Wednesday, 23 July 2008

Megalopolis: Sebuah Peluang Vs Ancaman Bagi Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

MEGALOPOLIS: SEBUAH PELUANG VS ANCAMAN BAGI PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

Parsudi Suparlan
Universitas Indonesia



Pendahuluan

Gubernur Sutiyoso yang menggagas dan merencanakan Jakarta untuk menjadi sebuah megapolitan telah memperoleh dukungan pemda Jawa Barat, Pemda Banten, dan Pemerintah (Pos Kota, 28 Maret 2006). Gagasan Gubernur Sutiyoso ini mencakup Prov. DKI Jakarta sebagai sebuah Ibukota Negara dan prov. DKI Jakarta sebagai koordinator wilayah penyangga (hinterlands), yaitu kabupaten-kabupaten Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Cianjur (Bodetabejur). Ada beberapa masalah kritikal dengan rencana Gubernur Sutiyoso tersebut diatas. Pertama adalah Konsep megapolitan, dan kedua adalah pemerintahan provinsi DKI Jakarta sebagai koordinator megapolitan yang mencakup daerah-daaerah penyangga (hinterlands).

Dari kepustakaan sosiologi perkotaan, geografi, Ilmu sejarah perkotaan, dan antropologi perkotaan saya tidak menemukan adanya konsep megapolitan. Yang ada adalah Konsep megalopolis. Mungkin yang dimaksudkan oleh Gubernur Sutiyoso dengan megapolitan adalah kota metropolitan yang besar atau maha besar. Bila memang ini yang dimaksudkannya maka berbagai sarana dan prasarana kota metropolitan Jakarta juga akan menjadi jauh lebih besar, lebih megah, lebih modern, sehingga berbagai sistem-sistem pelayanan yang ada di megapolitan Jakarta nantinya akan dapat melayani warga megapolitan secara lebih efisien, lebih murah, dan kehidupan di kota megapolitan ini akan lebih sejahera dan lebih nyaman daripada sekarang ini.

Konsep megapolitan, atau metropolitan maha besar, menuntut adanya daerah-daerah penyangga yang secara administratif diatur dan didominasi oleh pemerintah provinsi DKI Jakarta. Permasalahan yang muncul dari prinsip daerah penyangga bagi kota Jakarta adalah berbagai permasalahan yang muncul dari hakekat hubungan daerah penyangga (Bodetabejur) dengan kota yang disangga (kota Jakarta) sebagai pusatnya. Karena kota adalah pusat pendominasian bagi hinterlkands atau daerah penyangganya. Daerah penyangga yang dimaksud adalah kota-kota yang lebih kecil, pedesaan, dan lingkungan fisik dan alam yang tercakup dalam wilayah administrasinya.

Model megapolitan dan Gubernur Sutiyoso ini mirip dengan model megalopolis klasik atau kuno yang berbeda dari model megalopolis modern seperti yang sekarang ada di Amerika Serikat. Tulisan ini, akan menunjukkan apa itu megalopolis klasik dan modern, hakekat hubungan kota dan daerah penyangga, dan diakhiri dengan pembahasan mengenai peluang dan ancaman yang muncul dari adanya megapolitan model Gubernur Sutiyoso.

Megalopolis

Dalam zaman Yunani kuno sebuah kota besar atau megalopolis dihasilkan dan perencanaan penyatuan desa-desa dan kota-kota kecil, seperti misalnya kota Athena yang besar, yang dihasilkan dari penyatuan desa-desa yang terpencar-pencar dan kota-kota dari Attica (Mumford 1961: 156). Seperti diketahui, Yunani kuno pada waktu itu telah mengenal sistem demokrasi, dan kota Athena pada waktu itu merupakan sebuah republik yang dipimpin oleh Dewan kota. Megalopolis dalam zaman kuno ini bukanlah sebuah kota yang mudah untuk dikendalikan. Dalam tulisannya itu Lewis Mumford (1961:156-157) lebih lanjut menyatakan bahwa kota megalopolis Athena dibangun dengan perencanaan yang dipaksakan sehingga tidak ada bentuk konkrit dari dukungan wilayah penyangganya, dan pada waktu demokrasi menjadi lemah, dimana faksi-faksi politik saling konflik, serta adanya ketidak mampuan Dewan Kota dan birokrasi dalam mengatasi berbagai permasalahan perkotaan, maka muncul seorang tirani atau emperor yang secara sewenang-wenang menghancurkan tatanan kehidupan megalopolis. Megalopolis hanya menghasilkan kesengsaraan bagi rakyat banyak. Hal yang sama juga dikemukakannya dalam melihat dalam melihat kota kuno Roma, yang juga merupakan sebuah megalopolis (1961: 205).

Tulisan mengenai megalopolis modern yang ada di Amerika Serikat di bawah ini mengacu pada USIS (nd: 32-42) dan Yeates (1990: 46-51). Dalam zaman Modern sekarang ini, megalopolis terdapat di Amerika Serikat, tepatnya di wilayah Timur laut yang mencakup wilayah selatan dari New Hamshire terus ke bagian utara Massachusetts sampai ke Washingtom, DC. Megalopolis terbentuk oleh perpaduan bertahap dari daerah-daerah Metropolitan yang besar dan yang masing-masing berdiri sendiri. Diantara 46 kota metropolitan di Amerika Serikat 10 kota metropolitan terletak dalam wilayah megalopolis ini. Diantara 10 kota metropolitan tersebut, lima kotabesar atau metropolitan yang terbesar dari megalopolis ini adalah New York City, Philadelphia, Boston, Baltimore, dan Wahington, DC. Ciri megalopolis dibedakan dari ciri metropolitan lainnya, karena ciri perkotaan dari kota-kota megalopolis adalah menyebar sedemikian rupa sampai ke wilayah-wilayah perbatasan kota-kota metropolitan lainnya, sehingga wilayah-wilayah perkotaan dari kota-kota megalopolis secara bertahap tergabung dalam sebuah proses perpaduan metropolitan.

Menurut sensus penduduk tahun 1987 kepadatan penduduk megalopolis adalah 305 per-kilometer persegi. Angka ini adalah perhitungan pukul rata dari jumlah penduduk di kota-kota metropolitan, kota-kota kecil dan daerah pedesaan yang tercakup dalam megalopolis. Semakin mendekati kota jumlah penduduk menjadi semakin lebih besar. Di New York City misalnya, kepadatan penduduk pada tahun 1987 adalah lebih dari 22.600 orang per-kilometer persegi.

Sebagaimana dengan berkembang dan tumbuhnya kota modern, megalopolis juga telah tumbuh dan berkembang menjadi sedemikian besarnya, karena kota modern adalah produk dari lokasi kegiatan ekonomi. Kota secara ekonomi menguntungkan bagi penduduknya, sehingga mereka bersedia untuk hidup dan tinggal berdampingan dalam jarak dekat bahkan saling berdesakan di kota. Sebagian dari mereka memutuskan untun pindah ke luar kota di daerah suburbia atau kota satelit yang dibangun oleh perusahaan-perusahaan real estate atau tinggal di tempat-tempat peristirahatan dengan berbagai fasilitas untuk kehidupan perkotaan. Sehingga wilayah megalopolis disamping dikelilingi oleh daerah pedesaan dan pertanian juga oleh kota-kota kecil dan kota-kota besar yang berkembang dari kota-kota kecil tersebut; yang kesemuanya berorientasi pada ekonomi perkotaan dari kota megalopolis.

Megalopolis ini tetap bertahan hidup, tumbuh dan berkembang, dan menjanjikan kehidupan yang lebih baik bagi para pendatang baru karena prinsip utamanya adalah interaksi dan aksesibilitas. Interaksi melalui trasportasi dan berbagai media komunikasi elektronik, terutama melalui telepon. Interaksi melalui trasportasi adalah urat nadi kehidupan perkotaan, antar-kota dan antar-wilayah. Jalur-jalur dan jaringan-jaringan jalan yang baik, yang volumenya sesuai dengan beranegaragam kebutuhan transportasi, akan menghemat biaya ekonomi dan karena itu menguntungkan perkembangan kehidupan perkotaan. Prinsip yang berlaku adalah memindahkan sesuatu berbanding langsung biayanya dengan jarak perpindahannya dan dengan kondisi jalan untuk transportasi sesuatu tersebut. Prinsip ini dipegang teguh dalam pembangunan kota-kota di Amerika Serikat, termasuk kota-kota megalopolis.

Pada dasarnya kawasan perkotaan di Amerika Serikat, termasuk kota-kota megalopolis, telah dibangun dengan membangun jaringan-jaringan jalan yang berbentuk persegi empat panjang atau bujur yang menjangkau keseluruhan wilayah kota. Kebutuhan untuk sistem transportasi yang lebih baik yang dapat menampung kebutuhan dalam kota membuat dibangunnya jaringan jalan lingkar luar. Untuk itu pemerintah kota membangun jalan-jalan sesuai penggolongan yang dibuat untuk berbagai kepentingan, yaitu jalan untuk dalam kota dan untuk luar kota, jalan untuk menghubungkan kota megalopolis dengan kota-kota yang lebih kecil dan dengan daerah pedesaan, jalan yang menghubungkan antar-kota megalopolis dan dengan kota-kota lainnya di Amerika Serikat. Besar atau volume daya tampung jalan disesuaikan dengan penggolongan jalan-jalan tersebut, sehingga tingkat kemacetan lalu lintas dapat dibatasi dan karenanya biaya transportasi dapat ditekan. Disamping itu kereta api yang merupakan alat transportasi sudah ada juga tetap menghubungakn antar-wilayah megalopolis dan berbagai wilayah dan kota-kota di seluruh Amerika Serikat.

Bandingkan dengan sistem transportasi atau kondisi jaringan jalan di kota Jakarta dan sekitanya, yang serba macet, bahkan di jalan tol juga macet walaupun pengguna jalan tol tersebut harus membayar biaya tol yang terus menerus naik untuk menarik investor mau berbisnis jalan tol. Kemacetan di kota-kota megalopolis di Amerika Serikat juga terjadi tetapi terbatas pada jam-jam sibuk, yaitu pada jam orang masuk kerja dan pulang kerja dari kantor. Di Massacussets Avenue yang menghubungkan kota-kota di negara bagian Virginia dengan kota Washington, DC kemacetan misalnya, terjadi kemacetan pada jam-jam orang masuk kerja dan pulang kerja je Washington, DC, dimana kecepatan mobil hanya antara 25-40 mil jalm. Kalau dibandingkan dengan kemacetan di kota Jakarta dan sekitarnya, kemacetan berlangsung hampir sepanjang hari dari jam 6.30 pagi sampai jam 23.00 malam, dalam, keadaan macet laju kendaraan hanya antara 5-10 kilometer per-jam atau antara 4-7 mil per-jam. Inilah biaya transportasi tinggi dan hanya interaksi yang tinggi karena aksesibilitas yang tidak diperbaiki oleh pemerintah kota.

Disamping pelayanan transportasi dan komunikasi yang memadai yang mengikuti perkembangan kota-kota megalopolis, kota-kota megalopolis juga menyajikan berbagai pelayanan perkotaan yang membuat kota-kota megalopolis itu dapat bertahan hidup dan berkembang. Pemukiman tua yang sudah tidak layak huni dibongkar dan pemukiman baru dibangun. Ada upaya untuk membangun gedung-gedung bertingkat yang modern fasilitasnya dan yang dapat menampung tingkat kepadatan yang tinggi dan multi guna dalam pelayanan perkotaan. Disamping itu pelayanan perkotaan di kota-kota megalopolis mencakup berbagai tingkat dan macam pelayanan umum dan komersial, relaksasi dan hiburan, kecukupan air dan listrik, sistem saluran pembuangan limbah dan sampai dan keamanan oleh polisi, serta pemadam kebakaran oleh pemerintah kota.

Kota-kota megalopolis merupakan pusat-pusat pendominasian wilayah penyangga yang merupakan wilayah administrasi masing-masing, dan sebaliknya daerah penyangga berorientasi pada kota megalopolis yang mendominasinya atau pada kota megalopolis lainnya yang secara ekonomi lebih menguntungkan. Masing-masing kota megalopolis tersebut berdiri sendiri tetapi berada dalam satu jaringan interaksi dan aksesibilitas, melalui berbagai jaringan transportasi dan komunikasi.

Kota dan Daerah Penyangga

Model megapolitan untuk kota Jakarta dengan daerah penyangga Bodetabejur yang digagas dan direncanakan oleh Gubernur Sutiyoso menuntut adanya penjelasan mengenai hakekat kota dan hubungan kota dengan daerah penyangganya, agar kita semua memahami hahekatnya dan menginterpretasi apa sebenarnya isi gagasan Gubernur Sutiyoso tersebut. Kota, seperti apapun corak dan besarannya, dibangun untuk kepentingan ekonomi yang menguntungkan bagi para pelaku ekonomi dan bagi warga kota yang bersangkutan. Oleh karena itu kota dapat didefinisikan sebagai sebuah tempat hunian atau pemukiman yang dihuni secara permanen yang warga atau penduduknya membentuk suatu kesatuan kehidupan yang lebih besar pengelompokannya daripada sebuah keluarga luas, marga, atau klen. Kota menyajikan berbagai kesempatan ekonomi yang menguntungkan karena letak geografinya. Ekonomi perkotaan menghasilkan keuntungan yang berkembang secara akumulatif karena corak kegiatan ekonominya dan profesi, dimana semakin besar dan berkembangnya sebuah kota semakin besar pula penduduknya yang berprofesi sebagai pekerja ‘kerah putih’. Kota juga merupakan sebuah satuan administrasi pemerintah yang dibangun dan dimantapkan untuk melakukan berbagai kegiatan pelayanan umum bagi kepentingan kesejahteraan hidup warga kota dan para pendatang yang berkunjung atau berbisnis di kota tersebut, sebagaimana telah diuraikan dalam pembahasan mengenai kehidupan perkotaan kota-kota megalopolis dalam tulisan ini. Kota juga membangun dan mengatur dan mendominasi wilayah-wilayah penyangga yang tercakup sebagai wilayah administrasinya.

Dengan kata lain, kota adalah pusat pendominasian wilayah sekitarnya yang merupakan wilayah penyangga yang tercakup sebagai wilayah administrasi pemerintahannya (Suparlan 2004). Seringkali pendominasian atas wilayah sekelilingnya melampaui batas-batas wilayah administrasinya, karena perkembangan ekonomi dan bisnis atau komersial yang ada di kota tersebut. Perkembangan ekonomi ini, yang menjanjikan dan menyajikan keuntungan-keuntungan ekonomi, termasuk kesejahteraan hidup warga kota merupakan daya tarik dan pusat orientasi kehidupan dari warga di kota-kota yagn lebih kecil yang kurang berkembang secara ekonomi dan di daerah pedesaan yang terbelakang pembangunannya yang ada dalam wilayah penyangga atau di sekelilingi kota tersebut. Sebagai pusat pendominasian, sebuah kota menyedot migrasi atau urbanisasi dari wilayah sekelilingnya, menyedot berbagai bahan mentah dan uang yang ada dalam kehidupan ekonomi di wilayah sekelilingnya dan merupakan orientasi budaya dari warga yang ada dalam wilayah sekeliling kota tersebut.

Hubungan antara daerah penyangga dengan kota yang menjadi pusat pendominasian adalah seperti hubungan saling ketergantungan yang tidak seimbang keuantungannya. Daerah penyangga menyediakan tenaga kasar atau pekerja, sumber-sumber daya berupa bahan-bahan mentah yang dihasilkan dari lingkungan alam dan fisik oleh daerah penyangga. Sebaliknya kota menyajikan hasil-hasil industri dan manufaktur ke daerah penyangga, sistem perlindungan keamanan dan keteraturan sosial, dan berbagai pelayanan perkotaan seperti pendidikan, hiburan, dan kesehatan. Kota yang menjanjikan dan menyajikan berbagai fsilitas pelayanan perkotaan yang tidak didapat di daerah pedesaan atau kota-kota kecil yang terletak di daerah penyangga, menyebabkan terjadinya urbanisasi atau perpindahan ke kota yagn menyebabkan meningkatnya jumlah penduduk dan kepadatan pendidik di kota. Di kota-kota negara berkembang seperti di Indonesia, penduduk kota meningkat dan padat melebihi kemampuan sistem pelayanan perkotaan, sehingga mencirikan kepadatan penduduk perkotaan, kemiskinan, dan kekumuhan. Sebaliknya sebagian dari warga kota yang padat uangnya, yang mempunyai visi bisnis, membeli bidang-bidang tanah yang ada di daerah pedesaan atau kota kecil untuk dijadikan tabungan atau untuk membangun perumahan real estate bagi penduduk kota yang cukup uangnya. Sehingga gejala yang nampak adalah warga kota semakin kaya dan warga desa semakin miskin.

Kalau kita perhatikan Siangapura dan Hongkong, keduanya adalah negara kota yang tidak mempunyai wilayah penyangga yang berada dalam kewenangan administrasinya. Kedua Negara-kota tersebut telah secara bertahap dari tahun ke tahun menumbuhkan wilayah-wilayah penyangga di daerah sekeliling masing-masing kota tersebut. Wilayah penyangga Siangpura adalah Sumatra Utara, Riau, Kalimantan Barat, dan Johor di Sumemnanjung Malaya (sekarang Johor dibangun sebagai daerah industri dan manufaktur dengan sistem-sistem pelayanan perkotaan yagn membuatnya tidak lagi berfungsi sebagai daerah penyangga Singapura). Indonesia juga membangun pulau Batam , tetapi tujuan pembangunan Batam telah bergeser dari tujuan semula, yaitu yang semula untuk menyaingi Singapura bergeser menjadi penyangga (hiterlands) Singapura. Sedangkan Hongkong mempunyai wilayah penyangga di wilayah RRC bagian selatan.

Peluang vs Ancaman

Melihat kasus hancur dan berantakannya megalopolis kuno di Yunani dan di Roma yang disebabkan oleh (1) Corak megalopolis yang direncanakan dan dibangun dengan mempersatukan kota-kota yang lebih kecil dan daerah pedesaan sebagai daerah penyangga yang terpusat di kota megalopolis; dan (2) Ketidak mampuan kepemimpinan dan birokrasi megalopolis dalam mengelolanya, yang menyebabkan kemunculan tirani atau kaisar yang absolut dan sewenang-wenang yang memporak porandakan tatanan kehidupan dan menyengsarakan rakyat banyak.

Nampaknya megapolitan yang digagas oleh Gubernur Sutiyoso modelnya sama dengan model megalopolis Yunani dan Rommawi Kuno. Mengingat bahwa dalam model megapolitan yang direncanakan tersebut ada pusatnya yaitu kota Jakarta dan menjadi kota megapolitan, yang disangga oleh kota-kota yang lebih kecil dan daerah pedesaan yang tercakup dalam kabupaten-kabupaten Bodetabejur. Hubungan antara kota megapolitan Jakata dengan wilayah Bodetabejur adalah hubungan yang tidak seimbang dimana kota megapolitan Jakarta menjadi pusat pendominasian dari Bodetabejur yang menjadi wilayah hinterlandsnya, dan karena itu maka penduduk Bodetabejur berorientasi ke kota megapolitan Jakarta yagn akan jauh lebih maju, lebih modern, dan lebih mewah daripada kehidupan di Bodetabejur.

Mungkin tujuan dari dibangunnya megapolitan Jakarta adalah untuk membangun kota Jakarta sebagai ibukota NKRI dengan segala fasilitas perkotaan modern, termasuk pembangunan jaringan lalu lintas dan komunikasi, serta berbagai pelayanan perkotaan modern yang aksesibel. Bila demikian kira-kira tujuan dibangunnya kota megapolitan Jakarta, maka dimasa yang akan datang akan ada pembangunan fisik secara besar-besaran di kota Jakarta. Akan banyak pekerja diperlukan, begitu juga akan banyak kegiatan-kegiatan pembangunan berbagai kegiatan pendukung yang akan sibuk di Jakarta. Kegiatan-kegiatan ini akan mengurangi jumlah pengangguran di Jakarta dan juga akan menyerap banyak pekerja dari Bodetabejur dan berbagai daerah lainnya di Indonesia, yang juga banyak jumlah tenaga-tenaga penganggurannya. Bila sudah terbangun sebagai sebuah megapolitan maka kota Jakarta akan dapat memberikan berbagai pelayanan perkotaan kepada warganya sehingga kesejahteraan hidup mereka akan meningkat atau akan menjadi lebih baik. Kemakmuran warga kota Jakarta dan berbagai keuntungan ekonomi perkotaan kota megapolitan Jakarta dengan prinsip trickle down effects akan menyebar ke berbagai sudut daerah Bodetabejur.

Walaupun demikian, saya tidak sepenuhnya percaya kepada kata-kata saya yang visioner tersebut diatas mengenai megapolitan yang memberi peluang untuk kesejahteraan masyarakatnya dan bagi masyarakat di daerah Bodetabejur melalui prinsip trickle down effects. Karena: (01) Penyakit KKN masih diderita oleh para pejabat dan birokrat, yang dapat menghambat proses-proses pembiayaan dan pelaksanaan berbagai kegiatan pembangunan untuk megapolitan dan administrasi pengelolaanya. (2) Perbedaan ekonomi dan kesempatan-kesempatan memperoleh keuntungan ekonomi antara kota megapolitan Jakarta dengan daerah penyengga akan sangat besar, sehingga arus dan tingkat urbanisasi ke Jakarta akan menjadi semakin meningkat. Kepadatan penduduk, kemiskinan, kekumuhan permukiman mereka yang tergolong miskin di kota megapolitan Jakarta juga akan semakin meningkat. Dan berbagai masalah sosial yang dikarenakannya juga akan semakin meningkat dan kompleks, yang tidak mudah untuk diatasi. Kota megapolitan Jakarta mungkin akan menjadi kota yang tidak manusiawi karenanya.

Dalam pikiran saya, apakah tidak sebaiknya justru biaya yang disediakan untuk membangun pusat-pusat perkotaan di wilayah Bodetabejur? Landasan berpikirnya adalah pusat-pusat perkotaan ini, yang merupakan pusat kegiatan-kegiatan industri dan berbagai jasa pelayanan, yang secara ekonomi akan menguntungkan penduduknya akan menarik para pendatang baru untuk ikut dalam berbagai kegiatan ekonomi dan komersial. Penduduk yang bermigrasi ke pusat-pusat perkotaan tersebut akan mencakup juga penduduk Jakarta yang dengan demikian akan membuat Jakarta menjadi tidak padat penduduk. Pusat-pusat perkotaan bila secara ekonomi dan komersial menguntungkan bagi penduduknya maka pusat-pusat perkotaan tersebut akan berkembang menjadi kota-kota, dan lebih lanjut dapat berkembang menjadi kota-kota besar atau metropolitan. Pada saat itulah wilayah Jabedetabejur dapat menjadi sebuah megalopolis. Secara bertahap dan pasti akan menjadi sebuah megalopolis modern sebagaimana yang menjadi ciri megalopolis modern di wilayah Ameria Timur Laut. Jadi bukan direncanakan atau dipaksakan karena mengemban amanat undang-undang.




Pada seminar sehari dengan tema "Why Megalopolis", yang berlangsung hari Rabu (05/05), Prof.Parsudi Suparlan, Ph.D mengajukan makalah yang berjudul "Megalopolis: Sebuah Peluang vs Ancaman Bagi Peningkatan Kesejahteraan Rakyat".

No comments: