Friday 12 November 2010

Proyek Liberalisasi Islam di Indonesia (2)

Proyek Liberalisasi Islam di Indonesia (2)



3.3. Liberalisasi al-Quran
Salah satu wacana yang berkembang pesat dalam tema liberalisasi Islam di Indonesia saat ini adalah tema “dekonstruksi Kitab Suci”. Di kalangan Yahudi dan Kristen, fenomena ini sudah berkembang pesat. Kajian “Biblical Criticism” atau studi tentang kritik Bible dan kritik teks Bible telah berkembang pesat di Barat. Dr. Ernest C. Colwell, dari School of Theology Claremont, misalnya, selama 30 tahun menekuni studi ini, dan menulis satu buku berjudul “Studies in Methodology in Textual Criticism on the New Testatement”. Buku-buku karya Prof. Bruze M. Metzger, guru besar The New Testament di Princeton Theological Seminary, menunjukkan, bagaimana kuatnya tradisi kajian kritis terhadapTeks Bible. Begitu juga karya Werner Georg Kume, The New Testament: The History of the Investigation of Its Problem, (Nashville: Abingdon Press, 1972).

Pesatnya studi kritis Bible itu telah mendorong kalangan Kristen-Yahudi untuk “melirik” al-Quran dan mengarahkan hal yang sama terhadap al-Quran. Pada tahun 1927, Alphonse Mingana, pendeta Kristen asal Irak dan guru besar di Universitas Birmingham Inggris, mengumumkan bahwa “sudah tiba saatnya sekarang untuk melakukan kritik teks terhadap al-Qur’an sebagaimana telah kita lakukan terhadap kitab suci Yahudi yang berbahasa Ibrani-Arami dan kitab suci Kristen yang berbahasa Yunani (The time has surely come to subject the text of the Kur’an to the same criticism as that to which we subject the Hebrew and Aramaic of the Jewish Bible, and the Greek of the Christian scriptures).”

Hampir satu abad lalu, para orientalis dalam bidang studi al-Quran bekerja keras untuk menunjukkan bahwa al-Quran adalah kitab bermasalah sebagaimana Bible. Mereka tidak pernah berhasil. Tapi, anehnya, kini, imbauan itu sudah diikuti begitu banyak manusia dari kalangan Muslim sendiri, termasuk yang ada di Indonesia. Sesuai paham pluralisme agama, maka semua agama harus didudukkan pada posisi yang sejajar, sederajat, tidak boleh ada yang mengklaim lebih tinggi, lebih benar, atau paling benar sendiri. Begitu juga dengan pemahaman tentang Kitab Suci. Tidak boleh ada kelompok agama yang mengklaim hanya kitab sucinya saja yang suci.

Maka, proyek liberalisasi Islam tidak akan lengkap jika tidak menyentuh aspek kesucian al-Quran. Mereka berusaha keras untuk meruntuhkan keyakinan kaum Muslim, bahwa al-Quran adalah Kalamullah, bahwa al-Quran adalah satu-satunya Kitab Suci yang suci, bebas dari kesalahan. Mereka mengabaikan bukti-bukti al-Quran yang menjelaskan tentang otentisitas al-Quran, dan kekeliruan dari kitab-kitab agama lain. Ulil Abshar Abdalla, mantan Koordinator Jaringan Islam Liberal menulis di Harian Jawa Pos, 11 Januari 2004: “Tapi, bagi saya, all scriptures are miracles, semua kitab suci adalah mukjizat. (Jawa Pos, 11 Jan. 2004).

Salah satu program sekularisasi adalah upaya desakralisasi, termasuk dalam upaya deskralisasi al-Quran. Kaum Liberal ini menyatakan, bahwa alQuran Kitab suci. Majalah GATRA edisi 1-7 Juni 2006 memberitakan, bahwa pada tanggal 5 Mei 2006, Sulhawi Ruba, 51 tahun, dosen mata kuliah Sejarah Peradaban Islam, di hadapan 20 mahasiswa Fakultas Dakwah, menerangkan posisi Al-Quran sebagai hasil budaya manusia. “Sebagai budaya, posisi Al-Quran tidak berbeda dengan rumput,” ujarnya. Ia lalu menuliskan lafaz Allah pada secarik kertas sebesar telapak tangan dan menginjaknya dengan sepatu. “Al-Quran dipandang sakral secara substansi, tapi tulisannya tidak sakral,” katanya setengah berteriak.

Taufik Adnan Amal, dosen Ulumul Quran di IAIN Makasar, menulis satu makalah berjudul “Edisi Kritis al-Quran”, yang isinya menyatakan:

“Uraian dalam paragraf-paragraf berikut mencoba mengungkapkan secara ringkas proses pemantapan teks dan bacaan Alquran, sembari menegaskan bahwa proses tersebut masih meninggalkan sejumlah masalah mendasar, baik dalam ortografi teks maupun pemilihan bacaannya, yang kita warisi dalam mushaf tercetak dewasa ini. Karena itu, tulisan ini juga akan menggagas bagaimana menyelesaikan itu lewat suatu upaya penyuntingan Edisi Kritis Alquran.” 26

Taufik berusaha meyakinkan, bahwa al-Quran saat ini masih bermasalah, tidak kritis, sehingga perlu diedit lagi. Dosen itu pun menulis sebuah buku serius berjudul “Rekonstruksi Sejarah al-Quran” yang juga meragukan keabsahan dan kesempurnaan Mushaf Utsmani.27 Penulis buku ini mencoba meyakinkan bahwa mushaf Utsmani masih bermasalah, dan tidak layak disucikan. Sayangnya, buku ini diberi kata pengantar oleh Prof. Dr. Quraish Shihab, tanpa memberikan kritik yang berarti. Dalam pengantarnya, Quraish menulis, “Kasarnya, ada sejarah yang hilang untuk menjelaskan beberapa ayat atau susunan ayat al-Quran dari surat al-Fatihah sampai surat al-Nas.”

Ada lagi sebuah tesis master di Universitas Islam Negeri Yogyakarta (Dulu: IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta), ditulis oleh Aksin Wijaya, yang secara terang-terangan juga menghujat Kitab Suci al-Quran. Tesis itu sudah diterbitkan dalam sebuah buku berjudul: “Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan”, dan diberi kata pengantar dua orang doktor dalam bidang studi Islam, dosen di pasca sarjana UIN Yogyakarta. Di dalam buku ini, misalnya, kita bisa menikmati hujatan terhadap al-Quran seperti kata-kata berikut ini:

“Setelah kita kembalikan wacana Islam Arab ke dalam dunianya dan melepaskan diri kita dari hegemoni budaya Arab, kini saatnya, kita melakukan upaya pencarian pesan Tuhan yang terperangkap dalam Mushaf Utsmani, dengan suatu metode dan pendekatan baru yang lebih kreatif dan produktif. Tanpa menegasikan besarnya peran yang dimainkan Mushaf Utsmani dalam mentransformasikan pesan Tuhan, kita terlebih dulu menempatkan Mushaf Utsmani itu setara dengan teks-teks lain. Dengan kata lain, Mushaf itu tidak sakral dan absolue, melainkan profan dan fleksibel. Yang sakral dan absolut hanyalah pesan Tuhan yang terdapat di dalamnya, yang masih dalam proses pencarian. Karena itu, kini kita diperkekenankan bermain-main dengan Mushaf tersebut, tanpa ada beban sedikitpun, beban sakralitas yang melingkupi perasaan dan pikiran kita.” 28

Aktivis Islam Liberal, Dr. Luthfi Assyaukanie juga berusaha membongkar konsep dasar Islam tentang al-Quran:

“Sebagian besar kaum Muslim meyakini bahwa AlQuran dari halaman pertama hingga terakhir merupakan kata-kata Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad secara verbatim, baik kata-katanya (lafdhan) maupun maknanya (ma’nan). Kaum Muslim juga meyakini bahwa Alquran yang mereka lihat dan baca hari ini adalah persis sama seperti yang ada pada masa Nabi lebih dari seribu empat ratus tahun silam. Keyakinan semacam itu sesungguhnya lebih merupakan formulasi dan angan-angan teologis (al-khayal al-dini) yang dibuat oleh para ulama sebagai bagian dari formalisasi doktrin-doktrin Islam. Hakikat dan sejarah penulisan AlQuran sendiri sesungguhnya penuh dengan berbagai nuansa yang delicate (rumit), dan tidak sunyi dari perdebatan, pertentangan, intrik (tipu daya), dan rekayasa.” 29

Pada bagian lain buku terbitan JIL tersebut, ada juga yang menulis, bahwa ‘Al-Quran adalah perangkap bangsa Quraisy’, seperti dinyatakan oleh Sumanto Al-Qurtubhy, alumnus Fakultas Syariah IAIN Semarang:

“Di sinilah saya ingin menyebut teks-teks Islam klasik merupakan “perangkap bangsa Arab”, dan Alquran sendiri dalam beberapa hal sebetulnya juga bisa menjadi “perangkap” bangsa Quraisy sebagai suku mayoritas. Artinya, bangunan keislaman sebetulnya tidak lepas dari jaring-jaring kekuasaan Quraisy yang dulu berjuang keras untuk menunjukkan eksistensinya di tengah suku-suku Arab lain.” 30

Sumanto pun secara terang-terangan menyatakan, bahwa al-Quran adalah karangan Muhammad:

“Dengan demikian, wahyu sebetulnya ada dua: “wahyu verbal” (“wahyu eksplisit” dalam bentuk redaksional bikinan Muhammad) dan “wahyu non verbal” (“wahyu implisit” berupa konteks sosial waktu itu). 31

Jadi, di berbagai penerbitan mereka, kalangan liberal dan sejenisnya memang sangat aktif dalam menyerang al-Quran, secara terang-terangan. Mereka sedang tidak sekedar berwacana, tetapi aktif menyebarkan pemikiran yang destruktif terhadap al-Quran. Itu bisa dilihat dalam buku-buku, artikel, dan jurnal yang mereka terbitkan. Sebagai contoh, Jurnal Justisia Fakultas Syariah, Edisi 23 Th XI, 2003, memuat tulisan yang secara terang-terangan menyerang al-Quran dan sahabat Nabi Muhammad saw:

“Dalam studi kritik Qur’an, pertama kali yang perlu dilakukan adalah kritik historisitas Qur’an. Bahwa Qur’an kini sudah berupa teks yang ketika hadir bukan bebas nilai dan tanpa konteks. Justru konteks Arab 14 abad silam telah mengkonstruk Qur’an. Adalah Muhammad saw, seorang figur yang saleh dan berhasil mentransformasikan nalar kritisnya dalam berdialektika dengan realitas Arab. Namun, setelah Muhammad wafat, generasi pasca Muhammad terlihat tidak kreatif. Jangankan meniru kritisisme dan kreativitas Muhammad dalam memperjuangkan perubahan realitas zamannya, generasi pasca-Muhammad tampak kerdil dan hanya mem-bebek pada apa saja yang asalkan itu dikonstruk Muhammad. Dari sekian banyak daftar ketidakkreatifan generasi pasca-Muhammad, yang paling mencelakakan adalah pembukuan Qur’an dengan dialek Quraisy, oleh Khalifah Usman Ibn Affan yang diikuti dengan klaim otoritas mushafnya sebagai mushaf terabsah dan membakar (menghilangkan pengaruh) mushaf-mushaf milik sahabat lain. Imbas dari sikap Usman yang tidak kreatif ini adalah terjadinya militerisme nalar Islam untuk tunduk/mensakralkan Qur’an produk Quraisy. Karenanya, wajar jika muncul asumsi bahwa pembukuan Qur’an hanya siasat bangsa Quraisy, melalui Usman, untuk mempertahankan hegemoninya atas masyarakat Arab [dan Islam]. Hegemoni itu tampak jelas terpusat pada ranah kekuasaan, agama dan budaya. Dan hanya orang yang mensakralkan Qur’anlah yang berhasil terperangkap siasat bangsa Quraisy tersebut.” 32

Di dalam Jurnal Justisia edisi ini, Sumanto juga menulis sebuah artikel berjudul: “Kesucian Palsu Sebuah Kitab”. Maksudnya, al-Quran bukan kitab suci, tetapi kitab suci yang palsu.

Penyerangan terhadap al-Quran di lingkungan perguruan tinggi Islam merupakan hal yang sangat menyedihkan. Dulu, beratus-ratus tahun, wacana itu hanya berkembang di lingkungan orientalis Yahudi dan Kristen. Tetapi, saat ini, suara-suara yang menghujat al-Quran justru lahir dari lingkungan perguruan tinggi Islam, yang hanya menjiplak dan mengulang-ulang lagu lama yang beratus-ratus tahun disuarakan para orientalis. Tentu, masalah ini tidak bisa dianggap sepele, sebab akan menjadi peluru gratis bagi kalangan orientalis untuk menyerang Islam. Mereka sekarang tinggal ‘ongkang-ongkang kaki’ (istrahat) dan menyaksikan kader-kadernya dari kalangan umat Islam sendiri yang aktif menyerang al-Quran. Bahkan, kadang dilakukan dengan bahasa-bahasa yang lebih vulgar dan lebih biadab dari para orientalis.

Cara yang lebih halus dan tampak akademis dalam menyerang al-Quran juga dilakukan dengan mengembangkan studi kritik al-Quran dan studi hermeneutika di Perguruan Tinggi Islam. Diantara tokoh-tokoh terkenal dalam studi ini adalah Prof. Dr. Nasr Hamid Abu Zayd dan Mohammed Arkoun. Buku-buku kedua tokoh ini sudah banyak diterjemahkan di Indonesia. Bahkan, Nasr Hamid yang terkenal dengan teorinya “al-Quran merupakan produk budaya Arab (muntaj tsaqafi) sudah memiliki sejumlah murid yang kini mengajar di sejumlah perguruan tinggi Islam di Indonesia. Salah satu murid yang dibanggakannya adalah Dr. Nur Kholish Setiawan, yang baru saja menerbitkan disertasinya dengan judul “Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar”. Buku Arkoun, Rethinking Islam, bahkan dijadikan buku rujukan utama dalam mata kuliah “Kajian Orientalisme terhadap al-Quran dan Hadits” di Program Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta. Padahal, dalam buku ini, Arkoun secara terang-terangan menyesalkan, mengapa para cendekiawan Muslim tidak mau mengikuti para orientalis Yahudi dan Kristen yang telah melakukan kritik terhadap Bible. Kajian hermeneutika sebagai metode tafsir pengganti ilmu tafsir klasik pun sudah menjadi mata kuliah wajib di Program Studi Tafsir Hadits UIN Jakarta dan sejumlah perguruan tinggi Islam lainnya. Padahal, metode ini jelas-jelas berbeda dengan ilmu tafsir dan bersifat dekonstruktif terhadap al-Quran dan syariat Islam. 33

Kaum Muslim perlu merenungkan masalah ini dengan serius. Jika al-Quran dan ilmu tafsir al-Quran dirusak dan dihancurkan, apa lagi yang tersisa dari Islam?

3.4. Liberalisasi Syariat Islam
Inilah aspek liberalisasi yang paling banyak muncul dan menjadi pembahasan dalam bidang liberalisasi Islam. Hukum-hukum Islam yang sudah qath’iy dan pasti, dibongkar dan dibuat hukum baru yang dianggap sesuai dengan perkembangan zaman. Seperti disebutkan oleh Dr. Greg Barton, salah satu program liberalisasi Islam di Indonesia adalah ‘’kontekstualisasi ijtihad’’. Para tokoh liberal biasanya memang menggunakan metode ‘kontekstualisasi’ sebagai salah satu mekanisme dalam merombak hukum Islam. Sebagai contoh, salah satu hukum Islam yang banyak dijadikan objek liberalisasi adalah hukum dalam bidang keluarga. Misalnya, dalam masalah perkawinan antar-agama, khususnya antara Muslimah dengan laki-laki non-Muslim.

Dalam sebuah tulisannya, Azyumardi Azra menjelaskan metode kontekstualisasi yang dilakukan oleh gerakan pembaruan Islam di Indonesia, yang dipelopori Nurcholish Madjid:

“Bila didekati secara mendalam, dapat ditemui bahwa gerakan pembaruan yang terjadi sejak tahun tujuh puluhan memiliki komitmen yang cukup kuat untuk melestarikan ‘tradisi’ (turats) dalam satu bingkai analisis yang kritis dan sistematis… Pemikiran para tokohnya didasari kepedulian yang sangat kuat untuk melakukan formulasi metodologi yang konsisten dan universal terhadap penafsiran al-Quran; suatu penafsiran yang rasional yang peka terhadap konteks kultural dan historis dari teks Kitab Suci dan konteks masyarakat modern yang memerlukan bimbingannya.” 34

Menjelaskan pendapat Nurcholish Madjid, Azyumardi Azra menulis, bahwa al-Quran menunjukkan bahwa risalah Islam – disebabkan universalitasnya – adalah selalu sesuai dengan lingkungan kultural apa pun, sebagaimana (pada saat turunnya) hal itu telah disesuaikan dengan kepentingan lingkungan semenanjung Arab. Karena itu, al-Quran harus selalu dikontekstualisasikan dengan lingkungan budaya penganutnya, di mana dan kapan saja.”

Kontekstualisasi para pembaru agama Islam ala Nurcholish Madjid ini tidaklah sama dengan teori asbabun nuzul yang dipahami oleh kaum Muslimin selama ini dalam bidang ushul fiqih. Tetapi, Azyumardi Azra memberikan legitimasi dan pujian berlebihan terhadap metode Nurcholish Madjid:

“Cak Nur berpegang kuat kepada Islam tradisi hampir secara keseluruhan, pada tingkat esoteris dan eksoteris. Dengan sangat bagus dan distingtif, ia bukan sekedar berpijak pada aspek itu, namun ia juga memberikan sejumlah pendekatan dan penafsiran baru terhadap tradisi Islam itu. Maka, hasilnya adalah apresiasi yang cukup mendalam terhadap syariah atau fiqih dengan cara melakukan kontekstualisasi fiqih dalam perkembangan zaman.” 35

Apa yang dikatakan Azra sebagai bentuk apresiasi syariat atau fiqih yang mendalam oleh Nurcholish Madjid adalah sebuah pujian yang sama sekali tidak berdasar. Nurcholish sama sekali tidak pernah menulis tentang metodologi fiqih dan hanya melakukan dekonstruksi terhadap beberapa hukum Islam yang tidak disetujuinya. Ia pun hanya mengikuti jejak gurunya, Fazlur Rahman, yang menggunakan metode hermeneutika untuk menafsirkan al-Quran. 36 Misalnya, saat pidato di Taman Ismail Marzuki, 21 Oktober 1992, Nurcholish mempromosikan pendapat yang lemah tentang Ahlul Kitab, dengan mengataakan:

“Dan patut kita camkan benar-benar pendapat Sayyid Muhammad Rasyid Ridla sebagaimana dikutip ‘Abdul Hamid Hakim bahwa pengertian sebagai Ahlul Kitab tidak terbatas hanya kepada kaum Yahudi dan Kristen seperti tersebut dengan jelas dalam al- Quran serta kaum Majusi (pengikut Zoroaster) seperti tersebutkan dalam sebuah hadits, tetapi juga mencakup agama-agama lain yang mempunyai suatu bentuk kitab suci.”

Pendapat Nurcholish ini sangat lemah, dan telah dibuktikan kelemahannya, misalnya, oleh Dr. Muhammad Galib dalam disertasinya di IAIN Jakarta (yang juga diterbitkan oleh Paramadina) dan oleh Dr. Azizan Sabjan, dalam disertasinya di ISTAC, Malaysia. Namun, Nurcholish Madjid tidak peduli dengan koreksi dan kritik, dan tidak pernah merevisi pendapatnya. Prestasi kaum pembaru di Paramadina dalam merombak hukum Islam lebih jelas lagi dengan keluarnya buku Fiqih Lintas Agama, yang sama sekali tidak apresiatif terhadap syariat. Bahkan, merusak dan menghancurkannya. Misalnya, dalam soal perkawinan antar-agama, buku Fiqih Lintas Agama menulis:

“Soal pernikahan laki-laki non-Muslim dengan wanita Muslim merupakan wilayah ijtihadi dan terikat dengan konteks tertentu, diantaranya konteks dakwah Islam pada saat itu. Yang mana jumlah umat Islam tidak sebesar saat ini, sehingga pernikahan antar agama merupakan sesuatu yang terlarang. Karena kedudukannya sebagai hukum yang lahir atas proses ijtihad, maka amat dimungkinkan bila dicetuskan pendapat baru, bahwa wanita Muslim boleh menikah dengan laki-laki non-Muslim, atau pernikahan beda agama secara lebih luas amat diperbolehkan, apapun agama dan aliran kepercayaannya.” 37

Jadi, pendapat Azyumardi Azra tentang hebatnya kaum pembaru Islam yang dimotori Nurcholish Madjid adalah sama sekali tidak terbukti. Sebagai salah seorang cendekiawan yang sangat populer, Azra telah melakukan kekeliruan besar dengan cara memberikan legitimasi berlebihan terhadap gerakan pembaruan yang telah terbukti sangat destruktif terhadap khazanah pemikiran Islam. Dengan alasan melakukan kontekstualisasi, maka kaum liberal melakukan penghancuran dan perombakan terhadap hukum-hukum Islam yang sudah pasti (qath’iy), seperti hukum perkawinan muslimah dengan laki-laki non-Muslim.

Prof. Musdah Mulia, tokoh feminis, juga melakukan perombakan terhadap hukum perkawinan dengan alasan kontekstualisasi. Tapi, berbeda dengan buku Fiqih Lintas Agama, yang menekankan faktor jumlah umat Islam sebagai konteks yang harus dijadikan pertimbangan hukum, Musdah melihat konteks “peperangan” sebagai hal yang harus dijadikan dasar penetapan hukum. Ia menulis:

“Jika kita memahami konteks waktu turunnya ayat itu (QS 60:10. pen.), larangan ini sangat wajar mengingat kaum kafir Quraisy sangat memusuhi Nabi dan pengikutnya. Waktu itu konteksnya adalah peperangan antara kaum Mukmin dan kaum kafir. Larangan melanggengkan hubungan dimaksudkan agar dapat diidentifikasi secara jelas mana musuh dan mana kawan. Karena itu, ayat ini harus dipahami secara kontekstual. Jika kondisi peperangan itu tidak ada lagi, maka larangan dimaksud tercabut dengan sendirinya.” 38

Nuryamin Aini, seorang dosen Fakultas Syariah UIN Jakarta, juga membuat pernyataan yang menggugat hukum perkawinan antar-agama:

“Maka dari itu, kita perlu meruntuhkan mitos fikih yang mendasari larangan bagi perempuan muslim untuk menikah dengan laki-laki nonmuslim… Isu yang paling mendasar dari larangan PBA (Perkawinan Beda Agama. Red) adalah masalah sosial politik. Hanya saja, ketika yang berkembang kemudian adalah logika agama, maka konteks sosial-politik munculnya larangan PBA itu menjadi tenggelam oleh hegemoni cara berpikir teologis.” 39

Entah kenapa, di Indonesia, yang mayoritas Muslim, kaum Liberal berusaha keras untuk menghancurkan hukum perkawinan antar-agama ini, seolah-olan ada kebutuhan mendesak kaum Muslim harus kawin dengan non-Muslim. Ulil Abshar Abdalla, di Harian Kompas edisi 18 November 2002, juga menulis: “Larangan kawin beda agama, dalam hal ini antara perempuan Islam dengan lelaki non-Islam, sudah tidak relevan lagi.” Bahkan, lebih maju lagi, Dr. Zainun Kamal, dosen UIN Jakarta, kini tercatat sebagai ‘penghulu swasta’ yang menikahkan puluhan – mungkin sekarang sudah ratusan — pasangan beda agama.

Padahal, perlu dicatat, larangan muslimah menikah dengan laki-laki non-Muslim sudah menjadi Ijma’ ulama dengan dalil-dalil yang sangat meyakinkan (seperti QS 60: 10). Buku Ensiklopedi Ijma’ yang diterjemahkan oleh KH Sahal Mahfudz juga menyebutkan bahwa soal ini termasuk masalah Ijma’ yang tidak menimbulkan perbedaan di kalangan kaum Muslim. Memorandum Organisasi Konferensi Islam (OKI) menyatakan: “Perkawinan tidak sah kecuali atas persetujuan kedua belah pihak, dengan tetap memegang teguh keimanannya kepada Allah bagi setiap muslim, dan kesatuan agama bagi setiap muslimat.”

Demikianlah cara kaum liberal dalam merombak hukum Islam, dengan mengubah metodologi ijtihad yang lebih menekankan aspek konteks, ketimbang makna teks itu sendiri. Gagasan-gagasan mereka bisa berlangsung sangat liar tanpa batasan dan teori yang jelas. Mereka bisa menyusun teori konteks itu sekehendak hati mereka. Itu bisa dilihat dalam Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam yang disusun oleh Tim Pangarusutamaan Gender Departemen Agama – yang telah dibubarkan – garapan Prof. Dr. Musdah Mulia dkk. Ada beberapa gagasan konsep hukum yang sangat kontroversial :

Pertama, asas perkawinan adalah monogami (pasal 3 ayat 1), dan perkawinan di luar ayat 1 (poligami) adalah tidak sah dan harus dinyatakan batal secara hukum (pasal 3 ayat 2). Kedua, batas umur calon suami atau calon istri minimal 19 tahun (pasal 7 ayat 1). Ketiga, perkawinan beda agama antara muslim atau muslimah dengan orang non muslim disahkan (pasal 54). Keempat, calon suami atau istri dapat mengawinkan dirinya sendiri (tanpa wali), asalkan calon suami atau istri itu berumur 21 tahun, berakal sehat, dan rasyid/rasyidah. (pasal 7 ayat 2). Kelima, ijab-qabul boleh dilakukan oleh istri-suami atau sebaliknya suami-istri. (pasal 9). Keenam, masa iddah bukan hanya dimiliki oleh wanita tetapi juga untuk laki-laki. Masa iddah bagi laki-laki adalah seratus tiga puluh hari (pasal 88 ayat 7(a)). Ketujuh, talak tidak dijatuhkan oleh pihak laki-laki, tetapi boleh dilakukan oleh suami atau istri di depan Sidang Pengadilan Agama (pasal 59). Kedelapan, bagian waris anak laki-laki dan wanita adalah sama (pasal 8 ayat 3, bagian Kewarisan). 40

Ketika hukum-hukum yang pasti dirombak, maka terbukalah pintu untuk membongkar seluruh sistem nilai dan hukum dalam Islam. Dari IAIN Yogyakarta, muncul nama Muhidin M. Dahlan, yang menulis buku memoar berjudul “Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur”, yang memuat kata-kata berikut:

“Pernikahan yang dikatakan sebagai pembirokrasian seks ini, tak lain tak bukan adalah lembaga yang berisi tong-tong sampah penampung sperma yang secara anarkis telah membelah-belah manusia dengan klaim-klaim yang sangat menyakitkan. Istilah pelacur dan anak haram pun muncul dari rezim ini. Perempuan yang melakukan seks di luar lembaga ini dengan sangat kejam diposisikan sebagai perempuan yang sangat hina, tuna, lacur, dan tak pantas menyandang harga diri. Padahal, apa bedanya pelacur dengan perempuan yang berstatus istri? Posisinya sama. Mereka adalah penikmat dan pelayan seks laki-laki. Seks akan tetap bernama seks meski dilakukan dengan satu atau banyak orang. Tidak, pernikahan adalah konsep aneh, dan menurutku mengerikan untuk bisa kupercaya.” 41

Dari Fakultas Syariah IAIN Semarang, bahkan muncul gerakan legalisasi perkawinan homoseksual. Mereka menerbitkan buku berjudul: Indahnya Kawin Sesama Jenis: Demokratisasi dan Perlindungan Hak-hak Kaum Homoseksual. Buku ini adalah kumpulan artikel di Jurnal Justisia Fakultas Syariah IAIN Semarang edisi 25, Th XI, 2004. Dalam buku ini ditulis strategi gerakan yang harus dilakukan untuk melegalkan perkawinan homoseksual di Indonesia:

“Bentuk riil gerakan yang harus dibangun adalah (1) mengorganisir kaum homoseksual untuk bersatu dan berjuang merebut hak-haknya yang telah dirampas oleh negara, (2) memberi pemahaman kepada masyarakat bahwa apa yang terjadi pada diri kaum homoseksual adalah sesuatu yang normal dan fithrah, sehingga masyarakat tidak mengucilkannya bahkan sebaliknya, masyarakat ikut terlibat mendukung setiap gerakan kaum homoseksual dalam menuntut hak-haknya, (3) melakukan kritik dan reaktualisasi tafsir keagamaan (tafsir kisah Luth dan konsep pernikahan) yang tidak memihak kaum homoseksual, (4) menyuarakan perubahan UU Perkawinan No 1/1974 yang mendefinisikan perkawinan harus antara laki-laki dan wanita.” 42

Pada bagian penutup buku tersebut, anak-anak fakultas Syariah IAIN Semarang tersebut menulis kata-kata yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya oleh seorang Muslim pun:

“Hanya orang primitif saja yang melihat perkawinan sejenis sebagai sesuatu yang abnormal dan berbahaya. Bagi kami, tiada alasan kuat bagi siapapun dengan dalih apapun, untuk melarang perkawinan sejenis. Sebab, Tuhan pun sudah maklum, bahwa proyeknya menciptakan manusia sudah berhasil bahkan kebablasan.”

Setelah Perang Dingin berakhir, Barat memiliki pandangan dan kebijakan khusus terhadap Islam. Di masa Perang Dingin, Komunisme dianggap sebagai musuh utama, sehingga seringkali Barat bersama-sama dengan Islam menghadapi komunisme, seperti yang terjadi di Afghanistan.
Tetapi, setelah komunis runtuh, Barat harus menetapkan musuh baru, sebagai pengganti komunisme.

Maka, para aktivis neo-konservatif (kalompok Kristen fundamentalis, Yahudi sayap kanan, politisi Republik, dan ilmuwan neo-orientalis), berhasil menjalankan agenda internasional pasca Perang Dingin. 43

4. Faktor Asing
Karena Islam dipandang sebagai ancaman potensial bagi Barat, atau Islam dipandang sebagai isu politik potensial untuk meraih kekuasaan di Barat, maka berbagai daya upaya dilakukan untuk ‘menjinakkan’ dan melemahkan Islam. Salah satu program yang kini dilakukan adalah dengan melakukan proyek liberalisasi Islam besar-besaran di Indonesia dan dunia Islam lainnya. Proyek liberalisasi Islam ini tentu saja masih menjadi bagian dari ‘tiga cara’ pengokohan hegemoni Barat di dunia Islam, yaitu melalui program Kristenisasi, imperialisme modern, dan orientalisme.

David E. Kaplan menulis, bahwa sekarang AS menggelontorkan dana puluhan juta dollar dalam rangka kampenye untuk – bukan hanya mengubah masyarakat Muslim – tetapi juga untuk mengubah Islam itu sendiri. Menurut Kaplan, Gedung Putih telah menyetujui strategi rahasia, yang untuk pertama kalinya AS memiliki kepentingan nasional untuk mempengaruhi apa yang terjadi di dalam Islam. Sekurangnya di 24 negara Muslim, AS secara diam-diam telah mendanai radio Islam, acara-acara TV, kursus-kursus di sekolah Islam, pusat-pusat kajian, workshop politik, dan program-program lain yang mempromosikan Islam moderat (versi AS). (Washington is plowing tens of millions of dollars into a campaign to influence not only Muslim societies but Islam itself…The white house has approved a classified strategy, dubbed Muslim world Outreach, that for the first time states that the US has a national security interest in influencing what happens within Islam… In at least two dozen countries, Washington has quietly funded Islamic radio, tv shows, coursework in Muslim schools, Muslim think tanks, political workshops, or other programs that promote moderate Islam). 44

Salah satu LSM asing yang sangat aktif dalam menyebarkan paham liberalisme dan pluralisme agama di Indonesia adalah The Asia Foundation (TAF). Untuk menanamkan paham dan nilai-nilai inklusif dan pluralis di kalangan Muslim Indonesia, TAF telah mendukung berbagai kelompok berbasis Muslim sejak tahun 1970-an. TAF saat ini mendukung lebih dari 30 LSM yang mempromosikan nilai-nilai Islam yang dapat menjadi basis bagi sistem politik demokratis, non-kekerasan, dan toleransi beragama. Dalam bidang pendidikan warga kewarganegaraan, HAM, dan rekonsiliasi antar-komunitas, kesetaraan gender, dan dialog antar-agama, TAF juga bekerjasama dengan LSM-LSM tersebut untuk mempromosikan Islam sebagai katalisator demokratisasi di Indonesia. Program-program itu mencakup training bagi pemuka agama, studi tentang isu-isu gender dan HAM dalam Islam, pusat-pusat advokasi wanita, dan sebagainya. 45

Organisasi-organisasi di Indonesia yang diberikan pendanaan oleh The Asia Foundation, diantaranya:

- Yayasan Desantara (Pluralisme agama, penerbit Majalah Syir’ah)
- Lembaga Studi Agama dan Demokrasii (Elsad) – (Pluralisme Agama dan Demokrasi)
- Fahmina Institute - (Pluralisme Gender equality)
- Indonesia Center for Civic Education - Demokrasi
- International Center for Islam and Pluralism (ICIP) - (Pluralisme agama)
- Indonesia Conference on Religion and Peace – (ICRP) (Pluralisme agama)
- Institut Arus Informasi (ISAI) – (Pluralisme dan Jurnalisme)
- Jaringan Islam Liberal (JIL) – (Liberalisasi Pemikiran)
- Paramadina – (Pluralisme agama)
- Pusat Studi Wanita – UIN - (Gender equality)
- Lembaga Kajian Agama dan Jender (LKAJ) - (Gender equality)
- Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS) – (Penerbitan buku-buku pluralisme)
- Lembaga Pengembangan Sumber Daya Manusia Nahdhatul Ulama (Pluralisme Agama, dekontsruksi syariah )
- Pusat Studi Agama dan Peradaban Muhammadiyah (Pluralisme Agama)
- Dan puluhan LSM serta organisasi sejenis lainnya.



Kebijakan untuk mengubah kurikulum dan pemikiran Islam juga pernah diungkapkan oleh Menhan AS, Donald Rumsfeld. Dengan alasan membendung arus terorisme, Donald Rumsfeld, pada 16 Oktober 2003, meluncurkan sebuah memo:

“AS perlu menciptakan lembaga donor untuk mengubah kurikulum pendidikan Islam yang radikal menjadi moderat. Lembaga pendidikan Islam bisa lebih cepat menumbuhkan teroris baru, lebih cepat dibandingkan kemampuan AS untuk menangkap atau membunuh mereka. (Harian Republika, 3/12/2005).

Maka, dengan dukungan dana yang besar-besaran, AS dan sekutunya, serta kaki tangannya di Indonesia, berupa LSM-LSM asing, kemudian melakukan program perubahan dan penghancuran pemikiran Islam secara besar-besaran. Secara moral, mereka sebenarnya telah melakukan tindakan-tindakan yang sangat tidak manusiawi dan tidak beradab. Di tengah kemiskinan dan pemiskinan masyarakat Indonesia oleh kekuatan imperialisme global, mereka bukannya menolong Indonesia untuk mengurangi beban utangnya, atau membantu pengentasan kemiskinan dan kemajuan ekonomi, tetapi malah menyebarkan racun paham Pluralisme Agama dan penghancuran syariat Islam, di tengah-tengah masyarakat Muslim Indonesia.

Jika mereka memang bermaksud baik, seharusnya, dana mereka itu digunakan untuk membantu permodalan pedagang-pedagang kecil, mengurangi beban utang luar negeri, beasiswa anak-anak miskin terlantar, pembangunan air bersih bagi pondok pesantren, dan sebagainya, tanpa merusak aqidah dan keimanan kaum Muslim. Jika Barat penghargai pluralitas dan perbedaan antar umat manusia, mestinya mereka tidak memaksakan ideologi dan pandangan hidup mereka kepada umat manusia. Mestinya mereka menghargai keberagaman dan membiarkan umat Islam hidup dengan pandangan hidupnya dan syariatnya sendiri. Tetapi, sayangnya, Barat saat ini terlalu ketakutan terhadap Islam (Islamofobia), sehingga apa yang dilakukan oleh lembaga-lembaga asing agen Barat di Indonesia ini jauh lebih buruk dari apa yang dikerjakan oleh Belanda dan VOC di masa lalu, yang tidak ikut campur tangan dalam kurikulum pondok pesantren.

Tapi, sayangnya, ada saja sebagian kalangan umat dan lembaga Islam yang terpengaruh oleh iming-iming duniawi dari lembaga-lembaga asing yang sedang bergentayangan mencari mangsa bersama para kaki tangannya di Indonesia.

5. Liberalisasi di Perguruan Tinggi Islam
Jika Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, dan sebagainya menjadi pelopor liberalisasi Islam di organisasi Islam dan masyarakat, maka Prof. Dr. Harun Nasution melakukan liberalisasi Islam dari dalam kampus-kampus Islam. Ketika menjadi rektor IAIN Ciputat, Harun mulai melakukan gerakan yang serius dan sistematis untuk melakukan perubahan dalam studi Islam. Ia mulai dari mengubah kurikulum IAIN.

Berdasarkan hasil rapat rektor IAIN se-Indonesia pada Agustus 1973 di Ciumbuluit Bandung, Departemen Agama RI memutuskan: buku “Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya” (IDBA) karya Prof. Dr. Harun Nasution direkomendasikan sebagai buku wajib rujukan mata kuliah Pengantar Agama Islam – mata kuliah komponen Institut yang wajib diambil oleh setiap mahasiswa IAIN.

Harun Nasution sendiri mengakui ketika itu tidak semua rektor menyetujuinya. Sejumlah rektor senior mentang keputusan tersebut. Tapi, entah kenapa, keputusan itu tetap dijalankan oleh pemerintah. Buku IDBA dijadikan buku rujukan dalam studi Islam. Karena ada instruksi dari pemerintah (Depag) yang menjadi panaung dan penanggung jawab IAIN-IAIN, maka materi dalam buku Harun Nasution itu pun dijadikan bahan kuliah dan bahan ujian untuk perguruan swasta yang menginduk kepada Departemen Agama.

Pada tanggal 3 Desember 1975, Prof. HM Rasjidi, Menteri Agama pertama, sudah menulis laporan rahasia kepada Menteri Agama dan beberapa eselon tertinggi di Depag. Dalam bukunya, Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution tentang ‘Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Prof. Rasjidi menceritakan isi suratnya:

“Laporan Rahasia tersebut berisi kritik terhadap buku Sdr. Harun Nasution yang berjudul Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Saya menjelaskan kritik saya fasal demi fasal dan menunjukkan bahwa gambaran Dr. Harun tentang Islam itu sangat berbahaya, dan saya mengharapkan agar Kementerian Agama mengambil tindakan terhadap buku tersebut, yang oleh Kementerian Agama dan Direktorat Perguruan Tinggi dijadikan sebagai buku wajib di seluruh IAIN di Indonesia.” 46

Selama satu tahun lebih surat Prof. Rasjidi tidak diperhatikan. Rasjidi akhirnya mengambil jalan lain untuk mengingatkan Depag, IAIN, dan umat Islam Indonesia pada umumnya. Setelah nasehatnya tidak diperhatikan, ia menerbitkan kritiknya terhadap buku Harun tersebut. Maka, tahun 1977, lahirlah buku Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution tersebut.

Nasehat Prof. Rasjidi sangat penting untuk direnungkan saat ini, mengingat buku IDBA karya Harun Nasution itu memang penuh dengan berbagai kesalahan fatal, baik secara ilmiah maupun kebenaran Islam. Misalnya, tentang hadis Nabi Muhammad saw, Harun menulis : “Berlainan halnya dengan Al-Quran, hadis tidak dikenal dicatat tidak dihafal di zaman Nabi… Karena hadis tidak dihafal dan tidak dicatat dari sejak semula, tidaklah dapat diketahui dengan pasti mana hadits yang betul-betul berasal dari Nabi dan mana hadits yang dibuat-buat… tidak ada kesepakatan kata antara umat Islam tentang keorisinilan semua hadis dari Nabi.” 47

Sekilas saja mencermati kata-kata Harun tersebut jelas sangat keliru, sebab banyak sahabat yang sejak awal sudah mencatat dan menghafal hadis Nabi saw. Juga, tidak benar, bahwa umat Islam tidak pernah bersepakat tentang otentisitas hadits Nabi. Kata-kata Harun itu jelas hanya upaya meragu-ragukan hadis Nabi sebagai pedoman kaum Muslim setelah al-Quran. Sebenarnya, tidaklah benar, hadis Nabi sejak awal tidak dicatat oleh para sahabat. Prof. Musthafa Azhami, dalam disertasinya di Cambridge, berjudul “Studies in Early Hadith Literature” membuktikan proses pencatatan hadis sejak zaman Nabi, disamping proses hafalannya.

Kesalahan yang sangat fatal dari buku IDBA karya Harun adalah dalam menjelaskan tentang agama-agama. Di sini, Harun menempatkan Islam sebagai agama yang posisinya sama dengan agama-agama lain, sebagai evolving religion (agama yang berevolusi). Padahal, Islam adalah satu-satunya agama wahyu, yang berbeda dengan agama-agama lain, yang merupakan agama sejarah dan agama budaya (historical dan cultural religion). Harun menyebut agama-agama monoteis – yang dia istilahkan juga sebagai ‘agama tauhid’ — ada empat, yaitu Islam, Yahudi, Kristen, dan Hindu. Ketiga agama pertama, kata Harun, merupakan satu rumpun. Agama Hindu tidak termasuk dalam rumpun ini. Tetapi, Harun menambahkan, bahwa kemurnian tauhid hanya dipelihara oleh Islam dan Yahudi. Tetapi kemurnian tauhid agama Kristen dengan adanya faham Trinitas, sebagai diakui oleh ahli-ahli perbandingan agama, sudah tidak terpelihara lagi.” 48

Apakah benar agama Yahudi merupakan agama dengan tauhid murni sebagaimana Islam? Jelas pendapat Harun itu sangat tidak benar. Kalau agama Yahudi merupakan agama tauhid murni, mengapa dalam al-Quran dia dimasukkan kategori kafir Ahlul Kitab? Kesimpulan Harun itu jelas sangat mengada-ada. Sejak lama Prof. HM Rasjidi sudah memberikan kritik keras, bahwa: “Uraian Dr. Harun Nasution yang terselubung uraian ilmiyah sesungguhnya mengandung bahaya bagi generasi muda Islam yang ingin dipudarkan keimanannya.” 49

Tetapi, kritik-kritik tajam Prof. Rasjidi seperti itu tidak digubris oleh petinggi Depag dan IAIN, sehingga selama 32 tahun, buku IDBA dijadikan buku wajib dalam mata kuliah pengantar Studi Islam di perguruan-perguruan tinggi Islam di Indonesia. Padahal, kesalahannya begitu jelas dan fatal. Malah, bukannya bersikap kritis, banyak ilmuwan yang memuji-muji Harun Nasution secara tidak proporsional.

Prof. Dr. Said Agil al-Munawwar, misalnya, menulis:

“Karena itu, beliau perlu diteladani oleh para intelektual maupun generasi berikutnya. Harun Nasution adalah sebagai salah seorang tokoh pembaru diantara sedikit tokoh yang ada, ia termasuk tokoh sentral dalam menyemaikan ide pembaruan bersama tokoh lainnya di Indonesia. Tokoh-tokoh elitis kaum pembaru dimaksud diantaranya; Nurcholish Madjid, Utomo Dananjaya, Usep Fathudin, Djohan Effendi, Ahmad Wahid, M. Dawam Rahardjo, Adi Sasono, Abdurrahman Wahid, Jalaluddin Rakhmat, Ahmad Syafii Ma’arif, Muhammad Amien Rais dan Kuntowijoyo…Harun sangat tepat disebut pemancang perubahan dalam tradisi akademik di lingkungan perguruan tinggi Islam Indonesia. 50

Meskipun bukan bidangnya, Prof. Malik Fadjar juga ikut-ikutan memberikan pujian berlebihan dan tanpa sikap kritis terhadap Harun Nasution:

“Usaha dan kerja keras Harun Nasution dalam pengembangan Islamic Studies di Indonesia patut dihargai. Harun seyogianya dianugerahi sebagai tokoh Islamic Studies di Indonesia.” 51

Secara kualitas dan teknik penulisan ilmiah, buku IDBA Harun Nasution itu sebenarnya juga sudah perlu direvisi total. Tapi, sekali lagi, kesalahan yang fatal itu dibiarkan saja selama 30 tahun lebih. Jika buku yang isinya mengandung ‘virus pemikiran’ itu diajarkan secara terus-menerus dalam rentang begitu lama, bisa dipahami, jika kerusakan yang diakibatkan ‘virus’ itu sudah semakin parah dan menular ke mana-mana. Entah kenapa, masalah yang serius dan separah ini sekian lama dibiarkan oleh lembaga-lembaga Islam di Indonesia. Setahu penulis, hingga kini, belum ada lembaga Islam, khususnya perguruan tinggi Islam, yang secara resmi meminta pemerintah menarik kembali buku IDBA Harun Nasution tersebut.

PENUTUP
Sebagai penduduk sebuah negeri Muslim terbesar, umat Islam Indonesia saat ini benar-benar sedang menghadapi ujian keimanan yang sangat berat. Di tengah berbagai krisis dan keterpurukan, umat Islam Indonesia direkayasa, dirusak, dan diserbu besar-besaran dengan paham-paham syirik modern dan berbagai pemikiran liberal yang membongkar habis-habisan sendi-sendi ajaran dan keyakinan umat Islam. Ironisnya, ujung tombak dari penyebaran paham ini adalah para individu, tokoh, cendekiawan, ulama, dan lembaga yang secara formal menyandang nama Islam. Tentu saja ini tantangan yang sangat berat. Sebab, para ulama dan cendekiawan yang seharusnya diamanahkan untuk menjaga agama, justru banyak yang berbalik menjadi perusak agama. Inilah zaman fitnah, zaman edan, zaman dimana yang haq dan yang bathil sudah bercampur aduk.

Rasulullah saw sudah pernah mengingatkan:

“Yang merusak umatku adalah orang alim yang durhaka dan ahli ibadah yang bodoh. Seburuk-buruk manusia yang buruk adalah ulama yang buruk dan sebaik-baik manusia yang baik adalah ulama yang baik.” (HR Ad-Darimy).

Juga sabda beliau saw:

“Termasuk diantara perkara yang aku khawatirkan atas umatku adalah tergelincirnya orang alim (dalam kesalahan) dan silat lidahnya orang munafik tentang al-Quran.” (HR Thabrani dan Ibn Hibban).

Di tengah ujian berat proyek liberalisasi Islam secara besar-besaran ini, kita berdoa, mudah-mudahan tidak banyak kyai, ulama, cendekiawan, atau mahasiswa, yang tergoda oleh berbagai bujukan dan tipuan duniawi yang ditujukan untuk menghancurkan kekuatan Islam dari dalam. Pemikiran-pemikiran yang destruktif terhadap Islam, saat ini sering dikemas dengan bungkusan yang menarik dan dijajakan oleh pengasong-pengasong yang piawai dalam bersilat-lidah dan tak jarang juga berhujjah dengan al-Quran.

Bisa dikatakan, liberalisasi Islam di Indonesia, saat ini, adalah tantangan yang terbesar yang dihadapi semua komponen umat Islam, baik pondok pesantren, perguruan tinggi Islam, ormas Islam, lembaga ekonomi Islam, maupun partai politik Islam. Sebab, liberalisasi Islam telah menampakkan wajah yang sangat jelas dalam menghancurkan Islam dari asasnya, baik aqidah Islam, al-Quran, maupun syariat Islam.

Tidak ada cara lain untuk membentengi keimanan kita, keluarga kita, dan jamaah kita, kecuali dengan meningkatkan ilmu-ilmu keislaman yang benar dan memohon pertolongan kepada Allah SWT. “Ya Allah, tunjukkanlah yang benar itu benar dan berikanlah kemampuan kepada kami untuk mengikutinya; dan tunjukkanlah yang bathil itu bathil, dan berikanlah kemampuan kepada kami untuk menghindarinya. Allahumma amin.” (Depok, 12 Ramadhan 1427 H).

Oleh: Adian Husaini, MA•
Adian Husaini, Ph.D. Candidate di International Institute of Islamic Thought and Civilization—International Islamic University Malaysia (ISTAC-IIUM). Aktivitas di Indonesia saat ini adalah sebagai Dosen Pasca Sarjana Universitas Indonesia; Ketua Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII).


FOOTNOTE
1 Harvey Cox, The Secular City: Secularization and Urbanization in Theological Perspective, (New York: The Macmillan Company, 1967), hal. 19-32.

2 Harvey Cox, The Secular City, hal. 15.

3 Lihat Martin E. Marty, “ Does Secular Theology Have a Future” dalam buku The Great Ideas Today, (New York: Encyclopaedia Britannica Inc, 1967).

4 Lihat, Karel Steenbrink, “Patterns of Muslim-Christian Dialogue in Indonesia, 1965-1998”, dalam Jacques Waardenburg, Muslim-Christian Perceptions of Dialogue Today, (Leuveneeters, 2000), hal. 85. Steenbrink menggunakan redaksi “The book The Secular City by Harvey Cox had a great impact in these young students.” Dalam Catatan Hariannya, Ahmad Wahib menulis: “Sejauh yang aku amati selama ini, agama terjadi telah kehilangan daya serap dalam masalah-masalah dunia. Petunjuk-petunjuk Tuhan tidak mampu kita sekularkan. Padahal, sekularisasi ajaran-ajaran Tuhan mutlak bagi kita kalau kita tidak ingin sekularistis.” Wahib adalah anak asuh Romo Willenborg dan Romo H.C. Stolk SJ. Ketika itu ia sudah menyatakan dirinya sebagai penganut pluralisme, sama dengan Romo Stolk. Wahib juga membahas tentang sekularisme dan sekularisasi. (Lihat, Djohan Efendi & Ismet Natsir Ahmad (ed), Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib, (Jakarta: LP3ES dan Freedom Institute, 2003, cet ke-6), hal. 37-41, 79. Tentang pengaruh Harvey Cox terhadap Nurcholish Madjid, lihat Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1999).

5 Lihat Tomas Shivute, The Theology of Mission and Evangelism, (Helsinki: Finnish Missionary Society, 1980), hal. 42-50. Paus yang baru, Benediktus XVI, juga dikenal sebagai Paus yang konservatif dan anti-liberal. Sebelumnya, tahun 2000, dia termasuk seorang perumus penting doktrin “Dominus Jesus” yang menolak paham Pluralisme Agama dan menegaskan, jalan satu-satunya untuk menuju Bapa adalah melalui Yesus Kristus.

6 Tahun 1999, disertasi Greg Barton diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh penerbit Paramadina, dengan judul Gagasan Islam Liberal di Indonesia. (1999:xxi).

7 Charles Kimball, When Religion Becomes Evil, (New York: HarperSanFrancisco, 2002.

8 Lihat Artikel Budhy Munawar Rahman berjudul “Basis Teologi Persaudaraan Antar-Agama”, dalam buku Wajah Liberal Islam di Indonesia (Jakarta: JIL, 2002), hal. 51-53.

9 Abdul Munir Mulkhan, Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2002), hal. 44.

10 Lihat, buku Tiga Agama Satu Tuhan, (Bandung: Mizan, 1999), hal. xix.

11 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 1995), hal. lxxvii.

12 Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, (Bandung: Mizan, 1997), hal. 108-109.

13 Lihat buku Ijtihad Islam Liberal, (Jakarta: JIL, 2005), hal. 223.

14 Khamami Zada, Membebaskan Pendidikan Islamari Eksklusivisme menuju Inklusivisme dan Pluralisme, Jurnal Tashwirul Afkar, edisi No 11 tahun 2001.

15 M. Amin Abdullah, Pengajaran Kalam dan Teologi di Era Kemajemukan: Sebuah Tinjauan Materi dan Metode Pendidikan Agama, Jurnal Tashwirul Afkar, edisi No 11 tahun 2001.

16 Sururin (ed), Nilai-nilai Pluralisme dalam Islam, (Jakarta: Fatayat NU&Ford Foundation, 2005), hal. 150.

17 Ibid, hal. 58.

18 Ibid, hal. 58.

19 Ibid, hal. 58-59.

20 Mazheruddin Siddiqi, The Image of the West in Iqbal, (Lahore: Baz-i-Iqbal, 1964), hal. 51,71-72.

21 Lihat, Libertus Jehani, Paus Benediktus XVI, Palang Pintu Iman Katolik, (Jakarta: Sinondang Media, 2005), hal. 32.

22 John L. Allen, JR, The Rise of Benedict XVI, (New York: Doubleday, 2005), hal. 165-166.

23 Joseph Runzo, Reason, Relativism, and God, (London: Macmillan Press Ltd, 1986), hal. 10.

24 Frans Magnis Suseno, Menjadi Saksi Kristus di Tengah Masyarakat Majemuk, (Jakarta: Penerbit Obor, 2004.

25 Lihat sinopsis buku Theologia Abu-abu, di www.gandummas.com; dan buku Stevri Indra Lumintang, Theologia Abu-Abu Pluralisme Agama : Tantangan dan Ancaman Racun Pluralisme Dalam Teologi Kristen Masa Kini (Malang : Gandum Press, 2004), hal. 18-19.

26 Lihat, makalah Taufik Adnan Amal berjudul “Edisi Kritis al-Quran”, dalam buku Wajah Liberal Islam di Indonesia” (Jakarta: JIL, 2002), hal. 78).

27 Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Quran (Yogyakarta: FKBA, 2001).

28 Aksi Wijaya, Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan” (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004), hal. 123.

29 Luthfi Assyaukanie, “Merenungkan Sejarah Alquran”, dalam Abd. Muqsith Ghazali (ed), Ijtihad Islam Liberal, (Jakarta: Jaringan Islam Liberal, 2005), hal. 1.

30 Sumanto Al-Qurtubhy, “Membongkar Teks Ambigu”, dalam Abd. Muqsith Ghazali (ed), Ijtihad Islam Liberal, (Jakarta: Jaringan Islam Liberal, 2005), hal. 17.

31 Jurnal Justisia Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang, edisi 27/2005.

32 Dalam Jurnal Justisia, Edisi 23 Th XI/2003 ini bisa dibaca berbagai artikel dengan judul-judul yang melecehkan al-Quran dan menghina para sahabat Nabi Muhammad saw, seperti “Qur’an ‘Perangkap’ Bangsa Quraisy” oleh M. Khalidul Adib Ach, “Pembukuan Qur’an oleh Usman: Sebuah Fakta Kecelakaan Sejarah” oleh Tedi Kholiludin, “Kritik Ortodoksisme: Mempertanyakan Ketidakkreativan Generasi Pasca Muhammad”, oleh Iman Fadhilah el-Barbazzy ErHa, dan sebagainya.

33 Paparan lebih jauh tentang masalah liberalisasi al-Quran di PerguruanTinggi Islam, lihat, Adian Husaini, Hegemoni Kristen dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi, (Jakarta: GIP, 2006).

34 Lihat, Pengantar Azyumardi Azra untuk buku Dr. Abd A’la, Dari Neomodernisme ke Islam Liberal, (Jakarta: Paramadina, 2003), hal. xi.

35 Ibid, hal.xii.

36 Kritik yang komprehensif terhadap metodologi hermeneutika Fazlur Rahman dilakukan oleh Ahmad Bazali bin Shafie dalam disertasinya di ISTAC-IIUM Kuala Lumpur, yang berjudul “A Modernist Approach to the Quran: A Critical Study of the Hermeneutics of Fazlur Rahman.” Disertasi ini disupervisi oleh Prof. Dr. Wan Mohd Nor Wan Daud yang juga anak bimbing langsung Fazlur Rahman di Chicago University. Berbeda dengan sejumlah murid Fazlur Rahman lainnya, seperti Nurcholish Madjid dan A. Syafii Ma’arif, Wan Mohd Nor mampu keluar dari bingkai pemikiran Rahman dan mengkritik metodologi hermeneutika Fazlur Rahman untuk penafsiran al-Quran. Sebuah buku yang cukup bagus dalam mengkritik metode liberal dalam penafsiran al-Quran juga ditulis oleh pakar ushul Fiqih dari Muhammadiyah, Prof. Asymuni Abdurrahman melalui bukunya yang berjudul Memahami Makna Tekstual, Kontekstual, dan Liberal (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, tanpa tahun).

37 Mun’im Sirry (ed), Fiqih Lintas Agama, (Jakarta: Paramadina&The Asia Foundation), 2004), hal. 164.

38 Musdah Mulia, Muslimah Reformis, (Bandung: Mizan, 2005), hal. 63.

39 Lihat, buku Ijtihad Islam Liberal, (Jakarta: Jaringan Islam Liberal, 2005), hal. 220-221.

40 Sejumlah pakar hukum Islam di Indonesia, seperti Prof. Dr. Huzaemah Tahido Yanggo, MA, Prof. KH Ali Yafie, Prof. Dr. KH Ali Mustafa Yaqub, MA, Neng Djubaidah SH, MHum, Prof. Dr. Zaitunah Subhan dan Prof. Dr. Nabilah Lubis MA, telah memberikan kritik yang tajam terhadap CLD KHI versi Musdah ini. (Lihat, Zaitunah Subhan dkk (ed), Membendung Liberalisme, (Jakarta: Republika, 2004).

41 Buku: Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur: Memoar Luka Seorang Muslimah, SriptaManent dan Melibas, 2005, cetakan ke-7.

42 Lihat buku Indahnya Kawin Sesama Jenis: Demokratisasi dan Perlindungan Hak-hak Kaum Homoseksual, (Semarang:Lembaga Studi Sosial dan Agama/eLSA, 2005), hal. 15.

43 Tentang strategi Barat dalam menghadapi Islam pasca Perang Dingin, lihat, Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal, (Jakarta: GIP, 2005).

44 David E. Kaplan, Hearts, Minds, and Dollars, www.usnews.com, 4-25-2005.

45 http://www.asiafoundation.org/Locations/indonesia.html Website The Asia Foundation (www.asiafoundation.org) sampai dengan 24 Maret 2006, masih menulis tajuk pembukanya dengan kata-kata: “REFORMASI PENDIDIKAN DAN ISLAM DI INDONESIA.”

46 HM Rasjidi, Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution tentang ‘Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya’, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), hal 13.

47 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Press, cet. ke-6, 1986), Jld 1, hal. 29.

48 Ibid, hal. 15-22.

49 HM Rasjidi, op.cit, hal. 24.

50 Abdul Halim (ed), Teologi Islam Rasional, (Ciputat Press, 2005), hal. xvi-xvii.

51 Ibid, back cover.


Source:
http://dunia.pelajar-islam.or.id/dunia.pii/2009/04/06

No comments: