Monday, 31 January 2011

DALIH PEMBUNUHAN MASSAL GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO (1)

DALIH PEMBUNUHAN MASSAL GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO (1)
JOHN ROOSA



Jakarta, 2008
Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto
Buku ini pertama kali diterbitkan dalam bahasa Inggris dengan judul
Pretext for Mass Murder: Th e September 30th Movement and Suharto’s Coup d’État in Indonesia
©2006 Th e University of Wisconsin Press, Madison, USA
Pertama kali diterjemahkan dan diterbitkan dalam bahasa Indonesia seizin penerbit asli oleh
Institut Sejarah Sosial Indonesia bekerjasama dengan Hasta Mitra pada Januari 2008.
Penerjemah : Hersri Setiawan
Penyunting: Ayu Ratih dan Hilmar Farid
Penyelaras bahasa: M. Fauzi dan Th . J. Erlijna
Desain sampul dan tata letak: Alit Ambara
Foto sampul: Corbis
Institut Sejarah Sosial Indonesia
Jalan Pinang Ranti No. 3 Jakarta 13560
Email: issi@cbn.net.id
Hasta Mitra
Jalan Duren Tiga Selatan No. 36 Jakarta Selatan
Email: yusak@cbn.net.id
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
John Roosa,
Dalih Pembunuhan Massal
Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto, Cetakan 1
Jakarta: Institut Sejarah Sosial Indonesia dan Hasta Mitra, 2008
xxiv+392 hlm; 16 cm x 23 cm
ISBN: 978-979-17579-0-4
untuk orangtua saya

v
DAFTAR ISI
Daftar Ilustrasi vii
Sekapur Sirih xi
Kata Pengantar edisi Bahasa Indonesia xv
Pendahuluan 3
I. Kesemrawutan Fakta-Fakta 52
II. Penjelasan tentang G-30-S 90
III. Dokumen Supardjo 122
IV. Sjam dan Biro Chusus 169
V. Aidit, PKI, dan G-30-S 199
VI. Suharto, Angkatan Darat, dan Amerika Serikat 250
VII. Menjalin Cerita Baru 291
Lampiran-lampiran
1. Beberapa Pendapat jang Mempengaruhi Gagalnja
“G-30-S” Dipandang dari Sudut Militer (1966),
oleh Brigadir Jenderal Supardjo 323
2. Kesaksian Sjam (1967) 344
Daftar Pustaka 362
Indeks 375

vii
DAFTAR ILUSTRASI
PETA
1. Jakarta, 1965
2. Lapangan Merdeka
3. Pangkalan Angkatan Udara Halim dan Lubang Buaya
FOTO DAN KARTUN
1. Monumen Pancasila Sakti
2. Detil relief pada Monumen Pancasila Sakti
3. Museum Pengkhianatan PKI
4. Detil relief pada Monumen Pancasila Sakti
5. Supardjo dan Ibu Supardjo, ca. 1962
6. Kartun memperingati 20 tahun kemerdekaan nasional
7. Kartun mendukung Gerakan 30 September
8. Kartun: “Film minggu ini”
9. Kartun anti-PKI
TABEL DAN FIGUR
1. Staf Umum Angkatan Darat (SUAD)
2. Personil Militer dan Sipil dalam Gerakan 30 September
3. Struktur Organisasi PKI

DALIH PEMBUNUHAN MASSAL

xi
SEKAPUR SIRIH
Saya mulai menulis tentang Gerakan 30 September saat menjadi
penerima beasiswa pascadoktoral Rockefeller Foundation di Institute
of International Studies di University of California-Berkeley, sebagai
bagian dari Communities in Contention Program pada 2001-2002. Terima
kasih kepada direktur lembaga, Michael Watts, yang telah memberikan
saya suasana yang demikian hidup untuk belajar. Joseph Nevins adalah
pembaca rumusan-rumusan awal pandangan saya. Kritiknya yang tajam
pada saat makan siang di kafe-kafe di Berkeley menyadarkan saya bahwa
menulis tentang Gerakan 30 September dalam bentuk karangan jurnal
singkat tidak memadai untuk mengurai keruwetan-keruwetannya.
Ulasan-ulasannya terhadap rancangan buku yang muncul belakangan
sangat membantu saya dalam berpikir tentang penyajian argumen saya.
Untuk berbagai-bagai bentuk bantuan di Bay Area, saya berterimakasih
kepada Iain Boal, Nancy Peluso, Silvia Tiwon, Jeff Hadler, Hala Nassar,
Mizue Aizeki, dan Mary Letterii.
Sidang pendengar di Center for Southeast Asian Studies di University
of Wisconsin, Madison, pada akhir 2001 telah mendengarkan uraian
versi awal yang masih mentah dari buku ini. Saya ucapkan terima kasih
kepada semua yang hadir di sana, dan untuk ulasan-ulasan mereka yang
mendalam. Terima kasih juga untuk Alfred McCoy, yang bertahun-tahun
lalu pernah mengajar saya tentang bagaimana mempelajari masalahmasalah
kemiliteran dan kudeta, karena sudah mengundang saya memberi
ceramah dan mendorong saya menulis buku ini.
xii
SEKAPUR SIRIH
Sesudah naskah awal saya diamkan selama dua tahun agar dapat
menyelesaikan pekerjaan saya yang berkaitan dengan pengalaman para
korban kekerasan massal 1965-66 di Indonesia, pada awal 2004 saat di
University of British Columbia saya kembali ke naskah tersebut. Saya
menyampaikan terima kasih kepada rekan-rekan di jurusan sejarah,
Steven Lee yang memberikan ulasan terhadap rancangan keseluruhan
buku, dan Erik Kwakkel untuk bantuannya dalam hal kata-kata Belanda.
Terima kasih pula kepada Brad Simpson dari University of Maryland,
yang membagikan pengetahuannya tentang dokumen-dokumen resmi
pemerintah Amerika Serikat mengenai Indonesia; dan David Webster,
lulusan program doktoral dari University of British Columbia, yang
membagikan pengetahuannya tentang dokumen-dokumen resmi pemerintah
Kanada.
Saya sangat berutang budi kepada dua pengulas tanpa nama yang
dengan murah hati telah memberikan pujian mereka bahkan sesudah
mereka mungkin menghabiskan waktu berjam-jam untuk mengoreksi
sangat banyak kesalahan dalam naskah saya dan mengajukan bantahan
terhadap uraian-uraian saya. Saya harap kesabaran mereka ketika menuliskan
ulasan-ulasan yang sedemikian kritis dan rinci itu telah saya imbangi
dengan perbaikan-perbaikan yang akan mereka temukan dalam buku
ini.
Sejak awal 2000 saya melakukan penelitian tentang peristiwa 1965-
66 dengan sekelompok peneliti yang tergabung dalam Jaringan Kerja
Budaya di Jakarta. Buku ini tumbuh dari penelitian kami bersama dan
pendirian lembaga kami, Institut Sejarah Sosial Indonesia. Ucapan terima
kasih kepada rekan-rekan berikut ini kiranya tidak layak, oleh karena
buku ini sebagian merupakan milik mereka, yaitu: Hilmar Farid, Agung
Putri, Razif, Muhammad Fauzi, Rinto Tri Hasworo, Andre Liem, Grace
Leksana, Th .J. Erlijna, Yayan Wiludiharto, Alit Ambara, B.I. Purwantari,
dan Pitono Adhi. Dua penggembala para budayawan muda di Garuda,
Dolorosa Sinaga dan Arjuna Hutagalung, telah memberikan ruang kerja
untuk penelitian kami dan ruang terbuka yang teduh di tengah-tengah
megalopolis yang hiruk-pikuk sebagai tempat kami bersantai. Johan Abe
dan Maryatun terus memberi bantuan tanpa kenal lelah.
Pasangan hidup saya selama tiga belas tahun terakhir, Ayu Ratih,
telah memandu saya dalam menulis sejarah Indonesia, sekaligus menexiii
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
gaskan bahwa penulisan sejarah hanyalah satu bagian dari kehidupan
aktif yang berjalinan erat dengan kehidupan banyak orang lain. Saya
beruntung sudah berada sangat dekat dengan suri teladan sikap kritis
dan hangat dalam berhubungan dengan dunia ini.

xv
KATA PENGANTAR EDISI BAHASA INDONESIA
Saya mengantar terjemahan buku saya dengan sedikit kebimbangan.
Mengacu kepada surat keputusan Jaksa Agung setahun lalu, bukubuku
teks sejarah yang tidak mencantumkan akhiran “/PKI” setelah
singkatan G-30-S harus dibakar. Buku ini tidak menggunakan akhiran
tersebut. Tak akan ada gunanya menulis buku ini seandainya saya menambahkan
“/PKI.” Akhiran tersebut mencerminkan jawaban terhadap
pertanyaan tentang siapa yang mendalangi gerakan itu. Ia adalah simbol
pernyataan: “PKI mendalangi G-30-S.” Apabila jawaban itu didukung
oleh bukti-bukti tak tersangkal dan secara luas diterima sebagai fakta
historis maka kita tidak perlu mengajukan pertanyaan tentang dalang
lagi. Kita bisa tutup buku dengan G-30-S. Tapi banyak sejarawan yang
belum menerima jawaban tersebut, atau jawaban lain, sebagai sesuatu
yang fi nal, karena terdapat begitu banyak aspek yang aneh, tak terjelaskan
tentang G-30-S. Banyak orang Indonesia bingung dengan G-30-S dan
berharap menemukan lebih banyak informasi tentangnya. Pemerintah
dapat mencoba menulis sejarah dengan keputusan resmi. Tetapi memastikan
bahwa setiap penyebutan G-30-S harus diikuti dengan “/PKI”
tidak akan mencegah orang untuk bertanya-tanya tentang arti kedua
istilah yang harus mereka kaitkan itu: Apa itu G-30-S? Apa itu PKI? Dan
bentuk hubungan seperti apa antara kedua istilah yang ditandai dengan
garis miring tersebut?
Ketika Suharto jatuh dari kekuasaannya pada 1998 saya tidak memxvi
KATA PENGANTAR EDISI BAHASA INDONESIA
bayangkan bahwa satu dekade kemudian pemerintah akan terus melarang
buku-buku yang tidak sesuai dengan propaganda rezim yang lalu. Rezim
Suharto mengklaim bahwa PKI bertanggung jawab atas G-30-S; partai
itu memimpin atau mengorganisasikan G-30-S. Klaim serupa itu dapat
diterima sebagai sebuah hipotesa tetapi kita seharusnya berharap diberi
sejumlah bukti sebelum kita menerimanya sebagai kesimpulan. Kita juga
harus berharap ada rumusan yang lebih persis. PKI adalah sebuah partai
dengan anggota kurang lebih tiga juta orang. Kalau pemerintah berniat
bersikukuh bahwa “PKI” mengorganisasikan G-30-S, maka pemerintah
harus mampu menjelaskan siapa di dalam PKI yang mengorganisasikan
gerakan tersebut. Apakah tiga juta anggota partai secara keseluruhan
bertanggung jawab? Atau kah sebagian? Atau hanya pimpinan partai?
Apakah pihak pimpinan itu Central Comite atau Politbiro? Sepanjang
masa kepemimpinan Suharto pemerintah tidak pernah dengan telak
mengidentifi kasi siapa di dalam PKI yang bertanggung jawab. Malahan,
dengan secara terus-menerus menggunakan istilah “PKI” masyarakat
digiring untuk percaya bahwa bukan hanya seluruh tiga juta anggota
partai yang bertanggung jawab, tetapi juga siapa pun yang berhubungan
dengan partai, seperti para anggota organisasi-organisasi sealiran (seperti
Lekra), bertanggung jawab.
Dokumen-dokumen internal rezim Suharto lebih terus terang.
Kebetulan saya menemukan buku yang ditulis Lemhanas pada 1968
untuk pejabat-pejabat pemerintah yang persis mengajukan pertanyaanpertanyaan
di atas. Buku 80 halaman ini ditulis dalam bentuk tanyajawab.
Berikut satu bagian tentang tanggung jawab “PKI”:
Pertanyaan: Apakah benar bahwa G-30-S/PKI yang menggerakkan
adalah PKI dan apakah setiap anggota PKI tentu
terlibat dalam G-30-S/PKI?
Jawab: Benar
a. bahwa G-30-S/PKI digerakkan oleh PKI telah dapat dibuktikan
baik secara fakta maupun secara hukum di depan
sidang-sidang Mahmilub yang memeriksa dan mengadili
perkara-perkara tokoh-tokoh G-30-S/PKI.
xvii
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
b. Seluruh anggota PKI dapat dianggap terlibat baik secara
langsung maupun tidak langsung (setiap orang berkewajiban
melaporkan pada penguasa bila ia mengetahui bahwa suatu
kejahatan akan dilakukan dan juga sesuai dengan prinsip
organisasi PKI bahwa keputusan pimpinan partai, mengikat
seluruh anggota).1
Saya tidak puas dengan kedua poin jawaban itu. Poin pertama,
persidangan-persidangan Mahmilub tidak membuktikan bahwa PKI
mendalangi G-30-S. Kesaksian-kesaksian terdakwa dan saksi-saksi
merupakan timbunan ketidakajegan. Para penuntut tidak mengajukan
bukti-bukti tandas kesalahan “PKI” dan para hakim tidak membutuhkannya;
mereka memulai prosiding peradilan dengan kepercayaan
(yang telah dipropagandakan Angkatan Darat) bahwa “PKI” bersalah.
Seperti diamati Harold Crouch saat mengulas beberapa berkas rekaman
persidangan Mahmilub pada awal 1970-an, orang dapat dengan mudah
menyimpulkan dari berkas-berkas tersebut bahwa sekelompok perwira
Angkatan Darat yang tidak puas memimpin G-30-S dan mengajak
beberapa pimpinan PKI untuk membantu mereka.2
Poin kedua jawaban Lemhanas sama mudah disangkal. Tuduhannya
adalah bahwa seluruh tiga juta anggota partai mengetahui tentang G-30-S
sebelumnya dan bersalah karena pengabaian (“tidak melaporkan pada
penguasa”). Tuduhan ini tidak mungkin benar: saluran-saluran informasi
di dalam partai tidak sedemikian ketat sehingga tiga juta orang dapat
mengetahui sesuatu yang orang lain, termasuk agen-agen intelijen kunci
di dalam Angkatan Darat, tidak tahu. Selain bersalah karena pengabaian,
mereka bersalah karena keterkaitan; sebagai anggota partai, mereka
bertanggung jawab atas segala keputusan yang diambil para pimpinan
(“keputusan pimpinan partai mengikat seluruh anggota”). Itulah prinsip
kesalahan kolektif – sebuah prinsip yang sudah ditolak oleh semua negara
di dunia berdasarkan rule of law.
Sebelum 1965 pemerintah Indonesia tidak pernah menimpakan
kesalahan kepada suatu kelompok masyarakat secara keseluruhan.
Kaum nasionalis yang berjuang untuk kemerdekaan pada 1945-49 tidak
membunuh orang-orang Belanda hanya karena mereka orang Belanda.
Setelah pemberontakan PRRI/Permesta pada akhir 1950-an pemerinxviii
KATA PENGANTAR EDISI BAHASA INDONESIA
tah Sukarno melarang PSI dan Masjumi karena pemimpin-pemimpin
kedua partai mendukung pemberontakan-pemberontakan tersebut.
Tetapi pemerintah Sukarno tidak menyatakan bahwa semua anggota
kedua partai adalah pengkhianat; pemerintah tidak menahan dan/atau
membunuh orang hanya karena mereka anggota PSI atau Masjumi.
Sukarno mengampuni pemberontak-pemberontak Darul Islam – orangorang
yang memang mengangkat senjata untuk melawan pemerintah
– kecuali pimpinan-pimpinan puncaknya. Bayangkan seandainya prinsip
kesalahan kolektif diterapkan pada anggota-anggota Golkar dewasa ini:
haruskah setiap anggota Golkar pada masa Orde Baru diminta bertanggungjawab
atas kejahatan-kejahatan Suharto?
Satu aspek yang tidak bermanfaat dalam debat tentang G-30-S di
Indonesia adalah kecenderungan untuk menggolongkan posisi apa pun
apakah sebagai pro-PKI atau anti-PKI. Siapapun yang tidak menyetujui
penahanan dan pembunuhan massal atau menunjukkan simpati
terhadap tahanan politik dianggap sebagai pendukung PKI. Pipit Rochiat
keberatan dengan kecenderungan ini dalam esai yang ditulisnya pada
1984 “Saya PKI atau Bukan PKI?.”3 Menciptakan dikotomi serupa itu
sama dengan mengabaikan kemungkinan posisi seperti yang diperlihatkan
Rochiat, yaitu tidak membela aksi-aksi PKI sebelum 1965, tidak
juga membenarkan kekerasan massal yang diarahkan kepada PKI setelah
G-30-S. Kekerasan tersebut mencerminkan bencana kemanusiaan. Saya
dapat memahami seandainya seseorang mengambil sikap antagonistik
terhadap PKI sebelum 1965: PKI adalah partai yang berniat mendirikan
negara satu partai, yang dipimpin oleh orang-orang yang berbicara dan
menulis secara dogmatis dan berdasarkan rumus-rumus baku, yang menggalang
pengikut-pengikutnya untuk mengintimidasi organisasi-organisasi
pesaingnya. Tapi saya tidak dapat mengerti bagaimana orang dapat
membenarkan cara partai tersebut ditindas: kebohongan-kebohongan
propaganda negara untuk memicu kekerasan, penangkapan massal tanpa
dakwaan, interogasi dengan penyiksaan, penahanan berkepanjangan
tanpa pengadilan, penghilangan paksa dan pembunuhan kilat. Sekarang,
setelah 40 tahun berlalu, kita seharusnya sudah mampu berhenti berpikir
semata-mata dalam kerangka dikotomis tentang peristiwa-peristiwa
tersebut, seakan-akan tiap kritik terhadap kisah resmi rezim Suharto
hanya dapat didorong oleh kecintaan terhadap PKI.
xix
Sudah saatnya pula untuk berhenti berpikir mengikuti stereotipstereotip
basi. Sepanjang kekuasaan Suharto PKI digambarkan sebagai
momok jahat sehingga tidak mungkin memahami bagaimana partai itu
pernah menjadi demikian populer, dengan jutaan anggota dan simpatisan.
Bagaimana mungkin sebegitu banyak orang Indonesia dihujat sebagai
iblis? Buku ini ditulis berdasarkan anggapan bahwa anggota-anggota PKI
sebenarnya manusia, bukan setan, dan memiliki karakter moral yang
tidak lebih baik atau lebih buruk dari orang-orang lain di Indonesia.
Jika kita bersedia berpikir jernih tentang pertanyaan siapa yang
bertanggung jawab atas G-30-S maka kita harus menelisik apa yang
sesungguhnya terjadi pada awal Oktober 1965. Benarkah gerakan itu
merupakan pemberontakan setiap orang di dalam PKI? Benarkah gerakan
itu merupakan percobaan kudeta? Rezim Suharto bersikukuh bahwa
G-30-S adalah keduanya: pemberontakan dan percobaan kudeta. Bab
satu buku ini mencoba merekonstruksi peristiwa-peristiwa yang terjadi
pada beberapa hari pertama Oktober 1965 tanpa ada kesimpulan sebelumnya.
Saya menulis bab ini supaya paparannya cocok dengan salah
satu dari empat penjelasan yang saya ulas di bab 2. Informasi dasar yang
disajikan pada bab 1 mengungkap bahwa G-30-S aneh; beberapa aspek
memberi kesan gerakan ini merupakan percobaan kudeta, aspek-aspek
lain tidak menunjukkan adanya kudeta. Narasi apapun yang memuaskan
tentang kejadian-kejadian pada awal Oktober 1965 pertama-tama harus
mengakui keganjilan-keganjilan ini, kemudian mencoba menjelaskannya.
Satu masalah yang saya perhatikan di dalam kebanyakan buku
tentang G-30-S bersifat metodologis. Biasanya, seorang penulis mulai
dengan sebuah kesimpulan tentang siapa yang bertanggung jawab atas
G-30-S (PKI, Sukarno, Suharto, dst.), lalu menimbang penjelasanpenjelasan
alternatif yang mungkin sebelum menyimpulkan bahwa
hipotesanya benar. Sejarawan tidak bekerja dengan cara seperti yang
digunakan ilmuwan pengetahuan alam – tingkah laku manusia dan
peristiwa-peristiwa sosial tidak diatur oleh hukum-hukum alam – tetapi
mereka kadang-kadang mengikuti beberapa prinsip fundamental yang
sama. Satu prinsip adalah menghindari untuk memulai suatu penelitian
dengan kesimpulan-kesimpulan di tangan. Kita tak akan pernah
menemukan sesuatu yang baru dengan cara seperti ini.
xx
KATA PENGANTAR EDISI BAHASA INDONESIA
Masalah besar lain yang muncul dalam kepustakaan yang sudah
ada adalah kurangnya penilaian kritis terhadap sumber-sumber yang
digunakan. Dalam hal G-30-S, sumber-sumbernya memang secara
khusus bermasalah. Transkrip interogasi (Berita Acara Pemeriksaan atau
Proses Verbal) dan kesaksian di pengadilan militer – dua jenis sumber
yang sering digunakan dalam buku-buku tentang G-30-S – tidak dapat
dikatakan andal atau pun ajeg. Seorang sejarawan selalu harus berpikir
tentang konteks tempat sumber-sumber diproduksi dan mengajukan
pertanyaan yang sangat penting: bagaimana seseorang yang mengklaim
tahu sesuatu sesungguhnya tahu tentang hal itu?
Salah satu sumber yang paling andal tentang G-30-S adalah Visum
et Repertum yang dilakukan para dokter di Rumah Sakit Pusat Angkatan
Darat Gatot Subroto terhadap jazad tujuh perwira yang ditemukan di
Lubang Buaya. Justru sumber inilah yang tidak diumumkan oleh pemerintah
Suharto. Salinan laporan visum tersembunyi hingga 1980-an,
ketika dokumen itu ditemukan seorang ilmuwan dari Cornell University.4
Dari laporan ini kita cukup tahu bahwa apa yang dilaporkan di media
yang dikontrol Angkatan Darat pada akhir 1965 tentang bagaimana
para perwira dibunuh ternyata palsu. Para perwira tersebut terbunuh
oleh tembakan dan luka-luka tusukan bayonet; mereka tidak diiris-iris
ribuan kali dengan silet, mata mereka tidak dicungkil, dan mereka tidak
pula dimutilasi. Jika kita berpegang pada laporan para dokter, seperti
yang saya pikir seharusnya demikian, maka kita harus berasumsi bahwa
kisah-kisah tentang penyiksaan para perwira merupakan bagian dari
propaganda perang urat syaraf Angkatan Darat terhadap PKI. Kita juga
harus mempertimbangkan kisah-kisah apa tentang G-30-S dari rezim
Suharto yang palsu dan dokumen-dokumen lain mana yang telah disembunyikan
dari penglihatan kita.
Ketiadaan penilaian kritis terhadap sumber-sumber sudah menggiring
berbagai macam artikel dan buku yang menyajikan argumenargumen
berdasarkan kisah-kisah palsu oleh propagandis, dokumendokumen
palsu, dan spekulasi besar-besaran. Misalnya, tidak kurang
dari tiga buku yang baru saja diterbitkan mengklaim bahwa Presiden
Sukarno entah adalah sang dalang atau salah satu dari sekian dalang
G-30-S.5 Klaim ini tidak berdasar dan absurd. Pada saat menulis buku
ini saya berpikir bahwa klaim tersebut bahkan tidak layak ditanggapi.
xxi
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
Tak ada bukti untuknya. Penerbitan ketiga buku ini mendorong saya
untuk menulis sangkalan rinci terhadap klaim yang dibuat sebagai esai
ulasan untuk sebuah jurnal akademik.6
Saya harus menekankan bahwa buku ini hanya tentang G-30-S. Ini
bukan buku tentang kekerasan massal yang muncul setelah gerakan itu
terjadi walaupun di bagian pengantar saya sampaikan beberapa argumen
dasar tentang kekerasan tersebut dan kaitannya dengan G-30-S. Saya
beranggapan bahwa lebih banyak penelitian harus dilakukan tentang
kekerasan massal pasca G-30-S sebelum sebuah analisis ilmiah yang baik
bisa ditulis. Menimbang skalanya, kekerasan pasca G-30-S merupakan
topik yang lebih penting daripada G-30-S itu sendiri. Buku ini diharapkan
bermanfaat bagi penelitian lebih lanjut tentang kekerasan massal
pasca G-30-S dengan menyajikan konteks baru untuk memahami
tragedi tersebut. Jika G-30-S lebih jelas mungkin akan lebih mudah
untuk memusatkan perhatian pada topik-topik lain yang berkaitan.
Lebih banyak pula studi-studi yang perlu digarap tentang kudeta Suharto,
misalnya, bagaimana ia mengambilalih media massa, keuangan negara,
dan birokrasi sipil.
Saya berharap pembaca akan menghargai proses panjang yang
menyertai pembuatan buku ini. Saya menduga beberapa pembaca tak
terlalu paham bagaimana suatu buku diterbitkan oleh penerbit universitas.
Saya menyerahkan manuskrip bakal buku ini ke University
of Wisconsin Press pada 2004. Seorang editor di badan penerbitan ini
membacanya dan menilai apakah manuskrip tersebut layak diterbitkan. Si
editor mengirim manuskrip ke dua ahli sejarah Indonesia yang kemudian
menulis ulasan mereka, menyampaikan penilaian apakah manuskrip ini
layak diterbitkan, dan apabila layak, perubahan-perubahan apa yang
harus dibuat. Tahap ini disebut ulasan oleh rekan anonim. Dengan
demikian mereka dapat bersikap lebih terus terang dalam menyampaikan
kritik mereka. Saya menerima ulasan tanpa nama ini kurang lebih enam
bulan setelah saya menyerahkan manuskrip. Saya kemudian merevisi
manuskrip untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan yang diidentifi kasi
para pengulas dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang mereka ajukan.
Saya menyerahkan manuskrip dengan revisi pada 2005. Badan penerbit
menyewa seorang copy editor untuk memeriksa manuskrip, memperbaiki
kesalahan-kesalahan dalam ejaan, tata bahasa, atau tanda baca, dan
xxii
KATA PENGANTAR EDISI BAHASA INDONESIA
mengusulkan perbaikan dalam hal gaya penulisan. Saya menghabiskan
beberapa minggu pada akhir 2005 untuk berkorespondensi dengan copy
editor tentang bermacam-macam masalah. Produk akhir dari proses ini
baru diterbitkan pada September 2006.
Ketelitian serupa juga diberikan dalam proses penerjemahan. Setelah
penerjemah utama menyelesaikan pekerjaannya, dua penerjemah ahli
lainnya memeriksa manuskrip terjemahan kata demi kata dan mengusulkan
perubahan. Versi akhir dari proses ini kemudian dikirimkan ke
seorang copy editor yang berpengalaman. Baru setelah copy editor memperbaiki
kesalahan-kesalahan yang ada, manuskrip dikirim ke pembaca
naskah yang melakukan pengecekan tahap akhir. Proses panjang ini
membuat banyak teman-teman kami frustrasi karena lamanya waktu
yang dibutuhkan untuk menerbitkan buku ini. Tetapi kami pandang
luar biasa penting untuk menghasilkan terjemahan yang secara tepat
menyampaikan maksud dalam teks aslinya dan sesedikit mungkin mengandung
kesalahan-kesalahan tipografi s.
Dalam jangka waktu satu setengah tahun setelah edisi bahasa Inggris
buku ini diterbitkan saya telah belajar lebih banyak tentang G-30-S.
Namun, saya menolak godaan untuk menambahkan pengetahuan baru
apa pun ke edisi ini. Saya berharap beberapa tahun lagi, begitu saya
mengumpulkan lebih banyak informasi dan mendengar dari lebih banyak
pembaca, saya akan siap menerbitkan suatu artikel yang menjabarkan
argumen-argumen di dalam buku ini.
CATATAN
1 Lembaga Ketahanan Nasional, Bahan-Bahan Pokok G-30-S/PKI dan Penghancurannya,
bagian kedua (Maret 1969), 17-18. Edisi yang saya miliki adalah salinan yang dibuat pada
1982. Seperti dinyatakan pada halaman judul, edisi ini “disalin sesuai dengan aslinya oleh
Sekretaris Pokja Balat Lemhannas.”
2 Crouch, “Another Look At the Indonesian Coup,” Indonesia no. 15 (April 1973)
3 Diterbitkan dalam majalah mahasiswa Indonesia di Berlin Barat, Gotong Royong (Maret
1984).
4 Benedict Anderson, “How did the Generals Die?,” Indonesia no. 43 (April 1987). Catatan
Prof. Anderson tentang tanggapan rezim Suharto terhadap analisisnya tentang G-30-S
xxiii
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
dan pencekalan dirinya dari Indonesia layak dibaca kalangan yang lebih luas: “Scholarship
on Indonesia and Raison d’État: Personal Experience,” Indonesia no. 62 (October 1996).
Artikel lain yang juga berharga adalah: “Indonesian Nationalism Today and in the Future,”
Indonesia no. 67 (April 1999).
5 Victor M. Fic, Anatomy of the Jakarta Coup, October 1, 2004 (New Delhi: Abhinav,
2004); Antonie C.A. Dake, Th e Sukarno File, 1965-67: Chronology of a Defeat (Leiden:
Brill, 2006); Helen-Louise Hunter, Sukarno and the Indonesian Coup: Th e Untold Story
(Wesport: Praeger, 2007).
6 “Sukarno and the September 30th Movement,” Critical Asian Studies 40: 1 (March
2008).

DALIH PEMBUNUHAN MASSAL
Peta 1. Jakarta, 1965
3
PENDAHULUAN
Kebenaran tentang perebutan kekuasaan tidak boleh dibikin jelas;
pada mulanya ia terjadi tanpa alasan tapi kemudian menjadi masuk
akal. Kita harus memastikan bahwa kebenaran itu dianggap sah dan
abadi; adapun asal-muasalnya sendiri harus disembunyikan, jika kita
tidak ingin kebenaran itu cepat berakhir.
Blaise Pascal, Pensées (1670)
Bagi sejarawan yang ingin memahami perjalanan sejarah Indonesia
modern, hal yang terkadang menimbulkan rasa frustrasi ialah
justru karena kejadian yang paling misterius ternyata merupakan
salah satu babak kejadian yang terpenting. Pada dini hari 1 Oktober
1965, Menteri Panglima Angkatan Darat (Menpangad) Letnan Jenderal
Ahmad Yani dan lima orang staf umumnya diculik dari rumah-rumah
mereka di Jakarta, dan dibawa dengan truk ke sebidang areal perkebunan
di selatan kota. Para penculik membunuh Yani dan dua jenderal lainnya
pada saat penangkapan berlangsung. Tiba di areal perkebunan beberapa
saat kemudian pada pagi hari itu, mereka membunuh tiga jenderal lainnya
dan melempar enam jasad mereka ke sebuah sumur mati. Seorang letnan,
yang salah tangkap dari rumah jenderal ketujuh yang lolos dari penculikan,
menemui nasib dilempar ke dasar sumur yang sama. Pagi hari itu
juga orang-orang di balik peristiwa pembunuhan ini pun menduduki
stasiun pusat Radio Republik Indonesia (RRI), dan melalui udara menyatakan
diri sebagai anggota pasukan yang setia kepada Presiden Sukarno.
4
PENDAHULUAN
Adapun tujuan aksi yang mereka umumkan ialah untuk melindungi
Presiden dari komplotan jenderal kanan yang akan melancarkan kudeta.
Mereka menyebut nama pemimpin mereka, Letnan Kolonel Untung,
Komandan Batalyon I Kawal Kehormatan Cakrabirawa, yang bertanggung
jawab mengawal Presiden, dan menamai gerakan mereka Gerakan
30 September (selanjutnya disebut sebagai G-30-S). Dalam sebuah unjuk
kekuatan, ratusan prajurit pendukung G-30-S menduduki Lapangan
Merdeka (sekarang Lapangan Monas) di pusat kota. Lalu pada sore dan
petang hari 1 Oktober, seperti menanggapi isyarat dari Jakarta, beberapa
pasukan di Jawa Tengah menculik lima perwira pimpinan mereka.
Kesulitan memahami G-30-S antara lain karena gerakan tersebut
sudah kalah sebelum kebanyakan orang Indonesia mengetahui keberadaannya.
Gerakan 30 September tumbang secepat kemunculannya.
Dengan tidak adanya Yani, Mayor Jenderal Suharto mengambil alih
komando Angkatan Darat pada pagi hari 1 Oktober, dan pada petang hari
ia melancarkan serangan balik. Pasukan G-30-S meninggalkan stasiun
RRI dan Lapangan Merdeka yang sempat mereka duduki selama dua
belas jam saja. Semua pasukan pemberontak akhirnya ditangkap atau
melarikan diri dari Jakarta pada pagi hari 2 Oktober. Di Jawa Tengah,
G-30-S hanya bertahan sampai 3 Oktober. Gerakan 30 September lenyap
sebelum anggota-anggotanya sempat menjelaskan tujuan mereka kepada
publik. Pimpinan G-30-S bahkan belum sempat mengadakan konferensi
pers dan tampil memperlihatkan diri di depan kamera para fotografer.
Kendati bernapas pendek, G-30-S mempunyai dampak sejarah
yang penting. Ia menandai awal berakhirnya masa kepresidenan Sukarno,
sekaligus bermulanya masa kekuasaan Suharto. Sampai saat itu Sukarno
merupakan satu-satunya pemimpin nasional yang paling terkemuka
selama dua dasawarsa lebih, yaitu dari sejak ia bersama pemimpin nasional
lain, Mohammad Hatta, pada 1945 mengumumkan kemerdekaan
Indonesia. Ia satu-satunya presiden negara-bangsa baru itu. Dengan
karisma, kefasihan lidah, dan patriotismenya yang menggelora, ia tetap
sangat populer di tengah-tengah semua kekacauan politik dan salah urus
perekonomian pascakemerdekaan. Sampai 1965 kedudukannya sebagai
presiden tidak tergoyahkan. Sebagai bukti popularitasnya, baik G-30-S
maupun Mayor Jenderal Suharto berdalih bahwa segala tindakan yang
mereka lakukan merupakan langkah untuk membela Sukarno. Tidak
5
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
ada pihak mana pun yang berani memperlihatkan pembangkangannya
terhadap Sukarno.
Suharto menggunakan G-30-S sebagai dalih untuk merongrong
legitimasi Sukarno, sambil melambungkan dirinya ke kursi kepresidenan.
Pengambilalihan kekuasaan negara oleh Suharto secara bertahap,
yang dapat disebut sebagai kudeta merangkak, dilakukannya di bawah
selubung usaha untuk mencegah kudeta. Kedua belah pihak tidak berani
menunjukkan ketidaksetiaan terhadap presiden. Jika bagi Presiden
Sukarno aksi G-30-S itu sendiri disebutnya sebagai “riak kecil di tengah
samudra besar Revolusi [nasional Indonesia],” sebuah peristiwa kecil
yang dapat diselesaikan dengan tenang tanpa menimbulkan guncangan
besar terhadap struktur kekuasaan, bagi Suharto peristiwa itu merupakan
tsunami pengkhianatan dan kejahatan, yang menyingkapkan adanya
kesalahan yang sangat besar pada pemerintahan Sukarno.1 Suharto
menuduh Partai Komunis Indonesia (PKI) mendalangi G-30-S, dan
selanjutnya menyusun rencana pembasmian terhadap orang-orang yang
terkait dengan partai itu. Tentara Suharto menangkapi satu setengah juta
orang lebih. Semuanya dituduh terlibat dalam G-30-S.2 Dalam salah
satu pertumpahan darah terburuk di abad keduapuluh, ratusan ribu
orang dibantai Angkatan Darat dan milisi yang berafi liasi dengannya,
terutama di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali, dari akhir 1965 sampai
pertengahan 1966.3 Dalam suasana darurat nasional tahap demi tahap
Suharto merebut kekuasaan Sukarno dan menempatkan dirinya sebagai
presiden de facto (dengan wewenang memecat dan mengangkat para
menteri) sampai Maret 1966. Gerakan 30 September, sebagai titik
berangkat rangkaian kejadian berkait kelindan yang bermuara pada
pembunuhan massal dan tiga puluh dua tahun kediktatoran, merupakan
salah satu di antara kejadian-kejadian penting dalam sejarah Indonesia,
setara dengan pergantian kekuasaan negara yang terjadi sebelum dan
sesudahnya: proklamasi kemerdekaan Sukarno-Hatta pada 17 Agustus
1945, dan lengsernya Suharto pada 21 Mei 1998.
Bagi kalangan sejarawan, G-30-S tetap merupakan misteri. Versi
resmi rezim Suharto – bahwa G-30-S adalah percobaan kudeta PKI
– tidak cukup meyakinkan. Sukar dipercaya bahwa partai politik yang
beranggotakan orang sipil semata-mata dapat memimpin sebuah operasi
militer. Bagaimana mungkin orang sipil dapat memerintah personil
6
PENDAHULUAN
militer untuk melaksanakan keinginan mereka? Bagaimana mungkin
sebuah partai yang terorganisasi dengan baik, dengan reputasi sebagai
partai yang berdisiplin tinggi, merencanakan tindak amatiran semacam
itu? Mengapa partai komunis yang dipimpin prinsip-prinsip revolusi
Leninis mau berkomplot dalam putsch oleh sepasukan tentara? Mengapa
partai politik yang sedang tumbuh kuat di pentas politik terbuka memilih
aksi konspirasi? Agaknya tak ada alasan ke arah sana. Di pihak lain, sukar
dipercaya bahwa G-30-S – seperti dinyatakannya dalam siaran radio yang
pertama – “semata-mata dalam tubuh Angkatan Darat,” karena memang
ada beberapa tokoh PKI yang jelas ikut memimpin G-30-S bersama
beberapa orang perwira militer. Sejak hari-hari pertama Oktober 1965,
masalah siapa dalang di belakang peristiwa ini telah menjadi perdebatan
yang tak kunjung reda. Apakah para perwira militer itu bertindak sendiri,
sebagaimana yang mereka nyatakan, dan kemudian mengundang atau
bahkan menipu beberapa tokoh PKI agar membantu mereka? Ataukah,
justru PKI yang menggunakan sementara perwira militer ini sebagai alat
pelaksana rencana mereka, sebagaimana yang dikatakan Suharto? Atau,
adakah semacam modus vivendi antara para perwira militer tersebut dan
PKI?
Perdebatan juga timbul di sekitar hubungan Suharto dengan G-30-S.
Bukti-bukti tidak langsung memberi kesan bahwa para perencana G-30-S
setidaknya mengharapkan dukungan Suharto; mereka tidak mencantumkan
Suharto dalam daftar jenderal yang akan diculik, dan juga
tidak menempatkan pasukan di sekeliling markasnya. Dua perwira di
antara pimpinan G-30-S adalah sahabat-sahabat pribadi Suharto. Salah
seorang, yaitu Kolonel Abdul Latief, mengaku memberi tahu Suharto
tentang G-30-S sebelumnya dan mendapat restu darinya secara diamdiam.
Benarkah Suharto sudah diberitahu sebelumnya? Informasi apa
yang diberikan G-30-S kepadanya? Apa tanggapan Suharto terhadap
informasi itu? Apakah ia menjanjikan dukungan atau melangkah lebih
jauh dan membantu merencanakan operasi G-30-S? Apakah ia dengan
licik menelikung G-30-S agar dapat naik ke tampuk kekuasaan?
Sampai sekarang dokumen utama yang ditinggalkan oleh G-30-S
hanyalah empat pernyataan yang disiarkan RRI pusat pada pagi dan
siang hari 1 Oktober 1965. Pernyataan-pernyataan itu menampilkan
wajah G-30-S di depan publik dan tentu saja tidak mengungkap peng7
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
organisasian di balik layar dan tujuan yang mendasarinya. Sesudah tertangkap,
para pimpinan kunci G-30-S tidak mengungkap banyak hal.
Kesaksian mereka di depan pengadilan yang dikenal sebagai Mahkamah
Militer Luar Biasa (Mahmilub) lebih mencerminkan keterdesakan sangat
untuk menolak segala dakwaan, ketimbang menjelaskan secara rinci
tentang bagaimana dan mengapa G-30-S dilancarkan. Para terdakwa,
dapat dimengerti, memilih tutup mulut, berbohong, tidak sepenuhnya
berkata benar, dan menghindar demi melin-dungi diri sendiri dan
kawan-kawan mereka, atau melempar kesalahan kepada orang lain. Baik
penuntut umum maupun hakim tidak ambil pusing untuk mengorek
kesaksian-kesaksian mereka yang saling bertentang-tentangan; pengadilan
memang tidak dimaksudkan untuk menyelidiki kebenaran atas peristiwa
tersebut. Semua hanyalah pengadilan sandiwara belaka. Tidak satu orang
pun yang dibawa ke Mahmilub dibebaskan dari tuntutan. Dari lima
orang pimpinan utama G-30-S, kecuali satu orang, semuanya dinyatakan
terbukti berkhianat, dijatuhi hukuman mati, dan dieksekusi oleh
regu tembak, sehingga dengan demikian menutup setiap kemungkinan
mereka muncul kembali dengan keterangan baru yang lebih rinci dan
akurat tentang gerakan mereka.4
Satu-satunya pemimpin kunci G-30-S yang lolos dari regu tembak,
yaitu Kolonel Abdul Latief, menolak menjelaskan G-30-S secara rinci.
Ketika akhirnya diajukan ke depan pengadilan pada 1978, sesudah
bertahun-tahun dikurung dalam sel isolasi, ia juga tidak memanfaatkan
kesempatan itu untuk menjelaskan bagaimana mereka mengorganisasi
G-30-S. Pidato pembelaannya menjadi terkenal dan tersebar luas karena
satu pernyataannya yang mengejutkan bahwa ia telah memberi tahu
Suharto tentang gerakan itu sebelumnya. Arti penting pernyataan itu lalu
menutupi kenyataan bahwa Latief tidak menceritakan barang sedikit pun
tentang G-30-S itu sendiri. Sebagian besar pidato pembelaannya tercurah
pada cekcok yang relatif remeh-temeh tentang keterangan para saksi,
atau pada penje-lasan riwayat hidupnya untuk membuktikan diri sebagai
prajurit yang patriotik. Sesudah 1978, Latief tidak pernah menyimpang
dari pembelaannya dan juga tidak pernah mengurai lebih lanjut pernyataan-
pernyataannya. Bahkan juga sesudah dibebaskan dari penjara pada
1998, ia tidak memberikan keterangan baru satu patah kata pun.5
Gerakan 30 September dengan begitu telah menghamparkan
8
PENDAHULUAN
sebuah misteri tak terpecahkan bagi para sejarawan. Bukti-bukti yang
terbatas adanya kebanyakan tidak dapat diandalkan. Angkatan Darat
merekayasa sebagian besar bukti ketika menyulut kampanye anti-PKI
dalam bulan-bulan setelah G-30-S, termasuk cerita tentang para pengikut
PKI yang menyiksa dan menyilet tubuh para jenderal sambil menari-nari
telanjang.6 Terbitan-terbitan yang didukung rezim Suharto bersandar
pada laporan interogasi para tapol, yang setidak-tidaknya beberapa di
antara mereka telah disiksa atau diancam akan disiksa. Banyak di antara
korban teror militer yang selamat tetap takut untuk berbicara terus terang
dan jujur. Kedua belah pihak, baik yang kalah (para peserta G-30-S)
maupun yang menang (para perwira Suharto), tidak memberikan keterangan
yang layak dipercaya. Hampir semua kesaksian pribadi dan
dokumen tertulis dari akhir 1965 dan selanjutnya tampaknya sengaja
dibuat untuk menyesatkan, mengaburkan, atau menipu.
Oleh karena G-30-S dan pembasmiannya merupakan tindakantindakan
yang dirancang secara rahasia oleh para perwira militer, agen
intelijen, dan agen ganda, sumber-sumber informasi yang lazim dipakai
sejarawan – surat kabar, majalah, dokumen pemerintah, dan pamfl et
– tidak banyak membantu. Dalam buku teksnya tentang sejarah
Indonesia, Merle Ricklefs menulis bahwa “ruwetnya panggung politik”
pada 1965 dan “banyaknya bukti-bukti yang mencurigakan” menyebabkan
penyimpulan tegas mengenai G-30-S hampir tidak mungkin.7
Rekan-rekannya sesama sejarawan asal Australia, Robert Cribb dan Colin
Brown, berpendapat bahwa “alur kejadian yang tepat” itu “diselubungi
ketidakpastian.” Menjelang G-30-S terjadi, “desas-desus, kabar burung,
dan penyesatan berita yang disengaja menyesaki udara.”8 Kebanyakan
sejarawan yang menulis mengenai Indonesia dan berusaha memecahkan
misteri ini mengaku tidak begitu yakin dengan penjelasan yang mereka
tawarkan.
Gerakan 30 September adalah sebuah misteri pembunuhan yang
pemecahannya akan membawa implikasi sangat luas bagi sejarah nasional
Indonesia. Hal-hal yang dipertaruhkan dalam “kontroversi tentang
dalang” sungguh besar. Rezim Suharto membenarkan tindakan represi
berdarahnya terhadap PKI dengan menekankan bahwa partai itulah
yang memulai dan mengorganisasi G-30-S. Walaupun aksi-aksi pada
1 Oktober tersebut tak lebih dari pemberontakan berskala kecil dan
9
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
terbatas oleh pasukan Angkatan Darat dan demonstrasi oleh kalangan
sipil, rezim Suharto menggambarkannya sebagai awal dari serangan PKI
yang masif dan keji terhadap semua kekuatan nonkomunis. Gerakan 30
September dilihatnya sebagai tembakan salvo pembuka dari PKI untuk
sebuah revolusi sosial. Dalam membangun ideologi pembenaran bagi
kediktatorannya, Suharto menampilkan diri sebagai juru selamat bangsa
dengan menumpas G-30-S. Rezim Suharto terus-menerus menanamkan
peristiwa itu dalam pikiran masyarakat melalui semua alat propaganda
negara: buku teks, monumen, nama jalan, fi lm, museum, upacara peringatan,
dan hari raya nasional. Rezim Suharto memberi dasar pembenaran
keberadaannya dengan menempatkan G-30-S tepat pada jantung
narasi historisnya dan menggambarkan PKI sebagai kekuatan jahat tak
terperikan. Pernyataan bahwa PKI mengorganisasi G-30-S, bagi rezim
Suharto, bukan sekadar fakta biasa; tetapi sang fakta sejarah mahabesar,
yang menjadi sumber pokok keabsahan rezimnya.
Di bawah Suharto, antikomunisme menjadi agama negara, lengkap
dengan segala situs, upacara, dan tanggal-tanggalnya yang sakral. Para
perwira Suharto mengubah situs pembunuhan tujuh perwira Angkatan
Darat di Jakarta pada 1 Oktober 1965, yaitu Lubang Buaya, menjadi
tanah keramat. Sebuah monumen didirikan dengan tujuh patung
perunggu para perwira yang tewas, semua berdiri setinggi manusia
dengan sikap gagah dan menantang. Pada dinding belakang deretan
patung para perwira ditempatkan patung garuda raksasa dengan sayap
mengembang, burung khayali yang telah diangkat Indonesia sebagai
lambang kebangsaannya.
Di dinding seputar monumen dengan tinggi sebatas tatapan
mata rezim Suharto menetakkan relief dari perunggu, mirip dengan
lempengan-lempengan panjang melintang dari abad ke-9 di Candi
Borobudur. Jika pengunjung berjalan menyusuri dinding relief dari kiri
ke kanan, mereka akan melihat versi sejarah Indonesia pascakolonial
yang antikomunis. Dari pemberontakan Madiun 1948 sampai Gerakan
30 September 1965, PKI selalu ditampilkan sebagai pemicu kekacauan.
Relief itu menampilkan sebuah kisah klasik tentang sang pahlawan
(Suharto) yang mengalahkan penjahat keji (PKI) dan menyelamatkan
bangsa dari kehancuran. Tepat di tengah dinding relief digambarkan
adegan perempuan-perempuan berkalung rangkaian bunga dan ber10
PENDAHULUAN
telanjang menari-nari mengitari seorang laki-laki yang tengah melempar
mayat perwira ke dalam sumur. Rekayasa perang urat syaraf yang sarat
dengan citra seks dan kekerasan demikian kuat dituangkan dalam logam
kemudian beroleh status sebagai fakta yang tak terbantahkan. Di depan
dinding relief tertera slogan: “Waspada ...... dan mawas diri agar peristiwa
sematjam ini tidak terulang lagi.”
Monumen yang dibuka pada 1969 ini dinamai Monumen Pancasila
Sakti.9 Semasa pemerintahan Suharto, Pancasila, lima prinsip nasionalisme
Indonesia yang diucapkan Sukarno untuk pertama kali pada 1945,
diangkat menjadi ideologi resmi negara. Pancasila dibayangkan sebagai
perjanjian suci bangsa dan Lubang Buaya adalah situs pelanggaran paling
mengerikan terhadap perjanjian itu. Dengan demikian, monumen ini
menyucikan situs pelanggaran tersebut dan menahbiskan para perwira
yang dibunuh sebagai syuhada-syuhada suci. Sebagai ruang sakral,
Monumen Pancasila Sakti menjadi lokasi penyelenggaraan ritual-ritual
rezim Suharto yang paling penting. Setiap lima tahun semua anggota
parlemen berkumpul di sini, sebelum memulai sidang pertama, untuk
bersumpah setia kepada Pancasila. Setiap tahun pada 1 Oktober, Suharto
dan pejabat terasnya menyelenggarakan upacara di hadapan monumen
tersebut untuk menyatakan janji kesetiaan mereka yang abadi kepada
Pancasila.10 Semalam sebelumnya semua stasiun televisi diwajibkan menyiarkan
fi lm buatan pemerintah, Pengkhianatan Gerakan 30 September/
PKI (1984). Film sepanjang empat jam yang melelahkan ini bercerita
Gambar 1. Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya, Jakarta. Foto: John Roosa
11
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
Gambar 2. Detil relief pada Monumen Pancasila Sakti. Perempuan-perempuan anggota PKI
menari telanjang, sementara laki-laki komunis membunuh para perwira Angkatan Darat dan
membuang mayat-mayat mereka ke Lubang Buaya. Foto: John Roosa
12
PENDAHULUAN
mengenai penculikan dan pembunuhan tujuh perwira Angkatan Darat di
Jakarta, dan menjadi tontonan wajib setiap tahun bagi anak-anak sekolah.
Film ini dimulai dengan sorotan berkepanjangan terhadap monumen
itu, diiringi pukulan ratapan genderang yang murung. Lubang Buaya
ditanamkan dalam kesadaran publik sebagai tempat PKI melakukan
kejahatan besar.
Di samping Monumen Pancasila Sakti rezim Suharto membangun
Museum Pengkhianatan PKI pada 1990. Hampir semua dari 42 diorama
di dalam museum itu, yang kaca-kacanya dipasang rendah agar anak-anak
sekolah yang berkunjung dapat melihatnya, menggambarkan babakbabak
kekejaman PKI dari 1945 sampai 1965. Apa yang dipelajari para
pengunjung museum adalah pelajaran moral sederhana: bahwa sejak
kemerdekaan dan masa-masa selanjutnya, PKI bersifat antinasional,
antiagama, agresif, haus darah, dan sadis.11 Museum itu tidak menawarkan
penjelasan tentang komunisme sebagai ideologi yang menentang
kepemilikan pribadi dan kapitalisme; tidak ada sejarah mengenai
sumbangan PKI dalam perjuangan nasional melawan kolonialisme
Belanda, atau kegiatan partai dalam mengorganisasi buruh dan tani
secara damai.12 Adegan-adegan kekerasan dirancang untuk meyakinkan
pengunjung tentang kemustahilan memberi toleransi terhadap PKI di
tengah kehidupan berbangsa.
Bagi rezim Suharto, kejadian 1 Oktober 1965 menyingkap kebenaran
tentang sifat PKI yang khianat dan antinasional. Ia mendiskreditkan
prinsip yang digalakkan Sukarno, yaitu Nasakom – akronim yang menyatakan
azas tritunggal nasionalisme, agama, dan komunisme – yang
memberi keabsahan bagi PKI sebagai komponen dasariah dalam perpolitikan
Indonesia. Rupa-rupanya G-30-S menandai adanya “pemutusan
imanen” dengan (meminjam istilah fi lsuf Prancis Alain Badiou) “pengetahuan
yang telah dilembagakan,” dan “meyakinkan” orang-orang yang
akan menjadi setia kepada kebenaran gerakan tersebut. Seperti dinyatakan
Badiou, “Bersetia kepada suatu peristiwa adalah bergerak dalam situasi
yang disodorkan peristiwa tersebut dengan berpikir ... [tentang] situasi
tersebut sesuai dengan ‘peristiwa’ itu.”13 Rezim Suharto menampilkan diri
sebagai wahana, yang dapat digunakan bangsa Indonesia agar tetap setia
kepada kebenaran peristiwa 1 Oktober 1965. Kebenaran yang dinyatakan
peristiwa itu ialah bahwa PKI jahat dan pengkhianat yang tak dapat
13
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
disadarkan lagi. Rezim Suharto akan tampak sebagai semacam “proses
kebenaran” jika kebenaran dirumuskan sesuai dengan cara Badiou merumuskannya,
yaitu “suatu proses nyata tentang kesetiaan kepada suatu
peristiwa.” Maka semua pejabat negara harus mengucapkan sumpah
setia kepada Pancasila dan bersumpah bahwa mereka (serta keluarga
masing-masing) bersih dari kaitan apa pun dengan PKI dan G-30-S.
Namun, jika kita menggunakan kerangka berpikir Badiou dalam berpikir
tentang G-30-S, kita akan menemukan bahwa G-30-S bukanlah “suatu
peristiwa” menurut pengertian Badiou karena peristiwa itu sedikit banyak
merupakan hasil rekayasa ex post facto (dari sesuatu yang sudah terjadi).
Dengan operasi-operasi perang urat syaraf rezim Suharto berdusta tentang
cara bagaimana enam orang jenderal tersebut dibunuh (menciptakan
kisah-kisah tentang penyiksaan dan mutilasi) dan tentang identitas para
pelaku yang bertanggung jawab (menuduh setiap anggota PKI bersalah).
Gerakan 30 September tidak sama dengan revolusi Indonesia 1945-
1949, yang merupakan “peristiwa-kebenaran” (truth-event) bagi Sukarno.
Revolusi itu bersifat terbuka dan umum. Jutaan orang mengambil bagian
di dalamnya (sebagai gerilyawan, kurir, juru rawat, dermawan, dll.).
Untuk menghancurkan prinsip rasial yang menjadi tumpuan pemerintah
kolonial Belanda, revolusi tampil membela prinsip-prinsip universal
pembebasan umat manusia.14 Sebaliknya, G-30-S adalah kejadian yang
berlangsung cepat, berskala kecil, bersifat tertutup, dan masyarakat
Gambar 3. Museum Pengkhianatan PKI, Lubang Buaya, Jakarta. Foto: John Roosa
14
PENDAHULUAN
umum hampir tidak mempunyai pengetahuan langsung mengenainya.
Hanya rezim Suharto saja yang mengaku mampu melihat kebenaran
peristiwa tersebut. Dengan demikian rezim itu setia kepada sesuatu yang
bukan peristiwa, kepada suatu fantasi yang dibuatnya sendiri. “Kesetiaan
kepada citra khayali [simulacrum]” tulis Badiou, “meniru sebuah proses
kebenaran yang aktual,” namun memutarbalikkan aspirasi universal
tentang “peristiwa kebenaran” yang sejati. Ia hanya mengakui sekumpulan
orang tertentu (misalnya orang-orang nonkomunis) sebagai peserta dalam
kebenaran suatu peristiwa dan menciptakan “perang dan pembantaian”
sebagai upaya membasmi siapa pun yang berada di luar kumpulan yang
telah diakui tersebut.15
Sampai penghujung rezim Suharto pada 1998 pemerintah dan
pejabat militer Indonesia menggunakan hantu PKI untuk menanggapi
setiap masalah kerusuhan atau gejala pembangkangan. Kata-kata kunci
dalam wacana rezim itu adalah “bahaya laten komunisme.”16 Agen-agen
tersembunyi dari Organisasi Tanpa Bentuk (OTB) senantiasa mengendap,
siap merongrong pembangunan ekonomi dan tertib politik. Pembasmian
PKI yang tak kunjung usai, sungguh-sungguh merupakan raison d’être
(alasan keberadaan) bagi rezim Suharto. Landasan hukum asali yang
dipakai rezim ini untuk menguasai Indonesia selama lebih dari 30 tahun
adalah perintah Presiden Sukarno pada 3 Oktober 1965, yang memberi
wewenang kepada Suharto untuk “memulihkan ketertiban.” Perintah
itu dikeluarkan dalam situasi darurat. Tapi bagi Suharto situasi darurat
itu tidak pernah berakhir. Kopkamtib (Komando Operasi Pemulihan
Keamanan dan Ketertiban) yang dibentuk pada masa itu tetap dipertahankan
sampai akhir kekuasaan rezim (dengan penggantian nama
menjadi Bakorstanas pada 1988). Badan ini memungkinkan personil
militer bertindak di luar dan di atas hukum dengan dalih keadaan
darurat.17 Pengambilalihan kekuasaan oleh Suharto sejalan dengan
ucapan teoretisi politik Carl Schmitt, “Sang penguasa adalah dia yang
mengambil keputusan akan adanya kekecualian.”18 Bagi Suharto, G-30-S
adalah sebuah kekecualian; sebuah patahan dalam tertib hukum yang
normal, yang memerlukan kekuasaan ekstra legal untuk memberantasnya.
Gerakan 30 September bukan sekadar “riak kecil di tengah samudra
luas Revolusi Indonesia,” seperti yang dinyatakan Sukarno, penguasa di
atas kertas.19 Namun teori Schmitt perlu kualifi kasi tersendiri untuk
15
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
menangani kasus-kasus ketika penguasa memutuskan bahwa “kekecualian”
harus menjadi norma.20 Suharto memutuskan bahwa kekecualian
dari 1 Oktober 1965 bersifat permanen. Rezimnya mempertahankan
“bahaya laten komunisme” dan menyandera Indonesia dalam keadaan
darurat terus-menerus. Seperti dikatakan Ariel Heryanto, komunisme
tidak pernah mati di Indonesia-nya Suharto.21 Rezim Suharto tidak dapat
membiarkan komunisme mati, karena ia menetapkan dirinya dalam
hubungan dialektis dengan komunisme, atau lebih tepat, dengan citra
khayali (simulacrum) ‘komunisme’.
GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN AMERIKA SERIKAT
Gerakan 30 September merupakan peristiwa signifi kan dan bukan hanya
bagi Indonesia. Duta Besar Amerika Serikat (AS) untuk Indonesia pada
1965, Marshall Green, berpendapat bahwa G-30-S merupakan salah
satu saat paling berbahaya bagi AS semasa perang dingin. Ia menafsirkan
gerakan itu sebagai “usaha kudeta komunis,” yang jika berhasil, dapat
mengubah Indonesia menjadi negara komunis yang bersekutu dengan
Uni Soviet dan/atau Tiongkok. Dalam wawancara di televisi pada 1997
ia menyatakan, “Saya kira [G-30-S] ini merupakan peristiwa yang sangat
penting di dunia, dan saya tak yakin pers dan masyarakat umum pernah
menganggapnya demikian. Dan saya tidak beranggapan bahwa saya
berkata begitu semata-mata karena saya ada di sana waktu itu: Saya kira
benar – bahwa inilah bangsa yang sekarang merupakan bangsa terbesar
keempat di dunia ini ... akan menjadi komunis, dan memang nyaris
demikian.”22
Serangan Suharto terhadap kaum komunis dan perebutan kekuasaan
presiden yang dilancarkannya berakhir pada pembalikan sepenuhnya
peruntungan AS di Indonesia. Hampir dalam semalam pemerintah
Indonesia berubah dari kekuatan yang di tengah-tengah perang dingin
dengan garang menyuarakan netralitas dan antiimperialisme menjadi
rekanan pendiam yang patuh kepada tatanan dunia AS. Sebelum G-30-S
terjadi, kedutaan AS telah memulangkan hampir semua personil mereka
dan menutup konsulat-konsulatnya di luar Jakarta, karena gelombanggelombang
demonstrasi militan yang dipimpin PKI. Presiden Sukarno
16
PENDAHULUAN
kelihatannya menutup mata dan merestui aksi-aksi itu dengan tidak
memberikan perlindungan keamanan yang cukup bagi konsulat-konsulat
AS. Sementara serangan terhadap fasilitas-fasilitas pemerintah AS sudah
begitu mengkhawatirkan, kaum buruh mengambil alih perkebunanperkebunan
dan sumber-sumber minyak milik perusahaan-perusahaan
AS, dan pemerintah Indonesia mengancam akan menasionalisasi perusahaan-
perusahaan tersebut. Sejumlah pejabat pemerintah AS sempat
mempertimbangkan pemutusan hubungan diplomatik sama sekali.
Tampaknya Washington harus melupakan Indonesia dan menganggapnya
sebagai bagian dari dunia komunis. Sebuah laporan intelijen
tingkat tinggi yang disiapkan awal September 1965 mengatakan bahwa,
“Indonesia di bawah Sukarno dalam hal-hal penting tertentu sudah
bertindak seperti sebuah negara Komunis, dan lebih secara terbuka
memusuhi AS ketimbang kebanyakan negeri-negeri Komunis.” Laporan
itu memperkirakan bahwa pemerintah Indonesia, dalam waktu dua atau
tiga tahun, akan sepenuhnya didominasi PKI.23
Lepasnya Indonesia dari pengaruh AS akan menjadi kehilangan
besar, yang jauh lebih mahal daripada lepasnya Indocina. Dalam politik
luar negeri AS setelah Perang Dunia Kedua, Indonesia dianggap sebagai
domino terbesar di Asia Tenggara, bukan hanya karena bobot demografi
s sebagai negeri berpenduduk terbesar kelima di dunia dan keluasan
geografi s sebagai kepulauan yang terbentang 3.000 mil lebih dari timur
ke barat, tapi juga karena sumber daya alamnya yang melimpah ruah.
Indonesia adalah sumber minyak, timah, dan karet yang penting. Dengan
investasi lebih banyak, Indonesia akan menjadi produsen bahan mentah
yang lebih besar lagi, termasuk emas, perak, dan nikel. Seperti dikatakan
sejarawan Gabriel Kolko, bahwa AS pada awal 1950-an “telah menyerahkan
Indonesia di bawah pengaruh ekonomi Jepang”; minyak, mineral,
logam, dan tanaman pangan dari Indonesia akan menghidupi industrialisasi
Jepang. “Keprihatinan utama” AS adalah “keamanan Jepang,
yang aksesnya ke negeri kepulauan dengan sumber alam kaya raya itu
harus dijaga agar tetap aman berada di kubu AS.”24 Penilaian Kolko
disusun berdasarkan penyataan kebijakan Dewan Keamanan Nasional
tahun 1952 yang berjudul, “United States Objectives and Courses of
Action with Respect to Southeast Asia” (Tujuan dan Arah Tindakan
Amerika Serikat untuk Asia Tenggara). Para pembuat kebijakan dalam
17
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
pemerintahan Truman melihat kawasan ini dari segi sumber daya alam:
“Asia Tenggara, khususnya Malaya dan Indonesia, merupakan sumber
utama dunia bagi karet alam dan timah, dan produsen minyak bumi,
serta komoditi lain yang penting secara strategis.” Jatuhnya kawasan ini
ke tangan komunis (atau, sejatinya kekuatan lokal mana pun yang ingin
membatasi ekspor sumber daya alam tersebut) akan menghambat industrialisasi
Jepang, dan hal ini akan “sangat mempersulit upaya mengalangi
Jepang untuk pada akhirnya menyesuaikan diri dengan komunisme.”25
Pemerintah Eisenhower mengeluarkan pernyataan politik serupa tentang
Asia Tenggara dua tahun kemudian, yang mengulangi bahasa memorandum
terdahulu hampir kata demi kata.26
Washington menganggap kemungkinan jatuhnya pemerintah
Indonesia di bawah kekuasaan komunis sebagai hari kiamat. Sikapnya
mempertahankan garis melawan komunisme di Indocina antara lain
didorong keinginan melindungi Indonesia. Dalam logika teori domino,
negeri-negeri Indocina yang relatif tidak begitu strategis harus diamankan
dari komunisme agar negeri-negeri yang lebih penting di Asia Tenggara
dapat dipagari dari pengaruhnya. Dalam pidatonya pada 1965, Richard
Nixon membenarkan pemboman atas Vietnam Utara sebagai alat untuk
melindungi “potensi mineral yang luar biasa” di Indonesia.27 Dua tahun
kemudian ia menyebut Indonesia sebagai “anugerah terbesar di wilayah
Asia Tenggara,” dan merupakan “timbunan sumber daya alam terkaya
di kawasan itu.”28 Pasukan darat yang mulai memasuki Vietnam sejak
Maret 1965 akan menjadi tidak berguna jika kaum komunis menang di
negeri yang lebih besar dan lebih strategis. Penguasaan Indonesia oleh PKI
akan membuat intervensi di Vietnam sia-sia belaka. Pasukan Amerika
Serikat sibuk bertempur di pintu gerbang, sementara musuh sudah berada
di dalam, akan segera menduduki istana, dan menjarah-rayah gudanggudang
simpanan.
Dalam minggu-minggu sebelum G-30-S beraksi, para pembuat
kebijakan di Washington saling mengingatkan diri, agar perang di
Vietnam tidak sampai mengalihkan perhatian mereka dari situasi di
Indonesia yang sama daruratnya. Pertemuan antara sekelompok kecil
pejabat Departemen Luar Negeri dan Wakil Menteri Luar Negeri George
Ball di akhir Agustus 1965 menegaskan bahwa Indonesia paling tidak
sama penting dengan seluruh Indocina. Kelompok ini juga menegaskan
18
PENDAHULUAN
bahwa pengambilalihan kekuasaan oleh sayap kiri di Indonesia sudah
dekat. Menurut salah seorang pejabat yang hadir, William Bundy,
kelompok tersebut percaya bahwa pengambilalihan kekuasaan seperti itu
akan menimbulkan “efek menjepit sangat kuat bagi kedudukan negerinegeri
nonkomunis di Asia Tenggara.”29
Dalam renungan refl ektifnya, Robert McNamara, Menteri Pertahanan
dalam pemerintahan Kennedy dan Johnson, mengatakan bahwa
AS seharusnya mengurangi keterlibatannya di Indocina setelah pembasmian
kaum komunis di Indonesia oleh Suharto. Begitu domino besar di
Asia Tenggara sudah aman di tangan tentara Indonesia, para pembuat
kebijakan AS harusnya menyadari bahwa Vietnam sebenarnya tidak
sepenting seperti yang mereka pikirkan semula. “Kekalahan permanen”
PKI di Indonesia, menurut pengakuannya sekarang, “telah mengurangi
pertaruhan riil AS di Vietnam secara substansial.”30 Walaupun dalam
sebuah memorandum 1967 McNamara telah menyebut penghancuran
PKI sebagai alasan untuk menghentikan langkah AS meningkatkan
perang, ia tidak mendorong dilakukannya peninjauan kembali kebijakan
AS secara menyeluruh.31 Perang pada gilirannya memperoleh logikanya
sendiri, yang terpisah dari teori domino. Kendati memiliki pemahaman
mengenai implikasi dari kejadian-kejadian di Indonesia, McNamara
tetap terpaku dalam kerangka pikir yang menghendaki, pada satu pihak,
kemenangan AS dalam perang Vietnam, atau pada pihak lain, suatu cara
pengunduran diri dari Vietnam tanpa kehilangan muka bagi pemerintah
AS. Para pembuat kebijakan gagal memahami bahwa setelah 1965 “hanya
sedikit domino-domino yang tertinggal, dan kecil kemungkinannya
mereka akan ikut roboh.”32
Walaupun tersita oleh urusan Indocina pada 1965, Washington
sangat gembira ketika tentara Suharto mengalahkan G-30-S dan
merangsak menghantam kaum komunis. Ketidakberpihakan Sukarno
dalam perang dingin dan kekuatan PKI yang semakin besar telah dibikin
tamat dengan sekali pukul. Tentara Suharto melakukan apa yang tidak
mampu dilakukan negara boneka AS di Vietnam Selatan meskipun
telah dibantu dengan jutaan dolar dan ribuan pasukan AS, yaitu menghabisi
gerakan komunis di negerinya. Dalam sepuluh hari setelah G-30-S
meletus, wartawan New York Times Max Frankel sudah mencatat bahwa
suasana Washington menjadi cerah. Artikel Max Frankel berjudul “U.S.
19
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
Is Heartened by Red Setback in Indonesia Coup” (AS Gembira karena
Kekalahan Kaum Merah dalam Kudeta di Indonesia). Ia mengamati
bahwa sekarang ada “harapan, padahal baru dua pekan lalu hanya ada
keputusasaan mengenai negeri berpenduduk terbesar kelima di bumi itu,
yang dengan 103 juta penduduknya di 4.000 pulau memiliki sumber
daya melimpah tapi belum dimanfaatkan dan menduduki salah satu
posisi paling strategis di Asia Tenggara.”33
Ketika berita-berita pembantaian mulai berdatangan sepanjang
bulan-bulan berikutnya, harapan Washington justru membesar. Pada Juni
1966, seorang penulis editorial utama New York Times, James Reston,
menyebut “transformasi biadab” di Indonesia sebagai “secercah cahaya di
Asia.”34 Laporan utama majalah Time menyebut naiknya Suharto sebagai
“kabar terbaik bagi dunia Barat selama bertahun-tahun di Asia.”35 Wakil
Menteri Muda Luar Negeri Alexis Johnson percaya bahwa “pembalikan
gelombang pasang komunis di Indonesia yang besar itu” merupakan
“peristiwa yang bersama perang Vietnam mungkin merupakan titik
balik sejarah terpenting di Asia dalam dasawarsa ini.”36 Seperti dinyatakan
Noam Chomsky dan Edward Herman, pembantaian di Indonesia
merupakan “pembantaian bermaksud baik” dan “teror yang konstruktif”
karena melayani kepentingan politik luar negeri AS. Sementara Washington
mengemukakan setiap pelanggaran hak asasi manusia di blok Soviet
sebagai bukti kejahatan musuhnya dalam perang dingin, ia mengabaikan,
memberi pembenaran, atau bahkan bersekongkol dalam kejahatan yang
dilakukan oleh pemerintah-pemerintah yang bersekutu dengan AS.37
MEMIKIRKAN KEMBALI GERAKAN
Gerakan 30 September dengan begitu menjadi pemicu serangkaian
kejadian: penumpasan PKI, pengambilalihan kekuasaan negara oleh
tentara, dan pergeseran tajam posisi strategis Amerika Serikat di Asia
Tenggara. Saya menyadari arti penting peristiwa-peristiwa ini saat
melakukan penelitian lapangan di Indonesia pada awal 2000. Namun
saya tidak bermaksud menulis tentang G-30-S karena saya menganggapnya
sebuah misteri yang tak dapat ditembus, dan tidak ada hal baru yang
dapat ditulis mengenainya. Versi rezim Suharto jelas patut dipertanyakan,
20
PENDAHULUAN
jika bukan sama sekali salah, tapi kelangkaan bahan mempersulit orang
mengajukan versi tandingan. Tanpa informasi baru mengenai G-30-S,
orang hanya dapat mengunyah ulang fakta-fakta yang sudah diketahui
umum tidak memuaskan dan menambah spekulasi yang sudah demikian
banyak. Penelitian sejarah lisan yang saya lakukan terpusat pada akibat
sesudah G-30-S terjadi. Perhatian saya terutama pada pengalaman mereka
yang selamat dari pembunuhan massal dan penahanan.38 Gerakan 30
September itu sendiri tampaknya dapat disamakan dengan peristiwa
pembunuhan John F. Kennedy dalam sejarah AS – sebuah topik yang
cocok bagi mereka yang gemar teori konspirasi atau “deep politics” (politik
terselubung).39
Saya mulai yakin bahwa ada hal baru yang dapat diketengahkan
mengenai G-30-S saat menemukan dokumen yang ditulis almarhum
Brigadir Jenderal M.A. Supardjo. Menurut pengumuman radio yang
disiarkan G-30-S pada pagi 1 Oktober 1965, ia adalah salah satu dari
empat wakil komandan di bawah Letkol Untung. Saya tertarik kepada
Supardjo karena ia merupakan salah satu dari sekian banyak keganjilan
dalam G-30-S: mungkin untuk pertama kali dalam sejarah pemberontakan
dan kup seorang jenderal menjadi bawahan seorang kolonel.
Mengapa Letkol Untung menjadi komandan dan Brigjen Supardjo
menjadi wakil komandan? Kebetulan saya bertemu dengan salah satu
putra Supardjo di rumah seorang eks tapol. Saya berbicara dengannya
dalam kesempatan itu dan beberapa pertemuan lain kemudian mengenai
bagaimana ibu dan delapan saudaranya dapat bertahan dalam pemiskinan
dan stigmatisasi yang mereka alami setelah 1965. Tergerak oleh
keingintahuan, saya lalu mendatangi penyimpanan arsip militer di
Dinas Dokumentasi Museum Satria Mandala, Jakarta, untuk membaca
pernyataan Supardjo di Mahmilub pada 1967 dan bukti-bukti yang
diajukan mahkamah kepadanya. Di situlah, hampir pada ujung bundel
terakhir dokumen pengadilan, pada bagian yang ditandai “Barang-Barang
Bukti,” saya menemukan analisis yang ditulisnya mengenai kegagalan
G-30-S. Awalnya saya mengira bahwa dokumen itu palsu atau tidak
dapat digunakan. Saya belum pernah melihat dokumen itu disebut dalam
tulisan-tulisan ilmiah mengenai G-30-S. Jika memang dokumen itu
otentik, seharusnya ada orang yang pernah menulis sesuatu mengenainya.
Tapi, setelah mempelajari naskah itu, saya berkesimpulan bahwa
21
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
dokumen itu tidak dapat lain dari apa yang menampak: sebuah analisis
pascaperistiwa yang ditulis Supardjo dengan jujur. Belakangan saya mengetahui
Jenderal A.H. Nasution (yang berhasil lolos dari penggerebekan
G-30-S pagi itu) memuat kutipan dari dokumen itu dalam otobiografi nya
yang berjilid-jilid.40 Nasution tidak memberi komentar apa-apa. Selama
bertahun-tahun para sarjana mengabaikan dokumen tersebut begitu
saja.41 Dokumen selengkapnya tampil pertama kali dalam bentuk cetakan
pada 2004 (setelah saya menyelesaikan draft pertama buku ini). Victor
Fic (almarhum) memasukkan terjemahan dokumen ini dalam bukunya
yang terbit di India.42 Pengabaian yang begitu lama terhadap dokumen
tersebut sungguh disayangkan. Dokumen ini merupakan sumber utama
yang memberi informasi paling banyak mengenai G-30-S karena ditulis
oleh orang yang paling dekat dengan para pelaku inti selama gerakan
berlangsung. Supardjo menulis dokumen itu sekitar 1966 saat ia
masih dalam persembunyian. Ia baru ditangkap pada 12 Januari 1967.
Dokumen itu dimaksudkan untuk dibaca orang-orang yang mempunyai
hubungan dengan G-30-S agar mereka dapat belajar dari kesalahan yang
mereka lakukan. Sebagai sebuah dokumen internal, dokumen itu lebih
andal daripada kesaksian-kesaksian para pelaku yang diberikan di depan
interogator dan mahkamah militer.
Minat saya kepada G-30-S semakin diperkuat ketika, lagi-lagi
secara tidak sengaja, bertemu dengan mantan perwira militer yang
namanya disebut melalui siaran radio sebagai wakil komandan G-30-S:
Heru Atmodjo. Ia seorang letnan kolonel Angkatan Udara. Hampir
sepanjang hari pada 1 Oktober 1965 Atmodjo bersama Supardjo dan
dipenjara bersama dengannya pula pada 1967-68. Ia mengonfi rmasi
keaslian dokumen Supardjo itu. Ia bahkan pernah diberi salinannya
oleh Supardjo untuk dibaca di dalam penjara.43 (Menurut Atmodjo,
dokumen-dokumen biasanya diselundupkan keluar-masuk penjara
oleh para penjaga yang simpati). Atmodjo juga mengonfi rmasi banyak
penegasan yang dikemukakan Supardjo dalam dokumen itu. Saya
berulang kali berbicara dengan Atmodjo selama tiga tahun dan mengadakan
empat wawancara yang direkam dengannya.
Setelah membaca dokumen Supardjo dan berbicara dengan Heru
Atmodjo, saya berkesimpulan perlu ada analisis baru mengenai G-30-S.
Lalu, saya mulai melakukan pengumpulan informasi yang lebih terarah
22
PENDAHULUAN
dan sistematis. Mengingat sifat persoalannya, saya harus berpikir seperti
detektif – yang kadang-kadang memang harus dilakukan sejarawan. Saya
berhasil menemui seorang kader tinggi PKI yang berpengetahuan luas
mengenai Biro Chusus, organisasi rahasia yang berperan penting dalam
G-30-S. Ia belum pernah berbicara kepada wartawan atau sejarawan
siapa pun mengenai pengalamannya. Ia berbicara kepada saya dengan
syarat, saya tidak mengungkap nama atau informasi apa saja yang dapat
membuatnya dikenali. Ia sudah tua dan meniti hidup dengan tenang dan
tidak mau terlibat dalam kontroversi. Dalam naskah ini saya memberinya
nama samaran, Hasan.44
Bersama beberapa rekan di Indonesia saya mewawancarai empat
orang yang berpartisipasi dalam G-30-S, empat kader tinggi PKI, dan
beberapa orang lain yang cukup mengetahui masalah G-30-S. Salah
seorang mantan pimpinan PKI yang saya wawancarai menyerahkan
salinan dari analisis mengenai G-30-S yang ditulis temannya, almarhum
Siauw Giok Tjhan.45 Sebelum Oktober 1965 Siauw adalah pemimpin
utama Baperki, organisasi Tionghoa Indonesia yang besar dan pendukung
Presiden Sukarno.46 Siauw, yang dipenjara selama 12 tahun, menulis analisisnya
berdasarkan diskusi dan wawancaranya dengan sesama tahanan.
Analisisnya, oleh karena itu, mencerminkan pendapat kolektif dari para
tahanan politik mengenai G-30-S.
Dengan jatuhnya Suharto pada Mei 1998, banyak penulis yang
memanfaatkan kebebasan pers untuk menerbitkan tulisan-tulisan yang
kritis terhadap versi resmi tentang peristiwa 1965. Mantan wakil perdana
menteri pertama di zaman Sukarno, yakni Subandrio, yang dipenjara
selama Suharto berkuasa, menerbitkan analisisnya mengenai G-30-S
pada 2001.47 Mantan Menteri Panglima Angkatan Udara, Omar Dani,
memberikan wawancara di media massa dan membantu sebuah tim
penulis untuk menyusun biografi nya.48 Sebuah tim penulis yang secara
tidak resmi mewakili korps Angkatan Udara menerbitkan keterangan
rinci mengenai kejadian-kejadian di pangkalan Halim.49 Bermunculannya
berbagai penerbitan baru ini juga membantu meyakinkan saya
bahwa analisis baru yang lebih menyeluruh mengenai G-30-S memang
diperlukan.
Sementara para korban Suharto menerbitkan cerita mereka, pemerintah
AS menyiarkan seberkas dokumen yang sudah dideklasifi kasikan
23
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
mengenai kejadian-kejadian di Indonesia dalam 1965-1966. Berkas itu
sebagian besar berupa memorandum dari pejabat pemerintahan L.B.
Johnson, dan pertukaran surat-surat kawat antara Kedutaan Besar AS
di Jakarta dan Departemen Luar Negeri di Washington, DC. Untuk
alasan yang tidak dijelaskan, Departemen Luar Negeri langsung menarik
kembali berkas dokumen yang telah diumumkannya itu. Penarikan itu
sia-sia belaka karena beberapa eksemplar sudah terlanjur dikirim ke
berbagai perpustakaan. Langkah itu (bagi Departemen Luar Negeri)
juga kontraproduktif karena aroma kontroversi justru merangsang hasrat
ingin tahu masyarakat umum. Seluruh berkas naskah itu sekarang tersedia
di berandawarta (website) sebuah lembaga penelitian di Washington,
DC.50
Saya juga menemukan dua dokumen penting di sebuah tempat
penyimpanan arsip di Amsterdam. Dua orang mantan anggota Politbiro
PKI, Muhammad Munir dan Iskandar Subekti, menulis analisis masingmasing
tentang G-30-S, yang belum pernah dimanfaatkan para sejarawan
sebelumnya.
Dengan menggunakan potongan-potongan informasi yang telah
saya kumpulkan dari berbagai sumber ini, saya mencoba menetapkan
siapa yang mengorganisasi G-30-S, apa yang ingin mereka capai melalui
tindakan mereka, dan mengapa mereka gagal sedemikian parahnya.
Analisis yang ditampilkan dalam buku ini dengan sendirinya menjadi
rumit karena kisah G-30-S banyak bersimpul dan berliku-liku. Masingmasing
orang bergabung dalam G-30-S dengan motivasi dan pengharapan
berbeda-beda dan dengan tingkat pengetahuan mengenai rencana
aksi yang berbeda-beda pula. Seperti halnya kebanyakan operasi rahasia
yang melibatkan beragam orang dan lembaga, kita akan melihat adanya
kesalahan asumsi, salah komunikasi, dan penipuan diri-sendiri.
Buku ini dapat dianggap sebagai apa yang oleh Robert Darnton
disebut “analisis insiden” karena memusatkan perhatiannya pada satu
insiden dramatis, dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang khas dari
langgam ini: “Bagaimana kita dapat mengetahui apa yang sesungguhnya
terjadi? Apa yang membedakan fakta dari fi ksi? Bagaimana menemukan
kebenaran di antara interpretasi yang saling bertentangan?”51 Darnton
mencatat bahwa orang yang menulis tentang kekejaman dan pembantaian
cenderung mengkaji dengan teliti dokumen tertulis dan narasi
24
PENDAHULUAN
lisan untuk memahami “apa yang sesungguhnya terjadi”: identitas
para pelaku, jumlah korban, kronologi kejadian yang tepat, dan seterusnya.
Menghadapi bukti yang bias dan memihak, seorang sejarawan
akan tergoda menggunakan strategi Akira Kurosawa dalam fi lm tahun
1950 yang terkenal, Rashomon (berdasarkan cerita pendek Ryunosuke
Akutagawa). Empat orang masing-masing memberikan empat cerita
yang berbeda-beda tentang satu kejahatan yang sama. Cerita lalu berakhir
tanpa kepastian tentang yang manakah cerita yang benar. Salah satu di
antara empat tokoh yang berusaha menetapkan siapa yang bertanggung
jawab atas kejahatan yang terjadi, pada akhirnya mengatakan kepada
temannya yang sama-sama bingung. “Sudahlah, jangan khawatirkan
itu lagi. Seakan-akan manusia itu rasional saja.”52 Kesimpulan demikian
tidak menjadi soal bagi sebuah cerita fi ktif. Namun sulit untuk mengatakan
kepada masyarakat “yang ingin mengetahui kebenaran tentang
trauma di masa lalu,” bahwa mereka harus menyerahkan diri kepada ide
bahwa kebenaran itu relatif, masa lalu itu tidak dapat dimengerti, dan
manusia itu irasional.53 Walaupun saya menghindari pengakhiran kisah
dengan gaya Rashomon, saya juga tidak mengambil gaya pengakhiran
kisah seperti Sherlock Holmes atau Hercule Poirot. Tak seorang pun
dengan penuh keyakinan dapat menudingkan telunjuk tuduhan kepada
si pelaku kejahatan sehingga seluruh misteri G-30-S pun tidak dapat
terungkap dengan baik. Banyak yang masih tetap tidak diketahui atau
tidak pasti. Orang harus menerima bahwa mungkin masih banyak tokohtokoh
yang tidak dikenal, namun memainkan peranan sangat penting
di balik layar. Meminjam komentar epistemologis Donald Rumsfeld
yang telah dikecam habis secara tak berimbang, tentu terdapat banyak
“hal-hal tidak diketahui yang tidak diketahui,” yaitu hal-hal yang kita
tidak tahu bahwa kita tidak tahu.54 Bagian akhir buku ini hanya berniat
membawa kita sedikit lebih maju dalam menyusuri labirin misteri ini,
memberi pertanda beberapa jalan buntu, dan menunjukkan jalan-jalan
yang paling menjanjikan bagi penelitian lebih lanjut.55
PENYAJIAN ARGUMEN
Buku ini dimulai dengan bab yang menggambarkan aksi-aksi dan per25
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
nyataan-pernyataan G-30-S pada 1 Oktober 1965 dan kekalahannya di
tangan Mayjen Suharto. Bab ini akan memperkenalkan pembaca kepada
semua keganjilan G-30-S, yang menjadi alasan mengapa banyak sejarawan
melihatnya sebagai teka-teki. Aksi-aksi G-30-S tidak didasari alasan yang
jelas, bergerak dengan berbagai tujuan yang saling berlawanan, dan
akhirnya hampir tidak mencapai apa pun. Pengumuman-pengumuman
yang disiarkan di radio tidak konsisten dan hampir tidak ada kaitannya
dengan tindakan di lapangan. Jika dilihat secara menyeluruh, G-30-S
tampak sebagai sosok aneh yang tidak masuk akal. Tidak ada pola yang
jelas, bahkan jika kita susun berurutan rangkaian kejadian-kejadian yang
sudah disepakati umum – yang dapat kita anggap sebagai fakta sekalipun.
G-30-S tidak dapat digolongkan sebagai pemberontakan pasukan militer,
percobaan kudeta, atau pemberontakan sosial. Bab yang pertama sengaja
tidak saya tulis dalam bentuk narasi, karena memang peristiwa-peristiwa
yang terjadi tidak memiliki kesinambungan alur dan karakter yang diperlukan
untuk menyusun sebuah narasi. Bab ini bermaksud menyoroti
berbagai keganjilan yang kacau dari G-30-S, yang merupakan pengalang
bagi narasi yang lugas dan lancar.
Bab kedua akan mengikhtisarkan berbagai cara keganjilan-keganjilan
itu telah ditafsirkan dan disusun menjadi sebuah narasi kejadian
yang padu. Rezim Suharto dengan kasar mendesakkan sebuah narasi
gampangan, yang menetapkan PKI sebagai dalang keji yang mengontrol
setiap aspek G-30-S. Sejumlah sarjana asing yang lebih berperhatian
pada prosedur pengungkapan bukti dan logika dibanding dengan para
propagandis negara menunjukkan kelemahan-kelemahan versi rezim
Suharto, dan mengajukan jalan cerita yang berbeda. Para ilmuwan itu
menyatakan bahwa peran para perwira militer yang terlibat dalam G-30-S
lebih besar dari peran PKI, atau bahwa Suharto sendiri terlibat dalam
operasi ini.
Bab-bab tiga sampai enam mencermati sumber primer yang baru:
dokumen Supardjo, wawancara lisan saya dengan Hasan dan lainnya,
dokumen-dokumen internal PKI, beberapa memoar yang baru diterbitkan,
dan dokumen-dokumen rahasia pemerintah AS yang sudah
diumumkan. Saya menganalisis para pelaku secara bergiliran: para
perwira militer dalam G-30-S, Sjam dan Biro Chususnya, D.N. Aidit
dan pimpinan PKI jajarannya, Suharto dan para perwira rekan-rekannya,
26
PENDAHULUAN
dan pemerintah AS. Bab-bab ini, sebagai tinjauan atas bukti-bukti yang
ada, berjalan dengan mengikuti logika penyelidikan detektif. Barulah
pada bab terakhir saya membangun suatu narasi yang berjalan secara
kronologis dan bermaksud untuk memecahkan banyak keganjilan dalam
peristiwa yang saya uraikan dalam bab pertama.
