Friday, 12 November 2010

*Mengais Gulma Liberalisme dari Tradisi Islam**

*Mengais Gulma Liberalisme dari Tradisi Islam**



Bagi teman-teman yang suka diskusi tentang Islam, berikut saya posting tulisan dari Ahmad Rofiqi sebagai anti-thesis Islam liberal. Mari kita hargai pemikiran para cendekiawan Islam kita, dengan segala pemikirannya dan gaya berdiskusinya. Semoga kita dapat pencerahan dan semakin mendorong kita untuk memepelajari Islam.

Tulisan ini diambil dari:
http://www.mail-archive.com/syiar-islam@yahoogroups.com/msg01516.html


assalaamu 'alaikum,

ayyuhal ikhwah,

berikut ada tanggapan dari ust Rofiqi atas pendapat Ulil dalam wawancara
dengan Ade Armando dengan Ulil bulan Juli 2007.

salam,
satriyo


*Mengais Gulma Liberalisme dari Tradisi Islam**

*Ahmad Rofiqi, Lc.*

*Institut Dakwah Islam, Jurusan Studi Al-Qur'an, Tripoli, Libya*

*Mahasiswa Program Magister Pengkhususan Pendidikan dan Pemikiran Islam
Universitas Islam Ibnu Khaldun*



*Assalamualaikum Wr. Wb.*

Ulil Abshar Abdalla mencatut nama Al-Razi, Al-Ghazali dan Imam Al-Haramain Al-Juwaini untuk menyokong sekulerisme dan pluralisme. Sudah sedalam apakah eksplorasi Ulil dengan kesimpulan ini? Bukannya dia mengaku masih baru membaca wacana klasik itu?

Sebagai ikon utama *jamaah* yang membawa bendera pluralisme-sekulerisme-liberalisme, Ulil terus mencari legitimasi. Kali ini dia menoleh kepada khazanah klasik Islam yang selama ini dituduh—oleh dia sendiri dan kelompoknya—sebagai penyebab kemunduran umat.

Sebelum kita meneliti sejauh mana hasil usahanya, ada baiknya kita lihat kembali apa yang diyakini Ulil dan kawan-kawannya. Keyakinan yang terus dia carikan dalil dan hujjahnya itu.

Ulil dkk meyakini semua agama sama-sama benar. Ini adalah *core* ide pluralisme-liberalisme. Keyakinan ini mau tidak mau harus berimplikasi pada struktur keyakinan berikutnya. Kalau semua agama sama, maka konsep tuhan, kitab suci, nabi, syariat, wahyu bahkan sejarah semua agama juga harus sama. Karena semua konsep ini harus sama, maka kebenaranpun harus direlatifkan. Biar tidak ada lagi monopoli keyakinan dari beragam agama yang telah ada itu.

Ketika ini diterapkan pada Islam, maka agama tersebut harus merelakan konsep-konsep pokoknya *dipreteli*. Konsep al-haq, dakwah, mukjizat, amar ma'ruf nahyi mungkar, murtad, makshiyat, kebatilan, surga, neraka dan lain-lain harus dide-konstruksi dibaca ulang dan dire-interpretasi. Setelah melewati proses re-konstruksi ini, nantinya akan didapati sebuah Islam yang jauh berbeda dari bayangan setiap muslim di dunia. Mungkin sebuah Islam yang tidak pernah dilihat dalam sejarah. Melalui epistemologi radikal tersebut Islampun disekulerkan. Agama tidak boleh mengatur hidup masyarakat dan negara. Sebagai gantinya diambillah filsafat atau *worldview* barat yang "lebih" humanis dan universal.

Memperhatikan sejak awal, Ulil *and friends* sangat teguh memegang prinsip-prinsipnya. Bahkan dibanding dengan pendahulunya mereka boleh dibilang jauh lebih ekstrim. Hukum Islam dibongkar, Al-Qur'an di desakralisasi-dihina-diperpornokan, kemaksuman para Nabi dikritik, hadits-hadits dihina, para ulama dibodohi hingga lafadz Allah pun diinjak-injak. Kalau dulu para mentor liberal hanya berwacana, kini
anak-anak muda itu melakukan gerakan (harakah) dalam bentuk jaringan yang sangat aktif, sistematis dan—tak lupa—dengan pendanaan yang kuat.

Dengan perangkat ide ekstra radikal itu, ditambah *track record* sedemikian rupa, pantaskah Ulil menemukan "rumah" dalam khazanah Islam klasik? Sebuah "uluran tangan" dari *Hujjatul Islam* Al Ghazali dan Imam Al-Haramain Al-Juwaini atau Fakhruddin Al Razi? Mari kita ukur.

Tiga tokoh ini datang dari tiga masa antara abad 5-7 H. Mereka adalah tokoh-tokoh Madzhab Asy'ariyah, sebuah genre ilmu kalam yang dikenal kontra dengan filsafat Yunani dan aliran kalam Mu'tazilah. Pendirinya bernama Abul Hasan Al-Asy'ari (w 324 H).

Al-Asy'ari memandang kedudukan akal bukan diatas wahyu melainkan sebaliknya. Dalam masalah agama, harus diimani adanya hal-hal *tauqifiyah*, yang tidak bisa diganggu gugat. Al-Asy'ari menetapkan Al-Qur'an sebagai kalamullah yang bersama hadits, menjadi sumber pokok agama (lihat Kitab *Fii Ilmi Al-Kalam*Jilid 2 hal 140-142). Saat ini madzhab Asy'ariyah adalah aliran aqidah yang paling banyak pengikutnya di dunia Islam.

Imam Al-Ghazali adalah tokoh Asy'ariyah yang paling berpengaruh. Sumbangan beliau dalam pemikiran Islam sangat mahal. Salah satunya adalah kritik terhadap filsafat Helenis melalui masterpiecenya *Tahafut Al Falasifah*(kerancuan kaum filsafat).

Dalam kitabnya *Ihya' Ulumuddin*, pada bagian *Qawaid Aqidah *, Al Ghazali menetapkan makna Islam adalah agama yang membuat pemeluknya masuk surga dan keluar dari neraka. Disebutkan disana, tingkat keenam dalam persoalan iman adalah orang yang mengucapkan syahadat tapi hatinya ingkar. Menurutnya pada level ini orang disebut kafir dan keluar dari agama. Al Ghazali memang membuat klasifikasi keimanan, tapi klasifikasi ini berkaitan dengan derajat keimanan itu sendiri mulai dari yang imannya sempurna, fasik hingga yang kafir. Artinya kalaupun ada orang tidak sampai kafir, setidaknya orang ini imannya tidak sempurna seperti imannya orang fasik. Tidak ada sedikitpun Al Ghazali menyebut-nyebut Mu'tazilah atau Syiah.

Ini berbeda dengan omongan Ulil. Menurutnya Al Ghazali membuat kerangka empat tingkat keimanan yang menjadikan sekte apapun (Asy'ariah, Mu'tazilah dan Syi'ah) tetap muslim sehingga timbul kesan semuanya sama-sama benar. Ini sungguh aneh. Pertama, tingkatan Al Ghazali ada enam, bukan empat. Pada level keenam adalah posisi orang kafir. Kedua, di bagian mana dia menyebut sekte-sekte itu? Disana tidak ada. Kemudian ketiga, kalau semuanya sama, mengapa Al Ghazali keras membela Asy'ariyah dan keras menyerang Mu'tazilah? Sulit rasanya tidak menganggap Ulil distorsif. Dalam kitab *Tahafut Al Falasifah*, Al Ghazali menyamakan sebagian pendapat filosof dengan kaum
mu'tazilah. Kelompok mu'tazilah ini, memang tidak dia anggap tegas kafir tapi tegas dia mengatakan mereka adalah ahli bid'ah yang sesat. (Lihat * khatimah* dari *Tahafut Al Falasifah*).

Ulil juga mengatakan Al Ghazali membuat empat kemungkinan penafsiran terhadap hari kebangkitan, yaitu fisikal, mental, spiritual dan imajinatif. Menurutnya, dengan empat penafsiran *a la *Al Ghazali ini, beliau menoleransi apapun bentuk iman pada hari kebangkitan. Ulil ingin mengesankan Al Ghazali adalah seorang pluralis.

Secara tegas saya katakan Ulil keliru. Empat penafsiran itu adalah pendapat ahli filsafat, bukan perkataan Al Ghazali (lihat bab ke 17 dalam *Tahafut Al Falasifah*). Ulil salah faham. Perhatikan, setelah mengurai empat jenis penafsiran atas kebangkitan tersebut, Al Ghazali berkata, *"Hadza madh-habuhum*" (ini adalah pendapat mereka), yaitu para filosof. Setelah itu Al Ghazali membantah pendapat mereka. Al Ghazali menegaskan kekufuran para filosof yang menganggap hari kebangkitan hanya menimpa ruh dan tidak dibangkitkannya jasad sehingga balasan di hari akhir—baik kenikmatan atau siksaan—hanya akan menimpa ruhnya saja.

Berdasarkan kenyataan ini, silahkan pembaca menilai sendiri pernyataan distorsif Ulil mengenai Imam Al Ghazali, *"Jadi saya mempelajari bagaimana Al Ghazali mendekati masalah pluralisme dengan cara ilmiah dan solid, dengan mendasarkan diri pada tradisi Islam".* Sungguh keterlaluan!

Ulil yang baru belajar ini mengesankan, senjata yang paling diandalkan Al Ghazali melawan filosof adalah filsafat itu sendiri. Termasuk menggunakan filsafat Aristotle. Nampaknya Ulil—sekali lagi yang baru belajar ini—tidak faham dengan metodologi ahli kalam. Kalau filsafat senjata satu-satunya, bagaimana cara Al Ghazali menyerang filsafat itu sendiri? Pasti mustahil. Ahli kalam seperti Al Ghazali memang menggunakan sebagian unsur filsafat, tapi unsur ini mengalami proses penyerapan dan modifikasi secara kritis sebelum digunakan.

Proses asimilasi metode filsafat kedalam ranah ilmu kalam ini tidak mungkin dilakukan tanpa dilandasi metode awal terlebih dulu. Maka para ulama ketika membaca filsafat tidak berangkat dari nol. Mereka sudah punya konsep secara mandiri. Soalnya, tugas ilmu kalam adalah menjelaskan dan membela aqidah Islam, maka metodologinya juga harus berasal dari Islam. Tidak bisa diambil dari luar mentah-mentah sebagaimana cara JIL meng *-carbon copy *pemikiran Barat.

Sebagai contoh, epistemologi filsafat tidak didasari pengakuan terhadap keberadaan wahyu, kenabian dan hari pembalasan. Pertanyaannya, dengan demikian, bagaimana menggunakan filsafat untuk mendukung kebenaran Al-Qur'an sebagai wahyu yang bersumber dari Allah, masalah kemaksuman nabi serta eksistensi surga dan neraka? Padahal ini adalah sebagian kecil dari diskusi intensif dalam ilmu kalam. Masih banyak persoalan yang lain.

Seluruh aliran kalam—termasuk Mu'tazilah—melakukan serangan hebat terhadap filsafat. Dan memang salah satu tujuan ilmu kalam adalah melakukan pembelaan terhadap aqidah Islam melawan ahli filsafat Kristen, agnostik dan lainnya (baca *Manahijul Bahts 'Inda Mufakkiril Islam*, Dr Sami Ali Nasyar). Maka para ulama membuat sendiri metode orisinil yang bersumber dari Al-Qur'an dan Sunnah yang kemudian dikembangkan secara kaya oleh aliran-aliran kalam yang ada. Konsep-konsep Qur'ani ini dijadikan dasar melahirkan metode seperti *As-Sabr wa Taqsim, Qiyas Ghaib 'Alaa Syahid, 'Adamu Ijtima' Naqidhain*, *Buthlanu Dalil Yadullu a la Buthlanil Madlul*. Ini semua tidak ada dalam filsafat. Bahkan berbekal metode seperti ini, para ulama kalam (mutakallimin) melakukan serangan terhadap metode deduksi ( *qiyas*) dan universalitas (* kulliyyat*) Aristotle. Termasuk Al Ghazali sendiri (Lihat *Manahijul Baths*). Bagaimana, *kok* tahu-tahu Al Ghazali dituduh menggunakan metode Aristotle? Benarkah? Kapan?

Beralih ke Imam Al Haramain Al Juwaini. Betulkah Imam kita ini "mengedepankan sekulerisme"? Mungkin risalah Imam Al Haramain yang dimaksud Ulil adalah " *Ghiyatsul Umam fii At Tayyats Al Dhulm*". Langsung kita kutipkan beberapa perkataan Imam Al Haramain dari bab kedelapan kitab ini.

Imam Al Haramain berkata disana, "*Kepemimpinan (imamah) adalah kekuasan utuh dan jabatan umum yang mengatur urusan pribadi dan masyarakat baik dalam perkara dunia maupun akhirat". *Maka Rasulullah Saw menurutnya adalah *"Penguasa dalam urusan dunia dan akhirat". *

Sebagai imam agama, penguasa harus melakukan* "…perlindungan keyakinan kepada orang-orang mukmin dengan sekuat tenaga dan memberantas kontroversi orang-orang sesat…" *kemudian* "mengajak para pembangkang dan orang-orang kafir untuk berpegang pada kebenaran". *

Ulil mengatakan Al Juwaini melakukan pemisahan otoritas agama dan dunia. Bandingkan dengan tulisan Al Juwaini sendiri, *"Setelah melakukan perincian ini, kita akan menyebutkan pandangan penguasa dalam urusan agama lalu pandangannya dalam urusan dunia."* Jadi pembagian ini didasari "pandangan penguasa pada urusan agama dan dunia". Maksudnya urusan dunia dan agama harus berdasarkan keputusan penguasa. Bukan klasifikasi dikhotomis.

Ketika menjelaskan tugas penguasa dalam perkara duniawi, Al-Juwaini
menekankan kewajiban penguasa memperluas peta Islam melalu jihad. Penguasa juga harus menciptakan stabilitas wilayah kekuasaannya dan pentingnya meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam perkara hukum, ekonomi dan sosial. Beliau memang mengakui penyelenggaraan negara ditangani oleh para hakim dan pejabat. Tapi itu bukan pemisahan otoritas. Itu hanya strategi manajerial karena Al Juwaini tetap menekankan pusat pelaksanaan Negara melalui penguasa ( *nadharuhu*) peranannya secara aktif (*qiyamuhu*) dimana semua urusan ini terkait dengan tugas penguasa itu sendiri (*yata'allaqu bil aimmah*).

Sekulerkah Al Juwaini dengan pendapat di atas? Apakah ini bisa disamakan dengan penolakan JIL terhadap formalisasi syariat Islam dan intervensi pemerintah dalam keyakinan masyarakat?

Mengenai Al Razi kita tulis singkat saja. Dia adalah ahli filsafat dan ilmu kalam. Pengarang tafsir dan buku-buku yang sangat banyak. Salah satu risalah beliau berjudul *'Ishmah Al Anbiyaa'*, "kemaksuman para nabi". Dia menjelaskan bukti-bukti keterjagaan para Nabi dari cacat dan cela. Mengenai kedudukan iman, mari kita lihat tafsir Al Razi. Ketika menafsirkan ayat *"Innad Diina 'Indallahi Al Islam*", "Agama disisi Allah adalah Islam" (Ali Imran 19) beliau berkata, *"Ayat ini menetapkan agama yang diterima disisi Allah hanyalah Islam*". Kemudian ketika menjelaskan ayat, " *Barangsiapa yang mencari agama selain Islam, dia tidak akan diterima*" (Ali Imran 85) beliau mengatakan, *"Bahwa agama satu-satunya adalah Islam. Sedang semua agama selain Islam tidak diterima disisi Allah *". Yang sedikit ini sudah cukup membuktikan Ulil telah ditolak oleh Imam Al Razi. Bukti lebih banyak mudah saja, tapi ruangan tulisannya tidak cukup.

Kekeliruan Ulil berikutnya adalah tuduhan As Suyuthi mengakui kesahalan gramatikal dalam Al-Qur'an. As Suyuthi tidak menyatakan kesalahan gramatikal Al Qur'an. Beliau hanya menyatakan kesahihan riwayat Aisyah yang menyebutkan "dugaan kesalahan" dalam penulisan tiga ayat Al-Qur'an, padahal para ulama melemahkan riwayat itu. As Suyuthi sendiri menolak pendapat "kesalahan gramatikal ini". Malah beliau menjelaskan duduk persoalan dari riwayat Aisyah ini sekaligus mendudukkan anggapan kesalahan pada tiga ayat tersebut (periksa *Al Itqaan fii Ulumil Qur'an*, Pembahasan ke 14 tentang *I'rab (Al-Qur'an*).

Demikian pula Ulil menuduh As Suyuthi menganggap jumlah surah dalam Al-Qur'an tidak selalu sama. Alasannya karena "Qur'an" Ibnu Mas'ud hanya berisi 112 surah saja. Ulil mau mengelabui (lagi). As Suyuthi menjelaskan urutan dan jumlah surah dalam mushaf pribadi (bukan "Qur'an pribadi") memang berbeda-beda, tapi bukan karena ada perbedaan dalam Al-Qur'an. Menurutnya ini disebabkan oleh polemik mengenai susunan surah Al-Qur'an apakah harus berasal dari Allah ( *tauqifi*) atau terserah pada para shahabat. Dalam kasus inilah As Suyuthi menempatkan mushaf Ibnu Mas'ud sebagai contoh susunan surah yang bukan *tauqifi* itu tadi.

Polemik tentang susunan surah tidak berakibat apapun terhadap Al-Qur'an. Surah adalah satuan-satuan yang menghimpun ayat-ayat Al-Qur'an. Antara surah tidak harus ada hubungannya, malah masing-masing surah cenderung berdiri sendiri, sehingga kalau surah-surah ini disusun dengan model apapun pengaruhnya tidak terlalu signifikan.

Menurut para ulama, mushaf pribadi (seperti Ibnu Mas'ud dan Ubay bin Ka'ab) tidak bisa dijadikan standar karena penggunaannya terbatas sehingga tidak punya tanggung jawab publik. Hanya pemilik mushaf yang sanggup menggunakan mushafnya dengan benar. Kadang apa yang tertulis dalam mushaf itu tidak bisa difahami orang. Contohnya ada mushaf yang di campur dengan hadits dan tafsir. Bagi selain pemiliknya, mushaf ini menjadi masalah. Oleh karena itu, seperti mushaf Ibnu Mas'ud tidak bisa digunakan mengkritik Al-Qur'an.

Contoh lagi, ada riwayat mengatakan mushaf Ubay bin Ka'ab minus Al Fatihah. Padahal sejak dulu hingga sekarang semua orang yang shalat pasti membacanya. Ini bukan berarti Al Fatihah itu fiktif hanya karena tidak ditulis oleh Ubay bin Ka'ab. Bisa jadi Ubay tidak menulis Al Fastihah karena secara pribadi memandang tidak perlu. Bukan karena surah itu tidak ada. Sementara mushaf-mushaf lain mencantumkan Al-Fatihah.

Jadi, buat apa umat Islam masa itu meributkan kitab As Suyuthi *Al-Itqaan *yang sangat jenius itu. Apalagi masalah gramatikal Al-Qur'an itu sudah dibahas oleh orang jauh sebelum As Suyuthi atau sesudahnya. Lihat *Tafsir Ath Thabari 16 hal 180-181, Al Bahrul Muhiith 6: 255, Zaadul Masiir 5:298, At Tibyan fii I'raabil Qur'an 2:895, Syarah Kafiyah Syafiyah 1:188, Majmu' Fatawa Ibnu Taimiyah 15 :252-253 *dan masih banyak lagi. Ini memang bukan kontroversi signifikan seperti yang dikesankan Ulil. Berbeda dengan buku Sumanto Al-Qurthubi atau Taufik Adnan Amal yang membabi buta tanpa dasar itu. Yang ini memang harus dikritik sampai tuntas.

Tapi Ulil seperti menyadari kelemahan kritiknya. Supaya tidak terjebak, dia mau "melarikan diri", melempar batu sembunyi tangan, " *Saya tidak ingin mengangkat kembali debat tentang berapa sebenarnya jumlah surat Alquran. Poin terpentingnya adalah studi tentang Quran di masa lalu dilakukan secara terbuka dan dihadapi dengan biasa saja". *

Ulil mengkritik sanad. Tapi tidak menjelaskan bagian mana kelemahan sanad itu. Mungkin Ulil menyadari ketakmampuannya. Bahkan profesor tempatnya menangguk ilmupun nampaknya tidak sanggup mengkritik sanad. Usaha-usaha kritik sanad dari tokoh-tokoh penting orientalisme sudah digagalkan sejak dulu. Kekecewaan Ulil itu lebih terdengar sebagai keputus-asaan dan ketakberdayaan di depan supremasi sanad, daripada sebuah kritik yang ilmiah.


Menurut Ulil studi filologi lebih dulu ada di Barat. Baru kemudian hari umat Islam mengikuti. Tidak jelas apa alasan Ulil. Di abad pertama Hijriyah para shahabat sudah melakukan penelitian naskah Al-Qur'an sebelum dikodifikasikan. Para ulama hadits menetapkan sistem hak cipta buku, catatan kehadiran siswa, tatacara penulisan teks, tatacara periwayatan, system perbandingan antar teks riwayat dan lain-lain. Itu semua mengharuskan para perawi dan pencatat hadits melakukan penelitian terhadap tulisan-tulisan yang mereka temukan. Hingga kini, studi ilmu hadits memiliki cabang tentang *"rusum at tahdits*" yang menganalisa sistem filologi ilmu hadits sejak abad pertama Hijriyah dan berikutnya (periksa tesis magister Dr. M. Luthfi Fathullah dari University of Jordan tentang filologi hadits). Mau kemana lagi Ulil?

Betulkah studi yang *"non faith based"* lebih unggul? Silahkan ukur sendiri kekayaan intelektual Islam lalu bandingkan. Adakah satu agama melahirkan peradaban lengkap dengan ilmu pengetahuan yang lebih tinggi daripada Islam? Apakah kristen yang menjadi agama kaum " *non faith based*" orientalis itu memiliki sistem setingkat sanad, ilmu tafsir, ushul fiqih dan ilmu kalam? Apakah orientalisme yang telah berusia lebih dari 10 abad itu mampu menghasilkan karya-karya setingkat *Tafsir At-Thabari, Al-Mustashfa, Tarikh Al Umam wal Muluk, Mizaan Al I'tidal, Shahih Bukhari, Ar Risalah, Al Itqaan fii Ulumil Qur'an, Siyar A'laami Nubala', Al Muwafaqaat, Al Muhalla* dan *Ihya'
Ulumuddin *? Adakah sarjana lulusan barat "*non faith based*" melahirkan satu karya setingkat salah satu dari kitab klasik itu? Atau memiliki kualifikasi Ibnu Hazm dan As Syathibi? Adakah diantara mereka yang telah membuktikan keberhasilan sekulerisme dan liberalisme di dunia Islam? Bukannya justru studi pemikiran Barat berhutang pada Islam?

Kenyataannya Ulil yang salah kaprah tentang tradisi Islam. Inikah model studi *"non faith based"* yang dia banggakan itu? Jauh-jauh belajar S2 ke Boston *kok* tidak terpuji, manipulatif, membajak Al Ghazali, Imam Haramain dan yang lainnya dari tradisi Islam. Baru belajar membaca, langsung *'ujub*, mengkritik dan menuduh-nuduh kanan kiri,* kewanen lan* *dumeh*, lupa daratan.

Para ulama tidak ada yang mengatakan Al-Qur'an itu produk budaya, palsu, mengalami distorsi dan perlu direkonstruksi. Tidak ada yang percaya dengan hermeneutika. Tidak ada yang percaya dengan sekulerisme. Tidak ada yang mengatakan semua agama itu benar. Yang benar dan selamat hanya Islam. Tidak ada yang mengingkari kewajiban dakwah, jihad dan amar ma'ruf nahi mungkar. Tidak ada yang mengatakan tuhan semua agama itu sama. Tidak ada yang mengingkari kemaksuman Nabi. Tidak ada yang mengingkari hadits-haditsnya. Tidak ada yang mengingkari syariat. Apalagi sampai mendukung feminisme, memusuhi jilbab, melarang poligami tapi mengizinkan pernikahaan antar agama,
zina, mut'ah, homoseksual dan lesbian.

Imam As Suyuthi tidak pernah mengatakan perlunya Qur'an Edisi Kritis seperti Taufik Adnan Amal. Imam Al-Ghazali tidak pernah mengajarkan pluralisme. Bahkan menurutnya dakwah dan amar ma'ruf nahyi mungkar itu bagian pokok agama ( *ushuluddin*). Imam Al-Haramain menulis wajibnya penguasa menghukum orang yang murtad dan merusak agama. Kalau mereka tidak mau bertaubat, mereka wajib dipancung (lihat lagi bab delapan *Ghiyatsul Umam*).

Para ulama dari semua madzhab Islam melakukan serangan hebat melawan filsafat Yunani, pemikiran, ideologi dan agama di luar Islam. Banyak diantara mereka yang ikut berjihad untuk membela dan menyebarkan Islam seperti Ibnul Mubarak dan Ibnu Taimiyah. Tapi JIL malah mati-matian membela filsafat, hermeneutika, postmodernisme dan apasaja yang datang dari luar.

Sudah banyak usaha orang liberal yang jauh lebih hebat dari Ulil mencari sandaran dari tradisi Islam. Mereka semua gagal. Ulil pun akan mengalami hal sama. Liberalisme-pluralisme adalah ideologi non Islam yang datang dari wilayah kafir. Dia akan selamanya di luar Islam. Tak akan ada akar Islam apapun untuk ideologi ini. Usaha ilmiah apapun tak akan menolong untuk menjajakan ideologi ini atas nama Islam. Kecuali kalau metode yang dipilihnya distorsif-manipulatif-pengelabuan-penipuan. Seperti yang dilakukan Ulil dalam wawancara ini.

*Wallahu Waliyyut Taufiq. Wassalamualaikum.*

Tengah Ramadan 1428H/Akhir September 2007

*) Tanggapan atas wawancara Ade Armando dengan Ulil Abshar Abdala pada Juli
2007 untuk contoh rubrikasi majalah Madina, dipasang di
[EMAIL PROTECTED], [EMAIL PROTECTED],
[EMAIL PROTECTED], [EMAIL PROTECTED] oleh Ade
Armando <[EMAIL PROTECTED]>







On 9/17/07, [EMAIL PROTECTED] <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> .
>
> Rekan-rekan.
>
> Bulan Juli lalu, saya sempat mewawancarai Ulil Abshar untuk keperluan
> edisi contoh majalan Madina yang sedang saya garap bersama Ihsan Ali Fauzi
> dan Farid Gaban.
>
> Majalah edisi contoh itu sudah jadi dan digunakan untuk keperluan terutama
>
> mencari sponsor, iklan dan penyandang dana.
>
> Wawancara dengan Ulil itu niatnya juga akan dimuat dalam edisi perdana.
> Tapi daripada menunggu lama, saya rasa saya 'bocorkan' dulu saja hasil
> wawancara itu pada peserta milis, mengingat isinya menurut saya bagus
> untuk dishare.
> Kami ngobrol terutama soal kenapa harus jauh-jauh belajar Islam di AS.
> Pembicaraan tentu saja berkembang tentang pengamatan dia mengenai
> perkembangan studi Islam di AS.
>
> Berikut saya copykan hasil wawancara itu
>
> ade armando
>
> AA: Anda sekarang melanjutkan studi Islam di AS. Kabarnya Anda memfokuskan
> perhatian pada studi Islam klasik, mengapa?
>
> Ulil: Saya sebetulnya ke Boston University tidak untuk belajar khusus
> tentang pemikiran Islam klasik. Tapi di semester pertama, saya sengaja
> mengikuti sebuah matakuliah tentang Fakhruddin Al-Razi, seorang penafsir
> penting dalam tradisi teologi Asy'ariyah abad ke 13, dari Persia. Saya
> mengikuti kuliah itu karena suka saja, bukan karena diwajibkan. Tapi
> karenanya, saya menjadi harus membaca pemikiran-pemikiran dia.
> Ternyata Al-Razi itu menarik sekali. Dia seorang polemikus ulung yang
> secara terbuka berhadap-hadapan dengan kaum rasionalis, Mu'tazilah. Saya
> belajar tentang bagaimana Al-Razi memanfaatkan bahan-bahan dari filsafat
> Yunani dalam membela argumennya. Saya melihat ada begitu banyak hal dalam
> struktur pemikirannya yang dapat digunakan dalan diskusi modern.
> Karena itulah kemudian saya memutuskan untuk mempelajari lebih dalam Islam
> klasik. Di Boston saya hanya kuliah dua tahun. Ternyata waktu itu pendek
> sekali. Di Harvard nanti, untuk program doctoral saya, saya akan lebih
> jauh mendalami pemikiran-pemikiran Islam klasik ini.
>
> AA: Apa yang penting dari Islam klasik itu?
>
> Ulil: Banyak sekali. Saya belajar bagaimana tokoh-tokoh Islam pada
> zamannya telah menjalani perdebatan tentang banyak isu sceara cerdas yang
> sekarang kembali didiskusikan dengan cara yang kadang terlalu sengit dan
> justru menemui kebuntuan.
>
> Misalnya saja, isu tentang aspek-aspek mana saja dalam Alquran yang bisa
> diubah dan yang tidak. Atau apa kedudukan akal dalam agama, apakah sumber
> kebenaran itu akal atau wahyu? Itu semua adalah isu-isu yang tetap lazim
> dipertentangkan saat ini. Al-Razi sendiri merekam perdebatannya dalam
> sebuah diary perjalanan. Dan kita bisa membaca betapa kaya dan menarik
> perdebatan yang terjadi saat itu.
>
> Saya belajar bahwa bahwa sebenarnya pengkutuban antara kaum Mu'tazillah
> dan Asy'ariyah secara kaku, di mana yang pertama sangat rasional sementara
> yang kedua menolak akal sebagai sumber kebenaran adalah terlalu
> menyederhanakan. Para ahli Asy'ariyah berdebat dengan menggunakan
> argumen-argumen rasional! Al-Razi, misalnya, memiliki banyak formulasi
> menarik.
>
> Kalau saja perdebatan modern diperkaya oleh formulasi-formulasi klasik,
> diskusinya akan lebih hidup, tidak deadlock. Warisan pemikiran para
> sarjana dari abad-abad lalu itu bisa digunakan untuk memformulasikan
> isu-isu modern. Kalau kita tidak menengok ke belakang, kita akan stuck,
> karena tidak akan ada terobosan.
>
> Misalnya soal Al-Ghazali. Sering dianggap dia antifilsafat, membunuh
> filsafat dalam dunia Islam. Saya anggap itu tidak fair. Kalau kita
> pelajari secara mendalam, ada beberapa peninggalan dia yang menarik. Dia
> misalnya sudah membahas soal toleransi dan pluralisme, dengan cara cerdas.
> Dia tidak sekadar mengharamkan atau menutup diskusi. Dia justru
> membukanya. Dia membuat framework dulu. Mula-mula dia definisikan, apa itu
>
> Islam. Jadi dia bertanya: apakah kalau orang tidak mengikuti asy'ariyah,
> atau syiah atau mu'tazilah, maka orang itu menjadi tidak Islam? Kemudian
> dia membuat kerangka empat tingkat keimanan seorang muslim. Dan dia
> simpulkan, bahwa selama seseorang masuk dalam kategori empat tingkat
> tersebut, dia tetap adalah muslim, terlepas dari sekte mana dia berasal.
> Itu, menurut saya, luar biasa. Dia jauh lebih inklusif dari para
> pengagumnya sekarang ini.
>
> Begitu juga soal kebangkitan tubuh di hari akhir. Al Ghazali mengatakan,
> percaya tentang kebangkitan di hari akhir adalah bagian dari definisi
> tentang muslim atau tidak muslim. Tapi dia juga mengajukan empat
> kemungkinan penafsiran tentang kebangkitan -- spiritual, fisikal, mental
> atau imajinatif. Iman kepada kebangkitan di hari akhir dalam empat
> tingkatan itu tetap bisa ditoleransi.
>
> Jadi saya mempelajari bagaimana Al Ghazali mendekati masalah pluralisme
> dengan cara ilmiah dan solid, dengan mendasarkan diri pada tradisi Islam.
> Dia sangat toleran terhadap perbedaan, tidak kaku. Dan sumber-sumber
> argumennya ádalah filsafat. Dia tidak anti filsafat. Dia mengkritik
> filsafat, tapi dia menggunakan filsafat – termasuk Aristóteles – dalam
> seluruh karya pentingnya.
>
> AA: Mengapa terjadi salah penafsiran terhadap orang-orang seperti Al
> Ghazali?
>
> Ulil: Salah satu kendala adalah kita sendiri memblok pemahaman kita. Dulu
> saya juga begitu. Di semester awal, saya masih membawa sikap untuk
> memilih-milih. Kalau ada buku yang kira-kira tidak liberal, saya mau
> mempelajarinya. Misalnya saja, karena saya sudah begitu percaya bahwa Al
> Ghazali antifilasafat, saya jadi tidak mempelajarinya. Ada banyak buku
> yang semula saya nilai sudah pasti tidak mengajarkan apa-apa, ya tidak
> akan saya baca.
>
> Tapi kemudian saya bilang pada diri saya, saya tidak bisa terus begini
> kalau mau belajar secara benar. Saya harus singkirkan blok-blok itu. Baru
> kemudian saya bisa lebih santai membaca buku-buku klasik. Pada saat itulah
> saya menemukan bahwa ada banyak kemungkinan dalam membaca tradisi.
>
> Guru Al Ghazali, misalnya, Al-Haramain, memiliki sikap realistis mengenai
> pemisahaan kekuasaan antara otoritas politik dan agama. Dia sendiri hidup
> dalam sebuah masa di mana kekuasaan spiritual ada di tangan khalifah, yang
>
> misalnya diwujudkan dalam bentuk menjadi imam Shalat Jumat, tapi
> penyelenggaraan kekuasaan sehari-hari berada di tangan panglima perang.
> Al-Haramain menulis risalah berisikan teori politik tentang pemilahan
> tersebut. Saya semula skeptis mengenai dia. Tapi setelah membaca karyanya,
>
> saya melihat dia sangat realistis tentang isu pembagian kekuasaan ini.
> Jadi, bisa dikatakan gagasan tentang sekulerisme pun dikedepankan olehnya.
>
> AA: Kenapa warisan tradisi yang kaya ini tidak sampai ke kelompok muslim
> saat ini.
>
> Ulil: Karena mereka tidak baca. Kedua karena tidak punya kemampuan
> membaca. Untuk membaca karya-karya klasik ini, memang berat. Anda
> berhadapan dengan teks kuno yang mungkin nampak tidak nyambung dgn
> keadaan sekarang. Kalau orang tidak dibekali dengan alat untuk
> menganalisis, sulit sekali untuk memahami substansi teks tersebut. Perlu
> ketabahan sendiri untuk mempelajarinya.
>
> Kalau saya membacanya sebelum saya berangkat ke sana, mungkin teks-teks
> itu pun tidak akan berbunyi apa-apa. Tapi begitu kita membacanya dengan
> kerangka analisis tertentu, menarik sekali. Banyak peminat Islam di
> Indonesia ini tidak memiliki akses ke sumber-sumber klasik ini. Dan
> kalaupun punya, mereka tidak memiliki lensa yang dibutuhkan untuk membaca
> teks-teks tersebut sehingga memiliki makna.
>
> AA: Tapi kenapa ke AS, untuk studi tentang Islam.
>
> Ulil: Saya rasa studi Islam terbaik saat ini ada di Barat. Mereka memiliki
>
> kultur kesarjanaan yang tidak ada dalam dunia Islam. Studi Islam di Barat
> dilakukan tidak atas dasar iman, jadi tidak faith-based. Dan ini menjadi
> justru sumber keunggulan mereka. Karena dengan demikian, mereka bebas
> mengeksplorasi Islam sebagai subjek pengetahuan, tanpa ada beban bahwa
> kajian itu harus sampai pada kesimpulan yang mengkonfirmasi atau menolak
> kebenaran sebuah doktrin.
>
> Saya rasa itu sangat membebaskan banyak hal. Teks menjadi bisa berbunyi
> apa saja.
> Sementara di dunia Islam, yang terjadi sebaliknya. Penelitian dilakukan
> untuk mengkonfirmasi kebenaran sebuah doktrin, sebuah dogma.
>
> Akibatnya studi Islam di Barat tumbuh luar biasa. Para sarjana di sana
> bebas untuk melakukan berbagai eksperimen dengan sejumlah metode.
> Misalnya, dalam studi hadiss. Sejauh-jauhnya seorang sarjana Islam
> meneliti Hadis, dia tidak akan bisa melepaskan diri dari cara pandang yang
> yang bertumpu pada sanad, mata rantai hadis. Jadi seorang sarjana Islam
> akan bertanya: "Apakah mata rantai sumber hadis itu sudah benar? Apakah
> yang meriwayatkan hadis adalah orang baik dan bisa dipercaya?" Kalau
> jawabannya, semua baik, maka hadis tersebut akan dengan sendirinya
> dianggap benar. Akibat kepercayaan akan prinsip sanad tersebut, sarjana
> Islam enggan untuk mempertanyakan kebenaran hadis dari sisi isi-nya, dari
> sisi formulasi redaksionalnya.
>
> Itu yang tidak membebani sarjana Barat. Mereka tidak punya kendala untuk
> memverifikasi, menguji kebenaran hadis dari sisi isi. Sehingga dari
> sarajana-sarjana Baratlah ditemukan bahwa banyak dari hadis yang selama
> ini diterima sebagai benar oleh para ahli fiqih ternyata sebenarnya palsu,
> misalnya untuk mendukung posisi legal dalam perdebatan hukum yang tidak
> mungkin dikatakan Nabi. Kritik semacam ini tidak akan bisa datang dari
> skema sanad yang dipercaya sarjana Muslim.
>
> AA: Tapi yang justru dikuatirkan, tanpa paradigma yang faith-based ini,
> Islam akan dipandang sebagai tidak suci lagi dan akan menjadikan sarjana
> Islam menjauh kebenaran agamanya
>
> Ulil: Itu miskonsepsi. Dalam tradisi ilmiah, tidak ada keyakinan yang
> permanen. Setiap pernyataan ilmiah harus bisa dipertanyakan kembali,
> difalsifikasi. Kesimpulan akan mengalami koreksi terus menerus. Namun
> justru karena itu, kita melihat bahwa dari para sarjana yang melakukan
> studi Islam di Barat, tumbuh sikap yang semakin simpatik pada Islam. Ini
> terjadi karena kesimpulan-kesimpulan studi Islam di masa lalu tidak
> diterima sebagai kesimpulan yang abadi dan terbuka untuk dikritik. Itu
> berbeda dengan studi Islam di dunia Islam, yang kecenderungan umumnya
> adalah melahirkan bukan statement ilmiah tapi statement iman, sehingga
> tidak bisa dikoerksi.
>
> Di Barat, studi Islam memang diawali dengan skeptisisme terhadap Islam.
> Tapi studi itu terus berkembang, menjalani koreksi terus menerus,
> sehingga justru saat ini yang lahir justru sikap yang semakin simpatik
>
> AA:Ada kekhawatiran bahwa para sarjana Islam yang belajar ke Barat akan
> pulang dengan mempertanyakan Islam sendiri.
>
> Ulil: Kita memang harus membedakan antara Islam sebagai iman dan Islam
> sebagai bidang studi. Tapi saya harus katakan, bahkan sarjana klasik Islam
>
> jauh lebih menyadari itu.
> Iman tetap merupakan kerangka besar, tapi mereka tidak dihantui oleh itu.
>
> Misalnya tokoh Islam klasik, Al-Suyuthi. Dia menulis pada abad ke-16 bahwa
> dalam Alquran sebenarnya ada kesalahan gramatik. Ini persoalan besar
> karena bagi orang Islam, Quran adalah sebuah mukjizat literal. Kalau ada
> kesalahan gramatik, bagaimana bisa disebut keajaiban? Kalau ternyata ada
> kesalahan, bagaimana dia bisa disebut sempurna?
>
> Tapi Al-Suyuthi menuliskannya. Dan dalam bukunya, ia menunjukkan ada tiga
> ayat Quran yang mengandung kesalahan gramatik. Jadi ada isi Quran yang
> menyalahi kaidah bahasa Arab. Buku itu jelas menggangu sekali sarjana
> Quran. Tapi toh buku itu diizinkan terbit, tidak dilarang, tidak pernah
> diharamkan di masanya. Ini menunjukkan bahwa dalam khazanah klasik, Islam
> sebagai objek studi dipandang sebagai sesuatu yang relatif independen. Ia
> dilepaskan dari masalah iman atau tidak iman. Buat saya yang terpenting
> bahwa Al-Suyuthi memuat itu dalam bukunya. Yang ternyata sekarang tidak
> dimuat oleh pengkaji Islam modern.
>
> Contoh lain, umat Islam saat ini percaya bahwa jumlah surat Quran itu ada
> 114 dengan susunan yang sudah pasti. Al-Suyuthi menyatakan bahwa
> urut-urutan surat dalam Quran sebenarnya tidak selalu sama. Ada beberapa
> Quran yang dimiliki sahabat yang susunannya berbeda. Bahkan ada dua
> tambahan surat dalam Quran Ibn Mas'ud yang tidak dikenal dalam Quran yang
> kita kenal sekarang. Saya tidak ingin mengangkat kembali debat tentang
> berapa sebenarnya jumlah surat Alquran. Poin terpentingnya adalah studi
> tentang Quran di masa lalu dilakukan secara terbuka dan dihadapi dengan
> biasa saja.
>
> AA: Tapi kesimpulan itu tidak diterima sebagai kesimpulan mainstream
>
> Ulil: Ya para sarjana modern berusaha menghindari dari perdebatan itu
> dengan mengatakan bahwa apa yang dinyatakan Assuyuti tidak reliable, tidak
>
> lulus test. Jadi diskusi lebih lanjut dihentikan karena ditutup dengan
> kesimpulan bahwa buku itu tidak bisa diterima kebenarannya. Mereka
> melindungi orotodoksi agama dengan tidak membicarakannya. Seolah karya
> Al-Suyuthi ini tidak pantas ditelaah, tidak relevan. Padahal ia dikenal
> sebagai ahli hadis.
>
> AA: Bagaimana sikap Anda sendiri?
>
> Ulil Sebetulnya saya tahu sudah lama. Tapi setelah saya membacanya
> kembali, saya shock sekali.
>
> AA: Itu tidak mengurangi keyakinan Anda pada Islam?
>
> Ulil: Tidak mengurangi keyakinan saya pada Quran. Tapi tentu itu mengubah
> cara saya mendekati Quran. Pada akhirnya saya percaya Alquran adalah kitab
> suci. Tapi itu tidak berarti bahwa dia harus terbebas dari kritik atau
> terbebas dari kemungkinan dia bisa dibicarakan secara kritis. Saya
> berkesimpulan, Quran adalah teks yang diimani melalui sebuah proses yang
> memiliki sejarahnya sendiri. Quran bukan teks yang sekali jadi. Quran
> adalah teks yang terbuka,
>
> AA: Dan ada kemungkinan Al-Suyuthi salah...
>
> Ulil: Tentu saja selalu ada kemungkinan itu. Dan itulah baiknya kita
> mendekati objek studi tanpa basis keyakinan, yaitu ini pun bukan
> kesimpulan akhir. Dia memang bukan kesimpulan yang ngarang-ngarang,
> arbitrer, tapi dia juga bukan sesuatu yang mutlak benar sehingga selalu
> harus terbuka untuk kritik. Dia menggunakan data, dan data itu bisa juga
> dipersoalkan.
>
> AA: Jadi sebenarnya tidak ada masalah bahwa Anda berangkat ke Amerika
> dengan keyakinan tertentu, dan di sana Anda akan menemukan data baru yang
> mungkin berbeda dengan apa yang diyakini selama ini ....
>
> Ulil: Tidak ada masalah, dan yang sebaliknya pun terjadi. Mungkin Anda
> berangkat dengan sikap tidak percaya pada Tuhan, atau mungkin agnotistik,
> dan berujung pada simpati. Banyak sekali sarjana Barat yang mempelajari
> Islam dengan skpetistisme yang kadang radikal dan berujung pada simpati
> yang mendalam pada Islam. Salah satu contoh terbaik adalah Annemarie
> Schimmel. Dia tidak pernah menajdi muslim, dan dia memulai perkenalannya
> dengan Islam secara skeptis. Namun kemudian, setelah dia belajar soal
> Islam, dia menjadi sarjana yang sangat bersimpati pada Islam.
>
> Bagi orang Islam seperti saya, belajar Islam dengan cara seperti di Barat
> tidak membawa keruntuhan keyakinan melainkan membuka kita terhadap begitu
> banyak kemungkinan yang didasari studi ilmiah. Saya merasa tidak ada suatu
> ancaman besar terhadap keIslaman saya. Di sini sayapun membaca karya-karya
>
> sarjana yang sangat kasar dan sinis teradap Islam, seperti Why I am Not a
> Muslim dari Ibnu Warraq. Tapi saya merasa tidak terancam, karena saya
> menganggap itu hanyalah studi ilmiah yang dalam kenyataannya juga dibantah
>
> oleh para sarjana Barat lainnya. Itu hanyalah salah satu statement ilmiah
> tentang Islam, tapi bukan satu-satunya. Karena statement itu banyak, maka
> dia saling mengkoreksi.
>
> Karakter kesarjanaan itu yang tidak dipahami banyak orang Islam. Mereka
> memang skeptis, tetapi terus melakukan self-criticism, saling mengkoreksi.
> Mereka terbuka terhadap segala kemungkinan, termasuk mendengarkan suara
> orang Islam.
>
> AA: Tapi memang ada masa dimana studi Islam di Barat justru cenderung
> melihat Islam dalam konteks hubungan penjajah dan yang dijajah
>
> Ulil: Ya, tapi itu sudah hilang, sudah lewat masanya. Orientalisme yang
> sinis terhadap Islam, yang melecehkan Islam, seperti Ernest Renan di
> Prancis di abad 19, sudah tidak lagi.
>
> AA: Tapi bagaimana dengan tuduhan bahwa orientalisme dilatarbelakangi oleh
> hasrat kapitalisme, hasrat penjajahan
>
> Ulil: Salah satu kritik yang paling tajam kan datang dari Edward Said.
> Tapi kritik semacam itu menurut saya tidak fair, dalam banyak hal. Bagi
> para penulis kritis itu, orientalisme adalah alat kontrol yang dipakai
> Barat untuk menguasai Islam. Saya tidak setuju. Saya anggap, hasrat
> mengetahui adalah hasrat inheren dalam diri manusia. Memang hasrat
> mengetahui bisa digunakan untuk menguasai orang lain, tapi itu bukan
> kecenderungan yang intrinsik dalam manusia.
>
> Saya percaya bahwa hasrat mengetahui sebenarnya adalah impuls dasar
> manusia untuk mengetahui segala hal. Penyalahgunaan pengetahuan untuk
> menguasai datang kemudian.
> Bila Anda memandang orientalisme bukan sebagai abstrak, bukan sebagai
> sebuah kategori besar, dan Anda berhadapan orang per orang, Anda akan tiba
>
> pada kesimpulan berbeda. Tidak mungkin kita melihat Annemarie Schimmel
> sebagai orang yang berhasrat menguasai Islam. Mungkin saja ada sebuah
> institusi di luar sana yang memanfaatkan karya Schimmel untuk menguasai,
> tapi itu isu lain.
>
> AA: Tapi tidakkah Anda melihat bahwa tumbuhnya studi tentang Islam yang
> berlangsung di pusat-pusat penelitian, universitas-unversitas Barat ini
> turut dipengaruhi hasrat untuk memahami Islam demi kepentingan ekonomi dan
>
> politik.
>
> Ulil: Oh ya, itu pasti ada, karena bukankah penelitian-penelitian itu
> sebagian dananya datang dari negara? Tetapi hasrat kekuasaan yang datang
> dari luar masyarakat akademis ini tidak akan sepenuhnya dapat
> mengendalikan pengetahuan. Kalaupun pengetahuan hendak diarahkan untuk
> melayani kepentingan tertentu, akan ada pemberontakan. Dan itulah yang
> terjadi dalam studi Islam di Barat saat ini. Kritik-kritik terhadap
> kebijakan luar negeri Bush saat ini datang dari profesor-profesor yang
> mengajarkan Islam di universitas Barat.
>
> Daniel Pipes, seorang ilmuwan AS yang sangat sinis pada Islam, membuat
> sebuah website bernama Campus Watch, untuk antara lain memonitor
> profesor-profesor di AS yang anti Israel dan anti kebijakan AS. Ternyata
> sebagian besar profesor yang masuk kategori itu ada di Departremen of
> Islamic Studies. Dan itu profesor-profesor kulit putih, bukan orang timur
> tengah.
>
> Jadi pengetahuan bisa diselewengkan untuk kepentingan kekuasaan, tapi pada
> akhirnya disiplin ilmu pengetahuan memiliki otonominya sendiri. Dia bisa
> dipakai, tapi pada akhirnya kalau dia diperlakukan semacam itu, dia akan
> memberontak. Kekuasaan punya batas. Studi Islam punya otonomi yang
> non-faith based, yang terus mengkoreksi dirinya sendiri. Dan apa yang
> dihasilkan oleh masyarakat peneliti di sana bukan hanya bermanfaat bagi
> studi Islam tapi juga memberi masukan berharga bagi para policy makers
> dalam memandang dunia Islam.
>
> Saya percaya bahwa kalau ilmu pengetahuan dilepaskan dari beban
> non-ilmiah, termasuk di dalamnya beban iman, maka ia akan membawa
> kemaslahatan yang besar bagi seluruh masyarakat.
>
> AA: Anda berada di sana, Anda tidak melihat semacam konspirasi?
>
> Ulil: Kalau saya duduk di kelas, saya memandang seorang profesor, ... ya
> dia adalah seorang sarjana, ilmuwan yang bekerja dengan data, menggunakan
> teori, berusaha menjelaskan fakta dengan teori-teori tersebut, dan
> kemudian bisa dichallenge oleh siapa saja.
>
> Saat ini semakin banyak orang seperti Esposito, Karen Armstrong yang
> sangat bersimpati pada Islam. Sedemikian banyak, sehingga sekarang terjadi
>
> pendulum balik. Ada kekuatiran bahwa sekarang kok studi Islam maunya
> memuji-muji Islam saja. Kok tidak ada kritik? Ada semacam kerisauan bahwa
> ada sikap berlebihan untuk menjaga political corectness. Seolah-olah kalau
>
> ada mengkiritik Islam, Anda menjadi politically incorrect. Sekarang ini,
> kecenderungan itu dikritik kembali oleh sejumlah sarjana karena dianggap
> mulai tidak sehat. Tapi ya memang begitulah. Iklim pengetahuan di sana
> sangat dinamis -- lari ke kiri kekanan, tapi at the end of the day, dia
> terus mempebaiki dirinya sendiri.
>
> AA: Anda melihat studi di AS menjadi lebih baik daripada Eropa?
>
> Saat ini memang yang terbaik di AS. Banyak sekali sarjana terkemuka Eropa
> pindah ke AS. Baik karena dana riset di AS yang jauh lebih besar, maupun
> karena iklim akademik AS jauh lebih baik. Studi Islam di AS pelan-pelan
> melampaui Eropa. Walaupun masterpiecenya masih di Eropa, peninggalan dari
> masa lalu.
>
> Dan yang berkembang bukan cuma perguruan tinggi yang non-faith based,
> namun juga yang berbasis agama. Saat ini di beberapa tempat, lahir
> sekolah-sekolah tentang Islam yang berbasis agama. Tapi pendekatannya juga
>
> terbuka. Dan ini yang menurut saya juga merupakan pengaruh dari
> studi-studi Islam yang non-faith based tadi.
>
> Kesimpulan-kesimpulan ilmiah yang dilahirkan dan disebarkan lembaga
> pengetahuan akan mengkoreksi keyakinan-keyakinan umat bergama yang
> ternyata tidak memiliki dasar ilmiah.. Corak pemahaman keagamaan Islam di
> AS mau tidak mau memperhitungkan kesimpulan2 ilmiah yang masuk akal.
> Mereka menjadi lebih toleran, lebih terbuka lebih menggunakan akal ...
>
> AA: Interaksi itu turut mengubah corak keberagamaan kaum imigran?
>
> Ulil: Imigran generasi pertama tentu tidak. Tapi anak-anak mereka kan
> bersekolah?. Bahkan sebagian dari mereka mengikuti studi Islam di
> perguruan tinggi. Itu berpengaruh terjadap komunitas Islam. Karena itulah
> saya berharap banyak pada pertumbuhan Islam di Barat. Karena mereka tumbuh
> dalam peradaban yang mewarisi renaissance, maka Islam yang berkembang di
> Barat pasti akan bicara dalam semangat renaissance. Mereka harus
> menginkorporasikan buah pikiran Immanuel Kant, Rosseau; dan tidak bisa
> semata-mata bicara filsafat Al Ghazali, Ibnu Rusy, .. . Saya menunggu
> dengan berdebar2 corak Islam seperti apa yang akan lahir dari peradaban.
>
> AA: Anda sudah melihat lahirnya corak2 baru itu?
>
> Ulil: Ya, itu berlangsung. Sebagai contoh Irshad Mandji. Dia seorang
> wanita muda yang sangat aktif bicara soal Islam, keturunan India berasal
> dari Uganda, cantik, mendirikan sebuah projek bernama projek ijtihad. Dia
> mengaku muslimah tapi sekaligus lesbian. Ini tidak mungkin terjadi di luar
> Amerika. Dia menyuarakan pesan2 Islam, deeply comitted to Islam. Sangat
> konfrontatif. Dia mengkritik keras para ulama. Dia buat acara di televisi
> PBS, berjudul Faith Without fear. Dia membaca Quran dengan cara rasional
> tanpa mengabaikan aspek2 spiritual dalam Islam.
>
> Bahkan di sana sekarang ada komedi muslim. Ada standup comedian yang
> mengkomedikan Islam. Mengejek Islam, tapi juga mengejek cara orang AS
> memandang Islam. Semua disampaikan secara santai ....
>
> AA: Jadi Anda menunggu dengan berdebar-debar dan optimistis?
>
> Ulil: Saya opitmistis, karena infrastruktur yang ada memungkinkan
> lahirnya renaissance dalam Islam. AS berbeda dengan Eropa. Di Eropa kan
> kebanyakan imigran Islamnya adalah pekerja kasar, ekonomi rendah. Di AS,
> kebanyakan kan datang ke AS untuk sekolah. Sebagian memang imigran dari
> masa lalu yang meninggalkan tanah kelahirannya karena situasi politik atau
>
> perang, tapi sekarang kan sudah generasi kedua dan ketiga yang sudah
> sekolah di AS juga.
>
> AA: Anda bicara infrastruktur pendidikan juga,.. perpustakaan?
>
> Ulil: Perpustakaan memang penting. Tapi yang lebih penting adalah
> publikasi. Produksi buku tg Islam di sana luar biasa mengagumkan. Setiap
> bulan terbit buku baru tentang Islam. Ini dimungkinkan karena kultur
> akademik yang baik.
>
> Dalam hal studi Islam misalnya, mereka memiliki bahan-bahan yang dapat
> dieksplorasi secara berkelanjutan. Di Barat, perpustakaan bukan hanya
> menyimpan buku-buku tercetak, tapi juga manuskrip-manuskrip klasik asli
> dalam tulisan tangan yang berabad-abad usianya. Melalui
> manuskrip-manuskrip itulah, lahir berbagai studi verifikasi teks. Dengan
> ketersediaan teks yang berlimpah, para sarjana melakukan studi mengenai
> misalnya, apakah teks ini memang benar ditulis oleh Al Ghazalli; atau
> kalaulah benar, apakah ini ditulis oleh penyalin yang memang berusia dekat
>
> dengan usia Al Ghazalli, apakah penyalinan ditulis dengan lengkap dan utuh
> ..
>
> Dengan demikian, sebuah teks, sebuah manuskrip memiliki sejarahnyan
> sendiri. Teks bisa diuji dengan hukum2 yang objektif. Dan itu kemudian
> berlaku untuk semua teks, termasuk pada Alquran juga.
>
> Studi manuskrip menjadi salah keunggulan Barat. Yang baru belakangan
> dikuti oleh dunia Islam. Dalam hal jumlah manuskrip, perpustakaan besar
> seperti di Princeton University AS, mungkin kalah dari perpustakaan Islam
> di Turki atau Mesir, misalnya. Tapi orang yang bekerja mempelajari,
> memverifikasi manuskrip-manuskrip itu lebih banyak di AS.
>
> AA: Apakah Anda bisa membayangkan studi serupa berkembang di Indonesia.
>
> Ulil: Sebenarnya studi Islam di sini perlahan-lahan berkembang menjadi
> kesarjanaan non-faith based. Tapi tidak bisa sepenuhnya. Beban keimanan
> itu tidak akan bisa hilang. Karena itu saya rasa studi Islam di dunia
> Islam tetap membutuhkan studi Islam di dunia barat. Sebagaimana studi
> Hindu di India tidak bisa melepaskan diri dari komitmen kehinduan.
>
> AA: Anda sudah dua tahun di AS. Bagaimana Anda memandang perkembangan
> Indonesia dari jauh?
>
> Ulil: Satu hal yang saya lihat adalah bahwa sekulerisme itu akan sangat
> dirasakan manfaatnya ketika Anda menjadi minoritas. Ketika Anda mayoritas,
> Anda tidak benar-benar menyadari manfaatnya. Orang2 Islam di AS saya rasa
> pelan-pelan mengakui betapa enaknya hidup dalam sebuah negara yang
> menganut sekulerisme, daripada kalau AS pelan-pelan menjadi negara Kristen
> sebagaimana yang diagendakan kaum Evangelical.
>
> Saya rasa kaum Islam akan mengapresiasi renaissance, persis karena mereka
> di sana. Sekulerisme di AS kan bukan hostile secularism melainkan
> religion-friendly secularism. Karena itu terpaan sekulerisme pada kaum
> Islam sebagai minoritas itu penting sekali. Saat ini kosa-kosa kata yang
> digunakan aktivis Muslim AS sudah kosakata sekuler. Misalnya civil
> liberty, hak-hak sipil. Itu kosakata sekuler. Orang berjenggot Wahabi di
> sana pun menggunakan kata civil rights. Ya, memang pertama-tama mereka
> menggunakan kosakata itu berdasarkan asas manfaat, karena menguntungkan
> kaum muslim minoritas. Tapi perlahan-lahan saya percaya mereka akan
> meyakini itu. Saya mereka akan secara tulus menghayati norma-norma hak
> sipil.
>
> AA: Jadi semakin Anda di AS, Anda semakin sekuler
>
> Ulil: Hmmm saya rasa saya semakin mengapresiasi.
>
--
Sesungguhnya, hanya dengan mengingat Allah, hati akan tenang

No comments: