Tuesday 25 January 2011

Peluk Mesra Agama dan Negara Perspektif Agama Lokal

Perspektif Minoritas Agama dalam Merespons Delik Agama RKUHP

Peluk Mesra Agama dan Negara Perspektif Agama Lokal

Bisri Effendy

Dua Insiden
Pertama
Pada antara 1915-1920 penginjilan orang Dayak di wilayah Long Iram dan Apo Kayan, pedalaman Kalimantan Timur, kian mengeras. Seperti dituturkan Mikhail Coomans antropolog sekaligus rohaniawan yang mengabdikan dirinya di Keuskupan Samarinda (Manusia Dayak, 1987), sejumlah goa tempat penyimpanan tengkorak dirusak dan dihancurkan mitologinya. Begitu pula satu rumah panjang (Lamin) yang berada di bibir sungai Mahakam diseret ke sungai untuk dihanyutkan. Para pembawa pekabaran injil (misionaris) yang melakukan semua itu risau karena mereka menganggap orang Dayak yang memusatkan ibadahnya pada goa, gunung, hutan, dan sungai itu adalah (sebutan yang dlontarkan) orang-orang yang tersesat, jauh dari cahaya Kristus, teman-teman setan dan iblis.
Orang-orang Dayak pun menunjukkan resistensinya. Mereka menolak setiap upaya penginjilan dan mengusir para misionaris dari kampung. Mereka juga melawan secara kreatif dengan mengembangkan berbagai cerita, petuah, dan nasehat, antara lain “para Dewa akan marah dan malapetaka akan menggulung kampung, ketika kita tak lagi menyimpan tengkorak”, dan “kita akan disalib seperti orang asing itu kalau kita melakukan kesalahan”. Mengimbangi kreativitas orang Dayak itu, para penginjil pun lalu mengembangkan stereotip dengan menjuluki orang-orang Dayak sebagai buaya Mahakam.
“…, namun hamba-hamba Tuhan yang datang kemudian melihat bahwa keadaan di hilir yang memberi peluang banyak buaya sungguhan, juga memberi kesempatan bagi banyak “buaya rohani”. Misalnya, di Mahakam, karena sungai-sungai yang agak lebar dan tanpa riam ini disukai buaya dan karena keadaan jalan-jalan setapak yang menghubungi kampung-kampung telah memudahkan masuknya pengaruh-pengaruh anti Injil. Dixon, dalam lawatannya ke Mahakam bertemu dengan beberapa “buaya” yang menghalangi perkembangan Injil di sana”. (Sejarah Gereja Kemah Injil Indonesia, 1995)
Bukan itu saja. Para penginjil juga sangat fasih menyebut animis-primitif dan kafir untuk setiap orang Dayak yang belum tersinari oleh Roh Kudus.
Jaffray, penginjil paling awal di Kalimantan Timur, menyamakan gerakan perlawanan orang Dayak tersebut dengan gerakan Naga Mera seperti dalam Wahyu 12: 3. Jaffray mencatat begini:

“Buaya-buaya yang mengerikan ini, yang suka makan orang, mengingatkan saya akan Naga Merah dalam Wahyu 12:3. Sama seperti di sungai-sungai Kalimantan ada banyak buaya, begitu juga ada banyak pengikut Naga Merah yang akan dihadapi oleh utusan-utusan Injil di sini. Tetapi kami yakin bahwaTuhan Yesus Kristus dapat mengalahkan mereka”.

Rupanya ‘huru-hara’ di pedalaman Kalimantan Timur itu berpuncak pada akhir tahun 1965. Tragedi kemanusiaan untuk menghabisi komunisme Indonesia dan tentu tidak ada kaitannya dengan soal agama itu dimanfaatkan dengan sempurna oleh birokrasi dan militer setempat untuk mengancam siapa pun yang tidak mau masuk salah satu agama resmi; jika di tempat itu birokrasi dan militer didominasi Kristen, maka bisa dipastikan pemaksaan beragama itu mengarah kepada Kristen, dan begitu pula jika birokrasi dan militer dikuasai Islam akan terarah pada Islam.
Peliq Lahang (77 tahun), kepala suku di Datah Bilang Ulu, bercerita bahwa ia menyaksikan sendiri bagaimana orang-orang Kenyah yang belum beragama ketakutan dan sebagian mereka bersembunyi di ladang-ladang yang jauh atau bahkan di hutan. Ia juga menyaksikan banyak perahu berisi puluhan orang yang ditenggelamkan ke dasar Mahakam hanya karena mereka berterus terang tidak mau meninggalkan kepercayaan dan adat warisan leluhur. “Saya sendiri orang yang terakhir masuk Katolik pada tahun 1966 ketika saya sudah tidak tahan menyaksikan semua itu,” ujarnya.

Kedua
Siang itu, pertengahan Juli 1995, mbah Wo Kucing kaget ketika tiga orang tentara (satu berseragam dan dua lainnya berpakaian sipil) datang ke rumahnya di Kauman, Sumoroto, Ponorogo (Jawa Timur). Bukan karena tidak diundang atau memberi tahu sebelumnya, ketiga tamu itu ternyata bertugas menjemput mbah Wo untuk dipanggil ke Kodim setempat. Mbah Wo kaget bukan hanya di dalam dalam selembar kertas yang disebut sebagai surat panggilan tidak mencantumkan alasan mengapa ia dipanggil, tetapi juga karena ia merasa tidak mempunyai salah apapun berkaitan dengan tentara atau pemerintah. Bagi orang seperti mbah Wo, panggilan ke Kodim atau Koramil berarti mempunyai kesalahan politik cukup serius.
Sesampainya di Kodim dan bertemu (terjadi dialog) wakil komandannya, mbah Wo baru tahu bahwa dirinya dianggap salah karena menganut dan menyebarkan ajaran sesat, Purwa Ayu Mardi Utama, meskipun dalam benaknya mengganjal mengapa ajaran itu dianggap sesat dan dipersalahkan. Dan untuk itu, mbah Wo harus mendekam lima hari di kantor tentara itu tanpa bisa berbuat apapun untuk dirinya. Mbah Wo lalu ingat bahwa dua hari sebelum dipanggil ia kedatangan tiga anak muda dari Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) yang bertanya tentang ajaran (agama) yang dianutnya. Mbah Wo yang memang suka blak-blakan ini berterus terang menjelaskan banyak hal menyangkut Purwa Ayu Mardi Utama termasuk kitab piugeman yang dipercayainya. Dalam kesempatan di akhir 2001 ia menceritakan kembali apa yang pernah dikatakan kepada tiga pemuda muslim tersebut.

“terus terang aku iki dudu Arab, nanging aku duwe piugeman urip. Aku uga ora duwe kitab, kerana kangguku kitab itu yo awakku iki” (saya ini bukan Arab, tetapi saya mempunyai pegangan hidup. Saya juga tidak mempunyai kitab (dalam arti tertulis – pen.), karena diriku adalah kitab)

Rupanya bukan hanya itu alas an mengapa mbah Wo di kurung dalam tahanan Kodim. Kira-kira sebulan sebelumnya, depan para tokoh-tokoh agama dan kepercayaan di Mlarak, Ponorogo selatan, ia menjelaskan bahwa soal dosa yang menurutnya tidak mungkin dapat diampuni hanya sekedar dengan meminta ampun. Sebuah penjelasan yang menurut sejumlah tokoh Islam daerah itu dianggap melanggar sifat Tuhan yang Maha Mengampuni. Mbah Wo dituduh sesat dan menyesatkan, karena ia harus dihukum.
Mbah Wo yang bernama asli Kasni Gunopati ini merasa kecewa dan bingung mengapa mengungkapkan keimanannya justru dianggap sesat, salah, dan menyesatkan orang lain. “Mana yang sesat dan apanya yang mensesatkan. Wong saya hanya menejelaskan keyakinan saya bahwa dosa manusia tak mungkin bisa hilang atau dihapuskan sama sekali. Lha, kalau dosa bias dihapuskan sema sekali, apalagi hanya dengan meminta maaf, betapa enaknya manusia. Dimana pertanggungan jawabnya”, jelas mbah Wo pada suatu hari pada Januari 2001.
Tokoh kelahiran 30 Jani 1934 ini, selain dikenal sebagai warok yang memiliki sejumlah grup reyog, juga sesepuh dalam Purwa Ayu Mardi Utama yang berkembang cukup baik terutama di Jawa Timur. Ia sering berkeliling dari Banyuwangi hingga Ngawi untuk memberi kaweruh pada pengikut aliran kepercayaan itu, di samping sesekali sembari melatih dan memberi wejangan tentang reyog. Apa yang ia yakini sekarang, pengakuannya, adalah hasil dari ngangsu kaweruh dari para kiai dan ulama. “Tetapi hasilnya memang beda karena kaweruh yang saya peroleh itu kemudian saya olah sendiri dengan merenung dibantu dengan apa yang diwariskan leluhur kita,” tuturnya.
Sudah pasti bahwa kedua insiden tersebut ‘tidak aneh’ dalam pengalaman sejarah para penganut agama lokal, karena masih banyak peristiwa serupa di tempat lain pada masa yang berbeda (zaman colonial, orde lama, orde baru, dan sekarang) terjadi. Sekurang-kurangnya apa yang dialami penganut Parmalim di Sumatera Utara (1992 dan 2005/6), Towani-Tolotan di Sidrap, Sulawesi Selatan (1965-1967), Bissu di Bone dan Pangkep, Sulawesi Selatan (1963-1968), dan peristiwa-peristiwa yang dikaitkan dengan tokoh perseorangan akhir-akhir ini merupakan ilustrasi yang menarik.
Jelas bahwa peristiwa-peristiwa, boleh juga disebut tragedi, tersebut memberitahu kita bagaimana realitas hubungan antara kekuatan-kekuatan mainstream dan ‘kebenaran’nya dengan kelompok-kelompok minoritas dan ‘kesesatan’ yang dituduhkan kepadanya. Yang lebih menarik bahwa rentetan pengalaman itu membuktikan bahwa penodaan, penghinaan, pemaksaan, penindasan atau diskriminasi secara keseluruhan kejahatan dan kekerasan terhadap agama (dalam arti antropologis) telah berlangsung sejak lama dan menjadi pemandangan kenyataan etnografis masyarakat kita. Suatu kenyataan yang kemudian menjadi penting untuk didiskusikan dalam konteks Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) terutama pasal-pasal tentang Agama.

Kehidupan Beragama tanpa Negara: Catatan Etnografis
Percakapan di berbagai forum seminar mengenai kehidupan keagamaan kita seringkali mengerucut pada kesepakatan bahwa kehidupan keagamaan sehari-hari terutama masyarakat lapis bawah memperlihatkan sinkretisme . Upacara-upacara seperti Sekaten, Grebeg Suro, Slametan, dan masih banyak lagi dipandang sebagai artikulasi sikap dan pandangan sinkretik kaum muslim Jawa. Begitu pula kesenian-kesenian tradisi seperti wayang kulit, gambus, mocopatan, kentrung, dan sebangsanya.
Lebih detail lagi apa yang disajikan, sebagai contoh, oleh Andrew Beatty, Mark R. Woodward, Niels Mulder, Hefner, dan Geertz. Beatty (2001) yang melakukan kerja lapangan di beberapa desa di Banyuwangi, Jawa Timur melukiskan betapa sulitnya mencari “yang asli”, “yang orsinal”, “yang otentik” dalam kehidupan beragama. Ia mempertanyakan jangan-jangan itu adalah sesuatu yang tak ada dalam realitas empirik, tetapi hanya terdapat dalam imajinasi. Yang ada dalam kehidupan beragama orang Banyuwangi, katanya, adalah sinkretisme, perpaduan antara apa yang disebut agama dan tradisi setempat. Beatty membuat contoh bahwa setiap slametan, orang-orang berkirim al-fatihah sekaligus kepada Nabi Muhammad, para sahabat, dan leluhur yang mbahu-rekso desa dimana upacara itu diselenggarakan.
Sejalan dengan itu, Woodward (1999) juga melihat bahwa Islam dan Jawa tak mungkin dikontraskan. Ia melihat bahwa keduanya sangat compatible, saling melengkapi; jika pun ada pertentangan antara keduanya hanya bersifat permukaan. Justeru Woodward mengkritik karya Geertz, The Religion of Java sebagai poros utama pembangun konstruksi dominant keterbelahan Islam dan Jawa yang hingga sekarang masih berpengaruh.
Bahkan Mulder (1999) berasumsi sinkretisme kehidupan keagamaan bukan hanya monopoli masyarakat Indonesia tetapi telah menjadi “cirri khas” masyarakat Asia Tenggara. Dalam satu bagian tulisannya, Mulder menyebut: sinkretisme keagamaan atau agama Asia Tenggara. “Orang Thai mencampurkan unsur-unsur dari Budhisme dengan Brahmanisme dan Animisme; orang Jawa mencampurkan praktek-praktek keagamaan asli mereka dengan Hinduisme, Budhisme, dan Islam; dan orang Filipina memadukan tradisi mereka dari zaman pra penjajahan Spanyol dengan Katolik” (hal. 3).
Mungkin karena terfokus hanya pada kekinian, baik Betty maupun Mulder memang tidak mengulas bagaimana sinkretisme itu terbangun. Apakah ia berawal dari ketegangan dan konflik ketika agama “impor” itu hadir dan bergumul dengan budaya setempat, atau secara pasif pendukung budaya local menerima dan mengamalkan sebatas kemampuannya. Bahkan keduanya tak menjelaskan apakah perjumpaan agama dan budaya setempat itu berlangsung tegang atau tidak. Mulder hanya mengatakan: “orang Jawa, Thai, dan Filipina menyambut berbagai gagasan secara selektif dan sesuai dengan pandangan hidup mereka sendiri. Mereka tidak mengambil segala unsur asing yanag ditawarkan, dan tidak pernah mengorientasikan diri pada ortodoksi” (hal. 9).
Namun demikian, kita juga sering dikejutkan oleh berbagai peristiwa ketegangan antara agama dan kebudayaan. Kasus Inul Daratista yang disorot oleh banyak ulama Islam, pribadi maupun kelembagaan, jelas bukan satu-satunya kasus. Pengharaman drum-band oleh KH. Bisri Syansuri (Rois Aam PBNU sesudah KH. Hasyim Asy’ari) di tahun 60-an , pengharaman kesenian-kesenian seperti Jaipong (Sunda) , Tayub (Jawa Tengah dan Timur) , Gandrung (Banyuwangi) , Makyong Kalimantan, Mamanda (Kalimantan Selatan), dan Reyog (Ponorogo) oleh sebagian besar ulama Muhammadiyah maupun NU, pen-cap-an syirk, bid’ah, hurafat terhadap ziarah kubur, slametan, dan apapun yang tak terdapat di zaman Nabi oleh ulama Muhamadiyah, stigma terhadap komunitas seperti Samin (Jawa Tengah dan Timur), Tengger (Jawa Timur), abangan (Jawa), Bayan (Lombok), Dayak Meratus (Kalimantan Selatan) dari kaum santri, serta fatwa sesat kepada semua agama lokal (Darmogandul, Gatholoco, Wektutelu, Kaharingan, dan sebagainya) adalah contoh-contoh lain ketegangan agama dan kebudayaan. Karena, pada saat yang sama, apakah itu Inul, pendukung kesenian dan tradisi maupun komunitas marjinal dan penganut agama lokal diatas merespons balik dengan berbagai caranya masing-masing.
Apa yang dilukiskan C. Geertz (1983) agama sebagai pemecah merupakan “kesaksian” empirik bahwa ketegangan agama dan kebudayaan berlangsung intens dalam kehidupan masyarakat. Sebuah ketegangan yang yang sebenarnya telah berlangsung sejak islamisasi di Nusantara bermula. Perdebatan antara Walisongo dengan Nyi Ageng Bakaran dan Sunan Bonang dengan Ondorante di daerah Pati, Jawa Tengah (Bisri Effendy, 2001), dan perdebatan antara Dato’ ri Tiro dengan Ammatoa Kajang di Sulawesi Selatan (Majalah Desantara, No. 3 thn 2002) adalah contoh yang menarik. Geertz sendiri mungkin tidak bermaksud membuat belahan kategoris agama local dan agama ‘impor’ secara ketat, melainkan hanya untuk menunjukkan bahwa agama (Islam) dalam kenyataannya berperan ganda: sebagai pemecah sekaligus perekat. Tesis pentingnya: bahwa seislam-islamnya orang Jawa tetap Jawa menjadi kesaksian Geertz bahwa kehidupan keagamaan orang Jawa adalah sinkretik. Sebuah tesis, yang dalam konteks sinkretisme, memiliki kemiripan dengan apa yang diajukan Hefner bahwa sehindu-hindunya orang tengger tetap Islam.
Sepanjang yang dilacak para etnograf, pertengkaran, ketegangan, dan konflik antara agama ‘impor’ dan agama local adalah bagian dari dinamik masyarakat plural terutama dalam masyarakat yang sedang mencari bentuk struktur social dan kebudayaan yang lebih menguntung semua pihak. Ketegangan dan konflik antara Dato ri Tiro dengan Ammatoa, antara Nyi Ageng Bakaran dan Ajisaka dengan para Sunan lebih mungkin kita lihat sebagai bagian dari proses social masyarakat Bugis-Makassar dan Jawa dalam membentuk kehidupan bersama, dan memang baru menghasilkan dalam tempo waktu yang cukup panjang.
Diakui bahwa ketegangan, pertengkaran dan konflik tersebut terasa semakin mengeras ketika negara secara resmi memberlakukan Peraturan Pemerintah 1967 yang menetapkan bahwa agama yang diakui sah dianut di Indonesia hanya lima (sekarang enam), yakni Islam, Katolik, Protestan, Hindu, dan Budha. Implikasi terpenting dari ketetapan itu adalah terdefinisinya secara ketat apa yang disebut agama. Apa yang terbetik di benak, ketika kata agama disebut, pasti bukanlah Kejawen, Parmalim, Wektutelu, Kaharingan, atau sejenisnya, tetapi sesuatu yang juga terdapat di belahan dunia lain. Lokal dan Universal (global) dalam kontek agama pun menjadi dua kutub yang bukan saja berjauhan tetapi juga “bermusuhan”. Dan universalime atau kosmopolitanisme agama itu pun ternyata melahirkan, lepas dari sebab-sebab lain, ortodoksi (kembali kepada teks suci/tradisi literer) dan purifikasi yang terus-menerus dipelihara terutama ketika berhadapan dengan apapun yang disebut local.
Pada saat yang sama, ketetapan itu juga memposisikan agama resmi sebagai penguasa (mainstream) yang dengan leluasa mengontrol denyut dan berbagai aktivitas kebudayaan; moralitas, etika, etstetika, dan teologis; kadang berjalan sendiri, tetapi juga sering bergandeng mesra dengan kekuasaan politik, bahkan dengan ilmu pengetahuan (intelektualitas). Misalnya, pada tahun 1954 pemerintah bersama kaum agama (Islam) meresmikan Pakem (Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat) yang bertugas mengawasi, menilai apakah sebuah aliran kepercayaan dibolehkan atau tidak. Seluruh konstruksi dan kebijakan agama-negara diatas sudah pasti menimbulkan implikasi-implikasi yang serius bagi pendukung agama local. Bagaimana resistensi dan berbagai upaya para penganut aliran kepercayaan untuk bisa disejajarkan dengan agama sejak 1957 yang harus gagal dihadapan keputusan MPR No.IV/MPR/1978, mungkin ilustrasi yang menarik. Begitu pula “nyanyian panjang” orang-orang Tengger, Badui, Cigugur untuk mempertahankan Kejawen, Sunda Wiwitan, dan Jawi-Sunda, serta orang-orang Dayak, Batak, Towani untuk tetap bertahan sebagai penganut Kaharingan, Parmalim, dan ke-Towani-an adalah contoh lainnya. Sentuhan-sentuhan Islamisasi, Kristenisasi, Hindunisasi, dan Budhanisasi terasa semakin tak mungkin dielak, apalagi dilawan.
Dengan demikian menjadi jelas bahwa relasi antar kekuatan mainstream dan kelompok minoritas penganut agama local semakin tidak seimbang bahkan mengarah pada kekerasan ketika negara yang memang selalu powerfull memasuki wilayah itu. Dua insiden yang dipaparkan di awal tulisan ini merupakan contohnya. Akan tetapi, barangkali letak soalnya tidak selalu harus dialamatkan pada negara, karena juga bisa jadi para tokoh agama ‘impor’ itu yang menghendaki kehadiran negara. Kasus mbah Wo Kucing di atas dengan jelas memberitahu kita bagaimana sejumlah ulama menghadirkan Kodim untuk menghakimi.

Pengalaman Pati dan Makassar
Menarik diskusi yang dilakukan untuk sosialisasi RKHUP bidang agama di Pati dan Makassar, bukan hanya diikuti oleh peserta yang beragam baik dari kalangan pesantren, gereja (khusus di Makasar), dan penganut agama local, tetapi karena dua diksusi dengan peserta yang berbeda dan di tempat yang berjauhan justru mengungkapkan pandangan dan aspirasi yang tidak berbeda. Tampaknya, terutama para penganut agama local selama ini mempunyai pengalaman yang mirip menyangkut hubungan mereka dengan agama resmi yang semakin dekat dengan kekuasaan politik. Ketika agama menjelma menjadi kekuatan politik, mereka merasa semakin tersudut dan terkena berbagai regulasi yang tidak menguntungkan.
Ada beberapa hal penting yang dapat ditarik dari kedua diskusi itu. Pertama, bahwa munculnya RKUHP justru menguatkan kekhawatiran para penganut agama local terpojok dan harus menerima sanksi-sanki resmi (hukum positif) ketika mereka menerjemahkan ajaran dan keyakinannya. Kekhawatiran semacam itu tidaklah mustahil, karena ekspresi keagamaan mereka justru seringkali dianggap sesat dan menyesatkan, mengganggu, bahkan melanggar seperti yang pernah terjadi pada mbah Wo Kucing dari Ponorogo. Jika tanpa ada undang-undang, para penganut agama mainstream cenderung menghakimi sepihak, sudah pasti para penganut agama mainstream, atas dasar undang-undang, semakin kuat dan dominant.
Kedua, bahwa dengan RKUHP, para penganut agama local tidak merasa terlindungi sebagai warga yang mempunyai hak untuk memeluk dan berpegang pada keyakinannya. Ungkapan sedulur sikep, misalnya, bahwa: “sebenarnya undang-undang ini untuk siapa? Yang jelas bukan untuk kami. Kami merasa tidak ada dalam rancangan undang-undang ini” jelas menunjukkan bahwa delik agama dalam RKUHP tidak menyentuh hak-hak mereka, apalagi melindungi. Pada diskusi di Pati maupun di Makasar mengemuka bahwa definisi agama di dalam RKUHP tidak jelas dan akan menimbulkan monopoli tafsir oleh agama yang diakui negara.
Ketiga, bahwa RKUHP merupakan produk politik yang besar kemungkinan akan mengokohkan posisi negara dalam menggenggam agama secara keseluruhan. Jika selama ini peran negara dalam mengintervensi agama hanya dilakukan oleh eksekutif (birokrasi), militer, dan legislative, maka dengan delik agama dalam KUHP peran itu juga akan diwujudkan oleh yudikatif. Semakin lengkaplah.

No comments: