Monday 20 December 2010

NEOLIBERALISME DAN FEMINISASI KEMISKINAN

NEOLIBERALISME dan FEMINISASI KEMISKINAN

oleh Hendar Putranto



Mari sejenak kita memperhatikan dua foto berikut ini:


Kesan-kesan apa yang secara spontan muncul di benak Anda ketika memperhatikan kedua foto di atas? [1] Foto di kiri: Perempuan, gaya hidup jet set, komunikasi canggih, erotis, warna-warni, feminin, fesyen, glamor… Foto di kanan [2]: Kusam, hitam-putih, senyum, kemiskinan, beban perempuan, pekerja kasar, tidak menarik, membuat simpati (belas kasihan), dan seterusnya …
Samar-samar kita menangkap kontras lewat kedua gambar ini. Yang satu berwarna dan nampak ceria, menyenangkan. Yang satu suram dan menyedihkan. Meskipun ada kesamaan dalam kedua gambar itu (kedua-duanya menampilkan wajah perempuan), namun nampak bahwa ada ‘perbedaan tingkat kehidupan dan kesejahteraan’ di antara mereka Gambar pertama nampaknya menampilkan sosok perempuan dari negara maju, yang kebutuhan dasariah hidupnya sudah tercukupi, dan kini mereka bebas mengekspresikan diri dalam kebutuhan hidup yang tidak primer, seperti fesyen, kecantikan dan life-style. Sementara gambar kedua menunjukkan sosok perempuan dari negara berkembang yang masih bergulat dengan ‘lingkaran setan kemiskinan’ yang terkait erat dengan keterbatasan akses terhadap kerja, makan, minum air bersih, dan mungkin juga persoalan tempat tinggal. Jika kedua foto di atas masih belum begitu mencengangkan, saya akan menyodorkan sejumlah fakta tentang kemiskinan (poverty facts and stats) berikut ini [3]:
1. Separuh penduduk dunia --- hampir tiga juta orang--- hidup dengan penghasilan kurang dari 2 dolar Amerika (kurang lebih Rp. 20.000) sehari.
2. Pendapatan Kotor (GDP / Gross Domestic Product) dari 48 negara yang paling miskin di dunia (seperempat dari jumlah seluruh negara yang ada di dunia) masih kurang dari jumlah kekayaan tiga orang terkaya di dunia yang digabung.
3. Memasuki abad ke-21 (tahun 2000 dan seterusnya), hampir satu milyar orang tidak mampu membaca buku atau tanda tangan nama mereka.
4. 51 persen dari 100 lembaga yang terkaya di dunia adalah korporasi.
5. Tabel skala proritas pembelanjaan dunia di bawah ini(data 1998)

Prioritas Global dalam Milyar US $
Kosmetik (hanya di USA) 8
Es Krim (di Eropa) 11
Parfum (di Eropa dan USA) 12
Makanan untuk binatang peliharaan (di Eropa dan USA) 17
Bisnis hiburan (di Jepang ) 35
Rokok (di Eropa) 50
Minuman beralkohol (di Eropa) 105
Perdagangan narkotik di seluruh dunia 400
Belanja militer di seluruh dunia 780
6. Bandingkan tabel pembelanjaan di atas dengan biaya untuk melakukan pelayanan sosial yang paling dasar (basic social services) di negara-negara berkembang berikut ini:
Prioritas Global dalam Milyar US $
Pendidikan dasar untuk semua 6
Air bersih dan sanitasi untuk semua 9
Pelayanan kesehatan reproduksi untuk semua perempuan 12
Penyediaan gizi dan pelayanan kesehatan dasar 13

Ada apa atau apa yang terjadi di belakang semua foto dan fakta tadi? Di mana letak akar-akar persoalan dari semua fakta kemiskinan berikut? Siapa yang paling tertindas dari problem kemiskinan? Lalu kita mau apa setelah melihat fakta-fakta berikut di atas? Itulah yang akan coba dipaparkan secara singkat dalam paper ini, yaitu keterkaitan dan ketegangan antara ideologi neoliberalisme dengan fakta feminisasi kemiskinan, serta upaya-upaya mengatasinya.

( I) NEOLIBERALISME dan ancaman atas makna hidup bersama

Secara garis besar, Neoliberalisme bisa dimengerti sebagai praksis kebijakan ekonomi, maupun sebagai filsafat atau teori ekonomi-politik (ideologi). Sebagai filsafat, Neoliberalisme adalah filsafat di mana eksistensi dan operasi pasar bernilai pada dirinya sendiri, yang terlepas dari relasi produksi barang dan jasa, atau upaya untuk membenarkan mereka berdasarkan dampak terhadap relasi produksi barang dan jasa tersebut; dan operasi pasar atau yang berstruktur mirip pasar dilihat sebagai etika pada dirinya sendiri, artinya pasar bisa menjadi panduan untuk hidup yang baik dan tindakan yang baik, dan pandangan ini berupaya untuk menggantikan semua kerangka etis yang lain. Sebagai praksis kebijakan ekonomi, neoliberalisme adalah kebijakan ekonomi berhaluan baru yang baru mulai berkembang sejak era 1970-an, yang berbeda dari liberalisme klasik. Bedanya di mana? Dalam bentuknya yang paling keras, neoliberalisme adalah ideologi ekonomi yang berpusat pada kerangka acuan perdagangan dan pasar bebas serta bisnis yang berekspansi dalam skala global berkat jasa kondisi-kondisi bernama globalisasi. Cita-cita mulia dari perdagangan dan pasar bebas ini adalah kesejahteraan sosial, politik dan ekonomi yang semakin besar untuk seluruh umat manusia. Sebagai konsekuensi dari paham perdagangan bebas, intervensi negara yang berlebihan, pajak dan aturan-aturan yang menghambat kelancaran arus perdagangan antar-negara harus sesegera mungkin disingkirkan, karena pasarlah, bukan negara, yang paling tahu apa yang terbaik untuk hidup manusia. Ringkasnya: sebagai kebijakan ekonomi, ada 3 mantra dari neoliberalisme, yaitu: deregulasi, privatisasi dan liberalisasi.
Elizabeth Martinez and Arnoldo García mengggambarkan Neo-liberalism sebagai seperangkat kebijakan ekonomi yang tersebar luas ke seluruh dunia selama 25 tahun terakhir ini, karena ‘dipaksakan’ oleh lembaga-lembaga keuangan berskala internasional seperti IMF, Bank Dunia dan yang salah satu dampak pokoknya adalah “yang kaya bertambah kaya, yang miskin bertambah miskin” Sebagai ideologi, paham neoliberalisme merasuk tidak hanya ke dalam kebijakan ekonomi negara atau antar-negara, namun juga dalam level kesadaran manusia sehari-hari, manusia adalah melulu manusia ekonomi (homo oeconomicus), bukan lagi manusia multi-dimensi seperti manusia politis / sosial (zoon politicon), manusia yang berakal-budi (animal rationale) atau yang mampu berpikir (homo sapiens) atau manusia yang terlibat dalam proses pemaknaan dalam bentuk simbol-simbol (animal symbolicum, homo significans). Dalam prakteknya, manusia homo oeconomicus memandang dan memperlakukan sesamanya sebagai “sarana untuk mencapai tujuan” (bukan “tujuan pada dirinya sendiri”) dan tujuan itu adalah keuntungan (profit) material-ekonomis. Jika neolib mencetak manusia-manusia yang seperti ini (homo oeconomicus), sudah jelas dengan sendirinya bahwa manusia menjadi egois dan hanya memikirkan kepentingan dirinya sendiri, mengumpulkan keuntungan sebanyak-banyaknya untuk dirinya sendiri, dan kalaupun ada orang lain, orang lain itu diperalatnya untuk memenuhi kebutuhannya sendiri (di mana kebutuhan-kebutuhan itu tidak akan pernah tercukupi selama manusia masih tinggal di dunia ini). Hidup bersama dalam masyarakat dan kebaikan bersama (bonum communae), hidup yang saling menopang dan menolong, yang kuat / lebih cukup membantu yang lemah dan berkekurangan, lalu menjadi terancam, untuk tidak mengatakan “punah”.

(II) Feminisasi Kemiskinan dan marjinalisasi perempuan dalam tatanan neoliberalisme

Feminisasi kemiskinan sebagai gejala sosial kemasyarakatan sudah mulai diamati dan didiskusikan dalam lingkup akademis dan aktivis sejak periode 1970-an. Gejala itu tampak dengan jelas dalam konteks masyarakat Amerika Serikat (USA) yang ditandai dengan semakin bertambahnya jumlah perempuan yang menjadi kepala rumah tangga (female household) dan mereka hidup di bawah garis kemiskinan. Sebagian besar dari perempuan yang menjadi kepala rumah tangga ini adalah mereka yang bercerai atau para ibu yang sama sekali tidak pernah menikah (tapi mempunyai anak). Pada tahun 2000, 11% dari jumlah keluarga di Amerika (USA) hidup dalam kemiskinan, dan dari 11% keluarga ini, 28% nya dikepalai oleh perempuan. Beban untuk menopang hidup keluarga dirasa amat berat bagi ibu yang berperan sebagai orangtua tunggal (single mothers) karena rendahnya upah yang erat terkait dengan pengalaman kerja yang minim dan rendahnya tingkat pendidikan. Diberlakukannya undang-undang yang mengesahkan perceraian, budaya “kumpul kebo” tanpa ikatan dan komitmen perkawinan, dan adanya dukungan dari baik lembaga publik maupun privat untuk menopang kehidupan para orangtua tunggal, semakin mempertinggi ratio feminisasi kemiskinan. Di USA, perceraian termasuk faktor pokok yang menyebabkan kebangkrutan ekonomi keluarga-keluarga.
Sara S. McLanahan dan Erin L. Kelly [4] dalam “The Feminization of Poverty: Past and Future” mengatakan bahwa istilah feminization of poverty mengundang kita untuk memfokuskan perhatian kita pada dua hal pokok, yaitu (1) adanya perbedaan seks dalam tingkat kemiskinan (sex differences in poverty rates) dan (2) fakta no (1) ini terus meningkat selama tiga dasawarsa terakhir (1970-an sampai 2000). Feminisasi dimengerti sebagai penggambaran atas kondisi ketidaksamaan tingkat kemiskinan antara lelaki dan perempuan dan proses-proses yang terkait yang menyebabkan resiko perempuan untuk hidup di bawah garis kemiskinan menjadi lebih tinggi daripada resiko yang harus ditanggung lelaki. Sebagai kesimpulan dari penelitian mereka, disebutkan bahwa di negara maju (USA), perubahan dalam tingkat kemiskinan dan perbedaan seks dalam kemiskinan terjadi selama dua periode besar, yaitu antara 1950 s/d 1970 dan dari 1970 s/d 1996. Beberapa dekade setelah Perang Dunia II, tingkat kemiskinan menurun drastis. Hal ini dikarenakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, termasuk meningkatnya upah, dan kebijakan proteksi dari pemerintah Amerika, termasuk Jaminan Sosial (Social Security) dan program-program peningkatan kesejahteraan. Namun, herannya, tingkat kemiskinan yang menurun ini diikuti dengan kenaikan rasio kemiskinan berdasarkan jenis kelamin (sex-poverty ratio). Artinya, ada ketidaksamaan tingkat kemiskinan yang dialami lelaki dan perempuan. Ada beberapa penyebab, yaitu: (1) pertumbuhan ekonomi, pembukaan lapangan kerja baru, dan kenaikan upah, lwbih menguntungkan laki-laki daripada perempuan, karena laki-laki lebih dekat dan lebih terbuka aksesnya untuk masuk ke dalam lapangan kerja, daripada perempuan. (2) perubahan dalam struktur keluarga lebih berat dampaknya bagi perempuan dariapda bagi laki-laki karena perempuan memikul beban tanggungjawab pengasuhan yang lebih besar atas anak-anak mereka di dalam keluarga-keluarga yang orangtuanya bercerai atau berpisah atau tidak diikat dalam perkawinan.
Itu gejala “feminisasi kemiskinan” yang terjadi di negara maju. Bagaimana dengan kemiskinan perempuan di negara-negara berkembang, bahkan negara miskin? Seorang jurnalis kenamaan asal Inggris bernama Paul Harrison yang banyak meliput di negara-negara miskin seperti di Afrika, Asia dan Amerika Latin, sudah sejak 1981 mengatakan dalam bukunya Inside The Third World bahwa

“Nasib para perempuan di Dunia Ketiga amatlah menyedihkan. Di Kenya, mungkin separuh dari rumah tangga di wilayah pinggiran dikepalai oleh perempuan. Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk, dan kepemilikan tanah yang makin menyusut, banyak lelaki yang bermigrasi ke kota besar untuk mencari pekerjaan, dan mereka meninggalkan istri-istri mereka di kampung untuk mengurusi ladang dan keluarga. Perempuan seperti Rachel Mwangene (umur 34) harus berjuang keras sendirian dengan satu rumah, empat anak, tiga sapi, tujuh kambing, satu domba dan dua hektar lahan pertanian. Suaminya buruh kasar di kota Mombasa dan ia hanya memperoleh upah 300 shillings (kurang lebih Rp. 60,000) per bulan (kurs tahun 1981), dan itupun yang dibawa pulang suaminya ke rumah kurang dari 50 shillings (Rp. 10,000), karena mungkin yang lainnya sudah habis untuk biaya sewa tempat tinggal, makanan, transport, dan mungkin saja anggur serta perempuan.”

Melihat contoh kasus nyata semacam ini, tidak heran kalau Harrison menyimpulkan “Kaum perempuan adalah yang termiskin dari yang paling miskin. Mereka ditindas oleh ketidakadilan nasional dan internasional, dan sistem keluarga yang memberikan akses pada suami, ayah dan saudara laki-laki untuk mencambuki mereka. Perkembangan ekonomi lebih menguntungkan lelaki miskin, tetapi tidak untuk. kaum perempuan. Karena ketidakadilan dan eksploitasi terjadi baik di dalam keluarga sendiri maupun di antara keluarga-keluarga. Kaum lelakilah yang menikmati privilese yang lebih besar, sementara kaum perempuan yang harus memikul beban yang lebih banyak. Ringkasnya: ada ketidakadilan dalam distribusi kekuasaan, sumber daya dan tanggungjawab antara lelaki dan perempuan. Ketidakadilan ini lalu dilegitimasi oleh tradisi warisan nenek-moyang, disosialisasikan dan akhirnya membentuk sikap perempuan yang pasif, yang acapkali lalu dibakukan dalam hukum, dan kalau perlu dipaksakan oleh lelaki dengan tindak kekerasan. [5]
Persoalannya sekarang adalah bagaimana mengukur problem kemiskinan dari kacamata feminis? Pada umumnya disepakati bahwa pendekatan feminis terhadap problem kemiskinan berfokus pada implikasi jender dan harga sosial dari kemiskinan itu sendiri, yang meliputi semakin meningkatnya jumlah perempuan dan anak-anak yang terlibat atau “nyemplung” dalam ekonomi sektor informal; perbedaan perlakuan terhadap anak laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga; tekanan sosial masyarakat agar anak gadis cepat-cepat menikah dan bersuami di balik asumsi tak berdasar “yang penting cepat laku dan tidak jadi perawan tua”; tingginya tingkat drop-out (keluar dari sekolah sebelum waktunya) bagi anak perempuan; kurangnya pemahaman yang tepat dan kontrol soal kesuburan perempuan; dan pilihan ‘tak bebas’ untuk masuk ke dunia prostitusi. Secara khusus dan lebih terukur, seorang feminis dan aktivis dari Zambia, Sara Longwe [6], mengembangkan KPP atau Kerangka Pemberdayaan Perempuan (Longwe Framework for Gender Analysis) untuk menganalisa kemiskinan dari perspektif analisa jender, yang meliputi 5 hal yang saling terkait, yaitu [7]: (1) Kesejahteraan. Batasan untuk menganalisa aspek kesejahteraan, adalah mengenai suplai makanan, pendapatan dan perawatan kesehatan; (2) Akses. Batasan untuk menganalisa aspek akses, adalah mengenai akses yang sama ke lahan/tanah, pekerjaan, penghargaan, pelatihan, dan akses fasilitas lainnya. (3) Penyadaran / Kesadaran (Konsientisasi). Batasan untuk menganalisa aspek kesadaran, adalah mengenai pemahaman mayarakat tentang perbedaan sex dan gender, kepercayaan terhadap pembagian kerja secara seksual. (4) Partisipasi. Batasan untuk menganalisa aspek partisipasi, adalah mengenai partisipasi perempuan yang setara dalam proses pembuatan keputusan, pembuatan kebijakan, perencanaan hingga evaluasi. (5) Kontrol. Batasan untuk menganalisa aspek partisipasi, adalah mengenai persamaan kontrol, suatu keseimbangan kontrol antara laki-laki dan perempuan (tidak ada salah satu pihak yang lebih dominan dalam kontrol). [8]
Dr. Sarah Bradshaw memberikan pandangan lain untuk menganalisa kemiskinan dari perspektif jender, dalam tulisannya “Poverty: An Analysis from the Gender Perspective.” [9] Ia memberikan 4 poin pokok sebab-sebab kemiskinan, yaitu:
(1) Pendapatan tidak mencukupi dan produktivitas minim.
(2) Faktor-faktor sosio-politis : Lemahnya kekuasaan untuk melakukan tawar-menawar dalam sistem pasar yang sekarang; lemahnya sistem politik; ketergantungan ekonomi (kepada laki-laki) yang terus dilestarikan secara budaya dan secara politis.
(3) Ketidaksetaraan : Pembatasan dan keterbatasan akses terhadap kebutuhan pokok hidup (tidak hanya sandang pangan dan papan, tapi juga pendidikan dan kesehatan)
(4) Ketidaksamaan dalam rumah tangga yang berdampak buruk bagi perempuan.
Akan tetapi keempat faktor ini masih harus dipertajam lagi dengan menyertakan sebab-sebab kemiskinan yang dialami oleh perempuan, yaitu:
1. Perempuan mempunyai kesempatan yang lebih kecil untuk memperoleh keuntungan dari pekerjaan yang ada sekarang karena tanggungjawab eksklusif yang sering diminta dari mereka yaitu pengasuhan anak, dan pemusatan pekerjaan mereka di sektor-sektor informal (unregulated sector).
2. Kalaupun perempuan mendapatkan penghasilan, lebih sulit bagi mereka untuk menentukan sendiri mau diapakan uang yang mereka peroleh itu, mengingat kemampuan membuat keputusan amat dipengaruhi oleh tingkat independensi dan kerangka nilai yang membentuk mereka.
3. Pada umumnya, ketika perempuan harus mengambil keputusan, mereka tidak menyejahterakan diri mereka sendiri namun lebih memikirkan kesejahteraan keluarga mereka – hal ini jauh mengakar dalam pandangan masyarakat / ekspektasi masyarakat terhadap perempuan, yaitu bersikap altruistik, ngalah dan mengutamakan memikirkan orang lain daripada diri sendiri.
Sementara itu, menurut Valentine M. Moghadam [10], ada 3 faktor kunci untuk menelaah feminisasi kemiskinan di seluruh dunia, yaitu: (1) meningkatnya jumlah perempuan yang menjadi kepala rumah tangga (the growth of female-headed households), (2) ketidaksetaraan dan penindasan terhadap perempuan, baik ibu maupun gadis, yang terjadi di dalam maupun lintas-rumah tangga, dan (3) kebijakan ekonomi neoliberal, yang meliputi penyesuaian struktural (structural adjustments), dan pemujaan pasar. Akar kemiskinan yang dialami kaum perempuan meliputi 3 gal, yaitu tren kependudukan, pola-pola ‘budaya’ dan ekonomi politik. Dalam penelitiannya, Moghadam membuktikan bahwa status ekonomi dari rumah-tangga yang dikepalai oleh perempuan ditentukan baik oleh kebijakan sosial yang diberlakukan oleh pemerintah / rezim setempat, maupun keterbatasan akses perempuan terhadap pekerjaan dan hak milik pribadi (properti). Selain itu, Moghadam melihat bahwa program restrukturisasi yang dikampanyekan dan didesakkan oleh neoliberalisme berdampak amat kejam terhadap nasib perempuan. Tegasnya, perempuan menempati posisi yang kurang beruntung dalam tatanan ekonomi-politik yang ada sekarang ini, terlebih di negara-negara berkembang seperti di India dan Indonesia.
Mengapa bisa terjadi demikian? Jika kemiskinan pertama-tama dilihat sebagai penyangkalan terhadap hak-hak asasi manusia (HAM), akan segera terlihat bahwa perempuan miskin menderita dua kali lipat (double burden). Pertama karena alasan ketidaksetaraan gender (gender inequalities). Kedua karena kemiskinan itu sendiri. Dalam pembahasaan yang lebih mengena, beban ganda perempuan yang dilihat dalam kerangka ketidakadilan gender dimengerti sebagai “beban perempuan untuk bertanggungjawab atas pekerjaan-pekerjaan kerumahtanggaan (domestik) dam bekerja keluar rumah (sektor publik) untuk mencari nafkah guna memenuhi kebutuhan keluarganya. Belum ditambah jika perempuan masih harus mengemban tugas dan tanggungjawab sosial di lingkungan tempat tinggalnya seperti jika ada tetangga yang meninggal atau menikah. Oleh karena itu, program-program untuk menghapuskan kemiskinan harus menyertakan analisa atas persoalan ketidaksamaan gender sekaligus hak-hak kaum perempuan.

(III) Keterkaitan antara Neoliberalisme dan Feminisasi Kemiskinan
Setelah membahas secara ringkas baik tentang paham / ideologi Neoliberalisme maupun feminisasi kemiskinan secara terpisah, maka baik kiranya jika pada bagian ini kita mencari titik ketegangan sekaligus persinggungan di antara keduanya.
Jika Neoliberalisme dipahami sebagai pemujaan pasar bebas, maka globalisasi adalah kondisi yang mempercepat ketersebarannya. Kerangka nilai yang dianut oleh neoliberalisme adalah pemerolehan keuntungan yang sebesar-besarnya dengan biaya (cost) dan resiko (risk) sekecil-kecilnya, dan sebisa mungkin hal ini dicapai lewat “intervensi minimum negara” (negara tidak ikut campur tangan membatasi kinerja pasar). Untuk mencapai hal ini, terhadap negara, korporasi-korporasi multi-nasional/ trans-nasional yang menjadi aktor sejarah di balik ideologi neoliberalisme meminta negara untuk mengakomodasi 3 langkah kebijakan ini, yaitu: deregulasi, privatisasi, dan liberalisasi perdagangan (free trade). Itu baru soal ekonomi. Bagaimana dengan ranah-ranah kehidupan publik lainnya? Apa dampak dari ideologi ini? Neolib dikambinghitamkan sebagai penyebab utama terciptanya gap yang semakin melebar antara “yang kaya” dan “yang miskin” di dunia ini, karena pembatasan macam-macam akses terhadap “barang publik”, seperti kesehatan, pendidikan, air minum, listrik, telekomunikasi dan transportasi. Bahkan, lebih jauh lagi, barang publik yang tadinya begitu mudah dan murah diakses orang banyak (berkat peran ‘negara kesejahteraan’), oleh neolib dijadikan komoditi, sehingga hanya yang mampu membayar sajalah yang mendapatkannya. Secara budaya, langkah ini semakin diperparah dengan komodifikasi hasil-hasil ekspresi budaya, di mana homogenisasi dan masifikasi produk (untuk memenuhi standar internasional lewat uji kelayakan untuk memperoleh sertifikasi seperti ISO) membuat ragam perbedaan dipangkas dan kebhinnekaan ditebas. Dan lebih lanjut lagi, secara legal, barang-barang dan pengetahuan tradisional yang tadinya kita yang menjadi empunya (misalnya: pengetahuan tentang obat-obatan tradisional, jamu, dll.) sekarang diklaim menjadi milik “orang atau badan / lembaga yang pertama yang mematenkannya.” Jelas kita ketinggalan jauh dalam akses-akses legal semacam ini karena piranti hukum kita masih jauh dari memadai dan canggih untuk menampung “aturan main” yang menguntungkan pihak-pihak yang sudah lebih dulu dan lebih terbiasa dengan “aturan main” paten-mematenkan tersebut.
Sementara itu, feminisasi kemiskinan pertama-tama dipahami sebagai tren meningkatnya rumahtangga yang dikepalai oleh perempuan (female household), karena macam-macam faktor, seperti perang / konflik bersenjata (laki-laki pergi berperang, mati dan meninggalkan janda-janda yang harus menghidupi keluarganya), minimnya lapangan pekerjaan di desa / kampung asal sehingga laki-laki pergi ke kota-kota besar meninggalkan perempuan mengurusi semuanya, dan pandangan tradisional-kultural, yang mengharapkan perempuan berperan utama sebagai pihak yang mengasuh dan membesarkan anak sehingga akses pada pendidikan yang lebih tinggi (higher education) menjadi lebih terbatas bagi perempuan daripada bagi laki-laki. Feminisasi kemiskinan yang kedua menyangkut “beban ganda perempuan” seperti sudah dijelaskan di atas, dan itu terlebih parah dirasakan dampaknya di negara berkembang.
Melihat dua pokok kajian ini, kita bisa menarik kesimpulan bahwa program-program kebijakan ekonomi yang dikampanyekan neoliberalisme lewat lembaga-lembaga keuangan berskala internasional (WTO, Bank Dunia, IMF, dll), dan korporasi-korporasi lintas-negara (MNC’s dan TNC’s), terutama lewat 3 paket kebijakan: deregulasi, privatisasi dan liberalisasi, memperlemah posisi tawar negara dalam menentukan arah kebijakan ekonominya sendiri, termasuk soal jaminan kesejahteraan dan proteksi terhadap aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh rakyat kecil. Jika kebijakan ekonomi negara terus didikte oleh para kampiun neolib, tentu dampaknya tidak hanya dirasakan oleh bapak presiden dan menteri keuangan. Dampak akan paling terasa di level akar-rumput. Dan persis di level-akar rumput inilah, feminisasi kemiskinan terjadi secara mengerikan. Lagi-lagi perempuan, yang sudah dilemahkan secara sosial-budaya lewat pembatasan akses (lihat poin dari KPP versi Longwe), akan lebih diperlemah lagi secara ekonomi-politis lewat kebijakan-kebijakan negara yang didikte oleh para kampiun Neolib. Pemberdayaan perempuan bukanlah agenda utama dari neoliberalisme, karenanya, neoliberalisme yang melulu mengejar profit dan maksimalisasi keuntungan, jelas-jelas mengancam kedaulatan perempuan dalam bidang sosial-ekonomi, dalam hal pembagian kerja yang adil dalam keluarga dan dalam struktur sosial-publik, serta atas tubuhnya sendiri. Minimnya peran perempuan dan mereka yang berperspektif perempuan (yaitu keadilan dan kesetaraan jender) dalam ikut menentukan regulasi dan kebijakan ekonomi skala lokal-nasional akan berdampak buruk terhadap kelangsungan hidup perempuan. Lalu, apa jalan keluar yang mungkin?

(IV) Bagaimana solusinya?
Ada beberapa solusi yang bisa saya tarik dari pemaparan fakta dan logika neoliberalisme serta feminisasi kemiskinan di atas, yaitu:
1. Pada level paradigma: feminisme mengakui keberbedaan dan keragaman pengalaman perempuan, sementara neoliberalisme dengan homogenisasi, standardisasi dan pemujaan pasar bebas serta homo economicus sebagai satu-satunya tolok ukur hakikat manusia, cenderung menyeragamkan keberbedaan itu dalam skala yang massal. Inilah yang harus ditolak oleh kaum feminis.
2. Pada level distribusi dan redistribusi sumber-sumber kekayaan alam, neoliberalisme lewat tangan-tangan MNCs dan TNCs telah merampok, mengeksploitasi dan bahkan mematenkan keragaman pengetahuan dan model perawatan sumber-sumber daya alam (seperti penyimpanan benih, resep-resep masakan dan cara-cara pengolahan) yang khas empunya perempuan di berbagai belahan bumi ini, termasuk di Indonesia. Hal ini dapat menjadi sumber kepunahan keragaman alam (biodiversitas) dan cara-cara pemeliharaannya. Atau, akses terhadap pengetahuan tradisional dan kebijaksanaan lokal itu lama-kelamaan akan memudar, dianggap kolot seiring dengan mekanisasi dan sientifikasi pengetahuan.
3. Pada level gerakan, feminisasi kemiskinan harus dilawan dengan perempuan menyodorkan agenda baru soal pembagian kerja baik di sektor tatanan internasional politik (akses perempuan dalam deliberasi dan pengambilan keputusan yang bersifat publik), di sektor ekonomi-industri (pabrik, perusahaan) maupun di unit terkecil masyarakat yaitu keluarga.
4. Pada level kedaulatan perempuan atas tubuhnya sendiri. Agar tubuh perempuan tidak menjadi objek manipulasi atau eksploitasi dari “pasar bebas” yang hanya mau mencari keuntungan sebesar-besarnya tanpa mengindahkan nilai-nilai moral-etis. Perbudakan terselubung atas nama “demi pekerjaan”, yaitu diperdagangkan sebagai budak seks lintas-negara, menjadi pelacur atau ‘istri dengan status kontrak’ dalam ‘industri pariwisata seks,’ serta isu women-trafficking [11] dengan segala macam bentuk dan dalihnya, merupakan sosok kejahatan patriarki yang terorganisasi [12] yang harus ditolak, diregulasi, dan, kalau melanggar, ditindak tegas oleh aparat hukum.

Daftar Bacaan
Buku / Essai:
Francis Wahono & I. Wibowo (editor), Neoliberalisme, Yogyakarta: CINDELARAS Pustaka Rakyat Cerdas, 2003.
B. Herry Priyono, Homo Oeconomicus: Dari Pengandaian ke Kenyataan, dalam I. Wibowo & B. Herry Priyono (editor), Sesudah Filsafat: Esai-esai untuk Franz Magnis Suseno, Yogyakarta : Kanisius, 2006, hlm. 87 – 132.
Robert H. Imam, “Globalisasi: Proses dan Wacana Kompleks serta Konfliktual”, dalam I. Wibowo & B. Herry Priyono (editor), Sesudah Filsafat: Esai-esai untuk Franz Magnis Suseno, Yogyakarta : Kanisius, 2006, hlm. 163 – 189.
Arimbi Heroepoetri & R. Valentina, Percakapan tentang Feminisme dan Neoliberalisme, Jakarta & Bandung: Debt Watch & Institut Perempuan, 2004.
Paul Harrison, Inside the Third World, Middlesex (UK), New York (USA): Penguin Books, 1981.
Rita Nakashima Brock, “Power, Peace, and the Possibility of Survival”, dalam Frederick Ferré & Rita H. Mataragnon, God & Global Justice, New York: Paragon House, 1985.

Situs Internet:
www.en.wikipedia.org/wiki/Neoliberalism
www.web.inter.nl.net/users/Paul.Treanor/neoliberalism.html
www.warprofiteers.com/article.php?id=376
www.globalissues.org/TradeRelated/FreeTrade/Neoliberalism.asp
www.mondediplo.com/1998/12/08bourdieu
www.globalpolicy.org/globaliz/econ/histneol.htm
www.globalexchange.org/economy/econ101/neoliberalDefined.html
Valentine M. Moghadam, “THE ‘FEMINIZATION OF POVERTY’ AND WOMEN’S HUMAN RIGHTS” yang bisa diakses di http://portal.unesco.org/shs/en/file_download.php/a17be918eefc8e5235f8c4814bd684fdFeminization+of+Poverty.pdf.
Sara S. McLanahan & Erin L. Kelly “The Feminization of Poverty: Past and Future” yang bisa diakses di http://www.olin.wustl.edu/macarthur/working%20papers/wp-mclanahan3.htm
http://www.womst.ucsb.edu/projects/crwsj/collaborative/execsummaryweb.pdf.
http://en.wikipedia.org/wiki/Feminization_of_poverty
Alain Marcoux, “The Feminization of Poverty: Facts, Hypotheses and the Art of Advocacy” yang bisa diakses di www.fao.org/sd/wpdirect/WPan0015.htm

No comments: