Tuesday 25 January 2011

Enam Diskursus Kemiskinan di Indonesia

Enam Diskursus Kemiskinan di Indonesia

Oleh Ivanovich Agusta

Abstrak

Ditemukan enam diskursus kemiskinan yang berbeda-beda di Indonesia, mencakup diskursus kemiskinan komunal, kemiskinan yang diinginkan, kemiskinan rasial, kemiskinan sosialis, kemiskinan produksi, dan potensi orang miskin. Sebagai konsekuensi pertandingan kekuasaan, dalam proses pelembagaan terjadi perang dan persilangan antar diskursus kemiskinan. Perang saat ini dimenangkan oleh diskursus kemiskinan produksi, yang secara konseptual tidak memberikan peluang bagi orang miskin untuk menjadi kaya.
Kata kunci: metodologi, analisis diskursus

Abstract

I found six discourses on poverty in Indonesia such as communality poverty, wishes poverty, racial poverty, socialist poverty, production poverty, and potencialities of the poor. As a consequent of competing power, during institutionalization process the discourses are competed and crossed each other. Unfortunately, the production poverty discourse has championed the war, which conceptually blocks the poors to move out of poverty.
Keywords: methodology, discourse analysis

Pendahuluan: Indikasi Diskursus Kemiskinan Majemuk

Dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945, pembentukan Pemerintah Negara Indonesia dilakukan untuk memajukan kesejahteraan umum. Berkaitan dengan hal tersebut, pembangunan telah dijadikan pilihan untuk mengisi kemerdekaan bangsa. Secara khusus Negara harus memelihara fakir miskin, mengembangkan sistem jaminan sosial, dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu. Akan tetapi persoalan sejauhmana pembangunan mampu menghilangkan kemiskinan masih saja dijawab secara negatif hingga beberapa tahun ke depan. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional II (2010-2014), pembangunan diharapkan mampu menurunkan tingkat kemiskinan hingga 8-10 persen pada akhir tahun 2014 (Bappenas, 2010: I-46) , artinya tidak sampai 0-2,5 persen sebagai indikasi hilangnya kemiskinan.
Lebih dari itu, program penanggulangan kemiskinan tampaknya kurang efektif dalam menurunkan jumlah penduduk miskin. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), dalam setahun terakhir penduduk miskin hanya berkurang 0,82 persen (1,51 juta jiwa), menjadi total 13,33 persen (32,53 juta jiwa). Jika nilai pengurangan tersebut konstan, maka target RPJMN-II 2010-2014 di atas sulit tercapai.
Penguasaan pengetahuan kemiskinan semakin kuat, sebagaimana ditandai oleh peningkatan kompleksitas persoalan kemiskinan. Dibandingkan saat pertama kali garis kemiskinan Sajogyo dikeluarkan pada tahun 1976 untuk mengukur individu miskin, sejak publikasi Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan pada tahun 2004 golongan miskin tidak sekedar mencakup individu miskin namun meliputi pula keluarga miskin, kelompok miskin, pengusaha mikro dan kecil. Untuk mendapatkan pengetahuan yang luas, studi-studi kemiskinan dilaksanakan secara multidisipliner dan dengan jenis keilmuan yang semakin banyak, seperti sosiologi, antropologi, ekonomi, kependudukan, politik. Sejalan dengan perkembangan akademis, agar mampu mengatasi berbagai aspek kemiskinan, kebijakan sektoral berkembang menjadi pengarusutamaan penanggulangan kemiskinan, dan dilaksanakan secara lintas sektoral atau kementerian. Hal ini ditunjukkan oleh penyelenggaraan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri, serta pembentukan
Meskipun kajian dan kebijakan penanggulangan kemiskinan dilaksanakan secara kompleks, namun kemiskinan sendiri dimaknai secara tunggal. Kajian diarahkan kepada individu, kelompok dan organisasi yang tidak mampu berproduksi, sehingga menghasilkan kebijakan penanggulangan kemiskinan agar orang miskin mampu bekerja dan berusaha dalam ekonomi uang. Kemampuan tersebut dibutuhkan untuk mendapatkan penghasilan finansial. Pola penanggulangan kemiskinan tersebut paling tepat dilaksanakan pada masyarakat yang menggunakan ekonomi uang sepenuhnya.
Namun demikian, muncul anomali dari pengetahuan ketunggalan diskursus kemiskinan tersebut, sebagaimana ditandai, antara lain, oleh ketidaksamaan identitas orang miskin menurut pemerintah dan rakyat. Masyarakat adat menolak identitas miskin berikut program penanggulangan kemiskinan di wilayahnya. Sebaliknya terdapat kasus penolakan petugas program bantuan tunai terhadap warga desa yang memasukkan dirinya ke dalam golongan miskin.
Tulisan ini menunjukkan diskursus kemiskinan yang berbeda-beda, dan saling berperang satu sata lain. Ada diskursus yang kini menang dan mendominasi tafsir kemiskinan, mengalahkan diskursus lain yang sempat jaya di masa lalu. Terlihat bahwa tafsir tidaklah netral atau sekedar sesuai dengan kepentingan pelakunya, namun tafsir terkuat akan selalu muncul sebagai tanda bekerjanya kekuatan tertinggi yang melingkupinya. Makna dari sesuatu diketahui melalui kekuatan yang dimilikinya atau diekspresikan olehnya (Nietzsche, 1887). Kekuatan mendominasi realitas. Sesuatu itu sendiri tidak netral dan cenderung dekat dengan kekuatan yang saat itu menguasainya. Perdebatan tentang esensi atau hakekat kemiskinan kini dapat dipandang sebagai satu di antara semua makna kemiskinan yang paling dekat dengan kekuasaan yang dimiliki oleh penyusun diskursusnya.
Analisis kemiskinan pada tataran diskursus menjadi penting, karena, pertama, membuka peluang penemuan ragam pemikiran kemiskinan di Indonesia. Kedua, analisis perang diskursus mampu membuka “belitan” saling hubung diskursus kemiskinan yang berbeda, yang selama ini menyulitkan analisis kemiskinan. Pencarian teknik-teknik berperang membuka dominasi suatu diskursus kemiskinan terhadap diskursus lain. Ketiga, pengetahuan baru ini memungkinkan rekomendasi penanggulangan kemiskinan yang lebih kontekstual.

Teori dan Perang Diskursus

Kenyataannya kemiskinan selalu muncul sebagai hasil bentukan atau kerangka pemikiran masyarakat tertentu. Kemiskinan sebagai bentukan sosial atau kerangka pemikiran tertentu memiliki sifat diskursif. Kerangka kemiskinan tersebut senantiasa dibangun melalui dialog antar pihak-pihak yang bersetuju atau menolaknya. Proses komunikasi atau dialog tersebut senantiasa menyebarkan kekuatan (power), baik digunakan untuk menguasai maupun untuk menguatkan solidaritas sosial (Gambar 1). Tulisan ini menemukan enam diskursus kemiskinan yang berkembang di Indonesia masa kini.

Gambar 1. Diskursus Pascastruktural dan Kekuasaan


Hubungan antar diskursus juga menggunakan kekuatan, baik kekuatan untuk menguasai maupun untuk menguatkan solidaritas. Perang diskursus berupa pertarungan untuk merebut atau menguatkan rezim kebenaran tertentu (Foucault, 2002d, 2008), dalam hal ini tentang penanggulangan kemiskinan. Seandainya terdapat dua diskursus kemiskinan yang sedang berperang, diskursus pemenang (A) akan mengalami penguatan diskursus tersebut. Diskursus kemiskinan yang kalah akan menghilang pada masa berikutnya.
Akan tetapi perang antar diskursus kemiskinan juga dapat mengarah kepada krisis atas diskursus-diskursus kemiskinan yang lama, sehingga mendorong pembentukan diskursus kemiskinan yang baru. Proses penciptaan diskursus kemiskinan baru muncul dalam proses formasi diskursif (Foucault, 2002a, 2002c). Mula-mula perhatian diarahkan kepada kejanggalan yang muncul dalam pernyataan, tingkah laku dan susunan benda-benda di masyarakat. Ketika kritik dalam wujud kejanggalan tersebut mengarah kepada kontradiksi yang mendasar, maka diskursus kemiskinan lama tersebut mengalami transformasi. Hasilnya berupa diskursus kemiskinan baru yang berbeda dari diskursus sebelumnya. Hasil lain dari formasi diskursif ialah pemenuhan hasrat untuk mengetahui lebih dalam perihal kemiskinan. Melalui kekuasaan yang muncul dalam relasi sosial, hasrat untuk mengetahui kemiskinan tersebut membesar menjadi suatu rezim kebenaran tentang kemiskinan dalam tempat dan waktu tertentu.

Enam Diskursus Kemiskinan

Diskursus Berbagi Kelebihan

Salah satu sumber sosialisme Indonesia ialah kegiatan gotong royong dan tolong di pedesaan (Hatta, 2000; Soeharto, 2008; Soekarno, 1965). Komunalisme di pedesaan dijaga melalui pembagian kelebihan kekayaan –berbagi kekayaan lebih tepat daripada konsep berbagi kemiskinan sebagaimana dikemukakan oleh Geertz (1983). Dalam suatu kelompok atau komunitas, orang yang berkelebihan membaginya kepada sesamanya yang kekurangan. Diskursus ini muncul berusia paling lama, dan muncul dalam banyak komunitas di Indonesia (Tabel 1).

Tabel 1. Diskursus Berbagi Kelebihan
Obyek Benda pribadi yang berubah menjadi milik umum
Subyek Orang renta, anak-anak, orang miskin sedesa
Konsep Gotong royong, kecukupan
Strategi Komunalisme dijaga melalui pembagian kelebihan kekayaan
Wilayah Desa dengan tradisi kuat (5.000 desa)
Komunikasi Lisan, sedesa
Kelembagaan Bekerja bersama, menyisakan hasil kerja di tempat yang dipandang umum
Alternatif kebijakan Penguatan komunalitas desa dengan pekerjaan gotong royong

Berlainan dari orientasi produksi dan efisiensi, dalam diskursus kemiskinan komunal barang dan jasa yang dibagi relatif berkualitas sama, bukan barang rusak, recehan, atau yang bernilai lebih rendah. Di desa-desa di Sulawesi Tengah, misalnya, kelapa yang jatuh sendiri ke tanah boleh dimiliki oleh siapa saja yang hendak mengambilnya. Orang miskin dapat mengambil kelapa-kelapa yang telah ada di atas tanah. Kelapa tersebut berkualitas bagus, dapat dijual di pasar, sehingga orang-orang miskin tetap mendapatkan uang dan makanan melalui pengumpulan kepala jatuh.Dapat diperkirakan komunitas yang menganut diskursus berbagi kelebihan mencapai sekitar 5.000 desa (Tabel 2), yaitu yang terbiasa melakukan pekerjaan di luar ekonomi uang (moneter).
Salah satu komunitas di Jawa Tengah yang mempertahankan mekanisme berbagi kelebihan ini ialah Orang Samin. Hubungan di antara kelompok mereka diidentikkan sebagai sedulur sikep. Sedulur sikep hidup secara tersebar di pantai Utara Jawa Tengah, seperti Kudus, Pati, Blora, Rembang, Bojonegoro bahkan sampai ke Ngawi. Mereka hidup berdampingan dengan warga masyarakat lain (non-Sikep). Mata pencaharian mereka umumnya bertani.
Pengertian ekonomi bagi masyarakat Sikep adalah kecukupan sandang dan pangan (Wahono, Warno dan Farhan, 2002). Mereka tidak membutuhkan sekolah, berpakaian dan makan secara sederhana. Pemilikan akan sesuatu dipandang harus dijaga, dan milik orang lain harus dihormati.

Tabel 2. Monetisasi Desa-desa di Indonesia, 2006
Pulau Besar Subsisten (Diskonsumsi Sendiri) Komersial (Dijual) Campuran (Dikonsumsi dan Dijual)
Jawa Bali Jumlah 1098 2018 17520 20636
% 5 10 85 100
Kalimantan Jumlah 818 1330 2965 5113
% 16 26 58 100
Maluku Jumlah 76 281 1070 1427
% 5 20 75 100
Nusa Tenggara Jumlah 592 333 2327 3252
% 18 10 72 100
Papua Jumlah 703 327 1646 2676
% 26 12 62 100
Sulawesi Jumlah 288 1977 4591 6856
% 4 29 67 100
Sumatera Jumlah 1377 5960 10993 18330
% 8 33 60 100
Jumlah Indonesia 4952 12226 41112 58290
% 8 21 71 100

Diskursus Kemiskinan yang Diharapkan

Salah satu strategi untuk mengakumulasi kekuasaan (kasekten/kesaktian) ialah dengan bertingkah laku sebagaimana orang miskin (Anderson, 2000). Kemiskinan menandai ketiadaan (moksa, nir), sehingga manusia bisa berkonsentrasi lebih kuat. Konsentrasi tersebut mencakup pemusatan atau akumulasi kekuasaan. Tidak mengherankan diskursus ini muncul justru pada penguasa atau lapisan atas (Tabel 3).

Tabel 3. Diskursus Kemiskinan yang Diharapkan
Obyek Sebagian besar benda pribadi yang dibagikan
Subyek Pelaku tapa (agamawan, ilmuwan), raja. Ada 1.254 pesantren dan seminari
Konsep Prihatin, menahan diri, zuhud, asketis, sederhana
Strategi Kemiskinan meningkatkan sensitivitas
Wilayah Lembaga pendidikan, penelitian dan keagamaan
Komunikasi Kelompok kecil sesama guru, peneliti, agamawan
Kelembagaan Lembaga pendidikan keagamaan
Kebijakan Penyediaan akses dan kebutuhan dasar untuk bertahan hidup atau hidup sederhana

Pada bangsa Jawa muncul konsep loro lopo (Karsodihardjo, 1998), yang secara harfiah berarti sakit serta miskin. Sudah sakit, ditambah lagi miskin, sehingga tidak ada ruang untuk menghibur diri. Loro lopo menunjukkan jalan penderitaan sebagai kondisi agar kekuasaan muncul ke permukaan.
Untuk melakukan loro lopo orang perlu berpegang pada nilai wader wungkuk. Ikan yang bungkuk ini merupakan metafora urang (udang). Metafora tersebut menunjukkan mekanisme loro lopo berupa ngurang-ngurangi, atau menurunkan konsumsi. Makanan dikurangi agar manusia bisa hidup di masa depan. Pemborosan dikurangi agar tabungan tidak cepat habis. Hasrat dikurangi (ditekan) agar orang tidak mudah kalap. Tidur dikurangi untuk memperbanyak berhubungan dengan Tuhan, berdoa memohon pertolongan dalam kehidupan.
Metode lain yang serupa, yang biasa dilakukan bangsawan ialah lelono-broto, yaitu berkelana dalam suasana kesedihan. Perjalanan diarahkan untuk mendapatkan tempat yang bisa menenteramkan batin. Di tempat yang sesuai, penguasa melakukan topo broto, atau bertapa dalam kesedihan. Di atas tempat yang sesuai inilah wahyu kekuasaan dipandang bisa diturunkan oleh Tuhan. Inilah kekuasaan yang diperoleh melalui serangkaian loro lopo, lelono broto dan topo broto.

Diskursus Kemiskinan Rasial-Etnis

Mungkin istilah kemiskinan dalam arti modern (poverty, bukan misalnya tidak kecukupan) muncul pertama kali di Indonesia pada awal abad ke 20. Di kota-kota di Eropa pada abad ke 19 kemiskinan sudah tergolong sebagai konsep sosial yang dahsyat (Gouda, 2007). Kemiskinan mengundang ketakutan akan timbulnya revolusi sosial, mengingat jumlah proletar dan buruh upahan meningkat di perkotaan.
Ketika konsep kemiskinan tersebut masuk ke dalam Hindia Belanda, penerapannya hanya secara eksklusif diletakkan pada golongan Eurasia, bukan pada pribumi. Jumlah penduduk Eurasia terpelajar tergolong besar, sekitar 95.000 pada tahun 1905 dan meningkat menjadi sekitar 190.000 pada tahun 1930.
Kelompok indo (campuran Barat dan pribumi), terutama perempuan Indo, banyak digolongkan ke dalam kelompok miskin. Secara resmi mereka dipandang malas, karena memandang ras mereka lebih tinggi daripada pribumi, sehingga tidak bersedia bekerja. Selain itu, golongan indo dipandang sebagai hasil perbuatan dosa. Yang dimaksud ialah golongan indo merupakan hasil hubungan seksual antara ras Eropa dan pribumi. Lokasi di khatulistiwa yang panas dipandang sebagai alasan perbuatan zina. Hasil dari tindakan salah ini berupa keturunan yang melarat (Tabel 4).

Tabel 4. Diskursus Kemiskinan Rasial-Etnis
Obyek Sikap dan tingkah laku
Subyek Etnis terjajah, etnis terpencil, golongan indo. Ada 2.031 lokasi, 225.477 KK, 919.570 jiwa
Konsep Budaya, sikap/psikologis, pelanggaran norma
Strategi Sikap dan tingkah laku tercela atau pendosa mengakibatkan kemiskinan
Kemiskinan menyebabkan terorisme
Wilayah Suku pedalaman, Maluku, Papua
Komunikasi Tradisi, kelompok lokal
Kelembagaan Pemukiman kembali, pemukiman kelompok kecil
Kebijakan Perbaikan norma, target yang rendah, menjadikan lebih beradab

Sebenarnya tidak hanya demikian. Posisi rasial Indo yang tidak jelas (bukan Eropa atau pribumi murni), sementara posisi-posisi pekerjaan formal terbagi menurut ras, menjadikan mereka sulit mendapatkan pekerjaan yang memadai. Kreol menjadikan mereka tidak mendapatkan akses ekonomi yang memadai. Ketika mereka jatuh miskin, pemerintah Hindia Belanda untuk pertama kalinya memandangnya sebagai masalah kemiskinan.
Bukan berarti tidak ada kemiskinan di kalangan pribumi, namun kepada mereka hanya diidentifikasi sebagai kurang sejahtera. Pribumi dipandang bukan manusia utuh, atau dipandang sebagai manusia kera (Gouda, 2007), sehingga persoalan utamanya bukanlah kemiskinan, melainkan upaya penjinakan agar mereka tidak liar (minimal tidak sopan) (Breman, 1997).

Diskursus Kemiskinan Sosialis

Sampai akhir penjajahan, orang miskin di Indonesia tidak hanya proletar, yang hanya memiliki tenaga untuk bekerja kepada orang lain. Di sini sebagian orang miskin masih memiliki alat produksi, namun dalam jumlah minimal. Sebagian besar mereka hidup dalam bidang pertanian. Kepada orang miskin semacam itu muncul konsep marhaen (Soekarno, 1965), yaitu buruh tani, buruh industri, dan petani kecil.
Kemiskinan merupakan akibat logis hubungan marhaen dengan kapitalis (Tabel 5). Pada tahun 1950-an Barisan Tani Indonesia (BTI) yang berorientasi sosialis pernah menyatakan (White, 2005), bahwa kemiskinan di desa merupakan hasil relasi penghisapan orang miskin oleh tujuh setan desa. Meskipun diskursus pembangunan sosialis tidak sepenuhnya menindaklanjuti hasil kegiatan suatu community development (CD), namun setidaknya pemerintah tidak mengambil tindakan atas pendudukan petani miskin terhadap lahan perkebunan dan lahan milik petani kaya. Dalam perencanaan pembangunan sosial sendiri muncul kebutuhan reforma agraria di mana lahan yang tersedia hendak dibagi secara lebih merata kepada golongan marhaen (Departemen Penerangan RI, 1961).

Tabel 5. Diskursus Kemiskinan Sosialis
Obyek Kekayaan kelas kaya
Subyek Proletar, marhaen (buruh industri, buruh tani, petani kecil). Ada 13,5 juta KK buruh tani
Konsep Kontradiksi , eksploitasi
Strategi Kemiskinan disebabkan hubungan penduduk lokal dengan kapitalis lokal dan global
Wilayah Pedesaan, perumahan kumuh di perkotaan
Komunikasi Advokasi, demonstrasi, tindakan perebutan kekayaan
Kelembagaan Organisasi khusus orang miskin, organisasi buruh-buruh
Kebijakan Mengurangi eksploitasi oleh industri, memenuhi kebutuhan hidup minimal

Diskursus Kemiskinan Produksi

Diskursus kemiskinan produksi merupakan produk dari diskursus pembangunan modernis. Diskursus inilah yang senantiasa diacu dalam pernyataan-pernyataan pemerintah, donor dan swasta sejak tahun 1969.
Dirunut lebih jauh, diskursus ini muncul bersamaan dengan laju Revolusi Industri. Proletariat yang muncul mula-mula dipandang sebagai masalah kemiskinan, dan hendak diatasi dengan tindakan-tindakan karitatif (Gronemeyer, 1992). Dari masa ini pertama kali muncul pemahamanan untuk memberikan recehan kepada pengemis dan orang miskin. Bantuan karitatif kemudian diorganisasikan, dan setelah Perang Dunia II terutama dalam bentuk lembaga-lembaga Bretton Woods (Bank Dunia dan IMF). Pola bantuan dan program penanggulangan kemiskinan tetap serupa dengan masa Revolusi Industri, yaitu jangan sampai lapisan terbawah ini jatuh sakit dan meninggal (karena menjadi persoalan tersendiri), namun dibantu sampai pada batas bisa berproduksi, atau tepatnya menunjang sistem produksi industrial (kini batasan itu dijabarkan dalam bentuk garis kemiskinan atau upah minimum buruh) (Tabel 6).
Golongan miskin mencakup penduduk berpendapatan rendah. Pada beberapa program pembangunan, selain pendapatan rendah sebagai indikator utama, juga dikaitkan dengan pemilikan sarana pendidikan dan kesehatan yang rendah. Golongan lainnya terletak pada kelompok umur produktif, kelompok umur anak-anak yang tidak bekerja, kelompok umur tua, kemiskinan pada level rumah tangga, serta pengusaha kecil dan mikro.

Tabel 6. Diskursus Kemiskinan Produksi
Obyek Pemberian/karitas orang kaya kepada orang miskin
Subyek Buruh industri, buruh tani, pengusaha mikro/kecil. Ada 13,5 juta KK buruh tani
Konsep Produksi
Strategi Ketidakmampuan berproduksi dan sakit menghasilkan kemiskinan.
Kemiskinan sebagai persoalan publik, bukan persoalan privat/pribadi à perlu campur tangan pemerintah dan pengorganisasian hingga tingkat internasional.
Wilayah Perumahan kumuh di perkotaan, perumahan buruh di perkebunan, pertambangan, peternakan, pertanian
Komunikasi Persaingan, karitas
Kelembagaan Lembaga karitatif, Lembaga rehabilitasi (pendidikan, kesehatan)
Kebijakan Pendapatan/pengeluaran di atas garis kemiskinan/KFM, karitas (BLT, zakat), penguasaan hirarki kebutuhan, pelatihan untuk kerja dan usaha, kontrak atau hubungan kerja tertulis, Pengelompokan rumah tinggal kelompok miskin, Jaminan sosial kelompok miskin

Pembentukan kelompok miskin baru ini mengandung kritik, karena pengurangan kemiskinan menjadi sekedar penyaluran dana/kredit orang (rumah tangga) yang perlu modal (tambahan) untuk usahanya. Walaupun pada pilihan lokasi program bisa tercantum pembedaan antara pedesaan dan perkotaan, namun tak dijelaskan dalam hal-hal apa saja akan sama dan hal-hal apa akan berbeda. Kemiskinan di desa dapat pula terkait dengan kemiskinan di kota, begitu pula dalam hal upaya mencapai perbaikan tingkat mutu hidup penduduk.
Teori kemiskinan terbaru Bank Dunia yang digunakan di Indonesia, yaitu CDD/Community-Driven Development menjelaskan "pangsa pasar" program penanggulangan kemiskinan tersebut: khusus untuk keluarga miskin dan keuangan mikro (Operations Evaluation Department, 2003). Setelah lepas dari level itu maka orang miskin keluar dari program-program CDD. Menggunakan idiom dari ilmu ekonomi, pola penyaluran proyek diarahkan pada kesetimbangan antara aspek penawaran proyek dan permintaan masyarakat (Gambar 2). Untuk memperoleh titik yang optimal, maka dilangsungkan persaingan antar warga dalam memperebutkan proyek. Berkaitan dengan itu, menurut teori motivasi dari Atkinson, motivasi tertinggi dalam melakukan tindakan diperoleh ketika peluang keberhasilan untuk mendapatkan barang atau jasa yang diinginkan senilai 50 persen. Artinya hanya jika menulis proposal maka muncul peluang untuk mendapatkan proyek, jika proposal tidak dikerjakan maka pasti tidak mendapatkan proyek (peluang 0 persen), dan sebaliknya penulisan proposal tidak sekaligus memastikan (peluang 100 persen) akan memperoleh proyek.

Gambar 2. Korespondensi CDD dan Teori Pasar


Gambar 3. Hipotesis Statistika Penanggulangan Kemiskinan


Garis kemiskinan dan sejenisnya digunakan sebagai passing grade seseorang atau kelompok digolongan miskin atau lepas dari kemiskinan (moving out of poverty). Menggunakan kaidah statistika untuk jumlah sampel atau populasi yang sangat besar (di atas 200 juta penduduk Indonesia), maka secara umum bentuknya seperti kurva normal (Gambar 3). Secara hipotetis terdapat beberapa garis batas tertentu untuk menggolongkan hierarki masyarakat, yaitu golongan rata-rata yang dihitung menurut nilai tengah hingga 1 SD (standard deviation) (biasanya 34% penduduk di sebelah kiri atau kanan nilai tengah), golongan kaya atau miskin yang dihitung antara nilai 1 SD dan 2 SD (biasanya 13,5% lebih jauh ke kanan atau ke kiri), dan paling kaya atau paling miskin yang dihitung di atas 2 SD (biasanya 2,5% paling kanan atau paling kiri).
Berdasarkan kaidah statistika tersebut, kebijakan penanggulangan kemiskinan semestinya mencantumkan target penduduk miskin tidak lebih dari 2,5%. Berdasarkan gambar di atas, terlihat bahwa target-target yang dicatat selama ini tergolong konservatif.
Pada saat ini muncul pandangan mengenai agregat orang miskin (Rahnema, 1992). Kemiskinan bukan lagi masalah individual, melainkan menjadi permasalahan kelompok kecil, warga desa, kabupaten, porvinsi, nasional, bahkan global. Melalui perubahan pandangan ini, kemiskinan menjadi sah untuk dikelola oleh negara, bahkan melalui organisasi internasional.
Dianggap bersifat universal, pengukuran kemiskinan berlangsung dalam metode kuantitatif (garis kemiskinan) maupun melalui manipulasi teknik-teknik kualitatif agar bisa dikuantifikasi –misalnya menyelenggarakan diskusi kelompok terarah (focus group discussion/FGD) di mana hasilnya bisa dibandingkan lintas negara dan bisa diakumulasikan sebagaimana dilakukan oleh Mukherjee (2006). Melalui universalisme narasi kemiskinan berkembang dari tingkat lokal menjadi global. Universalitas pengukuran menghasilkan perbandingan kemiskinan lintas negara, dan akhirnya menghasilkan ruang-ruang negara miskin dan kaya (World Bank, 1990, 2000).
Globalitas kemiskinan juga membuka peluang kebijakan pengurangan kemiskinan untuk dikelola secara organisatoris dari tingkat global sampai ke tingkat nasional, tidak lagi atau tidak sekedar dilakukan secara individual maupun dalam kelompok kecil. Pengorganisasian di tingkat global dimungkinkan melalui proyek dan utang luar negeri. Bank Dunia secara sendirian atau ketika mengorganisir lembaga dan negara kreditur menetapkan tema kemiskinan dalam perolehan utang luar negeri sejak dekade 1990-an (World Bank, 1990, 2000). Dokumen strategi penanggulangan kemiskinan (Poverty Reduction Strategy Paper/PRSP atau diindonesiakan menjadi dokumen Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan/SNPK) serta lembaga pengurangan kemiskinan (di Indonesia berupa Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan/TKPK di tingkat pusat dan daerah) sama-sama terdapat di banyak negara penerima utangan tersebut (Komite Penanggulangan Kemiskinan, 2004; Levinsohn, 2003; Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan, 2006). Dengan kata lain, pandangan akan sifat universalitas mutlak dari metode kemiskinan membuka peluang penerapan pembangunan di seluruh negara-negara Selatan, meskipun metode-metode tersebut dikembangkan di negara-negara Utara.
Selain itu, swasta kini masuk sebagai salah satu penyalur dana bagi orang miskin, yaitu sebagai konsultan pendamping program. Ciri pencarian untung yang mengikat secara inheren pada konsultan swasta turut terbawa dalam pendampingan masyarakat (Agusta, 2007). Merekalah yang memiliki peran dan kekuasaan lebih tinggi daripada pihak lain. Dari sisi gaji yang berlipat ganda dibandingkan pegawai negeri (antara empat kali lipat pada pendamping tingkat kecamatan, hingga lebih dari lima puluh kali lipat bagi “konsultan pendamping” nasional yang sengaja direkrut dari negara donor), tugas-tugas yang lebih besar dan purna waktu dalam program, posisi pendamping ini jauh lebih tinggi daripada lainnya. Dalam posisi yang paling penting, yaitu menandatangani persetujuan pencairan proyek dan dana kegiatan, kekuasaan konsultan pendamping bahkan hampir mutlak.

Diskursus Potensi Orang Miskin

Pernyataan-pernyataan diskursus potensi orang miskin baru muncul sejak dekade 1970-an. Kelembagaannya mudah dikenali, karena mengutamakan kelompok dan tindakan-tindakan peningkatan potensi (peningkatan kapasitas). Pembangunan alternatif, people centered development, basic needs approach, dan konsep serupa mempercayai bahwa orang miskin tidak tepat didefinisikan sebagai “orang yang tidak memiliki” (the have not), tetapi paling tepat sebagai “orang yang memiliki potensi” (Gambar 7).

Tabel 7. Diskursus Potensi Orang Miskin
Obyek Ilmu pengetahuan terapan, sumberdaya lokal
Subyek Penduduk desa, kelompok buruh, pengusaha kecil/mikro
Konsep Potensi, kelompok, akses
Strategi Ketiadaan akses membuat orang menjadi miskin
Wilayah Terpencil, tertinggal, pedesaan
Komunikasi Komunikasi dua-langkah, komunikasi kelompok
Kelembagaan Kelompok swadaya masyarakat, kelompok bertingkat
Kebijakan Peningkatan akses, pendampingan, pelatihan

Pada pernyataan ekstrim, petani dan orang miskin merupakan pihak yang mengetahui masalah dan peluang jalan keluarnya sendiri (Sajogyo, 2006). Pihak luar menjadi diperlukan (penyuluh, pendamping), terutama untuk mewujudkan potensi tersebut menjadi kekuatan/kekuasaan nyata. Kalau CDD membatasi upaya pada tataran sampai bisa berproduksi, diskursus potensi orang miskin berupaya mengembangkan potensi mereka setinggi-tingginya, baik dari level individual, kelompok, hingga gabungan kelompok (pada pemikiran peningkatan kapasitas petani, nelayan dan koperasinya), maupun baik lokal, regional, nasional dan internasional (pada kredit mikro).
Diskursus potensi orang miskin bersesuaian dengan diskursus pembangunan alternatif (Thomas, 2002a, 2002b). Diskursus ini merumuskan kondisi akhir pembangunan pada saat seluruh anggota masyarakat maupun kelompok mampu merealisasikan potensi-potensi mereka. Perubahan sosial akan dilakukan melalui praktek pemberdayaan (Friedmann, 1992). Oleh karena itu pembangunan berperan sebagai proses pemberdayaan individu dan kelompok. Pembangunan akan dijalankan melalui individu-individu maupun gerakan masyarakat.
Diskursus pemberdayaan alternatif bersesuaian dengan diskursus pembangunan yang berpusat pada manusia (Ife, 1995). Di sinipun masyarakat dipandang sebagai kelompok-kelompok yang tersusun secara hierarkis. Berbeda dari diskursus struktural yang mengandaikan solidaritas dan pertentangan kelas, pemberdayaan alternatif mengandaikan solidaritas antar lapisan, sehingga memungkinkan pola kerjasama seluruh pihak dalam masyarakat (Stewart, 2001). Kekuasaan juga tidak dimaknai sebagai kemampuan untuk mempengaruhi atau mengarahkan pihak lain, melainkan sebagai kemampuan untuk meningkatkan dan menjaga solidaritas sosial di antara lapisan masyarakat tersebut. Dengan demikian pemberdayaan diarahkan kepada pengejawantahan potensi atau kemandirian kelompok dan anggota masyarakat, disertai pengembangan jaringan antar kelompok tersebut.
Diskursus potensi orang miskin juga menghasilkan diskursus proses dalam pembangunan partisipatif. Dalam diskursus proses, partisipasi yang lazim digunakan dalam program penanggulangan kemiskinan diarahkan untuk menyusun kelompok (Thomas, 2002a). Kelompok menjadi instrumen untuk meningkatkan ketrampilan, kapasitas dan jaringan sosial. Diskursus proses hendak mewujudkan pembangunan yang pro-poor, berbasis civil society dan pemberdayaan. Program yang tipikal dalam diskursus proses ialah Program Inpres Desa Teringgal (IDT).

Perang di Antara Diskursus Kemiskinan

Sejarah Diskursus Kemiskinan dan Pembangunan

Pembahasan berbagai diskursus kemiskinan menjadi penting, karena kemiskinan telah dijadikan tema sentral pembangunan global. Dengan membandingkan antara sejarah munculnya diskursus-diskursus kemiskinan dan sejarah munculnya berbagai diskursus pembangunan (Gambar 4), terlihat ketidaksejajaran di antara keduanya.

Gambar 4. Sejarah Kemunculan Diskursus Kemiskinan dan Pembangunan

Hanya diskursus potensi orang miskin yang muncul bersamaan dengan diskursus people-centered development. Keduanya memandang subyek pembangunan lebih mengetahui kebutuhan dan jalan keluar dari masalah pembangunan yang menimpa dirinya. Diskursus kemiskinan lainnya muncul lebih dahulu daripada diskursus pembangunan. Konsekuensinya kebijakan pembangunan perlu memperhatikan lokasi diskursus kemiskinan dalam menjalankan pola penanggulangan kemiskinan.
Suatu diskursus pembangunan tertentu memiliki kaitan yang lebih erat pada diskursus kemiskinan secara khas (Tabel 8). Melalui pengetahuan tentang konsistensi antar konsep-konsep penting pembangunan dan kemiskinan ini dapat diharapkan menguatnya efektivitas kebijakan penanggulangan kemiskinan


Tabel 8. Keterbaikan Diskursus Kemiskinan dengan Pembangunan, Pengembangan Masyarakat, dan Partisipasi
Diskursus Berbagi Kelebihan Rasial-Etnis Kemiskinan Sosialis Kemiskinan Produksi Potensi Orang Miskin Kemiskinan Diharapkan
Kemiskinan Pembagian kelebihan Rasial dan etnis Relasional, struktural Produksi Potensi orang miskin Diharapkan
Pembangunan Sustainable development (Neo) Kolonialisme Struktural, dependensi Neoliberalisme People-centered development Sipiritual
Pengembangan masyarakat (CD) Local wisdom, knowledge Masyarakat terasing, karitatif LSM, solidaritas sekelas Pasar, kompetisi Kapasitas individu dan kelompok Asketisme
Pemberdayaan Otonomi Pemfungsian sosial Struktural, perubahan struktur Utilitarian, kompetisi Kapasitas, solidaritas lintas kelas Penguatan spiritual
Partisipasi Koeksistensi Korporasi Hak Efisiensi Proses Holistik

Tabel 9. Perang Diskursus Kemiskinan
Kurang Dominan Lebih Dominan
Berbagi Kelebihan Rasial-Etnis Kemiskinan Produksi Kemiskinan Sosialis Potensi Orang Miskin Kemiskinan Diharapkan
Berbagi Kelebihan Berbagi kelebihan untuk etnis/golongan yang sama Lobi pembagian proyek antar calon penerima Mencurigai pencari untung dari gotong royong Berbagi akses untuk pengembangan potensi orang miskin Membagi hampir seluruh pendapatan
Rasial-Etnis Berbagi kelebihan untuk warga dari komunitas yang sama Metode menjadikan beradab, target rendah Kesamaan perlakuan antar etnis asalkan dari golongan proletar atau marhaen Pengembangan potensi khusus bagi etnis terpencil
Kemiskinan Produksi Jaringan sosial untuk pencari kerja, tempat tinggal Proposal kemiskinan untuk golongan adat Menghindari bantuan dari negara Barat Pengembangan potensi individu untuk mendirikan usaha secara mandiri Hidup sederhana/ membatasi konsumsi
Kemiskinan Sosialis Gotong royong Penanggulangan kemiskinan di antara etnis yang tertindas Pengembangan masyarakat sesuai peringkat kebutuhan Pengembangan potensi kelompok untuk mendirikan usaha mandiri Tidak berlebihan
Potensi Orang Miskin Pemberian akses untuk mendapatkan hasil Akses diutamakan untuk etnis terpencil Pengembangan kelompok sekedar mampu berproduksi Pengembangan potensi Mendampingi untuk mengembangkan potensi orang lain
Kemiskinan Diharapkan Berbagi informasi antar golongan miskin Menjaga hubungan dengan pelaku kemiskinan yang diharapkan Beasiswa minimal Pengembangan potensi nalar dan kehendak setinggi-tingginya

Diskursus kemiskinan produksi, misalnya, menghasilkan diskursus efisiensi-biaya dalam pembangunan partisipatif (Cooke dan Kothari, 2001). Diskursus efisiensi-biaya menginginkan keikutsertaan orang miskin dalam pembangunan untuk meningkatkan rasa kepemilikan. Namun keikutsertaan sekaligus sebagai upaya memobilisasi sumberdaya lokal. Komponen program-program yang masuk dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) adalah tipikal diskursus efisiensi-biaya. Program semacam ini berupaya membatasi biaya input atau materi program, sambil menggali kontribusi dari orang miskin sendiri. Pada titik ini negara dan donor lebih diuntungkan karena pengeluaran mereka untuk pembangunan lebih murah. Akan tetapi surplus keuntungan ke atas tersebut mengalir dari swadaya orang miskin sebagai syarat perolehan program.

Perang Antar Diskursus Kemiskinan

Sejak awal perluasan diskursus kemiskinan produksi berhadapan dengan diskursus kemiskinan lainnya. Mekanisme kamulfase perang diskursus dilakukan dengan beroperasi di bawah kategori partisipasi yang digunakan dalam diskursus lain. Konsep pengembangan masyarakat (community development), partisipasi, pemberdayaan, pembagian tugas sektor negara, masyarakat sipil dan swasta sama-sama disebut. Akan tetapi, ditambahkan ruang baru sebagai penurunan masing-masing konsep tersebut. Dikembangkan sub kategori partisipasi, yaitu diskursus partisipasi pasar. Penamaan ini untuk merangkum sifat efisiensi dalam pengambilan keputusan partisipatif. Topik yang diperbincangkan bukanlah pada tataran di mana pembangunan seharusnya bersifat partisipasi atau sentralisasi –karena sama-sama menerima konsep partisipasi sebagaimana diskursus pembangunan alternatif maupun sosialis—namun pada tataran lebih bawah di mana partisipasi seharusnya dijalankan dengan efisien –bukan terutama untuk pengembangan diri dalam pembangunan alternatif atau perubahan struktural dalam pembangunan sosialis.
Mekanisme kamuflase menunjukkan perbedaan perang diskursus sejak 1990-an dibandingkan masa sebelumnya. Pada dekade 1960-an dan 1970-an pembedaan diskursus berada pada tataran konsep pembangunan, dan diwujudkan dalam konsep-konsep yang berbeda atau berlawanan satu sama lain. Modernisasi dilawankan dengan ketergantungan, kemudian memunculkan pembangunan alternatif, konsep pertumbuhan dilawankan dengan pemerataan, partisipasi, kemiskinan, sedangkan top down berlawanan dari bottom up.
Pada masa kini perang diskursus tidak seterang pembedaan konsep-konsep yang saling dipertentangkan. Pertama, dikotomi antar konsep-konsep dibaurkan, dengan cara menurunkan derajat abstraksi dari tataran filosofis atau paradigmatis menjadi sekedar administratif atau teknis. Contohnya pembauran top down dan bottom up. Pembauran lainnya di antaranya pertumbuhan dan pemerataan, dari semula dipertentangkan menjadi disatukan berupa pro poor growth, terutama ketika dipraktekkan dalam pembangunan pertanian dan pedesaan (Tambunan, 2005; Timmer, 2002).
Kedua, menggunakan nama yang sama dengan konsep yang sebelumnya berada di luar diskursus pembangunan modernis, namun diisi dengan metode pembangunan modernis. Metode tersebut diarahkan pada efisiensi, pasarisasi, pengambilan keputusan rasional atau pertukaran. Di atas telah digambarkan konsep partisipasi, yang semula berasal dari golongan sosialis, kemudian masuk ke dalam program pembangunan modernis.
Ketiga, mengembangkan konsep-konsep yang diidealkan bernilai “baik”, dan dengan ini memanipulasi idealisasi moral ke dalam mekanisme pembangunan. Secara terang-terangan “kebaikan” dilekatkan pada konsep good governance, good village, metode best practice. Idealisasi “kebaikan” juga dimasukkan ke dalam konsep modal sosial, saling percaya (trust). Kemodernan tidak menilai moral dari konsekuensi setelah tindakan dilakukan –sebagaimana lazim pada masyarakat di waktu lampau—namun dari maksud sebelum melakukan tindakan tersebut. Pelekatan “kebaikan” pada konsep di atas sudah sejak semula meletakkan konsep tersebut dalam kelompok “kebaikan” bagi sasaran program pembangunan (Nietzsche, 2002).
Perang diskursus muncul pada dua level. Pertama, perang diskursus pada level pembangunan. Kedua, muncul pula perang diskursus pada level kemiskinan. Kemiskinan rasialis, misalnya, mampu menegakkan kolonialisme, dengan memandang pribumi sebagai orang malas (mitos ini muncul pada tahun 1920-an, padahal seabad sebelumnya pribumi dimitoskan garang seiring Perang Diponegoro) (Gouda, 2007). Persilangan diskursus ini dengan diskursus kemiskinan produksi menghasilkan pe-Lain-an (Othering) kepada orang-orang yang dipandang liar. Sublimasi perang diskursus ini muncul dalam wujud program penanggulangan kemiskinan untuk suku terasing. Sejak pemberlakuan UU 5/1979, suku terasing merupakan Yang Lain, karena tidak tergolong sebagai penduduk dalam kota dan desa (dua kelompok teritorial yang menandakan Indonesia). Sebagaimana diskursus kemiskinan rasial, dan hasrat humanisme dalam pembangunan, maka keliaran suku terasing tersebut hendak diatasi melalui program pengurangan kemiskinan. Program kemiskinan di Papua juga selalu dipandang memiliki kekhususan, tanpa harapan tinggi untuk berhasil menanggulanginya. Harapan tinggi dipandang sulit diwujudkan dari orang-orang liar.
Persilangan diskursus pembagian kelebihan dan kemiskinan produksi menghasilkan mekanisme pemerataan proyek, meskipun dalam kerangka Community-Driven Development (CDD) diharuskan persaingan untuk mendapatkan proyek. Di Salatiga, Ponorogo, Jombang, misalnya, Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) yang mengharuskan persaingan antar desa, ternyata disertai dengan upaya lobi di luar ruangan persaingan, saling membantu desa yang belum pernah mendapatkan.
Tanpa mengetahui persilangan dan peperangan antar diskursus, ilmuwan majupun aktivis yang bergerak dalam bidang kemiskinan dapat salah mengambil tindakan. LSM bisa mendukung negara dalam Program IDT, karena memandang penting pengembangan masyarakat hingga pada sekitar 20.000 desa, sedangkan LSM biasanya hanya mampu memprogramkan tidak lebih dari 100 desa dampingan.
Ternyata peperangan diskursus muncul antara diskursus potensi orang miskin dengan diskursus kemiskinan produksi. Ada pengembangan kelompok di sana, walau sesungguhnya sedang bertarung untuk memperlakukan kelompok sebagai pemercepat kemandirian versus kelompok konsumen (consumer group) dari donor. Ada pengembangan potensi di sana, walaupun sejatinya bertarung pengembangan potensi tanpa batas, versus pengembangan potensi terbatas untuk berproduksi.
Peperangan antara kemiskinan produksi dan kemiskinan komunal mengambil bentuk, seperti meminta rakyat hidup sederhana. Sebagaimana sudah ditunjukkan, loro lopo seharusnya dilakukan oleh penguasa, bukan oleh rakyat yang sudah miskin. Dominasi ke dalam kemiskinan komunal juga berupa upaya untuk bekerja secara kelompok dan bergotong royong dalam rangka meningkatkan efisiensi.

Kesimpulan
Kemajemukan diskursus kemiskinan di Indonesia tumbuh bersama di seluruh wilayah. Upaya penemuan diskursus-diskursus kemiskinan di Indonesia dapat digunakan untuk menggali penggunaan kekuasaan dan pengetahuan oleh donor dan negara kepada masyarakat. Intervensi pembangunan tersaji dengan membandingkan adanya diskursus kemiskinan yang telah muncul terlebih dahulu daripada pembangunan, dan diskursus kemiskinan baru sebagai konsekuensi dari pembangunan.
Terdapat persilangan atau perang antar diskursus-diskursus kemiskinan. Analisis perang diskursus membuka tabir persilangan antar diskursus, saling mempergunakan konsep untuk ditafsirkan ulang, hingga mematikan diskursus lawan. Hasil pertarungan diskursus kemiskinan sementara ini sudah jelas. Donor negara maju dan pemerintah unggul dengan membentuk teori CDD, melembagakan PNPM, KPK (Komite Penanggulangan Kemiskinan), hingga mengganti pendamping orang miskin dari LSM menjadi konsultan swasta. Kemenangan diskursus produksi yang berorientasi keuntungan (profit) dapat memunculkan kecurigaan. Benarkah proyek kemiskinan dapat mengurangi kemiskinan, sebagaimana digembar-gemborkan donor sebagai kegiatan poverty reduction? Tidakkah kesuksesan proyek semacam ini –jika memang berhasil—justru dijadikan justifikasi untuk berutang lebih banyak lagi, dan berarti makin merongrong kedaulatan negara miskin?
Diperlukan kebijakan yang spesifik untuk menanggulangi kemiskinan, sesuai dengan diskursus kemiskinan yang dialami à diperlukan 6 seri kebijakan penanggulangan kemiskinan. Penyebab rendahnya efektivitas kebijakan penanggulangan kemiskinan perlu digali dari jenis kemiskinan yang berkembang pada masyarakat tertentu
Rendahnya efektivitas kebijakan penanggulangan kemiskinan dapat disebabkan oleh keterbatasan diskursus kemiskinan yang hendak diatasi. Suatu alternatif kebijakan dapat dimulai dengan mengolah diskursus berbagi kelebihan. Sambil mengambil pelajaran diskursus potensi orang miskin, perlu disusun pandangan baru bahwa orang miskin bukanlah warga tidak berpunya (the have not), melainkan warga berpotensi yang belum memperoleh kesempatan membuktikan kemampuannya. Aktualisasi potensi orang miskin dapat dilakukan dengan bantuan warga sedusun atau sekompleks, yang bersolidaritas untuk membantu tetangganya sendiri. Dan hal ini telah memiliki sejarah panjang dari warganegara sendiri.

Daftar Pustaka

Agusta, I. 2005. Data Kemiskinan dan Survei. In: Kompas 29 November 2005.
Agusta, I. 2007. Kritik Atas Komunikasi Pembangunan dan Program Pengembangan Kecamatan. In: Sodality, Th. 1. No. 2
Anderson, BRO,G. 2000. Kuasa-Kata: Jelajah Budaya-Budaya Politik di Indonesia. Terjemahan Language and Power: Exploring Political Culture in Indonesia oleh R.B. Santosa. Yogyakarta: Mata Bangsa
Breman, J. 1997. Menjinakkan Sang Kuli: Politik Kolonial, Tuan Kebun, dan Kuli di Sumatera Timur pada Awal Abad Ke-20. Jakarta: Grafiti.
Cardoso, F.H. 1972. Dependency and Development in Latin America, In:J.T. Roberts, A. Hite, eds. 2000. From Modernization to Globalization: Perspectives on Development and Social Change. Malden, Mass: Blackwell.
Cooke, B., U. Kothari. 2001. The Case for Participation as Tyranny, In: B. Cooke, U. Kothari, eds. Participation: The New Tyranny? London: Zed Books.
Departemen Penerangan RI. 1961. Penjelenggaraan Pembangunan Semesta, Dalam Rangka Mendjalankan Undang-Undang Dasar Pasal 33. Uraian didepan Kongres National SOBSI III pada tanggal 25 Agustus 1960 di Surakarta oleh Menteri/Ketua Depernas Prof. Mr Muhammad Yamin. Jakarta: Departemen Penerangan RI.
Foucault, M. 2002a. Menggugat Sejarah Ide. Terjemahan The Archaeology of Knowledge oleh I.R. Muzir. Yogyakarta: IRCiSoD.
Foucault, M. 2002b. Kegilaan dan Peradaban. Terjemahan Madness and Civilization: A History of Insanity in Age of Reason oleh Yudi Santoso. Yogyakarta: Ikon Teralitera.
Foucault, M. 2002c. Pengetahuan dan Metode: Karya-karya Penting Foucault. Terjemahan dari P Rabinow, ed. Aesthetics, Method and Epistemology: Essential Works of Foucault 1954-1984. Yogyakarta: Jalasutra
Foucault, M. 2002d. Power/Knowledge: Wacana Kuasa/Pengetahuan. Terjemahan. Yogyakarta: Bentang.
Foucault, M. 2003. Kritik Wacana Bahasa. Terjemahan The Discourse of Language oleh I.R. Muzir. Yogyakarta: IRCiSoD.
Foucault, M. 2008. Ingin Tahu: Sejarah Seksualitas. Terjemahan La Volonte de Savoir: Histoirie de la Sexualite. Jakarta: YOI.
Friedmann, J. 1992. Empowerment: The Politics of Alternative Development. Cambridge: Blackwell.
Geertz, C. 1983. Involusi Pertanian. Jakarta: Bhratara.
Gouda, F. 2007. Dutch Culture Overseas: Praktik Kolonial di Hindia Belanda, 1900-1942. Terjemahan Dutch Culture Overseas: Colonial Practice in the Netherland Indies 1900-1942. Jakarta: Serambi.
Gronemeyer, M. 1992. Helping, In:W. Sachs, ed. The Development Dictionary: A Guide to Knowledge as Power. London: Zed Books.
Ha-Joon, C., I. Grabel. 2008. Membongkar Mitos Neolib: Upaya Merebut Kembali Makna Pembangunan. Terjemahan Reclaiming Development: An Alternative Economic Policy Manual oleh M.G. Zainal.Yogyakarta: Insist.
Hatta, M. 2000. Mohammad Hatta Bicara Marxis dan Sosialisme Indonesia. Jakarta: Melibas.
Ife, J. 1995. Community Development: Creating Community Alternatives – Vision, Analysis and Practice. Australia: Longman.
Karsodihardjo, D.S. 1998. Loro-Lopo Topo-Broto, In: Basis Th. 47 No. 5-6.
Komite Penanggulangan Kemiskinan. 2004. Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan. Jakarta: Komite Penanggulangan Kemiskinan.
Kuhn, TS. 2002. The Structure of Scientific Revolution: Peran Paradigma dalam Revolusi Sains. Terjemahan The Structure of Scientific Revolution oleh Tjun Surjaman. Bandung: Remaja Rosdakarya
Levinsohn, J. 2003. The World Bank’s Poverty Reduction Strategy Paper Approach: Good Marketing or Good Policy? G-24 Discussion Paper Series No. 21, April 2003. New York: United Nations.
Mukherjee, N. 2006. Voices of the Poor: Making Services Work for the Poor in Indonesia. Washington DC: World Bank.
Nietszche, F. 1887. On the Genealogy of Morals: A Polemical Tract. Leipzig
Nietzsche, F. 2002. Beyond Good and Evil: Prelude Menuju Filsafat Masa Depan. Terjemahan oleh B.H. Winarno. Yogyakarta: Ikon.
Operations Evaluation Department. 2003. Community-Driven Development: A Study Methodology. Washington DC: World Bank.
Rahnema, M. 1992. Poverty, In: W. Sachs, ed. The Development Dictionary: A Guide to Knowledge as Power. London: Zed Books.
Sajogyo. 2006. Ekososiologi: Deideologisasi Teori, Restrukturisasi Aksi (Petani dan Perdesaan sebagai Kasus Uji). Yogyakarta: Cindelaras.
Soeharto. 2008. Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya, Otobiografi seperti Dipaparkan kepada G. Dwipayana dan Ramadhan K.H. Jakarta: Citra Kharisma Bunda.
Soekarno. 1965. Dibawah Bendera Revolusi, Djilid I. Djakarta: Panitya Penerbit Dibawah Bendera Revolusi
Stewart, A. 2001. Theories of Power and Domination: The Politics of Empowerment in Late Modernity.London: SAGE.
Sunardi, St. 2006. Nietzsche. Yogyakarta: LKIS.
Tambunan, T. 2005. Economic Growth, Approriate Policies and Poverty Reduction in a Developing Country: Some Experience from Indonesia. In: South Asia Economic Journal Vol. 6 No. 1.
Thomas, A. 2002a. Meanings and Views of Development. In: T. Allen, A. Thomas, eds. Poverty and Development: Into the 21st Century. Oxford: Oxford Univ. Pr.
Thomas, A. 2002b. Poverty and the “End of Development”. In: T. Allen, A. Thomas, eds. Poverty and Development: Into the 21st Century. Oxford: Oxford Univ. Pr.
Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan. 2006. Pedoman Umum Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan. Jakarta: Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan.
Timmer, CP. 2002. An Essay on Economic Growth and Poverty Reduction in Honor of Professor M. Sadli. In: M. Ikhsan, C. Manning, H. Soesastro, eds. 80 Tahun Mohamad Sadli: Ekonomi Indonesia di Era Politik Baru. Jakarta: Kompas.
Wahono, Warno H.S., Y. Farhan. 2002. Sedulur Sikep: Tak Silau oleh Materi, Tak Aus oleh Gesekan, In: B.B. Siregar, Wahono, eds. Kembali ke Akar: Kembali ke Konsep Otonomi Komunitas Adat. Jakarta: Forum Pengembangan Partisipasi Masyarakat.
White, B. 2005. Between Apologia and Critical Discourse: Agrarian Transitions and Scholarly Engagement in Indonesia, In: V.R. Hadiz, D. Dhakidae, eds. Social Science and Power in Indonesia. Singapore: Equinox dan ISEAS.
World Bank. 1990. World Development Report 1990: Poverty. Oxford: Oxford University Press.
World Bank. 2000. World Development Report 2000/2001: Attacking Poverty. Washington DC: World Bank.

No comments: