Wednesday, 23 July 2008

KAJIAN ANTAR BIDANG

KAJIAN ANTAR BIDANG

Parsudi Suparlan
Universitas Indonesia


Dalam Kata Pengantar untuk buku terjemahan Etika Akademis yang ditulis oleh Edward Shils (1992: viii), saya kemukakan bahwa “perguruan tinggi atau universitas…. muncul dan berkembang dalam kehidupan masyarakat karena kehadirannya dirasakan penting oleh masyarakat tersebut dalam upaya pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pendidikan tinggi bagi para warganya…..” Apa yang saya kemukakan tersebut menuntut penjelasan mengenai makna-makna yang tercakup di dalamnya. Penjelasan yang akan mendudukkan posisi perguruan tinggi atau universitas sebagai pranata yang menyelenggarakan pendidikan tinggi, mengembangkan ilmu pengetahuan, dan melakukan kegiatan-kegiatan yang langsung atau tidak langsung turut mensejahterakan kehidupan warga masyarakat yang telah turut membiayai keberadaannya. Salah satu diantara berbagai kegiatan dari universitas Indonesia, sebagai sebuah pranata pendidikan tinggi, adalah menyelenggarakan program-program kajian antar-bidang pada tingkat magister.

Tulisan berikut ini berusaha untuk menyajikan uraian mengenai kajian antar-bidang sebagai sebuah pendekatan atau paradigma dalam dan bagi penyelenggaraan pengajaran dan kegiatan ilmiah serta kegunaannya dalam turut mensejahterakan kehidupan warga masyarakat secara langsung atau tidak langsung. Uraian mengenai kajian antar-bidang akan berupaya menunjukkan perbedaan yang mendasar dan umum, walaupun bercorak arbitrer, antara penyelenggaraan pendidikan dalam program antar-bidang dengan program mono bidang dan dengan multi-bidang. Secara lebih khusus akan ditunjukkan corak dan program antar-bidang dan kegunaannya dalam aplikasinya bagi kehidupan masyarakat yang bersangkutan.

Imu Pengetahuan dan Penggolongannya

Taylor (1985: 26-33) menyatakan bahwa ada perbedaan yang mendasar antara ilmu-ilmu pengetahuan alamiah (natural sciences) dan ilmu-ilmu pengetahuan kemanusiaan (human sciences). Perbedaan mendasar tersebut disebabkan oleh paradigma yang mendasar yang memang berbeda. Ilmu-ilmu pengetahuan alamiah adalah kajian mengenai gejala-gejala alamiah yang tujuannya untuk menemukan hukum-hukum yang merupakan hakekat dan hubungan-hubungan diantara gejala-gejala tersebut. Dalam kajian-kajian seperti ini tidak diperlukan adanya interpretasi dari yang dikaji, karena tujuan yang ingin dicapai adalah pemecahan masalah dari teka-teki yang terwujud dalam dan dari hubungan-hubungan diantara gejala-gejala alamiah yang dikaji tersebut. Ilmu-ilmu pengetahuan kemanusiaan, berbeda dan bahkan sebaliknya dari paradigma ilmu-ilmu pengetahuan alamiah adalah bertujuan untuk memahami kelakuan manusia dan ungkapan-ungkapannya dan oleh karena itu bercorak interpretif atau hermeneutik. Landasan pikirnya adalah karena pada dasarnya manusia itu mahluk pemikir atau penginterpretasi dirinya sendiri dan lingkungannya. Sedangkan sasaran kajian ilmu-ilmu pengetahuan alamiah adalah obyek-obyek yang tidak menginterpretasi dirinya dan lingkungannya.

Apa yang telah dikemukakan oleh Taylor tersebut adalah memperbedakan secara tegas antara ilmu-ilmu pengetahuan alamiah dan yang bukan, yang diperlakukannya sebagai sebuah golongan dengan ciri-cirinya yang hermenetik atau interpretif. Apa yang telah dilakukannya adalah mengabaikan kenyataan betapa besar pengaruh dari ilmu-ilmu pengetahuan alamiah terhadap perkembangan dari ilmu-ilmu pengetahuan kemanusiaan, terutama dalam apa yang biasanya digolongan sebagai ilmu-ilmu pengetahuan sosial. Menurut konvensi yang umum berlaku, secara tradisional, ilmu pengetahuan digolongkan dalam tiga golongan, yaitu: ilmu-ilmu pengetahuan alamiah (natural sciences), ilmu-ilmu pengetahuan sosial (social sciences), dan ilmu budaya atau humaniora (humanities). Pertentangan yang mendasar yang ada diantara golongan-golongan tersebut adalah antara ilmu-ilmu pengetahuan alamiah dengan humaniora, dimana masing-masing mempunyai paradigma yang tidak dapat didamaikan sebagaimana pendapat Taylor seperti tersebut di atas.

Sedangkan ilmu-ilmu pengetahuan sosial, di satu pihak, mempunyai ciri-cirinya yang berusaha untuk menjadi seperti ilmu-ilmu pengetahuan alamiah, yang karena itu biasanya dinamakan bercorak positivistik. Paradigma positivistik ini memperlakukan gejala-gejala sosial dan kemanusiaan sama dengan gejala-gejala alam, dan karena itu metode-metode yang digunakan serta kajian-kajian yang dihasilkan adalah bertujuan untuk menghasilkan hukum-hukum yang mempunyai corak obyektif, berlaku umum atau universal; dan tehnik-tehnik yang dilakukan adalah melakukan pengukuran-pengukuran dan karena itu teori-teori yang dihasilkannya adalah kecenderungan-kecenderungan. Kajian seperti ini menggunakan dan mengembangkan pendekatan kuantitatif. Sedangkan dipihak lain, dalam ilmu-ilmu pengetahuan sosial juga berkembang dan mantap pendekatan kualitatif yang interpretif, sebagaimana yang ada dalam paradigma humaniora. Penekanan dari paradigmanya adalah pemahamamn (verstehen atau understanding). Dalam sejarah ilmu pengetahuan, selama ini pendekatan kuantitatif yang positivistik telah mendominasi ilmu-ilmu pengetahuan sosial; dan baru pada dekade terakhir ini pendekatan yang kualitatif dan interpretif menunjukkan keunggulannya sebagai sebuah metodologi dan bahkan sebuah paradigma yang dinamakan constructivism dan postpositivism (terdapat dalam antara lain tulisan-tulisan yang di-edit oleh Guba, 1990)

Penggolongan Ilmu Pengetahuan dan Pembidangannya

Masing-masing golongan ilmu pengetahuan, seperti tersebut di atas, terdiri atas bidang-bidang atau disiplin-disiplin (disciplines). Masing-masing bidang tersebut dapat dibedakan antara yang satu dari yang lainnya karena masing-masing mempunyai paradigma-paradigma yang mendasar yang berbeda satu dari yang lainnya. Paradigma masing-masing bidang tersebut didukung oleh perangkat-perangkat teori-teori dan konsep-konsep, metodologi-metodologi atau pendekatan-pendekatan dan metode-metode yang digunakan dalam kegiatan-kegiatan penelitian. Konsep kunci yang digunakan dalam pembidangan, juga dalam penggolongan ilmu pengetahuan, adalah paradigma (paradigm). Dalam pengertian umum, paradigma diartikan sebagai sebuah model yang harus diikuti atau ditiru. Paradigma juga dapat diartikan sebagai sebuah keyakinan yang melandasi sudut pandang atau cara melihat dan memperlakukan gejala-gejala yang menjadi sasaran kajian yang tercakup dalam ruang lingkup permasalahan yang menjadi perhatian.

Dalam dunia ilmiah, konsep ini menjadi konsep kunci dalam penggunaannya oleh Thomas Kuhn (1970), di mana dia tunjukkan bahwa dalam ilmu pengetahuan biasa (normal science), yaitu ilmu pengetahuan alamiah, paradigma atau konsensus ada dan hidup dalam komuniti ilmiah yang isinya adalah mengenai aturan-aturan metodologi dan teori yang harus diikuti, instrumen-instrumen yang harus digunakan, masalah-masalah yang harus diteliti, dan patokan-patokan penilaian kegiatan-kegiatan penelitian. Dengan kata lain, sebuah paradigma adalah sebuah keyakinan ilmiah, yang merupakan sebuah sudut pandang dalam hal melihat dan memperlakukan gejala-gejala, kegiatan-kegiatan penelitian atau pengkajian, dan dalam menilai kesahihan sesuatu kegiatan penelitian dan hasil-hasilnya. Sebuah paradigma ada dalam keyakinan para ilmuwan yang secara bersama-sama merupakan sebuah komuniti ilmiah. Komuniti ilmiah inilah yang menjadi pendukung utama dan menentukan sesuatu corak paradigma ilmiah yang menjadi keyakinan ilmiah komuniti ilmiah tersebut. Lebih lanjut Kuhn, dalam bukunya tersebut (1970), menyatakan bahwa sebuah paradigma itu ada bukan merupakan sebuah hasil dari proses evolusi dari paradigma-paradigma sebelumnya, tetapi merupakan hasil dari sebuah revolusi di mana sesuatu paradigma yang baru menyingkirkan atau menggeser paradigma atau paradigma-paradigma yang sudah ada sebelumnya. Karena, setiap paradigma merupakan sebuah keyakinan tersendiri mengenai sebuah dunia ilmiah yang mencerminkan kegiatan kegiatannya, yang tidak mungkin direduksi untuk dikombinasikan dengan sebuah paradigma lainnya mengenai dunia ilmu pengetahuan yang sama­sama menjadi kajiannya.

Karena itu dalam sebuah bidang ilmiah, seperti sosiologi atau antropologi, yang merupakan produk dari paradigma-paradigma positivisme dan hermeneutika, bidang-bidang dalam ilmu pengetahuan sosial tersebut tidak hanya mempunyai sebuah paradigma tetapi banyak paradigma (multi paradigms). Masing-masing paradigma dalam antropologi, misalnya mempunyai dunia ilmiah berikut konsep-konsep, teori-teori, metodologi atau pendekatan yang masing-masing berbeda satu dengan lainnya. Masing-masing penganut paradigma memahami batas-batas dunia ilmiahnya masing-masing yang dibedakan dari dunia ilmiah yang dipunyai oleh paradigma yang lainnya; dan para penganut masing-masing paradigma hanya akan menggunakan metodologi, konsep-konsep, dan teori-teori yang tergolong dalam paradigmanya. Contohnya adalah paradigma materialisme budaya (cultural materialism) dari Marvin Harris tidak mungkin dapat bertemu atau bergabung dengan paradigma relativisme budaya (cultural relativism) yang interpretif dari Clifford Geertz.

Di samping itu, bidang-bidang ilmiah seperti antropologi, sosiologi, psikologi, atau lainnya, juga mengembangkan kajian-kajian yang tergolong sebagai sebagai kajian antar-bidang. Kajian-kajian antar-bidang sebetulnya adalah kajian-kajian yang menggunakan pendekatan atau metodologi yang berasal dari dua paradigma atau lebih. Lalu, bagaimana hal itu dapat terjadi bila paradigma menggeser paradigma lainnya, sebagaimana dikemukakan oleh Thomas Kuhn (1970) ?


Kajian Antar Bidang

Kajian antar-bidang pada dasarnya dimulai pada waktu seorang ahli dari sesuatu bidang ilmiah mencoba untuk menggunakan sejumlah konsep dan atau teori yang ada dalam sesuatu bidang ilmiah lainnya, yang berguna dalam turut membantu memahami sesuatu gejala yang menjadi masalah kajiannya. Apa yang dilakukan oleh si ahli tersebut sebenarnya adalah pengambil alihan konsep-konsep dan atau teori-teori dari sesuatu bidang ilmiah yang lain yang ditransformasikannya menjadi konsep-konsep dan teori-teori dari bidang ilmiah yang menjadi keahliannya. Kegiatan ilmiah seperti ini bisa terjadi dalam bidang-bidang ilmiah yang terbuka sistem-sistem paradigma atau metodologinya. Bidang-bidang ilmu pengetahuan sosial dan humaniora pada umumnya mempunyai sistem-sistem yang terbuka dibandingkan dengan bidang-bidang ilmu pengetahuan alamiah, sehingga pinjam meminjam konsep dan teori, bahkan pinjam meminjam metodologi dan paradigma bisa saja terjadi. Antropologi, misalnya, yang pada tahap pertama perkembangan sejarahnya hanya berupa kumpulan informasi mengenai masyarakat dan kebudayaan di luar Eropa Barat, disistematikkan menjadi sebuah bidang ilmu pengetahuan karena meminjam evolusionisme yang berasal dari biologi dan menjadikannya sebagai paradigmanya.

Pengambil alihan paradigma atau metodologi ataupum pengambil alihan konsep-konsep dan teori atau metode-metode dari sesuatu bidang ilmiah lainnya untuk dijadikan milik bidang ilmiah yang ditekuni tidaklah menghasilkan sebuah pendekatan antar-bidang. Karena yang terjadi adalah penguatan keilmiahan sebuah bidang ilmiah. Sedangkan dalam pendekatan antar-bidang, paradigma atau metodologi dari dua bidang ilmiah atau lebih digabungkan menjadi satu sehingga terwujud sebagai sebuah metodologi yang baru yang relevan atau berguna dalam ruang lingkup permasalahan yang menjadi kajiannya. Pendekatan antar-bidang biasanya terwujud sebagai jawaban atas pertanyaan mengenai cara-cara yang terbaik dalam mendefinisikan masalah-masalah kajian dan dalam memperoleh data sahih. Masalah-masalah kajian yang biasanya berada di luar dan masalah-masalah kajian yang biasanya menjadi perhatian ilmiah sesuatu bidang, atau karena merupakan masalah-masalah kajian yang biasa menjadi perhatian dua bidang ilmiah atau lebih. Karena permasalahan perhatian yang menjadi kajiannya itu mempunyai corak yang terkomplikasi dengan pendekatan-pendekatan atau metodologi yang berbeda maka diperlukan pendekatan yang antar-bidang. Atau, untuk itu maka diperlukan acuan-acuan konsep dan teori yang terintegrasi yang memungkinkan bagi dilakukannya pembuatan secara deduktif hubungan-hubungan yang jelas diantara hipotesa-hipotesa atau teori-teori; yang memungkinkan untuk dapat digunakannya sebagai acuan metodologi. Karena itu, sebuah pendekatan atau kajian antar-bidang mempunyai paradigma dan metodologi yang tersendiri yang tidak sama dengan paradigma-paradigma dan metodologi bidang-bidang ilmiah induknya. Pendekatan antar-bidang dengan demikian dapat dikatakan sebagai sebuah paradigma yang mencakup metodologi, teori-teori, konsep-konsep, metode-metode dan bahkan label-label yang khusus menjadi ciri-cirinya yang berbeda dari metodologi atau paradigma dan pendekatan antar-bidang atau sesuatu bidang ilmiah lainnya. Kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh seorang ahli atau ilmuwan dalam upayanya untuk meneliti sistem kepribadian sebagai sebuah kajian antar-bidang, dapat dilihat dalam tulisan Miller (1970).Dalam kehidupan ilmiah di perguruan tinggi, pendekatan antar-bidang bisa terwujud sebagai sebuah kegiatan penelitian, sebagai sebuah mata kuliah atau bidang pengajaran, atau sebagai sebuah program pendidikan atau program kajian. Kegiatan penelitian atau pengajaran yang bercorak antar-bidang biasanya dilakukan oleh seorang ahli atau ilmuwan yang bukan hanya ahli dalam bidang ilmiahnya saja tetapi yang juga mempunyai perhatian dalam bidang-bidang ilmiah lainnya dan yang mempunyai kemampuan metodologi yang mencukupi. Karena tidak semua ahli atau ilmuwan sesuatu bidang ilmiah itu mempunyai perhatian di luar bidang-bidang perhatian ilmiahnya tersebut. Sebuah kajian antar-bidang biasanya didesain untuk memahami atau mengukur sesuatu masalah kajian yang berada di luar tradisi kajian sesuatu bidang ilmiah, yang dilakukan sesuai dengan kegunaannya. Kajian antar-bidang menghasilkan teori-teori yang relevan dengan dan berguna bagi pemecahan yang komprehensif bagi masalah-masalah yang menjadi sasaran kajiannya, yang belum tentu dapat dihasilkan oleh kajian bidang ilmiah untuk masalah kajian yang sama. Kalau kajian-kajian yang dihasilkannya tidak berguna maka kajian antar-bidang tersebut akan ditinggalkan atau hasil-hasil kajiannya tidak digunakan.

Sebuah penelitian mengenai program pariwisata sebagai sebuah program pembangunan misalnya, bila hanya dilakukan oleh ahli ekonomi atau ahli sosiologi atau ahli antropologi yang melakukannya sesuai dengan keahlian menurut bidang masing-masing akan menghasilkan kajian pariwisata dalam perspektif ekonomi, perspektif sosiologi, dan perspektif antropologi. Mungkin hasil penelitian mereka itu dapat dianalogikan dengan contoh terkenal mengenai tiga orang buta yang menceritakan hasil penelitian mereka masing-masing mengenai apa yang dinamakan gajah dengan cara meraba bagian-bagian tubuh gajah yang teraba oleh mereka. Pariwisata sebagai sebuah program pembangunan dengan banyak dimensi menuntut pengkajian yang antar-bidang, atau mungkin pengkajian multi bidang yang komprehensif karena pariwisata sebagai sebuah program pembangunan mempunyai banyak dimensi yang tidak mungkin dapat dipahami dan dipecahkan masalahnya secara komprehensif dan menyeluruh oleh hanya dari satu perspektif bidang ilmiah. Saya telah mencoba untuk melihat pariwisata sebagai program pembangunan yang top-down di Bali yang telah berhasil dengan baik sampai dengan tahun 1980-an, yang saya lakukan secara antar-bidang dengan memperhatikan hakekat pariwisata, konsep-konsep pembangunan dan pengetrapannya, struktur sosial dan corak kebudayaan Bali, dan kebijaksanaan pariwisata di Bali (Suparlan, 1993).

Hal yang sama juga berlaku dalam mata kuliah yang bercorak antar-bidang Antropologi Agama. Perubahan Sosial dan Pembangunan, misalnya, menuntut sebuah silabus yang isinya adalah metode yang antar-bidang. Dalam bidang ilmiah atau disiplin antropologi, kajian mengenai agama merupakan tradisi kegiatan-kegiatan pengajarannya sejak muncul dan berkembangnya antropologi sebagai sebuah bidang ilmu pengetahuan. Mata kuliah agama dalam antropologi biasanya terfokus pada perspektif evolusi, difusi, fungsionalisme, strukturalisme yang merupakan paradigma-paradigma dalam antropologi (lihat: Koentjaraningrat, 1990). Hakekat agama sebagai keyakinan yang diyakini kebenarannya oleh masing-masing pemeluknya sebagaimana tertuang dalam teologi dari: masing-masing agama tidak pernah diperhatikan. Karena dalam tradisi kajian antropologi tersebut, agama adalah gejala-gejala yang menjadi sasaran kajian dan bukan sebagai keyakinan yang hidup dalam masyarakat dari pribadi anggota masyarakat yang bersangkutan. Keyakinan keagamaan tersebut sebenarnya adalah teologi yang ada dalam kehidupan yang nyata dari para pemeluk agama yang bersangkutan, yang keberadaannya mengacu pada teologi yang ada dalam teks-teks suci agama masing-masing pemeluk. Antropologi Agama atau kajian antropologi mengenai agama masa kini berbeda dari yang secara tradisional dilakukan dalam antropologi, karena coraknya yang antar-bidang yang bukan hanya mengacu pada teori-teori dari paradigma-paradigma yang ada dalam antropologi tetapi juga mengacu pada paradigma-paradigma yang ada dalam filsafat dan teologi (lihat antara lain, Morris 1987).

Kajian antar-bidang sebagai sebuah program pendidikan mempunyai prinsip-prinsip yang sama dengan yang berlaku dalam penelitian dan penyelenggaraan sesuatu mata kuliah. Sasaran dan ruang lingkup, tujuan yang ingin dicapai melalui program pendidikannya, paradigma yang digunakan sebagai acuan utama dalam pembuatan kurikulum dan pelaksanaan pendidikannya, harus dapat ditunjukkan setidak-tidaknya secara implisit melalui kurikulum dan penyelenggaraan perkuliahannya. Pendekatan antar-bidang sebagai sebuah program pendidikan dapat dilihat sebagai sebuah paket pendidikan yang menghasilkan sesuatu keahlian yang khusus sesuai dengan tujuan didirikannya program kajian antar-bidang tersebut. Paket pendidikan yang dimaksud adalah pendidikan keahlian yang bercorak akademik atau ilmiah yang mencakup keahlian penelitian dan analisis dalam batas-batas tertentu, dan yang karena itu tidak sama dengan kursus. Walaupun kegunaan dari hasil pendidikan program kajian antar-bidang itu lebih bercorak praktikal tetapi program kajian tidaklah didesain sebagai sebuah program pendidikan tukang. Karena itu mau tidak mau dalam paket pendidikan tersebut tercakup juga pendidikan yang bercorak akademik atau intelektual, yang menunutut para mahasiswa atau alumninya untuk mempunyai kemampuan keahlian dalam penelitian ilmiah atau dalam diskursus intelektual dan akademik.

Kalau kita memperhatikan Kajian Wilayah Amerika, yang ada di U.I., program kajian ini adalah program kajian antar-bidang. Sebagai program antar-bidang Kajian Wilayah Amerika adalah sebuah paket yang berbeda dari program-program yang sama yang ada di Amerika Serikat yang bercorak banyak bidang atau multi bidang. Dalam program-program Kajian Amerika di Amerika Serikat, ada ahli-ahli ilmu politik, antropologi, sosiologi, komunikasi, jurnalisme, bahasa, kesusasteraan, dan berbagai bidang keahlian lainnya, yang secara bersama-sama tergabung dalam sebuah program kajian sebagai faculty atau para ahli yang secara bersama-sama membentuk dan merupakan sebuah satuan paradigma yang komprehensif yang menjadi ciri program kajian tersebut. Sedangkan program Kajian Wilayah Amerika di U.I. dibuat sebagai sebuah paket yang bercorak antar-bidang, karena secara ekonomi lebih menguntungkan mengingat tenaga pengajar yang berkeahlian serta dana pembiayaan yang tersedia itu terbatas.
Sebagai sebuah kajian antar-bidang Kajian Wilayah Amerika dimulai sebagai sebuah perluasan dari kajian mono bidang ilmiah, yaitu program pendidikan Jurusan Bahasa Inggris, Fakultas Sastra U.I. Programnya yang kemudian menjadi antar-bidang dapat dilihat sebagaimana tercermin dalam kurikulumnya (Suparlan, 1992). Karena itu tidaklah masuk akal bila dalam Kajian Wilayah Amerika disajikan perkuliahan hubungan internasional, karena mata kuliah hubungan internasional tidaklah termasuk sebagai unsur yang mendukung terwujudnya kajian mengenai Amerika.

Adalah juga tidak masuk akal bila dalam Kajian Wilayah Amerika ada mahasiswa-mahasiswa yang membuat tesis yang tergolong sebagai tesis Hubungan internasional. Mereka yang berminat pada Hubungan Internasional sebaiknya mengikuti program pendidikan Hubungan Internasional yang diselenggarakan di FISIP-U.I. atau dalam Program Pascasarjana FISIP-U.I. Atau, adalah juga tidak masuk akal, bila dalam program Kajian Wilayah Amerika juga dikembangkan Kajian Linguistik Amerika, atau Filsafat Amerika, atau Sejarah Amerika. Program-program tersebut adalah program bidang ilmiah yang monolitik, sebagaimana yang diselenggarakan di U.I., atau dalam pendidikan tinggi di universitas manapun di dunia ini, yang terwujud sebagai Program Linguistik, Filsafat, dan ilmu Sejarah. Karena paradigma dan program-program tersebut adalah paradigma-paradigma sesuatu bidang ilmiah dan bukan paradigma antar-bidang. Paradigma yang mencirikan corak antar-bidang muncul dari masalah dan ruang lingkup yang menjadi tujuan penyelenggaraan program kajian itu dan bukan dari atau dengan mengikuti sesuatu paradigma bidang ilmiah yang sudah ada, baku, dan berlaku universal. Linguistik misalnya, mempunyai paradigma-paradigma yang baku dan berlaku universal. Bahasa Inggris Amerika, Jawa, Indonesia, Rusia adalah sasaran kajiannya sedangkan paradigmanya adalah linguistik. Ini berbeda dengan Kajian Wilayah Amerika atau Kajian Ilmu Pengetahuan Kepolisian atau Kajian Ketahanan Nasional yang ada dalam Program Pascasarjana Universitas Indonesia misalnya, di mana paradigma-paradigma yang dipunyai oleh tiga contoh kajian tersebut telah dibangun dari berbagai paradigma yang berasal dari berbagai disiplin atau bidang ilmiah yang relevan dengan tujuan pembentukan program-program kajian tersebut.


Penutup

Sebuah program pendidikan kajian yang antar-bidang hanya mungkin dapat tetap ada dan berkembang bila program tersebut dapat menghasilkan lulusan yang mempunyai kegunaan dalam dan bagi masyarakat yang bersangkutan. Lulusan atau alumni yang ahli dan handal dalam bidangnya memungkinkan keberadaan program kajian antar-bidang tersebut tetap dibutuhkan oleh masyarakat pengguna dan tidak akan menjadi beban bagi masyarakat. Mutu lulusan atau alumninya antara lain ditentukan oleh kurikulum yang dijadikan pedoman penyelenggaraan program dan oleh mata-mata kuliah yang disajikan oleh para pengajarnya. Sebuah program kajian antar-bidang juga hanya mungkin dapat mempertahankan mutu ilmiahnya bila para pengajar dan alumni yang dihasilkannya dapat mewujudkan diri sebagai sebuah komuniti ilmiah. Melalui kegiatan-kegiatan para anggota komuniti ilmiah tersebut, perhatian terhadap kajian pemantapan kajian, serta penajaman dan kesahihan metodologi serta teori-teori yang dipunyainya dapat dikembangkan melalui diskusi-diskusi atau seminar-seminar dan publikasi ilmiah. Asosiasi alumni dapat dilihat sebagai sebuah komuniti ilmiah bila kegiatan asosiasi ini memang ditujukan untuk memacu anggota-anggotanya agar dapat melakukan kegiatan-kegiatan ilmiah. Karena itu tidaklah wajar bila sebuah asosiasi ahli-ahli kajian antar-bidang membuat seminar yang para pembicaranya adalah orang luar atau politisi atau pejabat pemerintah yang berbicara mengenai materi atau substansi yang menjadi perhatian ilmiah dari asosiasi ilmuwan kajian tersebut, sedangkan para anggota asosiasi tersebut hanya diperlakukan sebagai pendengar atau penonton saja. Corak kegiatan seminar seperti tersebut di atas hanya mengungkapkan ketidakmampuan asosiasi kajian tersebut sebagai sebuah komuniti ilmiah. Atau kejadian tersebut dapat dilihat sebagai sebuah pencerminan ketidakpercayaan diri dari para anggotanya sebagai ilmuwan yang ahli dalam bidang kajian yang ditekuninya. Bila hal ini terjadi dari waktu ke waktu, salah-salah kajian ini tidak akan ada lagi peminatnya karena para lulusannya dianggap tidak mempunyai kemampuan keahlian sesuai dengan tujuan diadakannya program kajian tersebut.

Sebagai akhir kata, sebagaimana yang telah pernah saya kemukakan (Suparlan, 1992), sebuah kajian antar-bidang juga dapat menyajikan pendidikan tingkat doktor. Mungkin ada baiknya bila saya menyajikan sebuah analogi pengertian Master dan Doktor sebagaimana yang ada dalam kehidupan orang awam. Master artinya yang berkeahlian, dan Doktor artinya yang dapat mengobati atau memperbaiki sesuatu kesulitan yang dirasakan sebagai masalah yang merugikan dalam kehidupan manusia. Patut dicatat bahwa program kajian antar-bidang dibuat sesuai dengan kegunaannya dalam kehidupan masyarakat yang bersangkutan; dan bahwa corak kegunaan praktikalnya lebih menonjol daripada corak akademik atau intelektualnya walaupun sama sekali tidak berarti sama dengan dapat atau boleh tidak ilmiah. Oleh karena itu maka doktor yang dapat dihasilkan dalam sesuatu bidang kajian yang antar-bidang dengan demikian adalah doktor yang mempunyai keahlian akademik yang ilmiah yang dapat mensajikan formulasi atau tesis untuk sesuatu pemecahan masalah sesuai dengan bidang kajiannya.
Untuk itu, sebuah kajian antar-bidang hanya mungkin dapat menyajikan pendidikan doktor bila bidang kajian tersebut bila mempunyai komuniti ilmiah yang mantap, jurnal ilmiah yang bermutu, dan adanya semacam permintaan dari masyarakat pengguna mengenai dibutuhkannya keahlian doktor dalam turut menangani pemecahan masalah-masalah yang dirasakan penting oleh masyarakat tersebut.



Daftar Pustaka

Guba. Egon (ed.) 1990 The Paradigm DiaIog. London Sage.

Koentjaraningrat. 1990 Sejarah Teori Antropologi (Jilid I). Jakarta: UI Press.

Kuhn, Thomas. 1970 The Structure of Scientific Revolution (cetakan ke-2) Chicago : Chicago University Press.

Miller, Daniel. 1970 The Personality as a System. Dalam A Handbook of Method in Cultural Antrhopology (Diedit oleh Raoul Narol dan Ronald Cohen). New York Columbia University Press. hal. 509-526.

Morris. Brian. I987 Anthropological Studies of ReIigion Cambridge: Cambridge University Press.

Suparlan, Parsudi. 1992 “Pendekatan Antar-Bidang dalam Program Kajian Wilayah Amerika di Universitas Indonesia”, Jurnal Kajian Wilayah Amerika, vol.1, No.4, Juli-Desember. hal. 51 - 60.

1993 “Kata Pengantar” Dalam Etika Akademis (Oleh: Edward Shils). Diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia oleh A Agus Nugroho. Jakarta: Yayasan OBOR, hal vii – xix.

1993 “Develoment Programme. Cultural Interpretations, and Successful implementation”. The Indonesian Quarterly. vol. 21, No. 1. First Quarter, hal.99 – 109.

Taylor, Charles 1985 Philosophy and the Human Sciences Philosophical Papers. Bab 2 “Interpretation and The Science of Man”. Cambridge University Press.

No comments: