Tuesday 25 January 2011

MASYARAKAT SAMIN DI KABUPATEN BLORA: TRADISI, BAHASA, DAN MODERNITAS (STUDI AWAL ETNOLINGUISTIK)

MASYARAKAT SAMIN DI KABUPATEN BLORA: TRADISI, BAHASA, DAN MODERNITAS (STUDI AWAL ETNOLINGUISTIK)

Wakit Abd.
Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa
Universitas Sebelas Maret

Abstrak

Masyarakat Samin di Blora memiliki tradisi yang unik. Pada awalnya merupakan upaya proteksi diri dan upaya melawan secara pasif terhadap penjajah Belanda. Tradisi tersebut refleksinya antara lain pada pemakaian bahasa Jawa Samin. Dalam hubungannya dengan modernitas sekarang ini, tradisi dan bahasa Samin secara signifikan dapat menghambat kemajuan karena adanya pandangan negatif terhadap pedagang, pendidikan, dan benda-benda kreasi modern. Di samping itu, adanya pemakaian bahasa yang berbelit, sehingga kurang memberikan efek komunikasi yang cepat dimengerti. Padahal aspek informasi, pendidikan dan bisnis merupakan bagian aktivitas penting dalam kehidupan modern.

Kata kunci: Tradisi, Samin, Modernitas.

1 PENDAHULUAN
Berbicara tentang masyarakat Samin (selanjutnya ditulis MS) sesungguhnya berbicara tentang masyarakat Jawa (MJ), karena MS memang bagian dari MJ. Bagian dari kejawaannya itu tercermin pada tradisi, bahasa, keberadaannya, genealogisnya, dan sebagainya.
Secara historis, MS muncul setelah adanya seorang keturunan bangsawan dari Bojonegoro yang bernama kecil R. Kohar tampil menyamar sebagai orang yang bernama Samin. Kata Samin dipilih sebagai upaya untuk lebih merakyat dan secara khusus dapat dimengerti sebagai istilah sami-sami atau tiyang sami-sami (sesama, orang kebanyakan, rakyat biasa). Dia melihat nasib rakyat jelata di Blora pada waktu itu (zaman Belanda) sangat tertindas, karena kerja paksa, sistem upeti, perampasan hasil pertanian, tidak ada kesempatan mengenyam pendidikan, hidup di dalam atau di tepi hutan (magersari) dan kalaupun di desa pada umumnya mereka lebih terbelakang. Terpanggillah jiwanya untuk membela mereka, maka dengan segala upaya ditempuh. Upaya yang dipilih antara lain komunitas intinya diajar sejenis “kepercayaan” yang diberi nama Agama Adam, bahasa yang berbelit sebagai upaya proteksi diri secara diplomatis, sikap politik terhadap pemerintah jajahan, tradisi-tradisi unik lainnya akibat pengaruh ajaran Agama Adam (tentang pendidikan anak, hubungan suami-istri, nikah, mati, dagang, musim/astronomi, hubungannya dengan masyarakat non Samin, bumi, hutan, dan sebagainya). Setelah beberapa saat pengaruhnya kuat namanya ditambah menjadi Samin Surontiko atau Samin Surosentika sebagai guru besarnya Agama Adam (c.f. Giap, 1968; Dekker, 1970; Korver, 1976; King, 1973; Prawoto, 1972; Shiraishi, 1990; Sadi Hutomo, 1970, 1972, 1980, 1983, 1985; Wakit, 1999). Pengukuhan diri dan disetujui oleh pengikutnya itu menambah legitimasinya sebagai sosok “Ratu Adil” yang sangat didambakan oleh MS saat itu. Berduyun-duyunlah pengikutnya dan akhirnya menjadi suatu kekuatan yang berani menentang penjajah Belanda (Onghokham, 1977; Sastroatmodjo, 1983), karena pengikutnya telah mencapai kurang lebih 3.500 orang (Stible, 1919). Oleh karena membahayakan pemerintah jajahan ditangkaplah Samin Surosentiko bersama 9 pengikutnya (para guru) kemudian dibuang ke Padang Sumatra Barat dan meninggal di sana (1859-1914).
Ajaran Saminis diteruskan oleh murid-muridnya (kebanyakan kerabat dekat), seperti Wongsorejo (Jiwan, Madiun, tahun 1908), Surohidin (menantu) dan Engkrek (Grobogan, 1911), Karsiyah (Pangeran Sendang Janur, di Kayen, Pati, 1911). Mereka kebanyakan sebagai petani. Puncak popularitas gerakan Samin Surosentiko dengan didukung para petani hingga ke pemerintah pusat (jajahan) dan dunia kolonialis pada umumnya adalah setelah adanya “geger Samin” dan gelar Panembahan Suryongalam setelah kepergiannya.
Selama pengaruh ajaran Samin berkembang di Blora (khususnya di Ploso Kadiren, Randublatung) telah menoreh warna tradisi yang unik dan berbeda dengan tradisi yang ada dalam masyarakat Jawa lainnya. Oleh karena warna itu, dalam tulisan ini akan mengemukakan tradisi, bahasa, dan modernitas dalam sebuah ancangan teoretis etnolinguistik atau antropolinguistik.

2 TRADISI, BAHASA, DAN MODERNITAS
Secara rinci konsep tradisi, bahasa, dan modernitas yang ada sangkut-pautnya dengan masyarakat Samin seperti uraian berikut ini.
Tradisi (Poerwadarminta, 1982: 1088) adalah segala sesuatu (seperti adat, kepercayaan, kebiasaan, ajaran, dsb.) yang turun-temurun dari nenek moyang. Berkaitan dengan konsep tersebut, budaya/tradisi Samin perlu dikaji dalam makalah ini, karena adanya suatu anggapan bahwa budaya dan MS yang merupakan warisan turun-temurun itu menghambat kemajuan (baca: modernitas). Pada hal sesuai dengan arus kemajuan zaman budaya tradisional dapat bersifat dinamis, seperti dikemukakan oleh Michael R. Dove (1985: xv) bahwa kebudayaan tradisional sering dipersepsikan keliru oleh sebagian orang dalam pembangunan atau modernisasi. Pada hal sebenarnya terkait erat dengan proses sosial, ekonomis, dan ekologis masyarakat secara mendasar. Lebih dari itu kebudayaan tradisional bersifat dinamis, selalu mengalami perubahan, dan karena itu tidak bertentangan dengan pembangunan itu sendiri. Bagaimana dengan tradisi MS sekarang ? Lebih lanjut, Koentjaraningrat (1990: 183-184 dan 224) menyatakan bahwa wujud kebudayaan berisi kompleks ide, gagasan, norma, nilai, aturan, kompleks aktivitas dan tindakan berpola dari masyarakat, dan benda-benda hasil karya manusia. Secara praktis tradisi MS itu didasarkan pada pandangan hidup, pribadi, dan lingkungan atau masyarakatnya (Geertz, 1981; Mulder, 1985; Koentjaraningrat, 1984). Secara umum berkaitan dengan pandangan hidup orang Jawa (termasuk MS) bersifat kosmo-mitis dan kosmo-magis, menganggap bahwa alam sekitar mempunyai kekuatan dan berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat maupun spiritual masyarakatnya (Mulder, 1985), dan tergantung pula watak pribadi individualnya (Surjobroto, 1983). Dalam hal ini MS memiliki tradisi kuat yang berhubungan dengan petung (nikah, bercocok tanam, dagang, berkomunikasi) dan konsep-konsep yang merujuk pada “syariat” Agama Adam.
Bahasa dalam hal ini dimaksudkan satuan lingual yang muncul dalam tuturan MS sebagai upaya komunikatif untuk mendukung tradisi yang dianutnya. Hal ini sesuai dengan fungsi khas bahasa (Sudaryanto, 1990: 21) setidak-tidaknya yaitu sebagai pengembang akal budi dan pemelihara kerja sama antar penutur-penuturnya. Penutur-penutur bahasa Jawa Samin yang terkait erat dengan tradisi yang dimiliki. Di sinilah hubungan erat antara tradisi (budaya) dengan bahasa Jawa Samin yang penuh dengan untaian masalah yang perlu dipecahkan. Oleh karena itu, kajian ini akan melihat permasalahan tersebut dari kaca mata pandang etnolinguistik atau antropolinguistik, yaitu kajian yang menyelidiki hubungan antara bahasa dan masyarakat pedesaan atau masyarakat yang belum memiliki tulisan (Kridalaksana, 1993: 52). Berkaitan dengan itu (Ahimsa Putra, 1997: 4) pembagiannya terdiri (1) kajian linguistik yang dapat memberikan sumbangan etnologi dan (2) kajian etnologi yang memberikan sumbangan kepada linguistik. Lebih lanjut (Ahimsa Putra, 1977: 4-10) untuk kajian linguistik yang memberikan sumbangan kepada etnolinguistik meliputi (a) bahasa dan pandangan hidup, (b) bahasa dan cara memandang kenyataan, (c) bahasa dan struktur pemikiran, (d) bahasa dan perubahan dalam masyarakat. Adapun sumbangan etnologi terhadap linguistik dapat dipilah menjadi (a) kebudayaan dan sejarah bahasa, (b) kebudayaan dan peta bahasa, (c) kebudayaan dan makna bahasa. Dalam konteks itulah, seorang etnologi dapat memberikan sumbangan pada linguistik (Silva-Fuenzalida, 1949). Secara teoretis konsep tersebut dapat menjadi pedoman kajian etnolinguistik bahasa Jawa MS.
Berkaitan dengan modernitas berasal dari kata modern berarti yang terbaru, cara baru, mutakhir (Poerwadarminta, 1982: 653); model baru (Wojowasito dan Tito Wasito, 1980: 117); modern, mengikuti keadaan/zaman (t.t., 226). Adapun kata modernitas sejajar dengan bahasa Inggris asli modernity berarti yang modern (Wojowasito dan Titi Wasito, 1980: 117), kemodernan, modernisasi, pembaharuan, pemodernan (Echols dan Shadily, 1987: 384). Berkaitan dengan topik pembahasan ini, pengertian modernitas dikhususkan pada makna ‘pembaharuan, mengikuti keadaan zaman, dapat menyesuaikan diri pada istilah-istilah atau pemakaian bahasa yang mencerminkan sifat modern’.

3 STUDI AWAL ETNOLINGUISTIK TERHADAP BAHASA JAWA SAMIN
Berkaitan dengan judul makalah ini yaitu Masyarakat Samin di Kabupaten Blora: Tradisi, Bahasa dan Modernitas (Studi Awal Etnolinguistik), maka pusat atau inti kejadiannya adalah bahasa Jawa MS yang pemakaiannya mempertimbangkan unsur tradisi yang mempengaruhinya dan kemungkinan-kemungkinan satuan lingual yang dapat mencirikhasi MS, masyarakat yang telah mengenal perubahan-perubahan dalam tata-cara hidupnya.
Pembahasan ini akan mendeskripsikan data-data aktual yang dapat diperoleh dari MS seperti adanya tuturan berikut.
1) Bahasa dan pandangan hidup (kebatinan Samin)
Pemakaian bahasa Jawa Samin yang mencerminkan hubungan bahasa dengan pandangan hidup misalnya:
(a) sahadat pengantin: “wit jeng nabi, kula lanang damel kula rabi tata jeneng wedok pangaran ... kukuh dhemen janji buk nikah mpun kula lakeni ‘sejak nabi yang mulia, saya seorang laki-laki, pekerjaan saya memperistri perempuan, mengatur perikehidupan perempuan yang bernama ... sudah berjanji setia, sudah tidur bersama’.
(b) Istilah nabi, agama, gaman (alat), adam, lanang, menyatu dalam: Agama iku gaman, Adam pangucape, man gaman lanang, sebagai pengakuan Agama Adam, penganutnya wong Dam.
(c) Adam disimbolisasikan sebagai air suci, orang pertama, laki-laki, agama milik laki-laki, diturunkan kepada laki-laki.
(d) Ada ajaran: sajrone agama ana rasa, rasa sejati sejatine rasa, rasa sejati awujud banyu.
(e) Berkaitan dengan kata banyu ‘air suci, sperma’ berhubungan pula istilah sedulur (lanang-wedok) ‘saudara laki-perempuan’, turun ‘anak’ (lanang-wedok ‘laki-perempuan’), aran ‘nama’.
(f) Istilah lain Agama Adam yaitu Agama Lanang, sembahyangnya kumpul/saresmi ‘senggama’, dan sembahyang merupakan akronim dari mesem karo grayang-grayang, di senthong.
(g) Gusti Allah iku awake dhewe (yang membuahi dan melahirkan anak), konsep Mak-Yung ‘bapak ibu’, suwarga ‘kabar baik’, neraka ‘kabar buruk’, pangucap ‘ucapan, sebagai penyebab masuk surga atau neraka’, angger-angger ‘hukum’-nya ma-tu-nga ‘lima-tujuh-sembilan’, pratikel ‘upaya untuk tidak masuk neraka, tingkah laku’, hukumnya angger-angger aja (aja drengki-srei, tukar-padu, dahpen-kemeren, aja kutil-jupuk, bedhig-colong).

2) Bahasa dan cara memandang kenyataan
Yang termasuk dalam konsep ini misalnya cara memandang kenyataan terungkap seperti:
(a) angger-angger lakonana ‘aturan yang harus dijalankan’ dalam hidup (perbuatan dan pekerjaan) sabar ‘sabar’ trokal ‘tawakal’. Sabare dieling-eling, trokale dilakoni.
(b) Panitisan ‘reinkarnasi’ (jelek jadi binatang).
(c) Wong urip kudu ngerti ing uripe, sebab urip digawa selawase, jika dalam reinkarnasi ke manusia (surga) ke binatang (neraka).
(d) Kesiku ‘dosa’ jawaban diplomatis untuk tidak menyebut asal manusia.
(e) Sandhangan ‘raga’, salin sandhangan ‘mati’.
(f) Nger ‘suara tangis bayi yang baru dimasuki nyawa atau nyawa manjing raga, sukma-abadi ‘roh’, kumpul sing urip ‘bersatu dengan yang hidup’ atau Tuhan.

3) Bahasa dan struktur pemikiran
Berkaitan dengan konsep ini orang Samin menyatakan bahwa:
(a) Wong enom mati uripe titip sing urip, bayi uda nangis nger niku suksma ketemu raga, dadi wong niku mulane mboten mati, nek ninggal sandhangan niku nggih, kedah sabar trokal sing diarah turun-temurun, dadi ora mati nanging kumpul sing urip, apik wong selawase--sepisan dadi wong selawase--dadi wong.
(b) Pratikel ‘tingkah laku, perbuatan’ diajak gugur-gunung cukup mengayunkan cangkul satu kali, menurutnya sudah memenuhi syarat.
(c) Tidak mau membayar pajek (dari sipat jejek), lemah-lemahe dhewe kon bayar pajek, tetapi dimintai sumbangan mau.
(d) Srekal, sangkal, sangkak, Samin-sangkak ‘orang Samin sangkak di samping ada Samin lugu, yang menyangkal’

4) Bahasa dan perubahan dalam masyarakat
Konsep ini tercermin pada istilah yang sering disebutkan seperti:
(a) Geger Samin ‘peristiwa pemberontakan orang Samin setelah Samin Surosentiko ditangkap Belanda (1970) hingga tahun 1917.
(b) Nyamin, saminisme ‘berbuat seperti orang Samin, paham ajaran Samin’
(c) Samin ‘nama orang kebanyakan’
(d) Nama-nama benda kepemilikannya
(e) Nama-nama hasil dan peralatan pertanian
(f) Istilah yang berkaitan dengan pendidikan (dluwang teles, dluwang garing)
(g) Pernikahan (kawin Samin, kawin tumpeng, kawin modin/pemerintah)

Empat hal tersebut di atas menyontohkan sumbangan linguistik terhadap etnologi, sedangkan sumbangan etnologi terhadap linguistik akan disinggung sedikit dalam tulisan ini, karena luasnya materi pembahasannya. Sumbangan etnologi terhadap linguistik misalnya seperti berikut ini.

1) Kebudayaan dan sejarah bahasa
Kebudayaan dan sejarah bahasa Jawa Samin berkaitan erat dengan munculnya tokoh Samin. Secara historis (baca lagi dalam pendahuluan) dengan munculnya etnis Samin dalam etnis Jawa, memunculkan bahasa Jawa “gaya Samin”.
2) Kebudayaan dan peta bahasa
Bahasa Jawa menurut konsep kebudayaan dan peta bahasa dapat diidentifikasi, bahwa setelah meneliti kebudayaan Samin dengan media bahasanya diketahui secara geografis peta bahasanya termasuk bahasa pesisir. Ciri-ciri dialektalnya seperti fonetis /Eh/ -- gerEh, mulEh, sapEh, getEh, karE? (dalam BJ umum gerIh, mulIh, sapIh, getIh, kari); fonetis /Oh/ -- abOh, lunggOh, rusOh, butOh (abUh, lunggUh, rusUh, butUh); enklitik -mu – bapa?em, sawahem, wedhUsem (bapa?mu, sawahmu, wedhusmu); unsur leksikal khas adang akEh ‘punya hajat’, rukun kula ‘suami/istri’, salin sandhangan ‘mati’, turun ‘anak’, aran ‘nama’, dan sebagainya.
3) Kebudayaan dan makna bahasa
Menurut konsep ini dikenal adanya leksikon yang berasal dari bahasa asing, nasional, dan lokal. Oleh karena itu unsur leksikal yang khas Samin termasuk lokal dan secara semantik memiliki makna tersendiri berdasarkan tuntutan dan konteks budayanya. Contoh untuk nomor tiga ini telah banyak ditampilkan di atas.

4 SIMPULAN
Secara ringkas tulisan ini dapat disimpulkan sebagai berikut.
(1) Oleh karena fenomena historis masyarakat Samin menimbulkan fenomena kultural dan lingual tersendiri di tengah kultur Jawa pada umumnya, dan dibandingkan dengan yang lain tergolong menonjol.
(2) Dari kacamata etnolinguistik, bahasa Jawa Samin sebenarnya tidak jauh dengan bahasa Jawa lain, yang menonjol adalah kesendiriannya di tengah induk etnisnya.
(3) Oleh karena eratnya bahasa Jawa Samin dengan unsur religinya (Agama Adam), maka hampir setiap kata Samin memiliki makna filosofis dan “politis”.


DAFTAR PUSTAKA

Dekker dan I Nyoman, 1970. Masyarakat Samin Suatu Tinjauan Sosiokulturil, Lembaga Penerbitan IKIP Malang.
Echols, J.M. dan Shadily, H. 1987. Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Geertz, C. 1981. Abangan Santri Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya.
Giap, The Siauw. 1968. “The Samin Movement in Java, Complementary Remarks”, Revus du sut-East, asiatique et I’Eztreme Orient No. 1 (1967) dan 2 (1968).
Koentjaraningrat. 1967. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat.
Korver A. Pivtor E. 1976. “The Samin Movement and Millenarianisme”, BKI, dee 132, 2e+3e Aflevering. S’Gravenhage: Marinus Nijhoff.
King, Victor T. 1973. “Some Observation on The Samin Movement of North Central-Java”, BKI, deel 129, 4e aflevering. S”Gravenhage: Martinus Nijhoff.
Michael R. Dove. 1985. Peranan Kebudayaan Tradisional Indonesia dalam Modernisasi.
Niels Mulder. 1974. “Saminisme and Budhisme: A not on Field visit to a Samin Community”, Asian Quartely, A Journal from Europe, No. 3.
______. 1984. Kebatinan dan Hidup Sehari-hari Orang Jawa. Jakarta: Gramedia.
Poer Adhi Prawoto. 1972. “Sejarah Adat-istiadat Samin Daerah Kabupaten Blora”, PS No. 14 Th.39, 10 April 1972, Surabaya.
Shiraishi, 1990. Dangir’s Testimony: Saminism Reconsidered, Cornell Southeast Asia Program.
Sadi Hutomo. 1985. “Samin Surosentiko dan Ajaran-ajarannya”, Basis, No.1 dan 2 Januari-Februari 1985, Yogyakarta.
Shri Ahimsa Putra. 1996/1997. “Etnolinguistik: Beberapa Bentuk Kajian”, makalah Temu Ilmiah Bahasa dan Sastra, Yogyakarta, 26-27 Maret 1997.
Silva Fuenzalida, I. 1949. “Ethnolinguistics and The Study of Culture”, American Anthropholigist 51, 446-456.

No comments: