Sunday 29 June 2008

BIMBINGAN PEMBUATAN SKRIPSI

BIMBINGAN PEMBUATAN SKRIPSI*)
Parsudi Suparlan
Universitas Indonesia

PENDAHULUAN

Uraian singkat berikut ini adalah menganai bagaimana membuat skripsi yang mutu ilmiahnya diharapkan dapat dipertanggungjawabkan. Sebagimana kita ketahui, pada akhir setiap pendidikan tinggi di Indonesia, para mahasiswa diharuskan membuat sebuah skripsi sebagai salah satu syarat untuk dapat mencapai gelar kesarjanaan menurut bidang ilmu pengetahuan masing-masing. Kesukaran yang selama ini dihadapi oleh dunia pendidikan tinggi kita adalah bukan hanya dalam hal penulisan skripsi itu sendiri, yaitu yang dilakukan oleh mahasiswa yang bersangkutan, tetapi juga dalam hal pembimbingan yang dilakukan oleh dosen pembimbingnya, dan ukuran nilai atau mutu ilmiah sesuatu skripsi yang telah ditulis oleh mahasiswa.

Uraian berikut ini berusaha menyajikan serangkaian garis besar petunjuk-petunjuk mengenai bagaimana membuat skripsi. Diharapkan bahwa uraian yang disajikan tersebut dapat dijadikan sebagai pegangan bagi para mahasiswa maupun pengajar yang berkepentingan dengan masalah skripsi. Yang tercakup dalam uraian ini adalah:
(1) Uraian mengenai pengertian skripsi, dan
(2) Cara membuat skripsi
Yang mencakup tahap-tahap pembuatan , dan cara-cara menyusun dan cara menyajikannya.
Contoh-contoh yang diberikan dalam pembahasan ini adalah dari bidang ilmu-ilmu sosial dan khususnya dari antropologi budaya.

SKRIPSI

Pada hakekatnya inti dari sebuah skripsi adalah suatu pernyataan atau tesis. Tesis adalah suatu pernyataan atau argumentasi ilmiah yang berisikan suatu teori berkenaan dengan suatu masalah yang dikaji, yang didukung oleh bukti-bukti yang berupa keterangan-keterangan yang telah diperoleh dari suatu hasil penelitian ilmiah.

Sebuah skripsi bukanlah suatu uraian yang isinya yang menekankan pada metodologi (kecuali kalau skripsi tersebut adalah sebuah skripsi mengenai metodologi). Sebuah skripsi tidak juga semata-mata menekankan pada kumpulan keterangan-keterangan yang terrwujud sebagai suatu deskripsi mengenai kenyataan-kenyataan yang tidak ada kaitannya antara yang satu dengan yang lainnya ssecara keseluruhan. Sebab sebuah skripsi menekankan pada suatu hasil penemuan yang berupa tesis atau pernyataan ilmiah.

Dengan demikian, pembuatan sebuah skripsi tidaklah semudah yang disangkakan oleh kebanyakan orang, tetapi harus melalui tahap-tahap pembuatan sistematik dan yang disadari oleh pengetahuan yang cukup mengenai teori-teori yang ada dalam bidang ilmu pengetahuan yang bersangkutan dan yang relevan dengan itu. Karena itu, sebuah skripsi hanya diharuskan dibuat oleh mahasiswa yang telah menduduki jenjang terakhir pendidikan di perguruan tinggi. Karena pada tingkat terakhir ini mereka dianggap telah mempunyai pengetahuan yang cukup mengenai teori-teori yang ada dalam bidang ilmu pengetahuan mereka masing-masing yang berasal dari berbagai bidang ilmu pengetahuan yang relevan dengan itu. Mereka juga telah dianggap mempunyai kesanggupan untuk menyeleksi teori-teori yang diketahuinya, dan menggunakannya untuk mengkaji dan memahami masalah-masalah yang dihadapi.

Sebenarnya, sebuah skripsi adalah suatu tahapan akhir dari suatu kegiatan mengenai sesuatu masalah, yang terwujud sebagai laporan hasil penelitian.
Penelitian tersebut dapat berupa:
(1) Penelitian lapangan.
(2) Penelitian kepustakaan.
(3) Kombinasi daari keduanya.

TAHAP-TAHAP PEMBUATAN SKRIPSI

Kalau data hasil penelitian telah dikumpulkan, maka pembuatan skripsi biasanya dilakukan dengan melalui tahap-tahap kegiatan sebagai berikut:
1. Pembuatan judul.
2. Kerangka skripsi.
3. Kepustakaan.
4. Penulisan draft pertama.
5. Perbaikan.
6. Penulisan perbaikan.
7. Pembacaan teliti (Proofreading)

1. Pembuatan Judul

Pembuatan atau pemilihan suatu judul skripsi biasanya mengikuti judul yang telah dipilih menjadi topik masalah penelitian yang menjadi landasan bagi pembuatan skripsi tersebut. Walaupun demikian, tidak jarang terjadi bahwa suatu judul skripsi telah dibuat secara berbeda dari judul masalah penelitian yang menjadi landasan bagi pembuatan skripsi tersebut. Sehubungan dengan itu, hendaklah diingat bahwa sebuah judul skripsi yang baik adalah:
a. Mencerminkan masalah yang dikaji/diuraikan dalam skripsi tersebut.
b. Sederhana dan tidak bertele-tele.
Dengan demikian diharapkan bahwa para pembaca skripsi, begitu melihat judul skripsi tersebut akan langsung dapat memperkirakan isinya mengenai apa, dan bagaimana para pemeriksa/pembimbing skripsi akan lebih memudahkan dalam kegiatan pembimbingan dan pemeriksaannya.
Berikut ini adalah contoh-contoh skripsi dan laporan kegiatan penelitian, berkenaan dengan judulnya.

Contoh 1. Judul skripsi sederhana dan langsung mencerminkan isi masalah yang dikaji/diuraikan;
PENGARUH INDUSTRI TERHADAP STRUKTUR RUMAH TANGGA PENDUDUK DESA CITEUREUP

Contoh 2. Judul skripsi terlalu panjang dan tidak secara langsung mencerminkan isi masalah yang dikaji/diuraikan.
MASYARAKAT SANGIR TALAUD DI TANJUNG PRIUK DENGAN LATAR BELAKANG MASYARAKAT SANGIR TALAUD DI SANGIR TALAUD
Judul skripsi tersebut sebenarnya dapat diganti dengan sebuah judul yang lebih sederhana dan mencerminkan isi masalah yang dikaji/diuraikan dengan judul lain, yaitu:
KOMUNITAS PADA MASYARAKAT SANGIR TALAUD DI TANJUNG PRIUK

Contoh 3. Judul laporan hasil penelitian lapangan ini tidak secara tidak secara tepat mencerminkan isi laporan, karena menggunakan istilah-istilah yang pengertiannya tidak tepat atau tidak sesuai dengan yang dimaksudkan oleh si pembuat laporan.

JARINGAN-JARINGAN GOLONGAN SUKU BANGSA DI JAKARTA

Jaringan adalah suatu pengelompokan yang terdiri dari tiga noktan, (orang, benda dan sebagainya) yang masing-masing dihubungkan satu sama lainnyaoleh garis-garis (hubungan sosial, kegiatan, benda, prestasi, dan sebagainya) secara menyeluruh. Dengan demikian pengertian jaringan sosial adalah mengenai keadaan pengelompokan , yang secara kongkrit nyata dan ada yang secara empirit dapat dibuktikan keberadaannya.

Interaksi adalah suatu bentuk tindakan kongkrit yang berupa tindakan-tindakan timbal balik antara dua pelaku atau lebih. Yang secara keseluruhan tindakan-tindakan tersebut menghasilkan hubungan-hubungan sosial yang mewujudkan adanya suatu jaringan sosial. Jadi, penggunaan istilah jaringan interaksi tidaklah tepat. Ketidaktepatan ini menjadi bertambah lagi, karena judul jaringan interaksi tadi adalah berkenaan dengan interaksi golongan suku bangsa. Dalam hal ini golongan suku bangsa menjaadi komponen- komponen atau pelaku-pelaku dari jaringan sosial tersebut. Ini tidak mungkin terjadi. Karena pengertian golongan adalah berkenaan dengan sesuatu kumpulan atau pengelompokan yang longgar, dan yang secara empiris tidak dapat dibuktikan keberadaannya dan batas-batasnya. Kalau secara empiris dapat dibuktikan keberadaannya dan batas-batasbnya, maka namanya bukan lagi golongan tetapi kelompok. Golongan adalah suatu bentuk dari hasil penggolongan, yang dapat berfungsi sebagai sistem referensi untuk interaksi sosial. Sebaiknya judul laporan ini adalah:
PERANAN KESUKU-BANGSAAN PADA BERBAGAI INTERAKSI SOSIAL DI JAKARTA
Dengan adanya judul skripsi yang sederhana dan yang secara langsung dapat mencerminkan isi skripsi, maka kerangka skripsi dengan mudah dapat dibuat dan disusun sesuai dengan judul skripsi yang mencerminkan masalah yang dikaji.

2. Kerangka Skripsi

Kerangka skripsi adalah tahapan-tahapan pokok-pokok pikiran berkenaan dengan penyajian uraian yang secara sistematik dan secara ilmiah dapat dipertanggung jawabkan dalam hal menyatakan pernyataan ilmiah (tesis) dan mendukung pernyataan ilmiah tersebut dengan bukti-bukti yang berupa data dan analisa. Berikut ini adalah suatu kerangka skripsi, yang lazim digunakan oleh para mahasiswa Jurusan Anthropologi, Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
BAB I. PENDAHULUAN
Berisikan:
a. Pokok masalah dan latar belakangnya (tesis ruang lingkup variabel dan pendekatan yang digunakan).
b. Penelitian dilapangan (metode-metode penelitian yang digunakan dan bagaimana menggunakannya, dan mencakup sasaran apa saja).
c. Susunan karangan (uraian singkat mengenai isi masing-masing bab yang ada dalam skripsi tersebut).

BAB II, dan seterusnya.
Jumlah bab tergantung dari masalah yang dikaji dan cara pengkajian/uraian dari masing-masing mahasiswa dan pembimbing yang bersangkutan. Pada prinsipnya, uraian dan urutan-urutan bab-bab ini adalah dimulai dengan bab yang isinya umum (luas) dan tidak mendalam dan diakhiri dengan bab yang isinya menyempit tetapi mendalam yang langsung berkenaan dengan masalah yang dikaji.

BAB ? KESIMPULAN.
Berisikan:
a. Tinjauan mengenai pokok-pokok isi skripsi.
b. Implikasi dari tesis terhadap variabel-variabel lain atau masalah-masalah lain yang tidak tercakup dalam uraian skripsi (suatu analisa yang berdasarkan atas perkiraan deduksi).

3. Kepustakaan.

Walaupun dalam pembuatan rencana penelitian para siswa telah juga menggunakan kepustakaan untuk landasan bagi pembuatannya, tetapi biasanya kepustakaan yang telah digunakan dalam membuat rencana penelitian tersebut masih harus ditambah lagi atau kadang-kadang juga harus diganti dengan sejumlah bacaan lainnya. Syarat-syarat dari suatu bacaan yang baik, adalah:
a. Ketepatan uraiannya dan dapat dipertanggung jawabkan kebenaran uraian tersebut.
b. Teori-teori yang dikemukakan tidaklah kuno, tetapi yang sedang berkembang atau kurang yang baru. Karena teori kuno biasanya sudah dikalahkan oleh teori-teori yang baru. Walaupun demikian haruslah diingat bahwa tidak semua teori-teori kuno tersebut tidak bisa dipakai lagi. Contohnya adalah teori berkenaan dengan sistem tukar-menukar yang dikemukakan oleh Malinowski (seorang ahli antropologi) yang dibuatnya berdasarkan atas studinya pada orang Trobriand sebelum perang Dunia II, yang sampai sekarang masih berlaku.
C. Kecocokan dengan atau dapat digunakannya bagi bagian-bagian khusus dalam uraian/pengkajian masalah dalam skripsi.

Dalam hal memeriksa bacaan-bacaan yang tersedia, para mahasiswa (termasuk juga pembimbingnya) hendaknya memperhatikan bacaan yang sesuai dengan bidang ilmu pengetahuannya, memperhatikan ruang lingkup atau scope dari masalah yang disajikan dalam bacaan tersebut, disamping memperhatikan tiga macam syarat seperti tersebut diatas. Kalau hal-hal ini telah diperhatikan, maka hal-hal yang lainnya yang juga harus diperhatikan adalah dalam hal membuat kutipan-kutipan atas bacaan yang telah dipelajarinya (dapat berupa buku, surat kabar, artikel dan buku, makalah yang tidak diterbitkan).

Kutipan

Kutipan yang tidak seharusnya dilakukan bagi sebuah skripsi adalah yang diambil dari buku pengantar. Karena para mahasiswa yang sudah calon sarjana tersebut dianggap telah mengetahui/memahami konsep-konsep yang paling dasar dalam bidang ilmu pengetahuan mereka masing-masing. Kutipan dari suatu buku pengantar dapat dilakukan kalau kutipan tersebut dimaksudkan sebagai suatu referensi untuk timbangan atau penilaian.
Kutipan dari bahan bacaan yang telah dipelajari dapat dilakukan dalam bentuk:

a. Mengutip intisari dari keterangan atau pernyataan ilmiah pengarang yang bersangkutan, yang dalam hal ini si pengutip menyimpulkan keterangan yang dibacanya dalam kalimat-kalimat dan kata-kata yang dibuat dan disusun sendiri. Dalam cara pengutipan seperti ini si pengutip tidak diharuskan untuk mencantumkan tanda kutip (') diantara kalimat-kalimat dan kata-kata yang disusunnya tersebut, tetapi cukup dengan menyebutkan sumber kutipannya.
Mengutip intisari dari keterangan atau pernyataan ilmiah pengarang lain dapat dilakukan oleh pengutip dari suatu keterangan atau pernyataan ilmiah terbatas yang merupakan suatu bagian dari buku atau artikel atau makalah, tetapi dapat juga merupakan intisari dari keseluruhan buku, buku, makalah atau artikel.

b. Mengutip pernyataan atau keterangan ilmiah dengan secara langsung menggunakan kata-kata dan kalimat-kalimat dari pengarang yang dikutip karangannya tersebut. Dalam hal ini si pengutip harus memberikan tanda kutip (") diantara kalimat-kalimat/kata- kata yang dikutipnya tersebut disamping juga harusmenyebutkan sumbernya kutipan tersebut. Dalam hal kutipan tersebut pendek, maka kutipan tersebut dapat merupakan sebagian dari kalimat dan alinea dari uraian si pengutip. Tapi bila kutipan tersebut panjang, maka si pengutip haruslah membuat suatu alinea kutipan tersendiri. Kutipan yang panjang tersebut adalah kalau melebihi tiga atau empat baris. Kutipan dalam alinea tersendiri ini harus diketik dengan jarak satu spasi.
Dari pengalaman membimbing skripsi mahasiswa di beberapa fakultas dan universitas, ada suatu kesan bahwa para mahasiswa senang mengutip keterangan-keterangan yang ada dalam bacaan- bacaan yang ditulis oleh orang-orang asing, walaupun dalam kenyataannyaketerangan yang dikutip tersebut adalah mengenai keadaan umum di Indonesia yang kita semua mengetahui. Nampaknya ada kesan, bahwa karena sudah mengutip dari bacaan yang ditulis oleh orang asing dan dalam bahasa asing laku skripsinya kelihatan mentereng.

Cara mengutip seperti ini adalah salah. Yang benar adalah mengutip (kalau dari sumber asing) suatu keterangan yang berupa kasus yang struktur dan prosesnya kira-kira sama atau bertentangan dengan sesuatu kasus atau sesuatu gejala yang dibahas dalam skripsi sebagai perbandingan. Di samping itu, cara mengutip yang baik adalah kalau mengutip teori atau hipotesa yang dikemukakan oleh si penulis (termasuk asing) yang dapat dipakai untuk memperkuat teori yang sedang dikembangkan ataupun untuk memperbandingkan dengan teori yang sedang diajukan dalam skripsi tersebut.

Mengutip dan Menyebut Sumbernya.

Contoh berikut adalah lazim berlaku di jurusan antropologi, FSUI, dan yang juga digunakan oleh majalah Masyarakat Indonesia dan Berita Antropologi.
Para ahli (of. Geertz 1963; Sutherland 1973; Onghokham 1975) dewasa ini umumnya sependapat bahwa politik pada periode tersebut masyarakat Jawa mulai mendapat corak sosial, politik dan ekonomi yang melandasi kehidupan sosial budaya mereka masa kini.
Mengutip Furnivall (1944:140): "....(They) were in on their feety they were hanging on to the Dutch Government......."
Suatu kasus ditulis oleh Day (1975:186): On resident had the fancy to have the roads lined with hedges; his successor had them torn up and replaced by stone walls. A third resident required the roads to be bordered by finished wood fences, which had always to be kept neatly whitewshed.

Simbol-Simbol Kutipan

Sejumlah kutipan, seperti misalnya contoh tersebut diatas (no.1) telah menggunakan simbol cf, yang artinya adalah bandingkan. Disamping itu masih terdapat simbol-simbol yang biasanya juga digunakan bersama dengan kutipan yang diambil, seperti dibawah ini:
et.al - dan lain-lain (digunakan untuk menunjjukkan adanya dua pengarang atau lebih untuk satu tulisan).
N.d - karangan yang tidak bertanggal.
n.p. - karangan yang tidak ada nama tempat ppenerbitannya.
no pub. - karangan yang tidak ada nama penerbitnya.
(sic) - menunjukkan bahwa kutipan yang diambiil mempunyai kesalahan atau kelemahan, dan si pengutip sadar akan hal itu tetapi dapat memperbaiki atau merubahnya karena bukan tulisannya.

Daftar Bacaan.
Daftar bacaan hendaknya disusun menurut cara berikut dan sesuai dengan urutan-urutan abjad. Nama pengarang, bila ada nama belakangnya maka nama belakangnya yang di tulis terdahulu.
Geertz, C.
1960 The Religion of Java. Glencoe, III.: The Free Press. Koentjaraningrat, ed.
1967 Villages in Indonesia. Ithaca, N.Y.: Cornell University Press.
1975 Masyarakat Desa di Jakarta Selatan. Masyarakat Indonesia. Seri Monografi No. 1.
1979 Javanese Magic, Sorcery and Numerology. Masyarakat Indonesia, Juni, Jilid 6, No.1, hal. 37-52.

Koentjaraningrat dan H.W.Bachtiar.
1975 Pendidikan Tinggi Dalam Ilmu-Ilmu Sosial di Indonesia. Masyarakat Indonesia, Juni, Jilid 2, No.1, hal.1-41.

Singarimbun, M.
1975 Abstinensi dan Pola Hubungan Kelamin pada Sebuah Masyarakat Jawa. Masyarakat Indonesia, Juni, Jilid 2, No.1, hal. 43-49.

4. Penulisan Draft Pertama.

Bila ada data dari hasil penelitian diatur dan diklasifikasikan dan bacaan serta kutipan yang dianggap perlu bagi penulisan telah dikerjakan, maka mahasiswa yang bersangkutan dapat mulai menulis skripsinya berdasarkan atas kerangka yang telah dibuat.

Skripsi yang telah dibuatnya ini dinamakan draft pertama, karena bukannya suatu skripsi yang sudah selesai. Suatu draft pertama biasanya penuh dengan sejumlah kesalahan, baik dalam hal bahasa dan susunan komposisinya pernyataan-pernyataan dan uraiannyamauppun teori-teori yang digunakan dan dinyatakannya. karena itu juga suatu draft pertama adalah untuk diperiksa dan diperbaiki.

Dalam penulisannya, hendaknya dipakai sebagai pegangan dalam mengatur dan mengorganisasi ide-ide dan pikiran yang ingin dituangkan secara sistematik dalam uraian-uraian dan pengkajian masalah. Untuk lebih secara mudah dapat mewujudkan uraian yang sistematik, kerangka yang terdiri atas bab-bab hendaknya dibagi lagi atas masing-masing babnya dalam sub-sub bab. Setiap sub bab kemudian dibagi lagi atas alinea, yang masing-masing alinea merupakan suatu kebulatan uraian yang berkaitan dengan kebulatan- kebulatan pikiran yang tercermin dalam sutu bab.

Cara seperti ini akan memudahkan dalam berpikir secara sistematik dan mengurangi waktu terbuang dalam mengorganisasi pikiran dan menuangkan hasil pikiran dalam bentuk uraian dan pengkajian masalah. Begitu juga kaitan-kaitan antara alinea dengan alinea lainnya dalam satu sub bab dapat dipertahankan, dan kaitan antara satu sub bab lainnya yang ada dalam satu sub bab akan tercermin, dan lebih lanjut, kaitan antara satu sub bab dan bab-bab lainnya dalam skripsi tersebut akan terwujud. Ini sangat penting, karena suatu skripsi bukanlah suatu uraian yang terpisah-pisah dan tidak saling berkaitan tetapi bagian yang terpisah- pisah dan berbeda serta beranekaragam itu saling berkitan antara satu sama lainnya, saling melengkapi dan merupakan suatu kesatuan yang bulat yang intinya pada tesis. Berikut ini adalah suatu contoh kerangka draft pertama skripsi sarjana antropologi, FSUI, yang dibuat oleh Eniarti Djohan.

PENGARUH INDUSTRI TERHADAP STRUKTUR
RUMAH TANGGA PENDUDUK DESA CITEUREUP
BAB I PENDAHULUAN.
1. Latar Belakang Masalah.
2. Masalah.
3. Waktu dan Pelaksanaan penelitian.
4. Penyusunan Karangan.
BAB II SEJARAH DESA.
BAB III LOKASI DAN SISTEM PEMERINTAHAN DESA.
1. Keadaan Alam.
2. Demografi.
3. Sistem Pemerintahan Desa.
BAB IV AGAMA DAN PRANATA-PRANATA SOSIAL.
1. Agama.
2. Gotong-Royong.
3. Kesenian.
BAB V INDUSTRI.
1. Sistem Ekonomi dan Industri Rakyat.
2. Masuknya Industri Modern.
BAB VI PENGARUH INDUSTRI.
1. Respons Penduduk.
2. Perubahan Strultur Rumah Tangga.
BAB VII KESIMPULAN.
Kalau diperhatikan dengan sungguh-sungguh, maka terlihat bahwa kerangka yang dibuat (yaitu susunan dan urutan bab-bab dan sub-sub babnya) kurang sistematik dan kurang mencerminkan penekanan pada judul skripsi yang menjadi topik masalah skripsi.
Ini belum lagi diperhitungkan tidak sistematiknya uraian-uraian yang ada dalam sub-sub bab yang ada dalam alinea-alinea. Di samping itu ada data yang tidak lengkap atau kurang sempurna diuraikannya sehingga tidak mendukung pernyataan ilmiah yang dibuatnya. Karena itu draft pertama skripsi ini harus diperbaiki kembali.

5. Perbaikan.

Perbaikan mencakup kerangka skripsi, susunan alinea dan data yang diuraikannya atau disajikan dalam uraian-uraian. Tahap pertama yang saya lakukan dalam memperbaiki skripsi ini adalah memperbaiki kerangkanya. Hasil perbaikan tersebut adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN.
1. Pokok Masalah dan Latar Belakangnya.
2. Metode Penelitian.
3. Pelaksanaan Penelitian di Lapangan.
4. Susunan Karangan.

BAB II GAMBARAN UMUM DESA CITEUREUP
1. Lokasi dan Administrasi Desa.
2. Penduduk dan Latar Belakang Sejarahnya.
3. Pranata-Pranata Sosial: Kohesi dan Perpecahan Sosial.
4. Mata Pencaharian dan Perkembangan Industri.

BAB III INDUSTRI DAN RESPONS PENDUDUK.
1. Kegiatan-Kegiatan Industri.
2. Pandangan Penduduk Terhadap Industri.
3. Sikap Penduduk Terhadap Industri.
4. Harapan-Harapan dan Rencana-Rencana Kegiatan Ekonomi
Dengan Adanya Industri.

BAB VI RUMAH TANGGA DAN PENGARUH INDUSTRI.
1. Identitas Rumah Tangga Penduduk Desa Citeureup.
2. Bentuk Pendidikan Warga Rumah Tangga.
3. Mata Pencaharian Warga Rumah Tangga.
4. Struktur Rumah Tangga dan Pengaruh Industri.

BAB V KESIMPULAN.
Setelah kerangka ini diperbaiki, maka yang kemudian saya lakukan adalah meminta kepada yang bersangkutan untuk menyusun isi masing-masing sub bab dan bab yang ada dalam kerangka tersebut. Isi yang dimaksudkan adalah berdasarkan pertanyaan mengenai apa yang sebenarnya ingin diuraikan atau dijelaskan dalam masing- masing sub bab dan bab yang ada dalam kerangka tersebut yang secara keseluruhan merupakan suatu rangkaian yang bulat yang mendukung atau sesuai dengan judul skripsinya.

Setelah pokok isi masing-masing sub bab diterima lalu dipermasalahkan mengenai bagimana menguraikan pokok isi tersebut dalam uraian-uraian atau pengkajian-pengkajian yang terdiri atas sejumlah alinea. Dengan demikian yang ditugaskan kepada mahasiswa yang bersangkutan adalah menyusun pokok-pokok isi setiap alinea yang menjadi bagian dari setiap sub bab. Kepada mahasiswa yang bersangkutan diminta untuk menuliskan pokok isi uraian setiap alinea, lalu diminta untuk memeriksa dan mengkaji apakah memang betul uraian masing-masing alinea itu secara keseluruhan akan merupakan suatu pikiran atau uraian yang bulat sesuai dengan judul sub bab yang bersangkutan.

Dengan cara ini, seorang penulis skripsi dan begitu juga seorang pembimbing skripsi akan dapat lebih mudah merencanakan sejumlah halaman yang harus digunakan dalam menyelesaikan sebuah skripsi. Begitu juga dapat dengan lebih mudah mengatur bacaan dan kutipan bacaan yang akan digunakannya dalam menyusun uraian- uraian dalam urutan-urutan alinea-alinea.
Setelah kerangka diperbaiki dan urutan-urutan dan tehnik- tehnik penyajian uraian dalam skripsi dipahami, kepada yang bersangkutan saya tanyakan apakah ada data yang kurang lengkap. Dan ternyata memang ada data yang kurang lengkap dalam penggunaannya untuk mendukung suatu pernyataan sehingga kepada yang bersangkutan diminta untuk menggunakan data yang kurang tersebut.

6. Penulisan Perbaikan.

Sambil mengumpulkan data yang kurang, kapada yang bersanggkutan diminta untuk memulai menulis skripsinya berdasarkan atas kerangka yang telah dibuat secara menyeluruh tersebut. Penulisan perbaikan ini disamping mengikuti kerangka yang sudah ada juga ditambahkan dengan kat pengantar (Ucapan terima kasih), Daftar Isi Skripsi, Daftar Tabel, Daftar Bacaan, dan Lampiran-Lampiran (Peta Rencana Penelitian, Daftar Pertanyaan, dan Kasus-Kasus mengenai berbagai golongan keluarga yang terkena pengaruh industri dan perubahan yang terjadi yang berbeda-beda antara satu dengan lainnya).
Susunannya adalah sebagai berikut:
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
BAB I s/d BAB V
DAFTAR BACAAN
LAMPIRAN-LAMPIRAN

7. Pembacaan - Teliti (proofreading).

Setelah skripsi ditulis dan sekali lagi diperiksa oleh pembimbing, ada baiknya kalau mahasiswa yang bersangkutan diminta untuk melakukan pembacaan teliti. Pembacaan teliti ini dimaksudkan untuk memeriksa susunan kalimat, kelengkapan kata-kata, dan kelengkapan angka-angka. Sehingga sebelum skripsi tersebut dianggap selesai dan diuji oleh panitia penguji , tidak akan terdapat kesalahan-kesalahan tehnis yang bisa mengakibatkan salah mengerti di pihak penguji.

Pembacaan teliti yang terbaik adalah yang dilakukan oleh orang lain dan bukan oleh si penulis skripsi sendiri. Karena biasanya orang lain yang sama sekali tidak tahu menahu mengenai proses pembuatan skripsi tersebut akan lebih peka terhadap kesalahan- kesalahan tehnis yang ada dalam skripsi dibandingkan dengan penulis sendiri yang sudah menggumulinya sejak awal dan dalam skripsi tersebut sedah hapal di luar kepala.
Lay out.

Walaupun masalah lay out skripsi sebenarnya diluar masalah bimbingan penulisan skripsi, tetapi ada baiknya kalau masalah ini dikemukakan dalam kesempatan ini. Semoga dapat turut membantu memperbaiki mutu skripsi-skripsi di Indonesia, dan khususnya berkenaan dengan penyimpanan, keawetan, dan kemudahan membacanya.
a. Skripsi hendaknya diketik diatas kertas HVS Kwarto berat 80 gram.
b. Batas ketikan disebelah kiri hendaknya paling sedikit 3 cm dari batas kertas, dan 1,5 cm dari batas kertas di sebelah kanan.
c. Hendaknya selalu konsisten dalam hal penggunaan istilah-istilah penting yang ada dalam skripsi.
Misalnya: Kalu BAB I ditulis dengan BAB I, maka bab-bab berikutnya juga harus dengan huruf besar dan dengan angka Romawi besar.
d. Begitu juga penulisan skripsi harus konsisten dalam hal meletakkan angka-angka halaman, judul-judul bab, dan sub bab.
Misalnya: Kalau pada halaman pertama nomor halaman diletakkan ditengah-tengah halaman, maka pada halaman-halaman berikutnya nomor-nomor halaman juga harus secara tepat diletakkan ditengah halaman yang bersangkutan.
e. Konsistensi juga dituntut dalam hal penggunaan istilah-istilah singkatan.
Misalnya: Selaki digunakan istilah nom, maka nominal hendaklah istilah nom dipakai seterusnya dan jangan diganti dengan istilah nominal ataupun dengan istilah lain.

Bimbingan.

Agak sukar untuk dengan secara tepat memberikan resep-resep berkenaan dengan bagaimana sebenarnya memberikan bimbingan penulisan skripsi kepada penulis skripsi. Kemudahan suatu bimbingan skripsi dapat dimungkinkan kalau:
1. Pengajar yang bersangkutan betul-betul memahami bidang ilmu pengetahuan dengan baik.
2. Mahasiswa yang bersangkutan betul-betul telah menguasai ilmu pengetahuan sesuai dengan yang diharapkan dari tingkat pendidikannya, dan betul-betul mengetahui apa yang diinginkan untuk ditulisnya dalam skripsinya.
3. Disamping itu, mahasiswa yang bersangkutan betul-betul melakukan penelitian dengan sebaik-baiknya dan dapat dipertanggungjawabkan, sehingga dia telah mempunyai data yang lengkap berkenaan dengan masalah yang akan dibahas dalam skripsinya.

Pembimbingan skripsi memerlukan ketekunan dan kesabaran, disamping cara-cara tersebut diatas, yang mirip dengan kuliah pribadi (antara dosen, pembimbing dan mahasiswa yang bersangkutan). Karena dalam pembimbingan penulisan skripsi, tidak hanya dilakukan dengan memberikan kuliah lalu selesai, tetapi juga menyangkut kadar pemahaman mahasiswa akan kuliah/petunjuk yang diberikan, bacaan-bacaan yang harus dibaca oleh mahasiswa, dan kesanggupan mahasiswa dalam merangkum pengetahuan-pengetahuan yang diperolehnya tersebut dan mewujudkannya dalam bentuk pikiran-pikiran ilmiah yang berupa pernyataan-pernyataan ilmiah. Pernyataan-pernyataan ilmiah ini dapat dalam bentuk tersurat (suatu pernyataan teori atau hipotesa) dan dapat pula terwujud dalam bentuk tersirat (pengorganisasian data untuk mendukung atau menentang atau memperbaiki sesuatu teori yang sudah ada).

Dalam pembimbingan masih diperlukan keahlian pembimbing, dalam hal penggunaan bahasa Indonesia. karena, pernyataan- pernyataan pikiran berkenaan dengan sesuatu masalah haruslah dinyatakan dalam bentuk kata-kata dan kalimat-kalimat yang pasti dan tepat serta tidak berkepanjangan sehingga tidak ada interpretasi lain selain dari yang dimaksudkan oleh penulis. Maaf saja, kebanyakan kesanggupan penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa ilmiah pada mahasiswa-mahasiswa yang pernah saya bimbing masih amat rendah.

Penutup.

Besar harapan saya bahwa uraian singkat ini akan bermanfaat bagi kita semua, yaitu para mahasiswa maupun para dosen pembimbing. Yang ingin saya tekankan sekali lagi dalam uraian ini adalah bahwa skripsi bukanlah suatu deskripsi semata-mata mengenai sesuatu gejala dan bukan juga mengenai metodologi, tetapi mengenai teori yang merupakan hasil dari penelitian dan pengkajian data yang telah diperoleh sebagai hasil penelitian tersebut.

Deskripsi yang ada dalam sebuah skripsi adalah berfungsi sebagai bukti untuk mendukung teori yang dibuatnya dan dinyatakannya dalam skripsi, begitu juga metodologi yang diuraikan hanyalah untuk menunjukkan bagaiamana cara-caranya sampai dapat memperoleh data yang secara ilmiah dapat dipertanggung jawabkan.

Besar harapan saya bahwa dengan telah diketahuinya hakekat skripsi itu apa, maka bimbingan skripsi akan menjadi lebih mudah bagi pembimbing yang bersangkutan maupun mahasiswa yang dibimbingnya, dan mutu ilmiah skripsi-skripsi yang dihasilkan oleh perguruan-perguruan tinggi di Indonesia akan menjadi lebih baik.

*) Naskah aslinya pernah disampaikan sebagai makalah pada: Penataran & Seminar PTS, KOPERTIS Wilayah II; Cisarua, 23-28 Feb. 1981

STRUKTUR SOSIAL, AGAMA, dan UPACARA

STRUKTUR SOSIAL, AGAMA, dan UPACARA:
Geertz, Hertz, Cunningham, Turner, dan Levi-Strauss
PARSUDI SUPARLAN
UNIVERSITAS INDONESIA



PENDAHULUAN
Struktur sosial sebagai suatu tujuan pendefinisian dan alat operasional telah merupakan sebagian dari sejumlah perhatian utama antropologi. Bahkan ada sejumlah tokoh antropologi yang menganggap bahwa struktur sosial adalah satu-satunya perhatian utama dalam antropologi, sehingga menjadikannya sebagai suatu kekuatan pendorong bagi pembentukan teori-teori dalam antropologi.

Dalam kenyataannya para ahli antropologi telah dihadapkan pada suatu tantangan, yaitu memberikan penjelasan mengenai berbagai konsep yang nampaknya samar-samar tetapi selalu ada dalam setiap sistem sosial dan kebudayaan, dan bahkan juga terwujud dalam berbagai kegiatan manusia pada tingkat kenyataan sosial. Oleh para ahli antropologi, sistem-sistem konseptual yang ada pada berbagai aneka ragam kehidupan manusia dilihat sebagai perwujudan dari prinsip-prinsip struktur sosial; dan karenanya maka hasil pengkajian mereka itu menjadi sistem-sistem konseptual dari para ahli antropologi.

Dalam tulisan ini akan saya coba untuk mengkaji sistem konseptual mengenai struktur sosial dalam kaitannya dengan agama dan dengan upacara; yaitu dengan cara membahas cara-cara yang telah dilakukan secara berbeda oleh sejumlah ahli antropologi dalam melihat hubungan fungsional antara struktur sosial, agama, dan upacara; dan dalam cara mereka melihat hubungan antara struktur sosial dengan kenyataan sosial. Uraian akan mencakup pembahasan mengenai: (1) agama sebagai sistem kebudayaan; (2) kebudayaan sebagai sistem struktur; (3) struktur sebagai sistem antropologi; dan (4) kesimpulan.

AGAMA SEBAGAI SISTEM KEBUDAYAAN

Karya-karya Clifford Geertz mengenai agama, kebudayaan, dan upacara, memperlihatkan suatu perspektif tersendiri berkenaan dengan pengkajian antropologi mengenai sistem-sistem kognitif dan simbolik. Bagi Geertz, agama merupakan bagian dari suatu sistem kebudayaan yang lebih meresap dan menyebar luas, dan bersamaan dengan itu kedudukannya berada dalam suatu hubungan dengan dan untuk menciptakan serta mengembangkan keteraturan kebudayaan; dan bersamaan dengan itu agama juga mencerminkan keteraturan tersebut. Seperti dikatakannya (1973:90):

Agama adalah suatu sistem simbol yang bertindak untuk memantapkan perasaan-perasaan (moods) dan motivasi-motivasi secara kuat, menyeluruh, dan bertahan lama pada diri manusia, dengan cara memformulasikan konsepsi-konsepsi mengenai hukum/keteraturan (order), dan menyelimuti konsepsi-konsepsi tersebut dengan suatu aturan tertentu yang mencerminkan kenyataan, sehingga perasaan-perasaan dan motivasi-motivasi tersebut, nampaknya secara tersendiri (unik) adalah nyata ada.

Walaupun pemikiran agama dikatakannya sebagai tidak semata- mata menstrukturkan kebudayaan, tetapi agama juga dilihat sebagai pedoman bagi ketepatan dari kebudayaan; suatu pedoman yang beroperasi melalui sistem-sistem simbol pada tingkat emosional, kognitif, subyektif, dan individual. Menurut Geertz (1973:89): Kebudayaan adalah pola dari pengertian-pengertian atau makna yang terjalin secara menyeluruh dalam simbol-simbol yang ditransmisikan secara historis, suatu sistem mengenai konsepsi-konsepsi yang diwariskan dalam bentuk-bentuk simbolik yang dengan cara tersebut manusia berkomunikasi, melestarikan, dan mengembangkan pengetahuan dan sikap mereka terhadap kehidupan.

Pentingnya bentuk simbolik selalu diulang-ulang penekanannya dalam tulisan Geertz, dan diusahakannya untuk ditunjukkan sebagai suatu cara yang dengan cara tersebut kenyataan-kenyataan sosial dan kejiwaan diberi suatu "bentuk konseptual yang obyektif" (1973:93). Simbol-simbol adalah garis-garis penghubung antara pemikiran manusia dengan kenyataan yang ada di luar, yang dengan mana pemikiran harus selalu berhubungan atau berhadapan; dan yang dalam hal ini pemikiran manusia dapat dilihat sebagai "suatu bentuk sistem lalu lintas dalam bentuk simbol-simbol yang signifikan" (1973:362). Dengan demikian sumber dari simbol-simbol itu pada hakekatnya ada dua, yaitu: (1) Yang berasal dari kenyataan luar yang terwujud sebagai kenyataan-kenyataan sosial dan ekonomi; dan (2) Yang berasal dari dalam dan yang terwujud melalui konsepsi-konsepsi dan struktur-struktur sosial. Dalam hal ini simbol-simbol menjadi dasar bagi perwujudan model dari dan model bagi dari sistem-sistem konsep dalma suatu cara yang sama dengan bagaimana agama mencerminkan dan mewujudkan bentuk-bentuk sistem sosial.

Sistem kebudayaan dan sistem konsepsi dengan demikian dilihat sebagai mempunyai persamaan struktur-struktur dinamik dan begitu juga mempunyai persamaan dalam hal asal mulanya yaitu dalam bentuk-bentuk simbolik. Peranan dari upacara (ritual) menurut Geertz, adalah untuk mempersatukan dua sistem yang paralel dan berbeda tingkat hierarkinya ini dengan menempatkannya pada hubungan-hubungan formatif dan reflektif antara yang satu dengan yang lainnya dalam suatu cara sebagaimana masing-masing itu dihubungkan dengan asal mula simboliknya dan asal mual ekspresinya. Bentuk-bentuk kesenian dan begitu juga dengan upacara, adalah sama keadaannya dengan perwujudan-perwujudan simbolik lainnya, yaitu "mendorong untuk menghasilkan secara berulang dan terus menerus mengenai hal-hal yang amat subyektif dan yang secara buatan dan polesan dipamerkan" (1973:451).

Dengan demikian, sebagai suatu keseluruhan, upacara mempunyai kedudukan sebagai perantara simbolik, atau mungkin lebih tepat kalau disebut sebagai perantara metafor, dalam kaitannya dengan kebudayaan dan pemikiran subyektif yang memungkinkan bagi keduanya (yaitu upacara dan kebudayaan) untuk dapat saling bertukar tempat dan peranan. Kesanggupan dari upacara untuk bertindak dan berfungsi seperti ini, yaitu menterjemahkan tingkat-tingkat lainnya yang lebih tinggi sehingga membuat manusia menjadi sadar dengan melalui pancaindera serta perasaannya, dan mewujudkan adanya kesamaan dalam ke-seia-sekataan yang struktural dalam bentuk simbolik, adalah sebenarnya merupakan dasar utama dari pemikiran manusia. Seperti dikatakan oleh Geertz (1973:94): "Dapatnya saling tukar menukar tempat dan peranan dari model bagi dan model dari yang dalam mana formulasi simbolik dapat dilakukan adalah ciri-ciri khusus dari mental kita sebagai manusia".

Dengan demikian, bila untuk Geertz kebudayaan adalah "seperangkat teks-teks simbolik" (1973:452), maka kesanggupan manusia untuk membaca teks-teks tersebut dipedomani oleh dan dalam struktur-struktur upacara yang bersifat metafor, kognitif, dan penuh dengan muatan emosi dan perasaan. Agama dan upacara adalah dua satuan yang secara bersamaan merupakan sumber dan model keteraturan sosial (social order).
Secara keseluruhan terdapat suatu kesan bahwa model dari Geertz tersebut melingkar-lingkar dan selalu berulang disana-sini. Nampaknya hal ini disebabkan oleh: (1) Bahwa pembahasan mengenai masalah tersebut memang seharusnya dilakukan demikian, yaitu bahwa sistem sosial adalah "aliran bersama yang terdiri atas dua arus atau lebih yang masing-masing menciptakan integrasi-integrasi yang bersifat sebagian atau mencakup hanya bidang-bidang tertentu saja; yang secara keseluruhan terdiri atas: a) bagian-bagian yang terlepas satu sama lainnya, dan b) bagian-bagian yang saling berkaitan serta tergantung satu sama lainnya" (1973:408); dan bahwa kesemuanya itu "tidak harus berada dalam suatu keadaan yang secara menyeluruh dan mendalam saling berkaitan satu sama lainnya menjadi sistem-sistem" (1973:407); dan (2) Bahwa model-model dari Geertz bersifat fleksibel, ilusif, dan jauh dari sistem yang terstruktur secara kaku. Karena menurut Geertz, "ide-ide memberikan informasi kepada..........hubungan-hubungan politik, ekonomi, dan sosial di antara kelompok-kelompok dan individu-individu [yaitu struktur sosial]" (1973:362).

Walaupun Geertz bukanlah seorang strukturalis dalam arti yang sesungguhnya dari pengertian tersebut, tetapi banyak ide-ide tergolong sebagai strukturalis. Sesungguhnya karya Geertz memang amat besar artinya sebagai pegangan untuk orientasi mengenai hakekat hubungan-hubungan yang bersifat umum dan mendasar. Penting juga dinyatakan dalam uraian pembahasan ini bahwa sumbangan pikiran Geertz yang berupa pendekatan "emosional" mempunyai fleksibilitas yang lebih besar dalam hal informasi dan konsep teoritis, sehingga telah lebih banyak menghasilkan berbagai rumusan bila dibandingkan dengan yang telah dicapai oleh para strukturalis lainnya; dan akhirnya dapat pula dikatakan bahwa penggunaan dari "tujuan-tujuan emosi dan kognitif" (Geertz, 1973:449) dari studinya adalah juga merupakan salah satu ciri-ciri sosial yang ada dalam upacara yang ditunjukkannya.

KEBUDAYAAN SEBAGAI SISTEM DAN STRUKTUR

Dalam perbandingannya dengan analisa kebudayaan dari Geertz, studi-studi mengenai organisasi sosia yang telah dilakukan oleh para strukturalis mempunyai ciri yang lebih kaku sifatnya; yang terwujud sebagai pendekatan rumus-rumus atau formula terhadap sistem-sistem hubungan dan konseptual yang dipunyai oleh manusia. Sesungguhnya, dengan menggunakan pendekatan struktural ini para ahli antropologi lebih mudah untuk mendekati sistem-sistem hubungan tersebut dalam usaha mereka untuk dapat memahaminya, dan menghindarkan mereka dari berbagai masalah seperti yang telah dihadapi oleh Geertz sebagaimana terwujud dalam abstraksi-abstraksinya yang mungkin dapat membingungkan seperti yang telah disebutkan dalam uraian terdahulu.

Kemudahan ini telah juga menyebabkan terwujudnya suatu kondisi yang mestimulasi para ahli antropologi untuk dengan mudah terlibat dalam manipulasi data yang mencakup pengungkapan konsepsi-konsepsi dari dan mengenai gejala-gejala sistematik yang ditelitinya untuk saling dihubungkan dalam struktur-struktur. Dengan kata lain, dan dengan menggunakan istilah dari Geertz, ide-ide yang memberi informasi mengenai struktur sosial menjadi bersifat antropologi karena telah dimanipulasi oleh ahli antropologi dan bukannya mengenai yang sebenarnya menjadi milik dari masyarakat setempat yang memang mempunyai struktur sosial tersebut. Walaupun demikian, strukturalisme tidak selalu dipandang sebagai suatu teori mengenai seperangkat manipulasi yang telah dilakukan pada berbagai tingkat yang berbeda. Tingkat-tingkat pendekatan struktural dibedakan oleh: (1) tingkat kapasitas transformatif dan dinamik dari para ahli antropologi yang kemudian ditransmisikan pada kebudayaan yang dikajinya; dan (2) Tingkat dimana model struktural berkorelasi dan memberi tanggap atas hubungan-hubungan sosial dan ekonomi.

Pembahasan mengenai model-model struktural berikut ini akan mencakup: (1) model struktural yang statis; dan (2) model struktural yang bersifat transformatif dan tiga dimensi. Dalam pembahasan mengenai dua tipe model ini, penekanan akan diberikan pada pembahasan mengenai empat pokok masalah: a) penggunaan simbol; b) struktur dari mediasi; c) implikasi terhadap struktur-struktur konseptual yang dipunyai manusia; dan d) kesanggupan untuk mengakomodasi perubahan dalam sistem sosial.

Model Struktural yang Statis.

Model ini terwujud berdasarkan atas prinsip dualisme atau oposisi binari, dan tetap menjadi landasan kekuatan bagi teori struktural yang lebih mutakhir dan maju walaupun model ini telah dibuktikan ketidak sempurnaannya melalui berbagai contoh yang telah diperlihatkan. Landasan pokok dari pendekatan ini adalah bahwa proses-proses pemikiran manusia didefinisikan berdasarkan atas adanya lawan dari sesuatu yang dipikirkan, dan karena itu juga maka organisasi sosial manusia pada dasarnya bersifat dualistik.

Tulisan Hertz (1909) mengenai keuniversalan dari "kiri" dan "kanan" sebagai sistem-sistem keteraturan, merupakan suatu kerangka dasar dari pendekatan ini. Bagi Hertz, struktur-struktur yang bersifat dualistik itu mempunyai asal mulanya pada sifat asimetrik dari organisme tubuh manusia (yaitu "kiri" sebagai lawan dari "kanan"), yang mana sebagai akibat dan kelanjutannya telah dijadikan sebagai replika dalam model pemisahan oleh Durkheim antara yang konseptual dan yang sosial dan antara suci (sacred) dan yang duniawi (profane). Menurut Hertz (1908:8), "dualisme merupakan sesuatu yang mendasar dan penting dalam pemikiran orang-orang primitif, dan mendominasi organisasi sosial", dan bahkan sebenarnya juga terdapat dalam masyarakat modern sebagai hasil dari perkembangan evolusi manusia. Sesungguhnya, "seluruh alam semesta ini terbagi dalam dua bidang atau bagian" (Hertz, 1909:19).

Dalam model Hertz tersebut, upacara dan agama, dan dengan demikian juga mitos (yang dalam konteks pembahasan ini dilihat sebagai agama), bertindak sebagai alat untuk memperketat struktur sosial dengan melalui pengulangan-pengulangan yang terus menerus berkenaan dengan kategori-kategori yang secara konseptual amat mendasar, yaitu: "kiri" lawannya "kanan", pria lawannya wanita, suci lawannya duniawi, kita lawannya mereka, dan sebagainya. Dengan demikian, hubungan antara upacara dan agama di satu pihak dengan organisasi sosial di lain pihak adalah merupakan hubungan yang langsung. Peranan simbol adalah untuk mewujudkan atau mengekspresikan hubungan-hubungan yang ada, dan bukannya untuk menghubungkan hubungan-hubungan ini dengan kehidupan manusia secara konseptual berikut segala implikasinya.

Model yang kaku dari Hertz yang telah ditunjukkan tersebut diatas mempunyai dua potensi yang dapat membahayakan. Pertama, metode pengamatan yang paling sederhana dan kasar yang dapat dengan mudah digunakan untuk mengumpulkan data mempunyai potensi atau kecenderungan untuk dengan mudah dapat dimanipulasi guna memperoleh data pembuktian model oposisi binari; dan kedua, kekurangan dalam hal adanya suatu proses dinamik mengenai hubungan-hubungan di antara satuan-satuan yang bertentangan, menyebabkan bahwa penyajian dari hasil studi struktural model ini hanya berupa keseragaman-keseragaman gejala-gejala kebudayaan dan hanya secara samar-samar memperlihatkan korelasinya dengan kekhususan- kekhususan kehidupan sosial dan ekonomi. Dengan demikian, maka kontrol yang bersifat manipulatif amat penting bagi para ahli antropologi penganut strukturalisme ini dalam hal sistem-sistem konseptual yang mereka kembangkan.

Sesungguhnya, agak terlalu mudah untuk mengkategorikan semua sistem-sistem simbolik dalam dua kategori atau dua bagian saja, karena dengan demikian maka juga dengan cara ini struktur-struktur transformatif yang bersifat vertikal dan mempersatukan berbagai tingkat hierarki struktur sosial dan simbolik menjadi ditiadakan atau diabaikan begitu saja. Definisi yang hanya bersifat satu atau tunggal ini dalam ruang lingkup analitiknya dapat dibandingkan dengan cara melihat perbedaan antara teori-teori berkenaan keturunan (descent) dan dengan pengelompokkan kekerabatan (alliance). Teori-teori yang dikembangkan berkenaan dengan keturunan adalah bersifat statis, sedangkan proses dinamik yang mempersatukan struktur-struktur paralel di antara noktah-noktah yang tercakup dalam teori-teori mengenai keturunan tersebut diatas dapat tercakup dalam teori-teori yang berkenaan dengan pengelompokkan kekerabatan.

Perspekstif-perspektif yang lebih mutakhir mengenai sistem agama atau sistem upacara simbolik telah berusaha untuk mengatasi masalah yang dihadapi oleh model struktural yang statis sifatnya ini, yaitu dengan cara menggunakan berbagai mediasi atau penghubung. Dua buah pendekatan yang telah digunakan bagi dua bidang perwujudan struktur sosial yang berbeda telah dilakukan oleh Cunningham dan Victor Turner.

Landasan dasar dari tesis Cunningham adalah bahwa struktur rumah dengan berbagai bagiannya yang nyata dan yang simbolik dan berikut dengan sistem pembagian ruang yang ada didalamnya, sebenarnya mewujudkan dan mewakili suatu model kosmos orang Atoni, di Timor. Melalui data etnografinya diperlihatkan oleh Cunningham akan adanya pertentangan binari dalam rumah. Tetapi yang telah dilakukan oleh Cunningham adalah lebih dari dari pada apa yang telah dilakukan oleh Hertz yang hanya terkungkung oleh pembatasan pertentangan binari, yaitu dengan cara menggambarkan bahwa rumah itu sendiri adalah semacam simbol penghubung yang melayani pengintegrasian model-model pengklasifikasian supranatural dengan kegiatan-kegiatan sehari-hari pada orang Atoni baik pria maupun wanita melalui struktur simbolik yang ada. Dengan cara mendefinisikan bidang-bidang kegiatan yang bersifat pertentangan antara pria dan wanita dan antara yang keluarga dan yang bukan keluarga, struktur rumah orang Atoni yang mencakup pembedaan-pembedaan sosial di dalamnya tersebut berada dalam suatu sistem yang lebih luas dan bersifat simbolik; yaitu kosmos atau alam semesta.

Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa Cunningham memandang simbol sebagai perwujudan penyatuan atau ekspresi-ekspresi penyatuan yang bersifat integratif dimana kegiatan-kegiatan sekuler atau sehari-hari merupakan kelanjutan dari dan berkaitan dengan pengertian-pengertian kosmos atau alam semesta. Walaupun simbol-simbol itu dihubungkan dengan kategori-kategori yang bersifat binari secara khusus, tetapi simbol-simbol itu berada diatas dari perwujudannya yang secara analogi telah dilakukan dengan secara langsung sebagaimana yang terdapat dalam modelnya Hertz; yaitu dengan cara menyajikan secara aktif dalam hal menghubungkan tingkat-tingkat struktural yang konseptual sifatnya.

Lebih lanjut, menurut Cunningham, simbol-simbol tertentu yaitu wanita-wanita dalam konteks-konteks tertentu berfungsi untuk menghubungkan kategori-kategori yang berbeda yang ada dalam bidang yang satu saja. Jadi, mediasi atau penghubungan antara satuan-satuan kosmos dengan satuan-satuan sekuler (seluruh rumah, bagian-bagian dan sudut-sudut rumah), menurut Cunningham selalu harus melalui model-model pengklasifikasian yang berlaku. Dengan cara membatasi analisa mengenai struktur-struktur simbolik hanya pada tingkat pengklasifikasian saja, nampak bahwa Cunningham telah mengabaikan arti penting dari proses dan perwujudannya; sebagaimana dinyatakannya (1972:134): "yang penting adalah prinsip-prinsip pengkategoriasasiannya dan bukannya ekspresinya".

Dengan cara hanya membatasi dan mengungkung simbol-simbol penghubung pada model-model klasifikasi saja maka transformasi yang dinamik dari konseptualisasi kebudayaan yang menciptakan dan mengaktifkan sistem-sistem simbol menjadi ditentang atau hanya diberi peranan kecil saja. Dengan demikian maka konsep Geertz yang menyatakan bahwa "ide" adalah yang memberi informasi telah diabaikan dalam model mediasi dan model pertentangan tersebut, sehingga mediasi di antara tingkat-tingkat struktur sosial yang berbeda tetap bersifat statis. Model yang seperti ini mempunyai kapasitas yang terbatas bila akan digunakan untuk melihat kaitan antara klasifikasi simbolik dengan kenyataan-kenyataan sosial, kemanusiaan, dan ekonomi; dan kaitan antara perubahan-perubahan kebudayaan dengan klasifikasi simbolik yang memberi informasi kepada dan menjadi sumber bagi berbagai perubahan dalam kehidupan yang nyata.

Yang telah dilakukan oleh Victor Turner dalam melihat simbolisme dalam upacara dan agama telah memecahkan beberapa masalah yang dihadapi oleh Cunningham seperti diuraikan tersebut diatas; tetapi secara bersamaan telah juga menciptakan sejumlah masalah baru. Di antara sejumlah analisa Turner mengenai struktur upacara dan isi simboliknya yang akan dikaji adalah yang berkenaan dengan: (1) sistem dualisme dan triadisme; (2) dasar fisiologi dari simbol; dan (3) liminalitas sebagai suatu konsep yang bersifat akomodatif untuk transformasi.
Pada hakekatnya simbo-simbol itu dilihat oleh Turner sebagai bersifat dualistik, tetapi "setiap bentuk dualisme diisi dengan suatu model klasifikasi yang lebih luas lagi" (1967:54). Konteks dari tempat atau kedudukan dari simbol dalam upacara menetukan corak hubungannya secara konseptual dengan sistem simbolik dari upacara itu sendiri sebagai suatu keseluruhan. Jadi, seperti ditunjukkan dalam contoh yang dibahas dalam uraiannya, warna merah sebagai warna penghubung antara warna hitam dan warna putih sebenarnya merupakan suatu sistem dualisme dalam sistemnya sendiri. Dalam kenyataannya, warna putih dan warna hitam sebagai dua puncak warna yang paling bertentangan, tetapi sebagai suatu sistem binari dipertentangkan dengan warna merah sebagai dua satuan yang berbeda atau bertentangan karena warna merah bersifat ambivalen; jadi dapat berfungsi sebagai penghubung karena sifatnya sebagai simbol yang berciri ganda atau banci.

"Dalam abstraksi-abstraksi dari situasi-situasi yang nyata, warna merah mempunyai kwalitas yang sama dengan warna putih dan hitam, tetapi dalam konteks-konteks tindakan maka warna merah biasanya selalu berpasangan dengan warna putih" (1967:74), dan keduanya secara bersama-sama dengan demikian menjadi lawan dari warna hitam yang menjadi penting artinya secara konseptual karena ketidak-hadirannya. Jadi menurut Turner, sistem tersebut bersifat triadik atau segitiga dan bersifat fleksibel menurut konteksnya. Secara konseptual simbol-simbol dilihat melalui posisinya dalam struktur triadik, dan karenanya dapat dimanipulasi melalui ketidak-hadirannya dan melalui sifat ambivalensi atau kebanciannya, yang ada dan yang memang menjadi sifat hakekatnya, ke arah simbol-simbol lainnya yang berada di sekelilingnya.
Menurut Turner, hakekat bentuk simbolik yang mendasar dan kuat serta tersebar luas dalam kehidupan manusia adalah karena simbol-simbol itu bersumber pada hakekat asal mula manusia itu sendiri yang dinamakannya sebagai dan berasal dari dalam "pengalaman biologi yang primordial" (1967:90). Organisme tubuh manusia yang bersama-sama dengan "pengalamannya yang penting serta penuh dengan makna" (1967:90) itu berfungsi sebagai semacam pola yang digunakan untuk menciptkan sesuatu secara simbolik" (1967:107) bagi kepentingan untuk mengkomunikasikan isi upacara. Dibalik kesemuannya ini maka yang paling mendasar dari hakekat primordial dan kemanusiaan itu adalah sistem-sistem klasifikasi, dan yang secara simbolik telah diperluas cakupan-cakupannya; seperti yang dikatakannya: "Tidak hanya tiga warna yang mempunyai arti sebagai pengalaman-pengalaman manusia yang mendasar yang berasal dari tubuhnya......ketiganya juga berfungsi sebagai semacam klasifikasi primordial mengenai kenyataan.....Organisme manusia dan pengalaman-pengalaman yang penuh dengan makna adalah sumber asal dari semua klasifikasi" (1967:90).

Simbol-simbol dan struktur-struktur upacara dengan demikian berfungsi sebagai jembatan untuk mengantarai satuan-satuan kenyataan-kenyataan yang ada dan berbeda-beda dari pengalaman manusia. Hal ini dapat mungkin terjadi karena kedudukan manusia sebagai makhluk hewan yang tertinggi tingkatan kedudukannya dan karena ke-universalan dari motif-motif dan dasar-dasar kognitif yang dipunyai oleh manusia.

Simbol-simbol dan struktur-struktur upacara yang berfungsi untuk menghubungkan kenyataan-kenyataan yang dihadapi dan pengalaman-pengalaman yang dipunyai oleh manusia dengan bentuk-bentuk hubungan simbolik dan upacara yang secara khusus berlandaskan pada kebudayaan dan kehidupan sosial dan ekonomi; yang dengan demikian meletakkan suatu kategori yang lebih komprehensip ke dalam suatu konsensus primordial. Tubuh manusia sebagai suatu hasil konstruksi hubungan-hubungan di antara organ-organnya, secara konseptual dapat dilihat sebagai jembatan penghubung antara bentuk upacara dengan simbolisme, dan dengan kategori-kategori sosial secara struktural.

Sumbangan utama dari Victor Turner terletak pada usaha pemahaman ekspresi agama yang berupa konsep mengenai proses yang ada dalam upacara. Konsepnya mengenai liminalitas sebagai suatu jembatan penghubung; yaitu yang tidak berstruktur, bersifat transisi, dan merupakan suatu tingkat atau fase tanpa klasifikasi bagi yang diinisiasi, merupakan pencerminan dari pandangannya mengenai upacara dan agama sebagai suatu sistem yang bersifat formatif dan reflektif. Dengan melalui fase liminalitas, upacara mendasari suatu proses transformasi dan yang secara bersamaan mengabsahkan kembali (to reaffirm) kategori-kategori lama yang bersifat struktural dan yang sementara itu juga berfungsi sebagai "pusat kekuatan pendorong bagi berbagai kegiatan" (1974:273) bagi penciptaan bentuk-bentuk baru dari konsep-konsep yang bersifat struktural.

Simbol-simbol yang ada dan yang berlaku selama waktu liminal berasal dari konsep-konsep pendidikan yang kemudian dipisahkan dari kategori-kategori yang terstruktur yang biasanya menyelimuti dan mendefinisikan simbol-simbol tersebut. Konteks yang baru dari simbol-simbol ini adalah "mengajarkan kepada para inisiandus mengenai lingkungan kebudayaan mereka dan memberikan kepada mereka kerangka sandaran yang paling hakiki untuk memahaminya" (1967:108), yaitu mengenai peranan mereka yang baru dalam struktur sosial tersebut. Konsepsi-konsepsi simbolik yang dipunyai oleh individu dengan demikian dirubah referensi dan orientasinya menjadi bersifat kebersamaan dengan melalui proses-proses yang ada dalam berbagai upacara lingkaran hidup yang mendefinisikan dirinya sebagai makhluk sosial.

Dengan demikian, hubungan antara upacara dengan struktur sosial terletak pada kesanggupan dari upacara untuk dapat menempatkan dirinya diatas kedudukan satuan struktur sosial dengan melalui fase liminal atau fase anti-struktural. Sehingga, hubungan antara upacara dengan struktur sosial tersebut memungkinkan bagi dapat tetap hidup dan menyerapnya upacara tersebut dalam berbagai kegiatan sekuler yang terstruktur yang terletak di luar konteks upacara itu sendiri. Dalam hal ini upacara berperan sebagai pedoman bagi semua fase-fase dan semua aspek-aspek pengalaman kebudayaan dengan melalui berbagai bentuk proses yang dilalui oleh setiap individu. Dengan kata lain, upacara adalah juga suatu sumber bagi penciptaan ide-ide baru yang didorong untuk dihidupkan pada masa liminal, maupun sebagai sumber bagi terwujudnya status quo dalam pelaksanaannya. Manusia "berkembang melalui anti-struktur atau liminalitas dan dilestarikan melalui struktur" (1974:298).

Ada beberapa masalah yang harus dihadapi dan dipikirkan dengan sungguh-sungguh berkenaan dengan model yang telah diajukan oleh Victor Turner tersebut. Masalah-masalah tersebut adalah: (1) Bentuk simbolik yang berlandaskan pada dasar primordial yang nampaknya sukar untuk diterima karena hal itu hanya meninggalkan ruang yang amat kecil bagi adanya kekhususan ekspresi-ekspresi kebudayaan yang bersumber atau berlandaskan pada kenyataan-kenyataan sosial dan ekonomi yang ada setempat, dan juga yang khususnya berkenaan dengan berbagai konsep sosial dan ekonomi warga masyarakat setempat yang diselimuti oleh dan berada dalam cakupan pemikiran keagamaan; (2) Nampaknya juga agak sukar untuk dengan begitu saja menerima pendapatnya bahwa masa liminal dalam struktur upacara adalah bersifat destruktif terhadap struktur tersebut. Karena simbol-simbol yang ada di dalam dan yang digunakan untuk mendefinisikan masa liminal itu terstruktur secara ketat dan harus dilihat dalam kaitannya dengan satuan-satuan struktural lainnya dimana si inisiandus itu berasal dan kemana dia akan kembali lagi ke tempat asalnya tersebut. Hakekat dari masa liminal sebenarnya bersifat reflektif dan formatif, dan hal ini akan nampak lebih jelas bila diekspresikan dengan menggunakan referensi-referensi transformatif yang konkrit yang berasal dari atau yang ada dalam lingkungan struktural yang bersifat non-ritual atau yang bukan upacara; (3) Bila simbol-simbol itu barulah mempunyai makna pada masa liminal (yaitu setelah diisolasi dari sistem klasifikasinya yang bersifat struktural), dan bila inti dari motif pemikiran simbolik itu sifatnya adalah organik dan primordial, maka dalam hal ini sebenarnya Turner telah menyatakan bahwa sumber fungsional dari bentuk simbolik dan pemikiran keagamaan serta tindakan upacara itu berasal dari luar (kalau dilihat dalam kaitannya dengan kategori-kategori dan tingkat-tingkat struktural yang ditransformasikan dan didefinisikannya). Dengan demikian maka Turner melihat bahwa kekuatan-kekuatan yang mendorong dan menciptakan unsur-unsur bagi penciptaan kebudayaan yang memberi keterangan atau informasi secara struktural sebagaimana yang dikatakannya berasal dari luar terhadap struktur itu sendiri, memberi kesan adanya pertentangan dalam konsep- konsepnya. Seharusnya, baik proses mediasi atau perantaraan maupun pendorongan bagi penciptaan dalam struktur-struktur itu secara struktural dan fungsional ada dalam sistem itu sendiri.

Model-model yang telah dibahas tersebut di atas, memperlihatkan adanya berbagai pendekatan terhadap analisa simbolik, upacara, dan agama. Khususnya mengenai Cunningham dan Turner, karya-karya mereka itu berkenaan dengan sistem-sistem pengekspresian kebudayaan sebagai unsur-unsur yang terstruktur; tetapi belum atau tidak meluaskan analisa mereka mengenai konsep-konsep dinamik dan yang mempunyai kekuatan pendorong bagi penciptaan pada bentuk sistemik yang terwujud dalam model-model struktural mereka itu.

Sebagai kesimpulan dapatlah dikatakan bahwa masalah-masalah utama yang nampak berkenaan dengan model-model yang telah dibahas tersebut di atas sebenarnya terletak pada: (1) Kurangnya mediasi atau perantaraan dinamik di antara unsur-unsur yang ada dalam struktur itu sendiri sebagaimana tercermin dalam karya-karya Hertz dan Cunningham; (2) Kegagalan untuk memperhitungkan atau memasukkan konsepsi hakiki, simbolik, dan yang bersifat dialektik dalam suatu cara khusus secara kebudayaan; sebagaimana ditunjukkan dalam karya Turner; (3) Kesukaran dalam memahami perubahan sosial dan ekonomi dengan menggunakan model-model struktural seperti tersebut di atas, dengan perkecualian adalah modelnya Turner yang memasukkan konsep komunitas atau "communitas" (1974:250-251); dan (4) Adanya kontrol manipulasi yang besar dari para ahli antropologi terhadap bahan-bahan keterangan atau materi yang dipunyainya, sebagaimana telah ditunjukkan dalam uraian-uraian yang terdahulu. Disamping itu, dengan konsep-konsep dualisme, triadisme, bahkan juga liminal, menampakkan adanya kecenderungan untuk menggeneralisasi konsep-konsep sebagai bentuk-bentuk klasifikasi yang dapat menjadi suatu bentuk atau corak metodologi yang membahayakan perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri; karena, seseorang dapat misalnya, melihat dan mengkaji pengalaman-pengalaman sosial individu sebagai suatu liminalitas bila dia mau.

STRUKTURAL SEBAGAI SUATU SISTEM ANTROPOLOGI

Analisa secara struktural mengenai pemikiran keagamaan selama ini telah ditekankan pada bentuk-bentuk mitos dan ekspresinya yang terwujud sebagai rangkaian rakitan-rakitan struktur sosial dan proses-prosesnya. Tokoh dari analisa struktural ini adalah Levi-Strauss, yang model-model konseptualnya amat kompleks dan luas; sehingga nampaknya hampir tidak mungkin untuk dapat secara sewajarnya membahas keseluruhan model-modelnya tersebut dalam uraian pembahasan ini. Karena itu, dalam pembahasan ini hanya akan mencakup berbagai masalah yang berkaitan dengan yang telah dibahas seperti tersebut terdahulu.
Levi-Strauss menyatakan bahwa sistem-sistem simbol adalah didasarkan pada adanya pembedaan yang bersifat universal antara alam dan kebudayaan. Pertentangan secara dualistik ini ditunjukkan bukti-buktinya baik secara sinkronik maupun secara diakronik, sebagaimana terwujud dalam prinsip-prinsip statis dari alam dan kebudayaan yang diperantarai oleh suatu prinsip transformasi yang bersifat dualistik; yaitu kalau tidak berasal dari suatu transformasi alamiah maka akan berasal dari suatu transformasi kebudayaan. Hal ini secara amat jelas diperlihatkan contohnya dalam atau dari segitiga kuliner (culinary triangle) (1969), dimana yang mentah menjadi matang dengan menggunakan transformasi kebudayaan atau menjadijadi busuk dengan melalui transformasi alamiah. Simbol-simbol perantara yang bersifat dinamik dalam pengertian terbatas bertindak sebagai kekuatan pendorong yang pada dasarnya sama dengan oposisi binari, yaitu melalui transformasi binari dan dengan demikian keseluruhan sistem tetap tinggal bersifat dualistik yang statis pada kedua sumbunya. Kekuatan yang menyeluruh dari simbol-simbol dan mediasi yang bersifat binari ini dalam struktur mitos adalah suatu refleksi atau pencerminan dari "cara universal dalam mengorganisasi pengalaman sehari-hari" (1972:225) dan berfungsi untuk "menjadikan struktur mitos itu menjadi nampak" (1972:229).

Bentuk struktural dari mitos bercirikan pembedaan-pembedaan yang bersifat dualistik pada unsur-unsurnya tetapi unsur-unsur itu saling berkaitan. Landasan dasar dari mitos adalah seperangkat metafor yang dualistik sifatnya, yang bersamaan dengan itu juga berlanjut pada adanya pendefinisian mengenai mediasi atau perantaraan antara kedua dasar yang dualistik tersebut. Satuan- satuan yang mendasar yang ada dalam struktur mitos adalah kumpulan-kumpulan makna atau pengertian-pengertian, yang disebut sebagai tema-tema mitos, yang mengandaikan satuan-satuan dalam unsur pokoknya dan dilihat dalam dan merupakan bagian-bagian dari suatu satuan yang lebih luas dan kompleks (1972:211).

Dengan demikian pada dasarnya struktur mitos itu bersifat dua-dimensi yang melibatkan transformasi-transformasi baik pada skala vertikal maupun pada skala horizontal di antara komponen-komponen atau unsur-unsurnya yang bersifat dualistik sebagaimana telah ditunjukkan oleh Turner dengan model triadiknya. Struktur mitos memperoleh keabsahan dan corak simboliknya (yaitu sebagai sesuatu yang bebas dari pengertiannya atau artinya yang tertempel pada masing-masing tema mitosnya) pada suatu tingkat ketidak sadaran, oleh karena kesamaannya dengan struktur linguistik seperti yang dikemukakan oleh Saussure (1961). Unsur-unsur dari mitos yang struktural sifatnya adalah universal; dan ke-universalan ini dapat dilihat dengan cara menggeneralisasi dari hasil-hasil studi mengenai variasi-variasi mitos baik yang ada dalam masyarakat yang satu maupun dari berbagai masyarakat yang berbeda-beda kebudayaannya.

"Mitos terdiri atas berbagai versi, yang tercakup di dalamnya: dan ..... sebuah mitos akan tetap sama sebagaimana dahulunya selama mitos itu dirasakan sebagaimana adanya" (1972). Dalam mitos juga selalu terdapat pengulangan-pengulangan; dan fungsi dari pengulangan-pengulangan tersebut (baik tema-tema mitosnya maupun strukturnya yang ada dalam berbagai versi-versinya) adalah untuk membuat keseluruhan dari bingkai struktur mitos tersebut baik secara sinkronik maupun secara diakronik agar nampak jelas; dan dengan melalui dorongan-dorongan kekuatan yang terus menerus ada, menyajikan "suatu model yang logis atau masuk akal yang dapat berfungsi untuk mengatasi kontradiksi-kontradiksi" (1972:229). Kontradiksi-kontradiksi yang ada adalah pada tingkat logika, dan mitos bertindak sebagai perantara untuk mengatasi kontradiksi-kontradiksi ini. "Walaupun pengalaman bertentangan dengan teori mengenai berbagai gejala alamiah, dalam kenyataannya kehidupan sosial mengabsahkan berlakunya kosmologi, yaitu melalui mitos, oleh karena persamaan dalam strukturnya. Oleh karena itu maka kosmologi adalah suatu kebenaran yang sah" (1972:216).

Walaupun terdapat adanya pengulangan dan variasi-varisasi dari struktur mitos tetapi peranan dari mitos seperti tersebut di atas dapat terlaksana dengan cara melakukan penggeneralisasian dari:
"suatu jumlah bingkai yang secara teoritis tidak terbatas.....yang masing-masing agak berbeda antara satu dengan lainnya. Jadi mitos ditumbuhkan atau dikembangkan seperti spiral sampai tercapainya suatu titik kejenuhan intelektual yang menyeluruh sehingga terhenti proses pemproduksiannya. Pertumbuhan merupakan suatu proses yang berlanjut terus menerus, tetapi strukturnya tetap atau tidak berkembang mengikuti pertumbuhan tersebut" (1972:229).
Karenanya, kalau dilihat dari hakekat eksistensinya dan dari struktur arusnya, sehingga mitos adalah suatu perantara antara organisasi sosial sesuatu aggregate individu-individu di satu pihak dengan struktur-struktur sosial dan kosmologi yang melingkupi individu-individu tersebut di pihak lainnya.

Bagi Levi-Strauss, struktur mitos yang tercakup dalam model- model strukturalnya dan struktur mitos dalam konsep-konsep pemikiran manusia adalah sebuah satuan yang satu. Hal ini dikarenakan struktur mitos dilihatnya sebagai berlandaskan pada proses-proses dan pengkategorisasian secara linguistik yang universal dan denn demikian secara analogi kegiatan konseptual manusia adalah bersifat universal.

"Mitos memberi makna yang penting bagi pemikiran manusia yang bersangkutan dengan mitos itu sendiri dengan cara menggunakannyaa dalam kehidupan yang nyata yang dengan demikian pemikiran itu sendiri adalah sebagian dari mitos itu sendiri. Dengan demikian juga terdapat suatu produksi mitos yang berjalan secara simultan, yaitu yang dilakukan oleh pemikiran manusia yang mendorong bagi penciptaan dan penggunaannya dan oleh mitos itu sendiri, mengenai gambaran tentang dunia yang memang telah menjadi sebagian dari dan berada dalam pemikiran manusia" (1966:341).

Menurut Levi-Strauss, struktur-struktur sosial yang terdapat di dalam berbagai masyarakat manusia memperlihatkan adanya persamaan-persamaan dalam hal bentuk struktural dan unsur-unsurnya karena telah didefinisikan, divalidasikan, dan diperantarai oleh proses-proses pemikiran mitologi yang jalin menjalin dan yang ada dalam struktur mental manusia yang bersifat universal. Dengan demikian maka tidak ada kaitan hubungan antara struktur sosial yang berfungsi sebagai perantara bagi individu melalui struktur mitos dengan kenyataan-kenyataan sosial dan ekonomi yang dihadapi secara nyata dalam kehidupan manusia. Konsep-konsep struktural yang universal sifatnya ini menciptakan sistem-sistem yang khusus, sehingga berbagai arus dari luar yang berasal dari lingkungan yang dihadapi atau dari motif-motif sosial dan ekonomi menjadi tercakup dalam kategori-kategori struktural yang deterministik sifatnya. Dalam kaitannya dengan konsep-konsep tersebut di atas, Levi-Strauss mempertanyakan "kenyataan dan otonomi dari konsep kebudayaan" dan menganjurkan untuk memperlakukannya sebagai suatu "fragmen dari kemanusiaan", atau sebuah bagian yang khusus atau yang dinamakannya sebagai "isolate" (1972:35). Dengan kata lain, bagi Levi-Strauss konsep Geertz mengenai kebudayaan sebagai "ide yang memberi informasi" adalah omong kosong yang tidak dapat dipertahankan secara konseptual.

Dalam kepustakaan antropologi, masalah-masalah yang terwujud yang berkaitan dengan modelnya Levi-Strauss telah diperdebatkan secara tidak habis-habisnya; dan tidak sedikit yang menolaknya. Tetapi pendekatannya mengenai struktur mitos dan mitologi telah mempunyai pengaruh yang besar yang tidak mudah untuk dihapuskan begitu saja dari teori-teori yang ada dalam antropologi. Masalah- masalah yang berkenaan dengan modelnya tersebut dan yang memperlihatkan keseluruhan dari "dogma" strukturalisme adalah: (1) Hakekat ke-universalan dari struktur sosial manusia, mitologi, dan proses-proses pemikiran manusia. Metodologi ini secara garis besarnya dapat dibantah seperti bantahan atau bahasan yang telah dikemukakan terhadap model-modelnya Victor Turner. Memang benar bahwa struktur dari pemikiran yang ada dalam otak manusia dan begitu juga proses primordial manusia, pada tingkatnya yang sangat umum, adalah unsur-unsur yang kita punyai sebagai manusia dan bahkan sebagai makhluk hidup. Tetapi kekhususan-kekhususan dari perwujudan kebudayaan dan variasi-variasi dari bentuk-bentuk kehidupan sosial dan masyarakat menuntut adanya suatu perangkat penjelasan yang lebih dinamik sifatnya; bukannya yang kaku. (2) Membatasi gejala-gejala sosial hanya menjadi garis-garis besar yang bersifat umum atau universal dan menolak adanya pengakuan mengenai arus dan sumber dari perubahan sosial hanya akan menuju kepada terwujudnya kontrol manipulatif dari para ahli antropologi terhadap data sosial yang sifatnya adalah setempat dan unik. Nampak bahwa fungsi dari pengulangan sebagaimana yang terdapat dalam model-modelnya Levi-Strauss adalah untuk menolak atau meniadakan kehadiran struktur-struktur yang tidak statis atau yang dinamis dan yang mempunyai corak hubungan sebab-akibat yang ada dalam masyarakat yang dikaji. (3) Pendekatan strukturalnya menampakkan kecenderungannya yang "dogmatik" dan mencerminkan struktur sosial sebagai suatu sistem tertutup yang terbebas dari pengaruh-pengaruh kebudayaan dan kenyataan-kenyataan sosial, ekonomi, dan dari lingkungan hidup.

KESIMPULAN

Dalam tulisan ini telah ada saya coba untuk menunjukkan bagaimana sejumlah ahli antropologi menggunakan cara-cara yang berbeda dalam melihat struktur sosial dalam kaitannya dengan agama dan upacara. Penekanan yang telah diberikan adalah pada hubungan-hubungannya yang dilihat secara konseptual, sehingga model-model mengenai hubungan-hubungan tersebut nampak berbeda-beda di antara ahli-ahli yang berbeda; yang mempunyai implikasi pada tingkat pembahasan yang mereka lakukan serta pada tingkat pengertian yang mereka peroleh dengan menggunakan model-model tersebut, dan yang mewujudkan adanya perbedaan antara yang satu dengan yang lainnya.
Dengan demikian maka juga nampak bahwa masing-masing model tersebut mempunyai relevansi dan validitas yang terbatas sesuai dengan tujuan penggunaannya dalam hal mengkaji hubungan antara struktur sosial di satu pihak dengan agama dan upacara di pihak lainnya. Secara umum dapatlah dikatakan, bahwa masing-masing model yang telah dibahas tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Model-model dari Geertz yang berdasarkan pada model bagi dan model dari, yang berlandaskan pada konsep-konsepnya mengenai sistem-sistem simbol dan ide yang memberi informasi; yang walaupun berbelit-belit tetapi memberikan suatu ketegasan penjelasan mengenai arti kebudayaan dalam kaitannya dengan struktur dan dengan lingkungan yang dihadapi oleh manusia. Geertz menyatakan bahwa studi mengenai agama, mitos dan upacara adalah sebagai jalan untuk memahami bagaimana manusia memahami dan menerima hakekat dari kedudukan dan peranannya dalam kehidupan sosial di masyarakatnya; struktur sosial yang merupakan bagian yang terorganisasi dalam kehidupan mereka menjadi dapat dipahami serta masuk akal secara sewajarnya bagi mereka.

2. Analogi yang berlandaskan pada sistem penggolongan yang dilakukan oleh Hertz dan Cunningham; yang walaupun masing-masing berbeda dalam hal kedalaman dan luasnya cakupan dari model klasifikasi yang digunakan, tetapi pada prinsipnya berlandaskan pada model-model yang sama. Hertz melihat bahwa agama berperan terhadap adanya semacam polarisasi dalam kehidupan sosial dari individu maupun bagi seluruh warga masyarakat yang bersangkutan; yaitu dengan berlandaskan pada sistem klasifikasi yang menjadi dasar dan yang ada dalam agama. Sedangkan Cunningham memperlihatkan adanya suatu keteraturan (order), yaitu suatu sistem yang menjadi pegangan bagi manusia pada waktu mereka mengklasifikasi dunia yang mereka hadapi. Pada waktu pegangan yang berisikan aturan-aturan itu diikuti/ditaati oleh manusia, maka sesungguhnya ide-ide yang terletak dibalik aturan-aturan tersebut secara simbolik telah juga diterima. Upacara adalah tempat bagi perwujudan ketaatan atas aturan-aturan yang diikuti tersebut dalam bentuk berbagai tindakan yang dapat dilihat sebagai simbol dan metafor.

3. Model-model hubungan yang dibuat berdasarkan atas prinsip- prinsip kesadaran kolektif dan primordial yang dilakukan oleh Levi-Strauss dan Victor Turner; yang walaupun mempunyai landasan model-model sendiri yang sesuai dengan perhatian yang dipunyai masing-masing maka juga telah menghasilkan pengertian-pengertian yang berbeda-beda antara yang satu dengan yang lainnya. Turner melihat bahwa upacara berperan untuk membuat individu dapat menjadi cocok dengan masyarakatnya dan membuatnya dapat menerima aturan-aturan yang berlaku. Levi-Strauss melihat struktur sosial bukan sebagai kenyataan yang dapat diamati, tetapi sebagai model bagi kenyataan. Model ini adalah suatu sistem yang mempunyai kesanggupan untuk memprediksi atau meramalkan dan membuat kenyataan dapat menjadi masuk akal dan dipahami. Menurut Levi-Strauss, sebagaimana juga dengan pendahulu-pendahulunya yaitu Durkheim dan Radcliffe-Brown, agama adalah suatu bagian dari struktur sosial. Levi-Strauss percaya bahwa dengan melalui studi mengenai agama dan mitos akan dapat diperoleh suatu pemahaman mengenai pengertian struktur sosial yang ada dalam masyarakat yang bersangkutan. Dalam perhatiannya mengenai mitos, Levi-Strauss menyatakan bahwa mitos sebagai agama atau sebagai bagian dari agama, dapat membantu usaha-usaha mengenai struktur sosial karena mitos selalu berhubungan dengan masyarakat dan berbicara mengenai masyarakat tersebut baik mengenai masa yang lampau, sekarang, maupun masa yang akan datang.

Yang sebenarnya patut diperhatikan dalam pengkajian mengenai hubungan antara struktur sosial dengan agama dan upacara adalah dalam hal kaitannya dengan kenyataan-kenyataan sosial dan ekonomi yang ada dalam lingkungan hidup yang dihadapi oleh para pelakunya dalam masyarakat. Sehingga pertanyaan-pertanyaan yang berkenaan dengan relevansi dari sesuatu keyakinan keagamaan dan upacara yang dilihat sebagai struktur sosial ataupun sebagai corak hubungan yang terwujud antara struktur sosial dengan agama dan upacara, bukanlah harus dilihat dalam konteks struktur itu sendiri tetapi dalam suatu konteks yang lebih luas dan berlandaskan pada kehidupan yang nyata yang dihadapi oleh para pelaku yang bersangkutan. Karena, agama mempunyai berbagai fungsi penting yang terwujud dalam berbagai cara yang berbeda dalam kehidupan sosial manusia. Fungsi-fungsi tersebut antara lain adalah:

1. Membentuk dan mendukung berlakunya nilai-nilai yang ada dan mendasar dari kebudayaan suatu masyarakat, yaitu etos dan pandangan hidup, yang antara lain terwujud dalam penekanannya pada bentuk-bentuk kelakuan yang wajar dan tepat menurut bidang atau arena sosial yang ada.

2. Agama menyajikan berbagai penjelasan mengenai hakekat kehidupan manusia dan lingkungan serta ruang dan waktu yang dihadapi manusia dan yang dirinya sendiri adalah sebagian dari padanya; sehingga kedudukan dan peranannya menjadi jelas dan penerimaannya atas berbagai tahap dan keadaan kondisi kehidupan yang dihadapi dan dialaminya dapat diterima secara masuk akal baginya. Salah satu dari peranannya yang jelas terlihat adalah bahwa dalam keadaan kekacauan dan kesukaran, kebingungan dan jiwa tertekan, agama memainkan peranan yang besar bagi individu-individu yang bersangkutan karena agama menyajikan penjelasan dan bertindak sebagai kerangka sandaran bagi ketentraman dan penghiburan hati dalam keadaan kesukaran dan kekacauan yang dihadapi tersebut.
3. Agama mempunyai peranan untuk menyatukan berbagai faktor dan bidang kehidupan ke dalam suatu pengorganisasian yang menyeluruh, yaitu dalam rangkuman struktur sosial, yang dimungkinkan oleh adanya peranan dari mitos dan upacara. Keduanya mempunyai peranan yang penting dalam mengko-ordinasi titik temu antara struktur sosial dengan agama dan antara agama dengan kehidupan yang nyata.

Sebagai akhir kata, dapatlah dikatakan bahwa untuk dapat memperoleh pemahaman mengenai hakekat dan corak dari struktur sosial; kita dapat mempelajari dan mengkaji agama, mitos dan upacara sehingga dapat menemukan dan kemudian menentukan apa yang seharusnya dijelaskan, dibenarkan, dan didukung dalam suatu masyarakat. Begitu juga sebaliknya kalau kita ingin memahami hakekat dan corak dari agama yang diyakini oleh warga suatu masyarakat. Model-model yang telah dibahas tersebut di atas dapat digunakan secara terseleksi, yaitu tergantung pada masalah yang hendak dikaji dan kenyataan kehidupan sosial dan ekonomi dalam masyarakat dimana pengkajian itu hendak dilakukan.

Kepustakaan

Cunningham, Clark E.
1972 "Order in the Atoni House", dalam Reader in Comparative Religion, oleh: William A. Lessa dan Evon Z. Vogt (ed), New York: Harper & Row, pp.116-135.

Geertz, Clifford
1973 The Interpretation of Culture, New York: Basic.

Hertz, Robert
1960 Death and the Right Hand, penerjemah: Rodney dan Claudia Needham, Cohen & West.

Levi-Strauss, Claude
1972 Structural Anthropology, London: Penguin.
1969 The Raw and the Cooked, New York: Harper & Row.

Turner, Victor
1974 Dramas, Fields, and Metaphors, Ithaca: Cornell University Press.
1967 The Forest of Symbols, Ithaca: Cornell University Press.

Koentjaraningrat
1980 Sejarah Teori Antropologi I, Jakarta: UI-Press.

RINGKASAN PENELITIAN AGAMA DI PERKOTAAN

RINGKASAN PENELITIAN AGAMA DI PERKOTAAN*)
PARSUDI SUPARLAN
UNIVERSITAS INDONESIA

1. Kehidupan Di Perkotaan

a. Pranata-pranata yang kompleks dan terspesialisasi.
b. Masyarakat yang heterogen dengan masing-masing asal, corak kebudayaan, kehidupan ekonomi dan tingkat kemampuannya, keyakinan keagamaan, orientasi politik, dan seleranya yang berbeda-beda.
c. Sikap-sikap yang individualistik, dan bahkan anomie dalam sejumlah bidang kehidupan; tetapi juga komunalistik dan menekankan pentingnya kebersamaan dalam sejumlah bidang kehidupan lainnya.
d. Kehidupan sehari-hari yang lebih banyak digunakan untuk pekerjaan daripada untuk kepentingan pribadi sosial.
e. Pentingnya uang dan kekuasaan.
f. Corak kehidupan yang kompetitif dan juga konflik.
g. Banyak stressor, sehingga banyak yang terkena stress.

2. Agama Dalam Kehidupan Di Perkotaan

a. Pranata-pranata keagamaan lebih terspesialisasi dan efisien dalam menjalankan fungsi-fungsinya sebagai pembimbing dan penghibur kerokhanian pemeluk-pemeluknya.
b. Kegiatan-kegiatan keagamaan berjamaah lebih terpimpin dan menekankan coraknya yang formal-ritual.
c. Pranata-pranata keagamaan juga berfungsi sebagai pranata-pranata politik.

3. Agama Dalam Kehidupan Warga Kota

a. Pada tingkat pribadi atau perorangan gama yang formal-ritual adalah acuan yang digunakan dalam kehidupan sosial.
b. Agama yang diyakini juga dituntut untuk berfungsi dalam berbagai struktur kegiatan perkotaan yang penuh dengan tantangan dan tekanan (stress).
c. Makna doa, petikan ayat suci, benda-benda skral menjadi lebih berarti dan fungsional.
d. Toleransi diantara yang berbeda agama terwujud, karena corak kehidupan yang lebih individualistik, selama tidak mengganggu kepentingan ekonomi dan pilitik (termasuk harga diri dan prestise perorangan, kelompok ataupun sesuatu golongan sosial).
e. Agama adalah acuan untuk interpretasi dan pemahaman bagi kegiatan-kegiatan formal-ritual

4. Masalah-Masalah Penelitian

Masalah-masalah penelitian ini dibuat dalam rangka kebijaksanaan pembinaan dan pengembangan kehidupan keagamaan yang berkeTuhanan YME dan dalam rangka pemantapan fungsi agama dalam kehidupan pemeluknya didalam menghadapi lingkungan kehidupan perkotaan yang penuh dengan tantangan. Masalah-masalah penelitian tersebut, antara lain:
a. Faktor-Faktor Agama Dalam Pembangunan (seperti yang dilakukan oleh Lenski di Detroit: The Religious Factors..) Pendekatan kwalitatif. Menggunakan kwesioner dan mengukur kecenderungan-kecenderungan para pemeluk agama (Kristen, Katolik, dan Yahudi) dalam menanggapi modernisasi, dianalisa melalui korelasi-korelasi diantara variabel agama dengan berbagai variabel yang ada dalam modernisasi.
b. Struktur dan Fungsi Pranata-Pranata Keagamaan di Perkotaan. Pengkajian terfokus pada pelayanan-pelayanan pranata-pranata keagamaan dalam kehidupan warga masyarakat.Pendekatan struktural-fungsional, kwalitatif dan kwalitatif Pendekatan kwalitatif untuk memahami hakekat dan fungsinya dalam struktur kehidupan; pendekatan kwantitatif untuk melihat kecenderungan-kecenderungan fungsi-fungai tersebut.
c. Kehidupan Perkotaan, Penataan Kota, dan Kegiatan Keagaman Pendekatan Kwalitatif-interpretif, dan kwantitatif untuk mengukur pendapat umum mengenai kegiatan-kegiatan keagamaan dan non-agama dalam perspektif waktu dan tempat. Kegiatan Penelitian seperti ini dapat terfokus dalam bentuk penelitian survai mampu dalam bentuk penelitian kasus. Sebagai contoh untuk penelitian kasus adalah konsep warga masyarakat Jakarta tentang pemisahan atau penyatuan tempat-tempat hiburan dari tempat-tempat beribadah. Atau kasus tentang penyatuan tempat-tempat hiburan bermaksiat dari tempat ibadah. Dalam hal penelitian kasus yang terakhisr tersebut, mungkin ada baiknya kalau Litbang Depag dapat melakukan penelitian mengenai kehidupan pelacuran dan keagamaan di Kramat Tunggak. Kajian ini akan dapat digunakan untuk membuat rekomendasi-rekomendasi mengenai berbagai kegiatan pembinaan para pelacur dan germo, pendirian mesjid di Kramat Tunggak, kegiatan-kegiatan ibadah di Kramat Tunggak, dsb.
d. Agama dan Kemiskinan. Fokus terutama pada permasalahan penggunaan pengetahuan dan keyakinan keagamaan yang dipunyai dalam upaya orang miskin untuk mengatasi kemiskinan mereka dan corak ketakwaan yang mereka punyai. Kajian dapat dilakukan dalam bentuk studi kasus. Model acuan bagi permasalahan penelitian mungkin dapat mengacu pada hasil-hasil penelitian yang telah disajikan oleh Oscar Lewis (lihat: Kemiskinan di Perkotaan) atau yang telah yang dibuat (lihat: Penamas, vol.3, 1990).

*) Ceramah Berkala Litbang Dep. Agama, R.I. Jakarta 28 Februari 1994

PEMBANGUNAN UNTUK SIAPA

PEMBANGUNAN UNTUK SIAPA
Parsudi Suparlan
Universitas Indonesia


Salah satu tujuan utama pembentukan pemerintahan negara Republik Indonesia, sebagaimana diamanatkan dalam alinea ke-4 pembukaan UUD 1945 adalah:
“ …… untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, …… dst”.

Dengan jelas amanat itu menyatakan tanggung jawab pemerintah bukan sekedar memberikan perlindungan fisik terhadap seluruh warga negaranya, melainkan juga perlindungan non-fisik dengan memajukan kesejahteraan mereka dalam arti luas.

Sesungguhnya amanat tersebut bukan tanpa alasan, kalau diingat bahwa bangsa Indonesia itu terbentuk sebagai perwujudan tekad bersama segenap penduduk di kepulauan Nusantara atau bekas jajahan Hindia Belanda yang semula hidup dalam kelompok-kelompok sosial yang mandiri dengan aneka ragam kebudayaan Indonesia mereka. Kenyataan kemajemukan masyarakat dan keanekaragaman kebudayaan Indonesia itu seringkali diabaikan. Walaupun masyarakat dengan bangga orang mengucapkan semboyan kebangsaan Bhinneka Tunggal Ika, dalam kenyataan kebhinnekaan itu seringkali dilupakan kalau tidak tergusur oleh ketunggalan yang dipaksakan.

Sebagaimana kenyataan kemajemukan mesyarakat Indonesia itu tidak hanya terwujud dalam berbagai struktur sosial, melainkan juga dalam keanekaragaman kebudayaan yang dikembangkan oleh masyarakat kepulauan sebagai perwujudan adaptasi mereka terhadap lingkungannya secara aktif. Oleh karena itulah keanekaragaman kebudayaan yang mereka kembangkan itu tidak hanya bersigat mendatar yang mencerminkan pola-pola adaptasi setempat yang berbeda, melainkan juga bersifat tegak lurus karena sangat besar pengaruhnya dalam pembangunan bangsa yang dirintis sejak awal kebangkitan kebangsaan.

Sungguhpun semangat kebangsaan telah ditanamkan oleh para pelopor jauh sebelum proklamasi kemerdekaan, namun dalam kenyataan tidaklah mudah untuk mempersatukan mesyarakatmajemuk yang mengembangkan aneka ragam kebudayaan itu menjadi satu bangsa yang besar. Lebih dari 25 tahun pertama sejak kemerdekaan, masyarakat Indonesia mengalami pergolakan untuk memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa, yang oleh Geertz (1965) disebut sebagai “Integrative revolution”.

Sesungguhpun banyak kendala yang menghambat pembangunan bangsa yang baru merdeka, sekalipun ia merupakan cita-cita yang melandasi perjuangan kemerdekaan.

Sebagaimana diungkapkan oleh Harris (1964), kebanyakan negara yang baru merdeka sejak berakhirnya perang dunia yang lalu menghadapi berbagai persoalan dalam membangun bangsanya. Mereka harus menghadapi pergolakan yang timbul dalam perjuangan untuk mengembangkan kesetaraan dengan negara-negara lain. Pergolakan nasional yang dinamakan oleh Harris sebagai Revolution of Equality atau revolusi kesetaraan meliputi: Pertama, perjuangan kemerdekaan penuh (total independence); kedua, pengembangan administrasi pemerintahan (administrative equality); ketiga, perjuangan kesetaraan budaya (cultural equality).

Kemerdekaan sepenuhnya

Sesungguhnya, keutuhan wilayah negara dan kedaulatan suatu bangsa itu sulit dipertahankan kalau masyarakat bangsa itu sendiri tidak mampu membebaskan diri atau sekurang-kurangnya memperkecil pengaruh kekuasaan asing sejauh mengkin. Perjuangan untuk membebaskan diri dari pengaruh kekuasaan asing itu terasa lebih berat bagi negara yang baru merdeka dan masyarakatnya majemuk seperti Indonesia. Kebanyakan bekas negara kolonial tidak rela melepaskan pengaruhnya terhadap negara bekas jajahannya. Dengan berbagai cara, mereka berusaha mengikat kesetiaan bekas negara jajahan dalam berbagai bentuk kespakatan, seperti program bantuan pembangunan, kerjasama ekonomi dan pemasaran bersama maupun organisasi persemakmuran. Dengan demikian mereka dapat mempertahankan kepentingan mereka, seperti jaminan sumber bahan baku bagi industrinya maupun pangsa pasar yang potensial. Sebaliknya ikatan nyata maupun terselubung itu dapat menghambat pembangunan bangsa-bangsa yang baru merdeka, karena mereka tidak bebas dalam menentukan kebijaksanaan pembangunan yang hendak diselenggarakan. Bahkan ada kecenderungan bahwa berbagai bantuan yang diberikan oleh bekas negara kolonial itu justru memperpanjang ketergantungan mereka terhadap kekuasaan asing. Karena itulah mereka harus membebaskan diri sepenuhnya dari segala bentuk pengaruh kekuasaan asing untuk menegaskan kedaulatan sebagai bangsa yang merdeka.

Perjuangan itu tidak mudah, terutama di negara yang masyarakat majemuk dengan aneka ragam latar belakang kebudayaannya seperti Indonesia. Sejarah telah membuktikan betapa berbagai negara boneka dibentuk menjelang penyerahan kedaulatan negara dan bangsa Indonesia oleh pihak Belanda dengan tujuan untuk mempertahankan pengaruhnya. Pergolakan sosial berlangsung sejak penyerahan kedaulatan bangsa dan negara oleh pemerintah kolonial Belanda dalam menentukan hari depan dan membangun bangsa.

Pembangunan administrasi pemerintahan
Perjuangan yang tidak kalah beratnya adalah mengembangkan administrasi pemerintahan yang menjamin pelayanan umum dan berlaku di seluruh tanah air. Pembangunan administrasi pemerintahan untuk menunjukan kemampuan bangsa mengatur dirinya tanpa campur tangan kekuasaan asing itu tidak mungkin ditunda-tunda. Namun dalam kenyataan banyak kendala yang harus dihadapi. Disamping kurangnya tenaga kerja yang terampil dan ahli untuk menyelenggarakan administrasi pemerintahan yang sehat, banyak peraturan dan perundangan yang harus dibuat untuk menggantikan berbagai peraturan dan perundangan kolonial. Belum lagi terhitung sistem pemerintahan apa yang hendak diterapkan.

Sesungguhnya untuk menghasilkan tenaga trampil dan ahli dalam administrasi pemerintahan tidaklah terlalu sulit. Akan tetapi sebagaimana halnya yang terjadi di berbagai negara yang berkembang, justru pembinaan sikap mental sumberdaya manusia sebagai bagian dari mesin birokrasi sehat merupakan hambatan utama. Banyak di antara mereka yang berhasil memangku jabatan dalam administrasi pemerintahan yang mengidap sikap mental administrator kolonial (colonial administrator mentality) yang beranggapan bahwa masyarakat masih bodoh dan terkebelakang. Oleh karena itu mereka seringkali bukannya melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai abdi masyarakat yang baik, melainkan justru sebaliknya memperlakukan masyarakat sebagai bawahan (subordinates) yang harus dibina dan dibimbing selalu. Hal ini bertentangan dengan prinsip pengembangan pemerintahan nasional yang seharusnya juga memperjuangkan kesetaraan kebudayaan dalam pergaulan antar bangsa. Pembinaan dan bimbingan yang meperlakukan masyarakat seolaholah masih terkebelakang dan perlu pimpinan itu, tanpa disadari telah mematikan kreativitas pembaharuan yang justru diperlukan untuk pengembangan kebudayaan.

Pembangunan kebudayaan

Sementara itu untuk mendapatkan pengakuan kesetaraan (cultural equality) dalam pergaulan antar bangsa, pengembangan kebudayaan sebagai lambang kesetaraan tidak boleh diabaikan oleh negara yang baru merdeka. Pengembangan kebudayaan sebagai lambang kesetaraan itu sama pentingnya dengan kemerdekaan penuh dan tertibnya administrasi pemerintahan yang diperlukan untuk mempertahankan keutuhan wilayah negara dan kedaulatan bangsa. Oleh karena itu pembangunan kebudayaan nasional bagi Indonesia tidak mungkin ditunda-tunda, lebih-lebih kalau diingat bahwa bangsa Indonesia itu majemuk masyarakatnya dan beranekaragam kebudayaannya.

Kebutuhan akan kebudayaan nasional sebagai kerangka acuan dalam bermasyarakat dan berbangsa secara nasional itu disadari sepenuhnya oleh para pendiri negara kesatuan Republik Indonesia, sebagaimana tercermin dalam amanat UUD 1945, khususnya pasal 32 yang berbunyi “Pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia”. Akan tetapi kerena besarnya semangat kebangsaan pada awal kemerdekaan, dalam mengembangkan kebudayaan nasional orang menabaikan keberadaan dan fungsi kebudayaan-kebudayaan yang hidup di kalangan masyarakat Indonesia yang majemuk. Kekhilafan itulah yang kemudian menimbulkan berbagai masalah sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan dalam pembangunan bangsa untuk meningkatkan kesejahteraan dan pengakuan kesetaraan dalam pergaulan antar bangsa.


PEMBANGUNAN NASIONAL

Perjuangan bangsa untuk mencapai kesetaraan sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan dalam masyarakat yang majemuk dengan kebudayaannya yang beranekaragam itu tidaklah mudah. Ia harus dilakukan serentak dengan melibatkan segenap rakyat untuk mengambil bagian secara aktif. Oleh karena itu pembangunan semesata di masa pemerintahan Orde Lama maupun pembangunan nasional di masa Orde Baru merupakan jawaban yang tepat. Akan tetapi kedua kebijaksanaan pembangunan itu tidak memperhatikan faktor dominan sosial dan kebudayaan masyarakat majemuk Indonesia. Kebijaksanaan pembangunan semesta berencana, kerena situasi politik dunia, lebih menitik beratkan pada ekonomi. Kedua pembangunan itu nampaknya kurang memperhatikan faktor sosial dan kebudayaan masyarakat Indonesia yang majemuk. Akibatnya, kedua pembangunan itu tidak berhasil memicu sebagian besar penduduk untuk mengambil bagian secara aktif. Karenanya bukan hanya sasaran pembangunan tidak tercapai, melainkan justru semakin menambah parah penderitaan, kalau tidak kemiskinan yang harus ditanggung oleh bangsa Indonesia.

Sesungguhnya pembangunan nasional itu pada hakekatnya merupakan usaha berencana dan berkelanjutan untuk merubah keadaan menuju ke arah perbaikan. Karena itu pembangunan itu, apapun titik beratnya, merupakan suatu kekuatan pembaharuan sosial dan kebudayaan masyarakat yang bersangkutan. Dengan dimikian, keberhasilan suatu pembangunan itu tidak bebas dari pengaruh sosial dan kebudayaan masyarakat yang menyelenggarakannya.

Pembangunan nasional yang diselenggarakan semasa pemerintahan Orde Baru lebih banyak beranjak pada pengertian yang menyamakannya dengan pertumbuhan ekonomi (economicgrowth) itu sesungguhnya merupakan tanggapan spontan terhadap penderitaan materiil yang dialami oleh bangsa Indonesia akibat kebijaksanaan pembangunan semesta berencana yang lebih mengutamakan pembangunan politik. Dengan pembangunan ekonomi itu diharapkan akan dapat memacu perkembangan di segala kehidupan bangsa. Akan tetapi karena kurangnya perhatian terhadap kesiapan sosial dan kebudayaan masyarakat untuk mengambil bagian secara menguntungkan, pembangunan ekonomi itu tidak dapat berfungsi sebagai motor pembangunan bangsa sebagaimana dicita-citakan.
Sesungguhnya konsep pembangunan yang disamakan dengan pertumbuhan ekonomi itu tidak akan dapat membangkitkan kesadaran dan kepedulian masyarakat untuk berperan aktif, kalau is tidak dipahami, apalagi tidak sesuai dengan minat dan kebutuhan yang dirasakan oleh masyarakat yang bersangkutan. Oleh karena itu model pembangunan apapun yang hendak diselenggarakan seharusnya mengacu pada kebudayaan yang dirasakan oleh masyarakat (society oriented definition problem). Dengan demikian, pembangunan itu bukan sekedar mengejar efisiensi dalam kegiatan ekonomi, melainkan harus meliputi upaya untuk menegakan keadilan sosial-budaya masyarakat harus mendapatkan perhatian yang setara dengan usaha pembangunan ekonomi.

Pembangunan Industri

Dihadapkan pada situasi ekonomi yang memburuk selama masa pemerintahan Orde Lama yang berusaha untuk mempertahankan kemandirian politik, pemerintah Orde Baru bertekad untuk segera mengatasi dengan kebijaksanaan pembangunan ekonomi yang mendahulukan pertumbuhan (economicgrowth) daripada perkembangan (economic development). Dengan pertumbuhan ekonomi yang cupuk tinggi, diharapkan akan banyak tenaga kerja yang selama ini menganggur atau setengah menganggur akan dapat ditampung sehingga akan memacu peningkatan kesejahteraan umum. Untuk keperluan itulah, industrialisasi yang ditopang dengan penerapan teknologi modern menjadi pilihan utama, walaupun pembangunan sektor pertanian tidak diabaikan. Model pembangunan tersebut ternyata berpangkaltolak dari anggapan salah, seolah-olah hanya ada satu jalur menuju “modernisasi”. Dalam kenyataan untuk mencapai kemajuan itu ada banyak lintasan sosial (social path), tergantung pada titik awal kondisi politik, kebudayaan dan lingkungan hidup yang ada. Titk awal pembangunan nasional di Indonesia sudah tidak sama dengan titik-titik awal pembangunan di berbagai negeri asal model pembangunan yang hanya mengejar efisiensi ekonomi.

Dalam kenyataan, pembangunan industri yang mengejar efisiensi dan produktifitas kerja dengan penerapan teknologi modern itu menuntut persyaratan sosial dan budaya yang mendukung peningkatan kegiatan ekonomi yang menyertainya. Persyaratan sosial budaya itu terutama adalah keadilan sosial (socila justice), demokrasi politik (political democracy) dan kebebasan budaya (cultural freedom) untuk mengimbangi masuknya nilai-nilai budaya merkantil, materialistik, dan kompetitif dalam perkembangan ekonomi pasar dalam masyarakat agraris menuju masyarakat industri. Ketiga persyaratan sosial budaya itu terutama diperlukan untuk menciptakan iklim yang mendukung perkembangan persaingan yang sehat dalam penanaman modal yang besar, pengembangan organisasi yang lebih kompleks dan luas jaringannya serta pengerahan tenaga kerja trmapil dan ahli untuk mengendalikan usaha. Sebagaimana terjadi, penanaman modal yang berskala besar itu mempunyai implikasi sosial, politik dan kebudayaan yang tidak mungkin diabaikan dalam perkembangannya.

Modal
Pembangunan ekonomi di Indonesia telah memacu pengusaha untuk meningkatkan eksploitasi sumber daya (exploitative) tanpa mengenal batas waktu maupun lingkungan (expansive) dalam mengejar keuntungan materi secara optimal. Kecenderungan pengurasan sumberdaya secara besar-besaran itu tidak dapat dielakkan, kerena besarnya modal yang ditanamkan dan harus mendatangkan keuntungan materi yang sebesar-besarnya. Kenyataan tersebut telah memacu persaingan yang tidak berimbang, terutama antara pengusaha besar yang memiliki keunggulan ekonomi, sosial , dan politik, dengan pengusaha kecil dan menengah yang dianggap tidak mampu mengolah sumber daya secara menguntungkan. Tidaklah mengherankan kalau penggusuran oleh pengusaha besar terjadi bukan hanya terhadap pengusaha kecil dan menengah yang dianggap kurang mampu, malainkan juga terhadap penduduk di kawasan yang kaya dengan sumber daya alam maupun di pusat-pusat pertumbuhan.
Ratusan pengusaha batik kecil dan menengah digusur oleh dua perusahaan batik raksasa dengan segala keunggulannya. Sementara itu pengusaha batik kecil dan menengah terpaksa menjadi bagian dari perusahaan raksasa kalau tidak beralih bidang usaha yang masih bebas dari jangkauan belalai gurita yang mencari mangsa. Demikian pula ratusan pengusaha kecil menengah yang menghasilkan mie, tergusur oleh perusahaan raksasa penghasil bahan makanan dari terigu. Dengan alasan demi efisiensi dan produktifitas, pengusaha kecil dan menengah terpaksa bertindak sebagai pengecer atau penjual mie masak. Sedemikian jauh tinggal 80-an pengusaha mie basah (kecil dan menengah) yang bertahan di Jakarta karena mereka telah mempunyai langganan lewat restoran yang dikelola masing-masing. Sungguh pun demikian mereka tidak bebas dari bujuk rayu pengusaha raksasa yang menjanjikan keuntungan materi yang lebih besar. Tidak mustahil mereka itu akan menyerah terhadap rayuan, kecuali mereka yang benar-benar telah mapan, karena kesulitan mendapatkan pinjaman untuk menambah modal dan mendapatkan bahan mentah.
Dengan alasan demi efisiensi dan produktifitas, yang menjadi semboyan pembangunan ekonomi di masa Orde Baru, penduduk perkotaan yang kurang mampu, penduduk pedesaan yang lahannya berpotensi ekonomi tinggi untuk dikembangkan sebagai real-estate maupun industrial-estate maupun penghuni hutan yang kaya raya dengan kayu atau mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai perkebunan, tidak lebih baik nasibnya daripada pengusaha kecil dan menengah yang tidak berdaya. Lingkungan pemukiman yang mempunyai banyak fungsi sosial (social asset) itu hanya dinilai sebagai kekayaan ekonomi (economic asset) yang rendah harganya karena selama ini tidak mendatangkan keuntungan (pajak) bagi pemerintah dialihfungsikan kepada pengusaha besar yang menjanjikan keuntungan materi di atas keuntungan sosial dan ekonomi penduduk.
Masyarakat Indonesia dewasa ini menghadapi tekanan lingkungan ganda akibat pengurasan sumber daya yang menggunakan teknologi modern. Tekanan ganda itu disebabkan upaya penungkatan intensitas pengolahan sumber daya untuk memenuhi kebutuhan akan bahan mentah bagi industri dalam negeri maupun untuk memenuhi permintaan pasar internasional demi devisa sebagai pembayar utang. Akibat tekanan lingkungan yang mempercepat penyusutan sumber daya dan mutu lingkungan (environmental scarity) sangat besar dampaknya terhadap kesejahteraan sebagian besar penduduk yang kurang mampu dalam bersaing untuk memperebutkannya.

Organisasi
Sesungguhnya penanaman modal yang besar dalam industrialisasi itu harus dikelola secara intensif agar dapat mendatangkan keuntungan materi secara optimal. Tuntutan industrialisasi itu tidak mudah dipenuhi oleh kebanyakan pengusaha Indonesia yang pada umumnya masih mengandalkan pengelolaan usahanya pada organisasi kekerabatan (intra family organization). Hubungan antar person (interpersonal relation) lebih bermakna dalam mengerjakan seseorang di perusahaaan dari pada keahlian atau keterampilan yang dimiliki seseorang (impersonal relation). Sesungguhnya dengan pengembangan industri yang menuntut penanaman modal yang besar dalam mengejar efisiensi dan produktifitas kerja, akan merangsang pengusaha untuk meningkatkan kemampuan mereka mengelola usahanya. Akan tetapi karena kurangnya kesiapan sosial dan kebudayaan, justru sebaliknya mereka cenderung mencari jalan pintas. Kenyataan tersebut memperlemah daya saing mereka untuk menghadapi pengusaha asing yang telah mapan. Tidaklah menherankan kalau dalam menghadapi persaingan, kebanyakan pengusaha besar maupun menengah Indonesia cenderung mengembangkan strategi yang tidak sehat (KKN). Akibatnya banyak pengusaha kecil dan menengah yang tersisihkan dalam persaingan yang tidak imbang melawan pengusaha besar dan menengah yang mempunyai kemampuan untuk menggalang kerjasama dengan penguasa dan perbankan.

Tenaga kerja
Untuk mengendalikan teknologi modern diperlukan tenaga kerja terampil dan ahli agar efisiensi dan produktifitas kerja yang optimal dapat tercapai. Kebutuhan akan tenaga kerja terampil dan ahli itu, pada gilirannya akan merangsang penduduk untuk menghargai tinggi pendidikan sekolah sebagai sarana untuk mendapatkan pekerjaan. Kenyataan telah membuktikan betapa keberhasilan pembangunan industri yang mebuka peluang kerja bagi tenaga terdidik dalam memacu penduduk untuk mengirimkan anak-anak mereka ke sekolah. Dengan demikian mobilitas sosial akan diikuti dengan meningkatnya kesejahteraan penduduk pada umumnya. Akan tetapi, penerapan teknologi modern dalam industri ternyata tidak banyak menyerap tenaga kerja manusia yang digantrikan dengan tenaga mesin yang dibangkitkan dengan sumber energi fosil. Di samping itu kebanyakan tenaga kerja manusia terdidik belum siap, secara sosial maupun kebudayaan, untuk memangku tugas baru (Herskovitz, 19…). Hasil penelitian Galtung (1976) di beberapa negara Asia dan Afrika menunjukkan bahwa kegagalan pengambilalihan teknologi modern itu bukan karena kurangnya tenaga kerja terampil dan ahli, melainkan karena tidak sesuainya sikap mental mereka menghadapi pekerjaan baru. Kurang sesuainya sikap mental pekerja itu karena pengaruh kebudayaan yang mereka hayati sebagai kerangka acuan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan selama ini. Hasil penelitian itu, akhirnya menyimpulkan bahwa kurangnya kesiapan sosial san kebudayaan masyarakat yang bersangkutan yang mengakibatkan kegagalan pangambil alihan teknologi modern secara mulus. Hal yang sama, sesungguhnya dihadapi masyarakat Indonesia dalam pembangunan nasional yang menerapkan teknologi modern tanpa memperhatikan faktor sosial dan kebudayaan dalam masyarakat yang majemuk.
Ahli-ahli menciptakan lapangan kerja baru, pembangunan industri yang ditopang dengan penerapan teknologi modern, justru menghasilkan lebih banyak pengangguran murni maupun terselubung. Penggusuran penduduk pedesaan ataupun perkotaan yang lahannya diperlukan untuk pembangunan, telah memisahkan mereka dari sumber penghidupan yang selama ini mereka tekuni, sementara lapangan kerja baru yang sesuai dengan kemampuan sosial dan kebudayaan mereka sangat terbatas. Kenyataan ini, bersama dengan menyusutnya sumber daya dan mutu lingkungan hidup yang sehat, telah memicu terjadinya keberingasan sosial atau gejala “amuk massa” yang semakin sulit dikendalikan.
Perebutan sumber daya dang lingkungan yang sehat dewasa ini terbatas antara mereka yang mempunyai serba keunggulan dengan yang kurang beruntung (vetical social conflict). Untuk menghimpun kekuatan, mereka cenderung membangkitkan kesetiakawanan sosial dengan mangaktifkan simbol-simbol primordial terutama kesukubangsaan.
Berdasarkan uraian tersebut, timbul pertanyaan: “Pembangunan untuk siapa”, kalau pembangunan itu gagal memicu segenap penduduk untuk mengambil bagian secara menguntungkan?
Kegagalan pembangunan nasional untuk memicu segenap masyarakat mengambil bagian dalam perjuangan untuk mempertahankan keutuhan wilayah negara kesatuan dan kedaulatan bangsa yang merdeka dengan mewujudkan kemerdekaan penuh, pengembangan pemerintahan yang efektif dan kemandirian kebudayaan, kerena dalam perencanaan dan pelaksanaannya tidak memperhatikan kesiapan masyarakat Indonesia yang majemuk dengan keanekaragaman kebudayaannya. Sesungguhnya model pembangunan apapun yang pada hakekatnya merupakan kekuatan pembaharuan menuntut pemahaman kondisi sosial dan kebudayaan masyarakat disamping lingkungan hidupnya. Tuntutan pemahaman sosial dan kebudayaan itu bertambah mendesak, kalau diingat bahwa bangsa Indonesia itu merupakan masyarakat majemuk dengan anekaragam kebudayaan yang dikembangkannya. Kerena itu, selain pilihan model pembangunan, perencanaan dan pelaksanaannya harus memperhatikan minat dan kebutuhan masyarakat (society oriented definition problem), di samping potensi lingkungan hidup yang mereka kuasai.
Berbagai program pembangunan nasional yang telah lalu menunjukkan penyeragaman (single path of development) yang mengutamakan pinsip efisiensi dan produktivitas tanpa memperhatikan minat, kebutuhan dan kemampuan masyarakat Indonesia yang majemuk dan tersebar di daerah-daerah. Akibatnya dapat disaksikan betapa selama proses pembangunan, kesenjangan kesejahteraan antar daerah semakin meningkat. Tidaklah mengherankan kalau kenyataan tersebut telah menimbulkan kecemburuan sosial yang menjurus ke arah perpecahan. Kesenjangan kesejahteraan itu tidak hanya berlaku antar daerah, melainkan juga intra daerah sehingga memperkuat kecemburuan sosial antara mereka yang diuntungkan oleh pembangunan dengan mereka yang kurang beruntung. Kenyataan tersebut membuktikan betapa pentingnya penegakan keadilan sosial, di samping penataan demokrasi dan kebebasan budaya untuk memberdayakan masyarakat agar dapat mengambil bagian dalam pembangunan secara menguntungkan.
Otonomi daerah, diharapkan dapat memperkecil kesenjangan kesejahteraan umum antar daerah maupun intra daerah, karena keleluasaan untuk memperhatikan minat, kebutuhan dan kemampuan masyarakat yang akan berpartisipasi. Akan tetapi kalau otonomisasi itu tidak disertai dengan penegakan keadilan sosial, penataan demokrasi politik maupun kebebasan budaya, niscaya akhirnya hanya akan memindahkan kesenjangan yang semakin tajam ke daerah masing-masing. Keleluasaan daerah untuk mengelola potensi sumber daya dan meretribusikannya demi kesejahteraan umum, memerlukan pengenadalian sosial yang pada gilirannya menuntut pemberdayaan masyarakat yang bersangkutan. Oleh karena itu ketiga persyaratan keadilan sosial, demokrasi politik dan kebebasan budaya sangat diperlukan untuk menciptakan iklim yang mendukung pengembangan kreativitas mereka dalam pembangunan daerah masing-masing. Tanpa ketiga persyaratan tersebut, tidak mustahil akan timbul masalah-masalah sosial, ekonomi dan politik baru, antara lain meningkatnya mobilitas penduduk yang mencari kesejahteraan di daerah yang lebih menjanjikan serta meningkatnya intensitas pengurasan sumber daya secara besar-besaran. Kecenderungan terakhir itu justru telah mulai menunjukkan gejalanya, karena masyarakat dan pemerintah tidak dapat melihat pilihan lain kecuali meningkatkan intensitas pengolahan sumber daya yang mereka kuasai. Persaingan dalam memperebutkan sumber daya dan lingkungan yang semakin menyusut persediaan dan mutunya itu (environmental scarity) itu pada gilirannya akan memicu keberingasan sosial antar daerah yang tidak mudah dikendalikan. Pada gilirannya, otonomisasi pemerintahan tanpa kesiapan itu akan menjadi masalah nasional yang menuntut penanggulangan yang jauh lebih berat daripada meluruskan kembali sistem pemerintahan yang telah ada dengan ketiga persyaratan, yaitu penegakan keadilan sosial, penataan demokrasi dan kebebasan budaya untuk memberdayakan masyarakat Indonesia yang majemuk dengan menghormati keanekaragaman kebudayaan mereka.