Monday 20 December 2010

Tentang Perpatih

BUDAYA MINANGKABAU DALAM KONTEKS BUDAYA GLOBAL

BUDAYA MINANGKABAU DALAM KONTEKS BUDAYA GLOBAL[1]

Oleh : Zainal Arifin[2]

A. Pendahuluan

“Dunia semakin kecil” adalah ungkapan yang muncul karena semakin mudahnya akses orang untuk mengunjungi, mengetahui dan memahami berbagai aktifitas, kebiasaan serta tradisi sebuah komunitas di berbagai belahan dunia. Terbukanya akses ini, membuat persentuhan antar berbagai budaya selalu terjadi, sehingga berbagai unsur budaya yang selama ini bersifat lokal akhirnya meluas menjadi milik sebahagian besar masyarakat dunia (globalisasi). Ini berarti, budaya global bisa berbentuk penyerapan dan penerimaan unsur budaya luar, dan juga bisa berbentuk terjadinya pengiriman unsur budaya sendiri ke berbagai budaya luar di belahan dunia lain.

Minangkabau adalah salah satu bagian dari dunia global tersebut, yang tidak saja telah mampu menyerap unsur budaya luar secara arif, tetapi secara “cerdas” juga telah menjadi eksportir budaya ke berbagai pelosok negeri. Kita menyadari bahwa banyak unsur budaya luar yang telah menjadi bagian dari budaya Minangkabau, namun juga kita harus mengakui bahwa juga banyak budaya Minangkabau yang telah diserap menjadi bagian dari budaya luar tersebut. Bukan hal yang baru kalau Kentucky Fried Chikens (KiFC) akhirnya bisa menjadi Kampung Fried Chikens (KaFC) di berbagai pelosok kota Padang. Namun kita juga harus berbangga diri bahwa Rumah Makan Padang juga telah menjadi simbol rumah makan halal di berbagai belahan dunia.

Proses menjadi bagian dari budaya global ini, sebenarnya telah lama terjadi dalam budaya Minangkabau. Makalah ini mencoba mendiskusikan bahwa kearifan masyarakat Minangkabau dalam menyerap dan memasukkan unsur budaya luar, telah tumbuh sejak awal berdirinya Minangkabau.

B. Budaya Global dan Lokalitas

Global artinya dunia. Jadi globalisasi (meng-global) dalam banyak konsep sering diartikan sebagai proses penyerapan unsur-unsur kehidupan antar wilayah dunia. Budaya global dengan demikian bisa kita definisikan sebagai proses terserap dan saling terbaginya nilai-nilai, norma-norma, gagasan-gagasan dan sistem kepercayaan antar berbagai komunitas yang ada di berbagai wilayah dunia (Nustad, 2003). Di sini ada dua pandangan tentang apa yang dimaksud dengan wilayah dunia dalam proses globalisasi ini. Di satu sisi wilayah dunia ini lebih dilihat sebagai tempat atau areal di belahan dunia (world place) lain yang diasosiasikan pada wilayah administratif kenegaraan (Eropa–Amerika–Asia, atau negara Belanda–Jepang–Indonesia). Namun di sisi lain, wilayah dunia ini dilihat sebagai ranah budaya (world space) yang berbeda antar komunitas satu dengan komunitas lainnya (budaya Barat–Timur, budaya Melayu–Arab, budaya Minangkabau–Jawa).

Terciptanya budaya global, lebih disebabkan karena semakin tercampurnya antar berbagai komunitas dunia. Proses percampuran ini tidak saja karena persentuhan langsung melalui kunjungan, migrasi maupun kolonisasi, namun juga karena semakin terbukanya akses media untuk memahami budaya lain. Persentuhan ini akhirnya melahirkan pemahaman baru (discovery) tentang unsur budaya di belahan dunia lain, yang pada komunitas tertentu bisa saja mengalami penolakan, namun di komunitas lain akhirnya terjadi proses peniruan (imitation). Artinya, penolakan dan penerimaan (peniruan) unsur budaya luar ini akan sangat tergantung bagaimana sebuah komunitas memahami dan menafsir ulang (redefinition) pengetahuan baru tersebut (Friedman, 1994).

Proses tafsir ulang terhadap pengetahuan baru ini, membuat berbagai unsur budaya baru yang terserap dan terbagi di setiap komunitas, akan selalu saling terkait (interconnections) dan saling tergantung (interdependences) satu sama lain. Artinya, walaupun budaya global akan memiliki kemiripan di berbagai wilayah, namun sebenarnya tetap mendapat ciri lokal (local identity) di setiap wilayah yang ditempatinya. Disini kita bisa memahami mengapa unsur budaya yang sama, justru memiliki perbedaan fungsi dan pemaknaan di setiap komunitas yang ditempatinya. Pakaian jas misalnya (pakaian formal yang berfungsi menahan dingin di eropa) akhirnya bermakna dan difungsikan secara berbeda oleh orang Indonesia (yang diorientasikan sebagai penunjuk gengsi). Kita juga bisa memaklumi mengapa di masa Orde Baru, ada desakan agar sagu sebagai makanan pokok orang Papua (bermakna kemiskinan) diganti dengan beras (dimaknai sebagai kemakmuran).

C. Budaya Minangkabau dalam Konteks Budaya Global

Masyarakat Minangkabau lebih dilihat oleh banyak ahli sebagai masyarakat yang dinamis dan selalu terbuka dalam menerima unsur budaya luar. Pepatah adatnya yang mengatakan sakali aia gadang sakali tapian baraliah, sakali musim batuka sakali caro baganti, lebih menunjukkan bahwa perubahan (sebagai konsekuensi keterbukaan), lebih sebagai peristiwa yang biasa dan wajar-wajar saja (Nasroen, 1954; Sairin, 2002). Artinya nenek moyang orang Minangkabau, sejak awal telah menyadari bahwa setiap nilai-nilai dan norma-norma serta kebiasaan yang berkembang dan dikembangkan dalam masyarakat[3], haruslah memiliki daya lentur terhadap unsur-unsur baru yang mereka serap dan terima dari luar.

Tipikal masyarakatnya yang dinamis inilah yang membuat orang Minangkabau akhirnya menjadi sangat adaptif dengan berbagai perubahan yang dihadapinya. Artinya, orang Minangkabau pada prinsipnya bisa masuk dan melakoni budaya apa saja, di mana saja dan kapan saja. Permasalahannya, sejauhmana budaya luar tersebut mau diserap dan diterima serta diaplikasikan dalam kehidupan diri dan masyarakatnya ? Jawaban pertanyaan ini sangat tergantung pada sejauhmana nilai-nilai budaya lokal menjalankan fungsinya sebagai filter dan pedoman dalam proses penyerapan budaya luar tersebut.

Kemampuan adaptif orang Minangkabau ini tidak terlepas dari nilai-nilai budaya yang dibangun para nenek moyang pendahulu kita dulu untuk kemudian terus diwariskan dari generasi ke generasi sampai sekarang. Dalam tambo diungkapkan bahwa duo datuak peletak dasar adat Minangkabau — Datuk Katamenggungan dan Datuk Perpatih nan Sabatang — cenderung memiliki tipikal psikologis yang berbeda (satu aristokrat dan satu demokrat). Perbedaan ini terus dipertahankan, walaupun upaya mempertahankan perbedaan ini bukanlah hal gampang. Menurut Doblin (2008), persatuan antara duo datuak ini sempat retak bahkan sempat terjadi perang bedil diantara keduanya, sebagaimana terjadi pada peristiwa batu batikam. Walaupun sempat terjadi “perang saudara” namun persatuan kemudian terus dijalin kembali, bahkan akhirnya saling membutuhkan dan saling melengkapi. Kondisi seperti inilah yang kemudian disebut oleh de Jong (1960) sebagai hostile in friendship (permusuhan dalam persahabatan).

Berbedanya tipikal psikologis duo datuak ini, teraplikasi dalam ajaran (adat) yang diwariskannya. Datuk Katamenggungan akhirnya mewariskan pemikiran dan ajarannya yang kemudian dikenal sebagai Koto Piliang yang memiliki tipe bajanjang naik batanggo turun (aristokrasi), sehingga pewarisan pimpinan (penghulu) bersifat patah tumbuh hilang baganti. Sementara Datuk Perpatih nan Sabatang akhirnya mewariskan pemikiran dan ajaran Bodi Caniago yang memiliki tipe tagak samo tinggi duduak samo randah (demokrasi) dengan pola pewarisan pimpinan (penghulu) bersifat gadang bagilia.

Ajaran duo datuak yang relatif sangat berbeda ini (duality) —namun harus dipatuhi dan dijalani — akhirnya membuat orang Minangkabau terlatih untuk selalu menghadapi berbagai perbedan dan perubahan serta tekanan unsur-unsur budaya dari luar. Secara cerdas orang Minangkabau akhirnya selalu berkompromi (conformity) dengan berbagai perbedaan, walaupun perbedaan setajam apapun (Arifin, 2007). Kecerdasan ini telah ditunjukkan oleh orang Minangkabau dengan keberhasilannya mengkompromikan antara Islam (yang cenderung patrilineal) dengan adat (yang matrilineal). Bukan hal gampang menetapkan siapa yang seharusnya bertanggungjawab dalam pengasuhan anak, apalagi legitimasinya menurut agama dan adat. Tetapi orang Minangkabau mampu meujudkannya melalui anak dipangku (agama) kamanakan dibimbing (adat).

Selalu berkompromi ini, dalam berbagai aspek kehidupan diujudkan dalam berbagai bentuk dengan berbagai istilah. Secara politik, ini lalu ditunjukkan melalui proses musyawarah-mufakat, begitu juga dalam aspek ekonomi (pola dagang) akhirnya dituangkan dalam bentuk proses tawar menawar. Dalam sosial kemasyarakat, kita diajarkan untuk baiyo-iyo, bahkan selalu dituntut untuk menerapkan prilaku lamak diawak katuju di urang. Ini menunjukkan bahwa proses tawar menawar (bernegosiasi) telah menjadi alat terbaik bagi masyarakat Minangkabau dalam menghadapi berbagai persoalan, sekaligus sebagai media dalam menemukan jawaban atas berbagai persoalan.

Melalui proses tawar menawar ini akhirnya berbagai unsur budaya luar selalu diserap dan disesuaikan dengan kondisi sosial dan kebutuhan lokal masyarakatnya. Mengelak dan mentabukan kehadiran unsur budaya luar, menurut budaya Minangkabau bukanlah cara yang terbaik, nan elok jadi “pusako” nan buruak kito “pelokan”. Artinya ketika unsur budaya luar tersebut dianggap sesuai dengan kondisi lokal maka unsur tersebut akan diserap dan dijadikan sebagai bagian dalam kehidupan (pusako), sebaliknya ketika unsur budaya tersebut dianggap tidak sesuai, maka proses penyesuaian akan terus dilakukan (dipelok’an) sampai akhirnya terbuang dengan sendirinya ketika unsur budaya luar ini tidak mampu “membumi” secara lokal.

Ini menunjukkan bahwa maka gempuran globalisasi yang selama ini “ditakutkan” banyak orang, sebenarnya bukan hal baru dalam budaya Minangkabau. Perdebatan dan “perkelahian” dalam proses penyerapan dan penerimaan budaya global juga bukan hal aneh, bahkan hal biasa di masyarakat Minangkabau. Duo datuak kita telah mengajarkan bahwa Koto Piliang dan Bodi Caniago ternyata bisa menyatu dan saling membutuhkan, tergantung sejauhmana kita terus melestarikan dan mengaplikasikan pemikiran dan ajaran beliau “permusuhan yang bersahabat”.

D. Referensi

Arifin, Zainal. 2007. “Permusuhan dalam Persahabatan : Budaya Politik Orang Minangkabau”. Makalah disampaikan pada seminar “50 tahun Malaysia : Hubungan Malaysia-Indonesia” yang diadakan oleh Universiti Malaya, Kuala Lumpur Malaysia pada tanggal 19 -21 Juni 2007.

Azwar, Welhendri. 2001. Matrilokal dan Status Perempuan dalam Tradisi Bajapuik. Yogyakarta: Galang Press.

De Jong, P.E. de Josselin. 1960. Minangkabau and Negeri Sembilan. Socio-Political Structure in Indonesia. Jakarta: Bhratara.

Djamaris, Edward, 1991. Tambo Minangkabau. Suntingan Teks disertai Analisa Struktur. Jakarta: Balai Pustaka.

Doblin, Christine. 2008. Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam dan Gerakan Padri : Minangkabau 1784-1830. Jakarta: YOI

Esten, Mursal. 1993. Minangkabau, Tradisi dan Perubahannya. Padang: Angkasa Raya

Friedman, Jonathan. 1994. Cultural Identity and Global Process. London: Sage Publications.

Nasroen. 1957. Dasar Falsafah Adat Minangkabau. Jakarta: Penerbit CV Pasaman.

Nustad, Knut G. 2003. “Considering Global/Local Relations : Beyond Dualism” dalam Thomas Hylland Eriksen (ed) Globalisation. Studies in Anthropology. London: Pluto Press.

Sairin, Sjafri. 1996. “Demokrasi dalam Perspektif Kebudayaan Minangkabau” dalam: Mohammad Najib, dkk (eds), Demokrasi dalam Perspektif Budaya Nusantara. Yogyakarta. LKPSM-NU DIY.

Salmadanis & Duski Samad. 2003. Adat Basandi Syarak. Nilai dan Aplikasinya Menuju Kembali ke Nagari dan Surau. Jakarta: Kartika Insan Lestari Press
[1] Makalah ini disampaikan dalam seminar “Kearifan Lokal Masyarakat Minangkabau” yang diadakan oleh Museum Adityawarman Sumatera Barat pada tanggal 17 November 2009.

[2] Staf pengajar di Jurusan Antropologi FISIP Universitas Andalas, Padang

[3] Nilai-nilai, norma-norma serta berbagai kebiasaan inilah yang kemudian tertuang dalam empat tingkatan (adaik nan ampek) yaitu : (1) adaik nan sabana adaik (nilai dan norma hakiki dan universal), (2) adaik nan teradaikkan (nilai dan norma yang berasal dari nenek moyang), (3) adaik nan diadaikkan (nilai dan norma hasil kesepakatan para penghulu), serta (4) adaik istiadaik (nilai dan norma kekinian). Secara lebih jelas, konsepsi ini dapat dilihat pada berbagai tulisan tentang Minangkabau, termasuk yang relatif baru seperti (Djamaris, 1991; Esten, 1993; Azwar, 2001; Salmadanis, 2003).

"TAMBO MINANG TENTANG ASAL USUL ORANG NEGRI 9 MALAYSIA, SUKU KUBU JAMBI, BUNDO KANDUNG,DATUK KATUMANGGUNGAN, DATUK PERPATIH NAN SABATANG, MAJAPAHIT, dengan SEJARAH INDONESIA YG SANGAT BERTOLAK BELAKANG"

"TAMBO MINANG TENTANG ASAL USUL ORANG NEGRI 9 MALAYSIA, SUKU KUBU JAMBI, BUNDO KANDUNG,DATUK KATUMANGGUNGAN, DATUK PERPATIH NAN SABATANG, MAJAPAHIT, dengan SEJARAH INDONESIA YG SANGAT BERTOLAK BELAKANG"

didalam sejarah indonesia BUNDO KANDUANG bernama asli lara jingga mempunyai saudara lara petak dinikahin RAJA MAJAPAHIT dan mempunyai anak,dan anak ini yg mengalahkan DATUKKATUMANGGUNGAN, sejarah yg dibikin2 menurutku ini adalah manipulasi sejarah.DIDALAM TAMBO
"BUNDO KANDUANG ada jauh sebelum zaman DATUK KATUMANGGUNGAN,dan didalam tambo BUNDO KANDUANG tak punya saudara, dan mempunyai anak yg jd diraja pagaruyung,dan mempunya anak angkat yg bernama CINDUR MATO,yg mejadi RAJA PALEMBANG setelah mengalah TANKU BUNGKUK,warisan BUNDO KANDUANG adalah TALANG PERINDU yg tumbuh diGUNUNG PASAMAN dan TANDIKAT.
sedang DATUK KATUMANGGUNGAN bersaudara tiri satu ibu lain ayah DATUK PERPATIH NAN SABATANG.
Datuk katumanggungan membentuk 2 suku KOTO PILIANG (KATA PILIHAN)/kini suku ini terpecah dgn bnyk suku,DATUK PARPATIH NAN SABATANG membentuk 2 suku BODI CANIAGO (BUDI TERBAIK)/juga terpecah bnyk suku.
Kedua beradik ini tak pernah akur,akhirnya timbul perkelahian krn DATUK PERPATIH memperbolehkan menikah dlm 1 suku,dgn bukti sejarah BATU BATIKAN di TANAH DATAR,akhirnya DATUK PERPATIH dgn sebagian besar sukunya dihukum menjadi orang buangan keNEGRI 9 MALAYSIA dan berkembang biak sampai sekarang,sebagian kecil menetap dibangkinang,setelah kejadian itu DATUK KATUMANGGUNGAN mengasingkan diri dgn diikuti pengikutnya,sebagian pengikutnya menetap dihutan seblat menurunkan SUKU KUBU JAMBI,sedang DATUK KATUMANGGUNGAN meneruskan perjalanan sampai keGUNUNG DEMPO/PALEMBANG mengasingkan diri disana,kelak dari gunung dempo inilah keluar SEGENTAR ALAM/RAJA SRIWIJAYA,yg tak diketahui ayah dan ibunya,jadi tanda tanya apa hubungan DATUK KATUMANGGUNGAN dan SEGENTAR ALAM.

sedang JAMAN MAJAPAHIT br kemaren didalam tambo ditandai dgn ADU KERBAU,karna RAJA PAGARUYUNG waktu tak ingin terjadi pertumpahan darah,maka diadu lah kerbau,kerbau balatentara siapa yg menang,berarti dia lah yg menang,akhirnya kerbau majapahit kalaH,patih majapahit bersikap jantan mengakui kekalahannya dan pergi,jd tak ada sejarahnya MINANGKABAU ditaklukkan MAJAPAHIT.

kadang buku sejarah indonesia itu,bertolak belakang dgn sejarah yg diturunkan turun temurun dr DATUK2 MINANGKABAU.

Menhir di Nagari Mahat

Menhir di Nagari Mahat


Nagari Mahat yang terletak di lembah yang luas dikelilingi bukit-bukit kecil memunyai luas 22.633 km2. Nagari Mahat terletak di Kecamatan Bukit Barisan, Kab. Lima Puluh Kota, Sumatra Barat. Nagari adalah sebuah istilah untuk menyebutkan suatu desa di Minangkabau. Nagari asal usulnya bermula dari Taratak – Dusun – Koto – Nagari.

Taratak adalah tempat awal oleh nenek moyang Minangkabau menetap. Dusun, masyarakatnya yang berkembang kemudian dengan adanya adat, kehidupan masyarakat mulai tersusun, aturan tersebut disebut dusun artinya tersusun. Koto, setelah dusun berkembang karena bertambahnya populasi masyarakat maka timbullah pemikiran untuk meningkatkan adat atau aturan masing-masing dusun, berbagai pemikiran kelompok dapat satu kato berarti satu kata mufakat, maka daerah ini dinamakan sakato, kemudian berdirilah beberapa Koto. Nagari, daerah yang terdiri dari beberapa koto diberi batas atau dipagari karena tiap nagari memiliki aturan adat sendiri, dari kata pagar tersebut muncul istilah nagari.

Di Nagari Mahat banyak ditemukan tinggalan arkeologis, di antaranya menhir, batu dakon, lumpang batu, dan balai-balai batu. Temuan menhir paling dominan yaitu ±800 buah dari berbagai bentuk, ukuran, dan motif hias. Situs-situs megalitik Mahat di antaranya situs Koto Tinggi, Padang Ilalang, Koto Gadang, Ronah, Ampang Gadang, dan lain-lain.

Menhir Mahat

Penentuan tipologi menhir yang beragam di Nagari Mahat dilihat dari variabel-variabel atribut. Variabel tersebut adalah teknologi, bentuk, ukuran, dan pola hias. Teknologi pembuatan menhir di Nagari Mahat dilakukan melalui proses anostractive technology, yakni berupa proses pembentukan hasil melalui pengurangan volume bahan (proses sentrifugal) sehingga menghasilkan bentuk menhir yang sangat beragam. Keragaman nampak pada bentuk ujung atas menhir, bentuk badan seperti hulu pedang, gagang golok, buaya, serta biji-bijian, sedangkan dari arah lengkungan menhir, keseluruhan menhir melengkung ke arah tenggara kecuali di Situs Padang Ilalang, orientasi lengkungannya ke selatan dengan ukuran berkisar antara 30-400 cm.

Penggolongan menhir berdasarkan ukuran apabila dikaitkan dengan pola hias, dapat dikatakan bahwa pola hias menhir hanya terdapat pada menhir yang berukuran sedang dan besar, sedangkan menhir yang termasuk ke golongan berukuran kecil tidak ditemukan pola hias. Secara artefaktual dapat dikatakan bahwa menhir ditinjau berdasarkan ukuran menunjukkan perbedaan ada dan tidaknya hiasan. Perbedaan dimaksudkan sebagai pertanda perbedaan status sosial bagi orang-orang yang dimakamkan di daerah tersebut. Motif hias tersebut adalah pucuak rabuang (segitiga), sulur, jalo/ula gerang (sulur ganda), dan garis.

Masyarakat Mahat sekarang yang mayoritas memeluk agama Islam, menganggap menhir yang ada di sekitarnya itu disebut sebagai batu urang saisuak (batu orang dahulu kala), fungsinya sebagai nisan kuburan (mejan) orang-orang masa lalu. Selain dianggap sebagai nisan kuburan, ada juga yang dianggap sebagai batas tanah atau dalam istilah lokal disebut dengan lantak tanah, dan ada juga menyebutkan menhir sebagai lambang pesukuan. Umumnya mejan-mejan dan lantak tanah tersebut dianggap sebagai suatu yang dikeramatkan dan angker untuk didekati. Bahkan ada yang beranggapan menhir-menhir ini dapat mendatangkan bencana seperti sakit dan sebagainya jika benda tersebut didekati atau dijamah; dengan kata lain bahwa daerah di sekitar menhir adalah tempat sakral. Menurut masyarakat setempat, tinggalan megalitik seperti punden ini, yang berada di Situs Koto Gadang, dulu difungsikan sebagai tempat barundiang datuak-datuak, yakni tempat perundingan kepala suku atau tetuah adat. Perundingan yang dimaksud adalah dalam berbagai hal yang berkaitan dengan keputusan adat istiadat atau apa pun yang berkenaan dengan masalah kesejahteraan masyarakat di Nagari Mahat. Oleh sebab itu punden tersebut disebut sebagai balai-balai batu, dalam bahasa Minangkabau balai berarti tempat pertemuan atau perkumpulan.

Namun seiring berjalannya waktu, terutama setelah kuatnya ajaran Islam di Nagari Mahat, semua mitos itu tidak dihiraukan lagi oleh beberapa kelompok masyarakat. Peninggalan megalitik di Nagari Mahat berupa menhir hampir mengalami kehancuran dan kepunahan. Beberapa menhir yang sudah roboh sengaja dijadikan untuk memenuhi keperluan lain seperti pondasi jembatan, batas lahan pertanian, dan lain-lain. Semenjak tahun 1980, barulah situs-situs di Nagari Mahat mendapat perhatian dan perlindungan dari pihak Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Batusangkar. Semenjak itu masyarakat baru mengetahui tentang arti pentingnya tinggalan-tinggalan megalitik terutama menhir yang sangat beragam di nagari mereka.

Kebudayaan Hellenisme, dari Lembah Sungai Indus ke Minangkabau

Kebudayaan Hellenisme, dari Lembah Sungai Indus ke Minangkabau



Misteri soal mitos orang Minangkabau sebagai keturunan dari Iskandar Zulkarnain (Alexander Agung dari Macedonia) tidak henti-hentinya menjadi bahan perdebatan sekaligus penelitian. Tidak ada bukti-bukti tertulis dan ranji silsilah yang dapat dijadikan rujukan. Reaksi dari para penerima cerita ini juga cenderung terbagi antar dua kutub ekstrim yaitu kutub sinisme yang nyata-nyata menolak dan antipati terhadap cerita itu bahkan sedikitpun tidak mau mendengar, bahkan malu akan cerita yang mengada ada itu, dan kutub fanatisme yang menerima secara buta dan bangga sebagai sebuah ideologi turunan.

Diluar itu semua saya menemukan di luar sana berserakan serpihan-serpihan yang tak terbantahkan memiliki kaitan dengan Kebudayaan Hellenisme, Sistem Matrilineal dan Sistem Pemerintahan Nagari yang betul-betul khas Yunani. Untuk menjawab semua itu, saya menenggelamkan diri dalam kutub ketiga yaitu kutub kritis dan peneliti. Saya akan mendengar semua sumber baik logis maupun mitos, saya akan memperluas cakupan kajian dengan tidak hanya terkurung dalam tempurung keminangkabauan. Saya memandang mitos tidak dengan cara benar atau salahnya mitos tersebut, namun dengan titik fokus kenapa mitos itu tercipta. Mitos menyimpan kunci-kunci nama tokoh, nama tempat, dan kejadian walaupun miskin informasi tarikh sejarah. Hasil budaya, sistem sosial, pranata sosial politik dan bahasa menyimpan ribuan kunci yang menarik untuk diteliti, tentu saja dengan syarat pertama tadi, yaitu : keluar dari tempurung keminangkabauan.

Dalam tulisan saya sebelumnya saya telah menyinggung soal suku-suku pertama Minangkabau yang menunjukkan asal daerah mereka dan ideologi agama yang menjadi latar belakang mereka. Saya juga sudah mengulas soal ke-identikan antara seni ukiran yang berkembang di Gandhara dengan motif ukiran Minangkabau dalam tulisan warisan ukiran dari Gandhara.

Gandhara di Lembah Sungai Indus (600 SM)

Gandhara merupakan tempat percampuran berbagai budaya dan agama setelah daerah di Lembah Sungai Indus bagian tengah ini ditaklukkan oleh Alexander Agung pada 327 SM. Budaya dan agama yang bercampur baur di Gandhara diantaranya adalah agama tradisional Yunani, Buddha, Hindu dan Zoroatrianisme.

Seluruh pengelana yang menempuh jalan darat dari timur Asia ke barat Eropa atau sebaliknya, pada masa itu, tidak punya pilihan selain melalui Gandhara (Afghanistan sekarang). Hanya lewat Jalur Sutra inilah perdagangan sutra Cina, pecah belah Alexandria, patung perunggu asal Roma, dan ukiran gading yang indah produksi India pada masa itu bisa terlaksana. Tak hanya pedagang, ribuan biksu Buddha juga ikut lalu lalang di Jalur Sutra. Mereka menemani kafilah-kafilah pembawa dagangan, sambil menyebarkan ajaran-ajaran Buddha sepanjang perjalanan. Sebuah versi sejarah menyatakan, dari wilayah Afghanistan inilah ajaran Buddha tersebar hingga ke Cina, Korea, Jepang, Tibet, Nepal, Bhutan, dan Mongolia.

Keberadaan stupa di kota Yunani Sirkap, yang dibangun oleh Demetrius sudah menunjukkan sebuah sinkretisme yang kuat atau perpaduan antara agama Yunani dan Buddha, bersama dengan agama-agama lainnya seperti Hindu dan Zoroastrianisme. Gaya bangunan adalah Yunani, yang dihias dengan pilar-pilar kolom Korintus. Kemudian di Hadda, dewa Yunani Atlas digambarkan menopang monumen Buddha yang dihias dengan pilar-pilar kolom Yunani.

Ancient_india

Gandhara Scrolls dan Motif Ukiran Minangkabau

Gandhara scrolls adalah motif hiasan gulungan khas Helenistik dengan ukiran dedaunan anggur dari Hadda, Pakistan utara. Motif ini berasal dari Yunani yang dibawa oleh pengikut dan tentara-tentara Alexander Agung pada saat penaklukan dunia timur. Pada tahun 326 SM, sebelum melakukan perjalanan kembali, Alexander memerintahkan bala tentaranya untuk mendirikan 12 kuil yang sebagai ungkapan terima kasih kepada dewa-dewa Yunani, kuil-kuil itu dilengkapi dengan arca-arca dewa yang tentunya dibuat menurut gaya seni Hellas.

GandharaScrolls

Gandara Scrolls Motif (Gulungan Anggur dari Yunani)

kambang manih

Motif Si Kambang Manih dalam Ukiran Minangkabau

Kota Kota Model Yunani dan Sistem Konfederasi Nagari di Minangkabau

Adalah suatu misteri sebelumnya ketika kita menemui bahwa di Minangkabau terdapat suatu sistem pemerintahan yang sangat asing untuk wilayah Nusantara. Kerajaan Minangkabau lebih merupakan konfederasi dari ratusan nagari, dan kedudukan raja sifatnya adalah simbol semata. Bahkan Lembaga Raja itu sendiri berbentuk suatu Triumvirat yang disebut Rajo Nan Tigo Selo dengan anggota-anggota Rajo Alam, Rajo Adat dan Rajo Ibadat. Pemerintahan sendiri dijalankan dengan bantuan dewan menteri yang disebut Basa Ampek Balai dengan anggota sejumlah 4 menteri dan sejumlah 7 lembaga negara yang disebut dengan Langgam Nan Tujuah yang berkedudukan di 7 nagari penting. Dalam kerajaan juga berlaku 2 mazhab pemerintahan yang disebut kelarasan yaitu Sistem Kelarasan Koto Piliang yang aristoktratis dan Sistem Kelarasan Bodi Caniago yang demokratis. Belakangan muncul pula Sistem Kelarasan Lareh Nan Panjang yang menggabungkan kedua mazhab yang ada sebelumnya.

Kerajaan-kerajaan Hellenistic yang berkembang disekitar lembah sungai Indus seperti Seleucid Empire, Bactria dan Gandhara mendirikan kota-kota menurut model Yunani, seperti di Ai-Khanoum di Baktria, yang hanya menunjukkan ciri-ciri khas arsitektural Hellenistic. Kota-kota ini juga diatur dengan sistem pemerintahan polis-polis ala Yunani kuno. Sistem inilah yang dibawa oleh nenek moyang orang Minangkabau yang sangat mengagumi Alexander Agung itu. Belakangan mereka menciptakan mitos bahwa mereka itulah keturunan langsung dari Alexander Agung.

Selain di Minangkabau, sistem pemerintahan berbentuk Konfederasi ini juga di temukan di Kerajaan Champa. Kerajaan Champa yang berdiri sepanjang abad ke 7 hingga tahun 1832 ini berbentuk Konfederasi Kota yang terdiri dari Indrapura, Amaravati, Vijaya, Kauthara dan Panduranga.

Sistem Matrilineal dan Jejaknya di Jalur Perdagangan India-China

Satu lagi kunci untuk mengungkap asal-usul dan diaspora nenek moyang orang Minangkabau adalah sistem kekerabatan Matrilineal yang dianut suku ini. Di sepanjang jalur perdagangan India-China sistem ini ditemukan di Kerala, Karnataka, dan Tamil Nadu di India , sebagaian wilayah Siam (Thailand), di Kerajaan Champa di Vietnam sekarang dan di wilayah Naxi di China

Kesimpulan dan Hipotesa

Dari data-data diatas terjawab sudah keheranan selama ini tentang mitos asal-usul orang Minangkabau. Klaim sebagai keturunan Iskandar Zulkarnain itu bisa dipahami sebagai bentuk kekaguman nenek moyang orang Minangkabau yang berasal dari Gandhara di Lembah Sungai Indus terhadap sosok Alexander Agung yang mendirikan peradaban Hellenistic, peradaban perpaduan timur dan barat yang meramu unsur-unsur Yunani, Buddha, Kebudayaan Hindu India dan Kebudayaan Persia serta Zoroatrianisme.

Nenek moyang orang Minangkabau menurut Tambo Alam Minangkabau bernama (bergelar) Sultan Maharajo Dirajo. Dari nama tersebut sangat jelas bahwa dia berasal dari India. Dalam Tambo daerah asal ini disebut Tanah Basa atau dalam bahasa asalnya adalah Mahajanapada. Dalam rombongan tersebut ikut anggota-anggota bernama Cateri Bilang Pandai (asal India) berkasta ksatria, Harimau Campa (asal Champa), Kucing Siam (asal Siam), Kambing Hutan (asal Cambay, India) dan Anjing Mualim (asal Persia) sebagai navigator. Tiga daerah asal pengiring ini masih menganut sistem matrilineal hingga saat ini yaitu India (di Kerala, Karnataka dan Tamil Nadu), Siam/Thailand (pada beberapa daerah) dan Champa (Vietnam).

Terakhir saya kutipkan sebagian isi Tambo pada episode awal keberangkatan (eksodus dari Tanah Basa):

adopun Sutan Sikandareni rajo alam nan arih bijaksano, mancaliak anak lah mulai gadang lah masak alemu jo pangaja, timbua niaik dalam hati nak manyuruah anak pai marantau mancari alimu jo pangalaman, mako tapikialah maso itu jo apo anak nak kadilapeh balayia dilauik basa, tabayanglah sabatang kayu gadang nan tumbuah dihulu Batang Masia banamo kayu Sajatalobi, daun rimbun rantiangnyo banyak batang panjang luruih pulo, tabik pangana andak manabangnyo kadibuek pincalang (parahu) tigo buah untuak palapeh anak marantau …

(adapun Iskandar Zulkarnain, raja yang arif bijaksana, melihat anak yang mulai dewasa, sudah sempurna ilmu pengetahuan, timbullah niat dalam hati untuk menyuruh anak pergi merantau, mencari ilmu dan pengalaman. Maka terpikirlah waktu itu tentang sarana yang akan digunakan anaknya untuk berlayar di samudera. Terbayanglah sebuah pohon kayu besar yang tumbuh di hulu sungai Batang Masia bernama pohon sajatalobi, daunnya rimbun dan rantingnya banyak, batangnya panjang dan lurus pula. Terpikirlah untuk menebang pohon tersebut, untuk dibuat perahu sebanyak 3 buah, untuk melepas anak pergi merantau …)

Apakah Sungai Batang Masia yang dimaksud dalam cerita itu adalah Sungai Indus? Wallahualam bis shawab.

Konfederasi Kota, Pemerintahan Nagari ala Kerajaan Champa

Konfederasi Kota, Pemerintahan Nagari ala Kerajaan Champa


Champa adalah nama negeri yang akrab dalam literatur tambo dan kaba klasik Minangkabau. Nama negeri ini identik dengan nama tokoh Harimau Campa yang merupakan anggota rombongan nenek moyang orang Minangkabau, Sultan Maharajo Dirajo. Nama Harimau Campa kemudian diabadikan dalam nama lembaga negara Harimau Campo Koto Piliang, yaitu lembaga negara yang berfungsi sebagai angkatan perang dan menteri pertahanan yang dijabat oleh Tuan Gadang di Batipuah. Keberanian orang-orang Champa yang sangat legendaris ini disebabkan keberhasilan mereka dalam menghancurkan pasukan Mongol dalam invasi yang dilakukan oleh Kubilai Khan.

Dalam kaba klasik, Champa muncul sebagai nama negeri perantauan Anggun Nan Tongga dan Malin Kundang, bahkan Malin Kundang dalam legenda masyarakat Air Manis, Padang di kemudian hari berhasil mempersunting salah satu Puteri Champa.

Champa juga dipercaya sebagai daerah asal dari pendiri Kerajaan Inderapura, terlihat dari nama ibukota pertama Inderapura yang disebut Muara Campa.

Selain itu Suku Jambak di Minangkabau juga merupakan suku yang pada awal mulanya datang dari negeri Champa ini. Nama Suku Campa lama kelamaan berubah jadi Suku Jambak dalam lidah Minangkabau.

Sekilas Kerajaan Champa

Kerajaan Champa (bahasa Vietnam: Chiêm Thành) adalah kerajaan yang pernah menguasai daerah yang sekarang termasuk Vietnam tengah dan selatan, diperkirakan antara abad ke-7 sampai dengan 1832. Sebelum Champa, terdapat kerajaan yang dinamakan Lin-yi (Lam Ap), yang didirikan sejak 192, namun hubungan antara Lin-yi dan Campa masih belum jelas. Komunitas masyarakat Champa, saat ini masih terdapat di Vietnam, Kamboja, Thailand, Malaysia dan Pulau Hainan (Tiongkok). Bahasa Champa termasuk dalam rumpun bahasa Austronesia.

VietnamChampa1

Sebelum terbentuknya Kerajaan Champa, di daerah tersebut terdapat Kerajaan Lin-yi (Lam Ap), akan tetapi saat ini belum diketahui dengan jelas hubungan antara Lin-yi dan Champa. Lin-yi diperkirakan didirikan oleh seorang pejabat lokal bernama Ku-lien yang memberontak terhadap Kekaisaran Han pada tahun 192 masehi, yaitu di daerah kota Huế sekarang.

Wilayah Kekuasaan

Daerah Champa meliputi area pegunungan di sebelah barat daerah pantai Indochina, yang dari waktu ke waktu meluas meliputi wilayah Laos sekarang. Akan tetapi, bangsa Champa lebih berfokus pada laut dan memiliki beberapa kota berbagai ukuran di sepanjang pantai. Setelah abad ke-7, Champa melingkupi wilayah provinsi-provinsi modern Quảng Nam, Quảng Ngãi, Bình Định, Phú Yên, Khánh Hòa, Ninh Thuận, dan Bình Thuận di Vietnam.

Budaya dan Agama

Pada awalnya Champa memiliki hubungan budaya dan agama yang erat dengan Tiongkok, namun peperangan dan penaklukan terhadap wilayah tetangganya yaitu Kerajaan Funan pada abad ke-4, telah menyebabkan masuknya budaya India. Setelah abad ke-10 dan seterusnya, perdagangan laut dari Arab ke wilayah ini akhirnya membawa pula pengaruh budaya dan agama Islam ke dalam masyarakat Champa.

Sebelum penaklukan Champa oleh by Lê Thánh Tông, agama dominan di Champa adalah Syiwaisme dan budaya Champa sangat dipengaruhi India. Islam mulai memasuki Champa setelah abad ke-10, namun hanya setelah invasi 1471 pengaruh agama ini menjadi semakin cepat. Pada abad ke-17 keluarga bangsawan para tuanku Champa juga mulai memeluk agama Islam, dan ini pada akhirnya memicu orientasi keagamaan orang-orang Cham. Pada saat aneksasi mereka oleh Vietnam mayoritas orang Cham telah memeluk agama Islam.

Kebanyakan orang Cham saat ini beragama Islam, namun seperti orang Jawa di Indonesia, mereka mendapat pengaruh besar Hindu. Catatan-catatan di Indonesia menunjukkan pengaruh Putri Darawati, seorang putri Champa yang beragama Islam, terhadap suaminya, Kertawijaya, raja Majapahit ketujuh sehingga keluarga kerajaan Majapahit akhirnya memeluk agama Islam. Makam Putri Campa dapat ditemukan di Trowulan, situs ibukota Kerajaan Majapahit.

Perdagangan

Champa merupakan jalur penghubung penting dalam Jalur Rempah-rempah (Spice Road) yang dimulai dari Teluk Persia sampai dengan selatan Tiongkok; dan kemudian ia juga termasuk dalam jalur perdagangan bangsa Arab ke Indochina, yang merupakan pemasok aloe.

Champa memiliki hubungan perdagangan dan budaya yang erat dengan kerajaan maritim Sriwijaya, serta kemudian dengan Majapahit di kepulauan Melayu. Dalam Babad Tanah Jawi, dikatakan bahwa raja Brawijaya V memiliki istri bernama Anarawati (atau Dwarawati), seorang puteri dari Kerajaan Champa yang beragama Islam. Beberapa Walisongo juga dikatakan pernah bermukim di Kerajaan Champa sebelum menyebarkan agama Islam di pulau Jawa.

Demikian pula, terdapat hubungan yang erat antara Kerajaan Champa dan Kerajaan Kamboja. Meskipun sering terjadi peperangan, kedua kerajaan juga mengadakan pertukaran kebudayaan dan perdagangan; dimana sering terjadi pernikahan keluarga kerajaan diantara keduanya.

Konfederasi Kota di Kerajaan Champa

Sebelum tahun 1471, Champa merupakan konfederasi dari 4 atau 5 kepangeranan, yang dinamakan menyerupai nama wilayah-wilayah kuno di India:

Indrapura – Kota Indrapura saat ini disebut Dong Duong, tidak jauh dari Da Nang dan Huế sekarang. Da Nang dahulu dikenal sebagai kota Singhapura, dan terletak dekat lembah My Son dimana terdapat banyak reruntuhan candi dan menara. Wilayah yang dikuasai oleh kepangeranan ini termasuk propinsi-propinsi Quảng Bình, Quảng Trị, dan Thừa Thiên–Huế sekarang ini di Vietnam.

Amaravati – Kota Amaravati menguasai daerah yang merupakan propinsi Quảng Nam sekarang ini di Vietnam.
Vijaya – Kota Vijaya saat ini disebut Cha Ban, yang terdapat beberapa mil di sebelah utara kota Qui Nhon di propinsi Bình Định di Vietnam. Selama beberapa waktu, kepangeranan Vijaya pernah menguasai sebagian besar wilayah propinsi-propinsi Quang-Nam, Quang-Ngai, Binh Dinh, dan Phu Yen.
Kauthara – Kota Kauthara saat ini disebut Nha Trang, yang terdapat di propinsi Khánh Hòa sekarang ini di Vietnam.
Panduranga – Kota Panduranga saat ini disebut Phan Rang, yang terdapat di propinsi Ninh Thuận sekarang ini di Vietnam. Panduranga adalah daerah Champa terakhir yang ditaklukkan oleh bangsa Vietnam.

Diantara kepangeranan-kepangeranan tersebut terdapat dua kelompok atau suku: yaitu Dua dan Cau. Suku Dua terdapat di Amaravati dan Vijaya, sementara suku Cau terdapat di Kauthara dan Panduranga. Kedua suku tersebut memiliki perbedaan tata-cara, kebiasaan, dan kepentingan, yang sering menyebabkan perselisihan dan perang. Akan tetapi biasanya mereka berhasil menyelesaikan perselisihan yang ada melalui perkawinan antar suku.

Penaklukan oleh Bangsa Vietnam

Para penguasa Champa di Panduranga (Nagar Champa) yang terbentuk pada pertengahan abad ke-15, melakukan perlawanan terhadap Vietnam dan pada tahun 1695 melalui perundingan memperoleh status kepangeranan otonom (Tran Thuan Thanh) di bawah dinasti Nguyen dari Cochin Tiongkok. Kerajaan Champa kemudian menjadi negara bawahan yang setia dari Kaisar Gia Long dari dinasti Nguyen, namun pada akhirnya kedaulatannya dibubarkan pada tahun 1832 oleh anak Kaisar Gia Long, yaitu Kaisar Minh Mạng. Pada masa peperangan dengan Vietnam, banyak penduduk Champa termasuk para aristokratnya yang mencari perlindungan di Kamboja, dan mendapatkan kedudukan yang tinggi.
Sumber

Insight Guide – Vietnam (ed.) Scott Rutherford, 2006. ISBN 981-234-984-7.
Vietnam, Trials and Tribulations of a Nation D. R. SarDesai, ppg 33-34, 1988. ISBN 0-941910-04-0
Emmanuel Guillon. Cham Art. Thames & Hudson Ltd, London, 2001. ISBN 0-500-97593-0
art.com Hindu-influenced art above the entrance of one of the Po Nagar Cham towers, Photographic Print by Steve Raymer, 12×16 ASIN B000EUCYYQ
Jean-Francois Hubert. The Art of Champa. Parkstone Press, 2005. ISBN 1-85995-975-X
AA. Navis, Alam Terkembang, Curaian Adat Minangkabau, 1979

Pemerintahan Raja Raja di Kesultanan Inderapura

Pemerintahan Raja Raja di Kesultanan Inderapura



Sekilas Kerajaan Inderapura

Kesultanan Inderapura (Kerajaan Islam Malayu, 1100 – 1911) terletak di wilayah Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat sekarang. Pernah jaya abad XVII – XVIII, karena posisinya sebagai kota pantai, pusat perdagangan dengan komiditi unggulan emas dan lada, berbasis pelabuhan Samuderapura dengan armada kuat, ramai dikunjungi kapal dagang dan jadi rebutan pengaruh kekuatan asing (Yulizal Yunus, 2002).
Kesultanan Inderapura berdiri di atas keruntuhan Kerajaan lama Inderapura yakni periode Kerajaan Teluk Air Pura abad IX sm – XII m (80 sm – 1100 m). Kerajaan Inderapura lama didirikan anak cucu leluhur Iskandar Zulkarnaini (356-324 sm, putra Pilipeaus raja ke-2 Masedonia, 382-336 sm). Tidak disebut nama pendirinya kecuali pimpinan adat. Ada disebut tahun 134 sm lahir Indo Juita (keturunan Iskandar Zulkarnaini) kemudian tahun 110 sm menikah dengan Inderajati moyang Inderapura (asal Parsi – Turki) dan melahirkan keturunan raja-raja.
Pada episode berikutnya Zatullahsyah (anak cucu Iskandar Zulkarnaini) datang ke Air Pura dan mendirikan Kerajaan Air Pura, Teluk Air Pura (awal abad ke-12). Wilayahnya adalah Muara Campa, Air Puding dan Air Pura dekat Muara Air Sirah dan Sungai Bantaian Inderapura sekarang. Basis perekonomian rakyat tani (ladang) dan nelayan serta mencari hasil hutan.

Masa pemerintahan Zatullahsyah datang 3 orang anak saudara kandungnya (Hidayatullahsyah) yakni Sri Sultan Maharaja Alif, Sri Sultan Maharaja Depang dan Sri Sultan Maharaja Diraja, dari Rum lewat Bukit Siguntang-guntang. Tidak lama di Air Pura, Sri Sultan Maharaja Diraja mendapat perintah Zatullahsyah, pergi ke Gunung Merapi, didampingi temannya Cati Bilang Pandai dan dibantu putra sepupunya Sultan Muhammadsyah (putra Zatullahsyah – Dewi Gando Layu). Di sana ia mendirikan kerajaan di Parhyangan (Pariangan) yang disebut sebagai nagari asal seperti juga Air Pura. Sri Sultan Maharaja Diraja kawin dengan Puti Jamilan dan melahirkan Dt. Ketumanggungan, setelah Sri Sultan wafat Puti Jamilan dikawini temannya Cati Bilang Pandai dan melahirkan Dt. Parpatih nan Sabatang.

Empat Episode Sejarah Kerajaan

Di Kerajaan Air Pura kepemimpinan berlanjut dalam empat episode sejarah. Dua episode I (Kerajaan Air Pura – Indrajati) dan dua episode II (Kesultanan Inderapura – Era Regen). Dua episode I Kerajaan Air Pura dilanjutkan kepemimpinan Kerajaan Indrajati (Indra di Laut) abad XII – XVI (1100 – 1500). Berawal dari datangnya Indrayana disebut putra mahkota Kerajaan Sriwijaya yang terusir karena masuk Islam, menetap di Pasir Ganting dan mendirikan Kerajaan Indrajati. Ia sendiri raja ke-1 dan raja ke-2 anaknya bernama Indrasyah Sultan Galomatsyah. Dalam perjalanannya kerajaan ini pernah diincer ekspedisi Pamalayu I (1247) di samping Darmashraya, Siguntur yang kemudian menjadi Kerajaan Pagaruyung (1343).

Dua episode Kesultanan Inderapura berikutnya abad XVI – XIX (1500 – 1824) dilanjutkan era kepemimpinan Regen abad XIX – XX (1824 – 1911). Episode sejarah sampai naik tahtanya raja ke-11 Kerajaan Indrajati Cumatang Sultan Sakelab Dunia gelar Sultan Iskandar Johan Berdaulatsyah, kerajaan berubah menjadi Kesultanan Inderapura dengan raja ke-1 Cumatang sendiri. Penggalan sejarah berikutnya masa Sultan Usmansyah gelar Sultan Firmansyah, tahun 1550 dikukuhkan batas wilayah. Utara berbatas Airbangis-Batang Toru (Batak), Selatan berbatas Taratak Air Hitam Muara Ketaun, Timur berbatas Durian ditakuak Rajo, Nibuang balantak mudik lingkaran Tanjung Simeledu (sepadan Jambi) dan Barat berbatas laut leba ombak badebu (Samudra Indonesia). Wilayah semakin menyusut diawali berberapa daerah Kesultanan Inderapura pro Inggiris yakni Mukomuko, Banta, Seblat dan Ketaun memisahkan diri tahun 1695 jadi Kerajaan Anak Sungai dengan ibu negeri Mukomuko, dipimpin Sultan Gelomatsyah.

Sistem Parlementer Inderapura

Organisasi pemerintahan Kesultanan Inderapura memakai sistem kabinet parlementer, dipimpinan tertinggi Sultan (Raja), didlaksanakan Perdana Mentri (Mangkubumi) dibantu Menteri Nan-20 dari para penghulu (6 di Hulu, 8 di tengah, 6 di Hilir). Raja-raja Kesultanan Inderapura banyak sekali, di antaranya keturunan asli Inderapura dan dianggap keturunan Iskandar Zulkarnaini (Marjohan, 2002 baca juga St. Sulaiman, 2002) menjadi raja ialah: (1) Zatullahsyah paman Sri Sultan Maharaja Diraja, (2) Daulat Jamal al- Alam Sultan Sri Maharajo Dirajo Muhyiddinsyah Sultan Muhammadsyah, (3) Sultan Jamal al-Alam Daulat Sultan Sri Maharajo Dirajo Alamsyah, (4) Sultan Jamal al-Alam Sri Sultan Firmansyah (5) Sultan Jamal al-Alam Sultan Daulat Alamsyah, (6) Sultan Jamal al-Alam Sultan Usmansyah Sultan Muhammadsyah (Tuanku Berdarah Putih), (7) Sultan Jamal al-Alam Sultan Firmansyah Sultan Mandaro Putih gelar Tuanku Hilang di Parit), (8) Sultan Jamal al-Alam Sri Sultan Muhammadsyah (Marah Muhammad Ali Akbar Sultan Muhammadsyah), (9) Iskandar Alam Daulat, (10) Sultan Alam Mughatsyah, (11) Sultan Bagagar Alamsyah, (12) Sultan Usman Sultan Muhammadsyah, (13) Sultan Jamal al-Alam Sultan Maradu Alamsyah, (14) Sultan Alidinsyah (15) Sultan Samejalsyah keturunan Putri Gembalo Intan anak Sultan Alidinsyah raja Inderapura (1513), (16) Sultan Baridinsyah (1520), (17) Dang Tuanku (1520 – 1524) beristeri Puti Bungsu, makamnya di Bukit Selasih Batangkapas, (18) Usmansyah Sultan Firmansyah (1534 – 1556), (19) Sultan Jamalul Alam YDD Sultan Sri Gegar Alamsyah Sultan Muhammadsyah (1560), (20) Sultan Zamzamsyah Sultan Muhammadsyah , 1600-1635, (21) Sultan Khairullahsyah Sultan Muhammadsyah (1635-1660), (22) Sultan Bangun Sri Sultan Gandamsyah, (23) Sri Sultan Daulat Pesisir Barat, (24) Inayatsyah (1640), (25) Sultan Mal(z)afarsyah Kerajaan Inderapura (1660-1687), (26) Marah Amirullah Sultan Firmansyah, (27) Raja Adil (1680), (28) Marah Akhirullah Sultan Muhammadsyah (w.1838), (29) Raja Perempuan Puti Rekna Candra Dewi, (30) Raja Perempuan Puti Rekna Alun (Tuanku Padusi Nan Gepuk), (31) Raja Gedang di Mukomuko, (32) Sultan Syahirullahsyah Sultan Firmansyah (1688-1707), (33) Sultan Zamzamsyah Sultan Firmansyah Tuanku Pulang Dari Jawa berhubungan dengan Kesultanan Jogyakarta (1707-1737), (34) Sultan Indar Rahimsyah Sultan Muhammadsyah Tuanku Pulang Dari Jawa (1774-1804), (35) Sultan Inayatsyah Sultan Firmansyah, 1804-1840, (36) Sultan Muhammad Jayakarma (1818 – 1824), (37) Sultan Takdir Khalifatullah Inayatsyah, (38) Abdul Muthalib Sultan Takdir Khalifatullahsyah (kemudian menajdi regen di Mukomuko, pensiun 1870). (39) Regen Marah Yahya Ahmadsyah (1825-1857), (40) Regen Marah Arifin (1857-1858), (41) Regen Marah Muhammad Baki Sultan Firman Syah (1858-1891), (42) Regen Marah Rusli Sultan Abdullah (1891 – 1911).Banyak lagi raja yang tidak dapat dicatat kebesarannya.

Pengaruh Kerajaan Inderapura

Pengaruh Kerajaan Inderapura amat luas. Bandaro Harun (Harunsyah Sultan Bengawan), ke Brunei (1625) disebut ayah Dato Godan salah seorang leluhur Dipetuan Sultan Haji Hasanal Bolkiah Mu’izzadin Waddaulah. Rajo Putih Inderapura ke Natal dan mendirikan Kerajaan Lingga Pura di sana kemudian dikenal leluhur dari Sutan Syahrir dan Sutan Takdir Alisjahbana (Putri Bulkis Alisjahbana, 1996:43-44). Dari asal Puti Inderapura pindah ke Mukomuko dan Bintuhan, terbuka pula tabir rahasia adanya hubungan Megawati Sukarno Putri dengan Kesultanan Inderapura, ketika event pemberian gelar Puti (dari Mukomuko dan Bintuhan dulu bagian dari Kesultanan Inderapura) kepadanya di Bengkulu tahun 2001. Taufik Kemas dalam acara itu memakai tutup kepala dari Bintuhan kemudian memakai yang dari Mukomuko (Agus Yusuf dari Sutan Aminullah, 2003).

Invasi dan Keruntuhan

Sebagai kerajaan bahari terbesar dan jaya, pernah menjadi ajang percaturan imperialisme asing berebut pengaruh, di antaranya secara kronogis dapat dicatat: (1) Aceh (ketika itu asing) tahun 1521 menguasai dagang lada dan emas di perairan Inderapura. 1625 Aceh menempatkan seorang wakilnya/ panglima (lihat juga Navis, 1984) di bandar Inderapura, secara de facto berakhir 1632, tetapi tetap bercokol sampai abad ke-17 dasawarsa ke-8 di Pantai Barat Sumatera. (2) Belanda (Rusli Amran 1985, lihat juga Errens 1931, baca Stibe 1939) memasuki wilayah Inderapura (1602, 20 Maret), Coen (VOC) mengirim kapal dagang (1616) merebut lada dan emas dari Aceh dan Inggiris, kandas dicegat raja Hitam, kemudian (1664) berhasil dan memungut pajak lada Inderapura, setiap 1200 bahar lada dikeluarkan 1 bahar, menghabisi wilayah kantong Aceh dan merebut kapal Inggiris di Inderapura (1656), terpaksa ke meja perunding damai di Sungai Bungin (Batangkapas) soal perdagangan lada Inderapura (1660), mendirikan Loji VOC 1662 di Pulau Cingkuk, tersayat dan terpaksa lagi ke meja perundingan Sandiwara Batangkapas disusul Perjanjian Painan (Painansch Contract, 6 Juli 1663), mendirikan Loji VOC di Inderapura (1664), hasut Air Haji (Bruins,1936) memberontak terhadap Inderapura (1682). Jacob Groenewegen mulai berkuku di Pantai Barat Sumatera mengawali kolonialisme, Januari 1685 Inderapura dinyatakan darutat, Batavia perintahkan hancurkan lada Inderapura untuk taklukan Inderapura. Rakyat marah, 6 Juni 1701, lonji VOC di Inderapura diserbu rakyat Pesisir, pegawainya dibunuh, kecuali satu orang dibiarkan mengadu ke kantor pusat VOC di Padang, Belanda marah dan hancurkan tanaman lada. 1740, Inderapura bersama Abdul Jalil raja Minangkabau memerangi Belanda dibantu Inggiris. Belanda dapat angin lagi pasca perjanjian masang 22 Januari 1824 Belanda (van den Berg) dan Pidari (Paderi) berdampak Inderapura bangkrut, semua kapal berkebangsaan apa saja bongkar muat barang di Padang tidak lagi di Inderapura bahkan tambang emas Salido dikuasai pasca pergantian Raff dengan Du Puy (1 Januari 1824). Tahun 1865 Belanda dirikan sekolah sejenis HIS (Hollandsch Inlandsche School) di Inderapura dengan tujuan melumpuhkan Islam (de-Islamisasi), rakyat tahu niat jahat itu, lalu ditutup. (3) Inggiris terisolasi di perairan Inderapura (1618) dalam berdagang landa pasca 2 tahun monopoli, baru bisa meraut lada Juni 1684 dan mendirikan Loji di Inderapura. 1685 mendapat dukungan dagang dari Raja Ibarahim (bekas penghulu Pariaman, 1676) di Inderapura, juga dukungan keponakan raja Minangkabau Sultan Abdul Jalil Saruaso berunding dengan raja Inderapura, melawan misi Belanda hancurkan lada Inderapura, Juni 1685 East India Company (EIC) mendirikan kantor perwakilan settlement di Inderapura, Majunto, Taluk dll., menguasai Selebar, membakar kemarahan Belanda, baru reda pasca Perjanjian Paris (1763) membagi wilayah dagang: Inggiris ke selatan (Majunto – Silebar) dan VOC ke utara (Inderapura, Tiku, Air Bangis, Natal dll.). Tahun 1686, Kapal Royal James gagal raut lada, 30 dari 100 tentara meninggal diserang penyakit di Inderapura. 1687, Agustus kantor Inggiris diserang rakyat Inderapura, banyak korban di pihak Inggiris dan merampas meriam serta melumpuhkan 5 kapal yang datang kemudian dari Eropa, juga diserang kekuasaan Sri Sultan Ahmadsyah seorang calon raja Pagaruyung yang lari ke Bengkulu. (4) Cina tahun 1989 datang berdagang ke Inderapura 9 tahun pasca perjanjian pemuka kota pantai dari Ombak Ketaun (Pesisir Selatan) hingga Air Bangis (Pesisir Utara, Pasaman Barat sekarang) ditandatangani (1680) oleh Raja Adil dan Muhammadsyah (sultan Inderapura) sedikit memberi ruang gerak kepada VOC berdagang lada dan emas.

Bukti sejarah kebesaran Kesultanan Inderapura, tercatat 218 situs dari 7000 situs di Sumatera Barat. 44 situs diakui Cagar Budaya dan dikukuhkan Mendikbud RI. Di antaranya (1) bekas istana Raja/ Sultan (1824), (2) bekas istana Regen di Pasar Minggu dekat peninggalan meriam R.Gil Pin FE CIT.J768, (3) Rumah Mangkubumi (perdana menteri) Kesultanan, (4) Rumah Gadang Mandeh Rubiyah di Lunang, berfungsi museum penyimpan benda-benda peninggalan Bundo Kandung seorang raja putri Kerajaan Minangkabau yang mengirap (berjalan punya etape tertentu) kembali ke Lunang dari Kerajaan Pagaruyung pasca kalah perang melawan raja Tamiai Tiang Bungkuk (1520). Diakui Mendiknas sebagai Museum Lokal Sumatera Barat di Pesisir Selatan. Juga berfungsi tempat kediaman Mandeh Rubiyah Rakina (keturunan ke-7 dari Bundo Kandung). (5) Situs dalam bentuk arsitektur sakral (imarah diniyah) wujud Masjid Agung (1850) masa Regen ke-2 Marah Ripin. (6) Gobah komplek pemakaman raja-raja Kesultanan Inderapura seluar 0,5 Ha. (6) Makam raja Tuanku Badarah Putih. (7) Makam Bundo Kandung (Salareh Pinang Masak, raja perempuan Pagaruyung), (8) Makam Dang Tuanku, (9) Makam Puti Bungsu istri Dang Tuanku. (10) Makam Cindur Mato raja dan tokoh legendaries Minang.*** Yulizal Yunus.

Referensi
A.A. Navis,
1984 Alam Takambang Jadi Guru: Jakarta :P T. Pustaka Grafitipers.
Agus, Yusuf
2001 Sejarah Pesisir Selatan , Jakarta : PT. Arina Yudi
Bruins, B.A.
1936 Laporan ( Memori) Countroleur. Painan: Arsip Nasional
Errens, A.C.F. Van
1931 Memori Cuontroleur. Painan: Arsip Nasional
Marjohan. BS.c,
tt Sejarah Kerajaan Inderapura. Pancung Soal:
Puti Balkis, Alisyabana
1996 Natal: Ranah nan Data. Jakarta : Dian Rakyat
Rusli, Amran
1985 Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang. Jakarta : Sinar Harapan
———————,
1985 Sumatera Barat Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan
St. Chalifah, Djamuir
tt Sejarah Kerajaan Inderapura. Pancung Soal: Kacabdin Parsebuhub.
St. Sulaiman, Arbi
tt Sejarah Kebudayaan Inderapura. Pancung Soal; Kacabdin Parsebudhub
Stibe,
1939 Encyclopedie Van Nederlansch Indie. S. Graven Hage: Arsip Nasional
Yulizal, Yunus
2002 Kesultanan Inderapura dan Mandeh Rubiah di Lunan, Spirit Sejarah dari Kerajaan Bahari hingga Semangat Malayu Dunia. Padang: Pemkab Pessel – IAIN-IB Press.

Warisan Ukiran dari Gandhara

Warisan Ukiran dari Gandhara



Dimana itu Gandhara? Gandhara adalah sebuah Kerajaan di Mahajanapada India pada tahun 600 SM. Mahajanapada diterjemahkan kedalam bahasa Inggris sebagai Great Realm yang dalam Bahasa Indonesia berarti Tanah Besar, atau dalam Bahasa Minang kita kenal sebagai Tanah Basa. Istilah Tanah Basa tentunya tidak asing lagi dengan kita sebagai karena daerah ini lah yang disebut sebagai titik pangkal berlayarnya nenek moyang kita yang dalam Tambo Alam Minangkabau disebut sebagai Sultan Maharaja Diraja. Namun kita hanya tahu Tanah Basa itu adalah India tanpa mengetahui, India bagian mana.

Secara tidak sengaja saya menemukan ukiran dari Gandhara berikut ini ketika mempelajari Kebudayaan Hellenisme yang berkembang di Lembah Sungai Indus. Lembah Sungai Indus atau Lembah Hyphasin adalah lokasi paling ujung yang dikunjungi oleh Alexander Agung ketika menaklukkan daerah-daerh timur. Alexander Agung berhenti di sini dan kembali pulang setelah menaklukkan Antiokhia (Turki), Persia (Iran) dan Bactria (Afghanistan).


Sepintas kita akan terasa akrab dengan motif ukiran tersebut. Tebakan saya ternyata benar, motif ini telah kita kenal dalam keseharian kita sebagai motif-motif utama ukiran Rumah Gadang. Dalam motif ukiran Minangkabau kita mengenalnya sebagai motif Si Kambang Manih dan motif Lumuik Hanyuik. Berikut ini adalah gambar kedua motif tersebut :

(a). Motif Si Kambang Manih

kambang manih

Kambang Manih bungo nan mulia
Timbalan bungo sari manjari
Dicaliah gunung maha biru
Batangkai babuah labek
Balingka baaka cino

Silang bapiuah di salo daun
Buah manih satandan labek
Mainan bundo, simpanan puti
Panyaru dagang di rantau
Pananti alek nan datang

Ukia diulak Tanjuang Bungo
Pakaian Ranah Minangkabau
Latak di muko adaok halaman

Ukia nan tagak surang
Puti bakuruan jo aturan
Baitu warih di Gudam Balai Janggo

Kambang tigo buatan tukang
Indah di dalam maliputi
Adat nan nyato bakambangan

(b). Motif Lumuik Hanyuik

lumut hanyut

Aka lapuak gagangnyo lapuak
Hiduik nan indak mamilihah tampek
Asa lai lambah inyo lah tumbuah
Dalam aia bagagang juo

Aia hilia lumuik pun hilia
Walau tasalek di ruang batu
Baguba babondoang-bondoang
Aia bapasang lumuik

Bapiuah namun hiduik bapantang mati
Baitu untuangnyo lumuik
Indak mancari tampek diam
Hanyo manompang jo aia hilia

Indak mamiliah tampek tumbuah
Asa kasampai ka muaro
Usah cameh badan kahanyuik
Baguru kito kalumuik

Alam takambang jadi guru
Lahianyo lumuik nan disabuik
Bathinnyo adat Minangkabau
Dilariak di papan tapi
Ukiran rumah nan di lua
Gambaran adat hiasan alam pusako salamonyo

Dari kebetulan yang tidak diduga-duga sebelumnya saya bisa mengambil sebuah kesimpulan tentang daerah asal nenek moyang orang Minangkabau itu. Bagian misterius dari Tanah Basa tersebut ternyata adalah Gandhara!



Dalam skala yang lebih besar lokasi Gandhara adalah seperti yang ditunjukkan panah merah di bawah ini :


Pada peta pertama kita juga menemukan Kerajaan Cheti di India bagian tengah. Kerajaan Cheti ini merupakan daerah asal dari marga Sembiring (etnis Karo) di Sumatera Utara seperti dituturkan dalam kitab konstitusi Dinasti Pardosi, penguasa negeri Barus. Disebutkan bahwa sumber dari segala sumber hukum di kerajaan tersebut berasal dari adat Batak, Bugis, Cheti, Islam dan lain-lain. Selengkapnya tentang pengaruh Kerajaan Cheti di daerah Karo bisa dibaca di artikel Orang Cheti dan Teka Teki Marga Sembiring.

Kelahiran Silek Minang

Kelahiran Silek Minang


Kelahiran Silek Minang terjadi pada saat yang bersamaan dengan kelahiran Minangkabau itu sendiri. Silek didirikan oleh Datuak Marajo Panjang dari Padang Panjang dan Datuak Bandaharo Kayo dari Pariangan. Dari pemikiran Datuak Marajo Panjang dan Datuak Bandaharo itulah lahir tiga hukum asli yaitu:

1. Hukum Simumbang Jatuah

2. Hukum Sigamak – Gamak

3. Hukum Silamo – Lamo

Ketiga undang-undang tersebut menjadi standar hukum bagi kedua Datuak (Datuak Perpatiah Nan Sabatang dan Datuak Katumanggungan), yang disebut disebut “Bajanjang Naiak Batanggo Turun“.

Pada waktu itu Datuak Suri Dirajo menciptakan ilmu pertahanan diri yang dikenal sebagai “Silek”. Sebelumnya, Datuak Suri Dirajo mewarisi ilmu bela diri (bukan silek) dari sang ayah Cati Bilang Pandai dan Sultan Maharajo Dirajo, ilmu pertahanan diri yang diwarisi oleh ayahnya disebut “Gayuang”.

silek_minang

Gayuang adalah ilmu bela diri yang digunakan untuk melawan atau untuk mengalahkan saingannya, sementara Gayuang terdiri dari dua macam. Gayuang Fisik dan Gayuang Mental. Apa yang dimaksud dengan “Gayuang Lahir” (Gayuang fisik) adalah menendang dengan tiga kaki untuk membunuh target atau lebih baik, yang dikenal dengan “Duo Sajangka Jari” (dua jari sepengukuran).

Dan target adalah diseluruh leher (jakun), pusar, dan kedua atas kaki atau kemaluan. Target ini telah menjadi sumber utama penciptaan Silek. Ilmu Gayuang Angin (Mental) adalah teknik berkelahi untuk mengalahkan lawan dengan sumber kekuatan mentalitas ke tiga sasaran penting dalam tubuh. Jantung, kelenjar getah bening dan hati. Ada juga memerangi mental lain, hal ini tidak disebut “Gayuang” karena itu digunakan beberapa alat atau media lain. Bentuk ilmu bisa bervariasi. Sijundai, Tinggam, Sewai, Parmayo dan sebagainya.
Ilmu ini masih disimpan oleh orang-orang tua Minangkabau sampai dengan saat ini yang dikenal sebagai tabungan ilmu (Panaruahan).

Di samping “Gayuang ilmu” yang dimiliki oleh Datuak Suri Dirajo, ia juga mewarisi ilmu pertahanan diri dari empat pengikut Sultan Maharajo Dirajo yaitu Kuciang Siam, Harimau Campo, Kambiang Hutan dan Anjiang Mualim.

Kuciang Siam

Kuciang Siam adalah Pengikut Sultan Maharajo Dirajo yang disebut Ko-Chin yang berasal dari Siam sekarang disebut Muangthai (Thailand). Ko-Chin dihormati karena ilmu pertahanan diri yang dimilikinya mewakili gerakan kucing dan juga karakteristik kucing.

Harimau Campo

Harimau Campo atau Harimau Campa, adalah pengikut Sultan Maharajo Dirajo yang datang dari Kamboja dan nama itu dihormati karena ilmu pertahanan diri yang dimilikinya benar-benar buatan dari gerakan harimau.

Kambiang Hutan

Kambiang Hutan, yang nama aslinya Kan-Bin, adalah ahli bela diri dari Cambay di Malabar utara, dari gerakan pembelaan dirinya gerakan seupa kambing, ia dihormati dengan nama Kambiang Hutan.

Anjiang Mualim

Disebut Anjiang Mualim karena ilmu pertahanan diri serta strategi berperang untuk mengalahkan saingan dengan meniru gerakan anjing. Nama aslinya adalah An-Jin, yang berasal dari selatan Hindi atau Persia dan kata Mualim di sini berarti navigator.

Untuk Datuak Suri Dirajo semua ilmu warisan itu adalah satu dengan hasil yang berbeda dari yang asli. Ilmu ini kini dikenal dengan Silek Usali (Silek asli), setelah dikenal sebagai bangsal Silek Tuo (Silek Lama).

Pembangunan Silek

Perkembangan Silek dimulai seiring dengan perkembangan tanah Minangkabau itu sendiri. Perkembangan tanah Minangkabau disebabkan oleh berkembang biaknya penduduk Pariangan pada waktu itu. Sultan Maharajo Dirajo memerintahkan pengikutnya untuk memimpin tim dalam misi pembangunan di daerah itu.

Pada saat itu kelompok-kelompok dipimpin oleh:

Harimau Campo ditugaskan untuk membawa kelompok untuk Luhak Agam
Kambiang Hutan ditugaskan untuk tinggal Luhak Limapuluh
Kuciang Siam diarahkan ke wilayah Lasi
Anjiang Mualim membawa kelompok ke wilayah rantau.

Seiring pembangunan daerah terjadi pula perkembangan pendidikan “silek” Minangkabau. Namanya tidak lagi Silek Tuo Silek Usali, tetapi saat ini bervariasi berdasarkan nama wilayah (daerah) dan guru.

Sama seperti Silek Harimau Campo, Kambiang Hutan, Anjiang Mualim, Kuciang Siam, ada juga silek yang dikembangkan sesuai dengan pembangunan daerah seperti Silek Pakiah Rabun, Silek Lintau, Silek Inyiak Uban, Silek Starlak, Batu Mandi, Kumango, Silek Pauah, dan sebagainya.

Disamping Silek, Minangkabau selalu mengikuti perkembangan daerah (wilayah) dan ilmu pengetahuan.

Pada prinsipnya, sumber Silek Minangkabau berasal dari sumber tunggal yang dibuat oleh Datuak Suri Dirajo. Dan perkembangan wilayah Minangkabau menjadi lebih besar yang dinyatakan dalam sejarah bahwa Minangkabau timur adalah wilayah Melayu lama (Melayu tua) di utara Sriwijaya.

Hal ini didukung oleh pendeta Buddha, I’Tsing dalam perjalanan pulang ke Cina dari perjalanan ke India tahun 671. Hal yang paling menarik untuk sementara I’Tsing adalah perjalanannya ke ibukota daerah “Mo – Lo – Yoe” (Melayu) yang berada di lembah Waktu Kampar dan sungai-sungai Kampar Kanan pada siang hari di mana ia telah berhenti di kepalanya sendiri bayangan, yang berarti itu terletak di bawah garis khatulistiwa.

Selain perkembangan Silek Minangkabau yang telah dikembangkan serta perkembangan daerah baru, seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa penugasan tim untuk mengembangkan wilayah oleh Datuak Suri Dirajo dan Datuak Nan Baduo (Datuak Perpatiah Nan Sabatang dan Datuak Katumanggungan) ilmu Silek Minangkabau telah bervariasi.

Ilmu Silek Harimau Campo

Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa Harimau Campo adalah komandan yang memimpin tim ke daerah Luhak Agam. Karena akrab dengan masyarakat Minangkabau di Agam, anak dari Luhak Agam disebut macan. “Harimau Campo” juga mengajarkan Silek Tuo (Silek yang asli) kepada generasi yang secara dominan diwarnai dengan gerakan imitasi harimau dari daerah asalnya.

Ilmu Silek Kuciang Siam

Selain ilmu Silek Minangkabau yang dikembangkan di Canduang Lasi oleh Kuciang Siam dari generasi ke generasi. Secara umum masih Silek Tuo (Silek tua), tetapi pada dasarnya gerakan dominan dengan gerakan kucing, sebagai hewan peliharaan rumah untuk melindungi dari gangguan tikus.

Gerakan kucing sangat lembut dan tenang tapi berbahaya jika tertangkap olehnya. Ketika merasa diri di dihancurkan, yang pertama jatuh adalah kakinya dan tidak akan nyenyak, seperti tidak menginjak tanah. Dalam gerakan Silek, ada gerakan yang disebut “Jatuah Kuciang” berarti jatuh ke bawah seperti kucing.

Ilmu Silek Kambiang Hutan

Kan-Bin atau Kambiang Hutan yang berasal dari Cambay Malabar utara juga mewarisi ilmu atau Silek Tuo Silek Usali oleh Datuak Suri Dirajo. Ilmu Kambiang Hutan Silek dikembangkan di daerah Luhak Lima Puluh Kota, yang cirinya semacam ini bertindak lebih Silek gerakan menggunakan tangan di samping itu juga menggunakan memukul kepala dan kaki persimpangan tak terduga oleh lawan.

Ilmu Silek Anjiang Mualim

Anjing Mualim yang berasal dari Hindi selatan Persia atau Gujarat mengembangkan ilmu Silek Rantau Pesisir (wilayah rantau). Ketika kami anggap sudah seharusnya keberadaan Bukit Barisan (pegunungan) membentang dari Utara ke Selatan Barat Timur, dan dari pemerintah pusat ke Selatan bisa melihat etnis pegunungan dimulai dari Angkola, Mandailing, Minangkabau, Lebong, Rawas, Pasaman, gunung Marapi, gunung Seblat, gunung Kaba, dan Gunung Dempo, serta sungai mengalir dan pergi ke muara ini Pantai Timur Sumatera. Ini adalah daerah tempat An- Jin memimpin bagi pembangunan daerah asing serta tumbuh dari masyarakat. Semacam ini digunakan Silek gerakan pertempuran dan pertahanan dalam bentuk lingkaran.

Silek Usali (Silek Tuo) Silek Lama

Ilmu gayuang milik Datuak Suri Dirajo dan kombinasi dengan tiga jenis Silek di atas, adalah menciptakan Silek jenis bervariasi dari pertahanan diri dari Tanah Basa (India Selatan). Menangkap semacam ini disebut Silek begitu Silek Langkah Tigo (langkah tiga Silek) atau Silek Usali daripada yang bernama Silek Tuo, pada dasarnya adalah sumber utama Gayuang atau paling terkenal dengan sasaran “Sajangka Duo Jari”

Sasaran
Sasaran (target) adalah tempat untuk mengajarkan murid (Anak Sasian) dari Silek. Ada beberapa cara atau beberapa persyaratan yang harus dilakukan terlebih dahulu sesuai dengan “Alua jo Patuik”, diantaranta berdarah pada sasaran dengan darah ayam.

Pendidikan berbasis Silek ” Tau di Garak jo Garik” (mengerti gerak gerik) yang memerlukan kesadaran dan keputusan yang solid sebagai nasihat sebagai berikut:

Tahu dibayang kato sampai

Tahu di tunggua kamanaruang

Tahu dirantiang kamalantiang

Alun bakilek alah bakalam

Artinya:
Tahu apa yang sedang dikatakan

Tahu apa yang bahaya

Tahu apa yang akan terluka

Berpikir secara mendalam sebelum suatu tindakan

Syarat menjadi “Pandeka” (Pendekar) adalah mengetahui dari Garak jo Garik (tujuan dan tindakan). Garak di Minangkabau tidak berarti tindakan, ini berarti suatu tujuan atau isyarat. Atau dapat dikatakan dalam perasaan, sementara Garik berarti tindakan yang dapat terlihat sehingga dapat dihindari, dihentikan, ditangkap atau dikunci.

Pengaruh hukum adat adalah begitu kuat di Minangkabau yang benar-benar membantu dalam pembentukan jiwa Pendekar Minangkabau seperti:

Yang bajanjang batanggo turun naiak

Batatah babarih, jauah buliah ditunjuakkan

Dakek buliah dipacikkan, cancang mamampeh

Ndak lapuak dek hujan, ndak lakang dek paneh

Yang berarti:

- Hormat

- Penuh kepercayaan

- Kejujuran

- Loyalitas

Silek Dan Perkembangan Agama Islam

Setelah Agama Islam menyebar dengan cepat di tanah Minangkabau, perkembangan Silek maju dengan cepat disesuaikan dengan ajaran Islam.

Perkembangan Silek menyeberang ke Negeri Sembilan (Malaysia). Hal ini dapat dibuktikan oleh orang-orang Minangkabau pertama yang tiba di Negeri Sembilan, Datuak Raja dengan Tok Seri, dan dilakukan sebuah desa bernama Kampung Galau, yang diikuti oleh Datuak Raja dari keluarga Datuak Bandaharo Pangulu Alam dan tinggal di desa Sungai Layang.

Pada periode berikutnya diikuti oleh Sutan Sumaniak dan Johan Kebesaran dan berdiam di Gunung Pasir, dan demikian juga Datuak Putiah dan Sari Lamak yang akhirnya berdiam di Seri Menanti.

Raja pertama yang memerintah di Malaka pertama adalah Raja Malewar (1773 – 1795) dan dari sini kita bisa membandingkan bahwa ilmu Silek dari orang malayu yang kata mereka ilmu tentang Silek “Seni Gayong” (Gayuang) berasal dari Minangkabau, yang telah berubah sesuai dengan waktu dan daerah.

Perkembangan Setelah Reformasi Silek Islam

Pada masa keruntuhan Kerajaan Minangkabau ada juga reformasi pada ilmu Silek Minangkabau. Islam (Syi’ah) yang dikembangkan di Minangkabau tahun 1150. tiga haji muda Minangkabau pulang dari Mekah pada tahun 1803, untuk mereformasi Islam, yang memiliki kesempatan menyaksikan kekacauan di Minangkabau. Tiga Haji itu adalah:

Haji Miskin dari luhak Tanah Datar Masjid yang berada di tanah airnya Pandai Sikat
Haji Piobang dari luhak Lima Puluh Kota
Haji Sumaniak dari luhak Agam

Ketiga pria itu pulang ke Minangkabau untuk tujuan Reformasi Islam, dari Syi’ah ke keyakinan Wahabi. Dalam era reformasi ini, ketiganya dibantu oleh lima anak muda yang telah mempelajari Islam secara mendalam. Mereka adalah Tuanku Nan Renceh dari Kamang, Tuanku Nan Tuo dari Cangkiang, Malin Putiah di Aia Tabik, Tuanku Pamansiang dan Peto Syarif di Bonjol atau dikenal sebagai Imam Bonjol. Mereka, pada kenyataannya, lebih dikenal dengan nama “Harimau Nan Salapan” (delapan harimau).

Nama Harimau Nan Salapan terhormat untuk mereka, dalam kasus jalan mereka dalam reformasi Islam waktu itu diduga berada di kekerasan yang benar-benar melawan oleh kelompok-kelompok adat. Delapan harimau ini kemudian dikenal dengan “Harimau Nan Sambilan” (sembilan harimau), sejak Tuanku Rao menjadi anggota kelompok yang datang dari Rao Pasaman. Di samping ahli agama, mereka juga pengembang Silek Minangkabau.

Warisan Silek “Langkah Tigo” (tiga anak tangga) atau SilekTuo (Silek tua) mulai menjadi berwarna diskusi pendapat pendidikan Islam. Dari situs ini, daripada nama dan corak bervariasi dari Silek di Minangkabau mulai berkembang, pada umumnya adalah disempurnakan oleh kekuatan rohani melalui diskusi dan aktivitas ritual dilakukan berdasarkan pendidikan Islam.

Semakin berkembang daerah dan kebudayaan mereka semakin berkembang corak Silek Minangkabau. Nama Silek ada dan mengembangkan ideologi waktu itu bernama ini pada orang yang mengajar atau di daerah asalnya. Ini dapat dilihat dari beberapa ideologi Silek terkenal di Minangkabau.

Silek Kumango

Kumango adalah daerah di Sungai Tarab, Kabupaten Tanah Datar. Silek ini diciptakan oleh Syech Abdurrahman atau yang terkenal dengan nama Syech Kumango (1825). Di samping ajaran agama, Syech Kumango juga mengajarkan ilmu pertahanan diri Silek Tuo (Silek tua), yang berwarna inspirasi Islam. Sampai dengan saat ini Silek semacam ini telah disebut Silek Kumango, karena guru itu dari Kumango.

Untuk nama ideologi Silek, dari kasus ini, kita dapat menyatakan bahwa hal itu diambil dari nama daerah atau wilayah mana berasal dari orang yang diajarkan itu hanya sebagai salah satu murid Silek Kumango, Malin Marajo, ketika ia mengembangkan Silek semacam ini di Batu Sangkar, ideologi-nya adalah Silek Malin Silek Dipanggil Marajo.

Di samping itu terdapat juga Silek Pakiah Rabun dari Muaro Labuah, Silek Inyiak Uban dari Maninjau, Silek Lintau dari daerah di Lintau Lubuak Jantan Lintau Penuh daerah di Kabupaten Tanah Datar yang dikembangkan oleh Sutan Ahmad Tuanku Laras Lintau di awal dari Abad 19.

Silek Starlak, dari Kamang di Kabupaten Agam dikembangkan oleh Ulud Bagindo Chatib 1865.
Perkembangan Silek sekolah serta nama-nama mereka, bagaimanapun, mempunyai efek yang besar terhadap sejarah tumbuh dari Silek di Minangkabau. Di samping variasi ideologi Silek yang dikembangkan di Minangkabau, telah terjadi penurunan keberadaan pendekar Silek Minangkabau yang benar-benar memahami atau mengetahui sejarah Silek Minangkabau.

Hal ini pada kenyataannya sangat menyedihkan, yang relevan terhadap kemajuan teknologi, sebagian besar masyarakat Minangkabau telah meniru kebiasaan impor dari negara asing dan kurangnya perhatian kaum muda untuk masa depan budaya adat tradisi yang katanya “ndak lapuak dek hujan ndak lakang dek paneh” (abadi)

Dan sehingga pendidikan Silek Minangkabau saat ini tampaknya langka. Hal ini, pada kenyataannya, yang dianggap sebagai sangat rahasia sistem pendidikan Silek itu sendiri, di mana umumnya seorang guru yang akan mengajar muridnya di malam hari, dan demikian juga para pewaris pendidikan itu seperti kata berikut. “kok ndak ado nan nan sajangka cari saeto (jika tidak ada yang sejengkal cari yang sehasta).

Ini berarti dalam menghasilkan ilmu Silek seorang guru tidak bisa mengajarkan kepada setiap orang, tetapi hanya untuk generasi mereka saja (keturunan/kaum mereka) seperti anak, keponakan, atau saudara. Apalagi dalam menghasilkan ilmu berbasis Silek sisi spiritual, ritual diskusi yang disebut “Panaruahan” atau tabungan, itu sebabnya pendekar Silek Minangkabau menjadi semakin berkurang. Ini dapat dibuktikan dengan minimnya pusat pelatihan Silek tradisional di Minangkabau.

Di pusat pelatihan Silek, murid tidak hanya diajarkan ilmu Silek tetapi juga sikap, filosofi kehidupan dan adat dan Budaya Minangkabau. Seorang murid akan disebut “pendekar” ketika dia telah sangat mengetahui dan sangat memahami philosopy kehidupan dan ajaran agama Islam.

Alam Takambang Jadikan Guru

Ini dapat dikatakan bahwa pengalaman adalah guru terbaik, para murid akan belajar lebih banyak dari alam dan memiliki rasa hormat yang lebih besar untuk semua hal yang didapatnya.
Ritual ini pendapat “Alam Takambang Jadikan Guru” (alam adalah guru terbaik) memiliki makna yang lebih besar tertutup alam semesta dan itu terkandung dalam pengajaran ilmu pengetahuan Silek. Secara formal, seorang guru Silek juga diajarkan filosofi hidup yang sangat berguna dalam membentuk kepribadian pesilat.Dalam Silek para murid juga diajarkan sikap, kesopanan dan kepribadian batiniah.

Filosofi Lumuik Hanyuik dan Sejarah Bangsa Imigran Minangkabau

Filosofi Lumuik Hanyuik dan Sejarah Bangsa Imigran Minangkabau



Lumuik Hanyuik adalah salah satu motif ukiran Minangkabau yang diturunkan dari motif Gandara Scrolls, sebuah warisan budaya yang telah ikut mencatat perjalanan sejarah masyarakat Minangkabau. Dalam khazanah kebudayaan Minangkabau, sebuah motif ukiran bukan hanya sebuah hasil budaya berkesenian yang tanpa makna. Ada sebuah filosofi di balik hasil karya itu, ada latar belakang sejarah yang disimpan didalamnya.

lumut hanyut

Motif ukiran Lumuik Hanyuik

Syair berikut ini menggambarkan latar filosofi dari motif Lumuik Hanyuik :


Aka lapuak gagangnyo lapuak
Hiduik nan indak mamiliah tampek
Asa lai lambah, inyo lah tumbuah
Dalam aia bagagang juo

Aia hilia lumuik pun hilia
Walau tasalek di ruang batu
Baguba babondong-bondong
Aia bapasang lumuik bapiuah
Namun hiduik bapantang mati

Baitu untuangnyo lumuik
Indak mancari tampek diam
Hanyo manompang jo aia hilia
Indak mamiliah tampek tumbuah
Asa kasampai ka muaro
Usah cameh badan kahanyuik

Baguru kito kalumuik
Alam takambang jadi guru
Lahianyo lumuik nan disabuik
Bathinnyo Adat Minangkabau

Dilariak di papan tapi
Ukiran rumah nan di lua
Gambaran adat hiasan alam
Pusako salamonyo

Demikianlah, sebuah motif ukiran dengan gamblang menceritakan perjalanan sejarah orang-orang yang mendirikan Kebudayaan Minangkabau. Entah darimana mereka datang, entah sudah berapa daerah yang mereka lalui, entah sudah berapa lautan yang mereka seberangi dan entah sudah berapa pegunungan yang mereka daki.

Filosofi motif ini telah menjelaskan tentang fenomena merantau yang sangat legendaris di kalangan orang Minangkabau bahkan lebih jauh lagi sebelum istilah Minangkabau itu ada. Filosofi motif ini secara nyata merekam aktifitas-aktifitas diaspora yang terjadi ratusan bahkan ribuan tahun lalu. Ia mengisyaratkan episode-episode sejarah yang panjang yang penuh dengan perjuangan dan cerita-cerita eksodus, cerita-cerita penaklukan, cerita-cerita penyingkiran, cerita-cerita petualangan dan cerita-cerita pembangunan peradaban. Episode-episode ini sejatinya banyak dan berulang-ulang dalam suatu kurun waktu yang panjang. Namun pada hakikatnya ia kembali mengulangi dan merepetisi pola-pola yang sama, yaitu : datang, berkembang, jaya, berkuasa kemudian ditaklukkan, berperang, lari, bertualang dan sekali lagi mengulangi cerita yang sama di daerah baru.

Pola-pola ini selalu berulang sejak zaman hellenisme yang dikenang dengan mitos keturunan Iskandar Zulkarnain itu sampai dengan peristiwa PRRI yang memilukan itu. Pola-pola ini selalu berulang melintasi dimensi ruang yang melewati India, Champa, daerah aliran sungai besar di Riau dan Jambi, Luhak Nan Tigo, Rantau Pesisir, kembali lagi ke daerah aliran sungai tempat asal tadi (namun kali ini menyebutnya sebagai rantau karena telah ditaklukkan kembali), menyebar pula ke sepanjang pantai barat Sumatera dan Semenanjung Malaya dan terus sampai ke ujung-ujung dunia. Pola yang sama telah melintasi waktu yang teramat panjang dari abad ke-3 SM sampai saat ini.

Begitulah orang Minangkabau sejak zaman dahulu kala, kurang lebih seperti lumut (ganggang) sungai yang hanyut. Akarnya lapuk gagangnya lapuk (terlepas dari akar sejarah kegemilangan), hidup tidak memilih tempat, air hilir lumut pun hilir (mengikuti peradaban yang berkembang pada masanya). Lahirnya lumut yang disebut, batinnya Adat Minangkabau.

Kerajaan Kerajaan Pendahulu Pagaruyung

Kerajaan Kerajaan Pendahulu Pagaruyung


1. Kerajaan Pasumayan Koto Batu

Kerajaan ini disebut-sebut dalam Tambo Alam Kerinci sebagai tempat asal ninik masyarakat Kerinci. Rajanya bernama Sri Maharajo Dirajo yang merupakan kepala rombongan yang datang ke Pasumayan Koto Batu, Daerah kekuasaannya di Langgundi Nan Baselo yang masih diseputar Pasumayan Koto Batu, istrinya bernama Puti Indo Jalito dan anaknya bernama Sutan Maharajo Basa yang kemudian bernama Datuk Katumanggungan. Setelah meninggal dunia Sri Maharajo Dirajo digantikan oleh Datuk Suri Dirajo.

Semasa pemerintahan Datuk Suri Dirajo terjadi suatu peristiwa yaitu datang rusa dari laut yang besar sekali (sebagian menerjemahkannya sebagai peristiwa kedatangan Sang Sapurba). Atas petunjuk Datuk Suri Dirajo rusa besar tersebut dapat dijerat dan disembelih. Rakyat beriang-riang dan akhirnya tempat itu bernama Pariangan. Saat suasana beriang-riang itu Datuk Suri Dirajo menuju pada suatu tempat dan berdiri pada sebuah batu besar sambil menyandang pedang panjang. Akhirnya temat itu bernama Padang Panjang. Sebagai wakil raja di Pariangan diangkat Datuk Bandaro Kayo dan di Padang Panjang diangkek Datuk Maharajo Basa.
Di Pariangan didirikan sebuah tempat bersidang yang disebut Balai Nan Saruang. Di Balai Nan Saruang inilah segala sesuatu dimusyawarahkan yang berkaitan dengan pemerintahan adat dan kepentingan rakyat.
Semasa Kerajaan Pasumayan Koto Batu berlaku Undang-Undang yang bernama “Undang-Undang Simumbang Jatuah” Undang-undang ini sangat keras dan sebagai contoh siapa yang membunuh akan dibunuh. Apa yang diperintahkan harus dijalankan. Mungkin waktu itu tantangan sangat berat dalam membangun nagari seperti manggaluang taruko sawah ladang. Untuk itu perlu kerja keras dan undang-undang yang tegas pula.
Datuk Suri Dirajo kemudian mengangkat Sutan Maharajo Basa yang bergelar Datuk Katumanggungan dan Sutan Balun yang bergelar Datuk Perpatih Nan Sabatang. Keduanya dianggap oleh orang Minangkabau sebagai pendiri adat Koto Piliang dan Bodi Caniago.
Semasa kerajaan Pasumayan Koto Batu ini adat Minangkabau sudah disusun sedemikian rupa kemudian disempurnakan oleh Datuk Katumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sabatang.

2. Kerajaan Dusun Tuo dan Bungo Satangkai

Setelah Kerajaan Pasumayan Koto Batu berakhir dengan Rajanya Sri Maharajo Dirajo yang kemudian digantikan oleh Datuk Suri Dirajo. Maka selanjutnya muncul 2 orang pemimpin yang bernama Datuk Katumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sabatang. Sebagaimana dikatakan sebelumnya kedua orang tokoh ini seibu berlainan bapak.
Datuk Katumanggungan mendirikan Kerajaan Bungo Satangkai di Sungai Tarab dan sebagai yang dipertuan adalah Datuk Banadaro Putiah. Sedangkan datuk Perpatih Nan Sabatang meninggalkan Nagari Pariangan Padang Panjang dan mendirikan Nagari Limo Kaum XII Koto dan IX Koto di Dalam. Didaerah ini yang berdaulat Datuk Perpatih Nan Sabatang sedangkan pemerintahan sehari-hari dilaksanakan oleh Datuk Bandaro Kuning. Yang termasuk Kerajaan Dusun Tuo adalah daerah yang termasuk Lareh Bodi Chaniago adalah Tanjung Nan Tigo dan Lubuak Nan Tigo. Sedangkan Kerjaan Bungo Satangkai meliputi Langgam Nan Tujuh.
Semasa Kerajaan Dusun Tuo dan Bungo Satangkai diadakan perubahan Undang-Undang Simumbang Jatuah dirubah dengan undang-undang Si Lamo-lamo intinya adalah bahwa sesuatu keputusan yang akan diambil diperhitungkan terlebih dahulu masak-masak, melarat dan memanfaatkannya. Hukuman yang telah dijatuhkan belum dapat dilaksanakan tetapi harus diberi tenggang waktu lebih dahulu agar hukuman itu benar-benar menghukum orang yang bersalah.
Yang melaksanakan Undang-undang Si Lamo-lamo adalah Kerajaan Dusun Tuo di bawah pimpinan Datuk Perpatih Nan Sabatang, sedangkan Kerajaan Bungo Setangkai di Bawah pimpinann DatukKatumanggungan tetap bertahan dengan undang-undang Simumbang Jatuah. Akhirnya kedua tokoh ini terjadi perselisihan. Perselisihan ini akhirnya diadakan perdamaian dan ikrar bersama ditandai dengan Batu Batikam. Isi perdamaian bahwa Undang-undang Silamo-lamo berlaku bagi seluruh Minangkabau dan Adat Bodi Chaniago dan Koto Piliang sama-sama berlaku bagi seluruh rakyat Minangkabau.
Selanjutnya terjadi pula perubahan yaitu Undang-undang si Lamo-lamo diganti dengan Undang-undang Tariak Baleh. Sebagai contoh Undang-undang Tariak Baleh ini adalah:

Salah tariak mangumbalikan
Salah cotok malantiangkan
Salah makan mamuntahkan

Artinya kesalahan yang diperbuat seseorang dapat diuperbaikinya kembali sebelum hukuman dijatuhkan kepadanya. Akhirnya undang-undang Tariak Baleh ini terjadi lagi perubahan yaitu Undang-Undang Duo Puluah yang diberlakukan di seluruh Minangkabau baik di Lareh Koto Piliang maupun Lareh Bodi Caniago yang mana sampai sekarang masih berfungsi sebagai hukum adat di nagari-nagari pada saat sekarang.
Yang dapat kita ambil kesimpulan adalah bahwa semasa Datuk Katumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sabatang betul-betul telah mereka susun adat Minangkabau yang nenjadi pegangan bagi orang Minangkabau sejak dahulu sampai sekarang. Tidak mengherankan kalau nama Datuk Katumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sabatang tidak dapat dilupakan oleh orang Minangkabau sepanjang masa.

3. Kerajaan Bukit Batu Patah

Kerajaan Bukit Batu Patah didirikan oleh seseorang Datuk yang bertapa di Bukit Patah. Ini masih ada hubungan keluarga dengan.Yang Dipertuan Bungo Satangkai. Nama Datuk ini adalah Sutan Nun Alam. Di Bukit Batu Patah ini sampai sekarang masih terdapat Luak Nan Tigo, tempat bertapa dilereng Gunung Bungsu di belakang istana Pagaruyung sekarang. Pada masa kerajaan Bukit Batu Patah ini Luak Nan Tigo sudah dapat disatukan dalam masalah adat dan pemerintahan. Sudah dibentuk Rajo Nan Duo Selo dan Basa Ampek Balai.
Rajo Duo Selo tersebut adalah Rajo Alam yang berkedudukan di Bukit Batu Patah dan Rajo Adat berkedudukan di Bungo Satangkai.
Basa Ampek Balai adalah :

Datuk Bandaro Putiah sebagai Pamuncak di Sungai Tarab
Indomo di Saruaso sebagai Payuang Panji
Makhudum di Sumanik sebagai Aluang Bunian
Tuan Gadang di Batipuh sebagai Harimau Campo

Yang dipertuan Nun Alam digantikan oleh Run Pitualo dan menurut riawayatnya tidak lama pula memerintah di Bukit Batu Patah. Raja ketiga adalah Maharajo Indo dan semasa pemerintahannya pusat kerajaannya dipindahkannya ke kaki Bukit Batu Patah atau di daerah nagari Pagaruyung sekarang. Semasa pemerintahan Maharajo Indo agama Islam sudah masuk ke Minangkabau dari daerah Minangkabau timur.
Maharajo Indo kemudian digantikan oleh Yang Dipertuan Sati. Semasa pemerintahannya Rajo Nan Duo Selo dilengkapi menjadi Rajo Nan Tigo Selo dan Basa Ampek Balai dengan ada perubahan setelah masuk agama Islam. Rajo Alam bersemayam di Balai Gudam, Rajo Ibadat bersemayam di Balai Bungo dan Rajo Adat bersemayam di Balai Janggo. Pada masa itu Basa Ampek Balai adalah :

Tuan Titah (Panitahan) di Sungai Tarab sebagai Pamuncak yang berfungsi sebagai Menteri Dalam Negeri
Makhudum di Sumanik sebagai Aluang Bunian atau Menteri Keuangan
Indomo di Saruaso sebagai Payung Panji atau Menteri Kesejahteraan
Tuan Kadi di Padang Ganting sebagai suluh bendang yang berfungsi sebagai Menteri Agama dan Penerangan

Sedangkan Tuan Gadang di Batipuh sebagai penanggung jawab di bidang keamanan.

Kerajaan Pertama di Gunung Marapi

Kerajaan Pertama di Gunung Marapi



1. Maharaja yang Bermahkota

Dikatakan pula oleh Tambo, bahwa dalam pelayaran putera-putera Raja Iskandar Zulkarnain tiga bersaudara, dekat pulau Sailan mahkota emas mereka jatuh ke dalam laut. Sekalian orang pandai selam telah diperintahkan untuk mengambilnya. Tetapi tidak berhasil, karena mahkota itu dipalut oleh ular bidai di dasar laut. Cati Bilang Pandai memanggil seorang pandai mas. Tukang mas itu diperintahkannya untuk membuat sebuah mahkota yang serupa. Setelah mahkota itu selesai dengan pertolongan sebuah alat yang mereka namakan “ camin taruih” untuk dapat menirunya dengan sempurna. Setelah selesai tukang yang membuatnya pun dibunuh, agar rahasia tidak terbongkar dan jangan dapat ditiru lagi.

Waktu Sri Maharaja Diraja terbangun, mahkota itu diambilnya dan dikenakannya diatas kepalanya. Ketika pangeran yang berdua lagi terbangun bukan main sakit hati mereka melihat mahkota itu sudah dikuasai oleh si bungsu. Maka terjadilah pertengkaran, sehingga akhirnya mereka terpisah.

Sri Maharaja Alif meneruskan pelayarannya ke Barat. Ia mendarat di Tanah Rum. Sri Maharaja Dipang membelok ke Timur, memerintah negeri Cina dan menaklukkan negeri Jepang.

2. Galundi Nan Baselo

Sri Maharaja Diraja turun sedikit ke bawah dari puncak Gunung Merapi membuat tempat di Galundi Nan Baselo. Lebih ke baruh lagi belum dapat ditempuh karena lembah-lembah masih digenangi air, dan kaki bukit ditutupi oleh hutan rimba raya yang lebat. Mula-mula dibuatlah beberapa buah taratak. Kemudian diangsur-angsur membuka tanah untuk dijadikan huma dan ladang. Teratak-teratak itu makin lama makin ramai, lalu tumbuh menjadi dusun, dan Galundi Nan Baselo menjadi ramai.

Sri Maharaja Diraja menyuruh membuat sumur untuk masing-masing isterinya mengambil air. Ada sumur yang dibuat ditempat yang banyak agam tumbuh dan pada tempat yang ditumbuhi kumbuh, sejenis tumbuh-tumbuhan untuk membuat tikar, karung, kembut dsb. Ada pula ditempat yang agak datar. Ditengah-tengah daerah itu mengalir sebuah sungai bernama Batang Bengkawas. Karena sungai itulah lembah Batang Bengkawas menjadi subur sekali.

Beratus-ratus tahun kemudian setelah Sri Maharaja Diraja wafat, bertebaranlah anak cucunya kemana-mana, berombongan mencari tanah-tanah baru untuk dibuka, karena air telah menyusut pula. Dalam tambo dikatakan “Tatkalo bumi barambuang naiak, aia basintak turun”.

Keturunan Sri Maharaja Diraja dengan “si Harimau Campa” yang bersumur ditumbuhi agam berangkat ke dataran tinggi yang kemudian bernama “Luhak Agam” (luhak = sumur). Disana mereka membuka tanah-tanah baru. Huma dan teruka-teruka baru dikerjakan dengan sekuat tenaga. Bandar-bandar untuk mengairi sawah-sawah dikerjakan dengan sebaik-baiknya.

Keturunan “Kambing Hutan” membuka tanah-tanah baru pula di daerah-daerah Gunung Sago, yang kemudian diberi nama “Luhak 50 Koto” (Payakumbuh) dari luhak yang banyak ditumbuhi kumbuh.

Keturunan “Anjing yang Mualim” ke Kubang Tigo Baleh (Solok), keturunan “Kucing Siam” ke Candung-Lasi dan anak-anak raja beserta keturunannya dari si Anak Raja bermukim tetap di Luhak Tanah Datar. Lalu mulailah pembangunan semesta membabat hutan belukar, membuka tanah, mencencang melateh, meneruka, membuat ladang, mendirikan teratak, membangun dusun, koto dan kampung.

3. Kedatangan Sang Sapurba

Tersebutlah kisah seorang raja bernama Sang Sapurba. Di dalam tambo dikatakan “datanglah ruso dari lauik”. Kabarnya dia sangat kaya bergelar Raja Natan Sang Sita Sangkala dari tanah Hindu. Dia mempunyai mahkota emas yang berumbai-umbai dihiasai dengan mutiara, bertatahkan permata berkilauan dan ratna mutu manikam.

Mula-mula ia datang dari tanah Hindu. Ia mendarat di Bukit Siguntang Maha Meru dekat Palembang. Disana dia jadi menantu raja Lebar Daun. Dari perkawinannya di Palembang itu dia memperoleh empat orang anak, dua laki-laki yaitu Sang Nila Utama, Sang Maniaka; dua perempuan yaitu Cendera Dewi dan Bilal Daun.

Pada satu hari Sang Sapurba ingin hendak berlayar menduduki Sungai Indragiri. Setelah lama berlayar, naiklah dia ke darat, akhirnya sampai di Galundi Nan Baselo. Waktu itu yang berkuasa di Galundi Nan Baselo ialah Suri Dirajo, seorang dari keturunan Sri Maharaja Diraja. Suri Diraja tekenal dengan ilmunya yang tinggi, ia bertarak di gua Gunung Merapi. Karena ilmunya yang tinggi dan pengetahuannya yang dalam, ia jadi raja yang sangat dihormati dan disenangi oleh penduduk Galundi Nan Baselo dan di segenap daerah. Ia juga bergelar Sri Maharaja Diraja, gelar yang dijadikan gelar keturunan raja-raja Gunung Merapi.

Anak negeri terheran-heran melihat kedatangan Sang Sapurba yang serba mewah dan gagah. Orang banyak menggelarinya “Rusa Emas”, karena mahkotanya yang bercabang-cabang. Oleh karena kecerdikan Suri Dirajo, Sang Sapurba dijadikan semenda, dikawinkan dengan adiknya bernama Indo Julito. Sang Sapurba adalah seorang Hindu yang beragama Hindu. Dia menyembah berhala. Lalu diadakan tempat beribadat di suatu tempat. Tempat ini sampai sekarang masih bernama Pariangan (per-Hiyang-an = tempat menyembah Hiyang / Dewa). Dan disitu juga terdapat sebuah candi buatan dari tanah tempat orang-orang Hindu beribadat. Ada juga yang mengatakan tempat itu adalah tempat beriang-riang.

4. Raja yang Hanya Sebagai Lambang

Sang Sapurba lalu dirajakan dengan memangku gelar Sri Maharaja Diraja juga. Tetapi yang memegang kendali kuasa pemerintahan tetap Suri Dirajo sebagai orang tua, sedangkan sang sapurba hanya sebagai lambang.
Untuk raja dengan permaisurinya dibuatkan istana “Balairung Panjang” tempatnya juga memerintah. Istana ini konon kabarnya terbuat dari : tonggaknya teras jelatang, perannya akar lundang, disana terdapat tabuh dari batang pulut-pulut dan gendangnya dari batang seleguri, getangnya jangat tuma, mempunyai cenang dan gung, tikar daun hilalang dsb.

Karena Pariangan makin lama makin ramai juga Sang Sapurba pindah ke tempat yang baru di Batu Gedang. Seorang hulubalang yang diperintahkan melihat-lihat tanah-tanah baru membawa pedang yang panjang. Banyak orang kampung yang mengikutinya. Mereka menuju ke arah sebelah kanan Pariangan. Terdapatlah tanah yang baik, lalu dimulai menebang kayu-kayuan dan membuka tanah-tanah baru. Selama bekerja hulubalang itu menyandarkan pedang yang panjang itu pada sebuah batu yang besar. Banyak sekali orang yang pindah ke tempat yang baru itu. Mereka berkampung disitu, dan kampung baru tempat menyandarkan pedang yang panjang itu, sampai sekarang masih bernama Padang Panjang.

Lama kelamaan Padang Panjang itu jadi ramai sekali. Dengan demikian Pariangan dengan Padang Panjang menjadi sebuah negeri, negeri pertama di seedaran Gunung Merapi di seluruh Batang Bengkawas, yaitu negeri Pariangan Padang Panjang. Untuk kelancaran pemerintahan perlu diangkat orang-orang yang akan memerintah dibawah raja. Lalu bermufakatlah raja dengan orang-orang cerdik pandai. Ditanam dua orang untuk Pariangan dan dua orang pula untuk Padang Panjang. Masing-masing diberi pangkat “penghulu” dan bergelar “Datuk”. · Dt. Bandaro Kayo dan Dt. Seri Maharajo untuk Pariangan · Dt. Maharajo Basa dan Dt. Sutan Maharajo Basa untuk Padang Panjang. Orang-orang yang berempat itulah yang mula-mula sekali dijadikan penghulu di daerah itu. Untuk rapat dibuat Balai Adat. Itulah balai pertama yang asal sebelum bernama Minangkabau di Pariangan.

5. Sikati Muno

Seorang orang jahat yang datang dari negeri seberang tiba pula di daerah itu. Karena tubuhnya yang besar dan tinggi bagai raksasa ia digelari orang naga “Sikati Muno” yang keluar dari kawah Gunung Merapi.

Rakyat sangat kepadanya dan didongengkan mereka, bahwa naga itu tubuhnya besar dan panjangnya ada 60 depa dan kulitnya keras. Ia membawa bencana besar yang tidak terperikan lagi oleh penduduk. Kerjanya merampok dan telah merusak kampung-kampung dan dusun-dusun. Padi dan sawah diladang habis dibinasakannya. Orang telah banyak yang dibunuhnya, laki-laki, perempuan dan gadis-gadis dikorbankannya. Keempat penghulu dari Pariangan-padang Panjang diutus Suri Drajo menghadap Sang Sapurba di Batu Gedang tentang kekacauan yang ditimbuklan oleh Sikati Muno. Untuk menjaga prestisenya sebagai seorang semenda, Sang Sapurba lalu pergi memerangi Sikati Muno. Pertarungan hebat pun terjadi berhari-hari lamanya. Pedang Sang Sapurba sumbing-sumbing sebanyak seratus sembilan puluh. Akhirnya naga Sikati Muno itu mati dibunuh oleh Sang Sapurba dengan sebilah keris. Keris tersebut dinamakan “Keris Sikati Muno”, keris bertuah, tak diujung pangkal mengena, jejak ditikam mati juga.

Sejak itu amanlah negeri Pariangan-Padang Panjang, dan semakin lama semakin bertambah ramai. Oleh sebab itu Sang Sapurba memerintahkan lagi mencari tanah-tanah baru. Pada suatu hari raja sendiri pergi keluar, melihat-lihat daerah yang baik dijadikan negeri. Dia berangkat bersama-sama dengan pengiring-pengiringnya. Ia sampai pada suatu tempat mata air yang jernih keluar dari bawah pohon tarab. Sang Sapurba berpikir, tanah itu tentu akan subur sekali dan baik dijadikan negeri. Lalu diperintahkannyalah membuka tanah-tanah baru ditempat itu. Sampai sekarang tanah itu dinamakan Sungai Tarab. Kemudian hari jadi termasyhur, tempat kedudukan “Pamuncak Koto Piliang” Dt. Bandaharo di Sungai Tarab. Selain itu raja menemui pula setangkai kembang teratai di daerah itu, kembang yang jadi pujaan bagi orang-orang Hindu. Raja menyuruh mendirikan sebuah istana di tempat itu. Setelah istana itu siap raja lalu pindah bertahta dari Pariangan-Padang Panjang ke tempat yang baru itu, yang kemudian dinamakan negeri Bungo Satangkai, negeri yang kedua sesudah Pariangan-Padang Panjang.

Perbedaan Adat Koto Piliang Dengan Bodi Caniago

Perbedaan Adat Koto Piliang Dengan Bodi Caniago


1. Memutuskan Perkara
Menghadapi sesuatu permasalahan dalam memutuskan perkara, Bodi Caniago berpedoman kepada “…tuah dek sakato, mulonyo rundiang dimufakati, dilahia lah samo nyato di batin buliah diliekti…” (tuah karena sekata, mulanya rundingan dimufakati, dilahir sudah sama nyata, dibatin boleh dilihat). Artinya sesuatu pekerjaan atau menghadapi sesuatu persolan terlebih dahulu hendaklah dimufakati, dimusyawarahkan. Hasil dari mufakat ini benar-benar atas suara bersama, sedangkan Koto Piliang berdasarkan kepada “…nan babarih nan bapahek, nan baukua, nan bakabuang : coreng barih buliah diliek, cupak panuah bantangnyo bumbuang…” ( yang digaris yang dipahat, yang diukur yang dicoreng : baris boleh dilihat, cupak penuh gantangnya bumbung). Pengertian segala undang-undang atau peraturan yang dibuat sebelumnya dan sudah menjadi keputusan bersama harus dilaksanakan dengan arti kata “terbujur lalu terbulintang patah”.

2. Mengambil Keputusan
Dalam mengambil suatu keputusan adat Bodi Caniago berpedoman kepada “…kato surang dibuleti katobasamo kato mufakat, lah dapek rundiang nan saiyo, lah dapek kato nan sabuah, pipiah dan indak basuduik bulek nan indak basandiang, takuruang makanan kunci, tapauik makanan lantak, saukua mako manjadi, sasuai mangko takana, putuih gayuang dek balabeh, putih kato dek mufakat, tabasuik dari bumi…”. (kata seorang dibulati, kata bersama kata mufakat, sudah dapat kata yang sebuah, pipih tidak bersudut, bulat tidak bersanding, terkurung makanan kunci, terpaut makanan lantak, seukur maka terjadi, sesuai maka dipasangkan, putus gayung karena belebas, putus kata karena mufakat, tumbuh dari bumi). Maksud dari sistem adat Bodi Caniago ini yang diutamakan sekali adalah sistem musyawarah mencari mufakat.
Sedangkan Koto Piliang yang menjadi ketentuannya, “…titiak dari ateh, turun dari tanggo, tabujua lalu tabalintang patah, kato surang gadang sagalo iyo, ikan gadang dalam lauik, ikan makannyo, nan mailia di palik, nan manitiak ditampung…” (titik dari atas, turun dari tanggga, terbujur lalu terbelintang patah, kata sorang besar segala iya, ikan besar dalam laut ikan makannya, yang mengalir di palit yang menitik ditampung).

3. Pengganti Gelar Pusaka
Pada lareh Bodi Caniago seseorang penghulu boleh hidup berkerilahan, yaitu mengganti gelar pusaka kaum selagi orangnya masih hidup. Hal ini bila yang digantikan itu sudah terlalu tua dan tidak mampu lagi menjalankan tugasnya sebagai pemimpin anak kemenakan. Dalam adat dikatakan juga “lurahlah dalam, bukiklah tinggi” (lurah sudah dalam, bukik sudah tinggi). Sedangkan pada lareh Koto Piliang “baka mati batungkek budi” (mati bertongkat budi) maksudnya gelarnya itu baru bisa digantikan setelah orangnya meninggal dunia.

4. Kedudukan Penghulu
Pada lareh Koto Piliang ada tingkatan-tingkatan penguasa sebagai pembantu penghulu pucuk, berjenjang naik bertangga turun. Tingkatan penghulu dalam nagari ada penghulu andiko, penghulu suku, dan penghulu pucuk. Penghulu pucuk inilah sebagai pucuk nagari. “bapucuak bulek, baurek tunggang” (berpucuk bulat berurat tunggang). Sedangkan pada Bodi Caniago semua penghulu sederajat duduknya “sahamparan, tagak sapamatang” (duduk sehamparan tegak sepematang).

5. Balai Adat dan Rumah Gadang
Balai adat lareh Koto Piliang mempunyai anjuang kiri kanan berlabuh gajah di tengah-tengah. Anjung kiri kanan ada tempat yang ditinggikan. Ini dari lantai yang lain untuk menempatkan penghulu-penghulu sesuai dengan fungsinya atau tingkatannya. Lantai rumah gadang Koto Piliang ada tingkatannya. Maksudnya juga bila ada persidangan penghulu-penghulu tidak sama tinggi kedudukannya, dia duduk sesuai dengan fungsinya dalam adat.
Pada lareh Bodi Caniago lantai balai adat dan rumah gadang, lantainya datar saja. Semua penghulu duduk sehamparan duduk sama rendah, tegak sama berdiri.
Secara substansial, kedua sistem adat ini sesungguhnya sama-sama bertitik tolak pada azas demokrasi. Perbedaannya hanya terletak pada aksentuasi dalam penyelenggaraan dan perioritas pada hak azasi pribadi disatu pihak dan kepentingan umum dipihak lain. Suatu fenomena yang sudah sama tuanya dengan sejarah kebudayaan umat manusia sendiri.

Minangkabau dalam Sejarah dan Tambo

Minangkabau dalam Sejarah dan Tambo

Bagi masyarakat Minangkabau, tambo mempunyai arti penting, karena di dalam tambo terdapat dua hal; (1) Tambo alam, suatu kisah yang menerangkan asal usul orang Minangkabau semenjak raja pertama datang sampai kepada masa kejayaan kerajaan Pagaruyung. (2) Tambo adat, uraian tentang hukum-hukum adat Minangkabau. Dari sumber inilah hukum-hukum, aturan-aturan adat, dan juga berawalnya sistem matrilineal dikembangkan. Di dalam Tambo alam diterangkan bahwa raja pertama yang datang ke Minangkabau bernama Suri Maharajo Dirajo. Anak bungsu dari Iskandar Zulkarnain. Sedangkan dua saudaranya, Sultan Maharaja Alif menjadi raja di benua Rum dan Sultan Maharajo Dipang menjadi raja di benua Cina. Secara tersirat tambo telah menempatkan kerajaan Minangkabau setaraf dengan kerajaan di benua Eropa dan Cina.
Suri Maharajo Dirajo datang ke Minangkabau ini, di dalam Tambo disebut pulau paco lengkap dengan pengiring yang yang disebut; Kucing Siam, Harimau Campo, Anjiang Mualim, Kambiang Hutan. Masing-masing nama itu kemudian dijadikan “lambang” dari setiap luhak di Minangkabau. Kucing Siam untuk lambang luhak Tanah Data, Harimau Campo untuk lambang luhak Agam dan Kambiang hutan untuk lambang luhak Limo Puluah. Suri Maharajo Dirajo mempunya seorang penasehat ahli yang bernama Cati Bilang Pandai. Suri Maharajo Dirajo meninggalkan seorang putra bernama Sutan Maharajo Basa yang kemudian dikenal dengan Datuk Katumanggungan pendiri sistem kelarasan Koto Piliang. Puti Indo Jalito, isteri Suri Maharajo Dirajo sepeninggalnya kawin dengan Cati Bilang Pandai
dan melahirkan tiga orang anak, Sutan Balun, Sutan Bakilap Alam dan Puti Jamilan. Sutan Balun kemudian dikenal dengan gelar Datuk Perpatih Nan Sabatang pendiri kelarasan Bodi Caniago.
Datuk Katumanggungan meneruskan pemerintahannya berpusat di Pariangan Padang Panjang kemudian mengalihkannya ke Bungo Sitangkai di Sungai Tarab sekarang, dan menguasai daerah sampai ke Bukit Batu Patah dan terus ke Pagaruyung. Maka urutan kerajaan di dalam Tambo Alam Minangkabau adalah;
(1) Kerajaan Pasumayan Koto Batu,
(2) Kerajaan Pariangan Padang Panjang
(3) Kerajaan Dusun Tuo yang dibangun oleh Datuk Perpatih Nan Sabatang
(4) Kerajaan Bungo Sitangkai
(5) Kerajaan Bukit Batu Patah dan terakhir
(6) Kerajaan Pagaruyung. Menurut Tambo Minangkabau, kerajaan yang satu adalah kelanjutan dari kerajaan sebelumnya.
Karena itu, setelah adanya kerajaan Pagaruyung, semuanya melebur diri menjadi kawasan kerajaan Pagaruyung. Kerajaan Dusun Tuo yang didirikan oleh Datuk Perpatih Nan Sabatang, karena terjadi perselisihan paham antara Datuk Ketumanggungan dengan Datuk Perpatih nan Sabatang, maka kerajaan itu tidak diteruskan, sehingga hanya ada satu kerajaan saja yaitu kerajaan Pagaruyung. Perbedaan paham antara kedua kakak beradik satu ibu ini yang menjadikan sistem pemerintahan dan kemasyarakatan Minangkabau dibagi atas dua kelarasan, Koto Piliang dan Bodi Caniago. Dari uraian tambo dapat dilihat, bahwa awal dari sistem matrilineal telah dimulai sejak awal, yaitu dari Puti Indo Jalito. Dari Puti Indo Jalito inilah yang melahirkan Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sabatang. Namun, apa yang diuraikan setiap tambo punya berbagai variasi, karena setiap nagari punya tambo. Dr. Edward Jamaris yang membuat disertasinya tentang tambo, sangat sulit menenyukan pilihan. Untuk keperluan itu, dia harus memilih salah satu tambo dari 64 buah tambo yang diselidikinya. Namun pada umumnya tambo menguraikan tentang asal usul orang Minangkabau sampai terbentuknya kerajaan Pagaruyung.
Untuk dapat menentukan seseorang itu orang Minangkabau atau tidak, ada beberapa ketentuannya, atau syarat-syarat seseorang dapat dikatakan sebagai
orang Minangkabau. Syarat-syarat seseorang dapat dikatakan orang Minangkabau;
1. Basuku (bamamak bakamanakan)
2. Barumah gadang
3. Basasok bajarami
4. Basawah baladang
5. Bapandan pakuburan
6. Batapian tampek mandi. Seseorang yang tidak memenuhi ketentuan itu dianggap ;orang kurang ; atau tidak sempurna. Bagi seseorang yang ingin menjadi orang Minang juga dibuka pintunya dengan memenuhi berbagai persyaratan pula. Dalam istilah inggok mancangkam tabang basitumpu. Artinya orang itu harus masuk ke dalam Berkaitan dengan sistim kekerabatan matrilineal, setelah upacara pernikahan usai diselenggarakan, maka marahpulai/suami tinggal di rumah istrinya. Sungguhpun ia bertempat kediaman di rumah sang isteri, bukan berarti ia menjadi kepala keluarga dirumah isterinya. Dirumah isterinya berkedudukan sebagai semenda (urang sumando), dimana ia memiliki duo local residence, suatu istilah yang diberikan oleh seorang antropolog yang bernama Mordock. Hal ini disebabkan bahwa masing-masing suami isterinya itu tetap berada dalam kaum dan sukunya masing-masing. Pasangan suami isteri yang menikah bukan berarti dengan terjadinya pernikahan, salah satu pihak masuk kedalam suku atau marga pasangannya, seperti yang terjadi pada suku di tanah Batak.
Namun ia tetap berada pada suku dan kaum masing-masing. Untuk menggambarkan bahwa suami tidak langsung seketika masuk dalam keluarga isterinya, maka lazimnya pada masa dahulu, setelah si anak dara melakukan kewajibannya mengantarkan nasi sebagaimana yang telah diulas pada bab Menjalan Mintuo, marahpulai tetap berdiam diri dirumahnya dulu sampai ada pihak anak dara dating menjemput untuk tinggal dirumah anak dara. Pada masa dahulu, marahpulai beberapa setelah pernikahannya berturut dijemput oleh keluarga isterinya agar ia bermalam dirumah isterinya dan pada waktu subuh kembali kerumah orang tuanya. Pola kebiasaan ini merupakan pembelajaran bagi marahpulai, bahwa ia tidak boleh melupakan begitu saja rumah asal/rumah kaum/sukunya.
Bukankah ia semata sebagai tamu abadi dikeluarga isterinya, yaitu orang yang berkedudukan sebagai urang sumando yang dihormati, bagai manatiang air di-dulang. Disamping menganut sistem eksogami dalam perkawinan, bahwa marapulai atau suami bermukim atau menetap disekitar pusat kediaman kaum kerabat istri, atau didalam lingkungan kekerabatan istri. Namun demikian status pesukuan marapulai atau suami tidak berubah menjadi status pesukuan istrinya. Status suami dalam lingkungan kekerabatan istrinya adalah dianggap sebagai “tamu terhormat”, tetap dianggap sebagai pendatang. Sebagai pendatang kedudukannya sering digambarkan secara dramatis bagaikan “abu diatas tunggul”, dalam arti kata sangat lemah, sangat mudah disingkirkan. Namun apabila karena kedudukan dan status sosialnya yang kuat, maka ia tidak diperlakukan semena-mena bagai abu diatas tunggul itu.
Bukankah arti menjemput yang diberikan kepadanya menunjukkan bahwa ia sangat dihargai dan dhormati. Oleh karena itu, seandainya ia dihormati namun ia haruslah sangat berhati-hati dalam menempatkan dirinya dilingkungan kerabat istrinya. Perkawinan bagi seorang perjaka Minang berarti pula, langkah awal bagi dirinya meninggalkan kampung halaman, ibu dan bapak serta seluruh kerabatnya, untuk memulai hidup baru dilingkungan kerabat istrinya. Prosesi turun janjang dari rumah tangga orang tuanya, bagi seorang perjaka Minang adalah suatu peristiwa yang sangat mengharukan. Rasa sedih dan gembira bercampur menjadi satu. Oleh karena itulah perlu dilakukan Upacara turun janjang ini, dilakukan dalam rangka upacara “japuik menjapuik”, yang berlaku dalam perkawinan adat Minang.
Pepatah Minang mengatur upacara ini sebagai berikut;
Sigai mancari anau, Anau tatap sigai baranjak
Datang dek bajapuik
Pai jo baanta
Ayam putieh tabang siang
Basuluah matoari
Bagalanggang mato rang banyak.
Arinya :
Tangga mencari enau
Enau tetap tangga berpindah
Datang karena dijemput
Pergi dengan diantar
Ayam putih terbang siang
Bersuluh matahari.
Bergelanggang mata orang banyak.
Bergelanggang (disaksikan) mata orang banyak. Maksud dari pepatah diatas adalah bahwa dalam setiap perkawinan adat Minang “semua laki-laki yang diantar ke rumah istrinya, dengan dijemput oleh keluarga istrinya secara adat dan diantar pula bersama-sama oleh keluarga pihak laki-laki secara adat pula. Mulai sejak itu suami menetap di rumah atau dikampung halaman istrinya. Bila terjadi perceraian, suamilah yang harus pergi dari rumah istrinya. Sedangkan istri tetap tinggal dirumah kediamannya bersama anak-anaknya sebagaimana telah diatur hukum adat. Bila istrinya meninggal dunia, maka kewajiban keluarga pihak suami untuk segera menjemput suami yang sudah menjadi duda itu, untuk dibawa kembali kedalam lingkungan sukunya atau kembali ke kampung halamannya.
Situasi ini sungguh sangat menyedihkan, namun begitulah ketentuan adat Minang. Secara lahiriyah maupun rohaniah yang memiliki rumah di Minangkabau adalah wanita dan kaum pria hanya menumpang. Tempat berlindung pria Minang adalah surau. Menyedihkan memang. Tapi ini pula yang menjadi sumber dinamika pria Minang, sehingga mereka menjadi perantau atau pengembara yang tangguh. Kenyataan ini dihayati dan diterima dengan sadar oleh hampir seluruh warga Minang, baik mereka yang menempati Rumah Gadang tradisional, maupun yang menempati rumah gedung modern, baik mereka yang bermukim di kampung halaman, maupun mereka yang sudah merantau ke kota besar. Berdasarkan pola yang demikian, sudah lazim penghuni Rumah Gadang di Minangkabau adalah kaum wanita dengan suami dan anak-anak mereka terutama anak-anak wanita.
Anak-anak laki-laki mulai usia sekolah, dulu sudah harus mengaji di surau-surau, belajar silat, bergaul dengan pria dalam segala tingkat usia, sehingga mereka terbiasa hidup secara spartan (secara keras dan jantan). Dalam struktur adat Minang, kedudukan suami sebagai orang datang (Urang Sumando) sangat lemah. Sedangkan kedudukan anak-lelaki, secara fisik tidak punya tempat di rumah ibunya. Bila terjadi sesuatu di rumah tangganya sendiri, maka ia tidak lagi memiliki tempat tinggal. Situasi macam ini secara logis mendorong pria Minang untuk berusaha menjadi orang baik agar disengani oleh dunsanaknya sendiri, maupun oleh keluarga pihak istrinya. Pada dasarnya di Minangkabau anak laki-laki sejak kecil sudah dipaksa hidup berpisah dengan orang tua dan saudara-saudara wanitanya. Mereka dipaksa hidup berkelompok di surau-surau dan tidak lagi hidup di rumah Gadang dengan ibunya. Sekalipun di rumah gedung modern sudah ada pencampuran hidup bersama antara anak lelaki dan anak wanita Minang, namun prinsip pergaulan terpisah ini tetap dijalankan. Antara mereka anak lelaki dan anak wanita tetap mempunyai jarak dalam pergaulan sehari-hari.
Hal ini merupakan salah satu dasar dari ajaran moralita menurut adat Minang. Adat Minang tidak mengenal ajaran pergaulan bebas, walau antara saudara kandung sendiri. Kehidupan keluarga yang seperti ini, diperkirakan telah melahirkan watak perantau bagi pria Minang dan watak Bundo Kanduang bagi wanita Minang, mereka menjadi wanita yang sangat terampil dan cermat dalam mendidik anak-anak dan dalam mengendalikan harta pusaka. Dengan adanya ketentuan domisili-matrilokal ini, mengharuskan para suami bersikap hati-hati karena akan selalu mendapat sorotan dari keluarga istri.Berbagai istilah diberikan oleh orang Minang sebagai penilaian atas perangai dan tingkah laku Urang Sumando mereka. Ada beberapa klasifikasi yang menggambarkan Urang Sumando, antara lain :

1. Urang sumando ninik mamak ; yaitu seseorang yang memperoleh sebutan terhormat karena tingkah laku dan adat istiadatnya menyenangkan pihak keluarga istri.
2. Urang sumando langau hijau (lalat hijau), yaitu sesuai dengan tingkah polah perangai mereka, yang kerjanya hanya kawin-cerai di setiap kampung dan meninggalkan anak dimana-mana.
3. Urang Sumando Kacang Miang”, yaitu urang Sumando” yang kerjanya hanya mengganggu ketentraman tetangga karena menghasut dan memfitnah, atau memelihara binatang ternak yang dapat mengganggu lingkungan seperti itik, ayam, kambing dan lainnya.
Di Minangkabau berlaku pepatah ; '
“Kaluak paku kacang balimbing, daun simantuang lenggang-lenggangkan anak dipangku kemenakan dibimbing urang kampung dipatenggangkan“.
4. “Urang Sumando Lapiak Buruak (tikar buruk), yaitu, jika seorang suami sampai lupa kepada kemenakan dan kampung halamannya sendiri, karena sibuk dan rintang dengan anak dan istrinya saja, maka suami yang demikian itu diberi gelar oleh orang kampungnya sendiri sebagai yang artinya Rang Sumando yang diibaratkan sama dengan tikar pandan yang lusuh di rumah istrinya.
5. Urang Sumando apak paja”, yang artinya hanya berfungsi sebagai pejantan biasa. Bagi suami atau “Rang Sumando” yang kurang memperhatikan kewajiban terhadap anak-anaknya sendiri. Rang Sumando semacam ini merupakan kebalikan dari Rang Sumando lapiak buruak yang menjadi “orang pandie” di rumah istrinya.
Dalam zaman modern ini, dimana kehidupan telah berubah dari sektor agraria menjadi sektor jasa dan industri, maka sebagian keluarga Minang terutama di rantau telah berubah dan cenderung kearah pembentukan keluarga batih dalam sistem patrilinial atau sistem keluarga barat dimana bapak merasa dirinya sebagai kepala keluarga dan sekaligus sebagai kepala kaum, menggantikan kedudukan mamak. Kecenderungan semacam ini telah merusak tatanan sistem kekerabatan keluarga Minang yang telah melahirkan pula jenis. “Rang Sumando”, bentuk baru yang dapat kita beri sebutan sebagai “Rang Sumando Gadang Malendo”, yang tanpa malu-malu telah menempatkan dirinya sendiri sebagai kepala kaum, sehingga menyulitkan kedudukan mamak terhadap para kemenakannya.