Yudhistira
Yudistira (Sanskerta: युधिष्ठिर; Yudhiṣṭhira) alias Dharmawangsa, adalah salah satu tokoh protagonis dalam wiracarita Mahabharata. Ia merupakan seorang raja yang memerintah kerajaan Kuru, dengan pusat pemerintahan di Hastinapura. Ia merupakan yang tertua di antara lima Pandawa, atau para putera Pandu.
Dalam tradisi pewayangan, Yudistira diberi gelar "Prabu" dan memiliki julukan Puntadewa, sedangkan kerajaannya disebut dengan nama Kerajaan Amarta.
Nama Yudistira dalam bahasa Sanskerta bermakna "teguh atau kokoh dalam peperangan". Ia juga dikenal dengan sebutan Dharmaraja, yang bermakna "raja Dharma", karena ia selalu berusaha menegakkan dharma sepanjang hidupnya.
Beberapa julukan lain yang dimiliki Yudhisthira adalah:
Ajataśatru, "yang tidak memiliki musuh".
Bhārata, "keturunan Maharaja Bharata".
Dharmawangsa atau Dharmaputra, "keturunan Dewa Dharma".
Kurumukhya, "pemuka bangsa Kuru".
Kurunandana, "kesayangan Dinasti Kuru".
Kurupati, "raja Dinasti Kuru".
Pandawa, "putera Pandu".
Partha, "putera Prita atau Kunti".
Beberapa di antara nama-nama di atas juga dipakai oleh tokoh-tokoh Dinasti Kuru lainnya, misalnya Arjuna, Bisma, dan Duryodana. Selain nama-nama di atas, dalam versi pewayangan Jawa masih terdapat beberapa nama atau julukan yang lain lagi untuk Yudistira, misalnya:
Puntadewa, "derajat keluhurannya setara para dewa".
Yudistira, "pandai memerangi nafsu pribadi".
Gunatalikrama, "pandai bertutur bahasa".
Samiaji, "menghormati orang lain bagai diri sendiri".
Sifat-sifat Yudistira tercermin dalam nama-nama julukannya, sebagaimana telah disebutkan di atas. Sifatnya yang paling menonjol adalah adil, sabar, jujur, taat terhadap ajaran agama, penuh percaya diri, dan berani berspekulasi. Kesaktian Yudistira dalam Mahabharata terutama dalam hal memainkan senjata tombak. Sementara itu, versi pewayangan Jawa lebih menekankan pada kesaktian batin, misalnya ia pernah dikisahkan menjinakkan hewan-hewan buas di hutan Wanamarta dengan hanya meraba kepala mereka.
Yudistira dalam pewayangan beberapa pusaka, antara lain Jamus Kalimasada, Tunggulnaga, dan Robyong Mustikawarih. Kalimasada berupa kitab, sedangkan Tunggulnaga berupa payung. Keduanya menjadi pusaka utama kerajaan Amarta. Sementara itu, Robyong Mustikawarih berwujud kalung yang terdapat di dalam kulit Yudistira. Pusaka ini adalah pemberian Gandamana, yaitu patih kerajaan Hastina pada zaman pemerintahan Pandu. Apabila kesabaran Yudistira sampai pada batasnya, ia pun meraba kalung tersebut dan seketika itu pula ia pun berubah menjadi raksasa besar berkulit putih bersih.
Yudistira adalah putera tertua pasangan Pandu dan Kunti. Kitab Mahabharata bagian pertama atau Adiparwa mengisahkan tentang kutukan yang dialami Pandu setelah membunuh brahmana bernama Resi Kindama tanpa sengaja. Brahmana itu terkena panah Pandu ketika ia dan istrinya sedang bersanggama dalam wujud sepasang rusa. Menjelang ajalnya tiba, Resi Kindama sempat mengutuk Pandu bahwa kelak ia akan mati ketika mengawini istrinya. Dengan penuh penyesalan, Pandu meninggalkan tahta Hastinapura dan memulai hidup sebagai pertapa di hutan demi untuk mengurangi hawa nafsu. Kedua istrinya, yaitu Kunti dan Madri dengan setia mengikutinya.
Pada suatu hari, Pandu mengutarakan niatnya ingin memiliki anak. Kunti yang menguasai mantra Adityahredaya segera mewujudkan keinginan suaminya itu. Mantra tersebut adalah ilmu pemanggil dewa untuk mendapatkan putera. Dengan menggunakan mantra itu, Kunti berhasil mendatangkan Dewa Dharma dan mendapatkan anugerah putera darinya tanpa melalui persetubuhan. Putera pertama itu diberi nama Yudistira. Dengan demikian, Yudistira menjadi putera sulung Pandu, sebagai hasil pemberian Dharma, yaitu dewa keadilan dan kebijaksanaan. Sifat Dharma itulah yang kemudian diwarisi oleh Yudistira sepanjang hidupnya.
Kisah dalam pewayangan Jawa agak berbeda. Menurut versi ini, Puntadewa merupakan anak kandung Pandu yang lahir di istana Hastinapura. Kedatangan Bhatara Dharma hanya sekadar menolong kelahiran Puntadewa dan memberi restu untuknya. Berkat bantuan dewa tersebut, Puntadewa lahir melalui ubun-ubun Kunti. Dalam pewayangan Jawa, nama Puntadewa lebih sering dipakai, sedangkan nama Yudistira baru digunakan setelah ia dewasa dan menjadi raja. Versi ini melukiskan Puntadewa sebagai seorang manusia berdarah putih, yang merupakan kiasan bahwa ia adalah sosok berhati suci dan selalu menegakkan kebenaran.
Yudistira dan keempat adiknya, yaitu Bima (Bimasena), Arjuna, Nakula, dan Sadewa kembali ke Hastinapura setelah ayah mereka (Pandu) meninggal dunia. Adapun kelima putera Pandu itu terkenal dengan sebutan para Pandawa, yang semua lahir melalui mantra Adityahredaya. Kedatangan para Pandawa membuat sepupu mereka, yaitu para Korawa yang dipimpin Duryodana merasa cemas. Putera-putera Dretarastra itu takut kalau Pandawa sampai berkuasa di kerajaan Kuru. Dengan berbagai cara mereka berusaha menyingkirkan kelima Pandawa, terutama Bima yang dianggap paling kuat. Di lain pihak, Yudistira selalu berusaha untuk menyabarkan Bima supaya tidak membalas perbuatan para Korawa.
Pandawa dan Korawa kemudian mempelajari ilmu agama, hukum, dan tata negara kepada Resi Krepa. Dalam pendidikan tersebut, Yudistira tampil sebagai murid yang paling pandai. Krepa sangat mendukung apabila tahta Hastinapura diserahkan kepada Pandawa tertua itu. Setelah itu, Pandawa dan Korawa berguru ilmu perang kepada Resi Drona. Dalam pendidikan kedua ini, Arjuna tampil sebagai murid yang paling pandai, terutama dalam ilmu memanah. Sementara itu, Yudistira sendiri lebih terampil dalam menggunakan senjata tombak.
Selama Pandu hidup di hutan sampai akhirnya meninggal dunia, tahta Hastinapura untuk sementara dipegang oleh kakaknya, yaitu Dretarastra, ayah para Korawa. Ketika Yudistira menginjak usia dewasa, sudah tiba saatnya bagi Dretarastra untuk menyerahkan tahta kepada Yudhisthira, selaku putera sulung Pandu. Sementara itu putera sulung Dretarastra, yaitu Duryodana berusaha keras merebut tahta dan menyingkirkan Pandawa. Dengan bantuan pamannya dari pihak ibu, yaitu Sangkuni, Duryodana pura-pura menjamu kelima sepupunya itu dalam sebuah gedung di Waranawata, dimana gedung itu terbuat dari bahan yang mudah terbakar.
Ketika malam tiba, para Korawa membakar gedung tempat para Pandawa dan Kunti, ibu mereka, tidur. Namun, Yudistira sudah mempersiapkan diri karena rencana pembunuhan itu telah terdengar oleh pamannya, yaitu Widura adik Pandu. Akibatnya, kelima Pandawa dan Kunti berhasil lolos dari maut. Pandawa dan Kunti kemudian menjalani berbagai pengalaman sulit.
Setelah lolos dari jebakan maut Korawa, para Pandawa dan Kunti pergi melintasi kota Ekachakra, lalu tinggal sementara di kerajaan Panchala. Arjuna berhasil memenangkan sayembara di kerajaan tersebut dan memperoleh seorang puteri cantik yang bernama Dropadi. Tanpa sengaja Kunti memerintahkan agar Dropadi dibagi lima. Akibatnya, Dropadi pun menjadi istri kelima Pandawa.
Dari perkawinan dengan Yudistira, Dropadi melahirkan Pratiwindya, dari Bima lahir Sutasoma, dari Arjuna lahir Srutasena, dari Nakula lahir Satanika, dan dari Sadewa lahir Srutakirti.
Versi Jawa menyebut Dropadi dengan nama "Drupadi". Menurut pewayangan Jawa, setelah memenangkan sayembara, Arjuna menyerahkan putri itu kepada Puntadewa selaku kakak tertua. Semula Puntadewa menolak, namun setelah didesak oleh ibu dan keempat adiknya, akhirnya ia pun bersedia menikahi Drupadi. Dari perkawinan itu lahir seorang putera bernama Pancawala. Jadi, menurut versi asli, tokoh Dropadi menikah dengan kelima Pandawa, sedangkan menurut versi Jawa, ia hanya menikah dengan Yudistira seorang.
Setelah menikahi Dropadi, para Pandawa kembali ke Hastinapura dan memperoleh sambutan luar biasa, kecuali dari pihak Duryodana. Persaingan antara Pandawa dan Korawa atas tahta Hastinapura kembali terjadi. Para sesepuh akhirnya sepakat untuk memberi Pandawa sebagian dari wilayah kerajaan tersebut.
Korawa yang licik mendapatkan istana Hastinapura, sedangkan Pandawa mendapatkan hutan Kandawaprastha sebagai tempat untuk membangun istana baru. Meskipun daerah tersebut sangat gersang dan angker, namun para Pandawa mau menerima wilayah tersebut. Selain wilayahnya yang seluas hampir setengah wilayah kerajaan Kuru, Kandawaprastha juga merupakan ibukota kerajaan Kuru yang dulu, sebelum Hastinapura. Para Pandawa dibantu sepupu mereka, yaitu Kresna dan Baladewa, dan berhasil membuka Kandawaprastha menjadi pemukiman baru.
Para Pandawa kemudian memperoleh bantuan dari Wiswakarma, yaitu ahli bangunan dari kahyangan, dan juga Anggaraparna dari bangsa Gandharwa. Maka terciptalah sebuah istana megah dan indah bernama Indraprastha, yang bermakna "kota Dewa Indra".
Dalam versi pewayangan Jawa, nama Indraprastha lebih terkenal dengan sebutan kerajaan Amarta. Menurut versi ini, hutan yang dibuka para Pandawa bukan bernama Kandawaprastha, melainkan bernama Wanamarta.
Versi Jawa mengisahkan, setelah sayembara Dropadi, para Pandawa tidak kembali ke Hastinapura melainkan menuju kerajaan Wirata, tempat kerabat mereka yang bernama Prabu Matsyapati berkuasa. Matsyapati yang bersimpati pada pengalaman Pandawa menyarankan agar mereka membuka kawasan hutan tak bertuan bernama Wanamarta menjadi sebuah kerajaan baru. Hutan Wanamarta dihuni oleh berbagai makhluk halus yang dipimpin oleh lima bersaudara, bernama Yudistira, Danduncana, Suparta, Sapujagad, dan Sapulebu. Pekerjaan Pandawa dalam membuka hutan tersebut mengalami banyak rintangan. Akhirnya setelah melalui suatu percakapan, para makhluk halus merelakan Wanamarta kepada para Pandawa.
Yudistira kemudian memindahkan istana Amarta dari alam jin ke alam nyata untuk dihuni para Pandawa. Setelah itu, ia dan keempat adiknya menghilang. Salah satu versi menyebut kelimanya masing-masing menyatu ke dalam diri lima Pandawa. Puntadewa kemudian menjadi Raja Amarta setelah didesak dan dipaksa oleh keempat adiknya. Untuk mengenang dan menghormati raja jin yang telah memberinya istana, Puntadewa pun memakai gelar Prabu Yudistira.
Setelah menjadi Raja Amarta, Puntadewa berusaha keras untuk memakmurkan negaranya. Konon terdengar berita bahwa barang siapa yang bisa menikahi puteri Kerajaan Slagahima yang bernama Dewi Kuntulwinanten, maka negeri tempat ia tinggal akan menjadi makmur dan sejahtera. Puntadewa sendiri telah memutuskan untuk memiliki seorang istri saja. Namun karena Dropadi mengizinkannya menikah lagi demi kemakmuran negara, maka ia pun berangkat menuju Kerajaan Slagahima. Di istana Slagahima telah berkumpul sekian banyak raja dan pangeran yang datang melamar Kuntulwinanten. Namun sang puteri hanya sudi menikah dengan seseorang yang berhati suci, dan ia menemukan kriteria itu dalam diri Puntadewa. Kemudian Kuntulwinanten tiba-tiba musnah dan menyatu ke dalam diri Puntadewa.
Sebenarnya Kuntulwinanten bukan manusia asli, melainkan wujud penjelmaan anugerah dewata untuk seorang raja adil yang hanya memikirkan kesejahteraan negaranya. Sedangkan anak raja Slagahima yang asli bernama Tambakganggeng. Ia kemudian mengabdi kepada Puntadewa dan diangkat sebagai patih di kerajaan Amarta.
Kitab Mahabharata bagian kedua atau Sabhaparwa mengisahkan niat Yudistira untuk menyelenggarakan upacara Rajasuya demi menyebarkan dharma dan menyingkirkan raja-raja angkara murka. Bima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa memimpin tentara masing-masing ke empat penjuru Bharatawarsha (India Kuno) untuk mengumpulkan upeti dalam penyelenggaraan upacara agung tersebut.
Pada saat yang sama, seorang raja angkara murka juga mengadakan upacara mengorbankan seratus orang raja. Raja tersebut bernama Jarasanda dari kerajaan Magadha. Yudistira mengirim Bima dan Arjuna dengan didampingi Kresna sebagai penasihat untuk menumpas Jarasanda. Akhirnya, melalui sebuah pertandingan seru, Bima berhasil membunuh Jarasanda.
Setelah semua persyaratan terpenuhi, Yudistira melaksanakan upacara Rajasuya yang dihadiri sekian banyak kaum raja dan pendeta. Dalam kesempatan itu, Yudistira ditetapkan sebagai Maharajadhiraja. Kemudian muncul seorang sekutu Jarasanda bernama Sisupala yang menghina Kresna di depan umum. Setelah melewati penghinaan ke-100, Krishna akhirnya memenggal kepala Sisupala di depan umum.
Ketika menjadi tamu dalam acara Rajasuya, Duryodana sangat kagum sekaligus iri menyaksikan keindahan istana Indraprastha. Timbul niatnya untuk merebut kerajaan itu, apalagi setelah ia tersinggung oleh ucapan Dropadi dalam sebuah pertemuan. Sangkuni membantu niat Duryodhana dengan memanfaatkan kegemaran Yudistira terhadap permainan dadu. Yudistira memang seorang ahli agama, namun di sisi lain ia sangat menyukai permainan tersebut. Undangan Duryodana diterimanya dengan baik. Permainan dadu antara Pandawa melawan Korawa diadakan di istana Hastinapura. Mula-mula Yudistira hanya bertaruh kecil-kecilan. Namun semuanya jatuh ke tangan Duryodana berkat kepandaian Sakuni dalam melempar dadu.
Hasutan Sangkuni membuat Yudistira nekad mempertaruhkan semua hartanya, bahkan Indraprastha. Akhirnya, negeri yang dibangun dengan susah payah itu pun jatuh ke tangan lawan. Yudistira yang sudah gelap mata juga mempertaruhkan keempat adiknya secara berurutan. Keempatnya pun jatuh pula ke tangan Duryodana satu per satu, bahkan akhirnya Yudistira sendiri. Duryodana tetap memaksa Yudistira yang sudah kehilangan kemerdekaannya untuk melanjutkan permainan, dengan mempertaruhkan Dropadi. Akibatnya, Dropadi pun ikut bernasib sama.
Ratapan Dropadi saat dipermalukan di depan umum terdengar oleh Gandari, ibu para Korawa. Ia memerintahkan agar Duryodana menghentikan permainan dan mengembalikan semuanya kepada Pandawa. Dengan berat hati, Duryodhana terpaksa mematuhi perintah ibunya itu. Duryodana yang kecewa kembali menantang Yudistira beberapa waktu kemudian. Kali ini peraturannya diganti. Barang siapa yang kalah harus menyerahkan negara beserta isinya, dan menjalani hidup di hutan selama 12 tahun serta menyamar selama setahun di dalam sebuah kerajaan. Apabila penyamaran itu terbongkar, maka wajib mengulangi lagi pembuangan selama 12 tahun dan menyamar setahun, begitulah seterusnya. Akhirnya berkat kelicikan Sakuni, pihak Pandawa pun mengalami kekalahan untuk yang kedua kalinya. Sejak saat itu lima Pandawa dan Dropadi menjalani masa pembuangan mereka di hutan.
Kehidupan para Pandawa dan Dropadi dalam menjalani masa pembuangan selama 12 tahun di hutan dikisahkan pada jilid ketiga kitab Mahabharata yang dikenal dengan sebutan Wanaparwa.
Yudistira yang merasa paling bertanggung jawab atas apa yang menimpa keluarga dan negaranya berusaha untuk tetap tabah dalam menjalani hukuman. Ia sering berselisih paham dengan Bima yang ingin kembali ke Hastinapura untuk menumpas para Korawa. Meskipun demikian, Bima tetap tunduk dan patuh terhadap perintah Yudistira supaya menjalani hukuman sesuai perjanjian.
Suatu ketika para Korawa datang ke dalam hutan untuk berpesta demi menyiksa perasaan para Pandawa. Namun, mereka justru berselisih dengan kaum Gandharwa yang dipimpin Citrasena. Dalam peristiwa itu Duryodana tertangkap oleh Citrasena. Akan tetapi, Yudistira justru mengirim Bima dan Arjuna untuk menolong Duryodana. Ia mengancam akan berangkat sendiri apabila kedua adiknya itu menolak perintah. Akhirnya kedua Pandawa itu berhasil membebaskan Duryodana. Niat Duryodana datang ke hutan untuk menyiksa perasaan para Pandawa justru berakhir dengan rasa malu luar biasa yang ia rasakan.
Peristiwa lain yang terjadi adalah penculikan Dropadi oleh Jayadrata, adik ipar Duryodana. Bima dan Arjuna berhasil menangkap Jayadrata dan hampir saja membunuhnya. Yudistira muncul dan memaafkan raja kerajaan Sindu tersebut.
Pada suatu hari menjelang berakhirnya masa pembuangan, Yudistira dan keempat adiknya membantu seorang brahmana yang kehilangan peralatan upacaranya karena tersangkut pada tanduk seekor rusa liar. Dalam pengejaran terhadap rusa itu, kelima Pandawa merasa haus. Yudistira pun menyuruh Sadewa mencari air minum. Karena lama tidak kembali, Nakula disuruh menyusul, kemudian Arjuna, lalu akhirnya Bima menyusul pula. Yudistira semakin cemas karena keempat adiknya tidak ada yang kembali.
Yudistira kemudian berangkat menyusul Pandawa dan menjumpai mereka telah tewas di tepi sebuah telaga. Muncul seorang raksasa yang mengaku sebagai pemilik telaga itu. Ia menceritakan bahwa keempat Pandawa tewas keracunan air telaganya karena mereka menolak menjawab pertanyaan sang raksasa. Sambil menahan haus, Yudistira mempersilakan Sang Raksasa untuk bertanya. Satu per satu pertanyaan demi pertanyaan berhasil ia jawab. Akhirnya, Sang Raksasa pun mengaku kalah, namun ia hanya sanggup menghidupkan satu orang saja. Dalam hal ini, Yudistira memilih Nakula untuk dihidupkan kembali. Raksasa heran karena Nakula adalah adik tiri, bukan adik kandung. Yudistira menjawab bahwa dirinya harus berlaku adil. Ayahnya, yaitu Pandu memiliki dua orang istri. Karena Yudistira lahir dari Kunti, maka yang dipilihnya untuk hidup kembali harus putera yang lahir dari Madri, yaitu Nakula.
Raksasa terkesan pada keadilan Yudistira. Ia pun kembali ke wujud aslinya, yaitu Dewa Dharma. Kedatangannya dengan menyamar sebagai rusa liar dan raksasa adalah untuk memberikan ujian kepada para Pandawa. Berkat keadilan dan ketulusan Yudistira, maka tidak hanya Nakula yang dihidupkan kembali, melainkan juga Bima, Arjuna, dan Sadewa.
Setelah 12 tahun menjalani pembuangan di hutan, kelima Pandawa dan Dropadi kemudian memasuki masa penyamaran selama setahun. Sebagai tempat persembunyian, mereka memilih Kerajaan Matsya yang dipimpin oleh Wirata. Kisah ini terdapat dalam kitab Mahabharata jilid keempat atau Wirataparwa.
Yudistira menyamar dengan nama Kanka di mana ia diterima sebagai kusir kereta Raja Wirata. Bima menjadi Balawa sebagai tukang masak, Arjuna menjadi Wrihanala sebagai banci guru tari, Nakula menjadi Damagranti sebagai tukang kuda, Sadewa menjadi Tantripala sebagai penggembala sapi, sedangkan Dropadi menjadi Sailandri sebagai dayang istana.
Pada akhir tahun penyamaran Pandawa, terjadi peristiwa serangan kerajaan Kuru terhadap kekuasaan Wirata. Seluruh kekuatan kerajaan Matsya dikerahkan menghadapi tentara kerajaan Trigartha, sekutu Duryodhana. Akibatnya, istana Matsya menjadi kosong dan dalam keadaan terancam oleh serangan pasukan Hastinapura. Utara putera Wirata yang ditugasi menjaga istana, berangkat ditemani Wrihanala (Arjuna) sebagai kusir. Di medan perang Wrihanala membuka samaran dan tampil menghadapi pasukan Duryodana sebagai Arjuna. Seorang diri ia berhasil memukul mundur pasukan dari Hastinapura tersebut. Sementara itu, pasukan Wirata juga mendapat kemenangan atas pasukan Trigartha. Wirata dengan bangga memuji-muji kehebatan Utara yang berhasil mengalahkan para Korawa seorang diri. Kanka alias Yudistira menjelaskan bahwa kunci kemenangan Utara adalah Wrihanala. Hal itu membuat Wirata tersinggung dan memukul kepala Kanka sampai berdarah.
Dalam versi pewayangan Jawa, Wirata adalah nama kerajaan, bukan nama orang. Sedangkan rajanya bernama Matsyapati. Dalam kerajaan tersebut, Yudistira atau Puntadewa menyamar sebagai pengelola pasar ibu kota bernama Dwijakangka.
Saat batas waktu penyamaran telah genap setahun, kelima Pandawa dan Dropadi pun membuka penyamaran. Mengetahui hal itu, Wirata merasa sangat menyesal telah memperlakukan mereka dengan buruk. Ia pun berjanji akan menjadi sekutu Pandawa dalam usaha mendapatkan kembali takhta Indraprastha.
Ketika para Pandawa pulang ke Hastinapura demi menuntut hak yang seharusnya mereka terima, Duryodana bersikap sinis terhadap mereka. Ia tidak mau menyerahkan Hastinapura kepada Yudistira. Berbagai usaha damai dilancarkan pihak Pandawa namun selalu ditolak oleh Duryodana. Bahkan, Duryodana tetap menolak ketika Yudistira hanya meminta lima buah desa saja, bukan seluruh Indraprastha. Pada puncaknya, Duryodana berusaha membunuh duta Pandawa, yaitu Kresna, namun gagal.
Perang antara Pandawa dan Korawa tidak dapat lagi dihindari. Para pujangga Jawa menyebut peristiwa itu dengan nama Bharatayuddha. Sementara itu dalam Mahabharata kisah perang besar tersebut ditemukan pada jilid keenam sampai kesepuluh.
Pada bagian Bhismaparwa dikisahkan bahwa sebelum perang hari pertama dimulai, Yudistira turun dari keretanya berjalan kaki ke arah pasukan Korawa yang berbaris di hadapannya. Duryodana mengejeknya sebagai pengecut yang langsung menyerah begitu melihat kekuatan Korawa dan sekutu mereka. Namun, kedatangan Yudistira bukan untuk menyerah, melainkan meminta doa restu kepada empat sesepuh yang berperang di pihak lawan. Mereka adalah Bisma, Krepa, Drona, dan Salya. Keempatnya mendoakan semoga pihak Pandawa menang. Hal itu tentu saja membuat Duryodana sakit hati.
Yudistira kembali ke pasukannya. Ia mempersilakan siapa saja yang ingin pindah pasukan sebelum perang benar-benar dimulai. Ternyata yang pindah justru adik tiri Duryodhana yang lahir dari selir, bernama Yuyutsu, yang bergerak meninggalkan Korawa untuk bergabung bersama Pandawa.
Bisma memimpin pasukan Korawa selama sepuluh hari. Setelah ia tumbang, kedudukannya digantikan oleh Drona, yang mendapat amanat dari Duryodana supaya menangkap Yudistira hidup-hidup. Drona senang atas tugas tersebut, padahal niat Duryodana adalah menjadikan Yudistira sebagai sandera untuk memaksa para pendukungnya menyerah. Berbagai cara dilancarkan Drona untuk menangkap Yudistira. Tidak terhitung banyaknya sekutu Pandawa yang tewas di tangan Drona karena melindungi Yudistira, misalnya Drupada dan Wirata.
Akhirnya pada hari ke-15, penasihat Pandawa, yaitu Kresna menemukan cara untuk mengalahkan Drona, yaitu dengan mengumumkan berita kematian seekor gajah bernama Aswatama. Aswatama juga merupakan nama putera tunggal Drona. Kemiripan nama tersebut dimanfaatkan oleh Kresna untuk menipu Drona. Atas perintah Kresna, Bima segera membunuh gajah itu dan berteriak mengumumkan kematiannya. Drona cemas mendengar berita kematian Aswatama. Ia segera mendatangi Yudistira yang dianggapnya sebagai manusia paling jujur untuk bertanya tentang kebenaran berita tersebut. Yudistira terpaksa bersikap tidak jujur. Ia membenarkan berita kematian Aswatama tanpa berusaha menjelaskan bahwa yang mati adalah gajah, bukan putera Drona.
Jawaban Yudistira itu membuat Drona jatuh lemas. Ia membuang semua senjatanya dan duduk bermeditasi. Tiba-tiba saja Drestadyumna putera Drupada mendatanginya dan kemudian memenggal kepalanya dari belakang. Drona pun tewas seketika. Dalam peristiwa ini yang paling merasa bersalah adalah Yudistira.
Menurut versi Jawa, nama gajah yang dibunuh Bima bukan Aswatama, melainkan Hastitama. Ketika Drona menanyakan hal itu, Puntadewa menjawab bahwa yang mati adalah Hastitama, namun dengan suara yang sangat pelan. Akibatnya, terdengar oleh Drona bahwa yang mati adalah Aswatama. Selanjutnya, Drona yang lengah pun tewas dipenggal Drestadyumna.
Salya adalah kakak ipar Pandu yang terpaksa membantu Korawa karena tipu daya mereka. Pada hari ke-18, ia diangkat sebagai panglima oleh Duryodana. Akhirnya ia pun tewas terkena tombak Yudistira.
Naskah Bharatayuddha berbahasa Jawa Kuno mengisahkan bahwa Salya memakai senjata bernama Rudrarohastra, sedangkan Yudistira memakai senjata bernama Kalimahosaddha. Pusaka Yudistira yang berupa kitab itu dilemparkannya dan tiba-tiba berubah menjadi tombak menembus dada Salya.
Sementara itu menurut versi pewayangan Jawa, Salya mengerahkan ilmu Candabirawa berupa raksasa kerdil mengerikan, yang jika dilukai jumlahnya justru bertambah banyak. Puntadewa maju mengheningkan cipta. Candabirawa lumpuh seketika karena Puntadewa telah dirasuki arwah Resi Bagaspati, yaitu pemilik asli ilmu tersebut. Selanjutnya, Puntadewa melepaskan Jamus Kalimasada yang melesat menghantam dada Salya. Salya pun tewas seketika.
Setelah kehabisan pasukan, Duryodhana bersembunyi di dasar telaga. Kelima Pandawa didampingi Kresna berhasil menemukan tempat itu. Duryodana pun naik ke darat siap menghadapi kelima Pandawa sekaligus. Yudistira menolak tantangan Duryodhana karena Pandawa pantang berbuat pengecut dengan cara main keroyok, sebagaimana para Korawa ketika membunuh Abimanyu pada hari ke-13. Sebaliknya, Duryodana dipersilakan bertarung satu lawan satu melawan salah seorang di antara lima Pandawa. Apabila ia kalah, maka kerajaan harus dikembalikan kepada Pandawa. Sebaliknya apabila ia menang, Yudistira bersedia kembali hidup di hutan.
Bima terkejut mendengar keputusan Yudistira yang seolah-olah memberi kesempatan Duryodana untuk berkuasa lagi, padahal kemenangan Pandawa tinggal selangkah saja. Dalam hal ini Yudistira justru menyalahkan Bima yang dianggap kurang percaya diri. Duryodana meskipun bersifat angkara murka namun ia juga seorang pemberani. Ia memilih Bima sebagai lawan perang tanding, yang paling gagah di antara kelima Pandawa. Setelah pertarungan sengit terjadi cukup lama, akhirnya menjelang senja Duryodana berhasil dikalahkan dan kemudian menemui kematiannya.
Setelah perang berakhir, Yudistira melaksanakan upacara Tarpana untuk memuliakan mereka yang telah tewas. Ia kemudian diangkat sebagai raja Hastinapura sekaligus raja Indraprastha. Yudistira dengan sabar menerima Dretarastra sebagai raja sepuh di kota Hastinapura. Ia melarang adik-adiknya bersikap kasar dan menyinggung perasaan ayah para Korawa tersebut.
Yudistira kemudian menyelenggarakan Aswamedha Yadnya, yaitu suatu upacara pengorbanan untuk menegakkan kembali aturan dharma di seluruh dunia. Pada upacara ini, seekor kuda dilepas untuk mengembara selama setahun. Arjuna ditugasi memimpin pasukan untuk mengikuti dan mengawal kuda tersebut. Para raja yang wilayah negaranya dilalui oleh kuda tersebut harus memilih untuk mengikuti aturan Yudistira atau diperangi.
Akhirnya semuanya memilih membayar upeti. Sekali lagi Yudistira pun dinobatkan sebagai Maharaja Dunia setelah Upacara Rajasuya dahulu.
Setelah permulaan zaman Kaliyuga dan wafatnya Kresna, Yudistira dan keempat adiknya mengundurkan diri dari urusan duniawi. Mereka meninggalkan tahta kerajaan, harta, dan sifat keterikatan untuk melakukan perjalanan terakhir, mengelilingi Bharatawarsha lalu menuju puncak Himalaya. Di kaki gunung Himalaya, Yudistira menemukan anjing dan kemudian hewan tersebut menjdi pendamping perjalanan Pandawa yang setia. Saat mendaki puncak, satu per satu mulai dari Dropadi, Sadewa, Nakula, Arjuna, dan Bima meninggal dunia. Masing-masing terseret oleh kesalahan dan dosa yang pernah mereka perbuat. Hanya Yudistira dan aningnya yang berhasil mencapai puncak gunung, karena kesucian hatinya.
Dewa Indra, pemimpin masyarakat kahyangan, datang menjemput Yudistira untuk diajak naik ke swarga dengan kereta kencananya. Namun, Indra menolak anjing yang dibawa Yudistira dengan alasan bahwa hewan tersebut tidak suci dan tidak layak untuk masuk swarga. Yudistira menolak masuk swargaloka apabila harus berpisah dengan anjingnya. Indra merasa heran karena Yudistira tega meninggalkan saudara-saudaranya dan Dropadi tanpa mengadakan upacara pembakaran jenazah bagi mereka, namun lebih memilih untuk tidak mau meninggalkan seekor anjing. Yudistira menjawab bahwa bukan dirinya yang meninggalkan mereka, tapi merekalah yang meninggalkan dirinya.
Kesetiaan Yudistira telah teruji. Anjingnya pun kembali ke wujud asli yaitu Dewa Dharma. Bersama-sama mereka naik ke sorga menggunakan kereta Indra. Namun ternyata keempat Pandawa tidak ditemukan di sana. Yang ada justru Duryodana dan adik-adiknya yang selama hidup mengumbar angkara murka. Indra menjelaskan bahwa keempat Pandawa dan para pahlawan lainnya sedang menjalani penyiksaan di neraka. Yudistira menyatakan siap masuk neraka menemani mereka. Namun, ketika terpampang pemandangan neraka yang disertai suara menyayat hati dan dihiasi darah kental membuatnya ngeri. Saat tergoda untuk kabur dari neraka, Yudistira berhasil menguasai diri. Terdengar suara saudara-saudaranya memanggil-manggil. Yudistira memutuskan untuk tinggal di neraka. Ia merasa lebih baik hidup tersiksa bersama sudara-saudaranya yang baik hati daripada bergembira di sorga namun ditemani oleh kerabat yang jahat. Tiba-tiba pemandangan berubah menjadi indah. Dewa Indra muncul dan berkata bahwa sekali lagi Yudistira lulus ujian. Ia menyatakan bahwa sejak saat itu, Pandawa Lima dan para pahlawan lainnya dinyatakan sebagai penghuni Surga.
Menurut versi pewayangan Jawa, kematian para Pandawa terjadi bersamaan dengan Kresna ketika mereka bermeditasi di dalam Candi Sekar. Namun, versi ini kurang begitu populer karena banyak dalang yang lebih suka mementaskan versi Mahabharata yang penuh dramatisasi sebagaimana dikisahkan di atas.
In the great Hindu epic Mahabharata, Yudhisthira (Sanskrit: युधिष्ठिर, yudhiṣṭhirameaning "ONE WHO STANDS STILL IN THE MIDDLE OF A WAR Yuddha- war, sthira- steady" probably alluding to his gentle demeanor), the eldest son of King Pandu and Queen Kunti, was king of Hastinapura and Indraprastha, and "World Emperor". He was the principal protagonist of the Kurukshetra War, and for his unblemished piety, was known as Dharmaraja (Most pious one). Some sources describe him to be an adept warrior with the spear.
Yudhisthira's father Pandu, the king of Hastinapura, soon after his marriage, accidentally shot a Brahmin and his wife, mistaking them for deer, while the couple were making love. Before he died, the Brahmin cursed the king to die the minute he engaged in intercourse with one of his two wives. Due to this curse, Pandu was unable to father children. As additional penance for the murder, Pandu abdicated in favor of his blind brother Dhritarashtra.
Yudhisthira was conceived in an unusual way. His mother, Queen Kunti, had in her youth been granted the power to invoke the Devas by Rishi Durvasa. Each God, when invoked, would place a child in her lap. Urged by Pandu to use her invocations, Kunti gave birth to Yudhisthira by invoking the Lord of Judgement, Yama. Being Pandu's eldest son, Yudhisthira was the rightful heir to the throne, but this claim was contested by the Dhritarashtra's son, Duryodhana.
Yudhisthira's four younger brothers were Bhima, (born by invoking Vayu); Arjuna, (born by invoking Indra); and the twins Nakula and Sahadeva, (born by invoking the Ashwini Gods). If Karna, the son of Kunti born before her marriage by invoking Surya is counted, Yudhisthira would be the second-eldest of the Pandava brothers.
Yudhisthira was trained in religion, science, administration and military arts by the Kuru preceptors, Kripa and Drona. He was a master of the spear, and a maharatha, capable of combating 10,000 opponents at a time. Yudhisthira was also known as Bharata (Descendent of the line of Bharata) and Ajatashatru (One Without Enemies).
Yudhisthira's true prowess was shown in his unflinching adherence to satya (truth) and dharma (righteousness), which were more precious to him than royal ambitions, material pursuits and family relations. Yudhisthira rescued Bhima from Yama. He also rescued his four brothers from death by exemplifying not only his immense knowledge of dharma, but also his understanding of the finer implications of dharma, as judged by Yama, who was testing him in the guise of a Crane and a Yaksha.
Yudhisthira's understanding of dharma was distinct from that of other righteous kings. He married Draupadi along with his four brothers, he had Bhima marry an outcast Rakshasi, he termed "prayer" as "poison", he denounced casteism, saying a Brahmin is known by his actions and not his birth or education--thus portraying a changeable dharma that modifies itself to suit the times.
Due to his piety, Yudhisthira's feet and his chariot did not touch the ground (until his deception of Drona), to symbolize his purity.
Yudhisthira and his brothers were favored by the Kuru elders like Bhishma, Vidura ,Kripa and Drona over Duryodhana and his brothers, the Kauravas, due to their devotion to their elders, pious habits and great aptitude in religion and military skills, and all the necessary qualifications for the greatest of the kshatriya order.
Yudhisthira married the Panchali princess Draupadi, who bore him his son Prativindya. When the Pandavas came of age, King Dhritarashtra sought to avoid a conflict with his sons, the Kauravas, by giving Yudhisthira half the Kuru kingdom (upon Bhisma's advice), albeit the lands which were arid, unprosperous and scantily populated, known as Khandavaprastha.
But with the help of Yudhisthira's cousin Krishna, a new city, Indraprastha, was constructed by the Deva architect Viswakarman. The Asura architect Mayasura constructed the Mayasabha, which was the largest regal assembly hall in the world. Yudhisthira was crowned king of Khandavaprastha and Indraprastha. As he governed with absolute piousness, with a strict adherence to duty and service to this people, his kingdom grew prosperous, and people from all over were attracted to it.
Yudhisthira performed the Rajasuya sacrifice to become the Emperor of the World (Paramount Soveirgn). His motives were not to obtain power for himself, but to establish dharma and defend religion all over the world by suppressing the enemies of Krishna and sinful, aggressive kings.
Arjuna, Bhima, Nakula and Sahadeva led armies across the four corners of the world to obtain tributes from all kingdoms for Yudhisthira's sacrifice. At his sacrifice, Yudhisthira honored Krishna as the most famous and greatest personality. This incensed Sisupala, who proceeded to hurl several insults at Krishna and the Pandavas for selecting a "cowherd" for the great honor. When Sisupala's transgressions exceed the hundred pardons that Krishna had promised his mother, Krishna summons the sudarshana chakra to behead him. Following which, the yajna is completed successfully.
Yudhisthira was unable to refuse when Duryodhana's maternal uncle Shakuni, challenged him to a game of dice. Thanks to Shakuni's mastery of gambling, Yudhisthira lost each game, eventually gambling away his kingdom, his wealth, his brothers and finally his wife. Owing to the protests of Vidura, Bhishma and Drona, Dhritarashtra returned all these losses. However, Shakuni challenged Yudhisthira one more time, and Yudhisthira once more lost. This time, he, his brothers and his wife were forced to discharge the debt by spending thirteen years in exile, with the condition of anonymity in the last year, in the forest before they could reclaim their kingdom.
Yudhisthira was criticized by Draupadi and Bhima for succumbing to temptation and playing dice, an art he was absolutely unskilled at, making the Pandavas prey to Shakuni and Duryodhana's evil designs. Yudhisthira reproached himself for weakness of mind, but at the time he argued that it was impossible to refuse a challenge of any nature, as he was a kshatriya and obliged to stand by the kshatriya code of honour.
During the thirteen years, he was repeatedly tested for staunch adherence to religious values in face of adversity.
The conditions of the debt required the Pandavas to disguise themselves and not be discovered during the last year of exile. Yudhisthira learned dice play from Narada Muni and assumed the guise of a brahmin courtier and dice player in the Matsya Rajya of king Virata.
Dharma: What is heavier than earth, higher than heavens, faster than the wind and more numerous than straws?
Yudhishthira: One's mother is heavier than the earth; one's father is higher than the mountains. The mind is faster than wind and our worries are more numerous than straws.
Dharma: Who is the friend of a traveler? Who is the friend of one who is ill and one who is dying?
Yudhishthira: The friend of a traveler is his companion. The physician is the friend of one who is sick and a dying man's friend is charity.
Dharma: What is that which, when renounced, makes one lovable? What is that which is renounced makes happy and wealthy?
Yudhishthira: Pride, if renounced makes one lovable; by renouncing desire one becomes wealthy; and to renounce avarice is to obtain happiness.
Dharma: What enemy is invincible? What constitutes an incurable disease? What sort of man is noble and what sort is ignoble?
Yudhishthira: Anger is the invincible enemy. Covetousness constitutes a disease that is incurable. He is noble who desires the well-being of all creatures, and he is ignoble who is without mercy.
Dharma: Who is truly happy? What is the greatest wonder? What is the path? And what is the news?
Yudhishthira: He who has no debts is truly happy. Day after day countless people die. Yet the living wish to live forever. O Lord, what can be a greater wonder? Argument leads to no certain conclusion, the Srutis are different from one another; there is not even one Rishi whose opinion can be accepted by all; the truth about Dharma and duty is hid in caves: therefore, that alone is the path along which the great have trod. This world full of ignorance is like a pan. The sun is fire, the days and nights are fuel. The months and the seasons constitute the wooden ladle. Time is the cook that is cooking all creatures in that pan (with such aids); this is the news.
When the period of exile was completed, Duryodhana and Shakuni refused to return Yudhisthira's kingdom. Yudhisthira made numerous diplomatic efforts to retrieve his kingdom peacefully; all failed. To go to war to reclaim his birthright would mean fighting and killing his own relatives, an idea that appalled Yudhisthira. But Krishna, Yudhisthira's most trusted advisor (whom he recognized as the Avatara of Vishnu), pointed out that Yudhisthira's claim was righteous, and the deeds of Duryodhana were evil. If all peace efforts failed, war was therefore a most righteous course. There are many passages in the Mahabharata in which Yudhisthira's will to fight a bloody war for the sake of a kingdom falters, but Krishna justifies the war as moral and as the unavoidable duty of all moral warriors.
