Sunday 28 November 2010

Jatinegara dan Sejarah yang Hilang

SUATU siang di tahun 1770-an. Pasar di depan gerbang Benteng Belanda Meester Cornelis, sekitar 15 kilometer dari Batavia, tengah menggeliat. Seorang kusir Jawa memarkir pedati, lalu melepas kerbau di dekat pedatinya itu. Di sisi lain, di bawah gubug, beberapa wanita sedang menggelar barang dagangannya di atas kain, sementara pelanggan berlalu-lalang. Benteng berbentuk bintang tujuh dengan gardu berpenjaga yang dipersenjatai meriam berada di sisi Sungai Ciliwung. Benteng itu berfungsi untuk menjaga akses ke arah Buitenzorg (Bogor). Dalam benteng ada menara, tampak pula atap genteng rumah perwira komandan barak prajurit Eropa. Ada bangunan beratap daun kelapa yang merupakan tempat penyimpanan (gudang) dan tempat tinggal pekerja. Di atas tembok benteng terdapat kandang burung dara yang sengaja dipelihara untuk dikonsumsi. Demikian deskripsi untuk lukisan Johannes Rach tentang pasar di depan Benteng Mester Cornelis. Lukisan itu kini menjadi salah satu koleksi digital Perpustakaan Nasional dan bisa diakses melalui situs digital.pnri.go.id/collection. Teks keterangan lukisan dibuat Max de Bruijn dan Bas Kist. Johannes Rach sendiri seorang pelukis topografi VOC berkembangsaan Denmark yang tinggal di Batavia tahun 1763 hingga ia meninggal tahun 1783. BENTENG Meester Cornelis kini tak berbekas. Sementara pasar dalam lukisan itu boleh jadi merupakan cikal bakal Pasar Jatinegara di Jakarta Timur saat ini. Pasar Jatinegara merupakan salah satu aset penting PD Pasar Jaya, perusahan daerah milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Wilayah Jatinegara dulunya memang bernama Mester Cornelis. Sampai sekarang Pasar Jatingara pun disebut Pasar Mester. Pada pintu masuk pasar dari Jalan Jatinegara Timur terpampang tulisan "Pasar Mester'. Para kondektur bus pun masih berteriak 'mester... mester...' ketika melintas di daerah Jatinegara. Mereka hendak memberi tahu penumpang bahwa bus sudah sampai di wilayah Mester Cornelis. Nama Mester Cornelis mengacu kepada seorang bernama Cornelis Senen, seorang pria kaya asal Pulau Lontor, Banda, Maluku yang bermukim di Batavia sejak tahun 1621. Di Batavia, Cornelis menjadi guru agama kristen, membuka sekolah, dan memimpin ibadat agama kristen serta menyampaikan kotbah dalam Bahasa Melayu dan Portugis. Jabatannya sebagai guru itulah yang membuat ia mendapat 'gelar' Meester, atau 'tuan guru'. Cornelis berniat jadi pendeta tetapi ia ditolak. Belanda memberi dia hak istimewa untuk menebang pohon di tepi Kali Ciliwung. Dia juga memunyai sebidang tanah luas penuh pepohonan di pinggir Ciliwung. Tanah luas penuh pepohonan itulah yang kemudian dikenal dengan nama Meester Cornelis. Menjelang berakhrinya masa penjajahan Belanda, kawasan itu menjadi suatu kotapraja tersendiri, wilayahnya mencakup Bekasi sekarang ini. WILAYAH Mester Cornelis berubah nama jadi Jatinegara pada zaman Jepang. Ada yang berpendapat perubahan tersebut karena di daerah itu ditemukan banyak pohon jati. Namun ada pula yang berpendapat, nama Jatinegara mengacu kepada 'negara sejati' yang sudah dipopulerkan Pangeran Jayakarta jauh sebelumnya. Pangeran Jayakarta mendirikan perkampungan Jatingera Kaum di wilayah Pulogadung, Jakarta Timur setelah Belanda menghancurkan keratonnya di Sunda Kelapa. Entah mana yang benar. Yang pasti sampai kini di Jatinegara banyak terdapat bangunan-bangunan tua bersejarah, di antaranya Stasiun Kereta Api Jatinegara, Gereja GPIB Koinonia, bagunan bekas markas Kodim 0505, Pasar Lama Jatinegara, rumah langgam Cina, kelenteng, dan gedung SMP 14 Jatinegara (di samping Jatinegara Plasa). Sayangnya, tidak banyak yang diketahui tentang masa lalu bangunan-bangunan itu. Gedung SMP 14 misalnya, tidak diketahui sejarahnya, demikian juga bangunan stasiun Jatinegara dan Kantor Pos Jatinegara. Wilayah Jatinegera mulai berkembang cepat awal abad ke 20, tepatnya sekitar tahun 1905, seiring dengan perluasan wilayah Batavia. Banyak bangunan di Jatinegara dibangun pada periode itu. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kini berupaya menelusuri sejarah sejumlah bangunan-bangunan itu, antara lain dengan melakukan riset sejarah, menerima masukan dari masyarakat dan berkordinasi dengan lembaga-lembaga terkait. Sejauh ini bangunan yang masuk dalam daftar usulan bangunan cagar budaya baru bekas gedung Kodim 0505 di Jalan Raya Bekasi Timur. Bangunan bekas rumah bupati Mester itu sempat jadi 'markas' pedagang kaki lima. Ada kecemasan, banguna-bangun tua bersejarah di kawasan itu akan hilang tak berbekas. Pasalnya, Pemerintah Kota Jakarta Timur tengah merancang penataaan kawasan tersebut jadi kawasan perdagangan. Penataan dijadwalkan kelar tahun 2010. Meski ada penegasan dari Pemerintah Kota Jakarta Tiimur bahwa Jatinegara merupakan kawasan perdagangan yang memiliki nilai sejarah tinggi, seperti halnya kawasan Glodok, tetapi itu saja tidak cukup. Sampai saat ini, keberadaan bangunan-bangunan itu sebagai bangunan bersejarah tidak punya dasar hukum. Motif-motif ekonomi kiranya tidak mengurangi niat untuk menggali kisah masa lalu bangunan-bangun tua yang ada. Bagaimanapun, bangunan tua bersejarah sesungguhnya bisa mendatangkan uang bila dikemas menjadi sebuah dagangan, yaitu 'dagang sejarah'. Tetapi kalau sejarah gedung-gedung itu saja tidak diketahui, lantas apa yang bisa dijual?




http://nasional.kompas.com/read/2008/09/19/16442388/jatinegara.dan.sejarah.yang.hilang

No comments: