KAWASAN KARST SUKOLILO – JAWA TENGAH: POTENSI ARKEOLOGI DAN TINJAUANNYA SECARA MAKRO
J. Susetyo Edy Yuwono & Gregorius D. Kuswanto (Arkeologi FIB UGM)
A. PENDAHULUAN
Kawasan karst merupakan sebuah aset dan sekaligus catatan panjang dari
sebagian sejarah bumi di suatu wilayah. Sebagai suatu aset, kawasan ini memiliki
berbagai keistimewaan. Bentangalamnya yang unik merupakan sisi luar (eksokarst) yang
paling mudah dikenali, berbeda dengan bentangalam lainnya. Di bawah permukaannya
(endokarst), keunikan-keunikan lain semakin banyak dijumpai. Ragam bentukan gua,
lorong-lorong sungai bawahtanah, dan ornamen-ornamen batuan yang indah hanya dapat
dijumpai di kawasan ini. Bahkan salah satu sumber kehidupan kita, yaitu air yang
tersimpan di sungai-sungai dan telaga-telaga bawahtanah, memiliki tatanan yang spesifik
di kawasan karst. Tidak terpungkiri pula, bahwa kawasan karst menjadi salah satu media
penyimpan air yang sangat menentukan kehidupan di atasnya, baik di kawasan karst itu
sendiri maupun untuk kawasan-kawasan lain di sekitarnya.
Sejumlah keistimewaan di atas adalah hasil dari suatu proses alam yang sangat
panjang. Menurut pembabakan waktu geologi, banyak diulas bahwa batuan penyusun
karst di Jawa ini sebagian besar berumur Miosen (sekitar 23 juta tahun lalu). Melalui
proses tektonis (pengangkatan), sedimen purba ini secara bertahap akhirnya muncul di
atas muka laut. Ketika ketinggiannya sudah mencapai posisi tertentu, proses-proses
eksogen terutama pelarutan yang dikendalikan oleh curah hujan, mengikis retakanretakan
pada batuannya mulai dari permukaan hingga ke celah-celah yang lebih dalam.
Pelarutan yang terjadi bersamaan dengan proses denudasi sepanjang waktu geologi
akhirnya menghasilkan bukit-bukit kerucut sebagai bentukan sisa, serta lorong-lorong
gua dan sungai-sungai bawahtanah lengkap dengan beragam ornamennya.
Keunikan fisik yang terbentuk, sedikit banyak telah berimbas pada keunikan
budayanya. Sebagai bentangalam tua, kawasan karst telah menjadi wadah bagi
keberlangsungan kolonisasi manusia purba, terutama mendekati akhir kala Pleistosen
hingga permulaan Holosen (40.000 – 10.000 tahun lalu). Ketersediaan gua-gua karst dari
fase pembentukan awal, yang kini sudah mengering menjadi gua-gua fosil di tebingtebing
bukit dan lembah, serta sumber-sumber air di lorong-lorong gua aktif di bawah
permukaan tanah, telah menopang keberlangsungan budaya karstik awal di kawasan ini.
Gua-gua fosil menjadi pilihan untuk bermukim, sementara gua-gua aktif dan mataairmataair
bawahtanah yang langsung dapat diakses atau harus memasuki lorong-lorong
bawahtanah, menyediakan sumberdaya untuk hidup. Lingkungan sekitar gua menjadi
activity area, di mana binatang-binatang dapat diburu untuk dikonsumsi dagingnya dan
dimanfaatkan tulangnya sebagai perkakas hidup.
Di wilayah Jawa Tengah, bukti-bukti hunian purba tersebut telah dijumpai di
beberapa kawasan karst, di antaranya adalah Kawasan Karst Gunung Sewu di
Pegunungan Selatan yang sebagian wilayahnya, yaitu Segmen Tengah (Segmen
Wonogiri), masuk ke wilayah Jawa Tengah. Meskipun potensi arkeologi di Kabupaten
1Diselenggarakan oleh PEKINDO dalam rangka Penetapan Zona Lindung Kawasan Karst
Sukolilo, Kabupaten Pati (Jawa Tengah) dan sekitarnya, September 2008.
2
Wonogiri belum lama diungkap (Yuwono, 2004; Sutikno dan Tanudirjo, 2006), namun
kandungan informasinya tidak berbeda jauh dengan segmen-segmen tetangganya di
Kabupaten Gunung Kidul (Propinsi D.I. Yogyakarta) dan Kabupaten Pacitan (Propinsi
Jawa Timur) yang sudah lebih lama diteliti.
Di wilayah selatan Jawa Tengah, Kawasan Karst Gombong juga menyediakan
potensi prasejarah serupa. Beberapa kali pengamatan di wilayah ini menemukan buktibukti
artefak (sisa perkakas prasejarah) di beberapa gua. Belum adanya penggalian
arkeologi (ekskavasi) di wilayah ini mengakibatkan kurangnya informasi untuk
mengungkapkan aspek-aspek hunian prasejarah di bagian selatan Jawa Tengah. Kasus
serupa juga dijumpai di Kawasan Karst Blora di ujung timur Jawa Tengah bagian utara.
Potensi arkeologi di wilayah ini sudah dikenali melalui survei permukaan oleh Balai
Arkeologi Yogyakarta (Yuwono, 2005). Hasil-hasil penelitian Blora ternyata tidak dapat
dipisahkan dari potensi arkeologi Kawasan Karst Tuban di sebelah timurnya, yang
sedikitnya mengandung 20 situs gua arkeologi (Suhartono, 2000). Dua di antaranya, yaitu
Gua Gede dan Gua Kandang di Kecamatan Semanding, bahkan sudah diteliti oleh W.J.A.
Willems pada tahun 1938.
Sebagai bagian dari Perbukitan Rembang, Kawasan Karst Sukolilo di Kabupaten
Pati dan Grobogan, Jawa Tengah, diduga kuat juga memiliki nilai arkeologi seperti
kawasan-kawasan karst lainnya. Bahkan jalur pegunungan lain yang membujur barattimur
di sebelah selatannya (Punggungan Kendeng), telah terbukti mengandung situssitus
yang lebih tua lagi (situs-situs kala Pleistosen). Di antaranya adalah Sangiran,
Sambungmacan, Trinil, Ngandong, Kedungbrubus, dan Jetis-Perning, yang terletak di
sayap selatan Kendeng. Melalui dugaan ini maka survei awal untuk mengungkap potensi
arkeologi Kawasan Karst Sukolilo dilakukan.
B. TUJUAN SURVEI
1. Tujuan Akademis:
a. Pada skala meso, survei ini ditujukan untuk menjajagi dan
mengidentifikasi kemungkinan adanya situs-situs arkeologi (situs gua) di
Kawasan Karst Sukolilo yang selama ini belum pernah diteliti. Penemuanpenemuan
baru nantinya, jelas akan memperkaya khasanah sejarah budaya
wilayah Jawa Tengah utara, yang selama ini masih terfokus di daerah
Sangiran dan situs-situs lain di Punggungan Kendeng.
b. Pada skala makro, penelitian ini juga bertujuan untuk menempatkan posisi
Sukolilo dalam konteks penghunian/migrasi purba di Jawa, sehingga nilai
tambah Kawasan Karst Sukolilo dapat diperoleh.
2. Tujuan Praktis:
a. Mengangkat potensi arkeologi karstik Kawasan Karst Sukolilo, yang
bersama-sama dengan potensi lainnya (hidrologi, speleologi, biologi,
ekowisata, dan lain-lain), dapat memberikan penguatan untuk
penetapannya sebagai Kawasan Lindung.
b. Memberikan nilai tambah dalam pengemasan dan pengembangan
ekowisata setempat untuk jangka panjang, yang berdampak positif
terhadap kesejahteraan masyarakat tanpa menimbulkan dampak kerusakan
yang berarti.
3
C. PELAKSANAAN SURVEI
Bentuk Kegiatan : Survei permukaan dengan melakukan pengamatan dan
pengukuran terhadap beberapa kriteria, meliputi: a) kriteria
morfologi dan genesa gua, b) kriteria lingkungan dan
morfoasosiasi, c) kriteria kandungan. Melalui kriteria-kriteria
tersebut akan diketahui berpotensi tidaknya suatu gua sebagai
situs arkeologi.
Waktu kegiatan : Tanggal 1 – 5 September 2008
Lokasi : Kawasan Karst Sukolilo di Pegunungan Kendeng Utara atau
Perbukitan Rembang, meliputi Desa Jimbaran, Kedungmulyo,
Kedungwinong, Sukolilo, Sumbersuko, Tompegunung
(Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah); dan Desa
Sedayu (Kecamatan Grobogan, Kabupaten Grobogan, Jawa
Timur) (Lihat Peta).
Pemilihan desa-desa di atas dilakukan secara purposif, dengan
mempertimbangkan potensi hidrologi (gua dan mataair) yang
sudah diinventarisasi sebelumnya, antara lain oleh Tim ASC
Yogyakarta. Hasil inventarisasi sementara menunjukkan bahwa
lokasi terpilih merupakan bagian inti karst yang paling kompleks
potensi dan permasalahannya, paling strategis perannya, dan
karenanya paling mendesak untuk diselamatkan.
4
D. DESKRIPSI HASIL SURVEI
Kegiatan survei selama 5 hari telah mendata 19 gua. 11 gua di antaranya sudah
dikunjungi sedangkan sisanya belum (Lihat Tabel). Delapan gua yang belum
diprioritaskan untuk dikunjungi sebagian besar berupa gua-gua vertikal dan gua-gua air
yang secara arkeologis tidak berpotensi sebagai situs hunian. Gua-gua yang dimaksud
adalah Gua Gondang, Gua Banyu, Gua Tangis, Gua Ngancar, dan Gua Telo (Desa
Sumbersuko); serta Gua Lowo (Desa Tompegunung). Sedangkan Gua Tapan (Desa
Kedungmulyo) dan Gua Gogak (Desa Kedungwinong) merupakan gua-gua horisontal dan
kering yang memungkinkan untuk dihuni, tetapi selama 5 hari di lapangan belum sempat
dikunjungi.
Pemerian di bawah ini adalah hasil pengamatan dan deskripsi terhadap 11 gua
yang telah dikunjungi, terdiri atas 2 gua di Kabupaten Grobogan dan 9 gua di Kabupaten
Pati (Lihat Peta).
Tabel Potensi Gua Kawasan Karst Sukolilo
NO NAMA JENIS DESA KEC. KAB. POTENSI ARKEOLOGI
1 G. Bandung Collapse doline Kedungwinong Sukolilo Pati Tidak potensial
2 G. Serut Horisontal, kering Kedungwinong Sukolilo Pati Tidak potensial
3 G. Kidang Ceruk Sukolilo Sukolilo Pati Potensial kandungan
4 C. Watupayung Ceruk Sukolilo Sukolilo Pati Potensial morfologi
5 G. Gogak Horisontal Sukolilo Sukolilo Pati Perlu dicek ulang
6 G. Pawon Ceruk Kedungwinong Sukolilo Pati Potensial kandungan
7 G. Gondang Horisontal, berair Sumbersuko Sukolilo Pati Tidak potensial
8 G. Banyu Horisontal, berair Sumbersuko Sukolilo Pati Tidak potensial
9 G. Tangis Vertikal Sumbersuko Sukolilo Pati Tidak potensial
10 G. Ngancar Vertikal Sumbersuko Sukolilo Pati Tidak potensial
11 G. Telo Vertikal Sumbersuko Sukolilo Pati Tidak potensial
12 G. Tapan Horisontal, kering Kedungmulyo Sukolilo Pati Perlu dicek ulang
13 G. Lowo Horisontal, berair Tompegunung Sukolilo Pati Tidak potensial
14 G. Wareh Horisontal, berair Kedungmulyo Sukolilo Pati Tidak potensial
15 G. Plemburan Horisontal, kering Kedungmulyo Sukolilo Pati Tidak potensial
16 G. Pancor A Horisontal, berair Jimbaran Sukolilo Pati Tidak potensial
17 G. Pancor B Horisontal, kering Jimbaran Sukolilo Pati Potensial kandungan
18 G. Lawa Horisontal, kering Sedayu Grobogan Grobogan Potensial morfologi
19 G. Macan Collapse doline Sedayu Grobogan Grobogan Tidak potensial
Gregorius D.K (dimodifikasi)
5
KABUPATEN GROBOGAN
Kecamatan Sedayu
1. Gua Lawa
(Foto: Gregorius D.K)
Letak Administratif : Desa Sedayu, Kecamatan Sedayu, Kabupaten Grobogan.
Letak Koordinat : UTM 49L 494608 9228945
Elevasi/lereng : 332 m.dpal/150
Deskripsi : Gua Lawa memiliki dua mulut, masing-masing menghadap ke arah
tenggara dan barat. Mulut pertama memiliki bentangan 1,85 m,
tinggi 2,5 m, dan melebar ke arah dalam. Tanah di bagian mulut
lebih tinggi 1 m dibandingkan bagian lorong, dengan kemiringan
sekitar 15°. Mulut kedua memiliki bentangan sekitar 7 m,
ketinggian tanah lebih tinggi 3 m dibandingkan dasar lorong.
Lorong Gua Lawa secara keseluruhan memiliki panjang 80-100 m,
terbagi atas dua ruangan yang dipisahkan oleh timbunan bongkah
runtuhan atap. Ruang pertama berada di sekitar mulut gua dengan
pencahayaan dan sirkulasi udara yang baik. Kondisi tanahnya
kering dengan sedimen tebal dan permukaannya relatif datar.
Ketinggian atap pada ruang pertama 2-3 m, kemudian naik 7-8 m
di bagian barat laut. Speleothem di bagian ruang ini sudah tidak
aktif.
Ruang kedua terletak lebih ke dalam dan posisinya lebih rendah
dibandingkan ruang pertama. Kondisi ruangannya lebih gelap dan
lembab, dan tanahnya pun berlumpur.
Potensi : Secara arkeologis gua ini cukup berpotensi, terutama diprediksi
melalui morfologi dan dimensi ruangannya, sedangkan indikasi
temuan arkeologinya tidak diperoleh karena tingkat gangguannya
sudah tinggi.
Potensi pariwisata sudah dikembangkan dengan membuat jalan
setapak dari semen selebar 1 m hingga ke bagian dalam gua.
6
2. Gua Macan
(Foto: Gregorius D.K)
Letak Administratif : Desa Sedayu, Kecamatan Sedayu, Kabupaten Grobogan,
Koordinat : UTM 49L 494589 9229026
(sekitar 200 m sebelah barat Gua Lawa).
Elevasi/lereng : 350 m.dpal/140
Deskripsi : Gua Macan terletak pada punggungan sebuah bukit dengan lorong
memanjang ke arah barat. Mulut gua berupa collapse doline,
dengan akses masuk menurun 15-20 m, kemiringan 30°-35°.
Lorong gua memiliki lebar 5-7 m, tinggi 7-15 m, panjang sekitar
50 m dengan aven di bagian tengah dan ujung lorong.
Potensi : Gua Macan sudah dikelola sebagai tempat wisata oleh pemerintah
daerah setempat, dengan membuat jalan selebar 1 m hingga ke
mulut gua. Potensi arkeologi tidak dijumpai di gua ini.
7
KABUPATEN PATI
Kecamatan Sukolilo
3. Gua Pancor A
(Foto: Gregorius D.K)
Letak Administratif : Desa Jimbaran, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati.
Koordinat : UTM 49L 497807 9234418
(sekitar 200 m sebelah barat Gua Lawa).
Elevasi/lereng : 46 m.dpal/30
Deskripsi : Gua Pancor A memiliki dua mulut menghadap ke barat yang salah
satunya merupakan outlet dari aliran sungai bawahtanah. Panjang
8
lorong gua yang dapat dikenali sekitar 600 m. Menurut
kepercayaan masyarakat, gua ini merupakan petilasan Mbah
Saridin (Syeh Jangkung) yang dipercaya sebagai tokoh mitologis
setempat. Petilasan tersebut berupa sumber air hangat dan sumuran
yang terdapat di dalam gua.
Potensi : Di samping sebagai sumber air yang vital bagi penduduk setempat,
potensi lain yang paling menonjol di gua ini adalah kandungan
etnografi dan wisata religinya. Hingga sekarang banyak peziarah
yang datang untuk melakukan ritual-ritual yang didasari beberapa
permohonan, di antaranya untuk penglarisan, memperoleh jodoh,
dan ngalap berkah.
Indikasi sebagai situs arkeologi tidak dijumpai, namun potensi
airnya dapat menopang kehidupan yang pernah berlangsung pada
masa lalu. Dengan demikian, gua ini dapat menjadi orientasi
ekologis bagi para pemukim purba untuk memilih lokasi
habitasinya.
4. Gua Pancor B
(Foto: Gregorius D.K)
Letak Administratif : Desa Jimbaran, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati.
Koordinat : UTM 49L 497546 9234396
(sekitar 400 m sebelah barat Gua Pancor A)
Elevasi/lereng : 44 m.dpal/30
Deskripsi : Pancor B merupakan sebuah ceruk (rockshelter) yang menghadap
ke barat, dengan bentangan mulut 20 m. Kedalaman horizontal
ruangannya 8,6 m, dan tinggi atap di bagian dripline sekitar 8 m.
Kondisi tanahnya kering dan tebal, dan terdapat bekas-bekas galian
di beberapa bagian lantainya. Pada bekas galian tersebut banyak
ditemukan ekofak organik berupa cangkang kerang, fragmen gigi,
dan fragmen tulang yang menunjukkan ciri-ciri kekunoan.
Di bagian dalam terdapat ruang pertama dengan tinggi langit-langit
1-1,5 m dari permukaan tanah. Ukuran ruangannya seluas 6,37 x
5,20 m, dan memiliki dua pintu masuk. Permukaan tanah pada
9
ruang pertama lebih tinggi 1-1,5 m dibandingkan bagian mulut
gua. Kondisi tanahnya agak basah, sirkulasi udaranya baik dan
cukup terang.
Di sisi timur ruangan pertama terdapat dua lorong yang
menghubungkannya dengan ruangan kedua. Langit-langitnya
miring ke utara, dengan ketinggian 0,5 m (sisi utara) dan 2,5 m
(sisi selatan). Permukaan tanahnya lebih tinggi 0,5 m dibandingkan
ruangan pertama. Kondisi di dalam ruangan gelap dan lembab,
tanahnya tebal tetapi basah karena ornamen di atasnya masih aktif
meneteskan air.
Potensi : Potensi arkeologinya tinggi, terbukti dengan kandungan ekofak
organik yang ada di dalam sedimennya. Ekofak yang dimaksud
berupa fragmen gigi dan fragmen tulang, serta cangkang kerang.
Salah satu temuan gigi dikenali sebagai gigi molar hewan dari jenis
Cervidae, sedangkan kerang lautnya berupa kerang bivalvia dari
Famili Veneridae dan Mytilidae. Di samping itu juga ditemukan
beberapa cangkang kerang air tawar (fresh water) bercampur
dengan kerang laut.
5. Gua Wareh
(Foto: Gregorius D.K)
Letak Administratif : Desa Kedungmulyo, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati.
Koordinat : UTM 49L 495619 9234217
Elevasi/lereng : 25 m.dpal/00
Deskripsi : Gua Wareh memiliki dua mulut/lorong masing-masing menghadap
barat dan utara. Lorong yang menghadap ke barat merupakan gua
kering, sedangkan lorong yang menghadap ke utara merupakan
outlet sungai bawahtanah yang kemudian membentuk semacam
kedung di mulut gua, sebelum airnya keluar sebagai sungai
permukaan. Kedung tersebut dimanfaatkan oleh warga sekitar
untuk keperluan sehari-hari seperti mandi dan mencuci.
Panjang lorong kering 40–50 m, meninggi 5 m ke arah dalam
dengan kemiringan sekitar 20º. Di ujung lorong terdapat aven yang
10
kemudian dibangun tangga dari semen sebagai jalan masuk.
Kondisi tanahnya basah dan lengket, dengan ornamen dinding dan
atap yang masih aktif.
Potensi : Meliputi potensi hidrologi dan wisata religi. Menurut masyarakat
setempat, Gua Wareh merupakan petilasan semar, gareng, petruk,
yang masih dikeramatkan hingga sekarang. Sisa-sisa sesaji berupa
bunga setaman dan kemenyan masih dijumpai di sekitar mulut gua.
Potensi arkeologinya sejauh ini tidak dijumpai.
6. Gua Plemburan
(Foto: Gregorius D.K)
Letak Administratif : Desa Kedungmulyo, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati.
Koordinat : UTM 49L 495656 9234408
(sekitar 400 m sebelah barat Gua Pancor A)
Elevasi/lereng : 25 m.dpal/00
Deskripsi : Gua ini menghadap ke arah baratlaut (230°), memiliki sebuah
ruangan berupa lorong selebar 10 m, panjang 15 m, dan tinggi
langit-langit 6-7 m. Lantai gua berupa flowstone dan tidak
memiliki sedimen tanah. Ketinggian lantai di bagian dalam hampir
sejajar dengan lantai di bagian depan gua. Kondisi gua kering, sisa
ornamen berupa stalaktit di bagian mulut juga sudah tidak aktif.
Potensi : Saat ini ruangan gua dimanfaatkan penduduk setempat untuk
menyimpan peralatan pertanian. Potensi etnografi dapat dijumpai,
berupa kepercayaan lokal bahwa gua ini masih memiliki kaitan
dengan Gua Wareh, yaitu sebagai petilasan Punokawan sehingga
tetap dikeramatkan. Tidak ada indikasi arkeologi yang dijumpai.
11
7. Gua Pawon
(Foto: Gregorius D.K)
Letak Administratif : Desa Kedungwinong, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati.
Koordinat : UTM 49L 489420 9232914
Elevasi/lereng : 59 m.dpal/190
Deskripsi : Gua Pawon terletak di lereng atas tebing dengan beda tinggi dari
dasar lembah 20-25 m, kemiringan lereng 35°-40°, dengan arah
hadap mulut ke barat (240°). Vegetasi di depan gua jarang
sehingga tanahnya mudah longsor. Pada endapan koluvial di depan
gua ditemukan beberapa ekofak organik berupa fragmen cangkang
kerang laut, fragmen tulang, dan fragmen gigi Bovidae. Sisa-sisa
runtuhan atap banyak dijumpai di sepanjang tebing hingga dasar
lembah. Ada kemungkinan gua ini dahulunya memiliki atap yang
panjang, yang kemudian runtuh hingga tinggal menyisakan lorong
yang pendek.
Bentangan mulut gua selebar 5 m dengan kedalaman sisi
horisontalnya 7,5 m, dan ketinggian sisa atap dari lantai gua 2,8 m.
Kondisi lantai rata, terbentuk oleh endapan tanah yang kering dan
tidak begitu tebal. Beberapa speleothem yang dijumpai sudah tidak
aktif lagi.
Potensi : Gua ini memiliki potensi arkeologi sebagai bekas situs hunian,
meskipun morfologinya sudah banyak mengalamami degradasi.
12
8. Gua Bandung
(Foto: Gregorius D.K)
Letak Administratif : Desa Kedungwinong, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati.
Koordinat : UTM 49L 490078 9232543
Elevasi/lereng : 100 m.dpal/190
Deskripsi : Gua Bandung berupa collapse doline dengan dua lorong di bagian
bawah yang saling berhadapan, masing-masing menghadap
tenggara (155°) dan timurlaut (30°). Lorong timurlaut berukuran
kecil karena sebagian besar tertutup runtuhan atap, sedangkan
lorong satunya berukuran lebih besar. Kondisi di dalamnya lembab
dengan lapisan tanah yang basah dan berlumpur, disebabkan oleh
masuknya limpasan air pada saat hujan.
Potensi : Potensi arkeologi tidak dijumpai di gua ini.
9. Gua Serut
(Foto: Gregorius D.K)
Letak Administratif : Desa Kedungwinong, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati.
Koordinat : UTM 49L 490125 9232190
Elevasi/lereng : 150 m.dpal/210
Deskripsi : Gua Serut berada di lereng tengah sebuah tebing dengan pintu
menghadap ke timur, yaitu ke sebuah lembah dengan beda tinggi
terhadap dasar lembah sebesar 10-15 m. Bentangan mulut gua 8 m,
13
tinggi 6 m, permukaan tanah di dalam lorong gua lebih rendah
dibandingkan bagian mulut, dengan kemiringan sekitar 15°. Pada
kedalaman horisontal 15 m, lorong ini bertemu dengan lorong lain
yang membujur utara-selatan.
Kondisi lantai di sekitar mulut gua bergelombang, diakibatkan oleh
adanya beberapa bekas galian dan timbunan tanah. Di bagian
sekitar mulut kondisi lantainya kering, semakin ke dalam semakin
lembab. Di bagian dalam lorong masih dapat dijumpai speleothem
yang aktif.
Potensi : Tidak ditemukan indikasi arkeologi.
10. Gua Kidang
(Foto: Gregorius D.K)
Letak Administratif : Desa Sukolilo, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati.
Koordinat : UTM 49L 492112 9234082
Elevasi/lereng : 52 m.dpal/240
Deskripsi : Gua Kidang merupakan ceruk di bagian lereng atas tebing, dengan
ketinggian sekitar 80 m dari dataran di bawahnya. Mulut ceruk
menghadap ke utara (330°), yaitu ke dataran aluvial yang luas. Di
lokasi ini terdapat dua ceruk yang berjajar timur-barat.
Ceruk timur memiliki bentangan mulut 19,5 m, kedalaman
horisontal 8 m, tinggi atap 4-7 m. Sebagian atap bagian depan
ceruk telah runtuh, sehingga tanah di bagian depan mulut banyak
tererosi dan longsor oleh air hujan. Kondisi lantai ceruk kering,
tersusun oleh sedimen tanah yang tebal, dan banyak terkandung
fragmen cangkang kerang laut dan fragmen tulang fauna. .
Di bagian dalam ceruk terdapat ruang kedua seluas 3,6 x 8,5 m,
terhubung dengan ruang pertama melalui semacam lorong dengan
lebar 1,7 m dan tinggi 2,15 m. Ketinggian tanah di ruang ini lebih
tinggi 0,5 m dibandingkan ruang pertama. Kondisi tanahnya juga
kering, tebal, dan banyak terdapat bongkah runtuhan atap.
14
Ceruk barat berada pada jarak 6 m dari ceruk timur, dengan
bentangan mulut 6,5 m, kedalaman horizontal ruangannya 7,5 m,
dan tinggi langit-langit 4 m. Kondisi tanahnya datar, kering,
dengan sedimen tebal. Pada permukaannya banyak dijumpai
ekofak organik berupa fragmen cangkang kerang laut dan fragmen
tulang.
Potensi : Dimensi, morfologi, dan indikasi temuan ekofak di gua ini
menunjukkan bahwa potensinya sebagai situs arkeologi sangat
tinggi.
11. Ceruk Watupayung
(Foto: Gregorius D.K)
Letak Administratif : Desa Sukolilo, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati.
Koordinat : UTM 49L 491903 9233770
Elevasi/lereng : 75 m.dpal/00
Deskripsi : Ceruk Watupayung berada di lembah yang memanjang barat-timur,
dengan arah hadap selatan. Bentangan ceruk sekitar 52 m, atap
yang menggantung selebar 7 m dengan tinggi 18 m dari permukaan
tanah. Terdapat sisa-sisa runtuhan atap di sebelah timur. Kondisi
permukaan tanah umumnya kering dan miring ke sisi timur dengan
sedimen tanah yang tebal.
Potensi : Potensi yang dijumpai di gua ini berupa potensi wisata religi,
karena gua ini masih dikeramatkan dan sering digunakan untuk
bertapa. Bahkan sudah dibuatkan beberapa fasilitas untuk
kepentingan tersebut, berupa bangunan tempat semedi dan lantai
yang sudah di semen.
Potensi arkeologi berupa temuan permukaan tidak diperoleh, tetapi
morfologi dan dimensi ceruk memungkinkan untuk dimanfaatkan
sebagai tempat hunian sementara.
15
E. PEMBAHASAN
1. Kawasan Arkeologis Sukolilo
Hasil survei pada tahap awal ini membuktikan bahwa Kawasan Karst Sukolilo,
seperti halnya kawasan karst lain yang sudah banyak diteliti, merupakan kawasan yang
mengandung nilai kultural penting. Hal ini tampak dari beberapa gua dan ceruk yang
memiliki potensi arkeologi tinggi, baik dikaji melalui aspek morfologi, lingkungan,
maupun indikasi temuan permukaannya. Indikasi yang dimaksud berupa data ekofak
organik yang terdiri atas fragmen tulang, gigi, dan cangkang kerang baik yang berasal
dari lingkungan marin maupun non-marin (darat dan air tawar).
Di dalam kajian arkeologi dikenal sedikitnya tiga bentuk data, yaitu artefak
(artifact), ekofak (ecofact), dan fitur (feature) (Sharer & Ashmore, 1992). Artefak adalah
data yang berupa perkakas atau sisa perkakas buatan manusia. Adanya ciri-ciri tertentu
yang menunjukkan bahwa suatu benda pernah diubah atau dibuat oleh manusia, baik
untuk fungsi praktis, fungsi seni dan religi, maupun fungsi sosial, merupakan kriteria
penting untuk menyebut sebuah temuan sebagai artefak. Berbeda dengan artefak yang
mengandung makna teknologis, ideologis, dan sosiologis, maka ekofak lebih bermakna
ekologis. Data yang dikategorikan sebagai ekofak tidak memiliki ciri-ciri ubahan secara
sengaja untuk menciptakan perkakas, tapi dapat berupa limbah atau sisa aktivitas. Bahkan
objek-objek yang tidak pernah berhubungan dengan aktivitas manusia, tetapi dapat
dipakai sebagai bahan untuk menjelaskan kondisi suatu budaya atau lingkungan masa
lalu, dapat dikategorikan sebagai ekofak. Adapun yang dimaksud dengan fitur adalah
gejala-gejala di permukaan atau di dalam tanah yang menunjukkan anomali tertentu, dan
dapat digunakan sebagai referensi untuk mengungkapkan kondisi suatu budaya atau
lingkungan masa lalu, termasuk di dalamnya untuk menjelaskan bagaimana deposit
budaya terbentuk di dalam lapisan sedimen.
.Pada umumnya, temuan yang dijumpai pada survei permukaan di situs-situs gua
berupa ekofak, khususnya ekofak organik, meskipun tidak tertutup kemungkinan
ditemukannya pula data artefak. Pada beberapa kasus, sisa-sisa tulang hewan atau
cangkang kerang yang ditemukan di suatu situs bukan lagi berupa data ekofak, namun
sudah dapat dikategorikan sebagai artefak karena sudah ada unsur-unsur pengerjaan oleh
manusia. Sebagai contoh adalah fragmen cangkang kerang yang dipertajam untuk
membuat serut, atau fragmen tulang yang dipertajam untuk lancipan, mata panah, pisau,
atau benda-benda seni. Namun karena kondisi permukaannya umumnya sudah
tersementasi oleh endapan karbonat, maka ciri-ciri yang dimaksud sulit dikenali. Dengan
kata lain, masih diperlukan analisis lebih lanjut untuk menggolongkan suatu temuan dari
situs gua sebagai artefak, baik secara magaskopis ataupun mikroskopis.
Uraian di atas dimaksudkan untuk memberikan penekanan, bahwa ditemukannya
data ekofak di suatu gua dapat dipakai sebagai petunjuk awal bahwa gua tersebut pantas
diduga sebagai situs arkeologi. Apalagi jika ekofak organik tersebut berupa sisa fauna
yang habitatnya bukan dari lingkungan gua, tetapi dari lingkungan ekologis yang
berbeda. Contoh paling jelas mengenai hal ini adalah ditemukannya cangkang-cangkang
kerang laut di suatu gua yang lokasinya relatif di pedalaman. Asumsi bahwa cangkang
kerang tersebut diambil oleh manusia dari habitatnya dan dibawa ke dalam lokasi
huniannya untuk dikonsumsi dagingnya, atau untuk membuat perkakas tertentu, dapat
16
menguatkan anggapan bahwa gua-gua yang mengandung temuan ekofak tersebut adalah
bekas lokasi hunian manusia.
Data di atas tentunya bukan satu-satunya indikator bahwa suatu gua adalah situs
arkeologi. Kriteria lain perlu dipertimbangkan, misalnya layak dan tidaknya gua-gua
tersebut dijadikan lokasi hunian. Oleh karena itu, kriteria morfologi dan dimensi gua juga
perlu dipertimbangkan. Demikian pula kondisi atau dayadukung lingkungan sekitar gua
yang menjadikan para penghuninya dapat eksis untuk tinggal dan hidup di lingkungan
tersebut. Sebagai contoh adalah kedekatannya dengan sumberair, baik itu mataair, sungai,
atau telaga; ketersediaan fauna untuk diburu, atau kondisi lahan yang memungkinkan
untuk mengembangkan aktivitas-aktivitas di tempat terbuka.
Berdasarkan kriteris-kriteria di atas, yaitu morfologi gua, kondisi lingkungan, dan
adanya indikasi permukaan berupa artefak, ekofak, ataupun fitur, maka beberapa gua
kering (dry caves) di Kawasan Karst Sukolilo merupakan situs arkeologi, yaitu sebagai
bekas gua hunian manusia. Gua-gua yang dimaksud ada lima buah, yaitu (Lihat Peta):
a. Gua Kidang : Desa Sukolilo, Kec. Sukolilo, Kab. Pati
b. Gua Watupayung : Desa Sukolilo, Kec. Sukolilo, Kab. Pati
c. Gua Pawon : Desa Kedungwinong, Kec. Sukolilo, Kab. Pati
d. Gua Pancor B : Desa Jimbaran, Kec. Sukolilo, Kab. Pati
e. Gua Lawa : Desa Jimbaran, Kec. Grobogan, Kab. Gobogan
Berdasarkan kualitas sampel dari lima gua di atas, maka Kawasan Karst Sukolilo
dapat disebut sebagai salah satu kawasan arkeologis penting di bagian utara Jawa Tengah
yang perlu dilindungi, diselamatkan dari berbagai tindakan degradatif, dan dikaji lebih
mendalam untuk kepentingan ilmiah dan kesejahteraan masyarakat setempat. Dalam
skala meso, Kawasan Karst Sukolilo adalah sebuah kawasan yang ikut merekam buktibukti
kehadiran manusia prasejarah di wilayah utara Jawa Tengah. Kehadiran mereka
tentunya didukung sumberdaya setempat yang memungkinkan mereka untuk hidup.
Sumberdaya terpenting yang juga teramati melalui hasil survei ini terutama sumberdaya
air, flora, dan fauna. Hingga kini, ketiga sumberdaya lahan ini tetap memiliki arti penting
bagi masyarakat setempat, yaitu masyarakat Samin yang tinggal di daerah Pati,
Grobogan, dan sekitarnya. Kedekatan mereka dengan lingkungan karst Sukolilo telah
mampu menghasilkan suatu kearifan lokal dalam bentuk pemanfaatan sumberdaya
lingkungan secara arif dan tidak berlebihan. Bersamaan dengan upaya pemanfaatan
tersebut, berkembang pula pemaknaan lokal untuk melindungi aset lingkungan mereka
melalui bentuk-bentuk mitos dan pantangan/tabu sebagai bentuk penghormatan terhadap
alam dan sumberdayanya. Beberapa dari gua-gua yang dikeramatkan ternyata berupa
gua-gua sumberair yang telah menghidupi mereka. Gua-gua tersebut adalah Gua Pancor
A di Desa Jimbaran dan Gua Wareh di Desa Kedungmulyo. Meskipun keduanya bukan
situs arkeologi, namun secara kontekstual atau morfoasosiasi telah menjadi panduan bagi
para pemukim purba untuk menentukan lokasi-lokasi hunian di sekitarnya.
2. Kawasan Arkeologis Sukolilo dalam Kajian Makro
Bagian utara Jawa Tengah sebagian besar tersusun atas bentangalam tua yang
dicirikan oleh tinggian-tinggian dan depresi dengan konfigurasi yang khas. Di bagian
selatan terdapat Punggungan Kendeng membujur barat – timur mulai daerah Ungaran
hingga ujung timur Jawa. Di sebelah barat Ungaran, Pegunungan Serayu Utara membujur
17
ke barat seolah meneruskan jalur Kendeng di sebelah timurnya. Di sebelah utara Kendeng
dijumpai dataran aluvial dengan Sungai Lusi mengalir di bagian tengahnya. Secara
genetis dataran ini adalah sebuah depresi antar pegunungan yang dikenal sebagai
Randublatung, yang memisahkan Punggungan Kendeng di selatan dengan Perbukitan
Rembang di utaranya. Di utara Perbukitan Rembang, terdapat dataran aluvial berikutnya
yang langsung berbatasan dengan pesisir Laut Jawa dan Kompleks Muria di bagian barat.
Sekilas gambaran di atas, menegaskan bahwa bagian wilayah Jawa Tengah ini
memiliki peran penting dalam proses migrasi purba di Jawa. Bahkan dapat disimpulkan
bahwa Jalur Utama kolonisasi Homo erectus di Jawa telah mengikuti Pegunungan Serayu
Utara dan Punggungan Kendeng, dari arah barat ke timur. Jejak-jejak mereka antara lain
terekam di situs-situs manusia purba Sangiran, Sambungmacan, Trinil, Ngandong,
Kedungbrubus, dan Jetis-Perning, yang terletak di sayap selatan Kendeng (Yuwono,
2005a). Temuan fosil-fosil di daerah Mranggen (Demak), pada bukit-bukit terisolasi di
sebelah utara Kendeng (Bukit Dieng dan Bukit Rowosari) (Yuwono, 2004a, 2005b), Situs
Semedo di jalur Pegunungan Serayu Utara daerah Tegal, dan Bukit Patiayam, semakin
menguatkan hipotesis ini.
Permasalahannya adalah, dari manakah para penghuni situs-situs gua di kawasan
karst Gunung Sewu dan Tuban berasal? Jawaban sementara adalah, bahwa telah terjadi
percabangan ke dua arah dari jalur utama Kendeng. Ke selatan melalui Gunung Wilis Tua
masuk ke Gunung Sewu, dan ke utara memasuki Perbukitan Rembang yang sebagian
besar bertopografi karst. Jalur utara ini sementara telah terlacak di Kawasan Karst Tuban
dan Blora dengan situs-situs gua karstnya (Yuwono, 2005). Meskipun pengujian secara
kronometrik belum dilakukan, dan lebih banyak mempertimbangkan aspek fisiografi,
distribusi situs, serta pertanggalan relatif, namun sejauh ini belum pernah ada koreksi
terhadap hipotesis di atas.
Ditemukannya potensi arkeologi di Kawasan Karst Sukolilo, justru merupakan
peluang untuk memperkaya hipotesis di atas, sehingga dinamika pergerakan Homo
sapiens setelah keluar dari jalur Kendeng dapat digambarkan. Tentu saja dibutuhkan data
pertanggalan terukur dan pemahaman konteks temuan situs melalui ekskavasi di beberapa
gua kawasan Sukolilo.
Periode penghunian gua di beberapa kawasan karst memang merupakan fenomena
kultural yang sangat khas, berbeda dengan periode-periode hunian sebelum dan
sesudahnya. Ciri menonjol mengenai hal ini adalah adanya perubahan dari kehidupan
open site -- cave site – open site. Pada kasus Jawa Tengah bagian utara, pergeseran
tersebut berlangsung dari Punggunggan Kendeng – Perbukitan Rembang – Datarandataran
Aluvial. Dengan demikian, hunian di kawasan karst merupakan salah satu mata
rantai untuk merunut sejarah panjang okupasi manusia terhadap lingkungannya. Periode
ini berlangsung kira-kira pada Pleistosen Akhir hingga Holosen Awal dan Pertengahan.
Sebagai perbandingan, di wilayah Asia Tenggara, khususnya di Thailand,
penghunian gua telah berlangsung dalam tiga tahap. Tahap pertama, pada 40.000 –
11.000 BP (Pleistosen), gua-gua digunakan secara sporadis dan hanya dihuni sementara
(temporary campsites). Para penghuni gua mulai menggunakan api, mengenal bendabenda
seni, dan mengkonsumsi makanan dari hewan atau tumbuhan; Tahap kedua,
11.000 – 6.500 BP (Holosen Awal), beberapa gua mulai diokupasi dalam jangka waktu
lebih lama, sehingga memungkinkan terbentuknya timbunan-timbunan sampah dan sisasisa
aktivitas, termasuk deposit penguburan pada tempat-tempat tertentu di dalam gua;
18
Tahap ketiga, 6.500 – 3.500 BP (Holosen Tengah), fungsi gua telah bergeser dari lokasi
hunian menjadi tempat penguburan. Sejak pertengahan Holosen pula, pemanfaatan
dinding gua sebagai media pengekspresian seni mulai berkembang (Anderson, 2005).
Apakah tahap-tahap di atas juga berlangsung di tempat-tempat lain, termasuk di gua-gua
kawasan Sukolilo? Hal ini memerlukan kajian lebih mendalam.
F. PENUTUP
Kawasan Karst Sukolilo merupakan kawasan karst yang relatif baru dikenal.
Namun demikian, data arkeologi permukaan yang baru teramati dalam waktu singkat,
sudah menunjukkan bahwa kandungan temuan di dalam tanah cukup besar. Apalagi
beberapa gua memiliki morfologi dan lingkungan yang sangat mendukung suatu bentuk
hunian purba. Oleh karena itu, survei lanjutan dan ekskavasi di kawasan ini sangat
diperlukan untuk menggali informasi lebih dalam tentang posisi arkeologis dan strategis
kawasan ini, bagi kepentingan ilmiah maupun kemanusiaan.
Ucapan Terima Kasih:
PEKINDO dan Bapak Hanang Samodra, atas
kesempatan yang telah diberikan untuk mengenal dan
menyelami Kawasan Karst Sukolilo.
G. DAFTAR BACAAN
Anderson, D., 2005, “The Use of Caves in Peninsular Thailand in the Late Pleistocene and Early
and Middle Holocene”, Asian Perspectives 44 (1), The University of Hawai’i Press,
Spring, p.137-153.
Sharer, R.J. and W. Ashmore, 1992, Archaeology: Discovering Our Past, 2nd edition, Mayfield
Publishing Co., California.
Suhartono, D., 2000, “Site Catchment Analysis pada Penghunian Gua di Kawasan Tuban”,
Skripsi, Jurusan Arkeologi UGM, Yogyakarta.
Sutikno, D.A. Tanudirjo, 2006, ”Kajian Geoarkeologi Kawasan Gunungsewu sebagai Dasar
Pengembangan Model Pelestarian Lingkungan Karst”, Laporan Hasil Penelitian -
Hibah Penelitian Tim Pascasarjana – HPTP Tahun 2006, Dirjendikti, Depdiknas -
UGM, Yogyakarta.
Yuwono, J.S.E, 2004, “Arkeologi Karstik dan Metode Penelusuran Potensi Kawasam: Introduksi
tentang Model Penerapannya di Gunung Sewu”, Pendidikan dan Pelatihan Scientific
Karst Exploration Tingkat Nasional, Rasamala KPA Sylvalestari dan Lawalata IPB,
Bogor, 10-13 April 2004.
----------, 2004a, “Posisi Geoarkeologis Temuan Artefak dan Fosil di Kecamatan Mranggen,
Kabupaten Demak, Propinsi Jawa Tengah”, Seminar Hasil Penelitian dengan Dana
Masyarakat 2004, Unit Pengkajian dan Pengembangan FIB UGM, Yogyakarta, 23
Oktober 2004.
----------., 2005, “Kawasan Karst Perbukitan Rembang dan Potensi Arkeologisnya”, Makalah
untuk laporan penelitian tentang Pola Okupasi Gua-gua Hunian Prasejarah Kawasan
Pegunungan Kendeng di Kab. Blora dan Rembang, Balai Arkeologi, Yogyakarta.
19
----------., 2005a, “Paleogeografi Pegunungan Selatan Jawa dan Implikasinya terhadap
Penyusunan Hipotesis tentang Migrasi Lokal Komunitas Prasejarah di Jawa Bagian
Timur, dalam Sumijati As dan Sumarsono (ed), 2005, Potret Transformasi Budaya di
Era Global, Unit Pengkajian dan Pengembangan FIB UGM, Yogyakarta, hlm.142-163.
----------., 2005b, “Potensi Fosil di Wilayah Jawa Tengah: Nilai Penting dan Tantangannya”,
Lokakarya Permuseuman: Peranan Museum dalam Pembentukan Jati Diri
Masyarakat, Ungaran, Museum Jawa Tengah Ronggowarsito, 18-19 Juli 2005.
No comments:
Post a Comment