yang dianugerahkan oleh Tuhan Allah kepada manusia. Dan bintang itu oleh kebanyakan orang Islam dinamakan nur. Oleh agama Jawa kuno, dinamakan wahyu. Kita manusia bisa mendapatkan anugerah bintang jiwa itu, tetapi jiwa kita mesti membuktikan lebih dahulu bahwa memang sudah adil kita mendapatkan bintang atau nur itu. Bagaimana bisa membuktikan, tidak lain hanya melalui jalan berbuat baik buat beribu-ribu manusia yang ada dalam kesusahan, kesukaran, kebodohan, penindasan atau kemiskinan. Sudah tentu manusia yang mau berbuat baik buat semua manusia lain itu, mesti memperbaiki batinnya lebih dahulu. Hanya jika memperbaiki batin tersebut dilakukan sebagai tujuan penghabisan, tentu ia lalu bisa hidup selamat, senang dan tenteram. Tetapi belum cukup buat mendapatkan nur."

"Yang dinamakan batin yang baik yaitu tidak suka berbuat jahat, tidak suka merusak manusia lain serta adat istiadat berlaku sebagaimana mestinya. Orang yang begitu itu namanya ‘baik biasa’ dan mereka tidak menyusahkan manusia lain. Tetapi juga tidak menyenangkan beribu-ribu manusia. Itulah sebabnya mereka belum bisa mendapatkan nur. Sesudah batinnya sendiri menjadi baik maka manusia mesti lalu memperbaiki batin orang-orang lain yang masih belum sempurna, yaitu perbuatan yang dikatakan 'menyenangkan atau menolong sesama manusia.' Caranya menolong atau menyenangkan ada berbagai cara, ada yang melalui jalan jiwa atau jalan utama atau juga jalan gaib, yaitu memberi tahu kepada beratus-ratus orang bahwa semua orang mesti mengetahui rahasia agama atau mesti mengikuti kehendak Tuhan Allah dengan maksud supaya hidup kita tidak berdosa, kalau mereka ingin mendapatkan kesenangan batin. Orang yang ahli memberi tahu jalan semacam itu dinamakan wali atau guru agama, kyai dan pendeta. Kalau mereka sudah menyatakan dan membuktikan perbuatannya dengan memberikan pelajaran yang utama itu sungguh-sungguh, semata bertujuan untuk memuliakan orang banyak sehingga beribu-ribu orang bisa merasakan nikmatnya pengajarannya, mereka akan mendapatkan nur dan jiwa mereka menjadi bercahaya. Artinya, mereka menjadi masyhur, mendapat nama harum dan dipuji serta dihormati oleh banyak orang. Ya, kuburannya pun setelah beratus-ratus tahun ia mati masih selalu dikunjungi orang yang meminta pertolongan, satu bukti bahwa ia hidup terus sesudah mati. Jalan yang lain lagi ialah:

"Memberi pertolongan kepada beribu-ribu manusia yang hidup dalam penindasan. Entah penindasan harta benda atau kekayaan negerinya. Manusia yang beribu-ribu itu atau manusia yang tertindas nama dan kehormatannva sebagai manusia adalah yang ditindas oleh orang lain yang hanya sedikit jumlahnya. Manusia yang membuktikan dengan membantu rakyat yang serupa itu juga bisa mendapatkan nur. Seperti di negeri Belanda, Prins Willem van Oranye Nassau; di tanah Jawa, Diponegoro dan masih banyak lagi contoh-contohnya. Ini penolong manusia namanya. Mereka juga hidup sesudah mati meskipun kuburannya tidak dikunjungi manusia. Pendek kata, jalannya membuktikan kebaikan yaitu: 'menolong, membantu, menyenangkan, dan memuliakan beribu-ribu manusia atau rakyat.' Adapun kekuatan manusia untuk berbuat baik seperti itu juga berlain-lainan. Sehingga besarnya nur atau cahaya nur yang dianugerahkan oleh Tuhan Allah pada manusia yang baik itu juga akan berlain-lainan. Bertambah besar kehendak dan kepandaian manusia yang berbuat baik sebagaimana tadi sudah saya terangkan, bertambah besar dan terang pula cahaya nur yang ia punyai. Dan secara lahiriah ia mempunyai nama bertambah harum. Ia masyhur dan semakin bertambah dihormati orang banyak. Bagaimanapun nur itu adalah anugerah Tuhan Allah dan tidak bisa dicari-cari, tetapi didapat sendiri setelah membuktikan bahwa si beruntung itu memang sudah adil mendapatkan anugerah itu. Begitupun terjadi pada siapa saja yang dengan hati tulus dan terus-menerus membela dengan jalan apa saja kepada rakyat Hindia yang sedang ada dalam kemelaratan, kemiskinan, kebingungan dan kebodohan dan kehinaan dalam zaman kita sekarang ini. O, Saudaraku Kadiroen, akhirnya pada waktunya sendiri, si pembela rakyat itu akan mendapaikan anugerah nur, meskipun ia tidak mencari atau menginginkan itu."

Begitulah, maka Sariman berbicara sebagai seorang guru sejati yang memberikan jalan utama kepada Kadiroen. Kata-kata Sariman, meski hanya disambi dengan minum teh, sangat bermanfaat bagi Kadiroen. Oleh karena itu, Sariman berpengaruh besar atas Kadiroen dan menjadi gurunya.

Pada suatu hari Sariman dan istrinya tertawa ramai sekali. Karena tidak ada orang lain, mereka berciuman sebagaimana layaknya lelaki-perempuan yang saling mencintai betul-betul satu dengan yang lainnya. Tiba-tiba Kadiroen datang, tetapi melihat Sariman dan istrinya sedang tertawa, maka Kadiroen segera menarik diri dan duduk di bagian lain dari rumah itu yang tidak dilihat oleh Sariman. Begitupun Kadiroen juga tidak bisa melihat Sariman.

Sariman terkejut melihat sahabatnya datang pada waktu yang tak terduga-duga. Tetapi ia menjadi heran, mengapa Kadiroen sangat tergesa-gesa menarik diri. Sedang biasanya Kadiroen merasa senang kalau ia berkumpul bertiga. Sariman ingin tahu sebabnya. Karena itu, ia segera menghentikan ketawanya dengan istrinya dan datang menemui Kadiroen. Adapun waktu itu Kadiroen hanya duduk diam. Matanya terbuka tetapi seperti tidak melihat apa-apa. Kupingnya terbuka tetapi seakan tuli. Kadiroen tidak tahu kalau Sariman datang menemuinya. Karena Kadiroen sedang memikirkan hal yang membunuh keinginan lahiriahnya dan hanya memusatkan kepada jiwanya dalam harapan dan cita-citanya yang amat besar. Dengan suara pelan Sariman memanggil: "Kadiroen!" Tetapi Sariman tidak mendapat jawaban. Sariman menjadi heran, tetapi begitu cepat ia bisa mengira-ngira apa sebab Kadiroen berbuat aneh begitu. Sariman ingin mencocokkan dugaannya dengan kejadian yang sebenarnya. Oleh karena itu, Sariman mendekati Kadiroen dengan pelan-pelan. Dan sambil berdiri di belakangnya, ia berbisik-bisik, "Ia yang paling ayu sendiri."

"O.... iya...," jawab Kadiroen dengan pelan seperti tergagap. Tetapi Kadiroen sepertinya terkejut oleh perkataannya sendiri. Maka pikiran dan jiwanya kembali sebagaimana adanya. Dan sedikit malu dan bingung la melihat Sariman dan bertanya:

"E, Saudara Sariman, saya tidak tahu apa-apa?"

Sariman melihat Kadiroen dengan sorot mata yang lurus dan tajam ke mata Kadiroen. Dan dengan perkataan yang tulus hati dan sedalam-dalamnya, maka ia berkata: "Saudara, kau mempunyai rahasia yang kau simpan sendiri yang tidak pernah kau ceritakan kepada siapa pun. Bahkan kepada saya yang sudah menjadi sahabat secara lahir dan batin, kau tidak percayakan rahasiamu." Kadiroen menjadi setengah ketawa dan sepertinya ia mau menyembunyikan perasaan batinnya. Dan ia pun lalu menjawab:


"Ah, rahasia apa?"

"Kamu mencintai seorang perempuan?" tanya Sariman.

Kadiroen tidak menjawab dan Sariman cepat menyambung perkataannya.

"Cinta, sewaktu kamu menjadi Asisten Wedono, tetapi perempuan itu telah mempunyai suami?"

Kadiroen menjadi amat terkejut dan berkata:

"Saudara Sariman, siapa yang memberitahukan kamu mengenai rahasiaku itu? Memang itulah rahasiaku dan saya mau menyimpan itu sampai mati. Tetapi sepertinya kau mempunyai hati dan pikiran yang tajam luar biasa. Maka kamu sekarang bisa mengetahui rahasia jiwaku. Begitulah maka kamu sekarang sudah membuka guci wasiatku."

"Begitukah perkiraanmu Saudara Kadiroen? Ingatlah, seorang sahabat sejati bisa awas dan bisa tahu kekuatan dan kelemahan sahabatnya. Saya sudah lama memikirkan, apa sebabnya kamu sering berduka cita. Kamu kelihatan sering berpikir sedemikian rupa, sehingga kata orang kamu kelihatan tidur, meskipun kamu bangun. Selain itu, kamu sering sakit kepala dan gampang sakit badan juga. Lagian, kamu sering lupaan. Pasal sering sakit kepala dan gampang sakit badan itu memang sering diderita oleh seorang lelaki yang sudah waktunya berhubungan dengan perempuan, tetapi tidak mau berhubungan. Mengenai masalahmu tidak suka kawin, saya tahu, kamu seorang manusia yang baik-baik. Dan sudah tentu karena kebaikanmu itu, kamu tidak mau berhubungan dengan perempuan-perempuan hina sebagaimana kebanyakan pemuda yang berbuat dosa itu. Tetapi kamu tidak mau kawin juga meskipun sudah berpangkat wedono dan umurmu sudah lebih dari cukup. Itulah yang sering menjadi pikiranku. Saudara Kadiroen, barusan tadi kamu menunjukkan rahasiamu, tidak secara kamu sengaja. Di mana jiwa manusiamu penuh dengan rahasia-rahasia, di situ tingkah lakumu menjadi cermin jiwamu itu. Saya sedang tertawa-tawa dengan adikmu, kamu datang dan berlari lagi, serta seperti tiduran lagi, meskipun kamu bangun. Perbuatanmu yang aneh itu sudah saya hubungkan dengan halnya saya tertawa-tawa dengan istriku. Dan saya sambung lagi dengan dengan halnya kamu tidak mau kawin. Dan segeralah saya dapat menduga bahwa kamu sudah menaruh cinta. Adapun barusan kamu mengingat-ingat lagi orang yang kau cintai itu sebab kamu telah melihat saya sedang bersenang-senang tertawa dengan istriku. Saya punya dugaan itu dan sudah saya cocokkan ketika sambil berdiri di belakangmu saya berbisik; "la yang paling ayu sendiri." Kamu menjawab "ya" seperti sedang bermimpi. Itu sudah menjadi bukti bahwa kamu sedang tergoda gadis yang kamu cintai. Lalu saya sudah bertanya dalam hatiku sendiri, sejak kapan Kadiroen mulai tergoda cinta itu? Dan saya bisa berpikir, di Hindia, kebanyakan pemuda yang sudah berumur 20 tahun sampai paling lambat 25 tahun, biasanya tergila-gila, jatuh cinta pada seorang perempuan. Pada saat umur itu, kamu berpangkat asisten wedono dan sudah naik pangkat lagi. Jadi, saya lalu mengira-ngira, kamu mulai menaruh cinta sewaktu kamu berpangkat asisten wedono. Dan mengingat pula pangkatmu, wajahmu serta keadaanmu, maka umpamanya kamu waktu itu mencintai seorang gadis, tentulah kamu bisa kawin. Tetapi kenyataannya kamu tidak kawin, jadi timbullah dugaanku, bahwa orang yang kamu cintai itu sudah mempunvai lelaki. Untuk mencocokkan dugaanku itu maka saya berbicara seolah-olah sudah tahu betul, supaya kalau kejadian sesungguhnya memang begitu, kamu menjadi terkejut dan mengakui. Dalam bahasa Jawa dibilang gedak. Begitulah, kamu saya gedak lalu sungguh mengaku. Lihatlah Saudara Kadiroen, sesungguhnya saya tidak mempunyai hati dan ingatan yang tajam luar biasa. Tetapi saya hanya menarik dugaan dari beberapa hal yang saya kumpulkan. Dan dugaan itu bisa sah kalau sudah ada bukti-buktinya. Untuk orang yang suka dan sering memikir-mikir, maka mencari bukti atau mencocokkan dugaan itu dengan keadaan yang sesungguhnya itu amat gampang!"

"Tetapi sekarang lain perkara, Saudara Kadiroen. Sungguh saya tidak ingin ikut campur dalam urusan jiwamu itu andai kata saya tidak mencintai dan bersahabat karib denganmu. Ketahuilah, seorang lelaki yang sudah sampai umurnya untuk berhubungan dengan seorang perempuan itu, tetapi tidak mau melakukannya maka sama halnya menyalahi kodrat. Lalu ia sering sakit-sakitan, pelupa dan cepat menjadi tua dan tidak akan mempunyai kekuatan yang cukup untuk menggapai tujuan hidup. Oleh karena itu, pada waktunya maka seorang lelaki harus kawin. Begitupun jika kamu mau turut membela rakyat terus-menerus, maka kamu mesti kawin. Saya tidak sepakat jika kamu mau berhubungan dengan perempuan-perempuan hina yang celaka itu. Tetapi saya memberi nasihat kepadamu, kawinlah," jawab Sariman.

Mendengar hal itu, Kadiroen menjadi sedih hati dan dengan pendek serta menangis dalam hatinya ia menjawab:

"Tidak bisa Saudara, saya hanya mencintai sekali saja. Bahwa percintaan saya itu tidak bisa lulus karena ada lelaki lain yang mendahului hak, maka itulah celaka saya. Barangkali sudah kehendak Tuhan Allah bahwa jiwaku ini harus menanggung sengsara yang serupa ini." "Tidak begitu, Saudara Kadiroen!" kata Sariman. "Percayalah kepada Gusti Allah Yang Maha belas kasihan kepada manusia yang baik. Dan ia tentunya akan menolong kepada manusia yang sedang mendapat kesusahan itu, asal saja manusia itu mau berusaha. Juga dalam masalahmu ini masih bisa diusahakan. Menurut pendapat saya, percintaan itu ada dua warna dan jalannya juga ada dua rupa. Ada yang terbawa oleh cita-cita perjaka, ketika ia melihat seorang perempuan, yaitu cinta sejati yang asalnya melihat bayangannya sendiri dalam diri perempuan itu. Dan ada juga percintaan yang karena belas kasihan jembatan ke negeri cinta. Jadi, kalau kamu begitu celaka dan tidak bisa menggapai cinta pertamamu, kawinlah dengan seorang perempuan yang bisa menarik belas kasihanmu dan akhirnya kau juga bisa mencintai orang itu juga. Tetapi Saudara Kadiroen, saya ingin membantumu dengan usaha sebisa-bisa saya. Karena itu, ceritakanlah masalah percintaanmu dahulu itu."

Kadiroen mendengarkan Sariman yang lebih luas pandangannya dalam semua hal. Lalu ia mau menceritakan apa yang sudah diminta Sariman. Begitulah, maka Sariman bisa mengerti sejarahnya Ardinah sebagaimana tersebut dalam bagian dua di buku ini. Lalu Sariman meminta izin kepada Kadiroen untuk memusyawarahkan masalah yang sukar itu dengan istrinya supaya Sariman sekalian bisa berusaha memberi pertolongan yang sebisanya. Kadiroen sepakat.