Monday, 30 June 2008

MENDISIPLINKAN DIRI, MEMASYARAKATKAN DISIPLIN

MENDISIPLINKAN DIRI, MEMASYARAKATKAN DISIPLIN*)


PARSUDI SUPARLAN


UNIVERSITAS INDONESIA




Dalam hampir semua tulisan saya, secara tersurat maupun tersirat, saya melihat kebudayaan sebagai: 1. Pengetahuan yang diyakini kebenarannya oleh masyarakat yang mempunyai kebudayaan tersebut; 2. Kebudayaan adalah milik masyarakat manusia, bukan milik daerah atau tempat; 3. Istilah kebudayaan mengacu pada kata benda sedangkan istilah budaya mengacu pada kata sifat; 4. Sebagai pengetahuan yang diyakini kebenarannya maka kebudayaan sebenarnya adalah pedoman yang mendasar dan mendalam serta menyeluruh bagi kehidupan masyarakat bersangkutan; 5. Sebagai pedoman bagi kehidupan, kebudayaan dibedakan dari kelakuan dan hasil kelakuan, karena kelakuan itu sebenarnya terwujud dengan berpedoman pada kebudayaan yang dipunyai para pelaku yang bersangkutan; 6. Sebagai pengetahuan maka kebudayaan adalah juga sebagai sistem yang unsur-unsurnya saling terkait dalam hubungan fungsional yang bertingkat-tingkat. Dalam perspektif inilah saya akan mencoba membahas kebudayaan disiplin dan mengkaitkan pembahasan tersebut dengan kondisi pemuda Indonesia dewasa ini.


Sebagai pengetahuan, maka kebudayaan berisikan konsep- konsep, teori, metode, dan petunjuk untuk mengidentifikasikan gejala menjadi makna dan memilah (mengkategorisasi) makna dan merangkainya untuk dijadikan pedoman dalam menafsirkan situasi yang dihadapi. Kebudayaan adalah fungsional sebagai pedoman bagi pemenuhan kebutuhan hidup yang mencakup kebutuhan biologi, sosial, dan moral, etika dan estetika.


Konsep disiplin sebenarnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari konsep waktu dan kerja, istirahat dan hiburan, serta konsep perorangan. Corak dari kesemuanya itu, terutama corak dan tingkatan disiplin, dipengaruhi oleh corak kebudayaan masyarakat yang bersangkutan. Yang nampak menonjol perbedaan pengaruhnya terhadap corak kedisiplinan adalah corak kebudayaan agraris dan kebutuhan industri. Ciri-ciri yang menonjol perbedaan pengaruhnya adalah: Tingkat adaptasi terhadap lingkungan hidup setempat, karena itu tingkat produksi terbatas. Sistem ekonominya bercorak subsistensi, karena memproduksi hasilnya terutama untuk dikonsumsi sendiri, dan cara memproduksi dilakukan secara padat karya. Kebudayaan agraris tidak mempunyai konsep tentang modal. Kebudayaan menekankan pentingnya hidup menyesuaikan diri dengan lingkungan dan menerima apa adanya. Corak kebudayaannya sirkuler atau melingkar: masa lampau. Kebudayaan semacam ini juga dapat dilihat sebagai kebudayaan yang secara relatif statis. Tidak punya konsep perbedaan waktu kerja, waktu istirahat dan waktu hiburan; semuanya sama saja, serius dan santai tidak ada perbedaan dan lebih banyak santainya daripada seriusnya. Yang serius dianggap sebagai ngoyo dan mau menonjol sendiri. Karena kebudayaan agraris juga menekankan pentingnya kolektivitas atau kelompok dan tidak ada hak perorangan atau privasi. Sistem kekerabatan dan hubungan kekerabatan mendasari pengorganisasian kegiatan-kegiatan kerja, sehingga tidak ada konsep profesionalisme yang sebenarnya adalah konsep kemampuan keahlian perorangan.


Sedangkan sebaliknya kebudayaan industri mempunyai ciri-ciri yang menjadi lawan dari kebudayaan agraris, yaitu: tingkat teknologi yang tinggi, teknologi mesin, eksploitasi dan corak produksi massal. Karena itu juga ekonominya adalah ekonomi surplus, memproduksi untuk dipasarkan dari kegiatan kerja produksi bercorak padat mesin. Inti dari kebudayaan industri adalah konsep kapital yang akumulatif atau berkembang.


Ini didukung oleh penekanan pada konsep menciptakan, menaklukan, menghasilkan dan memilikinya secara perorangan, memelihara dan mengembangkan apa yang dimiliki. Ini semua didukung oleh corak kebudayaan industri yang bercorak linear atau garis lurus yang bertingkat-tingkat dan berkembang, dimana masa lampau adalah masa lampau yang berbeda dari masa sekarang, dan dari masa depan. Konsep waktu adalah amat penting.


Perbedaan waktu kerja, istirahat, dan hiburan dibedakan dengan jelas. Tanpa konsep waktu ini maka keseluruhan konsep-konsep lainnya dapat gugur berantakan, atau dengan kata lain tanpa adanya disiplin waktu yang baik dan ketat maka keseluruh kebudayaan industri akan hancur berantakan. Dalam kebudayaan industri berkembang konsep hak perorangan atau privasi, karena itu yang ditekankan adalah pentingnya kebersamaan dan bukannya kelompok. Sistem kekerabatan penting tetapi tidak menjadi landasan utama pengorganisasian kegiatan kerja. Keahlian profesional milik perorangan berkembang menjadi penting.


Masyarakat Indonesia secara umum, sedang berada dalam transisi meninggalkan kebudayaan agraris dan memasuki atau hidup dengan berpedoman pada kebudayaan industri. Karena berada dalam transisi maka kebudayaan Indonesia, yang kita punyai sekarang ini, sebenarnya mencakup unsur-unsur dari kebudayaan agraris dan kebudayaan industri. Karena pedoman bagi kehidupan kita itu mencakup baik yang agraris maupun yang industri maka juga tindakan-tindakan kita sehari-hari adalah juga mengacu pada dua pedoman yang saling bertentangan satu sama lainnya. Di satu pihak kita ingin maju, sama dengan kemajuan yang telah dicapai oleh bangsa-bangsa dengan kebudayaan industri, tetapi di pihak lainnya kita ini masih lebih senang untuk bekerja dengan santai dan tidak menghargai pentingnya waktu.


Kita juga ingin hidup dalam era industri tetapi apa yang kita lakukan sehari-hari sebenarnya lebih banyak berpedoman pada kebudayaan agraris. Soalnya dalam kebudayaan agraris tuntunan untuk menghasilkan, untuk mencipta, untuk memelihara, misalnya, tidak ditekankan pentingnya. Orang yang bermalas-malas atau yang melanggar peraturan waktu kerja tidak dianggap sebagai pelanggaran tetapi sebagai hal yang biasa.


Berbagai contoh hanya dapat kita cari dan kita simak sendiri dari apa yang kita lakukan sehari-hari. Apa yang tersebut di atas sebagai contoh-contoh tindakan-tindakan berpola dalam kehidupan sehari-hari sebagai produk dari kebudayaan transisi, bukan hanya terdapat dalam kehidupan para pemuda tetapi terdapat dalam kehidupan kita semua pada umumnya. Tetapi apakah dengan pernyataan tersebut lalu kita menyadari hal ini harus juga memaafkan diri kita masing-masing? Tentunya tidak. Kalau kita menyadari bahwa kehidupan kita adalah menuju PJPT II, yang sebenarnya adalah era yang berpedoman pada kebudayaan industri, sebagaimana modelnya Rostow, maka kita sendiri seharusnya masing-masing mempersiapkan diri untuk secara bertahap mengadopsi kebudayaan industri supaya menjadi pedoman yang kita yakini kebenarannya. Bukan hanya mengadopsi dalam pengertian kita berbicara atau mengaku berkebudayaan industri yang modern, tetapi kita benar-benar menjalaninya atau mewujudkannya dalam tindakan-tindakan kita sehari-hari.


Karena kebudayaan bukanlah untuk dikatakan atau diakui saja tetapi diberlakukan sebagai pedoman yang diyakini kebenarannya, dan benar tidaknya kebudayaan tersebut dijadikan sebagai pedoman dapat dilihat atau diamati dalam tindakan-tindakan sehari-hari para pelaku yang bersangkutan.


Bagi yang belum memahami bahwa kita ini akan menuju suatu era kehidupan yang berpedomankan pada kebudayaan industri maka yang terbaik adalah pemerintah atau organisasi-organisasi sosial serta lembaga-lembaga swadaya masyarakat mensosialisasikannya dengan cara memberi contoh dalam tindakan-tindakan mereka dan memberikan petunjuk serta penjelasan yang relevan dengan itu, atau dengan cara mengingatkan bagi yang selalu terlupa untuk berdisiplin sambil jangan lupa bahwa yang memberi peringatan tersebut juga harus menjadi contohnya.


Karena kebudayaan disiplin adalah bagian yang tidak terpisahkan dari unsur kebudayaan lainnya, maka secara hipotesis juga harus diingat bahwa disiplin para pemuda akan terwujud bila unsur-unsur lainnya, seperti tersebut di atas juga menjadi pedoman bagi para pemuda tersebut. Begitu juga, karena kebudayaan adalah pedoman yang diyakini kebenarannya oleh yang memiliki kebudayaan tersebut, maka juga kebudayaan disiplin harus dirasakan sebagai sesuatu keyakinan yang benar. Para pemuda atau siapa saja berdisiplin bukan karena takut atau karena dipaksa lalu melakukannya, tetapi seharusnya karena yakin bahwa dengan cara berdisiplin itu maka berbagai pemenuhan kebutuhan akan menjadi lebih baik, dan kehidupan juga menjadi lebih baik bagi mereka, dan bagi masyarakat luas pada umumnya.



*) Edisi Oktober 1992, hal 33-35

No comments: