Showing posts with label Sutikno W.S.. Show all posts
Showing posts with label Sutikno W.S.. Show all posts

Tuesday 15 February 2011

Diluncurkan, Enam Buku Pengarang Lekra

Diluncurkan, Enam Buku Pengarang Lekra


BANDUNG –Dalam diskusi “Lekra dan Politik Sastra” di Gedung Indonesia Menggugat, Bandung, Sabtu, 20 Maret 2010, Jakob Sumardjo mengatakan, “Berbeda dengan tahun 1950-1960-an, ketika Lekra selalu dikaitkan dengan partai politik, Lekra yang sekarang adalah Neo Lekra.”

Hal itu dikatakan Jakob Sumardjo menanggapi pernyataan penyair Lekra Sutikno W.S. yang hadir dalam diskusi tersebut. Pujangga Boemipoetra Saut Situmorang yang juga menjadi pembicara menambahkan, “Sudah waktunya membentuk Lekra Baru, karena sudah terlalu lama Lekra ditenggelamkan.”

Dalam diskusi yang dipadati seniman-seniman muda Bandung itu, Sutikno W.S. mengatakan perlunya sastrawan menghasilkan karya yang tinggi mutu ideologinya dan tinggi mutu artistiknya. “Yang dimaksud tinggi mutu ideologi adalah bagaimana sastra kita bersikap memuliakan kehidupan, menghormati kemanusiaan, mensyukuri kehidupan. Kuncinya: memuliakan kemanusiaan,” kata Sutikno.

Dia menambakan, orang-orang Lekra menulis karya sastra dengan menggambarkan kehidupan dan tercermin dalam karya sastra kita. “Kalau kita melihat kehidupan kita sehari-hari, manusia masih direndahkan. Karena itu kita menulis untuk memuliakan manusia dan mengangkat derajat manusia. Dalam karya, kita tampilkan segi-segi yang baik yang diperjuangkan. Yang dipahlawankan bukan para jenderal, melainkan para prajurit yang berada di medan pertempuran, karena merekalah yang berjuang. Demikian pula dalam kehidupan sehari-hari, para petani dan buruhlah yang perlu diperhatikan, karena merekalah yang bekerja dan berkeringat untuk kehidupan orang banyak,” ujarnya.

Sutikno juga menjelaskan bahwa buku Nyanyian dalam Kelam itu ia tulis di dalam penjara sebagai bentuk penolakan terhadap segala bentuk penistaan terhadap manusia. Jakob Sumardjo menaymbut baik pernyataan Sutikno itu. “Kalau tujuannya seperti itu, maka itu semacam Neo Lekra. Tinggal buktikan saja, berkarya dengan dasar-dasar seperti itu dan berlomba dengan yang lain.”

Putu Oka Sukanta yang juga hadir dalam diskusi tersebut mengingatkan bahwa sastra Lekra dihilangkan atau dieliminasi oleh penguasa secara terstruktur dan sistematis, sehingga menimbulkan refraksi dalam sejarah dan kebudayaan Indonesia. “Kalau mau lihat Lekra jangan sepotong-sepotong. Jangan bicara Lekra tanpa orang Lekra. Di zaman Soeharto telah terjadi pemblejetan terhadap orang Lekra, namun orang Lekra tidak boleh masuk,” kata sastrawan Lekra ini.

Putu Oka menjelaskan, saat ini sudah ada lima buku yang berbicara mengenai Lekra. “Pertama, buku Asep Sambodja yang berbicara mengenai Historiografi Sastra Indonesia 1960-an. Kedua, buku Keith Foulcher mengenai Social Commitment in Literature and the Arts. Ketiga, tulisan Goenawan Mohamad dalam buku Sastra dan Kekuasaan. Keempat, buku Yahya Ismail yang berasal dari skripsi di UI. Kelima, Prahara Budaya Taufiq Ismail.”

Perlu saya tambahkan di sini bahwa ada satu buku penting mengenai Lekra yang justru dilarang rezim SBY-Boediono, yakni buku Lekra Tak Membakar Buku karya Muhidin M. Dahlan dan Rhoma Dwi Aria Yuliantri. Fakta-fakta dari perspektif orang-orang Lekra yang berkaitan dengan peristiwa 1960-an justru dilarang oleh penguasa.

Dalam diskusi di tempat Soekarno muda (24 tahun) dan kawan-kawan Partai Nasional Indonesia (PNI) pernah diadili ini memang sangat menarik. Jakob Sumardjo berangkat dari semboyan yang menjadi pendirian sastrawan Lekra: “tinggi mutu ideologi dan tinggi mutu artistik”. Menurut Jakob, sastrawan-sastrawan dunia juga menerapkan idealisme sastra seperti itu. “Semua karya sastra harusnya seperti itu,” tegas Jakob Sumardjo.

Ia mencontohkan sastrawan Jepang yang ideologinya terpengaruh oleh Budha bisa digemari oleh berbagai kalangan dari berbagai ideologi. Yang menjadi persoalan adalah bagaimana kita menciptakan karya sastra, apa pun ideologinya, yang bisa diterima oleh orang lain yang memiliki ideologi yang bermacam-macam. “Jadi tidak hanya dipuji di kalangannya sendiri saja, tapi dipuji juga di luar kalangan itu.”

Jakob mengangkat kearifan lokal dalam budaya Indonesia. Di Sunda dikenal adagium tekad-ucap-lampah, sementara di Jawa dikenal dengan niat-ilmu-laku. Ketiga hal itu merupakan satu kesatuan. Pikiran (ilmu/ucap) itu menghasilkan perbuatannya (tindakan/karya/lampah/laku/empirik).

“Jadi, tidak perlu dibuat oleh siapa, tapi perbuatannya bisa diterima oleh semua orang,” jelasnya.

Jakob menambahkan bahwa puncak ideologi adalah jika karya itu bisa diterima oleh orang-orang yang berada di luar kelompoknya. Karena, lanjutnya, keinginan manusia itu sama, yakni hidup yang lebih baik, menginginkan keadilan, tidak ingin ditindas, tidak ingin diperlakukan tidak adil. “Keinginan manusia sama semuanya: ingin masuk surga dan tidak ingin masuk neraka. Hanya, caranya untuk menempuh tujuan itu yang berbeda-beda.”

Jakob mencontohkan, puisi “Gadis di Hutan” karya S. Anantaguna dalam buku Puisi-puisi dari Penjara justru memperlihatkan seorang gadis yang meratapi kebebasan. “Bebas di sini bias berarti bebas-dari dan bebas-untuk. Puisi ini bisa ditafsirkan jika kita sudah bisa diterima di dalam sebuah kelompok, berarti kita sudah bebas. Makanya kalau Boemipoetra mengejek kan enak saja. Telanjang bersama sudah tidak malu lagi, sudah merasa bebas, kebebasan sebagai orang dalam.”

Jakob juga mengutip sebuah puisi Hr. Bandaharo yang memperlihatkan konsep niat-ilmu-laku tadi. Puisi tersebut berjudul “Aku Hadir di Hari Ini” yang ditulis di Pulau Buru pada 1975. Khususnya bagian 4.

manusia menurut fitrahnya mencintai keadilan
tapi senantiasa terdorong berbuat kezaliman
sejak adam, sejak kaen, sejak dulu-dulu
kezaliman pun dilawan dengan kezaliman
dan manusia berkata:
kamilah pembela keadilan!

wahai, manusia
mengapatah kamu katakan
sesuatu yang kamu tidak lakukan?

Menurut Jakob Sumardjo, yang penting adalah realitas karya. “Apapun di balik itu, entah dia dari mana, musuh kita, pikiran, dan ideologinya, buat karya yang bisa diterima banyak orang. Inilah yang dikatakan tinggi mutu ideologi dan artistik. Tindakan lebih penting dari pikirannya. Ilmu itu terjadinya lewat laku/perbuatan”.

Sementara Saut Situmorang lebih menyoroti persoalan politik sastra dari zaman Balai Pustaka hingga kini. Menurutnya, Balai Pustaka, Manikebu, dan Horison melakukan politik kanonisasi sastra; mana yang diselamatkan dan mana yang dibuang atau disingkirkan.

Balai Pustaka melakukan kanonisasi sastra dengan dua faktor, yakni faktor bahasa dan isi. Dari segi bahasa, karya sastra yang menggunakan bahasa melayu pasar, bahasa yang dipergunakan rakyat sehari-hari, bukan dianggap sebagai high culture, dianggap sebagai bacaan liar. Sementara dari segi isi, karya-karya fiksi yang mengangkat pernyaian dianggap melukai tuan besar Belanda, karena isinya memperlihatkan kelakuan tuan besar Belanda yang ngeseks karena kekuasaan. Jadi, kata Saut, karya-karya seperti itu dianggap sangat menghina kelaki-lakian laki-laki kulit putih.

Manikebu juga begitu. Paus sastra H.B. Jassin dalam esainya mengenai “Angkatan 66” menggunakan bahasa jurnalistik politik yang berkaitan dengan politik praktis, bukan dengan bahasa sastra. Semboyan “Politik sebagai panglima” yang dituduhkan ke Lekra justru dilakukan secara sistematis oleh orang-orang Manikebu dengan menghilangkan Lekra dari sejarah sastra Indonesia. Akibatnya tidak ada informasi tandingan mengenai Lekra.

“Ada informasi yang sengaja dihilangkan; Mukadimah Lekra tidak dibaca secara mendalam. Yang diagung-agungkan justru Kredo Sutardji Calzoum Bachri yang formalistik itu,” kata penyair Yogya asal Medan ini.

Apa yang dilakukan Teater Utan Kayu (TUK) dengan Tukulismenya makin canggih politik sastranya. “Kalau TUK bilang di luar teks tidak ada apa-apa, maka saya katakan, di luar politik sastra, tidak ada apa-apa,” tegas Saut Situmorang, penulis buku Politik Sastra ini.

Politik sastra yang dilakukan Goenawan Mohamad dan TUK-Salihara itu dijelaskan Saut seperti ini: kepada dunia luar, selalu dikatakan bahwa TUK adalah representasi sastra Indonesia. Sementara ke dalam dikatakan: kalau mau go international harus melalui TUK.

Lebih jauh Saut mengatakan bahwa ada sebuah ketakutan atau fobia terhadap realisme sejak Orba berkuasa. Realisme sangat direndahkan. Justru yang dikembangkan adalah formalisme Tardji yang bergulat pada abjad saja. “Sejak berkuasanya Orba dan Manikebu, di majalah Horison hampir tidak ada karya realisme. Kalaupun ada realisme, dikatakan sebagai realisme magis. Sutardji dan Danarto dikatakan sebagai formalisme sufi. Hanya orang TUK yang bisa menuliskan itu.”

Mungkinkan karya sastra menyebabkan perubahan sosial? Di Amerika ada Uncle’s Tom Cabin. Di Indonesia ada Pramoedya Ananta Toer. “Bahwa pengarang menulis fiksi itu sama dengan menulis sejarah baru yang beda dengan sejarahnya Nugroho Notosusanto dan Taufiq Ismail.”

Dalam polemik kebudayaan yang dibukukan Achdiat Kartamihardja itu ada satu hal penting yang dilupakan Achdiat dan mereka yang berpolemik, bahwa pada saat itu mereka sedang dijajah Belanda. Ada realitas bahwa mereka sedang dijajah sama sekali tidak diucapkan. Orang-orang seperti inilah yang membayangkan nasionalisme Indonesia. Dan kita harus mempertanyakan hal itu. “Bisa nggak, kita menolak sesuatu yang sudah dibayangkan oleh founding fathers kita?” tanyanya. “Menulis sejarah, realisme, itu adalah persoalan besar.”

Jakob Sumardjo mengingatkan kita pada kearifan lokal orang Baduy. “Yang panjang, jangan dipotong, yang pendek jangan disambung.” Artinya, kalau yang penjang itu dipotong, maka ia akan sama dengan yang pendek. Kalau yang pendek itu disambung, maka ia akan sama dengan yang panjang. Jadi, orang Baduy itu mengakui adanya perbedaan, dan karenanya tidak perlu diseragamkan.

“Sayang saya terlambat membaca buku Mas Marco Kartodikromo, Semaoen, dan lain-lain. Kalau kita bandingkan dengan novel-novel sezamannya, maka novel Mas Marco itu lebih modern, karena to the point, bahasanya sederhana, natural.”

Jakob mengatakan, bahwa sebenarnya semua orang merupakan anak-anak yang hilang.

Bandung-Citayam, 20-21 Maret 2010
Asep Sambodja

Catatan: Hadir dalam diskusi yang diselenggarakan Utimus dan Majelis Sastra Bandung ini di antaranya Yopi Setia Umbara (moderator), Matdon (MC), Putu Oka Sukanta, S. Anantaguna, Sutikno W.S., Muhidin M. Dahlan, Astuti Ananta Toer, Irina Dayasih, Svetlana Dayani, Ilham Aidit, Imam Abda, Tuty Martoyo, Nuraini Hendra Gunawan, Salim, Rama Prabu, Wong Agung Utomo, Iman Budi Santoso, Dian Hartati, Bilven Sandalista, Dadan M. Ramdan, dan masih banyak lagi.

Sumber: Note Facebook Asep Sambodja

"NYANYIAN DALAM KELAM"

ASAHAN:

Komentar Sastra(singkat)


Kumpulan Puisi Sutikno WS :"NYANYIAN DALAM KELAM"



Penerbit: ULTIMUS Bandung; Januari 2010

Ketika bung Bilven meminta saya memberikan komentar untuk cover belakang buku
ini, saya langsung membaca beberapa sajak dalam att.ment secara sepintas lalu
namun perlahan-lahan perhatian saya jadi terpusat dan terus membacanya satu
persatu hingga habis. Pengalaman demikian belum pernah saya alami dalam membaca
buku puisi kecuali novel-novel dari para pengarang dunia yang sangat terkenal
yang biasa saya lalap terus menerus selama beberapa hari hingga tamat, bila
buku itu memang menarik dan enak dibaca.
Tapi buku-buku puisi sangat jarang saya baca hingga tamat kecuali jika saya
dimintai untuk memberikan kata pengantar atau komentar. Meskipun saya juga
penulis puisi tapi sekaligus saya juga pembenci puisi karena suka bikin
teka-teki sedangkan saya paling benci teka-teki dalam puisi meskipun juga puisi
yang terang benderang tapi tanpa estetika, juga tidak saya sukai.

Namun ketika membaca kumpulan Puisi Sutikno WS, kesan dan selera puisi saya
menjadi berubah seketika. Dengan spontan otak saya mengatakan: Ini barulah
keindahan sebuah puisi. Terkadang saya membacanya dengan dada terasa sesak,
kadang saya tidak bisa menahan keluarnya air mata kekaguman. Mengapa puisi bisa
memukau perasaan manusia begitu hebatnya, begitu menggetarkannya. Saya tidak
sanggup menjawab pertanyaan saya sendiri, mungkin orang lain yang akan
menjawabnya bila juga sempat membaca sajak-sajak Sutikno ini.

Sebagaiman kebiasaan saya, saya kurang suka memberikan contoh-contoh atau
petikan panjang dari prosa ataupuh puisi yang saya bicarakan. Saya bukan
seorang penulis resensi, bukan seorang essayist tapi mungkin sekedar seorang
pengagum dan pencela. Dari bangku sekolah saya mendapat sebutan sebagai
kritikus sastra atau filolog, tapi saya belum pernah menulis sebuah kritik
sastra yang memadai atau sebuah resensi yang bernilai dan saya tidak merasa
rerganggu dan menyibukkan diri untuk mendapat pengakuan demikan dari siapapun
dan saya tetap suka mengomentari karya-karya sastra yang saya rasa patut dan
menimbulkan hasrat untuk dikomentari karenanya saya mengabaikan semua sistim
penulisan dengan menggunakan metode analisa yang berbelit-belit, memamerkan
teori-teori sastra yang bertebaran di berbagai buku dan majalah, mengulangkaji
criteria sastra klassik maupun moderen, kebiasaan demikian tidak akan saya
lakukan. Saya lebih suka mengajak banyak orang yang awam maupun yang ahli untuk
memberikan komentar sastra tanpa dibebani oleh otoriter intelektuil atau
terhalang karena bukan pakar professional. Sastra itu sederhana: indah, kurang
indah, atau jelek atau sangat jelek. Sudah tentu sastra juga bisa didalami,
diselami dan diteliti dan itu kewajiban para pakar sastra yang orang awam
sebaiknya tidak terlalu banyak campur tangan agar tidak tergelincir ke dalam
awamisme dalam sastra. Jadi di seginya yang lain, sastra itu memang ada
ilmunya, yaitu ilmu sastra yang bisa dipelajari di Universitas maupun di luar
Universitas.

Kembali ke kumpulan puisi Sutikna WS. Membaca kumpulan puisi Sutikno, serasa
menikmati sebuah symphoni puisi: kaya irama, melodius tapi juga membawa arus
tragis, getir dalam aliran keindahan puisi dan ungkapan atau kalimat-kalimat
puitis yang menggetarkan, memabukkan dan sekaligus membikin waras kembali. Saya
menjumpai banyak sekali pelukisan alam beserta isinya seperti bunga-bunga
beraneka warna, di mana terdapat juga warna "ungu" yang begitu sedap terletak
pada tempatnya yang menambah selera puitis secara amat berkesan. Sutikno
menurut saya adalah juga seorang pelukis yang menggunakan kata dan terciptalah
sebuah lukisan alam dan hati manusia yang berirama yang terkadang gemuruh,
terkadang sayu, terkadang merayu, terkadang mengiris nurani yang menimbulkan
derita nikmat pada pembacanya. Sitikno tidak menawarkan sedu sedan pada
pembacanya meskipun nasib manusia yang terampas kebebasannya dan tidak berdaya
hampir beserakan di seluruh sajak-sajaknya. Tidak ada dendam yang ber-api-api
tapi juga tidak ada maksud untuk mengubur dendam yang tak terbalas itu bagi
membebaskan diri dari ketidak berdayaan. Tapi toh, kalau dendam yang
ber-api-api itu tidak ingin diluapkan, namun sesungguhnya ia terbungkus baik,
terbungkus rapi dan begitu etisnya cuma dalam beberpa kata: SETIA PADA
CITA-CITA dan tanpa penyesalan. Dan itulah sesungguhnya benang merah besar
pesan Sutikno dalam puisi-puisinya. Tanpa sebuah makian terhadap musuh tapi
juga tanpa secuil penyesalan terhadap penderitaan dan siksaan dalam penjara.
Puisi-puisi Sutikno tidak pernah menghapus hari depan yang pernah
dicita-citakan semula olehnya dan rakyatnya tanpa terdapat satu kata yang banal
atau teriakan histeris dan memang di sini juga terletak kekuatan puisi-puisi
Sutikno dan dia secara alamiah atau begitu saja membedakan dirinya dari
puisi-puisi sebagian dari penyair Lekra sebelumnya (jaman sebelum dibabat).
Saya ambil satu contoh sajak yang tidak saya kutip di sini tapi hanya
memberikan judulnya saja: KUBURAN DI ATAS BUKUT. Dalam sajak ini antara alam,
warna, drama dan kepiluan menjadi satu dan berpadu begitu indahnya, begitu
mempesona yang mungkin diciptakan seorang penyair genial seperti Sutikno. Saya
teringat akan sajak-sajak Lermontov yang sangat saya sukai.

Membicarkan atau mengomentari puisi-puisi Sutiknao bagi saya tidak akan
habis-habisnya. Tapi saya tidak akan lebih berpanjang-panjang dan mengahiri
komentar ini dengan kata penutup: Kumpulan pusi Sutikno WS "NYANIAN DALAM
KELAM" adalah sebuah kumpulan puisi yang sukses dan nikmat untuk dibaca, patut
dimiliki setiap orang terutama penggemar sastra teristimewanya puisi, tidak
pandang ideologi apa yang dimiliki seseorang, anti Lekra maupun penggemar
Lekra. Dan siapapun Sutikno, dia telah mempersembahkan hati dan kata dalam
bentuk puisi kepada setiap orang. Dan itu untuk saya, luar biasa indahnya.
Hoofddorp, 16 Desember 2009
asahan.
Penggemar sastra.


http://www.mail-archive.com/artculture-indonesia@yahoogroups.com/msg04618.html

Wednesday 26 January 2011

KEPADA PARTAI : Kumpulan Sajak

KEPADA PARTAI
Kumpulan Sajak


Menjanjikan Partai


seperti elang laut jang tumbuh dalam topan membadai
seperti itulah engkau
dan seperti karang jang mendjulang di antara gelombang
seperti itu pulalah engkau


tapi betapa engkaupun seumpama riak air
jang gemertjik di pantai-pantai berpasir
mengajunkan melodi njiur melati.


di dampar-dampar sawah dan padi jang menguning
dimana petani-petani jang berkulit hitam seperti gagak
nekerdja dengan keras namun tak sempat memiliki
disebutnja engkau dengan kebanggaan dan tjinta
di bengkel-bengkel dan di pabrik-pabrik
dinjanjikannja engkau bersama deram mesin jang mendesing


dan itupun karena tjinta, karena setia
karena engkau adalah miliknja.


ja, dan itulah engkau, partai
elang laut dan karang di gelombang pasang
gemertjik melodi jang beriak di pantai-pantai tanah air
jang diutjapkan dan dinjanjikan
dengan kebanggaan dan kasih sajang.



Sutikno W.S.