Sunday 29 June 2008

STRUKTUR SOSIAL, AGAMA, dan UPACARA

STRUKTUR SOSIAL, AGAMA, dan UPACARA:
Geertz, Hertz, Cunningham, Turner, dan Levi-Strauss
PARSUDI SUPARLAN
UNIVERSITAS INDONESIA



PENDAHULUAN
Struktur sosial sebagai suatu tujuan pendefinisian dan alat operasional telah merupakan sebagian dari sejumlah perhatian utama antropologi. Bahkan ada sejumlah tokoh antropologi yang menganggap bahwa struktur sosial adalah satu-satunya perhatian utama dalam antropologi, sehingga menjadikannya sebagai suatu kekuatan pendorong bagi pembentukan teori-teori dalam antropologi.

Dalam kenyataannya para ahli antropologi telah dihadapkan pada suatu tantangan, yaitu memberikan penjelasan mengenai berbagai konsep yang nampaknya samar-samar tetapi selalu ada dalam setiap sistem sosial dan kebudayaan, dan bahkan juga terwujud dalam berbagai kegiatan manusia pada tingkat kenyataan sosial. Oleh para ahli antropologi, sistem-sistem konseptual yang ada pada berbagai aneka ragam kehidupan manusia dilihat sebagai perwujudan dari prinsip-prinsip struktur sosial; dan karenanya maka hasil pengkajian mereka itu menjadi sistem-sistem konseptual dari para ahli antropologi.

Dalam tulisan ini akan saya coba untuk mengkaji sistem konseptual mengenai struktur sosial dalam kaitannya dengan agama dan dengan upacara; yaitu dengan cara membahas cara-cara yang telah dilakukan secara berbeda oleh sejumlah ahli antropologi dalam melihat hubungan fungsional antara struktur sosial, agama, dan upacara; dan dalam cara mereka melihat hubungan antara struktur sosial dengan kenyataan sosial. Uraian akan mencakup pembahasan mengenai: (1) agama sebagai sistem kebudayaan; (2) kebudayaan sebagai sistem struktur; (3) struktur sebagai sistem antropologi; dan (4) kesimpulan.

AGAMA SEBAGAI SISTEM KEBUDAYAAN

Karya-karya Clifford Geertz mengenai agama, kebudayaan, dan upacara, memperlihatkan suatu perspektif tersendiri berkenaan dengan pengkajian antropologi mengenai sistem-sistem kognitif dan simbolik. Bagi Geertz, agama merupakan bagian dari suatu sistem kebudayaan yang lebih meresap dan menyebar luas, dan bersamaan dengan itu kedudukannya berada dalam suatu hubungan dengan dan untuk menciptakan serta mengembangkan keteraturan kebudayaan; dan bersamaan dengan itu agama juga mencerminkan keteraturan tersebut. Seperti dikatakannya (1973:90):

Agama adalah suatu sistem simbol yang bertindak untuk memantapkan perasaan-perasaan (moods) dan motivasi-motivasi secara kuat, menyeluruh, dan bertahan lama pada diri manusia, dengan cara memformulasikan konsepsi-konsepsi mengenai hukum/keteraturan (order), dan menyelimuti konsepsi-konsepsi tersebut dengan suatu aturan tertentu yang mencerminkan kenyataan, sehingga perasaan-perasaan dan motivasi-motivasi tersebut, nampaknya secara tersendiri (unik) adalah nyata ada.

Walaupun pemikiran agama dikatakannya sebagai tidak semata- mata menstrukturkan kebudayaan, tetapi agama juga dilihat sebagai pedoman bagi ketepatan dari kebudayaan; suatu pedoman yang beroperasi melalui sistem-sistem simbol pada tingkat emosional, kognitif, subyektif, dan individual. Menurut Geertz (1973:89): Kebudayaan adalah pola dari pengertian-pengertian atau makna yang terjalin secara menyeluruh dalam simbol-simbol yang ditransmisikan secara historis, suatu sistem mengenai konsepsi-konsepsi yang diwariskan dalam bentuk-bentuk simbolik yang dengan cara tersebut manusia berkomunikasi, melestarikan, dan mengembangkan pengetahuan dan sikap mereka terhadap kehidupan.

Pentingnya bentuk simbolik selalu diulang-ulang penekanannya dalam tulisan Geertz, dan diusahakannya untuk ditunjukkan sebagai suatu cara yang dengan cara tersebut kenyataan-kenyataan sosial dan kejiwaan diberi suatu "bentuk konseptual yang obyektif" (1973:93). Simbol-simbol adalah garis-garis penghubung antara pemikiran manusia dengan kenyataan yang ada di luar, yang dengan mana pemikiran harus selalu berhubungan atau berhadapan; dan yang dalam hal ini pemikiran manusia dapat dilihat sebagai "suatu bentuk sistem lalu lintas dalam bentuk simbol-simbol yang signifikan" (1973:362). Dengan demikian sumber dari simbol-simbol itu pada hakekatnya ada dua, yaitu: (1) Yang berasal dari kenyataan luar yang terwujud sebagai kenyataan-kenyataan sosial dan ekonomi; dan (2) Yang berasal dari dalam dan yang terwujud melalui konsepsi-konsepsi dan struktur-struktur sosial. Dalam hal ini simbol-simbol menjadi dasar bagi perwujudan model dari dan model bagi dari sistem-sistem konsep dalma suatu cara yang sama dengan bagaimana agama mencerminkan dan mewujudkan bentuk-bentuk sistem sosial.

Sistem kebudayaan dan sistem konsepsi dengan demikian dilihat sebagai mempunyai persamaan struktur-struktur dinamik dan begitu juga mempunyai persamaan dalam hal asal mulanya yaitu dalam bentuk-bentuk simbolik. Peranan dari upacara (ritual) menurut Geertz, adalah untuk mempersatukan dua sistem yang paralel dan berbeda tingkat hierarkinya ini dengan menempatkannya pada hubungan-hubungan formatif dan reflektif antara yang satu dengan yang lainnya dalam suatu cara sebagaimana masing-masing itu dihubungkan dengan asal mula simboliknya dan asal mual ekspresinya. Bentuk-bentuk kesenian dan begitu juga dengan upacara, adalah sama keadaannya dengan perwujudan-perwujudan simbolik lainnya, yaitu "mendorong untuk menghasilkan secara berulang dan terus menerus mengenai hal-hal yang amat subyektif dan yang secara buatan dan polesan dipamerkan" (1973:451).

Dengan demikian, sebagai suatu keseluruhan, upacara mempunyai kedudukan sebagai perantara simbolik, atau mungkin lebih tepat kalau disebut sebagai perantara metafor, dalam kaitannya dengan kebudayaan dan pemikiran subyektif yang memungkinkan bagi keduanya (yaitu upacara dan kebudayaan) untuk dapat saling bertukar tempat dan peranan. Kesanggupan dari upacara untuk bertindak dan berfungsi seperti ini, yaitu menterjemahkan tingkat-tingkat lainnya yang lebih tinggi sehingga membuat manusia menjadi sadar dengan melalui pancaindera serta perasaannya, dan mewujudkan adanya kesamaan dalam ke-seia-sekataan yang struktural dalam bentuk simbolik, adalah sebenarnya merupakan dasar utama dari pemikiran manusia. Seperti dikatakan oleh Geertz (1973:94): "Dapatnya saling tukar menukar tempat dan peranan dari model bagi dan model dari yang dalam mana formulasi simbolik dapat dilakukan adalah ciri-ciri khusus dari mental kita sebagai manusia".

Dengan demikian, bila untuk Geertz kebudayaan adalah "seperangkat teks-teks simbolik" (1973:452), maka kesanggupan manusia untuk membaca teks-teks tersebut dipedomani oleh dan dalam struktur-struktur upacara yang bersifat metafor, kognitif, dan penuh dengan muatan emosi dan perasaan. Agama dan upacara adalah dua satuan yang secara bersamaan merupakan sumber dan model keteraturan sosial (social order).
Secara keseluruhan terdapat suatu kesan bahwa model dari Geertz tersebut melingkar-lingkar dan selalu berulang disana-sini. Nampaknya hal ini disebabkan oleh: (1) Bahwa pembahasan mengenai masalah tersebut memang seharusnya dilakukan demikian, yaitu bahwa sistem sosial adalah "aliran bersama yang terdiri atas dua arus atau lebih yang masing-masing menciptakan integrasi-integrasi yang bersifat sebagian atau mencakup hanya bidang-bidang tertentu saja; yang secara keseluruhan terdiri atas: a) bagian-bagian yang terlepas satu sama lainnya, dan b) bagian-bagian yang saling berkaitan serta tergantung satu sama lainnya" (1973:408); dan bahwa kesemuanya itu "tidak harus berada dalam suatu keadaan yang secara menyeluruh dan mendalam saling berkaitan satu sama lainnya menjadi sistem-sistem" (1973:407); dan (2) Bahwa model-model dari Geertz bersifat fleksibel, ilusif, dan jauh dari sistem yang terstruktur secara kaku. Karena menurut Geertz, "ide-ide memberikan informasi kepada..........hubungan-hubungan politik, ekonomi, dan sosial di antara kelompok-kelompok dan individu-individu [yaitu struktur sosial]" (1973:362).

Walaupun Geertz bukanlah seorang strukturalis dalam arti yang sesungguhnya dari pengertian tersebut, tetapi banyak ide-ide tergolong sebagai strukturalis. Sesungguhnya karya Geertz memang amat besar artinya sebagai pegangan untuk orientasi mengenai hakekat hubungan-hubungan yang bersifat umum dan mendasar. Penting juga dinyatakan dalam uraian pembahasan ini bahwa sumbangan pikiran Geertz yang berupa pendekatan "emosional" mempunyai fleksibilitas yang lebih besar dalam hal informasi dan konsep teoritis, sehingga telah lebih banyak menghasilkan berbagai rumusan bila dibandingkan dengan yang telah dicapai oleh para strukturalis lainnya; dan akhirnya dapat pula dikatakan bahwa penggunaan dari "tujuan-tujuan emosi dan kognitif" (Geertz, 1973:449) dari studinya adalah juga merupakan salah satu ciri-ciri sosial yang ada dalam upacara yang ditunjukkannya.

KEBUDAYAAN SEBAGAI SISTEM DAN STRUKTUR

Dalam perbandingannya dengan analisa kebudayaan dari Geertz, studi-studi mengenai organisasi sosia yang telah dilakukan oleh para strukturalis mempunyai ciri yang lebih kaku sifatnya; yang terwujud sebagai pendekatan rumus-rumus atau formula terhadap sistem-sistem hubungan dan konseptual yang dipunyai oleh manusia. Sesungguhnya, dengan menggunakan pendekatan struktural ini para ahli antropologi lebih mudah untuk mendekati sistem-sistem hubungan tersebut dalam usaha mereka untuk dapat memahaminya, dan menghindarkan mereka dari berbagai masalah seperti yang telah dihadapi oleh Geertz sebagaimana terwujud dalam abstraksi-abstraksinya yang mungkin dapat membingungkan seperti yang telah disebutkan dalam uraian terdahulu.

Kemudahan ini telah juga menyebabkan terwujudnya suatu kondisi yang mestimulasi para ahli antropologi untuk dengan mudah terlibat dalam manipulasi data yang mencakup pengungkapan konsepsi-konsepsi dari dan mengenai gejala-gejala sistematik yang ditelitinya untuk saling dihubungkan dalam struktur-struktur. Dengan kata lain, dan dengan menggunakan istilah dari Geertz, ide-ide yang memberi informasi mengenai struktur sosial menjadi bersifat antropologi karena telah dimanipulasi oleh ahli antropologi dan bukannya mengenai yang sebenarnya menjadi milik dari masyarakat setempat yang memang mempunyai struktur sosial tersebut. Walaupun demikian, strukturalisme tidak selalu dipandang sebagai suatu teori mengenai seperangkat manipulasi yang telah dilakukan pada berbagai tingkat yang berbeda. Tingkat-tingkat pendekatan struktural dibedakan oleh: (1) tingkat kapasitas transformatif dan dinamik dari para ahli antropologi yang kemudian ditransmisikan pada kebudayaan yang dikajinya; dan (2) Tingkat dimana model struktural berkorelasi dan memberi tanggap atas hubungan-hubungan sosial dan ekonomi.

Pembahasan mengenai model-model struktural berikut ini akan mencakup: (1) model struktural yang statis; dan (2) model struktural yang bersifat transformatif dan tiga dimensi. Dalam pembahasan mengenai dua tipe model ini, penekanan akan diberikan pada pembahasan mengenai empat pokok masalah: a) penggunaan simbol; b) struktur dari mediasi; c) implikasi terhadap struktur-struktur konseptual yang dipunyai manusia; dan d) kesanggupan untuk mengakomodasi perubahan dalam sistem sosial.

Model Struktural yang Statis.

Model ini terwujud berdasarkan atas prinsip dualisme atau oposisi binari, dan tetap menjadi landasan kekuatan bagi teori struktural yang lebih mutakhir dan maju walaupun model ini telah dibuktikan ketidak sempurnaannya melalui berbagai contoh yang telah diperlihatkan. Landasan pokok dari pendekatan ini adalah bahwa proses-proses pemikiran manusia didefinisikan berdasarkan atas adanya lawan dari sesuatu yang dipikirkan, dan karena itu juga maka organisasi sosial manusia pada dasarnya bersifat dualistik.

Tulisan Hertz (1909) mengenai keuniversalan dari "kiri" dan "kanan" sebagai sistem-sistem keteraturan, merupakan suatu kerangka dasar dari pendekatan ini. Bagi Hertz, struktur-struktur yang bersifat dualistik itu mempunyai asal mulanya pada sifat asimetrik dari organisme tubuh manusia (yaitu "kiri" sebagai lawan dari "kanan"), yang mana sebagai akibat dan kelanjutannya telah dijadikan sebagai replika dalam model pemisahan oleh Durkheim antara yang konseptual dan yang sosial dan antara suci (sacred) dan yang duniawi (profane). Menurut Hertz (1908:8), "dualisme merupakan sesuatu yang mendasar dan penting dalam pemikiran orang-orang primitif, dan mendominasi organisasi sosial", dan bahkan sebenarnya juga terdapat dalam masyarakat modern sebagai hasil dari perkembangan evolusi manusia. Sesungguhnya, "seluruh alam semesta ini terbagi dalam dua bidang atau bagian" (Hertz, 1909:19).

Dalam model Hertz tersebut, upacara dan agama, dan dengan demikian juga mitos (yang dalam konteks pembahasan ini dilihat sebagai agama), bertindak sebagai alat untuk memperketat struktur sosial dengan melalui pengulangan-pengulangan yang terus menerus berkenaan dengan kategori-kategori yang secara konseptual amat mendasar, yaitu: "kiri" lawannya "kanan", pria lawannya wanita, suci lawannya duniawi, kita lawannya mereka, dan sebagainya. Dengan demikian, hubungan antara upacara dan agama di satu pihak dengan organisasi sosial di lain pihak adalah merupakan hubungan yang langsung. Peranan simbol adalah untuk mewujudkan atau mengekspresikan hubungan-hubungan yang ada, dan bukannya untuk menghubungkan hubungan-hubungan ini dengan kehidupan manusia secara konseptual berikut segala implikasinya.

Model yang kaku dari Hertz yang telah ditunjukkan tersebut diatas mempunyai dua potensi yang dapat membahayakan. Pertama, metode pengamatan yang paling sederhana dan kasar yang dapat dengan mudah digunakan untuk mengumpulkan data mempunyai potensi atau kecenderungan untuk dengan mudah dapat dimanipulasi guna memperoleh data pembuktian model oposisi binari; dan kedua, kekurangan dalam hal adanya suatu proses dinamik mengenai hubungan-hubungan di antara satuan-satuan yang bertentangan, menyebabkan bahwa penyajian dari hasil studi struktural model ini hanya berupa keseragaman-keseragaman gejala-gejala kebudayaan dan hanya secara samar-samar memperlihatkan korelasinya dengan kekhususan- kekhususan kehidupan sosial dan ekonomi. Dengan demikian, maka kontrol yang bersifat manipulatif amat penting bagi para ahli antropologi penganut strukturalisme ini dalam hal sistem-sistem konseptual yang mereka kembangkan.

Sesungguhnya, agak terlalu mudah untuk mengkategorikan semua sistem-sistem simbolik dalam dua kategori atau dua bagian saja, karena dengan demikian maka juga dengan cara ini struktur-struktur transformatif yang bersifat vertikal dan mempersatukan berbagai tingkat hierarki struktur sosial dan simbolik menjadi ditiadakan atau diabaikan begitu saja. Definisi yang hanya bersifat satu atau tunggal ini dalam ruang lingkup analitiknya dapat dibandingkan dengan cara melihat perbedaan antara teori-teori berkenaan keturunan (descent) dan dengan pengelompokkan kekerabatan (alliance). Teori-teori yang dikembangkan berkenaan dengan keturunan adalah bersifat statis, sedangkan proses dinamik yang mempersatukan struktur-struktur paralel di antara noktah-noktah yang tercakup dalam teori-teori mengenai keturunan tersebut diatas dapat tercakup dalam teori-teori yang berkenaan dengan pengelompokkan kekerabatan.

Perspekstif-perspektif yang lebih mutakhir mengenai sistem agama atau sistem upacara simbolik telah berusaha untuk mengatasi masalah yang dihadapi oleh model struktural yang statis sifatnya ini, yaitu dengan cara menggunakan berbagai mediasi atau penghubung. Dua buah pendekatan yang telah digunakan bagi dua bidang perwujudan struktur sosial yang berbeda telah dilakukan oleh Cunningham dan Victor Turner.

Landasan dasar dari tesis Cunningham adalah bahwa struktur rumah dengan berbagai bagiannya yang nyata dan yang simbolik dan berikut dengan sistem pembagian ruang yang ada didalamnya, sebenarnya mewujudkan dan mewakili suatu model kosmos orang Atoni, di Timor. Melalui data etnografinya diperlihatkan oleh Cunningham akan adanya pertentangan binari dalam rumah. Tetapi yang telah dilakukan oleh Cunningham adalah lebih dari dari pada apa yang telah dilakukan oleh Hertz yang hanya terkungkung oleh pembatasan pertentangan binari, yaitu dengan cara menggambarkan bahwa rumah itu sendiri adalah semacam simbol penghubung yang melayani pengintegrasian model-model pengklasifikasian supranatural dengan kegiatan-kegiatan sehari-hari pada orang Atoni baik pria maupun wanita melalui struktur simbolik yang ada. Dengan cara mendefinisikan bidang-bidang kegiatan yang bersifat pertentangan antara pria dan wanita dan antara yang keluarga dan yang bukan keluarga, struktur rumah orang Atoni yang mencakup pembedaan-pembedaan sosial di dalamnya tersebut berada dalam suatu sistem yang lebih luas dan bersifat simbolik; yaitu kosmos atau alam semesta.

Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa Cunningham memandang simbol sebagai perwujudan penyatuan atau ekspresi-ekspresi penyatuan yang bersifat integratif dimana kegiatan-kegiatan sekuler atau sehari-hari merupakan kelanjutan dari dan berkaitan dengan pengertian-pengertian kosmos atau alam semesta. Walaupun simbol-simbol itu dihubungkan dengan kategori-kategori yang bersifat binari secara khusus, tetapi simbol-simbol itu berada diatas dari perwujudannya yang secara analogi telah dilakukan dengan secara langsung sebagaimana yang terdapat dalam modelnya Hertz; yaitu dengan cara menyajikan secara aktif dalam hal menghubungkan tingkat-tingkat struktural yang konseptual sifatnya.

Lebih lanjut, menurut Cunningham, simbol-simbol tertentu yaitu wanita-wanita dalam konteks-konteks tertentu berfungsi untuk menghubungkan kategori-kategori yang berbeda yang ada dalam bidang yang satu saja. Jadi, mediasi atau penghubungan antara satuan-satuan kosmos dengan satuan-satuan sekuler (seluruh rumah, bagian-bagian dan sudut-sudut rumah), menurut Cunningham selalu harus melalui model-model pengklasifikasian yang berlaku. Dengan cara membatasi analisa mengenai struktur-struktur simbolik hanya pada tingkat pengklasifikasian saja, nampak bahwa Cunningham telah mengabaikan arti penting dari proses dan perwujudannya; sebagaimana dinyatakannya (1972:134): "yang penting adalah prinsip-prinsip pengkategoriasasiannya dan bukannya ekspresinya".

Dengan cara hanya membatasi dan mengungkung simbol-simbol penghubung pada model-model klasifikasi saja maka transformasi yang dinamik dari konseptualisasi kebudayaan yang menciptakan dan mengaktifkan sistem-sistem simbol menjadi ditentang atau hanya diberi peranan kecil saja. Dengan demikian maka konsep Geertz yang menyatakan bahwa "ide" adalah yang memberi informasi telah diabaikan dalam model mediasi dan model pertentangan tersebut, sehingga mediasi di antara tingkat-tingkat struktur sosial yang berbeda tetap bersifat statis. Model yang seperti ini mempunyai kapasitas yang terbatas bila akan digunakan untuk melihat kaitan antara klasifikasi simbolik dengan kenyataan-kenyataan sosial, kemanusiaan, dan ekonomi; dan kaitan antara perubahan-perubahan kebudayaan dengan klasifikasi simbolik yang memberi informasi kepada dan menjadi sumber bagi berbagai perubahan dalam kehidupan yang nyata.

Yang telah dilakukan oleh Victor Turner dalam melihat simbolisme dalam upacara dan agama telah memecahkan beberapa masalah yang dihadapi oleh Cunningham seperti diuraikan tersebut diatas; tetapi secara bersamaan telah juga menciptakan sejumlah masalah baru. Di antara sejumlah analisa Turner mengenai struktur upacara dan isi simboliknya yang akan dikaji adalah yang berkenaan dengan: (1) sistem dualisme dan triadisme; (2) dasar fisiologi dari simbol; dan (3) liminalitas sebagai suatu konsep yang bersifat akomodatif untuk transformasi.
Pada hakekatnya simbo-simbol itu dilihat oleh Turner sebagai bersifat dualistik, tetapi "setiap bentuk dualisme diisi dengan suatu model klasifikasi yang lebih luas lagi" (1967:54). Konteks dari tempat atau kedudukan dari simbol dalam upacara menetukan corak hubungannya secara konseptual dengan sistem simbolik dari upacara itu sendiri sebagai suatu keseluruhan. Jadi, seperti ditunjukkan dalam contoh yang dibahas dalam uraiannya, warna merah sebagai warna penghubung antara warna hitam dan warna putih sebenarnya merupakan suatu sistem dualisme dalam sistemnya sendiri. Dalam kenyataannya, warna putih dan warna hitam sebagai dua puncak warna yang paling bertentangan, tetapi sebagai suatu sistem binari dipertentangkan dengan warna merah sebagai dua satuan yang berbeda atau bertentangan karena warna merah bersifat ambivalen; jadi dapat berfungsi sebagai penghubung karena sifatnya sebagai simbol yang berciri ganda atau banci.

"Dalam abstraksi-abstraksi dari situasi-situasi yang nyata, warna merah mempunyai kwalitas yang sama dengan warna putih dan hitam, tetapi dalam konteks-konteks tindakan maka warna merah biasanya selalu berpasangan dengan warna putih" (1967:74), dan keduanya secara bersama-sama dengan demikian menjadi lawan dari warna hitam yang menjadi penting artinya secara konseptual karena ketidak-hadirannya. Jadi menurut Turner, sistem tersebut bersifat triadik atau segitiga dan bersifat fleksibel menurut konteksnya. Secara konseptual simbol-simbol dilihat melalui posisinya dalam struktur triadik, dan karenanya dapat dimanipulasi melalui ketidak-hadirannya dan melalui sifat ambivalensi atau kebanciannya, yang ada dan yang memang menjadi sifat hakekatnya, ke arah simbol-simbol lainnya yang berada di sekelilingnya.
Menurut Turner, hakekat bentuk simbolik yang mendasar dan kuat serta tersebar luas dalam kehidupan manusia adalah karena simbol-simbol itu bersumber pada hakekat asal mula manusia itu sendiri yang dinamakannya sebagai dan berasal dari dalam "pengalaman biologi yang primordial" (1967:90). Organisme tubuh manusia yang bersama-sama dengan "pengalamannya yang penting serta penuh dengan makna" (1967:90) itu berfungsi sebagai semacam pola yang digunakan untuk menciptkan sesuatu secara simbolik" (1967:107) bagi kepentingan untuk mengkomunikasikan isi upacara. Dibalik kesemuannya ini maka yang paling mendasar dari hakekat primordial dan kemanusiaan itu adalah sistem-sistem klasifikasi, dan yang secara simbolik telah diperluas cakupan-cakupannya; seperti yang dikatakannya: "Tidak hanya tiga warna yang mempunyai arti sebagai pengalaman-pengalaman manusia yang mendasar yang berasal dari tubuhnya......ketiganya juga berfungsi sebagai semacam klasifikasi primordial mengenai kenyataan.....Organisme manusia dan pengalaman-pengalaman yang penuh dengan makna adalah sumber asal dari semua klasifikasi" (1967:90).

Simbol-simbol dan struktur-struktur upacara dengan demikian berfungsi sebagai jembatan untuk mengantarai satuan-satuan kenyataan-kenyataan yang ada dan berbeda-beda dari pengalaman manusia. Hal ini dapat mungkin terjadi karena kedudukan manusia sebagai makhluk hewan yang tertinggi tingkatan kedudukannya dan karena ke-universalan dari motif-motif dan dasar-dasar kognitif yang dipunyai oleh manusia.

Simbol-simbol dan struktur-struktur upacara yang berfungsi untuk menghubungkan kenyataan-kenyataan yang dihadapi dan pengalaman-pengalaman yang dipunyai oleh manusia dengan bentuk-bentuk hubungan simbolik dan upacara yang secara khusus berlandaskan pada kebudayaan dan kehidupan sosial dan ekonomi; yang dengan demikian meletakkan suatu kategori yang lebih komprehensip ke dalam suatu konsensus primordial. Tubuh manusia sebagai suatu hasil konstruksi hubungan-hubungan di antara organ-organnya, secara konseptual dapat dilihat sebagai jembatan penghubung antara bentuk upacara dengan simbolisme, dan dengan kategori-kategori sosial secara struktural.

Sumbangan utama dari Victor Turner terletak pada usaha pemahaman ekspresi agama yang berupa konsep mengenai proses yang ada dalam upacara. Konsepnya mengenai liminalitas sebagai suatu jembatan penghubung; yaitu yang tidak berstruktur, bersifat transisi, dan merupakan suatu tingkat atau fase tanpa klasifikasi bagi yang diinisiasi, merupakan pencerminan dari pandangannya mengenai upacara dan agama sebagai suatu sistem yang bersifat formatif dan reflektif. Dengan melalui fase liminalitas, upacara mendasari suatu proses transformasi dan yang secara bersamaan mengabsahkan kembali (to reaffirm) kategori-kategori lama yang bersifat struktural dan yang sementara itu juga berfungsi sebagai "pusat kekuatan pendorong bagi berbagai kegiatan" (1974:273) bagi penciptaan bentuk-bentuk baru dari konsep-konsep yang bersifat struktural.

Simbol-simbol yang ada dan yang berlaku selama waktu liminal berasal dari konsep-konsep pendidikan yang kemudian dipisahkan dari kategori-kategori yang terstruktur yang biasanya menyelimuti dan mendefinisikan simbol-simbol tersebut. Konteks yang baru dari simbol-simbol ini adalah "mengajarkan kepada para inisiandus mengenai lingkungan kebudayaan mereka dan memberikan kepada mereka kerangka sandaran yang paling hakiki untuk memahaminya" (1967:108), yaitu mengenai peranan mereka yang baru dalam struktur sosial tersebut. Konsepsi-konsepsi simbolik yang dipunyai oleh individu dengan demikian dirubah referensi dan orientasinya menjadi bersifat kebersamaan dengan melalui proses-proses yang ada dalam berbagai upacara lingkaran hidup yang mendefinisikan dirinya sebagai makhluk sosial.

Dengan demikian, hubungan antara upacara dengan struktur sosial terletak pada kesanggupan dari upacara untuk dapat menempatkan dirinya diatas kedudukan satuan struktur sosial dengan melalui fase liminal atau fase anti-struktural. Sehingga, hubungan antara upacara dengan struktur sosial tersebut memungkinkan bagi dapat tetap hidup dan menyerapnya upacara tersebut dalam berbagai kegiatan sekuler yang terstruktur yang terletak di luar konteks upacara itu sendiri. Dalam hal ini upacara berperan sebagai pedoman bagi semua fase-fase dan semua aspek-aspek pengalaman kebudayaan dengan melalui berbagai bentuk proses yang dilalui oleh setiap individu. Dengan kata lain, upacara adalah juga suatu sumber bagi penciptaan ide-ide baru yang didorong untuk dihidupkan pada masa liminal, maupun sebagai sumber bagi terwujudnya status quo dalam pelaksanaannya. Manusia "berkembang melalui anti-struktur atau liminalitas dan dilestarikan melalui struktur" (1974:298).

Ada beberapa masalah yang harus dihadapi dan dipikirkan dengan sungguh-sungguh berkenaan dengan model yang telah diajukan oleh Victor Turner tersebut. Masalah-masalah tersebut adalah: (1) Bentuk simbolik yang berlandaskan pada dasar primordial yang nampaknya sukar untuk diterima karena hal itu hanya meninggalkan ruang yang amat kecil bagi adanya kekhususan ekspresi-ekspresi kebudayaan yang bersumber atau berlandaskan pada kenyataan-kenyataan sosial dan ekonomi yang ada setempat, dan juga yang khususnya berkenaan dengan berbagai konsep sosial dan ekonomi warga masyarakat setempat yang diselimuti oleh dan berada dalam cakupan pemikiran keagamaan; (2) Nampaknya juga agak sukar untuk dengan begitu saja menerima pendapatnya bahwa masa liminal dalam struktur upacara adalah bersifat destruktif terhadap struktur tersebut. Karena simbol-simbol yang ada di dalam dan yang digunakan untuk mendefinisikan masa liminal itu terstruktur secara ketat dan harus dilihat dalam kaitannya dengan satuan-satuan struktural lainnya dimana si inisiandus itu berasal dan kemana dia akan kembali lagi ke tempat asalnya tersebut. Hakekat dari masa liminal sebenarnya bersifat reflektif dan formatif, dan hal ini akan nampak lebih jelas bila diekspresikan dengan menggunakan referensi-referensi transformatif yang konkrit yang berasal dari atau yang ada dalam lingkungan struktural yang bersifat non-ritual atau yang bukan upacara; (3) Bila simbol-simbol itu barulah mempunyai makna pada masa liminal (yaitu setelah diisolasi dari sistem klasifikasinya yang bersifat struktural), dan bila inti dari motif pemikiran simbolik itu sifatnya adalah organik dan primordial, maka dalam hal ini sebenarnya Turner telah menyatakan bahwa sumber fungsional dari bentuk simbolik dan pemikiran keagamaan serta tindakan upacara itu berasal dari luar (kalau dilihat dalam kaitannya dengan kategori-kategori dan tingkat-tingkat struktural yang ditransformasikan dan didefinisikannya). Dengan demikian maka Turner melihat bahwa kekuatan-kekuatan yang mendorong dan menciptakan unsur-unsur bagi penciptaan kebudayaan yang memberi keterangan atau informasi secara struktural sebagaimana yang dikatakannya berasal dari luar terhadap struktur itu sendiri, memberi kesan adanya pertentangan dalam konsep- konsepnya. Seharusnya, baik proses mediasi atau perantaraan maupun pendorongan bagi penciptaan dalam struktur-struktur itu secara struktural dan fungsional ada dalam sistem itu sendiri.

Model-model yang telah dibahas tersebut di atas, memperlihatkan adanya berbagai pendekatan terhadap analisa simbolik, upacara, dan agama. Khususnya mengenai Cunningham dan Turner, karya-karya mereka itu berkenaan dengan sistem-sistem pengekspresian kebudayaan sebagai unsur-unsur yang terstruktur; tetapi belum atau tidak meluaskan analisa mereka mengenai konsep-konsep dinamik dan yang mempunyai kekuatan pendorong bagi penciptaan pada bentuk sistemik yang terwujud dalam model-model struktural mereka itu.

Sebagai kesimpulan dapatlah dikatakan bahwa masalah-masalah utama yang nampak berkenaan dengan model-model yang telah dibahas tersebut di atas sebenarnya terletak pada: (1) Kurangnya mediasi atau perantaraan dinamik di antara unsur-unsur yang ada dalam struktur itu sendiri sebagaimana tercermin dalam karya-karya Hertz dan Cunningham; (2) Kegagalan untuk memperhitungkan atau memasukkan konsepsi hakiki, simbolik, dan yang bersifat dialektik dalam suatu cara khusus secara kebudayaan; sebagaimana ditunjukkan dalam karya Turner; (3) Kesukaran dalam memahami perubahan sosial dan ekonomi dengan menggunakan model-model struktural seperti tersebut di atas, dengan perkecualian adalah modelnya Turner yang memasukkan konsep komunitas atau "communitas" (1974:250-251); dan (4) Adanya kontrol manipulasi yang besar dari para ahli antropologi terhadap bahan-bahan keterangan atau materi yang dipunyainya, sebagaimana telah ditunjukkan dalam uraian-uraian yang terdahulu. Disamping itu, dengan konsep-konsep dualisme, triadisme, bahkan juga liminal, menampakkan adanya kecenderungan untuk menggeneralisasi konsep-konsep sebagai bentuk-bentuk klasifikasi yang dapat menjadi suatu bentuk atau corak metodologi yang membahayakan perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri; karena, seseorang dapat misalnya, melihat dan mengkaji pengalaman-pengalaman sosial individu sebagai suatu liminalitas bila dia mau.

STRUKTURAL SEBAGAI SUATU SISTEM ANTROPOLOGI

Analisa secara struktural mengenai pemikiran keagamaan selama ini telah ditekankan pada bentuk-bentuk mitos dan ekspresinya yang terwujud sebagai rangkaian rakitan-rakitan struktur sosial dan proses-prosesnya. Tokoh dari analisa struktural ini adalah Levi-Strauss, yang model-model konseptualnya amat kompleks dan luas; sehingga nampaknya hampir tidak mungkin untuk dapat secara sewajarnya membahas keseluruhan model-modelnya tersebut dalam uraian pembahasan ini. Karena itu, dalam pembahasan ini hanya akan mencakup berbagai masalah yang berkaitan dengan yang telah dibahas seperti tersebut terdahulu.
Levi-Strauss menyatakan bahwa sistem-sistem simbol adalah didasarkan pada adanya pembedaan yang bersifat universal antara alam dan kebudayaan. Pertentangan secara dualistik ini ditunjukkan bukti-buktinya baik secara sinkronik maupun secara diakronik, sebagaimana terwujud dalam prinsip-prinsip statis dari alam dan kebudayaan yang diperantarai oleh suatu prinsip transformasi yang bersifat dualistik; yaitu kalau tidak berasal dari suatu transformasi alamiah maka akan berasal dari suatu transformasi kebudayaan. Hal ini secara amat jelas diperlihatkan contohnya dalam atau dari segitiga kuliner (culinary triangle) (1969), dimana yang mentah menjadi matang dengan menggunakan transformasi kebudayaan atau menjadijadi busuk dengan melalui transformasi alamiah. Simbol-simbol perantara yang bersifat dinamik dalam pengertian terbatas bertindak sebagai kekuatan pendorong yang pada dasarnya sama dengan oposisi binari, yaitu melalui transformasi binari dan dengan demikian keseluruhan sistem tetap tinggal bersifat dualistik yang statis pada kedua sumbunya. Kekuatan yang menyeluruh dari simbol-simbol dan mediasi yang bersifat binari ini dalam struktur mitos adalah suatu refleksi atau pencerminan dari "cara universal dalam mengorganisasi pengalaman sehari-hari" (1972:225) dan berfungsi untuk "menjadikan struktur mitos itu menjadi nampak" (1972:229).

Bentuk struktural dari mitos bercirikan pembedaan-pembedaan yang bersifat dualistik pada unsur-unsurnya tetapi unsur-unsur itu saling berkaitan. Landasan dasar dari mitos adalah seperangkat metafor yang dualistik sifatnya, yang bersamaan dengan itu juga berlanjut pada adanya pendefinisian mengenai mediasi atau perantaraan antara kedua dasar yang dualistik tersebut. Satuan- satuan yang mendasar yang ada dalam struktur mitos adalah kumpulan-kumpulan makna atau pengertian-pengertian, yang disebut sebagai tema-tema mitos, yang mengandaikan satuan-satuan dalam unsur pokoknya dan dilihat dalam dan merupakan bagian-bagian dari suatu satuan yang lebih luas dan kompleks (1972:211).

Dengan demikian pada dasarnya struktur mitos itu bersifat dua-dimensi yang melibatkan transformasi-transformasi baik pada skala vertikal maupun pada skala horizontal di antara komponen-komponen atau unsur-unsurnya yang bersifat dualistik sebagaimana telah ditunjukkan oleh Turner dengan model triadiknya. Struktur mitos memperoleh keabsahan dan corak simboliknya (yaitu sebagai sesuatu yang bebas dari pengertiannya atau artinya yang tertempel pada masing-masing tema mitosnya) pada suatu tingkat ketidak sadaran, oleh karena kesamaannya dengan struktur linguistik seperti yang dikemukakan oleh Saussure (1961). Unsur-unsur dari mitos yang struktural sifatnya adalah universal; dan ke-universalan ini dapat dilihat dengan cara menggeneralisasi dari hasil-hasil studi mengenai variasi-variasi mitos baik yang ada dalam masyarakat yang satu maupun dari berbagai masyarakat yang berbeda-beda kebudayaannya.

"Mitos terdiri atas berbagai versi, yang tercakup di dalamnya: dan ..... sebuah mitos akan tetap sama sebagaimana dahulunya selama mitos itu dirasakan sebagaimana adanya" (1972). Dalam mitos juga selalu terdapat pengulangan-pengulangan; dan fungsi dari pengulangan-pengulangan tersebut (baik tema-tema mitosnya maupun strukturnya yang ada dalam berbagai versi-versinya) adalah untuk membuat keseluruhan dari bingkai struktur mitos tersebut baik secara sinkronik maupun secara diakronik agar nampak jelas; dan dengan melalui dorongan-dorongan kekuatan yang terus menerus ada, menyajikan "suatu model yang logis atau masuk akal yang dapat berfungsi untuk mengatasi kontradiksi-kontradiksi" (1972:229). Kontradiksi-kontradiksi yang ada adalah pada tingkat logika, dan mitos bertindak sebagai perantara untuk mengatasi kontradiksi-kontradiksi ini. "Walaupun pengalaman bertentangan dengan teori mengenai berbagai gejala alamiah, dalam kenyataannya kehidupan sosial mengabsahkan berlakunya kosmologi, yaitu melalui mitos, oleh karena persamaan dalam strukturnya. Oleh karena itu maka kosmologi adalah suatu kebenaran yang sah" (1972:216).

Walaupun terdapat adanya pengulangan dan variasi-varisasi dari struktur mitos tetapi peranan dari mitos seperti tersebut di atas dapat terlaksana dengan cara melakukan penggeneralisasian dari:
"suatu jumlah bingkai yang secara teoritis tidak terbatas.....yang masing-masing agak berbeda antara satu dengan lainnya. Jadi mitos ditumbuhkan atau dikembangkan seperti spiral sampai tercapainya suatu titik kejenuhan intelektual yang menyeluruh sehingga terhenti proses pemproduksiannya. Pertumbuhan merupakan suatu proses yang berlanjut terus menerus, tetapi strukturnya tetap atau tidak berkembang mengikuti pertumbuhan tersebut" (1972:229).
Karenanya, kalau dilihat dari hakekat eksistensinya dan dari struktur arusnya, sehingga mitos adalah suatu perantara antara organisasi sosial sesuatu aggregate individu-individu di satu pihak dengan struktur-struktur sosial dan kosmologi yang melingkupi individu-individu tersebut di pihak lainnya.

Bagi Levi-Strauss, struktur mitos yang tercakup dalam model- model strukturalnya dan struktur mitos dalam konsep-konsep pemikiran manusia adalah sebuah satuan yang satu. Hal ini dikarenakan struktur mitos dilihatnya sebagai berlandaskan pada proses-proses dan pengkategorisasian secara linguistik yang universal dan denn demikian secara analogi kegiatan konseptual manusia adalah bersifat universal.

"Mitos memberi makna yang penting bagi pemikiran manusia yang bersangkutan dengan mitos itu sendiri dengan cara menggunakannyaa dalam kehidupan yang nyata yang dengan demikian pemikiran itu sendiri adalah sebagian dari mitos itu sendiri. Dengan demikian juga terdapat suatu produksi mitos yang berjalan secara simultan, yaitu yang dilakukan oleh pemikiran manusia yang mendorong bagi penciptaan dan penggunaannya dan oleh mitos itu sendiri, mengenai gambaran tentang dunia yang memang telah menjadi sebagian dari dan berada dalam pemikiran manusia" (1966:341).

Menurut Levi-Strauss, struktur-struktur sosial yang terdapat di dalam berbagai masyarakat manusia memperlihatkan adanya persamaan-persamaan dalam hal bentuk struktural dan unsur-unsurnya karena telah didefinisikan, divalidasikan, dan diperantarai oleh proses-proses pemikiran mitologi yang jalin menjalin dan yang ada dalam struktur mental manusia yang bersifat universal. Dengan demikian maka tidak ada kaitan hubungan antara struktur sosial yang berfungsi sebagai perantara bagi individu melalui struktur mitos dengan kenyataan-kenyataan sosial dan ekonomi yang dihadapi secara nyata dalam kehidupan manusia. Konsep-konsep struktural yang universal sifatnya ini menciptakan sistem-sistem yang khusus, sehingga berbagai arus dari luar yang berasal dari lingkungan yang dihadapi atau dari motif-motif sosial dan ekonomi menjadi tercakup dalam kategori-kategori struktural yang deterministik sifatnya. Dalam kaitannya dengan konsep-konsep tersebut di atas, Levi-Strauss mempertanyakan "kenyataan dan otonomi dari konsep kebudayaan" dan menganjurkan untuk memperlakukannya sebagai suatu "fragmen dari kemanusiaan", atau sebuah bagian yang khusus atau yang dinamakannya sebagai "isolate" (1972:35). Dengan kata lain, bagi Levi-Strauss konsep Geertz mengenai kebudayaan sebagai "ide yang memberi informasi" adalah omong kosong yang tidak dapat dipertahankan secara konseptual.

Dalam kepustakaan antropologi, masalah-masalah yang terwujud yang berkaitan dengan modelnya Levi-Strauss telah diperdebatkan secara tidak habis-habisnya; dan tidak sedikit yang menolaknya. Tetapi pendekatannya mengenai struktur mitos dan mitologi telah mempunyai pengaruh yang besar yang tidak mudah untuk dihapuskan begitu saja dari teori-teori yang ada dalam antropologi. Masalah- masalah yang berkenaan dengan modelnya tersebut dan yang memperlihatkan keseluruhan dari "dogma" strukturalisme adalah: (1) Hakekat ke-universalan dari struktur sosial manusia, mitologi, dan proses-proses pemikiran manusia. Metodologi ini secara garis besarnya dapat dibantah seperti bantahan atau bahasan yang telah dikemukakan terhadap model-modelnya Victor Turner. Memang benar bahwa struktur dari pemikiran yang ada dalam otak manusia dan begitu juga proses primordial manusia, pada tingkatnya yang sangat umum, adalah unsur-unsur yang kita punyai sebagai manusia dan bahkan sebagai makhluk hidup. Tetapi kekhususan-kekhususan dari perwujudan kebudayaan dan variasi-variasi dari bentuk-bentuk kehidupan sosial dan masyarakat menuntut adanya suatu perangkat penjelasan yang lebih dinamik sifatnya; bukannya yang kaku. (2) Membatasi gejala-gejala sosial hanya menjadi garis-garis besar yang bersifat umum atau universal dan menolak adanya pengakuan mengenai arus dan sumber dari perubahan sosial hanya akan menuju kepada terwujudnya kontrol manipulatif dari para ahli antropologi terhadap data sosial yang sifatnya adalah setempat dan unik. Nampak bahwa fungsi dari pengulangan sebagaimana yang terdapat dalam model-modelnya Levi-Strauss adalah untuk menolak atau meniadakan kehadiran struktur-struktur yang tidak statis atau yang dinamis dan yang mempunyai corak hubungan sebab-akibat yang ada dalam masyarakat yang dikaji. (3) Pendekatan strukturalnya menampakkan kecenderungannya yang "dogmatik" dan mencerminkan struktur sosial sebagai suatu sistem tertutup yang terbebas dari pengaruh-pengaruh kebudayaan dan kenyataan-kenyataan sosial, ekonomi, dan dari lingkungan hidup.

KESIMPULAN

Dalam tulisan ini telah ada saya coba untuk menunjukkan bagaimana sejumlah ahli antropologi menggunakan cara-cara yang berbeda dalam melihat struktur sosial dalam kaitannya dengan agama dan upacara. Penekanan yang telah diberikan adalah pada hubungan-hubungannya yang dilihat secara konseptual, sehingga model-model mengenai hubungan-hubungan tersebut nampak berbeda-beda di antara ahli-ahli yang berbeda; yang mempunyai implikasi pada tingkat pembahasan yang mereka lakukan serta pada tingkat pengertian yang mereka peroleh dengan menggunakan model-model tersebut, dan yang mewujudkan adanya perbedaan antara yang satu dengan yang lainnya.
Dengan demikian maka juga nampak bahwa masing-masing model tersebut mempunyai relevansi dan validitas yang terbatas sesuai dengan tujuan penggunaannya dalam hal mengkaji hubungan antara struktur sosial di satu pihak dengan agama dan upacara di pihak lainnya. Secara umum dapatlah dikatakan, bahwa masing-masing model yang telah dibahas tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Model-model dari Geertz yang berdasarkan pada model bagi dan model dari, yang berlandaskan pada konsep-konsepnya mengenai sistem-sistem simbol dan ide yang memberi informasi; yang walaupun berbelit-belit tetapi memberikan suatu ketegasan penjelasan mengenai arti kebudayaan dalam kaitannya dengan struktur dan dengan lingkungan yang dihadapi oleh manusia. Geertz menyatakan bahwa studi mengenai agama, mitos dan upacara adalah sebagai jalan untuk memahami bagaimana manusia memahami dan menerima hakekat dari kedudukan dan peranannya dalam kehidupan sosial di masyarakatnya; struktur sosial yang merupakan bagian yang terorganisasi dalam kehidupan mereka menjadi dapat dipahami serta masuk akal secara sewajarnya bagi mereka.

2. Analogi yang berlandaskan pada sistem penggolongan yang dilakukan oleh Hertz dan Cunningham; yang walaupun masing-masing berbeda dalam hal kedalaman dan luasnya cakupan dari model klasifikasi yang digunakan, tetapi pada prinsipnya berlandaskan pada model-model yang sama. Hertz melihat bahwa agama berperan terhadap adanya semacam polarisasi dalam kehidupan sosial dari individu maupun bagi seluruh warga masyarakat yang bersangkutan; yaitu dengan berlandaskan pada sistem klasifikasi yang menjadi dasar dan yang ada dalam agama. Sedangkan Cunningham memperlihatkan adanya suatu keteraturan (order), yaitu suatu sistem yang menjadi pegangan bagi manusia pada waktu mereka mengklasifikasi dunia yang mereka hadapi. Pada waktu pegangan yang berisikan aturan-aturan itu diikuti/ditaati oleh manusia, maka sesungguhnya ide-ide yang terletak dibalik aturan-aturan tersebut secara simbolik telah juga diterima. Upacara adalah tempat bagi perwujudan ketaatan atas aturan-aturan yang diikuti tersebut dalam bentuk berbagai tindakan yang dapat dilihat sebagai simbol dan metafor.

3. Model-model hubungan yang dibuat berdasarkan atas prinsip- prinsip kesadaran kolektif dan primordial yang dilakukan oleh Levi-Strauss dan Victor Turner; yang walaupun mempunyai landasan model-model sendiri yang sesuai dengan perhatian yang dipunyai masing-masing maka juga telah menghasilkan pengertian-pengertian yang berbeda-beda antara yang satu dengan yang lainnya. Turner melihat bahwa upacara berperan untuk membuat individu dapat menjadi cocok dengan masyarakatnya dan membuatnya dapat menerima aturan-aturan yang berlaku. Levi-Strauss melihat struktur sosial bukan sebagai kenyataan yang dapat diamati, tetapi sebagai model bagi kenyataan. Model ini adalah suatu sistem yang mempunyai kesanggupan untuk memprediksi atau meramalkan dan membuat kenyataan dapat menjadi masuk akal dan dipahami. Menurut Levi-Strauss, sebagaimana juga dengan pendahulu-pendahulunya yaitu Durkheim dan Radcliffe-Brown, agama adalah suatu bagian dari struktur sosial. Levi-Strauss percaya bahwa dengan melalui studi mengenai agama dan mitos akan dapat diperoleh suatu pemahaman mengenai pengertian struktur sosial yang ada dalam masyarakat yang bersangkutan. Dalam perhatiannya mengenai mitos, Levi-Strauss menyatakan bahwa mitos sebagai agama atau sebagai bagian dari agama, dapat membantu usaha-usaha mengenai struktur sosial karena mitos selalu berhubungan dengan masyarakat dan berbicara mengenai masyarakat tersebut baik mengenai masa yang lampau, sekarang, maupun masa yang akan datang.

Yang sebenarnya patut diperhatikan dalam pengkajian mengenai hubungan antara struktur sosial dengan agama dan upacara adalah dalam hal kaitannya dengan kenyataan-kenyataan sosial dan ekonomi yang ada dalam lingkungan hidup yang dihadapi oleh para pelakunya dalam masyarakat. Sehingga pertanyaan-pertanyaan yang berkenaan dengan relevansi dari sesuatu keyakinan keagamaan dan upacara yang dilihat sebagai struktur sosial ataupun sebagai corak hubungan yang terwujud antara struktur sosial dengan agama dan upacara, bukanlah harus dilihat dalam konteks struktur itu sendiri tetapi dalam suatu konteks yang lebih luas dan berlandaskan pada kehidupan yang nyata yang dihadapi oleh para pelaku yang bersangkutan. Karena, agama mempunyai berbagai fungsi penting yang terwujud dalam berbagai cara yang berbeda dalam kehidupan sosial manusia. Fungsi-fungsi tersebut antara lain adalah:

1. Membentuk dan mendukung berlakunya nilai-nilai yang ada dan mendasar dari kebudayaan suatu masyarakat, yaitu etos dan pandangan hidup, yang antara lain terwujud dalam penekanannya pada bentuk-bentuk kelakuan yang wajar dan tepat menurut bidang atau arena sosial yang ada.

2. Agama menyajikan berbagai penjelasan mengenai hakekat kehidupan manusia dan lingkungan serta ruang dan waktu yang dihadapi manusia dan yang dirinya sendiri adalah sebagian dari padanya; sehingga kedudukan dan peranannya menjadi jelas dan penerimaannya atas berbagai tahap dan keadaan kondisi kehidupan yang dihadapi dan dialaminya dapat diterima secara masuk akal baginya. Salah satu dari peranannya yang jelas terlihat adalah bahwa dalam keadaan kekacauan dan kesukaran, kebingungan dan jiwa tertekan, agama memainkan peranan yang besar bagi individu-individu yang bersangkutan karena agama menyajikan penjelasan dan bertindak sebagai kerangka sandaran bagi ketentraman dan penghiburan hati dalam keadaan kesukaran dan kekacauan yang dihadapi tersebut.
3. Agama mempunyai peranan untuk menyatukan berbagai faktor dan bidang kehidupan ke dalam suatu pengorganisasian yang menyeluruh, yaitu dalam rangkuman struktur sosial, yang dimungkinkan oleh adanya peranan dari mitos dan upacara. Keduanya mempunyai peranan yang penting dalam mengko-ordinasi titik temu antara struktur sosial dengan agama dan antara agama dengan kehidupan yang nyata.

Sebagai akhir kata, dapatlah dikatakan bahwa untuk dapat memperoleh pemahaman mengenai hakekat dan corak dari struktur sosial; kita dapat mempelajari dan mengkaji agama, mitos dan upacara sehingga dapat menemukan dan kemudian menentukan apa yang seharusnya dijelaskan, dibenarkan, dan didukung dalam suatu masyarakat. Begitu juga sebaliknya kalau kita ingin memahami hakekat dan corak dari agama yang diyakini oleh warga suatu masyarakat. Model-model yang telah dibahas tersebut di atas dapat digunakan secara terseleksi, yaitu tergantung pada masalah yang hendak dikaji dan kenyataan kehidupan sosial dan ekonomi dalam masyarakat dimana pengkajian itu hendak dilakukan.

Kepustakaan

Cunningham, Clark E.
1972 "Order in the Atoni House", dalam Reader in Comparative Religion, oleh: William A. Lessa dan Evon Z. Vogt (ed), New York: Harper & Row, pp.116-135.

Geertz, Clifford
1973 The Interpretation of Culture, New York: Basic.

Hertz, Robert
1960 Death and the Right Hand, penerjemah: Rodney dan Claudia Needham, Cohen & West.

Levi-Strauss, Claude
1972 Structural Anthropology, London: Penguin.
1969 The Raw and the Cooked, New York: Harper & Row.

Turner, Victor
1974 Dramas, Fields, and Metaphors, Ithaca: Cornell University Press.
1967 The Forest of Symbols, Ithaca: Cornell University Press.

Koentjaraningrat
1980 Sejarah Teori Antropologi I, Jakarta: UI-Press.

RINGKASAN PENELITIAN AGAMA DI PERKOTAAN

RINGKASAN PENELITIAN AGAMA DI PERKOTAAN*)
PARSUDI SUPARLAN
UNIVERSITAS INDONESIA

1. Kehidupan Di Perkotaan

a. Pranata-pranata yang kompleks dan terspesialisasi.
b. Masyarakat yang heterogen dengan masing-masing asal, corak kebudayaan, kehidupan ekonomi dan tingkat kemampuannya, keyakinan keagamaan, orientasi politik, dan seleranya yang berbeda-beda.
c. Sikap-sikap yang individualistik, dan bahkan anomie dalam sejumlah bidang kehidupan; tetapi juga komunalistik dan menekankan pentingnya kebersamaan dalam sejumlah bidang kehidupan lainnya.
d. Kehidupan sehari-hari yang lebih banyak digunakan untuk pekerjaan daripada untuk kepentingan pribadi sosial.
e. Pentingnya uang dan kekuasaan.
f. Corak kehidupan yang kompetitif dan juga konflik.
g. Banyak stressor, sehingga banyak yang terkena stress.

2. Agama Dalam Kehidupan Di Perkotaan

a. Pranata-pranata keagamaan lebih terspesialisasi dan efisien dalam menjalankan fungsi-fungsinya sebagai pembimbing dan penghibur kerokhanian pemeluk-pemeluknya.
b. Kegiatan-kegiatan keagamaan berjamaah lebih terpimpin dan menekankan coraknya yang formal-ritual.
c. Pranata-pranata keagamaan juga berfungsi sebagai pranata-pranata politik.

3. Agama Dalam Kehidupan Warga Kota

a. Pada tingkat pribadi atau perorangan gama yang formal-ritual adalah acuan yang digunakan dalam kehidupan sosial.
b. Agama yang diyakini juga dituntut untuk berfungsi dalam berbagai struktur kegiatan perkotaan yang penuh dengan tantangan dan tekanan (stress).
c. Makna doa, petikan ayat suci, benda-benda skral menjadi lebih berarti dan fungsional.
d. Toleransi diantara yang berbeda agama terwujud, karena corak kehidupan yang lebih individualistik, selama tidak mengganggu kepentingan ekonomi dan pilitik (termasuk harga diri dan prestise perorangan, kelompok ataupun sesuatu golongan sosial).
e. Agama adalah acuan untuk interpretasi dan pemahaman bagi kegiatan-kegiatan formal-ritual

4. Masalah-Masalah Penelitian

Masalah-masalah penelitian ini dibuat dalam rangka kebijaksanaan pembinaan dan pengembangan kehidupan keagamaan yang berkeTuhanan YME dan dalam rangka pemantapan fungsi agama dalam kehidupan pemeluknya didalam menghadapi lingkungan kehidupan perkotaan yang penuh dengan tantangan. Masalah-masalah penelitian tersebut, antara lain:
a. Faktor-Faktor Agama Dalam Pembangunan (seperti yang dilakukan oleh Lenski di Detroit: The Religious Factors..) Pendekatan kwalitatif. Menggunakan kwesioner dan mengukur kecenderungan-kecenderungan para pemeluk agama (Kristen, Katolik, dan Yahudi) dalam menanggapi modernisasi, dianalisa melalui korelasi-korelasi diantara variabel agama dengan berbagai variabel yang ada dalam modernisasi.
b. Struktur dan Fungsi Pranata-Pranata Keagamaan di Perkotaan. Pengkajian terfokus pada pelayanan-pelayanan pranata-pranata keagamaan dalam kehidupan warga masyarakat.Pendekatan struktural-fungsional, kwalitatif dan kwalitatif Pendekatan kwalitatif untuk memahami hakekat dan fungsinya dalam struktur kehidupan; pendekatan kwantitatif untuk melihat kecenderungan-kecenderungan fungsi-fungai tersebut.
c. Kehidupan Perkotaan, Penataan Kota, dan Kegiatan Keagaman Pendekatan Kwalitatif-interpretif, dan kwantitatif untuk mengukur pendapat umum mengenai kegiatan-kegiatan keagamaan dan non-agama dalam perspektif waktu dan tempat. Kegiatan Penelitian seperti ini dapat terfokus dalam bentuk penelitian survai mampu dalam bentuk penelitian kasus. Sebagai contoh untuk penelitian kasus adalah konsep warga masyarakat Jakarta tentang pemisahan atau penyatuan tempat-tempat hiburan dari tempat-tempat beribadah. Atau kasus tentang penyatuan tempat-tempat hiburan bermaksiat dari tempat ibadah. Dalam hal penelitian kasus yang terakhisr tersebut, mungkin ada baiknya kalau Litbang Depag dapat melakukan penelitian mengenai kehidupan pelacuran dan keagamaan di Kramat Tunggak. Kajian ini akan dapat digunakan untuk membuat rekomendasi-rekomendasi mengenai berbagai kegiatan pembinaan para pelacur dan germo, pendirian mesjid di Kramat Tunggak, kegiatan-kegiatan ibadah di Kramat Tunggak, dsb.
d. Agama dan Kemiskinan. Fokus terutama pada permasalahan penggunaan pengetahuan dan keyakinan keagamaan yang dipunyai dalam upaya orang miskin untuk mengatasi kemiskinan mereka dan corak ketakwaan yang mereka punyai. Kajian dapat dilakukan dalam bentuk studi kasus. Model acuan bagi permasalahan penelitian mungkin dapat mengacu pada hasil-hasil penelitian yang telah disajikan oleh Oscar Lewis (lihat: Kemiskinan di Perkotaan) atau yang telah yang dibuat (lihat: Penamas, vol.3, 1990).

*) Ceramah Berkala Litbang Dep. Agama, R.I. Jakarta 28 Februari 1994

PEMBANGUNAN UNTUK SIAPA

PEMBANGUNAN UNTUK SIAPA
Parsudi Suparlan
Universitas Indonesia


Salah satu tujuan utama pembentukan pemerintahan negara Republik Indonesia, sebagaimana diamanatkan dalam alinea ke-4 pembukaan UUD 1945 adalah:
“ …… untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, …… dst”.

Dengan jelas amanat itu menyatakan tanggung jawab pemerintah bukan sekedar memberikan perlindungan fisik terhadap seluruh warga negaranya, melainkan juga perlindungan non-fisik dengan memajukan kesejahteraan mereka dalam arti luas.

Sesungguhnya amanat tersebut bukan tanpa alasan, kalau diingat bahwa bangsa Indonesia itu terbentuk sebagai perwujudan tekad bersama segenap penduduk di kepulauan Nusantara atau bekas jajahan Hindia Belanda yang semula hidup dalam kelompok-kelompok sosial yang mandiri dengan aneka ragam kebudayaan Indonesia mereka. Kenyataan kemajemukan masyarakat dan keanekaragaman kebudayaan Indonesia itu seringkali diabaikan. Walaupun masyarakat dengan bangga orang mengucapkan semboyan kebangsaan Bhinneka Tunggal Ika, dalam kenyataan kebhinnekaan itu seringkali dilupakan kalau tidak tergusur oleh ketunggalan yang dipaksakan.

Sebagaimana kenyataan kemajemukan mesyarakat Indonesia itu tidak hanya terwujud dalam berbagai struktur sosial, melainkan juga dalam keanekaragaman kebudayaan yang dikembangkan oleh masyarakat kepulauan sebagai perwujudan adaptasi mereka terhadap lingkungannya secara aktif. Oleh karena itulah keanekaragaman kebudayaan yang mereka kembangkan itu tidak hanya bersigat mendatar yang mencerminkan pola-pola adaptasi setempat yang berbeda, melainkan juga bersifat tegak lurus karena sangat besar pengaruhnya dalam pembangunan bangsa yang dirintis sejak awal kebangkitan kebangsaan.

Sungguhpun semangat kebangsaan telah ditanamkan oleh para pelopor jauh sebelum proklamasi kemerdekaan, namun dalam kenyataan tidaklah mudah untuk mempersatukan mesyarakatmajemuk yang mengembangkan aneka ragam kebudayaan itu menjadi satu bangsa yang besar. Lebih dari 25 tahun pertama sejak kemerdekaan, masyarakat Indonesia mengalami pergolakan untuk memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa, yang oleh Geertz (1965) disebut sebagai “Integrative revolution”.

Sesungguhpun banyak kendala yang menghambat pembangunan bangsa yang baru merdeka, sekalipun ia merupakan cita-cita yang melandasi perjuangan kemerdekaan.

Sebagaimana diungkapkan oleh Harris (1964), kebanyakan negara yang baru merdeka sejak berakhirnya perang dunia yang lalu menghadapi berbagai persoalan dalam membangun bangsanya. Mereka harus menghadapi pergolakan yang timbul dalam perjuangan untuk mengembangkan kesetaraan dengan negara-negara lain. Pergolakan nasional yang dinamakan oleh Harris sebagai Revolution of Equality atau revolusi kesetaraan meliputi: Pertama, perjuangan kemerdekaan penuh (total independence); kedua, pengembangan administrasi pemerintahan (administrative equality); ketiga, perjuangan kesetaraan budaya (cultural equality).

Kemerdekaan sepenuhnya

Sesungguhnya, keutuhan wilayah negara dan kedaulatan suatu bangsa itu sulit dipertahankan kalau masyarakat bangsa itu sendiri tidak mampu membebaskan diri atau sekurang-kurangnya memperkecil pengaruh kekuasaan asing sejauh mengkin. Perjuangan untuk membebaskan diri dari pengaruh kekuasaan asing itu terasa lebih berat bagi negara yang baru merdeka dan masyarakatnya majemuk seperti Indonesia. Kebanyakan bekas negara kolonial tidak rela melepaskan pengaruhnya terhadap negara bekas jajahannya. Dengan berbagai cara, mereka berusaha mengikat kesetiaan bekas negara jajahan dalam berbagai bentuk kespakatan, seperti program bantuan pembangunan, kerjasama ekonomi dan pemasaran bersama maupun organisasi persemakmuran. Dengan demikian mereka dapat mempertahankan kepentingan mereka, seperti jaminan sumber bahan baku bagi industrinya maupun pangsa pasar yang potensial. Sebaliknya ikatan nyata maupun terselubung itu dapat menghambat pembangunan bangsa-bangsa yang baru merdeka, karena mereka tidak bebas dalam menentukan kebijaksanaan pembangunan yang hendak diselenggarakan. Bahkan ada kecenderungan bahwa berbagai bantuan yang diberikan oleh bekas negara kolonial itu justru memperpanjang ketergantungan mereka terhadap kekuasaan asing. Karena itulah mereka harus membebaskan diri sepenuhnya dari segala bentuk pengaruh kekuasaan asing untuk menegaskan kedaulatan sebagai bangsa yang merdeka.

Perjuangan itu tidak mudah, terutama di negara yang masyarakat majemuk dengan aneka ragam latar belakang kebudayaannya seperti Indonesia. Sejarah telah membuktikan betapa berbagai negara boneka dibentuk menjelang penyerahan kedaulatan negara dan bangsa Indonesia oleh pihak Belanda dengan tujuan untuk mempertahankan pengaruhnya. Pergolakan sosial berlangsung sejak penyerahan kedaulatan bangsa dan negara oleh pemerintah kolonial Belanda dalam menentukan hari depan dan membangun bangsa.

Pembangunan administrasi pemerintahan
Perjuangan yang tidak kalah beratnya adalah mengembangkan administrasi pemerintahan yang menjamin pelayanan umum dan berlaku di seluruh tanah air. Pembangunan administrasi pemerintahan untuk menunjukan kemampuan bangsa mengatur dirinya tanpa campur tangan kekuasaan asing itu tidak mungkin ditunda-tunda. Namun dalam kenyataan banyak kendala yang harus dihadapi. Disamping kurangnya tenaga kerja yang terampil dan ahli untuk menyelenggarakan administrasi pemerintahan yang sehat, banyak peraturan dan perundangan yang harus dibuat untuk menggantikan berbagai peraturan dan perundangan kolonial. Belum lagi terhitung sistem pemerintahan apa yang hendak diterapkan.

Sesungguhnya untuk menghasilkan tenaga trampil dan ahli dalam administrasi pemerintahan tidaklah terlalu sulit. Akan tetapi sebagaimana halnya yang terjadi di berbagai negara yang berkembang, justru pembinaan sikap mental sumberdaya manusia sebagai bagian dari mesin birokrasi sehat merupakan hambatan utama. Banyak di antara mereka yang berhasil memangku jabatan dalam administrasi pemerintahan yang mengidap sikap mental administrator kolonial (colonial administrator mentality) yang beranggapan bahwa masyarakat masih bodoh dan terkebelakang. Oleh karena itu mereka seringkali bukannya melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai abdi masyarakat yang baik, melainkan justru sebaliknya memperlakukan masyarakat sebagai bawahan (subordinates) yang harus dibina dan dibimbing selalu. Hal ini bertentangan dengan prinsip pengembangan pemerintahan nasional yang seharusnya juga memperjuangkan kesetaraan kebudayaan dalam pergaulan antar bangsa. Pembinaan dan bimbingan yang meperlakukan masyarakat seolaholah masih terkebelakang dan perlu pimpinan itu, tanpa disadari telah mematikan kreativitas pembaharuan yang justru diperlukan untuk pengembangan kebudayaan.

Pembangunan kebudayaan

Sementara itu untuk mendapatkan pengakuan kesetaraan (cultural equality) dalam pergaulan antar bangsa, pengembangan kebudayaan sebagai lambang kesetaraan tidak boleh diabaikan oleh negara yang baru merdeka. Pengembangan kebudayaan sebagai lambang kesetaraan itu sama pentingnya dengan kemerdekaan penuh dan tertibnya administrasi pemerintahan yang diperlukan untuk mempertahankan keutuhan wilayah negara dan kedaulatan bangsa. Oleh karena itu pembangunan kebudayaan nasional bagi Indonesia tidak mungkin ditunda-tunda, lebih-lebih kalau diingat bahwa bangsa Indonesia itu majemuk masyarakatnya dan beranekaragam kebudayaannya.

Kebutuhan akan kebudayaan nasional sebagai kerangka acuan dalam bermasyarakat dan berbangsa secara nasional itu disadari sepenuhnya oleh para pendiri negara kesatuan Republik Indonesia, sebagaimana tercermin dalam amanat UUD 1945, khususnya pasal 32 yang berbunyi “Pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia”. Akan tetapi kerena besarnya semangat kebangsaan pada awal kemerdekaan, dalam mengembangkan kebudayaan nasional orang menabaikan keberadaan dan fungsi kebudayaan-kebudayaan yang hidup di kalangan masyarakat Indonesia yang majemuk. Kekhilafan itulah yang kemudian menimbulkan berbagai masalah sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan dalam pembangunan bangsa untuk meningkatkan kesejahteraan dan pengakuan kesetaraan dalam pergaulan antar bangsa.


PEMBANGUNAN NASIONAL

Perjuangan bangsa untuk mencapai kesetaraan sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan dalam masyarakat yang majemuk dengan kebudayaannya yang beranekaragam itu tidaklah mudah. Ia harus dilakukan serentak dengan melibatkan segenap rakyat untuk mengambil bagian secara aktif. Oleh karena itu pembangunan semesata di masa pemerintahan Orde Lama maupun pembangunan nasional di masa Orde Baru merupakan jawaban yang tepat. Akan tetapi kedua kebijaksanaan pembangunan itu tidak memperhatikan faktor dominan sosial dan kebudayaan masyarakat majemuk Indonesia. Kebijaksanaan pembangunan semesta berencana, kerena situasi politik dunia, lebih menitik beratkan pada ekonomi. Kedua pembangunan itu nampaknya kurang memperhatikan faktor sosial dan kebudayaan masyarakat Indonesia yang majemuk. Akibatnya, kedua pembangunan itu tidak berhasil memicu sebagian besar penduduk untuk mengambil bagian secara aktif. Karenanya bukan hanya sasaran pembangunan tidak tercapai, melainkan justru semakin menambah parah penderitaan, kalau tidak kemiskinan yang harus ditanggung oleh bangsa Indonesia.

Sesungguhnya pembangunan nasional itu pada hakekatnya merupakan usaha berencana dan berkelanjutan untuk merubah keadaan menuju ke arah perbaikan. Karena itu pembangunan itu, apapun titik beratnya, merupakan suatu kekuatan pembaharuan sosial dan kebudayaan masyarakat yang bersangkutan. Dengan dimikian, keberhasilan suatu pembangunan itu tidak bebas dari pengaruh sosial dan kebudayaan masyarakat yang menyelenggarakannya.

Pembangunan nasional yang diselenggarakan semasa pemerintahan Orde Baru lebih banyak beranjak pada pengertian yang menyamakannya dengan pertumbuhan ekonomi (economicgrowth) itu sesungguhnya merupakan tanggapan spontan terhadap penderitaan materiil yang dialami oleh bangsa Indonesia akibat kebijaksanaan pembangunan semesta berencana yang lebih mengutamakan pembangunan politik. Dengan pembangunan ekonomi itu diharapkan akan dapat memacu perkembangan di segala kehidupan bangsa. Akan tetapi karena kurangnya perhatian terhadap kesiapan sosial dan kebudayaan masyarakat untuk mengambil bagian secara menguntungkan, pembangunan ekonomi itu tidak dapat berfungsi sebagai motor pembangunan bangsa sebagaimana dicita-citakan.
Sesungguhnya konsep pembangunan yang disamakan dengan pertumbuhan ekonomi itu tidak akan dapat membangkitkan kesadaran dan kepedulian masyarakat untuk berperan aktif, kalau is tidak dipahami, apalagi tidak sesuai dengan minat dan kebutuhan yang dirasakan oleh masyarakat yang bersangkutan. Oleh karena itu model pembangunan apapun yang hendak diselenggarakan seharusnya mengacu pada kebudayaan yang dirasakan oleh masyarakat (society oriented definition problem). Dengan demikian, pembangunan itu bukan sekedar mengejar efisiensi dalam kegiatan ekonomi, melainkan harus meliputi upaya untuk menegakan keadilan sosial-budaya masyarakat harus mendapatkan perhatian yang setara dengan usaha pembangunan ekonomi.

Pembangunan Industri

Dihadapkan pada situasi ekonomi yang memburuk selama masa pemerintahan Orde Lama yang berusaha untuk mempertahankan kemandirian politik, pemerintah Orde Baru bertekad untuk segera mengatasi dengan kebijaksanaan pembangunan ekonomi yang mendahulukan pertumbuhan (economicgrowth) daripada perkembangan (economic development). Dengan pertumbuhan ekonomi yang cupuk tinggi, diharapkan akan banyak tenaga kerja yang selama ini menganggur atau setengah menganggur akan dapat ditampung sehingga akan memacu peningkatan kesejahteraan umum. Untuk keperluan itulah, industrialisasi yang ditopang dengan penerapan teknologi modern menjadi pilihan utama, walaupun pembangunan sektor pertanian tidak diabaikan. Model pembangunan tersebut ternyata berpangkaltolak dari anggapan salah, seolah-olah hanya ada satu jalur menuju “modernisasi”. Dalam kenyataan untuk mencapai kemajuan itu ada banyak lintasan sosial (social path), tergantung pada titik awal kondisi politik, kebudayaan dan lingkungan hidup yang ada. Titk awal pembangunan nasional di Indonesia sudah tidak sama dengan titik-titik awal pembangunan di berbagai negeri asal model pembangunan yang hanya mengejar efisiensi ekonomi.

Dalam kenyataan, pembangunan industri yang mengejar efisiensi dan produktifitas kerja dengan penerapan teknologi modern itu menuntut persyaratan sosial dan budaya yang mendukung peningkatan kegiatan ekonomi yang menyertainya. Persyaratan sosial budaya itu terutama adalah keadilan sosial (socila justice), demokrasi politik (political democracy) dan kebebasan budaya (cultural freedom) untuk mengimbangi masuknya nilai-nilai budaya merkantil, materialistik, dan kompetitif dalam perkembangan ekonomi pasar dalam masyarakat agraris menuju masyarakat industri. Ketiga persyaratan sosial budaya itu terutama diperlukan untuk menciptakan iklim yang mendukung perkembangan persaingan yang sehat dalam penanaman modal yang besar, pengembangan organisasi yang lebih kompleks dan luas jaringannya serta pengerahan tenaga kerja trmapil dan ahli untuk mengendalikan usaha. Sebagaimana terjadi, penanaman modal yang berskala besar itu mempunyai implikasi sosial, politik dan kebudayaan yang tidak mungkin diabaikan dalam perkembangannya.

Modal
Pembangunan ekonomi di Indonesia telah memacu pengusaha untuk meningkatkan eksploitasi sumber daya (exploitative) tanpa mengenal batas waktu maupun lingkungan (expansive) dalam mengejar keuntungan materi secara optimal. Kecenderungan pengurasan sumberdaya secara besar-besaran itu tidak dapat dielakkan, kerena besarnya modal yang ditanamkan dan harus mendatangkan keuntungan materi yang sebesar-besarnya. Kenyataan tersebut telah memacu persaingan yang tidak berimbang, terutama antara pengusaha besar yang memiliki keunggulan ekonomi, sosial , dan politik, dengan pengusaha kecil dan menengah yang dianggap tidak mampu mengolah sumber daya secara menguntungkan. Tidaklah mengherankan kalau penggusuran oleh pengusaha besar terjadi bukan hanya terhadap pengusaha kecil dan menengah yang dianggap kurang mampu, malainkan juga terhadap penduduk di kawasan yang kaya dengan sumber daya alam maupun di pusat-pusat pertumbuhan.
Ratusan pengusaha batik kecil dan menengah digusur oleh dua perusahaan batik raksasa dengan segala keunggulannya. Sementara itu pengusaha batik kecil dan menengah terpaksa menjadi bagian dari perusahaan raksasa kalau tidak beralih bidang usaha yang masih bebas dari jangkauan belalai gurita yang mencari mangsa. Demikian pula ratusan pengusaha kecil menengah yang menghasilkan mie, tergusur oleh perusahaan raksasa penghasil bahan makanan dari terigu. Dengan alasan demi efisiensi dan produktifitas, pengusaha kecil dan menengah terpaksa bertindak sebagai pengecer atau penjual mie masak. Sedemikian jauh tinggal 80-an pengusaha mie basah (kecil dan menengah) yang bertahan di Jakarta karena mereka telah mempunyai langganan lewat restoran yang dikelola masing-masing. Sungguh pun demikian mereka tidak bebas dari bujuk rayu pengusaha raksasa yang menjanjikan keuntungan materi yang lebih besar. Tidak mustahil mereka itu akan menyerah terhadap rayuan, kecuali mereka yang benar-benar telah mapan, karena kesulitan mendapatkan pinjaman untuk menambah modal dan mendapatkan bahan mentah.
Dengan alasan demi efisiensi dan produktifitas, yang menjadi semboyan pembangunan ekonomi di masa Orde Baru, penduduk perkotaan yang kurang mampu, penduduk pedesaan yang lahannya berpotensi ekonomi tinggi untuk dikembangkan sebagai real-estate maupun industrial-estate maupun penghuni hutan yang kaya raya dengan kayu atau mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai perkebunan, tidak lebih baik nasibnya daripada pengusaha kecil dan menengah yang tidak berdaya. Lingkungan pemukiman yang mempunyai banyak fungsi sosial (social asset) itu hanya dinilai sebagai kekayaan ekonomi (economic asset) yang rendah harganya karena selama ini tidak mendatangkan keuntungan (pajak) bagi pemerintah dialihfungsikan kepada pengusaha besar yang menjanjikan keuntungan materi di atas keuntungan sosial dan ekonomi penduduk.
Masyarakat Indonesia dewasa ini menghadapi tekanan lingkungan ganda akibat pengurasan sumber daya yang menggunakan teknologi modern. Tekanan ganda itu disebabkan upaya penungkatan intensitas pengolahan sumber daya untuk memenuhi kebutuhan akan bahan mentah bagi industri dalam negeri maupun untuk memenuhi permintaan pasar internasional demi devisa sebagai pembayar utang. Akibat tekanan lingkungan yang mempercepat penyusutan sumber daya dan mutu lingkungan (environmental scarity) sangat besar dampaknya terhadap kesejahteraan sebagian besar penduduk yang kurang mampu dalam bersaing untuk memperebutkannya.

Organisasi
Sesungguhnya penanaman modal yang besar dalam industrialisasi itu harus dikelola secara intensif agar dapat mendatangkan keuntungan materi secara optimal. Tuntutan industrialisasi itu tidak mudah dipenuhi oleh kebanyakan pengusaha Indonesia yang pada umumnya masih mengandalkan pengelolaan usahanya pada organisasi kekerabatan (intra family organization). Hubungan antar person (interpersonal relation) lebih bermakna dalam mengerjakan seseorang di perusahaaan dari pada keahlian atau keterampilan yang dimiliki seseorang (impersonal relation). Sesungguhnya dengan pengembangan industri yang menuntut penanaman modal yang besar dalam mengejar efisiensi dan produktifitas kerja, akan merangsang pengusaha untuk meningkatkan kemampuan mereka mengelola usahanya. Akan tetapi karena kurangnya kesiapan sosial dan kebudayaan, justru sebaliknya mereka cenderung mencari jalan pintas. Kenyataan tersebut memperlemah daya saing mereka untuk menghadapi pengusaha asing yang telah mapan. Tidaklah menherankan kalau dalam menghadapi persaingan, kebanyakan pengusaha besar maupun menengah Indonesia cenderung mengembangkan strategi yang tidak sehat (KKN). Akibatnya banyak pengusaha kecil dan menengah yang tersisihkan dalam persaingan yang tidak imbang melawan pengusaha besar dan menengah yang mempunyai kemampuan untuk menggalang kerjasama dengan penguasa dan perbankan.

Tenaga kerja
Untuk mengendalikan teknologi modern diperlukan tenaga kerja terampil dan ahli agar efisiensi dan produktifitas kerja yang optimal dapat tercapai. Kebutuhan akan tenaga kerja terampil dan ahli itu, pada gilirannya akan merangsang penduduk untuk menghargai tinggi pendidikan sekolah sebagai sarana untuk mendapatkan pekerjaan. Kenyataan telah membuktikan betapa keberhasilan pembangunan industri yang mebuka peluang kerja bagi tenaga terdidik dalam memacu penduduk untuk mengirimkan anak-anak mereka ke sekolah. Dengan demikian mobilitas sosial akan diikuti dengan meningkatnya kesejahteraan penduduk pada umumnya. Akan tetapi, penerapan teknologi modern dalam industri ternyata tidak banyak menyerap tenaga kerja manusia yang digantrikan dengan tenaga mesin yang dibangkitkan dengan sumber energi fosil. Di samping itu kebanyakan tenaga kerja manusia terdidik belum siap, secara sosial maupun kebudayaan, untuk memangku tugas baru (Herskovitz, 19…). Hasil penelitian Galtung (1976) di beberapa negara Asia dan Afrika menunjukkan bahwa kegagalan pengambilalihan teknologi modern itu bukan karena kurangnya tenaga kerja terampil dan ahli, melainkan karena tidak sesuainya sikap mental mereka menghadapi pekerjaan baru. Kurang sesuainya sikap mental pekerja itu karena pengaruh kebudayaan yang mereka hayati sebagai kerangka acuan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan selama ini. Hasil penelitian itu, akhirnya menyimpulkan bahwa kurangnya kesiapan sosial san kebudayaan masyarakat yang bersangkutan yang mengakibatkan kegagalan pangambil alihan teknologi modern secara mulus. Hal yang sama, sesungguhnya dihadapi masyarakat Indonesia dalam pembangunan nasional yang menerapkan teknologi modern tanpa memperhatikan faktor sosial dan kebudayaan dalam masyarakat yang majemuk.
Ahli-ahli menciptakan lapangan kerja baru, pembangunan industri yang ditopang dengan penerapan teknologi modern, justru menghasilkan lebih banyak pengangguran murni maupun terselubung. Penggusuran penduduk pedesaan ataupun perkotaan yang lahannya diperlukan untuk pembangunan, telah memisahkan mereka dari sumber penghidupan yang selama ini mereka tekuni, sementara lapangan kerja baru yang sesuai dengan kemampuan sosial dan kebudayaan mereka sangat terbatas. Kenyataan ini, bersama dengan menyusutnya sumber daya dan mutu lingkungan hidup yang sehat, telah memicu terjadinya keberingasan sosial atau gejala “amuk massa” yang semakin sulit dikendalikan.
Perebutan sumber daya dang lingkungan yang sehat dewasa ini terbatas antara mereka yang mempunyai serba keunggulan dengan yang kurang beruntung (vetical social conflict). Untuk menghimpun kekuatan, mereka cenderung membangkitkan kesetiakawanan sosial dengan mangaktifkan simbol-simbol primordial terutama kesukubangsaan.
Berdasarkan uraian tersebut, timbul pertanyaan: “Pembangunan untuk siapa”, kalau pembangunan itu gagal memicu segenap penduduk untuk mengambil bagian secara menguntungkan?
Kegagalan pembangunan nasional untuk memicu segenap masyarakat mengambil bagian dalam perjuangan untuk mempertahankan keutuhan wilayah negara kesatuan dan kedaulatan bangsa yang merdeka dengan mewujudkan kemerdekaan penuh, pengembangan pemerintahan yang efektif dan kemandirian kebudayaan, kerena dalam perencanaan dan pelaksanaannya tidak memperhatikan kesiapan masyarakat Indonesia yang majemuk dengan keanekaragaman kebudayaannya. Sesungguhnya model pembangunan apapun yang pada hakekatnya merupakan kekuatan pembaharuan menuntut pemahaman kondisi sosial dan kebudayaan masyarakat disamping lingkungan hidupnya. Tuntutan pemahaman sosial dan kebudayaan itu bertambah mendesak, kalau diingat bahwa bangsa Indonesia itu merupakan masyarakat majemuk dengan anekaragam kebudayaan yang dikembangkannya. Kerena itu, selain pilihan model pembangunan, perencanaan dan pelaksanaannya harus memperhatikan minat dan kebutuhan masyarakat (society oriented definition problem), di samping potensi lingkungan hidup yang mereka kuasai.
Berbagai program pembangunan nasional yang telah lalu menunjukkan penyeragaman (single path of development) yang mengutamakan pinsip efisiensi dan produktivitas tanpa memperhatikan minat, kebutuhan dan kemampuan masyarakat Indonesia yang majemuk dan tersebar di daerah-daerah. Akibatnya dapat disaksikan betapa selama proses pembangunan, kesenjangan kesejahteraan antar daerah semakin meningkat. Tidaklah mengherankan kalau kenyataan tersebut telah menimbulkan kecemburuan sosial yang menjurus ke arah perpecahan. Kesenjangan kesejahteraan itu tidak hanya berlaku antar daerah, melainkan juga intra daerah sehingga memperkuat kecemburuan sosial antara mereka yang diuntungkan oleh pembangunan dengan mereka yang kurang beruntung. Kenyataan tersebut membuktikan betapa pentingnya penegakan keadilan sosial, di samping penataan demokrasi dan kebebasan budaya untuk memberdayakan masyarakat agar dapat mengambil bagian dalam pembangunan secara menguntungkan.
Otonomi daerah, diharapkan dapat memperkecil kesenjangan kesejahteraan umum antar daerah maupun intra daerah, karena keleluasaan untuk memperhatikan minat, kebutuhan dan kemampuan masyarakat yang akan berpartisipasi. Akan tetapi kalau otonomisasi itu tidak disertai dengan penegakan keadilan sosial, penataan demokrasi politik maupun kebebasan budaya, niscaya akhirnya hanya akan memindahkan kesenjangan yang semakin tajam ke daerah masing-masing. Keleluasaan daerah untuk mengelola potensi sumber daya dan meretribusikannya demi kesejahteraan umum, memerlukan pengenadalian sosial yang pada gilirannya menuntut pemberdayaan masyarakat yang bersangkutan. Oleh karena itu ketiga persyaratan keadilan sosial, demokrasi politik dan kebebasan budaya sangat diperlukan untuk menciptakan iklim yang mendukung pengembangan kreativitas mereka dalam pembangunan daerah masing-masing. Tanpa ketiga persyaratan tersebut, tidak mustahil akan timbul masalah-masalah sosial, ekonomi dan politik baru, antara lain meningkatnya mobilitas penduduk yang mencari kesejahteraan di daerah yang lebih menjanjikan serta meningkatnya intensitas pengurasan sumber daya secara besar-besaran. Kecenderungan terakhir itu justru telah mulai menunjukkan gejalanya, karena masyarakat dan pemerintah tidak dapat melihat pilihan lain kecuali meningkatkan intensitas pengolahan sumber daya yang mereka kuasai. Persaingan dalam memperebutkan sumber daya dan lingkungan yang semakin menyusut persediaan dan mutunya itu (environmental scarity) itu pada gilirannya akan memicu keberingasan sosial antar daerah yang tidak mudah dikendalikan. Pada gilirannya, otonomisasi pemerintahan tanpa kesiapan itu akan menjadi masalah nasional yang menuntut penanggulangan yang jauh lebih berat daripada meluruskan kembali sistem pemerintahan yang telah ada dengan ketiga persyaratan, yaitu penegakan keadilan sosial, penataan demokrasi dan kebebasan budaya untuk memberdayakan masyarakat Indonesia yang majemuk dengan menghormati keanekaragaman kebudayaan mereka.

MASYARAKAT MAJEMUK DAN PERAWATANNYA

MASYARAKAT MAJEMUK DAN PERAWATANNYA


Parsudi SuparlanUniversitas Indonesia
Pendahuluan
Asal muasal dari konsep masyarakat majemuk (plural society) yang dikenal dalam ilmu-limu sosial sebenarnya mengacu pada tulisan Furnival (1948a), yang mengidentifikasi masyarakat jajahan Hindia Belanda sebagai sebuah masyarakat majemuk. Yaitu, sebuah masyarakat yang terdiri atas kumpulan orang-orang atau kelompok-kelompok, yang berbaur tetapi tidak menjadi satu. Masing-masing kelompok mempunyai agama, kebudayaan dan bahasa, serta cita-cita dan cara-cara hidup mereka masing-masing. Sebagai individu mereka itu saling bertemu, tetapi hanya di pasar. Masyarakat seperti ini terdiri atas bagian-bagian yang merupakan komuniti-komuniti yang hidup saling berdampingan dalam sebuah satuan politik, tetapi saling terpisah atau tidak merupakan sebuah kesatuan. Mereka itu merupakan sebuah masyarakat karena dipersatukan secara paksa, tidak karena secara sukarela. Kekuasaan yang absolut berada di tangan sejumlah kecil elite, yang merupakan penguasa jajahan yang dominan, yang menuntut penyerahan absolut dan warga masyarakat jajahan demi kepentingan penguasa jajahan tersebut.

Apa yang menarik dari uraian Furnival (1948b) antara lain adalah, bahwa penguasa masyarakat jajahan atau masyarakat majemuk itu sebenarnya hanya berkuasa untuk memantapkan kepentingan ekonomi mereka. Kekuasaan dengan paksa alat kekerasan, yang menggunakan tentara dan polisi, adalah untuk menegakkan kekuasaan demi kepentingan ekonomi para penguasa dan bukan untuk menciptakan tertib hukum dan keteraturan sosial yang menjamin terwujudnya kesejahteraan hidup warga masyarakat jajahan. Sebaliknya, warga masyarakat jajahan untuk dapat tetap hidup dan melanjutkan kehidupannya, harus dapat menyenangkan hati tuan-tuan penjajah dengan cara melayaninya dan hidup dengan cara meniru kebudayaan penjajah yang coraknya eksploitatif terhadap masyarakat jajahan yang dikuasainya dan terhadap lingkungan serta sumber-sumber dayanya yang dianggap sebagai miliknya. Atau, bila tidak, maka mereka itu harus menjadi pemberontak yang siap untuk ditumpas oleh tentara dan polisi. Karena itu, Furnval mengatakan bahwa masysrakat jajahan seperti Hindia Belanda itu tidak mempunyai “common will”, sebagaimana yang biasanya terdapat dalam kehidupan sesuatu bangsa, yang karena itu membuat mereka sebagai bangsa dapat bertahan dari serangan luar maupun dari perpecahan dan kehancuran dan dalam bangsa itu sendiri.
Corak masyarakat majemuk sebenamya bukan hanya seperti yang digambarkan oleh Furnival tersebut diatas, yang otoriter dan militeristik. Bila kita melihat keanekaragaman corak masyarakat majemuk sebagai berada dalam suatu garis berkesinambungan, maka pada kutub yang satu terdapat masyarakat majemuk yang otoriter dan militeristik sedangkan pada kutub lainnya adalah masyarakat majemuk yang demokratis. Contoh dari masyarakat majemuk yang otoriter dan militeristik ini kita temukan pada akhir abad ke-20, yang sekarang sudah runtuh, yaitu Soviet Russia, Yugoslavia, Afrika Selatan, dan Indonesia di zaman orde baru. Contoh masyarakat majemuk yang demokratis yang berada di kutub lainnya adalah Amerika Serikat, yang dikenal sebagai masyarakat yang multikultural atau bercorak budaya banyak, dari sebagian negara-negara Eropah Barat. Sedangkan diantara masyarakat majemuk yang otoriter dan masyarakat majemuk yang demokratis tersebut terdapat corak masyarakat majemuk yang masih memperhitungkan keanekaragaman kesukubangsaan masyarakatnya yang diwadahi dalam tatanan demokrasi. Masyarakat majemuk seperti ini mempunyai corak demokrasi yang konsosiasional (Lijphart, 1969). Contohnya adalah Belanda, dan Suriname sebelum kemerdekaannya pada bulan Desember 1974 (Dew 1978, Suparlan 1995a), dan juga Malaysia.

Masyarakat majemuk yang otoriter dan militeristik mempunyai ciri-ciri kekejaman dan kekerasan terhadap rakyatnya sendiri (van den Berghe, 1990). Kekejaman dan kekerasan oleh negara atau pemerintah terhadap rakyatnya sendiri tersebut dikarenakan penguasa negara atau oknum-oknumnya tidak menginginkan adanya ketidakpatuhan dati penentangan terhadap tindakan-tindakan eksploitatif yang rakus dan sewenang-wenang dari para penguasa tersebut. Dampak dari kekerasan dan kekejaman terhadap warga masyarakat tersebut oleh negara, adalah bahwa pada waktu rezim otoriter tersebut runtuh maka berbagai bentuk kekerasan dan kerusuhan yang dapat berpotensi disintegrasi masyarakat majemuk tersebut tidak dapat dihindari. Kecuali Afrika Selatan yang tidak mengalami kegoncangan-kegoncangan sosial, ekonomi, dan politik yang mengancam integrasinya. Tishkov (1997) menggambarkan konflik-konflik yang terjadi di Soviet Russia yang acuannya adalah solidaritas kcsukubangsaan, baik semasa zaman komunis maupun setelah runtuhnya rezim komunis, yang kesukubangsaan tersebut menjadi landasan bagi permunculan nasionalisme baru yang merupakan ancaman disintegrasi Soviet Russia setelah runtuhnya rezim komunis. Soviet Russia telah hancur berantakan begitu juga dengan Yugoslavia. Indonesia sedang mengalami disorganisasi, oleh adanya kerusuhan dan kekerasan berdarah antar sukubangsa, keyakinan keagamaan, dan asal daerah atau komuniti yang berbeda. Di samping itu, ancaman disintegrasi tersebut juga berasal dari adanya tuntutan dart sejumlah propinsi untuk merdeka, terlepas dari negara kesatuan Indonesia.

Pertanyaannya adalah apakah Indonesia akan mengalarni nasib yang sama dengan Soviet Russia dan Yugoslavia, yang berkeping-keping menjadi negara-negara baru, yang nasionalismenya dilandasi oleh kesukubangsaan dan keyakinan keagamaan? Bila kita, mayoritas bangsa Indonesia, tidak menginginkan terpecah belahnya Indonesia, apakah yang harus kita lakukan? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, uraian berikut ini akan mencakup pembahasan mengenai masyarakat majemuk Indonesia, kerusuhan-kerusuhan yang terjadi dalam era demokratisasi Indonesia, dan upaya-upaya yang harus kita lakukan bersama sebagai bangsa dan warga masyarakat Indonesia yang bhinneka tunggal ika.


Indonesia: Masyarakat Majemuk

Indonesia adalah sebuah masyarakat yang terdiri atas masyarakat-masyarakat suku bangsa[1] yang secara bersama-sama mewujudkan diri sebagai satu bangsa atau nasion (nation), yaitu bangsa Indonesia. Sebagai sebuah bangsa, masyarakat Indonesia hidup dalam sebuah satuan politik yaitu sebuah negara kesatuan yang bercorak republik, yang berlandaskan pada prinsip-prinsip demokrasi, yang menempati sebuah wilayah yang berada dibawah kekuasaan negara Indonesia. Dalam masyarakat majemuk, seperti Indonesia, masalah-masalah yang kritikal yang biasanya dihadapi adalah hubungan antara sistem nasional atau pemerintahan negara dengan masyarakat-masyarakat sukubangsa yang menjadi rakyat negara tersebut, hubungan diantara sukubangsa-sukubangsa yang berbeda kebudayaannya (termasuk keyakinan-keyakinan keagamaannya), dan hubungan diantara sesama warga masyarakat di tempat-tempat umum terutama di pasar dan berbagai pusat kegiatan pelayanan ekonomi[2].

Hubungan antara sistem nasional, yang terwujud sebagai pemerintah atau negara dengan masyarakat-masyarakat sukubangsa yang tercakup di dalam masyarakat majemuk adalah hubungan yang tidak seimbang, yaitu sistem nasional lebih kuasa atau dominan dibandingkan dengan sistem-sistem sukubangsa. Dalam masyarakat majemuk yang otoriter dan militeristik, sistem nasional dikuasai oleh oknum-oknum yang otoriter dan militer atau militeristik yang mempunyai kepentingan-kepentingan ekonomi melalui kekuasaan dan legitimasi penguasaan yang dipunyainya. Legitimasi biasanya dengan mengatasnamakan konstitusi atau undang-undang dasar atau juga dilakukan dengan melakukan kebijaksanaan-kebijaksanaan politik kebudayaan. Sebuah contoh dari politik kebudayaan seperti ini di zaman orde baru misalnya, adalah, para pendiri bangsa ini yang berideologi demokrasi telah mencantumkan dalam Penjelasan UUD 1945 bahwa...... kebudayaan Indonesia adalah puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah...... Tetapi oleh resim orde baru, pernyatan tersebut dibuat menjadi "... kebudayaan Indonesia adalah puncak-puncak kebudayaan daerah...". Perhatikan kata "di" telah dibuang. Dan konsep baru mengenai kebudayaan daerah ini disebarluaskan dan dimantapkan sebagai sebuah kebijaksanaan politik. Yaitu, kebudayaan-kebudayaan sukubangsa dianggap tidak ada. Yang ada adalah kebudayaan daerah. Dan, kebudayaan daerah adalah sama dengan kebudayaan yang ada dalam wilayah sebuah propinsi. Padahal wilayah sebuah propinsi adalah produk dari sistem nasional dan dibuat untuk kepentingan adminsitrasi sistem nasional; dan bukan produk sistem sukubangsa.

Implikasi lebih lanjut dari kebijaksanaan politik kebudayaan ini adalah hak budaya dari komuniti atau masyarakat sukubangsa dipreteli atau ditiadakan. Yaitu untuk diseragamkan menjadi hak budaya masyarakat propinsi. Hak budaya komuniti sukubangsa yang secara tradisional mencakup hak untuk hidup sesuai dengan dan berpedoman pada kebudayaan masing-masing, hak-hak budaya atas tanah, hutan, dan air (yang biasanya dinamakan sebagai hak ulayat sesual dengan adat) dengan demikian dianggap tidak ada. Sehingga memudahkan dan melegitimasi berbagai bentuk penggusuran masyarakat-masyarakat sukubangsa setempat (yang dinamakan sebagai masyarakat terasing oleh Dep. Sosial, R.I. di masa orde baru) dan aneksasi serta penguasaan wilayah-wilayah tanah, hutan, dan air oleh oknum-oknum penguasa sistem nasional dan kroni-kroninya. Padahal apa yang telah dilakukan tersebut bertentangan dengan pasal-pasal yang ada dalam UUD 1945. Penggusuran masyarakat setempat dan perampasan hak ulayat tersebut telah dimungkinakan untuk dilegitimasi karena tidak adanya mekanisme kontrol terhadap rezim yang ototiter.

Penyeragaman kebudayaan-kebudayaan sukubangsa di daerah-daerah telah dilakukan antara lain dengan menyudutkan kebudayaan-kebudayaan tersebut sebagai terkebelakang dan harus di-Indonesiakan. Peng-Indonesia-an dilakukan dengan cara penataran P4 (lihat Suparlan 1995b) dalam PKMT (Pemukiman Kesejahteraan Masyarakat Terasing), yang dilakukan oleh Dep. Sosial, R.I. Warga masyarakat Sakai di Muara Basung dilokalisasi di PKM'I Sialang Rimbun, dan tanah serta hutan yang secara adat adalah milik dan merupakan sumber kehidupan mereka di jual-sewa kepada perusahaan perkebunan karet oleh pemerintah. Orang-orang Sakai dapat menjadi pekeja atau kuli di perkebunan tersebut.

Kekayaan dari hasil ekspolitasi sumber-sumber alam di daerah-daerah telah memperkaya orang-orang pusat (Jakarta), yang sebenarnya adalah oknum-oknum dan kroni-kroninya; dan membuat Jakarta menjadi pusat kegiatan ekonomi, bisnis, dan peredaran uang. Konsep dikotomi ‘pusat’ dan ‘daerah’ menjadi mantap. ‘Pusat’ adalah tempat peradaban, kemajuan, kekayaan, kekuasaan, dan kenikmatan hidup. Sedangkan ‘daerah’, sebagai lawannya, adalah alam, keterbelakangan, kekurangan dan kemiskinan, ketidak berdayaan dan dikuasai, dan kesengsaraan hidup. Lebih lanjut, ‘pusat’ seringkali disamakan dengan Jawa karena Jakarta sebagai “pusat” itu letaknya di pulau Jawa dan karena kebanyakan pejabat-pejabat pemerintah nasional itu adalah orang-orang Jawa. Sehingga muncul dan berkembangnya anti ‘pusat’ yang ekspolitatif tersebut seringkali berubah menjadi anti Jawa (perhatikan kampanye anti ‘pusat’ yang dilakukan oleh tokoh-tokoh GAM yang menyatakan ‘pusat’ sama dengan Jawa). Padahal mereka yang tinggal di pulau Jawa, dan bahkan di Jakarta juga cukup banyak menderita karena ulah oknum-oknum tersebut.

Seorang teman di Universitas Indonesia beberapa waktu yang lalu mengatakan kepada saya:
“Kita semua telah menjalani hidup di zaman orde baru, dan kita tahu betapa besarnya kekuasaan pemerintah dan terutama kekuasaan presiden Suharto dan keluarganya. Hampir dapat dikatakan tidak ada batasnya. Diantara kita ada yang dapat memanfaatkan tantangan kekuasaan yang tanpa batas tersebut sebagai peluang untuk menangguk rezeki dan jabatan. Tetapi lebih banyak diantara kita yang hidupnya pas-pasan. Bahkan ada diantara teman-teman kita yang menjadi oknum dan korup, yang bisa memperkaya diri dengan cara mensengsarakan orang lain, dengan alasan gaji kecil cuma cukup untuk kebutuhan makan. Tetapi ada juga diantara teman-teman kita yang tidak sempat menjadi oknum, bahkan harus menjadi korban oknun yang teman satu kantor.”

Hampir di semua masyarakat yang otoriter, gaji pegawai negeri sipil dan militer amat kecil. Yang besar adalah fasilitas dan pendapatan tambahan atau tunjangan yang diterima karena jabatan yang didudukinya. Sistem penggajian seperti ini sebenarnya dapat dilihat sebagai mekanisme kontrol bagi kesetiaan para abdi negara tersebut. Mereka yang setia akan mendapat jabatan dan fasilitas serta uang tunjangan jabatan. Disamping itu, pejabat-pejabat juga mendapat komisi dari proyek-proyek kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh kantornya. Semakin tinggi jabatannya semakin besar prosentase dari komisi yang diterimanya; dan semakin banyak proyeknya akan semakin besar pula uang komisi yang akan diterimanya.

Mereka yang tidak menjadi pejabat atau yang tidak diikut sertakan dalam sesuatu proyek oleh atasannya, akan hanya hidup dari gaji bulanannya saja. Mereka ini akan dengan sadar atau tidak berupaya untuk melakukan tindakan-tindakan korupsi. Bahkan mereka yang sudah memperoleh komisi dari proyek pun, bila dapat melakukan korupsi akan dilakukanriya juga. Bisa dalam bentuk uang pelicin dari pengusaha untuk memudahkan dan mempercepat perizinan, atau memberikan sesuatu proyek pembangunan kepada anggota keluarga atau kerabatnya, dan berbagai cara lainnya yang menguntungkannya. Bahkan uang pelicin ini juga dituntut dari mereka yang membutuhkan pelayanan yang memang sudah menjadi tugas jabatannya, seperti pembuatan KTP, pembuatan SIM dan perpanjangannya, pembuatan akte kelahiran, perizinan peruntukan bangunan, penerimaan mahasiswa atau siswa baru, dsb-nya.

Perbuatan oknum-oknum tcrsebut bukan hanya dalam hal pelayanan-pelayanan resmi kantor-kantor pemerintah kepada umum, tetapi juga mereka lakukan di tempat-tempat umum. Memberi izin berjualan kepada pedagang kaki lima di tempat-tempat umum yang terlarang untuk berjualan, dan sebagai imbalannya para pedagmg tersebut niemberikan restribusi. Menjadi beking para preman atau perjudian merupakan kegiatan yang menambah penghasilan. Para preman di tempat-tempat umum atau pasar melakukan pengutipan uang keamanan atas kegiatan ekonomi dan bisnis besar dan kecil dan atas berbagai jasa pelayanan angkutan umum. Uang keamanan ditentukan besarnya oleh organisasi preman dan wajib dibayar oleh pelaku bisnis atau sopir. Tetapi dampak dari beking ini adalah berkembang biaknya kegiatan-kegiatan preman, dan semakin berani dan brutalnya mereka karena merasa ada yang menjadi beking mereka. Perang antar kelompok preman di kota-kota besar di Indonesia bukan hal yang asing pada masa kini, yang juga merugikan masyarakat umum.

Pemerintahan yang otoriter, sadar atau tidak sadar, telah menghasilkan rasa takut yang meluas dan mencekam karena adanya ancaman yang mereka bayangkan atas diri serta keluarga dan harta benda mereka. Hak-hak individual atau harga diri menjadi menciut atau menghilang, bukan semata-mata karena adanya ancaman yang nyata tetapi juga karena adanya ancaman mengerikan yang mereka bayangkan. Rasa aman biasanya muncul pada waktu mereka itu merasa ada yang melindungi atau yang menjadi patron, bisa oknum atau preman - yang untuk itu merek harus mengeluarkan biaya untuk jaminan rasa aman tersebut. Atau karena adanya kerabat yang menjadi anggota ABRI atau pejabat, yang dapat menjadi pelindung rasa aman mereka.

Rasa terpuruk karena ketidak adilan sosial, ekonomi, politik, dan budaya menjadi meluas selain pemerintahan orde baru; baik secara individual maupun secara kolektif. Keterpurukan ini ditambah lagi dengan musibah krismon yang menjadi krisis ekonomi secara nasional. Keruntuhan rezim orde baru, dengan lengsernya presiden Suharto, tidak terjadi semata-mata karena demonstrasi oleh mahasiswa dan umum di Indonesia. Tetapi juga karena negara-negara donor, yang melihat investasi mereka di Indonesia menjadi sangat mahal karena praktek-praktek korupsi dan kronisme. Besarnya biaya overhead yang harus mereka keluarkan menyebabkan bahwa mereka juga menjadi pelanggar HAM karena upah buruh harus ditekan bila mereka itu masih ingin untung. Negara-negara donor ini juga melihat bahwa perang dingin telah selesai dengan runtuhnya tembok kota Berlin berikut keruntuhan rezim-rezim komunis. Sehingga politik pembendungan (the politics of containment) terhadap komunisme tidak diperlukan lagi. Fungsi Suharto dalam politik pembendungan ini tidak ada lagi karena struktur kekuatan komunisme telah hancur berantakan. Ditambah lagi dengan kenyataan bahwa pada masa pasca politik pembendungan, negara-negara otoriter yang dulunya adalah rezim otoriter yang didukung oleh negara-negara donor karena anti komunis, satu demi satu diruntuhkan oleh kekuatan-kekuatan demokrasi. Di Asia Tenggara mungkin hanya pemerintah Myanmar dan Indonesia dibawah presiden Suharto yang masih otoriter dan militeristik.

Kerusuhan dan Potensi Disintegrasi

Keruntuhan rezim orde baru membuka peluang bagi kemunculan demokrasi di Indonesia yang terwujud sebagal masyarakat sipil. Transformasi dari rezim otoriter yang militeristik ke rezim sipil yang demokratis bukanlah sebuah proses yang lembut. Seorang mahasiswa saya di Program S2 Ilmu Politik, U.I., pada waktu sedang maraknya demonstrasi mahasiswa untuk menjatuhkan presiden Suharto mengatakan kepada saya:
“Mana mungkin tentara akan memihak kepada mahasiswa. Selama ini tentara kan menikmati posisinya yang dominan yang secara sah mereka punyai. Mana mau prajurit-prajurit disuruh kembali ke barak. Kalau kembali ke barak mana bisa mereka itu hidup. Gajinya kan cuma cukup untuk hidup seminggu”.

Tiga minggu yang lalu si mahasiswa tersebut bertemu dengan saya. Dia mengatakan kepada saya: “Lihat pak. Betul kan kata saya. Militer terlibat dalam kerusuhan”. Sambil menunjukkan pernyataan Dr. Thamrin Tomagola di koran dan tabloid yang selama ini disimpannya. Saya katakan bahwa saya melihat kerusuhan-kerusuhan di Indonesia, yang terjadi
di Kalimantan Barat, Ambon, Maluku, Aceh, dan di banyak tempat lainnya telah terjadi karena dipicu oleh para preman (lihat: Suparlan 1999a, 2000, dan Suparlan, dkk 1999). Kalau diperhatikan lebih lanjut, kerusuhan terjadi karena ketidak puasan dari masyarakat setempat atas perbuatan sewenang-wenang preman; dan, ditambah lagi dengan adanya campur tangan politik pada tingkat lokal oleh oknum-oknum pusat, sebagaimana dikemukakan oleh Boedhisantoso (Suparlan, dkk 1999).

Kerusuhan bisa dilihat sebagai produk dari ketidak puasan atas kondisi kehidupan mereka sebagai akibat dari situasi sosial dan ekonoini yang mereka hadapi sehari-hari, yang menyebabkan mereka itu dengan mudah termakan oleh isyu-isyu yang diedarkan oleh provokator. Isyu-isyu yang mudah diterima oleh warga masyarakat adalah yang isinya dapat menunjukkan adanya 'kambing hitam' penyebab segala keterpurukan yang sedang mereka jalani. Isyu 'kambing hitam' ini dengan mudah diterima karena jawaban kongkrit mengenai sebab-sebab kehidupan mereka yang menderita itu tidak pernah dengan jelas ditunjukkan oleh pemerintah yang berwenang untuk mengumumkannya. Karena 'kambing hitamnya' sudah jelas, maka sumber malapetaka dalam kehidupan mereka yang menderita itu dengan jelas dapat diidentifikasi untuk ditumpas.

Kerusuhan di kota Ambon yang bermula dari konflik antara preman asal Sulawesi Selatan dengan supir Angkot Ambon, telah meluas melibatkan konflik antara orang-orang Ambon dengan orang-orang Bugis, Buton, Makasar. Konflik ini berlanjut menjadi konflik antara orang-orang Kristen dengan orang-orang Islam, yang mencakup juga konflik antara orang-orang Ambon Kristen dengan orang-orang Ambon Islam (lihat: Suparlan dkk 1999). Hal yang sama juga terjadi di Maluku Utara, dimana konflik yang bermula dari dua kelompok sukubangsa yang berbeda berubah menjadi konflik antara dua penganut agama yang berbeda, penganut Kristen dengan penganut Islam. Kerusuhan di kabupaten Sambas juga bermula dari perbuatan kriminal yang dilakukan oleh preman Madura terhadap warga sebuah desa di kabupaten Sambas.

Sedangkan konflik-konflik di Jakarta dan di beberapa wilayah di Jawa Barat dan Jawa Tengah, yang terwujud sebagai kerusuhan antar kampung atau antar desa, bermula dari perebutan wilayah pemalakan atau pemerasan untuk memperoleh uang keamanan antara dua kelompok preman yang saling bersaing. Kerusuhan yang terjadi bukan hanya menyebabkan jatuhnya korban yang luka-luka dan meninggal dari dua kelompok preman yang bertarung tetapi juga menyebabkan jatuhnya korban warga masyarakat biasa dan hancurnya harta benda mereka yang bukan preman. Dalam kerusuhan seperti ini, masing-masing melihat pihak lawan tidak lagi sebagai manusia atau orang perorang tetapi mereka lihat sebagai kategori musuh yang harus ditumpas. Siapapun yang berasal dari wilayah kategori musuh atau mempunyai jatidiri sebagai orang yang sama dengan kategori musuh adalah musuh. Warga masyarakat biasa yang tidak tahu apa-apa mengenai sumber konflik secara tidak mereka sadari menjadi terlibat dalam kerusuhan tersebut. Lebih lanjut, kategori kampung atau desa bisa meluas menjadi kategori sukubangsa, sehingga kerusuhan yang terjadi bisa melibatkan mereka yang tergolong sebagai dua sukubangsa atau lebih. Konflik antar sukubangsa dapat berkembang menjadi konflik antara dua penganut agama yang berbeda, pada waktu solidaritas keagamaan dikembangkan oleh salah satu pihak yang bertarung atau oleh kedua belah pihak.

Agama tradisi besar atau agama wahyu di Indonesia pada dasarnya adalah agama sukubangsa. Karena agama-agama tradisi besar tersebut (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha) telah masuk dan diterima oleh masyarakat-masyarakat sukubangsa di Indonesia sebelum adanya Indonesia pada tahun 1945. Agama-agama tradisi besar yang berisikan petunjuk-petunjuk hidup di dunia dan akhirat bagi pemeluknya masing-masing, pada dasarnya berisikan ajaran etika dan moral yang mengangkat derajat kemanusiaan manusia. Agama-agama tradisi besar ini juga membedakan secara tegas antara mereka yang percaya dan yang tidak percaya. Di Indonesia, sejumlah agama tradisi besar dipeluk oleh warga sebuah masyarakat sukubangsa. Sehingga sebuah sukubangsa mempunyai warga yang berbeda-beda keyakinan keagamaan mereka. Karena itu di banyak sukubangsa di Indonesia, antara lain sukubangsa-sukubangsa yang hidup di pulau Seram dan Ambon dan di sejumlah pulau di Maluku Selatan, terdapat pranata pela gandong; yang arti harafiahnya adalah satu saudara sekandung. Pela gandong mencakup hak dan kewajiban diantara kelompok-kelompok kerabat (kampung-kampung) yang beragama Kristen dan Islam, yang intinya menekankan kehidupan bersama yang rukun walaupun berbeda agama. Bila dilanggar maka akan ada sanksi-sanksi gaib yang menimpa si pelanggar. Hubungan pela gandong antara dua kelompok kerabat dibakukan dengan diadakannya sebuah upacara sakral, yang paling lambat setiap lima tahun sekali upacara tersebut dilakukan kembali. Konflik atau perang diantara kampung-kampung yang berbeda agamanya dan tidak terikat dalam hubungan pela gandong, dapat tedadi, sedangkan konflik diantara kampung-kampung berbeda agama yang terikat oleh hubungan pela gandong tidak mungkin terjadi.

Disamping berbagai kerusuhan yang dipicu oleh para preman, terdapat juga potensi disintegrasi yang disebabkan oleh adanya perlakuan tidak adil yang bersumber pada eksploitasi sumber-sumber daya alam secara rakus selama pemerintahan orde baru, seperti yang terjadi di Irian Jaya (Papua) dan Riau, yang menuntut untuk merdeka dan bebas dari kedaulatan negara Republik Indonesia. Di Riau tidak pernah ada bibit-bibit nasionalisme Riau atau nasionalisme Melayu. Sedangkan di Irian Jaya (Papua) terdapat bibit-bibit nasionalisme Papua, sebagai peninggalan dari pemerintah jajahan Belanda di Papua. Bibit nasionallsine ini ada dan berkembang di antara mereka yang terpelajar yang mengenyam pendidikan Belanda, dan terorganisasi dalam apa yang dinamakan scbagal OPM (Organisasi Papua Merdeka) yang bergerak di bawah tanah.

Mereka ini pada mulanya berjumlah sedikit, dan orientasi politik mereka adalah pada Belanda. Pemerintahan orde baru yang otoriter dan eksploitatif terhadap sumber-sumber daya alam, termasuk di Papua, telah antara lain mcnyebabkan popularitas OPM sebagai organisasi yang tetap berjuang menolak pemerintahan orde baru di Papua. Kalau kita perhatikan lebih lanjut, diantara mereka yang mendukung OPM juga banyak yang pada mulanya mendukung Republik Indonesia di Papua. Tetapi mereka yang mendukung Republik Indonesia ini menjadi tergelincir ke dalam OPM karena berbagai bentuk kesewenang-wenangan dan eksploitasi yang dilakukan oleh pemerintahan orde baru. Inti permasalahannya adalah, bahwa keberadaan dan berkembang biak-nya OPM bukan karena kesadaran nasionalisme Papua tetapi karena respons mereka terhadap ketidakadilan dan kesewenang-wenangan pemerintahan orde baru sehingga perlawanan OPM menjadi juga perlawanan warga masyarakat Papua terhadap Indonesia. Dan, bentuk perluasan serta perkembangan dari OPM ini dapat, membangkitkan bibit-bibit nasionalisme baru Papua, yang dapat merupakan potensi disintegrasi Indonesia.

Apa yang terjadi di Aceh juga pada dasarnya sama dengan apa yang terjadi di Papua. Bila sekiranya tidak terjadi perbuatan sewenang-wenang oleh aparat keamanan dan preman-preman terhadap warga masyarakat Aceh, dan bila sekiranya tidak, terdapat kerakusan yang berlebihan dalam penguasaan dari eksploitasi sumber-sumber daya alam oleh oknum-oknum pemerintah dan kroni-kroninya, barangkali GAM akan mati sendiri. Karena pada dasarnya lebih banyak pendukung Republik Indonesia dibandingkan dengan pendukung GAM, sebelum terjadinya kerusuhan Aceh yang sekarang ini.

Kerusuhan-kerusuhan yang terwujud dalam bentuk pelanggaran HAM pada sekarang ini nampak transparan, dengan diaktifkannya konsep HAM sebagai sebuah konsep sakral yang harus dihargai dan dijunjung tinggi dalam era reformasi. Konsep HAM yang dalam zaman pemerintahan presiden Suharto sama sekali tidak ada harganya, kecuali HAM dari pejabat yang harus dilindungi oleh pemerintah. Penghargaan dan penjunjungan tinggi HAM pada masa sekarang ini telah dimungkinkan terwujud karena perjuangan dari LSM, mahasiswa, dan seluruh bangsa Indonesia yang merasa terpuruk hak-hak individualnya di masa lampau.
Apa yang patut kita pikirkan pada masa sekarang ini adalah ‘Hak Budaya Komuniti’ atau Masyarakat setempat. Berbagai bentuk penggusuran di masa lampau telah dilakukan oleh pemerintahan presiden Suharto. Dan, masa kini penghancuran kampung-kampung, desa-desa, dan komuniti sedang dan terus berlangsung dan melalui kerusuhan-kerusuhan yang terjadi. Begitu juga hak hidup sebuah komuniti yang mempunyai corak kebudayaan yang berbeda dari masyarakat setempat juga berada dalam ancaman untuk digusur oleh masyarakat yang merasa paling asli di wilayah tersebut, pada masa sekarang oleh masyarakat setempat. Di Aceh misalnya, mereka yang bukan Orang Aceh, terutama Orang Jawa, di gusur dari Aceh.

Hal yang sama juga terjadi di Kalimantan Barat, yang telah dilakukan oleh Orang Melayu Sambas terhadap Orang Madura. Padahal hampir sebagian besar Orang Madura, yang tergusur dari desa-desa mereka di Sambas dan menjadi pengungsi di Pontianak adalah generasi kedua atau lebih Orang Madura di Sambas. Mereka sudah tidak punya tanah air lagi di Madura, dan merasa Sambas-lah tanah air mereka. Hal yang sama juga terjadi di Ambon, MalukuUtara, dan di beberapa tempat lainnya di Indonesia. Kalau perjuangan HAM, atau hak individual, di masa lampau dapat berhasil dan menjadi ketentuan hukum; apakah ‘hak budaya komuniti’ itu tidak mungkin untuk diperjuangkan sebagai ketentuan hukum sehingga secara langsung atau tidak, langsung akan meredam berbagai bentuk kerusuhan yang mengancam disintegrasi bangsa dan negara Indonesia? Karena, kerusuhan-kerusuhan yang terjadi selalu berupa penghancuran kampung atau desa yang merupakan wadah kehidupan masyarakatnya.

Bhinneka Tunggal Ika: Masih Mungkinkah?

Saya akan menjawabnya: Mungkin! Tetapi jawaban saya tersebut hanya mungkin dapat terlaksana bila syarat-syarat untuk melakukannya dipenuhi. Kalau Amerika dapat merubah dirinya dari sebuah masyarakat rasialis yang berideologi monokulturalisme menjadi multikulturalisme (lihat: Suparlan 1999), dan Afrika Selatan yang semula merupakan masyarakat majemuk otoriter yang ditandai oleh ideologi rasisme menjadi masyarakat yang demokratis, mengapa kita tidak dapat melakukannya? Kita tentu saja dapat mereformasi atau merubah masyarakat majemuk kita yang otoriter dan militeristik menjadi sebuah masyarakat sipil yang demokratis dan bercorak bhinneka tunggal ika. Dengan syarat-syarat bahwa:
Kita betul-betul berupaya menjadikan masyarakat kita sebuah masyarakat sipil.
Betul-betul berpegang pada demokrasi sebagai pedoman utama dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Hak Individual atau Hak Azasi Manusia, Hak Budaya Komuniti atau Masyarakat, dan Negara atau Pemerintah harus diperlakukan sama sakral atau posisinya dalam hubungannya antara yang satu dengan yang lainnya.
Hukum harus ditegakkan untuk menjamin terwujudnya keteraturan didalam kehidupan masyarakat, sehingga warga masyarakat dapat melakukan kegiatan-kegiatan berproduksi sesuai bidang masing-masing untuk kesejahteraan demi kelangsungan hidup masyarakat.

Berikut ini akan saya coba untuk menjelaskan sccara singkat apa yang dimaksudkan dengan dengan syarat-syarat tersebut diatas. Pertama, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di masyarakat manapun di dunia ini yang menganut faham bahwa masyarakatnya adalah masyarakat sipil, tidak ada dominasi militer atau adanya peran sosial politik dari militer dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tersebut. Militer adalah pasukan perang, dipersiapkan untuk menghadapi peperangan yang dilakukan untuk mempertahankan negara dari serangan musuh dari luar atau berperang melawan musuh di negara lain. Dalam kehidupan sehari-hari di luar pangkalan militer, anggota militer akan harus menjadi orang sipil yang harus tunduk, pada hukum yang berlaku dalam masysrakat sipil yang bersangkutan. Untuk menghidari kekhilafan sehingga berperan dalam bidang sosial politik, maka di berbagai negara, terutama di Amerika Serikat, militer dididik untuk menjadi ahli-ahli teknik sehingga pada waktu mereka dibebastugaskan dari dinas militernya akan mempunyai pekerjaan yang selalu diperlukan oleh masyarakat. Mantan militer ini akan menjadi tenaga-tenaga produktif yang handal yang berguna bagi terwujudnya kesejahteraan hidup dan kelangsungan hidup masyarakat.

Bila syarat pertama tersebut dapat dipenuhi, maka syarat kedua akan harus mencakup pemahaman yang benar mengenai konsep demokrasi dan penerapannya dalam berbagai pranata nasional. Pemerintahan oleh rakyat dan untuk kepentingan rakyat haruslah dipegang teguh. Prinsip yang berlaku dalam demokrasi adalah konflik diantara unsur-unsur yang tercakup di dalamnya. Konflik bukan untuk saling menghancurkan tetapi untuk saling memeriksa guna terwujudnya keseimbangan (check and balances), terutama dalam kaitan hubungan antara eksekutif, legislatif, dan judikatif. Prinsip ini mungkin tidak hanya berlaku pada tingkat supranasional, tetapi juga pada tingkat-tingkat yang lebih rendah, yaitu pada tingkat propinsi, kabupaten, kotamadya, dan kecamatan.

Ketiga, dalam masyarakat yang demokratis landasan demokrasi pada hakekatnya terletak pada hubungan keseimbangan antara hak pemerintah untuk mengatur individu dan komuniti atau masyarakat, dengan hak individu atau HAM, dan dengan hak budaya komuniti atau masyarakat yang tercakup dalam sebuah satuan politik. Tiga unsur tersebut sama-sama sakralnya, dan harus berada dalam hubungan keseimbangan diantara konflik-konflik yang terjadi diantara ketiga unsur tersebut. Pada satu saat, untuk sesuatu kepentingan tertentu, pemerintah atau negaralah yang dimenangkan, sedangkan pada saat lainnya individu yang harus diutamakan, dan pada saat lainnya lagi kepentingan komuniti atau masyarakat harus dimenangkan dalam pertentangannya dengan kepentingan negara dan kepentingan individu.

Di masa lampau kepentingan pemerintahlah yang selalu dimenangkan dengan mengorbankan kepentingan-kepentingan individual (HAM) dan komuniti. Di masa sekarang, kepentingan individual (HAM) sudah dipertungkan dalam upaya penegakkan hukum yang menjamin tercapainya cita-cita masyarakat demokrasi. Tetapi kepentingan komuniti atau masyarakat diabaikan, barangkali karena belum terpikirkan betapa penting posisi dan fungsinya dalam masyarakat demokratis. Dalam masyarakat yang majemuk, seperti telah diuraikan diatas, posisi dari masyarakat-masyarakat sukubangsa yang tercakup di dalamnya tidaklah dalam posisi yang seimbang. Sehingga ada masyarakat yang kebudayaannya dominan dan ada yang minoritas. Dalam masyarakat sipil yang demokratis, masyarakat-masyarakat yang minoritas ini diberi hak lebih untuk hidup dibandingkan dengan yang dominan agar tidak hancur dalam kontak-kontak hubungan dengan masyarakat sukubangsa yang dominan. Hak lebih tersebut adalah hak untuk dapat hidup menurut kebudayaannya, diberi perlindungan terhadap hak ulayat atas tanah, hutan dan air yang secara adat menjadi miliknya. Hak untuk dapat hidup sesuai dengan tradisi budayanya yang mencakup juga hak untuk mempunyai keyakinan keagamaan yang berbeda dari agama yang secara mayoritas diyakini oleh masyarakat setempat yang dominan. Mereka harus diberi perlindungan dari kampanye-kampanye keagamaan yang sistematik dan efektif dari penyebar-penyebar agama wahyu, atau upaya penggusuran mereka dari wilayahnya, ataupun dari upaya-upaya penipuan sistematik untuk menguasai tanah dan sumber-sumber dayanya dari para pebisnis sehingga mereka itu tergusur dari wilayahnya.
Ideologi tentang pentingnya hak budaya komuniti harus mulai disebar luaskan dari sejak sekarang. Dengan alasan bahwa hak budaya komuniti adalah salah satu tiang penyangga tegaknya masyarakat sipil yang demokratis. Amerika Serikat sebagai negara demokratis mempunyai kebudayaan yang nilai-nilai budayanya yang sakral mencakup tiga unsur tersebut (lihat Suparlan 1991). Karena itu masyarakat Amerika tetap tegak dan berjaya dalam perang melawan otoritarianisme dan komunisme, dan dalam menghadapi berbagai gejolak sosial dan politik sukubangsa dan rasial.
Yang terakhir atau ke-empat, tatanan hukum yang berlaku di Indonesia yang berasal dari pemerintahan penjajahan Belanda sudah waktunya untuk dirubah menjadi tatanan hukum yang mendukung cita-cita terwujudnya masyarakat sipil yang demokratis yang menghargai hak-hak individual dan hak-hak budaya komuniti dalam kaitan hubungannya dengan hak-hak berkuasa dari pemerintah atau negara. Permasalahan hak budaya komuniti ini menjadi kritikal, karena dalam peraturan pemerintah mengenai otonomi daerah hak budaya komuniti ataupun kebudayaan masyarakat-masyarakat sukubangsa yang hidup dalam wilayah propinsi atau kabupaten itu tidak diperhatikan. Yang bisa menjadi potensi bagi gagalnya upaya pelaksanaan otonoini daerah, bisa antara lain disebabkan oleh adanya pendominasian struktur politik lokal oleh golongan sukubangsa yang mayoritas dan dominan. Sehingga sukubangsa-sukubangsa yang kecil jumlah warganya dan minoritas posisinya akan terpuruk kehidupannya. Sehingga ketentuan hukum mengenai hak budaya komuniti juga seharusnya mencakup ketentuan hukum yang diberlakukan pada tingkat propinsi dan kabupaten. Permasalahan lainnya yang bisa menjadi potensi kegagalan pelaksanaan otonomi daerah adalah konsep mengenai warga masyarakat setempat. Kecenderungannya adalah, adanya anggapan bahwa otonomi daerah itu diperuntukkan bagi masyarakat sukubangsa asli setempat. Orang-orang asal pendatang yang tinggal dalam wilayah tersebut, walaupun lahir dan dibesarkan disitu tetap dianggap sebagai ‘orang luar’ yang hak-haknya dibedakan dari yang asli. Masalah ini patut dipikirkan secara sungguh-sungguh, mengingat pola-pola kerusuhan yang terjadi sekarang di beberapa tempat di Indonesia adalah pengusiran terhadap mereka yang dianggap sebagi ‘orang luar’ oleh mereka yang menganggap dirinya asli setempat. Bila hal ini tidak kita pikirkan secara sungguh-sungguh, maka politik sukubangsa dari masyarakat setempat yang merasa asli dan dominan akan berakibat pada tidak mungkinnya membangun kembali masyarakat Indonesia yang bhinneka tunggal ika.

Yang terakhir, berkenaan dengan upaya penegakkan hukum bagi kesejahteraan hidup masyarakat, adalah upaya pemberantasan preman dan oknum. Mereka ini adalah benalu masyarakat yang menggrogoti kesejahteraan hidup dan potensi ekonomi serta potensi berproduksi warga, masyarakat, dan negara. Sudah waktunya untuk memikirkan upaya merubah cara hidup benalu ini menjadi cara hidup produktif, sebagaimana yang seharusnya mereka lakukan sebagai warga masyarakat dan negara. Atau kalau mereka tidak mau atau tidak dapat, maka harus diupayakan untuk menyingkirkan mereka dari kehidupan masysrakat sipil demokratis yang bercorak bhinneka tunggal ika yang kita cita-citakan.


Daftar Kepustakaan

Barth, F., 1969, “Introduction”. Dalam Fredrik Barth (ed.), Ethnic Groups and Boundaries.
Boston: Little, Brown. Hal. 9-38.

Dew, E., 1978, The Difficult Flowering of Surinam: Ethnicity and politics in a plural society.
The Hague: Martinus Nijhoff

Furnival, J.S., 1948a, Colonial Policy and Practice: A comprative study of Burma and the
Netherlands India, New York: New York University Press,

------------- ,1948b, Netherlands India: A study of plural economy. London: Cambridge
University Press.

Lijphart, A., 1969, "Consociationbal Democracy", World Politics No.21: 207-205.
Suparlan, P., 1979, "Ethnic Groups of Indonesia", The Indonesian Quarterly, 7, 2:55-73.
--------- 1991, "Yang Sakral Dalam Nilai-Nilai Budaya Amerika”, Jurnal Studi Amerika, 1, 2: 4-11.

-----------, 1995a, The Javanese In Surinam: Ethnicity in an ethnically plural society. Tempe Arizona: Program for Southeast Asian Studies, Arizona State University.

----------1995b, Orang Sakai di Riau: Masyarakat Terasing Dalam Masyarakat Indonesia. Jakarta: Yayasan OBOR.

---------- 1999a, “Kerusuhan Sambas”. Dalam Laporan Kerusuhan Sambas, Kalimantan Barat. Laporan terbatas disampaikan kepada Kapolri. Jakarta: Maret 1999.

---------- 1999b, “Kemajemukan Amerika: Dari Monokulturalisme ke Multikulturatisme”, Jurnal Studi Amerika, V. Agustus-Desember: 35-43.

---------2000, Ethnic and Religious Conflicts in Indonesia. Makalah disampaikan sebagai ceramah khusus di Dept. of Anthropology, University of Ilinois. Urbana, Illinois, 27 April 2000.

Tishkov, V., 1997, Ethnicity and Nationalism In and Ater the Soviet Union. London: Sage. van den Berghe, P., 1990, "Introduction". In Pierre van den Berghe (ed.), State Violence and Ethnicity. Hal. 1-1 8. London: Sage.
[1] Diperkirakan ada 500 sukubangsa yang hidup di Indonesia. Sedangkan dari Sensus 1930, yang tidak mencakup Irian Jaya atau Papua, tercatat 300 sukubangsa. Sukubangsa-sukubangsa di Indonesia beranekaragam corak dan tingkat kebudayaannya. Ada sukubangsa-sukubangsa yang secara sosial, ekonomi, dan politik telah berkembang dan mengenal sistem pemerintahan kerajaan; dan ada sukubangsa-sukubangsa yang secara sosial, ekonomi, dan politik masih hidup dalam kelompok-kelompok kecil berdasarkan atas aturan kekerabatan dan hidup dari meramu dan berburu (lihat: Suparlan 1978)

[2] Sistem nasional adalah sebuah wadah yang merupakan sebuah struktur dan pedoman bagi warga masyarakat scbuah negara scbagai acuan bagi kehidupan berbangsa dan berncgara. Sebagai sebuah sistcm, sistem nasional mempunyai pedoman yang hakiki sebagaimana yang ada dalam kebudayaan nasionalnya (Pancasila dan UUD 1945, untuk bangsa Indonesia), yang digunakan untuk mcnjabarkan dan mcmproscs masukan-masukan guna dijadikan keluaran-keluaran sesuai dcngan diberadakan dan difungsikannya sistem nasional tersebut. Kalau kita melihat dan memahami kebudayaan sebagai pedoman menyeluruh bagi kehidupan sebuah masyarakat, maka Pancasila dan UUD 1945 yang dilihat sebagai scbuah pedoman menycluruh dari sistem nasional dalam mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara, maka Pancasila dan UUD 1945 dapat dilihat sebagai kebudayaan nasional bagi bangsa Indonesia. Bedanya dengan kebudayaan masyarakat dalam pengertian umum adalah, Pancasila dan UUD 1945 adalah adalah kebudayaan yang ideal sedangkan yang aktualnya bisa menyimpang karena disimpangkan oleh penguasa sistem nasional.
Sedangkan pengertian sukubangsa mengacu pada pengertian yang dikembangkan oleh Fredrik Barth (1969: 9-38), yang dilihat sebagai sebuah gololgan sosial yang khusus. Kekhususan sukubangsa sebagai sebuah golongan sosial ditandai oleh ciri-cirinya, yaitu: diperoleh secara askriptif atau didapat begitu saja bersama dengan kelahirannya atau asalnya, dan yang muncul dalam interaksi berdasarkan atas pengakuan oleh warga sukubangsa yang bersangkutan dan oleh sukubangsa lainnya. Ciri-ciri dari sukubangsa merupakan ciri-ciri yang umum dan mendasar berkenaan dengan asal muasal manusia, yang digunakan sebagai identitas atau jatidiri pribadi dan kelompoknya, yang tidak dapat dengan seenaknya dibuang atau ditiadaka. Hanya dapat disimpan atau tidak digunakan sebagai acuan bagi jatidiri dalam interaksi yang berlaku, karena ciri-ciri tersebut melekat seumur hidup bersama dengan keberadaannya sejak kelahirannya.
Sistem sukubangsa adalah sebuah tatanan kehidupan atau kebudayaan yang digunakan sebagai acuan atau pedoman untuk hidup sebagai warga masyarakat sukubangsa yang bersangkutan, baik sebagai pribadi ataupun sebagai warga masyarakat sukubangsanya. Kebudayaan sukubangsa mencakup pedoman-pedoman untuk- menghadapi lingkungan alam atau fisik serta cara-cara pemanfaatannya bagi kelangsungan hidup. Juga mencakup pedoman bagi menghadapi serta mengatasi atau memanfaatkan berbagai gejala serta masalah sosial, ekonomi, politik, dan budaya, dan hukum yang ada dalam kehidupan sukubangsa yang bersangkutan. Kebudayaan sukubangsa menyajikan jawaban-jawaban berkenaaan dengan keberadaan atau asal muasal manusia dan mengenai alam semesta beserta isinya, menyajikan formula-formula yang dapat dipilih untuk digunakan dalam menghadapi dunia gaib dan ketidak pastian kehidupan yang menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari dari warga sukubangsa yang bersangkutan. Inti dari kebudayaan adalah patokan nilai-nilai etika dan moral, baik yang tergolong sebagai yang ideal, yang biasanya dinamakan worldview atau pandangan hidup dan yang aktual di dalam kehidupan sehari-hari yang dinamakan ethos atau etos. Secara operasional kebudayaan sukubangsa terwujud dalam bentuk pranata-pranata sosial yang ada dalam masyarakat sukubangsa, seperti misalnya, keluarga, pasar, pemerintahan desa, pesantren, hukum adat berkenaan dengan tanah dan hutan, atau lainnya. Keberadaan dan fungsi dari pranata-pranata sosial tersebut dalam masayarakat adalah sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan hidup yang dianggap penting dan harus dipenuhi oleh warga masyarakat yang bersangkutan.
Kebudayaan umum lokal, ada dan berfungsi dalam tempat-tempat umum. Tempat umum adalah sebuah ruang fisik yang digunakan untuk kegiatan-kegiatan bersama atau umum atau siapa saja baik untuk kepentingan-kepentingan pribadi ataupun untuk kepentingan-kepentingaan sosial, ekonomi, politik dan budaya. Sebuah ruang fisik dapat dilihat sebagai sebuah ruang sosial, karena penekanan dari kegiatan-kegiatan para penggunanya adalah pada interaksi-interaksi sosial uniuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan yang mereka anggap penting dan hanya dapat dilakukan di tempat tersebut. Ruang sosial bagi umum tersebut juga dapat dilihat sebagai pranata sosial, karena ruang sosial tersebut merupakan sebuah sistem antar hubungan norma-norma dan peranan-peranan untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan oleh warga masyarakat yang bersangkutan, melalui interaksi-interaksi sosial dari para pelakunya. Pedoman bagi adanya norma-norma dan peranan-peranan sosial para pelakunya adalah kebudayaan yang berlaku dalam tempat-tempat umum yang bersangkutan. Tempat-tempat umum biasanya melayani kebutuhan-kebutuhan untuk hiburan dan rekreasi, pelayanan jasa sosial atau perdagangan, dan interaksi-interaksi sosial. Kebudayaan tempat-tempat umum tersebut terwujud dari berbagi kebiasaan atau konvensi sosial yang berupa norma-norma sosial dan menjadi mantap karena telah berlangsung cukup lama. Tercakup dalam norma-norma sosial tersebut adalah patokan-patokan etika dan moral yang menandai corak tindakan-tindakan dan pola-pola kelakuan yang berlaku di tempat-tempat umum yang bersangkutan. Patokan etika dan moral tersebut berbeda dari corak patokan-patokan yang berlaku dalam suasana sukubangsa (keluarga, kerabat, atau upacara-upacara lingkaran hidup, atau upacara-upacara keagamaan), dan berbeda pula dari patokan-patokan etika dan moral yang berlaku bagi kegiatan-kegiatan di dalam suasana kegiatan-kegiatan nasional. Patokan-patokan yatig berlaku dalam kebudayaan tempat-tempat umum adalah prinsip-prinsip egalitarian (kesamaan derajat) dan kemampuan tawar-menawar barang, uang, dan jasa. Dalam tawar-menawar yang dilakukan oleh para pelaku mencakup penggunaan kekuatan, baik keuatan uang, kekuatan fisik tubuh, maupun kekuatan sosial yang mengacu pada kategori sosial dari masing-masing pelaku yang bersangkutan

PENDEKATAN BUDAYA TERHADAP AGAMA

PENDEKATAN BUDAYA TERHADAP AGAMA*)
PARSUDI SUPARLAN
UNIVERSITAS INDONESIA

Pendahuluan

Dalam salah satu tulisan saya (1988: v), saya kemukakan bahwa: "Agama, secara mendasar dan umum, dapat didefinisikan sebagai seperangkat aturan dan peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan dunia gaib, khususnya dengan Tuhannya, mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya, dan manusia dengan lingkungannya". Dalam definisi tersebut, agama dilihat sebagai sebuah doktrin atau teks suci sedangkan hubungan agama dengan manusia yang meyakininya dan khususnya kegiatan-kegiatan manusia penganut agama tersebut tidak tercakup dalam definisi tersebut. Para ahli ilmu-ilmu sosial, khususnya Antropologi dan Sosiologi, yang perhatian utamanya adalah kebudayaan dan masyarakat manusia, telah mencoba untuk melihat agama dari perspektif masing-masing bidang ilmu dan pendekatan-pendekatan yang mereka gunakan, dalam upaya mereka untuk dapat memahami hakekat agama dalam kehidupan manusia dan masyarakatnya.

Diantara berbagai upaya yang dilakukan oleh para ahli Antropologi untuk memahami hakekat agama bagi dan dalam kehidupan manusia, Michael Banton telah mengedit sebuah buku yang berjudul "Anthropological Approaches to the Study of Religion, yang diterbitkannya pada tahun 1966. Diantara tulisan-tulisan yang ada dalam buku tersebut, yang kemudian menjadi klasik karena sampai dengan sekarang ini masih diacu dalam berbagai tulisan mengenai agama, adalah tulisan Clifford Geertz yang berjudul Religion as a Cultural System. Tulisan Geertz inilah yang telah menginspirasikan dan menjadi acuan bagi perkembangan teori-teori mengenai agama yang dilakukan oleh para ahli Antropologi. Tulisan berikut ini juga mengacu pada teori Geertz mengenai agama sebagai sistem budaya, walaupun dalam rinciannya tidaklah sama dengan teori Geertz tersebut.

Pendekatan Kebudayaan

Pendekatan sebagai sebuah konsep ilmiah tidaklah sama artinya dengan kata pendekatan nyata biasa digunakan oleh umum atau awam. Kalau dalam konsep orang awam atau umum kata pendekatan diartikan sebagai suatu keadaan atau proses mendekati sesuatu, untuk supaya dapat berhubungan atau untuk membujuk sesuatu tersebut melakukan yang diinginkan oleh yang mendekati, maka dalam konsep ilmiah kata pendekatan diartikan sama dengan metodologi atau pendekatan metodologi. Pengertian pendekatan sebagai metodologi adalah sama dengan cara atau sudut pandang dalam melihat dan memperlakukan yang dipandang atau dikaji. Sehingga dalam pengertian ini, pendekatan bukan hanya diartikan sebagai suatu sudut atau cara pandang tetapi juga berbagai metode yang tercakup dalam sudut dan cara pandang tersebut. Dengan demikian konsep pendekatan kebudayaan dapat diartikan sebagai metodologi atau sudut dan cara pandang yang menggunakan kebudayaan sebagai kacamatanya. Permasalahannya kemudian, adalah mendefinisikan konsep kebudayaan yang digunakan sebagai sudut atau cara pandang ini.

Di Indonesia, diantara para cendekiawan dan ilmuwan sosial, konsep kebudayaan dari Profesor Koentjaraningrat amatlah populer. Dalam konsep ini kebudayaan diartikan sebagai wujudnya, yaitu mencakup keseluruhan dari: (1) gagasan; (2) kelakuan; dan (3) hasil-hasil kelakuan. Dengan menggunakan definisi ini maka seseorang pengamat atau peneliti akan melihat bahwa segala sesuatu yang ada dalam pikirannya, yang dilakukan dan yang dihasilkan oleh kelakuan oleh manusia adalah kebudayaan. Dengan demikian, maka kebudayaan adalah sasaran pengamatan atau penelitian; dan, bukannya pendekatan atau metodologi untuk pengamatan, penelitian atau kajian. Karena tidak mungkin untuk menggunakan keseluruhan gagasan, kelakuan, dan hasil kelakuan, sebagai sebuah sistem yang bulat dan menyeluruh untuk dapat digunakan sebagai kecamata untuk mengkaji kelakuan atau gagasan atau hasil kelakuan manusia. Ketidak mungkinan tersebut disebabkan karena: (1) Gagasan sebagai ide atau pengetahuan tidaklah sama hakekatnya dengan kelakuan dan hasil kelakuan. Pengetahuan tidak dapat diamati sedangkan kelakuan atau hasil kelakuan dapat diamati dan/atau dapat diraba. (2) Kelakuan dan hasil kelakuan adalah produk atau hasil pemikiran yang berasal dari pengetahuan manusia. Jadi hubungan antara gagasan atau pengetahuan dengan kelakuan dan hasil kelakuan adalah hubungan sebab akibat; dan karena itu gagasan atau pengetahuan tidaklah dapat digolongkan sebagai sebuah golongan yang sama yang namanya kebudayaan.

Dalam berbagai tulisan saya, antara lain (1986), telah saya kemukakan bahwa kebudayaan adalah pedoman bagi kehidupan masyarakat yang diyakini kebenarannya oleh masyarakat tersebut. Bila kebudayaan adalah sebuah pedoman bagi kehidupan maka kebudayaan tersebut akan harus berupa pengetahuan yang keyakinan bagi masyarakat yang mempunyainya. Dengan demikian, maka dalam definisi kebudayaan tidak tercakup kelakuan dan hasil kelakuan; karena, kelakuan dan hasil kelakuan adalah produk dari kebudayaan.

Sebagai pedoman hidup sebuah masyarakat, kebudayaan digunakan oleh warga masyarakat tersebut untuk menginterpretasi dan memahami lingkungan hidupnya dan mendorong serta menghasilkan tindakan-tindakan untuk memanfaatkan berbagai sumber daya yang ada dalam lingkungan hidup tersebut untuk pemenuhan berbagai kebutuhan hidup mereka. Untuk dapat digunakan sebagai acuan bagi interpretasi dan pemahaman, maka kebudayaan berisikan sistem-sistem penggolongan atau pengkategorisasian yang digunakan untuk membuat penggolongan-penggolongan atau memilih-milih, menseleksi pilihan-pilihan dan menggabungkannya untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Dengan demikian setiap kebudayaan berisikan konsep-konsep, teori-teori, dan metode-metode untuk memilih, menseleksi hasil-hasil pilihan dan mengabungkan pilihan-pilihan tersebut.

Sebagai sebuah pedoman bagi pemenuhan kebutuhan-kebutuhan kehidupan maka kebudayaan berisikan konsep-konsep, resep-resep, dan petunjuk-petunjuk untuk dapat digunakan bagi menghadapi dunia nyata supaya dapat hidup secara biologi, untuk dapat mengembangkan kehidupan bersama dan bagi kelangsungan masyarakatnya, dan pedoman moral, etika, dan estetika yang digunakan sebagai acuan bagi kegiatan mereka sehari-hari. Operasionalisasi dari kebudayaan sebagai pedoman bagi kehidupan masyarakat adalah melalui berbagai pranata-pranata yang ada dalam masyarakat tersebut. Pedoman moral, etika, dan estetika yang ada dalam setiap kebudayaan merupakan inti yang hakiki yang ada dalam setiap kebudayaan. Pedoman yang hakiki ini biasanya dinamakan sebagai nilai-nilai budaya. Nilai-nilai budaya ini terdiri atas dua kategori, yaitu yang mendasar dan yang tidak dipengaruhi oleh kenyataan-kenyataan kehidupan sehari-hari dari para pendukung kebudayaan tersebut yang dinamakan sebagai Pandangan Hidup atau World View; dan yang kedua, yang mempengaruhi dan dipengaruhi coraknya oleh kegiatan-kegiatan sehari-hari dari para pendukung kebudayaan tersebut yang dinamakan etos atau ethos.

Kebudayaan sebagai pedoman bagi kehidupan masyarakat, memungkinkan bagi para warga masyarakat tersebut untuk dapat saling berkomunikasi tanpa menghasilkan kesalahpahaman. Karena dengan menggunakan kebudayaan yang sama sebagai acuan untuk bertindak maka masing-masing pelaku yang berkomunikasi tersebut dapat meramalkan apa yang diinginkan oleh pelaku yang dihadapinya. Begitu juga dengan menggunakan simbol-simbol dan tanda-tanda yang secara bersama-sama mereka pahami maknanya maka mereka juga tidak akan saling salah paham. Pada tingkat perorangan atau individual, kebudayaan dari masyarakat tersebut menjadi pengetahuan kebudayaan dari para prilakunya. Secara individual atau perorangan maka pengetahuan kebudayaan dan dipunyai oleh para pelaku tersebut dapat berbeda-beda atau beranekaragam, tergantung pada pengalaman-pengalaman individual masing-masing dan pada kemampuan biologi atau sistem-sistem syarafnya dalam menyerap berbagai rangsangan dan masukan yang berasal dari kebudayaan masyarakatnya atau lingkungan hidupnya.

Kebudayaan sebagai pengetahuan mengenai dunia yang ada disekelilingnya dan pengalaman-pengalamannya dengan relatif mudah dapat berubah dan berkembang sesuai dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam lingkungan hidupnya, terutama dalam kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan bagi kehidupannya yang sumber-sumber dayanya berada dalam lingkungan hidupnya tersebut. Tetapi sebagai sebuah keyakinan, yaitu nilai-nilai budayanya, terutama keyakinan mengenai kebenaran dari pedoman hidupnya tersebut, maka kebudayaan cenderung untuk tidak mudah berubah.

Pendekatan Kebudayaan dan Agama

Konsep mengenai kebudayaan yang saya kemukakan seperti tersebut diatas itulah yang dapat digunakan sebagai alat atau kacamata untuk mendatang dan mengkaji serta memahami agama. Bila agama dilihat dengan menggunakan kacamata agama, maka agama diperlakukan sebagai kebudayaan; yaitu: sebagai sebuah pedoman bagi kehidupan masyarakat yang diyakini kebenarannya oleh para warga masyarakat tersebut. Agama dilihat dan diperlakukan sebagai pengetahuan dan keyakinan yang dipunyai oleh sebuah masyarakat; yaitu, pengetahuan dan keyakinan yang kudus dan sakral yang dapat dibedakan dari pengetahuan dan keyakinan sakral dan yang profan yang menjadi ciri dari kebudayaan.

Pada waktu kita melihat dan memperlakukan agama sebagai kebudayaan maka yang kita lihat adalah agama sebagai keyakinan yang hidup yang ada dalam masyarakat manusia, dan bukan agama yang ada dalam teks suci, yaitu dalam kitab suci Al Qur'an dan Hadits Nabi. Sebagai sebuah keyakinan yang hidup dalam masyarakat, maka agama menjadi bercorak lokal; yaitu, lokal sesuai dengan kebudayaan dari masyarakat tersebut. Mengapa demikian? untuk dapat menjadi pengetahuan dan keyakinan dari masyarakat yang bersangkutan, maka agama harus melakukan berbagai proses perjuangan dalam meniadakan nilai-nilai budaya yang bertentangan dengan keyakinan hakiki dari agama tersebut dan untuk itu juga harus dapat mensesuaikan nilai-nilai hakikinya dengan nilai-nilai budaya serta unsur-unsur kebudayaan yang ada, sehingga agama tersebut dapat menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari berbagai unsur dan nilai-nilai budaya dari kebudayaan tersebut. Dengan demikian maka agama akan dapat menjadi nilai-nilai budaya dari kebudayaan tersebut.

Bila agama telah menjadi bagian dari kebudayaan maka agama juga menjadi bagian dari nilai-nilai budaya dari kebudayaan tersebut. Dengan demikian, maka berbagai tindakan yang dilakukan oleh para warga masyarakat untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan kehidupan mereka dalam sehari-harinya juga akan berlandaskan pada etos agama yang diyakini. Dengan demikian, nilai-nilai etika dan moral agama akan terserap dan tercermin dalam berbagai pranata yang ada dalam masyrakat tersebut. Sebaliknya, bila yang menjadi inti dan yang hakiki dari kebudayaan tersebut adalah nilai-nilai budaya yang lain, maka nilai-nilai etika dan moral dari agama yang dipeluk oleh masyarakat tersebut hanya akan menjadi pemanis mulut saja atau hanya penting untuk upacara-upacara saja.

Apakah gunanya menggunakan pendekatan kebudayaan terhadap agama. Yang terutama adalah kegunaannya sebagai alat metodologi untuk memahami corak keagamaan yang dipunyai oleh sebuah masyarakat dan para warganya. Kegunaan kedua, sebagai hasil lanjutan dari kegunaan utama tersebut, adalah untuk dapat mengarahkan dan menambah keyakinan agama yang dipunyai oleh para warga masyarakat tersebut sesuai dengan ajaran yang benar menurut agama tersebut, tanpa harus menimbulkan pertentangan dengan para warga masyarakat tersebut. Yang ketiga, seringkali sesuatu keyakinan agama yang sama dengan keyakinan yang kita punyai itu dapat berbeda dalam berbagai aspeknya yang lokal. Tetapi, dengan memahami kondisi lokal tersebut maka kita dapat menjadi lebih toleran terhadap aspek-aspek lokal tersebut, karena memahami bahwa bila aspek-aspek lokal dari keyakinan agama masyarakat tersebut dirubah maka akan terjadi perubahan-perubahan dalam berbagai pranata yang ada dalam masyarakat tersebut yang akhirnya akan menghasilkan perubahan kebudayaan yang hanya akan merugikan masyarakat tersebut karena tidak sesuai dengan kondisi-kondisi lokal lingkungan hidup masyarakat tersebut.

Penutup

Sebagai akhir kata mungkin dapat dikatakan bahwa pendekatan kebudayaan dalam upaya memahami dan mengkaji agama, dan khususnya bagi para guru agama adan da'i, menjadi amat penting bila upaya pemantapan kehidupan keagamaan dan pengembangannya ingin supaya berhasil dengan baik. Implikasi dari penggunaan pendekatan kebudayaan adalah digunakannya pendekatan kwalitatif, seperti yang telah dilakukan oleh Max Weber dalam kajiannya untuk mengetahui sebab dari kemunculan dan berkembangnya kapitalisme. Max Weber menggunakan istilah verstehen yang artinya sama dengan pemahaman, yang menjadi dasar dari pendekatan kwalitatif.

Kepustakaan

Geertz, C
1966 Religion as a Cultural System. Dalam Anthropological Approaches to the Study of Religion. (Di-edit oleh Michael Banton). London: Tavistock.

Koentjaraningrat
1988 Ilmu Antropologi. Jakarta: Bhratara.

Suparlan, P.
1966 Kebudayaan dan Pembangunan. Dialog, No.21, Th.11. September.
1988 Kata Pengantar. Dalam Agama: Dalam Analisa Dan Interpretasi Sosiologis (Di-edit oleh Ronald Robertson). Diterjemahkan oleh Fediani Syaifuddin. Jakarta: Rajawali.

*) Pelatihan Wawasan Ilmu Pengetahuan dan Pendidikan Dosen Pendidikan Agama Islam Di Perguruan Tinggi Ditjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, R.I. Tugu, Bogor, 26 November 1994