In the war, the Kuru commander Drona was killing thousands of Pandava warriors. Krishna hatched a plan to tell Drona that his son Ashwathama had died, so that the invincible and destructive Kuru commander would give up his arms and thus could be killed.
The plan was set in motion when Bhima killed an elephant named Ashwathama, and loudly proclaimed that Ashwathama was dead. Drona, knowing that only Yudhisthira, with his firm adherence to the truth, could tell him for sure if his son had died, approached Yudhisthira for confirmation. Yudhisthira told him: "Ashwathama has died". Yudhisthira, who could not make himself tell a lie, despite the fact that if Drona continued to fight, the Pandavas and the cause of dharma itself would have been lost, then added: "Praha kunjara ha", which means he is not sure whether elephant or man had died.
Krishna, knowing that Yudhisthira would be unable to lie, had all the warriors beat war-drums and cymbals to make as much noise as possible at the critical moment. The words "Praha kunjara ha" were lost in the tumult and the ruse worked. Drona was disheartened, and laid down his weapons. He was then killed by Dhristadyumna.
After speaking his half-lie, Yudhisthira's feet and chariot descended to the ground. However, Yudhisthira himself killed Shalya, the king of Madra and the last Kuru commander.
At the end of the war, Yudhisthira and the Pandava army emerged victorious, but Yudhisthira's children, the sons of Draupadi, and many Pandava heroes like Dhristadyumna, Abhimanyu, Virata, Drupada, Ghatotkacha were dead. Millions of warriors on both sides were killed.
Yudhisthira performed the tarpana ritual for the souls of the departed. Upon his return to Hastinapura, he was crowned king of both Indraprastha and Hastinapura.
Out of his piety, Yudhisthira retained Dhristarashtra as the king of the city of Hastinapura, and offered him complete respect and deference as an elder, despite his misdeeds and the evil of his dead sons.
Yudhisthira later performed the Ashwamedha yagna (sacrifice) to re-establish the rule of dharma all over the world. In this sacrifice, a horse was released to wander for a year, and Yudhisthira's brother Arjuna led the Pandava army, following the horse. The kings of all the countries where the horse wandered were asked to submit to Yudhisthira's rule or face war. All paid tribute, once again establishing Yudhisthira as the undisputed Emperor of the World.
Upon the onset of the Kali yuga and the departure of Krishna, Yudhisthira and his brothers retired, leaving the throne to their only descendant to survive the war of Kurukshetra, Arjuna's grandson Parikshita. Giving up all their belongings and ties, the Pandavas made their final journey of pilgrimage in the Himalayas.
While climbing the peaks, Draupadi, and each Pandava in reverse order of age, fell to their deaths, dragged down by the weight of their guilt for their sins. Yudhisthira reached the mountain peak, because he was unblemished by sin or untruth.
The true character of Yuddhisthira is revealed at the end of the Mahabharata. On the mountain peak, Indra, King of Gods, arrived to take Yudhisthira to heaven in his Golden Chariot. As Yudhisthira was about to step into the Chariot, the Deva told him to leave behind his companion dog, a creature not worthy of heaven to Indra. Yudhisthira stepped back, refusing to leave behind the creature who he had taken under his protection. Indra wondered at him - "You can leave your brothers behind, not arranging proper cremations for them...and you refuse to leave behind a stray dog!"
Yudhisthira replied, "Draupadi and my brothers have left me, not I [who left them]." And he refused to go to heaven without the dog. At that moment the dog changed into the God Dharma, his father, who was testing him...and Yudhisthira had passed with distinction. A version of this story appears in the Twilight Zone episode "The Hunt."
Yudhisthira was carried away on Indra's chariot. On reaching Heaven he did not find either his virtuous brothers or his wife Draupadi. Instead he saw Duryodhana and his evil allies. The Gods told him that his brothers were in Naraka (hell) atoning their little sins, while Duryodhana was in heaven since he died at the blessed place of Kurukshetra.
Yudhisthira loyally went to Naraka (hell) to meet his brothers, but the sights and sounds of gore and blood horrified him. Tempted to flee, he mastered himself and remained after hearing the voices of his beloved brothers and Draupadi...calling out to him, asking him to stay with them in their misery.
Yudhisthira decided to remain, ordering the Divine charioteer to return ... preferring to live in hell with good people than in a heaven of evil ones. At that moment the scene changed. This was yet another illusion to test him on the one hand, and on the other hand, to enable him to atone for his sin of using deceit to kill Drona. Indra and Krishna appeared before him and told him that his brothers were already in Heaven, along with his enemies, for earthly virtues and vices don't hold true in heavenly realms. Krishna yet again hailed Yudhisthira for his dharma, and bowed to him, in the final defining moment of the epic where divinity bowed down to humanity.
Source:
http://en.wikipedia.org/wiki/Yudhisthira
Hatiku selembar daun...
Friday, 12 November 2010
Gatotkaca
Gatotkaca
Gatotkaca (bahasa Sanskerta: घटोत्कच; Ghattotkacha) adalah seorang tokoh dalam wiracarita Mahabharata yang dikenal sebagai putra Bimasena atau Wrekodara dari keluarga Pandawa. Ibunya yang bernama Hidimbi (Harimbi) berasal dari bangsa rakshasa, sehingga ia pun dikisahkan memiliki kekuatan luar biasa. Dalam perang besar di Kurukshetra ia banyak menewaskan sekutu Korawa sebelum akhirnya gugur di tangan Karna.
Di Indonesia, Gatotkaca menjadi tokoh pewayangan yang sangat populer. Misalnya dalam pewayangan Jawa ia dikenal dengan ejaan Gatutkaca (bahasa Jawa: Gathutkaca). Kesaktiannya dikisahkan luar biasa, antara lain mampu terbang di angkasa tanpa menggunakan sayap, serta terkenal dengan julukan "otot kawat tulang besi".
Menurut versi Mahabharata, Gatotkaca adalah putra Bimasena dari keluaga Pandawa yang lahir dari seorang rakshasa perempuan bernama Hidimbi. Hidimbi sendiri merupakan raksasi penguasa sebuah hutan bersama kakaknya yang bernama Hidimba.
Dalam pewayangan Jawa, ibu Gatotkaca lebih terkenal dengan sebutan Arimbi. Menurut versi ini, Arimbi bukan sekadar penghuni hutan biasa, melainkan putri dari Kerajaan Pringgadani, negeri bangsa rakshasa.
Dalam bahasa Sanskerta, nama Ghatotkacha secara harfiah bermakna "memiliki kepala seperti kendi". Nama ini terdiri dari dua kata, yaitu ghaṭ(tt)am yang berarti "buli-buli" atau "kendi", dan utkacha yang berarti "kepala". Nama ini diberikan kepadanya karena sewaktu lahir kepalanya konon mirip dengan buli-buli atau kendi.
Kisah kelahiran Gatotkca dikisahkan secara tersendiri dalam pewayangan Jawa. Namanya sewaktu masih bayi adalah Jabang Tetuka. Sampai usia satu tahun tali pusarnya belum bisa dipotong walau menggunakan senjata apa pun. Arjuna (adik Bimasena) pergi bertapa untuk mendapatkan petunjuk dewa demi menolong nasib keponakannya itu. Namun pada saat yang sama Karna, panglima Kerajaan Hastina juga sedang bertapa mencari senjata pusaka.
Karena wajah keduanya mirip, Batara Narada selaku utusan kahyangan memberikan senjata Kontawijaya kepada Karna, bukan kepada Arjuna. Setelah menyadari kesalahannya, Narada pun menemui Arjuna yang sebenarnya. Arjuna lalu mengejar Karna untuk merebut senjata Konta.
Pertarungan pun terjadi. Karna berhasil meloloskan diri membawa senjata Konta, sedangkan Arjuna hanya berhasil merebut sarung pembungkus pusaka tersebut. Namun sarung pusaka Konta terbuat dari Kayu Mastaba yang ternyata bisa digunakan untuk memotong tali pusar Tetuka.
Akan tetapi keajaiban terjadi. Kayu Mastaba musnah dan bersatu dalam perut Tetuka. Kresna yang ikut serta menyaksikannya berpendapat bahwa pengaruh kayu Mastaba akan menambah kekuatan bayi Tetuka. Namun ia juga meramalkan bahwa kelak Tetuka akan tewas di tangan pemilik senjata Konta.
Versi pewayangan Jawa melanjutkan, Tetuka kemudian dipinjam Narada untuk dibawa ke kahyangan yang saat itu sedang diserang musuh bernama Patih Sekipu dari Kerajaan Trabelasuket. Ia diutus rajanya yang bernama Kalapracona untuk melamar bidadari bernama Batari Supraba. Bayi Tetuka dihadapkan sebagai lawan Sekipu. Anehnya, semakin dihajar bukannya mati, Tetuka justru semakin kuat.
Karena malu, Sekipu mengembalikan Tetuka kepada Narada untuk dibesarkan saat itu juga. Narada kemudian menceburkan tubuh Tetuka ke dalam kawah Candradimuka, di Gunung Jamurdipa. Para dewa kemudian melemparkan berbagai jenis senjata pusaka ke dalam kawah. Beberapa saat kemudian, Tetuka muncul ke permukaan sebagai seorang laki-laki dewasa. Segala jenis pusaka para dewa telah melebur dan bersatu ke dalam dirinya.
Tetuka kemudian bertarung melawan Sekipu dan berhasil membunuhnya menggunakan gigitan taringnya. Kresna dan para Pandawa saat itu datang menyusul ke kahyangan. Kresna kemudian memotong taring Tetuka dan menyuruhnya berhenti menggunakan sifat-sifat kaum raksasa.
Batara Guru raja kahyangan menghadiahkan seperangkat pakaian pusaka, yaitu Caping Basunanda, Kotang Antrakusuma, dan Terompah Padakacarma untuk dipakai Tetuka, yang sejak saat itu diganti namanya menjadi Gatotkaca. Dengan mengenakan pakaian pusaka tersebut, Gatotkaca mampu terbang secepat kilat menuju Kerajaan Trabelasuket dan membunuh Kalapracona.
Dalam versi Mahabharata, Gatotkaca menikah dengan seorang wanita bernama Ahilawati. Dari perkawinan ini lahir seorang putra bernmama Barbarika. Baik Gatotkaca ataupun Barbarika sama-sama gugur dalam perang besar di Kurukshetra, namun di pihak yang berbeda.
Dalam versi pewayangan Jawa, Gatotkaca menikah dengan sepupunya, yaitu Pregiwa putri Arjuna. Ia berhasil menikahi Pregiwa setelah melalui perjuangan berat, yaitu menyingkirkan saingannya, bernama Laksmana Mandrakumara putra Duryudana dari keluarga Korawa.
Dari perkawinan Gatotkaca dengan Pregiwa lahir seorang putra bernama Sasikirana. Ia menjadi panglima perang Kerajaan Hastina pada masa pemerintahan Parikesit, putra Abimanyu atau cucu Arjuna.
Versi lain mengisahkan, Gatotkaca memiliki dua orang istri lagi selain Pregiwa, yaitu Suryawati dan Sumpaniwati. Dari keduanya masing-masing lahir Suryakaca dan Jayasumpena.
Gatotkaca versi Jawa adalah manusia setengah raksasa, namun bukan raksasa hutan. Ibunya adalah Arimbi putri Prabu Tremboko dari Kerajaan Pringgadani. Tremboko tewas di tangan Pandu ayah para Pandawa akibat adu domba yang dilancarkan Sangkuni. Ia kemudian digantikan oleh anak sulungnya yang bernama Arimba.
Arimba sendiri akhirnya tewas di tangan Bimasena pada saat para Pandawa membangun Kerajaan Amarta. Takhta Pringgadani kemudian dipegang oleh Arimbi yang telah diperistri Bima. Rencananya takhta kelak akan diserahkan kepada putra mereka setelah dewasa.
Arimbi memiliki lima orang adik bernama Brajadenta, Brajamusti, Brajalamadan, Brajawikalpa, dan Kalabendana. Brajadenta diangkat sebagai patih dan diberi tempat tinggal di Kasatrian Glagahtinunu. Sangkuni dari Kerajaan Hastina datang menghasut Brajadenta bahwa takhta Pringgadani seharusnya menjadi miliknya bukan milik Gatotkaca.
Akibat hasutan tersebut, Brajadenta pun memberontak hendak merebut takhta dari tangan Gatotkaca yang baru saja dilantik sebagai raja. Brajamusti yang memihak Gatotkaca bertarung menghadapi kakaknya itu. Kedua raksasa kembar tersebut pun tewas bersama. Roh keduanya kemudian menyusup masing-masing ke dalam telapak tangan Gatotkaca kiri dan kanan, sehingga manambah kesaktian keponakan mereka tersebut. Setelah peristiwa itu Gatotkaca mengangkat Brajalamadan sebagai patih baru, bergelar Patih Prabakiswa.
Kematian Gatotkaca terdapat dalam buku ketujuh Mahabharata yang berjudul Dronaparwa, pada bagian Ghattotkacabadhaparwa. Ia dikisahkan gugur dalam perang di Kurukshetra atau Baratayuda pada malam hari ke-14. Perang besar tersebut adalah perang saudara antara keluarga Pandawa melawan Korawa, di mana Gatotkaca tentu saja berada di pihak Pandawa.
Versi Mahabharata mengisahkan, Gatotkaca sebagai seorang raksasa memiliki kekuatan luar biasa terutama pada malam hari. Setelah kematian Jayadrata di tangan Arjuna, pertempuran seharusnya dihentikan untuk sementara karena senja telah tiba. Namun Gatotkaca menghadang pasukan Korawa kembali ke perkemahan mereka.
Pertempuran pun berlanjut. Semakin malam kesaktian Gatotkaca semakin meningkat. Prajurit Korawa semakin berkurang jumlahnya karena banyak yang mati di tangannya. Seorang sekutu Korawa dari bangsa rakshasa bernama Alambusa maju menghadapinya. Gatotkaca menghajarnya dengan kejam karena Alambusa telah membunuh sepupunya, yaitu Irawan putra Arjuna pada pertempuran hari kedelapan. Tubuh Alambusa ditangkap dan dibawa terbang tinggi, kemudian dibanting ke tanah sampai hancur berantakan.
Duryodana pemimpin Korawa merasa ngeri melihat keganasan Gatotkaca. Ia memaksa Karna menggunakan senjata pusaka pemberian Dewa Indra yang bernama Shakti untuk membunuh rakshasa itu. Semula Karna menolak karena pusaka tersebut hanya bisa digunakan sekali saja dan akan dipergunakannya untuk membunuh Arjuna. Namun karena terus didesak, Karna terpaksa melemparkan pusakanya menembus dada Gatotkaca.
Menyadari ajalnya sudah dekat, Gatotkaca masih sempat berpikir bagaimana caranya untuk membunuh prajurit Kurawa dalam jumlah besar. Maka Gatotkaca pun memperbesar ukuran tubuhnya sampai ukuran maksimal dan kemudian roboh menimpa ribuan prajurit Korawa. Pandawa sangat terpukul dengan gugurnya Gatotkaca.
Dalam barisan Pandawa hanya Kresna yang tersenyum melihat kematian Gatotkaca. Ia gembira karena Karna telah kehilangan pusaka andalannya sehingga nyawa Arjuna dapat dikatakan relatif aman.
Perang di Kurukshetra dalam pewayangan Jawa biasa disebut dengan nama Baratayuda. Kisahnya diadaptasi dan dikembangkan dari naskah Kakawin Bharatayuddha yang ditulis tahun 1157 pada zaman Kerajaan Kadiri.
Versi pewayangan mengisahkan, Gatotkaca sangat akrab dengan sepupunya yang bernama Abimanyu putra Arjuna. Suatu hari Abimanyu menikah dengan Utari putri Kerajaan Wirata, di mana ia mengaku masih perjaka. Padahal saat itu Abimanyu telah menikah dengan Sitisundari putri Kresna.
Sitisundari yang dititipkan di istana Gatotkaca mendengar suaminya telah menikah lagi. Paman Gatotkaca yang bernama Kalabendana datang menemui Abimanyu untuk mengajaknya pulang. Kalabendana adalah adik bungsu Arimbi yang berwujud raksasa bulat kerdil tapi berhati polos dan mulia. Hal itu membuat Utari merasa cemburu. Abimanyu terpaksa bersumpah jika benar dirinya telah beristri selain Utari, maka kelak ia akan mati dikeroyok musuh.
Kalabendana kemudian menemui Gatotkaca untuk melaporkan sikap Abimanyu. Namun Gatotkaca justru memarahi Kalabendana yang dianggapnya lancang mencampuri urusan rumah tangga sepupunya itu. Karena terlalu emosi, Gatotkaca sampai memukul kepala Kalabendana. Mekipun perbuatan tersebut dilakukan tanpa sengaja, namun pamannya itu tewas seketika.
Ketika perang Baratayuda meletus, Abimanyu benar-benar tewas dikeroyok para Korawa pada hari ke-13. Esoknya pada hari ke-14 Arjuna berhasil membalas kematian putranya itu dengan cara memenggal kepala Jayadrata.
Duryudana sangat sedih atas kematian Jayadrata, adik iparnya tersebut. Ia memaksa Karna menyerang perkemahan Pandawa malam itu juga. Karna pun terpaksa berangkat meskipun hal itu melanggar peraturan perang.
Mendengar para Korawa melancarkan serangan malam, pihak Pandawa pun mengirim Gatotkaca untuk menghadang. Gatotkaca sengaja dipilih kaarena Kotang Antrakusuma yang ia pakai mampu memancarkan cahaya terang benderang.
Pertempuran malam itu berlangsung mengerikan. Gatotkaca berhasil menewaskan sekutu Korawa yang bernama Lembusa. Namun ia sendiri kehilangan kedua pamannya, yaitu Brajalamadan dan Brajawikalpa yang tewas bersama musuh-musuh mereka, bernama Lembusura dan Lembusana.
Gatotkaca akhirnya berhadapan dengan Karna, pemilik senjata Kontawijaya. Ia pun menciptakan kembaran dirinya sebanyak seribu orang sehingga membuat Karna merasa kebingungan. Atas petunjuk ayahnya, yaitu Batara Surya, Karna berhasil menemukan Gatotkaca yang asli. Ia pun melepaskan senjata Konta ke arah Gatotkaca.
Gatotkaca mencoba menghindar dengan cara terbang setinggi-tingginya. Namun arwah Kalabendana tiba-tiba muncul menangkap Kontawijaya sambil menyampaikan berita dari kahyangan bahwa ajal Gatotkaca telah ditetapkan malam itu.
Gatotkaca pasrah terhadap keputusan dewata. Namun ia berpesan supaya mayatnya masih bisa digunakan untuk membunuh musuh. Kalabendana setuju. Ia kemudian menusuk pusar Gatotkaca menggunakan senjata Konta. Pusaka itu pun musnah bersatu dengan sarungnya, yaitu kayu Mastaba yang masih tersimpan di dalam perut Gatotkaca.
Gatotkaca telah tewas seketika. Arwah Kalabendana kemudian melemparkan mayatnya ke arah Karna. Karna berhasil melompat sehingga lolos dari maut. Namun keretanya hancur berkeping-keping tertimpa tubuh Gatotkaca yang meluncur kencang dari angkasa. Akibatnya, pecahan kereta tersebut melesat ke segala arah dan menewaskan para prajurit Korawa yang berada di sekitarnya. Tidak terhitung banyaknya berapa jumlah mereka yang mati.
Ghatotkacha (Sanskrit घटोत्कच), is a character in the Mahābhārata epic and the son of Bhima and the giantess Hidimbi (Hidimbaa, classically). His maternal parentage made him half-Rakshasa (giant), and gave him many magical powers that made him an important fighter in the Kurukshetra war, the climax of the epic. He got his name from his head, which was hairless and shaped like a pot (in Sanskrit, Ghatam means pot and "Utkach" means hairless ".
Ghatotkacha, when he was young, lived with his mother Hidimbaa, when one day he had a fight with Abhimanyu, his cousin, without knowing that Abhimanyu was Arjuna's son.
Ghatotkacha is considered to be a loyal and humble figure. He made himself and his followers available to his father Bhima at any time; all Bhima had to do was to think of him and he would appear. Like his father, Ghatotkacha primarily fought with the mace.
In the Mahābhārata, Ghatotkacha was summoned by Bhima to fight on the Pandava side in the Kurukshetra battle. Invoking his magical powers, he wrought great havoc in the Kaurava army. In particular after the death of Jayadratha, when the battle continued on past sunset, his powers were at their most effective (at night).
At this point in the battle, the Kaurava leader Duryodhana appealed to his best fighter, Karna, to kill Ghatotkacha as the whole Kaurava army was coming close to annihilation due to his ceaseless strikes from the air. Karna possessed a divine weapon, or shakti, granted by the god Indra. It could be used only once, and Karna had been saving it to use on his arch-enemy, the best Pandava fighter, Arjuna.
Unable to refuse Duryodhana, Karna used the Shakti against Ghatotkacha, killing him. This is considered to be the turning point of the war. After his death, the Pandava counselor Krishna smiled, as he considered the war to have been won for the Pandavas now that Karna no longer had a divine weapon to use in fighting Arjuna.
There is a temple built in Manali, Himachal Pradesh for Ghatotkacha near Hidimba Devi Temple.
Source:
http://en.wikipedia.org/wiki/Ghatotkacha
Hatiku selembar daun...
Gatotkaca (bahasa Sanskerta: घटोत्कच; Ghattotkacha) adalah seorang tokoh dalam wiracarita Mahabharata yang dikenal sebagai putra Bimasena atau Wrekodara dari keluarga Pandawa. Ibunya yang bernama Hidimbi (Harimbi) berasal dari bangsa rakshasa, sehingga ia pun dikisahkan memiliki kekuatan luar biasa. Dalam perang besar di Kurukshetra ia banyak menewaskan sekutu Korawa sebelum akhirnya gugur di tangan Karna.
Di Indonesia, Gatotkaca menjadi tokoh pewayangan yang sangat populer. Misalnya dalam pewayangan Jawa ia dikenal dengan ejaan Gatutkaca (bahasa Jawa: Gathutkaca). Kesaktiannya dikisahkan luar biasa, antara lain mampu terbang di angkasa tanpa menggunakan sayap, serta terkenal dengan julukan "otot kawat tulang besi".
Menurut versi Mahabharata, Gatotkaca adalah putra Bimasena dari keluaga Pandawa yang lahir dari seorang rakshasa perempuan bernama Hidimbi. Hidimbi sendiri merupakan raksasi penguasa sebuah hutan bersama kakaknya yang bernama Hidimba.
Dalam pewayangan Jawa, ibu Gatotkaca lebih terkenal dengan sebutan Arimbi. Menurut versi ini, Arimbi bukan sekadar penghuni hutan biasa, melainkan putri dari Kerajaan Pringgadani, negeri bangsa rakshasa.
Dalam bahasa Sanskerta, nama Ghatotkacha secara harfiah bermakna "memiliki kepala seperti kendi". Nama ini terdiri dari dua kata, yaitu ghaṭ(tt)am yang berarti "buli-buli" atau "kendi", dan utkacha yang berarti "kepala". Nama ini diberikan kepadanya karena sewaktu lahir kepalanya konon mirip dengan buli-buli atau kendi.
Kisah kelahiran Gatotkca dikisahkan secara tersendiri dalam pewayangan Jawa. Namanya sewaktu masih bayi adalah Jabang Tetuka. Sampai usia satu tahun tali pusarnya belum bisa dipotong walau menggunakan senjata apa pun. Arjuna (adik Bimasena) pergi bertapa untuk mendapatkan petunjuk dewa demi menolong nasib keponakannya itu. Namun pada saat yang sama Karna, panglima Kerajaan Hastina juga sedang bertapa mencari senjata pusaka.
Karena wajah keduanya mirip, Batara Narada selaku utusan kahyangan memberikan senjata Kontawijaya kepada Karna, bukan kepada Arjuna. Setelah menyadari kesalahannya, Narada pun menemui Arjuna yang sebenarnya. Arjuna lalu mengejar Karna untuk merebut senjata Konta.
Pertarungan pun terjadi. Karna berhasil meloloskan diri membawa senjata Konta, sedangkan Arjuna hanya berhasil merebut sarung pembungkus pusaka tersebut. Namun sarung pusaka Konta terbuat dari Kayu Mastaba yang ternyata bisa digunakan untuk memotong tali pusar Tetuka.
Akan tetapi keajaiban terjadi. Kayu Mastaba musnah dan bersatu dalam perut Tetuka. Kresna yang ikut serta menyaksikannya berpendapat bahwa pengaruh kayu Mastaba akan menambah kekuatan bayi Tetuka. Namun ia juga meramalkan bahwa kelak Tetuka akan tewas di tangan pemilik senjata Konta.
Versi pewayangan Jawa melanjutkan, Tetuka kemudian dipinjam Narada untuk dibawa ke kahyangan yang saat itu sedang diserang musuh bernama Patih Sekipu dari Kerajaan Trabelasuket. Ia diutus rajanya yang bernama Kalapracona untuk melamar bidadari bernama Batari Supraba. Bayi Tetuka dihadapkan sebagai lawan Sekipu. Anehnya, semakin dihajar bukannya mati, Tetuka justru semakin kuat.
Karena malu, Sekipu mengembalikan Tetuka kepada Narada untuk dibesarkan saat itu juga. Narada kemudian menceburkan tubuh Tetuka ke dalam kawah Candradimuka, di Gunung Jamurdipa. Para dewa kemudian melemparkan berbagai jenis senjata pusaka ke dalam kawah. Beberapa saat kemudian, Tetuka muncul ke permukaan sebagai seorang laki-laki dewasa. Segala jenis pusaka para dewa telah melebur dan bersatu ke dalam dirinya.
Tetuka kemudian bertarung melawan Sekipu dan berhasil membunuhnya menggunakan gigitan taringnya. Kresna dan para Pandawa saat itu datang menyusul ke kahyangan. Kresna kemudian memotong taring Tetuka dan menyuruhnya berhenti menggunakan sifat-sifat kaum raksasa.
Batara Guru raja kahyangan menghadiahkan seperangkat pakaian pusaka, yaitu Caping Basunanda, Kotang Antrakusuma, dan Terompah Padakacarma untuk dipakai Tetuka, yang sejak saat itu diganti namanya menjadi Gatotkaca. Dengan mengenakan pakaian pusaka tersebut, Gatotkaca mampu terbang secepat kilat menuju Kerajaan Trabelasuket dan membunuh Kalapracona.
Dalam versi Mahabharata, Gatotkaca menikah dengan seorang wanita bernama Ahilawati. Dari perkawinan ini lahir seorang putra bernmama Barbarika. Baik Gatotkaca ataupun Barbarika sama-sama gugur dalam perang besar di Kurukshetra, namun di pihak yang berbeda.
Dalam versi pewayangan Jawa, Gatotkaca menikah dengan sepupunya, yaitu Pregiwa putri Arjuna. Ia berhasil menikahi Pregiwa setelah melalui perjuangan berat, yaitu menyingkirkan saingannya, bernama Laksmana Mandrakumara putra Duryudana dari keluarga Korawa.
Dari perkawinan Gatotkaca dengan Pregiwa lahir seorang putra bernama Sasikirana. Ia menjadi panglima perang Kerajaan Hastina pada masa pemerintahan Parikesit, putra Abimanyu atau cucu Arjuna.
Versi lain mengisahkan, Gatotkaca memiliki dua orang istri lagi selain Pregiwa, yaitu Suryawati dan Sumpaniwati. Dari keduanya masing-masing lahir Suryakaca dan Jayasumpena.
Gatotkaca versi Jawa adalah manusia setengah raksasa, namun bukan raksasa hutan. Ibunya adalah Arimbi putri Prabu Tremboko dari Kerajaan Pringgadani. Tremboko tewas di tangan Pandu ayah para Pandawa akibat adu domba yang dilancarkan Sangkuni. Ia kemudian digantikan oleh anak sulungnya yang bernama Arimba.
Arimba sendiri akhirnya tewas di tangan Bimasena pada saat para Pandawa membangun Kerajaan Amarta. Takhta Pringgadani kemudian dipegang oleh Arimbi yang telah diperistri Bima. Rencananya takhta kelak akan diserahkan kepada putra mereka setelah dewasa.
Arimbi memiliki lima orang adik bernama Brajadenta, Brajamusti, Brajalamadan, Brajawikalpa, dan Kalabendana. Brajadenta diangkat sebagai patih dan diberi tempat tinggal di Kasatrian Glagahtinunu. Sangkuni dari Kerajaan Hastina datang menghasut Brajadenta bahwa takhta Pringgadani seharusnya menjadi miliknya bukan milik Gatotkaca.
Akibat hasutan tersebut, Brajadenta pun memberontak hendak merebut takhta dari tangan Gatotkaca yang baru saja dilantik sebagai raja. Brajamusti yang memihak Gatotkaca bertarung menghadapi kakaknya itu. Kedua raksasa kembar tersebut pun tewas bersama. Roh keduanya kemudian menyusup masing-masing ke dalam telapak tangan Gatotkaca kiri dan kanan, sehingga manambah kesaktian keponakan mereka tersebut. Setelah peristiwa itu Gatotkaca mengangkat Brajalamadan sebagai patih baru, bergelar Patih Prabakiswa.
Kematian Gatotkaca terdapat dalam buku ketujuh Mahabharata yang berjudul Dronaparwa, pada bagian Ghattotkacabadhaparwa. Ia dikisahkan gugur dalam perang di Kurukshetra atau Baratayuda pada malam hari ke-14. Perang besar tersebut adalah perang saudara antara keluarga Pandawa melawan Korawa, di mana Gatotkaca tentu saja berada di pihak Pandawa.
Versi Mahabharata mengisahkan, Gatotkaca sebagai seorang raksasa memiliki kekuatan luar biasa terutama pada malam hari. Setelah kematian Jayadrata di tangan Arjuna, pertempuran seharusnya dihentikan untuk sementara karena senja telah tiba. Namun Gatotkaca menghadang pasukan Korawa kembali ke perkemahan mereka.
Pertempuran pun berlanjut. Semakin malam kesaktian Gatotkaca semakin meningkat. Prajurit Korawa semakin berkurang jumlahnya karena banyak yang mati di tangannya. Seorang sekutu Korawa dari bangsa rakshasa bernama Alambusa maju menghadapinya. Gatotkaca menghajarnya dengan kejam karena Alambusa telah membunuh sepupunya, yaitu Irawan putra Arjuna pada pertempuran hari kedelapan. Tubuh Alambusa ditangkap dan dibawa terbang tinggi, kemudian dibanting ke tanah sampai hancur berantakan.
Duryodana pemimpin Korawa merasa ngeri melihat keganasan Gatotkaca. Ia memaksa Karna menggunakan senjata pusaka pemberian Dewa Indra yang bernama Shakti untuk membunuh rakshasa itu. Semula Karna menolak karena pusaka tersebut hanya bisa digunakan sekali saja dan akan dipergunakannya untuk membunuh Arjuna. Namun karena terus didesak, Karna terpaksa melemparkan pusakanya menembus dada Gatotkaca.
Menyadari ajalnya sudah dekat, Gatotkaca masih sempat berpikir bagaimana caranya untuk membunuh prajurit Kurawa dalam jumlah besar. Maka Gatotkaca pun memperbesar ukuran tubuhnya sampai ukuran maksimal dan kemudian roboh menimpa ribuan prajurit Korawa. Pandawa sangat terpukul dengan gugurnya Gatotkaca.
Dalam barisan Pandawa hanya Kresna yang tersenyum melihat kematian Gatotkaca. Ia gembira karena Karna telah kehilangan pusaka andalannya sehingga nyawa Arjuna dapat dikatakan relatif aman.
Perang di Kurukshetra dalam pewayangan Jawa biasa disebut dengan nama Baratayuda. Kisahnya diadaptasi dan dikembangkan dari naskah Kakawin Bharatayuddha yang ditulis tahun 1157 pada zaman Kerajaan Kadiri.
Versi pewayangan mengisahkan, Gatotkaca sangat akrab dengan sepupunya yang bernama Abimanyu putra Arjuna. Suatu hari Abimanyu menikah dengan Utari putri Kerajaan Wirata, di mana ia mengaku masih perjaka. Padahal saat itu Abimanyu telah menikah dengan Sitisundari putri Kresna.
Sitisundari yang dititipkan di istana Gatotkaca mendengar suaminya telah menikah lagi. Paman Gatotkaca yang bernama Kalabendana datang menemui Abimanyu untuk mengajaknya pulang. Kalabendana adalah adik bungsu Arimbi yang berwujud raksasa bulat kerdil tapi berhati polos dan mulia. Hal itu membuat Utari merasa cemburu. Abimanyu terpaksa bersumpah jika benar dirinya telah beristri selain Utari, maka kelak ia akan mati dikeroyok musuh.
Kalabendana kemudian menemui Gatotkaca untuk melaporkan sikap Abimanyu. Namun Gatotkaca justru memarahi Kalabendana yang dianggapnya lancang mencampuri urusan rumah tangga sepupunya itu. Karena terlalu emosi, Gatotkaca sampai memukul kepala Kalabendana. Mekipun perbuatan tersebut dilakukan tanpa sengaja, namun pamannya itu tewas seketika.
Ketika perang Baratayuda meletus, Abimanyu benar-benar tewas dikeroyok para Korawa pada hari ke-13. Esoknya pada hari ke-14 Arjuna berhasil membalas kematian putranya itu dengan cara memenggal kepala Jayadrata.
Duryudana sangat sedih atas kematian Jayadrata, adik iparnya tersebut. Ia memaksa Karna menyerang perkemahan Pandawa malam itu juga. Karna pun terpaksa berangkat meskipun hal itu melanggar peraturan perang.
Mendengar para Korawa melancarkan serangan malam, pihak Pandawa pun mengirim Gatotkaca untuk menghadang. Gatotkaca sengaja dipilih kaarena Kotang Antrakusuma yang ia pakai mampu memancarkan cahaya terang benderang.
Pertempuran malam itu berlangsung mengerikan. Gatotkaca berhasil menewaskan sekutu Korawa yang bernama Lembusa. Namun ia sendiri kehilangan kedua pamannya, yaitu Brajalamadan dan Brajawikalpa yang tewas bersama musuh-musuh mereka, bernama Lembusura dan Lembusana.
Gatotkaca akhirnya berhadapan dengan Karna, pemilik senjata Kontawijaya. Ia pun menciptakan kembaran dirinya sebanyak seribu orang sehingga membuat Karna merasa kebingungan. Atas petunjuk ayahnya, yaitu Batara Surya, Karna berhasil menemukan Gatotkaca yang asli. Ia pun melepaskan senjata Konta ke arah Gatotkaca.
Gatotkaca mencoba menghindar dengan cara terbang setinggi-tingginya. Namun arwah Kalabendana tiba-tiba muncul menangkap Kontawijaya sambil menyampaikan berita dari kahyangan bahwa ajal Gatotkaca telah ditetapkan malam itu.
Gatotkaca pasrah terhadap keputusan dewata. Namun ia berpesan supaya mayatnya masih bisa digunakan untuk membunuh musuh. Kalabendana setuju. Ia kemudian menusuk pusar Gatotkaca menggunakan senjata Konta. Pusaka itu pun musnah bersatu dengan sarungnya, yaitu kayu Mastaba yang masih tersimpan di dalam perut Gatotkaca.
Gatotkaca telah tewas seketika. Arwah Kalabendana kemudian melemparkan mayatnya ke arah Karna. Karna berhasil melompat sehingga lolos dari maut. Namun keretanya hancur berkeping-keping tertimpa tubuh Gatotkaca yang meluncur kencang dari angkasa. Akibatnya, pecahan kereta tersebut melesat ke segala arah dan menewaskan para prajurit Korawa yang berada di sekitarnya. Tidak terhitung banyaknya berapa jumlah mereka yang mati.
Ghatotkacha (Sanskrit घटोत्कच), is a character in the Mahābhārata epic and the son of Bhima and the giantess Hidimbi (Hidimbaa, classically). His maternal parentage made him half-Rakshasa (giant), and gave him many magical powers that made him an important fighter in the Kurukshetra war, the climax of the epic. He got his name from his head, which was hairless and shaped like a pot (in Sanskrit, Ghatam means pot and "Utkach" means hairless ".
Ghatotkacha, when he was young, lived with his mother Hidimbaa, when one day he had a fight with Abhimanyu, his cousin, without knowing that Abhimanyu was Arjuna's son.
Ghatotkacha is considered to be a loyal and humble figure. He made himself and his followers available to his father Bhima at any time; all Bhima had to do was to think of him and he would appear. Like his father, Ghatotkacha primarily fought with the mace.
In the Mahābhārata, Ghatotkacha was summoned by Bhima to fight on the Pandava side in the Kurukshetra battle. Invoking his magical powers, he wrought great havoc in the Kaurava army. In particular after the death of Jayadratha, when the battle continued on past sunset, his powers were at their most effective (at night).
At this point in the battle, the Kaurava leader Duryodhana appealed to his best fighter, Karna, to kill Ghatotkacha as the whole Kaurava army was coming close to annihilation due to his ceaseless strikes from the air. Karna possessed a divine weapon, or shakti, granted by the god Indra. It could be used only once, and Karna had been saving it to use on his arch-enemy, the best Pandava fighter, Arjuna.
Unable to refuse Duryodhana, Karna used the Shakti against Ghatotkacha, killing him. This is considered to be the turning point of the war. After his death, the Pandava counselor Krishna smiled, as he considered the war to have been won for the Pandavas now that Karna no longer had a divine weapon to use in fighting Arjuna.
There is a temple built in Manali, Himachal Pradesh for Ghatotkacha near Hidimba Devi Temple.
Source:
http://en.wikipedia.org/wiki/Ghatotkacha
Hatiku selembar daun...
Srikandi
Srikandi
Srikandi (Sanskerta: शिकण्ढी; Śikhaṇḍī) atau Sikandin adalah salah satu putera Raja Drupada dengan Dewi Gandawati dari Kerajaan Panchala yang muncul dalam kisah wiracarita dari India, yaitu Mahabharata. Ia merupakan penitisan Dewi Amba yang tewas karena panah Bisma. Dalam kitab Mahabharata ia diceritakan lahir sebagai seorang wanita, namun karena sabda dewata, ia diasuh sebagai seorang pria, atau kadangkala berjenis kelamin netral (waria). Dalam versi pewayangan Jawa terjadi hal yang hampir sama, namun dalam pewayangan jawa ia dikisahkan menikahi Arjuna dan ini merupakan perbedaan yang sangat jauh jika dibandingkan dengan kisah Mahabharata versi India.
Dalam bahasa Sanskerta, Srikandi dieja Śikhaṇḍin, bentuk feminimnya adalah Śikhaṇḍinī. Secara harfiah, kata Śikhandin atau Śikhandini berarti "memiliki rumbai-rumbai" atau "yang memiliki jambul".
Di kehidupan sebelumnya, Srikandi terlahir sebagai wanita bernama Amba, yang ditolak oleh Bisma untuk menikah. Karena merasa terhina dan ingin membalas dendam, Amba berdoa dengan keinginan untuk menjadi penyebab kematian Bisma. Keinginannya terpenuhi sehingga akhirnya Amba bereinkarnasi menjadi Srikandi.
Pada saat lahir, suara dewata menyuruh ayahnya agar mengasuh Srikandi sebagai putera. Maka Srikandi hidup seperti pria, belajar ilmu perang dan kemudian menikah. Pada malam perkawinan, istrinya sendiri menghina dirinya setelah mengetahui hal yang sebenarnya. Setelah memikirkan usaha bunuh diri, ia kabur dari Panchala, namun diselamatkan oleh seorang Yaksa yang kemudian menukar jenis kelaminnya kepada Srikandi. Srikandi pulang sebagai pria dan hidup bahagia bersama istrinya dan memiliki anak pula. Setelah kematiannya, kejantanannya dikembalikan kembali kepada Yaksa.
Saat perang di Kurukshetra, Bisma sadar bahwa Srikandi adalah reinkarnasi Amba, dan karena ia tidak ingin menyerang "seorang wanita", ia menjatuhkan senjatanya. Tahu bahwa Bisma akan bersikap demikian terhadap Srikandi, Arjuna bersembunyi di belakang Srikandi dan menyerang Bisma dengan tembakan panah penghancur. Maka dari itu, hanya dengan bantuan Srikandi, Arjuna dapat memberikan pukulan mematikan kepada Bisma, yang sebenarnya tak terkalahkan sampai akhir. Akhirnya Srikandi dibunuh oleh Aswatama pada hari ke-18 Bharatayuddha.
Srikandi dikisahkan lahir karena keinginan kedua orangtuanya, yaitu Prabu Drupada dan Dewi Gandawati, menginginkan kelahiran seorang anak dengan normal. Kedua kakaknya, Dewi Dropadi dan Drestadyumna, dilahirkan melalui puja semadi. Dropadi dilahirkan dari bara api pemujaan, sementara asap api itu menjelma menjadi Drestadyumna.
Dewi Srikandi sangat gemar dalam olah keprajuritan dan mahir dalam mempergunakan senjata panah. Kepandaiannya tersebut didapatnya ketika ia berguru pada Arjuna, yang kemudian menjadi suaminya. Dalam perkawinan tersebut ia tidak memperoleh seorang putera.
Dewi Srikandi menjadi suri tauladan prajurit wanita. Ia bertindak sebagai penanggung jawab keselamatan dan keamanan kesatrian Madukara dengan segala isinya. Dalam perang Bharatayuddha, Dewi Srikandi tampil sebagai senapati perang Pandawa menggantikan Resi Seta, kesatria Wirata yang telah gugur untuk menghadapi Bisma, senapati agung balatentara Korawa. Dengan panah Hrusangkali, Dewi Srikandi dapat menewaskan Bisma, sesuai kutukan Dewi Amba, puteri Prabu Darmahambara, raja negara Giyantipura, yang dendam kepada Bisma.
Dalam akhir riwayat Dewi Srikandi diceriterakan bahwa ia tewas dibunuh Aswatama yang menyelundup masuk ke keraton Hastinapura setelah berakhirnya perang Bharatayuddha.
Shikhandi (Sanskrit: शिखंडी, Śikhaṇḍī, also written 'Srikandi') is a character in the Hindu epic, the Mahābhārata. He was originally born as a girl child named 'Shikhandini' to Drupada, the king of Panchala. Shikhandi fought in the Kurukshetra war on the side of the Pandavas, along with his father Drupada and brother Dhristadyumna.
He had been born in an earlier lifetime as a woman named Amba, who was rejected by Bhishma for marriage due to his oath of lifelong celibacy. Feeling deeply humiliated and wanting revenge, Amba carried out great prayers and penance with the desire to be the cause of Bhishma's death. Amba was then reborn as Shikhandini.
From her birth, a Divine voice told her father to raise her as a son. So Shikhandini was raised like a man, trained in warfare and eventually married. On her wedding night, her wife insulted her on finding out the truth. Contemplating suicide, she fled Panchala, but was saved by a Yaksha who exchanged his sex with her. Shikhandini went back to Panchala a man with the name 'Shikhandi' and led a happy married life with his wife and children. After his death, his masculinity was transferred back to the Yaksha.
In the battle of Kurukshetra, Bhishma recognised him as Amba reborn, and not wanting to fight 'a woman', lowered his weapons. Knowing that Bhishma would react thus to Shikhandi, Arjuna hid behind Shikhandi and attacked Bhishma with a devastating volley of arrows. Thus, only with Shikhandi's help could Arjuna deal a death blow to Bhishma, who had been virtually invincible until then.
Shikhandi was finally killed by Ashwatthama on the 18th day of battle.
In the Javanese telling, 'Srikandi' (as she is known) never becomes a man, but is a woman equal to men.
Source:
http://en.wikipedia.org/wiki/Srikandi
Hatiku selembar daun...
Srikandi (Sanskerta: शिकण्ढी; Śikhaṇḍī) atau Sikandin adalah salah satu putera Raja Drupada dengan Dewi Gandawati dari Kerajaan Panchala yang muncul dalam kisah wiracarita dari India, yaitu Mahabharata. Ia merupakan penitisan Dewi Amba yang tewas karena panah Bisma. Dalam kitab Mahabharata ia diceritakan lahir sebagai seorang wanita, namun karena sabda dewata, ia diasuh sebagai seorang pria, atau kadangkala berjenis kelamin netral (waria). Dalam versi pewayangan Jawa terjadi hal yang hampir sama, namun dalam pewayangan jawa ia dikisahkan menikahi Arjuna dan ini merupakan perbedaan yang sangat jauh jika dibandingkan dengan kisah Mahabharata versi India.
Dalam bahasa Sanskerta, Srikandi dieja Śikhaṇḍin, bentuk feminimnya adalah Śikhaṇḍinī. Secara harfiah, kata Śikhandin atau Śikhandini berarti "memiliki rumbai-rumbai" atau "yang memiliki jambul".
Di kehidupan sebelumnya, Srikandi terlahir sebagai wanita bernama Amba, yang ditolak oleh Bisma untuk menikah. Karena merasa terhina dan ingin membalas dendam, Amba berdoa dengan keinginan untuk menjadi penyebab kematian Bisma. Keinginannya terpenuhi sehingga akhirnya Amba bereinkarnasi menjadi Srikandi.
Pada saat lahir, suara dewata menyuruh ayahnya agar mengasuh Srikandi sebagai putera. Maka Srikandi hidup seperti pria, belajar ilmu perang dan kemudian menikah. Pada malam perkawinan, istrinya sendiri menghina dirinya setelah mengetahui hal yang sebenarnya. Setelah memikirkan usaha bunuh diri, ia kabur dari Panchala, namun diselamatkan oleh seorang Yaksa yang kemudian menukar jenis kelaminnya kepada Srikandi. Srikandi pulang sebagai pria dan hidup bahagia bersama istrinya dan memiliki anak pula. Setelah kematiannya, kejantanannya dikembalikan kembali kepada Yaksa.
Saat perang di Kurukshetra, Bisma sadar bahwa Srikandi adalah reinkarnasi Amba, dan karena ia tidak ingin menyerang "seorang wanita", ia menjatuhkan senjatanya. Tahu bahwa Bisma akan bersikap demikian terhadap Srikandi, Arjuna bersembunyi di belakang Srikandi dan menyerang Bisma dengan tembakan panah penghancur. Maka dari itu, hanya dengan bantuan Srikandi, Arjuna dapat memberikan pukulan mematikan kepada Bisma, yang sebenarnya tak terkalahkan sampai akhir. Akhirnya Srikandi dibunuh oleh Aswatama pada hari ke-18 Bharatayuddha.
Srikandi dikisahkan lahir karena keinginan kedua orangtuanya, yaitu Prabu Drupada dan Dewi Gandawati, menginginkan kelahiran seorang anak dengan normal. Kedua kakaknya, Dewi Dropadi dan Drestadyumna, dilahirkan melalui puja semadi. Dropadi dilahirkan dari bara api pemujaan, sementara asap api itu menjelma menjadi Drestadyumna.
Dewi Srikandi sangat gemar dalam olah keprajuritan dan mahir dalam mempergunakan senjata panah. Kepandaiannya tersebut didapatnya ketika ia berguru pada Arjuna, yang kemudian menjadi suaminya. Dalam perkawinan tersebut ia tidak memperoleh seorang putera.
Dewi Srikandi menjadi suri tauladan prajurit wanita. Ia bertindak sebagai penanggung jawab keselamatan dan keamanan kesatrian Madukara dengan segala isinya. Dalam perang Bharatayuddha, Dewi Srikandi tampil sebagai senapati perang Pandawa menggantikan Resi Seta, kesatria Wirata yang telah gugur untuk menghadapi Bisma, senapati agung balatentara Korawa. Dengan panah Hrusangkali, Dewi Srikandi dapat menewaskan Bisma, sesuai kutukan Dewi Amba, puteri Prabu Darmahambara, raja negara Giyantipura, yang dendam kepada Bisma.
Dalam akhir riwayat Dewi Srikandi diceriterakan bahwa ia tewas dibunuh Aswatama yang menyelundup masuk ke keraton Hastinapura setelah berakhirnya perang Bharatayuddha.
Shikhandi (Sanskrit: शिखंडी, Śikhaṇḍī, also written 'Srikandi') is a character in the Hindu epic, the Mahābhārata. He was originally born as a girl child named 'Shikhandini' to Drupada, the king of Panchala. Shikhandi fought in the Kurukshetra war on the side of the Pandavas, along with his father Drupada and brother Dhristadyumna.
He had been born in an earlier lifetime as a woman named Amba, who was rejected by Bhishma for marriage due to his oath of lifelong celibacy. Feeling deeply humiliated and wanting revenge, Amba carried out great prayers and penance with the desire to be the cause of Bhishma's death. Amba was then reborn as Shikhandini.
From her birth, a Divine voice told her father to raise her as a son. So Shikhandini was raised like a man, trained in warfare and eventually married. On her wedding night, her wife insulted her on finding out the truth. Contemplating suicide, she fled Panchala, but was saved by a Yaksha who exchanged his sex with her. Shikhandini went back to Panchala a man with the name 'Shikhandi' and led a happy married life with his wife and children. After his death, his masculinity was transferred back to the Yaksha.
In the battle of Kurukshetra, Bhishma recognised him as Amba reborn, and not wanting to fight 'a woman', lowered his weapons. Knowing that Bhishma would react thus to Shikhandi, Arjuna hid behind Shikhandi and attacked Bhishma with a devastating volley of arrows. Thus, only with Shikhandi's help could Arjuna deal a death blow to Bhishma, who had been virtually invincible until then.
Shikhandi was finally killed by Ashwatthama on the 18th day of battle.
In the Javanese telling, 'Srikandi' (as she is known) never becomes a man, but is a woman equal to men.
Source:
http://en.wikipedia.org/wiki/Srikandi
Hatiku selembar daun...
Abimanyu
Abimanyu
Abimanyu (Sanskerta: अभिमन्यु, abhiman'yu) adalah seorang tokoh dalam wiracarita Mahabharata. Ia adalah putera Arjuna dari salah satu istrinya yang bernama Subadra. Ditetapkan bahwa Abimanyu-lah yang akan meneruskan Yudistira. Dalam wiracarita Mahabharata, ia dianggap seorang pahlawan yang tragis. Ia gugur dalam pertempuran besar di Kurukshetra sebagai kesatria termuda dari pihak Pandawa, karena baru berusia enam belas tahun. Abimanyu menikah dengan Utara, puteri Raja Wirata dan memiliki seorang putera bernama Parikesit, yang lahir setelah ia gugur.
Abimanyu terdiri dari dua kata Sanskerta, yaitu abhi (berani) dan man'yu (tabiat). Dalam bahasa Sansekerta, kata Abhiman'yu secara harfiah berarti "ia yang memiliki sifat tak kenal takut" atau "yang bersifat kepahlawanan".
Saat belum lahir karena berada dalam rahim ibunya, Abimanyu mempelajari pengetahuan tentang memasuki formasi mematikan yang sulit ditembus bernama Chakrawyuha dari Arjuna. Mahabharata menjelaskan bahwa dari dalam rahim, ia menguping pembicaraan Kresna yang sedang membahas hal tersebut dengan ibunya, Subadra. Kresna berbicara mengenai cara memasuki Chakrawyuha dan kemudian Subadra (ibu Abimanyu) tertidur maka sang bayi tidak memiliki kesempatan untuk tahu bagaimana cara meloloskan diri dari formasi itu.
Abimanyu menghabiskan masa kecilnya di Dwaraka, kota tempat tinggal ibunya. Ia dilatih oleh ayahnya yang bernama Arjuna yang merupakan seorang ksatria besar dan diasuh di bawah bimbingan Kresna. Ayahnya menikahkan Abimanyu dengan Uttara, puteri Raja Wirata, untuk mempererat hubungan antara Pandawa dengan keluarga Raja Wirata, saat pertempuran Bharatayuddha yang akan datang. Pandawa menyamar untuk menuntaskan masa pembuangannnya tanpa diketahui di kerajaan Raja Wirata, yaitu Matsya.
Sebagai cucu Dewa Indra, Dewa senjata ajaib sekaligus Dewa peperangan, Abimanyu merupakan ksatria yang gagah berani dan ganas. Karena dianggap setara dengan kemampuan ayahnya, Abimanyu mampu melawan ksatria-ksatria besar seperti Drona, Karna, Duryodana dan Dursasana. Ia dipuji karena keberaniannya dan memiliki rasa setia yang tinggi terhadap ayahnya, pamannya, dan segala keinginan mereka.
Pada hari ketiga belas Bharatayuddha, pihak Korawa menantang Pandawa untuk mematahkan formasi perang melingkar yang dikenal sebagai Chakrawyuha. Para Pandawa menerima tantangan tersebut karena Kresna dan Arjuna tahu bagaimana cara mematahkan berbagai formasi.
Namun, pada hari itu, Kresna dan Arjuna sibuk bertarung dengan laskar Samsaptaka. Oleh karena Pandawa sudah menerima tantangan tersebut, mereka tidak memiliki pilihan namun mencoba untuk menggunakan Abimanyu yang masih muda, yang memiliki pengetahuan tentang bagaimana cara mematahkan formasi Chakrawyuha namun tidak tahu bagaimana cara keluar dari dalamnya. Untuk meyakinkan bahwa Abimanyu tidak akan terperangkap dalam formasi tersebut, Pandawa bersaudara memutuskan bahwa mereka dan sekutu mereka akan mematahkan formasi itu bersama Abimanyu dan membantu sang pemuda keluar dari formasi tersebut.
Pada hari penting itu, Abimanyu menggunakan kecerdikannya untuk menembus formasi tersebut. pandawa bersaudara dan sekutunya mencoba untuk mengikutinya di dalam formasi, namun mereka dihadang oleh Jayadrata, Raja Sindhu, yang memakai anugerah Siwa agar mampu menahan para Pandawa kecuali Arjuna, hanya untuk satu hari. Abimanyu ditinggal sendirian untuk menangkis serangan pasukan Korawa.
Abimanyu membunuh dengan bengis beberapa ksatria yang mendekatinya, termasuk putera Duryodana, yaitu Laksmana. Setelah menyaksikan putera kesayangannya terbunuh, Duryodana marah besar dan menyuruh segenap pasukan Korawa untuk menyerang Abimanyu. Karena gagal menghancurkan baju zirah Abimanyu, atas nasihat Drona, Karna menghancurkan busur Abimanyu dari belakang. Kemudian keretanya dihancurkan, kusir dan kudanya dibunuh, dan seluruh senjatanya terbuang. Putera Dursasana mencoba untuk bertarung dengan tangan kosong dengan Abimanyu. Namun tanpa menghiraukan aturan perang, pihak Korawa menyerang Abimanyu secara serentak. Abimanyu mampu bertahan sampai pedangnya patah dan roda kereta yang ia pakai sebagai perisai hancur berkeping-keping. Tak berapa lama kemudian, Abimanyu dibunuh oleh putera Dursasana dengan cara menghancurkan kepalanya dengan gada.
Berita kematian Abimanyu membuat Arjuna sangat sedih dan sakit hati. Ia sadar, bahwa seandainya Jayadrata tidak menghalangai para Pandawa memasuki formasi Chakrawyuha, Abimanyu pasti mendapat bantuan. Ia kemudian bersumpah akan membunuh Jayadrata pada hari berikutnya sebelum matahari tenggelam. Menanggapi hal itu, pihak Korawa menempatkan Jayadrata sangat jauh dari Arjuna. Ribuan prajurit dan ksatria mengelilingi dan melindungi Jayadrata. Arjuna berusaha menjangkau Jayadrata, namun ribuan pasukan Korawa mengahalanginya. Hingga matahari hampir terbenam, Jayadrata masih jauh dari jangkauan Arjuna. Melihat hal ini, Kresna menggunakan kecerdikannya. Ia membuat gerhana matahari, sehingga suasana menjadi gelap seolah-olah matahari sudah tenggelam. Pihak Korawa maupun Pandawa mengira hari sudah malam, dan sesuai aturan, mereka menghentikan peperangan dan kembali ke kubu masing-masing. Dengan demikian, pihak Korawa tidak melanjutkan pertarungan dan Jayadrata tidak dalam perlindungan mereka lagi. Saat kereta Arjuna dekat dengan kereta Jayadrata, matahari muncul lagi dan Kresna menyuruh Arjuna agar menggunakan kesempatan tersebut untuk membunuh Jayadrata. Arjuna mengangkat busurnya dan meluncurkan panah, memutus leher Jayadrata. Tepat pada saat tersebut, hari sudah sore, matahari sudah tenggelam dan Arjuna berhasil menuntaskan sumpahnya untuk membunuh Jayadrata.
Abimanyu adalah inkarnasi dari putera Dewa bulan. Ketika Sang Dewa bulan ditanya oleh Dewa yang lain mengenai kepergian puteranya ke bumi, ia membuat perjanjian bahwa puteranya tinggal di bumi hanya selama 16 tahun sebagaimana ia tak dapat menahan perpisahan dengan puteranya. Abimanyu berusia 16 tahun saat ia terbunuh dalam pertempuran.
Putera Abimanyu, yaitu Parikesit, lahir setelah kematiannya, dan menjadi satu-satunya kesatria Keluarga Kuru yang selamat setelah Bharatayuddha, dan melanjutkan garis keturunan Pandawa. Abimanyu seringkali dianggap sebagai kesatria yang terberani dari pihak Pandawa, yang sudi melepaskan hidupanya saat peperangan dalam usia yang masih sangat muda.
Dalam khazanah pewayangan Jawa, Abimanyu, sebagai putra Arjuna, merupakan tokoh penting. Di bawah ini dipaparkan ciri khas tokoh ini dalam budaya Jawa yang sudah berkembang lain daripada tokoh yang sama di India.
Dikisahkan Abimanyu karena kuat tapanya mendapatkan Wahyu Makutha Raja, wahyu yang menyatakan bahwa keturunannyalah yang akan menjadi penerus tahta Para Raja Hastina. Abimanyu dikenal pula dengan nama Angkawijaya, Jaya Murcita, Jaka Pangalasan, Partasuta, Kirityatmaja, Sumbadraatmaja, Wanudara dan Wirabatana. Ia merupakan putra Arjuna, salah satu dari lima ksatria Pandawa dengan Dewi Subadra, putri Prabu Basudewa, Raja Mandura dengan Dewi Dewaki. Ia mempunyai 13 orang saudara lain ibu, yaitu: Sumitra, Bratalaras, Bambang Irawan, Kumaladewa, Kumalasakti, Wisanggeni, Wilungangga, Endang Pregiwa, Endang Pregiwati, Prabakusuma, Wijanarka, Anantadewa dan Bambang Sumbada. Abimanyu merupakan makhluk kekasih Dewata. Sejak dalam kandungan ia telah mendapat "Wahyu Hidayat", yang mamp membuatnya mengerti dalam segala hal. Setelah dewasa ia mendapat "Wahyu Cakraningrat", suatu wahyu yang dapat menurunkan raja-raja besar.
Abimanyu mempunyai sifat dan watak yang halus, baik tingkah lakunya, ucapannya terang, hatinya keras, besar tanggung jawabnya dan pemberani. Dalam olah keprajuritan ia mendapat ajaran dari ayahnya, Arjuna. Sedang dalam olah ilmu kebathinan mendapat ajaran dari kakeknya, Bagawan Abiyasa. Abimanyu tinggal di kesatrian Palangkawati, setelah dapat mengalahkan Prabu Jayamurcita. Ia mempunyai dua orang istri, yaitu:
Dewi Siti Sundari, puteri Prabu Kresna, Raja Negara Dwarawati dengan Dewi Pratiwi;
Dewi Utari, puteri Prabu Matsyapati dengan Dewi Ni Yutisnawati, dari negara Wirata, dan berputera Parikesit.
Abimanyu gugur dalam perang Bharatayuddha setelah sebelumnya seluruh saudaranya mendahului gugur, pada saat itu kesatria dari Pihak Pandawa yang berada dimedan laga dan menguasai strategi perang hanya tiga orang yakni Bima, Arjuna dan Abimanyu. Gatotkaca menyingkir karena Karna merentangkan senjata Kuntawijayandanu. Bima dan Arjuna dipancing oleh kesatria dari pihak Korawa untuk keluar dari medan pertempuran, maka tinggalah Abimanyu.
Ketika tahu semua saudaranya gugur Abimanyu menjadi lupa untuk mengatur formasi perang, dia maju sendiri ketengah barisan Korawa dan terperangkap dalam formasi mematikan yang disiapkan pasukan Korawa. Tak menyiakan kesempatan untuk bersiap-siap, Korawa menghujani senjata ke tubuh Abimanyu sampai Abimanyu terjerembab dan jatuh dari kudanya (dalam pewayangan digambarkan lukanya arang kranjang = banyak sekali). Abimanyu terlihat seperti landak karena berbagai senjata di tubuhnya. Konon tragedi itu merupakan risiko pengucapan sumpah ketika melamar Dewi Utari, bahwa dia masih belum punya istri dan apabila telah beristri maka dia siap mati tertusuk berbagai senjata ketika perang Bharatayuddha. Abimanyu berbohong karena ketika itu sudah beristrikan Dewi Siti Sundari.
Dengan senjata yang menancap diseluruh tubuhnya sehingga dia tidak bisa jalan lagi tidak membuat Abimanyu menyerah dia bahkan berhasil membunuh putera mahkota Hastinapura (Laksmanakumara putera Duryodana) dengan melemparkan keris Pulanggeni setelah menembus tubuh empat prajurit lainnya. Pada saat itu pihak Korawa tahu bahwa untuk membunuh Abimanyu, mereka harus memutus langsang yang ada didadanya, kemudian Abimanyu pun gugur oleh gada Kyai Glinggang atau Galih Asem milik Jayadrata, ksatria Banakeling.
Pada saat itu Yudistira tercengang melihat formasi perang Raja Korawa, sebab Bima dan Arjuna tak ada padahal merekalah yang dapat menghancurkannya. Hanya Putera Arjuna, yaitu Abimanyu yang bersedia merusak formasi yang disusun pendeta Drona itu. Ia berkata bahwa ia yakin dapat menggempur dan memasuki formasi tersebut, hanya saja ia belum tahu bagaimana cara keluar dari formasi tersebut.
Setelah demikian, mereka segera membelah dan menyerang formasi pendeta Drona tersebut dengan dahsyat. Sang Abimanyu merupakan kekuatan yang membinasakan formasi tersebut dengan tembakan panah. Sebagai akibat serangan Abimanyu, formasi tersebut hancur sampai ke pertahanan Duryodana. Dengan ini Dona dan Krepa mengadakan serangan balasan, sehingga Duryodana dapat melarikan diri dan tidak dikejar lagi.
Dengan ini tak dapat dipungkiri lagi musuh yang sakti mulai berkurang seperti Kretasuta dan keluarga Wrehadbala. Juga Satyaswara yang berani dan gila bertarung tertembak sebelum dapat menimbulkan kerusakan sedikit pun karena dihujani panah. Putera Raja Korawa yang berani juga gugur setelah ia tertusuk panah. Putera tersebut sangat terkenal di antara keluarga Korawa, yaitu Laksmanakumara, yang disayangi Suyodhana.
Pada waktu itu seluruh keluarga Korawa menjadi marah, dan dengan tiada hentinya mereka memanahkan senjatanya. Baik kuda maupun kusirnya, badan, tangan, kaki, punggung, dada, dan muka Abimanyu terkena ratusan panah. Dengan ini Abimanyu makin semangat. Ia memegang cakramnya dan dengan panah yang patah ia mengadakan serangan. Dengan ketetapan hati ia mengamuk untuk mencari keharuman nama. Dengan hati yang penuh dendam, ia gugur di tangan Suyodhana.
Ketika Abimanyu terbunuh dalam pertempuran, badannya hancur. Indah untuk dilihat bagaikan lumut dalam periuk emas. Mayatnya terlihat dalam sinar bulan dan telah tercabik-cabik, sehingga menjadi halus seperti mentimun.
Abhimanyu (Sanskrit: अभिमन्यु, abhimanyu) (lit." Excessive Anger")is a tragic hero in the Hindu epic, the Mahābhārata. He is the son of Arjuna and Subhadra, the half-sister of Lord Krishna. He is an unparalleled archer and is considered to be greater than his father in prowess with the bow and arrow. He was a partial incarnation of Chandra.
As an unborn child in his mother's womb, Abhimanyu learned the knowledge of entering the deadly and virtually impenetrable Chakravyuha (see Wars of Hindu Mythology) from Arjun. The epic explains that he overheard Arjun talking about this with his mother Subhadra from the womb. Arjun explains to Subhadra in detail, the technique of attacking and escaping from various vyoohs (an array of army formation) such as Makaravyoha, Kurmavyooha, Sarpavyuha etc. After explaining all the vyoohs, he explains about the technique of cracking Chakravyuha. Arjun tells how to enter the Chakryavyuha. When he was about to explain how to exit from the Chakravyuha, he realises that Subadra is asleep and stops explaining about the Chakravyuha further. In return, the baby Abhimanyu in the womb did not get a chance to learn how to come out of it.
Abhimanyu spent his childhood in Dwaraka, his mother's city. He was trained by Pradyumna, the son of Sri Krishna and his great warrior father Arjuna and brought up under the guidance of Lord Krishna. His father arranged his marriage to Uttara, daughter of king Virata to seal an alliance between the Pandavas and the royal family of Virata, in light of the forthcoming Kurukshetra War. The Pandavas had been hiding in cognito to live through the final year of their exile without being discovered, in Virata's kingdom of Matsya.
Being the grandson of Lord Indra, god of mystical weapons and wars, Abhimanyu was a courageous and dashing warrior. Considered an equal to his father owing his prodigious feats, Abhimanyu was able to hold at bay great heroes like Drona, Karna, Duryodhana and Dushasana. He was praised for his audacious bravery and absolute loyalty to his father, his uncles and to their cause. Abhimanyu took part in the war of Mahabharat and killed important personalities such as Lakshman, the son of Duryodhana and Brihadbala, the king of Kosala of the Ikshwaku dynasty.
On the 13th day of battle, the Kauravas challenged the Pandavas to break a circular battle formation known as the Chakravyuha (see Wars of Hindu Mythology). The Pandavas accepted the challenge since the knowledge of how to defeat such a formation was known to Krishna and Arjuna.
However, on that day, Krishna and Arjuna were dragged into fighting a war on another front with the Samsaptakas. Since the Pandavas had already accepted the challenge, they had no choice but to attempt to use the young brave warrior Abhimanyu, who had knowledge on how to break into the formation but none whatsoever regarding how to break out of it. To make sure that Abhimanyu did not get trapped in this endeavour, the remaining Pandava brothers decided that they and their allies would also break into the formation along with Abhimanyu and assist the boy in breaking out of it. It is important to note that the plan was hatched well after Arjuna and Krishna had been distracted away by the Samsaptaka army led by Susarma.
Using his knowledge of the Chakravyuvha Abhimanyu successfully broke into the formation. The Pandava brothers and allies attempted to follow him inside the formation, but they were effectively cut off by Jayadratha, the Sindhu king, who made use of a boon from Shiva to that enabled him to hold off all Pandavas except Arjuna for a day. Abhimanyu was left to fend for himself against the entire Kaurava army.
Abhimanyu commanded his charioteer to lead his chariot towards Drona. The charioteer, thinking it was not wise to do so, raised objections and requested the sixteen-year-old to take time to think about it before he began the battle. He pointed out that Abhimanyu had grown up amidst great love and comforts and he was not a master of the battle arts as Drona was. Laughing aloud, Abhimanyu said to his charioteer: “What is this Drona or even the entire world of kshatriyas to me? I can fight Indra himself, mounted on his Airavata, along with all the gods! Why, I can fight in a battle even Lord Rudra himself, to whom the entire world of beings pays homage! This battle that I am going wage today does not bewilder me in the least. This entire army of enemies is not equal to one sixteenth of my power.
With no great joy in his mind, the charioteer took his master forward and Abhimanyu broke into the Chakravyuvha. In a mighty battle that followed, he slaughtered ordinary enemy warriors and mighty heroes alike. Abhimanyu fought valiantly single-handedly slaying several warriors who came in his way including Duryodhana's son Laxman.Among the others who were killed were Ashmaka’s son, Shalya younger brother, Shalya’s son Rukmaratha, Drighalochana, Kundavedhi, Sushena, Vasatiya, Kratha and numerous other great warriors. He wounded Karna and made him flee, making Dushshasana faint in the battlefield such that he had to be carried off by others. Upon witnessing the death of his beloved son, Duryodhana was incensed and ordered the entire Kaurava force to attack Abhimanyu. Continually frustrated in attempts to pierce Abhimanyu's armor, Karna on Dronacharya's advice shattered Abhimanyu's bow by firing arrows from behind him. His chariot broke shortly after, the charioteer and horses were killed, and all his weapons were laid to waste. He attempted then to fight off the bow wielding warriors sitting on horses and elephants with a sword and using a chariot wheel as a shield.
Dushasana's son engaged in fierce hand to hand combat with Abhimanyu. Ignoring all rules of war, the Kauravas all fought simultaneously with him. He held his own until his sword broke and the remaining chariot wheel shattered into pieces. Abhimanyu was killed shortly thereafter when Dushasana's son crushed his skull with a mace. However, Abhimanyu killed him with his own mace before dying.
It is said that it is Abhimanyu's death that marks the end of the adherence to the rules of war. Krishna cited the despicable manner in which Abhimanyu was killed to incite Arjuna to kill Karna. This said Krishna was a reason to kill Duryodhana.
News of the despicable acts committed on Abhimanyu reached his father Arjuna at the end of the day, who vows to kill Jayadratha the very next day by sunset, and failing to do so, commit suicide by self-immolation immediately.
The Kaurava army the next day places Jayadratha furthest away from Arjuna, and every warrior including the Samshaptakas (mercenaries to vow only to return from battle fields only upon victory else death) attempts to prevent Arjuna from reaching anywhere close to Jayadratha. Arjuna literally hacks through the Kaurava army and kills more than a hundred thousand soldiers and warriors in a single day. However, almost by sundown, Arjuna's chariot is still nowhere near Jayadratha's. Arjuna becomes despondent because he realizes that failure is imminent, and starts getting mentally prepared to self-immolate. Krishna being the almighty god uses his powers to temporarily to create an eclipse. The Kauravas and Pandavas alike believe that indeed the sun has set and the war stops according to the rules. Both sides come to watch Arjuna self-immolate. In his haste to see Arjuna's death, Jayadratha also comes to the front. Krishna sees the opportunity that he has effectively created, and the sun comes out again. Before the Kauravas can take corrective action, Krishna points out to Arjuna and asks him to pick up his Gandiva and behead Jayadratha. Arjuna's unerring arrows decapitate Jayadratha, and his vow to kill Jayadratha by sunset that day and avenge Abhimanyu's death is fulfilled. The reason for creating eclipse is also suggested at many places as a plot to save Arjuna from death, because Jayadratha had got a boon from his father that whoever would cause Jayadratha's head to fall onto earth would also die immediately. So Lord Krishna wanted everything to happen in this way so that Jayadratha would be on an easy aim. When Arjuna beheads Jayadratha, he does it so skillfully that the head falls straight into the lap of his father who was sitting under a tree. His father is shocked and stands up, causing Jayadratha's head to fall to earth. Thus his father is killed immediately.
Abhimanyu is the reincarnation of Varchas, the son of the moon god. When the moon god was asked to let his son incarnate himself on earth by the other devas, he made a pact that his son will only remain on earth for 16 years as he could not bear to be separated from him. Abhimanyu was 16 years old when he died in the war.
His son, Parikshita, born after his death, remains the sole survivor of the Kuru clan at the conclusion of the Mahābhārata war, and carries on the Pandava lineage. Abhimanyu is often thought of as a very brave warrior on the Pandava side, willingly giving up his life in war at a very young age.
The demonic element in Abhimanyu is understood and highlighted in the Draupadi cult popular in northern Tamil Nadu and its neighboring areas in Andhra Pradesh and Karnataka. Speaking of this, Alf Hiltebeitel in The Cult of Draupadi speaks of how in South Indian folklore Abhimanyu is an incarnate demon and Krishna, who knows this, schemes the death of his own sister’s son by seeing that he is left alone to protect Yudhishthira while Drona attacks him with the chakravyuha. According to one South Indian folk tradition, it is a curse from Durvasa that makes Abhimanyu a Rakshasa in his current birth. In a former life he was a gatekeeper at Rama’s palace and Durvasa curses him to be born as a Rakshasa in his future life because he refused entry to the sage into Rama’s court. The reason for Krishna desiring Abhimanyu’s death is not exactly because he is a Rakshasa though, but because Abhimanyu is capable of killing the entire Kauravas all alone(except Bhishma & Drona because Drona was scheduled to be killed by Drishtadumya). and that would make it impossible for the Pandava brothers who have taken vows of killing individual Kauravas. According to yet another tale mentioned in the Glossary to Michael Madhusudan Dutt’s Meghanadavadha Kavya, Abhimanyu’s birth again is a result of a curse, though a different curse. According to this tale, the moon failed to pay due deference to the sage Garga, and sage cursed him to be born as a human being on the earth and Abhimanyu is this accursed moon god. He dies at the young age of sixteen because the sage, moved by the moon’s begging for forgiveness, reduced the severity of the curse by saying that he would be killed in battle at the age of sixteen and could then go back to heaven. However, one must not dismiss the compassionate qualities of Abhimanyu. A romantic at an early age, he questioned everything. Something often mistaken as being arrogant. He was know to have a certain inborn quality of trusting people, a kind of trust that came from deep within. As few as there would have been to gain his trust, he remained forever faithful to them as they did to him, with humility.
Abhimanyu is often quoted as an example for his partial knowledge about Chakravyooh. Since, he knew how to penetrate the Chakravyooh, but did not know how to exit from it during the time of danger contributed to his death. Similarly, Ashwatthama too had a partial knowledge in the context of Brahmastra. He only knew how to invoke it. But did not know how to withdraw it. This contributes for him to get cursed by Krishna during the end of Mahabharatha war. It was only Arjuna who had complete knowledge of both Chakravyooh (to break and exit from it) and Brahmastra (to invoke and withdraw it).
Abhimanyu was believed to be an incarnation of Kalayavan . The thing was, he has now taken birth in a very good family. Hence, Krishna who was aware of this and being the guru of Abhimanyu (via Pradyumna) in Dwaraka, sees to it that Abhimanyu is ignorant about "how to exit from Chakravyooh". Hence, even though Abhimanyu was curious to know the way to exit from a Chakravyooh, Krishna does not tell this secret, but instead insists him to seek that knowledge from Arjuna. It so happens that Abhimanyu never gets a chance from his father as he was in exile. Further, Abhimanyu is such a hero that none from the Kaurava side (except Bhisma) can kill him in a one on one combat (dwandva yudha). Hence, on the 13th day of the battle field, when the Chakravyooha is launched by Dronacharya, he defeats all the Maharatis on a one on one battle. And Abhimanyu really proves very expensive for the entire Kaurva forces on that particular day. Hence, sensing the danger by his presence, the Kaurava Maharatis merge together to kill him after making him weaponless. This was the only way by which Abhimanyu can attain Moksha. Hence, he plays a very great role on the 13th day of Mahabharata war.
In case of Ashwatama, Dronacharya does not trust Ashwatama the manner in which he trusts Arjuna. Hence, he teaches Ashwatama only to invoke Brahmastra, but does not teach him how to withdraw it. If an archer is aware of both the invocation and withdrawal of Brahmastra, then he can invoke it as many times as he wants. Hence, to avoid Ashwatama from invoking Brahmastra multiple times, Dronacharya only gives a partial knowledge about it.
Shashirekha was a daughter of Balarama. Balarama has soft corner towards Duryodana. Before the birth of Abhimanyu, he wants his sister Subhadra to marry Duryodana instead of Arjuna. Hence, Krishna who is aware of this sees to it that Arjuna abducts Subhadra and they get married. The same scenario repeats one generation below.
Lakshmana is the son of Duryodana. Now, Balarama wants his daughter Shashirekha to marry Lakshmana instead of Abhimanyu. Hence, Krishna advises Subhadra and Abhimanyu to seek help from Ghatothkacha to solve this problem. Ghatothkacha abducts Shashirekha and sees to it that Abhimanyu weds Shashirekha. The moral of this story is "history repeats itself".
Factors that contributes for Abhimanyu's death
1) Abhimanyu's partial knowledge of Chakravyooh
2) Krishna who does not teach Abhimanyu as 'how to exit from Chakravyooh'
3) Absence of Krishna and Arjuna when Dronacharya launches the Chakravyooh
4) The boon granted to Jayadrath by Lord Shiva to hold all the Pandavas except Arjuna for one day
5) The Kaurava maharathis violation of the war rules
6) The ignorance of the remaining Pandavas to enter Chakravyooh
7) Abhimanyu's soul belonged to rakhshas
8) Abhimanyu kills dhuryodhana's son Lakshmana
Source:
http://en.wikipedia.org/wiki/Abhimanyu
Hatiku selembar daun...
Abimanyu (Sanskerta: अभिमन्यु, abhiman'yu) adalah seorang tokoh dalam wiracarita Mahabharata. Ia adalah putera Arjuna dari salah satu istrinya yang bernama Subadra. Ditetapkan bahwa Abimanyu-lah yang akan meneruskan Yudistira. Dalam wiracarita Mahabharata, ia dianggap seorang pahlawan yang tragis. Ia gugur dalam pertempuran besar di Kurukshetra sebagai kesatria termuda dari pihak Pandawa, karena baru berusia enam belas tahun. Abimanyu menikah dengan Utara, puteri Raja Wirata dan memiliki seorang putera bernama Parikesit, yang lahir setelah ia gugur.
Abimanyu terdiri dari dua kata Sanskerta, yaitu abhi (berani) dan man'yu (tabiat). Dalam bahasa Sansekerta, kata Abhiman'yu secara harfiah berarti "ia yang memiliki sifat tak kenal takut" atau "yang bersifat kepahlawanan".
Saat belum lahir karena berada dalam rahim ibunya, Abimanyu mempelajari pengetahuan tentang memasuki formasi mematikan yang sulit ditembus bernama Chakrawyuha dari Arjuna. Mahabharata menjelaskan bahwa dari dalam rahim, ia menguping pembicaraan Kresna yang sedang membahas hal tersebut dengan ibunya, Subadra. Kresna berbicara mengenai cara memasuki Chakrawyuha dan kemudian Subadra (ibu Abimanyu) tertidur maka sang bayi tidak memiliki kesempatan untuk tahu bagaimana cara meloloskan diri dari formasi itu.
Abimanyu menghabiskan masa kecilnya di Dwaraka, kota tempat tinggal ibunya. Ia dilatih oleh ayahnya yang bernama Arjuna yang merupakan seorang ksatria besar dan diasuh di bawah bimbingan Kresna. Ayahnya menikahkan Abimanyu dengan Uttara, puteri Raja Wirata, untuk mempererat hubungan antara Pandawa dengan keluarga Raja Wirata, saat pertempuran Bharatayuddha yang akan datang. Pandawa menyamar untuk menuntaskan masa pembuangannnya tanpa diketahui di kerajaan Raja Wirata, yaitu Matsya.
Sebagai cucu Dewa Indra, Dewa senjata ajaib sekaligus Dewa peperangan, Abimanyu merupakan ksatria yang gagah berani dan ganas. Karena dianggap setara dengan kemampuan ayahnya, Abimanyu mampu melawan ksatria-ksatria besar seperti Drona, Karna, Duryodana dan Dursasana. Ia dipuji karena keberaniannya dan memiliki rasa setia yang tinggi terhadap ayahnya, pamannya, dan segala keinginan mereka.
Pada hari ketiga belas Bharatayuddha, pihak Korawa menantang Pandawa untuk mematahkan formasi perang melingkar yang dikenal sebagai Chakrawyuha. Para Pandawa menerima tantangan tersebut karena Kresna dan Arjuna tahu bagaimana cara mematahkan berbagai formasi.
Namun, pada hari itu, Kresna dan Arjuna sibuk bertarung dengan laskar Samsaptaka. Oleh karena Pandawa sudah menerima tantangan tersebut, mereka tidak memiliki pilihan namun mencoba untuk menggunakan Abimanyu yang masih muda, yang memiliki pengetahuan tentang bagaimana cara mematahkan formasi Chakrawyuha namun tidak tahu bagaimana cara keluar dari dalamnya. Untuk meyakinkan bahwa Abimanyu tidak akan terperangkap dalam formasi tersebut, Pandawa bersaudara memutuskan bahwa mereka dan sekutu mereka akan mematahkan formasi itu bersama Abimanyu dan membantu sang pemuda keluar dari formasi tersebut.
Pada hari penting itu, Abimanyu menggunakan kecerdikannya untuk menembus formasi tersebut. pandawa bersaudara dan sekutunya mencoba untuk mengikutinya di dalam formasi, namun mereka dihadang oleh Jayadrata, Raja Sindhu, yang memakai anugerah Siwa agar mampu menahan para Pandawa kecuali Arjuna, hanya untuk satu hari. Abimanyu ditinggal sendirian untuk menangkis serangan pasukan Korawa.
Abimanyu membunuh dengan bengis beberapa ksatria yang mendekatinya, termasuk putera Duryodana, yaitu Laksmana. Setelah menyaksikan putera kesayangannya terbunuh, Duryodana marah besar dan menyuruh segenap pasukan Korawa untuk menyerang Abimanyu. Karena gagal menghancurkan baju zirah Abimanyu, atas nasihat Drona, Karna menghancurkan busur Abimanyu dari belakang. Kemudian keretanya dihancurkan, kusir dan kudanya dibunuh, dan seluruh senjatanya terbuang. Putera Dursasana mencoba untuk bertarung dengan tangan kosong dengan Abimanyu. Namun tanpa menghiraukan aturan perang, pihak Korawa menyerang Abimanyu secara serentak. Abimanyu mampu bertahan sampai pedangnya patah dan roda kereta yang ia pakai sebagai perisai hancur berkeping-keping. Tak berapa lama kemudian, Abimanyu dibunuh oleh putera Dursasana dengan cara menghancurkan kepalanya dengan gada.
Berita kematian Abimanyu membuat Arjuna sangat sedih dan sakit hati. Ia sadar, bahwa seandainya Jayadrata tidak menghalangai para Pandawa memasuki formasi Chakrawyuha, Abimanyu pasti mendapat bantuan. Ia kemudian bersumpah akan membunuh Jayadrata pada hari berikutnya sebelum matahari tenggelam. Menanggapi hal itu, pihak Korawa menempatkan Jayadrata sangat jauh dari Arjuna. Ribuan prajurit dan ksatria mengelilingi dan melindungi Jayadrata. Arjuna berusaha menjangkau Jayadrata, namun ribuan pasukan Korawa mengahalanginya. Hingga matahari hampir terbenam, Jayadrata masih jauh dari jangkauan Arjuna. Melihat hal ini, Kresna menggunakan kecerdikannya. Ia membuat gerhana matahari, sehingga suasana menjadi gelap seolah-olah matahari sudah tenggelam. Pihak Korawa maupun Pandawa mengira hari sudah malam, dan sesuai aturan, mereka menghentikan peperangan dan kembali ke kubu masing-masing. Dengan demikian, pihak Korawa tidak melanjutkan pertarungan dan Jayadrata tidak dalam perlindungan mereka lagi. Saat kereta Arjuna dekat dengan kereta Jayadrata, matahari muncul lagi dan Kresna menyuruh Arjuna agar menggunakan kesempatan tersebut untuk membunuh Jayadrata. Arjuna mengangkat busurnya dan meluncurkan panah, memutus leher Jayadrata. Tepat pada saat tersebut, hari sudah sore, matahari sudah tenggelam dan Arjuna berhasil menuntaskan sumpahnya untuk membunuh Jayadrata.
Abimanyu adalah inkarnasi dari putera Dewa bulan. Ketika Sang Dewa bulan ditanya oleh Dewa yang lain mengenai kepergian puteranya ke bumi, ia membuat perjanjian bahwa puteranya tinggal di bumi hanya selama 16 tahun sebagaimana ia tak dapat menahan perpisahan dengan puteranya. Abimanyu berusia 16 tahun saat ia terbunuh dalam pertempuran.
Putera Abimanyu, yaitu Parikesit, lahir setelah kematiannya, dan menjadi satu-satunya kesatria Keluarga Kuru yang selamat setelah Bharatayuddha, dan melanjutkan garis keturunan Pandawa. Abimanyu seringkali dianggap sebagai kesatria yang terberani dari pihak Pandawa, yang sudi melepaskan hidupanya saat peperangan dalam usia yang masih sangat muda.
Dalam khazanah pewayangan Jawa, Abimanyu, sebagai putra Arjuna, merupakan tokoh penting. Di bawah ini dipaparkan ciri khas tokoh ini dalam budaya Jawa yang sudah berkembang lain daripada tokoh yang sama di India.
Dikisahkan Abimanyu karena kuat tapanya mendapatkan Wahyu Makutha Raja, wahyu yang menyatakan bahwa keturunannyalah yang akan menjadi penerus tahta Para Raja Hastina. Abimanyu dikenal pula dengan nama Angkawijaya, Jaya Murcita, Jaka Pangalasan, Partasuta, Kirityatmaja, Sumbadraatmaja, Wanudara dan Wirabatana. Ia merupakan putra Arjuna, salah satu dari lima ksatria Pandawa dengan Dewi Subadra, putri Prabu Basudewa, Raja Mandura dengan Dewi Dewaki. Ia mempunyai 13 orang saudara lain ibu, yaitu: Sumitra, Bratalaras, Bambang Irawan, Kumaladewa, Kumalasakti, Wisanggeni, Wilungangga, Endang Pregiwa, Endang Pregiwati, Prabakusuma, Wijanarka, Anantadewa dan Bambang Sumbada. Abimanyu merupakan makhluk kekasih Dewata. Sejak dalam kandungan ia telah mendapat "Wahyu Hidayat", yang mamp membuatnya mengerti dalam segala hal. Setelah dewasa ia mendapat "Wahyu Cakraningrat", suatu wahyu yang dapat menurunkan raja-raja besar.
Abimanyu mempunyai sifat dan watak yang halus, baik tingkah lakunya, ucapannya terang, hatinya keras, besar tanggung jawabnya dan pemberani. Dalam olah keprajuritan ia mendapat ajaran dari ayahnya, Arjuna. Sedang dalam olah ilmu kebathinan mendapat ajaran dari kakeknya, Bagawan Abiyasa. Abimanyu tinggal di kesatrian Palangkawati, setelah dapat mengalahkan Prabu Jayamurcita. Ia mempunyai dua orang istri, yaitu:
Dewi Siti Sundari, puteri Prabu Kresna, Raja Negara Dwarawati dengan Dewi Pratiwi;
Dewi Utari, puteri Prabu Matsyapati dengan Dewi Ni Yutisnawati, dari negara Wirata, dan berputera Parikesit.
Abimanyu gugur dalam perang Bharatayuddha setelah sebelumnya seluruh saudaranya mendahului gugur, pada saat itu kesatria dari Pihak Pandawa yang berada dimedan laga dan menguasai strategi perang hanya tiga orang yakni Bima, Arjuna dan Abimanyu. Gatotkaca menyingkir karena Karna merentangkan senjata Kuntawijayandanu. Bima dan Arjuna dipancing oleh kesatria dari pihak Korawa untuk keluar dari medan pertempuran, maka tinggalah Abimanyu.
Ketika tahu semua saudaranya gugur Abimanyu menjadi lupa untuk mengatur formasi perang, dia maju sendiri ketengah barisan Korawa dan terperangkap dalam formasi mematikan yang disiapkan pasukan Korawa. Tak menyiakan kesempatan untuk bersiap-siap, Korawa menghujani senjata ke tubuh Abimanyu sampai Abimanyu terjerembab dan jatuh dari kudanya (dalam pewayangan digambarkan lukanya arang kranjang = banyak sekali). Abimanyu terlihat seperti landak karena berbagai senjata di tubuhnya. Konon tragedi itu merupakan risiko pengucapan sumpah ketika melamar Dewi Utari, bahwa dia masih belum punya istri dan apabila telah beristri maka dia siap mati tertusuk berbagai senjata ketika perang Bharatayuddha. Abimanyu berbohong karena ketika itu sudah beristrikan Dewi Siti Sundari.
Dengan senjata yang menancap diseluruh tubuhnya sehingga dia tidak bisa jalan lagi tidak membuat Abimanyu menyerah dia bahkan berhasil membunuh putera mahkota Hastinapura (Laksmanakumara putera Duryodana) dengan melemparkan keris Pulanggeni setelah menembus tubuh empat prajurit lainnya. Pada saat itu pihak Korawa tahu bahwa untuk membunuh Abimanyu, mereka harus memutus langsang yang ada didadanya, kemudian Abimanyu pun gugur oleh gada Kyai Glinggang atau Galih Asem milik Jayadrata, ksatria Banakeling.
Pada saat itu Yudistira tercengang melihat formasi perang Raja Korawa, sebab Bima dan Arjuna tak ada padahal merekalah yang dapat menghancurkannya. Hanya Putera Arjuna, yaitu Abimanyu yang bersedia merusak formasi yang disusun pendeta Drona itu. Ia berkata bahwa ia yakin dapat menggempur dan memasuki formasi tersebut, hanya saja ia belum tahu bagaimana cara keluar dari formasi tersebut.
Setelah demikian, mereka segera membelah dan menyerang formasi pendeta Drona tersebut dengan dahsyat. Sang Abimanyu merupakan kekuatan yang membinasakan formasi tersebut dengan tembakan panah. Sebagai akibat serangan Abimanyu, formasi tersebut hancur sampai ke pertahanan Duryodana. Dengan ini Dona dan Krepa mengadakan serangan balasan, sehingga Duryodana dapat melarikan diri dan tidak dikejar lagi.
Dengan ini tak dapat dipungkiri lagi musuh yang sakti mulai berkurang seperti Kretasuta dan keluarga Wrehadbala. Juga Satyaswara yang berani dan gila bertarung tertembak sebelum dapat menimbulkan kerusakan sedikit pun karena dihujani panah. Putera Raja Korawa yang berani juga gugur setelah ia tertusuk panah. Putera tersebut sangat terkenal di antara keluarga Korawa, yaitu Laksmanakumara, yang disayangi Suyodhana.
Pada waktu itu seluruh keluarga Korawa menjadi marah, dan dengan tiada hentinya mereka memanahkan senjatanya. Baik kuda maupun kusirnya, badan, tangan, kaki, punggung, dada, dan muka Abimanyu terkena ratusan panah. Dengan ini Abimanyu makin semangat. Ia memegang cakramnya dan dengan panah yang patah ia mengadakan serangan. Dengan ketetapan hati ia mengamuk untuk mencari keharuman nama. Dengan hati yang penuh dendam, ia gugur di tangan Suyodhana.
Ketika Abimanyu terbunuh dalam pertempuran, badannya hancur. Indah untuk dilihat bagaikan lumut dalam periuk emas. Mayatnya terlihat dalam sinar bulan dan telah tercabik-cabik, sehingga menjadi halus seperti mentimun.
Abhimanyu (Sanskrit: अभिमन्यु, abhimanyu) (lit." Excessive Anger")is a tragic hero in the Hindu epic, the Mahābhārata. He is the son of Arjuna and Subhadra, the half-sister of Lord Krishna. He is an unparalleled archer and is considered to be greater than his father in prowess with the bow and arrow. He was a partial incarnation of Chandra.
As an unborn child in his mother's womb, Abhimanyu learned the knowledge of entering the deadly and virtually impenetrable Chakravyuha (see Wars of Hindu Mythology) from Arjun. The epic explains that he overheard Arjun talking about this with his mother Subhadra from the womb. Arjun explains to Subhadra in detail, the technique of attacking and escaping from various vyoohs (an array of army formation) such as Makaravyoha, Kurmavyooha, Sarpavyuha etc. After explaining all the vyoohs, he explains about the technique of cracking Chakravyuha. Arjun tells how to enter the Chakryavyuha. When he was about to explain how to exit from the Chakravyuha, he realises that Subadra is asleep and stops explaining about the Chakravyuha further. In return, the baby Abhimanyu in the womb did not get a chance to learn how to come out of it.
Abhimanyu spent his childhood in Dwaraka, his mother's city. He was trained by Pradyumna, the son of Sri Krishna and his great warrior father Arjuna and brought up under the guidance of Lord Krishna. His father arranged his marriage to Uttara, daughter of king Virata to seal an alliance between the Pandavas and the royal family of Virata, in light of the forthcoming Kurukshetra War. The Pandavas had been hiding in cognito to live through the final year of their exile without being discovered, in Virata's kingdom of Matsya.
Being the grandson of Lord Indra, god of mystical weapons and wars, Abhimanyu was a courageous and dashing warrior. Considered an equal to his father owing his prodigious feats, Abhimanyu was able to hold at bay great heroes like Drona, Karna, Duryodhana and Dushasana. He was praised for his audacious bravery and absolute loyalty to his father, his uncles and to their cause. Abhimanyu took part in the war of Mahabharat and killed important personalities such as Lakshman, the son of Duryodhana and Brihadbala, the king of Kosala of the Ikshwaku dynasty.
On the 13th day of battle, the Kauravas challenged the Pandavas to break a circular battle formation known as the Chakravyuha (see Wars of Hindu Mythology). The Pandavas accepted the challenge since the knowledge of how to defeat such a formation was known to Krishna and Arjuna.
However, on that day, Krishna and Arjuna were dragged into fighting a war on another front with the Samsaptakas. Since the Pandavas had already accepted the challenge, they had no choice but to attempt to use the young brave warrior Abhimanyu, who had knowledge on how to break into the formation but none whatsoever regarding how to break out of it. To make sure that Abhimanyu did not get trapped in this endeavour, the remaining Pandava brothers decided that they and their allies would also break into the formation along with Abhimanyu and assist the boy in breaking out of it. It is important to note that the plan was hatched well after Arjuna and Krishna had been distracted away by the Samsaptaka army led by Susarma.
Using his knowledge of the Chakravyuvha Abhimanyu successfully broke into the formation. The Pandava brothers and allies attempted to follow him inside the formation, but they were effectively cut off by Jayadratha, the Sindhu king, who made use of a boon from Shiva to that enabled him to hold off all Pandavas except Arjuna for a day. Abhimanyu was left to fend for himself against the entire Kaurava army.
Abhimanyu commanded his charioteer to lead his chariot towards Drona. The charioteer, thinking it was not wise to do so, raised objections and requested the sixteen-year-old to take time to think about it before he began the battle. He pointed out that Abhimanyu had grown up amidst great love and comforts and he was not a master of the battle arts as Drona was. Laughing aloud, Abhimanyu said to his charioteer: “What is this Drona or even the entire world of kshatriyas to me? I can fight Indra himself, mounted on his Airavata, along with all the gods! Why, I can fight in a battle even Lord Rudra himself, to whom the entire world of beings pays homage! This battle that I am going wage today does not bewilder me in the least. This entire army of enemies is not equal to one sixteenth of my power.
With no great joy in his mind, the charioteer took his master forward and Abhimanyu broke into the Chakravyuvha. In a mighty battle that followed, he slaughtered ordinary enemy warriors and mighty heroes alike. Abhimanyu fought valiantly single-handedly slaying several warriors who came in his way including Duryodhana's son Laxman.Among the others who were killed were Ashmaka’s son, Shalya younger brother, Shalya’s son Rukmaratha, Drighalochana, Kundavedhi, Sushena, Vasatiya, Kratha and numerous other great warriors. He wounded Karna and made him flee, making Dushshasana faint in the battlefield such that he had to be carried off by others. Upon witnessing the death of his beloved son, Duryodhana was incensed and ordered the entire Kaurava force to attack Abhimanyu. Continually frustrated in attempts to pierce Abhimanyu's armor, Karna on Dronacharya's advice shattered Abhimanyu's bow by firing arrows from behind him. His chariot broke shortly after, the charioteer and horses were killed, and all his weapons were laid to waste. He attempted then to fight off the bow wielding warriors sitting on horses and elephants with a sword and using a chariot wheel as a shield.
Dushasana's son engaged in fierce hand to hand combat with Abhimanyu. Ignoring all rules of war, the Kauravas all fought simultaneously with him. He held his own until his sword broke and the remaining chariot wheel shattered into pieces. Abhimanyu was killed shortly thereafter when Dushasana's son crushed his skull with a mace. However, Abhimanyu killed him with his own mace before dying.
It is said that it is Abhimanyu's death that marks the end of the adherence to the rules of war. Krishna cited the despicable manner in which Abhimanyu was killed to incite Arjuna to kill Karna. This said Krishna was a reason to kill Duryodhana.
News of the despicable acts committed on Abhimanyu reached his father Arjuna at the end of the day, who vows to kill Jayadratha the very next day by sunset, and failing to do so, commit suicide by self-immolation immediately.
The Kaurava army the next day places Jayadratha furthest away from Arjuna, and every warrior including the Samshaptakas (mercenaries to vow only to return from battle fields only upon victory else death) attempts to prevent Arjuna from reaching anywhere close to Jayadratha. Arjuna literally hacks through the Kaurava army and kills more than a hundred thousand soldiers and warriors in a single day. However, almost by sundown, Arjuna's chariot is still nowhere near Jayadratha's. Arjuna becomes despondent because he realizes that failure is imminent, and starts getting mentally prepared to self-immolate. Krishna being the almighty god uses his powers to temporarily to create an eclipse. The Kauravas and Pandavas alike believe that indeed the sun has set and the war stops according to the rules. Both sides come to watch Arjuna self-immolate. In his haste to see Arjuna's death, Jayadratha also comes to the front. Krishna sees the opportunity that he has effectively created, and the sun comes out again. Before the Kauravas can take corrective action, Krishna points out to Arjuna and asks him to pick up his Gandiva and behead Jayadratha. Arjuna's unerring arrows decapitate Jayadratha, and his vow to kill Jayadratha by sunset that day and avenge Abhimanyu's death is fulfilled. The reason for creating eclipse is also suggested at many places as a plot to save Arjuna from death, because Jayadratha had got a boon from his father that whoever would cause Jayadratha's head to fall onto earth would also die immediately. So Lord Krishna wanted everything to happen in this way so that Jayadratha would be on an easy aim. When Arjuna beheads Jayadratha, he does it so skillfully that the head falls straight into the lap of his father who was sitting under a tree. His father is shocked and stands up, causing Jayadratha's head to fall to earth. Thus his father is killed immediately.
Abhimanyu is the reincarnation of Varchas, the son of the moon god. When the moon god was asked to let his son incarnate himself on earth by the other devas, he made a pact that his son will only remain on earth for 16 years as he could not bear to be separated from him. Abhimanyu was 16 years old when he died in the war.
His son, Parikshita, born after his death, remains the sole survivor of the Kuru clan at the conclusion of the Mahābhārata war, and carries on the Pandava lineage. Abhimanyu is often thought of as a very brave warrior on the Pandava side, willingly giving up his life in war at a very young age.
The demonic element in Abhimanyu is understood and highlighted in the Draupadi cult popular in northern Tamil Nadu and its neighboring areas in Andhra Pradesh and Karnataka. Speaking of this, Alf Hiltebeitel in The Cult of Draupadi speaks of how in South Indian folklore Abhimanyu is an incarnate demon and Krishna, who knows this, schemes the death of his own sister’s son by seeing that he is left alone to protect Yudhishthira while Drona attacks him with the chakravyuha. According to one South Indian folk tradition, it is a curse from Durvasa that makes Abhimanyu a Rakshasa in his current birth. In a former life he was a gatekeeper at Rama’s palace and Durvasa curses him to be born as a Rakshasa in his future life because he refused entry to the sage into Rama’s court. The reason for Krishna desiring Abhimanyu’s death is not exactly because he is a Rakshasa though, but because Abhimanyu is capable of killing the entire Kauravas all alone(except Bhishma & Drona because Drona was scheduled to be killed by Drishtadumya). and that would make it impossible for the Pandava brothers who have taken vows of killing individual Kauravas. According to yet another tale mentioned in the Glossary to Michael Madhusudan Dutt’s Meghanadavadha Kavya, Abhimanyu’s birth again is a result of a curse, though a different curse. According to this tale, the moon failed to pay due deference to the sage Garga, and sage cursed him to be born as a human being on the earth and Abhimanyu is this accursed moon god. He dies at the young age of sixteen because the sage, moved by the moon’s begging for forgiveness, reduced the severity of the curse by saying that he would be killed in battle at the age of sixteen and could then go back to heaven. However, one must not dismiss the compassionate qualities of Abhimanyu. A romantic at an early age, he questioned everything. Something often mistaken as being arrogant. He was know to have a certain inborn quality of trusting people, a kind of trust that came from deep within. As few as there would have been to gain his trust, he remained forever faithful to them as they did to him, with humility.
Abhimanyu is often quoted as an example for his partial knowledge about Chakravyooh. Since, he knew how to penetrate the Chakravyooh, but did not know how to exit from it during the time of danger contributed to his death. Similarly, Ashwatthama too had a partial knowledge in the context of Brahmastra. He only knew how to invoke it. But did not know how to withdraw it. This contributes for him to get cursed by Krishna during the end of Mahabharatha war. It was only Arjuna who had complete knowledge of both Chakravyooh (to break and exit from it) and Brahmastra (to invoke and withdraw it).
Abhimanyu was believed to be an incarnation of Kalayavan . The thing was, he has now taken birth in a very good family. Hence, Krishna who was aware of this and being the guru of Abhimanyu (via Pradyumna) in Dwaraka, sees to it that Abhimanyu is ignorant about "how to exit from Chakravyooh". Hence, even though Abhimanyu was curious to know the way to exit from a Chakravyooh, Krishna does not tell this secret, but instead insists him to seek that knowledge from Arjuna. It so happens that Abhimanyu never gets a chance from his father as he was in exile. Further, Abhimanyu is such a hero that none from the Kaurava side (except Bhisma) can kill him in a one on one combat (dwandva yudha). Hence, on the 13th day of the battle field, when the Chakravyooha is launched by Dronacharya, he defeats all the Maharatis on a one on one battle. And Abhimanyu really proves very expensive for the entire Kaurva forces on that particular day. Hence, sensing the danger by his presence, the Kaurava Maharatis merge together to kill him after making him weaponless. This was the only way by which Abhimanyu can attain Moksha. Hence, he plays a very great role on the 13th day of Mahabharata war.
In case of Ashwatama, Dronacharya does not trust Ashwatama the manner in which he trusts Arjuna. Hence, he teaches Ashwatama only to invoke Brahmastra, but does not teach him how to withdraw it. If an archer is aware of both the invocation and withdrawal of Brahmastra, then he can invoke it as many times as he wants. Hence, to avoid Ashwatama from invoking Brahmastra multiple times, Dronacharya only gives a partial knowledge about it.
Shashirekha was a daughter of Balarama. Balarama has soft corner towards Duryodana. Before the birth of Abhimanyu, he wants his sister Subhadra to marry Duryodana instead of Arjuna. Hence, Krishna who is aware of this sees to it that Arjuna abducts Subhadra and they get married. The same scenario repeats one generation below.
Lakshmana is the son of Duryodana. Now, Balarama wants his daughter Shashirekha to marry Lakshmana instead of Abhimanyu. Hence, Krishna advises Subhadra and Abhimanyu to seek help from Ghatothkacha to solve this problem. Ghatothkacha abducts Shashirekha and sees to it that Abhimanyu weds Shashirekha. The moral of this story is "history repeats itself".
Factors that contributes for Abhimanyu's death
1) Abhimanyu's partial knowledge of Chakravyooh
2) Krishna who does not teach Abhimanyu as 'how to exit from Chakravyooh'
3) Absence of Krishna and Arjuna when Dronacharya launches the Chakravyooh
4) The boon granted to Jayadrath by Lord Shiva to hold all the Pandavas except Arjuna for one day
5) The Kaurava maharathis violation of the war rules
6) The ignorance of the remaining Pandavas to enter Chakravyooh
7) Abhimanyu's soul belonged to rakhshas
8) Abhimanyu kills dhuryodhana's son Lakshmana
Source:
http://en.wikipedia.org/wiki/Abhimanyu
Hatiku selembar daun...
Parikesit
Parikesit
Parikesit (Sansekerta: परीक्षित; parikṣita, parikṣit) atau Pariksita adalah seorang tokoh dari wiracarita Mahabharata. Ia adalah raja Hastina dan cucu Arjuna. Ayahnya adalah Abimanyu sedangkan putranya adalah Janamejaya.
Dalam kitab Adiparwa, akhir riwayatnya diceritakan bahwa Prabu Parikesit meninggal karena digigit Naga Taksaka yang bersembunyi di dalam buah jambu, sesuai dengan kutukan Brahmana Granggi yang merasa sakit hati karena Prabu Parikesit telah mengkalungkan bangkai ular hitam di leher ayahnya, Bagawan Sarmiti.
Parikesit tewas digigit oleh Naga Taksaka, setelah beliau diramalkan akan dibunuh oleh seekor ular. Maka beliaupun menyuruh untuk mengadakan upacara sarpayajna untuk mengusir semua ular. Tetapi karena sudah takdirnya, beliau pun digigit sampai wafat.
Saat Maharaja Parikesit masih berada dalam kandungan, ayahnya yang bernama Abimanyu, turut serta bersama Arjuna dalam sebuah pertempuran besar di daratan Kurukshetra. Dalam pertempuran tersebut, Abimanyu gugur dalam serangan musuh yang dilakukan secara curang. Abimanyu meninggalkan ibu Parikesit yang bernama Utara karena gugur dalam perang.
Pada pertempuran di akhir hari kedelapan belas, Aswatama bertarung dengan Arjuna. Aswatama dan Arjuna sama-sama sakti dan sama-sama mengeluarkan senjata Brahmāstra. Karena dicegah oleh Resi Byasa, Aswatama dianjurkan untuk mengarahkan senjata tersebut kepada objek lain. Maka Aswatama memilih agar senjata tersebut diarahkan ke kandungan Utara. Senjata tersebut pun membunuh Parikesit yang maish berada dalam kandungan. Atas pertolongan dari Kresna, Parikesit dihidupkan kembali. Aswatama kemudian dikutuk agar mengembara di dunia selamanya.
Resi Dhomya memprediksikan kepada Yudistira setelah Parikesit lahir bahwa ia akan menjadi pemuja setia Dewa Wisnu, dan semenjak ia diselamatkan oleh Bhatara Kresna, ia akan dikenal sebagai Vishnurata (Orang yang selalu dilindungi oleh Sang Dewa).
Resi Dhomya memprediksikan bahwa Parikesit akan selamanya mencurahkan kebajikan, ajaran agama dan kebenaran, dan akan menjadi pemimpin yang bijaksana, tepatnya seperti Ikswaku dan Rama dari Ayodhya. Ia akan menjadi ksatria panutan seperti Arjuna, yaitu kakeknya sendiri, dan akan membawa kemahsyuran bagi keluarganya.
Saat dimulainya zaman Kali Yuga, yaitu zaman kegelapan, dan mangkatnya Kresna Awatara dari dunia fana, lima Pandawa bersaudara pensiun dari pemerintahan. Parikesit sudah layak diangkat menjadi raja, dengan Krepa sebagai penasihatnya. Ia menyelenggarakan Aswameddha Yajña tiga kali di bawah bimibingan Krepa.
Pada suatu hari, Raja Parikesit pergi berburu ke tengah hutan. Ia kepayahan menangkap seekor buruan, lalu berhenti untuk beristirahat. Akhirnya ia sampai di sebuah tempat pertapaan. Di pertapaan tersebut, tinggalah Bagawan Samiti. Ia sedang duduk bertapa dan membisu. Ketika Sang Raja bertanya kemana buruannya pergi, Bagawan Samiti hanya diam membisu karena pantang berkata-kata saat sedang bertapa. Karena pertanyaannya tidak dijawab, Raja Parikesit marah dan mengambil bangkai ular dengan anak panahnya, lalu mengalungkannya ke leher Bagawan Samiti. Kemudian Sang Kresa menceritakan kejadian tersebut kepada putera Bagawan Samiti yang bernama Sang Srenggi yang bersifat mudah marah.
Saat Sang Srenggi pulang, ia melihat bangkai ular melilit leher ayahnya. Kemudian Sang Srenggi mengucapkan kutukan bahwa Raja Parikesit akan mati digigit ular setelah tujuh hari sejak kutukan tersebut diucapkan. Bagawan Samiti kecewa terhadap perbuatan puteranya tersebut, yang mengutuk raja yang telah memberikan mereka tempat berlindung. Akhirnya Bagawan Samiti berjanji akan mengakhiri kutukan tersebut. ia mengutus muridnya untuk memberitahu Sang Raja, namun Sang Raja merasa malu untuk mengakhiri kutukan tersebut dan memilih untuk berlindung.
Kemudian Naga Taksaka pergi ke Hastinapura untuk melaksanakan perintah Sang Srenggi untuk menggigit Sang Raja. Penjagaan di Hastinapura sangat ketat. Sang Raja berada dalam menara tinggi dan dikelilingi oleh prajurit, brahmana, dan ahli bisa. Untuk dapat membunuh Sang Raja, Naga Taksaka menyamar menjadi ulat dalam buah jambu. Kemudian jambu tersebut diduguhkan kepada Sang Raja. Kutukan tersebut menjadi kenyataan. Raja Parikesit wafat setelah digigit Naga Taksaka yang menyamar menjadi ulat dalam buah jambu.
Parikesit menikahi Madrawati, dan memiliki seorang putera bernama Janamejaya. Janamejaya diangkat menjadi raja pada usia yang masih muda. Janamejaya menikahi Wapushtama, dan memiliki dua putera bernama Satanika dan Sankukarna. Satanika diangkat sebagai raja menggantikan ayahnya dan menikahi puteri dari Kerajaan Wideha, kemudian memiliki seorang putra bernama Aswamedhadatta.
Para keturunan Raja Parikesit tersebut merupakan raja legendaris yang memimpin Kerajaan Kuru, namun riwayatnya tidak muncul dalam Mahabharata.
Parikesit adalah putera Abimanyu alias Angkawijaya, kesatria Plangkawati dengan permaisuri Dewi Utari, puteri Prabu Matsyapati dengan Dewi Ni Yustinawati dari Kerajaan Wirata. Ia seorang anak yatim, karena ketika ayahnya gugur di medan perang Bharatayuddha, ia masih dalam kandungan ibunya. Parikesit lahir di istana Hastinapura setelah keluarga Pandawa boyong dari Amarta ke Hastinapura.
Parikesit naik tahta negara Hastinapura menggantikan kakeknya Prabu Karimataya, nama gelar Prabu Yudistira setelah menjadi raja negara Hastinapura. Ia berwatak bijaksana, jujur dan adil.
Prabu Parikesit mempunyai 5 (lima) orang permasuri dan 8 (delapan) orang putera, yaitu:
1. Dewi Puyangan, berputera Ramayana dan Pramasata
2. Dewi Gentang, berputera Dewi Tamioyi
3. Dewi Satapi alias Dewi Tapen, berputera Yudayana dan Dewi Pramasti
4. Dewi Impun, berputera Dewi Niyedi
5. Dewi Dangan, berputera Ramaprawa dan Basanta.
Parikshit (Sanskrit: परिक्षित्, IAST: Parikṣit, with the alternative form: परीक्षित्, IAST: Parīkṣit) is in the Mahābhārata epic the successor of Yudhisthira to the throne of Hastinapura. His name came from the Sanskrit verb root परि-क्षि pari-kṣi = "around-possess" (or, less likely here, "around-destroy").
Alternate modern, not all of them correct as regards the original Sanskrit, spellings of his name are Pariksita, Pariksit, Parikshat and Parikshita. His name is a common Hindu name across India today.
He was also referred to as the "King of the Kurus".
Parikshit is the son of Uttara, the Matsya princess and Abhimanyu, the Vrishni son of Arjuna. He is born only after the end of the war.
Uttara is carrying their son in her womb when Abhimanyu is mercilessly and unfairly slain by the Kauravas. Later, Ashwathama attempts to kill the unborn child and his mother by directing the brahmastra towards her tent off the battlefields. She is saved by Lord Krishna, who was also the maternal uncle of Abhimanyu (Arjuna's wife Subhadra was the sister of Lord Krishna and mother of Abhimanyu.)
The chief priest Dhaumya predicts to king Yudhisthira after Parikshit's birth that he will be a great devotee of the Supreme Lord Vishnu, and since he was saved by the Lord Krishna, he will be known as Vishnurata (One who is always protected by the Lord).
Dhaumya Rishi predicts that Parikshit would be ever-devoted to virtue, religious principles and the truth and would be a wise monarch, exactly as Ikshvaku and Rama of Ayodhya. He would be as exemplary a warrior as Arjuna, his own grandfather, and would expand the fame of his family.
He is given the name Parikshit as he would search and test for the Supreme Lord, whom he had witnessed as an unborn child, across the world and within every human being.
Upon the commencement of the Kali yuga, the dark age of sin, and the departure of Krishna Avatara from the world, the five Pandava brothers retire. Young Parikshit is duly invested as king, with Kripa as his counselor. He performed three aswamedha yajnas under the guidance of Kripa.
Once Parikshit went hunting in the forest, the demon Kali (not the goddess Kālī), the embodiment of Kali Yuga, appeared before him and asked permission to enter his kingdom, which the king denied. Upon insisting, Parikshit allowed him four places to reside: where there is gambling, alcohol consumption, prostitution, and gold. Kali smartly entered into Parikshit's golden crown and spoiled his thoughts.
Parikshit entered the hut of a sage named Samika as he was thirsty. He found the sage in deep meditation. He bowed to him several times but as there was no response he took a dead snake and threw it around the sage's neck. Later when the sage's son, Sringin, heard of this incident he cursed the king to die of snake bite on the 7th day.
On hearing this, the king forswore the throne for his son Janamejaya and spent his last 7 days listening to the discourses of Sage Sukadeva on Bhagavata. As prophesied, the snake king Takshaka bit Parikshit, who left his mortal remains behind and attained salvation.
Other thesis say that Kali had entered the gold and thus creating man's desire for gold. Parikshit had gone hunting into the forest. He stops at one point and gets into the lake for a bath. He removes his crown and keeps it on the bank of river. Takshaka, a naga king sees the golden crown and desires to get it. He steals the crown, but he was got by Parikshit guards. Parikshit jails him. On his release Takshaka avenges Parikshit and kills him mercilessly.
On hearing this, Parikshit's son Janamejaya vows to kill all the naga in a week. Janamejaya starts his killing spree of naga. He brutally murders Takshaka. Asthika, a close friend of Janamejaya, minister and a philosopher comes to know of Janamajaya's act and stops him.
Source:
http://en.wikipedia.org/wiki/Parikshit
Hatiku selembar daun...
Parikesit (Sansekerta: परीक्षित; parikṣita, parikṣit) atau Pariksita adalah seorang tokoh dari wiracarita Mahabharata. Ia adalah raja Hastina dan cucu Arjuna. Ayahnya adalah Abimanyu sedangkan putranya adalah Janamejaya.
Dalam kitab Adiparwa, akhir riwayatnya diceritakan bahwa Prabu Parikesit meninggal karena digigit Naga Taksaka yang bersembunyi di dalam buah jambu, sesuai dengan kutukan Brahmana Granggi yang merasa sakit hati karena Prabu Parikesit telah mengkalungkan bangkai ular hitam di leher ayahnya, Bagawan Sarmiti.
Parikesit tewas digigit oleh Naga Taksaka, setelah beliau diramalkan akan dibunuh oleh seekor ular. Maka beliaupun menyuruh untuk mengadakan upacara sarpayajna untuk mengusir semua ular. Tetapi karena sudah takdirnya, beliau pun digigit sampai wafat.
Saat Maharaja Parikesit masih berada dalam kandungan, ayahnya yang bernama Abimanyu, turut serta bersama Arjuna dalam sebuah pertempuran besar di daratan Kurukshetra. Dalam pertempuran tersebut, Abimanyu gugur dalam serangan musuh yang dilakukan secara curang. Abimanyu meninggalkan ibu Parikesit yang bernama Utara karena gugur dalam perang.
Pada pertempuran di akhir hari kedelapan belas, Aswatama bertarung dengan Arjuna. Aswatama dan Arjuna sama-sama sakti dan sama-sama mengeluarkan senjata Brahmāstra. Karena dicegah oleh Resi Byasa, Aswatama dianjurkan untuk mengarahkan senjata tersebut kepada objek lain. Maka Aswatama memilih agar senjata tersebut diarahkan ke kandungan Utara. Senjata tersebut pun membunuh Parikesit yang maish berada dalam kandungan. Atas pertolongan dari Kresna, Parikesit dihidupkan kembali. Aswatama kemudian dikutuk agar mengembara di dunia selamanya.
Resi Dhomya memprediksikan kepada Yudistira setelah Parikesit lahir bahwa ia akan menjadi pemuja setia Dewa Wisnu, dan semenjak ia diselamatkan oleh Bhatara Kresna, ia akan dikenal sebagai Vishnurata (Orang yang selalu dilindungi oleh Sang Dewa).
Resi Dhomya memprediksikan bahwa Parikesit akan selamanya mencurahkan kebajikan, ajaran agama dan kebenaran, dan akan menjadi pemimpin yang bijaksana, tepatnya seperti Ikswaku dan Rama dari Ayodhya. Ia akan menjadi ksatria panutan seperti Arjuna, yaitu kakeknya sendiri, dan akan membawa kemahsyuran bagi keluarganya.
Saat dimulainya zaman Kali Yuga, yaitu zaman kegelapan, dan mangkatnya Kresna Awatara dari dunia fana, lima Pandawa bersaudara pensiun dari pemerintahan. Parikesit sudah layak diangkat menjadi raja, dengan Krepa sebagai penasihatnya. Ia menyelenggarakan Aswameddha Yajña tiga kali di bawah bimibingan Krepa.
Pada suatu hari, Raja Parikesit pergi berburu ke tengah hutan. Ia kepayahan menangkap seekor buruan, lalu berhenti untuk beristirahat. Akhirnya ia sampai di sebuah tempat pertapaan. Di pertapaan tersebut, tinggalah Bagawan Samiti. Ia sedang duduk bertapa dan membisu. Ketika Sang Raja bertanya kemana buruannya pergi, Bagawan Samiti hanya diam membisu karena pantang berkata-kata saat sedang bertapa. Karena pertanyaannya tidak dijawab, Raja Parikesit marah dan mengambil bangkai ular dengan anak panahnya, lalu mengalungkannya ke leher Bagawan Samiti. Kemudian Sang Kresa menceritakan kejadian tersebut kepada putera Bagawan Samiti yang bernama Sang Srenggi yang bersifat mudah marah.
Saat Sang Srenggi pulang, ia melihat bangkai ular melilit leher ayahnya. Kemudian Sang Srenggi mengucapkan kutukan bahwa Raja Parikesit akan mati digigit ular setelah tujuh hari sejak kutukan tersebut diucapkan. Bagawan Samiti kecewa terhadap perbuatan puteranya tersebut, yang mengutuk raja yang telah memberikan mereka tempat berlindung. Akhirnya Bagawan Samiti berjanji akan mengakhiri kutukan tersebut. ia mengutus muridnya untuk memberitahu Sang Raja, namun Sang Raja merasa malu untuk mengakhiri kutukan tersebut dan memilih untuk berlindung.
Kemudian Naga Taksaka pergi ke Hastinapura untuk melaksanakan perintah Sang Srenggi untuk menggigit Sang Raja. Penjagaan di Hastinapura sangat ketat. Sang Raja berada dalam menara tinggi dan dikelilingi oleh prajurit, brahmana, dan ahli bisa. Untuk dapat membunuh Sang Raja, Naga Taksaka menyamar menjadi ulat dalam buah jambu. Kemudian jambu tersebut diduguhkan kepada Sang Raja. Kutukan tersebut menjadi kenyataan. Raja Parikesit wafat setelah digigit Naga Taksaka yang menyamar menjadi ulat dalam buah jambu.
Parikesit menikahi Madrawati, dan memiliki seorang putera bernama Janamejaya. Janamejaya diangkat menjadi raja pada usia yang masih muda. Janamejaya menikahi Wapushtama, dan memiliki dua putera bernama Satanika dan Sankukarna. Satanika diangkat sebagai raja menggantikan ayahnya dan menikahi puteri dari Kerajaan Wideha, kemudian memiliki seorang putra bernama Aswamedhadatta.
Para keturunan Raja Parikesit tersebut merupakan raja legendaris yang memimpin Kerajaan Kuru, namun riwayatnya tidak muncul dalam Mahabharata.
Parikesit adalah putera Abimanyu alias Angkawijaya, kesatria Plangkawati dengan permaisuri Dewi Utari, puteri Prabu Matsyapati dengan Dewi Ni Yustinawati dari Kerajaan Wirata. Ia seorang anak yatim, karena ketika ayahnya gugur di medan perang Bharatayuddha, ia masih dalam kandungan ibunya. Parikesit lahir di istana Hastinapura setelah keluarga Pandawa boyong dari Amarta ke Hastinapura.
Parikesit naik tahta negara Hastinapura menggantikan kakeknya Prabu Karimataya, nama gelar Prabu Yudistira setelah menjadi raja negara Hastinapura. Ia berwatak bijaksana, jujur dan adil.
Prabu Parikesit mempunyai 5 (lima) orang permasuri dan 8 (delapan) orang putera, yaitu:
1. Dewi Puyangan, berputera Ramayana dan Pramasata
2. Dewi Gentang, berputera Dewi Tamioyi
3. Dewi Satapi alias Dewi Tapen, berputera Yudayana dan Dewi Pramasti
4. Dewi Impun, berputera Dewi Niyedi
5. Dewi Dangan, berputera Ramaprawa dan Basanta.
Parikshit (Sanskrit: परिक्षित्, IAST: Parikṣit, with the alternative form: परीक्षित्, IAST: Parīkṣit) is in the Mahābhārata epic the successor of Yudhisthira to the throne of Hastinapura. His name came from the Sanskrit verb root परि-क्षि pari-kṣi = "around-possess" (or, less likely here, "around-destroy").
Alternate modern, not all of them correct as regards the original Sanskrit, spellings of his name are Pariksita, Pariksit, Parikshat and Parikshita. His name is a common Hindu name across India today.
He was also referred to as the "King of the Kurus".
Parikshit is the son of Uttara, the Matsya princess and Abhimanyu, the Vrishni son of Arjuna. He is born only after the end of the war.
Uttara is carrying their son in her womb when Abhimanyu is mercilessly and unfairly slain by the Kauravas. Later, Ashwathama attempts to kill the unborn child and his mother by directing the brahmastra towards her tent off the battlefields. She is saved by Lord Krishna, who was also the maternal uncle of Abhimanyu (Arjuna's wife Subhadra was the sister of Lord Krishna and mother of Abhimanyu.)
The chief priest Dhaumya predicts to king Yudhisthira after Parikshit's birth that he will be a great devotee of the Supreme Lord Vishnu, and since he was saved by the Lord Krishna, he will be known as Vishnurata (One who is always protected by the Lord).
Dhaumya Rishi predicts that Parikshit would be ever-devoted to virtue, religious principles and the truth and would be a wise monarch, exactly as Ikshvaku and Rama of Ayodhya. He would be as exemplary a warrior as Arjuna, his own grandfather, and would expand the fame of his family.
He is given the name Parikshit as he would search and test for the Supreme Lord, whom he had witnessed as an unborn child, across the world and within every human being.
Upon the commencement of the Kali yuga, the dark age of sin, and the departure of Krishna Avatara from the world, the five Pandava brothers retire. Young Parikshit is duly invested as king, with Kripa as his counselor. He performed three aswamedha yajnas under the guidance of Kripa.
Once Parikshit went hunting in the forest, the demon Kali (not the goddess Kālī), the embodiment of Kali Yuga, appeared before him and asked permission to enter his kingdom, which the king denied. Upon insisting, Parikshit allowed him four places to reside: where there is gambling, alcohol consumption, prostitution, and gold. Kali smartly entered into Parikshit's golden crown and spoiled his thoughts.
Parikshit entered the hut of a sage named Samika as he was thirsty. He found the sage in deep meditation. He bowed to him several times but as there was no response he took a dead snake and threw it around the sage's neck. Later when the sage's son, Sringin, heard of this incident he cursed the king to die of snake bite on the 7th day.
On hearing this, the king forswore the throne for his son Janamejaya and spent his last 7 days listening to the discourses of Sage Sukadeva on Bhagavata. As prophesied, the snake king Takshaka bit Parikshit, who left his mortal remains behind and attained salvation.
Other thesis say that Kali had entered the gold and thus creating man's desire for gold. Parikshit had gone hunting into the forest. He stops at one point and gets into the lake for a bath. He removes his crown and keeps it on the bank of river. Takshaka, a naga king sees the golden crown and desires to get it. He steals the crown, but he was got by Parikshit guards. Parikshit jails him. On his release Takshaka avenges Parikshit and kills him mercilessly.
On hearing this, Parikshit's son Janamejaya vows to kill all the naga in a week. Janamejaya starts his killing spree of naga. He brutally murders Takshaka. Asthika, a close friend of Janamejaya, minister and a philosopher comes to know of Janamajaya's act and stops him.
Source:
http://en.wikipedia.org/wiki/Parikshit
Hatiku selembar daun...
Subscribe to:
Comments (Atom)