Tuesday 25 January 2011

Masa Lalu, Masa Kini dan Masa Depan Otonomi Desa

Masa Lalu, Masa Kini dan Masa Depan Otonomi Desa

S u t o r o E k o
Institute for Research and Empowerment (IRE) Yogyakarta




Baru kalau desa kita memang mulai
bergerak maju atas kekuatannya sendiri,
barulah seluruh masyarakat kita akan
pula naik tingkatan serta kemajuannya
di dalam segala lapangan,
termasuk lapangan kebudayaan.
(Sutan Sjahrir).


Pembaharuan desa kini menjadi isu sentral dalam kajian dan avokasi desa, menyusul lahirnya UU No. 22/1999. Otonomi dan demokrasi desa, yang selama ini mengalami marginalisasi dalam ilmu pengetahuan, kebijakan dan advokasi, tampaknya menjadi isu utama dalam pembaharuan desa. Memang tidak banyak aktor yang concern pada isu pembaharuan desa, tetapi ada barisan “oknum” akademisi, NGOs, birokrat, aktivis asosiasi desa, pemerintah daerah, maupun lembaga-lembaga donor internasional yang bekerja keras melakukan kajian dan advokasi pembaharuan desa. Para aktivis asosiasi desa (untuk tidak menyebut seluruh perangkat desa dan Badan Perwakilan Desa) terus-menerus menyampaikan suara (voice) atau aspirasi tentang otonomi desa. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) juga menuntut pemulihan otonomi dan hak-hak masyarakat adat yang telah hilang karena intervensi negara dan modal. Di Yogyakarta, ada Forum Pengembangan Pembaharuan Desa (FFPD), sebuah forum multipihak yang terus-menerus melakukan kajian, pembelajaran, sharing pengetahuan dan pengalaman, maupun penguatan gerakan untuk mendorong otonomi dan demokrasi desa, termasuk melakukan advokasi undang-undang pemerintahan daerah agar lebih berpihak kepada otonomi desa. Pada saat yang sama, Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Depdagri juga memberikan arahan dan dorongan secara terbatas terhadap penguatan kemandirian (bukan otonomi) desa. Sementara, sebagian pemerintah kabupaten telah menjalankan kebijakan Alokasi Dana Desa (ADD) yang bertujuan untuk pemberdayaan masyarakat dan mendorong tumbuhnya otonomi desa. NGOs, akademisi maupun donor internasional telah mendorong, mengkaji, mendampingi, menggerakkan maupun menyerukan penguatan otonomi desa.
Apa yang mereka lakukan selama ini tentu sangat berharga, meski tidak langsung mencapai perubahan secara drastis dalam jangka pendek. Tetapi sejauh ini belum terbangun kata sepakat mengenai makna dan format otonomi desa. Masing-masing mempunyai pandangan dan jalan yang berbeda. Karena itu kajian dan advokasi otonomi desa cenderung parsial, apalagi pembuat kebijakan di Jakarta (pemerintah dan DPR) tidak memberi respons dan membuka ruang yang memadai untuk memperdebatkan masalah otonomi desa. Terbukti, kelahiran UU No. 32/2004 bukan bertu1Penganjur
dan Aktivis Pembaharuan Desa, Ketua Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa (STPMD) “APMD”, Direktur INSTITUTE FOR RESEARCH AND EMPOWERMENT (IRE) Yogyakarta, dan Ketua Badan Pengarah Forum Pengembangan Pembaharuan Desa (FPPD).
03
juan untuk memperbaiki kekurangan dalam UU No. 22/1999 tetapi malah menciptakan kemunduran dari sisi pembaharuan desa.
Di tengah-tengah tarik-menarik dan keragaman pemahaman itu, tentu sangat dibutuhkan kajian historis yang lebih komprehensif dan memadai mengenai otonomi desa. Kebutuhan akan kajian historis bukan berarti selama ini tidak ada kajian otonomi desa yang berarti. Sudah ada banyak karya otonomi desa (baik secara hitoris, sosilogis, politik maupun hukum) yang berharga, yang tampaknya perlu ada crafting agar menjadi karya yang lebih komprehensif. Karya Soetardjo Kartohadikoesoemo (1984), misalnya, menggambarkan secara umum tentang asal-usul desa, kondisi desa yang beragam di Indonesia, otonomi desa di masa lalu dan masa kolonialisme. Karya Frans Husken (1998) menyajikan kajian antropologis dan historis tentang diferensiasi sosial dan involusi di desa akibat konialisasi. Diferensiasi ini tentu menjadi pertanda semakin merosotnya otonomi dan demokrasi desa.
Kajian tentang otonomi desa dengan setting negaranisasi dan kapitalisasi masa Orde Baru sudah dilakukan banyak orang. Risalah pendek Selo Sumardjan (1992) berupaya mencari rumusan makna otonomi desa di tengah-tengah ketidakjelasan dan kematian otonomi desa di bawah UU No. 5/1979. Di Sumatera Barat, muncul banyak buku yang mengkritik habis-habisan penerapan UU No. 5/1979 yang telah menghancurkan identitas dan otonomi nagari. Karya Yumiko M. Prijono (1983) juga menunjukkan kemunduran demokrasi dan otonomi desa di Jawa. Abih Tandeh, karya Yando Zakaria (2000), menggambarkan secara lengkap dan kritis mengenai penghancuran otonomi desa di masa Orde Baru melalui UU No. 5/1979. Demikian juga dengan karya Hans Antlov (2002), yang menggambarkan secara antropologis tentang “negara masuk desa”, sebagai kekuatan eksternal yang meruntuhkan otonomi desa.
Kajian-kajian lain yang berupaya mencari makna otonomi desa dan lebih berorientasi kedepan juga sudah bermunculan. Karya-karya saya yang saya sajikan dalam forum maupun publikasi berupaya secara serius menemukan makna dan format desentralisasi dan otonomi desa. Karya Gregorius Sahdan dkk (2005) di Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD”, dengan menggunakan kacamata ekonomi-politik, melakukan refleksi terhadap pengalaman desa di masa Orde Baru, sekaligus menelorkan banyak gagasan tentang transformasi ekonomi-politik desa ke depan. Pokok pikiran tentang transformasi desa terletak pada penguatan bersama-sama antara desentralisasi, demokratisasi dan pembangunan desa. Di tempat lain, INSTITUTE FOR RESEARCH AND EMPOWERMENT (IRE) Yogyakarta, mengambil prakarsa melacak pengalaman mutakhir sekaligus merumuskan dengan baik mengenai makna, format dan basis pendukung otonomi desa (Sutoro Eko dan Abdur Rozaki, 2005).
Tulisan ini hendak melakukan crafting terhadap berbagai karya yang berserakan di atas, dengan tujuan untuk menemukan benang-merah dan menyambung missing link atas patahan-patahan sejarah dan pemikiran tentang otonomi desa. Kajian sejarah akan saya tonjolkan dalam tulisan ini untuk membuat sambungan yang baik antara masa lalu, masa kini dan masa
04
depan otonomi desa. Kajian historis ini tentu sangat relevan untuk melakukan suntikan terhadap pengetahuan, advokasi dan kebijakan otonomi desa di masa depan. Namun secara metodologis, pelacakan sejarah tentu bukan sekadar pekerjaan yang menggambarkan perjalanan otonomi desa secara kronologis dan linear, melainkan juga menampilkan sejumlah isu-isu kritis otonomi desa dalam setiap kurun waktu tertentu.
Apa isu-isu kritis yang terkandung dalam otonomi desa yang selama ini menjadi perhatian? Pertama, isu ketatanegaraan dan pemerintahan. Kedudukan dan kewenangan desa menjadi titik sentral dalam semesta pembicaraan tentang otonomi desa. Keduanya menjadi krusial karena sejak masa kolonial hingga masa reformasi sekarang, selalu muncul pembicaraan dan tarik-menarik bagaimana menempatkan posisi desa dalam struktur negara yang lebih besar. Para ahli hukum yang concern pada desa selalu peka terhadap persoalan kedudukan desa dalam struktur ketataneragaraan Republik Indonesia. Sebab, meski UUD 1945 pasal 18 mengakui keberagaman daerah-daerah kecil yang bersifat istimewa, tetapi konstitusi itu tidak secara tegas mengakui adanya “otonomi desa”. UU turunan dari UUD dengan sendirinya juga tidak mengakui otonomi desa, kecuali hanya menyebut desa sebagai kesatuan masyarakat hukum. “Kewenangan desa tidak akan jelas kalau kedudukan desa tidak diatur dengan jelas dalam konstitusi. Kedudukan dulu baru bicara kewenangan”, demikian ungkap Ibnu Tricahyo, ahli hukum yang concern pada desa, dari PP OTODA Fakultas Hukum Universitas Brawijaya. Suara yang lain menegaskan: “Untuk memastikan kedudukan desa, sebaiknya NKRI tidak hanya dibagi menjadi daerah-daerah provinsi, kabupaten dan kota tetapi juga dibagi menjadi desa”. Ide ini paralel dengan ide Desapraja sebagai daerah Tingkat III yang muncul pada pada tahun 1950-an.
Kedua, isu adat dan lokalisme. Sejarah membuktikan bahwa setiap komunitas lokal atau masyarakat adat yang tersebar di seluruh penjuru Indonesia mempunyai pemerintahan sendiri (self-governing community) yang bersifat tradisional-lokalitsik dan mengontrol tanah ulayat secara otonom. Hampir semua masyarakat adat di sepanjang berusaha mempertahankan pemerintahan adat itu. Tetapi pada saat yang sama, pemerintah selalu berupaya melakukan intervensi dan modernisasi terhadap pemerintahan adat agar sesuai dengan tujuan dan kepentingan nasional, termasuk kepentingan pembangunan nasional. UU No. 5/1979 merupakan bentuk pengaturan pemerintah untuk modernisasi pemerintahan adat-tradisional, yang berarti menghilangkan adat sebagai kendali pemerintahan dan menyeragamkan pemerintahan adat menjadi pemerintahan modern seperti desa-desa di Jawa. Tarik-menarik antara pemerintah dengan masyarakat adat tidak bisa dihindari. Sampai sekarang perumusan dan pengaturan mengenai otonomi desa dalam masyarakat adat itu tetap mengalami kesulitan dan dilema. Di satu sisi pemerintah tidak bisa semena-mena menghancurkan adat dengan tujuan melakukan modernisasi pemerintahan, tetapi di sisi lain jika masih ada “tirani” adat juga akan mempersulit transformasi menuju citizenship dalam kerangka nation-state.
Ketiga, isu ekonomi-politik. Otonomi desa (posisi dan kewenangan desa) bukan semata menjadi persoalan dalam mengelola ketatanegaraan dan
05
administrasi pemerintahan secara formal, juga bukan semata masalah modernisasi pemerintahan adat. Di balik isu ketatanegaraan dan adat itu, ada masalah yang lebih krusial, yaitu otoritas pengendalian terhadap penduduk dan hamparan tanah yang hidup dan terbentang di desa. Jauh sebelum ada kerajaan, pemerintah kolonial dan negara-bangsa Indonesia, sudah ada komunitas-komunitas lokal tradisional yang memiliki kuasa atas tanah dan penduduk. Tarik menarik antara pemerintah dengan masyarakat lokal yang terus menerus berlangsung sebenarnya merupakan bentuk pertarungan antara negara dan modal dengan masyarakat lokal memperebutkan kuasa atas tanah dan penduduk. Jika dibaca dengan kacamata ekonomi-politik, desa (yang mempunyai penduduk dan tanah beserta kekayaannya) sejak dulu menjadi medan tempur antara rakyat dengan raksasa negara dan modal. Negara dan modal selalu berkepentingan mempunyai otoritas mengendalikan tanah dan penduduk desa untuk tujuan-tujuan akumulasi kapital yang lebih besar. Karena kalah bertarung, desa dan masyarakat adat, mengalami eksploitasi dan marginalisasi secara serius.
Keempat, desa umumnya mempunyai keterbatasan sumberdaya lokal. Berdasarkan kalkulasi nominal, desa umumnya mempunyai keterbatasan luas wilayah, jumlah penduduk, potensi desa, dan lain-lain. Di Daerah Istimewa Yogyakarta maupun Sumatera Barat, kondisi desa bisa dibilang relatif ideal karena memiliki luas wilayah, jumlah penduduk dan potensi desa yang cukup. Di banyak kabupaten di Jawa Tengah umumnya mempunyai banyak desa dengan ukuran wilayah dan jumlah penduduk yang lebih kecil daripada desa-desa di DIY. Sedangkan mayoritas desa di Luar Jawa umumnya mempunyai wilayah yang sangat luas tetapi berpenduduk terbatas dan potensi desa yang belum tergarap secara maksimal. Beberapa orang, termasuk pada sosiolog seperti Selo Sumardjan maupun Nasikun masih meragukan apakah mungkin kecilnya ukuran desa menjadi basis yang kuat bagi otonomi desa. Karena itu Nasikun mengusulkan perlunya regrouping desa-desa yang kecil seperti pernah terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta. Kondisi geografis, demografis maupun spasial desa itu tentu merupakan masalah yang harus diperhatikan dalam mendisain otonomi desa.
Empat isu utama itulah yang akan saya gunakan sebagai perspektif untuk melukiskan perjalanan otonomi desa dari masa lalu hingga sekarang, bahkan untuk membuat kerangka preskripsi kedepan. Setiap isu akan saya masukkan dalam setiap kronologi perjalanan desa, dari konteks asal-usul, masa kolonial, masa pasca kemerdekaan, masa Orde Baru dan masa reformasi. Tulisan ini juga akan mengkaji ulang tentang makna, format, tujuan dan relevansi otonomi desa untuk membawa kehidupan desa yang lebih demokratis, mandiri, sejahtera dan berkeadilan di masa depan.
Asal-usul Desa
Desa, atau sebutan-sebuatan lain yang sangat beragam di Indonesia, pada awalnya merupakan organisasi komunitas lokal yang mempunyai batas-batas wilayah, dihuni oleh sejumlah penduduk, dan mempunyai adat-istiadat untuk mengelola dirinya sendiri. Inilah yang disebut dengan self-governing community. Sebutan desa sebagai kesatuan masyarakat hukum baru dikenal pada masa kolonial Belanda.
06
Desa pada umumnya mempunyai pemerintahan sendiri yang dikelola secara otonom tanpa ikatan hirarkhis-struktural dengan struktur yang lebih tinggi. Di Sumatera Barat, misalnya, nagari adalah sebuah “republik kecil” yang mempunyai pemerintahan sendiri secara otonom dan berbasis pada masyarakat (self-governing community). Sebagai sebuah “republik kecil”, nagari mempunyai perangkat pemerintahan demokratis: unsur legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Nagari, secara antropologis, merupakan kesatuan holistik bagi berbagai perangkat tatanan sosial-budaya. Ikatan bernagari di Minangkabau, dulu, bukan saja primordial-konsanguinal (ikatan darah dan kekerabatan adat) sifatnya, tetapi juga struktural fungsional dalam artian teritorial-pemerintahan yang efektif. Karena itu, nagari mempunyai kaitan ke atas; ke Luhak dan ke Alam, dan kaitan ke samping antara sesama nagari, terutama adalah kaitan emosional. Sistem otonom seperti ini adalah cirikhas masyarakat bersuku (tribal society) demi kepentingan mempertahankan diri dan pelestarian nilai-nilai masing-masing nagari, yang fokusnya adalah keragaman. Ikatan Luhak dan Alam adalah ikatan totemis dan kosmologis yang mempertemukan antara nagari-nagari itu dan mengikatnya menjadi kesatuan-kesatuan emosional spiritual. Karena itu orang Minang secara sadar membedakan antara kesatuan-teritorial-konsanguinal dalam bentuk republik nagari-nagari dengan kesatuan-totemis-kosmologis.
Nagari mungkin tidak bisa dikatakan sebagai sebuah negara modern dalam pengertian Max Weber sebagai lembaga yang mempunyai monopoli penggunaan sarana-sarana kekerasan secara absah. Artinya nagari bukanlah bentuk kecil negara sebagai organisasi kekuasaan yang tersusun secara hirarkhis-sentralistik serta ditopang oleh birokrasi yang digunakan penguasa untuk memerintah rakyatnya. Nagari, seperti ditegaskan Mestika Zed (1996), justeru menyerupai “negara-kota” (polis) pada zaman Yunani Kuno, dimana setiap nagari bertindak seperti republik-republik kecil yang satu sama lain tidak mempunyai ikatan struktural dan terlepas dari kekuasaan federal di pusat. Konon nagari yang dipimpin secara kolektif oleh Penghulu suku bersifat otonom dan tidak tunduk pada raja di Pagaruyung, melainkan berbasis (mewakili) kaum (warga) dan keluarga dalam nagari itu sendiri.
Sebagai unit pemerintahan otonom, setiap nagari adalah lembaga yang melaksanakan kekuasaan pemerintahan melalui Kerapatan Adat yang berfungsi sekaligus sebagai badan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Di dalam Kerapatan Adat berkumpul para ninik mamak yang mewakili kaumnya dan secara musyawarah mufakat melaksanakan pemilihan Wali Nagari, melakukan peradilan atas anggotanya dan menetapkan peraturan demi kepentingan anak Nagari. Suasana demokratis dan egaliter selalu mewarnai hubungan pemimpin dengan masyarakat, baik di dalam menyelenggarakan pemerintahan maupun dalam urusan hukum adat.
Menurut pemahaman sederhana dalam sistem republik kecil, unit-unit politik ada secara terus menerus tanpa menghiraukan masuk dan keluarnya pemimpin-pemimpin tertentu. Anggota-anggota unit politik tidak dilihat sebagai “saudara”, tetapi sebagai warga. Kepemimpinan ditandai oleh adanya pejabat resmi, para spesialis, dan dewan-dewan. Mereka dapat mendelegasikan aspek-aspek tertentu dari tanggung jawab kepemimpinannya kepada asosiasi, atau komite, dan mereka biasanya mempercayai
07
bahwa dewan orang-orang merdeka, atau dewan suku atau dewan nagari memiliki kekuasaan tertinggi dalam memutuskan hal-hal yang berhubungan dengan kepentingan umum. Dalam sistem republik beberapa ketentuan diikuti, antara lain pemilihan atau rotasi pemimpin-pemimpin, tugas-tugas pemimpin dengan jelas ditentukan; pemimpin-pemimpin yang gagal bisa diganti dan jabatannya terbatas; dewan mempunyai kekuasaan tertinggi; jabatan merupakan kepercayaan masyarakat dan pejabat adalah pelayan masyarakat (Imran Manan, 1995).
Menurut adat Minangkabau kepala unit-unit sosial politik yang ada dalam masyarakat nagari yaitu tungganai sebagai pemimpin rumah gadang, penghulu andiko sebagai pemimpin kaum, penghulu suku atau penghulu pucuk sebagai pemimpin suku, semuanya dipilih oleh anggota unit sosial politik untuk dijadikan pemimpin. Ada syarat-syarat kepemimpinan yang cukup berat yang harus dipenuhi. Dalam sidang kelompok, calon-calon “dituahi dan dicilakoi”, artinya dikaji kebaikan-kebaikan dan kelemahan-kelemahan dari sejumlah calon yang ada, dan yang dipilih adalah yang terbaik. Anggota kaum yang disebut kemenakan adalah warga kaum yang berhak bersuara dalam sidang. Yang terpilih adalah orang kepercayaan kaumnya dan berfungsi memelihara dan memajukan kepentingan kaum. Cara pergantiannya diatur dengan peraturan yang jelas dan ketika ia keluar dari ketentuan adat ia bisa diganti melalui prosedur yang telah ditentukan. la merupakan pemimpin sidang kaum dalam kaum dan mewakili kaum dalam sidang-sidang unit sosial yang kebih besar. Sidang kaum, sidang dewan kaum, sidang dewan suku, dan sidang dewan nagari (Kerapatan Adat Nagari) merupakan kekuasaan tertinggi dalam unit-unit sosial yang bersangkutan. Dengan demikian nagari tersebut memang dapat diangap sebagai sebuah republik kecil dan inilah karakteristik pertama dan sistem otoritas tradi-sional masyarakat nagari (Imran Manan, 1995).
Semua warga (anak) nagari merupakan anggota atau warga dari salah satu suku, kaum, dan rumah gadang. Mereka mempunyai hak bersuara dalam memilih pemimpin-pemimpin kelompok sosialnya, karena itu pada hakekatnya kekuasaan yang dipegangnya bersumber dari warganya, sehingga secara formal kepemimpinan dan otoritas pemimpin serta kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa karakteristik kedua dari sistem otoritas tradisional Minangkabau adalah demokrasi, setiap orang secara adat adalah sama suaranya, berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah. Semua masalah dirundingkan dalam permusyawaratan unit sosial. Putusan diambil sebagai hasil musyawarah, dan putusan tersebut dinamakan mufakat. Untuk mencari mufakat diperlukan waktu yang panjang. Mufakat merupakan kebenaran yang telah dicari secara bersama, dan kebenaran itulah yang merupakan kekuasaan tertinggi dalam masyarakat nagari terdisional (Imran Manan, 1995).
Desa-desa di Jawa sebenarnya juga menyerupai “republik kecil”, dimana pemerintahan desa dibangun atas dasar prinsip kedaulatan rakyat. Trias politica yang diterapkan dalam negara-bangsa modern juga diterapkan secara tradisional dalam pemerintahan desa. Desa-desa di Jawa, mengenal Lurah (kepala desa) beserta perangkatnya sebagai badan eksekutif, Rapat Desa (rembug desa) sebagai badan legislatif yang memegang kekuasaan
08
tertinggi, serta Dewan Morokaki sebagai badan yudikatif yang bertugas dalam bidang peradilan dan terkadang memainkan peran sebagai badan pertimbangan bagi eksekutif (Soetardjo Kartohadikoesoemo, 1984). Proses politik di desa ditentukan oleh rapat desa secara demokratis berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat, meskipun proses itu “elitis” karena anggota rapat desa terbatas pada para kepala keluarga (somah) minus pemuda dan perempuan.
Masa Kolonial
Kolonialisme tampaknya merupakan titik awal negaranisasi, eksplotasi dan marginalisasi terhadap desa. Pemerintah kolonial mengendalikan penduduk dan tanah desa melalui berbagai cara: sistem wajib penyerahan hasil tanaman, pengutan pajak tanah, maupun sistem tanam paksa. Penguasa kolonial berangsur-angsur melakukan penetrasi ke dalam ekonomi dan politik desa dan akhirnya berhasil menemukan sumber penghasilan penting, yakni tanah dan tenaga kerja pedesaan (Frans Husken, 1998). Sejarawan Onghokham (1975) dan Breman (1979, 1988) memperlihatkan bahwa tatanan sosial ekonomi sebagian besar desa-desa di Jawa sejak awal abad ke-19 telah memperlihatkan ciri-ciri konstruksi kolonial: yakni sejumlah peraturan dan tindakan telah dilakukan pemerintah kolonial untuk memutuskan hubungan vertikal yang lama antara penduduk dengan para pemimpin desa maupun dengan para perantaranya di tingkat supradesa.
Raffles maupun para komisaris jenderal sesudahnya cukup mengetahui bahwa kepala desa dapat menjalankan peran penting dalam pengutipan pajak tanah. Ia mengeluarkan peraturan tentang Revenue Instruction pada tanggal 11 Februari 1814, yang menegaskan bahwa kepala desa ditunjuk sebagai perantara pemerintah pusat untuk menjalankan pemungutan pajak tanah, sekaligus menjalankan kekuasaan dan kewajiban sebagai pegawai polisi negeri (Soetardjo Kartohadikoesoemo, 1984: 258). Karena itu, selain mengontrol posisinya, pemerintah menetapkan beberapa syarat sehingga para kepala desa dapat melaksanakan perintah-perintah atasan. Dengan praktik sistem tanam paksa, maka para kepala desa mendapat peran lebih sentral dalam pemerintahan karena pada tingkat pertama kepala desa itulah yang memperoleh kepercayaan untuk melakukan sistem tanam paksa. Baik dalam penentuan tanah yang akan ditanami tebu maupun pengorganisasian penanaman dan pengerahan tenaga kerja untuk kepentingan perkebunan pemerintah kolonial, para kepala desa mempunyai kewenangan yang hampir mutlak. Kewenangan ini menjadikan kepala desa bertambah kaya dan melakukan penghisapan terhadap rakyatnya sendiri. Mereka memperoleh kekayaan dari tanah bengkok (sepersepuluh dari tanah-tanah sawah desa), juga mendapat sebagian dari pembayaran atas upah tanaman dan pajak tanah yang diberikan oleh pemerintah kolonial. Semua anggota pamong desa juga mendapat pembagian tanah yang luasnya masing-masing tergantung dari yang ditetapkan oleh kepala desa. Mereka dibebaskan dari kerja wajib, kerja rodi, dan kerja untuk kepentingan desa lainnya.
Penguatan kekuasaan kepala desa dan kesempatan untuk memperkaya diri di satu pihak dan tekanan dari pemerintah kolonial di pihak lain mengakibatkan timbulnya suatu tipe baru kepala desa pada periode tanam paksa.
09
Apabila ia pada tahun-tahun sebelumnya merupakan “pemimpin rakyat” yang sejak pemerintahan Inggris di Jawa setiap tahun dipilih oleh penduduk desa, maka pada masa sistem tanam paksa posisinya tidak lebih dari seorang “mandor kebun” yang menjalankan perintah atasan (Frans Husken, 1998: 121).
Ketika intervensi dan eksploitasi kolonial terhadap desa sudah berjalan, pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan “Regeeringsreglement” 1854, sebagai cikal-bakal pengaturan tentang daerah dan desa. Pasal 71 (pasal 128.I.S.) menegaskan tentang kedudukan desa, yakni: Pertama, bahwa desa yang dalam peraturan itu disebut “inlandsche gemeenten” atas pengesahan kepala daerah (residen), berhak untuk memilih kepalanya dan pemerintah desanya sendiri. Kedua, bahwa kepala desa itu diserahkan hak untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dengan memperhatikan peraturan-peraturan yang keluar dari gubernur jenderal atau dari kepala daerah (residen).
Atas dasar ketentuan itu, dengan Ordonansi tanggal 3 Februari 1906, lahirlah peraturan yang mengatur pemerintahan dan rumah tangga desa, terutama hanya berlaku di Jawa dan Madura. Peraturan itu, yang dimuat dalam Staasblad 1906 N0. 83, diubah dengan Staablad 1910 No. 591, Staadblad. 1913 No. 235 dan Staadblad, 1919 No. 217 dikenal dengan nama “Islandsche Gemeente-Ordonnantie”. Penjelasan atas Ordonnantie itu yang dimuat dalam Bijblad 6567 mengatakan, bahwa ketetapan-ketetapan dalam Ordonnantie secara konkret mengatur bentuk, kewajiban dan hak kekuasaan pemerintah desa baik berdasarkan hukum ketataprajaan maupun berdasarkan hukum perdata.
Meskipun berbagai peraturan yang muncul masih jauh dari sempurna, tetapi dalam rangka perundang-undangan Hindia Belanda semuanya telah berhasil menghilangkan keragu-raguan tentang kedudukan desa sebagai badan hukum, lebih dari posisi desa sekadar kesatuan komunal masyarakat. Peraturan telah berhasil pula mengembangkan kemajuan kedudukan hukum desa sebagai pemilik harta benda (Soetardjo Kartohadikoesoemo, 1984).
Ada berbagai catatan atas keluarnya peraturan itu. Van Deventer menyambutnya dengan gembira. Dengan peraturan tadi, kata Van Deventer, hak desa untuk mendapat dan menguasai milik sendiri telah diberi dasar hukum. Berdasarkan hak itu desa akan dapat menyusun “pendapatan desa” sendiri. Hal ini penting berhubungan dengan hendak didirikannya sekolah desa dan lumbung desa pada waktu itu. Sebaliknya Mr. Van Bockel dalam Koloniale Studien tahun 1921 mengatakan, bahwa peraturan itu merupakan sebuah tatapraja untuk desa, yang dimasukkan dengan paksa ke dalam suatu susunan yang asing baginya dengan tiada mengingat tingkat kecerdasan rakyat dan susunan tatapraja dalam daerah. Van Vollenhoven berpendapat senada. Setelah mengucapkan penghargaannya terhadap tujuan ordonansi diatas, yang bermaksud hendak menguatkan kedudukan desa, maka ia mencela bahwa dalam peraturan itu membuat ordonansi kurang cukup mengindahkan sifat-sifat asli dari desa di daerah Jawa, Madura dan Pasundan.
10
Dalam konteks ini “Islandsche Gemeente Ordonantie” tahun 1906 tidak berlaku untuk empat daerah Swapraja di Surakarta dan Yogyakarta. Di daerah-daerah tadi, yang pada hakekatnya adalah daerah Negorogong di jaman dahulu, dimana otonomi desa karena percampuran kekuasaan Raja -- antara lain disebabkan oleh apanage-stelsel sejak 1755 -- telah menjadi rusak, maka kedudukan desa sebagai daerah hukum otonom sudah rusak pula.
Meski demikian, hukum asli yang menjadi pokok-pokok dasar kebudayaan bangsa, meskipun telah terpendam dibawah reruntuhan desa asli selama ratusan tahun, setelah kesatuan desa sebagai daerah hukum itu di daerah Swapraja di Jawa dihidupkan kembali, maka ia hidup kembali juga. Begitu kuatnya, hingga waktu permulaan kemerdekaan di daerah Yogyakarta muncul peraturan untuk menggabungkan desa-desa yang kecil-kecil menjadi kesatuan daerah yang lebih besar. Peraturan itu mengalami kesulitan. Lain dari itu, sebagai penjelmaan dari kesatuan daerah hukum itu barangkali belum diketahui umum, bahwa daerah Yogyakarta penjualan tanah milik di desa (malah juga penggadaian) kepada seorang yang bukan penduduk desa, harus mendapat ijin dari rapat desa.
Dalam tahun 1912 pemerintah Pakualaman melancarkan pernataan desa, tertanggal 18 Oktober 1912 untuk distrik Sogan, Kabupaten Adikarta, untuk pernataan dimana ordonansi tahun 1906 dipakai sebagai model. Pernataan itu diumumkan dalam “Vaststelling van de gemeenteregeling en gemeentebestuursregeling in het district Sogan kabupaten Adikarta”. Dalam tahun 1918 itu juga Kasultanan Yogyakarta oleh Rijksbestuurder ditetapkan sebuah peraturan semacam itu. Peraturan itu diumumkan dalam Rijksblad tahun 1918 No. 22. Pernataan Pakualaman tahun 1912 pun lalu diganti dan namanya dalam bahasa Belanda disebut “Regelen betreffende het beheer en de huishoudelijke belangen der inlandche gemeenten in het distriect Sogan kabupaten Adikarta”, cocok dengan peraturan buat kesultanan. Perubahan itu diumumkan dalam Rijksblad tahun 1918 No. 24.
Baik di Kesultanan dan Pakualaman, dalam tahun itu diluncurkan peraturan tentang pengangkatan, pemberhentian sementara, pemecatan dari jabatan, tentang penghasilan dan kewajiban pemerintah desa. Peraturan ini unutk Kasultanan dimuat dalam Rijksblad tahun 1918 No. 23, diubah dalam Rijksblad tahun 1925 No. 17 dan buat Pakualaman dimuat dalam Rijksblad tahun 1918 No. 25 diubah dalam Rijklsblad No. 17/1925.
Sedangkan daerah-daerah Kasunanan Surakarta dan Mangkunegaran tidak mempunyai peraturan serupa. Di daerah-daerah itu berlaku peraturan-peraturan lain; bagi Kasunanan termuat dalam Rijksblad tahun 1917 No. 33; bagi Mangkunegaran termuat dalam Rijksblad tahun 1917 No. 14, yakni peraturan-peraturan yang membagi daerah Kasunanan dan daerah Mangkunegaran dalam sejumlah wilayah desa.
Menurut riwayat pasal 71 Regeringsreglement 1854 memang yang hendak diatur hanya kedudukan desa di Jawa dan Madura. Beberapa tahun kemudian pemerintah Hindia Belanda mengetahui bahwa di luar Jawa dan Madura ada juga daerah-daerah hukum seperti desa-desa di Jawa. Karena
11
itu, pemerintah kolonial juga menyusun peraturan untuk mengatur kedudukan daerah-daerah itu semacam Inlandsche Gemeente Ordonnantie yang berlaku di Jawa dan Madura. Inlandsche Gemeente Ordonnantie untuk Karesidenan Amboina termuat dalam Staatblad 1914 No. 629 jo. 1917 No. 223. Peraturan itu namanya: Bepalingen met betrekking tot de regeling van de huishoudelijke belangen der inlandsche gemeenten in de residentie Amboina”, diganti dengan peraturan yang memuat dalam stbl. 1923 No. 471. Peraturan untuk Sumatera Barat termuat dalam Stbl.1918 No. 667; mulai berlaku pada tanggal 31 Desember 1918 diganti dengan peraturan termuat dalam Stbl. 1918 No. 667 dan 774 dan dalam Stbl.1921 No. 803. Untuk karesidenan Bangka termuat dalam Stbl. 1919 No. 453. Peraturan untuk karesidenan Palembang termuat dalam Staatblad 1919 No. 814; untuk Lampung termuat dalam Stbl. 1922 No. 564; untuk Tapanuli termuat dalam Stbl. 1923 No. 469; untuk daerah Bengkulu termuat dalam Stbl. 1923 No. 470; untuk daerah Belitung termuat dalam Stbl.1924 No. 75 dan untuk daerah Kalimantan Selatan dan Timur termuat dalam Stbl. 1924 No. 275; kemudian ditetapkan “Hogere Inlandsche Verbanden Ordonnantie Buitengewesten” Stbl. 1938 No. 490 jo. Stbl. 1938 No. 681.
Berbagai peraturan itu tampak ambigu. Di satu sisi pemerintah kolonial membuat peraturan secara beragam (plural) yang dia sesuaikan dengan konteks lokal yang berbeda. Tetapi di sisi lain berbagai peraturan itu tidak lepas dari kelemahan. Van Vollenhoven selalu mengkritik bahwa peraturan-peraturan itu berbau Barat. Dengan berpegang pada ordonansi-ordonansi itu pemerintah Hindia Belanda telah membentuk -- kadang secara paksa, seperti halnya di Beliteung -- daerah-daerah baru yang diberi hak otonomi, dari masyarakat-masyarakat yang belum mempunyai kedudukan sebagai masyarakat hukum; ataupun kesatuan-kesatuan masyarakat yang dulu memang sudah mempunyai kedudukan sebagai daerah hukum, akan tetapi kemudian dirusak oleh kekuasaan Raja-raja atau kekuasaan asing, sehingga hak otonominya telah hilang. Desa-desa seperti itu terdapat di daerah-daerah Swapraja di Jawa, Belitung dan sebagian dari tanah-tanah partikelir. Desa-desa baru yang dibentuk atas dasar Inlandsche gemeente-ordonnantie terdapat di daerah-daerah Sumatera Timur, Kalimantan, Bangka, Beliteung, Sulawesi Selatan, Swapraja di Jawa dan bekas tanah partikelir. Daerah-daerah dimana masyarakat itu dahulu kala sudah mempunyai kedudukan sebagai daerah hukum yang otonom, maka setelah kedudukan itu dihidupkan, maka pemerintah disitu menurut syarat-syarat yang baru berjalan dengan lancar. Hal ini dapat dimengerti sebab meskipun penduduk desa itu sudah lama tidak menjalankan kewajiban sebagai warga desa yang otonom, tetapi otonomi itu sudah berjalan secara turun-temurun dan menjadi bagian erat dalam kebudayaan rakyat setempat (Soetardjo Kartohadikoesoemo, 1984).
Pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 23 Januari 1941 menyampaikan rancangan Rancangan Desa-ordonannantie baru kepada Volksraad. Ordonnantie itu kemudian ditetapkan pada tanggal 2 Agustus 1941 (stbl. 1941 no. 356). Substansi Desa ordonanntie baru berlainan dengan ordonanntie-ordonanntie sebelumnya. Prinsipnya ialah supaya kepada desa diberi keleluasaan untuk berkembang menurut potensi dan kondisinya sendiri. Untuk mencapainya, desa tidak lagi dikekang dengan berbagai peratu12
ran-peraturan (regulasi) yang mengikat dan instruktif. Berdasarkan atas prinsip itu dalam Desa-ordonanntie baru dinyatakan perbedaan antara desa yang sudah maju dan desa yang belum maju. Untuk desa yang sudah maju, pemerintahan dilakukan oleh sebuah Dewan Desa (Desaraad), sedang desa untuk yang belum maju pemerintahan disusun tetap sediakala, yaitu pemerintahan dilakukan oleh Rapat Desa yang dipimpin oleh kepala desa yang dibantu oleh parentah desa. Selanjutnya dalam Desa-ordonnantie baru itu, pemerintah hendaknya minimal mencampuri dalam rumah tangga desa dengan peraturan-peraturan yang mengikat, bahkan dalam pemerintahan desa itu diharuskan lebih banyak menggunakan hukum adat. Namun sampai pada waktu jatuhnya pemerintahan Hindia Belanda Desa-ordonnantie itu belum bisa dijalankan.
Sejak lahirnya “otonomi baru” bagi Desa yang disajikan dalam Inlandsche Gemeente-ordonnantie tahun 1906, maka berturut-turut dengan segala kegiatan diadakan aturan-aturan baru tentang “kas Desa”, tentang “lumbung Desa”, “bank Desa”, “sekolah Desa”, “pamecahan Desa”, “bengkok guru Desa” “bale Desa”, tebasan pancen dan pajak bumi, “seribu satu aturan berkenaan dengan (mengatur, mengurus, memelihara dan menjaga keamanan hutan), yang semuanya itu menimbulkan satu akibat yaitu menambah beban rakyat berupa uang dan tenaga. Padahal berbagai aturan itu umumnya bukan hanya tidak dimengerti oleh rakyat desa, akan tetapi juga disangsikan akan manfaatnya bagi rakyat desa, malah sebagian besar nyata-nyata sangat bertentangan dengan kepentingan dan melanggar hak-hak asasi.
Akibat dari aturan-aturan yang tidak disukai oleh rakyat, namun dipaksakan kepadanya secara perintah-alus dan perintah keras, maka kita masih belum lupa bahwa didaerah Kabupaten Blora lahir gerakan, semata-mata bersifat nasional yang dipimpin oleh seorang penduduk kawedanan Randublatung bernama Soerontoko alias Samin, yang kemudian menjalar sampai ke daerah Kabupaten Rembang, Pati dan Ngawi. Gerakan ini adalah memungkiri kekuasaan yang dipimpin oleh bangsa Belanda. Semua aturan dan perintah yang keluar dari pemerintah dianggapnya tidak sah. Segala beban berupa uang dan tenaga yang berdasarkan atas aturan dan perintah dianggap tidak sah dan oleh karenanya tidak dipatuhi. Penganut gerakan tidak suka melakukan jaga dan ronda desa, tidak mau menjalankan segala macam pekerjaan desa atau pekerjaan-pekerjaan lain yang diperintahkan dari atas. Mereka tidak mau membayar pajak yang bersifat apa pun juga. Hutan dan bumi dianggap sebagai milik rakyat. Mengambil kayu dari hutan, mengambil batu, buah-buahan dan lain-lain hasil hutan adalah sah menurut pendapatnya. Mereka tidak suka kawin dimuka penghulu atau naib, melainkan dimuka orang tuanya sendiri atau dimuka walinya. Mereka tidak suka ikut serta dalam kumpulan-kumpulan yang diadakan atas perintah dari atas untuk merundingkan sesuatu dalam rapat desa, untuk melakukan penyuntikan cacar atau patek, untuk mengadakan pengebirian sapi dan lain sebagainya. Mereka menolak ikut memberi pertolongan kalau ada hutan atau kebun onderneming terbakar. Segala hukuman dan penderitaan yang menjadi akibat dari sikap menentang itu diterimanya dan dipukulnya dengan hati sabar dan dengan menyerah. Mereka tidak pernah menyerang pihak yang berkuasa dengan kekerasan (Soetardjo Kartohadikoesoemo 1984).
13
Selain kejadian diatas, ada pemberontakan rakyat di desa-desa misalnya di distrik Pamotan dan Sulang Kabupaten Rembang dibawah pimpinan Sarekat Islam dalam tahun 1916. Di Desa Jinggot Kabupaten Sidoarjo dalam tahun 1918 terjadi pemberontakan lagi, yang menjadi korban adalah lumbung desa. Dalam laporan kepada pemerintah tentang berlakunya “Indlandsche Gemeente-ordonnantie” untuk karesidenan Amboina disebutkan bahwa jika peraturan itu dijalankan begitu saja di Saparua, besar kemungkinan akan kandas, sebab substansi peraturannya tidak dipahami masyarakat dan manfaatnya tidak dapat dirasakan oleh rakyat setempat (Soetardjo Kartohadikoesoemo, 1984).
Masa Pasca Kemerdekaan
Secara historis pencapaian dan penegakan kemerdekaan Republik Indonesia disokong oleh empat pilar: perjuangan bersenjata di berbagai daerah nusantara melawan kolonialisme sampai awal 1900-an, gerakan sosial dan politik sejak 1908 yang melahirkan konsep Indonesia, perjuangan tentara dalam mempertahankan kemerdekaan antara 1945-1949, serta sokongan rakyat dalam setiap gerakan di sepanjang waktu. Keempat pilar ini tentu mempunyai kontribusi besar dalam membangun RI, sehingga masing-masing mempunyai makna dan implikasi yang berbeda-beda. Perjuangan kerajaan-kerajaan daerah sebelum 1908 memang bersifat lokalistik, tetapi kontribusi mereka tidak bisa diabaikan begitu saja. Ketika kemerdekaan dicapai pada tahun 1945, mereka dengan rela mengakui, bergabung dan menyerahkan kedaulatannya kepada Republik Indonesia. Mereka memang tidak langsung menuntut desentralisasi dan otonomi daerah begitu RI terbentuk, tetapi sudah sewajibnya jika NKRI berbagi kekuasaan melalui skema desentralisasi kepada daerah-daerah.
Para aktivis gerakan sosial dan politik tentu mempunyai kontribusi besar terhadap pembentukan Indonesia sebagai sebuah nation-state dan nasionalisme Indonesia. Mereka juga merupakan kekuatan diplomasi RI di ranah internasional untuk membangun kedaulatan RI. Tentara menjadi cikal-bakal dan benteng pertahanan untuk mempertahankan kedaulatan RI. Sedangkan kontribusi rakyat, bagaimanapun, tidak bisa diabaikan. Meski nama-nama kecil rakyat tidak diukir sejarah sebagai para pahlawan yang punya nama-nama besar, tetapi jumlah mereka yang besar merupakan kekuatan yang dahsyat dalam setiap pergerakan. RI sudah seharusnya meletakkan landasan kenegaraan kepada kedaulatan rakyat, kepada rakyat kecil yang menyokong lahirnya RI. RI dibangun bukan untuk bangsawan, pahlawan, aktivis, nasionalis maupun tentara, tetapi kepada rakyat, yang nama-nama mereka tidak dicatat sebagai pahlawan oleh sejarah. Dengan demikian, desentralisasi (otonomi daerah), nasionalisme, pertahanan dan kedaulatan rakyat merupakan pilar penting yang harus ditegakkan dalam penyelenggaraan negara.
Desentralisasi dan otonomi daerah ternyata menjadi perhatian awal menyusul lahirnya UUD 1945, 18 Agustus 1945. Pada bab IV Pasal 18 UUD 1945 yang mengatur masalah Pemerintahan Daerah, disebutkan bahwa “Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan
14
memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa”. Dalam bagian penjelasan dinyatakan bahwa ”Dalam territoir Indonesia terdapat lebih kurang 250 Zelfbesturende landschappen dan Volksgemeenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa”. Selanjutnya dinyatakan juga: ”Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul daerah tersebut”.
Penjelasan pasal 18 UUD 1945 menyebutkan bahwa Zelfbesturende berjumlah sekitar 250 yang tersebesar di seluruh Indonesia. Zelfbesturende Landschappen adalah daerah swapraja, yaitu wilayah yang dikuasai oleh raja yang mengakui kekuasaan dan kedaulatan Pemerintah jajahan Belanda melalui perjanjian politik. Perjanjian politik ini diwujudkan dalam satu bentuk perjanjian yang disebut dengan istilah kontrak dan verklaring.
Ada dua model perjanjian yang dilakukan oleh Belanda dengan raja-raja di Indonesia, yaitu Lange Contract atau kontrak panjang dan korte verklaring atau pernyataan pendek. Berdasarkan kontrak atau perjanjian ini raja yang menandatangani kontrak tersebut mengakui kekuasaan dan kedaulatan Pemerintah Jajahan Belanda terhadap wilayah mereka. Pengakuan ini tentu saja tidak bersifat sukarela. Banyak raja yang meneken kontrak itu setelah melalui peperangan atau tekanan militer Belanda, dan banyak pula raja yang meneken kontrak karena memperoleh kekuasaan berkat dukungan Belanda. Berdasarkan pengakuan atas kekuasaan dan kedaulatan Pemerintah Belanda, maka Pemerintah Belanda melimpahkan kewenangan untuk mengatur dan memerintah kepada para raja. Kewenangan ini merupakan pemberian Pemerintah Jajahan Belanda yang sewaktu-waktu dapat dicabut (Yando Zakaria, 2000).
Ketika Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) merumuskan naskah UUD 1945, keberadaan dan kekuatan daerah swapraja masih besar. Karena itu para penyusun UUD 1945 masih perlu memasukkannya dalam UUD, meski hanya dalam penjelasan. Perkembangan selama Revolusi kemerdekaan (1945-1950), daerah swapraja -- kecuali kesultanan Yogya dan Kadipaten Pakualaman – umumnya telah kehilangan kedudukan hukumnya.
Untuk Volksgemeenschappen penjelasan pasal 18 UUD 1945 tidak menyebutkan jumlah tertentu, akan tetapi menyebutkan contoh yaitu desa di Jawa dan Bali, Nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Meski dalam UUD 1945 Zelfbesturende Landschappen dan Volksgemeenschappen diberlakukan sama namun antara keduanya ada perbedaan mendasar. Tidak ada Landschappen atau swapraja yang berada dalam wilayah Volksgemeeschappen. Secara hirarkhis kedudukan Zelfbesturende Landschappen berada di atas Volksgemeenschappen.
Meski desa-desa di Jawa hanya merupakan salah satu bentuk Volksgemeenschappen seperti yang disebut dalam penjelasan pasal 18 UUD 1945,
15
namun istilah “desa” digunakan sebagai istilah yang menggantikan istilah Volksgemeenschappen. Desa telah menjadi istilah yang digunakan tidak hanya di pemerintahan dalam negeri, tetapi juga digunakan di lingkungan akademik khususnya dalam ilmu-ilmu sosial.
Untuk mengatur pemerintahan pasca 17 Agustus 1945, Badan pekerja Komite Nasional Pusat mengeluarkan pengumuman No. 2. yang kemudian ditetapkan menjadi UU No. 1/1945. UU ini mengatur kedudukan desa dan kekuasaan komite nasional daerah, sebagai badan legislatif yang dipimpin oleh seorang Kepala Daerah. Menurut Prof. Koentjoro Perbopranoto, undang-undang ini dapat dianggap sebagai peraturan desentralisasi yang pertama di Republik Indonesia. Di dalamnya terlihat bahwa letak otonomi terbawah bukanlah kecamatan melainkan desa, sebagai kesatuan masyarakat yang berhak mengatur rumah tangga pemerintahannya sendiri. Desentralisasi itu hanya sempat dilakukan sampai pada daerah tingkat II.
Karena isinya terlalu sederhana, Undang-undang No. 1/1945 ini dianggap kurang memuaskan. Maka dirasa perlu membuat undang-undang baru yang lebh sesuai dengan pasal 18 UUD 1945. Pada saat itu pemerintah menunjuk R.P. Suroso sebagai ketua panitia. Setelah melalui berbagai perundingan, RUU ini akirnya disetujui BP KNIP, yang pada tanggal 10 Juli 1948 lahir UU No. 22/1948 Tentang Pemerintahan Daerah. Bab 2 pasal 3 angka 1 UU No.22/1948 menegaskan bahwa daerah yang dapat mengatur rumah tangganya sendiri dapat dibedakan dalam dua jenis, yaitu daerah otonomi biasa dan daerah otonomi istimewa. Daerah-daerah ini dibagi atas tiga tingkatan, yaitu Propinsi Kabupaten/kota besar, desa/kota kecil. Sebuah skema tentang pembagian daerah-daerah dalam 3 tingkatan itu menjadi lampiran undang-undang. Daerah istimewa adalah daerah yang mempunyai hak asal-usul yang di zaman sebelun RI mempunyai pemerintahan yang bersifat istimewa. UU No. 22/1948 menegaskan pula bahwa bentuk dan susunan serta wewenang dan tugas pemerintah desa sebagai suatu daerah otonom yang berhak mengatur dan mengurus pemerintahannya sendiri.
Pada periode Republik Indonesia Serikat (RIS), Pemerintah Negara Republik Indonesia Timur (NIT ) menetapkan suatu peraturan desentralisasi yang dinamakan undang-undang pemerintahan daerah daerah Indonesia Timur, yang dikenal dengan UU No. 44/1950. Mengenai tingkatan daerah otonom, menurut UU No.44/1950, tersusun atas dua atau tiga tingkatan. Masing-masing adalah (1) Daerah; (2) Daerah bahagian dan (3) daerah anak bahagian.
Pada bulan Juni 1956 sebuah RUU tentang pemerintahan daerah diajukan Menteri Dalam Negeri ketika itu, Prof. Sunaryo, kepada DPR RI hasil Pemilu 1955. Setelah melalui perdebatan dan perundingan Pemerintah dan Fraksi-fraksi dalam DPR RI waktu itu, RUU tersebut diterima dan disetujuai secara aklamasi. Pada tanggal 19 Januari 1957 RUU itu diundangkan menjadi Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah.
UU No. 1/1957 ini berisikan mengenai pengaturan tentang, antara lain, jumlah tingkatan daerah sebanyak-banyaknya tiga tingkatan, kedudukan
16
kepala daerah dan tentang pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat. Daerah Otonom terdiri dari dua jenis, yaitu otonom biasa dan daerah swapraja. Mengenai pembentukan daerah Tingkat III, menurut UU No. 1/1957, harus dilakukan secara hati-hati, karena daerah itu merupakan batu dasar pertama dari susunan negara, sehingga harus diselenggarakan secara tepat pula karena daerah itu bertalian dengan masyarakat hukum Indonesia yang coraknya beragam, yang sulit sembarangan untuk dibikin menurut satu model.
Dalam rangka pembentukan daerah Tingkat III, disebutkan pula bahwa pada dasarnya tidak akan dibentuk kesatuan kesatuan masyarakat hukum secara bikin-bikinan tanpa berdasarkan kesatuan-kesatuan masyarakat hukum seperti desa, nagari, kampung dan lain-lain. Karena itu desapraja (sebagai daerah Tingkat III) dan sebagai daerah otonom terbawah hingga UU No. 1/1957 digantikan UU yang lain, belum dapat dilaksanakan.
Pada tanggal 5 Juli 1959 keluarlah Dekrit Presiden, yang menyatakan berlakunya kembali UUD 1945. Atas dasar dekrit ini UUDS 1950 tidak belaku lagi. Dekrit Presiden ini mengantar Republik Indonesia ke alam demokrasi terpimpin dan Gotong Royong. Untuk menyesuaikannya dengan prinsip-prinsip demokrasi terpimpin dan kegotong-royongan, maka pada tanggal 9 September 1959 Presiden mengeluarkan Penpres No. 6 Tahun 1959 tentang Pemerintah Daerah. Dari Pidato Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah ketika menjelaskan isi Penpres No. 6/1959, dapat ditarik kesimpulan pokok bahwa, dengan pemberlakuan Penpres No. 6/1959 terjadi pemusatan kekuasaan ke dalam satu garis birokrasi yang bersifat sentralistis.
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara juga terbentuk atas Penpres No. 12/1959, yang antara lain menetapkan Ketetapan MPRS No. III/MPRS/1960 tentang Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Semesta Berencana Tahapan Pertama 1961-1969, yang dalam beberapa bagiannya memuat ketentuan-ketentuan tentang Pemerintah Daerah. Masing-masing adalah: (a) Paragraf 392 mengenai pembagian Daerah dan jumlah tingkatan; (b) Paragraf 393 mengenai desentralisasi; (c) Paragraf 395 mengenai pemerintahan daerah; (d) Paragraf 396 mengenai pemerintahan desa.
Dalam setiap paragraf antara lain termuat amanat agar dilakukan pembentukan daerah Tingkat II sebagaimana dalam UU No. 1/1957; dan menyusun Rancangan Undang-Undang Pokok-Pokok Pemerintahan Desa, yang dinyatakan berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, sebagai pengganti segala peraturan dari masa kolonial dan nasional yang dianggap belum sempurna, yang mengatur tentang kedudukan desa dalam rangka ketatanegaraan: bentuk dan susunan pemerintahan desa; tugas dan kewajiban, hak dan kewenangan pemerintah desa; keuangan pemerintah desa: serta kemungkinan-kemungkinan badan-badan kesatuan pemerintahan desa yang sekarang ini menjadi satu pemerintahan yang otonom (Yando Zakaria, 2000).
Karena tuntutan itu pemerintah membentuk Panitia Negara Urusan Desentralisasi dan Otonomi Daerah yang diketuai oleh R.P. Soeroso, atas dasar
17
keputusan presiden No.514 tahun 1960. Tugas-tugas yang harus diselesaikan oleh panitia adalah:
1. Menyusun Rencana Undang-undang Organik tentang Pemerintahan Daerah Otonom sesuai dengan cita-cita Demokrasi Terpimpin dalam rangka Negara Kesatuan Republik Indonesia yang mencakup segala pokok-pokok (unsur-unsur) Progresif dari UU No. 22/1948,UU No.1/1957, Perpres No.6/1959 (disempurnakan), Perpres No.5/1960 (disempurnakan),dan Perpres No.2/1961.
2. Menyusun Rencana Undang-undang tentang pokok-pokok Pemerintahan desa, yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, sebagai pengganti segala peraturan perundangan dari masa kolonial mengenai pemerintahan desa sehingga dewasa ini masih berlaku; rencana akan mengatur hal-hal pokok tentang:
a. Kedudukan desa dalam rangka ketatanegaraan
b. Bentuk dan susunan pemerintahan desa
c. Tugas kewajiban,hak dan kewenangan pemerintahan desa
d. Keuangan pemerintahan desa
e. Pengawasan pemerintahan desa
f. Kemungkinan pembangunan badan-badan kesatuan ppemerintah desa yang ada sekarang ini menjadi satu pemerintahan desa yang otonom
g. Dan lain-lain.
3. Mengajukan usul usul penjelasan mengenai:
a. Penyerahan urusan-urusan pemerintahan pusat yang menurut sifatnya dan sesuai dengan kemampuan dan kesanggupan daerah dapat diserahkan kepada daerah, yang dahulu menurut penjelasan UU No. 1/1957 diharapkan akan dijadikan tugas suatu Dewan Otonomi dan Desentralisasi.
b. Tuntutan-tuntutan tentang pembagian daerah (pemecahan, pemisahan, penghapusan dan pembentukan baru), perluasan batas-batas wilayah kotapraja, pemindahan ibu kota daerah.
c. Penertiban organisasi-organisasi masyarakat rukun kampung dan rukun tetangga .
Setelah bekerja selama dua tahun Panitia Suroso berhasil menyelesaikan 2 rancangan undang-undang: RUU tentang Pokok-pokok pemerintahan daerah dan rancangan undang-undang tentang desa praja. Menteri dalam negeri dan otonomi daerah, Ipik Gandamana, pada tahun 1963, menyampaikan kedua RUU itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong. Sebelumnya pada bulan Januari 1963 kedua rancangan itu dibuat dalam sebuah konferensi yang diikuti oleh seluruh gubernur. Pembahasan kedua RUU di DPRGR cukup lama dan alot. Setelah mengalami berbagai penyesuaian sesuai aspirasi dari banyak pihak, pada tanggal 1 September 1965, DPRGR menetapkannya sebagai undang-undang. Masing-masing menjadi UU No. 18/1965 Tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah dan UU No. 19 Tahun 1965 Tentang Desa Praja.
18
Menurut pasal 1 UU No. 19/1965, yang dimaksud dengan desapraja adalah kesatuan masyarakat hukum yang tertentu batas-batas daerahnya, berhak mengurus rumah tangganya sendiri, memilih penguasanya, dan mempunyai harta bendanya sendiri. Dalam penjelasan dinyatakan bahwa kesatuan-kesatuan yang tercakup dalam penjelasan UUD 1945 pasal 18, Volksgemeenschappen seperti desa di Jawa dan Bali, Nagari di Minangkabau, Dusun dan marga di Palembang dan sebagainya, yang bukan bekas swapraja adalah desapraja menurut undang-undang ini. Dengan demikian, persekutuan-persekutuan masyarakat hukum yang berada dalam (bekas) daerah swapraja tidak berhak atas status sebagai desa praja.
Dengan memggunakan nama desapraja, UU No.19 /1965 memberikan istilah baru dengan satu nama seragam untuk menyebut keseluruhan kesatuan masyarakat hukum yang termasuk dalam penjelasan UUD 1945 pasal 18, padahal kesatuan masyarakat hukum di berbagai wilayah Indonesia mempunyai nama asli yang beragam. UU No.19/1965 juga memberikan dasar dan isi desapraja secara hukum yang berarti kesatuan masyarakat hukum yang tertentu batas-batas daerahnya dan berhak mengurus rumahtangganya sendiri, memilih penguasanya, dan memiliki harta benda sendiri.
Dalam penjelasan umum tentang desapraja itu terdapat keterangan yang menyatakan bahwa UU No. 19/1965 tidak membentuk baru desapraja, melainkan mengakui kesatuan-kesatuan masyarakat hukum yang telah ada di seluruh Indonesia dengan berbagai macam nama menjadi desapraja. Kesatuan-kesatuan masyarakat hukum lain yang tidak bersifat teritorial dan belum mengenal otonomi seperti yang terdapat di berbagai wilayah daerah administratif tidak dijadikan desa praja, melainkan dapat langsung dijadikan sebagai unit administratif dari daerah tingkat III. Penjelasan juga menyatakan bahwa desapraja bukan merupakan satu tujuan tersendiri, melainkan hanya sebagai bentuk peralihan untuk mempercepat terwujudnya daerah tingkat III dalam rangka UU No.18/1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan daerah. Suatu saat bila tiba waktunya semua desa praja harus ditingkatkan menjadi Daerah Tingkat III dengan atau tanpa penggabungan lebih dahulu mengingat besar kecilnya desapraja yang bersangkutan.
Alat-alat perlengkapan desapraja menurut UU No. 19/1965 adalah: (a) kepala desa, (b) badan musyawarah desa, (c) Pamong desapraja, (d) Panitera desapraja, (e) Petugas desa praja, (f) badan pertimbangan desa praja. Disebutkan pula bahwa kepala desa dipilih langsung oleh penduduk; kepala desapraja adalah penyelenggara utama urusan rumah tangga desapraja dan sebagai alat pemerintah pusat; kepala desa praja mengambil tindakan dan keputusan-keputusan penting setelah memperoleh persetujuan badan musyawarah desapraja; kepala desapraja tidak diberhentikan karena suatu keputusan musyawarah; dan kepala desa praja menjadi ketua badan musyawarah desapraja. Sedangkan anggota badan musyawarah desapraja dipilih menurut peraturan yang ditetapkan oleh peraturan daerah tingkat I.
Isi undang-undang ini sebenarnya paralel dengan spirit otoritarianisme dan sentralisme yang tumbuh pada masa Demokrasi Terpimpin. Desapraja merupakan kepanjangan tangan dari pemerintah supradesa yang menjalankan perintah dari atas. Di dalam desapraja, kepala desa dinobatkan
19
sebagai penguasa tunggal yang korporatis, dengan posisi yang kuat dalam mengontrol semua institusi politik, misalnya kepala desa menjadi ketua badan musyawarah desapraja.
Dengan keluarnya UU No.19/1965 warisan kolonial yang sekian lama berlaku di negara RI, seperti IGO dan IGOB serta semua peraturan-peraturan pelaksanaannya tidak berlaku lagi. Tetapi, UU No.19/1965 tidak sempat pula dilaksanakan dibanyak daerah. Pelaksanaannya ditunda, tepatnya dibekukan, atas dasar pemberlakuan UU No.6 /1969, yaitu undang-undang dan peraturan pemerintah Pengganti Undang-undang 1965, meski dinyatakan juga bahwa pelaksanaanya efektif setelah adanya undang-undang baru yang menggantikannya. Namun, anehnya, UU No.19/1965 sendiri sebenarnya sudah terlebih dahulu ditangguhkan melalui intruksi Menteri Dalam Negeri No.29/1966. Karena itu, sejak UU No.18/1965 dan UU No.19/1965 berlaku, praktis apa yang dimaksudkan dengan daerah tingkat III dan desapraja itu tidak terwujud. Secara informal pemerintahan desa kembali diatur berdasarkan IGO dan IGOB.
Masa Orde Baru
Pembicaraan tentang Orde Baru selalu terpusat pada upaya-upaya penguatan rezim pembangunan yang bersifat otoritarian dan sentralistik. Semua agenda, baik pembangunan, pemerintahan daerah dan otonomi desa, bermuara pada visi, konteks dan karakter itu. Ada tiga langkah utama yang ditempuh oleh Orde Baru untuk mengendalikan desa: (1) konsolidasi politik untuk menciptakan stabilitas politik desa; (2) pembangunan desa; dan (3) modernisasi, negaranisasi dan marginalisasi desa melalui UU No. 5/1979.
1. Konsolidasi Politik
Posisi desa pada masa Orde Baru tidak lepas dari agenda modernisasi dan pembangunan yang mengutamakan Trilogi: stabilitas, pertumbuhan dan pemerataan. Pada awal Orde Baru pemerintah belum berpikir tentang pemerintahan desa, apalagi otonomi desa. Pikiran utama pemerintah terletak pada konsolidasi politik. Langkah pertama yang ditempuh oleh Orde Baru adalah membersihkan sisa-sisa pengaruh PKI, yang sebelumnya berakar di desa, untuk mencapai stabilitas politik.
Konsolidasi politik di aras desa yang paling menonjol adalah deparpolisasi dan depolitisasi massa dengan kebijakan massa mengambang (floating mass) melalui undang-undang kepartaian (UU No.3/1975). UU ini menetapkan bahwa kepengurusan parpol dan Golkar hanya sampai pada Daerah Tingkat II. Sementara pada kecamatan dan desa dapat ditunjuk seorang komisaris sebagai pelaksana pengurus Dati II dan tidak merupakan pengurus otonom. Penetapan ini dapat dipahami sebagai manuver pemerintah untuk membebaskan rakyat pedesaan dari aktivitas politik, dan bertujuan lebih mengop¬timalkan mobilisasi dan lokalisasi masyarakat dalam pembangunan desa.
Konsep massa mengambang (floating mass) telah lama mengendap ke dalam perbendaharaan politik Indonesia, tetapi banyak orang tidak meng20
etahui secara persis apa sebenarnya makna konsep itu. Secara sederhana, yang menunjuk pada gambaran riil dalam masyarakat, massa mengambang sebenarnya menunjuk kekuatan infrastruktur politik yang tidak mempunyai keterkaitan dengan pusat kekuasaan atau suprastruktur dan tidak mempunyai afiliasi secara resmi dengan organisasi politik seperti partai politik (Bagong Suyanto, 1994). Dengan kalimat lain, massa mengambang adalah massa rakyat yang tidak memiliki akses politik di pusat kekuasaan.
Massa mengambang mungkin mempunyai kemiripan dengan identifikasi William Kornhauser (1959) tentang masyarakat massal, meski proses asal-usulnya berbeda jauh. Masyarakat massal menurut Kornhauser mempunyai tiga ciri. Pertama, lemahnya interaksi sosial yang menjembatani massa dengan elite politik (penguasa) karena peran institusi dan organisasi masyarakat terkendala oleh hubungan elite dengan rakyat secara massal dengan menggunakan perangkat media massa. Kedua, terkendalinya peran hubungan sosial primer ke dalam politik karena melemahnya peran keluarga sebagai jembatan di antara individu dengan kelompok dan institusi sosial. Ketiga, tersentralisasinya hubungan sosial pada tataran nasional sebab terjadi pemusatan kekuasaan dan peran pada organisasi atau lembaga masyarakat dari kekuatan kelompok primer (keluarga) dan sekunder (organisasi masyarakat).
Dalam kerangka yang lebih luas kebijakan massa mengambang yang positif itu sebenarnya merupakan bentuk intervensi pemerintah untuk melakukan pembangunan kelembagaan (institutional development) di tingkat desa. Pembangunan lembaga menyangkut inovasi yang menyiratkan berbagai perubahan yang tidak bersang¬kutan dengan pengulangan pola pola lama, dan dalam penerapannyan dipaksakan oleh elite elite yang berkiblat pada perubahan dan yang bekerja memalui organisasi for¬mal. Tujuan inovasi itu adalah membangun organisasi yang hidup terus dan efektif yang membangun dukungan dukungan dan kelengkapan dalam lingkungannya sehingga memungkinkan inovasi bisa mengakar, memperoleh dukungan, menjadi normatif dan melembaga dalam masyarakat (Milton J. Esman, 1986).
Tetapi, sejauh mana intervensi pemerintah dalam melakukan pembangunan lembaga masyarakat desa tersebut bisa diper¬tanggungjawabkan sehingga mampu menciptakan inovasi yang positif dalam masyarakat? Dalam konteks ini, Arturo Israel (1987) sudah mengingatkan bahwa intervensi yang terlalu kuat pada dasarnya berkorelasi negatif dengan kinerja sebuah lembaga atau komunitas. Artinya, sema¬kin kuat intervensi maka semakin rendah kinerja lembaga tersebut. Demikian juga, intervensi pemerintah yang terlalu kuat pada masyarakat desa, malah tidak akan menciptakan kemajuan dan kemandirian masyarakat desa tersebut. Karena itu, Israel menyebutkan bahwa untuk meningkatkan kapasitas dan kemandirian lemba¬ga sangat diperlukan dukungan politik sepenuhnya oleh pengendali kekuasaan baik di dalam maupun di luar. Bentuk dukungan politik meminjam Soedjatmoko (1987) – bisa dengan pengembangan swaorganisasi (self organization) dan swapengelolaan (self management).
Karena itu pula intervensi pemerintah dalam bentuk kebijakan massa mengambang tidak bisa dipahami semata mata sebagai bentuk pembangunan lembaga yang membawa inovasi, tetapi justru membawa implikasi yang negatif terhadap masyarakat lokal. Mengapa? Dalam berbagai literatur, yang merujuk pada pengalaman empirik di negara negara Amerika Latin dan negara negara Dunia Ketiga lainnya, massa mengambang sebenarnya sebagai manajemen atau kebijakan politik yang dilakukan negara untuk mendepolitisasi massa. Depolitisasi itu merupakan tindakan penyingikiran massa dari kegiatan politik yang dilakukan rezim otiriterisme birokratik (Guillermo O’Donnell, 1973 dan Mohtar Mas’oed, 1989).
Kebijakan penyingkiran kekuatan nonnegara juga di¬lakukan oleh Orde Baru, terma¬suk proses penyingkiran (depolitisasi) kekuatan massa di pedesaan mela¬lui kebijakan massa mengambang (floating mass). Depolitisasi massa melalui floating mass menga¬kibatkan rakyat desa tidak terikat dengan orpol orpol. Nasib rakyat ditampung oleh organisasi organisasi profesi fungsional dan korporatis yang pendiriannya dipra¬karsai oleh Golkar. Kendati kebijakan massa mengambang dilaksanakan, namun rakyat tidak mengalami depoli¬tisasi sepenuhnya. Di sisi lain, rakyat dimobilisasi untuk mendukung program-program pembangunan, mengikuti proses pemilihan umum dan dikerahkan untuk mendukung kemenangan Golkar.
Dengan demikian, selain mempunyai makna depolitisasi, kebijakan massa mengambang di Indonesia juga mengandung makna mobilisasi. Depolitisasi dan mobilisasi berjalan bersamaan, yang diartikan sebagai proses penyingkiran atau alienasi massa dari kegiatan politik praktis dan sebaliknya lebih dikerahkan untuk melaksanakan berbagai kegiatan yang sudah ditentukan sebelumnya oleh negara (pemerintah). Terkepas dari sesuai tidaknya dengan aspirasi rakyat, yang pasti masyarakat harus patuh menjalankan segala keputusan pemerintah. Tanpa dipertahankannya prinsip ini dikhawatirkan bahwa tujuan pembangunan tidak akan tercapai. Dengan kata lain, massa dilepaskan dari proses perumusan dan pengawasan kebijakan di tingkat supradesa (daerah dan nasional). Paramater untuk melihat depolitisasi ini adalah deparpolisasi, yaitu dilepaskannya massa dari afiliasi (keanggotaan) orpol di bawah tingkat supra-lokal (kecamatan ke bawah).
Ada aspek aspek lain yang perlu diperhatikan ketika kita melihat penerapan kebijakan massa mengambang. Menu¬rut Nazaruddin Sjamsuddin (1993), kebijakan massa mengambang bertujuan untuk mencabut akar segala bentuk konflik politik dari pedesaan. Konsep itu juga bermaksud untuk memutuskan perhatian masyarakat desa kita semata mata kepada pembangunan. Salah satu tujuan konsep massa mengambang adalah menghapuskan segmentasi masyarakat desa yang bersum¬ber pada pengelompokan politik. Secara logika, segmentasi seperti itu memang dapat dihilangkan, dengan meniadakan organisasi organisasi politik dari kehidupan masyarakat desa. Selain itu, juga cukup masuk akal, bahwa dengan terhapusnya pengelompokan politik, maka kemungkinan terjadinya konflik politik dalam masyarakat menjadi berkurang.
Dapat dikatakan bahwa konflik yang bersum¬ber pada pengelompokan politik biasanya merupakan pula konflik politik horisontal. Yang terli21
bat di dalamnya pada umumnya adalah anggota anggota masyarakat, yang mengelompokkan diri ke dalam atau mengidentikkan diri dengan mengelom¬pokkan politik yang ada dalam masyarakat tersebut.2 Lebih khusus lagi, konsep floating mass ditujukan untuk menghindarkan konflik aliran seperti abangan versus santri di daerah pedesaan, terutama di Jawa. Terjadinya konflik aliran pada tahun tahun 1964 1965 tidak terlepas dari proses politisasi dan mobi¬lisasi massa pedesaan yang berakibat pada meruncingnya konflik aliran yang sudah ada. Setelah floating mass berjalan selama 20 tahun, maka konflik aliran tidak lagi meruncing, bahkan berusaha mengadakan rekonsiliasi, misalnya dengan bersama sama bergabung ke Golkar. Di satu pihak, konsep floating mass telah memandulkan kehidupan politik di pedesaan, tetapi di pihak lain telah berhasil mencegah terulangnya konflik dan polarisasi tajam aliran seperti pada masa demokrasi terpimpin (Burhan Magenda, 1990).
Konflik aliran harus dibedakan dari konflik yang bersifat vertikal. Diantara bentuk konflik vertikal dapat disebutkan sebagai contoh, konflik konflik antara pemimpin dengan yang dipimpin, antara yang berkuasa dengan yang dikuasai, ataupun antara elite dengan massa. Konflik itu sering muncul di daerah pedesaan selama ini, yaitu sebagai salah satu efek samping dari massa mengambang. Bentuk konflik elite-massa terjadi biasanya karena akibat dari gejala “salah urus” dalam bidang pembangunan (karena floating mass memang menghendaki masyarakat agar lebih berkonsentrasi dalam bidang pembangunan). Sebagai contoh adalah kasus penggusuran tanah rakyat oleh aparat, kasus manipulasi uang rakyat yang dilakukan oleh sejumlah “oknum” aparat, dan sebagainya.
2. Pembangunan Desa
Sejak Pelitea I pemerintah mulai melancarkan pembangunan desa yang bertujuan secara langsung untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk, dan secara tidak langsung untuk meletakkan dasar-dasar pembangunan nasional yang kuat sebagai landasan pembangunan nasional jangka panjang. Sedangkan sasaran pembangunan desa adalah agar desa-desa merupakan satuan terkecil administrasi pemerintahan, ekonomi dan ikatan kemasyarakatan, dapat mempercepat pertumbuhannya dari desa swadaya, menjadi desa swakarsa dan seterusnya menjadi desa swasembada. Sejak awal juga digariskan bahwa pembangunan desa mempunyai tujuan jangka pendek dan jangka panjang. Pertama, tujuan jangka pendek pembangunan desa adalah untuk meningkatkan taraf penghidupan dan kehidupan rakyat khususnya di desa desa yang berarti mencipta¬kan situasi dan kekuatan kekuatan dan kemampuan desa dalam suatu tingkat yang lebih kuat dan nyata dalam pembangunan pembangunan berikutnya. Kedua, tujuan jangka panjangnya adalah mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila yang diridloi oleh Tuhan Yang Maha Esa. Dalam hubungannya
2Konflik politik yang sifatnya horizontal misalnya terjadi dalam bentuk benturan benturan politik aliran, yang dalam masyarakat Jawa dikenal dengan adanya santri vs abangan. Pada tahun 1950 an (masa Demokrasi Parlementer), konflik dua kekuatan itu terlihat dengan jelas dalam masyarakat desa Jawa, yang termanifestasikan dalam interaksi partai, yaitu Masyumi dan NU sebagai golongan santri di satu sisi, dan serta PKI serta PNI di sisi lain yang berbasiskan abangan. Karenanya, kebijakan massa mengambang bertujuan pula untuk menghapus konflik politik aliran tersebut. Akibatnya, masyarakat (dengan dengan masing masing alirannga) yang dulunya mempunyai patron politik (parpol), sekarang pada masa Orde Baru tidak mempun¬yai patron politik secara resmi.
22
dengan sasaran pembangunan masya¬rakat desa, ditujukan untuk menaikkan produksi yang potensial yang dimiliki oleh desa, meningkatkan kesejahteraan dalam rangka pembangunan ekonomi. Kegiatan dan tindakan yang lebih intensif dan tera¬rah daripada pembangunan masyarakat desa. Cara tersebut akan mewujudkan pula nilai ekonomi riil yang bebas di segala penghidupan dan penentu bagi suksesnya pembangunan nasional (Ditjen Pembangunan Desa, Departemen Dalam Negeri, 1977).
Selain ada pembangunan sektoral yang dikemas secara integral (integrated rural development), salah satu langkah penting yang ditempuh pemerintah adalah melancarkan Inpres Bantuan Desa, yang lebih populer disebut Bandes. Bantuan desa bersifat umum dan merata ke seluruh desa, tanpa memperhatikan aspek perbedaan kondisi sosial-ekonomi, penduduk dan geografis desa, serta tidak membedakan antara desa dan kelurahan. Pada tahun 1969/70, pemerintah menyalurkan bantuan desa sebesar Rp 100 ribu per desa, kemudian meningkat dari tahun ke tahun, dan terakhir (1999) menyalurkan sebesar Rp 10 juta per desa untuk satu tahun.
Inpres bantuan desa tentu merupakan instrumen pendanaan top down untuk mengawal dan mencapai tujuan-tujuan besar pembangunan desa di atas. Sesuai dengan trilogi pembangunan, bandes juga mempunyai dimensi stabilitas, pertumbuhan dan pemerataan. Pemerintah Orde Baru sangat trauma dengan warisan politisasi PKI di pedesaan yang membuat para petani menjadi radikal memperjuangkan land reform, sehingga menurut pembacaan pemerintah, hal ini menjadi gangguan stabilitas politik desa. Karena itu melalui bandes, pemerintah hendak masuk lebih dalam ke ruang kehidupan masyarakat desa, menghancurkan jejak-jejak PKI, memindahkan aktivitas politik orang desa ke aktivitas pembangunan, membangun struktur dan kultur politik baru di desa, sekaligus hendak menciptakan stabilitas politik desa.
Semangat pertumbuhan dan pemerataan tercantum secara eksplisit dalam kerangka tujuan bantuan pembangunan desa. Pertama, mendorong, menggerakkan dan meningkatkan swadaya gotong royong masyarakat dalam pembangunan desa. Kedua, mengusahakan agar pemerintah desa dan semua lembaga yang ada seperti Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD), Lembaga Musyawarah Desa (LMD), Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) dan lembaga-lembaga lainnya dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Ketiga, menumbuhkan, mengembangkan dan meningkatkan Lumbung Desa/Prekreditan Desa dengan mendorong swadaya masyarakat, yang selanjutnya untuk menanggulangi kerawanan pangan dan menunjang upaya pencapaian swasembada pangan serta mengatasi kelangkaan permodalan di desa. Keempat, meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan usaha-usaha ekonomi pedesaan ke arah kehidupan berkoperasi dalam rangka meningkatkan pendapatan. Kelima, meningkatkan kemampuan dan keterampilan masyarakat agar berpikir dinamis dan kreatif yang dapat menumbuhkan prakarsa dan swadaya masyarakat yang pada hakekatnya merupakan usaha ekonomi masyarakat pedesaan sehingga mampu berproduksi, mampu mengolah dan memasarkan hasil produksinya serta dapat menciptakan dan memperluas lapangan kerja di pedesaan.
23
Program pembangunan desa tidak sebatas Inpres Bandes, tetapi masih ada begitu banyak program lain, baik yang spasial maupun sektoral, yang masuk ke desa. Semua Departemen, kecuali Departemen Luar Negeri, yang didukung juga oleh Bank Dunia, masuk ke desa membawa program-program pembangunan desa. Departemen Pertanian memimpin program Revolusi Hijau, ABRI membawa AMD, Depdikbud mengurus Inpres SD, DPU mengelola Inpres Jalan, Departemen Kesehatan mempromosikan Puskesmas dan Posyandu, Departemen Perindustrian membina usaha-usaha kecil, PLN mengusung listrik masuk desa, Departemen Sosial membina organisasi sosial seperti Karang Taruna, Departemen Transmigrasi mengurus perpindahan penduduk dari Jawa-Bali ke pulau-pulau lain, BKKBN melancarkan program Keluarga Berencana, Departemen Koperasi membina KUD, Bappenas mengusung Inpres Desa Tertinggal, dan masih banyak lagi. Belakangan Bank Dunia membiayai dengan utang kepada Program Pengembangan Kecamatan.
Program pembangunan yang membanjir ke desa selama Orde Baru memang menampilkan sederet “cerita sukses” yang luar bisa. Setelah berjalan selama tiga dekade, sebagian besar wajah desa-desa di Indonesia telah berubah. Desa jauh lebih terbuka, dengan jalan-jalan yang mulus, irigasi yang lancar, penerangan lingkungan yang memadai, tersedianya sarana transportasi yang semakin baik, jalur transaksi ekonomi yang kian terbuka, tersedianya sarana pendidikan dan kesehatan, dan seterusnya. Dari sisi demografis, pertumbuhkan penduduk bisa dikendalikan dengan baik, usia harapan hidup meningkat, kematian bayi dan ibu melahirkan bisa dikurangi, angka melek huruf semakin meningkat, dan lain-lain. Pada level mikro, pembangunan (modernisasi) telah mendorong mobilisasi sosial (bukan transformasi sosial) penduduk desa. Banyak tempat tinggal penduduk desa yang berubah menjadi lebih baik, semakin banyak orang desa yang berhasil meraih gelar sarjana dari perguruan tinggi, semakin banyak penduduk desa yang hidupnya bertambah makmur, semakin banyak keluarga sudra (petani, nelayan, buruh) di desa yang berhasil menjadi priyayi (PNS, pejabat, guru, dosen, dokter, dan lain-lain) di kota, semakin banyak penduduk desa yang memiliki perlengkapan modern (motor, mobil, televisi, telepon selular, dan lain-lain). Kita juga sering menyaksikan data statistik resmi bahwa angka kemiskinan orang desa semakin berkurang, tingkat melek huruf kian meningkat, kondisi kesehatan makin membaik, usia harapan hidup semakin meningkat, dan seterusnya. Berdasarkan oral history dari para orang tua yang telah melewati 2-3 zaman, kondisi sosial-ekonomi desa yang lebih baik itu belum dirasakan sampai dekade 1970-an. Dekade 1970-an baru dimulai modernisasi desa, yang hasilnya baru dirasakan mulai dekade 1980-an.
Namun sejumlah kamajuan dalam mobilisasi sosial itu tidak terjadis secara merata, dan secara umum kebijakan pembangunan desa juga mendatangkan banyak kerugian besar. Derajat hidup orang desa tidak bisa diangkat secara memadai, kemiskinan selalu menjadi penyakit yang setiap tahun dijadikan sebagai komoditas proyek. Masuknya para pemilik modal maupun tengkulak melalui kebijakan resmi maupun melalui patronase semakin memperkaya para elite desa maupun para tengkulak, semen24
tara para tunawisma maupun tunakisma semakin banyak. Petani selalu menjerit karena harga produk pertanian selalu rendah, sementara harga pupuk selalu membumbung tinggi. Pengangguran merajalela. Kaum perempuan mengalami marginalisasi, yang kemudian memaksa sebagian dari mereka menjadi buruh murah di sektor manufaktur maupun menjadi TKI (yang sebagian bernasib buruk) di negeri orang lain. Arus urbanisasi yang terus meningkat ikut memberikan kontribusi terhadap meluasnya kaum miskin kota yang rentan dengan penggusuran dan bermusuhan dengan aparat ketertiban. Proyek swasembada beras juga gagal. Sungguh ironis, Indonesia sebagai negeri agragis tetapi harus melakukan impor beras dari negeri tetangga. Berbagai program bantuan pemerintah yang mengalir ke desa tidak secara signifikan mampu mengangkat harkat hidup orang desa, memerangi kemiskinan desa, mencegah urbanisasi, menyediakan lapangan pekerjaan dan lain-lain. Yang terjadi adalah ketergantungan, konservatisme dan pragmatisme orang desa terhadap bantuan pemerintah. Dengan demikian pembangunan desa yang dilancarkan bertahun-tahun sebenarnya mendatangkan kegagalan. World Bank sendiri juga menyadari kegagalan model pembangunan desa terpadu yang diterapkan di banyak negara.
Pada saat yang sama, kolaborasi antara negara dan perusahaan multinasional melakukan eksploitasi terhadap sumberdaya alam setempat melalui berbagai skema industrialisasi. Pengusaha HPH melakukan eksploitasi hutan, PTP menguasai kebun, dan berbagai perusahaan multinasional menjalankan eksploitasi berbagai bentuk harta pertambangan. Eksploitasi ini tentu mendatangkan devisa negara yang sangat besar, membuka lapangan pekerjaan yang banyak, tetapi juga melakukan penghisapan, pemiskinan dan marginalisasi terhadap masyarakat lokal, sekaligus mendatangkan kerusakan lingkungan yang serius. Masyarakat di sekitar tambang umumnya tetap miskin, ibarat ayam yang mati di lumbung padi.
Mengapa pembangunan desa mengalami kegagalan, tidak mampu mengangkat human well being masyarakat desa? Sebenarnya sudah banyak argumen, evaluasi maupun riset yang menjelaskan kegagalan pembangunan desa. Penjelasan terbentang dari kacamata empirik, disain pembangunan maupun paradigma pembangunan. Ada penjelasan empirik yang bersifat klasik menegaskan bahwa pembangunan desa gagal karena miskinnya komitmen pemerintah, konsep hanya berada di atas kertas, rendahnya responsivitas kebijakan dan keuangan pemerintah daerah, birokrasi yang bermasalah, seringnya terjadi kebocoran, implementasi yang amburadul, dan sebagainya. Penjelasan kedua membidik dari sisi paradigma dan disain pembangunan. Kami mengambil posisi yang kedua ini. Pertama, pembangunan desa yang berorientasi pada pertumbuhan dan layanan sosial, dengan disain yang sangat teknokratis dan sentralistik, sebegitu jauh mengabaikan aspek keberlanjutan, konteks dan kebutuhan lokal, partisipasi, penguatan kapasitas lokal, dan governance reform. Kedua, aktor utama dalam pembangunan desa hanyalah negara dan pasar. Skema ini mengabaikan aktor masyarakat, sebab masyarakat hanya ditempatkan sebagai target penerima manfaat (beneficiaries), bukan subyek yang harus dihormati dan memegang posisi kunci pembangunan secara partisipatif. Ketiga, pembangunan desa terpadu hanya memadukan aspek-aspek sektoral, tetapi tidak memadukan agenda pembangunan dengan desentralisasi dan demokra25
tisasi. Keempat, pembangunan berjalan di dalam konteks bad governance, yakni tata kelola pembangunan yang penuh dengan praktik-praktik korupsi, kolusi, nepotisme, rent seeking, kompradorisme, dan lain-lain.
3. Modernisasi, Negaranisasi dan Marginalisasi Desa
Pemerintah Orde Baru menempatkan isu desentralisasi pemerintahan daerah/desa setelah atau bahkan di bawah agenda konsolidasi politik dan pembangunan. Pada tahun 1969 pemerintah mengeluarkan UU No. 6/1969 yang dimaksudkan untuk membekukan UU sebelumnya. Lima tahun kemudian pemerintah mengeluarkan UU No. 5/1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah yang betul-betul merupakan versi Orde Baru, yakni UU itu merupakan instrumen untuk memperkuat birokratisasi, otoritarianisme, sentralisasi dan pembangunan. UU itu bukanlah kebijakan yang berorientasi pada desentralisasi untuk memperkuat otonomi daerah atau membentuk pemerintahan daerah (local government), melainkan berorientasi pada pembentukan pemerintahan pusat yang bekerja di daerah (the local state government). Ini bisa dilihat begitu kuatnya skema dekonsentrasi (desentralisasi administratif) ketimbang devolusi (desentralisasi politik) dalam UU No. 5/1979.
Isu desa sebagai daerah tingkat III yang pernah mengemuka pada tahun 1950-an tidak diakomodasi oleh Orde Baru. Pemerintah mengeluarkan UU No. 5/1979 tentang pemerintahan desa yang betul-betul paralel dengan semangat sentralisasi dan regimentasi dalam UU No. 5/1974, serta paralel dengan UU kepartaian yang melancarkan kebijakan massa mengambang di desa. Sebegitu jauh UU No. 5/1979 mengabaikan spirit keistimewaan dan keragaman kesatuan masyarakat lokal yang tertuang dalam Pasal 18 UUD 1945, seraya membuat format pemerintahan desa secara seragam di seluruh Indonesia. UU ini menegaskan: “Desa adalah wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai persatuan masyarakat, termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri”. Ketika UU ini masih berstatus RUU, pemerintah berpendapat: “bahwa desa dimaksudkan sebagaimana dimaksudkan dalam RUU ini, bukanlah merupakan salah bentuk daripada Pembagian Daerah Indonesia Atas Daerah besar dan kecil sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 18 UUD 1945. Masalah pembagian daerah Indonesia atas Daerah besar dan kecil itu kiranya sudah cukup diatur dengan UU No.5/1974. Pengertian daerah besar adalah wilayah Propinsi Daerah Tingkat I dan seterusnya, sehingga oleh karenanya sukar untuk diartikan, bahwa daerah yang lebih kecil itu juga mencakup desa sebagaimana dimaksud dalam RUU ini”
Dari ketentuan awal, termasuk pengertian desa yang seragam itu, UU No. 5/1979 secara menyolok menghendaki modernisasi dan birokratisasi pemerintahan desa, negaranisasi (negara masuk ke desa) dan marginalisasi terhadap keragaman kesatuan masyarakat hukum adat. Banyak pihak menilai bahwa UU No. 5/1979 merupakan bentuk Jawanisasi atau menerapkan model desa Jawa untuk kesatuan masyarakat adat di Luar Jawa. Dengan sendirinya UU ini tidak mengakui lagi keberadaan nagari, huta, sosor, marga, negeri, binua, lembang, parangiu dan lain-lain yang umumnya berada di Luar Jawa.
26
Ketetapan-ketetapan dalam UU No. 5 /1979 memaksa desa dan kesatuan masyarakat hukum yang menjadi bagian darinya menjadi seragam. Persekutuan sosial desa lain yang belum sesuai bentuknya dengan desa dipaksa menyesuaikan diri, melalui upaya misalnya regrouping desa, sehingga tidak dapat disebut desa lagi. Desa mengalami birokratisasi kedalam satu garis komando yang sentralistik; desa kemudian menjadi unit pemerintahan terendah langsung dibawah Camat, guna mendukung pengendalikan dan pelaksanaan cita-cita pembangunan, sebagaimana yang diamanatkan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara.
Dari segi kepentingan pemerintah pusat, UU No. 5/1979 tentu membawa banyak manfaat . Penetrasi pemerintahan pusat pada daerah-daerah pedesaan di Indonesia pada umumnya, khususnya di desa-desa luar Jawa dan Madura, lebih sangat efektif. Keseragaman struktur pemerintahan desa bagi seluruh desa juga menguntungkan pemerintah pusat karena keseragaman itu memudahkan pemerintah menjalankan pembinaan terhadap pemerintah desa. Pelaksanaan program Inpres Bandes juga bisa berjalan secara efektif (menurut kacamata pemerintah) karena dijalankan dalam kerangka pemerintahan desa yang seragam. Demikian juga dengan agenda konsolidasi politik (kebijakan massa mengambang) dan keamanan yang bekerja secara efektif dalam birokrasi sipil-militer yang paralel, seragam dan hirakhis.
Sebaliknya bagi masyarakat terutama masyarakat adat di luar Jawa dan Madura implementasi UU No.5/1979 tersebut menimbulkan dampak negatif yang tidak kecil. Pemerintah daerah di Luar Jawa dipaksa berlawanan dengan masyarakat adat karena harus menghilangkan kesatuan masyarakat hukum (Rechtsgemeenschap) yang dianggap tidak menggunakan kata desa seperti Nagari di Minangkabau, Dusun dan Marga di Palembang, Gampong di Aceh, Huta, Sosor dan lumban di Mandailing, Kuta di Karo, Binua di Kalimantan Barat, Negeri di Sulawesi Utara dan Maluku, Kampung di Kalimantan, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Selatan, yo di Sentani Irian Jaya, dan lain-lain. Kesatuan masyarakat hukum yang telah dijadikan desa itu harus memiliki pemerintahan yang akan melaksanakan kewenangan, hak dan kewajiban desa serta menyelenggaraan pemerintahan desa, seperti ditetapkan dalam UU No.5/1979. Kesatuan masyarakat hukum tidak hanya secara formal dan nomenklatur berganti nama menjadi desa, tetapi harus secara operasional segera memenuhi segala syarat yang ditentukan oleh UU No.5/1979.
Kebijakan UU No. 5/1979 tentu menuai badai protes dari berbagai pihak. Protes yang sangat keras muncul dari masyarakat, misalnya, di Sumatera Barat. Mereka menyerukan bahwa UU No. 5/1979 sebagai bentuk Jawanisasi, penyeragaman yang tidak peka terhadap kondisi sosial-budaya setempat, dan menghancurkan identitas dan harga diri orang Minangkabau. Karena itu pemaksaaan UU itu dan kerja-kerja Pemerintah Daerah berjalan sangat alot. Pemerintah Daerah Sumbar sadar betul akan bahaya dan damp;ak negatif pelaksanaan UU No. 5/1979 itu. Tetapi pemerintah daerah toh tidak bisa mengelak dari perintah Jakarta. Karena itu untuk menyesuaikan undang-undang tersebut dengan situasi sosial budaya masyarakat lokal Minangkabau, Pemda Sumbar melalui Perda No. 13/1983 membentuk apa
27
yang dikenal dengan Kerapatan Adat Nagari (KAN). Anggota KAN ini terdiri dari pimpinan adat dan bertugas untuk memutuskan segala masalah adat yang timbul dalam nagari. Walaupun nagari sebagai unit pemerintahan telah dihapus oleh UU No.5/1979, apa yang dilakukan oleh Pemda Sumbar merupakan suatu bukti bahwa ada masalah dalam keputusan pemerintah tentang penyeragaman struktur pemerintahan desa bagi seluruh Indonesia. Meski begitu perlawanan ini dapat dikatakan tidak berarti. Karena perlawanan itu hanya sekadar memoles permasalahan yang sebenarnya, dan tidak menyentuh pokok permasalahan yang sebenarnya.
Dengan pergantian dari nagari, dusun, marga, gampong, huta, sosor, lumban, binua, lembang, kampung, paraingu, temukung dan yo menjadi desa berdasarkan UU No.5/1979 maka desa-desa hanya berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri, dan tidak dinyatakan dapat “mengurus dan mengatur rumahtangganya sendiri”. Dengan kata lain, desa tidak lagi otonom. Karena ia tidak lagi otonom, desa kemudian tidak lebih dari sekedar ranting patah yang dipaksakan tumbuh pada ladang pembangunan yang direncanakan rezim Orde Baru.
Secara substantif UU No. 5/1979 mengandung sentralisasi-negaranisasi dalam konteks hubungan desa dengan negara (supradesa), dan otoritarianisme-korporatis di dalam internal pemerintahan desa. Desa bukanlah unit yang otonom seperti halnya daerah, tetapi hanya organisasi pemerintahan terendah yang dikendalikan negara (the local state government) melalui tangan camat. Negara betul-betul masuk ke desa. Kepala desa bukanlah pemimpin masyarakat desa, melainkan sebagai kepanjangan tangan pemerintah supra desa, yang digunakan untuk mengendalikan penduduk dan tanah desa.
UU No. 5/1979 menegaskan bahwa kepala desa dipilih oleh rakyat melalui demokrasi langsung. Ketentuan pemilihan kepala desa secara langsung itu merupakan sebuah sisi demokrasi (elektoral) di aras desa. Di saat presiden, gubernur dan bupati ditentukan secara oligarkis oleh parlemen, kepala desa justru dipilih secara langsung oleh rakyat. Karena itu keistimewaan di aras desa ini sering disebut sebagai benteng demokrasi di level akar-rumput. Tetapi secara empirik praktik pemilihan kepala desa tidak sepenuhnya mencerminkan kehendak rakyat karena hampir tidak people choice sejak awal sampai pemilihan (voting). Pilkades selalu sarat dengan rekayasa dan kontrol pemerintah supradesa. Dalam studinya di desa-desa di Pati, Franz Husken (2001) menunjukkan bahwa pilkades selalu diwarnai dengan intimidasi terhadap rakyat, manipulasi terhadap hasil, dan dikendalikan secara ketat oleh negara. Bagi Husken, pilkades yang paling menonjol adalah sebuah proses politik untuk penyelesaian hubungan kekuasaan lokal, ketimbang sebagai arena kedaulatan rakyat.
Cacat demokrasi desa tidak hanya terlihat dari sisi pilkades, tetapi juga pada posisi kepala desa. UU No. 5/1979 menobatkan kepala desa sebagai “penguasa tunggal” di desa. Desa dibuat sebagai “negara kecil”, yang berarti dia diposisikan sebagai wilayah, organ dan instrumen kepanjangan tangan negara yang memang tersusun secara hirarkhis-korporatis, bukan sebagai tempat bagi warga untuk membangun komunitas bersama. Desa bukanlah
28
local-self government melainkan sekadar sebagai local-state government. Kepala desa adalah kepanjangan tangan birokrasi negara yang menjalankan perintah untuk mengendalikan wilayah dan penduduk desa. Karena itu Hans Antlov (2002) menyebutnya sebagai negara masuk desa. Kepala desa mengendalikan seluruh hajat hidup orang banyak, dia harus menhetahui apa saja yang terjadi di desa, termasuk selembar daun yang jatuh dari pohon di wilayah yurisdiksinya. Ken Young (1993) bahkan lebih suka menyebut kepala desa sebagai “fungsionaris negara” ketimbang sebagai “perangkat desa”, karena dia lebih banyak menjalankan tugas negara ketimbang sebagai pemimpin masyarakat desa.
UU No. 5/1979 sebenarnya juga mengenal pembagian kekuasaan di desa, yakni ada kepala desa dan Lembaga Musyawarah Desa (LMD). Pasal 3 menegaskan, pemerintah desa terdiri dari kepala desa dan Lembaga Musyawarah Desa (LMD). Lembaga Musyawarah Desa adalah lembaga permusyawaratan atau pemufakatan yang keanggotaannya terdiri atas Kepala-kepala Dusun , Pimpinan Lembaga-lembaga Kemasyarakatan, dan pemuka-pemuka masyarakat di esa yang bersangkutan (Pasal 17). Meski ada pembagian kekuasaan, tetapi LMD tidak mempunyai kekuasaan legislatif yang berarti. LMD bukanlah wadah representasi dan arena check and balances terhadap kepala desa. Bahkan juga ditegaskan bahwa kepala desa karena jabatannya (ex officio) menjadi ketua LMD (Pasal 17 ayat 2).
Jika di desa kepala desa menjadi penguasa tunggal, tetapi kalau dihadapan supradesa, kepala desa hanya sekadar kepanjangan tangan yang harus tunduk dan bertanggungjawab kepada supradesa. Menurut UU No. 5/1979 Kepala Desa diangkat dan diberhentikan oleh Bupati /Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II atas nama Gubernur Kepala Daerah Tingkat I (pasal 6 dan 9), untuk masa jabatan selama 8 tahun, dan dapat dipilih kembali untuk satu masa jabatan berikutnya (pasal 7). Kepala Desa menjalankan hak, wewenang, dan kewajiban pimpinan pemerintahan desa yaitu menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dan merupakan penyelenggara dan penanggung jawab utama dibidang pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan dalam rangka penyelenggaraan urusan pemerintah desa, urusan pemerintahan umum termasuk pembinaan ketentraman dan ketertiban sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan menumbuhkan serta mengembangkan jiwa gotong royong masyarakat sebagai sendi utama pelaksanaan pemerintahan desa. Dalam menjalankan hak, wewenang, dan kewajiban pimpinan pemerintah desa, Kepala Desa bertanggung jawab kepada pejabat yang berwenang mengangkat melalui Camat; dan memberikan keterangan pertanggungjawaban tersebut kepada Lembaga Musyawarah Desa (Pasal 10).
Sebagian besar kepala desa bukanlah pemimpin masyarakat yang berakar dan legitimate di mata masyarakat meski secara fisik dekat dengan rakyat, melainkan menjadi bagian dari birokrasi negara yang mempunyai segudang tugas kenegaraan: menjalankan birokratisasi di level desa, melaksanakan program-program pembangunan, memberikan pelayanan administratif kepada masyarakat, serta melakukan kontrol dan mobilisasi warga desa. Jika pemerintah desa menjadi sentrum kekuasaan politik, maka kepala desa merupakan personifikasi pemerintah desa. Semua mata di desa ditujukan
29
kepada kepala desa secara personal. Karena itu kepala desa selalu sensitif terhadap legitimasi. Legitimasi berarti pengakuan rakyat terhadap kekuasaan dan kewenangan kepala desa untuk bertindak mengatur dan mengarahkan rakyat. Tetapi legitimasi tidak turun dari langit begitu saja. Kepala desa yang terpilih secara demokratis belum tentu memperoleh legitimasi terus-menerus ketika menjadi pemimpin di desanya. Legitimasi mempunyai asal-usul, mempunyai sumbernya. Legitimasi kepala desa bersumber pada ucapan yang disampaikan, nilai-nilai yang diakui, serta tindakan yang diperbuat setiap hari. Umumnya kepala desa yakin betul bahwa pengakuan rakyat sangat dibutuhkan untuk membangun eksistensi dan menopang kelancaran kebijakan maupun tugas-tugas yang dia emban, meski setiap kepala desa mempunyai ukuran dan gaya yang berbeda-beda dalam membangun legitimasi. Tetapi, kepala desa umumnya membangun legitimasi dengan cara-cara yang sangat personal ketimbang institusional. Kepala desa dengan gampang diterima secara baik oleh warga bila ringan tangan membantu dan menghadiri acara-acara privat warga, sembada dan pemurah hati, ramah terhadap warganya, dan lain-lain (IRE, 2003; AAGN Ari Dwipayana dan Sutoro Eko, 2003).
Kepala desa selalu tampil dominan dalam urusan publik dan politik, tetapi dia tidak mengembangkan sebuah tata pemerintahan yang bersendikan transparansi, akuntabilitas, daya tanggap, kepercayaan dan kebersamaan. Yang terjadi adalah sebaliknya: penundukan secara hegemonik terhadap warga, karena kepala desa merasa dipercaya dan ditokohkan oleh warga. Kepala desa punya citra diri benevolent atau sebagai wali yang sudah dipercaya dan diserahi mandat oleh rakyatnya, sehingga kades tidak perlu bertele-tele bekerja dengan semangat partisipatif dan transparansi, atau harus mempertanggungjawabkan tindakan dan kebijakannya di hadapan publik. Sebaliknya, warga desa tidak terlalu peduli dengan kinerja kepala desa sebagai pemegang kekuasaan desa, sejauh sang kepala desa tidak mengganggu perut dan nyawa warganya secara langsung. Warga desa, yang sudah lama hidup dalam pragmatisme dan konservatisme, sudah cukup puas dengan penampilan Kades yang lihai pidato dalam berbagai acara seremonial, yang populis dan ramah menyapa warganya, yang rela beranjangsana, yang rela berkorban mengeluarkan uang dari kantongnya sendiri untuk kepentingan umum, yang menjanjikan pembangunan prasarana fisik dan seterusnya. Masyarakat tampaknya tidak mempunyai political space yang cukup dan kapasitas untuk voice dan exit dari kondisi struktural desa yang bias elite, sentralistik dan feodal (IRE, 2003; AAGN Ari Dwipayana dan Sutoro Eko, 2003).
Masa Reformasi
Reformasi yang dimulai tahun 1998, menyusul runtuhnya Soeharto, ditandai dengan gelombang demokratisasi dan desentralisasi. Arus demokratisasi dan desentralisasi tidak dimulai dari atas, atau melalui proses pelembagaan politik secara damai, melainkan melalui “aksi reformasi” yang digerakkan massa dari bawah. Paralel dengan gerakan menjatuhkan Soeharto, aksi reformasi yang mengangkat isu “KKN” di aras lokal berkobar di berbagai daerah di seluruh Indonesia. Bupati Bantul, yang terkait dengan pembunuhan Udin dan juga disangka terlibat KKN dalam proses pemilihan
30
sampai dengan penggunaan dana IDT, akhirnya harus lengser berkat aksi reformasi. Di Jawa Tengah, aksi reformasi dilancarkan pada para pejabat yang diduga KKN seperti Sekwilda Jateng, Dirut BPD Jateng, Bupati Klaten, Bupati Magelang, Bupati Bantul, Bupati dan Walikota Tegal, dan sebagainya. Di Jawa Timur, aksi serupa terjadi di Madiun, Malang, Tuban, Lamongan, Banyuwangi, dan sebagainya. Memang tidak setiap aksi berhasil “mengkudeta” para pejabat seperti Bupati/Walikota, tetapi aksi reformasi yang digelar oleh elemen-elemen masyaralat lokal memperlihatkan semakin menguatnya masyarakat, dan paling tidak mempunyai pengaruh psikologis yang kuat di kalangan elite lokal maupun masyarakat luas.
Fenomena yang sama juga terjadi di desa-desa di Jawa. Salah satu fenomena pertama yang terjadi sejak 1998 adalah gerakan reformasi yang membahana sampai ke pelosok desa, yakni meluasnya protes sosial masyarakat pada pemimpin lokal (dari gubernur, bupati sampai pamong desa). Fenomena ini, menurut Kompas, merupakan bentuk kebangkitan rakyat desa yang mendadak memperoleh kedaulatan setelah sekian lama hidup mereka sangat tertekan.3 Seperti halnya gerakan reformasi nasional, eforia reformasi yang berkobar di tingkat desa tampaknya dimaknai dan digerakkan untuk merombak tatanan politik lama yang tidak adil dan tidak demokratis, yang lebih khusus adalah “mengkudeta” para pamong desa yang bermasalah atau mengidap penyakit “KKN”. Fenomena protes sosial memperlihatkan sebuah krisis pemimpin lokal dan sekaligus menunjukkan tuntutan masyarakat yang luar biasa pada demokrasi, yakni pemerintahan desa yang bersendikan akuntabilitas, transparansi dan responsivitas. Protes sosial juga memberi tanda bahwa kontrol dan kepemilikan masyarakat terhadap desa sekarang jauh lebih kuat ketimbang pada masa sebelumnya.
1. UU No. 22/1999: Kelebihan dan Keterbatasan
UU No. 22/1999 memang tidak mengenal desentralisasi desa, tetapi para perumusnya, misalnya Prof. M. Ryaas Rasyid, menegaskan bahwa semangat dasar UU No. 22/1999 adalah memberikan pengakuan terhadap keragaman dan keunikan desa (atau dengan nama lain) sebagai self-governing community, yang tentu saja merupakan manifestasi terhadap makna “istimewa” dalam Pasal 18 UUD 1945. Pemaknaan baru ini berbeda dengan semangat dan disain yang tertuang dalam UU No. 5/1979, yang hanya menempatkan desa sebagai unit pemerintahan terendah di bawah camat. Secara politik UU No. 5/1979 bermaksud untuk menundukkan desa dalam kerangka NKRI, yang berdampak menghilangkan basis self-governing community.
Dengan berpijak pada semangat pengakuan itu, UU No. 22/1999 mendefinisikan desa sebagai berikut: “Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di Daerah Kabupaten”. Rumusan ini merupakan lompatan yang luar biasa bila dibandingkan dengan rumusan tentang desa dalam UU No. 5/1979. Secara normatif UU No. 22/1999 menempatkan desa tidak lagi sebagai bentuk pemerintahan terendah di bawah camat, melainkan sebagai kesatuan masyarakat hukum yang berhak
31
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan hak asal-usul desa. Implikasinya adalah, desa berhak membuat regulasi desa sendiri untuk mengelola barang-barang publik dan kehidupan desa, sejauh belum diatur oleh kabupaten. Dalam Pasal 105, misalnya, ditegaskan: “Badan Perwakilan Desa bersama dengan Kepala Desa menetapkan Peraturan Desa”. Ini artinya, bahwa desa mempunyai kewenangan devolutif (membuat peraturan desa) sekaligus mempunyai kekuasaan legislatif untuk membuat peraturan desa itu.
Lompatan lain yang tampak dalam UU No. 22/1999 adalah pelembagaan demokrasi desa dengan lahirnya Badan Perwakilan Desa (BPD) sebagai pengganti Lembaga Musyawarah Desa (LMD). Pasal 94 UU No. 22/1999 menegaskan: “Di Desa dibentuk Pemerintah Desa dan Badan Perwakilan Desa, yang merupakan Pemerintahan Desa”. Sedangkan Pasal 104 menegaskan: Badan Perwakilan Desa atau yang disebut dengan nama lain berfungsi mengayomi adat istiadat, membuat Peraturan Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, serta melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Desa.
BPD menjadi arena baru bagi kekuasaan, representasi dan demokrasi desa. BPD dilahirkan sebagai bentuk kritik terhadap LMD. Pembentukan BPD melibatkan secara terbatas partisipasi masyarakat. Ia menjadi sebuah arena demokrasi perwakilan yang lebih baik ketimbang LMD. Berbeda dengan LMD masa lalu yang ditunjuk oleh lurah, BPD sekarang dipilih dengan melibatkan masyarakat. Jika dulu LMD merupakan lembaga korporatis yang diketuai secara ex officio dan didominasi oleh kepala desa, sekarang kepala desa ditempatkan sebagai eksekutif sementara BPD sebagai badan legislatif yang terpisah dari kepala desa (tabel 1). Dengan kalimat lain, lahirnya BPD telah membawa pergeseran kekuasaan yang lebih jelas antara kepala desa sebagai pemegang kekuasaan eksekutif dan BPD sebagai pemangku lembaga legislatif. Paling tidak ada tiga domain kekuasaan kepala desa yang telah dibagi ke BPD: (1) pembuatan keputusan dalam bentuk Peraturan Desa (Perdes) yang dikerjakan bersama-sama antara lurah dan BPD; (2) pengelolaan keuangan yang melibatkan BPD seperti penyusunan APBDES dan pelelangan tanah kas desa; (3) rekrutmen perangkat desa yang dulu dikendalikan oleh lurah dan orang-orang kecamatan maupun kabupaten sekarang dikendalikan oleh BPD. Bahkan kontrol BPD terhadap kepala desa sudah dijalankan meski kontrol itu masih terbatas pada LPJ lurah dan ia belum terinstitusionalisasi kepada masyarakat.
Sumbangan BPD terhadap demokrasi desa memang sangat beragam. Ada yang positif ada pula yang negatif. Kehadiran BPD jelas membuka ruang kontrol dan keseimbangan kekuasaan di desa. Bagi lurah yang mempunyai sense of legitimacy merasa lebih ringan menanggung beban psikopolitik dalam membuat keputusan, setelah ditopang partnership dengan BPD. Sebab keputusan desa yang dulu dimonopoli oleh lurah, sekarang bisa dibagi kepada BPD yang memungkinkan tekanan-tekanan publik kepada lurah semakin berkurang, dan dengan sendirinya akan beralih juga kepada
3“Reformasi di Jawa: Kebangkitan Rakyat Pedesaan”, Kompas, 24 Desember 1998.
32
BPD. Di banyak desa, yang paling menyolok, kehadiran BPD telah membuat “hati-hati” lurah dalam bertinndak, sehingga sekarang banyak lurah yang bekerja lebih transparan dan bertanggungjawab.
Namun, di banyak tempat, hadirnya BPD tidak memberikan sumbangan bagi pelembagaan demokrasi desa secara matang, dewasa dan santun, melainkan menjadi sumber masalah baru karena peran lembaga perwakilan itu yang “kebablasan” dan menimbulkan pertikaian dengan pemerintah desa. Banyak kepala desa yang melaporkan (wadul) bahwa dirinya digencet oleh “Badan Provokasi Desa”. Di sebuah desa, misalnya, selepas lurah desa mengundurkan diri karena bermasalah, tidak ada warga yang sanggup mencalonkan diri sebagai kepala desa karena trauma yang mendalam kepada sepak terjang BPD. Di sisi lain, di mata kades, BPD sering melanggar batas-batas kekuasaan dan kewenangan yang telah digariskan dalam regulasi. Sekarang lurah menghadapi tekanan dan instruksi dari atas (kabupaten), gencetan dari samping (Badan Perwakilan Desa, BPD) dan tuntutan dari masyarakat. Tetapi hubungan konfliktual antara pemerintah desa dan BPD itu lambat laun mulai mencair, setidaknya mulai tahun ketiga. Di banyak desa, hubungan antara pemerintah desa dan BPD mulai terbangun trust dan kemitraan yang lebih baik.
BPD juga belum mampu mengayuh di antara dua karang: negara dan masyarakat. Eksistensi, sepak terjang, dan keputusan BPD (sebagai oligarki) elite lebih banyak berkiblat pada negara ketimbang berbasis pada masyarakat. Lahirnya BPD di empat desa sendiri diikat oleh Perda. Perda beserta juklak dan juknisnya merupakan referensi utama bagi BPD dalam membuat keputusan. Artinya BPD membuat Perdes hanya sebagai sebuah respons terhadap Perda yang dibuat oleh kabupaten. Tampaknya belum ada pemikiran BPD untuk melibatkan masyarakat secara partisipatif (atau setidaknya konsultasi publik) dalam proses pembuatan keputusan. Yang populer dalam benak mereka adalah sosialisasi Raperdes. Raperdes yang disusun oleh BPD bersama kades, sebagai bentuk respons terhadap Perda, umumnya “disosialisasikan” kepada masyarakat, khususnya para ketua RT dan tokoh masyarakat. Namun sosialisasi Raperdes itu cenderung bias elite, tidak membuka perdebatan wacana secara luas, dan tidak melibatkan masyarakat luas dalam agenda setting secara bersama-sama.
Perda, yang selalu menjadi rujukan BPD dan pemerintah desa, sudah dilengkapi dengan rambu-rambu, juklak, dan juknis sebagai pedoman yang harus “ditaati” oleh desa. Jika pemerintah desa dan BPD membuat Perdes secara menyimpang dari Perda, meski berbasis pada masyarakat, maka kabupaten bisa menggunakan hak vetonya menggagalkan Perdes. Dengan demikian, otonomi desa yang berbasis pada partisipasi masyarakat masih sangat lemah, dan hal itu tidak dimainkan dengan baik oleh BPD.
Meski menciptakan lompatan yang luar bisa, tetapi UU No. 22/1999 tetap memiliki sejumlah keterbatasan, terutama kalau dilihat dari sisi desain desentralisasi. Setelah mencermati wacana yang berkembang di Departemen Dalam Negeri, kami memperoleh informasi bahwa pemerintah hendak menyerahkan sepenuhnya persoalan desa kepada kabupaten/kota. Kehendak inilah yang membuat rumusan UU No. 22/1999 memberikan “cek
33
kosong” pengaturan desa kepada kabupaten/kota. UU No. 22/199 hanya memberikan diktum yang sifatnya makro dan abstrak dalam hal desentralisasi kewenangan kepada desa. Di satu sisi ini adalah gagasan subsidiarity yang baik, tetapi kami menilai bahwa pemerintah tampaknya tidak mempunyai konsepsi yang memadai (jika tidak bisa disebut kurang mempunyai
No
Item
Rembug Desa
LMD
BPD
1
Penentuan pemimpin dan anggota.
Musyawarah
Tanpa musyawarah dan pemilihan, tetapi penunjukkan oleh kades (lurah)
Pemilihan yang melibatkan masyarakat
2
Pembuatan keputusan
Partisipatif dengan musyawarah.
Musyawarah oleh “wali” masyarakat
Perwakilan.
3
Kedudukan dan fungsi
Pemegang kedaulatan tertinggi, membuat keputusan yang mengikat rakyat
Subordinat kades Sebagai lembaga konsultatif yang dikendalikan kades.
Otonom dari kades. Legislasi dan kontrol terhadap kades.
4
Kedudukan kades
Sebagai ketua rembug desa
Sebagai ketua umum dan mendominasi LMD
Lepas dari organisasi BPD.
5
Keterlibatan masyarakat
Seluruh kepala keluarga terlibat, kecuali anak-anak muda dan perempuan.
Masyarakat tidak terlibat. Hanya elite desa yang terlibat.
Masyarakat terlibat memilih, tetapi kurang terlibat dalam proses pembuatan keputusan.
6
Tipe demokrasi
Permusyawaratan (deliberative)
Perwalian (delegatif) yang tidak sempurna.
Perwakilan
Tabel 1
Tiga wadah demokrasi desa
Sumber: Sutoro Eko, Badan Perwakilan Desa: Arena Baru Kekuasaan dan Demokrasi Desa, Makalah disampaikan dalam Seminar Internasional “Dinamika Politik Lokal: Politik Pemberdayaan”, kerjasama Percik, Riau Mandiri, The Ford Foundation, Agustus, 2001. komitmen serius) untuk merumuskan disain desentralisasi dan otonomi desa. Sebagaimana ditunjukkan oleh Selo Sumardjan (1992), pemerintah sebenarnya mengalami kesulitan dalam mengatur otonomi desa, sejak awal kemerdekan, khususnya sejak 1965. Jika dilihat dari sisi hukum ketetanegaraan, pemberian cek kosong kepada kabupaten sangat tidak tepat, sebab yang melakukan desentralisasi adalah negara, bukan kabupaten/kota.
UU No. 22/1999 membuat kabur (tidak jelas) posisi desa karena mencampuradukkan antara prinsip self-governing community (otonomi asli) dan local-self government (desentralisasi) tanpa batas-batas perbedaan yang jelas (Sutoro Eko, 2004c). Pengakuan desa sebagai self-governing community (otonomi asli) lebih bersifat simbolik dan nostalgia, ketimbang substantif. Setelah UU No. 22/199 dijalankan, tidak serta-merta diikuti dengan pemulihan otonomi asli desa, terutama otonomi dalam mengelola hak ulayat desa adat. Menurut UU No. 22/1999, kewenangan Desa mencakup: (1) kewenangan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul Desa; (2) kewenangan yang oleh peraturan perundang-perundangan yang berlaku belum dilaksanakan oleh Daerah dan Pemerintah; dan (3) Tugas Pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Propinsi, dan/atau Pemerintah Kabupaten.
34
Ayat (1) menunjukkan bahwa desa memiliki kewenangan asli yang tidak boleh diintervensi oleh pemerintah supradesa. Namun hal ini dalam kenyataannya tidak jelas kewenangan yang dimaksud, sehingga desa tetap saja tidak mempunyai kewenangan yang benar-benar berarti (signifikan) yang dapat dilaksanakan secara mandiri (otonom). Kewenangan yang selama ini benar-benar dapat dilaksanakan di desa hanyalah kewenangan yang tidak mempunyai kontribusi yang signifikan terhadap kehidupan masyarakat desa itu sendiri.
Kewenangan asli tersebut sebenarnya yang menjadi pertanda bagi desa sebagai kesatuan masyarakat hukum atau desa sebagai subyek hukum yang otonom. Tetapi, sekarang, kewenangan generik bukan hanya susah untuk diingat kembali, tetapi sebagian besar sudah hancur. Komunitas adat (desa adat) yang paling menderita atas kehancuran kewenangan generik. Adat telah kehilangan eksistensinya sebagai subyek hukum untuk mengelola property right. Banyak tanah ulayat yang kemudian diklaim menjadi milik negara. Ketika desa dan adat diintegrasikan ke dalam negara, maka negara membuat hukum positif yang berlaku secara nasional, sekaligus meniadakan hukum adat lokal yang dulunya digunakan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Sengketa hukum dan agragia antara negara dengan adat pun pecah dimana-mana yang sampai sekarang sulit diselesaikan secara karitatif karena posisi (kedudukan) desa adat yang belum diakui sebagai subyek hukum yang otonom. Di tingkat lokal juga sering terjadi dualisme antara kepala desa dengan penghulu adat atau sering terjadi benturan antara “desa negara” dengan “desa adat” yang menggelar sengketa dalam hal pemerintahan, kepemimpinan, aturan dan batas-batas wilayah (Sutoro Eko, 2004d).
Titik krusial lain adalah perubahan dari kewenangan mengatur dan mengurus “rumah tangga sendiri” menjadi kewenangan mengatur dan mengurus “kepentingan masyarakat setempat” sebagaimana terumuskan dalam UU No. 22/1999. Kalau hanya sekadar kewenangan mengelola “kepentingan masyarakat setempat”, kenapa harus diformalkan dalam UU, sebab selama ini masyarakat sudah mengelola kepentingan hidup sehari-hari mereka secara mandiri. Tanpa pemerintah dan UU sekalipun masyarakat akan mengelola kepentingan mereka sendiri. Dimata para kepala desa, mengurus dan melayani kepentingan masyarakat setempat sudah merupakan kewajiban dan tanggungjawab mereka sehari-hari.
Ayat (2) menunjukkan betapa desa hanya akan memperoleh kewenangan sisa dari kewenangan pemerintah supradesa (otonomi residu). Sementara pada ayat (3) sebenarnya bukanlah termasuk kategori kewenangan desa karena tugas pembantuan hanyalah sekedar melaksanakan tugas tertentu yang disertai pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskan. Dengan demikian makna tugas pembantuan bukanlah merupakan kewenangan desa tetapi sekedar sebagai pelaksana dari sebuah kegiatan yang berasal dari pemerintah supradesa.
Sebagai turunan dari UU No 22/99, terdapat aturan yang mencakup kewenangan desa, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) No. 76/2001 tentang
35
Pedoman Umum Pengaturan Mengenai Desa. PP ini menegaskan sejumlah kewenangan desa, yaitu: Penetapan bentuk dan susunan organisasi pemerintahan desa; Pencalonan, pemilihan dan penetapan Kepala Desa; Pencalonan, pemilihan, pengangkatan dan penetapan perangkat desa; Pembentukan dan penetapan lembaga masyarakat; Penetapan dan pembentukan BPD; Pencalonan, pemilihan dan penetapan angota BPD; Penyusunan dan penetapan APBDes; Pemberdayaan dan pelestarian lembaga adat; Penetapan peraturan desa; Penetapan kerja sama antar desa; Penetapan dan pembentukan Badan Usaha Milik Desa (BUMDES); Pengeluaran ijin skala desa; Penetapan tanah kas desa; Pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat; Pengelolaan tugas pembantuan; Pengelolaan atas dana bagi hasil perimbangan keuangan antara pusat dan daerah yang diterima oleh kabupaten dan kota.
Penetapan dan pembentukan BPD sebenarnya juga belum diserahkan sepenuhnya kepada desa. Hal ini ditunjukkan dengan adanya Perda yang masih mengatur dan membatasi jumlah anggota BPD. Karena akhirnya yang memberi honor kepada anggota BPD adalah desa itu sendiri, maka sebenarnya tidak perlu ada pembatasan jumlah anggota BPD, yang lebih penting adalah tingkat representasi dari anggota BPD itu sendiri. Bila suatu desa menghendaki jumlah anggota BPD lebih besar, hal itu tidak perlu dilarang karena risiko penambahan anggota dengan tambahan beban honor bagi anggota BPD akan ditanggung oleh desa itu sendiri. Di sisi lain kewenangan desa untuk menetapkan peraturan desa, kadang-kadang justru menimbulkan beban bagi masyarakat terutama peraturan yang menyangkut pungutan-pungutan. Pengelolaan tugas pembantuan sebenarnya juga bukan kewenangan desa, melainkan tugas (beban) yang diberikan kepada desa. Titik kewenangannya justru bersifat “negatif”, yaitu kewenangan desa menolak tugas pembantuan bila tidka disertai pendukungnya.
3. Eksperimentasi otonomi desa
Desentralisasi melalui UU No. 22/1999 telah mendorong bangkitnya identitas lokal di daerah, karena selama Orde Baru identitas politik dihancurkan dengan proyek penyeragaman ala Desa Jawa. Bagi pemimpin dan masyarakat lokal, identitas diyakini sebagai nilai, norma, simbol, dan budaya yang membentuk harga diri, eksistensi, pedoman untuk mengelola pemerintahan dan relasi sosial, dan senjata untuk mempertahankan diri ketika menghadapi gempuran dari luar. Sumatera Barat telah kembali nagari sejak 2000/2001, Kabupaten Tana Toraja telah mengukuhkan kembali ke lembang, dan di beberapa kabupaten di Kalimantan Barat tengah berjuang untuk kembali ke pemerintahan binua. Kembalinya ke pemerintahan asal-usul diyakini sebagai upaya menemukan identitas lokal yang telah lama hilang, sekaligus sebagai bentuk kemenangan atas penyeragaman (Jawanisasi) di masa lampau.
Banyak pihak tampaknya sangat khawatir bahwa kembalinya ke pemerintahan asli merupakan kebangkitan feodalisme yang berpusat pada tokoh-tokoh adat. Pengalaman di Sumatera Barat dan Kalimantan Barat memang menunjukkan bahwa para tokoh adat sangat dominan “memaksakan” pemulihan model lama untuk diterapkan masa sekarang. Di Sumbar misal36
nya, eforia kembali ke nagari memang diwarnai oleh jebakan romantisme, formalisme dan konservatisme. Tetapi aspirasi di nagari sekarang tidaklah tunggal. Suara-suara kritis generasi muda yang kosmopolit terus-menerus menyerukan tentang demokrasi, partisipasi, transparansi dan lain-lain. Bahkan suara mereka berbeda jauh dengan aspirasi “kembali ke surau” yang diserukan oleh golongan tua. Dengan demikian, aspirasi feodalisme golongan tua mau tidak mau harus mengakomodasi suara demokrasi dari kalangan muda.
Pengalaman “kembali ke nagari” di Sumatera Barat merupakan eksperimentasi lokal membangun otonomi desa. Sumbar adalah “pelari terdepan” bila dibanding dengan daerah-daerah lain, termasuk Jawa, meski kapasitas desa di Jawa mungkin lebih baik ketimbang nagari di Sumbar. Sumatera Barat merupakan daerah yang sangat unik dan eksotik dalam hal desentralisasi dan demokrasi lokal. Sejak lama orang Minang mempunyai sejarah “otonomi asli” yang berbasis pada nagari (Sutoro Eko, 2003a).
Di sepanjang zaman proses desentralisasi di Sumbar berlangsung secara dinamis. Ketika republik Indonesia baru berumur satu dekade, Sumbar telah tampil sebagai penantang gigih sentralisasi melalui PRRI, meski dari kacatama Jakarta ia dianggap sebagai sebuah pembe-rontakan yang harus ditumpas secara represif. Pada masa Orde Baru, Sumbar lagi-lagi tampil sebagai penentang gigih terhadap intervensi dan penyeragaman (regimentasi) pemerintahan desa melalui UU No. 5/1979. Masyarakat Sumbar dipaksa menerima intervensi Jakarta, meski mereka merasakan kehilangan identitas politik lokal dan self-governing community yang sudah lama berbasis pada nagari.
Marginalisasi terhadap nagari mulai bergeser menjadi eforia ketika desentralisasi dan demokrasi lokal mengalami kebangkitan, menyusul bangkrutnya Orde Baru. Sejak 1998, Sumbar menemukan momentum baru seraya melakukan respons yang paling cepat terhadap desentralisasi. Salah satu tema sentral kebangkitan desentralisasi di Sumbar adalah “kembali ke nagari”, yakni kembali ke identitas dan komunitas politik lokal yang desentralistik dan demokratis. Sebelum UU No. 22/1999 lahir, wacana “kembali ke nagari” telah membahana ke seluruh pelosok Sumbar, kecuali di Kepulauan Mentawai. Gubernur, bupati, DPRD, akademisi, LSM, pers, pengusaha, kerapatan adat, ninik mamak, alim ulama, cadiak pandai, bundo kanduang dan sebagainya berbicara serius untuk merumuskan formula baru kembali ke nagari.
Setelah melawati dialektika yang panjang, Propinsi Sumbar mengundangkan Perda No. 9/2000, yang menjadi efektif pada bulan Januari 2001. Kecuali wilayah kota dan Mentawai, setiap kabupaten di Sumbar segera merumuskan Perda kembali ke nagari. Kabupaten Solok adalah pelari terdepan dalam melahirkan Perda, yang diikuti daerah-daerah lain. Kabupaten Agam adalah pengikut yang terakhir. Pembukaan Perda menyatakan bahwa Sumbar kembali ke nagari, diikuti dengan rumusan ritual bahwa “adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah”, “hukum agama mengatur, adat memakai, alam adalah guru bagi umat manusia”. Perda itu memberikan kepastian rintisan untuk kembali ke nagari dalam batas-batas wilayah
37
sebelum 1979. Perda juga menyebutkan sumber-sumber daya nagari: pasar, balai adat, mesjid dan surau, lahan, sawah, hutan, sungai, kolam, danau dan bagian dari laut yang dulu merupakan ulayat nagari, bangunan publik serta harta kekayaan yang bergerak dan harta lainnya.
Gerakan dan kebijakan kembali ke nagari memang tidak populer bagi Mentawai (yang mempunyai identitas berbeda dengan Minangkabau) dan bagi para kepala desa. Mengapa kepala desa menentang kembali ke nagari? Ketika UU No. 5/1979 diterapkan setiap nagari dipecah menjadi banyak desa mengikuti jumlah jorong yang berada di bawah yurisdiksi nagari. Sebaliknya kembali ke nagari mengharuskan regrouping sejumlah desa (jorong) menjadi satu nagari, kembali ke kondisi masa silam. Barisan sakit hati kepala desa menentang kembali ke nagari karena kekuasaan mereka yang sudah mapan akan segera dihentikan dan segera membentuk wali nagari baru. Toh suara boikot para kepala desa itu secara cepat tenggelam dari permukaan, karena suara mayoritas orang Sumbar adalah mendukung kembali ke nagari sesuai dengan kondisi sebelum 1979.
Sampai 2002 pembentukan kembali (recreating) nagari di wilayah kabupaten telah usai dilakukan. Prinsipnya adalah membentuk “nagari baru” yang menggabungkan antara self-governing community (otonomi asli yang berbasis adat) dan local-self government (desentralisasi dari pemerintah). Pola penggabungan ini adalah format baru yang memungkinkan terjadinya “rekonsiliasi” antara “desa adat” dengan “desa dinas” yang dibentuk oleh negara melalui UU No. 5/1979.
Mengapa kembali ke nagari di Sumbar berlangsung cepat dan “sukses”? Bagaimana kalau dibandingkan dengan kasus di Jawa? Gerakan kembali ke nagari memang bukan sesuatu yang final karena baru dalam tahap awal perubahan (pergeseran kembali dari desa ke nagari). Kini nagari tetap menghadapi sejumlah tantangan baru seperti bagaimana memper-kuat kepemimpinan tigo tungku sajarangan, membuat pemerintahan nagari yang lebih baik, memperkuat partisipasi masyarakat (bukan hanya dari sisi kepemilikan tetapi juga pada sisi voice, akses dan kontrol masyarakat), memper-kuat basis ekonomi nagari untuk kesejahteraan rakyat dan seterusnya.
Kami membaca bahwa “cerita sukses” kembali ke nagari ditopang oleh beberapa hal (Sutoro Eko, 2003a). Pertama, nagari adalah identitas utama dan basis kehidupan orang Minangkabau. Orang Minang selalu bangga menye-but dirinya sebagai “anak nagari”, meski banyak di antara mereka yang sudah tercerabut dari nagari. Ini berbeda dengan di Jawa. Desa, bagi orang Jawa, bukan lagi menjadi identitas tetapi hanya sebagai satuan administratif yang mengendalikan hidup mereka. Orang desa Jawa, terutama generasi muda, cenderung merasa inferior menyebut dirinya sebagai “orang desa” meski mereka bangga sebagai “orang Jawa”. Karena pengaruh developmentalisme dan cara pandang penguasa yang keliru terhadap masyarakat desa, orang-orang desa yang hidup di luar desa merasakan bahwa “orang desa” identik dengan “orang kolot”, “orang miskin”, “kampungan”, “kawula cilik”, “orang bodoh”, dan seterusnya. Orientasi gerenasi baru orang desa sekarang cenderung “bias kota”, yang mencari identitas dan penghidupan yang urbanized. Kami sering mendengar banyak orang-orang sukses (entah
38
pejabat atau pengusaha) di kota yang mengatakan dirinya dari desa. Tetapi, kami menilai ungkapan itu adalah bentuk nostalgia dan kebanggaan semu, bukan sebagai bentuk komitmen sosial terhadap desa.
Kedua, kembali ke nagari didukung oleh perpadu-an antara gerakan sosial (social movement) dan kebijakan (public policy). Kami sangat yakin bahwa kebijakan dari atas yang tidak didukung secara kuat oleh gerakan sosial berbasis masyarakat akan membuat kebijakan itu sangat rapuh. Di Sumbar, kembali ke nagari telah menjadi domain gerakan sosial sebelum lahir Perda No. 9/2000. Sebagian besar orang Sumbar berbicara kembali ke nagari. Di zaman Orde Baru, kritik terhadap desa dan seruan-seruan keras kembali ke nagari tidak pernah berhenti. Karena itu, Perda menjadi kebijakan publik yang kuat dan legitimate setelah melewati proses dialektika yang panjang, dinamis dan partisipatif. Perda menjadi sebuah kebijakan responsif yang memformalkan isu kembali ke nagari.
Ketiga, gerakan kembali ke nagari didukung dan dibuat dinamis karena modal sosial (kerjasama dan jaringan) yang kuat. Sejak awal semua elemen berbicara dan mendiskusikan wacana kembali ke nagari. Dua organisasi lokal terkemuka di Sumbar, Kerapatan Adat Nagari (KAN) dan Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM), secara aktif mempromosikan gagasan dan seruan kembali ke nagari. Ketika proses formulai Perda dimulai, diskusi-diskusi terjadi di banyak tempat. Para perantau juga tidak ketinggalan berpartisipasi menggagas kembali nagari melalui surat, telpon, fax, email dan tidak sedikit yang datang langsung ke kampung halamannya.
Modal sosial (kerjasama dan jaringan) dan komitmen itulah yang membedakan dengan kondisi di Jawa. Di Jawa, suara otonomi desa tidak terlalu populer dibanding dengan suara kembali ke nagari. Hanya sebagian kecil orang desa yang tahu, apalagi menyuarakan, otonomi desa. Apalagi para perantau yang sudah lama tercerabut dari desa. Kini sebenarnya telah tumbuh suara otonomi desa yang dilancarkan oleh elemen-elemen NGO dan akademisi, tetapi gerakan mereka belum gayut dengan suara asli desa dan komitmen pemerintah daerah.
Keempat, cerita sukses kembali ke nagari tidak lepas dari respons pemerintah daerah. Sebelum pemilu 1999, wacana kembali ke nagari secara resmi digunakan oleh Gubernur Sumbar. Sesudah November 1998, sebuah lokakarya tentang otonomi daerah digelar di Padang. Hasilnya, pemerintah provinsi membentuk sebuah komisi peneliteian untuk mengkaji aspirasi warga masyarakat Sumatera Barat. Sebuah tim peneliteian menjadi duta untuk menyelenggarakan polling pandangan penduduk desa. Polling itu menyimpulkan bahwa jelas sekali mayoritas menyenangi kembali ke nagari. Lantas Gubernur mengirimkan pertimbangan-nya kepada Mendagri tanggal 7 Desember 1998. Dalam pesannya dia menyatakan bahwa pembebanan model desa sudah tidak bekerja dengan baik di Sumbar karena model itu “tidak sesuai dengan sistem sosial budaya”. Respons awal Gubernur tentu mempercepat proses gerakan dan kebijakan kembali ke nagari. Para bupati di wilayah Sumbar juga responsif dan antusias pada gerakan dan kebijakan kembali ke nagari. Bupati Solok dan Limapuluh Kota adalah dua bupati pelari terdepan dalam merespons kembali ke nagari.
39
Sebaliknya di Jawa dan juga di daerah lain, respons pejabat publik terhadap desa sangat lamban. Bahkan banyak yang konservatif terhadap desa. “Otonomi daerah berhenti di tangan saya”, demikian tutur seorang bupati. Banyak bupati yang sibuk plesir, korupsi, menjual aset negara, atau giat meningkatkan pungutan pajak, membuka investasi dan lain-lain. Beberapa bupati memang cukup responsif terhadap otonomi desa, tetapi belum gayut dengan kemauan jangka pendek DPRD sehingga belum membuahkan kebijakan yang memadai.
4. Pengalaman ADD
Eksperimentasi otonomi desa ternyata tidak hanya berbentuk gerakan kembali ke akar, tetapi juga dalam bentuk pembagian kewenangan dan keuangan dari kabupaten ke desa. UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999 memang tidak secara eksplisit mengatur mengenai perimbangan keuangan yang terformula kepada desa. Desa hanya memperoleh bantuan keuangan dari pusat, provinsi dan kabupaten. Karena itu pemerintah kabupaten mempunyai tafsir yang berbeda-beda. Sebagian besar kabupaten hanya menerapkan konsep “bantuan” untuk mengalihkan sebagian dananya kepada desa, misalnya dengan skema Dana Pembangunan Desa (DPD) – bentuk lain dari Inpres Bandes -- untuk membantu pembiayaan pemerintahan dan pembangunan desa. Tampaknya lebih banyak kabupaten yang “enggan” membuat kebijakan alokasi dana yang menggunakan istilah perimbangan keuangan atau alokasi dana desa (ADD), dengan cara mereplikasi formula perimbangan keuangan dalam UU No. 25/1999. Hanya ada beberapa kabupaten (kurang dari 40 kabupaten dari sekitar 400 kabupaten/kota) yang melakukan inovasi ADD dengan merujuk pada UU No. 25/1999. Inovasi baru ini memang tidak lepas dari berbagai dorongan yang beragam: inisiatif populis seorang bupati, dorongan dari pemerintah pusat, asistensi teknis dari sejumlah lembaga donor, serta tekanan dari oganisasi masyarakat sipil maupun asosiasi desa. Sejumlah lembaga donor seperti Partnership for Governance Reform, Program Pembaruan Tata Pemerintahan Daerah Bank Dunia, GTZ, maupun Perform USAID menjalin kerjasama dengan berbagai pihak dan melakukan asistensi teknis di banyak kabupaten untuk melancarkan kebijakan ADD. Ford Foundation, Yayasan Tifa dan CSSP-USAID juga mendukung banyak NGOs untuk mendorong lahirnya ADD di banyak kabupaten.
Pengalaman lokal menunjukkan bahwa formula alokasi dana ke desa sangat beragam. Di Sumatera Barat lebih dikenal dengan Dana Alokasi Untuk Nagari (DAUN). Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, telah mengeluarkan Perda No. 3/2004 tentang Alokasi Dana Desa (ADD), yang bertujuan untuk untuk pemerataan pembangunan dan meningkatkan partisipasi, kesejahteraan serta pelayanan masyarakat desa melalui pembangunan dalam skala desa. Besar ADD ditentukan minimal 10% dari besar Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang dibagi ke desa-desa, berdasarkan ketentuan alokasi dana minimal (ADM) sebesar 40% dan alokasi dana variabel (ADV) sebesar 60%. ADM mengandung tujuan pemerataan, masudknya sebesar 40% ADM itu dibagi secara merata kepada seluruh desa. Sedangkan ADV mengandung tujuan keadilan, yang artinya angka 60% itu dibagi secara adil kepada desa berdasarkan berbagai kriteria yang memperlihatkan
40
keragaman antardesa. Menurut Perda itu, kriteria untuk merumuskan formula ADD, terutama untuk mengukur indikator dan bobot ADV, mencakup luas wilayah desa, jumlah penduduk desa, jumlah KK miskin desa, keterjangkauan desa dan besaran PADes. Dengan kriteria ini, jika sebuah desa semakin luas wilayahnya, semakin besar jumlah penduduk, semakin besar KK miskin, dan semakin jauh keterjangkauannya, maka desa itu akan memperoleh ADV yang lebih besar ketimbang desa-desa lainnya. Selain mengatur tentang kriteria pemerataan dan keadilan, Perda juga mengatur rambu-rambu yang ketat mengenai penggunaan ADD di desa. Salah satu yang menonjol adalah penentuan alokasi sebesar 40% untuk belanja rutin dan 60% untuk belanja pembangunan.
Penelitian Tim Forum Pengembangan Pembaharuan Desa (FFPD) – yang terdiri dari FPPD, Ditjen Depdagri, GTZ SfDM dan PROMIS NT, Tifa Foundation, Perform USAID, IRE Yogyakarta, STPMD “APMD”, Bina Swagiri Tuban, dan CePAD Sidoarjo -- menemukan model ADD yang beragam di enam kabupaten (Magelang, Tuban, Sumedang, Selayar, Limapuluh Kota, dan Jayapura). Kabupaten Selayar, Sulawesi Selatan, tampaknya mengambil jalan yang berbeda dalam mendisain transfer dana dari kabupaten ke desa. Menurut Perda Nomor 03/2002, Tentang Perimbangan Keuangan Desa dari Kabupaten, pembagian keuangan ke desa terdiri dari 3 (tiga) bentuk. Pertama, bagian desa dari penerimaan pajak dan retribusi, meliputi Pajak Bumi dan Bangunan sektor Perkotaan dan Perdesaan (SKB), Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C, dan Retribusi Izin Mendirikan Bangunan, bagian Dana dari Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, dan Penerimaan dari Sumber Daya Alam. Bagian desa dari penerimaan Pajak dan Retribusi dirinci sebagai berikut:
(1) Penerimaan Daerah dari Pajak Bumi dan Bangunan sektor Perkotaan dan Perdesaan (Sektor SKB) dibagi dengan imbangan 25% untuk Pemerintah Daerah dan 75% untuk Pemerintah Desa.
(2) Penerimaan Daerah dari Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C dibagi dengan imbangan 75% untuk Pemerintah Daerah dan 25% untuk Pemerintah Desa.
(3) Penerimaan Retribusi Izin Mendirikan Bangunan dibagi dengan imbangan 25% untuk Pemerintah Daerah dan 75% untuk Pemerintah Desa.
(4) Penerimaan Daerah dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dibagi dengan imbangan 25% untuk Pemerintah Daerah dan 75% untuk Pemerintah Desa.
(5) Penerimaan Daerah dari Sumber Daya Alam selain dari Tambang Galian Golongan C dibagi dengan imbangan 25% untuk Pemerintah Daerah dan 75% untuk Pemerintah Desa
Kedua, Dana Alokasi Umum. Bagian desa berupa Dana Alokasi Umum Desa (DAU Desa) ditetapkan sekurang-kurangnya 10% dari penerimaan Pemerintah Daerah yang ditetapkan dalam APBD untuk seluruh Desa. Besarnya DAU Desa yang diterima desa tertentu ditetapkan berdasarkan perkalian jumlah DAU seluruh Desa dengan ‘porsi’ desa berangkutan. Porsi desa ini
41
merupakan proporsi ‘bobot desa’ terhadap jumlah ‘bobot semua desa’ di wilayah Kabupaten Selayar. Sedangkan penetapan bobot desa didasarkan oleh 4 (empat) kriteria, yaitu: (1) Luas Wilayah; Jumlah Penduduk; Kondisi Geografis Desa; dan Pertumbuhan Ekonomi Desa. Ketiga, Dana Alokasi Khusus.
Kebupatan Sumedang, Jawa Barat, telah mengeluarkan kebijakan transfer dana ke desa dengan nama Dana Perimbangan Desa (DPD), yang diatur dalam Perda No. 51/2001. Perda ini mengedepankan semangat pemeratan dan keadilan dengan bobot 70% dan perkembangan desa (potensi desa) yang diberi bobot 30%. Dana Perimbangan Desa yang tersedia sebesar 70% dibagi secara merata pada 269 Desa/Kelurahan. Sedangkan alokasi 30% identik dengan alokasi dana variabel yang memperhatikan indikator luas wilayah, jumlah penduduk, kesehatan masyarakat, dan ekonomi desa.
Di Limapuluh Kota, pemberian bantuan keuangan kepada Nagari dari APBD telah diberlakukan oleh Pemerintah Kabupaten Limapuluh Kota sejak tahun 2001, berdasarkan Perda Kota No. 01/2001 tentang Pemerintahan Nagari. Perda itu antara lain menegaskan bahwa pemerintahan nagari berhak untuk memperoleh dana bagi hasil dan bisa memperoleh dana bantuan dari pemerintah. Perda dilaksanakan oleh Keputusan Bupati No. 16/2004 tentang Pedoman Umum Pengelolaan Dana Bagi Hasil dan Bantuan Keuangan Pemerintah Kabupaten kepada Pemerintah Nagari (DBH-BKN) tahun 2004. Tujuan DBH-BKN mencakup: (a) memberdayakan pemerintahan nagari dalam rangka meningkatkan kemampuan pemerintahan nagari melaksanakan tugas dan fungsinya; (2) Memberdayakan lembaga-lembaga di nagari serta masyarakat dalam rangka mengolah dan memanfaatkan potensi nagari; dan (3) Meningkatkan sarana dan prasarana di nagari bagi kepentingan masyarakat guna pengembangan sosial budaya dan ekonomi masyarakat.
Pada tahun 2001, DBH-BKN bernama DAUN yang dialokasikan untuk kegiatan rutin dan pembangunan nagari. Namun sejak 2004, Pemkab Limapuluh Kota mulai menggunakan istilah DBH-BKN yang terdiri dari: (a) tunjangan wali nagari sebesar 1 (satu) juta rupiah/bulan bagi non-PNS dan Rp. 500 ribu/bulan bagi PNS, (b) dana rutin nagari yang diperuntukkan bagi kegiatan rutin di pemerintah Nagari, (c) dana bagi hasil yang merupakan bagi hasil beberapa penerimaan Kabupaten dan dikembalikan ke nagari untuk mendanai kegiatan rutin dan pembangunan, dan (d) dana alokasi umum nagari yang merupakan bantuan keuangan untuk nagari untuk membantu pembiayaan pembangunan dan pemberdayaan di masing-masing Nagari. Pada tahun 2003 pernah dialokasikan Dana Alokasi Khusus untuk nagari (DAKN) sebesar Rp. 650 ribu/tahun yang digunakan untuk membiayai kegiatan-kegiatan adat nagari. Namun di tahun 2004, DAKN ini tidak lagi diberlakukan.
Dalam menentukan DBH-BKN, Limapuluh Kota menggunakan indikator-indikator sebagai berikut: (1) Indikator untuk DAUN (jumlah penduduk, jumlah keluarga miskin, jarak nagari ke ibukota kabupaten, jumlah jorong, luas wilayah nagari); (2) indikator untuk rutin (jumlah jorong, jarak nagari ke ibukota kabupaten dan jumlah penduduk) serta (3) indikator untuk bagi hasil (target dan realisasi PBB, jumlah penduduk dan luas wilayah nagari).
42
Di Kabupaten Magelang, kebijakan tentang tranfer dana ke desa lebih dikenal dengan istilah block grant. Secara formal, kebijakan ini telah dituangkan dalam Perda No. 8/2004 tentang Perimbangan Keuangan Kabupaten dan Desa (PKKD). Kebijakan PKKD itu dilaksanakan sejak tahun 2002 dengan total dana sebesar Rp 9 milyar untuk 365 desa. Tahun Anggaran 2003, PKKD Kabupaten Magelang sebesar Rp. 13 milyar dan pada tahun 2004 meningkat menjadi sebesar Rp 19 milyar. Selama 3 (tiga) tahun pelaksanaan PKKD Kabupaten Magelang didasarkan pada Keputusan Bupati karena Perda mengenai hal ini baru ditetapkan pada tanggal 15 Maret 2004.
Penentuan PPKD di Kabupaten Magelang sebesar 10% dari APBD setelah dikurangi belanja pegawai sebesar 50%-60%. Namun besaran 10% ini baru akan terjadi pada tahun anggaran 2005, karena menurut Pemerintah Kabupaten, selama 3 (tiga) tahun pertama yaitu sejak 2002, pemerintah desa perlu disiapkan dengan cara melatih mereka memanfaatkan PKKD secara bertahap yaitu 6% dari APBD (minus belanja pegawai) untuk tahun 2002, 8% dari APBD untuk tahun 2003, dan 8% dari APBD untuk 2004.
Pemanfaatan dana di desa berpedoman pada rambu-rambu yang dituangkan dalam Keputusan Bupati. Dalam tahun 2004, rambu-rambu penggunakan dana PKKD telah dituangkan dalam Keputusan Bupati No. 9/2004 tentang Pedoman Pengelolaan Dana Alokasi Umum Desa, tanggal 20 Maret 2004. Keputusan Bupati No .9 ini merupakan turunan dari Perda No. 8/2004. Berdasarkan pada Keputusan Bupati No.9/2004 itu (pasal 3), penggunaan DAU Desa dialokasikan sebagai berikut: (a) sebesar Rp. 10 juta digunakan untuk pembelian sepeda motor roda 2 dinas desa, dan (b) DAU Desa masing-masing desa setelah dikurangi Rp. 10 juta untuk pembelian motor, sebesar Rp. 10 juta dialokasikan untuk: (a) 7% Alokasi Pemerintah Desa untuk operasional pemerintahan desa, (b) 16% alokasi BPD, (c) bantuan perbaikan penghasilan Kepala desa dan Perangkat desa sebesar 8%, bantuan kelembagaan desa seperti operasional PKK, LPMD, RT/RW sebesar 9%, dan (d) Belanja publik sebesar 60% yang digunakan untuk pembangunan fisik dan non fisik, sarana dan prasarana yang diutamakan mendukung pengentasan kemiskinan maupun bantuan modal.
Pasal 6 Perda No. 8/2004 menyatakan bahwa penerimaan DAU Desa untuk masing-masing desa ditentukan dengan penjumlahan alokasi rata-rata dengan alokasi tertimbang berdasarkan porsi desa bersangkutan. Alokasi rata-rata untuk masing-masing desa adalah sebesar 75% dari Plafon DAU Desa seluruh desa dibagi jumlah desa se Kab. Magelang. Sedangkan alokasi tertimbang adalah sebesar 25% dari plafon DAU Desa se Kabupaten Magelang, masing-masing desa memperoleh porsi berdasarkan bobot desa yang bersangkutan terhadap jumlah bobot seluruh desa. Bobot desa ditentukan berdasarkan indikator: (1) luas wilayah, (2) jumlah penduduk tahun sebelumnya, (3) jumlah KK miskin tahun sebelumnya, (4) keterjangkauan desa, (5) potensi desa tahun sebelumnya, (6) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) tahun sebelumnya, dan (7) luas tanah desa yang diolah untuk pertanian, peternakan, perikanan, dan sebagainya.
43
Di Kabupaten Tuban, sejak tahun 2001 telah ada kebijakan Alokasi Dana Desa (ADD), dan dikenal dengan sebutan Program Pemberdayaan Masyarakat (PPM). Model PPM banyak mengalami perubahan pada tingkat masyarakat desa maupun pada level Pemerintah Kabupaten Tuban dalam rangka penguatan kelembagaan desa. Pijakan Pemerintah Kabupaten Tuban dalam memperkuat posisi desa khususnya dan dalam rangka memperlancar penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa didasarkan pada Renstra 2001-2006. Penyelenggaraan PPM memiliki tujuan dinamis yang ditetapkan sejak tahun 2001:
1. Meningkatkan kinerja pemerintahan desa/kelurahan sebagai sarana pelayanan masyarakat dalam pengembangan kegiatan sosial ekonomi masyarakat;
2. Meningkatkan kemampuan kelembagaan ditingkat desa/kelurahan dalam mengelola proses penyaluran aspirasi, musyawarah dalam pengambilan keputusan, serta memberdayakan masyarakat dalam rangka proses pelaksanaan pembangunan dan pemerintahan;
3. Meningkatkan partisipasi serta kreatifitas masyarakat dalam pembangunan;
4. Menumbuhkan kembali budaya gotong-royong dan gugur gunung;
5. Tersedianya prasarana dan sarana bagi pengembangan kegiatan ekonomi;
6. Meningkatkan kegiatan usaha ekonomi produktif dan penciptaan lapangan kerja di pedesaan;
7. Mendorong pemerataan pendapatan dan kesempatan berusaha masyarakat.
Bentuk alokasi dana PPM memakai dua model pendekatan pengalokasian dana, yaitu alokasi dana khusus dan alokasi dana umum. Untuk pendanaan kegiatan operasional pemerintahan desa/kelurahan menggunakan bentuk alokasi dana khusus dengan prinsip pemerataan, artinya setiap desa/kelurahan mendapatkan jumlah yang sama. Alokasi dana kegiatan pemberdayaan masyarakat desa/kelurahan menggunakan alokasi dana umum yang pemanfaatannya diserahkan sepenuhnya pada kewenangan pemerintah desa/kelurahan. Khusus untuk alokasi pemberdayaan masyarakat desa/kelurahan Pemerintah Kabupaten Tuban membaginya dalam dua jenis lagi. Jenis pertama, merupakan alokasi minimal yang akan diperoleh secara merata oleh seluruh desa kelurahan, sedangkan jenis kedua merupakan alokasi tambahan (matching grant) yang berdasarkan pada sejumlah indikator. Pertama, berdasarkan pada indeks kebutuhan desa yang terdiri dari 4 indikator; luas wilayah, jumlah penduduk, jumlah penduduk miskin, keterjangkauan. Indeks kebutuhan ini memberikan petunjuk bahwa semakin besar jumlah penduduk, jumlah penduduk miskin, luas wilayah dan semakin terisolasi wilayah desa/kelurahan akan berimplikasi pada semakin besar jumlah PPM yang akan diterima oleh desa/kelurahan. Kedua, berdasarkan pada indeks potensi desa yang terdiri dari 2 indikator; pendapatan desa dan adanya program lain. Indeks potensi ini memberikan petunjuk bahwa semakin besar potensi dan semakin banyak program lain
44
yang masuk ke desa/kelurahan akan berimplikasi pada semakin kecil dana PPM yang akan diterima desa oleh desa/kelurahan. Ketiga, berdasarkan indeks insentif yang terdiri dari 2 indikator; kelunasan PBB dan partisipasi masyarakat pada program tahun sebelumnya. Indeks insentif ini memberikan petunjuk bahwa semakin tinggi tingkat kelunasan PBB dan tingkat partisipasi masyarakat berimplikasi pada semakin besar dana PPM yang akan diterima desa/kelurahan.
Di Kabupaten Jayapura, model tranfer dana ke desa jauh berbeda dengan kabupaten-kabupaten lainnya. Kabupaten Jayapura tidak mengambil model perimbangan keuangan atau alokasi dana desa, melainkan melancarkan Program Pemberdayaan Distrik (PPD), yang substansinya mengalokasikan dana 1 milyar rupiah per kecamatan (distrik), seperti model Program Pengembangan Kecamatan (PPK). PPD dilancarkan dengan mengikuti skema desentralisasi sebagian kewenangan dari kabupaten ke distrik/kecamatan dan perubahan pola perencanaan pembangunan daerah. Pada tahun 2002 Bupati Jayapura mengeluarkan Surat Keputusan Bupati No. 371/2002 tentang pelimpahan sebagian kewenangan pemerintahan dari bupati kepada kepala distrik, yang juga disertai dengan Program Pemberdayaan Distrik (PPD) beserta anggarannya. PPD bukanlah alokasi dana yang secara langsung dipindahkan ke kampung, melainkan merupakan alokasi dana ke distrik untuk membiayai desentralisasi dan penempatan distrik sebagai basis local-self planning. Formula alokasi dana PPD sangat sederhana, tidak rumit, dan tidak menggunakan indikator-indikator yang mencerminkan keadilan (jumlah penduduk, luas wilayah, angka kemiskinan, kondisi geografis dan lain-lain) sebagaimana digunakan oleh formula ADD. Alokasi dana PPD didasarkan pada prinsip pemerataan (pembagian secara sama dan merata kepada seluruh distrik), dengan tujuan agar pengambilan keputusan dan program bisa berjalan secara cepat, tanpa harus memperdebatkan terlalu panjang tentang dimensi keadilan.
Dana PPD dialokasikan dari Pos Pembangunan Daerah dan Pemukiman dalam Belanja Pembangunan APBD Kabupaten Jayapura. Sumbernya berasal dari Dana Alokasi Umum. Tetapi skema yang diterapkan bukanlah persentase yang pasti dalam APBD atau Belanja Pembangunan, melainkan ditentukan sebesar sekitar Rp 1 milyar (sebagai angka yang layak) per distrik (seperti skema Program Pengembangan Kecamatan), yang kemudian digunakan untuk membiayai prioritas kebutuhan pembangunan yang diajukan kampung. Pada tahun 2002, anggaran Pos Bangda dan Pemukiman tersebut sebesar Rp 26.930.444.000, lalu sebesar Rp 19.200.000.000 atau sebesar 16,44% dari total Belanja Pembangunan (Rp 116.788.397.828) atau sebesar 5,38% dari total APBD (Rp 356.606.129.576). Dana sebesar Rp 19.200.000.000 tersebut dibagi habis kepada sejumlah 24 distrik secara merata sebesar Rp 800.000.000 per distrik. Pada tahun 2003, Kabupaten Jayapura mempunyai APBD sebesar Rp 445.896.516.161 dan Rp 132.740.099.345 untuk belanja pembangunan. Sebesar Rp 35.746.454.485 diambil dari belanja pembangunan untuk membiayai pos pembangunan daerah dan pemukiman, lalu sebesar Rp 24.000.000.000 di antaranya dialokasikan untuk PPD. Jika dihitung angka ini senilai 18,08% dari total belanja pembangunan atau 5,38% dari total APBD. Angka itu dibagi habis kepada 24 distrik, sehingga setiap distrik menerima alokasi Rp
45
1.000.000.0000. Dana PPD itu dialokasikan secara block grant ke distrik, sehingga distrik mempunyai otoritas penuh untuk mengelola dan mengalokasikan ke kampung-kampung, meski petunjuk pelaksanaan dan rambu-rambu tetap diberikan oleh kabupaten.
Apa yang bisa dipelajari dari pengalaman ADD yang beragam di beberapa kabupaten di atas? Formula dan indikator umumnya menjadi titik perhatian yang serius. Karena mengacu pada UU No. 25/1999, formula ADD di beberap kabupaten tampaknya lebih memberikan bobot yang lebih besar kepada indikator-indikator nominal (jumlah penduduk dan luas wilayah) untuk mengukur tujuan-tujuan keadilan. Semakin besar jumlah penduduk dan semakin luas wilayah desa, maka desa akan memperoleh alokasi yang semakin besar. Sedangkan indikator yang kritis (keterjangkauan dan angka kemiskinan) ditempatkan pada urutan kedua, berikutnya adalah indikator insentif (potensi desa dan PBB). Tampaknya indikator pelayanan publik dasar (kesehatan, pendidikan, transportasi, air bersih, dan lain-lain) belum menjadi indikator utama untuk mengukur keadilan dan responsivitas pemerintah daerah. Pemda Sumedang memang sudah memasukkan indikator kesehatan masyarakat, tetapi bobotnya boleh dibilang terlalu kecil.
Kami hendak memberikan sejumlah penilaian kritis atas beragamnya dan rumitnya formula ADD di beberapa kabupaten itu. Pertama, indikator-indikator nominal diutamakan karena memang sangat memudahkan dalam penghitungan karena ketersediaan data yang memadai. Tetapi indikator nominal akan dengan mudah menimbulkan bias dan blunder. Bisa saja terjadi, sebuah desa yang memiliki jumlah penduduk besar tetapi relatif lebih makmur dan wilayah yang lebih luas tetapi potensi alamnya lebih baik, akan memperoleh dana yang lebih besar, ketimbang sebuah desa lain yang memiliki penduduk lebih sedikit tetapi mayoritas miskin dan mempunyai wilayah yang lebih sempit tetapi gersang, tidak mempunyai tanak bengkok, dan jauh di pedalaman. Karena itu pengukuran keadilan tidak bisa dilihat dari indikator-indikator yang semata nominal atau numerik, tetapi juga harus memperhatikan aspek-aspek yang kritis dalam indikator itu.
Kedua, penggunaan indikator insentif (potensi desa, besaran PBB, maupun swadaya masyarakat) memang sangat penting, terutama ADD untuk mendorong desa berbuat sesuatu. Tetapi indikator insentif bisa menimbulkan bias pada kepentingan kabupaten, dan kurang peka pada kondisi desa-desa yang kritis karena tingginya angka kemiskinan maupun rendahnya kualitas pelayanan publik. Sebuah desa yang memiliki potensi besar, kontribusi PBB yang besar dan disiplin, dan swadaya tinggi akan memperoleh dana yang lebih besar ketimbang desa-desa yang miskin. Karena itu pengutamaan indikator insentif mudah sekali menimbulkan ketimpangan, desa yang kaya semakin kaya, sementara desa yang miskin semakin miskin.
Ketiga, indikator pelayanan publik kurang begitu diperhatikan dalam formula ADD antara lain karena pola pengukuran (seperti indeks kesehatan dan pendidikan) yang susah dan belum tersedia, juga karena pelayanan publik secara sektoral itu masih menjadi tanggungjawab pemerintah kabupaten melalui dinas-dinas teknis. Yang lebih krusial, pemerintah kabupaten umumnya belum mempunyai standar pelayanan publik minimal
46
dan belum melakukan distribusi kewenangan kepada desa untuk mengurus pelayanan publik dasar. Belum adanya pembagian kewenangan yang detail menganai pelayanan publik antara kabupaten dan desa ternyata membuat kesulitan tersendiri dalam menentukan formula ADD yang betul-betul berpihak pada rakyat miskin di desa (yang sangat butuh sentuhan pelayanan publik), serta mempersulit dalam penentuan fungsi-fungsi kewajiban (obligatory function) bagi desa dalam pelayanan publik. Sampai sekarang pelayanan publik di desa selalu dimaknai dan dipraktikkan sekadar sebagai pelayanan administratif (administrative services) untuk keperluan mengontrol dan mendisiplinkan warga, bukan sebagai pelayanan sipil (civil services) yang betul-betul menjadi hak warga.
Karena berbagai kelemahan formula ADD itu, FPPD mengusulkan formula alternatif yang lebih peka pada isu-isu kritis dan pelayanan publik. Dengan tetap berpegang pada tujuan pemerataan dan keadilan, FPPD mengusulkan formula ADD yang terbagi menjadi dua, yakni alokasi dana minimal (ADM) yang dibagi secara merata ke seluruh desa dan alokasi dana variabel (ADV) yang terbagi secara beragam per desa tergantung perbedaan variabel. Ada dua variabel untuk menentukan ADV itu. Pertama, variabel independen utama yakni variabel yang dinilai terpenting untuk menentukan nilai bobot desa. Variabel utama ditujukan untuk mengurangi kesenjangan kesejahteraan masyarakat dan pelayanan dasar umum antar desa secara bertahap dan mengatasi kemiskinan struktural masyarakat di desa. Variabel independen utama meliputi: kemiskinan, keterjangkauan desa, pendidikan dasar, dan kesehatan. Kedua, variabel independen tambahan merupakan variabel yang dapat ditambahkan kepada masing-masing desa. Variabel independen tambahan meliputi: jumlah penduduk, luas wilayah, potensi ekonomi, partisipasi masyarakat, jumlah unit komunitas di desa (Dusun, Jorong, RW, RT dan sebagainya). Dengan demikian variabel yang berpihak pada kemiskinan dan pelayanan publik lebih ditonjolkan ketimbang variabel nominal dan insentif.
Di luar beberapa catatan kritis mengenai formula itu, tentu pelaksanaan ADD tidak luput dari banyak masalah. Salah satu masalah yang muncul adalah keterpisahan antara perencanaan daerah dengan kebutuhan lokal dan perencanaan desa. Ketika ide ADD mulai digulirkan umumnya birokrasi kabupaten, terutama dinas-dinas teknis yang mengendalikan kebijakan dan anggaran pembangunan sektoral, melakukan resistensi yang keras, bukan karena visi jangka panjang, tetapi karena mereka merasakan bakal kehilangan sebagian kapling. Keenganan secara psikologis dinas-dinas teknis ini tampaknya masih berlanjut ketika ADD dilancarkan. Dengan berlindung pada ADD, atau karena desa telah memiliki dana tersendiri, dinas-dinas teknis justru menjauh dan kurang responsif pada kebutuhan desa. Di sisi lain, masalah juga muncul di desa, terutama masalah lemahnya akuntabilitas pemerintah desa dalam mengelola ADD. Karena itu beberapa kabupaten yang sudah berpengalaman menjalankan ADD atau yang baru saja mengeluarkan kebijakan ADD sangat peka (baca: khawatir) terhadap akuntabilitas keuangan desa, sehingga memaksa mereka membuat rambu-rambu yang lebih ketat dalam pengelolaan ADD, meski langkah ini tidak sesuai dengan prinsip keleluasaan desa dalam mengelola block grant.
47
Meskipun banyak masalah dan distorsi yang muncul, ADD di banyak kabupaten tetap memberikan banyak pelajaran berharga yang kedepan mengarah pada penguatan kemandirian desa. Pertama, pengalaman ADD telah mendorong rekonstruksi terhadap makna dan format transfer dana dari pemerintah supradesa ke desa. Jika dulu Inpres Desa dikemas sebagai bantuan yang sangat tergantung pada kebaikan pemberi bantuan, sekarang ADD didasari semangat bahwa desa mempunyai hak penuh atas transfer sebagian dana dari pemerintah supradesa. Pemahaman ADD sebagai hak desa tentu akan memberikan pelajaran kritis baru, bahwa stigma ketergantungan desa tidak relevan untuk diucapkan dan dipraktikkan.
Kedua, ADD telah mendorong efisiensi dan efisiensi penyelenggaraan layanan publik. Fdi Jayapura, misalnya, sebelum PPD dilaksanakan, pemkab merasakan bahwa layanan publik dan pembangunan ke pelosok kampung sangat mahal, karena jangkauan dan rentang kendali yang terlalu jauh. Setelah PPD dilaksanakan, efisiensi pembiayaan pembangunan bisa ditingkatkan karena pembelanjaan dilakukan sendiri oleh distrik maupun kampung. Yang lebih penting, keterlibatan masyarakat yang menggunakan preferensi lokal dalam skema PPD, memungkinkan efisiensi alokasi dan kesesuaian program dengan kebutuhan lokal, sekaligus juga meningkatkan kepemilikan lokal.
Ketiga, ADD sangat relevan dengan salah satu tujuan besar desentralisasi, yakni membawa perencanaan daerah lebih dekat kepada masyarakat lokal. Belajar dari pengalaman di beberapa kabupaten menunjukkan bahwa ADD semakin membuat perencanaan desa lebih bermakna dan dinamis. Secara kelembagaan ADD telah membawa perubahan pada aspek perencanaan daerah, yakni munculnya pola perencanaan desa. Dampaknya, pola ini semakin mendekatkan perencanaan pembangunan kepada masyarakat desa, dan sebaliknya, masyarakat desa mempunyai akses yang lebih dekat pada pusat perencanaan. Pemerintah di tingkat desa merasakan ada proses pembelajaran mengelola pembangunannya sendiri (merencanakan, menganggarkan, melaksanakan dan mengontrol sendiri pembangunan dan lingkungannya).
Keempat, ADD menjadi arena baru bagi pembelajaran lokal dalam mengelola desentralisasi. Dana ADD tentu tidak sebanding dengan problem keterbelakangan dan kemiskinan masyarakat. ADD tentu tidak serta-merta menciptakan kesejahteraan yang merata bagi seluruh rakyat. Tetapi perjalanan selama beberapa tahun terakhir, ADD menciptakan arena pembelajaran yang sangat berharga bagi kabupaten, desa dan masyarakat. Bagi kabupaten, ADD menjadi arena pembelajaran untuk membangun responsivitas terhadap masyarakat lokal. Desa memperoleh arena pembelajaran untuk menempa akuntabilitas, kapasitas dalam perencanaan, fasilitasi terhadap kampung, merawat transparansi dan seterusnya. Masyarakat juga belajar memperkuat partisipasi dan membangun modal sosial di tingkat lokal.
5. Suara dan Gerakan Lokal
Kritik dan tuntutan terhadap revisi UU No. 22/1999 terus mengalir. Umumnya suara desa menuntut agar revisi UU No. 22/1999 lebih mempertegas
48
dan memperjelas kewenangan desa, termasuk pembagian kewenangan secara proporsional antara pusat, provinsi, kabupaten/kota dan desa. Para pemimpin lokal bergolak mengkritisi sejumlah kelemahan yang terkandung dalam UU No. 22/1999. Mereka antara lain mengatakan bahwa UU 22 tidak memberikan pengakuan secara tegas dan jelas tentang kedudukan desa dan otonomi desa; yang justru menempatkan desa di bawah kabupaten sehingga ada kecenderungan pemindahan sentralisasi dari pusat ke kabupaten. Kewenangan desa yang tercantum dalam UU No. 22/1999 mereka nilai sebagai “kewenangan kering” atau “kewenangan air mata” yang hanya memberikan beban berat kepada desa. Karena itu, kepala desa dan Badan Perwakilan Desa (BPD) masing-masing membentuk asosiasi untuk menyuarakan tentang revisi UU No. 22/1999 yang berorientasi pada pemberian otonomi yang lebih besar serta pembagian kewenangan dan keuangan kepada desa yang lebih berimbang (Sutoro Eko, 2004a).
Apa yang dilakukan oleh para pemimpin desa kian diperkuat oleh dukungan advokasi para akademisi, NGO maupun lembaga-lembaga donor internasional. Melalui proses pembelajaran dan pengorganisasian, kerja-kerja kelompok intermediary ini semakin memperluas dan mengeraskan “suara desa” untuk memperkuat otonomi desa. Mereka yakin betul bahwa penguatan otonomi desa mempunyai beberapa tujuan: memberikan pengakuan terhadap lokalitas yang eksistensinya jauh lebih tua ketimbang NKRI; membawa negara lebih dekat pada rakyat desa; membangkitkan potensi dan prakarsa lokal; menciptakan pemerataan dan keadilan; memberdayakan kekuatan rakyat pada level grass root; memperbaiki kualitas layanan publik yang relevan dengan preferensi lokal; dan lain-lain.
Pihak pemerintah supradesa ada yang bersikap hati-hati, ada yang khawatir dan ada pula yang menolak tegas gagasan otonomi desa. Sikap ini didasarkan pada sejumlah alasan. Pertama, otonomi desa tidak diatur dalam konstitusi dan regulasi. Ini yang kami sebut sebagai argumen legal-formal. Menurut peraturan, desa merupakan subsistem, subordinat atau menjadi bagian dari wilayah yurisdiksi kabupaten. Ada bupati yang mengatakan bahwa otonomi daerah berhenti di tangan kabupaten. Di banyak tempat, banyak pejabat yang mengatakan bahwa otonomi desa tidak sesuai dengan prinsip NKRI, bahkan bisa merongrong NKRI. Kedua, argumen psikologis. Tidak jarang pejabat supradesa yang mengatakan bahwa otonomi desa merupakan gangguan bagi otonomi daerah karena desa secara riil “tidak siap”. Suara otonomi desa itu adalah gagasan yang tergesa-gesa. Argumen ini sama dengan argumen pemerintah pusat ketika berbicara tentang keseiapan daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah. Karena itu pejabat yang hati-hati selalu mengatakan bahwa “sekarang belum saatnya kabupaten memberikan otonomi desa, kabupaten akan mempersiapkan kemampuan desa terlebih dulu dan secara bertahap akan menyerahkan kewenangan kepada desa”.
6. UU No. 32/2004
Undang-undang No. 22/1999 telah meletakkan kerangka landasan desentralisasi, otonomi daerah dan demokrasi lokal yang jauh lebih maju di era reformasi, setelah republik Indonesia dibelenggu oleh sistem yang
49
sentralistik-otoritarian selama tiga dekade. Tetapi undang-undang transisional itu telah memicu konflik kekuasaan-kekayaan antara pusat, provinsi, kabupaten/kota dan desa; mengundang multitafsir yang beragam sehingga membuat pemahaman kacau-balau; serta memicu ketidakpuasan dan kritik dari berbagai pihak. Karena itu semua pihak menghendaki revisi untuk penyempurnaan.
Arah dan substansi revisi telah lama diperdebatkan namun tidak terbangun visi bersama untuk memperkuat otonomi daerah, karena fragmentasi kepentingan. Pemerintah mempunyai kehendak kuat untuk merevisi karena UU No. 22/1999 dinilai melenceng jauh dari prinsip NKRI. Pemerintah kabupaten/kota sangat risau dengan intervensi Jakarta dan kontrol yang berlebihan oleh DPRD. Pihak desa (kepala desa dan BPD) telah lama mengusulkan revisi karena UU No. 22/1999 tidak memberikan ruang bagi desentralisasi kewenangan dan keuangan untuk mendukung otonomi desa. Pihak LSM terus-menerus melakukan kajian dan kritik terhadap UU No. 22/1999, tetapi yang paling krusial di mata mereka adalah lemahnya jaminan legal partisipasi masyarakat dan lemahnya komitmen pada pembaharuan desa.
Tahun 2002 pemerintah, khususnya Depdagri, telah menyiapkan naskah revisi UU No. 22/1999. Tetapi naskah itu ditentang keras oleh daerah, LSM dan akademisi karena tidak punya semangat memperkuat desentralisasi, bahkan lebih bernuansa resentralisasi. Rencana itu akhirnya gagal. Mulai pertengahan 2003 rencana revisi muncul kembali. DPR telah mengambil inisiatif menyusun naskah revisi, tetapi fokus mereka hanya pemilihan kepala daerah secara langsung serta posisi dan peran DPRD. Pemerintah, melalui Depdagri, menyiapkan naskah yang jauh lebih lengkap untuk melakukan perombakan total terhadap UU No. 22/1999. Tahun 2004 upaya pemerintah dan DPR melakukan revisi semakin intensif. Tetapi proses kelahiran RUU dan pembahasannya sangat tertutup. Pansus DPR-RI memang membuka konsultasi publik untuk membicarakan RUU, tetapi proses ini sangat terbatas, elitis, oligarkhis, dan dijadikan sebagai alat justifikasi bahwa RUU sudah dikonsultasikan dengan publik. Perumusan RUU ternyata tidak ditempuh melalui perdebatan pemikiran yang mendalam dan komprehensif yang melibatkan partisipasi masyarakat secara luas, yang memungkinkan terjadi proses akomodasi antara suara pusat dengan suara lokal. Berbagai pihak di luar pemerintah pusat dan DPR (LIPI, koalisi NGO, APKASI, ADEKSI, Asosiasi BPD, Asosiasi Kepala Desa, FPPM, FPPD, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, kalangan akademisi, dan lain-lain) terus-menerus menyampaikan usulan perbaikan baik langsung maupun melalui media, tetapi DPR tidak memberikan respons secara serius dan tidak mengakomodasi suara mereka. DPR sama sekali juga tidak memiliki kepekaan terhadap dinamika lokal dan suara desa yang perlu diakomodasi. Secara empirik DPR dan Presiden mengambil keputusan yang sangat strategis, yaitu mengesahkan UU No. 32/2004, dalam tempo yang singkat, tergesa-gesa, di saat masa kerja mereka hampir habis.
Proses maupun substansi UU No. 32/2004 secara menyolok gagal menjembatani perbedaan pandangan dari berbagai pihak, yang sebaliknya justru membuahkan kemenangan bagi kekuatan nasionalis kolot dan pemerintah
50
pusat terhadap daerah dan desa. Kami menilai bahwa substansi UU 32 cenderung menjauh dari UU No. 22/1999 yang bersifat devolutif-liberal, dan sebaliknya, semakin mendekat pada UU No. 5/1974 yang bersifat sentralistik-otokratis-korporatis. UU No. 32/2004 tidak dimaksudkan untuk memperkuat desentralisasi dan demokrasi lokal, sebaliknya malah hendak melakukan resentralisasi, neokorporatisme dan rebirokratisasi terhadap daerah-desa.
Proses perumusan dan kelahiran UU No. 32/2004 secara menyolok jauh dari proses kontrak sosial dan partisipasi masyarakat. Pansus DPR-RI memang membuka konsultasi publik untuk membicarakan RUU, tetapi proses ini sangat terbatas, elitis, oligarkhis, dan dijadikan sebagai alat justifikasi bahwa RUU sudah dikonsultasikan dengan publik. Perumusan RUU ternyata tidak ditempuh melalui perdebatan pemikiran yang mendalam dan komprehensif yang melibatkan partisipasi masyarakat secara luas, yang memungkinkan terjadi proses akomodasi antara suara pusat dengan suara lokal. Berbagai pihak di luar pemerintah pusat dan DPR (LIPI, koalisi NGO, APKASI, ADEKSI, Asosiasi BPD, Asosiasi Kepala Desa, FPPM, FPPD, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, kalangan akademisi, dan lain-lain) terus-menerus menyampaikan usulan perbaikan baik langsung maupun melalui media, tetapi DPR tidak memberikan respons secara serius dan tidak mengakomodasi suara mereka. DPR sama sekali juga tidak memiliki kepekaan terhadap dinamika lokal dan suara desa yang perlu diakomodasi. Secara empirik DPR dan Presiden mengambil keputusan yang sangat strategis, yaitu mengesahkan UU No. 32/2004, dalam tempo yang singkat, tergesa-gesa, di saat masa kerja mereka hampir habis. Karena tidak berbasis pada kontrak sosial, maka secara moral dan politik, kami menilai bahwa UU No. 32/2004 tidak legitimate dan tidak aspiratif.
a. Kemunduran otonomi dan demokrasi desa
UU No. 32/2004 tidak mempunyai semangat menghormati eksistensi desa. Para pembuatnya tidak memperhatikan suara desa yang menuntut penghormatan, keadilan, pemerataan, kesejahteraan, dan kemandirian desa. Substansi UU No. 32/2004 cenderung menjauh dari UU No. 22/1999 yang bersifat devolutif-liberal, dan sebaliknya, mendekat pada UU No. 5/1974 yang bersifat sentralistik-otokratis-korporatis. UU ini juga mengawali kemunduran desentralisasi, otonomi dan demokrasi desa. Setidaknya ada empat isu pokok yang memperlihatkan kemunduran itu.
Pertama, desentralisasi dan otonomi daerah. Desa benar-benar hilang dari peta desentralisasi di Indonesia. UU No. 32/2004 tidak mengenal otonomi desa, melainkan hanya mengenal otonomi daerah. Dalam ketentuan umum ditegaskan: “Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. Lebih lanjut ditegaskan: “Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Sedangkan desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan
51
oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kedua, posisi dan kewenangan desa yang merupakan dua poin kritis dalam otonomi desa. Kedudukan (posisi) desa menunjukkan eksistensi desa dalam susunan ketatanegaraan republik Indonesia. Baik UUD 1945 maupun UU No. 32/2004 tidak secara eksplisit menyebutkan otonomi desa. Pasal 2 UU No. 32/2004 menegaskan: “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang masing-masing mempunyai pemerintahan daerah”. Ini artinya negara hanya dibagi menjadi daerah, yang kemudian daerah ditetapkan menjadi daerah otonom (local self government). Negara hanya mengakui keberadaan desa, tetapi ia tidak membagi kekuasaan dan kewenangan (desentralisasi) kepada desa. Seperti dalam UU sebelumnya, desa hanya menjadi bagian dari pemerintah kabupaten/kota.
Pasal 200 ayat (1), menyatakan “Dalam pemerintahan daerah kabupaten/kota dibentuk pemerintahan desa yang terdiri dari pemerintah desa dan badan permusyawaratan desa” Penggunaan istilah “dibentuk” ini menegaskan bahwa pemerintah desa merupakan sub sistem atau bagian dari pemerintah kabupaten/kota, karenanya ia menjalankan sebagian kewenangan pemerintah kabupaten/kota. Dalam undang-undang ini desa merupakan satuan pemerintah yang ada dalam pemerintah kabupaten/kota. Ini berbeda dengan istilah yang digunakan dalam Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota.......”. Pemakaian istilah “dibagi atas daerah-daerah” menunjukkan selain menghormati daerah otonom juga menegaskan adanya hubungan pemerintah pusat dan daerah bersifat hirarkhis dan vertikal. Dengan demikian ada perbedaan model hubungan pusat dan daerah berdasarkan Pasal 18 UUD 1945 dengan model hubungan Kabupaten/kota dengan desa berdasar UU No. 32/2004.
Pengakuan NKRI pada keberadaan desa dituangkan dalam bentuk pengertian desa: “Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Klausul ini berupaya melokalisir desa hanya sebagai subyek hukum yang mengelola kepentingan masyarakat setempat, bukan urusan atau kewenangan pemerintahan, seperti halnya daerah. Desa sudah lama mengurus sendiri kepentingan masyarakat, untuk apa fungsi ini harus diakui oleh UU. Tanpa diakui oleh UU sekalipun, desa sudah mengurus kepentingan masyarakat setempat. Klausul itu juga menegaskan bahwa negara hanya “mengakui” keberadaan desa, tetapi tidak “membagi” kekuasaan pemerintahan kepada desa. Desa hanya diakui sebagai kesatuan masyarakat hukum berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat (self governing community), bukan disiapkan sebagai entitas otonom sebagai local self government.
52
UU No. 32/2004 memberikan definisi secara “standar” mengenai wewenang untuk mengelola “urusan” pemerintahan desa. Kewenangan direduksi menjadi urusan. Menurut pasal 206 ada empat urusan pemerintahan desa: (a) urusan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa; (b) urusan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa; (c) tugas pembantuan dari Pemerintah, provinsi, dan/atau pemerintah kabupaten/kota; dan (d) urusan lainnya yang oleh peraturan perundang-perundangan diserahkan kepada desa.
Kewenangan desa yang terbatas tentu akan memperlemah otonomi desa. Berbagai perangkat konstitusi dan UU belum memberikan ruang bagi desentralisasi dan otonomi desa. Otonomi desa (termasuk di dalamnya property right) belum diakui oleh negara. Desa hanya diakui sebagai kesatuan masyarakat hukum yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat. Rumusan ini mengandung sejumlah problem. Pertama, kewenangan asal-usul dan adat-istiadat umumnya sudah hancur dan tinggal kenangan karena masuknya intervensi negara dan eksploitasi modal, yang kemudian membuat masyarakat lokal (adat) kehilangan kepemilikan, harga diri dan identitas lokal. Yang masih sedikit tersisa hanya ritual adat yang sama sekali tidak berhubungan dengan kewenangan pemerintahan. Bagi elemen-elemen masyarakat lokal, kewenangan asal-usul sangat susah dirumuskan atau hanya sekadar “kewenangan kering” yang tidak mempunyai implikasi terhadap kewenangan desa (atau nama lain) untuk membuat keputusan lokal yang mengikat masyarakat setempat dan mengendalikan (atau memanfaatkan) sumberdaya lokal. Kedua, karena desentralisasi dan otonomi daerah hanya sampai di kabupaten/kota, maka desa tidak lagi memperoleh pembagian kewenangan yang memadai dari pemerintah supradesa. Penyerahan kewenangan kepada desa hanya tergantung pada “baik budi” bupati. Ketiga, UU 32/2004 tidak mengedepankan prinsip subsidiarity kepada desa, sebuah prinsip penting dalam desentralisasi (penggunaan kewenangan dan pengambilan keputusan secara lokal), yang memungkinkan penguatan prakarsa dan akuntabilitas lokal. UU ini lagi-lagi memberikan cek kosong kepada Peraturan Pemerintah dan Perda untuk menjadikan desa sebagai obyek pengaturan.
Ketiga, demokrasi dalam konteks susunan pemerintahan desa. Salah satu tujuan besar desentralisasi politik atau pembentukan pemerintahan lokal yang otonom adalah membangun demokrasi lokal atau pemerintahan lokal yang demokratis (democratic local governance). Demokrasi lokal berbicara tentang pemerintahan yang akuntabel, transparan, responsif dan partisipatif. Keberadaan lembaga perwakilan sebagai wadah representasi rakyat merupakan arena untuk checks & balances agar prinsip-prinsip demokrasi bisa berjalan, sekaligus menghindari penyalahgunaan kekuasaan kepala desa.
UU No. 32/2004 justru menciptakan kemunduran bagi demokratisasi di tingkat desa. Para perumusnya begitu khawatir dengan kuatnya keberadaan Badan Perwakilan Desa (BPD) yang yang menimbulkan hubungan konfliktual dengan kepala desa serta merosotnya kekuasaan dan kewibawaan kepala desa. Mereka yakin betul bahwa Negara Kesatuan Republik
53
Indonesia (NKRI) yang kuat dan integratif membutuhkan hadirnya kekuasaan eksekutif yang powerful dan berwibawa di hadapan lembaga legislatif dan rakyat.
UU No. 32/2004 sengaja mengganti sistem perwakilan (representasi) dalam bentuk BPD dengan sistem permusyawaratan dalam bentuk Badan Permusyawatan Desa (disingkat Bamusdes). Pasal 210 menegaskan: “Anggota badan permusyawaratan desa adalah wakil dari penduduk desa bersangkutan yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat”. “Yang dimaksud dengan “ wakil ” dalam ketentuan ini adalah penduduk desa yang memangku jabatan seperti ketua rukun warga, pemangku adat, dan tokoh masyarakat lainnya”. Klausul “wakil” dan “musyawarah” itu harus dicermati secara kritis. Keduanya menegaskan bahwa Bamusdes mewadahi para pemuka masyarakat desa tanpa harus dipilih melalui sistem keterwakilan, seperti keberadaan LMD yang lalu.
Di desa sering muncul distorsi dalam musyawarah untuk menentukan siapa pemuka masyarakat yang dilibatkan dalam Bamusdes. Distorisnya adalah “penunjukan” secara elitis terhadap pemuka masyarakat yang dianggap “dekat” kepala desa. Akibatnya adalah ketiadaan akses rakyat biasa (ordinary people) untuk berpartisipasi sebagai anggota Bamusdes. Fungsi Bamusdes juga dikebiri, yaitu hanya menetapkan perdes bersama kepala desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Fungsi kontrol dihilangkan, sehingga memperlemah check and balances dalam pemerintahan desa.
Sisi yang lain adalah akuntabilitas kepala desa. Pertanggungjawaban kepala desa ditemukan di dalam penjelasan umum: “Kepala Desa pada dasarnya bertanggung jawab kepada rakyat Desa yang dalam tata cara dan prosedur pertanggung jawabannya disampaikan kepada Bupati atau Walikota melalui Camat. Kepada Badan Permusyawaratan Desa, Kepala Desa wajib memberikan keterangan laporan pertanggungjawabannya dan kepada rakyat menyampaikan informasi pokok-pokok pertanggung jawabannya..-...”
Untaian kalimat itu sangat membingungkan. Kami memahami klausul itu menegaskan bahwa akuntabilitas kepala desa bukan kepada rakyat (sebagai konstituen), tetapi kepada bupati/walikota melalui camat sebagai pemerintah “atasan”. Pemindahan akuntabilitas ke bawah menjadi ke atas itulah yang kami sebut sebagai resentralisasi, serta mereduksi prinsip subsidiatity dan proses demokrasi lokal. Subsidiarity mengajarkan bahwa pengambilan keputusan, penggunaan kewenangan, akuntabilitas, maupun penyelesaian masalah sebaiknya dilakukan di level lokal. Sedangkan demokrasi lokal mengajarkan bahwa akuntabilitas pejabat politik seharusnya disampaikan kepada konstituen pemilihnya, bukan ditarik ke atas.
Dalam konteks struktur-kultur politik yang masih birokratis dan klientelistik, akuntabilitas vertikal ke atas justru akan membuat kepala desa kurang akuntabel dan responsif kepada masyarakat, melainkan akan lebih loyal (tunduk) pada kekuasaan di atasnya. Dalam praktik bisa jadi kepala daerah akan menghindar dari desakan rakyat dan akuntabilitas publik, sebab dia sudah merasa cukup menyampaikan pertanggungjawaban ke atas. Akunta54
bilitas ke atas jelas mengurangi makna desentralisasi, otonomi dan eksistensi desa, dan mereduksi proses pembelajaran demokrasi di level desa.
Keempat, birokrasi desa. Perangkat desa yang diatur berdasarkan UU No 32/2004 sangat berbeda dengan pengaturan dalam UU No. 22/1999. Perangkat desa berdasarkan UU No. 32/2004 terdiri dari sekretaris desa dan perangkat desa lainnya. UU No. 32/2004 mengamanatkan sekretaris desa diisi dari pegawai negeri sipil yang memenuhi persyaratan. Dalam penjelasan juga ditegaskan: “Sekretaris desa yang ada selama ini yang bukan Pegawai Negeri Sipil secara bertahap diangkat menjadi pegawai negeri sipil sesuai peraturan perundang-undangan”. Dengan demikian, ada dua kemungkinan: Men-Sekdes-kan PNS, atau Mem-PNS-kan Sekdes.
Ketentuan baru tersebut memang dilematis. Keberadaan Sekdes yang berstatus PNS memungkinkan pelayanan (baca: penjagaan) di kantor desa lebih terjamin. Tetapi ketentuan ini adalah bentuk birokratisasi yang mempunyai risiko buruk bagi pemerintahan desa. Sesuai dengan konteks lokal, sekdes beserta perangkatnya adalah pamong desa, yang tidak hanya menjalankan fungsi-fungsi administratif secara ketat, tetapi juga menjalankan fungsi sosial yang harus siap selama 24 jam sehari. Selama ini sekdes direkrut secara lokal, serta bertanggungjawab secara tunggal kepada kepala desa. Kalau sekdes PNS, maka dia mempunyai tanggungjawab dan loyalitas ganda, yakni kepada kepala desa dan kepada birokrasi pembina PNS di atas desa. Birokratisasi ini bisa membawa pamong desa kearah birokrasi yang lebih kompleks dan menjauhkan pamong desa dari rakyatnya serta mengubah orientasi pengabdian sekdes. Di sisi lain, sekdes PNS ini juga akan membuat kecemburuan sosial di kalangan perangkat desa yang lain, bahkan bagi kepala desa sendiri. Kalau kecemburuan sosial ini terjadi, maka efektivitas pelayanan administratif (sebuah argumen yang dikedepankan oleh perumusnya) akan terdistorsi secara serius.
Klausul Sekdes-PNS ini memang menimbulkan masalah serius, bahkan membuat Departemen Dalam Negeri sangat kedodoran dalam menyusun Peraturan Pemerintah mengenai Pemerintahan Desa. Pengangkatan Sekdes menjadi PNS jelas berbenturan dengan UU Kepegawaian, sekaligus menimbulkan beban kepegawaian dan anggaran yang sangat berat. Di aras lokal isu Sekdes-PNS ini juga menimbulkan masalah. Pemerintah daerah umumnya menghadapi kesulitan tentang hal ini. Setiap kali saya berkunjung ke daerah, pejabat bagian Pemerintahan Desa selalu mengajak diskusi mengenai masalah ini, dan tidak ditemukan jawaban yang memadai, kecuali menunggu instruksi dari atas. Di aras desa, masalah menjadi lebih keras. Peraturan belum juga dilaksanakan, sudah terajdi benturan antara kepala desa, sekdes dan perangkat desa lain. Para kepala desa umumnya merasa keberatan dan iri, sekaligus bertanya kenapa yang di-PNS-kan hanya sekdes. Sikap yang sama juga muncul dari perangkat desa lain; mereka juga menuntut agar bisa di-PNS-kan seperti Sekdes. Para sekdes, awalnya sangat bergembira, begitu mendengar dan membaca amanat dalam UU No. 32/2004. Mereka tidak lama lagi bakal diangkat menjadi PNS. Tetapi ternyata implementasinya tidak secepat yang mereka harapkan. Karena itu mereka bersuara keras menuntut agar pemerintah segera mengangkat mereka menjadi PNS. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur, sekdes menghimpun
55
kekuatan mereka menjadi asosiasi untuk memperjuangkan aspirasi mereka. Ratusan anggota asosiasi sekdes pernah ramai-ramai mendatangi Ditjen PMD Depdagri, yang intinya mereka menuntut pemerintah agar mereka segera diangkat menjadi PNS.
b. Repsons Publik terhadap UU No. 32/2004
Respons lokal terhadap UU No. 32/2004 tidak hanya datang dari kalangan sekdes. Berbagai forum (seminar, lokakarya, diskusi, dan konsultasi publik) telah digelar untuk membahas dan membongkar UU No. 32/2004. Forum Pengembangan Pembaharuan Desa (FPPD) bersama STPMD “APMD” telah menggelar seminar, tepatnya 6 Oktober 2004, sebelum UU disahkan. FPPD meneruskan kegiatannya dengan menggelar lokakarya yang lebih intensif membahas dan menentukan sikap terhadap UU No. 32/2004, tepatnya 28-29 Oktober 2004 di Prambanan. Asosiasi kepala desa maupun BPD juga tidak ketinggalan menggelar forum yang sama. Di Yogyakarta, berbagai NGO dan perguruan tinggi (FPPD, STPMD “APMD” LAPPERA, USC Satunama, IRE, Pokja Pembaruan, dll) juga intensif membahas dan mempersiapkan advokasi amandemen UU No. 32/2004. Kalangan NGO di berbagai daerah telah mengambil prakarsa mengumpulkan para pihak yang berkepentingan terhadap desa untuk membahas UU No. 32/2004. Kami memperoleh hasil-hasil konsultasi publik dari berbagai daerah (Yogyakarta, Sleman, Bekasi, Sumedang, Wonosobo, Magelang, Kebumen, Tana Toraja, Wonogiri, Lombok Barat, Ngawi, Tuban, Jombang, Sidoarjo, Kupang, Timor Tengah Selatan, Deli Serdang, Musi Rawas, Kalimantan Barat, Bali, dan lain-lain).
Pada saat yang sama, pemerintah pusat yang dipandegani oleh Depdagri telah menggelar sosialisasi kepada para pejabat eselon I, gubernur, bupati, pimpinan perguruan tinggi, LSM, tokoh masyarakat. Kabar yang kami peroleh, sosialisasi yang dilakukan di Jakarta itu memang membahas banyak hal yang terkandung dalam UU No. 32/2004, tetapi perhatian utama berbagai pihak adalah masalah pemilihan kepala daerah secara langsung. Perhatian terhadap desa hampir mendekati nol! Fenomena ini memperlihatkan bahwa orang Indonesia benar-benar terkena sindrom demokrasi elektoral, seakan-akan demokrasi hanya terfokus pada pemilihan umum, tanpa berpikir serius bagaimana membangun basis sosial-politik dan civil society yang membuat pilkada lebih bermakna.
Sejauh pemantauan kami, pemerintah daerah -- selepas memperoleh sosialisasi – belum melakukan sosialisasi kepada masyarakat. Sebagian aparat daerah dan punggawa desa justeru terlibat dalam konsultasi publik yang diprakarsai oleh NGO. Belajar dari pengalaman konsultasi publik khusus tentang desa di berbagai daerah, kami menyimpulkan ada yang suara yang pro dan yang kontra. Sebagian besar pendukung “suara desa”, yang selama ini berjuang terus untuk pembaharuan desa, mengambil sikap kritis, kontra, bahkan menolak kehadiran UU No. 32/2004. Hanya sebagian kecil punggawa desa, yang berorientasi jangka pendek untuk kepentingan dirinya sendiri, yang bersikap adem ayem, pro dan bahkan “bersyukur”.
Sejauh rekaman kami terhadap berbagai forum, suara pro dan konservatif tidak terlalu dominan dibandingkan dengan suara kritis. Amiruddin, Dosen
56
UNDIP Semarang, termasuk akademisi yang konservatif dalam melihat UU No. 32/2004. Argumen kolotnya, UU No. 32/2004 dimaksudkan untuk menjaga sistem NKRI dan menciptakan keselerasan antara pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Dia sampai pada kesimpulan: “Kita jangan terburu-buru menjustifikasi bahwa UU No. 32/2004 bernuansa resentralisasi, tetapi kita perlu mengkaji secara menyeluruh UU baru ini”.
Fajar Sudarwo merasa jengah dengan sikap para kepala desa yang menjadi konstituen USC Satunama. “Parah. Lurah-lurah malah melakukan syukuran karena BPD akan dihilangkan”, demikian tutur Jarwo. Sikap para lurah ini hanya untuk mengurus kepentingan jangka pendek mereka. Sikap yang sama juga muncul dari kalangan sekdes. Mereka begitu gembira karena punya peluang bakal di-PNS-kan dan menjadi priyayi yang lebih mapan. Tetapi kegembiraan para sekdes ini justru membuat para kaur di bawah sekdes menjadi sedih dan cemburu. Dalam sebuah forum, seorang kaur berujar: “Kenapa yang PNS hanya sekdes. Ini diskriminatif, yang bisa menimbulkan kecemburuan di antara pamong desa”.
Kalangan yang konservatif tidak hanya berpikir untuk dirinya sendiri, tetapi juga memandang UU 32/2004 merupakan hal yang wajar dan tidak perlu mendapat tanggapan serius. Kelompok ini percaya bahwa pemerintah melalui UU 32/2004 tidak akan merugikan desa, meski spirit yang terkandung dalam UU ini tidak memihak desa.
Suara kritis dan menolak UU No. 32/2004 muncul dimana-mana. “Lawan dan tolak UU No. 32/2004”, demikian ungkapan lantang seorang mahasiswa dari Forum Mahasiswa Peduli Desa (FMPD) di sebuah seminar. Samsul Rizal, seorang aktivis LSM di Jombang, juga berbicara: “Munculnya UU No. 32/2004 adalah sangat memnbunuh hak-hak desa dan demokratisasi desa, karena itu kita perlu lakukan ‘pembusukan’ UU itu”. Ini adalah suara khas mahasiswa dan aktivis. Dengan gaya yang berbeda banyak pihak sebenarnya menyampaikan suara yang sama seperti itu. “Kami protes keras terhadap UU No. 32/2004 karena membuat mundur demokratisasi dan otonomi desa”, demikian ungkap Kasdiono, Ketua Forum BPD DIY yang kini memperoleh mandat sebagai Ketua DPRD Kulon Progo.
Para pejuang suara desa umumnya melihat secara kritis dan tidak menerima UU No. 32/2004 secara given. Di Deli Serdang, Sumatera Utara, kalangan perempuan yang tergabung dalam Serikat Perempuan Independen (SPI) membongkar secara kritis UU 32/2004. Sebagaian dari mereka yang tergabung dalam BPD mengatakan bahwa UU 32/2004 menciptakan kemunduran demokrasi desa yang sudah dibangun selama lima tahun terakhir. Ibu Roslaini (BPD Sukasari, Deli Serdang) mengatakan: “Saya merasa hak saya sebagai BPD telah dihilangkan, yaitu dengan digantinya BPD menjadi Bamusdes yang dipilih melalui mufakat”. Ibu Sugi Hartati (BPD Desa Marindal II, Deli Serdang) berujar: “Pemerintah kita bagaimana sih, katanya ingin mencerdaskan bangsa dan negara tetapi kalau kita lihat dari UU No. 32/2004 ini tidak mencerdaskan tetapi malah membodohi masyarakat”.
Asosiasi kepala desa dan BPD di banyak kabupaten juga bersikap kecewa dan kritis terhadap UU. Mereka menilai bahwa UU 32/2004 dibuat tidak
57
mengakomodasi aspirasi desa, dan isinya tidak berpihak kepada desa. “UU ini tidak mempejelas kedudukan dan kewenangan desa”, demikian tutur Kamardi, ketua asosiasi kades Lombok Barat. Anselmus Dandu, kades Ketang (Manggarai, NTT) dengan tegas berujar: “UU baru ini sama sekali tidak mendukung otonomi desa”. Sudirman Alfian (asosiasi lurah desa DIY), menilai UU baru itu mundur jauh ke belakang, menciptakan kemunduran demokrasi dan otonomi desa. “Desa harus bersatu ramai-ramai mengepung Jakarta untuk mendesakkan perubahan UU”, demikian ungkapan lantang Sudirman.
Ungkapan Sudirman juga didukung oleh Asosiasi Badan Perwakilan Desa se-Indonesia. Suara BPD di berbagai tempat jelas-jelas mengkritik keras dan bahkan menolak. Albertus Benar (BPD Golo Rutuk Manggarai), berujar: “Saya melihat UU baru ini sangat merugikan masyarakat desa. Mengapa fungsi kontrol BPD dihilangkan?” Dadan (BPD Tamansari, Sumedang, Jabar) bilang: UU ini menghilangkan ruang kontrol publik di desa, menghilangkan hak demokratis rakyat desa memilih langsung anggota BPD, juga diskriminatif terhadap BPD”. Kopiyani (BPD Karangjati, Ngawi, Jatim) juga berujar: “UU ini memprihatinkan. Kepala desa tidak bertanggungjawab kepada rakyat, tetapi kepada bupati melalui camat. Ini akan menggiring rakyat ke masa Orde Baru lagi”.
Para akademisi punya pendapat yang hampir sama. Kutut Suwondo, Dekan Fisip UKSW Salatiga, berujar bahwa UU 32/2004 mengingkari kedaulatan rakyat desa. Saya sendiri mengatakan bahwa UU 32/2004 yang dibangun di atas pemberhalaan NKRI ini semakin mendekat pada UU No. 5/1974 dan UU No. 5/1979 (sentralistik-korporatis), dan kian menjauh dari UU No. 22/1999 (devolutif, liberal, demokratis). Ibnu Tricahyo, dari FH UNIBRAW, menilai bahwa UU baru itu catat proses dan substansi, karena itu dia mengajak berjuang mendesakkan amandemen.
Kalangan NGOs di berbagai daerah yang sudah lama berjuang untuk desa, dan kini mengambil prakarsa menggelar konsultasi publik, sangat keras menentang UU 32/2004. Semua NGO di Yogya yang concern pada desa mempunyai sikap serupa. “Kita harus menggerakkan para pendamping desa agar mereka bisa meyakinkan pada orang-orang desa tentang risiko buruk UU 32/20004 terhadap desa”, demikian ungkap Fajar Sudarwo dari USC-Satunama. “Kita tidak boleh menggunakan siasat orang kalah dalam mensikapi UU 32. Problematisasi harus dilakukan terus-menerus agar terbangun kesadaran kritis masyarakat”, ungkap Arie Sujito, seorang aktivis IRE. LAPPERA Indonesia juga secara serius menggalang suara lokal, membuat naskah tanding, dan advokasi untuk melawan UU 32. Sanlima Kupang bahkan menyatakan menolak dengan tegas kehadiran UU 32.
Pada tanggal 5 November 20004, Sanlima Kupang dan IRE Timor Tengah Selatan menggelar konsultasi publik yang melibatkan unsur tokoh masyarakat, kepala desa, BPD, asosiasi desa dan LSM. Forum berlangsung secara seru, dinamis dan membuahkan kesepatan “menolak dengan tegas kehadiran UU No. 32/2004”. Berikut dasar argumentasinya:
1. UU No. 32/2004 mempunyai semangat sentralistik terlihat dengan pola pertanggungjawaban yang vertikal akan melahirkan kontrol dari
58
pusat yang kuat, memunculkan mental ABS dan formalistis, pemerintahan yang hirarkis sehingga keputusan yang diambil oleh pemerintah desa merupakan keputusan yang tersubordinasi
2. Revisi yang dilakukan sepertinya tidak sesuai dengan amanat ketepatan MPR No. IV/MPR/2000. Semestinya pemerintah dan DPR menjelaskan latar belakang dari revisi tersebut. Hal ini dimaksudkan agar perbaikan tidak menjadi “bom waktu” dalam suatu pola hubungan pusat dan daerah.
3. Pengesahan UU 32/2004 ini spertinya mencederai semangat kehadiran DPD semestinya sebagai representasi kepentingan daerah, apapun yang diputuskan dan berimplikasi pada kondisi daerah harus melibatkan lembaga ini. Berpijak pada semagnat ini, maka DPR dan pemerintah tidaklah dalam posisi yang benar dalam melakukan revisi terhadap UU 22/99.
4. Dalam segi proses, apapun alasannya atau argumentasi yang diajukan dalam proses penyusunan UU. 32/2004 ini boleh dikatakan masih cacat moral. Pertama, dari segi waktu, terlihat bahwa waktu epmbahasan dalam sidang-sidang DPR sama sekali tidakrasional dan terkesan mengejar “jam tayang” untuk diselesaikan sebelum anggota DPR dan DPD baru hasil pemilu 2004 dilantik. Kedua; pembahasan UU ini jauh dari partisipatsi masyarakat, lemahnya kontrol masyarakat menjadi gambaran kemauan “kaum elite” yang masih berpola pikir “NKRI” secara kaku.
5. Menyangkut pengaturan sistem pemerintahan desa, terdapat beberapa kelemahan yang perlu dicermati, yaitu tidak diaturnya sistem pertanggungjawaban kepala desa dalam batang tubuh UU 32/2004. Hal lain yang perlu dicermati disini yaitu pola pertanggungjawaban yang bersifat vertikal (ke camat) bukan horizontal (ke masyarakat dan BPD).
6. BPD dalam UU 32/2004 berbeda sekali dengan UU 22/99. Perbedaan mendasar adalah preses pembentukan, hilangnya fungsi pengawasan terhadap kinerja kepala desa, dan perwakilan menjadi permusyawarata. Tata cara pengaturan ini pada dasarnya telah mulai menghilangkan demokrasi di tingkat desa.
7. Sekretaris desa yang diisi oleh PNS. Kondisi ini pada dasarnya akan mengarahkan pemerintah desa ke arah birokratisasi yang komplek dan menjauhkan perangkat dari rakyatnya. Disamping itu akan muncul kultur pegawai negeri di aras desa dan dapat diarahkan ke mesin politik baru. Sekdes yang PNS akan menimbulkan loyalitas ganda. Loyalitas ganda ini akan menyebabkan kewenangan desa untuk untuk mengatur dirinya sendiri hilang sebab masuknya tangan pemerintah supra desa ke desa membuaka peluang untuk pada pola pembangunan yang sentralistik (top down).
Mengkaji Ulang Otonomi Desa
Sejauh ini belum ada definisi formal tentang otonomi desa yang dirumuskan dalam undang-undang. Tetapi dalam kajian akademik, pembicaraan resmi pejabat maupun dalam suara advokasi selalu muncul konsep
59
otonomi desa. Bahkan otonomi desa sekarang menjadi ikon dan amunisi baru bagi gerakan pembaharuan desa. Sejauh wacana yang berkembang itu saya merekam setidaknya ada tiga bentuk cara pandang dan pehamanan tentang otonomi desa.
Pertama, cara pandang legal formal yang sering dikemukakan oleh para ahli hukum. Pemahaman tentang otonomi desa dari cara pandang ini merujuk pada diktum-diktum yang tertuang secara baku dalam Undang-undang. Dalam UU sering ditemukan diktum “desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri” sebagai definisi standar otonomi desa. Pengertian ini berarti desa merupakan sebuah subyek hukum yang berhak dan berwenang membuat tindakan hukum: membuat peraturan yang mengikat, menguasai tanah, membuat surat-surat resmi, berhubungan dengan pengadilan, menyelenggarakan kerjasama, dan lain-lain.
Apakah otonomi hanya sekadar sebagai subyek hukum? Seorang individu sekalipun juga merupakan subyek hukum. Lebih dari sekadar subyek hukum, otonomi dalam konteks pemerintahan seharusnya merupakan bagian dan implikasi dari desentralisasi. Otonomi tidak hanya sekadar persoalan hubungan hukum, tetapi hubungan antara desa dengan negara. Desa baru bisa disebut otonom kalau ia memperoleh pembagian kewenangan dan keuangan dari negara, sehingga desa mempunyai kewenangan untuk mengelola pemerintahan.
Kedua, otonomi desa baru dipahami dan ditegaskan sebagai bentuk pengakuan negara terhadap eksistensi desa beserta hak asal-usul dan adat-istiadatnya. Ini artinya negara tidak merusak, melainkan melindungi eksistensi desa. Jika kita belajar pada sejarah, maka sudah seharusnya negara memberikan pengakuan terhadap eksistensi desa, yang umurnya jauh lebih tua ketimbang NKRI. Pengakuan adalah pijakan pertama, tetapi pengakuan belum cukup. Lebih dari sekadar pengakuan, otonomi desa berarti pembagian kekuasan, kewenangan dan keuangan kepada desa.
Ketiga, konsep self-governing community sering juga dirujuk sebagai padanan frasa “kesatuan masyarakat hukum”, tetapi sejauh ini belum ada elaborasi yang memadai tentang konsep asing itu. Memang self-governing community secara historis mempunyai tradisi panjang di Eropa, dan juga di desa-desa di Indonesia. Tradisi ini kembali ke negara-kota (city-states) kuno atau kembali ke badan rapat desa dan gereja. Di negara-negara Eropa dikenal berbagai macam nama self-governing community, mulai dari dewan komunitas di Spanyol, commune di Italia, parish di Inggris, dan seterusnya. Pada prinsipnya self-governing community adalah komunitas lokal beyond the state, yang mengelola hidupnya sendiri dengan menggunakan pranata lokal. Hanya saja di zaman modern negara-bangsa (nation-states) mengambil posisi dominan dalam sistem politik dan administrasi. Di masa sekarang tradisi self-goverining community tampak tidak menyandarkan pada kumpulan prinsip yang koheren, ia jelasnya adalah sekumpulan praktik yang berbeda dan beragam. Namun, dasar umumnya dapat ditemukan: komunitas lokal secara tradisional memiliki tingkat otonomi dalam pengelolaan urusan lokal. Sebutan “tingkat otonomi” menunjuk pada
60
berbagai macam praktik dan pada sifat relatif independensi lokal (Markku Kiviniemi, 2001).
Keempat, cara pandang romantis-lokalistik. Meski dalam UU tidak ada rumusan tentang otonomi desa, tetapi wacana resmi, pelajaran di sekolah maupun suara lokal sering menegaskan bahwa desa memiliki “otonomi asli” berdasarkan asal-usul dan adat setempat. Banyak guru mengajarkan bahwa otonomi desa adalah “otonomi asli” sedangkan otonomi daerah adalah “otonomi pemberian”. Ada kesan bahwa otonomi asli itu lebih terhormat dan independen daripada status otonomi pemberian. Padahal, kalau dibaca dari sisi desentralisasi, otonomi lokal mengharuskan adanya pemberian (atau pembagian) kewenangan dan keuangan dari pemerintah pusat ke daerah. Konsep otonomi asli justru bisa menjadi jebakan yang mematikan bagi desa, sebab banyak hal yang “asli” milik desa (terutama sumberdaya alam) sudah diambil oleh negara dan dieksploitasi oleh investor.
Cara pandang romantis-lokalistik juga memahami otonomi desa sebagai kemandirian dengan cara yang keliru. Pandangan ini memahami bahwa kemandirian desa merupakan masalah internal desa, rumah tangga “sendiri”, yakni kemampuan mengelola maupun membiayai pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan dengan bertumpu pada hasil sumberdaya lokal, swadaya dan gotong-royong masyarakat, atau yang sering disebut sebagai Pendapatan Asli Desa (PADes). Kalau bantuan pemerintah lebih besar ketimbang PADes, kata cara pandang lokalis-romantis, berarti otonomi desa gagal dilaksanakan dan desa tergantung pada pemerintah supradesa. Kelemahan mendasar konsepsi lokalis adalah bahwa otonomi desa lebih dipandang sebagai kewajiban dan tanggungjawab, bukan sebagai hak.
Pemerintah sebenarnya mempunyai cara pandang yang hampir sama dengan cara pandang itu. Tetapi peberbedaannya, pemerintah mengadopsi argumen lokalis-romantis itu untuk keperluan mempertahakan sentralisme. Para pejabat supradesa selalu mengatakan bahwa kekuatan penopang kemandirian desa adalah swadaya dan gotong-royong di desa. Karena itu mereka selalu mendorong agar masyarakat desa terus-menerus meningkatkan swadaya dan gotong-royong, sebab bantuan terbatas yang diberikan pemerintah bukanlah komponen utama pembangunan desa, melainkan sebagai insentif atau stimulan. Ini adalah jebakan yang eksploitatif. Dengan melakukan eksploitasi terhadap swadaya, pemerintah tidak merasa perlu membagi kekuasaan dan sumberdaya yang menjadi domainnya kepada desa.
Kami tentu tidak menafikan swadaya masyarakat. Swadaya masyarakat berarti solidaritas sosial dan bagian dari modal sosial yang telah lama menjadi penyangga penghidupan berkelanjutan (sustainable livelihood) masyarakat desa. Tetapi otonomi dan kemandirian desa lebih dari sekadar swadaya. Kemandirian bukanlah “kesendirian”, dan otonomi desa bukan masalah internal desa. Otonomi desa tidak bakal lepas dari konteks relasi antara desa dengan supradesa, sebab desa menjadi bagian dari negara yang juga menjalankan sejumlah kewajiban yang dibebankan oleh negara. Karena itu, lebih sekadar swadaya, otonomi desa merupakan persoalan
61
pemertaan dan keadilan hubungan antara negara dan desa. Desa, khususnya pemerintah desa, mempunyai hak bila berhadapan dengan negara, sebaliknya ia mempunyai kewajiban dan tanggungjawab kepada masyarakat desa (Sutoro Eko dan Abdur Rozaki, 2005).
Karena berbagai kritik di atas, jika kita hendak memahami dan mendisain otonomi desa secara lebih maksimal, maka otonomi desa bukanlah sesuatu yang asli dan lokalistik, tetapi otonomi desa yang “sepadan” dengan otonomi daerah sebagai implikasi dari desentralisasi. Desentralisasi bukan sekadar pengakuan, tetapi juga pembagian. Otonomi desa dalam konteks desentralisasi berarti menempatkan desa sebagai local-self government, bukan sekadar self governing community yang asli.
Mengikuti pendapat Lennart Lundquist (1987: 38-39), konsep otonomi terdiri dari dua dimensi utama: kebebasan bertindak dan kapasitas untuk bertindak. Tingkat otonomi seorang aktor (misalnya pemerintah lokal) berubah-ubah dari kecil sampai besar dalam dua dimensi itu. Kebebasan bertindak pemerintah lokal mungkin ditafsirkan mengacu pada kesempatan institusi dan regulasi yang dijamin oleh legislasi dan konstitusi. Kebebasan bertindak adalah hak untuk memutuskan cara tindakannya sendiri. Desentralisasi institusional meningkatkan hak-hak pemerintah lokal ini. Dimensi otonomi kedua menunjuk pada kondisi otonomi dipandang dari segi kapasitas untuk mewujudkan dan mencapai tujuan yang diputuskan. Dimensi ini menyatakan keadaan nyata komunitas lokal, sumberdaya ekonomi sosial dan politik untuk bertindak.
Otonomi lokal sering dianggap sama dengan demokrasi lokal karena tanpa tingkat kebebasan bagi penentuan nasib sendiri, komunitas tidak mungkin memperkuat praktik demokrasi. Meskipun argumen di atas menegaskan peran yang lebih luas bagi demokrasi lokal, ada sedikit perselisihan bahwa demokrasi lokal, secara mendasar, adalah mengenai pemerintahan-sendiri (oleh) lokal. Ini adalah dasar pemikiran utama keberadaannya. Institusi demokrasi lokal adalah tempat di mana politik dijalankan (Garry Stoker, 1996). Dengan kata lain, institusi ini merupakan tempat persaingan nilai dan prioritas dan (tempat) penyelesaian bersama konflik itu. Jika nilai dan preferensi persaingan diartikulasikan dan konflik diselesaikan, maka institusi demokrasi lokal, dan mereka yang terlibat di dalamnya, harus mempunyai tingkat kekuasaan dan kewenangan untuk bertindak: yaitu beberapa tingkat otonomi lokal. The European Charter of Local Self-Government (Dewan Eropa, 1985), secara tegas menekankan ‘kebebasan daerah dan lokal dari campur tangan pemerintah pusat’ merupakan komponen dasar demokrasi lokal. Karena itu, otonomi lokal merupakan sebuah isu kedaulatan: jika tidak kedaulatan atas segala sesuatu di sebuah wilayah maka setidaknya kedaulatan atas bidang kegiatan tertentu.
Dalam jangkauan beragam literatur tentang hubungan antar-pemerintah dan pemerintah pusat-lokal (Garry Stoker, 1991), ada banyak pendekatan yang berbeda terhadap isu otonomi dan kedaulatan lokal. Penganut ajaran Karl Marx cenderung memfokuskan pada peran “negara lokal” dalam hubungannya dengan pemerintah nasional (C. Cockburn, 1977). Dual state thesis Saunders (1984, 1986) juga membedakan fokus pemerintah lokal
62
pada politik konsumsi dari urusan politik produksi pemerintah pusat. Pendekatan ini menyatakan bahwa otonomi lokal dibatasi oleh cara-cara kerja produksi kapitalisme bahwa isu lokal akan selalu tunduk pada kepentingan pemerintah nasional untuk memelihara dan memperbaiki sarana produksi. Berbeda dengan pandangan itu, model ketergantungan-kekuasaan yang didasari banyak program hubungan lokal-pusat, Dewan Peneliteian Sosial dan Ekonomi (ESRC, Economic and Social Research Council) menggolongkan hubungan antara tingkat pemerintah yang berbeda sebagai bergantung pada kepemilikan dan pertukaran sumberdaya (R.A.W. Rhodes, 1981 dan M. Goldsmith, 1986). Ketika diterapkan pada analisis jaringan kerja kebijakan, pendekatan ini mempunyai implikasi tertentu bagi konsep otonomi lokal, karena ia menyatakan bahwa akan ada perbedaan signifikan dalam pendekatan kebijakan antar bidang kebijakan (R.A.W. Rhodes, 1988). Akibatnya, teori ketergantungan-kekuasaan menyatakan bahwa otonomi lokal mungkin berbeda-beda dalam gayanya dan tingkatnya antar bidang kebijakan yang berbeda. Tingkat otonomi lokal dan keleluasaan, karena itu, mungkin berubah pada waktu dan isu dalam sistem pemerintahan konstitusional yang sama.
Sementara teori yang luas ini menyediakan konteks yang sangat berguna utuk mempelajari otonomi lokal, namun ada tiga pendekatan yang memanfaatkan perhatian di sini, karena mereka secara jelas memfokuskan pada otonomi lokal, keterbatasan dan kemungkinannya. Pertama, mereka yang mendefinisikan dan menganalisis otonomi lokal dipandang dari segi ‘kebebasan dari’ otoritas yang lebih tinggi. Kedua, ada yang mendefinisikan otonomi lokal dipandang dari segi pengaruh tata pemerintahan lokal dan ‘kebebasan untuk’ mencapai cita-cita atau has-hasil tertentu. Ketiga, ada wawasan geografi politik yang mendefinisikan dan menganalisis otonomi lokal dipandang dari segi ruang (tempat) dan kemampuan komunitas untuk membangun pengertian dan pemaknaan mereka sendiri dalam lokalitas.
1. Kebebasan dari
Pendekatan ‘kebebasan dari’ untuk otonomi lokal didasarkan pada pemahaman konstitusional tentang hubungan lokal-pusat. Dalam banyak hal, pendekatan ini menggambarkan pendekatan ilmu politik klasik terhadap topik tersebut dan mendefinisikan otonomi lokal dipandang dari segi tingkat kebebasan yang dimiliki otoritas lokal. Akibatnya, fokus pada otonomi lokal sebagian besar top-down, yang menyelidiki proses delegasi kekuasaan oleh pemerintah nasional kepada unit pemerintah lokal. Para penulis berbeda membahas gagasan ‘kebebasan dari’ ini dalam cara teoritis dan empiris yang berbeda. Namun, semuanya mengkonsepkan otonomi lokal sebagai kebebasan dari otoritas yang lebih tinggi.
Clark (1984) memberikan teori yang paling maju dalam konsteks ini. Dia mempergunakan ide Jeremy Bentham untuk mengembangkan sebuah teori otonomi lokal berdasarkan pada dua prinsip inisiasi dan imunitas. Menurut Clark (1984), inisiasi atau prakarsa pada dasarnya serba membolehkan (permissive) dan menunjuk pada ‘kekuasaan untuk bertindak, apapun
63
keadaannya, asalkan hak untuk berbuat begitu sebelumnya ada’. Imunitas, sebaliknya:
…pada dasarnya merupakan kekuasaan lokalitas untuk bertindak tanpa rasa takut terhadap otoritas oversight tingkat negara yang lebih tinggi. Dalam pengertian ini imunitas memungkinkan pemerintah lokal untuk bertindak bagaimanapun mereka inginkan dalam batas-batas yang ditetapkan oleh kekuasaan inisiatif mereka (G.L. Clark, 1984: 197-198).
Dengan membedakan antara inisiasi dan imunitas Clark mengembangkan tipologi rangkap empat untuk membandingkan otoritas lokal yang berbeda, otoritas lokal yang paling otonom mempunyai kekuasaan inisiasi dan imunitas sementara otoritas yang paling tidak otonom sangat dibatasi kekuasaan inisiasi dan imunitasnya. Teori ini menarik banyak minat karena Clark cenderung menunjuk pada tingkat otonomi yang rendah pada sebagian besar sistem pemerintah lokal.
Teori otonomi lokal yang dikembangkan juga mempertimbangkan keadaan lokal dalam hubungannya dengan argumen otonomi relatif neo-Marxist, yang menyelidiki seberapa luas pemerintah lokal mempunyai otonomi dari kekuatan kapitalis yang lebih luas, juga dari institusi negara lainnya (C. Cockburn, 1977 serta R.T Gurr and D. King, 1987). Kesimpulan dari semua studi ini adalah bahwa otonomi lokal sangat dibatasi oleh jangkauan faktor ekonomi dan politik.
Sementara jangkauan pendekatan empiris dan teoritis untuk otonomi lokal sebagai ‘kebebasan dari’ otoritas yang lebih tinggi sangat meluas, namun kesimpulan dan implikasi mereka cenderung sangat mirip. Ada dua faktor menonjol. Pertama, ada fokus umum pada posisi konstitusional pemerintah lokal di negara yang berbeda dan cara mempengaruhi kesempatan bagi otonomi lokal. Fokus ini mengarahkan perhatian pada jangkauan hubungan lokal-pusat yang berbeda: pembagian fungsi antar tingkat pemerintah (E. Page and M. Goldsmith, 1987); dasar hukum pembagian (J. Pierre, 1990); dan rezim keuangan yang mendasari hubungan itu (G. Jones and J. Stewart, 1983 dan P. Blair, 1991).
Sementara semua ini dianggap penting, independensi keuangan pemerintah lokal sering dianggap paling signifikan. Sebetulnya, otonomi keuangan (yaitu, hak untuk menaikkan pendapatan dan menyusun prioritas pengeluaran secara bebas dari pemerintah pusat) terletak pada jiwa komitmen ideologi persaingan terhadap otonomi lokal, dari usaha Margaret Thatcher yang gagal untuk meningkatkan akuntabilitas pemerintah lokal melalui the poll tax (D. Butler, A. Adonis, dan T. Travers, 1994), hingga argumen ‘localist’ untuk otonomi keuangan sebagai basis pemerintahan lokal (Jones dan Stewart, 1983). Singkatnya, argumen untuk otonomi keuangan bersandar pada gagasan bahwa otonomi hukum, politik dan organisasional adalah tidak berarti tanpa sumberdaya untuk mewujudkan manfaat otonomi seperti itu. Argumen ini tetap bertahan dalam perdebatan sekarang ini tentang kebijakan pemerintah pusat terhadap pemerintah lokal (R. Hale, 2001).
Kedua, fokus pada keterbatasan keuangan mengarah pada kekhawatiran umum terhadap kecenderungan sentralisasi pemerintah nasional yang
64
berbeda. Jika otonomi keuangan dilihat sebagai kunci otonomi lokal, maka ada sebuah ketegangan yang tidak dapat dihindari antara kepentingan pemerintah pusat terhadap manajemen ekonomi makro dan tuntutan keleluasaan kebijakan pemerintah lokal (Goldsmith, 1986). Namun, bukan hanya otonomi keuangan yang menonjol dalam studi desentralisasi. Michael de Vires (2000), misalnya, memetakan perubahan kepentingan dalam kebijakan desentralisasi di empat negara Eropa dan menyimpulkan bahwa dukungan bagi desentralisasi sebagian besar karena elite lokal yang lebih mementingkan dirinya sendiri daripada kecenderungan normatif atau ideologis ke arah pemerintahan lokal. Jadi, sentralisasi merupakan sebuah kecenderungan alami ketika tidak ada argumen kuat yang diajukan dengan sebaliknya. Jika perhatian difokuskan pada tingkat relatif independensi pemerintah pusat maka tidak terelakkan bahwa perhatian utama studi akan menjadi pembatas independensi itu.
Kebebasan dari sebenarnya identik dengan kekebalan dari, terutama kekebalan pemerintah lokal dari intervensi pemerintah yang lebih tinggi. Sebagai istilah yang netral, “intervensi” sebenarnya dimaksudkan pemerintah untuk mengatasi masalah dan mendorong inovasi pemerintahan lokal. Tetapi intervensi yang terus-menerus dilakukan oleh pemerintah yang berwatak sentralis justru membuat mati otonomi lokal. Arturo Israel (1987), misalnya, mengingatkan bahwa intervensi yang terlalu kuat pada dasarnya berkorelasi negatif dengan kinerja sebuah lembaga atau komunitas. Artinya, sema¬kin kuat intervensi maka semakin rendah kinerja lembaga tersebut. Demikian juga, intervensi pemerintah yang terlalu kuat pada desa, malah tidak akan menciptakan kemajuan dan kemandirian desa tersebut. Karena itu, Israel menyebutkan bahwa untuk meningkatkan kapasitas dan kemandirian lemba¬ga sangat diperlukan dukungan politik sepenuhnya oleh pengendali kekuasaan baik di dalam maupun di luar. Bentuk dukungan politik, meminjam Soedjatmoko (1987), bisa dengan pengembangan swaorganisasi (self organization) dan swapengelolaan (self management).
2. Kebebasan untuk
Pada beberapa tingkat, persoalan ini dapat diatasi dengan memfokuskan pada aturan konstitusi dan politik yang berbeda bagi pemerintah sub-pusat. Ini adalah pendekatan yang dipakai oleh Wolman dan Goldsmith (1990) dalam perbandingan mereka tentang otonomi lokal di Inggris dan Amerika Serikat. Kontribusi unik mereka terhadap studi otonomi lokal adalah mendefinisikan kembali otonomi lokal dipandang dari segi pengaruh dan akibatnya bagi lokalitas:
Dengan otonomi lokal kami mengartikan perhatian lebih banyak daripada perhatian tradisional terhadap kemampuan pemerintah lokal untuk bertindak tidak terkekang oleh pembatasan dari tingkat pemerintah yang lebih tinggi, perhatian yang mendominasi literatur hubungan antar-pemerintah dan pemerintah lokal di Amerika Serikat dan Inggris. Malahan, kami menanyakan banyak pertanyaan yang berbeda dan, menurut pendapat kami, lebih mendasar: Apakah pemerintah lokal di daerah perkotaan mempunyai otonomi dalam pengertian bahwa kehadiran dan
65
kegiatan mereka mempunyai pengaruh independen terhadap sesuatu yang penting? Apakah politik perkotaan berarti (Wolman dan Goldsmith, 1990: 3)?
Redefinisi otonomi ini sama dengan konsep inisiasi Clark, sepanjang ia berhubungan dengan hak dan kewajiban otoritas lokal untuk menjalankan kegiatan tertentu demi kepentingan warga mereka. Ia jauh lebih jelas daripada konsep Clark, bagaimanapun, karena ia memfokuskan perhatian tidak hanya pada kebebasan konstitusi dan hukum dari campur tangan pemerintah pusat tetapi juga akibat dari kebebasan itu. Dengan kata lain, ia membahas outcomes pemberian pemerintah lokal dengan ‘kebebasan untuk’ menjalankan prakarsa lokal. Jadi, redefinisi mereka tentang otonomi lokal mengkonsentrasikan pada kemampuan residual otoritas lokal, ketika semua variabel ekonomi dan politik luar diperhitungkan, untuk mempengaruhi kemakmuran lokalitas mereka. Akibatnya, mereka dapat membandingkan pemerintah lokal di Inggris dan Amerika Serikat tidak hanya pada dasar konstitusional tetapi juga pada dasar pengaruh yang berbeda dalam proses politik lokal. Pendekatan ini adalah pendekatan baru, yang mengarahkan dimensi baru pada studi otonomi lokal. Namun, ia mengecewakan sepanjang ia mengarah pada kesimpulan yang serupa dengan studi-studi terdahulu. Dengan memperlakukan otonomi lokal sebagai sebuah fenomena residual — yaitu, sebagai jangkauan yang ditinggalkan pada pemerintah lokal setelah ‘penentu utama’ diperhitungkan — Wolman dan Goldsmith menemukan bahwa otonomi lokal sangat dibatasi oleh pemerintah pusat dan faktor sosial ekonomi luas lainnya.
Pendekatan ‘kebebasan untuk’ adalah penting dalam konteks hubungan antara otonomi dan demokrasi lokal, karena ia menyatakan variasi otonomi lokal dalam sistem pemerintah tertentu, ia menyatakan bahwa meskipun pemerintah ada dalam batasan politik, ekonomi dan konstitusional, otoritas lokal individual dapat, mempengaruhi outcome yang sangat berbeda bagi lokalitas mereka. Dengan kata lain, ia menekankan perbedaan pada dasar aturan dan pelaksanaan politik lokal. Akibatnya, studi otonomi lokal mungkin berharap menemukan outcomes kebijakan yang berbeda pada lokalitas yang berbeda karena cara tiap otoritas lokal menafsirkan hak dan kewajibannya dalam hubungannnya dengan persoalan dan preferensi lokal. Fokus pada perbedaan ini penting bagi konsep demokrasi lokal, karena ia merupakan justifikasi utama bagi local self government (Jones dan Stewart, 1983).
3. Membangun pengertian tempat/ruang
Pendekatan geografi politik mengkonseptualisasikan otonomi lokal sebagai fenomena bottom-up (Lake, 1994), yang di dalamnya lokalitas berusaha membangun pegertian tempat mereka sendiri melalui interaksi sosial dan politik. Otonomi lokal, menurut perspektif ini, bukan kebebasan dalam hubungannya dengan hukum atau batasan lain, tetapi secara lebih luas merupakan kapasitas untuk mengendalikan pembangunan dan pemerintahan lokal. Sementara pendekatan ini tidak mengingkari pentingnya negara bangsa dalam membatasi tindakan, ia berargumen bahwa lokalitas ‘dibuat lebih kuat atau lebih tidak berdaya bukan oleh yang berkuasa, tetapi
66
oleh yang mewakili mereka melalui pertandingan dalam kehidupan sosial’ (Brown, 1993: 264). Akibatnya, ia menempatkan lebih banyak tekanan pada kegiatan komunitas dalam mendefinisikan otonomi mereka sendiri. Menurut perspektif ini, tingkat otonomi lokal yang ditemukan di lokalitas tertentu bergantung pada apa yang sedang diperjuangkan untuk mencapai (nya) dan apa yang sedang ia usahakan untuk menjadi otonom (darinya). Berbeda secara langsung dengan tradisi lokalis Jones dan Stewart, pendekatan ini tidak terfokus pada kemungkinan lokal untuk berbeda tetapi pada cara yang di dalamnya mereka berusaha mendefinisikan perbedaan mereka sendiri.
Konsentrasi pada pembangunan dan pemerintahan lokal tidak mengingkari peran negara bangsa maupun faktor-faktor lain dalam membentuk kesempatan bagi otonomi lokal. Sesungguhnya, banyak karya di bidang ini membangun dari pemahaman hubungan kekuasaan antara lokalitas dan lingkungan mereka yang lebih luas:
…otonomi bukan merupakan sebuah komoditas yang dimiliki atau tidak dimiliki oleh individu atau lokalitas. Malahan otonomi adalah serangkaian hubungan kekuasaan. Karena itu, suatu lokalitas tidak dapat mempunyai otonomi, karena otonomi hanya dapat diwujudkan melalui hubungan ekonomi, politik, dan sosial dimana lokalitas itu dilibatkan dengan dunia ekstra-lokal (DeFilippis, 1999: 976).
Jauh dari sebuah pemahaman hubungan-kekuasaan, Lake (1994) mengembangkan tinjauan kemungkinan dan batasan lokalitas untuk merundingkan otonomi di bidang tertentu. Lake mengkonsentrasikan pada wacana teknis-rasional yang mendominasi hubungan pemerintah pusat dengan lokalitas. Wacana ini, dia berargumen, “memberi negara dengan penampilan netralitas untuk menyeimbangkan tuntutan struktural yang bertentangan” (hal. 439). Dia membedakan wacana teknis-rasional pemerintah pusat dengan wacana partisipasi dan negosiasi pada tingkat lokal seraya menunjukkan bagaimana negara menempatkan sejumlah hambatan struktural terhadap realisasi wacana alternatif ini. Wacana partisipasi dan negosiasi, tutur dia, merupakan cara komunitas dapat membangun pengertian tempat mereka sendiri melalui hubungan dengan negara dan aktor-aktor lain. Dengan menerapkan wacana teknis-rasional dalam negosiasi, negara dapat rintangan terhadap otonomi lokal dan menegaskan otoritasnya. Hegemoni wacana teknis-rasional dalam hubungan lokal-pusat, oleh karenanya, memberi negara dengan banyak kekuasaan dan mengurangi usaha-usaha untuk mencapai otonomi lokal. Karena itu, Lake menyimpulkan bahwa “pada akhirnya, perdebatan atas otonomi lokal merupakan sebuah perdebatan atas tiap kekuasaan bentuk alternatif wacana” (hal. 439). Untuk mencapai otonomi lokal, yang di dalamnya komunitas diberdayakan untuk membangun pengertian tempat mereka sendiri, akan memerlukan sebuah perubahan radikal (yang) jauh dari argumen teknis-rasional bagi kebijakan tertentu dan penerimaan variasi lokal berdasarkan partisipasi dan negosiasi atas isu-isu khusus.
Memahami otonomi lokal dalam cara ini mempunyai daya tarik yang besar bagi studi demokrasi lokal, karena ia membawa demokrasi partisipatoris
67
pada tingkat lokal ke dalam analisis. Jika institusi politik lokal adalah sarana yang dengannya hubungan sosial dalam sebuah lokalitas dikonsolidasikan, dan (merupakan) saluran yang melalui saluran itu hubungan dengan badan ekstra-lokal dijalankan, maka peran demokrasi lokal dibangun. Dengan kata lain, jika otonomi lokal terutama mengenai pemberdayaan komunitas lokal untuk mendefinisikan pengertian tempat mereka sendiri, maka institusi politik, dan terutama institusi demokrasi, terletak pada jiwa usaha untuk mensahkan atau meningkatkan otonomi lokal.
Demokrasi juga dibawa masuk ke dalam analisis sejauh ia mencirikan hubungan kekuasaan dan ketegangan antara pusat dan lokal. Sementara lokal sedang berusaha membangun otonomi melalui wacana politik partisipasi dan demokrasi, pusat dapat berkuasa dengan jalan lain terhadap jawaban teknis-rasional untuk persoalan politik. Argumen ini mempunyai implikasi luas bagi perkembangan demokrasi pada tingkat negara-bangsa karena ia menyatakan bahwa pemerintah nasional mungkin tidak terelakkan melawan partisipasi-demokrasi yang berusaha mereka kembangkan.
Persoalannya dengan pendekatan ini terletak dalam memahami definisi tempat dalam konteks ini. Dalam banyak hal, pendekatan bottom-up ini menegaskan bahwa komunitas, jika mereka adalah membangun pengertian tempat mereka sendiri, pertama-tama harus mendefinisikan diri mereka sendiri sebagai komunitas. Ini berbeda dengan pendekatan konstitusional tradisional terhadap administrasi publik, yang mengakui hak negara berdaulat untuk mendefinisikan dan meredefinisikan batas-batas fungsional pemerintah lokal. Perbedaan ini tidak membuat tidak berlaku gagasan otonomi lokal sebagai pembangunan tempat/ruang sosial tetapi ia sungguh mengangkat sebuah persoalan penting: jika otonomi lokal bukan mengenai independensi relatif institusi pemerintah lokal yang ditetapkan pusat maka pada tingkat apa otonomi lokal tepat? Jika otonomi lokal berhubungan dengan pembangunan ruang sosial dan politik maka ia mungkin terjadi pada tingkat sangat lokal, di bawah pemerintah lokal tradisional. Sebagai contoh, banyak urban boxes yang muncul di kota-kota Inggris mungkin dilihat sebagai komunitas-mikro dalam otoritas lokal tradisional. Persoalan sesungguhnya adalah bahwa, dalam tradisi pemikiran politik liberal, otonomi pada dasarnya adalah tentang kebebasan individu, berbeda dengan demokrasi, yang pada dasarnya tentang pembuatan keputusan bersama. Segera sesudah analisis otonomi bergerak menjauh dari fokus pada organisasi pemerintah lokal, ia menjadi sebuah konsep yang ambiguous yang mepunyai nilai terbatas dalam memahami realitas praktik demokrasi pada lokalitas.
Dengan demikian, otonomi desa dikonseptualisasikan sebagai suatu tingkat independensi atau “kebebasan dari” negara-bangsa, suatu tingkat ‘kebebasan untuk’ mencapai preferensi lokal dan untuk memenuhi kebutuhan lokal dan, yang paling menantang, tingkat kapasitas desa untuk mendefinisikan dan mengartikulasikan pengertian mereka sendiri. Karena itu, menurut definisi ini, otonomi desa lebih dari sekadar sebuah ukuran relatif independensi finansial, organisasional atau politik otoritas lokal dalam sebuah negara-bangsa, otonomi lokal juga merupakan ciri hubungan sosial dan politik yang membuat tiap tempat berbeda (beragam).
68
Desentralisasi dan Subsidiarity
Perwujudan ide otonomi desa di atas, maupun kedudukan dan kewenangan desa, tentu membutuhkan kebijakan desentralisasi dan subsidiarity. Prinsip dasar pertama desentralisasi desa adalah pengakuan dan penghormatan terhadap keberadaan desa yang beragam, meski solusi tentang kedudukan dan kewenangan desa bisa beragam juga. Pengakuan ini secara minimal berarti mengukuhkan desa sebagai self-governing community atau kesatuan masyarakat hukum. Pada level yang lebih tinggi, desentralisasi desa berupaya membentuk desa sebagai local-self government atau “otonomi desa” seperti halnya “otonomi daerah” yang dimiliki provinsi dan kabupaten/kota. “Otonomi desa” yang dikukuhkan atau desa sebagai local-self government itu lebih dari sekadar status “otonomi asli” yang sudah lama dimiliki desa sebagai self-governing community. Desa berarti mempunyai kedudukan dan kewenangan yang jelas dalam struktur ketatanegaraan yang ditegaskan dalam peraturan perundang-undangan, sekaligus memiliki keleluasaan, kekebalan dan kemampuan untuk mengelola rumah tangganya sendiri secara otonom.
Skema desa sebagai local-self government membutuhkan desentralisasi atau pembagian kewenangan secara proporsional antara pusat, daerah dan desa. Ketiga level ini secara konstitusional dan empirik memang bersifat hirarkhis, namun pemerintah tidak boleh sewenang-wenang dan sentralistik melakukan perintah terhadap pemerintah bawahan. Pemerintah atasan melakukan pembagian kewenangan, sumberdaya, tanggungjawab, pembinaan kapasitas, dan supervisi kepada bawahan, sekaligus juga menghargai, mempercayai dan menantang pemerintah bawahan.
Pembagian kewenangan kepada desa tentu perlu memperhatikan berbagai bentuk kewenangan yang beragam. Tipe pertama adalah kewenangan generik atau kewenangan asli, yang sering disebut hak atau kewenangan asal-usul yang melekat pada desa (atau nama lain). Kewenangan inilah yang sering disebut sebagai property right komunitas untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri (Yando Zakaria, 2001), atau yang sering disebut sebagai wujud otonomi asli. Ada beberapa jenis kewenangan generik yang sering disebut-sebut: (1) Kewenangan membentuk dan mengelola sistem pemerintahan sendiri; (2) Kewenangan mengelola sumberdaya lokal (tanah kas desa, tanah bengkok, tanah ulayat, hutan adat, dll); (3) Kewenangan membuat dan menjalankan hukum adat setempat; (4) Kewenangan mengelola dan merawat nilai-nilai dan budaya lokal (termasuk adat-istiadat); (5) Kewenangan yudikatif atau peradilan komunitas (community justice system), misalnya dalam hal penyelesaian konflik lokal.
Tipe kedua adalah kewenangan devolutif, yaitu kewenangan yang harus ada atau melekat kepada desa karena posisinya sebagai pemerintahan lokal (local-self government), meski desa belum diakui sebagai daerah otonom seperti kabupaten/kota. Desa, sebagai bentuk pemerintahan lokal (local-self government) sekarang mempunyai perangkat pemerintah desa (eksekutif) dan Badan Perwakilan Desa (BPD sebagai perangkat legislatif) yang mempunyai kewenangan untuk membuat peraturan desa sendiri. Di masa Orde Baru di bawah UU No. 5/1979, kewenangan devolutif dalam hal pembuatan
69
Perdes ini tidak dimiliki oleh desa. Jika mengikuti Peraturan Pemerintah No. 76/2001 tentang Pedoman Umum Pengaturan Mengenai Desa, ada sejumlah kewenangan desa yang bisa dikategorikan sebagai kewenangan devolutif: penetapan bentuk dan susunan organisasi pemerintahan desa; pencalonan, pemilihan dan penetapan Kepala Desa; Pencalonan, pemilihan, pengangkatan dan penetapan perangkat desa; pembentukan dan penetapan lembaga masyarakat; penetapan dan pembentukan BPD; pencalonan, pemilihan dan penetapan angota BPD; penyusunan dan penetapan APBDes; penetapan peraturan desa; penetapan kerja sama antar desa; penetapan dan pembentukan Badan Usaha Milik Desa (BUMDES). Penetapan kewenangan devolutif tersebut sebenarnya sudah merupakan kemajuan yang cukup signifikan, meskipun dalam praktiknya masih banyak masalah yang muncul. Contohnya adalah penetapan jumlah BPD, rekrutmen perangkat, serta struktur organisasi dan tata laksana (SOT) pemeriuntahan desa. Sejumlah kewenangan itu bila dilaksanakan dengan baik oleh desa, akan secara bertahap menempa kemampuan dan kemandirian desa.
Tipe ketiga adalah kewenangan distributif, yakni kewenangan mengelola urusan (bidang) pemerintahan yang dibagi (bukan sekadar delegasi) oleh pemerintah kepada desa. Jika mengikuti UU No. 22/1999, kewenangan distributif ini disebut sebagai “kewenangan yang oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku belum dilaksanakan oleh daerah dan pemerintah”, yang dalam pratiknya sering dikritik sebagai “kewenangan kering” karena tidak jelas atau “kewenangan sisa” karena desa hanya menerima kewenangan sisa (karena semuanya sudah diambil kabupaten/kota) yang tidak jelas dari supradesa.
Tipe keempat adalah kewenangan dalam pelaksanaan tugas pembantuan. Ini sebenarnya bukan termasuk kategori kewenangan desa karena tugas pembantuan hanya sekadar melaksanakan tugas tertentu yang disertai pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskan. Titik kewenangannya justru bersifat “negatif”, yaitu kewenangan desa menolak tugas pembantuan bila tidak disertai pendukungnya.
Desentralisasi (pembagian) kewenangan di atas juga butuh subsidiarity agar kewenangan bisa berjalan untuk menopang kemandirian desa. Subsidiarty berasal dari kata subsidium (Bahasa Latin) yang berarti membantu atau memberi asistensi. Konsep membantu ini berarti organisasi yang lebih tinggi membantu organisasi yang lebih rendah menjalankan fungsi-fungsinya. Paralel dengan desentralisasi, subsidiarity adalah sebuah prinsip dan etika yang menjadi solusi bagi organisasi besar yang kompleks dan hirarkhis. Ia menganjurkan bahwa pengambilan keputusan, penggunaan kewenangan dan penyelesaian masalah yang terkait langsung dengan warga sebaiknya dilakukan oleh organisasi lokal yang paling dekat dengan warga. Subsidiarity secara prinsipil menegaskan tentang alokasi atau penggunaan kewenangan dalam tatanan politik, yang notabene tidak mengenal kedaulatan tunggal di tangan pemerintah sentral. Subsidiarity terjadi dalam konteks transformasi institusi, sering sebagai bagian dari tawar-menawar (bargaining) antara komunitas yang berdaulat (mandiri) dengan otoritas
70
pusat. Prinsip subsidiarity juga hendak mengurangi risiko-risiko bagi subunit pemerintahan atau komunitas bawah dari pengaturan yang berlebihan (overruled) oleh otoritas sentral. Berangkat dari ketakutan akan tirani, subsidiarity menegaskan pembatasan kekuasaan otoritas sentral (pemerintah lebih tinggi) dan sekaligus memberi ruang pada organisasi di bawah untuk mengambil keputusan dan menggunakan kewenangan secara mandiri (Lars Blichner dan Linda Sangolt, 1993; David Bosnich, 1996; dan Andreas Føllesdal, 1998).
Apa yang terjadi kalau tidak ada subsidiarity, dan apa manfaat subsidiarity? Selama ini pemerintah atasan sering menggunakan argumen “tidak siap” untuk membatasi ruang gerak atau tidak memberikan kewenangan pada bawahan. Pemerintah atasan sering merasa “dilangkahi” kalau bawahan mengambil keputusan secara mandiri. Tanpa subsidiarity, maka tidak ada proses belajar yang bisa mengurangi ketidaksiapan. Tanpa subsidiarity, pemerintah bawahan akan selalu tidak siap, tergantung, tidak mempunyai inisiatif dan kreativitas, selalu menjadi kerdil di hadapan pemerintah atasan. Kenyataan ini tentu saja sangat bertentangan dengan semangat dan substansi otonomi daerah dan desa (local self government). Sebaliknya, subsidiarity niscaya akan memberikan banyak manfaat: (1) membatasi kesewenang-wenangan pemerintah atasan; (2) memberi ruang belajar untuk maju bagi pemerintah bawahan; (3) memperkuat prakarsa, kapasitas, tanggungjawab dan kemandirian pemerintah bawahan. Melalui subsidiarity, niscaya semangat kemandirian dalam otonomi desa bisa dibangun meski membutuhkan waktu panjang. Memang betul bahwa kapasitas SDM pemerintah bawahan masih lemah, tetapi kalau tidak ada subsidiarity yang diiringi dengan “pembinaan” dan supervisi yang positif, maka kapasitas itu akan selamanya lemah.
Jika kita percaya pada desentralisasi dan subsidiarity, maka tindakan menghargai, mempercayai dan menantang desa harus dilakukan untuk memberdayakan dan membangun otonomi desa. Menghargai, mempercayai dan menantang desa tentu tidak bakal kita temukan dasar hukumnya, sebab ketiga tindakan itu adalah bentuk etika yang harus ditanamkan ke dalam pola pikir (mindset) dan dijabarkan ke dalam sikap dan perilaku yang konkret. Seorang bupati yang mempunyai pola pikir birokratis, prosedural dan konservatif tentu tidak bakal mempunyai paradigma menghargai, mempercayai dan menantang desa. Hanya seorang bupati yang demokratis, visioner dan progresif yang bakal menunjukkan sikap menghargai, mempercayai dan menantang desa.
Model-model Alternatif
Indonesia memang memiliki ribuan desa yang sangat beragam, baik dari segi nama (nomenklatur), struktur pemerintahan maupun adat-istiadat. Selama era reformasi, sudah banyak daerah yang menggantikan nomenklatur dari desa menjadi nama-nama asli. Di Sumatera Barat desa diganti nagari, di Cirebon desa berganti menjadi kuwu, di Jawa Tengah dan DIY nama kepala desa diganti menjadi lurah desa, di Tana Toraja desa berganti nama menjadi lembang, di Papua nama desa sudah berubah menjadi kampung, sementara di Bali tetap mempertahankan dualisme antara desa dinas dan
71
desa pakraman. Sementara daerah-daerah lain, termasuk di Kalimantan maupun Nusa Tenggara Timur, tetap memertahankan nama desa. Meskipun terjadi perubahan nomenklatur di beberapa tempat, tetapi substansi otonomi desa hampir tetap sama, terutama yang terjadi di Jawa, Sulawesi maupun Papua.
Pergantian nomenklatur tentu bukan pilihan utama dalam pengembangan otonomi desa, tetapi juga perlu memperhatikan format dan substansi otonomi desa. Dalam konteks ini saya mengidentifikasi sejumlah model pilihan yang bisa dikembangkan untuk memformat pemerintahan desa. Dimensi otonomi desa (kedudukan dan kewenangan desa) beserta demokrasi dalam pemerintahan desa dan birokrasi desa akan sangat tergantung pada format atau model ini.
Pertama, model desa hanya sebagai komunitas lokal yang tidak mempunyai pemerintah desa seperti yang terjadi pada komunitas-komunitas lokal di kawasan Eropa dan Amerika. Kalau di Indonesia misalnya ada Rukun Tetangga (RT) maupun Rukun Warga (RT). Sayangnya, RT di Indonesia juga mempunyai beban dan urusan administrasi pemerintahan. Organisasi lain yang steril dari urusan pemerintahan adalah komunitas atau organisasi masyarakat adat. Intinya, komunitas lokal itu memiliki organisasi lokal yang lebih menyerupai asosiasi lokal ketimbang institusi pemerintah. Organisasi atau asosiasi lokal itu bukanlah bawahan struktur pemerintah yang lebih tinggi, serta tidak menjalankan tugas-tugas administrasi dan pemerintahan yang diberikan oleh pemerintah, melainkan hanya menjalankan fungsi mengurus urusan-urusan kemasyarakatan yang bersifat lokal dan sukarela. Organisasi semacam ini sama sekali tidak meributkan masalah desentralisasi dan otonomi lokal yang berhubungan dengan pemerintah, kecuali hanya sebagai bentuk modal sosial yang digunakan oleh warga untuk menolong dirinya sendiri, bekerjasama, membangun kepercayaaan, dan bisa juga sebagai basis civil society untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Meski tidak berurusan dengan desentralisasi, bukan berarti pemerintah mendiamkan masyarakat lokal itu. Wilayah maupun penduduk di komunitas lokal itu tetap menjadi kewenangan dan tanggungjawab pemerintah, terutama tanggungjawab pemerintah memberikan pelayanan publik (pendidikan, kesehatan, perumahan, air minum, listrik, transportasi dan sebagainya) yang tidak mungkin mampu ditangani sendiri oleh organisasi lokal.
Jika model ini dipilih, maka konsekuensinya desa sebagai institusi pemerintahan lokal (local self government) dihapuskan. Arena desentralisasi dan demokrasi formal tidak lagi berada di desa, melainkan berada di level kabupaten/kota. Urusan administrasi untuk warga bisa dikurangi dan kemudian dipusatkan di level kecamatan. Pemerintah berkewajiban menyediakan layanan publik kepada masyarakat, sekaligus melancarkan pembangunan desa yang masuk ke seluruh pelosok desa.
Model ini tampaknya sangat cocok diterapkan bagi masyarakat adat di banyak daerah yang selama ini termasuk gagal memadukan antara adat dan desa. Beberapa daerah seperti Papua dan Nusa Tenggara Timur sejak dulu terjadi dualisme antara desa negara dan kesatuan masyarakat adat. Pemerintah desa negara tidak berjalan secara efektif. Sedangkan masyarakat adat
72
sedikit-banyak mempunyai kontrol atas tanah ulayat (meski hal ini juga sudah hancur) dan memperoleh legitimasi sosial di hadapan warga setempat. Pilihannya, pemerintah desa bentukan negara dihapuskan sama sekali, sedangkan kesatuan masyarakat adat sebagai self governing community direvitalisasi untuk mengelola dirinya sendiri tanpa harus mengurus masalah administrasi pemerintahan dan tidak memperoleh beban tugas dari pemerintah. Model ini tentu akan mengakhiri dualisme antara desa dan adat, sekaligus bisa memperkuat adat sebagai basis komunitas lokal.
Kedua, model desa-desa di Jawa yang umumnya sudah lama berkembang sebagai institusi pemerintahan modern dan meninggalkan adat. Modernisasi pemerintahan desa melalui UU No. 5/1979 relatif “sukses” diterapkan di Jawa. Bahkan UU No. 22/1999 merupakan embrio bagi tumbuhnya desa-desa sebagai local self government yang tidak sama sekali meninggalkan spirit self governing community. Ini terlihat dengan tradisi pengelolaan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan yang melekat di desa. Secara inkremental desa-desa di Jawa mulai memupuk kemampuan mengelola pemerintahan dan pembangunan secara baik, sementara arena demokrasi dan civil society juga mulai tumbuh. Meski belum sebagian besar, banyak desa di Jawa dipimpin oleh kepala desa progresif, yang menempa kemampuan dengan baik, mempunyai rencana strategis sebagai pedoman dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, serta menyiapkan APBDes yang baik (akuntabel, transparan, dan partisipatif).
Desa-desa seperti itu sudah relatif siap ditransformasikan menjadi local self government yang mempunyai predikat otonomi. Dalam konteks ini perlu ada UU pemerintahan desa khusus di Jawa yang menegaskan tentang otonomi desa (kedudukan dan kewenangan) seperti halnya otonomi daerah di kabupaten/kota. UU itu menegaskan kedudukan desa-desa di Jawa bukan sebagai bagian dari kabupaten semata, melainkan juga sebagai bagian dari NKRI. Inilah yang disebut dengan devolusi untuk desa. Penegasan tentang kedudukan desa itu juga disertai dengan pembagian (distribusi) kewenangan secara proporsional antara pusat, provinsi, kabupaten/kota dan desa. Dengan cara ini, desa-desa di Jawa jelas akan mempunyai kewenangan devolutif dan distributif yang lebih konkret, bukan lagi kewenangan kering atau kewenangan sisa yang tidak jelas. Kewenangan juga diikuti dengan perimbangan keuangan atau alokasi dana kepada desa untuk membiayai kewenangan itu. Konsekuensinya pemerintah desa mempunyai hak yang lebih jelas, sekaligus berkewajiban dan bertanggungjawab dalam “mengatur” dan “mengurus” tanah dan penduduk desa untuk kesejahteraan masyarakat.
Jika kewenangan dan keuangan sudah didistribusikan kepada desa, maka pemerintah supradesa tidak perlu lagi mengutamakan pendekatan instruksi dan intervensi kepada desa. Instruksi dan intervensi justru akan mematikan prakarsa dan potensi desa. Pendekatan utama yang sebaiknya diutamakan adalah supervisi dan capacity building. Kecamatan juga bisa berperan sebagai fasilitator dan koordinator kerjasama antardesa supaya desa-desa lebih maju berkembang. Pendekatan baru ini juga perlu disertai dengan spirit subsidiarity (lokalisasi pengambilan keputusan, penggunaan kewenangan dan penyelesaian masalah), dengan semangat menghormati, mempercayai dan menantang desa.
73
Jika model local self government dipilih, maka satuan dan struktur birokrasi hanya berhenti di level desa. Dusun memang tetap penting, sebab secara historis dusun menjadi basis identitas dan penghidupan rakyat desa, apalagi dalam perjalanannya desa justru tumbuh sebagai birokrasi negara yang mengendalikan dusun. Akses warga ke desa masih terasa jauh, sehingga dusun menjadi alternatif bagi warga untuk berdemokrasi dan partisipasi. Dusun sebenarnya adalah satuan komunitas yang lebih baik digunakan untuk membuat perencanaan pembangunan yang partisipatif. Kepala dusun tidak mempunyai tugas-tugas administratif melainkan sebagai koordinator pembangunan dan fasilitator bagi partisipasi masyarakat.
Satuan RT maupun RW yang berada dalam setiap dusun tentu bukan lagi sebagai bagian dari birokrasi desa. RT dan RW tidak perlu lagi menjalankan tugas-tugas administrasi yang dibebankan oleh desa. Dengan kalimat lain birokrasi dalam RT dan RW lebih baik dipotong. Sebaliknya RT dan RW lebih baik disiapkan menjadi modal sosial atau organisasi komunitas lokal yang berguna untuk menolong diri sendiri, solidaritas sosial antarwarga maupun untuk menangani persoalan komunitas secara bersama yang tidak bisa ditangani oleh negara.
Ketiga, model nagari di Sumatera Barat yang melancarkan “kembali ke nagari” sejak 2000 telah menggabungkan (integrasi) desa negara dengan adat nagari menjadi satu wadah tunggal nagari. Jika sebelumnya ada dualisme antara pemerintah desa negara dengan adat nagari (dan adat mengalami marginalisasi), maka sekarang terjadi integrasi ke dalam nagari, sehingga nagari tumbuh menjadi the local state. Nagari itu menggabungkan antara skema local self government dan self governing community, atau menegakkan prinsip tali tigo sapilin (negara, agama dan adat). Nagari mengenal pembagian kekuasaan berdasarkan Trias Politica: eksekutif (pemerintah nagari), legislatif (badan perwakilan nagari) dan yudikatif (kerapatan adat nagari maupun majelis adat dan syarak) yang bertugas menjadi instusi peradilan lokal (penyelesaian konflik lokal, bukan pidana) dan badan pertimbangan kepada eksekutif dan legislatif agar kebijakan nagari tetap sesuai dengan adat dan agama. Sesuai dengan adat setempat, kepemerintahan dan kepemimpinan nagari bertumpu pada tigo sajarangan (ninik mamak, cerdik pandai dan alim ulama), yang sekarang ditambah unsur bundo kanduang dan pemuda. Sekarang nagari belum menemukan konsep baru untuk mewadahi lima unsur nagari itu, tetapi kelimanya masuk dalam badan eksekutif dan legislatif. Sedangkan unsur Kerapatan Adat Nagari hanya mewadahi unsur ninik mamak, sedangkan Mejelis Ulama khusus mewadahi unsur alim ulama.
Meski nagari mengenal legislatif (badan perwakilan nagari) sebagai arena demokrasi perwakilan, tetapi model demokrasi nagari tidak bertumpu pada hubungan eksekutif-legislatif itu. Sesuai dengan adat setempat, praktik demokrasi nagari yang sudah mengakar adalah demokrasi deliberatif, yakni permusyawaratan secara elitis antar pemimpin nagari. Ini adalah titik kelemahan empirik yang didistorsi oleh adat. Partisipasi perempuan dan pemuda hanya bersifat simbolik dan formalistik. Akses mereka dalam proses deliberasi tetap terbatas karena arena didominasi oleh elite nagari. The local state nagari juga bersifat korporatis, dimana seluruh unsur diwa74
dahi secara tunggal di dalam wadah “negara” nagari. Akibatnya ruang dan aktor civil society tidak bisa tumbuh dengan baik di aras nagari.
Nagari yang baru mempunyai sederet kewenangan yang lebih jelas dan alokasi dana untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. Kewenangan nagari antara lain mencakup kewenangan administratif, mengontrol tanah ulayat, pasar, tata ruang nagari, dan seterusnya. Keputusan untuk investasi di nagari, misalnya, tidak diputuskan secara sepihak oleh kabupaten, melainkan keputusan pertama terletak pada negari.
Keempat, model dualistik desa-desa di Bali. Sampai sekarang di Bali tetap mempunyai dua bentuk desa: desa dinas (negara) dan desa pakraman (adat). Desa dinas adalah birokrasi kepanjangan tangan negara yang mengatur dan mengurus masalah-masalah administrasi pemerintahan dan pembangunan. Sedangkan desa pakraman menjalankan fungsi merawat adat-istiadat, kontrol terhadap pemerintah desa dinas, termasuk mengontrol penggunaan tanah adat dari intervensi negara dan modal. Sejauh ini, desa pakraman tidak bersedia digabung dengan desa dinas sebagaimana pengalaman di Sumatera Barat, sebab mereka tidak mau kehilangan otonomi dan adat, serta tidak bersedia berposisi secara hirarkhis di bawah negara.
Skema dualistik itu menarik sebab, berbeda dengan doktrin Trias Politica, kekuasaan desa-desa di Bali dipisah menurut garis pemerintahan dan pembangunan yang menjadi domain desa dinas dengan adat dan kemasyarakatan yang merupakan domain desa pakraman. Desa pakraman menjadi organisasi komunitas lokal yang menjadi identitas, basis otonomi dan kontrol terhadap pemerintah desa dinas. Dengan demikian desa pakraman menjadi arena civil society dan partisipasi warga. Berbeda dengan Kerapatan Adat Nagari di Sumatera Barat yang terintegrasi dan ikut “menguasai” pemerintahan nagari, desa pakraman di Bali mempunyai domain sendiri yang otonom dan ikut “mempengaruhi” atau “mengontrol” negara.
Dengan skema itu Trias Politica (eksekutif, legitlatif dan yudikatif) dalam konteks desa dinas tidak berlaku. Sampai sekarang desa-desa dinas di Bali tidak mempunyai Badan Perwakilan Desa sebagaimana terjadi di desa-desa di Jawa. Desa dinas tidak berjalan secara efektif sebagai institusi modern yang menjalankan fungsi pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. Di sana ada dualisme antara kepala desa (dinas) dengan pendesa (pemimpin desa pakraman). Warga lebih percaya pada pendesa ketimbang kepala desa. Ini persoalan yang serius. Pemerintah desa dinas menghadapi delegitimasi dan distrust dari warga, sementara desa pakraman menjadi “tirani” yang tidak bisa dikontrol publik. Sebagai contoh desa pakraman tumbuh menjadi “negara” yang mempunyai polisi adat (pecalang) yang relatif represif kepada warga.
Kelima, model kelurahan. Kelurahan adalah bentuk satuan administrasi birokrasi negara yang bekerja di aras lokal, atau sering disebut sebagai the local state government. Berbeda dengan desa, kelurahan tidak mempunyai otonomi, melainkan hanya menjalankan tugas-tugas administrasi pemerintahan yang didelegasikan dari atas. Pimpinan kelurahan adalah lurah,
75
yang berstatus PNS dan posisinya sebagai pejabat administrasi (karir) yang diangkat. Dia tidak bertanggungjawab kepada rakyat, melainkan kepada pejabat yang mengangkatnya.
Pengaturan tentang kelurahan sudah dimulai secara tegas dalam UU No. 5/1979. UU ini memberi ruang peralihan dari desa yang otonom menjadi keluarahan yang berstatus sebagai unit administratif. Banyak pengalaman menunjukkan bahwa desa-desa yang berada di wilayah perkotaan, urbanized, industrialized atau menjadi pusat pemerintahan dan perdagangan, telah berubah menjadi kelurahan. Dengan sendirinya kelurahan tidak lagi mempunyai hak dan kontrol atas tanah ulayat atau tanah bengkok, semua ini diambil alih oleh negara.
Perubahan dari desa menuju kelurahan tentu memperbaiki sistem birokrasi lokal, juga mengakhiri tarik-menarik antara desa dan supradesa, atau antara adat dengan negara. Tetapi kelurahan menghilangkan otonomi dan demokrasi desa. Umumnya perubahan dari desa ke kelurahan merupakan kehendak supradesa untuk meningkatkan pendapatan pajak dan melancarkan kapitalisasi terhadap tanah yang menjadi milik desa. Karena itu, jika dilihat dari sisi desentralisasi dan demokrasi lokal, serta bahaya kapitalisasi, maka perubahan dari desa menjadi kelurahan bukanlah model pilihan yang kami rekomendasikan. Banyak contoh membuktikan, termasuk kisah di Kabupaten Tangerang, orang-orang desa melakukan penolakan terhadap upaya pemerintah supradesa mengubah desa menjadi kelurahan.
Penutup
Sejak zaman kolonial hingga sekarang, desa (yang memiliki penduduk dan tanah) selalu menjadi obyek birokratisasi dan pembangunan oleh negara serta eksploitasi oleh pemilik modal. Negara membuat banyak peraturan (yang sering mengalami bongkar pasang dan selalu mengambang) bukan untuk menghormati dan mengangkat harkat-martabat orang desa, tetapi digunakan untuk mengendalikan desa guna mendukung kepentingan sepihak pemerintah, baik kondolisasi politik maupun pembangunan ekonomi. Pada saat yang sama pemerintah melancarkan berbagai proyek pembangunan ke desa sebagai bentuk “politik etis” dan proyek jangka pendek untuk kepentingan jajaran birokrasi negara. Setiap proyek pembangunan yang masuk ke desa tidak serta-merta memberdayakan rakyat desa, tetapi justru memperkaya para pelaksana dari unsur birokrasi maupun kepala desa.
Di luar skema pembangunan yang digerakkan negara (state led development) pemerintah juga mengundang para investor dalam dan luar negeri untuk melakukan eksploitasi lahan pertanian, perkebunan, air, kehutanan dan pertambangan, yang semuanya berdekatan dengan masyarakat desa. Eksploitasi terhadap SDA memang menghasilkan devisa negara yang luar biasa. Tetapi yang lebih luar biasa adalah bahwa eksploitasi SDA lebih memperkaya para pejabat komprador dan perusahaan asing, sekaligus memiskinkan orang desa yang setiap hari berdekatan dengan SDA. Mereka hanya menikmati “politik etis” dari perusahaan melalui skema community development. Mereka kehilangan basis penghidupan dan tetap miskin.
76
Otonomi desa yang selama ini dibuat mengambang tentu terkait dengan proyek ekonomi-politik yang dijalankan pemerintah bersama investor. Pengakuan dan pembagian hak dan otoritas kepada desa untuk mengontrol tanah dan penduduk justru akan mempersulit proyek kapitalisasi. Sebaliknya menempatkan desa dibawah kendali negara jelas mempermudah proyek kapitalisasi.
Sejauh ini sudah banyak kajian, advokasi dan kritik terhadap proyek eksploitasi ekonomi-politik terhadap desa yang membuat hancur otonomi desa dan kesejahteraan orang desa. Banyak pihak telah merekomendasikan perlunya pemberdayaan terhadap masyarakat desa dengan skema memberi pancing, bukan ikan, kepada masyarakat. Usulan ini didasarkan pada kenyataan bahwa berbagai bantuan keuangan secara langsung yang dikucurkan kepada masyarakat justru sia-sia belaka, karena kapasitas dan kelembagaan dalam masyarakat yang belum disiapkan dengan baik untuk mengelola kucuran dana itu. Tetapi usulan itu juga lemah. Jika rakyat diberi pancing dan ditempa kemampuan mereka untuk memancing, pancing itu akan digunakan untuk memancing apa, sebab di desa sudah tidak ada kolam dan ikan. Kolam dan ikan itu sudah dikuasai oleh orang lain yang tidak tersentuh rakyat desa.
Karena itu, selama era reformasi, muncul agenda pembaharuan desa sebagai bentuk gagasan dan gerakan untuk melakukan perubahan desa secara berkelanjutan. Tujuan pembaharuan desa adalah mendorong desa lebih otonom, demokratis, sejahtera dan berkeadilan. Selain dengan kebijakan dan pembangunan yang prodesa, desentralisasi dan otonomi desa merupakan agenda penting dalam pembaharuan desa. Desentralisasi dan otonomi desa membutuhkan berbagai prakarsa lokal, gerakan bersama, komitmen politik dan kebijakan pemerintah. Jika berbicara tentang otonomi desa, makna dan formatnya tidak cukup dengan rumusan desa sebagai subyek hukum, sebagai kesatuan masyarakat hukum, pengakuan negara atas eksistensi desa, dan kemandirian masyarakat desa yang ditopang dengan modal sosial (swadaya dan gotong royong). Otonomi desa yang jelas dan ideal, menurut cara pandang saya, adalah menempatkan posisi desa dan mendongkrak kemampuan desa sebagai local self government, yang mempunyai keleluasaan, kekebalan dan kemampuan. Format ini sepadan dengan otonomi daerah yang dibentuk dengan desentralisasi, yakni dengan pembagian kewenangan dan keuangan secara seimbang antara pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota dan desa.
Secara empirik desa-desa di Jawa sudah mempunyai potensi dan kemampuan yang memadai sehingga siap untuk didorong menjadi otonomi desa (local self government) melalui skema desentralisasi. Nagari di Sumatera Barat juga sudah siap tumbuh sebagai local self government, meski di level internal nagari masih membutuhkan ruang dan aktor-aktor civil society yang independen dari adat. Nagari umumnya sangat kaya akan lumbung social capital, tetapi masih sangat miskin civil society. Tetapi disain otonomi desa tidak bisa dipaksakan secara seragam dengan mengambil formula dari desa-desa di Jawa, tetapi harus ditempuh dengan pendekatan yang beragam. Kelihatannya skema otonomi desa (local self government) tidak cocok dipaksakan di dalam kesatuan masyarakat adat di sebagian besar
77
daerah di Indonesia, yang sampai sekarang masih diwarnai dualisme antara desa negara dengan organisasi masyarakat adat. Di daerah-daerah seperti ini, institusi pemerintah desa lebih baik dihapuskan, lebih baik memfasilitasi dan memperkuat organisasi dan komunitas adat sebagai self-governing community. Karena itu dibutuhkan sikap pemerintah dan konstitusi yang lebih tegas dan jelas terhadap kondisi desa yang beragam, seraya mengakhiri sikap yang ambigu dan mengambang selama ini.
78
Andrew, C. dan Goldsmith, M. (1998), “From Local Government to Local Governance and Beyond?”, International Political Science Review 19 (2).
Antlov, Hans. (2002). Negara Dalam Desa, Yogyakarta: LAPERA Pustaka Utama.
Blichner, L dan Linda Sangolt (1993), “The concept of Subsidiarity and the Debate on European Cooperation: Pitfalls and Possibilities”. Governance 7 (3).
Bosnich, David. (1996), “The Principle of Subsidiarity,” Religion and Liberty, 6 (4).
Brown, M. P. (1993), ‘The Possibility of Local Autonomy”, Urban Geography 13 (3).
Burns, D. (2000), “Can Local Democracy Survive Governance?”, Urban Studies, Vol. 37, No. 5-6.
Burns, D., Hambleton, R. & Hoggett, P. (1994), The Politics of Decentralisation, London: Macmillan.
Butler, D. Adonis, A. and Travers, T. (1994) Failure in British Government: the Politics of the Poll Tax Oxford: Oxford University Press.
Byrne, T. (1992) Local Government in Britain (5th Edition) Harmondsworth: Penguin.
Clark, G. L. (1984), “A theory of Local Autonomy”, Annals of the Association of American Geographers 74 (2).
Cockburn, C. (1977), The Local State, London: Pluto Press.
Crook, Richard C. and Manor, James (1998), Democracy and Decentralisation in South Asia and West Africa, Cambridge: Cambridge University Press.
DeFilippis, J. (1999), “Alternatives to the ‘New Urban Politics’: Finding Locality and Autonomy in Local Economic Development”, Political Geography 18.
Dwipayana, AAGN dan Sutoro Eko (eds.) (2003), Membangun Good Governance di Desa, Yogyakarta: IRE Press.
Eko, Sutoro. (2001), “Revitalisasi Demokrasi Komunitarian”, FLAMMA, Oktober.
Eko, Sutoro. (2002), “Kemunduran Demokrasi Desa”, JENDELA 3.
Eko, Sutoro. (2003a), “Pelari Terdepan Desentralisasi Desa”, JENDELA 6.
Eko, Sutoro (2003b). “Meletakkan Desa dalam Desentralisasi dan Demokrasi”, dalam Abdul Gaffar Karim (ed), Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah, Yogyakarta: Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol-UGM dan Pustaka Pelajar.
Eko, Sutoro (2004a), “Desa Bergolak”, FLAMMA, Edisi 18, Vol. 9, Januari.
Eko, Sutoro (2004b), “Revisi Bukan Resentralisasi”, Policy Brief, Vol. 1, STPMD “APMD”, 2004.
Eko, Sutoro. (2004c), “Memperkuat Posisi Desa Dalam Konteks Revisi UU No. 22/1999”, Makalah Disajikan Dalam Lokakarya Regional “Memperkuat Kebijakan Desentralisasi Desa”, yang diselenggarakan oleh kerjasama Forum Pengembangan Pembaharuan Desa (FPPD), The Ford Foundation dan VECO Indonesia, Denpasar, 28-30 Juni.
Eko, Sutoro (2004d), “Revitalisasi dan Distribusi Kewenangan Desa”, Makalah Disampaikan dalam Lokakarya “Penentuan Program Prioritas Pemberdayaan Masyarakat dan Pembaharuan Desa”, yang diselenggarakan oleh kerjasama Ditjen PMD Depdagri, GTZ dan Forum Pengembangan Pembaharuan Desa (FPPD), Jakarta, 28 Juli.
Eko, Sutoro (2004e), “Menghormati Eksistensi Desa”, Policy Brief, Vol. 4, STPMD “APMD”, Desember 2004.
Eko, Sutoro dan Abdur Rozaki (2005), Prakarsa Desentralisasi dan Otonomi Desa, Yogyakarta: IRE Press.
Føllesdal, Andreas. (1998), “Survey Article: Subsidiarity,” The Journal of Political Philosophy 6 (2).
Fox, Jonathan. (1992), “Democratic Rural Development: Leadership Accountability in Regional Peasants Organizations”, Development and Change 23 (2).
Goldsmith, M. (1986) ‘Managing the periphery in a period of fiscal stress’ in M. Goldsmith (ed) New Research in Central-Local Relations Aldershot: Gower.
Goldsmith, M. (1995), “Autonomy and City Limits”, dalam D. Judge, G. Stoker and H. Wolman (eds.), Theories of Urban Politics, London: Sage.
Gurr, T. and King, D. (1987), The State and the City London: Macmillan.
Harriss, John (2000) How Much Difference Does Politics Make? Regime Differences Across Indian States and Rural Poverty Reduction. Destin Working Paper No. 00-01. London: Development Studies Institute, London School of Economics.
Hale, R. (2001), ‘Tightening the Reins?”, Local Government Chronicle 2nd February.
Hill, D. (1974), Democratic Theory and Local Government, London: Allen and Unwin.
Husken, Frans. (1998), Masyarakat Desa dalam Perubahan Zaman, Sejarah Diferensiasi Sosial di Jawa, 1830-1980, Jakarta: Grasindo.
IFAD (2001) Rural Poverty Report 2001: The Challenge of Ending Rural Poverty, Oxford: Oxford University Press for IFAD.
IRE (2003), Pembaharuan Pemerintahan Desa, Yogyakarta: IRE Press.
Israel, Arturo. (1987), Institutional Development: Incentives to Performance, Baltimore: The Johns Hopkins University Press.
Jones, G. and Stewart, J. (1983), The Case for Local Government London: George Allen and Unwin.
Kaho, J. R. (1988), Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia, Jakarta: Rajawali.
Karim, Abdul Gaffar. (ed.), (2003), Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah di Indonesia, Yogyakarta: Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIPOl UGM dan Pustaka Pelajar.
Kartohadikoesoemo, Soetardjo. (1984), Desa, Jakarta: Balai Pustaka.
King, D. dan G. Stoker (eds) (1996), Rethinking Local Democracy, Basingstoke: Macmillan.
Kornhauser, William. (1959), The Politics of Mass Society, New York: Free Press.
Lake, R. W. (1994), “Negotiating Local Autonomy”, Political Geography 13 (5).
Lay, Cornelis. (2003), “Otonomi Daerah dan “Ke-Indonesiaan” dalam Abdul Gaffar Karim (ed.), KomReferensi:
79
pleksitas Persoalan Otonomi Daerah di Indonesia, Yogyakarta: Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIPOl UGM dan Pustaka Pelajar.
Magenda, Burhan (1990), “Perubahan dan Kesinambungan Dalam Pembelahan Masyarakat Indonesia”, Prisma, No. 4, April.
Manan, Imran. (1995), Birokrasi Modern dan Otoritas Tradisional di Minangkabau, Padang: Yayasan Pengkajian Kebudayaan Minangkabau.
Mas’oed, Mohtar. (1989), Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966-1971, Jakarta: LP3ES.
Mawhood, P. (1983), Local Government in The Third World, Chichester: John Wiley & Sons.
O’Donnell, Guillermo. (1973), Modernization and Bureaucratic Authoritarianism: Studies in South American Politics, Berkeley: Center of International Studies, California University Press.
Page, E. (1982), “The values of Local Autonomy”, Local Government Studies July/August 21-42.
Page, E. (1991), Localism and Centralism in Europe: The Political and Legal Bases of Local Self-Government, Oxford: Oxford University Press.
Page, E. and Goldsmith, M. J. (eds.) (1987) Central and Local Government Relations: A Comparative Analysis of West European Unitary States London: Sage.
Phillips, A. (1996), “Why Does Local Democracy Matter?”, dalam L. Pratchett and D. Wilson (eds.), Local Democracy and Local Government, Basingstoke: Macmillan.
Pierre, J. (1990), “Assessing Local Autonomy”, dalam D. S. King and J. Pierre (eds.), Challenges to Local Government, London: Sage.
Pratchett, L. (ed) (1999), Renewing Local Democracy? the Modernisation Agenda in British Local Government, London: Frank Cass.
Pratchett, L. and D. Wilson (eds.) (1996), Local Democracy and Local Government Basingstoke: Macmillan.
Prijono, Yumiko M. dan Prijono Tjiptoherijanto (1983), Demokrasi di Pedesaan Jawa, Jakarta: Sinar Harapan.
Rhodes, R. A. W. (1981), Control and Power in Central-Local Government Relations, Aldershot: Gower.
Rhodes, R. A. W. (1988) Beyond Westminster and Whitehall London: Unwin Hyman.
Sahdan, Gregorius (ed.), (2005), Transformasi Ekonomi-Politik Desa, Yogyakarta: APMD Press.
Saunders, P. (1984), “Rethinking Local Politics”, dalam M. Boddy and C. Fudge (eds.), Local Socialism?, London: Macmillan.
Saunders, P. (1986) ‘Reflections on the Dual State Thesis’ in M. Goldsmith and S. Villadsen (eds.) Urban Political Theory and the Management of Fiscal Stress, Farnborough: Gower.
Sharpe, L. J. (1970), “Theories and Values of Local Government’’, Political Studies 18 (2).
Sjamsuddin, Nazaruddin (1993), “Efek Sampingan Konsep Massa Mengambang”, Kompas, 30 November.
Soedjatmoko (1987), Pembebasan dan Pembangunan, Jakarta: LP3ES.
Soemardjan, Selo. (1992), “Otonomi Desa: Apakah Itu?”, Jurnal Ilmu-ilmu Sosial, No. 2.
Stoker, G. (1991), The Politics of Local Government, Basingstoke: Macmillan.
Stoker, G. (1996a), “Introduction: Normative Theories of Local Government and Local Democracy”, dalam D. King and G. Stoker (eds) (1996), Rethinking Local Democracy, Basingstoke: Macmillan.
Stoker, G. (1996b), “Redefining Local Democracy”, dalam L. Pratchett and D. Wilson (eds.) (1996), Local Democracy and Local Government, Basingstoke: Macmillan.
Suhartono (1991), Apanage dan Bekel: Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta, 1830 –1920, Yogyakarta: Tiara Wacana.
Suyanto, Bagong (et. al.) (1994), Gejolak Arus Bawah, Jakarta: Grafiti Pers.
Tanter, Richard dan Ken Young (eds.), Politik Kelas Menengah Indonesia, Jakarta: LP3ES.
Weir, S. and Beetham. D. (1999), Political Power and Democratic Control in Britain, London: Routledge.
Wilson, D. and Game C. (1998) Local Government in the United Kingdom (Second Edition) Basingstoke: Macmillan.
Wolman, H. and Goldsmith, M. (1990), “Local Autonomy as A Meaningful Analytic Concept”, Urban Affairs Quarterly 26 (1).
Young, Ken (1993), “Birokrat Menengah, Petani Menengah, Kelas Menengah? Dimensi Ekstra Perkotaan”, dalam Richard Tanter dan Ken Young (eds.), Politik Kelas Menengah Indonesia, Jakarta: LP3ES.
Zakaria, Yando. (2000), Abih Tandeh: Masyarakat Desa di Bawah Orde Baru, Jakarta: ELSAM.
Zed, M. (1996), “Nagari Minangkabau dan Pengaruh Sistem Kolonial”, Jurnal Genta Budaya 3.
80

No comments: