Saturday, 4 December 2010

UGM Vs UNDIP : Bencana Alam dan Lokalitas

Dalam sesi Bencana Alam dan Lokalitas Yanuar Farida Wismayanti, mewakili kelompoknya, memaparkan kehidupan ekologis masyarakat di lereng Merapi. Yang disorot adalah masyarakat Dusun Turgo, Dusun Gemer, dan Dusun Plalangan. Dari paparan Farida, pandangan warga di tiga dusun tersebut terhadap bencana Merapi cukup menarik. Bagi warga, Merapi seperti makhluk hidup. Karenanya Merapi memang sesekali perlu mengeluarkan hajatnya, seperti orang yang sedang punya gawe untuk mencari jalan membersihkan rumahnya. Namun sebelum bencana, alam telah memberi peringatan yang ditangkap masyarakat melalui ilmu titen. Setelah meletus, Merapi memberi berkah berupa kesuburan dari abu yang ditumpahkan. Jadi bagi mereka, Merapi adalah berkah kehidupan.

Menurut Farida, pandangan positif warga terhadap Merapi antara lain diwujudkan dalam sejumlah pantangan, seperti mengotori kawasan Merapi, menebangi pohon di sekitar mata air, atau membuat rumah yang membelakangi atau menghadap Merapi. Mereka juga rutin menyelenggarakan ritual terkait Merapi, yakni Suroan dan Merti Desa, yang apresiatif terhadap alam. Respon semacam ini muncul dari kepercayaan masyarakat terhadap penguasa Merapi yang menjadi spiritualitas mereka untuk dapat bertahan di lingkungan tersebut. Selain itu di Turgo, warga mengadopsi teknologi informasi dan teknologi baru untuk mengantisipasi bencana. Di Gemer, warga mengadopsi teknologi seperti penggunaan biogas dari kotoran ternak. Dalam perayaan Natal, sejak tahun 2002 warga Gemer memberi konsep dan ritual baru yang disebut Natal Tani.

Bagaimana respon masyarakat terhadap bencana yang utamanya disebabkan manusia?

Rubaidi mengemukakan bahwa bencana tanah longsor dan banjir bandang di Jember, khususnya di Kecamatan Panti dan Silo, pada awal Januari 2006 dan awal Januari 2009, tidak lepas dari pengamatan para kyai. Keterlibatan para kyai tidak hanya terbatas pada tahap emergency response saja. Lebih dari itu, mereka ikut berpikir keras membahas isu bencana, bahkan aktif di gerakan pencegahan bencana berbasis komunitas, maupun di forum workshop, pelatihan dan advokasi. Termasuk yang tak kalah penting adalah menafsirkan fiqh klasik berkaitan dengan perusakan lingkungan. Meski terdapat keterbatasan belum terakomodasinya kompleksitas permasalah lingkungan dan bencana di dalam kitab kuning. Toh setidaknya mereka sepakat, mengacu pada hukum fiqh, bahwa melakukan penggundulan hutan di kawasan hima� (kawasan lindung untuk kepentingan umum) dan berdampak bencana hukumnya haram.

Menurut Rubaidi, para kyai dihadapkan pada konstruksi pengetahuan baru terkait dengan mereka yang terlibat dan menjadi agen munculnya bencana di Jember. Dalam banyak kasus, aparat pemerintah nyaris memiliki kekuasaan mutlak, terutama dalam konteks pengelolaan lingkungan, sekaligus aktor langsung maupun tidak langsung di balik kerusakan lingkungan yang berdampak timbulnya bencana. Para kyai melihat, ada diskriminasi kebijakan dalam distribusi akses sumber daya kehutanan. Di Panti, pemerintah membatasi akses masyarakat namun justru memberikan kesempatan terbuka kepada perusahaan-perusahaan swasta dalam pengelolaan kehutanan. Padahal justru lahan yang dikelola mereka belum sepenuhnya aman, masih rentan dengan kelongsoran. Yang lebih mengherankan, setelah bencana tahun 2006 dan 2009 ini pemerintah masih saja memberi izin eksplorasi tambangan mangaan di area hitan Babab Silosanen, yang daerahnya rawan terhadap bencana tanah longsor untuk kedua kalinya. Sebaliknya, justru lahan yang dikelola oleh masyarakat sekitar hutan tidak lagi longsor.

Dalam kasus lumpur di Porong Sidoarjo Jawa Timur yang melibatkan PT Lapindo Brantas Inc, Anton Novenanto menyorotinya dari sisi media, pertarungan dalam pembentukan opini. Di satu sisi terjadi intervensi kapital melalui media besar seperti Harian Surabaya Post, ANTeve dan TV One yang sahamnya dimiliki kelompok Bakrie (yang juga pemilik Lapindo), serta melalui advertorial satu halaman penuh selama enam bulan berturut-turut. Di sisi lain ada media alternatif dari LSM.

Diangkat pula soal politik penamaan kasus ini. Penamaan lumpur Lapindo berkonotasi mengakimi Lapindo sebagai pihak yang bertanggung jawab atas luapan lumpur. Sementara penamaan lumpur Porong atau lumpur Sidoarjo lebih berkonotasi netral, yang bisa mengeliminasi kontribusi Lapindo dalam bencana ini. Anton sendiri memilih istilah kasus Lapindo karena yang terjadi bukan hanya kerusakan fisik tetapi juga kerusakan kehidupan sosial. Bahkan luasan bencana sosial ini tidak hanya di wilayah semburan lumpur panas itu saja tetapi juga tampak di berbagai institusi sosial pada level yang lebih luas (ekonomi, politik dan hukum). Dalam kasus Lapindo, institusi sosial tidak cukup kuat untuk menormalkan kembali kehidupan sosial kelompok yang terkena dampak bencana. Negara tidak pernah bersikap tegas terhadap Lapindo yang diduga menjadi sumber bencana sosial akibat luapan lumpur.

Nur Said mengangkat perlawanan Komunitas Sedulur Sikep terhadap rencana pembangunan pabrik semen di Sukolilo Pati Selatan, Jawa Tengah, yang mengancam tanah pertanian mereka. Sedulur Sikep adalah masyarakat Samin yang selama ini konsisten mempertahankan nilai-nilai budayanya dan terkenal dengan perlawanan tanpa kekerasannya. Bagi mereka, pembangunan pabrik semen akan menjadi ancaman bagi kelestarian lingkungan, air dan udara bersih, serta kekhawatiran adanya bencana alam.

Bagi Sedulur Sikep, ketika alam dikelola dengan penuh keluguan (memperhatikan keseimbangan alam) dan sikap demunung (sesuai dengan sifat-sifat alam yang merindukan sentuhan kepedulian tak dieksploatasi) maka semesta alam juga akan memberikan kontribusi positif bagi kehidupan. Sebaliknya ketika pengelolaan alam dilakukan tanpa mempertimbangkan nilai-nilai keseimbangan di tengah lingkungannya, maka sudah menjadi genepe alam (pranata alam) bahwa bencana seperti banjir dan kekeringan akan terjadi.

Sebagai bentuk perlawanan, mereka membangun teknologi konstruksi bangunan yang tak berdinding tebal tanpa semen tapi dengan dominasi penyangga kayu yang lebih ringan. Mereka juga secara terbuka mengajak semua elemen masyarakat untuk berpikir jernih dengan perspektif jauh ke depan. Mereka juga membentuk organisasi dan sistem jaringan sosial baru di kalangan mereka, baik internal, antar komunitas maupun posko bersama.

Untuk melawan kajian ilmiah dari Universitas Diponegoro yang pro pabrik semen, mereka menggaet UGM dan Universitas Pembangunan Nasional Veteran untuk membuat riset tandingan. Mereka juga membuat film dokumentasi tentang masyarakat di sekitar pabrik Semen Gresik di Tuban Jawa Timur yang mengalami dampak buruk. Slogan Pemda Pati Basahi Pati Selatan yang bercitra menyejahterakan ditandingi dengan citraan bahwa kehadiran pabrik semen merupakan ancaman bahaya banjir dan bencana budaya bagi masyararakat Sedulur Sikep di Sukolilo. Dengan bahasa yang lugu dan lugas, mereka membawa gerakan sosial ini menjadi perlawanan tanpa kekerasan.

Bencana alam nampaknya akan menjadi persoalan krusial di masa mendatang jika melihat aksi penggundulan hutan, pembangunan gedung-gedung di daerah resapan air, dan semacamnya, yang kian menjadi. Kearifan lokal yang bersahabat dengan alam agaknya perlu digali lagi sebagai salah satu bagian solusi dalam penanganan bencana alam.



http://www.tembi.org/cover/2010-03/20100313.htm

No comments: