Sunday 5 December 2010

Pidato Dr. Susilo Bambang Yudhoyono Presiden Republik Indonesia Pada Peringatan Satu Tahun Tsunami Banda Aceh, Indonesia, 26 Desember 2005

Pidato Dr. Susilo Bambang Yudhoyono Presiden Republik Indonesia Pada Peringatan Satu Tahun Tsunami Banda Aceh, Indonesia, 26 Desember 2005



Bismillahirrahmaanirrohiim Saudara Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat, Saudara-saudara Menteri, Yang Mulia tamu-tamu dari Negara sahabat, para Duta Besar Saudara Kepala Badan Pelaksana Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias Saudara Plt. Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam, Saudara-saudaraku di seluruh Indonesia, Pertama-tama, marilah kita mengucapkan terima kasih kepada anakanak Aceh yang telah menyanyikan lagu yang indah tadi. Mereka telah menghangatkan suasana hati kita. Saudara-saudara, Nama saya Susilo Bambang Yudhoyono, dan saya berbicara di sini atas nama rakyat dan bangsa Indonesia menyampaikan selamat datang kepada saudara-saudara semua di Banda Aceh, Indonesia. Saya hadir di sini, bersama-sama Saudara-saudara untuk mengenang dan memberikan penghormatan kepada para korban, kepada keluarga yang ditinggalkan dan juga untuk menyampaikan penghargaan. Acara hari ini merupakan acara yang sangat khusus, di mana kita semua, seluruh warga dunia, dengan beragam suku, agama, dan kebudayaan dipersatukan oleh tragedi dan rasa kemanusiaaan. Di bawah langit biru terbuka dan dikelilingi oleh keindahan Pantai Ulee Lheue yang tenang, kita mengikat kebersamaan sebagai umat Tuhan. Persis setahun yang lalu, di bawah langit biru terbuka seperti ini pula, si empunya bumi menunjukkan kedigdayaannya dan menimbulkan kerusakan yang luar biasa. Dimulai dengan gempa bumi berskala massif yang terjadi sekitar 250 km di laut lepas di sekitar Sumatera. Tetapi, ternyata gempa bumi dahsyat itu hanyalah sebuah pembukaan dari sebuah bencana yang mengerikan. Karena 15 menit kemudian, muncul tiga gelombang tsunami raksasa yang mematikan, dengan ketinggian 9 meter dan bergerak dengan kecepatan tinggi 250 km per jam, menghempas pantai-pantai di Lautan Hindia dan meluluhlantakkan apa saja hingga berkeping-keping. Indonesia menderita akibat terburuk, di sini di Aceh dan Nias dengan korban jiwa lebih dari 160.000 wafat dan hilang. Di Sri Lanka, 31.000 orang wafat, dan 4.000 lainnya hilang. Pantai selatan India kehilangan 8.000 jiwa, dan kepulauan Andaman dan Nicobar menelan korban lebih dari 2.000 jiwa. Kematian di Thailand mencapai 5.300 orang, banyak di antara mereka turis yang sedang berlibur. 2.800 jiwa lainnya hilang. Di samping itu masih banyak lagi bangsa-bangsa yang harus kehilangan kerabat yang dicintainya: Malaysia, Maladewa, Somalia, Tanzania, Bangladesh, Myanmar dan Seychelles. Dalam hitungan menit, lebih dari 280.000 manusia kehilangan nyawa. Dan lebih dari satu juga orang di sekitar Lautan Hindia serta merta menjadi tunawisma. Hari ini, setahun kemudian, kita bersama-sama hadir di tempat ini untuk mengingat mereka yang menderita, menghormati mereka, sekali lagi, untuk mereka orang-orang baik, perempuan, laki-laki, anak-anak kita, orang dewasa, yang hilang ditelan gelombang tsunami. Kita tundukkan kepala, memanjatkan doa khusuk, agar arwah mereka yang kita cintai, baik yang ditemukan maupun yang tidak kita temukan, yang dimakamkan di bumi, maupun terkubur di laut, kesemuanya memperoleh tempat terbaik di sisi Tuhan Yang Maha Kuasa. Tetapi hari ini, besok, lusa dan hari-hari mendatang, bukanlah lagi akan menjadi hari-hari yang penuh penderitaan, karena kita juga berhimpun di sini untuk menghormati mereka yang hidup, lolos dari bencana maut. Anak-anak kita ini, saudara-saudara kita, para orangtua kita, adik-kakak, - mereka semuanya ingin membangun kembali kehidupannya. Saudara-saudara semua akan menyaksikan para korban Tsunami yang lolos dari maut, di mana-mana di
seluruh Aceh, Nias, Pukhet, Phang Na, Jaffna, di Negara Kerala, Tamil, Nadu, Andhra Pradesh; di Kepulauan Andaman dan Nicobar, dan dimanapun di wilayah-wilayah yang terhempas Tsunami. Mereka menyambut Saudara-saudara dengan senyum, semangat, dan harapan. Tetapi senyum mereka yang indah menandakan kekuatan besar yang langsung diungkapkan. Dan kita berhutang kepada mereka semua. Di Aceh, kita punya seorang sahabat bernama Martunis, seorang anak berusia tujuh tahun yang terapung di laut lepas selama 21 hari, hanya berpegang pada sebuah ranting pohon. Sebotol air yang kebetulan hanyut di depan matanya-lah yang membuat dia bertahan hidup; dan tentu saja karena tekadnya yang kuat untuk terus bertahan hidup. Ada pula Malawati, yang kehilangan suami dan hanyut ke laut selama lima hari. Malawati tak bisa berenang, karena itu dia hanya mampu berpegang pada batang pohon yang hanyut ke sana ke mari. Keajaiban alam menyelamatkannya , karena cintanya pada bayi yang dikandungnya. Dengan rahmat Allah SWT, si bayi bertahan hidup dan terlahir selamat. Dan tentu saja, kita memiliki kekuatan yang luar biasa dari anak-anak yang baru saja tampil menyanyikan lagu cinta bagi kita semua. Semua dari mereka telah menjadi yatim piatu akibat tsunami, dan mereka dengan semangat terus berusaha mencoba menjadi anakanak seperti lazimnya. Kita hormati kekuatan dan keberanian mereka, para korban yang bertahan hidup. Mereka semua mengingatkan kita betapa indahnya kehidupan, dan betapa bermaknanya perjuangan untuk mempertahankan hidup. Sekali lagi, kita harus hormati perjuangan itu; sisa umur Anda semua haruslah menjadi hari-hari yang penuh harapan. Kita semua akan memerlukan begitu banyak harapan, sebagaimana yang diberikan oleh Tsunami kepada masyarakat kita. Di sini, di Aceh dan Nias; jalan-jalan, jembatan, bangunan musnah dan hilang; pemerintah daerah tidak mampu berfungsi dengan baik. Ketika peristiwa itu terjadi, tak ada listrik, sambungan telepon terputus, tidak ada mobil, dan bahan bakar. Persoalan logistik ketika itu sepertinya bertumpuk-tumpuk menjadi satu tanpa ada pemecahan yang pasti — suatu ketika, hanya tinggal satu helikopter yang tersedia di Aceh. Kita semua menderita kelumpuhan total. Sekedar untuk membersihkan puing-puing saja, kita memerlukan waktu berbulanbulan. Toh, kita harus terus bergerak maju hari demi hari. Dalam ukuran yang sangat luar biasa, kita menyaksikan kerusakan di mana-mana. Tetapi, melalui hari-hari yang sudah lewat, Saudara-saudara telah menyaksikan berbagai kemajuan. Melewati jalan-jalan yang sedang mulai dibangun kembali, termasuk jalan raya Banda Aceh-Meulaboh, Saudara-saudara akan menyaksikan desa-desa yang mulai berbenah. Saudara akan melihat pasar-pasar mulai bangkit. Anak-anak mulai kembali ceria dan bersekolah, banyak guru-guru baru sudah dilatih dan mengajar kembali, berkilo-kilometer jalan sedang giat dibangun, dan berkilo-kilo meter saluran dan pipa air sedang dikerjakan. Pelabuhan dan perahu nelayan sedang dibangun di mana-mana, seperti juga klinik-klinik dan rumah sakit. Para petani sudah mulai kembali bercocok tanam, puluhan ribu pekerja sedang dilatih untuk memperoleh keterampilan baru agar mereka segera kembali bekerja. Dan, dengan segala ketakutan tentang wabah penyakit yang diakibatkan oleh tsunami, kita bersyukur dapat melaluinya dengan selamat. Tentu saja, bukan karena keberuntungan semata, melainkan karena tekad yang kuat dan kerja keras. Saudara-saudara sekalian, Saya ingin menekankan bahwa pembentukan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi akan membuat proses membangun kembali Aceh dan Nias dapat dilaksanakan dengan penuh harga diri, transparan, dan mampu membangun komitmen dan keterlibatan masyarakat yang kuat. Karena itu saya ingin mengajak Sauda-saudara semua untuk memberi selamat dan semangat kepada Dr. Kuntoro Mangkusubroto dan seluruh jajarannya di BRR untuk semua dedikasi dan kerja kerasnya dalam membangun kembali Aceh dan Nias. Usaha kita untuk membangun kembali Aceh dan Nias masih jauh dari selesai. Kita bersama-sama harus membangun rumah bagi ratusan ribu pengungsi. Kita terus bergerak secepat mungkin. Dalam bulanbulan mendatang, kita akan membangun sekurang-kurangnya 5.000 rumah setiap bulan. Tentu saja, masih sangat banyak yang harus kita kerjakan. Kita harus mendorong agar ekonomi bergerak cepat, agar kita dapat menciptakan sebanyak mungkin lapangan kerja. Kita harus berupaya keras agar para pengusaha kita kembali bergerak. Kita perlu dan harus memenuhi kebutuhan mereka; tidak saja yang
tinggal di kota-kota, tetapi juga saudara-saudara kita yang tinggal di pelosok-pelosok desa. Menghadapi semua tantangan tadi, catat kata-kata saya: kita memiliki enerji, komitmen, dan kemauan keras untuk menjawab tantangan dan tanggung jawab itu. Kita songsong tahun 2006 dengan penuh keyakinan untuk menyelesaikan banyak persoalan. Kita akan bangun kembali Aceh dan Nias, bahkan kita harus bangun Aceh dan Nias, lebih baik dari sebelumnya. Saudara-saudaraku, Saya percaya bahwa salah satu dari dampak yang paling signifikan dari musibah tsunami adalah munculnya kebersamaan dari warga dunia. Tidak pernah terjadi sebelumnya suatu bencana alam menghadirkan semangat berkorban, solidaritas, dan rasa cinta yang demikian besar dari sesama warga dunia. Di Indonesia, segenap bangsa menangis, dan setiap orang, kaya dan miskin, bahu membahu mengirimkan makanan dan bantuan bagi saudara-saudara mereka di Aceh dan Nias. Ribuan relawan berbondong-bondong datang ke lokasi bencana untuk membantu korban. Hal yang sangat luar biasa, bantuan dari seluruh dunia datang dengan berbagai cara dan dalam berbagai bentuk. Empat puluh empat negara mengirimkan prajurit Angkatan Bersenjatanya untuk memberikan bantuan kemanusiaan. Patut dicatat bahwa, inilah sebuah operasi militer non perang terbesar yang pernah terjadi sesudah Perang Dunia II. NGO dan donor mencatat rekor bantuan dana, yang seluruhnya mencapai lebih dari 7 milyar dollar telah dijanjikan untuk membangun kembali Aceh dan Nias. Warga Negara dari Dilli hingga Ankara, London hingga Mexico, Los Angeles hingga Melbourne, Beijing hingga Teheran, dan banyak lagi; kesemuanya tergerak untuk bertindak karena kepedulian, merespon sebuah peristiwa besar yang memerlukan perhatian segera. Kepedulian dan kasih mereka melintasi batas-batas agama, suku, ras, dan kebudayaan; kesemuanya bersatu atas nama solidaritas global. Pagi hari ini di tengah-tengah kita hadir wakil-wakil dari seluruh penjuru dunia, dalam beragam agama, suku bangsa, dan budaya; sebagai symbol dari solidaritas global itu. Melalui Saudara-saudara semua, ijinkan kami, menyampaikan penghargaan dan terima kasih kami atas dukungan Saudara-saudara semua dari seluruh dunia. Kami memahami dan tahu persis, dukungan Saudara-saudara sungguh tulus dan datang dari sanubari, dan karenanya kami sungguh-sungguh berterima kasih. Permintaan saya kepada Anda semua adalah tetap menjaga semangat mewujudkan kemauan baik ini. Jangan sampai semangat ini redup. Jalinan persahabatan, membangun rasa percaya diri dan semangat bekerjasama, saling memahami – semua yang anda tunjukkan selama masa tanggap darurat adalah aset yang tak ternilai besarnya yang harus kita pupuk. Semangat solidaritas yang telah Anda semua tunjukkan adalah bukti sejarah kemanusiaan yang dapat dilakukan oleh kita semua dalam semangat membantu sesama manusia. Tsunami telah menghasilkan bibit-bibit persaudaraan global yang tidak pernah diduga sebelumnya: saat ini, persaudaraan ini telah membantu korban tsunami, namun saya persaya kita dapat melanjutkan mengembangkan semangat persaudaraan global dan kemauan baik yang jarang terjadi ini untuk menjawab permasalahan global dan membawa kesejahteraan bagi umat manusia. Saya yakin Anda akan setuju betapa mulianya hal itu. Sebagai penutup, di sini di Aceh, kita sudah mendapatkan contoh bagaimana harapan baru perdamaian dapat timbul dari reruntuhan. Pada tanggal 15 Agustus tahun ini, pemerintah Indonesia menandatangani perjanjian perdamaian yang bersejarah dengan para pemimpin Gerakan Aceh Merdeka. Perjanjian damai tersebut mengakhiri 3 dekade konflik berdarah di Aceh. Perjanjian ini memberikan kesempatan emas bagi warga Aceh untuk memulai kehidupan baru yang bermartabat dan rekonsiliasi di bawah otonomi khusus, dalam negara kesatuan Republik Indonesia. Mulai saat ini dan selanjutnya masa depan Aceh bukan lagi masa depan penuh darah dan air mata melainkan masa depan yang penuh kerja keras dan harapan. Saudara-saudara sekalian, Sebagaimana Saudara sekalian ketahui, tidak jauh dari sini, kita merencanakan membangun monumen peringatan tsunami yang dibangun di sekitar kapal yang terdampar di Punge, sekitar 4 km dari sini. Namun jika Saudara melihat lebih dalam lagi, ada banyak monumen tsunami di sekitar Saudara. Saya menyebutnya “monumen yang hidup” dan monumen-monumen hidup ini lebih kuat dari baja atau dinding
beton. Kehadiran Saudara pada hari ini adalah salah satu tonggak dari monumen ini yaitu monumen solidaritas. Anak-anak yang mulai dapat bermain lagi di pantai sambil tertawa dan tersenyum, juga menjadi monumen yang hidup akan harapan dan ketabahan. Para nelayan yang kembali melaut, adalah monumen kegigihan. Masih ada banyak lagi monumen hidup yang memberanikan para keluarga yang berkumpul kambali dan diantara mereka yang tunawisma namun dapat kembali menempati rumah baru. Ada pula monumen hidup yang menghidupkan semangat spiritualitas di masjid-masjid di Aceh dan gereja-gereja di Nias.
Dan ada monumen hidup perdamaian dalam keheningan dari dentuman senjata di seluruh Aceh. Maka sebagaimana dikatakan dalam peribahasa Indonesia, “habis gelap, terbitlah terang”. Tsunami membawa pukulan yang fatal di sepanjang pantai kita. Namun tidak ada pertandingan yang lebih besar daripada yang kita sebut sebagai semangat kemanusiaan, yaitu semangat untuk hidup, untuk selamat dan untuk mencintai yang terus ada. Semangat itu akan tetap hidup dalam diri kita hari ini, esok dan selanjutnya. Insya Allah, Insya Allah!! Terima kasih.



Sumber: http://www.acheh-eye.org/data_files/bahasa_format/indo_gov_bhs/indo_gov_pidato_data-bhs/indo_gov_pidato_bhs_2005_12_26.html
Koleksi: Perpustakaan Nasional RI, 2006

No comments: