Monday, 30 June 2008

IDENTITAS DAN NILAI-NILAI BUDAYA JAKARTA

IDENTITAS DAN NILAI-NILAI BUDAYA JAKARTA*)
Potensi Untuk Pengembangan Wisata Melalui Pranata-Pranatanya
PARSUDI SUPARLAN
UNIVERSITAS INDONESIA


Pendahuluan

Tokoh budayawan Mochtar Lubis (1977) pernah mengatakan bahwa Jakarta mempunyai corak kehidupan yang penuh kontras. Apa yang dikemukakan oleh Mochtar Lubis tersebut sebenarnya bukan hanya suatu kesan saja, tetapi memang merupakan suatu konfigurasi dari tata kehidupan dan cara-cara hidup atau kebudayaan Jakarta. Dari satu segi, yaitu dari pendekatan sistemik atau holistik, mungkin lebih tepat untuk mengatakan bahwa kehidupan atau kebudayaan Jakarta ditandai oleh keanekaragaman. Melihat dan memperlakukan kebudayaan sebagai suatu keanekaragaman adalah sama dengan melihat dan memperlakukan kebudayaan Jakarta sebagai suatu satuan sistem yang terdiri dari unsur-unsurnya yang masing-masing berdiri sendiri tetapi saling berkaitan dan menghidupi. Dalam kerangka pendekatan sistemik atau holistik ini akan saya coba untuk memperlihatkan identitas dan nilai-nilai budaya Jakarta yang penuh dengan keanekaragaman itu dapat dimanfaatkan untuk pengembangan kegiatan-kegiatan wisata yang dapat menguntungkan semua pihak.

Permasalahannya sebenarnya terletak pada kemampuan mengidentifikasi identitas dan nilai-nilai budaya Jakarta secara tepat dan menonjolkan serta memasarkannya sesuai dengan selera wisatawan. Pengorganisasian dan pemanfaatan nilai-nilai budaya Jakarta sehigga selera dengan wisatawan untuk dapat berhasil menuntut adanya hubungan institusional atau secara pranata-pranata yang fungsional diantara pemerintah dengan biro-biro wisata, wisatawan, dan dengan pendukung atau pemilik kebudayaan-kebudayaan yang menjadi sasaran wisata. Permasalahan tersebut menuntut suatu pembahasan khusus dan mendalam serta profesional yang berada di luar jangkauan ruang lingkup makalah ini. Sehingga apa yang ingin dikemukakan dalam makalah ini sebenarnya hanyalah suatu garis besar dalam mengidentifikasi dan memanfaatkan nilai-nilai budaya Jakarta dan mengembangkannya sebagai potensi-potensi wisata. Kerangka landasan argumentasi yang dikemukakan dalam makalah ini bertolak dari dan diilhami oleh disertasi antropolog Philip McKean (1973) yang melihat pariwisata atau turisme di Bali sebagai suatu masalah budaya; dan hubungan antara pemerintah dengan pengusaha wisata dan pendukung kebudayaan Bali di satu pihak dan dengan wisatawan di pihak lain sebagai hubungan prosesual. Dalam hubungan prosesual tersebut muncul gejala-gejala saling memahami, merubah, dan saling mengambil untung dengan kerugian dan keuntungan di pihak masing-masing. Kesemuanya ini didasari oleh prinsip ekonomi pasar.

Identitas dan Nilai-nilai Budaya Jakarta

Keanekaragaman corak kebudayaan Jakarta, sebagaimana dikemukakan diatas, sebenarnya memang merupakan ciri utama corak kebudayaan Jakarta semenjak dulu, yaitu sejak terbentuk dan adanya kota dan masyarakat Jakarta (Batavia). Yang membedakan corak keanekaragamannya yang terdapat dahulu dan sekarang adalah isi dari ciri-ciri atau unsur-unsur yang terdapat dalam kebudayaan dari masing-masing jaman tersebut. Mungkin tidak mudah untuk dapat menunjukkan dengan jelas seperti apa yang menjadi atau dinamakan identitas dan nilai-nilai budaya Jakarta tanpa menggunakan alat atau pendekatan metodologi yang relevan. Karena identitas budaya adalah suatu kesimpulan yang esensial yang berasal dari dan yang muncul dalam interaksi kehidupan sehari-hari diantara berbagai nilai-nilai budaya yang berlainan; yang hasil kesimpulan tersebut dilihat sebagai identitas budaya dari masyarakat yang menjadi pendukung kebudayaan tersebut. Begitu juga halnya dengan nilai-nilai budaya, yaitu sesuatu yang esensial mengenai hakekat hidup dan kehidupan dan harkat martabat manusia serta simbol-simbol yang secara empirik dijadikan sebagai pedoman utama dalam kehidupan sehari-hari yang dijalani oleh pendukung kebudayaan tersebut. Sama halnya dengan identitas budaya, maka juga nilai-nilai budaya, adalah kesimpulan-kesimpulan dari kenyataan-kenyataan empirik yang diwujudkan oleh pendukung-pendukung kebudayaan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Jadi bukan sesuatu yang hanya digagasan atau diangan-angankan oleh seseorang.

Dari satu segi, salah satu pendekatan metodologi yang relevan, adalah melihat kebudayaan Jakarta dengan menggunakan pendekatan kemajemukan (lihat: Suparlan, [1982] yang menggunakan pendekatan ini untuk mengkaji kebudayaan nasional Indonesia). Dengan pendekatan ini maka kebudayaan Jakarta dapat dipilah-pilah, dihubung-hubungkan secara struktural-fungsional, dan masing-masing pilahan dapat dikaji secara tersendiri maupun dalam kaitannya dengan pilahan-pilahan lainnya untuk diperinci ciri-cirinya yang menyolok dan utama yang melandasi corak identitas dan nilai-nilai budayanya. Dengan pendekatan kemajemukan ini kebudayaan Jakarta dilihat sebagai sebuah sistem; yang dalam sistem tersebut tercakup sistem nasional dengan kebudayaan dan nilai-nilai budayanya yang nasional yang secara operasional sebagai pedoman bertindak dibakukan melalui peranata-pranatanya dan terwujud sebagai tindakan-tindakan yang mencerminkan pelakunya sebagai Orang Indonesia. Tindakan-tindakan sebagai Orang Indonesia diwujudkan dalam struktur-struktur perhubungan antar-peranan yang telah didefinisikan oleh pranata-pranata yang bersangkutan. Sistem nasional berada di atas dan menjadi acuan pedoman, secara nyata maupun secara tersamar, bagi sistem-sistem lainnya yang tercakup dalam kebudayaan Jakarta.

Sistem-sistem lainnya yang tercakup dalam dan menjadi bagian dari kebudayaan Jakarta adalah sistem sukubangsa dan/atau etnik dengan kebudayaan dan nilai-nilai budaya sukubangsa dan/atau etniknya. Perwujudan dari kebudayaan dan nilai-nilai budaya sukubangsa ini adalah juga melalui pranata-peranata sukubangsa dan/atau etnik yang bersangkutan, terutama melalui dan ada dalam kehidupan keluarga dan kekerabatan serta seringkali juga terwujud dalam upacara-upacara keagamaan dan sosial dalam kebersamaan diantara mereka yang tergolong dalam satu sukubangsa dan/atau etnik. Sedangkan sistem lainnya adalah sistem yang berlaku sebagai pedoman atau lokal. Sistem ini dapat digolongkan sebagai kebudayaan umum-lokal, karena sebagai pedoman hidup dan bertindak adalah baku dan menjadi tradisi-tradisi yang berlaku setempat atau lokal dalam ruang lingkup kota dan masyarakat Jakarta. Salah satu ciri yang menyolok dari kebudayaan umum-lokal ini adalah mengakomodasi perbedaan-perbedaan kebudayaan diantara pelaku-pelakunya. Kemampuan akomodasi perbedaan-perbedaan ini disebabkan adanya hubungan saling kepentingan diantara pelaku, dan berbagai tatacara formal atau berbelit-belit dan berbunga-bunga disederhanakan dalam simbol-simbol komunikasi yang memudahkan kelancaran terlaksananya hubungan kepentingan diantara pelaku. Yang menonjol atau mendominasi kebudayaan umum-lokal adalah pasar, yang terwujud sebagai pranata- pranata untuk transaksi benda, jasa, dan uang.

Di samping sistem-sistem tersebut di atas ada sebuah sistem lainnya yang kedudukannya marjinal dalam hubungannya dengan kebudayaan Jakarta dan dengan sistem-sistem lainnya. Sistem tersebut adalah kebudayaan asing yang coraknya internasional dan kosmopolitan. Pendukung kebudayaan tersebut, sebagai sebuah golongan sosial, diatur hak dan kewajibannya secara sebagian oleh sistem nasional, dan tidak menjadi bagian sepenuhnya dari pendukung sistem nasional. Hubungan-hubungan kepentingan menjadi nampak menonjol diantara golongan ini dengan golongan-golongan pribumi khususnya dalam kehidupan ekonomi maupun dalam hubungan-hubungan sosial. Akulturasi kebudayaan asing dengan pribumi (secara umum) terwujud melalui kebudayaan-kebudayaan umum-lokal atau pasar, dimulai dengan proses saling meminjam kosa kata dan dapat berlanjut dengan saling minjam-meminjam simbol-simbol dan tatacara.

Dengan menggunakan pendekatan kemajemukan tersebut diatas maka keanekaragaman kebudayaan Jakarta dapat dipahami; yaitu:

1. Jakarta adalah ibukota negara, pusat dari sistem nasional Indonesia dengan segala pranata-pranata dan pengorganisasiannya. Sebagai pusat maka juga penonjolan dari kebudayaan dan nilai-nilai budaya nasional Indonesia menjadi bagian yang inheren dalam sistem nasional tersebut. Dalam sejarahnya Jakarta adalah juga pusat dari perjuangan kemerdekaan nasional Indonesia; sehingga ciri-ciri kebudayaan dan nilai-nilai budaya nasional Indonesia adalah bagian dari tradisi-tradisi kebudayaan Jakarta.
Sebagai ibukota negara Jakarta adalah juga tempat berpusatnya komuniti dan kebudayaan asing, internasional, dan kosmopolitan. Dan ciri-ciri ini juga ada dalam tradisi kebudayaan Jakarta yang memang sejak jaman penjajahan Belanda adalah juga ibukota negara; dan begitu juga jaman pendudukan Jepang. Sehingga kehadiran kebudayaan asing, internasional, dan kosmopolitan dalam kebudayaan Jakarta sebenarnya ada dalam tradisi-tradisi kebudayaannya. Tradisi-tradisi ini terwujud sebagai kemampuan-kemampuan mengakomodasi perbedaan-perbedaan dalam hubungan-hubungan dengan kebudayaan asing tersebut, terutama dalam kebudayaan pasar dan transaksi-transaksi yang berkaitan dengan itu.

2. Sebagai ibukota negara Jakarta adalah juga pusat kegiatan ekonomi dan perdagangan dan salah satu pintu gerbang bagi perdagangan internasional. Bukan hanya dalam jaman republik saja tetapi juga sudah ada dalam tradisi-tradisi yang berkaitan dengan berdiri dan tumbuhnya kota Jakarta sejah dahulu. Sebenarnya dibandingkan dengan sistem- sistem lainnya yang ada dalam kebudayaan Jakarta, sebagaimana yang terwujud dalam kehidupan sehari-hari, kehidupan ekonomi-perdagangan dengan kebudayaan pasarnya itulah sebenarnya yang nampak paling menonjol. Kemenonjolan ini dapat terwujud, disamping kedudukan Jakarta sebagai pusat ekonomi dan perdagangan itu dan pintu gerbang perdagangan internasional, juga oleh kebudayaan perkotaan itu sendiri yang memungkinkan pengembangan kegiatan ekonomi tertier dan hilir serta terutama penekanan kegiatan pelayanan dalam industri dan jasa. Sehingga di Jakarta berkembang beranekaragam kegiatan ekonomi di sektor jasa dan industri, dari yang resmi atau formal coraknya sampai dengan yang informal atau tidak resmi, dan dari yang berskala jutaan rumaih omzetnya per hari sampai dengan yang hanya ratusan rupiah saja. Seorang asing, teman saya pada suatu hari saya ajak berjalan-jalan masuk kampung ke luar kampung, mengatakan kesannya: "Di Jakarta dimana-mana orang berjualan dan selalu ada pembelinya. Nampaknya tidak ada yang tidak laku dijual di Jakarta ini".

Kesan teman tersebut nampaknya ada benarnya, dan didukung oleh kesan-kesan yang berlaku umum bahwa sebenarnya apapun dapat menjadi uang di Jakarta. Bahkan ada sebuah pameo yang dulu pernah populer di Jakarta yang bunyinya: "Ada uang abang sayang...". Ungkapan tersebut mungkin tidak sebenar-benarnya mencerminkan cinta Orang Jakarta yang dengan mudah dapat dibeli dengan uang, tetapi merupakan suatu pencerminan mengenai pentingnya uang dalam kebudayaan Jakarta. Kesan seperti ini terdapat di hampir seluruh masyarakat-masyarakat daerah di Indonesia; Uang gampang dicari di Jakarta asalkan mau bekerja apa saja. Orang Jakarta kaya-kaya, banyak duitnya. Faktor ini mungkin merupakan salah satu penyebab dari kedatangan para pendatang ke dan menetap di Jakarta. Sehingga setiap hari selalu ada pendatang-pendatang baru ke Jakarta, bukan yang datang pulang-pergi dari rumahnya di pinggir/luar Jakarta setiap hari ke Jakarta untuk bekerja atau bersekolah, untuk berjudi mengadu nasib peruntungannya di Jakarta. Pendatang-pendatang baru ini biasanya ditampung oleh keluarga, kerabat, atau orang se-asal yang sudah terlebih dahulu menetap di Jakarta. Pendatang-pendatang baru inilah yang sebenarnya telah turut mempunyai saham melestarikan kebudayaan dan nilai-nilai budaya asal sukubangsa atau etniknya. Sehingga kebudayaan-kebudayaan dan nilai-nilai budaya asal sukubangsa atau etnik di Jakarta justru lestari dan dikembangkan sehingga adaptif dengan kehidupan kota dibandingkan dengan yang di tempat asal masing-masing.

3. Kebudayaan-kebudayaan sukubangsa atau etnik di Jakarta mungkin tidak akan dapat dipertahankan kelestariannya secara kokoh tanpa adanya pendatang-pendatang baru dari daerah asal masing-masing. Tanpa kedatangan para pendatang baru tersebut mungkin kebudayaan-kebudayaan sukubangsa yang sudah ada di Jakarta akan tumbuh dan berkembang menjadi suatu kebudayaan tersendiri dengan pendukung kebudayaan tersebut sebagai suatu golongan sukubangsa atau etnik yang kerangka acuan identifikasinya adalah lokalitas atau daerah Jakarta. Proses ini mungkin saja terjadi, seperti yang pernah terjadi di Jakarta yang memunculkan golongan Orang Betawi dengan kebudayaan Betawinya, sebagai hasil suatu proses melting pot yang berlangsung secara tetap dan lama dari saling hubungan penduduk Jakarta (Batavia) yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia dan luar Indonesia. Proses melting pot tersebut telah terjadi karena adanya dan besarnya peranan kebudayaan umum-lokal yang menjembatani dan mengakomodasi perbedaan-perbedaan kebudayaan diantara mereka, dan membawa serta menggunakan hasil-hasil akulturasi yang berlaku di tempat-tempat umum-lokal mejadi pedoman hidup yang berlaku dalam kehidupan sukubangsa atau etnik, yaitu dalam kehidupan keluarga dan kekerabatan.

Walaupun sebagai sebuah satuan golongan sosial, melting pot yang baru itu tidak terwujud secara jelas batas-batasnya tetapi sebagai sebuah golongan yang longgar identitas Jakarta dan kebudayaannya, yaitu yang berlaku dan digunakan di tempat-tempat umum setempat nampaknya juga sudah menjadi bagian dari kerangka acuan atau pedoman hidup dan bertindak dalam keluarga dan kekerabatan dari keturunan para pendatang yang hidup dan menetap di Jakarta. Kenyataan ini telah menghasilkan corak kebudayaan suku-sukubangsa atau etnik yang lebih kompleks dan beranekaragam. Sehingga ada kebudayaan- kebudayaan yang merupakan hasil melting pot dan ada kebudayaan-kebudayaan yang masih 'asli' dipertahankan sebagai kebudayaan sukubangsa atau etnik.

Dari uraian tersebut di atas mengenai corak keanekaragaman kebudayaan Jakarta mungkin menarik untuk diperhatikan betapa pentingnya arti kebudayaan umum-lokal atau lebih khusus lagi kebudayaan pasar dalam kehidupan Jakarta. Dan dari kenyataan sejarah Jakarta di masa lampau mungkin patut dikemukakan bahwa sebenarnya yang telah turut berperan secara besar dalam membangun Jakarta adalah para pendatang, yaitu melalui kegiatan-kegiatan ekonomi- perdagangan dan malalui kebudayaan pasarnya yang menekankan pada pentingnya arti transaksi, dan nilai uang. Mayling Oey (1977), pernah mengatakan bahwa Jakarta dibangun oleh para pendatang. Apa yang dikemukakannya sebenarnya bukan hanya berlaku untuk kota Jakarta saja tetapi untuk semua kota secara universal. Karena para pendatang tersebut sebenarnya dapat lebih bebas dalam melakukan tawar-menawar (yang dari satu segi dapat dilihat sebagai 'bohong' atau 'menipu' untuk memperoleh keuntungan yang sebanyak-banyaknya dari lawan - atau sama dengan dosa) dibandingkan dengan penduduk setempat yang terikat oleh sistem kontrol sosial melalui komunitinya. Dengan demikianm sebenarnya identitas budaya Jakarta dapat dicirikan sebagai keanekaragaman yang penuh dengan kontras yang masing-masing fungsional dalam ruang-ruang kegiatan masing-masing. Keanekaragaman dan kontras ini didukung oleh niali-nilai budaya yang ada dalam kebudayaan Jakarta yang juga beranekaragam dan kontras. Kalau nilai-nilai budaya yang berlaku dalam kegiatan-kegiatan kantor pemerintah atau upacara-upacara nasional yang resmi, teratur, jujur, dan 'suci' dan dalam kehidupan keluarga dan kekerabatan nilai-nilai budaya yang ditekankan adalah keakraban emosi dan perasaan, keluhuran budi dan adab, serta kesucian; maka dalam kehidupan umum atau pasar yang berlaku adalah nilai-nilai budaya yang menekankan pada kemampuan mengambil untung yang sebanyak-banyaknya dan bukannya masalah-masalah keluhuran budi, kesucian, atau yang sejenis dengan itu. Kontras ini mungkin juga dapat disederhanakan sebagai pertentangan tetapi saling ketergantungan antara wilayah-wilayah suci, luhur, formal, dan akrab disatu pihak dengan wilayah-wilayah yang tergolong sebagai duniawi, dosa, kotor, atau maksiat. Model nilai budaya seperti ini terdapat di semua kebudayaan, hanya pencerminan atau perwujudannya yang tidak seragam; ada yang secara terelaborasi terwujud dalam tradisi-tradisi pembagian ruang-ruang atau penataan ruang pemukiman dan tempat tinggal, seperti yang berlaku dalam kebudayaan Bali, misalnya; tetapi ada juga hanya nampak samar-samar batas-batas perbedaannya. Mekanisme penataan ruang pemukiman atau tempat tinggal dan kegiatan manusia pada umumnya yang dengan jelas diberi batas-batas secara simbolik melalui idiom suci - kotor, dan/atau suci - kotor/suci - kkotor, seperti yang terdapat di Bali, telah memungkinkan bertahannya kebudayaan Bali dalam menanggapi goncangan-goncangan sebagai akibat pariwisata dan modernisasi.

Pariwisata dan Wisatawan

Cohen (1974) mengatakan bahwa pariwisata dapat didefinisikan sebagai kegiatan rekreasi yang dilakukan dengan mengunjungi tempat lain atas kehendak sendiri, yang dilakukan untuk suatu jangka waktu tertentu dengan tujuan untuk memperoleh kesenangan yang berbeda dari yang dialaminya sehari-hari di tempat asal wisatawan; kesenangan yang dimaksud adalah sesuatu yang eksotik. Penenkanan pada sesuatu yang eksotik adalah sangat penting dilihat dari perspektif wisatawan. Sehingga kegiatan wisatawan sebenarnya dapat dilihat sebagai suatu kegiatan yang membebaskan dirinya dari kehidupan rutin sehari-hari yang mekanistik dan membosankan. Kegiatan wisata dilakukan untuk suatu jangka waktu tertentu atau sementara, karena kalau dilakukan dalam jangka panjang, maka si wisatawan akan terjebak lagi dalam struktur mekanistik dan rutin dari kegiatan sehari-hari. Tidak lagi wisata tersebut dilihat sebagai yang menggairahkan.

MacCannell (1976) lebih lanjut menyatakan bahwa wisatawan sebenarnya tergolong dalam dua, yaitu yang hanya ingin menikmati suasana yang eksotik, sebagai orang asing di tempat asing. Golongan ini dinamakannya sebagai wisatawan budaya yang sasaran kenikmatannya adalah pengalaman-pengalaman pribadi yang eksotik dengan melalui kegiatan- kegiatan mengunjungi tempat-tempat rekreasi, gedung-gedung bersejarah, hasil-hasil kesenian, pertunjukan-pertunjukan yang eksotik, atau membebaskan diri dari kungkungan struktur sosial yang berlaku setempat dengan pergi ke tempat rekreasi untuk rileks dengan menghilangkan identitas dirinya. Sedangkan golongan kedua adalah yang dinamakannya sebagai wisatawan etnik. Golongan yang kedua ini tidak lagi hanya menuntut dapat mengalami sesuatu yang eksotik tetapi sesuatu yang otentik. Sesuatu yang betul-betul asli yang tidak dibuat-buat yang dapat dinikmatinya dengan menjalaninya. Masalah otentiknya suatu sasaran wisata tidak menjadi masalah bagi wisatawan biasa tetapi menjadi masalah serius yang dituntut oleh wisatawan etnik.

Dalam kegiatan wisata biasa atau wisata budaya, kehidupan masyarakat setempat yang sehari-hari tidak menjadi bagian perhatian. Yang menjadi perhatian adalah sesuatu yang eksotik yang dipertunjukkan, yang telah diolah sesuai dengan selera dari wisatawan. Sesuatu tersebut dapat berupa karya seni, makanan-minuman, tempat-tempat akomodasi, tempat-tempat rekreasi, atau juga pertunjukan-pertunjukan kesenian setempat. Penduduk atau masyarakat setempatm, dalam hal pertunjukan kesenian, sebenarnya bukan lagi bertindak sebagai penduduk atau warga masyarakat dalam kesehariannya, tetapi sebagai aktor atau para pemain panggung. Dalam hubungan wisatawan dengan penjaja wisata, yaitu penduduk setempat, corak wisata yang dijajakan sebenarnya diarahkan oleh para biro-biro pariwisata dan lebih kongkrit lagi oleh pramuwisata. Peranan dari biro pariwisata sebenarnya bukan hanya mengarahkan corak wisata yang seharusnya dijajakan oleh penjaja-wisata, tetapi juga mengarahkan corak selera yang dinamakan atau digolongkan sebagai eksotik oleh wisatawan. Perubahan-perubahan yang terjadi dalam kebudayaan masyarakat setempat dengan demikian sebenarnya hanya terjadi pada tingkat unsur-unsur kebudayaan yang dijual kepada wisatawan. Sedangkan unsur-unsur yang hakiki yang ada dalam kebudayaan masyarakat tersebut tetap lestari.

Keadaan seperti tersebut diatas berbeda dengan keadaan yang terjadi sebagai akibat dari hubungan penduduk setempat dengan wisata-etnik. Karena yang dituntut sebagai eksotik adalah sesuatu yang otentik dari kebudayaan setempat yang asli, maka wisatawan-etnik hidup dan berhubungan dengan unsur-unsur kebudayaan yang asli yang hakiki yang dipunyai oleh penduduk setempat. Sedikit atau banyak, cepat atau lambat, hasil dari hubungan tersebut menghasilkan perubahan-perubahan. Perubahan biasanya dimulai dengan perubahan- perubahan yang terjadi pada tingkat hubungan timbal balik dalam kegiatan sehari-hari; yang biasanya berlaku berdasarkan azas moral tolong menolong diganti dengan membeli-menjual pertolongan, yaitu dengan menggunakan uang. Dan, sekali sebuah kebudayaan dari suatu masyarakat itu berubah maka kebudayaan yang telah berubah itu tidak mungkin untuk dapat dikembalikan lagi ke pola aslinya yang semula. Biaya dari dampat wisata biasanya terletak disini.
Peranan dari biro pariwisata, yang sebetulnya mewakili atau merupakan kepanjangan dari tangan pemerintah dalam melayani kebutuhan-kebutuhan para wisatawan adalah sangat besar. Peranannya yang besar tersebut mencakup: kemampuan untuk mengidentifikasi sesuatu yang eksotik yang dapat dijual atau dipasarkan sebagai kenikmatan wisata, kemampuan untuk membentuk dan mengarahkan selera wisatawan, mengorganisasi sistem-sistem pelayanan kebutuhan wisatawan, dan kemampuan untuk mengeruk keuntungan yang sebesar- besarnya dari wisatawan atas jasa pelayanan yang diberikan tanpa dirasakan sebagai merugikan oleh wisatawan. Di lain pihak biro pariwisata juga mempunyai peranan dalam mempersiapkan masyarakat dan penduduk setempat dalam menerima kehadiran wisatawan di dalam kehidupan sehari-hari mereka, mempersiapkan masyarakat dan penduduk setempat dalam menjual sesuatu yang eksotik yang dapat turut dinikmati keuntungan ekonominya oleh masyarakat setempat, menghadirkan para wisatawan dalam kehidupan masyarakat setempat yang secara ekonomi menguntungkan tanpa harus menghancurkan nilai-nilai budaya yang hakiki yang menjadi identitas budaya masyarakat tersebut. Dalam hal ini peranan dari biro pariwisata adalah sebagai perantara-kebudayaan yang menciptakan saling pengertian dan saling menguntungkan dalam transaksi jual beli jasa hiburan yang eksotik.

Potensi-potensi Budaya untuk Pengembangan Wisata

Sebetulnya potensi-potensi yang ada dalam kebudayaan Jakarta yang dapat diidentifikasi dan dimanfaatkan untuk dikembangkan sebagai sesuatu yang eksotik untuk para wisatawan itu banyak. Masalahnya yang harus dipikirkan dan dilakukan oleh biro pariwisata, adalah mengidentifikasi sasaran wisata yang sesuai dengan kelompok-sasaran wisatawan, mengembangkan potensi tersebut sehingga sesuai dengan selera wisatawan, mengorganisasi kegiatan-kegiatan kunjungan wisatawan untuk menikmatinya yang dirasakan sebagai murah biayanya oleh wisatawan, dan kemampuan biro pariwisata untuk turut melibatkan masyarakat atau penduduk setempat dalam mengikutkan keberhasilan proyek wisatanya.

Potensi yang mendasar adalah identitas budayanya yang beranekaragam dan penuh kontras yang kondusif terhadap sesuatu yang asing, yaitu wisatawan, untuk dilayani asal ada biaya pelayanannya. Potensi-potensi yang lain adalah kedudukan Jakarta sebagai ibukota negara yang merupakan salah satu pintu masuk bagi wisatawan asing, sebagai transit, yang dapat dimanfaatkan untuk menikmati sesuatu yang eksotik. Adanya kebudayaan umum-lokal atau pasar yang dominan dalam kebudayaan Jakarta sebenarnya merupakan suatu potensi yang menguntungkan karena kegiatan-kegiatan pariwisata sebenarnya dapat dilakukan dan dikembangkan dalam arena-arena ini tanpa harus merugikan kebudayaan nasional maupun sukubangsa. Mungkin yang harus dipikirkan secara lebih matang adalah pengaturan keteraturan dan ketertiban di tempat-tempat umum-lokal atau pasar yang memungkinkan pelayanan wisata dapat menguntungkan semua pihak. Juga pendefinisian tempat-tempat umum-lokal atau pasar, sebagai tempat yang menjadi dominasi kebudayaan yang profan, harus dilakukan secara lebih terperinci atau manta, yang dibedakan dari tempat-tempat atau suasana-suasana nasional dan sukubangsa/keluarga/kerabat yang berisikan nilai-nilai moral dan suci. Pentingya pendefinisian ini adalah dalam rangka menciptakan kegiatan-kegiatan pelayanan wisata yang eksotik, yang profan, yang dibedakan dari kepentingan moral, nasioanl, adab, dan keagamaan.

Mungkin juga harus mulai dipertegas sasaran wisatawan yang seharusnya layak dilayani, yang tidak hanya mencakup wisatawan asing tetapi juga wisatawan Indonesia yang berasal dari Jakarta maupun dari luar Jakarta. Pemanfaatan bangunan-bangunan bersejarah, yang merupakan bagian dari proses pembentukan nasion Indonesia mungkin dapat dilakukan. Ilustrasi menarik yang dapat mengembangkan imaji mengenai masa lampau, dan khususnya yang ditujukan kepada para murid sekolah, dapat membantu usaha pemahaman pengajaran sejarah Indonesia. Juga masih dalam cakupan sistem nasional, misalnya, mengaktifkan keingintahuan calon wisatawan mengenai bagaimana sebenarnya uang dan perangko Indonesia dicetak - sambil mengembangkan hobi numismatik dan filateli yang juga dapat membantu kas negara melalui penjualan benda-benda numismatik dan filateli.

Nostalgia mengenai becak dan sebentar lagi akan hilang peredarannya dari jalan-jalan raya di Jakarta, mungkin dapat juga dimanfaatkan. Mungkin dapat juga diusulkan untuk menggunakan becak sebagai angkutan lokal di Taman Mini, atau di tempat-tempat kunjungan wisata yang kehadiran becak tersebut tidak akan mengganggu lalu lintas tetapi menguntungkan. Secara umum unsur-unsur kebudayaan sukubangsa atau etnik tersebut telah dimanfaatkan dan dijajakan sebagai sesuatu yang eksotrik di pasar. Yaitu makanan dan minuman. Yang patut diperhatikan mungkin masalah kebersihan dan sanitasinya, khususnya yang dijajakan di pinggir jalan atau kakilima. Sedangkan pertunjukan-pertunjukan kesenian, yang bobotnya nasional dan daerah, mungkin belum secara sepenuhnya ditangani untuk dimanfaatkan sebagai program- program yang eksotik.

Potensi-potensi budaya lainnya, yang mungkin perlu dipikirkan untuk dimanfaatkan bagi pengembangan wisata adalah kebudayaan-kebudayaan sukubangsa atau etnik yang ada di Jakarta. Beberapa waktu yang lalu saya melihat pelukisan kehidupan dan kebudayaan Orang Tugu dengan musik kerontjongnya. Seorang teman saya bertanya kepada saya mengapa potensi budaya seperti itu tidak dimanfaatkan sebagai kegiatan wisata yang eksotik; mendengarkan musik kerontjong melalui pertunjukan orkes sambil menikmati kelapa muda? Saya jawab tidak tahu. Mungkin juga karena dianggap tidak menguntungkan. Hal yang sama sebenarnya juga terasa dalam memahami potensi budaya Orang Betawi; atau museum-museum yang ada di Jakarta. Keberhasilan pasar barang antik dan collectibles jalan Surabaya dan toko-toko barang antik Ciputat Raya, misalnya, yang telah menjadi bagian dari program kunjungan wisatawan mungkin patut dipelajari mekanisme model keberhasilannya.

Penutup

Identitas dan nilai-nilai budaya Jakarta sebenarnya dapat dilihat sebagai berpotensi untuk dimanfaatkan bagi pengembangan wisata di Jakarta. Potensi-potensi tersebut tidak akan mungkin dapat dimanfaatkan dan dipasarkan sebagai sesuatu yang eksotik tanpa adanya cara memandang atau memperlakukan potensi-potensi tersebut dari kacamata wisatawan yang mencari dan membayar kesenangan yang eksotik. Sebagai sebuah kegiatan yang melibatkan banyak pihak dengan sendirinya juga usaha pemanfaatan dan pemasaran serta pengaturan wisata tidak mungkin dapat dilakukan secara terpisah dari pengaruh kegiatan-kegiatan lembaga-lembaga lainnya yang ada dalam masyarakat setempat maupun di tempat lain atau secara nasional dan bahkan secara internasional. Diantara hubungan-hubungan yang saling terkait, yang biasanya mendasar, adalah hubungan antara wisatawan - biro wisata - sarana-sarana fasilitas penunjang - pemain/pelaku - penduduk setempat. Kesemuanya ini tidak mungkin dilakukan tanpa adanya program-program menyeluruh dari pemerintah.

Di antara hubungan keterkaitan tersebut yang biasanya menjadi permasalahan adalah hubungan antara turis dengan penduduk setempat, dan antara biro pariwisata dengan penduduk setempat. Masalah tersebut biasanya muncul karena tidak adanya kesadaran warga mengenai arti penting pariwisata dalam konteks nasional maupun lokal. Ketidak adaan kesadaran tersebut sebenarnya dilandasi bahwa penduduk setempat merasa tidak mempunyai kepentingan atau keuntungan maupun dalam kaitan dengan adanya kegiatan pariwisata tersebut. Mungkin ini nampaknya menjadi tugas utama pemerintah untuk secara sistem memperlakukan program pengembangan pariwisata sebagai program yang menyeluruh. Pranata-pranata yang mendukung keberhasilan kegiatan wisata sebenarnya muncul secara spontan, dan menjadi bagian dari tradisi-tradisi.

DAFTAR BACAAN

Casyles, L.
1967 "Ethnic Profile in Jakarta", dalam Indonesia, VIII, April.

Cohen
197? "Who is a tourist?", dalam Sociological Review, pp.527-555.

Lubis, M.
1977 "Jakarta Penuh Kontras", dalam Prisma, No.5, Mei 1977.

MacCannel, D.
1976 The Tourist: A New Theory of the Leissure Class, New York: Shocken.

MacKearn, Ph.P.
1973 Cultural Involution: Tourist, Balinese, and the Process of Modernization inAnthropological Perspective, Ph.D. Thesis, Brown University.

Mayling, Oey
1977 "Jakarta Dibangun Kaum Pendatang", dalam Prisma, No.5, Mei 1977.

Suparlan, Parsudi
1982 Strategi Pembangunan Kebudayaan Nasional, Makalah disampaikan pada Florektiu Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

*) Jakarta, 29-30 Maret 1989

No comments: