Showing posts with label Wayang. Show all posts
Showing posts with label Wayang. Show all posts

Friday 12 November 2010

Arjuna Si Pertapa Tampan

Arjuna Si Pertapa Tampan


Alkisah sang arjuna di suruh bertapa di puncak gunung Indrakila. Dia bertapa untuk mendapatkan anugrah dari Hyang Widhi, agar dapat digunakan untuk mengarungi bahtera kehidupan. Dalam perjalanan, di kaki gunung indrakila, arjuna di hadang oleh babi hutan. Babi hutan itu menyeruduk arjuna, menanduk, menyepak sehingga kewalahan. Kemana arjuna lari tetap dikejar. Akhirnya Sang Arjuna melompat agak jauh, memasang anak panah pada gendawanya, dan membidik tepat ke perut babi itu. Ceeep …. babi itu tewas seketika.

Setelah mengalahkan babi, Arjuna melanjutkan perjalanan mendaki gunung itu. Dalam pendakian, setelah menyeberang sungai nan jernih dan indah, tiba-tiba Arjuan dikejutkan oleh ular berkepala dua yang menghadang perjalanannya. Singkat cerita, dia diserang, dipatuk di lilit. Ekor ular di pegang Arjuna, kepalanya mematuk dia. Kepala yang satu di pegang, kepala lain menubruk dari belakang. Arjuna kerepotan, kembali dia melompat menjauh, sambil merapal mantra memasang dua anak panah sekaligus pada busurnya. Anak panah melesat, langsung menembus dua kepala yang dimiliki oleh si ular. Ular lemas tergeletak tak berdaya.

Ular telah dikalahkan, arjuna beristirahat lalu mandi di tengah telaga nan jernih. Sehabis mandi dia tersentak melihat Goa di tepi telaga. Lalu dia melewati goa itu, yang ternyata rumah seorang raksasa sakti mandraguna. Sang raksasa bangun mencium bau adanya manusia. Dan dia marah, karena Arjuna telah berani mandi di telaga miliknya. Arjunapun marah mendengar kata-kata kasar dari raksasa lalu menantangnya untuk berkelahi. Sang Raksasa wajahnya merah, rambutnya gimbal, mata melotot dan taringnya tajam. Mereka sama saktinya. Masalahnya adalah, ketika raksasa itu dipukul oleh arjuna, bukannya tambah loyo, bahkan tambah kuat. Di panah tidak mempan. Di pukul pake batang kayu, malah tambah kuat dan garang. Arjuna kehilangan akal. Lalu dia melompat ke belakang, lalu dia duduk mencakupkan tangan, hening, memusatkan pikiran dan pasrah pada kehendak Sang Pencipta. Anehnya raksasa itu makin kecil, kecil, kecil akhirnya hilang.

Perjalanan dilanjutkan sampai ke puncak gunung Indrakila. Di sanalah Arjuna bertapa dengan khusus, memohon berkah dari Hyang Manon. Di tengah upaya tapanya, datanglah goodaan bidadari supraba yang diutus oleh Bhatara Guru. Arjuna tak tergoda, akhirnya Sang Hyang Siwa berkenan datang ke hadapan Arjuna dan memberikan panah yang disebut Panah Pasopati. Panah Pasopati itu adalah senjata ampuh arjuna, ketika menjadi panglima saat perang Bharatayudha.

Cerita ini sangat menarik dan ada makna di baliknya :

Babi adalah lambang keserakahan. Serakah adalah sifat umum manusia. Manusia yang berhati serakah, diberi seluruh kekayaan bumipun tidak merasa puas. Ingat film James Bond - World is not enough. Karena itulah, bekal untuk mengarungi kehidupan adalah kemampuan kita untuk mengendalikan atau bahkan mematikan keserakahan itu.

Berikutnya adalah ular berkepala dua, yang jadi simbul dengki iri hati. Makanya orang yang licik itu, terkadang disebut ular berkepala dua. Dalam melaksanakan hidup, kita terkadang memiliki rasa iri hati yang semuanya itu berasal dari pikiran kita. Atau juga kita terkadang menghadapi orang dengki iri hati. Orang iri ini sangat berbahaya, mulutnya manis, tapi bisa nikam dari belakang. Karena itulah, pikiran iri hati harus di-”bunuh” dan orang dengkipun harus “dibunuh” pikiran dengkinya.

Setelah masalah iri hati, berikutnya raksasa yang menjadi simbol amarah. Raksasa berwajah merah rambut gimbal taring tajam adalah lambang kemarahan. Kemarahan kalau dilawan dengan marah, bagaikan api disiram bensin. Kemarahan akan padam dengan sendirinya jika dilawan dengan hening, mundur selangkah lalu pasrah.

Yang terakhir, godaan di puncak gunung adalah nafsu birahi. Begitu banyak orang yang sedang berada di puncak kekuasaannya, tergelincir karena nafsu birahi. Berat sekali cobaan yang dihadapi oleh Arjuna untuk mendapatkan panah pasopati.



Hatiku selembar daun...

Lahirnya Bima

Lahirnya Bima


Raja negara Gajahoya, Destarata memanggil Sangkuni dan Jakapitana. Mereka diperintahkan mencari senjata untuk membuka bungkus bayi dari Raden Bungkus yang dibuang di hutan Setragandamayit.

Batara Guru dan Batara Narada di khayangan kedatangan Raden Pandu untuk meminjam Lembu Andini sebagai permintaan Dewi Madrim, istri Raden Pandu. Batara Guru mengizinkannya.

Pandu pulang ke Astina dan disambut Dewi Madrim dengan sukacita lalu mereka naik lembu Andini mengitari pendopo hingga tiga kali lalu ke Andrawira dan menuju kamar mereka untuk bermain cinta. Namun Dewi Madrim meminta Raden Pandu untuk menahan diri dalam sepekan.

Dewi Madrim kemudian meminta kepada Dewi Kunti untuk diajari ajian “Punta Wekasing Tunggal tanpa Lawan”. Oleh Dewi Kunthi diajari sampai dua kali. Maka seketika itu pula Dewi Madrim hamil bayi kembar.

Di negara Barareta, Prabu Kaladergangsa, ratu raksasa mengutus Patih Bragalda meminang putri Tasikmadu, setelah surat lamaran dibuka lalu dibalas dengan jawaban akan diadakan sayembara perang.

Bala tentara Batareta segera menyerbu negara Tasikmadu. Bala tentara Tasikmadu kalah lalu Raden Citra Warsita masuk hujan dengan bala tentaranya.

Semar dan anak-anaknya membuat gara-gara setelah mengajak Raden Harjuna untuk pulang ke Astina tetapi Harjuna tidak mau karena sedang prihatin tidak ada senjata ampuh yang bisa membuka bungkus jabang bayi yang dibuang ayahnya di hutan Setragandamayit.

Pada saat itu datanglah Raden Citra Wasma meminta tolong pada Harjuna mengusir raksasa di Tasikmadu. Harjuna segera menolong dan mengalahkan para raksasa. Sampai di Tasikmadu, Harjuna meminta senjata pada Prabu Tasikmadu untuk memecah bungkus. Tetapi dijawab bahwa tidak ada senjata yang ampuh kecuali kehendak Dewata sendiri. Harjuna merasa lega dan pulang ke Astina.

Batara Guru dan Narada sedang membicarakan gara-gara yang terjadi disebabkan oleh Raden Bungkus di Hutan Setragandamayit.

”Kalau bungkus pecah akan hilang uger-ugering Pandawa, tali kasihnya,” kata Batara Guru.

Batara Guru memanggil anaknya bernama Gajahsena dan meminta untuk memecah bungkus di hutan Setragandamayit. Batara Narada diminta mengiringinya. Batara Narada dan Gajahsena pun pergi menjalankan tugas. Kemudian Batara Guru meminta istrinya Dewi Uma untuk memberikan pakaian kepada Raden Bungkus. Dewi Uma lalu mengambil kain”Poleng Bang”dan turun ke hutan Setragandamayit dan memasukkan kain tersebut bayi Raden Bungkus.

Lalu datanglah Gajahsena dan Batara Narada.Gajahsena segera menusuk bungkus dengan gadingnya, sehingga bungkus tersebut pecah. Namun dengan pecahnya bungkus tersebut hilang pula Gajahsena. Dan yang muncul adalah Raden Bungkus yang memakai Cawat “Poleng Bang”melihat ke kiri dan ke kanan dimana Batara Narada berada. Raden Bungkus kemudian bertanya,” Kamu siapa?” Batara Narada lalu menerangkan siapa dirinya dan memberi tahu bungkus tentang asal-usulnya. Bahwa Raden Bungkus sebenarnya adalah anak Pandu dengan Dewi Kunthi yang lahir berupa bungkus dan dibuang di hutan Setragandamayit.

“Karena kamu bisa keluar dari bungkus tetapi Gajahsena hilang maka kamu saya beri nama Raden Bratasena. Karena tapamu di dalam bungkus dan Gajahsena yang menolongnya. Kamu mempunyai kakak Yudhistira dan adik Raden Harjuna, sekarang kamu pulanglah ke negara Astina, temuilah ayahmu Raden Pandu Dewanata,” perintah Batara Narada.

Batara Narada terbang ke angkasa sambil membawa bungkus bayi yang telah robek. Lalu dia turun di hutan Banakeling kemudian menaruh bungkusan yang mengeluarkan cahaya tersebut diatas batu gilang itu.

Tidak berselang lama, Prabu Sempani di Banakeling yang sedang disuruh istrinya untuk mencari bayi untuk dijadikan anak, melihat ada cahaya di tengah hutan Banakeling. Setelah didekati ternyata ada bungkus di atas batu gilang. Setelah dipegang dan dibaui ternyata berbau bayi. Oleh Prabu Sempani lalu diciptakan menjadi bayi kembar dan dibawa pulang.

Kepada istrinya, Prabu Sempani berkata,”Jangan kamu susui bayi-bayi itu, akan aku mandikan dengan ‘air gege’ supaya cepat besar. Setelah dimandikan segera menjadi jejaka kemudian diberi nama Raden Tirtanata dan Jajadrata.

Di tempat lain, alam perjalanannya menuju Astina, Raden Harjuna bertemu dengan Raden Bungkus, Harjuna bertanya,”Kamu anak dari mana?” Raden Bungkus menjawab,”Namaku si Bungkus. Anak yang dibuang ayahku Pandu Dewanata dan Ibuku Dewi Kunthi.

Segera Harjuna menyembah kepada kakaknya tersebut dan menangis yang tentu saja membuat Raden Bungkus bingung.

“Mengapa kamu berbuat seperti itu?”tanya Raden Bungkus.

Harjuna menjawab bahwa dia adalah adiknya, yang bernama Harjuna. Lalu Bratasena merangkul adiknya tersebut lalu meminta Harjuna pulang terlebih dulu, dia akan menyusul kemudian.

Di tengah jalan Harjuna bertemu dengan Jakapitana dan Sangkuni yang berusaha membunuhnya. Mereka mengeroyok Harjuna beramai-ramai namun Harjuna bisa mengelak. Tidak berama lama Raden Bungkus melihat adiknya dikerubuti orang lalu datang membantunya. Sengkuni lalu bertanya kepada Raden Bungkus yang tinggi besar, ”Siapa kamu kok berani turut campur?” Raden Bungkus menjawab, ”Aku bocah dari Setragandamayit, si bungkus namaku, si Harjuna saya bela karena dia adikku.” Para Kurawa setelah melihat itu lalu bubar melarikan diri.

Harjuna dan Raden Bungkus pulang ke Astina disambut Prabu Abiyasa dan Raden Pandu, Puntadewa dan Dewi Kunthi. Mereka lalu menceritakandari awal hingga akhirnya. Keluarga besar itu pun berangkulan bahagia. Namun Raden Bungkus tidak mau duduk tetapi berdiri saja. Raden Bungkus kemudian dipanggil Raden Bratasena.




Hatiku selembar daun...

WEJANGAN DEWA RUCI UNTUK BIMA

WEJANGAN DEWA RUCI UNTUK BIMA



Termangu sang Bima di tepian samudera, dibelai kehangatan alun ombak setinggi betis.Tak ada lagi tempat bertanya, sesirnanya sang naga nemburnawa.

Dewaruci, Sang Marbudyengrat, memandangnya iba dari kejauhan, tahu belaka bahwa tirta pawitra memang tak pernah ada dan mustahil akan pernah bisa ditemukan oleh manusia mana pun.

Menghampiri sang Dewa Ruci sambil menyapa, "Apa yang kau cari, hai Werkudara, hanya ada bencana dan kesulitan yang ada di sini. Di tempat sesunyi dan sekosong ini."

Terkejut sang Bima dan mencari ke kanan kiri, setelah melihat sang penanya, lalu ia bergumam: "Makhluk apa lagi ini, sendirian di tengah samudera sunyi. Kecil mungil tapi berbunyi pongah dan jumawa?"

"Serba sunyi di sini", lanjut sang Marbudyengrat. Mustahil akan ada sabda keluhuran di tempat seperti ini, sia-sialah usahamu mencarinya tanpa peduli segala bahaya.

Sang Bima semakin termangu menduga-duga, dan akhirnya sadar bahwa makhluk ini pastilah seorang dewa.

"Ah, paduka tuan, gelap pekat rasa hatiku. Entahlah apa sebenarnya yang aku cari ini. Dan siapa sebenarnya diriku ini," tanya Bima

"Ketahuilah anakku, akulah yang disebut Dewaruci, atau sang Marbudyengrat, yang tahu segalanya tentang dirimu, anakku yang keturunan hyang guru dari hyang brahma, anak kunti, keturunan wisnu yang hanya beranak tiga, yudistira, dirimu, dan janaka. Yang bersaudara dua lagi nakula dan sadewa dari ibunda madrim si putri mandraka," jawab Sang Dewa Ruci.

"Datangmu kemari atas perintah gurumu dahyang Durna, untuk mencari tirta pawitra yang tak pernah ada di sini." berkata Sang Dewa Ruci.

"Bila demikian, pukulun, wejanglah aku seperlunya, agar tidak mengalami kegelapan seperti ini. Terasa bagai keris tanpa sarungnya," ujar Bima.

"Sabarlah anakku,.memang berat cobaan hidup. Ingatlah pesanku ini senantiasa. Jangan berangkat sebelum tahu tujuanmu, jangan menyuap sebelum mencicipinya, tahu hanya berawal dari bertanya, bisa berpangkal dari meniru, sesuatu terwujud hanya dari tindakan. janganlah bagai orang gunung membeli emas, mendapat besi kuning pun puas menduga mendapat emas. Bila tanpa dasar, bakti membuta pun akan bisa menyesatkan," berkata Sang Dewa Ruci.

"Duh, pukulun, tahulah sudah di mana salah hamba. Bertindak tanpa tahu asal tujuan. Sekarang hamba pasrah jiwaraga terserah paduka," pasrah Bima berkata.

"Nah, bila benar ucapanmu, segera masuklah ke dalam diriku," lanjut sang marbudyengrat.

Sang Bena tertegun tak percaya mendengarnya.

"Ah, mana mungkin hamba bisa melakukannya. Paduka hanyalah anak bajang sedangkan tubuh hamba sebesar bukit. Kelingking pun tak akan mungkin muat.

"Wahai Werkudara si dungu ,anakku. Sebesar apa dirimu dibanding alam semesta? Seisi alam ini pun bisa masuk ke dalam diriku. Jangankan lagi dirimu yang hanya sejentik noktah di alam. " jawab Sang Dewa Ruci.

Mendengar ucapan sang Dewa Ruci, sang Bima merasa kecil seketika. Dan segera melompat masuk ke telinga kiri sang Dewa Ruci.

Yang telah terserap ke arahnya.

"Hai, Werkudara, katakanlah sejelas-jelasnya segala yang kau saksikan di sana," ujar Dewa Ruci.

"Hanya tampak samudera luas tak bertepi," ucap sang Bima. Alam awang-uwung tak berbatas hamba semakin bingung, tak tahu mana utara selatan atas bawah depan belakang," ujar Bima lagi.

"Janganlah mudah cemas," ujar sang Dewa Ruci. Yakinilah bahwa di setiap kebimbangan senantiasa akan ada pertolongan dewata.

Dalam seketika sang Bima menemukan arah mata angin dan melihat surya. Setelah hati kembali tenang tampaklah sang Dewa Ruci di jagad walikan.

"Hai, Bima! Ceritakanlah dengan cermat segala yang kau saksikan," ujar Dewa Ruci.

"Awalnya terlihat cahaya terang memancar, " kata sang Bima. Kemudian disusul cahaya hitam, merah, kuning, putih. Apakah gerangan semua itu?" tanya Bima.

"Ketahuilah Werkudara, cahaya terang itu adalah pancamaya, penerang hati, yang disebut mukasipat (mukasyafah), penunjuk ke kesejatian, pembawa diri ke segala sifat lebih. Cahaya empat warna, itulah warna hati. Hitam, merah, dan kuning adalah penghalang cipta yang kekal. Hitam melambangkan nafsu amarah, merah nafsu angkara, kuning nafsu memiliki. Hanya si putihlah yang bisa membawamu ke budi jatmika dan sanggup menerima sasmita alam. Namun selalu terhalangi oleh ketiga warna yang lain. Hanya sendiri tanpa teman melawan tiga musuh abadi. Hanya bisa menang dengan bantuan sang sukma. Adalah nugraha bila si putih bisa kau menangkan. Di saat itulah dirimu mampu menembus segala batas alam tanpa belajar.

"Duhai pukulun, sedikit tercerahkan hati hamba oleh wejanganmu," jawab Bima.

"Setelah lenyap empat cahaya, muncullah nyala delapan warna. Ada yang bagai ratna bercahaya, ada yang maya-maya, ada yang menyala berkobar," lanjut Bima.

"Itulah kesejatian yang tunggal, anakku terkasih. Semuanya telah senantiasa ada dalam diri setiap mahluk ciptaan. Sering disebut jagad agung dan jagad cilik. Dari sanalah asal arah mata angin dan empat warna hitam merah kuning putih itu. Seusai kehidupan di alam ini semuanya akan berkumpul menjadi satu, Tanpa terbedakan lelaki perempuan tua muda besar kecil kaya miskin, akan tampak bagai lebah muda kuning gading," ujar Dewa Ruci melanjutkan wejangannya.

"Amatilah lebih cermat, wahai werkudara anakku," lanjut Dewa Ruci.

"Semakin cerah rasa hati hamba," ucap Bima.

"Kini tampak putaran berwarna gading, bercahaya memancar. Warna sejatikah yang hamba saksikan itu?" tanya Bima.

"Bukan, anakku yang dungu, bukan," jawab Dewa Ruci.

"Berusahalah segera mampu membedakannya. Zat sejati yang kamu cari itu tak tak berbentuk tak terlihat. Tak bertempat-pasti namun bisa dirasa keberadaannya di sepenuh jagad ini. Sedang putaran berwarna gading itu adalah pramana yang juga tinggal di dalam raga namun bagaikan tumbuhan simbar di pepohonan. Ia tidak ikut merasakan lapar, kenyang, haus, lelah dan mengantuk dan sebagainya. Dialah yang menikmati hidup sejati dihidupi oleh sukma sejati. Ialah yang merawat raga. Tanpanya raga akan terpuruk menunjukkan kematian.

"Pukulun, jelaslah sudah tentang pramana dalam kehidupan hamba. Lalu bagaimana wujudnya zat sejati itu?" tanya Bima.



"Itu tidaklah mudah dijelaskan," ujar sang Dewa Ruci. Gampang-gampang susah.

"Sebelum hal itu dijelaskan," kejar sang Bima. Hamba tak ingin keluar dari tempat ini, Serba nikmat aman sejahtera dan bermanfaat terasa segalanya.

"Itu tak boleh terjadi, bila belum tiba saatnya, hai Werkudara," jawab Dewa Ruci.

"Mengenai zat sejati, engkau akan menemukannya sendiri. Setelah memahami tentang penyebab gagalnya segala laku serta bisa bertahan dari segala goda. Di saat itulah sang sukma akan menghampirimu. Dan batinmu akan berada di dalam sang sukma sejati. Janganlah perlakukan pengetahuan ini seperti asap dengan api, bagai air dengan ombak, atau minyak dengan susu. Perbuatlah, jangan hanya mempercakapkannya belaka. Jalankanlah sepenuh hati setelah memahami segala makna wicara kita ini. Jangan pernah punya sesembahan lain selain sang maha luhur. Pakailah senantiasa keempat pengetahuan ini. Pengetahuan kelima adalah pengetahuan antara, yaitu mati di dalam hidup, hidup di dalam mati. Hidup yang kekal, semuanya sudah berlalu, tak perlu lagi segala aji kewijayaan, semuanya sudah termuat di sini.

Maka selesailah wejangan sang Dewa Ruci. Sang guru merangkul sang Bima dan membisikkan segala rahasia rasa terang bercahaya seketika wajah sang Bima menerima wahyu kebahagiaan.

Bagaikan kuntum bunga yang telah mekar, menyebarkan keharuman dan keindahan memenuhi alam semesta.

Dan blassss . . . !

Sudah keluarlah sang Bima dari raga Dewa Ruci sang marbudyengrat. Kembali ke alam nyata di tepian samudera luas sunyi tanpa sang Dewa Ruci.

Sang Bima melompat ke daratan dan melangkah kembali, siap menyongsong dan menyusuri rimba belantara kehidupan.




Hatiku selembar daun...

Bima - Dorna - Dewaruci

Bima - Dorna - Dewaruci


Dewaruci adalah dewa kejujuran dan keberanian. Cerita ini mengisahkan tentang falsafah hidup yang mendalam, dimana sifat dan karakter yang baik diperankan oleh Bima atau Bratasena, saudara kedua Pandawa Lima dari kerajaan Amarta sedangkan sepupu Bima dari kerajaan Astina mempunyai seratus saudara kurawa yang memiliki sifat jahat. Kurawa selalu iri kepada Pandawa karena selalu mengalahkan mereka dalam segala hal. Diantara keluarga Pandawa dan Kurawa ini memiliki seorang Guru ( orang yang mempunyai peran sebagai penasehat agama dan juga sebagai guru) yaitu Pendeta Dorna. Sejak Dorna tinggal di Astina, Kurawa mempunyai pengaruh yang lebih kuat dari pada Pandawa, dan oleh karena Bima selalu mengupayakan kebaikan untuk seluruh umat manusia, Kurawa meminta Guru Dorna memberi tugas yang mustahil kepada Bima untuk mencari “Tirta Amerta” yaitu Air Kehidupan.
Karena ketaatannya, dan selalu patuh kepada Sang Guru (Pandita Dorna), Bima mulai mencari “Tirta Amarta”. Dalam petualangannya, Bima bertarung melawan Raksasa yang bernama Rukmana dan Rukmakala dan dapat dikalahkan. Kemudian Bima menuju dasar laut dan bertarung melawan Naga raksasa, keletihan dan keraguan menghinggapinya, saat itulah Bima melihat Dewaruci dan bercerita bahwa dia diperintah Sang Guru untuk mencari “Tirta Amarta”. Untuk mendapatkannya, Dewaruci memerintahkan Bima masuk ke dalam raganya yang kecil bila dibandingkan dengan badan Bima.
Akhirnya di dalam raga Dewaruci, Bima menemukan kebenaran sebagaimana Dewaruci itu sendiri. Dewaruci sebenarnya adalah penjelmaan dari Sang Hyang Wenang, Dewa yang paling tinggi tingkatannya.Dalam upayanya mencari kebenaran, Bima harus melewati banyak rintangan atau halangan, tapi berkat ketabahan dan keberaniannya, akhirnya Bima mendapatkan apa yang dia cari.



Hatiku selembar daun...

Kenapa CLIFFORD GEERTZ tergila-gila dengan Bima salah satu tokoh wayang Jawa? (1)

Kenapa CLIFFORD GEERTZ tergila-gila dengan Bima salah satu tokoh wayang Jawa? (1)


Kisah tokoh utama Bima dalam menuju manusia sempurna dalam teks wayang Dewaruci secara filosofis melambangkan bagaimana manusia harus mengalami perjalanan batin untuk menemukan identitas dirinya. Peursen (1976:68) menamakan proses ini sebagai “identifikasi diri”, sedangkan Frans Dahler dan Julius Chandra menyebutnya dengan proses “individuasi” (1984:128).

Proses pencarian untuk menemukan identitas diri ini sesuai dengan hadis nabi yang berbunyi Man ‘arafa nafsahu faqad rabbahu. ‘Barang siapa mengenal dirinya niscaya dia akan mengenal Tuhannya’. Hal ini dalam cerita Dewaruci tersurat pada pupuh V Dhandhanggula bait 49: Telas wulangnya Sang Dewaruci, Wrekudara ing tyas datan kewran, wus wruh mring gamane dhewe, …’Habis wejangan Sang Dewruci. Wrekudara dalam hati tidak ragu sudah tahu terhadap jalan dirinya …’ (Marsono, 1976:107).

Nilai Filosofis Perjalanan Empat Tahap Menuju Manusia Sempurna oleh Bima
Kisah tokoh Wrekudara dalam menuju manusia sempurna pada cerita Dewaruci dapat dibagi menjadi empat tahap, yaitu: syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat (Jawa disebut: laku raga, laku budi, laku manah, dan laku rasa (Mangoewidjaja, 1928:44;
Ciptoprawiro, 1986:71). Atau menurut ajaran Mangkunegara IV seperti disebutkan dalam Wedhatama (1979:19-23), empat tahap laku ini disebut: sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa, dan sembah rasa.

Nilai Filosofis Perjalanan Bima yang Berkaitan dengan Syariat
Syariat (Jawa sarengat atau laku raga, sembah raga) adalah tahap laku perjalanan menuju manusia sempurna yang paling rendah, yaitu dengan mengerjakan amalan-amalan badaniah atau lahiriah dari segela hukum agama. Amalan-amalan itu menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan lingkungan alam sekitarnya.

Di samping amalan-amalan seperti itu, dalam kaitan hubungan manusia dengan manusia, orang yang menjalani syariat, di antaranya kepada orang tua, guru, pimpinan, dan raja, ia hormat serta taat. Segala perintahnya dilaksanakaannya. Dalam pergaulan ia bersikap jujur, lemah lembut, sabar, kasih-mengasihi, dan beramal saleh.
Bagian-bagian cerita Dewaruci yang secara filosofis berkaitan dengan tahap syariat adalah sebagai berikut.

Nilai Filosofis Bima Taat kepada Guru

Tokoh Bima dalam cerita Dewaruci diamanatkan bahwa sebagai murid ia demikian taat. Sewaktu ia dicegah oleh saudara-saudaranya agar tidak menjalankan perintah gurunya, Pendeta Durna, ia tidak menghiraukan. Ia segera pergi meninggalkan saudara-saudaranya di kerajaan guna mencari tirta pawitra. Taat menjalankan perintah guru secara filosofis adalah sebagai realisasi salah satu tahap syariat.

Nilai Filosofis Bima Hormat kepada Guru

Selain taat tokoh Bima juga sangat hormat kepada gurunya. Ia selalu bersembah bakti kepada gurunya. Dalam berkomunikasi dengan kedua gurunya, Pendeta Durna dan Dewaruci, ia selalu menggunakan ragam Krama. Pernyataan rasa hormat dengan bersembah bakti dan penggunaaan ragam Krama kepada gurunya ini secara filosofis merupakan realisasi sebagian laku syariat.

Nilai Filosofis Perjalanan Bima yang Berkaitan dengan Tarekat

Tarekat (Jawa laku budi, sembah cipta) adalah tahap perjalanan menuju manusia sempurna yang lebih maju. Dalam tahap ini kesadaran hakikat tingkah laku dan amalan-amalan badaniah pada tahap pertama diinsyafi lebih dalam dan ditingkatkan (Mulder, 1983:24). Amalan yang dilakukan pada tahap ini lebih banyak menyangkut hubungan dengan Tuhan daripada hubungan manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan lingkungan alam sekitarnya. Pada tingkatan ini penempuh hidup menuju manusia sempurna akan menyesali terhadap segala dosa yang dilakukan, melepaskan segala pekerjaan yang maksiat, dan bertobat. Kepada gurunya ia berserah diri sebagai mayat dan menyimpan ajarannya terhadap orang lain. Dalam melakukan salat, tidak hanya salat wajib saja yang dilakukan. Ia menambah lebih banyak salat sunat, lebih banyak berdoa, berdikir, dan menetapkan ingatannya hanya kepada Tuhan. Dalam menjalankan puasa, tidak hanya puasa wajib yang dilakukan. Ia lebih banyak mengurangi makan, lebih banyak berjaga malam, lebih banyak diam, hidup menyendiri dalam persepian, dan melakukan khalwat. Ia berpakaian sederhana dan hidup mengembara sebagai fakir.

Bagian-bagian cerita Dewaruci yang menyatakan sebagian tahap tarekat di antaranya terdapat pada pupuh II Pangkur bait 29-30. Diamanatkan dalam teks ini bahwa Bima kepada gurunya berserah diri sebagai mayat. Sehabis berperang melawan Raksasa Rukmuka dan Rukmakala di Gunung Candramuka Hutan Tikbrasara, Bima kembali kepada Pendeta Durna. Air suci tidak didapat. Ia menanyakan di mana tempat tirta pawitra yang sesungguhnya. Pendeta Durna menjawab, “Tempatnya berada di tengah samudra”. Mendengar jawaban itu Bima tidak putus asa dan tidak gentar. Ia menjawab, “Jangankan di tengah samudra, di atas surga atau di dasar bumi sampai lapis tujuh pun ia tidak akan takut menjalankan perintah Sang Pendeta”. Ia segera berangkat ke tengah samudra. Semua kerabat Pandawa menangis mencegah tetapi tidak dihiraukan. Keadaan Bima yeng berserah diri jiwa raga secara penuh kepada guru ini secara filosofis merupakan realisasi sebagian tahap laku tarekat.

Nilai Filosofis Perjalanan Bima yang Berkaitan dengan Hakikat

Hakikat (Jawa laku manah, sembah jiwa) adalah tahap perjalanan yang sempurna. Pencapaian tahap ini diperoleh dengan mengenal Tuhan lewat dirinya, di antaranya dengan salat, berdoa, berdikir, atau menyebut nama Tuhan secara terus-menerus (bdk. Zahri, 1984:88). Amalan yang dilakukan pada tahap ini semata-mata menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan. Hidupnya yang lahir ditinggalkan dan melaksanakan hidupnya yang batin (Muder, 1983:24). Dengan cara demikian maka tirai yang merintangi hamba dengan Tuhan akan tersingkap. Tirai yang memisahkan hamba dengan Tuhan adalah hawa nafsu kebendaan. Setelah tirai tersingkap, hamba akan merasakan bahwa diri hamba dan alam itu tidak ada, yang ada hanyalah “Yang Ada”, Yang Awal tidak ada permulaan dan Yang Akhir tidak berkesudahan.

Dalam keadaan demikian, hamba menjadi betul-betul dekat dengan Tuhan. Hamba dapat mengenal Tuhan dan melihat-Nya dengan mata hatinya. Rohani mencapai kesempurnaan. Jasmani takluk kepada rohani. Karena jasmani takluk kepada rohani maka tidak ada rasa sakit, tidak ada susah, tidak ada miskin, dan juga maut tidak ada. Nyaman sakit, senang susah, kaya miskin, semua ini merupakan wujud ciptaan Tuhan yang berasal dari Tuhan. Segala sesuatu milik Tuhan dan akan kembali kepada-Nya, manusia hanya mendaku saja. Maut merupakan perpindahan rohani dari sangkar kecil kepada kebebasan yang luas, mencari Tuhan, kekasihnya. Mati atau maut adalah alamat cinta yang sejati (Aceh, 1987:67).

Tahap ini biasa disebut keadaan mati dalam hidup dan hidup dalam kematian. Saat tercapainya tingkatan hakikat terjadi dalam suasana yang terang benderng gemerlapan dalam rasa lupa-lupa ingat, antara sadar dan tidak sadar. Dalam keadaan seperti ini muncul Nyala Sejati atau Nur Ilahi (Mulyono, 1978:126).
Sebagian tahap hakikat yang dilakukan atau dialami oleh tokoh Bima, di antaranya ialah: mengenal Tuhan lewat dirinya, mengalami dan melihat dalam suasana alam kosong, dan melihat berbagai macam cahaya (pancamaya, empat warna cahaya, sinar tunggal berwarna delapan, dan benda bagaikan boneka gading yang bersinar).

Nilai Filosofis Bima Mulai Melihat Dirinya

Setelah Bima menjalankan banyak laku maka hatinya menjadi bersih. Dengan hati yang bersih ini ia kemudian dapat melihat Tuhannya lewat dirinya. Penglihatan atas diri Bima ini dilambangkan dengan masuknya tokoh utama ini ke dalam badan Dewaruci.

Bima masuk ke dalam badan Dewaruci melalui “telinga kiri”. Menurut hadis, di antaranya Al-Buchari, telinga mengandung unsur Ketuhanan. Bisikan Ilahi, wahyu, dan ilham pada umumnya diterima melalui “telinga kanan”. Dari telinga ini terus ke hati sanubari. Secara filosofis dalam masyarakat Jawa, “kiri” berarti ‘buruk, jelek, jahat, tidak jujur’, dan “kanan” berarti ‘baik (dalam arti yang luas)’. Masuk melalui “telinga kiri” berarti bahwa sebelum mencapai kesempurnaan Bima hatinya belum bersih (bdk. Seno-Sastroamidjojo, 1967:45-46).

Setelah Bima masuk dalam badan Dewaruci, ia kemudian melihat berhadapan dengan dewa kerdil yang bentuk dan rupanya sama dengan Bima sewaktu kecil. Dewa kerdil yang bentuk dan rupanya sama dengan Bima waktu muda itu adalah Dewaruci; penjelmaan Yang Mahakuasa sendiri (bdk. Magnis-Suseno, 1984:115). Bima berhadapan dengan Dewaruci yang juga merupakan dirinya dalam bentuk dewa kerdil. Kisah Bima masuk dalam badan Dewaruci ini secara filosofis melambangkan bahwa Bima mulai berusaha untuk mengenali dirinya sendiri. Dengan memandang Tuhannya di alam kehidupan yang kekal, Bima telah mulai memperoleh kebahagiaan (bdk. Mulyono, 1982:133). Pengenlan diri lewat simbol yang demikian secara filosofis sebagai realisasi bahwa Bima telah mencapai tahap hakikat.

Nilai Filosofis Bima Mengalami dan Melihat dalam Suasasa Alam Kosong

Bima setelah masuk dalam badan dewaruci melihat dan merasakan bahwa dirinya
tidak melihat apa-apa. Yang ia lihat hanyalah kekosongan pandangan yang jauh tidak terhingga. Ke mana pun ia berjalan yang ia lihat hanya angkasa kosong, dan samudra yang luas yang tidak bertepi. Keadaan yang tidak bersisi, tiada lagi kanan kiri, tiada lagi muka belakang, tiada lagi atas bawah, pada ruang yang tidak terbatas dan bertepi menyiratkan bahwa Bima telah memperoleh perasaan batiniahnya. Dia telah lenyap sama sekali dari dirinya, dalam keadaan kebakaan Allah semata. Segalanya telah hancur lebur kecuali wujud yang mutlak. Dalam keadaan seperti ini manusia menjadi fana ke dalam Tuhan (Simuh, 1983:312). Segala yang Ilahi dan yang alami walaupun kecil jasmaninya telah terhimpun menjadi satu, manunggal (Daudy, 1983:188). Zat Tuhan telah berada pada diri hambabnya (Simuh, 1983:311), Bima telah sampai pada tataran hakikat.
Disebutkan bahwa Bima karena merasakan tidak melihat apa-apa, ia sangat bingung. Tiba-tiba ia melihat dengan jelas
Dewaruci bersinar kelihatan cahayanya. Lalu ia melihat dan merasakan arah mata angin, utara, selatan, timur, barat, atas dan bawah, serta melihat matahari. Keadaan mengetahui arah mata angin ini menyiratkan bahwa ia telah kembali dalam keadaan sadar. Sebelumnya ia dalam keadaan tidak sadar karena tidak merasakan dan tidak melihat arah mata angin. Merasakan dalam keadaan sadar dan tidak sadar dalam rasa lupa-lupa ingat menyiratkan bahwa Bima secara filosofis telah sampai pada tataran hakikat.

Setelah mengalami suasana alam kosong antara sadar dan tidak sadar, ia melihat berbagai macam cahaya. Cahaya yang dilihatnya itu ialah: pancamaya, sinar tunggal berwarna delapan, empat warna cahaya, dan benda bagaikan boneka gading yang bersinar. Hal melihat berbagai macam cahaya seperti itu secara filosofis melambangkan bahwa Bima telah sampai pada tataran hakikat. Ia telah menemukan Tuhannya

Nilai Filosofis Bima Melihat Pancamaya

Tokoh utama Bima disebutkan melihat pancamaya. Pancamaya adalah cahaya yang melambangkan hati yang sejati, inti badan. Ia menuntun kepada sifat utama. Itulah sesungguhnya sifat. Oleh Dewaruci, Bima disuruh memperlihatkan dan merenungkan cahaya itu dalam hati, agar supaya ia tidak tersesat hidupnya.
Hal-hal yang menyesatkan hidup dilambangkan dengan tiga macam warna cahaya, yaitu: merah, hitam, dan kuning.

Nilai Filosofis Bima Melihat Empat Warna Cahaya

Bima disebutkan melihat empat warna cahaya, yaitu: hitam, merah, kuning, dan putih. Isi dunia sarat dengan tiga warna yang pertama. Ketiga warna yang pertama itu pengurung laku, penghalang cipta karsa menuju keselamatan, musuhnya dengan bertapa. Barang siapa tidak terjerat oleh ketiga hal itu, ia akan selamat, bisa manunggal, akan bertemu dengan Tuhannya. Oleh karena itu, perangai terhadap masing-masing warna itu hendaklah perlu diketahui.
Yang hitam lebih perkasa, perbuatannya marah, mengumbar hawa nafsu, menghalangi dan menutup kepada hal yang tidak baik. Yang merah menunjukkan nafsu yang tidak baik, iri hati dan dengki keluar dari sini. Hal ini menutup (membuat buntu) kepada hati yang selalu ingat dan waspada. Yang kuning pekerjaannya menghalangi kepada semua cipta yang mengarah menuju kebaikan dan keselamatan. Oleh Sri Mulyono (1982:39) nafsu yang muncul dari warna hitam disebut aluamah, yang dari warna merah disebut amarah, dan yang muncul dari warna kuning disebut sufiah. Nafsu aluamah amarah, dan sufiah merupakan selubung atau penghalang untuk bertemu dengan Tuhannya.
Hanya yang putih yang nyata. Hati tenang tidak macam-macam, hanya satu yaitu menuju keutamaan dan keselamatan. Namun, yang putih ini hanya sendiri, tiada berteman sehingga selalu kalah. Jika bisa menguasai yang tiga hal, yaitu yang merah, hitam, dan kuning, manunggalnya hamba dengan Tuhan terjadi dengan sendirinya; sempurna hidupnya.

Nilai Filosofis Bima Melihat Sinar Tunggal Berwarna Delapan

Bima dalam badan Dewaruci selain melihat pancamaya melihat urub siji wolu kang warni ‘sinar tunggal berwarna delapan’. Disebutkan bahwa sinar tunggal berwarna delapan adalah “Sesungguhnya Warna”, itulah Yang Tunggal. Seluiruh warna juga berada pada Bima. Demikian pula seluruh isi bumi tergambar pada badan Bima. Dunia kecil, mikrokosmos, dan dunia besar, makrokosmos, isinya tidak ada bedanya. Jika warna-warna yang ada di dunia itu hilang, maka seluruh warna akan menjadi tidak ada, kosong, terkumpul kembali kepada warna yang sejati, Yang Tunggal.




Hatiku selembar daun...

Kenapa CLIFFORD GEERTZ tergila-gila dengan Bima salah satu tokoh wayang Jawa? (2)

Kenapa CLIFFORD GEERTZ tergila-gila dengan Bima salah satu tokoh wayang Jawa? (2)


Nilai Filosofis Bima Melihat Benda bagaikan Boneka Gading yang Bersinar

Bima dalam badan Dewaruci di samping melihat pancamaya, empat warna cahaya, sinar tunggal berwarna delapan, ia melihat benda bagaikan boneka hading yang bersinar. Itu adalah Pramana, secara filosofis melambangkan Roh. Pramana ‘Roh’ kedudukannya dibabtasi oleh jasad. Dalam teks diumpamakan bagaikan lebah tabuhan. Di dalamnya terdapat anak lebah yang menggantung menghadap ke bawah. Akibatnya mereka tidak tahu terhadap kenyataan yang ada di atasnya (Hadiwijono, 1983:40).

Nilai Filisofis Perjalanan Bima yang Berkaitan dengan Makrifat

Makrifat (Jawa laku rasa, sembah rasa) adalah perjalanan menuju manusia sempurna yang paling tinggi. Secara harfiah makrifat berarti pengetahuan atau mengetahui sesuatu dengan seyakin-yakinnya (Aceh, 1987:67). Dalam tasawuf, makrifat berarti mengenal langsung atau mengetahui langsung tentang Tuhan dengan sebenar-benarnya atas wahyu atau petunjuk-Nya (Nicholson, 1975:71), meliputi zat dan sifatnya. Pencapaian tataran ini diperoleh lewat tataran tarekat, yaitu ditandai dengan mulai tersingkapnya tirai yang menutup hati yang merintangi manusia dengan Tuhannya. Setelah tirai tersingkap maka manusia akan merasakan bahwa diri manusia dan alam tidak ada, yang ada hanya Yang Ada. Dalam hal seperti ini zat Tuhan telah masuk menjadi satu pada manusia. Manusia telah merealisasikan kesatuannya dengan Yang Ilahi. Keadaan ini tidak dapat diterangkan (Nicholson, 1975:148) (Jawa tan kena kinaya ngapa) (Mulyono, 1982:47), yang dirasakan hanyalah indah (Zahri, 1984:89). Dalam masyarakat Jawa hal ini disebut dengan istilah manunggaling kawula Gusti, pamoring kawula Gusti, jumbuhing kawula Gusti, warangka manjing curiga curiga manjing warangka.

Pada titik ini manusia tidak akan diombang-ambingkan oleh suka duka dunia. Ia akan berseri bagaikan bulan purnama menyinari bumi, membuat dunia menjadi indah. Di dunia ia menjadi wakil Tuhan (wakiling Gusti), menjalankan kewajiban-kewajiban-Nya dan memberi inspirasi kepada manusia yang lain (de Jong, 1976:69; Mulder, 1983:25). Ia mampu mendengar, merasa, dan melihat apa yang tidak dapat dikerjakan oleh manusia yang masih diselubingi oleh kebendaan, syahwat, dan segala kesibukan dunia yang fana ini (Aceh, 1987:70). Tindakan diri manusia semata-mata menjadi laku karena Tuhan (Subagya, 1976:85).

Keadaan yang dialami oleh Bima yang mencerminkan bahwa dirinya telah mencapai tahap makrifat, di antaranya ia merasakan: keadaan dirinya dengan Tuhannya bagaikan air dengan ombak, nikmat dan bermanfaat, segala yang dimaksud olehnya tercapai, hidup dan mati tidak ada bedanya, serta berseri bagaikan sinar bulan purnama menyinari bumi.

Nilai Filosofis Hamba (Bima) dengan Tuhan bagaikan Air dengan Ombak

Wujud “Yang Sesungguhnya”, yang meliputi segala yang ada di dunia, yang hidup tidak ada yang menghidupi, yang tidak terikat oleh waktu, yaitu Yang Ada telah berada pada Bima, telah menunggal menjadi satu. Jika telah manunggal penglihatan dan pendengaran Bima menjadi penglihatan dan pendengaran-Nya (bdk. Nicholson, 1975:100-1001). Badan lahir dan badan batin Suksma telah ada pada Bima, hamba dengan Tuhan bagaikan api dengan asapnya, bagaikan air dengan ombak, bagaikan minyak di atas air susu.
Namun, bagaimana pun juga hamba dengan zat Tuhannya tetap berbeda (Nicholson, 1975:158-159). Yang mendekati kesamaan hanyalah dalam sifatnya. Dalam keadaan manunggal manusia memiliki sifat-sifat Ilahi (Hadiwijono, 1983:94).
Perumpamaan manusia dalam keadaan yang sempurna dengan Tuhannya, bagaikan air dengan ombak ada kesamaannya dengan yang terdapat dalam kepercayaan agama Siwa. Dalam agama Siwa kesatuan antara hamba dengan dewa Siwa disebutkan seperti kesatuan air dengan laut, sehingga keduanya tidak dapat dibedakan lagi. Tubuh Sang Yogin yang telah mencapai kalepasan segera akan berubah menjadi tubuh dewa Siwa. Ia akan mendapatkan sifat-sifat yang sama dengan sifat dewa Siwa (Hadiwijono, 1983:45).

Nilai Filosofis Bima Merasakan Nikmat dan Bermanfaat

Bima setelah manunggal dengan Tuhannya tidak merasakan rasa khawatir, tidak berniat makan dan tidur, tidak merasakan lapar dan mengantuk, tidak merasakan kesulitan, hanya nikmat yang memberi berkah karena segala yang dimaksud dapat tercapai. Hal ini menyebabkan Bima ingin manunggal terus. Ia telah memperoleh kebahagiaan nikmat rahmat yang terkandung pada kejadian dunia dan akhirat. Sinar Ilahi yang melahirkan kenikmatan jasmani dan kebahagian rohani telah ada pada Bima. Oleh kaum filsafat, itulah yang disebut surga (Hamka, 1984:139). Keadaan ini secara filosofis melambangkan bahwa Bima telah mencapai tahap makrifat.

Nilai Filosofis Segala yang Dimaksud oleh Bima Tercapai

Segala yang menjadi niat hatinya terkabul, apa yang dimaksud tercapai, dan apa yang dicipta akan datang, jika hamba telah bisa manunggal dengan Tuhannya. Segala yang dimaksud oleh Bima telah tercapai. Keadaan ini secara filosofis melambangkan bahwa Bima telah mencapai tataran makrifat.
Segala yang diniatkan oleh hamba yang tercapai ini kadang-kadang bertentangan dengan hukum alam sehingga menjadi suatu keajaiban. Keajaiban itu dapat terjadi sewaktu hamba dalam kendali Ilahi (Nicholson, 1975:132). Ada dua macam keajaiban, yang pertama yang dilakukan oleh para wali disebut keramat dan yang kedua keajaiban yang dilakukan oleh para nabi disebut mukjizat (Nicholson, 1975:129).

Nilai Filosofis Bima Merasakan Bahwa Hidup dan Mati Tidak Ada Bedanya

Hidup dan mati tidak ada bedanya karena dalam hidup di dunia hendaklah manusia dapat mengendalikan atau mematikan nafsu yang tidak baik dalam dalam kematian manusia akan kembnali menjadi satu dengan Tuhannya. Mati merupakan perpindahan rohani dari sangkar kecil menuju kepada kebebasan yang luas, kembali kepada-Nya. Dalam kematian raga nafsu yang tidak sempurna dan yang menutupi kesempurnaan akan rusak. Yang tinggal hanyalah Suksma. Ia kemudian bebas merdeka sesuai kehendaknya kembali manunggal kepada Yang Kekal (Marsono, 1997:799). Keadaan bahwa hidup dan mati tidak ada bedanya secara filosofis melambangkan bahwa tokoh Bima telah mencapai tahap makrifat.

Nilai Filosofis Hati Bima Terang bagaikan Bunga yang Sedang Mekar

Bima setelah mengetahui, menghayati, dan mengalami manunggal sempurna dengan Tuhannya karena mendapatkan wejangan dari Dewaruci, ia hatinga terang bagaikan kuncup bunga yang sedang mekar. Dewaruci kemudian musnah. Bima kembali kepada alam dunia semula. Ia naik ke darat kembali ke Ngamarta. Keadaan hati yang terang benderang bagaikan kuncup bunga yang sedang mekar secara filosofis melambangkan bahwa Bima telah mencapai tahap makrifat.

Kesimpulan

Kisah Bima dalam mencari tirta pawitra dalam cerita Dewaruci secara filosofis melambangkan bagaimana manusia harus menjalani perjalanan batin guna menemukan identitas dirinya atau pencarian sangkan paraning dumadi ‘asal dan tujuan hidup manusia’ atau manunggaling kawula Gusti. Dalam kisah ini termuat amanat ajaran konsepsi manusia, konsepsi Tuhan, dan bagaimana manusia menuju Tuhannya. Konsepsi manusia disebutkan bahwa ia berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada-Nya. Ia dijadikan dari air. Ia wajib menuntut ilmu. Dalam menuntut ilmu tugas guru hanya memberi petunjuk. Manusia tidak memiliki karena segala yang ada adalah milik-Nya. Ia wajib selalu ingat terhadap Tuhannya, awas dan waspada terhadap segala godaan nafsu yang tidak baik, sebab pada akhirnya manusia akan kembali kepada-Nya. Konsepsi Tuhan disebutkan bahwa Ia Yang Awal dan Yang Akhir, Hidup dan Yang Menghidupkan, Mahatahu, dan Mahabesar. Ia tan kena kinaya ngapa ‘tidak dapat dikatakan dengan apa pun’.
Kisah perjalanan batin Bima dalam menuju manusia sempurna ini dapat dibagi menjadi empat tahap, yaitu: syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat (Jawa sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa, dan sembah rasa).