Monday, 30 June 2008

PERAN ORANG TUA DALAM MASYARAKAT ARGOINDUSTRI

PERAN ORANG TUA DALAM MASYARAKAT ARGO- INDUSTRI*)
PARSUDI SUPARLAN
UNIVERSITAS INDONESIA

Pendahuluan

Orang tua (parent), yang pada dasarnya adalah suami-isteri, adalah kedudukan dalam keluarga. Posisi ini didapat melalui adanya anak yang dihasilkan dari perkawinan atau dari hubungan biologi mereka. Tanpa adanya anak yang mereka punyai maka mereka itu tidak dapat digolongkan sebagai orang tua dalam keluarga, walaupun sudah kawin puluhan tahun. Kedudukan mereka sebagai orang tua dalam masyarakat didapat karena usia yang berbeda perannnya dengan peran sebagai orang tua dalam keluarga.

Kajian mengenai peran orang tua dalam keluarga hanya mungkin dapat secara akurat dilakukan dengan memperhatikan keluarga sebagai pranata sosial yaitu untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan kehidupan bagi kelangsungan anggota- anggotanya, dan pengaruh dari pranata-pranata sosial yang ada dalam masyarakat serta pengaruh dari masyarakat yang bersangkutan, sebagai sebuah satuan kehidupan, terhadap kehidupan keluarga tersebut. Landasan bagi penggunaan pendekatan seperti tersebut diatas adalah bahwa setiap masyarakat mempunyai kebudayaan, atau pedoman bagi kehidupan yang berlaku umum dalam masyarakat, dan adanya kebudayaan yang khusus yang dijadikan pedoman bagi kehidupan dalam keluarga, termasuk pedoman bagi peran yang dijalankan oleh orang tua, yang sumber dari pedoman khusus tersebut adalah kebudayaan yang berlaku umum dalam masyarakat.

Dengan menggunakan pendekatan seperti ini maka proses dinamik mengenai peran orang tua, khususnya peran orang tua terhadap anak dan kehidupan keluarganya, dapat dilihat secara lebih tepat. Begitu juga dengan menggunakan pendekatan ini maka hubungan antar peran bapak, ibu, dan anak dalam konteks keluarga sebagai sebuah satuan kehidupan dan dengan masayrakat beserta pranata-pranata sosialnya dapat secara lebih tepat diidentifikasi. Dinamika dari pendekatan ini adalah bahwa permasalahan peran dalam keluarga dilihat secara sinkronik yaitu peran ideal menurut kebudayaan dan peran aktual sebagaimana dijalankan, dan dilihat juga secara diakronik uyaitu dalam kerangka perkembangan atau perubahan masyarakat dan dalam lingkaran hidup keluarga beserta perubahan-perubahan dan kelestarian pola-polanya.

Tulisan ini mencoba untuk menunjukkan peran orang tua dalam keluarga masyarakat agro-industri yang berbeda dari peran orang tua dalam masyarakat pertanian tradisional atau pra-industri. Yang ditunjukkan adalah bahwa dalam masyarakat agro-industri corak keluarga adalah keluarga batih (nuclear family, conjugal family), dan karena itu peran orang tua dalam kehidupan keluarga dan kehidupan anak menjadi amat penting karena campur tangan kerabat menjadi berkurang atau bahkan hilang dalam urusan keluarga yang bersangkutan. Uraian akan mencakup pembahasan mengenai pengaruh kebijaksanaan pembangunan dan dampaknya terhadap corak keluarga, kehidupan keluarga batih yang dibedakan dari kehidupan keluarga luas, peran orang dalam keluarga batih dan pentingnya dukungan dari pranata-pranata sosial dalam masyarakat bagi kelangsungan kehidupan keluarga dan khususnya kelangsungan dan kesejahteraan hidup anak.

Masyarakat dan Keluarga

Indonesia adalah masyarakat majemuk atau Bhinneka Tunggal Ika. Terdiri atas beraneka ragam sukubangsa dengan kebudayaannya masing-masing yang bersatu dalam negara kesatuan Republik Indonesia. Di satu pihak ada masyarakat- masyarakat yang kebudayaannya adalah kebudayaan perkotaan, modern, dan maju di lain pihak ada masyarakat-masyarakat yang kebudayaannya tradisional, terisolasi, kurang maju; bahkan di kota-kota besar juga mulai berkembang kebudayaan kosmopolitan. Disamping itu keanekaragaman ini juga ditambah lagi dengan adanya pelapisan sosial, tingkat pendidikan dan profesi, dan orientasi keyakinan keagamaan.

Pemerintah Indonesia sebagai sebuah sistem nasional menekankan kesatuan dan keseragaman dalam program-program dan kebijaksanaan pembangunan. Dalam perspektif kehidupan keluarga, penekanan adalah pada keluarga kecil bahagia dan ini juga terwujud dalam sistem penggajian yang berlaku secara nasional. Kebijaksaan ini juga didukung oleh berbagai bentuk kebijaksanaan pembangunan lainnya seperti perumahan, pendidikan, agama, kependudukan, dan berbagai kebijaksanaan lainnya.

Keluarga dilihat sebagai sebuah pranata, adalah kelompok kerabat yang terstruktur yang fungsinya adalah untuk berkembang biak dan sosialisasi anak-anak. Melalui sosialisasi anak-anak dipersiapkan untuk menjadi individu-individu yang menjadi warga masyarakat yang berguna. Sebagai sebuah pranata, keluarga dilihat sebagai serangkaian norma-norma dan hubungan-hubungan yang coraknya didefinisikan oleh masyarakatnya dan yang dijalankan oleh para pelaku anggota masyarakat yang bersangkutan. Sehingga, dalam masyarakat yang majemuk seperti Indonesia, corak keluarga juga beranekaragam karena masing-masing masyarakat mendefinisikan corak keluarga yang sesuai.

Di antara unsur-unsur kebudayaan secara dominan digunakan dalam pengaturan atau norma-norma dalam kehidupan keluarga adalah sistem kekerabatan. Corak sistem kekerabatan menentukan corak perkawinan dan kehidupan dalam keluarga. Sistem kekerabatan patrilineal, seperti pada Orang Batak, menghasilkan corak keluarga yang berbeda dari corak keluarga Orang Minang yang matrilineal dan berbeda juga dengan corak keluarga pada Orang Jawa atau Orang Sunda yang sistem kekerabatannya parental atau bilateral.

Di samping itu besarnya muatan pengaruh kerabat juga berbeda antara keluarga-keluarga Orang Jawa atau Orang Sunda, dengan Orang Batak, dan Orang Minang, sesuai sistem kekerabatannya. Pengaruh kehidupan industri, modernisasi dan pembangunan serta pengaruh berbagai kebijaksanaan pemerintah juga nampak dalam berbagai segi dari corak kehidupan keluarga. Aries (1978), misalnya, memperlihatkan pengaruh kehidupan kota terhadap corak kehidupan keluarga yang dapat dibedakan dari kehidupan keluarga di pedesaan. Begitu juga Wagatsuma (1978) yang membahas perubahan pola-pola kehidupan keluarga Jepang yang tadinya secara tradisional berlandaskan pada ajaran Kong Hu Cu sekarang cenderung menjadi berdasarkan pada selera pilihan individual dimana kerabat dan orang tua tidak lagi memainkan peranannya yang dominan. Kebijaksanaan-kebijaksanaan perumahan yang dipatrapkan di Amerika Serikat sejak Perang Dunia Kedua diperlihatkan oleh Downs (1978) mempunyai dampak terhadap pola-pola kehidupan keluarga yang secara ekonomi menjadi lebih baik, lebih atomistik, dan memaksa keluarga untuk membuat perencanaan masa depan.

Di antara berbagai perubahan yang terjadi dalam corak kehidupan keluarga yang diakibatkan oleh kehidupan industri dan modernisasi serta kebijaksanaan pemerintah adalah muncul dan diperkokohnya keluarga batih sebagai ide, sebagai ide alternatif dalam adaptasi terhadap politik keluarga berencana serta keluarga kecil dan bahagia dan sebagai cara hidup yang adaptif terhadap lingkungan hidup yang serba padat penduduk, kehidupan industri, dan khususnya kehidupan perkotaan. Perubahan yang menyolok dalam corak kehidupan keluarga yang diakibatkan oleh perubahan ini adalah di satu pihak peranan kerabat dan orang tua dalam kehidupan keluarga anak- anak mereka menjadi mengecil atau bahkan hilang sama sekali, sedangkan di lain pihak peranan kerabat di luar keluarga, sebagai sebuah satuan kehidupan yang otonom, ditekankan pentingnya (lihat Bruner, 1954,1973).

Dalam masyarakat Indonesia, melintasi batas-batas budaya sukubangsa dan lapisan sosial serta orientasi keyakinan keagamaan, dalam hal pengaruh kerabat dalam kehidupan keluarga dapat tergolong dalam tiga; yaitu: (1) Peranan kerabat dan norma kelompok-kelompok kerabat serta norma- norma kekerabatan masih kuat sebaliknya peranan orang tua dalam kehidupan keluarga lemah; (2) Peranan individu anggota keluarga kuat sedangkan peranan kerabat dalam kehidupan keluarga lemah atau tidak ada sama sekali; dan (3) Peranan individu anggota-anggota keluarga amat kuat dimana bukan keluarga yang penting tetapi individu-individu yang hidup bersama sebagai anggota keluarga. Golongan pertama adalah keluarga luas yang tradisional, dan yang hidup di pedesaan, golongan kedua adalah golongan modern terdapat di perkotaan maupun di pedesaan yang berkebudayaan perkotaan, terwujud sebagai keluarga batih. Sedangkan golongan ketiga adalah golongan yang sedikit jumlahnya, tergolong sebagai keluarga kosmopolitan yang terdapat di kota-kota metropolitan.

Perbedaan corak keluarga dan kehidupannya yang terdapat dalam masyarakat tradisional atau pertanian dan yang modern atau agro-industri dapat dilihat sebagai dua kutub yang saling berhubungan. Sehingga perbedaan tersebut sebenarnya dapat dilihat sebagai tipologi. Kajian-kajian yang dilakukan oleh Berkner (1972), Handlin dan Handlin (1971), Goode (1963), Demos (1970), Jeffrey (1972), Stephens (1963), Blumberg dan Winch (1972), Arensberg dan Kimball (1968), Linton (1959), dan Parsons (1955, 1965) dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Dalam masyarakat tradisional pertanian sistem kekerabatan merupakan landasan utama dalam pengaturan kehidupan keluarganya dan karena itu berbagai bentuk kerja dan kegiatan ekonomi diatur oleh dan dijalankan berdasarkan aturan-aturan kekerabatan sesuai dengan statusnya dalam sistem kekerabatannya. Karena itu juga maka berbagai kegiatan kehidupan, seperti pekerjaan, sekolah dan pendidikan formal anak, pasar, perawatan kesehatan, berada di sekitar rumah. Pemisahan antara rumah dengan masyarakat secara kejiwaan hampir dapat dikatakan tidak ada, karena masyarakat dilihat sebagai besaran dari rumah (home). Dalam masyarakat tradisional seperti ini tidak terdapat pranata-pranata yang luas skalanya tetapi terbatas hanya untuk melayani kebutuhan-kebutuhan kehidupan masyarakat (community) tersebut saja.

Sebaliknya, dalam masyarakat modern, kehidupan dalam masyarakatnya tidak diatur menurut prinsip-prinsip sistem kekerabatan. Kehidupan ekonomi, politik, dan sosial dibedakan dari kehidupan kekerabatan; begitu juga kesempatan memperoleh dan rekruitmen pekerjaan berada di luar prinsip-prinsip kekerabatan. Rumah dan pekerjaan adalah dua hal yang dipisahkan, dan karena itu juga rumah atau sekitar rumah bukanlah tempat kerja. Rumah adalah tempat pribadi atau "back stage" (Goffman, 1959:125) sedangkan di luar rumah atau masyarakat bersifat tidak pribadi (impersonal) atau "front stage" sebagai lawan dari "back stage".

2. Dalam masyarakat tradisional, keluarga luas atau kompleks pada umumnya merupakan satuan tempat tinggal dan satuan fungsi-fungsi domestik bagi anggota-anggota kerabat, seperti makan, sosialisasi anak, perlindungan fisik dan sosial. Mobilitas warga sangat rendah, terbatas dalam ruang lingkup masyarakatnya saja, anak-anak mewarisi harta kekayaan tanah, dan status orang tuanya, anak laki- laki mewarisi tanah dan status sosial ayahnya. Karena itu maka juga kedudukan orang tua dominan terhadap anak- anaknya, dan laki-laki terhadap perempuan. Penekanan pada pedoman hidup mengenai kewajiban dan tradisi bagi individu untuk wajib menjalankan tugas-tugas dan tunduk kepada atasan yang berwenang dan pada nasib. Keterlibatan emosi dalam kehidupan keluarga batih dalam hubungan diantara anggota-anggotanya amat terbatas, perkawinan tidak didasarkan pada cinta tetapi diatur oleh orang tua dan kerabat, kesetiaan pasangan kawin adalah pada orang tua atau kerabat dan bukan pada pasangan kawinnya (cerita-cerita novel para pengarang Angkatan Pujanggan Baru juga mengungkapkan hal ini). Anak-anak adalah tenaga kerja dalam keluarga, taat pada orang tua dan ketaatan ini berlangsung seumur hidup selama orang tua masih hidup.

Sedangkan dalam masyarakat modern, bukan keluarga luas tetapi keluarga batih yang menjadi satuan tempat tinggal dan kehidupan domestik. Mobilitas warga secara geografi dan sosial tinggi, dan mobilitas sosial individu bukan karena warisan orang tua tetapi karena hasil usaha atau karya sendiri. Antar hubungan diantara sesama anggota keluarga, terutama orang tua dan anak, secara relatif bercorak egalitarian. Penekanan pada saling mencintai dan mengasihi dianatara sesama untuk kebahagiaan. Orang tua amat memikirkan masa depan anak sesuai dengan perkembangan masyarakat dan ramalan masa depan, secara terencana dan rasional mempersiapkan anak melalui pendidikan sekolah dan berbagai bentuk pendidikan dan latihan untuk menjadi individu yang berfungsi sebagai warga masyarakat dengan kedudukan sosial yang baik. Hubungan intim antara anak dan orang tua dan kewenangan kekuasaan orang tua terhadap anak biasanya pecah berantakan pada masa dewasa anak, karena anak manusia mandiri pada waktu dewasa dan pergi meninggalkan rumah orang tuanya untuk sekolah, pekerjaan, dan berumah tangga. Begitu dia kawin dan berumah tangga maka keluarganya adalah yang terpenting. Keluarganya adalah satuan kehidupannya yang otonom, bahkan mertua atau orang tua adalah tamu di rumah anak atau menantunya (Hsu, 1972:7).

3. Dalam masyarakat tradisional tingkat kelahiran dan kematian adalah tinggi terutama kematian bayi. Keseimbangan jumlah penduduk tercapai melalui proses kelahiran dan kematian yang tinggi. Keluarga, keluarga luas, dan kerabat menjadi penting fungsinya untuk solidaritas dalam kedukaan dan kehilangan tenaga kerja serta dalam usaha menghasilkan tenaga kerja atau anak. Karena itu ikatan kekerabatan menjadi lebih penting daripada ikatan-ikatan kerja atau ikatan-ikatan sosial dan legal.

Sebaliknya, dalam masyarakat modern, tingkat kesuburan atau fertilitas yang rendah dan terkontrol baik dan tingkat kematian yang rendah terutama kematian bayi, menyebabkan fungsi dari keluarga luas atau kerabat menjadi tidak relevan dalam kehidupan keluarga batih. Kematian dalam keluarga pada umumnya karena usia tua. Karena itu juga maka perolehan sosial dan ekonomi individu terbebas dari pengaruh kerabat, dan karenanya juga maka kewajiban- kewajiban kekerabatan menjadi tidak relevan dalam kaitannya dengan mobilitas sosial dan ekonomi.

Dari uraian diatas yang melihat corak kehidupan keluarga sebagai dua kutub yang saling berhubungan kita akan dapat mengidentifikasi berbagai bentuk dan corak kehidupan keluarga yang ada diantara dua kutub tersebut. Melihat kenyataan bahwa masyarakat kita, Indonesia, adalah masyarakat yang warganya sebagian besar berada di pedesaan dan hidup dari pertanian dan mengingat bahwa tradisi-tradisi etnik merupakan pedoman utama dalam kehidupan individu dan keluarga, secara logika dapat diperkirakan bahwa sebagian besar corak keluarga masyarakat Indonesia adalah tradisional. Pengaruh dari sistem penggajian dan dari kampanye Keluarga Berencana yang berhasil, di pedesaan, maka dapat juga disimpulkan bahwa sebagian lainnya dari keluarga-keluarga masyarakat Indonesia bercorak transisi yang merupakan kombinasi tradisional dan modern. Sedangkan sebagian lainnya, yang jumlahnya lebih kecil, adalah keluarga yang bercorak keluarga batih yang pada umumnya adalah mereka yang berpendidikan cukup tinggi, termasuk golongan menegah ke atas, dan berwawasan lebih luas mengenai masa depan anak sebagai individu yang mandiri dibandingkan dengan golongan-golongan lainnya.

Keluarga Batih

Tokoh antropologi terkenal George P. Murdock (1949) mengatakan bahwa keluarga batih adalah corak keluarga yang universal. Keluarga batih mempunyai empat fungsi yang diperlukan secara mendasar untuk kelangsungan masyarakat yang selalu terdapat dalam kehidupan manusia di manapun. Empat fungsi tersebut adalah: (1) Sosialisasi; (2) Kerjasama ekonomi; (3) Reproduksi; dan (4) Hubungan seksual. Bahkan menurut Murdock, dalam masyarakat yang mengenal sistem poligini (poligami) dan poliandri, keluarga-keluarga batih dalam satuan keluarga luas tersebut diperlakukan sebagai satuan-satuan kehidupan yang berdiri sendiri yang masing- masing menjalankan ke-empat fungsi-fungsi tersebut diatas.

Berbagai kritik terhadap postulasi Murdock mengenai ke- universalan keluarga batih tersebut telah dilakukan oleh para ahli antropologi dan sosiologi berdasarkan bukti-bukti yang dikumpulkan dari penelitian-penelitian di lapangan di masyarakat-masyarakat yang terdapat di hampir seluruh dunia. Kesimpulannya adalah bahwa sesungguhnya keluarga batih bukanlah corak keluarga yang secara universal berlaku karena ke-empat fungsinya tersebut. Keluarga batih ada terutama karena fungsi pengasuhan yang rasional tetapi yang lebih intim. Dalam kaitan dengan ini keluarga batih adalah sebuah kelompok primer yang ditandai oleh adanya hubungan-hubungan yang intim dan intensif diantara anggota-anggotanya.

Keluarga batih biasanya terdapat dalam masyarakat- masyarakat dengan sistem kekerabatan yang bercorak parental atau bilateral, seperti dalam masyarakat Jawa dan Sunda. Tetapi pola kehidupan ekonomi pertanian yang tradisional yang menekankan pentingnya tenaga anak sebagai tenaga kerja dan tingkat kematian bayi yang tinggi, antara lain, menyebabkan bahwa corak keluarga luas dan yang menekankan pentingnya banyak anak. Setiap masyarakat mempunyai kebudayaan yang menjadi pedoman bagi tindakan untuk mempunyai banyak anak, membatasi jumlah anak, atau mengurangi jumlah anak yang ada dalam keluarga. Mekanisme kebudayaan ini diberlakukan melalui pranata-pranata sosial yang ada dalam masyarakat tersebut.

Dalam masyarakat pertanian tradisional, seperti di Jawa atau Sunda, walaupun pada dasarnya berprinsip keluarga batih, perkawinan diatur oleh orang tua dan kerabat pada waktu masih anak-anak, dan pasangan kawin merupakan bagian dari suatu satuan ekonomi berdasarkan pada kekerabatan. Semakin luas dan besar kelompok kerabatnya maka akan semakin besar produksi hasil pertaniannya. Tetapi pada waktu pembangunan masuk ke daerah pedesaan maka bersamaan dengan itu juga tingkat kematian bayi menurun. Bukan hanya tingkat kematian bayi yang menurun tetapi juga tingkat kesehatan pada umumnya. Akibatnya adalah jumlah anak dalam keluarga membesar, jumlah tenaga kerja pertanian dalam keluarga menjadi banyak dan bahkan melebihi jumlah pekerjaan pertanian yang diperlukan dan melebihi hasil produksi pertanian yang dapat dikonsumsi. Disamping itu, orang tua juga lambat matinya sehingga harta warisan yang seharusnya dapat diterima anak-anak yang telah diwasa sebagai bekal berumah tangga menjadi lebih lambat diterimakan kepada anak-anak. Kalaupun nantinya dibagikan maka bagian anak-anak juga menjadi lebih kecil untuk masing-masing anak dibandingkan kalau jumlah anak penerima warisan itu sedikit.

Bersamaan dengan pembangunan kesehatan, industrialisasi, pendidikan, dan kesempatan kerja di kota yang berdekatan, menarik orang muda dari keluarga besar untuk meninggalkan rumah bermigrasi ke kota untuk itu. Disamping itu, hubungan yang tegang diantara sesama saudara sekandung dalam keluarga besar tersebut muincul karena terbatasnya penghasilan pertanian dibandingkan dengan jumlah konsumen dalam keluarga. Persaingan dan konflik diantara sesama saudara sekandung adalah suatu hal yang biasa dalam keadaan seperti tersebut di atas. Jumlah anak yang banyak dirasakan menjadi beban oleh orang tua. Mempunyai anak bukan lagi sesuatu yang patut dibanggakan dan yang menguntungkan secara ekonomi dan secara sosial.

Masuknya program KB yang digalakkan oleh pemerintah dapat dilihat sebagai suatu alternatif bagi warga masyarakat yamg keluarganya telah kebanyakan anak atau yang dibesarkan dalam keluarga dengan banyak anak. Keluarga batih, yaitu keluarga kecil bahagia, keluarga dengan dua anak sudah cukup, anak laki-laki dan anak perempuan sama saja, merupakan suatu cita-cita ideal menuju kebahagian dan juga suatu yang aktual yang secara nyata dijalankan oleh warga masyarakat di pedesaan yang semula menganut prinsip keluarga besar dan keluarga luas. Permasalahan yang muncul dari keberhasilan KB dan terbentuknya keluarga batih perlu dipertimbangkan secara masak dengan memperhatikan pranata-pranata pendukungnya yang berada dalam masyarakat luas.

Keluarga batih adalah sebuah keluarga yang merupakan satuan kehidupan yang otonom atau mandiri. Pasangan suami- isteri bertanggung jawab atas kelangsungan kehidupan ekonomi dan sosial keluarganya dan khususnya dalam menghidupi anak- anak mereka. Orang tua pasangan suami-isteri dapat membantu tetapi tidak bertanggung jawab atas kehidupan suami-isteri dan keluarganya. Keluarga batih dengan demikian terpisah dari sistem korporasi kelompok kerabat yang secara tradisional berlaku. Sehingga bentuk dukungan sosial yang biasanya dijadikan sandaran bagi kehidupan keluarga batih adalah dari tradisi-tradisi keagamaan yang menjadi keyakinan mereka.

Pemisahan keluarga batih dari kelompok kerabat membuat keluarga menjadi lebih penting bagi anggota-anggotanya dalam kehidupan mereka. Keluarga menjadi suatu badan atau lembaga yang terspesialisasi dalam urusan-lurusan domestik, tempat melarikan diri dari beban mental di tempat kerja, tempat cinta dan kasih sayang diberikan dan diperoleh (Parsons, 1955:3-9). Anggota-anggota keluarga secara mental dan emosional tergantung satu sama lainnya sehingga pola hubungan diantara sesama anggota keluarga batih berbeda dengan yang terdapat dalam keluarga luas yang tradisional ayah adalah orang yang paling harus ditaati, dihormati, dan karena itu juga paling ditakuti. Ayah adalah penguasa eksekutif, judikatif, dan sekaligus juga legislatif yang tidak dapat dibantah.

Sedangkan dalam keluarga batih hubungan diantara sesama anggota keluarga lebih egalitarian dimana kedudukan ayah tidak lagi autolitarian. Kedudukan ibu juga menjadi seimbang dengan kedudukan ayah. Kesempatan pendidikan dan pekerjaan bagi wanita telah memungkinkan ibu untuk memainkan peran yang sama kedudukannya dengan peran ayah. Kedudukan yang kira-kira sama diantara sesama anggota telah memungkinkan terjadinya hubungan-hubungan yang lebih informal dan luwes yang didasarkan pada cinta dan kasih sayang. Cinta dan kasih sayang inilah yang mengikat anggota-anggota keluarga batih. Tanpa dasar ikatan tersebut maka keluarga batih akan berantakan. Karena, sistem-sistem dukungan yang bersumber pada sistem kekerabatan dan dilakukan oleh kelompok-kelompok kerabat, yang dapat menjamin keutuhan kehidupan keluarga, tidak lagi berlaku dalam kehidupan keluarga batih. Sedangkan anggota-anggota keluarga batih adalah individu-individu yang mandiri, dengan hak dan kewajiban sesuai kedudukan dalam struktur-struktur kegiatan yang ada. Cinta dan kasih sayang beserta kesetiaannya adalah ikatan yang mendasar dalam kelangsungan kehidupan keluarga batih.

Sebagai sebuah satuan kehidupan yang otonom dan mandiri pasangan kawin yang membentuk keluarga batih menempati tempat tinggal atau rumah sendiri. Urusan dalam rumah tangga dari sebuah keluarga batih adalah urusan mereka sendiri. Mereka berani kawin maka mereka harus berani bertanggung jawab terhadap diri mereka sendiri dan kelangsungan kehidupan keluarganya. Fungsi keluarga yang utama untuk reproduksi, demi kelangsungan masyarakat, dalam keluarga batih bukan hanya untuk menghasilkan anak atau keturunan. Tetapi juga merencanakannya. Munculnya kemampuan untuk merencanakan anak yang akan dilahirkan dan merencanakan masa depan anak sebenarnya diketahui dari program-program KB dan dari pengalaman hidup dalam keluarga yang besar jumlah anggotanya, serta dari pengalaman orang lain yang mereka dengar.

Dalam masyarakat agro-industri atau modern, membesarkan anak tidak seperti orang "membesarkan ayam kampung" kata salah seorang rekan saya. "Zaman saya kecil kita masih bisa minta sana-sini sama teman atau tetangga dan saudara. Ada pohon buah-buahan di kebon kita ambil kalau hanya untuk dimakan bukan perkara besar. Soalnya zaman itu orang cuma sedikit jumlahnya, kampung sepi, kebon banyak. Sekarang, lebih-lebih di kota, sudah kebanyakan orang yang sebagian terbesar tidak kita kenal. Kalau kelaparan atau kekurangan minta sama siapa? Masing-masing mengurus diri sendiri", lebih lanjut kata teman tersebut. Dalam masyarakat agro- industri seperti yang kita alami di Indonesia sekarang ini, hampir semua kebutuhan untuk hidup layak harus dipenuhi dengan imbalan uang. Kegiatan-kegiatan pelayanan kebutuhan- kebutuhan tersebut, dalam masyarakat, menjadi kegiatan- kegiatan yang terspesialisasi. Yang untuk itu diperlukan pembiayaan.

Berbagai bentuk pelayanan, seperti, bahan-bahan makanan dan makanan jadi, kesehatan, pendidikan formal, ketrampilan, dan bahkan pendidikan agama untuk anak, keamanan, kebersihan lingkungan, air, dan berbagai kebutuhan lainnya, yang dalam masyarakat pertanian tradisional dapat diproduksi sendiri dalam rumah tangga atau keluarga luas pada masa sekarang ini harus dibeli. Prinsip ada uang ada barang berlaku. Sehingga mempunyai anak juga harus direncanakan dengan baik. Biaya melahirkan dan pengasuhan bayi dan anak. Pendidikan sekolah dan berbagai bentuk pendidikan lainnya dan berbagai biaya yang berkaitan dengan itu; serta berbagai biaya lainnya baik untuk anak maupun untuk kepentingan keluarga. Perencanaan yang dilakukan mungkin tidak berdasarkan perhitungan rasional antara modal dan aset-aset yang dipunyai dengan perhitungan biaya-biaya masa depan. Bisa juga perencanaan tersebut dilakukan secara intuitif dengan menabung dalam bentuk uang ataupun benda-benda lainnya yang sewaktu-waktu dapat diuangkan bila diperlukan.

Kehidupan dalam keluarga batih yang berlandaskan pada cinta dan kasih sayang memerrlukan dukungan adanaya kesamaan hak dan kewajiban diantara sesama anggota sesuai dengan kedudukan kekerabatannya dalam struktur keluarga batih. Tanpa adanaya kesamaan hak dan kewajiban maka juga tidak ada interaksi dianatara mereka, yang corak interaksinya spontan dan penuh muatan kasih. Hubungan cinta kasih tidak mengenal hierarki. Begitu ada hierarki dalam kehidupan keluarga batih maka ikatan yang kohesif dari kehidupan keluarga itu menjadi renggang dan keretakan keluarga berada di ambang pintu.

Kehancuran kehidupan dalam keluarga batih akan terutama dirasaka oleh isteri dan anak-anak yang berada dalam kedudukan yang rendah kalau hierarki berlaku. Peran orang tua, terutama ayah, menjadi amat penting. Tetapi peran ini sendiri tidak mungkin dapat mendukung terciptanya keluarga kecil bahagia tanpa adanya sistem-sistem pendukung yang berada dalam masyarakat yang melalui berbagai pranata yang mencirikannya sebagai pranata-pranta masyarakat agro- industri atau modern.

Peran Orang Tua

Seperti yang telah diuraikan tersebut diatas dalam kehidupan keluarga batih muncul kesamaan hak dan kewajiban dari para anggotannya. Kesamaan hak dan kewajiban yang disertai dengan hubungan intim diantara sesama anggota memunculkan adanya individualisme. Setiap anggota keluarga batih minta diperlakukan sebagai seorang individu yang dibedakan dari individu lainnya. Privacy adalah salah satu ciri dari individualisme tersebut. Dan privacy tersebut terwujud dalam kegiatan-kegiatan yang sangat pribadi, seperti di kamar mandi, yang dalam masyarakat tradisional bukan permasalahan privacy tetapi permasalahan susila dan etika. Yang tergolong sebagai privacy dalam keluarga batih menjadi meluas mencakup sebagai bentuk kegiatan yang merupakan kegiatan mandiri, seperti, belajar, membaca, belajar, urusan cinta, tidur dan istirahat. Kesemuanya ini menuntut ruang fisik untuk merealisasinya. Permasalahan ini yang antara lain dihadapi oleh orang tua. Menghadapi diri mereka sendiri dan pasangannya, dan menghadapi anak-anaknya.

Sesungguhnya peran utama orang tua sebagai suami-isteri dalam keluarga adalah berkembang biak dan mengasuh serta membesarkan anak untuk dapat menjadi warga masyarakat yang berguna. Peran yang merupakan perwujudan tindakan-tindakan dalam interaksi dari pelaku sesuai kedudukannya dengan pelaku lainnya sesungguhnya merupakan suatu kenyataan empirik dan bukannya sesuatu yang normatif atau yang ideal. Sehingga, bila peran tersebut sesuatu yang ideal maka dinyatakan sebagai peran yang seharusnya dijalankan oleh si pelaku. Dalam kaitan dengan pembicaraan mengenai peran orang tua dalam keluarga masyarakat agro-industri atau modern dan memahami bahwa keluarga batih adalah suatu satuan kehidupan kekerabatan yang gampang retak, maka pembahasan berikut ini akan dimulai dengan mengidentifikasi peran yang seharusnya dijalankan oleh orang tua untuk menciptakan keluarga kecil atau keluarga batih yang berbahagia. Baru kemudian dibahas kenyataan-empirik mengenai peran orang tua dengan alternatif corak dan dampaknya.

Yang ideal atau yang seharusnya dilakukan oleh orang tua adalah menciptakan suasana rumah (home) sebagai tempat dimana kasih sayang, rasa aman dan tenteram, kebebasan dan pengembangan pribadi, prinsip-prinsip etika dan moral. Pengembangan kepribadian dan intelektual serta ketrampilan, tetapi juga kompetisi dan konflik serta pemecahannya dapat diwujudkan. Peran ideal dari orang tua seperti ini hanya mungkin dapat diciptakan kalau orang tua tersebut secara ekonomi dapat diciptakan kalau orang tua tersebut secara ekonomi dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup keluarganya sesuai dengan patokan yang berlaku dalam masyarakatnya. Langkah pertama dari kemampuan menciptakan suasana rumah (home) seperti tersebut diatas adalah menciptakan peran suami dan peran isteri dalam interaksi mereka sebagai orang tua yang sesuai dengan dan yang akan mendukung terciptanya suasana rumah seperti tersebut diatas.

Peran yang dijalankan oleh suami-isteri yang corak hubungannya adalah otoriter - submisif, atasan - bawahan, atau superior - inferior, tidak akan menciptakan suasana rumah yang dimaksud. Kerjasama dengan prinsip egalitarian yang masing-masing mengakui kelebihan pihak lawan dan mengakui juga kelemahan diri sendiri dalam bidang-bidang kegiatan tertentu adalah landasan dari cinta kasih dalam hubungan suami-isteri yang akan menciptakan suasana rumah tersebut. Cinta kasih tanpa disertai rasa tanggung jawab dan kesetiaan juga tidak ada artinya. Karena ketidak bertanggungjawaban dan penghianatan oleh satu pihak dianggap merugikan oleh pihak lainnya; dan penghianatan membuahkan penghianatan lainnya begitu juga halnya dengan ketidak bertanggungjawaban.

Peran suami-isteri dalam bidang-bidang kegiatan tertentu dalam kehidupan keluarga mungkin harus dilakukan berdasarkan perbedaan jenis kelamin secara biologi dan fisik merupakan suatu prasyarat, seperti, menyusui anak atau tidak mengangkat barang-barang yang berat. Tetapi berbagai peran lainnya, seperti, memasak atau mencuci piring, yang secara kebudayaan dan stereotipik menjadi kodrat perempuan tidak seharusnya dipatrapkan sebagai suatu keharusan sebagai kewajiban isteri karena pekerjaan tersebut adalah kodratnya perempuan. Kemampuan dan kemauan suami untuk mengerjakan domestik yang secara stereotipik dianggap rendah dan stereotipik kodrat perempuan merupakan landasan bagi terciptanya hubungan peran suami-isteri yang egalitarian. Begitu juga pemberian kebebasan kepada isteri dari beban tugas domestik yang secara stereotipik adalah bidang perempuan, untuk berkarir dalam masyarakat adalah sama pentingnya dalam menciptakan suasana rumah.

Kemauan dan kemampuan suami untuk "merendahkan" martabatnya sebagai laki-laki yang superior atau 'penjajah wanita' menurut lirik lagu Ismail Marzuki, teruji pada waktu isteri mengandung. Ini lebih-lebih lagi nampak dalam keluarga yang tanpa pembantu (babu) yang merupakan kepanjangan tangan dari isteri. Kemauan suami tersebut dapat diinterpretasi sebagai ungkapan rasa cinta terhadap isteri, yang menurut ujar-ujar kebijaksanaan nenek moyang kita 'cinta adalah pengorbanan'. Suami mengorbankan martabatnya yang superior supaya sama kedudukannya dengan isteri yang perempuan dan inferior, dan dalam kesamaan tersebut cinta terwujud dan terpelihara.
Dalam masyarakat tradisional bayi yang baru lahir akan mudah memperoleh bantuan perawatan dari orang tua suami- isteri atau kerabat mereka yang perempuan. Laki-laki sama sekali tidak mencampuri urusan tersebut. Tetapi dalam masyarakat agro-industri dimana keluarga batih adalah satuan kehidupan yang otonom, suami yang cinta isteri dan anaknya akan mau 'merendahkan' martabatnya turut merawat bayi mereka. Bahkan dalam pengasuhan dan pembesaran bayi menjadi anak manusia, sesungguhnya bukan hanya pekerjaan perempuan atau isteri saja. Diperlukan juga peran suami atau laki-laki sebagai bapak melalui kasih sayang dan disiplinnya. Karena bayi manusia dilahirkan tanpa kemauan untuk mengembangkan dirinya sendiri; bayi manusia hanya dibekali dengan sistem- sistem syaraf yang berkembang melalui penggunaan bahasa, peralatan, dan kehidupan budaya manusia atau melalui petunjuk dan pengalaman dalam sistem-sistem simbol (Geertz, 1973).

Mengikuti Geertz tersebut diatas, proses pembentukan bayi manusia menjadi anak manusia, melalui pengasuhan oleh orang tua mencakup hal-hal yang mendasar dalam pemenuhan kebutuhan fisik maupun kebutuhan sosial dan kemanusiaan. Kesemuanya ini diserap oleh anak dengan menggunakan pancainderanya menjadi pengetahuan kebudayaannya dan menjadi ciri dari kepribadiannya sebagai manusia. Afeksi dan ungkapan- ungkapan emosi dan perasaan serta disiplin dan etika dan moralitas tidak dapat diajarkan kepada bayi melalui kata- kata. Ini hanya mungkin dilakukan dengan pengasuhan dan bimbingan sehingga bayi dan anak mengalami dengan keseluruhan pancainderanya. Belajar dari melakukan dan mengalami, atau belajar dari pengalaman melakukan kesalahan.

Orang tua yang memperlakukan bayi dan anaknya sebagai bagian tidak terpisahkan dari dirinyalah yang dapat melakukan pengasuhan dengan cinta kasih. Karena dia memperlakukan bayi atau anaknya itu sebagaimana memperlakukan dirinya. Kedudukan orang tua sebagai pengasuh dan pembimbingan anak dengan demikian berada dalam suatu posisi peran yang paradoks. Di satu pihak mereka itu bertindak sebagai orang yang penuh dengan kekuasaan, yang harus didengar kata-kata dan diikuti petunjuk-petuntuknya dan tempat bayi atau anak tergantung makan, minum dan kehidupannya. Sedangkan di lain pihak orang tua adalah teman bermain dan bahkan tunduk pada permintaan-permintaan anak atau melayani kebutuhan-kebutuhan yang diminta anak. Sehingga peran orang tua dalam proses pengasuhan dan pembimbingan serta dalam pendidikan anak dalam keluarga sebetulnya suatu peran yang kompleks dan dinamis yang harus dapat dimainkan dengan secara baik. Dalam satu kegiatan orang tua bertindak sebagai superior atau bahkan otoriter, dalam kegiatan lainnya sama kedudukannya dengan anak, dan dalam kegiatan lainnya lebih rendah inferior atau lebih rendah kedudukannya daripada anak.

Keserasian dan keseimbangan diantara ketiga kedudukan tersebut diatas dalam peran yang dijalankan orang tua dalam interaksinya dengan anak menjadi amat penting dalam proses pertumbuhan pendewasaan anak sebagai manusia, yang mandiri tetapi juga yang sosial, yang santai tetapi juga berdisplin dan bertanggung jawab, yang dapat membedakan yang benar dari yang salah, yang dapat bersikap lembut tetapi juga dapat bersikap keras atau kasar, yang dapat bersikap emosional penuh perasaan tetapi juga dapat berfikir dan bertindak rasional.

Peran orang tua yang dinamik dan kompleks seperti tersebut diatas tidak mudah untuk menjalankannya. Orang tua, suami, isteri, belajar dari pengalaman dalam menjalankan peran satu sama lainnya dalam interaksi persuami-isterian. Dalam masyarakat yang tradisional peran-peran yang dijalankan oleh orang tua lebih sederhana karena didasarkan ata pembedaan jenis kelamin. Ayah sebagai tokoh totaliter dan pusat kekuasaan dalam kehidupan keluarga, dan ibu adalah sumber kasih sayang penguasa urusan-urusan domestik.

Dalam masyarakat modern suami-isteri pada umumnya bekerja terkecuali yang memang berkecukupan dimana isteri tidak bekerja untuk nafkah tetapi untuk amal. Begitu juga beda tingkat pendidikan suami-isteri pada umumnya tidak seberapa. Sehingga kerjasama yang didasarkan pada prinsip egalitarian yang kompleks tersebut dapat dicapai. Permasalahan muncul dalam keadaan dimana suami-isteri bekerja. Anak ditinggal di rumah dalam pengasuhan pembantu. Peran orang tua adalah menghilangkan pengaruh pembantu sebagai sumber identifikasi atau jati diri anak menjadikan mereka sebagai sumber jati diri dan sumber kehidupan dan kemanusiaan anak. Dalam hal ini peran ibu saja tidak cukup menandingi peran pembantu. Peran ayah masih juga diperlukan. Sehingga sebenarnya dalam keluarga kecil masyarakat modern yang diperlukan bukan hanya peran ibu di rumah sebagai kodratnya wanita tetapi juga peran ayah sebagai kodratnya laki-laki. Ini perlu ditekankan karena kompleksnya kemanusiaan manusia, dan kemanusiaan itu berlandaskan pada ciri-ciri kelaki-lakian dan keperempuanan secara bersama-sama. Memanusiakan anak karena itu harus mencakup keduanya. Kalau tidak demikian maka kemampuan ibu menandingi kebudayaan pembantu menjadi terbatas. Salah-salah anaknya orang tua yang terpelajar mempunyai kepribadian-dasar pembantu.

Dalam keluarga kecil masyarakat modern peran orang tua juga mencakup mensekolahkan anak. Orang tua mendorong dan merangsang anak supaya bersekolah dan berprestasi baik di sekolah. Pendidikan sekolah, melalui pengajaran di kelas, sebenarnya adalah pendidikan individualisme. Anak diajar mandiri untuk dapat berpikir secara mandiri. Bekerjasama dalam mengerjakan ujian adalah suatu kesalahan besar. Anak juga belajar bekerja sama dengan yang lainnya dalam pelajaran olahraga, dan anak juga belajar memahami dan berlatih mempertajam ungkapan-ungkapan perasaan dan emosi serta etika dan moralitas melalui pendidikan agama dan pelajaran kesenian. Anak juga diajar berdisplin di sekolah.

Peran sekolah bagi anak dalam mendewasakan dan membuat anak menjadi terpelajar sehingga berguna bagi masyarakat dan bagi dirinya sendiri dalam hidup bermasyarakat amat penting. Sekolah dalam hal ini adalah besaran peran orang tua dalam mengasuh dan membesarkan anak serta memanusiakan anak. Jika sekolah tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik maka adalah tugas orang tua untuk berperan mengisi kekosongan- kekosongan dalam pendidikan anak tersebut. Bila orang tua tidak mampu maka masyarakat dan negara yang harus menangani dalam perbaikannya.

Peran orang tua dalam keluarga juga termasuk memperkenalkan anak pada kerabat-kerabat. Anak diajar mengidentifikasi kategori-kategori kerabat dan bertindak sesuai dengan kategori yang dihadapi dalam interaksi yang dilakukannya. Pengenalan terhadap kerabat dan terciptanya hubungan dengan para kerabat amat penting dalam mengurangi ciri terisolasinya keluarga batih dari para kerabat. Hubungan-hubungan berdasarkan kekerabatan tersebut dapat menjadi hubungan- hubungan sosial dan kerjasama sesuai selera masing-masing secara individual, mengurangi rasa keterasingan anak dari lingkungan kehidupan sosial dalam masyarakat. Peran orang tua sebagai pengasuh dan pembimbing berhenti pada waktu anak menjadi dewasa dan kawin. Tanggung jawab orang tua terhadap anak selesai sudah bahkan anak meninggalkan rumah orang tua membentuk kelompok kerabat sendiri, rumah tangga sendiri, yang otonom dan terbatas dari campur tangan orang tua.

Dalam masyarakat Indonesia, secara aktual, terdapat variasi dari keluarga kecil atau keluarga batih ini. Di satu pihak terdapat keluarga batih yang benar-benar otonom dan terbebas dari pengaruh orang tua masing-masing suami-isteri tetapi di lain pihak terdapat keluarga-keluarga batih dimana orang tua ikut turut campur dalam urusan-urusan domestik suami-isteri tersebut. Begitu juga terdapat keluarga- keluarga yang pada dasarnya adalah keluarga kecil atau keluarga batih tetapi dalam keluarga tersebut juga terdapat kerabat atau orang tua dari pihak suami atau isteri yang menjadi tanggungan suami-isteri tersebut. Adanya kerabat yang tinggal bersama dalam keluarga kecil turut mempengaruhi corak dari peran orang tua dalam pengasuhan dan pembimbingan serta pendidikan anak; dan mempengaruhi juga beban muatan dari transformasi kebudayaan yang disampaikan dan diterima oleh anak. Penelitian mengenai ini perlu dilakukan dalam upaya mengidentifikasi unsur-unsur yang dapat mendukung terciptanya keluarga kecil bahagia sesuai tujuan yang ingin dicapai melalui program KB.

Penutup

Apa yang telah diuraikan dalam makalah ini sebenarnya memperlihatkan bahwa dalam masyarakat modern yang kompleks, jumlah dan tingkat kepadatan penduduk tinggi, serta dijalankannya program KB, akan menghasilkan suatu corak kehidupan keluarga yang tergolong keluarga batih atau keluarga kecil. Masyarakat modern atau agro-industri ini bukanlah masyarakat kekerabatan walaupun secara ideal dan ideologi politik azas kekeluargaan ditekankan pentingnya. Keluarga batih karena itu dilihat sebagai sebuah satuan kekerabatan, otonom dan terisolasi dari satuan-satuan kekerabatan lainnya yang sejenis maupun dari kelompok kerabat yang ada. Karena kecilnya keluarga batih sebagai hasil dari program KB, maka juga dalam kehidupan keluarga batih hubungan diantara sesama anggotanya menjadi intensif.

Corak kehidupan dengan tingkat hubungan yang intensif diantara anggota-anggotanya hanya mungkin dipertahankan keutuhannya kalau didasari oleh cinta dan kasih sayang diantara sesama anggotanya yang disertai dengan rasa tanggung jawab dan kesetiaan. Sebaliknya, dari dasar cinta dan kasih sayang tersebut maka juga indivualisme berkembang, karena masing-masing ingin diperlakukan secara berbeda dari yang lainnya sebagai satuan individu yang unik dan tersendiri. Privacy dalam keluarga batih memperoleh pijakan untuk perkembangannya, dan melalui privacy ini juga hak dan kewajiban individu terhadap sesama berkembang. Ini semua merupakan landasan bagi berkembangnya prinsip egalitarian dalam pola-pola hubungan yang berlaku dalam kehidupan keluarga. Prinsip egalitarian yang kompleks yang para pelaku harus dapat memainkan peranannya sesuai dengan struktur interaksi dan tujuan yang ingin dicapai melalui itu.

Peran orang tua dalam keluarga masyarakat agro-industri ini adalah mengasuh dan membesarkan bayi menjadi anak manusia, dan dari anak menjadi remaja yang dapat bertanggung jawab terhadap dirinya dan terhadap lingkungan sosialnya, dan dari remaja menjadi orang dewasa yang berguna bagi masyarakat. Pengasuhen, pembimbingan, dan pendidikan anak sehingga menjadi orang dewasa yang berguna dalam masyarakat adalah suatu proses kegiatan yang kompleks yang menuntut dukungan kemampuan secara ekonomi, sosial dan kebudayaan dari orang tua. Sebagian dari peran orang tua ini dalam masyarakat agro-industri diambil alih perannya oleh masyarakat dan negara, terutama melalui pendidikan sekolah.

Peran orang tua yang kompleks yang memerlukan dukungan kemampuan ekonomi, sosial, dan kebudayaan dari orang tua menuntut orang tua bukan hanya menghasilkan anak tetapi merencanakan anak lahir, berapa dilahirkan, dan perencanaan kesejahteraan serta pendidikannya sebagai bekal bagi diri anak pada waktu dia dewasa. Peran orang tua, ayah dan ibu, dalam kehidupan keluarga dan dalam pengasuhan dan pendidikan anak adalah sama pentingnya dalam keluarga kecil atau keluarga batih. Karena itu juga hubungan peran ayah dan ibu didasari oleh prinsip hubungan yang egalitarian. Tanpa terwujudnya prinsip egalitarian dalam hubungan peran ayah- ibu atau suami-isteri maka juga kesejahteraan dan kelestarian keluarga kecil yang bahagia tidak akan dapat dipertahankan. Model kekuasaan mutlak ayah dengan segala pengistimewaannya yang berlaku dalam masyarakat tradisional tidak dapat diberlakukan dalam keluarga kecil masyarakat agro- industri. Cinta kasih dan saling menghargai tetapi juga kompetitif dan kerjasama adalah landasan ideal yang mengikat keutuhan kehidupan keluarga batih.

Kepustakaan

Arensberg, C.M. dan S.T. Kimball
1968 Family and Community in Ireland, Cambridge, Mass.: Harvard University Press, Cetakan Ke-2.

Aries, Ph.
1978 "The Family and the City", dalam The Family, oleh: Alice S. Rossi, et.al (eds), New York: W.W. Norton, pp.211-235.

Berkner, L.K.
1978 "The Stem Family and the Developmental Cycle of the Peasant Household: An Eighteen-Century Austrian Example", dalam American Historical Review, No.77, pp.398-418.

Blumberg, R.L. dan R.F. Winch
1972 "Societal Complexity and Familial Complexity: Evidence for the Curvilinear Hypothesis", dalam American Journal of Sociology, Vol.77, No.5, pp.898-920.

Bruner, E.M.
1959 "Kinship Organization of the Urban Batak of Sumatra Transactions", dalam New York Academy of Sciences, No.22, pp.118-125.
1973 "The Expression of Ethnicity in Indonesia", dalam Urban Ethnicity, oleh: Abner Cohen (ed), New York: Tavistock, pp.251-280.

Demos, J.
1970 A Little Commonwealth, New York: Oxford University Press.

Downs, A.
1978 "The Impact of Housing Policies on Family Life in the United States sice World War II", dalam The Family, oleh: Alice S. Rossi et.al (eds), New York: W.W. Norton, pp.163-180.

Goffman E.
1959 The Presentation of Self in Everyday Life: Garden City, New York: Doubleday.

Geertz, Clifford
1973 "The Impact of the Consept of Culture on the Consept of Man", dalam The Interpretation of Cultures, oleh: C. Geertz, New York: Basic, pp.33-54.

Goode, W.J.
1963 World Revolution and Family Patterns, New York: Free Press.

Handlin, O. dan M.F. Handlin
1973 Facing Life: Youth and the Family in American History, Boston: Little, Brown.

Hsu, F.L.K. (ed)
1961 Psychological Anthropology, Homewood, Illinois: Dorsey.

Jeffrey, K.
1972 "The Family as Utopian Retreat from the City: The Nineteenth-Century Contribution", dalam The Family Communes, and Utopian Societies, New York: Harper & Row, pp.21-24.
Linton, Ralph
1969 "The Man", dalam Yale Alumni Review, Januari 1969.

Murdock, G.P.
1949 Social Structure, New York: MacMillan.

Parsons, Talcott
1955 "The American Family: Its Relations to Personality and the Social Structure", dalam Family Socialization and Interaction Process, oleh: T. Parsons dan R.F. Bales (eds), Glencoe, Illinois: Free Press, pp.3-21.
1965 "The Normal American Family", dalam Man and Civilization: The Family Search for Survival, oleh: S.M. Farber et.al. (eds), New York: McGraw-Hill, pp.31-50.

Stephens, W.N.
1963 The Family in Cross-Cultural Perspective, New York: Holt.
Wagatsuma, H.

1978 "Some Aspects of the Contemporary Japanese Family: Once Confucian, now Fatherless?", dalam The Family, oleh: Alice S. Rossi et.al. (eds), New York: W.W. Norton, pp.163-180.

*) Seminar Sehari, Keluarga Indonesia Masa Depan, Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia, Jakarta, 18 Januari 1992
geovisit();

No comments: