Monday 20 December 2010

MULTIKULTURALISME: Solusi atau Ancaman bagi Kesetaraan Jender?

Relevansi Multikulturalisme bagi kaum perempuan dan tantangannya

MULTIKULTURALISME: Solusi atau Ancaman bagi Kesetaraan Jender?

oleh Hendar Putranto




Pengantar:
Belakangan ini kita di Indonesia sedang diresahkan oleh persoalan identitas. Entah itu identitas berwajah etnis (suku), ras, agama, jender (lelaki – perempuan), profesi, atau kombinasi di antara sejumlah identitas tersebut, untuk tidak membuatnya menjadi daftar panjang inventaris. Sebagai contohnya, kita lihat saja beraneka macam demonstrasi yang dilangsungkan di Bundaran Hotel Indonesia selama 5-6 tahun belakangan ini. Isu apa saja yang diusung oleh aneka macam kelompok yang berdemo di sana? Pasti tidak jauh dari isu identitas dan pengakuan “publik” (entah dari negara, pemerintah ataupun masyarakat umum) atas identitas yang disuarakannya. Itu baru satu ruang dan lokasi. Padahal, persoalan identitas di satu sisi menjadi wacana publik yang terbuka untuk diperdebatkan, namun juga, di sisi yang lain, diam-diam dan acapkali jauh dari publikasi media-massa, persoalan ini pun sering menjadi gerundelan di kamar tidur pribadi atau buku harian. Diperdebatkan, mungkin karena kondisi hidup kita begitu majemuk (plural), sehingga keanekaragaman suara yang berseru “Ini identitasku! Ini identitas kami!” seolah-olah seperti orang yang berjualan di pasar tradisional menjelang Lebaran, yang berlomba-lomba menarik perhatian orang yang lewat untuk setidaknya menengok barang dagangan mereka, syukur-syukur membeli. Kemajemukan menjadi kondisi hidup bersama yang tidak bisa kita sangkal, dan persis di titik itulah, di antara simpang-siurnya aneka macam politik identitas, identitas perempuan menjadi salah satu perdebatan kunci yang paling kuat disuarakan sekarang. Identitas perempuan menjadi agenda dari mereka yang menyebut dirinya feminis, juga mereka yang berpikiran simpatik terhadap perjuangan kaum feminis. Namun identitas perempuan ini juga bukan identitas yang tunggal, melainkan majemuk. Atau, dengan kata lain, identitas-identitas para perempuan.
Untuk memperjelas duduk persoalannya, dalam paper singkat ini akan coba dipetakan sejumlah hal sebagai berikut: (1) Asal-usul peristilahan multikulturalisme dan sejumlah definisinya, (2) Titik temu antara perjuangan yang diusung multikulturalisme dengan agenda feminis, (3) Kontekstualisasi multikulturalisme di Indonesia dan sejumlah tantangannya. Metode penulisan lebih banyak mengambil dari studi kepustakaan dan laporan atau artikel yang dimuat di surat kabar / jurnal, dengan segala keterbatasan representasi serta akurasinya.

(1) Wacana Multikulturalisme dalam perdebatan
Menurut Bhikhu Parekh [i], seorang pemikir yang mempunyai perhatian mendalam tentang paham multikulturalisme, ada 3 bentuk keragaman budaya yang paling umum dijumpai dalam masyarakat modern, yaitu (1) Keaneka-ragaman sub-budaya (subcultural diversity). Meskipun warga masyarakat sama-sama menganut dan meyakini sebuah kultur yang kurang lebih sama, namun mereka tidak menjalankan keyakinan dan praktek-prakteknya secara sama dalam sejumlah aspek kehidupan yang penting. Yang termasuk golongan ini misalnya: kaum gay dan lesbian, budaya anak muda (youth culture), orang-orang yang mengikuti gaya hidup atau struktur kekeluargaan yang tidak konvensional. Meskipun mungkin terlihat kurang lumrah, namun mereka merasa bahagia dalam menjalankan pola-pola budaya seturut pandangan mereka yang khas ini di dalam sebuah kultur yang dominan. (2) Keanekaragaman perspektif (perspectival diversity). Sejumlah warga masyarakat teramat kritis dalam menyikapi atau menanggapi prinsip-prinsip dan nilai-nilai dari budaya yang dominan dan mereka berupaya untuk menyusun kembali nilai-nilai dan prinsip-prinsip kehidupan tersebut agar menjadi lebih seimbang (tidak berat sebelah dan memberi ruang untuk ‘suara yang lain’). Contohnya, kaum feminis yang mengkritik bias-bias patriarkal yang sudah mengurat akar dalam struktur dan budaya masyarakat di mana mereka hidup. Kaum fundamentalis religius mengkritik orientasi sekuler dari masyarakatnya. Kaum pecinta lingkungan mengkritik pandangan yang terlalu berpusat pada manusia dan mengeksploitasi alam (pandangan antropomorfis dan teknosentris), sementara orang kulit hitam mengkritik bias rasisme. Kelompok-kelompok masyarakat ini tidak bisa disebut subkultur karena mereka mempertanyakan dan menantang pondasi paling dasar dari kultur yang yang eksis sampai saat itu, dan mereka pun bukan komunitas budaya yang khusus yang hidup seturut nilai-nilai dan pandangan-pandangan tertentu tentang dunia yang hanya dianut oleh kelompok mereka dan tidak oleh kelompok lain. Sebaliknya, mereka mengembangkan perspektif yang khas tentang bagaimana kultur bersama itu harus ditata ulang, di-rekonstitusi. (3) Keanekaragaman komunal (communal diversity). Di dalam masyarakat modern juga terdapat sejumlah komunitas yang sadar-diri, yang cukup rapi terorganisasi dan yang percaya sekaligus menghidupi kepercayaan itu lewat praktek-praktek tertentu secara berbeda-beda. Yang termasuk golongan ini adalah kaum imigran yang baru saja datang, sejumlah komunitas yang sudah cukup lama berdiri dan mapan, seperti kaum Yahudi, kaum Gipsi, komunitas-komunitas religius yang beraneka ragam, dan kelompok-kelompok budaya yang dibatasi secara teritorial seperti penduduk asli (adat) sebuah daerah, kelompok Basques di Spanyol, dan Québecois di Kanada. Golongan ketiga ini disebut keragaman komunal.
Jadi, ringkasnya, menurut Parekh, dalam masyarakat modern sekarang ini (contemporary modern society) ada tiga kategori keaneka-ragaman golongan yang hidup dan mewarnai masyarakat, yaitu (1) keanekaragaman subkultur, (2) keanekaragaman perspektif dan (3) keanekaragaman komunal. Masyarakat yang mempunyai ketiga unsur golongan ini dalam komposisinya, dan terutama yang menunjukkan keanekaragaman tipe yang kedua dan ketiga, disebut Parekh sebagai “masyarakat multikultural.” [ii]
Dengan demikian, masyarakat multikultural adalah masyarakat yang mencakup dua atau lebih komunitas budaya seperti dimaksud di kategori ketiga (keanekaragaman komunal). Ada dua model kemungkinan untuk menanggapi kemajemukan budaya ini. Pertama, kemajemukan dipersilakan dan bahkan dirayakan. [iii] Kemajemukan dianggap sentral untuk mengembangkan pemahaman diri baik individu maupun warga masyarakat. Kemajemukan dihormati, tidak hanya lewat tutur kata melainkan juga lewat hukum dan kebijakan yang sengaja dibuat untuk menjamin kemajemukan tersebut. Kedua dengan mengembangkan kebijakan asimilasi, di mana kemajemukan budaya, dengan satu atau lain cara, diupayakan untuk dilebur (diasimilasi) ke dalam budaya yang dominan (mainstream), entah sebagian saja atau seluruhnya. Model tanggapan yang pertama, disebut multikulturalis, sementara model tanggapan yang kedua disebut monokulturalis. Multikulturalitas dengan demikian mengacu pada fakta kemajemukan budaya (cultural plurality) sementara multikulturalisme adalah tanggapan normatif terhadap fakta tersebut [iv].
Multikulturalisme sebagai kebijakan publik yang resmi diberlakukan oleh negara diadopsi sejak tahun 1970 di beberapa negara Eropa dan Amerika (Utara). Kanada mengadopsi multikulturalisme pada tahun 1971, sementara Swedia pada 1975. Secara khusus, secara historis, kita akan mencermati proses bagaimana sampai Kanada mengadopsi kebijakan multikulturalisme ini. [v]
Mengikuti rekomendasi dari the Royal Commission on Bilingualism and Biculturalism, sebuah pemerintahan khusus yang dibentuk sebagai tanggapan atas permintaan minoritas orang Kanada yang berbicara dalam bahasa Perancis (yang terpusat di Provinsi Quebec), Kanada mulai mengakui fakta multikultural dalam masyarakatnya. Laporan dari komisi tersebut menyarankan agar pemerintah Kanada seyogianya mengakui Kanada sebagai masyarakat dua bahasa dan dua kultur (yaitu Inggris dan Perancis) dan wajib menelurkan sejumlah kebijakan untuk melindungi karakter khas ini. Namun “bikulturalisme” (pandangan ‘dua kultur’) diserang dari berbagai penjuru karena dipandang tidak mengakomodasi kekhasan sejumlah kultur lain yang bukan turunan Perancis dan bukan juga turunan Inggris yang populer disebut "Third Force" Canadians. Bikulturalisme tidak sejalan dengan realitas lokal di provinsi-provinsi bagian Barat Kanada, di mana populasi orang Perancis dianggap kecil bila dibandingkan dengan minoritas budaya yang lain.
Maka, untuk mengakomodasi aspirasi ini, rumusan “dua bahasa dan dua kultur (bilingualism and biculturalism) diganti menjadi “dua bahasa dan multikulturalisme” (bilingualism and multiculturalism). Pemerintahan Partai Liberal yang dipimpin oleh Pierre Trudeau kemudian mengusulkan "Kebijakan Multikulturalisme dalam Kerangka Bilingual” ini kepada DPR – nya Kanada pada 8 Oktober 1971. Inilah cikal bakal dari Canadian Multiculturalism Act, yang disetujui dan diberlakukan sebagai hukum positif di Kanada pada 21 Juli 1988. Secara simbolis, legislasi ini mengafirmasi bahwa Kanada adalah sebuah negara-bangsa yang bersifat multikultural, dan negara pertama di dunia yang secara eksplisit meratifikasi kebijakan ini menjadi hukum positif. Di level yang lebih praktis, dana dari pemerintah federal lalu didistribusikan kepada kelompok-kelompok etnis untuk membantu mereka melestarikan kekhasan kultur mereka. Proyek-proyek yang biasa didanai oleh pemerintah federal meliputi, misalnya, kompetisi tari daerah dan pembentukan pusat-pusat komunitas etnis, tempat orang bisa berkumpul dan mendiskusikan kekhasan kekayaan suku / etnis mereka, serta rencana-rencana pelestarian kekhasan itu.
Kebijakan ini, meskipun pada awalnya banyak mendapat sorotan tajam dan kritik dari partai oposisi, ternyata dalam perjalanan waktu dilihat sebagai sesuatu yang positif. Kebijakan multikulturalisme dipandang mendorong ke arah persatuan bangsa lewat meruntuhkan sekat-sekat sosial – budaya antar etnis dan kelompok minoritas. Dengan kata lain, identitas nasional diperkuat dengan cara mengikat warganegara mereka di bawah satu payung komunitas moral yang tunggal. Kebijakan multikultural ditambahkan ke dalam konstitusi Kanada 1982, bagian ke-27 dari Piagam Hak-hak dan Kebebasan Kanada (the Canadian Charter of Rights and Freedoms).
Diane Ravitch, seorang tokoh pendidikan USA dan profesor di New York University's Steinhardt School of Education menggambarkan sifat kebijakan multikulturalisme yang diadopsi Kanada sebagai baik multikulturalisme pluralistik maupun multikulturalisme partikularis. Multikulturalisme pluralistik melihat setiap kultur atau subkultur dalam masyarakat sebagai penyumbang aspek-aspek kultural yang unik dan berharga untuk keseluruhan kultur negara-bangsa. Sementara multikulturalisme partikularis lebih berfokus pada pelestarian kekhasan (distinctions) yang ada di antara beranekaragam kultur.
Pada level praktis, kebijakan multikultural yang diterapkan pemerintah bisa meliputi:
*) pengakuan akan kewarganegaraan jamak (multiple citizenship)
*) dukungan pemerintah atas surat kabar, acara televisi dan siaran radio dalam bahasa-bahasa yang dipakai oleh kaum minoritas.
*) dukungan atas festival, hari libur dan perayaan-perayaan publik lainnya yang diselenggarakan oleh kelompok minoritas.
*) penerimaan atas tidak seragamnya pakaian di sekolah, militer dan masyarakat secara lebih luas atas dasar keunikan tradisi dan agama.
*) mendukung musik dan karya-karya seni yang dibuat dan dipertunjukkan oleh budaya minoritas.
*) membuat program-program yang membuka akses dan kemudahan untuk kaum minoritas merepresentasikan diri mereka dalam politik, pendidikan, dan dunia kerja.
Akan tetapi, meskipun mengadopsi multikulturalisme sebagai kebijakan resmi negara, tidak berarti bahwa pemerintah Kanada tidak mendukung asimilasi struktural. Artinya, kelompok-kelompok minoritas seperti kaum pendatang (imigran) dihimbau untuk berpartisipasi di dalam aktivitas dan kehidupan masyarakat yang lebih luas daripada sekedar tinggal aman dan membangun ghetto (perkampungan eksklusif) mereka sendiri. Kelompok-kelompok minoritas juga dianjurkan untuk mempelajari bahasa Inggris dan/atau Perancis agar bisa berkomunikasi lebih luas lagi dengan saudara-saudara mereka.
Demikian sekilas sejarah perkembangan istilah, sekaligus paham dan kebijakan multikulturalisme dari negeri nun jauh di utara benua Amerika.. Pertanyaannya, apakah semua penggambaran tentang sejarah dan esensi dari multikulturalisme di atas sudah cukup memadai untuk membuatnya layak diterapkan ke dalam konteks negara-bangsa dan lingkup budaya yang lain? Apakah multikulturalisme tidak menyimpan potensi konflik atau problematika ‘gesekan’ antar kelompok? Bagaimana dengan tempat dan peran perempuan dalam model paham (ideology) dan kebijakan multikulturalisme? Apakah multikulturalisme mendukung dan memajukan isu kesetaraan jender serta menghapuskan kekerasan & penindasan terhadap perempuan sebagaimana diperjuangkan kaum feminis di berbagai belahan bumi, atau sebaliknya? Marilah kita melihat secara dekat aplikasi dari multikulturalisme dan problematika teoretis-praxis di lapangan yang muncul sebagai konsekuensi dari penerapan multikulturalisme sebagai sebuah cara menata masyarakat yang semakin majemuk.

(2) Multikulturalisme vs. agenda perjuangan kaum feminis?
Fransisco Budi Hardiman [vi], dalam bagian kata pengantar untuk terjemahan karya Will Kymlicka, mengatakan bahwa persoalan keadilan dan tegangan antara hak-hak asasi manusia (yang menjamin hak-hak dasar seorang individu layak hidup sebagai individu yang bermartabat, dan ini dijamin lewat Deklarasi HAM Universal yang dirumuskan pada 10 Desember 1948) dengan hak-hak kaum minoritas (yang dirumuskan sebagai group rights / hak-hak kelompok dalam terminologi Kymlicka) adalah problematika terbesar utama yang dihadapi oleh perspektif multikulturalisme, baik sebagai kerangka teori yang memadai, maupun dalam hal aplikasi atau penerapannya. Mengutip Charles Taylor dalam Multiculturalism: Examining the Politics of Recognition (1994), Budiman mengatakan bahwa suara-suara tuntutan dari kelompok-kelompok minoritas etnis, seperti kaum Afro-Amerika, Asia-Amerika, Indian, Feminis, dan kelompok-kelompok minoritas lainnya, menyerukan keinginan mereka untuk mendapatkan hak-hak ikut menentukan pengambilan keputusan-keputusan publik, seperti kebijakan sosial dan kurikulum pendidikan sekolah maupun perguruan tinggi. Hak-hak itu disebut hak untuk ‘menentukan diri sendiri’ (self-determination) sebagai sebuah minoritas kultural, dan politik yang diajukan dan diperjuangkan adalah politik pengakuan publik (politics of recognition). Hak-hak penentuan diri dari minoritas kultural ini bila ditarik lebih jauh lagi merupakan tuntutan untuk pengakuan atas identitas kolektif, atas kepentingan kelompok, atas orientasi nilai atau pandangan hidup (Weltanschauung) kelompok. Dan tuntutan atas pengakuan publik ini tidak bertentangan dengan prinsip kesamaan (equality principle)---salah satu prinsip dasar dalam teori politik liberal modern--- melainkan justru terkait erat dengannya, yakni kesamaan dalam pengakuan akan identitas. Sejalan dengan itu, seperti ditegaskan oleh Bhikhu Parekh [vii], kaum perempuan, gay, minoritas budaya dan lain-lain tidak bisa mengekspresikan dan mewujudkan identitas mereka tanpa adanya kebebasan penentuan-diri, iklim yang kondusif untuk keanekaragaman (diversity), peluang dan sumber daya material, pengelolaan dan penataan hukum yang sesuai.
Hak penentuan diri dari masing-masing minoritas etnis atau kultural yang diperjuangkan lewat politik pengakuan publik inilah yang rupanya disoroti secara khusus, dan dibahasakan kembali dalam konteks ke-Indonesia-an dalam sebuah buku yang disunting oleh Hikmat Budiman, Hak Minoritas: Dilema Multikulturalisme di Indonesia (Jakarta: The Interseksi Foundation, Agustus 2005). Dalam buku ini, para penulisnya mencoba mengangkat kegamangan untuk membicarakan dan menerapkan kebijakan multikulturalisme dalam konteks Indonesia. Buku ini membicarakan multikulturalisme dengan pendekatan bottom-up (dari bawah ke atas) alih-alih top-down yaitu mengangkat realitas empiris lima masyarakat minoritas di lima daerah di Indonesia, yakni komunitas Sedulur Sikep (orang Samin) di Jawa, (ditulis oleh M Uzair Fauzan), pemeluk Wetutelu, Wet Semokan, Nusa Tenggara Barat (ditulis oleh Heru Prasetia), masyarakat Dayak Pitap, Kalimantan Selatan (ditulis oleh Riza Bachtiar), masyarakat di Cagar Alam Wana, Morowali, Sulawesi Tengah (ditulis oleh Ignatius Yuli Sudaryanto), dan masyarakat Tanah Toa, Bulu Kumba, Sulawesi Selatan (ditulis oleh Samsurijal Adhan). Pendekatan dari bawah ke atas ini adalah ciri penting dari pendekatan kualitatif yang berupaya membangun suatu model di akhir kajian. Hal ini membedakan dari perbincangan mengenai multikulturalisme dan minoritas yang dimulai dari konsep yang dibawa dari luar untuk menjelaskan realitas di lapangan. [viii] Akan tetapi, persis di bagian akhir buku ini kita lamat-lamat mendengar gema kegamangan yang sama. Ketika kita mau mencoba mengangkat model penerapan multikulturalisme dari bawah, seperti yang diterapkan di salah satu komunitas adat / budaya yang diangkat dalam buku ini, kita bertanya, apakah lalu model itu mungkin dan sah untuk diterapkan di komunitas adat, budaya dan etnis yang lain? Katakanlah misalnya, secara konkret, dalam hal penguatan identitas masyarakat adat Dayak Pitap, khususnya dalam problematika tanah dan kepemilikan atasnya, mereka berpaling kembali pada penguatan lembaga keadatan Lembaga Musyawarah Adat Dayak Pitap, dan “penguatan identitas adat kepitapan.” [ix] Dan garis kebijakan ini pun secara legal prosedural dijamin oleh UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang diperinci lagi lewat peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No. 5 tahun 1999 tentang pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dan PERDA No.15 tahun 2000 tentang lembaga Adat. Betapapun solusi atas problem identitas yang erat terkait dengan pemilikan dan pengelolaan tanah (dan sumber daya-sumber daya alam yang berada di atasnya) dalam hal ini nampak pro-perspektif multikulturalis, namun setidaknya masih menggantung tersembunyi 1 problem besar yang paling tidak bisa dipandang sebagai hipotesis. Apakah penguatan Lembaga Musyawarah Adat Dayak sudah cukup representatif bagi semua warga adat Dayak? Lebih tajam lagi, apakah Tata-Alir Pengambilan Keputusan Barumbuk Masyarakat Adat Dayak Pitap [x] sudah dengan sendirinya menjamin keadilan jender bagi perempuan dalam masyarakat adat Dayak Pitap? Apakah suara perempuan (mungkin saja mereka minoritas dalam Masyarakat Adat Dayak Pitap) terwakili dalam Alur Pengambilan Keputusan Barumbuk Masyarakat Adat Dayak Pitap? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini tidak terungkap dalam esai yang ditulis oleh Riza Bachtiar. Namun, sekurang-kurangnya, penguatan kebijakan yang pro-multikulturalisme, yang dalam hal ini nampak dalam melindungi hak masyarakat Adat, tidak serta-merta menjamin adanya kesetaraan dan keadilan jender bagi perempuan yang tinggal di dalam masyarakat adat tersebut. Bagaimana kita melihat ketegangan antara kebijakan pro-multikulturalisme dan perjuangan kaum feminis akan kesetaraan dan keadilan jender ini secara lebih luas?
Esai dari Susan Moller Okin [xi] berjudul “Is Multiculturalism Bad for Women?” [xii] mencoba menempatkan perspektif multikulturalisme dalam kerangka kritik feminis. Bagi Okin, salah satu implikasi penerapan kebijakan multikulturalis dalam sebuah negara, dengan memberikan hak-hak istimewa kepada kelompok-kelompok budaya minoritas (group rights) bisa memunculkan bahaya baru yaitu pelanggengan struktur dan sistem budaya patriarkal yang menindas perempuan dalam kultur tersebut. Dengan mengambil contoh lintas-budaya, dari Amerika Latin, Asia Selatan dan beberapa wilayah Afrika Barat, Okin menengarai ada 5 praktek kultural yang tidak mengindahkan kesetaraan dan keadilan jender atau yang menempatkan perempuan di bawah kontrol laki-laki, yaitu (1) klitoridektomi (sunat perempuan) (2) perkawinan paksa (di antaranya korban perkosaan yang harus menikahi pemerkosanya) ; (3) pernikahan usia dini (child marriages) (4) sistem perceraian yang bias dan tidak menguntungkan posisi perempuan; (5) poligami.
Secara garis besar, namun tetap menggunakan contoh-contoh yang konkret dan lintas-budaya, Okin mengkritik pendekatan “pemberian hak-hak istimewa bagi kelompok minoritas (etnis, budaya, bangsa) untuk menentukan dirinya sendiri” seperti yang diajukan Kymlicka. Ia mengajukan dua keberatan pokok atas konsepsi multikulturalisme Kymlicka, yaitu: (1) Para pendukung hak-hak kelompok untuk minoritas cenderung memandang kelompok-kelompok budaya secara tunggal (satu dimensi atau monolit) saja. Mereka cenderung memberikan perhatian lebih pada perbedaan di antara kelompok-kelompok budaya yang satu dengan lainnya daripada perbedaan-perbedaan di dalam sebuah kelompok minoritas budaya/etnis. Pengabaian aneka perbedaan di dalam kelompok budaya/etnis ini dengan sendirinya juga mengabaikan fakta bahwa kelompok budaya yang minoritas—seperti juga masyarakat luas tempat kelompok budaya itu hidup dan berinteraksi dengan kelompok-kelompok budaya lainnya--juga menyimpan potensi, atau bahkan cenderung sudah mengaktualisasikan (!), bias atau kekerasan jender. (2) Para pendukung kebijakan hak-hak kelompok minoritas juga cenderung mengabaikan fakta yang terjadi di ranah privat (rumah tangga). Argumen pro kebijakan hak-hak kelompok yang mengatakan bahwa individu membutuhkan “kultur mereka sendiri” di mana di dalam kultur itu barulah orang per orang bisa mengembangkan rasa kepercayaan dan harga diri, serta hak penentuan diri akan hidup baik semacam apa yang mau mereka ikuti, dinilai Okin masih pincang. Argumen semacam ini belum menyertakan pembacaan atas perbedaan peran yang “dipaksakan” (peran yang diciptakan secara sosial-kultural dibuat menjadi seolah-olah alamiah) oleh kelompok terhadap anggota-anggotanya. Argumen ini juga belum menyentuh konteks persoalan “dalam ruang semacam apakah kesadaran orang akan harga diri dan hak penentuan dirinya terbangun dan di manakah kultur itu pertama kali dipelajari dan diwariskan.” Jawaban atas problematika terakhir ini mau menunjuk pada ranah domestik atau hidup keluarga. Dengan tepat Okin membahasakannya seperti ini, “Rumah adalah (tempat) di mana bagian terbesar dari isi budaya itu dipraktekkan, dilestarikan dan dialih-turunkan kepada kaum muda. Distribusi tanggungjawab dan kekuasaan di rumah mempunyai dampak yang cukup besar terhadap siapa yang bisa berpartisipasi di dalam dan mempengaruhi segi publik dari kehidupan budaya. Semakin besar sebuah budaya menuntut atau berharap agar perempuan tetap tinggal dan ‘cukup’ berpartisipasi di dalam ruang domestik, semakin kecil kemungkinan mereka mencapai kesetaraan dengan laki-laki di bidang kehidupan yang lain (yang publik)”
Okin memberi beberapa contoh yang cukup meyakinkan untuk menjelaskan ‘penindasan laki-laki terhadap perempuan’ (baca: praktek-praktek budaya tertentu adalah sarana yang dipakai lelaki untuk mengontrol perempuan) di dalam sebuah budaya minoritas. Misalnya, kasus klitoridektomi yang masih terjadi di negara Pantai Gading dan Togo. Dikatakan bahwa praktek penyunatan klitoris perempuan yang merupakan bagian dari “warisan budaya kami” berfungsi untuk “menjamin keperawanan seorang perempuan sebelum pernikahan dan kesetiaannya setelah menikah dengan membatasi seks hanya sebagai kewajiban pernikahan” dan bahwa “peran seorang perempuan dalam kehidupan adalah merawat anak-anaknya, menjaga kebersihan rumah dan memasak. Jika klitorisnya tidak dipotong, maka ia mungkin akan berpikir tentang mengejar kesenangan dan kepuasan seksualnya sendiri.” [xiii] Juga praktek poligami yang dilakukan oleh imigran dari Mali yang tinggal di Perancis, yang mengatakan bahwa praktek poligami dilakukannya karena “kalau satu istrinya sakit, masih ada yang lain yang merawat dirinya.” Selain itu, praktek pemaksaan (atau setidaknya ditawarkan kepada) perempuan untuk menikahi lelaki yang memperkosanya---yang ditemukan Okin terjadi di sejumlah daerah di Asia Selatan dan Afrika Barat---juga merupakan praktek budaya yang dilegalkan, karena akan memulihkan kehormatan keluarga, sekaligus sebagai kompensasi atas “barang rusak” (si gadis dipandang sebagai cemar dan tak lagi layak untuk dinikahi siapapun).
Lalu, solusi semacam apa yang ditawarkan oleh Okin agar konflik antara agenda perjuangan kaum feminis (di antaranya: memperjuangkan kesetaraan dan keadilan jender dan penghapusan kebijakan atau gugus tindakan atau praktek-praktek yang mendiskriminasikan dan mengorbankan perempuan) tidak bertentangan dengan agenda multikulturalisme? Ada 2 model solusi dari Okin yang bisa saya petakan di sini. Pertama: teoretis – wacana. Kedua: politis – praktis. Dalam hal wacana, Okin menganjurkan agar para pemikir liberal yang mendukung pemberian hak-hak kultural pada kelompok minoritas perlu lebih mencermati ketidakadilan yang terjadi di dalam kelompok-kelompok minoritas yang mereka bela itu. Ketidakadilan itu, secara lebih spesifik lagi, harus dilihat dalam relasi ketidakadilan di antara jenis kelamin yang berbeda (inequalities between the sexes) karena sifatnya yang tidak publik, dan karenanya lebih sulit dikenali (lebih sering tersamar). Dalam hal politik dan kebijakan, Okin menganjurkan agar kebijakan-kebijakan yang diambil oleh negara (sebagai wadah hidup dari aneka macam kelompok minoritas) untuk menanggapi tuntutan dan kebutuhan kelompok minoritas budaya harus melihat apakah kebijakan itu sudah mencerminkan kepentingan dari anggota atau bagian dari kelompok itu yang kurang mempunyai kuasa dan suara (dalam hal ini tentunya Okin bermaksud ‘kaum perempuan’). Dalam hal ini, di dalam lingkup kelompok budaya itu sendiri pun harus bisa mengakomodasi kepentingan dan suara kaum perempuan muda (karena kaum perempuan yang sudah tua cenderung di-kooptasi oleh pemimpin atau tetua kelompok, yang biasanya laki-laki, untuk melanggengkan struktur penindasan dan ketidaksetaraan dalam kelompok itu) dalam menegosiasikan hak-hak kelompok yang diajukan dan diminta untuk diakui secara publik – legal. Itulah dua saran dan rekomendasi yang diajukan Okin untuk ‘mendamaikan’ konflik antara kebijakan multikulturalisme dengan perjuangan agenda kaum feminis.
Sebagai catatan akhir dari bagian kedua ini, kita perlu membaca usulan solusi yang ditawarkan oleh Okin sebagai kerangka kerja teoretis – konseptual yang berguna untuk melihat, membaca dan memetakan sejumlah model dan pola ketidakadilan jender yang juga terjadi dalam masyarakat Indonesia kontemporer yang (tetap) multikultural dan multietnis. Penggambaran lebih lanjut tentang relevansi sekaligus aktualisasi wacana multikulturalisme dan tantangan feminis terhadapnya dalam konteks Indonesia akan kita bahas di bawah ini.

(3) Apa relevansi diskusi tentang multikulturalisme untuk perjuangan agenda kaum feminis di Indonesia?

Setelah membaca sejumlah ketegangan dalam hal penerapan kebijakan multikulturalisme sebagai idea normatif untuk menanggapi fakta kebhinnekaan, dan tantangan dari kaum feminis pada bagian kedua paper, maka pada bagian ketiga paper ini kita diajak kembali untuk bertanya : (1) Secara teoretis, bagaimana agar konsepsi multikulturalisme tidak menjadi sarana pembenaran bagi anarkisme kelompok yang sarat dengan kepentingan-kepentingan khususnya masing-masing yang menuntut privilese dari negara untuk melindunginya? (2) Secara praktis – kontekstual, apakah ketegangan multikulturalisme vs. agenda kaum feminis juga nampak dalam konstelasi politik dan kehidupan budaya masyarakat Indonesia?
Untuk menjawab pertanyaan yang pertama, saya mengajak kita untuk menengok pembahasaan B. Hari Juliawan [xiv], tentang perlunya kita melihat kembali “ideologi politik yang memungkinkan multikulturalisme berfungsi”. Ideologi politik yang dimaksud adalah demokrasi liberal, sebagaimana diusulkan oleh John Rawls [1993], Charles Taylor [1994], Will Kymlicka [1995], dan Bhikhu Parekh [2000]. [xv] Mengapa ideologi politik yang memungkinkan multikulturalisme terjamin kehidupannya dalam sebuah ruang bernama negara-bangsa modern tanpa menjadi anarkisme kelompok-kelompok yang menyuarakan dan menuntut perlakuan berbeda (termasuk privilese) atas dasar perbedaan / ke-minoritas-an mereka adalah demokrasi liberal? Jawabnya, demikian Juliawan, karena “Demokrasi liberal memungkinkan tiap orang untuk mengekspresikan diri secara bebas dan mengejar pemenuhan identitas tanpa khawatir menjadi sasaran penindasan.” Seorang ahli hukum dari Yale University, Amy Chua (2003) [xvi] mengkhawatirkan “demokrasi dan pasar bebas secara niscaya akan memenangkan mayoritas sambil mengeksploitasi minoritas yang kuat secara ekonomi. Bila ini yang terjadi, yang digagalkan adalah prinsip kebebasan mengekspresikan diri karena minoritas di bawah dominasi mayoritas tidak lagi punya kebebasan untuk mewujudkan identitas khususnya. Dalam hal ini, demokrasi harus dijaga ketat sebagai mekanisme yang mempertahankan kebebasan berekspresi, sehingga tidak mengurangi hak tiap individu dan kelompok untuk mewujudkan kekhususannya.”
Oleh karena itu, perspektif multikultural yang bergandengan dengan perjuangan feminis akan berarti sebagai berikut: gerakan kaum perempuan untuk melawan hegemoni negara dan agama dan budaya monolotik / ideologi patriarkal sekaligus ideologi pasar bebas yang cenderung homogen dan tidak menghargai pluralitas kebebasan berekspresi (dalam hal budaya, politik, seni, dll.). Dalam ekspresi budaya seperti seni, tentu saja kita akan melihat lebih banyak lagi warna-warni representasi perempuan, seperti dalam siasat perempuan Tayub, gandrung, perempuan gerwani, perempuan Madura, transformasi tata nilai budhisme, dan aneka representasi perempuan dalam karya sastra Indonesia kontemporer (pasca Orde Baru) [xvii]. Jika sedari tadi kita bergerak di tataran politik – legal dan wacana intelektual tentang konsep multikulturalisme, minoritas, dan agenda perjuangan kaum feminis untuk menggolkan keadilan dan kesetaraan gender, maka mari kita lihat bahwa strategi perlawanan kaum perempuan (tidak harus selalu kaum aktivis feminis, tapi bisa juga perempuan yang sudah tercerahkan, teremansipasi dari struktur penindasan yang biasanya diciptakan dan dilanggengkan oleh kaum laki-laki) juga bisa bergerak di level seni, seperti seni tari, seni arsitektur (seni bangunan), dan susastra. Melani Budianta dalam esainya “Perempuan, Seni Tradisi, dan Subaltern: Pergulatan di Tengah-tengah Lalu Lintas Global-Lokal” [xviii] mengatakan bahwa perempuan dalam pertunjukan seni tradisional Indonesia seperti tandak, ronggeng, tayub mengalami beraneka macam fase negosiasi dan resistensi terhadap kebijakan kebudayaan dan lapis identifikasi yang bertolak dari oposisi biner. Dengan berpijak dari model subaltern Gramsci yang lalu diteruskan oleh Spivak, Budianta mengatakan bahwa tidak selamanya kaum subaltern (dalam hal ini perempuan dalam posisi yang dimarjinalkan dan dibungkam suaranya) berada dalam posisi sebagai korban (viktim) yang menunggu untuk diselamatkan atau diratapi. Lewat proses negosiasi atas oposisi biner antara modernitas >< tradisi, misalnya, “kelompok-kelompok pertunjukan seni tradisi yang menggunakan media dan teknologi modern, meminjam lagu serta mencampur gerak tari dengan apa yang ada di pasar populer, maka dikotomi yang simplistik antara modern dan tradisional tidak dapat lagi bertahan.” Terlebih, pengakuan akan profesionalitas para penari tayub dengan melibatkan para pejabat pemerintahan lokal dalam upacara kelulusan mereka (di mana mereka memperoleh gelar diploma profesional) menandai sebuah model kompromi dengan kebijakan negara dalam mengatur dan menata kebudayaan secara administratif. Dan kompromi ini bisa juga dilihat sebagai sebuah strategi para penari tayub untuk bisa bertahan (survive) di tengah aneka macam subordinasi posisi subjek mereka (dari negara, dari kaum agamawan dan dari kaum modernis). Dengan kata lain, penegasan identitas dan bersuaranya kaum subaltern tidak selalu berlangsung secara konfrontatif, melainkan juga secara negosiatif. Strategi perlawanan tidak harus berupa konfrontasi langsung dan perombakan total (apalagi jika musuh yang dihadapi masih terlalu kuat), tapi bisa juga secara berlapis dan bertahap (progresif), dan itu dimulai, misalnya, dengan langkah kompromi dan negosiasi. Meskipun demikian, di bagian akhir tulisannya, Budianta mewanti-wanti kita untuk tidak terjebak dalam esensialisme subaltern, dengan mengatakan bahwa “Perempuan Indonesia adalah entitas yang heterogen, termasuk perempuan dalam sayap kanan dan sayap kiri, perempuan dalam kelompok yang religius dan sekuler, dengan perspektif tradisional dan liberal. Bangkitnya fundamentalisme, popularitas poligami dan norma-norma konservatif lainnya yang mendapat dukungan dari kelompok-kelompok sipil perempuan dalah fenomena yang harus dihadapi oleh kaum feminis liberal.” [xix]
Untuk menjawab pertanyaan kedua yang diajukan di atas, kita akan melihat bahwa strategi perlawanan perempuan terhadap hegemoni negara dan agama dalam penguasaan ruang publik dan ruang untuk berwacana mengenai perbedaan dan keanekaragaman, yang konsekuensi praktis dari hegemoni ini adalah pembungkaman dan penindasan model baru terhadap perempuan, pada tahun-tahun belakangan ini semakin mengemuka lewat dua kasus kontroversial yaitu pengajuan Rancangan Undang-undang Anti Pornografi dan Anti Porno Aksi (selanjutnya disingkat RUU APP) untuk disahkan menjadi undang-undang, serta kasus poligami. Kita tidak akan masuk ke dalam perdebatan panjang lebar tentang kedua contoh kasus besar ini [xx], namun cukuplah kiranya untuk mengajukan 3 refleksi singkat atas gejala ini:
(1) Secara politis, baik isu RUU APP maupun isu poligami merupakan salah satu dari sejumlah strategi negara (dalam hal ini ‘negara’ direpresentasikan oleh sekelompok kecil anggota partai yang berpandangan agama tertentu dalam lembaga legislatif / DPR) untuk mengalihkan perhatian kaum perempuan dari isu yang lebih urgen untuk dijadikan Undang-undang, seperti Undang-undang Anti-Trafiking dan penerapan serta review atas UU PKDRT (Undang-undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga). [xxi]
(2) Secara budaya, isu RUU APP dan poligami adalah sebuah model homogenisasi budaya dan imperialisme budaya dengan wajah baru, di mana kebhinnekaan berekspresi mau dipangkas, dan kebhinnekaan budaya yang ada di Indonesia mau dijadikan budaya monolit patriarkal yang mengekang sekaligus memasung (kembali) hak perempuan untuk mendefinisikan tubuhnya.
(3) Secara sosial, produk hukum RUU APP menempatkan tubuh perempuan kembali pada dua wilayah yang sama sekali tidak menguntungkan, yaitu wilayah sakral dan dan wilayah profan yang saling bertentangan. Pemisahan wilayah publik dan privat adalah istilah lain yang merupakan refren dari koor modernitas yang bergerak dalam kerangka oposisi biner. Peran sosial perempuan (lagi-lagi) mau dibatasi pada wilayah profan-domestik-privat, dan ini merupakan strategi subordinasi dari kaum subaltern seperti sudah dibahas di atas.
Akan tetapi, 3 refleksi yang bernada pesimis tentang isu RUU AP dan poligami inibisa juga dilihat sebagai momen yang tepat untuk menggalang solidaritas bersama di antara kaum perempuan yang berbeda-beda, dan yang menekankan ‘perbedaan’ dan ‘keanekaragaman pengalaman’ sebagai titik berangkat perjuangan. Pembentukan Aliansi Mawar Putih dan Aliansi Bhineka Tunggal Ika bisa dilihat sebagai starategi politis (betapapaun sementara sifatnya) untuk menanggapi isu kontroversial yang potensial memecah-belah persatuan bangsa. Pembentukan Aliansi semacam ini perlu diapresiasi dan bisa dijadikan model “membangun gerakan solidaritas bersama” di atas kekayaan perbedaan dan keanekaragaman pengalaman. Ketertindasan dan ketidakadilan menjadi kunci utama yang mengikat aliansi-aliansi semacam ini, di hadapan musuh besar bersama, yaitu (1) negara dengan paradigma mengatur dan menyeragamkan perbedaan untuk menjamin (secara semu) stabilitas nasional dan (2) radikalisasi agama, yang mengatasnamakan suara mayoritas untuk membungkam suara-suara kecil subaltern yang jamak dalam hal penafsiran kitab, sekaligus politisasi agama (membawa simbol-simbol agama dan menyerukan klaim-klaim absolutis untuk melanggengkan status quo kekuasaan) dalam ruang publik modern.
Selain persoalan ini, sama menariknya untuk mencermati gejala penguatan isu kesetaraan jender dalam sejumlah masyarakat adat, seperti yang terjadi dalam seminar sehari tentang kedudukan dan peranan perempuan Batak, Selasa 26 September 2006 yang lalu, di Balai Data Kantor Bupati Taput. Saur Sitindaon, Ketua Pengadilan Negeri (PN) Tarutung, salah satu pembicara dalam seminar itu, mengatakan hal berikut “Hukum adat Batak yang tidak menunjang, mendorong kesetaraan dan keadilan gender perlu ditinggalkan karena bertentangan dengan hak azasi manusia. Kedudukan perempuan sangat lemah dibanding laki-laki. Ini suatu indikasi adat Batak diskriminatif terhadap perempuan. Sementara dalam hukum nasional kedudukan seimbang baik dalam hak mau pun kewajiban.” Hukum adat manakah yang dimaksud oleh Sdr. Saur Sitindaon? Ia menyinggung soal pembagian harta warisan yang menurutnya belum selaras dengan ungkapan pepatah Batak ‘Dompak marmeme anak, dompak marmeme boru’ (Kedudukan anak dan perempuan adalah sama). Melihat fakta kasus di pengadilan, terbukti bahwa lebih sering pihak laki-laki lah yang dianggap lebih sah dan berhak menjadi pewaris harta nenek moyangnya. Selain Saur Sitindaon, Wakil Bupati Taput, Drs. Frans A. Sihombing, MM mengatakan bahwa harkat dan martabat perempuan Batak dalam adat Batak amatlah dihargai dan dijunjung tinggi. Ada pepatah yang mengatakan bahwa perempuan adalah penentu suksesnya keluarga (Boru ni raja, Parsonduk Bolon, Sitiop Puro). Selain dua hal ini, representasi perempuan dalam lembaga legislatif tingkat daerah (DPRD) pun masih jauh di bawah yang diharapkan dan diundang-undangkan, karena sudah tercetak stereotip diskriminatif terhadap perempuan di kepala para politisi. Sitindaon menyebut bahwa dari 30 anggota DPRD Taput, hanya dua perempuan yang duduk. Sementara menurut UU No. 12 tahun 2003, perempuan yang menduduki kursi DPRD seharusnya mencapai kuota sampai 30 persen. Mengapa kuota ini tidak tercapai? Menurutnya, hal ini terjadi karena para pimpinan Parpol tidak memberi kesempatan kepada perempuan. “Mereka hanya memberi nomor urut tidak jadi. Kalau kita konsis maka berikan nomor urut pertama. Jadi bukan hanya omongan saja soal gender tapi pelaksanaannya,” demikian tegasnya. [xxii] Dari kutipan singkat artikel ini, kaum perempuan tidak perlu berkecil hati merasa berjuang sendirian dalam memajukan isu-isu multikulturalis sekaligus feminis, karena ternyata ada juga (meskipun secara jumlah mungkin masih relatif kecil) pejabat-pejabat pemerintah yang berpandangan terbuka dan pro kesetaraan dan keadilan jender.
Selain itu, ‘kita’ (yang dimaksud ‘kita’ di paragraf ini bisa dimulai dari kaum feminis yang memperjuangkan isu multikulturalisme dan pluralisme dalam agenda perjuangan mereka, dan orang-orang yang mempunyai perhatian dan kepedulian menyangkut hal pluralisme dan multikulturalisme, para tokoh pendidikan nasional, para guru dan pakar konseling bagi siswa, serta tak ketinggalan para guru di manapun mereka berada) juga bisa mulai belajar untuk memasukkan perspektif multikultural dalam agenda kurikulum pendidikan kita, entah kurikulum dimengerti secara formal, informal, non-formal, maupun kurikulum yang dipahami sebagai panduan atau garis-garis besar pengajaran nasional. Contoh yang diuraikan secara gamblang dan sistematis oleh Jeffery Scott Mio [xxiii] & Gene I. Awakuni [xxiv] dalam Resistance to Multiculturalism: Issues and Interventions (2000) [xxv] bisa menjadi inspirasi bagi kita, para pendidik dan pencerdas kehidupan bangsa, untuk memperkenalkan dan mengkreasi perspektif multikulturalisme dalam sesi bimbingan dan terapi, juga dalam pembelajaran di ruang kelas. Dalam buku ini, Mio dan Awakuni mencoba untuk menerapkan perspektif multikulturalisme dalam ruang kelas yang berkultur tradisi demokrasi Amerika, yang secara khusus didesain untuk membongkar selubung rasisme dan stereotip yang, betapapun Amerika Serikat dianggap sebagai negara yang modern, ternyata masih bercokol dalam benak anak-anak didik karena pengaruh lingkungan sosial-kultural, pengasuhan orang tua, teman-teman sebaya, dan juga dampak dari media-massa khususnya televisi dan surat kabar. Mio dan Awakuni juga menganalisa mengapa isu multikulturalisme kerap mendapat tentangan (resistensi) di level administratif yaitu dari para pembuat dan pendesain kebijakan kurikulum dan staf dosen serta para pengajar di universitas. Salah satu solusi [xxvi] untuk mengatasi bentuk resistensi semacam ini adalah dengan menawarkan penghargaan (rewards) kepada staf dosen bila mereka berhasil memasukkan isu multikulturalisme ke dalam kerangka kurikulum dan pembelajaran nyata mereka di ruang kelas atau menyertakan kesadaran multikulturalis dalam skema pertumbuhan pribadi (bagi konselor) dan lewat kebijakan-kebijakan sekolah / kampus yang dirancang untuk mendorong semua warga sekolah/kampus (karyawan, (maha)siswa, orangtua, dan guru/dosen) secara positif mengapresiasi dan menghendaki tujuan-tujuan dari multikulturalisme itu sendiri. Hanya saja, perlu diberi catatan khusus untuk upaya-upaya ini, terutama catatan dari kaum feminis, yaitu dengan menyertakan program penyadaran akan ketidakadilan jender dalam masyarakat sekaligus upaya-upaya untuk menggolkan kesetaraan jender dalam moda kurikulum yang dirancang. [xxvii] Namun program penyadaran kesetaraan jender ini pun perlu didialogkan dengan program-program lain seperti menguak selubung stereotip dan prasangka etnis, prasangka agama, prasangka budaya dan sub-budaya, isu kesenjangan sosial dan isu keadilan ekonomi, keterbukaan akses terhadap sumber-sumber informasi, dan beraneka macam program lainnya yang berada di bawah payung multikulturalisme yang kurang lebih bisa dirangkum ke dalam slogan ini: “berbeda kita (jadi) terbiasa, dan pasti bisa!”

KESIMPULAN
Isu multikulturalisme, baik sebagai kerangka wacana maupun sebagai agenda praktis perjuangan politik, tidak perlu diperlawankan dengan agenda feminis yang berupaya untuk memajukan kesetaran dan keadilan jender. Meskipun di sana-sini masih nampak adanya ketegangan konseptual dan praktis antara kedua isu besar ini, namun ada satu hal yang saya lihat bisa menjadi kerangka kerja bersama baik bagi kaum multikulturalis maupun bagi kaum feminis, yaitu: kesadaran akan keanekaragaman budaya, bangsa, kepentingan dan suara sekaligus pengakuan bahwa keanekaragaman itu bisa menyumbang pemahaman akan realitas dan gugus tindakan kita menjadi lebih kaya dan kreatif hendaknya bisa menjadi titik pijak untuk menolak model-model homogenisasi, penyeragaman dan penindasan wajah baru yang dilancarkan oleh siapapun aktornya (negara dan aparatusnya, budaya patriarkal yang dominan dengan para sesepuh dan barisan penjaganya, agama dan agamawan, pasar dan korporasi) .

DAFTAR PUSTAKA

Edi Hayat dan Miftahus Surur (editor), Perempuan Multikultural: Negosiasi dan Representasi, Depok: DESANTARA, 2005.
Hikmat Budiman (editor), Hak Minoritas: Dilema Multikulturalisme di Indonesia, Jakarta: The Interseksi Foundation, Agustus 2005.
Jeffery Scott Mio, & Gene I. Awakuni, Resistance to Multiculturalism: Issues and Interventions, Philadelphia, PA: Brunner/Mazel – Taylor & Francis Group, 2000
Paul Kelly (editor), Multiculturalism Reconsidered, Oxford: Polity Press, 2002.
Ten Chin Liew, Multiculturalism and The Value of Diversity, Singapore: Marshall Cavendish Academic, 2004.
Jurnal Perempuan No. 47, Edisi Mengapa Perempuan Menolak (RUU APP)?, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, Mei 2006.
Will Kymlicka, Multicultural Citizenship: A Liberal Theory of Minority Right, New York: Oxford University Press Inc., 1995 (terjemahan ke dalam bahasa Indonesia oleh Edlina Hafmini Eddin dan disunting oleh Widjanarko dan diberi kata pengantar oleh Francisco Budi Hardiman menjadi Kewargaan Multikultural: Teori Liberal mengenai Hak-hak Minoritas, Jakarta: LP3ES, Januari 2003)

Bahan-bahan dari Internet:
http://www.india-seminar.com/1999/484/484%20parekh.htm (What is multiculturalism? by Bhikhu Parekh)
http://www.jai.or.id/jurnal/2002/69/10brt3psu69.pdf (Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural oleh Parsudi Suparlan)
http://www.kenanmalik.com/essays/against_mc.html (Kenan Malik's essay on the problems of multiculturalism)
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0304/04/Bentara/229955.htm (Benturan Peradaban, Multikulturalisme, dan Fungsi Rasio oleh Alois A, Nugroho)
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0601/21/pustaka/2374717.htm (Kegamangan Multikulturalisme di Indonesia oleh Achmad Fedyani Saifuddin)
www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=4474&coid=3&caid=22&gid=1 (Kerangka Multikulturalisme oleh B. Hari Juliawan)
http://www.waspada.co.id/seni_&_budaya/budaya/artikel.php?article_id=44807 (Multikulturalisme dan Agenda Kemanusiaan oleh Yana Syafrie YH)

No comments: