Showing posts with label Islam. Show all posts
Showing posts with label Islam. Show all posts

Saturday 2 August 2014

Hutang dan Saksi

Dari Abu Hurairah r.a. dari Rasulullah saw bersabda bahwasanya beliau menyebutkan seorang laki-laki dari Bani Israil yang meminta orang Bani Israil lainnya agar memberinya utang sebesar 1000 dinar. Lalu orang yang mengutanginya berkata, ‘Datangkanlah beberapa saksi agar mereka menyaksikan (utangmu ini)’. Ia menjawab, ‘Cukuplah Allah sebagai saksi bagiku!’ Orang itu berkata, ‘Datangkanlah seseorang yang bisa menjamin(mu)!’ Ia menjawab, ‘Cukuplah Allah yang menjaminku!’ Orang yang mengutanginya pun lalu berkata, ‘Engkau benar!’ Maka utang itu diberikan kepadanya (untuk dibayar) pada waktu yang telah ditentukan.

(setelah lama) Orang yang berutang itu pun pergi berlayar untuk suatu keperluannya. Lalu ia mencari kapal yang bisa mengantarkannya karena utangnya telah jatuh tempo, tetapi ia tidak mendapatkan kapal tersebut. Maka ia pun mengambil kayu yang kemudian ia lubangi, dan dimasukkannya uang 1000 dinar ke dalamnya berikut surat kepada pemiliknya. Lalu ia meratakan dan memperbaiki letaknya. Selanjutnya ia pe menuju laut seraya berkata, ‘Ya Allah, sungguh Engkau telah mengetahui bahwa aku meminjam uang kepada si fulan sebanyak 1000 dinar. Ia memintaku seorang penjamin, maka kukatakan cukuplah Allah sebagai penjamin, dan ia rela dengannya. Sungguh aku telah berusaha keras untuk mendapatkan kapal untuk mengirimkan kepadanya uang yang telah diberikannya kepadaku, tetapi aku tidak mendapatkan kapal itu. Karena itu, aku titipkan ia kepada-Mu’. Lalu ia melemparkannya ke laut sehingga terapung-apung, lalu ia pulang.

Adapun orang yang telah memberi utang itu, maka ia mencari kapal yang datang ke negerinya. Maka ia pun keluar rumah untuk melihat-lihat barangkai ada kapal yang membawa titipan uangnya. Tetapi tiba-tiba ia menemukan kayu yang di dalamnya terdapat uang. Lalu ia mengambilnya sebagai kayu bakar untuk istrinya. Namun ketika ia membelah kayu tersebut, ia mendapatkan uang berikut sepucuk surat. Setelah itu, datanglah orang yang berutang kepadanya. Ia membawa 1000 dinar seraya berkata, ‘Demi Allah, aku terus berusaha untuk mendapatkan kapal agar bisa sampai kepadamu dengan uangmu, tetapi aku sama sekali tidak mendapatkan kapal sebelum yang aku tumpangi sekarang’. Orang yang mengutanginya berkata, ‘Bukankah engkau telah mengirimkan uang itu dengan sesuatu?’ Ia menjawab, ‘Bukankah aku telah beritahukan kepadamu bahwa aku tidak mendapatkan kapal sebelum yang aku tumpangi sekarang?’ Orang yang mengutanginya mengabarkan, ‘Sesungguhnya Allah telah menunaikan apa yang telah engkau kirimkan kepadaku melalui kayu. Karena itu bawalah uang 1000 dinarmu kembali dengan beruntung!’. (HR. Bukhari, 4/469, Kitabul Kafalah, dan Ahmad)

Kisah Islami

Abu Hurairah r.a. meriwayatkan, Rasulullah saw bersabda : “Ada seorang laki-laki yang membeli tanah perkebunan dari orang lain. Tiba-tiba orang yang membeli tanah perkebunan tersebut menemukan sebua guci yang di dalamnya terdapat emas. Maka ia berkata kepada penjualnya, ‘Ambillah emasmu dariku, sebab aku hanya membeli tanah perkebunan, tidak membeli emas!’ Orang yang memiliki tanah itupun menjawab, ‘Aku menjual tanah itu berikut apa yang ada di dalamnya’. Lalu keduanya meminta keputusan hukum kepada orang lain. Orang itu berkata, ‘Apakah kalian berdua memiliki anak?’ Salah seorang dari mereka berkata, ‘Aku memiliki seorang anak laki-laki’. Yang lain berkata, ‘Aku memiliki seorang anak puteri’. Orang itu lalu berkata, ‘Nikahkanlah anak laki-laki(mu) dengan puteri(nya) dan nafkahkanlah kepada keduanya dari emas itu dan bersedekahlah kalian dari padanya!” (HR. Bukhari dalam Akhbar Bani Israil, dan Muslim).

Friday 12 November 2010

Nabi-nabi baru -- nabi-nabi "palsu"?

Nabi-nabi baru -- nabi-nabi "palsu"?

Ulil Abshar Abdalla

Gejala munculnya orang-orang yg mengaku "nabi" akhir-akhir ini membuat saya bertanya-tanya: ada apa sebetulnya dengan masyarakat kita?

Apakah ini sekedar eksentrisitas dan "idiosinkrasi" yang lumrah saja? Ataukah simptom dari suatu perubahan sosial yang lebih luas?

Dilihat dari sudut pandang agama yg sudah mapan, tentu kleim-kleim para nabi baru itu sangat menggelikan, selain meresahkan. Nabi-nabi itu mereka pandang sebagai "nabi palsu", atau minimal orang yang mengaku-ngaku saja menjadi nabi ("mutanabbi"). Tetapi orang-orang yang sekarang menikmati agama-mapan itu lupa bahwa pada masa lampau, nabi-nabi yang dulu "mendirikan" agama yang sekarang menjadi mapan itu juga pernah mengalami apa yg ingin saya sebut "moment of tribulation" -- masa-masa diuji, diejek, dilecehkan, dicemooh, ditertawakan, dituduh sebagai orang gila, sinting, penyihir, "impostor", dsb.

Dilihat dari sudut pengalaman orang yang mengaku nabi itu, tentu kleim mereka adalah otentik, seotentik pengalaman yg pernah dirasakan oleh Nabi Muhammad dulu waktu menerima wahyu.

Akan tetapi dipandang dari segi kalkulasi untung-rugi, mengaku sebagai nabi itu sangat tidak menguntungkan. Setiap orang yang mengaku nabi umumnya diejek dan dimusuhi. Nabi yang sukses mendirikan agama yang mapan hanya sedikit. Jika sebuah hadis yang menegaskan bahwa jumlah nabi ada sekitar 124 ribu orang betul pernah disabdakan oleh Nabi Muhammad, maka kita bisa menghitung sendiri berapa dari mereka yang sukses membangun ajaran yang mapan. Sebagaimana kita tahu, dari jumlah itu, yang berhasil mendirikan agama yang bisa lihat hingga saat ini sangat sedikit jumlahnya.

Dengan kata lain, sebagian besar nabi "gagal" melakukan institusionalisasi atas "inspirasi ilahiah" yang mereka perjuangkan. En toch demikian, tetap saja ada orang-orang yang muncul ke permukaan bumi yang fana ini dan mengaku sebagai nabi, padahal resiko yang mereka tanggung sangatlah berat?

Kenapakah gerangan? Adakah insentif buat mereka?

Jika "nabi" bisa kita sebut secara metaforis sebagai "pedagang grosir" yang menjual "dagangan" dalam partai besar, dan ulama yang mendakwahkan ajaran nabi itu secara metaforis pula boleh kita anggap sebagai "pedagang eceran", tentu lebih menguntungkan bekerja dalam lingkup agama yang sudah ada dan mapan sebagai "pedagang eceran", ketimbang mengaku sebagai nabi baru, mendirikan "supermarket baru", sebab akan menghadapi banyak tantangan dari "supermarket lama" yang sudah mapan.

En toch demikian, tetap saja ada orang-orang yang ingin membuka "toko grosir" besar, menjadi nabi baru, dan mendakwahkan ajaran baru? Kenapakah gerangan?

Saya suka sekali dg istilah teolog pos-modernis dari Perancis yang sekarang mengajar di Universitas Chicago, Jean Luc-Marion, "excess of meaning" -- makna yg membuncah hingga meluber ke mana-mana. Saya akan memakai istilah untuk menjelaskan sebagian gejala munculnya nabi-nabi "baru" ini. Orang-orang yang mengaku nabi itu tampaknya mengalami semacam "surplus pengalaman", atau "ekses makna" dalam istilah Marion, yang tentu di mata dia sangat otentik. Setiap pengalaman subyektif yang "eksesif" (sehingga menimbulkan "surplus pengalaman") biasanya tidak bisa disimpan sendiri. Orang yang bersangkutan merasakan suatu dorongan yang kuat dalam dirinya untuk "membagi" pengalaman itu dengan orang lain.

Secara empiris, hal ini sering kita alami dalam kehidupan sehari-hari. Saat kita mendapatkan suatu kegembiraan, ada dorongan dari dalam yang susah ditolak untuk mengabarkan kegembiraan itu ke orang-orang lain. Ini terjadi karena suatu pengalaman yang menggemberikan mirip dengan sebuah air yang meluap. Pengalaman itu susah untuk kita pendam sendiri. Ia minta untuk disalurkan keluar. Setiap pengalaman eksesif selalu cenderung mengarah keluar.

Dengan kata lain, pengalaman yang eksesif biasanya tak bisa disimpan sebagai pengalaman soliter, tetapi mendesakkan diri untuk membuncah ke luar. Jika memakai skema teori pembentukan realitas sosial yang sudah klasik dari Alfred Schutz yang kemudian "dirapikan" dan dipopulerkan oleh Peter Berger, dalam setiap surplus-pengalaman terdapat kecenderungan untuk eksternalisasi dan obektifikasi atas pengalaman subyektif itu. Saetiap orang yang mengaku sebagai nabi itu tampaknya merasakan pula pengalaman eksesif semacam itu serta, dengan sendirinya, dorongan ke arah eksternalisasi dan objetivikasi yang sangat kuat.

Para nabi semitik cenderung menyebut "misi kenabian" mereka sebagai "berita gembira", "busyra" (بشرى) atau "evangelium". Berita gembira tentu, dalam pandangan saya, mula-mula berawal dari "pengalaman eksesif" yang subjektif dan susah dibendung, sehingga harus diwartakan ke luar.

Pengalaman ini tampaknya mirip dengan momen-momen "puitis" yang dialami oleh setiap penyair atau seniman. Penjelasan psikologis fenomena kenabian dalam profetologi Sinian (maksudnya teori kenabian dalam pandangan Ibn Sina, seorang filosof besar Muslim yang hidup pada penghujung abad 10 dan awal abad 11 Masehi), misalnya, tepat sekali jika diterapkan untuk menjelaskan proses kreatif dalam dunia artisitik atau kesenian.

Menurut Ibn Sina, informasi, wahyu atau gagasan yang diterima oleh para nabi sebetulnya sama dengan proposisi (qadiyyah) dalam sistem logika Aristotelian. Bedanya, jika dalam logika Aristotelian, seseorang meraih informasi melalui proses bertahap yang gradual, melalui hukum logika Aristotelian yang kita kenal selama ini, dalam konteks pengalaman kenabian, informasi itu muncul di benak seorang nabi seperti sebuah kilatan cahaya ("ka lamh al-bashar", istilah Ibn Sina). Informasi itu seperti muncul mendadak tanpa melalui proses logis yang gradual. Informasi atau wahyu diperoleh secara mendadak oleh seorang nabi dalam bentuk "gumpalan" (Ibn Sina memakai istilah "terma tengah" atau "al-hadd al-wasath") yang pada gilirannya bisa diurai dalam bentuk proposisi logis dalam sistem logika Aristotelian.

Bukankah ini semacam pengalaman puitik yg dialami oleh seorang artis, i.e. seniman?

Dorongan dari dalam yang tak terbendung itulah yg tampaknya mendorong para nabi "baru" itu untuk tetap mengabarkan secara publik pengalaman eksesifnya, padahal dia tahu resiko sosial yang ia tanggung sangatlah besar, dan resiko gagal sebagai nabi juga sangat besar. Sebab dia tak bisa membendung "kabar gembira" yang bergejolak hebat dalam dirinya.

Ignaz Goldziher, seorang orientalis besar dan ahli Islam dari Hungaria itu, pernah mengemukakan sebuah observasi yang sangat baik (termuat dalam bukunya "Introduction to Islamic Theology and Law") -- bahwa sorang nabi, di manapun, biasanya bukanlah seseorang teolog. Nabi mengalami sebuah surplus pengalaman, terdorong oleh impuls yang tak terbendung untuk mengabarkan pengalaman itu, dan merasakan sebuah "sense of mission" untuk menyusun kembali dunia. Dengan kata lain, profil nabi di manapun lebih dekat ke citra seorang "ideolog revolusioner" yang tidak ingin sekedar (meminjam ucapan Karl Marx yang masyhur) "menjelaskan dunia, tetapi juga mengubahnya", ketimbang seorang sarjana yang berpikir sistematis. Teolog biasanya datang belakangan untuk melakukan sistematisasi atas "kabar gembira" dan "pengalaman eksesif" yang dialami oleh seorang nabi itu.

Menurut saya, penjelasan psikologis dan politis fenomena kenabian yang pernah ditulis Ibn Sina masih tetap menarik dan relevan hingga sekarang, meskipun penjelasan psikologis dan politis bukanlah satu-satunya model.

Yang masih misteri bagi saya hingga sekarang adalah kenapa ada nabi yang sukses, dan kenapa ada yang gagal atau "miskram". Dailihat dari segi isi "kabar gembira" yang diterima semua nabi, sebetulnya semua sama. Isinya sangat baik. Tentu, karena eksesifnya pengalaman yang mereka punyai itu, masing-masing nabi mengaku bahwa pengalamannya adalah "the last experience", pengalaman besar terakhir yang muncul dalam sejarah manusia, dan karena itu paling benar. Saya kira kleim semacam ini sangat bisa dimaklumi. Setiap penyair yang merasa sukses dengan artikulasi artistiknya tentu merasa bahwa karyanya sangat otentik, mungkin paling otentik. Pengalaman ini juga terjadi pada seorang nabi.

Jadi, kebenaran isi kabar gembira yang didakwahkan seorang nabi tidaklah bisa menjelaskan sepenuhnya kesuksesannya melembagakan sebuah pranata baru bernama agama. Di mata seorang "true believer" yang mengimani dakwah nabi itu, sudah tentu mereka cenderung menjelaskan kesuksesan itu dari kerangka "sejarah suci" dan intervensi Tuhan. Penjelasan subyektif ini tentu relevan dalam konteks pengalaman umat beragama tertentu, meskipun kurang membantu dari sudut analisis oleh seseorang yang berada di luar lingkaran pengalaman mereka.

Jika agama Kristen, misalnya, lahir lebih cepat atau lebih lambat dari masa ketika ia lahir, atau ia lahir di tempat yang berbeda dengan konteks yang berbeda, apakah ia akan sesukses saat ini? Pertanyaan serupa juga berlaku pada agama-agama lain, termasuk islam.

Jika kita telaah sejarah nabi-nabi atau orang-orang bijak di dunia ini, ada suatu "motif" yang tampaknya muncul dalam setiap gejala kenabian. Para nabi atau orang bijak itu tampaknya muncul dengan membawa misi untuk "menyelamatkan" dunia yang sudah mendekati masa keruntuhan. Dalam banyak hadis, Nabi Muhammad sendiri menyatakan bahwa dirinya muncul sebagai nabi pada saat dunia telah mendekati kiamat. Motif ini tampaknya muncul pada setiap gejala kenabian. Sebagian besar para nabi dan orang bijak seperti membawa misi penyelamatan atas dunia yang mengalami zaman kegelapan.

Apakah dengan demikian kita bisa menyimpulkan bahwa secara sosiologis, zaman yang sedang kisruh dan keadaan yang serba tak menentu akan menjadi bumi subur untuk munculnya para "nabi-nabi baru"?

Masjid dan Peradaban yang Merosot

Masjid dan Peradaban yang Merosot

Ulil Abshar-Abdalla


Kalau mendengar khutbah di gereja-gereja Amerika yang disiarkan melalui TV (dikenal dengan istilah “televangelisme"), saya merasa, mutu khutbah orang-orang “kafir” itu secara umum jauh lebih baik ketimbang mutu khutbah di masjid-masjid kita di Indonesia. Retorika mereka sungguh sangat memukau.

Saya curiga, tampaknya masjid-masjid kita kini bukan lagi tempat umat bisa menambah wawasan keagamaannya dengan cerdas, tapi justru menjadi tempat untuk merawat “kesemenjanaan” atau mediokrisi. Dari hari ke hari, umat dijejali dengan demagogi, ceramah yang sarat dengan klise, repetisi materi yang membosankan, dan kadang caci-maki yang menyuburkan rasa benci.

Sedih melihat masjid kita seperti itu. Rupanya penyakit itu bukan hanya menjangkiti Indonesia. Di Boston pun, ceramah dan khutbah Jumat sangat tidak bermutu. Sama saja.

Saya jadi ingat Prof. Fathi Osman yang suatu ketika berujar, peradaban adalah suatu keseluruhan. Ketika suatu peradaban merosot, maka yang merosot bukan hanya salah satu aspek di dalamnya, tetapi juga merembet ke seluruh aspeknya. Kemerosotan peradaban Islam, jika dibaca melalui cara pandang Prof. Fathi itu, juga tampak hingga ke perkara sepele seperti khutbah Jumat.

Saya tidak bisa seluruhnya sepakat dengan kalangan yang menyebut dirinya “tradisionalis” seperti Prof. Seyyed Hossein Nasr, yang mengatakan bahwa peradaban Barat sudah mengalami kebangkrutan secara spiritual, meski secara material tampak gemerlap dan cemerlang. Pandangan ini, saya kira, diikuti pula oleh banyak kalangan umat Islam.

Saya tidak bisa sepakat dengan pandangan seperti ini dengan alasan sangat sederhana: bukankah kecemerlangan lahiriah menandakan suatu vitalitas rohaniah. Jika seseorang mengalami kebangkrutan secara rohani, dengan sendirinya kebangkrutan itu akan tampak pula pada aspek-aspek jasmani.

Peradaban yang memproduksi ratusan pemenang Nobel dalam segala bidang setiap tahunnya, jelas menandakan bahwa peradaban itu sehat jasmaniah dan rohaniah. Peradaban yang menghasilkan ratusan film bermutu dan produk-produk hiburan bermutu lainnya setiap tahun (ada juga yang tidak bermutu), jelas manandakan bahwa peradaban itu subur dan maju, lahir dan batin.

Peradaban yang menghasilkan ribuan judul buku bermutu setiap tahun (sebagaimana bisa dilihat melalui jurnal review buku seperti The New York Review of Books atau Times Literary Supplement), jelas menandakan bahwa ia segar bugar, luar-dalam.

Sebaliknya, peradaban yang di dalamnya terdapat khutbah-khutbah Jumat yang sarat demagogi dan caci-maki; apa yang bisa kita katakan selain ia sedang merosot?

Lihatlah ironi berikut ini. Siapa penulis muslim yang dapat mengarang biografi tentang nabi mereka sendiri sememikat biografi yang ditulis Karen Armstrong, seorang mantan biarawati, tentang Nabi Muhammad? Siapakah sarjana Muslim yang dapat melahirkan karya tentang sejarah sosial umat Islam (sejak masa klasik hingga modern) secemerlang yang ditulis Prof. Ira M. Lapidus, “The History of Islamic Societies”?

Dalam bidang-bidang yang menyangkut agama Islam pun, ”orang lain” bahkan dapat melahirkan karya yang lebih baik daripada umat Islam sendiri. Apakah peradaban Barat yang sakit secara rohaniah, seperti dikatakan kalangan tradisionalis itu, akan dapat menghasilkan karya-karya besar yang terus mengucur setiap tahun dalam setiap bidang ilmu pengetahuan?

Bagaimana peradaban yang sakit secara “spiritual” dan rohani bisa melahirkan karya-karya besar seperti “The City in History” karya Lewis Mumford, misalnya?

Dengan Qur’an dan hadis, umat Islam merasa telah “unggul” di atas umat-umat lain. Kitab Suci kita anggap kanon atau Kanon dengan “K” besar. Padahal setiap bangsa mempunyai kanon-nya sendiri-sendiri. Bangsa yang sehat dan maju adalah mereka yang terus-menerus melahirkan kanon, tanpa henti, tidak melulu mengandalkan kanon yang mereka anggap “suci” dan menutup segala kanon.

Doktrin-Doktrin Yang Kurang Perlu dalam Islam

Doktrin-Doktrin Yang Kurang Perlu dalam Islam

Ulil Abshar-Abdalla


Saya hanya ingin menganjurkan suatu corak keberagamaan yang rendah hati, yang tidak arogan dengan mengemukakan kleim-kleim yang berlebihan tentang agama. Jika Islam menganjurkan etika “tawadlu’”, atau rendah hati, maka etika itu pertama-tama harus diterapkan pada Islam sendiri. Mengaku bahwa agama yang paling benar adalah Islam jelas menyalahi etika tawadlu’ itu.

Banyak hal dalam agama yang jika dibuang sebetulnya tidak mengganggu sedikitpun watak dasar agama itu. Oleh para pemeluk agama, banyak ditambahkan hal baru terhadap esensi agama itu, sekedar untuk menjaga aura agama itu agar tampak “angker” dan menakutkan di mata pemeluknya. Saya akan mengambil contoh Islam.

Satu, doktrin bahwa Nabi tidak bisa berbuat salah. Menurut saya, doktrin ini sama sekali tak berkaitan dengan inti dan esensi agama Islam, dan karena itu kurang perlu. Jika doktrin ini dihilangkan, Islam tidak menjadi kurang nilainya sebagai sebuah agama. Mengatakan bahwa manusia, apapun namanya (entah Nabi, Rasul, Imam [dalam Syiah], Paus [dalam Katolik]) sebagai “infallible”, tidak bisa berbuat salah, jelas tak masuk akal.

Dua, doktrin bahwa sumber hukum hanya terbatas pada empat: Quran, hadis, ijma’, dan qiyas. Doktrin ini menjadi “hallmark” dari sekte Ahlussunnah waljamaah di mana-mana, sepanjang sejarah. Doktrin ini sebetulnya kurang perlu dan menjadi alat ortodoksi Islam untuk mempertahankan status quo. Sumber hukum jelas tidak bisa dibatasi dalam empat sumber itu. Islam tidak berkurang nilainya sebagai agama jika doktrin ini dihilangkan.

Tiga, doktrin bahwa Nabi Muhammad adalah Nabi akhir zaman. Doktrin ini jelas “janggal” dan sama sekali menggelikan. Setiap agama, dengan caranya masing-masing, memandang dirinya sebagai “pamungkas”, dan nabi atau rasulnya sebagai pamungkas pula. Doktrin ini sama sekali kurang perlu. Apakah yang ditakutkan oleh umat Islam jika setelah Nabi Muhammad ada nabi atau rasul lagi?


Empat, doktrin bahwa sebuah agama mengoreksi atau bahkan menghapuskan agama sebelumnya. Ini adalah yang disebut sebagai doktrin supersesionisme. Doktrin ini tertanam kuat dalam psike dan “mindset” umat Islam. Doktrin ini tak lain adalah cerminan “keangkuhan” sebuah agama. Kehadiran agama tidak terlalu penting dipandang sebagai “negasi” atas agama lain. Agama-agama saling melengkapi satu terhadap yang lain. Kristen bisa belajar dari Islam, Islam bisa belajar dari Yahudi, Yahudi bisa belajar dari tradisi-tradisi timur, dan begitulah seterusnya.

Lima, doktrin bahwa kesalehan ritual lebih unggul ketimbang kesalehan sosial. Orang yang beribadah dengan rajin kerap dipandang lebih “Muslim” ketimbang mereka yang bekerja untuk kemanusiaan, hanya karena mereka tidak beribadah secara rutin. Agama bisa ditempuh dengan banyak cara, antara lain melalui pengabdian kepada kemanusiaan.

Enam, doktrin bahwa mereka yang tidak mengikuti jalan Islam atau agama orang berangkutan adalah “kafir”. Ini mekanisme yang nyaris standar dalam semua agama. Semua agama cenderung memandang bahwa mereka yang ada di luar “lingkaran penyelamatan” adalah domba-domba sesat. Doktrin ini, sekali lagi, cerminan dari arogansi sebuah agama tertentu. Sudah jelas bahwa jalan keselamatan adalah banyak sekali.

Tujuh, berkaitan dengan doktrin sebelumya, ada doktrin lain yang biasanya bekerja dalam lingkaran internal masing-masing agama. Dalam Islam, ada doktrin tentang “sekte yang diselamatkan”, al-firqah al-najiyah. Kelompok yang menyebut dirinya ahlussunnah wal-jamaah memandang dirinya sebagai satu-satunya kelompok dalam Islam yang masuk sorga, sementara kelompok lain sesat. Begitu juga kelompok Syiah memandang dirinya sebagai satu-satunya kelompok yang selamat, selebihnya sesat. Doktrin ini diteruskan oleh MUI dalam bentuk lain melalui fatwa penyesatan. Mendaku bahwa yang selamat hanya lingkaran tertentu adalah sebentuk arogansi.

Delapan, doktrin bahwa jika Kitab Suci mengatakan A, maka seluruh usaha rasional harus berhenti. Kitab Suci adalah firman Tuhan, dan firman Tuhan tak mungkin salah. Oleh karena itu, jika Tuhan sudah mengeluarkan sebuah “dekrit”, maka seluruh perbincangan harus berhenti. Doktrin ini tercermin dalam sebuah “legal maxim” atau kaidah hukum dalam teori hukum Islam yang berbunyi, “la ijtihada fi mahal al-nass”, tidak ada “independent reasoning” dalam hal-hal di mana teks Kitab Suci sudah mempunyai kata putus. Dengan kata lain, ijtihad harus dihentikan jika Kitab Suci sudah memutuskan sesuatu. Dalam diskursus filsafat modern di Amerika, hal ini disebut sebagai “discussion stopper”, agama sebagai penghenti diskusi. Sudah jelas Kitab Suci terkait dengan konteks sejarah tertentu, dan banyak hal yang dikatakan Kitab Suci sudah tak relevan lagi karena konteks-nya berbeda.

Sembilan, doktrin bahwa hukum hanya bisa dibuat oleh “syari’” atau legislator. Yang disebut legislator dalam konteks Islam adalah Tuhan, kemudian secara derivatif juga Nabi Muhammad. Para ulama atau fukaha datang belakangan sebagai penafsir atas hukum itu, dan pelan-pelan juga menempati kedudukan sebagai “pembuat hukum” atau legislator hukum agama. Doktrin ini sangat kuat tertanam dalam Islam. Doktrin ini juga kuat tertanam dalam agama Yahudi. Deklarasi Qur’an sudah sangat jelas dan sangat “kategorikal” , bahwa Adam dan seluruh keturunannya adalah “khalifah” di muka bumi. “Kekhilafahan” di sini, dalam tafsiran saya, mencakup pula kompetensi untuk menciptakan hukum yang mengatur ketertiban di muka bumi ini. Seluruh individu, dalam pandangan Islam yang saya pahami, adalah obyek dan subyek hukum sekaligus. Dengan kata lain, hukum bukan hanya diciptakan oleh Tuhan, tetapi juga oleh manusia.
Manusia secara generis adalah syari’, bukan saja Nabi atau ulama/fukaha.

Ini paralel dengan konsep “kewarganegaraan modern” di mana konsep “warga negara” mencakup secara intrinsik kemampun untuk membuat dan men-generate sebuah hukum. Jika ada kelebihan pada ahli hukum atau fukaha yang membuat mereka menjadi spesial kedudukannya adalah karena mereka mempunyai “training” untuk merumuskan sebuah hukum dalam prosedur yang standar. Tetapi sumber hukum bukan saja hanya ada pada Kutab Suci, sabda-sabda Nabi, atau pendapat ulama, tetapi juga manusia secara keseluruhan.

Sepuluh, doktrin bahwa Kitab Suci bersifat seluruhnya supra-historis, karena ia adalah firman Tuhan. Karena Tuhan bersifat supra-sejarah, maka firmanNya pun bersifat supra sejarah pula. Karena itu, Kitab Suci juga supra sejarah. Kebenaran Kitab Suci tak terikat dengan ruang dan waktu. Pandangan ini lagi-lagi adalah pandangan yang “angkuh”. Akan lebih proporsional jika kita mengatakan bahwa ada hal-hal yang supra-sejarah dalam Kitab Suci, tetapi juga ada hal-hal lain yang cukup banyak yang terikat dengan sejarah. Bagian Kitab Suci yang “lengket sejarah” ini bisa tidak relevan sama sekali jika keadaan berubah.

Sebelas, doktrin bahwa Islam bisa menjawab semua masalah. Doktrin ini jelas hanya retorika belaka. Sebab pada kenyataannya tidak demikian. Solusi agama atau Islam, jika pun ada, juga tidak mesti sukses dan berhasil. Sebagaimana solusi-solusi sekuler, solusi Islam juga bisa gagal, seperti terbukti dalam banyak kasus.

Saya masih memiliki daftar yang panjang. Tetapi, itulah hal-hal pokok yang ingin saya kemukakan di sini. Saya hanya ingin menganjurkan suatu corak keberagamaan yang rendah hati, yang tidak arogan dengan mengemukakan kleim-kleim yang berlebihan tentang agama. Jika Islam menganjurkan etika “tawadlu’”, atau rendah hati, maka etika itu pertama-tama harus diterapkan pada Islam sendiri. Mengaku bahwa agama yang paling benar adalah Islam jelas menyalahi etika tawadlu’ itu. Mendaku bahwa setelah Nabi Muhammad tidak ada nabi atau rasul lagi adalah berlawanan dengan etika tawadlu’. Mendaku bahwa Islam menghapuskan agama sebelumnya sama sekali tak mencerminkan sikap tawadlu’.

Proyek Liberalisasi Islam di Indonesia (1)

Proyek Liberalisasi Islam di Indonesia (1)



Buat teman-teman yang suka diskusi dan memperdalam pengetahuan tentang Islam, berikut ada tulisan yang menarik sebagai anti-thesis dari Islam liberal. Semoga tulisan ini bermanfaat sebagai pembanding dalam kerangka diskusi. Tulisan ini saya ambil dari situs Dunia PII: http://dunia.pelajar-islam.or.id/dunia.pii/2009/04/06


Proyek Liberalisasi Islam di Indonesia

1. Pendahuluan

Liberalisasi Islam di Indonesia, secara sistematis di mulai pada awa tahun 1970-an. Pada 3 Januari 1970, Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam Indonesia (HMI), Nurcholish Madjid, secara resmi menggulirkan perlunya dilakukan sekularisasi Islam. Sejak itu, peristiwa-peristiwa tragis susul-menyusul dan berlangsung secara liar, sulit dikendalikan lagi, hingga kini.

Dengan mengadopsi gagasan Harvey Cox –melalui bukunya The Secular City – Nurcholish Madjid membuka pintu masuk arus sekularisasi dan liberalisasi dalam Islam, menyusul kasus serupa dalam tradisi Yahudi dan Kristen.

Bahwa sekularisasi adalah akibat logis dari dampak kepercayaan Bible terhadap sejarah. Menurut Cox, ada tiga komponen penting dalam Bible yang menjadi kerangka asas kepada sekularisasi, yaitu: ‘disenchantment of nature’ yang dikaitkan dengan penciptaan (Creation), ‘desacralization of politics’ dengan migrasi besar-besaran (Exodus) kaum Yahudi dari Mesir, dan ‘deconsecration of values’ dengan Perjanjian Sinai (Sinai Covenant).1

Jadi, kata Cox, sekularisasi adalah pembebasan manusia dari asuhan agama dan metafisika, pengalihan perhatiannya dari ‘dunia lain’ menuju dunia kini. (Secularization is the liberation of man from religious and metaphysical tutelage, the turning of his attention away from other worlds and towards this one). Karena sudah menjadi satu keharusan, kata Cox, maka kaum Kristen tidak seyogyanya menolak sekularisasi. Sebab sekularisasi merupakan konsekuensi otentik dari kepercayaan Bible. Maka, tugas kaum Kristen adalah menyokong dan memelihara sekularisasi. (Far from being something Christians should be against, secularization represents an authentic consequence of biblical faith. Rather than oppose it, the task of Christians should be to support and nourish it).2

Buku “The Secular City” termasuk buku yang luar biasa. Edisi pertama buku ini dicetak tahun 1965. Buku Cox ini mencetuskan cause célèbre agama diluar jangkaan pengarang dan penerbitnya sendiri. Buku ini merupakan ‘best-seller’ di Amerika dengan lebih 200 ribu naskah terjual dalam masa kurang dari setahun. Buku ini juga adalah karya utama yang menarik perhatian masyarakat kepada isu sekularisasi. Menurut Dr. Marty, beberapa kalangan menjadikan buku tersebut sebagai buku panduan, manual untuk bebas lepas dari sembarang dongeng mitos dan agama. 3

Pengaruh buku ini ternyata juga melintasi batas negara dan agama. Di Yogyakarta, sekelompok aktivis yang tergabung dalam Lingkaran Diskusi Limited Group di bawah bimbingan Mukti Ali, sangat terpengaruh oleh “The Secular City” nya Harvey Cox. Diantara sejumlah aktivis dalam diskusi itu adalah Dawam Rahardjo, Djohan Effendi, dan Ahmad Wahib.4 Tetapi, gagasan Cox ketika itu belum terlalu berkembang. Ahmad Wahib hanya menulis catatan harian yang kemudian dikumpulkan dalam sebuah buku selepas meninggalnya. Djohan Effendi pun tidak terlalu kuat pengaruhnya.

Pengaruh Cox baru tampak jelas di Indonesia pada pemikiran Nurcholish Madjid secara resmi meluncurkan gagasan sekularisasinya dalam diskusi di Markas PB Pelajar Islam Indonesia (PII) di Jakarta. Ketika itu, Nurcholish meluncurkan makalah berjudul “Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”. Dua puluh tahun kemudian, gagasan itu kemudian diperkuat lagi dengan pidatonya di Taman Ismail Marzuki Jakarta, pada tanggal 21 Oktober 1992, yang dia beri judul “Beberapa Renungan tentang Kehidupan Keagamaan di Indonesia”.

Seperti kita ketahui, arus sekularisasi dan liberalisasi terus berlangsung begitu deras dalam berbagai sisi kehidupan: sosial, ekonomi, politik, dan bahkan pemikiran keagamaan. Kini, setelah 30 tahun berlangsung, arus besar itu semakin sulit dikendalikan, dan berjalan semakin liar. Penyebaran paham "pluralisme agama”, “dekonstruksi agama”, “dekonstruksi Kitab Suci” dan sebagainya, kini justru berpusat di kampus-kampus dan organisasi Islam – sebuah fenomena yang ‘khas Indonesia’. Paham-paham ini menusuk jantung Islam dan merobohkan Islam dari pondasinya yang paling dasar.

Kaum Kristen sejak lama menyadari benar akan bahaya ini. Dalam pertemuan misionaris Kristen se-dunia di Jerusalem tahun 1928, mereka menetapkan sekulerisme sebagai musuh besar Gereja dan misi Kristen. Dalam usaha untuk mengkristenkan dunia, Gereja Kristen bukan hanya menghadapi tantangan agama lain, tetapi juga tantangan sekularisme. (It was made clear that in its efforts to evangelize the world, the Christian Church has to confront not only the rival claims of non-Christian religious system, but also the challenge of secularism). Pertemuan Jerusalem itu secara khusus menyorot sekularisme yang dipandang sebagai musuh besar Gereja dan misinya, serta musuh bagi misi Kristen internasional.5

2. Dari tradisi Yahudi dan Kristen
Proses liberalisasi sebenarnya terjadi pada berbagai bidang kehidupan, baik bidang politik, ekonomi, sosial, informasi, moral, dan sebagainya, termasuk bidang agama. Agama Yahudi telah lama mengalami liberalisasi, sehingga saat ini, “Liberal Judaism” (Yahudi Liberal) secara resmi masuk dalam salah satu aliran dalam agama Yahudi. Perkembangan liberalisasi dalam agama Kristen juga sudah sangat jauh. Bahkan, agama Kristen bisa dikatakan sebagai salah satu “korban” liberalisasi dari peradaban Barat. Agama Kristen mulai bersinar di Eropa ketika pada tahun 313, Kaisar Konstantin mengeluarkan surat perintah (Edik) yang isinya memberi kebebasan warga Romawi untuk memeluk agama Kristen. Bahkan, pada tahun 380, Kristen dijadikan sbagai agama negara oleh Kaisar Theodosius. Menurut Edik Theodosius, semua warga negara Romawi diwajibkan menjadi anggota gereja Katolik. Agama-agama kafir dilarang. Bahkan sekte-sekte Kristen di luar “gereja resmi” pun dilarang.

Dengan berbagai keistimewaan yang dinikmatinya, Kristen kemudian menyebar ke berbagai penjuru dunia, hingga kini jumlah pemeluknya mencapai sekitar 1,9 milyar jiwa, meskipun terbagi ke dalam sejumlah agama (Katolik, Protestan, Orthodoks). Tapi, jika dicermati lebih jauh, perkembangan gereja-gereja di Eropa – asal persebaran Kristen – cukup menyedihkan. Sebuah buku yang ditulis Herlianto – seorang aktivis Kristen asal Bandung – berjudul Gereja Modern, Mau Kemana? (1995) memaparkan dengan jelas kehancuran gereja-gereja di Eropa. Kristen kelabakan dihantam nilai-nilai sekulerisme, modernisme, liberalisme, dan “klenikisme”.

Di Amsterdam, misalnya, 200 tahun lalu 99 persen penduduknya beragama Kristen. Kini, tinggal 10 persen saja yang dibaptis dan ke gereja. Kebanyakan mereka sudah tidak terikat lagi dalam agama atau sudah menjadi sekuler. Di Perancis, yang 95 persen penduduknya tercatat beragama Katolik, hanya 13 persennya saja yang menghadiri kebaktian di gereja seminggu sekali.

Pada 1987, di Jerman, menurut laporan Institute for Public Opinian Research, 46 persen penduduknya mengatakan, bahwa “agama sudah tidak diperlukan lagi.” Di Finlandia, yang 97 persen Kristen, hanya 3 persen saja yang pergi ke gereja tiap minggu. Di Norwegia, yang 90 persen Kristen, hanya setengahnya saja yang percaya pada dasar-dasar kepercayaan Kristen. Juga, hanya sekitar 3 persen saja yang rutin ke gereja tiap minggu.

Masyarakat Kristen Eropa juga tergila-gila pada paranormal, mengalahkan kepercayaan mereka pada pendeta atau imam Katolik. Di Jerman Barat – sebelum bersatu dengan Jerman Timur — terdapat 30.000 pendeta. Tetapi jumlah peramal (dukun klenik/witchcraft) mencapai 90.000 orang. Di Perancis terdapat 26.000 imam Katolik, tetapi jumlah peramal bintang (astrolog) yang terdaftar mencapai 40.000 orang.

Fenomena Kristen Eropa menunjukkan, agama Kristen kelabakan menghadapi serbuan arus budaya Barat yang didominasi nilai-nilai liberalisme, sekulerisme, dan hedonisme. Serbuan praktik perdukunan juga tidak mampu dibendung. Di sejumlah gereja, arus liberalisasi mulai melanda. Misalnya, gereja mulai menerima praktik-praktik homoseksualitas. Eric James, seorang pejabat gereja Inggris, dalam bukunya berjudul “Homosexuality and a Pastoral Church” mengimbau agar gereja memberikan toleransi pada kehidupan homoseksual dan mengijinkan perkawinan homoseksual antara pria dengan pria atau wanita dengan wanita.

Sejumlah negara Barat telah melakukan “revolusi jingga”, karena secara resmi telah mengesahkan perkawinan sejenis. Parlemen Jerman masih terus memperdebatkan undang-undang serupa. Di berbagai negara Barat, praktik homoseksual bukanlah dianggap sebagai kejahatan. Begitu juga praktik-praktik perzinahan, minuman keras, pornografi, dan sebagainya. Barat tidak mengenal sistem dan standar nilai (baik-buruk) yang pasti. Semua serba relatif; diserahkan kepada “kesepakatan” dan “kepantasan” umum yang berlaku.

Maka, orang berzina, menenggak alkohol, mempertontonkan aurat, dan sejenisnya bukanlah dipandang sebagai suatu kejahatan, kecuali jika masyarakat menganggapnya jahat. Homoseksual dianggap baik dan disahkan oleh negara. Bahkan, pada November 2003, para pastor Gereja Anglikan di New Hampshire AS, sepakat untuk mengangkat seorang Uskup homoseks bernama Gene Robinson. Kaum Kristen yang homo itu melakukan perombakan terhadap ajaran Kristen, terutama mengubah tafsir lama yang masih melarang tindakan homoseksual.

Di Indonesia, bahkan, di Fakultas Syariah IAIN Semarang, sejumlah mahasiswanya juga melakukan tindakan yang sama, dengan apa yang telah dilakukan kaum Yahudi dan Kristen. Ini bisa dibaca pada bagian selanjutnya. Jadi, apa yang sudah terjadi pada kaum Yahudi dan Kristen telah diikuti oleh sebagian kalangan kaum Muslim.

3. Program Liberalisasi Islam
Secara sistematis, Liberalisasi Islam di Indonesia yang sudah dijalankan sejak awal tahun 1970-an, dilakukan melalui tiga bidang penting dalam ajaran Islam, yaitu (1) liberalisasi bidang aqidah dengan penyebaran paham Pluralisme Agama, (2) liberalisasi bidang syariah dengan melakukan perubahan metodologi ijtihad, dan (3) liberalisasi konsep wahyu dengan melakukan dekonstruksi terhadap al-Quran.

Dalam disertasinya di Monash University, Australia, Dr. Greg Barton, memberikan sejumlah program Islam Liberal di Indonesia, yaitu: (a) Pentingnya konstekstualisasi ijtihad, (b) Komitmen terhadap rasionalitas dan pembaruan, (c) Penerimaan terhadap pluralisme sosial dan pluralisme agama-agama, (d) Pemisahan agama dari partai politik dan adanya posisi non-sektarian negara.6

Dari disertasi Barton tersebut dapat diketahui, bahwa memang ada strategi dan program yang sistematis dan metodologis dalam liberalisasi Islam di Indonesia. Penyebaran paham Pluralisme Agama – yang jelas-jelas merupakan paham syirik modern –dilakukan dengan cara yang sangat masif, melalui berbagai saluran, dan dukungan dana yang luar biasa. Dari program tersebut, ada tiga aspek liberalisasi Islam yang sedang gencar-gencarnya dilakukan di Indonesia.

3.1. Liberalisasi aqidah Islam
Liberalisasi aqidah Islam dilakukan dengan menyebarkan paham Pluralisme Agama. Paham ini, pada dasarnya menyatakan, bahwa semua agama adalah jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan yang sama. Jadi, menurut penganut paham ini, semua agama adalah jalan yang berbeda-beda menuju Tuhan yang sama. Atau, mereka menyatakan, bahwa agama adalah persepsi relatif terhadap Tuhan yang mutlak, sehingga – karena kerelativannya – maka setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim atau meyakini, bahwa agamanya sendiri yang lebih benar atau lebih baik dari agama lain; atau mengklaim bahwa hanya agamanya sendiri yang benar. Bahkan, menurut Charles Kimball, salah satu ciri agama jahat (evil) adalah agama yang memiliki klaim kebenaran mutlak (absolute truth claim) atas agamanya sendiri.7

Di Indonesia, penyebaran paham ini sudah sangat meluas, dilakukan oleh para tokoh, cendekiawan, dan para pengasong ide-ide liberal. Berikut ini pernyataan-pernyataan mereka:

a. Ulil Abshar Abdalla mengatakan:
“Semua agama sama. Semuanya menuju jalan kebenaran. Jadi, Islam bukan yang paling benar.” (Majalah GATRA, 21 Desember 2002). Ulil juga menulis: “Dengan tanpa rasa sungkan dan kikuk, saya mengatakan, semua agama adalah tepat berada pada jalan seperti itu, jalan panjang menuju Yang Mahabenar. Semua agama, dengan demikian, adalah benar, dengan variasi, tingkat dan kadar kedalaman yang berbeda-beda dalam menghayati jalan religiusitas itu. Semua agama ada dalam satu keluarga besar yang sama: yaitu keluarga pencinta jalan menuju kebenaran yang tak pernah ada ujungnya.” (Kompas, 18-11-2002, dalam artikelnya berjudul “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam”,)

Ide Ulil tentang agama ini berimbas pada masalah hukum perkawinan antar-agama, yang akhirnya ditegaskan kembali keharamannya oleh fatwa MUI. Dalam artikelnya di Kompas (18/11/2002) tersebut, Ulil juga menyatakan: “Larangan kawin beda agama, dalam hal ini antara perempuan Islam dengan lelaki non-Islam, sudah tidak relevan lagi.”

b. Budhy Munawar Rahman, penulis buku Islam Pluralis, di buku Wajah Liberal Islam di Indonesia (terbitan JIL), menulis, satu artikel berjudul “Basis Teologi Persaudaraan Antar-Agama” (hal. 51-53). Di sini, ia mempromosikan teologi pluralis. Ia menulis bahwa “Konsep teologi semacam ini memberikan legitimasi kepada “kebenaran semua agama”, bahwa pemeluk agama apa pun layak disebut sebagai “orang yang beriman”, dengan makna “orang yang percaya dan menaruh percaya kepada Tuhan”. Karena itu, sesuai QS 49:10-12, mereka semua adalah bersaudara dalam iman.”

Budhy menyimpulkan, “Karenanya, yang diperlukan sekarang ini dalam penghayatan masalah Pluralisme antar agama, yakni pandangan bahwa siapa pun yang beriman – tanpa harus melihat agamanya apa – adalah sama di hadapan Allah. Karena, Tuhan kita semua adalah Tuhan Yang Satu.” 8

c. Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan, dosen UIN Yogyakarta, menulis:
“Jika semua agama memang benar sendiri, penting diyakini bahwa surga Tuhan yang satu itu sendiri terdiri banyak pintu dan kamar. Tiap pintu adalah jalan pemeluk tiap Agama memasuki kamar surganya. Syarat memasuki surga ialah keikhlasan pembebasan manusia dari kelaparan, penderitaan, kekerasan dan ketakutan, tanpa melihat agamanya. Inilah jalan universal surga bagi semua agama. Dari sini kerjasama dan dialog pemeluk berbeda agama jadi mungkin.” 9

d. Prof. Dr. Nurcholish Madjid, menyatakan, bahwa ada tiga sikap dialog agama yang dapat diambil. Yaitu, pertama, sikap eksklusif dalam melihat Agama lain (Agama-agama lain adalah jalan yang salah, yang menyesatkan bagi pengikutnya). Kedua, sikap inklusif (Agama-Agama lain adalah bentuk implisit agama kita). Ketiga, sikap pluralis – yang bisa terekspresi dalam macam-macam rumusan, misalnya: “Agama-Agama lain adalah jalan yang sama-sama sah untuk mencapai Kebenaran yang Sama”, “Agama-Agama lain berbicara secara berbeda, tetapi merupakan Kebenaran-kebenaran yang sama sah”, atau “Setiap agama mengekspresikan bagian penting sebuah Kebenaran”.

Lalu, tulis Nurcholish lagi, “Sebagai sebuah pandangan keagamaan, pada dasarnya Islam bersifat inklusif dan merentangkan tafsirannya ke arah yang semakin pluralis. Sebagai contoh, filsafat perenial yang belakangan banyak dibicarakan dalam dialog antar agama di Indonesia merentangkan pandangan pluralis dengan mengatakan bahwa setiap agama sebenarnya merupakan ekspresi keimanan terhadap Tuhan yang sama. Ibarat roda, pusat roda itu adalah Tuhan, dan jari-jari itu adalah jalan dari berbagai Agama. Filsafat perenial juga membagi agama pada level esoterik (batin) dan eksoterik (lahir). Satu Agama berbeda dengan agama lain dalam level eksoterik, tetapi relatif sama dalam level esoteriknya. Oleh karena itu ada istilah “Satu Tuhan Banyak Jalan”.” 10

Nurcholish Madjid juga menulis:
“Jadi Pluralisme sesungguhnya adalah sebuah Aturan Tuhan (Sunnat Allah, “Sunnatullah”) yang tidak akan berubah, sehingga juga tidak mungkin dilawan atau diingkari.” 11

e. Dr. Alwi Shihab menulis: “Prinsip lain yang digariskan oleh Al Quran, adalah pengakuan eksistensi orang-orang yang berbuat baik dalam setiap komunitas beragama dan, dengan begitu, layak memperoleh pahala dari Tuhan. Lagi-lagi, prinsip ini memperkokoh ide mengenai Pluralisme keAgamaan dan menolak eksklusivisme. Dalam pengartian lain, eksklusivisme keAgamaan tidak sesuai dengan semangat Al Quran. Sebab Al Quran tidak membeda-bedakan antara satu komunitas agama dari lainnya.” 12

f. Sukidi, alumnus Fakultas Syariah IAIN Ciputat yang sangat aktif menyebarkan paham Pluralisme Agama, menulis di koran Jawa Pos (11/1/2004): “Dan, konsekuensinya, ada banyak kebenaran (many truths) dalam tradisi dan agama-agama. Nietzsche menegasikan adanya Kebenaran Tunggal dan justru bersikap afirmatif terhadap banyak kebenaran. Mahatma Gandhi pun seirama dengan mendeklarasikan bahwa semua agama - entah Hinduisme, Buddhisme, Yahudi, Kristen, Islam, Zoroaster, maupun lainnya- adalah benar. Dan, konsekuensinya, kebenaran ada dan ditemukan pada semua agama. Agama-agama itu diibaratkan, dalam nalar Pluralisme Gandhi, seperti pohon yang memiliki banyak cabang (many), tapi berasal dari satu akar (the One). Akar yang satu itulah yang menjadi asal dan orientasi agama-agama. Karena itu, mari kita memproklamasikan kembali bahwa Pluralisme Agama sudah menjadi hukum Tuhan (sunnatullâh) yang tidak mungkin berubah. Dan, karena itu, mustahil pula kita melawan dan menghindari. Sebagai muslim, kita tidak punya jalan lain kecuali bersikap positif dan optimistis dalam menerima Pluralisme Agama sebagai hukum Tuhan.”

g. Dr. Luthfi Assyaukanie, dosen Universitas Paramadina, menulis di Harian Kompas: “Seorang fideis Muslim, misalnya, bisa merasa dekat kepada Allah tanpa melewati jalur shalat karena ia bisa melakukannya lewat meditasi atau ritus-ritus lain yang biasa dilakukan dalam persemedian spiritual. Dengan demikian, pengalaman keagamaan hampir sepenuhnya independen dari aturan-aturan formal agama. Pada gilirannya, perangkat dan konsep-konsep agama seperti kitab suci, nabi, malaikat, dan lain-lain tak terlalu penting lagi karena yang lebih penting adalah bagaimana seseorang bisa menikmati spiritualitas dan mentransendenkan dirinya dalam lompatan iman yang tanpa batas itu.” (Kompas, 3/9/2005)

h. Nuryamin Aini, Dosen Fak. Syariah UIN Jakarta: “Tapi ketika saya mengatakan agama saya benar, saya tidak punya hak untuk mengatakan bahwa agama orang lain salah, apalagi kemudian menyalah-nyalahkan atau memaki-maki.” 13

Yang perlu diperhatikan oleh umat Islam, khususnya kalangan lembaga pendidikan Islam, adalah bahwa hampir seluruh LSM dan proyek yang dibiayai oleh LSM-LSM Barat, seperti The Asia Foundation, Ford Foundation, adalah mereka-mereka yang bergerak dalam penyebaran paham Pluralisme Agama. Itu misalnya bisa dilihat dalam artikel-artikel yang diterbitkan oleh Jurnal Tashwirul Afkar (Diterbitkan oleh Lakpesdam NU dan The Asia Foundation), dan Jurnal Tanwir (diterbitkan oleh Pusat Studi Agama dan Peradaban Muhammadiyah dan The Asia Foundation). Mereka bukan saja menyebarkan paham ini secara asongan, tetapi memiliki program yang sistematis untuk mengubah kurikulum pendidikan Islam yang saat ini masih mereka anggap belum inklusif-pluralis.

Sebagai contoh, Jurnal Tashwirul Afkar edisi No 11 tahun 2001, menampilkan laporan utama berjudul “Menuju Pendidikan Islam Pluralis”. Di tulis dalam Jurnal ini:

“Filosofi pendidikan Islam yang hanya membenarkan agamanya sendiri, tanpa mau menerima kebenaran agama lain mesti mendapat kritik untuk selanjutnya dilakukan reorientasi. Konsep iman-kafir, muslim-nonmuslim, dan baik-benar (truth claim), yang sangat berpengaruh terhadap cara pandang Islam terhadap agama lain, mesti dibongkar agar umat Islam tidak lagi menganggap agama lain sebagai agama yang salah dan tidak ada jalan keselamatan. Jika cara pandangnya bersifat eksklusif dan intoleran, maka teologi yang diterima adalah teologi eksklusif dan intoleran, yang pada gilirannya akan merusak harmonisasi agama-agama, dan sikap tidak menghargai kebenaran agama lain. Kegagalan dalam mengembangkan semangat toleransi dan pluralisme agama dalam pendidikan Islam akan membangkitkan sayap radikal Islam.” 14

Di Jurnal ini juga, Rektor UIN Yogyakarta, Prof. Dr. Amin Abdullah menulis: “Pendidikan agama semata-mata menekankan keselamatan individu dan kelompoknya sendiri menjadikan anak didik kurang begitu sensitif atau kurang begitu peka terhadap nasib, penderitaan, kesulitan yang dialami oleh sesama, yang kebetulan memeluk agama lain. Hal demikian bisa saja terjadi oleh karena adanya keyakinan yang tertanam kuat bahwa orang atau kelompok yang tidak seiman atau tidak seagama adalah “lawan” secara aqidah. 15

3.2. Relativisme kebenaran
Paham Pluralisme Agama berakar pada paham relativisme akal dan relativisme iman. Banyak cendekiawan yang sudah termakan paham ini dan ikut-ikutan menjadi agen penyebar paham relativisme ini, khususnya di lingkungan Perguruan Tinggi Islam. Sebagai contoh, Prof. Dr. Azyumardi Azra, rektor UIN Jakarta menulis dalam sebuah buku terbitan Fatayat NU dan Ford Foundation:

“Islam itu memang pluralis, Islam itu banyak, dan tidak satu. Memang secara teks, Islam adalah satu tetapi ketika akal sudah mulai mencoba memahami itu, belum lagi mengaktualisasikan, maka kemudian pluralitas itu adalah suatu kenyataan dan tidak bisa dielakkan.” 16

Di dalam buku yang sama, seorang bernama M. Khairul Muqtafa juga menulis:

“Penafsiran atas sebuah agama (baca: Islam) sendiri tidaklah tunggal. Dengan demikian, upaya mempersamakan dan mempersatukan di bawah payung (satu tafsir) agama menjadi kontraproduktif. Dan pada gilirannya agama kemudian menjadi sangat relatif ketika dijelmakan dalam praktik kehidupan sosial sehari-hari.” 17

Si penulis juga mempromosikan apa yang disebutnya sebagai “Relativisme epistemologis’’, yang dimaksudkannya sebagai :

‘’Pada wilayah ini maka yang selayaknya menjadi pegangan adalah bahwa kita tidak dapat mengetahui kebenaran absolut. Kita dapat mengetahui kebenaran hanya sejauh itu absah bagi kita. Artinya, kebenaran yang selama ini kita pahami tak lain adalah kebenaran sepihak. 18

Juga ada gagasan tentang ‘’Relativisme teleologis’’, yakni:

‘’Dalam konteks ini, maka Islam tak lain adalah satu jalan kebenaran diantara jalan-jalan kebenaran yang lain… artinya jalan menuju kebenaran tidak selamanya dan musti harus melalui jalan ‘agama’, tapi juga bisa memakai medium yang lain. Karena sifatnya yang demikian maka Islam kemudian berdiri sejajar dengan praktik budaya yang ada. Tidak ada perbedaan yang signifikan kecuali hanya situalistik simbolistik. Sedangkan esensinya sama, yakni menuju kebenaran transendental.’’19

Paham relativisme akal dan relativisme iman merupakan virus ganas semisal virus HIV yang berpotensi menggerogoti daya tahan keimanan seseorang, sebab dengan virus ini, maka seseorang menjadi tidak yakin dengan kebenaran agamanya sendiri. Dari virus ini lahirlah sikap skeptis dan agnostik yang senantiasa ragu dengan kebenaran yang dicapainya. Jika seseorang sudah kehilangan keyakinan dalam hidupnya, maka hidupnya akan terus diombang-ambingkan dengan berbagai ketidakpastian. Akar dari nilai-nilai ini adalah paham sofisme di zaman Yunani kuno, yang kemudian dikembangkan dalam sistem pendidikan di Barat. Itu bisa dimengerti, karena peradaban Barat adalah peradaban tanpa wahyu, sehingga berbagai peraturan yang mereka hasilkan, tidak berlandaskan pada wahyu Allah, tetapi pada kesepakatan akal manusia. Karena itu, sifatnya menjadi nisbi, relatif, dan fleksibel. Bisa berubah setiap saat, tergantung kesepakatan dan kemauan manusia.

Di Indonesia, karena liberalisme sedang memasuki masa puber, maka tampak ‘kemaruk’ (serakah) dan memalukan. Semua hal mau diliberalkan. Ketika terjadi penolakan masyarakat terhadap kenaikan harga BBM, seorang aktivis Islam Liberal tanpa malu-malu menulis di jaringan internet, bahwa jika kita menjadi liberal, maka harus ‘kaffah’, mencakup segala hal, baik politik, ekonomi, maupun agama. Kaum liberal di Indonesia belum mau belajar dari pengalaman negara-negara Barat, dimana liberalisme telah berujung kepada ketidakpastian nilai, dan pada akhirnya membawa manusia kepada ketidakpastian dan kegersangan batin, karena jauh dari keyakinan dan kebenaran abadi.

Manusia-manusia yang hidup dalam alam pikiran liberal dan kenisbian nilai akan senantiasa mengalami kegelisahan hidup dan ketidaktenangan jiwa. Mereka, pada hakikatnya berada dalam kegelapan, jauh dari cahaya kebenaran. Karena itu, mereka akan senantiasa mengejar bayangan kebahagiaan, fatamorgana, melalui berbagai bentuk kepuasan fisik dan jasmaniah; ibarat meminum air laut, yang tidak pernah menghilangkan rasa haus. Lihatlah kehidupan manusia-manusia jenis ini. Simaklah ucapan-ucapan mereka; tengoklah keluarga mereka; cermatilah teman-teman dekat mereka. Tidak ada kebahagiaan yang abadi dapat mereka reguk, karena mereka sudah membuang jauh-jauh keimanan dan keyakinan akan nilai-nilai yang abadi, kebenaran yang hakiki. Mereka tidak percaya lagi kepada wahyu Tuhan, dan menjadikan akal dan hawa nafsunya sendiri sebagai Tuhan. Al-Quran sudah menggambarkan sikap manusia pemuja nafsu ini:

“Maka pernahkah kamu perhatikan orang-orang yang telah menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhan mereka, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya (Allah mengetahui bahwa ia tidak dapat menerima petunjuk yang diberikan kepadanya), dan Allah telah menutup pendengaran dan hatinya, dan meletakkan tutup atas penglihatannya. Maka siapakah yang memberinya petunjuk sesudah Allah? Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran? (QS 45:23).

Sayangnya, paham relativisme kebenaran ini sudah merupakan paham global, dan menjadi musuh semua agama. Sebab, paham ini menghancurkan keyakinan masing-masing pemeluk agama terhadap agamanya sendiri. Puluhan tahun lalu, penyair Pakistan, Dr. Moh. Iqbal sudah mengingatkan, jika manusia kehilangan keyakinan, maka itu lebih buruk dari perbudakan. “Conviction enabled Abraham to wade into the fire; conviction is an intoxicant which makes men self-sacrificing; Know you, oh victims of modern civilization! Lack of conviction is worse than slavery.” 20

Bukan hanya Iqbal yang melihat bencana kehilangan keyakinan, sebagai bahaya besar bagi satu peradaban. Dengan nada yang hampir sama dalam melihat peradaban Barat, Paus Benediktus XVI juga mengingatkan bahaya relativisme bagi iman Katolik. Ia menyatakan, bahwa Eropa kini sedang dalam bahaya besar, karena paham relativisme iman yang mendalam. 21

Dalam bukunya, The Rise of Benedict XVI, (New York: Doubleday, 2005), John L. Allen, J.R. menempatkan satu bab berjudul Battling A “Dictatorship of Relativism”. Menurut Kardinal Francis George dari Chicago, terpilihnya Ratzinger sebagai Paus di awal abad ke-21 sangat tepat, sebab, setelah Komunis runtuh, saat ini tantangan terbesar dan tersulit justru datang dari peradaban Barat. Benediktus XVI adalah orang yang datang dari Barat dan memahami sejarah dan kebudayaan Barat. (Today the most difficult challenge comes from the West, and Benedict XVI is a man who comes from the West, who understands the history and the culture of the West). Tahun 1978, saat terpilihnya Paus Yohannes Paulus II, tantangan terberat yang dihadapi Katolik adalah Komunisme. Dan tahun 2005, para Kardinal telah memilih seorang Paus yang tepat untuk menghadapi apa yang disebut oleh Benediktus XVI sebagai “dictatorship of relativism” in the West”. 22 Dalam pengantar bukunya, Reason, Relativism, and God, (London: Macmillan Press Ltd, 1986), Joseph Runzo menulis: “We live in an age of relativism”. Juga dia katakan: “relativism has become a dominant element in twentieth century theology”. 23

Jadi, paham Pluralisme Agama memang merupakan paham yang disebarkan untuk menghancurkan agama-agama yang ada. Salah satu aliran dalam paham ini, yaitu aliran Transendentalisme (Transendental Unity of Religion), berakar pada paham sinkretisme yang disebarkan oleh Freemasonry. Maka, pada tahun 2005, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan tegas menyatakan, paham Pluralisme Agama bertentangan dengan ajaran Islam dan haram bagi umat Islam untuk menganut paham tersebut. Tahun 2000, Vatikan mengeluarkan Dekrit ‘Dominus Jesus’ yang menolak paham Pluralisme Agama dan menegaskan kembali bahwa Yesus Kristus adalah satu-satunya pengantara keselamatan Ilahi dan tidak ada orang yang bisa ke Bapa selain melalui Yesus. 24

Dari kalangan Protestan, Pendeta Dr. Stevri Lumintang menulis buku yang sangat serius dalam menjelaskan bahaya paham Pluralisme Agama bagi agama-agama yang ada. Menurut Stevri, Teologi Abu-Abu adalah posisi teologi kaum pluralis. Karena teologi yang mereka bangun merupakan integrasi dari pelbagai warna kebenaran dari semua agama, filsafat dan budaya yang ada di dunia. Alkitab dipakai hanya sebagai salah satu sumber, itu pun dianggap sebagai mitos. Dan perpaduan multi kebenaran ini, lahirlah teologi abu-abu, yaitu teologi bukan hitam, bukan juga putih, bukan teologi Kristen, bukan juga teologi salah satu agama yang ada di dunia ini…. Namun teologi ini sedang meracuni, baik agama Kristen, maupun semua agama, dengan cara mencabut dan membuang semua unsur-unsur absolut yang diklaim oleh masing-masing agama.

Bahkan, tulis Stevri Lumintang:

‘’…Theologia abu-abu (Pluralisme) yang kehadirannya seperti serigala berbulu domba, seolah-olah menawarkan teologi yang sempurna, karena itu teologi tersebut mempersalahkan semua rumusan Teologi Tradisional yang selama ini dianut dan sudah berakar dalam gereja. Namun sesungguhnya Pluralisme sedang menawarkan agama baru….’’ 25

Dalam pandangan Islam, paham Pluralisme Agama jelas-jelas merupakan paham syirik modern, karena menganggap semua agama adalah benar. Padahal, Allah SWT telah menegaskan, bahwa hanya Islam agama yang benar dan diterima Allah SWT (QS 3:19); dan barangsiapa mencari agama selain Islam, maka tidak akan diterima oleh Allah dan di Hari Akhir nanti termasuk orang-orang yang merugi. (QS 3: 85). Dosa syirik merupakan dosa besar, kezaliman besar, dan Allah sangat murka jika diserikatkan dengan yang lain. Allah, misalnya, sangat murka karena dituduh punya anak. (QS 19:88-91).

Keyakinan akan kebenaran ad-Dinul Islam sebagai satu-satunya agama yang benar dan diridhai Allah, adalah konsep yang sangat mendasar dalam Islam. Karena itu, para cendekiawan dan ulama perlu menjadikan penanggulangan paham syirik modern ini sebagai perjuangan utama, agar jangan sampai 10 tahun lagi paham ini menguasai wacana pemikiran dan pendidikan Islam di Indonesia, sehingga akan lahir dosen-dosen, guru-guru agama, khatib, atau kyai yang mengajarkan paham persamaan agama ini kepada anak didik dan masyarakat.

Proyek Liberalisasi Islam di Indonesia (2)

Proyek Liberalisasi Islam di Indonesia (2)



3.3. Liberalisasi al-Quran
Salah satu wacana yang berkembang pesat dalam tema liberalisasi Islam di Indonesia saat ini adalah tema “dekonstruksi Kitab Suci”. Di kalangan Yahudi dan Kristen, fenomena ini sudah berkembang pesat. Kajian “Biblical Criticism” atau studi tentang kritik Bible dan kritik teks Bible telah berkembang pesat di Barat. Dr. Ernest C. Colwell, dari School of Theology Claremont, misalnya, selama 30 tahun menekuni studi ini, dan menulis satu buku berjudul “Studies in Methodology in Textual Criticism on the New Testatement”. Buku-buku karya Prof. Bruze M. Metzger, guru besar The New Testament di Princeton Theological Seminary, menunjukkan, bagaimana kuatnya tradisi kajian kritis terhadapTeks Bible. Begitu juga karya Werner Georg Kume, The New Testament: The History of the Investigation of Its Problem, (Nashville: Abingdon Press, 1972).

Pesatnya studi kritis Bible itu telah mendorong kalangan Kristen-Yahudi untuk “melirik” al-Quran dan mengarahkan hal yang sama terhadap al-Quran. Pada tahun 1927, Alphonse Mingana, pendeta Kristen asal Irak dan guru besar di Universitas Birmingham Inggris, mengumumkan bahwa “sudah tiba saatnya sekarang untuk melakukan kritik teks terhadap al-Qur’an sebagaimana telah kita lakukan terhadap kitab suci Yahudi yang berbahasa Ibrani-Arami dan kitab suci Kristen yang berbahasa Yunani (The time has surely come to subject the text of the Kur’an to the same criticism as that to which we subject the Hebrew and Aramaic of the Jewish Bible, and the Greek of the Christian scriptures).”

Hampir satu abad lalu, para orientalis dalam bidang studi al-Quran bekerja keras untuk menunjukkan bahwa al-Quran adalah kitab bermasalah sebagaimana Bible. Mereka tidak pernah berhasil. Tapi, anehnya, kini, imbauan itu sudah diikuti begitu banyak manusia dari kalangan Muslim sendiri, termasuk yang ada di Indonesia. Sesuai paham pluralisme agama, maka semua agama harus didudukkan pada posisi yang sejajar, sederajat, tidak boleh ada yang mengklaim lebih tinggi, lebih benar, atau paling benar sendiri. Begitu juga dengan pemahaman tentang Kitab Suci. Tidak boleh ada kelompok agama yang mengklaim hanya kitab sucinya saja yang suci.

Maka, proyek liberalisasi Islam tidak akan lengkap jika tidak menyentuh aspek kesucian al-Quran. Mereka berusaha keras untuk meruntuhkan keyakinan kaum Muslim, bahwa al-Quran adalah Kalamullah, bahwa al-Quran adalah satu-satunya Kitab Suci yang suci, bebas dari kesalahan. Mereka mengabaikan bukti-bukti al-Quran yang menjelaskan tentang otentisitas al-Quran, dan kekeliruan dari kitab-kitab agama lain. Ulil Abshar Abdalla, mantan Koordinator Jaringan Islam Liberal menulis di Harian Jawa Pos, 11 Januari 2004: “Tapi, bagi saya, all scriptures are miracles, semua kitab suci adalah mukjizat. (Jawa Pos, 11 Jan. 2004).

Salah satu program sekularisasi adalah upaya desakralisasi, termasuk dalam upaya deskralisasi al-Quran. Kaum Liberal ini menyatakan, bahwa alQuran Kitab suci. Majalah GATRA edisi 1-7 Juni 2006 memberitakan, bahwa pada tanggal 5 Mei 2006, Sulhawi Ruba, 51 tahun, dosen mata kuliah Sejarah Peradaban Islam, di hadapan 20 mahasiswa Fakultas Dakwah, menerangkan posisi Al-Quran sebagai hasil budaya manusia. “Sebagai budaya, posisi Al-Quran tidak berbeda dengan rumput,” ujarnya. Ia lalu menuliskan lafaz Allah pada secarik kertas sebesar telapak tangan dan menginjaknya dengan sepatu. “Al-Quran dipandang sakral secara substansi, tapi tulisannya tidak sakral,” katanya setengah berteriak.

Taufik Adnan Amal, dosen Ulumul Quran di IAIN Makasar, menulis satu makalah berjudul “Edisi Kritis al-Quran”, yang isinya menyatakan:

“Uraian dalam paragraf-paragraf berikut mencoba mengungkapkan secara ringkas proses pemantapan teks dan bacaan Alquran, sembari menegaskan bahwa proses tersebut masih meninggalkan sejumlah masalah mendasar, baik dalam ortografi teks maupun pemilihan bacaannya, yang kita warisi dalam mushaf tercetak dewasa ini. Karena itu, tulisan ini juga akan menggagas bagaimana menyelesaikan itu lewat suatu upaya penyuntingan Edisi Kritis Alquran.” 26

Taufik berusaha meyakinkan, bahwa al-Quran saat ini masih bermasalah, tidak kritis, sehingga perlu diedit lagi. Dosen itu pun menulis sebuah buku serius berjudul “Rekonstruksi Sejarah al-Quran” yang juga meragukan keabsahan dan kesempurnaan Mushaf Utsmani.27 Penulis buku ini mencoba meyakinkan bahwa mushaf Utsmani masih bermasalah, dan tidak layak disucikan. Sayangnya, buku ini diberi kata pengantar oleh Prof. Dr. Quraish Shihab, tanpa memberikan kritik yang berarti. Dalam pengantarnya, Quraish menulis, “Kasarnya, ada sejarah yang hilang untuk menjelaskan beberapa ayat atau susunan ayat al-Quran dari surat al-Fatihah sampai surat al-Nas.”

Ada lagi sebuah tesis master di Universitas Islam Negeri Yogyakarta (Dulu: IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta), ditulis oleh Aksin Wijaya, yang secara terang-terangan juga menghujat Kitab Suci al-Quran. Tesis itu sudah diterbitkan dalam sebuah buku berjudul: “Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan”, dan diberi kata pengantar dua orang doktor dalam bidang studi Islam, dosen di pasca sarjana UIN Yogyakarta. Di dalam buku ini, misalnya, kita bisa menikmati hujatan terhadap al-Quran seperti kata-kata berikut ini:

“Setelah kita kembalikan wacana Islam Arab ke dalam dunianya dan melepaskan diri kita dari hegemoni budaya Arab, kini saatnya, kita melakukan upaya pencarian pesan Tuhan yang terperangkap dalam Mushaf Utsmani, dengan suatu metode dan pendekatan baru yang lebih kreatif dan produktif. Tanpa menegasikan besarnya peran yang dimainkan Mushaf Utsmani dalam mentransformasikan pesan Tuhan, kita terlebih dulu menempatkan Mushaf Utsmani itu setara dengan teks-teks lain. Dengan kata lain, Mushaf itu tidak sakral dan absolue, melainkan profan dan fleksibel. Yang sakral dan absolut hanyalah pesan Tuhan yang terdapat di dalamnya, yang masih dalam proses pencarian. Karena itu, kini kita diperkekenankan bermain-main dengan Mushaf tersebut, tanpa ada beban sedikitpun, beban sakralitas yang melingkupi perasaan dan pikiran kita.” 28

Aktivis Islam Liberal, Dr. Luthfi Assyaukanie juga berusaha membongkar konsep dasar Islam tentang al-Quran:

“Sebagian besar kaum Muslim meyakini bahwa AlQuran dari halaman pertama hingga terakhir merupakan kata-kata Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad secara verbatim, baik kata-katanya (lafdhan) maupun maknanya (ma’nan). Kaum Muslim juga meyakini bahwa Alquran yang mereka lihat dan baca hari ini adalah persis sama seperti yang ada pada masa Nabi lebih dari seribu empat ratus tahun silam. Keyakinan semacam itu sesungguhnya lebih merupakan formulasi dan angan-angan teologis (al-khayal al-dini) yang dibuat oleh para ulama sebagai bagian dari formalisasi doktrin-doktrin Islam. Hakikat dan sejarah penulisan AlQuran sendiri sesungguhnya penuh dengan berbagai nuansa yang delicate (rumit), dan tidak sunyi dari perdebatan, pertentangan, intrik (tipu daya), dan rekayasa.” 29

Pada bagian lain buku terbitan JIL tersebut, ada juga yang menulis, bahwa ‘Al-Quran adalah perangkap bangsa Quraisy’, seperti dinyatakan oleh Sumanto Al-Qurtubhy, alumnus Fakultas Syariah IAIN Semarang:

“Di sinilah saya ingin menyebut teks-teks Islam klasik merupakan “perangkap bangsa Arab”, dan Alquran sendiri dalam beberapa hal sebetulnya juga bisa menjadi “perangkap” bangsa Quraisy sebagai suku mayoritas. Artinya, bangunan keislaman sebetulnya tidak lepas dari jaring-jaring kekuasaan Quraisy yang dulu berjuang keras untuk menunjukkan eksistensinya di tengah suku-suku Arab lain.” 30

Sumanto pun secara terang-terangan menyatakan, bahwa al-Quran adalah karangan Muhammad:

“Dengan demikian, wahyu sebetulnya ada dua: “wahyu verbal” (“wahyu eksplisit” dalam bentuk redaksional bikinan Muhammad) dan “wahyu non verbal” (“wahyu implisit” berupa konteks sosial waktu itu). 31

Jadi, di berbagai penerbitan mereka, kalangan liberal dan sejenisnya memang sangat aktif dalam menyerang al-Quran, secara terang-terangan. Mereka sedang tidak sekedar berwacana, tetapi aktif menyebarkan pemikiran yang destruktif terhadap al-Quran. Itu bisa dilihat dalam buku-buku, artikel, dan jurnal yang mereka terbitkan. Sebagai contoh, Jurnal Justisia Fakultas Syariah, Edisi 23 Th XI, 2003, memuat tulisan yang secara terang-terangan menyerang al-Quran dan sahabat Nabi Muhammad saw:

“Dalam studi kritik Qur’an, pertama kali yang perlu dilakukan adalah kritik historisitas Qur’an. Bahwa Qur’an kini sudah berupa teks yang ketika hadir bukan bebas nilai dan tanpa konteks. Justru konteks Arab 14 abad silam telah mengkonstruk Qur’an. Adalah Muhammad saw, seorang figur yang saleh dan berhasil mentransformasikan nalar kritisnya dalam berdialektika dengan realitas Arab. Namun, setelah Muhammad wafat, generasi pasca Muhammad terlihat tidak kreatif. Jangankan meniru kritisisme dan kreativitas Muhammad dalam memperjuangkan perubahan realitas zamannya, generasi pasca-Muhammad tampak kerdil dan hanya mem-bebek pada apa saja yang asalkan itu dikonstruk Muhammad. Dari sekian banyak daftar ketidakkreatifan generasi pasca-Muhammad, yang paling mencelakakan adalah pembukuan Qur’an dengan dialek Quraisy, oleh Khalifah Usman Ibn Affan yang diikuti dengan klaim otoritas mushafnya sebagai mushaf terabsah dan membakar (menghilangkan pengaruh) mushaf-mushaf milik sahabat lain. Imbas dari sikap Usman yang tidak kreatif ini adalah terjadinya militerisme nalar Islam untuk tunduk/mensakralkan Qur’an produk Quraisy. Karenanya, wajar jika muncul asumsi bahwa pembukuan Qur’an hanya siasat bangsa Quraisy, melalui Usman, untuk mempertahankan hegemoninya atas masyarakat Arab [dan Islam]. Hegemoni itu tampak jelas terpusat pada ranah kekuasaan, agama dan budaya. Dan hanya orang yang mensakralkan Qur’anlah yang berhasil terperangkap siasat bangsa Quraisy tersebut.” 32

Di dalam Jurnal Justisia edisi ini, Sumanto juga menulis sebuah artikel berjudul: “Kesucian Palsu Sebuah Kitab”. Maksudnya, al-Quran bukan kitab suci, tetapi kitab suci yang palsu.

Penyerangan terhadap al-Quran di lingkungan perguruan tinggi Islam merupakan hal yang sangat menyedihkan. Dulu, beratus-ratus tahun, wacana itu hanya berkembang di lingkungan orientalis Yahudi dan Kristen. Tetapi, saat ini, suara-suara yang menghujat al-Quran justru lahir dari lingkungan perguruan tinggi Islam, yang hanya menjiplak dan mengulang-ulang lagu lama yang beratus-ratus tahun disuarakan para orientalis. Tentu, masalah ini tidak bisa dianggap sepele, sebab akan menjadi peluru gratis bagi kalangan orientalis untuk menyerang Islam. Mereka sekarang tinggal ‘ongkang-ongkang kaki’ (istrahat) dan menyaksikan kader-kadernya dari kalangan umat Islam sendiri yang aktif menyerang al-Quran. Bahkan, kadang dilakukan dengan bahasa-bahasa yang lebih vulgar dan lebih biadab dari para orientalis.

Cara yang lebih halus dan tampak akademis dalam menyerang al-Quran juga dilakukan dengan mengembangkan studi kritik al-Quran dan studi hermeneutika di Perguruan Tinggi Islam. Diantara tokoh-tokoh terkenal dalam studi ini adalah Prof. Dr. Nasr Hamid Abu Zayd dan Mohammed Arkoun. Buku-buku kedua tokoh ini sudah banyak diterjemahkan di Indonesia. Bahkan, Nasr Hamid yang terkenal dengan teorinya “al-Quran merupakan produk budaya Arab (muntaj tsaqafi) sudah memiliki sejumlah murid yang kini mengajar di sejumlah perguruan tinggi Islam di Indonesia. Salah satu murid yang dibanggakannya adalah Dr. Nur Kholish Setiawan, yang baru saja menerbitkan disertasinya dengan judul “Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar”. Buku Arkoun, Rethinking Islam, bahkan dijadikan buku rujukan utama dalam mata kuliah “Kajian Orientalisme terhadap al-Quran dan Hadits” di Program Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta. Padahal, dalam buku ini, Arkoun secara terang-terangan menyesalkan, mengapa para cendekiawan Muslim tidak mau mengikuti para orientalis Yahudi dan Kristen yang telah melakukan kritik terhadap Bible. Kajian hermeneutika sebagai metode tafsir pengganti ilmu tafsir klasik pun sudah menjadi mata kuliah wajib di Program Studi Tafsir Hadits UIN Jakarta dan sejumlah perguruan tinggi Islam lainnya. Padahal, metode ini jelas-jelas berbeda dengan ilmu tafsir dan bersifat dekonstruktif terhadap al-Quran dan syariat Islam. 33

Kaum Muslim perlu merenungkan masalah ini dengan serius. Jika al-Quran dan ilmu tafsir al-Quran dirusak dan dihancurkan, apa lagi yang tersisa dari Islam?

3.4. Liberalisasi Syariat Islam
Inilah aspek liberalisasi yang paling banyak muncul dan menjadi pembahasan dalam bidang liberalisasi Islam. Hukum-hukum Islam yang sudah qath’iy dan pasti, dibongkar dan dibuat hukum baru yang dianggap sesuai dengan perkembangan zaman. Seperti disebutkan oleh Dr. Greg Barton, salah satu program liberalisasi Islam di Indonesia adalah ‘’kontekstualisasi ijtihad’’. Para tokoh liberal biasanya memang menggunakan metode ‘kontekstualisasi’ sebagai salah satu mekanisme dalam merombak hukum Islam. Sebagai contoh, salah satu hukum Islam yang banyak dijadikan objek liberalisasi adalah hukum dalam bidang keluarga. Misalnya, dalam masalah perkawinan antar-agama, khususnya antara Muslimah dengan laki-laki non-Muslim.

Dalam sebuah tulisannya, Azyumardi Azra menjelaskan metode kontekstualisasi yang dilakukan oleh gerakan pembaruan Islam di Indonesia, yang dipelopori Nurcholish Madjid:

“Bila didekati secara mendalam, dapat ditemui bahwa gerakan pembaruan yang terjadi sejak tahun tujuh puluhan memiliki komitmen yang cukup kuat untuk melestarikan ‘tradisi’ (turats) dalam satu bingkai analisis yang kritis dan sistematis… Pemikiran para tokohnya didasari kepedulian yang sangat kuat untuk melakukan formulasi metodologi yang konsisten dan universal terhadap penafsiran al-Quran; suatu penafsiran yang rasional yang peka terhadap konteks kultural dan historis dari teks Kitab Suci dan konteks masyarakat modern yang memerlukan bimbingannya.” 34

Menjelaskan pendapat Nurcholish Madjid, Azyumardi Azra menulis, bahwa al-Quran menunjukkan bahwa risalah Islam – disebabkan universalitasnya – adalah selalu sesuai dengan lingkungan kultural apa pun, sebagaimana (pada saat turunnya) hal itu telah disesuaikan dengan kepentingan lingkungan semenanjung Arab. Karena itu, al-Quran harus selalu dikontekstualisasikan dengan lingkungan budaya penganutnya, di mana dan kapan saja.”

Kontekstualisasi para pembaru agama Islam ala Nurcholish Madjid ini tidaklah sama dengan teori asbabun nuzul yang dipahami oleh kaum Muslimin selama ini dalam bidang ushul fiqih. Tetapi, Azyumardi Azra memberikan legitimasi dan pujian berlebihan terhadap metode Nurcholish Madjid:

“Cak Nur berpegang kuat kepada Islam tradisi hampir secara keseluruhan, pada tingkat esoteris dan eksoteris. Dengan sangat bagus dan distingtif, ia bukan sekedar berpijak pada aspek itu, namun ia juga memberikan sejumlah pendekatan dan penafsiran baru terhadap tradisi Islam itu. Maka, hasilnya adalah apresiasi yang cukup mendalam terhadap syariah atau fiqih dengan cara melakukan kontekstualisasi fiqih dalam perkembangan zaman.” 35

Apa yang dikatakan Azra sebagai bentuk apresiasi syariat atau fiqih yang mendalam oleh Nurcholish Madjid adalah sebuah pujian yang sama sekali tidak berdasar. Nurcholish sama sekali tidak pernah menulis tentang metodologi fiqih dan hanya melakukan dekonstruksi terhadap beberapa hukum Islam yang tidak disetujuinya. Ia pun hanya mengikuti jejak gurunya, Fazlur Rahman, yang menggunakan metode hermeneutika untuk menafsirkan al-Quran. 36 Misalnya, saat pidato di Taman Ismail Marzuki, 21 Oktober 1992, Nurcholish mempromosikan pendapat yang lemah tentang Ahlul Kitab, dengan mengataakan:

“Dan patut kita camkan benar-benar pendapat Sayyid Muhammad Rasyid Ridla sebagaimana dikutip ‘Abdul Hamid Hakim bahwa pengertian sebagai Ahlul Kitab tidak terbatas hanya kepada kaum Yahudi dan Kristen seperti tersebut dengan jelas dalam al- Quran serta kaum Majusi (pengikut Zoroaster) seperti tersebutkan dalam sebuah hadits, tetapi juga mencakup agama-agama lain yang mempunyai suatu bentuk kitab suci.”

Pendapat Nurcholish ini sangat lemah, dan telah dibuktikan kelemahannya, misalnya, oleh Dr. Muhammad Galib dalam disertasinya di IAIN Jakarta (yang juga diterbitkan oleh Paramadina) dan oleh Dr. Azizan Sabjan, dalam disertasinya di ISTAC, Malaysia. Namun, Nurcholish Madjid tidak peduli dengan koreksi dan kritik, dan tidak pernah merevisi pendapatnya. Prestasi kaum pembaru di Paramadina dalam merombak hukum Islam lebih jelas lagi dengan keluarnya buku Fiqih Lintas Agama, yang sama sekali tidak apresiatif terhadap syariat. Bahkan, merusak dan menghancurkannya. Misalnya, dalam soal perkawinan antar-agama, buku Fiqih Lintas Agama menulis:

“Soal pernikahan laki-laki non-Muslim dengan wanita Muslim merupakan wilayah ijtihadi dan terikat dengan konteks tertentu, diantaranya konteks dakwah Islam pada saat itu. Yang mana jumlah umat Islam tidak sebesar saat ini, sehingga pernikahan antar agama merupakan sesuatu yang terlarang. Karena kedudukannya sebagai hukum yang lahir atas proses ijtihad, maka amat dimungkinkan bila dicetuskan pendapat baru, bahwa wanita Muslim boleh menikah dengan laki-laki non-Muslim, atau pernikahan beda agama secara lebih luas amat diperbolehkan, apapun agama dan aliran kepercayaannya.” 37

Jadi, pendapat Azyumardi Azra tentang hebatnya kaum pembaru Islam yang dimotori Nurcholish Madjid adalah sama sekali tidak terbukti. Sebagai salah seorang cendekiawan yang sangat populer, Azra telah melakukan kekeliruan besar dengan cara memberikan legitimasi berlebihan terhadap gerakan pembaruan yang telah terbukti sangat destruktif terhadap khazanah pemikiran Islam. Dengan alasan melakukan kontekstualisasi, maka kaum liberal melakukan penghancuran dan perombakan terhadap hukum-hukum Islam yang sudah pasti (qath’iy), seperti hukum perkawinan muslimah dengan laki-laki non-Muslim.

Prof. Musdah Mulia, tokoh feminis, juga melakukan perombakan terhadap hukum perkawinan dengan alasan kontekstualisasi. Tapi, berbeda dengan buku Fiqih Lintas Agama, yang menekankan faktor jumlah umat Islam sebagai konteks yang harus dijadikan pertimbangan hukum, Musdah melihat konteks “peperangan” sebagai hal yang harus dijadikan dasar penetapan hukum. Ia menulis:

“Jika kita memahami konteks waktu turunnya ayat itu (QS 60:10. pen.), larangan ini sangat wajar mengingat kaum kafir Quraisy sangat memusuhi Nabi dan pengikutnya. Waktu itu konteksnya adalah peperangan antara kaum Mukmin dan kaum kafir. Larangan melanggengkan hubungan dimaksudkan agar dapat diidentifikasi secara jelas mana musuh dan mana kawan. Karena itu, ayat ini harus dipahami secara kontekstual. Jika kondisi peperangan itu tidak ada lagi, maka larangan dimaksud tercabut dengan sendirinya.” 38

Nuryamin Aini, seorang dosen Fakultas Syariah UIN Jakarta, juga membuat pernyataan yang menggugat hukum perkawinan antar-agama:

“Maka dari itu, kita perlu meruntuhkan mitos fikih yang mendasari larangan bagi perempuan muslim untuk menikah dengan laki-laki nonmuslim… Isu yang paling mendasar dari larangan PBA (Perkawinan Beda Agama. Red) adalah masalah sosial politik. Hanya saja, ketika yang berkembang kemudian adalah logika agama, maka konteks sosial-politik munculnya larangan PBA itu menjadi tenggelam oleh hegemoni cara berpikir teologis.” 39

Entah kenapa, di Indonesia, yang mayoritas Muslim, kaum Liberal berusaha keras untuk menghancurkan hukum perkawinan antar-agama ini, seolah-olan ada kebutuhan mendesak kaum Muslim harus kawin dengan non-Muslim. Ulil Abshar Abdalla, di Harian Kompas edisi 18 November 2002, juga menulis: “Larangan kawin beda agama, dalam hal ini antara perempuan Islam dengan lelaki non-Islam, sudah tidak relevan lagi.” Bahkan, lebih maju lagi, Dr. Zainun Kamal, dosen UIN Jakarta, kini tercatat sebagai ‘penghulu swasta’ yang menikahkan puluhan – mungkin sekarang sudah ratusan — pasangan beda agama.

Padahal, perlu dicatat, larangan muslimah menikah dengan laki-laki non-Muslim sudah menjadi Ijma’ ulama dengan dalil-dalil yang sangat meyakinkan (seperti QS 60: 10). Buku Ensiklopedi Ijma’ yang diterjemahkan oleh KH Sahal Mahfudz juga menyebutkan bahwa soal ini termasuk masalah Ijma’ yang tidak menimbulkan perbedaan di kalangan kaum Muslim. Memorandum Organisasi Konferensi Islam (OKI) menyatakan: “Perkawinan tidak sah kecuali atas persetujuan kedua belah pihak, dengan tetap memegang teguh keimanannya kepada Allah bagi setiap muslim, dan kesatuan agama bagi setiap muslimat.”

Demikianlah cara kaum liberal dalam merombak hukum Islam, dengan mengubah metodologi ijtihad yang lebih menekankan aspek konteks, ketimbang makna teks itu sendiri. Gagasan-gagasan mereka bisa berlangsung sangat liar tanpa batasan dan teori yang jelas. Mereka bisa menyusun teori konteks itu sekehendak hati mereka. Itu bisa dilihat dalam Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam yang disusun oleh Tim Pangarusutamaan Gender Departemen Agama – yang telah dibubarkan – garapan Prof. Dr. Musdah Mulia dkk. Ada beberapa gagasan konsep hukum yang sangat kontroversial :

Pertama, asas perkawinan adalah monogami (pasal 3 ayat 1), dan perkawinan di luar ayat 1 (poligami) adalah tidak sah dan harus dinyatakan batal secara hukum (pasal 3 ayat 2). Kedua, batas umur calon suami atau calon istri minimal 19 tahun (pasal 7 ayat 1). Ketiga, perkawinan beda agama antara muslim atau muslimah dengan orang non muslim disahkan (pasal 54). Keempat, calon suami atau istri dapat mengawinkan dirinya sendiri (tanpa wali), asalkan calon suami atau istri itu berumur 21 tahun, berakal sehat, dan rasyid/rasyidah. (pasal 7 ayat 2). Kelima, ijab-qabul boleh dilakukan oleh istri-suami atau sebaliknya suami-istri. (pasal 9). Keenam, masa iddah bukan hanya dimiliki oleh wanita tetapi juga untuk laki-laki. Masa iddah bagi laki-laki adalah seratus tiga puluh hari (pasal 88 ayat 7(a)). Ketujuh, talak tidak dijatuhkan oleh pihak laki-laki, tetapi boleh dilakukan oleh suami atau istri di depan Sidang Pengadilan Agama (pasal 59). Kedelapan, bagian waris anak laki-laki dan wanita adalah sama (pasal 8 ayat 3, bagian Kewarisan). 40

Ketika hukum-hukum yang pasti dirombak, maka terbukalah pintu untuk membongkar seluruh sistem nilai dan hukum dalam Islam. Dari IAIN Yogyakarta, muncul nama Muhidin M. Dahlan, yang menulis buku memoar berjudul “Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur”, yang memuat kata-kata berikut:

“Pernikahan yang dikatakan sebagai pembirokrasian seks ini, tak lain tak bukan adalah lembaga yang berisi tong-tong sampah penampung sperma yang secara anarkis telah membelah-belah manusia dengan klaim-klaim yang sangat menyakitkan. Istilah pelacur dan anak haram pun muncul dari rezim ini. Perempuan yang melakukan seks di luar lembaga ini dengan sangat kejam diposisikan sebagai perempuan yang sangat hina, tuna, lacur, dan tak pantas menyandang harga diri. Padahal, apa bedanya pelacur dengan perempuan yang berstatus istri? Posisinya sama. Mereka adalah penikmat dan pelayan seks laki-laki. Seks akan tetap bernama seks meski dilakukan dengan satu atau banyak orang. Tidak, pernikahan adalah konsep aneh, dan menurutku mengerikan untuk bisa kupercaya.” 41

Dari Fakultas Syariah IAIN Semarang, bahkan muncul gerakan legalisasi perkawinan homoseksual. Mereka menerbitkan buku berjudul: Indahnya Kawin Sesama Jenis: Demokratisasi dan Perlindungan Hak-hak Kaum Homoseksual. Buku ini adalah kumpulan artikel di Jurnal Justisia Fakultas Syariah IAIN Semarang edisi 25, Th XI, 2004. Dalam buku ini ditulis strategi gerakan yang harus dilakukan untuk melegalkan perkawinan homoseksual di Indonesia:

“Bentuk riil gerakan yang harus dibangun adalah (1) mengorganisir kaum homoseksual untuk bersatu dan berjuang merebut hak-haknya yang telah dirampas oleh negara, (2) memberi pemahaman kepada masyarakat bahwa apa yang terjadi pada diri kaum homoseksual adalah sesuatu yang normal dan fithrah, sehingga masyarakat tidak mengucilkannya bahkan sebaliknya, masyarakat ikut terlibat mendukung setiap gerakan kaum homoseksual dalam menuntut hak-haknya, (3) melakukan kritik dan reaktualisasi tafsir keagamaan (tafsir kisah Luth dan konsep pernikahan) yang tidak memihak kaum homoseksual, (4) menyuarakan perubahan UU Perkawinan No 1/1974 yang mendefinisikan perkawinan harus antara laki-laki dan wanita.” 42

Pada bagian penutup buku tersebut, anak-anak fakultas Syariah IAIN Semarang tersebut menulis kata-kata yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya oleh seorang Muslim pun:

“Hanya orang primitif saja yang melihat perkawinan sejenis sebagai sesuatu yang abnormal dan berbahaya. Bagi kami, tiada alasan kuat bagi siapapun dengan dalih apapun, untuk melarang perkawinan sejenis. Sebab, Tuhan pun sudah maklum, bahwa proyeknya menciptakan manusia sudah berhasil bahkan kebablasan.”

Setelah Perang Dingin berakhir, Barat memiliki pandangan dan kebijakan khusus terhadap Islam. Di masa Perang Dingin, Komunisme dianggap sebagai musuh utama, sehingga seringkali Barat bersama-sama dengan Islam menghadapi komunisme, seperti yang terjadi di Afghanistan.
Tetapi, setelah komunis runtuh, Barat harus menetapkan musuh baru, sebagai pengganti komunisme.

Maka, para aktivis neo-konservatif (kalompok Kristen fundamentalis, Yahudi sayap kanan, politisi Republik, dan ilmuwan neo-orientalis), berhasil menjalankan agenda internasional pasca Perang Dingin. 43

4. Faktor Asing
Karena Islam dipandang sebagai ancaman potensial bagi Barat, atau Islam dipandang sebagai isu politik potensial untuk meraih kekuasaan di Barat, maka berbagai daya upaya dilakukan untuk ‘menjinakkan’ dan melemahkan Islam. Salah satu program yang kini dilakukan adalah dengan melakukan proyek liberalisasi Islam besar-besaran di Indonesia dan dunia Islam lainnya. Proyek liberalisasi Islam ini tentu saja masih menjadi bagian dari ‘tiga cara’ pengokohan hegemoni Barat di dunia Islam, yaitu melalui program Kristenisasi, imperialisme modern, dan orientalisme.

David E. Kaplan menulis, bahwa sekarang AS menggelontorkan dana puluhan juta dollar dalam rangka kampenye untuk – bukan hanya mengubah masyarakat Muslim – tetapi juga untuk mengubah Islam itu sendiri. Menurut Kaplan, Gedung Putih telah menyetujui strategi rahasia, yang untuk pertama kalinya AS memiliki kepentingan nasional untuk mempengaruhi apa yang terjadi di dalam Islam. Sekurangnya di 24 negara Muslim, AS secara diam-diam telah mendanai radio Islam, acara-acara TV, kursus-kursus di sekolah Islam, pusat-pusat kajian, workshop politik, dan program-program lain yang mempromosikan Islam moderat (versi AS). (Washington is plowing tens of millions of dollars into a campaign to influence not only Muslim societies but Islam itself…The white house has approved a classified strategy, dubbed Muslim world Outreach, that for the first time states that the US has a national security interest in influencing what happens within Islam… In at least two dozen countries, Washington has quietly funded Islamic radio, tv shows, coursework in Muslim schools, Muslim think tanks, political workshops, or other programs that promote moderate Islam). 44

Salah satu LSM asing yang sangat aktif dalam menyebarkan paham liberalisme dan pluralisme agama di Indonesia adalah The Asia Foundation (TAF). Untuk menanamkan paham dan nilai-nilai inklusif dan pluralis di kalangan Muslim Indonesia, TAF telah mendukung berbagai kelompok berbasis Muslim sejak tahun 1970-an. TAF saat ini mendukung lebih dari 30 LSM yang mempromosikan nilai-nilai Islam yang dapat menjadi basis bagi sistem politik demokratis, non-kekerasan, dan toleransi beragama. Dalam bidang pendidikan warga kewarganegaraan, HAM, dan rekonsiliasi antar-komunitas, kesetaraan gender, dan dialog antar-agama, TAF juga bekerjasama dengan LSM-LSM tersebut untuk mempromosikan Islam sebagai katalisator demokratisasi di Indonesia. Program-program itu mencakup training bagi pemuka agama, studi tentang isu-isu gender dan HAM dalam Islam, pusat-pusat advokasi wanita, dan sebagainya. 45

Organisasi-organisasi di Indonesia yang diberikan pendanaan oleh The Asia Foundation, diantaranya:

- Yayasan Desantara (Pluralisme agama, penerbit Majalah Syir’ah)
- Lembaga Studi Agama dan Demokrasii (Elsad) – (Pluralisme Agama dan Demokrasi)
- Fahmina Institute - (Pluralisme Gender equality)
- Indonesia Center for Civic Education - Demokrasi
- International Center for Islam and Pluralism (ICIP) - (Pluralisme agama)
- Indonesia Conference on Religion and Peace – (ICRP) (Pluralisme agama)
- Institut Arus Informasi (ISAI) – (Pluralisme dan Jurnalisme)
- Jaringan Islam Liberal (JIL) – (Liberalisasi Pemikiran)
- Paramadina – (Pluralisme agama)
- Pusat Studi Wanita – UIN - (Gender equality)
- Lembaga Kajian Agama dan Jender (LKAJ) - (Gender equality)
- Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS) – (Penerbitan buku-buku pluralisme)
- Lembaga Pengembangan Sumber Daya Manusia Nahdhatul Ulama (Pluralisme Agama, dekontsruksi syariah )
- Pusat Studi Agama dan Peradaban Muhammadiyah (Pluralisme Agama)
- Dan puluhan LSM serta organisasi sejenis lainnya.



Kebijakan untuk mengubah kurikulum dan pemikiran Islam juga pernah diungkapkan oleh Menhan AS, Donald Rumsfeld. Dengan alasan membendung arus terorisme, Donald Rumsfeld, pada 16 Oktober 2003, meluncurkan sebuah memo:

“AS perlu menciptakan lembaga donor untuk mengubah kurikulum pendidikan Islam yang radikal menjadi moderat. Lembaga pendidikan Islam bisa lebih cepat menumbuhkan teroris baru, lebih cepat dibandingkan kemampuan AS untuk menangkap atau membunuh mereka. (Harian Republika, 3/12/2005).

Maka, dengan dukungan dana yang besar-besaran, AS dan sekutunya, serta kaki tangannya di Indonesia, berupa LSM-LSM asing, kemudian melakukan program perubahan dan penghancuran pemikiran Islam secara besar-besaran. Secara moral, mereka sebenarnya telah melakukan tindakan-tindakan yang sangat tidak manusiawi dan tidak beradab. Di tengah kemiskinan dan pemiskinan masyarakat Indonesia oleh kekuatan imperialisme global, mereka bukannya menolong Indonesia untuk mengurangi beban utangnya, atau membantu pengentasan kemiskinan dan kemajuan ekonomi, tetapi malah menyebarkan racun paham Pluralisme Agama dan penghancuran syariat Islam, di tengah-tengah masyarakat Muslim Indonesia.

Jika mereka memang bermaksud baik, seharusnya, dana mereka itu digunakan untuk membantu permodalan pedagang-pedagang kecil, mengurangi beban utang luar negeri, beasiswa anak-anak miskin terlantar, pembangunan air bersih bagi pondok pesantren, dan sebagainya, tanpa merusak aqidah dan keimanan kaum Muslim. Jika Barat penghargai pluralitas dan perbedaan antar umat manusia, mestinya mereka tidak memaksakan ideologi dan pandangan hidup mereka kepada umat manusia. Mestinya mereka menghargai keberagaman dan membiarkan umat Islam hidup dengan pandangan hidupnya dan syariatnya sendiri. Tetapi, sayangnya, Barat saat ini terlalu ketakutan terhadap Islam (Islamofobia), sehingga apa yang dilakukan oleh lembaga-lembaga asing agen Barat di Indonesia ini jauh lebih buruk dari apa yang dikerjakan oleh Belanda dan VOC di masa lalu, yang tidak ikut campur tangan dalam kurikulum pondok pesantren.

Tapi, sayangnya, ada saja sebagian kalangan umat dan lembaga Islam yang terpengaruh oleh iming-iming duniawi dari lembaga-lembaga asing yang sedang bergentayangan mencari mangsa bersama para kaki tangannya di Indonesia.

5. Liberalisasi di Perguruan Tinggi Islam
Jika Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, dan sebagainya menjadi pelopor liberalisasi Islam di organisasi Islam dan masyarakat, maka Prof. Dr. Harun Nasution melakukan liberalisasi Islam dari dalam kampus-kampus Islam. Ketika menjadi rektor IAIN Ciputat, Harun mulai melakukan gerakan yang serius dan sistematis untuk melakukan perubahan dalam studi Islam. Ia mulai dari mengubah kurikulum IAIN.

Berdasarkan hasil rapat rektor IAIN se-Indonesia pada Agustus 1973 di Ciumbuluit Bandung, Departemen Agama RI memutuskan: buku “Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya” (IDBA) karya Prof. Dr. Harun Nasution direkomendasikan sebagai buku wajib rujukan mata kuliah Pengantar Agama Islam – mata kuliah komponen Institut yang wajib diambil oleh setiap mahasiswa IAIN.

Harun Nasution sendiri mengakui ketika itu tidak semua rektor menyetujuinya. Sejumlah rektor senior mentang keputusan tersebut. Tapi, entah kenapa, keputusan itu tetap dijalankan oleh pemerintah. Buku IDBA dijadikan buku rujukan dalam studi Islam. Karena ada instruksi dari pemerintah (Depag) yang menjadi panaung dan penanggung jawab IAIN-IAIN, maka materi dalam buku Harun Nasution itu pun dijadikan bahan kuliah dan bahan ujian untuk perguruan swasta yang menginduk kepada Departemen Agama.

Pada tanggal 3 Desember 1975, Prof. HM Rasjidi, Menteri Agama pertama, sudah menulis laporan rahasia kepada Menteri Agama dan beberapa eselon tertinggi di Depag. Dalam bukunya, Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution tentang ‘Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Prof. Rasjidi menceritakan isi suratnya:

“Laporan Rahasia tersebut berisi kritik terhadap buku Sdr. Harun Nasution yang berjudul Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Saya menjelaskan kritik saya fasal demi fasal dan menunjukkan bahwa gambaran Dr. Harun tentang Islam itu sangat berbahaya, dan saya mengharapkan agar Kementerian Agama mengambil tindakan terhadap buku tersebut, yang oleh Kementerian Agama dan Direktorat Perguruan Tinggi dijadikan sebagai buku wajib di seluruh IAIN di Indonesia.” 46

Selama satu tahun lebih surat Prof. Rasjidi tidak diperhatikan. Rasjidi akhirnya mengambil jalan lain untuk mengingatkan Depag, IAIN, dan umat Islam Indonesia pada umumnya. Setelah nasehatnya tidak diperhatikan, ia menerbitkan kritiknya terhadap buku Harun tersebut. Maka, tahun 1977, lahirlah buku Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution tersebut.

Nasehat Prof. Rasjidi sangat penting untuk direnungkan saat ini, mengingat buku IDBA karya Harun Nasution itu memang penuh dengan berbagai kesalahan fatal, baik secara ilmiah maupun kebenaran Islam. Misalnya, tentang hadis Nabi Muhammad saw, Harun menulis : “Berlainan halnya dengan Al-Quran, hadis tidak dikenal dicatat tidak dihafal di zaman Nabi… Karena hadis tidak dihafal dan tidak dicatat dari sejak semula, tidaklah dapat diketahui dengan pasti mana hadits yang betul-betul berasal dari Nabi dan mana hadits yang dibuat-buat… tidak ada kesepakatan kata antara umat Islam tentang keorisinilan semua hadis dari Nabi.” 47

Sekilas saja mencermati kata-kata Harun tersebut jelas sangat keliru, sebab banyak sahabat yang sejak awal sudah mencatat dan menghafal hadis Nabi saw. Juga, tidak benar, bahwa umat Islam tidak pernah bersepakat tentang otentisitas hadits Nabi. Kata-kata Harun itu jelas hanya upaya meragu-ragukan hadis Nabi sebagai pedoman kaum Muslim setelah al-Quran. Sebenarnya, tidaklah benar, hadis Nabi sejak awal tidak dicatat oleh para sahabat. Prof. Musthafa Azhami, dalam disertasinya di Cambridge, berjudul “Studies in Early Hadith Literature” membuktikan proses pencatatan hadis sejak zaman Nabi, disamping proses hafalannya.

Kesalahan yang sangat fatal dari buku IDBA karya Harun adalah dalam menjelaskan tentang agama-agama. Di sini, Harun menempatkan Islam sebagai agama yang posisinya sama dengan agama-agama lain, sebagai evolving religion (agama yang berevolusi). Padahal, Islam adalah satu-satunya agama wahyu, yang berbeda dengan agama-agama lain, yang merupakan agama sejarah dan agama budaya (historical dan cultural religion). Harun menyebut agama-agama monoteis – yang dia istilahkan juga sebagai ‘agama tauhid’ — ada empat, yaitu Islam, Yahudi, Kristen, dan Hindu. Ketiga agama pertama, kata Harun, merupakan satu rumpun. Agama Hindu tidak termasuk dalam rumpun ini. Tetapi, Harun menambahkan, bahwa kemurnian tauhid hanya dipelihara oleh Islam dan Yahudi. Tetapi kemurnian tauhid agama Kristen dengan adanya faham Trinitas, sebagai diakui oleh ahli-ahli perbandingan agama, sudah tidak terpelihara lagi.” 48

Apakah benar agama Yahudi merupakan agama dengan tauhid murni sebagaimana Islam? Jelas pendapat Harun itu sangat tidak benar. Kalau agama Yahudi merupakan agama tauhid murni, mengapa dalam al-Quran dia dimasukkan kategori kafir Ahlul Kitab? Kesimpulan Harun itu jelas sangat mengada-ada. Sejak lama Prof. HM Rasjidi sudah memberikan kritik keras, bahwa: “Uraian Dr. Harun Nasution yang terselubung uraian ilmiyah sesungguhnya mengandung bahaya bagi generasi muda Islam yang ingin dipudarkan keimanannya.” 49

Tetapi, kritik-kritik tajam Prof. Rasjidi seperti itu tidak digubris oleh petinggi Depag dan IAIN, sehingga selama 32 tahun, buku IDBA dijadikan buku wajib dalam mata kuliah pengantar Studi Islam di perguruan-perguruan tinggi Islam di Indonesia. Padahal, kesalahannya begitu jelas dan fatal. Malah, bukannya bersikap kritis, banyak ilmuwan yang memuji-muji Harun Nasution secara tidak proporsional.

Prof. Dr. Said Agil al-Munawwar, misalnya, menulis:

“Karena itu, beliau perlu diteladani oleh para intelektual maupun generasi berikutnya. Harun Nasution adalah sebagai salah seorang tokoh pembaru diantara sedikit tokoh yang ada, ia termasuk tokoh sentral dalam menyemaikan ide pembaruan bersama tokoh lainnya di Indonesia. Tokoh-tokoh elitis kaum pembaru dimaksud diantaranya; Nurcholish Madjid, Utomo Dananjaya, Usep Fathudin, Djohan Effendi, Ahmad Wahid, M. Dawam Rahardjo, Adi Sasono, Abdurrahman Wahid, Jalaluddin Rakhmat, Ahmad Syafii Ma’arif, Muhammad Amien Rais dan Kuntowijoyo…Harun sangat tepat disebut pemancang perubahan dalam tradisi akademik di lingkungan perguruan tinggi Islam Indonesia. 50

Meskipun bukan bidangnya, Prof. Malik Fadjar juga ikut-ikutan memberikan pujian berlebihan dan tanpa sikap kritis terhadap Harun Nasution:

“Usaha dan kerja keras Harun Nasution dalam pengembangan Islamic Studies di Indonesia patut dihargai. Harun seyogianya dianugerahi sebagai tokoh Islamic Studies di Indonesia.” 51

Secara kualitas dan teknik penulisan ilmiah, buku IDBA Harun Nasution itu sebenarnya juga sudah perlu direvisi total. Tapi, sekali lagi, kesalahan yang fatal itu dibiarkan saja selama 30 tahun lebih. Jika buku yang isinya mengandung ‘virus pemikiran’ itu diajarkan secara terus-menerus dalam rentang begitu lama, bisa dipahami, jika kerusakan yang diakibatkan ‘virus’ itu sudah semakin parah dan menular ke mana-mana. Entah kenapa, masalah yang serius dan separah ini sekian lama dibiarkan oleh lembaga-lembaga Islam di Indonesia. Setahu penulis, hingga kini, belum ada lembaga Islam, khususnya perguruan tinggi Islam, yang secara resmi meminta pemerintah menarik kembali buku IDBA Harun Nasution tersebut.

PENUTUP
Sebagai penduduk sebuah negeri Muslim terbesar, umat Islam Indonesia saat ini benar-benar sedang menghadapi ujian keimanan yang sangat berat. Di tengah berbagai krisis dan keterpurukan, umat Islam Indonesia direkayasa, dirusak, dan diserbu besar-besaran dengan paham-paham syirik modern dan berbagai pemikiran liberal yang membongkar habis-habisan sendi-sendi ajaran dan keyakinan umat Islam. Ironisnya, ujung tombak dari penyebaran paham ini adalah para individu, tokoh, cendekiawan, ulama, dan lembaga yang secara formal menyandang nama Islam. Tentu saja ini tantangan yang sangat berat. Sebab, para ulama dan cendekiawan yang seharusnya diamanahkan untuk menjaga agama, justru banyak yang berbalik menjadi perusak agama. Inilah zaman fitnah, zaman edan, zaman dimana yang haq dan yang bathil sudah bercampur aduk.

Rasulullah saw sudah pernah mengingatkan:

“Yang merusak umatku adalah orang alim yang durhaka dan ahli ibadah yang bodoh. Seburuk-buruk manusia yang buruk adalah ulama yang buruk dan sebaik-baik manusia yang baik adalah ulama yang baik.” (HR Ad-Darimy).

Juga sabda beliau saw:

“Termasuk diantara perkara yang aku khawatirkan atas umatku adalah tergelincirnya orang alim (dalam kesalahan) dan silat lidahnya orang munafik tentang al-Quran.” (HR Thabrani dan Ibn Hibban).

Di tengah ujian berat proyek liberalisasi Islam secara besar-besaran ini, kita berdoa, mudah-mudahan tidak banyak kyai, ulama, cendekiawan, atau mahasiswa, yang tergoda oleh berbagai bujukan dan tipuan duniawi yang ditujukan untuk menghancurkan kekuatan Islam dari dalam. Pemikiran-pemikiran yang destruktif terhadap Islam, saat ini sering dikemas dengan bungkusan yang menarik dan dijajakan oleh pengasong-pengasong yang piawai dalam bersilat-lidah dan tak jarang juga berhujjah dengan al-Quran.

Bisa dikatakan, liberalisasi Islam di Indonesia, saat ini, adalah tantangan yang terbesar yang dihadapi semua komponen umat Islam, baik pondok pesantren, perguruan tinggi Islam, ormas Islam, lembaga ekonomi Islam, maupun partai politik Islam. Sebab, liberalisasi Islam telah menampakkan wajah yang sangat jelas dalam menghancurkan Islam dari asasnya, baik aqidah Islam, al-Quran, maupun syariat Islam.

Tidak ada cara lain untuk membentengi keimanan kita, keluarga kita, dan jamaah kita, kecuali dengan meningkatkan ilmu-ilmu keislaman yang benar dan memohon pertolongan kepada Allah SWT. “Ya Allah, tunjukkanlah yang benar itu benar dan berikanlah kemampuan kepada kami untuk mengikutinya; dan tunjukkanlah yang bathil itu bathil, dan berikanlah kemampuan kepada kami untuk menghindarinya. Allahumma amin.” (Depok, 12 Ramadhan 1427 H).

Oleh: Adian Husaini, MA•
Adian Husaini, Ph.D. Candidate di International Institute of Islamic Thought and Civilization—International Islamic University Malaysia (ISTAC-IIUM). Aktivitas di Indonesia saat ini adalah sebagai Dosen Pasca Sarjana Universitas Indonesia; Ketua Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII).


FOOTNOTE
1 Harvey Cox, The Secular City: Secularization and Urbanization in Theological Perspective, (New York: The Macmillan Company, 1967), hal. 19-32.

2 Harvey Cox, The Secular City, hal. 15.

3 Lihat Martin E. Marty, “ Does Secular Theology Have a Future” dalam buku The Great Ideas Today, (New York: Encyclopaedia Britannica Inc, 1967).

4 Lihat, Karel Steenbrink, “Patterns of Muslim-Christian Dialogue in Indonesia, 1965-1998”, dalam Jacques Waardenburg, Muslim-Christian Perceptions of Dialogue Today, (Leuveneeters, 2000), hal. 85. Steenbrink menggunakan redaksi “The book The Secular City by Harvey Cox had a great impact in these young students.” Dalam Catatan Hariannya, Ahmad Wahib menulis: “Sejauh yang aku amati selama ini, agama terjadi telah kehilangan daya serap dalam masalah-masalah dunia. Petunjuk-petunjuk Tuhan tidak mampu kita sekularkan. Padahal, sekularisasi ajaran-ajaran Tuhan mutlak bagi kita kalau kita tidak ingin sekularistis.” Wahib adalah anak asuh Romo Willenborg dan Romo H.C. Stolk SJ. Ketika itu ia sudah menyatakan dirinya sebagai penganut pluralisme, sama dengan Romo Stolk. Wahib juga membahas tentang sekularisme dan sekularisasi. (Lihat, Djohan Efendi & Ismet Natsir Ahmad (ed), Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib, (Jakarta: LP3ES dan Freedom Institute, 2003, cet ke-6), hal. 37-41, 79. Tentang pengaruh Harvey Cox terhadap Nurcholish Madjid, lihat Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1999).

5 Lihat Tomas Shivute, The Theology of Mission and Evangelism, (Helsinki: Finnish Missionary Society, 1980), hal. 42-50. Paus yang baru, Benediktus XVI, juga dikenal sebagai Paus yang konservatif dan anti-liberal. Sebelumnya, tahun 2000, dia termasuk seorang perumus penting doktrin “Dominus Jesus” yang menolak paham Pluralisme Agama dan menegaskan, jalan satu-satunya untuk menuju Bapa adalah melalui Yesus Kristus.

6 Tahun 1999, disertasi Greg Barton diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh penerbit Paramadina, dengan judul Gagasan Islam Liberal di Indonesia. (1999:xxi).

7 Charles Kimball, When Religion Becomes Evil, (New York: HarperSanFrancisco, 2002.

8 Lihat Artikel Budhy Munawar Rahman berjudul “Basis Teologi Persaudaraan Antar-Agama”, dalam buku Wajah Liberal Islam di Indonesia (Jakarta: JIL, 2002), hal. 51-53.

9 Abdul Munir Mulkhan, Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2002), hal. 44.

10 Lihat, buku Tiga Agama Satu Tuhan, (Bandung: Mizan, 1999), hal. xix.

11 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 1995), hal. lxxvii.

12 Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, (Bandung: Mizan, 1997), hal. 108-109.

13 Lihat buku Ijtihad Islam Liberal, (Jakarta: JIL, 2005), hal. 223.

14 Khamami Zada, Membebaskan Pendidikan Islamari Eksklusivisme menuju Inklusivisme dan Pluralisme, Jurnal Tashwirul Afkar, edisi No 11 tahun 2001.

15 M. Amin Abdullah, Pengajaran Kalam dan Teologi di Era Kemajemukan: Sebuah Tinjauan Materi dan Metode Pendidikan Agama, Jurnal Tashwirul Afkar, edisi No 11 tahun 2001.

16 Sururin (ed), Nilai-nilai Pluralisme dalam Islam, (Jakarta: Fatayat NU&Ford Foundation, 2005), hal. 150.

17 Ibid, hal. 58.

18 Ibid, hal. 58.

19 Ibid, hal. 58-59.

20 Mazheruddin Siddiqi, The Image of the West in Iqbal, (Lahore: Baz-i-Iqbal, 1964), hal. 51,71-72.

21 Lihat, Libertus Jehani, Paus Benediktus XVI, Palang Pintu Iman Katolik, (Jakarta: Sinondang Media, 2005), hal. 32.

22 John L. Allen, JR, The Rise of Benedict XVI, (New York: Doubleday, 2005), hal. 165-166.

23 Joseph Runzo, Reason, Relativism, and God, (London: Macmillan Press Ltd, 1986), hal. 10.

24 Frans Magnis Suseno, Menjadi Saksi Kristus di Tengah Masyarakat Majemuk, (Jakarta: Penerbit Obor, 2004.

25 Lihat sinopsis buku Theologia Abu-abu, di www.gandummas.com; dan buku Stevri Indra Lumintang, Theologia Abu-Abu Pluralisme Agama : Tantangan dan Ancaman Racun Pluralisme Dalam Teologi Kristen Masa Kini (Malang : Gandum Press, 2004), hal. 18-19.

26 Lihat, makalah Taufik Adnan Amal berjudul “Edisi Kritis al-Quran”, dalam buku Wajah Liberal Islam di Indonesia” (Jakarta: JIL, 2002), hal. 78).

27 Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Quran (Yogyakarta: FKBA, 2001).

28 Aksi Wijaya, Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan” (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004), hal. 123.

29 Luthfi Assyaukanie, “Merenungkan Sejarah Alquran”, dalam Abd. Muqsith Ghazali (ed), Ijtihad Islam Liberal, (Jakarta: Jaringan Islam Liberal, 2005), hal. 1.

30 Sumanto Al-Qurtubhy, “Membongkar Teks Ambigu”, dalam Abd. Muqsith Ghazali (ed), Ijtihad Islam Liberal, (Jakarta: Jaringan Islam Liberal, 2005), hal. 17.

31 Jurnal Justisia Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang, edisi 27/2005.

32 Dalam Jurnal Justisia, Edisi 23 Th XI/2003 ini bisa dibaca berbagai artikel dengan judul-judul yang melecehkan al-Quran dan menghina para sahabat Nabi Muhammad saw, seperti “Qur’an ‘Perangkap’ Bangsa Quraisy” oleh M. Khalidul Adib Ach, “Pembukuan Qur’an oleh Usman: Sebuah Fakta Kecelakaan Sejarah” oleh Tedi Kholiludin, “Kritik Ortodoksisme: Mempertanyakan Ketidakkreativan Generasi Pasca Muhammad”, oleh Iman Fadhilah el-Barbazzy ErHa, dan sebagainya.

33 Paparan lebih jauh tentang masalah liberalisasi al-Quran di PerguruanTinggi Islam, lihat, Adian Husaini, Hegemoni Kristen dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi, (Jakarta: GIP, 2006).

34 Lihat, Pengantar Azyumardi Azra untuk buku Dr. Abd A’la, Dari Neomodernisme ke Islam Liberal, (Jakarta: Paramadina, 2003), hal. xi.

35 Ibid, hal.xii.

36 Kritik yang komprehensif terhadap metodologi hermeneutika Fazlur Rahman dilakukan oleh Ahmad Bazali bin Shafie dalam disertasinya di ISTAC-IIUM Kuala Lumpur, yang berjudul “A Modernist Approach to the Quran: A Critical Study of the Hermeneutics of Fazlur Rahman.” Disertasi ini disupervisi oleh Prof. Dr. Wan Mohd Nor Wan Daud yang juga anak bimbing langsung Fazlur Rahman di Chicago University. Berbeda dengan sejumlah murid Fazlur Rahman lainnya, seperti Nurcholish Madjid dan A. Syafii Ma’arif, Wan Mohd Nor mampu keluar dari bingkai pemikiran Rahman dan mengkritik metodologi hermeneutika Fazlur Rahman untuk penafsiran al-Quran. Sebuah buku yang cukup bagus dalam mengkritik metode liberal dalam penafsiran al-Quran juga ditulis oleh pakar ushul Fiqih dari Muhammadiyah, Prof. Asymuni Abdurrahman melalui bukunya yang berjudul Memahami Makna Tekstual, Kontekstual, dan Liberal (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, tanpa tahun).

37 Mun’im Sirry (ed), Fiqih Lintas Agama, (Jakarta: Paramadina&The Asia Foundation), 2004), hal. 164.

38 Musdah Mulia, Muslimah Reformis, (Bandung: Mizan, 2005), hal. 63.

39 Lihat, buku Ijtihad Islam Liberal, (Jakarta: Jaringan Islam Liberal, 2005), hal. 220-221.

40 Sejumlah pakar hukum Islam di Indonesia, seperti Prof. Dr. Huzaemah Tahido Yanggo, MA, Prof. KH Ali Yafie, Prof. Dr. KH Ali Mustafa Yaqub, MA, Neng Djubaidah SH, MHum, Prof. Dr. Zaitunah Subhan dan Prof. Dr. Nabilah Lubis MA, telah memberikan kritik yang tajam terhadap CLD KHI versi Musdah ini. (Lihat, Zaitunah Subhan dkk (ed), Membendung Liberalisme, (Jakarta: Republika, 2004).

41 Buku: Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur: Memoar Luka Seorang Muslimah, SriptaManent dan Melibas, 2005, cetakan ke-7.

42 Lihat buku Indahnya Kawin Sesama Jenis: Demokratisasi dan Perlindungan Hak-hak Kaum Homoseksual, (Semarang:Lembaga Studi Sosial dan Agama/eLSA, 2005), hal. 15.

43 Tentang strategi Barat dalam menghadapi Islam pasca Perang Dingin, lihat, Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal, (Jakarta: GIP, 2005).

44 David E. Kaplan, Hearts, Minds, and Dollars, www.usnews.com, 4-25-2005.

45 http://www.asiafoundation.org/Locations/indonesia.html Website The Asia Foundation (www.asiafoundation.org) sampai dengan 24 Maret 2006, masih menulis tajuk pembukanya dengan kata-kata: “REFORMASI PENDIDIKAN DAN ISLAM DI INDONESIA.”

46 HM Rasjidi, Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution tentang ‘Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya’, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), hal 13.

47 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Press, cet. ke-6, 1986), Jld 1, hal. 29.

48 Ibid, hal. 15-22.

49 HM Rasjidi, op.cit, hal. 24.

50 Abdul Halim (ed), Teologi Islam Rasional, (Ciputat Press, 2005), hal. xvi-xvii.

51 Ibid, back cover.


Source:
http://dunia.pelajar-islam.or.id/dunia.pii/2009/04/06