GERAKAN 30 SEPTEMBER SEBAGAI DALIH
Dalam ingatan sosial masyarakat Indonesia seperti yang dibentuk rezim
Suharto, G-30-S merupakan kekejaman yang begitu jahat, sehingga
kekerasan massal terhadap siapa pun yang terkait dengannya dilihat
sebagai sesuatu yang dapat dibenarkan dan bahkan terhormat. Diduga
ada hubungan sebab-akibat langsung: represi terhadap PKI merupakan
jawaban sepatutnya terhadap ancaman yang diajukan G-30-S. Memang
dalam wacana politik di Indonesia menjadi lazim menggabungkan G-30-S
dengan kekerasan massal yang mengikutinya, seakan-akan keduanya
merupakan suatu peristiwa tunggal; satu istilah, “Gerakan 30 September,”
digunakan untuk merujuk ke dua peristiwa. Kendati demikian sejak awal
serangan Suharto terhadap PKI, sesuatu yang tidak benar sudah terasa
dengan pelekatan erat kedua peristiwa tersebut. Sepanjang akhir 1965
sampai awal 1966 Presiden Sukarno terus-menerus memprotes bahwa
Angkatan Darat “mau membunuh tikus seluruh rumahnya dibakar.”56
Kampanye anti-PKI sama sekali menjadi tidak sepadan dengan alasan
senyatanya. Pada dasarnya G-30-S merupakan suatu peristiwa yang relatif
berskala kecil di Jakarta dan Jawa Tengah, yang sudah berakhir paling
lambat 3 Oktober 1965. Secara keseluruhan G-30-S telah membunuh
dua belas orang.57 Suharto membesar-besarkannya sedemikian rupa
sehingga peristiwa itu tampak seperti sebuah konspirasi nasional berkelanjutan
untuk melakukan pembunuhan massal. Berjuta-juta orang yang
berhubungan dengan PKI, bahkan para petani buta huruf di dusundusun
terpencil, ditampilkan sebagai gerombolan pembunuh yang secara
kolektif bertanggung jawab atas G-30-S. Setiap orang yang ditahan
militer dituduh sebagai “langsung atau tidak langsung terlibat dalam
Gerakan 30 September,” jika kita mengutip dari surat keterangan yang
diberikan kepada tahanan politik pada saat ia dibebaskan. (Perhatikan
27
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
istilah karet tidak langsung.) Dua orang pakar tentang Indonesia dari
Cornell University, Benedict Anderson dan Ruth McVey, pada awal 1966
mengamati bahwa tentara Suharto telah memulai kampanye antikomunis
cukup lama sesudah G-30-S hancur dan tidak menunjukkan tanda-tanda
akan bangkit kembali. Di antara saat G-30-S tamat riwayatnya dengan
saat penangkapan massal oleh tentara dimulai, “tiga minggu berlalu tanpa
adanya kekerasan atau tanda-tanda terjadinya perang saudara, bahkan
menurut Angkatan Darat sendiri.” Dua penulis itu berpendapat bahwa
G-30-S dan kampanye antikomunis yang mengikutinya “merupakan
fenomena politik yang sama sekali terpisah” (cetak miring penegas dalam
teks asli).58
Kekerasan yang terjadi sepanjang akhir 1965 sampai awal 1966
harus dilihat lebih sebagai saat awal pembangunan sebuah rezim baru,
ketimbang sebuah reaksi wajar terhadap G-30-S. Suharto dan para
perwira tinggi Angkatan Darat lainnya menggunakan G-30-S sebagai
dalih untuk menegakkan kediktatoran militer di negeri ini. Mereka perlu
menciptakan keadaan darurat nasional dan suasana yang sama sekali
kacau jika hendak menumbangkan seluruh generasi kaum nasionalis
dan menyapu bersih cita-cita kerakyatan Presiden Sukarno. Mereka mengetahui
bahwa mereka harus melawan pendapat umum.59 Suharto saat
itu relatif bukan siapa-siapa, seorang pejabat biasa, yang bersiasat untuk
menggeser sang pemimpin karismatik bangsa. Ia dan para pemimpin
militer lainnya mengetahui bahwa mereka akan menghadapi perlawanan
hebat jika militer melancarkan kudeta terhadap Sukarno secara
langsung tak berselubung. Alih-alih menyerang istana terlebih dulu,
Suharto justru menyerang masyarakat dengan kekerasan secepat kilat,
lalu dengan menginjak-injak penduduk yang dicengkam ketakutan dan
kebingungan melenggang masuk ke istana.
Suharto sendiri, tak mengherankan, menyangkal bertanggung
jawab atas kekerasan massal 1965-66 – pelaku jarang mau mengakui
kejahatan mereka di hadapan publik.60 Dalam catatan resmi dinyatakan
bahwa “penumpasan PKI” telah dilakukan melalui tindakan administratif
dan tanpa pertumpahan darah; orang yang dicurigai ditangkap,
diperiksa untuk memastikan bersalah atau tidak, lalu dibagi dalam tiga
golongan (A, B, dan C) sesuai tingkat keterlibatan masing-masing di
dalam G-30-S, lalu dipenjarakan. Catatan resmi tidak pernah menyebut
28
PENDAHULUAN
tentang pembunuhan massal.61 Dalam memoarnya Suharto menulis
bahwa strateginya adalah “pengejaran, pembersihan dan penghancuran.”
62 Ia tidak memberi tahu pembaca bahwa ada orang yang tewas
dalam proses itu. Film mengenai G-30-S yang disponsori pemerintah juga
tidak menggambarkan adanya penangkapan dan pembunuhan massal.
Panel terakhir pada relief Monumen Pancasila Sakti memperlihatkan
Letkol Untung di depan Mahmilub, seolah-olah proses hukum dengan
kepala dingin merupakan satu-satunya bentuk reaksi militer terhadap
G-30-S. Tidak ada tugu peringatan dibangun di Monumen Pancasila
Sakti bagi ratusan ribu korban. Saat menyinggung tentang kekerasan yang
terjadi, dalam kesempatan yang amat langka, Suharto menjelaskannya
sebagai sesuatu yang bersumber pada konfl ik dalam masyarakat. Dalam
pidato pada 1971, ia menyampaikan analisis tentang sebab-musabab
pembunuhan itu dalam satu kalimat singkat, “Ribuan korban djatuh
didaerah2 karena rakjat bertindak sendiri2, djuga karena prasangka2
buruk antar golongan yang selama bertahun2 ditanamkan oleh praktek2
politik jang sangat sempit.”63 Dengan demikian Angkatan Darat seolaholah
tidak memainkan peran apa pun dalam mengatur pembunuhan;
rakyat melakukannya sendiri untuk alasan yang tidak ada kaitan dengan
Gambar 4. Detil relief pada Monumen Pancasila Sakti: Suharto mengakhiri kekacauan,
menciptakan ketertiban, dan mengembalikan perempuan ke rumah tangga dan kepatuhan.
Foto: John Roosa
29
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
operasi penghancuran G-30-S oleh militer.
Penjelasan Suharto yang singkat tentang sebab-musabab pembunuhan
itu bukanlah sesuatu yang unik. Banyak orang Indonesia,
bahkan yang biasanya kritis terhadap propaganda negara, mempercayai
bahwa pembunuhan itu merupakan tindak kekerasan yang terjadi
spontan dari bawah, sebagai pengadilan liar barisan keamanan masyarakat,
yang membarengi usaha penumpasan pemberontakan PKI oleh
militer yang sangat terkendali dan terorganisasi dengan baik. Karena
ketidaktahuan mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi di daerah-daerah
lain, orang yang menyaksikan pembunuhan besar-besaran yang diatur
militer di daerah tempat tinggalnya bisa jadi menganggap pembunuhan
tersebut sebagai pengecualian. Tidak adanya pembicaraan yang terbuka
dan penyelidikan yang teliti terhadap pembantaian yang terjadi telah
menimbulkan ketidakpastian yang besar tentang pola umum kejahatan
ini. Kaum terpelajar Indonesia, dalam mencari jawab tentang masalah
ini, cenderung terjerumus pada prasangka berkerak akan kerentanan
massa. Kalangan kelas menengah Indonesia sering mengatakan kepada
saya bahwa pembunuhan itu merupakan buah antagonisme yang sudah
ada sebelumnya antara PKI dan partai-partai politik lain. Anggota PKI,
karena militansi dan kekejaman mereka, rupanya menjadi sangat dibenci
sejak sebelum 1965, sehingga lawan-lawan mereka langsung mengambil
kesempatan untuk membantai mereka. Pembunuhan itu seakan-akan
terjadi begitu saja, tanpa ada orang atau lembaga apa pun yang bertanggung
jawab. Seperti dikatakan Robert Cribb, pembunuhan yang terjadi
“dipandang seolah-olah tergolong dalam kategori tak lazim kematian
massal akibat ‘kecelakaan’.”64
Koran-koran Indonesia tidak memberitakan adanya pembunuhanpembunuhan.
Angkatan Darat memberangus hampir semua surat kabar
dalam pekan pertama Oktober 1965 dan menerapkan sensor terhadap
beberapa di antaranya yang mendapat ijin terbit kembali. Angkatan Darat
menerbitkan beberapa korannya sendiri. Orang akan sia-sia mencari berita
dalam koran-koran yang terbit antara akhir 1965 sampai akhir 1966 yang
sekadar menyebut saja bahwa ada pembunuhan besar-besaran. Korankoran
hanya memuat berita tentang cara-cara tanpa kekerasan dalam
penumpasan PKI: pemecatan orang-orang yang dituduh pendukung PKI
dari berbagai badan pemerintahan (seperti kantor berita “Antara”), pem30
PENDAHULUAN
bubaran organisasi-organisasi yang berafi liasi dengan PKI, dan demonstrasi
mahasiswa menuntut pemerintah untuk membubarkan PKI. Sudah
pasti para redaktur koran-koran tersebut mengetahui tentang terjadinya
pembunuhan besar-besaran – kisah-kisah mengerikan sudah beredar
luas dari mulut ke mulut. Tapi mereka sengaja tidak memberitakannya
barang sepatah kata pun. Sebagai gantinya mereka penuhi koran-koran
mereka dengan cerita-cerita fi ktif dari para ahli perang urat syaraf di
kalangan tentara, yakni kisah-kisah yang melukiskan PKI sebagai pelaku
tunggal kekerasan di tengah masyarakat. Bahkan koran-koran independen
pun, seperti misalnya Kompas, yang belakangan menjadi koran acuan
terkemuka selama tahun-tahun kekuasaan Suharto, ikut ambil bagian
dalam kampanye militer untuk menggalakkan histeria anti-PKI.
Angkatan Darat mengendalikan dengan ketat keberadaan wartawan
asing, melarang banyak dari mereka masuk Indonesia sejak Oktober
1965, dan membatasi gerak mereka yang berhasil tinggal atau menyelinap
masuk agar tetap berada di Jakarta. Sebagian besar pemberitaan
para wartawan yang berdiam di Jakarta terpusat pada manuver-manuver
politik tingkat tinggi Presiden Sukarno, Jenderal Nasution, dan pejabatpejabat
tinggi pemerintahan yang lain. Para juru bicara militer dengan
sopan meyakinkan para wartawan bahwa pembunuhan apa pun yang
terjadi adalah akibat kemarahan rakyat yang tak terkendali, bukan
pembantaian yang diatur tentara. Dari cerita-cerita yang merembes ke
Jakarta, para wartawan menduga-duga bahwa angka korban mati yang
diumumkan Sukarno pada Januari 1966, yaitu 87.000, sangat jauh di
bawah angka sebenarnya. Tetapi mereka tidak dapat memberitakan
pembunuhan besar-besaran itu selengkap-lengkapnya sampai sesudah
Angkatan Darat melonggarkan batasan-batasan bergerak pada Maret
1966. Skala pembunuhan mulai menjadi lebih jelas ketika wartawan
dapat pergi ke daerah-daerah di luar Jakarta. Wartawan pertama yang
melakukan penyelidikan, Stanley Karnow dari Washington Post, setelah
melalui perjalanan selama dua pekan di seluruh Jawa dan Bali, memperkirakan
setengah juta orang telah mati dibunuh. Seth King dari New
York Times, pada Mei 1966, mengajukan angka perkiraan moderat, yaitu
sebanyak 300.000 korban tewas. Seymour Topping, rekan Seth King dari
koran yang sama, melakukan penyelidikan beberapa bulan kemudian dan
menyimpulkan bahwa jumlah korban mati seluruhnya bahkan dapat
31
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
lebih dari setengah juta orang.65
Ketiga koresponden asing itu memberitakan bahwa personil militer
dan milisi sipil antikomunis terlibat dalam pembunuhan dan sering kali
mereka melakukannya dengan cara-cara yang sistematik dan rahasia.
King mencatat bahwa orang-orang asing di Jakarta tidak menyaksikan
kekerasan apa pun. Mereka hanya mengetahui bahwa tentara pada malam
hari melakukan penggerebekan rumah-rumah, menggiring mereka yang
dicurigai sebagai simpatisan PKI ke atas truk, dan membawa mereka
ke luar kota sebelum fajar. King mendengar cerita dari seseorang yang
kebetulan menumpang sebuah truk tentara bahwa kira-kira lima ribu
orang dari Jakarta yang diambil dari rumah mereka masing-masing
dibawa ke sebuah penjara di pinggir kota, dan di sana mereka mati
perlahan-lahan karena kelaparan. (King tidak menyebut adanya ribuan
orang lagi yang kelaparan di penjara-penjara di dalam kota Jakarta).
Karnow menggambarkan pembunuhan besar-besaran di kota Salatiga
di Jawa Tengah: “Di setiap bangunan, seorang kapten tentara membacakan
nama-nama dari sebuah daftar, memberi tahu mereka tentang
kesalahan masing-masing – atas nama hukum walaupun sidang pengadilan
tidak pernah diadakan. Akhirnya truk-truk itu masing-masing diisi
dengan enam puluh tawanan, dan dengan dikawal satu peleton tentara,
menempuh jarak sekitar enam mil, melalui hamparan sawah dan kebun
karet yang gelap menuju suatu kawasan tandus di dekat Desa Djelok.
Para petani di daerah tersebut sudah diperintahkan lurah untuk menggali
sebuah lubang besar satu hari sebelumnya. Para tawanan, dibariskan
berdiri di bibir lubang, lalu ditembaki dalam beberapa menit. Beberapa
dari mereka barangkali dikubur hidup-hidup.” Dari kisah-kisah semacam
ini, Karnow sampai pada kesimpulan bahwa tentara mengorganisasi
pembantaian berkelanjutan secara sistematik di Jawa Tengah.66
Topping juga menyimpulkan bahwa militer melakukan pembunuhan
secara kilat terhadap rakyat di Jawa Tengah tetapi ia mengatakan
pola kekerasannya berbeda dengan yang terjadi di Jawa Timur dan Bali.
Di dua daerah terakhir militer biasanya menghasut penduduk sipil untuk
melakukan pembunuhan, ketimbang memerintahkan personil mereka
sendiri melakukan tugas kotor itu. Tentara menebar suasana ketakutan
dengan mengatakan kepada masyarakat di kota dan desa bahwa PKI
sedang bersiap-siap melakukan pembunuhan besar-besaran: menggali
32
PENDAHULUAN
kuburan massal, menyusun daftar hitam orang yang akan dibunuh, menyiapkan
alat khusus pencungkil mata. Topping menyatakan bahwa pada
umumnya para pengamat Indonesia yang berpengalaman menganggap
cerita-cerita yang disebarkan tentara sebagai cerita yang dibuat-buat:
“Tidak ada bukti kuat bahwa orang-orang Komunis mempunyai perbekalan
senjata yang begitu besar atau merencanakan pemberontakan massa
di seluruh tanah air untuk merebut kekuasaan dalam waktu dekat.”67
Topping menambahkan bahwa pengingkaran tentara terhadap tanggung
jawab atas pembunuhan-pembunuhan yang terjadi disangkal bukan
hanya oleh hasil penyelidikan singkatnya sendiri tapi juga oleh pernyataan
pribadi salah satu dari para panglima utama Suharto sendiri. Mayor
Jenderal Sumitro, Panglima Kodam Brawijaya, Jawa Timur, dalam wawancaranya
dengan Topping berkata, bahwa Suharto, pada November 1965,
mengeluarkan perintah secara rinci tentang pembasmian PKI. Dalam
Desember 1965, Sumitro beserta stafnya mengunjungi seluruh komando
distrik militer di Jawa Timur untuk memastikan bahwa perintah itu telah
dipahami. Topping mengutip Sumitro yang mengakui bahwa “sebagian
besar komandan setempat telah menunaikan tugas sebaik-baiknya untuk
membunuh kader-kader [PKI] sebanyak-banyaknya.”68
Sampai pertengahan 1966 dua surat kabar utama Amerika Serikat
sudah menyiarkan ke publik bahwa Angkatan Darat Indonesia di bawah
Mayor Jenderal Suharto adalah pihak yang paling bertanggung jawab
terhadap pembunuhan massal sekitar setengah juta orang, dan bahwa
banyak pembunuhan itu dilakukan secara kejam terhadap para tawanan
terpilih. Namun demikian berita ini tidak mengalangi pemerintah
Amerika Serikat memberikan sambutan hangatnya kepada Suharto
selaku penguasa baru di Indonesia. Tidak satu pun pejabat pemerintahan
Johnson menyatakan keberatan terhadap pelanggaran berat hakhak
asasi manusia yang dilakukan tentara Indonesia. Robert Kennedy
menyesali kebisuan itu ketika mengucapkan pidatonya di New York City
pada Januari 1966: “Kita telah bersuara lantang terhadap pembantaian
tak manusiawi yang dilakukan oleh kaum Nazi dan kaum Komunis.
Tapi apakah kita akan bersuara lantang pula terhadap pembantaian keji
di Indonesia, yang lebih dari 100.000 orang yang dituduh Komunis
bukanlah pelaku tetapi korban?”69 Jawaban terhadap pertanyaan itu,
tentu saja, tidak. Bagaimana pun juga pemerintah AS telah membantu
33
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
Suharto naik takhta. Kegembiraan akan penggulingan Sukarno dan
penghancuran PKI mengalahkan pertimbangan kemanusiaan apa pun.
Prioritas-prioritas ini tampak jelas dalam laporan utama tentang
Suharto dalam majalah Time pada Juli 1966. Dengan tepat Time memberitakan,
“militer bertanggung jawab atas kebanyakan pembunuhan
yang terjadi” dan mengakui bahwa pembunuhan itu “telah menghilangkan
lebih banyak nyawa ketimbang kehilangan [yang diderita] AS
dalam seluruh peperangan di sepanjang abad ini.” Tanpa menghindari
penggambaran detil-detil yang mengerikan, laporan utama itu menyebutkan
bahwa beberapa orang yang dicurigai sebagai komunis telah
dipancung dan mayat mereka dibuang di kali-kali. Namun selanjutnya
artikel itu memuji rezim baru Suharto yang didominasi militer karena
“sangat konstitusional.” Suharto dikutip saat mengatakan, “Indonesia
negara yang berdasar hukum, bukan pada kekuasaan belaka.”70 Oleh
karena dari sudut kepentingan politik luar negeri AS banjir darah itu
konstruktif, majalah Time dapat menampilkan pelaku kejahatan dalam
sorotan yang sama sekali positif walaupun hasilnya kemudian adalah
penjajaran yang sangat aneh antara kepala-kepala yang dipenggal dan
prosedur konstitusional.
Kecaman terhadap pembunuhan-pembunuhan yang terjadi diredam
bukan hanya karena para pelakunya antikomunis. Banyak pemberitaan
media mengecilkan tanggung jawab militer atas pembunuhan sambil
membesar-besarkan peranan masyarakat sipil. Stereotip yang dibuat
para orientalis mengenai orang Indonesia yang primitif, terbelakang,
dan bengis mengemuka sehingga menenggelamkan pemberitaan faktual
tentang pembunuhan-pembunuhan berdarah dingin yang diorganisir
militer. Orang asing digiring untuk mempercayai bahwa pembunuhan
massal itu merupakan ledakan tiba-tiba, tanpa nalar, dan penuh dendam
kesumat masyarakat rentan yang meradang oleh sepak terjang agresif
PKI selama bertahun-tahun. Bahkan tanpa penyelidikan mendalam,
wartawan-wartawan merasa yakin bahwa prasangka mereka terhadap
apa yang disebut watak ketimuran membenarkan adanya kesimpulan
defi nitif. Judul utama salah satu tajuk rencana C.L. Sulzberger dalam
New York Times terbaca “When a Nation Runs Amok” [Ketika Suatu
Bangsa Mengamuk]. Bagi Sulzberger pembunuhan-pembunuhan itu
tidak mengejutkan karena terjadi di “Asia yang berperangai keras, dengan
34
PENDAHULUAN
kehidupan murah.” Banjir darah itu hanyalah memantapkan keyakinannya
bahwa bangsa Indonesia mempunyai “ciri pembawaan Melayu yang
ganjil, tabiat haus darah membabi buta yang telah menyumbang satu
kata dari sedikit kata Melayu dalam bahasa-bahasa lain: amok.”71
Demikian pula laporan Don Moser untuk majalah Life tak
beranjak terlalu jauh dari ungkapan-ungkapan klise dangkal tentang
bangsa Indonesia yang pramodern dan eksotik: “Tidak ada di mana pun
selain di pulau-pulau yang misterius dan elok ini ... peristiwa-peristiwa
dapat meledak begitu tak terduga, begitu kejam, tak hanya diwarnai
dengan fanatisme, tapi juga haus darah dan hal-hal semacam sihir dan
santet.” Kekerasan itu bahkan tidak melibatkan militer; melainkan
timbul sepenuhnya dari kalangan rakyat. Pembantaian “gila-gilaan” di
Bali merupakan “pesta pora kebengisan.” Di mana-mana terjadi “histeria
massal.”72 Karangan-karangan Robert Shaplen di majalah New Yorker,
yang lebih panjang lebar, mengulang alur kisah yang sama tentang keberangan
spontan terhadap PKI. Bangsa Indonesia adalah bangsa primitif
belaka yang tidak dapat disalahkan dalam hal pelanggaran hak-hak asasi
manusia karena mereka belum cukup beradab untuk dipandang sebagai
manusia yang dewasa. Represi terhadap PKI “berubah menjadi luapan
balas dendam liar dan tak pandang bulu berdasarkan permusuhan
pribadi dan histeria massal di tengah masyarakat yang secara emosional
dan psikologis memang siap mengamuk.”73 Adalah tidak adil jika apa
yang disebutnya sebagai “segenap dunia ‘berakal’” untuk mengharapkan
bangsa Indonesia merasa bahwa mereka telah melakukan sesuatu yang
salah karena “bangsa ini dapat menjelaskan pertumpahan darah tersebut,
sekurang-kurangnya demi kepuasan hati mereka sendiri, menurut
pengertian kuno tentang katarsis dan pembasmian kejahatan.”74 Sembari
menghidupkan kembali mitos-mitos tua kolonial tentang “orang-orang
pribumi” yang terbelenggu pada tradisi dan bersifat mistik, Shaplen secara
tidak kritis menceritakan ulang versi tentara Indonesia tentang peristiwaperistiwa
1965-1966.
Beberapa pakar tentang Indonesia tetap percaya kepada cerita
tentang pembantaian itu sebagai balas dendam spontan terhadap PKI.75
Antropolog Cliff ord Geertz, berdasarkan kunjungannya ke sebuah kota
kecil di Jawa Timur pada 1970-an dan 1980-an, mengatakan bahwa
orang di kota itu mengenang pembunuhan tersebut sebagai “penggalan
35
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
retak sejarah yang kadang-kadang diingat sebagai akibat dari politik.”76
Dalam esainya yang terkenal mengenai adu ayam di Bali, Geertz sambil
lalu menyebut bahwa kekerasan dalam adu ayam itu memperlihatkan
pembantaian yang terjadi di sebuah pulau dengan kerukunan sosialnya
yang terkenal di seluruh dunia itu “tidak bertentangan dengan hukum
alam”; adu ayam itu menurutnya merupakan penyaluran kecenderungan
kekerasan yang ada dalam masyarakat.77 Th eodore Friend, seorang
sejarawan Asia Tenggara, dengan yakin mengatakan bahwa pembunuhan
itu mencerminkan “ledakan kekerasan massal yang hebat”; dimulai
“secara spontan” tanpa arahan militer dan merupakan kekerasan “muka
lawan muka” dan dengan “kedekatan yang aneh.”78
Sungguh mencengangkan bahwa kekerasan anti-PKI, suatu kejadian
dengan skala demikian luas, ternyata salah dimengerti sedemikian
parah. Tentu saja keterlibatan baik personil militer maupun penduduk
dalam pembunuhan itu telah mengaburkan masalah tanggung jawab.
Bagaimana pun, dari sedikit yang sudah diketahui, jelaslah bahwa militer
yang memikul bagian tanggung jawab terbesar, dan bahwa pembunuhan
itu lebih merupakan kekerasan birokratik yang terencana ketimbang
kekerasan massa yang bersifat spontan. Dengan mengarang cerita-cerita
bohong mengenai G-30-S dan mengendalikan media massa sedemikian
ketat, klik perwira di sekitar Suharto menciptakan suasana di kalangan
penduduk sipil bahwa PKI sedang bersiap-siap untuk perang. Tanpa
provokasi yang disengaja oleh ahli-ahli propaganda militer, penduduk
tidak akan percaya bahwa PKI merupakan ancaman yang mematikan
karena partai ini bersikap pasif setelah G-30-S ditaklukkan.79 Militer
bekerja keras menyulut kemarahan rakyat melawan PKI sejak awal
Oktober 1965. Ahli-ahli propaganda Suharto menemukan akronim
untuk G-30-S, yang dikaitkannya dengan polisi rahasia Nazi Jerman.
Akronim itu, Gestapu, tidak sesuai dengan kepanjangan yang berbunyi
Gerakan Tiga Puluh September.80 Surat kabar dan siaran radio dipenuhi
dengan berita palsu tentang apa yang dinamakan Gestapu: bahwa PKI
menimbun senjata dari Tiongkok, menggali kuburan massal, menyusun
daftar orang-orang yang akan dibunuh, mengumpulkan alat khusus
untuk mencungkil mata, dan seterusnya.81 Militer menggambarkan
jutaan orang seperti setan dan bukan manusia dengan menyusun mata
rantai asosiasi: G-30-S sama dengan PKI sama dengan barang siapa saja
36
PENDAHULUAN
yang diasosiasikan dengan PKI sama dengan kejahatan mutlak.
Propaganda ini sendiri, bagaimana pun, tidak cukup untuk memprovokasi
penduduk sipil agar ikut melakukan kekerasan. Propaganda
merupakan faktor yang penting tapi tidak cukup. Perbedaan waktu
terjadinya kekerasan di daerah-daerah yang berlainan menunjukkan
bahwa kedatangan Resimen Pasukan Khusus Angkatan Darat (RPKAD)
berperan sebagai pemicu. Pengamatan Anderson dan McVey di Jawa
Tengah telah saya kemukakan di atas. Kekerasan baru dimulai saat
pasukan RPKAD tiba di ibu kota provinsi tersebut, Semarang, pada
17 Oktober, dan kemudian menyebar ke kota-kota kecil dan desa-desa
pada hari-hari berikutnya.82 Beruntunglah Jawa Barat lolos dari serbuan
karena RPKAD harus bergegas masuk Jawa Tengah, yang memang
merupakan basis PKI. Relatif sedikit pembunuhan yang terjadi di Jawa
Barat walaupun pada masa sebelumnya terjadi konfl ik tajam antara PKI
dan organisasi anti-PKI.83
Kasus Bali memang patut ditilik, terutama karena mereka yang
berpegang pada tesis “kekerasan spontan” selalu menunjuk Bali sebagai
bukti. Mereka menyatakan masyarakat Bali melakukan pesta pembunuhan
gila-gilaan sampai saat pasukan RPKAD tiba awal Desember
1965 untuk menghentikan mereka.84 Pendapat ini salah dalam mengemukakan
kronologi kejadian yang sebenarnya. Sebelum pasukan
RPKAD datang pada 7 Desember, tidak ada pembunuhan berarti di
Bali.85 Selama bulan-bulan Oktober dan November situasi memang
tegang. Gerombolan antikomunis menyerang dan membakar rumahrumah
anggota PKI. Beberapa anggota partai ditangkap; sebagian lain
menyerahkan diri kepada polisi untuk mendapat perlindungan. Tapi
tidak terjadi pembantaian besar-besaran sebelum 7 Desember. Semua
pemimpin PKI masih hidup saat RPKAD tiba.86 Adalah RPKAD yang
mengatur dan melaksanakan eksekusi para pemimpin PKI Bali pada 16
Desember 1965 di Desa Kapal.87 Ada banyak saksi kejadian itu karena
RPKAD mengundang politisi-politisi antikomunis di Bali selatan untuk
menonton.88 Pembantaian sekitar 30 orang ini, termasuk I Gde Puger,
seorang pengusaha berada yang dikenal sebagai penyandang dana untuk
PKI walaupun ia bukan anggota partai, mengungkapkan bahwa militer
mendorong penduduk sipil untuk membunuh orang-orang yang terkait
dengan PKI. Mengingat RPKAD yang memulai pembunuhan itu, maka
37
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
kita tidak bisa tidak memperkirakan bahwa pasukan parakomando ini
telah menerima perintah langsung dari Suharto untuk melakukannya.
Koordinasi antara Suharto dan RPKAD sangat erat: ia datang di Bali satu
hari setelah pasukan parakomando mendarat di sana.89
Orang-orang sipil yang terlibat dalam pembunuhan, apakah di
Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, atau tempat-tempat lainnya, umumnya
anggota milisi yang sudah dilatih oleh militer (baik sebelum maupun
sesudah 1 Oktober), dan diberi senjata, kendaraan, serta jaminan kebal
hukum. Mereka bukan sekadar orang-orang sipil biasa yang bertindak
mandiri dari militer. Walaupun dinamika interaksi setepatnya antara
militer dan milisi bervariasi dari satu daerah ke daerah lain, secara keseluruhan
militer memainkan peran dominan. Robert Cribb mencatat
bahwa kelompok-kelompok milisi ini umumnya tidak bertahan lama
setelah 1966; banyak yang “kelihatannya segera menghilang setelah
tugas berdarah mereka selesai,” berbeda dengan, misalnya, “laskar-laskar
otonom yang lahir setelah 1945 dalam perang kemerdekaan melawan
Belanda” dan menjadi masalah bagi upaya monopoli militer terhadap
angkatan bersenjata pada 1950-an.90 Sejak 1965 militer secara rutin
membentuk kelompok-kelompok kelaskaran agar pada saat melakukan
kekerasan terhadap penduduk sipil yang tidak bersenjata mereka selalu
dapat mengingkari keterlibatan mereka.91 Tidak ada alasan untuk mengatakan
bahwa situasi kekerasan dalam 1965-1966 itu sendiri sangat
berbeda.
Hal yang sering luput dari perhatian adalah bahwa sejak awal pembunuhan-
pembunuhan itu memang sengaja hendak dilupakan. Dalam
bukunya Silencing the Past, Michel-Ralph Trouillot menulis bahwa orang
“berperan serta dalam sejarah baik sebagai pelaku maupun pencerita.”92
Para pelaku sejarah sekaligus menjadi pencerita tentang jejak langkah
mereka sendiri. Cerita yang hendak disampaikan si pelaku bisa jadi sangat
berjalinan dengan jejak langkahnya sendiri. Dalam kasus teror 1965-
66, para perwira militer menghendaki cerita tentang teror yang mereka
lakukan, seperti halnya tentang para korban mereka, lenyap. Mereka
tidak bercerita tentang kampanye teror yang mereka lakukan saat itu.
Seperti ditulis Trouillot: “Sejarawan profesional sendiri tidak menyusun
kerangka naratif untuk menempatkan cerita-cerita mereka. Sering kali ada
orang lain yang sudah masuk pentas lebih dulu dan mengatur lingkaran
38
PENDAHULUAN
kebisuan.”93 Suharto yang merencanakan pembunuhan namun ia memastikan
bahwa ia tidak dapat dibuktikan sebagai dalangnya. Saat pembunuhan-
pembunuhan terjadi ia tidak menyinggungnya sama sekali, tapi
memuji-muji proses abstrak tentang penghancuran PKI “sampai ke akarakarnya.”
94 Caranya menutupi dan sekaligus memuji pembunuhan itu
mirip dengan cara yang dipakai para pelaku genosida di Rwanda: “Serang
korban secara verbal, bantah – bahkan di hadapan bukti yang paling jelas
sekalipun – bahwa telah atau sedang terjadi kekerasan fi sik dan hindari
masalah tanggung jawab sehingga, sekalipun ada korban, identitas para
pembunuh tetap kabur dan tidak dapat dipastikan, hampir lebur dalam
ketiadaan. Saat berbicara kepada para pendukungmu jangan pernah
menuntut ‘penghargaan’ atas apa yang sesungguhnya kamu perbuat tetapi
isyaratkan keuntungan besar yang diperoleh dari perbuatan-perbuatan
tak bernama yang telah dilakukan, berbagi persekongkolan dalam rahasia
tak terkatakan dengan pendengarmu.”95
Kesimpulan yang saya tarik dari literatur yang tersedia dan dari
wawancara dengan para korban, pelaku, dan saksi ialah bahwa pada
umumnya pembunuhan itu merupakan eksekusi terhadap tawanan.
Berlawanan dengan keyakinan umum, kekerasan gila-gilaan oleh
penduduk desa bukanlah merupakan pola. Biasanya pasukan Suharto
memilih melakukan penghilangan misterius ketimbang eksekusi di
depan publik untuk memberi contoh kepada masyarakat. Tentara dan
milisi cenderung melancarkan pembantaian besar-besaran secara rahasia:
mereka mengambil para tahanan dari penjara pada malam hari, membawa
mereka dengan truk ke tempat-tempat terpencil, mengeksekusi mereka,
lalu mengubur jasad-jasad mereka dalam kuburan massal tanpa tanda,
atau melemparnya ke sungai.96
Jika dibandingkan dengan pembunuhan massal itu, G-30-S tampak
seperti peristiwa kecil saja. Buku ini saya beri judul Dalih Pembunuhan
Massal untuk menekankan bahwa arti penting sesungguhnya G-30-S
terletak pada hubungan gerakan ini dengan peristiwa yang mengikutinya.
Gerakan 30 September menjadi peristiwa penting hanya karena Suharto
dan para perwira di sekitarnya pada awal Oktober 1965 memutuskan
untuk membuat peristiwa itu menjadi penting: mereka mengeramatkan
G-30-S, maksudnya, mereka berikan arti penting yang lebih besar
dari yang sebenarnya termuat dalam gerakan ini. Mereka mengguna39
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
kan G-30-S sebagai dalih untuk membenarkan langkah-langkah yang
memang sudah mereka rencanakan lebih dulu terhadap PKI dan Presiden
Sukarno. Mungkin personil militer dan orang-orang sipil yang bertanggung
jawab terhadap teror itu terus-menerus berbicara tentang G-30-S
untuk mengalangi pembicaraan mengenai kejahatan mereka sendiri.
Mungkin mereka melebih-lebihkan sifat jahat G-30-S dan PKI untuk
menenangkan batin mereka sendiri. Ketika mereka mengakui terjadinya
pembunuhan massal, mereka mengatakan G-30-S-lah penyebab terjadinya
pembunuhan, seakan-akan kematian ratusan ribu orang dan penahanan
terhadap satu juta lebih lainnya merupakan tanggapan tidak terhindarkan,
yang setimpal dan alamiah. Inilah narasi penyalahan korban yang
selama ini terpatri sebagai ajaran umum.97
Sebagai dalih, G-30-S sepadan dengan pembakaran Reichstag,
gedung parlemen Jerman, yang oleh Hitler digunakan sebagai alasan
untuk menghancurkan Partai Komunis Jerman pada awal 1933. Polisi
Berlin memastikan temuan bahwa api di dalam ruang utama gedung
tersebut disulut oleh seorang radikal Belanda, yang baru masuk kota
sepuluh hari sebelum peristiwa itu terjadi.98 Tapi Hitler, bahkan sebelum
mendengar hasil temuan polisi, sudah memutuskan bahwa pembakaran
gedung parlemen itu merupakan awalan pemberontakan nasional Partai
Komunis. Dalam jam-jam pertama setelah api menyala pada pagi 27
Februari, polisi mulai menangkapi orang-orang komunis. Tokoh-tokoh
Nazi menyatakan bahwa mereka melihat para pembakar gedung bersama
tokoh-tokoh komunis sebelum memasuki gedung dan bahwa partai
merencanakan membakar lebih banyak gedung lagi, meracuni dapur
umum, menculik istri dan anak-anak pejabat pemerintah, dan menyabot
jaringan listrik serta kereta api. Kepada kabinetnya Hitler mengatakan,
satu hari setelah kebakaran: “Secara psikologis sekarang sudah tiba waktu
yang tepat untuk konfrontasi. Tak ada guna menunggu lebih lama lagi.”99
Puluhan ribu anggota Partai Komunis ditangkap selama pekan-pekan
berikutnya dan ditahan di kamp-kamp konsentrasi Nazi yang pertama,
seperti misalnya kamp konsentrasi Dachau. Kebakaran Reichstag
merupakan dalih yang sangat tepat untuk membenarkan penggempuran
yang sudah direncanakan oleh kaum antikomunis Nazi. Suasana
krisis yang direkayasa membuka pintu bagi mereka untuk mengesahkan
undang-undang yang mencabut banyak pasal-pasal konstitusi dan dengan
40
PENDAHULUAN
begitu mencabut hak-hak sipil semua orang Jerman.
Ada banyak kemiripan antara G-30-S dan kebakaran Reichstag:
keputusan yang sudah ditetapkan sebelumnya untuk menyerang Partai
Komunis, propaganda yang membesar-besarkan bahaya yang datang dari
partai, penahanan massal di kamp-kamp konsentrasi, keadaan darurat
bikinan yang dimanfaatkan sebagai saat untuk merebut kekuasaan diktatorial.
Namun begitu analogi ini tidak tepat benar. Dalam kasus G-30-S,
ketua PKI bagaimana pun juga terlibat (D.N. Aidit berada di pangkalan
AURI Halim) dan beberapa personil PKI ikut berperan serta. PKI tidak
dapat dibebaskan sama sekali dari hubungannya dengan G-30-S seperti
halnya Partai Komunis Jerman dibebaskan dari peristiwa kebakaran
Reichstag. Namun, apa pun hubungan antara PKI dan G-30-S tidak
dengan sendirinya memadai untuk membenarkan kekerasan terhadap
siapa pun yang berkaitan dengan partai.
Suharto menjalankan pengambilalihan kekuasaan negara di balik
selubung prosedur hukum. Ia menyembunyikan kudeta merangkaknya
sebagai tindakan murni konstitusional dengan restu Sukarno untuk
menggagalkan kup PKI. Suharto tetap mempertahankan Sukarno sebagai
presiden di atas kertas sampai Maret 1967, satu setengah tahun setelah
ia kehilangan kekuasaan efektifnya. Sukarno mengeluarkan protes lisan,
tetapi kata-katanya tak berdaya karena sejak pekan pertama Oktober
1965 militer telah menguasai media massa. Ia bahkan kalah dalam
memberi nama peristiwa itu sendiri. Sebagai usaha menghentikan media
massa yang menggunakan sebutan konotatif Gestapu untuk G-30-S,
maka pada sidang kabinet 9 Oktober 1965 Sukarno mengajukan sebutan
Gestok sebagai akronim dari Gerakan Satu Oktober.100 Media yang telah
dikuasai militer tak acuh kepadanya dan tetap bersikukuh dengan sebutan
Gestapu. Walaupun Sukarno menyadari bahwa militer berangsur-angsur
menggerogoti kekuasaannya, ia menahan diri dan tidak melancarkan
tentangan secara serius. Alasan mengapa ia mau memainkan peran yang
dirancang Suharto untuknya masih sulit dimengerti. Jika kita menyimak
pidato-pidatonya tampak bahwa Sukarno terutama mengkhawatirkan
Indonesia akan dipecah belah oleh apa yang disebutnya kekuatankekuatan
“imperial, kolonial, dan neokolonial,” gabungan musuh
bersama yang ia singkat menjadi nekolim.101 Sukarno khawatir bahwa
jika ia berusaha menggalang pendukungnya melawan Suharto, akan
41
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
terbuka jalan bagi perang saudara tak terkendali yang malah akan menguntungkan
nekolim. Dalam kekacauan serupa itu Indonesia akan terbagi
menjadi negeri kecil-kecil, lalu Amerika Serikat, Inggris, Belanda, dan
negara-negara lain akan datang untuk menancapkan kawasan pengaruh
masing-masing. Karena obsesinya terhadap kesatuan negerinya, Sukarno
tampaknya percaya bahwa pertumpahan darah, betapapun mengerikan,
masih lebih baik daripada Indonesia sebagai negara bangsa musnah dan
kembali ke kekuasaan asing. Ia memilih memenuhi kemauan Suharto,
membiarkan wewenangnya digerogoti, dan akhirnya keluar dari istana
tanpa perlawanan.102
Bahkan di masa pasca-Suharto, kebanyakan orang Indonesia tidak
mengetahui bagaimana sesungguhnya Suharto naik ke tampuk kekuasaan.
Sekarang ia dikutuk karena korupsi dan keserakahannya yang mencengangkan,
tapi bukan karena penggambarannya tentang G-30-S yang
tidak benar dan pembunuhan massal yang dilakukannya. Jejak berdarah
yang mengawali kekuasaannya hampir tidak pernah diamati dengan
kritis dan cermat. Kebanyakan kampiun gerakan reformasi anti-Suharto
(misalnya Megawati Sukarnoputri atau Amien Rais) membangun karir
politik mereka semasa Suharto dan tetap berpegang pada mitos-mitos
resmi mengenai 1965. Monumen Kesaktian Pancasila masih tetap berdiri
tegak. Peringatan resmi setiap tahun masih tetap diadakan meskipun
tanpa kemegahan yang sama seperti dahulu.103 Parlemen pasca-Suharto
tetap mempertahankan hukum yang melarang pembicaraan publik
mengenai Marxisme-Leninisme dan keterlibatan eks-tapol (dan anak
cucu mereka) dalam partai politik.104 Pembuatan fi lm tentang Soe Hok
Gie, seorang pemuda yang aktif dalam demo-demo anti-PKI dan anti-
Sukarno (yang belakangan menyesali perbuatannya), dalam 2004-05
harus meminta izin polisi untuk menggunakan bendera palu arit PKI
sebagai perlengkapan dan harus menyetujui untuk menyerahkan benderabendera
itu kepada polisi untuk segera dibakar sesudah pembuatan fi lm
selesai.105 Rezim Suharto membangun sebuah dunia fantasi tersendiri,
yang unsur-unsurnya, terutama yang berkaitan dengan peristiwa 1965,
terbukti masih bertahan gigih untuk tampak sebagai kebenaran abadi
bagi bangsa Indonesia. Peninjauan kembali terhadap awal kelahiran
sang rezim, yakni ‘perebutan kekuasaan tak masuk akal’ oleh Suharto
(meminjam istilah Pascal), sudah lama tertunda.
42
PENDAHULUAN
CATATAN
1 Dalam pidato-pidatonya sesudah terjadi G-30-S, Sukarno berulang kali menyebut kejadian
itu sebagai sebuah “rimpel in de geweldige oceaan” (riak di samudra luas). Ia membandingkan
proses revolusioner di Indonesia dengan lautan bergelora, yang terus-menerus menimbulkan
puncak dan lembah di permukaan air laut. Lihat, misalnya, pidatonya pada saat melantik
Suharto sebagai Panglima Angkatan Darat pada 16 Oktober 1965, dalam Setiyono dan
Triyana, ed., Revolusi Belum Selesai, I: 22-23, 38.
2 Tentang jumlah tahanan politik, lihat esai pengantar Robert Cribb dalam buku yang
disuntingnya, Indonesian Killings, 42, dan Fealy, Release of Indonesia’s Political Prisoners,
lampiran.
3 Semua taksiran tentang jumlah orang yang dibunuh hanya perkiraan. Penelitian yang
cermat dan menyeluruh belum pernah dilakukan. Komisi pencari fakta yang ditunjuk
Presiden Sukarno melaporkan pada Januari 1966 bahwa terdapat 78.500 orang mati
dibunuh. Angka ini sengaja diperkecil oleh sebuah komisi yang dikuasai perwira-perwira
militer dan yang mendasarkan laporannya pada informasi dari kalangan perwira militer juga.
Salah satu dari dua orang sipil di dalam komisi, Oei Tjoe Tat, mengatakan bahwa secara
pribadi ia menyampaikan kepada Sukarno, jumlah sebenarnya mendekati angka 500.000
atau 600.000 (Toer dan Prasetyo, eds., Memoar Oei Tjoe Tat, 192). Pembahasan tentang
angka perkiraan ini, lihat Cribb, “How Many Deaths?”
4 Pimpinan inti, seperti yang akan saya uraikan dalam Bab I, ialah dua tokoh sipil, Sjam
dan Pono, serta tiga perwira militer: Letnan Kolonel Untung, Mayor Soejono, dan Kolonel
Abdul Latief.
5 Pidato pembelaan Kolonel Latief diterbitkan sendiri di Eropa bersamaan dengan saat ia
diadili. Teks ini diterbitkan ulang di Indonesia sesudah Suharto jatuh (Latief, Pledoi Kol.
A. Latief). Banyak orang, termasuk saya, meminta kepada Latief agar menjelaskan G-30-S
dengan lebih rinci. Jawaban standar Latief selalu meminta penanya agar membaca pidato
pembelaan yang telah diterbitkannya itu. Penolakannya untuk menulis tentang G-30-S
bukan disebabkan oleh kehilangan memori. Pada akhir 1980-an, ketika masih dalam penjara,
ia pernah menulis secara rinci naskah 118 halaman, lengkap dengan delapan diagram,
tentang pertempuran tunggal yang terjadi enam belas tahun sebelum G-30-S (“Serangan
Umum 1 Maret 1949”). Ia meninggal karena sakit pada umur 78 tahun pada 6 April 2005
di Jakarta.
6 Tentang kisah-kisah ini, lihat Wieringa, Sexual Politics in Indonesia, 291-327.
7 Ricklefs, History of Modern Indonesia, 268.
8 Cribb dan Brown, Modern Indonesia, 97.
9 Pemerintah telah menerbitkan sejarah monumen itu: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Hakekat Pembangunan Monumen Pancasila Sakti.
10 McGregor, “Commemoration of 1 October, ‘Hari Kesaktian Pancasila,’” 43.
11 Sebuah pamfl et yang dijual di museum (Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI, Buku Panduan
43
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya) dengan sangat baik mencantumkan daftar diorama.
Dari 42 diorama, 15 menggambarkan insiden dari 1945 sampai 1948, ketika PKI terlibat
dalam perjuangan bersenjata melawan Belanda.
12 Museum Sejarah Monumen Nasional yang terletak di lantai dasar Monumen Nasional, di
tengah Lapangan Merdeka, juga tidak menyebut PKI dalam perlawanan terhadap penjajah.
Rencana pertama museum itu, yang ditulis oleh sebuah panitia di bawah pengawasan
Sukarno pada 1964, mengusulkan sebuah diorama yang menggambarkan pemberontakan
PKI 1926 di Banten. Setelah mengambil alih kekuasaan, Suharto mencampakkan rencana
itu dan menyusun sebuah panitia baru pada 1969 di bawah pengawasan sejarawan Nugroho
Notosusanto. Lihat McGregor, “Representing the Indonesian Past,” 105-106.
13 Badiou, Ethics, 41.
14 Empat novel Pramoedya Ananta Toer, yang ditulisnya ketika menjadi tapol rezim Suharto,
yaitu tetralogi Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah
Kaca), dapat dibaca sebagai penemuan kembali asal-usul gerakan nasionalis. Judul-judul
dua novelnya yang pertama itu saja mencerminkan universalisme di balik sebuah gerakan
untuk suatu partikularitas baru. Dalam karya-karya Pramoedya, bangsa Indonesia tidak
tampil sebagai pendesakan chauvinisme etnik atau kultural, tapi lebih merupakan suatu
persekutuan antara orang-orang yang menentang chauvinisme serupa itu. Novel pertama
tetralogi ini didedikasikan untuk Han, nama panggilan seorang ilmuwan Belanda, Gertrudes
Johan Resink.
15 Badiou, Ethics, 73-74. Untuk ulasan lebih luas tentang pendapat Badiou mengenai
peristiwa dan kebenaran, lihat Hallward, Badiou, 107-80.
16 Bagian pelestarian sejarah militer, Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI, menerbitkan empat
jilid buku mengenai sejarah PKI: Bahaya Laten Komunisme di Indonesia. Lihat juga Dinuth,
Kewaspadaan Nasional dan Bahaya Laten Komunis; dan Suyitno, Pemasyarakatan Bahaya
Laten Komunis.
17 Suharto membentuk Kopkamtib (Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban)
pada 10 Oktober 1965 dan mendapat persetujuan dari Sukarno pada 1 November
1965. Selanjutnya kehadiran Kopkamtib selalu samar-samar karena bukan merupakan
badan pemerintah dengan birokrasi tersendiri. Suharto merancangnya lebih sebagai fungsi
khusus di tubuh militer. Hampir semua personilnya adalah perwira yang sekaligus memegang
jabatan dalam struktur militer yang reguler. Southwood dan Flanagan mengatakan bahwa
keberadaan Kopkamtib mencerminkan adanya keadaan darurat permanen, tapi mereka
keliru menganggapnya sebagai badan yang berdiri sendiri. Southwood dan Flanagan,
Indonesia, bab 4. Aturan yang terkait dengan lembaga itu dikumpulkan dalam Kopkamtib,
Himpunan Surat-Surat Keputusan/Perintah yang Berhubungan dengan Kopkamtib 1965-1969.
Adalah Presiden Abdurrahman Wahid yang kemudian membubarkan pewaris Kopkamtib,
Bakorstanas, pada 2000.
18 Schmitt, Political Th eology, 5.
19 Stewart Sutley membuat analisis yang bernas mengenai keadaan darurat pada 1965-66
dalam kerangka teori Schmitt: “Th e Indonesian ‘New Order’ as New Sovereign Space.”
44
PENDAHULUAN
Satu-satunya kekurangan yang saya catat adalah bahwa ia gagal memahami upaya Suharto
menormalisasi keadaan darurat.
20 Giorgio Agamben memberikan analisis yang tajam mengenai dua paradoks ini: hukum
yang menyatakan hukum tidak berlaku, dan kekecualian yang berubah menjadi aturan
(dengan begitu meniadakan pembedaan antara kekecualian dan aturan). Karena Schmitt
ingin menjaga keadaan kekecualian sebagai siasat sementara yang akan menjadi produktif
bagi rule of law, maka ia tidak dapat menerima wawasan dari salah satu tesis Walter Benjamin
yang terkenal mengenai sejarah bahwa “tradisi kaum tertindas mengajarkan kepada kita
bahwa ‘keadaan kekecualian’ tempat kita hidup sesungguhnya merupakan aturan.” Agamben,
State of Exception, 52-88. Tentang domestikasi Schmitt terhadap keadaan kekecualian, lihat
McCormick, “Dilemmas of Dictatorship.”
21 Heryanto, “Where Communism Never Dies.”
22 National Security Archives, wawancara untuk seri televisi CNN, “Th e Cold War,”
wawancara dengan Marshall Green, 15 Januari 1997, yang tersedia di situs http://www.
gwu.edu/~nsarchiv/coldwar/interviews/episode-15/green6.html
23 Dokumen ini disiapkan bersama oleh CIA, NSA (National Security Agency), DIA
(Defense Intelligence Agency), dan seksi intelijen Departemen Luar Negeri. Judulnya menggambarkan
isinya: “Prospects for and Strategic Implications of a Communist Takeover in
Indonesia” (Prospek dan Implikasi Strategis dari Pengambilalihan Kekuasaan oleh Kaum
Komunis di Indonesia). (Foreign Relations of the United States, 1964-1968 [selanjutnya
FRUS], 26: 290, www.gwu.edu/~nsarchiv/NSAEBB/NSAEBB52/#FRUS).
24 Kolko, Confronting the Th ird World, 174. Lihat juga T. McCormick, America’s Half-
Century, 100, 111, 114-118.
25 Dikutip dalam Shoup dan Minter, Imperial Brain Trust, 234-236.
26 Ibid., 236. Pernyataan kebijakan pada 1952 itu adalah memorandum National Security
Council (NSC) 124/1. Pernyataan pada 1954 adalah memorandum NSC 5405.
27 Dikutip dalam Scott, “Exporting Military-Economic Development,” 241.
28 Richard M. Nixon, “Asia After Vietnam,” 111.
29 William Bundy, prakata untuk Marshall Green, Indonesia, xi. Bundy saat itu Asisten
Menteri Luar Negeri untuk Urusan Asia Timur dan Pasifi k dari 1964 sampai 1969.
30 McNamara, In Retrospect, 214.
31 Ibid., 270.
32 Ibid., 215. McGeorge Bundy, penasihat keamanan nasional untuk Kennedy dan Johnson,
juga menegaskan bahwa Vietnam tidak lagi merupakan kepentingan yang vital, “paling tidak
sejak adanya revolusi antikomunis di Indonesia” (dikutip dalam John Mueller, “Reassessment
of American Policy,” 52). Keputusan pemerintah Johnson pada awal sampai medio-1965
untuk meningkatkan perang secara dramatik (dengan pemboman atas Vietnam Utara dan
memasukkan pasukan darat AS ke Vietnam Selatan) tidak dengan berpedoman pada teori
domino. Seperti ditunjukkan George Kahin, pemerintah AS terutama prihatin pada 1965
dengan konsekuensi-konsekuensi simbolis akan kemungkinan jatuhnya Vietnam Selatan ke
45
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
tangan kaum komunis. Para pejabat AS ingin menghindari rasa terhina dan memperingatkan
bangsa-bangsa lain bahwa perlawanan terhadap tentara AS akan menanggung harga mahal,
bahkan seandainya pun perlawanan itu pada akhirnya menang (G. Kahin, Intervention,
283, 312-314, 356-358, 363, 375, 390-393). Untuk teori domino, lihat juga Porter, Perils
of Dominance, 243-258.
33 New York Times, 11 Oktober 1965, hal. 1.
34 New York Times, 19 Juni 1966, hal. 12E.
35 Time (edisi Kanada), 15 Juli 1966, hal. 44.
36 Dikutip dalam Noam Chomsky, Year 501, 126.
37 Chomsky dan Herman, Th e Political Economy of Human Rights, I: 205-217.
38 Saya penyunting bersama sebuah kumpulan esai mengenai pengalaman para korban:
Roosa, Ratih, dan Farid, eds., Tahun yang Tak Pernah Berakhir.
39 Peter Dale Scott, yang mempelajari G-30-S dan juga pembunuhan terhadap Kennedy,
mengajukan istilah deep politics untuk mengacu pada aspek-aspek negara yang dirahasiakan,
“semua praktek dan perencanaan politik yang, sengaja atau tidak, biasanya ditutupi
ketimbang diakui.” Yang dimaksud, misalnya, penggunaan sindikat-sindikat kejahatan yang
terorganisir oleh negara (Deep Politics and the Death of JFK, 7, 10). Buku puisi Scott Coming
to Jakarta merupakan renungan mendalam tentang keterlibatan orang-orang Amerika Utara
yang beradab, terpelajar di dalam kekejaman di negeri-negeri seperti Indonesia, Vietnam,
dan Cile.
40 Nasution, Memenuhi Panggilan Tugas, 6: 265-267. Dokumen Supardjo juga disebut
sambil lalu dalam dua buku yang baru terbit, Katoppo, Menyingkap Kabut Halim 1965,
132-33, 255, dan Sulistyo, Palu Arit di Ladang Tebu, 8. Sulistyo mengutip dokumen itu
hanya untuk membuktikan hal kecil bahwa G-30-S tidak memberikan persediaan makan
bagi pasukannya.
41 Rekaman sidang Mahmilub terhadap Supardjo pada 1967 tersedia di Museum TNI Satria
Mandala, Jakarta, dan Kroch Library di Cornell University. Bagian-bagian tertentu dari
rekaman sidang Supardjo digunakan oleh Crouch, Th e Army and Politics in Indonesia, 115,
127, 128, 132. Sebelumnya ada juga penemuan sumber primer penting yang terpendam
di dalam rekaman Mahmilub. Awal 1980-an, saat membaca rekaman sidang Letkol Heru
Atmodjo, Benedict Anderson menemukan laporan otopsi jasad tujuh perwira yang dibunuh
G-30-S di Jakarta. Suharto menyembunyikan laporan itu, tapi militer melampirkannya
dalam beberapa rekaman sidang Mahmilub sebagai bukti, tanpa menyadari akibatnya di
masa mendatang (Anderson, “How Did the Generals Die?”)
42 Fic, Anatomy of the Jakarta Coup. Victor Fic (1922-2005) seorang ilmuwan politik, yang
mulai menulis tentang Indonesia pada 1960-an. Selain dokumen Supardjo, buku Fic tidak
memuat sesuatu yang baru, baik dalam hal sumber maupun cara analisis. Ia mengandalkan
laporan interogasi militer dan dokumen Mahmilub, dan mengulang argumen-argumen
yang dikemukakan dalam publikasi-publikasi rezim Suharto. Pendapat Fic bahwa baik
pemerintah Tiongkok maupun Presiden Sukarno terlibat dalam G-30-S didasarkan atas
46
PENDAHULUAN
spekulasi belaka.
43 Sugiarto, putra Supardjo, dalam pembicaraan dengan saya mengonfi rmasi bahwa dokumen
tersebut ditulis oleh ayahnya.
44 Hasan meminta saya mengumumkan nama dan menerbitkan memoarnya setelah ia wafat.
Begitu identitas dan kisah hidupnya diungkap, akan jelas bahwa ia memang berposisi untuk
memiliki informasi tangan pertama mengenai kejadian-kejadian yang diceritakannya.
45 Siauw, “Berbagai Catatan dari Berbagai Macam Cerita.” Tulisan Siauw lainnya yang
tidak diterbitkan, “Th e Smiling General Harus Dituntut ke Mahkamah,” berisi beberapa
informasi yang sama.
46 Baperki adalah singkatan dari Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia.
Mengenai kegiatannya lihat Coppel, Indonesian Chinese in Crisis. Tentara melarang organisasi
ini pada akhir 1965 dan menangkap sebagian besar anggotanya. Mengenai Siauw lihat
biografi informatif yang disusun putranya, Siauw Tiong Djin, Siauw Giok Tjhan.
47 Soebandrio, Kesaksianku tentang G-30-S. Gramedia, penerbit terbesar di Indonesia,
semula bermaksud menerbitkan buku itu. Tapi tanpa mengemukakan alasannya, mereka
membatalkan penerbitannya dan menghancurkan 10.000 eksemplar yang sudah dicetak.
Lihat Gamma, 8-14 November 2000, 16-17; Tempo, 4 Februari 2001, 68-69. Naskah itu
sekarang sudah menjadi milik umum. Banyak orang dan kelompok di Indonesia yang
kemudian menerbitkannya sendiri.
48 Surodjo dan Soeparno, Tuhan Pergunakanlah Hati, Pikiran dan Tanganku. Mingguan
Tempo memuat laporan khusus mengenai Dani, 4 Februari 2001, 60-65.
49 Katoppo, Menyingkap Kabut Halim 1965.
50 Berkas itu ialah Indonesia, Malaysia-Singapore, Philippines, vol. 26 of Department of State,
FRUS 1964-68. Lihat catatan kaki 23 untuk mengakses bahan ini melalui internet.
51 Darnton, “It Happened One Night,” 60. Saya berterima kasih kepada Courtney Booker
yang memberitahu saya mengenai esai tinjauan ini.
52 Ritchie, Rashomon, 87.
53 Darnton, “It Happened One Night,” 60.
54 Pada kesempatan arahan pers pada 12 Februari 2002, Menteri Pertahanan AS Rumsfeld
menyatakan, “Ada hal-hal yang sudah diketahui. Ada hal-hal yang kita tahu bahwa kita tahu.
Kita juga tahu ada hal-hal tidak diketahui yang kita ketahui. Maksud saya, kita mengetahui
ada hal-hal yang kita tidak ketahui. Tapi juga ada hal-hal yang tidak kita ketahui kita tidak
tahu, hal-hal yang kita tidak ketahui.” Pernyataan ini bermaksud menanggapi laporan
intelijen palsu tentang senjata pemusnah massal di Irak. Sebagai sebuah permakluman
mengenai laporan tersebut, pernyataan Rumsfeld ini merupakan pengaburan masalah.
Tetapi, pernyataan itu sendiri bukanlah omong kosong seperti dituduhkan para pengkritiknya.
Masalahnya terletak pada keterbatasannya. Ia tidak menyebutkan kategori keempat
yang pokok dalam psikoanalisis: yang diketahui tidak diketahui, atau hal-hal yang kita
ketahui tapi kita tidak mengakui bahwa mengetahui. (Zizek, “What Rumsfeld Doesn’t
Know Th at He Knows about Abu Ghraib”).
47
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
55 Kisah detektif dari genre lebih tua biasanya sibuk dengan penjahat individual dan bukan
pelaku kolektif. Kesulitan umum dalam menentukan siapa yang menjadi pelaku dalam
kasus pembunuhan massal adalah sifat kekerasan birokratik yang impersonal: pejabat di
atas mengaku tidak mengetahui apa yang dilakukan bawahan, sementara bawahan mengaku
bertindak mengikuti perintah dari atasan. Mungkin saja ambiguitas dan impersonalitas yang
inheren dalam kekerasan birokratik inilah yang telah menghambat munculnya genre sastra
yang akan menokohkan para penyelidik hak asasi manusia di masa kini.
56 Sukarno menggunakan analogi ini dalam pidato 27 Oktober 1965 (Setiyono dan Triyana,
eds., Revolusi Belum Selesai, I: 61-62).
57 Korban terdiri dari enam jenderal Angkatan Darat, seorang letnan, anak perempuan
Jenderal Nasution yang berumur lima tahun, seorang pengawal di rumah Leimena (tetangga
Nasution), kemenakan Brigjen Pandjaitan yang berumur dua puluh empat tahun, dan dua
perwira Angkatan Darat di Jawa Tengah. Kemenakan Pandjaitan yang lain luka parah akibat
tembakan. Daftar ini didasarkan pada catatan Angkatan Darat. Pada kesempatan upacara di
Lubang Buaya pada 1 Oktober 1966 Angkatan Darat membagikan laporan singkat berbahasa
Indonesia tentang G-30-S. Laporan ini diterjemahkan Kedutaan Besar Kanada (Canadian
Embassy, Jakarta, to Under-Secretary of State for External Aff airs, Ottawa, “Anniversary
of Last Year’s Abortive Coup”, 11 Oktober 1966). Saya mengucapkan terima kasih kepada
David Webster yang telah mengirim salinan dokumen ini kepada saya.
58 Anderson dan McVey, Preliminary Analysis, 63.
59 Tangan kanan Suharto, Letkol Ali Moertopo, saat berceramah di hadapan sekelompok
pejabat pemerintah, menyatakan bahwa sebelum 1965 pengaruh PKI sangat meluas: “Orang
Indonesia dipengaruhi komunisme sebagai sistem berpikir begitu lamanya sehingga bisa
dikatakan sebagai cara berpikir orang Indonesia” (Bourchier dan Hadiz, eds., Indonesian
Politics and Society, 110). Pernyataan ini berlebihan. Sukarno sebenarnya jauh lebih berpengaruh
daripada PKI. Para pejabat rezim Suharto, seperti Ali Moertopo, tidak pernah
sampai mengutuk Sukarno, tapi watak antikomunis mereka mengharuskan mereka bermusuhan
terhadap salah satu prinsip Sukarno yang paling dikobar-kobarkan, yaitu Nasakom,
persatuan kaum nasionalis, agama, dan komunis. Pada 1926 Sukarno sudah menyerukan
agar orang-orang dari tiga aliran ini untuk mengenali kepentingan bersama mereka dan
bersatu demi perjuangan nasionalis. Ia mengakui peran PKI dalam politik nasional. Sukarno,
Nationalism, Islam and Marxism.
60 Untuk renungan yang mendalam tentang psikologi penyangkalan, lihat Cohen, States
of Denial.
61 Satu contoh utama tentang kebungkaman yang demikian tertata ini dapat ditemukan
dalam Notosusanto dan Saleh, Th e Coup Attempt of the ‘September 30 Movement’ in
Indonesia.
62 Suharto, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, 114.
63 “Surat Perintah 11 Maret untuk mengatasi situasi konfl ik ketika itu,” Kompas, 11 Maret
1971, hal. 1, 12.
64 Cribb, ed., Indonesian Killings 1965-1966, 16.
48
PENDAHULUAN
65 Karnow, “First Report on Horror in Indonesia,” Washington Post, 17 April 1966, 1,
20; Seth King, “Th e Great Purge in Indonesia,” New York Times Magazine, 8 Mei 1966;
Seymour Topping, “Slaughter of Reds Gives Indonesia a Grim Legacy,” New York Times,
24 Agustus 1966, 1, 16.
66 Karnow, “First Report on Horror,” 20.
67 Topping, “Slaughter of Reds,” 16.
68 Ibid.
69 Dikutip dalam Newfi eld, Robert Kennedy, 71.
70 Time (edisi Kanada), 15 Juli 1966, 30-31.
71 C.L. Sulzberger, “Foreign Aff airs: When an Nation Runs Amok,” New York Times, 13
April 1966, 40.
72 Don Moser, “Where the Rivers Ran Crimson from Butchery,” Life, 1 Juli 1966, 26-28.
73 Shaplen, Time Out of Hand, 128. Buku ini berdasar pada karangan-karangan Shaplen
tentang Asia Tenggara di New Yorker.
74 Ibid., 26.
75 Ibid., 128.
76 Geertz, After the Fact, 10.
77 Geertz, Interpretation of Cultures, 452 n. 43.
78 Friend, Indonesian Destinies, 99, 113, 115.
79 Sebuah laporan yang diterbitkan tentara mencatat bahwa Resimen Para Komando
Angkatan Darat (RPKAD) mulai menggulung ribuan orang yang dicurigai sebagai anggota
PKI di Jawa Tengah pada 18 Oktober 1965: “Dalam melaksanakan gerakan pembersihan,
RPKAD tidak menjumpai perlawanan sedikit pun dari sisa-sisa kaum pemberontak.”
Dengan kata lain, “para pemberontak” itu tidak di dalam proses memberontak pada saat
mereka ditangkap (Dinas Sejarah Militer TNI-Angkatan Darat, Cuplikan Sejarah Perjuangan
TNI-Angkatan Darat, 506.
80 Gestapu jelas merupakan akronim yang dibikin-bikin. Bahasa Indonesia biasanya
membangun akronim dengan menggabungkan suku kata-suku kata, terkadang huruf-huruf,
dari sejumlah kata dalam susunan yang menampakkan suku kata-suku katanya. Dalam
Gestapu, huruf “s” itu tidak menurut aturan susunan katanya.
81 Uraian paling rinci mengenai propaganda militer dalam bulan-bulan setelah G-30-S
adalah Wieringa, Sexual Politics in Indonesia, 291-317.
82 Sebuah karangan yang berdasarkan riset sejarah lisan memberi penegasan dengan rinci
terhadap pendapat Anderson dan McVey. Lihat Hasworo, “Penangkapan dan Pembunuhan
di Jawa Tengah Setelah G-30-S.”
83 Wawancara dengan mantan anggota PKI di Jawa Barat: Djayadi, 1 April 2001, Tasikmalaya;
Rusyana, 11 Juli 2001, Jakarta. Keduanya nama samaran.
84 Hughes, End of Sukarno, bab 15, berjudul “Frenzy on Bali.” Lihat juga Elson, Suharto,
49
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
125.
85 Analisis paling jitu mengenai pembunuhan di Bali dilakukan oleh Robinson, Th e Dark
Side of Paradise, 273-303.
86 Ini berdasarkan wawancara saya dengan janda dari seorang mantan pimpinan PKI di
Denpasar, Ibu Tiara (nama samaran), 15 Agustus 2000, dan Ibu Puger, 11 Januari 2001.
87 Tanggal ini disebutkan oleh Wayan, nama samaran seseorang yang ditahan bersama I Gde
Puger, salah seorang di antara orang-orang yang dibunuh di Kapal. Wayan mengingat tanggal
ketika Puger dibawa keluar oleh tentara pada malam hari untuk dieksekusi. Wawancara
dengan Wayan, 12 Juli 2004, Ubud.
88 Wawancara dengan I Wayan Dana, 6 Januari 2001, Denpasar; Pugeg, 3 September 2000,
Denpasar; Kompyang Suwira, 2 September 2000, Denpasar; I Ketut Reti, 7 Januari 2001;
Poniti, 24 Agustus 2000, Kapal.
89 Robinson, Th e Dark Side of Paradise, 295.
90 Cribb, “Genocide in Indonesia, 1965-1966,” 235.
91 Kasus yang paling terkenal adalah referendum di Timor Leste pada 1999. Militer memobilisasi
milisi untuk mengintimidasi pemilih agar mendukung integrasi dengan Indonesia.
Setelah hasil referendum diumumkan, militer dan milisi menghancurkan Timor Leste
sebagai tindak balas dendam, membunuh ratusan orang, dan memindahkan sekitar 250.000
orang secara paksa ke Timor Barat, dan membakar sekitar 70 persen dari bangunan yang
ada. (Martinkus, A Dirty Little War; Bartu, “Th e Militia, the Military, and the People of
Bobonaro”).
92 Trouillot, Silencing the Past, 2.
93 Ibid., 26.
94 Dalam pernyataannya kepada masyarakat Jawa Tengah, November 1965, Suharto menyerukan
penghancuran Gerakan 30 September “sampai pada ke akar-akarnya.” (Dinuth,
Dokumen Terpilih Sekitar G-30-S/PKI, 137).
95 Prunier, Th e Rwandan Crisis, 241. Dalam argumennya bahwa kaum chauvinis Hutu yang
melakukan pembunuhan mengharapkan dunia internasional tidak campur tangan, Prunier
mengajukan pertanyaan retoris, “Siapa yang ingat tentang setengah juta orang Tionghoa
yang dibunuh atas perintah Presiden Suharto di Indonesia pada 1965?” (229). Pertanyaannya
mengenai ingatan ini menarik karena mengungkap betapa buruk ingatan orang tentang
pembunuhan massal di Indonesia. Keliru gagas yang umum terjadi menyatakan hanya orang
Tionghoa saja yang dibunuh dalam peristiwa itu. Kendati ada orang Tionghoa yang dibunuh,
mereka tidak menjadi sasaran sebagai kelompok. Beberapa orang Tionghoa dengan sukarela
bekerja sama dengan tentara. Sebagian besar korban adalah orang Jawa dan Bali. Orang
Tionghoa yang dibunuh biasanya terkait dengan organisasi kiri seperti Baperki. Andaikata
kaum militan Hutu Power berhasil mempertahankan kekuasaan mereka seperti halnya
Suharto, boleh jadi pembunuhan di Rwanda pun akan salah diingat sebagai suatu ledakan
misterius dan spontan dari hasrat pembalasan dendam rakyat. Sehubungan dengan ulasan
Prunier, hendaknya diperhatikan bahwa Suharto belum menjadi presiden pada 1965.
50
PENDAHULUAN
96 Esai pengantar dalam buku yang ikut saya sunting memberikan analisis yang lebih luas,
meskipun masih bersifat pendahuluan mengenai pembunuhan tersebut: Roosa, Ratih, dan
Farid, eds., Tahun yang Tak Pernah Berakhir, 8-18. Masih banyak penelitian sejarah lisan
yang perlu dilakukan mengenai pembunuhan di berbagai tempat sebelum gambar yang
lebih jelas dapat muncul.
97 Kebebalan ingatan sosial mengenai pembunuhan ini dapat dilihat dalam karya Taufi q
Ismail, salah seorang penyair Indonesia yang terkenal. Dalam buku kumpulan yang kacaubalau
berisi gambar, dokumen, dan esai pendek (beberapa di antaranya mengenai masalah
narkotika yang tidak relevan), Ismail menyatakan Marxisme-Leninisme adalah ideologi
berpembawaan jahat yang pasti berujung pada genosida. Pembunuhan massal antikomunis
1965-66 dengan begitu merupakan tindak pencegahan: pembunuhan itu dilakukan untuk
mencegah pembunuhan massal lebih besar yang akan dilakukan kaum komunis. (Ismail,
Katastrofi Mendunia). Ilmuwan sosial Iwan Gardono Sujatmiko juga mengatakan bahwa
pembunuhan massal itu merupakan upaya pencegahan: “Kehancuran PKI Tahun 1965-
1966,” 11. Tentu saja semua pembunuhan massal yang pernah ada dapat dibenarkan dengan
cara demikian. Para pelaku selalu mengaku bertindak untuk membela diri. Pembenaran
Ismail dan Sujatmiko secara eksplisit terhadap pembantaian politik ini tidak lazim dalam
wacana publik Indonesia – kejadian ini biasanya diabaikan begitu saja – tapi secara akurat
mencerminkan apa yang akan dinyatakan oleh mereka yang terlibat dalam pembunuhan
itu jika didesak untuk menjelaskan tindakan mereka.
98 R. Evans, Coming of the Th ird Reich, 328-333.
99 Dikutip dalam R. Evans, Coming of the Th ird Reich, 332.
100 Setiawan, Kamus Gestok, 99-100.
101 Lihat pidato-pidato yang dikumpulkan dalam Setiyono dan Triyana, Revolusi Belum
Selesai.
102 Strategi Sukarno untuk menghadapi Suharto dari akhir 1965 sampai Maret 1968
memerlukan perhatian lebih banyak dari apa yang diperoleh selama ini. Crouch, yang
analisisnya paling rinci sejauh ini, berpendapat bahwa Sukarno yakin dapat mengalahkan
Suharto (Crouch, Th e Army and Politics in Indonesia, 158-220. Juga dalam Legge, Sukarno,
430-58). Namun tetap menjadi pertanyaan, mengapa Sukarno tidak memecat Suharto atau
menyerukan perlawanan terhadap pembantaian yang dilakukan tentara. Cara utama Sukarno
melakukan perlawanan adalah dengan berpidato – cara yang diketahuinya sia-sia karena
tentara, yang mengontrol media, memberangus atau mendistorsi pernyataan-pernyataannya.
Apa pun alasan Sukarno menggunakan strategi kompromi ini, kiranya sulit menghindari
kesimpulan bahwa ia bertindak sebagai pengecut menghadapi pembunuhan massal itu.
103 Pada 2000 pemerintah menghapus Hari Kesaktian Pancasila untuk menghindari
konotasi bahwa Pancasila itu sakti sehingga kedudukannya sama dengan agama. Sebutan
baru yang digunakan, Peringatan Mengenang Tragedi Nasional Akibat Pengkhianatan
Terhadap Pancasila, menegaskan ulang propaganda rezim Suharto; Gerakan 30 September,
bukan pembantaian massal yang terjadi menyusul, merupakan tragedi nasional (“Betrayal
of Pancasila Tragedy Commemorated,” Jakarta Post, 2 Oktober 2000). Ketika Megawati
51
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
Sukarnoputri menjadi presiden, ia memimpin upacara di Lubang Buaya pada 2001 dan
2003, tetapi pada 2002 dan 2004 ia mengirim menteri koordinator politik dan keamanan
untuk memimpin upacara itu (“Megawati dan Hamzah Tak Hadir di Lubang Buaya,”
Kompas, 1 Oktober 2004). Lihat juga Adam, “Dilema Megawati di Lubang Buaya,” Kompas,
8 Oktober 2003; McGregor, “Commemoration of 1 October,” 61-64.
104 Budiawan, “When Memory Challenges History”; van Klinken, “Th e Battle for History
after Suharto.” Laksamana.Net, “Amien Rais Inaugurates New Anti-Communist Front,” 27
Februari 2001. Lihat juga artikel-artikel surat kabar yang menggebu-gebu pada April 2000
ketika Presiden Abdurrahman Wahid mengusulkan agar ketetapan MPRS yang melarang
Marxisme-Leninisme dicabut: “New Wave of Protests Target Plan on Communism,” Jakarta
Post, 8 April 2000, hal. 1. Sulastomo, “Tap XXV/MPRS/1966,” Kompas, 12 April 2000,
hal. 4. Franz Magnis-Suseno, “Mencabut Tap No XXV/MPRS/1966?,” Kompas, 14 April
2000. “Dari Secangkir Kopi ke Hawa Nafsu,” Kompas, 14 April 2000, hal. 7; “Clamour
about Marxism,” Jakarta Post, 18 April 2000, hal. 4.
105 Antara 1965-66, sebagai mahasiswa di Jakarta, Soe Hok Gie adalah pendukung bersemangat
gerakan operasi militer melawan PKI dan Presiden Sukarno. Lihat kumpulan tulisantulisannya
dari masa itu, Catatan Seorang Demonstran. Tapi beda dari banyak temannya
sesama pemuda antikomunis, yaitu yang disebut Angkatan 1966, hatinya memberontak
seketika ia mengetahui tentang pembunuhan massal dan menyadari bahwa pemerintahan
Sukarno digantikan oleh kediktatoran militer. Tulisan-tulisan Soe Hok Gie pada 1967-69,
yang kemudian dikumpulkan dan terbit di bawah judul Zaman Peralihan, mencetuskan
pendapat berbeda yang keras. Banyak dari kalangan “Angkatan 1966” yang mencela tirani
Sukarno, kemudian dengan nyaman menikmati posisi-posisi dengan gaji besar dalam tirani
Suharto.
52
1
KESEMRAWUTAN FAKTA-FAKTA
Jika ada bagian sejarah yang dicat kelabu di atas kelabu, inilah bagian
itu. Orang-orang dan kejadian-kejadian tampak seperti kebalikan si
Schlemihl, seperti bayang-bayang yang kehilangan tubuh.1
Karl Marx, Th e Eighteenth Brumaire of Louis Bonaparte (1852)
PAGI HARI 1 OKTOBER
Gerakan 30 September menyatakan keberadaan dirinya untuk
pertama kali melalui siaran RRI pusat pada pagi hari 1 Oktober
1965. Pasukan-pasukan yang setia kepada G-30-S menduduki
stasiun pusat RRI dan memaksa sang penyiar membacakan sebuah
dokumen terketik untuk siaran pagi itu. Mereka yang memasang radio
sekitar pukul 7.15 menangkap pengumuman selama sepuluh menit
yang terdengar seperti warta berita biasa saja. Para penggerak G-30-S
menulis pernyataan mereka tidak dalam gaya bicara orang pertama, tetapi
orang ketiga, seakan-akan seorang wartawan yang menyusun pernyataan
tersebut. Siaran itu dua kali menyebutkan “menurut keterangan
yang didapat dari Letnan Kolonel Untung, Komandan Gerakan 30
September,” sehingga memberi kesan bahwa berita radio itu mengutip
dari dokumen lain. Suara mengelabui dari orang ketiga ini memberi
suasana berita yang menentramkan. Seakan-akan para penyiar radio
masih bertugas seperti biasa dan tidak ada pasukan bersenjata menyerbu
53
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
masuk dan menyela siaran yang sedang berlangsung. Dengan demikian
pernyataan pertama G-30-S tidak tampak disampaikan oleh gerakan itu
sendiri, tapi justru oleh bagian berita stasiun RRI. Ini merupakan awal
dari serangkaian panjang ketidaksesuaian antara apa yang tampak dan
apa yang nyata.2
Satu-satunya anggota G-30-S yang namanya diumumkan dalam
pernyataan pertama itu ialah Letnan Kolonel Untung. Ia menyatakan
diri sebagai komandan batalyon pasukan kawal presiden yang bermaksud
mencegah “kup kontra-revolusioner” oleh sebuah kelompok yang dikenal
sebagai Dewan Jenderal. Jenderal-jenderal tak bernama ini “bermaksud
jahat terhadap Republik Indonesia dan Presiden Sukarno” dan berencana
“mengadakan pameran kekuatan (machtsvertoon) pada hari Angkatan
Bersenjata 5 Oktober.” Bertindak menentang para perwira atasan mereka,
pasukan-pasukan di dalam G-30-S tampaknya didorong oleh kesetiaan
mereka yang lebih tinggi, yaitu kepada Presiden Sukarno, Panglima
Tertinggi Angkatan Bersenjata.
Berita itu menyatakan bahwa G-30-S telah menahan “sejumlah
jenderal” dan akan segera mengambil langkah lebih lanjut. Direncanakan
akan ada “tindakan-tindakan di seluruh Indonesia yang ditujukan
kepada kaki tangan dan simpatisan-simpatisan Dewan Jenderal.” Siapa
saja yang akan melaksanakan aksi-aksi itu tidak disebutkan. Suatu badan
bernama “Dewan Revolusi Indonesia” akan dibentuk di Jakarta dan akan
bertindak sebagai semacam kekuasaan eksekutif. Semua “partai-partai,
ormas-ormas, surat kabar-surat kabar dan majalah-majalah” harus “menyatakan
kesetiaannya” kepada Dewan Revolusi Indonesia jika mereka
ingin mendapat ijin untuk terus bekerja. Dewan-dewan revolusi di tingkat
lebih rendah akan dibentuk di setiap jenjang administrasi pemerintahan,
mulai dari provinsi sampai ke desa. Pengumuman ini menjanjikan bahwa
rincian tentang Dewan Revolusi akan disiarkan melalui surat keputusan
berikutnya.
Selain mengambil alih stasiun radio dan memaksa penyiar untuk
membacakan pernyataan mereka, pasukan-pasukan G-30-S juga
menduduki Lapangan Merdeka, yang terletak di depan stasiun RRI.3
Di sepanjang empat sisi lapangan rumput yang luas ini berdiri pusat-pusat
kekuasaan terpenting negara: istana presiden, markas ABRI, kementerian
pertahanan, markas Kostrad, dan Kedutaan Besar Amerika Serikat. Di
54
1. KESEMRAWUTAN FAKTA-FAKTA
tengah lapangan berdiri monumen perjuangan kemerdekaan, Monumen
Nasional, setinggi 137 meter. Apabila bentangan kepulauan Indonesia
memiliki locus kekuasaan politik, Lapangan Merdeka inilah tempatnya.
Sebagian besar dari sekitar seribu prajurit yang berada di lapangan ini
berasal dari dua batalyon Angkatan Darat: Batalyon 454 dari Jawa Tengah
dan Batalyon 530 dari Jawa Timur. Pasukan-pasukan ini ditempatkan
di sisi utara lapangan di depan istana, di sisi barat di depan RRI, dan di
sisi selatan dekat gedung telekomunikasi yang juga mereka duduki dan
mereka tutup. Jaringan telefon di Jakarta mereka putus.
Dengan mengambil posisi di lapangan pusat ini, satu bagian dari
pasukan G-30-S membuat dirinya tertampak. Yang lebih tersembunyi
Peta 2. Lapangan Merdeka
55
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
adalah kesatuan lain yang beroperasi dari Lubang Buaya, kawasan kebun
karet tak berpenghuni sekitar tujuh mil di selatan Lapangan Merdeka.
Pada saat siaran radio yang pertama mengudara pasukan-pasukan
ini sudah melaksanakan tugas mereka di balik selubung kegelapan.
Mereka berkumpul di Lubang Buaya sepanjang 30 September malam
dan mendapat perintah untuk menculik tujuh jenderal yang diduga
anggota Dewan Jenderal. Pasukan dibagi menjadi tujuh kelompok, dan
setiap kelompok diperintahkan untuk menangkap seorang jenderal dari
rumahnya dan membawanya ke Lubang Buaya. Berbagai kelompok ini
naik truk sekitar pukul 3.15 pagi buta dan menderum menuju pusat
kota yang berjarak waktu tiga puluh sampai empat puluh lima menit.
Sebagian besar kelompok menuju daerah Menteng, tempat kediaman
banyak pejabat tinggi pemerintah. Sasaran mereka ialah Jenderal A.H.
Nasution, Menteri Pertahanan, Letnan Jenderal Achmad Yani, Panglima
Angkatan Darat, lima Staf Umum Angkatan Darat: Mayor Jenderal S.
Parman, Mayor Jenderal Mas Tirtodarmo Harjono, Mayor Jenderal R.
Suprapto, Brigadir Jenderal Soetojo Siswomihardjo, dan Brigadir Jenderal
Donald Ishak Pandjaitan.
Tabel 1. Staf Umum Angkatan Darat sampai 1 Oktober 1965
Panglima Angkatan Darat
Letjen Yani
Deputi
1. Mayjen Mursid
2. Mayjen Suprapto
3. Mayjen Harjono
Asisten
1. Mayjen Parman
2. Mayjen Ginting
3. Mayjen Pranoto
4. Brigjen Pandjaitan
5. Mayjen Sokowati
6. Brigjen Sudjono
7. Brigjen Alamsjah
Oditur Jenderal
1. Brigjen Soetojo
Sumber: Notosusanto and Saleh, The Coup Attempt, appendix B.
Catatan: Nama-nama jenderal dalam kursif ialah mereka yang diculik dan dibunuh oleh G-30-S.
Pasukan-pasukan bergerak melalui jalan-jalan sunyi dan singgah di
rumah-rumah yang sudah terlelap. Enam kelompok berhasil menangkap
sasaran mereka dan segera kembali ke Lubang Buaya. Kelompok ketujuh,
56
1. KESEMRAWUTAN FAKTA-FAKTA
yang ditugasi menangkap sasaran paling penting, Jenderal Nasution,
kembali dengan ajudannya saja. Di tengah kekalutan penggerebekan,
pasukan menembak anak perempuan Nasution yang berumur lima
tahun dan seorang prajurit kawal yang berada di depan rumah sebelahnya,
yaitu rumah Wakil Perdana Menteri II (Waperdam II) Johannes
Leimena. Nasution berhasil melompati tembok belakang kediamannya
dan bersembunyi di rumah tetangga, yaitu Duta Besar Irak. Walaupun
terjadi kegemparan di Menteng akibat bunyi tembak-menembak, tujuh
kelompok penculik berhasil dengan cepat kembali ke Lubang Buaya
tanpa dikenali atau dikejar. Sampai selambat-lambatnya sekitar pukul
5.30 pagi G-30-S telah menahan enam orang jenderal dan satu orang
letnan di suatu sudut terpencil dan kurang dikenal di kota Jakarta.4
Sementara itu pimpinan G-30-S berkumpul di pangkalan AURI
di Halim tepat di sebelah utara Lubang Buaya. Seorang kurir datang
memberi tahu mereka bahwa perwira-perwira yang diculik telah tiba.
Dengan selesainya operasi penculikan pimpinan G-30-S mengutus tiga
perwira mereka – Brigjen M.A. Supardjo, Kapten Sukirno dari Batalyon
454, dan Mayor Bambang Supeno dari Batalyon 530 – ke istana untuk
menghadap Presiden Sukarno. Supardjo, komandan pasukan tempur
di Kalimantan, di sepanjang perbatasan dengan Malaysia, telah tiba di
Jakarta tiga hari sebelumnya (28 September 1965). Sukirno dan Supeno
memimpin batalyon-batalyon yang ditempatkan di Lapangan Merdeka.
Sekitar pukul 6 pagi trio perwira itu, dengan berkendaraan jip melaju
ke arah utara, menuju istana presiden. Bersama mereka ada dua personil
lain, seorang perwira AURI, Letnan Kolonel Heru Atmodjo, dan seorang
prajurit yang bertugas sebagai pengemudi jip.
Ketika Supardjo dan rekan-rekannya tiba di istana, para pengawal
di pintu masuk memberi tahu bahwa Presiden Sukarno tidak ada di
istana. Tidak jelas apa kiranya yang akan dilakukan ketiga perwira
itu andaikata presiden ada.5 Pada sidang pengadilannya tahun 1967
Supardjo menyatakan ia bermaksud memberi tahu Sukarno tentang
G-30-S dan meminta kepadanya agar mengambil tindakan terhadap
Dewan Jenderal.6 Barangkali rencana G-30-S adalah membawa jenderaljenderal
yang diculik ke istana dan meminta presiden agar mengesahkan
penahanan terhadap mereka, serta memerintahkan pengadilan terhadap
mereka atas tindakan makar. Atau G-30-S mungkin hendak membawa
57
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
Sukarno ke Halim untuk bertemu dengan jenderal-jenderal itu di sana.
Dalam pemberitaan pertama mereka, yang disiarkan pada sekitar pukul
7.15 pagi, G-30-S menyatakan bahwa Presiden Sukarno “selamat dalam
lindungan Gerakan 30 September.” Agaknya G-30-S berniat memberikan
perlindungan terhadap presiden entah di istana atau di Halim.
Sementara Supardjo bersama dua komandan batalyon sedang
menunggunya, Sukarno dibawa kembali ke istana dari rumah isteri
ketiganya, Dewi, tempat ia bermalam.7 Pejabat komandan pasukan
kawal istana, Kolonel H. Maulwi Saelan, melalui radio menghubungi
pasukan kawal Sukarno dan meminta agar mereka menjauhi istana karena
banyak pasukan tak dikenal yang ditempatkan di depan istana. Saelan
mengirim pesan radio dari rumah isteri keempat Sukarno, Harjati, di
kawasan Grogol. Sejak pagi ia telah pergi ke rumah Harjati untuk mencari
Sukarno. Atas saran Saelan presiden dan para pengawalnya langsung
menuju rumah Harjati. Mereka tiba di sana sekitar pukul 7.00 pagi.8
Ketidakmampuan G-30-S menempatkan Sukarno “di bawah
perlindungannya” terasa aneh, mengingat bahwa tugas dari orang yang
dianggap sebagai komandan G-30-S, Letkol Untung, ialah mengetahui
tempat presiden berada. Untung memimpin satu batalyon pengawal
istana. Pada 30 September malam ia menjadi bagian dari kelompok
keamanan Sukarno ketika ia berbicara di depan Konfernas Ahli Teknik
di stadion Senayan Jakarta sampai sekitar pukul 23.00. Bahkan ketika
Untung sudah pindah ke Pangkalan Udara Halim sesudah konfernas
usai, seharusnya ia dengan mudah selalu dapat melacak keberadaan
Sukarno dengan menghubungi perwira-perwira lain dalam pasukan
kawal istana. Tugas menjaga istana di waktu malam bergilir di antara
empat satuan kawal; masing-masing dari empat angkatan – Angkatan
Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Angkatan Kepolisian
– mempunyai satu detasemen yang diperbantukan untuk istana. Pada
malam itu giliran jatuh pada satuan dari Angkatan Darat, yaitu Untung
dan anak buahnya. Mereka seharusnya sudah mengetahui pada sekitar
tengah malam bahwa presiden tidak bermalam di istana. Untung, seperti
juga Saelan, dari pengalaman tentu sudah mengetahui bahwa presiden
sering tidur di rumah para isterinya. Dengan pengetahuan bersama dari
sekitar enam puluh orang prajurit pengawal presiden yang ada di dalam
G-30-S, bagaimana mungkin Untung tidak dapat melacak keberadaan
58
1. KESEMRAWUTAN FAKTA-FAKTA
Sukarno? Ini merupakan keganjilan yang jarang mendapat perhatian:
seorang perwira tinggi dalam pasukan kawal presiden, memimpin aksi
untuk menyelamatkan presiden, tidak mengetahui lokasi sang presiden,
padahal pengetahuan tentangnya merupakan unsur yang sangat penting
dalam seluruh rencana.9 Dengan demikian G-30-S bekerja dengan tujuan
yang saling berselisih: sekitar pukul 4.00 pagi G-30-S menempatkan
pasukan di depan istana yang kosong, membuat Sukarno menjauhi istana,
sehingga mengakhiri harapan bahwa misi Supardjo akan berhasil.
Supardjo dan dua orang komandan batalyon hilir mudik di pintu
masuk istana. Mereka tidak memiliki sarana untuk mengontak pimpinan
inti G-30-S di Halim dan memberi tahu mereka tentang tidak adanya
Sukarno di istana. Mereka hanya menunggu. Sementara itu perwira
AURI yang bersama mereka dalam satu jip dari Halim, Letkol Heru
Atmodjo, memutuskan pergi mencari Panglima Angkatan Udara,
Laksamana Madya Omar Dani. Letak Markas Besar AURI tidak jauh
dari istana. Atmodjo menuju ke sana mengendarai jip dan tampaknya
sudah tiba di sana sebelum pukul 7.15 karena ia ingat ia mendengar
pengumuman pertama G-30-S melalui radio yang ada di Mabes AURI.
Sesama rekan-rekan perwira di mabes menyampaikan kepadanya bahwa
Omar Dani berada di pangkalan udara Halim. Kemudian Atmodjo
kembali dengan jip menuju Halim, dan menemukan Dani di kantor
utama. Atmodjo tiba antara pukul 8.00 dan 8.30, dan ia melaporkan
apa yang baru saja disaksikannya: Supardjo pergi ke istana tetapi gagal
bertemu presiden.10
Tidak lama sebelum Atmodjo bertemu dengannya, Dani menerima
telefon dari salah seorang anggota staf Sukarno, Letnan Kolonel Suparto,
yang mengatakan Sukarno akan segera meninggalkan rumah Harjati
menuju pangkalan AURI Halim.11 Pesawat terbang kepresidenan selalu
disiapkan di pangkalan udara sewaktu-waktu presiden perlu segera meninggalkan
ibu kota. Pada saat-saat serba tak menentu itu Sukarno merasa
yang terbaik adalah berada dekat dengan pesawat. Seperti ditegaskan
Sukarno dalam pernyataan-pernyataan publiknya di belakang hari, ia
pergi ke Halim atas prakarsa sendiri, sebagai prosedur operasi baku dalam
keadaan krisis, tanpa berhubungan sama sekali dengan G-30-S sebelumnya.
Ketika ia dan para ajudannya memutuskan Halim merupakan
tempat yang paling aman, mereka tidak mengetahui bahwa pimpinan
59
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
G-30-S berkubu di sana.12
Ketika Omar Dani mendengar Sukarno akan tiba di Halim,
Laksamana Madya itu memerintahkan Atmodjo menggunakan helikopter
AURI untuk segera menjemput Supardjo dari istana. Dani bermaksud
memastikan bahwa wakil pasukan pemberontak ini mempunyai kesempatan
berbicara dengan presiden. Atmodjo kembali ke Halim dengan
membawa Supardjo pada sekitar pukul 9.00 pagi dan mengantarkannya
ke kantor utama pangkalan udara. Di sana Supardjo bercakap-cakap
dengan Dani, sementara Atmodjo menunggu di luar kantor. Sesudah dua
tokoh itu keluar dari kantor, Atmodjo membawa Supardjo dengan mobil
ke kediaman Sersan Anis Sujatno, masih di daerah pangkalan udara, yang
digunakan sebagai tempat persembunyian G-30-S. Supardjo mengetahui
jalan ke arah rumah itu. Atmodjo menyatakan belum pernah mengetahui
letak rumah itu sebelumnya. Dengan mengendarai jip mereka menyusuri
jalan berliku-liku area pangkalan udara sampai akhirnya menemukan
rumah tempat para pimpinan inti G-30-S berkumpul. Tidak lama
kemudian Atmodjo mengantar Supardjo, dengan kendaraan jip itu
pula, kembali ke kantor komandan pangkalan udara. Di sinilah akhirnya
Supardjo dapat bertemu Sukarno, yang sementara itu telah tiba. Sukarno
tampaknya tiba di Halim antara sekitar pukul 9.00 dan 9.30 pagi.13
Pada saat Supardjo bertemu muka dengan Sukarno di kantor
komandan Halim, sekitar pukul 10.00 pagi, keenam jenderal Angkatan
Darat yang diculik mungkin sudah dibunuh. Supardjo barangkali sudah
mengetahui perihal ini dari pembicaraan yang baru saja dilakukannya
dengan para pimpinan inti G-30-S. Sukarno semestinya sudah curiga
bahwa setidak-tidaknya ada beberapa di antara enam jenderal itu yang
dibunuh. Berita yang beredar dari mulut ke mulut mengatakan, dua
jenderal, Yani dan Pandjaitan, kemungkinan sudah tewas. Tetangga
mereka mendengar bunyi tembak-menembak dan kemudian mendapati
darah di lantai rumah mereka. Kemungkinan besar Yani dan Pandjaitan
tewas seketika di rumah mereka akibat luka-luka tembak. Jenderal lainnya,
Harjono, mungkin juga sudah tewas di rumahnya oleh luka tusukan dalam
di perut akibat hunjaman bayonet para penculik. Tiga jenderal lainnya
(Parman, Suprapto, dan Soetojo) dan letnan yang salah ambil dari rumah
Nasution (Pierre Tendean) masih hidup ketika diculik, tetapi dibunuh
di Lubang Buaya. Sekelompok pasukan G-30-S menembak masing60
1. KESEMRAWUTAN FAKTA-FAKTA
masing perwira berkali-kali. Untuk menyembunyikan para korban dan
menghilangkan jejak mereka, pasukan melemparkan ketujuh jenazah itu
ke dalam sumur sedalam tiga puluh enam kaki dan kemudian menguruk
sumur itu dengan bebatuan, tanah, dan dedaunan.14 Siapa tepatnya yang
membunuh para perwira itu masih belum diketahui. Penuturan rezim
Suharto – bahwa ketujuh perwira itu disiksa dan disayat-sayat oleh massa
pendukung PKI yang kegirangan, sementara perempuan-perempuan dari
Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) menari-nari telanjang – merupakan
rekayasa absurd bikinan para ahli perang urat syaraf.
Secara keseluruhan, para peserta G-30-S melakukan empat operasi
di Jakarta pada pagi hari itu. Mereka merebut stasiun RRI dan menyiarkan
pernyataan pertama mereka; menduduki Lapangan Merdeka, termasuk
gedung telekomunikasi; secara terselubung menculik dan membunuh
enam orang jenderal dan satu orang letnan; dan mengirim tiga perwira
mereka ke istana presiden, seorang di antara mereka Brigadir Jenderal
Supardjo, berhasil menemui presiden di pangkalan AURI Halim.
KOMPOSISI PASUKAN
Pimpinan G-30-S terdiri dari lima orang. Tiga orang perwira militer:
Letkol Untung dari pasukan kawal kepresidenan, Kolonel Abdul Latief
dari garnisun Angkatan Darat Jakarta (Kodam Jaya), dan Mayor Soejono
dari penjaga pangkalan udara Halim. Dua orang sipil yaitu Sjam dan
Pono, dari organisasi klandestin, Biro Chusus, yang dipimpin oleh ketua
Partai Komunis Indonesia, D.N. Aidit. Lima orang ini telah berkali-kali
bertemu selama beberapa pekan sebelumnya dan mendiskusikan rencana
operasi mereka.15
Umur mereka berkisar dari akhir tiga puluhan sampai tengah empat
puluhan. Untung bertubuh pendek kekar dan berleher gemuk, memperlihatkan
stereotip seorang prajurit. Ia sempat terkenal sejenak, ketika
pada 1962 ia memimpin pasukan gerilya menyerang pasukan Belanda di
Papua Barat. Dari operasi itu ia mendapat anugerah bintang, kenaikan
pangkat dari mayor menjadi letkol, dan nama baik karena keberaniannya.
Rekan komplotannya yang sedikit lebih muda tapi berpangkat lebih
tinggi, Latief, mempunyai karir kemiliteran yang terhormat sejak menjadi
61
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
pemuda pejuang melawan tentara Belanda di Jawa Tengah. Sesudah
lulus kursus-kursus latihan keperwiraan dan membuktikan dirinya di
pertempuran, Latief memperoleh kedudukan yang strategis: komandan
seluruh brigade pasukan infanteri (dengan sekitar dua ribu anak buah) di
ibu kota. Ia tampil dengan sikap percaya diri dan wibawa seorang kolonel
yang sadar mengenai perlunya penghormatan dari anak buahnya. Di
pangkalan udara Halim pada 1 Oktober 1965 Untung dan Latief diterima
di rumah Mayor Soejono, komandan pasukan AURI di pangkalan udara
Halim. Berperawakan kurus berotot dan peka hati, Soejono mengeluarkan
perintah-perintah tegas kepada anak buahnya selagi ia mengatur
tempat persembunyian, makan, dan jip-jip untuk kendaraan pimpinan
G-30-S. Sjam dan Pono, sebagai orang sipil, menjadi sosok-sosok aneh
di pangkalan udara itu. Sjam, yang ketika muda dikenal bernama Kamaruzaman,
adalah keturunan pedagang Arab yang bermukim di daerah
pantura Jawa. Pono juga berasal dari kawasan pantura Jawa, tapi berkakek
moyang orang Jawa, seperti ditunjukkan oleh nama lengkapnya, Supono
Marsudidjojo. Atmodjo teringat, saat pertama kali bertemu kedua lelaki
itu di Halim pada hari naas tersebut, seketika itu juga ia menduga bahwa
mereka bukan tentara: sosok mereka melentok tak tegap, mereka mengangkat
kaki di kursi, dan merokok tak berkeputusan. Mereka kurang
latihan jasmani dan disiplin militer.16 Namun dua lelaki ini memiliki
pengalaman bertahun-tahun dalam berhubungan dengan personil militer
secara rahasia dan menyembunyikan jati diri mereka.
Pada pagi 1 Oktober, sejak sekitar pukul 2.00 lewat tengah malam,
lima orang pimpinan gerakan ini duduk bersama di sebuah gedung yang
tak jauh dari sudut barat laut Halim. Gedung ini adalah kantor divisi
pengamat udara AURI, Penas (Pemetaan Nasional). Demi alasan-alasan
yang tidak pernah dijelaskan, sekitar pukul 9.00 pagi, kelima tokoh
tersebut pindah dari tempat persembunyian di gedung Penas ke rumah
kecil Sersan Sujatno, yang terletak di kompleks kediaman di Halim.
Inilah rumah yang dituju Supardjo sekembalinya dari misi yang gagal,
yaitu menemui Presiden Sukarno di istana. Lima tokoh tersebut tinggal
di rumah ini sepanjang siang dan malam 1 Oktober 1965. Walaupun
Untung pada siaran RRI pagi itu dikenal sebagai pimpinan G-30-S, ia
menghabiskan sepanjang hari itu tanpa menampakkan diri di depan
umum, bahkan juga tidak di hadapan pasukannya sendiri. Pada kenyata62
1. KESEMRAWUTAN FAKTA-FAKTA
annya memang para pimpinan G-30-S tidak mempunyai sarana untuk
berkomunikasi dengan pasukan mereka di Lubang Buaya dan Lapangan
Merdeka selain melalui kurir pribadi. Mereka tidak mempunyai peralatan
walkie-talkie atau pesawat radio dua arah. Gerakan 30 September sendiri
Peta 3. Pangkalan Angkatan Udara di Halim dan Lubang Buaya.
Sumber: Berdasarkan peta dalam Katoppo, Menyingkap Kabut Halim 1965, 314-315.
63
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
telah memutus jaringan telefon pada saat pasukannya menduduki gedung
telekomunikasi. (Namun seandainya jaringan telefon berfungsi pun,
rumah sersan yang sederhana di pangkalan udara itu barangkali tidak
memiliki saluran telefon). Supardjo yang ulang-alik dengan jip antara
tempat persembunyian dan kantor komandan Halim membuktikan
ketiadaan peralatan komunikasi di antara para pimpinan G-30-S.
Pimpinan G-30-S sepanjang hari itu berhubungan dengan ketua PKI
D.N. Aidit, yang juga hadir di pangkalan AURI di Halim. Aidit tinggal
di rumah yang berbeda dalam kompleks perumahan lain di pangkalan.
Yang mendampinginya adalah pembantu pribadinya bernama Kusno;
salah seorang pimpinan PKI, Iskandar Subekti; dan seorang anggota Biro
Chusus, Bono (yang juga dikenal dengan nama Walujo).17 Lima pimpinan
inti G-30-S ada di satu tempat persembunyian (di rumah Sujatno),
sedangkan Aidit dan sekelompok pembantunya di tempat persembunyian
yang lain, yang berjarak kira-kira setengah mil (di rumah Sersan Suwandi).
Untuk komunikasi antar mereka kedua kelompok memiliki seorang kurir
pribadi yang mengendarai jip untuk mondar-mandir di antara kedua
tempat persembunyian sambil membawa dokumen. Terkadang satu atau
dua orang pimpinan inti menuju ke tempat persembunyian Aidit dan
berbicara langsung dengannya. Atmodjo mengenang bahwa Sjam dan
Soejono beberapa kali berkonsultasi dengan Aidit.18
Lima pimpinan inti G-30-S sepanjang hari 1 Oktober tinggal di
rumah Sersan Sujatno yang tidak mencolok. Sebagai kelompok mereka
tidak menampakkan diri di depan Presiden Sukarno, tokoh yang konon
hendak mereka lindungi. Supardjo yang menemui presiden atas nama
mereka semua. Tidak diketahui dengan jelas mengapa Aidit dan para
pembantunya tinggal di rumah yang lain, dan bukan bergabung dengan
lima orang dalam kelompok Untung. Mungkin untuk memastikan
bahwa seandainya mereka diserang, mereka tidak akan disergap bersamasama.
Atau mungkin juga untuk memastikan bahwa sedikit orang saja
yang mengetahui Aidit terlibat dalam kelompok inti perencana gerakan.
Atau mungkin juga untuk menjaga, agar kelompok yang satu tidak memedulikan
proses pengambilan keputusan kelompok yang lain. Para
organisator G-30-S tentu mempunyai alasan tertentu untuk memisahkan
kediaman dua kelompok dengan jarak setengah mil, walaupun sulit
untuk memahami alasan itu sekarang. Komunikasi antar dua kelompok
64
1. KESEMRAWUTAN FAKTA-FAKTA
itu seharusnya lebih mudah dan lebih cepat jika mereka semua tinggal di
tempat persembunyian yang sama. Bahkan keputusan mereka mengasingkan
diri di tengah kawasan perumahan di Halim itu pun masih tetap
tidak dapat dimengerti. Barangkali akan lebih masuk akal jika mereka
menduduki sebuah pusat komando militer, di tempat mereka dapat
memanfaatkan hubungan radio untuk mengoordinasikan satuan-satuan
pasukan mereka yang berbeda-beda.
Walaupun pimpinan G-30-S berpangkalan di Halim, tidak ada
bukti bahwa mereka bekerja dengan orang lain dari AURI selain Mayor
Soejono. Semua fasilitas yang mereka gunakan di dalam dan sekitar
pangkalan Halim – Penas, Lubang Buaya, dua rumah, senjata AURI, dan
truk-truk – agaknya disediakan oleh Soejono sendiri. Komandan Halim,
Kolonel Wisnoe Djajengminardo, dan Panglima AURI Laksamana
Madya Omar Dani, tampaknya tidak diajak berunding sebelumnya.
Menurut Omar Dani dan Heru Atmodjo mereka jadi terbawa-bawa
dalam G-30-S bukan sebagai peserta, melainkan sebagai pengamat dari
luar. Penuturan kedua orang ini tentang jalannya kejadian demi kejadian
saling bersesuaian. Pada 30 September sore Soejono menceritakan kepada
Atmodjo, seorang perwira intelijen AURI khusus urusan pengintaian
udara, tentang aksi melawan jenderal-jenderal Angkatan Darat yang
anti-Sukarno. Ini merupakan berita bagi Atmodjo, yang selanjutnya
melaporkan informasi tersebut kepada Dani pada sekitar pukul 16.00
hari itu. Dani memerintahkannya mencari tahu lebih banyak lagi tentang
rencana aksi tersebut dan melaporkan kembali hasil pengamatannya
malam itu juga. Sekitar pukul 22.00 Atmodjo kembali ke Markas Besar
AURI dan bertemu dengan sekelompok perwira senior Angkatan Udara
untuk melaporkan hal-hal apa lagi yang telah didengarnya dari Soejono.19
Satu detil penting adalah bahwa Supardjo merupakan peserta aksi. Dani
memerintahkan Atmodjo agar mencari Supardjo, yang menjadi bawahannya
langsung dalam Komando Mandala Siaga yang lazim dikenal sebagai
Kolaga, dalam rangka konfrontasi melawan Malaysia.20 Supardjo sudah
menemui Dani pada 29 September untuk membicarakan soal-soal dalam
Kolaga. Boleh jadi ia menceritakan kepada Dani bahwa aksi menentang
Dewan Jenderal sedang direncanakan.
Sesuai dengan perintah Dani, Atmodjo mencari Soejono untuk
memutuskan bagaimana dia dapat menemukan Supardjo. Soejono
65
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
memberi tahu Atmodjo agar pergi ke Kantor Pengamat Udara sekitar
pukul 5.00 pagi berikutnya. Sesudah Atmodjo tiba di kantor yang
dimaksud dan menjelaskan bahwa kedatangannya atas perintah Dani,
Supardjo mengajaknya pergi bersamanya ke istana. Tanpa rencana atau
koordinasi apa pun, Atmodjo kemudian menemani Supardjo sepanjang
hari itu.21 Seandainya pun keterlibatan Atmodjo dalam G-30-S lebih jauh
ketimbang yang diakuinya sekarang, sepak terjangnya pada 1 Oktober
tampaknya terbatas pada membantu gerak-gerik Supardjo di sekitar kota
Jakarta dan pangkalan udara Halim.
Sementara baik Atmodjo maupun Dani tidak dapat dipandang
sebagai bagian dari pimpinan G-30-S, mereka (dan sebagian besar perwira
senior AURI) bersikap simpatik terhadap G-30-S pada 1 Oktober itu.
Atmodjo mengenang bahwa ia bersorak gembira ketika mendengar
pengumuman radio yang pertama pada pagi hari itu.22 Ia bersama para
perwira rekan-rekannya berpikir bahwa G-30-S merupakan gerakan
pembersihan terhadap para perwira sayap kanan Angkatan Darat, yang
telah dan sedang menyabot kebijakan-kebijakan Presiden Sukarno. Dani
merancang pernyataan publik, “Perintah Harian,” pada pukul 9.30
pagi yang menyambut G-30-S sebagai usaha untuk “mengamankan
dan menjelamatkan Revolusi dan Pemimpin Besar Revolusi terhadap
subversi CIA.” Agaknya Dani berpikir bahwa G-30-S itu tidak lebih
dari sebuah aksi internal Angkatan Darat, yang sepenuhnya masih setia
kepada Sukarno.23
Pasukan-pasukan yang digunakan dalam operasi pagi hari itu
sebagian besar diambil dari satuan-satuan yang dipimpin tiga perwira
militer dalam pimpinan inti G-30-S: Untung, Latief, dan Soejono. Dalam
personil G-30-S termasuk satu kompi pasukan kawal presiden di bawah
pimpinan Untung, dua peleton dari garnisun Angkatan Darat Jakarta di
bawah pimpinan Latief, dan satu batalyon pasukan Angkatan Udara di
bawah pimpinan Soejono. Selain itu ada sepuluh kompi – masing-masing
lima kompi – dari Batalyon 454 dan Batalyon 530. Pasukan-pasukan dari
dua batalyon ini sudah tiba di Jakarta beberapa hari sebelumnya untuk
berpartisipasi dalam parade Hari Angkatan Bersenjata pada 5 Oktober.
Mereka inilah yang merupakan kelompok utama dari pasukan-pasukan
yang menduduki Lapangan Merdeka. Di antara pasukan-pasukan G-30-S
juga ada kesatuan-kesatuan kecil dari pasukan para komando di selatan
66
1. KESEMRAWUTAN FAKTA-FAKTA
Jakarta dan dari Polisi Militer.24
Di samping berbagai pasukan militer tersebut, sekitar dua ribu
anggota PKI atau ormas-ormas yang berafi liasi dengan PKI juga ikut
serta dalam operasi pagi itu.25 Orang-orang sipil ini sebagian besar adalah
anggota Pemuda Rakjat yang telah menerima latihan singkat kemiliteran
di pangkalan udara Halim selama beberapa pekan dalam bulan-bulan
sebelumnya. Adalah Mayor Soejono yang mengatur penyelenggaraan
latihan-latihan ini. Para pemuda sipil ini disebar dalam pasukan-pasukan
yang menculik para jenderal dan menduduki gedung-gedung vital di
sekitar Lapangan Merdeka. Beberapa dipersenjatai, tapi sebagian besar
tidak.
Tidak ada angka yang andal tentang jumlah keseluruhan personil
militer dan sipil yang ikut serta dalam G-30-S. Tabel 2 menggambarkan
sintesis data dari berbagai-bagai sumber. Walaupun angka-angka itu
mungkin tidak akurat, setidak-tidaknya dapat memberi gambaran kasar
tentang kekuatan G-30-S.
Jumlah tentara yang terlibat dalam G-30-S sangat kecil jika dibandingkan
dengan seluruh jumlah pasukan yang ada di dalam kota. Dari
sudut kekuatan militer, G-30-S jelas tidak cukup menggentarkan untuk
dapat mengalangi pasukan lawan menyerangnya. Komando Daerah
Militer Kota Jakarta, yang disebut Kodam Jaya, memiliki sekitar enam
puluh ribu prajurit, tiga puluh kali jumlah seluruh personil yang ikut
serta dalam G-30-S.26 Kolonel Latief memimpin satu brigade Kodam
Jaya, yang terdiri dari sekitar dua ribu prajurit, namun hanya dua peleton
di antaranya yang ikut serta dalam G-30-S. Besarnya potensi perlawanan
terhadap G-30-S menjadi lebih besar lagi jika kita perhitungkan puluhan
ribu tentara tambahan yang ditempatkan di dekat Jakarta. Pasukan khusus
dari Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) berada di selatan
kota, dan Kodam yang meliputi Jawa Barat ditempatkan di Bandung,
sekitar tujuh jam perjalanan mobil jaraknya dari Jakarta. Dibandingkan
dengan semua pasukan yang ada di dalam dan sekitar kota, kekuatan
pasukan G-30-S sungguh kecil belaka.
67
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
Tabel 2. Personil Militer dan Sipil yang Mengambil Bagian Dalam G-30-S
Personil yang Mengambil Bagian Jumlah orang
PERSONIL MILITER
Dua peleton dari Brigade 1, Kodam Jaya, Jakarta 60
Satu kompi dari Batalyon 1, Cakrabirawa 60
Lima kompi dari Batalyon 454, Diponegoro 500
Lima kompi dari Batalyon 530, Brawijaya 500
Satu batalyon dari AURI, Pasukan Pembela Pangkalan Halim (PPP) 1.000
Satuan-satuan dan perseorangan dari kesatuan militer lain (Polisi
Militer, para komando) 50
Jumlah personil militer 2.130
ORANG-ORANG SIPIL
Orang-orang sipil dari PKI dan ormas berafi liasi PKI 2.000
Jumlah seluruh personil 4.130
Sumber: “Gerakan 30 September” Dihadapan Mahmillub, Perkara Untung, 9, 40; Notosusanto dan Saleh,
Tragedi Nasional, 231; Saelan, Dari Revolusi ’45, 91.
Perhatikan bahwa pasukan-pasukan G-30-S tidak menyebar laiknya
pasukan yang berniat melakukan kudeta. Mereka tidak memosisikan diri
untuk bertahan menghadapi pasukan lawan. Jika tujuan mereka adalah
kudeta, mereka seharusnya mengepung atau menduduki markas besar
Kodam Jaya dan Kostrad, dan menempatkan detasemen-detasemen dekat
pemusatan-pemusatan barak-barak militer utama. Mereka juga seharusnya
sudah membangun pos-pos pemeriksaan di jalan-jalan menuju
Jakarta untuk mengalangi pasukan-pasukan dari luar memasuki kota.
Semuanya itu tidak mereka lakukan.
Gerakan 30 September tidak mempunyai perlengkapan yang
hampir selalu dipakai oleh para perancang kudeta di sepanjang paron
kedua abad ke-20: tank. Seluruh kekuatan G-30-S terdiri dari tentara
infanteri bersenjata. Dan, gerakan ini tidak berusaha melumpuhkan tanktank
yang dikendalikan pasukan-pasukan yang berpotensi memusuhi
G-30-S. Ketika panglima Kodam Jaya mendengar berita penggerebekan
di rumah-rumah para jenderal, ia memerintahkan beberapa pasukan tank
untuk berpatroli di jalan-jalan di ibu kota.27 Dengan begitu dalam jamjam
awal G-30-S dimulai, ibu kota berhasil dikuasai pasukan-pasukan
berlapis baja yang tidak menjadi bagian G-30-S.
Mengingat jumlah pasukan yang terlibat kecil, penyebaran pasukan
yang tidak berpengaruh, dan tidak ada tank, G-30-S tampaknya tidak
dirancang untuk merebut kekuasaan negara. Mengikuti aksi-aksi G-30-S
pagi hari itu, gerakan ini tampak dirancang sebagai semacam pemberon68
1. KESEMRAWUTAN FAKTA-FAKTA
takan para perwira muda terhadap sekelompok perwira senior.
PENGUMUMAN SIANG HARI
Sesudah mengambil alih stasiun radio dan menyiarkan pengumumannya
yang pertama, G-30-S tidak mengeluarkan pernyataan apa pun selama
lima jam berikutnya. Gerakan 30 September bungkam sama sekali justru
pada saat perlu mengerahkan pendapat umum untuk mendukungnya.
Pengumuman kedua, yang disiarkan sekitar tengah hari, memenuhi janji
pengumuman pertama dengan merinci perihal Dewan Revolusi Indonesia
lebih lanjut. “Segenap kekuasaan negara,” demikian pengumuman
itu menyatakan, telah jatuh “ke tangan Dewan Revolusi Indonesia.”
Kekuasaan yang diaku dewan nasional ini bersifat mutlak: ia “menjadi
sumber daripada segala kekuasaan dalam Negara Republik Indonesia,”
sementara menunggu pemilihan umum untuk memilih wakil-wakil
di Dewan Perwakilan Rakyat. (Waktu pemilu tidak dinyatakan pasti.)
Dewan-dewan revolusi yang lebih rendah selanjutnya akan dibentuk
di tingkat provinsi, kabupaten, kecamatan, dan desa. Masing-masing
dewan akan berfungsi sebagai “kekuasaan tertinggi untuk daerah yang
bersangkutan.” Dekrit No. 1 menyatakan bahwa menteri-menteri kabinet
Presiden Sukarno “berstatus demisioner,” dan bahwa Dewan Revolusi
Indonesia akan menetapkan semua menteri-menteri yang akan datang.
Walaupun dalam pengumuman radio yang pertama G-30-S membenarkan
penumpasan terhadap Dewan Jenderal sebagai cara untuk
melindungi Presiden Sukarno, dalam pengumumannya yang kedua
G-30-S justru merebut kekuasaan presiden dan bahkan tidak sekali pun
menyebut Sukarno. Dengan mengumumkan pimpinan G-30-S sebagai
pimpinan suatu dewan yang memegang seluruh kekuasaan negara,
pengumuman kedua memperlihatkan bahwa peristiwa yang pada pagi
hari menampak sebagai putsch intern Angkatan Darat menjadi lebih
menyerupai sebuah kudeta.
Pengumuman kedua itu juga menyebut nama-nama para wakil
panglima yang ada di bawah Letnan Kolonel Untung: “Brigjen Supardjo,
Letnan Kolonel Udara Heru, Kolonel Laut Sunardi, dan Ajun Komisaris
Besar Polisi Anwas.” Daftar ini memperlihatkan usaha untuk memasuk69
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
kan semua unsur dari keempat angkatan bersenjata (Angkatan Darat,
Angkatan Udara, Angkatan Laut, dan Angkatan Kepolisian) sambil
menyembunyikan identitas para pimpinan G-30-S sebenarnya yang
bekerja bersama Untung, yaitu Kolonel Latief, Mayor Soejono, Sjam,
dan Pono.
Pemilihan wakil-wakil pimpinan G-30-S ini terasa sukar dijelaskan.
Dari empat tokoh itu hanya Supardjo dan Heru Atmodjo yang sedikit
banyak terkait dengan G-30-S. Dan aneh bahwa Supardjo, seorang
brigadir jenderal, berada di bawah Untung, seorang letnan kolonel.
Keanehan lain adalah Atmodjo hanya diidentifi kasikan dengan namanya
yang pertama, Heru, nama yang sangat lazim bagi orang Jawa. Banyak
orang Indonesia hanya menggunakan satu nama saja (misalnya Untung
dan Suharto). Tapi Heru biasanya tidak digunakan sebagai nama tunggal.
Atmodjo dikenal dengan nama seutuhnya. Penggunaan nama Heru saja
dalam pengumuman tersebut memberi kesan bahwa para organisator
G-30-S tidak kenal dengannya. Dua deputi komandan G-30-S yang lain,
Sunardi dan Anwas, belum pernah satu kali pun menghadiri rapat-rapat
perencanaan, tidak berada di pangkalan udara Halim pada 1 Oktober,
tidak diberi tahu tentang G-30-S sebelumnya, dan tidak mengambil
langkah apa pun atas nama G-30-S.28
Tidak jelas siapa, jika pun memang ada, yang menandatangani
Dekrit No. 1, mengenai pembentukan Dewan Revolusi Indonesia.
Baik dokumen asli maupun fotonya tidak pernah terlihat. Di depan
persidangannya Untung menyatakan bahwa ia, Supardjo, dan Atmodjo
yang menandatangani dokumen itu.29 Sebagai saksi dalam persidangan
itu, Atmodjo mengakui telah menandatanganinya.30 Namun sekarang
Atmodjo mengatakan tidak pernah menandatanganinya dan bahkan tidak
pernah melihat teks itu sebelum disiarkan. Ia menyatakan, pengakuannya
di depan persidangan Untung merupakan kapitulasi terhadap tuntutan
penuntut umum. Ia berharap mahkamah menghargai kerja samanya,
dan dengan demikian akan memberi keringanan hukuman jika kelak
ia sendiri dihadapkan ke pengadilan.31 Di depan Mahmilub Supardjo
memungkiri pengumuman radio tentang Dewan Revolusi Indonesia. Ia
menyatakan bahwa ia tidak menyetujui gagasan tentang dewan tersebut
dan menolak menandatangani dokumen itu.32 Tanpa adanya dokumen
dekrit yang asli tidak mungkin diketahui siapa sebenarnya yang telah
70
1. KESEMRAWUTAN FAKTA-FAKTA
menandatanganinya. Mengingat bahwa Sunardi dan Anwas jelas bukan
tokoh-tokoh penanda tangan, tidak ada alasan kuat untuk memercayai
bahwa dua tokoh lain yang disebut sebagai wakil-wakil komandan
(Supardjo dan Atmodjo) pernah menandatanganinya.
Pengumuman ketiga G-30-S, yang disiarkan antara pukul 13.00
dan 14.00, disebut sebagai “Keputusan No. 1.”33 (Sekarang sukar untuk
dipahami apa yang dipikirkan [para] penulis pengumuman-pengumuman
ini tentang perbedaan antara dekrit dan keputusan). Pengumuman ketiga
ini menyebut empat puluh lima nama anggota Dewan Revolusi Indonesia,
termasuk Untung dan empat orang wakilnya. (Angka 45 itu tampaknya
dipilih untuk melambangkan 1945, tahun proklamasi kemerdekaan
Indonesia.) Para anggota mewakili aneka macam pandangan politik yang
relatif luas: politisi Muslim, kader menengah PKI, wartawan, perempuan,
dan pimpinan pemuda. Kelompok yang paling banyak terwakili, dengan
delapan belas kursi, ialah kelompok militer. Beberapa perwira militer
dalam daftar dikenal sebagai antikomunis, misalnya Brigadir Jenderal
Amir Mahmud. Di dalamnya juga termasuk nama-nama dua orang yang
sedikit banyak tak dikenal, namun belakangan ternyata termasuk dalam
pimpinan G-30-S: Kolonel Latief dan Mayor Soejono. Pimpinan G-30-S
di Jawa Tengah, Kolonel Suherman, juga muncul dalam daftar. Gerakan
30 September tidak memberikan penjelasan mengenai dasar-dasar yang
melandasi pemilihan untuk keanggotaan Dewan. Kecuali bagi beberapa
orang yang terlibat langsung dalam G-30-S, agaknya tak seorang pun di
antara mereka yang ditunjuk sebagai anggota dewan pernah dihubungi
sebelumnya dan diminta untuk ikut bergabung.
Segera sesudah mengumumkan daftar nama-nama anggota Dewan
Revolusi Indonesia, stasiun pusat RRI menyiarkan pengumuman G-30-S
yang keempat, yaitu “Keputusan No. 2.” Keputusan ini memaklumkan,
karena panglima G-30-S adalah seorang letnan kolonel, tidak ada perwira
militer yang berpangkat lebih tinggi daripadanya. Semua pangkat di atas
pangkat Untung dinyatakan tidak lagi berlaku. Dengan sekali gebrak
sistem kepangkatan militer diubah, sehingga pangkat Untung menjadi
pangkat yang tertinggi. Para perwira yang berpangkat lebih tinggi
memenuhi syarat untuk memperoleh pangkat letnan kolonel jika mereka
mengajukan secara tertulis pernyataan kesetiaan kepada Dewan Revolusi
Indonesia. Sementara itu semua prajurit bawahan yang mendukung
71
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
G-30-S pangkatnya akan dinaikkan satu peringkat.
Dua “keputusan” ini diumumkan atas nama Letnan Kolonel
Untung dan ditandatangani pula olehnya. Militer menerbitkan foto
dokumen-dokumen asli Keputusan 1 dan Keputusan 2 ini.34 Fotofoto
itu memperlihatkan bahwa hanya Untung yang menandatangani
dokumen-dokumen termaksud. Barangkali pembedaan antara “dekrit”
dan “keputusan” terletak pada nama siapa yang mengeluarkannya: dekrit
dikeluarkan atas nama komandan dan para wakil komandan, sedangkan
keputusan dikeluarkan hanya atas nama komandan saja.
Empat pengumuman yang dikeluarkan oleh G-30-S tersebut
merupakan seluruh penampilan G-30-S di depan masyarakat Indonesia.35
Jika disimpulkan bersama, keempat pengumuman itu sangat sedikit
mengungkapkan sifat G-30-S. Yang paling jelas, pengumuman itu tidak
memberikan pembenaran terhadap tindakan mendemisionerkan kabinet
dan penetapan bentuk pemerintahan yang sama sekali baru. Pengumuman-
pengumuman itu juga tidak mengungkapkan pertentangan
ideologis apa pun dengan pemerintahan Sukarno. Semua prinsip yang
dengan tegas dijunjung G-30-S ialah prinsip-prinsip yang dianjurkan
atau ditemukan oleh Sukarno, yaitu UUD 1945, politik luar negeri
yang menentang kolonialisme dan neokolonialisme, Pancasila, Amanat
Penderitaan Rakyat (Ampera), Panca Azimat Revolusi.36 Gerakan 30
September menyerukan pembentukan dewan-dewan revolusi di tingkat
provinsi dan kabupaten, dan bahkan menetapkan jumlah anggota
yang akan duduk di dewan-dewan itu. Tapi G-30-S tidak menjelaskan
bagaimana anggota dewan akan dipilih dan apa wewenang dewan dalam
hubungannya dengan lembaga-lembaga negara yang ada, selain hanya
mengatakan bahwa dewan mempunyai “segenap kekuasaan.” Gerakan
30 September menyatakan kesetiaannya kepada konstitusi Indonesia,
lalu menciptakan lembaga yang tidak dirumuskan dengan jelas dan sama
sekali baru, yang akan melampaui lembaga-lembaga yang telah dibentuk
oleh konstitusi.
Wajah G-30-S di hadapan masyarakat tidak konsisten (pengumuman-
pengumumannya menyatakan bahwa pasukannya ingin
melindungi Sukarno tapi juga ingin mendongkelnya), ganjil (letnan
kolonel dinyatakan sebagai pangkat tertinggi), dan kabur (cita-cita
istimewa G-30-S tidak dijelaskan). Hal yang lebih membingungkan
72
1. KESEMRAWUTAN FAKTA-FAKTA
lagi ialah penampilan publik G-30-S sangat sedikit kecocokannya dengan
kenyataan: Sukarno tidak berada di bawah “lindungan” G-30-S; dua dari
empat wakil komandannya tidak tahu-menahu tentang G-30-S; empat
pimpinan yang sesungguhnya (Sjam, Pono, Latief, Soejono) tidak disebut
sebagai pimpinan; dan jenderal-jenderal yang “ditangkap” sebenarnya
sudah dibunuh dan mayat-mayat mereka disembunyikan. Keempat
pengumuman yang disiarkan melalui radio belum tentu disusun oleh
orang-orang yang namanya tercantum di dalamnya. Oleh karena Aidit
juga berada di Halim, ia pun boleh jadi ikut serta menyusunnya. Untung
dan dua wakil komandan G-30-S yang berada di Halim (Supardjo dan
Heru Atmodjo) barangkali bukan yang menulis Dekrit No. 1. Bahkan
Untung mungkin tidak menulis Keputusan 1 dan Keputusan 2 walaupun
ia menandatanganinya.
PERBINCANGAN SUKARNO DAN SUPARDJO
Bagi Presiden Sukarno wajah G-30-S pada 1 Oktober ialah wajah Brigadir
Jenderal Supardjo. Presiden tidak berjumpa dengan lima pimpinan inti
G-30-S saat ia berada di Halim. Dari siaran radio pagi hari itu, satusatunya
orang lain yang dengan pasti diketahuinya terlibat ialah Letnan
Kolonel Untung. Demikian juga, Sukarno tidak bertemu Aidit dan barangkali
tidak pernah diberi tahu bahwa Aidit ada di kawasan pangkalan
udara. Mengingat satu-satunya orang dari G-30-S yang dijumpai Presiden
Sukarno ialah Supardjo, Presiden kemungkinan pagi itu telah menyimpulkan
bahwa G-30-S memang benar seperti yang dinyatakan dalam
siaran radio pertama: suatu gerakan murni intern Angkatan Darat yang
dirancang untuk membersihkan perwira sayap kanan, serta untuk mempertahankan
dirinya selaku presiden. Dan patut diingat bahwa semula
G-30-S bermaksud membawa serta dua komandan batalyon, Kapten
Sukirno dan Mayor Bambang Supeno, menemui Presiden Sukarno.
Tapi hanya Supardjo yang dibawa kembali dengan helikopter ke Halim.
Ternyata, Supardjo menjadi duta G-30-S.
Sukarno dan Supardjo bertemu untuk pertama kali sekitar pukul
10.00 pagi di kantor komandan pangkalan udara Halim, Kolonel Wisnoe
Djajengminardo. Pada waktu itu Sukarno sudah mengetahui bahwa
73
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
Yani diculik. Karena juga telah dilaporkan kepadanya bahwa tembakmenembak
terjadi di rumah Yani dan darah terlihat berceceran di sana,
Sukarno barangkali menduga Yani telah terbunuh. Jadi Presiden mengetahui
Supardjo mewakili sebuah gerakan yang, mungkin sekali, baru saja
membunuh panglima angkatan bersenjatanya.
Sukarno pasti bingung seorang brigadir jenderal datang bertemu
dengannya atas nama seorang letnan kolonel. Pada persidangannya
Untung menyebut, bahwa Sukarno bertanya kepada Supardjo, “Mengapa
jang memimpin Untung?” Walaupun Untung tidak mengetahui langsung
perundingan itu – apa pun yang diketahuinya berdasarkan apa yang diceritakan
Supardjo kepadanya – barangkali Sukarno memang menanyakan
pertanyaan semacam itu. Jawaban Supardjo, sekali lagi menurut Untung,
tidak memberi kejelasan: “Dialah jang kita anggap pantas.”37
Cerita orang pertama satu-satunya tentang pembicaraan mereka
pagi itu diberikan Supardjo (dalam persidangannya pada 1967) dan
Laksamana Madya Omar Dani, yang hadir selama pembicaraan mereka
yang pertama. Cerita Supardjo dan Omar Dani sangat singkat dan jelas
tidak memberikan seluk-beluk pembicaraan yang tentunya pelik dan
sangat panjang lebar. Sukarno sendiri tidak pernah menyampaikan
ceritanya.
Pada sidang Mahmilubnya Supardjo memberi kesaksian bahwa
Sukarno tidak terlalu cemas menanggapi berita tentang penculikan
para jenderal. Presiden tidak menuduh G-30-S sebagai jahat, khianat,
atau kontra revolusioner. Supardjo menceritakan, Sukarno tetap tenang
dan mengucapkan dalam bahasa Belanda “Ja zo iets in een revolutie kan
gebeuren (hal semacam ini akan terjadi di dalam suatu revolusi).”38
Kendati demikian Sukarno cemas kalau-kalau peristiwa itu menimbulkan
perang saudara yang tidak terkendalikan antara kekuatan sayap kanan dan
sayap kiri di kalangan militer. Ia meminta Supardjo agar menghentikan
G-30-S, sementara ia akan berusaha menemukan pemecahan politis.
Supardjo mengatakan, “Kemudian saja diminta duduk lebih dekat, beliau
bitjara bahwa kalau begini pertempuran nanti bisa meluas. Lantas jang
untung nanti adalah Nekolim, lantas beliau tanja sama saja: mempunjai
kesanggupan tidak untuk memberhentikan gerakan dari G-30-S? Waktu
itu saja katakan: ‘Ja – sanggup.’ Lantas beliau menepuk-nepuk bahu
saja dan mengatakan ‘Awas ja kalau tidak beres engke maneh dipeuntjit,’
74
1. KESEMRAWUTAN FAKTA-FAKTA
ja sambil gujon itu. Kalau tidak bisa menjelesaikan, memberhentikan
gerakan G-30-S, kamu nanti saja sembelih.”39
Menurut Omar Dani, Sukarno menolak permintaan Supardjo
untuk tampil mendukung G-30-S, lalu beliau meminta agar Supardjo
menghentikan G-30-S. Dalam kata-kata penulis biografi Dani, dinyatakan
sebagai berikut:
Ia [Supardjo] melapor langsung kepada Presiden bahwa
bersama kawan-kawan ia telah mengambil tindakan terhadap
para perwira tinggi Angkatan Darat. Para perwira muda di
lingkungan Angkatan Darat dan para bawahan mengeluh atas
sikap, kelakuan, ketidakpedulian para Jendral terhadap bawahannya.
Atas pertanyaan Bung Karno apakah Pardjo punya
bukti, Soepardjo mengiyakan dan sanggup mengambilnya di
MBAD bila ia diperintahkan. Bung Karno memberi perintah
untuk mengambilnya, tetapi sampai menghilangnya pada 2
Oktober 1965, Soepardjo tidak pernah dapat menyerahkan
bukti-bukti itu kepada Bung Karno. Presiden memerintahkan
Brigjen Soepardjo untuk menghentikan gerakannya, guna
menghindari terjadinya pertumpahan darah. Presiden juga
menolak permintaan Brigjen Soepardjo untuk mendukung
G-30-S. Begitu ditolak permintaannya oleh Presiden Sukarno,
Brigjen Soepardjo langsung berpamitan dan pergi keluar dari
Markas Koops. Tampak di wajahnya sedikit kusut, capai,
kurang tidur dan kecewa.40
Cerita Omar Dani ini menegaskan pernyataan Supardjo bahwa
Sukarno meminta agar G-30-S dihentikan. Sukarno tidak mendukung
juga tidak menentang G-30-S. Di satu pihak, ia tidak mengeluarkan
pernyataan dukungan terhadapnya (seperti yang telah diperbuat Dani)
atau diam-diam mendorong agar meneruskannya. Di lain pihak, ia tidak
melihat G-30-S sebagai bahaya yang akan mencelakakan dirinya atau
kedudukannya sebagai presiden. Bahwa ia tinggal di Halim, justru tempat
yang diketahuinya dipakai sebagai pusat pimpinan G-30-S, menunjukkan
bahwa ia melihat Supardjo dan Untung sebagai perwira-perwira yang
setia kepadanya. Sukarno kelihatan tidak menjadi panik oleh kejadian
75
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
pagi itu. Antara pukul 11.30 dan tengah hari, sesudah berbicara dengan
Supardjo di pusat komando pangkalan udara, Sukarno pindah ke sebuah
rumah yang sedikit lebih luas milik Komodor Susanto dan beristirahat
siang beberapa jenak di sana.
Sukarno tidak sekadar berada di Halim, ia juga memanggil para
penasihat utamanya ke sana. Dari tiga wakil perdana menterinya, satusatunya
yang saat itu berada di Jakarta, Leimena, tiba di Halim pada saat
menjelang siang hari. Begitu juga Panglima Angkatan Laut, Panglima
Angkatan Kepolisian, Komandan Pasukan Kawal Istana, dan Jaksa Agung.
Mereka bersama Sukarno sepanjang sore dan petang hari itu.41 Menterimenteri
ini menyaksikan sebagian dari pembicaraan yang berlanjut antara
Sukarno dan Supardjo. Belakangan mereka menyampaikan informasi
sekadarnya kepada wartawan dan juga kesaksian singkat ketika mereka
tampil sebagai saksi di sidang pengadilan. Tapi, sejauh yang saya ketahui,
mereka tidak menulis catatan rinci tentang pembicaraan antara kedua
tokoh tersebut.
Supardjo menemui Sukarno untuk kedua kali sesudah ia kembali dari
perundingan dengan para pimpinan inti G-30-S. Seluruhnya Supardjo
berbicara dengan Sukarno dalam empat atau lima kali kesempatan yang
terpisah-pisah sepanjang hari itu. Hanya pembicaraan pertama yang
berlangsung di kantor komandan Halim. Pembicaraan-pembicaraan
yang belakangan berlangsung di rumah Komodor Soesanto. Rumah ini
dipilih untuk Presiden karena merupakan rumah tunjukan yang terbaik di
pangkalan itu.42 Supardjo mondar-mandir antara rumah Sersan Sujatno,
tempat persembunyian Untung, Sjam dan lainnya, dan rumah Soesanto,
tempat Sukarno dan menteri-menterinya berada.43
Topik utama perbincangan antara Sukarno dan Supardjo pada lepas
tengah hari, sekitar pukul 12.00 sampai 13.30, ialah memilih pengganti
sementara untuk Yani sebagai panglima Angkatan Darat. Sukarno jelas
tidak memusuhi G-30-S karena untuk pengangkatan yang sepenting
itu ia meminta nasihat mereka. Dalam analisisnya Supardjo menyatakan
bahwa pimpinan G-30-S merekomendasikan tiga nama jenderal
Angkatan Darat.44 Gerakan 30 September memberikan dukungannya
untuk Mayor Jenderal U. Rukman, panglima antardaerah untuk
Indonesia timur; Mayor Jenderal Pranoto Reksosamodra, asisten pada
staf umum Yani yang biasanya hanya disebut dengan nama pertamanya;
76
1. KESEMRAWUTAN FAKTA-FAKTA
dan Mayor Jenderal Basuki Rachmat, Panglima Kodam Brawijaya, Jawa
Timur.45
Keputusan tentang penggantian Yani sepenuhnya ada pada Sukarno.
Gerakan 30 September tidak mendiktekan syarat-syarat kepada Presiden.
Perwira yang akhirnya menjadi pilihan Sukarno ialah Pranoto, anggota
staf Yani yang tidak diculik. Pada pukul 13.30 Sukarno menandatangani
perintah pengangkatan Pranoto sebagai pejabat pimpinan sementara
Angkatan Darat dan mengirim utusan-utusan untuk memanggilnya ke
Halim. Sementara itu G-30-S, demi alasan yang tak diketahui, tidak
menyiarkan perintah Sukarno melalui radio.
Dalam percakapan mereka, Supardjo secara tersirat mengakui kewenangan
Sukarno sebagai presiden. Ia tidak mengancam Sukarno baik
dengan gangguan secara fi sik maupun berusaha menculiknya, memaksanya
untuk mendukung G-30-S, atau menekan agar Sukarno mengambil
keputusan-keputusan tertentu. Dipandang dari sudut mana pun Supardjo
memainkan peranan sebagai perwira bawahan. Maka menjadi ganjil jika
kira-kira pada saat yang bersamaan dengan perundingan-perundingan di
Halim ini (tengah hari sampai pukul 14.00), pemancar radio menyiarkan
pengumuman yang secara tidak langsung memberhentikan Sukarno
sebagai presiden. Di Halim orang yang berbicara dengan Sukarno atas
nama G-30-S tetap memperlakukannya sebagai seorang presiden. Tetapi
melalui gelombang-gelombang radio, G-30-S mencanangkan secara
sepihak telah mendemisionerkan kabinet Sukarno.
Sukarno entah mendengar sendiri atau diberi tahu tentang isi
pengumuman G-30-S itu. Ia tidak senang. Dalam sidang kabinet awal
November 1965 ia mengacu pada tuntutan G-30-S ketika menjawab
para mahasiswa demonstran yang diorganisir oleh Angkatan Darat,
yang menuntut agar Sukarno mendemisionerkan kabinetnya: “ben je
bedonderd, dat ik mijn Kabinet ga laten demissioneren. Ya, itu ucapan
saya sesudah diadakannya oleh sesuatu pihak ‘Dewan Revolusi.’ Pada
waktu itu di sini saya berkata dengan tegas: ben je bedonderd.”46 Sukarno
sudah memutuskan untuk tidak mendukung G-30-S pada saat dewan
itu diumumkan melalui radio. Tapi mendengar kabinetnya sudah didemisionerkan
pastilah lebih memperkeras penentangannya terhadap
G-30-S.
77
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
AKSI-AKSI DI JAWA TENGAH
Satu-satunya aksi-aksi penting militer yang mendukung G-30-S terjadi
di provinsi Jawa Tengah dan daerah Yogyakarta.47 Pemberontakan meluas
di dua wilayah itu.48 Para perwira muda memberontak terhadap perwira
tertinggi di provinsi termaksud, Brigadir Jenderal Suryasumpeno, dan tiga
komandan distrik militer. Di ibu kota Jawa Tengah, Semarang, seorang
kolonel dari staf Suryasumpeno menduduki stasiun radio, RRI Semarang,
dengan sekelompok pasukan pemberontak dan menyatakan diri sebagai
panglima baru pada sekitar pukul 13.00. Ia adalah Kolonel Suherman,
kepala intelijen daerah militer tingkat provinsi.
Di Yogyakarta Mayor Muljono memimpin pasukan pemberontak
menggerebek rumah komandan mereka, Kolonel Katamso. Mereka
menculiknya dan juga kepala stafnya, Letnan Kolonel Sugijono, yang
kebetulan ada di rumah itu ketika para pemberontak datang. Mereka
membawa dua perwira itu ke sebuah kota kecil di utara Yogyakarta,
Kentungan, dan menahan mereka di tangsi batalyon militer di sana.
Kemudian mereka membunuh kedua perwira tersebut.
Para perwira militer yang berada di belakang gerakan di Yogyakarta,
berbeda dari kawan-kawan mereka di Semarang, bekerja dalam
koordinasi dengan penduduk sipil setempat. Massa keluar di jalan-jalan
mendukung G-30-S. Mayor Muljono, sebagai perwira yang bertanggung
jawab atas urusan pertahanan sipil, telah menjalin hubungan erat dengan
organisasi-organisasi sipil, seperti PKI. Ketika para prajurit menculik
Kolonel Katamso, massa pemuda dari berbagai organisasi yang berafi liasi
dengan PKI mengepung kantor Sultan Yogyakarta, Kepatihan, tempat
kedudukan penguasa sipil. Mereka juga mengambil alih pemancar RRI
Yogyakarta dan mulai menyiarkan pernyataan-pernyataan dukungan
terhadap G-30-S pada sekitar pukul 20.00.
Peristiwa-peristiwa serupa terjadi di Solo, kota terbesar kedua di
Jawa Tengah. Seorang perwira muda memimpin G-30-S. Organisasiorganisasi
sipil sayap kiri mengeluarkan pernyataan mendukung G-30-S,
walaupun tidak disertai aksi-aksi jalanan seperti halnya di Yogyakarta.
Pemimpin pemberontak di Solo, Mayor Iskandar, menyatakan dirinya
sebagai ketua Dewan Revolusi Solo dan memerintahkan prajurit-prajurit
yang setia kepadanya untuk menahan perwira komandannya, Letnan
78
1. KESEMRAWUTAN FAKTA-FAKTA
Kolonel Ezy Suharto, kepala staf Korem (Komando Resort Militer)
Solo, Kapten Parman, dan seorang perwira lain, Letnan Kolonel Ashari.
Mayor Iskandar menyerukan kepada wakil-wakil partai politik untuk
berkumpul dan dengan bantuannya mengadakan rapat pembentukan
Dewan Revolusi kota Solo. Wali kota Solo, Utomo Ramelan, seorang
anggota PKI, mengeluarkan pernyataan mendukung G-30-S.
Di kota lain di Jawa Tengah, Salatiga, para perwira pemberontak
bertindak tanpa dukungan sipil sama sekali. Letnan Kolonel Idris,
kepala staf Korem Salatiga, mengerahkan pasukan menentang perwira
komandannya, Kolonel Sukardi, dan seorang perwira militer penting
lain di kota ini, Letnan Kolonel Sugiman. Tidak ada tokoh dan organisasi
sipil yang mengeluarkan pernyataan dukungan atau keikutsertaan
dalam demonstrasi-demonstrasi. Wali kota Salatiga, Bakri Wahab, adalah
anggota PKI, namun ia tidak menyatakan dukungannya kepada G-30-S
secara terbuka.
Dengan demikian di Jawa Tengah, pada 1 Oktober malam,
para perwira menengah merebut komando provinsi di Semarang dan
menculik para komandan distrik di tiga kota utama. Hanya di Yogyakarta
penduduk sipil turun ke jalan-jalan memberi dukungan kepada G-30-S,
dan hanya di Solo kaum politisi sipil mengeluarkan pernyataan-pernyataan
dukungan. Hanya di Yogyakarta perwira-perwira yang diculik
dibunuh. Aksi-aksi yang dilakukan atas nama G-30-S di Jawa Tengah
mengambil pola yang tidak berbeda.
Rupanya G-30-S telah menjalin hubungan dengan para perwira
militer di provinsi-provinsi lain. Dalam analisis postmortemnya Supardjo
menyatakan bahwa G-30-S telah mengirim kurir-kurirnya ke berbagai
provinsi. Sementara para perwira di provinsi-provinsi lain mungkin telah
mengetahui tentang adanya G-30-S, dan berpikir untuk melakukan
tindakan tertentu, namun mereka tetap pasif.49 Hanya di Jawa Tengah
dan Yogyakarta yang merupakan wilayah-wilayah di luar Jakarta G-30-S
mewujud.
SERANGAN SUHARTO TERHADAP G-30-S
Kembali di Jakarta, seorang jenderal senior Angkatan Darat yang tidak
79
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
menjadi sasaran penculikan ialah Mayor Jenderal Suharto, Komandan
Komando Strategis Cadangan Angkatan Darat atau lebih dikenal sebagai
Kostrad. Pasukan yang menduduki Lapangan Merdeka (Batalyon 454
dan 530) tidak diperintahkan untuk memblokade markas Kostrad atau
setidaknya menetralisirnya. Pasukan menduduki sisi utara, barat, dan
selatan lapangan tersebut dan membiarkan sisi timur, tempat markas
Kostrad berdiri, kosong. Para perwira Suharto keluar masuk gedung
dengan leluasa sepanjang hari itu saat mereka menyusun rencana serangan
terhadap G-30-S. Salah satu keganjilan besar dari kejadian-kejadian 1
Oktober itu ialah bahwa musuh-musuh G-30-S bekerja di sebuah gedung
yang berada langsung di depan sebagian besar pasukan G-30-S.
Barangkali G-30-S memutuskan tidak menetralisir markas Kostrad
karena Kostrad bukanlah merupakan instalasi militer utama di Jakarta.
Berbeda dengan Kodam Jaya, Kostrad tidak mempunyai pasukan tetap
yang diasramakan di dalam atau sekitar kota. Prajurit-prajurit cadangan
Kostrad selalu dipinjam dari komando-komando daerah (kodam-kodam).
Kostrad mengerahkan batalyon-batalyon untuk penugasan sementara
dalam operasi-operasi tempur tertentu.50 Meskipun demikian, Kostrad
mempunyai arti strategis yang besar, mengingat bahwa yang memimpinnya
adalah Suharto, tokoh yang terkadang bertugas sebagai panglima
Angkatan Darat setiap saat Yani bepergian ke luar negeri. Jika pasukan
pemberontak ingin menguasai Jakarta, mereka harus memastikan bahwa
Suharto, orang dalam peringkat pertama yang langsung akan menggantikan
Yani, tidak dapat mengerahkan pasukan untuk melakukan serangan
balasan. Suharto diangkat menjadi panglima Kostrad pada Mei 1963 dan
karena itu berpengalaman paling tidak dua tahun dalam berhubungan
dengan para perwira puncak militer di Jakarta.
Menurut penuturannya sendiri, Suharto mendengar tentang adanya
tembak-menembak dan penculikan dari tetangga ketika ia masih di kediamannya
di Menteng. Ia tiba di Kostrad antara pukul 6.30 dan 7.00
pagi. Karena Suharto menduga Yani sudah terbunuh, ia mengangkat
dirinya sendiri sebagai panglima Angkatan Darat ad interim. Perwira
kunci yang menguasai pasukan paling besar di Jakarta, Umar Wirahadikusumah,
pada sekitar pukul 8.00 melapor kepada Suharto dan menempatkan
dirinya di bawah komando Suharto.51 Jenderal-jenderal dari
Staf Umum Angkatan Darat (SUAD) yang selamat mengadakan rapat
80
1. KESEMRAWUTAN FAKTA-FAKTA
darurat sekitar saat yang sama dan memutuskan mengangkat Suharto
sebagai panglima sementara. Menurut salah seorang anggota staf, Mayor
Jenderal Pranoto, yang belakangan ditunjuk Sukarno sebagai panglima,
“rapat memutuskan untuk menunjuk Mayjen Suharto Pangkostrad agar
bersedia mengisi pimpinan A.D. yang terdapat vacuum. Melalui kurir
khusus, maka keputusan rapat kita sampaikan kepada Mayjen Suharto di
MAKOSTRAD.”52 Sepanjang hari itu banyak perwira yang berkumpul
di Kostrad sesudah diketahui bahwa di sinilah pusat kekuatan militer
yang anti-G-30-S. Nasution tiba di sana pada petang hari.53
Tindakan pertama Suharto dalam menghadapi G-30-S ialah
menuntut dua batalyon di Lapangan Merdeka menyerahkan diri. Para
komandan batalyon-batalyon itu, Kapten Sukirno dan Mayor Supeno,
ada di dalam halaman istana (menemani Supardjo dari Halim pada pagi
hari). Para perwira Kostrad menghubungi wakil-wakil komandan batalyon
yang masih ada di lapangan bersama pasukannya. Wakil-wakil komandan
itu berbuat sesuai dengan perintah yang mereka terima: mereka melapor
kepada Suharto di dalam gedung Kostrad. Begitu bertemu dengan mereka,
Suharto memberi tahukan bahwa ia menganggap G-30-S sebagai usaha
kup dan mengancam akan menyerang mereka jika pasukan mereka tidak
menyerah kepadanya pada pukul 6.00 petang hari itu.
Keganjilan lain lagi dari G-30-S adalah bahwa dua batalyon tersebut
– Yon 454 dari Jawa Tengah dan Yon 530 dari Jawa Timur – dipanggil ke
Jakarta oleh Suharto sendiri. Dalam penjelasannya yang pertama di depan
umum tentang peristiwa hari itu, yaitu pidatonya pada 15 Oktober,
Suharto mengakui bahwa dua batalyon itu termasuk anggota Kostrad.54
Mereka dibawa ke Jakarta bersama batalyon yang ketiga, Yon 328 dari
Jawa Barat, untuk mengambil bagian dalam parade Hari Angkatan Bersenjata
yang dijadwalkan pada 5 Oktober. Pada pagi hari 30 September
1965 Suharto memeriksa tiga batalyon itu, di lapangan tempat mereka
berkemah. Pada 1980-an salinan perintah-perintah Kostrad yang asli
kepada tiga batalyon tersebut tersingkap – semuanya ditandatangani
oleh Suharto.55
Sementara mereka berpangkalan di Lapangan Merdeka, tidak
seorang pun dari dua komandan batalyon itu berhubungan dengan
pimpinan G-30-S di Halim. Mereka benar-benar memikirkan sendiri
bagaimana menjawab ancaman Suharto, tanpa berkonsultasi dengan
81
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
Untung, Sjam, dan lainnya. Satu batalyon, yaitu Yon 530, meninggalkan
posisinya dan menyerah ke Kostrad menjelang tengah hari. Kapten
Sukirno dari Yon 454 berhasil mencegah pasukannya untuk membelot
tetapi merasa tidak dapat tetap berada di Lapangan Merdeka tanpa adanya
batalyon yang lain. Ia memerintahkan semua anggota pasukannya naik
truk dan kembali menuju Halim menjelang senja.56
Suharto berhasil mengosongkan Lapangan Merdeka dari tentara
tanpa satu letusan senjata pun: satu batalyon menyerah, yang lain
melarikan diri. Pasukan Suharto tidak menemui perlawanan ketika
merebut stasiun RRI sekitar pukul 18.00.57 Di gedung telekomunikasi
pasukan Suharto menjumpai beberapa sukarelawan sipil G-30-S. Karena
sukarelawan-sukarelawan itu sangat bingung apa yang harus mereka
lakukan, dan juga tidak yakin apakah pasukan itu kawan atau lawan,
mereka menunjukkan perlawanan kecil belaka. Mereka dengan cepat
dikalahkan dan diangkut.58 Hingga petang hari G-30-S sudah tidak
mempunyai pasukan yang tersisa di dalam kota. Sisa-sisa kekuatannya
telah kembali ke Lubang Buaya. Suharto menguasai Jakarta. Antara pukul
19.00 dan 20.30 ia memerintahkan RRI untuk menyiarkan pesan yang
telah ia rekam sebelumnya sore itu. Gema suara Suharto di udara menjadi
pertanda berakhirnya G-30-S secara simbolik.
Untuk merebut stasiun RRI, Lapangan Merdeka, dan gedung
telekomunikasi, Suharto menggunakan pasukan RPKAD yang dibawa
dari markas mereka di Cijantung, sebuah kota kecil di selatan Jakarta.
Ia juga menggunakan satu-satunya batalyon Kostrad yang tidak ikut
menggabung dalam G-30-S, Batalyon 328 dari Jawa Barat, dan bagianbagian
dari Batalyon 530 yang telah menyeberang hanya beberapa jam
sebelumnya. Aneh bahwa Suharto tidak mengambil kesempatan menggunakan
pasukan dari garnisun Jakarta (Kodam Jaya) yang berada di
bawah komando Umar Wirahadikusumah. Suharto hanya menggunakan
pasukan-pasukan yang berada langsung di bawah komandonya, bahkan
lebih menyukai pasukan yang pernah ikut serta dalam G-30-S.
Sesudah Lapangan Merdeka bersih, Suharto memalingkan perhatiannya
ke Halim, yang ia ketahui sebagai basis G-30-S. Berbagai kurir
dan perwira berdatangan di Kostrad dari Halim sejak hari masih sore
dan melaporkan bahwa Supardjo (yang kedudukannya sebagai wakil
komandan gerakan telah diumumkan melalui radio) sedang berunding
82
1. KESEMRAWUTAN FAKTA-FAKTA
dengan Sukarno di sana. Untuk mengisolasi G-30-S di pangkalan AURI
Halim, Suharto tidak mengizinkan seorang pun perwira Angkatan Darat
pergi ke sana, bahkan mereka yang dipanggil oleh presiden sekali pun.
Seperti sudah saya kemukakan, Sukarno telah mengangkat Pranoto
sebagai Panglima Angkatan Darat pada pukul 13.30 dan memerintahkannya
untuk datang ke Halim. Sukarno tidak menyadari bahwa Pranoto
dan staf Yani yang masih hidup telah sepakat mengangkat Suharto sebagai
panglima. Suharto tidak mengijinkan Pranoto meninggalkan Markas
Besar Angkatan Darat (MBAD) dan bertemu dengan Sukarno. Dalam
catatan retrospeksi singkatnya Pranoto teringat, “Saya sudah terlanjur
masuk dalam hubungan komando taktis di bawah Mayjen Suharto, maka
saya tidak dapat secara langsung menghadap Presiden/Pangti dengan
tanpa seizin Mayjen Suharto sebagai pengganti Pimpinan AD saat itu.
Atas dasar panggilan dari utusan-utusan Presiden/Pangti tersebut di atas,
saya pun berusaha mendapatkan izin dari Mayjen Suharto. Akan tetapi,
Mayjen Suharto selalu melarang saya untuk menghadap Presiden/Pangti
dengan alasan bahwa dia (Mayjen Suharto) tidak berani mereskir kemungkinan
tambahnya korban Jenderal lagi apabila dalam keadaan yang
sekalut itu saya pergi menghadap Presiden.”59
Karena Sukarno adalah Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata,
penolakan Suharto untuk mengikuti perintahnya tentang pengangkatan
Pranoto dapat disamakan dengan pembangkangan. Sukarno sudah menegaskan
bahwa aman bagi Pranoto untuk datang ke Halim. Dengan
demikian Suharto tidak mempunyai alasan, menurut protokol kemiliteran,
untuk meragukan penilaian Sukarno. Suharto menentang atasannya dan
melaksanakan strateginya sendiri. Sementara Sukarno sedang berunding
dengan para pimpinan G-30-S di Halim dan membujuk mereka agar
menghentikan aksi-aksinya, Suharto sibuk merancang serangan militer
terhadap mereka.
Suharto mulai memberikan perintah-perintahnya kepada presiden.
Melalui kurir ia mengatakan kepada Sukarno agar sekitar pukul 20.00
presiden meninggalkan Halim supaya tidak menjadi korban dalam
pertempuran yang akan terjadi. Suharto menyatakan pasukannya akan
menyerang pangkalan udara dan membersihkan seluruh kekuatan
G-30-S. Rupanya melihat bahwa akan sia-sia memerintahkan Suharto
agar menghentikan serangannya, Sukarno bertukar pikiran dengan para
83
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
penasihatnya bagaimana jalan yang terbaik untuk melarikan diri dari
Halim. Ia akhirnya memutuskan pergi dengan mobil ke Istana Bogor, di
selatan Jakarta, tempat ia biasa melewatkan akhir pekan. Ia tiba di Istana
Bogor sekitar pukul 22.00.
Dengan tersingkirnya Sukarno, rintangan yang masih tersisa bagi
Suharto tinggal Angkatan Udara. Ia menerima berita bahwa para perwira
AURI di Halim akan memberikan perlawanan jika pangkalan udara
diserang dan sedang memikirkan untuk membom atau memberondong
markas Kostrad. Suharto dan stafnya meninggalkan markas mereka dan
menempati markas baru di dekat stadion Senayan.60 Ternyata serangan
udara itu tidak pernah terjadi. Bagaimana pun juga, adanya ancaman itu
mengakibatkan persiapan-persiapan Suharto tertunda beberapa jam.
Pasukan RPKAD disiapkan di sepanjang batas selatan pangkalan
udara Halim sejak dini hari 2 Oktober. Mereka bertempur sebentar dengan
pasukan dari batalyon Jawa Tengah yang kebetulan juga berkelompok di
sepanjang jalan yang sama. Sesudah meninggalkan Lapangan Merdeka
pada sore hari sebelumnya, Batalyon 454 bergerak mundur ke Halim, tapi
mendapati pintu-pintu pangkalan udara tertutup. Dilarang memasuki
Halim, mereka melewatkan malam dengan berkeliaran di sepanjang jalan
antara pangkalan udara dan Lubang Buaya. Inilah jalan yang ditempuh
RPKAD ketika masuk sekitar dini hari 2 Oktober. Seorang perwira AURI,
Komodor Dewanto, berhasil menyela dan mencegah pertempuran besarbesaran
antara RPKAD dan pasukan Batalyon 454. Gencatan senjata
segera diadakan yang mendesak agar Batalyon 454 ditarik dari kawasan
dan RPKAD memasuki pangkalan udara. Komandan RPKAD, Kolonel
Sarwo Edhie, menemui para perwira senior Angkatan Udara di Markas
Besar AURI. Ia meyakinkan dirinya bahwa Sukarno benar-benar sudah
pergi dan Halim tidak lagi menjadi ancaman bagi Angkatan Darat.
Angkatan Udara tidak akan melancarkan serangan udara, seperti yang
telah dikhawatirkan Kostrad sepanjang malam sebelumnya.61
Suatu saat pada pagi 2 Oktober pimpinan inti G-30-S meninggalkan
persembunyian mereka di Halim dan pindah ke selatan di Lubang
Buaya. Di sini mereka membahas situasi yang ada dengan para perwira
Batalyon 454 dan anggota-anggota PKI yang ikut serta dalam G-30-S.
Akhirnya semua kekuatan G-30-S membubarkan diri dan pergi ke arah
yang berbeda-beda. Kedatangan RPKAD agaknya mendorong pelarian
84
1. KESEMRAWUTAN FAKTA-FAKTA
mereka. Sjam, Latief, dan Supardjo mencari jalan masuk pusat kota.
Untung dan prajurit-prajurit kawal istana menyelinap dengan kereta
api menuju Jawa Tengah. Aidit dan Omar Dani sudah diterbangkan
keluar Jakarta pada malam hari (Aidit ke Yogyakarta, Omar Dani ke Jawa
Timur). Tamatlah kisah G-30-S di Jakarta. Pada hari berikutnya G-30-S
di Jawa Tengah pun tamat kisahnya.
CATATAN
1 Schlemihl adalah makhluk khayali yang tubuhnya tak memantulkan bayangan karena ia
sudah menjual bayangannya kepada setan. Makhluk ini merupakan karakter utama dalam
dongeng Th e Wonderful History of Peter Schlemihl (1813), buah karya pengarang Jerman
Adelbert von Chamisso (1781-1838).
2 Untuk pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan G-30-S, lihat Sekretariat Negara Republik
Indonesia, Gerakan 30 September (Jakarta: 1994), lampiran 1-5, hal. 5-13.
3 Sekarang nama yang lazim dipakai adalah Lapangan Monas. Waktu itu lapangan tersebut
bernama Lapangan Merdeka. Mengikuti kebiasaan lama, saya akan menggunakan Lapangan
Merdeka.
4 Catatan rinci tentang razia penculikan terdapat dalam Anderson dan McVey, Preliminary
Analysis, 12-18.
5 Anderson dan McVey menduga peranan Supardjo adalah untuk “mengawasi istana dan
stasiun RRI” (Preliminary Analysis, 11). Ini tidak tepat. Pada saat Supardjo tiba, Yon 454
dan Yon 530 sudah menguasai kawasan di luar istana dan stasiun radio. Tidak terlihat bahwa
Supardjo diharapkan berperanan lebih dari sekadar berbicara dengan Sukarno di dalam
istana. Ia tidak memimpin pasukan yang menduduki stasiun RRI.
6 Transkrip Mahmilub, sidang pengadilan Supardjo, pleidooi dari tertuduh, 13, 28. Dalam
hal ini, juga pada hampir semua hal-hal lain, saya menggunakan transkrip dari Mahmilub
hanya untuk mengajukan kemungkinan, bukan untuk menegakkan fakta-fakta. Seperti
sudah saya kemukakan dalam Pendahuluan, kesaksian para terdakwa dan saksi di depan
sidang Mahmilub tidak dapat diandalkan, dan di dalam buku ini saya akan menunjukkan
banyak kesalahan di dalam kesaksian-kesaksian mereka. Namun demikian beberapa bagian
dari kesaksian-kesaksian itu dapat dianggap akurat bila didukung oleh bukti-bukti dalam
bentuk lain. Dalam setiap transkrip persidangan, bagian terpenting ialah pledoi tertuduh
yang ditulis sendiri untuk mengajukan interpretasinya secara umum tentang G-30-S dan
mengungkapkan sesuatu tentang kepribadiannya.
7 Pada 1965 Sukarno mempunyai empat istri: Fatmawati, Hartini, Dewi, dan Harjati. Tidak
satu pun dari mereka tinggal di istana kepresidenan di Jakarta.
8 Saelan, Dari Revolusi ’45 Sampai Kudeta ’66, 309-310. Saat itu Kolonel Saelan adalah
85
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
wakil komandan pasukan kawal istana. Tapi malam itu ia juga pejabat komandan karena
komandan pasukan, Brigjen Sabur, berada di luar kota. Dalam pasukan kawal istana, yang
disebut Cakrabirawa, ada satu satuan kecil pengawal pribadi presiden yang dikenal sebagai
Detasemen Kawal Pribadi Presiden (DKP). Satuan kecil DKP ini merupakan lingkar pertama
yang berada paling dekat dengan sekeliling tubuh presiden. Komandan DKP, Letnan Kolonel
Mangil Martowidjojo, telah menulis dengan rinci dalam memoarnya tentang gerak-gerik
Sukarno pada pagi hari 1 Oktober 1965 (lihat Martowidjojo, Kesaksian Tentang Bung Karno,
378-398).
9 Kolonel Saelan menyatakan bahwa salah seorang bawahan Untung, Kapten Suwarno,
menghampirinya pada sekitar pukul 5.45 pagi dan bertanya di mana presiden berada
(Saelan, Dari Revolusi ‘45 Sampai Kudeta ‘66, 309). Ini mungkin memberi petunjuk bahwa
sampai detik terakhir kelompok Untung masih mencari-cari presiden. Suwarno inilah yang
menjumpai Supardjo di istana dan menyampaikan bahwa presiden tidak ada di tempat.
10 Wawancara dengan Heru Atmodjo, 14 Desember 2002.
11 Lihat wawancara dengan Omar Dani dalam Katoppo, Menyingkap Kabut Halim 1965,
240.
12 Lihat pernyataan Sukarno pada 3 Oktober 1965, dalam Setiyono dan Triyana, Revolusi
Belum Selesai, 1:18.
13 Waktu yang ditunjukkan di sini waktu perkiraan. Menurut ingatan Letkol Mangil Martowidjojo,
Sukarno tiba di pangkalan udara Halim sekitar pukul 9.00 pagi (Martowidjojo,
Kesaksian Tentang Bung Karno, 389). Agaknya Supardjo tiba lebih awal dari Sukarno. Ketika
Supardjo tiba, ia berbicara sebentar dengan Omar Dani di kantor utama, kemudian pergi
menemui para pimpinan inti G-30-S. Supardjo sudah meninggalkan kantor komandan
Halim saat Sukarno dan rombongannya tiba.
14 Kapan waktu pembunuhan setepatnya tidak diketahui. Badan intelijen AS, Central
Intelligence Agency (CIA), dalam laporannya tentang G-30-S yang diterbitkan, menyebut
jenderal-jenderal itu dibunuh sekitar pukul 7.00 pagi (CIA, Indonesia – 1965, 21). Menurut
ingatan seorang prajurit kawal istana, yang berada di Lubang Buaya saat itu, Sersan Mayor
Bungkus, pembunuhan terjadi sekitar pukul 9.30 (wawancara dengan Bungkus). Untuk
komentar Bungkus tentang pembunuhan yang telah terbit, lihat Anderson, “World of
Sergeant-Mayor Bungkus,” 27-28).
15 Tanggal-tanggal pertemuan, topik-topik diskusi, nama-nama semua yang hadir, dan
berbagai pendapat yang dikemukakan dalam pertemuan tidak dapat diketahui dengan
kepastian sedikit pun. Kisah-kisah dari rezim Suharto disusun atas dasar kesaksian Sjam. Tapi
kita tidak mempunyai alasan mempercayai kata-kata Sjam tentang masalah ini. Notosusanto
dan Saleh menyatakan bahwa komplotan ini bertemu sepuluh kali dari 17 Agustus sampai
29 September (lihat Tragedi Nasional, 11-13). Laporan CIA menyatakan, mereka bertemu
delapan kali dari 6 September sampai 29 September (Indonesia – 1965, 110-157).
16 Wawancara dengan Heru Atmodjo, 14 Desember 2002.
17 Tentang kehadiran Kusno, lihat Siauw Giok Tjhan, “Berbagai Catatan,“ 5-7. Iskandar
Subekti di depan pengadilan mengakui ia berada di Halim bersama Aidit (Subekti, “Jalan
86
1. KESEMRAWUTAN FAKTA-FAKTA
Pembebasan Rakyat Indonesia”, 45-46). Ini merupakan pernyataan Mahmilub yang andal.
Tidak ada alasan kuat bagi Subekti untuk mengakui bahwa ia berada di Halim bersama Aidit.
Sebagian besar pembelaan Subekti berisi kutukan terhadap rezim Suharto. Sementara Subekti
tidak berterus terang mengenai apa yang terjadi di pangkalan Halim pagi itu, pernyataannya
bahwa ia berada di Halim agaknya memang benar. Heru Atmodjo juga mengemukakan, ia
mendengar dari tapol-tapol lain bahwa Iskandar Subekti memang ada di Halim (Sembiring
dan Sutedjo, Gerakan 30 September, 128-129).
18 Wawancara dengan Heru Atmodjo, 14 Desember 2002, Jakarta.
19 Menurut Omar Dani para perwira yang hadir dalam rapat itu, selain Dani sendiri, ialah
Komodor Dewanto, Komodor Andoko, Komodor Wattimena, dan Laksamana Madya
Makki Perdanakusuma. Rapat diadakan di kantor Dani di Wisma Angkasa (Katoppo,
Menyingkap Kabut Halim 1965, 225).
20 Sukarno memprakarsai kampanye melawan Malaysia pada September 1963 yang disebutnya
sebagai Konfrontasi. Tentara Indonesia menempatkan pasukannya di Sumatra
dan Kalimantan untuk kemungkinan melakukan penyerbuan dan terkadang mengirim
kelompok pasukan-pasukan kecil ke kawasan Malaysia. Nama semula dari komando militer
yang dibentuk untuk melancarkan Konfrontasi itu Koga. Sukarno mereorganisasi komando
ini pada Oktober 1964 dengan nama baru Kolaga: Komando Mandala Siaga. Omar Dani
adalah Panglima Kolaga. Wakil Panglima, sejak 1 Januari 1965, ialah Suharto. Panglima
pasukan-pasukan Kolaga di Kalimantan ialah Supardjo.
21 Omar Dani mengatakan bahwa ia menginap di Halim malam itu karena ia berharap
pada hari berikut akan mendengar lebih banyak tentang apa yang akan terjadi. Ia tidur di
gedung pusat pangkalan udara, bukan pulang ke rumah atau pergi ke kantornya sendiri di
tengah kota Jakarta. Agaknya tidak benar bahwa, seperti yang disangkakan oleh Anderson
dan McVey, Dani “diambil oleh personel AURI dan dibawa ke Halim [pada jam 3.00 pagi]
untuk, dengan kehadirannya yang ‘otoritatif,’ mengukuhkan penguasaan para konspirator
atas pangkalan udara.“ (Preliminary Analysis, 19).
22 Wawancara dengan Heru Atmodjo, 11 Juni 2000.
23 Omar Dani menjelaskan, ia menulis “Perintah Harian” antara pukul 7.15 dan 8.00 pagi
sesudah mendengar pengumuman pertama G-30-S melalui radio di pangkalan udara Halim.
Ia menyisihkan pernyataan itu begitu ia mendengar pada pukul 8.00 bahwa Sukarno sedang
menuju Halim. Dani menganggap apa yang sudah ditulisnya sebagai draf yang mungkin
harus ia ubah sesudah ia mengetahui pendirian Presiden mengenai G-30-S. Dani sudah
mengirim draf itu kepada Komodor Dewanto di Markas Besar AURI untuk meminta
pendapatnya. Rupanya, karena keliru komunikasi, draf itu lalu diumumkan sebagai sebuah
dokumen fi nal dari MBAU pada pukul 9.30 pagi sebelum Dani dapat merevisinya (Katoppo,
Menyingkap Kabut Halim, 238-239)
24 Keterlibatan secara individual dari satuan pasukan para dan polisi militer berdasar pada
wawancara lisan dengan beberapa mantan personil militer yang ikut serta dalam G-30-S,
Subowo dan Mudjijono (kedua-duanya nama samaran).
25 Jumlah sukarelawan yang berafi liasi dengan PKI tidak diketahui dengan pasti. Selama
87
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
persidangan Mahmilub Untung menyatakan ada kira-kira dua ribu orang sipil ikut serta
dalam aksi G-30-S pada 1 Oktober 1965 (“Gerakan 30 September” Dihadapan Mahmillub
di Djakarta, Perkara Untung, 40).
26 Anderson dan McVey menyitat berita surat kabar yang mengutip Mayor Jenderal Umar
Wirahadikusumah, Panglima Kodam Jaya, yang menyatakan jumlah seluruh pasukannya
enam puluh ribu personil (Preliminary Analysis, 66 n13). Saya kira angka ini terlalu tinggi,
tapi saya tidak menemukan angka lain tentang kekuatan pasukan Kodam tersebut.
27 Wirahadikusumah, Dari Peristiwa ke Peristiwa, 182-186.
28 Catatan rezim Suharto sendiri tidak berisi informasi tentang peran serta Sunardi dan
Anwas dalam G-30-S. Lihat Notosusanto dan Saleh, Coup Attempt, Sekretariat Negara,
September 30th Movement. Kedua tokoh itu kemudian diadili oleh pengadilan militer, dijatuhi
hukuman walaupun kekurangan bukti yang melemahkan terdakwa, dan dipenjarakan
sampai akhir 1970-an.
29 “Gerakan 30 September” Dihadapan Mahmillub, Perkara Untung, 77.
30 Ibid., 75.
31 Sembiring dan Sutedjo, Gerakan 30 September 1965, 125-129.
32 Transkrip Mahmilub, pengadilan Supardjo, pleidooi dari tertuduh, 6, 11.
33 Laporan CIA menyatakan bahwa Dekrit No. 1 pertama-tama disiarkan pada tengah hari,
dan Keputusan 1 dan Keputusan 2 pada pukul 13.00 (lihat Indonesia – 1965, 25-26). Jurnal
Indonesia dalam penerbitan terjemahan dokumen-dokumen itu menyatakan bahwa ketiga
pengumuman tersebut disiarkan melalui radio pada pukul 14.00 (“Selected Documents,“
137-139)
34 “Gerakan 30 September” Dihadapan Mahmillub, Perkara Untung, foto-foto antara halaman
8 dan 9.
35 RRI menyiarkan “Perintah Harian” Omar Dani suatu saat lepas tengah hari, walaupun
telah disiarkan (menurut Dani secara tidak sengaja) pada pukul 9.30 pagi. Dani mendasarkan
pernyataannya lebih pada informasi dari pengumuman gerakan yang pertama (G-30-S
sebagai pelindung Sukarno), ketimbang pada pengumuman yang disiarkan pada sore hari
(G-30-S sebagai perampas kekuasaan Sukarno). Para editor jurnal Indonesia menyatakan
bahwa pernyataan Dani disiarkan pukul 15.30. (“Selected Documents,” 143). Dani sendiri
menyatakan bahwa pernyataan itu disiarkan pukul 13.00 siang (Katoppo, Menyingkap
Kabut Halim, 239).
36 Sukarno menggunakan istilah Panca Azimat Revolusi, dengan maksud menunjuk pada
Nasakom, Pancasila, Manipol-Usdek, Trisakti, dan Berdikari. Nasakom ialah prinsip untuk
menggabungkan kecenderungan politik nasionalis, agama, dan komunis ke dalam suatu
negara bangsa yang berfungsi tunggal. Pancasila terdiri dari lima prinsip umum yang
merupakan dasar untuk persatuan di antara bangsa Indonesia. Secara garis besar lima prinsip
itu ialah: kepercayaan kepada Tuhan yang tunggal, kemanusiaan, kebangsaan, demokrasi,
dan keadilan sosial. Manipol ialah Manifesto Politik Sukarno tahun 1959, yang ditetapkan
pemerintah sebagai azas pembimbing. Usdek ialah akronim untuk lima istilah: UUD 1945,
88
1. KESEMRAWUTAN FAKTA-FAKTA
Sosialisme ala Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian
Indonesia. Trisakti merujuk kepada tiga prinsip: berdaulat dalam politik, berdikari dalam
ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan. Berdikari atau berdiri di atas kaki sendiri,
ialah prinsip Sukarno untuk ekonomi nasional yang berswasembada.
37 “Gerakan 30 September” Dihadapan Mahmillub, Perkara Untung, 60.
38 Transkrip Mahmilub, pengadilan Supardjo, sidang ketiga, 24 Februari 1967, 21.
39 Transkrip Mahmilub, pengadilan Supardjo, sidang ketiga, 24 Februari 1967, 16-17.
Versi resmi militer menyatakan, Sukarno menepuk punggung Supardjo dan mengatakan,
“Kerja yang baik” (CIA, Indonesia – 1965, 31). Ini tampaknya merupakan pencatutan
kesaksian Supardjo. Sukarno tidak memberi ucapan selamat untuk penculikan terhadap
para jenderal; ia menepuk Supardjo di punggung sambil mengancam akan menghukumnya
jika ia tidak menghentikan G-30-S. Sukarno belum mengenal Supardjo dengan baik, tapi
ia telah bertemu dengannya pada sejumlah kesempatan, dan mengembangkan rasa hormat
mendalam terhadap Supardjo. Di Halim Sukarno rupanya nyaman bergaul dengannya.
Keakraban dibangun dengan senda gurau, tepukan di punggung, dan bercakap-cakap dalam
bahasa Sunda. Baik Sukarno maupun Supardjo bukan orang Sunda, tapi keduanya pernah
tinggal cukup lama di Jawa Barat, sehingga mereka fasih berbahasa Sunda.
40 Surodjo and Soeparno, Tuhan, Pergunakanlah Hati, Pikiran and Tanganku, 70.
41 Para pembantu Sukarno di pangkalan udara Halim ialah Laksamana Madya R. Eddy
Martadinata, Inspektur Jenderal Sutjipto Judodihardjo, Brigadir Jenderal Sabur, dan Brigadir
Jenderal Soetardio.
42 Surodjo and Soeparno, Tuhan, Pergunakanlah Hati, Pikiran, and Tanganku, 71.
43 Wawancara dengan Heru Atmodjo, 14 Desember 2002. Laporan CIA menyatakan bahwa
Supardjo pagi hari itu mondar-mandir antara Pusat Komando Operasi dan rumah Sersan
Soejatno sebanyak empat kali (9.30, 10.15, 11.15, dan 11.45). Laporan itu tidak menyebutkan
sumber informasi tersebut. Lihat CIA, Indonesia – 1965, diagram antara halaman
22 dan 23. Diagram tidak tampak akurat karena laporan-laporan lain menunjukkan bahwa
Supardjo tidak bertemu Sukarno di Pusat Komando Pangkalan Udara sampai kira-kira pukul
10.00 pagi, dan bahwa Sukarno telah pindah ke rumah Komodor Soesanto pada pukul
11.00 siang. Diagram CIA tidak memperlihatkan bahwa Supardjo juga mondar-mandir
antara rumah Soesanto dan rumah Sujatno.
44 Menurut laporan CIA yang diterbitkan, “Supardjo minta agar ia diberi kesempatan
berkonsultasi tentang masalah itu dengan ‘kawan-kawan’-nya. Presiden menjawab, ‘Ya,
baiklah, tapi segera kembali’ …Sesudah bertukar pikiran mereka [pimpinan G-30-S] memutuskan
untuk merekomendasikan kepada Sukarno agar menunjuk Mayor Jenderal Pranoto”
(CIA, Indonesia – 1965, 32). Menurut cerita Supardjo (lihat Bab 3 dan Apendiks 1 buku
ini), G-30-S merekomendasikan tiga nama: Rukman, Pranoto, dan Basuki Rachmat.
45 Mengenai reputasi Rukman dan Basuki Rachmat, lihat Sundhaussen, Road to Power,
171-172.
46 Setiyono and Triyana, Revolusi Belum Selesai, 1:73. Kalimat dalam bahasa Belanda berarti:
89
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
“Apa kalian sudah gila, berpikir bahwa saya akan membubarkan kabinet saya sendiri?”
47 Yogyakarta tidak berada di bawah pemerintahan sipil Jawa Tengah. Daerah ini merupakan
Daerah Istimewa. Namun, Daerah Istimewa Yogyakarta diintegrasikan ke dalam struktur
komando Angkatan Darat yang meliputi wilayah Jawa Tengah (Kodam Diponegoro).
48 Untuk kejadian-kejadian di Jawa Tengah, saya pada pokoknya menggunakan penggambaran
dalam Anderson dan McVey, Preliminary Analysis, 46-53. Mereka mendasarkan
penuturannya pada cerita-cerita yang terdapat dalam koran-koran lokal sejak Oktober
sampai Desember 1965.
49 Satu contoh ialah kepasifan para perwira militer pro-PKI di Sumatra Barat (A. Kahin,
Rebellion to Integration, 240-241).
50 Kostrad yang dibentuk pada 1960 merupakan usaha pertama Angkatan Darat untuk
membentuk pasukan cadangan pusat. Walaupun pasukannya masih dipinjam dari komandokomando
daerah, Kostrad dirancang untuk memberi panglima Angkatan Darat (yang
dipegang Yani sejak Juni 1962) batalyon-batalyon yang berada di bawah komandonya
sendiri (Lowry, Armed Forces of Indonesia, 89.)
51 Wirahadikusumah, Dari Peristiwa ke Peristiwa, 186.
52 Reksosamodra, Memoar, 246.
53 Nasution mengingat ia datang pukul 19.30 (Nasution, Memenuhi Panggilan Tugas, 6:241).
Tapi menurut ingatan Suharto, Nasution tiba sekitar pukul 17.30 sore (Suharto, Pikiran,
Ucapan, dan Tindakan Saya, 126).
54 “Selected Documents,“ 167.
55 Tapol Bulletin, no. 90 (Desember 1988), 20-21, mengutip Indonesia Reports, Politics
Supplement, no. 25, Agustus 1988. Informasi ini aslinya muncul dalam sebuah dokumen
anonim berbahasa Indonesia, berjudul “Peranan Presiden Suharto dalam Gerakan 30
September.” Dokumen ini dilampiri sebuah reproduksi radiogram yang dikirim Suharto
kepada tiga batalyon itu pada 21 September 1965, memerintahkan mereka ke Jakarta untuk
parade Hari Angkatan Bersenjata.
56 Ketika mereka tiba di Halim pasukan ini ditolak masuk pangkalan oleh perwira-perwira
AURI. Dalam keadaan bingung, mereka berkeliaran di sepanjang jalan, di selatan pangkalan
udara (Katoppo, Menyingkap Kabut Halim 1965, 129).
57 Waktu pukul 18.00 dilaporkan oleh Dinas Sejarah Militer TNI-Angkatan Darat, Cuplikan
Sejarah Perjuangan TNI-Angkatan Darat, 496.
58 Wawancara dengan Juwono (nama samaran), anggota organisasi pemuda PKI, Pemuda
Rakyat. Ia mendapat perintah dari atasannya untuk menduduki gedung telekomunikasi.
59 Reksosamodra, Memoar, 247-248.
60 Hughes, End of Sukarno, 82.
61 Laporan paling rinci tentang peristiwa-peristiwa 2 Oktober pagi di dan sekitar Halim,
terdapat dalam Katoppo, Menyingkap Kabut Halim, 149-180.
90
2
PENJELASAN TENTANG G-30-S
Tindakan dapat kita mengerti jika ada koherensi antara tindakan
agen dengan makna situasi yang dihadapinya bagi dirinya. Tindakan
si agen akan kita rasakan membingungkan sebelum koherensi itu kita
temukan … Koherensi ini sama sekali tidak menyiratkan bahwa
tindakan itu masuk akal; makna sebuah situasi bagi pelaku bisa jadi
penuh kekacauan dan pertentangan; tetapi penggambaran yang cukup
tentang pertentangan itu menjadikannya dapat dimengerti.
Charles Taylor, Philosophy and the Human Science (1971)
Ada tanda tanya yang menggelantung hampir pada setiap aspek
Gerakan 30 September. Mengapa sebuah gerakan yang menyatakan
diri kepada umum pada 1 Oktober menamai dirinya dengan
tanggal hari sebelumnya? Mengapa sebuah gerakan yang menyatakan diri
sebagai murni tindakan intern Angkatan Darat juga memutuskan mendemisionerkan
kabinet Presiden Sukarno dan membentuk pemerintahan
baru atas dasar “dewan revolusi”? Mengapa sebuah gerakan yang menyatakan
diri sebagai usaha untuk mencegah kup terhadap Presiden Sukarno
tidak tegas-tegas menyatakan bahwa ia akan tetap menjadi presiden di
dalam pemerintahan yang baru ini? Mengapa sebuah gerakan yang ingin
mengganti pemerintah tidak menggelar pasukan untuk menguasai ibu
kota sesuai dengan prosedur klasik dalam kudeta? Mengapa gerakan ini
tidak menculik Mayor Jenderal Suharto atau bersiap untuk menghadapi
pasukan-pasukan yang ada di bawah komandonya? Gerakan 30
91
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
September tampak sebagai kemelut yang kusut tanpa kepaduan.
Bertahun-tahun banyak orang berusaha mencerna apa kiranya
logika pokok dari G-30-S. Orang harus berpikir bahwa para pelakunya
bukanlah orang-orang yang menderita schizofrenia, tolol, atau berkecenderungan
bunuh diri. Mereka pasti mempunyai tujuan-tujuan tertentu
di dalam benak mereka dan tentu juga telah merancang tindakan dan
pernyataan mereka sebagai sarana yang cukup efektif untuk mencapai
tujuan-tujuan itu. Bisa saja mereka salah membaca situasi politik dan
salah menghitung kemampuan mereka sendiri, tapi tentu mereka tidak
akan melangkah maju dengan G-30-S tanpa ada rencana yang masuk
akal bagi mereka.
Ada empat pendekatan pokok untuk mengurai keganjilan-keganjilan
G-30-S dan menetapkan semacam koherensi terhadapnya. Menurut
penjelasan pihak militer Indonesia, sejak hari-hari pertama Oktober
sampai sekarang, G-30-S merupakan siasat PKI sebagai sebuah institusi
untuk merebut kekuasaan negara. Gerakan ini bukan sekadar sebuah
pemberontakan atau kup, tapi awalan revolusi sosial secara menyeluruh
untuk melawan semua kekuatan nonkomunis. Dua ilmuwan dari
Cornell University, Anderson dan McVey, dalam analisis mereka pada
Januari 1966, mengemukakan pembacaan alternatif terhadap G-30-S.
Mereka menggarisbawahi pernyataan G-30-S sendiri, yaitu sebagai putsch
intern Angkatan Darat yang dilakukan oleh perwira-perwira bawahan.
Pendekatan ketiga, yang dikemukakan ilmuwan politik Harold Crouch,
bermaksud membuktikan bahwa pada hakikatnya G-30-S merupakan
kegiatan para perwira yang tidak puas tapi PKI juga memainkan peran
pendukung yang kuat. Pendekatan keempat dipelopori seorang sosiolog
Belanda, W.F. Wertheim, mengemukakan hipotesis bahwa Suharto dan
para jenderal Angkatan Darat antikomunis mengorganisasikan G-30-S
melalui agen ganda (khususnya Sjam) agar dapat menciptakan dalih untuk
menyerang PKI dan menggulingkan Sukarno. Izinkanlah saya menguraikan
keempat pendekatan tersebut secara rinci satu demi satu.1
G-30-S SEBAGAI USAHA KUDETA PKI
Dalam memoarnya Suharto menyatakan sudah menduga PKI menda92
2. PENJELASAN TENTANG G-30-S
langi G-30-S ketika mendengar pengumuman radio yang pertama pada
pagi hari 1 Oktober, “Deg, saya segera mendapatkan fi rasat. Lagi pula
saya tahu siapa itu Letkol. Untung. Saya ingat, dia seorang yang dekat,
rapat dengan PKI, malahan pernah jadi anak didik tokoh PKI, Alimin.”2
Asisten Suharto untuk urusan intelijen di Kostrad, Yoga Sugama, dalam
memoarnya (yang ditulis dalam gaya orang ketiga oleh para penulis
yang ia sewa) menyatakan yakin G-30-S itu dipimpin oleh PKI bahkan
sebelum Suharto berpikiran demikian, “Yoga adalah orang pertama di
Kostrad yang memastikan bahwa penculikan para Jenderal Angkatan
Darat di penghujung bulan September 1965 [sic], dilakukan oleh anasiranasir
PKI. Beberapa perwira tampak ragu-ragu dengan kesimpulannya
itu karena pada pagi hari 1 Oktober belum diperoleh bukti-bukti
yang mendukung kesimpulan tersebut.” Konon Sugama mengatakan
kepada mereka yang meragukannya itu, “Ini mesti perbuatan PKI. Kita
tinggal mencari bukti-buktinya.” Sugama menyombongkan diri sebagai
orang pertama yang meyakinkan Suharto bahwa PKI bersalah sehingga
mengubah fi rasat Suharto menjadi keyakinan yang tidak tergoyahkan.3
Penuturan Sugama itu memberi kesan bahwa jenderal-jenderal Kostrad
sudah menengarai sang dalang sebelum mendapatkan satu pun bukti
yang pasti. Kesimpulan sudah datang sebelum pembuktian.
Suharto tidak serta-merta menuduh PKI sebagai pihak yang bertanggung
jawab terhadap G-30-S. Adalah para perwira bawahannya yang
memobilisasi sejumlah pimpinan politik anti-PKI untuk melancarkan
tuduhan. Hanya satu hari sesudah G-30-S meletus, seorang jenderal
antikomunis, Brigadir Jenderal Sucipto, membentuk organisasi yang
dibuat tampak seperti organisasi sipil dengan nama Kesatuan Aksi Pengganyangan
Gerakan 30 September (KAP Gestapu). Sesudah mengadakan
rapat tertutup para pimpinan kelompok ini menyelenggarakan konperensi
pers pada 4 Oktober. Yang terlibat di dalamnya adalah orang-orang
semacam Subchan Z.E. dari Nahdlatul Ulama, yang sejak lama bekerja
sama dengan para perwira Angkatan Darat yang anti-PKI.4 Dengan
adanya kerja sama sebelumnya, mereka mampu dengan cepat mengorganisasikan
diri.
Pada Hari Angkatan Bersenjata 5 Oktober, Angkatan Darat
bukannya menyelenggarakan parade militer sebagaimana yang sudah
dijadwalkan, dengan barisan demi barisan pasukan berderap memamer93
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
kan persenjataan mutakhir, melainkan mengadakan prosesi pemakaman
besar-besaran untuk tujuh perwira yang terbunuh. Pada hari itu juga
Angkatan Darat menyiarkan buku setebal 130 halaman yang disusun
cepat, berisi catatan tentang rangkaian kejadian-kejadian pada 1 Oktober
dan menuduh PKI sebagai dalang di balik peristiwa itu.5 Rupanya 5
Oktober menjadi hari ketika pimpinan Angkatan Darat memutuskan
untuk memulai serangan terhadap PKI. Menurut warta CIA yang
dikirim dari Jakarta, pada hari itu jenderal-jenderal tertinggi Angkatan
Darat bersidang dan bersepakat untuk “melaksanakan rencana mengganyang
PKI.”6 Di bawah arahan Suharto dengan cepat Angkatan Darat
mengerahkan massa sipil dan menyebarkan propaganda anti-PKI melalui
pers (yang seluruhnya sudah di bawah kendali Angkatan Darat sejak
akhir pekan pertama Oktober). Sebuah kisah sensasional melukiskan
bagaimana anggota PKI menyiksa, menyayat-nyayat, dan memotong
kemaluan para jenderal tawanan mereka. Ketika koran-koran dan stasiun
radio mulai melansir cerita-cerita mengerikan tentang PKI, massa yang
digalang tentara bergerak dengan amuk yang mematikan. Pada 8 Oktober
mereka membakar habis gedung CC-PKI di Jakarta dan menyerang
kantor-kantor tiap organisasi yang dianggap terkait dengan PKI. Rumah
para pimpinan PKI di Jakarta dibakar atau disita.7
Bahkan pada kemuncak penindasan kejam pada akhir 1965 dan
awal 1966, masyarakat belum memperoleh bukti bahwa PKI mendalangi
G-30-S. Masyarakat tidak mempunyai alasan mendesak untuk tidak
mempercayai pernyataan Untung bahwa “Gerakan 30 September adalah
gerakan semata-mata dalam tubuh Angkatan Darat” atau pernyataan
Politbiro CC-PKI pada 6 Oktober yang menegaskan bahwa “PKI tidak
tahu menahu tentang G-30-S dan peristiwa itu adalah intern AD.”8
Memang benar, Untung agaknya tak mungkin menjadi pimpinan suatu
intervensi ambisius dalam politik nasional serupa G-30-S. Ia mempunyai
reputasi sebagai seorang prajurit yang berani dan sederhana, bukan
pengatur siasat yang lihai dan cukup percaya diri untuk mengorganisasikan
aksi semacam itu. Tabiat Untung yang demikian memberi kesan
bahwa ada kekuatan-kekuatan lain yang terlibat di dalam G-30-S, lebih
dari prajurit-prajurit patriotik yang tidak suka kepada perwira-perwira
atasan mereka. Tapi purbasangka demikian tidak cukup untuk menarik
kesimpulan bahwa PKI merupakan pembantu terselubung di belakang
94
2. PENJELASAN TENTANG G-30-S
Untung.
PKI jelas mendukung G-30-S, sebagaimana ternyata dalam editorial
Harian Rakjat pada 2 Oktober, yang memuji G-30-S sebagai patriotik
dan revolusioner. Tapi editorial itu tidak memberikan bukti bahwa PKIlah
yang memimpin G-30-S, terutama karena editorial itu menyatakan
bahwa G-30-S merupakan “persoalan intern Angkatan Darat.” Demikian
juga keikutsertaan ratusan anggota sayap pemuda PKI (Pemuda Rakjat)
di dalam aksi itu tidak membuktikan kepemimpinan partai di dalam
G-30-S. Tidak ada alasan untuk percaya bahwa peranannya lebih dari
apa yang belakangan dinyatakan oleh sementara pimpinan partai, seperti
Njono: tenaga bantuan untuk putsch intern Angkatan Darat. Usul dari
beberapa pimpinan PKI di daerah-daerah luar Jakarta untuk membentuk
dewan-dewan revolusi setempat, sesuai dengan dekrit pertama Letnan
Kolonel Untung, sekali lagi hanya menunjukkan bahwa partai sungguhsungguh
mendukung aksi tersebut, tetapi ia bukanlah yang memimpin.
Kehadiran Aidit di pangkalan AURI Halim tidak dengan sendirinya
membuktikan bahwa perannya lebih dari sekadar penonton atau penasihat
yang menyetujui G-30-S.9
Pusat Penerangan Angkatan Darat menerbitkan seri tiga jilid buku
dari Oktober sampai Desember 1965, dengan maksud membuktikan
bahwa PKI “mendalangi” G-30-S. Bukti-bukti yang diajukan dalam
penerbitan ini tidak substansial, bergantung pada situasi tertentu (circumstantial),
atau tidak andal. Bukti utama ialah pengakuan Untung (yang tertangkap
di Jawa Tengah pada 13 Oktober) dan Latief (ditangkap pada 11
Oktober di Jakarta), bahwa mereka adalah antek-antek PKI.10 Angkatan
Darat mengutip laporan interogasi dari kedua perwira itu. Kiranya tidak
mungkin bahwa masing-masing perwira tersebut dengan bersungguhsungguh
dan sukarela mengaku bekerja untuk kepentingan PKI. Saya
mempunyai salinan laporan interogasi Latief (bertanggal 25 Oktober
1965), dan memang benar ia mengaku mengikuti perintah-perintah PKI.
Namun, ia menyatakan, pada pembelaannya pada 1978, bahwa saat itu
ia mengalami infeksi luka akibat tusukan bayonet di kakinya dan dalam
keadaan setengah sadar.11 Dalam mahkamah pengadilan atau mahkamah
sejarah yang layak di mana pun, kesaksian yang diperoleh di bawah
tekanan dan dengan siksaan tidak dapat diterima. Dalam sidang-sidang
pengadilan mereka kemudian, baik Untung maupun Latief, menyangkal
95
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
laporan-laporan interogasi mereka, dan bersikeras bahwa mereka, sebagai
perwira militer, telah memimpin G-30-S. PKI, mereka menegaskan,
diajak ikut serta hanya sebagai tenaga bantuan.12
Mengingat bahwa penjelasan Suharto dipaksakan dengan kekuatan
senjata dan bukan kekuatan penalaran, tidak banyak tentangnya yang
patut dipertimbangkan. Angkatan Darat tidak pernah membuktikan
tuduhannya. Orang harus curiga ketika tuduhan sebagian didasarkan atas
propaganda palsu dan sebagian lagi atas dasar kesaksian yang diperoleh
melalui siksaan. Pengakuan dua tokoh pimpinan PKI, Njono dan Aidit,
yang diterbitkan oleh pers Angkatan Darat pada akhir 1965 merupakan
pemalsuan yang terang benderang.13 Demikian juga kisah yang disiarkan
besar-besaran tentang perempuan-perempuan peserta G-30-S yang
menyiksa dan memotong kemaluan tujuh perwira tangkapan mereka
di Lubang Buaya, ternyata merupakan rekayasa, barangkali ciptaan para
ahli perang urat syaraf.14 Sekalipun arus propaganda terus membanjir
selama tiga puluh tahun lebih, tentara Suharto tidak pernah membuktikan
bahwa PKI telah mendalangi G-30-S.
Saat membidik PKI sebagai “dalang” G-30-S, militer Suharto tidak
dapat menjelaskan satu fakta dasar: G-30-S dilakukan oleh personil
militer, yaitu Letnan Kolonel Untung dan pasukannya dari pasukan
kawal kepresidenan, Kolonel Latief dan pasukannya dari garnisun Jakarta,
Mayor Soejono dan pasukannya dari pangkalan AURI Halim, Kapten
Sukirno dan pasukannya dari Batalyon 454 Jawa Tengah, dan Mayor
Soepeno dan pasukannya dari Batalyon 530 Jawa Timur. Demikian juga
halnya di Jawa Tengah, kekuatan G-30-S terutama terdiri dari perwiraperwira
Angkatan Darat dan bukan para aktivis partai. Sekali lagi tidak
ada bukti kuat tentang kehadiran PKI secara dominan. Apa pun persisnya
keterlibatan anggota-anggota partai tertentu, ketika itu mereka tampak
berada di pinggiran aksi yang dilakukan oleh personil militer. Versi rezim
Suharto hanya dapat benar jika orang berasumsi bahwa perwira-perwira
Angkatan Darat yang terlibat itu menempatkan diri mereka di bawah
PKI dan mereka bersedia menjalankan perintah partai seperti robot.15
Benedict Anderson dan Ruth McVey benar dengan penjelasannya dalam
“analisis awal” Januari 1966 bahwa PKI bukanlah dalang. Sampai saat
itu tidak ada bukti-bukti yang kuat untuk tuduhan yang muncul baik
di dalam berita-berita pers maupun pernyataan-pernyataan Angkatan
96
2. PENJELASAN TENTANG G-30-S
Darat. Maka yang lebih masuk akal ialah menjelaskan G-30-S sebagai
suatu putsch intern Angkatan Darat.
Isu tentang keterlibatan PKI menjadi lebih ruwet segera setelah
Anderson dan McVey menyelesaikan laporan mereka. Pada sidang pengadilan
Njono dan Untung dalam Februari dan Maret 1966, namanama
dua anggota PKI – Sjam dan Pono – disebut-sebut sebagai anggota
kelompok inti komplotan. Untung mengatakan bahwa Sjam dan Pono
adalah wakil-wakil Aidit, yang membantu G-30-S namun tidak memimpinnya.
16 Peranan mereka, menurut Untung, tidak berarti. Mereka tampil
semata-mata untuk meyakinkan bahwa “PKI akan memberikan bantuan
dari tenaga massa.”17 Ia dan perwira-perwira militer lain menginginkan
adanya tenaga bantuan untuk mendukung aksi-aksi mereka, sehingga
mereka berpaling kepada PKI yang dapat mengerahkan ribuan pemuda,
yang baru saja menerima latihan kemiliteran singkat di pangkalan udara
Halim. Namun Untung kemudian mengubah versinya sendiri mengenai
rangkaian peristiwa itu, dengan menyatakan bahwa bantuan Sjam
termasuk menuliskan konsep dekrit pertama G-30-S tentang pembentukan
dewan-dewan revolusi.18 Pimpinan inti yang lain, Mayor Soejono
dari AURI, sebagai saksi dalam persidangan Njono, membuat Sjam dan
Pono terlihat terlibat lebih jauh lagi di dalam G-30-S. Ia mengatakan
bahwa Sjam adalah pimpinan perencana G-30-S, “Saudara Sjam jang
merupakan seorang tokoh dari PKI jang kami lihat dan kami ketahui
merupakan orang jang memegang penentuan dalam rapat maupun
pertemuan-pertemuan itu.”19 Karena Soejono menyatakan bahwa Sjam
juga dikenal dengan nama Sugito, banyak pengamat menduga Sjam,
tokoh yang belum pernah mereka dengar sebelumnya, pastilah nama
samaran dari Tjugito, anggota Central Comite PKI yang dimunculkan
dan salah seorang dari empat puluh lima orang yang duduk dalam Dewan
Revolusi Indonesia.20 Identitas Pono juga sama tidak jelas. Penyingkapan
tentang Sjam dan Pono melahirkan kerutan baru dalam kisah ini.
Apakah Untung dan Soejono menceritakan kebenaran? Siapakah dua
orang ini? Apa posisi mereka di dalam PKI? Apa pula peranan mereka
dalam G-30-S?
Semula alur kisah Angkatan Darat menampilkan Sjam dan Pono
tidak lebih sebagai fungsionaris yang tak dikenal di dalam organisasi
PKI. Diduga mereka bawahan langsung Aidit, yang melaksanakan
97
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
perintah-perintahnya. Tapi Angkatan Darat tidak menjelaskan bagaimana
dua orang ini dapat mengorganisasi sekelompok perwira militer dan
memimpin G-30-S. Wartawan Amerika John Hughes, yang menulis
pada awal 1967, sambil lalu menyebut dua orang itu sebagai wakilwakil
PKI dalam G-30-S.21 Namun, alur kisah resmi ini berubah secara
substansial sesudah mantan anggota Politbiro Soejono Pradigdo mengkhianati
kawan-kawan lamanya ketika ia ditangkap pada Desember
1966. Angkatan Darat mulai menggunakan laporan interogasinya
(teks ini tidak dibuka untuk umum) sebagai dasar pernyataan bahwa
PKI membentuk organisasi rahasia yang bernama Biro Chusus (BC)
untuk menyusup ke tubuh militer dan menggarap simpatisan partai
di kalangan perwira. Sjam disebut sebagai kepala Biro Chusus ini dan
Pono sebagai asistennya. Walaupun nama-nama Sjam dan Pono sudah
muncul di persidangan Mahmilub pada 1966, istilah “Biro Chusus”
belum disebut-sebut.22 Angkatan Darat menggunakan informasi dari
Pradigdo ini untuk menambah sebuah simpul baru dalam alur kisahnya:
PKI mengorganisasi G-30-S melalui Biro Chusus Sjam dan Pono. Satu
kekurangan dalam alur kisah sebelumnya – tidak adanya wahana antara
partai dan para perwira militer – dibenahi dengan tambahan Biro Chusus
tersebut. Dengan memperhatikan informasi baru ini, seorang sejarawan
yang mengabdikan dirinya kepada Angkatan Darat, Nugroho Notosusanto,
dan juga penuntut umum Mahmilub Ismail Saleh, memasok rezim
Suharto dengan kisah baru melalui buku mereka Th e Coup Attempt of the
“September 30th Movement” (terbit pertama kali pada April 1967).23
Penangkapan Sjam pada Maret 1967, rupanya berkat pengkhianatan
Pradigdo yang memberitahukan tempat-tempat persembunyian
partai, memungkinkan Angkatan Darat menerbitkan informasi lebih
banyak lagi mengenai Biro Chusus. Sebagai saksi dalam sidang 1967
dan sebagai tertuduh dalam persidangannya sendiri pada 1968, Sjam
secara mengejutkan mudah buka mulut. Menurut kesaksiannya, Aidit
memerintahkannya untuk melaksanakan G-30-S. Sjam menjelaskan
bahwa beberapa anggota Politbiro dan Central Comite mengetahui
adanya Biro Chusus, tetapi tidak tahu-menahu tentang kinerjanya. Biro
Chusus tetap ada di luar struktur formal partai dan berfungsi khusus di
bawah komando Aidit. Organisasi bawah tanah partai inilah, menurut
Sjam, yang meyakinkan berbagai perwira militer agar ikut dalam G-30-S.
98
2. PENJELASAN TENTANG G-30-S
Semua buku yang disponsori pemerintah, seperti misalnya buku putih
1994, mendasarkan uraian mereka pada kesaksian Sjam itu.24
Versi pemerintah, dalam dua hal pokok, merupakan perluasan yang
tidak dapat dipertanggungjawabkan dari kesaksian Sjam. Apabila Sjam
menyatakan hanya Aidit yang memerintahkan Biro Chusus untuk mengorganisasi
G-30-S, Angkatan Darat menyatakan badan pimpinan partai
yang lebih besar, yaitu Central Comite, yang mengambil keputusan.25
Sementara Sjam melukiskan G-30-S sebagai pembersihan terhadap
jenderal-jenderal sayap kanan yang bekerja untuk kekuatan neokolonialis,
Angkatan Darat menggambarkannya sebagai suatu percobaan kudeta.
Karena Angkatan Darat sudah melarang PKI, membunuh banyak pendukungnya,
dan menahan ratusan ribu orang sebagai tahanan politik,
maka institusi ini harus menyatakan bahwa seluruh organisasi partai dari
puncak sampai bawah terlibat. Angkatan Darat harus menunjuk Central
Comite PKI sebagai otak G-30-S. Untuk memberi pembenaran pada
kehebatan penindasan, Angkatan Darat harus menampilkan aksi G-30-S
sebagai kup yang mengancam seluruh struktur pemerintah.
Laporan CIA 1968 mengikuti garis rezim Suharto dan menyatakan
bahwa melalui Biro Chusus itulah PKI merancang dan melaksanakan
G-30-S. Seperti dalam buku Notosusanto dan Saleh sumber utama yang
dipakai ialah transkrip interogasi para pemimpin G-30-S. Laporan itu
tidak mencatat bahwa beberapa pimpinan G-30-S menolak keabsahan
transkrip-transkrip itu dalam persidangan mereka dan menyatakan
bahwa mereka diancam dengan kekerasan jika menolak membubuhkan
tanda tangan.26 CIA mengakui bahwa jawaban-jawaban mereka
mungkin merupakan hasil paksaan, namun terus-menerus menggunakannya
sebagai dasar narasinya. Laporan ini disertai sebuah lampiran
yang membenarkan penggunaan sumber-sumber itu. Penulis laporan,
belakangan diketahui sebagai Helen-Louise Hunter, seorang agen CIA
yang mengkhususkan dirinya pada masalah komunisme di Asia, berargumen
bahwa laporan-laporan interogasi tersebut dapat dipercaya karena
adanya “kesamaan yang mencolok dalam cerita-cerita yang dituturkan
oleh Untung, Latief, Soejono, dan Supardjo.” Kesamaan yang demikian,
sejauh memang ada, dapat diterangkan justru karena paksaan interogator
agar mereka menerima alur cerita Angkatan Darat sendiri.27 Metodologi
CIA merupakan cacat yang tidak dapat diperbaiki: orang tidak dapat
99
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
bersandar pada pernyataan para tahanan suatu kekuatan militer yang
secara rutin melakukan penyiksaan, terutama ketika kekuatan tersebut
sejak 2 Oktober bertekad menempatkan PKI sebagai dalang (atau
“mencari bukti-buktinya,” seperti ditulis Yoga Sugama). Orang dapat
juga menulis sejarah ilmu sihir Eropa dengan menggunakan pengakuanpengakuan
di hadapan Inkuisisi sebagai kebenaran.
Pelahap penjelasan rezim Suharto tentang G-30-S di Amerika
Serikat melampaui ruang-ruang di markas besar CIA di Langley, Virginia.
Bagi para penulis antikomunis garis keras, tingkat pembuktian yang
diperlukan tidak terlalu tinggi saat mereka berasumsi bahwa G-30-S
merupakan manifestasi cara kekerasan, yang sudah dapat diramalkan,
dari kaum komunis untuk merebut kekuasaan negara. Mereka berpegang
pada parodi yang digunakan Anderson dan McVey tentang citra PKI
sebagai gergasi, seakan-akan partai ini telah “digerakkan oleh ambisi
kelewat pongah dan kebutuhan bawaan untuk menyatakan dirinya
melalui kekerasan.”28 Ilmuwan politik yang produktif Justus M. van der
Kroef menulis serangkaian artikel pada akhir 1960-an dan awal 1970-an
dan melemparkan kesalahan G-30-S sepenuhnya kepada PKI. Menurut
dugaannya, PKI sudah mengerahkan kekuatan pada 1965, memulai
tindakan ofensif, dan merencanakan kudeta. Dalam pandangan Kroef,
G-30-S merupakan konsekuensi wajar dan sudah dapat diramalkan dari
gerak gigih partai meraih kekuasaan.29 Dalam denyut serupa ilmuwan
politik yang mempunyai hubungan dekat dengan militer Indonesia, Guy
Pauker, menulis laporan untuk Rand Corporation yang menunjukkan
kelaiksalahan PKI sebagai suatu kebenaran tak terpungkiri.30 Menulis
untuk khalayak yang lebih luas, wartawan Arnold Brackman mengajukan
dua penjelasan tentang peristiwa 1965 yang memamah biak alur baku
penjelasan dari rezim Suharto.31 Pengkajian terhadap buku Notosusanto
dan Saleh serta penerbitan-penerbitan dari van der Kroef, Pauker, dan
Brackman akan menghadirkan bukti-bukti tercemar serupa yang dikemas
dengan cara berbeda-beda. Pada akhirnya, satu-satunya bukti bahwa
PKI memimpin G-30-S adalah karena Angkatan Darat menyatakan
demikian.
Satu cacat kasat mata dalam narasi rezim Suharto pasca-1967
tentang Biro Chusus adalah narasi itu sangat bergantung kepada kesaksian
seseorang yang mengakui bahwa menipu adalah pekerjaannya. Sjam
100
2. PENJELASAN TENTANG G-30-S
seorang tokoh yang tak dikenal. Ia tidak pernah muncul sebagai pemimpin
PKI. Ia mengaku bahwa ia sedemikian dipercaya oleh Aidit sehingga
ditugasi untuk melakukan operasi yang rumit dan tinggi taruhannya,
yaitu membersihkan para panglima puncak Angkatan Darat. Tingkah
laku dan gaya bicara Sjam yang dipertontonkannya di ruang sidang tidak
memberi kesan bahwa ia seorang pemimpin partai yang berpengaruh.
Jika ia berhasil menanjak ke posisi yang demikian tinggi dan penting di
dalam partai, mengapa ia begitu santai membocorkan rahasia-rahasia
partai di persidangan Mahmilub? Mengapa tutur katanya tidak lebih
mendekati tutur kata pimpinan partai yang lain, seperti Sudisman, satusatunya
anggota Dewan Harian Politbiro yang selamat?32 Keterangan
Sudisman pada persidangannya dalam Juli 1967 penuh dengan kebulatan
tekad yang gagah dan kepercayaan tak tergoyahkan kepada kekuatan
partai dan proletariat. Sjam, yang bertekuk lutut di depan mahkamah
militer, tampak seperti permaklum-an buruk bagi seseorang yang semestinya
menjadi padanan kepala KGB jika partai berhasil mengambil
alih kekuasaan negara. Dapat dipahami jika ceritanya tentang jaringan
klandestin pekerja partai yang menyusupi tubuh militer disambut
dengan kecurigaan besar oleh kalangan pengamat. Sekali lagi, Benedict
Anderson dan Ruth McVey benar, ketika menulis pada 1978, melontarkan
keraguan akan kebenaran kesaksian Sjam dan menduga bahwa
sangat mungkin Sjam seorang agen ganda yang lebih banyak bekerja
untuk militer ketimbang untuk Aidit dan PKI.33 Dalam artikelnya yang
belakangan lagi-lagi Anderson menegaskan bahwa identitas Sjam tidak
dapat ditetapkan dengan pasti: “Apakah ia mata-mata Angkatan Darat
di dalam jajaran orang-orang komunis? Atau dia mata-mata komunis
di dalam militer? Atau mata-mata untuk pihak ketiga? Atau mata-mata
ketiga-tiganya secara bersamaan?”34
Tidak dapat dibantah bahwa beberapa orang pemimpin dan
anggota PKI dengan satu atau lain cara terlibat dalam G-30-S. Sudisman
mengaku demikian dalam persidangannya (saya akan kembali ke hal ini
dalam Bab 5). Pertanyaan yang belum terjawab ialah bagaimana tepatnya
keterlibatan mereka. Siapa-siapa dan badan-badan partai mana saja yang
ikut serta? Bagaimana pemahaman mereka tentang G-30-S? Apa alasan
mereka? Apa hubungan mereka dengan para perwira militer di dalam
G-30-S? Dengan menyalahkan PKI secara menyeluruh, sampai pada
101
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
anggota-anggota organisasi-organisasi front di tingkat desa yang tidak
mempunyai hubungan apa pun dengan G-30-S, rezim Suharto mempecundangi
PKI dengan melakukan perburuan membabi buta belaka.
Jika Angkatan Darat memang bersungguh-sungguh dalam pengumpulan
bukti tentang keterlibatan PKI, ia tidak akan bergegas-gegas mengeksekusi
empat dari lima pimpinan puncak partai. D.N. Aidit, justru tokoh
yang oleh Angkatan Darat dinyatakan sebagai dalang, ditembak mati di
sebuah tempat rahasia di Jawa Tengah pada 22 November 1965, segera
sesudah ia tertangkap.35
G-30-S SEBAGAI PEMBERONTAKAN PERWIRA MUDA
Dalam bulan-bulan terakhir 1965, ketika G-30-S masih tetap merupakan
misteri bagi setiap orang kecuali bagi mereka yang mempercayai propaganda
militer, Anderson dan McVey menghimpun analisis tentang peristiwa
tersebut, dengan membacai berbagai macam surat kabar Indonesia. Seperti
sudah saya kemukakan di atas, mereka tidak menemukan bukti bahwa
PKI bermain sebagai dalang. Partai belum memobilisasi massanya untuk
mendukung G-30-S. Kendati partai menyatakan dukungannya kepada
G-30-S melalui surat kabarnya, Harian Rakjat, partai tidak mencurahkan
seluruh kekuatannya di belakang G-30-S untuk memastikan keberhasilan
gerakan tersebut: “Tak seorang pun keluar di jalan-jalan di Jakarta,
dan tidak terlihat adanya koordinasi kegiatan, baik di kota maupun di
seluruh tanah air,” tulis Anderson dan McVey.36 Editorial Harian Rakjat
2 Oktober, yang mencerminkan kebijakan resmi partai, secara implisit
memerintahkan anggotanya untuk tidak ikut-ikut karena editorial ini
menyatakan bahwa G-30-S merupakan urusan intern Angkatan Darat.
Jika orang percaya bahwa PKI mengorganisasi G-30-S, kemudian tidak
melakukan tindakan apa pun untuk mencegah G-30-S memberosot ke
kekalahan, ia harus percaya bahwa PKI memiliki kecenderungan bunuh
diri yang mencengangkan. Apa pun kekurangan PKI, sukar dipercaya,
seperti ditulis Anderson dan McVey, bahwa pimpinan partai telah
“memasang jerat di leher sendiri dan menunggu dinaikkan di tiang lampu
terdekat.”37 Mereka mencatat bahwa PKI tidak tampak mempunyai
alasan untuk melancarkan kudeta karena partai “telah berjalan sangat
102
2. PENJELASAN TENTANG G-30-S
baik melalui jalan damai” di bawah pimpinan Presiden Sukarno.38 Dalam
hal ini W.F. Wertheim sependapat dengan Anderson dan McVey, “Sejak
1951 strategi PKI didasarkan pada perjuangan legal dan parlementer, dan
di bawah pemerintahan Sukarno strategi ini kelihatannya agak menguntungkan
partai, yang menyebabkan segala pikiran tentang perubahan
strategi ke arah kekerasan secara mendadak sangat tidak mungkin.”39
Karena G-30-S merupakan operasi militer yang melibatkan sangat
sedikit orang sipil, Anderson dan McVey yakin gerakan ini pasti timbul
dari dalam tubuh militer sendiri. Mereka memperhatikan bahwa sebagian
besar pimpinan G-30-S adalah mantan perwira atau perwira aktif
Angkatan Darat dari Kodam Diponegoro, yang meliputi Jawa Tengah.
Latief adalah perwira Diponegoro yang dipindah ke Jakarta pada 1962.
Untung adalah Komandan Batalyon 454 di Jawa Tengah sebelum penempatannya
di pasukan kawal kepresidenan pada awal 1965. Ia sangat dekat
dengan Kolonel Suherman, pimpinan utama G-30-S di Jawa Tengah,
selagi mereka sama-sama bertugas di Batalyon 454. Suherman adalah
Komandan Batalyon 454 sebelum Untung. Batalyon ini, tentu saja,
adalah batalyon yang ikut ambil bagian dalam G-30-S pada 1 Oktober
dengan menduduki Lapangan Merdeka. Menarik diperhatikan bahwa
satu-satunya daerah di luar Jakarta di mana G-30-S aktif adalah di Jawa
Tengah.
Anderson dan McVey memandang G-30-S sebagai semacam
pemberontakan dalam Angkatan Darat yang dilancarkan para perwira
muda Jawa Tengah yang merasa jijik terhadap gaya hidup dekaden dan
orientasi politik pro-Barat para jenderal di SUAD di Jakarta. Para perwira
muda ini menganggap staf umum di bawah Yani bersalah karena “tunduk
terhadap korupsi masyarakat elite Jakarta, mengabaikan bekas anak buah
mereka (Jenderal Yani dan beberapa lainnya adalah mantan perwira Diponegoro),
dan terus-menerus menentang dan merintangi kebijakankebijakan
luar dan dalam negeri Presiden Sukarno.”40 Anderson dan
McVey berpendapat bahwa G-30-S merupakan usaha untuk mengubah
arah Angkatan Darat menjadi lebih merakyat. Mereka menunjuk kepada
pernyataan pertama G-30-S, yang menyatakan bahwa “Jenderal-jenderal
dan perwira-perwira yang gila kuasa, yang menelantarkan nasib anak
buah, yang di atas tumpukan penderitaan anak buah hidup bermewahmewah
dan berfoya-foya menghina kaum wanita dan menghambur103
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
hamburkan uang negara harus ditendang keluar dari Angkatan Darat
dan diberi hukuman setimpal.”
Menurut Anderson dan McVey jaringan perwira Jawa Tengah itu
ingin membersihkan Angkatan Darat dari jenderal-jenderal yang korup
dan berpolitik konservatif, serta memberi Sukarno kebebasan lebih
besar untuk menjalankan kebijakan-kebijakannya. Untuk membangun
kekuatan mereka, perwira-perwira Jawa Tengah ini mengajak orang-orang
tertentu dari AURI dan PKI di dalam operasi mereka, sementara merekalah
yang memegang kendali kepemimpinannya. Para perwira menginginkan
agar PKI tidak hanya menyediakan personil tambahan untuk operasi
mereka, tapi juga dukungan politik begitu aksi mereka berakhir. Dengan
demikian PKI bukannya menjadi dalang, melainkan korban penipuan
dari perwira-perwira itu. Partai telah “diperdaya” sehingga melibatkan
dirinya di dalam sebuah aksi yang tidak ia mengerti sepenuhnya.41
Karena pimpinan partai berpikir mereka hanya memainkan sebagian
kecil peran dalam drama pihak lain, mereka tidak memandang aksi itu
dengan sungguh-sungguh dan tidak membayangkan bahwa mereka akan
dipersalahkan jika G-30-S gagal.
Tesis Anderson dan McVey lemah dalam sejumlah hal. Apakah
latar belakang Jawa Tengah para perwira itu cukup untuk menjelaskan
bagaimana ikatan mereka sebagai kelompok? Sementara beberapa
orang konspirator sebelumnya memang dari Kodam Diponegoro
(Latief, Suherman, Untung), beberapa orang lainnya tidak. Soejono
dan Supardjo adalah tokoh-tokoh yang berasal usul Jawa Tengah, tetapi
mereka tampaknya tidak mempunyai hubungan lama dan akrab dengan
perwira-perwira yang lain. Soejono dari Angkatan Udara dan Supardjo
dari Kodam Siliwangi, Jawa Barat, Angkatan Darat. Salah satu dari
batalyon-batalyon yang terlibat berasal dari Kodam Brawijaya, Jawa
Timur. Umumnya putsch dan kup dilancarkan oleh para perwira yang
dipersatukan oleh ikatan persaudaraan yang cukup kuat dan sebelumnya
telah teruji: mereka bekas kadet-kadet akademi militer dari tahun lulusan
yang sama atau perwira-perwira dari kesatuan yang sama atau peserta
dalam operasi militer tertentu.42 Tapi G-30-S terdiri dari sekelompok
perwira yang sangat berlain-lainan latar belakangnya.
Seandainya Anderson dan McVey benar dalam berpendapat bahwa
para perwira militer itulah yang memimpin G-30-S, lalu mengapa strategi
104
2. PENJELASAN TENTANG G-30-S
militer gerakan ini dirancang dengan sangat compang-camping? Perwiraperwira
ini seharusnya mampu merancang aksi militer yang masuk akal,
yang tidak akan begitu rentan terhadap serangan balasan. Suatu aksi yang
dirancang murni menurut pertimbangan militer barangkali akan berakhir
dengan hasil yang berlainan.
Rintangan utama yang menjadi sandungan bagi tesis Anderson dan
McVey ada di sekitar pengumuman-pengumuman radio pada siang hari
1 Oktober. Mengapa para perwira yang ingin membersihkan Angkatan
Darat dari jenderal-jenderal yang korup dan anti-Sukarno juga memutuskan
untuk mengumumkan pemerintah baru dari “Dewan Revolusi”?
Mengapa mereka tidak puas dengan membersihkan jenderal-jenderal
dan kemudian memberi kesempatan Sukarno dengan kewenangan
penuh mengambil tindakan lebih lanjut? Mengapa mereka bersusahpayah
mencampuri hak istimewa presiden dalam memilih kabinetnya?
Karena tidak mempunyai jawaban pasti atas pertanyaan-pertanyaan ini,
Anderson dan McVey berspekulasi bahwa pernyataan-pernyataan siang
hari itu adalah akibat dari “kekacauan dan kebodohan.” Pernyataanpernyataan
itu merupakan “reaksi panik” terhadap munculnya serangan
balasan Suharto dan penolakan presiden untuk mengeluarkan pernyataan
terbuka yang memberi dukungan penuh kepada aksi mereka. “Tujuan
utama” pernyataan-pernyataan itu “agaknya sebagai usaha mengimbangi
ketidaksediaan Presiden bekerja sama yang semakin besar, dengan meraih
dukungan dari kelompok-kelompok ‘luar’ dalam masyarakat.” Dengan
mengumumkan nama-nama empat puluh lima anggota Dewan Revolusi
Indonesia, sebuah “spektrum luar biasa dari tokoh-tokoh yang tak
terduga,” G-30-S berharap dapat memperluas basis pendukungnya.43
Jika demikian halnya, timbul pertanyaan: Mengapa G-30-S berusaha
memperluas basis dukungannya dengan mengganggu wewenang presiden
dan menyatakan bahwa seluruh kekuasaan negara telah jatuh ke tangan
gerakan ini? Bukankah tindakan itu tak perlu-perlunya mengundang
permusuhan seluruh pendukung Sukarno yang cukup banyak? Ada
kesan bahwa G-30-S seharusnya dapat menemukan jalan yang lebih baik
untuk menggalang dukungan ketimbang dengan menyatakan adanya
perubahan pemerintahan sipil secara drastis seperti itu.
Anderson, dalam artikelnya yang terbit belakangan, telah mengubah
penafsirannya terhadap pengumuman-pengumuman radio siang hari
105
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
itu. Ia sekarang melihat semua itu sebagai petunjuk bahwa G-30-S
adalah sebuah jebakan. Pengumuman-pengumuman tersebut dimaksudkan
terdengar konyol dan kontraproduktif. Anderson menulis bahwa
rangkaian panjang “kebodohan” dan “kesalahan besar” G-30-S telah
menimbulkan kecurigaan “bahwa rangkaian ini disusun dengan sengaja
untuk memastikan kegagalan G-30-S.” Pengumuman-pengumuman itu
“hanya membingungkan masyarakat, melumpuhkan massa, dan menyediakan
dalih mudah untuk menghancurkan Gerakan 30 September itu
sendiri.” Ia menjelaskan kesemrawutan kejadian-kejadian sebagai hasil
kerja terampil para perwira Angkatan Darat tak dikenal yang berharap
menciptakan suatu dalih untuk menyerang PKI. Dengan mengajukan
pendapat bahwa G-30-S memang dirancang untuk gagal, Anderson
menyetujui argumentasi Wertheim, yang akan saya uraikan lebih rinci
kemudian dalam bab ini.44 Anderson tetap berpegang pada gagasan
bahwa PKI bukanlah si dalang. Dalam sebuah wawancara pada 1996
ia menyatakan, “Saya tidak bisa mutlak mengatakan bahwa PKI tidak
mempunyai hubungan dengan G-30-S. Tapi saya masih tetap berpendapat,
bahwa ia bukanlah perancang utama G-30-S.”45
G-30-S SEBAGAI PERSEKUTUAN ANTARA PERWIRA
ANGKATAN DARAT DAN PKI
Seperti Anderson dan McVey, Harold Crouch menganggap bahwa
kekukuhan Angkatan Darat menyatakan bahwa PKI adalah dalang tidak
didukung pembuktian. Dalam bukunya Th e Army and Politics in Indonesia
(1978) ia menyatakan bahwa tidak ada “bukti kuat yang menunjukkan
bahwa para perwira yang tersangkut dalam Gerakan Tiga Puluh
September adalah pendukung setia PKI.” Terdapat “sedikit [informasi]
yang menunjukkan bahwa mereka siap mengikuti instruksi partai dengan
membabi buta.”46 Dalam merumuskan alternatif terhadap versi resmi pemerintah,
Crouch tidak mempercayai bahwa versi sebaliknya yang harus
disampaikan, bahwa para perwira militer itu adalah dalang-dalang yang
melibatkan anggota-anggota PKI sebagai korban penipuan. Menurut
Crouch, bukti-bukti yang muncul dalam persidangan Mahmilub yang
digelar sesudah Anderson dan McVey menulis laporan mereka menun106
2. PENJELASAN TENTANG G-30-S
jukkan bahwa anggota-anggota PKI yang terlibat dalam G-30-S tidak
dapat digambarkan sebagai sosok-sosok terperdaya. Kesaksian-kesaksian
di ruang pengadilan menunjukkan bahwa keterlibatan PKI, terutama
anggota-anggotanya, Sjam dan Pono, terlalu mendalam untuk dapat
disusut sebagai gegabah dan kebetulan. Crouch tidak dapat menerima
naskah Cornell yang membebaskan PKI sepenuhnya dari kesalahan.
Meski demikian, kesimpulan menyeluruh Crouch sesuai dengan premis
dasar naskah Cornell. Ia berpendapat bahwa “inisiatif awal timbul dari
tubuh Angkatan Darat.”47 PKI sangat terlibat tetapi tetap sebagai pemain
kedua.
Crouch memandang para perwira yang terlibat dalam G-30-S
sebagai sekutu-sekutu PKI, bukan sebagai budak-budaknya, “Jelas mereka
mau bekerja sama dengan wakil-wakil partai untuk dapat mencapai
tujuan mereka. Agaknya semua peserta utama G-30-S mungkin sudah
jauh sebelumnya dinilai oleh Biro Chusus dan dipandang memuaskan
oleh Sjam dan kawan-kawannya … Walaupun wakil-wakil Biro Chusus
merupakan anggota-anggota penting dalam komplotan, sedikit bukti
yang menunjukkan bahwa peran mereka dominan.”48 Crouch menggambarkan
G-30-S sebagai hasil kolaborasi yang kokoh antara para perwira
militer “progresif” dengan Biro Chusus PKI.
Versi Crouch dapat dicocokkan dengan versi yang diajukan
Sudisman, anggota yang selamat dari Dewan Harian Politbiro CC-PKI,
badan yang merupakan inti kepemimpinan partai. (Tiga anggota Dewan
Harian yang lain – Aidit, Lukman, dan Njoto – dieksekusi diam-diam
oleh militer sekitar akhir 1965. Anggota Dewan yang kelima, Oloan
Hutapea, dieksekusi pada 1968 di Jawa Timur). Dalam pidatonya yang
terakhir di depan mahkamah militer pada 1967, Sudisman mengajukan
pembedaan antara pimpinan tertentu dalam partai yang terlibat dalam
G-30-S sebagai perseorangan, dengan partai sebagai sebuah lembaga
yang “tidak tahu-menahu tentang G-30-S.” Partai sebagai lembaga,
Sudisman menyatakan, memandang G-30-S sebagai peristiwa “intern
AD”. Ia menjelaskan bahwa Central Comite tidak pernah membahas
tentang G-30-S dan para anggota biasa partai tidak pernah diinstruksikan
untuk mendukungnya. Dengan demikian partai tidak bertanggung jawab
sebagai sebuah lembaga. Sudisman mengakui bahwa beberapa “tokohtokoh
PKI, termasuk saya sendiri” telah ikut berperan serta dalam hal-hal
107
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
yang tidak dirincinya.49 Menurut keterangan Sudisman, sekelompok
perwira militer progresif bertindak atas inisiatif pribadi, dan beberapa
anggota partai tertentu bertindak atas inisiatif sendiri dan tanpa memberi
tahu atau berkoordinasi dengan organisasi-organisasi partai secara formal,
memberikan bantuan kepada para perwira tersebut. Pimpinan PKI secara
perseorangan, paling tidak Aidit dan Sudisman, melibatkan diri di dalam
operasi militer rahasia ini dan membawa serta kelompok-kelompok
terpilih dari kalangan pendukung PKI. Bagi segelintir pemimpin PKI
G-30-S bukanlah merupakan operasi resmi partai. Ia adalah putsch
militer yang akan membuahkan hasil yang menguntungkan bagi partai.
Pimpinan partai ingin mendukung G-30-S tetapi tidak ingin melibatkan
seluruh partai di dalamnya. Sudisman menegaskan bahwa inisiatif dan
kepemimpinan G-30-S tetap pada para perwira militer.
Sejauh ini penjelasan Crouch merupakan penjelasan yang paling
bijaksana dan beralasan yang dapat diperoleh. Masalahnya terletak pada
keterbatasannya. Sementara Crouch memecahkan soal dalang dengan
rapih, ia membiarkan soal-soal lain tak terpecahkan. Ia tidak dapat
menjelaskan mengapa G-30-S dirancang dengan buruk dan mengapa
gerakan ini menyiarkan pengumuman-pengumuman radio di sore
hari. Seperti Anderson dan McVey, uraiannya tidak cukup menjelaskan
bagaimana awalnya kelompok perwira militer yang berbeda-beda
itu bergabung. Jika mereka yang melahirkan rencana dan mempunyai
kemandirian dalam berhadapan dengan PKI, apa yang menjadi dasar
kesamaan mereka?
G-30-S SEBAGAI KONSPIRASI PKI
Versi rezim Suharto mulai tampak sangat mencurigakan pada akhir
1990-an ketika informasi tentang latar belakang Suharto muncul. W.F.
Wertheim, seorang Belanda pakar keindonesiaan terkemuka, mengungkapkan
dalam sebuah artikel pendek pada 1970, bahwa Suharto
adalah teman dua orang pimpinan G-30-S: Letnan Kolonel Untung
dan Kolonel Latief.50 Suharto pergi dari Jakarta ke sebuah kota kecil
di Jawa Tengah (Kebumen) pada akhir April 1964 untuk menghadiri
pernikahan Untung. Hubungan antara kedua orang ini tentu cukup rapat
108
2. PENJELASAN TENTANG G-30-S
karena seorang jenderal Angkatan Darat kiranya tidak akan melakukan
perjalanan jauh hanya untuk urusan remeh-temeh belaka.51 Suharto
juga mengenal Kolonel Latief sebagai teman dekat. Dua orang ini sudah
saling mengenal sejak hari-hari perang gerilya melawan Belanda dalam
akhir 1940-an. Suharto dua kali bercerita kepada wartawan asing bahwa
Latief datang menengoknya pada malam menjelang G-30-S dimulai.
Penjelasan Suharto adalah bahwa Latief entah berniat membunuhnya
atau memeriksa keberadaannya. Ia tidak mengaku telah berbicara
dengan Latief malam itu.52 Bahwa Latief dikurung di penjara di dalam
sel isolasi selama bertahun-tahun sebelum diizinkan tampil di depan
umum mengesankan bahwa Suharto ada dalam dilema: ia tidak ingin
Latief dieksekusi seperti yang lain-lain tapi juga tidak ingin ia berbicara
di depan umum.
Wertheim melihat aspek-aspek mencurigakan lain lagi di dalam
G-30-S. Suharto tidak termasuk jenderal-jenderal yang diculik, meski
ia panglima pasukan yang penting di Jakarta dan merupakan ancaman
potensial bagi setiap percobaan pemberontakan atau kup. Pasukan G-30-S
tidak memblokade markas Kostrad, walaupun markas itu tidak jauh dari
posisi mereka di depan istana. Suharto bergerak bebas dari kantornya
di Kostrad sementara pasukan-pasukan pemberontak berkerumun di
Lapangan Merdeka langsung di depannya. Suharto, menurut Wertheim,
bergerak dengan “efi siensi yang ajaib di tengah-tengah keadaan yang luar
biasa membingungkan.”53 Sebagian besar perwira militer di Jakarta tidak
tahu harus bertindak bagaimana. Tapi Suharto rupanya tahu persis apa
yang diperlukan untuk mematahkan G-30-S.
Misteri identitas Sjam juga menggelitik kecurigaan Wertheim. Rezim
Suharto menampilkan Sjam di depan umum pada 1967 dan menyatakan
bahwa Sjam ialah orang kepercayaan Aidit, yang dipercaya memelihara
hubungan-hubungan di kalangan militer. Wertheim mengemukakan,
barangkali sebaliknyalah yang benar bahwa Sjam adalah orang militer
yang ditugasi menyusup ke PKI. Tak seorang pun “yang memainkan
peranan di dalam PKI atau mempunyai hubungan dekat dengan partai,
pernah mendengar tentang tokoh Sjam ini.”54 Kesaksian Sjam tidak
dapat dipercaya. Bisa jadi ia seorang agen ganda yang bekerja atas nama
unsur tertentu di kalangan militer. Jika benar demikian, kemungkinan ia
memainkan “peranan provokator” untuk membawa PKI terlibat dalam
109
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
sebuah aksi yang direncanakan untuk gagal.55 Dalam karangan berikutnya
pada 1979 Wertheim sekali lagi menuduh Sjam sebagai antek tentara
di dalam PKI. Ada “satu orang tertentu sebagai manipulator konspirasi
yang lihai: manusia misterius Sjam yang bekerja sebagai agen Angkatan
Bersenjata.”56 Sjam bekerja atas nama unsur-unsur antikomunis dalam
Angkatan Darat dan diganjar dengan perlakuan istimewa di penjara, “Ia
diperlakukan dengan hormat oleh para interogator dan tak seorang pun
pernah melihatnya dianiaya atau disiksa selama atau sesudah interogasi.
Ia diberi balas jasa untuk sikapnya yang ‘kooperatif ’ selama persidangan
dengan perlakuan yang sangat istimewa baik ketika di penjara Nirbaya
dekat Jakarta, maupun belakangan ketika di Rumah Tahanan Militer
(RTM). Ia dipindahkan ke RTM atas permintaan sendiri karena rupanya
ia merasa lebih aman di sana. Semua ini terjadi kendati putusan hukuman
mati telah dijatuhkan atasnya.”57
Kiranya Wertheim benar dalam satu hal: Suharto mengenal dekat
baik Latief maupun Untung. Dalam sidangnya pada 1968 Latief membenarkan
apa yang sudah diakui Suharto: keduanya bertemu pada malam
hari 30 September 1965. Tapi ia membantah pernyataan Suharto bahwa
keduanya tidak saling berbicara. Latief bersaksi bahwa ia memberi tahu
Suharto tentang adanya beberapa perwira Angkatan Darat yang akan
mengambil tindakan terhadap Dewan Jenderal, “sehari sebelum kejadian
itu saya melapor langsung kepada Bapak Mayjen. Suharto, sewaktu
beliau berada di RSPAD [Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat] sedang
menunggui putranya yang ketumpahan sup panas. Dengan laporan
saya ini, berarti saya mendapat bantuan moril, karena tidak ada reaksi
dari beliau.”58 Latief bercerita lebih lanjut. Ia menyatakan bahwa ia juga
sudah membicarakan masalah Dewan Jenderal dengan Suharto satu hari
sebelumnya (29 September) di kediaman Suharto di Jakarta,
Dua hari sebelum peristiwa tanggal 1 Oktober 1965, saya
beserta keluarga mendatangi ke rumah keluarga Bapak Jenderal
Suharto di Jalan Haji Agus Salim, yang waktu itu beliau masih
menjabat sebagai Panglima Kostrad. Di samping acara kekeluargaan
saya juga bermaksud: ‘Menanyakan dengan adanya
info Dewan Jenderal, sekaligus melaporkan kepada beliau.’
Beliau sendiri justru memberitahukan kepada saya: ‘Bahwa
110
2. PENJELASAN TENTANG G-30-S
sehari sebelum datang ke rumah beliau, ada seorang bekas anak
buahnya berasal dari Yogyakarta bernama Subagiyo, memberitahukan
tentang adanya info Dewan Jenderal, yang akan
mengadakan coup d’etat terhadap kekuasaan pemerintahan
Presiden Soekarno.’” Tanggapan dari beliau, akan diadakan
penyelidikan. Oleh karena di tempat/ruangan tersebut banyak
sekali tamu, maka pembicaraan dialihkan pada soal-soal lain,
antara lain soal rumah.59
Di depan mahkamah Latief menceritakan bagaimana ia menjadi
teman bagi keluarga Suharto. Ia bertugas bersama Suharto sejak akhir
1940-an,
Saya sebagai anak buah sekalipun sudah terlepas dari ikatan
komando dengan Bapak Jenderal Suharto, di mana pun
beliau berada selalu saya temui. Dengan sendirinya timbul
keakraban secara kekeluargaan di luar dinas … Memang
saya pribadi adalah bekas anak buah beliau yang langsung
di bawah pimpinan beliau, sewaktu menjabat sebagai Dan
Kie 100 yang langsung organisatoris dan taktis pada Brigade
X, pada waktu zaman gerilya … Mengenai kekeluargaan di
luar dinas pun, saya mempunyai keakraban semenjak di Jawa
Tengah, sekalipun beliau sudah terlepas dari komando saya,
tetap sering saya datangi. Kebiasaan perwira-perwira bawahan
yang sejajar dengan saya (Komandan-komandan Batalyon),
jarang datang ke tempat beliau, terkecuali saya, kata temanteman
saya itu, mereka merasa segan, karena Jenderal Suharto
dianggap terlalu seram. Penilaian saya tidak. Sebagai bukti
lagi sewaktu beliau mengkhitankan puteranya bernama Sigit,
keluarga saya pun datang. Saya sendiri tidak dapat datang,
karena ibu saya sedang sakit keras di Surabaya. Sebaliknya
pada waktu saya mengkhitankan anak saya, beliau dengan Ibu
Tien juga datang ke rumah saya. Jadi kesimpulan saya dengan
Jenderal Suharto sekeluarga tidak mempunyai persoalan
apapun, malahan mempunyai hubungan akrab.60
111
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
Latief demikian dekat dengan Suharto sehingga pada kunjungan
29 September tersebut ia mengusulkan bertukar rumah dengan Suharto.
Sebagai perwira komando distrik Jakarta, Latief mendapat sebuah rumah
besar bekas kediaman duta besar Inggris. Latief mengatakan bahwa ia
berencana memberikan rumah itu kepada Suharto dan kemudian ia
dan keluarganya pindah ke rumah Suharto yang lebih sederhana. Latief
ingin agar teman lama dan perwira atasannya itu memiliki rumah yang
lebih bagus.61
Untung, menurut Latief, juga bekas bawahan yang mempunyai
hubungan baik dengan Suharto, “Letkol Untung pun juga pernah menjadi
anak buah langsung sewaktu di daerah Korem Sala, yang kemudian
Letkol Untung terpilih sebagai salah seorang pimpinan Gerilyawan yang
diterjunkan di Halmana [di Irian Barat] sewaktu Trikora. Pernah saya
dengar dari pembicaraan Letkol Untung sendiri, sewaktu selesai tugas
Trikora ia dipindahkan ke Resimen Cakrabirawa, ia katakan dengan
peristiwa itu Jenderal Suharto pernah marah-marah atas kepindahannya
ke Men Cakra itu. Karena ia akan ditarik sebagai pasukan Kostrad di
bawah pimpinan beliau.”62
Kecurigaan terhadap Suharto bertimbun: ia mempunyai hubungan
baik dengan Untung dan Latief, dua batalyon yang digunakan G-30-S
dibawa ke Jakarta atas perintahnya, dan ialah yang mengambil keuntungan
paling banyak dari aksi itu. Bagi Wertheim kenyataan-kenyataan
ini menunjukkan bahwa Suharto adalah salah seorang di antara dalangdalang
G-30-S. Dalang-dalang sebenarnya adalah “tokoh-tokoh militer
yang menggunakan agen ganda seperti Sjam untuk tujuan mereka sendiri.”
Tujuan mereka ialah menciptakan dalih yang dapat mereka gunakan untuk
menyerang PKI dan merongrong kekuasaan Sukarno. “Seluruh peristiwa
itu lebih kelihatan seperti sebuah rancangan komplot yang terencana
dengan baik, secara khusus ditujukan untuk dengan telak mencemarkan
PKI maupun Presiden Sukarno sendiri, dan dengan demikian memberi
kesempatan dan alasan untuk membersihkan pengaruh mereka dalam
kehidupan politik di Indonesia.”63 Gerakan 30 September kelihatan
begitu semrawut dan sia-sia karena merupakan operasi gadungan yang
memang dibuat untuk dipatahkan dengan mudah.64
Wertheim tidak berspekulasi tentang peranan setepatnya yang
dimainkan Suharto, Untung, dan Latief dalam G-30-S. Alur kisah
112
2. PENJELASAN TENTANG G-30-S
Wertheim secara tidak langsung menyatakan bahwa Suharto bagaimana
pun juga bersekongkol dengan teman-temannya dalam mengorganisasikan
G-30-S. Barangkali Suharto memprakarsai G-30-S, menempatkan
dua teman lamanya dan Sjam dalam kepemimpinan, lalu mengkhianati
mereka. Atau, barangkali Suharto menyatakan kepada teman-temannya
bahwa G-30-S memang akan gagal namun menjanjikan kepada mereka
bahwa mereka akan selamat dan diberi kedudukan yang enak dalam
pemerintahan baru.65
Walaupun penyelesaian Wertheim atas teka-teki G-30-S ini
cukup anggun, menjelaskan beberapa kejanggalan dengan penuturan
yang ajeg, ia harus menghadapi sejumlah keberatan yang mencolok.
Pertama, penjelasannya tampak mustahil. Dalam skenario Wertheim
Suharto menjadi seorang tokoh jenius yang adimanusia. Segala sesuatu
berjalan menurut rencananya. G-30-S tidak sekadar melibatkan PKI
dan runtuh dengan cepat, ia juga membuka jalan bagi Suharto untuk
menjadi panglima Angkatan Darat. Perwira atasan Suharto (Yani) dan
sebagian besar kawan-kawan dan lawan-lawannya dibersihkannya dalam
sekali tebas. Sukar dipercaya bahwa Suharto dapat menjadi sedemikian
pintar dalam menyusun aksi klandestin yang secara sangat sempurna
bermanfaat baginya. Suharto tidak mempunyai reputasi sebagai pengatur
siasat yang luar biasa pandai.
Kedua, jika Suharto bekerja dengan jenderal-jenderal lain di
dalam apa yang Wertheim sebut sebagai “konspirasi para jenderal”
untuk mengorganisasi G-30-S, agaknya tidak mungkin mereka akan
merancang sebuah rencana yang menghendaki pembunuhan terhadap
tujuh jenderal lainnya. Jika tujuannya ialah dalih untuk mengganyang
PKI dan membawa Angkatan Darat ke panggung kekuasaan negara,
mengapa dalam prosesnya mereka bersedia dengan serius mengacaukan
Angkatan Darat? Mengapa mereka mau mengorbankan perwira-perwira
antikomunis sesama mereka? Wertheim menyadari satu soal yang jelas,
bahwa tidak mungkin staf umum Yani yang mengorganisasi G-30-S
karena begitu banyak di kalangan mereka yang menjadi korban. Jenderaljenderal
lain mana yang mungkin bersekongkol untuk mengorganisasi
G-30-S? Satu-satunya alasan untuk membunuh jenderal-jenderal ini ialah
untuk melapangkan jalan bagi Suharto naik tahta. Maka kemungkinan
dalangnya ialah Suharto sendiri, oleh karena tidak mungkin ia akan
113
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
menerima bantuan dari jenderal siapa pun untuk sebuah rencana yang
mempertaruhkan nyawa tujuh jenderal. Wertheim mengakui bahwa
Suharto satu-satunya jenderal yang mempunyai motivasi untuk mengorganisasi
G-30-S, tetapi bersisurut dari argumen bahwa memang Suharto
yang telah mengorganisasinya. Alih-alih, Wertheim mengajukan klaim
yang lebih sederhana bahwa Suharto “seandainya pun secara pribadi ia
tidak terlibat konspirasi,” telah mengetahui sebelumnya tentang gerakan
itu. Bagi Wertheim, kesalahan Suharto, setidak-tidaknya, terletak pada
kenyataan bahwa ia tidak memberi tahu perwira-perwira atasannya
tentang adanya rencana komplot tersebut.66 Ini merupakan pernyataan
yang jauh lebih lunak ketimbang pernyataan bahwa sejumlah perwira
militer pro-Suharto telah menggunakan Sjam sebagai agen ganda untuk
menciptakan kup palsu.
Ketiga, tujuan mengaitkan PKI di dalam usaha kup dapat saja
tercapai dengan cara yang jauh lebih tegas dan terang-terangan. Jika
jenderal-jenderal tertentu Angkatan Darat atau Suharto sendiri, telah
merancang G-30-S dengan tujuan seperti itu di dalam pikiran mereka,
tentu mereka akan menggunakan kelompok Untung agar mengumumkan
melalui radio bahwa mereka bekerja untuk PKI dan bertekad
hendak menggulingkan Sukarno. G-30-S menyembunyikan rapat-rapat
hubungannya dengan PKI dan tidak pernah menyatakan dengan jelas
bahwa gerakan ini ingin melancarkan kup terhadap Sukarno. Pengumuman
pertama G-30-S menyatakan bahwa Untung berniat melindungi
Sukarno. Tidak satu pun dari pengumuman-pengumumannya
menyebutkan PKI.
Keempat, pimpinan G-30-S tidak berpikir bahwa mereka bertindak
atas nama Suharto. Jika seandainya demikian, mereka pasti akan meminta
Sukarno mengangkat Suharto sebagai pengganti Yani. Melalui Supardjo
pimpinan G-30-S merekomendasikan nama-nama tiga jenderal sebagai
calon pejabat sementara pimpinan Angkatan Darat: Pranoto, Basuki
Rachmat, dan U. Rukman.67 Mereka tidak mengusulkan nama Suharto.
Sambil memikirkan segala kemungkinan Sukarno menolak Suharto
karena ia “terlalu koppig,” dan Supardjo tampaknya tidak memohon
atas nama Suharto.68 Sukar dipahami G-30-S membunuh tujuh jenderal
demi kepentingan Suharto dan kemudian tidak mencoba mempengaruhi
Sukarno agar mengangkatnya sebagai panglima interim.
114
2. PENJELASAN TENTANG G-30-S
Uraian yang diajukan Wertheim – G-30-S sebagai “komplotan
yang terorganisasi dengan baik” untuk menjebak PKI – tetap pada taraf
spekulasi, sebagaimana diakui oleh Wertheim sendiri.69 Tindakantindakan
Suharto justru dengan gampang dapat dijelaskan dengan
memperhatikan cerita Latief. Pada persidangannya Latief menyatakan
bahwa ia dan Untung bertindak bebas dari Suharto dan mereka hanya
menerima dukungan tak terucapkan (“tidak ada reaksi dari beliau”)
darinya. Latief menjelaskan bahwa ia dan Untung sudah memandang
Suharto sebagai pendukung teguh Presiden Sukarno dan percaya bahwa
ia akan mendukung aksi-aksi mereka dalam melawan Dewan Jenderal:
“Memang saya berpendapat, bahwa satu-satunya orang, beliaulah, yang
saya anggap loyal terhadap kepemimpinan Presiden Soekarno, dan saya
kenal semenjak dari Yogyakarta, siapa sebenarnya Bapak Jenderal Suharto
ini.”70 Menurut Latief, ia keliru saja menilai Suharto.
Persahabatan Latief dan Untung dengan Suharto dan kepercayaan
mereka tentang kesetiaannya kepada Presiden Sukarno dapat menjelaskan
mengapa G-30-S tidak menjadikan Suharto sebagai sasaran penculikan
dan pembunuhan. Karena gerakan ini memperhitungkan dukungan
Suharto, kemungkinan Latief dan Untung berpikir bahwa rencana mereka
kebal dari kesalahan dan bahwa mereka hanya memerlukan sejumlah kecil
pasukan untuk menduduki Jakarta dengan sukses. Bahwa dua batalyon
utama yang terlibat dalam G-30-S ada di bawah komando Kostrad tidak
membuktikan keterlibatan Suharto. Bisa saja para konspirator mengadakan
perjanjian dengan para komandan batalyon tanpa sepengetahuan
Suharto atau perwira lain siapa pun di markas besar Kostrad. Pemberitahuan
Latief kepada Suharto dapat menjelaskan mengapa ia berhasil
melakukan aksi dengan “efi siensi yang ajaib di tengah-tengah keadaan
yang luar biasa membingungkan.” Rasa kasih sayang kekeluargaan yang
tersisa, dan barangkali rasa syukur atas pemberitahuan yang diterimanya,
dapat menjelaskan mengapa Suharto tidak membiarkan Latief dieksekusi.
Walaupun bukti-bukti yang ada tidak mendukung pendapat
bahwa Suharto adalah dalang, mereka setidak-tidaknya memberi kesan
bahwa ia telah mengetahui keberadaan G-30-S sebelumnya, memberikan
dukungan dengan diam-diam, dan akhirnya mengkhianati bekas sahabatsahabatnya
yang naïf itu.
Masing-masing dari empat strategi naratif di atas gagal memberi
115
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
penjelasan yang memuaskan tentang semua keganjilan G-30-S. Kadar
keterandalan masing-masing bergantung pada sorotannya atas rangkaian
fakta-fakta yang terbatas sementara mengabaikan, menutupi, atau keliru
menjelaskan fakta-fakta lain. Sepanjang dasawarsa-dasawarsa yang telah
berlalu sejak peristiwa tersebut tak seorang pun tiba pada uraian menyeluruh
yang memuaskan. Gerakan 30 September telah menjadi semacam
sebuah kubus Rubik yang tak terpecahkan, dengan enam warna yang
tidak dapat bersesuaian dengan keenam sisinya. Tak satu orang pun dapat
menyelaraskan fakta-fakta itu dengan uraian yang masuk akal.
Satu kendala dalam memecahkan teka-teki ini ialah pemaksaan cara
penyelesaian palsu yang teramat kuat segera sesudah peristiwa terjadi.
Saat tentara Suharto mendesakkan uraiannya sendiri – PKI sebagai
dalang – ia juga menciptakan fakta-fakta (misalnya kisah penyiksaan
di Lubang Buaya dan pengakuan para pemimpin PKI). Dengan banjir
propagandanya rezim Suharto telah memasang ranjau di sepanjang jalan
kaum sejarawan dengan petunjuk palsu, jalan belokan yang buntu, dan
penggalan-penggalan bukti yang direkayasa. Kepalsuan cara penyelesaian
Suharto terlihat nyata dalam penggunaan istilah PKI yang tidak tepat.
Menurut versi pemerintah, PKI mendalangi G-30-S. Tetapi jelas bahwa
sebagai lembaga yang terdiri dari jutaan manusia, PKI tidak mungkin
dapat mengorganisasi pemberontakan militer yang bersifat rahasia.
Jika PKI secara keseluruhan tidak bertanggung jawab, bagaimanakah
tepatnya hubungan antara pimpinan PKI dengan G-30-S? Misalnya,
apa yang dilakukan Aidit di pangkalan udara Halim? Anderson dan
McVey menampilkannya sebagai “korban penipuan” para perwira pemberontak.
Tapi mereka menulis analisis itu sebelum timbul keterangan
tentang peranan penting yang dimainkan oleh Sjam dan Biro Chusus dan
sebelum Sudisman mengakui bahwa beberapa pimpinan partai tertentu
telah “terlibat dalam G-30-S” tetapi “PKI sebagai partai tidak terlibat.”
Crouch merujukkan informasi baru ini dengan analisis naskah Cornell
dengan menyatakan bahwa pimpinan dan anggota tertentu PKI telah
membantu secara aktif, tetapi tidak mengarahkan, putsch para perwira
menengah Angkatan Darat. Sejauh ini uraian yang dikemukakan Crouch
merupakan yang paling kaya informasi, namun seperti halnya naskah
Cornell, ia pun tidak mampu menjelaskan, mengapa pemberontakan
militer yang pro-Sukarno harus menyasar pada pendemisioneran kabinet
116
2. PENJELASAN TENTANG G-30-S
Sukarno.
Uraian Wertheim berhasil memecahkan keganjilan ini dengan
menggambarkannya sebagai suatu provokasi yang disengaja. Pendemisioneran
kabinet dimaksud untuk memberi jaminan bahwa masyarakat
tidak akan mendukung G-30-S. Menurut Wertheim, beberapa pemimpin
tertentu PKI menjadi terlibat dalam G-30-S, karena mereka – seperti
naskah Cornell juga berargumen – menjadi korban penipuan. Tapi
mereka tidak ditipu oleh para perwira pemberontak melainkan oleh
komplotan perwira-perwira anti-PKI dan agen ganda mereka, Sjam. Para
perwira yang ingin menghancurkan PKI dan menggulingkan Sukarno
merancang G-30-S sehingga akan dapat mengaitkan PKI dalam tindak
kejahatan dan kemudian runtuh. Sjam memikat Aidit dan elemenelemen
lain dalam PKI ke dalam perangkap. Sementara garis besar uraian
Wertheim itu memecahkan keganjilan dalam pendemisioneran kabinet,
ia melahirkan keganjilan-keganjilan baru. Jika G-30-S merupakan sebuah
perangkap, ia haruslah dirancang oleh Suharto atau para perwira yang
bekerja untuknya. Namun para perwira dalam G-30-S tidak mengusulkan
kepada Sukarno agar ia menunjuk Suharto sebagai pengganti Yani.
Akhirnya, cara pemecahan Wertheim tidak berhasil menjelaskan banyak
bagian dalam teka-teki ini.
CATATAN
1 Saya akan mengabaikan tiga penjelasan lainnya, yaitu dari Dake, Holtzappel, dan Fic. Dake
berpendapat, atas dasar bukti-bukti yang tidak andal, bahwa Presiden Sukarno adalah otak
di balik G-30-S (Dake, In the Spirit of the Red Banteng). Satu-satunya bukti yang dipunyai
Dake ialah transkrip interogasi ajudan Presiden Sukarno, Kapten Bambang Widjanarko, oleh
personil Kopkamtib (Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban). Dake juga
menulis kata pengantar untuk teks transkrip interogasi asli yang berbahasa Indonesia dan
terjemahannya dalam bahasa Inggris (Karni, Devious Dalang). Untuk kritik lunak terhadap
tesis Dake yang berlebihan, lihat Crouch, Army and Politics in Indonesia, 119-121. Untuk
kritik yang lebih tajam, lihat tinjauan Ernst Utrecht terhadap buku-buku Dake dan Karni,
dalam “An Attempt to Corrupt Indonesian History.” Holtzappel berpendapat, berdasar salah
tafsir yang sembrono terhadap kesaksian-kesaksian di depan Mahmilub, bahwa para perwira
AURI, khususnya Mayor Soejono, adalah pimpinan-pimpinan G-30-S yang sebenarnya
(Holtzappel, “30 September Movement”). Artikelnya terlalu dipenuhi informasi yang buruk
sehingga tak layak ditentang. Fic berpendapat bahwa Mao Zedong memberi saran Aidit
agar PKI membunuh jenderal-jenderal sayap kanan dan bahwa selanjutnya Aidit mendapat
117
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
persetujuan Sukarno untuk rencananya itu. Fic menjalin kisah ini dari angan-angannya
sendiri (Fic, Anatomy of the Jakarta Coup, 94-105). Hanya bukti-bukti yang kokoh dapat
mengungguli banyaknya alasan untuk memercayai bahwa Sukarno dan Tiongkok tidak
mempunyai urusan dengan perencanaan G-30-S.
2 Suharto, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, 100. Alimin tidak lagi menjadi “boss PKI”
sejak angkatan Aidit menggantikannya pada 1951.
3 Sugama, Memori Jenderal Yoga, 148, 152-153.
4 Brigadir Jenderal Sucipto adalah asisten Staf Koti urusan politik. Koti, Komando Operasi
Tertinggi, dibentuk pada 1963 oleh Sukarno agar ia dapat mengendalikan militer dengan
lebih baik dan mengurangi pengaruh Nasution. Sukarno memasukkan banyak tokoh-tokoh
sekutunya di dalamnya, bahkan juga dari kalangan sipil. Tapi para perwira antikomunis,
seperti Sucipto, masih mendapat tempat. Tentang peranan Subchan, lihat A.M. Mandan,
“Subchan Z.E,” 54.
5 Pusat Penerangan Angkatan Darat, Fakta-fakta Persoalan Sekitar “Gerakan 30 September,”
Penerbitan Chusus no. 1, 5 Oktober 1965, 15-18. Angkatan Darat membuat buku ini sebagai
penerbitan berseri bulanan dan menerbitkan sekurang-kurangnya dua buku lagi, bertanggal
5 November 1965, dan 5 Desember 1965.
6 CIA Report No. 22 from U.S. Embassy in Jakarta to White House [Laporan CIA No.
22 dari Kedutaan Besar AS di Jakarta ke Gedung Putih], 8 Oktober 1965, dikutip dalam
Robinson, Dark Side of Paradise, 283.
7 Banyak bangunan PKI menjadi milik pemerintah. Di bawah Suharto gedung CC-PKI
menjadi kantor Kementerian Pariwisata.
8 Sudisman, Uraian Tanggungdjawab, 17. Lihat juga, Hughes, End of Sukarno, 141.
9 Laporan intelijen militer Australia pada Desember 1965 menyatakan bahwa, “Bukti keterlibatan
PKI sebenarnya – yaitu perencanaan sebelumnya oleh Central Comite – sebagian
besar bersifat tidak langsung.” Dikutip dalam Easter, “’Keep the Indonesian Pot Boiling,’”
59-60.
10 Pusat Penerangan Angkatan Darat, Fakta-fakta Persoalan Sekitar “Gerakan 30 September,”
Penerbitan Chusus no. 2, 5 November 1965, 4.
11 “Berita Atjara Pemeriksaan,” laporan interogasi Latief, 25 Oktober 1965, sidang pengadilan
Latief, dokumen-dokumen Mahmilub. Interogator ialah Kapten Hasan Rany dari
polisi militer. Tentang keadaan kesehatan Latief selama interogasi, lihat Latief, Pledoi Kol. A.
Latief, 54-59. Banyak bekas tahanan politik yang ditahan di penjara Salemba ingat bahwa
sel Latief menyebarkan bau menyengat dari daging yang membusuk. Luka pada kakinya
mengakibatkan ia menjadi pincang seumur hidup.
12 Untung menyatakan, ia tidak mempunyai hubungan dengan PKI, dan bahwa ia bersama
Latief yang memulai G-30-S (“Gerakan 30 September” Dihadapan Mahmillub, Perkara
Untung, 35-37).
13 Anderson dan McVey menerbitkan ulang dan mengomentari pengakuan Njono dalam
Preliminary Analysis, 157-162. Hughes menerbitkan ulang pengakuan Aidit dan menya118
2. PENJELASAN TENTANG G-30-S
takan bahwa pengakuan itu mungkin pemalsuan (lihat End of Sukarno, 177-182). Ketika
itu Aidit sebagai wakil ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (Sementara) atau MPR(S)
dan menteri dalam kabinet Sukarno. Aidit tidak mungkin menyusun penjelasan tentang
G-30-S di depan personil perwira menengah di pedalaman Jawa Tengah tidak lama sesudah
ia tertangkap. Ia tentu akan menunggu sampai ia dibawa di depan umum dan Presiden
Sukarno. Jika demikian itulah yang dikehendaki, ia dapat memberikan penjelasan kapan
saja sebelum tertangkap pada 22 November 1965. Teks itu sendiri terbaca seperti sebuah
catatan rangkaian kejadian umum. Penekanannya pada waktu dan tanggal. Tidak tampak
petunjuk bahwa Aidit sendiri yang menulis teks itu. Satu pertanda bahwa pengakuan itu
palsu terletak pada pernyataan bahwa PKI berencana menghapus Pancasila sesudah kup. Ide
bahwa PKI anti-Pancasila merupakan salah satu dari fi tnah-fi tnah baku dari Angkatan Darat.
(Pada kenyataannya, PKI sudah mendukung ide menjadikan Pancasila sebagai ideologi
negara dalam sidang badan pembuat undang-undang dasar, Konstituante, dari November
1957 sampai Juli 1959). Maka menggelikan jika orang menduga Aidit akan menentang
Pancasila, khususnya pada saat krisis seperti itu, sementara ia tidak pernah sebelumnya menentangnya.
Juga, pengakuan bahwa Aidit bertemu Sukarno di Halim. Sukarno dikelilingi
orang-orang lain selagi di Halim. Tak seorang pun pernah menyatakan bahwa kedua tokoh
itu pernah bertemu di sana.
14 Anderson, “How Did the Generals Die?”
15 Duta Besar Amerika Serikat di Indonesia pada 1965, Marshall Green, mengikuti garis
rezim Suharto dalam melukiskan perwira-perwira militer seperti Untung sebagai “pion-pion
PKI” (Green, Indonesia, 53).
16 “Gerakan 30 September” Dihadapan Mahmillub, Perkara Untung, 35, 38, 54.
17 Ibid., 55.
18 Ibid., 51.
19 Kesaksian Mayor Soejono pada 16 Februari 1966 dalam “Gerakan 30 September”
Dihadapan Mahmillub, Perkara Njono, 208. Berdiri sendiri, pernyataan Soejono bahwa Sjam
sebagai pimpinan tidak dapat diterima begitu saja. Kesaksian Soejono penuh kejanggalan dan
ketidakserasian. Tampaknya ia terbelit oleh usaha sia-sia untuk mengalihkan beban kesalahan
dari dirinya. Kesaksiannya menjadi penting karena salah satu dari yang pertama kali, kalau
bukan memang yang pertama kali, menyebut-nyebut nama Sjam di depan umum.
20 Pada awal 1967 Hughes menulis, “‘Sjam’ yang misterius, sekarang dipercaya, sebenarnya
ialah Tjugito” (End of Sukarno, 35).
21 Ibid., 35-36, 78.
22 Justus van der Kroef pernah menyatakan bahwa laporan Cornell “mengabaikan kinerja
Biro Chusus.” Ia tidak menyebutkan bahwa laporan itu ditulis pada Januari 1966, lebih
dari setahun sebelum istilah “Biro Chusus” menjadi dikenal (Van der Kroef, “Origins of
the 1965 Coup in Indonesia,” 284).
23 Buku yang hanya terbit dalam bahasa Inggris ini dimaksud untuk meyakinkan para pakar,
wartawan, dan diplomat asing bahwa laporan Anderson dan McVey keliru (Notosusanto
119
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
and Saleh, Coup Attempt of the “September 30 Movement”). Dua puluh tahun kemudian
buku ini baru diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia: Tragedi Nasional: Percobaan Kup
G30S/PKI di Indonesia.
24 Buku Putih yang saya maksud di sini ialah dari Sekretariat Negara Republik Indonesia,
September 30th Movement.
25 Ibid., 63-70.
26 Njono, Supardjo, dan Latief, misalnya menolak keabsahan berita interogasi mereka
ketika memberikan kesaksian pada persidangan masing-masing. Untung tidak dengan
tegas menolak berita interogasinya, tetapi ia memberi kesaksian yang bertentangan dengan
berita interogasi itu.
27 CIA, Indonesia – 1965, 312. Seorang mantan agen CIA yang mengkhususkan diri dalam
masalah Asia Tenggara, Ralph McGehee, menyatakan bahwa laporan yang telah terbit ini
dimaksudkan untuk menyesatkan. CIA “menggubah cerita palsu tentang apa yang telah
terjadi” untuk konsumsi publik. Sementara itu untuk kebutuhan intern CIA “menyusun
penelitian rahasia tentang apa yang sebenarnya telah terjadi.” Bagian dalam buku McGehee
tentang dua laporan ini sebagian dikenai sensor ketika CIA mengkaji naskahnya. Beberapa
detil yang diketahui McGehee masih tetap ditutupi (lihat Deadly Deceits, 58).
28 Anderson and McVey, Preliminary Analysis, 92.
29 Van der Kroef, “Gestapu in Indonesia”; “Indonesia”; “Sukarno’s Fall”; “Indonesian
Communism since the 1965 Coup”; Indonesia after Sukarno, chap. 1; “Interpretations of
the 1965 Coup in Indonesia”; “Origins of the 1965 Coup in Indonesia.”
30 Pauker, Rise and Fall of the Communist Party of Indonesia.
31 Brackman, Communist Collapse in Indonesia dan Indonesia: Th e Gestapu Aff air.
32 Politbiro CC-PKI terdiri atas dua belas orang. Di antara mereka, empat atau lima orang
dipilih untuk bertugas sebagai anggota Komite Kerja, atau yang dikenal sebagai Dewan
Harian. Menurut Sudisman, Dewan Harian pada 1965 mempunyai empat anggota: Aidit,
Lukman, Njoto, dan Sudisman sendiri. Sudisman mengoreksi keterangan Sjam bahwa
Dewan Harian terdiri dari lima orang (lihat transkrip persidangan Mahmilub untuk
Sudisman, 7 Juli 1967). Subekti, dalam catatan rahasianya pada 1986, yang ditulis untuk
kelompok kecil kaum loyalis partai yang masih hidup, mengenang bahwa Dewan Harian
terdiri atas lima orang, yaitu selain empat tersebut di atas juga Oloan Hutapea (Subekti,
“G-30-S Bukan Buatan PKI,” 3). Dalam hal ini saya mempercayai Subekti karena catatannya,
walaupun ditulis lebih kemudian dari keterangan Sudisman, ditujukan bagi kalangan
dalam partai. Agaknya Sudisman sengaja ingin mengingkari bahwa Hutapea, yang pada
1967 masih menjadi buron, adalah pemimpin dengan kedudukan begitu tinggi.
33 Anderson dan McVey, “What Happened in Indonesia?” 40-42.
34 Anderson, “Petrus Dadi Ratu,” 14. Versi Indonesia karangan ini terbit dalam Tempo,
10-16 April, 2000.
35 Aidit dieksekusi di suatu tempat dekat Boyolali, Jawa Tengah. Wartawan John Hughes
pada 1967 menulis, “Matinya Aidit tidak dicatat dalam dokumen resmi apa pun yang
120
2. PENJELASAN TENTANG G-30-S
tersedia bagi umum” (End of Sukarno, 175). Pada 1980 seorang perwira Angkatan Darat,
Yasir Hadibroto, mengaku bertanggung jawab terhadap pembunuhan itu. Pada akhir 1965
Hadibroto adalah kolonel yang memimpin pasukan Kostrad yang dikirim ke Jawa Tengah
untuk “menghancurkan” PKI. Ia menyatakan bahwa ia dan anak buahnya membunuh
Aidit tanpa menerima perintah langsung dari Suharto (lihat “Menangkap Maling dengan
Menggunakan Maling,” Kompas, 5 Oktober 1980; versi Inggris terbit dalam Tapol Bulletin,
no. 41-42 [September-Oktober 1980]: 11-14). Mengingat ketokohan Aidit, tidak mungkin
kiranya seorang kolonel berani bertindak tanpa perintah langsung dari Suharto.
36 Anderson and McVey, Preliminary Analysis, 95.
37 Ibid., 95.
38 Ibid., 89.
39 Wertheim, “Whose Plot?” 202.
40 Anderson and McVey, Preliminary Analysis, 1.
41 Ibid., 1, 18.
42 Dalam menganalisis percobaan kup di Filipina pasca-Marcos, Alfred McCoy berpendapat
bahwa para perwira pemberontak (RAM Boys yang bernama buruk) telah saling terikat
sejak mereka di akademi militer (Closer Th an Brothers, 259-298).
43 Anderson and McVey, Preliminary Analysis, 38.
44 Anderson, “Petrus Dadi Ratu.”
45 Anderson, “Tentang Pembunuhan Massal ‘65’.”
46 Crouch, Army and Politics, 116.
47 Crouch, “Another Look at the Indonesian ‘Coup’,” 4.
48 Crouch, Army and Politics, 116-117.
49 Sudisman, Analysis of Responsibility, 4, 6-7.
50 Wertheim, “Suharto and the Untung Coup.”
51 Wertheim tidak mengutip sumber kisah tentang Suharto yang menghadiri pernikahan
Untung. Salah seorang bawahan Suharto di Kostrad, Kemal Idris, sambil lalu menyebut
dalam memoarnya bahwa ia menghadiri pernikahan Untung atas nama Suharto. “Saya
kenal Untung dari saat saya menerima perintah untuk mewakili Suharto pada upacara
pernikahannya karena ia bekas salah seorang bawahan Suharto” (Anwar et.al., Kemal Idris,
180). Apakah Suharto pribadi hadir ataukah mengirim Kemal Idris untuk mewakilinya,
tampak bahwa ia mengenal dekat Untung.
52 Brackman, Communist Collapse in Indonesia, 100; Der Spiegel, 27 Juni 1970, hal. 98.
53 Wertheim, “Suharto and the Untung Coup,” 53.
54 Ibid., 54.
55 Ibid., 53.
56 Wertheim, “Whose Plot?” 205.
121
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
57 Ibid., 207.
58 Latief, Pledoi Kol. A.Latief, 129.
59 Ibid., 277.
60 Ibid., 279, 282.
61 Ibid., 282.
62 Ibid., 280.
63 Wertheim, “Whose Plot?” 204-205.
64 Peter Dale Scott berpendapat dengan nada yang serupa, “Gestapu, tanggapan Suharto,
dan pertumpahan darah merupakan bagian dari skenario tunggal terpadu untuk perebutan
kekuasaan oleh militer.” Suharto adalah “konspirator utama dalam skenario ini.” (Scott,
“United States and the Overthrow of Sukarno,” 244-245).
65 Wakil Perdana Menteri Sukarno, Soebandrio, menceritakan bahwa ketika ia dan Untung
bersama-sama di penjara, Untung bercerita kepadanya bahwa Suharto suatu saat akan
menyelamatkannya. Untung yakin bahwa hukuman mati yang dijatuhkan kepadanya
“hanya sandiwara” dan tidak akan pernah dilaksanakan (Soebandrio, Kesaksianku Tentang
G-30-S, 23). Informasi ini tidak dapat diandalkan. Heru Atmodjo, yang dipenjarakan
bersama Untung dan Soebandrio di Cimahi, meragukan keterangan ini karena Untung
tidak pernah berbicara semacam itu kepadanya (wawancara dengan Heru Atmodjo, 14
Desember 2002). Beberapa eks tapol lain teringat bahwa dalam tahun-tahun terakhir di
penjara Soebandrio sedikit banyak telah kehilangan kesehatan jiwanya. Berdiri sendiri,
bukunya yang ringkas itu (ditulis tahun 2000, sesudah dibebaskan dari penjara) tidak cukup
dapat dipercaya. Walaupun dalam judulnya tercantum kata kesaksian, buku ini memuat
lebih banyak spekulasi dan informasi dari tangan kedua ketimbang laporan saksi mata dan
argumentasi yang cermat.
66 Wertheim, “Indonesia’s Hidden History,” 299.
67 Menurut versi rezim Suharto, Supardjo merekomendasikan Pranoto dan Rukman (Sekretariat
Negara Republik Indonesia, Gerakan 30 September,145). Menurut Supardjo sendiri,
ia mengajukan Pranoto, Rukman, dan Basuki Rachmat. Lihat lampiran 1.
68 Sambil duduk di rumah Komodor Susanto di pangkalan udara Halim, Sukarno membahas
masalah pengangkatan itu dengan Supardjo, di depan sekurang-kurangnya tujuh menteri
dan perwira-perwira militer. Tidak seorang pun dari mereka kemudian menyatakan bahwa
Supardjo mengajukan nama Suharto.
69 Wertheim, “Indonesia’s Hidden History,” 305.
70 Latief, Pledoi Kol.A.Latief, 279.
122
3
DOKUMEN SUPARDJO
Gelegar musik pembuka yang mencanangkan pertandingan melenyap
dari pendengaran dengan geraman malas segera saat berlaga harus
dimulai, para pemain berhenti memperhitungkan dirinya dengan
serius, dan lakon pun ambruk sama sekali, seperti gelembung-gelembung
tercoblos … Revolusi itu sendiri melumpuhkan para pengusungnya dan
memberkahi musuh-musuhnya saja dengan kekuatan bergelora.
Karl Marx, Th e Eighteenth Brumaire of Louis Bonaparte (1852)
Pengakuan akibat siksaan, kesaksian berselubung, kisah media yang
direkayasa para tentara ahli perang urat syaraf – di tengah-tengah
limpahan informasi tentang G-30-S, teramat sedikit yang dapat
ditimbang sebagai bukti teruji. Para peneliti tidak dapat mengajukan
sesuatu lebih dari dugaan cerdas tentang identitas pemimpin-pemimpin
yang sebenarnya dan motivasi mereka. Apakah Sjam dan Aidit bertanggung
jawab, seperti diakui Sjam sendiri di persidangannya? Atau Untung
dan para perwira militer lainnya bertanggung jawab, seperti yang mereka
akui di persidangan mereka? Atau apakah mereka bekerja bersama sebagai
satu tim tanpa kejelasan siapa yang bertanggung jawab? Atau apakah
Suharto dengan satu atau lain cara berdiri di belakang mereka sebagai
dalang dari seluruh drama yang memilukan itu? Dengan tidak adanya
bukti yang tidak dapat disangsikan, pertanyaan-pertanyaan di atas tidak
bisa dijawab dengan kepastian sedikit pun.
Mengingat bahwa bukti-bukti tentang G-30-S sudah dikacaukan
123
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
dan dipertanyakan, tidak mengherankan ketika ditemukan bahwa suatu
bukti yang sangat penting telah diabaikan. Salah seorang konspirator
G-30-S yang ada di pangkalan udara Halim pada 1 Oktober, yaitu
Brigadir Jenderal Supardjo, menulis sebuah analisis postmortem tentang
kegagalan mereka. Tulisan ini diberinya judul “Beberapa Pendapat jang
Mempengaruhi Gagalnja ‘G-30-S’ Dipandang dari Sudut Militer” (lihat
lampiran 1). Hingga sekarang para peneliti tidak mengakui dokumen
ini sebagaimana adanya: sumber utama terpenting tentang G-30-S. Ini
satu-satunya dokumen yang tersedia sampai sekarang yang ditulis oleh
pelaku G-30-S sebelum ia tertangkap. Dengan demikian, informasi yang
terkandung di dalamnya mempunyai bobot keterandalan dan kejujuran
yang khas. Supardjo menulis demi kepentingan kawan-kawannya, bukan
bagi para interogator dan penuntut umum yang memusuhinya. Jika kita
hendak menganalisis G-30-S lagi, seyogianya kita mulai dengan dokumen
ini, melihat kesimpulan apa yang dapat ditarik dari sana, dan kemudian
memeriksa kembali bukti-bukti yang ada dengan mempertimbangkan
dokumen ini.
Sudah barang tentu dokumen Supardjo tidak dapat menjawab
semua persoalan tentang G-30-S. Penulis adalah seorang pribadi dengan
sudut pandang sendiri yang khusus. Supardjo juga bukan salah seorang
pimpinan inti G-30-S. Hanya lima orang yang memimpin G-30-S dan,
kemungkinan, mengerti semua atau sebagian besar seluk-beluk dan
kiat-kiatnya: Sjam, Pono, Letnan Kolonel Untung, Kolonel Latief, dan
Mayor Soejono. Pada hari G-30-S dimulai Supardjo bersama lima tokoh
itu berada di pangkalan udara AURI di Halim, dan ia berperan selaku
wakil mereka untuk berhubungan dengan Presiden Sukarno. Tetapi
ia sama sekali tidak menghadiri rapat-rapat perencanaan mereka pada
pekan-pekan sebelumnya. Ia tiba di Jakarta hanya tiga hari sebelum aksi
dimulai. Sementara Supardjo bisa memenuhi janji judul dokumennya
– “faktor-faktor yang menyebabkan kegagalan” G-30-S – ia tidak mengerti
semua alasan kegagalan itu. Ketika ia melihat aksi digelar, ia kebingungan
menghadapi penalaran yang mendasari keputusan-keputusan tertentu.
Di sinilah ketidaktahuannya tentang diskusi-diskusi dan rapat-rapat perencanaan
sepanjang pekan-pekan sebelumnya menjadi penyebab dari
keterbatasan analisisnya. Selain itu, ia tidak banyak mengetahui tentang
status G-30-S di Jawa Tengah, provinsi tempat gerakan ini paling kuat.
124
3. DOKUMEN SUPARDJO
Supardjo berusaha sangat rasional di dalam menuliskan analisisnya: pada
bagian pertama naskah ia laporkan peristiwa-peristiwa yang disaksikannya,
kemudian pada bagian kedua ia tuliskan pemahamannya tentang
peristiwa-peristiwa itu. Tentu saja, bisa jadi ia salah menangkap peristiwaperistiwa
tertentu atau salah menafsirkan apa yang ia tangkap.
Dalam bagian ini saya sajikan informasi tentang latar belakang
Supardjo dan kemudian menguraikan pernyataan-pernyataan penting
dalam dokumen mengenai kepemimpinan G-30-S, rencana aksi G-30-S,
pelaksanaan rencana itu, dan strategi G-30-S sehubungan dengan Presiden
Sukarno dan Mayor Jenderal Suharto.
LATAR BELAKANG SUPARDJO DAN ANALISISNYA
Ketika saya pertama-tama mulai meneliti peristiwa-peristiwa pertengahan
1960-an, saya terkesima oleh keganjilan keterlibatan Supardjo dalam
G-30-S. Namanya disebut dalam pengumuman radio yang kedua (Dekrit
no. 1) pada 1 Oktober 1965 sebagai orang nomor dua dalam hierarki
G-30-S; ia sebagai wakil komandan, yang berada langsung sesudah nama
komandannya, Letnan Kolonel Untung. Mengapa seorang perwira yang
berpangkat lebih tinggi mau menempatkan dirinya di bawah perwira
yang berpangkat lebih rendah? Pengumuman keempat (Keputusan no.
2), dibacakan melalui radio di ujung siang, membatalkan semua pangkat
di atas letnan kolonel. Mengapa seorang perwira militer karier dengan
tanda jasa, yang telah bekerja keras untuk meraih posisi tinggi selama
dua puluh tahun, ikut ambil bagian dalam suatu aksi yang akan berkesudahan
dengan penurunan pangkatnya? Akan berarti apa pembatalan
pangkat yang lebih tinggi itu ketika, di sekitar saat pengumuman itu
dikumandangkan, Supardjo sedang duduk di depan presiden berseragam
lengkap dengan lencana brigadir jenderalnya?
Kehadiran Supardjo di Jakarta pada saat aksi itu sendiri sudah
menimbulkan tanda tanya karena ia semestinya ditempatkan jauh di
Kalimantan Barat, sebagai komandan pasukan di sepanjang perbatasan
dengan Malaysia. Jabatan resmi Supardjo adalah sebagai Panglima
Komando Tempur IV Komando Mandala Siaga.1 Perwira-perwira lain
yang terlibat dalam G-30-S, seperti Letnan Kolonel Untung, Kolonel
125
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
Latief, dan Mayor Soejono, memimpin pasukan-pasukan mereka di
Jakarta. Tapi Supardjo agaknya tidak dapat menyediakan pasukan apa
pun untuk aksi itu. Lalu, apa tujuan pelibatan dirinya jika ia tampil
sebagai pemain perseorangan belaka dan tidak mempunyai pasukan untuk
disumbangkan? Ia tidak mungkin terlibat secara berarti dalam perencanaan
aksi 1 Oktober karena selama bulan-bulan sebelumnya ia berada di
sepanjang perbatasan dengan Malaysia. Lalu, jika ia tidak terlibat dalam
perencanaan, mengapa ia mau ikut di dalamnya? Ia bukanlah teman
lama yang akrab dan terpercaya bagi para perwira yang lain. Ia berasal
dari komando militer Jawa Barat (Siliwangi), sedangkan Untung dan
Latief dari komando Jawa Tengah (Diponegoro), dan Soejono seorang
perwira AURI yang berpangkalan di Jakarta. Bagaimana bisa Supardjo
tergelung dalam kelompok ini pada awalnya?
Kedudukan Supardjo yang istimewa sebagai orang luar dan orang
dalam itu menyebabkan dokumen ini menjadi sangat berharga. Ia
dapat mengamati peristiwa-peristiwa dari sudut seorang pengamat yang
berjarak. Ia memulai tulisannya dengan menyatakan bahwa ia terlibat
dalam G-30-S hanya selama tiga hari – artinya pada 30 September, 1
Oktober, dan 2 Oktober – dan ini merupakan waktu yang sangat pendek
jika “dibandingkan dengan seluruh persiapan.” Di sisi lain, Supardjo
adalah orang dalam. Ia ada bersama para pimpinan inti di tempat persembunyian
mereka di pangkalan udara Halim, berbicara dengan mereka
dari menit ke menit tentang bagaimana aksi harus berlangsung. Mereka
memercayainya untuk bicara dengan Presiden Sukarno atas nama mereka.
Pada saat aksi dimulai tidak ada orang lain yang dekat dengan penggerak
inti seperti Supardjo.
Paling sedikit dokumen ini dapat membantu menjelaskan beberapa
keliru gagas tentang peran Supardjo. Karena dialah perwira berpangkat
tertinggi dalam G-30-S, banyak pengulas yang salah menduga bahwa
dia seorang pemimpin kunci gerakan ini, jika bukan pimpinan yang
paling kunci. Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia waktu itu
dalam memoarnya menggambarkan Supardjo sebagai “komandan taktis
kup yang sebenarnya.”2 Otobiografi Suharto menyatakan bahwa dalam
percakapan pribadi Sukarno pernah mengatakan bahwa seluruh gerakan
ada di bawah pimpinan Supardjo.3 Yang lain lagi mendesakkan bahwa ia
komandan pasukan yang menduduki Lapangan Merdeka.4 Pada 1966
126
3. DOKUMEN SUPARDJO
pengacara Untung, dalam usaha sia-sia untuk melindungi kliennya,
menyatakan di depan mahkamah bahwa Supardjo adalah dalang dari
seluruh komplotan dan bahwa Untung hanya mengikuti perintah perwira
atasan belaka.5 Dokumen Supardjo sendiri mengungkapkan bahwa ia
bukan pimpinan gerakan dan juga tidak memimpin pasukan apa pun
dalam G-30-S.6
Penjelasan Supardjo pribadi tentang bagaimana ia tiba di Jakarta
mungkin saja benar. Di depan mahkamah ia mengatakan bahwa ia
meninggalkan Kalimantan karena anak bungsunya sakit keras dan diperkirakan
akan meninggal. Istrinya mengirim radiogram, memintanya
segera kembali ke Jakarta.7 Begitu tiba di ibu kota, ia memanfaatkan
kunjungannya untuk mendengarkan berita terakhir tentang rencana perlawanan
terhadap Dewan Jenderal. Ia mengakui bertemu dengan teman
lamanya, Sjam, yang menceritakan kepadanya tentang aksi yang akan
datang. Supardjo mengatakan, rencananya ia akan kembali ke posnya
di Kalimantan sebelum 1 Oktober andaikata atasannya, Omar Dani,
tidak memintanya agar tinggal sampai 3 Oktober untuk suatu rapat
dengan presiden. Mereka berdua, Dani dan Supardjo, ingin berbicara
dengan Sukarno tentang apa yang akan dilakukan untuk mencegah kup
Dewan Jenderal. Supardjo mengikuti adanya dua usaha terpisah untuk
melawan jenderal-jenderal sayap kanan: rencana Dani di satu pihak dan
rencana G-30-S di pihak lain. Gerakan 30 September bergerak lebih
dulu dan mendahului rencana Dani.8 Barangkali Supardjo tidak berterus
terang dalam memberikan kesaksiannya di depan mahkamah; bisa jadi
ia memang sengaja datang ke Jakarta agar dapat bekerja sama dengan
Sjam. Barangkali ia sudah sepakat dengan G-30-S sejak awal. Apa pun
kemungkinannya, peranan Supardjo dalam G-30-S terbatas; aksi itu bisa
berjalan tanpa partisipasinya.
Supardjo lebih berfungsi sebagai penasihat atau asisten ketimbang
sebagai panglima. Pada pagi hari 1 Oktober ia dibawa ke istana oleh
dua komandan batalyon, yang sebenarnya dengan mudah bisa bertugas
sebagai penghubung gerakan dengan presiden. Dalam segala kemungkinan
rencana awal G-30-S untuk bertemu presiden bertumpu pada
dua perwira ini saja, yaitu Kapten Sukirno dan Mayor Supeno. Keikutsertaan
Supardjo tidak dapat diperhitungkan karena ia berada jauh di
Kalimantan dan tidak ada perintah baginya untuk kembali ke Jakarta.
127
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
Gambar 5. Supardjo dan Ibu Supardjo, ca. 1962.
Kredit foto: koleksi keluarga Supardjo
Komandan-komandan batalyon itulah yang diperintahkan masuk Jakarta
dengan membawa pasukan mereka untuk parade Hari ABRI 5 Oktober.
Tiba di Jakarta tiga hari saja sebelum aksi, Supardjo bisa jadi mendadak
ditambahkan dalam rencana.
Analisis postmortem Supardjo memberi kesan bahwa ia tidak bertanggung
jawab dalam pengorganisasian G-30-S. Ia menulis sebagai
seorang perwira militer yang dibingungkan oleh semua penyimpangan
gerakan dari praktik baku kemiliteran. Seandainya ia yang bertanggung
jawab, orang dapat berharap bahwa aksi G-30-S akan menjadi operasi
yang lebih profesional. Supardjo menjadi brigadir jenderal pada umur
empat puluh empat justru karena keberhasilannya yang gemilang dalam
pertempuran. Sampai 1965 ia sudah mengabdi dalam ketentaraan selama
dua puluh tahun, dari saat perang kemerdekaan, ketika ia menjadi terkenal
128
3. DOKUMEN SUPARDJO
dalam pertempuran di Jawa Barat melawan pasukan Belanda. Melawan
perkubuan Belanda yang seakan tak tertembus itu, ia menggunakan
variasi industrial modern dari taktik kuda Troya. Ia mencegat kereta
api, diam-diam menaikkan tiga ratus prajurit ke gerbong-gerbongnya,
dan selanjutnya mengejutkan pasukan Belanda yang jauh lebih besar
ketika kereta api itu lewat dekat kubu pertahanan mereka.9 Belakangan,
sebagai komandan distrik militer di Jawa Barat pada akhir 1950-an dan
awal 1960-an, ia memainkan peranan sangat penting dalam perang
pengikisan pemberontakan gerakan Darul Islam. Ia juga belajar teori
peperangan, setelah menghabiskan satu tahun di sekolah staf tentara
Pakistan di Quetta, tempat ia menulis naskah tentang perang gerilya.10
Berbicara tentang masalah-masalah kemiliteran, jenderal bertubuh
ramping berkumis tipis inilah ahlinya.
Supardjo menulis analisis tentang Gerakan 30 September ketika
ia dalam pengejaran. Hidupnya di ambang kehancuran: G-30-S telah
ambruk; pangkatnya dilucuti dan ia dipecat dari ketentaraan; ia dipisahkan
dari istri dan sembilan anak-anaknya (yang terus-menerus berada
di bawah pengawasan); kawan-kawannya sesama konspirator, seperti
Untung, telah disidang dan dijatuhi hukuman mati. Angkatan Darat
memburu Supardjo ke seluruh penjuru negeri. Namun terlepas dari
hal-hal yang tentu sangat mengecewakannya, ia telah menuliskan tentang
G-30-S tanpa rasa dengki atau dendam.
Karena dokumen ini tidak bertanggal, kita hanya dapat mendugaduga
kapan waktu penyusunannya. Supardjo menulis analisis ini setidaktidaknya
satu bulan sesudah peristiwa; dia menyebutkan bahwa sepucuk
surat yang ditulisnya untuk Sukarno pada awal Oktober 1965 baru dikirim
satu bulan kemudian. Kita dapat menduga bahwa ia menulis analisisnya
untuk kepentingan Sudisman, yang, sebagai anggota senior inti Politbiro
PKI yang masih hidup, mengambil tanggung jawab pada 1966 dengan
menulis kritik terhadap kebijakan PKI sebelumnya. Supardjo mencatat
pada alinea pertama bahwa analisisnya dimaksudkan untuk membantu
“kawan pimpinan” dalam mengembangkan “analisa secara menyeluruh”
tentang G-30-S. Kritik Politbiro diumumkan pada September 1966,
sehingga analisis Supardjo kemungkinan ditulis sebelumnya.11
Selama tanya jawab di persidangannya di Mahmilub, Supardjo
mengakui telah menyampaikan kritiknya tentang G-30-S secara lisan
129
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
kepada pimpinan partai yang lain, yaitu Soejono Pradigdo, dalam
September 1966 dan bertemu Sudisman satu bulan sesudah itu melalui
perantaraan Pradigdo. Hakim Ketua menanyai Supardjo dua kali pada
hari terakhir tanya jawab apakah ia pernah menulis “analisa tentang
kegagalan G-30-S” dan apakah Sudisman meminta kepadanya agar
menulis “semacam otokritik.” Supardjo menjawab singkat tidak.12 Tidak
ada alasan untuk memercayai baik kronologi Supardjo bertemu Sudisman
maupun pengingkaran Supardjo bahwa ia telah menulis dokumen
semacam itu. Sepanjang tanya jawab dalam persidangan jawaban-jawaban
Supardjo, wajar saja, selalu singkat dan terkadang mengelak. Jawabanjawaban
Supardjo terutama menjadi berbelit-belit saat ia ditanya tentang
hubungannya dengan PKI.
Penyangkalan Supardjo terhadap dokumen itu dapat dipahami
karena pada alinea-alinea tertentu bersifat sangat memberatkan. Soal
yang belum terjawab adalah mengapa para hakim dan penuntut umum
Mahmilub memutuskan untuk tidak mengajukan dokumen itu sebagai
bukti dan dengan demikian membuat keberadaannya diketahui umum,
terutama karena dokumen itu memperlihatkan bahwa Supardjo menaruh
simpati kepada PKI dan Sjam memegang peranan memimpin dalam
G-30-S. Para hakim tidak meneruskan bertanya kepada Supardjo tentang
dokumen itu dan tidak mengungkapkan kepada publik bahwa majelis
hakim mempunyainya.13 Barangkali mereka berpendapat hal itu akan
membikin ruwet alur kisah mereka sehingga akan membuka serangkaian
pertanyaan yang sama sekali baru. Barangkali mereka mewaspadai
dampak yang akan timbul dari dokumen tersebut bagi para aktivis PKI
yang masih berjuang melawan tentara Suharto. Supardjo menulis analisisnya
untuk membantu mereka belajar dari kesalahan-kesalahan mereka.
Karena sidang-sidang Mahmilub dimaksudkan sebagai pertunjukan dan
bukan untuk mencari kebenaran peristiwa, maka kita tidak perlu terlalu
heran jika penuntut umum tidak menggunakan dokumen itu untuk
mengajukan perkara mereka. Putusan sudah ditetapkan sebelumnya;
mereka hanya perlu bergerak mengikuti arus. Lebih dari itu, mahkamah
militer tidak mengikuti aturan-aturan pembuktian yang ketat; para hakim
mungkin sudah membaca dokumen ini secara pribadi dan tidak harus
memasukkannya ke dalam berkas pengadilan agar ia menjadi bagian dari
pertimbangan mereka – jika memang ada pertimbangan yang dibuat.
130
3. DOKUMEN SUPARDJO
Para penuntut umum dan hakim memutuskan bukti-bukti apa yang
akan muncul di persidangan berdasarkan pertimbangan tentang kegunaannya
bagi pendapat umum. Rezim Suharto tidak pernah menghendaki
masyarakat Indonesia mengkaji peristiwa-peristiwa awal Oktober
1965 dengan kepala dingin dan rasional. Tentara Suharto mengobarkan
kampanye pengejaran secara histeris terhadap PKI dan kemudian
menciptakan undang-undang antikomunis yang ganjil, yang berlaku
begitu jauh sehingga mendiskriminasi anak cucu orang-orang yang dicap
PKI oleh pemerintah. Baru pada 1994 rezim ini mengeluarkan buku
putih tentang G-30-S, untuk meyakinkan masyarakat Indonesia melalui
argumentasi yang rasional bahwa PKI telah memimpin G-30-S, dan,
meskipun begitu, yang diterbitkan adalah campur aduk yang absurd
dari pernyataan-pernyataan yang belum dibuktikan kebenarannya dan
tidak ada rujukannya.14
Sedikit sekali keraguan terhadap otentisitas dokumen Supardjo,
walaupun ia sendiri menyangkalnya. Naskah ini terlalu rumit untuk
dipalsukan. Usaha militer untuk memalsu – pengakuan Aidit dan Njono
– sungguh-sungguh kasar. Selain itu, agen-agen intelijen militer tidak
akan berusaha begitu keras menyusun dokumen yang demikian ruwet lalu
tidak menggunakannya sama sekali. Baik Letnan Kolonel Heru Atmodjo,
yang dipenjarakan bersama Supardjo, maupun putra Supardjo, Sugiarto,
telah memastikan bahwa Supardjo memang menulis dokumen itu.
KEPEMIMPINAN G-30-S
Walaupun Supardjo mengamati G-30-S dari dekat, ia mengaku bahwa ia
sendiri pun bingung siapa sebenarnya yang memimpin G-30-S. Gerakan
ini, yang mengabaikan prinsip-prinsip baku organisasi kemiliteran,
tidak memiliki komandan tunggal secara keseluruhan yang memberikan
perintah dalam rantai komando yang jelas. Kerja sama antara kelompok
PKI (Sjam dan Pono) dengan kelompok militer (Untung, Latief, dan
Soejono) tersusun sangat longgar, sehingga dua kelompok tersebut
terus-menerus berdebat tentang apa yang harus dilakukan, bahkan
pada saat-saat kritis ketika keputusan harus segera diambil. Supardjo,
sang insan militer, menjadi frustrasi karena tidak dapat menetapkan
131
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
siapa sebenarnya yang memegang kewenangan terakhir. Melukiskan
hari terakhir, 2 Oktober 1965, ketika mereka dikepung dan pasukan
Suharto semakin mendekat, Supardjo menulis, “Apa yang terjadi pada
waktu itu adalah suatu debat, atau diskusi yang langiradis [langdradig, tak
berujung pangkal], sehingga kita bingung melihatnya, siapa sebetulnya
komandan, kawan Sjamkah, kawan Untungkah, kawan Latifkah atau
Pak Djojo [Mayor Soejono]?”
Dalam pikiran Supardjo calon-calon untuk kedudukan pimpinan
semestinya Untung atau Sjam, “Seharusnya operasi berada di satu tangan.
Karena yang menonjol pada waktu itu adalah gerakan militer, maka
sebaiknya komando pertempuran diserahkan saja pada kawan Untung,
dan kawan Sjam bertindak sebagai komisaris politik. Atau sebaliknya,
kawan Sjam memegang komando tunggal sepenuhnya.” Supardjo benarbenar
merasa sangat terganggu oleh masalah kepemimpinan ini. Ia kembali
mempersoalkan hal ini dalam bagian belakang analisisnya, “Pertama, perlu
ditentukan siapa komandan yang langsung memimpin aksi (kampanye),
kawan Sjamkah atau kawan Untung. Kemudian pembantu-pembantunya
atau stafnya dibagi.” Jelas Sjam memainkan peranan sangat penting
di dalam kelompok inti jika Supardjo memandangnya setara dengan
Untung selaku pimpinan nominal G-30-S. Walaupun nama Untung
di depan umum ditempatkan sebagai komandan (dalam pernyataan
pertama yang dibacakan di radio), tampaklah bahwa Sjam yang namanya
tidak disiarkan itu setidak-tidaknya mempunyai bobot yang sama dalam
proses pengambilan keputusan pada saat aksi dimulai.
Bukannya rantai komando, G-30-S justru menciptakan apa yang
Supardjo namakan baris. Perkataan yang dipakainya ialah sjaf, mengingatkan
pada baris-baris seperti orang shalat di masjid. Supardjo melihat
ada tiga baris: “a) Kelompok Ketua, b) Kelompok Sjam cs., c) Kelompok
Untung cs.” Dengan “Kelompok Sjam cs.,” rupanya Supardjo bermaksud
menyebut kelompok Biro Chusus: Sjam, Pono, dan Bono. Dengan
“Kelompok Untung cs.,” agaknya yang ia maksud ialah para perwira
militer Untung, Latief, dan Soejono. Kelompok pertama, “Kelompok
Ketua,” tidak dikenali melalui nama-nama orang, seperti dua kelompok
lainnya. Walaupun Supardjo secara tidak langsung menyatakan, bahwa
tiga kelompok ini bukan merupakan satu garis komando yang ketat
(turun dari a ke b ke c), istilah “Kelompok Ketua” benar-benar memberi
132
3. DOKUMEN SUPARDJO
kesan bahwa kelompok ini bagaimana pun ada di atas dua kelompok
lainnya. Siapakah yang ada di atas Sjam dan Untung? Pada akhir dokumen
jawaban pertanyaan itu menjadi jelas. Belakangan Supardjo menyatakan
bahwa Kelompok Ketua ialah pimpinan PKI: G-30-S merupakan
“operasi yang langsung dipimpin oleh partai.” Supardjo menempatkan
orang-orang Biro Chusus pada urutan kedua karena mereka berfungsi
sebagai pasak penyambung antara pimpinan PKI dan personil militer.
Walaupun barangkali Sjam berbagi komando dengan Untung pada hari
aksi dimulai, sebenarnya ia tetap berdiri di atas Untung karena ia bagian
dari “partai” yang merupakan pimpinan G-30-S sebenarnya.
Kita hendaknya tidak beranggapan bahwa Supardjo mempunyai pengetahuan
langsung dan rinci tentang keterlibatan partai dalam gerakan
ini. Karena kontaknya dengan PKI hanya melalui Sjam, maka pendapat
Supardjo bahwa “partai” memimpin G-30-S pastilah didasarkan atas penyimpulan
saja. Mengamati Sjam memainkan peranan memimpin dalam
G-30-S dan meyakini bahwa Sjam bertindak atas perintah petinggipetinggi
PKI, Supardjo menyimpulkan bahwa “partai” adalah pimpinan
sebenarnya. Setidak-tidaknya ia me-ngetahui bahwa Aidit ada di Halim
dan bahwa Sjam berunding dengan Aidit ketika aksi dilakukan. (Supardjo
bertemu Dani pada 1 Oktober malam hari untuk minta pesawat terbang
AURI untuk melarikan Aidit ke Jawa Tengah). Namun, Supardjo tidak
mungkin mengetahui siapa lagi, jika pun memang ada, orang partai yang
terlibat. Tidak sepatah kata pun dalam dokumen itu yang menyatakan
bahwa Supardjo mengetahui peranan masing-masing yang dimainkan
oleh Aidit, Politbiro, dan Comite Central. Sebagai seorang tentara, ia
tidak akan mempunyai pengetahuan sedikit pun tentang proses pengambilan
keputusan di dalam partai. Ketika Supardjo bicara tentang “partai,”
hendaknya kita tidak memahaminya seakan-akan ia tahu dengan pasti
bahwa pimpinan partai secara keseluruhan telah merancang G-30-S, alihalih
mendukung atau mengetahui tentangnya. Bagi Supardjo, “partai”
ialah kependekan dari Aidit dan tokoh-tokoh lain tak dikenal di atas
Sjam. Dakwaan Supardjo bahwa “partai” memimpin G-30-S tidak
membuktikan bahwa PKI bertanggung jawab sebagai satu lembaga. Ia
mungkin hanya bisa tahu dengan pasti bahwa Sjam memimpin G-30-S
dan dengan satu atau lain cara juga bekerja sama dengan Aidit.
Menurut penglihatan Supardjo, Sjam adalah penghubung antara
133
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
Kelompok Ketua dan para perwira militer yang menyediakan dirinya
untuk melayani partai. Dengan demikian Sjam mempunyai wewenang
lebih besar di dalam G-30-S dibanding para perwira tersebut. Mengingat
pernyataan Supardjo, kesaksian Sjam tentang hal ini mungkin sekali
benar, “Dalam G-30-S ini saja pegang pimpinan politiknja dan sdr
Untung pegang pimpinan militernja, tetapi pimpinan militer ini dibawah
pimpinan politik. Djadi segala kejadian jang terjadi dalam G-30-S adalah
saja jang bertanggung djawab.”15
Dalam persidangannya Supardjo mengakui bahwa ia menjadi
terlibat di dalam G-30-S karena hubungannya dengan Sjam. Ia bertemu
Sjam pertama kali, dikatakannya, pada 1965 dan kadang-kadang menggunakannya
sebagai sumber intelijen militer. Bagi Supardjo, Sjam adalah
orang yang memiliki banyak koneksi dan informasi melimpah tentang
soal-soal politik dan militer. Ia mengenal Sjam baik sebagai “wakil” PKI
dan sebagai “intel tentara” yang mempunyai kartu identitas tentara.16
Ketika Supardjo terbang ke Jakarta dari front Malaysia pada 28 September
1965, ia langsung menuju ke rumah Sjam hanya beberapa jam sesudah
mendarat. Ia mengunjungi Sjam lagi malam berikut dan berdiskusi
dengannya tentang aksi yang akan datang. Pada 30 September malam,
Supardjo pergi lagi ke rumah Sjam dan berangkat bersama dengannya ke
pangkalan AURI di Halim untuk memulai aksi. Supardjo tidak banyak
dikenal, kalau bukan sama sekali tidak dikenal, oleh para perwira lain
dalam G-30-S seperti misalnya Untung dan Latief.
Dalam analisis postmortem-nya Supardjo menjelaskan bahwa ia
bersedia bergabung dengan G-30-S karena ia berpikir partai mengetahui
apa yang sedang terjadi. Ketika itu PKI mempunyai nama baik
karena disiplin yang tinggi dan terorganisasi secara ketat. Bagaimana
pun juga, PKI merupakan organisasi raksasa dengan jutaan anggota
di seluruh negeri, dari para menteri dalam kabinet Sukarno sampai ke
petani buta huruf di desa-desa terpencil yang tidak mudah dicapai, dan
mampu menjalankan kegiatan-kegiatan yang keragamannya mengesankan.
PKI menyelenggarakan sekolah-sekolahnya sendiri, menerbitkan
surat kabar-surat kabar, mementaskan pertunjukan kesenian. Banyak
ilmuwan sukar mengerti mengapa PKI mengorganisasi G-30-S justru
karena gerakan itu merupakan operasi yang sedemikian semrawut dan
amatiran. Supardjo menduga bahwa partai mempunyai penglihatan yang
134
3. DOKUMEN SUPARDJO
lebih jauh ketimbang dirinya dan telah merancang sebuah rencana brilian
yang tak mungkin salah. Ia mengakui sungguh merupakan kekeliruan
yang sangat besar di pihaknya karena telah “menilai kemampuan kawan
pimpinan operasi terlalu tinggi.” Ketika ia bergabung dengan G-30-S,
ia mempunyai kepercayaan penuh terhadap “pimpinan” kendati ia ragu
terhadap kemungkinan gerakan tersebut akan berhasil, “Meskipun faktafakta
nyata tidak logis. Tetapi percaya bahwa pimpinan pasti mempunyai
perhitungan yang ulung, yang akan dikeluarkan pada waktunya. Sesuatu
keajaiban pasti akan diperlihatkan nanti, sebab pimpinan operasi selalu
bersemboyan: ‘Sudah kita mulai saja, dan selanjutnya nanti jalan
sendiri.’”
Penjelasan Supardjo tentang kesediaannya mengikuti G-30-S
mungkin dapat memberi petunjuk tentang alasan mengapa para perwira
militer lain, seperti Untung, Latief dan Soejono, juga bersedia ikut.
Supardjo mengatakan bahwa para perwira militer itu sangat meragukan
keberhasilan rencana yang diajukan Sjam dan sekurang-kurangnya ada
satu orang yang memutuskan untuk menarik diri.17 Perwira-perwira
seperti Supardjo bertahan, kendati ragu, hanya karena mereka percaya
kepada kebijaksanaan kepemimpinan sebuah partai yang telah sangat
berhasil dalam mengorganisasi jutaan rakyat.
Kebimbangan para pimpinan inti pada hari dimulainya aksi
tampaknya merupakan akibat dari ambiguitas dalam peranan mereka
masing-masing. Supardjo menampilkan G-30-S sebagai sesuatu yang
sejak awal telah terjangkiti ketidakajegan di dalam tubuhnya. Di satu
pihak, Sjam adalah pimpinan keseluruhan yang mendorong para perwira
militer bergabung dengan jaminan akan berhasil; oleh karenanya para
perwira itu tunduk kepada kepemimpinannya. Di pihak lain Sjam, karena
telah memulai operasi, bergantung kepada para perwira militer untuk
pelaksanaan operasi itu. Ia harus pasrah kepada mereka sementara operasi
berjalan karena ia seorang sipil yang tidak dapat memimpin pasukan.
Supardjo, walaupun sadar bahwa Sjam adalah pimpinan, bingung melihat
pengambilan keputusan dalam kelompok inti dan terpaksa bertanya,
“Siapa sebetulnya komandan?”
Nama-nama para wakil komandan yang diumumkan melalui radio
tidak ada hubungannya dengan rantai komando yang sebenarnya. Empat
orang yang tersebut dalam daftar nama itu semuanya tidak mempunyai
135
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
kewenangan dalam G-30-S. Supardjo, yang tersebut di urutan pertama,
tidak memimpin satu pasukan pun dalam aksi ini. (Ia mengakui dalam
analisisnya bahwa pada hari terakhir ia minta agar diberi kewenangan
mengomando sisa-sisa pasukan G-30-S tapi ia tak pernah menerima
jawaban tegas dari Sjam dan Untung). Dalam kesaksiannya di ruang
sidang Supardjo menyangkal bahwa ia pernah diajak berunding tentang
daftar nama-nama wakil komandan; namanya “ditulis menurut kemauan
mereka sadja.”18 (Supardjo tidak menjelaskan siapa yang dimaksud
dengan “mereka” itu. Kita hanya dapat menduga-duga mungkin yang
dimaksud ialah Sjam dan Pono). Ketika saya mewawancarai perwira lain
yang tercantum dalam daftar sebagai wakil komandan, Letnan Kolonel
Heru Atmodjo, ia menyangkal bahwa ia tahu tentang daftar para wakil
komandan itu, apalagi ikut menandatanganinya. Ia menyatakan Sjam
dan Pono mencantumkan namanya dalam daftar dan belakangan, ketika
ia sudah di penjara, Pono minta maaf kepadanya karena telah mencantumkan
namanya tanpa minta izin.19 Sjam memerlukan nama empat
perwira, satu orang dari setiap angkatan di militer, untuk memperlihatkan
bahwa G-30-S mendapat dukungan luas di dalam angkatan bersenjata.
Simbolisme serupa ini lebih penting ketimbang sumbangan konkret
mereka bagi G-30-S. Barangkali Sjam menduga bahwa mereka akan
bahagia karena akan dikenal sebagai wakil komandan seandainya G-30-S
berhasil. Supardjo mencatat bahwa “pimpinan” (ini sekali lagi tentu saja
Sjam) mengatakan, “Ya, Bung, kalau mau revolusi banyak yang mundur,
tetapi kalau sudah menang, banyak yang mau ikut.”
Salah satu aspek paling menarik dalam analisis Supardjo ialah
pembedaan yang dibuatnya antara rencana semula dan rencana perbaikan.
Kesalahan “partai,” menurut Supardjo, adalah merebut rencana yang
sudah dibuat para perwira “demokrasi revolusioner” untuk menghadapi
kepemimpinan militer sayap kanan. Ia menyebut adanya rencana
semula yang terdiri atas dua tahap, dengan tahap pertama “hanya terbatas
gerakan didalam tubuh AD” dan “bersifat intern AD.” Tujuan tahap
pertama ini untuk menyingkirkan jenderal-jenderal Angkatan Darat yang
pro-Amerika dan tidak melibatkan PKI sama sekali. Para perwira militer
pendukung Sukarno itu sendiri yang harus melaksanakan tahap pertama
rencana ini. Di dalam proses yang tidak dijelaskan oleh Supardjo, rencana
tersebut ditinggalkan. Lalu terjadi “dipindahnya rencana operasi yang
136
3. DOKUMEN SUPARDJO
semula bersifat intern AD, menjadi operasi yang langsung dipimpin oleh
partai, sehingga menyebabkan terseretnya partai dan diobrak-abriknya
partai.” Mengikuti penjelasan tersebut, tampaklah bahwa Sjam dan
atasannya langsung, Aidit, menyadari adanya perwira-perwira “demokrasi
revolusioner” itu dan menunggu mereka untuk bergerak. Supardjo
tidak menjelaskan bagaimana, menurut ketentuan-ketentuan rencana
semula, para perwira ini harus “merebut pimpinan AD.” Barangkali
mereka bermaksud mengikuti rute administratif: mereka akan menekan
Sukarno untuk mengganti Yani dan Nasution dengan perwira-perwira
yang sungguh-sungguh setia terhadap kebijakan-kebijakannya, dan penggantian
ini akan mengalihkan atau menyingkirkan perwira-perwira yang
pro-Amerika. Atau barangkali para perwira “demokrasi revolusioner” itu
diharap akan mengikuti model putsch klasik dan menggunakan pasukan
mereka untuk “merebut kepemimpinan AD” secara paksa dengan caracara
serupa dengan yang ditempuh G-30-S. Supardjo tidak menjelaskan
siapa saja perwira-perwira yang terlibat dalam rencana semula ini.
Bahwa Supardjo keberatan dengan PKI mengambil alih apa yang
direncanakan sebagai operasi intern militer ditegaskan kepada saya oleh
Rewang, mantan anggota Politbiro CC-PKI, yang pernah berbincang
dengan Supardjo suatu saat di tahun 1967 ketika mereka berdua ditahan
di Rumah Tahanan Militer (RTM) di Jakarta. Supardjo mengatakan
kepada Rewang barangkali akan lebih baik seandainya PKI tidak “campur
tangan” dan membiarkan para perwira militer itu sendiri melawan Dewan
Jenderal.20
Menurut Supardjo, dalam tahap pertama rencana aslinya, front
kekuatan pro-Sukarno yang seluas-luasnya akan menumbangkan
jenderal-jenderal yang sudah berkomplot dengan Amerika Serikat dan
Inggris. Sekali tahap pertama ditunaikan dan Angkatan Darat sudah
ada di tangan perwira-perwira Sukarnois dan berhaluan kiri, PKI
akan mampu memobilisasi massanya tanpa perlu takut represi militer.
Demonstrasi-demonstrasi dan aksi-aksi PKI akan “dibayangi oleh militermiliter
yang progresif.” Jika tahap pertama revolusi merupakan gerakan
para perwira militer yang sepenuhnya nasionalis, tahap kedua akan
merupakan “gerakan PKI seluruhnya.” Supardjo tidak menyebut kapan
dan bagaimana tepatnya rencana asli ini ditinggalkan.
137
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
Dalam kesaksiannya di sidang pengadilan Supardjo menyatakan
bahwa ia dan para perwira militer lain berpikir tentang bagaimana
caranya melawan jenderal-jenderal yang anti-Sukarno. Ia menegaskan
bahwa ia dan Dani merencanakan bertemu presiden pada 3 Oktober
untuk membicarakan masalah Dewan Jenderal dengannya.21 Sukarno
sendiri khawatir terhadap kup Angkatan Darat pada pertengahan 1965.
Ia yakin bahwa CIA sedang bersiasat untuk menentangnya, terutama
sejak kedatangan Marshall Green sebagai Duta Besar Amerika Serikat
pada bulan Juli.22 Green adalah Duta Besar untuk Korea Selatan pada
1961 ketika Jenderal Park Chung Hee melancarkan kup terhadap pemerintahan
sipil Chang Myon dan menggantikannya dengan pemerintahan
junta militer.23 Kita dapat menduga bahwa kaum loyalis Sukarno di
kalangan militer sudah banyak berdiskusi tentang kemungkinan adanya
kup dan melontarkan banyak gagasan tentang bagaimana melawan
jenderal-jenderal Angkatan Darat sayap kanan. Bagi Supardjo G-30-S
berasal dari inisiatif partai (dari sudut Supardjo berarti Sjam). Partai
mencampuri rencana kalangan perwira pro-Sukarno yang hendak menghadapi
Dewan Jenderal itu sendiri.
Kesimpulan Supardjo dapat diandalkan: G-30-S gagal justru karena
gerakan ini dipimpin seorang sipil, Sjam, yang tahu sedikit sekali tentang
prosedur-prosedur kemiliteran yang tepat. Dengan menempatkan diri
sebagai orang yang berwenang atas sebuah aksi militer, Sjam menimbulkan
kekacauan tentang garis komando di dalam kelompok inti. Ia tidak
merumuskan dengan tepat sifat peranannya dan batas kewenangannya.
Para perwira mengabaikan perhitungan militer mereka yang ketat dan
menyerahkan kepercayaan mereka kepada Sjam karena ia menyatakan
bekerja atas nama partai politik yang kuat, terorganisasi baik, dan berpengetahuan
luas. Dengan campur tangan Sjam sifat militer G-30-S lalu
menjadi lemah.
RENCANA
Penggambaran Supardjo tentang pimpinan G-30-S yang tak bernama
itu bukanlah penggambaran yang bersifat menyanjung. Ia tokoh yang
keras kepala, angkuh, abai terhadap pembimbang, dan bersikeras melak138
3. DOKUMEN SUPARDJO
sanakan rencananya. Supardjo menulis, “Waktu diajukan pendapat,
apakah kekuatan yang ada dapat mengimbangi, maka jawaban dengan
nada menekan, bahwa bila mau revolusi sedikit yang turut, tetapi kalau
revolusi berhasil coba lihat nanti banyak yang turut.” Di saat lain dalam
proses persiapan mereka yang bimbang ditakut-takuti hingga terdiam.
Ketika seseorang (mungkin Supardjo sendiri) bertanya apa yang akan
dilakukan pimpinan jika tentara dari Jawa Barat, yang dekat dengan
Jakarta, melancarkan serangan balik, tanggapan yang diberikan tidak
menjawab pertanyaan, tapi hanya memerintahkan supaya orang tidak
kehilangan komitmennya, “Sudah, jangan pikir-pikir mundur!” Seakanakan
sekadar berpikir tentang rencana cadangan untuk menghadapi
keadaan darurat saja sudah dipandang sebagai ajakan untuk menyerah.
Supardjo menyebut bahwa keraguan akan loyalitas pasukan terhadap aksi
ini “ditutup dengan semboyan ‘apa boleh buat, kita tidak bisa mundur
lagi.’” Pimpinan begitu berseregang melancarkan aksi tersebut sehingga
tidak membolehkan orang bertanya, alih-alih mengkritik. Gertakan ini
sampai begitu jauh sehingga para pelaku gerakan di daerah-daerah yang
melapor kepada “pimpinan” di Jakarta merasa terpaksa harus menyatakan
bahwa mereka telah siap untuk melaksanakan aksi. Supardjo menulis,
“Waktu info-info masuk dari daerah-daerah, sebetulnya daerah belum
dalam keadaan siap sedia. … Di Bandung [belum] siap sepenuhnya tapi
untuk tidak repot-repot menghadapi pertanyaan-pertanyaan dijawab
saja ’Sudah beres.’” Mengingat pendapat Supardjo bahwa “partai” yang
memimpin G-30-S, pimpinan congkak yang tak bernama ini tentulah
Sjam.24
Mengikuti penuturan Supardjo, Biro Chusus mengelabui diri
sendiri dengan menganggap ambisinya sebagai pencapaian. Biro Chusus
percaya bahwa janji dukungan dari seorang perwira otomatis berarti
bahwa semua perwira dan prajurit bawahannya akan bergabung dalam
aksi ini. Dengan adanya tekanan agar menyenangkan hati pimpinan
yang suka menggertak, beberapa anggota Biro Chusus menjanjikan lebih
dari yang mampu mereka laksanakan. Pimpinan tidak pernah mempelajari
dengan teliti pasukan mana yang sebenarnya akan bisa bergabung.
Supardjo menulis, “Biasanya kalau ada 10 orang saja dalam satu peleton
yang sudah dapat kita hubungi, dilaporkan bahwa seluruh peletonnya
sudah kita (kawan). Kalau ada seorang dan yon yang kita hubungi, maka
139
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
ada kemungkinan bahwa seluruh batalyon itu sudah kawan.” Ulasan
Supardjo dapat dipercaya karena gerakan ini agaknya mengharapkan
partisipasi brigade Latief (yang terdiri dari tiga batalyon) atau sekurangkurangnya
sebagian darinya dan tentunya menjadi kecewa ketika ternyata
tidak lebih dari beberapa peleton saja yang muncul.
Ketika anggota-anggota Biro Chusus dari berbagai penjuru negeri
mengirim laporan yang menggembirakan, Sjam tampaknya menjadi yakin
bahwa G-30-S tidak mungkin gagal. Ia mendapat kesan bahwa tentara
di segenap penjuru negeri siap untuk sebuah pemberontakan. Supardjo
menyimpulkan bahwa G-30-S cenderung dirancang lebih sebagai sumbu
sebuah bom ketimbang bom itu sendiri. Aksi di Jakarta diharapkan
akan menyulut serangkaian aksi-aksi serupa di luar Jakarta. Gerakan 30
September tidak memikirkan keharusan mengoordinasi berbagai aksi itu
dengan cermat dan menyusun cetak biru secara rinci tentang bagaimana
gerakan itu harus diperluas. Supardjo menulis, “Strategi yang dianut
dalam gerakan keseluruhan adalah semacam strategi: ‘Bakar petasan.’
Cukup sumbunya yang dibakar di Jakarta dan selanjutnya mengharap
dengan sendirinya bahwa merconnya akan meledak di daerah-daerah.”
Pimpinan G-30-S tidak memeriksa sebelumnya apakah petasanpetasan
sudah siap meledak; mereka sekadar memercayai “suara-suara
yang belum diperiksa kebenarannya,” bahwa petasan-petasan tersebut
sudah siap. Pimpinan tidak membangun saluran-saluran komunikasi yang
jelas antara Jakarta dan daerah-daerah sehingga mereka dapat memastikan
bahwa daerah-daerah memang paham tentang rencana mereka. Sjam
tidak menggunakan telepon atau radio untuk menyampaikan instruksi
ke daerah-daerah; ia mengirim penghubung yang membawa instruksi
itu. Tidak semua penghubung tiba di tempat tujuan tepat waktu, “Masih
banyak penghubung-penghubung belum sampai di daerah-daerah yang
dituju dan peristiwa sudah meletus (kurir yang ke Palembang baru sampai
di Tanjung Karang).” Keputusan untuk memulai aksi pada 1 Oktober
agaknya baru ditetapkan satu hari sebelumnya. Untuk kurir-kurir yang
bergantung pada bis, kereta api, dan feri antarpulau untuk menempuh
jarak yang jauh waktu satu hari tentu saja tidak cukup.
Pembahasan Supardjo tentang “teori sumbu” terasa mendua. Kadang
kala tampak seakan ia berbicara tentang mercon sebagai pemberontakan
kaum sipil. Dalam salah satu bagian ia menggunakan istilah pemberontakan
140
3. DOKUMEN SUPARDJO
rakyat, “Saya berpendapat, bahwa strategi kawan pimpinan adalah strategi
menyundut sumbu petasan di ibu kota, dan diharapkan mercon yang
akan meledak dengan sendirinya, yang berupa pemberontakan Rakyat
dan perlawanan di daerah-daerah setelah mendengar isyarat tersebut.”
Mengingat kutipan ini tertera pada alinea tentang kekuatan pasukan,
mungkin sekali Supardjo sedang memikirkan masalah “pemberontakan
rakyat dan perlawanan” oleh pasukan tentara, bukan orang-orang sipil.
Suatu “pemberontakan rakyat” akan berarti suatu pemberontakan oleh
pasukan berpandangan progresif yang akan membangkitkan massa di
belakang mereka. Kalimat berikutnya menjelaskan tentang konsekuensi
dari strategi menyulut sumbu ini: Pimpinan gerakan “tidak bekerja
dengan perhitungan kekuatan yang sudah kongkrit.” Maka kelihatannya
yang dirujuk Supardjo ke petasan ialah pasukan militer bukan sipil.
Jika kita harus memercayai kesaksian Sjam di ruang pengadilan, ia
memperhitungkan G-30-S akan mempunyai enam batalyon: satu dari
brigade Latief, satu dari pasukan kawal istana Untung, satu dari pasukan
AURI Soejono, satu dari Jawa Tengah, satu dari Jawa Timur, dan satu
terdiri atas orang-orang sipil dari PKI dan organisasi-organisasi yang
berafi liasi dengan PKI.25 Patut diragukan, apakah enam batalyon akan
memadai, apalagi ternyata hanya lima batalyon yang terdiri atas pasukan
konkret dan tak satu pun melibatkan pasukan dengan kendaraan berlapis
baja (dalam kesaksiannya Sjam tidak menyebut tentang tidak adanya
tank). Pada saat aksi berlangsung G-30-S tidak dapat mengerahkan
seluruh batalyon. Gerakan ini hanya mempunyai sebagian dari kompikompi
Untung dan sebagian kecil dari pasukan Latief. Kecuali satu kompi
yang dikirim ke Gambir, batalyon sukarelawan sipil sepanjang hari hanya
bersiap siaga saja. Pasukan Soejono tetap di pangkalan udara Halim dan
memberikan sedikit bantuan yang berarti kepada G-30-S selain memasok
senjata dan amunisi.
Walaupun para penggerak G-30-S memperhitungkan mereka
akan memperoleh pasukan lebih banyak dari yang kemudian muncul di
Lubang Buaya pada malam hari 30 September, mereka tidak terlalu peduli
terhadap kekuatan pasukan. Mereka tidak berpikir mereka memerlukan
kekuatan yang mencengangkan untuk menguasai ibu kota. Dalam dokumennya
Supardjo mengakui ia dapat menerbangkan tiga batalyon dari
Kalimantan. Prajurit-prajurit ini, yang berjumlah kira-kira 2.500 orang,
141
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
akan dapat menambah kekuatan pasukan G-30-S sekitar seratus persen.
Gerakan 30 September berlangsung tanpa pasukan Supardjo. Barangkali
para pimpinan berpikir bahwa gerak pasukan sedemikian besar-besaran
dari Kalimantan ke Jakarta hanya akan menarik perhatian yang tidak semestinya.
Namun, tampaknya Supardjo berpendapat bahwa pasukannya
dapat diterbangkan sesudah aksi berjalan. Jika G-30-S mampu tetap
berlawan dan tidak tumbang begitu cepat, gerakan ini akan beroleh
kesempatan untuk menambah pasukannya secara substansial.
Supardjo juga mengemukakan bahwa para penggerak G-30-S
tidak mempunyai rencana cadangan seandainya mengalami kekalahan.
Mereka tidak mempertimbangkan aksi ini dengan cukup cermat untuk
menangkap titik-titik lemahnya dan bagaimana ia bisa gagal. Tidak ada
rencana B. Supardjo merasa ia harus mengajar anggota-anggota pimpinan
partai yang masih hidup dengan pelajaran dasar kemiliteran, “Menurut
lajimnya dalam operasi-operasi militer, maka kita sudah memikirkan kemunduran
waktu kita maju dan menang, dan sudah memikirkan gerakan
maju menyerang, waktu kita dipukul mundur. Hal demikian, maksud
kami persoalan mundur dalam peperangan bukanlah persoalan hina,
tetapi adalah prosedur biasa pada setiap peperangan atau kampanye.”
Sjam, yang agaknya menjadi sasaran kritik Supardjo, begitu lalai sehingga
tidak membikin “gambaran pertempuran (picture of the battle)” untuk
mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan tak terduga.
Secara tidak langsung Supardjo menyatakan Sjam berpikir bahwa sekadar
menimbang langkah mundur saja sudah merupakan pertanda kelemahan
yang memalukan. Dengan bergegas menyerbu ke medan pertempuran
Sjam mengikuti semangat Napoleon “on s’engage et puis on voit” (seseorang
menerjunkan diri lalu melihat apa yang terjadi), tapi tidak memiliki
kecerdikan legendaris sang jenderal dan, tentu saja, legiun prajuritnya
yang terlatih dan terorganisasi dengan baik.
Bukan saja tidak ada rencana B, tapi rencana A pun tidak sepenuhnya
dipersiapkan. Dalam sebuah alinea sangat penting Supardjo menulis,
“Rencana operasinya ternyata tidak jelas. Terlalu dangkal. Titik berat
hanya pada pengambilan 7 jendral. Bagaimana kemudian bila berhasil,
tidak jelas, atau bagaimana kalau gagal juga tidak jelas.” Supardjo menambahkan,
“Karena tidak ada uraian yang jelas bagaimana aksi itu akan
dilaksanakan maka terdapat kurang kesepakatan tentang gerakan itu
142
3. DOKUMEN SUPARDJO
sendiri di kalangan kawan-kawan perwira di dalam Angkatan Darat.”
Banyak kritik Supardjo terhadap G-30-S didasarkan pada paradigma
tentang operasi militer yang semestinya: harus ada garis komando yang
jelas, hirarki personil demi pembagian kerja yang efektif, agenda yang
rinci tentang bagaimana aksi akan berjalan dari awal sampai akhir, dan
perencanaan serba kemungkinan yang teliti termasuk skenario alternatif
dan rencana mundur. Supardjo mengaitkan kegagalan G-30-S untuk
menyusun rencana yang berhasil guna dengan kecongkakan pimpinan,
maksudnya terutama Sjam. Congkak, bersikeras untuk terus maju,
menutup telinga terhadap kritik, Sjam meyakinkan dirinya sendiri bahwa
aksi itu tak mungkin gagal.
PELAKSANAAN RENCANA
Ketiadaan perencanaan yang seksama dan ketakacuhan pimpinan pada
prosedur kemiliteran berakibat terhadap kinerja yang luar biasa serampangan.
Jika seseorang membuat fi lm berdasarkan analisis Supardjo,
karyanya tidak akan terlihat seperti film pesanan rezim Suharto,
Pengkhianatan G30S/PKI. Film itu melukiskan para organisator
G-30-S sebagai sekumpulan konspirator-konspirator licik yang kejam,
yang merencanakan setiap gerak-geriknya sampai seluk-beluk terakhir.
Analisis Supardjo mengungkapkan bahwa para konspirator itu sama
sekali gelagapan, bimbang, dan berantakan. Bukannya tampil sebagai
penjahat-penjahat yang panjang akal dalam tradisi fi lm spionase, mereka
lebih seperti pemain-pemain amatir canggung yang, dengan langgam
tragis, memainkan komedi kesalahan. Bagi Supardjo G-30-S pada
pokoknya menghancurkan dirinya sendiri dan harus menjadi bahan
studi kasus tentang bagaimana suatu operasi militer seharusnya tidak
dilaksanakan.
Tujuan operasi militer yang sangat terbatas itu tidak sepenuhnya
tercapai. “Titik berat seluruh strategi,” sebagaimana dilukiskan Supardjo,
ialah menculik tujuh jenderal. Ini gagal karena persiapan yang terburuburu.
Di Lubang Buaya pada pagi buta 1 Oktober, Supardjo dikejutkan
oleh kekacau-balauan. Bahkan sampai tahap yang demikian lanjut pun
“hal yang penting belum terselesaikan.” Sandi belum diputuskan, amunisi
143
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
belum datang, dan pasukan Angkatan Udara datang terlambat. Para
prajurit dan pemuda sipil secara serampangan dibagi ke dalam satuansatuan
penculikan, “Penentuan dari peleton-peleton yang diharuskan
untuk tiap-tiap sasaran, tidak dilakukan dengan teliti. Misalnya, terjadi
bahwa sasaran utama [kemungkinan Nasution] mula-mula diserahkan
pelaksanaannya kepada peleton dari pemuda-pemuda yang baru saja
memegang bedil, kemudian diganti dengan peleton lain dari tentara,
tetapi ini pun bukan pasukan yang secara mental telah dipersiapkan
untuk tugas-tugas khusus.” Regu yang dikirim untuk menculik Nasution
dipimpin oleh seorang prajurit, padahal enam regu lainnya semuanya
dipimpin seorang kopral, sersan, atau letnan. Pimpinan gerakan mengetahui
bahwa menculik Nasution dan Yani akan menjadi tugas tersulit
karena kedua jenderal ini mempunyai pengawal bersenjata yang ditempatkan
di depan kediaman mereka. Itulah sebabnya regu penculikan
Nasution dan Yani secara substansial lebih besar ketimbang regu-regu
lain; sekitar seratus orang dikirim dalam empat truk untuk menangkap
Nasution, dibandingkan dengan hanya sembilan belas orang untuk
Suprapto. Prajurit-prajurit yang paling berpengalaman dan berbakat tidak
ditugasi untuk memimpin regu-regu dengan prioritas utama. Nasution
lolos, dan Yani ditembak di rumahnya.
Supardjo tidak menjelaskan apa sasaran G-30-S, tapi orang menduga
untuk menangkap hidup-hidup para jenderal tersebut. Regu-regu penculikan
menggunakan kekerasan hanya ketika menghadapi perlawanan, dan
sekalipun begitu mereka agaknya tidak bermaksud untuk membunuh
jenderal-jenderal itu. Seorang prajurit yang ikut dalam penculikan, Sersan
Mayor Bungkus dari pasukan kawal istana, menceritakan kepada saya,
ia menduga rencana semula ialah untuk menghadapkan para jenderal
kepada Sukarno. Rencana itu harus ditinggalkan karena tiga jenderal
mengalami luka berat atau tewas. Gerakan 30 September tidak mungkin
menyeret tiga tubuh berdarah-darah ke hadapan presiden. Begitu rencana
semula gagal, tiga jenderal lainnya yang masih hidup dianggap tanpa guna.
Pada saat itu salah seorang dalam gerakan memutuskan bahwa pilihan
yang terbaik ialah membunuh semuanya, termasuk juga letnan yang
menjadi sasaran salah ambil, dan kemudian menyembunyikan mayatmayat
mereka. Namun begitu mungkin juga G-30-S tidak bermaksud
menghadapkan jenderal-jenderal itu kepada Sukarno. Bungkus juga
144
3. DOKUMEN SUPARDJO
mengatakan, pada saat pemberian arahan pasukan diberi tahu bahwa
jenderal-jenderal itu akan melancarkan kup sehingga mereka tidak boleh
dibiarkan lolos dari penangkapan.26
Kesalahan besar yang lain, menurut Supardjo, adalah G-30-S tidak
mengambil keuntungan dari sebagian besar pasukannya. Kompi-kompi
dalam batalyon-batalyon dari Jawa Tengah dan Timur tidak ditugasi
untuk mencapai tujuan strategis apa pun dan akhirnya menjadi satuansatuan
penghias yang sia-sia. Sebagian besar ditugasi menjaga istana
presiden yang kosong. Mereka menganggur saja di tengah lapangan depan
istana sampai sore hari. Para penggerak G-30-S barangkali mengetahui
bahwa Sukarno tidak ada di istana setidaknya pada pukul 9.30 pagi,
ketika Supardjo kembali ke Halim dengan helikopter dari istana. Tapi dua
batalyon itu tidak diberi tugas yang berbeda. Memang tampaknya sejak
awal pimpinan tidak mempunyai tujuan khusus bagi mereka. Seperti
yang digambarkan Supardjo tentang rencana itu, “Satu batalyon diperkirakan
dari Jateng dapat digunakan, dan satu batalyon dari Jatim bisa
digunakan sebagai fi guran.” Rupa-rupanya tugas mereka sekadar untuk
memengaruhi masyarakat dengan dampak psikologis karena melihat
adanya pasukan-pasukan yang menduduki pusat kekuasaan negara.
Sebagai seorang ahli siasat yang berpengalaman, Supardjo tidak
menyalahkan G-30-S karena mempunyai pasukan terlalu kecil. Ia tahu
kekuatan pasukan bukan faktor mahapenting dalam menentukan kemenangan
atau kekalahan. Penempatan pasukan yang tepat, kecepatan
bergerak, dan unsur pendadakan dapat mengimbangi kurangnya jumlah
pasukan. Ia menulis bahwa “satu batalyon yang panik akan dapat dikuasai
oleh hanya kekuatan satu regu saja.” Ia percaya bahwa G-30-S tidak
memerlukan jumlah pasukan yang besar, tapi cukup penggunaan pasukan
secara bijaksana.
Sebagaimana G-30-S tidak mengambil keuntungan penuh dari
pasukan yang ada di bawah komandonya, aksi ini juga tidak mengambil
keuntungan dari stasiun radio. Supardjo mengenal nilai komunikasi
radio dalam pelaksanaan kekuasaan. Penguasaan atas pemancar-pemancar
radio nasional “dapat disamakan dengan puluhan divisi tentara.” Tapi
G-30-S menggunakan radio hanya “untuk membacakan beberapa pengumuman
saja.” Supardjo berpendapat bahwa sesuatu aksi yang diorganisasi
dengan seksama harus menyiapkan arus propaganda terus-menerus
145
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
dan harus menjelaskan tujuannya dengan rinci dan teliti. Masyarakat
hampir tidak dapat memahami, apalagi mendukung, G-30-S berdasarkan
pengumuman-pengumuman singkat yang membingungkan. Supardjo
mengemukakan kekurangan ini namun tidak memberi penjelasan mengenainya.
Bahwa G-30-S menyia-nyiakan kekuatan yang sudah dimilikinya
itu satu masalah. Masalah lain ialah bahwa kekuatan G-30-S sejak
awal rentan. Gerakan ini tidak menguasai pasukan yang mengerti dan
mendukung tujuannya. Cukup mengejutkan, dari semua pasukan yang
terlibat, Supardjo melihat hanya satu kompi saja yang secara ideologis
setia kepada G-30-S, “Waktu dihitung-hitung kembali kekuatan yang
bisa diandalkan hanya satu kompi dari Cakrabirawa.” Adapun pasukanpasukan
lain, seperti misalnya dari garnisun Jakarta (di bawah Latief) dan
dari AURI (di bawah Soejono), sekadar mengikuti arahan dari perwiraperwira
komandan mereka dan memiliki sedikit saja atau tidak sama
sekali kesetiaan pribadi kepada gerakan ini. Para perwira dari Batalyon
530, yang menghabiskan hari berpangku tangan di depan istana, setuju
menyeberang saat lepas tengah hari dengan membawa seluruh batalyonnya
masuk markas Kostrad, di sisi timur Lapangan Merdeka.
Desersi Batalyon 530 itu bukan hanya sebagai akibat kurangnya
kesetiaan ideologis kepada pihak para perwira dan prajurit, tetapi juga
sebagai akibat tidak adanya ransum makan untuk mereka. Bukan lagi
rahasia bahwa pasukan ini berpaling ke markas Kostrad saat mereka
kelaparan. Sejak ditempatkan untuk menjaga istana pada pagi buta,
pasukan tidak diberi sarapan atau makan siang. Supardjo, dengan pengalaman
kemiliteran yang tentu pernah mengajarkan betapa penting perbekalan
makan, menegaskan kesalahan ini, “Semua kemacetan G-30-S
pasukan disebabkan di antaranya the lack of food [ketiadaan makanan].
Mereka tidak makan pagi, siang dan malam.” Supardjo mengatakan
bahwa kelompok inti perencana di Halim mengetahui pasukannya
tidak mendapat makan hanya sesudah Supardjo mengusulkan untuk
menyerang Kostrad, “Hal ini baru diketahui pada malam hari ketika
ada gagasan untuk dikerahkan menyerbu ke dalam kota. Pada waktu itu
Batalyon Jateng [454] berada di Halim. Batalyon dari Jatim [530] sudah
ditarik ke Kostrad dengan alasan makanan.”
Dengan pasukan yang digelar dengan sangat buruk, tidak siap secara
146
3. DOKUMEN SUPARDJO
ideologis, dan demoralisasi akibat lapar, G-30-S terbukti menjadi sebuah
bencana dalam kerangka pandang militer. Gerakan ini tidak mampu
bertahan cukup lama sehingga masyarakat dapat berbaris di belakangnya.
Gerakan 30 September mengumumkan keberadaannya melalui RRI
Pusat sekitar pukul 7.15 pagi, dan kira-kira dua belas jam kemudian
pasukan yang setia kepada Suharto merebut kembali stasiun radio serta
menyatakan melalui udara bahwa G-30-S telah dipatahkan.
PARTISIPASI KAUM SIPIL
Gerakan 30 September tidak dirancang sebagai aksi militer murni. Para
konspirator telah merekrut anggota-anggota organisasi afi liasi PKI untuk
menjadi pasukan bantuan dan menyediakan bantuan logistik, terutama
makanan dan air. Supardjo mencatat, pasukan menjadi kelaparan karena
orang-orang sipil yang seharusnya memasok mereka tidak muncul.
Jakarta, menurut Supardjo, dibagi menjadi tiga sektor (utara, tengah,
dan selatan) dan ada seorang komandan yang ditugasi di setiap sektor.
Para komandan sektor itu “bertugas di antaranya mengurus soal-soal
administrasi terhadap pasukan yang beroperasi dan berada di masingmasing
sektornya.” Tapi pada saat aksi dimulai para komandan sektor ini
tidak dapat ditemukan di mana pun, “Waktu sektor-sektor itu dihubungi,
semua-semua tidak ada di tempat.” Semua komandan sektor telah menghilang.
Ternyata “semua sektor seperti yang ditetapkan, hanya tinggal
di atas kertas saja.” Supardjo mengecam para penyelenggara aksi karena
tidak memeriksa sektor-sektor sebelumnya dan memastikan bahwa para
pimpinan sektor tahu benar apa yang harus mereka lakukan.
Analisis Supardjo tentang sektor-sektor ini ternyata tidak tepat. Hal
ini sekali lagi memperlihatkan dirinya tidak begitu mengenal PKI dan
aspek-aspek tertentu dalam G-30-S. Njono, ketua PKI Comite Djakarta
Raja (CDR) dan anggota Politbiro, di depan sidang Mahmilub terhadap
dirinya menyatakan bahwa ia membagi ibu kota dalam sektor-sektor.27
Tapi menurutnya ada enam sektor, bukan tiga, seperti dikemukakan
Supardjo, dan bahwa personil yang dikelompokkan dalam sektor-sektor
ini adalah sukarelawan sipil yang tidak bertanggung jawab terhadap
pemasokan makanan untuk pasukan reguler.28 Njono telah mengerahkan
147
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
dua ribu orang, umumnya dari organisasi pemuda PKI, Pemuda Rakjat,
untuk bertugas sebagai tenaga cadangan untuk operasi-operasi militer.
Pemuda-pemuda ini telah menerima latihan kemiliteran di Lubang
Buaya dalam bulan-bulan sebelumnya. Sukarelawan yang menduduki
gedung telekomunikasi berasal dari satu sektor, yaitu sektor Gambir.
Bahwa ada kebingungan di kalangan peserta G-30-S dapat dilihat dari
ingatan mereka yang berlawanan perihal sektor ini. Sementara Supardjo
mengira bahwa sektor-sektor itu semestinya memasok makanan bagi
pasukan, Njono berpikir sebaliknya, bahwa pasukan-pasukan di Lubang
Buaya itulah yang semestinya menyediakan makanan untuk pasukan.
Njono mengenang bahwa para sukarelawan di bawah pimpinannya
sepanjang hari tidak berbuat apa-apa sambil menunggu nasi, seragam,
dan senjata dari pasukan yang ada di Lubang Buaya. Sepanjang hari
pada 1 Oktober itu perintah para perwira untuk sektor-sektor hanyalah
bersiaga. Njono menyadari bahwa G-30-S sudah “macet” ketika sampai
lepas tengah hari persediaan yang dijanjikan belum kunjung datang.
Menurut kesaksiannya, tenaga bantuan sipil ini tetap tidak bergerak,
mereka “pada umumnya belum berbuat apa-apa.”29 Sudah diketahui
bahwa sukarelawan yang muncul membantu G-30-S adalah mereka
yang menduduki gedung telekomunikasi di dekat Lapangan Merdeka
pada sore hari. Cerita Njono tentang “sektor Gambir” dan kekacauan
dalam hal persediaan merupakan penjelasan yang dapat dipercaya tentang
kepasifan sektor-sektor pada umumnya.
Seorang sipil yang termasuk dalam sektor Gambir ialah Juwono,
nama samaran seorang anggota sayap pemuda PKI, Pemuda Rakjat,
yang ketika itu berusia dua puluh tahun, di daerah Menteng Jakarta. Ia
mematuhi perintah organisasi untuk mengikuti latihan militer di Lubang
Buaya. Selama pekan-pekan sebelum G-30-S, Pemuda Rakjat sering
mengadakan rapat untuk membahas situasi politik, terutama tentang
bahaya kup oleh Dewan Jenderal. Pada 29 September Juwono menerima
perintah dari seorang pimpinan latihan militer agar melapor ke satu
tempat dekat Pejompongan, tidak jauh dari stadion utama ibu kota.
Setibanya di sana, ia melihat ratusan pemuda dari seluruh penjuru ibu
kota sudah berkumpul. Ia ingat Gambir menjadi nama untuk kelompok
pemuda ini. Pada 1 Oktober sore ia bersama sekitar tiga puluh pemuda
lainnya diberi senjata dan diperintahkan untuk menjaga gedung teleko148
3. DOKUMEN SUPARDJO
munikasi. Mereka berada di sekeliling gedung, tidak melakukan sesuatu
apa pun, sampai tiba-tiba datang pasukan. Juwono dan kawan-kawannya
tidak pernah dipersiapkan untuk benar-benar berbaku tembak. Sesudah
menyerahkan senjata mereka, semuanya diangkut dengan truk menuju
markas polisi militer. Di sini mereka ditahan, diinterogasi, dan disiksa.
Juwono menghabiskan tiga belas tahun berikutnya sebagai tapol.30
Selain mengerahkan pemuda untuk bertindak sebagai sukarelawan,
tampaknya G-30-S juga meminta Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia)
untuk menyelenggarakan dapur umum di seluruh ibu kota. Dapurdapur
ini bertugas menyiapkan makan-minum, baik untuk tentara
maupun sukarelawan. Gerakan 30 September, dalam sikapnya yang
patriarkal konservatif, membebankan tugas masak-memasak kepada
kaum perempuan.31 Seorang ilmuwan Belanda, Saskia Wieringa, mewawancarai
mantan anggota-anggota Gerwani pada awal 1980-an yang
menyatakan pernah diminta oleh Comite PKI Jakarta Raya datang di
Lubang Buaya untuk tugas-tugas sehubungan dengan kampanye anti-
Malaysia.32 Barangkali dapur umum tidak dapat terwujud karena terlalu
sedikit perempuan yang datang. Menurut Wieringa hanya ada sekitar
tujuh puluh perempuan di Lubang Buaya pada 1 Oktober. Mereka terdiri
atas anggota Gerwani, Pemuda Rakjat, organisasi buruh SOBSI (Sentral
Organisasi Buruh Seluruh Indonesia), dan organisasi tani BTI (Barisan
Tani Indonesia). Di antara mereka juga termasuk istri para prajurit
pengawal istana. Mereka diberi tugas lain di samping masak-memasak.
Beberapa orang ada yang menjahit emblem-emblem bersetrip tiga warna
untuk seragam tentara G-30-S.33
Akan mengherankan jika tidak sering terjadi salah komunikasi
antara G-30-S dan sukarelawan sipil yang direkrut untuk membantunya.
Mereka tidak dapat menjelaskan rencana gerakan ini secara rinci
kepada para anggota sipil partai tanpa meningkatkan risiko rencana
terkuak. Keketatan rahasia militer yang memungkinkan tindak penculikan
mencapai unsur kejutan pada saat yang bersamaan mengandaskan
peran serta massa rakyat. Karena anggota-anggota partai tidak diberitahu
dengan tegas apa yang terjadi, mereka pun menjadi bingung dengan
tugas-tugas mereka yang sebenarnya. Seorang mantan pimpinan PKI
tingkat atas membenarkan bahwa banyak orang di Jakarta yang ditugasi
di sektor-sektor menjadi sangat bingung dan, dengan sendirinya, me149
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
mutuskan untuk tidak berbuat apa pun.34 Dengan menyatukan gerakan
massa dan konspirasi militer, pimpinan G-30-S mencoba sesuatu yang
mustahil. Anggota-anggota partai (termasuk pimpinan tingkat puncak)
tidak mungkin diberi tahu tentang seluk-beluk konspirasi tanpa membahayakan
kerahasiaan yang menjadi tumpuan keberhasilan operasi. Keganjilan
sifat G-30-S yang begitu memusingkan semua pengamat sebagian
bersumber dari tidak direncanakannya gerakan ini sebagai sebuah operasi
militer tersendiri. Banyak rakyat sipil diikutsertakan dalam aksi dengan
cara-cara yang membingungkan semua peserta.
Barangkali Sjam menyisipkan peranan sipil di dalam rancangan
G-30-S kendati ada keberatan dari para perwira militer. Salah seorang
anggota Politbiro CC-PKI, Peris Pardede, pada sidang pertama Mahmilub
memberi kesaksian bahwa Sudisman (seorang anggota Politbiro)
dalam September memberi tahunya bahwa para perwira G-30-S tidak
mempunyai cukup pasukan untuk melancarkan aksi. Sudisman menjelaskan,
partai akan memasok satu kontingen pemuda untuk menambah
kekuatan mereka, “walaupun mereka sebenarnja tidak suka, perwiraperwira
itu lebih suka berbuat sendiri sadja.”35
Mengingat pada paradigma yang ditetapkan G-30-S di Jakarta,
rupanya peranan rakyat sipil dalam G-30-S selain dimaksudkan untuk
membantu pasukan, juga untuk berdiri di belakang para perwira yang
menyatakan diri sebagai pendukung gerakan. Sebagai jawaban atas seruan
Untung, para perwira di seluruh negeri akan memrakarsai pembentukan
dewan-dewan revolusi. Kemudian rakyat sipil akan bertemu dengan para
perwira itu dan memutuskan bagaimana dewan-dewan tersebut akan
memerintah. Di Jakarta G-30-S memilih empat puluh lima orang selaku
anggota Dewan Revolusi Nasional Indonesia. Para perwira di daerahdaerah,
dalam membentuk dewan-dewan revolusi daerah, diharuskan
memberi tempat bagi kaum nasionalis, muslim, dan komunis dalam
kerangka rumusan nasakom Sukarno.
Seandainya G-30-S mampu bertahan lebih lama, demonstrasidemonstrasi
massa kiranya akan terjadi di sejumlah kota untuk mendukung
G-30-S dan dewan-dewan revolusinya itu. Njono menyatakan, ia bukan
hanya menyusun enam sektor untuk sukarelawan di Jakarta tapi juga
sebuah jaringan yang disebutnya sebagai pos-pos (kemungkinan rumahrumah
anggota partai dan kantor-kantor partai). Personalia untuk pos150
3. DOKUMEN SUPARDJO
pos ini ialah anggota PKI di tingkat Comite Seksi. Mereka diperintahkan
agar bersiap-siap di pos-pos masing-masing pada saat aksi dilancarkan
dan terus mendengarkan radio mereka.36 Rupa-rupanya Njono akan
mengerahkan massa PKI untuk demonstrasi seandainya G-30-S tidak
hancur terlalu dini.
Supardjo sendiri mendapat kesan, G-30-S mengharapkan adanya
demonstrasi-demonstrasi massa seketika sesudah operasi militer tertunai.
Pada satu butir dalam analisisnya Supardjo mencatat bahwa Sjam dan
Biro Chusus mengira massa PKI sudah siap melakukan aksi militan
semacam itu, “Kekeliruan strategi G-30-S itu disebabkan juga banyak
kawan-kawan dari ABRI maupun dari daerah-daerah yang melaporkan,
bahwa massa sudah tidak dapat ditahan lagi. Bila pimpinan tidak
mengambil sikap, maka rakyat akan jalan sendiri (ber-revolusi).” Dengan
menggunakan istilah revolusi, Supardjo tidak hendak mengartikannya
sebagai revolusi komunis. Dalam wacana kaum Sukarnois kata revolusi
merupakan istilah yang lazim dipakai saat itu. Oleh penggunaannya yang
terus-menerus arti istilah ini telah menjadi polivalen, jargonistik, dan
kabur. Bahkan Suharto, dalam menindas G-30-S, mengklaim bahwa ia
sedang membela “revolusi” melawan percobaan “kontra-revolusi.”
Sjam kelihatannya memang mengharapkan semacam aksi massa
untuk mendukung G-30-S. Dalam kesaksiannya di persidangan ia
menggambarkan kehancuran G-30-S, “Dan sesudah dipertimbangkan
setjara masak bagaimana djalannja gerakan ini kalau dilandjutkan
djuga kekuatan sudah makin ketjil [sepanjang 1 Oktober malam dan 2
Oktober dini hari], sedangkan tidak ada tanda-tanda gerakan massa djuga
mendukung dan mengikuti G-30-S maka achirnja saja ambil keputusan
untuk melakukan pemunduran.”37
Seperti diketahui, PKI tidak mengerahkan massa anggotanya ke
jalan-jalan untuk mendukung G-30-S. Tetapi, pandangannya di hadapan
publik – bahwa G-30-S merupakan aksi intern Angkatan Darat – tidak
mengabaikan kemungkinan pengorganisasian demonstrasi-demonstrasi
untuk mendukungnya. Demonstrasi-demonstrasi memang terjadi di Yogyakarta.
Gerakan di Jakarta agaknya memperhitungkan “gerakan massa”
sebagai semacam tahap kedua. Ditilik dari pasifnya partai di Jakarta (dan
di mana-mana kecuali di Yogya) barangkali G-30-S direncanakan akan
berhasil dengan mengandalkan operasi militernya saja. Demonstrasi151
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
demonstrasi, yang seharusnya diorganisasi belakangan, akan memberi
legitimasi publik bagi para pemberontak dan membantu meyakinkan
lawan bahwa serangan balik tidak akan beroleh dukungan rakyat. Saat
G-30-S mulai ambruk, Sjam tidak melepaskan harapan bahwa “gerakan
massa” dapat menghidupkannya kembali, tapi mungkin sekali ia sejak
awal tidak merencanakan aksi-aksi massa sebagai kunci kemenangan.
G-30-S DAN SUKARNO
Gerakan 30 September selama ini biasa dilukiskan sebagai usaha kudeta.
Para penulis yang bersekutu dengan rezim Suharto bersikukuh menggunakan
istilah ini; Notosusanto dan Saleh memberi judul buku mereka
Th e Coup Attempt of the “September30th Movement” in Indonesia, dan
Sekretariat Negara memberi anak judul versi bahasa Inggris dari laporannya
tahun 1994 Th e Attempted Coup by the Indonesian Communist Party
(Percobaan Kup oleh Partai Komunis Indonesia). Bahkan para sejarawan
yang tidak menyetujui analisis rezim pun menggunakan istilah ini. Harold
Crouch memberi judul bab tentang G-30-S dalam bukunya “Th e Coup
Attempt” (Usaha Kup). Dalam memikirkan kejadian-kejadian tahun
1965, mereka yang tidak berhati-hati mungkin akan percaya bahwa
istilah kup dapat diterapkan tanpa masalah pada Gerakan 30 September.
Penelitian CIA tentang G-30-S menyatakan istilah coup “secara teknis
benar” jika maknanya dimengerti sebagai “gebrakan politik yang kuat
dan mendadak” tapi istilah coup d’état tidak benar, “Karena sekarang
tampak jelas bahwa kup Indonesia itu bukanlah merupakan gerakan
untuk menumbangkan Sukarno dan/atau pemerintah Indonesia yang
sudah ada. Pada hakikatnya ini merupakan pembersihan dalam pimpinan
Angkatan Darat, yang bertujuan untuk melakukan perubahan-perubahan
tertentu di dalam kabinet.”38 Apabila aksi-aksi G-30-S ditinjau ulang,
kita tidak menemukan upaya apa pun untuk mendongkel Presiden, selain
dari pengumuman radio yang mendemisionerkan kabinetnya (Dekrit
no. 1). Gerakan 30 September tidak mengambil tindakan langsung
terhadap Presiden. Supardjo menemui Sukarno pagi hari itu atas nama
para pimpinan G-30-S, mendesakkan kepadanya sebuah fakta yang
tak dapat diubah (fait accompli), dan selanjutnya memberi keleluasaan
152
3. DOKUMEN SUPARDJO
kepadanya untuk mengambil langkah apa saja yang dikehendakinya.
Supardjo tidak mendikte syarat-syarat kepada Sukarno.
Cerita Supardjo tentang interaksi antara G-30-S dan Sukarno pada
1 Oktober sangat berharga karena dialah satu-satunya orang yang berhubungan
dengan kedua belah pihak. Ia merupakan saluran komunikasi
antara pimpinan inti G-30-S dan Presiden. Ceritanya di dalam dokumen
ini sama dengan kesaksiannya di depan sidang, tetapi dalam dokumen
ini terdapat sejumlah unsur-unsur baru.
Pengungkapan yang penting adalah tentang reaksi penggerak
G-30-S ketika Supardjo melaporkan percakapannya dengan Sukarno.
Menurut Supardjo mereka memperdebatkan apa yang harus dilakukan
tapi tidak berhasil mencapai satu keputusan yang jelas. Mereka benarbenar
telah dilumpuhkan oleh kebimbangan mereka sendiri. Karena
sebelumnya tidak ditetapkan seorang komandan untuk keseluruhan
operasi, maka tak seorang pun dari mereka berada dalam posisi untuk
menetapkan kata akhir. Karena penolakan Sukarno untuk mendukung
aksi mereka menimbulkan kebingungan, maka menjadi masuk akal
untuk menduga bahwa mereka sebelumnya berharap akan menerima
restunya. Mereka berencana menangkap hidup-hidup tujuh jenderal,
menghadapkan mereka kepada Sukarno, dan menuntut agar jenderaljenderal
dipecat atau dipenjara. Bagaimana pun juga Sukarno dan para
penasihatnya, selama enam bulan terakhir, sangat dicemaskan oleh isu
tentang Dewan Jenderal. Keyakinan Sjam bahwa rencananya tak lekang
oleh kesalahan, sebagian pasti bersumber pada kepastian bahwa Sukarno
akan menyambut baik aksi terhadap komando tertinggi Angkatan Darat.
Tapi Sukarno tidak dapat mendukung aksi mereka begitu ia mendengar
adanya pertumpahan darah. Tanpa dukungan Sukarno pimpinan G-30-S
tidak lagi tahu bagaimana harus meneruskan aksi mereka.
Hal yang mengherankan dalam dokumen Supardjo adalah bahwa
Sjam berpendapat G-30-S harus terus dilanjutkan bahkan seandainya
itu berarti membangkang terhadap perintah Sukarno dan menimbulkan
perlawanan darinya, “Kawan Sjam tetap revolusi harus djalankan
sendiri tanpa Bung Karno.” Maksud utama alinea Supardjo ini untuk
menunjukkan ketidaksetujuannya terhadap garis yang diusulkan Sjam. Ia
berpendapat G-30-S seharusnya mengambil keputusan tegas untuk tetap
mempertahankan Sukarno sebagai sekutu. Jika G-30-S mengikuti garis
153
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
Sjam, pasti gerakan ini akan berhadapan dengan sikap permusuhan dari
hampir seluruh jajaran militer dan dengan mudah terisolasi. Tetapi jika
G-30-S dapat meyakinkan Sukarno bahwa gerakan ini perlu diteruskan
demi mengakhiri Suharto dan Nasution sekaligus, para perwira sayap
kanan akan terisolasi, “Bila kita rangkul Bung Karno, maka kontradiksi
pokok akan beralih di satu pihak golongan kiri + golongan demokrasi
revolusioner dan di lain pihak hanya golongan kanan saja.” Masalahnya
adalah kelompok inti gerakan tidak pernah membuat keputusan apakah
akan terus berjalan tanpa Sukarno atau akan mencari persetujuan Sukarno
untuk meneruskan aksi, “Dari kita tidak ada ketentuan garis mana yang
harus ditempuh.” Dalam gaya teologi Leibniz tentang Tuhan sebagai
tukang arloji akbar (mencipta alam semesta, menggerakkannya, dan
kemudian meninggalkannya), para penggerak G-30-S tidak berbuat apa
pun sepanjang siang dan malam 1 Oktober dan membiarkan inisiatif
beralih ke tangan Suharto dan Nasution.
Menurut buku putih rezim Suharto tentang Gerakan 30 September,
para penggerak “memutuskan untuk tidak mematuhi perintah Presiden
Sukarno.” Para penulisnya yang anonim menyatakan, dalam ungkapan
samar-samar yang menjadi keahlian mereka, Sjam menekankan bahwa
para penggerak tidak mematuhi perintah itu karena ia tidak ingin “menimbulkan
suasana ragu-ragu di kalangan pimpinan gerakan.”39 Sukar
mengikuti logika penjelasan mereka itu. Tampaknya mereka berpendapat
bahwa Sjam berhasil mempersatukan semua pimpinan G-30-S di bawah
satu program (dewan-dewan revolusi) pada saat mereka dalam keadaan
bimbang tentang bagaimana harus meneruskan aksi. Keputusan sebenarnya
yang diambil, menurut analisis Supardjo, persis berlawanan: para
pimpinan tidak memutuskan untuk membangkang perintah Sukarno.
Mereka tidak memutuskan apa pun. Mereka menemui jalan buntu.
Komentar Supardjo tentang posisi Sjam (“Kawan Sjam tetap
revolusi harus djalankan sendiri tanpa Bung Karno.”) barangkali dapat
menjelaskan pengumuman-pengumuman radio siang hari yang mendemisionerkan
kabinet presiden dan mencanangkan bahwa semua
kekuasaan telah jatuh ke tangan Dewan Revolusi Indonesia. Supardjo
tidak secara khusus menanggapi pengumuman-pengumuman tersebut,
tapi kita dapat menduga, dengan membaca di balik yang tersurat, bahwa
Supardjo berpikir Sjam yang bertanggung jawab. Sementara Supardjo dan
154
3. DOKUMEN SUPARDJO
para perwira militer lain tetap setia kepada Sukarno, Sjam ingin melampauinya
dan menciptakan suatu bentuk pemerintahan yang sama sekali
baru. Para perencana gerakan menemui jalan buntu dalam diskusi mereka
karena adanya perbedaan pendapat ini. Di sidang Mahmilub untuknya
Supardjo menyatakan bahwa ia tidak menyetujui ide Dewan Revolusi
Indonesia dan menolak menandatangani dokumen yang diedarkan
Sjam, rupa-rupanya pada akhir pagi atau awal sore 1 Oktober, “Dewan
Revolusi hanya keinginan Sjam dan tidak pernah dirapatkan.” Supardjo
ingat ia melihat ada perpecahan antara Sjam dan para perwira militer
dalam G-30-S karena perwira-perwira lain, seperti halnya Supardjo,
tidak mau menandatangani dokumen tersebut.40 Untung dan Latief
bersedia memenuhi permintaan Sukarno untuk mengakhiri G-30-S,
tetapi Sjam “sedikit tidak senang mendengar persoalan itu.”41 Perwiraperwira
ini menyemangati pasukan-pasukan mereka dengan ide bahwa
Sukarno harus dilindungi dari bahaya kup oleh jenderal-jenderal sayap
kanan. Supardjo menentang garis Sjam karena ia mengenali apa yang
gamblang: kesetiaan di kalangan pasukan dan perwira militer adalah
kepada Sukarno, bukan kepada PKI.
Para perwira di dalam G-30-S tentunya telah memberikan persetujuan
sebelumnya terhadap ide dasar Dewan Revolusi karena istilah
ini disebut di dalam pengumuman radio yang pertama. Meskipun
demikian, kalaupun para perwira ini memang menyetujui ide tersebut,
mereka barangkali tidak membayangkan bahwa Dewan Revolusi akan
menggusur kekuasaan Sukarno. Dalam usahanya meneruskan G-30-S,
Sjam mungkin mengubah rencana asli tentang dewan-dewan ini. Karena
Sukarno tidak menyokong G-30-S, Sjam segera merancang ulang rencana
semula sehingga tidak lagi bertumpu pada presiden. Pengumumanpengumuman
radio di siang hari kiranya mencerminkan gagasan Sjam
sendiri untuk meninggalkan rencana semula yang telah disetujui oleh
para perwira militer tersebut. Dewan-dewan bukannya merupakan
lembaga-lembaga yang mendukung Sukarno, tapi serta-merta disusun
ulang sebagai dasar dari bentuk pemerintahan baru.
Mengikuti analisis Supardjo, kita dapat mengajukan hipotesis
bahwa pengumuman-pengumuman radio siang hari yang mendemisionerkan
kabinet Sukarno adalah jawaban Sjam terhadap penolakan
Sukarno untuk mendukung G-30-S. Seandainya G-30-S berjalan
155
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
sesuai rencana dan Sukarno mendukungnya, dewan-dewan revolusi
akan dibentuk untuk menyempurnakan kabinet yang ada ketimbang
untuk menggantikannya. Pengumuman-pengumuman radio yang belakangan
agaknya dimaksudkan untuk dibacakan pada pagi hari, tidak lama
sesudah pengumuman yang pertama. Pembacaan itu tertunda karena
debat yang berlarut-larut dan ketidaktegasan di kalangan para pemimpin
G-30-S sesudah Sukarno memerintahkan agar aksi dihentikan. Akhirnya
Sjam menganggap sepi kehendak para perwira dan berusaha meneruskan
G-30-S dengan menyiarkan pengumuman yang sudah diubah. Pendemisioneran
kabinet mungkin merupakan usaha Sjam pada detik-detik
terakhir untuk memberikan arah baru bagi G-30-S sementara kawankawan
sesama konspirator dari kalangan militer dalam keadaan gugup
dan bimbang. Untuk kedudukan wakil-wakil komandan G-30-S Sjam
menunjuk perwira-perwira yang kebetulan ada di dekatnya pada hari itu
(Supardjo dan Atmodjo) atau yang mempunyai reputasi sebagai perwira
progresif (Sunardi dan Anwas).
Gerakan 30 September telah lumpuh. Pada satu pihak, Sjam
mengharapkan “gerakan massa” prajurit dan rakyat sipil secara gaib akan
muncul dan menyelamatkan G-30-S. Pada lain pihak, kawan-kawan
militer sesama konspirator telah letih, bingung, dan gugup. Mereka
tidak bersedia mendukung diteruskannya gerakan ini, jika hal itu akan
berakibat konfrontasi dengan Sukarno. Ketika panglima tertinggi mereka
memerintahkan agar G-30-S dihentikan, mereka pun mematuhinya.
Oleh sebab itu, diskusi di kalangan pimpinan inti pun menjadi berteletele.
Pimpinan tidak mengeluarkan pernyataan untuk menghentikan
gerakan, mengorganisasi aksi-aksi konkret untuk meneruskannya, atau
berusaha meyakinkan Sukarno agar menyokong perang yang lebih luas
melawan Suharto dan Nasution. Mereka sekadar hanyut tak terelakkan
menuju malapetaka.
PENGANGKATAN PRANOTO
Dengan sendirinya G-30-S bersandar pada Sukarno untuk berlindung
dari amuk serangan pasukan Suharto. Namun para pimpinan mengetahui
pada sore 1 Oktober bahwa Sukarno sudah kehilangan tongkat koman156
3. DOKUMEN SUPARDJO
donya atas Angkatan Darat. Suharto tidak memberi izin Mayor Jenderal
Pranoto, tokoh yang diangkat Sukarno sebagai panglima sementara
Angkatan Darat, untuk memenuhi panggilan Presiden. Seperti dikatakan
sejarawan militer Indonesia Harold Crouch, “Suharto dengan terangterangan
tidak mematuhi perintah Sukarno. Pengangkatan Pranoto tidak
dihiraukan dan Suharto mengeluarkan perintah terselubung kepada
Presiden agar ia meninggalkan Halim. Hubungan antara presiden dan
panglima Angkatan Darat yang berlangsung hampir sepanjang periode
Demokrasi Terpimpin telah berakhir pada 1 Oktober 1965.”42
Ketika Supardjo sedang menuliskan analisis postmortem itu, ia masih
percaya G-30-S dapat diselamatkan jika Pranoto mendesakkan kekuasaan
yang telah diberikan Sukarno kepadanya. Pada 1 Oktober siang G-30-S
berharap Pranoto akan melawan Suharto dan mengambil kewenangan
atas Angkatan Darat. Sementara dalam perbincangan dengan Sukarno,
Supardjo mengusulkan Pranoto dan dua jenderal lain sebagai caloncalon
pengurus Angkatan Darat. Pranoto salah seorang dari beberapa
anggota staf umum Angkatan Darat yang tidak antikomunis. Supardjo
berpendapat Pranoto seharusnya lebih banyak mengambil inisiatif. Jika
Pranoto “dapat menggunakan wewenang, maka situasi tidak seburuk
ini. Seharusnya dengan surat keputusan itu, ia cepat pidato di radio
dan umumkan pengangkatannya. Tindakan kedua supaya kedua fi hak
menanti perintah-perintah tidak saling bertempur. Pak Pran harus juga
menyusun kekuatan brigade-brigade di sekitarnya dan langsung ia pimpin
… Kemudian diisi dengan dalih-dalih, sementara lowongan staf SUAD
yang kosong.” Sial bagi G-30-S dan bagi Pranoto pribadi, yang belakangan
dipenjara selama dua belas tahun, ia membiarkan Suharto tetap
menguasai Angkatan Darat.43
Mengingat kedudukan Pranoto di Angkatan Darat dan suasana
yang tidak menentu saat itu, tidak adil kiranya jika Supardjo berharap
Pranoto merebut pimpinan Angkatan Darat dari tangan Suharto.
Pranoto adalah asisten Yani untuk urusan personalia. Ia bukan pengganti
langsung kedudukan Yani, bukan pula perwira paling senior. Dalam
karangan singkatnya beberapa tahun kemudian Pranoto menceritakan
bahwa ia dan sekelompok perwira di Markas Besar Angkatan Darat
mengirim nota kepada Suharto pada 1 Oktober pagi, begitu hilangnya
Yani sudah dipastikan, yang meminta Suharto untuk bertindak sebagai
157
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
Panglima Angkatan Darat sementara. Bagaimana pun juga, Suharto selalu
menjadi caretaker Angkatan Darat di masa sebelumnya, ketika Yani ke
luar negeri. Pranoto sudah menempatkan dirinya di bawah komando
Suharto saat Sukarno mengangkatnya sebagai caretaker. Jawaban Pranoto
saat itu adalah ia menunggu sampai ia menerima perintah tertulis dari
Sukarno. Walaupun Supardjo menyebut tentang “surat keputusan” itu,
Pranoto tidak menerima perintah tertulis, melainkan hanya pesan lisan
dari seorang penghubung. Dapat dipahami jika Pranoto tidak segera
menantang Suharto dan berpihak pada Sukarno karena ia tidak bisa
mengerti taruhan-taruhan yang berlibat – ia tidak mungkin dapat
meramalkan bahwa pada akhirnya Suharto menggulingkan Sukarno
dan merancang pembunuhan ratusan ribu jiwa. Pranoto adalah salah
satu harapan terakhir bagi G-30-S, tapi ia hampir tidak dapat disalahkan
karena tidak memenuhi peranan yang telah ditugaskan Sukarno
kepadanya.
G-30-S DAN SUHARTO
Salah satu kebisuan yang aneh dalam analisis Supardjo, kebisuan yang
akan mengecewakan pembaca dewasa ini, ialah mengenai Suharto.
Supardjo mengkritik G-30-S dalam banyak hal tapi tidak karena lalai
menculik atau setidak-nya dengan cara tertentu melumpuhkan Suharto
sebelumnya. Secara tersirat Supardjo menganggap kegagalan G-30-S
menghadapi Suharto sebagai kegagalan G-30-S secara umum dalam
mempersiapkan detil rencana cadangan untuk menghadapi keadaan tak
terduga. Ia tidak menyebut, baik hubungan dekat Untung dan Latief
dengan Suharto, maupun cerita yang diungkap Latief sangat belakangan
pada persidangannya tahun 1978, bahwa Latief sudah menceritakan
tentang G-30-S kepada Suharto sebelumnya. Karena Supardjo tidak
mengikuti rapat-rapat perencanaan pada bulan Agustus dan September,
dan tidak mempunyai hubungan dengan Untung dan Latief, mungkin
Supardjo tidak banyak tahu atau tidak tahu sama sekali tentang hal-hal
itu. Dalam dokumennya ia tidak mengungkap pengetahuan tentang
apa yang telah diputuskan para pimpinan inti tentang Suharto sebelum
G-30-S dimulai. Pembahasan Supardjo tentang Suharto terpusat pada
158
3. DOKUMEN SUPARDJO
satu argumen: bahwa G-30-S harus menyerang markas Kostrad pada
siang atau petang 1 Oktober. Dengan jujur Supardjo mengakui dalam
kesaksiannya di ruang sidang bahwa ia berpikir G-30-S seharusnya
membom Kostrad.44
Dalam analisis tertulisnya ia menjelaskan mengapa ia mendesak
adanya serangan udara terhadap markas Suharto. Ia sangat yakin G-30-S
akan dapat menundukkan Suharto dan Nasution, jika serangan dilancarkan
sebelum mereka sempat mengonsolidasi kekuatan pada petang
hari itu. Supardjo berpendapat Angkatan Darat dalam keadaan panik
selama dua belas jam sesudah operasi dimulai (atau tercium), itu berarti
sejak kira-kira pukul 5 pagi hingga pukul 5 sore. Suharto mulai bergerak
dengan yakin hanya sesudah Batalyon 530 menyerahkan diri sekitar
pukul 4 sore. Nasution tiba di Kostrad petang hari dan RRI direbut
kembali sekitar pukul 7 petang. Supardjo mendesak agar G-30-S
menyerang Suharto sebelum ia dapat membalikkan kelanjutan gerakan
ini. Jika G-30-S menyerang Suharto siang hari itu, “besar kemungkinan
lawanlah yang akan angkat tangan, karena pada saat itu Nato [Nasution-
Suharto] belum mempunyai grip [cengkraman] terhadap TNI yang ada
di kota.” Gerakan 30 September mempunyai kesempatan bagus untuk
menyingkirkan lawan-lawannya, “Pada jam-jam pertama Nato menyusun
komando kembali. Posisi yang sedemikian ialah posisi yang sangat lemah.
Saat itu seharusnya pimpinan operasi musuh disergap tanpa khawatir
resiko apa-apa bagi pasukan kita.” Mungkin Supardjo terus menuntut
agar dilakukan pemboman atas Kostrad sampai jauh malam. Suharto
menangkap kabar tentang diskusi-diskusi di Halim dan meninggalkan
markasnya sekitar pukul 23.30 (menurut wartawan John Hughes) karena
takut akan serangan udara oleh AURI.45
Masih dapat diperdebatkan apakah G-30-S akan tampil sebagai
pemenang dalam bentrokan dengan Suharto karena Supardjo sendiri
menunjukkan bahwa G-30-S tidak mempunyai struktur komando
yang kokoh, pasukan-pasukannya kekurangan makan maupun moral,
dan bahan propaganda yang disiarkan melalui radio terlalu singkat dan
membingungkan untuk bisa digunakan. Melancarkan serangan dapat
berakibat kekalahan, sepadan dengan kehancuran yang akhirnya dialami
G-30-S. Mengingat kelemahannya sendiri pada pasukan darat, G-30-S
harus bertumpu pada pemboman udara oleh AURI terhadap markas
159
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
Suharto untuk merebut waktu untuk mengerahkan dan menyusun
kembali pasukan infantri lebih banyak lagi. Serangan udara mungkin
dapat memberi G-30-S celah untuk menang. Maksud Supardjo adalah
bahwa penggerak G-30-S harus berusaha menyerang karena mereka
tidak mempunyai sarana lain untuk mempertahankan diri; mereka harus
bertempur dan menciptakan yang terbaik dari situasi yang buruk, tanpa
menghiraukan “resiko apa-apa bagi pasukan kita.” Jika seseorang sedang
menghadapi kekalahan, tidak banyak alasan untuk menolak siasat yang
kemungkinan besar efektif karena takut siasat itu tidak akan menjamin
kemenangan.
Menurut Supardjo, Panglima AURI Omar Dani mengikuti
diskusi-diskusi di pangkalan udara Halim itu dan mendukung penyerangan
terhadap Kostrad. Namun para pemimpin G-30-S tidak setuju,
“Setelah menerima berita bahwa Jendral Harto [Suharto] menyiapkan
tegen aanval [serangan balik] dan Laksamana Omar Dani menawarkan
integrasi [pasukan Angkatan Udara dan Gerakan 30 September] untuk
melawan pada waktu itu, harus disambut baik.” Dani agaknya bersungguh-
sungguh dengan tawarannya, “Pak Omar Dani telah bertindak
begitu jauh sehingga telah memerintahkan untuk memasang roket-roket
pada pesawat.”46 Dani sungguh-sungguh setia kepada Sukarno dan
mungkin sangat percaya bahwa presiden perlu dilindungi dari jenderaljenderal
sayap kanan. Supardjo menyatakan, rekomendasi Dani kepada
pimpinan G-30-S ialah agar mereka “bersama-sama dengan Bung Karno
melanjutkan revolusi.” Persetujuan Omar Dani terhadap pemboman
Kostrad (jika memang benar ia menyetujui) mungkin didorong oleh
kehendaknya untuk melindungi presiden, yang saat itu masih berada
di Halim. Akhirnya, Angkatan Udara memutuskan menentang penyerangan
terhadap Kostrad. Atmodjo ingat para perwira di Halim khawatir
tentang kemungkinan jatuh korban di kalangan rakyat sipil. Jika bom
salah sasaran, dengan mudah akan jatuh di daerah pemukiman yang
berdekatan.47
Supardjo bersikeras bahkan sampai saat-saat terakhir agar
G-30-S melawan pasukan yang dikirim Suharto untuk menyerang Halim.
Supardjo menyebutkan bahwa ia menawarkan diri untuk memimpin
sisa-sisa pasukan yang ada di dekat pangkalan udara untuk melawan
pasukan Suharto. Bagi Supardjo lebih baik berusaha melawan dan kalah
160
3. DOKUMEN SUPARDJO
daripada lari tunggang-langgang. Tapi pimpinan G-30-S, terutama Sjam
dan Untung, tidak menerima dan juga tidak menolak usul Supardjo.
Seperti halnya dalam setiap rapat-rapat pengambilan keputusan sebelumnya,
mereka tidak pernah tiba pada sesuatu keputusan. Mereka
tidak berbuat apa pun. Ketika Pasukan Khusus Angkatan Darat mulai
memasuki kawasan sekitar Halim, pasukan-pasukan G-30-S yang kebanyakan
dari batalyon Jawa Tengah, menghambur ke segala penjuru,
dengan putus asa melarikan diri mencari hidup. Seperti dicatat Supardjo,
prajurit-prajurit yang tidak mengenal ibu kota dengan baik itu menjadi
mangsa empuk pasukan Suharto.
Perlu diperhatikan bahwa Supardjo tidak pernah menyebut Suharto
tanpa berpasangan dengan Nasution. Ia melihat mereka berdua sebagai
satu tim, sebagai “suatu komando.” Ia menyingkat dua nama itu untuk
membentuk neologisme cerdik yang merujuk kepada orientasi mereka
yang pro-Barat, yaitu “Nato” (Nasution-Suharto). Istilah musuh yang
digunakan dalam dokumen selalu dialamatkan kepada Nato, tidak
kepada Suharto seorang diri. Tampaknya Supardjo tidak memandang
Suharto sebagai panglima yang kuat dalam dirinya. Supardjo menangkap
kesan yang keliru bahwa Nasution, bukan Suharto, yang melarang
Pranoto menghadap presiden di Halim. Tiadanya pembahasan tentang
Suharto di dalam dokumen ini memperlihatkan bahwa Supardjo, bahkan
sesudah kekalahan G-30-S pun, tidak melihat Suharto sebagai musuh
utama. Kepada saya Atmodjo mengatakan, Supardjo memandang rendah
kemampuan Suharto sebagai perwira dan berpendapat bahwa kedudukannya
sebagai panglima Kostrad tidak berarti.48
Penilaian Supardjo tentang Suharto sama sekali tidak mengherankan.
Selama dua pekan pertama Oktober Kedutaan Besar Amerika Serikat
mendapat kesan bahwa sekutu lamanya, Nasution, itulah yang memegang
kekuasaan dan Suharto sekadar melaksanakan perintah Nasution. Atas
dasar laporan Kedutaan Besar, Menteri Luar Negeri Dean Rusk pada 13
Oktober menulis bahwa Nasution tampaknya orang “yang mengambil
keputusan.”49 Duta Besar Green mengubah pendapat itu pada awal
November, “Suharto, bukan Nasution, orang yang memberikan perintahperintah,
menyusun strategi sendiri, dan menghadapi Sukarno secara
langsung.”50 Dibandingkan dengan Nasution yang sudah menonjol di
panggung politik Indonesia sejak awal 1950-an, Suharto merupakan
161
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
sosok sampingan. Awalnya, kebanyakan orang tidak dapat memercayai
bahwa ia bertindak atas inisiatif sendiri.
Mungkin Supardjo tidak mengetahui bahwa Latief telah memperingatkan
Suharto, dan andai kata ia tahu, entah sebelum atau sesudah
aksi, mungkin ia tidak menganggap hal itu sebagai faktor yang menentukan.
Barangkali G-30-S tidak menculik Suharto atau sebaliknya tidak
menjinakkannya karena gerakan ini meremehkan kekuatannya. Kostrad
tidak memiliki pasukan sendiri; ia meminjam pasukan-pasukan dari
komando daerah-daerah. Sebagian besar pasukan yang ada di Jakarta
pada 1 Oktober di bawah komando Kostrad justru pasukan-pasukan
yang akan digunakan oleh G-30-S (Batalyon 454 dan 530). Sekalipun
Sjam mengira Suharto mungkin berbalik melawan G-30-S, namun Sjam
– seperti Supardjo – agaknya menduga Suharto tidak mempunyai keuletan
dan kecerdasan untuk mengalahkan G-30-S. Suharto dikenal sebagai
keras kepala (penilaian Sukarno terhadapnya) dan tegas (penilaian Latief
terhadapnya) tapi bukan sebagai perwira sayap kanan yang bersekutu
dengan Nasution.51 Memang, secara umum diduga bahwa kedua tokoh
ini bermusuhan sejak Nasution memindahkan Suharto dari jabatannya
sebagai Panglima Kodam Diponegoro, Jawa Tengah pada 1959 karena
korupsi.52
Dalam menulis analisisnya pada pertengahan 1966 Supardjo
agaknya tidak menyadari bahwa peranan Nasution untuk menyerang
G-30-S tidak berarti dibandingkan dengan peranan Suharto dan para
perwiranya di Kostrad (yaitu Yoga Sugama dan Ali Murtopo). Citra
tentang Nasution sebagai patriark akbar Angkatan Darat terpahat begitu
mendalam di benak para komplotan G-30-S sehingga mereka tidak dapat
membayangkan bahwa Suharto, yang relatif bukan siapa-siapa, tiba-tiba
berhasil tampil sebagai pemimpin sebuah rencana ambisius untuk menggulingkan
Sukarno dan mengganyang PKI. Mereka seharusnya dapat
meraih manfaat bila mereka berpikir dalam kerangka permainan catur
seperti pernah dikemukakan Bertold Brecht, “Suatu permainan di mana
posisi tidak selalu tetap sama; di mana fungsi buah-buah catur berubah
jika mereka sejurus berada di petak yang sama: lalu mereka menjadi lebih
efektif atau lebih lemah.”53
Supardjo agaknya juga tidak menyadari peranan Suharto dalam
menyabotase kebijakan bersemangat perang Sukarno terhadap Malaysia
162
3. DOKUMEN SUPARDJO
sebelum Oktober 1965. Komando tertinggi Angkatan Darat tidak menyetujui
konfrontasi Sukarno dengan Malaysia ketika perseteruan itu
meningkat antara 1964-65. Namun jenderal-jenderal itu tidak cukup
percaya diri untuk menentang presiden. Yani dan Mayor Jenderal S.
Parman, kepala intelijen Angkatan Darat, diam-diam merongrong
konfrontasi, dengan menugasi Suharto agar mengirim agen-agen untuk
menghubungi para pejabat tinggi Malaysia dan Inggris dan meyakinkan
mereka bahwa Angkatan Darat tidak mengingini perang. Kostrad, di
bawah pimpinan Suharto, merupakan jantung daya upaya Angkatan
Darat dalam memelihara kontak rahasia dengan pihak lawan. Lebih
dari itu, Suharto, sebagai wakil panglima pasukan-pasukan yang
digunakan untuk konfrontasi, memberi jaminan bahwa pasukan yang
ada di sepanjang perbatasan dengan Malaysia kekurangan personil dan
kekurangan perlengkapan. Ketika itu Supardjo adalah panglima pasukanpasukan
konfrontasi yang ditempatkan di Kalimantan. Ia mengetahui
bahwa atasannya berusaha menggembosi kebijakan Sukarno, tapi rupanya
ia tidak tahu bahwa Suharto itulah pemain utama dalam usaha ini. Saya
akan kembali ke persoalan ini dalam Bab 6.
Bagi Supardjo G-30-S hancur sebagian besar karena beban ketidakmampuannya
sendiri: G-30-S tidak mempunyai rencana yang
sudah dipikirkan masak-masak selain penculikan tujuh jenderal, tidak
memanfaatkan radio, tidak mampu membuat keputusan, dan tidak
memberi makan pasukannya. Ia melihat kegagalan G-30-S sebagai
pelajaran yang memprihatinkan tentang apa yang terjadi apabila orangorang
sipil merancang aksi militer. Sjam menempatkan diri sebagai
pimpinan G-30-S, menggertak bawahannya dalam Biro Chusus agar
memberikan laporan-laporan yang sesuai dengan agendanya sendiri, dan
mengabaikan kritik dari perwira-perwira militer yang bersedia bekerja
sama dengannya. Dengan cara yang menyesatkan ia mencampur aduk
paradigma aksi militer yang bersifat rahasia dengan mobilisasi rakyat
sipil yang bersifat terbuka. Supardjo, dan barangkali juga para perwira
lainnya, semula mengikuti kepemimpinan Sjam karena mereka menduga
kepercayaan diri Sjam didasarkan atas pengetahuan yang mumpuni.
Mereka mengira pimpinan PKI memahami apa yang partai lakukan.
Tapi ketika G-30-S tidak berjalan sesuai rencana pada 1 Oktober dan
Presiden Sukarno menuntut agar gerakan itu dihentikan, para perwira
163
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
militer ini menolak mengikuti Sjam lebih jauh. Diskusi-diskusi antara
pimpinan G-30-S menemui jalan buntu karena baik Sjam maupun para
perwira tidak mempunyai kekuasaan untuk mengesampingkan yang
lain. Agaknya Sjam yang bertanggung jawab atas pengumuman radio
yang mendemisionerkan kabinet Sukarno justru ketika Supardjo sedang
berunding dengan Sukarno.
Yang gamblang dari dokumen Supardjo ialah bahwa Sjam orang
yang paling bertanggung jawab dalam memulai dan merancang G-30-S.
Dengan mengemukakan peranan Sjam lebih penting ketimbang peranan
personil militer yang terlibat, dokumen Supardjo menunjukkan bahwa
pendirian Harold Crouch tidak benar, yaitu bahwa para perwira militer
itulah perancang G-30-S. Selagi banyak perwira pro-Sukarno dan pro-
PKI saling berbagi informasi pada pertengahan 1965, saling bertukar
gagasan, dan memikirkan berbagai strategi menghadapi jenderal-jenderal
sayap kanan, G-30-S mewakili penemuan Sjam yang istimewa. Para
perwira yang berpartisipasi dalam G-30-S (Untung, Latief, Soejono, dan
Supardjo) adalah mereka yang mau mengikuti arahan Sjam.
Supardjo menyimpulkan bahwa G-30-S “dipimpin langsung oleh
partai,” karena ia tahu Sjam adalah wakil PKI. Tapi ia tidak menjelaskan
bagaimana “partai” memimpin operasi ini. Mengingat kebutuhan para
perwira pro-PKI seperti Supardjo untuk menjaga kerahasiaan hubungan
mereka dengan partai, kiranya tidak mungkin ia mempunyai kontak
dengan siapa pun selain dengan Sjam. Barangkali ia tahu sedikit saja
tentang hubungan Sjam dengan pimpinan partai. Dengan menyatakan
bahwa G-30-S dipimpin oleh PKI, Supardjo tidak menegaskan bahwa
Politbiro dan Central Comite telah mendiskusikan aksi ini dan memberikan
persetujuannya (seperti yang dituduhkan rezim Suharto). Apa
yang mungkin diketahui Supardjo ialah bahwa di antara lima orang
pimpinan inti, Sjam adalah orang yang paling bertanggung jawab atas
G-30-S. Dari fakta itulah Supardjo menyimpulkan tentang kepemimpinan
partai. Dokumen Supardjo tidak memberi kesan sedikit pun bahwa
ia mempunyai pengetahuan dari tangan pertama tentang peran atasan
Sjam dalam G-30-S.
Dengan menyalahkan orang sipil sebagai penyebab kegagalan
G-30-S, Supardjo tidak sedang menjunjung martabat lembaganya sendiri,
yaitu militer Indonesia. Ia menulis dokumen itu sebagai pengikut setia
164
3. DOKUMEN SUPARDJO
PKI yang berniat mendidik “kawan pimpinan.” Terlepas dari penyesalannya
karena telah menaruh kepercayaan terlampau mendalam kepada
Sjam, bahkan setelah ia menyadari rencana untuk G-30-S itu “tidak
logis,” Supardjo tidak menyesali kesetiaannya kepada partai. Dalam satu
alinea dokumen ia menyalahkan kawan-kawannya sesama perwira, karena
tidak dapat melaksanakan “tugas revolusioner” dan mengatasi rasa hormat
yang berurat berakar pada para perwira atasan mereka. Supardjo menghargai
profesinya dengan sungguh-sungguh; ia fasih dalam hal strategi
militer. Tapi ia yakin militer seharusnya mengabdi kepada politik revolusioner
daripada politik elitis, pro-Barat yang diajukan Nasution. Analisis
postmortem Supardjo tentang G-30-S tidak dapat dibaca sebagai usaha
seorang perwira untuk membersihkan nama militer dengan melempar
kesalahan kepada pihak sipil. Dokumen itu justru merupakan sebuah
kritik intern: ia mewakili pemandangan seorang loyalis partai yang dibuat
marah dan kecewa oleh langkah-langkah yang diambil oleh pimpinanpimpinan
partai tertentu.
CATATAN
1 Kolaga, komando multitugas, mempunyai dua front tempur terhadap Malaysia: yang
satu berpangkalan di Medan (dipimpin Kemal Idris) dan yang lain di Kalimantan Barat
(dipimpin Supardjo). Menurut banyak sumber, kedua front komando ini masing-masing
dinamai Komando Tempur Dua dan Komando Tempur Empat. Namun, agaknya ada
semacam kekacauan saat itu apakah komando-komando ini dinamai dengan sebutan yang
lebih masuk akal, yaitu Komando Tempur Pertama dan Kedua. Penuntut Umum Mahmilub
mengenal Supardjo sebagai Panglima Komando Tempur Kedua. Sumber kekacauan lain
ialah peranan Kostrad di dalam Kolaga. Panglima Kolaga, sedari awal pada Mei 1964 (yang
ketika itu dinamai Koga), ialah Laksamana Madya Omar Dani. Wakil Panglima sejak
1 Januari 1965 dan seterusnya ialah Suharto, yang pada saat bersamaan juga Panglima
Kostrad. Suharto, yang mengepalai penempatan pasukan Kolaga, bersikeras meminta agar
semua pasukan yang dipinjam dari komando-komando daerah untuk Kolaga pertamatama
harus diserahterimakan ke Kostrad (Crouch, Army and Politics in Indonesia, 70-71).
Namun, Supardjo tidak lalu menjadi bawahan Suharto atau perwira Kostrad. Dalam hal
keputusan-keputusan operasi militer, bahkan saat Supardjo sedang memimpin pasukan
Kostrad, ia tetap langsung di bawah Omar Dani. Tidak tepat menggambarkan Supardjo,
seperti yang dilakukan John Hughes, sebagai Panglima Komando Tempur Keempat Kostrad
(Hughes, End of Sukarno, 31). Mantan Wakil Perdana Menteri Pertama Subandrio semakin
mengacaukan keadaan dengan pernyataannya bahwa Supardjo “ditarik Suharto ke Kostrad
165
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
menjabat Pangkopur II” (Soebandrio, Kesaksianku Tentang G-30-S, 27). Supardjo tidak
dibawa ke Kostrad, dan Suharto tidak bertanggung jawab atas penugasan Supardjo ke
Kalimantan. Penugasan Supardjo ke Kolaga terjadi akhir 1964, sebelum Suharto diangkat
sebagai wakil panglima. Penulis lain menerima pernyataan keliru Soebandrio dan bahkan
mengangkatnya ke taraf kekeliruan yang lebih jauh, menggambarkan Supardjo sebagai anak
buah Suharto (Harsutejo, G-30-S, 167).
2 Green, Indonesia, 53. Green salah menyebut Supardjo sebagai mantan ajudan militer
Sukarno.
3 Suharto, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, 110.
4 Rey, “Dossier of the Indonesian Drama,” 30; Anderson and McVey, Preliminary Analysis,
11.
5 “Gerakan 30 September” Dihadapan Mahmillub, Perkara Untung, 229-230.
6 Sementara orang ada yang menduga-duga bahwa Supardjo barangkali bersekongkol dengan
Suharto dalam merancang G-30-S karena Supardjo bertemu Suharto di Kalimantan Barat
dalam pekan-pekan menjelang aksi terjadi. Sebagai wakil panglima pasukan untuk konfrontasi,
Suharto memeriksa pasukan di Kalimantan Barat sekitar pertengahan Agustus 1965.
Sebuah foto bersama dari dua tokoh ini dalam kesempatan termaksud tertera di dalam brosur
Nurdin A.S., Supardjo Direnggut Kalong, 16. Wertheim menyebut “perjalanan bersama”
ini sebagai fakta yang patut diperhatikan, walaupun ia mengakui bahwa “berdiri sendiri,
fakta itu tidak memberikan alasan kuat untuk kecurigaan yang lebih konkret.” (Wertheim,
“Suharto and Untung Coup,” 54-55). Supardjo juga bertemu Yani, korban G-30-S, dalam
pekan-pekan sebelum aksi sehingga sekadar fakta tentang adanya pertemuan yang lebih
awal saja tidak membuktikan apa pun.
7 Para penuntut umum Mahmilub menyatakan bahwa Supardjo dan G-30-S sebelumnya
sudah sepakat bahwa isyarat baginya untuk kembali ke Jakarta berupa pesan tentang anaknya
yang sakit. Janda Supardjo, dalam percakapannya dengan saya, membantah pernyataan
tentang pesan sandi itu. Ia menegaskan bahwa anaknya memang sakit keras (wawancara
dengan Ibu Supardjo).
8 Transkrip Mahmilub, sidang Supardjo, Februari-Maret 1967, pleidooi dari tertuduh, 5.
9 Supardjo menceritakan kembali kisahnya ini di depan mahkamah (transkrip Mahmilub,
sidang Supardjo, pleidooi dari tertuduh, 42.
10 Wawancara dengan Sugiarto (anak laki-laki Supardjo).
11 Selagi bergerak di bawah tanah di Jakarta, Sudisman adalah penulis utama otokritik
yang diterbitkan atas nama Politbiro pada September 1966. Supardjo mungkin menulis
analisisnya sesudah membaca dokumen Politbiro itu. Fic berpendapat bahwa Supardjo
menulis analisisnya pada pertengahan Oktober 1966, tapi sumber Fic, yaitu penuntut
umum pada sidang Mahmilub untuk Supardjo, tidak dapat diandalkan untuk informasi
ini karena ia tidak mungkin mengetahui sendiri (Fic, Anatomy of the Jakarta Coup, 330n1).
Fic menyebut dokumen ini sebagai otokritik Supardjo – sepatah kata yang entah mengapa
ditulis dalam huruf-huruf kapital tebal di seluruh bukunya. Istilah otokritik tidak pernah
166
3. DOKUMEN SUPARDJO
muncul di dalam dokumen itu sendiri. Fic tidak mengatakan bahwa istilah itu penamaan
dia sendiri untuk dokumen Supardjo tersebut.
12 Transkrip Mahmilub, proses peradilan Supardjo, sidang keempat, 25 Februari 1967,
49, 55. Dalam pledoinya Supardjo lagi-lagi menyangkal dirinya sebagai penulis dokumen
termaksud (pleidooi dari tertuduh, 23).
13 Transkrip Mahmilub, proses peradilan Supardjo, sidang kelima, 26 Februari 1967, 2.
14 Sekretariat Negara Republik Indonesia, Gerakan 30 September.
15 Transkrip Mahmilub, persidangan Sudisman, kesaksian Sjam, 7 Juli 1967. Bagian yang
memuat kesaksian Sjam ini tidak diberi nomor halaman.
16 Transkrip Mahmilub, persidangan Supardjo, sidang ketiga, 24 Februari 1967, 48-50.
17 Tidak jelas siapa perwira yang dimaksud Supardjo. Setidaknya memang ada dua perwira
yang menarik diri dari rapat perencanaan sesaat sebelum aksi dimulai: Mayor Agus Sigit dan
Kapten Wahyudi, keduanya dari garnisun Angkatan Darat Jakarta. Menurut Atmodjo, Sigit
menarik diri karena ia berpendapat rencana itu tidak akan berhasil. Atmodjo bertemu Sigit di
penjara pada akhir 1960-an. Walaupun Sigit tidak ikut serta dalam G-30-S, di mata militer
kehadirannya pada rapat perencanaan cukup untuk alasan pemenjaraan baginya (wawancara
dengan Heru Atmodjo, 19 Desember 2004). Manai Sophiaan, berdasarkan informasi tangan
kedua dan ketiga, menyatakan bahwa beberapa perwira menarik diri dari komplotan karena
meragukan keberhasilannya (Sophiaan, Kehormatan Bagi Yang Berhak, 89).
18 Transkrip Mahmilub, persidangan Supardjo, sidang keempat, 25 Februari 1967, 18.
19 Wawancara dengan Heru Atmodjo, 14 Desember 2002.
20 Wawancara dengan Rewang.
21 Transkrip Mahmilub, sidang pengadilan Supardjo, sidang ketiga, 24 Februari 1967, 2.
22 Sophiaan, Kehormatan Bagi Yang Berhak, 171-177; Saelan, Dari Revolusi ’45 Sampai
Kudeta ’66, 305-306; G. Kahin, Southeast Asia, 156-57.
23 Walaupun jamak dipercaya di Indonesia bahwa Green ikut campur tangan dalam kup
Jenderal Park, kemungkinan ia tidak terlibat. Setelah memeriksa kembali dokumen-dokumen
yang sudah dideklasifi kasi, Bruce Cumings percaya bahwa Departemen Luar Negeri Amerika
Serikat tidak mengetahui sebelumnya tentang kup tersebut (Cumings, Korea’s Place in the
Sun, 348).
24 Subekti, mantan sekretaris Politbiro CC-PKI, menulis dalam analisisnya tentang G-30-S
pada 1986 bahwa Pono, yang dipenjara bersamanya di Cipinang, Jakarta, menggambarkan
Sjam sebagai orang yang menakut-nakuti dan mengancam mereka yang dalam rapat-rapat
perencanaan G-30-S tidak sependapaat dengannya. (Subekti, “G-30-S Bukan Buatan PKI,”
11).
25 Kesaksian Sjam, transkrip Mahmilub, peradilan Sudisman, 8 Juli 1967.
26 Wawancara dengan Bungkus. Juga lihat komentarnya dalam Anderson, “World of
Sergeant-Major Bungkus,” 24-25.
27 “Gerakan 30 September” Dihadapan Mahmillub, Perkara Njono, 55-56.
167
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
28 Kapten Soeradi, perwira bawahan Latief, dalam kesaksiannya di Mahmilub juga mengatakan
bahwa jumlah sektor ada enam. Dikatakannya, ia pernah diberi keterangan singkat
tentang rencana G-30-S oleh Mayor Soejono pada 23 September. Pada hari berikutnya
ia diperkenalkan oleh Soejono dengan para komandan enam sektor itu. Ia yakin mereka
semua orang-orang PKI. Pada 25 September ia pergi ke Lubang Buaya untuk merencanakan
pekerjaan sektor-sektor dan mendefi nisikan subsektor-subsektor. (“Gerakan 30 September”
Dihadapan Mahmillub, Perkara Untung, 82-83). Masalah sektor ini merupakan kasus lain
dan saya mengandalkan kesaksian-kesaksian di Mahmilub. Dari bukti yang lebih andal
– dokumen Supardjo dan wawancara Juwono, yang akan saya uraikan belakangan – jelas
bahwa G-30-S mempunyai sektor-sektor untuk sukarelawan. Karena baik Njono maupun
Suradi, pada kesempatan terpisah, menyatakan ada enam sektor, lebih tepat bertumpu pada
angka mereka ketimbang pada angka Supardjo.
29 Kesaksian Njono, “Gerakan 30 September” Dihadapan Mahmillub, Perkara Njono, 87-
98.
30 Wawancara dengan Juwono. Juwono nama samaran.
31 Seorang loyalis Sukarno, Manai Sophiaan, mengetahui tentang rencana penyelenggaraan
dapur umum ini ketika ia berbicara dengan mantan anggota-anggota PKI bertahun-tahun
kemudian, lihat Sophiaan, Kehormatan Bagi Yang berhak, 92.
32 Wieringa, Sexual Politics in Indonesia, 292.
33 Ibid., 294. Emblem itu dimaksud untuk membedakan antara pasukan yang ikut aksi
dengan yang tidak.
34 Wawancara dengan Oey Hay Djoen, 24 Januari 2002, Jakarta.
35 Kesaksian Peris Pardede, “Gerakan 30 September” Dihadapan Mahmillub, Perkara Njono,
134. Karena informasi yang diberikan Pardede kepada tentara sesudah ia tertangkap,
Sudisman menganggapnya sebagai pengkhianat PKI (wawancara dengan Tan Swie Ling).
Swie Ling menyembunyikan Sudisman di rumahnya di Jakarta pada 1966.
36 Kesaksian Njono, “Gerakan 30 September” Dihadapan Mahmillub, Perkara Njono, 87-
88.
37 Transkrip Mahmilub, sidang Sudisman, 7 Juli 1967. Menurut analisis Supardjo, Sjam
tidak secara sepihak memutuskan untuk mundur. Pimpinan G-30-S tidak pernah membuat
keputusan setegas itu. Manai Sophiaan menyatakan Sjam mengira massa PKI akan melancarkan
demonstrasi begitu G-30-S dimulai (Sophiaan, Kehormatan Bagi Yang Berhak,
81, 89).
38 CIA, Indonesia – 1965, i.
39 Sekretariat Negara, Gerakan 30 September: Pemberontakan Partai Komunis Indonesia:
Latar Belakang, Aksi, dan Penumpasannya, 121.
40 Transkrip Mahmilub, persidangan Supardjo, pleidooi dari tertuduh, 6, 11. Seperti saya
kemukakan dalam bab 1, dokumen asli Dekrit no. 1 tidak ada, sehingga tidak mungkin
memastikan siapa yang telah menandatanganinya.
41 Transkrip Mahmilub, persidangan Supardjo, sidang ketiga, 24 Februari 1967, 37.
168
3. DOKUMEN SUPARDJO
42 Crouch, Army and Politics in Indonesia, 134. Demokrasi Terpimpin ialah istilah Presiden
Sukarno untuk bentuk pemerintahan yang dimulainya pada 1959. Ia membubarkan Konstituante
yang sedang menyusun UUD baru; memulihkan konstitusi pertama negara, yang
telah ditulis dengan tergesa-gesa pada 1945; menunda pemilihan umum; dan menyusun
kembali anggota parlemen.
43 Mayor Jenderal Pranoto Reksosamodra dipenjarakan pada 16 Februari 1966 dengan
tuduhan terlibat dalam G-30-S. Ia dibebaskan sesudah hampir satu bulan ditahan dan
kemudian dikenai tahanan rumah. Tahun 1969 ia dipenjara lagi dan baru bebas tahun
1981. (Reksosamodra, Memoar, 250-251).
44 Transkrip Mahmilub, persidangan Supardjo, sidang kedua, 23 Februari 1967, 51.
45 Dalam memoarnya Suharto menyebut ia meninggalkan markas Kostrad tapi tidak
menunjuk kapan waktunya. (Suharto, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, 107).
46 Dani membantah pernyataan Supardjo bahwa ia mendukung pemboman terhadap
Kostrad (Katoppo, Menyingkap Kabut Halim 1965, 255). Pada persidangannya Supardjo menyatakan
Dani tidak mendukung pemboman (transkrip Mahmilub, persidangan Supardjo,
sidang kedua, 23 Februari 1967, 55).
47 Wawancara dengan Heru Atmodjo, 14 Desember 2002.
48 Ibid.
49 Kementerian Luar Negeri kepada Kedutaan Besar AS di Jakarta, 13 Oktober 1965, dalam
Department of State, FRUS 1964-1968, 26:320
50 Kedutaan Besar AS di Indonesia kepada Kementerian Luar Negeri, 4 November 1965,
dalam Department of State, FRUS 1964-1968, 26:354.
51 Di depan sidang Mahmilub untuknya Omar Dani bersaksi bahwa Sukarno menolak
Suharto sebagai caretaker sementara, karena ia “terlalu koppig” (dalam Crouch, Army and
Politics in Indonesia, 128).
52 Tentang pemindahan dini Suharto dari kedudukannya sebagai panglima kodam pada
1959, lihat Crouch, Army and Politics in Indonesia, 40, 124-125.
53 Benjamin, Refl ections, 206.
169
4
SJAM DAN BIRO CHUSUS
Keberadaannya mustahil, tak terjelaskan, dan membingungkan
sekaligus. Ia masalah yang tak bisa dipecahkan. Tak terbayangkan
bagaimana ia menjadi ada, bagaimana ia berhasil mencapai sejauh
itu.
Joseph Conrad, Heart of of Darkness (1902)
Dokumen Supardjo memungkinkan kita membongkar sebuah
misteri: hubungan antara para perwira militer (Untung, Latief,
dan Soejono) dan kelompok sipil (Sjam dan Pono) dalam kepemimpinan
Gerakan 30 September. Di antara lima tokoh pimpinan inti,
Sjam tokoh yang terpenting. Sayangnya, dokumen ini tidak membantu
kita menjawab pertanyaan-pertanya-an yang secara logis menyusul:
Siapa Sjam? Apakah Sjam pembantu setia Aidit dan hanya mengikuti
perintah? Kemudian, apakah Aidit pemimpin G-30-S yang sebenarnya,
yang memainkan Sjam dari belakang layar? Atau, apakah Sjam
mempunyai kemandirian, sehingga ia sendiri bisa merancang G-30-S
dan membiarkan Aidit tidak tahu detil rencana? Apakah Sjam lebih
bekerja untuk tentara ketimbang untuk Aidit? Ataukah ia bekerja untuk
pihak ketiga? Biro Chusus yang dipimpinnya itu apa, dan bagaimana
badan itu berfungsi di dalam partai?
Mengingat langkanya bukti, menjadi mungkin untuk membayangkan
beraneka ragam skenario dengan tingkat-tingkat kesalahan
yang berbeda-beda bagi para pelaku yang terlibat. Aidit, misalnya, bisa
170
4. SJAM DAN BIRO CHUSUS
dikemukakan sebagai dalang dari seluruh operasi, secara pribadi terlibat
dalam setiap aspeknya, atau sebagai sosok naif bernasib sial dalam suatu
perangkap terperinci yang direkayasa Sjam. Kinerja dalam tubuh partai
sama sekali kabur, setidak-tidaknya bagi mereka yang berperhatian
terhadap fakta-fakta dan tidak diwajibkan memercayai dongeng-dongeng
yang dipaksakan rezim Suharto terhadap masyarakat Indonesia.
Dalam bab ini saya menyajikan informasi baru yang dapat
membantu mengurangi jumlah skenario yang masuk akal. Tetap banyak
lubang-lubang yang tersisa tapi beberapa unsur kisah dapat dijernihkan.
Banyak dari informasi ini saya peroleh dari seorang mantan anggota partai
yang mengenal Sjam dan Biro Chusus secara rinci dan mendalam. Saya
berbincang dengannya berkali-kali selama beberapa tahun. Sesudah ia
yakin saya dapat dipercaya untuk menerima kisah-kisahnya, dan saya pun
yakin kisahnya dapat dipercaya, kami merekam wawancara dengannya. Ia
juga memberi saya sebuah tulisan otobiografi enam puluh satu halaman
terketik. Karena ia minta agar tetap anonim, saya tidak dapat menceritakan
posisinya di dalam partai dan menjelaskan bagaimana ia dapat
memperoleh pengetahuannya. Saya hanya dapat menegaskan bahwa
saya yakin ia dalam posisi yang memungkinkan untuk tahu dari dekat
kinerja Biro Chusus. Karena ceritanya sampai sekarang merupakan
sumber utama satu-satunya yang ada tentang para anggota biro ini,
selain kesaksian-kesaksian mereka di sidang-sidang Mahmilub, maka
sepatutnyalah cerita ini dikaji dengan seksama. Karena didasarkan atas
ingatan, kisah ini kemungkinan mengandung sejumlah ketidaktepatan.
Namun, saya percaya bahwa kisahnya sebagian besar dapat diandalkan.
Beberapa bagian daripadanya dapat didukung kebenarannya melalui
sumber-sumber lain. Nama samaran yang saya gunakan di sini, Hasan,
dipilih secara acak.
LATAR BELAKANG SJAM DAN BIRO CHUSUS
Kapan Biro Chusus (BC) mulai ada? Menurut Hasan secara teknis Sjam
benar ketika dalam kesaksiannya di sidang mengaku bahwa biro ini mulai
pada 1964.1 Hasan menegaskan nama itu muncul sekitar 1964 tapi
menurutnya organisasinya sendiri telah berfungsi setidak-tidaknya sejak
171
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
awal 1950-an, ketika partai direorganisasi di bawah pimpinan Aidit. Satu
bagian di dalam partai diserahi tugas untuk menumbuhkan dukungan di
kalangan militer. Cabang klandestin partai ini bekerja di dalam Departemen
Organisasi PKI, yang bersifat terbuka, yang mengurus masalahmasalah
seperti pengangkatan, penempatan, dan pendidikan anggota
partai. Sampai 1964 cabang ini dikenal sebagai Bagian Militer pada
Departemen Organisasi. Kebanyakan staf Departemen Organisasi tidak
tahu-menahu tentang keberadaan bagian yang dipimpin oleh seseorang
bernama Karto ini. Dalam kesaksiannya Sjam mengatakan ia sudah ada
di Departemen Organisasi sejak 1960. Hal yang tidak diceritakannya
adalah bahwa ia bekerja di bawah pimpinan Karto sebagai anggota rahasia
departemen tersebut. Ia kemudian menjadi pimpinannya, ketika Karto
meninggal pada 1963 atau 1964.
Hasan menggambarkan Karto sebagai anggota senior PKI yang
bergabung dengan partai pada 1920-an. Ia berasal dari Solo dan ikut
aktif dalam perjuangan bersenjata melawan Belanda dari 1945 sampai
1949. Hasan, ketika itu anggota laskar (milisi rakyat) di Jawa Tengah,
mengenal Karto dalam tahun-tahun perjuangan bersenjata tersebut, dan
sesekali bertemu dengannya dalam tahun-tahun belakangan:
Dia waktu itu [tahun 1940-an] menjadi anggota CC bagian
tani. Bagian tani. Jadi dia punya pengaruh di pedesaan, Pak
Karto itu, di pedesaan. Dan dia karena orang kawakan, orang
yang sudah berpengalaman itu, jadi kader-kader di militer itu
banyak oleh Pak Karto sendiri. Jadi Pak Karto dianggap sebagai
bapaklah, bapak di Jawa Tengah, Pak Karto itu, iya. Orangnya
memang tua, tapi dia ini ya – apa, memang seperti orang ’26,
’27 ya – kalo nggak salah pernah dibuang ke Boven Digul.2
Begitu banyak sengsara, hidupnya di kantor BTI, tidak punya
istri, tapi kemudian kena kanker. Kanker, terus dibawa ke
Soviet. Soviet bilang terus nggak sanggup, ini tinggal tunggu
enam bulan, kembali lagi ke sini terus enam bulan betul-betul
mati, ’63 atau ’64.3
Dua mantan pimpinan PKI bercerita kepada saya bahwa nama
samaran Karto ialah Hadi Bengkring karena badannya yang sangat kurus
172
4. SJAM DAN BIRO CHUSUS
(bengkring, perkataan dalam bahasa Jawa, berarti kurus atau kerempeng).
Menurut ingatan Hasan, Karto meninggal akibat kanker paru-paru karena
ia seorang perokok berat sepanjang hidupnya. Kebiasaan ini tidak pernah
ditinggalkannya pada saat ia sudah menderita kanker sekalipun.4
Waktu di dalam penjara bersama mantan tokoh-tokoh PKI sesudah
1965, Siauw Giok Tjhan, pimpinan organisasi masyarakat Tionghoa
Indonesia yang pro-Sukarno, Badan Permusyawaratan Kebangsaan
Indonesia (Baperki), mendengar bahwa Karto ialah kepala Bagian Militer
dalam partai. Siauw tidak banyak tahu tentang PKI sebelum 1965 dan
tentu saja tidak tahu apa-apa tentang siapa Karto. Di penjara Siauw
menjadi semacam ilmuwan sosial yang mengumpulkan informasi tentang
G-30-S untuk memahami bagaimana gerakan itu terjadi. Ia menulis
dalam analisisnya yang belum pernah diterbitkan bahwa Karto “adalah
seorang tua, salah seorang pendiri PKI yang dihormati oleh banyak tokoh
PKI.”5
Seorang mantan anggota parlemen dari fraksi PKI, Oey Hay Djoen,
mengenang Karto sebagai tokoh terkenal di dalam partai, “Ia seorang
kawan yang sepertinya ada di mana-mana dan ke mana-mana, selalu saja
dan kapan saja. Tapi ia tidak bertingkah congkak. Ia seorang kawan yang
pendiam; kadang-kadang tersenyum. Tapi ia selalu ada di sekitar partai.
Dan ia disegani. Orang tahu ia seorang tokoh penting walaupun tidak
mempunyai kedudukan apa pun. Kami tidak menyoalkannya.”6
Justru karena kedekatannya dengan banyak tokoh militer dalam
revolusi Indonesia, Karto lalu bertanggung jawab meneruskan hubungan
partai dengan mereka sesudah kemerdekaan nasional tercapai. Pada 1950-
an dan awal 1960-an, selagi tetap menjadi pimpinan partai secara terbuka
di Jakarta, ia menjaga jaringan hubungan rahasia di kalangan militer di
seluruh negeri. Di setiap provinsi sementara anggota partai menjalin
kontak dengan para perwira. Hasan berkata, “Umumnya di daerah itu
Pak Karto mengambil anak daerah dari daerah itu sendiri, dari BC itu.
Tapi wakilnya, wakilnya itu dikirim oleh Pak Karto dari orang Jawa, orang
Sunda, ada yang dikirim ke sana, wakil-wakilnya. Tapi kalau kepalanya,
kepala BC itu mesti orang situ; Padang ya orang Padang. Medan, orang
Medan, kepala-kepalanya. Tapi wakilnya itu kader-kadernya Pak Karto
yang dikirim ke sana. Untuk mengawasi supaya jangan sampai dia keliru
dalam melaksanakan itu. Banyak, dari Solo, Yogya, Jawa Timur itu, yang
173
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
di luar Jawa itu, di Riau, Padang, di Sulawesi Utara juga, Banjarmasin.”
Dalam pekerjaan legalnya Karto seorang pemimpin yang teliti
dan sangat memperhatikan watak kader partai. Hasan meneruskan,
“Pak Karto, waduh, pimpinannya njelimet itu, soal kecil-kecil mesti
dia tanyakan, ya kecil-kecil itu. Ya semangat ‘26-’27 itu kan keras gitu,
terhadap kader itu keras sekali dia. Kalau Pak Karto mendalam, ‘Di desa
kamu itu kader mana itu?’ Sekecil-kecilnya, ‘Kader itu sudah berbuat
apa, kamu sudah berbuat apa di desa itu, menguntungkan atau tidak
bagi kaum tani?’ Waduh, ini harus ‘Belum, belum.’ Nanti seminggu dia
ingat lagi soal kecil-kecil.”
Dari penggambaran Hasan, Karto tampaknya banyak mempunyai
kesamaan pandangan dengan Tan Ling Djie, pimpinan partai yang disingkirkan
Aidit dan kawan-kawan pada 1951. Model partai yang semula
merupakan organisasi kader-kader militan yang terpercaya, benar-benar
terpilih, terlatih baik, yang hidup di tengah-tengah kaum tani dan kaum
buruh dan membangun kekuatan mereka dari bawah. Kader angkatan
tua yakin, partai harus dirancang untuk bertahan terhadap kesakitan
penindasan, seperti yang terjadi pada masa kolonialisme Belanda dan
pendudukan Jepang, dan berupaya menuju perebutan kekuasaan negara
dengan gerakan bersenjata. Sementara kalangan melihat strategi Aidit
sebagai pemborjuisan partai: anggota-anggota partai menjadi pejabat
pemerintahan, tinggal di rumah-rumah besar di ibu kota, menerima dana
dari kaum pengusaha, dan mendukung politik populis Sukarno. Banyak
dari tokoh angkatan tua PKI tidak bertahan lagi di dalam pimpinan
begitu generasi Aidit mengambil alih kepemimpinan partai. Karto
rupanya menemukan cara tertentu untuk tetap menjadi tokoh penting
partai, mungkin dengan jalan kompromi sambil tetap berpegang pada
pendapat-pendapatnya yang berbeda. Lebih dari itu, jaringan kontaknya
yang luas dengan militer tentu membikin sulit pimpinan generasi muda
untuk mendepaknya keluar.
Bagian Militer, bentuk awal Biro Chusus, secara alamiah timbul
dari pengalaman partai dengan perjuangan bersenjata yang tersebar
tanpa persiapan antara 1945-1949. Banyak pemuda yang simpati kepada
gerakan kiri bergabung dalam laskar-laskar dan berhasil masuk ke tentara
reguler. Ketika perjuangan bersenjata berakhir, partai tidak mau kehi174
4. SJAM DAN BIRO CHUSUS
langan para simpatisan ini dan juga sebaliknya. Untuk mengembangkan
Bagian Militer pimpinan partai tidak merujuk ke ranah esoterik teori
Partai Komunis. Kerja ini sekadar mempertahankan kontak dengan
personil militer yang belum terpisahkan dari afi liasi mereka dengan kaum
politisi sipil. Mantan anggota Politbiro Iskandar Subekti menulis, dalam
penuturan rahasianya pada 1986 tentang G-30-S, bahwa “BC Central
merupakan satu badan yang khusus mengurus kawan-kawan di kalangan
ABRI.”7
Berlawanan dengan propaganda rezim Suharto, Biro Chusus
bukanlah suatu skema licik dan jahat yang hanya ditemui pada PKI.
Partai-partai politik lain juga memiliki jaringan serupa di kalangan militer.
Partai Sosialis Indonesia (PSI), misalnya, mempunyai jaringannya sendiri
di kalangan para perwira.8 Justru hubungan inilah yang memudahkan
kerja sama antara PSI dan kolonel-kolonel pembangkang dalam pemberontakan
PRRI/Permesta, 1957-58, di Sumatra dan Sulawesi (lihat Bab
6 tentang pemberontakan-pemberontakan ini). Untuk membangun aura
keramat di sekitar tubuh militer, rezim Suharto menggambarkan Biro
Chusus sebagai infi ltrasi asing oleh musuh jahat yang gigih dan khas
terhadap militer. Padahal militer sesudah kemerdekaan penuh dengan
bermacam-macam klik berdasarkan kecenderungan politik masingmasing.
Seperti dinyatakan Daniel Lev, para perwira “selalu berhubungan
dengan kelompok-kelompok sipil dalam suasana pascarevolusi Indonesia
yang sangat dipolitisasi.” Para perwira militer “mempertahankan atau
mengembangkan hubungan dengan partai-partai politik, berdasarkan
hubungan pribadi mereka sendiri atau melalui hubungan keluarga dan
hubungan sosial.”9
Sesudah Karto meninggal, Aidit mengangkat Sjam sebagai penggantinya.
Di kalangan tahanan politik PKI tersebar desas-desus bahwa
sebelum meninggal Karto meminta agar Aidit tidak menunjuk Sjam.10
Desas-desus itu mungkin saja benar. Hasan mengatakan bahwa watak
Sjam – pembual, agresif, dan tidak sabar – bertentangan dengan watak
Karto. Menurut Hasan, pengangkatan Sjam di Biro Chusus disebabkan
oleh kesukaan Aidit kepadanya. Sjam dikenal sebagai orangnya Aidit.
Ia sudah lama bersahabat dengan Aidit, beda dengan Pono dan Bono,
yang dipandang sebagai orang-orangnya Karto.
Sjam bersaksi bahwa ia mulai bekerja sebagai kepala Biro Chusus
175
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
pada November 1964. Tapi Hasan yakin ia sudah bekerja beberapa
waktu sebelum Mei 1964. Untuk alasan-alasan yang tidak diketahui,
oleh tangan-tangan tak dikenal, jaringan Karto diganti namanya dengan
Biro Chusus pada sekitar saat pergantian pimpinan. Bila Karto seorang
anggota partai yang berpengalaman, terkenal, dan disukai orang, yang
menggabungkan kerja terbuka dengan jaringan kerja militer tertutup,
Sjam seorang tokoh tak dikenal dalam partai yang bergerak di bawah
bayang-bayang.
Tidak banyak diketahui dengan pasti tentang masa kanak-kanak dan
masa muda Sjam. Dalam kesaksiannya di ruang sidang ia menceritakan
garis besar riwayat hidupnya. Ia lahir di Tuban, sebuah kota di pantura
Jawa Timur, sekitar 1924. Ia bersekolah di Sekolah Menengah Pertama dan
Sekolah Pertanian Menengah Atas di Surabaya. Ketika Jepang memasuki
Jawa pada 1942 dan sekolah pertanian itu harus ditutup, ia meninggalkan
bangku sekolah sebelum tamat belajar. Ia pindah ke Yogyakarta pada
sekitar saat itu dan masuk Sekolah Menengah Dagang. Pada waktu saya
melakukan penelitian sejarah lisan tentang eks tapol, saya bertemu dengan
Sukrisno, yang ternyata teman dekat Sjam di Yogyakarta.11 (Seperti
Hasan, Sukrisno tidak mau dikenal dengan nama yang sesungguhnya.)
Ia membenarkan Sjam lahir pada 1924 dan bersekolah di sekolah dagang
di Yogyakarta. Di sekolah itulah keduanya menjadi berteman. Sukrisno
juga membenarkan apa yang sudah diketahui sementara sejarawan bahwa
Sjam adalah anggota yang disebut sebagai kelompok Pemuda Pathuk.12
Menurut ingatan Sukrisno, pada sekitar 1943 pemuda-pemuda kota
Yogya yang ingin melawan tentara pendudukan Jepang mulai berkumpul
di kampung Pathuk. Pimpinan kelompok ini adalah Djohan Sjahroezah
dan Dayino; kedua-duanya tergabung dalam Partai Sosialis. Kadangkadang
pimpinan senior Partai Sosialis tingkat nasional seperti Sutan
Sjahrir datang berkunjung. Menurut janda Dayino, Ibu Oemiyah,
Sjam memang anggota Pemuda Pathuk.13 Baik Ibu Oemiyah maupun
Sukrisno ingat bahwa Sjam ikut dalam penyerangan terhadap kantor
utama pemerintah Jepang di Yogyakarta pada September 1945. Massa
rakyat mengepung kantor itu, sementara para pemuda militan, di antara
mereka adalah anggota Pemuda Pathuk, menurunkan bendera Jepang
dan menaikkan bendera Indonesia.
Kegiatan Sjam sesudah meninggalkan Yogyakarta merupakan
176
4. SJAM DAN BIRO CHUSUS
misteri. Dalam kesaksiannya di persidangan, Sjam mengaku masuk PKI
pada 1949. Menurut Benedict Anderson ada bukti dokumenter yang
memperlihatkan bahwa Sjam pernah bekerja sebagai pegawai pemerintah
negara boneka Belanda di Jawa Barat pada 1949 dan menjadi ketua
PSI cabang Banten pada 1950-51.14 Bukti demikian memperlihatkan
bahwa ia bukanlah seorang nasionalis yang militan selama tahun-tahun
perjuangan tersebut dan bukan pula anggota PKI pada awal 1950-an.
Sesudah Peristiwa Madiun 1948 kaum sosialis dan kaum komunis pecah.
Walaupun pada waktu di Yogyakarta ia dekat dengan kaum sosialis, Sjam
tidak mungkin bersekutu dengan kedua-duanya sekaligus, PSI dan PKI,
pada awal 1950-an itu.
Sukrisno menjernihkan kekeruhan di seputar kegiatan Sjam. Ia dan
Sjam meninggalkan Yogyakarta bersama-sama pada 1947 dan pindah ke
Jakarta. Mereka tinggal di rumah yang sama, bekerja di kantor yang sama,
mempelajari Marxisme-Leninisme dari guru yang sama, dan bersamasama
mendirikan serikat untuk buruh pelabuhan. Ia barangkali teman
terdekat Sjam dari 1943 sampai 1950. Menurut Sukrisno pimpinan Partai
Sosialis dalam kelompok Pathuk mengirim lima pemuda ke Jakarta pada
1947. Ketika itu Belanda sudah menduduki ibu kota tetapi mengijinkan
Republik Indonesia, yang berkeduduk-an di Yogyakarta, untuk membuka
kantor beberapa kementerian tertentu di Jakarta. Pimpinan Partai Sosialis
mengingini agar lima pemuda itu membantu para pejabat Republik
di Jakarta menyelundupkan perbekalan dan uang ke Yogyakarta. Lima
orang itu dipilih karena mereka dapat diandalkan, berakal panjang, dan
cukup berpendidikan; mereka bukan sekadar pemuda-pemuda militan
yang hanya baik untuk perang. Kelima-limanya, saat itu berumur awal
dua puluhan, ialah Munir, Hartoyo, Widoyo, Sjam, dan Sukrisno sendiri.
Setelah tiba di Jakarta, mereka segera menghubungi para pejabat Republik
dari berbagai kementerian. Sjam dan Sukrisno mulai bekerja di Kementerian
Penerangan, yang kantornya untuk daerah Jawa Barat berkedudukan
di Jakarta. Mereka menerima gaji dan jabatan cukup tinggi sebagai
pegawai pemerintah meskipun pekerjaan mereka semacam kombinasi
antara pekerjaan pesuruh kantor dan agen terselubung. Sukrisno ingat,
suatu ketika Sjam diperintahkan membawa uang tunai sangat banyak dari
kantor untuk membeli ban-ban mobil, kemudian mengatur pemuatan
ban-ban itu di kereta api yang menuju ke pedalaman Jawa. Buruh kereta
177
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
api di stasiun Manggarai di Jakarta membantu pengangkutan perbekalan
untuk pasukan Republik ini.
Lima pemuda itu tinggal di Jalan Guntur di sebuah rumah yang
dikosongkan oleh Residen Bogor, seorang nasionalis, yang pindah ke
ibu kota Republik di Yogyakarta. Tidak lama kemudian mereka bertemu
beberapa orang pemuda pelajar dan mahasiswa yang baru kembali
dari Belanda. Di negeri itu mereka menjadi anggota Partai Komunis
Belanda (CPN) dan ikut dalam perjuangan antifasis bawah tanah dalam
masa perang dunia. Salah seorang di antara mereka, Hadiono Kusumo
Utoyo, bekerja bersama Sjam dan Sukrisno di kantor Kementerian Penerangan
di Jakarta. Ia menjadi mentor mereka dalam Marxisme dan
Leninisme.15 Sekali sepekan, dengan jadwal teratur, mereka berjalan ke
rumah Utoyo di Jalan Kebon Sirih untuk belajar di bawah bimbingannya.
Sukrisno mengenang sebuah buku yang mereka baca ketika itu
adalah karya Lenin State and Revolution dalam terjemahan Belanda. Dari
tokoh-tokoh komunis di Belanda mereka pernah menerima kopor-kopor
penuh buku-buku yang dengan bantuan para pelaut diselundupkan
ke kota Jakarta. Pendidikan politik ini merupakan pengalaman yang
mencerahkan bagi mereka. Pimpinan Partai Sosialis dalam kelompok
Pathuk telah memberi Sukrisno dan kawan-kawan lebih dari sekadar
sebuah tempat berkumpul dan semangat kerakyatan pada umumnya.
Menurut Sukrisno aspirasi awalnya adalah ingin menjadi orang penting
dalam pemerintahan pascakemerdekaan dengan pangkat tinggi dan gaji
besar. Saat belajar tentang komunisme dari mantan anggota-anggota
CPN yang baru kembali, Sukrisno merasa mendapat pengetahuan yang
berbobot dan ilmiah. Ia mengubah rencana kariernya. Ia dan Sjam keluar
dari pekerjaan mereka di Kementerian Penerangan, masuk PKI, dan
mulai mengorganisasi serikat buruh, mula pertama di bengkel reparasi
kendaraan bermotor pemerintah pendudukan Belanda, kemudian di
pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Mereka mendirikan Serikat Buruh
Kapal dan Pelayaran (SBKP) pada akhir 1948 dan menjadi pimpinanpimpinan
terkemukanya sampai Februari 1950, ketika serikat buruh ini
berfusi dengan serikat sekerja sejenis yang bergerak di daerah Republik,
yaitu Serikat Buruh Pelabuhan dan Pelayaran (SBPP). Sukrisno dan Sjam
tidak mencalonkan diri dalam pemilihan pimpinan untuk serikat buruh
baru, yang mempertahankan nama SBPP. Mereka malahan ditunjuk
178
4. SJAM DAN BIRO CHUSUS
untuk menduduki posisi dalam PKI. Dengan pembubaran serikat buruh
mereka, Sukrisno dan Sjam berpisah untuk menempuh jalan masingmasing.
Bertahun-tahun kemudian Sukrisno kadang kala bertemu Sjam.
Sjam pernah meminta bantuannya untuk mengontak beberapa teman
lama di kelompok Pathuk yang telah menjadi perwira militer. Sukrisno
menduga peranan Sjam dalam partai ialah untuk mengurus para perwira,
tapi ia tidak tahu apa persisnya peranan Sjam dan juga tidak tahu-menahu
tentang adanya Biro Chusus.
Sukrisno yakin Sjam tidak bekerja untuk negara boneka Belanda,
Negara Pasundan, pada 1949. Ia bekerja di Jakarta sebagai pegawai negeri
pemerintah Republik dari 1947 sampai 1948 dan sibuk mengorganisasi
serikat buruh dari 1948 sampai 1950. Pertanyaan barangkali timbul
karena Sjam bekerja di daerah pendudukan Belanda untuk Kementerian
Penerangan daerah Jawa Barat. Sukrisno juga yakin ia bukan anggota
PSI pada awal 1950-an. Sjam benar ketika memberikan kesaksiannya
bahwa ia masuk PKI pada 1949. Sukrisno juga masuk partai dalam tahun
yang sama. Walaupun lima anggota kelompok Pathuk yang dikirim ke
Jakarta semuanya masuk PKI pada akhir 1940-an, mereka tetap bersahabat
dengan tokoh-tokoh sosialis yang telah membimbing mereka di
Yogyakarta.16 Kelima-limanya tetap bergaul dengan tokoh-tokoh PSI
bahkan ketika hubungan antara kedua partai politik itu menjadi sangat
antagonistik.
Bagaimana Sjam berkenalan dengan Aidit merupakan kisah yang
didasarkan pada kesimpulan atas sekian dugaan. Sukrisno membenarkan
tulisan sejarawan Jacques Leclerc bahwa Sjam membantu Aidit muncul
kembali pada pertengahan 1950 setelah dua tahun hidup di bawah tanah.
Segera sesudah Peristiwa Madiun pecah pada 1948, ketika tentara di
bawah Sukarno dan Hatta menyerang PKI, Aidit melarikan diri dari Jawa
Tengah dan bersembunyi di Jakarta – kota yang sudah sangat dikenalnya
sejak ia menjadi aktivis nasionalis pada pertengahan 1940-an. Begitu
Belanda pergi pada 1949 dan keadaan aman untuk muncul kembali,
Aidit dan seorang pimpinan lain PKI, Lukman, memilih muncul dulu di
pelabuhan Tanjung Priok, seakan-akan mereka baru saja turun dari kapal.
Mereka mengaku bahwa sebelumnya mereka berada di Vietnam dan
Tiongkok, dan menyaksikan langsung revolusi kaum komunis di sana.
Menurut cerita Sukrisno, Sjam diberi tugas mengawal Aidit keluar dari
179
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
pelabuhan, “Saya pergi dengan Sjam ke Tanjung Priok hari itu, tapi tidak
ikut bersama dengannya ke dermaga bertemu Aidit. Karena saya belum
pernah melihat Aidit, saya tidak tahu seperti apa wajah dan sosoknya.
Saya ada di luar.” Rupanya Sjam pernah bertemu Aidit sebelumnya karena
ia dapat mengenalinya. Menurut Leclerc, Sjam memudahkan Aidit dan
Lukman melalui kantor imigrasi saat mereka mengalami sedikit kesulitan
karena mereka tidak memiliki dokumen-dokumen yang diperlukan.17
Paling tidak, dari saat di Tanjung Priok itulah Aidit tentunya merasa
berutang budi kepada Sjam untuk pertolongannya dalam memperagakan
sekelumit sandiwara tersebut.
Sjam tampaknya masuk di Bagian Militer di bawah pimpinan Karto
sekitar 1950-an. Walaupun ia mengaku sudah masuk di Departemen
Organisasi PKI (yang membawahi Bagian Militer) pada 1960, sangat
mungkin ia sudah masuk jauh sebelumnya. Dalam persidangannya
Supardjo mengatakan, ia sudah mengenal Sjam sebagai agen rahasia
PKI sejak 1956.18 Sukrisno mengatakan, dari teman-teman dan kenalankenalannya
di kelompok Pathuk yang bergabung dalam ketentaraan
saja tentunya Sjam sudah mempunyai jaringan kontak siap pakai di
kalangan militer. Sjam mungkin tidak akan ditunjuk menjadi kepala
Biro Chusus pada 1963 atau 1964 jika ia tidak mempunyai jejak panjang
dalam pekerjaan rahasia atas nama partai. Sjam tentu harus membuktikan
dirinya kepada Aidit selama bertahun-tahun, sampai saat Aidit memiliki
kepercaya-an penuh terhadap kesetiaannya kepada partai serta kemampuannya
dalam membangun hubungan dengan para perwira militer.
KINERJA BIRO CHUSUS DI BAWAH SJAM
Pada saat G-30-S meletus Sjam bukanlah seorang perwira militer dengan
pangkat tinggi, bukan juga seorang tokoh politik sipil terkemuka. Tak
seorang pun berpikir bahwa sosok yang tampak tidak berarti ini adalah
pimpinan sebuah operasi militer yang ambisius untuk merebut “seluruh
kekuasaan” sampai ketika Sjam sendiri memberi kesaksian demikian pada
1967. Para pengamat pada umumnya mengira ia tak lebih dari seorang
fungsionaris partai tak berwajah dan mudah diganti yang kebetulan
dipilih Aidit sebagai perantara. Sejak Sjam tampil di sidang Mahmilub
180
4. SJAM DAN BIRO CHUSUS
peranannya di dalam partai telah menjadi sumber banyak spekulasi.
Keterangan dari Hasan menjernihkan beberapa misteri di sekitar Sjam
dan Biro Chusus.
Menurut Hasan, Biro Chusus di Jakarta merupakan tim lima orang,
yang disebut Biro Chusus Pusat. Pono sebagai asisten Sjam, Bono sekretaris,
Wandi bendahara, dan Hamim pelatih untuk kader BC.19 Dari
lima orang itu hanya Sjam, Pono, dan Bono yang menjalin hubungan
dengan personil militer untuk tujuan pertemuan intelijen. Wandi dan
Hamim bekerja sebagai staf pembantu mereka. Di kebanyakan provinsi
ada tim tiga orang yang disebut Biro Chusus Daerah. Walaupun Biro
Chusus Pusat mengutamakan para perwira yang ada di Jakarta, biro
daerah melengkapi pekerjaan Biro Chusus di pusat.
Kelima orang anggota Biro Chusus Pusat tidak dikenal umum
sebagai anggota PKI. Mereka secara sadar berusaha memastikan bahwa
masyarakat tidak melihat mereka sebagai anggota partai ataupun simpatisannya.
Masing-masing muncul sebagai usahawan. Kata Hasan, “Sjam
mempunyai perusahaan pabrik genteng. Bono mempunyai perusahaan
bengkel, Pono mempunyai perusahaan restoran. Hamim memegang
perusahaan bus. Jadi keluar itu mereka sebagai orang-orang yang hidup
di tengah masyarakat dengan kamufl ase-kamufl ase yang berlaku di masyarakat,
begitu. Tetangga itu nggak tahu, dia kira dia bukan orang PKI
karena tiap hari jam enam berangkat ke kantor. Kalau salah seorang punya
perusahaan dia dapat mobil, pakai mobil mereka.” Untuk melengkapi
penyamarannya Sjam berdasi dan berjas serta mengendarai mobil sport
yang mewah. Akan berlebihan untuk mencurigai Sjam adalah anggota
suatu partai yang membenci kemewahan hidup dan mengawasi dengan
ketat sumber penghasilan anggota-anggotanya. Bahwa anggota-anggota
Biro Chusus mempunyai perusahaan dibenarkan oleh mantan tapol,
Martin Aleida, yang pernah berbagi sel pada 1976 dengan seseorang
bernama Suherman, yang mengelola sebuah toko besar di bilangan Pasar
Baru, salah satu pusat perdagangan utama di Jakarta. Kepada Aleida
Suherman menjelaskan, ia mengelola toko itu atas nama Biro Chusus.
Ia juga mengatakan, di samping tokonya ada perusahaan lain milik Biro
Chusus, sebuah bengkel tempat bekerja banyak pensiunan ahli mesin
dari AURI.20
Tentang anggota Biro Chusus yang sebelumnya pernah menjadi
181
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
anggota partai secara terbuka disebarkan desas-desus bahwa mereka telah
dipecat dari partai. Mereka dituduh telah berkhianat terhadap partai atau
melakukan pelanggaran disiplin partai (soal perempuan, misalnya). Jika
kebetulan mereka bertemu kawan-kawan lama, mereka akan mengatakan
tidak lagi setuju dengan partai atau bahkan sudah membencinya.
Hasan mengingat kembali, “Pono itu berasal dari Pekalongan, jadi datang
ke Jakarta, orang Jakarta tidak tahu Pono itu dari mana. Jadi mereka
yang ngerti dulu itu si Pono itu misalnya dari PKI dulu, kenapa dia
pergi? Ya pergi aja meninggalkan partai. Jadi jelek gitu, dijelek-jelekin
itu lho.” Seperti halnya Pono, Hamim dikenal sebagai anggota PKI.
Ia pernah mengajar di sekolah partai tentang Marxisme-Leninisme di
Jakarta (Akademi Aliarcham) pada awal 1960-an. Tapi ia meninggalkan
sekolah ini dalam suasana misterius pada 1964. Mantan wakil direktur
akademi ini, Sucipto, menceritakan kepada saya bahwa ia mendapat kesan
Hamim telah memutus semua hubungan dengan partai. Jika Hamim
bertemu anggota PKI, ia akan menyatakan kepada mereka bahwa ia tidak
lagi sejalan dengan partai. Sucipto kaget ketika nama Hamim disebut,
sesudah peristiwa 1965, sebagai anggota Biro Chusus.21
Tim tiga orang di daerah-daerah juga terdiri dari tokoh-tokoh yang
tidak dikenal sebagai kader PKI. Misalnya mereka bekerja sebagai manajer
hotel, usahawan, dan guru sambil tetap merahasiakan hubungan mereka
dengan PKI. Bahkan para pimpinan PKI di daerah mereka pun mungkin
tidak me-ngetahui siapa anggota Biro Chusus di provinsinya. Beberapa
anggota Comite Daerah Besar (CDB) ada yang tahu identitas mereka,
tapi beberapa lainnya tidak tahu.22
Para istri anggota partai ini tidak boleh disangkut-pautkan dengan
PKI. Sjam memaksa istrinya mengundurkan diri dari kegiatannya sebagai
aktivis di Barisan Tani Indonesia (BTI). Rupanya, hal ini menimbulkan
konsekuensi yang mencelakakan baginya. Menurut Hasan, “Sjam
kawin dengan seorang guru di Jawa Barat – orang Jawa Barat. Begitu
dia menjadi istrinya, lepaskan semua, jadi istri itu ndak boleh diketahui
oleh masyarakat bahwa dia itu orang komunis atau orang prokomunis.
Dia sendiri nggak puas, ‘Masak saya jadi seorang aktivis revolusioner
kok begini, di rumah saja, nggak boleh ini, nggak boleh itu. Nulis saja
nggak boleh.’ Makanya dia berontak itu. Sampai meninggal dia, sakit,
sakit kanker atau apa, sebelum 1965.”23
182
4. SJAM DAN BIRO CHUSUS
Lima anggota Biro Chusus Pusat bertemu satu kali setiap bulan.
Demi alasan keamanan mereka tidak mempunyai kantor sendiri. Mereka
bertemu di berbagai tempat di sekitar kota. Rapat-rapat itu bukan
merupakan kesempatan untuk berdebat atau diskusi-diskusi bebas.
Hanya terjadi pertukaran informasi di antara mereka berlima tentang
perkembangan masing-masing dalam melaksanakan tugas-tugasnya.
Sjam akan meneruskan informasi dari Aidit dan menyampaikan garis
partai tentang masalah-masalah politik mutakhir. Ia kemudian akan
mengutus yang lain untuk melakukan tugas-tugas tertentu sepanjang
satu bulan ke depan.
Hasan membenarkan pendapat Sjam bahwa Biro Chusus bekerja
di bawah Aidit sendiri. Beberapa anggota Politbiro dan Central Comite
mengetahui keberadaan Biro Chusus, tapi mereka belum tentu tahu
siapa-siapa yang ada di dalamnya. Biro Chusus melapor hanya kepada
Aidit dan menerima perintah hanya dari Aidit. Seperti dikemukakan Sjam
dalam kesaksiannya, “Biro Chusus adalah aparat dari Ketua partai.”24
Iskandar Subekti juga membenarkan bahwa biro ini merupakan “suatu
badan pembantu Ketua CC [Aidit] yang dibentuk di luar ketentuan
Konstitusi Partai, sebab tidak ada satu fasal pun di dalam Konstitusi Partai
yang menyebut adanya badan tersebut. Badan ini bertugas mengurusi,
memelihara, merekrut anggota-anggota Partai di dalam tubuh ABRI
secara ilegal (sebab secara legal tidak mungkin). Aidit meminta Jimin
[Sjam] menangani kekuatan Partai di dalam ABRI ini.”25
Mereka yang di Biro Chusus Pusat di Jakarta melakukan sejumlah
tindakan pencegahan untuk menjaga kerahasiaan operasi mereka. Keprihatinan
utama mereka adalah jika para perwira antikomunis di dalam
intelijen ABRI sampai mengetahui bahwa mereka bekerja untuk PKI.
Agar kelima orang itu tidak tampak bekerja bersama, mereka jarang
bertemu sebagai sebuah kelompok selain pada pertemuan bulanan
tersebut. Biasanya, untuk bertemu satu sama lain atau menemui kontak
tertentu, masing-masing tidak akan menunggu lebih dari sepuluh menit
jika salah seorang belum datang. Mereka mengartikan keterlambatan
sebagai kemungkinan orang yang ditunggu tertangkap dan terpaksa
mendedahkan kerahasiaannya.
Hasan tidak tahu pasti bagaimana Sjam mengatur pertemuannya
dengan Aidit, sehingga kedok Sjam sebagai usahawan swasta tidak me183
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
nimbulkan kecurigaan. Hasan menduga Sjam datang ke rumah Aidit
– mereka tinggal berdekatan di kawasan tingkat atas Jakarta – dan
pertemuan mereka menampak sebagai anjangsana antartetangga belaka.
Karena orang-orang yang datang ke rumah Aidit berasal dari berbagaibagai
latar belakang, kedatangan Sjam tidak akan menarik perhatian.
Sebagai seorang tokoh politik berpengaruh, Aidit dengan sendirinya
dicari banyak orang. Agaknya akan sulit bagi agen intelijen untuk melacak
jejak setiap orang yang mengunjunginya.
Apa yang bisa dilihat orang dari luar hanyalah bahwa Sjam, Pono,
dan Bono adalah pengusaha-pengusaha swasta yang merangkap sebagai
agen-agen intelijen ABRI, tapi tidak mempunyai hubungan yang berarti
dengan PKI. Jika hubungan mereka dengan PKI itu pun diketahui,
kiranya tidak akan jelas apakah mereka itu mata-mata tentara yang bekerja
di dalam PKI atau sebaliknya. Kemenduaan arti seperti itu sangat penting
karena Sjam, Pono, dan Bono tidak melengkapi diri dengan kedok yang
sempurna. Beberapa mantan kader tinggi partai mengenang dalam
wawancara mereka dengan saya bahwa mereka samar-samar mengenal
dan tahu tiga orang itu sebagai anggota Departemen Organisasi PKI
(walaupun informan-informan saya tidak mengetahui keberadaan Biro
Chusus). Kendatipun tiga orang itu tidak hadir secara mencolok dan
vokal di kantor CC-PKI, kenyataan bahwa terkadang mereka muncul di
sana pastilah sudah melemahkan kedok mereka. Bahwa beberapa anggota
partai yang bicara kepada saya tahu, termasuk Sukrisno, ketiga orang itu
anggota partai mengesankan bahwa anggota-anggota partai yang lain
juga tahu.
Agen-agen intelijen ABRI yang memantau kantor CC-PKI dan
rumah Aidit kemungkinan sudah mempunyai rekaman tentang Sjam,
Pono, dan Bono. Tapi tidak jelas apakah agen-agen tersebut juga tahu
bahwa mereka bertiga sering datang ke kantor-kantor militer atau tahu
dengan pasti bahwa mereka bekerja untuk PKI. Jelas bahwa jaringan
intelijen Angkatan Darat di bawah Mayor Jenderal S. Parman tidak
mengetahui identitas mereka bertiga. Pada 1965 komando tertinggi
Angkatan Darat khawatir terhadap PKI dan mengetahui partai ada
hubungan dengan sejumlah perwira militer. Jika Mayjen Parman,
sang kaisar intelijen, tahu bahwa Sjam adalah tokoh kunci partai yang
menangani kontak dengan militer, ia tentu akan terus-menerus menga184
4. SJAM DAN BIRO CHUSUS
wasinya dengan seksama. Barang siapa mengikuti Sjam dalam Agustus
dan September 1965 akan menangkap ada sesuatu yang bakal terjadi.
Tewasnya Parman di tangan G-30-S itu sendiri menunjukkan ketidaktahuannya
mengenai identitas Sjam.26
Menjamurnya agen-agen intelijen dan informan-informan di
Jakarta menguntungkan upaya mempertahankan kerahasiaan di sekitar
Biro Chusus. Begitu banyak mata-mata dan agen ganda sehingga sulit
bagi badan mana pun untuk selalu melacak bahkan sebagian kecil dari
mereka sekalipun. Parman dari Angkatan Darat mempunyai perkakasnya
sendiri. Jenderal Nasution, sebagai menteri pertahanan, mempunyai
jaringan intelijennya sendiri. Suharto di Kostrad mempunyai sendiri,
demikian pula halnya polisi militer. Wakil Perdana Menteri (Waperdam)
I dan Menteri Luar Negeri Soebandrio mempunyai badan intelijen di
bawah pimpinannya, Badan Pusat Intelijen (BPI). Angkatan Laut,
Angkatan Udara, dan Angkatan Kepolisian, semuanya mempunyai
jaringan intelijen sendiri-sendiri. Komando Operasi Tertinggi (Koti)
mempunyai badan intelijennya sendiri. Beberapa badan intelijen itu
saling bersaing dan saling mengawasi. Desas-desus terus-menerus beredar.
Masing-masing badan bekerja setengah dibayangi suasana kekacauan.
Bahkan dengan menanam agen-agennya di kantor CC-PKI, Parman
agaknya tidak mencium keberadaan personil Biro Chusus.
Sangat mungkin seseorang telah memperingatkan Yani pada 30
September malam tentang adanya aksi yang siap menerkam. Menurut
Omar Dani, seorang perwira polisi militer memberitahu Yani bahwa akan
ada aksi yang mengancam dan menawarkan sejumlah pengawal tambahan
di tempat kediamannya. Konon, Yani menolak karena mungkin ia menganggap
informasi itu sekadar desas-desus belaka.27 Jenderal-jenderal di
SUAD telah menerima laporan serupa selama berminggu-minggu, dan
ternyata semuanya tidak benar.28 Tampaknya G-30-S berhasil menculik
enam jenderal justru karena rencananya dikaburkan oleh meruaknya
“hiruk-pikuk intelijen.”29
Sjam, Pono, dan Bono – inti Biro Chusus – adalah orang-orang
yang bertanggung jawab untuk memelihara hubungan dengan perwiraperwira
militer. Masing-masing memiliki kartu resmi militer dengan
identifi kasi sebagai seorang agen intelijen militer. Dengan kartu itu
mereka bisa bergerak leluasa keluar masuk fasilitas kemiliteran. Menurut
185
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
Hasan, “Orang tiga itu kan mempunyai surat keterangan militer, jadi
diberi oleh teman yang di intel, yang di Jakarta itu disebut Garnisun
itu. Itu diberi surat bahwa dia itu orang intel, intel Angkatan Darat,
Angkatan Laut, Udara, dan sebagainya. Dikasih surat, jadi kalau masuk
di komplek itu, ‘Ini saya ini intelnya bung anu, bung anu atau kolonel
ini, kolonel ini, atau jenderal ini, jenderal ini.’ Masuk dia ke rumahnya
atau kantornya.”30
Ketiga orang itu masing-masing mempunyai kelompok kontaknya
sendiri-sendiri, “Mereka punya jenderal, punya kolonel, punya kapten,
sampai lapisan-lapisan bawahnya. Itu mereka punya. Itu di Jakarta tapi
kalau di daerah kan itu diserahkan pada BC daerah. BC punya ini, punya
ini. Sama dengan di atas ya, di daerah juga ada jenderalnya, ada ininya,
tapi di bawah pengaruh dia dan dia harus tunduk kepada pusat, jadi di
dalam pertemuan bulanan itu dibicarakan sampai di mana pengaruh
PKI di kalangan militer, sudah sampai di mana gitu berkembang apa
tidak, gitu. Terus kemudian ditugaskan untuk lebih meluaskan kembali
pengaruh-pengaruh PKI di empat angkatan kan: Udara, Polisi, Angkatan
Darat, Angkatan Laut.”
Dalam kesaksiannya di persidangan untuknya pada 1967 Sjam
menceritakan, bagaimana Biro Chusus merekrut para perwira. Hasan
membenarkan bahwa cerita Sjam tentang proses perekrutan itu, sebagian
dikutip di sini, pada umumnya tepat:
Tiap2 anggauta pimpinan dari Biro Chusus mempunjai kewadjiban
untuk melebarkan organisasi dikalangan Angkatan
Bersendjata. Kalau sudah bisa meneliti dan mengetahui
pedjabat2 jang ada, berusaha untuk mendekati dan mengenal.
Sudah dapat mengenal lalu berbitjara mengenai soal2 politik
umum. Sesudah mengetahui bagaimana seseorang pedjabat
pada Angkatan Bersendjata ini apakah dia anti Komunis
ataukah dia seseorang Demokrat, maka terus diadakan
pertukaran pikiran mengenai soal2 politik dalam negeri
dan mengenai soal-fi kiran2 jang madju. Sesudah diketahui
bahwa pedjabat ini adalah orang jang mempunjai fi kiran
jang menurut pandangan dari sudut PKI orang ini adalah
orang jang berpikiran madju, maka terus diadakan pembi186
4. SJAM DAN BIRO CHUSUS
tjaraan2 soal-soal kepartaian. Kalau kelihatannja orang ini
tidak menolak, tidak memberikan reaksi jang negatif, maka
dilandjutkan pada soal2 jang lebih mendalam, jaitu mengenai
masalah teori Marxisme.31
Hasan menyatakan tujuannya bukan untuk menjadikan para
perwira itu menjadi anggota partai, melainkan untuk membuat mereka
bersedia memasok informasi kepada Biro Chusus dan melakukan
tugas-tugas untuknya. Perwira-perwira itu tidak diajar tentang “soalsoal
teori Marxis,” seperti ditegaskan Sjam. Sampai September 1965
partai belum melaksanakan rencana untuk membuka sekolah-sekolah
klandestin tentang Marxisme-Leninisme di kalangan personil militer.
Pada umumnya Biro Chusus puas dengan para perwira Sukarnois yang
mendukung PKI karena partai ini mendukung Sukarno. Dalam pengamatan
Hasan, “Yang terpenting umumnya orang-orang militer itu pro
terhadap Sukarno, jadi belum tentu pro kepada PKI, belum. Jadi pro
kepada Sukarno karena pada waktu itu PKI sama Sukarno itu kerja sama,
jadi apa yang dilakukan oleh Sukarno itu sama dengan program PKI …
Nah, di dalam BC itu nggak ada, ‘Ini anggota partai.’ Itu bukan. Nggak
ada. Yang penting dia tunduk nggak sama Sjam.”
Para anggota Biro Chusus menggunakan hubungan mereka dengan
militer bukan hanya untuk memperoleh informasi tentang kinerja di
dalam tubuh militer, tapi juga untuk bertindak atas nama PKI. Hasan
mengutip sebuah contoh dari Desember 1964. Aidit memerlukan
bantuan ketika Waperdam III, Chairul Saleh, menuduh PKI mempunyai
rencana merebut kekuasaan negara tahap demi tahap. Chairul Saleh,
yang dekat dengan Partai Murba, yang antikomunis, mengklaim ada
sebuah dokumen yang mengungkapkan rencana rahasia tersebut. Karena
dugaan itu polisi militer menginterogasi Aidit dan sedang berpikir untuk
mengajukan perkaranya ke pengadilan. Aidit menyuruh Sjam supaya memerintahkan
jaringan Biro Chusus di dalam militer untuk menggagalkan
perkara itu. Usaha itu berhasil dengan cemerlang: Aidit dibebaskan dari
tuduhan dan terlepas dari perkara tanpa cela. Chairul harus meminta
maaf karena telah menyebarkan dokumen palsu.32
Menurut Hasan, Aidit juga menggunakan personil dari Biro Chusus
sebagai cadangan pengawal. Sebagai menteri dalam kabinet Sukarno,
187
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
sesuai dengan tata cara protokol, Aidit mendapat pengawalan satu
detasemen militer ketika ia bepergian keluar Jakarta. Namun, mengingat
sikap antikomunis di kalangan pimpinan Angkatan Darat, ia tidak memercayai
pengawalan yang diberikan untuk melindungi dirinya. Ia akan
memerintahkan Sjam agar jaringan militer Biro Chusus di daerah membayangi
para pengawal dan menjamin bahwa ia tidak akan dicelakai.
Betapapun banyaknya Biro Chusus mengambil manfaat dari para
simpatisannya di kalangan militer, badan ini juga menawarkan sesuatu
sebagai timbal balik. Ada hubungan memberi dan menerima yang ruwet
antara Biro Chusus dan kontak-kontak militernya. Biro Chusus memberi
informasi yang membantu para perwira memahami situasi politik dan
bahkan memajukan karier mereka. Seperti dikatakan Hasan, “Untuk
menarik militer mereka berikan informasi supaya bisa jadi lebih mantep
dalam pekerjaan militernya.” Misalnya ketika memerangi pemberontakan
Darul Islam, PRRI, dan Permesta, beberapa perwira bekerja sama
dengan organisasi massa yang berafi liasi dengan PKI. Gerakan Darul
Islam (1948-1962) yang aktif di Jawa Barat, menuntut Negara Islam
untuk Indonesia. (Gerakan itu dikenal dengan akronim DI, sedangkan
sayap militernya, Tentara Islam Indonesia, disingkat sebagai TII. Sekarang
gerakan ini biasa disebut sebagai DI/TII.) Baik para gerilyawan gerakan
Darul Islam, maupun perwira-perwira pembangkang di balik pemberontakan
PRRI dan Permesta sangat antikomunis. PKI mempunyai
kepentingan mendesak membantu militer dalam menindas pemberontakan-
pemberontakan ini.
Selama operasi militer berlangsung beberapa perwira mempergunakan
jaringan-jaringan kader PKI setempat untuk informasi intelijen
dan merekrut milisi sipil. Biro Chusus memudahkan hubungan antara
personil militer dengan PKI. Tentang hal ini Hasan menguraikan:
Jadi menarik militer itu kayak begini, misalnya dia tugas
untuk menghantam DI/TII ya, tugas. Tugasnya militer untuk
menghantam DI/TII di Jawa Barat dan kemudian dia dapat
informasi, informasi dari Bung Sjam misalnya DI tuh begini,
begini, politiknya begini, gini, gini, jadi si militer dengar tuh.
Oh begitu itu. Terus misalnya DI itu bagaimanapun tidak
punya massa, karena itu untuk menghantam dia harus meng188
4. SJAM DAN BIRO CHUSUS
gerakkan massa dulu, menurut Bung Sjam. Nah ini si militer
dengar harus gerakkan massa, nah itu nanti kalau dia datang
ke sini itu bagaimana cari massa, mencari OPR [Organisasi
Perlawanan Rakyat]-OPR itu dari rakyat, dijelaskan sama
dia begini, begini, begini. Kan di tentara nggak ada, situasi
politik nggak pernah diberikan oleh atasan, oleh komandan,
itu kan terpencil. Diberi tahu sama Sjam itu DI itu begini,
hubungan dengan Amerika begini, dengan Belanda begini,
gini, gini, gini. Itu si militer itu yakin bahwa memang DI
itu jahat, harus dihancurkan, dan Sukarno sendiri meminta
menghancurkan, jadi sesuai dengan perintah Sukarno itu.
Karena itu militernya kan mendapat sokongan dan kalau dia
menghantam DI, bisa menghancurkan DI dia naik pangkat
– naik pangkat oleh karena si Sjam itu, jadi dia terima kasih
sama Sjam karena dia naik pangkat atas bantuan dari dia. Jadi
dia sendiri merasa diuntungkan tahu situasi, tahu ini, jadinya
lebih luas pengetahuannya, lebih mantep dalam pekerjaan
militer. Nah BC yang berikan soal-soal politik, jadi dengan
begitu militer itu juga dapat pendidikan politik dari PKI.
Mungkin sekali hubungan antara Sjam dan Supardjo berjalan
seperti cerita yang digambarkan Hasan di atas. Sebagai komandan di
daerah Garut Jawa Barat, yang menjadi basis penting DI/TII, Supardjo
memainkan peranan besar dalam mengakhiri pemberontakan DI/TII
yang berkepanjangan pada awal 1960-an. Angkatan Darat di Jawa Barat
mulai menempatkan sejumlah besar penduduk sipil saat menggelar taktik
“pagar betis” pada 1960. Supardjo, dengan bantuan PKI, menggunakan
taktik ini di Garut. Penduduk berjajar dalam jarak berdekatan lalu mereka
menyisir suatu kawasan sementara regu-regu tentara bersenjata di depan
mereka bergerak maju dan mengikuti barisan “pagar betis” dari belakang.
Dengan taktik ini pemberontak bersenjata dihalau dari basis mereka
dan didesak ke zona-zona yang menjadi semakin sempit.33 Supardjo
mengorganisasi beberapa operasi “pagar betis” ini dengan menggunakan
kader-kader PKI yang dengan militan melawan DI/TII dan yang sering
menjadi sasaran serangan pukul dan lari mereka.34 Berdasarkan keberhasilannya
mengakhiri DI/TII, Supardjo dinaikkan pangkatnya menjadi
189
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
kolonel dan kemudian diberi kedudukan tinggi sebagai panglima pasukan
gabungan di sepanjang perbatasan dengan Malaysia selama masa konfrontasi.
Ia seorang komandan tentara yang menyikapi strategi bertempur
dan disiplin organisasi dengan serius. Pengalamannya dalam perang
pengikisan pemberontakan (counterinsurgency) memberinya pelajaran
langsung tentang arti penting dukungan masyarakat sipil.
Ketika itu bukanlah rahasia bahwa beberapa kesatuan tentara, dalam
menumpas pemberontakan-pemberontakan kaum kanan pada 1950-an
dan awal 1960-an, meminta bantuan PKI.35 Hal yang umumnya tidak
diketahui adalah bahwa PKI mempunyai departemen khusus yang berperanan
sebagai penghubung rahasia dengan para perwira dan meminta
mereka agar berbuat sesuatu untuk PKI sebagai imbalannya. Kolonel
Abdul Latief, saat bertugas di Sumatra untuk menumpas pemberontakan
PRRI pada 1958, bekerja sama dengan organisasi massa PKI di
sana. Seorang mantan anggota PKI dari Sumatra Utara teringat pernah
bertemu dengan Latief pada waktu itu dan mengorganisasi aksi-aksi
kelompok pemuda PKI bersama dengannya.36
Bila seorang perwira yang pernah bekerja sama dengan PKI dipindah,
hubungan ini tidak dengan sendirinya berakhir. Agen Biro Chusus yang
sudah berhubungan baik dengan sang perwira akan mengatur agar Biro
Chusus di tempat yang baru bertemu dengannya. Mengingat struktur
sel dalam Biro Chusus, tim tiga orang di satu cabang daerah tidak mengetahui
identitas anggota tim-tim di daerah-daerah lain. Biro Chusus
mengembangkan suatu metode untuk tetap berhubungan dengan para
perwira yang dipindah-pindah di seluruh tanah air. Hasan menjelaskan,
“Kalau si militer dari Jawa bertempur di Manado, nah nanti ada biro
daerah BC di sana, nah itu nanti dia dari sini itu sudah dapat itu – dapat
kode, kodenya itu begini; ini suatu lembar ya, sini tulis A, di sini A, di
sini A merah, di sini A hitam, ini sobek dan dia bawa satu yang hitam
misalnya, yang merah itu nanti oleh BC diserahkan kepada BC daerah
sana, di Manado itu. Nanti orang ini juga ditugaskan oleh BC daerah
mencari orang-orang dari Jawa. Dia akan cari terus ke mana dia, akhirnya
tahu gitu. ‘Ini ada surat – ada surat,’ ditaruh sama dia, ‘Oh ya ini.’”
Tidak aneh jika beberapa personil militer, bahkan perwira-perwira
tinggi, menyokong PKI. Partai dengan penuh semangat mendukung
setiap kampanye militer utama yang dilancarkan Sukarno. Selain
190
4. SJAM DAN BIRO CHUSUS
mendukung kampanye melawan pemberontakan DI/TII, PRRI, dan
Permesta, partai menyokong perebutan Irian Barat (sekarang dikenal
dengan sebutan Papua Barat) dari Belanda pada 1962 dengan kekuatan
militer dan konfrontasi melawan Malaysia yang dimulai pada 1963.
PKI memperoleh banyak penghormatan di kalangan sementara perwira
sebagai kekuatan patriotik dan pro-Sukarno yang berhasil menggalang
dukungan masyarakat untuk peperangan yang dilancarkan angkatan
bersenjata. PKI tampak sebagai partai yang disiplin dan bertanggung
jawab.37
Bagi para perwira tinggi yang mempunyai pandangan internasional,
menariknya PKI bukan hanya terletak dalam hubungannya dengan politik
nasional. Beberapa orang perwira sangat terkesan oleh perang gerilya
kaum komunis Tiongkok yang berjaya dan perlawanan tak terpatahkan
rakyat Vietnam terhadap tentara Amerika Serikat. Pengalaman mereka
dari masa revolusi nasional membuat mereka dengan teguh bersikap antiimperialis.
Presiden Sukarno sendiri terus-menerus mengingatkan bangsa
Indonesia agar tidak membolehkan tanah airnya dikuasai kaum kapitalis
Barat. Sukarno mengorganisasi Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada
1955 sebagai penolakan tegas terhadap kekuatan-kekuatan kolonialisme
lama. Dengan demikian revolusi antiimperialis di Tiongkok dan Vietnam
ibarat gayung bersambut bagi para perwira Indonesia yang dengan
sungguh-sungguh mengikuti Sukarno. Keberhasilan kaum komunis di
negara-negara lain mengangkat derajat Partai Komunis Indonesia, yang
dipandang berbagi semangat dan kearifan yang sama.
Supardjo, yang pernah mengunjungi Vietnam dan Tiongkok,
merasa kagum terhadap kemampuan militer partai-partai komunis di
kedua negeri itu. Menurut Heru Atmodjo yang bersama-sama Supardjo
ditahan di penjara Cimahi, Supardjo sangat menghormati Sjam karena
ia menduga Sjam pernah dilatih di Tiongkok sebagai komisaris politik
untuk pasukan militer. Barangkali Sjam salah dalam menampilkan
dirinya. Menurut Hasan, Sjam tidak pernah ke Tiongkok untuk urusan
lain selain berobat.38 Tapi agaknya ia memang pernah ke Vietnam.
Iskandar Subekti menulis bahwa “Jimin [Sjam] sendiri telah diutus Partai
meninjau Vietnam ketika masih berperang melawan A.S.”39 Betapapun
salah mengertinya Supardjo tentang Sjam, pengetahuannya tentang
militer Tiongkok dan Vietnam meyakinkannya bahwa partai-partai
191
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
komunis, dengan kemampuannya yang luar biasa dalam mengintegrasikan
kekuatan sipil dalam operasi-operasi militer, memperlihatkan sebuah
paradigma yang relevan bagi Indonesia.40
Supardjo bisa jadi terkesan oleh Sjam semata-mata karena jenderal
ini menduga Sjam sebagai wakil PKI, sebuah lembaga yang mengesankan
Supardjo. Beberapa orang yang sebelum 1965 mengenal Sjam
tidak terkesan sama sekali. Mereka mengenang Sjam sebagai orang yang
bombastis, sombong, dan tidak terlalu cerdas.41 Benedict Anderson menyaksikan
sendiri kesaksian Sjam di sidang-sidang Mahmilub pada 1967
dan tidak bisa percaya bahwa Sjam seorang kader tinggi PKI karena
retorikanya datang langsung dari aktivisme nasionalis 1940-an akhir,
tanpa disela oleh wacana partai masa mutakhir, “Sjam berbicara dengan
gaya yang sama sekali berbeda dengan saksi-saksi lain – cakap besar,
sedikit megalomaniak, tapi lebih dari itu dengan versi “beku” dari gaya
percakapan yang biasa digunakan pada 1945-1949 … Terdengar seperti
memasuki semacam toko audio yang antik.”42
Ada penjelasan tentang bahasa Sjam yang kuno itu. Kepada saya
Hasan menceritakan bahwa Sjam tidak pernah membaca buku dan
hampir-hampir tidak membaca bahan bacaan partai. Ia terlalu sibuk
bertemu banyak orang dan mengatur penyamaran sehingga tidak ambil
pusing terhadap teori. Kedudukan Sjam di dalam partai sedemikian rupa
sehingga ia tidak harus berpikir tentang program partai dan membelanya
di depan umum; ia tidak duduk di badan pengambil keputusan, menulis
literatur partai, dan menduduki kursi di parlemen, atau mengorganisasi
konferensi-konferensi. Tugasnya ialah menerima perintah dari Aidit,
menjaga rahasia, dan mendekati para perwira kiri. Sjam memerintahkan
jenderal-jenderal dan kolonel-kolonel yang berpengaruh untuk berbuat
sesuatu demi kepentingan Aidit. Ia tidak merasa ada sesuatu yang mengharuskannya
belajar dari kepustakaan dan para ahli teori. Hasan melihat
Sjam sebagai seseorang yang merasa dirinya sebagai suri teladan aktivis
komunis yang sedang melakukan pekerjaan praktis untuk membangun
kekuatan partai komunis terbesar ketiga di dunia.
Hasan percaya Sjam sama sekali bukan tokoh misterius; ia bekerja
dengan prinsip yang sederhana saja: membebek Aidit. Sjam seorang yang
teguh kese-tiaannya kepada Aidit. Ia melihat Aidit sebagai Stalin atau
Mao versi Indonesia, seorang pahlawan agung dengan hari depan gilang192
4. SJAM DAN BIRO CHUSUS
gemilang di hadapannya. Sjam merasa bangga berperanan sebagai tangan
kanan Aidit. Sjam adalah contoh klasik seorang apparatchik (aparat partai
komunis) yang memahami partai sebagai sebuah organisasi yang berjuang
demi kekuasaan negara. Ia mungkin akan memahami Machiavelli lebih
baik ketimbang Marx.
Memahami Sjam sebagai fungsionaris partai yang didorong oleh
kesetiaan pribadi kepada Aidit dan sama sekali tidak mempunyai idealisme
kemanusiaan serta semangat kolektif yang menyemangati anggota-anggota
lain, memungkinkan kita menangkap logika di balik jawaban-jawaban
Sjam dalam tanya jawab dengan Hakim Ketua Mahmilub. Sjam ditanyai
pendidikan apa yang diberikan Biro Chusus kepada para simpatisannya
di kalangan militer:
Sjam: [Pendidikan] soal teori dan ideologi.
Ketua: Teori dan ideologi, teori apa?
Sjam: Marxisme Leninisme.
Ketua: Ideologi apa?
Sjam: Tjinta kepada partai.
Cinta kepada partai. Itulah gagasan Sjam tentang ideologi partai.
Itulah jalan pikiran seseorang yang begitu setia kepada organisasi sehingga
ide-ide demokratis yang menjadi pendirian organisasi dianggap sampah
retorika belaka.
Tingkah laku Sjam sesudah ia ditangkap pada 1967 mengesankan
dirinya sebagai seorang oportunis. Dengan hancurnya partai yang konon
dicintainya, bersama dengan segala kesempatan baginya untuk tampil
di tampuk kekuasaan, ia berusaha keras menyelamatkan dirinya sendiri,
bahkan jika itu berarti ia harus mengkhianati mantan kawan-kawannya
sendiri. Dalam kesaksiannya di sidang pertama Mahmilub untuknya
ia menyebut dua nama perwira militer yang termasuk bagian jaringan
Biro Chusus – perwira-perwira itu belum dikenal sebagai pro-PKI.
Salah seorang dari mereka tampaknya ditangkap dan dipenjarakan
akibat pengakuan Sjam.43 Dalam penampilannya kemudian sebagai
saksi di persidangan Mahmilub, Sjam menyebut lebih banyak nama lagi.
Iskandar Subekti menulis ia tidak pernah mendekati Sjam, temannya
sesama penghuni penjara Cipinang, untuk mengetahui lebih banyak
193
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
lagi tentang kejadian di sekitar 1965 karena ia memandang Sjam sebagai
orang yang sama sekali tidak bisa dipercaya.44
Hasan menjelaskan bahwa strategi Sjam ialah terus menyediakan
informasi berguna bagi para penangkapnya, “Dia itu sudah ngomong
sama saya bahwa ‘Saya ini sebetulnya ingin hidup, ingin hidup lama.’
Oleh karena itu dia di dalam pengadilan maupun di dalam penjara, dia
membeberkan soal-soal begitu untuk memperpanjang waktu eksekusi
mati. Nah dia itu sebetulnya takutlah, untuk ditembak itu takut.” Sjam
menduga jika ia mampu menunda eksekusi terhadapnya cukup lama,
mungkin ia akan bisa hidup lebih lama ketimbang rezim Suharto, yang
dia tidak pernah percaya akan mampu bertahan sangat lama.
Dalam kesaksiannya pada beberapa persidangan (sekitar sepuluh
kali sampai 1972) Sjam setiap kali selalu menambahkan detil baru supaya
agen-agen intelijen militer mengira Sjam masih mempunyai informasi
lebih banyak lagi untuk diungkap.45 Sesama tahanan politik memperhatikan
taktik Sjam ini. Siauw Giok Tjhan, dalam analisisnya, mengatakan,
ketika tapol lain mengkritik Sjam karena menyebutkan begitu banyak
nama-nama para perwira, ia membela perbuatannya dengan mengatakan,
“Tiap manusia berhak untuk mempertahankan hak hidupnya, sebagai
orang yang telah divonis hukuman mati, saya ingin menunda, kalau
dapat menggugurkan vonis hukuman mati itu. Bila saya rasa vonis itu
akan dilaksanakan, executie akan dilakukan, saya menimbulkan persoalan
besar baru, sehingga untuk peperiksaannya hukuman mati bagi saya
tidak dijalankan.”46 Sjam menggunakan strategi klasik Scheherazade,
perempuan dalam legenda Arabian Nights (Seribu Satu Malam) yang
dikawinkan dengan seorang raja sakit jiwa yang membunuh istri-istrinya
sesudah ditidurinya. Scheherazade berhasil mencegah eksekusi terhadapnya
dengan cara menceritakan dongeng-dongeng kepada sang raja setiap
malam. Alih-alih dipancung, sang raja membolehkan Scheherazade tetap
hidup agar ia bisa terus mendengarkan dongeng-dongengnya. Sesudah
seribu satu malam sang raja bersumpah tidak hendak membunuhnya.
Strategi ini hampir berlaku sama bagi Sjam. Walaupun ia dieksekusi pada
1986, sesudah hukuman diputuskan pada 1968, ia berhasil membeli
penundaan eksekusi baginya jauh lebih lama dari 1001 malam.
Sementara pengamat (misalnya Wertheim) menduga bahwa tabiat
Sjam yang suka mementingkan dirinya merupakan bukti bahwa ia
194
4. SJAM DAN BIRO CHUSUS
memang bukan anggota PKI. Tapi para pengamat ini tidak memahami
bahwa tokoh-tokoh seperti Sjam sama sekali tidak unik di dalam partai.
Mantan kader-kader tinggi PKI lainnya mengkhianati partai sesudah
mereka tertangkap, antara lain Sujono Pradigdo (kepala Komisi Verifi -
kasi), Peris Pardede (kepala Komisi Kontrol), Sampir Suwarto (kepala
keamanan di CC-PKI), Kusnan (sekretaris pribadi Sudisman dan anggota
Komisi Verifi kasi), dan Burhan Komalasakti (anggota Central Comite).47
Pengkhianatan-pengkhianatan semacam itu bisa dilihat sebagai reaksi
yang dapat dimengerti terhadap siksaan atau ancaman fi sik terhadap
orang-orang yang mereka cintai. Namun begitu, beberapa pimpinan
partai lainnya, bahkan anggota-anggota biasa, tidak menyerah terhadap
siksaan. Bagi seorang loyalis partai yang keras kepala seperti Hasan,
yang juga mengalami siksaan, pengkhianatan para pimpinan memberi
petunjuk bahwa partai sudah menjadi terlalu borjuis pada 1965. Para
pimpinan semestinya mencapai kedudukan mereka yang tinggi justru
karena mereka telah membuktikan keberanian dan pengabdian mereka
kepada partai. Bahwa partai dipimpin oleh orang-orang yang tidak
mampu menghadapi penindasan militer dengan syaraf baja menunjukkan
kepada Hasan, penganut garis perjuangan bersenjata Mao, bahwa
partai mengandung kekurangan-kekurangan yang fundamental.
Cerita Hasan tentang kepribadian Sjam dan kinerjanya bagi PKI
memungkinkan kita menafsirkan kesaksian pertama Sjam di depan
Mahmilub dengan kacamata baru. Hasan menegaskan banyak pernyataan
Sjam di dalam kesaksian itu: Biro Chusus memelihara kontak dengan
para perwira, semata-mata bekerja di bawah arahan Aidit, tidak bertanggung
jawab kepada lembaga-lembaga lain di dalam partai, dikepalai oleh
Sjam, dan Sjam setia kepada Aidit. Berdiri sendiri, kesaksian Sjam, seperti
juga semua kesaksian di depan sidang-sidang Mahmilub, tidak bisa diperlakukan
sebagai bukti yang sahih. Bisa dibenarkan jika para ilmuwan
tidak bertumpu pada versi Sjam dalam melihat peristiwa-peristiwa itu.
Tetapi penegasan Hasan atas versi Sjam menawarkan bahwa Sjam tidak
sekadar menceritakan kisah-kisah bualan belaka. Cerita Iskandar Subekti
tentang G-30-S juga membenarkan banyak klaim Sjam di dalam kesaksiannya.
Tentu saja, tidak semua klaim Sjam harus dianggap benar – Hasan
menyangkal beberapa di antaranya. Saya menyertakan sebagian besar
kesaksian Sjam sebagai lampiran 2 agar para pembaca dapat mempelajari
195
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
sendiri klaim-klaim Sjam setepatnya (dibandingkan dengan yang sudah
disaring melalui propaganda rezim Suharto).
CATATAN
1 Kesaksian Sjam, transkrip Mahmilub, persidangan Sudisman, 7 Juli 1967. Pono (kependekan
untuk Supono) memberi kesaksian serupa bahwa Biro Chusus dibentuk pada 1963-1964
(transkrip Mahmilub, persidangan Supono (Pono), sidang ketiga, Januari 1972).
2 Partai Komunis melancarkan pemberontakan antikolonial pada 1926-27. Pemerintah
kolonial Belanda menindas pemberontakan, kemudian menangkap ribuan orang komunis
dan nasionalis, dan mengasingkan mereka ke Boven Digul, kamp pengasingan di pulau
yang sekarang bernama Papua Barat.
3 Semua kutipan dan informasi yang diperoleh dari Hasan dalam bab ini diambil dari
rekaman wawancara saya dengannya.
4 Wawancara dengan Sucipto dan Sukrisno. Nama tersebut belakangan nama samaran.
5 Siauw Giok Tjhan, “Berbagai Catatan,” 9.
6 Wawancara dengan Oey Hay Djoen.
7 Iskandar Subekti, “Kata Pendahuluan,” 2.
8 Menurut seorang mantan kolonel Angkatan Darat, Muhammad Sidik Kardi, Partai
Sosialis Indonesia (PSI) mulai menyusun jaringan formalnya sendiri di kalangan perwira
ABRI sesudah kegagalan partai dalam pemilu 1955. Strategi partai ialah meninggalkan
keanggotaan massa dan sebagai gantinya membangun partai kader yang berpendidikan
baik untuk ditempatkan di tingkat atas pemerintahan dan militer. Seorang perwira yang
dikenal luas sebagai partisan PSI ialah Kolonel Suwarto, wakil direktur pusat pendidikan
Angkatan Darat di Bandung, Seskoad, (wawancara dengan Kardi). I Ketut Reti, tokoh
terkemuka PSI di Denpasar, membenarkan, PSI mempunyai Biro Chusus versinya sendiri
(wawancara dengan I Ketut Reti).
9 Lev, Transition to Guided Democracy, 5.
10 Siauw Giok Tjhan, “Berbagai Catatan,” 9.
11 Semua referensi pada keterangan Sukrisno dalam alinea-alinea berikut berasal dari
wawancara saya dengannya di Jakarta pada 14 Juli 2005 yang tak direkam. Sukrisno nama
samaran.
12 Tentang Sjam sebagai anggota Pemuda Pathuk, lihat Elson, Suharto, 13, 317n3. Tentang
Pemuda Pathuk sendiri dan salah seorang pimpinannya, Djohan Sjahroezah, lihat Legge,
Intellectuals and Nationalism, 60-66, 126-29, dan Moehammad, Memoar Seorang Sosialis,
348-57.
13 Wawancara dengan Ibu Oemiyah.
196
4. SJAM DAN BIRO CHUSUS
14 Benedict Anderson kepada penulis, 3 Januari 2002.
15 Sukrisno mengingat pernah bertemu dengan atau mendengar tentang tokoh-tokoh CPN
lain yang lebih terkenal, yang kembali ke Indonesia: Suripno, Setiadjit, dan Abdulmadjid
Djojoadiningrat. Tentang tokoh-tokoh ini lebih lanjut, lihat Soerjono “On Musso’s Return”
[Tentang Kembalinya Musso].
16 Sekurang-kurangnya empat dari lima orang itu menjadi tokoh terkemuka partai. Pada
1965 Munir adalah anggota Politbiro PKI, Hartoyo pimpinan BTI, Sukrisno mengajar pada
salah satu sekolah partai, dan Sjam tentu saja memimpin Biro Chusus.
17 Almarhum Jacques Leclerc, seorang pakar tentang sejarah kiri Indonesia, berpendapat
bahwa pemunculan Aidit dan Lukman dari bawah tanah di Jakarta ditampilkan seakan-akan
mereka kembali dari Tiongkok dan Vietnam (Leclerc, “Aidit dan Partai Pada Tahun 1950,”
64). Juga Siauw Giok Tjhan, “Berbagai Catatan,” 8.
18 Kesaksian Supardjo, transkrip Mahmilub, persidangan Supardjo, sidang kedua, 25
Februari 1967, 3-4.
19 Buku putih rezim Suharto pada 1994 benar setidak-tidaknya dalam hal identitas lima
orang dalam Biro Chusus Pusat (State Secretariat of the Republic of Indonesia, September
30th Movement, 39-40).
20 Wawancara dengan Aleida.
21 Wawancara dengan Sucipto.
22 Wawancara dengan Rusyana. Rusyana nama samaran mantan anggota pimpinan PKI
provinsi Jawa Barat.
23 Sukrisno membenarkan bahwa Sjam mengawini perempuan Sunda pada 1951 dan bahwa
ia meninggal karena sakit sebelum 1965 (wawancara dengan Sukrisno).
24 Transkrip Mahmilub, peradilan Sudisman, kesaksian Sjam, 8 Juli 1967.
25 Iskandar Subekti, “G-30-S Bukan Buatan PKI,” 10.
26 Mungkin saja Parman tahu tentang Sjam, tapi ia tidak menerima informasi intelijen
yang memadai tentang kegiatannya. Mungkin agen-agen Parman tidak kompeten, atau
mungkin juga mereka terlibat dalam G-30-S. Mungkin juga Suharto berjanji kepadanya,
ia dan agen-agen Kostrad akan terus mengawasi Sjam dan akan selalu memberi informasi
kepadanya. Ada berbagai kemungkinan.
27 Katoppo, Menyingkap Kabut Halim 1965, 237.
28 Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta juga menerima banyak laporan. Seorang
mantan pejabat kedutaan besar ini, Frances Galbraith, mengatakan, “Hampir setiap hari
kami mendengar desas-desus dan menerima laporan tentang akan adanya semacam kup,
dan ini menjadi semacam banjir sehingga sangat sulit untuk memisahkan kebenaran dari
fi ksi, dan sebagian besar daripadanya memang fi ksi.” (Dikutip dalam Brands, “Limits of
Manipulation,” 801).
29 Dalam analisis globalnya tentang kudeta Edward Luttwack menyatakan, bahwa persiapan
para komplotan kup (mengontak calon-calon potensial, penyelenggaraan rapat-rapat, dan
197
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
lain-lain) menghasilkan informasi intelijen bagi lawan-lawan mereka. Tapi pengorganisasian
pra-kup juga menghasilkan “sejumlah ‘kegaduhan’ yang sama atau lebih besar.” Lawan
menjadi sulit untuk memisahkan data yang akurat dan andal dari yang menyesatkan atau
palsu (kegaduhan); mereka tidak selalu bisa “mengenali sifat ancaman, karena kemampuan
mereka memroses informasi bukannya tidak ada batasnya” (Luttwak, Coup d’Etat, 157).
30 Penulis-penulis yang melukiskan Sjam sebagai agen intelijen Angkatan Darat yang
menyusupi PKI biasanya menunjuk kartu identitas militer ini sebagai bukti. Tapi kartu ini
sendiri tidak membuktikan apa pun. Pemilikan kartu semacam ini bisa juga berarti bahwa
ia seorang loyalis PKI yang disusupkan ke dalam tubuh militer.
31 Transkrip Mahmilub, sidang pengadilan Sudisman, kesaksian Sjam, 8 Juli 1967.
32 Tentang tuduhan Chairul Saleh terhadap Aidit, lihat Mortimer, Indonesian Communism
under Sukarno, 377.
33 Van Dijk, Rebellion under the Banner of Islam, 124-125.
34 Saya bertemu seorang mantan simpatisan PKI di Tasikmalaya yang teringat ketika pada
suatu malam pemberontak-pemberontak DI/TII turun dari persembunyian mereka di
gunung-gunung, memasuki peluaran kota, membakar rumah simpatisan itu, dan membunuh
ayahnya. Sebagai anak piatu belasan tahun, ia dengan bersemangat ikut dalam operasi “pagar
betis” (wawancara dengan Haryatna; Haryatna, nama samaran).
35 Feith, Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, 529-531.
36 Wawancara dengan Bismar. Almarhum Bismar hidup dalam pengasingan sejak 1965,
mula-mula di Tiongkok dan kemudian di Jerman. Menurut ingatan Joesoef Isak, teman
dekat Bismar, sebelum 1965 Bismar sudah mengenal Latief (wawancara dengan Joesoef
Isak).
37 Pendapat mantan direktur badan intelijen BPI (Badan Pusat Intelijen) Brigadir Jenderal
(Polisi) Soetarto, barangkali bisa dianggap mewakili pandangan kebanyakan pejabat pro-
Sukarno. Di sidang Mahmilub untuknya pada 1973 ia mengakui mempunyai rasa hormat
yang tinggi terhadap PKI. Mungkin ia yakin ia akan dijatuhi hukuman mati (dan memang
benar) dan oleh karenanya ia tidak merasa perlu terlalu berhati-hati, “Saya melihat di dalam
perjuangan Partai Komunis Indonesia, di dalam memperjuangkan kepentingan rakyat, dan
juga menurut pandangan saya di dalam nilai-nilai ketekunan, nilai-nilai tidak mementingkan
diri sendiri, pengorbanan untuk kepentingan umum, untuk kepentingan partai. Lalu
antara lain yang saya terangkan misalnya kendaraan-kendaraan untuk anggota DPR atau
sebagian dari anggota PKI, itu tidak diberikan kepada orang yang bersangkutan, tapi dipool
lalu Partai menentukan siapa yang boleh pakai.” (Transkrip Mahmilub, persidangan R.
Soegeng Soetarto, sidang ke-3, 1973, 98-99). Soetarto, yang bekerja di bawah Waperdam
I Soebandrio, merupakan bête noire (dari Prancis secara harfi ah berarti ‘bangsat hitam,’
dalam konteks ini berarti orang yang sangat dibenci) bagi klik Suharto. Soetarto ditangkap
pada 1966.
38 Manai Sophiaan menyatakan bahwa Sjam mendapat latihan militer di Tiongkok pada
1950-an. Sophiaan mendasarkan pendapatnya pada sumber-sumber anonim PKI (Sophiaan,
Kehormatan Bagi Yang Berhak, 73). Dalam hal ini saya memercayai Hasan karena ia sendiri
198
4. SJAM DAN BIRO CHUSUS
pernah di Tiongkok dan mengenal Sjam dengan baik.
39 Iskandar Subekti, “G-30-S Bukan Buatan PKI,” 15.
40 Heru Atmodjo teringat bagaimana Supardjo terkesan oleh cerita yang didengarnya
tentang kemampuan fi sik tentara gerilya Mao semasa perang dalam tahun-tahun pra-1949
di Tiongkok. Para gerilyawan tersebut dilatih untuk berlari sehari penuh tanpa berhenti. Ini
memungkinkan mereka mengecoh pasukan musuh yang tidak memperhitungkan bahwa
para gerilyawan mampu berpindah posisi dengan begitu cepat. Dengan mencamkan cerita
ini di batinnya Supardjo membujuk teman-temannya sesama tahanan di Cimahi – Atmodjo,
Untung, dan beberapa lagi yang lain – untuk lari-lari mengelilingi halaman dalam penjara
dan berangsur-angsur membangun daya tahan fi sik mereka. Ia belajar dari tuan rumahnya
di Tiongkok bahwa jika orang mampu berlari dengan langkah-langkah ajek selama empat
puluh menit tanpa henti, ia akan mampu berlari sepanjang hari. Karena itu para tahanan ini
lalu berlatih berlari. Supardjo mempunyai tujuan praktis: ia merencanakan bahwa mereka
akan melarikan diri dari penjara dan kemudian berlari sepanjang malam tanpa henti. Dengan
demikian mereka akan mampu berada di luar kawasan yang akan menjadi sasaran pencarian
penguasa terhadap mereka (wawancara dengan Heru Atmodjo, 14 Desember 2002).
41 Wawancara dengan Sucipto.
42 Anderson kepada penulis.
43 Dalam kesaksiannya pada Juli 1967 Sjam menyebut “Kolonel Sidik” sebagai “perwira
progresif,” yang biasa bertemu dengan Biro Chusus. Pada waktu itu Kolonel Muhammad
Sidik Kardi adalah penuntut untuk Mahmilub. Ia ditangkap hanya beberapa pekan
kemudian, pada Agustus 1967, dan dipenjarakan selama dua belas tahun. Saya kebetulan
mewawancarai Kolonel Sidik pada 2000 sebelum saya membaca kesaksian Sjam. Sidik
menganggap bahwa ia ditahan karena ia menolak bekerja sama dalam usaha menuntut
Presiden Sukarno. Sidik tidak menyebut tuduhan Sjam (wawancara dengan Kardi). Namun,
kesaksian Sjam tentu merupakan faktor di balik penahanannya. Sayang Sidik meninggal
sebelum saya bisa mewawancarainya lagi.
44 Iskandar Subekti, “Kata Pendahuluan,” 3.
45 Di sidang Mahmilub untuk Pono, Sjam mengatakan bahwa ia sudah diminta sebagai saksi
dalam kira-kira sepuluh persidangan (Kesaksian Sjam, transkrip Mahmilub, persidangan
Supono (Pono), Januari 1972).
46 Siauw Giok Tjhan, “Berbagai Catatan,” 9.
47 Saya mengetahui tentang pengkhianatan Pradigdo dan Pardede sudah terlebih dahulu.
Informasi yang diungkapkan Pradigdo mengakibatkan banyak pimpinan dan anggota partai
ditangkap. Tentang Suwarto, Kusnan, dan Komalasakti lihat Siauw Giok Tjhan, “Berbagai
Catatan,” 9, 15-16. Orang-orang ini menjadi interogator dan penyiksa untuk kepentingan
tentara. Martin Aleida mengatakan bahwa Komalasakti menjadi pembantu tentara di Jakarta
untuk mengejar bekas kawan-kawannya sendiri (wawancara dengan Aleida). Cerita yang
tidak menyenangkan tentang Komalasakti juga terdapat dalam karangan otobiografi Munadi,
mantan tapol juga, “Yang Tak Terlupakan,” 5-6.
199
5
AIDIT, PKI, DAN G-30-S
Bagi PKI, disiplin dimaksud untuk menyelenggarakan pekerjaan
dengan tepat dan baik. Dan suatu pekerjaan baru dapat diselenggarakan
dengan tepat dan baik kalau disertai dengan kesetiakawanan
atau solidaritas … Berdasarkan moral Komunis itu diterapkan pelaksanaan
“Centralisme demokrasi,” yaitu centralisme yang didasarkan
kepada demokrasi dan demokrasi yang dipusatkan, dimana dipadukan
pertanggungan-jawab kolektif dengan pertanggungan-jawab perseorangan.
Sudisman, Uraian Tanggungdjawab (1967)
Bukti yang ada sejauh ini memperlihatkan bahwa Aidit sedikitnya
menyetujui kerja sama Sjam dengan para perwira militer untuk
melancarkan serangan mendahului terhadap pimpinan tertinggi
Angkatan Darat (SUAD). Menurut dokumen Supardjo, Sjam adalah
organisator utama Gerakan 30 September. Menurut Hasan, ia bawahan
setia Aidit. Jika dua keterangan itu benar, kita harus menduga bahwa
Aidit lebih dari sekadar sosok lugu yang mudah tertipu dalam G-30-S.
Sampai di sini pertanyaan yang belum terjawab adalah apakah Aidit
yang memprakarsai G-30-S dan memberi perintah kepada Sjam untuk
melaksanakannya (sebagaimana diklaim versi rezim Suharto) atau ia
mengizinkan Sjam bekerja dengan para perwira militer dengan anggapan
para perwira itulah yang memimpin G-30-S? Apa yang diketahui Aidit
tentang hubungan antara anggota-anggota Biro Chusus dan para
200
5. AIDIT, PKI, DAN G-30-S
perwira militer? Apa yang diceritakan Sjam kepadanya? Informasi apa
yang didengar Aidit dari sumber-sumber lain mengenai kecenderungan
para perwira yang ikut dalam G-30-S? Apakah Aidit sang dalang yang
memerintahkan dan menyelia setiap gerak-gerik Sjam? Ataukah Aidit
seorang pendukung G-30-S dan mendapat kesan bahwa para perwira
militerlah yang mendalangi aksi?
Sukar menilai peranan Aidit karena tidak ada bukti langsung dan
meyakinkan tentang hal ini. Mengingat sifat pengorganisasiannya yang
rahasia, hanya dua orang yang dalam posisi mengetahui sepenuhnya
peranan Aidit: Sjam dan Aidit sendiri. Angkatan Darat sudah menembak
mati Aidit pada November 1965 sebelum ia sempat menyampaikan
penjelasan tentang tindakannya. Dalam sidang Mahmilub pada 1967
Sjam menyatakan bahwa ia bertindak atas perintah Aidit. Pernyataannya
ini tidak mungkin dibuktikan kebenarannya. Satu-satunya pendekatan
terhadap persoalan mengenai peranan Aidit hanyalah secara tidak
langsung, dengan merangkaikan kepingan-kepingan bukti dan mempertimbangkan
masuk akal atau tidaknya kemungkinan-kemungkinan yang
berbeda-beda itu. Dalam bab ini saya meninjau pernyataan-pernyataan
para mantan pimpinan PKI, strategi politik Aidit dalam bulan-bulan
sebelum G-30-S terjadi, dan pandangannya tentang kup militer. Saya
juga meninjau pernyataan partai tentang G-30-S dalam koran hariannya,
Harian Rakjat, edisi 2 Oktober 1965.
URAIAN SUDISMAN
Pernyataan paling penting oleh pimpinan PKI tentang G-30-S ialah pernyataan
Sudisman, Sekretaris Jenderal partai yang berhasil lolos dari pembantaian
besar-besaran. Ia ditangkap pada Desember 1966 dan dibawa
ke depan Mahmilub pada Juli 1967. Ia salah seorang dari kelompok lima
tokoh muda yang mengambil alih pimpinan partai pada 1951. Kelima
tokoh itu – Aidit, Lukman, Njoto, Sakirman, dan Sudisman sendiri
– memperoleh sukses besar dalam membangun kembali partai. Dalam
pleidoinya Sudisman mengacu pada kesatuan di antara kelima tokoh itu
ibarat kesatuan lima bersaudara Pandawa dari epos besar India Mahabharata,
“Mereka berempat adalah saya, dan saya adalah mereka berempat
201
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
… Saya dengan mereka berempat telah berpanca-kawan, artinya, berlima
telah bersama-sama membangun kembali PKI sejak tahun 1951 … Kita
berlima selalu bersama.”1 Keberhasilan PKI dari 1951 sampai 1965
sebagian berkat kesatuan para pimpinannya itu. Tidak terjadi keretakan
yang memecah-belah partai menjadi kelompok-kelompok yang saling
bersaing (seperti yang terjadi dalam gerakan komunis di India) bahkan
di tengah-tengah konfl ik Tiongkok-Soviet.
Pidato pembelaan Sudisman, walaupun dikemukakan di Mahmilub
– atau “di cengkeraman tangan musuh,” kata para aktivis eks-PKI
– merupakan sebuah dokumen yang terus terang dan ditulis dengan
baik, yang mempertunjukkan kecerdasan dan ketenangan pribadi. Di
depan mahkamah ia tidak mengkeret ketakutan, melempar kesalahan
kepada orang lain, pura-pura tidak tahu, atau memohon keselamatan
nyawanya. Sebagai pimpinan tertinggi partai yang tersisa, ia merasa bertanggung
jawab kepada para pendukung partai untuk menjelaskan apa
yang sudah salah. Menyadari akan dijatuhi hukuman mati, ia menyusun
pidato pembelaannya sebagai pernyataan politik kepada masyarakat luas
di luar ruangan sidang. Memang, karena ia menolak mengakui keabsahan
Mahmilub, ia tidak mau pidatonya disebut sebagai pembelaan (pledoi).
Sudisman menamainya sebuah “uraian tanggungdjawab.”2
Sudisman mengakui, dengan cara yang tidak terinci, bahwa ia
“terlibat” dalam G-30-S dan bahwa pimpinan-pimpinan PKI lainnya,
tanpa menyebut nama, juga “terlibat langsung” di dalamnya.3 Dengan
menggunakan kata terlibat ia tidak bermaksud menyatakan bahwa
para pemimpin PKI mengarahkan G-30-S. Ia menjunjung pernyataan
partai pada 6 Oktober 1965 bahwa G-30-S merupakan peristiwa “intern
Angkatan Darat,” dan bahwa PKI sebagai partai “tidak tahu menahu”
tentang gerakan itu.4 Ia menyatakan bahwa para pemrakarsa dan pengorganisasi
utama G-30-S adalah “perwira-perwira maju” yang ingin menggagalkan
rencana kup oleh Dewan Jenderal.5 Kelompok di belakang
G-30-S ini sebagian besar “perwira-perwira non-Komunis” (berarti
perwira-perwira yang loyal terhadap Sukarno), tapi juga “disamping
yang Komunis.”6 Sudisman menyiratkan bahwa pemimpin-pemimpin
tertentu PKI sebagai perseorangan memutuskan untuk mendukung
para perwira progresif ini. Ia tidak menjelaskan dengan tegas bagaimana
ia dan pemimpin-pemimpin partai lain mulai bersekutu dengan para
202
5. AIDIT, PKI, DAN G-30-S
perwira tersebut dan memberikan dukungan mereka. Sasaran Sudisman
adalah pada memberi alasan pembenar bagi strategi Politbiro untuk
mendukung G-30-S ketimbang menggambarkan bagaimana strategi
itu dilaksanakan.
Sudisman mengklaim ia menjadi yakin bahwa aksi yang dilakukan
“perwira-perwira maju” itu merupakan cara terbaik dalam melawan
jenderal-jenderal sayap kanan Angkatan Darat yang telah membuktikan
dirinya sebagai satu-satunya rintangan terbesar bagi program partai.
Mereka menghalangi politik luar negeri antiimperialis Sukarno, kebijakankebijakan
ekonomi pemerintah yang dirancang untuk kemaslahatan kaum
tani dan kaum buruh (misalnya land reform), dan pengaruh PKI yang
terus meluas. Strategi mendukung “perwira-perwira maju” itu, menurut
Sudisman, tampaknya benar pada saat itu. Namun, sesudah meninjaunya
kembali, ia memandang strategi itu keliru arahan. Kegagalan G-30-S dan
kerentanan partai terhadap represi militer memperlihatkan ada sesuatu
yang salah dalam watak organisasi dan ideologi partai itu sendiri.
Sudisman menyatakan bahwa masalahnya bukan sekadar pimpinan
partai bertaruh pada kuda yang salah; masalah utamanya adalah mereka
sudah bertaruh. Terbuai oleh rangkaian kesuksesan panjang, mereka
kehilangan kemampuan untuk “secara ilmiah menghitung imbangan
kekuatan secara kongkrit dari kedua belah pihak, dari kekuatan PKI
sendiri dan dari kekuatan lawan.”7 Penekanan mereka pada persatuan
nasional menggiring mereka menjadi terlalu akomodatif terhadap kelas
menengah dan melalaikan pembangunan kekuatan tani dan buruh yang
terorganisasi secara mandiri.8 Dengan mendukung putsch rahasia yang
terpisah dari “massa,” pimpinan partai telah memilih semacam jalan
pintas yang berbahaya menuju revolusi – bahaya yang tidak akan pernah
mereka alami andaikata partai tidak tersita perhatiannya oleh rencanarencana
licik politisi elite di Jakarta. Di antara puing-puing G-30-S
tersingkaplah “kesalahan-kesalahan PKI yang menumpuk untuk masa
yang panjang.”9
Sudisman yakin otak G-30-S ialah perwira-perwira militer seperti
Untung dan Supardjo. Untuk menimbang ketepatan keyakinannya perlu
dipertanyakan apa yang diketahui Sudisman tentang G-30-S. Informasi
apa yang menjadi dasar keyakinannya itu? Menurut Uraian Tanggungdjawab
pengetahuannya tentang G-30-S berasal dari Aidit saja. Sudisman
203
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
mencatat bahwa di dalam sidang-sidang Politbiro Aidit menjelaskan
“bahwa ada perwira-perwira maju yang mau mendahului bertindak untuk
mencegah kudeta Dewan Jenderal.”10 Menurut pengalaman Sudisman,
Aidit “teliti dalam menerima informasi-informasi” dan “teliti dalam menghitung
imbangan kekuatan.”11 Berkat kedudukannya sebagai menteri
koordinator dalam kabinet Sukarno, Aidit “cukup memiliki saluran”
untuk memeriksa informasi yang diterimanya.12 Sudisman mempercayai
pendapat Aidit bahwa G-30-S patut mendapat dukungan, “kawan Aidit
menjelaskan [kemungkinan kepada anggota Politbiro] dengan meyakinkan
bahwa ada perwira-perwira maju dan G-30-S yang mengadakan
operasi militer membentuk Dewan Revolusi.”13 Aidit konsisten dalam
memberi tahu Politbiro bahwa gerakan yang direncanakan merupakan
urusan intern militer. Aidit menjelaskan “bahwa para perwira maju mau
mengadakan operasi militer dan tidak pernah mengemukakan bahwa
PKI mau mengadakan operasi militer, dan oleh kawan Aidit juga tidak
pernah dikemukakan bahwa PKI mau mencetuskan revolusi pada saat
itu.”14 Sudisman menempatkan Aidit sebagai orang utama di dalam
partai yang berhubungan dengan para perwira dan menetapkan tindakan
apa yang akan diambil oleh personil PKI dalam mendukung gerakan
tersebut. Sudisman mengatakan bahwa Aidit “menugaskan pengiriman
beberapa tenaga ke daerah pada hari-hari menjelang mencetusnya G-30-S
dengan garisnya ‘dengarkan pengumuman RRI Pusat dan sokong Dewan
Revolusi.’”15 Bagi Sudisman G-30-S mirip dengan kup Kolonel Qasim
di Irak pada 1958 yang menumbangkan monarki dan menggagalkan
keikutsertaan Irak dalam persekutuan militer untuk menghadapi Uni
Soviet (Pakta Baghdad 1955, yang antara lain termasuk Turki dan
Inggris).16 Ada beberapa kup yang mempunyai agenda politik yang
progresif – yaitu melawan feodalisme, imperialisme, dan kapitalisme
– sementara itu ada beberapa kup yang mempunyai agenda reaksioner.
Gerakan 30 September, walaupun bukan kup, merupakan aksi militer
yang dalam pandangan partai progresif.
Sudisman tidak mengklaim mempunyai hubungan langsung
dengan para perwira yang terlibat dalam G-30-S. Barangkali ia bahkan
tidak berhubungan dengan Sjam dan orang-orang dari Biro Chusus. Ia
tidak menyebut tentang mereka. Walaupun Sudisman seharusnya tahu
lebih banyak tentang hubungan partai dengan G-30-S daripada yang
204
5. AIDIT, PKI, DAN G-30-S
sudah dibeberkannya di dalam Uraian Tanggungdjawab, tanpa bukti
tambahan kita tidak bisa beranggapan bahwa pendapatnya tentang
penggerak G-30-S itu didasarkan atas informasi di luar dari yang diberikan
Aidit kepadanya. Selama sidang-sidang Mahmilub, dalam menanggapi
kesaksian Sjam, Sudisman menyatakan tidak mempunyai pengetahuan
langsung tentang G-30-S, hanya mengikuti perintah-perintah dari Aidit,
dan percaya bahwa Sjam pun mengikuti perintah dari Aidit, “Walaupun
saya tidak ikut membuat Dekrit, tidak ikut menyusun komposisi Dewan
Revolusi, tidak berada di Halim, Lubang Buaya atau Pondok Gede baik
di sekitar maupun pada saat dicetuskannya G-30-S, tapi karena semua
perbuatan itu adalah perbuatan oknum-oknum anggauta PKI, maka saya
ambil oper tanggung-jawabnya.”17
Saya akan berkomentar di belakang tentang tindakan misterius
Sudisman untuk mengambil tanggung jawab terhadap suatu gerakan
yang menurut pengakuannya sangat sedikit ia ketahui. Sekarang masalah
penting yang perlu diperhatikan adalah bahwa Sudisman memang tidak
berada dalam posisi mengetahui bagaimana pengorganisasian G-30-S
dilakukan. Tidak ada alasan untuk memandang pendapat Sudisman
bahwa para perwira militer bertindak atas kehendak sendiri sebagai
pendapat seorang yang berwenang dan berpengetahuan memadai.
Penilaian Sudisman tentang G-30-S sebagai aksi yang dipimpin militer
tidak dapat diperhitungkan sebagai sangkalan yang meyakinkan terhadap
penilaian Supardjo yang melihat gerakan itu di bawah pimpinan Sjam.
Karena Supardjo jauh lebih dekat dengan para organisator G-30-S dan
menyaksikan langsung proses pengambilan keputusan mereka, penilaiannya
harus diberi bobot lebih.18
Pertanyaan tentang pengetahuan Aidit tetap tidak terjawab di dalam
uraian Sudisman. Mungkin Aidit juga percaya bahwa para perwira militer
itu bertindak atas kehendak sendiri. Ia bersandar pada informasi dari
Sjam. Mungkin Sjam tidak menjelaskan kepada Aidit bahwa ia sesungguhnya
memainkan peranan yang dominan dalam mengorganisasikan
para perwira. Jika tidak demikian, barangkali Aidit mengetahui bahwa
perwira-perwira di belakang G-30-S ialah mereka yang terkait dengan
Biro Chusus, tapi ia mungkin hendak menyembunyikan fakta tersebut
dari kawan-kawannya di Politbiro demi mempertahankan kerahasiaan
di sekitar operasi Biro Chusus.
205
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
ANALISIS SJAM DAN HASAN
Menjelang sidang Mahmilub untuknya berakhir Sudisman membacakan
dengan lantang “uraian tanggungdjawab”-nya di depan para hakim dan
pengunjung sidang. Sebagian uraiannya dapat ditangkap sebagai penyangkalan
terhadap kesaksian yang diberikan Sjam pada sidang yang
sama. Dibawa masuk ke ruang sidang sebagai saksi, Sjam menyampaikan
pengakuan bahwa yang dilakukan Aidit lebih dari sekadar mendukung
G-30-S. Menurut versi Sjam tentang peristiwa itu, Aidit memprakarsai
G-30-S. Konon Aidit memerintahkan Sjam agar memobilisasi tokohtokoh
militer yang terkait dengan Biro Chusus untuk melancarkan aksi
militer melawan jenderal-jenderal kanan Angkatan Darat. Sjam mengemukakan,
“Sesudah bulan Agustus [1965] [Biro Chusus] menerima
keterangan daripada Kawan D.N. Aidit tentang makin memuntjaknja
situasi. Dan gedjala-gedjala jang ada menundjukkan bahwa Dewan
Djenderal sudah mulai melakukan persiapan-persiapan terachir untuk
pada achirnja melakukan perebutan kekuasan. Setelah ada soal-soal
itu maka kami diberikan garis, apakah dalam menghadapi situasi jang
sematjam ini, kami menunggu dipukul atau mesti memberikan pukulan
terlebih dahulu. Karena kesimpulannja bahwa kami harus memberikan
pukulan terlebih dahulu, kami melakukan persiapan-persiapan dengan
mengadakan pertemuan-pertemuan antara saja, Pono, Untung, Latif,
Sujono, Sigit dan Wahjudi. Sebagai pertemuan-pertemuan persiapan
untuk melakukan gerakan jang pada achirnja dinamakan G30S. Dalam
pertemuan-pertemuan itu jang memimpin adalah saja sendiri.”19 Sjam
mengklaim dialah yang memilih perwira-perwira yang ikut dalam rapatrapat
itu dan, dengan bantuan Aidit, merancang gagasan tentang Dewan
Revolusi.
Berdiri sendiri, kesaksian Sjam harus disikapi dengan kesangsian. Pendakuannya
sebagai atasan para perwira dapat diabaikan laiknya khayalan
seorang megalomaniak, seseorang yang ingin dilihat sebagai pemain politik
yang penting. Pendakuannya bahwa ia mengikuti perintah-perintah Aidit
dapat diabaikan sebagai usaha untuk mengesahkan tindakan-tindakan
yang sesungguhnya di luar jangkauan kewenangan Aidit. Barangkali
Sjam melibatkan Aidit demi menyenangkan para penuntut umum dari
militer yang mengingini pembenaran atas tuduhan mereka bahwa Aidit
206
5. AIDIT, PKI, DAN G-30-S
ialah otak G-30-S. Namun demikian pernyataan Sjam tidak bisa begitu
saja ditolak, menimbang analisis post-mortem Supardjo (yang sudah saya
bahas dalam bab 3) dan penegasan dari Hasan untuk bagian-bagian
tertentu dari kesaksian Sjam yang berkaitan dengan kinerja Biro Chusus
(dibahas dalam bab 4). Barangkali Sjam bukanlah seorang penyemu.
Dalam karangan otobiografi s yang ditulisnya pada pertengahan 1990-an,
Hasan menguatkan sejumlah klaim Sjam tentang peranannya di dalam
G-30-S. Hasan percaya Sjam mengikuti perintah-perintah Aidit dan para
perwira itu, pada gilirannya, mengikuti pimpinan Sjam:
Pada suatu waktu, kira-kira bulan Juli 1965, dalam rapat
BC Pusat, Ketua BC Bung Sjam memberi informasi bahwa
sakitnya Presiden Sukarno makin parah dan mungkin
akan mati. Hal ini akan digunakan oleh kaum militer yang
anti Sukarno dan yang bekerja erat dengan kaum nekolim
Amerika Serikat, Inggris, Jepang, Belanda untuk mengkup
kekuasaan Sukarno menjadi pemerintah militer pro-Barat
yang fasis. Gerakan rakyat demokratis yang dipimpin oleh
Nasakom dimana PKI menjadi pelopornya, akan ditindas
secara kekerasan sampai hancur-lebur. Untuk menghadapi
situasi gawat yang mendadak, PKI sebagai pelopor gerakan
rakyat harus mengambil sikap. Sikap PKI yalah harus melawan
gerakan kup militer Angkatan Darat terhadap Pemerintah
Sukarno secara militer. Tugas ini diperintahkan oleh Bung
Aidit kepada BC Pusat yang menggarap kaum militer. Dalam
proses selanjutnya berhubung situasinya makin genting, maka
perintahnya bukan hanya menunggu kup kaum militer bahkan
kita harus bertindak lebih dahulu terhadap jendral-jendral
yang pro nekolim.”20
Sukarno jatuh sakit dari 3 Agustus sampai 9 Agustus, maka rapat
pertama yang dimaksud Hasan tentunya terjadi pada awal Agustus itu.
Kemungkinan meninggalnya Sukarno di awal Agustus agaknya telah
memancing tekad awal Aidit untuk menyiapkan aksi militer, seperti
dikemukakan Hasan, tapi barangkali tidak sampai membulatkan tekad
Aidit hingga akhir September. Desas-desus tentang Sukarno hampir
207
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
meninggal seketika lenyap saat ia sehat kembali. Beberapa penasihatnya
dari semula berpikir bahwa Sukarno tidak menderita penyakit yang lebih
parah dari infl uenza berat. Sesudah 9 Agustus Sukarno tidak memperlihatkan
tanda-tanda akan jatuh sakit serius dan mulai lagi mengisi jadwal
melelahkan yang sarat dengan pidato-pidatonya yang bersemangat di
depan umum, termasuk pidato pada 30 September malam.
Bagi Aidit, untuk meneruskan rencana melancarkan aksi militer,
jika itu memang ia lakukan, ia tentu sudah yakin bahwa jenderal-jenderal
antikomunis Angkatan Darat akan melancarkan serangan tanpa menghiraukan
kesehatan Sukarno. Menurut Hasan, Aidit mengubah rencana
semula; Biro Chusus berubah dari menanti menjadi mendahului kudeta
para jenderal. Pendapat ini serupa dengan pendirian Sjam bahwa partai
menghadapi pertanyaan apakah menunggu kup terjadi baru bertindak,
atau mendahului kup. Pendapat ini juga serupa dengan pendirian
Supardjo bahwa “partai” pada satu titik mengubah strateginya dari
menunggu laporan tentang rencana para “perwira progresif” menjadi
memaksakan rencananya sendiri.
Dipertimbangkan bersama, cerita-cerita Sjam dan Hasan tidak
bisa dipandang sebagai bukti tandas bahwa Aidit memprakarsai G-30-S,
Sjam mengikuti perintah Aidit, dan perwira-perwira militer yang terkait
dengan Biro Chusus mengikuti Sjam. Barangkali perwira-perwira itu
bertindak atas dasar kesimpulan-kesimpulan yang tidak dapat dibenarkan.
Ketika berbicara di depan para perwira dan anggota-anggota Biro
Chusus (orang-orang yang dikenal Hasan), boleh jadi Sjam sengaja
membual tentang perintah Aidit agar orang-orang itu mau mengikuti dia.
Perlu diingat bahwa Supardjo mendapat kesan tentang adanya rencana
besar partai yang melebihi apa yang telah dijelaskan Sjam kepadanya.
Mungkin saja Sjam bersikap seakan-akan kepemimpinan partai terlibat
lebih jauh dalam G-30-S. Tapi penegasan Hasan terhadap pokok-pokok
cerita Sjam setidak-tidaknya memberikan kesan bahwa gagasan tentang
Aidit menjadi salah satu dari pemimpin-pemimpin G-30-S tidaklah
berlebihan. Untuk memperoleh gambaran lebih baik tentang peranan
Aidit, kita harus menelaah cerita-cerita tokoh-tokoh yang ada di dalam
Politbiro sendiri.
208
5. AIDIT, PKI, DAN G-30-S
ANALISIS ISKANDAR SUBEKTI
Dua anggota Politbiro diketahui memainkan peranan langsung dalam
G-30-S: Njono, yang mengorganisasi sekitar dua ribu pemuda untuk
dijadikan sukarelawan, dan Iskandar Subekti, yang menemani Aidit di
pangkalan AURI Halim. Kedua tokoh ini menceritakan proses pengambilan
keputusan partai dalam kesaksian mereka di sidang pengadilan.
Njono, pemimpin PKI yang pertama diadili Mahmilub, berusaha
membersihkan pimpinan partai lainnya dari kesalahan apa pun. Ia menampilkan
dirinya sebagai oknum dajal yang sudah melanggar keputusan
Politbiro untuk tetap tidak terlibat di dalam aksi para perwira Sukarnois
melawan Dewan Jenderal.21 Skenario “meriam liar” yang tak masuk akal
ini sebaiknya dikesampingkan saja. Bisa dimengerti, bahkan terpuji,
jika Njono mengambil tanggung jawab penuh. Tapi sukar dipercaya
bahwa ia bertindak sepenuhnya sendiri tanpa keterkaitan dengan Aidit
dan pimpinan partai lainnya, terutama karena belakangan Sudisman
mengakui bahwa Politbiro memutuskan untuk mendukung G-30-S.
Cerita Iskandar Subekti lebih layak diperhatikan. Subekti adalah
panitera dan arsiparis Politbiro. Ia memang cocok untuk tugas ini bukan
hanya karena ia mahir stenografi ; ia terpelajar, fasih dalam berbagai bahasa
Eropa, dan memiliki pengetahuan mendalam tentang sejarah partai dan
program-programnya. Ketika ia diajukan ke pengadilan pada 1972,
penjaga rahasia partai ini bisa berbicara dengan lebih terbuka daripada
Njono. “Uraian Tanggungdjawab” Sudisman sudah beredar, dan partai
sudah dihancurkan.
Dalam pidato pledoinya di pengadilan Subekti menyatakan bahwa
pada sebuah rapat pada Agustus 1965 Politbiro memutuskan bahwa partai
akan memberi “dukungan politis” kepada aksi yang direncanakan para
perwira progresif. Sementara Subekti tidak menjelaskan arti setepatnya
perkataan “dukungan politis,” ia membedakannya dengan “dukungan
fi sik,” yang tidak mau diberikan Politbiro. Implikasinya adalah para
perwira akan bertindak sendiri, sedangkan partai akan membela perjuangan
mereka melalui pers dan sidang-sidang pemerintah, “Sikap Partai
ialah memberikan dukungan politis, bukan dukungan fi sik atau lainnya
semacam itu, kepada perwira-perwira muda yang hendak menggagalkan
rencana kudeta dari Dewan Jenderal terhadap Pemerintah Sukarno. PKI
209
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
bisa memberikan dukungan kepada sesuatu aksi dari kekuatan-kekuatan
revolusioner dan demokratis untuk menentang kekuatan-kekuatan
kontra-revolusioner. Sikap itu adalah sikap politik yang wajar dan biasa,
berhubung dengan perkembangan situasi dan garis politik PKI yang
mendukung Pemerintah Sukarno pada waktu itu.”22
Tabel 3. Struktur Organisasi Pimpinan Partai Komunis Indonesia, September 1965
Ketua Comite Central
D.N. Aidit
Dewan Harian Politbiro
Lima anggota: D.N. Aidit, Lukman, Njoto, Sudisman, Oloan Hutapea
Politbiro
Dua belas anggota penuh: D.N. Aidit, Lukman, Njoto, Sudisman, Oloan Hutapea,
Sakirman, Njono, Mohamad Munir, Ruslan Wijayasastra, Jusuf Ajitorop, Asmu, Rewang
Empat calon anggota: Peris Pardede, A. Sanusi, Sucipto Munandar, F. Runturambi
Panitera: Iskandar Subekti
Comite Central
85 anggota
Sumber: Subekti, “G-30-S Bukan Buatan PKI,” 2-3.
Subekti mengklaim bahwa Aidit menjelaskan keputusan Politbiro
kepada sekelompok anggota Comite Central pada 27 atau 28 Agustus.23
Subekti menekankan bahwa rapat ini adalah sebuah brifi ng oleh Aidit,
bukan sidang resmi Politbiro yang diperluas atau sidang Comite Central
yang dipersempit (lihat gambar 3 tentang struktur pimpinan PKI).
Brifi ng tersebut dimaksudkan untuk menyampaikan kepada tokohtokoh
pimpinan tertentu tentang posisi partai. Aidit menjelaskan kepada
yang hadir bahwa sebuah klik perwira progresif sedang merancang suatu
aksi menentang Dewan Jenderal dan bahwa partai akan memberikan
“dukungan politis.” Menurut Subekti tidak ada diskusi, juga tidak ada
keputusan satu pun diambil di dalam forum ini.
Subekti menyatakan bahwa Politbiro tidak bersidang selama
September. Njono juga menyatakan, walaupun Politbiro tiga kali
bersidang dalam Agustus, tidak satu kali pun dalam September. Ini
mengesankan bahwa Aidit bertindak sendiri di luar pengawasan Politbiro
selama beberapa pekan sebelum G-30-S dimulai. Menurut Subekti,
“Pelaksanaan selanjutnya dari putusan Politbiro yang dibriefi ngkan
itu diserahkan kepada Dewan Harian Politbiro sebagaimana lazimnya
Dewan Harian Politbiro melaksanakan sehari-harinya putusan Politbiro.
Tidak ada sidang Politbiro lagi untuk mendengarkan laporan-laporan
210
5. AIDIT, PKI, DAN G-30-S
tentang pelaksanaan putusan itu oleh Dewan Harian Politbiro ataupun
oleh Ketua CC guna memberikan kesempatan kepada Politbiro untuk
menilai kebijaksanaan Dewan Harian Politbiro atau Ketua CC dalam
melaksanakan putusan Politbiro itu.”24 Dengan kata lain, Aidit bertindak
sendiri selama September dalam hal perencanaan gerakan tersebut.
Jika Subekti benar bahwa Politbiro tidak bersidang selama
September, anggota Politbiro sebagai kelompok bisa jadi tidak mendapat
informasi tentang peranan Sjam dalam G-30-S. Sjam mulai mengadakan
rapat-rapat dengan para perwira baru pada September (setidak-tidaknya
menurut pengakuannya sendiri). Politbiro tidak mungkin bisa mengetahui,
apalagi menyetujui, persisnya tindakan-tindakan Aidit dan Sjam.
Jika selama sidang-sidang pada Agustus Politbiro memberikan
persetujuannya kepada gagasan “dukungan politis” terhadap tindakan
militer para perwira progresif, untuk memutuskan rincian kerja sama
partai diserahkan kepada Aidit. Subekti mencatat dalam sebuah alinea
yang gamblang bahwa Aidit adalah satu-satunya pimpinan partai yang
berhak mengurus hubungan PKI dengan militer:
Penyerahan soal-soal militer kepada D.N. Aidit adalah,
menurut pengalaman saya, soal yang biasa, yang sehari-hari.
Karena soal militer, artinya soal-soal yang bertalian dengan
kerjasama atau sikap-sikap tertentu yang harus diambil oleh
Partai terhadap ABRI merupakan hal-hal yang harus dilakukan
dengan hati-hati maka ini diserahkan kepada Ketua CC, D.N.
Aidit. Dalam praktek sehari-harinya hal ini terwujud dalam
misalnya ceramah-ceramah, penulisan-penulisan, atau penjelasan-
penjelasan dari sikap Partai terhadap ABRI yang dituangkan
dalam editorial-editorial Harian Rakjat. Yang boleh
menulis tentang ini hanya Ketua CC, D.N. Aidit, tidak boleh
orang lain, redaksi Harian Rakjat sekalipun tidak boleh.25
Butir pokok pendapat Subekti sama dengan yang diajukan Sudisman:
G-30-S bukanlah buatan PKI sebagai sebuah lembaga walaupun beberapa
pimpinan partai tertentu terlibat di dalamnya. Baik Politbiro maupun
Comite Central tidak memikirkan sebuah rencana aksi untuk memprakarsai,
mengorganisasi, dan memimpin G-30-S.
211
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
Pidato Subekti di depan sidang pengadilan pada 1972 tampaknya
mencerminkan pendapatnya yang jujur tentang G-30-S. Ia mengulangi
banyak pendapat yang sama ketika ia menulis sebuah dokumen rahasia
pada 1986 untuk sekelompok kecil anggota partai yang setia dan masih
hidup, termasuk mantan anggota Politbiro, Jusuf Ajitorop.26 Halaman
pertama naskah tulis tangan ini menyatakan bahwa dokumen ini tidak
diedarkan untuk umum dan ditulis semata-mata untuk “dokumentasi
partai.” Subekti memutuskan menuliskan analisis tentang G-30-S segera
setelah ketiga pimpinan Biro Chusus (Sjam, Pono, dan Bono) dieksekusi
pada September 1986.27 Menyadari ketiga orang ini (teman-temannya
sesama penghuni penjara Cipinang) telah membawa rahasia mereka
masing-masing ke liang kubur dan sedikit saja pimpinan PKI lainnya
yang masih hidup, Subekti merasa harus mencatat semua ingatan dan
pendapatnya sendiri. Untuk pembaca terbatas dari kalangan loyalis partai
Subekti menegaskan pokok pikiran yang sudah ia kemukakan tahuntahun
sebelumnya di hadapan publik:
G-30-S bukan buatan atau ciptaan PKI … Maka seandainya
ia merupakan gerakan dari PKI, atau gerakan yang “didalangi”
PKI, semestinya ia dibicarakan dan diputuskan oleh badan
pimpinan partai yang tertinggi yaitu Comite Central. …Tetapi
hal ini tidak pernah dibicarakan, apalagi diputuskan di dalam
dan oleh Comite Central yang anggotanya berjumlah 85
orang itu. …Bahkan ada anggota Politbiro atau calon anggota
Politbiro yang tidak mengetahui sama sekali. Manakala ada
anggota-anggota CC atau PB [Politbiro] yang tersangkut dalam
gerakan ini, maka mayoritas dari mereka hanya merupakan
pelaksana saja, bukan pemikir yang ikut memutuskan, membicarakan
atau merencanakan gerakan ini.28
Pendapat Subekti tentang kebersalahan PKI sebagai sebuah lembaga
cukup sahih. Soal yang dipertanyakan ialah mengapa Aidit dan pimpinan
tertentu lainnya menjadi “tersangkut” dalam G-30-S. Walaupun Subekti
dan Sudisman secara implisit mengesankan di hadapan publik bahwa
dalam hal G-30-S Aidit membuat kebijakannya sendiri, tak satu pun
dari mereka terbuka tentang bagaimana persisnya sifat keterlibatan Aidit.
212
5. AIDIT, PKI, DAN G-30-S
Subekti jauh lebih terus terang tentang hal ini dalam dokumen rahasianya
tahun 1986. Ia mempersalahkan Aidit dan para pimpinan partai
lainnya jauh lebih mendalam dalam hal merancang G-30-S. Versi Subekti
mengenai kejadian-kejadian tersebut patut diperhatikan dengan cermat
karena ia, dibanding dengan tokoh-tokoh lainnya, dalam posisi lebih
mengetahui gerak-gerik Aidit selama Agustus dan September. Sebagai
panitera Politbiro, ia juga berperanan sebagai semacam sekretaris pribadi
Aidit.
Dalam uraian rahasianya Subekti menyatakan bahwa Aidit bertemu
Sjam dalam Agustus 1965 untuk membahas kemungkinan melancarkan
aksi militer melawan Dewan Jenderal. Aidit masih mempelajari
pilihan-pilihannya pada saat itu. Sjam meyakinkan Aidit bahwa ia dapat
mengerahkan para simpatisan partai di dalam tubuh militer untuk pelaksanaan
aksi itu. Kemudian Aidit melakukan pendekatan terhadap
Politbiro. Dengan bayangan aksi militer itu akan dilaksanakan oleh
para perwira militer sendiri, terlepas dari partai, Politbiro sepakat pada
sebuah sidang di Agustus untuk memberikan “dukungan politis.” Aidit
lalu membentuk satu tim khusus pilihan dari anggota-anggota Politbiro
untuk membahas dengan cara-cara apa partai akan mendukung para
perwira itu. Subekti tahu tentang tim ini karena ia sendiri termasuk di
dalamnya. Ia mengikuti diskusi-diskusi tim “tidak sebagai peserta penyumbang
pikiran atau pendapat, tetapi sebagai tukang catat keputusankeputusan
yang diambil oleh kolektif tersebut di atas.”29 Para anggota
tim ialah, menurut ingatan Subekti, Aidit, Sudisman, Oloan Hutapea,
Lukman, dan Rewang. Tim ini kerap bertemu dari akhir Agustus sampai
akhir September dengan tiga anggota inti Biro Chusus, Sjam, Pono, dan
Bono. Dengan demikian Aidit tidak melibatkan Politbiro beserta seluruh
Dewan Hariannya dalam proses pengambilan keputusan. Beberapa
anggota badan-badan ini dibiarkan dalam kegelapan. Khususnya Njoto
disisihkan dari lingkaran ini. Subekti mencatat, “Dalam semua diskusi
ini kawan Mansur (Njoto) oleh DN Aidit dengan sadar tidak diikutsertakan
karena pertimbangan ideologis. Bagi Nyoto tidak dipercaya karna
berdasarkan pengalaman lebih dianggap Sukarnois daripada Komunis.”30
Oey Hay Djoen (yang dekat dengan Njoto) menyampaikan kepada saya
bahwa Aidit hanya bersandar pada orang-orang kepercayaannya saja
dalam minggu-minggu sebelum kejadian.31
213
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
Masuk akal untuk berasumsi bahwa Subekti benar sehubungan
dengan klaim tentang adanya tim khusus pilihan Aidit untuk membahas
G-30-S. Sebagai operasi terselubung yang menuntut kerahasiaan, G-30-S
tidak mungkin bisa diketahui banyak orang. Menjadi jelas juga jika
anggota CC-PKI, yang terdiri dari sekitar delapan puluh lima orang,
tidak diberi tahu tentang G-30-S secara rinci dan tidak dibolehkan memperbincangkannya.
Karena jika ini terjadi sama saja dengan membuat
pernyataan publik, mengingat bahwa Angkatan Darat mempunyai
mata-mata di dalam partai. Adanya Sakirman di dalam Politbiro akan
merupakan kendala bagi Aidit untuk mendiskusikan rencana G-30-S
secara rinci dalam forum itu. Salah satu sasaran penting G-30-S ialah adik
Sakirman, Jenderal Parman, kepala intelijen Angkatan Darat. Parman
sendiri suatu ketika mengatakan kepada seorang perwira militer Amerika
Serikat pada pertengahan 1965 bahwa ia sudah menyusupi sepenuhnya
tubuh PKI dan dapat mengetahui setiap keputusan yang diambil dalam
sidang-sidang terpenting mereka dalam hitungan jam. Parman juga mengatakan
bahwa PKI sudah mengetahui ada penyusupan di dalam partai
dan membentuk suatu kelompok inti kecil untuk membahas masalahmasalah
yang sensitif.32
Subekti mencatat bahwa salah satu tema diskusi dalam tim khusus
tersebut adalah usul Aidit tentang dewan revolusi, “D.N. Aidit telah
mengkonsepkan daftar orang-orang anggota Dewan Revolusi. Konsep
ini telah diterima oleh badan kolektif seperti tersebut di atas tadi.”33 Ide
di balik daftar nama-nama ini ialah gerakan ini harus tampil sebagai aksi
militer murni, “Sejak semula, selagi masih dalam tingkat-tingkat pertama
dalam pembicaraan antara D.N. Aidit dan Kamaruzaman [Sjam], telah
diputuskan bahwa gerakan itu harus merupakan gerakan militer, tidak
boleh terlihat sebagai gerakan dari PKI.”34 Karena itu orang-orang yang
dipilih sebagai anggota Dewan Revolusi Indonesia ialah tokoh-tokoh
politik yang mewakili lintas aliran ideologi yang luas. Gerakan ini tidak
dimaksudkan sebagai suatu aksi yang akan serta-merta membawa PKI
masuk ke istana. Gerakan ini hanya bertujuan untuk membersihkan
jenderal-jenderal Angkatan Darat yang antikomunis, sehingga dengan
begitu dapat menciptakan suasana politik yang memungkinkan PKI
berkembang meluas. Subekti menekankan bahwa tim khusus anggota
Dewan Harian Politbiro tidak pernah mendiskusikan gagasan untuk
214
5. AIDIT, PKI, DAN G-30-S
mendemisionerkan kabinet Sukarno. Ia mempersalahkan Aidit yang, pada
detik terakhir, menyisipkan gagasan tersebut dalam pengumuman radio 1
Oktober. Tapi Subekti tidak menjelaskan mengapa atau bagaimana Aidit
melakukan hal tersebut. Dewan Revolusi, sebagaimana yang dirumuskan
oleh tim khusus, dimaksudkan untuk menekan pemerintah Sukarno agar
bergeser lebih ke kiri, tidak untuk mengganti menteri-menteri kabinet
yang ada.
Tim khusus itu, dalam penilaian Subekti, tidak berfungsi sebagai
pengendali kebebasan Aidit untuk bergerak. Ia melukisan Aidit sebagai
seorang pemimpin yang memprakarsai gagasan tentang aksi militer
untuk mendahului rencana Dewan Jenderal. Tim khusus tampak lebih
sebagai panel gaung bagi Aidit, ketimbang sebagai badan terpadu yang
membuat keputusan-keputusan laiknya sebuah kolektif. Karena Biro
Chusus sepenuhnya berada di bawah pimpinannya, Aidit dalam posisi
untuk melakukan kontrol secara eksklusif terhadap gerakan yang direncanakan.
Subekti menulis bahwa Sjam “didudukkan oleh Aidit sebagai
pemimpin utama dalam komando gerakan.”35 Perhatikan bahwa Subekti
tidak mengklaim bahwa tim khusus mengangkat Sjam sebagai pemimpin.
Subekti mengklaim bahwa Aidit sendirilah yang menunjuk Sjam. Bahkan
jika anggota-anggota tim khusus terlibat dalam perencanaan aksi pada
minggu-minggu menjelang 1 Oktober, tampaknya mereka tidak menetapkan
peranan apa pun bagi diri mereka dalam melaksanakannya.
Setidak-tidaknya ada dua orang anggota tim yang tidak aktif pada 1
Oktober: Lukman sedang keliling Jawa Tengah, dan Sudisman bersembunyi
di sebuah rumah di Jakarta, memantau siaran-siaran radio (menurut
Hasan, yang bersama Sudisman pada hari itu). Dalam pledoinya di depan
sidang Subekti mengatakan bahwa ia hanya mengikuti perintah ketika
menemani Aidit di pangkalan udara AURI di Halim, “Saya diharuskan
membantu Aidit dan melakukan pengetikan itu atas perintah Aidit ‘in
person,’ bukan sebagai putusan Politbiro ataupun sebagai tugas yang
ditetapkan oleh Sekretariat CC.” Aidit memandang Subekti sebagai
seorang pengikut setia yang tidak banyak bertanya, “Tenaga-tenaga
pembantu Aidit sesungguhnya sudah cukup dengan Bono dan Kusno,
Aidit meminta saya lagi dan bukan orang lain, menurut dugaan saya
karena ia mempunyai “aff ection” tertentu atau suka dengan saya yang
ia kenal sebagai kawan sejak waktu pra-Proklamasi 17 Agustus 1945 di
215
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
Menteng 31, dan yang suka bekerja serta tidak rewel.”36 Bagi Subekti
tim khusus para anggota Politbiro bukanlah otak G-30-S. Tim ini lebih
merupakan suatu badan musyawarah bagi Aidit dan Sjam saat mereka
merencanakan G-30-S bersama para perwira militer tertentu.
Uraian Iskandar Subekti yang bersifat rahasia ini merupakan bukti
kuat bagi klaim bahwa peranan Aidit dan Sjam dalam G-30-S lebih
besar dibandingkan peranan para perwira militer. Subekti, beda dengan
Supardjo, berada dalam posisi mengetahui dinamika internal pimpinan
PKI. Supardjo hanya mengatakan bahwa “partai” lebih dominan. Subekti
lebih persis dalam menunjukkan siapa di dalam partai yang bertanggung
jawab. Menulis untuk pembaca kalangan dalam partai pada 1986, ia tidak
berada di bawah tekanan apa pun untuk tidak jujur. Ia ingin berterus
terang demi proses perbaikan diri partai sendiri. Namun, pemandangan
Subekti terbatas. Dia tidak mungkin hadir dalam rapat-rapat antara Sjam
dan para perwira, sehingga dia tidak mungkin mengetahui sifat saling
hubungan mereka. Kendati demikian, dari diskusi-diskusi tim khusus saja
ia rupanya dapat menduga bahwa Aidit dan Sjam telah memprakarsai aksi
dan mulai memperoleh kerja sama dari para perwira militer yang simpati
kepada PKI. Subekti, seperti empat pimpinan PKI lainnya dalam tim
khusus, tentu menyadari bahwa para perwira militer di dalam G-30-S
itu tidak bebas sepenuhnya dari partai. Mereka adalah koneksi-koneksi
Sjam.
Boleh jadi Subekti melebih-lebihkan peranan Aidit dan Sjam karena
ia menyimpan kegeraman hebat terhadap kedua tokoh itu. Nada berang
dalam alinea-alinea tertentu dari analisisnya pada 1986 (hujatannya
terhadap hampir semua mantan pimpinan PKI lainnya sebagai pengecut,
borjuis kecil, dan tak berprinsip) tampak sebagai akibat dari frustrasi dan
kekecewaannya yang mendalam saat menyaksikan kehancuran partai.37
Orang bisa saja mengatakan Aidit dan Sjam menjadi kambing hitam
baginya. Namun, alasan-alasannya untuk menyalahkan Aidit dan Sjam
boleh jadi cukup berdasar. Pimpinan partai yang lain, seperti Sudisman,
juga menuding dua tokoh itu sebagai yang bertanggung jawab.
Pertimbangkan pernyataan Sudisman, seperti yang sebelumnya
sudah dikutip, “Walaupun saya tidak ikut membuat Dekrit, tidak ikut
menyusun komposisi Dewan Revolusi, tidak berada di Halim, Lubang
Buaya atau Pondok Gede baik di sekitar maupun pada saat dicetuskan216
5. AIDIT, PKI, DAN G-30-S
nya G-30-S, tapi karena semua perbuatan itu adalah perbuatan oknumoknum
anggauta PKI, maka saya ambil oper tanggung-jawabnya.” Klaim
Sudisman tentang ketidaktahuannya hendaknya diartikan bahwa ia tidak
mengetahui beberapa rincian tentang G-30-S. Ia mengakui bahwa ia
terlibat. Tapi cara Sudisman mengambil alih tanggung jawab moral
atas G-30-S memperlihatkan bahwa ia yakin Aidit telah bertindak
sendiri. Tentang hal ini Sudisman mengurainya lebih lanjut di dalam
dokumen “otokritik” Politbiro (disiarkan pada September 1966) dan
dalam pledoinya di depan sidang Mahmilub. Ia merasa bertanggung
jawab sebagai seorang pimpinan partai yang terlalu banyak memberi
jalan simpang bagi Aidit untuk bertindak sendiri. Menurut Sudisman
prinsip “centralisme demokrasi” partai telah menjadi lebih condong ke
sentralismenya ketimbang demokrasinya. Pimpinan PKI sudah menyerahkan
kekuasaan terlalu banyak kepada Aidit. Pesan yang tersirat di balik
argumen Sudisman ialah bahwa Aidit telah menetapkan kebijakan partai
mengenai G-30-S dan Politbiro memberi lampu hijau kepadanya untuk
jalan terus. Karena Sudisman percaya bahwa “centralisme demokrasi”
merupakan bentuk organisasi ideal di mana “dipadukan pertanggunganjawab
kolektif dengan pertanggungan-jawab perseorangan” ia merasa
tanggung jawab dirinya akan kebijakan partai sebanding dengan tanggung
jawab Aidit. Jika Aidit berbuat salah, itu karena pimpinan lain telah
membiarkan dia berbuat salah. Avonturisme Aidit, meminjam kata-kata
Sudisman, mencerminkan adanya masalah yang serius di dalam partai
karena Aidit tidak bisa ditunjuk sebagai satu-satunya orang yang memikul
seluruh beban kesalahan. Sudisman merasa dia sendiri dan pimpinan PKI
yang lain telah membiarkan prinsip “centralisme demokrasi” mengalami
kemerosotan.
Pada saat persidangan Sudisman pada 1967 pimpinan PKI yang
masih hidup di penjara memperdebatkan masalah tanggung jawab ini
dengan sengit. Militer mengumpulkan sekitar tujuh puluh lima tapol,
baik pimpinan PKI maupun perwira militer, di suatu tempat, yaitu
di Rumah Tahanan Militer (RTM) di tengah kota Jakarta, sehingga
mereka bisa diajukan sebagai saksi untuk persidangan Sudisman. Begitu
berkumpul di satu gedung, mereka mempunyai banyak kesempatan
untuk berdiskusi di antara mereka tentang proses pengambilan keputusan
di dalam partai dan memahami siapa yang harus dipersalahkan terkait
217
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
dengan kekalahan mereka. Salah seorang di antara para tapol itu ialah
Tan Swie Ling, yang ditangkap bersama Sudisman pada Desember 1966.
Ia memberi tempat perlindungan bagi Sudisman di rumahnya. Tan
mengenang bahwa pendapat umum di kalangan pimpinan PKI yang
ditahan di RTM adalah Aidit sebagai individu harus disalahkan, “Jadi
disitu saya berkesempatan untuk ketemu dengan orang-orang ini, dan
sejauh yang saya dengar dari mereka itu semua rasa kecewa, rasa marah,
dan karena itu yang muncul cuma caci maki. Caci maki tentu jatuh
kepada D.N. Aidit. Caci maki tentang kesalahannya dan lain sebagainya,
umpama semua adalah kesalahannya D.N. Aidit. Saya tidak pernah
mendengar keterangan yang sedikit masuk akal … Saya ketemu sama
seorang kader yang saya hormati, dan juga dia dihormati oleh banyak
orang, itu namanya pak Joko Soejono. Ini orang bekas kader buruh, dia
juga orang CC. Saya pernah tanya sama dia, sebetulnya kenapa terjadi
peristiwa G-30-S? Dia cuma jawabnya, ‘karena Centralisme Demokrasi
itu berat sebelah, yang jalan cuma centralismenya saja, demokrasinya
tidak ada.’
Sudisman mengakui, menurut ingatan Tan, Aidit terlalu banyak
memperoleh kekuasaan di dalam partai, tapi Sudisman menyalahkan
pimpinan partai lainnya karena mereka tidak cukup kompeten melawan
Aidit, “Kalau Sudisman dia memberi keterangannya begini, ‘Kalau kawankawan
merasakan sentralisme terlalu kuat, dan demokrasi tidak berjalan,
itu letak persoalannya sebetulnya bukan karena Aidit itu diktator,’ ini
menurut Sudisman ya, ‘tetapi karena kemampuan teori antara Aidit
dengan yang lain-lain tidak setara. Jadi kesenjangannya terlalu jauh,
sehingga setiap kali ada diskusi, setiap kali terjadi adu argumentasi, selalu
Aidit berhasil.’”38
Walaupun Sudisman percaya bahwa Aidit berpengaruh besar di
dalam PKI karena ia begitu pandai, masih mungkin melihat alasan-alasan
lain. Fakta yang sederhana adalah partai tumbuh di bawah pimpinan
Aidit. Banyak anggota Politbiro dan Comite Central bersedia tunduk
kepada Aidit karena ia tampaknya memiliki rumus untuk kesuksesan.
Apa pun persisnya alasan tentang kedominanan Aidit, para pimpinan
PKI yang masih hidup menganggapnya sebagai penyebab kehancuran
partai. Menjelang akhir September 1965 kepemimpinan partai menjadi
mirip dengan hierarki militer, dengan Aidit sebagai panglima tertinggi,
218
5. AIDIT, PKI, DAN G-30-S
memberikan perintah-perintah bahkan kepada anggota-anggota senior
Politbiro. (Seperti dicatat Sudisman, bahkan ia sendiri menerima
“perintah-perintah” dari Aidit.) Aidit, sebagai sosok penghubung utama
antara Biro Chusus dan pimpinan partai yang legal, berada dalam posisi
yang unik dan kuat. Para pimpinan partai yang lain harus mengikuti
penilaiannya dalam hal aksi militer. Ketika aksi ini gagal, mereka percaya
aksi itu gagal karena Aidit telah bekerja seorang diri, di luar kontrol
lembaga-lembaga partai yang lain, dan mengorganisir G-30-S dengan
bantuan Biro Chusus, sebuah sayap partai yang sepenuhnya berada di
bawah kepemimpinannya.
KEUNTUNGAN MENDAHULUI
Jika benar Aidit adalah penggerak utama G-30-S, lalu apakah alasannya?
Baik Iskandar Subekti maupun Sudisman berpendapat bahwa G-30-S
dimaksudkan sebagai tindakan secara militer untuk mendahului rencana
kudeta Dewan Jenderal. Banyak politisi di Jakarta pada 1965, termasuk
Sukarno sendiri, mengkhawatirkan bahwa jenderal-jenderal tertentu
Angkatan Darat sedang berkomplot dengan kekuatan Barat untuk menggulingkan
Sukarno. Kemungkinan besar Aidit mempercayai adanya
Dewan Jenderal dan bahwa dewan ini merupakan ancaman langsung
bagi Presiden Sukarno dan juga PKI. Baik Sudisman maupun Subekti
membenarkan bahwa mereka yakin dalam Agustus dan September 1965
tentang adanya rencana kup oleh pimpinan tertinggi Angkatan Darat.
Pertanyaan yang menimbulkan teka-teki ialah mengapa Aidit percaya
tindakan mendahului secara militer itu merupakan pilihan paling baik
untuk menjawab ancaman tersebut? Apakah ia tidak mempercayai
Presiden Sukarno untuk menangani jenderal-jenderal itu sendiri? Apakah
Aidit tidak percaya kepada kemampuan PKI dalam menghadapi serangan
militer? Sudah sejak akhir 1940-an partai hampir selalu mengalami
serangan: penindasan pascaperistiwa Madiun 1948, penangkapan massal
di Jakarta pada Agustus 1951, pelarangan partai di tiga daerah pada 1960
(“Tiga Selatan”: Sumatra Selatan, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan).
Namun demikian partai berhasil selamat dan tumbuh di tengah-tengah
kemunduran-kemunduran itu. Mengapa Aidit tidak menunggu sampai
219
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
jenderal-jenderal itu sendiri bergerak, dan kemudian memimpin massa
PKI bangkit berlawan? Jika para perwira sayap kiri pro-Sukarno sedang
menyusun rencana menentang jenderal-jenderal sayap kanan, mengapa
Aidit tidak membiarkan saja mereka berjalan dengan rencana mereka?
Mengapa ia merasa dirinya dan beberapa anggota partai lainnya harus
memainkan peranan? Aidit, seperti ditegaskan Sudisman, mempunyai
reputasi sebagai ahli siasat yang berkepala dingin, dan tentunya sudah
memperhitungkan untung-rugi pilihan yang diambilnya.39
Satu pilihan ialah memberi kesempatan Sukarno menangani sendiri
masalah dengan jenderal-jenderal sayap kanan tersebut. Sukarno bisa saja
memecat Yani sebagai panglima Angkatan Darat dan menggantikannya
dengan jenderal yang lebih berhaluan kiri, seperti Pranoto atau Rukman,
dan selanjutnya mendesak panglima baru agar menyusun ulang stafnya.
Sukarno mungkin bermaksud menemui Yani pada 1 Oktober di istana,
dan mengujinya lagi (seperti dalam Mei 1965) tentang desas-desus
mengenai Dewan Jenderal, dan memberitahunya bahwa ia akan diganti.40
Analis politik Rex Mortimer, dalam tulisannya pada pertengahan 1970-
an, mengira Aidit akan lebih menyukai pendekatan secara administratif
seperti itu karena PKI telah menjadi sangat bergantung pada naungan
Sukarno. Bersandar pada Sukarno dalam menghadapi jenderal-jenderal
tersebut akan lebih aman dan gampang ketimbang mengorganisasi
serangan rahasia, “Bagi Sukarno merupakan masalah yang boleh dibilang
sederhana untuk melumpuhkan Angkatan Darat dengan menempatkan
para pimpinannya dalam pengawasan ketat, menyampaikan kepada
seluruh bangsa tentang dasar tindak-annya dengan gayanya yang tak
tertandingi itu, dan mengulur-ulur penyelesai-an masalah sementara ia
mereorganisasi tatanan angkatan [sehingga menjadi] lebih sesuai dengan
seleranya.”41 Mortimer beranggapan Sukarno mempunyai kekuasaan
mutlak atas Angkatan Darat, sehingga perintah dari Sukarno kepada
polisi militer untuk menahan jenderal-jenderal yang dicurigai merencanakan
kup, atau perintah untuk memecat Yani, akan menyelesaikan
masalah. Tidak demikian kenyataannya. Kendali Sukarno atas militer
tidak mantap. Para pendukungnya yang fanatik di dalam Angkatan
Darat tidak cukup banyak atau tidak ditempatkan secara strategis untuk
menjamin setiap perintahnya akan dilaksanakan. Bagaimana jika Yani
memutuskan untuk membangkang perintah Sukarno (seperti yang
220
5. AIDIT, PKI, DAN G-30-S
dilakukan Suharto pada 1 Oktober)? Akankah Sukarno bisa memaksa
Yani untuk mundur tanpa risiko pertempuran berdarah antara berbagai
satuan-satuan militer (hal yang pada 1 Oktober ingin dihindari Sukarno
dengan segala daya)? Mungkin Aidit mempunyai alasan-alasan yang tepat
untuk menolak strategi yang bersandar pada Sukarno. Mungkin ia takut
bahwa gerakan untuk menahan atau mengangkat panglima Angkatan
Darat hanya akan memprovokasi jenderal-jenderal untuk melancarkan
kup atau bahwa Sukarno tidak akan mempunyai kekukuhan menghadapi
bentrokan dengan pimpinan tertinggi Angkatan Darat.
Pilihan lain ialah bersandar pada kekuatan pendukung partai,
yaitu dua puluh tujuh juta orang yang digemakan Aidit dalam pidatopidatonya.
Jika dikerahkan di jalan-jalan secara besar-besaran, mereka
akan menghadirkan tantangan hebat bagi jenderal-jenderal Angkatan
Darat. Mantan wartawan Joesoef Isak teringat, ia pernah diberi tahu
beberapa anggota Comite Central pada Agustus dan September bahwa
suatu aksi massa menentang “kapitalis birokrat” dan “kaum kontra-revolusioner”
akan segera terjadi. Isak ketika itu ketua PWAA (Persatuan
Wartawan Asia-Afrika), organisasi yang tumbuh dari Konferensi Asia
Afrika yang terkenal dan diselenggarakan di Bandung pada 1955. Kantor
PWAA di tengah kota Jakarta menerima lima wartawan dari negaranegara
Asia dan lima lainnya dari negara-negara Afrika.42 Isak secara
rutin memberikan informasi singkat kepada sepuluh orang wartawan ini,
yang disebut sebagai “sekretaris-sekretaris luar negeri” itu, tentang perkembangan
politik di Indonesia. Informasi yang disampaikannya berasal
dari laporan-laporan rahasia yang diterimanya dari Comite Central PKI.
Isak bukan anggota penuh PKI, tapi ia dipercaya sebagai simpatisan yang
teguh. Ia menjadi saluran informasi partai untuk para sekretaris luar
negeri, yang kebanyakan adalah anggota partai-partai komunis di negeri
mereka masing-masing. Seorang anggota Comite Central, Nursuhud,
selalu memberi informasi kepada Isak tentang posisi partai dari waktu
ke waktu.43 Dengan demikian ia menjadi tempat berbagi rahasia tentang
informasi-informasi yang sensitif.
Menurut ingatan Isak suasana politik pada pertengahan 1965
“memang revolusioner.” PKI merasa yakin bahwa ia sedang memenangi
persaingannya dengan militer, bahwa situasi bergeser bagi kebaikan partai.
Pimpinan partai merasa telah mencapai suatu tahap di mana mereka bisa
221
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
melancarkan pukulan pamungkas terhadap pimpinan tertinggi Angkatan
Darat. Sudisman pun, dalam analisisnya, mencatat bahwa pimpinan
partai melihat “situasi politik pada waktu itu sebagai situasi politik revolusioner,”
ketika aksi-aksi “massa rakyat banyak” semakin ikut menentukan
kebijakan pemerintah.44 Selama dua bulan menjelang peristiwa, Isak
mendengar bahwa suatu aksi penting segera akan terjadi:
Saya diberi tahu, bahwa sebentar lagi seluruh situasi akan
berubah. Saya mengerti itu artinya akan terjadi suatu gerakan
hebat. Akan ada pukulan terakhir. Saya tetap mengganggu
partai [maksudnya pemberi informasi, Nursuhud], dengan
menanyakannya, “Kapan? Kamu bilang sebentar lagi.” Baiklah,
satu minggu sudah liwat, satu bulan, masih tidak terjadi apaapa.
Saya tetap mencari-cari partai, menanyakan kapan. Para
sekretaris luar negeri [PWAA] terus-menerus bertanya pada
saya kapan akan terjadi.
Partai mengatakan pada saya, “Kita akan melancarkan aksiaksi
revolusioner sepenuhnya sampai mencapai puncak. Kita
akan menghabisi kaum kapitalis birokrat dan kaum kontrarevolusioner.”
Saya bertanya, “Bagaimana cara kamu akan
melakukannya?” “Turun ke jalan-jalan,” begitulah cerita yang
disampaikan pada saya. “Turun ke jalan-jalan. Kita akan pergi
langsung masuk ke kantor-kantor para menteri, para dirjen departemen-
departemen pemerintah, dan menangkap mereka.
Kita akan mengambil Wakil Perdana Menteri III Sukarno,
Chairul Saleh, dan melemparnya ke kali Ciliwung.”45
Seperti setiap orang lain di Jakarta yang sadar politik, Isak tahu
bahwa musuh utama PKI ialah pimpinan Angkatan Darat. Apa pun
bentuk “pukulan terakhir” itu, sasarannya ialah pimpinan tertinggi
Angkatan Darat. Informasi dari Nursuhud mengatakan bahwa tindakan
partai akan melibatkan demonstrasi-demonstrasi massa. Isak tidak membayangkan
akan adanya operasi rahasia militer.
Kalaupun Aidit memang mempertimbangkan pilihan untuk
pengerahan demonstrasi besar-besaran ini, pada akhirnya ia memutuskan
222
5. AIDIT, PKI, DAN G-30-S
untuk tidak menyetujuinya. Ia tentu menyadari bahwa PKI, betapapun
telah tumbuh menjadi besar dan berpengaruh, tetap merupakan organisasi
tak bersenjata yang tidak bisa berharap untuk menang dalam menghadapi
senapan mesin dan tank. Jika jenderal-jenderal sayap kanan melancarkan
serangan besar-besaran terhadap PKI, mereka bisa menimbulkan kehancuran
hebat bagi partai yang barangkali memerlukan waktu satu generasi
untuk kembali pulih. Mengorganisasi massa partai untuk menantang
langsung pimpinan tertinggi Angkatan Darat barangkali bisa dianggap
ibarat menggiring domba-domba ke medan penjagalan. Ilmuwan politik
Daniel Lev mencatat pada awal 1966 bahwa PKI tidak bisa bersaing
dengan Angkatan Darat di bidang kekuatan fi sik, “Pada tataran politik
yang fundamental PKI tidak memiliki kekuatan fi sik untuk menghadapi
Angkatan Darat, yang pada saat penyelesaian terakhir dalam bentuk apa
pun persenjataannya disiapkan untuk mengatasi kekurangannya dalam
kelihaian berpolitik.”46
Barangkali kemungkinan akan berulangnya represi antikomunis itu
sendiri pada 1965 tidak membuat Aidit takut. Hal yang menimbulkan
kecemasan ialah kemungkinan Sukarno digulingkan. Betapapun sulit
bagi Sukarno untuk mengendalikan Angkatan Darat, ia telah melakukan
langkah-langkah tertentu untuk melindungi partai sejak akhir 1950-an.
Apabila Sukarno tidak lagi memegang kendali pemerintahan, PKI harus
menghadapi Angkatan Darat sendirian. Dengan tidak adanya kekuatan
pengendali apa pun dari atas, represi bisa menjadi lebih buruk dari
waktu-waktu sebelumnya. Jenderal-jenderal sayap kanan akan sanggup
memecat semua pejabat tingkat tinggi yang pro-Sukarno dan pro-PKI di
pemerintahan sipil dan militer sehingga seluruh kekuatan negara berbalik
menentang partai. Kup oleh Dewan Jenderal pada 1965 menjadi pertanda
timbulnya kontrarevolusi sepenuh-penuhnya, yang berarti penjungkirbalikan
pengaruh Sukarnois dan komunis di dalam negara.
Rupanya pilihan yang lebih disukai Aidit ialah tindakan yang menggunakan
perwira militer progresif untuk menyerang jenderal-jenderal
sayap kanan. Keuntungannya adalah rencana ini tidak akan membahayakan
jiwa massa partai yang tak bersenjata. PKI sudah membangun
kontak dengan kalangan militer yang menentang Dewan Jenderal.
Mengapa tidak menggunakan mereka? Sekali komando Angkatan
Darat di tangan para perwira yang simpati kepada PKI, massa dapat
223
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
dikerahkan untuk berdemonstrasi tanpa khawatir terhadap tindakan
pembalasan yang berdarah. Sukarno dengan tenang bisa terus melangkah
dengan menyusun ulang panglima-panglima Angkatan Darat. Jika
Dewan Jenderal bergerak terlebih dahulu dan merebut kekuasaan atas
komando Angkatan Darat, para perwira progresif itu akan terlepas
dari partai. Beberapa akan dipindah dari posisi-posisi komando yang
penting. Sedangkan yang lain, demi mempertahankan karier mereka,
akan memutuskan hubungan mereka dengan Biro Chusus dan mengikuti
rantai komando yang baru. Akan menjadi hampir tidak mungkin bagi
partai untuk menggunakan mereka lagi dalam suatu aksi yang penting.
Tentunya terasa tidak masuk akal bagi Aidit jika partai mempunyai modal
demikian penting di kalangan militer dan tidak menggunakannya dengan
produktif. Walaupun keputusan Aidit memilih tindakan mendahului di
kemudian hari dikritik sebagai avonturisme oleh pimpinan partai lainnya,
keputusan itu masuk akal, setidak-tidaknya secara prinsip. Kubu lawan,
korps perwira Angkatan Darat, terpecah belah. Masuk akal jika keadaan
demikian dimanfaatkan, terutama apabila serangan langsung (oleh kaum
sipil terhadap militer) hanya akan memaksa sekutu-sekutu di dalam kubu
lawan merapatkan barisan melawan partai.
Aidit harus mempertimbangkan, apakah pilihan yang secara teori
tampak menarik itu, memang dengan mudah bisa dilaksanakan dalam
praktik. Ia harus memastikan apakah para perwira progresif itu cukup kuat
untuk melaksanakan aksi melawan jenderal-jenderal sayap kanan. Untuk
ini Aidit harus bertumpu pada Sjam. Aidit tentunya sudah menerima
peneguhan dari Sjam bahwa para perwira yang berada dalam posisiposisi
baik itu mempunyai cukup pasukan dalam komando masingmasing
untuk melaksanakan aksi. Aidit mungkin sudah mendengar dari
berbagai sumber bahwa para perwira muda dan prajurit sangat marah
terhadap kesenjangan ekonomi yang dalam antara mereka dan para
jenderal. Ia mungkin sudah mendengar tentang banyaknya ketidakpuasan
di kalangan Angkatan Darat akan perlawanan para jenderal terhadap
kebijakan-kebijakan Sukarno. Pasukan-pasukan itu tampaknya telah
siap memberontak. Sebagai pimpinan sipil terkemuka, Aidit barangkali
tidak mempunyai waktu dan kemampuan untuk mengontak sendiri
perwira-perwira tersebut dan memeriksa lagi hasil penilaian Sjam. Dalam
kesaksiannya di sidang pengadilan Sjam mengatakan bahwa ia “mengada224
5. AIDIT, PKI, DAN G-30-S
kan pemeriksaan organisasi, jaitu dilihat bagaimana kekuatan-kekuatan
kita jang ada didalam ABRI, terutama di kalangan Angkatan Darat.”47
Ia menilai kekuatan para perwira yang ia kontak sudah cukup. Walaupun
Aidit sama sekali bukan avonturir, ia menempatkan dirinya dalam posisi
bertumpu pada seseorang yang avonturir.
Bagi Aidit daya tarik lain dari strategi mendahului ialah kesempatan
untuk mencuri derap lebih awal dari sekutu-sekutu partainya di
dalam kubu Sukarno. Dari tindakan ini PKI akan muncul sebagai juru
selamat Sukarno dan seluruh program-programnya. Seperti dikatakan
Hasan dalam paragraf yang sudah saya kutip sebelumnya, pimpinan PKI
memandang dirinya sebagai pelopor kekuatan Sukarnois (“gerakan rakyat
demokratis” di bawah pimpinan Nasakom). Dengan aksi mendahului
melawan jenderal-jenderal sayap kanan, Aidit akan membuktikan bahwa
PKI benar-benar merupakan komponen terkemuka dalam persatuan
Nasakom. Dalam uraiannya Sudisman menyebut, dalam mendukung
G-30-S pimpinan partai berpikir “perwira-perwira maju itulah yang akan
dapat ‘safe-stellen’ [menyelamatkan] politik kiri Presiden Sukarno.”48
Sukarno yakin bahwa bagaimanapun PKI terlibat dalam G-30-S,
tapi ia tidak memandang tindakan partai ini setara dengan pengkhianatan.
Ia tidak menghujat partai karena sudah mengkhianati bangsa.
Dalam pernyataan terakhirnya di depan parlemen sebagai presiden
pada 1967, ia melukiskan pimpinan PKI sebagai keblinger.49 Pemilihan
kata oleh seseorang yang selalu hati-hati dalam memilih kata-kata ini
menarik. Keblinger adalah sepatah kata sifat bahasa Jawa yang digunakan
dalam bahasa Indonesia. Artinya pusing, atau dalam keadaan kehilangan
pemandangan yang tepat. Sukarno tidak bermaksud menyatakan bahwa
Aidit tidak patriotik (tuduhan yang dilempar oleh rezim Suharto), tapi
bahwa ia telah kehilangan kepekaan akan keberimbangan. Tanggapan
Aidit terhadap desas-desus tentang Dewan Jenderal terlalu jauh dari
yang semestinya.
Mungkin saja memaklumi strategi mendahului yang diambil Aidit
sebagai akibat dari provokasi jenderal-jenderal sayap kanan. Sekarang
kita tahu, berdasarkan dokumen-dokumen Amerika Serikat yang telah
dideklasifi kasikan (diulas dalam bab 6), bahwa kelompok Yani tidak
mempunyai rencana untuk melancarkan kudeta model lama terhadap
Sukarno. Jenderal-jenderal di lingkaran Yani tentu saja ingin mendongkel
225
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
Sukarno, menimbang sikapnya yang memberi hati kepada PKI, tapi
mereka sedang mencari-cari dalih yang tepat. Dalih yang mereka anggap
paling baik ialah usaha kup PKI yang gagal. Para jenderal sayap kanan
tersebut barangkali dengan sengaja meniupkan api desas-desus pada 1965
untuk memancing PKI agar melakukan semacam aksi militer. Mereka
boleh jadi menyebarkan cerita-cerita yang mendorong kalangan politik
di Jakarta untuk berpikir bahwa hari-hari Sukarno sebagai presiden bisa
dihitung dengan jari. Jika pimpinan PKI percaya bahwa Sukarno tidak
bisa lagi memberikan perlindungan bagi mereka dari ancaman militer,
barangkali mereka akan tergoda untuk melakukan semacam aksi langsung
terhadap militer.
Apa pun, kemungkinan bahwa Aidit terprovokasi untuk melakukan
aksi mendahului itu tidak membebaskannya dari tuduhan keblinger yang
dilontarkan Sukarno. Dalam menanggapi desas-desus tentang Dewan
Jenderal, Aidit bisa memilih strategi yang lebih aman. Ia bertanggung
jawab untuk memilih strategi yang, kendati secara prinsip dapat dipertahankan,
mengandung cacat fatal. Strategi itu bersandar pada kebijakan
Sjam, seorang pembual yang menipu diri sendiri dan apparatchik tak
bernalar, dan telah membawa partai ke dalam dunia agen ganda yang
sarat bayang-bayang. Partai menjadi tidak lebih dari sosok amatir tingkat
rendah yang gampang dikelabui. Strategi itu telah menjauhkan partai
dari tengah medan bergeraknya yang paling kuat – dalam politik atas
tanah dan terbuka yang melibatkan masyarakat – dan membawanya ke
tengah-tengah intrik elite politik dan militer Jakarta.
Barangkali Aidit mengira risiko yang berlibat dalam pilihan militer
itu kecil saja. Ia dan pimpinan partai lainnya merasa bahwa para panglima
sayap kanan Angkatan Darat itu rentan karena begitu banyak perwira
yang pro-Sukarno. Oey Hay Djoen melukiskan pendapat umum di
kalangan pimpinan partai pada 1965 sebagai berikut, “Angkatan Darat
tidak mungkin memukul kami. Mengapa? Karena mereka tidak hanya
ditentang oleh Angkatan Laut tapi juga oleh Angkatan Udara. Dan tidak
itu saja. Di kalangan Angkatan Darat itu sendiri terjadi perpecahan. Maka
itu mereka tidak bisa. Mereka tidak bisa bersatu memukul PKI.”50 Aksi
mendahului oleh pasukan Angkatan Darat melawan jenderal-jenderal
sayap kanan akan memberi jaminan bahwa militer akan terpecah belah
sama sekali dan tidak mampu menyerang partai. Aksi demikian akan
226
5. AIDIT, PKI, DAN G-30-S
mempersatukan para perwira Sukarnois dari semua angkatan dan mengisolasi
komando tertinggi Yani. Bila berhasil menetralisasi militer, partai
dapat melangkah lebih lanjut dengan kampanye massal melawan kaum
“kontra-revolusi” dan “kapitalis birokrat.”
KUP ALJAZAIR SEBAGAI TELADAN
Satu amatan terhadap pemikiran strategis Aidit muncul dalam buku
karangan Manai Sophiaan, seorang politisi Sukarnois dan mantan duta
besar untuk Uni Soviet.51 Sophiaan berpendapat bahwa Aidit, dalam
mendukung aksi militer melawan jenderal-jenderal sayap kanan, diilhami
oleh kup militer di Aljazair pada Juni 1965. Sophiaan mendasarkan
pendapat itu pada wawancaranya dengan mantan Ketua Persatuan
Wartawan Indonesia (PWI), Karim D.P., yang sempat berbicara dengan
Aidit tidak lama sesudah kup Aljazair. Karim D.P. tidak mengumumkan
informasi ini karena ia sendiri menjadi tahanan politik selama tahun-tahun
rezim Suharto. Bahkan sesudah bebas pun ia dilarang berbicara di depan
dan menulis untuk umum. Ia baru mulai menerbitkan tulisan-tulisannya
sesudah Suharto jatuh dari kekuasaannya. Dalam sebuah pidatonya di
depan umum pada 1999 Karim D.P. mengatakan bahwa Aidit menanggapi
dengan gembira berita tentang kup militer di Aljazair. Arti penting
informasi kecil ini memerlukan penjelasan tentang kejadian-kejadian di
Aljazair tersebut dan hubungan Indonesia dengannya.
Kup di Aljazair terjadi pada 19 Juni 1965, kurang dari sepekan
sebelum Konferensi Asia Afrika II yang dijadwalkan dimulai di ibu kota
Algiers.52 Sang perebut kekuasaan, Kolonel Boumedienne, menjanjikan
akan tetap menyelenggarakan konferensi seperti yang telah direncanakan
pendahulunya, Ahmed Ben Bella, yang telah digulingkannya. Sukarno
diharapkan menjadi tamu istimewa karena dialah tuan rumah konferensi
pertama yang ternama di Bandung pada 1955. Kembali ke Jakarta,
masalah kup Aljazair menjadi topik hangat dalam percakapan di kalangan
para pejabat pemerintah karena Sukarno harus memutuskan menghadiri
atau memboikot konferensi. Jika ia hadir akan berarti mengabsahkan
Kolonel Boumedienne, tapi jika ia memboikot akan berarti protes.
Apakah Boumedienne seorang boneka CIA, seperti halnya kebanyakan
227
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
para pelaku kup di Afrika, ataukah ia seorang nasionalis independen yang
bisa diterima menurut prinsip-prinsip nonalignment (ketidakbersekutuan)
Konferensi Asia Afrika? Para pejabat Sukarno tidak tahu dengan pasti
siapa sebenarnya Boumedienne, tapi mereka bersedia membebaskan
Boumedienne dari kecurigaan, terutama karena dia tetap berkeinginan
menjadi tuan rumah konferensi. Sukarno memutuskan untuk hadir.
Baik Aidit (sebagai wakil PKI), maupun Karim D.P. (sebagai
wartawan) menjadi anggota delegasi Presiden Sukarno yang meninggalkan
Jakarta menuju konferensi pada 23 Juni 1965. Di tengah jalan
delegasi mengurungkan kunjungan ke Aljazair karena gedung tempat
konferensi di Algiers mendadak dibom. Dengan ditundanya konferensi,
sebagian besar delegasi Indonesia terbang ke Paris tempat mereka
menghabiskan beberapa hari yang menyenangkan sebelum meneruskan
perjalanan kembali ke Jakarta. Untuk memanfaatkan kunjungan di Paris,
Sukarno mengadakan pertemuan dengan seluruh duta besar Indonesia di
Eropa. Ketika di Paris itulah Karim D.P. berbicara dengan Aidit tentang
pemahamannya mengenai kup Aljazair.
Aidit baru saja kembali ke hotelnya dari rapat di kantor pusat Partai
Komunis Perancis. Ia mengatakan kepada Karim D.P. bahwa ia baru
saja bertemu dengan enam orang kawan dari Aljazair, kemungkinan
anggota-anggota Partai Komunis Aljazair:
Pertama-tama dikatakannya bahwa ia sudah minta kepada
enam kameradnya dari Aljazair supaya mereka segera kembali
ke negeri mereka, dan memberikan dukungan kepada Boumedienne.
Dalam diskusi yang mereka lakukan, kata Aidit,
berdasarkan bahan-bahan yang disampaikan oleh kameradkamerad
dari Aljazair, karakter coup d’état Boumedienne
dapat dikategorikan sebagai coup d’état yang progresif. Oleh
karenanya patut didukung oleh rakyat. Jika 30% dari rakyat
mendukungnya, maka coup d’état itu bisa diubah sifatnya
menjadi revolusi rakyat yang akan menguntungkan perjuangan
rakyat Aljazair. Begitu kata Aidit. Ia menjanjikan akan
menjelaskan teorinya ini nanti di tanahair, karena waktu itu
ia terburu-buru harus segera berangkat ke lapangan terbang
untuk meneruskan perjalanannya ke Moskow. Aidit me228
5. AIDIT, PKI, DAN G-30-S
ngatakan kepada saya bahwa di Indonesia sudah diketahui
adanya rencana coup d’état yang akan dilancarkan oleh Dewan
Jenderal untuk menggulingkan Presiden Sukarno. Coup d’état
yang hendak dilancarkan Dewan Jenderal itu adalah coup
d’état yang reaksioner, berbeda dengan yang telah terjadi di
Aljazair.53
Mengikuti cerita Karim D.P., kita bisa menduga bahwa Aidit
cenderung mendukung gagasan “kudeta progresif.” Ia percaya bahwa,
dalam keadaan tertentu, kup militer dapat menciptakan suasana politik
yang lebih baik bagi perkembangan Partai Komunis. Jika para perwira
militer yang ada di belakang kup berideologi progresif dan terbuka untuk
bersekutu dengan gerakan rakyat, mereka bisa diharap akan lebih baik
ketimbang suatu pemerintah sipil yang tidak efektif.
Untuk memahami posisi Aidit dengan lebih baik, kita harus
kembali pada Joesoef Isak, yang pada waktu itu juga bertemu Aidit di
Paris. Isak, seperti sudah saya kemukakan di atas, ialah ketua PWAA.
Ia mengikuti perkembangan di Aljazair dengan tekun karena PWAA
terlibat dalam mempersiapkan konferensi internasional tingkat tinggi
yang lama tertunda-tunda itu. Dalam tahun-tahun belakangan itu ia telah
mengunjungi banyak negeri Afrika dan mengenal dengan baik peristiwaperistiwa
dan tokoh-tokoh politik di benua ini. Sesudah meninggalkan
Jakarta untuk menghadiri konferensi, di perjalanan ia menyadari – seperti
anggota delegasi Indonesia lainnya – bahwa konferensi telah ditunda
sampai waktu yang tak ditentukan. Ia akhirnya mengisi waktunya di
Paris bersama mereka. Isak mengatur pertemuan antara Aidit dengan
Jacques Vergès, seorang pengacara dan wartawan Perancis yang sudah
ia kenal dalam perjalanan-perjalanannya di Afrika sebelumnya. Pada
1957 Vergès menjadi terkenal karena ia pergi ke Algiers untuk membela
kaum nasionalis Aljazair yang dituduh melakukan sebuah pemboman.
Ia berhasil mengalihkan perhatian masyarakat dari aksi-aksi perlawanan
bangsa Aljazair ke aksi-aksi kriminal pemerintah kolonial Perancis, seperti
misalnya siksaan yang dilakukan terhadap para tahanan.54 Vergès menjadi
bersimpati kepada perjuangan kaum nasionalis Aljazair, meninggalkan
Partai Komunis Perancis (yang tidak mendukung perjuangan itu), dan
menautkan dirinya dengan garis Beijing yang, beda dengan garis lunak
229
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
Moskow, memuji gerakan pembebasan nasional yang berjuang melawan
kekuatan imperialis Barat. Ia tinggal di Aljazair sesudah kemerdekaan
negeri itu pada 1962, bekerja untuk kementerian luar negeri, dan menjadi
editor sebuah jurnal yang diterbitkan oleh organisasi yang memimpin
perjuangan antikolonialisme, yaitu FLN (Front de Libération Nationale).
Pada 1965 Vergès sudah berada di Paris lagi dan bekerja sebagai editor
Révolution, sebuah jurnal yang ia dirikan, agaknya dengan bantuan
fi nansial dari Tiongkok.55
Selama bertemu Aidit, yang dipandang Vergès sebagai negarawan
komunis besar, semacam saudara muda Mao Zedong, Vergès mendiskusikan
arti penting kup Aljazair. Dalam ingatan Isak pemahaman mereka
tentang kup ini dibentuk oleh pandangan mereka tentang perpecahan
Tiongkok-Soviet. Baik Aidit maupun Vergès menolak prinsip koeksistensi
damai Soviet. Walaupun di depan umum Aidit menjaga sikap netralitas
dalam konfl ik Tiongkok-Soviet, ia dikenal luas lebih cenderung kepada
garis Mao.56 Vergès berada di Paris karena ia tidak lagi sejalan dengan
FLN di Aljazair dalam masalah Tiongkok-Soviet.57 Presiden Aljazair yang
ditumbangkan, Ben Bella, dekat dengan Partai Komunis Aljazair yang
bersekutu dengan Soviet. Bagi kaum Maois penggulingan Ben Bella tidak
begitu saja berarti kemunduran bagi Aljazair. Sementara negara-negara
blok Timur mengutuk kup Boumedienne, Aidit memujinya dalam sebuah
pernyataan terbuka pada 22 Juni 1965, hanya tiga hari setelah peristiwa
kup, ketika ia masih di Jakarta. Ia mengecam Ben Bella karena “kebijakan
kanannya bertentangan dengan aspirasi rakyat Aljazair,” dan memuji sang
perebut kekuasaan, “Kita harus berterima kasih kepada Kolonel Boumedienne.”
58 Tiongkok juga menyambut kup itu dan berharap dirinya
akan diperlakukan lebih baik oleh Boumedienne ketimbang oleh Ben
Bella pada masa sebelumnya.59
Betapapun banyaknya kaum komunis sekutu Tiongkok yang lebih
suka kepada Boumedienne, ia tetap merupakan tokoh tak dikenal. Bagi
Aidit pengalaman sang kolonel sebagai panglima pasukan gerilya antikolonial
memberikan kesan bahwa Boumedienne tidak akan menjadi
pendukung koeksistensi damai. Aidit berpikir kup itu memberi kesempatan
bagi kaum komunis berhaluan Beijing untuk meningkatkan
kekuasaan mereka atas negara Aljazair. Cerita Isak tentang pernyataanpernyataan
Aidit kepada Vergès layak dikutip agak panjang:
230
5. AIDIT, PKI, DAN G-30-S
Saya antar dia masuk [ke dalam kamar hotel Aidit]. Dia
masuk. Saya sebenarnya tahu diri, setelah antar saya mau
keluar. Aidit bilang, “Ah! Duduk aja di sini.” Sebabnya saya
hadir. Bung bisa bayangkan kan, Aidit wibawanya luar biasa,
ketua partai terbesar di luar Eropa Timur, kan? Jadi memang
anu pemandangan terhadap dunia tinggi sekali. Jadi si Jacques
Vergès bilang, “Kawan ketua, kawan ketua baru pulang dari
Aljazair, apa yang kawan ketua sarankan, anjurkan kepada
kawan-kawan Aljazair?”60 Dia minta, jadinya, dia merendahkan
diri, minta kepada Aidit, sebagai ketua PKI yang dia
anggap lebih senior dari dia.
Aidit menggambarkan begini. “Perhatikan,” matanya merah.
Aidit kan biji matanya seakan-akan keluar, dia anu sekali,
melotot dia, nggak pernah tidur, seakan-akan merah. “Perhatikan.
Ini bukan revolusi. Ini, kalau mau dikatakan revolusi,
revolusi dari atas. Ini coup d’état, bukan revolusi. Satu. Kedua,
antara Boumedienne dan Ben Bella dua-duanya asal kelas
yang sama: kelas bourgeoisie. Akan tapi antara yang dua ini,
Boumedienne ini lebih baik. Karena pada saat berlangsung
perjuangan bersenjata Ben Bella berada di penjara Paris. Yang
memimpin perjuangan bersenjata di Aljazair ini Boumedienne.
Partai kalian pengkhianat. Jadi Partai Komunis Aljazair
memang mengikuti garis Khrushchev, peaceful co-existence,
tidak ikut dalam perang gerilya. Yang mengibarkan tinggi
panji-panji Marxisme, adalah si nasionalis ini, bourgeoisie ini.
Jadi dia lebih baik dari Ben Bella.”
“Tetapi, jangan anggap otomatis Aljazair bergerak ke kiri.
Karena Boumedienne inilah yang menjalankan Marxisme.
Apa yang terjadi di Aljazair hanya jadinya lahirnya satu
momentum yang bisa menggerakkan Aljazair lebih ke kiri.
Asal ada syaratnya, kawan-kawan menggunakan momentum
ini. Saya baru pulang dari Aljazair. Kota indah.” Memang
indah. “Kawan Jacques segera pulang. Jangan ada tembok
231
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
yang bersih. Jangan ada jalan raya tanpa spanduk [dengan
slogan]: ‘Dukung coup d’état Boumedienne.’ Begini, istilahnya:
‘Dukung Boumedienne.’ Jadikan, “Biar rakyat merasakan
ini coup d’état mereka. Jadikan coup d’état rakyat. Turun ke
jalan.” Itu intinya yang saya tangkap. … “Jadikan ini milik
rakyat.” Dia [Aidit] tidak keberatan gerakan dari atas. Tapi
segera jadikan gerakan rakyat.61
Mengikuti cerita Isak, mungkin saja melihat dukungan Aidit
terhadap kup Boumedienne sesuai dengan kesetiaan Aidit kepada teori
Leninis. Kup itu sendiri bukanlah perkembangan positif bagi kaum kiri
Aljazair atau bagi garis Tiongkok dalam gerakan komunis internasional.
Tapi ia mempunyai kemungkinan menjadi positif karena Boumedienne
lebih progresif ketimbang Ben Bella. Kup itu memberikan kesempatan
bagi kaum komunis Aljazair yang tidak menyokong garis koeksistensi
damai Uni Soviet, untuk memobilisasi rakyat lebih besar dan memperoleh
jalan lebih lapang menuju kekuasaan negara.
Pandangan Aidit tentang kup Boumedienne berlawanan dengan
pandangan Uni Soviet. Ilmuwan Ruth First, anggota Partai Komunis
Afrika Selatan yang pro-Soviet, memahami kup tersebut sebagai suatu
cara untuk mencegah Aljazair bergeser lebih jauh ke kiri. Menurutnya
Presiden Ben Bella telah berencana menggunakan forum Konferensi Asia
Afrika untuk mengumumkan rencananya mengubah partai politik yang
dipimpinnya (FLN) menjadi “sebuah partai dengan kesetiaan organik
yang kokoh terhadap kaum kiri, termasuk Partai Komunis Aljazair;
dengan pengawasan disiplin yang lebih keras; dan pendidikan Marxis
bagi para pengurus partai dan kader-kadernya.”62 Dalam mencari basis
massa yang kukuh bagi kepresidenannya, Ben Bella ingin mengubah
FLN sehingga secara fungsional sama seperti Partai Komunis. Ia juga
merencanakan untuk memecat Boumedienne dari kedudukannya sebagai
panglima Angkatan Darat. Menurut Ruth First kup itu merupakan
“putsch untuk mendahului gerakan Ben Bella.”63
Pemahaman Aidit tentang kup, apakah itu benar atau dengan
informasi yang memadai atau tidak, didasarkan pada analisis politik
yang praktis dan menyeluruh: ia menilai kup tersebut dengan acuan
apakah kup itu akan membawa kekuasaan yang lebih besar bagi pihaknya
232
5. AIDIT, PKI, DAN G-30-S
(gerakan antiimperialis internasional dengan garis Tiongkok). Bagi Aidit
kup itu tidak menunjukkan suatu paradigma baru dari segi aksi politik.
Barangkali ia setidak-tidaknya sudah mengetahui tentang kup Qasim
pada 1958 di Irak. Pendapat Manai Sophiaan bahwa kup Boumedienne
mengilhami Aidit untuk memprakarsai Gerakan 30 September
agaknya kurang tepat. Aidit sudah mengerti bahwa, dalam keadaan
tertentu, kup militer bisa merupakan perkembangan positif. Ia tidak
membutuhkan contoh Aljazair untuk mengerti hal ini. Satu sisi yang
barangkali telah menjadi ilham baginya ialah dalam hal sistem penamaan.
Setelah menggulingkan Ben Bella, Boumedienne menciptakan sebuah
“Dewan Revolusi” yang terdiri dari dua puluh tiga orang. Istilah itulah
yang barangkali menjadi sumber penyebutan “Dewan Revolusi” dalam
G-30-S.
Pemahaman penting yang timbul dari penyelidikan terhadap
pandangan Aidit mengenai kup Aljazair ini dikemukakan oleh Joesoef
Isak, “Aidit tidak punya keberatan apa pun terhadap gerakan dari atas,
asalkan gerakan itu segera diubah menjadi gerakan rakyat.” Menjadi
masuk akal jika kita menduga Aidit memahami bahwa semacam aksi
militer di Indonesia bisa menciptakan situasi yang lebih baik bagi perkembangan
PKI pada 1965. Tentu saja tujuan akhirnya bukanlah negara
di bawah pimpinan militer, melainkan negara di bawah pimpinan PKI.
Aksi militer bisa menjadi jalan sementara yang berguna untuk mencapai
tujuan yang lebih besar.
KONTRADIKSI INTERN POPULISME REVOLUSIONER
Gagasan Aidit tentang bagaimana sebuah kup militer dapat ditransformasikan
menjadi gerakan rakyat bisa membantu menjelaskan arti dekrit
G-30-S tentang Dewan Revolusi. Gerakan 30 September dimaksudkan
sebagai operasi militer yang dipimpin oleh sebuah program politik revolusioner
– program yang tentunya di bawah pengawasan Aidit. Inilah
bidang keahlian dia. Kemungkinan besar tujuan semula G-30-S bukan
untuk mendemisionerkan kabinet Sukarno. Baik Iskandar Subekti
maupun Munir membenarkan bahwa Aidit membicarakan gagasan
Dewan Revolusi dengan anggota-anggota Politbiro tertentu dalam
233
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
Agustus dan September 1965. Munir, mantan anggota Politbiro dan
ketua federasi serikat buruh yang berafi liasi dengan PKI (SOBSI, Sentral
Organisasi Buruh Seluruh Indonesia), dalam pledoinya di depan sidang
1973 mengatakan bahwa Aidit pernah memberi penjelasan tentang
peranan Dewan Revolusi kepadanya, “Sebelumnya perlu dijelaskan apa
yang dikemukakan oleh D.N. Aidit pada saya bahwa ‘Dewan Revolusi’
merupakan organisasi tandingan Dewan Jenderal dan sekaligus berfungsi
sebagai pendorong untuk mempercepat proses pembentukan Kabinet
Nasakom.”64 Perhatikan, bahwa Dewan tersebut tidak dimaksudkan
untuk menggantikan kabinet yang ada, tetapi sebagai katalisator untuk
pengubahan komposisinya. Subekti dan Munir berpendapat, Dewan
hanya diciptakan sebagai semacam kelompok penekan terhadap pemerintah
pusat. Sudisman mencatat bahwa Dewan Revolusi tidak terdiri
dari “tokoh utama Nasakom.”65 Kita bisa berasumsi bahwa seandainya
Aidit telah merencanakan bahwa dewan serupa itu akan menggantikan
kabinet yang ada dan mengambil semua kekuasaan negara, ia tentu akan
memilih tokoh-tokoh yang lebih penting untuk itu. Tampaknya gagasan
pendemisioneran kabinet baru timbul pada pagi hari 1 Oktober itu saja,
begitu Sukarno menolak memberikan dukungan bagi kelanjutan G-30-S.
Teks Dekrit No. 1, yang telah ditulis sebelumnya, boleh jadi diubah pada
detik terakhir.
Ada sebuah preseden untuk Dewan Revolusi. Dewan-dewan revolusi
yang dibentuk oleh kolonel-kolonel pemberontak pada 1957-1958 di
Sumatra dan Sulawesi semula menuntut perubahan dalam hal komposisi
pemerintah pusat (maksudnya, pemulihan kekuasaan Hatta) dan dalam
hal hubungan antara Jakarta dengan provinsi-provinsi. Dewan-dewan ini
awalnya tidak menuntut kemerdekaan provinsi-provinsi yang menjadi
basis gerakan mereka. Seruan mereka untuk kemerdekaan timbul belakangan
(seperti yang akan saya bahas dalam bab 6).
Dalam merumuskan Dewan Revolusi Aidit tidak merencanakan
untuk segera menetapkan PKI sebagai partai yang berkuasa. Ia ingin
meneruskan paradigma Nasakom yang sama, sebagaimana sudah ditetapkan
oleh Sukarno. Begitu kekuatan militer yang mendukung unsur-unsur
antikomunis di dalam pemerintahan sudah dibersihkan, paradigma
Nasakom akan berjalan lebih lancar untuk unsur “kom,” yang tidak
lagi perlu selalu merasa takut akan ditindas. Daftar empat puluh lima
234
5. AIDIT, PKI, DAN G-30-S
orang anggota yang diajukan G-30-S untuk Dewan Revolusi tingkat
pusat selalu kelihatan aneh karena memasukkan tokoh-tokoh yang sangat
beragam. Tapi daftar itu dimaksudkan untuk mencerminkan spektrum
politik lintas penampang yang luas. Tujuan G-30-S adalah sebuah pemerintahan
koalisi di mana PKI akan mempunyai kebebasan bergerak
lebih besar, bukan sebuah negara yang dikuasai PKI semata-mata.
Strategi PKI sejak Aidit mengambil alih kepemimpinan pada 1951
ialah “front persatuan nasional.” Dalam rumusan Kongres V pada 1954,
kongres kunci dalam sejarah PKI, partai berniat membangun persekutuan
antara “kelas buruh, tani, borjuasi kecil dan borjuasi nasional.” Persekutuan
ini akan melawan kaum imperialis, bagian dari borjuasi yang bekerja
sama dengan kaum imperialis dan tuan tanah feodal. Apa pun retorika
kaum Marxis-Leninis, program partai, secara tegas bersifat populis: yang
diperhitungkan sebagai subjek revolusioner ialah “rakyat Indonesia” secara
keseluruhan. Program itu tidak mendorong kepentingan sektarian kaum
tani dan buruh saja. Tujuan akhirnya ialah apa yang disebut “demokrasi
rakyat,” yang di dalamnya tersedia cukup ruangan untuk “kapitalisme
nasional.”66
PKI tidak terlalu berbeda dari partai-partai komunis pascakolonial
lainnya yang mendahulukan nasionalisme di atas sosialisme. Seperti
partai-partai lain itu juga, PKI menghadapi tarik-menarik antara retorika
revolusionernya dan program populisnya. Sebelum 1965 tarik-menarik
ini tidak terlalu mencuat karena program front persatuan partai berjalan
dengan sangat baik: keanggotaan meningkat pesat, kepimpinan partai
tetap bersatu (bahkan sesudah adanya perpecahan Tiongkok-Soviet),
dan Presiden Sukarno menggalakkan kebijakan populis yang serupa.
Penekanan pada persatuan nasional dalam menghadapi imperialisme
membuahkan keuntungan tersendiri ketika imperialisme terus
membayang di perbatasan-perbatasan negeri (perhatikan kampanye Irian
Barat dan konfrontasi mengganyang Malaysia) dan menjadi ancaman
yang berandang (perhatikan dukungan CIA terhadap pemberontakan
PRRI/Permesta; lihat bab 6). Strategi PKI tampaknya sangat bersesuaian
dengan kondisi politik Indonesia saat itu.
Namun demikian tarik-menarik antara retorika dan program
tersebut tidak berhasil dilampaui. Pada 1965 retorika partai kadangkadang
terlalu sektarian, sedemikian jauh sehingga borjuasi kecil di desa
235
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
dipandang sebagai musuh. PKI menggalakkan kampanye mengganyang
“tujuh setan desa”: tuan tanah jahat, lintah darat, tukang ijon, kapitalis
birokrat, tengkulak jahat, bandit desa, dan penguasa jahat.67 Walaupun
masih dalam logika populisme (ada tuan tanah baik dan tuan tanah
jahat, penguasa jahat dan penguasa baik), penggunaan slogan-slogan itu
cenderung membuat banyak orang menjadi cemas kalau-kalau dirinya
akan dicap sebagai setan. Arus sektarianisme serupa itu tidak perluperlunya
sudah menimbulkan kebencian pihak-pihak yang berpotensi
menjadi sekutu dalam strategi front persatuan.
Pada awal 1960-an Aidit berusaha membawa teori Marxis-Leninis
partai menjadi sejalan sepenuhnya dengan praktik populis PKI. Aidit dan
beberapa ideolog partai mengembangkan suatu teori yang mereka sebut
“teori dua aspek kekuasaan negara”: satu aspek “pro-rakyat” dan aspek
lain “anti-rakyat.” Tugas PKI ialah menyokong unsur-unsur prorakyat
untuk melawan unsur-unsur yang antirakyat di dalam pemerintah.68
Para pemikir partai berpendapat bahwa teori mereka, walaupun disusun
tanpa analisis kelas tentang kekuasaan, merupakan pembaharuan yang
sah dalam tradisi Marxis-Leninis. Sugiono, guru sekolah teori milik
partai (Akademi Aliarcham) menulis sebuah tesis tentang “dua aspek
kekuasaan” dan berharap tesis itu akan disahkan suatu lembaga resmi dari
negara komunis. Ia menyerahkan tesisnya untuk meraih gelar akademik
di sebuah universitas di Korea Utara tapi ia kecewa karena para ideolog
Partai Komunis di Pyongyang menolaknya sebagai tidak-Marxis.69
Walaupun diskusi-diskusi teori tentang “dua aspek kekuasaan negara”
tampaknya tidak meluas sampai di luar Comite Central, Aidit sering
mengemukakannya baik dalam pidato-pidato maupun tulisan-tulisannya.
Pada 1963, misalnya, sebuah pernyataan Politbiro menegaskan,
bahwa “aspek [kekuasaan negara] prorakyat sedang terus-menerus
berkembang dan mengambil inisiatif dan ofensif, sedang aspek antirakyat,
walaupun lumayan kuat, sedang terus didesak dikurung tanpa ampun
di sudut.”70
Teori “dua aspek kekuasaan negara” dapat membantu menjelaskan
mengapa Aidit bersedia mendorong aksi dengan pasukan tentara.
Menurut teori itu, beberapa prajurit dan perwira di dalam tubuh
tentara Indonesia ada yang prorakyat dan ada beberapa lainnya yang
antirakyat. Tugas sebuah revolusi, menurut pandangan Aidit, adalah
236
5. AIDIT, PKI, DAN G-30-S
mendukung personil militer yang prorakyat dan menggunakan mereka
sebagai katalisator untuk mengubah seluruh negara menjadi prorakyat.
Aidit tidak bekerja dengan logika pemberontakan militer atau kudeta
– paradigma-paradigma baku yang digunakan para pengamat dalam
usaha memahami peristiwa Gerakan 30 September. Gerakan tersebut
merupakan semacam persilangan: ia merupakan kup sebagian yang, pada
taraf tertentu kemudian, melahirkan revolusi sebagian. Aidit mendukung
tentara prorakyat, supaya mereka bisa menyingkirkan perwira-perwira
komandan mereka yang antirakyat, sekaligus memaksakan pembentukan
sebuah kabinet koalisi baru. Dua perkembangan ini akan membuka ruang
politik baru bagi partai untuk mengembangkan diri dan memperoleh
kekuasaan yang lebih besar.
MEMAHAMI EDITORIAL HARIAN RAKJAT
Edisi surat kabar PKI yang terbit pada Sabtu, 2 Oktober 1965, memuat
berita utama dengan tajuk terpampang selebar halaman surat kabar,
“Letkol Untung, Komandan Bataljon ‘Tjakrabirawa’ menjelamatkan
Presiden dan RI dari kup Dewan Djendral.” Anak-judul yang tertera
langsung di bawahnya berbunyi, “Gerakan 30 September se-mata2
gerakan dalam AD.” Dari tajuk berita utama itu saja sudah kentara
bahwa pimpinan PKI mendukung G-30-S sambil menjaga jarak darinya.
Sebuah editorial singkat berisi dua puluh baris yang terselip dekat sudut
kiri bawah halaman pertama, langsung di bawah berita tidak penting
tentang sebuah konferensi pers oleh kementerian luar negeri Republik
Rakyat Tiongkok di Beijing, mengulangi pernyataan berita utama,
bahwa G-30-S adalah usaha terpuji untuk menyelamatkan presiden dan
merupakan urusan intern Angkatan Darat, “Kita Rakjat memahami betul
apa jang dikemukakan oleh Letkol Untung dalam melakukan gerakannja
jang patriotik itu. Tetapi bagaimanapun djuga persoalan tsb. adalah
persoalan intern AD. Tetapi kita Rakjat jang sedar akan politik dan tugas2
revolusi mejakini akan benarnja tindakan jang dilakukan oleh Gerakan
30 September untuk menjelamatkan revolusi dan Rakjat.”
Bahasa editorial yang janggal – dua “tapi” dalam satu baris dan
“bagaimanapun djuga persoalan” yang tidak runtut – memberi kesan
237
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
Gambar 6. Kartun ini terbit dalam surat kabar PKI edisi hari kemerdekaan untuk memperingati
hari jadi republik yang ke-20. Gerakan sayap kiri meninju, menendang, dan menebas di
sepanjang perjalanannya dari tahun ke tahun untuk menghancurkan kaum imperialis dan
antek-antek mereka di dalam negeri. Gambar terakhir melukiskan rakyat yang bersatu
di belakang prinsip-prinsip Sukarno (Panca Azimat Revolusi), menghantam pemerintah
Amerika Serikat dan Inggris dan menjebol “kapitalis birokrat” Indonesia dan “setan-setan
desa.” Semboyannya berbunyi “Perhebat Ofensif Revolusioner Disegala Bidang.”
Sumber: Harian Rakjat, 17 Agustus, 1965.
238
5. AIDIT, PKI, DAN G-30-S
penulisnya berusaha menegaskan bahwa dukungan PKI terhadap G-30-S
tidak berarti partai terlibat di dalamnya. Di sepanjang bagian bawah
halaman depan terbentang karangan khas tiap Sabtu berupa tujuh petak
kartun yang menggambarkan perkembangan hari ke hari gerakan kiri
selama sepekan sebelumnya. Petak gabungan untuk Kamis dan Jumat
(30 September dan 1 Oktober) memperlihatkan kepalan tinju Gerakan
30 September menghantam wajah Dewan Jenderal. Kartun pada
petak berikutnya untuk Sabtu melukiskan sebuah adegan yang lebih
mengerikan: jenderal-jenderal, dengan dolar-dolar Amerika Serikat dan
kuitansi-kuitansi CIA berhamburan dari saku-saku mereka, dilemparkan
oleh seorang prajurit berbadan kekar dan tegap ke lautan pasak besi
terpancang.
Yang janggal dari halaman depan Harian Rakjat ini adalah penyiarannya
setelah G-30-S di Jakarta sudah dikalahkan. Mayor Jenderal Umar
Wirahadikusumah sudah mengeluarkan perintah harian pada 1 Oktober
pukul 18.00 yang melarang terbit semua surat kabar selain dua surat
kabar milik tentara. Tentara Suharto sudah menguasai kembali stasiun
radio kira-kira pada pukul 19.00 dan menyiarkan kutukan terhadap
G-30-S pada sekitar pukul 20.45. Mengapa para redaktur Harian Rakjat
menentang larangan terbit oleh tentara, hanya untuk menyiarkan pernyataan
dukungan terhadap aksi yang gagal? Kantor surat kabar ini terletak
di daerah Pintu Besar Selatan, kira-kira setengah mil dari Lapangan
Merdeka. Wartawan surat kabar ini tentu mengikuti kejadian sepanjang
hari itu, dan mengetahui bahwa G-30-S di Jakarta sudah hancur.
Benedict Anderson dan Ruth McVey menduga Angkatan Darat
pasti sudah merebut kantor Harian Rakjat pada Jumat malam. Ketika itu
militer sudah mencurigai, bahwa PKI mempunyai peranan tertentu di
dalam G-30-S (mengingat para sukarelawan yang ditangkap di gedung
telekomunikasi adalah pemuda-pemuda dari Pemuda Rakjat). Agar
edisi Sabtu dapat terbit, pastilah edisi itu sudah dicetak dan didistribusikan
sebelum tentara datang, atau dicetak dan didistribusikan ketika
para perwira militer sudah menduduki kantor. Anderson dan McVey
cenderung pada kemungkinan pertama karena edisi Sabtu Harian Rakjat
barangkali sudah dicetak pada Jumat sore. Di kebanyakan kantor pada
masa itu para karyawan hanya bekerja setengah hari setiap hari Jumat.
Ilmuwan-ilmuwan Cornell ini menduga edisi Harian Rakjat 2 Oktober
239
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
terbit sebelum redaksi yakin bahwa G-30-S sudah gagal.71
Apa yang terjadi pada malam hari 1 Oktober 1965 di kantor Harian
Rakjat? Seorang mantan wartawan surat kabar ini, Martin Aleida, teringat
pada percakapan antara dirinya dan seorang anggota redaksi yang malam
itu ada di kantor.72 Aleida sendiri saat itu ada di luar kota. Ia dikirim
belajar di sekolah partai di Semarang kira-kira dua bulan sebelumnya. Ia
berhasil selamat dari pembantaian 1965-1966 dan pemenjaraan selama
beberapa tahun. Begitu keluar penjara, ia kebetulan bertemu salah seorang
dari kawan-kawannya, Wahyudi, yang menjadi anggota redaksi senior di
Harian Rakjat pada 1965. Menurut cerita Wahyudi, serombongan tentara
datang di kantor sekitar pukul 23.00 dan menuntut agar surat kabar
ditutup. Wahyudi dan anggota redaksi lainnya menolak, dan bersikeras
mereka bersedia menutup hanya jika para tentara ini bisa menunjukkan
perintah tertulis kepada mereka. Tentara-tentara itu tidak menduduki
kantor, mengusir staf kantor dengan paksa, atau mencampuri urusan
penerbitan. Kantor tetap bekerja seperti biasa.
Menurut Aleida, Wahyudi menuturkan bahwa editorial yang
Gambar 7. Kartun ini muncul di bagian bawah halaman depan surat kabar Harian Rakjat
Sabtu, 2 Oktober 1965.
240
5. AIDIT, PKI, DAN G-30-S
mendukung G-30-S sudah dikirim ke kantor surat kabar pada sekitar
pukul 21.00 oleh kurir seperti biasa. Wahyudi tidak tahu siapa yang
menulis editorial, tapi ia menduga Dahono, wartawan Harian Rakjat
yang biasa menghabiskan hari-harinya di Sekretariat Comite Central
(di Jalan Kramat Raya) untuk memperoleh informasi tentang posisi
partai dalam berbagai macam masalah. Dahono bukan penulis yang
baik. Ia diangkat menjadi staf Harian Rakjat oleh Comite Central karena
kesetiaan yang bergelora terhadap partai dan watak penggembiranya,
bukan karena keterampilan jurnalistiknya. Kalau bahasa editorial itu
begitu janggal, mungkin karena itu ditulis oleh Dahono.
Aleida tidak diberi tahu apakah Harian Rakjat sudah terbit sebelum
atau sesudah tentara datang. Ia ingat biasanya tenggat waktu penyerahan
karangan sekitar pukul 23.00, dan surat kabar selesai dicetak sekitar pukul
1.00 atau 2.00 dini hari. Jika Harian Rakjat mengikuti pola biasa pada
Jumat malam itu, militer kemungkinan sudah datang tepat saat edisi
Sabtu sedang diedit dan diset.
Pertanyaan tentang keputusan partai menerbitkan pernyataan
dukungan kepada sebuah aksi militer yang gagal itu tetap belum terjawab.
Mungkin pada Jumat malam masih belum jelas bahwa G-30-S sebenarnya
sudah gagal. Pasukan dan sukarelawan di sekitar Lapangan Merdeka
sudah dibersihkan, tapi pimpinan aksi masih berkumpul di Halim.
Untung belum tertangkap. Aksi-aksi di Jawa Tengah masih berjalan.
Dalam menyusun halaman depan, redaksi tidak menekankan dukungan
partai terhadap G-30-S. Editorial sangat pendek, kata-katanya disusun
dengan hati-hati, dan ditempatkan hampir di bawah halaman. Beritaberita
utamanya melaporkan tentang gerak-gerik Untung dalam gaya
yang lugas dan dengan memberi tekanan bahwa G-30-S merupakan
urusan intern Angkatan Darat. Sulit dipercaya bahwa para editor atau
atasan mereka di Comite Central berpikir mereka mengambil risiko
dengan meneruskan penerbitan edisi itu. Mereka mungkin tidak dapat
meramalkan bahwa G-30-S akan hancur begitu cepat, bahwa Angkatan
Darat akan menyerang PKI dengan begitu mendadak dan kejam, dan
bahwa Harian Rakjat tidak akan pernah diberi kesempatan memperbaiki
posisinya dengan mempertimbangkan kejadian-kejadian yang menyusul
kemudian. Mereka mungkin tidak mengerti bahwa seluruh sistem politik
yang terpusat pada Sukarno, yang bagi mereka sudah menjadi biasa, pada
241
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
1 Oktober malam itu telah diubah secara mendasar.
Gambar 8. Teks di bawah tertera “Film minggu ini,” yang menyentil
kebiasaan orang Indonesia menonton fi lm pada Sabtu. Ini fi lm
yang mengerikan: seorang prajurit tersenyum menang sambil
menyaksikan dua jenderal yang dibiayai CIA jatuh di atas bambu
runcing. Dalam gambar judul fi lm “De Over Val,” kata-kata Belanda
untuk “serangan mendadak” (overval), diubah menjadi “De Generaals
Val,” yang mempunyai dua pengertian, yaitu “terperangkapnya
jenderal-jenderal” dan “jatuhnya jenderal-jenderal.” Kata-kata sisipan
pada kartun ini dimaksud untuk pengertian yang tersebut terakhir:
“djatuhnja djenderal2.”
242
5. AIDIT, PKI, DAN G-30-S
Setidak-tidaknya tiga mantan anggota Politbiro PKI, Sudisman,
Iskandar Subekti, dan Munir, menyatakan dalam pledoinya di depan
sidang pengadilan bahwa partai secara keseluruhan tidak terlibat dalam
G-30-S tapi beberapa pimpinan tertentu yang tak disebut namanya
terlibat sebagai pribadi. Penilaian mereka agaknya benar. G-30-S
tampaknya merupakan proyek pribadi Aidit. Ia percaya bahwa aksi militer
yang dilakukan perwira progresif merupakan strategi paling baik untuk
menyingkirkan ancaman Dewan Jenderal. Sebagai operasi militer terselubung,
tidak satu orang pun di dalam partai diperbolehkan mengetahui
seluk-beluk G-30-S kecuali beberapa orang kepercayaannya yang sebagian
besar dari Dewan Harian Politbiro. Aidit melibatkan pimpinan partai
secara perseorangan, seperti Njono dan Sukatno, yang mengerahkan para
pemuda ke dalam pasukan sukarelawan tanpa memberi tahu mereka
tentang keseluruhan operasi. Informasi disampaikan seperlunya. Tidak
satu pun dari badan pimpinan resmi PKI – Politbiro, Dewan Harian,
dan Central Comite – terlibat dalam perencanaan dan pengorganisasian
G-30-S.
Pada prinsipnya, G-30-S bisa dibenarkan dipandang dari sudut
kepentingan PKI sendiri. Kontak-kontak partai dalam angkatan bersenjata
bisa digunakan dengan baik untuk membersihkan pimpinan
tertinggi Angkatan Darat yang antikomunis. G-30-S berbuah kegagalan
telak oleh alasan-alasan yang tidak diperhitungkan Aidit sebelumnya.
Pertama, ia buta terhadap kesalahan-kesalahan Sjam. Ia menguasakan
Sjam untuk memulai aksi militer tanpa mempunyai sarana yang cukup
untuk memeriksa kata-kata Sjam. Saya menduga Aidit tidak menyadari
bahwa Sjam telah memaksa para perwira militer untuk bergabung dan
mengelabui mereka agar berpikir bahwa PKI akan menjamin keberhasilan
aksi. Saat menghubungkan Aidit dengan para perwira, Sjam merancukan
pemahaman mereka akan satu sama lain.
Kedua, Aidit barangkali sebelumnya tidak mempelajari dengan
baik bahwa Angkatan Darat disusupi dari ujung ke ujung oleh agen-agen
ganda, dan bahwa jaringan-jaringan pribadi di dalam Angkatan Darat
saling-silang dengan kesetiaan politik para perwira. Aksi apa pun oleh
“para perwira progresif” sangat rentan terhadap pengkhianatan. Untung
dan Latief, dua perwira kunci yang tetap bersedia bekerja sama dengan
Sjam, bahkan ketika yang lain-lain mengundurkan diri, mengira bahwa
243
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
Suharto adalah sekutu mereka.
Ketiga, mengingat risiko yang terlekat dalam sebuah aksi militer,
keterlibatan Aidit memerlukan tameng pengelakan yang jauh lebih besar
dan masuk akal; ia tidak mengambil tindakan pencegahan yang memadai
untuk melindungi dirinya sendiri dan partai apabila terjadi kegagalan.
Kalau saja ia menjauhkan diri dari Halim dan memutuskan untuk tidak
pergi secara diam-diam ke Jawa Tengah, ia barangkali akan tampil lebih
meyakinkan ketika menyatakan partai tidak terlibat.
Keempat, Aidit telah mengembangkan sebuah teori populis yang
memuat gagasan bahwa kup militer bisa berkembang positif jika kup
militer itu mempunyai program revolusioner dan didukung oleh massa
rakyat. Ia dan Sjam menyisipkan kandungan politik ke dalam G-30-S
– Dewan Revolusi, istilah yang dipinjam dari Aljazair sebagai preseden.
Agenda politik ini menaruh beban terlalu berat terhadap apa yang,
bagaimanapun, merupakan sebuah operasi militer sangat terbatas, yaitu
menculik pimpinan tertinggi Angkatan Darat. Aidit terperangkap dalam
balam-balam populisme untuk bisa mengenali kesalahan strategis dalam
memanfaatkan militer bagi tujuan-tujuan politik. Gerakan 30 September
tidak diorganisasi sebagai sebuah kup, tidak pula dipimpin oleh seorang
perwira militer (seperti kup-kup yang berhasil yang dikenal Aidit,
misalnya kup Qasim di Irak pada 1958 dan kup Boumedienne di Aljazair
pada 1965). Agenda politik telah mencemari aspek-aspek yang murni
bersifat militer dalam G-30-S. Rencananya untuk mencapai keberhasilan
bertumpu pada usaha mendapatkan persetujuan dari Sukarno; presiden
akan memastikan bahwa para perwira lawan tidak akan melakukan
serangan balasan. Gerakan 30 September tidak dirancang untuk berhasil
atas dasar kekuatan murni militernya sendiri.
Penjelasan saya tentang peranan PKI dalam G-30-S tidak memberi
pembenaran terhadap versi rezim Suharto yang menuduh PKI sebagai
dalang. Partai sebagai lembaga tidak bertanggung jawab. Hanya dua
orang dalam partai, Aidit dan Sjam, yang bertanggung jawab mengorganisasi
G-30-S. Seperti dinyatakan Sudisman, badan-badan formal
pembuat keputusan dalam partai hanya bertanggung jawab dalam arti
bahwa mereka memberi Aidit terlalu banyak jalan simpang untuk bekerja
sendiri.
244
5. AIDIT, PKI, DAN G-30-S
CATATAN
1 Sudisman, Uraian Tanggung Djawab, 9, 11. Saya mengutip versi yang tersedia dalam
beranda warta berikut http://www.geocities.com/cerita_kami/g30s/index.html. Versi ini
dalam bentuk fi le pdf yang bernomor halaman. Dokumen yang sama juga tersedia tanpa
nomor halaman di beranda warta yang berbeda: http://www.marxists.org/indonesia/indones/
sudisman.htm
2 Sudisman juga penulis utama dokumen yang beredar pada September 1966 atas nama
Politbiro: Tegakkan PKI jang Marxis-Leninis untuk Memimpin Revolusi Demokrasi Rakjat
Indonesia: Otokritik Politbiro CC-PKI. Dokumen ini baru-baru ini diterbitkan ulang bersama
dengan Uraian Tanggung Djawab: Sudisman, Pledoi Sudisman; Kritik-Otokritik.
3 Ia menulis, “Saja pribadi terlibat dalam G-30-S jang gagal.” Dan, “tokoh-tokoh PKI terlibat
langsung dalam G-30-S.” Sudisman, Uraian Tanggung Djawab, 9, 18.
4 Ibid., 17.
5 Ibid., 17.
6 Ibid., 18
7 Ibid., 12.
8 Ibid., 12.
9 Ibid., 12.
10 Ibid., 17.
11 Ibid., 26, 29.
12 Ibid., 26.
13 Ibid., 32.
14 Ibid., 48.
15 Ibid., 17.
16 Ibid., 49. Dengan menumbangkan monarki yang ditopang Inggris, kup Qasim menggugah
pemberontakan rakyat. Timbul demonstrasi-demonstrasi besar di jalan-jalan, upaya
pengorganisasian serikat buruh, dan banyak penerbitan baru. Partai Komunis Irak (ICP)
menyambut kup dan memperoleh kebebasan bergerak secara legal. Tapi para penggerak
kup di tubuh militer segera menindas pemberontakan rakyat itu dan tenggelam dalam
persaingan-persaingan di antara mereka sendiri (Tripp, History of Iraq, 148-192). Untuk
uraian yang lebih rinci tentang kup 1958 dan hubungan Partai Komunis Irak dengannya,
lihat Batatu, Old Social Classes, 789-807.
17 Sudisman, Uraian Tanggung Djawab, 47. Di saat lain dalam persidangan untuknya,
setelah Sjam diajukan sebagai saksi, Sudisman menyatakan, “Walaupun saya sendiri tidak
mengetahui, tapi itu dilakukan kawan saksi Sjam atas instruksi kawan Aidit dan saya pun
melakukan instruksi dari kawan Aidit, maka dari segi tanggung djawab saya ambil oper
semua tanggung djawab ini semua.” Transkrip Mahmilub, persidangan Sudisman, sidang
245
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
8 Juli 1967.
18 Pada persidangannya Sudisman menyebut Supardjo sebagai contoh jelas seorang perwira
Angkatan Darat progresif yang menentang pimpinan tertinggi angkatannya. Ia mengutip
keterangan Supardjo di depan mahkamah (dalam sidang Mahmilub untuk Supardjo) sebagai
bukti bahwa G-30-S merupakan urusan intern militer (Sudisman, Uraian Tanggung Djawab,
31-33). Sudisman tidak mungkin bisa mengutip analisis rahasia Supardjo (lihat Lampiran
1) untuk membuktikan pokok pikiran ini. Analisis Supardjo, yang barangkali sudah dibaca
Sudisman, menyatakan bahwa G-30-S bukanlah masalah intern militer.
19 Lihat Lampiran 2.
20 Hasan, “Otobiografi ,” 32.
21 “Gerakan 30 September” Dihadapan Mahmillub, Perkara Njono.
22 Subekti, “Jalan Pembebasan Rakyat Indonesia,” 9.
23 Dalam pledoinya pada 1972 Subekti menyatakan bahwa tanggal rapat itu 28 Agustus
(“Jalan Pembebasan Rakyat Indonesia,” 8). Tapi dalam analisisnya pada 1986 tentang
G-30-S, ia menyebut tanggal rapat itu 27 Agustus (“G-30-S Bukan Buatan PKI,” 3). Munir,
dalam pleidoinya pada 1973, menyebut tanggal rapat 27 atau 28 Agustus (Munir, “Membela
Kemerdekaan, Demokrasi, dan Keadilan,” 13-15).
24 Subekti, “Jalan Pembebasan Rakyat Indonesia,” 11.
25 Ibid., 9.
26 Dokumen ini diperoleh Hersri Setiawan dari Jusuf Ajitorop di Beijing. Sekarang tersedia
di dalam koleksi dokumen-dokumen yang dinamai “Indonesian Exiles of the Left [Eksil
Indonesia dari Gerakan Kiri],” disimpan Setiawan di badan arsip International Institute of
Social History [Institut Sejarah Sosial Internasional] di Amsterdam. Dokumen tak berjudul
ini terdiri dari enam bagian dengan judul masing-masing. Saya hanya mengambil dua bagian
daripadanya: bagian pertama, yang berjudul “G-30-S Bukan Buatan PKI,” dan bagian
keempat, yang berjudul “Kata Pendahuluan.”
27 Subekti, “Kata Pendahuluan,” 1.
28 Subekti, “G-30-S Bukan Buatan PKI,” 2.
29 Ibid., 12.
30 Ibid.
31 Wawancara dengan Oey Hay Djoen, 24 Januari 2002. Sebuah buklet yang diterbitkan
sendiri pada 1979, atas nama CC PKI juga menyatakan bahwa Aidit secara umum menutup
diri dari pimpinan partai yang lain dalam minggu-minggu sebelum G-30-S, “Kawan D.N.
Aidit dan beberapa Kawan di dalam Dewan Harian Politbiro CC PKI bahkan membatasi
diri hanya dalam persetujuan dan dukungannya terhadap aksi-aksi...” (Comite Central
PKI, Jawaban PKI Kepada Kopkamtib, 9). Yang disebut “beberapa kawan” adalah Njono,
Subekti, dan Hutapea. Buklet itu tidak terlalu akurat dalam menyebut posisi ketiga tokoh ini
di dalam partai: hanya Hutapea yang di Dewan Harian Politbiro walaupun Subekti, sebagai
panitera Dewan Harian, bisa dianggap sebagai anggota. Njono anggota Politbiro, tapi bukan
246
5. AIDIT, PKI, DAN G-30-S
anggota Dewan Harian. Saya tidak tahu siapa di antara pimpinan PKI yang masih hidup
yang berbicara atas nama Central Comite yang secara mendasar sudah dihancurkan pada
akhir 1970-an. Pengarang atau para pengarang anonim ini menempuh garis pro-Uni Soviet
dan mengutuk G-30-S sebagai akibat dari kecenderungan Maois Aidit dan lingkarannya.
Subekti secara selintas menyebut dalam dokumen rahasianya pada 1986 bahwa Ruslan
Wijayasastra, sesama kawannya di penjara Cipinang, adalah Ketua Central Comite. Subekti
pastilah bukan pengarang buklet itu karena dalam dokumennya tahun 1986 ia mengkritik
Aidit dari sudut pandang Maois. Buklet ini tanpa bukti juga menuduh Sukarno merancang
G-30-S dan minta Aidit untuk membantu melaksanakannya. Sebagian besar argumentasi
dalam buklet ini dapat diabaikan sebagai spekulasi yang sengaja dirancang untuk berbetulan
dengan kesimpulan dogmatik yang telah ditetapkan sebelumnya. Namun, buklet ini boleh
jadi benar tentang beberapa hal tertentu yang dapat diperkuat dengan sumber-sumber lain,
misalnya tentang Aidit yang dalam minggu-minggu menjelang peristiwa menggunakan
orang-orang kepercayaannya saja.
32 Friend, Indonesian Destinies, 102. Informasi Friend berasal dari Kolonel George Benson,
asisten Duta Besar Amerika Serikat di Jakarta untuk program Amerika Serikat yang
mendorong para perwira Angkatan Darat agar lebih aktif dalam urusan-urusan sipil.
33 Subekti, “G-30-S Bukan Buatan PKI,” 13.
34 Ibid., 12.
35 Ibid., 15.
36 Subekti, “Jalan Pembebasan Rakyat Indonesia,” 45-46.
37 Analisis Subekti dapat dikritik karena sifatnya yang membenarkan diri-sendiri. Ia
mengecam Aidit karena bertindak sendiri dan mencela hampir setiap anggota Politbiro
lainnya karena mereka tidak melawan. Tapi ia tidak mengkritik dirinya sendiri yang tidak
melawan. Seperti diakuinya dalam pledoinya di depan mahkamah pengadilan, sebelum
G-30-S terjadi ia semacam abdi setia Aidit. Subekti menyetujui, walau mungkin tak sepenuhnya
sepakat, strategi Aidit untuk mendahului Dewan Jenderal secara militer. Kesalahan
nahas yang disadari oleh Subekti dan pimpinan Politbiro lainnya sesudah kekalahan G-30-S
merupakan kesalahan yang sebelumnya tidak terlihat oleh mereka.
38 Wawancara dengan Tan Swie Ling.
39 Mantan anggota Politbiro Peris Pardede mengklaim bahwa Aidit menyampaikan kepada
Politbiro pada Agustus, saat menjelaskan tentang beberapa perwira progresif yang akan
bertindak melawan Dewan Jenderal, bahwa strategi mendahului mempunyai keuntungan
dan kerugian. Ketika ditanyai mana yang lebih baik, menunggu Dewan Jenderal bertindak
atau mendahului mereka, Aidit menjawab, “Mengenai untung rugi, dua-duanja ada untung,
ada ruginja.” (kesaksian Pardede, G-30-S Dihadapan Mahmillub, Perkara Njono, 132).
Pengakuan ini tampaknya bisa dipercaya. Kita harus membayangkan bahwa Aidit sedang
menimbang-nimbang pilihannya.
40 Yani, Profi l Seorang Prajurit TNI, 178; Soebandrio, Kesaksianku Tentang G-30-S, 12.
41 Mortimer, Indonesian Communism Under Sukarno, 394.
247
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
42 Kantor itu berada di sebuah gedung, Wisma Warta, tempat perkantoran dan penginapan
untuk para wartawan asing lainnya. Gedung ini terletak di sudut yang sekarang ditempati
Plaza Indonesia dan Grand Hyatt di Jalan M.H. Th amrin, Jakarta.
43 Nursuhud diangkat menjadi anggota Central Comite di dalam Kongres Nasional VI
pada 1959 (Partai Komunis Indonesia, 40 tahun PKI, 98). Ia menulis kisah tentang perlawanan
PKI terhadap pemberontakan PRRI 1957-58 di daerah asalnya di Sumatra Barat,
Menyingkap Tabir “Dewan Banteng.”
44 Sudisman, Uraian Tanggung Djawab, 28. Sudisman mengkritik dirinya sendiri dan
pimpinan partai yang lain karena menilai secara berlebihan sifat revolusioner situasi politik
pertengahan 1965. Dalam otokritik Politbiro ia menulis bahwa demonstrasi-demonstrasi
dan aksi-aksi ketika itu, seperti misalnya demonstrasi dan aksi menentang pemerintah
Amerika Serikat, “masih dalam rangka tuntutan-tuntutan lunak dan reformis.” Pimpinan
partai, yang dibuai oleh sukses-sukses dan dipukau oleh militansi jaman, meyakinkan diri
mereka sendiri bahwa revolusi sudah di ambang pintu dan mengabaikan laporan-laporan
yang berbeda dengan pendapat mereka, “Pimpinan partai tidak senang kalau komite-komite
daerah dan badan-badan partai lainnya melaporkan kenyataan bahwa tingkat perkembangan
aksi-aksi massa belum seperti yang sudah disimpulkan” (Sudisman, Pledoi Sudisman; Kritik-
Otokritik, 117-118).
45 Wawancara dengan Joesoef Isak. Kantor Chairul Saleh berhadapan dengan kali Ciliwung
di tengah kota Jakarta.
46 Lev, “Indonesia 1965,” 105.
47 Transkrip Mahmilub, persidangan Sudisman, kesaksian Sjam, 8 Juli 1967.
48 Sudisman, Uraian Tanggung Djawab, 28. Istilah safe-stellen adalah kombinasi antara
kata-kata Inggris dan Belanda.
49 Setiyono dan Triyana, Revolusi Belum Selesai, 2:440. Sukarno juga menyalahkan G-30-S
dalam hal “kelihaian subversi Nekolim” dan “oknum-oknum yang tidak benar” (Setiyono
dan Triyana, Revolusi Belum Selesai, 2:440). Ia tidak mengurai lebih lanjut analisisnya yang
sarat teka-teki dan taksa itu.
50 Wawancara dengan Oey Hay Djoen.
51 Sophiaan, “Inspirasi dari Aljazair,” bab 2 dalam Kehormatan Bagi Yang Berhak.
52 Tentang kup Aljazair lihat Humbaraci, Algeria, 217-246, dan Quandt, Revolution and
Political Leadership, 237-243. Penuturan penulis-penulis hagiografi [buku yang berisi
pemujaan terhadap kebaikan orang (-orang) tertentu] Boumedienne (Francos dan Sereni,
Un Algerien nomme Boumedienne, 161-179) bukannya tidak penting.
53 Karim D.P., “Tiga Faktor Penyebab G-30-S.”
54 Vergès adalah salah satu penulis sebuah buku tentang seorang perempuan yang menjadi
salah satu terdakwa dalam perkara penyiksaan tersebut. Lihat Arnaud dan Vergès, Pour
Djamila Bouhired.
55 Untuk informasi biografi s, lihat Fejto, “Maoist in France,” dan Marnham, “One Man and
His Monsters.” Vergès lahir di Th ailand pada 1925 dari ayah Perancis dan ibu Vietnam. Ia
248
5. AIDIT, PKI, DAN G-30-S
besar di koloni Perancis La Réunion, berjuang untuk Perancis dalam Perang Dunia II, dan
belajar hukum di Paris selama akhir 1940-an dan awal 1950-an. Ia tetap terkenal, dengan
reputasi baik maupun buruk, karena pengabdiannya sejak 1980-an sebagai pengacara untuk
tokoh-tokoh Nazi, penjahat perang dan eks-diktator. Di antara orang-orang yang dibelanya
adalah Klaus Barbie, Slobodan Milosevic, dan Tariq Aziz. Ia menawarkan dirinya untuk
membela Saddam Hussein. Program televisi 60 Minutes [dari stasiun CBS, AS] menayangkan
profi l Vergès pada 25 April 2004.
56 Artikel Hindley, “Th e Indonesian Communist Party,” mengemukakan telaah yang berhatihati
mengenai posisi PKI dalam perpecahan Tiongkok-Soviet.
57 Fejto, “Maoist in France,” 122.
58 Dikutip dalam Humbaraci, Algeria, 242.
59 Ibid., 241-242.
60 Saya belum bisa memastikan apakah Aidit berangkat ke Aljazair. Anggota delegasi
Indonesia selebihnya tidak berangkat. Karim D.P. hanya mengatakan Aidit bertemu orangorang
komunis Aljazair di Paris.
61 Wawancara dengan Joesoef Isak.
62 First, Power in Africa, 449. Orangtua First adalah anggota pendiri Partai Komunis Afrika
Selatan. Lahir pada 1925, ia sudah masuk partai sejak masih muda. Ia menikah dengan Joe
Slovo, yang belakangan menjadi ketua partai. Pasukan keamanan Afrika Selatan membunuh
First dengan bom surat ketika ia hidup di pengasingan di sebuah negara dekat Mozambique
pada 1982.
63 Ibid., 450.
64 Munir tidak menjelaskan tentang waktu dan konteks pernyataan Aidit. Kemungkinan
besar pernyataan itu disampaikan pada suatu saat antara Agustus atau September 1965
(Munir, “Membela Kemerdekaan, Demokrasi, dan Keadilan,” 40). Ini contoh lain pernyataan
di depan sidang pengadilan yang bisa dipercaya karena ia bersesuaian dengan apa yang
diketahui dari sumber-sumber lain.
65 Sudisman, Uraian Tanggung Djawab, 18.
66 Tentang strategi front persatuan, lihat Hindley, Communist Party of Indonesia, 29-59, dan
Mortimer, Indonesian Communism Under Sukarno, bab 1.
67 Aidit ikut serta dalam proyek riset besar-besaran yang diorganisasi PKI pada 1964 untuk
meneliti kondisi ekonomi agraria. Berdasarkan hasil riset yang telah diterbitkan ini, ia
menyebut “tujuh setan desa.” (Aidit, Kaum Tani Mengganyang Setan2 Desa, 27). Sejarawan
Hilmar Farid menyatakan, partai membedakan antara anggota kelas tertentu yang buruk
dan yang baik atas dasar afi liasi politik yang bersangkutan: tuan tanah baik adalah tuan
tanah yang mendukung PKI dan/atau Sukarno, sedangkan tuan tanah jahat ialah tuan
tanah yang mendukung partai-partai politik yang menentang PKI (Farid, “Class Question
in Indonesian Social Sciences,” 177).
68 Teori “dua aspek” ini dikecam di dalam otokritik Politbiro 1966; lihat Sudisman, Pledoi
Sudisman; Kritik-Otokritik, 102-9.
249
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
69 Wawancara dengan Oey Hay Djoen.
70 Dikutip dalam Mortimer, Indonesian Communism under Sukarno, 380.
71 Anderson dan McVey, Preliminary Analysis, 132-135.
72 Wawancara dengan Martin Aleida.
250

No comments: