Monday, 20 December 2010

PEMBANGUNAN BERWAWASAN EPENDUDUKAN

Bab I:
PEMBANGUNAN BERWAWASAN EPENDUDUKAN

I. Pendahuluan
Era globalisasi dewasa ini mengharuskan setiap bangsa melakukan penyesuaian dengan
menyeluruh. Era yang ditandai dengan makin maraknya investasi pada manusia dan
penghargaan yang tinggi terhadap manusia itu menuntut pula kebebasan pada setiap
individu untuk melakukan sesuatu sesuai dengan kemampuan dan pilihannya.
Masyarakat Indonesia yang biasanya diatur secara sentralistik dan berorientasi pada
kelembagaan tingkat pusat mengalarni perubahan yang drastis. Kita sekarang berada pada
posisi yang mengarah kepada masyarakat yang menganut desentralisasi yang marak,
demokratis, pembangunannya bersifat people centered dan transformatik, sehingga
kesatuan yang dianutnya lebih bersifat conditional humanistic. Untuk itu di sernua lini
diperlukan sumber daya manusia yang bermutu, bermoral serta sekaligus mempunyai
sifat dan kedalaman religius yang tinggi.
Dalam konteks seperti itulah BKKBN yang selama ini bergerak dalam jaringan yang luas
dalam lingkungan pemerintah daerah dapat memainkan peranan yang sangat menentukan.
Begitu juga Yayasan Damandiri yang selama ini bekerja sama dengan BKKBN, dapat
pula bersama menjalin kerjasama dengan menempatkan diri sebagai suatu lembaga nir
laba yang mengikuti arus globalisasi dari sudut yang positip dan berusaha membantu
pemerintah untuk memberdayakan masyarakat dan rakyat banyak, khususnya masyarakat
dan keluarga kurang mampu, melakukan penyesuaian dalam mengembangkan kehidupan
yang lebih bahagia dan sejahtera.
II. Tujuan Yayasan Damandiri
Dalam kerangka tersebut diatas, sejak didirikannya Yayasan Damandiri bertujuan untuk
membantu melembaganya norma keluarga kecil yang bahagia dan sejahtera dalam
pengertian yang luas. Dukungan itu pada umumnya untuk perluasan jangkauan,
pembinaan dan proses jangka panjang pelembagaan dan pembudayaan norma tersebut.
Perhatian khusus diberikan terhadap upaya membantu keluarga kurang mampu, yaitu
keluarga pra sejahtera dan keluarga sejahtera I agar bisa melepaskan diri secara mandiri
dari keterpurukannya dan sekaligus mencegah keluarga yang sudah bisa dilepaskan untuk
tidak kembali menjadi keluarga yang terpuruk atau keluarga kurang mampu.
Dalam konteks tujuan itu Yayasan Damandiri menggalang kerjasama dan saling
membantu lembaga-lembaga lain yang mempunyai tujuan sama atau minimal
mempunyai tujuan pencegahan timbulnya keluarga yang terpuruk di tanah air yang
tercinta ini.
Dukungan Yayasan Damandiri diarahkan secara positip pada program pembangunan
yang berkelanjutan yang bertahap secara konsisten ditujukan dan dilaksanakan dengan
memperhatikan keterkaitan antar sektor dalam suatu keterpaduan yang saling
memperkuat. Prinsip lain yang menjadi landasan kerjasama adalah bahwa programprogram
yang didukung itu memberikan kesempatan pendekatan demokratis kepada
setiap individu, yaitu dengan memberikan hak kepada setiap orang berpartisipasi menurut
kemampuan dan pilihan pribadinya, sekaligus memberikan kepadanya kebahagiaan
dalam partisipasi yang demokratis itu.
III. Pokok-pokok Dukungan Program
Pada prinsipnya dukungan program diberikan pada beberapa kegiatan pembangunan
sebagai berikut:
1. KIE
Dukungan dalam bidang komunikasi, informasi dan edukasi dilakukan dengan
menggalang kerjasama dengan berbagai media massa seperti Surat Kabar Suara Karya,
Pelita, Berita Buana dan surat kabar daerah lainnya.
Digalang juga kerjasama dengan beberapa majalah seperti Majalah Gemari, Dharmais,
Amanah, Garda dan majalah lain yang diterbitkan oleh beberapa lembaga fungsional.
Kerjasama juga dilakukan dengan radio dan tv, antara lain dengan radio Latin Rose, TV
Rl, TPI dan Indosiar. Kerjasama dengan kalangan budayawan khususnya dilakukan
dengan Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi) dan Sekretariat Nasional Pewayangan
Indonesia (Sena Wangi) untuk penayangan lakon-lakon wayang kulit dan wayang orang
metalui media langsung pertunjukan atau siaran melalui layar TV.
Kerjasama budaya juga dilakukan dengan beberapa lembaga dalam penayangan sinetron,
baik yang mengandung pesan langsung secara utuh maupun melalui model penyajian
tematik yang lebih cantik. Pesan-pesan yang dititipkan umumnya tentang sikap
kepedulian terhadap keluarga kurang mampu dan atau dukungan terhadap usaha mereka.
Pesan-pesan itu disampaikan melalui cerita tematik atau melalui dagelan dalam
pertunjukan semacam itu.
2. Dukungan dari Program KB
Dukungan dari program KB yang selama ini mengadakan kegiatan lapangan yang baik
sekali perlu dilestarikan oleh Pemerintah Daerah. Salah satu dukungan yang paling
menonjol adalah penggunaan peta lapangan Lentang ciri-ciri dan letak keluarga kurang
mampu di tingkat RT dan 1OV, maupun ditingkat pedesaan.
Selama ini tidak ada satu lembaga atau instansi yang dapat menghasilkan data mikro
selengkap data mikro yang telah dihasilkan oleh BKKBN selama enam tahun terakhir ini.
Data ini dapat menggambarkan ciri-ciri keluarga dan penduduk Indonesia lengkap
dengan ciri-ciri anggota keluarga yang ada di dalamnya dan juga status anggota keluarga
itu dimasa sekarang ini.
Peta keluarga itu dapat dijadikan alat untuk merencanakan program terpadu serta
sekaligus dapat dijadikan alat untuk memonitor perkembangan keluarga dan penduduk
yang menjadi obyek dari garapan pembangunan yang menggebu itu.
3. Dukungan terhadap Kegiatan Pemberdayaan
Dukungan terhadap usaha pemberdayaan mempunyai sejarah yang panjang sejak tahun
1995. Program dukungan yang pertama dilakukan bekerjasama dengan BKKBN dan
dimulai dengan gerakan nasional sadar menabung yang dimulai pada tanggal 2 Oktober
1995.
Gerakan itu dimulai dengan membantu keluarga pra sejahtera dan keluarga sejahtera I
untuk mulai menabung dengan tabungan Takesra. Tabungan awal diberikan kepada
sekitar ll jufa keluarga kurang mampu dengan menyediakan tabungan awal untuk
masing-masing keiuarga sebesar Rp. 2000,- berupa buku tabungan Takesra BNI yang
dananya disediakan oleh Yayasan Damandiri.
Jumlah penabung sampai dengan bulan Mei 2002 mencapai 13,1 juta penabung atau
keluarga dengan jumlah tabungan mencapai Rp. 213,9 milyar. Pada tahun 2000-2001
jumlah tabungan itu pernah mencapai Rp. 241 milyar yang kemudian banyak diambil
karena situasi dan kondisi yang tidak kondusif.
Para penabung boleh mulai mengembangkan usaha dengan bantuan kredit Kukesra.
Kredit ini dimulai dengan Rp. 20.000,- sampai setinggi-tingginya sebesar Rp. 320.000,-
untuk setiap keluarga. Sampai dengan bulan Mei 2002 jumlah kredit yang telah dinikmati
oleh 10,5 juta nasabah di seluruh Indonesia adalah Rp 1,77 triliun.
Kredit ini mempunyai ciri khusus karena nasabahnya adalah para ibu yang sekaligus
menjadi tumpuan utama dalam pengembangan ekonomi mikro pada tingkat keluarga. Ibu
menjadi tulang punggung pengembangan ekonomt keluarga.
Program-program ini umumnya berlangsung di daerah pedesaan.
4. Dukungan tcrhadap pcmberdayaan perkotaau
Dukungan terhadap pemberdayaan keluarga juga dilakukan di daerah perkotaan.
Langkah-langkah awal sedang dirintis di DKI Jakarta dan Kota Surabaya. Proses
pemberdayaan di daerah perkotaan agak lain dengan proses pemberdayaan keluarga di
daerah pedesaan. Pengembangan yang sedang dilakukan adalah dalam proses
pemberdayaan dengan pengembangan perangkat konseptual dan dukungan kelembagaan.
Dukungan pemberdayaan juga dilakukan dalam bidang kesehatan reproduksi dan
masalah-masalah lain seperti masalah narkoba yang terkait karena ternyata keluarga
miskin lebih banyak terpengaruh oleh masalah-masalah tersebut Dukungan juga
diberikan untuk mengembangkan lembaga keuangan di tingkat akar rumput misalnya
dengan mengembangkan gerakan koperasi swamitra atau dengan menggerakkan lembaga
keuangan mikro, seperti BPR, sehingga makin bisa merangsang maraknya pertumbuhan
BPR pada tingkat kelurahan atau minimal pada tingkat kecamatan.
5. Dukungan terhadap pemberdayaan mandiri
Dukungan terhadap pemberdayaan mandiri khususnya dilakukan melalui pendekatan
tribina atau tridaya, yaitu dukungan terhadap pengembangan kesejahteraan masyarakat
melalui berbagai usaha mandiri yang difokuskan kepada pemberdayaan manusia,
lingkungan dan bidang usahanya.
Dukungan difokuskan melalui penempatan manusia sebagai titik sentral dengan
meningkatkan secara bertahap kemampuan manusia itu untuk bisa mengolah dan bergelut
dengan kesempatan yang terbuka di dalam lingkungannya sendiri untuk akhirnya mampu
bergerak dengan lebih bebas ke luar lingkungan yang makin luas.
Untuk itu diberikan dukungan pembinaan dan kredit untuk mengolah usaha-usaha yang
dapat menjadi panjatan sebagai sarana dan titik tolak untuk mengolah bahan baku dan
segala yang bisa dimanfaatkan dari lingkungan sekitarnya. Misalnya, bahan baku untuk
usaha itu diolah dari lingkungannya sendiri sampai habis. Apabila tidak mencukupi
barulah dicarikan dukungan untuk mendapatkan bahan baku dari daerah lain yang lebih
luas. Proses pembangunan yang bertahap ini dalam praktek memberikan dukungan
pendidikan yang sangat praktis kepada para keluarga yang mendapat dukungan dan
bantuan pendampingan.
Dukungan yang diberikan melalui berbagai jenis kredit adalah antara lain Eukesra
Mandiri, Pundi dan Warung Sudara. Seluruh jenis kredit tersebut diberikan dengan
bunga pasar dan syarat-syarat lain untuk kelayakan seperti
halnya kredit biasa yang bersifat executing.
Fasilitas kredit itu diberikan dengan mengembangkan kelompok-kelompok UPPKS yang
biasanya berorientasi guru menjadi kegiatan UPPKS yang berorientasi pasar, yaitu
dengan memberikan kesempatan pelatihan dan pemberdayaan ekonomi yang bersifat
pasar. Kelompok-kelompok baru atau perorangan yang memenuhi syarat juga diberi
kesempatan untuk berkembang.
Karena Kukesra gaya lama akan berakhir pada tahun 2002, sedang dipikirkan untuk
melanjutkannya menjadi Kukesra Mandiri atau bentuk lain yang persyaratannya
berorientasi dengan syarat-syarat yang berlaku di pasar atau seperti layaknya kredit biasa.
Proses baru itu sama sekali berbeda dengan Kukesra gaya lama yang berorientasi
pelatihan. Kukesra baru nanti betul-betul bersifal executing dan para pelakunya harus
sanggup untuk bersaing dengan para pedagang dan atau industriawan dengan gaya
profesional.
Disamping itu disediakan juga pembinaan dan kredif Pundi yang sifatnya adalah
pembinaan dan pemberian kredit untuk usaha secara mandiri. Pundi ini bisa untuk usaha
industri, jasa atau untuk kegiatan produktif lainnya.
Khusus untuk kegiatan warung kecil atau mrican disediakan pembinaan dan kredit
8'arung Sudara atau Sistem Usaha Damai Sejahtera yang dikelola bersama Yayasan
Indra di Jakarta.
Karena ide proses pemberdayaan keluarga itu semula dikembangkan oleh Fayasan
Damandiri bersama BKKBN, maka lembaga BKKBN, baik di pusat maupun di daerah,
mendapat tempat istimewa dalam keluarga Yayasan Damandiri. Karena itu kelompokkelompok
BKKBN seperti UPPKS, apabila memenuhi syarat akan mendapat pelayanan
istimewa dalam mendapatkan dukungan secara mandiri yang mulai tahun 2003 nanti
akan menjadi satu-satunya program dukungan usaha dengan titik sentral pada manusia
itu.
Untuk itu diharapkan BKKBN bisa mengembangkan berbagai peran fasilitasi, antara lain
mengembangkan ntutu kefompok dari kelompok yang dianggap siap mandiri. Upaya itu
dapat dilakukan antara lain dengan mendirikan atau melakukan fungsi-fungsi latihan
kepada para anggota kelompok yang dianggap baik. Bisa juga dengan mendirikan pusatpusat
pengembangan konsultasi bisnis yang menawarkan, membantu dan mengantarkan
kelompok ke Bank-bank untuk mendapatkan pelayanan kredit. Bantuan itu bisa bersifat
individual atau untuk kelompok yang bersifat bersama. Fee untuk kegiatan itu bisa
dibicarakan dengan Bank yang memberikan pelayanan kredit untuk kelompok yang
bersangkutan.
Ada dua pendekatan yang ditempuh oleh Yayasan Damandiri yang sekaligus bisa juga
dilakukan oleh BKKBN, misalnya:
i. Dukungan terhadap unit-unif pelayanan:
Dengan mcmbcntuk Unit-unit Pelayanan yang bisa membantu Bank, yang menjadi
pelaksana, dengan memberikan jasa melayani penelitian atau penyaringan calon penerima
kredit;
2. membantu mendirikan unti-unit pemasaran atau pasar di daerah- daerah yang
dipandang perlu dan belum tersedia tempat atau unit-unit pemasaran itu. Hal ini bisa
dilakukan dengan bekerjasama dengan pemerinah daerah atau dengan menghidupkan
gagasan Pasar Tugu yang dimasa lalu pernah marak dilaksanakan di mana-mana;
3. dengan mempergunakan unit birokrasi sebagai pusat pemberdayaan sdm, memberikan
atau mencarikan agunan dan mengerahkan anggota birokrasi atau PLKB sebagai
pendarnping untuk kelompok atau perorangan yang sedang belajar berusaha secara
mandiri;
ii. Dukungan terhadap peningkatan mutu sdm:
Upaya ini dapat dikaitkan dengan program baru yang sedang digarap oleh pemerintah
yaitu perubahan orientasi pendidikan pada pembekalan kecakapan untuk hidup
sejahtera atau sistem Broad Based Educataion (BBE). BKKBN dapat ikot secara aktif
memberikan dukungan terhadap upaya intervensi life skills dalam BBE yang berlangsung
sepanjang hayat masih dikandung badan, baik melalui sistem pendidikan formal maupun
sistem yang digarap dalam berbagai kelompok yang ada.
Karena perhatian BKKBN pada penduduk secara keseluruhan sangat tinggi, yaitu
perhatian yang tinggi pada setiap manusia, maka untuk setiap segmen manusia itu
BKKBN bisa mengambil peran yang sangat aktif, melalui pendekatan kelompok atau
melalui pendekatan individual. Kelompok remaja dan kelompok usia kerja, misalnya,
bisa dijadikan kelompok sasaran yang dapat didekati dengan pendekatan reproduksi sehat
dan atau disiapkan untuk bekerja.
BKKBN bahkan bisa ikut promosi menjemput anak-anak pandai yang kebetulan anak
keluarga kurang mampu untuk mendapatkan beasiswa, baik dari Yayasan Supersemar
seperti yang telah dilakukan selama ini atau dari instansi lain yang sangat banyak
jumlahnya di seluruh Indonesia dewasa ini.
Yayasan Damandiri membantu siswa SMU, SMK dan MA untuk mendapatkan dana bea
belajar mandiri (BBM). BKKBN dapat memfasilitasi anak-anak untuk mendapatkan dana
dari Yayasan Damandiri yang setiap bulan diberikan kepada siswa-siswa SMU, SMK
dan MA di kawasan Indonesia timur.
BKKBN bisa juga memfasilitasi dan memberikan dukungan terhadap kegiatan Kuliah
Kerja Usaha (KKU) yang dilakukan oleh para mahasiswa untuk membantu membina
kelompok-kelompok usaha yang ada di pedesaan.
IV. Cara Mcndapatkan Dukungan
Untuk berbagai kegiatan itu diperlukan dukungan dana yang tidak sedikit. Tetapi dana itu
tidak akan datang dengan hanya berpangku tangan. Untuk itu siapa saja yang mempunyai
minat untuk memberikan bantuan harus bekerja keras mempergunakan dana
kelembagaan yang berasal dari pemerintah atau dari sumber lain untuk memancing dana
yang berasal dari pihak lainnya.
Dana untuk berbagai usaha tersebut diatas disediakan oleh Yayasan Damandiri melaui
Bank BNI dan Bank Bukopin dengan seluruh cabang-cabang mereka di seluruh kawasan
Indonesia timur, Bank Pembangunan Daerah (BPD) di Jawa Tengah, DI Yogyakarta,
Jawa Timur, Bali, NT8, NTT, Maluku, MaEuku Utara, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan,
Bank Perkreditan Rakyat (8PR) Nusamba di 20 wilayah, BPK Artha Huda Abadi di Pati,
BPR 1VS di Surakarta.
Apabila kita bekerja keras, hampir pasti Bank-bank yang ikut serta dalam gerakan ini
akan memberikan dukungannya dengan wajar.
V. Penutup
Usaha-usaha diatas akan berhasil kalau ada niat untuk bekerja bersama dengan dilandasi
rasa percaya diri yang tinggi serta profesional. Tentu seluruhnya harus disertai dengan
kesamaan atas visi masa depan yang jelas dengan strategi yang mantap, tujuan yang jelas
dan langkah-langkah kongkrit yang penuh dengan kebersamaan dalam persaudaraan yang
akrab.
Keakraban dan profesionalisme itu harus pula didukung dengan komitmen dan
kebersamaan yang jujur dan bertanggung jawab.
Karena BKKBN merupakan mitra kerja pertama dari Yayasan Damandiri, maka lembaga
BKKBN, di pusat dan di daerah akan mendapatkan tempat yang sangat terhormat dalam
menggalang kerjasama di masa depan.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberkati usaha kita sekalian.



URBAN, ANGKATAN MUDA DAN DEMOKRASI
Belum lama ini seluruh dunia telah memperingati Hari Kependudukan Dunia 2001. Di
Indonesia, peringatan itu kecuali ditandai dengan suatu pertemuan meja bundar (round
table discussion) yang ditutup dengan acara makan siang bersama Presiden Gus Dur
dibarengi pula dengan fenomena kependudukan yang menarik.
Fenomena itu adalah kenyataan hahwa Indonesia mengikuti tren dunia dengan
pertambahan jumlah penduduk urban yang tinggi, penduduk remaja yang membengkak
dan warga lansia yang meningkat dengan drastis.
Pertambahan penduduk urban yang tinggi itu bukan hanya karena adanya migrasi
penduduk perdesaan ke kota, tetapi juga karena desa-desa bertambah maju dan penduduk
desa tersebut siap atau tidak, karena “desanya” berubah menjadi “kota", dengan otomatis
dan menyeluruh berubah menjadi "penduduk kota" atau "penduduk urban”.
Dinamika peruhahan penduduk desa menjadi penduduk kota yang, terjadi dengan
kecepatan tinggi itu hukan hanya monopoli hangsa Indonesia saja. Fenomena itu adalah
suatu kejadian luar biasa dalam akhir ahad ke-20 yang terjadi di banyak negara
berkembang. Kejadian ini, dengan segala implikasi sosial, budaya dan politik yang cukup
rumit kurang mendapat perhatian para ahli, politisi dan penyelenggara negara. Untung
saja peruhahan itu terjadi seiring dengan makin melemahnya angka fertilitas dan angka
pertumhuhan penduduk secara menyeluruh.
Namun demikian, biarpun tingkat pertumbuhan penduduk dunia mulai mereda,
tahun ini penduduk dunia telah lebih dari 6 milyar jiwa. Kalau semula diperkirakan
bahwa pada pertengahan abad ini penduduk dunia akan mencapai sekitar 9 – 9,5 milyar,
karena melambatnya angka pertumbuhan itu para ahli telah menyusun ramalan haru yang
memperkirakan bahwa penduduk dunia hanya akan mencapai sekitar 7,8 – 8,9 milyar
saja. Tetapi sebaliknya, kalau kita semula pesimis bahwa penduduk dunia akan tetap
bersifat tradisional sebagai penduduk pedesaan, perkembangan baru memperkirakan
bahwa 60 – 70 persen penduduk dunia sudah akan menjadi penduduk urban yang
relatip modern pada sekitar tahun 2030 yang akan datang.
Angka prosentase itu sungguh diluar dugaan karena pada tahun 1950 proporsi
jumlah penduduk urban dunia baru mencapai sekitar 30 persen saja. Jumlah itu bisa
kecil karena jumlah penduduk urban Asia dan urban Afrika pada tahun 1950 tersebut
masing-masing baru diperkirakan sekitar 18 persen dan I5 persen dari seluruh penduduk
di kedua benua yang sedang berkembang tersebut. Perk.iraan moderat untuk. Asia pada
tahun 2030 adalah sekitar 55 persen, dan untuk Afrika adalah sekitar 54 persen.
Dengan melompatnya perkembangan jumlah penduduk perkotaan di kedua benua itu
maka dengan mudah penduduk, urban dunia akan mencapai angk.a sekitar 60 – 70 persen
seperti digambarkan diatas.
Transisi Demografi Lamban
Ada dua pola transisi demografi yang terjadi dengan segala implikasinya. Transisi
demografi model yang pertama terjadi dengan lamban yaitu di negara-neguru Eropa
seperti Inggris dan Wales. Transisi demografi model pertama yang berlangsung relatip
lamban itu mulai sekitar tahun 1700 sampai sekitar tahun 1950-an. Dalam proses
transisi tersebut tingkat kematian turun dengan pelahan karena kemajuan industrialisasi
yang terjadi di negara-negara tersebut. Adanya transisi itu menyebabkan nilai-nilai
kultural tentang berbagai phenomena berubah secara pelahan. Dalam masyarakat agraris
anak merupakan potensi yang segera dapat ikut dalam proses produksi. Dengan
perubahan itu masyarakat berubah menjadi masyarakat modern dengan industrialisasi.
Nilai anak juga mengalami perubahan. Anak tidak bisa secara langsung ikut serta dalam
proses produksi. Anak harus dikirim ke sekolah dengan waktu dan ongkos yang tidak
kecil sampai anak-anak itu bisa ikut dalam proses produksi serta menghasilkan.
Pemeliharaan anak menjadi lebih mahal dan dengan adanya nilai anak yang makin mahal
pemeliharaannya itu maka angka kelahiran akhirnya mengikuti proses menurun dengan
pelahan-lahan.
Dalam masa transisi yang relatip lama itu masyarakat mempunyai waktu yang cukup
lumayan untuk melakukan penyesuaian dengan pelahan. berubah dari masyarakat yang
tradisionil perdesaan pelahan-lahan menjadi masyarakat industrial perkotaan yang makin
modern. Tingkat kesehatan dan tingkat pendidikan penduduk bertambah baik dan lebih
siap melakukan atau menerima berbagai perubahan dengan rasional. Kehidupan sosial
politik penduduk juga mulai mengalami perubahan dengan mengembangkan kemampuan
ekspresi politik yang makin terbuka dan vokal menuju masyarakat yang makin liberal
demokratik. Dengan adanya penyesuaian itu maka proses transisi demografi yang lamban
bisa diikuti dengan proses penyesuaian kehidupan kemasyarakatan yang seimbang.
Biarpun proses transisi itu terjadi pertama-tama di negara Inggris dan Wales namun
negara-negara Eropa lainnya. begitu juga negara-negara Amerika Utara dan Kanada.
mengikuti proses itu dengan model yang hampir serupa. Negara maju yang terakhir
mengikuti proses tersebut adalah Jepang yang memulai proses itu tahun 1920-an.
Model Proses Transisi Cepat
Biarpun agak terlambat negara-negara berkembang mengikuti juga proses transisi
demografi tersebut. Anehnya, pada awal transisi, angka kematian pada tahun 1900 relatip
sangat tinggi dan baru mulai menurun pada sekitar tahun 1920-an. Angka itu menurun
lebih tajam pada sekitar tahun 1940-50. Proses penurunannya agak berbeda. Di negaranegara
berkembang penurunan itu lebih banyak dipengaruhi oleh diketemukannya
pengobatan modern dan munculnya lembaga-lembaga internasional dengan advokasi dan
langkah-langkah nyata secara global. Namun demikian, untuk penyesuaiannya, tingkat
kelahiran juga segera menurun, tidak harus menunggu 150 tahun. Tingkat kelahiran itu
turun menyusul penurunan tingkat kematian dalam kurun waktu kurang dari 50 tahun.
Penurunan tingkat kematian itu terjadi terutama di negara-negara dengan jumlah
penduduk besar yang secara sungguh-sungguh melaksanakan program KB dan kesehatan
dengan komitmen yang tinggi. Dengan penurunan tingkat kelahiran atau fertilitas itu
maka proses transisi demografi terjadi dengan cepat. Akibatnya tingkat pertumbuhan
penduduk juga menurun dengan drastis.
Disamping kegembiraan karena adanya penurunan fertilitas dan tingkat pertumbuhan
penduduk yang makin rendah, ada fenomena baru yang mungkin lebih dahsyat mulai
muncul di negara-negara berkembang. Fenomena itu adalah makin tingginya proporsi
jumlah penduduk urban, ledakan remaja, angkatan kerja dan penduduk lanjut usia yang
meningkat dalam waktu yang relatip pendek. Karena terjadi dalam tempo yang sangat
singkat, implikasi perubahan phenomena ini pasti belum disadari secara mendalam oleh
para pengambil keputusan dan politisi di negara-negara berkembang. Fenomena itu
muncul dalam suasana kemiskinan yang masih tinggi. Tidak kurang dari
1,3 milyar jiwa hidup dalam kondisi sangat miskin di negara-negara berkembang.
Disamping itu ada sekitar 25 juta jiwa terpaksa mengungsi karena kerusakan lingkungan
atau konflik di wilayahnya.
Perubahan struktur yang mirip dengan struktur piramida penduduk di negara maju
sekaligus diikuti dengan makin membengkaknya penduduk urban di negara berkembang.
Perubahan struktur itu menarik dan memerlukan pencermatan yang tidak kalah serunya
dengan upaya kita menghadapi persoalan fertilitas dan pertumbuhan yang tinggi di masa
lalu. Untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan diperlukan terobosan berupa
advokasi yang gegap gempita agar supaya arah dukungan politik dan aliran dana dapat
membantu gerakan peningkatan kualitas penduduk.
Ledakan Penduduk Urban dan Angkatan Muda
Dengan mengecilnya proporsi penduduk usia muda. terjadi pembengkakan proporsi
penduduk usia 25 tahun sampai 45 tahun. atau penduduk usia muda. Penduduk usia muda
tersebut telah mendapat pendidikan dasar dan makin tidak tertarik untuk bertani seperti
orang tuanya di desa. Penduduk muda itu mempunyai tendensi untuk pindah ke kota
mencari pekerjaan yang bersifat "urban", bekerja di pabrik atau industri jasa yang tidak
banyak tergantung musim seperti bertani di sawah desanya. Disamping itu penduduk
yang terdidik di desa mulai pula mempergunakan waktunya yang banyak untuk
membangun industri dan perdagangan di desanya. Karena fasilitas transportasi yang
makin baik, usaha itu makin bisa dihubungkan dengan rekan- rekannya dari kota
sehingga menumbuhkan kepadatan dan ciri baru di desa-desa penyangga kota. Angkatan
muda dan petani maju yang berhasil mulai ikut membangun industri dan jasa proses
pasca panen di desa dan merubah infrastuktur desanya menjadi makin bersifat urban.
Akibatnya pertumbuhan urban di negara-negara berkembang seperti Indonesia
mempunyai dua sumber yang sama kuatnya, yaitu perpindahan penduduk ke kota dan
berubahnya desa-desa agraris menjadi daerah urban yang baru. berlangsung jauh lebih
cepat dibandingkan pertumbuhannya di masa lalu.
Demokrasi dan Keterbukaan
Ketidakseimbangan penduduk yang disertai makin tingginya mutu itu biasanya diikuti
oleh ketidak puasan karena dukungan sistem yang lamban. Di negara-negara maju proses
penyesuaian diikuti dengan proses demokratisasi dan keterbukaan masyarakatnya.
Biarpun ada kegoncangan karena para penyedia lapangan kerja belum sadar akan adanya
perubahan phenomena dan masih terlena pada phenomena lama, tetapi perubahan
masyarakat tani menjadi masyarakat industrial yang modern dan urban mendapat
tanggapan yang wajar. Di negara berkembang proses penyesuaian dan tanggapan itu
berjalan lamban. Karenanya tekanan angkatan kerja profesional, baik wanita maupun pria
di negara berkembang, memaksa munculnya tuntutan perubahan sistem sosial yang lebih
tanggap, demokratis, terbuka dan sanggup memenuhi tuntutan masyarakat.
Karena itu tiba waktunya para politisi memperhatikan transisi demografi, perubahan
struktur penduduk yang ditandai ledakan penduduk urban, angkatan muda dan
munculnya tuntutan demokratis dan keterbukaan yang tidak saja harus mengikuti arus
perubahan kuantitatifnya, tetapi harus siap menanggapi fenomena itu dengan perubahan
sikap, tingkah laku, tata nilai sosial budaya yang mendukung persamaan hak-hak wanita
pria yang menyejukkan. Perubahan itu harus disikapi dengan suasana yang kondusif
untuk menyelamatkan umat manusia dengan menjamin hak-hak azasinya secara utuh agar
bisa mencapai keseimbangan baru yang lebih serasi, selaras, dan seimbang. (Prof. Dr.
Haryono Suyono, Pengamat Masalah Sosial Kemasyarakatan). Penduduk-I 40 20(J I
MEMBANGUN PERSAHABATAN DUNIA
Oleh : Haryono Suyono
Minggu ini Ibu Megawati Soekarnoputri, Presiden RI, mengadakan perjalanan keliling ke
negara-negara ASEAN untuk mempererat persahabatan regional. Kita juga diingatkan
bahwa pada hari-hari seperti sekarang ini, tujuh tahun lalu, tepatnya pada tahun 1994,
bersamaan dengan peranan Indonesia sebagai Ketua Gerakan Non Blok, para ahli
kependudukan dari seluruh dunia, khususnya dari negara-negara Selatan-Selatan,
berkumpul di Jakarta untuk maksud yang sama.
Dengan semangat persatuan yang erat, secara serius dan tekun, para ahli itu bicara
tentang persiapan Konperensi Kependudukan Dunia yang akan diadakan kurang dari
sebulan, yaitu pada bulan September 1994, di Kairo, Mesir. Para ahli menyatukan sikap
untuk membawa Konperensi yang hanya sekali dalam sepuluh tahun itu makin
menguntungkan negara-negara berkembang. Disitulah, dengan dukungan yang kuat dari
Ketua Gerakan Non Blok pada waktu itu, para ahli memutuskan membentuk suatu
Lembaga Internasional dalam bidang Kependudukan dan Pembangunan sebagai
wadah untuk menggalang persatuan, kesatuan dan mengkoordinasikan program-program
yang menguntungkan penduduk negara-negara berkembang.
Kebulatan tekad yang dicapai di Jakarta itu dibawa oleh para ahli dari berbagai
negara dengan komitmen yang tinggi, baik sebagai Pimpinan atau Anggota Delegasi
resmi negara masing-masing, ke Konperensi Kependudukan Dunia di Kairo, Mesir,
pada bulan September 1994. Di tengah hiruk pikuknya Konperensi yang anggun dan
dihadiri oleh Wakil-Wakil Pemerintah dan Ahli-ahli Kependudukan dari seluruh dunia
itu, para pemrakarsa, yang antara lain terdiri dari Dr. Timothy J. Stamps dari Zimbabwe,
Dr. Geudana dari Tunisia, Dr. Gregorio Perez-Palacios dari Mexico, Dr. Steve Sinding
dari Amerika Serikat, dan kami sendiri, mendeklarasikan kesepakatan Jakarta dengan
mengumumkan terbentuknya Lembaga Internasional (semi pemerintah) “Partners in
Population and Development”.
Segera setelah deklarasi, biarpun sebelumnya telah dilakukan loby yang sangat
intensip, para pemimpin lembaga-lembaga internasional mengerubuti para pemrakarsa
untuk mengetahui visi dan misi yang ingin dikembangkan oleh Partners. Dengan sabar
setiap anggota pemrakarsa menjelaskan misi dan visi yang tidak lain adalah keinginan
untuk menjadikan lembaga Partners sebagai wadah pemersatu yang mempunyai
kekuatan dan kemampuan advokasi untuk bisa membantu para anggota maupun bukan
anggota yang adalah negara-negara berkembang dalam mendapatkan dukungan dari
negara-negara lain yang lebih maju, atau dari lembaga donor internasional.
Secara sabar dijelaskan kepada mereka yang curiga akan maksud baik kerjasama
antara negara selatan-selatan dan utara dengan contoh-contoh konkrit keberhasilan
kerjasama antara Program Kependudukan dan KB Indonesia dengan Program serupa di
Bangladesh dengan bantuan negara maju, Amerika Serikat. Selama tidak kurang dari
tiga tahun pemerintah Bangladesh, dengan bantuan USAID dari Amerika Serikat, telah
mengirim lebih dari 2.000 petugas-petugasnya dari tingkat desa, kecamatan dan kantor
pusatnya Dhaka untuk “nyantri” di Indonesia. Mereka tinggal bersama para pemimpin
dan penggerak program di kecamatan dan pedesaan di Indonesia untuk mengetahui
keberhasilan serta kesulitan-kesulitan yang dialami dalam mengajak pasangan usia subur
untuk menyadari pentingnya KB, menjadikan mereka penggerak di desanya, dan
akhirnya menjadi peserta KB yang lestari.
Mereka kita sebut sebagai “peserta magang” dan “bukan peserta latihan”,
untuk memberi hormat bahwa mereka adalah pemimpin di desa dan kecamatan di
negaranya. Namun, sebagai sesama anggota negara non blok, sebagai sesama bangsa
selatan-selatan, mereka harus bisa ikut merasakan hidup bersama dengan rekan-rekannya
di desa dalam kultur apa adanya. Dengan tinggal bersama para petugas di desa, yang
relatip mempunyai kehidupan yang hampir serupa, sama miskinnya, sama kurang
terpelajarnya, dan mempunyai agama yang sama, para magang petugas Bangladesh itu
dapat menyerap pengalaman menyelenggarakan program KB disini dengan sangat cepat.
Dengan pengalaman langsung yang sangat sederhana itu para peserta magang merasa
bahwa kerjasama ini memberikan dorongan rasa percaya diri yang sangat kuat karena
ternyata rekannya yang sangat sederhana dan adalah penduduk biasa di desa-desa di
Indonesia bisa melaksanakan program yang selama ini mereka rasakan sangat sukar
diterima masyarakat, ternyata bisa berjalan mulus dan berhasil. Dengan milihat dan
mengamati secara cermat pendekatan yang dilakukan oleh para pemimpin dan penduduk
desa yang peduli, mereka yakin bahwa merekapun bisa melakukan hal yang serupa di
negaranya. Karena setiap rombongan dari Bangladesh adalah tokoh dari berbagai cabang
profesi di desa atau kecamatannya, ternyata selama mengikuti proses magang disini telah
terjadi pula kebulatan tekad baru diantara berbagai kalangan tersebut. Kebulatan tekad
yang terbentuk dan mengkristal selama mereka berada di Indonesia itu terbawa kembali
ke tanah airnya sebagai komitmen dan kekompakkan baru yang sangat diperlukan untuk
menggerakkan program dengan gegap gempita.
Akibatnya sungguh mengagumkan. Banyak cara-cara pendekatan yang berhasil
maupun kegagalan yang kita lakukan di Indonesia menjadi bahan pembicaraan yang tidak
berkeputusan di desa-desa dan kecamatan di Bangladesh. Mereka melakukan analisis
yang kritis terhadap apa yang dilakukan oleh para petugas di desa-desa di Indonesia.
Segera setelah kembali ketanah airnya mereka menyusun program-program dan kegiatan
yang menurut keyakinannya lebih cocok untuk masyarakat Bangladesh. Programprogram
itu mereka rencanakan dan mereka laksanakan seakan tidak mau kalah dengan
rekan-rekannya di Indonesia.
Program kependudukan dan KB di Bangladesh dengan sontak mendapat darah segar
dari para petugas yang telah “nyantri” di negara yang sama-sama berkembang. Dan
ternyata program semacam ini, kerjasama selatan-selatan, sukar untuk ditiru dengan
negara yang telah terlalu maju karena asumsi, situasi dan kondisinya yang berbeda.
Berkat kerjasama itu program KB di Bangladesh dengan cepat mengejar dan seakan tidak
mau ketinggalan dengan keberhasilan yang menjadi sangat terkenal di Indonesia. Dalam
waktu kurang dari limabelas tahun program KB di Bangladesh telah berhasil menyusul
sukses yang telah diraih Indonesia !
Kawan-kawan pemrakarsa juga memberikan contoh pengalaman yang sama di
Tunisia yang selama beberapa tahun sebelumnya telah mengirim para petugasnya untuk
mengetahui keberhasilan KB di Indonesia. Dari pengalaman bermitra bersama negara
berkembang itu mereka melihat bahwa Tunisia telah berhasil mengembangkan program
yang cocok dengan kulturnya. Mereka menyebutkan adanya kemiripan program Tunisia
yang menjemput para calon peserta KB-nya di desa-desa dengan program yang mereka
sebut sebagai Program “Family Planning Caravan”. Program ini sangat mirip dengan
program pelayanan sampai ke pintu-pintu rumah di desa-desa yang dikenal di Indonesia
atau program menjemput bola, atau Safari KB, atau pelayanan oleh kelompok-kelompok
dan para bidan di pedesaan.
Dengan berbagai contoh itu negara-negara maju maupun lembaga-lembaga donor
mulai kurang kecurigaannya. Mereka mulai memberikan dorongan moril dan menganut
sikap “netral” atau “wait and see”. Tim pemrakarsa segera membentuk suatu Pengurus
Sementara atau Tim Pejuang. Indonesia sebagai salah satu pemrakarsa diminta
menjadi penggeraknya. Layar segera digelar, dan biduk mulai melaju mengarungi
samodra yang penuh tantangan menuju cita-cita mengentaskan keluarga-keluarga
tertinggal di negara-negara Selatan-Selatan yang terpuruk. Dari pengalaman tidak resmi
di Kairo, terutama dengan kecurigaan negara-negara donor dan badan-badan
internasional, semua pemrakarsa sadar bahwa perjuangan tidak mudah, tidak bisa selalu
mulus, cita-cita negara berkembang yang menampakkan hasrat untuk maju belum tentu
menyenangkan negara atau lembaga tertentu, atau segera mendapat tanggapan positip
dari negara atau lembaga lain yang selama ini telah bertindak sebagai “pemimpin
dunia” .
Selama satu tahun Panitia atau Tim Pejuang terus berupaya dan bekerja keras. Satu
tahun setelah itu, pada tahun 1995, digelar sidang lengkap pertama dari para pendiri di
Harare, Zimbabwe. Panitia Penggerak, dengan dukungan penuh Ketua Gerakan Non-
Blok, mengambil strategi membagi tanggung jawab diantara negara-negara penggerak.
Untuk itu Tim Pejuang menyerahkan kepemimpinan Lembaga ini kepada Dr. Guedana
dari Tunisia, dan menyepakati kantor pusat Lembaga baru ini di Bangladesh. Dengan
strategi itu pemerintah Indonesia, Bangladesh, Zimbabwe dan Tunisia menjadi sponsor
yang kuat dari pembentukan dan pengembangan lembaga Partners tersebut.
Kekompakkan itu nampak sampai hari ini, antara lain bahwa pemerintah Bangladesh
memberikan dukungan perkantoran dan ongkos-ongkos operasional harian kepada
lembaga ini di Dhaka. Disamping itu, sikap Indonesia yang tidak memaksakan kehendak
untuk menempatkan kantor pusat di Jakarta, atau ngotot untuk menjadi ketuanya, tetapi
hanya sanggup melanjutkan komitmen sebagai sekretaris jendral organisasi ini, telah
disambut dengan simpati yang sangat tinggi. Lembaga ini segera menyebar keberbagai
penjuru negara-negara berkembang dan mendapat sambutan yang makin positip dari
negara donor atau lembaga-lembaga internasional.
Misi Indonesia membangun persahabatan mendapat sambutan simpati yang sangat
menarik. Sampai sidang para penasehat di Harare akhir bulan yang lalu Partners telah
mempunyai anggota sebanyak 16 negara yang mewakili sekitar 2/3 dari penduduk
negara berkembang. Negara-negara besar seperti RRC, India, Indonesia, Bangladesh,
Pakistan, Mesir, dan banyak negara berkembang lainnya telah menjadi anggota yang
setia. Selama tujuh tahun ini para ahli dari berbagai negara itu telah saling berkunjung
dengan ongkos yang jauh lebih murah karena masing-masing negara menjadi tuan rumah
dari para tamu yang sama-sama berasal dari negara berkembang. Mereka mengadakan
tukar menukar pengalaman dan latihan bersama tanpa ada rasa malu karena memang
sama-sama belajar dari pengalaman lapangan di negaranya masing-masing.
Akibat keberhasilan ini tingkat fertilitas di banyak negara berkembang menurun
dengan tajam, dan pertumbuhan penduduk bukan lagi momok yang tidak dapat
ditundukkan. Masing-masing mempunyai resep yang cocok dengan kultur negara
masing-masing yang berbeda dibandingkan dengan rumusan teksbook yang ada di
berbagai universitas di negara maju. Berkat keberhasilan itu banyak negara berkembang
terpaksa harus mengikuti pola transisi demografi yang cepat sementara masyarakat dan
pemerintahnya tidak atau belum siap mengantisipasi akibat dari piramida yang berubah
drastis tersebut.
Negara-negara berkembang mendadak mendapat ledakan angkatan muda yang
mengerikan dalam waktu yang sangat singkat, satu generasi, dibandingkan ledakan yang
sama di negara maju tetapi terjadi dalam waktu tiga sampai empat generasi. Karena
perubahan dengan dimensi waktu yang berbeda itu, maka proses adaptasi di negara maju
tidak bisa menjadi contoh negara berkembang. Negara berkembang mendapat tantangan
baru yang mengasyikkan.
Dalam konteks semacam itulah para pemimpin dan para penasehat yang baru-baru ini
berkumpul di Harare menanggapi tantangan itu dengan tekad yang makin menggebu
untuk menjadikan kemitraan dalam Partners sebagai kekuatan untuk mempersiapkan
tenaga muda menyongsong masa depannya dengan lebih tegar. Partners segera
mengembangkan advokasi dan latihan kepemimpinan dengan pendekatan Visionary
Leadership untuk menciptakan para pemimpin baru yang berorientasi kemanusiaan dan
mampu mengajak dan memberi kesempatan setiap penduduk untuk membangun.
Mudah-mudahan kunjungan muhibah Ibu Megawati Soekarnoputri, sekaligus
dalam memperingati Hari Kemerdekaan RI yang ke 56, dapat makin meyakinkan
negara-negara sahabat bahwa putra-putra bangsa ini dapat terus menggalang
persahabatan dunia yang makin bermakna. Upaya ini kiranya menjadi komitmen kita
bersama untuk bersama dengan Ibu Megawati Soekarno Putri dan Bapak Hamzah Haz,
kita bangkitkan generasi muda Indonesia menjadi manusia-manusia unggulan yang bisa
dengan lebih tegar menjadi penggerak persahabatan dunia. Semoga bangsa Indonesia
dalam usianya yang makin dewasa selalu mendapat limpahan rahmat dan hidayah dari
Tuhan Yang Maha Esa. Dirgahayu Indonesia. (Prof. Dr. Haryono Suyono, Pengamat
Masalah Sosial Kemasyarakatan) - SAHABAT-2582001.
ANAK-ANAK DUNIA HADAPI PERANG,
BERAPA JUTA LAGI HARUS DIKORBANKAN?
Delapan puluh Kepala Negara serta wakil-wakil negara lain setingkat Menteri
dari seluruh Dunia, yang sangat peduli terhadap nasib anak-anak di masa depan,
menggelar pertemuan paling akbar pada Sidang Khusus PBB tentang Anak, di New
York, tahun 2001. Namun, kurang dari satu minggu dari pembukaan pertemuan yang
dipersiapkan oleh para pemimpin dan ahli-ahli selama satu tahun itu dibuka, telah terjadi
suatu tragedi serangan mendadak terhadap World Trade Center (WTC) di jantung kota
New York. Pertemuan yang sangat vital tersebut terpaksa ditunda.
Karena peristiwa itu, anak-anak dunia yang selama ini telah kalang kabut
menghadapi perang terhadap berbagai penyakit, kebodohan, ketidak pedulian, dan
akhirnya kemiskinan yang tidak kunjung selesai, hari-hari ini dibayangi ketakutan
menghadapi ancaman perang baru yang lebih dahsyat dan sangat mengerikan.
Selama ini, anak-anak dunia telah banyak mengalami, ikut serta dan menjadi
korban berbagai perang atau konflik yang tidak terhitung jumlahnya. Tetapi gambaran
kemungkinan perang baru sebagai akibat dihancurkannya gedung WTC dan Pentagon di
Amerika Serikat itu sungguh sangat mengerikan. Dengan kemajuan tehnologi dan
kemampuan industri persenjataan yang canggih, peperangan atau konflik bersenjata yang
terbaru akhir-akhir ini telah memanfaatkan anak-anak dan remaja. Akibatnya, anak-anak
tidak saja menjadi korban karena terkena peluru nyasar atau karena ledakan bom yang
salah sasaran. Dengan tersedianya produk senjata ringan yang terdiri dari pistol, senapan
ringan, sampai AK-47 yang relatip ringan dan makin canggih telah memungkinkan anakanak
dibawah usia 18 tahun menentengnya sebagai bawaan untuk bisa berperan sebagai
prajurit di medan laga.
Dengan senjata ringan tersebut, yang jumlahnya lebih dari ½ milyar, atau sekitar
1 pucuk senjata untuk setiap 12 orang, dan beredar dengan luas di seluruh dunia, anakanak
dengan mudah dapat dipersenjatai. Anak-anak yang sedang tumbuh rupanya
menyukai “lakon” yang penuh advorisme, atau petualangan seperti bintang sinetron, atau
film-film advonturir, atau pemain dalam lakon jagoan lainnya, dan dengan senang hati
siap menjadi prajurit dan mengikuti kegiatan yang penuh tantangan.
Menurut data UNICEF, tidak kurang dari 300.000 anak-anak telah ikut serta
dalam kegiatan perang sungguhan di beberapa negara Afrika. Di Sierra Leon, dalam
suatu “perang anak -anak” yang mengerikan, tidak kurang dari separo gerilyawan yang
ada berumur dibawah 18 tahun. Mereka ikut sebagai prajurit, agen-agen spionase, ikut
bertempur di medan laga, dan tidak jarang ikut memberikan pelayanan seksual kepada
para seniornya.
Di Uganda bagian Utara, tidak kurang dari 12.000 anak-anak dibawah usia 18
tahun ikut serta dalam pasukan “Lord’s Resistant Army” sejak tahun 1985. Merekapun
ikut dilatih, dikirim ke medan laga, mengalami kehidupan yang penuh dengan hubungan
seksual, terkena penyakit menular dan tidak jarang yang mengidap Virus HIV/AIDS yang
mematikan. Di Colombia, Amerika Latin, tidak kurang dari 30 persen anggota-anggota
unit gerilya adalah anak-anak dan remaja yang berusia dibawah 18 tahun.
Dengan adanya “prajurit -prajurit anak-anak” yang langsung dikirim ke medan
laga tersebut dengan sendirinya tidak dapat dihindari kematian anak-anak pada usia yang
sangat muda. Disamping itu pada hampir setiap perang, apakah itu perang yang besar
dengan terlebih dulu diumumkan, atau sekedar adanya konflik sosial politik, atau konflik
jenis lainnya, anak-anak dan Ibu rumah tangga adalah korban terbesarnya. Sejak tahun
1990 lebih dari 2 juta anak-anak telah meninggal dunia karena peperangan semacam itu.
Disamping itu diperkirakan pula sekitar 6 juta anak-anak telah menderita cacat, dan
sekitar 20 juta anak-anak terpaksa meninggalkan rumah dan lingkungan desanya
mengungsi ke tempat yang lebih aman.
Lembaga-lembaga internasional telah berusaha untuk mengembalikan anak-anak
yang dipaksa atau terpaksa ikut dalam pertempuran semacam itu ke desanya atau kepada
orang tuanya masing-masing. Baru-baru ini tidak kurang dari 227 anak-anak berusia
antara 10 – 18 tahun, dengan bantuan lembaga internasional, telah dikembalikan ke
masyarakat di Kigali di dekat Ibukota Ruwanda setelah selama musim panas yang lalu
terpaksa ikut serta dalam kamp-kamp di daerah konflik yang berbahaya. Dengan bantuan
UNICEF, baru-baru ini sekitar 3481 anak-anak dan ramaja dibawah usia 18 tahun
dikembalikan ke masyarakat di Sudan Selatan setelah selama 5 bulan mereka mengikuti
perang saudara yang mengerikan di Sudan.
Dari gambaran itu selalu dicatat apapun wujud perangnya, sejak jaman dahulu
kala peperangan selalu membawa korban. Korban itu umumnya adalah anak-anak, ibu
rumah tangga atau penduduk sipil yang tidak berdosa. Pada masa perang di tahun 1890-
an korban penduduk sipil itu relatip masih rendah, yaitu hanya sekitar 5 persen saja. Pada
periode Perang Dunia pertama korban dari kalangan sipil yang tidak berdosa itu sudah
meningkat menjadi 15 persen. Pada Perang Dunia kedua korban penduduk sipil dan anakanak
itu sudah mencapai 65 persen. Tetapi peperangan yang nampaknya tidak terlalu
dahsyat di tahun 1990-an, dengan menggunakan tank-tank besar, pesawat terbang jet
dengan kemampuan pengeboman yang luar biasa, serta makin banyaknya senjata ringan
yang dipergunakan dengan mudah oleh anak-anak dan remaja, korban penduduk sipil dan
anak-anak yang jatuh telah naik menjadi sekitar 90 persen.
Dengan demikian, penggunaan anak-anak dan remaja, yang sebenarnya
melanggar Artikel 21, 38, dan 39 dari ”Konvensi tentang Hak -hak Anak” yang tidak
memberi peluang untuk menempatkan anak-anak pada kegiatan yang berbahaya, yang
teoritis memberikan hak kepada anak untuk berkumpul dengan keluarga, dan hak-hak
anak lainnya, dalam praktek penggunaan anak-anak dan remaja sebagai prajurit tameng,
prajurit pengintai yang menantang bahaya, atau prajurit penghibur seksual tetap saja
menempati jumlah yang makin membesar.
Disamping perang, timbul pula kerusuhan antar suku, antar agama, antar etnik,
atau antar kepentingan, yang “relatip ringan” yang selama beberapa tahun ini telah
terjadi di beberapa negara. Indonesia tidak terkecuali dari musibah tersebut. Beberapa
tahun terakhir ini beberapa daerah di Indonesia mengalami kejadian tersebut yang
ternyata membawa akibat yang sangat mengerikan. Biarpun kita tidak tahu secara tepat
berapa banyak yang telah terbunuh akibat konflik itu, tetapi yang jelas menurut catatan,
di pada tahun 2000, di Indonesia terdapat tidak kurang dari 1,2 juta jiwa pengungsi
tersebar di 19 provinsi. Para pengungsi itu terdiri dari orang tua, para Ibu yang
ditinggalkan suaminya, anak-anak yang tidak berorang tua lagi, anak-anak yang tidak
mempunyai bapak lagi, atau anak-anak yang tidak mempunyai Ibu lagi. Menurut catatan
jumlah mereka ada sekitar 350.000 anak-anak. Anak-anak itu sebagian besar, atau
sekitar 125.000 adalah anak-anak dari Maluku, 100.000 anak-anak dari TimTim, dan
sekitar 75.000 anak-anak dari Aceh. Anak-anak itu sebagian besar terpaksa tidak sekolah
dan hidup bersama orang tuanya, atau ibunya, atau saudaranya, atau di pengungsian
sendirian tanpa kerabat dengan penderitaan yang sangat menyedihkan.
Prosentase anak-anak yang mengungsi di masing-masing daerah berbeda-beda. Di
daerah yang penderitaannya sangat tinggi, dimana banyak para Bapak atau para Ibu yang
meninggal dunia meninggalkan anak-anaknya, prosentase jumlah anak-anak itu bisa
mencapai 80 persen dari seluruh pengungsi yang ada. Dalam kondisi seperti itu
penderitaan anak-anak tersebut menjadi sangat berganda dan tidak pernah terbayangkan
kapan persoalan yang rumit seperti ini dapat diselesaikan. Anak-anak itu tidak bisa
membayangkan kapan bisa tumbuh kembang dengan suasana yang lebih harmonis.
Biarpun menurut ukuran dunia apa yang kita hadapi ini “ringan”, tetapi sampai
hari ini kita belum bisa memecahkan persoalan yang rumit dan sangat mahal tersebut.
Upaya untuk membuat Panti Asuhan akan memakan biaya yang mahal dan memerlukan
tenaga pembimbing yang luar biasa banyaknya. Sementara itu upaya untuk membantu
keluarga yang menderita dengan mengembalikan ketempat asal semula, nampaknya tidak
semudah membalik tangan. Banyak keluarga yang mengalami trauma dan belum siap
untuk kembali ke tempat asalnya semula.
Tidak banyak pilihan yang tersisa. Mereka berada dalam tempat pengungsian,
baik dalam asrama atau ikut keluarga lain yang baik hati, dengan bekal yang sangat tipis,
kalau ada atau kalau belum habis, akan selalu dalam keadaan yang menderita. Mereka,
biarpun sebelumnya mungkin saja bukan keluarga pra sejahtera atau keluarga miskin,
bisa-bisa akan menjadi keluarga yang sangat menderita. Kita semua, termasuk para
pengungsi sendiri, harus mengambil tindakan yang konkrit dan cepat.
Kalau ancaman serangan balik yang sementara ini dicanangkan oleh Pemerintah
Amerika betul-betul diwujudkan, bisa saja terjadi perang karena saling balas membalas
yang membabi buta. Kalau peperangan itu merembet ketempat-tempat lain, bisa saja
memicu Perang Dunia III yang dahsyat dengan korban yang akan sangat besar.
Akibatnya, dunia akan dilanda berbagai krisis yang luar biasa. Krisis ekonomi dengan
pangan yang makin langka akan menyebabkan Ibu-ibu dan anak-anak akan sangat
menderita dan mengalami kekurangan gizi yang parah. Di Indonesia, selama sepuluh
tahun terakhir ini saja kita telah mendapat kesukaran untuk menurunkan tingkat kematian
ibu karena mengandung dan melahirkan. Kalau terjadi perang dan kelangkaan pangan,
maka angka kematian ibu yang sudah mulai berada dibawah angka 400 per 100.000 ibuibu
yang melahirkan dengan mudah bisa mencuat lagi.
Tingkat kematian bayi dan anak-anak dibawah usia lima tahun, yang mulai dapat
diturunkan menjadi sekitar 43 – 45 per 1000 pada tahun 2000 dengan mudah bisa
menjadi duakali lipat. Angka kematian anak dibawah usia lima tahun yang telah dengan
susah payah dapat diturunkan menjadi dibawah angka 60 per 1000 kelahiran dengan
mudah dapat naik lagi tanpa komando.
Jumlah keluarga di negara-negara berkembang dan miskin yang selama ini
dengan susah payah mengurangi jumlah anak-anaknya yang terpaksa bekerja di bawah
umur, dengan mudah akan “terpaksa mengijinkan anaknya”, yang masih dibawah umur,
untuk bekerja kembali membantu menghidupi seluruh isi keluarga yang ada. Para orang
tua pasti akan merelakan anak-anaknya bekerja dibawah umur, biarpun dilarang undangundang
dan berbagai konvensi dunia.
Di Indonesia keadaan kita dalam hal ini belum juga dapat diatasi. Banyak anakanak
terpaksa bekerja biarpun usianya belum mencapai usia kerja, baru berusia 10-14
tahun. Jumlah anak-anak yang terpaksa bekerja dibawah umur itu pada tahun 1990
sekitar 2,3 juta anak. Pada tahun 1997 sempat menurun menjadi 1,7 juta. Tetapi karena
krisis ekonomi yang berkepanjangan, sejak tahun 1998 jumlah itu naik lagi dan pada
tahun 2000 mendekati angka 2,1 juta anak. Orang tua yang tidak mampu tidak bisa
mencegah apalagi melarang kegiatan anak-anak itu.
Karena itu, marilah kita berpikir dengan kepala dingin. Marilah kita kembangkan
pendekatan yang penuh kedamaian agar nasib anak-anak dan remaja yang selama ini
sudah sangat menderita, tidak ditambah lagi dengan balas dendam emosional tanpa
perhitungan, atau diselesaikan dengan peperangan yang belum tentu menyelesaikan
masalah. (Prof. Dr. Haryono Suyono, Pengamat Masalah Sosial Kemasyarakatan). –
Anak-Perang-2292001.
SIDANG KHUSUS PBB TENTANG ANAK
Sidang Khusus PBB tentang Anak di New York tahun 2001 disiapkan secara
marathon sejak Sidang Umum PBB yang menyetujui Resolusi nomor 53/93 untuk
mengadakan Sidang Khusus PBB tentang Anak tersebut. Dengan persiapan yang sangat
intensip, diperoleh informasi dari Panitia di New York bahwa Sidang Khusus PBB
tersebut, yang bisa menjadi peristiwa terpenting awal abad itu, telah mendapat komitmen
kehadiran 79 Kepala Negara.
Sidang Khusus PBB itu merupakan kulminasi dari ratusan pertemuan yang telah
diadakan secara intensip di seluruh dunia. Pertemuan-pertemuan intensip itu telah
dihadiri oleh ribuan pemimpin dunia, para ahli, pendidik, anak-anak dan remaja, pada
tingkat nasional, regional, bahkan global. Berbagai pertemuan penting itu telah
membahas dan menilai kemajuan dan kekurangan hasil kerja bersama dunia selama
sepuluh tahun terakhir. Atas dasar penilaian itu dikembangkan komitmen awal untuk
sepuluh tahun yang akan datang. Bahan-bahan itu dijadikan agenda yang sangat penting
pada Sidang Khusus di New York nanti. Mengingat pentingnya agenda pertemuan itu,
banyak kalangan mengharapkan Presiden RI, Ibu Megawati Soekarnoputri, dapat hadir
secara pribadi dalam Sidang Khusus PBB yang sangat vital tersebut.
Dalam persiapan yang sangat intensip di seluruh dunia itu, disamping adanya
ratusan pertemuan tingkat nasional, setidak-tidaknya ada enam pertemuan tingkat
regional dimana para wakil pemerintah telah melaporkan kemajuan dan kekurangan
negara masing-masing dalam melaksanakan target-target yang telah disepakati bersama
pada Sidang Tingkat Tinggi pada tahun 1990. Laporan-laporan itu telah menjadi bahan
perdebatan yang menarik. Perdebatan itu menghasilkan kesimpulan yang hampir serupa
bahwa perhatian tentang anak harus terus ditingkatkan.
Tidak itu saja. Berbagai pertemuan lain yang diselenggarakan secara intensip
pada bulan Oktober 2000 di Jamaika telah menghasilkan Kingston Consensus yang
kemudian disusul dengan banyak sekali pertemuan lain pada tahun 2001. Berbagai
pertemuan itu telah menghasilkan komitmen antar negara yang mempunyai bobot politik
yang sangat tinggi. Pertemuan Pan Africa yang diikuti oleh negara-negara Afrika di
Kairo, pada bulan Mei 2001, telah menghasilkan Posisi Bersama Afrika tentang Anak.
Pertemuan Konsultasi tingkat Menteri yang kelima di Beijing, pada bulan Mei 2001,
telah diikuti oleh 21 negara-negara Asia Timur dan Pasifik juga telah menghasilkan
Deklarasi Beijing tentang Anak. Selanjutnya pertemuan 52 negara-negara Eropa di
Berlin pada bulan yang sama telah pula menghasilkan Komitmen Berlin tentang Anak.
Pertemuan serupa di Rabat, dan di Katmandu telah menghasilkan komitmen atau
deklarasi yang serupa. Hasil-hasil pertemuan itu telah secara langsung disampaikan
kepada setiap negara untuk mendapat tanggapan lebih lanjut. Bahan yang sama
diteruskan kepada Sekretaris Jendral PBB, Kofi Annan, sebagai bahan untuk menyusun
laporan kemajuan negara-negara di dunia dalam menangani masalah anak-anak.
Laporan Kemajuan Dunia
Atas dasar bahan-bahan yang berasal dari seluruh dunia tersebut, Sekretaris
Jendral PBB telah menyusun suatu laporan dunia untuk Sidang Khusus yang sangat
penting itu. Laporan Sekjen PBB yang diberi judul “We the Children” itu dikembalikan
kepada setiap negara pada bulan Juni lalu untuk ditelaah dan disempurnakan. Laporan itu
mengandung pula beberapa rekomendasi yang diharapkan akan makin diperkaya oleh
masing-masing negara yang bisa disampaikan sebelum konperensi, atau dilemparkan
dalam konperensi yang sangat penting itu di New York nanti.
Dari dokumen “We the Children” dengan segala rekomendasinya itu para
pemimpin dari seluruh dunia akan melahirkan suatu dokumen bersama yang untuk
sementara disebut sebagai “A World Fit f or Children” yang berisi deklarasi dan
komitmen politik serta Rencana Program Aksi Anak untuk masa sepuluh tahun yang
akan datang. Deklarasi dan Rancangan Program Aksi itu diharapkan merupakan
konsensus dari hasil perdebatan di New York dengan basis laporan Sekjen PBB tersebut.
Karena itu Pidato Kepala Negara pada Sidang PBB nanti akan menjadi dokumen yang
sangat penting untuk diperdebatkan dan bisa mewarnai hasil kesepakatan dunia nanti.
Dari dokumen Sekretaris Jendral PBB “We the Children” dapat kita li hat berbagai
kemajuan yang telah diraih oleh negara-negara di dunia selama sepuluh tahun terakhir.
Sejak Pertemuan Puncak (Summit Meeting) di tahun 1990 tidak kurang dari 155 negara
telah berhasil menyusun Rencana Program Aksi untuk anak-anak. Tidak kurang dari 100
negara melakukan monitoring yang sangat inten terhadap program-programnya. Yang
juga cukup menggembirakan adalah bahwa sekitar 192 negara telah meratifikasi atau
menanda tangani Konvensi tentang Hak-hak Anak, suatu kemajuan yang sangat
menggembirakan. Sekretaris Jendral PBB secara rutin setiap tahun selalu melaporkan
pelaksanaan Rencana Program Aksi itu dalam Sidang-sidang Umum tahunan PBB di
New York.
Dalam bidang kesehatan anak-anak, dilaporkan bahwa tidak kurang dari 63
negara telah mencapai target 1990, yaitu penurunan tingkat kematian anak dibawah
usia lima tahun sebanyak sepertiga keadaannya pada tahun 1990. Disamping itu tidak
kurang dari 100 negara telah berhasil menurunkan tingkat kematian anak dibawah usia
lima tahun sebesar 20 persen. Tingkat kematian anak karena diare atau mencret, yang
biasanya merupakan salah satu penyebab kematian anak dibawah usia lima tahun yang
terbesar, telah berhasil diturunkan dengan 50 persen. Keberhasilan itu telah
menyelamatkan tidak kurang dari satu juta nyawa anak-anak balita dari seluruh dunia.
Ditambah dengan keberhasilan imunisasi yang dilakukan di banyak negara, tidak kurang
dari 3 juta kematian anak telah dapat dicegah.
Tingkat kesehatan anak-anak balita yang lebih baik itu menambah kepercayaan
para orang tua di seluruh dunia terhadap kelangsungan hidup anak-anak balitanya.
Kepercayaan itu mempermudah para relawan gerakan KB untuk menyampaikan
pesannya kepada masyarakat luas. Itu mungkin yang menjadi salah satu sebab bahwa
biarpun penduduk dunia bertambah dengan sekitar 800 juta selama sepuluh tahun
terakhir, tetapi bayi yang dilahirkan pada tahun 2000 ternyata lebih kecil jumlahnya,
yaitu sekitar 13 juta lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah bayi yang dilahirkan pada
tahun 1990 yang lalu. Keberhasilan itu tidak saja membuat para petugas gerakan KB
seluruh dunia girang, tetapi juga memungkinkan para orang tua bisa menjaga tumbuh
kembangnya anak-anak mereka dengan lebih baik.
Dalam bidang pendidikan dicapai kemajuan yang cukup membesarkan hati.
Jumlah anak-anak yang masih sekolah meningkat dengan cukup baik. Kalau di tahun
1990 tingkat melek huruf hanya sekitar 75 persen, pada tahun 2000 meningkat
mendekati angka 80 persen. Sangat menggembirakan bahwa kemajuan melek huruf ini
diikuti pula dengan jumlah ibu-ibu yang tetap menyusui bayinya. Kalau semula terjadi
tren penurunan yang mengkawatirkan dari ibu-ibu yang tidak menyusui anak-anaknya,
selama sepuluh tahun terakhir ini tren itu dapat dikembalikan kepada pola yang lebih baik
dengan kenaikan sekitar 30 persen.
Namun, dalam sepuluh tahun terakhir ini persoalan anak-anak dan remaja belum
seluruhnya dapat diselesaikan. Ada sekitar 10 juta anak-anak yang tetap meninggal
dunia padahal anak-anak itu sebenarnya dapat diselamatkan. Ada sekitar 150 juta
anak-anak kekurangan gizi. Ada lebih 100 juta anak-anak tidak sekolah, tragisnya
sekitar 60 persen adalah anak-anak perempuan. Lebih tragis lagi kalau dilihat secara
seksama ternyata anak-anak yang tidak sekolah itu adalah anak-anak yang terpaksa
bekerja karena orang tuanya sangat miskin, mengungsi karena konflik sosial, atau anakanak
keluarga miskin yang tidak kuat membayar sekolah, atau anak-anak dari keluarga
minoritas yang tersisihkan, dan anak-anak cacat. Jutaan anak-anak lainnya terpaksa
sekolah pada sekolah yang pelayanan dan mutunya sangat tidak memadai.
Konflik antar suku, daerah dan agama yang disulut oleh kepentingan politik
orang-orang dewasa, selalu saja mengorbankan anak-anak dan kaum ibu yang tidak
berdosa. Mereka umumnya menjadi korban keganasan dan kebiadaban yang melanggar
hak-hak azasi manusia dengan sangat memilukan. Persoalan itu ditambah dengan
pandemi HIV/AIDS yang mencapai puncak yang sangat mengerikan di beberapa negara,
khususnya di Sub Sahara Afrika. Pada akhir tahun 2000 penyakit itu telah membunuh
tidak kurang dari 22 juta jiwa. Sekitar 10,4 juta anak-anak dibawah usia 15 tahun
menjadi yatim piatu yang sangat menderita. Mereka dihantui dengan rasa takut yang
mengerikan, harapan masa depan yang pupus, serta isolasi dan diskriminasi dari
masyarakat sekitarnya. Penyakit itu telah membunuh para orang tua mereka, petugas
kesehatan, guru, dan para penyelenggara negara yang biasanya mengurus kehidupan dan
pembangunan daerahnya. Kalau toh anak-anak itu nantinya bisa sekolah, akan memakan
waktu bertahun-tahun sebelum pemerintah bisa memulihkan kualitas pendidikan dan
sosial lainnya dengan sumber daya manusia yang baru dan berkualitas.
Karena katastrope itu usia harapan hidup yang semula mulai meningkat dengan
tajam telah turun drastis. Di negara-negara yang terkena dampak yang memilukan itu
penurunannya mencapai rata-rata sekitar 18-23 tahun. Dalam keadaan seperti itu
beberapa negara telah mengambil langkah serangan balik yang gegap gempita, tetapi
masih banyak penderita yang menunggu ajalnya, sebagian dengan pengobatan yang
mahal, dan sebagian lagi dengan putus asa dan pasrah karena biaya pengobatan yang
tidak pernah bisa terjangkau.
Karena itu kemiskinan tetap menjadi musuh nomor satu dari anak-anak maupun
bangsa-bangsa di seluruh dunia. Menurut laporan Bank Dunia, disamping banyak
keluarga hidup dalam kemewahan, sekitar separuh penduduk dunia masih hidup dalam
kemiskinan, bahkan masih banyak yang tidak tahu apakah hari ini akan bisa makan.
Sekitar 3 milyar penduduk dunia hidup dengan US$ 2 atau kurang sehari. Dari jumlah
itu ada sekitar 1,2 milyar jiwa hanya hidup dengan US$ 1 setiap hari, dan separo dari
jumlah itu adalah anak-anak. Mereka hidup dalam kemiskinan yang memilukan.
Konsekwensinya sangat mengerikan. Dalam tiga setengah abad sejak tahun 1960
sampai tahun 1995 jurang perbedaan tingkat pendapatan per kapita penduduk negaranegara
berkembang dan negara maju makin menganga tiga kali lebih lebar. Perempuan
dan anak-anak menjadi korban perlombaan dan penjualan senjata gelap. Diskriminasi
terhadap perempuan tidak juga mengendor biarpun advokasi tentang kesamaan jender
berdengung lebih nyaring di banyak negara.
Tingkat kematian ibu mengandung dan melahirkan di negara-negara miskin tetap
berada pada angka yang sangat tinggi. Disamping itu desakan kemiskinan menghalalkan
prostitusi dan abuse seksual lainnya dengan mengorbankan wanita sebagai umpan
penyakit seksual serta serangan HIV/AIDS yang mematikan. Bahkan kalau mereka
terkena serangan Virus yang mematikan itu, wanita dan anak-anak tetap mendapat
penanganan yang sangat diskriminatip.
Konflik antar suku, daerah dan agama, yang biasanya disertai perdagangan senjata
gelap, umumnya juga mengorbankan wanita dan anak-anak. Selama sepuluh tahun
terakhir ini, konflik itu telah membunuh tidak kurang dari 2 juta anak-anak disamping
meninggalkan anak yatim piatu dan pengungsi yang tidak tahu lagi masa depannya
dengan pasti. Tidak kurang dari 35 juta jiwa, dimana sekitar 80 persen adalah anakanak,
berada dalam status mengungsi di barak-barak yang tidak memenuhi standar atau
di tempat-tempat pengungsian yang sangat menyedihkan.
Dengan berbagai persoalan yang tersisa itu, yang juga kita miliki dan sedang kita
perjuangkan penyelesaiannya, kita berharap mudah-mudahan Ibu Presiden Megawati
Soekarnoputri menegaskannya di New York dengan pengalaman nyata di lapangan. Kita
berharap Ibu Presiden ikut memberi semangat dan mewarnai perjuangan dunia untuk
anak-anak harapan masa depan tersebut. (Prof. Dr. Haryono Suyono, Pengamat Masalah
Sosial Kemasyarakatan). – Anak-1592001.
NEGARA BERKEMBANG IKUTI POLA TRANSISI DEMOGRAFI
Tahun 1994, bersamaan dengan peranan Indonesia sebagai Ketua Gerakan Non Blok,
para ahli kependudukan dari seluruh dunia, khususnya dari negara-negara Selatan-
Selatan, berkumpul di Jakarta. Dengan semangat persatuan yang erat, secara serius dan
tekun, para ahli itu bicara tentang persiapan Konperensi Kependudukan Dunia yang
diadakan kurang dari sebulan, yaitu pada bulan September 1994, di Kairo, Mesir. Para
ahli menyatukan sikap untuk membawa Konperensi yang hanya sekali dalam sepuluh
tahun itu makin menguntungkan negara-negara berkembang. Disitulah, dengan dukungan
yang kuat dari Ketua Gerakan Non Blok pada waktu itu, para ahli memutuskan
membentuk suatu Lembaga Internasional dalam bidang Kependudukan dan
Pembangunan sebagai wadah untuk menggalang persatuan, kesatuan dan
mengkoordinasikan program-program yang menguntungkan penduduk negara-negara
berkembang.
Kebulatan tekad yang dicapai di Jakarta itu dibawa oleh para ahli dari berbagai
negara dengan komitmen yang tinggi, baik sebagai Pimpinan atau Anggota Delegasi
resmi negara masing-masing, ke Konperensi Kependudukan Dunia di Kairo, Mesir,
pada bulan September 1994. Di tengah hiruk pikuknya Konperensi yang anggun dan
dihadiri oleh Wakil-Wakil Pemerintah dan Ahli-ahli Kependudukan dari seluruh dunia
itu, para pemrakarsa, yang antara lain terdiri dari Dr. Timothy J. Stamps dari Zimbabwe,
Dr. Geudana dari Tunisia, Dr. Gregorio Perez-Palacios dari Mexico, Dr. Steve Sinding
dari Amerika Serikat, dan kami sendiri, mendeklarasikan kesepakatan Jakarta dengan
mengumumkan terbentuknya Lembaga Internasional (semi pemerintah) “Partners in
Population and Development” .
Segera setelah deklarasi, biarpun sebelumnya telah dilakukan loby yang sangat
intensip, para pemimpin lembaga-lembaga internasional mengerubuti para pemrakarsa
untuk mengetahui visi dan misi yang ingin dikembangkan oleh Partners. Dengan sabar
setiap anggota pemrakarsa menjelaskan misi dan visi yang tidak lain adalah keinginan
untuk menjadikan lembaga Partners sebagai wadah pemersatu yang mempunyai
kekuatan dan kemampuan advokasi untuk bisa membantu para anggota maupun bukan
anggota yang adalah negara-negara berkembang dalam mendapatkan dukungan dari
negara-negara lain yang lebih maju, atau dari lembaga donor internasional.
Secara sabar dijelaskan kepada mereka yang curiga akan maksud baik kerjasama
antara negara selatan-selatan dan utara dengan contoh-contoh konkrit keberhasilan
kerjasama antara Program Kependudukan dan KB Indonesia dengan Program serupa di
Bangladesh dengan bantuan negara maju, Amerika Serikat. Selama tidak kurang dari
tiga tahun pemerintah Bangladesh, dengan bantuan USAID dari Amerika Serikat, telah
mengirim lebih dari 2.000 petugas-petugasnya dari tingkat desa, kecamatan dan kantor
pusatnya Dhaka untuk “nyantri” di Indonesia. Mereka tinggal bersama para pemimpin
dan penggerak program di kecamatan dan pedesaan di Indonesia untuk mengetahui
keberhasilan serta kesulitan-kesulitan yang dialami dalam mengajak pasangan usia subur
untuk menyadari pentingnya KB, menjadikan mereka penggerak di desanya, dan
akhirnya menjadi peserta KB yang lestari.
Mereka kita sebut sebagai “peserta magang” dan “bukan peserta latihan”,
untuk memberi hormat bahwa mereka adalah pemimpin di desa dan kecamatan di
negaranya. Namun, sebagai sesama anggota negara non blok, sebagai sesama bangsa
selatan-selatan, mereka harus bisa ikut merasakan hidup bersama dengan rekan-rekannya
di desa dalam kultur apa adanya. Dengan tinggal bersama para petugas di desa, yang
relatip mempunyai kehidupan yang hampir serupa, sama miskinnya, sama kurang
terpelajarnya, dan mempunyai agama yang sama, para peserta magang atau petugas
Bangladesh itu dapat menyerap pengalaman program KB disini dengan sangat cepat.
Dengan pengalaman langsung yang sangat sederhana itu para peserta magang merasa
bahwa kerjasama ini memberikan dorongan rasa percaya diri yang sangat kuat karena
ternyata rekannya yang sangat sederhana dan adalah penduduk biasa di desa-desa di
Indonesia bisa melaksanakan program yang selama ini mereka rasakan sangat sukar
diterima masyarakat, ternyata bisa berjalan mulus dan berhasil. Dengan melihat dan
mengamati secara cermat pendekatan yang dilakukan oleh para pemimpin dan penduduk
desa yang peduli, mereka yakin bahwa merekapun bisa melakukan hal yang serupa di
negaranya. Karena setiap rombongan dari Bangladesh adalah tokoh dari berbagai cabang
profesi di desa atau kecamatannya, ternyata selama mengikuti proses magang disini telah
terjadi pula kebulatan tekad baru diantara berbagai kalangan tersebut. Kebulatan tekad
yang terbentuk dan mengkristal selama mereka berada di Indonesia itu terbawa kembali
ke tanah airnya sebagai komitmen dan kekompakkan baru yang sangat diperlukan untuk
menggerakkan program dengan gegap gempita.
Akibatnya sungguh mengagumkan. Banyak cara-cara pendekatan yang berhasil
maupun kegagalan yang kita lakukan di Indonesia menjadi bahan pembicaraan yang tidak
berkeputusan di desa-desa dan kecamatan di Bangladesh. Mereka melakukan analisis
yang kritis terhadap apa yang dilakukan oleh para petugas di desa-desa di Indonesia.
Segera setelah kembali ketanah airnya mereka menyusun program-program dan kegiatan
yang menurut keyakinannya lebih cocok untuk masyarakat Bangladesh. Programprogram
itu mereka rencanakan dan mereka laksanakan seakan tidak mau kalah dengan
rekan-rekannya di Indonesia.
Program kependudukan dan KB di Bangladesh dengan sontak mendapat darah segar
dari para petugas yang telah “nyantri” di negara yang sama-sama berkembang. Dan
ternyata program semacam ini, kerjasama selatan-selatan, sukar untuk ditiru dengan
negara yang telah terlalu maju karena asumsi, situasi dan kondisinya yang berbeda.
Berkat kerjasama itu program KB di Bangladesh dengan cepat mengejar dan seakan tidak
mau ketinggalan dengan keberhasilan yang menjadi sangat terkenal di Indonesia. Dalam
waktu kurang dari limabelas tahun program KB di Bangladesh telah berhasil menyusul
sukses yang telah diraih Indonesia !
Kawan-kawan pemrakarsa juga memberikan contoh pengalaman yang sama di
Tunisia yang selama beberapa tahun sebelumnya telah mengirim para petugasnya untuk
mengetahui keberhasilan KB di Indonesia. Dari pengalaman bermitra bersama negara
berkembang itu mereka melihat bahwa Tunisia telah berhasil mengembangkan program
yang cocok dengan kulturnya. Mereka menyebutkan adanya kemiripan program Tunisia
yang menjemput para calon peserta KB-nya di desa-desa dengan program yang mereka
sebut sebagai Program “F.P. Caravan”. Program ini sangat mirip dengan program
pelayanan sampai ke pintu-pintu rumah di desa-desa yang dikenal di Indonesia atau
program menjemput bola, atau Safari KB, atau pelayanan oleh kelompok-kelompok dan
para bidan di pedesaan.
Dengan berbagai contoh itu negara-negara maju maupun lembaga-lembaga donor
mulai kurang kecurigaannya. Mereka mulai memberikan dorongan moril dan menganut
sikap “netral” atau “wait and see”. Tim pemrakarsa segera membentuk suatu Pengurus
Sementara atau Tim Pejuang. Indonesia sebagai salah satu pemrakarsa diminta
menjadi penggeraknya. Layar segera digelar, dan biduk mulai melaju mengarungi
samodra yang penuh tantangan menuju cita-cita mengentaskan keluarga-keluarga
tertinggal di negara-negara Selatan-Selatan yang terpuruk. Dari pengalaman tidak resmi
di Kairo, terutama dengan kecurigaan negara-negara donor dan badan-badan
internasional, semua pemrakarsa sadar bahwa perjuangan tidak mudah, tidak bisa selalu
mulus, cita-cita negara berkembang yang menampakkan hasrat untuk maju belum tentu
menyenangkan negara atau lembaga tertentu, atau segera mendapat tanggapan positip
dari negara atau lembaga lain yang selama ini telah bertindak sebagai “pemimpin
dunia” .
Selama satu tahun Panitia atau Tim Pejuang terus berupaya dan bekerja keras. Satu
tahun setelah itu, pada tahun 1995, digelar sidang lengkap pertama dari para pendiri di
Harare, Zimbabwe. Panitia Penggerak, dengan dukungan penuh Ketua Gerakan Non-
Blok, mengambil strategi membagi tanggung jawab diantara negara-negara penggerak.
Untuk itu Tim Pejuang menyerahkan kepemimpinan Lembaga ini kepada Dr. Guedana
dari Tunisia, dan menyepakati kantor pusat Lembaga baru ini di Bangladesh. Dengan
strategi itu pemerintah Indonesia, Bangladesh, Zimbabwe dan Tunisia menjadi sponsor
yang kuat dari pembentukan dan pengembangan lembaga Partners tersebut.
Kekompakkan itu nampak sampai hari ini, antara lain bahwa pemerintah Bangladesh
memberikan dukungan perkantoran dan ongkos-ongkos operasional harian kepada
lembaga ini di Dhaka. Disamping itu, sikap Indonesia yang tidak memaksakan kehendak
untuk menempatkan kantor pusat di Jakarta, atau ngotot untuk menjadi ketuanya, tetapi
hanya sanggup melanjutkan komitmen sebagai Sekretaris Jenderal organisasi ini, telah
disambut dengan simpati yang sangat tinggi. Lembaga ini segera menyebar keberbagai
penjuru negara-negara berkembang dan mendapat sambutan yang makin positip dari
negara donor atau lembaga-lembaga internasional.
Misi Indonesia membangun persahabatan mendapat sambutan simpati yang sangat
menarik. Sampai sidang para penasehat di Harare akhir bulan yang lalu Partners telah
mempunyai anggota sebanyak 16 negara yang mewakili sekitar 2/3 dari penduduk
negara berkembang. Negara-negara besar seperti RRC, India, Indonesia, Bangladesh,
Pakistan, Mesir, dan banyak negara berkembang lainnya telah menjadi anggota yang
setia. Selama tujuh tahun ini para ahli dari berbagai negara itu telah saling berkunjung
dengan ongkos yang jauh lebih murah karena masing-masing negara menjadi tuan rumah
dari para tamu yang sama-sama berasal dari negara berkembang. Mereka mengadakan
tukar menukar pengalaman dan latihan bersama tanpa ada rasa malu karena memang
sama-sama belajar dari pengalaman lapangan di negaranya masing-masing.
Akibat keberhasilan ini tingkat fertilitas di banyak negara berkembang menurun
dengan tajam, dan pertumbuhan penduduk bukan lagi momok yang tidak dapat
ditundukkan. Masing-masing mempunyai resep yang cocok dengan kultur negara
masing-masing yang berbeda dibandingkan dengan rumusan teksbook yang ada di
berbagai universitas di negara maju. Berkat keberhasilan itu banyak negara berkembang
terpaksa harus mengikuti pola transisi demografi yang cepat sementara masyarakat dan
pemerintahnya tidak atau belum siap mengantisipasi akibat dari piramida yang berubah
drastis tersebut.
Negara-negara berkembang mendadak mendapat ledakan angkatan muda yang
mengerikan dalam waktu yang sangat singkat, satu generasi, dibandingkan ledakan yang
sama di negara maju tetapi terjadi dalam waktu tiga sampai empat generasi. Karena
perubahan dengan dimensi waktu yang berbeda itu, maka proses adaptasi di negara maju
tidak bisa menjadi contoh negara berkembang. Negara berkembang mendapat tantangan
baru yang mengasyikkan.
Dalam konteks semacam itulah para pemimpin dan para penasehat yang baru-baru ini
berkumpul di Harare menanggapi tantangan itu dengan tekad yang makin menggebu
untuk menjadikan kemitraan dalam Partners sebagai kekuatan untuk mempersiapkan
tenaga muda menyongsong masa depannya dengan lebih tegar. Partners segera
mengembangkan advokasi dan latihan kepemimpinan dengan pendekatan Visionary
Leadership untuk menciptakan para pemimpin baru yang berorientasi kemanusiaan dan
mampu mengajak dan memberi kesempatan setiap penduduk untuk bekerja keras
membangun dirinya dan seluruh anak bangsanya.
Sebagai negara berkembang yang mempunyai pengalaman unik untuk menggelar
program-program pembangunan kependudukan yang berhasil, Partners mengajak pula
para pengusahanya untuk tertarik dan menghasilkan produksi alat, obat dan sarana yang
berkualitas tinggi yang sekaligus dapat dipergunakan oleh negara-negara semitra dengan
harga yang lebih terjangkau.
Mudah-mudahan dalam memperingati Hari Kemerdekaan RI kemarin, putraputra
bangsa yang besar ini dapat lebih mengembangkan persahabatan dunia yang akrab.
Upaya ini kiranya menjadi komitmen kita bersama untuk bersama dengan Ibu Megawati
Soekarno Putri dan Bapak Hamzah Haz, kita bangkitkan generasi muda Indonesia
menjadi manusia-manusia unggulan yang bisa dengan lebih tegar menjadi penggerak
persahabatan dunia. Semoga bangsa Indonesia dalam usianya yang makin dewasa selalu
mendapat limpahan rahmat dan hidayah dari Tuhan Yang Maha Esa. Dirgahayu
Indonesia. (Prof. Dr. Haryono Suyono, Pengamat Masalah Sosial Kemasyarakatan) -
SAHABAT-1882001.
MENGHADAPI LEDAKAN BARU PENDUDUK ASIA
PASIFIK
Kita masih ingat keprihatinan dunia terhadap ledakan penduduk di tahun 60 dan 70-an
telah menyatukan dunia untuk mengembangkan gerakan kependudukan dan KB yang luar
biasa. Indonesia sebagai bagian dari negara di wilayah Asia Pasifik di masa itu ikut
prihatin dan memberikan jawaban tegas dengan komitmen tinggi melaksanakan Program
Kependudukan dan KB yang gegap gempita. Para Pemimpin dari wilayah Asia Pasifik
beberapa waktu lalu kembali bertemu di Bangkok untuk membicarakan tantangan baru di
bidang kependudukan yang bersama-sama akan dihadapi oleh bangsa-bangsa di wilayah
Asia Pasifik. Tantangan itu kemiskinan yang makin menghimpit, kesehatan rerproduksi
yang tidak kunjung bertambah baik dan dukungan terhadap upaya peningkatan kualitas
sumber daya manusia berkejaran dengan tututan masa depan yang makin berat.
Memang benar, dengan program kependudukan dan KB di masa lalu yang gegap
gempita di wilayah Asia Pasifik, yang jumlah penduduknya terbesar di dunia, berbagai
indikator kependudukan telah bertambah baik. Tingkat pertumbuhan penduduk menurun
dengan drastis. Tingkat kelahiran dan tingkat kematian menurun dengan angka-angka
yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Secara hampir serempak penduduk di
wilayah Asia Pasifik mempunyai kualitas yang bertambah baik dengan indikator usia
harapan hidup yang bertambah panjang.
Namun di banyak negara masih tersisa kantong-kantong besar wilayah dengan
penduduk miskin yang bertambah miskin. Masih banyak keluarga yang tidak mampu
menyekolahkan anak-anaknya, dan mempunyai pendapatan rata-rata kurang dari US$ 1
setiap harinya. Jumlah keluarga miskin yang semula menurun dengan menyakinkan, pada
penghujung abad 20 terganggu gara-gara goncangan ekonomi yang sangat menyakitkan
yang berlanjut menjadi krisis multi demensi sampai sekarang.
Negara-negara Asia Pasifik yang semula satu demi satu mampu merencanakan dan
mengolah program kependudukan dan keluarga berencananya sendiri, bukan makin yakin
atas kemampuannya, tetapi makin berfikir dua kali apakah harus melanjutkan upayanya.
Bantuan luar negeri yang semula gencar di awal tahun 1970-an, dan satu demi satu
merangsang pengembangan program nasional dengan pembiayaan yang makin penuh
oleh negara dan rakyat masing-masing, menjadi goyang dan makin tidak menentu.
Karena krisis ekonomi, negara-negara yang semula menyadari manfaat program untuk
pengembangan kualitas sumber daya manusia, mulai ragu-ragu dan memikirkan langkah
alternatip untuk tujuan serupa.
Akibatnya, kalau komitmen tidak segera dipulihkan kembali, dan dukungan dana
tidak segera diberikan kepada program yang sangat penting itu, dikawatirkan jumlah
penduduk Asia Pasifik akan meledak kembali. Ledakan kedua di wilayah ini sungguh
akan sangat dahsyat karena mereka yang sekarang berusia subur bukanlah berasal dari
keluarga yang tingkat kesadarannya terhadap program KB sudah tinggi. Mereka adalah
keluarga yang masa muda remajanya berasal dari keluarga yang belum melaksanakan
program KB, mereka adalah generasi yang orang tuanya baru ikut KB setelah terlanjur
mempunyai anak yang cukup banyak.
Kita juga mencatat, bahwa semenjak krisis, upaya pemberdayaan manusia, yang
harus dilakukan dengan sabar dan profesional, tidak bisa dikarbit, makin tergeser oleh
keperluan-keperluan darurat yang dianggap lebih penting. Pada saat yang bersamaan
negara-negara donor, yang merasa tanggung jawabnya sudah digantikan oleh masingmasing
negara, secara kebetulan juga mengendorkan bantuannya. Akibatnya, secara tidak
terduga, goncangan ekonomi meruntuhkan pandangan yang sangat positip terhadap
manfaat program kependudukan dan KB di negara-negara Asia Pasifik itu.
Lembaga PBB, yaitu UNFPA, yang tahun ini terkejut karena pemerintah Amerika
Serikat membatalkan bantuannya sebesar US$ 34 juta, langsung mengurangi bantuannya
kepada 142 negara yang biasa dibantunya. Bahkan dikabarkan tidak kurang dari 2 juta
kehamilan yang tidak dikehendaki tidak bisa dicegah serta lebih dari 77.000 kematian
bayi dan anak-anak tidak bisa ditolong.
Negara-negara Asia Pasifik seperti Republik Rakyat Cina (RRC), negara terbesar
di Asia Pasifik, yang selama ini mendapat bantuan dari PBB, karena tuduhan melakukan
program aborsi yang memaksa, mendapat pengurangan bantuan yang sangat substansial.
Padahal mungkin saja RRC telah bisa mengurangi pertumbuhan penduduknya dengan
sangat bermakna, tetapi negara terbesar itu sekarang menghadapi masalah reproduksi
yang sangat dilematis. Karena pengaruh kebudayaan dunia yang makin terbuka, negara
ini dengan anak-anak muda dan remajanya, seperti negara-negara berkembang lainnya,
menghadapi serangan virus HIV/AIDS yang sangat dahsyat.
Begitu juga India, negara terbesar kedua di Asia Pasifik, mereka tidak saja masih
menghadapi masalah reproduksi dasar berupa pertumbuhan penduduk yang masih tinggi,
tetapi juga harus berjuang keras menghadapi serangan virus HIV yang ganas. Indonesia,
negara terbesar ketiga di Asia Pasifik, tidak terkecuali, seperti negara lainnya, biarpun
relatif lamban, serangan virus HIV di Indonesia tidak dapat diabaikan begitu saja.
Kalau bantuan PBB tidak dapat diharapkan lagi, begitu juga bantuan dari Amerika
yang pada awal tahun 1970-an bisa mengalir dengan lancar dan memenuhi hampir
seluruh kebutuhan kontrasepsi di hampir semua negara Asia, tidak lagi tertarik kepada
negara-negara Asia yang dianggap berhasil menggerakkan KB mandiri yang bergengsi.
Oleh karena itu, para pemimpin Asia Pasifik yang berkumpul di Bangkok minggu
lalu, berjuang keras menghadapi mengendornya komitmen yang diiringi dengan suasana
globalisasi yang makin terbuka dan penuh persaingan. Mereka harus membuka diri
dengan kemungkinan serbuan tenaga kerja asing dengan kualitas yang lebih baik dan
harga yang relatif murah. Karena itu upaya pemberdayaan sumber daya manusia harus
bisa menghasilkan tenaga yang sanggup bersaing memperebutkan kesempatan yang
terbatas. Sumber-sumber dana untuk pendidikan yang relatif langka harus diperebutkan
untuk menjamin program berkelanjutan. Kalau masalah ini tidak segera diatasi, akan
berakibat fatal. Penduduk Asia Pasifik yang sudah terlanjur besar jumlahnya, akan
meledak dengan dahsyat dan akan memperberat proses globalisasi yang sangat berat.
(Prof. Dr. Haryono Suyono, Pengamat Masalah Sosial Kemasyarakatan)-Pengantar-
PendudukAsiaPasifik-16122002(A1/B2/D1)
MENYONGSONG LEDAKAN ANGKATAN KERJA DUNIA
Hari Kependudukan Dunia diperingati setiap tanggal 11 Juli. Di Indonesia, pada tahun
2001 peringatan Hari Kependudukan Dunia itu didahului oleh Peringatan Hari Keluarga
Nasional dan hadiah khusus "hidupnya kembali" Badan Kependudukan Nasional yang
ditandai dengan pelantikan Kepala dan para Pejabat Eselon I-nya pada 2 Juli 2001.
Selain itu, Hari Kependudukan Dunia kali ini ditandai pula dengan jumlah penduduk
dunia yang untuk pertama kalinya melebihi angka 6 (enam) milyar jiwa dimana Indonesia
merupakan satu dari lima negara besar dengan sumbangan penduduk sebesar 206 - 207
juta jiwa. Sejalan dengan itu penduduk dunia juga makin urban, dan untuk pertama
kalinya mempunyai struktur piramida penduduk tua berbeda dibandingkan strukturnya
pada abad keduapuluh.
Perubahan struktur itu adalah karena penduduk dunia yang struktur piramidanya muda
"telah di-tua-kan" oleh negara-negara berkembang dengan jumlah penduduk besar yang
pada akhir abad keduapuluh gerakan KB-nya berhasil, yaitu Republik Rakyat Cina, India,
Indonesia dan Bangladesh. Pada abad ke 20 negara-negara berkembang tersebut selalu
mengalahkan negara maju, yaitu dengan menyeret negara maju dengan piramida
penduduk tua untuk membentuk piramida dengan dasar sangat besar, piramida penduduk
usia muda. Dengan bergabungnya negara-negara dengan penduduk besar itu pada abad ke
21, dunia tidak lagi ngeri menghadapi fertilitas atau pertumbuhan penduduk yang tinggi.
Disamping kegembiraan karena adanya penurunan fertilitas dan pertumbuhan penduduk
yang makin rendah, ada phenomena baru yang mungkin lebih dahsyat mulai muncul di
negara-negara berkembang. Phenomena itu adalah makin tingginya penduduk urban,
ledakan remaja, angkatan kerja dan penduduk lanjut usia yang implikasinya pasti belum
disadari secara mendalam oleh para pengambil keputusan dan politisi di negara-negara
berkembang. Phenomena itu muncul dalam suasana kemiskinan yang masih tinggi. Tidak
kurang dari 1,3 milyar jiwa hidup dalam kondisi sangat miskin di negara-negara
berkembang. Disamping itu ada sekitar 25 juta jiwa terpaksa mengungsi karena
kerusakan lingkungan atau konflik di wilayahnya.
Perubahan struktur itu menarik dan memerlukan pencermatan yang tidak kalah serunya
dengan upaya kita menghadapi persoalan fertilitas dan pertumbuhan yang tinggi di masa
lalu. Untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan diperlukan terobosan berupa
advokasi yang gegap gempita agar supaya arah dukungan politik dan aliran dana dapat
membantu gerakan peningkatan kualitas penduduk.
Ledakan Angkatan Muda
Dengan makin mengecilnya proporsi penduduk dibawah usia 16 tahun, atau proporsi
penduduk dibawah usia 25 tahun, terjadi pembengkakan proporsi penduduk usia 25 tahun
sampai 45 tahun, atau penduduk usia muda, sebagai hasil pendewasaan dari ledakan
penduduk dimasa lalu. Pertumbuhan penduduk muda usia produktip itu terjadi dalam
suasana transisi yang miskin tetapi lebih sehat, dalam lingkungan yang berubah, dan
sosial sistem yang tidak selalu siap menampung.
Ledakan angkatan muda tersebut mengejutkan karena penduduk usia yang lebih tua juga
bertambah panjang umurnya. Banyak penduduk yang di abad lalu mempunyai usia
harapan hidup kurang dari 50 tahun, berkat pelayanan kesehatan dan gizi yang makin
baik, dapat memperpanjang usia harapan hidupnya menjadi 55 tahun, 60 tahun atau
bahkan 65 tahun atau lebih.
Penduduk lanjut usia itu biasanya miskin sehingga akan tetap mempertahankan pekerjaan
yang sedang dikuasai.
Meledaknya penduduk lanjut usia itu disatu pihak menggembirakan, tetapi dipihak lain,
terutama di negara-negara berkembang yang penyediaan lapangan kerja lamban, lebihlebih
dengan krisis multidemensi dewasa ini, akan mengganggu upaya penyelesaian
munculnya ledakan angkatan kerja generasi muda. Ledakan angkatan kerja dewasa ini
bukan lagi monopoli remaja laki-laki, tetapi diikuti juga dengan sejumlah besar tenaga
kerja wanita dengan kemampuan intelektual yang tinggi.
Ledakan itu menyebabkan adanya kegoncangan yang tidak proporsional karena para
penyedia lapangan kerja belum sadar akan adanya perubahan phenomena tersebut dan
masih terlena pada phenomena lama dengan focus pada penyediaan lapangan kerja untuk
kaum pria. Akibatnya timbul kecurigaan gender dan perasaan dukungan sosial budaya
yang tidak adil dalam masyarakat luas.
Kerikuhan sosial budaya ini membuat kaum wanita bisa menjadi sangat terjepit.
Kecepatan angkatan kerja baru wanita yang tinggi tidak diimbangi penyediaan lapangan
kerja yang memadai. Angkatan kerja profesional wanita itu akan merasa seakan-akan
dipermainkan oleh perbedaan gender, padahal sesungguhnya para penyedia lapangan
kerja belum siap mental menerima angkatan kerja wanita baru yang sama atau kadang
lebih tinggi kualitasnya dibandingkan dengan angkatan kerja pria.
Perubahan struktur penduduk yang ditandai membesarnya penduduk urban dan
membengkaknya penduduk usia muda tidak boleh hanya dilihat sebagai arus perubahan
kuantitatif tetapi harus ditanggapi dengan perubahan sikap, tingkah laku, tata nilai sosial
budaya yang mendukung persamaan hak-hak wanita pria yang menyejukkan. Perubahan
itu harus disikapi dengan mengembangkan suasana yang kondusif untuk menyelamatkan
umat manusia dengan menjamin hak-hak azasinya secara utuh agar bisa mencapai
keseimbangan baru yang lebih serasi, selaras, dan seimbang.
Pembangunan Berwawasan Kependudukan
Dengan adanya dinamika kependudukan yang arus dan kecepatannya makin tinggi itu
tidak ada pilihan lain kecuali mengarahkan pembangunan dengan pendekatan
kependudukan yang lebih kental. Penduduk tidak boleh lagi sekedar dijadikan obyek
pembangunan yang pasip, tetapi justru harus dijadikan titik pusat pembangunan yang
diperlakukan sebagai tujuan, arah, sasaran dan dinamika pembangunan dengan dimensi
kemanusiaan yang paripurna.
Dengan menjadikan penduduk sebagai tujuan, arah, sasaran dan dinamika pembangunan
kita harus secara cermat mempelajari dinamika kependudukan dan setiap kali
mengarahkan dukungan intervensi kepada titik pusat itu sendiri secara bijaksana.
Pendekatan ini mengundang orientasi pembangunan yang sangat berbeda dengan
orientasi pembangunan di masa lalu yang memperlakukan dana atau tersedianya uang
sebagai titik pusat pembangunan. Dalam orientasi ini kita harus mempersiapkan sumber
daya manusia menjadi sumber daya professional yang mampu berpartisipasi dalam
pembangunan dengan cakupan makin besar, bahkan harus diusahakan semaksimal
mungkin sampai ke titik maksimal dengankualitas partisipasi unggul.
Pendekatan pembangunan berwawasan kependudukan mengharuskan setiap aparat dan
pengelola pembangunan memperhitungkan potensi dan kekuatan penduduk dengan
arahan upaya yang sungguh-sungguh untuk meningkatkan partisipasinya dalam
merencanakan dan mengelola pembangunan. Penduduk harus berperan sebagai pemikir,
perencana, pelaksana dan pengawas sekaligus ikut menikmati hasil pembangunan dengan
adil dan merata sesuai dengan sumbangannya dalam pembangunan. Target-target
pembangunan harus memperhitungkan dengan cermat dinamika kependudukan dengan
perubahan nilai-nilai yang makin maju, demokratis, terbuka dan berdimensi global.
Contoh Kebangkitan Kobe
Salah satu contoh pendekatan kependudukan yang menarik adalah bagaimana Kobe
membangun dirinya. Kobe adalah sebuah kota di Jepang dengan penduduk sekitar 1,5
juta yang beberapa waktu yang lalu hancur porak poranda dilanda gempa bumi dahsyat.
Namun dengan kemampuan yang luar biasa, Kobe telah dibangun kembali sebagai kota
baru yang megah, dengan arena perdagangan dan pelabuhan internasional yang sanggup
mengadakan hubungan dagang dengan berbagai negara di seluruh penjuru dunia.
Pendekatan pembangunan yang ditempuh adalah pendekatan bisnis yang sangat efisien,
yang mampu mengundang partisipasi para pemilik modal, dunia bisnis, rakyat maupun
pemerintahnya sendiri dengan baik.
Kota Kobe, seperti juga kota-kota lain di Jepang, mempunyai jumlah penduduk dibawah
usia 16 tahun yang sama dengan jumlah penduduk usia lanjut. Kobe mempunyai
penduduk remaja dan usia kerja yang cukup potensial. Mungkin karena itu perhatian dan
pelayanan terhadap penduduk remaja, usia kerja maupun warga lanjut usia sama baiknya.
Kepada penduduk remaja dan usiakerja disediakan sekolah-sekolah dan pusat-pusat
latihan yang memadai sehingga setiap penduduk mendapat pendidikan dan latihan
ketrampilan dengan baik.
Dimanapun kita berada selalu bertemu dengan anak remaja berseragam sekolah,
membawa buku, dan dari setiap sakunya dapat dilihat adanya telepon genggam yang
sering diangkat karena dering dari teman-temannya.
Semua penduduk usia sekolah tidak ada satupun yang tidak sedang bersekolah.
Kepada para warga lanjut usia diberikan dukungan melalui berbagai organisasi
kemasyarakatan. Kalau diperlukan, pemerintah daerah memberikan dukungan kepada
lembaga kemasyarakatan itu agar pelayanan dan kesempatan untuk warga lanjut usia
dapat diberikan dengan baik. Tidak terlihat perbedaan perlakuan erhadap warga lanjut
usia di stasiun kereta api, di stasiun bus, atau bahkan di rumah-rumah makan. Mereka
dengan penuh kedamaian bisa menikmati hari tuanya dengan fasilitas yang ada.
Dalam memperingati Hari Kependudukan Dunia 11 Juli 2001, mudah-mudahan
pengalaman Kobe dapat kita adopsi untuk menghidupkan hubungan penduduk yang
akrab antar generasi dengan sekaligus menegakkan nilai-nilai luhur budaya bangsa,
menghargai demokrasi, tetap hormat sesama, disiplin, teknologi tepat guna dan canggih,
serta upaya yang menguntungkan semua pihak. Semoga.
(Prof. Dr. Haryono Suyono, Pengamat Masalah Sosial Kemasyarakatan). PendudukDunia
- 07072001
URBAN, ANGKATAN MUDA DAN DEMOKRASI
Belum lama ini seluruh dunia telah memperingati Hari Kependudukan Dunia 2001. Di
Indonesia, peringatan itu kecuali ditandai dengan suatu pertemuan meja bundar (round
table discussion) yang ditutup dengan acara makan siang bersama Presiden Gus Dur
dibarengi pula dengan fenomena kependudukan yang menarik.
Fenomena itu adalah kenyataan hahwa Indonesia mengikuti tren dunia dengan
pertambahan jumlah penduduk urban yang tinggi, penduduk remaja yang membengkak
dan warga lansia yang meningkat dengan drastis.
Pertambahan penduduk urban yang tinggi itu bukan hanya karena adanya migrasi
penduduk perdesaan ke kota, tetapi juga karena desa-desa bertambah maju dan penduduk
desa tersebut siap atau tidak, karena “desanya” berubah menjadi “kota", dengan otomatis
dan menyeluruh berubah menjadi "penduduk kota" atau "penduduk urban”.
Dinamika peruhahan penduduk desa menjadi penduduk kota yang, terjadi dengan
kecepatan tinggi itu hukan hanya monopoli hangsa Indonesia saja. Fenomena itu adalah
suatu kejadian luar biasa dalam akhir ahad ke-20 yang terjadi di banyak negara
berkembang. Kejadian ini, dengan segala implikasi sosial, budaya dan politik yang cukup
rumit kurang mendapat perhatian para ahli, politisi dan penyelenggara negara. Untung
saja peruhahan itu terjadi seiring dengan makin melemahnya angka fertilitas dan angka
pertumhuhan penduduk secara menyeluruh.
Namun demikian, biarpun tingkat pertumbuhan penduduk dunia mulai mereda,
tahun ini penduduk dunia telah lebih dari 6 milyar jiwa. Kalau semula diperkirakan
bahwa pada pertengahan abad ini penduduk dunia akan mencapai sekitar 9 – 9,5 milyar,
karena melambatnya angka pertumbuhan itu para ahli telah menyusun ramalan haru yang
memperkirakan bahwa penduduk dunia hanya akan mencapai sekitar 7,8 – 8,9 milyar
saja. Tetapi sebaliknya, kalau kita semula pesimis bahwa penduduk dunia akan tetap
bersifat tradisional sebagai penduduk pedesaan, perkembangan baru memperkirakan
bahwa 60 – 70 persen penduduk dunia sudah akan menjadi penduduk urban yang
relatip modern pada sekitar tahun 2030 yang akan datang.
Angka prosentase itu sungguh diluar dugaan karena pada tahun 1950 proporsi
jumlah penduduk urban dunia baru mencapai sekitar 30 persen saja. Jumlah itu bisa
kecil karena jumlah penduduk urban Asia dan urban Afrika pada tahun 1950 tersebut
masing-masing baru diperkirakan sekitar 18 persen dan I5 persen dari seluruh penduduk
di kedua benua yang sedang berkembang tersebut. Perk.iraan moderat untuk. Asia pada
tahun 2030 adalah sekitar 55 persen, dan untuk Afrika adalah sekitar 54 persen.
Dengan melompatnya perkembangan jumlah penduduk perkotaan di kedua benua itu
maka dengan mudah penduduk, urban dunia akan mencapai angk.a sekitar 60 – 70 persen
seperti digambarkan diatas.
Transisi Demografi Lamban
Ada dua pola transisi demografi yang terjadi dengan segala implikasinya. Transisi
demografi model yang pertama terjadi dengan lamban yaitu di negara-neguru Eropa
seperti Inggris dan Wales. Transisi demografi model pertama yang berlangsung relatip
lamban itu mulai sekitar tahun 1700 sampai sekitar tahun 1950-an. Dalam proses
transisi tersebut tingkat kematian turun dengan pelahan karena kemajuan industrialisasi
yang terjadi di negara-negara tersebut. Adanya transisi itu menyebabkan nilai-nilai
kultural tentang berbagai phenomena berubah secara pelahan. Dalam masyarakat agraris
anak merupakan potensi yang segera dapat ikut dalam proses produksi. Dengan
perubahan itu masyarakat berubah menjadi masyarakat modern dengan industrialisasi.
Nilai anak juga mengalami perubahan. Anak tidak bisa secara langsung ikut serta dalam
proses produksi. Anak harus dikirim ke sekolah dengan waktu dan ongkos yang tidak
kecil sampai anak-anak itu bisa ikut dalam proses produksi serta menghasilkan.
Pemeliharaan anak menjadi lebih mahal dan dengan adanya nilai anak yang makin mahal
pemeliharaannya itu maka angka kelahiran akhirnya mengikuti proses menurun dengan
pelahan-lahan.
Dalam masa transisi yang relatip lama itu masyarakat mempunyai waktu yang cukup
lumayan untuk melakukan penyesuaian dengan pelahan. berubah dari masyarakat yang
tradisionil perdesaan pelahan-lahan menjadi masyarakat industrial perkotaan yang makin
modern. Tingkat kesehatan dan tingkat pendidikan penduduk bertambah baik dan lebih
siap melakukan atau menerima berbagai perubahan dengan rasional. Kehidupan sosial
politik penduduk juga mulai mengalami perubahan dengan mengembangkan kemampuan
ekspresi politik yang makin terbuka dan vokal menuju masyarakat yang makin liberal
demokratik. Dengan adanya penyesuaian itu maka proses transisi demografi yang lamban
bisa diikuti dengan proses penyesuaian kehidupan kemasyarakatan yang seimbang.
Biarpun proses transisi itu terjadi pertama-tama di negara Inggris dan Wales namun
negara-negara Eropa lainnya. begitu juga negara-negara Amerika Utara dan Kanada.
mengikuti proses itu dengan model yang hampir serupa. Negara maju yang terakhir
mengikuti proses tersebut adalah Jepang yang memulai proses itu tahun 1920-an.
Model Proses Transisi Cepat
Biarpun agak terlambat negara-negara berkembang mengikuti juga proses transisi
demografi tersebut. Anehnya, pada awal transisi, angka kematian pada tahun 1900 relatip
sangat tinggi dan baru mulai menurun pada sekitar tahun 1920-an. Angka itu menurun
lebih tajam pada sekitar tahun 1940-50. Proses penurunannya agak berbeda. Di negaranegara
berkembang penurunan itu lebih banyak dipengaruhi oleh diketemukannya
pengobatan modern dan munculnya lembaga-lembaga internasional dengan advokasi dan
langkah-langkah nyata secara global. Namun demikian, untuk penyesuaiannya, tingkat
kelahiran juga segera menurun, tidak harus menunggu 150 tahun. Tingkat kelahiran itu
turun menyusul penurunan tingkat kematian dalam kurun waktu kurang dari 50 tahun.
Penurunan tingkat kematian itu terjadi terutama di negara-negara dengan jumlah
penduduk besar yang secara sungguh-sungguh melaksanakan program KB dan kesehatan
dengan komitmen yang tinggi. Dengan penurunan tingkat kelahiran atau fertilitas itu
maka proses transisi demografi terjadi dengan cepat. Akibatnya tingkat pertumbuhan
penduduk juga menurun dengan drastis.
Disamping kegembiraan karena adanya penurunan fertilitas dan tingkat pertumbuhan
penduduk yang makin rendah, ada fenomena baru yang mungkin lebih dahsyat mulai
muncul di negara-negara berkembang. Fenomena itu adalah makin tingginya proporsi
jumlah penduduk urban, ledakan remaja, angkatan kerja dan penduduk lanjut usia yang
meningkat dalam waktu yang relatip pendek. Karena terjadi dalam tempo yang sangat
singkat, implikasi perubahan phenomena ini pasti belum disadari secara mendalam oleh
para pengambil keputusan dan politisi di negara-negara berkembang. Fenomena itu
muncul dalam suasana kemiskinan yang masih tinggi. Tidak kurang dari
1,3 milyar jiwa hidup dalam kondisi sangat miskin di negara-negara berkembang.
Disamping itu ada sekitar 25 juta jiwa terpaksa mengungsi karena kerusakan lingkungan
atau konflik di wilayahnya.
Perubahan struktur yang mirip dengan struktur piramida penduduk di negara maju
sekaligus diikuti dengan makin membengkaknya penduduk urban di negara berkembang.
Perubahan struktur itu menarik dan memerlukan pencermatan yang tidak kalah serunya
dengan upaya kita menghadapi persoalan fertilitas dan pertumbuhan yang tinggi di masa
lalu. Untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan diperlukan terobosan berupa
advokasi yang gegap gempita agar supaya arah dukungan politik dan aliran dana dapat
membantu gerakan peningkatan kualitas penduduk.
Ledakan Penduduk Urban dan Angkatan Muda
Dengan mengecilnya proporsi penduduk usia muda. terjadi pembengkakan proporsi
penduduk usia 25 tahun sampai 45 tahun. atau penduduk usia muda. Penduduk usia muda
tersebut telah mendapat pendidikan dasar dan makin tidak tertarik untuk bertani seperti
orang tuanya di desa. Penduduk muda itu mempunyai tendensi untuk pindah ke kota
mencari pekerjaan yang bersifat "urban", bekerja di pabrik atau industri jasa yang tidak
banyak tergantung musim seperti bertani di sawah desanya. Disamping itu penduduk
yang terdidik di desa mulai pula mempergunakan waktunya yang banyak untuk
membangun industri dan perdagangan di desanya. Karena fasilitas transportasi yang
makin baik, usaha itu makin bisa dihubungkan dengan rekan- rekannya dari kota
sehingga menumbuhkan kepadatan dan ciri baru di desa-desa penyangga kota. Angkatan
muda dan petani maju yang berhasil mulai ikut membangun industri dan jasa proses
pasca panen di desa dan merubah infrastuktur desanya menjadi makin bersifat urban.
Akibatnya pertumbuhan urban di negara-negara berkembang seperti Indonesia
mempunyai dua sumber yang sama kuatnya, yaitu perpindahan penduduk ke kota dan
berubahnya desa-desa agraris menjadi daerah urban yang baru. berlangsung jauh lebih
cepat dibandingkan pertumbuhannya di masa lalu.
Demokrasi dan Keterbukaan
Ketidakseimbangan penduduk yang disertai makin tingginya mutu itu biasanya diikuti
oleh ketidak puasan karena dukungan sistem yang lamban. Di negara-negara maju proses
penyesuaian diikuti dengan proses demokratisasi dan keterbukaan masyarakatnya.
Biarpun ada kegoncangan karena para penyedia lapangan kerja belum sadar akan adanya
perubahan phenomena dan masih terlena pada phenomena lama, tetapi perubahan
masyarakat tani menjadi masyarakat industrial yang modern dan urban mendapat
tanggapan yang wajar. Di negara berkembang proses penyesuaian dan tanggapan itu
berjalan lamban. Karenanya tekanan angkatan kerja profesional, baik wanita maupun pria
di negara berkembang, memaksa munculnya tuntutan perubahan sistem sosial yang lebih
tanggap, demokratis, terbuka dan sanggup memenuhi tuntutan masyarakat.
Karena itu tiba waktunya para politisi memperhatikan transisi demografi, perubahan
struktur penduduk yang ditandai ledakan penduduk urban, angkatan muda dan
munculnya tuntutan demokratis dan keterbukaan yang tidak saja harus mengikuti arus
perubahan kuantitatifnya, tetapi harus siap menanggapi fenomena itu dengan perubahan
sikap, tingkah laku, tata nilai sosial budaya yang mendukung persamaan hak-hak wanita
pria yang menyejukkan. Perubahan itu harus disikapi dengan suasana yang kondusif
untuk menyelamatkan umat manusia dengan menjamin hak-hak azasinya secara utuh agar
bisa mencapai keseimbangan baru yang lebih serasi, selaras, dan seimbang. (Prof. Dr.
Haryono Suyono, Pengamat Masalah Sosial Kemasyarakatan). Penduduk-I 40 20(J I
MEMBANGUN PERSAHABATAN DUNIA
Oleh : Haryono Suyono
Minggu ini Ibu Megawati Soekarnoputri, Presiden RI, mengadakan perjalanan keliling ke
negara-negara ASEAN untuk mempererat persahabatan regional. Kita juga diingatkan
bahwa pada hari-hari seperti sekarang ini, tujuh tahun lalu, tepatnya pada tahun 1994,
bersamaan dengan peranan Indonesia sebagai Ketua Gerakan Non Blok, para ahli
kependudukan dari seluruh dunia, khususnya dari negara-negara Selatan-Selatan,
berkumpul di Jakarta untuk maksud yang sama.
Dengan semangat persatuan yang erat, secara serius dan tekun, para ahli itu bicara
tentang persiapan Konperensi Kependudukan Dunia yang akan diadakan kurang dari
sebulan, yaitu pada bulan September 1994, di Kairo, Mesir. Para ahli menyatukan sikap
untuk membawa Konperensi yang hanya sekali dalam sepuluh tahun itu makin
menguntungkan negara-negara berkembang. Disitulah, dengan dukungan yang kuat dari
Ketua Gerakan Non Blok pada waktu itu, para ahli memutuskan membentuk suatu
Lembaga Internasional dalam bidang Kependudukan dan Pembangunan sebagai
wadah untuk menggalang persatuan, kesatuan dan mengkoordinasikan program-program
yang menguntungkan penduduk negara-negara berkembang.
Kebulatan tekad yang dicapai di Jakarta itu dibawa oleh para ahli dari berbagai
negara dengan komitmen yang tinggi, baik sebagai Pimpinan atau Anggota Delegasi
resmi negara masing-masing, ke Konperensi Kependudukan Dunia di Kairo, Mesir,
pada bulan September 1994. Di tengah hiruk pikuknya Konperensi yang anggun dan
dihadiri oleh Wakil-Wakil Pemerintah dan Ahli-ahli Kependudukan dari seluruh dunia
itu, para pemrakarsa, yang antara lain terdiri dari Dr. Timothy J. Stamps dari Zimbabwe,
Dr. Geudana dari Tunisia, Dr. Gregorio Perez-Palacios dari Mexico, Dr. Steve Sinding
dari Amerika Serikat, dan kami sendiri, mendeklarasikan kesepakatan Jakarta dengan
mengumumkan terbentuknya Lembaga Internasional (semi pemerintah) “Partners in
Population and Development”.
Segera setelah deklarasi, biarpun sebelumnya telah dilakukan loby yang sangat
intensip, para pemimpin lembaga-lembaga internasional mengerubuti para pemrakarsa
untuk mengetahui visi dan misi yang ingin dikembangkan oleh Partners. Dengan sabar
setiap anggota pemrakarsa menjelaskan misi dan visi yang tidak lain adalah keinginan
untuk menjadikan lembaga Partners sebagai wadah pemersatu yang mempunyai
kekuatan dan kemampuan advokasi untuk bisa membantu para anggota maupun bukan
anggota yang adalah negara-negara berkembang dalam mendapatkan dukungan dari
negara-negara lain yang lebih maju, atau dari lembaga donor internasional.
Secara sabar dijelaskan kepada mereka yang curiga akan maksud baik kerjasama
antara negara selatan-selatan dan utara dengan contoh-contoh konkrit keberhasilan
kerjasama antara Program Kependudukan dan KB Indonesia dengan Program serupa di
Bangladesh dengan bantuan negara maju, Amerika Serikat. Selama tidak kurang dari
tiga tahun pemerintah Bangladesh, dengan bantuan USAID dari Amerika Serikat, telah
mengirim lebih dari 2.000 petugas-petugasnya dari tingkat desa, kecamatan dan kantor
pusatnya Dhaka untuk “nyantri” di Indonesia. Mereka tinggal bersama para pemimpin
dan penggerak program di kecamatan dan pedesaan di Indonesia untuk mengetahui
keberhasilan serta kesulitan-kesulitan yang dialami dalam mengajak pasangan usia subur
untuk menyadari pentingnya KB, menjadikan mereka penggerak di desanya, dan
akhirnya menjadi peserta KB yang lestari.
Mereka kita sebut sebagai “peserta magang” dan “bukan peserta latihan”,
untuk memberi hormat bahwa mereka adalah pemimpin di desa dan kecamatan di
negaranya. Namun, sebagai sesama anggota negara non blok, sebagai sesama bangsa
selatan-selatan, mereka harus bisa ikut merasakan hidup bersama dengan rekan-rekannya
di desa dalam kultur apa adanya. Dengan tinggal bersama para petugas di desa, yang
relatip mempunyai kehidupan yang hampir serupa, sama miskinnya, sama kurang
terpelajarnya, dan mempunyai agama yang sama, para magang petugas Bangladesh itu
dapat menyerap pengalaman menyelenggarakan program KB disini dengan sangat cepat.
Dengan pengalaman langsung yang sangat sederhana itu para peserta magang merasa
bahwa kerjasama ini memberikan dorongan rasa percaya diri yang sangat kuat karena
ternyata rekannya yang sangat sederhana dan adalah penduduk biasa di desa-desa di
Indonesia bisa melaksanakan program yang selama ini mereka rasakan sangat sukar
diterima masyarakat, ternyata bisa berjalan mulus dan berhasil. Dengan milihat dan
mengamati secara cermat pendekatan yang dilakukan oleh para pemimpin dan penduduk
desa yang peduli, mereka yakin bahwa merekapun bisa melakukan hal yang serupa di
negaranya. Karena setiap rombongan dari Bangladesh adalah tokoh dari berbagai cabang
profesi di desa atau kecamatannya, ternyata selama mengikuti proses magang disini telah
terjadi pula kebulatan tekad baru diantara berbagai kalangan tersebut. Kebulatan tekad
yang terbentuk dan mengkristal selama mereka berada di Indonesia itu terbawa kembali
ke tanah airnya sebagai komitmen dan kekompakkan baru yang sangat diperlukan untuk
menggerakkan program dengan gegap gempita.
Akibatnya sungguh mengagumkan. Banyak cara-cara pendekatan yang berhasil
maupun kegagalan yang kita lakukan di Indonesia menjadi bahan pembicaraan yang tidak
berkeputusan di desa-desa dan kecamatan di Bangladesh. Mereka melakukan analisis
yang kritis terhadap apa yang dilakukan oleh para petugas di desa-desa di Indonesia.
Segera setelah kembali ketanah airnya mereka menyusun program-program dan kegiatan
yang menurut keyakinannya lebih cocok untuk masyarakat Bangladesh. Programprogram
itu mereka rencanakan dan mereka laksanakan seakan tidak mau kalah dengan
rekan-rekannya di Indonesia.
Program kependudukan dan KB di Bangladesh dengan sontak mendapat darah segar
dari para petugas yang telah “nyantri” di negara yang sama-sama berkembang. Dan
ternyata program semacam ini, kerjasama selatan-selatan, sukar untuk ditiru dengan
negara yang telah terlalu maju karena asumsi, situasi dan kondisinya yang berbeda.
Berkat kerjasama itu program KB di Bangladesh dengan cepat mengejar dan seakan tidak
mau ketinggalan dengan keberhasilan yang menjadi sangat terkenal di Indonesia. Dalam
waktu kurang dari limabelas tahun program KB di Bangladesh telah berhasil menyusul
sukses yang telah diraih Indonesia !
Kawan-kawan pemrakarsa juga memberikan contoh pengalaman yang sama di
Tunisia yang selama beberapa tahun sebelumnya telah mengirim para petugasnya untuk
mengetahui keberhasilan KB di Indonesia. Dari pengalaman bermitra bersama negara
berkembang itu mereka melihat bahwa Tunisia telah berhasil mengembangkan program
yang cocok dengan kulturnya. Mereka menyebutkan adanya kemiripan program Tunisia
yang menjemput para calon peserta KB-nya di desa-desa dengan program yang mereka
sebut sebagai Program “Family Planning Caravan”. Program ini sangat mirip dengan
program pelayanan sampai ke pintu-pintu rumah di desa-desa yang dikenal di Indonesia
atau program menjemput bola, atau Safari KB, atau pelayanan oleh kelompok-kelompok
dan para bidan di pedesaan.
Dengan berbagai contoh itu negara-negara maju maupun lembaga-lembaga donor
mulai kurang kecurigaannya. Mereka mulai memberikan dorongan moril dan menganut
sikap “netral” atau “wait and see”. Tim pemrakarsa segera membentuk suatu Pengurus
Sementara atau Tim Pejuang. Indonesia sebagai salah satu pemrakarsa diminta
menjadi penggeraknya. Layar segera digelar, dan biduk mulai melaju mengarungi
samodra yang penuh tantangan menuju cita-cita mengentaskan keluarga-keluarga
tertinggal di negara-negara Selatan-Selatan yang terpuruk. Dari pengalaman tidak resmi
di Kairo, terutama dengan kecurigaan negara-negara donor dan badan-badan
internasional, semua pemrakarsa sadar bahwa perjuangan tidak mudah, tidak bisa selalu
mulus, cita-cita negara berkembang yang menampakkan hasrat untuk maju belum tentu
menyenangkan negara atau lembaga tertentu, atau segera mendapat tanggapan positip
dari negara atau lembaga lain yang selama ini telah bertindak sebagai “pemimpin
dunia” .
Selama satu tahun Panitia atau Tim Pejuang terus berupaya dan bekerja keras. Satu
tahun setelah itu, pada tahun 1995, digelar sidang lengkap pertama dari para pendiri di
Harare, Zimbabwe. Panitia Penggerak, dengan dukungan penuh Ketua Gerakan Non-
Blok, mengambil strategi membagi tanggung jawab diantara negara-negara penggerak.
Untuk itu Tim Pejuang menyerahkan kepemimpinan Lembaga ini kepada Dr. Guedana
dari Tunisia, dan menyepakati kantor pusat Lembaga baru ini di Bangladesh. Dengan
strategi itu pemerintah Indonesia, Bangladesh, Zimbabwe dan Tunisia menjadi sponsor
yang kuat dari pembentukan dan pengembangan lembaga Partners tersebut.
Kekompakkan itu nampak sampai hari ini, antara lain bahwa pemerintah Bangladesh
memberikan dukungan perkantoran dan ongkos-ongkos operasional harian kepada
lembaga ini di Dhaka. Disamping itu, sikap Indonesia yang tidak memaksakan kehendak
untuk menempatkan kantor pusat di Jakarta, atau ngotot untuk menjadi ketuanya, tetapi
hanya sanggup melanjutkan komitmen sebagai sekretaris jendral organisasi ini, telah
disambut dengan simpati yang sangat tinggi. Lembaga ini segera menyebar keberbagai
penjuru negara-negara berkembang dan mendapat sambutan yang makin positip dari
negara donor atau lembaga-lembaga internasional.
Misi Indonesia membangun persahabatan mendapat sambutan simpati yang sangat
menarik. Sampai sidang para penasehat di Harare akhir bulan yang lalu Partners telah
mempunyai anggota sebanyak 16 negara yang mewakili sekitar 2/3 dari penduduk
negara berkembang. Negara-negara besar seperti RRC, India, Indonesia, Bangladesh,
Pakistan, Mesir, dan banyak negara berkembang lainnya telah menjadi anggota yang
setia. Selama tujuh tahun ini para ahli dari berbagai negara itu telah saling berkunjung
dengan ongkos yang jauh lebih murah karena masing-masing negara menjadi tuan rumah
dari para tamu yang sama-sama berasal dari negara berkembang. Mereka mengadakan
tukar menukar pengalaman dan latihan bersama tanpa ada rasa malu karena memang
sama-sama belajar dari pengalaman lapangan di negaranya masing-masing.
Akibat keberhasilan ini tingkat fertilitas di banyak negara berkembang menurun
dengan tajam, dan pertumbuhan penduduk bukan lagi momok yang tidak dapat
ditundukkan. Masing-masing mempunyai resep yang cocok dengan kultur negara
masing-masing yang berbeda dibandingkan dengan rumusan teksbook yang ada di
berbagai universitas di negara maju. Berkat keberhasilan itu banyak negara berkembang
terpaksa harus mengikuti pola transisi demografi yang cepat sementara masyarakat dan
pemerintahnya tidak atau belum siap mengantisipasi akibat dari piramida yang berubah
drastis tersebut.
Negara-negara berkembang mendadak mendapat ledakan angkatan muda yang
mengerikan dalam waktu yang sangat singkat, satu generasi, dibandingkan ledakan yang
sama di negara maju tetapi terjadi dalam waktu tiga sampai empat generasi. Karena
perubahan dengan dimensi waktu yang berbeda itu, maka proses adaptasi di negara maju
tidak bisa menjadi contoh negara berkembang. Negara berkembang mendapat tantangan
baru yang mengasyikkan.
Dalam konteks semacam itulah para pemimpin dan para penasehat yang baru-baru ini
berkumpul di Harare menanggapi tantangan itu dengan tekad yang makin menggebu
untuk menjadikan kemitraan dalam Partners sebagai kekuatan untuk mempersiapkan
tenaga muda menyongsong masa depannya dengan lebih tegar. Partners segera
mengembangkan advokasi dan latihan kepemimpinan dengan pendekatan Visionary
Leadership untuk menciptakan para pemimpin baru yang berorientasi kemanusiaan dan
mampu mengajak dan memberi kesempatan setiap penduduk untuk membangun.
Mudah-mudahan kunjungan muhibah Ibu Megawati Soekarnoputri, sekaligus
dalam memperingati Hari Kemerdekaan RI yang ke 56, dapat makin meyakinkan
negara-negara sahabat bahwa putra-putra bangsa ini dapat terus menggalang
persahabatan dunia yang makin bermakna. Upaya ini kiranya menjadi komitmen kita
bersama untuk bersama dengan Ibu Megawati Soekarno Putri dan Bapak Hamzah Haz,
kita bangkitkan generasi muda Indonesia menjadi manusia-manusia unggulan yang bisa
dengan lebih tegar menjadi penggerak persahabatan dunia. Semoga bangsa Indonesia
dalam usianya yang makin dewasa selalu mendapat limpahan rahmat dan hidayah dari
Tuhan Yang Maha Esa. Dirgahayu Indonesia. (Prof. Dr. Haryono Suyono, Pengamat
Masalah Sosial Kemasyarakatan) - SAHABAT-2582001.
ANAK-ANAK DUNIA HADAPI PERANG,
BERAPA JUTA LAGI HARUS DIKORBANKAN?
Delapan puluh Kepala Negara serta wakil-wakil negara lain setingkat Menteri
dari seluruh Dunia, yang sangat peduli terhadap nasib anak-anak di masa depan,
menggelar pertemuan paling akbar pada Sidang Khusus PBB tentang Anak, di New
York, tahun 2001. Namun, kurang dari satu minggu dari pembukaan pertemuan yang
dipersiapkan oleh para pemimpin dan ahli-ahli selama satu tahun itu dibuka, telah terjadi
suatu tragedi serangan mendadak terhadap World Trade Center (WTC) di jantung kota
New York. Pertemuan yang sangat vital tersebut terpaksa ditunda.
Karena peristiwa itu, anak-anak dunia yang selama ini telah kalang kabut
menghadapi perang terhadap berbagai penyakit, kebodohan, ketidak pedulian, dan
akhirnya kemiskinan yang tidak kunjung selesai, hari-hari ini dibayangi ketakutan
menghadapi ancaman perang baru yang lebih dahsyat dan sangat mengerikan.
Selama ini, anak-anak dunia telah banyak mengalami, ikut serta dan menjadi
korban berbagai perang atau konflik yang tidak terhitung jumlahnya. Tetapi gambaran
kemungkinan perang baru sebagai akibat dihancurkannya gedung WTC dan Pentagon di
Amerika Serikat itu sungguh sangat mengerikan. Dengan kemajuan tehnologi dan
kemampuan industri persenjataan yang canggih, peperangan atau konflik bersenjata yang
terbaru akhir-akhir ini telah memanfaatkan anak-anak dan remaja. Akibatnya, anak-anak
tidak saja menjadi korban karena terkena peluru nyasar atau karena ledakan bom yang
salah sasaran. Dengan tersedianya produk senjata ringan yang terdiri dari pistol, senapan
ringan, sampai AK-47 yang relatip ringan dan makin canggih telah memungkinkan anakanak
dibawah usia 18 tahun menentengnya sebagai bawaan untuk bisa berperan sebagai
prajurit di medan laga.
Dengan senjata ringan tersebut, yang jumlahnya lebih dari ½ milyar, atau sekitar
1 pucuk senjata untuk setiap 12 orang, dan beredar dengan luas di seluruh dunia, anakanak
dengan mudah dapat dipersenjatai. Anak-anak yang sedang tumbuh rupanya
menyukai “lakon” yang penuh advorisme, atau petualangan seperti bintang sinetron, atau
film-film advonturir, atau pemain dalam lakon jagoan lainnya, dan dengan senang hati
siap menjadi prajurit dan mengikuti kegiatan yang penuh tantangan.
Menurut data UNICEF, tidak kurang dari 300.000 anak-anak telah ikut serta
dalam kegiatan perang sungguhan di beberapa negara Afrika. Di Sierra Leon, dalam
suatu “perang anak -anak” yang mengerikan, tidak kurang dari separo gerilyawan yang
ada berumur dibawah 18 tahun. Mereka ikut sebagai prajurit, agen-agen spionase, ikut
bertempur di medan laga, dan tidak jarang ikut memberikan pelayanan seksual kepada
para seniornya.
Di Uganda bagian Utara, tidak kurang dari 12.000 anak-anak dibawah usia 18
tahun ikut serta dalam pasukan “Lord’s Resistant Army” sejak tahun 1985. Merekapun
ikut dilatih, dikirim ke medan laga, mengalami kehidupan yang penuh dengan hubungan
seksual, terkena penyakit menular dan tidak jarang yang mengidap Virus HIV/AIDS yang
mematikan. Di Colombia, Amerika Latin, tidak kurang dari 30 persen anggota-anggota
unit gerilya adalah anak-anak dan remaja yang berusia dibawah 18 tahun.
Dengan adanya “prajurit -prajurit anak-anak” yang langsung dikirim ke medan
laga tersebut dengan sendirinya tidak dapat dihindari kematian anak-anak pada usia yang
sangat muda. Disamping itu pada hampir setiap perang, apakah itu perang yang besar
dengan terlebih dulu diumumkan, atau sekedar adanya konflik sosial politik, atau konflik
jenis lainnya, anak-anak dan Ibu rumah tangga adalah korban terbesarnya. Sejak tahun
1990 lebih dari 2 juta anak-anak telah meninggal dunia karena peperangan semacam itu.
Disamping itu diperkirakan pula sekitar 6 juta anak-anak telah menderita cacat, dan
sekitar 20 juta anak-anak terpaksa meninggalkan rumah dan lingkungan desanya
mengungsi ke tempat yang lebih aman.
Lembaga-lembaga internasional telah berusaha untuk mengembalikan anak-anak
yang dipaksa atau terpaksa ikut dalam pertempuran semacam itu ke desanya atau kepada
orang tuanya masing-masing. Baru-baru ini tidak kurang dari 227 anak-anak berusia
antara 10 – 18 tahun, dengan bantuan lembaga internasional, telah dikembalikan ke
masyarakat di Kigali di dekat Ibukota Ruwanda setelah selama musim panas yang lalu
terpaksa ikut serta dalam kamp-kamp di daerah konflik yang berbahaya. Dengan bantuan
UNICEF, baru-baru ini sekitar 3481 anak-anak dan ramaja dibawah usia 18 tahun
dikembalikan ke masyarakat di Sudan Selatan setelah selama 5 bulan mereka mengikuti
perang saudara yang mengerikan di Sudan.
Dari gambaran itu selalu dicatat apapun wujud perangnya, sejak jaman dahulu
kala peperangan selalu membawa korban. Korban itu umumnya adalah anak-anak, ibu
rumah tangga atau penduduk sipil yang tidak berdosa. Pada masa perang di tahun 1890-
an korban penduduk sipil itu relatip masih rendah, yaitu hanya sekitar 5 persen saja. Pada
periode Perang Dunia pertama korban dari kalangan sipil yang tidak berdosa itu sudah
meningkat menjadi 15 persen. Pada Perang Dunia kedua korban penduduk sipil dan anakanak
itu sudah mencapai 65 persen. Tetapi peperangan yang nampaknya tidak terlalu
dahsyat di tahun 1990-an, dengan menggunakan tank-tank besar, pesawat terbang jet
dengan kemampuan pengeboman yang luar biasa, serta makin banyaknya senjata ringan
yang dipergunakan dengan mudah oleh anak-anak dan remaja, korban penduduk sipil dan
anak-anak yang jatuh telah naik menjadi sekitar 90 persen.
Dengan demikian, penggunaan anak-anak dan remaja, yang sebenarnya
melanggar Artikel 21, 38, dan 39 dari ”Konvensi tentang Hak -hak Anak” yang tidak
memberi peluang untuk menempatkan anak-anak pada kegiatan yang berbahaya, yang
teoritis memberikan hak kepada anak untuk berkumpul dengan keluarga, dan hak-hak
anak lainnya, dalam praktek penggunaan anak-anak dan remaja sebagai prajurit tameng,
prajurit pengintai yang menantang bahaya, atau prajurit penghibur seksual tetap saja
menempati jumlah yang makin membesar.
Disamping perang, timbul pula kerusuhan antar suku, antar agama, antar etnik,
atau antar kepentingan, yang “relatip ringan” yang selama beberapa tahun ini telah
terjadi di beberapa negara. Indonesia tidak terkecuali dari musibah tersebut. Beberapa
tahun terakhir ini beberapa daerah di Indonesia mengalami kejadian tersebut yang
ternyata membawa akibat yang sangat mengerikan. Biarpun kita tidak tahu secara tepat
berapa banyak yang telah terbunuh akibat konflik itu, tetapi yang jelas menurut catatan,
di pada tahun 2000, di Indonesia terdapat tidak kurang dari 1,2 juta jiwa pengungsi
tersebar di 19 provinsi. Para pengungsi itu terdiri dari orang tua, para Ibu yang
ditinggalkan suaminya, anak-anak yang tidak berorang tua lagi, anak-anak yang tidak
mempunyai bapak lagi, atau anak-anak yang tidak mempunyai Ibu lagi. Menurut catatan
jumlah mereka ada sekitar 350.000 anak-anak. Anak-anak itu sebagian besar, atau
sekitar 125.000 adalah anak-anak dari Maluku, 100.000 anak-anak dari TimTim, dan
sekitar 75.000 anak-anak dari Aceh. Anak-anak itu sebagian besar terpaksa tidak sekolah
dan hidup bersama orang tuanya, atau ibunya, atau saudaranya, atau di pengungsian
sendirian tanpa kerabat dengan penderitaan yang sangat menyedihkan.
Prosentase anak-anak yang mengungsi di masing-masing daerah berbeda-beda. Di
daerah yang penderitaannya sangat tinggi, dimana banyak para Bapak atau para Ibu yang
meninggal dunia meninggalkan anak-anaknya, prosentase jumlah anak-anak itu bisa
mencapai 80 persen dari seluruh pengungsi yang ada. Dalam kondisi seperti itu
penderitaan anak-anak tersebut menjadi sangat berganda dan tidak pernah terbayangkan
kapan persoalan yang rumit seperti ini dapat diselesaikan. Anak-anak itu tidak bisa
membayangkan kapan bisa tumbuh kembang dengan suasana yang lebih harmonis.
Biarpun menurut ukuran dunia apa yang kita hadapi ini “ringan”, tetapi sampai
hari ini kita belum bisa memecahkan persoalan yang rumit dan sangat mahal tersebut.
Upaya untuk membuat Panti Asuhan akan memakan biaya yang mahal dan memerlukan
tenaga pembimbing yang luar biasa banyaknya. Sementara itu upaya untuk membantu
keluarga yang menderita dengan mengembalikan ketempat asal semula, nampaknya tidak
semudah membalik tangan. Banyak keluarga yang mengalami trauma dan belum siap
untuk kembali ke tempat asalnya semula.
Tidak banyak pilihan yang tersisa. Mereka berada dalam tempat pengungsian,
baik dalam asrama atau ikut keluarga lain yang baik hati, dengan bekal yang sangat tipis,
kalau ada atau kalau belum habis, akan selalu dalam keadaan yang menderita. Mereka,
biarpun sebelumnya mungkin saja bukan keluarga pra sejahtera atau keluarga miskin,
bisa-bisa akan menjadi keluarga yang sangat menderita. Kita semua, termasuk para
pengungsi sendiri, harus mengambil tindakan yang konkrit dan cepat.
Kalau ancaman serangan balik yang sementara ini dicanangkan oleh Pemerintah
Amerika betul-betul diwujudkan, bisa saja terjadi perang karena saling balas membalas
yang membabi buta. Kalau peperangan itu merembet ketempat-tempat lain, bisa saja
memicu Perang Dunia III yang dahsyat dengan korban yang akan sangat besar.
Akibatnya, dunia akan dilanda berbagai krisis yang luar biasa. Krisis ekonomi dengan
pangan yang makin langka akan menyebabkan Ibu-ibu dan anak-anak akan sangat
menderita dan mengalami kekurangan gizi yang parah. Di Indonesia, selama sepuluh
tahun terakhir ini saja kita telah mendapat kesukaran untuk menurunkan tingkat kematian
ibu karena mengandung dan melahirkan. Kalau terjadi perang dan kelangkaan pangan,
maka angka kematian ibu yang sudah mulai berada dibawah angka 400 per 100.000 ibuibu
yang melahirkan dengan mudah bisa mencuat lagi.
Tingkat kematian bayi dan anak-anak dibawah usia lima tahun, yang mulai dapat
diturunkan menjadi sekitar 43 – 45 per 1000 pada tahun 2000 dengan mudah bisa
menjadi duakali lipat. Angka kematian anak dibawah usia lima tahun yang telah dengan
susah payah dapat diturunkan menjadi dibawah angka 60 per 1000 kelahiran dengan
mudah dapat naik lagi tanpa komando.
Jumlah keluarga di negara-negara berkembang dan miskin yang selama ini
dengan susah payah mengurangi jumlah anak-anaknya yang terpaksa bekerja di bawah
umur, dengan mudah akan “terpaksa mengijinkan anaknya”, yang masih dibawah umur,
untuk bekerja kembali membantu menghidupi seluruh isi keluarga yang ada. Para orang
tua pasti akan merelakan anak-anaknya bekerja dibawah umur, biarpun dilarang undangundang
dan berbagai konvensi dunia.
Di Indonesia keadaan kita dalam hal ini belum juga dapat diatasi. Banyak anakanak
terpaksa bekerja biarpun usianya belum mencapai usia kerja, baru berusia 10-14
tahun. Jumlah anak-anak yang terpaksa bekerja dibawah umur itu pada tahun 1990
sekitar 2,3 juta anak. Pada tahun 1997 sempat menurun menjadi 1,7 juta. Tetapi karena
krisis ekonomi yang berkepanjangan, sejak tahun 1998 jumlah itu naik lagi dan pada
tahun 2000 mendekati angka 2,1 juta anak. Orang tua yang tidak mampu tidak bisa
mencegah apalagi melarang kegiatan anak-anak itu.
Karena itu, marilah kita berpikir dengan kepala dingin. Marilah kita kembangkan
pendekatan yang penuh kedamaian agar nasib anak-anak dan remaja yang selama ini
sudah sangat menderita, tidak ditambah lagi dengan balas dendam emosional tanpa
perhitungan, atau diselesaikan dengan peperangan yang belum tentu menyelesaikan
masalah. (Prof. Dr. Haryono Suyono, Pengamat Masalah Sosial Kemasyarakatan). –
Anak-Perang-2292001.
SIDANG KHUSUS PBB TENTANG ANAK
Sidang Khusus PBB tentang Anak di New York tahun 2001 disiapkan secara
marathon sejak Sidang Umum PBB yang menyetujui Resolusi nomor 53/93 untuk
mengadakan Sidang Khusus PBB tentang Anak tersebut. Dengan persiapan yang sangat
intensip, diperoleh informasi dari Panitia di New York bahwa Sidang Khusus PBB
tersebut, yang bisa menjadi peristiwa terpenting awal abad itu, telah mendapat komitmen
kehadiran 79 Kepala Negara.
Sidang Khusus PBB itu merupakan kulminasi dari ratusan pertemuan yang telah
diadakan secara intensip di seluruh dunia. Pertemuan-pertemuan intensip itu telah
dihadiri oleh ribuan pemimpin dunia, para ahli, pendidik, anak-anak dan remaja, pada
tingkat nasional, regional, bahkan global. Berbagai pertemuan penting itu telah
membahas dan menilai kemajuan dan kekurangan hasil kerja bersama dunia selama
sepuluh tahun terakhir. Atas dasar penilaian itu dikembangkan komitmen awal untuk
sepuluh tahun yang akan datang. Bahan-bahan itu dijadikan agenda yang sangat penting
pada Sidang Khusus di New York nanti. Mengingat pentingnya agenda pertemuan itu,
banyak kalangan mengharapkan Presiden RI, Ibu Megawati Soekarnoputri, dapat hadir
secara pribadi dalam Sidang Khusus PBB yang sangat vital tersebut.
Dalam persiapan yang sangat intensip di seluruh dunia itu, disamping adanya
ratusan pertemuan tingkat nasional, setidak-tidaknya ada enam pertemuan tingkat
regional dimana para wakil pemerintah telah melaporkan kemajuan dan kekurangan
negara masing-masing dalam melaksanakan target-target yang telah disepakati bersama
pada Sidang Tingkat Tinggi pada tahun 1990. Laporan-laporan itu telah menjadi bahan
perdebatan yang menarik. Perdebatan itu menghasilkan kesimpulan yang hampir serupa
bahwa perhatian tentang anak harus terus ditingkatkan.
Tidak itu saja. Berbagai pertemuan lain yang diselenggarakan secara intensip
pada bulan Oktober 2000 di Jamaika telah menghasilkan Kingston Consensus yang
kemudian disusul dengan banyak sekali pertemuan lain pada tahun 2001. Berbagai
pertemuan itu telah menghasilkan komitmen antar negara yang mempunyai bobot politik
yang sangat tinggi. Pertemuan Pan Africa yang diikuti oleh negara-negara Afrika di
Kairo, pada bulan Mei 2001, telah menghasilkan Posisi Bersama Afrika tentang Anak.
Pertemuan Konsultasi tingkat Menteri yang kelima di Beijing, pada bulan Mei 2001,
telah diikuti oleh 21 negara-negara Asia Timur dan Pasifik juga telah menghasilkan
Deklarasi Beijing tentang Anak. Selanjutnya pertemuan 52 negara-negara Eropa di
Berlin pada bulan yang sama telah pula menghasilkan Komitmen Berlin tentang Anak.
Pertemuan serupa di Rabat, dan di Katmandu telah menghasilkan komitmen atau
deklarasi yang serupa. Hasil-hasil pertemuan itu telah secara langsung disampaikan
kepada setiap negara untuk mendapat tanggapan lebih lanjut. Bahan yang sama
diteruskan kepada Sekretaris Jendral PBB, Kofi Annan, sebagai bahan untuk menyusun
laporan kemajuan negara-negara di dunia dalam menangani masalah anak-anak.
Laporan Kemajuan Dunia
Atas dasar bahan-bahan yang berasal dari seluruh dunia tersebut, Sekretaris
Jendral PBB telah menyusun suatu laporan dunia untuk Sidang Khusus yang sangat
penting itu. Laporan Sekjen PBB yang diberi judul “We the Children” itu dikembalikan
kepada setiap negara pada bulan Juni lalu untuk ditelaah dan disempurnakan. Laporan itu
mengandung pula beberapa rekomendasi yang diharapkan akan makin diperkaya oleh
masing-masing negara yang bisa disampaikan sebelum konperensi, atau dilemparkan
dalam konperensi yang sangat penting itu di New York nanti.
Dari dokumen “We the Children” dengan segala rekomendasinya itu para
pemimpin dari seluruh dunia akan melahirkan suatu dokumen bersama yang untuk
sementara disebut sebagai “A World Fit f or Children” yang berisi deklarasi dan
komitmen politik serta Rencana Program Aksi Anak untuk masa sepuluh tahun yang
akan datang. Deklarasi dan Rancangan Program Aksi itu diharapkan merupakan
konsensus dari hasil perdebatan di New York dengan basis laporan Sekjen PBB tersebut.
Karena itu Pidato Kepala Negara pada Sidang PBB nanti akan menjadi dokumen yang
sangat penting untuk diperdebatkan dan bisa mewarnai hasil kesepakatan dunia nanti.
Dari dokumen Sekretaris Jendral PBB “We the Children” dapat kita li hat berbagai
kemajuan yang telah diraih oleh negara-negara di dunia selama sepuluh tahun terakhir.
Sejak Pertemuan Puncak (Summit Meeting) di tahun 1990 tidak kurang dari 155 negara
telah berhasil menyusun Rencana Program Aksi untuk anak-anak. Tidak kurang dari 100
negara melakukan monitoring yang sangat inten terhadap program-programnya. Yang
juga cukup menggembirakan adalah bahwa sekitar 192 negara telah meratifikasi atau
menanda tangani Konvensi tentang Hak-hak Anak, suatu kemajuan yang sangat
menggembirakan. Sekretaris Jendral PBB secara rutin setiap tahun selalu melaporkan
pelaksanaan Rencana Program Aksi itu dalam Sidang-sidang Umum tahunan PBB di
New York.
Dalam bidang kesehatan anak-anak, dilaporkan bahwa tidak kurang dari 63
negara telah mencapai target 1990, yaitu penurunan tingkat kematian anak dibawah
usia lima tahun sebanyak sepertiga keadaannya pada tahun 1990. Disamping itu tidak
kurang dari 100 negara telah berhasil menurunkan tingkat kematian anak dibawah usia
lima tahun sebesar 20 persen. Tingkat kematian anak karena diare atau mencret, yang
biasanya merupakan salah satu penyebab kematian anak dibawah usia lima tahun yang
terbesar, telah berhasil diturunkan dengan 50 persen. Keberhasilan itu telah
menyelamatkan tidak kurang dari satu juta nyawa anak-anak balita dari seluruh dunia.
Ditambah dengan keberhasilan imunisasi yang dilakukan di banyak negara, tidak kurang
dari 3 juta kematian anak telah dapat dicegah.
Tingkat kesehatan anak-anak balita yang lebih baik itu menambah kepercayaan
para orang tua di seluruh dunia terhadap kelangsungan hidup anak-anak balitanya.
Kepercayaan itu mempermudah para relawan gerakan KB untuk menyampaikan
pesannya kepada masyarakat luas. Itu mungkin yang menjadi salah satu sebab bahwa
biarpun penduduk dunia bertambah dengan sekitar 800 juta selama sepuluh tahun
terakhir, tetapi bayi yang dilahirkan pada tahun 2000 ternyata lebih kecil jumlahnya,
yaitu sekitar 13 juta lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah bayi yang dilahirkan pada
tahun 1990 yang lalu. Keberhasilan itu tidak saja membuat para petugas gerakan KB
seluruh dunia girang, tetapi juga memungkinkan para orang tua bisa menjaga tumbuh
kembangnya anak-anak mereka dengan lebih baik.
Dalam bidang pendidikan dicapai kemajuan yang cukup membesarkan hati.
Jumlah anak-anak yang masih sekolah meningkat dengan cukup baik. Kalau di tahun
1990 tingkat melek huruf hanya sekitar 75 persen, pada tahun 2000 meningkat
mendekati angka 80 persen. Sangat menggembirakan bahwa kemajuan melek huruf ini
diikuti pula dengan jumlah ibu-ibu yang tetap menyusui bayinya. Kalau semula terjadi
tren penurunan yang mengkawatirkan dari ibu-ibu yang tidak menyusui anak-anaknya,
selama sepuluh tahun terakhir ini tren itu dapat dikembalikan kepada pola yang lebih baik
dengan kenaikan sekitar 30 persen.
Namun, dalam sepuluh tahun terakhir ini persoalan anak-anak dan remaja belum
seluruhnya dapat diselesaikan. Ada sekitar 10 juta anak-anak yang tetap meninggal
dunia padahal anak-anak itu sebenarnya dapat diselamatkan. Ada sekitar 150 juta
anak-anak kekurangan gizi. Ada lebih 100 juta anak-anak tidak sekolah, tragisnya
sekitar 60 persen adalah anak-anak perempuan. Lebih tragis lagi kalau dilihat secara
seksama ternyata anak-anak yang tidak sekolah itu adalah anak-anak yang terpaksa
bekerja karena orang tuanya sangat miskin, mengungsi karena konflik sosial, atau anakanak
keluarga miskin yang tidak kuat membayar sekolah, atau anak-anak dari keluarga
minoritas yang tersisihkan, dan anak-anak cacat. Jutaan anak-anak lainnya terpaksa
sekolah pada sekolah yang pelayanan dan mutunya sangat tidak memadai.
Konflik antar suku, daerah dan agama yang disulut oleh kepentingan politik
orang-orang dewasa, selalu saja mengorbankan anak-anak dan kaum ibu yang tidak
berdosa. Mereka umumnya menjadi korban keganasan dan kebiadaban yang melanggar
hak-hak azasi manusia dengan sangat memilukan. Persoalan itu ditambah dengan
pandemi HIV/AIDS yang mencapai puncak yang sangat mengerikan di beberapa negara,
khususnya di Sub Sahara Afrika. Pada akhir tahun 2000 penyakit itu telah membunuh
tidak kurang dari 22 juta jiwa. Sekitar 10,4 juta anak-anak dibawah usia 15 tahun
menjadi yatim piatu yang sangat menderita. Mereka dihantui dengan rasa takut yang
mengerikan, harapan masa depan yang pupus, serta isolasi dan diskriminasi dari
masyarakat sekitarnya. Penyakit itu telah membunuh para orang tua mereka, petugas
kesehatan, guru, dan para penyelenggara negara yang biasanya mengurus kehidupan dan
pembangunan daerahnya. Kalau toh anak-anak itu nantinya bisa sekolah, akan memakan
waktu bertahun-tahun sebelum pemerintah bisa memulihkan kualitas pendidikan dan
sosial lainnya dengan sumber daya manusia yang baru dan berkualitas.
Karena katastrope itu usia harapan hidup yang semula mulai meningkat dengan
tajam telah turun drastis. Di negara-negara yang terkena dampak yang memilukan itu
penurunannya mencapai rata-rata sekitar 18-23 tahun. Dalam keadaan seperti itu
beberapa negara telah mengambil langkah serangan balik yang gegap gempita, tetapi
masih banyak penderita yang menunggu ajalnya, sebagian dengan pengobatan yang
mahal, dan sebagian lagi dengan putus asa dan pasrah karena biaya pengobatan yang
tidak pernah bisa terjangkau.
Karena itu kemiskinan tetap menjadi musuh nomor satu dari anak-anak maupun
bangsa-bangsa di seluruh dunia. Menurut laporan Bank Dunia, disamping banyak
keluarga hidup dalam kemewahan, sekitar separuh penduduk dunia masih hidup dalam
kemiskinan, bahkan masih banyak yang tidak tahu apakah hari ini akan bisa makan.
Sekitar 3 milyar penduduk dunia hidup dengan US$ 2 atau kurang sehari. Dari jumlah
itu ada sekitar 1,2 milyar jiwa hanya hidup dengan US$ 1 setiap hari, dan separo dari
jumlah itu adalah anak-anak. Mereka hidup dalam kemiskinan yang memilukan.
Konsekwensinya sangat mengerikan. Dalam tiga setengah abad sejak tahun 1960
sampai tahun 1995 jurang perbedaan tingkat pendapatan per kapita penduduk negaranegara
berkembang dan negara maju makin menganga tiga kali lebih lebar. Perempuan
dan anak-anak menjadi korban perlombaan dan penjualan senjata gelap. Diskriminasi
terhadap perempuan tidak juga mengendor biarpun advokasi tentang kesamaan jender
berdengung lebih nyaring di banyak negara.
Tingkat kematian ibu mengandung dan melahirkan di negara-negara miskin tetap
berada pada angka yang sangat tinggi. Disamping itu desakan kemiskinan menghalalkan
prostitusi dan abuse seksual lainnya dengan mengorbankan wanita sebagai umpan
penyakit seksual serta serangan HIV/AIDS yang mematikan. Bahkan kalau mereka
terkena serangan Virus yang mematikan itu, wanita dan anak-anak tetap mendapat
penanganan yang sangat diskriminatip.
Konflik antar suku, daerah dan agama, yang biasanya disertai perdagangan senjata
gelap, umumnya juga mengorbankan wanita dan anak-anak. Selama sepuluh tahun
terakhir ini, konflik itu telah membunuh tidak kurang dari 2 juta anak-anak disamping
meninggalkan anak yatim piatu dan pengungsi yang tidak tahu lagi masa depannya
dengan pasti. Tidak kurang dari 35 juta jiwa, dimana sekitar 80 persen adalah anakanak,
berada dalam status mengungsi di barak-barak yang tidak memenuhi standar atau
di tempat-tempat pengungsian yang sangat menyedihkan.
Dengan berbagai persoalan yang tersisa itu, yang juga kita miliki dan sedang kita
perjuangkan penyelesaiannya, kita berharap mudah-mudahan Ibu Presiden Megawati
Soekarnoputri menegaskannya di New York dengan pengalaman nyata di lapangan. Kita
berharap Ibu Presiden ikut memberi semangat dan mewarnai perjuangan dunia untuk
anak-anak harapan masa depan tersebut. (Prof. Dr. Haryono Suyono, Pengamat Masalah
Sosial Kemasyarakatan). – Anak-1592001.
NEGARA BERKEMBANG IKUTI POLA TRANSISI DEMOGRAFI
Tahun 1994, bersamaan dengan peranan Indonesia sebagai Ketua Gerakan Non Blok,
para ahli kependudukan dari seluruh dunia, khususnya dari negara-negara Selatan-
Selatan, berkumpul di Jakarta. Dengan semangat persatuan yang erat, secara serius dan
tekun, para ahli itu bicara tentang persiapan Konperensi Kependudukan Dunia yang
diadakan kurang dari sebulan, yaitu pada bulan September 1994, di Kairo, Mesir. Para
ahli menyatukan sikap untuk membawa Konperensi yang hanya sekali dalam sepuluh
tahun itu makin menguntungkan negara-negara berkembang. Disitulah, dengan dukungan
yang kuat dari Ketua Gerakan Non Blok pada waktu itu, para ahli memutuskan
membentuk suatu Lembaga Internasional dalam bidang Kependudukan dan
Pembangunan sebagai wadah untuk menggalang persatuan, kesatuan dan
mengkoordinasikan program-program yang menguntungkan penduduk negara-negara
berkembang.
Kebulatan tekad yang dicapai di Jakarta itu dibawa oleh para ahli dari berbagai
negara dengan komitmen yang tinggi, baik sebagai Pimpinan atau Anggota Delegasi
resmi negara masing-masing, ke Konperensi Kependudukan Dunia di Kairo, Mesir,
pada bulan September 1994. Di tengah hiruk pikuknya Konperensi yang anggun dan
dihadiri oleh Wakil-Wakil Pemerintah dan Ahli-ahli Kependudukan dari seluruh dunia
itu, para pemrakarsa, yang antara lain terdiri dari Dr. Timothy J. Stamps dari Zimbabwe,
Dr. Geudana dari Tunisia, Dr. Gregorio Perez-Palacios dari Mexico, Dr. Steve Sinding
dari Amerika Serikat, dan kami sendiri, mendeklarasikan kesepakatan Jakarta dengan
mengumumkan terbentuknya Lembaga Internasional (semi pemerintah) “Partners in
Population and Development” .
Segera setelah deklarasi, biarpun sebelumnya telah dilakukan loby yang sangat
intensip, para pemimpin lembaga-lembaga internasional mengerubuti para pemrakarsa
untuk mengetahui visi dan misi yang ingin dikembangkan oleh Partners. Dengan sabar
setiap anggota pemrakarsa menjelaskan misi dan visi yang tidak lain adalah keinginan
untuk menjadikan lembaga Partners sebagai wadah pemersatu yang mempunyai
kekuatan dan kemampuan advokasi untuk bisa membantu para anggota maupun bukan
anggota yang adalah negara-negara berkembang dalam mendapatkan dukungan dari
negara-negara lain yang lebih maju, atau dari lembaga donor internasional.
Secara sabar dijelaskan kepada mereka yang curiga akan maksud baik kerjasama
antara negara selatan-selatan dan utara dengan contoh-contoh konkrit keberhasilan
kerjasama antara Program Kependudukan dan KB Indonesia dengan Program serupa di
Bangladesh dengan bantuan negara maju, Amerika Serikat. Selama tidak kurang dari
tiga tahun pemerintah Bangladesh, dengan bantuan USAID dari Amerika Serikat, telah
mengirim lebih dari 2.000 petugas-petugasnya dari tingkat desa, kecamatan dan kantor
pusatnya Dhaka untuk “nyantri” di Indonesia. Mereka tinggal bersama para pemimpin
dan penggerak program di kecamatan dan pedesaan di Indonesia untuk mengetahui
keberhasilan serta kesulitan-kesulitan yang dialami dalam mengajak pasangan usia subur
untuk menyadari pentingnya KB, menjadikan mereka penggerak di desanya, dan
akhirnya menjadi peserta KB yang lestari.
Mereka kita sebut sebagai “peserta magang” dan “bukan peserta latihan”,
untuk memberi hormat bahwa mereka adalah pemimpin di desa dan kecamatan di
negaranya. Namun, sebagai sesama anggota negara non blok, sebagai sesama bangsa
selatan-selatan, mereka harus bisa ikut merasakan hidup bersama dengan rekan-rekannya
di desa dalam kultur apa adanya. Dengan tinggal bersama para petugas di desa, yang
relatip mempunyai kehidupan yang hampir serupa, sama miskinnya, sama kurang
terpelajarnya, dan mempunyai agama yang sama, para peserta magang atau petugas
Bangladesh itu dapat menyerap pengalaman program KB disini dengan sangat cepat.
Dengan pengalaman langsung yang sangat sederhana itu para peserta magang merasa
bahwa kerjasama ini memberikan dorongan rasa percaya diri yang sangat kuat karena
ternyata rekannya yang sangat sederhana dan adalah penduduk biasa di desa-desa di
Indonesia bisa melaksanakan program yang selama ini mereka rasakan sangat sukar
diterima masyarakat, ternyata bisa berjalan mulus dan berhasil. Dengan melihat dan
mengamati secara cermat pendekatan yang dilakukan oleh para pemimpin dan penduduk
desa yang peduli, mereka yakin bahwa merekapun bisa melakukan hal yang serupa di
negaranya. Karena setiap rombongan dari Bangladesh adalah tokoh dari berbagai cabang
profesi di desa atau kecamatannya, ternyata selama mengikuti proses magang disini telah
terjadi pula kebulatan tekad baru diantara berbagai kalangan tersebut. Kebulatan tekad
yang terbentuk dan mengkristal selama mereka berada di Indonesia itu terbawa kembali
ke tanah airnya sebagai komitmen dan kekompakkan baru yang sangat diperlukan untuk
menggerakkan program dengan gegap gempita.
Akibatnya sungguh mengagumkan. Banyak cara-cara pendekatan yang berhasil
maupun kegagalan yang kita lakukan di Indonesia menjadi bahan pembicaraan yang tidak
berkeputusan di desa-desa dan kecamatan di Bangladesh. Mereka melakukan analisis
yang kritis terhadap apa yang dilakukan oleh para petugas di desa-desa di Indonesia.
Segera setelah kembali ketanah airnya mereka menyusun program-program dan kegiatan
yang menurut keyakinannya lebih cocok untuk masyarakat Bangladesh. Programprogram
itu mereka rencanakan dan mereka laksanakan seakan tidak mau kalah dengan
rekan-rekannya di Indonesia.
Program kependudukan dan KB di Bangladesh dengan sontak mendapat darah segar
dari para petugas yang telah “nyantri” di negara yang sama-sama berkembang. Dan
ternyata program semacam ini, kerjasama selatan-selatan, sukar untuk ditiru dengan
negara yang telah terlalu maju karena asumsi, situasi dan kondisinya yang berbeda.
Berkat kerjasama itu program KB di Bangladesh dengan cepat mengejar dan seakan tidak
mau ketinggalan dengan keberhasilan yang menjadi sangat terkenal di Indonesia. Dalam
waktu kurang dari limabelas tahun program KB di Bangladesh telah berhasil menyusul
sukses yang telah diraih Indonesia !
Kawan-kawan pemrakarsa juga memberikan contoh pengalaman yang sama di
Tunisia yang selama beberapa tahun sebelumnya telah mengirim para petugasnya untuk
mengetahui keberhasilan KB di Indonesia. Dari pengalaman bermitra bersama negara
berkembang itu mereka melihat bahwa Tunisia telah berhasil mengembangkan program
yang cocok dengan kulturnya. Mereka menyebutkan adanya kemiripan program Tunisia
yang menjemput para calon peserta KB-nya di desa-desa dengan program yang mereka
sebut sebagai Program “F.P. Caravan”. Program ini sangat mirip dengan program
pelayanan sampai ke pintu-pintu rumah di desa-desa yang dikenal di Indonesia atau
program menjemput bola, atau Safari KB, atau pelayanan oleh kelompok-kelompok dan
para bidan di pedesaan.
Dengan berbagai contoh itu negara-negara maju maupun lembaga-lembaga donor
mulai kurang kecurigaannya. Mereka mulai memberikan dorongan moril dan menganut
sikap “netral” atau “wait and see”. Tim pemrakarsa segera membentuk suatu Pengurus
Sementara atau Tim Pejuang. Indonesia sebagai salah satu pemrakarsa diminta
menjadi penggeraknya. Layar segera digelar, dan biduk mulai melaju mengarungi
samodra yang penuh tantangan menuju cita-cita mengentaskan keluarga-keluarga
tertinggal di negara-negara Selatan-Selatan yang terpuruk. Dari pengalaman tidak resmi
di Kairo, terutama dengan kecurigaan negara-negara donor dan badan-badan
internasional, semua pemrakarsa sadar bahwa perjuangan tidak mudah, tidak bisa selalu
mulus, cita-cita negara berkembang yang menampakkan hasrat untuk maju belum tentu
menyenangkan negara atau lembaga tertentu, atau segera mendapat tanggapan positip
dari negara atau lembaga lain yang selama ini telah bertindak sebagai “pemimpin
dunia” .
Selama satu tahun Panitia atau Tim Pejuang terus berupaya dan bekerja keras. Satu
tahun setelah itu, pada tahun 1995, digelar sidang lengkap pertama dari para pendiri di
Harare, Zimbabwe. Panitia Penggerak, dengan dukungan penuh Ketua Gerakan Non-
Blok, mengambil strategi membagi tanggung jawab diantara negara-negara penggerak.
Untuk itu Tim Pejuang menyerahkan kepemimpinan Lembaga ini kepada Dr. Guedana
dari Tunisia, dan menyepakati kantor pusat Lembaga baru ini di Bangladesh. Dengan
strategi itu pemerintah Indonesia, Bangladesh, Zimbabwe dan Tunisia menjadi sponsor
yang kuat dari pembentukan dan pengembangan lembaga Partners tersebut.
Kekompakkan itu nampak sampai hari ini, antara lain bahwa pemerintah Bangladesh
memberikan dukungan perkantoran dan ongkos-ongkos operasional harian kepada
lembaga ini di Dhaka. Disamping itu, sikap Indonesia yang tidak memaksakan kehendak
untuk menempatkan kantor pusat di Jakarta, atau ngotot untuk menjadi ketuanya, tetapi
hanya sanggup melanjutkan komitmen sebagai Sekretaris Jenderal organisasi ini, telah
disambut dengan simpati yang sangat tinggi. Lembaga ini segera menyebar keberbagai
penjuru negara-negara berkembang dan mendapat sambutan yang makin positip dari
negara donor atau lembaga-lembaga internasional.
Misi Indonesia membangun persahabatan mendapat sambutan simpati yang sangat
menarik. Sampai sidang para penasehat di Harare akhir bulan yang lalu Partners telah
mempunyai anggota sebanyak 16 negara yang mewakili sekitar 2/3 dari penduduk
negara berkembang. Negara-negara besar seperti RRC, India, Indonesia, Bangladesh,
Pakistan, Mesir, dan banyak negara berkembang lainnya telah menjadi anggota yang
setia. Selama tujuh tahun ini para ahli dari berbagai negara itu telah saling berkunjung
dengan ongkos yang jauh lebih murah karena masing-masing negara menjadi tuan rumah
dari para tamu yang sama-sama berasal dari negara berkembang. Mereka mengadakan
tukar menukar pengalaman dan latihan bersama tanpa ada rasa malu karena memang
sama-sama belajar dari pengalaman lapangan di negaranya masing-masing.
Akibat keberhasilan ini tingkat fertilitas di banyak negara berkembang menurun
dengan tajam, dan pertumbuhan penduduk bukan lagi momok yang tidak dapat
ditundukkan. Masing-masing mempunyai resep yang cocok dengan kultur negara
masing-masing yang berbeda dibandingkan dengan rumusan teksbook yang ada di
berbagai universitas di negara maju. Berkat keberhasilan itu banyak negara berkembang
terpaksa harus mengikuti pola transisi demografi yang cepat sementara masyarakat dan
pemerintahnya tidak atau belum siap mengantisipasi akibat dari piramida yang berubah
drastis tersebut.
Negara-negara berkembang mendadak mendapat ledakan angkatan muda yang
mengerikan dalam waktu yang sangat singkat, satu generasi, dibandingkan ledakan yang
sama di negara maju tetapi terjadi dalam waktu tiga sampai empat generasi. Karena
perubahan dengan dimensi waktu yang berbeda itu, maka proses adaptasi di negara maju
tidak bisa menjadi contoh negara berkembang. Negara berkembang mendapat tantangan
baru yang mengasyikkan.
Dalam konteks semacam itulah para pemimpin dan para penasehat yang baru-baru ini
berkumpul di Harare menanggapi tantangan itu dengan tekad yang makin menggebu
untuk menjadikan kemitraan dalam Partners sebagai kekuatan untuk mempersiapkan
tenaga muda menyongsong masa depannya dengan lebih tegar. Partners segera
mengembangkan advokasi dan latihan kepemimpinan dengan pendekatan Visionary
Leadership untuk menciptakan para pemimpin baru yang berorientasi kemanusiaan dan
mampu mengajak dan memberi kesempatan setiap penduduk untuk bekerja keras
membangun dirinya dan seluruh anak bangsanya.
Sebagai negara berkembang yang mempunyai pengalaman unik untuk menggelar
program-program pembangunan kependudukan yang berhasil, Partners mengajak pula
para pengusahanya untuk tertarik dan menghasilkan produksi alat, obat dan sarana yang
berkualitas tinggi yang sekaligus dapat dipergunakan oleh negara-negara semitra dengan
harga yang lebih terjangkau.
Mudah-mudahan dalam memperingati Hari Kemerdekaan RI kemarin, putraputra
bangsa yang besar ini dapat lebih mengembangkan persahabatan dunia yang akrab.
Upaya ini kiranya menjadi komitmen kita bersama untuk bersama dengan Ibu Megawati
Soekarno Putri dan Bapak Hamzah Haz, kita bangkitkan generasi muda Indonesia
menjadi manusia-manusia unggulan yang bisa dengan lebih tegar menjadi penggerak
persahabatan dunia. Semoga bangsa Indonesia dalam usianya yang makin dewasa selalu
mendapat limpahan rahmat dan hidayah dari Tuhan Yang Maha Esa. Dirgahayu
Indonesia. (Prof. Dr. Haryono Suyono, Pengamat Masalah Sosial Kemasyarakatan) -
SAHABAT-1882001.
MENGHADAPI LEDAKAN BARU PENDUDUK ASIA
PASIFIK
Kita masih ingat keprihatinan dunia terhadap ledakan penduduk di tahun 60 dan 70-an
telah menyatukan dunia untuk mengembangkan gerakan kependudukan dan KB yang luar
biasa. Indonesia sebagai bagian dari negara di wilayah Asia Pasifik di masa itu ikut
prihatin dan memberikan jawaban tegas dengan komitmen tinggi melaksanakan Program
Kependudukan dan KB yang gegap gempita. Para Pemimpin dari wilayah Asia Pasifik
beberapa waktu lalu kembali bertemu di Bangkok untuk membicarakan tantangan baru di
bidang kependudukan yang bersama-sama akan dihadapi oleh bangsa-bangsa di wilayah
Asia Pasifik. Tantangan itu kemiskinan yang makin menghimpit, kesehatan rerproduksi
yang tidak kunjung bertambah baik dan dukungan terhadap upaya peningkatan kualitas
sumber daya manusia berkejaran dengan tututan masa depan yang makin berat.
Memang benar, dengan program kependudukan dan KB di masa lalu yang gegap
gempita di wilayah Asia Pasifik, yang jumlah penduduknya terbesar di dunia, berbagai
indikator kependudukan telah bertambah baik. Tingkat pertumbuhan penduduk menurun
dengan drastis. Tingkat kelahiran dan tingkat kematian menurun dengan angka-angka
yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Secara hampir serempak penduduk di
wilayah Asia Pasifik mempunyai kualitas yang bertambah baik dengan indikator usia
harapan hidup yang bertambah panjang.
Namun di banyak negara masih tersisa kantong-kantong besar wilayah dengan
penduduk miskin yang bertambah miskin. Masih banyak keluarga yang tidak mampu
menyekolahkan anak-anaknya, dan mempunyai pendapatan rata-rata kurang dari US$ 1
setiap harinya. Jumlah keluarga miskin yang semula menurun dengan menyakinkan, pada
penghujung abad 20 terganggu gara-gara goncangan ekonomi yang sangat menyakitkan
yang berlanjut menjadi krisis multi demensi sampai sekarang.
Negara-negara Asia Pasifik yang semula satu demi satu mampu merencanakan dan
mengolah program kependudukan dan keluarga berencananya sendiri, bukan makin yakin
atas kemampuannya, tetapi makin berfikir dua kali apakah harus melanjutkan upayanya.
Bantuan luar negeri yang semula gencar di awal tahun 1970-an, dan satu demi satu
merangsang pengembangan program nasional dengan pembiayaan yang makin penuh
oleh negara dan rakyat masing-masing, menjadi goyang dan makin tidak menentu.
Karena krisis ekonomi, negara-negara yang semula menyadari manfaat program untuk
pengembangan kualitas sumber daya manusia, mulai ragu-ragu dan memikirkan langkah
alternatip untuk tujuan serupa.
Akibatnya, kalau komitmen tidak segera dipulihkan kembali, dan dukungan dana
tidak segera diberikan kepada program yang sangat penting itu, dikawatirkan jumlah
penduduk Asia Pasifik akan meledak kembali. Ledakan kedua di wilayah ini sungguh
akan sangat dahsyat karena mereka yang sekarang berusia subur bukanlah berasal dari
keluarga yang tingkat kesadarannya terhadap program KB sudah tinggi. Mereka adalah
keluarga yang masa muda remajanya berasal dari keluarga yang belum melaksanakan
program KB, mereka adalah generasi yang orang tuanya baru ikut KB setelah terlanjur
mempunyai anak yang cukup banyak.
Kita juga mencatat, bahwa semenjak krisis, upaya pemberdayaan manusia, yang
harus dilakukan dengan sabar dan profesional, tidak bisa dikarbit, makin tergeser oleh
keperluan-keperluan darurat yang dianggap lebih penting. Pada saat yang bersamaan
negara-negara donor, yang merasa tanggung jawabnya sudah digantikan oleh masingmasing
negara, secara kebetulan juga mengendorkan bantuannya. Akibatnya, secara tidak
terduga, goncangan ekonomi meruntuhkan pandangan yang sangat positip terhadap
manfaat program kependudukan dan KB di negara-negara Asia Pasifik itu.
Lembaga PBB, yaitu UNFPA, yang tahun ini terkejut karena pemerintah Amerika
Serikat membatalkan bantuannya sebesar US$ 34 juta, langsung mengurangi bantuannya
kepada 142 negara yang biasa dibantunya. Bahkan dikabarkan tidak kurang dari 2 juta
kehamilan yang tidak dikehendaki tidak bisa dicegah serta lebih dari 77.000 kematian
bayi dan anak-anak tidak bisa ditolong.
Negara-negara Asia Pasifik seperti Republik Rakyat Cina (RRC), negara terbesar
di Asia Pasifik, yang selama ini mendapat bantuan dari PBB, karena tuduhan melakukan
program aborsi yang memaksa, mendapat pengurangan bantuan yang sangat substansial.
Padahal mungkin saja RRC telah bisa mengurangi pertumbuhan penduduknya dengan
sangat bermakna, tetapi negara terbesar itu sekarang menghadapi masalah reproduksi
yang sangat dilematis. Karena pengaruh kebudayaan dunia yang makin terbuka, negara
ini dengan anak-anak muda dan remajanya, seperti negara-negara berkembang lainnya,
menghadapi serangan virus HIV/AIDS yang sangat dahsyat.
Begitu juga India, negara terbesar kedua di Asia Pasifik, mereka tidak saja masih
menghadapi masalah reproduksi dasar berupa pertumbuhan penduduk yang masih tinggi,
tetapi juga harus berjuang keras menghadapi serangan virus HIV yang ganas. Indonesia,
negara terbesar ketiga di Asia Pasifik, tidak terkecuali, seperti negara lainnya, biarpun
relatif lamban, serangan virus HIV di Indonesia tidak dapat diabaikan begitu saja.
Kalau bantuan PBB tidak dapat diharapkan lagi, begitu juga bantuan dari Amerika
yang pada awal tahun 1970-an bisa mengalir dengan lancar dan memenuhi hampir
seluruh kebutuhan kontrasepsi di hampir semua negara Asia, tidak lagi tertarik kepada
negara-negara Asia yang dianggap berhasil menggerakkan KB mandiri yang bergengsi.
Oleh karena itu, para pemimpin Asia Pasifik yang berkumpul di Bangkok minggu
lalu, berjuang keras menghadapi mengendornya komitmen yang diiringi dengan suasana
globalisasi yang makin terbuka dan penuh persaingan. Mereka harus membuka diri
dengan kemungkinan serbuan tenaga kerja asing dengan kualitas yang lebih baik dan
harga yang relatif murah. Karena itu upaya pemberdayaan sumber daya manusia harus
bisa menghasilkan tenaga yang sanggup bersaing memperebutkan kesempatan yang
terbatas. Sumber-sumber dana untuk pendidikan yang relatif langka harus diperebutkan
untuk menjamin program berkelanjutan. Kalau masalah ini tidak segera diatasi, akan
berakibat fatal. Penduduk Asia Pasifik yang sudah terlanjur besar jumlahnya, akan
meledak dengan dahsyat dan akan memperberat proses globalisasi yang sangat berat.
(Prof. Dr. Haryono Suyono, Pengamat Masalah Sosial Kemasyarakatan)-Pengantar-
PendudukAsiaPasifik-16122002(A1/B2/D1)
MENYONGSONG LEDAKAN ANGKATAN KERJA DUNIA
Hari Kependudukan Dunia diperingati setiap tanggal 11 Juli. Di Indonesia, pada tahun
2001 peringatan Hari Kependudukan Dunia itu didahului oleh Peringatan Hari Keluarga
Nasional dan hadiah khusus "hidupnya kembali" Badan Kependudukan Nasional yang
ditandai dengan pelantikan Kepala dan para Pejabat Eselon I-nya pada 2 Juli 2001.
Selain itu, Hari Kependudukan Dunia kali ini ditandai pula dengan jumlah penduduk
dunia yang untuk pertama kalinya melebihi angka 6 (enam) milyar jiwa dimana Indonesia
merupakan satu dari lima negara besar dengan sumbangan penduduk sebesar 206 - 207
juta jiwa. Sejalan dengan itu penduduk dunia juga makin urban, dan untuk pertama
kalinya mempunyai struktur piramida penduduk tua berbeda dibandingkan strukturnya
pada abad keduapuluh.
Perubahan struktur itu adalah karena penduduk dunia yang struktur piramidanya muda
"telah di-tua-kan" oleh negara-negara berkembang dengan jumlah penduduk besar yang
pada akhir abad keduapuluh gerakan KB-nya berhasil, yaitu Republik Rakyat Cina, India,
Indonesia dan Bangladesh. Pada abad ke 20 negara-negara berkembang tersebut selalu
mengalahkan negara maju, yaitu dengan menyeret negara maju dengan piramida
penduduk tua untuk membentuk piramida dengan dasar sangat besar, piramida penduduk
usia muda. Dengan bergabungnya negara-negara dengan penduduk besar itu pada abad ke
21, dunia tidak lagi ngeri menghadapi fertilitas atau pertumbuhan penduduk yang tinggi.
Disamping kegembiraan karena adanya penurunan fertilitas dan pertumbuhan penduduk
yang makin rendah, ada phenomena baru yang mungkin lebih dahsyat mulai muncul di
negara-negara berkembang. Phenomena itu adalah makin tingginya penduduk urban,
ledakan remaja, angkatan kerja dan penduduk lanjut usia yang implikasinya pasti belum
disadari secara mendalam oleh para pengambil keputusan dan politisi di negara-negara
berkembang. Phenomena itu muncul dalam suasana kemiskinan yang masih tinggi. Tidak
kurang dari 1,3 milyar jiwa hidup dalam kondisi sangat miskin di negara-negara
berkembang. Disamping itu ada sekitar 25 juta jiwa terpaksa mengungsi karena
kerusakan lingkungan atau konflik di wilayahnya.
Perubahan struktur itu menarik dan memerlukan pencermatan yang tidak kalah serunya
dengan upaya kita menghadapi persoalan fertilitas dan pertumbuhan yang tinggi di masa
lalu. Untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan diperlukan terobosan berupa
advokasi yang gegap gempita agar supaya arah dukungan politik dan aliran dana dapat
membantu gerakan peningkatan kualitas penduduk.
Ledakan Angkatan Muda
Dengan makin mengecilnya proporsi penduduk dibawah usia 16 tahun, atau proporsi
penduduk dibawah usia 25 tahun, terjadi pembengkakan proporsi penduduk usia 25 tahun
sampai 45 tahun, atau penduduk usia muda, sebagai hasil pendewasaan dari ledakan
penduduk dimasa lalu. Pertumbuhan penduduk muda usia produktip itu terjadi dalam
suasana transisi yang miskin tetapi lebih sehat, dalam lingkungan yang berubah, dan
sosial sistem yang tidak selalu siap menampung.
Ledakan angkatan muda tersebut mengejutkan karena penduduk usia yang lebih tua juga
bertambah panjang umurnya. Banyak penduduk yang di abad lalu mempunyai usia
harapan hidup kurang dari 50 tahun, berkat pelayanan kesehatan dan gizi yang makin
baik, dapat memperpanjang usia harapan hidupnya menjadi 55 tahun, 60 tahun atau
bahkan 65 tahun atau lebih.
Penduduk lanjut usia itu biasanya miskin sehingga akan tetap mempertahankan pekerjaan
yang sedang dikuasai.
Meledaknya penduduk lanjut usia itu disatu pihak menggembirakan, tetapi dipihak lain,
terutama di negara-negara berkembang yang penyediaan lapangan kerja lamban, lebihlebih
dengan krisis multidemensi dewasa ini, akan mengganggu upaya penyelesaian
munculnya ledakan angkatan kerja generasi muda. Ledakan angkatan kerja dewasa ini
bukan lagi monopoli remaja laki-laki, tetapi diikuti juga dengan sejumlah besar tenaga
kerja wanita dengan kemampuan intelektual yang tinggi.
Ledakan itu menyebabkan adanya kegoncangan yang tidak proporsional karena para
penyedia lapangan kerja belum sadar akan adanya perubahan phenomena tersebut dan
masih terlena pada phenomena lama dengan focus pada penyediaan lapangan kerja untuk
kaum pria. Akibatnya timbul kecurigaan gender dan perasaan dukungan sosial budaya
yang tidak adil dalam masyarakat luas.
Kerikuhan sosial budaya ini membuat kaum wanita bisa menjadi sangat terjepit.
Kecepatan angkatan kerja baru wanita yang tinggi tidak diimbangi penyediaan lapangan
kerja yang memadai. Angkatan kerja profesional wanita itu akan merasa seakan-akan
dipermainkan oleh perbedaan gender, padahal sesungguhnya para penyedia lapangan
kerja belum siap mental menerima angkatan kerja wanita baru yang sama atau kadang
lebih tinggi kualitasnya dibandingkan dengan angkatan kerja pria.
Perubahan struktur penduduk yang ditandai membesarnya penduduk urban dan
membengkaknya penduduk usia muda tidak boleh hanya dilihat sebagai arus perubahan
kuantitatif tetapi harus ditanggapi dengan perubahan sikap, tingkah laku, tata nilai sosial
budaya yang mendukung persamaan hak-hak wanita pria yang menyejukkan. Perubahan
itu harus disikapi dengan mengembangkan suasana yang kondusif untuk menyelamatkan
umat manusia dengan menjamin hak-hak azasinya secara utuh agar bisa mencapai
keseimbangan baru yang lebih serasi, selaras, dan seimbang.
Pembangunan Berwawasan Kependudukan
Dengan adanya dinamika kependudukan yang arus dan kecepatannya makin tinggi itu
tidak ada pilihan lain kecuali mengarahkan pembangunan dengan pendekatan
kependudukan yang lebih kental. Penduduk tidak boleh lagi sekedar dijadikan obyek
pembangunan yang pasip, tetapi justru harus dijadikan titik pusat pembangunan yang
diperlakukan sebagai tujuan, arah, sasaran dan dinamika pembangunan dengan dimensi
kemanusiaan yang paripurna.
Dengan menjadikan penduduk sebagai tujuan, arah, sasaran dan dinamika pembangunan
kita harus secara cermat mempelajari dinamika kependudukan dan setiap kali
mengarahkan dukungan intervensi kepada titik pusat itu sendiri secara bijaksana.
Pendekatan ini mengundang orientasi pembangunan yang sangat berbeda dengan
orientasi pembangunan di masa lalu yang memperlakukan dana atau tersedianya uang
sebagai titik pusat pembangunan. Dalam orientasi ini kita harus mempersiapkan sumber
daya manusia menjadi sumber daya professional yang mampu berpartisipasi dalam
pembangunan dengan cakupan makin besar, bahkan harus diusahakan semaksimal
mungkin sampai ke titik maksimal dengankualitas partisipasi unggul.
Pendekatan pembangunan berwawasan kependudukan mengharuskan setiap aparat dan
pengelola pembangunan memperhitungkan potensi dan kekuatan penduduk dengan
arahan upaya yang sungguh-sungguh untuk meningkatkan partisipasinya dalam
merencanakan dan mengelola pembangunan. Penduduk harus berperan sebagai pemikir,
perencana, pelaksana dan pengawas sekaligus ikut menikmati hasil pembangunan dengan
adil dan merata sesuai dengan sumbangannya dalam pembangunan. Target-target
pembangunan harus memperhitungkan dengan cermat dinamika kependudukan dengan
perubahan nilai-nilai yang makin maju, demokratis, terbuka dan berdimensi global.
Contoh Kebangkitan Kobe
Salah satu contoh pendekatan kependudukan yang menarik adalah bagaimana Kobe
membangun dirinya. Kobe adalah sebuah kota di Jepang dengan penduduk sekitar 1,5
juta yang beberapa waktu yang lalu hancur porak poranda dilanda gempa bumi dahsyat.
Namun dengan kemampuan yang luar biasa, Kobe telah dibangun kembali sebagai kota
baru yang megah, dengan arena perdagangan dan pelabuhan internasional yang sanggup
mengadakan hubungan dagang dengan berbagai negara di seluruh penjuru dunia.
Pendekatan pembangunan yang ditempuh adalah pendekatan bisnis yang sangat efisien,
yang mampu mengundang partisipasi para pemilik modal, dunia bisnis, rakyat maupun
pemerintahnya sendiri dengan baik.
Kota Kobe, seperti juga kota-kota lain di Jepang, mempunyai jumlah penduduk dibawah
usia 16 tahun yang sama dengan jumlah penduduk usia lanjut. Kobe mempunyai
penduduk remaja dan usia kerja yang cukup potensial. Mungkin karena itu perhatian dan
pelayanan terhadap penduduk remaja, usia kerja maupun warga lanjut usia sama baiknya.
Kepada penduduk remaja dan usiakerja disediakan sekolah-sekolah dan pusat-pusat
latihan yang memadai sehingga setiap penduduk mendapat pendidikan dan latihan
ketrampilan dengan baik.
Dimanapun kita berada selalu bertemu dengan anak remaja berseragam sekolah,
membawa buku, dan dari setiap sakunya dapat dilihat adanya telepon genggam yang
sering diangkat karena dering dari teman-temannya.
Semua penduduk usia sekolah tidak ada satupun yang tidak sedang bersekolah.
Kepada para warga lanjut usia diberikan dukungan melalui berbagai organisasi
kemasyarakatan. Kalau diperlukan, pemerintah daerah memberikan dukungan kepada
lembaga kemasyarakatan itu agar pelayanan dan kesempatan untuk warga lanjut usia
dapat diberikan dengan baik. Tidak terlihat perbedaan perlakuan erhadap warga lanjut
usia di stasiun kereta api, di stasiun bus, atau bahkan di rumah-rumah makan. Mereka
dengan penuh kedamaian bisa menikmati hari tuanya dengan fasilitas yang ada.
Dalam memperingati Hari Kependudukan Dunia 11 Juli 2001, mudah-mudahan
pengalaman Kobe dapat kita adopsi untuk menghidupkan hubungan penduduk yang
akrab antar generasi dengan sekaligus menegakkan nilai-nilai luhur budaya bangsa,
menghargai demokrasi, tetap hormat sesama, disiplin, teknologi tepat guna dan canggih,
serta upaya yang menguntungkan semua pihak. Semoga.
(Prof. Dr. Haryono Suyono, Pengamat Masalah Sosial Kemasyarakatan). PendudukDunia
- 07072001
PEMERINTAH HARUS MAKIN PEKA TERHADAP
FENOMENA KEPENDUDUKAN
PENDUDUK Indonesia tahun 2000 yang semula diperkirakan 275 juta jiwa, ternyata
hanya 206 juta jiwa saja. Kondisi ini tidak lepas dari peran Badan Koordinasi Keluarga
Berencana Nasional (BKKBN) yang telah menurunkan tingkat fertilitas atau tingkat
kelahiran yang biasanya sekitar enam anak menjadi kurang dari tiga anak.
Kenyataan menunjukkan, penurunan tingkat fertilitas diikuti dengan penurunan
drastis tingkat kematian bayi dan anak-anak. Dengan jumlah anak yang jauh lebih
sedikit dan lebih sehat, para orangtua lebih memperhatikan dan lebih mampu
menyekolahkan anak-anaknya.
Paling tidak ini terlihat dari keberhasilan program wajib belajar sembilan tahun,
dimana anak-anak usia sekolah dasar hampir seluruhnya bersekolah. Bahkan, murid
kelas I dan kelas II SD berkurang, sehingga banyak sekolah dasar yang membentuk
afiliasi dengan SLTP untuk menampung tamatan SD. Ini berarti KB telah membuat
anak-anak kita lebih pandai.
Namun demikian, penanganan persoalan penduduk di Indonesia belum selesai. Saat
ini proporsi penduduk mengarah ke penduduk urban dengan kecepatan tinggi.
Penyebabnya bukan hanya karena migrasi penduduk pedesaan ke kota, tetapi juga
karena desa-desa bertambah maju. Penduduk yang "desa"nya berubah jadi "kota" – siap
atau tidak –otomatis berubah jadi penduduk kota atau urban.
Dinamika di atas bukan monopoli bangsa Indonesia saja, tetapi menjadi fenomena
luar biasa akhir abad ke-20 di banyak negara berkembang. Sayangnya, kejadian ini –
dengan segala implikasi sosial, budaya, dan politik yang cukup rumit – kurang mendapat
perhatian.
Untung saja perubahan itu seiring dengan turunnya angka fertilitas dan angka
pertumbuhan penduduk secara menyeluruh. Kalau saja angka pertumbuhan penduduk
tidak menurun drastis, maka dalam waktu singkat bisa terjadi peledakan penduduk yang
lebih dahsyat dibandingkan era 1950-an dan 1970-an.
Namun, biarpun tingkat pertumbuhan penduduk Indonesia telah menurun, tahun ini
penduduk Indonesia telah lebih dari 211 juta jiwa. Kalau pertumbuhan penduduk
Indonesia tetap menurun, memang Indonesia bakal mencapai pertumbuhan penduduk
seimbang, yaitu jumlah penduduk yang lahir sama dengan jumlah penduduk yang mati.
Tetapi, kalau keadaan berbalik, maka tidak mustahil laju pertambahan penduduk akan
menanjak lagi dengan kecepatan tinggi.
Ada beberapa alasan kenapa kita harus mewaspadai pertumbuhan penduduk yang
drastis ini.
Transisi Demografi
Ada dua pola transisi demografi dengan segala implikasinya. Transisi demografi
model pertama terjadi dengan lamban di negara-negara Eropa. Transisi demografi model
pertama itu mulai sekitar tahun 1700 sampai 1950-an. Dalam proses tersebut, tingkat
kematian turun perlahan karena kemajuan industrialisasi. Adanya transisi menyebabkan
nilai-nilai kultural berubah perlahan.
Dalam masa transisi yang relatif lama, masyarakat mempunyai waktu cukup untuk
menyesuaikan diri, berubah dari masyarakat tradisionil pedesaan menjadi masyarakat
industrial perkotaan yang makin modern.
Tingkat kesehatan dan tingkat pendidikan penduduk bertambah baik dan lebih siap
melakukan atau menerima perubahan dengan rasional. Kehidupan sosial politik
penduduk juga berubah dengan mengembangkan kemampuan ekspresi politik yang
makin terbuka dan vokal menuju masyarakat yang makin liberal demokratik.
Biarpun agak terlambat, negara-negara berkembang mengikuti juga proses transisi
demografi tersebut. Namun, di negara berkembang penurunan angka kematian lebih
banyak dipengaruhi oleh temuan pengobatan modern dan munculnya lembaga-lembaga
internasional dengan advokasi dan langkah-langkah nyata secara global. Tanpa harus
menunggu 150 tahun, tingkat kelahiran menurun menyusul penurunan tingkat kematian
dalam kurun waktu kurang dari 50 tahun.
Fenomena Baru
Namun, penurunan fertilitas dan tingkat pertumbuhan penduduk ini disertai
fenomena baru di negara berkembang yang mungkin berdampak lebih dahsyat. Transisi
demografi model kedua ini adalah makin tingginya proporsi jumlah penduduk
urban,ledakan remaja, angkatan kerja, dan penduduk lanjut usia dalam waktu pendek.
Oleh karena terjadi dalam tempo sangat singkat, implikasi perubahan fenomena ini
pasti belum disadari para pengambil keputusan. Fenomena itu muncul dalam suasana
kemiskinan dan tingkat kebodohan yang masih sangat tinggi. Tidak kurang dari 1,3
milyar jiwa hidup dalam kondisi sangat miskin di negara-negara berkembang.
Karena keterbatasan anggaran, fenomena akhirnya ditanggapi dengan
membandingkan mana yang lebih dulu harus diselenggarakan. Kesimpulan semacam itu
salah. Tidak ada yang didahulukan dengan mengorbankan salah satunya. Tidak ada
upaya pendidikan yang harus mengorbankan upaya di bidang kesehatan. Tidak ada
upaya kesehatan yang mengorbankan bidang keluarga berencana. Semua menempati
posisi sentral untuk meningkatkan sumber daya yang bermutu.
Dalam pola transisi demografi itu, jelas sekali terjadi perubahan struktur piramida.
Pola yang muncul di Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya yang berhasil
dengan gerakan KB-nya itu, berupa pengecilan jumlah dan proporsi penduduk berusia
anak-anak, diikuti dengan membengkaknya remaja dan usia lanjut.
Perubahan struktur itu menarik karena penduduk remaja yang sedang tumbuh
sesungguhnya merupakan hasil pendewasaan dari orangtua yang belum tersentuh
program KB pada zamannya. Ini berarti, anak-anak yang sekarang dewasa dan menjadi
orangtua muda adalah pasangan yang rawan menimbulkan bom bayi baru. Karena itu,
pikiran-pikiran bahwa BKKBN sebaiknya dibubarkan adalah gagasan yang sangat
berbahaya.
Penduduk remaja yang mendominasi harus diikuti dan didampingi dengan program
KB yang lebih lincah. Anak-anak muda baby boomers sekarang adalah anak-anak
modern yang maju dan mandiri. Mereka harus didampingi dengan program KB oleh
BKKBN atau lembaga semacam itu sampai ke tingkat daerah. Komitmen untuk BKKBN
tingkat kabupaten dan kota harus sangat tinggi agar diperoleh sumber daya yang
berkualitas karena dilahirkan oleh orangtua dengan jarak kelahiran yang wajar.
Penurunan fertilitas dan pertumbuhan yang mulai rendah harus dipelihara dengan
baik, karena kalau tidak akan lebih sulit menggarap penurunan fertilitas di masa datang.
Untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan semacam itu, justru diperlukan
komitmen yang lebih tinggi dari otoritas tingkat, pusat, bukan dengan isu anggaran
BKKBN dialihkan untuk anggaran pendidikan.
Angkatan muda
Pembengkakan proporsi penduduk usia 25-45 tahun, atau ‘penduduk usia muda’
yang telah mendapat pendidikan dasar, membuat mereka tidak tertarik untuk bertani
seperti orangtuanya di desa. Mereka cenderung pindah ke kota mencari pekerjaan yang
bersifat "urban", di pabrik atau industri jasa yang tidak banyak tergantung musim.
Penduduk terdidik yang tetap di desa mulai pula mempergunakan waktunya untuk
membangun industri dan perdagangan di desanya. Karena fasilitas transportasi yang
makin baik, usaha itu makin bisa dihubungkan dengan rekan-rekannya dari kota
sehingga menumbuhkan kepadatan dan ciri baru di desa-desa penyangga kota.
Akibatnya, pertumbuhan urban di negara berkembang, termasuk Indonesia,
mempunyai dua sumber yang sama kuat, yakni perpindahan penduduk ke kota dan
berubahnya desa-desa agraris menjadi daerah urban baru. Semua berlangsung lebih
cepat di-bandingkan negara maju di masa lalu.
Dengan keadaan seperti itu, maka BKKBN, Departemen Kesehatan, Departemen
Pendidikan Nasional, Departemen Tenaga Kerja dan pemerintah daerah harus makin
peka terhadap fenomena kependudukan. Karena itu, untuk meningkatkan sumber daya
manusia yang bermutu, lembaga-lembaga tersebut di atas justru harus ditingkatkan
peranan dan anggarannya, bukan malah dibubarkan!
PROF.DR. HARYONO SUYONO
Pengamat masalah sosial kemasyarakatan
KOMPAS SENIN, SEPTEMBER 2002
PENDUDUK DAN DEMOKRASI
Dalam suasana reformasi yang marak dewasa ini, beberapa waktu lalu selama
dua hari berturut-turut diadakan pertemuan oleh para ahli kependudukan Indonesia di
Jakarta. Pertemuan itu antara lain dimaksudkan untuk mencari bentuk yang paling tepat
bagaimana menempatkan penduduk sebagai titik sentral pembangunan. Pertemuan juga
berusaha untuk mendorong perhatian dan komitmen politik yang makin tinggi agar
penduduk tidak saja menjadi obyek pembangunan, tetapi disiapkan dengan sunguhsungguh
untuk mampu menjadi pelaku yang berwatak, berkepribadian luhur serta
profesional dalam bidangnya masing-masing.
Melihat itu semua kita masih teringat bahwa pada tanggal 11 Juli lalu, kita juga
memperingati Hari Kependudukan Dunia 2001. Di Indonesia peringatan itu ditandai
oleh suasana dan harapan yang berbunga-bunga karena Presiden RI, Gus Dur, seperti
juga Presiden RI sebelumnya, Pak Harto, memberikan perhatian yang tinggi terhadap
masalah kependudukan itu. Kita tidak tahu kenapa pertemuan minggu lalu tidak cukup
mendapat perhatian dari para pejabat tinggi. Mungkin saja karena para penyelenggara
menempatkan pertemuan penting itu sebagai kegiatan tehnis, atau karena waktu yang
tidak tepat, sehingga kalangan petinggi pemerintah tidak cukup waktu untuk ikut
menanggapi masalah kependudukan di Indonesia dewasa ini. Padahal masalah yang kita
hadapi berada pada titik perubahan sosial yang sangat penting dan bisa sangat
menentukan masa depan bangsa ini.
Penduduk Indonesia, seperti juga penduduk negara-negara berkembang lainnya,
mengalami perubahan sosial yang sangat dahsyat. Jumlah dan perkembangan penduduk
urban meningkat dengan drastis. Pertambahan penduduk urban itu bukan hanya karena
adanya migrasi penduduk perdesaan ke kota, tetapi juga karena desa-desa bertambah
maju dan penduduk desa tersebut, siap atau tidak siap, karena “desanya” berubah
menjadi “kota”, dengan otomatis dan menyeluruh berubah menjadi “penduduk kota”
atau “penduduk urban”, lengkap dengan tuntutan dan ciri-ciri urbanisme yang sangat
kuat. Phenomena ini di Indonesia lebih “diperparah” lagi oleh makin maraknya sikap
ingin cepat maju karena kesempatan dan dorongan otonomi daerah yang sedang marak.
Dinamika perubahan penduduk desa menjadi penduduk kota yang terjadi dengan
kecepatan tinggi itu, bukan hanya monopoli bangsa Indonesia saja. Phenomena itu
adalah suatu kejadian luar biasa pada akhir abad ke-20 dan terjadi di banyak negara
berkembang. Kejadian ini, dengan segala implikasi sosial, budaya dan politik yang
cukup rumit, kurang mendapat perhatian para ahli, politisi dan penyelenggara negara.
Untung saja perubahan itu terjadi seiring dengan makin melemahnya angka fertilitas dan
angka pertumbuhan penduduk secara global.
Pikiran-pikiran hak azasi manusia (human rights) dan upaya pengembangan
kualitas manusia (human development) yang pada tahun-tahun 1980-an dan 1990-an
dipelajari oleh anak-anak di bangku sekolah, dan di ruang-ruang kuliah, sekarang
dituntut oleh generasi muda yang pernah mempelajarinya itu dalam kehidupan nyata.
Mereka melihat dengan mata telanjang bahwa “demokrasi” dan “penghargaan
terhadap manusia” yang mereka kagumi dari kuliah para gurubesar, atau mereka baca
dari tulisan ahli-ahli berbagai bangsa di dunia, tidak mereka lihat dalam kehidupan
sehari-hari di tanah airnya. Bahkan, mereka lihat para pemimpinnya saling hujat, saling
menyalahkan dan tidak mau mengambil tanggung jawab serta menjauhkan diri dari
upaya memihak kepada keluarga miskin.
Ada sebagian yang kemudian ikut larut, dan menyalahkan generasi atau
pemerintah sebelumnya. Padahal pemberdayaan penduduk itu tidak ringan dan bukan
menjadi tugas suatu instansi atau suatu departemen tertentu. Pemberdayaan penduduk
dan upaya menempatkannya secara terhormat sebagai titik pusat pembangunan
merupakan suatu upaya jangka panjang yang memerlukan strategi yang utuh, bertahap
dan konsisten. Pengembangan penduduk itu memerlukan keikut sertaan semua pihak,
secara dinamis dan tidak dapat diwakilkan. Usaha advokasi untuk menggerakkan
keadaan itu sungguh sulit dilakukan.
Transisi Demografi Cepat
Ada dua pola transisi demografi yang terjadi dengan segala implikasinya.
Transisi demografi model yang pertama terjadi dengan lamban di negara-negara Eropa
seperti Inggris dan Wales. Transisi demografi model pertama tersebut berlangsung
mulai sekitar tahun 1700 sampai sekitar tahun 1950-an, atau sekitar 250 tahun. Dalam
proses transisi tersebut, tingkat kematian turun dengan pelahan karena kemajuan
industrialisasi yang terjadi. Adanya transisi itu menyebabkan nilai-nilai kultural tentang
berbagai phenomena berubah secara pelahan. Dalam masyarakat agraris anak
merupakan potensi yang segera dapat ikut dalam proses produksi. Dengan perubahan itu
masyarakat berubah menjadi masyarakat modern dengan industrialisasi. Nilai anak juga
mengalami perubahan. Anak tidak bisa secara langsung ikut serta dalam proses
produksi. Anak harus dikirim ke sekolah dengan waktu dan ongkos yang tidak kecil
sampai anak-anak itu bisa ikut dalam proses produksi serta menghasilkan. Pemeliharaan
anak menjadi lebih mahal dan dengan adanya nilai anak yang makin mahal
pemeliharaannya itu maka angka kelahiran akhirnya mengikuti proses dan menurun
dengan pelahan-lahan.
Dalam masa transisi yang relatip lama itu masyarakat mempunyai waktu yang
panjang untuk melakukan penyesuaian dengan pelahan, berubah dari masyarakat
tradisionil perdesaan menjadi masyarakat industrial perkotaan yang modern. Tingkat
kesehatan dan tingkat pendidikan penduduk bertambah baik dan lebih siap melakukan
atau menerima berbagai perubahan dengan rasional. Kehidupan sosial politik penduduk
juga mulai mengalami perubahan dengan kemampuan mengembangkan ekspresi politik
yang makin terbuka dan vokal menuju masyarakat yang makin liberal demokratik.
Dengan adanya penyesuaian itu maka proses transisi demografi yang lamban bisa diikuti
oleh proses penyesuaian kehidupan kemasyarakatan yang seimbang.
Di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, penurunan angka kematian
lebih banyak dipengaruhi oleh diketemukannya pengobatan modern dan munculnya
lembaga-lembaga internasional dengan advokasi dan langkah-langkah nyata secara
global. Namun demikian, untuk penyesuaiannya, tingkat kelahiran juga segera menurun,
tidak harus menunggu 250 tahun. Tingkat kelahiran itu segera menyusul penurunan
tingkat kematian dalam kurun waktu kurang dari 50 tahun. Dengan menyusulnya
penurunan tingkat kelahiran, maka proses transisi demografi terjadi dengan cepat.
Tingkat pertumbuhan penduduk juga menurun dengan drastis.
Disamping kegembiraan karena penurunan fertilitas dan tingkat pertumbuhan
penduduk, ada phenomena baru yang mungkin lebih dahsyat mulai muncul di negaranegara
berkembang. Phenomena itu adalah makin tingginya proporsi jumlah penduduk
urban, ledakan anak remaja, angkatan kerja dan penduduk lanjut usia yang meningkat
jumlahnya dalam waktu yang sangat pendek. Karena terjadi dalam tempo yang sangat
singkat, implikasi perubahan phenomena ini belum disadari secara mendalam oleh para
pengambil keputusan dan politisi di negara-negara berkembang. Phenomena itu muncul
dalam suasana kemiskinan yang masih tinggi. Tidak kurang dari 1,3 milyar jiwa hidup
dalam kondisi sangat miskin di negara-negara berkembang. Disamping itu ada sekitar
25 juta jiwa terpaksa mengungsi karena kerusakan lingkungan atau konflik di
wilayahnya.
Perubahan struktur penduduk menjadi makin urban dan muda itu menarik dari
segi politik karena munculnya tenaga-tenaga terdidik yang merasa makin tidak cocok
dengan lingkungan sekitarnya. Perubahan ini menuju alam demokratis dan memerlukan
pencermatan yang tidak kalah serunya dengan upaya kita menghadapi persoalan
fertilitas dan pertumbuhan yang tinggi di masa lalu. Oleh karena itu untuk mendukung
pembangunan yang berkelanjutan diperlukan terobosan berupa advokasi yang lebih
gegap gempita tentang masalah kependudukan yang mempunyai persoalan lain
dibanding dengan upaya penyelesaian masalah kependudukan yang lebih bersifat tehnis
demografis dimasa lalu. Phenomena kependudukan sekarang adalah phenomena
perkotaan, phenomena generasi muda yang “lapar” atas harga dirinya sebagai manusia
terhormat, “lapar” atas pilihan demokratis untuk mengembangkan jati diri dan
potensinya yang tinggi, “lapar” akan kemerdekaan untuk menyuarakan aspirasi dan
gagasan-gagasannya yang cemerlang, lapar dan jengkel atas ketidak adilan yang setiap
hari kelihatan jelas dimatanya, dan berbagai lapar lain yang makin digali makin merekah
mengerikan.
Karena itu tiba waktunya para politisi memperhatikan transisi demografi,
perubahan struktur penduduk yang ditandai ledakan penduduk urban, angkatan muda
dan munculnya tuntutan demokratis dan keterbukaan yang tidak saja harus mengikuti
arus perubahan kuantitatif penduduknya, tetapi harus siap menanggapi phenomena itu
dengan perubahan sikap, tingkah laku, tata nilai sosial budaya yang mendukung
persamaan hak-hak azasi wanita dan pria yang menyejukkan serta kesempatan yang
makin terbuka. Perubahan itu harus disikapi dengan suasana kondusif untuk
menyelamatkan umat manusia dengan menjamin hak-hak azasinya secara utuh agar bisa
mencapai keseimbangan baru yang lebih serasi, selaras, dan seimbang. (Prof. Dr.
Haryono Suyono, Pengamat Masalah Sosial Kemasyarakatan). Penduduk-30102001
PEMBANGUNAN BERWAWASAN
KEPENDUDUKAN
Dalam memperingati Hari Kependudukan Dunia Indonesia menggelar suatu pertemuan
para ahli di Jakarta. Salah satu yang menonjol dari pertemuan itu adalah bahwa berkat
keberhasilan pembangunan ditegaskan kembali perubahan piramida penduduk Indonesia
mengikuti piramida penduduk usia tua, mulai mendekati model piramida penduduk
negara-negara maju. Perubahan fenomena itu diikuti permintaan Presiden kepada para
ahli agar secara cermat bisa menyajikan perkiraan pertumbuhan penduduk yang paling
dekat dengan kenyataan.
Presiden mengingatkan bahwa perkiraan yang tidak tepat akan berbahaya untuk
bangsa ini karena mempengaruhi arahan dan dinamika pembangunan yang sedang
dikembangkan. Perkiraan yang tidak tepat juga akan merugikan penduduk yang
seharusnya menikmati hasil-hasil pembangunan tersebut.
Menarik juga kita simak penyajian dari Prof. Dr. Aris Ananta yang sekali lagi
mengajak semua fihak memberikan komitmen yang tinggi terhadap kebijaksanaan
pembangunan berwawasan kependudukan. Pembangunan berwawasan kependudukan
adalah suatu pembangunan yang memihak penduduk, biarpun kualitasnya relatip belum
baik, yaitu antara lain keberanian menjadikan penduduk sebagai konsumen yang
potensial. Dengan keberanian itu kita bisa mengembangkan dan mempunyai pasar
domestik yang luar biasa besarnya. Pasar itu akan dengan mudah menyerap produkproduk
yang bermutu dengan harga yang murah dan terjangkau kemampuan penduduk
Indonesia yang melimpah.
Gagasan pembangunan berwawasan kependudukan harus bisa mengarahkan
semua pihak menjadikan penduduk sebagai pelaku pembangunan, produsen dan
sekaligus pasar yang potensial. Tidak dapat dibayangkan kalau pasar kita yang potensial
itu justru dimanfaatkan oleh negara-negara lain yang melihat potensi itu dengan lebih
tajam. Potensi pasar dengan jumlah penduduk yang besar itu tidak saja untuk barang
produk murah dengan pasaran luas, tapi juga untuk produk-produk barang mewah yang
menguntungkan dan mempunyai nilai tambah tinggi. Beliau mengajak semua peserta
untuk menghitung bahwa andaikan hanya duapuluh persen saja penduduk kita dapat
dianggap berada dalam kelas ekonomi menengah keatas, maka jumlahnya sudah
melebihi angka 4 juta orang. Jumlah itu lebih besar dibandingkan seluruh penduduk
Singapore. Ini berarti bahwa Indonesia bisa juga menjadi pasar barang-barang yang
relatip mewah dengan harga yang tinggi atau nilai tambah yang sangat menguntungkan.
Pertemuan yang diisi dengan round table discussion itu juga menyajikan
pembicara perempuan yang kebetulan menjadi satu-satunya diantara sembilan
pembicara yang ada. Biarpun karena keterbatasan waktu beliau tidak sempat
mengungkapkan kepentingan penduduk perempuan dengan panjang lebar, tetapi karena
protes salah seorang peserta lain, semua pihak diingatkan bahwa ketidak adilan gender
masih juga menjadi kendala dari maraknya pembahasan tentang peranan penduduk
perempuan dalam pembangunan yang bekelanjutan.
“Kealpaan” terhadap pembahasan yang mendalam tentang perempuan secara
tidak sengaja juga dilakukan oleh Deputi BKKBN yang membawakan sambutan atau
uraian Menteri PP dan Kepala BKKBN yang berhalangan hadir. Tetapi begitu
diingatkan maka makalah yang memang sudah disiapkan sebenarnya penuh dengan
uraian tentang bagaimana Ibu Menteri memberi perhatian yang sangat tinggi terhadap
peningkatan peranan kaum perempuan untuk menyemarakkan pembangunan yang
berwawasan kependudukan itu.
Satu-satunya pembicara dari luar negeri adalah wakil dari GTZ yang menyoroti
secara khusus pentingnya statistik dan data kependudukan pada umumnya. Pembicaraan
ini biasanya tidak menarik, tetapi munculnya topik itu dalam diskusi telah mengingatkan
para ahli untuk secara sadar menggarap masalah data kependudukan dengan sungguhsungguh.
Bagi mereka yang paham betapa sulitnya mencapai konsensus untuk
menyajikan angka perkiraan tunggal, khususnya untuk memenuhi permintaan Presiden
yang menghendaki agar disajikan angka perkiraan tunggal, para ahli harus bekerja keras
menyepakati angka tunggal itu. Perkiraan angka tunggal sesungguhnya mudah dipenuhi,
kalau program pembangunan sudah pasti atau didukung suasana penuh kepastian. Kalau
dukungan pembangunan tidak menentu, atau tidak pasti, karena setiap perkiraan harus
disertai atau mengandung asumsi program-program intervensi yang pasti agar bisa
mempengaruhi phenomena kependudukan, maka perkiraan untuk menghasilkan suatu
angka tunggal, juga sulit disajikan.
Apapun variasi yang muncul dalam pembicaraan pada Hari Kependudukan
Dunia itu, atau hasil pertemuan “round table disc ussion” itu, kita bersyukur bahwa
akhirnya semua pihak diingatkan kembali untuk menempatkan penduduk sebagai titik
pusat pembangunan. Kita gembira karena semua pihak diharapkan memperhatikan
penduduk, dan bekerja keras, untuk membantu upaya pemberdayaan penduduk, tidak
saja sebagai pelaku, subyek, atau obyek pembangunan, tetapi akhirnya harus ikut
menikmati hasil-hasil pembangunan secara adil sesuai dengan sumbangannya yang
profesional.
Mudah-mudahan langkah awal dari Badan Kependudukan Nasional – Baknas –
dalam memperingati Hari Kependudukan Dunia itu dapat ditindak lanjuti dengan
meminta perhatian semua pihak akan berubahnya phenomena kependudukan yang akan
sangat mempengaruhi arahan berbagai prioritas pembangunan yang berwawasan
kependudukan. Semoga. (Prof. Dr. Haryono Suyono, Pengamat Masalah Sosial
Kemasyarakatan)
MENGHADAPI MELEDAKNYA GENERASI MUDA
MASYARAKAT HARUS WASPADA
Hasil akhir Sensus Penduduk tahun 2000 menyatakan bahwa jumlah
penduduk Indonesia pada tahun 2000 adalah 206,3 juta jiwa. Pengumuman itu
sekaligus juga menjelaskan bahwa penduduk kita makin mendekati penduduk
negara maju karena angka jumlah penduduk di daerah perkotaan telah naik
menjadi sekitar 45 persen dan angka pertumbuhan penduduk rata-rata selama
sepuluh tahun terakhir adalah sekitar 14,9 persen.
Lebih lanjut daripada itu kalau angka pertumbuhan penduduk pada tahun 1980-
1990 rata-rata masih mendekati angka 2 persen, maka dengan sendirinya angka rata-rata
dibawah 1,5 persen itu mengisyaratkan adanya pertumbuhan penduduk di tahun 2000
sudah kurang dari itu, yaitu sekitar 1,2 sampai paling tinggi 1,3 persen. Ini hanya bisa
terjadi kalau angka fertilitas di tahun 2000 sudah sangat rendah, yaitu TFR atau angka
fertilitas total tidak lebih dari 2,4 – 2,5 anak. Bahkan mungkin sekali angka fertilitas
total untuk propinsi yang KB-nya sangat berhasil seperti DI Yogyakarta, Jawa Timur,
Bali, DKI Jakarta, mungkin juga Jawa Tengah dan beberapa propinsi lain sudah sama
atau lebih rendah dari angka 2,2 anak atau yang biasa disebut dibawah replacement
level.
Diduga pula bahwa angka mortalitas masih relatif tinggi karena dari beberapa
penelitian masih terlihat adanya Angka Kematian Ibu Hamil dan Melahirkan (AKI)
masih relatif tinggi. Namun dengan usaha yang gigih dalam duapuluh tahun terakhir ini
dapat pula diduga bahwa angka kematian AKI itu akan segera menurun, terutama di
daerah-daerah yang kondisi KB-nya relatif maju dan kesadaran masyarakat akan bahaya
hamil terlalu muda, terlalu sering atau sudah tua masih hamil juga menjadi lebih tinggi.
Awas Ledakan Penduduk yang Baru.
Kalau Angka Kematian Ibu Hamil dan Melahirkan (AKI) itu menurun hampir
dapat dipastikan bahwa angka kematian secara menyeluruh akan menurun dengan lebih
drastis. Kalau penurunan ini diikuti lebih lanjut dengan penurunan angka kematian bayi,
yang selama duapuluh tahun terakhir ini telah turun lebih dari 60 persen, dan juga angka
kematian anak, maka tidak mustahil angka pertumbuhan penduduk akan mengalami
goncangan. Goncangan itu bisa berarti naik drastis bisa juga menurun dengan lebih
deras lagi, yaitu kalau kemantapan ber-KB dapat lebih ditingkatkan.
Dalam rangka Hari Anak dan Remaja Nasional 23 Juli 2002 ini perlu kita
ingatkan bahwa penurunan angka pertumbuhan penduduk itu hanya bisa dijamin kalau
sebanyak-banyak generasi muda mengikuti Gerakan Reproduksi Sejahtera dengan baik.
Kalau mereka lengah, ada kemungkinan bahwa angka pertumbuhan penduduk itu akan
naik dengan drastis dan mengakibatkan terjadinya baby boom yang jauh lebih dahsyat
dibandingkan dengan baby boom di masa yang lalu.
Ada beberapa alasan kenapa angka pertumbuhan penduduk bisa meledak
kembali. Pertama, jumlah generasi muda sekarang ini relatif tinggi, yaitu sekitar 20
persen dari jumlah penduduk yang ada di Indonesia yang jumlahnya adalah 206,3 juta
jiwa tersebut. Jumlah ini tidak saja besar tetapi mempunyai tingkat kesuburan yang jauh
lebih tinggi dibandingkan dengan jaman baby boom di tahun 1970 – 1980 yang lalu.
Tingkat kesehatan dan kemampuannya untuk “menghasilkan anak” juga jauh lebih
tinggi karena umumnya mereka dilahirkan pada jaman yang jauh lebih kondusif
dibandingkan dengan jaman kelahiran orang tuanya dulu.
Kedua, anak-anak muda sekarang masih menikah relatif pada usia yang muda.
Anak-anak usia SLTP dan SMU sekarang ini masih banyak yang tidak sekolah,
sehingga karena desakan ekonomi, terutama untuk anak perempuan, terpaksa dinikahkan
oleh orang tuanya. Jumlah anak-anak usia Hanya sekitar 60 persen anak-anak usia SLTP
sekarang ini sekolah dan hanya sekitar 30-40 persen anak-anak usia SMU sekarang ini
yang sedang sekolah dan hanya kurang dari 12 persen anak-anak usia dewasa sedang
berada di bangku kuliah di perguruan tinggi. Apabila anak-anak ini tidak sekolah, maka
bagi keluarga kurang mampu, keluarga yang hidupnya pas-pasan, akan merasa aman
kalau anak-anak tersebut segera menikah, artinya menikah pada usia muda menjadi
salah satu resep yang paling ampuh dan mudah untuk “mengentaskan anak -anak dari
penderitaan kemiskinan”.
Ketiga, anak-anak muda yang semestinya menggeluti modernisasi dengan
mengenal lebih banyak masalah reproduksi sejahtera belum banyak bersentuhan dengan
materi reproduksi sejahtera sehingga perkawinan dibawah usia 20 tahun atau
perkawinan dari wanita-wanita pada usia sekitar 20 tahun masih sangat tinggi. Padahal
diketahui bahwa anak-anak umumnya dilahirkan pada tahun pertama masa perkawinan.
Dengan demikian umumnya pasangan muda Indonesia melahirkan pada usia ibu sekitar
20- 25 tahun dan karena itu sebuah keluarga masih dengan mudah melahirkan tiga
sampai empat kali selama masa reproduksinya. Dengan jumlah generasi muda yang
relatif besar maka jumlah kelahiran sampai empat orang bayi itu akan menimbulkan
kegoncangan demografis yang sangat berbahaya dan mempengaruhi ledakan baby boom
yang dahsyat.
Keempat, tingkat kematian anak dan tingkat kematian bayi makin kecil. Dengan
demikian jumlah anak-anak yang dilahirkan dan tetap hidup pada usia lima tahun atau
lebih oleh pasangan muda akan tinggi dan anak tetap hidup sehat sehingga jumlah anakanak
yang ditambahkan setiap tahunnya bukan lagi sekitar 3 juta bayi atau 4 juta bayi,
tetapi mungkin saja bisa mencapai 5 sampai 6 juta bayi setiap tahunnya. Anak-anak ini
akan tetap sehat dan hidup sejahtera bersama kedua orang tuanya karena keadaan
kesehatan dan gizi yang bertambah baik. Jumlah bayi yang ditambahkan setiap tahun
menjadi sekitar 1,5 sampai dua kali lipat dibandingkan dengan jumlah bayi yang
dilahirkan dan tetap hidup dibandingkan dengan masa antara tahun 1990-2000.
Kelima, ledakan ini akan menjadi resiko karena generasi muda tidak saja tidak
mengenal dengan baik reproduksi keluarga tetapi mereka sedang tergoda oleh kehidupan
modern yang sangat permisif ditambah dengan akibat gangguan globalisasi lain seperti
merebaknya hidup bebas tanpa perkawinan biarpun ada ancaman penyakit HIV/AIDS,
atau penyakit lainnya akibat pergaulan bebas itu. Kondisi negatip itu akan menghasilkan
anak dengan perhitungan yang sangat tidak rasional.
Kewaspadaan Generasi Muda
Generasi muda memang tidak bisa berpangku tangan. Ledakan penduduk dimasa
lalu banyak “tertolong” dengan tingkat kematian bayi dan tingkat kematian anak yang
sangat tinggi, demikian pula masih adanya kematian ibu yang juga relatif sangat tinggi.
Ledakan penduduk baru, kalau terjadi, tidak akan bisa ditolong dengan tingkat kematian
bayi yang tinggi, dan tidak pula ditolong dengan tingkat kematian anak yang tinggi.
Justru akan dipersulit dengan makin panjangnya usia harapan hidup dengan naiknya
presentase dari penduduk yang berusia diatas enampuluh tahun.
Hampir bersamaan waktunya dengan kemungkinan ledakan bayi dari generasi
muda yang baru itu, di Indonesia juga akan terjadi ledakan para orang tua. Kalau di
masa lalu “penduduk yang berusia diatas 60 tahun” bisa dianggap sebagai “barang
langka”, maka dapat dibayangkan bahwa di masa lima sampai sepuluh tahun yang akan
datang ini mereka yang berusia enampuluh tahun sudah merupakan pemandangan biasa
dan penduduk dengan usia enampuluh tahun itu bisa dengan mudah ditemui di hampir
seluruh pojok pedesaan. Jumlah mereka akan merangkak dengan meyakinkan dari angka
5 persen menjadi 10 persen dan bahkan di beberapa propinsi akan naik menjadi 11 – 15
persen dari seluruh penduduk yang ada. Orang tua menjadi pemandangan biasa.
Ledakan bayi sebagai penyulut baby boom akan dibarengi dengan sulutan “grand father
and grand mother boom” alias ada boom yang bersumbu ganda. Padahal ledakan dari
generasi muda yang semula berusia dibawah limabelas tahun juga belum seluruhnya
berhenti. Praktis penduduk Indonesia akan mendapatkan serangan bom dari segala
sektor umur.
Piramida yang Meruncing
Sebaliknya, apabila generasi muda, yang dalam beberapa hari ini akan
memperingati Hari Remajanya pada tanggal 23 Juli 2002 sadar akan makna peranannya
yang bermata ganda, mengatur dan memahami reproduksi sejahtera dan mengandalkan
diri pada usaha untuk mengasah dan mengembangkan dirinya menjadi sumber daya
yang handal, maka generasi muda tahun 2002 akan menjadi pelaku sejarah yang luar
biasa peranannya. Generasi muda ini akan bisa memahami reproduksi sejahtera dan
menjadi pelaku fertilitas yang teratur sehingga jumlah generasi anak-anak dibawah usia
15 tahun akan tetap kecil dan akhirnya menghasilkan piramida yang meruncing.
Anak-anak usia dibawah 15 tahun akan mengecil sebaliknya anak-anak remaja
usia 15 – 24 tahun mungkin saja akan tetap dominan. Kalau mereka bisa mengikuti
pendidikan dan pelatihan yang tersedia secara luas dengan pendekatan Broad Based
Education (BBE) yang marak, maka mereka dapat memanfaatkan kekuatan sumber
daya alam yang tersedia secara melimpah di sekitarnya. Kalau itu yang terjadi maka
kualitas generasi muda akan bertambah baik dan mudah-mudahan menghasilkan
kemakmuran dan kesejahteraan yang berlipat ganda.
Untuk mencegah anak-anak muda yang sekarang tidak ada di sekolah, baik
sebagai anak jalanan, anak di jalan atau anak yang hidupnya sehari-hari di jalan karena
tekanan ekonomi atau karena memang orang tuanya begitu miskin dan sejak lama sudah
menggantungkan hidupnya di jalan-jalan, maka pemerintah dan masyarakat luas harus
dengan berani mengarahkan pembangunan pada anak-anak muda tersebut.
Arahan kepada anak-anak muda itu dapat ditujukan kepada orang tua yang
anaknya belum sekolah, tidak sekolah atau terkena tekanan tertentu sehingga tidak
sempat mengenal sekolah. Orang tua itu harus dientaskan agar orang tuanya memberi
ijin kepada pemerintah atau lembaga sosial kemasyarakatan lain untuk ikut menangani
anak-anak jalanan atau anak-anak di jalan itu. Tanpa ikut sertanya orang tua dan
komitmen anak-anak sendiri maka penyelesaian anak-anak yang tidak atau belum
sekolah itu mustahil dilaksanakan.
Disamping itu harus pula dikembangkan sekolah yang mendasarkan diri bukan
lagi pada sekolahnya atau kemampuan daya tampungnya saja, tetapi lebih menilai
keberhasilannya atas dasar kepadatan yang ada di kampung atau di lingkungan di mana
sekolah itu berada. Kalau anak-anak di suatu wilayah belum seluruhnya tertampung di
sekolah, maka sekolah itu dinilai belum berhasil. Tetapi kalau anak-anak di seluruh
kampung itu sudah semuanya sekolah, maka sekolah itu dianggap berhasil
mengentaskan anak-anak yang ada di sekolah yang bersangkutan. Sekolah dengan
pendekatan semacam ini harus pula memihak anak-anak dari keluarga kurang mampu
yang dengan berbagai alasan menganggap anaknya tidak perlu bersekolah lagi.
Dengan sekolah yang memihak semacam itu tentunya kurikulumnya juga harus
disesuaikan dengan kebutuhan yang ada di lapangan. Kalau kurikulum itu tidak
disesuaikan anak-anak dan orang tua yang kurang mampu akan enggan bersekolah atau
tidak ada minat di masukkan ke sekolah semacam ini. Mereka akan menilai bahwa
sekolah semacam ini tidak memberikan pemberdayaan yang diperlukan atau tidak
membawa manfaat bagi kehidupan yang penuh dengan tantangan dan godaan.
Masyarakat harus waspada. Kalau terjadi ledakan baru keadaannya akan jauh
lebih dahsyat dan sukar untuk direhabilitasi. Hanya dengan ketekunan tertentu ledakan
dapat dicegah, itupun dengan partisipasi yang sangat kuat dengan berbagai komponen
pembangunan secara ikhlas, berkesinambungan, holistik dan tidak terkotak-kotak.
Semoga dengan cara demikian hari Anak-anak dan Remaja 23 Juli mendapat makna
yang sesungguhnya untuk mencegah ledakan bayi dan orang tua yang baru serta
meningkatkan mutu dari sumber daya manusia yang ada. (Prof. Dr. Haryono Suyono,
Pengamat Masalah Sosial Kemasyarakatan-Ledakan-Gemu-2072002).
HADIAH HUT KEMERDEKAAN :
NOMOR INDUK KEPENDUDUKAN
Penghargaan terhadap hak azasi yang sangat berharga adalah diakuinya seorang manusia
sebagai manusia sejak dia dilahirkan. Di negara-negara maju penghargaan itu
diwujudkan antara lain dengan memberikan kepada yang bersangkutan nomor induk
yang dicatat dalam registrasi penduduk pada kantor-kantor semacam catatan sipil di
setiap negara. Nomor induk itu menjadi milik pribadi dan berlaku seumur hidup. Hal
seperti itu, biarpun nampaknya sederhana, belum ada atau belum merata di Indonesia.
Akan sangat dikenang apabila dalam rangka Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI yang
ke 56, Presiden RI Ibu Megawati Soekarno Putri berkenan memberikan pengakuan itu
sebagai hadiah ulang tahun kemerdekaan.
Dimasa lalu upaya untuk memberikan pengakuan seperti ini selalu menghadapi
kendala yang sangat besar, karena belum ada sistem yang dapat diterima semua pihak,
atau karena tidak ada anggaran yang dapat mendukung upaya yang sangat penting itu.
Sebenarnya telah ada UU yang memberi payung pengantar untuk mengembangkan
usaha tersebut secara konstitusional. UU nomor 10 tahun 1992 mendefinisikan bahwa
setiap penduduk Indonesia mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam upaya
perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga sejahtera. Hak dan kewajiban
setiap penduduk itu meliputi semua matra penduduk yang terdiri dari matra diri pribadi,
anggota keluarga, anggota masyarakat, warga negara, dan himpunan kuantitas. Hak
penduduk itu untuk masing-masing matra diuraikan secara terperinci dalam UU tersebut
yang meliputi hak penduduk sebagai diri pribadi yang meliputi hak untuk membentuk
keluarga, hak mengembangkan kualitas diri dan kualitas hidupnya, serta hak untuk
bertempat tinggal dan pindah ke lingkungan yang serasi, selaras, dan seimbang dengan
diri dan kemampuannya.
Sebagai anggota masyarakat, hak penduduk meliputi hak mengembangkan
kekayaan budaya, pemanfaatan wilayah warisan adat, serta hak untuk melestarikan atau
mengembangkan perilaku kehidupan budayanya. Sebagai warga negara, hak penduduk
yang dijamin dalam UU meliputi pengakuan atas harkat dan martabat yang sama, hak
memperoleh dan mempertahankan ruang hidupnya. Sebagai himpunan kuantitas
penduduk dijamin haknya untuk diperhitungkan dalam kebijaksanaan perkembangan
kependudukan dan pembangunan keluarga sejahtera dalam pembangunan nasional.
Lebih lanjut UU itu juga menjamin bahwa hak penduduk itu meliputi berbagai
aspek tentang pengembangan kualitas diri sampai kepada hal-hal yang menyangkut
pengembangan kekayaan budaya yang sangat luas. Disamping itu disebutkan juga
bahwa setiap penduduk sebagai anggota keluarga mempunyai hak untuk membangun
keluarga sejahtera dengan mempunyai anak dengan jumlah yang ideal, atau mengangkat
anak, atau memberikan pendidikan kehidupan berkeluarga kepada anak-anak serta hak
lain guna mewujudkan keluarga sejahtera.
Lebih dari itu setiap penduduk berkewajiban mewujudkan dan memelihara
keserasian, keselarasan, dan keseimbangan antara kuantitas, kualitas, dan mobilitasnya
dengan lingkungan hidup serta memperhatikan kemampuan ekonomi, nilai-nilai sosial
budaya, dan agama. Karena itu, setiap penduduk berkewajiban mengembangkan kualitas
diri melalui peningkatan kesehatan, pendidikan, dan kualitas lingkungan hidup.
Untuk pemantauan perkembangan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan itu
maka setiap penduduk berkewajiban atas pencatatan setiap kelahiran, kematian, dan
perpindahan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku.
Selanjutnya GBHN 1993 menggariskan bahwa "Administrasi, pencatatan dan
statistik kependudukan terus disempurnakan sehingga menjadi sumber data yang dapat
diandalkan untuk menunjang perencanaan pembangunan diberbagai bidang, sektor,
wilayah, dan daerah, serta menunjang perkiraan dan sasaran berkala dari
perkembangan kependudukan". Lebih lanjut digariskan pula bahwa upaya tersebut perlu
didukung sarana dan prasarana yang memadai termasuk di daerah-daerah.
Selain itu, dalam Repelita VI diprogramkan pula arah penyempurnaan sistem
informasi kependudukan yang meliputi "pengembangan administrasi, pencatatan dan
statistik kependudukan melalui penataan registrasi penduduk, pengumpulan data
kependudukan secara teratur dan berkala, seperti data sensus penduduk dan data antar
sensus, pengembangan komunikasi, informasi dan edukasi secara luas agar dapat
menjangkau seluruh lapisan masyarakat termasuk aparat pelaksana, serta pengguna data
untuk mengetahui lebih lanjut pentingnya data yang dihasilkan oleh registrasi
penduduk." Dengan bekerjasama antara Badan Pusat Statistik (BPS) dan Departemen
Dalam Negeri telah pula dikembangkan uji coba modul Registrasi Penduduk tahun 1995
yang melibatkan masyarakat sebagai tanaga pelaksana dan mulai nampak hasilnya yang
cukup menggembirakan.
Atas dasar hal-hal tersebut, maka sebagai kelanjutan pengaturan UU nomor 10
dan arahan GBHN tersebut, lebih lanjut telah ditetapkan Peraturan Pemerintah nomor 27
tahun 1994 yang menyatakan bahwa untuk mendukung pengendalian kuantitas
penduduk, pengembangan kualitas penduduk dan pengarahan mobilitas penduduk yang
serasi, selaras, dan seimbang dengan lingkungan hidup, dikembangkan sistem informasi
perkembangan kependudukan dan keluarga. Sistem informasi itu diselenggarakan oleh
Kantor Menteri Negara Kependudukan secara terkoordinasi antar lintas sektor yang
terkait baik tingkat pusat ataupun tingkat daerah.
Sistem informasi itu diharapkan menggariskan berbagai hal sebagai berikut :
1. Pengumpulan dan pengolahan data;
2. Penyebaran dan penyajian;
3. Pengembangan jaringan sistem informasi;
4. Pengembangan sistem administrasi, pencatatan, dan statistik kependudukan
dan keluarga termasuk registrasi penduduk.
Lebih lanjut daripada itu, untuk mengembangkan sistem administrasi
kependudukan secara menyeluruh, selama ini telah disusun rancangan kebijaksanaan
Sistem Informasi Kependudukan dan Keluarga (SIDUGA), model komunikasi dalam
rangka pengembangan jaringan sistem informasi lintas departemen dengan antara lain
mempelajari berbagai sistem di negara maju maupun di beberapa negara berkembang.
Dengan mempelajari sistem-sistem yang telah berkembang di negara lain, baik melalui
literatur maupun dengan mengirim berbagai Tim ke Thailand, Malaysia, dan Republik
Rakyat Cina (RRC), kita telah pula melakukan berbagai persiapan yang matang.
Dari hasil-hasil pengembangan itu, telah mulai dikembangkan Sistem Informasi
Kependudukan dan Keluarga (SIDUGA) yang antara lain telah berhasil melakukan
pendataan keluarga selama tujuh - delapan tahun terakhir ini dengan baik dan hasilnya
makin bisa digunakan di seluruh tanah air. Dalam pengembangan SIDUGA tersebut,
momentum Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI yang ke-56 sekarang ini dapat
dipergunakan untuk lebih memacu lebih cepat lagi pengembangan sistem tersebut.
Pendataan Keluarga
Sampai hari ini kita merasakan bahwa Pendataan Keluarga yang telah dilakukan
selama delapan tahun berturut-turut itu sesungguhnya merupakan kelanjutan dari
Pendataan Pasangan Usia Subur (PUS) dan Kesertaan KB yang telah membawa
keberhasilan gerakan KB dengan gemilang. Pendataan PUS itu disempurnakan menjadi
Pendataan Keluarga dengan arahan untuk mendapatkan data dasar tentang Kesertaan KB
dan ciri-cirinya, Keadaan Keluarga Indonesia, dan Ciri-ciri Penduduk Indonesia.
Dalam pengalaman panjang penuh suka dan duka itu dapat dicatat bahwa
Pendataan Keluarga pertama untuk sekitar 40 juta keluarga di Indonesia tahun 1994
diselesaikan dalam waktu yang relatip singkat selama tiga bulan. Pada tahun-tahun
selanjutnya pendataan itu makin sempurna. Masyarakat makin mengetahui kegunaannya
dan makin membutuhkan data tersebut untuk membantu masyarakat, keluarga dan
penduduk kita membangun dirinya secara mandiri.
Data yang makin baik itu menjadi pedoman awal dari upaya di berbagai bidang,
antara lain bidang kesehatan untuk membagikan KARTU SEHAT kepada keluarga Pra-
Sejahtera yang memungkinkan penduduk miskin atau pra-sejahtera mendapat pelayanan
kesehatan di Puskesmas secara cuma-cuma. Jajaran pendidikan dengan seluruh aparat
terkaitnya juga telah mempergunakan Peta Keluarga Sejahtera itu untuk memberantas
buta aksara dan mengajak keluarga yang mempunyai anak dibawah usia limabelas tahun
mengikuti Wajib Belajar Sembilan Tahun. Di berbagai daerah, para Gubernur dan
Bupati telah banyak mempergunakan hasil pendataan itu untuk mengenal keluarga
miskin di Desa Tertinggal sebagai indikator untuk membantu menyalurkan dana yang
berasal dari Proyek IDT (Inpres Desa Tertinggal) atau proyek lain semacam itu. Dalam
pembangunan keluarga sejahtera di Desa-desa tidak tertinggal dengan mempergunakan
berbagai jenis sumber bantuan, Peta Keluarga Sejahtera itu mempermudah penyelesaian
pembangunan keluarga tersebut.
Lebih lanjut dari pada itu, mulai banyak peserta kerjasama international yang
ingin mempelajari SIDUGA tersebut, khususnya pendataan keluarga yang dilakukan di
seluruh Indonesia untuk memonitor perkembangan KB maupun untuk mengembangkan
pembangunan keluarga secara luas.
Dari beberapa negara ASEAN, diperoleh kesan bahwa sistem serupa belum
dikembangkan secara terkoordinir, namun negara-negara itu umumnya telah mulai
mengembangkan Sistem Identifikasi Penduduknya semenjak mereka dilahirkan. Sistem
itu serupa dengan Sistem Social Security Number di Negara-Negara maju.
Atas dasar studi dan pengamatan tersebut, sebagai bagian awal dari SIDUGA
bisa saja segera diperkenalkan suatu nomor induk kependudukan yang dapat
diberlakukan semenjak seseorang dilahirkan dan berlaku seumur hidup. Identifikasi itu
bisa disebut sebagai NOMOR INDUK KEPENDUDUKAN atau disingkat NIK.
Pengembangannya yang akan memakan waktu lama tidak perlu menjadi masalah, tetapi
harus dianggap bahwa dengan memulai suatu awalan mudah-mudahan kita bisa
mengejar ketertinggalan yang memalukan selama ini.
Atas dasar studi dan pengamatan tersebut, sebagai bagian awal dari SIDUGA,
bisa saja segera diperkenalkan suatu nomor kependudukan yang dapat diberlakukan
semenjak seseorang dilahirkan dan berlaku untuk seumur hidup. Identifikasi itu bisa
disebut sebagai NOMOR INDUK KEPENDUDUKAN
atau disingkat NIK
Nomor Induk Kependudukan atau NIK itu sekaligus dapat menjadi simbul dan
pengakuan negara dan bangsa Indonesia terhadap keberadaan manusia Indonesia sejak
dilahirkan. Seiring dengan pengakuan itu, berbagai Departemen, Instansi dan Lembaga
Masyarakat kiranya dapat menyiapkan segala sesuatunya agar kiranya Presiden RI, Ibu
Megawati Soekarno Putri, berkenan memberikan Nomor Induk Kependudukan (NIK)
itu sebagai hadiah ulang tahun kemerdekaan yang ke 56, dan sekaligus menjadikan
momentum HARI ULANG TAHUN KEMERDEKAAN RI KE-56 ini sebagai awal dari
perbaikan sistem administrasi kependudukan secara menyeluruh dan terpadu. (Prof. Dr.
Haryono Suyono, Pengamat Masalah Sosial Kemasyarakatan) – NIK-2001
MENGUBAH IMPIAN JADI KENYATAAN
Presiden RI Ibu Megawati Soekarnoputri beberapa waktu lalu menghadiri acara
yang selalu digelar setiap tahun, Pemberian Penghargaan kepada Balita Sejahtera
Indonesia. Acara itu, biarpun sangat penting, kalah populer dengan kasus
Bulogate, atau peristiwa politik lainnya. Namun, kesediaan Ibu Megawati
Soekarnoputri sungguh sangat membesarkan hati karena pemilihan anak-anak
balita, baik bayi yang baru lahir sampai usia satu tahun, maupun bayi usia satu
tahun sampai lima tahun, yang diadakan setiap tahun itu, merupakan percontohan
hidup nyata yang dapat dilaksanakan siapa saja, kalau ada komitmen, kemauan
dan kemampuan.
Pemilihan Balita Sejahtera Indonesia selama beberapa tahun seperti itu selalu digelar
oleh Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI), bekerja sama dengan PT Indofood
Sukses Makmur, Tbk. serta beberapa lembaga lainnya. Pemilihan itu selalu menggugah
inspirasi dan perhatian keluarga Indonesia yang sekarang ini merupakan warga dari
negara dengan jumlah penduduk sekitar 211 juta jiwa atau lebih. Kita boleh bersyukur,
berkat keberhasilan dibidang KB dan kesehatan yang membesarkan hati, biarpun
Indonesia merupakan salah satu negara terbesar ke empat setelah RRC, India, dan
Amerika Serikat, yang melalui program terpadu yang dilaksanakan dengan gegap
gempita telah berhasil menurunkan tingkat kelahiran dan tingkat kematian bayi dengan
drastis, atau lebih dari 50 persen. Tingkat kelahiran kasar yang biasanya berkisar antara
44 - 45 per 1.000 penduduk telah menurun menjadi sekitar 22 - 25 per 1.000 penduduk
atau kurang. Namun, dengan penduduk yang sangat besar, setiap tahun jumlah penduduk
Indonesia tetap bertambah dengan kelahiran sekitar 5.000.000 bayi baru.
Dalam sepuluh tahun terakhir ini, dengan UU Kesehatan nomor 23 tahun 1992, upaya
untuk memberikan perhatian kepada anak-anak dan keluarga miskin mendapat perhatian
yang luar biasa. Melalui berbagai program, dengan mengerahkan tenaga dan dana yang
tidak sedikit, baik dari pemerintah, dukungan masyarakat, maupun bantuan luar negeri,
telah dilakukan usaha yang maksimal. Hasilnya sungguh menggembirakan. Tingkat
kematian bayi dan anak-anak dibawah usia lima tahun, seperti yang ditargetkan dunia,
telah dapat dicapai. Tingkat kematian bayi yang diperkirakan sekitar 68 - 70 per 1000
kelahiran pada awal tahun 1990 telah dapat diturunkan menjadi sekitar 43 - 45 per 1000
pada tahun 2000. Angka kematian anak dibawah usia lima tahun, yang di tahun 1990
masih berada di sekitar 97 - 100, telah dapat diturunkan dibawah angka 60 per 1000
kelahiran.
Dimasa lalu, biasanya sekitar 1.000.000 sampai 2.000.000 bayi meninggal dunia pada
waktu dilahirkan, segera setelah dilahirkan atau bahkan sebelum dilahirkan. Menjelang
akhir abad lalu keadaan berubah. Karena tingkat kelahiran yang terus menurun, pada
waktu penduduk Indonesia masih berjumlah 100 juta, atau pada waktu penduduk
berjumlah 150 juta, sampai penduduk Indonesia jumlahnya mencapai sekitar 200 juta
jiwa, jumlah bayi yang dilahirkan relatip tidak banyak berbeda. Karena tingkat kematian
bayi dan tingkat kematian anak juga menurun, pertambahan jumlah bayi dan anak-anak
balita yang sehat, atau tidak meninggal dunia, setiap tahun jumlahnya bertambah
banyak. Namun biarpun target jumlah atau prosentase nasional dan target dunia telah
tercapai, dilingkungan ASEAN, kualitas kesehatan anak-anak di Indonesia masih tetap
yang terburuk. Salah-salah Indonesia dituduh tidak banyak berbuat !
Kualitas kesehatan anak-anak itu masih ditambah keadaan kualitas kesehatan ibu yang
memprihatinkan. Untuk menangani masalah ini, selama dasawarsa lalu pemerintah
berusaha menjangkau ibu-ibu hamil itu dengan pelayanan yang lebih baik. Pemerintah
memperbaiki pelayanan kehamilan dan pasca persalinan dengan mendekatkan pelayanan
ke desa-desa melalui penempatan bidan di setiap desa. Namun penempatan bidan saja
nampaknya tidak cukup. Program penempatan bidan itu disusul dengan sosialisasi dan
upaya menumbuhkan kepercayaan masyarakat pada bidan-bidan muda itu.
Karena ketimpangan itu, selama sepuluh tahun terakhir ini penurunan tingkat kematian
ibu karena mengandung dan melahirkan relatip kurang memadai. Menurut perkiraan,
angka kematian itu berkisar antara 400 - 650 dan hanya dapat diturunkan pada akhir
abad lalu menjadi dibawah angka 400 per 100.000 kelahiran. Karena itu, dewasa ini
Departemen Kesehatan bersama berbagai lembaga pemerintah lain dan masyarakat pada
umumnya dengan gigih meneruskan upaya itu.
Lomba Balita Sejahtera dimulai pada waktu kualitas kesehatan dan kesertaan KB sedang
dikembangkan. Upaya program Lomba itu ikut memicu dan memacu komitmen
masyarakat dan para orang tua untuk meningkatkan kualitas penanganan bayi dan balita
sejak dalam kandungan maupun segera setelah dilahirkan. Ibu Prof. Dr. Lily Riantono,
dari YKAI, yang sangat gigih telah mendapat dukungan yang sangat tinggi dari Ibu Eva
Riyanti dari PT Indofood Sukses Makmur. Upaya yang dilaksanakan kedua tokoh itu
berjalan mulus dengan dukungan dari para Ibu Negara, dan terakhir, untuk tahun ini,
mendapat dukungan dari Ibu Presiden, para Menteri, utamanya seluruh jajaran
Departemen Kesehatan, yang mengambil peranan yang sangat menonjol.
Awalnya Lomba Balita Sejahtera itu diikuti oleh sekitar 5.000-10.000 balita dari seluruh
Indonesia. Dengan ikut sertanya BKKBN, para sukarelawan PKK dan berbagai
organisasi wanita lainnya, peserta lomba melonjak menjadi 20.000 bayi dan balita, dan
kemudian 40.000 bayi dan balita, dan seterusnya. Namun, sifat keterbatasan itu tetap
ada, yaitu bahwa lomba ini diarahkan pada peningkatan kualitas dan pembinaan bayi
dan balita dengan dukungan yang ketat. Untuk menjadi juara, pembinaan balita
umumnya harus dilakukan secara ketat oleh orang tua masing-masing dengan dukungan
tenaga profesional dokter, bidan atau tenaga paramedis lain yang dekat dengan orang
tuanya. Cara pembinaan seperti itu tidak, atau belum bisa dilakukan secara massal
karena keterbatasan tenaga, atau karena pengetahuan masyarakat tentang pemeliharaan
bayi dan anak balita masih relatip rendah.
Dengan upaya yang gegap gempita, termasuk usaha pemeliharaan kandungan, upaya
memperkenalkan pola tumbuh kembang anak yang benar yang dilakukan tanpa kenal
lelah oleh berbagai kalangan, serta upaya memperkenalkan tanggung jawab orang tua
dan keluarga melalui gerakan Bina Keluarga Balita oleh jajaran Kantor Menteri Negara
Pemberdayaan Perempuan dan BKKBN, dan komitmen lain untuk menangani bayi dan
anak balita, upaya Lomba ini makin bertambah maju. Keberhasilan ini patut disyukuri
dan barangkali Ibu Prof. Dr. Lily Riantono dan Ibu Eva Riyanti patut dipertimbangkan
untuk diberikan perhargaan atas kegigihan tanpa kenal lelah tersebut.
Kita sengaja mengangkat kegiatan ini kepermukaan karena beberapa alasan. Pertama,
setelah sekian lama upaya ini berlangsung, nampaknya Lomba Balita Sejahtera
Indonesia tetap hanya berlangsung karena kegigihan dari YKAI dan PT Indofood Sukses
Makmur semata. Instansi dan jajaran lainnya ikut berpartisipasi, tetapi masih sekedar
dalam bentuk mensukseskan upaya memberi contoh pembinaan balita yang dilakukan
untuk suksesnya lomba itu. Kedua, karena sifatnya adalah lomba dan diikuti secara
terbatas, maka dukungan komunikasinya juga terbatas sepanjang lomba berlangsung.
Pemerintah dan masyarakat umum yang semestinya mengambil alih dengan menggelar
dukungan komunikasi, informasi dan edukasi agar keluarga lain meniru keluarga juara
dengan balitanya belum terjadi dengan baik. Ketiga, keikut sertaan lembaga-lembaga
masyarakat lain secara luas dalam mendukung peningkatan kualitas bayi dan anak balita
nampaknya juga masih terbatas, antara lain terlihat dari naiknya partisipasi dalam lomba
yang hanya mencapai sebesar 40.000 - 50.000 setiap tahun dibandingkan dengan sekitar
20 - 25 juta bayi dan balita yang ada. Keempat, perlu segera ditulis dan disebarluaskan
cara-cara pembinaan bayi dan balita secara sederhana agar pembinaan balita dapat
dilakukan oleh keluarga biasa di desa, sehingga bayi dan anak balita mereka bisa
menjadi "balita juara" seperti anak balita yang mereka lihat berjalan beriring bersama
Ibu Presiden, atau seperti mereka lihat mejeng di koran dan televisi. Kelima, pengaruh
baik dari lomba ini pantas dibawa ke forum internasional, yaitu pada Pertemuan Dunia
Khusus untuk Anak dan Balita yang akan diadakan di Markas PBB pada tanggal 8-10
Mei nanti di New York. Ibu Megawati akan sangat terhormat kalau berkenan membawa
upaya yang sangat luhur ini kemimbar PBB yang sangat terhormat itu. Kalau upaya ini
berhasil menarik perhatian dunia, dan mereka mengulurkan bantuannya, siapa tahu
jutaan bayi dan anak-anak yang tersebar di seluruh Indonesia akan mendapat manfaat
dari upaya percontohan yang telah diadakan bertahun-tahun tersebut.
Sementara itu pemerintah, melalui Menteri-menteri terkait, seperti Menteri Kesehatan,
Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Kepala BKKBN, bersama lembaga-lembaga
swasta seperti YKAI, Yayasan Indra, dan lain sebagainya, serta perusahaan-perusahaan
peduli, seperti Indofood, dan lain sebagainya, dapat mengambil prakarsa mempersiapkan
bahan yang dapat diberikan kepada keluarga lain yang tidak sempat mengikuti lomba
Balita Sejahtera itu.
Balita dan Sidang Khusus PBB
Sementara itu, ada baiknya semua pihak mengetuk hati Ibu Presiden Megawati
Soekarnoputri untuk menghadiri Sidang PBB di New York itu. Pertemuan di New York,
yang sedianya diadakan pada tanggal 9-11 September 2001, karena peristiwa teroris 11
September, telah diundurkan sampai tanggal 8-10 Mei 2002. Ada kesempatan yang
sangat baik untuk membawa hasil-hasil dan pelajaran yang diperoleh dari Lomba Balita
Sejahtera yang telah diadakan bertahun-tahun itu dalam kemasan yang menarik dengan
keberhasilan program kesehatan dan KB yang telah berhasil membawa perbaikan
kualitas anak-anak balita di Indonesia. Penyajian upaya itu bisa mengangkat kebanggaan
nasional karena sifatnya yang menonjol dan sangat manusiawi.
Kita mengetahui bahwa Sidang Khusus itu telah disiapkan secara marathon sejak Sidang
Umum PBB pada tanggal 7 Desember 1999 yang menyetujui Resolusi nomor 53/93
yang memutuskan diadakannya Sidang Khusus PBB tentang Anak di tahun 2001. Anak,
seperti juga di negara kita, menjadi harapan dunia pada umumnya. Oleh karena itu,
kalau kita mampu mencatatkan keberhasilan kita memelihara anak-anak bangsa, biarpun
mungkin baru sedikit, dalam Sidang Khusus ini, hasilnya bisa sangat signifikan karena
dilihat oleh tidak kurang dari 80 Kepala Negara yang telah menyatakan kesediaannya
untuk hadir di Sidang tersebut. Kita juga bisa mengajak berbagai lembaga dunia untuk
merancang strategi yang memihak keluarga miskin, suatu strategi yang didasarkan pada
pengalaman dan keberhasilan yang ditunjukkan oleh 40.000 sampai 50.000 balita
Indonesia yang ikut dalam lomba setiap tahun, penurunan tingkat kelahiran dan tingkat
kematian yang sangat signifikan, serta upaya keluarga miskin yang bekerja keras untuk
anak cucunya dengan penuh kasih sayang.
Kalau kita bisa membagi pengalaman, sebagai negara yang sedang berkembang, dengan
jumlah penduduk miskin yang luar biasa banyaknya, dengan tingkat pendidikan yang
sangat rendah, kondisi kesehatan yang sangat memprihatinkan, serta lingkungan yang
tidak selalu kondusif, wilayah yang sangat luas serta kemampuan ekonomi penduduk
yang tidak dapat diandalkan, adalah sulit meningkatkan kualitas anak-anak dan remaja
dengan dana yang terbatas. Pengalaman selama ini mengajarkan, kita bisa mempunyai
komitmen politik yang sangat tinggi, tetapi setiap langkah kecil saja harus disertai
dengan pendanaan dan dukungan sumber daya manusia yang luar biasa besarnya.
Sasaran-sasaran strategis yang nampaknya mudah dicapai, memerlukan perubahan sikap
dan tingkah laku yang tidak mudah, serta pengembangan jaringan pelayanan yang luas
dan bermutu. Dengan pengalaman kita yang kaya, kita juga harus sanggup dan berani
mengembangkan strategi dan program perluasan yang memihak keluarga miskin,
dimana lembaga-lembaga dunia seperti UNICEF, UNESCO, WHO, UNFPA, Bank
Dunia, USAID, dan lembaga lainnya, ikut turun tangan membantu menyelematkan umat
manusia di dunia ketiga yang miskin itu.
Dengan kerjasama dan bantuan lembaga donor dan negara-negara maju yang peduli,
upaya penurunan tingkat kelahiran, upaya penurunan tingkat kematian anak-anak balita
di Indonesia, dan di dunia ketiga lainnya, dapat segera disusul dengan program-program
pemberdayaan yang lebih bersifat menyeluruh, berciri global, serta dilakukan secara
komprehensip dan berlanjut. Pemerintah dan rakyat Indonesia, dengan pengalamannya
yang luas, lebih dari pantas dan mampu mengajak PBB dan negara-negara donor
mengadopsi strategi yang memihak keluarga miskin agar setiap keluarga bisa mengubah
impiannya menjadi kenyataan yang lebih sejahtera, juara balita sejahtera yang sejati.
(Prof. Dr. Haryono Suyono, Pengamat Masalah Sosial Kemasyarakatan). - Anak-Ind-
Balitas-932002.
MEMELIHARA KESEJAHTERAAN LANSIA
Setiap tanggal 29 Mei kita memperingati Hari Lansia Nasional. Lansia makin menjadi
fenomena menarik karena keberhasilan pembangunan di Indonesia. Kemajuan dan
keberhasilan pembangunan di Indonesia memperpanjang usia, kualitas, dinamika serta
kesiapan penduduk. Kemajuan meningkatkan kecepatan pertumbuhan dan jumlah
penduduk lanjut usia.
Kondisi ini memberi petunjuk bahwa apabila pembangunan
berhasil, sumber daya manusia bisa menikmati kehidupan dalam
waktu yang relatip lebih lama. Harapannya adalah bahwa kondisi
kesehatan penduduk yang bersangkutan tetap prima, atau bahkan
lebih baik. Kondisi itu tidak saja harus terlihat dari makin panjangnya
usia harapan hidup, tetapi lebih-lebih harus tercermin dari makin
baiknya tingkat kesejahteraan penduduk dan masyarakat lansia dan
masyarakat luas pada umumnya. Oleh karena itu kita harus
mengembangkan kebijaksaaan untuk memperhatikan dan
mengembangkan pemberdayaan penduduk lanjut usia dengan
memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
“Dengan meningkatnya jumlah penduduk usia lanjut dan makin panjangnya usia
harapan hidup sebagai akibat kemajuan yang telah dicapai dalam pembangunan selama
ini, maka mereka yang memiliki pengalaman, keahlian dan kearifan perlu diberi
kesempatan untuk berperan dalam pembangunan. Kesejahteraan penduduk usia lanjut
yang karena kondisi fisik dan/atau mentalnya tidak memungkinkan lagi untuk berperan
dalam pembangunan perlu mendapat perhatian khusus dari pemerintah dan
masyarakat”.(GBHN-1993)
Ini berarti bahwa kita harus memberi perhatian, kesempatan dan mendukung
pemberdayaan dari penduduk lanjut usia yang potensial yang masih bisa memberikan
sumbangan dalam pembangunan. Mereka yang potensial harus didukung dengan
suasana yang kondusif agar supaya kemampunannya dapat disumbangkan secara
maksimal. Untuk bisa mengikuti kemajuan jaman dengan baik, merekapun diberi
kesempatan untuk selalu diikut sertakan dalam upaya peningkatan kualitasnya seperti
penduduk lainnya sesuai hakekat pembangunan sebagai berikut :
“Kebijaksanaan kependudukan diarahkan pada peningkatan kualitas penduduk
sebagai pelaku utama dan sasaran pembangunan nasional agar memiliki semangat
kerja, budi pekerti luhur, penuh keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa, sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan”(GBHN-1998).
Untuk tetap memberi kesempatan kepada para lansia itu, sebagai bangsa yang
beradab bangsa kita harus berada dalam posisi yang mampu mengembangkan komitmen
dan pokok-pokok kebijaksanaan yang mengantar pengembangan berbagai kegiatan yang
dapat diarahkan pada 3 (tiga) hal pokok sebagai berikut :
Pertama, bagaimana membina para lansia yang berada dalam lingkungan
keluarga, masih tetap mampu bekerja, sehingga keluarganya dan
kita semua bisa memberikan kepada mereka peluang dan
kesempatan untuk ikut terus membangun keluarga dan
masyarakat yang sejahtera;
Kedua, bagaimana membina para lansia yang berada di luar lingkungan
keluarga, khususnya yang masih mampu bekerja dan masih bisa
memberikan sumbangan dalam pembangunan yang bersifat lokal
maupun nasional;
Ketiga, bagaimana mengembangkan upaya membantu penanganan para
lansia yang sudah tidak mampu lagi bekerja dan harus menjadi
tanggung jawab keluarganya, masyarakat dan atau pemerintah.
Kita mengetahui bahwa rata-rata tingkat pendidikan Kepala Keluarga Indonesia
pada umumnya masih rendah. Sebagian besar kepala keluarga di Indonesia pada Pelita I
hanya buta huruf. Pada awal PJP II baru meningkat menjadi rata-rata berpendidikan
sekolah dasar, dan sekarang ini telah lebih tinggi lagi. Sementara itu jumlah keluarga
Indonesia bertambah dengan kecepatan dan tambahan yang makin tinggi. Jumlah
keluarga Indonesia yang pada awal PJP II telah mencapai hampir 40 juta keluarga.
Karena perkembangan globalisasi dan pendidikan yang cepat, yang diiringi
dengan kemajuan modernisasi, tingkat pertumbuhan keluarga di Indonesia masih akan
terus naik dan ternyata sudah jauh lebih cepat dibanding dengan pertumbuhan penduduk
Indonesia. Diramalkan bahwa diawal abad 21 ini jumlahnya akan mencapai sekitar 50-
55 juta keluarga dan masih akan berkembang dengan kecepatan yang relatip tetap tinggi.
Kalau dilihat dalam perspektif jangka panjang, maka terlihat bahwa pada tahun
1980 jumlah penduduk lanjut usia itu baru mencapai sekitar 7,7 juta jiwa atau 5,2 persen
dari seluruh jumlah penduduk, dan menurut proyeksi penduduk BPS jumlah itu
diperkirakan telah meningkat menjadi 15,1 juta jiwa pada tahun 2000 atau 7,2 persen
dari jumlah penduduk, atau suatu kenaikan sebesar 96 persen selama 20 tahun. Pada
waktu yang sama jumlah penduduk seluruh Indonesia meningkat dari 148,0 juta jiwa
menjadi 210,4 juta jiwa atau kenaikan sebesar 42 persen. Dengan demikian jumlah
penduduk lanjut usia di Indonesia meningkat lebih dari dua seperempat kali lipat
dibandingkan kenaikan jumlah penduduk dalam waktu yang sama.
Propinsi-propinsi yang gerakan KB-nya berhasil dengan baik seperti DI
Yogyakarta dan Jawa Timur, ternyata jumlah dan proporsi penduduk lanjut usia itu naik
dengan kecepatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kecepatan penurunan
pertumbuhan penduduk.
Idealnya penduduk lansia tinggal bersama keluarga di rumah, mendapat
perawatan yang profesional atau bagi yang masih kuat fisik dan mempunyai kegiatan
penuh bisa menempati perumahan tersendiri. Sebagai selingan, bisa pula dikembangkan
beberapa jenis Lembaga yang dapat memberikan fasilitas khusus, misalnya :
a. “Kampus Lansia”, dimana pelayanan dapat dilakukan oleh Lansia
sendiri secara pribadi dengan apabila perlu dapat dibantu oleh anggota
dari Lembaga Sosial dan Organisasi Masyarakat (LSOM) atau swasta;
b. Akomodasi type “Hostel” dengan pelayanan 24 jam oleh swasta atau
LSOM. Para lansia dapat melakukan pesanan-pesanan sesuai seleranya
sendiri tanpa merasa “memerintah” atau “menyakiti” anak -anak atau
cucu-cucunya;
c. Pelayanan Tresna Werdha oleh LSOM atau swasta, sehingga lansia
dapat menyerahkan diri untuk beberapa waktu sambil memberi
kesempatan kepada keluarga dimana mereka tinggal untuk “beristirahat”
tanpa lansia dirumahnya dan bisa melakukan kegiatan tanpa rasa rikuh
karena ada lansia dalam rumah tangganya. Sebaliknya lansia dapat
mendapatkan perawatan ekstra karena Panti ini diasuh secara profesional.
Contoh dalam praktek
Salah satu contoh dalam praktek yaitu pengembangan tempat mirip dengan
ketiga prototip fungsi-fungsi diatas sedang dikembangkan di Desa Tani Mulya,
Cipageran Cimahi, dan diasuh oleh Yayasan Lansia Kristen “Dorkas”, dipimpin oleh
Bapak Husein. Tempat itu dilengkapi fasilitas untuk menerima kunjungan keluarga dan
beberapa sarana untuk menggelar hiburan antar penghuninya. Fasilitas lain yang tersedia
atau akan disediakan yaitu klinik dan segala keperluan pengobatan lansia lainnya.
Tempat seperti ini bukan saja seperti layaknya Hotel atau Penginapan, tetapi juga
sekaligus bisa menjadi sarana perawatan yang kelihatan seperti di rumah sendiri saja.
Apabila ada tamu, para “tamu” diberi kesempatan untuk melakukan banyak kegiatan
dan mendapat pelayanan yang memadai. Acara harian untuk para penghuni dibuat begitu
padat dan sibuk agar memberi kesan kepada para penghuni untuk kerasan dan
bersemangat hidup panjang yang berguna, penuh kebahagiaan dan kesejahteraan.
Bagi penghuni yang secara fisik dan mental masih sangat kuat diberikan
kebebasan untuk melaksanakan apa saja yang menjadi kegemarannya, sekaligus sebagai
cara tetap asah otak dan asah tenaga sehingga gairah untuk hidup panjang dan sejahtera
tetap terpelihara. Bagi yang mulai mengendor, dengan sendirinya diberi kesempatan
sesuai dengan kemampuan fisiknya. Pada waktu ini sedang disiapkan semacam Panti
Werda untuk mereka yang secara fisik tidak mampu lagi untuk mengerjakan berbagai
aktifitas fisik yang banyak memakan tenaga.
Dengan pertumbuhan lansia yang makin besar dan cepat pasti diperlukan tempattempat
semcam ini yang lebih banyak. Namun tempat ini tidak bisa menggantikan
rumah-rumah dengan keluarga yang akrab dengan seluruh anggotanya. Namun, tempattempat
semacam ini bisa menjadi ajang liburan atau selingan dari lingkungan keluarga
yang dapat dinikmati oleh seluruh keluarga, sekaligus sebagai ajang proses saling belajar
bagaimana merawat lansia secara profesional. Pengalaman itu bisa memperbaiki
pelayanan lansia di rumah dan keluarga sendiri. Semoga ada manfaatnya. (Prof. Dr.
Haryono Suyono, Pengamat Masalah Sosial Kemasyarakatan)-Lansia-HLN-2552002
MENGEMBANGKAN VISI KEPENDUDUKAN
BERWAWASAN KEMANUSIAAN
Setelah sekian lama Kantor Menteri Kependudukan hilang dari peredaran, beberapa
waktu lalu Presiden menetapkan pembentukan suatu lembaga yang diberi nama Badan
Kependudukan Nasional, atau disingkat Baknas. Dengan dibentuknya Badan ini
muncul kembali harapan bahwa pembangunan di Indonesia akan makin diarahkan
kepada visi yang menempatkan penduduk sebagai pusat pembangunan. Dengan visi ini
diharapkan bahwa penduduk tidak akan sekedar menjadi “obyek pembangunan” , tetapi
makin bisa menjadi pemain yang bermutu dan mendapat kesempatan untuk
berpartisipasi secara demokratis.
Biarpun agak kecewa karena kepemimpinan lembaga ini hanya dipercayakan
kepada seorang Kepala, dan bertanggung jawab kepada seorang Menteri, dibandingkan
di masa lalu selalu dipimpin oleh seorang Menteri Negara, dan bertanggung jawab
langsung kepada Presiden, namun, setelah hilang dari peredaran, munculnya kembali
mendapat sambutan masyarakat, baik nasional maupun internasional, yang sangat besar.
Lembaga baru ini diharapkan bisa meneruskan tradisi yang dimulai oleh Bapak Prof. Dr.
Emil Salim yang dengan kemampuan advokasinya yang lantang telah menggoyang
rekan-rekan Menteri lainnya untuk menggolkan langkah-langkah awal pembangunan
berwawasan kependudukan dan lingkungan hidup. Atau langkah-langkah konkret yang
diteruskan oleh penulis, penggantinya, yang mulai mengantar pembangunan yang lebih
mengarah kepada pendekatan keluarga dan kemasyarakatan yang kental.
Menurut pengakuan dunia internasional, keputusan pemerintah Indonesia
membentuk Lembaga, Badan, atau Kementerian Kependudukan secara resmi itu
sungguh merupakan bukti komitmen yang sangat konsisten dari pemerintah dan rakyat
yang menginginkan pembangunan yang menempatkan manusia sebagai pusat atau titik
sentralnya. Komitmen ini, biarpun belum sempat diterjemahkan secara menyeluruh,
telah mampu mengantar program-program yang menguntungkan penduduk mulai dari
tingkat anak-anak dibawah usia lima tahun, kaum remaja, dan pada tahun-tahun terakhir
menjelang berakhirnya abad ke-20, mampu mendeteksi mengalirnya arus penduduk
lansia yang makin deras sebagai hasil ikutan keberhasilan gerakan KB yang merakyat.
Untuk memberikan dukungan pengembangan dan pembinaan terhadap anakanak
telah pula dapat dirumuskan Strategi Pengembangan Anak untuk Dasawarsa yang
akan datang, yang kini tiba waktunya untuk diwujudkan menjadi program dan kegiatan
nyata yang makin peduli terhadap anak-anak keluarga miskin. Telah mulai pula
dikembangkan gagasan untuk memberikan pengakuan terhadap hak-hak anak dengan
menciptakan suatu pertanda bagi anak sejak dilahirkannya dan memberikan kepada
mereka Nomor Induk Kependudukan atau NIK yang berlaku seumur hidup seperti
”Social Security Number” di negara-negara maju. Sayang gagasan bagus itu belum
dapat diwujudkan secara luas karena perangkat lunaknya baru saja diselesaikan.
Untuk penduduk lanjut usia, yang semula dianggap cukup dibantu dengan
santunan dan perawatan karena usia tuanya saja, dengan pendekatan kependudukan yang
bermakna, akhirnya mendapat dukungan yang lebih luas. Dalam undang-undang yang
kemudian disepakati oleh pemerintah dan DPR, para penduduk lanjut usia itu
memperoleh dukungan dengan demensi baru secara legal, yaitu mendapat hak-hak dan
kesempatan pembinaan dan pemberdayaan agar bisa mendapatkan kebahagiaan dan
kesejahteraan yang menyejukkan.
Dengan adanya lembaga dengan pimpinan setingkat Menteri pada masa itu,
segala aspek pembangunan, yang dikelola dan diselenggarakan oleh Kantor
Kementerian sendiri, BKKBN, atau oleh Departemen dan Instansi lain, baik yang terkait
maupun yang relatip masih diragukan keterkaitannya, juga pembangunan oleh
masyarakat, dapat secara politis dikembangkan dengan menempatkan manusia sebagai
titik sentral pembangunan. Sebagai Menteri, pimpinan lembaga kependudukan pada
waktu itu dapat ikut serta dalam sidang-sidang kabinet, menyampaikan himbauan
dengan bobot yang memadai kepada para Gubernur Kepala Daerah, Bupati dan Pejabatpejabat
lain yang bertanggung jawab untuk bersama-sama mengusahakan dan
mengkoordinasikan upaya pembangunan yang menempatkan manusia sebagai titik
sentral pembangunan. Dalam setiap kesempatan, pimpinan lembaga itu dapat ikut
menyampaikan pandangan yang menguntungkan manusia atau penduduk sebagai
sasaran maupun sebagai pelaksana pembangunan.
Dalam hubungan internasional, Pimpinan lembaga mendapat kesempatan yang
sangat luas untuk mengembangkan pendekatan global dan ikut serta memelihara
persahabatan dunia melalui berbagai kegiatan pembangunan dan tukar menukar program
dan kegiatan dengan berbagai negara sahabat. Program dan kegiatan itu menjadi marak
pada sekitar tahun 1990-an, sehingga muncul berbagai kunjungan dan kerjasama antar
negara yang mengantar Indonesia memperoleh kesempatan dan apresiasi yang nyata dari
hasil-hasil kerjasama tersebut.
Kita berharap semoga lembaga ini, Badan Kependudukan Nasional, atau Baknas,
biarpun tidak dipimpin oleh seorang Menteri, dan bertanggung jawab kepada seorang
Menteri, akan diberikan kesempatan mengembangkan visi pembangunan yang
menempatkan penduduk sebagai titik pusat pembangunan. Disamping itu Badan ini
bisa membantu setiap penduduk untuk mendapat kepastian hukum dan hak-hak
azasinya dengan memperoleh Nomor Induk Kependudukan (NIK) sejak seseorang
dilahirkan, serta berlaku seumur hidup. Sekaligus diharapkan agar Badan ini diberikan
kesempatan bersama-sama Departemen, Instansi dan Masyarakat luas untuk membantu
pemberdayaan setiap penduduk Indonesia agar bisa berpartisipasi secara bermutu dalam
pembangunan yang berkelanjutan. (Prof. Dr. Haryono Suyono, Pengamat Sosial
Kemasyarakatan)-Pengantar-2782001.

No comments: