Wednesday 19 January 2011

S A R M A N

S A R M A N

Cerpen Seno Gumira Ajidarma



Ceritakanlah padaku tentang kejenuhan,” kata Alina pada juru cerita itu.
Maka Juru cerita itu pun bercerita tentang Sarman:
Pada suatu hari yang cerah, pada suatu hari gajian, Sarman membuat kejutan.
Setelah menerima amplop berisi uang gaji dan beberapa tunjangan tambahan, dan setelah menorehkan paraf, Sarman termenung-menung.
Tak lama.
Ia segera berteriak dengan suara keras.
”Jadi, untuk ini aku bekerja setiap hari, ya? Untuk setumpuk kertas sialan ini, ya?!”
Ia berdiri dengan wajah tegang. Tangan kirinya mengenggam amplop, tangan kanannya menuding-nuding amplop itu, dan matanya menatap amplop itu dengan penuh rasa benci.
”Kamu memang bangsat! Kamu memang sialan! Kamu brengsek! Kamu persetan! Memble! Aku tidak sudi kamu perbudak! Aku menolak Kamu!”
Kantor yang sehari-harinya sibuk, sejuk, saling tak peduli, dengan musik yang lembut itu, pun mendadak jadi gempar.
”Lho ada apa Man? Kok pagi-pagi sudah nyap-nyap?”
”Eh, Sarman kenapa dia?”
”Jangan-jangan ia belum makan.”
”Kesurupan barangkali.”
”Man! Sarman! Sabar man! Nanti kamu dimarahi!”

Tapi Sarman tidak hanya berhenti disini. Ia melompat ke atas meja. Ia robek amplop cokelat itu. Ia keluarkan uang dari dalamnya. Ia robek bundel uangnya. Dan sebagian uangnya ia lemparkan ke udara.

”Nih! Makan itu duit! Mulai hari ini aku tidak perlu di gaji! Dengar tidak kalian!? Tidak perlu digaji! Aku akan bekerja suka rela, tetap rajin seperti biasa! Dengar tidak kalian monyet-monyet?!”

Berpuluh-puluh uang lembar Rp 10.000,- berguling-guling di udara dihembus angin AC. Kantor itu seperti dikocok-kocok. Para pegawai tanpa malu-malu berebutan uang gaji Sarman. Pria maupun wanita saling berdesak, bersikutan, dorong mendorong, berlompatan meraih rejeki yang melayang-layang di udara. Mereka cepat sekali memasukkan uang itu sekenanya dalam kantong bajunya. Lantas pura-pura tidak tahu.

Sarman menendang semua benda yang berserakan di mejanya, map-map yang bertumpuk, mesin tik, segelas the, bahkan foto keluarganya ia tending melayang. Layer monitor computer pun pecah digasaknya
“Sarman! Kamu gila!”
Sarman melompat dari meja ke meja dengan ringan seperti pendekar dalam cerita silat. Ia tendang semua barang-barang di atas meja karyawan-karyawan lain, sambil terus memaki-maki. Tak jelasa benar apa yang dimaki.
Dalam waktu singkat, kator yang terletak di tingkat 17 itu pun berantakan. Sekretaris-sekretaris wanita menjerit: ”Aaaa!” Dan para karyawan pria memperlihatkan jiwa pengecut mereka, tidak berani berbuat apa-apa. Meski dalam hati mengharap Sarman melempar-lempar lagi sisa uang yang dipegangnya.
Dan Sarman bukannya tak tahu.
”Kalian mau uang? Ha? Kamu mau uang? Sukab! Kamu mau uang? Nih! Kamu mau uang? Nih! Kalian semua mau uang? Nih! Nih! Nih! Makan!”
Sambil masih melompat dari meja ke meja, Sarman melempar-lemparkan uang di tangannya. Para karyawan berubah jadi serangga yang mengikuti kemana pun Sarman pergi. Suasana kantor sungguh menjadi hingar-bingar. Wajah karyawan-karyawan itu seperti kucing kelaparan. Mereka berebutan dengan rakus. Yang sudah melompat, jatuh terdorong. Yang menubruk uang di lantai, diseret kakinya. Tidak sedikit uang robek dalam pergulatan. Tarik menarik, cakar-mencakar, tendang-menendang, tanpa pandang bulu.
”He, kalian masih mau uang lagi?” tanya Sarman sambil berdiri di atas meja kepala bagian. Mereka serentak menjawab.
”Mauuu!”
Sarman tersenyum. Keringat menetes di dahinya. Ia longarkan dasi yang mencekiknya.
”Baik! Tapi kalian harus berteriak Hidup Uang! Hidup Uang! Setuju?”
”Setujuuuuu!”

Maka, seperti pemain softball melempar bola, Sarman pun segera melemparkan lagi segepok uang di tangannya. Uang itu berhamburan di udara, menari-nari bagaikan salju khayalan di hari Natal pada panggung sandiwara. Mata para karyawan dan karyawati berbinar-binar dengan riang, mulut mereka menganga, wajah mereka menujukkan semangat tekad bulat yang sangat mengharukan.

”Serbuuuu!” teriak mereka bersamaan. Pertarungan pun dimulai kembali. Kini mereka berebutan bagai permainan sebuah pesta. Mereka tertawa terkikik-kikik. Saking asyiknya, mereka lupa bahwa banyak kancing baju mereka yang lepas, sepatu copot, rok tersingkap, dan rambut terburai-burai.

Sarman berjingkrak-jingkrak seperti anak kecil. Ia melompat dari meja ke meja sambil bersalto. Ruangan riuh dengan yel, meskipun tidak terlalu serempak, karena mereka berteriak sambil berebutan uang di udara dan di kolong-kolong meja: Hidup Uang! Hidup Uang!

Mendadak muncul Kepala Bagian. Ia diam saja di pintu, menatap bawahan-bawahannya berpesta pora. Wajahnya disetel supaya berwibawa. Lantas ia melangkah seperti tak terjadi apa-apa, menuju ke mejanya.

Mula-mula para pegawai itu tidak tahu, mereka masih berebut sambil tertawa-tawa. Namun yang tahu segera terdiam, dan kembali ke mejanya, pura-pura bekerja. Padahal mejanya sudah berantakan dikacaukan Sarman.

Lambat laun semuanya tahu kehadiran kepala bagian. Mereka mundur dengan tersipu-sipu. Tangan mereka kedua-duanya menggenggam uang. Sisa uang bertebaran di lantai, di kursi, di meja, di bak sampah, bercampur tumpahan kopi dan gelas yang pecah. Kertas-kertas terserak-serak, morat-marit, kacau-balau, kata peribahasa seperti kapal pecah.

Sarman masih berdiri di salah satu meja. Rambutnya kacau, wajahnya buas seperti binatang tersudut, pakaianya yang biasa rapi, dan sepatunya yang berkilat-kilat, kini kumal. Kepala bagian hampir tak mengenali Sarman, karyawan paling rajin dan kedudukannya menanjak dengan cepat.

”Coba, tolong jelaskan apa artinya semua ini,” ujarnya kemudian, dengan sabar, tapi tetap tegas.

Semua terdiam. Tapi mata mereka semua tertuju ke arah Sarman, yang masih terengah-engah, menjulang di atas meja. Dalam sunyi, musik yang lembut terdengar lagi, namun tak membuat suasana menjadi dingin.
Pandangan kepala bagian akhirnya pun tertuju pada Sarman.
”Sarman apakah kamu bisa turun dari atas meja itu?” Tanyanya.
”Bisa pak, tapi saya tidak mau.”
”Kenapa?”
”Jawabnya panjang sekali Pak, tidak perlu saya jelaskan.”
”Kenapa tidak? Kita bisa membicarakanya di ruangan lain dan …”
”Tidak Pak! Jangan coba-coba merayu!” tukas Sarman, ”Hari ini saya menolak gaji, menolak bekerja, menolak menuruti Bapak. Pokoknya menolak apa saja yang seharusnya terjadi! Saya tidak suka keadaan ini! Saya benci!”

Kepala Bagian mendekat, dengan wajah kebapakkan ia mencoba menenangkan pegawai kesayangannya itu.
”Apakah kamu mau cuti Sarman? Kamu boleh ambil cuti besar, cutilah satu bulan. Kamu sudah bekerja sepuluh tahun.”

Tapi Sarman malah menjejak meja, menendang sisa tumpukan kertas di meja itu, lantas melompat lagi ke meja lain. Seorang wanita yang duduk di situ terpaku dengan ketakutan, tidak berani bergerak.

”Jangan mendekat! Saya sudah coba jelaskan mulai hari ini saya menolak apa saja! Mengerti tidak? Saya menolak apapun kemauan kalian!”

Kepala bagian itu sebetulnya ingin marah, dan mengusir Sarman, tapi Sarman terlalu penting untuk perusahaan. Lagi pula alangkah tak layak memecat seorang pegawai yang sangat berjasa seperti Sarman. Sementara itu berdatanganlah para karyawan dari bagian lain. Kejadian itu begitu cepat tersebar. Beberapa petugas keamanan memasuki ruangan. Mereka akan bertindak, tapi Kepala Bagian menahan.

”Tunggu! Biar saya yang mengatasinya! Saya kenal dia, Sarman anak buah saya selama bertahun-tahun.”

Maka petugas-petugas keamanan pun hanya sibuk dengan HT mereka. Telepon berdering di salah satu meja, memecahkan keheningan, tapi Sarman keburu melompat ke sana dan menendangnya. Ia masih menggenggam sebundel uang. Gajinya memang termasuk tinggi di kantor itu. Maklumlah ia sudah bekerja di sana selama sepuluh tahun.
”Untuk apa kamu lakukan semua ini Sarman? Untuk apa?” tanya Kepala Bagian.
”Itu sama sekali tidak penting!”
”Lantas kamu mau apa, aku sudah menawarkan cuti besar, langsung mulai hari ini, tunjangannya bisa kamu ambil hari ini juga. Kamu juga boleh pakai hotel milik perusahaan kita di Bali, pakai Vila kantor kita di Puncak, pergilah dengan tenang biar kami selesaikan pekerjaanmu. Terus terang, selama ini kami memang terlalu…”
”Apa? Cuti? Cuti kata Bapak tadi?” Ujar Sarman sambil meletakkan tangan di telinga, ”Cuti besar setelah sepuluh tahun bekerja. Cuti? Ha-ha-ha-ha! Cuti? Hua-ha-ha-ha! Cuti besar lantas masuk lagi, dan bekerja sepuluh tahun lagi? Huaha-ha-ha! Hua-ha-ha-ha! Ambillah cutimu Pak!”

Dan Sarman dengan lompatan karate menerjang jendela. Jendela tebal di tingkat 17 itu tidak langsung pecah. Sarman meninjunya beberapa kali sampai tangannya berdarah, lantas ia mengambil kursi, mengahantamkannya ke jendela, barulah jendela itu pecah. Angin yang dahsyat menyerbu masuk kantor. Kertas-kertas berterbangan. Sarman melompat ke jendela. Siap melompat ke bawah. Orang-orang gempar dan menjerit-jerit.
”Sarman! Jangan bunuh diri Sarman!”
”Jangan akhiri hidupmu dengan sia-sia Sarman! Ingat anak istrimu! Ingat orang tuamu di kampung! Ingat Sahabat-sahabat kamu!”
”Sarman! Pakai otakmu! Gunakan akal sehatmu! Hidup ini cukup berharga! Hidup ini tidak sia-sia!”

Sarman yang sudah menghadap ke jalan raya berbalik, sambil menendang sisa kaca di kusen jendela, ia berteriak dengan marah.
”Bangsat kalian semua! Bangsat! Sudah sepuluh tahun aku bangun tiap pagi dan berangkat dengan tergesa-gesa ke kantor ini! Sudah sepuluh tahun aku berangkat pagi hari dan pulang sore hari melalui jurusan yang sama. Sudah sepuluh tahun aku memasukkan kartu absen di mesin keparat itu tiap pagi dan sore! Sudah sepuluh tahun aku melakukan pekerjaan yang itu-itu saja delapan jam sehari! Sudah sepuluh tahun! Dan akan berpuluh-puluh tahun lagi! Memang aku dibayar untuk itu dan bayaran itu tidaklah terlalu kecil! Ini bukan salah kalian! Ini juga bukan salah perusahaan! Ini semua hanya omong kosong! Mengerti tidak kalian monyet-monyet? Ini semua cuma omong kosong!”

”Sarman sudah gila,” bisik seseorang.
”Kenapa sih dia bisa begitu?” desis yang lain.
”Semua ini cuma lewat dan berlalu seperti debu!” Sarman masih terus nerocos
”Apa kalian masih ingat angka-angka yang kalian tuliskan kemarin? Apa kalian masih ingat kalimat-kalimat yang kalian tulis kemarin? Apakah kalian masih ingat nama-nama pada daftar relasi kita kemarin? Apa kalian masih ingat nomer-nomer mobil kantor kita yang baru? Apa kalian masih ingat nama-nama pegawai baru kita? Apa kalian masih ingat nama kawan-kawan kita yang sudah keluar dari perusahaan ini? Apa kalian masih ingat nama gombal-gombal yang selalu kita beri komisi? Begitu banyak, begitu dekat, tapi alangkah tidak berarti. Kita semua memang gombal! Aku juga cuma gombal! Jadi, sudahlah, jangan repot-repot! Besok kalian akan lupakan kejadian ini! Lenyap hilang seperti debu! Seperti gombal di pojok gudang! Seperti oli di lantai bengkel! Seperti sekrup…. ”

Sementara Sarman masih terus berpidato, para petugas keamanan tidak kehilangan akal. Mereka memanggil petugas pemadam kebakaran, tapi kedatangannya menimbulkan geger.
”Mana yang kebakaran Pak?”
”Bukan kebakaran!”
”Ada apa?”
”Ada orang mau bunuh diri!”
”Di mana?”
”Tuh!”

Syahdan, di ketinggian tingkat 17, tampaklah jendela yang terbuka itu menganga. Sarman tampak kecil, tapi jelas, menghadap ke dalam sedang berteriak-teriak. Orang-orang yang sedang berada di bawah berhenti, menatap ke sana. Mobil-mobil juga berhenti. Jalanan macet. Dengan mendadak, Sarman jadi tontonan. Beberapa orang menggunakan teropong. Bahkan ada yang memotret dengan lensa tele. Petugas pemadam kebakaran membentangkan jala. Tangga mobil pemadam kebakaran, yang cuma 40,9 meter, diulurkan. Semprotan air disiapkan, untuk menahan laju kejatuhan tubuh Sarman, kalau jadi melompat. Jalanan macet total. Helikopter polisi merang-raung di udara. Para penonton duduk di atap mobil. Beberapa orang bertaruh dengan jumlah lumayan, Sarman jadi bunuh diri atau tidak. Namun kru televisi terlambat datang.

Jalan lain untuk mencegah Sarman juga diambil. Di Helikopter polisi itu terdapatlah keluarga Sarman, istri Sarman dan anaknya yang bungsu.
”Sarman, lihat itu anak istrimu!” teriak para karyawan dalam gedung.
”Ya, itu anak istrimu! Ingatlah mereka Sarman! Jangan berbuat nekad!”
”Sarman! Sarman! Aku istrimu Sarman! Aku mencintai kamu! Anak-anak juga mencintai kamu! Jangan melompat Sarman!” teriak istrinya sambil menangis, Suaranya menggema lewat penegeras suara di celah raungan helikopter.
”Bapak! Bapak!” seru anaknya.

Sarman berbalik. Dilihatnya wanita itu melambai dengan air mata tumpah ruah. Hatinya tercekat. Ia ingin melambai kembali seperti dilakukannya setiap pagi ketika berangkat ke kantor. Namun ini mengingatkannya pada segepok uang yang masih digenggamnya. Sarman kumat lagi. Tapi dari dalam kantor, dua petugas kemanan merayap perlahan ke jendela.

”Ingat anak-anak kita Sarman! Mereka membutuhkan kamu! Ingat ibumu, ia mau datang minggu ini dari kampung! Sarman, o Sarman, jangan tinggalkan aku Sarman!” teriak istrinya lagi.
”Apa? Pulang untuk ketemu kamu?! Ketemu dengan segenap tetek-bengekmu?! Pulang untuk menemui segenap omong kosongmu?! Kamu tidak pernah mau tahu perasaanku! Kamu cuma tahu kewajiban-kewajibanku! Kamu cuma tahu ini!” Sarman mengacungkan uang di tangannya,
”Kamu cuma tahu ini kan?!”
”Bukan begitu Sarman, aku tidak bermaksud begitu, kamu salah sangka Sarman, aku …”
”Ini uang kamu! Makan!”

Dan Sarman melempar ratusan ribu rupiah ke udara. Uang di tangannya sudah habis. Lembaran-lembaran uang itu berteberan ditiup angin, berguling-guling dan berkilauan dalam siraman cahaya matahari.

”Sarman, o Sarman…” Istrinya menangis tersedu-sedu. Anaknya hanya bisa berteriak,
”Bapak! Bapak!”

Angin masih bertiup kencang di ketinggian itu. Sarman melihat uang gajinya berguling-guling melayang ke bawah. Kertas-kertas itu belum sampai tanah. Masih melayang-layang menyebar. Orang-orang di kantor yang ada di tingkat bawah dari kantor Sarman terkejut melihat uang berterbangan di udara. Di bawah anak-anak maupun orang dewasa bersiap-siap menangkap uang itu. Suasana sangat meriah. Sarman termenung. Sekilas terlintas untuk mengakhiri sandiwara ini.

Saat itulah kedua petugas keamanan yang merayap, tiba di jendela. Salah seorang menyergap, berusaha merangkul Sarman, namun gerakkan yang baru pertama kali ia lakukan dalam hidupnya itu kurang sempurna. Sarman malah jadinya terpeleset, ketika membuat gerakan refleks menghindar. Petugas itu hanya mencengkeram sepatu Sarman.

Orang-orang di bawah berteriak histeris. Oarang-orang dalam gedung berebutan melongok dari jendela. Tubuh Sarman meluncur. Dalam jarak yang cukup jauh Sarman sempat berpikir, sandiwaranya kini menjadi kenyataan. Dengan gerak mirip tarian, tubuh Sarman menembus sebaran uang kertas yang belum juga sampai ke bumi. Di bawah, pemadam kebakaran telah membentangkan jala penyelamat lebar-lebar. Empat selang memancarkan air dengan keras ke atas.

”Apakah Sarman akhirnya bisa diselamatkan?” desak Alina yang sudah tidak sabar.
”Oh, itu sama sekali tidak penting Alina,” jawab si Juru Cerita, ”Itu sama sekali tidak penting.”***
Kompas, 19 Januari 1986

DENGAR KELUHAN POHON MANGGA

DENGAR KELUHAN POHON MANGGA

Maria Amin




Dari tangan manusia aku diletakkan ke dalam lubang dan ditimbun dengan tanah. Setelah terpendam dalam tempat yang kelam itu aku ingin melihat ke luar, kalau ada tempat yang lain, kuharapkan sinar terang. Aku ingin, hasrat melihat di luar tempat kediamanku yang sempit ini. Dalam hati selalu berharap dan bertanya mungkinkah ada yang lain, selain dari dunia ini? Sebulan kuterpekur dalam tempat yang gelap itu.

Sebulan sebenamya lama benar aku menunggu hasrat hati yang hendakkan sinar matahari. Sebulan aku terpekur, mundur maju hatiku, melihat kesangsian yang akan kupastikan kelak. Jika ada dunia yang baik, di balik dunia ini, memang itu yang kuharapkan. Jika di balik dunia ini celaka juga yang kuderitakan sebagai sekarang ini... akh... nasibku benar rupanya yang menjadi suratan badan. Dari sehari ke sehari bertambah ingin aku melihat cahaya matahari dan merasakan ni'mat sinar.

Dua minggu badan setinggijengkal. Dengan batangku yang kaku dan masih muda itu, kulihat ke kiri ke kanan dengan congkak, kalau-kalau ada yang melebihiku. Dalam hatiku timbul takbur.

Matahari itu akan kucapai dan kuserang. Aduh... aku hampir kecewa sebab di sebelahku batang pinang yang ramping, melambai daunnya diembus angin mengorakkan daun. Daun yang rampak itu mengejekkan daku, bertepuk-tepuk ke sana kemari hina rendah memandangku. la, tentu ia... akan dahulu mencapai langit dan memberi salam kepada matahari si Ratu Sinar itu. Aku, ... tentu kecewa. Malu aku, rasakan ta' mau berdampingan dengan pohon pinang itu. Tetapi ya..., akan masuk ke dalam lagi, ke tempat yang lama aku ta sanggup lagi. Batang dan daun yang lembut ini ta dapat mencocokkan diri ke dalam tempat yang lama itu; hidupku yang baru ini ta' dapat sesuai lagi di lubang sempit gelap kelam itu.

Akan tumbuh melebihi pohon pinang... ? akh, rasanya ta mungkin, awak yang tinggi sejengkal kawan telah beratus kali lebih tinggi dariku. Jangan saja dating angin keparat meniup batangnya, yang ramping itu Pohon pinang musuh hidupku itu selalu melempar dengan buahnya yang telah busuk mengancam hidupku. Sekali,... hampir benar kena pucukku yang muda itu,... untung masih ada nasib akan hidup panjang Dengan kemalu-maluan kucoba juga membabarkan dua helai daunku, tetapi tentu ta' setanding dengan daun pinang itu. Setahun... dua tahun... ke enam tahunnya.


Pohon pinang yang ramping permai melenggang lenggok dengan daunnya, bersorak-sorai menimbulkan in hatiku. Sombong nian pohon itu congkak-melagak. Melenggang sepanjang hari. Riang girang bersorak-sorai selama waktu. Ta' tentu alam kelam dan panas tenk, hujan petir guruh-gemuruh. Dalam hati terbit ingin bertalu-talu iri cemburu melihat teman digantungi bola emas meluyut di bahu. Beberapa seluk anggotaku terpaksa kutanggalkan. Kutolak hidupnya. Jatuh ke bumi. Kering kuning, daun yang hijau berserak di bawah. Gundul aku oleh nasib yang dibikin-bikin ini.

Merangai* tabi'atku memaksa hidup seperti ini. Batangku seakan-akan ta' sudi menerima air hujan Kupilih hidup begini dalam musim kehausan. Lesu letih sekujur tubuhku. Pada pohon pinang tadi jangan dikatakan lagi maluku, ta' dapat dibandingkan. Sebab padanya tidak dia semerangai ini. Beberapa kali aku menanggung hidup yang diayun, diempas, berjuang sengsara.

Sejak dari tangan manusia sampai ke dalam tanah dan terus pula menjadikan buah. Napas sebuah-sebuah, hampir ta' sanggup menderita tiap-tiap perubahan hidupku ini. Merana hidupku.

Pada beberapa ranting kecil-kecil menjulur putik. Inikah yang dikatakan menjadi buah, sebagai pohon pinang dengan pinangnya? Beginikah yang dirasai oleh pohon pinang itu sebagai kurasai sekarang ini?

O Tuhan, kalau pohon mangga pandai berbicara tentu dia akan bercerita apa yang telah dideritanya waktu tumbuhnya. Ahli filsafat dan orang pandai-pandai hanya dapat mengetahui hidupnya itu dan mengerti keluhan pohon mangga tadi.
• Keluhan orang tua yang sudah seperti anak kecil.

ROBOHNYA SURAU KAMI

ROBOHNYA SURAU KAMI

Cerpen A.A. Navis




Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis, Tuan akan berhenti di dekat pasar. Melangkahlah menyusuri jalan raya arah ke barat. Maka kira-kira sekilometer dari pasar akan sampailah Tuan di jalan kampungku. Pada simpang kecil ke kanan, simpang yang kelima, membeloklah ke jalan sempit itu. Dan di ujung jalan itu nanti akan Tuan temui sebuah surau tua. Di depannya ada kolam ikan, yang airnya mengalir melalui empat buah pancuran mandi.

Dan di pelataran kiri surau itu akan Tuan temui seorang tua yang biasanya duduk di sana dengan segala tingkah ketuaannya dan ketaatannya beribadat. Sudah bertahun-tahun ia sebagai garin, penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya Kakek.

Sebagai penjaga surau, Kakek tidak mendapat apa-apa. Ia hidup dari sedekah yang dipungutnya sekali se-Jumat. Sekali enam bulan ia mendapat seperempat dari hasil pemunggahan ikan mas dari kolam itu. Dan sekali setahun orang-orang mengantarkan fitrah Id kepadanya. Tapi sebagai garin ia tak begitu dikenal. la lebih dikenal sebagai pengasah pisau. Karena ia begitu mahir dengan pekerjaannya itu. Orang-orang suka minta tolong kepadanya, sedang ia tak pernah meminta imbalan apa-apa. Orang-orang perempuan yang minta tolong mengasahkan pisau atau gunting, memberinya sambal sebagai imbalan. Orang laki-laki yang minta tolong, memberinya imbalan rokok, kadang-kadang uang. Tapi yang paling sering diterimanya ialah ucapan terima kasih dan sedikit senyum.

Tapi kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal. Dan tinggallah surau itu tanpa peryaganya. Hingga anak-anak menggunakannya sebagai tempat bermain. memainkan segala apa yang disukai mereka. Perempuan yang kehabisan kayu bakar, sering suka mencopoti papan dinding atau lantai di malam hari.


Jika Tuan datang sekarang, hanya akan menjumpal gambaran yang mengesankan suatu kesucian yang bakal roboh Dan kerobohan itu kian hari kian cepat berlangsungnya Secepat anak-anak berlari di dalamnya, secepat perempuan mencopoti pekayuannya. Dan yang terutama ialah sifat masa bodoh manusia sekarang, yang tak hendak memelihara apa yang tidak dijaga lagi.

Dan biang keladi dari kerobohan ini lalah sebuah dongengan yang tak dapat disangkal kebenarannya. Beginilah kisahnya.

Sekali hari aku datang pula mengupah kepada Kakek. Biasanya Kakek gembira menerimaku. karena aku suka memberinya uang. Tapi sekali ini Kakek begitu muram. Di sudut benar ia duduk dengan lututnya menegak menopang tangan dan dagunya. Pandangannya sayu ke depan seolah-olah ada sesuatu yang mengamuk pikirannya. Sebuah belek susu yang berisi minyak kelapa, sebuah asahan halus, kulit sol panjang, dan pisau cukur tua berserakan di sekitar kaki Kakek; Tidak pernah aku melihat Kakek begitu durja dan belum pernah salamku tak disahutinya seperti saat itu. Kemudian aku duduk di sampingnya dan aku jamah pisau itu. Dan aku tanya Kakek: "Pisau siapa, Kek?"
"Ajo Sidi."
"Ajo Sidi?"
Kakek tak menyahut. Maka aku ingat Ajo Sidi, si pembual itu Sudah lama aku tak ketemu dia. Dan aku ingin ketemu dia lagi Aku senang mendengar bualannya. AJO Sidi bisa mengikat orang-orang dengan bualannya yang aneh-aneh sepanjang hari. Tapi inijarang terjadi karena ia begitu sibuk dengan pekerjaannya. Sebagai pembual, sukses terbesar baginya ialah karena semua pelaku-pelaku yang diceritakannya menjadi model orang untuk diejek dan ceritanya menjadi pameo akhirnya. Ada-ada saja orang-orang di sekitar kampungku yang cocok dengan watak pelaku-pelaku ceritanya. Ketika sekali ia menceritakan bagaimana sifat seekor katak, dan kebetulan ada pula seorang yang ketagihan jadi pemimpin berkelakuan seperti katak itu, maka untuk selanjutnya pemimpin tersebut kami sebutkan pemimpin katak.

Tiba-tiba aku ingat lagi pada Kakek dan kedatangan Ajo Sidi kepadanya. Apakah Ajo Sidi telah membuat bualan tentang Kakek? Dan bualan itukah yang mendurjakan Kakek? Aku ingin tahu. Lalu aku tanya Kakek lagi: "Apa ceritanya, Kek?"
"Siapa?"
"Ajo Sidi."
"Kurang ajar dia." Kakek menjawab.
"Kenapa?"
"Mudah-mudahan pisau cukur ini, yang kuasah tajam-tajam ini, menggoroh tenggoroknya."
"Kakek marah?"
"Marah? Ya, kalau aku masih muda, tapi aku sudah tua. Orang tua menahan ragam. Sudah lama aku tak marah-marah lagi. Takut aku kalau imanku rusak karenanya, ibadatku rusak karenanya. Sudah begitu lama aku berbuat baik, beribadat, bertawakal kepada Tuhan. Sudah begitu lama aku menyerahkan diriku kepada-Nya. Dan Tuhan akan mengasihi orang yang sabar dan tawakal."

Ingin tahuku dengan cerita Ajo Sidi yang memurungkan Kakek jadi memuncak. Aku tanya lagi Kakek: "Bagaimana katanya, Kek?"
Tapi Kakek diam saja. Berat hatinya bercerita barangkali. Karena aku telah berulang-ulang bertanya, lalu ia yang bertanya padaku. "Kau kenal padaku, bukan? Sedari kau kecil aku sudah di sini. Sedari mudaku, bukan? Kau tahu apa yang kulakukan semua, bukan? Terkutukkah perbuatanku? Dikutuki Tuhankah semua pekerjaanku?"

Tapi aku tak perlu menjawabnya lagi. Sebab aku tahu, kalau Kakek sudah membuka mulutnya, dia takkan diam lagi. Aku biarkan Kakek dengan pertanyaannya sendiri. "Sedan mudaku aku di sini, bukan? Tak kuingat punya istri, punya anak, punya keluarga seperti orang-orang lain, tahu? Tak kupikirkan hidupku sendiri. Aku tak ingin cari kaya, bikin rumah. Segala kehidupanku, lahir batin, kuserahkan kepada Allah Subhanahu wataala. Tak pernah aku menyusahkan orang lain. Lalat seekor enggan aku membunuhnya. Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk. Umpan neraka. Marahkah Tuhan kalau itu yang kulakukan, sangkamu? Akan dikutukinya aku kalau selama hidupku aku mengabdi kepada-Nya? Tak Kupikirkan hari esokku, karena aku yakin Tuhan itu ada dan pengasih penyayang kepada umat-Nya yang tawakal. Aku bangun pagi-pagi. Aku bersuci. Aku pukul beduk membangunkan manusia dari tidurnya, supaya bersujud kepada-Nya. Aku sembahyang setiap waktu. Aku puji-puji Dia. Aku baca Kitab-Nya. 'Alhamdulillah' kataku bila aku menerima karunia-Nya. 'Astagafirullah' kataku bila aku terkejut. 'Masya-Allah', kataku bila aku kagum. Apakah salahnya pekerjaanku itu? Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk."

Ketika Kakek terdiam agak lama, aku menyelakan tanyaku: "la katakan Kakek begitu, Kek?"
“Ia tak mengatakan aku terkutuk. Tapi begitulah kira-kiranya."

Dan aku melihat mata Kakek berlinang. Aku jadi belas kepadanya. Dalam hatiku aku mengumpati Ajo Sidi. Tapi aku lebih ingin mengetahui apa cerita Ajo Sidi yang begitu memukuli hati Kakek. Dan ingin tahuku menjadikan aku nyinyir bertanya. Dan akhirnya Kakek bercerita juga.

"Pada suatu waktu,' kata Ajo Sidi memulai, ‘di akhirat Tuhan Allah memeriksa orang-orang yang sudah berpulang. Para malaikat bertugas di samping-Nya. Di tangan mereka tergenggam daftar dosa dan pahala manusia. Begitu banyaknya orang yang diperiksa. Maklumlah di mana-mana ada perang. Dan di antara orang-orang yang diperiksa itu ada seorang yang di dunia dinamai Haji Saleh. Haji Saleh itu tersenyum-senyum saja, karena ia sudah begitu yakin akan dimasukkan ke surga. Kedua tangannya ditopangnya di pinggang sambil membusungkan dada dan menekurkan kepala ke kuduk. Ketika dilihatnya orang-orang yang masuk neraka, bibirnya menyunggingkan senyum ejekan. Dan ketika ia melihat orang yang masuk surga, ia melambaikan tangannya, seolah hendak mengatakan 'selamat ketemu nanti'. Bagai tak habis-habisnya orang yang berantri begitu panjangnya. Susut di muka, bertambah yang di belakang. Dan Tuhan memeriksa dengan segala sifat-Nya.

Akhirnya sampailah giliran Haji Saleh. Sambil tersenyum bangga ia menyembah Tuhan. Lalu Tuhan mengajukan pertanyaan pertama.
'Engkau?'
'Aku Saleh. Tapi karena aku sudah ke Mekah, Haji Saleh namaku.'
'Aku tidak tanya nama. Nama bagiku, tak perlu. Nama hanya buat engkau di dunia.'
'Ya, Tuhanku.'
'Apa kerjamu di dunia?'
'Aku menyembah Engkau selalu, Tuhanku.'
'Lain?'
'Setiap hari, setiap malam, bahkan setiap masa aku menyebut-nyebut nama-Mu.'
'Lain?'
'Segala tegah-Mu, kuhentikan, Tuhanku. Tak pernah aku berbuat jahat, walaupun dunia seluruhnya penuh oleh dosa-dosa yang dihumbalangkan ibiis laknat itu.'
'Lain?'
'Ya, Tuhanku, tak ada pekerjaanku selain daripada beribadat menyembah-Mu, menyebut-nyebut nama-Mu. Bahkan dalam kasih-Mu, ketika aku sakit, nama-Mu menjadi buah bibirku juga. Dan aku selalu berdoa, mendoakan kemurahan hati-Mu untuk menginsafkan umat-Mu.'
'Lain?'
Haji Saleh tak dapat menjawab lagi. Ia telah menceritakan segala yang ia kerjakan. Tapi ia insaf, bahwa pertanyaan Tuhan bukan asal bertanya saja, tentu ada lagi yang belum dikatakannya. Tapi menurut pendapatnya, ia telah menceritakan segalanya. Ia tak tahu lagi apa yang harus dikatakannya. Ia termenung dan menekurkan kepalanya. Api neraka tiba-tiba menghawakan kehangatannya ke tubuh Haji Saleh. Dan ia menangis. Tapi setiap air matanya mengalir, diisap kering oleh hawa panas neraka itu.
'Lain lagi?' tanya Tuhan
'Sudan hamba-Mu ceritakan semuanya, o, Tuhan yang Mahabesar, lagi Pengasih dan Penyayang, Adil dan Mahatahu.' Haji Saleh yang sudah kuyu mencobakan siasat merendahkan diri dan memuji Tuhan dengan pengharapan semoga Tuhan bisa berbuat lembut terhadapnya dan tidak salah tanya kepadanya.
Tapi Tuhan bertanya lagi: 'Tak ada lagi?'
'0, o, ooo, anu Tuhanku. Aku selalu membaca Kitab-Mu.'
'Lain?'
'Sudah kuceritakan semuanya, o, Tuhanku. Tapi kalau ada yang aku lupa mengatakannya, aku pun bersyukur karena Engkaulah yang Mahatahu.'
'Sungguh tidak ada lagi yang kaukerjakan di dunia selain yang kauceritakan tadi?'
'Ya, itulah semuanya, Tuhanku.'
'Masuk kamu.'
Dan malaikat dengan sigapnya menjewer Haji Saleh ke neraka. Haji Saleh tidak mengerti kenapa ia dibawa ke neraka. Ia tak mengerti apa yang dikehendaki Tuhan daripadanya dan ia percaya Tuhan tidak silap.

Alangkah tercengangnya Haji Saleh, karena di neraka itu banyak teman-temannya di dunia terpanggang hangus, merintih kesakitan. Dan ia tambah tak mengerti lagi dengan keadaan dirinya, karena semua orang-orang yang dihhatnya di neraka itu tak kurang ibadatnya dari dia sendin. Bahkan ada salah seorang yang telah sampai empat belas kali ke Mekah dan bergelar syekh pula. Lalu Haji Saleh mendekati mereka, dan bertanya kenapa mereka dinerakakan semuanya. Tapi sebagaimana Haji Saleh, orang-orang itu pun, tak mengerti
‘Bagaimana Tuhan kita ini?’ kata Haji Saleh kemudian, 'Bukankah kita disuruhnya-Nya taat beribadat, teguh beriman? Dan itu semua sudah kita kerjakan selama hidup kita Tapi kini kita dimasukkan-Nya ke neraka.'
‘Ya kami juga heran. Tengoklah itu orang-orang se-negeri dengan kita semua, dan tak kurang ketaatannya beribadat.” kata salah seorang di antaranya.
'Ini sungguh tidak adil.'
'Memang tidak adil.' kata orang-orang itu mengulangi ucapan Haji Saleh.
'Kalau begitu, kita harus minta kesaksian atas kesalahan kita.'
'Kita harus mengingatkan Tuhan, kalau-kalau Ia silap memasukkan kita ke neraka ini.'
'Benar. Benar. Benar.' Sorakan yang lain membenarkan Haji Saleh.
'Kalau Tuhan tak mau mengakui kesilapan-Nya, bagaimana?' suatu suara melengking di dalam kelompok orang banyak itu.
'Kita protes. Kita resolusikan,' kata Haji Saleh.
'Apa kita revolusikan juga?' tanya suara yang lain, yang rupanya di dunia menjadi pemimpin gerakan revolusioner.
'Itu tergantung pada keadaan,' kata Haji Saleh. 'Yang penting sekarang, mari kita berdemonstrasi menghadap Tuhan.'
'Cocok sekali. Di dunia dulu dengan demonstrasi saja, banyak yang kita peroleh,' sebuah suara menyela.
'Setuju. Setuju. Setuju.' Mereka bersorak beramai-ramai.
Lalu mereka berangkatlah bersama-sama menghadap Tuhan.
Dan Tuhan bertanya. 'Kalian mau apa?' Haji Saleh yang jadi pemimpin dan juru bicara tampil ke depan. Dan dengan suara yang menggeletar dan berirama indah, ia memulai pidatonya: 'O, Tuhan kami yang Mahabesar. Kami yang menghadap-Mu ini adalah umat-Mu yang paling taat beribadat, yang paling taat menyembah-Mu. Kamilah orang-orang yang selalu menyebut .nama-Mu, memuji-muji kebesaran-Mu, tnempropagandakan keadilan-Mu, dan lain-lainnya. Kitab-Mu kami hafal di luar kepala kami. Tak sesat sedikit pun kami membacanya. Akan tetapi, Tuhanku yang Mahakuasa, setelah kami Engkau panggil kemari, Engkau masukkan kami ke neraka. Maka sebelum terjadi hal-hal yang tak diingini, maka di sini, atas nama orang-orang yang cinta pada-Mu, kami menuntut agar hukuman yang Kaujatuhkan kepada kami ditinjau kembali dan memasukkan kami ke surga sebagaimana yang Engkau janjikan dalam Kitab-Mu.'
'Kalian di dunia tinggal di mana?' tanya Tuhan.
'Kami ini adalah umat-Mu yang tinggal di Indonesia, Tuhanku.'
'O, di negeri yang tanahnya subur itu?'
'Ya, benarlah itu, Tuhanku.'
'Tanahnya yang mahakaya-raya, penuh oleh logam, minyak, dan berbagai bahan tambang lainnya, bukan?'
'Benar. Benar. Benar. Tuhan kami. Itulah negeri kami.'
Mereka mulai menjawab serentak. Karena fajar kegembiraan telah membayang di wajahnya kembali. Dan yakinlah mereka sekarang, bahwa Tuhan telah silap menjatuhkan hukuman kepada mereka itu.
'Di negeri, di mana tanahnya begitu subur, hingga tanaman tumbuh tanpa ditanam?'
'Benar. Benar. Benar. Itulah negeri kami.'
'Di negeri, di mana penduduknya sendiri melarat?'
'Ya. Ya. Ya. Itulah dia neeeri kami.'
'Negeri yang lama diperbudak orang lain?'
'Ya, Tuhanku. Sungguh laknat penjajah itu, Tuhanku.'
'Dan hasil tanahmu, mereka yang mengeruknya, dan diangkutnya ke negerinya, bukan?'
'Benar, Tuhanku. Hingga kami tak mendapat apa-apa lagi. Sungguh laknat mereka itu.'
'Di negeri yang selalu kacau itu, hingga kamu dengan kamu selalu berkelahi, sedang hasil tanahmu orang lain juga yang mengambilnya, bukan?'
'Benar, Tuhanku. Tapi bagi kami soal harta benda itu kami tak mau tahu. Yang penting bagi kami ialah menyembah dan memuji Engkau.'
'Engkau rela tetap melarat, bukan?'
'Benar. Kami rela sekali, Tuhanku.'
'Karena kerelaanmu itu, anak cucumu tetap juga melarat, bukan?'
'Sungguhpun anak cucu kami itu melarat, tapi mereka semua pintar mengaji. Kitab-Mu mereka hafal di luar kepala.'
'Tapi seperti kamu juga, apa yang disebutnya tidak dimasukkan ke hatinya, bukan?'
'Ada, Tuhanku.'
'Kalau ada, kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua. Sedang harta bendamu kaubiarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri kau negeri yang kaya-raya, tapi kau malas. Kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedang aku menyuruh engkau semuanya beramal di samping beribadat. Bagaimana engkau bisa beramal kalau engkau miskin. Engkau kira aku ini suka pujian, mabuk disembah saja, hingga kerjamu lain tidak memuji-muji dan menyembahku saja. Tidak. Kamu semua mesti masuk neraka. Hai, Malaikat, halaulah mereka ini kembali ke neraka. Letakkan di keraknya.'
Semua jadi pucat pasi tak berani berkata apa-apa lagi. Tahulah mereka sekarang apa jalan yang diredhai Allah di dunia. Tapi Haji Saleh ingin juga kepastian apakah yang dikerjakannya di dunia itu salah atau benar. Tapi ia tak berani bertanya kepada Tuhan. Ia bertanya saja pada malaikat yang menggiring mereka itu.
'Salahkah menurut pendapatmu, kalau kami menyembah Tuhan di dunia?' tanya Haji Saleh.
‘Tidak. Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat bersembahyang. Tapi engkau melupakan kehidupan kaummu sendiri, melupakan kehidupan anak istrimu sendiri, sehingga mereka itu kucar-kacir selamanya. Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis. Padahal engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak mempedulikan mereka sedikit pun.’"
Demikianlah cerita Ajo Sidi yang kudengar dari Kakek. Cerita yang memurungkan Kakek.
Dan besoknya, ketika aku mau turun rumah pagi-pagi, istriku berkata apa aku tak pergi menjenguk.
"Siapa yang meninggal?" tanyaku kaget.
"Kakek."
"Kakek?"
"Ya. Tadi subuh Kakek kedapatan mati di suraunya dalam keadaan yang mengerikan sekali. la menggoroh lehernya dengan pisau cukur."
"Astaga. Ajo Sidi punya gara-gara," kataku seraya cepat-cepat meninggalkan istriku yang tercengang-cengang.
Aku cari Ajo Sidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa sama istrinya saja. Lalu aku tanya dia.
"la sudah pergi," jawab istri Ajo Sidi.
"Tidak ia tahu Kakek meninggal?"
"Sudah. Dan ia meninggalkan pesan agar dibelikan kain kafan buat Kakek tujuh lapis."
"Dan sekarang," tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala peristiwa oleh perbuatan Ajo Sidi yang tidak sedikit pun bertanggungjawab, "dan sekarang ke mana dia?"
"Kerja."
"Kerja?" tanyaku mengulangi hampa.
"Ya. Dia pergi kerja." ***

Mereka Bilang Saya Monyet!

Mereka Bilang Saya Monyet!

Cerpen Djenar Maesa Ayu


Sepanjang hidup saya melihat manusia berkaki empat. Berekor anjing, babi atau kerbau. Berbulu serigala, landak atau harimau. Dan berkepala ular, banteng atau keledai.

Namun tetap saja mereka bukan binatang. Cara mereka menyantap hidangan di depan meja makan sangat benar. Cara mereka berbicara selalu menggunakan bahasa dan sikap yang sopan. Dan mereka membaca buku-buku bermutu. Mereka menulis catatan-catatan penting. Mereka bergaun indah dan berdasi. Bahkan konon mereka mempunyai hati.

Waktu saya menyatakan bahwa saya juga mempunyai hati, mereka tertawa dan memandang saya dengan penuh iba atas kebodohan saya. Katanya hati yang mereka maksudkan adalah perasaan, selain itu mereka juga mempunyai otak. Tapi ketika saya protes dan menyatakan bahwa saya pun punya otak, lagi-lagi mereka tertawa terbahak-bahak. Katanya, otak yang mereka maksudkan adalah akal.

Saya benar-benar tidak mengerti maksud mereka. Yang saya tahu saat itu hanya hati saya terasa ngilu bagai disayat-sayat sembilu. Mungkinkah ini yang disebut perasaan? Tapi saya sudah terlanjur kehilangan keberanian untuk mengatakan apa yang saya rasakan. Dan saya tambah tidak mengerti jika benar ini adalah perasaan yang mereka maksudkan, lalu mengapa mereka bisa menertawakan saya tanpa mempedulikan perasaan saya sama sekali?

Pada saat otak saya dipenuhi pertanyaan ini, saya pun berpikir. Apakah ini yang mereka maksud dengan akal? Lalu mengapa akal mereka tidak sampai pada pikiran bahwa saya tidak senang dijadikan bahan tertawaan?

Saya meninggalkan mereka diam-diam. Suara tawa mereka makin lama makin menghilang seiring dengan bertambah jauh kaki saya melangkah. Saya tahu saya tidak perlu pergi dengan cara diam-diam. Kepergian saya toh tidak akan mengundang perhatian. Tapi mungkin itulah cara saya untuk menghibur diri sendiri dari keterasingan.

Tanpa saya sadari kaki saya sudah mengantarkan saya sampai di depan pintu kamar mandi. Kamar mandi itu terkunci dari dalam. Maka saya menunggu sambil berdiri di depan sebuah cermin besar.

Saya memperhatikan bayangan diri saya di dalam cermin dengan cermat. Saya berkaki dua, berkepala manusia, tapi menurut mereka saya adalah seekor binatang. Kata mereka saya adalah seekor monyet. Waktu mereka mengatakan itu kepada saya, saya sangat gembira. Saya katakan, jika saya seekor monyet maka saya satu-satunya binatang yang paling mendekati manusia. Berarti derajat saya berada di atas mereka. Tapi mereka bersikeras bahwa mereka manusia bukan binatang, karena mereka punya akal dan perasaan. Dan saya hanyalah seekor binatang. Hanya seekor monyet!

Kebutuhan saya untuk buang air kecil semakin mendesak. Pintu kamar mandi masih terkunci. Saya mengetuk pintu pelan-pelan. Tidak ada jawaban dari dalam. Tidak ada suara air. Tidak ada suara mengedan. Saya menempelkan telinga saya di mulut pintu. Saya mendengar desahan tertahan. Saya kembali mengetuk pintu. Desahan itu berangsur diam. Saya mengintip lewat lubang kunci bersamaan dengan pintu dibuka dari dalam. Sepasang laki-laki dan perempuan keluar dari dalam kamar mandi. Yang laki-laki lantang memaki, "Dasar binatang! Dasar monyet! Gak punya otak ngintip-ngintip orang!"

Seharusnya saya menghajar laki-laki berkepala buaya dan berekor kalajengking itu. Tapi saya memang tidak cepat bereaksi jika diserang tanpa ada persiapan. Atau mungkin saya memang tidak akan pernah mampu melawan walaupun sudah tahu akan diserang. Saya sudah terbiasa menelan rongsokan tanpa dikunyah lebih dulu. Saya sudah terbiasa kalah dan menelan kepahitan. Karena itu saya hanya terlongong-longong sambil menyaksikan mereka berdua berlalu.

***


Mereka masih duduk mengelilingi tiga meja bundar. Saya menghampiri dan duduk di kursi paling ujung. Kursi yang saya duduki sebelum saya pergi ke kamar mandi sudah terisi. Seperti biasa mereka tidak terlalu peduli akan kehadiran saya.

Laki-laki berkepala buaya dan berekor kalajengking duduk tepat di seberang saya. Perempuan yang tadi bersamanya di dalam kamar mandi duduk agak jauh dan sedang menyenderkan kepala ulamya di atas dada laki-laki berkepala buaya yang lain. Saya menggeleng-gelengkan kepala tanpa sengaja. Laki-laki berkepala buaya dan berekor kalajengking menyeringai sambil mengedipkan mata ke arah saya. Sungguh, kali ini saya merasa benar-benar ingin menghajarnya.

Malam semakin larut. Botol-botol bir kosong dan gelas-gelas yang setengah terisi memadati meja. Ketika mereka berbicara, suara mereka setengah berteriak seperti hendak mengalahkan suara penyanyi dengan keyboard-nya. Namun sikap duduk mereka masih sama seperti ketika pertama kali mereka datang ke kafe ini. Hanya rona wajah mereka saja yang mulai memerah. Yang berkepala gajah, wajah abu- abunya berubah jadi merah.Yang berkepala harimau, wajah warna cokelatnya berubah merah. Yang berkepala serigala, wajah warna hitamnya berubah merah. Meja kami dikelilingi wajah-wajah berwarna merah dan mata yang mulai sayu.Tawa mereka mulai lepas. Tapi sikap mereka tetap pada batas-batas kewajaran. Apakah itu yang mereka namakan akal dan perasaan?

Saya mulai jengah. Saya mulai mengangkat kaki saya ke atas meja. Kepala saya menghentak-hentak keras mengikuti irama lagu. Si Kepala Gajah menghentakkan belalainya ke pipi saya dengan keras. Saya menatapnya sejenak lalu kembali asyik dengan diri saya sendiri. Si Kepala Serigala menendang kaki saya di bawah meja hingga saya menjerit kesakitan. Secara bersamaan yang lainnya melotot ke arah saya. Saya tetap tidak peduli. Saya malah beranjak dari kursi lalu menuju ke panggung dan merampas mike dari tangan penyanyi.

Saya mengisyaratkan pemain keyboard untuk memainkan La Bamba. Dengan terpaksa pemain keyboard mengikuti permintaan saya. Saya mulai berjingkrak-jingkrak mengikuti irama musik dan suara saya yang terdengar tidak merdu. Saya berputar ke kiri, berputar ke kanan, bergerak maju, bergerak ke belakang bertepuk tangan, berteriak kencang, duduk di atas pangkuan pemain keyboard dan semua yang ada di kafe itu ikut bersorak-sorai dan bertepuk tangan.

Saya menyanyikan beberapa lagu lagi hingga puas dan kelelahan. Akhirnya saya kembali ke meja dan menenggak satu gelas bir besar dalam satu kali tegukan. Semua yang berada di meja itu tambah mengacuhkan saya. Saya tahu mereka yang mengaku berperasaan itu mungkin sedang diserang perasaan yang mereka namakan malu. Atau akal merekakah yang sedang memerintah hati untuk membohongi perasaannya sendiri?

Akhirnya saya tidak tahan juga dan bertanya ke Si Kepala Gajah di sebelah saya, "Sebenarnya apa sih yang sedang terlintas di kepala gajahmu?"

Si Kepala Gajah diam saja. Saya melayangkan pertanyaan yang sama kepada Si Kepala Serigala. Seperti Si Kepala Gajah, ia diam saja. Akhirnya saya menanyakan kepada semua yang berada di meja itu. Si Kepala Babi dan Si Kepala Kuda mendengus acuh tak acuh. Si Kepala Kuda meringkik. Si Kepala Sapi melenguh. Hanya Si Kepala Anjing yang berani menggonggong.

"Bagaimana kamu mau disebut manusia? Wujudmu boleh manusia, tapi kelakuanmu benar-benar monyet!"

"Tapi bukankah kalian ikut bergoyang? Bukankah kalian ikut bertepuk tangan? Bahkan saya juga mlihat sebagian dari kalian tertawa-tawa."

Ia kembali menggonggong tertahan.

"Susah bicara dengan makhluk yang tidak punya otak! Sudahlah, kamu tidak akan pernah bisa mengerti apa yang saya katakan dan maksudkan. Kamu tidak punya perasaan malu. Kamu tidak punya akal untuk membedakan mana yang tidak dan mana yang pantas untuk kamu lakukan."

Saya malas bertanya lagi. Percuma bicara kepada seseorang — atau tepatnya makhluk — yang senang dan mampu berbohong pada diri sendiri. Saya menuang bir ke dalam gelas saya dan meminumnya dalam satu kali tegukan. Saya menuang bir untuk kedua kalinya dan segera menuntaskannya kembali dalam satu kali tegukan. Ketika saya hendak menuang bir ke gelas saya untuk ketiga kalinya, Si Kepala Anjing menahan tangan saya.

Saya heran, tidak biasanya ia memperhatikan saya seperti sekarang ini. Biasanya tidak ada yang mau peduli pada saya. Keheranan saya berkembang menjadi kecurigaan. Mungkin ia tidak peduli berapa banyak saya minum. Mungkin ia tidak peduli andaikan saya mampus sekalipun! Ia hanya sedang menyelamatkan dirinya dari rasa malu. Ia hanya tidak ingin saya melakukan hal-hal yang tidak sejalan dengan akalnya di muka umum. Ya, di muka umum.

Saya tahu persis siapa dirinya. Saya tahu persis Si Kepala Anjing berhubungan dengan banyak laki-laki padahal ia sudah bersuami. Saya tahu persis Si Kepala Anjing sering mengendus-endus kemaluan Si Kepala Serigala. Bahkan Si Kepala Anjing juga pernah mengendus-endus kemaluan saya walaupun kami berkelamin sama.Tapi tidak di depan umum.

Di depan umum ia hanyalah wanita berkepala anjing dan berbuntut babi yang kerap menyembunyikan buntutnya di kedua belah paha singanya. Di depan umum ia hanya penggemar orange juice dan tidak merokok seperti saya. Tapi ketika ia tidak di depan umum, saya tahu ia mengisap ganja, minum cognac dan menyerepet cocaine lewat kedua lubang hidungnya yang selalu basah.

Saya mengibaskan tangan Si Kepala Anjing hingga terlepas dari tangan saya dan mengambil bir lalu menenggak langsung dari botolnya.

***


Mata saya bertubrukan dengan mata Si Kepala Buaya yang berekor kalajengking itu. Perempuan berkepala ularnya masih berasyik masyuk dengan laki-laki berkepala buaya lain. Mungkin laki-laki itu gigolo, pikir saya. Mana mungkin laki-laki sejati rela menyerahkan kekasihnya ke dalam pelukan laki-laki lain?

Saya melihat laki-laki berkepala buaya yang sedang dimesrai oleh perempuan itu lebih mentereng ketimbang laki-laki berkepala buaya yang memaki saya di depan kamar mandi. Secara fisik, laki-laki berkepala buaya di depan saya ini memang lebih menarik dan jauh lebih muda.

Namun seperti Si Kepala Anjing, sikap Si Kepala Buaya itu tidak kalah berbudayanya jika berada di tempat umum. Saya yakin, pasti tidak ada yang mengira kelakuan Si Kepala Buaya dan Si Kepala Ular juga Si Kepala Anjing, bahkan mungkin semua kepala-kepala binatang ini ketika mereka tidak berada di depan umum. Mungkin saya harus mencolok mata mereka hingga buta supaya mereka bisa melihat dunia lewat pintu hati mereka, dan mereka tahu apa yang sebenamya disebut perasaan!

Tiba-tiba saya terpanggil untuk iseng. Saya meminta selembar kertas dan meminjam pen dan pelayan. Saya mulai menulis di secarik kertas itu dan meremasnya di dalam tangan saya. Lalu saya mengedipkan mata ke arah laki-laki berkepala buaya di depan saya sambil mengisyaratkannya untuk mengikuti saya ke kamar mandi. Si Kepala Buaya mengerti maksud saya dan menyeringai senang sambil menganggukkan kepala. Saya berjalan ke arah kamar mandi, sambil dengan diam-diam menyelipkan secarik kertas di balik kerah baju si perempuan berkepala ular.

Saya menunggu di dalam kamar mandi. Tidak lama pintu diketuk. Saya membuka pintu. Si Kepala Buaya menyeruak masuk dan memberondong saya dengan ciuman. Saya cekik lehemya dan saya sandarkan dia ke dinding. Saya hajar mukanya seperti apa yang saya harapkan sebelumnya. Pintu kamar mandi diketuk. Saya membuka pintu dan Si Kepala Ular sudah berdiri berkacak pinggang di depan pintu. Saya mempersilakan ia masuk dan meninggalkan mereka. Saya mendengar suara tamparan di pipi Si Kepala Buaya tempat saya menghajarnya tadi.

***

Si Kepala Serigala memanggil pelayan dan meminta bon untuk segera dibayar. Si Kepala Serigala selalu mengeluarkan uang untuk kesenangan kami dan mungkin karena itulah Si Kepala Anjing mengendus-endus kemaluannya. Saya tahu pesta mereka sebentar lagi usai. Tapi saya juga tahu, pesta kemerdekaan saya baru akan dimulai....



Jakarta, 7 November 2001,12:19:34 AM
Jurnal Cerpen Indonesia, Edisi 1, Februari 2002

PENUH RAHASIA

PENUH RAHASIA

Maria Amin



Jauh di sana terhampar rumput hijau.

Pada beberapa tempat lalang berbunga putih beralun-alun sama berayun dengan rumput diembus udara petang. Di bawah lingkungan pembatasan bumi dengan langit, segaris hyau kebiruan pohon-pohonan Langit yang kuning muda, bersisik putih, di antaranya terjalin warna sepuhan emas perada. Dari balik garis yang hijau kebiruan naik memancar warna merah bernyala yang makin ke atas hilang melayang warnanya. Jauh sedikit dari sana, tumpukan awan berbagai bentuk yang terhalus puspawarna. Di antara langit kebiruan bersisikkan putih, tersenyum simpul kemalu-maluan, bulan sabit. Cahaya masih pucat pasi, belum berani mengalahkan si Mega. Ta' jauh darinya bintang sebuah kerlip-mengerlip seakan mata masih rungau*. Terkadang-kadang benda kecil itu hilang disembunyikan awan putih yang selaku anak muda menutup mata kecintaannya dengan sutera putih, takut cahaya mata kasihnya itu memikat hati pemuda lain

Dingin... hhh, seluk membelai kenangan impian masa silam. Membangkit, mengorek perbendaharaan di kalbu. Benda 'lah usang dibaharui lagi...

Hei, puspawarna berangsur, menghilang lenyap di balik garis hijau tadi, serta pancaran emas gagah perkasa itu diselimuti oleh awan tipis berbecak-becak

Mengapa gelap? Mengapa berganti warna semacam ini, selaku sayu pandangan? Mengapa matahari ‘kan sembunyikan diri?

Mengapa mega kau ta' bersolek lagi? Mengapa langit melengkung putih kebiruan menolak warna? Mengapa isi ‘alam sunyi diam menyambut perubahan siang dan malam? Bukankah di balik perubahan yang dingin mati disambut angina bayu menyegar tubuh? Bukankah caya kuning sepuhan emas nyala bernyala bergantikan sepuhan perak putih berseri merayukan hati? Akh, bukankah si Raja Siang yang gagah perkasa yang memerintah selama siang itu, diganti oleh si Dewi Malam? Si Cantik manis akan memerintah semalaman dengan belaian sinar yang lembut itu. Dan di sisi sepuhan perak, berkilau keriipan permata terhampar di beledu biru, bersukaria bermain caya

Bukankah, bukankah ribuan permata intan berlian, tanding bertanding menguji caya, siapa terindah di antara berjuta? Memanglah. Tiap-tiap perubahan mengandung penuh rahasia.

*kurang tidur

Dl BAWAH BULAN

Dl BAWAH BULAN


Cerpen Sapardi Djoko Damono




Tidak terlihat apa pun di bawah bulan yang sedang purnama dan memancarkan sinar keputih-putihan, teramat menyilaukan, di sebuah taman kota. Kecuali seorang tukang sulap yang duduk di bangku taman, yang sore tadi main di sebuah pasar malam. Kecuali seekor ular hijau yang sama sekali diam, yang tidak pemah mengenal sulapan, melingkarkan tubuhnya di tepi taman dekat selokan itu sementara kepalanya tegak seperti menunggu sesuatu. Dan seekor katak, yang tidak pemah percaya kepada cahaya bulan, yang meloncat-loncat di rumputan menuju selokan itu. Dan juga sekuntum bunga rumput, sekuntum saja, yang diam tidak digoyangkan angin karena udara mendadak berhenti kena sihir cahaya bulan itu.

Cahaya bulan tidak pemah meramal. Itu janji yang tetap dipegangnya. Ia juga tidak pernah mengingatkan atau member! awas-awas. Ia hanya menerima sinar matahari yang kemudian dipantulkannya ke bumi: kilau-kemilau. Tidak ada seorang pun, kecuali si tukang sulap yang agak mengantuk itu, ketika tiba-tiba ular itu melesat menangkap katak yang sedang melompat itu, keduanya kemudian jatuh ke rumputan dan lenyap dalam gelombang bunga rumput yang entah kenapa mendadak mekar bersama-sama dan bergoyang-goyang diterpa angin yang berhasil membebaskan diri dari sihir cahaya bulan.

Tukang sulap kebetulan menyaksikan peristiwa yang mirip sulapan itu, dan sadar bahwa ia tidak sedang main sulap, dan tentu saja ia yakin sekali bahwa pasti ada tukang sulap lain di taman itu. Di bawah bulan yang sedang pumama yang memancarkan sinar yang sangat menyilaukan itu tidak ada seorang pun, kecuali si tukang sulap itu.

Alih-alih

Alih-alih

Cerpen Pipiet Senja


Tiba-tiba saja dia dikejutkan oleh suara-suara keras, membentak dan menghardik. Oh, lebih dari itu, mereka pun memaki-maki, menyumpahi, menyerapah dan... Deeesss! Sebuah sikutan sangat keras telak sekali menghantam tulang iganya.

"Waaa... sakiiit!" Dia menjerit kaget.

"Cepat sereeet! Keluaaar!"

"Sebentar, sebentar... kalian siapa?"

"Keluarkan dia dari pesawaaat!"

"Iya, nanti bomnya keburu diledakkan di sini!"

Dia yakin, beberapa menit berselang dirinya ketiduran, melayang-layang di zona penerbangan antara India dengan Indonesia. Dia juga masih ingat, teman perjalanan di sebelahnya adalah seorang wanita 40-an, berwajah cantik, anggun dan terkesan perkasa. Sosoknya mengingatkan dia kepada pejuang wanita Cut Nyak Dhien.

Mereka sempat ngobrol ngalor-ngidul, dan dia langsung mengagumi retorika serta semangatnya. Siapapun yang bersinggungan secara santun dengannya, niscaya orang itu bisa ikut merasai daya juang yang dimilikinya. Dia sendiri saat itu lebih banyak mendengar, membiarkannya memegang kendali perbincangan. Sesungguhnya topik percakapan mereka telah menyentuh ke persoalan kemanusiaan, penderitaan, ketakadilan dan ketertindasan bangsa-bangsa di dunia ketiga.

Sekarang matanya benar-benar sudah melek. Tak ada lagi teman perjalanan bersahabat yang pernah dikenalnya itu. Dia mulai menghitung, ternyata ada lusinan orang berseragam mengelilinginya. Sikap lelaki-lelaki berotot itu sungguh tak bersahabat. Dan peralatan yang mereka bawa, apa itu? Mirip pasukan gegana saja. Hanya dalam hitungan menit, mereka telah menggiringnya keluar pesawat. Tak ada siapapun lagi dalam pesawat, kecuali dirinya dengan orang-orang berseragam yang berangasan itu!

Seketika dia tak dapat merasakan kakinya menjejak lagi ke bumi. Dua orang berseragam telah menyeret dan menyeretnya terus, bahkan kemudian mengangkatnya. Tepatnya, dua orang berseragam serba hitam itu tak membiarkannya menginjakkan kakinya kembali ke bumi.

Di luar malam menyambutnya dalam hening yang mencekam. Terawangannya kembali mengapung di tampuk matanya. Lihatlah di sekitar bandara ini. Bola-bola lampu bagaikan mata penonton yang berkedap-kedip, menyaksikan dirinya, teman-temannya melenggak-lenggok memamerkan kemolekan tubuh. Peragaan bikini di kolam renang, wawancara yang disorot kamera dunia, perpaduan antara kecantikan dan kecemerlangan otak. Bukankah itu suatu hal yang sangat membanggakan?

Meskipun kemudian diberi tahu oleh adiknya bahwa keberadaannya di ajang internasional diprotes berbagai kalangan. Tapi dia tenang-tenang saja, apalagi saat mendapat aliran semangat dari para seniornya. Baik melalui sms maupun telepon langsung dan imel.

"Biarkan gukguk menggonggong."

"Kamu bukan bagian dari gukguk itu."

"Maka tetaplah melangkah!"

"Ratu Sejagat... hiduuup!"

Tentu saja aku hidup, teriaknya dalam hati. Buktinya sekarang ia bisa merasai tindak kekerasan dan pelecehan. Dan ia tersentak dalam kubangan kemasygulan. Dunia glamor telah berlepasan satu per satu, repih demi repih dari tangannya. Hanya menyisakan kenangan semata dalam otaknya! Mereka menyeretnya terus, semakin cepat dan kasar, tubuhnya serasa lemas, kaki-kakinya sungguh tak menapak lagi. Dia masih bisa mendengar si komandan terus saja menyerukan perintah pengamanan, pengendalian, dan segalanya yang tak ada hubungannya dengan dirinya.

Seharusnya aku disambut meriah, gerutunya dalam hati. Bukankah panitia pernah menjanjikan gelar konferensi pers, diliput berbagai media massa. Tidak, tak ada penyambutan meriah kecuali sepasukan mengerikan dan teror! Ruang karantina imigrasi. Jelas, mereka telah salah tangkap. Memangnya siapa aku yang telah bikin pasukan keamanan Ibukota geger dan seheboh itu melakukan pengamanan seluruh kawasan Bandara Sukarno-Hatta? Sejuta tanya hanya berloncatan dalam hati. Kepalanya mulai mereka-reka, apa sesungguhnya yang mereka harapkan dari dirinya? Penghargaan, trophi dan bingkisan-bingkisan yang diberikan para sponsor? Semuanya masih di bagasi. Ia tak menemukan apapun di otaknya selain dampak kekacauan yang telah dijejakkan pasukan itu dalam sepuluh menit terakhir. Apakah dirinya harus menyerah begitu saja? Bukankah ini bukti nyata dari ketakadilan, ketertindasan tanpa hukum dan kebenaran? Tanpa bisa ditolak lagi, interegosi pun dimulai.

"Duduuuk!"

"Eeeh... ya, duduk ya duduk."

"Jangan berlagak pilon! Kami tahu benar, Saudari ini seorang intelektual yang brilian. Saudari baru pulang dari Arab Saudi, mengikuti konferensi tingkat dunia."

"Kalian salah tangkap!" serunya tertahan, dadanya mulai terasa sesak. "Kami benar! Ini coba dengar data Saudari yang ada di tangan kami. Nama Ummu Kulsum alias Al Hamasah. Umur 42 tahun, kelahiran Palestina, dibesarkan di Perancis."

"Bukan! Namaku Siti, gak pakai alias-aliasan! Nanti kujelaskan! Pokoknya nama asliku Siti binti Sarjang. Biar keren dan marketable, kata agenku, diganti menjadi Kristinasari. Umurku gak setua itu, apa kalian gak bisa lihat penampilanku?"

"Diaaam!"

"Aku ini asli orang Sunda, desaku di Tanjungkerta, rumah dan keluargaku di Gunung Halu."

"Sudaaah! Tutup mulut!"

"Aku kuliah di Bandung, lagi nyiapin skripsi waktu datang undangan ikut kontes Puteri Indonesia. Aku menang, kalian tahu kaaan? Aku ini Puteri Indonesia yang diselundupkan ke mancanegara untuk mengikuti kontes Ratu Sejagat!"

Ia menceracau tanpa henti. Ia masih berharap suaranya didengar dan dicermati oleh seseorang yang bisa memahami kondisinya. Ia juga berharap bisa melihat sosok lain yang lebih bersahabat. Tidak ada! Ruangan ini sangat tertutup. Apakah ini ruang interogasi khusus untuk para penyelundup, pendatang haram, kriminal dan buronan internasional. Bulu kuduknya seketika meremang hebat! "Percuma saja bicara dengan kalian." Ia bangkit, mengitarkan pandangnya kembali ke sekelilingnya. Lelaki-lelaki itu memiliki tatapan yang dingin, sangat dingin dan kaku sekali. Tak ada kompromi di sini!

"Duduk! Saudari mau ke mana?" perintah lelaki paling berkharisma di antara selusin lelaki berseragam dalam ruangan itu.

"Aku bukan orang yang kalian cari!" Ia berdiri tegak, meskipun dipelototi para lelaki yang siap secara maraton menginterogasinya. Seseorang kembali menghentakkan bahu-bahunya dengan kasar sekali, sehingga ia kembali terhenyak di bangku jelek yang keras.

"Kita kembali ke awal, ya. Kami harap Saudari bisa kerja sama. Nama Saudari? Kenapa nama kerennya seperti nonmuslim?"

"Sudah kubilang tadi, itu nama bikinan agenku."

"Tempat dan tanggal lahir?"

"Kalian sudah tahu itu!" ketusnya sebal sekali.

"Iya, ini biar dicocokkan!" sergah si wibawa, ia baru mencermatinya, kepala besar, kumis baplang, perawakan tinggi dan buket! Iya, bau ketek! "Tempat kelahiranku di Gunung Halu, 17 Nopember."

"Pasti tahun 1961!"

"Bukan, aku kelahiran 1981!" Ia melihat orang-orang itu saling pandang dengan tatapan sinis. Ada juga yang geleng-geleng kepala dan berdecak. Seakan-akan mereka mulai yakin ada yang tak beres di otaknya.

Menit demi menit berlalu, beranjak pula menjadi jam demi jam yang seolah-olah sangat enggan bergeming. Sepanjang sisa malam itu, akhirnya, mereka habiskan di ruang interogasi. Pertanyaan memutar-mutar, nyaris tak bergeser dari identitas dirinya, dan aktivitas yang digelutinya. Ia merasa telah menghabiskan seluruh enerjinya, tatkala menyadari malam telah merayap ke ujung dinihari. Begitu banyak pertanyaan dilontarkan, tapi tak satu pun yang bisa dijawabnya dengan benar.

"Aku gak paham dengan jalan pikiran kalian! Bagaimana mungkin aku diposisikan sebagai seorang teroris?" "Saudari memang teroris yang lagi dicari-cari dunia internasional!"

Mereka menjebloskannya ke sebuah ruangan sempit, pengap dan bau kecoa. Sejak saat itu jam demi jam berdetak-detik dengan sangat tak karuan. Kegemparan menguntit bayangnya ke mana pun dirinya bergerak. Tidak, bukan bayangan realita. Karena di ruang sempit dan pengap itu sama sekali tak ada sepotong cermin sekalipun.

Pada hari ketujuh, tatkala dia nyaris putus asa, datanglah seorang petugas yang mengeluarkannya dari ruangan pengap. banyak kecoa dan tikus yang berseliweran di situ. Di sebuah ruangan serba hijau dengan bola lampu khusus untuk interogasi, seorang lelaki berkepala plontos telah menantinya.

"Kami akan melepaskan Saudari dengan syarat Anda mengakui segalanya. Tentang identitas Anda, aktivitas.... Semuanya sudah kami konfirmasi. Mereka menyatakan tak punya sangkut-paut apapun dengan Anda. Ini surat pernyataan dari orang-orang yang Saudari sebut sebagai agen dan panitia." Lelaki itu memamerkan berkas-berkas di atas mejanya.

Dia, perempuan yang telah disekap di ruang karantina Cengkareng itu, segera mencermatinya, dua lembar surat pernyataan dengan stempel berarti resmi. "Kami akan mendeportasi Saudari ke Amerika!"

Beberapa saat kemudian segalanya berlangsung begitu superkilat. Ia dikawal ketat pasukan anti-teroris, menuju sebuah pesawat berbendera Amerika. Sia-sia ia menjeritkan protesnya, karena mulutnya kini diberangus bak seekor hyena liar yang bisa membahayakan sekitarnya. Jarak dirinya bersama para pengawalnya semakin dekat dengan pesawat itu, semakin dekat, semakin dekat.... Sebuah suara berteriak dari kejauhan!

"Alooow... Ummu Kulsum selamat jalaaan!" Ia menoleh, matanya membelalak lebar. Sosok itu, gadis cantik bertubuh ramping dengan rambut ikal mayang itu, bukankah itu dirinya? Mengapa ia berada di seberang sana bersama rombongan kecil. Bukankah itu adiknya, Asep bin Sarjang? Jay Julian dan Marcelina Gurindam?

Sebelum ia sempat bereaksi atas sensasi itu, mereka telah mengangkatnya tinggi-tinggi dan melemparkannya ke pintu pesawat. Dan di sanalah, di pintu pesawat yang ada cerminnya itu, matanya menangkap sosoknya saat ini; seorang perempuan berumur 42-an, berwajah anggun dan terkesan perkasa.***

Dimuat di Republika 11/12/2006

TUAN, TURUTLAH MERASAKAN

TUAN, TURUTLAH MERASAKAN

Maria Amin



Sudahkah pernah tuan melihat awan putih berarak-arak merupakan tumpukan benda-benda bermacam-macam bentuk, di langit biru lazwardi?

Perhatikanlah!

Sebentar saja?

Jangan, tuan. Benda putih itu berkaki, berekor, bergigi, berkumis, bergombak. Mata yang galak itu hendak menerkam. Lihatlah, dia bergerak perlahan-lahan dengan hati-hati. Terharu jiwa melihatnya.

Aduuh... janganlah, janganlah, janganlah menjadi benda yang berdarah, berdaging, berbulu dan bergigi, dan akan menjadi sebesar yang dibentukkan awan itu.

Bagaimanakah? Bagaimana?

Heningkanlah sebentar tuan, heningkanlah, sabar-sabar, sabar dahulu. Mata jangan tuan kejapkan. Pandanglah terus ke benda itu, nyata-nyata.

Jangan tuan lengah dari memandang benda itu. Jangan, jangan! Jika tuan lengah dan takut, benda tadi menjadi pokok dan sari ingatan tuan, pun 'kan jadi dasar kalbu jiwa tuan.

Tuan lihat terus kepada gerak benda tadi, ia membentuk perlahan-lahan.

Lihatlah tuan, mata singa yang menakutkan tuan menjadi mata si Bintang Timur. Gombaknya menjadi rambut mayang mengurai.

Kuku yang tajam melekat rapat pada kaki binatang itu, yang seakan-akan hendak menerkam, merupakan jari si Bulu Landak, hendak membelai rambut kekasihnya.

Ekor yang mengibas-ngibas oleh kepanasan karena hendak menerkam mangsanya, menjadi selendang sutra satin melilit tubuh Dewi juita.

Perut singa yang kempis lapar dan haus oleh daging dan darah mangsanya itu, meramping bagus tubuh Dewi. Jalannya melenggang lenggok mengayun lemah, menghauskan kita ke anggur piala asmara.

Dewi berangsur hendak terbang perlahan-lahan, hendak mengintip dunia.

Tuan, masih tuan lihat itu? Tuan pandanglah terus, pandanglah, pandanglah, nyata, nyata-nyata, pandanglah, seperti tuan memandang singa tadi.

Dan selalu tiap-tiap tuan melihat itu janganlah lupa kepada tiap-tiap bentuk yang terjadi, menjadikan gedung ingatan tuan.

Dan janganlah tuan lupa gedung itu akan tidak tinggal selama-lamanya menjadi gedung ingatan tuan.

Tahukah tuan apa yang menjadikan gedung ingatan tuan?

Tuan, gedung ingatan tuan pada bentukan yang menjadikan benda tadi, oleh dan dari alam kenyataan yang tuan lihat.

Tuhan, aku akan terus-terus melihat dan akan merasakan.

MIMPI-MIMPI

MIMPI-MIMPI


Cerpen Jakob Sumardjo




Inilah pengakuan dosa paling aneh yang dialami Romo Wijoyo selama hidupnya.

Pada Suatu hari Sabtu sore, seperti biasa, Romo Wijoyo telah menunggu para pengaku dosa pengakuan. Di depan masih sepi. Baru ada sekitar sepuluh orang yang duduk atau berlutut di bangku-bangku gereja. Suasana gereja amat sunyi. Tidak lama kemudian pintu kamar pengakuan dibuka orang, dan seorang lelaki muda masuk ruangan < itu. “Romo, telah lama saya tidak mengakukan dosa-dosa saya. Kurang lebih sudah sepuluh tahun ini. Pengakuan dosa saya yang terakhir sepuluh tahun yang lalu,” kata orang itu dari balik dinding kasa yang memisahkan kamar pengakuan dengan kamar Romo. Lama orang itu tidak menyambung kata-katanya. Romo Wijoyo melirik orang itu. Seorang lelaki muda yang tegap, ganteng, berkulit agak hitam. Ia menunduk sambil berlutut di bangku pengakuan. “Apa yang akan kamu lakukan?” “Romo…. Romo, saya bermimpi.” “Mimpi bukan dosa.” “Mimpi ini terus-menerus, Romo. Mimpi-mimpi itu menghantui diri saya bulan-bulan ini. Maka saya datang kemari.” “Ceritakan.” “Mula-mula saya bermimpi menyetubuhi banyak perempuan.”

“Kamu sudah menikah?”

“Sudah Romo.”

“Lanjutkan.”

“Saya guru SMA. Mula-mula saya bermimpi menyetubuhi salah satu murid saya. Saya mengajar sekolah susteran. Lain hari saya bersetubuh dengan rekan guru. Bahkan terakhir saya bersetubuh dengan suster kepala. Mimpi-mimpi itu nyata sekali, Romo. Saya sangat bergairah. Meskipun masuk, tetapi tidak mau keluar juga Romo….”

“Sudah, sudah, saya mengerti. Tetapi itu kan hanya mimpi. Waktu kamu akil balig kan juga pernah mimpi semacam itu.”

“Betul Romo. Tetapi yang dulu sampai keluar.”

“Jadi sekarang ini kamu juga menginginkan yang begitu?”

“Ah, Romo. Kecewa saja. Mungkin inilah dosa saya. Berzina dengan pikiran. Bukankah doa kita mengajarkan bahwa kita dapat berdosa dengan pikiran, perkataan, perbuatan dan kelalaian?”

Romo Wijoyo diam saja.

“Saya merasa telah berdosa dengan pikiran.”

“Baiklah, kalau kamu merasa tidak tenang, saya akan memberikan absolus.”

“Romo. Ada mimpi-mimpi lain lagi.”

“Hah?”

“Saya mimpi membunuh berkali-kali. Banyak yang saya bunuh. Mula-mula saya membunuh salah satu murid saya yang diam-diam sinis terhadap materi pengajaran saya. Murid ini banyak membaca. Ayahnya profesor sejarah. Ia memang tidak pernah membantah ajaran saya, tetapi saya tahu ia tidak mau mendengarkan yang saya ajarkan. Acuh saja selama pelajaran berlangsung. Tetapi nilai ulangannya selalu bagus. Ia saya tusuk berkali-kali tepat di dadanya. Kemudian saya bunuh ibu mertua saya. Habis, Romo, tidak ada hari tanpa meremehkan diri saya. Saya dinilai sebagai lelaki yang tidak becus cari duit. Di mata ibu saya ini, nilai manusia ditentukan oleh tebalnya kantong. Saya sudah lama menjadi pasien tidak berharga dalam keluarga. Ia saya cincang habis-habisan di dapur atau entah di mana, rasanya di dapur, tetapi bukan dapur rumah saya. Namun, sepertinya saya menganggap itu dapur rumah saya. Saya merajangnya seperti mau bikin bistik,” suara di balik kawat kasa itu terengah-engah dengan nada emosi tinggi.

Romo Wijoyo diam saja, terus mendengarkan.

“Yang terakhir saya bunuh teman kencan istri saya. Saya belum pernah memergoki mereka berselingkuh. Tetapi teman-teman dan tetangga sering melihat mereka berdua bersama anak saya yang berumur dua tahun jalan-jalan di mal, taman kota, dan restoran. Lelaki ini sengaja disodorkan oleh ibu mertua saya dan membiarkan bertamu ke rumah, sementara saya pergi mengajar. Lelaki ini memang kaya. Selalu bermobil ke rumah. Ibu mertua saya dihujani banyak hadiah olehnya. Dialah lelaki idaman ibu mertua saya. Saya pukuli lelaki ini dengan pipa ledeng sehingga remuk kepalanya. Saya puas, tetapi saya menyesal telah membunuhnya.”

“Ya, itu kan hanya mimpi. Mereka kan masih hidup?”

“Masih Romo. Tetapi saya malu telah melakukannya dalam mimpi.”

“Apa kamu malu juga dengan perempuan-perempuan dalam mimpimu?”

“Malu sekali Romo. Mereka saya lihat telanjang bulat. Suster Marie juga telanjang bulat. Bahkan dalam keadaan sadar saya tak berani membayangkannya. Ini kan pikiran kotor saya Romo. Saya telah berdosa dengan pikiran.”

“Apa kamu memang pernah punya pikiran semacam itu kepada korban-korbanmu?”

“Tidak pernah Romo. Mimpi itu datang begitu saja tanpa saya minta. Saya menyetubuhi mereka dan membunuh mereka dengan amat nyata. Begitu bangun saya terengah-engah. Untung juga cuma mimpi. Tetapi itu berulang kali. Yang terakhir saya mimpi menguras uang sekolah di laci Suster Marie, lalu saya bagikan kepada istri dan ibu mertua saya.”

“Tetapi uangnya kan masih ada?”

“Tidak ada Romo. Paginya sekolah ribut karena Suster kehilangan uang dua puluh juta lebih di lacinya.”

“Hah? Kan itu hanya mimpi.”

“Benar saya yang mimpi. Tetapi uang sekolah itu benar- benar lenyap.”

“Ke mana?”

“Tidak tahu Romo. Saya tidak mencurinya. Anehnya peristiwa itu terjadi di malam mimpi saya. Tidak ada orang yang tahu saya mimpi mencuri uang sekolah. Dan saya tidak menceritakannya kepada siapa pun, termasuk istri saya. Uang itu nyatanya benar-benar dicuri.”

Romo Wijoyo memandangi lelaki di balik kawat kasa itu. Ia menunduk dan nampak agak menggigil.

“Baiklah. Mari kita berdoa kepada Allah memohon pengampunan-Nya. Kalau kamu merasa telah berdosa dengan pikiranmu, mohonlah ampunan. Mari berdoa agar hatimu tenang.”

Keluar dari kamar pengakuan dosa, lelaki itu melihat deretan panjang orang-orang yang mau mengaku. Satu per satu mereka melirik padanya. Itulah pengakuan dosa terpanjang di paroki itu.

Romo Wijoyo, sebagai pastor paroki, dengan sendirinya hanya menyimpan peristiwa itu dalam hatinya. Namun, pengakuan dosa yang aneh itu tetap menjadi pertanyaan baginya. Bagaimana uang dapat hilang dalam peristiwa mimpi.

Kira-kira satu bulan kemudian, di suatu sore, koster memberi tahu kepada Romo Wijoyo bahwa ada seorang ibu ingin menemui Romo. Di ruang tamu, Romo Wijoyo melihat seorang perempuan muda yang bertanda memar biru di bagian mata kirinya.

“Maaf mengganggu Romo. Saya Ibu Lukas. Istri Pak Lukas guru sejarah di susteran. Begini persoalannya Romo.”

Romo Wijoyo ingat kembali pengakuan dosa yang aneh itu.

“Tadi siang saya membereskan kamar kerja suami saya. Banyak tumpukan kertas ulangan dan tugas-tugas kliping dari murid-murid. Di tengah-tengah tumpukan kertas-kertas itu, tiba-tiba saya temukan bungkusan koran ini. Dan ternyata isinya uang ratusan ribu. Saya hitung jumlahnya ada dua puluh juta lima ratus ribu rupiah. Saya amat takut. Saya ke sini tanpa memberitahukan suami saya. Inilah uang-uang itu Romo.”

Romo Wijoyo amat kaget.

“Sekitar satu setengah bulan yang lalu, sekolah tempat suami mengajar kehilangan uang sekitar jumlah ini. Saya tidak menduga bahwa suami saya yang mencurinya. Saya takut Romo. Saya minta tolong agar Romo dapat mengembalikan uang ini ke suster. Dan saya mohon agar Romo dapat berunding dengan suster kepala agar tidak mempermasalahkan hal ini. Saya minta tolong sekali pada Romo.”

Romo Wijoyo masih tertegun. Belum sempat menata pikirannya.

“Saya tidak mau suami saya kehilangan pekerjaan. Mudah- mudahan jumlah uang ini belum berkurang. Nampaknya memang demikian karena bungkusan koran ini telah berdebu bersama kertas-kertas pekerjaan murid-murid. Tolong Romo.”

Romo Wijoyo menerima bungkusan uang itu dan berjanji akan menyampaikannya kepada suster kepala.

“Ibu jatuh atau bagaimana, kok…,” tanya Romo Wijoyo sambil memperhatikan memar di mata kiri Ibu Lukas.

Ibu Lukas tersipu malu.

“Bukan jatuh Romo.”

“O, ya?”

Ibu Lukas diam menunduk. Nampak ragu akan apa yang akan dilakukannya.

“Begini Romo. Sudah satu bulan ini suami saya, ketika kami tidur, tiba-tiba ia memukuli kepala saya sambil menggeram. Bahkan pernah ia mencekik leher saya Romo. Ia sering bermimpi dan memukuli kepala saya. Suami saya… selalu menuduh saya selingkuh. Tetapi saya tidak selingkuh Romo. Lelaki itu dulu memang senang pada saya. Ia jauh lebih tua dari saya. Dari dulu ia baik pada saya. Juga setelah saya menikah dengan suami saya ini. Memang tidak pantas. Tetapi ia sering memaksa saya dan anak saya untuk diajak belanja. Dan ibu saya membolehkannya.”

Dua hari kemudian Romo Wijoyo menemui Suster Marie dan menyerahkan bungkusan uang itu. Suster Marie tidak percaya bahwa uang itu dicuri oleh Pak Lukas.

“Tidak mungkin dia Romo. Tetapi mengherankan juga mengapa uang ini ada di kamarnya. Pak Lukas ini orangnya amat baik. Ia juga disayangi anak-anak. Maklum anak-anak remaja Romo. Banyak yang mengidolakan dia. Namun ia tetap menjaga jarak dengan anak-anak, dan amat sopan. Pak Lukas memang agak pendiam, namun ia amat ramah kepada siapa pun. Saya tidak percaya ia dapat melakukan hal ini.”

“Sebaiknya suster agak punya perhatian khusus padanya.”

Sesampainya di pastoran, Romo Wijoyo menelepon bagian perpustakaan fakultas filsafat, apakah di perpustakaan ada buku The Interpretation of Dream karangan Sigmund Freud.

Dari seberang sana ada jawaban, bahwa ada dua buku itu di perpustakaan, satu hardcover dan satu lagi paperback.

Sumber: Kompas Minggu, September 2003

Magi dari Timur

Magi dari Timur



Cerpen Sutardji Calzoum Bachri





Jika para wali di langit tinggi

Jika para wali berarak di awan

Jika para wali menapak langit tinggi

Mari ikut bersama-sama



(disarankan dinyanyikan seperti When the Saints Go Marching In)



BEGITULAH dia Pak Tua itu menyanyi dengan harmonika berjalan menapak-napak pantai. Sementara burung poididi, si raja udang, elang, gagakagaknya, makadawaktu, murai dan lainnya meloncat-loncat girang dan bising dengan kicau lagu masing-masing, seakan tak perduli dengan irama nyanyi dan langkah loncat Pak Tua di pantai antara pasir dan bebatuan.



Angin pantai senja itu jinak. Tapi sejinak-jinaknya angin pantai, tetaplah dapat menyibak-nyibak perdu, ranting dan dedaunan berangan dan pelepah pepohonan kelapa kembar, mendesah dan menderu dalam gumam yang dalam. Maka engkau takkan dapat mendengar penuh nyanyi dan harmonika Pak Tua kalau kalian tak dapat masuk ke dalam dirinya.



Dalam diri Pak Tua ada ruang yang luas dan lapang yang dibuat dan dimuat oleh kejadian-kejadian, peristiwa-peristiwa, pencapaian dan pelepasan yang ikhlas dan tenang.



Memang tak gampang masuk ke dalam ruang jiwa Pak Tua, namun jika engkau sanggup bersabar, jika kalian punya waktu dan memiliki hal-hal dan kejadian yang dapat kalian resapkan, engkau bakal bisa masuk ke dalam diri Pak Tua itu dan dapat jelas mendengar nyanyi dan harmonikanya.



Lihatlah, ia terus menyanyi, menapak-napak di pasir pantai meloncat-loncatkan kaki tua yang masih tegap itu pada punggung kokoh bebatuan:





Bila para wali di langit suci

Jika para wali berarak di awan

Bila para wali di langit suci

Mari ikut bersama-sama





Burung poididi, raja udang, makadawaktu, gagakgulana, kakaktua, dan burung sukadukatuaku, berkicau-kicau bising dan indah memberikan warna suara pada langit senja jingga merah keperak-perakan. Pelepah-pelepah kelapa kembar, dedaunan berangan dan perdu pantai disibak rebak angin mensiar-suirkan nyanyi sendiri-sendiri tanpa perduli.



Namun di antara sibuk bising nyanyi angin, pepohonan, dan para burung itu, nada dan nyanyi burung makadawaktu-lah yang mengatas segala.



Suaranya yang aneh , acuh tak acuh, dan terdengar netral, berderam keluar dengan tenang dan penuh wibawa dari paruh yang panjang melengkung bagaikan pedang:



Waketu waktu waktu waktu waketuku waktu, mengatas segala suara kicau dan nyanyi yang ada di sekitarnya.



Tapi seperti sudah kukatakan tadi, jika engkau dapat masuk ke dalam diri Pak Tua, hirau kicau deram desah burung, pepohonan dan alam yang di luar kelihatan bising tak perduli, saling sendiri menyanyi, semuanya jadi terasa selaras sepadan dan menyatu dalam nyanyi Pak tua itu.



Lelah dan puas menyanyi, Pak Tua menggeletakkan tubuh girangnya di pasir pantai, melelap dalam kesejenakan tidur. Ia kelihatan sebagai batu bernafas di sela banyak bebatuan yang terhampar di pantai.



Dalam tidurnya ia sering mengeluarkan dengkur yang aneh, bagaikan kord-kord harmonika yang tak dapat dilacak nadanya.



Memang dulu ketika muda bekerja sebagai pelaut di kapal tanker Yunani “Philosophia’, menyanyi dan mabuk-mabukan dengan teman-teman pelaut sekapal dari berbagai bangsa, ia tak pernah mau menyelaraskan suaranya yang aneh itu dalam nyanyi bersama.



Dalam mabuknya ia berkicau tak ada do bersama. Bahkan tak ada do sebenar do. Begitu juga re dan seterusnya. Paling yang do mirip do yang tak sebenar do yang hampir do yang walau do bukan do yang meski do bukannya do tapi do, namun do tak juga do, tak sampai do namun do mirip do apalah do kalau tak do.



Biasanya kalau ia sudah berkicau begitu, teman-temannya setanker Philosophia akan bilang: “Engkau benar, engkau ini Magi dari Timur”. Dan ia dalam mabuknya tertawa sementara pikirannya bilang pada dirinya sendiri: “Bukan hanya dari Timur, juga dari Barat, Utara, Selatan.



Tapi tentulah itu tak dilafazkan pada teman-temannya sekapal. Karena ia tahu, sebagaimana teman-temannya tahu: Bagi para bijak cukuplah satu arah, untuk menunjukkan banyak arah yang ada.



Kini batu bernafas itu yang punggungnya mengarah tenggelamnya senja, terus tenggelam dalam lelap diiringi dengkur harmonikanya.



Dengkur yang bersuara harmonika itu sudah lama lama sekali tak terpisahkan pada tidurnya. Dulu puluhan tahun yang lalu, ketika SD kelas tiga ia pertama kali mengenal harmonika. Ibunya membelikannya sebuah harmonika 3 dollar Straits Settlement, mata uang yang berlaku waktu itu di semenanjung Malaya, Singapura, Brunei dan Riau.



Sejak itu setiap bulan ia menghabiskan 3 sampai 4 harmonika. Tetapi ibunya tak pernah menolak kalau ia minta uang untuk harmonika.



“Engkau menghabiskan harmonika seperti orang makan jagung rebus,” bilang abangnya yang iri.



Tapi ibunya bilang: Biarlah. Di antara kalian dialah yang akan pergi jauh dan lama. Dia akan berpisah jauh dari kita. Mungkin untuk selama-lamanya. Memang sengaja aku biarkan bising dan sibuk dengan harmonikanya. Aku biarkan dia, sambil bergantungan di akar hawa pepohonan Riau seperti Tarzan, menyanyi-nyanyi dan menghisap harmonika. Aku biarkan dia berenang di lautan, timbul tenggelam bagaikan lumba-lumba, sambil menghisap harmonika. Aku biarkan dirinya, parunya, dan harmonikanya kuyup dengan laut, selat, sungai, akar, dan pepohonan Riau. Nanti, biarpun ia pergi jauh, dia takkan terpisahkan dari kita. Setiap ia menampilkan dirinya dan harmonikanya, selalu ada kita di sana.



Sejak berusia 50 tahun ia mulai mendengkurkan harmonikanya. Tapi sejak usia itu pulalah ia tak pernah bermimpi. Tidurnya selalu kosong mimpi tapi sarat pada makna hayat kediriannya.



Mimpi hanya untuk luka yang ingin disembuhkan, angan-angan dan harapan, untuk kejadian-kejadian yang diharapkan dan dicemaskan akan datang, juga untuk hiburan. Tetapi aku, aku sudah lama tak membutuhkan mimpi. Aku telah melepas-atasi luka, aku telah lama mencapai atasi sampai. Aku tak membutuhkan hiburan karena aku adalah kegirangan. Aku tidak menanti dan tak mengharap. Karena aku adalah yang dinanti dan diharapkan, katanya dalam omong-omong dengan Paul Wisdom, teman akrabnya sesama mantan pelaut Philosophia ketika suatu hari kebetulan bertemu di Batam.



‘Engkau memang benar-benar Magi dari Timur, seperti dulu sudah kubilang waktu di kapal,” kata Paul Wisdom.



Dan seperti biasa, kembali kilatan dalam pikirannya bilang: “Bukan hanya dari Timur, tetapi juga dari Selatan, Utara dan Barat”. Tetapi seperti biasa pula tak diucapkan lantang pada temannya. Karena ia tahu, bagi para bijak seperti Paul Wisdom cukuplah satu arah untuk menunjukkan banyak arah yang ada.



Ketika tidur Pak Tua selalu tersenyum. Bukan hanya di wajahnya yang kerut merut dihiasi alur usia, tetapi sekujur tubuhnya, kaki, bahu, perut dan tangan dan lengannya tersenyum. Semakin lelap semakin mengembang senyum di sekujur tubuhnya. Bahkan tattoo perempuan telanjang di tangan kirinya-kenang-kenangan di masa pelautnya-yang tadi ikut berkeringat ketika Pak Tua meloncat-loncat menyanyi, ikut pula tersenyum.



Kedua buah dadanya yang ikut keriput bersama usia Pak Tua, kini serupa dengan kembang senyum, mengundang hasrat keakraban bagi yang menatapnya.



Maka tak heran kalau Alina, gadis kecil 5 tahun, yang sengaja melepaskan diri dari pengasuhnya, sedikitpun tak gentar ketika menemukan batu bernafas itu.



Ia berjongkok di depan Pak Tua, mendengarkan dengan cermat dan asyik pada dengkur harmonika dari batu keras bernafas namun penuh dilimpahi senyum akrab di sekujurnya. Ia terpukau pada buah dada tattoo yang mengembangkan senyum. Alina mengusap-usap lengan yang tersenyum seakan menjawab suatu jabat tangan. Sebesar-besarnya buah dada dari tattoo di lengan tentulah takkan besar benar. Tapi bagi Alina, buah dada tua yang mengembangkan senyum itu menjadi besar penuh susu segar. Ia menundukkan muka ke buah dada kiri tattoo dan mulai menghisapnya. Pak Tua terbangun.



-Itu hanya gambar-kata Pak Tua sambil tersenyum.



Tanpa malu-malu dan tidak terkejut Alina bilang: “Aku ingin menyusu, Kek”.



-Kau sudah lama tak perlu menyusu-kata kakek.



-Memang sudah lama aku tak menyusu. Tapi sekarang aku ingin.



Pak tua mengalihkan hasrat Alina, memainkan harmonika dengan lembut dan membisikkan lagu di sela-sela riff-nya. Alina senang kegirangan.



-Siapa namamu?



-Alina.



-Usiamu?



-5 tahun.



-Kakek namanya siapa?



-Nama.



-Nama Kakek?!



-Ya Nama.



-Aku bilang nama Kakek siapa?-gusar Alina.



-Ya Nama.



Alina tambah gusar dan kesal.



-Orang harus punya nama, Kek. Namaku Alina. Kakek namanya apa?



-Nama-jawab kakek sambil memungut ranting dan menuliskan : N-a-m-a, di atas pasir pantai.



-Ah masak nama Kakek Nama. Biasanya nama orang itu Abdul, Alek, Wina, Hadi, Hamid, Rahman. Tapi Kakek namanya Nama. Tak lazim, Kek.



Kakek tersenyum dan tertawa. Ia tahu sedang menghadapi anak yang cerdas. Kata ‘tak lazim’ yang diucapkan seorang anak 5 tahun, menambah kesan kecerdasannya.



-Ya. Baiklah. Biar lebih jelas dan lazim namaku ini-kata kakek, sambil menggoreskan ranting di pasir dan menulis bin Tafsir setelah N-a-m-a.



-Nama bin Tafsir, itulah nama jelasku. Kalau pakai Tafsir pasti akan lebih jelas memanggil atau mengenalku. Jika kau sebut Tafsirnya kau akan lebih kenal aku.



Alina terbengong-bengong dan bilang “aku tak mengerti, Kek”.



-Ya aku tahu kau belum paham. Tapi nantilah jika semakin tambah usiamu, semakin banyaklah kejadian yang kau alami dan saksikan, kau akan bisa akrab dan paham dengan namaku dan dengan nama-nama lainnya. Buat sekarang, kau panggil aku Kakek, itu sudah bagus-kata Pak Tua.



Senja semakin kelam. Burung-burung sudah menutup kicaunya. Semak-semak dan perdu mulai menyatu dalam bayangan kelam. Pepohonan kelapa kembar mulai tak kelihatan kembarnya. Dermaga yang jauh sayup, mulai menyalakan lampunya.



-Sudah waktunya pulang-kata Pak Tua.-Kau bisa pulang sendiri?-tanyanya.



-Itu rumahku-jawab Alina menunjukkan sebuah vila mungil 200 meter dari situ, yang menjadi terang karena lelampunya sudah dihidupkan.



-Kakek rumahnya di mana?-tanya Alina. Kakek menunjuk pada gundukan tanah yang luas di ketinggian pantai, ditutupi rumput yang tebal dan rapi dan di pinggir gundukan penuh merambat bunga-bunga.



Bagi Alina rumah kakek kelihatan aneh sebagai gundukan tanah yang luas dan lapang.



-Boleh aku ikut Kakek?



-Buat apa-jawab Pak Tua.



-Ya ingin tau aja-jawab Alina.



Aku cuma ingin tahu jalannya. Sampai rumah Kakek aku langsung pulang. Nanti kan aku bisa jalan sendiri ke rumah Kakek, tentu bila Kakek mengizinkan.



Ya, nanti-nanti kau bisa sendirian ke sana, kata kakek sambil membimbing Alina menuju ke rumah.



Sampai rumah Pak Tua, Alina jadi tahu bahwa rumah kakek dalam tanah. Gundukan besar dan rapi dengan rumputan dan bunga-bunga itu adalah atapnya. Percis sebuah kuburan besar tetapi lelampu luar dan dalam rumah yang segera dinyalakan kakek, serta warna-warni bunga-bunga rerumputan sejuk dan tebal membuat Alina senang dan jauh dari ketakutan.



Di bagian depan bukit rumah Pak Tua itu, terpancang papan lebar kokoh dan besar bagaikan sebuah nisan yang besar dan jelas tercantum nama Pak Tua: Nama bin Tafsir. Kakek tersenyum melihat Alina dengan bantuan cahaya lelampu taman mencoba mengeja namanya.



Sudah waktunya kau pulang sekarang. Nanti ayah dan ibumu bisa cemas. Lantas digaetnya tangan Alina dan diantarnya bocah kecil itu separuh jalan menuju rumah orangtuanya. ***







Sumber: Riau Pos, 9 Agustus 2003







Aihhh... Berat3x...



Hatiku selembar daun...

Tuesday 18 January 2011

Maukah Kau Menghapus Bekas Bibir-Nya di Bibir-Ku dengan Bibir-Mu?

Maukah Kau Menghapus Bekas Bibir-Nya di Bibir-Ku dengan Bibir-Mu?

Cerpen Hamsad Rangkuti




“Aku tidak bisa menghapus bekas bibir lain di bibirnya,” gadis itu berkata padaku dari ujung telepon. Suaranya murung. Dia menelponku lewat tengah malam.
“Aku telah memutuskan juga bukan dia yang akan menghapus bekas bibir lain di bibirku,” katanya. lagi.Aku tidak punya kata-kata. Jam dinding di rumahku berdentang dua kali. Kami kemudian larut dalam diam. Desah napasnya tidak teratur. Gadis itu menangis. Aku mendengar gerimis jatuh di atas genting. Malam yang sunyi.

“Hidup macam apakah yang aku jalani ini,” dia berkesah dalam isak.
“Ketulusan yang tumbuh dalam hatiku selalu dikoyak-koyak. Apakah cinta masih punya makna, Mbonk?”
“Mmmmm…..Aku gak tahu,”jawabku. “Mungkin cinta sedang tumbuh di tempat yang salah.” Sejujurnya aku tidak tahu apa itu cinta. Aku merasa awam dalam urusan yang satu ini.

Sekelebat bayangan gadis lain melintas dalam benakku. Aku terkenang pengalamanku sendiri. Sepenggal kisah tentang harapan yang hanya menjadi sejarah. Harapan! Seperti kuncup melati dia tumbuh di pagi yang basah oleh embun. Tapi, tak ada kesegaran. Pagi yang dingin seperti malam, membawa kekosongan yang panjang. Harapan yang tak pernah kau semi terus tumbuh seperti rumput liar di luar pagarmu.

Aku mencatat cerita lalu itu sebagai sejarah, karena sejak awal aku tahu semua hanya akan menjadi sejarah. Tak terbayang kelak saat kau buka lembaran-lembaran yang menguning dari laci almarimu, engkau pernah menjalani masa-masa seperti ini. Sebuah masa dimana harapan hanya jadi sebuah catatan, tanpa pernah kau mengecapnya. Lucunya, kau menjalaninya dengan kesadaran.

“Aku gak boleh begini,” tiba-tiba dia memecah kesunyian. Suaranya bergetar. Ada sesuatu yang dipaksakan dalam hatinya.
“Mbonk, tolong ingatkan aku bahwa hidup ini terlalu indah untuk ditangisi.”
“Bukankah aku sudah mengatakan itu padamu saat pertama kamu menangis kemarin?”
“Iya, tapi aku kerap lupa. Tolong ingatkan lagi setiap kali kamu melihat aku menangis.”

Aku pernah mengatakan padanya bahwa kesedihan hanya salah satu sudut dari taman kehidupan. Kesedihan hanya membutakan matamu dari rekah bunga matahari dan kepak sayap angsa di kolam taman. Air mata adalah sesuatu yang pantas disyukuri karena dengan itu kita masih menjadi manusia. Maka, menangislah jika kamu ingin menangis hari ini.

Tapi, air mata tidak boleh jatuh terus. Hanya dibutuhkan sedikit niat untuk menghapus air matamu tidak jatuh lagi esok hari, untuk melihat bahwa kamu berdiri di sudut taman yang lembab. Di depanmu ada taman bunga dan burung-burung dara berebut remah roti di tengah plasa. Dan, hanya dibutuhkan sedikit niat untuk melangkahkan kakimu pergi dari sudut taman yang lembab itu.

“Aku ngantuk, Mbonk, mau tidur. Doakan semoga besok aku sudah bisa menghapus airmataku. Terimakasih mau mendengarkan aku malam-malam begini,” gadis itu menutup telepon.

Di dalam kamar, rasa kantukku hilang. Buku kumpulan cerpen Rangkuti tergeletak di atas meja. Aku meneruskan cerita yang belum habis aku baca tadi.

“Maukah kau menghapus bekas bibirnya di bibirku dengan bibirmu?

Aku mendekat kepadanya. Kabut tebal datang kepada kami. Begitu tebal kabut itu, seolah kami terbungkus di dalam kabut yang basah. Tidak tampak sesuatu pun dalam jarak dua meter. Kelambu kabut itu menutup kami dari pandangan dunia. Kami berguling-guling di atas rumput dalam kepompong kabut.

“Masih adakah bekas yang lain di bagian tubuhmu yang harus kuhapus dengan bagian tubuhku?” bisikku.

Dia menggeliat di dalam kabut. Dicarinya telingaku.

“Tak ada bekas yang lain, yang perlu dihapus, Sayang,” bisiknya.

Belum lagi aku tuntaskan cerita itu, aku ketiduran. Dalam tidurku aku bermimpi: melihat gadis itu terbang di atas awan-awan. Ia mengenakan gaun putih panjang. Ujung-ujung gaunnya melambai-lambai ditiup angin. Ia berkata berulang-ulang, seperti mengucap mantra, “Aku tidak bisa menghapus bekas bibirnya di bibirmu dengan bibirku. Aku tidak bisa menghapus bekas bibirnya di bibirmu dengan bibirku. Aku tidak bisa menghapus bekas bibirnya di bibirmu dengan bibirku.

Monday 17 January 2011

SUTARDJI CALZOUM BACHRI

SUTARDJI CALZOUM BACHRI was born in
Rengat, Riau, Indonesia on June 24, 1941. He
studied at Padjadjaran University, Bandung. His
poems appeared in literary magazines such as
Horison and Budaya Jaya, as well as in the literary
pages of national daily newspapers such as Sinar
Harapan and Berita Buana. Later he joined the
editorial board of Horison; and was appointed
senior editor in 1996. Between 2000 and 2002 he
was the poetry editor of Bentara, a monthly
cultural supplement of the newspaper Kompas. In
1973 Sutardji stunned the Indonesian literary
public with his Poetic Credo in which he sets out
to ‘free words from the burden of meaning’
through his mantra poems, in which each word
takes on particular weight as an aural and visual
phenomenon. He uses ‘autonomous words as
material for fresh mantras and new meanings.
Poetry unleashes the force of language, to
present the experience of life as dynamic as
possible.’
Placed among the leading figures of modern
Indonesian literature, he attended the Poetry
International Festival in Rotterdam in the summer
of 1974. In the same year, he spent 6 months as
a participant in the International Writing
Programme in Iowa City, USA. With fellow
Indonesian poets K.H. Mustofa Bisri and Taufiq
Ismail, Sutardji took part in the International Poets
Meeting in Baghdad, Iraq. In 1997, he was invited
to read his poetry at the International Poetry
Festival in Medellin, Colombia. His short story
collection, entitled Sutardji received an SEA Writer
Award from the King of Thailand in 1979 and an
Arts Award from the Indonesian government
in 1993. He is also the recipient of the 1998 Chairil
Anwar Literary Prize, and in 2001 he was
awarded the title Sastrawan Perdana (Prime Man
of Letters) by the regional government of Riau.


Solitude
the most roselike
the most thornlike
the most birdlike
the most earthlike
the most knifelike
the most eyelike
the most armlike
the most high
God













Select Bibliography :

O, 1973
Arjuna in Meditation, 1976
Amuk (Amok), 1977
Sutardji, 1979
Kapak (Axe), 1979
O Amuk Kapak,1981
Hujan Menulis Ayam (Rain Writing Chicken), 2001

Thursday 13 January 2011

APA KATA PRAMOEDYA???

Kata Pramoedya Untuk Dunia :
1. Keadaan seluruh dunia berubah. Sekarang apa? Negara-negara komunis pun mengakomodasi kapitalisme. Perang Dingin tidak ada lagi. Saya sendiri tetap seperti dahulu, menentang ketidakadilan dan penindasan. Bukan sekadar menentang, tetapi melawan! Melawan pelecehan kemanusiaan. Saya tidak berubah. (Nama Saya Tidak Pernah Kotor. Jawa Pos, 18 April 1999)
2. Saya tutup buku dengan kekuasaan. Mereka selalu bilang, kami tutup buku dengan napol/tapol, nah saya juga bilang begitu, tutup buku dengan kekuasaan. (Suara Independen no.3/I: Augustus 1995)
3. Saya ini kagum kepada Bung Karno. Ia sanggup melahirkan nation, bukan bangsa, tanpa meneteskan darah. Mungkin dia satu-satunya, atau paling tidak satu di antara yang sangat sedikit. Kelahiran nation itu biasanya, dimana saja, mandi darah. (Suara Independen no.3/I: Augustus 1995)
4. Stop! Rasialisme anti minoritas apa pun harus tak terjadi lagi di Indonesia. Sungguh suatu aib yang memalukan. Dalam lebih setengah abad dan ber-Pancasila, bisa terjadi kebiadaban ini kalau bukan karena hipokrisi pada kekuasaan. (Rasialisme Anti-Tiong Hoa dan Percobaan Menjawabnya: 22 Oktober 1998)
5. Dalam tahanan di RTM tahun 1960 saya mendapatkan kata baru dari dunia kriminal: brengsek. Sekarang saya dapat kata baru pula: di-aman-kan, yang berarti: dianiaya, sama sekali tidak punya sangkut-paut dengan aman dan keamanan. Sebelum itu saya punya patokan cadangan bila orang bicara denganku: ambil paling banyak 50% dari omongannya sebagai benar. Sekarang saya mendapatkan tambahan patokan: Kalau yang berkuasa bilang A, itu berarti minus A. Apa boleh buat, pengalaman yang mengajarkan. (Surat Terbuka Pramoedya Ananta Toer kepada Keith Foulcher: Jakarta, 5 Maret 1985)
6. Saya pegang ajaran Multatuli bahwa kewajiban manusia adalah menjadi manusia. (aya tidak Pernah Jadi Budak”: Tempo NO. 04/XXVIII/30 Mar - 5 April 1999)

Bumi Manusia :
1. "Berbahagialah dia yang makan dari keringatnya sendiri bersuka karena usahanya sendiri dan maju karena pengalamannya sendiri " (Mama/Nyai Ontosoroh, hal 39)
2. "Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi perbuatan. (Jean Marais, hal 52)
3. "Cinta itu indah, Minke, terlalu indah, yang bisa didapatkan dalam hidup manusia yang pendek ini. (Jean Marais, 55)
4. "Tak ada cinta muncul mendadak, karena dia anak kebudayaan, bukan batu dari langit. (Jean Marais, 55)
5. "Melawan, Minke, dengan segala kemampuan dan ketakmampuan. (Jean Marais, 60)
6. "Hidup bisa memberikan segala pada barang siapa tahu dan pandai menerima. (Mama, 73)
7. "Jangan anggap remeh si manusia, yang kelihatannya begitu sederhana; biar penglihatanmu setajam elang, pikiranmu setajam pisau cukur, perabaanmu lebih peka dari para dewa, pendengaran dapat menangkap musik dan ratap-tangis kehidupan; pengetahuanmu tentang manusia takkan bakal bisa kemput. (Mama, 119)
8. "Cerita tentang kesenangan selalu tidak menarik. Itu bukan cerita tentang manusia dan kehidupannya , tapi tentang surga, dan jelas tidak terjadi di atas bumi kita ini. (Mama, 120)
9. "Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji, dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya . (Minke, 135)
10. "Semakin tinggi sekolah bukan berarti semakin menghabiskan makanan orang lain. Harus semakin mengenal batas. (Bunda, 138)
11. "Kau terpelajar, cobalah bersetia pada katahati. (Jean Marais, 203)
12. "Suatu bangsa yang telah mempertaruhkan jiwa-raga dan harta benda untuk segumpal pengertian abstrak bernama kehormatan. (Miriam de la Croix, 212)
13. "Melawan pada yang berilmu dan berpengetahuan adalah menyerahkan diri pada maut dan kehinaan. (Miriam de la Croix, 213)
14. "Suatu masyarakat paling primitif pun, misalnya di jantung Afrika sana, tak pernah duduk di bangku sekolah, tak pernah melihat kitab dalam hidupnya, tak kenal baca-tulis, masih dapat mencintai sastra, walau sastra lisan. (Magda Peters, 233)
15. "Kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra, kalian tinggal hanya hewan yang pandai. (Magda Peters, 233)
16. "Tak pernah ada perang untuk perang. Ada banyak bangsa yang berperang bukan hendak keluar sebagai pemenang. Mereka turun ke medan perang dan berguguran berkeping-keping seperti bangsa Aceh sekarang ini...ada sesuatu yang dibela, sesuatu yang lebih berharga daripada hanya mati, hidup atau kalah-menang. (Jean Marais, 250)
17. "Cinta tak lain dari sumber kekuatan tanpa bendungan bisa mengubah, menghancurkan atau meniadakan, membangun atau menggalang. (Dr. Martinet, 279)

Anak Semua Bangsa :
1. "Barang siapa tidak tahu bersetia pada azas, dia terbuka terhadap segala kejahatan: dijahati atau menjahati. (Mama, 4)
2. "Nama berganti seribu kali dalam sehari, makna tetap. (Mama, 20)
3. "Kalau hati dan pikiran manusia sudah tak mampu mencapai lagi, bukankah hanya pada Tuhan juga orang berseru? (Panji Darman/Jan Dapperste, 33)
4. "Kau pribumi terpelajar! Kalau mereka itu, pribumi itu, tidak terpelajar, kau harus bikin mereka jadi terpelajar. Kau harus, harus, harus bicara pada mereka, dengan bahasa yang mereka tahu. (Jean Marais, 55)
5. "Mendapat upah karena menyenangkan orang lain yang tidak punya persangkutan dengan kata hati sendiri, kan itu dalam seni namanya pelacuran? (Jean Marais, 59)
6. "Jangan kau mudah terpesona oleh nama-nama. kan kau sendiri pernah bercerita padaku: nenek moyang kita menggunakan nama yang hebat-hebat, dan dengannya ingin mengesani dunia dengan kehebatannya—kehebatan dalam kekosongan. Eropa tidak berhebat-hebat dengan nama, dia berhebat-hebat dengan ilmu pengetahuannya. Tapi si penipu tetap penipu, si pembohong tetap pembohong dengan ilmu dan pengetahuannya. (Mama, 77)
7. "Benih yang tidak sempurna akan punah sebelum berbuah. (Mama, 79)
8. "Jangan agungkan Eropa sebagai keseluruhan. Di mana pun ada yang mulia dan jahat. Di mana pun ada malaikat dan iblis. Di mana pun ada iblis bermuka malaikat, dan malaikat bermuka iblis. Dan satu yang tetap, Nak, abadi : yang kolonial, dia selalu iblis. (Mama, 83)
9. "Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun ? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari. (Mama, 84)
10. "Dengan ilmu pengetahuan modern, binatang buas akan menjadi lebih buas, dan manusia keji akan semakin keji. Tapi jangan dilupakan, dengan ilmu-pengetahuan modern binatang-binatang yang sebuas-buasnya juga bisa ditundukkan. (Khouw Ah Soe, 90)
11. "Pernah kudengar orang kampung bilang: sebesar-besar ampun adalah yang diminta seorang anak dari ibunya, sebesar-besar dosa adalah dosa anak kepada ibunya. (Robert Suurhorf, 98)
12. "Inilah jaman modern, Minke, yang tidak baru dianggap kolot, orang tani, orang desa. Orang menjadi begitu mudah terlena, bahwa di balik segala seruan, anjuran, kegilaan tentang yang baru menganga kekuatan gaib yang tak kenyang-kenyang akan mangsa. Kekuatan gaib itu adalah deretan protozoa, angka-angka, yang bernama modal. (Miriam de La Croix, 107)
13. "Apa akan bisa ditulis dalam Melayu? Bahasa miskin seperti itu? Belang bonteng dengan kata-kata semua bangsa di seluruh dunia? Hanya untuk menyatakan kalimat sederhana bahwa diri bukan hewan. (Minke, 114)
14. "Tanpa mempelajari bahasa sendiri pun orang takkan mengenal bangsanya sendiri. (Kommer, 119)
15. "Kartini pernah mengatakan : mengarang adalah bekerja untuk keabadian. (Kommer, 121)
16. "Kehidupan ini seimbang, Tuan. Barangsiapa hanya memandang pada keceriaannya saja, dia orang gila. Barangsiapa memandang pada penderitaannya saja, dia sakit. (Kommer, 199)
17. "Kehidupan lebih nyata daripada pendapat siapa pun tentang kenyataan. (Kommer, 199)
18. "Selama penderitaan datang dari manusia, dia bukan bencana alam, dia pun pasti bisa dilawan oleh manusia. (Kommer, 204)
19. "Revolusi Perancis, mendudukkan harga manusia pada tempatnya yang tepat. Dengan hanya memandang manusia pada satu sisi, sisi penderitaan semata, orang akan kehilangan sisinya yang lain. Dari sisi penderitaan saja, yang datang pada kita hanya dendam, dendam semata...(Kommer, 204)
20. "Orang rakus harta benda selamanya tak pernah membaca cerita, orang tak berperadaban. Dia takkan pernah perhatikan nasib orang. Apalagi yang hanya dalam cerita tertulis. (Mama, 382)
21. "semua yang terjadi di kolong langit ini adalah urusan setiap orang yang berfikir. (Kommer, 390)
22. "Kalau kemanusiaan tersinggung, semua orang yang berperasaan dan berpikiran waras ikut tersinggung, kecuali orang gila dan orang yang memang berjiwa kriminil, biar pun dia sarjana. (Kommer, 390)

Jejak Langkah
1. "...dan modern adalah juga kesunyian manusia yatim-piatu dikutuk untuk membebaskan diri dari segala ikatan yang tidak diperlukan: adat, darah, bahkan juga bumi, kalau perlu juga sesamanya. (Minke, 2)
2. "Ilmu pengetahuan, Tuan-tuan, betapa pun tingginya, dia tidak berpribadi. Sehebat-hebatnya mesin, dibikin oleh sehebat-hebat manusia dia pun tidak berpribadi. Tetapi sesederhana-sederhana cerita yang ditulis, dia mewakili pribadi individu atau malahan bisa juga bangsanya. (Von Kollewijn, 32)
3. "Persahabatan lebih kuat dari pada panasnya permusuhan. (Bunda/Minke, 46)
4. "Dahulu, nenek moyangmu selalu mengajarkan, tidak ada yang lebih sederhana daripada hidup: lahir, makan-minum, tumbuh, beranak-pinak dan berbuat kebajikan. (Bunda, 65)
5. "Setiap hak yang berlebihan adalah penindasan. (Minke, 82)
6. "Orang Belanda sering membisikkan: berbahagialah mereka yang bodoh, karena dia kurang menderita. Berbahagialah juga kanak-kanak yang belum membutuhkan pengetahuan untuk dapat mengerti. (Minke, 113)
7. "Masa terbaik dalam hidup seseorang adalah masa ia dapat menggunakan kebebasan yang telah direbutnya sendiri. (Minke, 113)
8. "Apa bisa diharapkan dari mereka yang hanya bercita-cita jadi pejabat negeri, sebagai apapun, yang hidupnya hanya penantian datangnya gaji? (Minke, 163)
9. "Tak mungkin orang dapat mencintai negeri dan bangsanya, kalau orang tak mengenal kertas-kertas tentangnya. Kalau dia tak mengenal sejarahnya. Apalagi kalau tak pernah berbuat sesuatu kebajikan untuknya. (Minke, 202)
10. "Berbahagialah dia yang tak tahu sesuatu. Pengetahuan, perbandingan, membuat orang tahu tempatnya sendiri, dan tempat orang lain, gelisah dalam alam perbandingan. (203, Minke)
11. "Setiap permulaan memang sulit. Dengan memulai setengah pekerjaan sudah selesai, kata pepatah. (Van Heutsz, 264)
12. "...bila akar dan batang sudah cukup kuat dan dewasa, dia akan dikuatkan oleh taufan dan badai. (Raden Tomo, 277)
13. "Jangan Tuan terlalu percaya pada pendidikan sekolah. Seorang guru yang baik masih bisa melahirkan bandit-bandit yang sejahat-jahatnya, yang sama sekali tidak mengenal prinsip. Apalagi kalau guru itu sudah bandit pula pada dasarnya. (Frischboten, 291)
14. "Tetapi manusia pun bisa mengusahakan lahirnya syarat-syarat baru, kenyataan baru, dan tidak hanya berenang diantara kenyataan-kenyataan yang telah tersedia. (Minke, 339)
15. "Semua ditentukan oleh keadaan, bagaimanapun seseorang menghendaki yang lain. Yang digurun pasir takkan menggunakan bahtera, yang di samudera takkan menggunakan onta. (Minke, 394)
16. "Tanpa wanita takkan ada bangsa manusia. Tanpa bangsa manusia takkan ada yang memuji kebesaranMu. Semua puji-pujian untukMu dimungkinkan hanya oleh titik darah, keringat dan erang kesakitan wanita yang sobek bagian badannya karena melahirkan kehidupan. (Minke, 430)
17. "Di balik setiap kehormatan mengintip kebinasaan. Di balik hidup adalah maut. Di balik persatuan adalah perpecahan. Di balik sembah adalah umpat. Maka jalan keselamatan adalah jalan tengah. Jangan terima kehormatan atau kebinasaan sepenuhnya. Jalan tengah—jalan ke arah kelestarian. (Minke, 442)

Rumah Kaca
1. "Betapa sederhana hidup ini sesungguhnya yang pelik cuma liku dan tafsirannya. (Pangemanann, 38)
2. "Nilai yang diwariskan oleh kemanusiaan hanya untuk mereka yang mengerti dan membutuhkan. Humaniora memang indah bila diucapkan para mahaguru—indah pula didengar oleh mahasiswa berbakat dan toh menyebalkan bagi mahasiswa-mahasiswa bebal. Berbahagialah kalian, mahasiswa bebal, karena kalian dibenarkan berbuat segala-galanya. (Pangemanann, 39)
3. "Hidup sungguh sangat sederhana. Yang hebat-hebat hanya tafsirannya. (Pangemanann, 46)
4. "Orang begitu tabah menghadapi kehilangan kebebasannya, akan tabah juga kehilangan segala-galanya yang masih tersisa. (Pangemanann, 53)
5. "Seorang tanpa prinsip adalah sehina-hina orang manusia setengik-tengiknya. (Pangemanann, 73)
6. "...soalnya memang kertas-kertas yang lebih bisa dipercaya. Lebih bisa dipercaya daripada mulut penulisnya sendiri. (Tuan L, 92)
7. "Setiap tulisan merupakan dunia tersendiri, yang terapung-apung antara dunia kenyataan dan dunia impian. (Pangemanann, 138)
8. "...dan apalah artinya kebahagiaan kalau bukan rangkaian kesenangan detik demi detik tanpa nurani berjingkrak-jingkrak menggugat. (Pangemanann, 141)
9. "Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. (Minke, 352)
10. "Orang bilang ada kekuatan-kekuatan dahsyat yang tak terduga yang bisa timbul pada samudera, pada gunung berapi dan pada pribadi yang tahu benar akan tujuan hidupnya. (Pangemanann, 409)
11. "Sejak jaman nabi sampai kini, tak ada manusia yang bisa terbebas dari kekuasaan sesamanya, kecuali mereka yang tersisihkan karena gila. Bahkan pertama-tama mereka yang membuang diri, seorang diri di tengah-tengah hutan atau samudera masih membawa padanya sisa-sisa kekuasaan sesamanya. Dan selama ada yang diperintah dan memerintah, dikuasai dan menguasai, orang berpolitik. (Minke, 420)
12. "Kita semua harus menerima kenyataan, tapi menerima kenyataan saja adalah pekerjaan manusia yang tak mampu lagi berkembang. Karena manusia juga bisa membikin kenyataan-kenyataan baru. Kalau tak ada orang mau membikin kenyataan-kenyataan baru, maka “kemajuan” sebagai kata dan makna sepatutnya dihapuskan dari kamus umat manusia. (Minke, 436)
13. "Pada akhirnya persoalan hidup adalah persoalan menunda mati, biarpun orang-orang yang bijaksana lebih suka mati sekali daripada berkali-kali. (Pangemanann, 443)
14. "Bagaimanapun masih baik dan masih beruntung pemimpin yang dilupakan oleh pengikut daripada seorang penipu yang jadi pemimpin yang berhasil mendapat banyak pengikut. (Pangemanann, 443)
15. "Gairah kerja adalah pertanda daya hidup; dan selama orang tidak suka bekerja sebenarnya ia sedang berjabatan tangan dengan maut. (Pangemanann, 460)