Wednesday 23 July 2014
Wednesday 30 April 2014
DIA YANG LAHIR, MENANGIS, DAN DIBERI NAMA SESEPUH DESA
Novel Kehidupan (Gadjah Mada)
Seorang Ibu tersenyum bahagia. Telah lahir anaknya yang ketiga. Bayi yang mungil dan lucu. Laki-laki. Menangis kencang sekali. Si ibu merengkuhnya. Memberikan air susunya untuk si bayi. Bayi itu diam dari tangisnya. Bayi itu memandangi sang ibu lekat-lekat. Dia seperti menerka. Apakah ibunya menangis bahagia atau menangis sedih. Dia berusaha memahami. Tapi tak bisa. Dia belum tahu jawabnya. Dia masih terlalu kecil. Mungkin kelak dengan berjalannya waktu dia akan mendapatkan jawaban itu.
Sang ibu tergopoh-gopoh pergi ke sesepuh desa. Orang yang sudah tua dan sangat disegani di kampung. Si ibu minta kepada orang tua itu untuk memberikan nama pada si bayi yang baru lahir. Dia minta orang tua itu untuk memberikan nama yang bagus. Tak harus indah. Tapi bagus. Bukankah nama adalah harapan? Dia berkata dia orang bodoh tapi dia ingin nama yang bermakna. Nama yang kelak bisa memuluskan jalan hidupnya. Nama yang tidak sekedar nama. Nama yang tidak asal ambil. Nama yang tidak asal nama. Nama yang mencerminkan takdir, doa dan harapan. Sang sesepuh desa pun tersenyum lembut. Nama yang enak didengar seperti ksatria. Biar dia ksatria. Biar dia kelak menjadi orang berani dan bijaksana. Orang berilmu. Katanya, "Kalau engkau bodoh, engkau tidak akan meminta nama seperti itu... Baiklah kuberi nama Gadjah Mada. Semoga berjiwa ksatria dan bijaksana seperti harapanmu. Tapi menurutku perlu ditambah Mada. Supaya dia memiliki sifat pengasih. Suka berderma. Suka membantu orang lain...". Si Ibu senang bukan main. Sang sesepuh berkata, "Tanggal kelahiran anak ini bagus. Wetonnya (tanggal kelahiran Jawa) anak ini adalah Gendruwo. Anak ini besok akan suka menuntut ilmu. Kisah hidupnya akan seperti Arjuna yang meminta ilmu memanah pada Durna. Arjuna yang selalu semangat dan penuh antusias. Arjuna yang selalu mengatakan dia lemah. Arjuna yang selalu mengatakan dia bodoh. Tapi dia belajar untuk menjadi kuat. Dia belajar untuk bisa pintar seperti guru-guru yang menjadi panutannya. Semoga bisa membawa manfaat bagi orang sekitarnya. Terus anak ini pekerja keras. Kuat mentalnya. Banyak kesulitan akan menerpanya. Dia akan diuji. Kebaikan hatinya dan keteguhan hatinya akan membuatnya lolos dari setiap ujian. Dia orangnya sederhana. Tapi kalau disakiti, kekuatan dalam tubuhnya akan keluar. Dia gendruwo. Tak terkalahkan. Dia tidak punya rasa takut. Dia tidak punya rasa lelah. Dia akan selalu mengejar mimpi-mimpinya. Setiap mimpinya satu per satu akan direngkuhnya. Semakin dia direndahkan dia akan berusaha menjulang tinggi. Semakin dia dihina dia akan semakin meningkat derajatnya. Energi itu adalah semangat. Anak ini memiliki bara dalam tubuhnya. Bara yang akan semakin membara ketika bertemu angin. Anak ini sepert punya aji rawa rontek (ilmu yang semakin dipukul semakin kuat). Kebaikan dan ketulusan. Rasa cinta kasih anak ini pada ibunya. Dan doa ibu pada anak ini akan membuat anak ini kebal terhadap kesulitan dan rintangan. Yang di atas lama kelamaan juga bosan mengujinya bahkan menjadi mengasihinya. Dia akan mengirim malaikat-malaikat untuk menjaga dan melindunginya. Anak ini akan bertemu orang-orang hebat. Orang-orang hebat itu akan menjadi dekat dengannya. Tidak tahu kenapa. Mungkin anak ini jujur dan berlaku apa adanya. Dia akan mengatakan yang benar itu benar dan yang salah itu salah dengan caranya sendiri. Cara yang sulit dimengerti. Seperti ayam berkokok walaupun mengganggu tidur pagi hari namun orang tidak marah dan mengagumi suaranya yang nyaring indah. Dia akan belajar menjadi hebat. Ilmu yang dimilikinya akan beda dan unik karena dia memakai hati nuraninya. Mukanya tidak tampan tapi menarik. Semua orang akan menyukainya. Tidak tahu entah kenapa. Semua orang akan dekat dan mengasihinya. Jiwanya yang penuh kasih akan terus memancar tak padam. Hanya orang-orang iri dan cemburu yang tidak senang padanya. Tapi suatu saat orang tersebut akan berbalik menyayanginya. Karena setiap detik, menit, bibirnya akan mengucapkan lafal kasih sayang dan kedamaian di bumi...".
Si ibu pun tersenyum gembira. Ketika dia pulang kemudian berpikir, sesepuh adalah orang berilmu. Mungkin Tuhan dekat dengannya. Mungkin kata-kata sesepuh adalah takdir untuk sang bayi. Atau mungkin yang berkata bukan sesepuh, tapi sang pencipta lewat perantaranya yaitu sang sesepuh itu sendiri. Bukankah orang tua dekat dengan liang lahat? Pastilah tidak akan berbohong. Ibu itu percaya saja dengan kata-kata sesepuh desa. Toh kata-kata itu baik. Bisa menyemangati sang ibu untuk merawat dan membesarkan sang bayi. Bukankah setiap kata-kata adalah doa? Ketika dia berangkat ke pasar, teman-temannya berkata, "Siapa nama anak ini?'. Gadjah Mada. Jawab Ibu itu. Mereka memandangi anak itu dan berkata, anaknya ganteng dan menarik. Namanya indah. Namanya indah. Selamat ya... Di suatu malam ibu itu pun menimang-nimang sang bayi. Jadilah anak yang baik. Anak yang belajar tekun. Anak yang bisa membawa nama harum buat ibu dan keluarga. Anak yang tidak kalah dengan teman-temannya. Anak yang menyayangi ibu dan saudara-saudaranya, keluarga dan orang di sekelilingnya. Ibu itu tersenyum kemudian pulas tertidur sambil menyusui si kecil. Mendapat nama dari sesepuh desa baginya adalah berkah. Walaupun sebuah nama. Tapi bak mendapat berkah dari langit. Sang ibu yang terlelap. Dia lindungi bayinya dengan doa dan puja-pujinya kepada Tuhan pencipta langit dan bumi. Hujan rintik-rintik bernyanyi di atap genting seakan berucap riang: Damai...Damai...Damailah di bumi.
Seorang Ibu tersenyum bahagia. Telah lahir anaknya yang ketiga. Bayi yang mungil dan lucu. Laki-laki. Menangis kencang sekali. Si ibu merengkuhnya. Memberikan air susunya untuk si bayi. Bayi itu diam dari tangisnya. Bayi itu memandangi sang ibu lekat-lekat. Dia seperti menerka. Apakah ibunya menangis bahagia atau menangis sedih. Dia berusaha memahami. Tapi tak bisa. Dia belum tahu jawabnya. Dia masih terlalu kecil. Mungkin kelak dengan berjalannya waktu dia akan mendapatkan jawaban itu.
Sang ibu tergopoh-gopoh pergi ke sesepuh desa. Orang yang sudah tua dan sangat disegani di kampung. Si ibu minta kepada orang tua itu untuk memberikan nama pada si bayi yang baru lahir. Dia minta orang tua itu untuk memberikan nama yang bagus. Tak harus indah. Tapi bagus. Bukankah nama adalah harapan? Dia berkata dia orang bodoh tapi dia ingin nama yang bermakna. Nama yang kelak bisa memuluskan jalan hidupnya. Nama yang tidak sekedar nama. Nama yang tidak asal ambil. Nama yang tidak asal nama. Nama yang mencerminkan takdir, doa dan harapan. Sang sesepuh desa pun tersenyum lembut. Nama yang enak didengar seperti ksatria. Biar dia ksatria. Biar dia kelak menjadi orang berani dan bijaksana. Orang berilmu. Katanya, "Kalau engkau bodoh, engkau tidak akan meminta nama seperti itu... Baiklah kuberi nama Gadjah Mada. Semoga berjiwa ksatria dan bijaksana seperti harapanmu. Tapi menurutku perlu ditambah Mada. Supaya dia memiliki sifat pengasih. Suka berderma. Suka membantu orang lain...". Si Ibu senang bukan main. Sang sesepuh berkata, "Tanggal kelahiran anak ini bagus. Wetonnya (tanggal kelahiran Jawa) anak ini adalah Gendruwo. Anak ini besok akan suka menuntut ilmu. Kisah hidupnya akan seperti Arjuna yang meminta ilmu memanah pada Durna. Arjuna yang selalu semangat dan penuh antusias. Arjuna yang selalu mengatakan dia lemah. Arjuna yang selalu mengatakan dia bodoh. Tapi dia belajar untuk menjadi kuat. Dia belajar untuk bisa pintar seperti guru-guru yang menjadi panutannya. Semoga bisa membawa manfaat bagi orang sekitarnya. Terus anak ini pekerja keras. Kuat mentalnya. Banyak kesulitan akan menerpanya. Dia akan diuji. Kebaikan hatinya dan keteguhan hatinya akan membuatnya lolos dari setiap ujian. Dia orangnya sederhana. Tapi kalau disakiti, kekuatan dalam tubuhnya akan keluar. Dia gendruwo. Tak terkalahkan. Dia tidak punya rasa takut. Dia tidak punya rasa lelah. Dia akan selalu mengejar mimpi-mimpinya. Setiap mimpinya satu per satu akan direngkuhnya. Semakin dia direndahkan dia akan berusaha menjulang tinggi. Semakin dia dihina dia akan semakin meningkat derajatnya. Energi itu adalah semangat. Anak ini memiliki bara dalam tubuhnya. Bara yang akan semakin membara ketika bertemu angin. Anak ini sepert punya aji rawa rontek (ilmu yang semakin dipukul semakin kuat). Kebaikan dan ketulusan. Rasa cinta kasih anak ini pada ibunya. Dan doa ibu pada anak ini akan membuat anak ini kebal terhadap kesulitan dan rintangan. Yang di atas lama kelamaan juga bosan mengujinya bahkan menjadi mengasihinya. Dia akan mengirim malaikat-malaikat untuk menjaga dan melindunginya. Anak ini akan bertemu orang-orang hebat. Orang-orang hebat itu akan menjadi dekat dengannya. Tidak tahu kenapa. Mungkin anak ini jujur dan berlaku apa adanya. Dia akan mengatakan yang benar itu benar dan yang salah itu salah dengan caranya sendiri. Cara yang sulit dimengerti. Seperti ayam berkokok walaupun mengganggu tidur pagi hari namun orang tidak marah dan mengagumi suaranya yang nyaring indah. Dia akan belajar menjadi hebat. Ilmu yang dimilikinya akan beda dan unik karena dia memakai hati nuraninya. Mukanya tidak tampan tapi menarik. Semua orang akan menyukainya. Tidak tahu entah kenapa. Semua orang akan dekat dan mengasihinya. Jiwanya yang penuh kasih akan terus memancar tak padam. Hanya orang-orang iri dan cemburu yang tidak senang padanya. Tapi suatu saat orang tersebut akan berbalik menyayanginya. Karena setiap detik, menit, bibirnya akan mengucapkan lafal kasih sayang dan kedamaian di bumi...".
Si ibu pun tersenyum gembira. Ketika dia pulang kemudian berpikir, sesepuh adalah orang berilmu. Mungkin Tuhan dekat dengannya. Mungkin kata-kata sesepuh adalah takdir untuk sang bayi. Atau mungkin yang berkata bukan sesepuh, tapi sang pencipta lewat perantaranya yaitu sang sesepuh itu sendiri. Bukankah orang tua dekat dengan liang lahat? Pastilah tidak akan berbohong. Ibu itu percaya saja dengan kata-kata sesepuh desa. Toh kata-kata itu baik. Bisa menyemangati sang ibu untuk merawat dan membesarkan sang bayi. Bukankah setiap kata-kata adalah doa? Ketika dia berangkat ke pasar, teman-temannya berkata, "Siapa nama anak ini?'. Gadjah Mada. Jawab Ibu itu. Mereka memandangi anak itu dan berkata, anaknya ganteng dan menarik. Namanya indah. Namanya indah. Selamat ya... Di suatu malam ibu itu pun menimang-nimang sang bayi. Jadilah anak yang baik. Anak yang belajar tekun. Anak yang bisa membawa nama harum buat ibu dan keluarga. Anak yang tidak kalah dengan teman-temannya. Anak yang menyayangi ibu dan saudara-saudaranya, keluarga dan orang di sekelilingnya. Ibu itu tersenyum kemudian pulas tertidur sambil menyusui si kecil. Mendapat nama dari sesepuh desa baginya adalah berkah. Walaupun sebuah nama. Tapi bak mendapat berkah dari langit. Sang ibu yang terlelap. Dia lindungi bayinya dengan doa dan puja-pujinya kepada Tuhan pencipta langit dan bumi. Hujan rintik-rintik bernyanyi di atap genting seakan berucap riang: Damai...Damai...Damailah di bumi.
Saturday 19 April 2014
Cerpen Seno Gumira: Sepotong Senja Untuk Pacarku
Alina tercinta,
Bersama surat ini kukirimkan padamu sepotong senja–dengan angin, debur ombak, matahari terbenam, dan cahaya keemasan. Apakah kamu menerimanya dalam keadaan lengkap?
Seperti setiap senja di setiap pantai, tentu ada juga burung-burung, pasir yang basah, siluet batu karang, dan barangkali juga perahu lewat di jauhan. Maaf, aku tidak sempat menelitinya satu persatu. Mestinya ada juga lokan, batu yang berwarna-warni, dan bias cahaya cemerlang yang berkeretap pada buih yang bagaikan impian selalu saja membuat aku mengangankan segala hal yang paling mungkin kulakukan bersamamu meski aku tahu semua itu akan tetap tinggal sebagai kemungkinan yang entah kapan menjadi kenyataan.
Kukirimkan sepotong senja ini untukmu Alina, dalam amplop yang tertutup rapat, dari jauh, karena aku ingin memberikan sesuatu yang lebih dari sekedar kata-kata.
Sudah terlalu banyak kata di dunia ini Alina, dan kata-kata, ternyata, tidak mengubah apa-apa. Aku tidak akan menambah kata-kata yang sudah tak terhitung jumlahnya dalam sejarah kebudayaan manusia Alina.
Untuk apa? Kata-kata tidak ada gunanya dan selalu sia-sia. Lagi pula siapakah yang masih sudi mendengarnya? Di dunia ini semua orang sibuk berkata-kata tanpa peduli apakah ada orang lain yang mendengarnya. Bahkan mereka juga tidak peduli dengan kata-katanya sendiri. Sebuah dunia yang sudah kelebihan kata-kata tanpa makna. Kata-kata sudah luber dan tidak dibutuhkan lagi. Setiap kata bisa diganti artinya. Setiap arti bisa diubah maknanya. Itulah dunia kita Alina.
Kukirimkan sepotong senja untukmu Alina, bukan kata-kata cinta. Kukirimkan padamu sepotong senja yang lembut dengan langit kemerah-merahan yang nyata dan betul-betul ada dalam keadaan yang sama seperti ketika aku mengambilnya saat matahari hampir tenggelam ke balik cakrawala.
Alina yang manis, Alina yang sendu, Akan kuceritakan padamu bagaimana aku mendapatkan senja itu untukmu.
Sore itu aku duduk seorang diri di tepi pantai, memandang dunia yang terdiri dari waktu. Memandang bagaimana ruang dan waktu bersekutu, menjelmakan alam itu untuk mataku. Di tepi pantai, di tepi bumi, semesta adalah sapuan warna keemasan dan lautan adalah cairan logam meski buih pada debur ombak yang menghempas itu tetap saja putih seperti kapas dan langit tetap saja ungu dan angin tetap saja lembab dan basah, dan pasir tetap saja hangat ketika kuusapkan kakiku ke dalamnya.
Kemudian tiba-tiba senja dan cahaya gemetar.
Keindahan berkutat melawan waktu dan aku tiba-tiba teringat padamu.
“barangkali senja ini bagus untukmu,” pikirku. Maka kupotong senja itu sebelum terlambat, kukerat pada empat sisi lantas kumasukkan ke dalam saku. Dengan begitu keindahan itu bisa abadi dan aku bisa memberikannya padamu.
Setelah itu aku berjalan pulang dengan perasaan senang. Aku tahu kamu akan menyukainya karena kamu tahu itulah senja yang selalu kamu bayangkan untuk kita. Aku tahu kamu selalu membayangkan hari libur yang panjang, perjalanan yang jauh, dan barangkali sepasang kursi malas pada sepotong senja di sebuah pantai di mana kita akan bercakap-cakap sembari memandang langit sambil berangan-angan sambil bertanya-tanya apakah semua ini memang benar-benar telah terjadi. Kini senja itu bisa kamu bawa ke mana-mana.
Ketika aku meninggalkan pantai itu, kulihat orang-orang datang berbondong-bondong, ternyata mereka menjadi gempar karena senja telah hilang. Kulihat cakrawala itu berlubang sebesar kartu pos.
Alina sayang,
Semua itu telah terjadi dan kejadiannya akan tetap seperti itu. Aku telah sampai ke mobil ketika di antara kerumunan itu kulihat seseorang menunjuk-nunjuk ke arahku.
“Dia yang mengambil senja itu! Saya lihat dia mengambil senja itu!”
Kulihat orang-orang itu melangkah ke arahku. Melihat gelagat itu aku segera masuk mobil dan tancap gas.
“Catat nomernya! Catat nomernya!”
Aku melejit ke jalan raya. Kukebut mobilku tanpa perasaan panik. Aku sudah berniat memberikan senja itu untukmu dan hanya untukmu saja Alina. Tak seorang pun boleh mengambilnya dariku. Cahaya senja yang keemasan itu berbinar-binar di dalam saku. Aku merasa cemas karena meskipun kaca mobilku gelap tapi cahaya senja tentu cukup terang dilihat dari luar. Dan ternyata cahaya senja itu memang menembus segenap cahaya dalam mobilku,sehingga mobilku itu meluncur dengan nyala cemerlang ke aspal maupun ke angkasa.
Dari radio yang kusetel aku tahu, berita tentang hilangnya senja telah tersebar ke mana-mana. Dari televisi dalam mobil bahkan kulihat potretku sudah terpampang. Aduh. Baru hilang satu senja saja sudah paniknya seperti itu. Apa tidak bisa menunggu sampai besok? Bagaimana kalau setiap orang mengambil senja untuk pacarnya masing-masing? Barangkali memang sudah waktunya dibuat senja tiruan yang bisa dijual di toko-toko,dikemas dalam kantong plastik dan dijual di kaki lima. Sudah waktunya senja diproduksi besar-besaran supaya bisa dijual anak-anak pedagang asongan di perempatan jalan.
“Senja! Senja! Cuma seribu tiga!”
Di jalan tol mobilku melaju masuk kota.Aku harus hati-hati karena semua orang mencariku. Sirene mobil polisi meraung-raung di mana-mana. Cahaya kota yang tetap gemilang tanpa senja membuat cahaya keemasan dari dalam mobilku tidak terlalu kentara. Lagi pula di kota, tidak semua orang peduli apakah senja hilang atau tidak. Di kota kehidupan berjalan tanpa waktu, tidak peduli pagi siang sore atau malam. Jadi tidak pernah penting senja itu ada atau hilang. Senja cuma penting untuk turis yang suka memotret matahari terbenam. Boleh jadi hanya demi alasan itulah senja yang kubawa ini dicari-cari polisi.
Sirene polisi mendekat dari belakang. Dengan pengeras suara polisi itu memberi peringatan.
“Pengemudi mobil Porsche abu-abu metalik nomor SG 19658 A, harap berhenti. Ini Polisi. Anda ditahan karena dituduh telah membawa senja. Meskipun tak ada aturan yang melarangnya, tapi berdasarkan…”
Aku tidak sudi mendengarnya lebih lama lagi. Jadi kubilas dia sampai terpental keluar pagar tepi jalan. Kutancap gas dan menyelip-nyelip dengan lincah di jalanan. Dalam waktu singkat kota sudah penuh raungan sirene polisi. Terjadi kejar-kejaran yang seru.Tapi aku lebih tahu seluk-beluk kota, jalanan dengan cahaya yang bernmain warna, gang-gang gelap yang tak pernah tercatat dalam buku alamat, lorong-lorong rahasia yang hanya diperuntukkan bagi orang-orang di bawah tanah.
Satu mobil terlempar di jalan layang, satu mobil lain tersesat di sebuah kampung, dan satu mobil lagi terguling-guling menabrak truk dan meledak lantas terbakar.Masih ada dua polisi bersepeda motor mengejarku. Ini soal kecil. Mereka tak pernah bisa mendahuluiku, dan setelah kejar-kejaran beberapa lama, mereka kehabisan bensin dan pengendaranya cuma bisa memaki-maki. Kulihat senja dalam saku bajuku. Masih utuh. Angin berdesir. Langit semburat ungu. Debur ombak menghempas ke pantai. Hanya padamulah senja ini kuserahkan Alina.
Tapi Alina, polisi ternyata tidak sekonyol yang kusangka. Di segenap sudut kotak mereka telah siap siaga. Bahkan aku tak bisa membeli makanan untuk mengisi perutku. Bahkan di langit tanpa senja, helikopter mereka menyorotkan lampu di setiap celah gedung bertingkat. Aku tersudut dan akhirnya nyaris tertangkap. Kalau saja tidak ada gorong-gorong yang terbuka.
Mobilku sudah kutinggal ketika memasuki daerah kumuh itu. Aku berlari di antara gudang, rumah tua,tiang serta temali. Terjatuh di atas sampah, merayapi tangga-tangga reyot, sampai seorang gelandangan menuntunku ke suatu tempat yang tak akan pernah kulupakan dalam hidupku.
“Masuklah,” katanya tenang, “disitu kamu aman.
Ia menunjuk gorong-gorong yang terbuka itu. Ada tikus keluar dari sana. Banya bacin dan pesing. Kutengok ke bawah. Kulihat kelelawar bergantungan. Aku ragu-ragu.Namun deru helikopter dengan lampu sorotnya yang mencari-cari itu melenyapkan keraguanku.
“Masuklah, kamu tidak punya pilihan lain.”
Dan gelandangan itu mendorongku. Aku terjerembab jatuh. Bau busuknya bukan main. Gorong-gorong itu segera tertutup dan kudengar gelandangan itu merebahkan diri di atasnya. Lampu sorot helikopter menembus celah gorong-gorong tapi tak cukup untuk melihatku. Kurabah senja dalam kantongku, cahayanya yang merah keemas-emasan membuat aku bisa melihat dalam kegelapan. Aku melangkah dalam gorong-gorong yang rupanya cukup tinggi juga. Kusibukkan kelelawar bergantungan yang entah mati entah hidup itu. Kulihat cahaya putih di ujung gorong-gorong. Air busuk mengalir setinggi lutut, namun makin ke dalam makin surut. Di tempat yang kering kulihat anak-anak gelandangan duduk-duduk maupun tidur-tiduran, mereka berserakan memeluk rebana dengan mata yang tidak memancarkan kebahagian.
Aku berjalan terus melangkahi mereka dan coba bertahan. Betapa pun ini lebih baik daripada harus menyerahkan senja Alina.
Di ujung gorong-gorong,di temapt cahaya putih itu, ada tangga menurun ke bawah. Kuikuti tangga itu. Cahaya semakin terang dan semakin benderang. Astaga. Kamu boleh tidak percaya Alina, tapi kamu akan terus membacanya. Tangga itu menuju ke mulut sebuah gua, dan tahukah kamu ketika aku keluar dari gua itu aku ada di mana? Di tempat persisi sama dengan tempat di mana aku mengambil senja itu untukmu Alina. Sebuah pantai dengan senja yang bagus:ombak,angin,dan kepak burung?tak lupa cahaya keemasan dan bias ungu pada mega-mega yang berarak bagaikan aliran mimpi. Cuma saja tidak ada lubang sebesar kartu pos. Jadi, meskipun persis sama,tapi bukan tempat yang sama.
Aku berjalan ke tepi pantai. Tenggelam dalam guyuran alam yang perawan. Nyiur tentu saja, matahari, dan dasat lautan yang bening dengan lidah ombak yang berdesis-desis. Tak ada cottage , tak ada barbeque, tak ada marina.
“semua itu memang tidak perlu. Senja yang bergetar melawan takdir membiaskan cahaya keemasan ke tepi semesta. Aku sering malu sendiri melihat semua itu. Alina, apakah semua itu mungkin diterjemahkan dalam bahasa?”
Sambil duduk di tepi pantai aku berpikir-pikir, untuk apakah semua ini kalau tidak ada yang menyaksikannya? Setelah berjalan ke sana ke mari aku tahu kalau dunia dalam gorong-gorong ini kosong melompong. Tak ada manusia, tak ada tikus, apalagi dinosaurus. Hanya burung yang terkepak, tapi ia sepertinya bukan burung yang bertelur dan membuat sarang. Ia hanya burung yang dihadirkan sebagai ilustrasi senja. Ia hanya burung berkepak dan berkepak terus disana. Aku tak habis pikir Alina, alam seperti ini dibuat untu apa? Untuk apa senja yang bisa membuat seseorang ingin jatuh cinta itu jika tak ada seekor dinosaurus pun menikmatinya? Sementara di atas sana orang-orang ribut kehilangan senja….
Jadi, begitulah Alina, kuambil juga senja itu. Kukerat dengan pisau Swiss yang selalu kubawa, pada empat sisinya, sehingga pada cakrawala itu terbentuk lubang sebesar kartu pos. Dengan dua senja di saku kiri dan kanan aku melangkah pulang. Bumi berhenti beredar di belakangku, menjadi kegelapan yang basah dan bacin. Aku mendaki tangga kembali menuju gorong-gorong bumiku yang terkasih.
Sampai di atas, setelah melewati kalelawar bergantungan,anak-anak gelandangan berkaparan, dan air setinggi lutut, kulihat polisi-polisi helikopter sudah pergi. Gelandangan yang menolongku sedang tiduran di bawah tiang listrik sambil meniup saksofon.
Aku berjalan mencari mobilku. Masih terparkir dengan baik di supermarket. Nampaknya bahkan baru saja dicuci. Sambil mengunyah pizza segera kukebut mobilku menuju pantai. Dengan dua senja di saku kiri dan kanan, lengkap dengan matahari,laut,pantai, dan cahaya keemasannya masing-masing, mobilku bagai memancarkan cahaya Ilhai. Sepanjang jalan layang, sepanjang jalan tol, kutancap gas dengan kecepatan penuh…
Alina kekasihku, pacarku, wanitaku.
Kamu pasti sudah tahu apa yang terjadi kemudian. Kupasang senja yang dari gorong-gorong pada lubang sebesar kartu pos itu dan ternyata pas. Lantas kukirimkan senja yang ?asli? ini untukmu, lewat pos.
Aku ingin mendapatkan apa yang kulihat pertama kali: senja dalam arti yang sebenarnya?bukan semacam senja yang ada di gorong-gorong itu.
Kini gorong-gorong itu betul-betul menjadi gelap Alina. Pada masa yang akan datang orang-orang tua akan bercerita pada cucunya tentang kenapa gorong-gorong menjadi gelap.Meraka akan berkisah bahwa sebenarnya ada alam lain di bawah gorong-gorong dengan matahari dan rembulannya sendiri, namun semua itu tida lagi karena seorang telah mengambil senja untuk menggantikan senja lain di atas bumi. Orang-orang tua itu juga akan bercerita bahwa senja yang asli telah dipotong dan diberikan oleh seseorang kepada pacarnya.
Alina yang manis, paling manis, dan akan selalu manis, Terimalah sepotong senja itu, hanya untukmu, dari seseorang yang ingin membahagiakanmu. Awas hati-hati dengan lautan dan matahari itu, salah-salah cahayanya membakar langit dan kalau tumpah airnya bisa membanjiri permukaan bumi.
Dengan ini kukirimkan pula kerinduanku padamu, dengan cium, peluk, dan bisikan terhangat, dari sebuah tempat yang paling sunyi di dunia.
–Cerpen Pililihan Kompas 1993
Alina tercinta,
Bersama surat ini kukirimkan padamu sepotong senja–dengan angin, debur ombak, matahari terbenam, dan cahaya keemasan. Apakah kamu menerimanya dalam keadaan lengkap?
Seperti setiap senja di setiap pantai, tentu ada juga burung-burung, pasir yang basah, siluet batu karang, dan barangkali juga perahu lewat di jauhan. Maaf, aku tidak sempat menelitinya satu persatu. Mestinya ada juga lokan, batu yang berwarna-warni, dan bias cahaya cemerlang yang berkeretap pada buih yang bagaikan impian selalu saja membuat aku mengangankan segala hal yang paling mungkin kulakukan bersamamu meski aku tahu semua itu akan tetap tinggal sebagai kemungkinan yang entah kapan menjadi kenyataan.
Kukirimkan sepotong senja ini untukmu Alina, dalam amplop yang tertutup rapat, dari jauh, karena aku ingin memberikan sesuatu yang lebih dari sekedar kata-kata.
Sudah terlalu banyak kata di dunia ini Alina, dan kata-kata, ternyata, tidak mengubah apa-apa. Aku tidak akan menambah kata-kata yang sudah tak terhitung jumlahnya dalam sejarah kebudayaan manusia Alina.
Untuk apa? Kata-kata tidak ada gunanya dan selalu sia-sia. Lagi pula siapakah yang masih sudi mendengarnya? Di dunia ini semua orang sibuk berkata-kata tanpa peduli apakah ada orang lain yang mendengarnya. Bahkan mereka juga tidak peduli dengan kata-katanya sendiri. Sebuah dunia yang sudah kelebihan kata-kata tanpa makna. Kata-kata sudah luber dan tidak dibutuhkan lagi. Setiap kata bisa diganti artinya. Setiap arti bisa diubah maknanya. Itulah dunia kita Alina.
Kukirimkan sepotong senja untukmu Alina, bukan kata-kata cinta. Kukirimkan padamu sepotong senja yang lembut dengan langit kemerah-merahan yang nyata dan betul-betul ada dalam keadaan yang sama seperti ketika aku mengambilnya saat matahari hampir tenggelam ke balik cakrawala.
Alina yang manis, Alina yang sendu, Akan kuceritakan padamu bagaimana aku mendapatkan senja itu untukmu.
Sore itu aku duduk seorang diri di tepi pantai, memandang dunia yang terdiri dari waktu. Memandang bagaimana ruang dan waktu bersekutu, menjelmakan alam itu untuk mataku. Di tepi pantai, di tepi bumi, semesta adalah sapuan warna keemasan dan lautan adalah cairan logam meski buih pada debur ombak yang menghempas itu tetap saja putih seperti kapas dan langit tetap saja ungu dan angin tetap saja lembab dan basah, dan pasir tetap saja hangat ketika kuusapkan kakiku ke dalamnya.
Kemudian tiba-tiba senja dan cahaya gemetar.
Keindahan berkutat melawan waktu dan aku tiba-tiba teringat padamu.
“barangkali senja ini bagus untukmu,” pikirku. Maka kupotong senja itu sebelum terlambat, kukerat pada empat sisi lantas kumasukkan ke dalam saku. Dengan begitu keindahan itu bisa abadi dan aku bisa memberikannya padamu.
Setelah itu aku berjalan pulang dengan perasaan senang. Aku tahu kamu akan menyukainya karena kamu tahu itulah senja yang selalu kamu bayangkan untuk kita. Aku tahu kamu selalu membayangkan hari libur yang panjang, perjalanan yang jauh, dan barangkali sepasang kursi malas pada sepotong senja di sebuah pantai di mana kita akan bercakap-cakap sembari memandang langit sambil berangan-angan sambil bertanya-tanya apakah semua ini memang benar-benar telah terjadi. Kini senja itu bisa kamu bawa ke mana-mana.
Ketika aku meninggalkan pantai itu, kulihat orang-orang datang berbondong-bondong, ternyata mereka menjadi gempar karena senja telah hilang. Kulihat cakrawala itu berlubang sebesar kartu pos.
Alina sayang,
Semua itu telah terjadi dan kejadiannya akan tetap seperti itu. Aku telah sampai ke mobil ketika di antara kerumunan itu kulihat seseorang menunjuk-nunjuk ke arahku.
“Dia yang mengambil senja itu! Saya lihat dia mengambil senja itu!”
Kulihat orang-orang itu melangkah ke arahku. Melihat gelagat itu aku segera masuk mobil dan tancap gas.
“Catat nomernya! Catat nomernya!”
Aku melejit ke jalan raya. Kukebut mobilku tanpa perasaan panik. Aku sudah berniat memberikan senja itu untukmu dan hanya untukmu saja Alina. Tak seorang pun boleh mengambilnya dariku. Cahaya senja yang keemasan itu berbinar-binar di dalam saku. Aku merasa cemas karena meskipun kaca mobilku gelap tapi cahaya senja tentu cukup terang dilihat dari luar. Dan ternyata cahaya senja itu memang menembus segenap cahaya dalam mobilku,sehingga mobilku itu meluncur dengan nyala cemerlang ke aspal maupun ke angkasa.
Dari radio yang kusetel aku tahu, berita tentang hilangnya senja telah tersebar ke mana-mana. Dari televisi dalam mobil bahkan kulihat potretku sudah terpampang. Aduh. Baru hilang satu senja saja sudah paniknya seperti itu. Apa tidak bisa menunggu sampai besok? Bagaimana kalau setiap orang mengambil senja untuk pacarnya masing-masing? Barangkali memang sudah waktunya dibuat senja tiruan yang bisa dijual di toko-toko,dikemas dalam kantong plastik dan dijual di kaki lima. Sudah waktunya senja diproduksi besar-besaran supaya bisa dijual anak-anak pedagang asongan di perempatan jalan.
“Senja! Senja! Cuma seribu tiga!”
Di jalan tol mobilku melaju masuk kota.Aku harus hati-hati karena semua orang mencariku. Sirene mobil polisi meraung-raung di mana-mana. Cahaya kota yang tetap gemilang tanpa senja membuat cahaya keemasan dari dalam mobilku tidak terlalu kentara. Lagi pula di kota, tidak semua orang peduli apakah senja hilang atau tidak. Di kota kehidupan berjalan tanpa waktu, tidak peduli pagi siang sore atau malam. Jadi tidak pernah penting senja itu ada atau hilang. Senja cuma penting untuk turis yang suka memotret matahari terbenam. Boleh jadi hanya demi alasan itulah senja yang kubawa ini dicari-cari polisi.
Sirene polisi mendekat dari belakang. Dengan pengeras suara polisi itu memberi peringatan.
“Pengemudi mobil Porsche abu-abu metalik nomor SG 19658 A, harap berhenti. Ini Polisi. Anda ditahan karena dituduh telah membawa senja. Meskipun tak ada aturan yang melarangnya, tapi berdasarkan…”
Aku tidak sudi mendengarnya lebih lama lagi. Jadi kubilas dia sampai terpental keluar pagar tepi jalan. Kutancap gas dan menyelip-nyelip dengan lincah di jalanan. Dalam waktu singkat kota sudah penuh raungan sirene polisi. Terjadi kejar-kejaran yang seru.Tapi aku lebih tahu seluk-beluk kota, jalanan dengan cahaya yang bernmain warna, gang-gang gelap yang tak pernah tercatat dalam buku alamat, lorong-lorong rahasia yang hanya diperuntukkan bagi orang-orang di bawah tanah.
Satu mobil terlempar di jalan layang, satu mobil lain tersesat di sebuah kampung, dan satu mobil lagi terguling-guling menabrak truk dan meledak lantas terbakar.Masih ada dua polisi bersepeda motor mengejarku. Ini soal kecil. Mereka tak pernah bisa mendahuluiku, dan setelah kejar-kejaran beberapa lama, mereka kehabisan bensin dan pengendaranya cuma bisa memaki-maki. Kulihat senja dalam saku bajuku. Masih utuh. Angin berdesir. Langit semburat ungu. Debur ombak menghempas ke pantai. Hanya padamulah senja ini kuserahkan Alina.
Tapi Alina, polisi ternyata tidak sekonyol yang kusangka. Di segenap sudut kotak mereka telah siap siaga. Bahkan aku tak bisa membeli makanan untuk mengisi perutku. Bahkan di langit tanpa senja, helikopter mereka menyorotkan lampu di setiap celah gedung bertingkat. Aku tersudut dan akhirnya nyaris tertangkap. Kalau saja tidak ada gorong-gorong yang terbuka.
Mobilku sudah kutinggal ketika memasuki daerah kumuh itu. Aku berlari di antara gudang, rumah tua,tiang serta temali. Terjatuh di atas sampah, merayapi tangga-tangga reyot, sampai seorang gelandangan menuntunku ke suatu tempat yang tak akan pernah kulupakan dalam hidupku.
“Masuklah,” katanya tenang, “disitu kamu aman.
Ia menunjuk gorong-gorong yang terbuka itu. Ada tikus keluar dari sana. Banya bacin dan pesing. Kutengok ke bawah. Kulihat kelelawar bergantungan. Aku ragu-ragu.Namun deru helikopter dengan lampu sorotnya yang mencari-cari itu melenyapkan keraguanku.
“Masuklah, kamu tidak punya pilihan lain.”
Dan gelandangan itu mendorongku. Aku terjerembab jatuh. Bau busuknya bukan main. Gorong-gorong itu segera tertutup dan kudengar gelandangan itu merebahkan diri di atasnya. Lampu sorot helikopter menembus celah gorong-gorong tapi tak cukup untuk melihatku. Kurabah senja dalam kantongku, cahayanya yang merah keemas-emasan membuat aku bisa melihat dalam kegelapan. Aku melangkah dalam gorong-gorong yang rupanya cukup tinggi juga. Kusibukkan kelelawar bergantungan yang entah mati entah hidup itu. Kulihat cahaya putih di ujung gorong-gorong. Air busuk mengalir setinggi lutut, namun makin ke dalam makin surut. Di tempat yang kering kulihat anak-anak gelandangan duduk-duduk maupun tidur-tiduran, mereka berserakan memeluk rebana dengan mata yang tidak memancarkan kebahagian.
Aku berjalan terus melangkahi mereka dan coba bertahan. Betapa pun ini lebih baik daripada harus menyerahkan senja Alina.
Di ujung gorong-gorong,di temapt cahaya putih itu, ada tangga menurun ke bawah. Kuikuti tangga itu. Cahaya semakin terang dan semakin benderang. Astaga. Kamu boleh tidak percaya Alina, tapi kamu akan terus membacanya. Tangga itu menuju ke mulut sebuah gua, dan tahukah kamu ketika aku keluar dari gua itu aku ada di mana? Di tempat persisi sama dengan tempat di mana aku mengambil senja itu untukmu Alina. Sebuah pantai dengan senja yang bagus:ombak,angin,dan kepak burung?tak lupa cahaya keemasan dan bias ungu pada mega-mega yang berarak bagaikan aliran mimpi. Cuma saja tidak ada lubang sebesar kartu pos. Jadi, meskipun persis sama,tapi bukan tempat yang sama.
Aku berjalan ke tepi pantai. Tenggelam dalam guyuran alam yang perawan. Nyiur tentu saja, matahari, dan dasat lautan yang bening dengan lidah ombak yang berdesis-desis. Tak ada cottage , tak ada barbeque, tak ada marina.
“semua itu memang tidak perlu. Senja yang bergetar melawan takdir membiaskan cahaya keemasan ke tepi semesta. Aku sering malu sendiri melihat semua itu. Alina, apakah semua itu mungkin diterjemahkan dalam bahasa?”
Sambil duduk di tepi pantai aku berpikir-pikir, untuk apakah semua ini kalau tidak ada yang menyaksikannya? Setelah berjalan ke sana ke mari aku tahu kalau dunia dalam gorong-gorong ini kosong melompong. Tak ada manusia, tak ada tikus, apalagi dinosaurus. Hanya burung yang terkepak, tapi ia sepertinya bukan burung yang bertelur dan membuat sarang. Ia hanya burung yang dihadirkan sebagai ilustrasi senja. Ia hanya burung berkepak dan berkepak terus disana. Aku tak habis pikir Alina, alam seperti ini dibuat untu apa? Untuk apa senja yang bisa membuat seseorang ingin jatuh cinta itu jika tak ada seekor dinosaurus pun menikmatinya? Sementara di atas sana orang-orang ribut kehilangan senja….
Jadi, begitulah Alina, kuambil juga senja itu. Kukerat dengan pisau Swiss yang selalu kubawa, pada empat sisinya, sehingga pada cakrawala itu terbentuk lubang sebesar kartu pos. Dengan dua senja di saku kiri dan kanan aku melangkah pulang. Bumi berhenti beredar di belakangku, menjadi kegelapan yang basah dan bacin. Aku mendaki tangga kembali menuju gorong-gorong bumiku yang terkasih.
Sampai di atas, setelah melewati kalelawar bergantungan,anak-anak gelandangan berkaparan, dan air setinggi lutut, kulihat polisi-polisi helikopter sudah pergi. Gelandangan yang menolongku sedang tiduran di bawah tiang listrik sambil meniup saksofon.
Aku berjalan mencari mobilku. Masih terparkir dengan baik di supermarket. Nampaknya bahkan baru saja dicuci. Sambil mengunyah pizza segera kukebut mobilku menuju pantai. Dengan dua senja di saku kiri dan kanan, lengkap dengan matahari,laut,pantai, dan cahaya keemasannya masing-masing, mobilku bagai memancarkan cahaya Ilhai. Sepanjang jalan layang, sepanjang jalan tol, kutancap gas dengan kecepatan penuh…
Alina kekasihku, pacarku, wanitaku.
Kamu pasti sudah tahu apa yang terjadi kemudian. Kupasang senja yang dari gorong-gorong pada lubang sebesar kartu pos itu dan ternyata pas. Lantas kukirimkan senja yang ?asli? ini untukmu, lewat pos.
Aku ingin mendapatkan apa yang kulihat pertama kali: senja dalam arti yang sebenarnya?bukan semacam senja yang ada di gorong-gorong itu.
Kini gorong-gorong itu betul-betul menjadi gelap Alina. Pada masa yang akan datang orang-orang tua akan bercerita pada cucunya tentang kenapa gorong-gorong menjadi gelap.Meraka akan berkisah bahwa sebenarnya ada alam lain di bawah gorong-gorong dengan matahari dan rembulannya sendiri, namun semua itu tida lagi karena seorang telah mengambil senja untuk menggantikan senja lain di atas bumi. Orang-orang tua itu juga akan bercerita bahwa senja yang asli telah dipotong dan diberikan oleh seseorang kepada pacarnya.
Alina yang manis, paling manis, dan akan selalu manis, Terimalah sepotong senja itu, hanya untukmu, dari seseorang yang ingin membahagiakanmu. Awas hati-hati dengan lautan dan matahari itu, salah-salah cahayanya membakar langit dan kalau tumpah airnya bisa membanjiri permukaan bumi.
Dengan ini kukirimkan pula kerinduanku padamu, dengan cium, peluk, dan bisikan terhangat, dari sebuah tempat yang paling sunyi di dunia.
–Cerpen Pililihan Kompas 1993
Friday 18 April 2014
Wednesday 4 September 2013
Kelamnya Kehidupan Philosophers: Heraclitus, Socrates dan Plato
Kelamnya
Kehidupan Philosophers: Heraclitus, Socrates dan Plato
Oleh
: Arif Rohman
Tahukah saudara kalau istilah filosofi itu mempunyai latar sejarah
yang panjang, penuh perdebatan dan sebuah perjalanan yang kelam? Filosofi bisa diartikan
sebagai ’sudut pandang atau opini tentang dunia dan bagaimana kehidupan
seharusnya ditempatkan’. Ahli filsafat adalah para perintis ilmu berpikir dan
pengetahuan modern sekarang ini. Namun sayangnya banyak yang masih awam tentang
orang-orang yang berjasa yang membawa kita dari dunia kegelapan, dan salah
satunya adalah saya. Tulisan ini saya rangkum dari tulisan-tulisan kecil pada
waktu saya membaca buku-buku filsafat. Mungkin lebih tepat disebut serpihan
”notes’ kecil daripada tulisan diskusi yang ‘njlimet’.
Heraclitus (535–475 BC) adalah ahli filsafat Yunani sebelum
Socrates. Dia terkenal dengan doktrinnya bahwa segala sesuatu di dunia ini
selalu berubah. Sebagai perumpamaan dia menunjuk pada seseorang yang berjalan
menyeberangi sungai untuk kedua kalinya, maka air yang mengalir mengenainya
bukanlah air yang sama ketika dia menyeberang untuk pertama kalinya. Dengan
kata lain, perubahan adalah pusat dari semesta. Sayang tulisan Heraclitus tidak
selesai karena dia menderita melancholia (mental disorder, sering depresi, dan
derajat entushiasm yang rendah). Maka dia sering disebut dengan ‘the weeping
philosopher’, jago filsafat yang mudah menitikkan air mata. Ini berbeda dengan
Democritus yang justru kebalikannya dengan gaya ‘tertawanya’. Heraclitus berpendapat
bahwa substansi alamiah suka ‘menyembunyikan diri’. Menurutnya jika segala
sesuatu selalu bergerak berubah, maka jika ada muda ada tua, jika ada awal
tentu ada akhir, sehingga menuju keadaan yang seimbang yang dia sebut
‘harmony’. Pemikiran Heraclitus banyak mempengaruhi Plato dan Aristotle. Aliran
Heraclitus sering disebut ‘Heracliteans’. Heraclitus meninggal dalam keadaan
yang menyedihkan dengan kerusakan pada matanya.
Socrates (469-399 BC) disebut juga orang suci, ‘nabi’, dan
sekaligus guru dalam filsafat. Dengan metode pemikirannya yang lebih terkenal
dengan sebutan ‘elenchus’ dia banyak memberikan kontribusi pada ranah ‘etika’
yang terutamanya pada aspek diskusi dan menelurkan konsep ‘pedagogy’ atau model
dialog orang dewasa. Dimana model pengajaran yang baik menurut Socrates adalah
dengan memperhatikan latar belakang dan pengetahuan seorang murid, situasi
personal dan lingkungan sekitar. Dia juga banyak menyumbang untuk epistemology
(sifat, keluasan, dan batasan-batasan pengetahuan) dan logic (mengemukakan
alasan, argumentasi, dan ide dalm kerangka dialektika). Namun sayangnya,
Socrates tidak menuliskan pemikirannya dalm bentuk teks. Pemikirannya malah
diketahui dari tulisan-tulisan muridnya seperti Plato dan Aristotle. Metode
‘elencus’ nya banyak dipakai untuk kalangan praktisi hukum modern sekarang ini.
Dia memulai pertanyaannya dengan mempersoalkan ‘Apakah sebenarnya keadilan
itu?’. Dia beranjak pada kesimpulan bahwa keadilan adalah universal dan itu
dibentuk dari fakta-fakta yang spesifik. Metode ini lebih dikenal dengan
istilah ‘inductive reasoning’ yaitu menarik kesimpulan dari hal yang sifatnya
khusus (potongan-potongan fakta) menuju hal yang sifatnya umum (gambar besar).
Dia menjelaskan metodenya dengan berani dihadapan para juri (kumpulan hakim
pemutus) tentang nilai-nilai moral mereka yang salah. Socrates sering
dihubungkan dengan istilah ‘paradox’ dengan pernyataannya, ‘Saya ini orang yang
tidak tahu apapun sama sekali’. Socrates lebih sering nangkring di pasar Athena
untuk menghindari istrinya yang cerewet. Dari pada bekerja untuk keperluan
hidupnya, dia lebih sering menghabiskan waktunya dengan berdebat mengenai
pemikirannya dan kritik-kritiknya tentang ‘conventional wisdom’ pada masa itu.
Menurutnya, kekayaan materi itu tidak penting, yang terlebih penting adalah
pertemanan dan solidaritas dalam sebuah komuniti. Karena pemikirannya yang
radikal, Socrates dianggap telah ‘meracuni’ pemikiran anak-anak muda dan
‘menipiskan’ keyakinan akan agama, akhirnya dia dihukum mati. Sebenarnya dia bisa
lolos dari tahanan karena para pengikutnya bisa menyuap penjaga tahanannya,
namun dia memilih untuk tetap tinggal dan menunggu kematian. Keputusan sikapnya
didasarkan pada beberapa alasan yaitu: (1) Lari dari kematian bagi seorang
filosofer adalah pengkhianatan bagi keyakinannya akan sebuah ajaran
kebenarannya; (2) Lari dari kematian hanyalah akan membuktikan pada pengikutnya
bahwa ajarannya layak dipertanyakan; dan (3) Dia percaya pada kosep ’social
contract’ bahwa semua warga negara adalah sama kedudukannya dalam hukum dan
pemerintahan, dan dia juga harus menerima hukuman mati sebagaimana itu juga
bisa terjadi pada orang lain. Demi mempertahankan ‘konsistensi’ nya dia
akhirnya meminum racun dan mati dengan tenang dipangkuan para pengikutnya.
Adalah Plato (427-347 BC) yang memulai pemikiran kritisnya dengan
mengambil contoh orang yang dipenjara di goa bawah tanah dan dirantai sejak
kecil. Tahanan ini hanya bisa melihat apa yang ada di depannya. Api
disampingnya membentuk obyek bayangan di dinding goa. Plato menarik kesimpulan
bahwa pengetahuan kita tentang subyek nyata tidak lengkap ibarat tahanan dalam
goa. Melalui filsafat dan refleksi kecerdasan, kita bisa melarikan diri dari
‘dunia bayang-bayang yang semu’ dan melihat kenyataan yang sebenarnya. Jika
seseorang balik ke ‘dunia goa’ maka bagi Plato itu adalah sesuatu yang
menggelikan. Dia mencontohkan bentuk-bentuk pohon dimana semuanya pendek tapi
selalu ada yang lebih tinggi atau paling tinggi. Namun kita tetap bisa
mengatakan bahwa itu adalah sebuah pohon. Jadi dia berkesimpulan bahwa bentuk
dari sebuah gagasan akan sesuatu adalah tetap dan itu hanya bisa dipahami oleh
orang yang menggunakan ‘otak’nya. Berdasarkan perenungannya inilah Plato
mengemukakan teorinya yang terkenal dengan nama ‘teori bentuk” (theory of
forms). Pemikiran plato banyak diapresiasi sejak kecil dimana ‘pemikirannya
sangat cepat’ (cerdas) tapi dia sangat sederhana dan rendah hati. Bagi generasi
sebelumnya pemikiran Plato adalah ‘buah manis’ akan semangat dan kerja kerasnya
akan ‘kesukaannya pada belajar’. Plato adalah murid Socrates yang mati
menggenaskan. Pemikirannya yang terkenal adalah konsep tentang jiwa manusia
yang terdiri dari appetite, spirit dan reason. Menurutnya orang yang masih
terlalu banyak memikirkan perut, dia lebih produktif dan cocok untuk jadi
‘pekerja’. Mereka yang terorientasi pada dada, dia lebih bersifat protektif dan
suka melindungi dengan penuh keberanian dan kekuatannya, dan cocok jadi ksatria
atau military. Terakhir, Plato merujuk pada kepala, dia lebih cerdas, rasional,
bisa mengkontrol diri dan membuat keputusan, keputusan dalam sebuah komuniti,
dan dia adalah kalangan pemikir atau raja. Plato menggarisbawahi bahwa tipe
‘kepala’ atau pemikir ironisnya justru yang jarang diketemukan. Dalam bukunya
‘Sophist’, para filsuf dibagi menjadi dua, yaitu mereka yang berjuang untuk
kahyangan dan dunia yang ideal, mempertahankan substansi pemikiran yang
fundamental untuk mencapai keadaan yang benar-benar nyata dan ada, yang dia
sebut dengan golongan ‘dewa’ atau disebut juga ‘idealist’. Sebaliknya ada
golongan filsuf yang disebut ‘raksasa’ yang bertarung untuk bumi, dimana
’sesuatu’ adalah primer dan layak dipertahankan, Plato menyebut mereka sebagai
kalangan ‘materialists’. Menurutnya pertarungan besar antara idealists dan
materialists tak akan pernah selesai dan tidak ada yang kalah atau menang.
Plato banyak menelurkan scholars dan salah satu muridnya yang terkenal adalah
Aristotle. Plato mengakhiri hidupnya dengan menyedihkan yaitu sebagai tahanan
rumah Dionysius II, seorang ‘tyrant muda’. Sebelum akhirnya dia dibunuh di
Sicily. Sampai sekarang kuburannya belum pernah diketemukan.
Tulisan saya mencoba menggarisbawahi begitu kelamnya kehidupan
philosophers jaman dulu, dan kita sungguh beruntung sekarang dapat memakai
pemikiran-pemikirannya tanpa menanggung resiko seperti mereka. Bagi saya,
mereka adalah pahlawan sejati meskipun tanpa pedang atau tombak di tangan, tapi
mereka punya keyakinan atas sebuah pemikiran.
Penulis adalah pengamat sosial tinggal di Australia
Kompasiana adalah Media Warga. Setiap
berita/opini di Kompasiana menjadi tanggung jawab Kompasianer (anggota
Kompasiana) yang menayangkannya.Kompasiana tidak bertanggung jawab atas
validitas dan akurasi informasi yang ditulis masing-masing kompasianer.
Aristoteles, Kota, dan Rumah bagi Orang Miskin
Aristoteles,
Kota, dan Rumah bagi Orang Miskin
Oleh: Arif Rohman
Ladang dan pepohonan
tidak menarik bagiku, tetapi tidak demikian halnya dengan manusia yang ada di
kota (Aristoteles)
Kata-kata filusuf
Aristoteles di masa lampau menunjukkan bahwa isu-isu perkotaan selalu menarik
untuk dibahas, apalagi berkaitan dengan manusia-manusia yang tinggal di
dalamnya. Salah satu masalah yang dianggap penting dalam kajian perkotaan
adalah rumah bagi orang miskin. Tulisan ini khusus menyoroti fungsi dan makna
rumah bagi orang miskin dan bagaimana kesulitan-kesulitan yang dialami orang
miskin dalam mengakses rumah yang layak di perkotaan.
Kota-kota di Indonesia,
khususnya di pulau Jawa, telah mengalami berbagai permasalahan berkenaan dengan
pertumbuhannya. Salah satu masalah yang timbul adalah adalah masalah pemukiman.
Masalah tersebut tidak terlepas dari berbagai masalah lain yang ada di
perkotaan, seperti masalah wilayah komersial, industri, tempat-tempat umum,
monumen-monumen, jalan dan lalu lintas, rekreasi dan olah raga, sanitasi,
kesehatan umum, pekuburan, dan lain sebagainya. Disamping itu, masalah jalur
kereta api dan pola pertumbuhan pemukiman pita (ribbon building), yaitu pola
pembangunan bangunan hunian, toko-toko dan tempat-tempat berjualan,
bangunan-bangunan pemerintah, yang dilakukan di sepanjang tepi-tepi jalan dan
jalur-jalur kereta api di perkotaan. Di daerah perkotaan, pola pemukiman pita
ini menyebabkan keruwetan dan ketidakteraturan yang sudah ada menjadi lebih
kompleks lagi. Wertheim (1958), mengatakan bahwa untuk mengatasinya bahwa untuk
mengatasinya, maka cara pertama-tama yang harus dilakukan adalah membuat
kebijakan perencanaan atau tata ruang kota yang terintegrasi dan dapat
dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Menurutnya, tata ruang kota tersebut harus
mencakup juga model tata ruang kota yang terbukti cukup canggih dalam mengatasi
berbagai permasalahan perkotaan.
Pertumbuhan kota yang
tidak terencana, tidak terkoordinasi dan terpencar disejumlah kawasan
mengakibatkan beberapa bagian kota menjadi tertinggal. Pemerintah kota akhirnya
tidak mampu menyediakan prasarana dan fasilitas publik sesuai dengan harapan
masyarakat. Akibatnya adalah semakin meningkatnya jumlah keluarga miskin,
dengan akses yang serba minim, termasuk ruang hunian atau tempat tinggal yang
tidak layak, tidak memenuhi derajat kesehatan, dan terkesan apa adanya (Evers
& Korff, 2002). Sulitnya masyarakat miskin untuk mendapatkan rumah yang
layak huni tentu merupakan persoalan yang mendesak untuk diatasi. Kesepakatan
masyarakat global yang tertuang dalam Agenda Habitat, mengamanatkan pentingnya
penyediaan hunian yang layak untuk semua lapisan masyarakat, dengan
mengedepankan strategi pemberdayaan (enabling strategy ). Plan of
implementation dari World Summit on Sustainable Developement di Johanesburg
2002, menargetkan bahwa pada tahun 2015, sekitar 50% penduduk miskin di dunia
harus sudah terentaskan dari kemiskinannya. Kondisi ini antara lain harus
ditandai oleh terpenuhinya kebutuhan mereka akan perumahan yang layak.
Secara hipotesis,
permasalahan perkotaan yang dihadapi Indonesia dewasa ini disebabkan oleh
kompleksitas masalah, yaitu pertambahan penduduk kota yang kurang terkendali,
pertumbuhan kota yang serba cepat dan kompleks dalam hal pengembangan
fungsi-fungsinya sebagai pusat-pusat kegiatan industri, komersial, jasa-jasa
pelayanan ekonomi, pemerintahan, pendidikan, dan berbagai fungsi sosial,
ekonomi dan budaya. Kesemuanya ini belum dapat tertampung secara semestinya di
dalam ruang-ruang yang diperuntukkan kegiatan-kegiatan tersebut sesuai rencana
tata ruang kota yang dibuat, dan juga disebabkan oleh pengembangan
kegiatan-kegiatan ekonomi, komersial dan industri, serta hunian di perkotaan
yang serba modern dan kompleks yang telah tidak memungkinkan dimantapkannya
pelaksanaan penataan kegiatan-kegiatan kehidupan perkotaan secara ketat sesuai
tata ruang yang berlaku. Akibat yang paling nampak dari faktor-faktor tersebut
adalah pada kondisi pemukiman perkotaan yang menghasilkan berbagai permasalahan
yang dihadapi oleh kota-kota yang bersangkutan.
Secara ringkas, kota
dapat didefinisikan sebagai sebuah tempat tinggal manusia yang dihuni secara
permanen, dimana warga atau penduduknya membentuk sebuah kesatuan kehidupan
yang lebih besar pengelompokannya dari pada kelompok klan atau keluarga. Kota
juga merupakan sebuah tempat dimana terdapat adanya kesempatan-kesempatan dan
permintaan-permintaan yang mewujudkan terciptanya sistem pembagian kerja,
kelas-kelas atau lapisan sosial yang mengakui adanya perbedaan-perbedaan dalam
hal fungsi, hak, keistimewaan-keistimewaan, dan tanggung jawab diantara
golongan-golongan sosial yang ada; dan adanya berbagai bentuk serta corak
spesialisasi pembagian kerja sesuai dengan tingkat perkembangan dan macamnya
kota, yang sesuai dengan peranan khusus dari kota dalam kedudukan fungsionalnya
dengan daerah-daerah pedesaan atau pedalaman yang terletak di sekelilingnya dan
berada dalam kekuasaannya (Mumford, 1961). Selanjutnya, kota itu ada dan hidup
karena bisa memberikan pelayanan yang penting artinya bagi mereka yang ada di
dalam kota, maupun yang tinggal di wilayah sekeliling kota, atau juga mereka
yang mengadakan perjalanan dan harus singgah atau berdiam sementara di kota
tersebut. Pelayanan ini dapat berupa pelayanan-pelayanan keagamaan,
administrasi, komersial, politik, pertahanan dan keamanan, atau dapat pula
berupa pelayanan yang berkenaan dengan pengaturan suplai makanan dan air.
Pelayanan tersebut harus betul-betul diperlukan oleh para warga yang
bersangkutan atau para musafir yang melewati kota tersebut, sehingga
pengendalian kota atas wilayah-wilayah di sekelilingnya dapat dimantapkan.
Kompleksitas kehidupan
ekonomi di perkotaan jauh lebih tinggi dari pada di pedesaan. Hal ini terlihat
dari sistem ekonomi kota yang terbebas dari kegiatan mengolah tanah atau
mengeluarkan energi tubuh, guna memperoleh bahan mentah, telah menyebabkan
tumbuh dan berkembangnya sistem produksi dan industri yang tidak terbatas,
tergantung pada macam dan tingkat kebutuhan konsumen. Sedangkan macam dan
tingkat kebutuhan konsumen terhadap barang hasil produksi atau industri dapat
diciptakan dari hasil interaksi sosial, ekonomi, politik dan budaya yang
terwujud melalui teknologi komunikasi pasar (Suparlan, 1996). Kompleksitas
dalam struktur kehidupan ekonomi perkotaan ini mempengaruhi terwujudnya
kompleksitas dalam struktur perkotaan. Berbagai bentuk dan macam spesialisasi
ekonomi dan kerja berkembang sesuai dengan kebutuhan dan permintaan; dari yang
terspesialisasi hingga yang sangat umum, dari yang sangat tergantung pada
keahlian dan keterampilan pemikiran serta teknologi, sampai dengan yang
menggunakan tenaga otak manusia, dan dari yang digolongkan sebagai terhormat
dengan penghasilan besar, sampai dengan yang tidak terhormat dengan penghasilan
yang terbatas. Sistem pelapisan sosial terbentuk berdasarkan atas macam
pekerjaan dan pendapatan, yang coraknya sangat kompleks, dikarenakan beraaneka
ragamnya macam dan bentuk kerja yang ada di perkotaan. Tingkat kompleksitas
sistem pelapisan sosial tersebut, tergantung dari tingkat perkembangan kota dan
kedudukannya dalam sistem administrasi negara.
Rumah adalah sebuah
satuan tata ruang yang paling baku dan selalu ada dalam kehidupan manusia di
masyarakat manapun. Rumah berfungsi bebagai tempat untuk kegiatan-kegiatan
melangsungkan kehidupan manusia, yang mencakup kegiatan reproduksi, ekonomi,
pengsuhan dan pendidikan anak, perawatan terhadap orang tua atau jompo,
kehidupan sosial, emosi, dan lain sebagainya (Suparlan, 1996). Karena
majemuknya fungsi-fungsi yang harus dilaksanakan dalam rumah, maka rumah juga
sebagai sebuah satuan tata ruang, juga dibagi-bagi dalam satuan-satuan tata
ruang yang lebih kecil yang saling berkaitan antara satu sama lainnya, sebagai
satu keseluruhan tata ruang rumah. Rumah merupakan medium atau perantara bagi
manusia dengan lingkungan alam atau fisik, merupakan perluasan dari organ tubuh
manusia, dan merupakan sebuah lingkungan budaya dimana manusia penghuninya
merupakan sebuah unsurnya.
Dengan demikian, menurut
Sukamto (2001) penghuni akan memperlakukan ruang huniannya sesuai dengan
kriteria sebagai berikut : (1) Rumah sebagai wadah kehidupan manusia secara
universal. Rumah sebagai tempat hidup manusia maka rumah juga menjadi wadah
kehidupan manusia dalam melakukan kegiatan untuk pemenuhan kebutuhan. Satuan
ruang rumah dengan demikian menampung berbagai fungsi kegiatan pemenuhan kebutuhan
hidup manusia secara universal, yang meliputi : (a) Kebutuhan primer, sebagai
kebutuhan yang bersumber pada aspek biologis manusia yang dalam pemenuhannya
memerlukan wadah tindakan-tindakan di dalam satu ruang. Dengan asumsi
klarifikasi satu ruang untuk satu tindakan pemenuhan kebutuhan, maka ruang yang
diperlukan adalah ruang-ruang sebagai wadah untuk kegiatan makan dan minum,
buang air besar/kecil, istirahat dan tidur, pelepasan dorongan seksual,
perlindungan iklim/suhu udara, dan kebutuhan kesehatan yang baik; (b) Kebutuhan
sekunder, sebagai hasil usaha untuk pemenuhan kebutuhan primer yang memerlukan
ruang untuk berkomunikasi dengan sesama anggota keluarga, melakukan kegiatan
bersama dengan keluarga, menaruh untuk benda-benda material dan kekayaan dan tempat
untuk mendidik anak; dan (c) Kebutuhan integratif, berfungsi mengintegrasikan
berbagai unsur kebudayaan menjadi satu sistem yang masuk akal baginya, mencakup
cara-cara mengatur dan menggunakan ruang, tempat mengatur dan menjalankan
fungsi keluarga, sebagai tempat melakukan kegiatan rekreasi dan hiburan, dan
religius; (2) Rumah untuk menampung fungsi keluarga. Keluarga sebagai satuan
sosial terkecil, fungsinya antara lain untuk berkembang biak, mensosialisasi
atau mendidik anak dan menolong serta melindungi yang lemah, maka rumah juga
disebut sebagai : (a) Satuan ruang sosial; (b) Ruang hunian sebagai satuan
kehidupan untuk reproduksi dan pengembangbiakan; dan (c) Ruang hunian sebagai
ruang sosialisasi dan pendidikan anak; (3) Rumah sebagai wujud pernyataan diri.
Rumah sebagai sebuah bangunan fisik tidak hanya dilihat dan diperlakukan
sebagai satuan material fisik, tetapi juga sebagai satuan simbol yang
mencerminkan identitas diri penghuninya. Setiap penghuni rumah memberi isi
berupa benda-benda pada ruangan dengan makna-makna yang terwujud sebagai simbol
pencerminan kemampuan diri dalam memanfaatkan peluang dan sumber daya
lingkungan.
Kemiskinan tidak lahir
dengan sendirinya (given), ia tidak muncul bukan tanpa sebab. Argumen para
penganut teori konservatif dan liberal telah lama dipatahkan. Orang-orang
miskin muncul bukan karena mereka malas atau boros. Mereka miskin bukan pula
karena nasibnya yang sedang sial sehingga menjadi miskin. Mereka menjadi orang
miskin karena dibuat miskin oleh struktur ekonomi, politik dan sosial. Mereka
miskin karena memang sengaja dilestarikan untuk menjadi miskin. Mereka menjadi
kaum tertindas karena memang disengaja, direkayasa dan diposisikan sedemikian
rupa untuk ditindas. Mereka miskin karena dieksploitasi, diperas, dijarah dan
dirampok hak-haknya. Mereka miskin karena dipaksa oleh sistem ekonomi dan
politik yang tidak adil. Kemiskinan penting untuk dipelihara dan dilestarikan
karena besar manfaatnya, yakni menunjang kepentingan kelompok dominan, elite
penguasa (the ruling elites) atau kaum kapitalis.
Hal tersebut di ataslah
yang membuat kemiskinan sulit diatasi karena kaum miskin tidak memiliki daya
tawar terhadap kebijakan yang selama ini tidak berpihak kepada mereka. Kaum
miskin hanya menjadi alat produksi semata-mata. Pendapatan mereka hanya sekadar
mencukupi kebutuhan hidup saja. Inilah yang selama ini membuat kaum miskin tak
berdaya untuk memiliki daya tawar terhadap pengambilan keputusan, dan membuat
yang kaya semakin berada di puncak. Kebijakan politik yang ada selama ini
sering (dan sebagian besar) hanya berpihak kepada mereka yang memiliki alat
produksi dan modal. Kaum miskin diperas tenaganya hanya sekadar menjadi buruh
kasar dengan dalih keterampilan mereka terbatas. Tetapi pemerintah, di sisi
lain, tidak mampu berbuat bagaimana seharusnya meningkatkan keterampilan mereka
agar bisa berkompetisi lebih adil dengan lainnya (Suparlan, 1993).
Kaum miskin selalu
dilihat sebelah mata dalam berbagai proses pembuatan kebijakan. Kebijakan yang
dilahirkan penguasa tidak terlalu banyak memerhatikan poros warga negara. Warga
negara yang miskin dianggap tidak memiliki kedaulatan tertinggi di dalam sebuah
negara. Pelanggaran konstitusi ini terus terjadi tanpa adanya kemauan untuk
memperbaikinya dengan melahirkan sebuah kebijakan yang sungguh-sungguh
mengapresiasi dan melibatkan kaum miskin untuk berperan sebagai warga negara
normal. Struktur kemiskinan masyarakat kita tidak terlepas dari persoalan
utama, yakni adanya dosa struktur. Dosa struktur yang dimaksud adalah
menyangkut bagaimana distribusi yang adil dan menjangkau semua pihak. Dengan
demikian, keadilan yang sedang kita bicarakan di sini adalah menyangkut keadilan
untuk semua.
Perumahan bagi keluarga
miskin seringkali tidak memberikan kepastian hukum bagi penghuninya, atas tanah
dan bangunan yang mereka tempati. Bagi perempuan, kurangnya kepastian hukum ini
bahkan terjadi pada barang dan aset formal lainnya. Kampung-kampung tempat
kelompok masyarakat miskin tinggal dapat dengan mudah beralih fungsi menjadi
kawasan bisnis atau kawasan lainnya. Sebaliknya, kawasan perkotaan sangat sulit
menyediakan lahannya untuk keperluan perumahan masyarakat miskin. Hal ini menyebabkan
masyarakat miskin di mana banyak terdapat perempuan di dalamnya semakin
tergusur ke kawasan pinggiran yang jauh dari kota.
Kegiatan relokasi
terhadap warga korban penggusuran, atau pembangunan perumahan untuk kelompok
miskin, biasanya dilakukan di daerah pinggiran. Hal ini menimbulkan kesulitan
bagi keluarga miskin yang bekerja, dalam bentuk peningkatan biaya transportasi,
dan berkurangnya waktu untuk mengasuh anak. Kegiatan penggusuran terhadap
kelompok masyarakat miskin, biasanya tidak disertai dengan pemberian tenggang
waktu untuk membuat masyarakat siap untuk menempati lokasi dan rumah baru.
Pendapatan masyarakat
miskin sangat rendah. Setelah dipakai untuk membayar makanan, pakaian, dan
keperluan sehari-hari lainnya, mereka hanya memiliki sangat sedikit sisa
penghasilan untuk mengurus keperluan rumah mereka. Akibatnya, keluarga-keluarga
miskin, tidak mampu lagi untuk menyediakan rumah bagi diri mereka sendiri.
Aspek dominan yang
mempengaruhi perumahan masa kini adalah keberlanjutannya (sustainability).
Aspek ini nampak sederhana namun adalah sebuah konsep yang rumit. Rumah yang
berkelanjutan harus memenuhi lima syarat dasar yang dinikmati oleh penghuni
saat ini serta yang akan datang, yaitu: (1) Mendukung peningkatan mutu
produktivitas kehidupan penghuni baik secara sosial, ekonomi dan politik.
Artinya setiap anggota penghuni terinspirasi untuk melakukan tugasnya lebih
baik; (2) Tidak menimbulkan gangguan lingkungan dalam bentuk apapun sejak
pembangunan, pemanfaatan dan kelak bila harus dimusnahkan. Ukuran yang dipakai
terhadap gangguan yang terjadi terhadap lingkungan adalah efektivitas konsumsi
energi; (3) Mendukung peningkatan mobilitas kesejahteraan penghuninya secara
fisik dan spiritual. Berarti penghuni mengalami terus peningkatan mutu kehidupan
fisik dan non-fisik; (4) Menjaga keseimbangan antara perkembangan fisik rumah
dengan mobilitas sosial-ekonomi penghuninya. Pada awalnya keadaan fisik rumah
lebih tinggi dari keadaan non—fisik, namun ini berbalik setelah penghuni mapan
di rumah tersebut; dan (5) Membuka peran penghuni/pemilik yang besar dalam
pengambilan keputusan terhadap proses pengembangan rumah (lihat diagram proses
perkembangan rumah pada lampiran) dan Rukun Warga tempat ia berinteraksi dengan
tetangga.
Dari uraian di atas
dapat disimpulkan bahwa sebuah rumah disebut layak bila ada keterpaduan yang
serasi antara: (1) Perkembangan rumah dan penghuninya, artinya rumah bukan
hasil akhir yang tetap tetapi proses yang berkembang; (2) Rumah dengan
lingkungan (alam) sekitarnya, artinya lingkungan rumah dan lingkungan
sekitarnya terjaga selalu baik; (3) Perkembangan rumah dan perkembangan kota,
artinya kota yang dituntut makin global dan urbanized memberi manfaat positif
bagi kemajuan warga kota di rumah masing-masing; dan (4) Perkembangan antar
kelompok warga dengan standar layak sesuai keadaan dan tuntutan masing-masing
kelompok, artinya tiap kelompok warga punya kesempatan sama untuk berkembang
sesuai dengan tuntutan yang ditetapkan sendiri.
Kondisi kemiskinan
membuat keluarga-keluarga miskin seringkali hanya mampu mengakses lingkungan
kumuh atau permukiman liar di kota. Lingkungan kumuh yang dicirikan oleh
minimnya sarana infrastruktur permukiman, menghadapkan kaum miskin pada
buruknya kualitas kehidupan yang harus mereka tanggung di lingkungan
permukiman. Dengan demikian, keterbatasan masyarakat miskin dalam mengkases
perumahan diperburuk dengan kurang memadainya pelayanan penyediaan prasarana
dan sarana dasar lingkungan. Rendahnya kualitas kehidupan di lingkungan
permukiman kumuh ini pada gilirannya juga menghambat potensi produktivitas dan
kewirausahaan para penghuninya. Pada umumnya mereka kemudian hanya mampu
mengakses perekonomian informal kota, yang utamanya dicirikan oleh status hukum
yang lemah dan tingkat penghasilannya yang rendah.
Pemukiman kumuh
didefinisikan oleh Suparlan (1996), sebagai suatu pemukiman yang kondisi fisik
hunian dan tata ruangnya mengngkapkan kondisi kurang mampu atau miskin dari
para penghuninya. Penataan ruang hunian yang semrawut yang disebabkan oleh
penggunaan ruang yang tinggi tingkat kepadatan volume maupun frekuensinya, dan
serba kotor atau tidak terwat dengan baik. Di samping itu, pemukiman kumuh juga
kurang memadai fasilitas-fasilitas umum, seperti air bersih, pembuangan air
limbah dan sampah, jalan dan berbagai fasilitas untuk kegiatan sosial orang
dewasa dan tempat bermain bagi anak-anak. Warga pemukiman kumuh terdiri atas
penduduk tetap dan penduduk yang tinggal sementara di pemukiman tersebut.
Mereka yang hidup menetap antara lain yang menyewakan kamar atau rumah kepada
para pendatang yang tinggal sementara. Seringkali juga berikut dengan pelayanan
makan dan cuci pakaian. Kebanyakan dari pendatang ini adalah bujangan yang
bekerja untuk proyek-proyek pembangunan gedung-gedung atau jalan-jalan di kota,
atau juga yang datang untuk mencari kerja atau yang telah bekerja di
sektor-sektor informal. Secara sosial dan ekonomi, sebuah komuniti pemukiman
kumuh tidak homogen. Warganya mempunyai mata pencaharian yang beraneka ragam,
asal usul yang berbeda, mengenal adanya pelapisan sosial dan kemampuan ekonomi
yang berbeda-beda (Rohman, 2004).
Ciri-ciri keluarga
miskin yang tinggal di permukiman kumuh ini kembali menampilkan keterbatasan
kualitas hidup mereka, dan sekaligus juga menunjukkan betapa fenomena lingkungan
kumuh juga menjadi sesuatu yang sulit untuk diatasi. Tidak heran jika
keberadaan permukiman kumuh sendiri sesungguhnya merupakan ancaman serius bagi
kesehatan dan kesejahteraan kota. Serius bukan hanya dalam pengertian dampak
lingkungan kumuh terhadap tingkat produktivitas dan kualitas hidup warga kota.
Tetapi juga serius dalam pengertian bahwa keberadaan pemukiman kumuh ini
mencerminkan kegagalan pemerintah dalam membangun perumahan. Karena, idealnya
disamping untuk memenuhi kebutuhan sosial, pembangunan perumahan harus dapat
berperan menjadi instrumen pembangunan yang dinamis. Artinya, pembangunan
perumahan dapat juga berperan untuk menggairahkan semangat membangun, mendorong
kegiatan swadaya masyarakat, menghidupkan industri rakyat, dan menciptakan lapangan
kerja baru. Keberadaan warga miskin kota di perkampungan-perkampungan kumuh
yang hampir hanya menawarkan akses ke sektor ekonomi berupah rendah, jelas
menunjukkan bahwa di samping gagal menyediakan perumahan yang layak, pemerintah
juga gagal menjadikan perumahan sebagai pendorong bagi kegiatan sosial dan
ekonomi yang produktif bagi warganya.
Ada dua aspek penting
dalam penataan perkotaan. Di satu pihak ada kebijaksanaan penataan ruang
perkotaan, ada peraturan legal-formal untuk dijadikan pedoman pelaksanaannya,
tetapi tidak pernah kita ketahui bagaimana penggunaan tata ruang kota dan
peraturan pelaksanaannya oleh pemerintahan kota. Di samping itu, warga
pemukiman perkotaan membangun sendiri ruang-ruang yang tersedia di kota sesuai
kepentingan mereka, untuk memperoleh keuntungan ekonomi, sosial dan politik,
sehingga terlihat kesan seolah-olah pemerintahan kota tidak mempunyai pedoman
pelaksanaan pengaturan kehidupan perkotaan. Bertolak dari kenyataan ini maka
perspektif ukuran keberhasilan kinerja pembangunan perkotaan seharusnya mulai
digeser dari perspektif kuantitatif ke kualitatif. Dengan melakukan perbaikan
sistem pendataan permasalahan perumahan, secara lebih akurat diharapkan
pemerintah juga dapat merubah strategi pemecahannya.
Sebagai penutup, permasalahan
permukiman penduduk perkotaan, harus dipecahkan dengan melibatkan penduduk
setempat, pemerintahan kota, kelompok-kelompok interest, dengan mengacu pada
rencana tata ruang kota yang ada dan pada kondisi fisik ruang-ruang yang
tersedia serta ada dalam kota yang bersangkutan, yang secara bersama-sama
bertujuan untuk membantu memecahkan permasalahan pemukiman khususnya dan
permasalahan perkotaan pada umumnya, dan mengendalikan motif-motif pencapaian
keuntungan maksimal secara pribadi dari keputusan-keputusan yang diambil. Ingat
pepatah lama, jika kota adalah cerminan peradaban maka rumah adalah cerminan
kebudayaan. Semoga kita termasuk dalam bangsa yang berbudaya.
Penulis adalah pengamat
sosial tinggal di Australia
Kompasiana adalah Media Warga. Setiap
berita/opini di Kompasiana menjadi tanggung jawab Kompasianer (anggota
Kompasiana) yang menayangkannya.Kompasiana tidak bertanggung jawab atas
validitas dan akurasi informasi yang ditulis masing-masing kompasianer.
Subscribe to:
Posts (Atom)